kajian dan evaluasi pemantauan pelaksanaan … · minimum ketika masa tanggap darurat. ... esdm...
TRANSCRIPT
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUANPELAKSANAAN UNDANG-UNDANGNOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANGPENANGGULANGAN BENCANA
Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-UndangBadan Keahlian DPR RI
April 2017 s.d Juni 2017
DASAR HUKUM
UU no. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Perpres No. 27 Tahun 2015 tentang Sekretariat Jenderaldan Badan Keahlian DPR RI
Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib
Peraturan Pimpinan DPR RI No. 1 Tahun 2015 tentangPelaksanaan Dukungan Keahlian Badan Keahlian DPR RI
Peraturan Sekjen DPR RI No. 6 Tahun 2015 tentangOrganisasi dan Tata Kerja Sekretariat Jenderal dan BadanKeahlian DPR RI
PELAKSANAAN PEMANTAUAN UU PENANGGULANGAN BENCANA
POTENSI BENCANA DI INDONESIA
Sumber : geospasial.bnpb.go.id
UNDANG-UNDANG PENANGGULANGAN BENCANA SEBAGAI PAYUNG HUKUM PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA
1. Upaya menyeluruh dan proaktif dimulai
dari pengurangan risiko bencana,
tanggap darurat, dan rehabilitasi serta
rekonstruksi;
2. Upaya yang dilakukan bersama oleh
pemangku kepentingan dengan peran dan
fungsi yang saling terlengkapi
3. Bagian dari proses pembangunan untuk
mewujudkan ketahanan (resilience)
terhadap bencana.
Narasumber
Diskusi dengan NarasumberTanggal Narasumber Dihadiri oleh Masalah/Saran
11 April2017
BNPB Drs. JunjunganTambunan, M.E(Direktur TanggapDaurat BNPB) danLilik Kurniawan, S.T.,M.Si. (DirekturPengurangan RisikoBencana BNPB)
Kedudukan BNPB dalam UU Penanggulangan Bencana
sebagai lembaga nonkementerian teknis belum efektif dalam
melakukan fungsi koordinasi kementerian terkait dalam
upaya penanggulangan bencana. perlu dipertimbangkan
mengenai usulan kedudukan BNPB untuk menjadi
Kementerian Teknis Kebencanaan agar ada garis komando
yang langsung kepada BPBD, memiliki personel tersendiri,
dan pengalokasian anggaran kebencanaan yang terpisah
untuk efektifitas pelaksanaan penanggulangan bencana.
11 April 2017
KementerianKesehatan
Dr. Achmad Yurianto(KapusPenanggulanganKrisis Kesehatan)
Berdasarkan PP No. 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (selanjutnya
disebut PP Penyelenggaraan PB) dalam Pasal 23 disebutkan
bahwa penentuan status tanggap darurat bencana
dilaksanakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai
dengan status bencana. Dalam beberapa hal, pasal ini
menyulitkan Kemenkes dalam mengurangi risiko krisis
kesehatan untuk wilayah yang belum menetapkan tanggap
darurat bencana tapi sudah berpotensi untuk terjadinya krisis
kesehatan. Untuk itu Kemenkes mendorong ketersediaan
anggaran untuk kondisi krisis kesehatan (terutama belum
masuk kategori bencana) di Kemenkes dan Dinas Kesehatan
(selanjutnya disebut Dinkes) di daerah sebagai upaya
preventif, advokasi pengurangan risiko kesehatan serta
tanggap darurat
Diskusi dengan NarasumberTanggal Narasumber Dihadiri oleh Masalah/Saran
11 April
2017
Basarnas Agung Prasetyo (Karo
Hukum dan Kepegawaian)
Haris (Bagian Hukum dan
Kerjasama) dan Romali
(Bagian Operasi SAR)
a. Terjadinya egosektoral antar lembaga sehingga
perlu ada kejelasan mengenai koordinasi di daerah.
b. Dalam upaya penanggulangan bencana, yang
dibutuhkan tidak hanya pola koordinasi tetapi juga
pola komando.
12 April
2017
Kementerian
Sosial
Dr. Harapan L. Gaol
(Direktur Perlindungan
Sosial Korban Bencana
Sosial)
a. Pemahaman pasal yang berbeda-beda oleh para
pemangku kepentingan.
b. Renas-PB 2015-2019 sebagai panduan
penyelenggaran penanggulangan bencana nasional
dan daerah belum ditetapkan.
Diskusi dengan Narasumber
Tanggal Narasumber Dihadiri oleh Masukan/Saran
13 April
2017
Pakar Hukum
Kemasyarakatan
Heru Susetyo, S.H.,
LL.M., M.Si, Ph.D.
a. Permasalahan didalam UU Penanggulangan
Bencana adalah mengenai definisi bencana yang
sudah tidak mampu mengakomodir lagi
permasalahan bencana yang saat ini terjadi, seperti
contoh pada masa sekarang banyak bencana yang
timbul diakibatkan oleh manusia (man-made
disaster) dan faktor perubahan iklim.
b. UU Penanggulangan Bencana juga belum
mengakomodir mengenai standard pelayanan
minimum ketika masa tanggap darurat.
c. UU Penanggulangan Bencana maupun peraturan
daerah harus diharmonisasikan dengan standard-
standard yang telah ditetapkan secara
internasional.
d. UU Penanggulangan Bencana juga belum memuat
mengenai pengungsian. Perlu pengaturan khusus
mengenai pengungsi internal dan pengungsi
internasional.
Diskusi dengan NarasumberTanggal Narasumber Dihadiri oleh Masukan/Saran
17 April
2017
Ahli Geofisika DR. Surono
(Ahli Geofisika
dan Tenaga Ahli
Kementerian
ESDM Bidang
Kebencanaan
a. Dalam penanggulangan bencana dalam kondisi
tanggap darurat seharusnya harus ada one man one
command‖ di lokasi bencana yang mampu
mengorganisasi semua kekuatan.
b. Perubahan UU Penanggulangan Bencana untuk
memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat
yang berada di kawasan rawan bencana sudah saatnya
untuk dilakukan perbaikan karena keperluan legislasi
penanganan kebancanaan sudah mendesak. Harus pula
disinkronkan antara UU Penanggulangan Bencana
dengan UU Penataan Ruang, dan undang-undang
lainnya yang menyangkut lingkungan alam dan
kaitannya dengan bencana alam. Perlu ada pembagian
yang tegas, terukur dan akuntabel siapa (instansi)
berbuat apa sebelum, pada saat bencana dan
pascabencana.
c. Pengelolaan keuangan penanggulangan bencana
sebaiknya diatur dalam undang-undang agar lebih
transparan serta akuntabel. Demikian Juga media yang
meliput berita terkait bencana yang terjadi hendaknya
melalui satu pintu
Diskusi dengan NarasumberTanggal / Narasumber Dihadiri oleh Masalah/Saran
18 April
2017
dan 9 Mei
2017
Aksi Cepat
Tanggap
(ACT)
Joko Hardi dan
M. Insan
Nurrohman
(Vice President
of Humanity
Network)
a. Masing-masing kementerian/lembaga/instansi saling
bersaing untuk menjadi leading sector penanggulangan
bencana pada saat UU Penanggulangan Bencana telah
diundangkan.
b. Kelembagaan BNPB adalah setara dengan menteri yang
dibawah kementerian koordinator, sehingga BNPB sulit
berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait
kebencanaan.
c. Belum semua daerah memiliki BPBD, data saat ini hanya
ada 399 BPBD di tingkat provinsi/kabupaten/kota, dan
sekitar 74 daerah yang belum memiliki BPBD.
28 April
2017
Kementerian
Kelautan
Dan Perikan
Dr. Hendra
Yusran Siry
(Kepala
Subdirektorat
Mitigasi
Bencana dan
Adaptasi
Perubahan Iklim
Direktorat
Pendayagunaan
Pesisir)
a. Ditjen Pengelolaan Ruang Laut mempunyai tugas
menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di
bidang pengelolaan ruang laut, pengelolaan konservasi dan
keanekaragaman hayati laut, pengelolaan pesisir dan pulau-
pulau kecil. UU PWP3K memiliki keterkaitan dengan UU
Penanggulangan Bencana karena dari sisi substansi
mengatur mengenai mitigasi bencana yang merupakan salah
satu tahapan dalam penyelenggaraan penanggulangan
bencana.
b. UU Penanggulangan Bencana, mitigasi adalah serangkaian
upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Dalam
implementasinya mitigasi bencana masih belum dijadikan
suatu unsur utama dalam perencanaan wilayah.
Diskusi dengan narasumberTanggal / Narasumber Dihadiri oleh Masalah/Saran
4 Mei
2017
Kementerian
Agraria dan
Tata Ruang
Budi Santosa, S.T.,
M.T. (Kasubdit
Direktorat Penataan
Kawasan Dirjen
Tata Ruang)
a. Tidak ada tanah yang dicadangkan
oleh negara untuk relokasi bencana
b. Belum ada dana kontijensi untuk
Kawasan Rawan Bencana (KRB)
Prabencana
8 Mei
2017
Palang
Merah
Indonesia
(PMI)
Teguh Widodo a. UU Penanggulangan Bencana belum
mengakomodir perubahan Iklim
sebagai penyebab bencana
b. Dibutuhkan alokasi khusus untuk
Pengurangan Resiko Bencana dengan
persentase yang jelas dalam regulasi
Daerah Pemantauan
UNDANG-UNDANG TERKAITNo. Undang-Undang Terkait
1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1959 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1960
tentang Perubahan Pasal 43 Ayat (5) Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang
Keadaan Bahaya
2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan
Uang Atau Barang
3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular
4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung
5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia
6 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
7 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika
UNDANG-UNDANG TERKAITNo Undang-Undang Terkait
8 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
10 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan Rakyat
12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan
Konflik Sosial
13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah
14 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
UNDANG-UNDANG TERKAIT
No Undang-Undang Terkait
15 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2014 tentang Pencarian dan
Pertolongan
16 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas
ASPEK SUBSTANSI
ASPEK SUBSTANSI
MULTI TAFSIR
TUMPANG TINDIH KEWENANGAN STRUKTURAL
ADANYA KETENTUAN YANG HARUS MENYESUAIKAN DENGAN DINAMIKA KEBUTUHAN
MASYARAKAT
Adanya Ketentuan Yang Harus MenyesuaikanDengan Dinamika Kebutuhan Masyarakat
Pasal Saran
Pasal 1 angka 2"Bencana alam adalah bencana yangdiakibatkan oleh peristiwa atauserangkaian peristiwa yang disebabkanoleh alam antara lain berupa gempa bumi,tsunami, gunung meletus, banjir,kekeringan, angin topan, dan tanahlongsor”.
Pasal ini belum memuat perkembangan faktorperubahan iklim sebagai salah satu sebab bencanaalam.
Pasal 1 angka 4“Bencana sosial adalah bencana yangdiakibatkan oleh peristiwa atauserangkaian peristiwa yang diakibatkanoleh manusia yang meliputi konflik sosialantarkelompok atau antarkomunitasmasyarakat, dan teror.”
Meskipun dalam UU Penanggulangan Bencanamemberikan definisi mengenai bencana sosial, namunpengaturan secara komprehensif untuk bencana sosialtidak ditemukan dalam UU Penanggulangan Bencana.
Pasal 4Pasal 4 UU Penanggulangan Bencana memuattentang tujuan penanggulangan bencana yaitu, a. Memberikan perlindungan kepada
masyarakat dari ancaman bahaya;b. Menyelaraskan peraturan perundang-
undangan yang sudah ada;c. Menjamin terselenggaraanya
penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;
d. Menghargai budaya lokal;e. Membangun partisipasi dan kemitraan
publik dan swasta;f. Mendorong semangat gotong royong,
kesetiakawanan, dan kedermawanan; dang. Menciptakan perdamaian dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tujuan penanggulangan bencana tersebut masihbelum mengatur mengenai penguatan danpeningkatan kapasitas masyarakat dalammenghadapi bencana sehingga menjadimasyarakat tangguh bencana. Kesiapan danketangguhan masyarakat dalam menghadapibencana menjadi faktor penting dalammenetapkan status bencana, jika masyarakattelah memiliki kesiapan dan kemampuanmenghadapi bencana maka risiko bencana dapatdiminimalisir. Dengan demikian diperlukanpengaturan tujuan penanggulangan bencana yangakan meningkatkan kemampuan dan kemandirianmasyarakat.
Pasal 5“Pemerintah dan pemerintah daerah menjadipenanggung jawab dalam penyelenggaraanpenanggulangan bencana.”
Perlu dipertimbangkan memasukkanpemerintahan desa turut bertanggungjawabdalam penyelenggaraan penanggulangan bencanasebagai bentuk kewenangan yang ditugaskan olehpemerintah dalam Pasal 19 UU Desa.
Multitafsir dalam UU Penanggulangan Bencana
Pasal Saran
Pasal 5“Pemerintah dan pemerintah daerahmenjadi penanggung jawab dalampenyelenggaraan penanggulanganbencana”
Perlu dipertimbangkan memasukkan pemerintahan desaturut bertanggungjawab dalam penyelenggaraanpenanggulangan bencana sebagai bentuk kewenanganyang ditugaskan oleh pemerintah dalam Pasal 19 UUDesa.
Pasal 6 huruf e“pengalokasian anggaranpenanggulangan bencana dalamanggaran pendapatan dan belanja negarayang memadai”
Pasal 6 huruf e UU Penanggulangan Bencana tidakmemiliki parameter yang jelas dan dapat mengandungbanyak arti (multitafsir). Penetapan jumlah alokasianggaran dalam UU Penanggulangan Bencana memilikikekurangan dan kelebihan.
Pasal 7 ayat (3)“Ketentuan lebih lanjut mengenaipenetapan status dan tingkatan bencanasebagaimana dimaksud pada ayat (2)diatur dengan peraturan presiden.”
Belum dilaksanakannya amanat Pasal 7 ayat (3) UUPenanggulangan Bencana tentang penetapan status dantingkatan bencana mengakibatkan perbedaanpenerapannya berbeda-beda di daerah terkait hal ini.Berdasarkan pemantauan di daerah, terdapat beberapaprovinsi yang sudah berinisiatif mengatur soalpenetapan status dan tingkat bencana melaluikewenangan kepala daerahnya (gubernur) denganmengeluarkan Peraturan Gubernur.
Pasal 8 huruf d“pengalokasian dana penanggulanganbencana dalam anggaran pendapatanbelanja daerah yang memadai”
frasa “memadai” pada Pasal 8 huruf d UU PenanggulanganBencana dalam kalimat “pengalokasian danapenanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan danbelanja negara yang memadai” bersifat multitafsir. Hal inikarena frasa “memadai” tidak memiliki ukuran pasti dandapat mengandung banyak arti. Oleh karena itudirekomendasikan agar frasa “memadai” tersebut diberikanpenjelasan bahwa alokasi anggaran yang memadai tersebutseberapa besar angka atau persentasenya.
Pasal 21 huruf a“Badan penanggulangan bencana daerahmempunyai tugas: a. menetapkan pedomandan pengarahan sesuai dengan kebijakanpemerintah daerah dan Badan NasionalPenanggulangan Bencana terhadap usahapenanggulangan bencana yang mencakuppencegahan bencana, penanganan darurat,rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dansetara”
Terkait dengan frasa “penanganan darurat” dalam Pasal 21huruf a dalam pedoman dan pengarahan upayapenanggulangan bencana seharusnya disesuaikan redaksiyang terdapat dalam Pasal 12 huruf a yaitu “penanganantanggap darurat.”
Pasal 36 ayat (2)
“Penyusunan perencanaan
penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh Badan”
Dalam ketentuan Pasal 36 ayat (2) ada
frasa “dikoordinasikan oleh Badan”
tetapi dalam Pasal 36 ayat (2) badan
yang dimaksudkan juga tidak
dijelaskan secara rinci dan definisi
Badan juga tidak ditemukan dalam
ketentuan umum
Pasal 38 huruf a
“identifikasi dan pengenalan secara
pasti terhadap sumber bahaya atau
ancaman bencana”
Dalam Pasal 38 UU Penanggulangan
Bencana tersebut terdapat inkonsistensi
penggunaan istilah dalam huruf a, b dan
c yaitu sumber bahaya atau ancaman
bencana. Penggunaan istilah secara
konsisten antara sumber bahaya dan
ancaman bencana menjadi penting
sebab dalam banyak hal inkonsistensi
tersebut dapat menyebabkan perbedaan
tafsiran.
Tumpang tindih kewenanganstruktural
Dari 17 undang-undang yang memilikiketerkaitan dengan UU PenanggulanganBencana, terdapat 10 undang-undangyang memiliki potensi disharmoni yaituPerppu Keadaan Bahaya, UU PengumpulanUang, UU Wabah, UU Penataan Ruang, UUPWP3K, UU Lingkungan Hidup, UU KonflikSosial, UU Pemerintahan Daerah, UUPencarian dan Pertolongan, dan UUKelautan.
ASPEK KELEMBAGAAN
ASPEK KELEMBAGAANA. Kelembagaan Badan Penanggulangan Bencana
BNPB
KementerianKoordinator
KementerianTeknis
ASPEK KELEMBAGAAN• Kelembagaan Badan Penanggulangan Bencana
1. Dibentuk BNPB sebagai lembaga pemerintah nondepartemensetingkat menteri. Adanya egosektoral masing-masingkementerian/lembaga yang terkait dalam penangulangan bencanamenyebabkan fungsi koordinasi yang dimiliki oleh BNPB selama initidak berjalan efektif
2. Dalam pelaksanaannya, pembentukan unsur pengarah sebagaibagian dari BNPB/BPBD masih ditemukan permasalahan yaitu belumterbentuknya unsur pengarah dalam setiap BPBD dikarenakanlamanya proses pemilihan unsur pengarah akibat tumpang tindihkewenangan Sekretaris Daerah sebagai Kepala BPBD sekaligussebagai unsur pengarah. Selain itu pembentukan unsur pengarahjuga membawa konsekuensi terhadap pembebanan anggaran APBD.
3. Amanat UU Penanggulangan Bencana kepada pemerintah daerahuntuk membentuk BPBD tidak sejalan dengan amanat UUPemerintahan Daerah yang memberikan opsi kepada pemerintahdaerah untuk membentuk organisasi perangkat daerah yangberpotensi beririsan dengan kewenangan BPBD. Di beberapadaerah, fungsi penanggulangan bencana digabung dengan dinas-dinas yang berada di lingkup pemerintah daerah setempat dengandua jenis yaitu penggabungan fungsi penanggulangan bencanadengan dinas setempat
ASPEK KELEMBAGAANB. Pelaksanaan fungsi koordinasi BNPB dan BPBD
1. BNPB dan BPBD seharusnya sebagai leading sector, namundalam pelaksanaannya tidak semua bencana ditanganioleh BNPB/BPBD.
2. Pasal 18 ayat (2) menunjuk eselon Ib pada tingkat provinsiyang hanya dimiliki oleh jabatan sekretaris daerah sebagaiex officio kepala BPBD, mengakibatkan berimplikasi padaterhambatnya sekretaris daerah menjalankan tugas secaramaksimal.
3. BPBD yang bukan instansi vertikal dengan BNPB danmerupakan OPD mengakibatkan sulitnya koordinasi danketergantungan terhadap kebijakan pemerintah daerah.
ASPEK KELEMBAGAANC. Manajemen sumber daya manusia BPBD
Sumber daya manusia BPBD yang melaksanakan fungsikoordinasi, fungsi komando dan fungsi pelaksanaandalam penanggulangan bencana sebagaimana diaturdalam pasal 23 ayat (2) UU Penanggulangan Bencanamengharuskan kapasitas dan kapabilitas sumber dayamanusia yang mumpuni. Mutasi sumber daya manusiadan jabatan di BPBD yang menyesuaikan kebutuhanKepala Daerah mengakibatkan SDM terlatih di BPBD sangat terbatas. Kondisi ini berpengaruh terhadapkelancaran pelaksanaan penanggulangan bencana olehBPBD. Diperlukan pengaturan manajemen SDM BPBD yang dapat mendukung pelaksanaan penyelenggaraanpenanggulangan bencana yang terpadu danmenyeluruh.
ASPEK PENDANAAN
ASPEK PENDANAAN
A. Pengaturan tentang Pendanaan
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
• Pendanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana
diatur dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 70 UU.PB.
• Ketentuan mengenai pendanaan penanggulangan
bencana diatur dalam PP Penyelenggaraan PB dan PPPendanaan Bantuan Bencana.
ASPEK PENDANAAN
B. Pengalokasian Dana PenyelenggaraanPenanggulangan Bencana
1. Pendanaan penyelenggaraan penanggulangan
bencana terdapat beberapa hambatan yaitu alokasi
dana penanggulangan bencana yang bergantung pada
kebijakan pemerintah daerah.
2. Kendala pencairan dana siap pakai di daerah.
3. Pengumpulan sumbangan dari masyarakat seringkali
tidak mengajukan izin ke Dinsos.
ASPEK SARANA DAN PRASARANA
ASPEK SARANA DAN PRASARANA
Keterbatasan Alat dan Daya Jangkau
Masih terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
menjadi problematika yang menyebabkan sulitnya
jangkauan transportasi, komunikasi, hingga distribusi
bantuan.
Pengadaan Alat Pendeteksi Dini Tsunami
Alat peringatan dini tsunami, yang telah dipasang masih
belum mencukupi mengingat besarnya kondisi geografis
dan geologis Indonesia yang berpotensi bencana.
ASPEK SARANA DAN PRASARANA
• Ketersediaan Lahan RelokasiBagaimana merelokasi penduduk dari daerah yang
memiliki potensi bencana tinggi maupun penduduk
yang terkena dampak bencana ke tempat yang
dinilai lebih aman dan memiliki potensi bencanayang lebih rendah.
ASPEK BUDAYA HUKUM
ASPEK BUDAYA HUKUM
1. Peningkatan Kapasitas dan Kemandirian
Masyarakat terhadap Bencana.
2. Peranan Instansi Pada Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana
a. Peranan Kementerian/Lembaga
Terhadap UU Penanggulangan Bencana
b. Kesinambungan Program
Penanggulangan Bencana Antar
Pemangku Kepentingan.
PENUTUP
KESIMPULAN▪ Pelaksanaan UU PB masih belum optimal karena
terdapat kendala/masalah terkait aspek substansi
hukum, kelembagaan sarana dan prasarana,
pendanaan dan budaya hukum.
▪ Masih terdapat permasalahan dalam lingkup norma dan
implementasi substansi. Terdapat permasalahan
terkait multitafsir serta permasalahan tumpang tindih
kewenangan struktural, sehingga diperlukan
adanyapengkajian ulang secara cermat dalam rangka
penguatan instrument hukum penanggulangan bencana
di Indonesia.
KESIMPULANDalam hal penyelenggaraan pendanaan bencana
secara normatif telah diatur dalam UU PB, namun ketika
masuk dalam tahap pelaksanaan (implementasi) terjadi
kendala karena DSP hanya dapat digunakan oleh kuasa
pengguna anggaran/barang BNPB setelah mendapat
penetapan dan persetujuan Kepala BNPB selaku
pengguna anggaran/barang, selain itu pemerintah
daerah dalam mengalokasikan dana penanggulangan
bencana harus mengikuti ketentuan dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri dalam hal ini Permedagri No. 52
Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah Tahun 2016.
REKOMENDASI
Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana perlu dilakukan perubahan menyesuaikan dengan
perkembangan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
telah ada dengan pengaturan penanggulangan bencana. Pasal-
pasal yang memerlukan perubahan adalah Pasal 1 angka 2,
Pasal 1 angka 4, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 huruf e, Pasal 7 ayat
(3), Pasal 8 huruf d, Pasal 21 huruf a, Pasal 36 ayat (2), Pasal
38 huruf a, serta penambahan mengenai materi peran
masyarakat dan peran sektor swasta dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana. Dengan demikian, rekomendasi
analisis kebijakannya adalah UU Penanggulangan Bencana
perlu dilakukan perubahan