karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

33
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Radikal Bebas Radikal bebas adalah suatu atom, gugus, atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit paling luar, termasuk atom hidrogen, logam-logam transisi, dan molekul oksigen. Adanya ‘elektron tidak- berpasangan’ ini, menyebabkan radikal bebas secara kimiawi menjadi sangat aktif. Radikal bebas dapat bermuatan positif (kation), negatif (anion), atau tidak bermuatan (Halliwell dan Gutteridge, 2000). Sumber radikal bebas bisa berasal dari proses metabolisme dalam tubuh (internal) dan dapat berasal dari luar tubuh (eksternal). Dari dalam tubuh mencakup superoksida (O 2 *), hidroksil (*OH), peroksil (ROO*), hidrogen peroksida (H 2 O 2 ), singlet oksigen ( 1 O 2 ), oksida nitrit (NO*), dan peroksinitrit (ONOO*). Dari luar tubuh antara lain berasal dari: asap rokok, polusi, radiasi, sinar UV, obat, pestisida, limbah industri, dan ozon (Siswono, 2005). Radikal bebas pada umumnya dapat mempunyai efek yang sangat menguntungkan, seperti membantu destruksi sel-sel mikroorganisme dan kanker. Akan tetapi, produksi radikal bebas yang berlebihan dan produksi antioksidan yang tidak memadai dapat menyebabkan kerusakan sel-sel jaringan dan enzim- enzim. Kerusakan jaringan dapat terjadi akibat gangguan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas asam lemak atau dikenal sebagai peroksidasi lipid. Aktivitas radikal bebas dapat menjadi penyebab atau mendasari berbagai keadaan

Upload: nguyendat

Post on 30-Dec-2016

242 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Radikal Bebas

Radikal bebas adalah suatu atom, gugus, atau molekul yang memiliki satu

atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit paling luar, termasuk atom

hidrogen, logam-logam transisi, dan molekul oksigen. Adanya ‘elektron tidak-

berpasangan’ ini, menyebabkan radikal bebas secara kimiawi menjadi sangat

aktif. Radikal bebas dapat bermuatan positif (kation), negatif (anion), atau tidak

bermuatan (Halliwell dan Gutteridge, 2000).

Sumber radikal bebas bisa berasal dari proses metabolisme dalam tubuh

(internal) dan dapat berasal dari luar tubuh (eksternal). Dari dalam tubuh

mencakup superoksida (O2*), hidroksil (*OH), peroksil (ROO*), hidrogen

peroksida (H2O2), singlet oksigen (1O2), oksida nitrit (NO*), dan peroksinitrit

(ONOO*). Dari luar tubuh antara lain berasal dari: asap rokok, polusi, radiasi,

sinar UV, obat, pestisida, limbah industri, dan ozon (Siswono, 2005).

Radikal bebas pada umumnya dapat mempunyai efek yang sangat

menguntungkan, seperti membantu destruksi sel-sel mikroorganisme dan kanker.

Akan tetapi, produksi radikal bebas yang berlebihan dan produksi antioksidan

yang tidak memadai dapat menyebabkan kerusakan sel-sel jaringan dan enzim-

enzim. Kerusakan jaringan dapat terjadi akibat gangguan oksidatif yang

disebabkan oleh radikal bebas asam lemak atau dikenal sebagai peroksidasi lipid.

Aktivitas radikal bebas dapat menjadi penyebab atau mendasari berbagai keadaan

Page 2: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

9

patologis. Di antara senyawa-senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil (‘OH)

merupakan senyawa yang paling berbahaya karena mempunyai tingkat reaktivitas

sangat tinggi. Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang penting

untuk mempertahankan integritas sel yaitu:

(1) Asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) yang merupakan komponen penting

fosfolipid penyusun membran sel

(2) DNA, yang merupakan piranti genetik dari sel.

(3) Protein, yang memegang berbagai peran penting seperti enzim, reseptor,

antibodi, pembentuk matriks, dan sitoskeleton (Halliwell dan Gutteridge,

2000 ; Papas, 1999).

Regulasi jumlah radikal bebas secara normal dalam sistem biologis tubuh

dilakukan oleh enzim-enzim antioksidan endogenous seperti enzim SOD, GPx,

dan CAT. Pengukuran radikal bebas di dalam tubuh sangat sulit dilakukan karena

radikal bebas bereaksi sangat cepat sehingga seringkali dilakukan pengukuran

tidak langsung melalui produk turunannya seperti MDA dan 4-hidroksinonenal.

Kedua senyawa tersebut sering digunakan untuk pengukuran reaksi radikal bebas

lipid (Nabet, 1996).

2.2 Malondialdehida

Menurut Leibler et al. (1997), MDA merupakan produk enzimatis dan

nonenzimatis dari pemecahan prostaglandin endoperoksida dan produk akhir dari

lipid peroksidasi. MDA merupakan molekul reaktif yang memiliki rumus

molekul C3H4O2 dan dikenal sebagai penanda (marker) peroksidasi lipid.

Page 3: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

10

Pengukuran MDA banyak dilakukan oleh para peneliti sebagai indeks

tidak langsung dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh peroksidasi lipid.

Menurut pernyataan Tokur et al. (2006), prinsip pengukuran MDA adalah rekasi

satu molekul MDA dengan dua molekul asam tiobarbiturat (TBA) membentuk

kompleks senyawa MDA-TBA yang berwarna pink dan kuantitasnya dapat dibaca

dengan spektrofotometer.

Beberapa penelitian mengenai MDA dilakukan oleh para ahli seperti yang

dilakukan oleh Prangdimurti et al. (2006), yang menyatakan bahwa terjadi

penurunan kadar MDA pada hati tikus Sprague Dawley yang diberi asupan

ekstrak daun suji. Hasil penelitian Jawi et al. (2008) juga menyatakan terjadinya

penurunan kadar MDA pada darah dan hati mencit jantan galur Swiss setelah

diberi asupan ekstrak ubi jalar ungu. Puspawati (2009) menyatakan bahwa asupan

sorgum dan jewawut yang kaya antioksidan dapat menurunkan kadar MDA pada

hati tikus Sprague Dawley. Penelitian yang dilakukan oleh Kutlu et al. (2009)

pada tikus hiperkolesterolemia yang disuplementasi dengan ‘apricot cernel oil’,

memberikan hasil yang signifikan terhadap penurunan MDA pada hatinya.

2.3 Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat spesies oksigen

reaktif, spesies nitrogen, dan radikal bebas lainnya sehingga mampu mencegah

penyakit-penyakit degeneratif seperti kardiovaskular, kanker, dan penuaan.

Senyawa antioksidan merupakan substansi yang diperlukan tubuh untuk

menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal

Page 4: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

11

bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak. Senyawa ini memiliki struktur

molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas tanpa

terganggu sama sekali fungsinya dan dapat memutus reaksi berantai (Halliwell

dan Gutteridge, 2000).

Rajalakshmi dan Narisimhan (1996) menggolongkan antioksidan menjadi

tiga tipe yaitu :

(1) Antioksidan primer

Senyawa-senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan primer mampu

memutus rantai reaksi pembentukan radikal bebas dengan memberikan ion

hidrogen atau elektron pada radikal bebas sehingga menjadi produk yang stabil.

Senyawa yang digolongkan sebagai antioksidan primer adalah kelompok senyawa

polifenol, asam askorbat (vitamin C), kelompok senyawa asam galat, BHT, BHA,

TBHQ, PG, dan tokoferol.

(2) Antioksidan sekunder

Antioksidan sekunder berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal

bebas, menginaktifkan singlet oksigen, menyerap radiasi ultraviolet dan bekerja

sinergis dengan antioksidan primer. Senyawa yang digolongkan sebagai

antioksidan sekunder adalah asam tiodipropionat, dilauril dan distearil ester.

(3) Chelator sequestransts

Senyawa yang tergolong sebagai chelator berfungsi sebagai pengikat

logam-logam yang dapat mengkatalis reaksi oksidasi lemak seperti Fe dan Cu.

Belitz et al. (2009) menyatakan bahwa terikatnya logam-logam tersebut oleh

chelating agent mampu meningkatkan efisiensi reaksi antioksidan, menghambat

Page 5: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

12

oksidasi asam askorbat dan vitamin-vitamin yang larut lemak. Senyawa yang

digolongkan sebagai chelator atau chelating agent adalah asam sitrat, suksinat,

oksalat, laktat, malat, tartarat, asam polifosfat, ethylenediaminetetraacetic acid

(EDTA), asam amino dan peptida. Senyawa golongan asam karboksilat seperti

asam sitrat, asam nikotinat, asam salisilat dan asetil salisilat disamping berfungsi

sebagai chelator, juga memiliki keaktifan sebagai antioksidan. Dari keempat

senyawa golongan asam karboksilat tersebut, asam sitrat merupakan antioksidan

yang paling efektif dan memiliki sifat sebagai radioprotektor

(Gromovaya et al., 2002).

Sumber-sumber antioksidan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia

dikelompokkan menjadi tiga yaitu (1) antioksidan yang sudah ada di dalam tubuh

manusia yang dikenal dengan enzim antioksidan (SOD, GPx, dan CAT), (2)

antioksidan sintetis yang banyak digunakan pada produk pangan seperti BHA,

BHT, PG, dan TBHQ, dan (3) antioksidan alami yang diperoleh dari bagian-

bagian tanaman seperti kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, dan serbuk

sari, juga dapat diperoleh dari hewan dan mikroba. Jenis antioksidan yang banyak

didapatkan dari bahan alami berupa vitamin C dan E, beta karoten, pigmen seperti

antosianin dan krolofil, flavonoid, dan polifenol (Siswono, 2005 ;

Ardiansyah, 2007).

BHA, BHT, PG, dan TBHQ adalah senyawa antioksidan sintetis yang

sudah dipergunakan secara luas oleh masyarakat dunia, tetapi hasil penelitian

Amarowicz et al. (2000) menyatakan bahwa penggunaan bahan sintetis ini dapat

meningkatkan resiko penyakit karsinogenesis. Sementara itu beberapa studi

Page 6: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

13

epidemiologi menunjukkan adanya peningkatan konsumsi antioksidan alami yang

terdapat dalam buah, daun, bunga, rimpang, dan bagian-bagaian lain dari

tumbuhan untuk menghindari penyakit-penyakit degeneratif (Ghiselli et al., 1998).

Adanya beberapa mikronutrien pada tumbuhan seperti vitamin A, C, E, asam

folat, karotenoid, antosianin, dan polifenol memiliki kemampuan menangkap

radikal bebas sehingga dapat dijadikan pengganti konsumsi antioksidan sintetis

(Gill et al., 2002).

2.4 Enzim Antioksidan

Enzim antioksidan atau antioksidan endogenous enzimatik adalah SOD,

CAT, GPx, dan glutation reduktase (GSH). SOD adalah metaloenzim yang

mengkatalis dismutasi radikal anion superoksida (O2’) menjadi hidrogen

peroksida (H2O2) dan oksigen (O2) di dalam mitokondria. Selanjutnya H2O2 di

dalam mitokondria akan mengalami detoksifikasi oleh enzim katalase menjadi

senyawa H2O dan O2, sedangkan H2O2 yang berdifusi ke dalam sitosol akan

didetoksifikasi oleh enzim glutation peroksidase (Ihnat, et al., 2007). Enzim ini

bersifat tidak stabil terhadap panas, cukup stabil pada kondisi basa, dan masih

mempunyai aktivitas walaupun disimpan sampai lima tahun pada suhu 5oC.

Menurut Haliwell dan Gutteridge (2000), aktivitas SOD tertinggi ditemukan di

hati, kelenjar adrenalin, ginjal, darah, limfa, pankreas, otak, paru-paru, lambung,

usus, ovarium, dan timus.

CAT adalah enzim yang disusun oleh lebih dari 500 asam amino dan

memiliki gugus forfirin atau dikenal sebagai hemoprotein. Enzim ini mengkatalis

Page 7: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

14

senyawa hidrogen peroksida (H2O2) menjadi oksigen (O2) dan air (H2O).

Menurut Haliwell dan Gutteridge (2000), aktivitas CAT optimal pada pH 7 dan

meningkat dengan meningkatnya akumulasi H2O2. Enzim CAT mampu

mengkonversi 40 juta molekul hidrogen peroksida menjadi molekul air dan

oksigen setiap detiknya. Disamping itu, enzim CAT juga mampu

mendetoksifikasi senyawa formaldehid, fenol dan alkohol. CAT dengan

konsentrasi yang tinggi ditemukan pada hati, darah, ginjal, otak, paru-paru,

jaringan adiposa, dan kelenjar adrenal. GPx adalah selanoprotein yang terdiri atas

empat sub unit protein yang mengkatalis reaksi reduksi H2O2 menjadi air (H2O).

Glutation banyak ditemukan dalam hati. Sampai saat ini ditemukandelapan

isoform glutation peroksidase yaitu GPx1 (ditemukan pada sitosol, mereduksi

hidrogen peroksida), GPx2(enzim ekstraselular pada saluran pencernaan), GPx3

(enzim ekstraselular pada plasma), GPx4 (enzim yang mereduksi hidroperoksida

lipid), GPx5 (enzim pada epididymal), GPx6 (enzim pada olfactory), GPx7, dan

GPx8 (putative).

2.5 Senyawa Antioksidan Alami

Senyawa antioksidan alami pada umumnya berupa vitamin C, vitamin E,

karotenoid, senyawa fenolik, dan polifenolik yang dapat berupa golongan

flavonoid, turunan asam sinamat, kuomarin, tokoferol, dan asam-asam organik

polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi

flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavonol, dan kalkon. Sementara turunan

asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain

Page 8: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

15

(Prakash, 2001 ; Kumalaningsih, 2006). Gromovaya et al. (2002) menyatakan

bahwa dari hasil penelitiannya terhadap beberapa senyawa golongan asam

karboksilat seperti asam sitrat, asam nikotinat, asam salisilat, dan asetil salisilat

memiliki aktivitas antiradikal yang cukup tinggi dan pada umumnya berperan

dalam mereduksi radikal hidroksil dan hidrogen peroksida.

2.5.1 Vitamin E

Vitamin E ditemukan pada tahun 1922, oleh Evans dan Bishop, dengan

istilah tokoferol (dari bahasa Yunani, tocos berarti kelahiran anak dan phero

berarti mengasuh). Vitamin E adalah nama umum untuk semua metil-tokol, jadi

istilah tokoferol bukan sinonim dari vitamin E, namun pada praktek sehari-hari,

kedua istilah tersebut disinonimkan. Struktur kimia tokoferol alfa diperlihatkan

pada Gambar 2.1 (Landvik et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002) .

Vitamin E tidak larut di dalam air tetapi larut dalam minyak dan lemak.

Terdapat delapan bentuk vitamin E yaitu berupa tokoferol alfa, beta, gamma, dan

delta serta empat bentuk tokotrienol homolog (alfa, beta, gamma, dan delta). Dari

delapan bentuk tersebut, alfa tokoferol memiliki aktivitas biologis yang paling

tinggi (Landvik et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Sumber

vitamin E di alam banyak dijumpai pada minyak bunga matahari, minyak biji

kapas, taoge, kacang-kacangan dan kentang manis (Kumalaningsih, 2006).

Page 9: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

16

Gambar 2.1

Struktur Molekul α –tokoferol (Landvik et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002)

Fungsi vitamin E di dalam tubuh adalah melindungi asam-asam lemak tak

jenuh pada membran sel, mampu meningkatkan respon imun, sebagai zat pengatur

(regulasi) pada aktivasi Protein Kinase C, fungsi mitokondria, metabolisme

protein dan produksi hormon. Vitamin E juga melindungi vitamin A dari

kerusakan yang terjadi di dalam tubuh. Fungsi vitamin E sangat penting bagi

tubuh seperti dapat mencegah kanker, penyakit kardiovaskuler, proses penuaan,

osteoporosis dan meningkatkan kinerja sistem kekebalan tubuh (Landvik et al.,

2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh

Ahmad et al. (2006) menyatakan bahwa vitamin E memiliki aktivitas antioksidan

dalam mengurangi degradasi tirosin akibat fotosensitisasi Psoralen in vitro. Kushi

et al., (1996) dan Yochum et al., (2000) melaporkan adanya hubungan terbalik

antara asupan vitamin E dengan kejadian kematian karena kardiovaskuler.

Sebagai antioksidan, vitamin E berfungsi melindungi senyawa-senyawa

yang mudah teroksidasi, antara lain ikatan rangkap dua pada UFA (Unsaturated

Fatty Acid), DNA, dan RNA dan ikatan atau gugus – SH (sulfhidril) pada protein.

Page 10: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

17

Apabila senyawa-senyawa tersebut teroksidasi, maka akan terbentuk ”radikal

bebas”, yang merupakan hasil proses peroksidasi. Radikal bebas yang terjadi akan

mengoksidasi senyawa-senyawa protein, DNA, RNA, dan UFA. Vitamin E akan

bertindak sebagai reduktor dan menangkap radikal bebas tersebut. Vitamin E

dalam hal ini berperan sebagai scavenger. Scavenger yang lain selain vitamin E

adalah vitamin C, enzim glutation reduktase, dismutase, dan peroksidase yang

bersifat larut dalam air. Scavenger yang larut dalam lemak adalah vitamin E dan

ß-karoten (Traber, 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002).

Vitamin E lebih mudah diserap usus apabila terdapat lemak dan dalam

kondisi tubuh yang mempermudah penyerapan lemak. Tokoferol dari makanan

diserap oleh usus ditransportasikan ke hati melalui sistim limfatik dan saluran

darah. Di hati, tokoferol disebarkan ke sel-sel jaringan tubuh melalui saluran

darah. Di dalam plasma darah, tokoferol bergabung dengan lipoprotein, terutama

VLDL ( Very Low Density Lipoprotein) (Weber and Rimbach, 2002 di dalam

Cadenas dan Packer, 2002).

Sekitar 40% sampai dengan 60% tokoferol dari makanan yang dikonsumsi

dapat diserap oleh usus. Peningkatan jumlah yang dikonsumsi akan menurunkan

persentase yang diserap. Vitamin E disimpan terutama dalam jaringan adiposa,

otot dan hati. Dalam keadaan normal, kadar vitamin E dalam plasma darah

berkisar antara 0,5 mg/ml sampai dengan 1,2 mg/ml (Landvik et al., 2002 di

dalam Cadenas dan Packer, 2002).

Asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA/ Poly Unsaturated Fatty Acid),

dapat menurunkan penyerapan dan penggunaan vitamin E. Hal ini berkaitan

Page 11: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

18

kemungkinan dengan kecenderungan vitamin E bersifat mudah teroksidasi. Oleh

karena itu, kebutuhan vitamin E akan bertambah seiring dengan semakin

bertambahnya konsumsi PUFA. Dengan demikian, peningkatan konsumsi PUFA

yang tidak diikuti dengan peningkatan asupan vitamin E akan menimbulkan

penurunan secara gradual α-tokoferol dalam plasma (Kumalaningsih, 2006).

Di dalam hati, α-tokoferol diikat oleh α-TTP (α-tokoferol transfer protein).

Setelah menjalankan fungsinya sebagai antioksidan, tokoferol dapat teroksidasi

menjadi tokoferil (tokoferol bentuk radikal) bentuk radikal ini dapat direduksi

kembali menjadi tokoferol oleh kerja sinergi dari antioksidan yang lain, misalnya

vitamin C dan glutation. Vitamin E diekskresikan dari tubuh bersama dengan

empedu melalui feses, sebagian lagi melalui urin setelah diubah lebih dahulu

menjadi asam tokoferonat dan tokoferonalakton yang dapat berkonjugasi dengan

glukoronat (Traber, 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002).

2.5.2 Vitamin C

Vitamin C adalah vitamin yang larut di dalam air dan sangat banyak

dijumpai pada tanaman sebagai L-asam askorbat dan sumber vitamin C di alam

adalah buah-buahan dan sayur-sayuran. Vitamin ini sangat labil terhadap suhu dan

oksigen. Struktur kimia vitamin C disajikan pada Gambar 2.2 (Padayatty et al.,

2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002).

Fungsi vitamin C adalah membantu penyerapan zat besi di dalam tubuh,

menghambat produksi nitrosamin (zat pemicu kanker), memperbaiki sistem

kekebalan tubuh, menjaga kesehatan gigi, gusi, pembuluh-pembuluh kapiler,

mencegah oksidasi lemak dan membantu penyembuhan luka (Carr dan Frei, 2002

Page 12: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

19

di dalam Cadenas dan Packer, 2002 ; Kumalaningsih, 2006). Vitamin C terbukti

juga dapat meningkatkan kadar hemoglobin pada tikus putih apabila diberikan

sebesar 14,4 mg per 200 g berat badan per hari (Wahyuni, 2007).

Gambar 2.2 Struktur Molekul Asam Askorbat (Padayatty et al., 2002 di dalam Cadenas dan

Packer, 2002)

Vitamin C merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh terhadap

senyawa oksigen reaktif dalam plasma dan sel. Vitamin C mampu bereaksi

dengan radikal bebas kemudian mengubahnya menjadi radikal askorbil yang

nantinya segera berubah menjadi dehidroaskorbat (Zakaria et al., 1996). Vitamin

C berperan menekan risiko kanker saluran pencernaan, terbukti dari penelitian

yang dilakukan oleh Zakaria et al. (2000) yang menunjukkan adanya peningkatan

kemampuan proliferasi sel B dan sel T pada konsumsi buah dan sayuran selama

30 hari. Temuan ini mengindikasikan bahwa asupan sayuran dan buah-buahan

dalam jumlah memadai dapat mengurangi resiko penyakit kanker.

Pada umumnya penggunaan vitamin C sebagai antioksidan

dikombinasikan dengan sumber antioksidan lain seperti vitamin E, buah-buahan

dan sayur-sayuran yang mengandung pigmen antosianin, klorofil dan golongan

Page 13: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

20

senyawa flavonoid. Penelitian yang dilakukan oleh Jeng et al. (1996) menyatakan

bahwa kombinasi konsumsi vitamin C dan E ( 1 g vitamin C dan 400 mg

vitamin E all-rac-α-tocoferil asetat) selama 14 hari dapat meningkatkan produksi

IL-1 sebesar 1,8 kali dan TNF-α sebesar 1,5 kali. Sementara bagi kelompok yang

diberi konsumsi vitamin C saja hasilnya tidak memberikan efek yang signifikan.

Dilaporkan pula bahwa produksi sitokin pada 40 orang meningkat setelah diberi

suplementasi 1 g vitamin C dan 400 mg vitamin E all-rad-α tokoferol selama

waktu 28 hari.

Vitamin C atau asam askorbat disintesis dari glukosa di dalam hati hewan

yang tergolong mamalia. Manusia tidak bisa mensintesis vitamin C karena tidak

memiliki enzim glunolakton oksidase yang dapat mensisntesis asam askorbat dari

glukosa. Oleh sebab itulah manusia harus menyuplai vitamin C dari luar tubuh

yaitu dari konsumsi makanan dan minumannya. Karena sifatnya yang larut dalam

air, vitamin C mudah diserap oleh tubuh dan mudah pula dikeluarkan apabila

asupan berlebih (Carr dan Frei, 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002).

Vitamin C atau asam askorbat mendonorkan dua elektron yang berasal

dari ikatan rangkap antara karbon kedua dan ketiganya. Senyawa reaktif yang

diberi elektron oleh vitamin C kemudian berubah menjadi senyawa yang stabil.

Vitamin C kemudian berubah menjadi bentuk radikal semidehidroaskorbat atau

radikal askorbil yang tidak reaktif. Senyawa ini dapat larut di dalam air sehingga

mudah mengeluarkannya dari dalam tubuh. Berdasarkan mekanisme donor

elektron yang dilakukan oleh vitamin C inilah maka vitamin C berfungsi sebagai

Page 14: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

21

antioksidan yang tergolong scavenger (Landvik et al., 2002 dan Padayatty et al.,

2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002).

2.5.3 Karotenoid

Karotenoid adalah suatu kelompok pigmen berwarna kuning, oranye, atau

merah oranye, memiliki sifat larut dalam lemak atau pelarut organik tetapi tidak

larut di dalam air. Senyawa ini sensitif terhadap alkali, udara (O2), sinar, dan

suhu yang tinggi. Terdapat sekitar 700 jenis karotenoid yang dibagi menjadi dua

kelas yaitu xanthophyll dan karoten. Senyawa karotenoid yang populer adalah

beta karoten. Senyawa ini dapat diubah menjadi vitamin A di dalam tubuh

(Deming et al., 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002).

Fungsi biologis karotenoid adalah sebagai antioksidan, regulasi

komunikasi intraseluler, regulasi diferensiasi sel dan apoptosis, meningkatkan

respon imun, dan membantu penghambatan mutagenesis dan transformasi

malignan di dalam sel (Palozza et al., 2001 dan Sumantran et al., 2000). Hasil

studi epidemiologi menyatakan bahwa asupan karotenoid berhubungan dengan

pencegahan beberapa penyakit kronis dan resiko terjadinya kanker paru pada

kelompok pekerja asbestos dan perokok (Deming et al., 2002 di dalam Cadenas

dan Packer, 2002).

Pada kondisi tertentu, vitamin A (beta karoten) berperan sebagai sparing

effect vitamin E. Bila tekanan dalam tubuh tinggi, vitamin E diangkut darah

melalui LDL dan HDL, namun bila tekanan oksigen rendah, vitamin E digantikan

oleh beta karoten (Suryohudoyo, 1995). Sistem kerja seperti ini sangat

menguntungkan karena kedua senyawa tersebut mampu berperan sebagai

Page 15: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

22

antioksidan sehingga dapat mempertahankan status antioksidan endogen secara

bergantian.

Senyawa karotenoid tersebar luas dalam tanaman. Senyawa ini terdapat

dalam kloroplast daun atau batang tanaman yang berwarna hijau. Karotenoid juga

banyak dijumpai pada umbi dan buah-buahan. Sumber karotenoid adalah wortel,

jeruk, pisang, pepaya, semangka, dan tomat. Gambar 2.3 menunjukkan struktur

kimia karotenoid (Anonim, 2010b).

Gambar 2.3 Struktur Molekul Karotenoid (Anonim, 2010b)

2.5.4 Senyawa fenolik (polifenol)

Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan sangat luas pada

tanaman. Zat ini memiliki ciri khas yakni memiliki banyak gugus fenol pada

molekulnya, dan berperan dalam memberi warna pada tumbuhan seperti warna

daun saat musim gugur. Dari sejumlah penelitian pada tanaman obat dilaporkan

Page 16: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

23

bahwa banyak tanaman obat yang mengandung polifenol dalam jumlah besar.

Efek antioksidan terutama disebabkan karena adanya senyawa fenol seperti

flavonoid dan asam fenolat. Biasanya senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas

antioksidan adalah senyawa fenol yang mempunyai gugus hidroksi yang

tersubstitusi pada posisi ortho dan para terhadap gugus –OH dan –OR (Okawa et

al., 2001). Senyawa polifenol yang khas terdapat pada teh adalah

epigallocatechin gallate (EGCG) dan epicatechin gallate (ECG). Sementara itu

senyawa polifenol pada rimpang kunyit disebut kurkumin (Gambar 2.4), pada jahe

disebut zingerol, dan pada kulit buah-buahan adalah tannin (Anonim, 2010c).

Gambar 2.4 Senyawa Kurkumin (Anonim, 2010c)

Senyawa polifenol dapat berupa golongan asam-asam fenolat, polimer

fenolat, dan flavonoid. Asam-asam fenolat membentuk bermacam-macam

kelompok senyawa yang termasuk hidroksibenzoat dan asam hidroksisinamat.

Polimer fenolat tersusun dari senyawa yang memiliki berat molekul besar seperti

tannin. Ada dua jenis tanin yaitu: hydrolysable tannin dan condensed tannin.

Hydrolysable tannin adalah senyawa tanin yang dapat dihidrolisis dengan asam,

alkali atau enzim menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti gula dan

asam tanat (asam galat dan elagat) (Hagerman, 2002).

Page 17: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

24

Galotanin adalah contoh hydrolysable tannin, yang mana molekulnya

tersusun dari asam galat dan gula, sedangkan elagitanin adalah hydrolysable

tannin yang molekulnya tersusun dari asam elagat dan gula (Gambar 2.5).

Condensed tannin juga disebut proanthosianidin merupakan tanin yang tersusun

dari flavonoid seperti katekin atau epikatekin, contohnya prosianidin B-2 yang

disajikan pada Gambar 2.6 (Hagerman, 2002).

Gambar 2.5 Struktur Molekul Galotanin (Hydrolysable Tannin)

(Hagerman, 2002)

Gambar 2.6 Struktur Molekul Prosianidin B-2 (Condensed Tannin)

(Hagerman, 2002)

Page 18: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

25

Flavoniod merupakan senyawa yang sangat banyak dijumpai pada

tanaman atau merupakan golongan senyawa polifenol yang paling banyak

terdapat pada tanaman. Struktur dasar dari flavonoid disajikan pada Gambar 2.7

(Fuhrman dan Aviram, 2002 di dalam Cadenas dan Packer, 2002). Antosianin dan

antoxantin juga termasuk kelompok flavonoid. Antosianin adalah pigmen

tanaman yang bertanggungjawab pada munculnya warna merah, biru, dan ungu,

sedangkan antoxantin adalah pigmen yang tidak berwarna, berwarna putih atau

putih kekuningan. Senyawa antioksidan alami polifenol ini adalah multifungsional

dan dapat beraksi sebagai (1) pereduksi, (2) penangkap radikal bebas, (3)

pengkelat logam, dan (4) peredam terbentuknya singlet oksigen. Aktivitas

antioksidan flavonoid tergantung pada struktur molekulnya terutama gugus prenil

(CH3)2C=CH-CH2-. Gugus prenil flavonoid dikembangkan untuk pencegahan atau

terapi terhadap penyakit-penyakit yang diasosiasikan dengan radikal bebas

(Birt et al., 2001).

Penelitian yang dilakukan oleh Cai et al. (2004) menyatakan bahwa

kandungan senyawa fenolik dari 112 tanaman obat Cina memiliki koefisien

korelasi positif dan sangat kuat (R2 = 96,4%) dengan aktivitas antioksidannya

sehingga disimpulkan bahwa senyawa fenolik memberikan kontribusi yang

signifikan pada kapasitas antioksidan tanaman obat.

Klopotek et al. (2005) menyatakan bahwa kandungan vitamin C dan

senyawa fenolik pada buah strawberi yang sudah mengalami pengolahan

(prosesing) mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hal ini mengakibatkan

aktivitas antioksidan pada produk segar lebih tinggi dibandingkan dengan produk

Page 19: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

26

olahan. Penelitian yang dilakukan oleh Indriati et al. (2002) menyatakan bahwa

buah jambu mete yang mengalami penundaan pengolahan mengakibatkan

penurunan senyawa polifenol yang dapat menurunkan aktivitas antioksidannya.

Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Kobayashi et al. (2008) menyatakan

bahwa kandungan senyawa fenolik dan aktivitas antioksidan yang dianalisis dari

buah pawpaw mengalami penurunan selama proses pematangan.

Gambar 2.7 Struktur Dasar Molekul Flavonoid (Birt et al., 2001)

Senyawa flavonoid khususnya senyawa quersetin selain berfungsi sebagai

antioksidan untuk mencegah penyakit degeneratif dan kronis, juga memiliki

kapasitas melindungi jaringan otot jantung (myocardial) dari iskemia dan luka

reperfusi sehingga memiliki potensi sebagai cardioprotective effect pada tikus

putih (Ikizler et al., 2007).

Struktur Flavonoid:

Senyawa Fenolik terdiri dari tiga cincin benzene dengan group hidroksil (OH)

  1. Hilangkan OH pada (1): flavon

2. Ganti (OH) pada (1) dengan cincin ke tiga: isoflavon

3. Ganti O pada (2) dengan H: antosianin 4. Ganti OH pada (3) dengan glukosa;

hilangkan OH pada (4); hilangkan OH pada (1): glukosida

Tanpa gula, molekul disebut aglikon

Page 20: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

27

2.6 Kapasitas Antioksidan

Kapasitas atau aktivitas antioksidan menggambarkan kemampuan suatu

senyawa yang mengandung antioksidan untuk menghambat laju reaksi

pembentukan radikal bebas. Penentuan kapasitas antioksidan yang terdapat dalam

tumbuhan pada umumnya menggunakan spektrofotometer. Eksplorasi bahan-

bahan alam terutama senyawa bioaktif yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan dan

mikroorganisme yang hidup di darat maupun di air secara terus menerus diteliti

untuk mendapatkan senyawa antioksidan yang berfungsi untuk menjaga kesehatan

tubuh manusia (Shahidi, 1997 ; Prakash, 2001).

Reaksi yang umum terjadi pada mekanisme penangkapan radikal bebas oleh

antioksidan digolongkan menjadi dua yaitu mekanisme Hidrogen Atom Transfer

(HAT) dan Electron Transfer (ET). Reraksi HAT pada umumnya terjadi akibat

peroksidasi lemak yaitu antara radikal (X*) dengan antioksidan (AH) seperti pada

reaksi di bawah ini :

X* + AH ----------> XH + A’ (1)

Sementara itu reaksi ET terjadi akibat reaksi reduksi oksidasi (redoks) antara

radikal (X*) dengan antioksidan (AH) yang menghasilkan produk stabil (XH) dan

air (H2O). Produk inilah yang dapat mempengaruhi warna menjadi memudar.

Tahapan reaksinya disajikan pada reaksi di bawah ini :

X* + AH -----------> X- + AH*+ (2)

H2O AH*+ ---------> A* + H3O+ (3)

X- + H3O+ -------> XH + H2O (4)

Page 21: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

28

2.6.1 Pengukuran kapasitas antioksidan in vitro

Beberapa metode pengukuran kapasitas antioksidan secara in vitro yang

digunakan dewasa ini adalah beta karoten bleaching, 1,1-Diphenyl-2-

Picrylhydrazyl (DPPH Radical Scavenging) method, Thiobarbituric Acid-

Reactive-Substances (TBARS) assay, Rancimat assay, Oxygen Radical

Absorbance Capacity (ORAC) assay, Total Radical-Trapping Antioxidant

Parameter (TRAP) dan Ferric Reducing/Antioxidant Power (FRAP) assay, Trolox

Equivalent Antioxidant Capacity (TEAC) method, Peroxyl Radical Scavenging

Capacity (PSC) dan Total Oxyradical Scavenging Capacity (TOCS) method dan

Folin-Ciocalteau Total Phenolic assay, dan lain-lain (Mermelstein, 2009).

Menurut Prior et al. (2005), metode analisis yang didasari atas reaksi HAT adalah

ORAC, TRAP, dan TOCS, sedangkan metode analisis berdasarkan reaksi ET

adalah FRAP, TEAC, dan DPPH.

Klopotek et al. (2005) menyatakan bahwa metode FRAP assay dan TEAC

assay yang digunakan untuk mengukur perubahan aktivitas antioksidan buah

strawberi segar dan olahannya memberikan hasil yang tidak jauh berbeda.

Penelitian yang dilakukan oleh Gill et al. (2002) menghasilkan bahwa aktivitas

antioksidan pada buah plum menggunakan FRAP assay lebih tinggi (40,4 mg

sampai dengan 127,2 mg ekivalen vitamin C) dibandingkan dengan pengukuran

menggunakan DPPH Radical Scavenging Method (27,4 mg sampai dengan 61,1

mg ekivalen vitamin C).

Penelitian lain menunjukkan bahwa analisis aktivitas antioksidan

menggunakan Total Phenolic assay dan FRAP assay memiliki hubungan positif

Page 22: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

29

yang sangat kuat (R2 = 94,8%) pada daun, batang, dan ekstrak buah tanaman

Momordica charantia L. (Kubola dan Siriamornpun, 2008).

2.6.2 Pengukuran kapasitas antioksidan in vivo

Wolfe dan Liu (2007) menyatakan bahwa di samping analisis in vitro,

perlu melakukan analisis kapasitas antioksidan pada hewan coba atau manusia

untuk mendapatkan efikasi aktual antioksidan tersebut di dalam tubuh. Tetapi

dikatakan pula bahwa penelitian ini memerlukan waktu dan biaya yang cukup

besar dan sulit mengetahui perbedaan pengaruh spesifik dari antioksidan dengan

asupan pangan sehari-hari.

Beberapa penelitian mengenai kapasitas antioksidan secara in vivo

dilakukan menggunakan mencit, tikus, dan manusia. Prangdimurti et al. (2006),

menyatakan bahwa terjadi peningkatan aktivitas SOD dan CAT pada hati tikus

Sprague Dawley yang diberi asupan ekstrak daun suji. Jawi et al. (2008)

melakukan penelitian mengenai aktivitas antioksidan pada ubi jalar ungu

menggunakan mencit jantan galur Swiss dan menghasilkan bahwa ekstrak ubi

jalar ungu dapat meningkatkan kapasitas antioksidan pada hati mencit tersebut.

Hasil penelitian Puspawati (2009) juga menyatakan bahwa asupan sorgum dan

jewawut yang kaya antioksidan dapat meningkatkan aktivitas SOD, CAT, dan

GPx pada hati tikus Sprague Dawley. Penelitian yang dilakukan oleh Kutlu et al.

(2009) pada tikus hiperkolesterolemia yang disuplementasi dengan ‘apricot cernel

oil’, memberikan hasil yang signifikan terhadap peningkatan aktivitas enzim GPx

dan CAT pada hatinya.

Page 23: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

30

2.6.3 Pengukuran kapasitas antioksidan dengan kultur sel

Wolfe dan Liu (2007) mengembangkan metode kultur sel yang dikenal

dengan Cellular Antioxidant Activity (CAA) assay untuk menguji kapasitas

antioksidan di dalam sel. Metode ini dapat menjelaskan mekanisme biologis

seperti distribusi dan penyerapan antioksidan oleh sel serta mekanisme

penghambatan atau peredaman radikal bebas di dalam sel.

Pengukuran aktivitas antioksidan pada beberapa ekstrak buah-buahan

menggunakan CAA assay dilakukan oleh Wolfe et al. (2008). Penelitian ini

menunjukkan bahwa blueberi memiliki nilai CAA yang paling tinggi diikuti oleh

buah pome (delima), blackberi, strawberi, rasberi, cranberi, dan apel. Di samping

itu, Wolfe dan Liu (2008) juga melakukan penelitian pengukuran aktivitas

antioksidan pada beberapa ekstrak fitokimia dan mendapatkan hasil bahwa

senyawa kuersetin memiliki nilai CAA Assay yang paling tinggi, kemudian

diikuti kaemferol, epigalokatekin galat, myrsetin, dan luteolin.

2.7 Tinjauan Umum Bunga Kamboja

Tanaman Kamboja atau dikenal dengan Frangipani (Plumeria sp.)

merupakan jenis tumbuhan berbunga yang berasal dari Amerika Tengah dan

Afrika. Tanaman ini ditemukan oleh Charles Plumier, seorang botanis Perancis

(Anonim, 2010a). Kamboja merupakan jenis tanaman tropis yang tumbuh subur

di dataran rendah sampai ketinggian tanah 700 m di atas permukaan laut. Ciri

khas tanaman ini mudah tumbuh dan berkembang biak serta tidak memerlukan

perawatan khusus. Tanaman Kamboja dapat bertahan hidup sampai ratusan tahun

Page 24: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

31

karena merupakan tanaman sekulen yaitu jenis tanaman yang dapat menyimpan

air pada seluruh bagian mulai dari akar, batang, daun, dan bunganya. Dewasa ini

terutama di daerah Bali, kamboja merupakan salah satu maskot tanaman penghias

halaman rumah, kantor, dan taman umum. Bunga Kamboja saat ini tidak saja

berwarna putih dan kuning tetapi ada jenis persilangan baru berwarna pink,

oranye, merah, dan merah tua. Tanaman Kamboja dengan warna bunga putih dan

kuning termasuk dalam genus dan spesies Plumeria alba, sedangkan kamboja

dengan warna bunga orange, pink, merah, dan merah tua termasuk dalam

Plumeria rubra (Gilman dan Watson, 1994).

Tanaman Kamboja menyimpan banyak manfaat, mulai dari akar, batang,

getah, daun, kulit batang dan bunganya. Akar kamboja digunakan untuk

mengobati kencing nanah (gonorrhoe), daunnya dapat mengobati bisul bernanah,

kulit batang untuk menyembuhkan tumit pecah-pecah. Getah Kamboja

bermanfaat sebagai pengurang rasa sakit akibat gigi berlubang, mengobati gusi

bengkak serta dapat mematangkan bisul (Anon., 2007). Sedangkan air rebusan

bunga Kamboja kering berkhasiat untuk menurunkan demam, sebagai obat batuk

dan membantu melancarkan pencernaan (Anonim, 2006). Selain itu air rebusan

Bunga Kamboja juga dapat digunakan untuk mengobati kudis dan sakit kulit

(Anonim, 2010). Menurut Amin (2010), bunga Kamboja kering dijadikan bahan

campuran pada proses pembuatan minuman herbal di Korea, Jepang dan Vietnam.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wrasiati et al. (2008), ekstrak air

dengan suhu 90oC dari bunga Kamboja Cendana kering memiliki total polifenol

sebesar 18,7 % dan aktivitas antioksidan sebesar 7,44 %, sedangkan ekstrak air

Page 25: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

32

bunga Kamboja Lokal kering memiliki total polifenol dan aktivitas antioksidan

yang lebih rendah yaitu sebesar 12,4 % dan 6,22 %. Kandungan lain yang penting

bagi kesehatan adalah kadar serat sebesar 20,33 %, total asam sebesar 6,02 %, dan

kadar sari sebesar 38 % .

2.8 Ekstraksi

Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu bahan dari campurannya. Pada

umumnya ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut yang didasarkan pada

kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran (Anon., 2000).

Bahan yang akan diekstrak biasanya berupa bahan kering yang telah dihancurkan,

biasanya berbentuk bubuk atau simplisia (Sembiring, 2007).

Bahan-bahan aktif seperti senyawa antimikroba dan antioksidan yang

terdapat pada tumbuhan pada umumnya diekstrak dengan pelarut. Pada proses

ekstraksi dengan pelarut, jumlah dan jenis senyawa yang masuk ke dalam cairan

pelarut sangat ditentukan oleh jenis pelarut yang digunakan dan meliputi dua fase

yaitu fase pembilasan dan fase ekstraksi. Pada fase pembilasan, pelarut membilas

komponen-komponen isi sel yang telah pecah pada proses penghancuran

sebelumnya. Pada fase ekstraksi, mula-mula terjadi pembengkakan dinding sel

dan pelonggaran kerangka selulosa dinding sel sehingga pori-pori dinding sel

menjadi melebar yang menyebabkan pelarut dapat dengan leluasa masuk ke dalam

sel. Bahan isi sel kemudian terlarut dalam pelarut sesuai dengan tingkat

kelarutannya lalu berdifusi keluar akibat adanya gaya yang ditimbulkan perbedaan

konsentrasi bahan terlarut yang terdapat di dalam dan di luar sel (Voigt, 1995).

Page 26: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

33

Menurut Harborne (1987), Proses pengekstraksian komponen kimia dalam

sel tanaman yaitu pelarut organik akan menembus dinding sel dan masuk ke

dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut

organik di luar sel, maka larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini

akan berulang terus sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat

aktif di dalam dan di luar sel.

2.8.1 Tujuan dan kondisi ekstraksi

Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang terdapat

dalam simplisia. Secara umum, terdapat empat situasi dalam menentukan tujuan

ekstraksi menurut Anonim, 1986 dan Harborne, 1987 yaitu :

(1) Senyawa kimia telah diketahui identitasnya untuk diekstraksi dari organisme.

Dalam kasus ini, prosedur yang telah dipublikasikan dapat diikuti dan dibuat

modifikasi yang sesuai untuk mengembangkan proses atau menyesuaikan dengan

kebutuhan pemakai.

(2) Bahan diperiksa untuk menemukan kelompok senyawa kimia tertentu,

misalnya alkaloid, flavanoid atau saponin, meskipun struktur kimia sebetulnya

dari senyawa ini bahkan keberadaannya belum diketahui. Dalam situasi seperti

ini, metode umum yang dapat digunakan untuk senyawa kimia yang diminati

dapat diperoleh dari pustaka. Hal ini diikuti dengan uji kimia atau kromatografik

yang sesuai untuk kelompok senyawa kimia tertentu

(3) Organisme (tanaman atau hewan) digunakan dalam pengobatan tradisional,

dan biasanya dibuat dengan cara, misalnya Tradisional Chinese Medicine (TCM)

seringkali membutuhkan herba yang dididihkan dalam air untuk diberikan sebagai

Page 27: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

34

obat. Proses ini harus ditiru sedekat mungkin jika ekstrak akan melalui kajian

ilmiah biologi atau kimia lebih lanjut, khususnya jika tujuannya untuk

memvalidasi penggunaan obat tradisional.

(4) Sifat senyawa yang akan diisolasi belum ditentukan sebelumnya dengan cara

apapun. Situasi ini (utamanya dalam program skrining) dapat timbul jika

tujuannya adalah untuk menguji organisme, baik yang dipilih secara acak atau

didasarkan pada penggunaan tradisional untuk mengetahui adanya senyawa

dengan aktivitas biologi khusus

2.8.2 Metode ekstraksi

Beberapa metode ekstraksi dengan pelarut yang digunakan untuk

mendapatkan senyawa aktif pada tanaman adalah metode maserasi, perkolasi,

soxhletasi, refluks, destilasi uap air, rotavapor, ekstraksi cair-cair, dan

kromatografi lapis tipis.

(1) Maserasi

Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk

simplisia dalam cairan penyari yang sesuai selama beberapa jam sampai tiga hari

pada temperatur kamar terlindung dari cahaya, cairan penyari akan masuk ke

dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan

konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang

konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan

konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi

keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama

proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian cairan penyari setiap hari.

Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan (Sudjadi, 1986).

Page 28: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

35

(2) Perkolasi

Penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara serbuk simplisia

dimaserasi selama tiga jam, kemudian simplisia dipindahkan ke dalam bejana

silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan penyari dialirkan dari

atas ke bawah melalui simplisia tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif

dalam sel-sel simplisia yang dilalui sampai keadan jenuh. Gerakan ke bawah

disebabkan oleh karena gravitasi, kohesi, dan berat cairan di atas dikurangi gaya

kapiler yang menahan gerakan ke bawah. Perkolat yang diperoleh dikumpulkan,

lalu dipekatkan (Sudjadi, 1986).

(3) Soxhletasi

Penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara serbuk simplisia

ditempatkan dalam klonsong yang telah dilapisi kertas saring sedemikian rupa,

cairan penyari dipanaskan dalam labu alas bulat sehingga menguap dan

dikondensasikan oleh kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari

yang jatuh ke dalam klonsong menyari zat aktif di dalam simplisia dan jika cairan

penyari telah mencapai permukaan sifon, seluruh cairan akan turun kembali ke

labu alas bulat melalui pipa kapiler hingga terjadi sirkulasi. Ekstraksi sempurna

ditandai bila cairan di sifon tidak berwarna, tidak tampak noda jika di KLT, atau

sirkulasi telah mencapai 20-25 kali. Ekstrak yang diperoleh dikumpulkan dan

dipekatkan (Sudjadi, 1986).

(4) Refluks

Penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara sampel

dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-sama dengan cairan penyari lalu

Page 29: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

36

dipanaskan, uap-uap cairan penyari terkondensasi pada kondensor bola menjadi

molekul-molekul cairan penyari yang akan turun kembali menuju labu alas bulat,

akan menyari kembali sampel yang berada pada labu alas bulat, demikian

seterusnya berlangsung secara berkesinambungan sampai penyarian sempurna,

penggantian pelarut dilakukan sebanyak tiga kali setiap 3 jam sampai 4 jam.

Filtrat yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan dipekatkan (Sudjadi, 1986).

(5) Destilasi uap air

Penyarian minyak menguap dengan cara simplisia dan air ditempatkan

dalam labu berbeda. Air dipanaskan dan akan menguap, uap air akan masuk ke

dalam labu sampel sambil mengekstraksi minyak menguap yang terdapat dalam

simplisia, uap air dan minyak menguap yang telah terekstraksi menuju kondensor

dan akan terkondensasi, lalu akan melewati pipa alonga, campuran air dan minyak

menguap akan masuk ke dalam corong pisah, dan akan memisah antara air dan

minyak atsiri (Anon., 2000).

(6) Rotavapor

Proses pemisahan ekstrak dari cairan penyarinya dengan pemanasan yang

dipercepat oleh putaran dari labu alas bulat, cairan penyari dapat menguap sekitar

5-10º C di bawah titik didih pelarutnya disebabkan oleh karena adanya penurunan

tekanan. Dengan bantuan pompa vakum, uap larutan penyari akan menguap naik

ke kondensor dan mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan pelarut

murni yang ditampung dalam labu alas bulat penampung (Sudjadi, 1986).

Page 30: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

37

(7) Ekstraksi cair-cair

Ekstraksi cair-cair merupakan pemisahan komponen kimia di antara dua

fase pelarut yang tidak saling bercampur di mana sebagian komponen larut pada

fase pertama dan sebagian larut pada fase kedua, lalu kedua fase yang

mengandung zat terdispersi dikocok dan didiamkan sampai terjadi pemisahan

sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair. Komponen kimia akan terpisah ke

dalam kedua fase tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya dengan

perbandingan konsentrasi yang tetap (Harborne, 1987).

(8) Kromatografi lapis tipis

Pemisahan komponen kimia berdasarkan prinsip adsorbsi dan partisi, yang

ditentukan oleh fase diam (adsorben) dan fase gerak (eluen). Komponen kimia

bergerak naik mengikuti fase gerak karena daya serap adsorben terhadap

komponen-komponen kimia tidak sama sehingga komponen kimia dapat bergerak

dengan kecepatan yang berbeda berdasarkan tingkat kepolarannya, hal inilah yang

menyebabkan terjadinya pemisahanantara senyawa yang satu dengan yang lainnya

(Sudjadi, 1986).

Pada umumnya senyawa aktif pada tanaman diperoleh dengan cara

ekstraksi menggunakan pelarut. Senyawa aktif yang sebagian besar berupa

polifenol memiliki spektrum luas dengan sifat kelarutan pada suatu pelarut yang

berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh gugus hidroksil yang dimiliki oleh

senyawa tersebut berbeda jumlah dan posisinya. Dengan demikian, ekstraksi

menggunakan berbagai pelarut akan menghasilkan komponen polifenol dan

keaktifan yang berbeda (Pambayun et al., 2007).

Page 31: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

38

Menurut Cowan (1999), senyawa polifenol yang terdapat pada tumbuhan

pada umumnya diekstrak dengan metanol dan etanol. Sementara itu beberapa

penelitian yang berhubungan dengan senyawa polifenol dan aktivitas antioksidan

menggunakan pelarut air dan dikolrometan (Septiana et al., 2002), pelarut etil

asetat dan kloroform (Pambayun et al., 2007), campuran pelarut metanol, air dan

asam asetat (Unver et al., 2009), etil asetat, heksan dan eter (Kuncahyo dan

Sunardi, 2007).

Proses ekstraksi bahan tumbuhan meliputi dua fase yaitu fase pembilasan

dan fase ekstraksi. Pada fase pembilasan, pelarut membilas komponen-komponen

isi sel yang telah pecah pada proses penghancuran sebelumnya. Pada fase

ekstraksi, mula-mula terjadi pembengkakan dinding sel dan pelonggaran kerangka

selulosa dinding sel sehingga pori-pori dinding sel menjadi melebar yang

menyebabkan pelarut dapat dengan leluasa masuk ke dalam sel. Bahan isi sel

kemudian terlarut dalam pelarut sesuai dengan tingkat kelarutannya lalu berdifusi

keluar akibat adanya gaya yang ditimbulkan perbedaan konsentrasi bahan terlarut

yang terdapat di dalam dan di luar sel (Voigt, 1995).

Pada Tabel 2.1 ditunjukkan jenis-jenis pelarut yang digunakan untuk

mengekstrak berbagai jenis senyawa bioaktif pada tumbuhan. Cowan (1999)

menyatakan bahwa etanol dan metanol merupakan pelarut yang paling sering

digunakan untuk mengekstrak senyawa antimikroba dan antioksidan dari

tumbuhan karena seyawa-senyawa tersebut umumnya merupakan senyawa

aromatik dan organik jenuh.

Page 32: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

39

Menurut Al-Farsi et al. (2005), perbedaan pelarut yang digunakan pada

proses ekstraksi berpengaruh terhadap kandungan fenol dan aktivitas antioksidan

tanaman Phoenix dactylifera. Pada penelitian tersebut, pelarut yang dibandingkan

adalah air, fosfat bufer, metanol, dan aseton dan pelarut yang menghasilkan

ekstrak dengan kandungan fenol tertinggi adalah ekstrak metanol yaitu sebesar

343 mg GAE/100 g dan aktivitas antioksidan tertinggi terdapat pada ekstrak

buffer fosfat yaitu sebesar 9986 µmol TE/g. Cai et al. (2004) juga menyatakan

bahwa ekstrak air dan metanol dari 112 tanaman obat Cina menghasilkan total

fenol dan aktivitas antioksidan yang berbeda-beda. Beberapa tanaman yang

diekstrak dengan air memiliki total fenol dan aktivitas antioksidan yang lebih

tinggi dibandingkan dengan tanaman yang diekstrak dengan pelarut etanol atau

metanol. Hodzic et al. (2009) menyatakan bahwa ekstraksi dengan air pada suhu

40oC dari beberapa serealia seperti oat, barley, jagung dan gandum menghasilkan

total fenol dan aktivitas antioksidan cukup tinggi.

Hasil penelitian Septiana et al. (2002) menunjukkan bahwa ekstrak

diklorometana jahe memiliki total fenol dan aktivitas antioksidan yang lebih besar

dibandingkan dengan ekstrak airnya. Kuncahyo dan Sunardi (2007) juga

menyatakan bahwa ekstrak fraksi eter dari belimbing wuluh memiliki aktivitas

antioksidan yang lebih besar dibandingkan dengan fraksi airnya.

Moselhy dan Junbi (2010) meneliti tentang aktivitas antioksidan bubuk

Cinnamon yang diekstrak dengan pelarut air dan etanol. Kedua ekstrak tersebut

mengandung senyawa aktif golongan polifenol yang cukup tinggi dan mampu

Page 33: karakteristik dan toksisitas ekstrak bubuk simplisia

40

menurunkan kadar MDA, meningkatkan aktivitas enzim SOD dan CAT pada hati

tikus yang diinduksi dengan CCl4.

Tabel 2.1 Jenis-jenis Pelarut yang Digunakan untuk Mengekstrak Berbagai Jenis Senyawa

Aktif dari Tumbuhan Senyawa aktif Pelarut

air Etanol metanol kloro-form

dikloro- Metanol

eter Aseton

Polifenol √ √

Tannin √ √ √

Antosianin √ √ √

Flavon √

Flavonol √ √

Terpenoid √ √ √ √ √ √

Polipeptida √

Alkaloid √ √

Kuomarin √ Sumber: Cowan (1999)