karakterisasi pengeringan eceng gondok menggunakan

20
1 Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan Adsorben Fly Ash Termodifikasi Dengan Metode Mixed Adsorption Drying Rizky Anggreini Putri Chemical Engineering Department, Faculty of Engineering, University of Indonesia, Kampus UI Baru Depok, 16424,Indonesia E-mail: [email protected] Eceng gondok merupakan gulma perairan dengan pertumbuhan sangat cepat. Berbagai usaha pemanfaatan eceng gondok saat ini belum mampu mengimbangi pertumbuhannya. Eceng gondok mempunyai kandungan serat yang tinggi (mencapai 20% berat) sehingga sangat berpotensi menjadi bahan baku pembuatan komposit dan industri tekstil. Kualitas serat eceng gondok sangat dipengaruhi oleh kadar air di dalamnya. Jika ingin dimanfaatkan sebagai bahan baku komposit dan tekstil, kadar air serat eceng gondok harus di bawah 10%, sedangkan pada keadaan awal kadar airnya dapat mencapai lebih dari 90%. Untuk itu, dibutuhkan pretreatment awal berupa proses pengeringan eceng gondok. Proses pengeringan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode Mixed Adsorption Drying merupakan salah satu inovasi metode yang dapat menggantikan proses pengeringan konvensional. Metode fluidisasi sudah umum digunakan untuk digunakan untuk pengeringan produk pertanian dan farmasi, dapat ditingkatkan kemampuannya jika digabungkan dengan adsorpsi. Pada proses pengeringan dengan sistem fluidisasi-adsorpsi akan terjadi penguapan air dari eceng gondok oleh udara pengering dan di saat yang sama adsorbent akan menjerap uap air di udara ini sehingga kelembaban udara dapat dijaga rendah. Variabel yang diubah dalam penelitian ini berupa suhu dan jumlah adsorben. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semakin tinggi suhu dan jumlah adsorben, maka laju pengeringan juga akan semakin cepat. Suhu optimum dalam penelitian ini adalah 60 dan rasio eceng gondok: fly ash optimum adalah 50:50. Kata kunci : eceng gondok; fluidisasi; fly ash; mixed adsorption drying; pelet The Characterization of Water Hyacinth Drying Process by Mixed Adsorption Drying Method and Modified Fly Ash as An Adsorbent Water hyacinth is an aquatic weed which is growth very fast. Various utilization of water hyacinth is not currently able to compensate the growth. Water hyacinth has a high fiber content (up to 20% by weight) so it has the potential to become raw material for making composites and textile industries. The quality of water hyacinth fiber is strongly influenced by the water content in it. As aquatic plant, water hyacinth has high initial moisture content, more than 90%. Drying process is used to reduce high moisture content of water hyacinth and can be used as composite and textile industry raw material, that is below 10%. Drying by Mixed Adsorption Drying method is one of the innovative methods that can replace conventional drying process. Fluidization method is commonly used for used for drying agricultural products and pharmaceuticals, can be enhanced when combined with adsorption. The independent variable in this study are temperature and the amount of adsorbent. The result showed that if the temperature and the amount of adsorbent is higher, the drying rate will also fast. The optimum temperature in this study wis 60 and the optimum ratio of water hyacinth and fly ash is 50:50. Keywords : water hyacinth; fluidization; fly ash; mixed adsorption drying; pellet Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Upload: others

Post on 21-Oct-2021

26 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

1

Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan Adsorben Fly Ash Termodifikasi Dengan Metode Mixed

Adsorption Drying

Rizky Anggreini Putri

Chemical Engineering Department, Faculty of Engineering, University of Indonesia, Kampus UI Baru Depok, 16424,Indonesia

E-mail: [email protected]

Eceng gondok merupakan gulma perairan dengan pertumbuhan sangat cepat. Berbagai usaha pemanfaatan eceng gondok saat ini belum mampu mengimbangi pertumbuhannya. Eceng gondok mempunyai kandungan serat yang tinggi (mencapai 20% berat) sehingga sangat berpotensi menjadi bahan baku pembuatan komposit dan industri tekstil. Kualitas serat eceng gondok sangat dipengaruhi oleh kadar air di dalamnya. Jika ingin dimanfaatkan sebagai bahan baku komposit dan tekstil, kadar air serat eceng gondok harus di bawah 10%, sedangkan pada keadaan awal kadar airnya dapat mencapai lebih dari 90%. Untuk itu, dibutuhkan pretreatment awal berupa proses pengeringan eceng gondok. Proses pengeringan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode Mixed Adsorption Drying merupakan salah satu inovasi metode yang dapat menggantikan proses pengeringan konvensional. Metode fluidisasi sudah umum digunakan untuk digunakan untuk pengeringan produk pertanian dan farmasi, dapat ditingkatkan kemampuannya jika digabungkan dengan adsorpsi. Pada proses pengeringan dengan sistem fluidisasi-adsorpsi akan terjadi penguapan air dari eceng gondok oleh udara pengering dan di saat yang sama adsorbent akan menjerap uap air di udara ini sehingga kelembaban udara dapat dijaga rendah. Variabel yang diubah dalam penelitian ini berupa suhu dan jumlah adsorben. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semakin tinggi suhu dan jumlah adsorben, maka laju pengeringan juga akan semakin cepat. Suhu optimum dalam penelitian ini adalah 60 ℃ dan rasio eceng gondok: fly ash optimum adalah 50:50.

Kata kunci : eceng gondok; fluidisasi; fly ash; mixed adsorption drying; pelet The Characterization of Water Hyacinth Drying Process by Mixed

Adsorption Drying Method and Modified Fly Ash as An Adsorbent

Water hyacinth is an aquatic weed which is growth very fast. Various utilization of water

hyacinth is not currently able to compensate the growth. Water hyacinth has a high fiber content (up to 20% by weight) so it has the potential to become raw material for making composites and textile industries. The quality of water hyacinth fiber is strongly influenced by the water content in it. As aquatic plant, water hyacinth has high initial moisture content, more than 90%. Drying process is used to reduce high moisture content of water hyacinth and can be used as composite and textile industry raw material, that is below 10%. Drying by Mixed Adsorption Drying method is one of the innovative methods that can replace conventional drying process. Fluidization method is commonly used for used for drying agricultural products and pharmaceuticals, can be enhanced when combined with adsorption. The independent variable in this study are temperature and the amount of adsorbent. The result showed that if the temperature and the amount of adsorbent is higher, the drying rate will also fast. The optimum temperature in this study wis 60 ℃ and the optimum ratio of water hyacinth and fly ash is 50:50.

Keywords : water hyacinth; fluidization; fly ash; mixed adsorption drying; pellet

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 2: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

1. Latar Belakang

Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan gulma air yang telah banyak dikenal

orang. Penyebarannya yang sangat cepat membuat eceng gondok menjadi sebuah masalah

baru perairan yang dapat mengganggu ekosistem.

Seiring dengan perkembangan waktu, telah ditemukan pemanfaatan baru serat eceng

gondok. Serat eceng gondok merupakan salah satu material natural fibre alternatif dalam

pembuatan komposit. Kualitas serat yang dihasilkan dari eceng gondok tersebut dipengaruhi

oleh kandungan airnya (kadar air mencapai 90%), karena sebagian besar hidup eceng gondok

berada di wilayah perairan. Serat eceng gondok yang basah lebih rentan patah dibanding serat

eceng gondok kering. Oleh karena itu, eceng gondok ditreatment awal perlu di-treatment

dahulu dengan jalan mengeringkannya.

Pengeringan adalah proses yang menentukan dalam mendapatkan eceng gondok

berkualitas tinggi, secara cepat dan efisien. Selama ini, proses pengeringan sudah dilakukan

dalam berbagai cara, diantaranya adalah pengeringan konvensional yaitu dengan

menggunakan sinar matahari, maupun pengeringan modern dengan metode oven, vacuum

drying, freeze drying, dan mixed adsorption drying. Pengeringan dengan matahari sangat

sederhana, tetapi memerlukan waktu pengeringan yang lama, area yang luas, kualitas produk

hasil pengeringan yang tidak seragam, sangat bergantung pada cuaca, dan memerlukan

ongkos biaya pekerja yang besar. Pengeringan modern dengan metode oven mempunyai

waktu operasi yang jauh lebih singkat, tetapi pengeringan dengan vacuum drying dan freeze

drying memerlukan energi yang sangat besar sehingga efisiensinya masih rendah.

Belakangan ini, telah diterapkan metode pengeringan baru yaitu dengan menggunakan

metode mixed adsorption drying pada unggun terfluidisasi. Metode ini dilakukan dengan

menggunakan adsorben sebagai penyerap air dari bahan-bahan yang akan dikeringkan.

Dengan adanya adsorben, suhu pengeringan tidak perlu terlalu tinggi. Dengan demikian,

metode ini tidak akan menurunkan atau merubah kualitas dari bahan yang dikeringkan akibat

suhu yang terlalu tinggi. Metode pengeringan lain biasanya memiliki efisiensi energi sekitar

50% bahkan dibawahnya, sedangkan metode mixed adsorption drying dapat mencapai

efisiensi energi hingga 80%. Hingga saat ini, metode tersebut baru diterapkan dalam skala

kecil untuk pengeringan biji-bijian seperti jagung dan padi.

Adsorben yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah adsorben fly ash yang

dimodifikasi menjadi bentuk pelet. Fly ash sebagai limbah industri batubara yang berbentuk

serbuk mempunyai kemampuan sebagai adsorbent uap air yang baik karena memiliki

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 3: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

kandungan silika dan alumina yang cukup tinggi (50-70%). Namun, karena prinsip

pengeringan ini menerapkan prnsip fluidisasi, adsorben fly ash yang berbentuk serbuk akan

mengalami carry over sehingga dapat mengurangi efisiensi pengeringan tersebut.

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Eceng Gondok sebagai Komposit

Eceng gondok (Eichornia crassipes) merupakan tumbuhan air yang tumbuh di rawa-

rawa, danau, waduk, dan sungai yang alirannya tenang. Salah satu pemanfaatan eceng gondok

adalah sebagai serat komposit. Serat eceng gondok merupakan salah satu material natural

fibre alternatif dalam pembuatan komposit, dimana hingga saat ini pemanfaatanya belum

banyak dikembangkan.

Pertimbangan yang diambil untuk memanfaatkan serat eceng gondok sebagai bahan

baku komposit adalah

• Sumber bahan baku terbarukan (sustainability resources)

• Ongkos pengembangbiakan bahan baku yang muradan mudah (Jurnal nasional

Ekonomi Mikro 2007 : Pertumbuhan 1,9 % per hari)

• Tidak berkedudukan sebagai komoditas primer masyarakat, sehingga peningkatan

kebutuhan akan eceng gondok tidak akan mengganggu stabilitas papan, sandang, dan

pangan.

• Mengurangi efek negatif dari biota eceng gondok yang tidak terkendali

• Tidak beracun

• Harganya murah dibandingkan serat sintetis

Komposisi kimia eceng gondok terdiri dari protein kasar 13,03% ; serat kasar 20,6% ;

Lemak 1,1% ; BETN 25,98% ; dan abu 23,8% (Soewardidan Utomo, 1975). Selain itu,

kandungan mineral eceng gondok dalam bahan kering adalah K2O (5%), Cl (3-4%), CaO (3-

9%), Mg (0,96%), dan PO4 (0,36%) (Soewardidan Utomo,1975). Eceng gondok merupakan

bahan yang sangat potensial untuk digunakan sebagai bahan organic karena berdasarkan hasil

analisis di laboratorium mengandung antara lain : 1,681% N; 0,275% P; 14,286% K; 37,654%

C, dengan nisbah C/N sebesar 22,399 (Abdul Rahmi, 1998).

2.2 Mixed Adsorption Drying

Pengeringan adalah proses pemisahan sejumlah air dari suatu bahan padat sehingga

mengurangi kandungan sisa zat cair di dalam zat padat itu sampai suatu nilai tertentu yang

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 4: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

dapat diterima. Metode pengeringan dengan mixed adsorption drying merupakan metode

kombinasi antara fluidisasi dan adsorpsi.

Fluidisasi adalah operasi dengan menggunakan partikel padatan yang diubah

menjadi keadaan menyerupai fluida melalui suspensi gas atau cairan. Fluidisasi adalah

metode pengontakan butiran-butiran padat dengan fluida, baik cair maupun gas. Pada laju

alir yang cukup rendah, butiran padat akan tetap diam, karena gas hanya mengalir melalui

ruang antar partikel tanpa menyebabkan perubahan susunan partikel tersebut. Keadaan

yang demikian disebut unggun diam atau fixed bed. Kecepatan alir udara pada kolom

yang kosong disebut kecepatan superfisial, sementara kecepatan alir udara di antara

partikel unggun disebut kecepatan interstitial. Ketika laju alir dinaikkan, akan sampai

pada suatu keadaan dimana unggun padatan akan tersuspensi didalam aliran gas yang

melaluinya. Pada keadaan ini, masing-masing butiran akan terpisahkan satu sama lain

sehingga dapat bergerak dengan lebih mudah. Kecepatan superfisial terendah yang

dibutuhkan agar terjadi fluidisasi disebut minimum fluidization velocity (umf). Pada

kondisi butiran yang dapat bergerak ini, sifat unggun akan menyerupai suatu cairan

dengan viskositas tinggi.

Adsorpsi adalah peristiwa penyerapan pada permukaan suatu adsorben, misalnya

adsorpsi zat padat terhadap gas atau zat cair. Zat yang teradsorpsi disebut sebagai

adsorbat dan zat pengadsorpsi disebut sebagai adsorben (Kasmad, 2002). Proses adsorpsi

adalah proses pemisahan molekul terdifusi dari suatu fluida yang terserap pada

permukaan padatan adsorben (Ruthen, Douglas M, 1984).

Berikut merupakan skema peralatan mixed adsorption drying.

Gambar 2.1 Skema peralatan mixed adsorption drying

(sumber: Razanah, 2015)

Berdasarkan Gambar 2.1, fly ash dan eceng gondok akan dicampurkan didalam

kolom fluidisasi. Campuran kemudian akan difluidisasi dengan menggunakan udara

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 5: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

pengering di kolom tersebut. Variasi laju alir udara pengering, rasio campuran, dan suhu

operasi akan di variasikan. Hasilnya, kandungan air akna diukur setiap 15 menit selama 2

jam dengan menggunakan metode gravimetri.

2.3 Fly Ash sebagai Adsorben

Fly ash adalah limbah industri yang dihasilkan dari pembakaran batubara dan

terdiri dari partikel halus. Abu terbang batubara umumnya dibuang di landfill atau

ditumpuk begitu saja di dalam area industri seperti pada sektor pembangkit listrik.

Penumpukkan abu terbang batubara ini menimbulkan masalah bagi lingkungan.

Beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa abu terbang memiliki kapasitas

adsorpsi yang baik untuk menyerap gas organik, ion logam berat seperti (Fe, Pb, Cu, Cr,

Cd, Cs, Na dan Zn), dan gas polutan. Modifikasi sifat fisik dan kimia perlu dilakukan

untuk meningkatkan kapasitas adsorpsi.

Penggolongan fly ash pada umumnya dilakukan dengan memperhatikan kadar

senyawa kimiawi (SiO2 + Al2O3 + Fe2O3), kadar CaO (high calcium dan low calcium), dan

kadar karbon (high carbon dan low carbon). Fly ash digolongkan menjadi dua jenis oleh

ASTM C 618 berdasarkan komposisi kimianya yaitu fly ash jenis F dan C. Fly ash jenis F

biasanya dihasilkan dari pembakaran batubara antrasit dan bituminous, sedangkan fly ash

jenis C dihasilkan dari pembakaran batubara lignit dan sub-bituminous. Pembakaran

batubara jenis lignit dan subbituminous akan menghasilkan fly ash yang kadar kalsium dan

magnesium oksidanya lebih banyak daripada bituminous. Namun, kandungan silika,

alumina, dan karbonnya lebih sedikit dibandingkan bituminous.

3. Metodologi Penelitian

3.1 Alat dan Bahan Penelitian

Tabel 3.1 Alat penelitian

No. Alat Fungsi

1. Mixed Adsorption Dryer untuk mengeringkan eceng

gondok

2. Oven untuk mengeringkan fly ash

yang telah dibentuk pelet

dan digunakan untuk

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 6: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

aktivasi fisik Tabel 3.1 Alat penelitian (lanjutan)

3. Gelas ukur untuk mengukur volume air

yang akan digunakan

sebagai campuran komposisi

pembuatan pelet fly ash

4. Timbangan untuk mengukur massa

eceng gondok

5. Cetakan untuk mencetak hasil

campuran fly ash, aquades

dan tapioka yang

sebelumnya diaduk.

Tabel 3.2 Bahan penelitian

No. Bahan Fungsi

1. Eceng gondok bahan yang akan dikeringkan

dan diukur kandungan airnya

2. Fly ash adsorbent uap air yang akan

dicampurkan bersama

dengan eceng gondok selama

proses pengeringan

berlangsung

3. Aquades untuk mencampur fly ash

agar mudah dibentuk

menjadi fly ash pelet.

4. Tepung tapioka sebagai bahan perekat

3.2 Pengolahan Data dan Analisis

1. Persamaan penentuan kandungan air

!! =!!!!!!!

!100% (3.1)

Dimana

Xi = Kandungan air dalam eceng gondok pada waktu tertentu (%)

Wi = Massa eceng gondok pada waktu tertentu (g)

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 7: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

Wo = Massa eceng gondok kering (g)

Ww = Massa eceng gondok awal (g)

2. Persamaan penentuan fluks pengeringan

!! =!!!!!!∆!

!100% (3.2)

Dimana

Ri = Fluks pengeringan (gr air/cm2.menit)

Ww = Massa eceng gondok awal (g)

Wi = Massa eceng gondok pada waktu tertentu (g)

A = Luas permukaan (cm2)

Δt = Perbedaan waktu (menit)

3. Perhitungan difusivitas efektif pengeringan

Dalam menentukan kecepatan pengeringan, terdapat model matematis yang dapat

digunakan untuk mengestimasi difusivitas moisture. Model tersebut diturunkan

berdasarkan beberapa asumsi dibawah ini

-­‐ Ukuran eceng gondok adalah silinder dengan diameter 5 mm

-­‐ Pressure drop yang melalui kolom fluidisasi diabaikan

-­‐ laju alir dan suhu udara pengering dapat dijaga pada nilai yang diinginkan

-­‐ pengeringan eceng gondok secara fluidisasi adalah well mixed system

-­‐ Kesetimbangan moisture di eceng gondok pada berbagai kondisi dihitung

dengan menggunakan persamaan GAB yang didapat dari Iguaz dan Virseda

(2011)

-­‐

Untuk waktu pengeringan yang panjang,   terdapat persamaan yang disebut

sebagai  Solusi Crank (Z. Pakowski &  A.S. Mujumdar , 2006) yang dalam bentuk

logaritmik  dituliskan sebagai berikut:

ln !!!!!!!!!

= !" !!!− !!!!"!

!!! (3.3)

Difusivitas ditentukan dengan cara membuat   plot data pengeringan yang

diperoleh dari percobaan dalam bentuk ln [(X-Xe)/(Xo-Xe)]  terhadap waktu t dalam

persamaan (4). Plot  tersebut akan berupa garis lurus dengan slope:

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 8: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

!"#$% =   !!!!"!!!

(3.4)

4. Perhitungan luas permukaan dengan bilangan iodine

Pada analisis uji bilangan iod, terlebih dahulu iod yang sedikit larut dalam air

ditambahkan Kalium Iodida (KI) sehingga terbentuk ion tri-iodida untuk

mempercepat pelarutan iod dan selanjutnya proses titrasi dilakukan dengan

menggunakan Natrium Tiosulfat dan indikator amilum sesuai persamaan reaksi:

!! + !! → !!!

!!! + 2!!!!!! → 3!! + !!!!!!

Titik akhir terjadi bila warna dari iod hilang saat dititrasi dengan natrium

tiosulfat (Harjadi, 1993). Bilangan iod yang dihasilkan merupakan representasi

terhadap luas permukaan karbon aktif yang dihasilkan. Terdapat korelasi antara

bilangan iod dan luas permukaan karbon aktif.

5. Perhitungan energi untuk proses pengeringan

-­‐ Menghitung kadar air eceg gondok

Menghitung kadar air jagung kering yang diperkirakan dengan menggunakan

persamaan berikut ini.

(3.5)

dimana

wf = Kadar air eceng gondok yang diperkirakan (%)

Wek = Massa eceng gondok kering (g)

Wjo = Massa eceng gondok dengan kadar air 0 % (g)

- Nilai total kadar air setelah eceng gondok dikeringkan (wf)

Massa air eceng gondok awal (Wi), g

Wi = Web x wi (3.6)

wi = kadar air awal eceng gondok

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 9: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

Web = massa eceng gndk basah hasil panen (g)

!" =  !!"!(!!"!!!)!!"

!100% (3.7)

-­‐ Perhitungan kebutuhan energi selama pengeringan

Kebutuhan energi untuk pengeringan eceng gondok (Qd), kal

Qd = Qt + Qw + Ql (3.8)

dimana;

Qd = energi pengeringan eceng gondok,kal

Qt = energi pemanasan eceng gondok, kal

Qw = energi pemanasan air eceng gondok, kal

Ql = energi penguapan air eceng gondok, kal

-­‐ Energi untuk pemanasan eceng gondok (Qt),kal

Qt = Wjb . cpEG (Td-Ta) (3.9)

cpEG = Panas jenis eceng gondok(kal/g oC) = 0.00052 kal/g oC

Ta = Temperatur awal eceng gondok = 30 oC

Td = Temperatur rata – rata udara pengering

-­‐ Energi pemanasan air eceng gondok (Qw), kal

Qw = Wi x cpair (Td-Ta) (3.10)

cpair = Panas jenis air= 1kal/g oC

-­‐ Energi penguapan air jagung (Ql), kal

Ql = Wr × hfg (3.11)

Dimana

Wr = Wi – Wf (3.12)

4. Hasil dan Pembahasan

-­‐ Pembuatan Pelet Fly Ash

Dalam membuat pelet fly ash, komposisi yang digunakan adalah 66 gram fly

ash dengan 40 gram air dan 12 gram tapioka. Ketiga campuran tersebut dimasak agar

saling bercampur hingga selanjutnya diaktivasi pada oven dengan kondisi operasi

sebesar 175 ℃ dan waktu 60 menit. Aquades berguna untuk menghapus pengotor

yang ada pada fly ash, sedangkan tepung tapioka berguna untuk merekatkan fly ash

tersebut agar dapat dibentuk.

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 10: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

-­‐ Uji Komposisi Fly Ash

Uji komposisi fly ash dilakukan dengan menggunakan analisis XRF.

Berdasarkan analisis tersebut, terlihat bahwa komposisi silika dan alumina pada bahan

fly ash yang digunakan sebagai adsorbent cukup tinggi, sehingga fly ash terkategori

sebagai fly ash kelas F pada ASTM C 618. Tabel 4.1 menunjukkan presentase

komposisi kimia dari fly ash.

Tabel 4.1 Komposisi kimia fly ash

No. Komponen Kimia Persentase (%)

1 SiO2 45.99

2 Al2O3 20.99

3 Fe2O3 13.54

4 CaO 11.71

5 MgO 5.69

6 SO3 0.59

7 Na2O 0.74

8 K2O 0.75

Total 100

Pengujian awal pelet fly ash bertujuan untuk melihat besarnya diameter dan

jarak antar pori yang ada pada fly ash. Pengujian adsorben fly ash dilakukan di Pusat

Laboratorium dan Forensik Markas Besar POLRI dengan menggunakan analisis

Scanning Electron Microscope (SEM). Berikut merupakan gambar-gambar permukaan

adsorben fly ash baik dalam bentuk bubuk maupun pelet.

-­‐ Uji Kandungan Air Awal Eceng Gondok

Pengujian kandungan air awal eceng gondok dilakukan dengan menggunakan metode

oven yang sudah mengikuti standar AOAC 934.06. Tabel 4.2 Uji kandungan air awal eceng gondok

Besaran Nilai

Massa eceng gondok awal (gram) 10

Massa eceng gondok akhir (gram) 0.53

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 11: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

Kandungan air awal basis basah (%) 94.70

-­‐ Penyusunan Alat

Alat disusun berdasarkan prinsip fluidisasi dan adsorpsi. Rancangan alat yang

digunakan antara lain adalah blower, electric heater, kolom fluidisasi, pipa, valve,

termometer, dan kontroler suhu. Berikut merupakan spesifikasi dari setiap rangkaian

alat yang digunakan. Tabel 4.3 Spesifikasi rangkaian alat

No. Nama Alat Spesifikasi

1 Blower Jenis : Blower sentrifugal

Rate (maksimum) : 70 m3/h

2 Electric Heater Material pipa: besi

Diameter: 1 inchi

Konduktivitas panas besi: 80 W/m.K

Material kabel koil : tembaga

Material fin: alumunium

Material insulasi: glasswool

Konduktivitas panas glasswool: 0.04 W/m.K

3 Kolom fluidisasi Material: plexi-glass

Ketahanan suhu maksimum: 90 ℃

Diameter : 10 cm

Tinggi Kolom : 30 cm

Ketebalan: 5 mm

Material wadah: hard nilon

Komponen tambahan : screen 20 mesh nilon

4 Pipa Diameter: 1 inci

5 Valve Jenis: ball valve

6 Termometer Jenis : automatic thermometer

Suhu maksimum : 300 ℃

7 Kontroler Suhu Desain temperatur : 25 - 100℃

Komponen tambahan: termocouple dan relay

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 12: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

-­‐ Perhitungan Kecepatan Minimum Fluidisasi

Kecepatan minimum fluidisasi bergantung dari diameter efektif dan densitas partikel,

porositas fluidisasi, viskositas udara pengering, dan kebulatan partikel.

Tabel 4.4 Sifat fisik eceng gondok

Sifat Fisika Material Nilai Satuan

Densitas Eceng Gondok Basah (!!) 982,51 kg/m3

Densitas Udara Pengering (!!) 1,2 kg/m3

Kebulatan (Φ!) 0,81

Porositas Minimum Fluidisasi (emf) 0,445

Viskositas Udara Pengering (u) 0,001 kg/m.s

Diameter Efektif Partikel (Dp) 0,0065 m

Kecepatan Minimum Fluidisasi Eceng

Gondok (Umf) 1,87 m/s

Tabel 4.5 Sifat fisik fly ash

Sifat Fisika Material Nilai Satuan

Densitas Fly Ash (!!) 982,51 kg/m3

Densitas Udara Pengering (!!) 1,2 kg/m3

Kebulatan (Φ!) 0,81

Porositas Minimum Fluidisasi (emf) 0,445

Viskositas Udara Pengering (u) 0,0045 kg/m.s

Diameter Efektif Partikel (Dp) 0,003 m

Kecepatan Minimum Fluidisasi Fly Ash

(Umf) 1,79 m/s

Sehingga didapatkanlah kecepatan minimum fluidisasi untuk pelet fly ash dan eceng

gondok masing-masing sebesar 1,28 m/s dan 1,87 m/s.

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 13: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

-­‐ Pengeringan Eceng Gondok

• Pengaruh Suhu terhadap Waktu Pengeringan

Gambar 4.1 Lama pengeringan dengan variasi suhu

Semakin tinggi suhu, laju pengeringan akan semakin cepat. Perbedaan kadar air antara

eceng gondok dengan udara pengering semakin lama akan semakin kecil atau jenuh. Hal

ini menyebabkan menurunnya driving force difusi uap air dari eceng gondok ke udara

pengering. Jumlah uap air yang berdifusi dari eceng gondok ke udara pengering akan

semakin menurun sehingga humiditas relatif akan ikut menurun secara otomatis. Proses

pengeringan akan terus berlangsung hingga eceng gondok mencapai kadar air

kesetimbangan yang merupakan kadar air minimum sehingga tidak ada lagi uap air yang

berdifusi dari bahan ke udara pengering.

0  

5  

10  

15  

20  

25  

0   10   20   30   40   50   60   70   80  

Massa  eceng  gon

dok  (gram)  

Waktu  pengeringan  (menit)  

T  =  60  

T  =  50  

T  =  40  

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 14: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

• Pengaruh Jumlah Adsorben terhadap Waktu Pengeringan

Gambar 4.2 Lama pengeringan dengan variasi rasio eceng gondok:fly ash pada suhu 60 C

Gambar 4.3 Lama pengeringan dengan variasi rasio eceng gondok:fly ash pada suhu 50 C

0  

2  

4  

6  

8  

10  

12  

0   10   20   30   40   50   60   70   80  

Massa  eceng  gon

dok  (gram)  

Waktu  pengeringan  (menit)  

50:50   75:25   100:0  

0  

2  

4  

6  

8  

10  

12  

0   10   20   30   40   50   60   70   80  

Massa  eceng  gon

dok  (gram)  

Waktu  pengeringan  (menit)  

50:50  75:25  100:0  

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 15: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

0  

2  

4  

6  

8  

10  

12  

0   10   20   30   40   50   60   70   80  

Massa  eceng  gon

dok  (gram)  

Waktu  pengeringan  (menit)  

50:50   75:25   100:0  

Gambar 4.4 Lama pengeringan dengan variasi rasio eceng gondok:fly ash pada suhu 40 C

Berdasarkan ketiga kondisi operasi tersebut (T=60℃,T = 50℃,  dan

T=40℃)  proses pengeringan dengan jumlah adsorben yang lebih banyak jauh

lebih cepat dibandingkan dengan jumlah adsorben yang lebih sedikit. Hal ini

terjadi karena pada proses pengeringan, udara pengering akan menguapkan air dari

eceng gondok (produk), sedangkan uap air yang ada di udara akan diserap oleh fly

ash. Dengan demikian terjadi proses perpindahan massa uap air dari eceng gondok

ke udara pengering, dan dari udara pengering ke fly ash.

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 16: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

• Pengaruh Ukuran Diameter terhadap Waktu Pengeringan

Gambar 4.5 Perbandingan lama pengeringan antara bubuk fly ash dengan pelet fly ash pada suhu 60C

Gambar 4.6 Perbandingan lama pengeringan antara bubuk fly ash dengan pelet fly ash pada suhu 50 C

Pada Gambar 4.5 dan 4.6 dapat dilihat bahwa ukuran pori cukup memberi pengaruh

terhadap daya jerap fly ash. Semakin halus ukuran porinya, maka daya jerapnya akan semakin

tinggi. Pelet fly ash yang memberikan daya jerap optimum pada berbagai suhu. Hal ini terjadi

karena luas permukaannya lebih besar dari pada ukuran fly ash berbentuk serbuk. Serbuk fly

ash akan memiliki jumlah pori yang lebih sedikit dibandingkan dengan pelet fly ash.

0  

10  

20  

30  

40  

50  

60  

70  

0   20   40   60   80   100   120   140  

Massa  eceng  gon

dok  (gram)  

Waktu  pengeringan  (menit)  

Bubuk  fly  ash   Pelet  fly  ash  

0  

5  

10  

15  

20  

25  

30  

35  

40  

45  

0   20   40   60   80   100   120   140  

Massa  eceng  gon

dok  (gram)  

Waktu  pengeringan  (menit)  

Pelet  fly  ash   Bubuk  fly  ash  

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 17: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

Akibatnya, volume pori juga akan meningkat pada pelet fly ash dibandingkan dengan serbuk.

Selain itu, pelet fly ash juga telah mengalami aktivasi berupa pemanasan dengan oven dan

pencucian pengotor dengan menggunakan aquades. Dengan demikian, luas permukaan pada

pelet fly ash akan lebih besar dibandingkan dengan luas permukaan dari serbuk fly ash.

Kapasitas adsorpsi dan laju adsorpsi bergantung pada luas permukaan internal, distribusi ukuran

dan bentuk pori, serta dipengaruhi juga oleh permukaan kimia dari fly ash.

Luas permukaan fly ash sebagai adsorben merupakan parameter kinerja utama. Nilai luas

permukaan yang semakin besar mengindikasikan kemampuan adsorpsi yang semakin besar pula.

Terdapat beberapa metode untuk mengukur nilai luas permukaan ini. BET adalah metode yang

umumnya digunakan. Namun, selain metode ini dapat juga ditentukan dengan analisis bilangan

iod yang merupakan data penyerapan fly ash terhadap iod (mg iod/ gram fly ash). Fly ash yang

mempunyai daya serap yang tinggi terhadap iod berarti memiliki struktur mikropori yang lebih

besar sehingga luas permukaan juga menjadi lebih besar (Jankowska, 1991). Hasil pengujian

bilangan iod fly ash didasarkan pada ASTM D4607-94 dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Pengujan bilangan iodine Jenis Fly Ash Bilangan Iod (mg/g) Luas Permukaan (m2/g)

Serbuk 405.999 363.901

Pelet 522.660 547,157

-­‐ Perhitungan energi berdasarkan pengaruh suhu

Dari tabel berikut, didapatkan hasil perhitungan energi untuk berbagai variasi suhu

pengeringan.

Tabel 4.7 Perhitungan energi untuk variasi suhu

Suhu (℃)

Qt (kal)

Qw (kal)

Ql (kal)

Qd (kal)

40 0,052 71,4377 3542,74 3614,23

50 0,104 156,338 3978,09 4134,53

60 0,156 242,34 4146,96 4389,45

Berdasarkan tabel 4.15, semakin tinggi suhu pengeringan didapatkan bahwa

kebutuhan energi juga semakin besar. Untuk nilai massa per energi dari berbagai

variasi suhu 40, 50, dan 60 ℃ berturut-turut adalah 0,00182 gram/kal, 0,00179

gram/kal, dan 0,00175 gram/kal.

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 18: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

-­‐ Perhitungan energi berdasarkan pengaruh jumlah adsorben

Tabel-tabel dibawah ini menunjukkan hasil perhitungan energi untuk berbagai variasi

jumlah adsorben pada berbagai kondisi operasi pengeringan.

Tabel 4.8 Perhitungan energi untuk variasi jumlah adsorben pada suhu 60 ℃

Rasio jumlah adsorben :

eceng gondok

Qt (kal) Qw (kal) Ql

(kal) Qd

(kal)

100:0 0,156 279,156 4940,64 5219,95

75:25 0,156 271,245 4770,1 5041,5

50:50 0,156 257,497 4473,7 4731,35

Tabel 4.9 Perhitungan energi untuk variasi jumlah adsorben pada suhu 50 ℃

Rasio jumlah adsorben :

eceng gondok

Qt (kal)

Qw (kal)

Ql (kal)

Qd (kal)

100:0 0,104 185,692 4927,32 5113,12

75:25 0,104 179,407 4724,07 4903,58

50:50 0,104 164,997 4258,1 4423,2

Tabel 4.10 Perhitungan energi untuk variasi jumlah adsorben pada suhu 40 ℃

Rasio jumlah adsorben :

eceng gondok

Qt (kal) Qw (kal) Ql

(kal) Qd

(kal)

100:0 0,052 88,4316 4641,81 4730,3

75:25 0,052 86,2072 4497,96 4584,21

50:50 0,052 74,998 3773 3848,05

Berdasarkan tabel 4.8, 4.9 dan 4.10, didapatkan nilai perhitungan massa per energi

dimana secara berturut-turut untuk kondisi operasi suhu 60 ℃ adalah berkisar 0.176 gram/kal,

sedangkan untuk kondisi operasi suhu 50 ℃ adalah berkisar 0.179 gram/kal, dan 0.182

gram/kal untuk kondisi operasi 40 ℃.

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 19: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan

bahwa

1. Suhu udara pengering 60oC merupakan kondisi operasi yang paling optimum untuk

menurunkan kandungan eceng gondok dari kandungan air 94.7% menjadi di bawah

10%

2. Rasio eceng gondok dengan fly ash sebanyak 50:50 merupakan komposisi paling baik

dibandingkan rasio komposisi 75:25 dan 100:0

3. Pelet fly ash memiliki diameter pori yang lebih kecil dibandingkan serbuk fly ash,

sehingga kecepatan pengeringan dengan menggunakan pelet fly ash akan lebih cepat

dibanding serbuk

4. Nilai luas permukaan pelet fly ash adalah sebesar 547,157 m2/g jauh lebih besar

dibanding luas permukaan serbuk fly ash yang bernilai 363,901 m2/g dihitung dengan

menggunakan bilangan iodine

5. Nilai difusivitas efektif semakin meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan

jumlah adsorben, sehingga nilai difusivitas efektif tertinggi ada pada kondisi operasi

suhu 60 ℃ dan rasio eceng gondok : adsorben = 50:50 dengan nilai sebesar 6,64E-7

5.2 Saran

Dari penelitian yang dilakukan, saran yang diberikan penulis untuk penelitian selanjutnya

antara lain

1. Perlu diteliti lebih lanjut mengenai alat pengering yang optimal kinerjanya untuk

setiap cuaca, karena cuaca akan berpengaruh pada kelembaban dimana hal itu sangat

erat kaitannya dengan prinsip pengeringan

2. Perlu di analisis lebih lanjut mengenai porsi uap air yang diserap oleh adsorben dan

udara

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016

Page 20: Karakterisasi Pengeringan Eceng Gondok Menggunakan

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Djaeni, M., Buchori, L., Ratnawati, dkk. (2012). Peningkatan Kecepatan Pengeringan Gabah

Dengan Metode Mixed Adsorption Drying Menggunakan Zeolite Pada Unggun

Terfluidisasi. Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia dan Musyawarah Nasional

APTEKINDO

Djaeni, M., Agusniar, A., Setyani, D. (2011). Pengeringan Jagung Dengan Metode Mixed-

Adsorption Drying Menggunakan Zeolite Pada Unggun Terfluidisasi. Prosiding

Seminar Nasional Sains dan Teknologi Hal:49-54

Djaeni, M., Laeli K., Apriliani, P., Setiadi, D. (2010). Activation of Natural Zeolite as Water

Adsorbent for Mixed Adsorption Drying. Proceeding of the 1st International

Conference on Materials Engineering (ICME) and 3rd AUN/SEED-Net Regional

Conference on Material. Jogjakarta.

Djaeni, M., Dewi, A., Nurul, A., Hargono, Ratawati, Jumali, dan Wiratno. (2013). Paddy

Drying in Mixed Adsorption Dryer with Zeolite : Drying Rate and Time Estimation.

Departemen Teknik Kimia UNDIP. Semarang.

Dwiyanti K., Maulia N. (2011). Pengaruh Ukuran Partikel Terhadap Laju Pengeringan

Pupuk ZA di Dalam Tray Dryer. FTI, Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi

Sepuluh Nopember. Surabaya.

Jayawardane, D.L.N.B. (2012). Physical and Chemical Properties of Fly Ash based Portland

Pozzolana Cement. Civil Engineering Symposium

Prasetyaningrum, A. (2010). Rancang Bangun Oven Drying Vaccum Dan Aplikasinya

Sebagai Alat Pengering Pada Suhu Rendah. Riptek Vol.4 No.1 Hal:45-53

Prasetyaningrum, A., Rokhati, N., & Rahayu, A.K. (2009). Optimasi Proses Pembuatan Serat

Eceng Gondok Untuk Menghasilkan Komposit Serat Dengan Kualitas Fisik Dan

Mekanik Yang Tinggi. Riptek Vol. 3 No.1 Hal:45-50

Rezania, S., Ponraj, M., Din, M.F.D. (2014). The Diverse Applications of Water Hyacinth

with Main Focus on Sustainable Energy and Production for New Era : Overview.

Renewable and Sustainable Energy Reviews Vol. 41 Page 943-954

Setyopratomo, Puguh. (2012). Model Matematik Pengering Lapis Tipis Wortel. Berkala

Ilmiah Teknik Kimia Vol 1, No 1

Karakterisasi pengeringan ..., Rizky Anggreini Putri, FT UI, 2016