kabut asap (syahda sylvanto)

5
Minggu, 18 November 2007 KABUT ASAP Cerpen: Syahda Sylvanto Lamat -lamat masih kudengar suara perca kap an itu .Su ara yan g sej ak entah kap an menembusi pori-pori tidurku yang menganga.Suara yang menggaruki nyenyak tidurku. Su ara it u ma ki n lama ma ki n menusuk. Se pe rt i bu rung pe la tuk mematu ki ba tok kepalaku.Sialan! Mengapa aku tak bisa tidur tanpa mendengar suara sialan itu?! ”Ada ratusan hotspot di Kalimantan dan sebagian Sumatera, tapi ada ratusan ribu, bahkan  jutaan orang yang sudah dan bakal terserang ISPA. Sangat berbaha ya jika ditanga ni dengan setengah hati,” terdengar suara laki- laki, meledak-ledak. ”Betul, betul, Pak.” sahut suara yang lain, serak dan setengah terbatuk. “Tapi kasihan juga pen gua sa kita, ini han yala h seba gia n kecil dari masalah yang tengah dihada pi. Ada masalah pengungsi pasca tsunami, gempa di mana-mana. Ada semburan lumpur panas bau yang berlarut-larut dan bertele-tele. Kecelakaan transportasi di udara, laut dan darat yang seperti sudah langganan,” suara itu makin meninggi makin menggelitik telingaku. Sialan! Apaan sih yang tengah mereka pergunjingkan? Begitu hebatkah? ”Bet ul, Pak , peme rint ah haru s ber tind ak super cepat. Kas ihan lah orang-orang yang menjadi korban,” berkata orang yang suaranya serak, masih terbatuk-batuk. “Kasihan anak-anak, apalagi yang masih bayi.” Kasihan! Oh, alan gka h inda hny a rang kaian tuju h huruf itu. Apakah masih ada belas kasihan di dunia ini? Persetan dengan belas kasihan! Semua itu cuma omong kosong besar!  Aku dulu juga bayi, bahkan bayi yang tak pernah diharapkan kelahirann ya. Aku dulu juga an ak-anak, kurus keri ng da n borokan. Tapi siap a ya ng sudi membag ikan belas kasihannya kepadaku? Bapak ibuku pun tidak! Jadi kata kasihan adalah sebuah tragedi kebohongan terbesar manusia. ”Kabut asap itu juga mengurung beberapa bandara, sehingga banyak penerbangan yang dibatalkan,” si suara serak mencoba menyambung percakapan. “Oya ! Ada pes awa t yan g nya ris cela ka. Pemb aka r huta n itu sud ah seha rusnya dib eri sanksi berat, perbuatan mereka bikin celaka orang!” Oo, kabut asa p toya ng mereka perb inca ngka n. Benar-benar sialan, kabu t asap saja mereka pedulikan, sedang aku yang kesakitan di dekat mereka tak pernah mendapat perhatian! Oya, apakah timah sialan di lututku sudah diambil. Aduh, kok makin sakit?! ”Betul Pak, orang-orang itu harus diadili, disel. Kalau perlu disederajatkan dengan teroris atau koruptor!” Aah, mereka betul-betul gendeng! Mengapa omong kosong melulu. Orang-orang yang mampu naik pesawat itu kan pasti kantongnya tebal, buat apa diurus? Apa sudah tak ada lagi omonga n yan g mena rik? Aduuh? ! Apa kah mereka peduli kakiku yang sakit ini? Keparat! Keparat mereka yang nembak lututku! Tapi siapakah aku ini?

Upload: chandra-ardilla-putra

Post on 14-Apr-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kabut Asap (Syahda Sylvanto)

7/30/2019 Kabut Asap (Syahda Sylvanto)

http://slidepdf.com/reader/full/kabut-asap-syahda-sylvanto 1/4

Minggu, 18 November 2007

KABUT ASAPCerpen: Syahda Sylvanto

Lamat-lamat masih kudengar suara percakapan itu.Suara yang sejak entah kapanmenembusi pori-pori tidurku yang menganga.Suara yang menggaruki nyenyak tidurku.Suara itu makin lama makin menusuk.Seperti burung pelatuk mematuki batok kepalaku.Sialan! Mengapa aku tak bisa tidur tanpa mendengar suara sialan itu?! 

”Ada ratusan hotspot di Kalimantan dan sebagian Sumatera, tapi ada ratusan ribu, bahkan

 jutaan orang yang sudah dan bakal terserang ISPA. Sangat berbahaya jika ditanganidengan setengah hati,” terdengar suara laki- laki, meledak-ledak.

”Betul, betul, Pak.” sahut suara yang lain, serak dan setengah terbatuk. “Tapi kasihan jugapenguasa kita, ini hanyalah sebagian kecil dari masalah yang tengah dihadapi. Adamasalah pengungsi pasca tsunami, gempa di mana-mana. Ada semburan lumpur panasbau yang berlarut-larut dan bertele-tele. Kecelakaan transportasi di udara, laut dan daratyang seperti sudah langganan,” suara itu makin meninggi makin menggelitik telingaku.Sialan! Apaan sih yang tengah mereka pergunjingkan? Begitu hebatkah?

”Betul, Pak, pemerintah harus bertindak super cepat. Kasihanlah orang-orang yangmenjadi korban,” berkata orang yang suaranya serak, masih terbatuk-batuk.

“Kasihan anak-anak, apalagi yang masih bayi.”

Kasihan! Oh, alangkah indahnya rangkaian tujuh huruf itu. Apakah masih ada belaskasihan di dunia ini? Persetan dengan belas kasihan! Semua itu cuma omong kosongbesar!

 Aku dulu juga bayi, bahkan bayi yang tak pernah diharapkan kelahirannya. Aku dulu jugaanak-anak, kurus kering dan borokan. Tapi siapa yang sudi membagikan belaskasihannya kepadaku? Bapak ibuku pun tidak! Jadi kata kasihan adalah sebuah tragedikebohongan terbesar manusia.

”Kabut asap itu juga mengurung beberapa bandara, sehingga banyak penerbangan yangdibatalkan,” si suara serak mencoba menyambung percakapan.

“Oya! Ada pesawat yang nyaris celaka. Pembakar hutan itu sudah seharusnya diberisanksi berat, perbuatan mereka bikin celaka orang!”

Oo, kabut asap toyang mereka perbincangkan. Benar-benar sialan, kabut asap sajamereka pedulikan, sedang aku yang kesakitan di dekat mereka tak pernah mendapatperhatian! Oya, apakah timah sialan di lututku sudah diambil. Aduh, kok makin sakit?!

”Betul Pak, orang-orang itu harus diadili, disel. Kalau perlu disederajatkan dengan terorisatau koruptor!”

Aah, mereka betul-betul gendeng! Mengapa omong kosong melulu. Orang-orang yangmampu naik pesawat itu kan pasti kantongnya tebal, buat apa diurus? Apa sudah tak adalagi omongan yang menarik? Aduuh?! Apakah mereka peduli kakiku yang sakit ini?Keparat! Keparat mereka yang nembak lututku! Tapi siapakah aku ini?

Page 2: Kabut Asap (Syahda Sylvanto)

7/30/2019 Kabut Asap (Syahda Sylvanto)

http://slidepdf.com/reader/full/kabut-asap-syahda-sylvanto 2/4

Ketika menyeruak dari gua garba ibu saja kabut asap telah menyambutku dengan amatmanisnya. Dunia begitu gelap, pedih, dan menyesakkan. Alih-alih gembira, orang-orangyang seharusnya bertanggung jawab atas kelahiranku malah cuek bebek dengankehadiranku.

Orang yang menanamkan benih ke rahim ibuku pun tak pernah aku tahu. Kasih sayangseorang ibu, yang kata orang di telapak kakinya terletak surga, pun hampir tak pernahkucicipi. Ibuku hanya sibuk dengan para lelaki iseng yang datang silih berganti. Apakah itubukan sebuah kabut asap namanya? Apakah itu tidak lebih pekat daripada sekadar kabutasap?

”Bahkan hanya karena kabut asap hubungan kita dengan negara tetangga jadi takharmonis, mereka komplain lantaran terkena getahnya. Menara Petronas jadi nampakseperti puncak gunung yang tertutup kabut.”

“Tapi itu kan nggak adil, karena biasanya mereka juga menikmati oksigen yang disuplaihutan kita, tapi tak pernah mengucapkan terima kasih.Itu kata pak menteri, lo.”

Bah! Pak menteri, para pejabat itu begitu sok peduli soal kabut asap, tapi kabut asapseperti yang kualami yang juga dialami sekian banyak anak-anak yang lain, apa merekamau peduli? Apa mereka mau peduli kabut asap yang mengepung hari esok anak-anakyang banyak bertebaran di jalanan atau di rumah-rumah tangga yang berantakan?

 Aku tak pernah ingat lagi entah sejak kapan kanak-kanakku mulai akrab dengan jalanan.Dengan kaki lima, dengan lampu bangjo, dengan pentungan satpol PP. Aku harusmembanting tulang mengganjal perut kempisku. Minta-minta, ngamen, mencolong adalahdunia masa kecilku.

Jangan heran jika anak-anak lain tengah belajar di SD aku sudah terbiasa dengan rokok

atau minuman keras, entah mencolong atau diberi orang.

“Seharusnya penguasa tanggap, karena setiap tahun kita mengalami hal yang nyarisserupa, ya ringkuslah itu si pembakar dan pembalak liar. Siapkanlah hujan water bombsupaya bangsa kita tak dibikin malu di mata internasional,” kembali terdengar suara yangmeledak-ledak. Kugerakkan sedikit kepalaku, lewat sudut mata kulihat yang berbicaraadalah seorang pria berkacamata tebal.

Tangannya digerak-gerakkan mirip tokoh partai politik yang kerap kusaksikan dalamkampanye. “Betul Pak, tapi kita tak mempunyai pesawat atau heli yang memadai,” sahutlawan bicaranya yang ternyata tak lain adalah polisi berpakaian preman yang selama inisecara bergiliran mengawalku.

Oh, bukan mengawal, tapi mengamankan, eh, mengawasiku agar tak melarikan diri. Lucu!Gimana bisa kabur kalau tempurung lututku retak dan masih menyimpan timah panas.Gimana mau kabur kalau tanganku terborgol dengan pipa dipan. Kasihan deh pak polisiitu kurang kerjaan.

”Ya, beli dong, jangan dikorupsi doang. Negara kita ini sebenarnya cukup kaya,” tangkasbicara si pria berkacamata tebal membuat si polisi berpakaian preman terangguk-anggukmengiyakan sambil sesekali berusaha melepaskan dahak dari tenggorokannya. Akusebenarnya juga ingin mengangguk mengamini, bukan untuk beli pesawat atau ngurusikabut asap, tapi untuk mengatasi kabut asap yang tidak kasatmata.

Kabut asap itu memang tidak mengapung ke atas, bahkan jika tidak melihat dengan benar dari tahta para pejabat pasti tidak akan kelihatan. Mungkin juga tertutup perut buncitnya.Kabut asap itu menyisir merayap di kalangan bawah. Menyesakkan, sehingga banyakpenghuni kalangan bawah yang menderita sakit. Sakit busung lapar, muntaber, kuranggizi, sakit hati, sakit jiwa.

Page 3: Kabut Asap (Syahda Sylvanto)

7/30/2019 Kabut Asap (Syahda Sylvanto)

http://slidepdf.com/reader/full/kabut-asap-syahda-sylvanto 3/4

Sialnya, untuk beli “masker” saja mereka nggak mampu. Kabut asap itu juga menutupilorong panjang di depan langkah mereka, sehingga banyak yang terperosok kubanganatau tersesat. Sesungguhnya aku ingin berteriak pada mereka yang namanya wakilrakyat, mengapa kalian tidak pernah membicarakan masalah pengangguran? Masalahkemiskinan?

Masalah nasib sialan, gendheng! Kedua orang itu memang masih bercakap-cakap, tapiaku sudah muak mendengarkannya. Aku hanya ingat bagaimana kabut asapmemburamkan seluruh kehidupanku. Beranjak dewasa aku tetap tak punya pilihan,ngemis, ngamen atau nyolong. Ngemis memalukan, ngamen membosankan, nyolongadalah satu-satunya pekerjaan yang masih penuh tantangan dan memiliki harapan.

Nyolong adalah puncak tertinggi karierku. He he ?. Semula aku adalah pencopet kecil,kemudian aku mulai belajar seluk-beluk membuka kunci motor. Aku pun berhasil mencurimotor di pasar, milik seorang ibu hamil yang sedang belanja. Kemudian motor di depanwartel berhasil kusabet.

Ha ha ha, aku mulai punya duit. Aku mulai kenal cewek, kutemukan gumpalan daginghangat itu di warung remang-remang, kudapatkan selimut hidup itu di losmen-losmenmurahan. Di mana-mana. Ha ha ha, aku bebas bercinta.Bercinta? Ha ha ha, cinta sesaat,pertemuan antara cinta nafsu dan cinta duit.

Tidak hanya itu, aku pun mulai mengenal gebukan polisi ketika suatu hari tertangkapbasah mencuri motor. Aku pun babak belur kena massa, untung nggak sampai mati ataucacat. Tapi itu semua tak menyurutkan nyaliku, sebaliknya malah membuatku makin tegar karena kuanggap sebagai ujian. Apalagi di lapas aku malah bisa saling tukar pengalamandan ilmu dengan sesama napi.

Rasanya aku semakin bersahabat saja dengan kabut asap. Apalagi ketika kukenal

seorang gadis, benar-benar perawan,yang sangat cantik. Dia kutolong ketika dompetnyadigarap penjambret kurcaci di pasar.Dia memang sangat cantik, tak nampak sedikit punkabut asap di wajahnya.

Namanya pun cantik, Lipur, anak seorang pedagang buah. Lipur pun tak menampikcintaku. Tapi bapaknya tak pernah mengharapkan punya menantu seorangpengangguran. Dia tak tahu sebenarnya aku seorang maling bajingan. Sialan! Akumenghadapi kabut asap lagi! Maha tebal lagi!

 Aku harus punya kerjaan, aku harus punya duit atau Lipur didului orang. Memang siapasih orang tua yang mau anaknya dikawini oleh lelaki pengangguran. Setidaknya aku haruspunya duit cukup banyak untuk modal usaha kecil-kecilan. Jika sudah kawin tak ada

masalah lagi, Lipur yang cekatan pasti akan bisa membantu dalam mencari duit.

”Kabarnya pemerintah sudah menyiapkan dana 100 miliar guna mengatasi kebakaranhutan dan gambut ini,” kembali suara memuakkan si polisi dari sisi kananku.

“Ya, uang segitu mana cukup. Tapi negeri kita sedang dalam kondisi krisis. Okelah itu,sambil kita berharap hujan deras segera dikirim oleh Yang Maha Kuasa,” sahut temanbicaranya. Sialan! Sialan, gendheng!

Duit miliaran cuma untuk mengusir asap. Biarkan saja, toh tak ada yang sampai mampusgara-gara kabut asap. Ah, aku sejuta saja nggak punya. Hanya untuk mencari yang sejutadua juta itu akhirnya kutemui si Kotot, seorang teman yang spesialis rampok bank. Aku

mencoba gabung ke komplotan ini.

Pagi itu aku mulai ikut Kotot beroperasi, mengikuti sebuah mobil pikap yang keluar daribank dan sedang menuju kembali ke perusahaannya. Begitu si penumpang turunkuayunkan parang membacok tangannya dan kurebut tas dari tangan sial itu.Aku berhasil!

Page 4: Kabut Asap (Syahda Sylvanto)

7/30/2019 Kabut Asap (Syahda Sylvanto)

http://slidepdf.com/reader/full/kabut-asap-syahda-sylvanto 4/4

Tak kupedulikan jeritan mereka, tak kupedulikan satpam yang salah tingkah ketakutan,akumelompat ke motor Kotot yang tengah menunggu.

Tapi? “dor! dor!” Rasa ngilu menjalar melalui tempurung lutut kaki kananku. Aku terlempar dari boncengan dan dihujani tinju. Wajah bahkan sekujur tubuhku babak belur. Aku tak

tahu gimana nasib si Kotot. Kabut asap semakin pekat membekap hidupku. Entah gimanasekarang keadaan Lipur.Apakah ia tahu apa yang terjadi padaku? Mudah-mudahan ia taktahu dan selamanya tak akan pernah tahu.

”Aduuh?!” aku menjerit keras, seseorang menyenggol lutut kananku yang bengkak denganamat kasar.

“Jangan melamun saja, Bos! Hari ini Anda masih harus bersabar lagi menunggu giliranoperasi. Sabaar, seperti nyanggong mangsa yang keluar dari bank. Ha ha ha ?.”

Rupanya si perawat usil sudah berdiri di sampingku. Perawat lelaki ini memang palingmenyebalkan, gurauannya penuh kabut asap. Pria berkaca mata tebal dan polisi

berpakaian preman juga ikut tertawa.

Bahkan polisi itu mendekat dan menjulurkan jarinya menyentil tempurung lututku.“Wadouh?.! Ampuun, Pak!” Ini hari ke-3 aku tergolek di atas dipan dorong yang diletakkanbegitu saja di sisi koridor tak jauh dari ruang operasi. Timah panas masih bersarang ditempurung lututku, sakitnya bukan kepalang. Orang-orang berlalu lalang bagaikan kabutasap, memedihkan mataku! Memburamkan harapanku! ***

Malang, 06-07