kantorbahasagorontalo.kemdikbud.go.id€¦ · euforia senja antologi cerpen kelas menulis fitriyani...
TRANSCRIPT
EUFORIA SENJA
Antologi Cerpen Kelas Menulis
Fitriyani Rahman, Andrea Wantogia, Noorain A. Diu, Sutantri Malango, Sri Ama Gumohung, Devianti Ibrahim, Irawati Mohamad,
Dian Tantia Ningrum, Nurdjamilah Hijriah Miolo, Usman Y. Lapasau, Melnim Mentari, Sri Farilah S. Yahya, Mega Adipu,
Meilan Lotup, Siti Rabia Hunawa Mohi, Zein Mokodongan, Stepin, Putri Warsono, Siskawati Tawape, Nova Bokosi, Noermayang
Kaluku, Syarafina Dewiyana Taha, Sharen Ganap, Nursiya Safarini Mohamad, Miftina Suleman, Wulandari Manoppo, Nurfadila Olii.
KANTOR BAHASA GORONTALO
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2018
ii
EUFORIA SENJA
Antologi Cerpen Kelas Menulis
Penyunting
Sukardi Gau dan Darmawati Majid
Penata Letak
Nur Fitri Yanuar Misilu
Sampul
Wisnu Wijanarko
Penerbit
Kantor Bahasa Gorontalo
Alamat Redaksi
KANTOR BAHASA GORONTALO
Jalan Dokter Zainal Umar Sidiki,
Tunggulo, Kecamatan Tilongkabila,
Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo
Telepon/Faksimile (0435)831336
Pos-el: [email protected]
ISBN : 978-602-53283-0-5
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
iii
DAFTAR ISI
Daftar Isi ............................................................................... iii
Kata Pengantar Kepala Kantor Bahasa Gorontalo ...... v
Prakata ...................................................................................vii
1. Euforia Senja, Fitriyani Rahman 1 — 12
2. Permintaan Misterius, Andrea Wantogia 13 — 31
3. Hujan Penolong, Noorain A. Diu 33 — 43
4. Cinta dalam Diam, Noorain A. Diu 45 — 55
5. Tetesan Hujan, Sutantri Malango 57 — 64
6. Di Balik Tumbilotohe, Sri Ama Gumohung 65 — 77
7. Neraca, Devianti Ibrahim 79 — 91
8. Senja Biru, Irawati Mohamad 93 — 101
9. Tasbih Berbandul Salib, Dian Tantia Ningrum 103 — 109
10. Rumah Berjalan Nenek Sri, Nurdjamilah Hijriah Miolo 111 — 116
11. Desiran Jingga Danau Limboto, Usman Y. Lapasau 117 — 121
12. Monika Olemu, Melnim Mentari 123 — 127
13. Rasa Senja, Sri Farilah S. Yahya 129 — 134
14. Roda Bentor, Mega Adipu 135 — 141
iv
15. Gadis Penjual Kantong Plastik, Meilan Lotup 143 — 147
16. Mamehuato, Siti Rabia Hunawa Mohi 149 — 158
17. Terlalu Besar Harapan, Zein Mokodongan 159 — 166
18. Karena, Stepin 167 — 174
19. Anna Uhibbuka Fillah, Putri Warsono 175 — 182
20. Kulakukan Semua karena Allah, Siskawati Tawape 183 — 186
21. Pasir Penutup, Nova Bokosi 187 — 191
22. Puzzle Kesedihan, Noermayang Kaluku 193 — 201
23. Randy, Syarafina Dewiyana Taha 203 — 208
24. Penantian yang Terbalaskan, Sharen Ganap 209 — 211
25. Kaniya dan Saniya, Nursiya Safarini Mohamad 213 — 216
26. Di Balik Jutek Ada Kebaikan, Miftina Suleman 217 — 222
27. Senyum yang Pudar, Wulandari Manoppo 223 — 227
28. Diva, Nurfadila Olii 229 — 234
v
Kata Pengantar
Kepala Kantor Bahasa Gorontalo
Menulis sejatinya tidaklah mudah. Terlebih lagi hasil
pengamatan terhadap sebuah persoalan dengan sudut pandang
yang terkadang mengandalkan imajinasi dan kreativitas. Kita
dengan mudah bisa berkomentar di lini masa seseorang,
menanyakan kabar atau sekadar menanggapi status yang baru
saja dimutakhirkannya di akun media sosialnya itu. Tapi,
ketika bersentuhan dengan menulis cerita pendek, tunggu
dulu.
Sekumpulan cerita pendek para remaja Gorontalo kali
ini lahir dari Kelas Menulis, sebuah program Kantor Bahasa
Gorontalo yang bertujuan menularkan minat menulis dan
menumbuhkan apresiasi sastra kepada siswa. Tahun ini,
Kantor Bahasa Gorontalo telah melatih 30 siswa sekolah
menengah kejuruan yang telah diseleksi (siswa SMKN 1
Gorontalo) untuk mengasah kemampuan mereka menulis
dalam hal cerita pendek. Dari 40 naskah yang tercipta,
akhirnya dipilih 28 naskah untuk dicetak dan diterbitkan.
Membaca kisah mereka akan mengenalkan pembaca
pada Gorontalo dari jarak yang lebih dekat, pada tradisi
Tumbilotohe, pada bentor. Pembaca akan mampu melihat dari
vi
sudut pandang mereka, bagaimana mereka menghadapi dunia
sekolah, pergaulan, juga menyikapi perubahan di sekitar
mereka
Kelas Menulis tahun ini dilatih oleh Pegawai Kantor
Bahasa Gorontalo, Darmawati M.R, yang juga merupakan
salah satu dari lima Energing Writers Ubud Writers and Readers
Festival 2018 yang karyanya terpilih, dengan harapan, prestasi
tersebut dapat memberikan semangat tersendiri bagi para
peserta untuk konsisten berkarya di masa yang akan datang.
Seperti pada umumnya karya pertama, karya-karya
yang terhimpun dalam antologi cerpen yang diberi judul
Euforia Senja ini masih sederhana dalam segi penceritaan,
pengembangan karakter tokoh, penempatan latar dan unsur-
unsur cerita pendek lainnya. Tema percintaan, kekaguman
pada senja, keluarga yang terbelah, ketertarikan terhadap
lawan jenis masih menjadi tema yang banyak ditulis. Akan
tetapi, satu hal yang membuat kami bangga adalah antusiasme
mereka selama program berjalan dan kemauan keras mereka
dalam berusaha untuk menulis dengan baik. Bukan hal yang
mudah, kita tahu.
Akhirnya, kami berharap buku kumpulan cerita
pendek ini mampu menyemangati, terutama mereka yang
karyanya dimuat dalam antologi ini, dan mereka yang belum
vii
memiliki kesempatan berkarya namun memiliki semangat
yang besar di bidang kepenulisan.
Gorontalo, Oktober 2018
Dr. Sukardi Gau, M.Hum.
viii
ix
Prakata
Program kelas menulis siswa SMK di Gorontalo yang
dilaksanakan oleh Kantor Bahasa Gorontalo merupakan bentuk kerja
sama dengan SMK Negeri 1 Gorontalo untuk mewujudkan salah satu
program Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Kantor Bahasa Gorontalo
sebagai pelaksana mencoba memfasilitasi kreativitas dan kepedulian
siswa terhadap program literasi yang digalakkan di sekolah.
Dalam antologi ini, terdiri atas 28 naskah cerpen yang
merupakan hasil tulisan siswa dari program kelas menulis. Penulisan
cerpen ini telah melalui proses yang tidak singkat, pada saat
penyusunan cerpen siswa-siswa mendapatkan bimbingan langsung
dari pihak kantor bahasa. Setelah cerpen ini selesai ditulis, proses
penyuntingan dilakukan oleh pihak Kantor Bahasa Gorontalo.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Kantor Bahasa
Gorontalo yang dengan senang hati telah bersedia mengadakan
program kelas menulis di SMK Negeri 1 Gorontalo. Semoga melalui
karya tulis ini dapat membangkitkan minat baca siswa-siswa lain
sebagai bentuk apresiasi terhadap literasi. Kami juga berharap buku
ini dapat mendorong pembaca untuk semakin cinta pada dunia tulis
menulis.
Gorontalo, Oktober 2018
Penulis
x
Euforia Senja
1
EUFORIA SENJA
Fitriyani Rahman
Senja mewarnai langit sore di Desa Biluhu. Aku
selalu suka berada di kampung halaman Mama ini,
terutama saat senja. Suasana jadi begitu menentramkan
hati. Hanya ada suara ombak yang saling berkejaran dan
kicau burung yang merdu. Apalagi jika mama sudah
menghidangkan kasubi1 dan dabu-dabu2 terasi yang begitu
menggiurkan.
Namun, tetap saja aku rindu. Rindu akan pasien-
pasienku yang bawel, hiruk pikuk di rumah sakit, canda
tawa sesama rekan kerja dokter, dan rindu akan ruang
operasi yang menantang adrenalin.
“Permisi. Boleh aku duduk di sini?”
Suara berat menyadarkanku dari lamunan. Aku
melirik ke sumber suara tadi lalu kembali berpaling ke
arah lain. “Kenapa harus bertanya dulu? Bukankah
tempat ini memang diciptakan Tuhan untuk digunakan
oleh makhlukNya?”
“Ya, aku tahu. Tapi, aku hanya takut mengganggu
ciptaanNya yang indah ini.”
“Maksudmu?”
“Sudahlah. Itu tidak terlalu penting. Kamu tahu
tentang pepatah yang mengatakan tak kenal maka tak
sayang?”
1 Kasubi = singkong, ubi kayu. 2 Dabu-dabu = Sambal mentah yang dibuat dari cabai, tomat, dan bawang.
Euforia Senja
2
“Tanpa bertanya pun, kamu sudah tahu apa
jawabannya.”
“Namamu?”
“Fitri.”
“Hanya itu?”
“Bukankah perempuan ditakdirkan untuk memiliki
nama yang singkat?”
“Alasannya?”
“Karena suatu saat nanti, tepat di belakang namanya
akan diisi dengan nama terakhir dari pasangan sehidup
dan sesurganya.”
“Betul juga.” Senja mulai hilang ditelan malam.
“Bukankah sebaiknya kau kembali ke rumahmu?” ujar
lelaki itu mengingatkanku. Namun, sebelum aku
sempurna beranjak dan berjarak darinya, ia berkata,
“Fitri, besok pukul empat, aku tunggu kamu di sini, ya?”
Entah apa yang mendorongku untuk mengangguk.
Mungkin karena senyumnya yang manis. Ia tampak
seperti laki-laki baik.
***
“Namamu? Kemarin aku tak sempat
menanyakannya.” Tanyaku memecah keheningan yang
ada.
“Adrian. Panggil Adi aja, biar singkat, kalau boleh
panggil sayang juga.”
“Apaan, sih. Enggak lucu, tahu.”
“Siapa coba yang bilang lucu?”
“Terserah. By the way, kamu tahu tidak apa arti
namamu?”
Euforia Senja
3
Adrian menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu
dan tidak mau tahu akan hal itu.”
“Kenapa?”
“Pemberi nama itu telah lama lenyap digerogoti
waktu.”
“Siapa maksudmu?”
Adrian menghela napas kasar sebelum menjawab,
“Perempuan itu.”
“Mamamu?”
“Entahlah. Aku telah lupa akan sosok itu.”
Lelaki itu lalu menceritakan seluk-beluk
kehidupannya padaku. Gadis yang baru ia kenal kemarin
sore. Dari percakapan kami itulah aku mengetahui bahwa
dia adalah seorang anak broken home.
Mamanya berselingkuh dengan bos papanya dan
meninggalkan ia sewaktu berumur 15 tahun. Walau aku
tidak tahu bagaimana rasanya menjadi Adrian, tapi
melalui sikapnya, saat ini aku mengerti tidak mudah
menjadi dirinya. Yang terkuat sekalipun akan tetap
membutuhkan seseorang untuk menguatkannya.
“Lalu, bagaimana dengan keluargamu?” Tiba-tiba, ia
bertanya balik kepadaku.
“Ya, begitulah. Seperti keluarga pada umumnya.”
Jelasku singkat.
“Kamu tinggal di sini?”
“Tidak. Aku datang ke sini untuk menengok nenek.
Kamu sendiri?”
“Ya, begitulah. Hanya sekadar mengisi waktu luang
dan bermain-main.”
Euforia Senja
4
“Kamu… suka senja?”
“Hmmm… iya.”
“Kenapa?”
“Menurutku, senja itu indah. Meski terkadang senja
bisa menjadi serakah. Ia menghilang sesaat setelah
berhasil mencuri rona bahagia orang-orang yang
melihatnya.”
“Tapi aku tidak akan menjadi serakah seperti senja.”
Aku mengernyit tanda tak mengerti.
“Sejujurnya aku jatuh hati padamu. Sudah beberapa
hari ini aku sering memperhatikanmu.” Ia terlihat
menghela napas panjang sebelum melanjutkan
perkataannya. “Wajah kamu mengingatkan aku pada
mama yang berusaha keras aku lupakan.”
Sebelum sempat menanggapi apa yang ia katakan,
tiba-tiba aku melihat darah segar muncul dari hidungnya.
“Kamu kenapa?” Tanyaku panik seraya memberikan
beberapa helai tisu untuk menyumbat darah segar itu.
Aku menyuruhnya untuk menyandarkan kepalanya di
pohon dengan sedikit diangkat ke atas agar darah segar
itu tidak keluar lebih banyak lagi.
“Kelelahan mungkin.” Katanya.
Adrian tampaknya tidak sadar ketika sehelai kertas
putih yang terlipat jatuh dari kantongnya. Diam-diam
aku melihat kertas itu. Isinya cukup mengejutkan.
Ternyata itu adalah hasil pemeriksaan dokter. Di kertas
itu tertera ia positif mengidap leukemia kronis. “Sejak
kapan kamu mengidap penyakit itu?”
Ia terlihat terkejut. “Dari mana kamu tahu?”
Euforia Senja
5
“Ini.” Aku lalu menunjukkan kertas yang tadi
kutemukan.
Ternyata lelaki itu bukan hanya pandai
menyembunyikan luka batinnya tetapi pandai pula
menyembunyikan penyakitnya.
***
Semenjak hari itu aku dan Adrian semakin dekat.
Tidak kusangka dia pernah menjadi salah seorang Briptu
di Polda Gorontalo. Setelah akhirnya memutuskan untuk
mengundurkan diri karena penyakit yang sekarang
menyerang dirinya. Ia lalu memutuskan melanjutkan
perusahaan papanya. Aku sendiri kembali disibukkan
dengan berbagai operasi di rumah sakit.
Sesekali kami saling mengunjungi satu sama lain.
Atau bahkan saling berkunjung ke rumah. Mama tampak
lebih senang dengan kehadiran Adrian dibandingkan
dengan luka lamaku itu.
“Fit, sering-sering ajak Adrian ke sini, ya?”
“Tanpa diajak pun, ia akan tetap datang, Ma.” Semoga
saja.
“Anaknya baik, ramah, dan sopan lagi. Mama suka
kepribadian dia. Maafkan mama yang lalu memaksamu
dengan Zi.”
“Udahlah, Ma, lagian itu sudah jadi bagian masa
laluku.”
“Anak mama sekarang sudah dewasa, ya. Mmm…
Mama sama Papa setuju kok kalo kamu sama dia. Apalagi
kalau hubungan kalian bisa mengarah ke hubungan yang
lebih serius.”
Euforia Senja
6
Ya, begitulah percakapan antara aku dan Mama
ketika Adrian sudah sering berkunjung ke rumah. Aku
pun sering berkunjung pula ke rumahnya. Papa Adrian
sangat ramah. Beliau bahkan sudah menganggap aku
seperti anaknya sendiri. Adrian tidak beda jauh dengan
papanya. Sifat keduanya sangat mirip bahkan hampir
tidak ada bedanya.
Waktu ke waktu tidak ada yang berubah dari Adrian.
Hanya saja badannya yang dulu terlihat berisi kini
semakin kurus. Bintik-bintik merah mulai muncul di
kulitnya. Berbagai gejala Leukemia lainnya mulai
bermunculan. Akhirnya, ia harus bolak-balik rumah sakit.
***
Hampir delapan bulan belakangan aku tidak lagi
melihat Adrian. Aku sudah mencarinya ke mana-mana.
Namun, hasilnya nihil. Bahkan ketika aku datang ke
rumahnya, sudah tidak ada penghuninya sama sekali.
Ini yang aku takutkan. Di saat aku sudah begitu
menyayanginya lalu ia menghilang begitu saja.
Terkadang laki-laki memang bisa seberengsek itu.
Mereka tidak benar-benar memahami perempuan.
Semakin hari, rindu ini meminta untuk segera
dipertemukan dengan seseorang yang aku sendiri tidak
tahu di mana keberadaannya. Ia bahkan tak mau repot
untuk meninggalkan semacam pesan perpisahan.
“Fit.” Sapa Wira membuyarkan lamunanku. Dia
adalah sahabat sekaligus rekan kerjaku di rumah sakit.
“Eh iya, kenapa?”
“Mau sampai kapan kamu begini terus?”
Euforia Senja
7
“Hah?”
“Jangan pura-pura bego. Aku tahu kamu masih terus
memikirkan Adrian. Buat apa, Fit?”
“Ra…”
“Aku tahu kamu sayang dia. Aku tahu, Fit. Tapi bisa
nggak, sih, kamu pakai otakmu? “Kamu nggak pernah ada
di posisi aku, Wira.”
“Oke, di sini aku bukan menyudutkan kamu, tapi
seenggaknya kamu bisa berpikir logis.”
“Entahlah. Semuanya kacau.”
“Bukan kacau, tapi kamu yang memperumit
segalanya. Nggak usah dipikir, lepasin aja. Beres, kan?”
“Semua itu nggak semudah yang kamu ucapin.”
“Aku tahu itu. Tapi setidaknya kamu mencoba dulu.
Oh iya, aku masih harus melayani beberapa pasien. Kali
ini aku serahin semuanya sama kamu. Pikirin baik-baik
dan jangan sampai ada kata menyesal.”
Setelah Wira beranjak pergi, kata-katanya kembali
terngiang-ngiang dalam pikiranku. Bukan tidak mau
melepaskan, tapi rasa penasaran akan hal apa yang
membuat Adrian tiba-tiba menghilang tanpa
mengucapkan selamat tinggal yang membuatku uring-
uringan. Aku khawatir padanya, juga rindu.
Senja akan tiba sebentar lagi. Dengan masih
memakai jas dokter dan pikiran yang melayang entah ke
mana, aku berjalan menuju halaman parkir rumah sakit.
Aku tiba-tiba ingin sekali ke Benteng Otanaha.
Euforia Senja
8
Sekitar lima belas menit kemudian aku sampai di
tempat yang kutuju. Dari atas Benteng Otanaha, senja
terlihat lincah melukis langit, sempurna dan indah.
Aku ingat saat kamu mengatakan bahwa tidak akan
serakah seperti senja. Tapi apa? Nyatanya itu hanya omong
kosong belaka.
“Maaf aku membuatmu begitu lama menunggu.”
“A… A… Adrian?”
“Iya, ini aku.”
“Kamu jahat. Kamu bilang nggak akan serakah seperti
senja. Kamu jahat, jahat.” Aku perlahan memukuli
dirinya. Isak tangisku semakin menjadi. Marah, sedih,
senang, dan juga bahagia bercampur aduk jadi satu.
“Aku punya alasan untuk semua ini, Fit.”
“Apa?” Tanyaku sendu.
“Aku beberapa bulan yang lalu pergi ke Bandung
bersama Papa untuk urusan bisnis sekaligus melakukan
pengobatan di sana. Alhamdulillah sekarang aku sudah
pulih, ini semua karena kamu. Aku tidak mengucapkan
selamat tinggal atau bahkan tidak mengabarimu bukan
karena inginku. Tapi aku takut saat aku melihat atau
mendengar suaramu aku jadi tidak ingin ke sana. Di sana
aku benar-benar bekerja keras mengurus bisnis dan juga
menahan rindu.”
Aku terdiam sejenak. Berusaha mencerna apa yang
Adrian katakan.
“Papamu bagaimana?”
“Beliau memilih untuk tinggal di sana.”
“Berarti kamu akan pergi lagi?”
Euforia Senja
9
“Hei, dokterku yang cantik. Wajahmu terlalu jelek
untuk bersedih.” Tuturnya masih sempat bercanda dalam
keadaan seperti ini. Baguslah, dia tidak berubah. Hanya
bertambah tampan dan sehat.
“Ini bukan saatnya bercanda, Adrian.” Sindirku.
“Aku kembali karena ingin menepati janjiku, bahwa
aku tidak akan menjadi serakah seperti senja. Aku akan
selalu menjadi senja yang tidak akan meninggalkan
langitnya. Lalu maukah kamu tumbuh tua bersamaku?
Merawat anak-anak kita kelak hingga rambut ini
memutih?”
Aku mengangguk. Lalu, dia dengan tulus mencium
keningku. Senja kali ini memberikan bahagia yang sangat
berarti tidak hanya bagi Adrian, tetapi bagiku juga.
Benteng Otanaha benar-benar menjadi saksi atas
semuanya.
***
Samar-samar terdengar sedikit kegaduhan. Awalnya
aku hanya melihat sedang berada di ruangan yang serba
putih. Namun, lama-kelamaan orang-orang asing yang
tidak aku kenal mulai berdatangan dan berdiri di
hadapanku. Salah satu dari mereka seperti memastikan
aku dalam keadaan baik-baik saja.
“Adrian mana?” Dua kata itu langsung meluncur
tiba-tiba dari mulutku.
Mereka yang ada di ruangan ini hanya bungkam.
“Adrian mana?” Aku berteriak setengah ingin
menangis. Aku bingung. Bahkan tidak tahu apa yang
Euforia Senja
10
sedang terjadi sekarang. Hal yang terakhir aku ingat
adalah saat kami berdua berada di Benteng Otanaha.
Tiba-tiba seorang lelaki yang yang masih muda
datang menenangkanku.
“Mari kita mulai dari awal. Perkenalkan namaku
Mamad. Aku adalah ketua Rumah Sakit Cahya sekaligus
seorang detektif dan ilmuwan. Sebelum itu kamu harus
minum terlebih dahulu agar sedikit lebih tenang.”
Ujarnya seraya menyodorkanku segelas air putih. Mau
tidak mau aku menuruti perintahnya. Aku merasa
badanku sangat lelah seperti pulang dari perjalanan jauh.
“Kamu ingat ini tahun berapa?”
“2017 bukan?”
Ia menggelengkan kepalanya, “Ini tahun 2022.”
“Hah?” Aku terkejut. Apa ini hanya halusinasi semata?
“Saat itu aku sedang melakukan riset pengembangan
alat ini di Benteng Otanaha.” Ia menunjuk alat yang
berada di sampingku kini.
“Alat apa ini?” tanyaku penasaran.
“Aku menemukanmu tergeletak bergelimang darah
di sudut Benteng Otanaha. Awalnya kukira kamu sudah
meninggal. Tapi setelah memeriksa denyut nadimu, kamu
ternyata masih berdetak. Aku langsung membawamu ke
tempat ini,” ucap pria itu tanpa memedulikan
pertanyaanku barusan. “Kamu mengalami koma selama
tujuh tahun. Kemarin kamu akhirnya sadar. Tapi seluruh
ingatanmu hilang. Maka dari itu kami menjadikanmu
sebagai uji coba pertama alat ini. Dan akhirnya berhasil.
Euforia Senja
11
Ingatanmu pulih walau tidak semuanya. Hanya terfokus
pada beberapa titik saja.”
“Kamu sungguh tidak tahu dengan isu berita pada
tahun 2017?”
Aku menggelengkan kepalaku.
“Ada seorang lelaki yang sering mengincar dokter
perempuan yang cantik. Dia menggunakan serum HTF-
2 ketika melancarkan aksinya, agar si korban tidak sadar
bahwa dia sedang melakukan aksinya. Kamu beruntung,
sebab korban-korban lain ditemukan dalam keadaan
dimutilasi. Matanya yang hilang sebelah atau pernah ada
korban yang tubuhnya dipotong-potong kemudian
dibiarkan begitu saja.”
“Saat itu aku sedang bersama Adrian. Tapi, kenapa
dia tidak menolongku? Kenapa saat aku sudah pulih dia
tidak menemani aku?”
Lelaki itu diam sejenak. Lalu menghela napas
panjang. Ia lalu berkata,
“Dia yang telah melakukan semua ini.”
“Tidakkah kamu sadar dengan tingkah lakunya yang
mencurigakan namun terlihat biasa saja? Pertama, dia
terus memperhatikanmu saat berada di desa Biluhu
bahkan dengan mudahnya mengucapkan bahwa ia telah
jatuh hati padamu. Kedua, saat ia meninggalkanmu tanpa
memberi kabar sama sekali. Saat itu sebenarnya dia
tengah melakukan persiapan melakukan rencana jahatnya
padamu. Dia tidak pergi, akan tetapi terus mengikutimu
kapan saja.”
Euforia Senja
12
“Fakta yang lebih mengejutkan lagi, kamu perlu tahu
bahwa dia sendirilah yang membunuh mamanya. Apa
yang ia ceritakan hanya sebuah pernyataan omong
kosong yang ia karang.”
“Kamu pasti bertanya-tanya dari mana aku
mendapatkan semua informasi ini, bukan? Semua ini aku
dapatkan dari hasil interogasi yang aku lakukan padanya
dan juga dari alat ini.”
Seketika duniaku hancur mendengar apa yang
dikatakan lelaki ini. Untuk kecewa aku pun tidak bisa, aku
terlalu lemah. Ternyata dia sama serakahnya dengan
senja. Euforia senja ternyata hanya sesaat.
Membahagiakan tapi terlanjur membutakan
penikmatnya.
Euforia Senja
13
PERMINTAAN MISTERIUS
Andrea Wantogia
Kami berdua terdiam. Saling berpandangan dalam
keheningan. Kulihat rona merah lenyap di wajah Rara.
Jantungku berdetak cepat. Merasa was-was. Keringatku
semakin bercucuran sementara ujung jari-jari tangan
terasa dingin. Cuaca panas Gorontalo menambah
keringatku semakin bersemangat keluar dari pori-pori
kulit. Aku sangat takut. Bahkan, tiupan angin kecil
mampu membuatku terlonjak kaget. Suasana sangat
mencekam. Rasanya ada yang sedang mengawasi kami di
suatu tempat tersembunyi. Tidak, aku tidak boleh
ketakutan. Tidak ada apa-apa. Yang melakukannya hanya
orang iseng yang tidak punya kerjaan.
“Lapor polisi yuk, Re?” ucap Rara dengan suara
tercekat. “Ini udah termasuk teror.”
“Yakin polisi mau mendengarkan kita yang cuma
anak sekolah?”
Aku menghela napas kemudian melirik sekitar
kamarku. Memastikan kalau tidak ada ‘sesuatu’ yang
mengawasi kami. “Ra, udah berapa kali dapat e-mail
seperti itu?”
“Lima.”
“Lima?!” aku terkejut. “Dari kapan?”
“Dua bulan yang lalu sampai sekarang.” Jawab Rara
lemah. Dia meluruskan kakinya di karpet bulu kemudian
Euforia Senja
14
membawa bantalku ke pangkuannya. “Kalau ngana3
berapa?”
“Cuma tiga. E-mail pertama dikirim tahun lalu dan e-
mail ketiga dikirim dua bulan yang lalu.” Aku mengambil
smartphone Rara kemudian membaca e-mail yang baru ia
terima 15 menit yang lalu. Sebuah e-mail penyebab
keterdiaman kami.
Dari : [email protected]
Subjek : Tinggal hari ini!
Isi : Bermainlah denganku! Jika gagal akan
hancur, jika berhasil ada hadiah!
Sangat mengerikan. Siapa pula pengirim e-mail itu?
Tubuhku langsung merinding begitu membaca isi e-mail
singkat itu. E-mail itu seperti memaksa, walaupun dari
kalimatnya terlihat mengajak. Membuat si penerima mau
tak mau harus mengiyakan.
“Juga, torang baku iko dengan dorang punya permainan.”
4 Ucapku mantap. Kalau aku tahu siapa pelakunya, akan
kuhajar.
***
“Rere, ngana yakin mau ikut permainannya?” Tanya
Rara khawatir.
“Shhhttt… pelankan suaranya! Nanti ada yang
dengar. Kantin lagi banyak orang….” Bisikku. Saat ini
aku dan Rara sedang berada di kantin sekolah. Aku sudah
mengirim jawaban di e-mail tersebut namun belum ada
balasan. Sejujurnya, jauh di dalam lubuk hatiku, aku
3 Kamu 4 Ayo, kita ikuti saja permainan mereka.
Euforia Senja
15
takut. Bagaimana kalau si pengirim itu ternyata seorang
psikopat? Aku dibunuh lalu dimutilasi kemudian
potongan tubuhku dibuang di Sungai Bone?
“Hai.” Aku mendongakkan kepalaku. Ada Sasa yang
berdiri tepat di samping meja kami. Dia sedang membawa
semangkuk binthe biluhuta5. “Kita6 boleh duduk di sini?
Meja yang lain penuh soalnya.”
Aku langsung melihat ke arah Rara. Wajahnya
langsung berubah jadi ketus. “Kenapa harus di sini? Tidak
ada tempat lain apa?” Rara menatap Sasa dengan
kebencian sementara Sasa tersenyum tak enak. Saat SMP,
Sasa adalah teman dekatku dan Rara. Tapi ada suatu
insiden yang membuat Rara menjauhinya saat kami kelas
satu SMA. Sampai kami duduk di kelas dua, kami masih
tetap bertengkar. Aku sempat kecewa dengan Sasa dulu,
makanya aku ikut menjauhi Sasa. Tapi sekarang aku
sudah bisa memaafkannya karena sesuatu.
“Hush, Ra. Tidak boleh begitu. Kursi ini beserta meja
bukan ngana punya, kantin punya,” Rara langsung
membuang muka. “Silakan Sa, duduk.” Ucapku pada Sasa
lalu menunjuk kursi di sebelahku.
Uh, kalau ada Sasa di sini, berarti aku dan Rara tidak
bisa mengobrol tentang e-mail misterius itu. Lagipula
kenapa aku merahasiakan ini, ya? Seolah-olah aku ini
seperti agen rahasia yang sedang dalam misi
5 Binte Biluhuta = jagung yang disiram; makanan berkuah khas Gorontalo seperti sup jagung yang dicampur ikan atau udang, rasanya manis, asin, dan pedas. 6 Saya
Euforia Senja
16
menyelamatkan bumi. Ya sudah. Pasti Sasa tidak paham.
“Ra, sudah dapat e-mail balasan?”
“Belum. Padahal kita penasaran permainannya apa.”
“Sama.” Timpalku.
Tak disangka-sangka, Sasa bertanya membuatku
terkejut. “Ngoni 7 menerima e-mail misterius juga?”
Rara mengernyitkan dahi kemudian balik bertanya.
“Maksudnya?”
“E-mail yang mengajak main. Jika gagal akan hancur,
jika menang ada hadiah.” Jawab Sasa. Ia menirukan bunyi
e-mail itu.
Aku terkejut. Aku menatap Rara. Entah apa yang ada
di pikirannya. Tapi dia mengangkat alis. Memberi sebuah
kode untuk jujur. “Iya. Torang8 dapat itu juga.”
“Serius?!” Sasa terlihat semangat. Dia terlihat tidak
berselera dengan makanannya lagi. “Ayo, torang ikut
permainannya sama-sama!”
“Iya.” Aku menjawab asal. Aku kebingungan.
Bel masuk sudah berbunyi. Rara mengajakku segera
kembali ke kelas. Di perjalanan, Rara berceloteh. Tapi aku
sedang tidak fokus. Aku sedang memikirkan sesuatu.
Bagaimana mungkin aku, Rara, dan Sasa mendapat
sebuah e-mail misterius yang sama? Oke, ini memang
sebuah kebetulan. Tapi kenapa harus kita bertiga?
Kenapa Sasa langsung tahu e-mail misterius yang kita
bicarakan itu? Kenapa Sasa tiba-tiba ingin duduk bersama
kita di kantin? Padahal sebelumnya dia terlihat cuek?
7 Kalian 8 Kita
Euforia Senja
17
***
Hari ini hari Minggu. Sasa meneleponku bahwa dia
mendapat e-mail balasan. Dia bilang dia ingin aku dan
Rara berkumpul di taman kota. Maka di sinilah aku.
Bersiap mengikuti permainannya. Sasa telah tiba lebih
dulu. Tak lama Rara pun muncul. Kami lalu duduk di
sebuah bangku panjang di bawah pohon yang rindang di
sudut taman. Aku duduk di tengah, sementara kiri dan
kananku ada Rara dan Sasa. Anak-anak berlari kesana-
kemari, bermain ayunan atau meluncur di perosotan. Di
luar taman, banyak pedagang makanan yang terlihat
sibuk menyiapkan pesanan. Ada yang menjual bakso, es
kelapa muda, es teler, dan masih banyak lagi yang tidak
mungkin kusebutkan satu-persatu. “Ini isi e-mail
balasannya.”
Sasa menyodorkan smartphone-nya kepadaku. Aku
berhenti menatap sekitar taman kemudian mengalihkan
pandanganku kepada layar smartphone Sasa.
Dari :[email protected]
Subjek : Pecahkan!
Isi :
1. Benteng yang diberi nama Otanaha, Otahiya, dan
Ulupahu adalah untuk mengingat perjuangan. Naha,
Paha, dan Limonu dalam perang melawan Hemuto.
2. Kolam renang Lahilote
3. Pentadio Resort
Dahiku berkerut kebingungan. Akhir-akhir ini, aku
terlalu banyak mengerutkan dahi. Lama-lama aku akan
keriput kalau begini terus. Ini maksudnya apa? Apakah e-
Euforia Senja
18
mail itu menyuruh kami ke sana? Ke objek wisata yang
disebutkan?
“Jadi nanti torang ke sana?”
“Iya,” Sasa mengangguk. “Ini pasti akan
menyenangkan! Kita jadi kayak detektif!”
Aku memutar bola mataku. Ya, ya, ya. Sasa pasti
bahagia. Dia ingin menjadi detektif. Apalagi diberi tugas
seperti ini. Tentu dia yang paling semangat.
***
Minggu berikutnya, kami sepakat berkumpul di
kolam renang Lahilote pada pagi hari. Sasa yang
menyarankan kami untuk pergi ke sini duluan karena
jarak rumah kami lebih dekat dengan Lahilote dibanding
benteng Otanaha atau Pentadio Resort. Lahilote ini
bersebelahan dengan rumah adat Dulohupa dan
gelanggang. Biaya masuknya cukup murah. Cukup
membayar 7.500 rupiah untuk anak-anak dan 10.000
rupiah untuk orang dewasa.
Seketika aku teringat sesuatu. Lima tahun lalu aku
pernah ke sini bersama keluarga. Saat itu aku masih
membayar biaya masuk untuk anak-anak. Sekarang aku
harus membayar biaya masuk untuk dewasa. Rasanya aku
sedikit tidak rela bahwa aku bukan anak-anak lagi.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 tapi Rara dan Sasa
tak kunjung datang. Uh, aku lelah menunggu mereka
berdua. Sudah kutelepon tapi kata mereka sudah di jalan.
Mereka lewat jalan mana sampai-sampai mereka tidak
kunjung tiba?
Euforia Senja
19
Kulihat seekor kucing menghampiriku. Kucing itu
lalu menggosok-gosokkan kepalanya di kakiku. Aku jadi
ingat Abu, kucingku yang kupungut di pinggir jalan dulu.
Abu saat itu sedang sakit. Kata orang-orang sih kakinya
dilindas bentor. Dia jadi kesulitan berjalan. Aku sangat
kasihan padanya waktu itu maka dia kubawa pulang.
Semenjak kurawat, Abu berubah menjadi kucing yang
cantik dan menggemaskan. Tapi, sepertinya waktuku
untuk merawat Abu telah habis. Dia melarikan diri dari
rumah dan tak pernah kembali sampai sekarang. Aku jadi
merindukannya. Rindu mengelus-elus bulunya sembari
mengobrol dengan Rara di kamar.
“Rere! Maaf lama.” Sasa tiba dengan raut wajah
sedikit menyesal. Syukurlah Sasa tiba sebelum aku
menjadi gila kemudian ngajak ngobrol batu.
“Maafin aku juga, Re!” Rara menyusul. Aku
mendiamkan mereka. Kesal sekali karena mereka lama
datang.
***
Suasana di Lahilote sangat ramai di hari libur. Di
kolam renang, anak-anak menjadi sangat riuh oleh
teriakan-teriakan mereka. Terlihat di kolam renang
untuk orang dewasa sangat padat, padahal dulu Lahilote
tidak seramai ini. Di tahun 2014, pernah ada kejadian
seorang anak kecil mati tenggelam yang menyebabkan
Lahilote kurang pengunjung beberapa waktu.
“Apa yang harus kita lakukan di sini?” tanyaku. Kami
bertiga berdiri di samping pintu ruang ganti perempuan.
Euforia Senja
20
“Entahlah. Aku pikir begitu kita masuk ke sini, kita
akan mendapat petunjuk.” Jawab Sasa.
Mungkinkah kita menyalahi aturan main? Di isi e-
mail tersebut, Lahilote berada di urutan kedua. Mungkin
kita harus ikuti urutannya dengan pergi ke benteng
Otanaha terlebih dahulu.
“Berteduh, yuk. Panas nih.” Keluh Rara. Tangannya ia
pakai untuk menutup muka supaya tidak terkena
sengatan matahari.
Memang benar matahari sangat panas. Apalagi
sekarang sudah pukul 11.00 siang. Kami akhirnya
berjalan menuju tribune untuk duduk. Aku memilih
tempat duduk di paling atas sambil memperhatikan
sekitar. Siapa tahu mendapat petunjuk. Tapi sampai dua
jam lebih kami duduk di sana, hasilnya tetap nihil juga.
Kami tidak mendapat apa-apa.
***
Sekitar pukul 14.00 kami sampai di Pentadio Resort
yang terletak di Pentadio Barat, Telaga Barat, Kota
Gorontalo. Kira-kira dari kolam renang Lahilote ke
Pentadio membutuhkan waktu sekitar setengah jam.
Begitu melewati gerbang, kami disambut oleh kolam ikan
yang di tengahnya ada patung. Kolam tersebut tadinya
untuk ikan tapi entah kenapa sekarang telah ditumbuhi
eceng gondok.
Di samping kiri gerbang ada National Village, pusat
kuliner dan kerajinan nusantara. Kami jalan terus
kemudian belok kanan. Kalau belok kiri sih tempat parkir.
Euforia Senja
21
Untuk memasuki Pentadio lebih dalam, harus membayar
biaya masuk seharga 3.000 rupiah untuk satu orang.
“Capek, jalan terus.” Keluh Rara lagi.
“Untung adem ya, ada banyak pohon. Coba kalau
tidak ada, Rara mungkin meleleh saking panasnya.”
Candaku. Tapi mereka berdua tidak tertawa. Ah, tidak
seru!
Aku melirik di sebelah kananku. Ada wahana untuk
anak-anak seperti komidi putar atau kora-kora mini yang
berbentuk putri duyung. Tapi sayangnya, catnya sudah
mengelupas dan sebelah tangan putri duyung lepas yang
malah membuat anak-anak ketakutan, bukannya tertarik
menaiki kora-kora mini itu. Ada musala dan tempat foto-
foto yang harus membayar biaya masuk seharga
Rp10.000.
“Habis itu kita ngapain?” tanyaku lagi. Kita bertiga
sekarang lebih mirip anak hilang, kurasa.
“Foto-foto, yuk!” ajak Sasa tidak masuk akal. Ah,
sebenarnya, sih, foto-foto termasuk hal yang wajar tapi
tujuan utama kita di sini, kan, memecahkan
permainannya!
“Rugi sudah datang jauh-jauh tapi tidak foto-foto.”
Sasa tidak menyerah mengajak kami berfoto-foto. Rara
mendelik, menentang ajakan Sasa.
“Kita tidak mau foto sama orang yang mau merebut
pacar temannya.” Sinis Rara pada Sasa.
“Hah? Pacar? Sejak kapan Grey jadi pacarmu? Dan
ingat, ya, kita sama sekali tidak ada niat rebut Grey.”
Euforia Senja
22
“Terus apa maksudnya membuntuti Grey malam
itu?”
Oke, aku sangat tahu bagaimana Rara. Dia akan
mengingat semua dengan jelas yang membuat ia sakit
hati. Tapi ‘malam itu’ yang dimaksud Rara, sih, aku juga
masih ingat. Kejadiannya juga belum lama, sekitar
setahun yang lalu. Jadi, waktu itu Rara sangat menyukai
Grey, teman sekelas kami saat kelas sepuluh dan Grey
sepertinya menyukai Rara juga. Itu terlihat bagaimana ia
menyanggupi semua ajakan Rara. Tapi ternyata ada
seorang anak kelas mengatakan ke Rara bahwa dia
melihat Sasa sedang membuntuti Grey malam itu. Rara
marah besar. Apalagi Sasa tidak mau mengatakan
mengapa ia membuntuti Grey. Dia juga jadi menjauhi aku
dan Rara.
Soal Grey, dia sekarang berbeda kelas dengan aku
dan Rara. Sasa juga berbeda kelas dengan kita begitu naik
ke kelas 2. Grey termasuk cowok populer di sekolah.
Kulitnya sangat putih dan wajahnya mirip artis kesukaan
Rara. Makanya, Rara sangat menyukainya.
“Tidak, tidak ada maksud apa-apa.” jawab Sasa
gelagapan. Kenapa dia?
“Tuh, kan. Tidak bisa menjawab berarti ada apa-
apanya.”
“Sudah. Torang di sini bukan untuk bertengkar, kan?”
aku melerai. “Yuk, foto. Kenang-kenangan.” Aku
mengeluarkan ponselku kemudian mengaktifkan kamera
depan. Kuarahkan kameranya ke arah kami bertiga.
Cekrek!
Euforia Senja
23
“Woy! Kita belum siap!” seru Rara heboh. Dia
mencoba merebut kameraku namun dengan gesit, aku
cepat menghindar kemudian lari menjauhi Rara dan Sasa.
Kulihat hasil foto itu lalu tertawa. “Hahaha, muka
ngoni jelek! Hahaha.” Rara menampilkan wajah muram.
Marah kepada Sasa. Sasa pun begitu. Lucu sekali.
“Heh, Rara! Hapus!” Pinta Sasa.
Rara dan Sasa dengan semangatnya berlari
menghampiriku. Aku menjauh dan mereka mengejar.
Mereka berteriak menyuruhku berhenti tapi mana
mungkin aku mendengarkan? Kami bertiga pun saling
mengejar dengan diiringi tawa. Sepertinya Pentadio
adalah saksi bisu bagaimana kita berbaikan seperti dulu.
Yang jelas, aku merasakan kebahagiaanku kembali
walaupun kami lagi-lagi tidak menemukan petunjuk.
***
Hari ini, Rabu, tanggal merah yang berarti aku libur
sekolah. Sasa sudah menelepon akan menjemputku dan
Rara untuk pergi ke Benteng Otanaha. Kami sudah
pasrah kalau kali ini lagi-lagi tidak ada petunjuk. Oh iya,
begitu kami mengiyakan ajakan bermainnya, kami sudah
tidak mendapat satupun e-mail lagi membuatku tidak
tahu harus apa. Senang? Karena aku sudah tidak diteror
oleh e-mail misterius itu, atau marah? Karena mungkin
berarti e-mail itu hanya main-main dan tidak ada
gunanya kita mengikuti permainannya. Entahlah. Tepat
pukul 13.00 siang, kami sampai di Benteng Otanaha.
Kami membayar biaya masuknya sebesar Rp5.000 per
orang.
Euforia Senja
24
“Gila, kita tidak mau naik tangga.” Ucap Rara lalu
menatap horor tangga yang menjulang di depannya.
Benteng Otanaha ini memang terletak di atas bukit
di daerah Dembe. Di sana, ada tiga benteng: benteng
Otanaha, Ulupahu, dan Otahiya. Tapi objek wisata ini
sering disebut benteng Otanaha. Mungkin karena agak
repot kalau menyebutkan tiga-tiganya, capek lah. Untuk
mencapai benteng Otanaha, ada dua jalan yaitu bisa
melewati ratusan tangga atau melewati jalan yang
berliku-liku. Jalan yang disediakan itu harus ditempuh
menggunakan kendaraan. Di tangganya tersedia empat
tempat peristirahatan dan jumlah tangganya kalau
dijumlahkan ada 348 buah anak tangga.
“Tidak ada jalan lain, Ra. Kalau bawa kendaraan, sih,
bisa lewat jalan beraspal itu.” Sahutku. Aku menaiki
tangga duluan, meninggalkan Sasa dan Rara. “Ayo, Sa!
Tinggalin Rara aja!”
“Ih, Sasa! Rere! Tunggu!”
***
“Kakiku pegal, duh.” Keluh Rara begitu kami tiba di
Benteng Otanaha. Rara duduk di anak tangga paling atas
sambil meluruskan kakinya.
Aku sangat semangat. Angin bertiup mengibarkan
pakaian dan kerudungku. Sasa kelabakan. Kerudungnya
menjadi tidak rapi karena tertiup angin. Aku dan Sasa
pergi ke sisi kanan benteng Otanaha. “Indah banget ya,
Sa.”
Sasa tersenyum lalu mengangguk. “Iya.”
Euforia Senja
25
Di hadapan kami, terhampar Danau Limboto yang
ditumbuhi oleh eceng gondok. Pematang sawah yang
menjadi sumber penghasilan masyarakat Gorontalo.
Semuanya terhampar begitu saja seperti karpet hijau.
“Itu benteng Ulupahu, ya?” Rara datang menyusul
aku dan Sasa. Kami bertiga berdiri berjajar: Rara, aku,
kemudian Sasa.
“Iya, tumben tahu, Ra. Ngana kan yang paling bodoh
dengan pelajaran sejarah.” Ucap Sasa mengejek.
“Ih, gini-gini kita tahu, loh, sejarah Benteng Otanaha.”
“Coba kenapa benteng ini dinamai Otanaha, Otahiya,
dan Ulupahu?” tantang Sasa.
“Otanaha maksudnya bentengnya Naha. Ota dalam
bahasa Gorontalo itu benteng, sementara Naha itu konon
orang yang menemukan benteng. Otahiya maksudnya
bentengnya Ohihiya, istrinya Naha. Sementara Ulupahu
itu berasal dari nama anak Naha. Kita pintar, kan?”
“Iya, tapi kita masih lebih pintar dari ngana. Hahaha.”
“Ih Sasa!” Mereka berdua lalu tertawa sambil
berdebat siapa yang lebih pintar. Aku hanya diam.
Menikmati angin yang menampar pelan wajahku. Aku
senang, sangat senang. Ternyata hanya dengan e-mail
misterius yang tidak jelas kebenarannya itu bisa membuat
Rara dan Sasa baikan.
“Re.” Sasa memanggil. “Kok torang nggak dapat
petunjuk apa-apa, ya?”
“Iya. Kayak sia-sia tahu, torang kesana-kemari.”
Timpal Rara.
Euforia Senja
26
Aku menarik napas. Aku tahu akhirnya pasti akan
begini. “Ya sudah, torang lupakan saja ini. Yuk, pulang.”
“Eh, tunggu!” Rara menahan tanganku. “Ada yang
janggal di sini.”
“Apa?” tanyaku deg-degan. Raut wajah Rara terlihat
serius.
“Sa, ngana kok bisa tahu torang dapat e-mail
misterius? Kok ngana juga bisa tiba-tiba ingin duduk
bersama torang? Biasanya ngana cuek, kan? Yang
membuat kita tidak ingin kasih maaf ke ngana karena
ngana seperti tidak merasa bersalah.”
Pertanyaan Rara, membuatku teringat dengan
kebingunganku selama ini. “Terus, kenapa cuma ngana
yang mendapat e-mail balasan? Padahal torang bertiga
juga sama-sama dapat e-mail ajakan bermain. Kenapa
nama pengirim e-mail mencirikan sepertimu? Catholmes.
Cat artinya kucing, ngana suka kucing, kan? Holmes
maksudnya dari Sherlock Holmes. Kita tahu ngana
mengidolakan dia dan sering menggunakan nama Holmes
di belakang ngana pe nama.”
“Jadi, ngoni menuduh kita yang mengirim e-mail
balasan itu?” Raut wajah Sasa berubah. Seperti tak
menyangka kita menuduhnya.
“Ngana tahu kenapa kita sudah kasih ngana maaf
duluan padahal ngana tidak meminta maaf? Kita diberi
tahu ngana pe teman sebangku, dorang bilang ngana suka
mo minta maaf tapi tidak berani. Dan kayaknya masuk
Euforia Senja
27
akal ngana bikin ini supaya bisa dekat lagi deng9 torang.
Jujur, Sa. Ngana yang kirim e-mail, kan?” Lanjutku tak
menghiraukan Sasa.
“Bukan kita, Re! Serius. Kalau soal ingin berteman
lagi deng ngoni, butul. Tapi soal permainan itu sama sekali
bukan kita uti!”
“Sudahlah. Ayo Re, torang pulang. Buang-buang
waktu di sini.”
Drrrt… drrrt… drrrt.
Smartphone-ku bergetar. Tanda pesan masuk. Aku
segera membukanya, takut-takut kalau dari orang tua.
Eh? Ada yang mengirimiku pesan suara lewat sms. Aku
memutar pesan suara itu dan tubuhku langsung
merinding.
“Alfa Kilo Uniform Mama Echo November Uniform
November Golf Golf Uniform Kilo Alfa Lima India Alfa
November Delta India Bravo Echo Lima Alfa Kilo Alfa
November Golf Siera Echo Kilo Oscar Lima Alfa Hotel.”
Suara itu seperti berasal dari suara robot perempuan.
Aku terdiam kaku begitu tahu maksud kodenya apa. Itu
adalah kode untuk mengeja yang biasa dipakai dalam
militer atau penerbangan. Maksud dari kode itu adalah
aku menunggu kalian di belakang sekolah.
Tubuhku lemas. Aku ketakutan. Ini seperti di film-
film teror alien yang pernah kutonton.
***
9 Dengan
Euforia Senja
28
Aku memegang erat lengan Sasa dan Rara. Kami
sedang menuju belakang sekolah. Kakiku terasa lemas
sekali. Uh, kenapa aku sangat penakut. Padahal sekarang
masih sore. Sesampainya di belakang sekolah, tidak ada
apa-apa. Aku menutup mataku berharap ini hanya mimpi.
Sasa memaksaku untuk ke sini, membuktikan bahwa
bukan dia pengirim e-mail itu.
Brak!
Pintu gudang di seberang kami terbuka dengan
kencang. Aku terlonjak. Jantungku rasanya meloncat
keluar dari tempatnya. Aku sangat kaget. Kututup
mataku rapat-rapat.
“Grey?” Rara memekik kencang.
Hah? Grey? Kubuka mataku dan di sana berdirilah
Grey dengan wajah pucatnya. Hah? Ini semua kerjaan
Grey? Untuk pertama kalinya aku takut melihat Grey.
Rara menghampiri Grey dengan riang. Kuncir
rambutnya yang sebahu bergerak kesana-kemari.
“Grey, kenapa di sini?” Tanya Rara lembut. Grey
diam.
“Kita mau mengatakan sesuatu.” Ucap Grey datar.
Dia tidak seperti biasanya. Biasanya wajahnya ceria,
riang, dan penuh canda. “Kita… bukan dari bumi….”
Hah? Apa maksudnya?
“Hahaha, Grey bercanda lucu, deh.” Rara tertawa.
“Akhirnya Grey mengakui.” Ucap Sasa datar.
Hah? Apa yang terjadi di sini? Aku dan Rara
bingung. Kulihat wajah Sasa dan Grey bergantian.
Euforia Senja
29
“Kita berasal dari planet Wisterya, planet yang
terletak jauh dari orbit. Kita ada di sini karena pesawat
kita rusak dan jatuh ketika melakukan penelitian terhadap
bumi. Kita ingin pulang, tapi kita tidak bisa masuk ke
planet Wisterya tanpa kalung pengenal.”
Jadi maksudnya Grey ini… alien? “Kita tidak
percaya.” Sahutku. Rara menimpali. “Sama.”
“Ini benar, Re! Ra! Ngana tahu, Ra? Kenapa kita
membuntuti Grey waktu itu? Kita menyadari keanehan
dari dia! Dan benar saja, aku melihat dia berubah wujud
menjadi kucing!” Jadi Grey adalah alien atau kucing jadi-
jadian?
“Sasa benar. Rere, ngana tidak mengenali kita?” Aku
menggeleng. Serius, aku belum pernah bertemu dengan
Grey sebelumnya. “Akulah Abu, ngana pe kucing.”
Apa? Aku tidak salah dengar, kan?
Tiba-tiba tubuh Grey mengecil. Kakinya menjadi
empat. Tubuhnya dipenuhi bulu-bulu. Aku terkejut,
sangat terkejut! Tak percaya dengan yang kulihat ini.
Grey berubah menjadi kucing! Berubah menjadi Abu
kucingku!
“Kita bisa berubah wujud sesuai yang kita mau
dengan cara memperhatikan sesuatu yang ingin kita tiru.
Kita berubah menjadi kucing begitu, kita memperhatikan
kucing itu. Saat kita jadi kucing, kita ditabrak bentor dan
kaki kita patah. Kemudian ngana membawa kita pulang.
Merawat kita dengan baik. Kita tidak pernah bertemu
dengan manusia seperti itu yang mau menolong hewan.
Boleh kita minta satu pertolongan lagi? Tolong, bantu
Euforia Senja
30
kita kembali ke planet asal. Kita ingin ngoni bantu karena
kita tahu cuma ngoni tiga yang mau bantu. Tapi kita takut
bilang yang sebenarnya.”
Aku diam membisu. Bantu dia? Dengan cara apa?
“Ngana ingat kalung berlian di leher kita dulu?” Aku
mengangguk. “Itu adalah tanda pengenal sebagai izin
masuk ke planet Wisterya. Ngana masih
menyimpannya?”
Aku mengangguk. Kalung itu selalu kubawa di dalam
tasku. Sebenarnya aku sangat menginginkan bertemu
Abu di suatu tempat dan memakaikan kalung itu di
lehernya lagi.
“Maaf merepotkan ngoni. Maaf telah bikin ngoni
menjauhi Sasa. Soal permainan teka-teki itu, sebenarnya
ngoni tidak perlu ke sana. Cukup perhatikan huruf yang
dikapital. Dari HEmuto yang huruf ‘H’ dan ‘E’ adalah
huruf kapital. Lahilote dengan huruf kapital ‘L’ dan
Pentadio resort dengan huruf kapital ‘P’. Maka, kalau
digabungkan akan menjadi kata HELP yang berarti
tolong. Kita menunggu kalian untuk menyadari itu tapi
ngoni tidak mengerti juga. Maka, kita menggunakan cara
tadi yang kita kirimkan di ponselnya Rere.” Ah, sekarang
aku paham. Mengapa aku tidak menyadari itu, ya? Bodoh
sekali.
“Dan soal nama e-mail itu, cat yang berarti kucing.
Kita memang kucingnya Rere dan Holmes itu kita tahu
bahwa dia adalah seorang detektif kesukaan Sasa yang
sering dia bicarakan saat kalian mengobrol bertiga di
kamar.” Grey menjelaskan semuanya membuatku
Euforia Senja
31
semakin bodoh karena tidak memikirkan itu sampai sana.
“Dan wajah kita ini, memang sengaja kita bikin mirip idola
Rara yang sering kalian bicarakan di kamar. Kita bilang,
kan, tadi kita meniru sesuatu. Namaku Grey juga berasal
dari nama Gray yang berarti abu-abu karena namaku
versi kucing adalah Abu.” Jadi Abu yang selalu duduk
diam ketika kita bertiga mengobrol di dalam kamar itu
karena sebenarnya dia mendengarkan apa yang kita
bicarakan? Semuanya nampak jelas sekarang.
“Jadi, bolehkah kita meminta kalung itu?” Grey
bertanya padaku.
“Oh iya…,” aku tersadar. Segera aku mengambil
kalung itu dalam tasku dan kuserahkan padanya. “Ini
memang punya ngana, jadi tidak perlu ngana minta.”
“Terima kasih.” Grey tersenyum lalu memakai
kalung itu di lehernya. Bandul di kalung itu menyala
berwarna hijau terang. Akhirnya aku bisa
mengembalikan kalung itu pada Abu walaupun dalam
wujud yang berbeda.
Wusss… wuss… wus.
Dari arah langit sebuah bentor terbang tanpa awak
melaju lalu mendarat di hadapanku. Grey tersenyum lalu
naik ke bentor kemudian melambai kepada kami bertiga.
“Selamat tinggal.” Grey pun pergi kembali ke
planetnya dengan bentor terbang. Tak kusangka kucing
yang kupungut di jalan itu adalah alien dan aku berjanji
tidak akan menuduh orang lagi tanpa bukti yang jelas dan
hanya dengan asumsiku yang bodoh.
Euforia Senja
32
Euforia Senja
33
HUJAN PENOLONG
Noorain A. Diu
Memendam tanpa mengucapkan sangatlah tak
mudah dilakukan. Semarah apapun tak akan diketahui jika
tidak dikatakan. Terlebih lagi ada gengsi untuk
mengutarakannya.
Eka Saputri Wijaya biasa dipanggil Eka, remaja yang
sedang bersekolah di SMK Negeri 1 Gorontalo, Kelas
XII. Dia adalah remaja yang sangat menyukai permainan
online seperti Mobile Legend. Banyak yang heran karena
kesukaannya itu, secara… dia, kan, perempuan. Dalam
setiap hari, Eka tidak pernah melewatkan waktu untuk
bermain.
Eka mempunyai seorang sahabat yang baik, namanya
adalah Randy Putra Pratama atau biasa disapa Randy.
Mereka sudah berteman sejak kecil. Mungkin karena
rumah Randy berada tak jauh dari rumah Eka.
Suatu hari, tepat saat jam istirahat tiba, Eka bermain
game di kelasnya. Seperti biasa, Randy mendatangi dan
mengajak Eka untuk pergi makan bersama di kantin.
Tetapi kali ini Eka menolak.
“Eka, manjo torang mo pigi ka kantin” 10
“Eh, kita tidak mau. Ngana saja yang pigi,” 11 tolak Eka
sambil tetap bermain. Matanya tak lepas dari layar
ponselnya.
“Oke. Duluan, aa.”
10 Eka, ayo kita pergi ke kantin 11 Aku tidak mau. Kamu saja yang pergi
Euforia Senja
34
Randy pun pergi meninggalkan Eka dengan geleng-
geleng kepala. Sejak sahabatnya itu kena demam Mobile
Legend, mereka semakin jarang bersama. Belum lagi ia
keluar dari kelas Eka, ia menabrak seseorang.
“Aduh, kalau jalan liat-liat,” Rina berkata sambil
memegang kepalanya.
“Maaf… maaf aku tidak sengaja. “
“Iya, lain kali pakai mata kalau jalan.”
“Kalau pakai mata, mana bisa? Kan, kaki yang
berjalan.” Goda Randy. Ia baru sadar kalau Rina gadis
yang manis. Apalagi kalau sedang marah seperti itu.
Sebuah ide terlintas di kepalanya.
Dari pada tak ada teman.
“Bagaimana kalau aku traktir kamu makan di kantin?
Sebagai permohonan maafku?
“Ehmmm…” Rina bingung menjawabnya.
“Ayolah, please?” Bujuk Randy tak menyerah.
“Baiklah.” Rina pun luluh hatinya melihat ketulusan
Randy.
Ketika mereka berdua akan keluar kelas, Eka melihat
mereka, tapi ia memilih tidak mau ambil pusing dan
melanjutkan permainannya.
Setibanya di kantin, Randy dan Rina pun memesan
makanan.
Seusai makan, tak lama kemudian bel berbunyi.
Semua siswa pun masuk ke kelas masing-masing
termasuk Randy dan Rina. Jam belajar telah selesai
pertanda semua siswa boleh pulang. Seperti biasa Randy
menunggu Eka untuk datang ke kelasnya. Akan tetapi
Euforia Senja
35
ternyata Eka tidak datang-datang. Randy pun mengambil
tas dan menuju ke gerbang sekolah untuk menunggu bus
menjemput. Di tengah perjalanan, Randy berpikir kenapa
Eka tidak datang seperti biasanya. Dia pun berencana
untuk mendatangi rumah Eka dan menanyakan hal
tersebut.
Sorenya, Randy ke rumah Eka. Ia pun mengetuk
pintu dengan sopan. Bik Inah, pembantu Eka yang
membukakan pintu.“Permisi, ti Eka ada?”
“Oh, ti Eka ada kaluar.” 12
“Kalo boleh tau ada ka mana?” 13
“Saya tidak tahu. Maaf saya banyak pekerjaan.”
Bik Inah menutup pintu dan meninggalkan Randy
terbengong-bengong.
Selain dikejutkan oleh sikap Bik Inah barusan, Randy
heran dengan sikap Eka. Tidak biasanya sahabatnya itu
keluar rumah di sore hari. Eka itu gadis rumahan. Pasti
ada sesuatu yang luput ia perhatikan.
Randy melihat ke arah kamar Eka yang berada di
lantai dua dan melihat juga ke atas, ke sisi lain. Rumah
yang begitu besar itu tampak sepi, di sekeliling rumah itu
terdapat pohon cemara, di sebelah kanan juga terdapat
sebuah taman yang begitu indah. Melihat taman itu,
Randy teringat masa kecil mereka. Mereka juga bermain
di bawah pohon itu, kadang mengamati semut yang
berjalan beriringan. Tak ingin bersedih hati, Randy
memutuskan segera pergi dari tempat itu. Sebenarnya
12 Oh, Eka lagi keluar? 13 Kalau boleh tahu ke mana?
Euforia Senja
36
Eka tidak keluar, dia hanya tidak ingin bertemu dengan
Randy, mengingat kejadian di sekolah tadi. Ia tak
menyangka hatinya bakal sakit melihat sahabatnya itu
berjalan dengan Rina. Dia tidak tahu kenapa dia tidak
mau bertemu dengan Randy padahal mereka sudah
bersahabat selama tiga tahun. Baru kali ini dia merasa
semuanya berbeda.
Setiba di rumah sepulang sekolah tadi, Eka sudah
berpesan terlebih dahulu kepada pembantunya, ”Jika
Randy datang, bilang aku sedang keluar ya, Bi?” Setiap
hari, mereka sudah terbiasa berada di dekat satu sama
lain. Entah sekadar mengerjakan PR atau Eka curhat
tentang cowok yang sedang dia sukai. Randy hanya
mendengarkan dengan sabar.
Sejak kejadian itu, Eka mulai menghindari Randy.
Dia menghabiskan waktunya untuk bermain Mobile
Legend. Hanya itu yang menemani hari-harinya. Ketika
sedang asyik bermain tiba-tiba ia melihat Randy datang.
Ia buru-buru beranjak dari tempat duduknya, berniat
menghindari Randy lagi.
Sebelum Eka sempat berdiri, Randy sudah menarik
tangan Eka tetapi langsung ditepis Eka sekuat tenaga.
Setengah berlari ia keluar kelas. Rina yang melihat
kejadian itu langsung bertanya kepada Randy yang sudah
siap mengejar Eka.
“Ti14 Eka kenapa, Ran?”
“Tidak tahu.” Aku susul dia dulu, ya.”
14 Kata sandang untuk sapaan perempuan dalam bahasa Gorontalo
Euforia Senja
37
Hingga bel berbunyi pertanda jam istirahat telah
usai, Randy tidak menemukan Eka.
Ketika esoknya tiba di kelas, Rina melihat Eka
sedang duduk asyik bermain game. Rina pun
menghampiri Eka, berniat memberi tahu jika Randy
mencarinya. Eka sadar dengan kedatangan Rina, karena
itu ia sengaja pindah dan bergabung dengan teman yang
lain. Merasa bahwa Eka tak suka bertemu, dia pun
kembali duduk di kursinya.
Tak lama kemudian bel pertanda pulang sekolah
berbunyi. Eka bergegas mengatur barang-barangnya dan
segera pergi meninggalkan kelas karena dia tidak mau
bertemu dengan Randy. Tetapi ketika sampai di parkiran
sekolah, Eka melihat Randy menuju ke arahnya, dia pun
segera melangkahkan kaki dengan cepat. Randy
mengejarnya akan tetapi Eka keburu pergi menaiki
mobilnya. Randy pun dengan segera mengambil motor
dan mengejar mobil Eka tetapi tetap saja semua sia-sia.
Brio merah itu telah lenyap dari pandangannya. Randy
pun akhirnya sadar jika Eka memang tak ingin bertemu
dengannya. Ia menyerah, meskipun ia tidak tahu apa
alasan sahabat kecilnya itu menjauhinya.
Udara yang begitu sejuk mengenai kulit seorang
gadis yang sedang bersantai di teras depan kamarnya. Ia
memandang bintang-bintang yang begitu indah dari
kejauhan. Segelas susu putih dan roti bakar menambah
kenikmatan tersendiri bagi dirinya. Eka mengingat masa-
masa dia bersama dengan Randy. Kini lelaki yang dia
anggap baik itu malah membuat dia kecewa.
Euforia Senja
38
“Oh, Tuhan, apa kita pe salah? Kinapa ba kase cobaan
yang seperti ini pa kita, kita tidak mau bakalae dengan
sahabat sandiri yang so lama kita kanal. Kita so anggap dia
sebagai tape keluarga sandiri. Tuhan tolong kase baku bae
akang samua ini, kita nya mampu ba terima.”15
Tanpa disadari air mata jatuh dari pipi manis Eka dia
menangis mengingat semuanya.
Hari ini orang tua Eka datang dari Bandung, bukan
hanya ayah dan ibunya tetapi ada tante beserta anaknya
bernama Saskia dan omnya juga datang. Selama ini, Eka
memang hanya tinggal bersama dua orang pembantu.
Ayahnya bekerja sebagai direktur sebuah perusahaan jasa
transportasi sedangkan ibunya mempunyai butik di
beberapa daerah. Ayahnya baru dipindahkan ke luar kota
Gorontalo. Eka diajak untuk pergi bersama mereka tetapi
dia menolak dengan alasan bahwa dia sudah betah di
Gorontalo. Ia juga ingin belajar mandiri.
“Buat persiapan kalau Eka nanti kuliah di luar negeri,
Pa.” Eka berusaha meyakinkan ayahnya.
“Eka, Tantemu ingin jalan-jalan ke Pulau Saronde,
kamu ikut, ya? Biar Saskia ada teman sebaya.”
Ini bagus untuk pikiranku yang sedang mumet.
Perjalanan ke Saronde memerlukan waktu kurang
lebih dua jam dari kota Gorontalo. Sesampainya mereka
di dermaga Kwandang, mereka pun segera mencari
perahu untuk menyeberang. Selama perjalanan, Saskia
15 Oh Tuhan, apa salahku? Kenapa cobaan yang Engkau beri seperti ini, aku tidak ingin bertengkar dengan sahabat yang sudah lama kukenal.aku sudah menganggapnya sebagai keluarga. Tuhan, tolong perbaiki kembali semua ini, aku tidak sanggup menerima.
Euforia Senja
39
yang ceria bercerita tentang banyak kejadian lucu yang
dia alami sehingga suasana jadi gembira. Eka pun lupa
dengan Randy untuk sesaat. Eka sangat bahagia karena
bisa berkumpul kembali dengan keluarganya. Setelah
puas bermain air, mereka pun segera kembali ke kota.
Esok hari, Eka pergi ke mall bersama Saskia. Saskia
anak yang menyenangkan. Ketika sampai di mall, Eka
justru melihat melihat Randy sedang makan bersama
Rina di salah satu restoran. Mereka berdua sedang asyik
bercakap-cakap hingga tidak menyadari keberadaan Eka.
Rasa sakit itu muncul lagi tetapi kali ini rasa itu melebihi
yang sebelum-sebelumnya. Entah kenapa ia ingin sekali
mendatangi Randy dan menumpahkan semua keluh
kesahnya, tapi ia kecewa karena Randy tidak
memperjuangkan persahabatan mereka. Ia pun segera
mengajak Saskia pergi dari tempat itu. Mereka
memutuskan singgah membeli makanan ringan di salah
satu gerai makanan yang berada di lantai tiga.
Sambil menunggu pesanan, Eka mengambil hp dan
bermain game. Saskia pamit membeli sesuatu di toko
sebelah. Ketika sedang asyik bermain tiba-tiba suara yang
sangat dikenalnya mengusik keasyikannya bermain.
“Tetap tidak mo kaluar ngana pe hobi bermain itu
ee.”16
Eka terkejut melihat Randy sudah berada di
depannya. Kenapa Randy bisa tahu kalau dia ada di tempat
itu?
16 Hobimu bermain ini tidak pernah bisa hilang
Euforia Senja
40
Sakit hatinya, kesal, dan ingin menangis, itu yang
dirasakan saat ini. Ia menyesal harus bertemu Randy hari
ini. Dengan rasa marah, Eka mengambil tasnya dan
langsung menarik tangan Saskia yang baru saja kembali
duduk. Saskia heran dengan sikap sepupunya, tapi tetap
mengikuti langkah Eka. Sebelum pergi, Eka masih
sempat berkata kepada Randy.
“Itu bukan urusan li ngana, mulai skarang ba jao dari
pa kita pe hidup. Kita tidak butuh taman macam ngana!”17
Perkataan itu keluar dari mulutnya tanpa bisa ia cegah.
Randy mencoba mencegah dengan memegang
tangan tetapi Eka memberontak untuk dilepaskan,
setelah berhasil melepaskan diri, Eka langsung pergi.
Ada apa dengan sahabatnya itu? Ada masalah apa
sebenarnya. Ingin sekali dia mencari perempuan itu tetapi
ia takut Eka akan bertambah marah. Melihat Eka gelisah
dalam pikirannya, Saskia bertanya tentang kejadian
barusan. “Kenapa ngana18 dengan laki laki yang tadi?”
“Hmmm, dia itu pengkhianat. Sudah, tidak usah tanya
dia! Bekeng benci.”19
“Oh, oke.”
Kenapa dia memarahi Randy, mengapa dia
merasakan hal yang aneh kepadanya. Bukannya selama
ini dia tidak begitu? Bagaimana bisa semua ini terjadi.
Pikiran itu terus melayang-layang di otaknya. Perasaan
17 Itu bukan urusanmu, mulai saat ini menjauh dari hidupku. Aku tidak butuh teman sepertimu. 18 kamu 19 Sudah, tidak usah menanyakan dia. Membuat benci saja.
Euforia Senja
41
kehilangan itu menyadarkan Eka bahwa dia ternyata
membutuhkan Randy lebih dari sekadar sahabat.
Langit tertutup awan gelap, terdengar bunyi petir
kemudian tak lama turunlah hujan. Eka dan Saskia
mencari tempat untuk berteduh. Dia menemukan halte
tak jauh dari mereka tapi telah banyak orang yang duluan
berteduh. Hujan semakin bertambah deras. Eka tetap
berlari sambil menarik tangan Saskia. Ia setengah kuyup.
Lengkaplah penderitaannya hari ini.
Sudah hampir setengah jam menunggu, hujan tak
kunjung berhenti juga. Tiba-tiba seseorang memegang
pundak dari arah belakang, Eka langsung membalikkan
badan. Ternyata orang itu adalah Randy. Serasa kakinya
ingin sekali melangkah pergi menjauh dari orang itu tapi
apalah daya hujan semakin bertambah deras. Eka harus
pasrah dengan keadaan itu.
“Kinapa ngana selalu menghindar kalo baku dapa deng
kita, aa?” 20
Eka hanya terdiam, tak menjawab pertanyaan itu.
Merasa kesal karena pertanyaan tak dijawab, Randy
membalikkan badan Eka ke hadapannya dan bertanya
kembali.
“Kinapa ngana selalu menghindar kalo baku dapa deng
kita? Apa kita pe salah?” Tanya Randy kembali.
“Kita tidak suka balia pa ngana jalan dengan cewek selain
kita!” 21 Jawab Eka dengan nada kesal.
20 Kenapa kamu selalu menghindari saat bertemu denganku? 21 Aku tidak suka melihatmu pergi dengan perempuan lain selain aku
Euforia Senja
42
Mendengar jawaban yang diberikan, Randy kaget,
bagaimana bisa seorang Eka bisa menyimpan perasaan
yang begitu berarti pada dirinya.
“Oh jadi ngana cemburu lia kita bajalan deng ti Rina?
Torang dua cuman baku taman tidak lebih, tadi itu dia minta
tolong ba pilih baju untuk dia pe cowok pe kado ulang tahun.
Pas-pas kita ada lewat jadi tidak ada salahnya, to, ba tolong.
Selama ini kita ba cari-cari turus pa ngana, cuman ngana
selalu menghindar dari kita. Cie, cemburu hahaha…”22
Randy menjelaskan semua pada Eka agar dia tidak salah
paham lagi.
Mendengar semuanya, Eka menundukkan kepala
karena malu, pipinya memerah. Senang dan bahagia itu
yang dirasakan oleh Eka saat ini. Di bawah hujan yang
deras masalah itu selesai. Hujan itu menjadi penolong
menyelesaikan masalah mereka. Saskia yang melihatnya
pun tersenyum melihat mereka berdua. Dia bisa
merasakan apa yang sekarang dirasakan oleh sepupunya
itu.
Setelah hujan berhenti mereka pergi ke rumah Eka,
Randy berkenalan dengan keluarganya, bahkan orang tua
Eka sudah setuju kalau Randy pacaran sama Eka.
Bermain game akan tetap menjadi kesukaannya karena
Randy tak pernah mempermasalahkan hal itu.
22 Oh, jadi kamu cemburu melihatku pergi dengan Rina? Kita hanya berteman, tidak lebih, tadi dia hanya minta tolong padaku untuk memilihkan kado baju yang cocok untuk ulang tahun pacarnya. Kebetulan aku lewat, jadi tidak ada salahnya, kan, menolong? Selama ini aku terus mencarimu tapi kamu terus menghindar.
Euforia Senja
43
Kebahagiaan ini jangan sampai berakhir, pinta Eka pada
Tuhan.
Eka sadar ternyata yang selama ini yang dia rasakan
adalah sebuah kecemburuan, dia menyukai Randy tetapi
tak pernah dia ungkapkan. Memendam tanpa
mengucapkan sangatlah tak mudah dilakukan. Semarah
apapun tak akan diketahui, jika tidak diungkapkan.
Euforia Senja
44
Euforia Senja
45
CINTA DALAM DIAM
Siti Fatma Dwi Adha Mohi
“Kalian pernah tidak, mencintai seseorang dalam
diam?”
***
Reina adalah seorang gadis yang bertubuh tinggi,
mempunyai mata yang indah dengan bulu mata yang
lentik. Ia mempunyai gigi gingsul di sebelah kiri yang
menjadi daya tarik tersendiri ketika tersenyum, dengan
jilbab yang sering ia pakai, menutupi rambutnya yang
panjang dan hitam. Kulitnya sawo matang. Ayah ibunya
memberinya nama Putri Reina Pakaya. Lahir di
Gorontalo, tanggal 22 Februari 2001 silam. Selain cantik,
Reina juga cerdas. Ia selalu mendapatkan juara kelas.
Meski demikian, ia masih sempat aktif di berbagai
organisasi yang ada di sekolahnya. Selain cantik dan
cerdas, Reina juga seorang gadis yang ceria. Tidak heran
jika ia mempunyai banyak teman di sekolah, baik laki-laki
maupun perempuan.
Teman-teman Reina lebih sering memanggilnya
Rein dibandingkan Reina, karena mereka tahu ia sangat
menyukai hujan. Banyak yang menyukai sifatnya yang
ceria, banyak juga yang sering curhat dan meminta saran
kepadanya. Walaupun begitu, Reina sangat tertutup
dengan orang lain. Tidak pernah mengeluh, apalagi
meminta saran kepada teman-teman. Bagi Reina, orang-
orang tidak begitu peduli dengan masalah yang
dihadapinya, melainkan hanya sebatas ingin tahu saja
Euforia Senja
46
tanpa memberi solusi yang tepat. Ketika memiliki
masalah, yang akan ia dilakukan pertama adalah mengadu
dan meminta solusi kepada Allah. Cepat atau lambat,
seseorang pasti akan merasakan apa yang pernah ia perbuat.
Itulah prinsip Reina, yang selalu membuat ia tenang
ketika sedang menghadapi masalah. Ada dua orang teman
yang dipercaya oleh Reina sedari SMP, Titan dan Agus.
Yup, hanya mereka berdua.
***
”Putri Reina Pakaya?” Panggil Pak Wawan yang
sedang mengabsen nama-nama yang ada di kelas.
“Hadir, Pak.” Ucap Reina sambil mengangkat
tangan.
“Tirsa Tangipu?” Panggil Pak Wawan kemudian,
masih mengabsen.
“Saya tidak menyalin jawabannya Rein kok, Pak!”
Tirsa yang tak lain adalah Titan, yang sibuk menyalin PR
Matematika milik Reina, terkejut saat namanya dipanggil
oleh Pak Wawan. Kelas yang hening, seketika ribut
karena tertawa melihat ekspresi dan tingkah Titan, yang
langsung berdiri dari tempat duduknya.
“Ooh…. Kamu tidak mengerjakan PR lagi, ya?” Kata
Pak Wawan yang ikut terkejut melihat tingkah Titan.
“Hehehe. Satu nomor aja kok, Pak.” Ucap Titan ke
Pak Wawan, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal
“Hmmm….” Pak Wawan hanya bisa menggelengkan
kepala.
Euforia Senja
47
“Kenapa nggak bilang, sih, kalo Pak Wawan itu cuma
ngabsen doang?” Ucap Titan sambil mendorong pundak
Reina ke depan dengan pelan karena kesal.
“Hahahaha! Kamu, sih, terlalu serius nyalin
jawabannya. Aku pikir kamu tahu kalau Pak Wawan
sementara ngabsen!” Reina memegang perutnya yang
sakit karena tertawa.
“Udah aah… nggak usah ketawa!”
“Oke, maaf-maaf.” Reina berusaha menahan tawanya.
“Baiklah anak-anak…” Belum selesai Pak Wawan
berbicara, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu.
“Assalamu’alaikum. Ini buku yang tadi Bapak suruh
ambilkan?” Seorang cowok bertubuh tinggi berdiri tegap
di depan pintu kelas XI IPA 1. “Wa’alaikumussalam. Oh
iya, taruh saja di meja Bapak. Terima kasih ya, Nak.”
”Iya, sama-sama. Saya permisi dulu, Pak.” ucap pria
itu setelah meletakkan buku di atas meja guru,
bersalaman dengan Pak Wawan dan berlalu pergi keluar
kelas.
“Rein! Kamu liat cowok yang tadi nggak? Udah
ganteng, tinggi, punya kumis tipis, lesung pipit, hidung
tinggi lagi.” Titan berceloteh sambil menempelkan
telapak tangannya ke dagu dengan nada suara berbisik.
“Entahlah.” Reina cuek, tidak memedulikan apa yang
dikatakan oleh Titan.
“Halaaah. Bilang aja kalo suka, kali!”
“Suka, suka.... Kenal aja enggak!”
“Astaga, masa iya, sih, nggak kenal? Dia itu kakak
kelas kita, namanya Muhammad Risky Hussain, kelas XII
Euforia Senja
48
IPA 2. Dia itu pintar, katanya sih orangnya pendiam,
sikapnya dingin lagi, tapi yang aku lihat dia itu banyak
teman, murah senyum, pokoknya nggak keliatan kayak
orang pendiamlah.” Titan masih berbisik, takut ditegur
karena bicara pada saat Pak Wawan menjelaskan materi.
“Ssstt… diam aja kenapa, sih. Entar dimarahin lagi
sama Pak Wawan, baru tahu rasa!” Reina berkata dengan
suara yang ditekan, dia merasa terganggu saat ia
berusaha konsentrasi dengan pelajaran.
Muhammad Risky Hussain. Ya, Reina memang tidak
mengenalnya sejak kelas satu SMA. Yang dikatakan oleh
Titan benar, ia adalah seorang cowok yang bertubuh
tinggi, mempunyai kumis tipis, lesung pipit, pintar,
hidung yang tinggi, dan yah, Reina harus mengakui jika
Risky itu tampan. Bukan karena ia tertarik atau suka.
Karena Rein bukan tipe cewek yang mudah jatuh cinta
dengan penampilan fisik.
***
“Rein, Agus, ke kantin, yuk,” ajak Titan setelah
mendengar bunyi bel istirahat. Mereka bertiga pun keluar
kelas dan langsung menuju kantin yang berada di lantai
bawah, tidak jauh dari lapangan basket.
”Kalian berdua duluan saja, ya, aku mau ke
perpustakaan sebentar.” ucap Reina setelah mereka
selesai makan dan membayar makanan.
“Jangan lama-lama, tinggal lima menit lagi bel
masuk, loh.” Ucap Agus dan langsung bergegas masuk ke
kelas bersama Titan.
Euforia Senja
49
Tiba di perpustakaan, Reina langsung memasukkan
beberapa digit di layar komputer atau password dirinya
sebagai siswa. Saat itulah, ia melihat Risky masih duduk
tenang di salah satu kursi yang ada di dalam perpustakan.
Reina tidak memedulikannya dan bergegas mengambil
dua buku fiksi untuk ia baca saat jam literasi nanti. Saat
memberikan dua buku fiksi tersebut kepada guru penjaga
perpustakaan, Risky juga langsung memberi bukunya
untuk diberi tanggal pengembalian buku. Tanpa melihat
ke arah Risky, ia langsung bergegas masuk kelas.
Bruuk…. Tanpa sengaja ia menabrak Aldi yang tiba-tiba
muncul di belokan perpustakaan.
“Aduh…. Maaf, Kak, nggak sengaja,” ucap Reina
merasa bersalah dan malu karena sudah menabrak Kak
Aldi.
“Aduuuh…. Tadi Risky, sekarang Reina. Kalian
sengaja, ya, bikin badan Kak Aldi sakit semua,” seru Aldi
sambil memegang kakinya karena tidak sengaja diinjak
Reina tadi.
“Hehehe… Maaf Kak, Rein nggak sengaja.”
“Okelah, nggak pa-pa. Oh iya, dari mana? Ada sesuatu
yang pengen Kak Aldi bilang ke kamu.”
”Dari perpus. Oh iya, sesuatu apa, kak?”
“Risky itu suka sama kamu, loh!” Ucap Kak Aldi
mengangkat alisnya yang tebal itu dengan suara yang
sedikit dipelankan.
“Oh…” Ucap Reina mencoba tidak peduli padahal
tiba-tiba hatinya berdebar-debar. Ia juga heran kenapa ia
senang mendengar hal itu.
Euforia Senja
50
“Cuma oh?”
“Kak, duluan, ya. Udah masuk soalnya.” Ucap Reina.
“Maaf soal yang tadi!” Ia berlari mundur meninggalkan
Kak Aldi yang sedikit berteriak, karena bel masuk sudah
berbunyi.
“Eh…. Iya, hati-hati itu kamu bisa jatuh kalau larinya
kayak gitu.”
***
Reina sengaja meninggalkan Aldi, bukan karena
malu dengan apa yang Aldi bilang saat itu, tapi ia
berusaha tidak peduli, apalagi bel masuk sudah berbunyi.
Dia heran, alasan apa yang membuat Risky
menyukainya? Pertama kali mengenal Risky saja pada
saat dia mengantarkan buku di kelas Reina dua hari yang
lalu. Entahlah! Bodo amat. Lagian juga, mungkin yang
dikatakan oleh Kak Aldi tidak benar, mustahil jika Kak Risky
menyukaiku. Aku saja baru mengenalnya.
Semenjak Aldi mengatakan hal itu, sikap Risky
terhadap Reina agak aneh. Sejak kemarin ia merasa Risky
sering mengikutinya. Saat Reina mondar-mandir dari
kelas ke kantin pun, ia melihat Risky. Yang pasti, sejak
saat itu, yang tadinya masa bodo, Reina kini penasaran.
Apakah yang dikatakan oleh Aldi itu benar?
***
Minggu lalu Reina merasa risi dengan keanehan
sikap Risky yang tiba-tiba sering mengikutinya. Tapi
lama kelamaan, sudah mulai terbiasa. Awalnya ia tidak
peduli dan tidak mau tahu semua tentang cowok itu. Tapi
entah kenapa, rasa risi itu berganti dengan rasa
Euforia Senja
51
penasaran. Mulai merasa nyaman dengan kehadiran
Risky di sekitarnya. Hingga sampai di titik mereka
menjadi sangat dekat. Reina sudah mulai menyukainya.
Kini Reina sangat terbuka kepada Risky, begitu pula
sebaliknya. Mereka sering melakukan hal-hal konyol,
kadang istirahat pun mereka menghabiskan waktu hanya
untuk mengobrol di bawah pohon di depan perpustakaan.
Mereka sering chatting sampai tengah malam. Tanpa
sadar, Reina kini sudah jarang menghabiskan waktu
bersama Titan dan Agus. Begitu pula dengan Risky, ia
sudah jarang ngumpul bareng Aldi dan kawan-kawannya.
Agus pernah menegur Reina agar tidak terlalu dekat
dengan Risky, apalagi sampai menyukainya. Memang
kenapa jika aku menyukainya?
Seharusnya Reina mendengar kata-kata sahabatnya
untuk tidak menyukai cowok itu. Akhir-akhir ini sikap
Risky berubah dan menjauhinya begitu saja. Ketika ia
menghampiri Risky, cowok itu malah mengacuhkannya
dan langsung pergi meninggalkan Reina.
“Gus... akhir-akhir ini Kak Risky kayak menjauh gitu,
deh. Nggak kayak biasanya.” Reina akhirnya curhat ke
Agus. “Memang begitu kok orangnya, kamu aja yang
terbawa perasaan!” ucap Agus tanpa menoleh ke arah
Reina.
“Tapi, kan…” belum selesai Rein bicara, Agus
langsung pergi keluar kelas. “Kenapa, sih, kalian kayak
gini? Kalian marah? Tan…?” ucap Rein sambil
memegang tangan Titan di atas meja, meminta
penjelasan kenapa mereka juga ikut berubah.
Euforia Senja
52
Titan hanya melirik ke arah Reina. Titan tidak tahu
harus berbuat apa. Ia kecewa karena sikap Reina yang
sudah jarang mempunyai waktu bersama mereka, tapi
kasihan melihat Reina sekarang sudah dijauhi Agus dan
Risky. Tidak mungkin jika ia juga harus menjauhinya.
“Oke... gini Rein.” Ucap Titan sambil mengatur posisi
duduknya hingga bisa berhadapan dengan Reina “Kamu
tahu kenapa Agus kayak gitu? Dia itu sebenarnya suka
sama kamu, Rein! Ingat nggak waktu dia nasihatin kamu
supaya tidak terlalu dekat dengan Kak Risky? Waktu itu
dia tidak main-main, dia benar-benar tidak suka dengan
Kak Risky! Selain karena dia cemburu, dia curiga Kak
Risky itu cuma mau manfaatin kamu! Yang suruh Kak
Risky menjauh dari kamu juga, Agus.”
“Haah? Agus? Suka? Apaan, sih, jangan ngaco! Dia
nggak punya hak, loh, buat ngejauhin aku sama Kak Risky!
Agus sudah kuanggap sebagai sahabat, apa karena aku
sudah anggap dia sahabat jadi bisa mengusir siapa saja
yang menghampiri kehidupanku? Jangan bersikap bodoh,
Agus!” ucap Reina sedikit berteriak karena jengkel apa
yang dikatakan oleh Titan.
“Jangan pernah bilang Agus bodoh! Yang bodoh itu
kamu! Kamu tahu apa alasan Agus ngelakuin itu? Dan
kamu tahu kenapa Kak Risky tiba-tiba deketin kamu?”
“Yaaa... karena, Kak Risky itu... kan…” jawab Reina
ragu. Ia masih belum mengerti apa yang sebenarnya
terjadi.
“Kak Risky mengira kamu adalah adiknya yang
bernama Ica, yang kebetulan seumuran dan mirip sama
Euforia Senja
53
kamu. Kak Risky juga sering memanggilnya Rein, karena
Ica sangat menyukai momen di saat hujan turun. Tapi,
Kak Risky harus berpisah dengannya, karena Ica dibawa
pergi oleh ayahnya ke Bandung, sedangkan Kak Risky
harus tetap tinggal bersama ibunya di Gorontalo. Orang
tua mereka berpisah, Rein. Nah, melihat kamu di kelas
saat dia mengantarkan buku waktu itu, dia pikir kamu
adalah Ica yang sudah kembali ke Gorontalo dan sengaja
mengganti nama supaya tidak ketahuan oleh Kak Risky.”
“Jangan asal bicara, Titan! Sejak kapan kamu tahu
kehidupannya Kak Risky?”
“Agus yang cerita. Agus juga berusaha meyakinkan
Kak Risky bahwa kamu benar-benar bukan Ica.”
“Tapi Agus tahu dari mana semua itu?”
“Sebenarnya, Kak Risky itu adalah kakak tirinya
Agus. Agus memang tidak pernah cerita soal ayahnya
yang menikah lagi. Apalagi sejak dia tahu, Kak Riskylah
yang menjadi kakak tirinya dan kamu sangat mirip
dengan adiknya, Ica. Selama ini Agus sayang padamu
Rein.”
Rein hanya diam dan tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Rein sudah terlanjur mencintai Kak Risky.
Ia tidak menyangka kalau Kak Risky hanya
menganggapnya sebagai Ica, bukan Reina!
“Tan... Sakit! Sakit!” ucap Reina yang tiba-tiba
menangis dan memeluk Titan. “Kenapa nggak bilang dari
awal, sih, kalau Kak Risky itu hanya mengira aku sebagai
Ica!”
Euforia Senja
54
“Maaf Rein. Agus sudah pernah mengingatkanmu.
Seharusnya aku yang turun tangan untuk menjauhkanmu
dari Kak Risky, tapi waktu itu aku tidak mempunyai
alasan yang kuat.”
***
Dua bulan kemudian.
Agus, Titan, Risky dan Aldi tertawa terbahak-bahak
di bawah pohon di depan perpustakaan, mengingat
kejadian dua bulan yang lalu saat Reina menangis di
pelukan Titan. Reina hanya diam, sedikit malu jika
mengingat kembali kejadian itu. Tapi ia juga merasa
sangat marah karena dibohongi oleh mereka berempat.
“Hahahaha! Sumpah. Aku nggak nyangka kalau Rein
percaya gitu aja! Apalagi terjebak perangkap yang sama
sekali tidak kupikirkan.” ucap Aldi yang memegang
perutnya karena sakit terlalu banyak tertawa, hingga
memukul-mukul pahanya sendiri.
“Iya-iya bener! Apalagi pas Rein nangis di dalam
kelas. Sumpah, aku nahan ketawa, loh, saat itu.
Huhuhuhu... Tan, sakit…. Hahaha!” Ucap Titan, sambil
mempraktikkan Rein menangis pada saat itu.
“Hahaha! Kamu aja nggak tahan, apalagi aku! Liat aja
waktu itu aku langsung keluar kelas tanpa menoleh dan
tidak mau mendengar apa yang akan dikatakannya lagi.”
“Iih, udah aah… nggak usah dibahas lagi! Itu juga
kan kalian kerja sama, sedangkan aku cuma sendirian
nggak tahu apa-apa!” ucap Reina sedikit jengkel dan malu
karena mereka tidak mau berhenti membicarakan
kejadian tersebut.
Euforia Senja
55
“Eh. Udah-udah.” Ucap Kak Risky yang sudah
berhenti tertawa sejak tadi. “Kasihan tahu, Reinnya.”
“Cie-cie… belain nih. Hahaha!” ejek Titan.
“Kayaknya, ada yang baper, nih,” lanjutnya lagi.
“Baper, baper. Kagaklah, orang Rein udah jadian sama
Aldi, ngapain aku cemburu. Lagian waktu itu, kan, aku
cuma disuruh sama anak satu ini!” ucap Risky sambil
menarik telinga Aldi.
“Aaah. Sakit, tahu! Rein tolongin aku, nih, abangmu
galak!” ucap Aldi mengadu ke Rein.
“Abang, abang! Abang tukang bakso kali yaa…
Hahaha!” ucap Rein.
“Hahahahaha!” semua pun ikut tertawa.
Seandainya kamu tahu. Yang selama ini aku lakuin, tuh
bukan karena disuruh Aldi, aku memang benar-benar sudah
mencintaimu sejak lama. Ya! Semenjak aku tahu namamu,
Puri Reina Pakaya. Selain Aldi, mungkin akan ada yang
memperhatikanmu. Walau hanya dalam diam. Risky hanya
tersenyum dengan hatinya yang sakit melihat Rein telah
bahagia bersama Aldi.
Euforia Senja
56
Euforia Senja
57
TETESAN HUJAN
Sutantri Malango
Malam itu, hujan yang begitu deras melanda Kota
Gorontalo. Seorang gadis tengah termenung di tepi sisi
tempat tidurnya dengan posisi kaki menekuk dan tubuh
yang gemetar. Ia menangis, menangis tiada hentinya.
Membayangkan tragedi yang menimpanya dua minggu
yang lalu, saat-saat terakhir ia melihat dengan matanya
saat kedua orang tuanya terkapar kaku tak bernyawa di
bawah guyuran hujan. Ia menyalahkan semua yang
terjadi, termasuk hujan yang turun saat itu. Jika saja saat
itu hujan tidak turun, mungkin saat ini orang tuanya
masih bersamanya.
“Rini, buka pintunya, Nak, kamu tidak bisa begini
terus.” Lirih seorang wanita paruh baya sambil terus
mengetuk pintu kamar keponakannya. Wanita ini juga
sangat terpukul dengan peristiwa yang menimpa
keponakannya itu. Kepergian adik dan adik iparnya itu
begitu cepat, meninggalkan trauma yang mendalam
kepada anak mereka. Mendengar suara sang bibi, Rini
bergegas menghampiri bibinya.
“Bibi… tolong Rini, Bi, Rini takut.” Rini terisak
sambil memeluk erat bibinya. “Kenapa hujan selalu turun,
Bi? Rini benci hujan!” Mendengar bentakan
keponakannya itu, bibi Rini kian memeluk erat tubuh Rini
seraya berkata, “Kamu tidak boleh bicara seperti itu, Nak,
hujan itu rahmat Tuhan. Kalau tidak ada hujan, makhluk
di muka bumi ini tidak bisa hidup.”
Euforia Senja
58
“Bohong! Itu semua bohong. Buktinya hujan
membawa pergi ti mama dan ti papa. Hujan itu pembawa
sial, Rini benci hujan!” Teriak Rini histeris sambil
berlinang air mata. Bibinya hanya bisa ikut menangis
dalam diam melihat keadaan gadis bermata indah itu.
Telah lama berselang setelah kepergian orang
tuanya. Rini sampai harus ditangani oleh seorang dokter
yang sabar, yang tiap dua kali seminggu datang
memeriksa keadaannya. Dalam kunjungannya itu, Rini
harus disuntik obat penenang karena kondisinya sangat
memprihatinkan.
Baru satu bulan, Rini dinyatakan pulih. Namun,
kepribadian Rini seolah-olah hilang di bawah hujan saat
itu, saat ia menemukan kedua orang tuanya. Sebelum
tragedi itu, Rini dikenal sebagai anak yang sangat ceria,
pintar. Anak yang baru duduk di sekolah menengah
pertama itu sering menyebar tawa.
“Mas, aku harus bagaimana? Keadaan Rini semakin
memburuk.” Isak Bibi Rini dibalik telepon genggam.
“Kamu tenang, ya. Mas akan coba menghubungi
psikiater teman Mas agar mau membantu kita,” balas
suara dari seberang sana.
“Semoga saja, Mas, kasihan Rini. Dia sangat
tersiksa. Mohon lakukan yang terbaik!” Ucap bibinya.
* * *
“Tidak!”
Ia mendapati Rini sedang terengah-engah dan
tampak susah bernapas. “Kamu mimpi buruk lagi, Nak?”
Rini hanya memeluknya erat.
Euforia Senja
59
Tuhan, angkatlah penderitaan anak malang ini.
Hari telah berganti, tetapi tidak ada tanda-tanda
yang menandakan perubahan terhadap diri Rini.
Pamannya telah berusaha mengundang psikiater dari luar
negeri tetap saja hasilnya nihil. Minggu pagi ini paman
dan bibi Rini memutuskan mengajak Rini ke rumah Oma
(ibu dari bibi dan ibunya) yang berada di Desa Kabila.
Sudah lama mereka tidak berkunjung ke sana. Dalam
perjalanan, Rini hanya diam sambil menatap ke arah luar
kaca jendela. Begitu indah pemandangan sawah yang
berwarna kuning menandakan padi siap untuk panen.
Tanpa terasa, air mata Rini kembali menetes
membayangkan dulu setiap libur sekolah ia pergi ke
rumah neneknya bersama ayah dan ibunya. Kini semua itu
tinggallah kenangan. Sesampainya di rumah oma, Rini
langsung melangkah dengan dingin dan tatapan yang
datar. Kakek dan neneknya hanya ikut menatap Rini
dengan tatapan sedih, memaklumi semua perilaku cucu
yang paling mereka sayangi itu.
Malam pun menjelang, kakeknya hanya menatap
Rini dengan sedih, melihat anak itu hanya duduk berdiam
diri di teras rumah dengan air mata berlinang di pipi.
Terbesit ide kecil di pikiran kakeknya untuk mengajak
Rini melihat pasar malam di desa seberang, di desa
Suwawa. Desa itu berjarak tak terlalu jauh dari rumah
mereka.
“Rini, ayo ikut kakek. Kita pergi ke desa seberang
untuk melihat pasar malam.” Ajak kakeknya dengan
lembut. Rini hanya bisa menghela napasnya, menyadari
Euforia Senja
60
maksud baik kakeknya di balik suara lembutnya itu. Rini
pun luluh. Meski ia tak punya keinginan sama sekali
untuk pergi. Ia sangat lelah, lelah untuk hidup. Seakan
semuanya telah hilang dalam dirinya. Hanya saja ia tidak
mau mengecewakan kakeknya.
Dalam perjalanan menuju pasar malam itu, Rini dan
kakeknya menaiki sepeda, ditemani lentera kecil yang
mereka gunakan untuk menerangi jalan.
“Cuacanya sangat indah, Rini, coba kamu lihat begitu
banyak bintang malam ini,” ucap kakeknya berusaha
untuk membuka percakapan. Laki-laki tua itu sangat
sedih melihat cucunya yang muram.
“Hmmm,” balas Rini yang berada di belakang sang
kakek tanpa niat sedikitpun untuk menatap langit.
Tiba-tiba ban sepeda yang mereka kendarai bocor.
Memaksa mereka berhenti.
“Kenapa harus bocor? Perjalanan sudah setengah,
apa yang harus kita lakukan?” Helaan napas berat
kakeknya terdengar saat mata tuanya itu tertuju pada
bagian belakang ban sepeda.
“Lebih baik kita pulang, Kek.”
“Rini, ini bisa diperbaiki, Nak, tinggal sedikit lagi kita
sampai. Kamu istirahat saja dulu di pondok itu. Bawa
lentera ini.” Kakeknya menunjuk ke arah pondok kecil
yang terletak di tengah sawah, yang biasa digunakan para
petani di desanya untuk beristirahat.
Hanya anggukan kecil yang dilakukan Rini untuk
mengiyakan permintaan kakeknya. Dengan langkah
gontai, Rini berjalan melewati sawah dengan membawa
Euforia Senja
61
lentera kecil untuk segera duduk di pondok kecil itu. Dari
pondok itu, Rini bisa melihat kakeknya serius
memperbaiki ban yang bocor. Namun, tiba-tiba saja
terdapat kecoak kecil berjalan melintas di kaki Rini, yang
sontak membuat lentera di tangannya terlepas. Lentera
itu pun pecah dan mengakibatkan percikan api. Dalam
waktu sekejap, percikan api itu membesar dan langsung
merambat ke seluruh persawahan sehabis panen yang
memang sangat kering. Api kian membesar dan
menyebar ke seluruh persawahan dan membuat Rini
terjebak di dalamnya. Ia tidak bisa keluar. Sang kakek
yang menyaksikan hal itu berteriak sekuat tenaga
memanggil bantuan. Ia tidak bisa menyelamatkan Rini
seorang diri. Sayangnya, saat itu tidak ada penduduk desa
di sekitar, hanya ada banyak persawahan yang membuat
kakeknya kewalahan mencari bantuan. Mungkin orang-
orang juga pergi ke pasar malam. Rini terus menangis,
meminta tolong, ia tidak bisa melihat apapun karena api
yang begitu besar. Sekelilingnya begitu panas. Ia bahkan
bisa merasakan api di sekujur tubuhnya. Akibatnya, Rini
jatuh tak sadarkan diri.
Rini terbangun dan menemukan dirinya di ruangan
serba putih dan bermandi cahaya. Dengan sekuat tenaga,
Rini berusaha menerobos cahaya itu. Dari balik cahaya, ia
melihat dua sosok manusia yang begitu familier baginya.
Rini mengucek matanya sambil terus berjalan mendekati
sosok itu. Betapa terkejutnya ia saat menyadari bahwa
kedua sosok itu adalah sosok yang sangat ia rindukan,
Euforia Senja
62
sosok yang begitu ia sayangi dan cintai. Kedua sosok itu
tersenyum menatapnya.
“Papa! Mama! Rini sangat merindukan kalian,
tolong jangan tinggalkan Rini sendiri lagi.”
“Sayang, mama dan papa selalu berada di sisimu.
Kami tidak pernah pergi, Nak.” Ibunya tersenyum penuh
kasih.
“Iya sayang. Mama dan papa selalu bersamamu.
Berhenti menyalahkan sekitarmu, Nak. Kepergian kami
itu sudah takdir. Kamu harus melanjutkan hidup. Ada
banyak orang yang sangat menyayangimu,” tambah sang
ayah.
“Seandainya saja saat itu hujan tidak turun, mobil
yang kita kendarai tidak akan tergelincir,” isak Rini.
“Sshhhhh. Sayang, hujan tidak pernah bersalah atas
kepergian kami. Papamu yang memang sengaja
membanting setir untuk menghindari ranting pohon
yang nyaris mengenaimu di jok mobil bagian belakang.
Kamu memang tidak tahu karena saat itu kamu sedang
tidur lelap.
Rini ingin bersuara tapi dadanya sesak.
“Saat ban mobil ayah tergelincir, kita terhempas
keluar mobil. Setelah kita terhempas, barulah hujan turun
sangat lebat, membuat kamu terbangun dan langsung
menyaksikan kami terkapar kaku tak bernyawa,” tambah
ibunya lagi.
“Maafkan papa, Nak. Papa melakukan itu demi
keselamatanmu. Kami sangat menyayangimu, jangan
Euforia Senja
63
hidup dengan terus menyalahkan sekitarmu, kami selalu
bersama di dalam hatimu.” Ayahnya kembali bicara.
“Rini ingin ikut kalian, jangan tinggalkan Rini, Rini
hanya ingin kalian!” Teriak Rini.
“Kamu tidak boleh bicara begitu, Nak. Dunia kita
telah berbeda. Kamu harus menjalankan hidupmu dengan
baik, jangan buat kami kecewa. Kamu harus bahagia dan
membanggakan kami. Paman, bibi, kakek, nenekmu,
mereka selalu bersamamu,” ucap ibunya seraya pergi
menjauh dari dekapan Rini dan hilang begitu saja dari
penglihatnnya, diikuti sang ayah.
“Mama, papa? Jangan pergi!” Bersamaan dengan
teriakan itu, Rini tersadar dari mimpinya. Ia barusan
merasakan ada tetesan air yang mengenai wajahnya. Saat
tersadar Rini melihat api yang sudah padam. Hanya
tersisa kepulan asap kecil.
“Apakah tadi turun hujan? Padahal cuaca tadi begitu
cerah tanpa mendung sedikitpun.” Rini berbicara pada
dirinya sendiri.
“Rini? Kamu di mana?” Terdengar teriakan paman
dan kakeknnya dari jauh.
“Rini di sini!” Balas Rini dengan teriakan.
“Astaga Rini, kamu tidak apa-apa? Kami sangat
mengkhawatirkanmu.” Paman langsung memeluknya.
“Rini tidak apa-apa, hmmm, apakah tadi turun
hujan?” tanya Rini pada pamannya, kakek, dan beberapa
orang yang berada di situ.
Euforia Senja
64
“Iya, sayang, tadi saat kakek pergi mencari bantuan,
hujan turun begitu deras. Entah kenapa itu bisa terjadi,
padahal cuaca tadi begitu cerah.” Jawab kakek.
“Oh, mungkinkah hujan yang sudah menyelamatkan
nyawamu?” ucap sang paman dengan senyuman. Seolah
tersadar, Rini terbayang akan mimpinya tadi saat
bertemu papa dan mamanya, juga perkataan mereka yang
membuat ia sadar, bahwa benar apa yang dikatakan
bibinya beberapa waktu lalu. Hujan adalah karunia Tuhan
yang begitu berharga.
Semenjak kejadian itu, Rini kembali bangkit seperti
semula dengan ceria, bahagia, dan selalu menyebar tawa.
Rini telah menjalankan hidupnya secara normal walau
tanpa mama dan papanya. Ia telah berjanji untuk
membanggakan semua orang yang menyayanginya dan
satu lagi, ia telah memutuskan bahwa hujan adalah yang
sangat ia tunggu-tunggu kehadirannya. Dari hujan dia
bisa belajar bahwa hujan selalu siap datang kapan saja
sekalipun kehadirannya tidak pernah diinginkan. Dan ia
mulai menghargai setiap tetesan dari hujan, sama dengan
caranya menghargai seluruh kehidupan seluruh makhluk
di muka bumi ini.
Euforia Senja
65
DI BALIK TUMBILOTOHE
Sri Ama Gumohung
"Aku cinta sama kamu, Anisa"
"Kamu mabuk lagi?"
"Tidak, aku serius."
***
Langit senja binasa dihalau malam berbintang.
Gemerlap cahaya jingga kian tampak di mana-mana.
Kepulan asap menanjak ke angkasa, sebelum akhirnya
lenyap bersama angin. Tidak ada rumah yang
terlewatkan, masing-masing berhiaskan lampu minyak
tradisional yang mampu menyelimuti seantero kota. Pun
kerlap-kerlipnya mengisi kehampaan di setiap jalanan.
Sesekali bunyi meriam bambu beradu menciptakan
keramaian. Tradisi tumbilotohe23, begitu orang-orang
Gorontalo menyebutnya. Tradisi khusus untuk
menyambut Idul Fitri yang dilakukan selama tiga malam
terakhir berturut-turut sebelum malam takbir.
Selepas buka puasa, Anisa membaringkan tubuh di
kasur. Sorot matanya bertumpu pada langit-langit kamar.
Otaknya dipenuhi rekaan kejadian beberapa tahun silam.
Jauh sebelum sepeninggal ayahnya, saat-saat seperti ini
akan menjadi hari paling bahagia. Salat berjamaah, buka
puasa bersama, jalan-jalan, ah, betapa Anisa merindukan
itu semua. Sekarang, bahkan penghuni rumah tinggal ibu
dan dirinya. Kakaknya yang paling tua telah menikah dan
23 Tradisi malam pasang lampu botol di Gorontalo pada tiga malam terakhir sebelum hari raya Idul Fitri
Euforia Senja
66
tinggal di luar daerah. Sedang kakak yang kedua bekerja
di negeri orang. Hambar, malam yang harusnya istimewa
menjadi tidak berarti sama sekali.
Anisa hanyut dalam masa lalu. Terlalu manis untuk
tidak dikenang. Sudah malam kedua tumbilotohe. Ia rindu
menggantung lampu botol di depan rumah dan bermain
kembang api. Bercanda di depan tv sambil menunggu
salat tarawih lalu berangkat menuju masjid bersama.
Ayah yang selalu tersenyum mendengar Anisa
menceritakan kegiatannya seharian penuh. Kakak yang
terus menerus curhat karena tidak sanggup menahan
lapar dan dahaga ketika siang. Kadang Anisa tidak segan-
segan melontarkan kalimat, ”Bo payah ti kaka ini24, Nisa
saja tahan,” disusul gelak tawa sarkastis. Kemudian
ibunya berperan sebagai pelerai pertengkaran kecil dan
saling mengejek di antara mereka yang terjadi setelah
itu. Amat sangat indah, namun segalanya sirna ditelan
waktu.
Anisa memejamkan mata erat-erat. Bersedih dalam
waktu lama tidak akan mengembalikan apa yang telah
lewat. Gadis itu menggeliat dengan kepala yang masih
berbantalkan tangan. Telinganya menangkap
keheningan. Seketika kejadian konyol tadi malam
terngiang di kepala. ”Aku cinta sama kamu Anisa.” Aneh,
kata yang semestinya tidak diucapkan bagi sesama
perempuan, kecuali lesbi. Anisa bangkit dan menegakkan
duduknya. Matanya yang masih sayu terfokus pada
24 Kakak ini lemah
Euforia Senja
67
handphone yang menyala di atas meja belajar. Lima
panggilan tak terjawab datang dari sahabatnya, Fani.
Keningnya berkerut, tumben sekali. Berhubung tidak
punya pulsa, Anisa mengklik tombol panggil lalu segera
dimatikan. Menunggu panggilan balik, Anisa bermaksud
ke kamar mandi untuk mencuci muka. Belum sempat dia
berdiri, telepon masuk dari Fani begitu cepat.
“Halo?”
“Halo, Nisa? Habis tarawih jalan-jalan, yuk? Malam
pasang lampu bagini rame.”25
“Asalkan jemput!”
“Nde oke26!”
Bermodalkan sepeda motor, Anisa dan Fani melaju
membelah jalanan Limboto. Bambu-bambu tempat
menggantung lampu, yang dipatok dengan aneka bentuk
sepanjang jalan, sanggup membuat keduanya bak berada
di lorong cahaya. Embusan angin malam merasuk
menembus pori-pori kulit. Tibalah mereka di pelataran
menara Limboto. Tujuan awal Fani memang mengajak
Anisa ke tempat ini. Satu demi satu anak tangga mereka
pijaki, hingga akhirnya mencapai tumpuan terakhir. Dari
puncak menara, mereka bisa melihat seluruh kota
bermandikan cahaya yang berkedap-kedip. Terang-
benderang, kota itu bersinar terang. Sayang, jika suatu
waktu tradisi ini akan hilang dimakan masa. Mengingat
zaman yang semakin modern. Anisa terdiam
mengkhawatirkan masa itu tak lama lagi datang.
25 Malam pasang lampu seperti ini pasti ramai 26 Baiklah
Euforia Senja
68
“Nisa, kamu tahu LGBT, kan?” Tak ada angin, tak
ada hujan, Fani tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang
sukses membuat Anisa terkejut.
“Apa tadi kamu bilang? LGBT? Memangnya
kenapa?” Pandangannya ia alihkan pada Fani. Matanya
menatap mantap, membutuhkan segera jawaban maksud
dari pertanyaan itu.
“Kalau aku sukanya sama perempuan?”
Kali ini, Anisa tertegun. Tak satu pun kata keluar
dari mulutnya. Perempuan itu kaget bukan kepalang. Jika
itu lelucon, pasti itu adalah lelucon yang paling tidak lucu.
Bagaimana mungkin jeruk makan jeruk? Otaknya makin
tidak keruan. Sejenak ia berpikir, saat ini LGBT memang
sedang menyebar di kalangan remaja. Perkara gila
menurutnya.
“Hahaha! Bercanda, Sa,” tawa Fani pecah, gadis itu
menggandeng bahu Anisa. ”Pulang Yuk?”
Anisa mengernyit bingung, ia terlanjur serius
menanggapi. Sebab, sahabatnya itu akhir-akhir ini
bertingkah aneh. Fani sering membicarakan seputar artis
tomboi luar negeri. Waktu itu mereka menonton film
yang kurang lebih bercerita hubungan sesama jenis.
Anisa tidak mengerti antusiasme Fani yang begitu tinggi.
Sempat mengada-ada, Anisa mengira Fani sudah tidak
normal. Dan detik ini, kalimat yang dilontarkan Fani
seolah mengindikasikan bahwa sangkaan Anisa benar
adanya. Ia menilik lekat-lekat wajah sahabatnya. Semoga
tidak, semoga tidak, ya Tuhan. Toh, katanya juga cuma
Euforia Senja
69
bercanda. Pinta Anisa dalam hati. Lantas mereka
meninggalkan tempat itu.
Tidak terhitung lagi berapa kali Anisa meliuk-liuk di
tempat tidur. Gelisah. Entah mengapa, kejadian tadi
terasa begitu mengusik. Padahal jelas-jelas Fani cuma
bercanda, tidak lebih. Ada hal lain yang mengganggu
pikirannya. Mendengar perkataan Fani, ia teringat
sesuatu. Sahabatnya, Eca yang tepat betul serupa laki-
laki. Anisa pernah menjumpai Eca sedang merokok.
Mabuk juga pernah.
”Kalau kamu masih suka kita berteman, jangan
lakukan ini lagi!” Kala itu Anisa marah dan membentak
Eca mati-matian. Pelan-pelan Eca menyingkirkan
kebiasaan buruknya. Tapi gaya tomboi sulit dihilangkan.
Anisa sebenarnya nyaman berteman dengan Eca, mereka
sering berduaan dan beredarlah rumor di sekolah kalau
mereka lesbian. Anisa tidak menghiraukan awalnya. Kan
tomboi belum tentu lesbi. Teori tersebut hancur tatkala
Eca yang notabene perempuan, mengutarakan langsung
perasaan cintanya pada malam pertama Tumbilotohe.
“Nisa, bangun sahur!” Wanita paruh baya menepuk-
nepuk pundak Anisa lembut, berharap anak itu segera
bangun.
Anisa bergumam pelan, memberi tanda bahwa ia
sudah bangun. Menggaruk-garuk leher, tapi mata
tertutup rapat enggan dibuka. Ibunya tahu, pasti belum
sadar sepenuhnya. Terbukti, Anisa membalikkan badan
dan kembali memeluk bantal guling.
“Nisaaa, Nisaaa bangun!”
Euforia Senja
70
Anisa bergumam, lagi. Dia mengerjap dan mendapati
jam dinding menunjukkan pukul empat lewat. Imsak!
Serunya dalam hati. Matanya membulat lekas, buru-buru
ia melonjak dari tempat tidur.
”Mama kelamaan, sih, banguninnya,” komentarnya
sembari merapikan rambut yang acak-acakkan. ”Menuju
mi goreng dan melampauinya!” Lanjut Anisa ala pemeran
film kartun Toy Story yang sering ia tonton sewaktu kecil.
”Lama apanya, kamunya saja yang susah bangun.”
Ibunya mengernyit heran.
Di hadapan meja makan, Anisa menyantap lahap mi
goreng. Sementara ibunya mengamati dengan raut muka
sendu.
”Kamu tidak bosan, No’u? Tiap hari cuma bisa sahur
mi goreng saja,” samar-samar terdengar nada penyesalan.
“Maaf, mama belum punya cukup uang buat beli makanan
enak untuk kamu.”
Anisa berhenti makan sejenak, lalu meminum
seteguk air putih. ”Tidak apa, Ma, lagian mi goreng selalu
bisa mengundang selera Nisa untuk sahur, aromanya itu,
loh!” ucap Anisa sambil tersenyum, berupaya
menenangkan hati ibunya.
Hari ini, Anisa memiliki jadwal kajian di sekolah.
Maklum, bulan puasa begini sekolahnya mengadakan
tablig akbar yang wajib diikuti siswa. Meski Anisa bukan
tipe muslimah yang taat-taat amat, tapi hatinya
terdorong ingin berubah sebagai remaja tobat. Tentu saja
ia tidak sendirian. Fani dan Eca diajaknya turut serta.
Sebetulnya ia tidak yakin seratus persen Eca mau diajak
Euforia Senja
71
pergi, tapi apa salahnya mencoba. Bagaimanapun, Anisa
ingin sahabatnya berubah. Ketika dihubungi tadi, Eca
mengindahkan permintaan Anisa.
“Dasar perempuan tidak berguna!”
Pekikkan keras seorang wanita, dapat didengar
hingga teras rumah. Kini Anisa dan Fani berada tepat di
depan pintu rumah Eca. Mereka berniat hendak
menjemput untuk berangkat berbareng ke sekolah.
Namun kelihatannya terjadi pertengkaran di dalam.
Anisa dan Fani saling bertatapan, masing-masing
mengangkat kening semacam mengisyaratkan “lalu?”
Setelah cukup lama menunggu, Fani memberanikan diri
mengucapkan salam dan mengetuk pintu serta
memanggil-manggil nama Eca. Berulang kali, hingga
akhirnya pintu terbuka. Cepat-cepat Eca keluar dan
membanting pintu.
“Ayo,” ajak Eca langsung menarik kedua tangan
temannya,” ini cara pakainya bagaimana?” Ia
menyodorkan jilbab segi empat hitam yang terpaut di
tangan, bisa jadi itu milik ibunya. Rambutnya digunting
sependek mungkin persis laki-laki. Gadis itu memakai
celana jeans hitam dan jaket bomber coklat. Sungguh
berbeda dengan Anisa dan Fani yang memilih
mengenakan gamis.
"Demi doraemon dan kawan-kawannya, musnahkan Eca
segera!"
Anisa melirik susah payah, ia canggung setengah
mati. Apalagi ketika Eca menatapnya intens. ”A..nu eh
itu," ia menggigit bibir bawahnya, ingin sekali membantu
Euforia Senja
72
Eca memakai jilbab tapi tertahan karena jantungnya
serasa mau copot saat itu juga. Mujur, Fani segera
mengambil jilbab itu dan membantu Eca
memasangkannya di kepala. Diam-diam Anisa mengucap
syukur dalam hati. Ia mendengus lega. Tanpa sadar, Eca
memperhatikan gerak-geriknya yang mendadak kikuk
itu.
Karena malam itu, ya? Pikir Eca.
Pacaran, tema kajian yang cukup bagus. Anisa
teringat pacarnya, Adrian. Mereka tengah menjalin
hubungan jarak jauh. Baru-baru ini ia diberi kabar,
pacarnya akan kembali ke Gorontalo besok. Ia senang,
tapi di sisi lain ia takut. Tersadar akan firman Allah Swt.
terkait larangan berpacaran. Tidak apa-apalah, kalau
dipikir-pikir pacaran mereka juga tidak berlebihan seperti
kata orang. Anisa bermonolog, melupakan fakta bahwa
pacaran adalah jalan mendekati zina.
Malam terakhir tumbilotohe, wajah Anisa berseri-seri.
Setelah sekian lama menahan rindu, ia akan berjumpa
dengan Adrian. Tak mau terlihat jelek, Anisa
mempercantik diri dengan berdandan. Kali ini,
penampilannya sedikit berbeda. Kalau dulu ia
membiarkan rambutnya terurai, sekarang ia menutupinya
dengan kerudung.
”Sempurna,” ucap Anisa di depan cermin seraya
tersenyum simpul.
Cukup lama menunggu, Adrian datang dengan
balutan jaket hoodie. Perlahan namun pasti, Adrian
melangkah mendekati Anisa. Mungkin efek karena lama
Euforia Senja
73
tak bertemu, jantung Anisa berdebar lebih cepat dari
biasanya. Sama halnya ketika pertama kali bertemu
Adrian dulu. Beberapa saat Adrian memperhatikan Anisa
dari ujung kepala sampai kaki. Tangannya dimasukkan
kedalam saku jaket.
“Aku mau kita putus, Sa.”
Ucapan Adrian membuat hati Anisa mencelus.
“Aku pikir…”
“Maaf Sa, aku bosan. Kita masih bisa temenan, kok.”
Malam ini, di bawah sinaran lampu tumbilotohe, Anisa
menundukkan kepala. Tumpah, air matanya tak kuasa ia
bendung. Anisa menarik napas dalam-dalam.
“Bosan kamu bilang?A ku menyesal pernah percaya
sama kamu.” Sekali lagi air matanya meluncur bebas.
Eca datang sekonyong-konyong, dengan celana yang
sobek di bagian lutut dan kaus putih polos serta sepatu
kets yang dipakai, ia duduk di samping Anisa dan
memeluknya. “Laki-laki tidak tahu diri. Pergi kamu!”
Tanpa rasa bersalah, Adrian berlalu pergi. Anisa
menangis tersedu-sedu dalam dekapan Eca. Jari-
jemarinya meremas kuat baju yang Eca pakai.
“Sudahlah, Sa, laki-laki seperti itu tidak pantas kamu
tangisi.”
“Tapi aku sayang, aku sayang sama dia.”
Eca termenung. Mungkin memikirkan kata ‘sayang’
yang barusan Anisa ucapkan. Ada rasa tak wajar yang
menggeluti diri Eca. Rasa itu seolah bereaksi membentuk
naluri ingin memiliki. ”Aku juga sayang sama kamu.”
Euforia Senja
74
Ingin sekali kalimat itu ia muntahkan di hadapan Anisa,
namun ia urungkan.
“Pipi kamu kenapa, Ca?” tangan Anisa menyentuh
bagian pipi Eca yang lebam.
“Aw! Sakit.” Eca menahan tangan Anisa, ”Ditampar
Papa,” ujarnya lirih.
“Kok, bisa?” Tampang Anisa serius, ia mengelap air
mata dan membetulkan posisi duduk.
“Entahlah,” dengan meraba pipinya yang sedikit
bengkak. ”Sudah sering kali malah.”
“Semua orang tua pasti sayang anaknya, Eca. Tidak
mungkin dia menampar kamu tanpa alasan.”
Eca terkekeh pelan. ”Kamu beruntung, Sa. Kamu
hanya belum merasakan bagaimana hidup tanpa kasih
sayang orangtua,” ia tersenyum hampa. ”Dari kecil, aku
tinggal dengan omaku. Papa dan mama menitipkanku
karena mereka sibuk dengan pekerjaannya. Di tempat
Oma, pergaulanku parah. Sampai suatu hari aku pindah
ke rumah orang tuaku.” Eca menoleh Anisa yang sedari
tadi mencermati. ”Mereka tidak bisa terima kondisiku
yang seperti ini,” Eca mendengus, ”tomboi” senyum kecut
mengakhiri kalimatnya.
“Kamu harus berubah Eca. Ingat masa depan kamu!”
Rasa iba menyergap hati Anisa. Roman mukanya beralih
sedih.
“Tega kamu, Sa!”
Teriakan Fani yang entah bagaimana bisa berada di
situ, sontak menjadikan Anisa dan Eca mengalihkan
pandangan.
Euforia Senja
75
“Dulu Adrian, sekarang Eca, siapa lagi?”
Dahi Anisa berkerut bingung, ia berdiri dan
menghampiri Fani.
“Dulu, aku relakan Adrian demi kamu Anisa!”
Fani semakin menjadi-jadi. Beruntung mereka
berada di tempat yang jauh dari keramaian.
“Maksud kamu apa, Fani?”
“Bodoh,” Fani berdecih, ”Dulu aku pernah cerita ke
kamu, Sa. Aku suka kakak kelas kita. Setiap hari aku ajak
kamu ke kantin lewat kelas XI IPS 1, kelas Adrian,
Anisa!”
“Kamu tidak pernah bilang nama Adrian, Fan. Mana
aku tahu.”
“Kamu memang tidak pernah peka, Anisa! Kamu
tidak melihat tatapan aku yang lain kalau berhadapan
dengan Adrian. Kamu tidak mau melihat tingkah aku
yang beda ketika berada dekat Adrian. Aku bahkan
menyimpan foto-fotonya. Dan kamu, sahabat aku, tidak
pernah sadar itu, Sa!”
Anisa diam membisu. Tolol, ia merutuk dirinya.
“Makanya, pas aku tahu kamu berpacaran dengan
Adrian, hati aku hancur Anisa. Dan yang ada saat itu
hanya Eca, Sa. Kamu ke mana?”
“Maaf Fani, aku….”
“Sekarang terserah kamu. Terserah kamu mau bilang
aku tidak waras lagi, terserah. Terus terang aku mulai
jatuh cinta sama Eca. Aku sayang dia, Anisa!”
“Astaghfirullahal’azim, istighfar Fani!” seru Anisa
lantang.
Euforia Senja
76
Seperti terkesima, Eca terpaku di sela-sela
percekcokan.
“Aku….”
“Cukup Fani!” potong Eca.” Kamu kira aku tenang
dengan kondisi menjijiKkan ini?” Erangnya. ”Rasa itu
refleks Fani. Tidak peduli seberapa kuat aku menahan,
hasrat itu datang dengan sendirinya, membuatku resah.
Aku mencintai Anisa. Selama ini aku mendekatimu tidak
lain karena kamu dekat dengan Anisa. Tapi aku sadar,
semua hanyalah semu. Sampai kapan pun aku tidak akan
pernah bisa memiliki Anisa. Aku sadar, aku perempuan.”
"Tapi," kalimat Fani tertahan, memang benar, ia
tidak sepatutnya bertingkah seperti itu.
"Aku tahu ini sulit, tapi aku mau berubah. Aku yakin,
orang tuaku pasti malu punya anak model sepertiku."
* * *
Anisa memperhatikan wanita muslimah dari balik
dinding kaca. Wanita itu, setelah meninggalkan surat
permintaan maafnya pada Anisa, ia menghilang. Ia tidak
pernah menyangka Fani telah menjadi seorang ustazah
yang kini tengah mengajar anak-anak mengaji. Belum
lama ini, Anisa juga menerima kiriman undangan
pernikahan, tertera nama Eca di sana. Walaupun mereka
belum bersua satu sama lain, setidaknya hati Anisa
tenang mengetahui kabar sahabat-sahabatnya. Ia
berharap bisa bertemu di pesta pernikahan Eca nanti.
Anisa beranjak, masuk ke dalam mobil dan meninggalkan
tempat itu.
Euforia Senja
77
Usai Eca mengutarakan keinginannya untuk
berubah, Fani berlari pergi tanpa kata-kata. Sejak insiden
itu, Anisa mulai menuntun Eca hari demi hari. Mereka
rutin mengikuti kajian dan belajar agama di masjid
terdekat. Tumbilotohe tiga tahun lalu telah meninggalkan
bekas yang dalam di hati Anisa.
Euforia Senja
78
Euforia Senja
79
NERACA
Devianti Ibrahim
Jika ditinjau dari pemikiran anak akuntansi, neraca
berarti keseimbangan. Namun, jika ditinjau dari pemikiran
anak hukum, neraca sering diartikan sebagai sebuah keadilan.
Bukankah keseimbangan dan keadilan memiliki makna yang
serupa? Yang berbeda di sini hanyalah penggunaan
kosakatanya, tidak dengan maknanya. Untuk anak akuntansi,
keseimbangan saldo antara debet dan kredit sangatlah penting.
Bukankah begitu pun dengan anak hukum? Bukankah keadilan
sangat diperlukan dalam suatu negara?
Jika keadilan tidak diperlukan, lalu apa gunanya sang
Hakim? Bukankah Hakim dipekerjakan untuk memberikan
keadilan yang murni? Jika benar seperti itu, lalu mengapa
banyak sekali tikus yang berkeliaran dengan gesit di negara
yang kaya akan rempah-rempah ini? Mengapa mereka tidak
dihadapkan dengan sebuah palu dan jeruji besi? Ah, jika begini
ceritanya, ada sebuah kemungkinan bahwa telah terjadi
pertukaran kertas berharga antara si tikus dan sang hakim.
Sungguh, mengagumkan! Hanya dengan sehelai kertas, si
tikus dapat duduk dengan tenang di kursi kebesarannya.
Hanya dengan sehelai kertas si tikus dapat berjalan seraya
mengangkat dagunya dengan begitu tenang. Ckck, apakah ini
yang dinamakan keadilan? Jika begini situasinya, akan jadi
apa Indonesia nantinya? Apakah hanya akan jadi tameng bagi
tersangka yang sesungguhnya?
Ah, ralat! Hakim mengatakan bahwa ia telah mengetuk
palu dengan benar, dan menghukum orang yang memang
Euforia Senja
80
sudah seharusnya dihukum. Bila benar, mengapa orang yang
tidak tahu-menahu diadili dan dihadapkan dengan jeruji besi?
Coba pikirlah! Ia memiliki keluarga, ia memiliki seorang anak,
ia memiliki tanggung jawab yang harus
dipertanggungjawabkan.
Akan jadi seperti apa nasib keluarganya? Nasib anak-
anaknya? Dan bagaimana dengan perannya sebagai kepala
keluarga? Apakah beberapa penyataan tersebut masih belum
bisa menggerakkan hatimu, Pak Hakim? Oh, tidak! Kurasa
hatimu masih belum tergerak dan mungkin memang tidak
akan tergerak, kurasa engkau sekarang tengah tertawa
membaca isi surat ini, dan kurasa engkau hanya akan
mengabaikan surat ini lalu membuangnya dengan kasar. Jika
kau berpikir ini hanya spekulasi semata, jadi mari kita
buktikan, Pak Hakim.
Ttd.
Afni Danial
Prak!
Seperti dugaan si pengirim surat. Hakim itu, Yusuf,
benar-benar membuang sehelai kertas HVS berukuran A4
itu dengan kasar dan penuh amarah tentunya. Namun,
seketika emosinya memudar begitu saja digantikan
dengan rasa penasaran mengenai siapa pengirim surat
tersebut. Alisnya mengerut kecil, mencoba memikirkan
siapa pengirim surat yang lebih pantas dicurigai agar
mudah diselidiki. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja
kecurigaannya mengacu pada tersangka yang baru saja
diadili pagi tadi.
Euforia Senja
81
Yusuf tertegun, mungkinkah pengirim surat itu
adalah anak dari tersangka yang diadilinya pagi tadi? Ah,
ia benar-benar mengapresiasi keberanian gadis itu.
Refleks, ia tertawa remeh. Lalu empat detik setelahnya
meraih ponsel yang ada di atas meja kerja, membuka
aplikasi kontak dan berhenti tepat di nama kontak,
“Pengawal Simon”.
“Iya, halo?” Terdengar suara berat khas lelaki dari
seberang.
“Cari informasi mengenai anak bernama Afni Danial.
Setelah menemukan informasinya, beritahu saya dan
bawa dia ke rumah saya. Secepatnya.”
“Baik, Pak Hakim.”
Tut...tut...tut.
Sambungan telepon terputus. Yusuf memijit
pelipisnya. Sesungguhnya, gadis itu memang sedikit
membuatnya agak terancam. Yang ia takutkan ialah gadis
itu memiliki bukti yang dapat mencemarkan nama
baiknya sebagai hakim, menurunkannya dari jabatan
yang ia duduki saat ini, hingga yang lebih fatal lagi ia
akan berhadapan langsung dengan jeruji besi.
***
“Eh, kita 27dengar ada anak lo tikus di sini.” Sahut
Rahmat, salah seorang siswa di kelas XI Akuntansi 3
yang memang hobi menggosip.
27 Saya
Euforia Senja
82
“Wolo, wolo? Anak lo tikus?28 Hahaha!” Dita
menambahi. Kali ini mengakhiri sindiran tersebut dengan
tawa paksa.
“Wey, sapa poli ini ey?29 Ckck...” Puput yang baru
datang segera masuk dalam aksi sindir-menyindir itu.
Tak peduli dengan tas yang masih menyampir di kedua
bahunya.
“Podaha depe anak olo somo jadi tikus lo Akuntansi
3!”30 sahut salah seorang siswi yang diketahui namanya
Virda.
“Dia mobilang pa depe Papa ngoni seh.”31
“Depe Papa di penjara bagitu moba ini pa torang?
Waaa, bo lucu!”32
Afni menghela napas pelan, mencoba menganggap
bahwa semua sindiran yang dilontarkan teman-temannya
itu hanya angin lalu. Namun, semakin lama sindiran
mereka semakin menjadi yang mau tidak mau membuat
gendang telinga gadis itu panas serasa baru saja terbakar.
“Anggap semua itu angin lalu, Afni.”
Afni terkejut. Gadis itu menoleh ke kiri, ke sumber
suara. Di sana, ia mendapati Reza yang tengah tersenyum
padanya. Dan Afni tahu itu senyum motivasi yang biasa
diberikan Reza padanya.
“Angin lalu? Kau jalankan otakmu, pikirlah kalimat
yang mereka lontarkan untukku. Apa kau masih akan
28 Apa? Apa? Anaknya tikus? 29 Hey, siapa lagi ini? 30 Hati-hati anaknya juga akan jadi tikusnya Akuntasi 3 31 Diia akan mengadukan kalian pada ayahnya 32 Ayahnya ada di penjara, masa bisa melabrak kita? Lucu!
Euforia Senja
83
berkata padaku agar menganggap itu hanyalah angin
lalu?” Ia tertawa kecil seraya membuang pandangannya
ke arah lain.
“Jadi, kau ingin meladeni mereka dengan berkata
bahwa yang melakukan penggelapan uang bukan
papamu?”
“Jika itu bisa membersihkan nama papaku, kenapa
tidak?”
Reza memperbaiki cara duduknya agar lebih leluasa
menatap Afni, lalu berkata, “Afni, dengarkan aku baik-
baik. Jika kau meladeni mereka, hal itu tidak akan
mengubah apapun. Justru, hal itu akan lebih cepat
memicu otak mereka berpikir kalau memang benar
ayahmu yang melakukannya. Kenapa? Sebab, umumnya
orang percaya pepatah yang mengatakan bahwa maling
tidak akan pernah mengaku.”
Afni balas menatap lelaki itu, lalu bertanya, “Jadi,
maksudmu aku hanya duduk diam saja? Membiarkan
mereka menginjak-injak harga diriku? Membiarkan
mereka menyebarkan gosip yang tidak-tidak tentang
papaku?”
“Afni, pikirkanlah baik-baik!” bentak Reza. Seakan
kesal dengan sikap keras kepala gadis di hadapannya itu.
“Kau mudah mengatakannya karena kau tidak
merasakan apa yang kurasakan, Reza. Coba bayangkan
jika kau berada di posisiku sekarang. Apa yang akan kau
lakukan? Apa kau akan mengatakan sindiran mereka
hanya angin lalu bagimu? Apa kau akan membiarkan
mereka terus menyebarkan gosip yang tidak benar
Euforia Senja
84
tentang papamu?” Afni menjeda sejenak, “Kurasa tidak.”
lanjutnya.
“Kupikir kau cerdas dalam segala hal.”
Afni mengernyit, “Maksudmu?”
“Lupakan. Aku tidak ingin berdebat denganmu hanya
karena hal ini. Lagi pula, Ibu Astuti akan segera masuk.”
kata Reza akhirnya.
***
“Bawalah ini, Nak.” Seorang pria setengah baya
memberikan benda hitam menyerupai bentuk L terbalik.
Afni mengernyit sekaligus kaget melihat benda yang
disodorkan pria itu kepadanya. “Ini maksudnya apa, Pa?
Papa kenapa memberikan ini padaku?”
“Papa tahu orang seperti apa Hakim Yusuf. Dia akan
melakukan segala cara agar aibnya tidak menyebar.
Termasuk membunuhmu. Ia tidak segan-segan
melakukannya walau kau masih remaja.”
“Tapi, Pa...” kalimat gadis itu terhenti kala pria yang
dipanggil papa oleh Afni itu menggenggam tangannya
dengan erat, “Kau masih ingat apa yang Papa ajarkan?”
Afni mengangguk sebagai jawaban.
Pria itu tersenyum, “Lakukanlah jika memang
mendesak, nak. Dan pakailah sarung tangan agar sidik
jarimu tidak terbaca.”
Afni mengembuskan napas pasrah, “Baiklah.”
***
“Atas dasar apa kau berani mengirimiku surat itu,
gadis sok tahu?” tanyanya dengan suara berat khas pria
Euforia Senja
85
setengah baya ditemani dengan senyum sinis yang seakan
enggan memudar dari bibir hitamnya.
“Tidak butuh dasar apa pun menghadapi pengecut
sepertimu.”
“Wah, wah! Aku mengapresiasi keberanianmu, Nak.
Kurasa kau mewarisi seluruh gen papamu.”
“Katakanlah apa tujuanmu yang sebenarnya
memanggilku kemari.”
Pria itu, Yusuf. Menatap Afni dengan tajam lalu
berkata, “Aku hanya ingin tahu bukti apa yang kau miliki
tentang pemalsuan keadilan yang telah kulakukan?”
Afni tertawa remeh, “Kau memercayai ancamanku
rupanya.”
“Jangan bermain-main denganku atau nyawamu
akan melayang di sini dengan sia-sia.”
Afni merogoh saku celana jins yang dikenakannya,
mengeluarkan sebuah flashdisk berwarna putih. Ia
tersenyum sinis, menatap Yusuf dengan tenang seraya
berucap, “Aku memiliki rekaman video berdurasi 4 menit
2 detik. Dalam rekaman video itu ditampilkan bahwa
seorang hakim telah menerima kertas putih yang
panjangnya tujuh inci dan lebar dua tiga per empat inci.
Dan setelah kuamati baik-baik, dalam kertas itu tertera
jumlah nilai mata uang sebesar Rp16.000.000,00 dan
yang bertandatangan adalah Paris Abuba.”
Gadis itu berhenti sejenak seraya duduk di sofa
hitam. Kemudian beralih menatap pria itu lagi, “Itu bukan
namamu. Bukan juga nama papa. Tapi itu adalah nama
yang melaporkan papaku pada atasannya bahwa ada
Euforia Senja
86
anggota tentara berpangkat Sersan II melakukan
penggelapan uang. Lagipula, kau sangat bodoh.
Bernegosiasi tidak melihat CCTV yang ada.”
Yusuf menghela napas, meneguk ludah dengan kasar,
berusaha menyembunyikan gemetar yang mulai
menguasai tubuhnya. Lalu bertanya, “Kau, kau tahu dari
mana yang melaporkan papamu adalah pria bernama
Paris Abuba?”
“Hakim tidak sebodoh itu!” hardik Afni.
Yusuf mundur selangkah lalu mengambil sepucuk
pistol dari saku celana hitam katunnya. Dan sepersekian
detik kemudian, menodongkan pistol itu tepat di dahi
Afni.
Huh, mo mati di sini ti Afni atau tida, ye?33
Afni melakukan hal yang sama. Ia mengeluarkan
sepucuk pistol lalu menodongkan pistol tersebut tepat di
dahi hakim busuk itu.
Semoga tida mo sala bidikan,34 Ya Allah.
“Aku ragu dengan kemampuan seorang anak remaja
yang berani menodongkan pistol padaku dengan tenang
seperti itu.”
“Jika kau membunuhnya, aku pun akan
membunuhmu, Afni. Dia, Ayahku.” Sahut seorang lelaki
dari belakang Afni yang jaraknya berkisar satu setengah
meter. Lelaki itu menodongkan pistol ke arah Afni tepat
di tengkuk gadis itu.
“Reza... kau?”
33 Apakah Afni akan mati di sini atau tidak? 34 Semoga tidak akan salah membidik
Euforia Senja
87
Sungguh, Afni tidak menyangka ini. Lelaki yang
dianggap seperti sahabat selama ini adalah anak dari pria
yang telah menjebloskan papanya ke dalam jeruji besi itu?
Ah, dunia ini begitu kecil.
“Untuk apa mengorbankan Ayahku demi gadis tidak
tahu terima kasih sepertimu? Selama ini aku sudah
membantumu menemukan siapa pelaku sebenarnya,
mendukung keputusanmu walau tahu itu akan merusak
reputasi Ayahku, dan saat aku mengungkapkan
perasaanku, kau mengatakan bahwa itu hanya rasa suka
sementara layaknya melihat barang baru?”
Reza tertawa sinis, kembali melanjutkan ucapannya,
“Ingatlah, Afni. Kita telah berteman selama dua tahun dan
kau mengatakan perasaanku hanya rasa suka kepada
barang baru yang diketahui tidak akan bertahan lama?
Kau salah, Afni. Aku sudah menyukaimu sejak lama. Ini
bukan rasa suka terhadap barang baru, bukan rasa kagum
atau debaran karena kita bersahabat.”
“Tidak masalah. Aku tahu kau anak yang berbakti,
jadi tidak apa jika kau ingin membunuhku.” kata Afni
akhirnya.
Sedangkan, Yusuf yang melihat perdebatan kedua
remaja itu menggunakan peluang tersebut untuk
menghabisi Afni dan segera mengambil flashdisk yang
dimiliki gadis itu. Ia tidak ingin aibnya menyebar hingga
membuat reputasi yang telah ia bangun selama ini hancur
begitu saja.
Dor!
Euforia Senja
88
Tembakan dari Yusuf tepat mengenai bahu kiri Afni.
Gadis itu terduduk sembari mengerang kesakitan saat
peluru menembus masuk ke bagian dalam bahu kirinya.
Dadanya naik turun menggambarkan bagaimana
kesakitan yang ia rasakan sekarang.
Afni menatap Yusuf dengan tatapan yang menahan
sakit sekaligus sinis dalam waktu yang bersamaan. Ia
mengarahkan pistolnya pada Yusuf berharap bidikan
yang akan ia lakukan tidak salah.
“Afni...” panggil Reza. Lelaki itu maju selangkah
berusaha mendekati Afni. Namun, langkahnya terhenti
seketika saat Yusuf berucap, “Tetaplah di posisimu, Reza.
Atau Ayah tidak segan-segan mengarahkan pistol ini
tepat di jantungnya.”
Reza diam. Ia tahu betul bagaimana sikap ayahnya.
Ancaman bukan hal yang main-main untuk pria itu.
Sembari menahan sakit akan bahu kirinya yang
berlumuran darah, ia terus membidik anggota tubuh
Yusuf yang dapat membuat pria itu tidak berdaya tetapi
tidak mati. Afni ingin melihat Yusuf masuk ke dalam
jeruji besi itu menggantikan Ayahnya.
Dor! Dor!
“Aaargh!” terdengar erangan keras dari mulut Yusuf.
Pria itu tersungkur bersimbah darah di tubuhnya.
Afni melakukan dua tembakan sekaligus untuk
melumpuhkan Yusuf. Satu, tepat di paha kanan dan
satunya lagi tepat di bahu kanan pria itu. Akibatnya,
Yusuf tidak bisa membalas tembakan yang dilayangkan
Afni karena ia hanya bisa menembak menggunakan
Euforia Senja
89
tangan kanan. Sementara, ia tidak berdaya sebab paha
kanannya memegang peranan penting untuk berjalan
atau menopang tubuhnya. Gadis itu sangat cerdik!
“Papa!” Reza memekik seraya melempar pistol yang
digenggamnya. Lelaki itu segera menghampiri Yusuf
yang sepertinya akan kehilangan kesadaran dalam waktu
perkiraan tujuh detik.
Afni menghela napas kasar, tidak menyangka akan
melakukan hal semacam itu. Ia mendekati Reza dan
Yusuf, kemudian berkata, “Maafkan aku, Reza. Aku tidak
bermaksud membunuh Ayahmu. Lagipula, Ayahmu tidak
akan meninggal, ia kemungkinan hanya akan kehilangan
kesadaran dalam waktu yang cukup lama.”
“Bagaimana kalau Tuhan berkata lain dan
mengambil nyawa Ayahku karena tembakan yang kau
layangkan?”
Afni tertawa getir, “Dia sudah dewasa. Kulitnya lebih
tebal dari remaja sepertiku. Andai kata, kau menghalangi
Ayahmu agar tidak melakukan pemalsuan keadilan, hal
ini tidak akan terjadi. Memfitnah Ayahku, memalsukan
bukti yang ada, mengganti jaksa yang bertugas, itu bukan
cara untuk balas dendam.”
“Aku tidak ingin tahu atas dasar apa ayahku
melakukan itu kepada papamu. Tetapi, yang kusesali di
sini, mengapa aku membantumu menemukan pelaku yang
sebenarnya hingga kau melakukan hal yang tidak
kusangka seperti ini.”
“Ayahmu yang memulainya, Reza. Mengertilah.”
Euforia Senja
90
“Pergilah, Afni. Aku tidak ingin melihatmu.
Anggaplah kita tidak pernah berteman dan anggap aku
tidak pernah mengatakan perasaanku padamu.”
Afni terdiam sesaat, “Sudah kukatakan bahwa rasa
suka yang kaumiliki itu hanya rasa suka terhadap barang
baru, Reza.”
“Berhentilah mengoceh. Enyahlah dari hadapanku
sekarang.”
“Jika rasa suka yang kau miliki bukan sekadar rasa
suka terhadap barang baru, di saat-saat genting seperti
ini kau tidak akan memihak siapa pun. Apalagi, aku di sini
juga menjadi korban.”
“Itu bukan alasan agar aku memberikan perhatianku
padamu.”
“Jadilah temanku jika kau tidak ingin menjadi
sahabatku lagi.”
“Tawaranmu tidak menarik. Aku juga tidak berminat
meralat ucapanku beberapa menit yang lalu. Di mataku
kau tetaplah orang yang telah menodai kehormatan
ayahku.”
Afni menunduk, menyeka dengan kasar air rasa asin
yang jatuh di pipinya. Kemudian kembali menatap Reza
seraya berkata, “Aku menghargai keputusanmu.”
Setelahnya, gadis itu berlalu. Meninggalkan Reza
yang sibuk menelepon ambulans untuk membawa
ayahnya ke RSUD Aloei Saboe.
Baru beberapa langkah berjalan keluar dari rumah
Yusuf, Afni segera berbalik. Menatap Reza kemudian
Euforia Senja
91
berkata, “Aku akan menyerahkan flashdisk itu kepada
petugas kepolisian.”
Reza menatapnya seakan tidak percaya, tetapi
sepersekian detik kemudian menunduk, kembali menahan
tubuh Yusuf agar tetap berada di atas pahanya. Selain itu,
ia melakukan hal tersebut hanya untuk mengabaikan
ucapan Afni.
Afni menghela napas, tetap fokus menatap Reza.
Mengabaikan darah yang enggan berhenti keluar dari
bahu kanannya.
“Aku mencintaimu, Reza.” Tutur gadis itu sebelum
berlalu dengan tergesa.
Euforia Senja
92
Euforia Senja
93
SENJA BIRU
Irawati Mohamad
Sore itu, di tepi laut biru orang-orang yang datang
tidak terlalu ramai, hanya beberapa saja yang terlihat
berjalan kesana-kemari melewati tempatku berdiri.
Tujuan kami datang ke sini sama, melihat senja. Senja di
sini sangatlah indah dan aku tidak bohong. Mataku
bergerak menjelajah lingkungan sekitar, siapa tahu ada
objek yang bisa aku abadikan sembari menunggu senja.
Mataku tertuju pada satu orang perempuan yang berdiri
sendirian menghadap ke laut. Siapa dia? Aku tidak pernah
melihatnya sebelum ini. Apakah dia pendatang baru?
Tanpa sadar bibirku tertarik ke atas membentuk
senyuman. Cantik. Satu kata yang terlintas di pikiranku.
Takut dia pergi, aku pun mulai membidikkan kamera
kearahnya. Lihatlah berapa banyak aku mengambil
fotonya. Banyak sekali. Kegiatanku terhenti kala senja
mulai menarik perhatianku, arah kameraku berubah agar
tidak ketinggalan mengabadikan momen ini. Hmmm, hari
ini aku mendapat dua objek yang cocok untuk aku koleksi
di laptopku.
Pukul 22.00 aku tidak bisa tidur, terus memikirkan
wajah gadis itu. Apakah ini yang namanya cinta? Ini
adalah yang pertama kali bagiku. Rasanya sangat indah.
“Belum tidur?” Tiba-tiba suara seseorang yang
berada di tempat tidur sebelah mengagetkanku. Indra,
teman sekamarku.
Euforia Senja
94
“Belum. Eh, kamu kenal dengan gadis ini?” tanyaku
sambil memperlihatkan foto gadis itu kepada Indra.
“Ini ‘kan Lian. Kamu ketemu di mana?”
“Tadi saat melihat senja. Kamu kenal dia?”
“Nggak terlalu kenal, sih. Cuma yang aku tahu dia
pindah ke lingkungan ini dua hari yang lalu.”
“Pantas aku belum pernah melihat wajahnya di
sekitar sini. Apa dia menyukai senja sama sepertiku?
Kalau iya, berarti dia jodohku. Hahaha.”
“Terserah, yang penting kamu senang.” cibir Indra
yang membuatku tertawa. Indra tidak percaya dengan
cinta pada pandangan pertama. Tetapi diriku percaya,
buktinya aku telah merasakannya sore tadi.
Melihat Indra yang mulai tertidur aku pun
menyimpan laptop di dalam tas. Kutarik selimut dan
mulai memejamkan mata. Semoga malam ini aku
bermimpi indah tentang gadis itu.
Tepat pukul delapan keesokan harinya, aku telah
bersiap-siap menuju kampus. Di depan kos aku melihat
Indra yang tengah menyalakan motornya. Sepertinya aku
mempunyai ide.
“Ndra! Aku boleh numpang?” tanyaku
menghampirinya.
“Boleh. Asal isi bensinku, ya?”
“Iya iya.”
Saat aku mulai bersiap naik ke motornya, aku melihat
gadis itu. Iya gadis senja, begitulah sebutanku padanya.
Gadis senja itu berjalan melewati motor Indra, senyuman
menghiasi wajahnya. Astaga senyum itu adalah senyum
Euforia Senja
95
terindah yang pernah aku lihat. Aku ingin menyapanya
tetapi Indra telah menjalankan motornya sehingga
membuatku hanya melihatnya dari jauh.
“Matamu bisa keluar kalau melihatnya seperti itu.”
Kata Indra yang membuatku segera menatap ke depan.
“Lebay kamu. Tapi wajahnya membuatku tidak bisa
berpaling, sungguh definisi cantik yang sempurna.”
“Sekarang kamu yang lebay. Dasar, budak cinta!”
Aku tertawa mendengar cibiran Indra. Ya benar, aku
budak cinta. Wajar, Lian, si gadis senja adalah cinta
pertamaku dan mungkin akan menjadi yang terakhir.
Tidak terasa motor Indra telah sampai di parkiran
kampus. Ternyata aku terlalu banyak melamun tentang
Lian pagi ini.
“Mana bayarannya?” Indra menagih janjiku.
“Nanti kalau pulang aja, ya? Aku buru-buru mau
ketemu sama Pak Upik, nih.” Kataku sambil menepuk
bahu Indra.
“Tumben kamu mau ketemu dia? Ada apa?”
“Tugasku bermasalah, jadi aku harus berkonsultasi
padanya. Duluan, ya.”
Dengan sedikit berlari aku memasuki area kampus.
Kakiku melangkah menuju ruang Pak Upik yang berada
di ujung koridor lantai dua. Semoga saja Pak Upik sedang
berada di ruangannya sehingga urusanku dengannya
cepat selesai.
Tok...tok...tok.
Euforia Senja
96
Kuketuk pintu yang ada di depanku. Napasku agak
tersengal karena berlari dari parkiran sampai ke lantai
dua.
“Masuk!” Aku mendengar suara Pak Upik yang
menyahut. Doaku terkabul.
“Assalamualaikum, Pak.”
“Wa’alaikumussalam. Silakan duduk. Ada apa?”
“Terima kasih, Pak. Tujuan saya ke sini mau
berkonsultasi dengan Bapak untuk tugas yang Bapak
berikan kemarin dulu pada saya.
“Oh, kamu Jurusan Psikologi, ‘kan? Memangnya hari
ini kamu tidak ada kelas?”
“Iya pak, saya Diki dari Jurusan Psikologi. Kuliah
saya nanti siang, Pak.”
“Diki Mokoginta yang nilainya tinggi itu? Wah,
senang rasanya saya bertatap muka secara langsung
denganmu. Kebetulan saya juga mau menanyakan
tentang suatu hal pada kamu.”
“Bapak mau nanya apa?” tanyaku heran.
“Ada baiknya pertanyaan itu saya simpan setelah
kamu bertanya tentang konsultasi tugasmu.”
“Baik, Pak.”
Setelah 45 menit aku berbicara mengenai tugasku,
Pak Upik pun mulai menanyakan hal yang membuatku
penasaran.
“Begini, saya mempunyai seorang istri. Dia itu gadis
yang pendiam tetapi hangat kepada keluarga. Satu tahun
yang lalu kami mempunyai anak laki-laki yang tampan.
Dia sangat senang dan bahagia merawat anak kami.
Euforia Senja
97
Tetapi dua bulan belakangan ini dia menjadi sangat
pendiam. Makan seperlunya, tersenyum seadanya,
bahkan dia jarang tertawa atau bahkan tidak pernah
tertawa lagi. Menurutmu ada apa dengannya?”
Ternyata ini masalah pribadi Pak Upik. Aku cukup
senang karena menjadi tempat berceritanya dosen tegas
itu. Aku juga heran mengapa dia menceritakan ini. Aku
kan belum pernah berumah tangga.
Dosen-dosen bercerita, kamu punya potensi jadi
psikolog andal. Kamu bisa dengan cerdas menganalisis
contoh kasus yang diberikan padamu. Saya jadi ingin tahu
pendapatmu mengenai masalah saya. “Seperti membaca
pikiranku, Pak Upik menjelaskan alasannya menanyakan
pendapatku.
“Bapak sudah menanyakan pada istri Bapak?”
“Sudah. Bahkan setiap malam saya menanyakan
padanya tetapi dia menjawab tidak apa-apa. Saya sungguh
pusing.”
“Perempuan itu kalau mengatakan tidak apa-apa
berarti dia ada apa-apa. Siapa tahu dia takut
membicarakan masalahnya kepada Bapak.” Aku teringat
Melnim, mantan pacarku di SMA. Setiap dia mengatakan
tidak apa-apa, pasti ada sesuatu yang salah.
“Tapi, ada apa dengannya? Kenapa dia takut kepada
suaminya sendiri?”
“Siapa tahu Bapak melakukan kesalahan atau
mungkin saja ini menyangkut anak.”
“Saya rasa saya tidak mempunyai kesalahan
kepadanya. Kalau anak kami, rasanya tidak ada kesalahan
Euforia Senja
98
apa-apa. Saya tidak pernah memarahi keduanya karena
saya sangat menyayangi mereka berdua.”
“Kalau boleh tahu, Bapak mengajar disini sejak
kapan?”
“Dua bulan lalu.”
“Mungkin itu penyebabnya.”
“Maksudmu?”
“Sejak Bapak jadi dosen di sini, apakah Bapak sering
pulang terlambat?”
“Biasanya saya pulang jam sepuluh malam karena
jadwal saya sangat banyak. Apa ada hubungannya dengan
istri saya?”
“Bisa saja, Pak. Mungkin karena Bapak sering pulang
terlambat dan berangkat pagi-pagi sekali jadi istri Bapak
merasa ada yang kurang. Yaitu perhatian dan kasih
sayang.”
“Wah kamu benar sekali. Dua bulan belakangan ini
saya kurang memberi perhatian kepadanya. Kalau malam
saya mendapati istri saya sudah tertidur bersama anak
saya. Dan jika pagi hari, saya hanya memberi perhatian
kepada anak saya saja.”
“Kalau begitu lebih baik bapak meluangkan waktu
dengan istri bapak. Soal jadwal, mungkin Bapak bisa
mengaturnya agar tidak mengurangi waktu pribadi.”
“Terima kasih atas saranmu. Senang rasanya
meluapkan perasaan saya selama ini, sekali lagi terima
kasih. Kapan-kapan kamu akan saya pertemukan dengan
keluarga kecil saya.”
Euforia Senja
99
“Sama-sama, Pak. Saya juga mengucapkan terima
kasih kepada Bapak karena sudah membantu saya juga.”
Aku penasaran ingin menanyakan sesuatu, tetapi
apakah Pak Upik akan menceritakannya?
“Kalau kamu ingin bertanya, silakan. Saya bersedia
menjawabnya.”
“Kalau boleh tahu, Bapak dan istri bapak bertemu di
mana? Dan bagaimana sampai Bapak menikahinya?”
Pertanyaan ini adalah modal untukku. Siapa tahu aku
bisa mempraktikkan ini pada Lian. Kulihat wajah Pak
Upik agak bingung, kemudian ia tersenyum menoleh
kepadaku.
“Saya ketemu dengannya di pinggir pantai. Saya
sangat menyukai warna matahari terbenam. Kebetulan
dia juga berada di situ, tetapi setelah saya berkenalan
dengannya dia mengaku bahwa ia tidak suka senja. Saya
tanya kenapa dan dia menjawab bahwa senja akan
menenggelamkan warna biru air menjadi warna hitam.
Dia tidak menyukai hitam.”
Cerita Pak Upik hampir sama dengan kisah cintaku.
Apakah Lian akan terbuka kepadaku seperti istri Pak
Upik?
“Cerita Bapak sangat memberikan inspirasi kepada
saya. Doakan saya, Pak, agar kisah cinta saya sama seperti
Bapak.”
“Akan saya doakan. Semoga lancar.” Kata Pak Upik
dengan senyuman khasnya.
“Terima kasih, Pak, saya permisi. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Euforia Senja
100
Sore ini semoga aku bertemu dengan Lian lagi. Agar
aku bisa mengungkapkan perasaanku. Tunggu aku, senja
dan Lian.
Senja yang kutunggu datang. Sore itu aku
melihatnya lagi. Dia sendirian menatap laut biru dengan
mata teduhnya. Aku memotretnya terlebih dahulu
sebelum menjalankan aksiku. Rencananya, aku akan
mengungkapkan isi hati saat matahari akan terbenam. Ya,
di saat senja.
Matahari mulai turun secara perlahan diikuti dengan
langkah kakiku mendekatinya. Jantungku berdetak lebih
kencang, tanganku berkeringat. Aku gugup sekarang.
“Hai. Namamu Lian, ya?” Akhirnya aku bisa
menyapanya. Awalnya ia kebingungan, tetapi saat
melihat wajahku yang agak gugup ini dia tersenyum
hangat.
Tidak tahukah dia bahwa senyumannya memberikan
efek dahsyat bagiku?
“Hai juga.”
Rasanya aku ingin terbang saking senangnya
mendengar suara lembutnya.
“Sendiri?” Lian mengangguk.
“Namaku Diki. Semoga kita bisa dekat,” ucapku
sambil tersenyum malu. “Sebenarnya tujuan aku kesini
untuk me…“
“Lian!!!” Ucapanku terhenti karena mendengar suara
seseorang menanggil nama Lian. Siapa?
Orang itu berlari dan akhirnya ia memeluk Lian dan
membuatku terdiam. Apa artinya ini? Orang yang
Euforia Senja
101
memeluk Lian adalah dosen yang tadi pagi curhat tentang
istrinya kepadaku. Apakah Lian istri Pak Upik? Tidak. Itu
tidak mungkin.
“Diki? Kamu di sini? Oh iya, kamu sudah kenal Lian?
Dia istriku.”
Cukup. Perkataan itu memperjelas semuanya. Aku
menyukai istri orang. Rasanya sungguh sakit.
“Ini istri Bapak? Saya sudah mengenalnya, Pak.”
Sejak kemarin. Bahkan saya menyukainya. Kata-kata itu
tidak mampu kuucapkan.
“Bagus kalau begitu. Semoga kalian bisa akrab, ya.”
Aku memandang kedua orang itu, mereka sangat
cocok. Aku berjalan mundur secara perlahan, takut
mengganggu kemesraan pak Upik dan Lian yang
menatap ke arah laut.
Aku tersenyum ternyata kisah cintaku berakhir
seperti ini. Tetapi aku tidak menyesal merasakan
perasaan ini. Menurutku kisah cintaku indah, seindah
senja yang sering kufoto. Unik, seunik warna laut yang
biru bercampur warna senja kemerah-merahan. Inilah
kisah cintaku. Kisah cinta yang berawal dari senja dan
berakhir di senja. Terima kasih Lian, aku akan selalu
mengingat perasaan ini.
Euforia Senja
102
Euforia Senja
103
TASBIH BERBANDUL SALIB
Dian Tantia Ningrum
Langit kembali bersedih dan menumpahkannya
menjadi butiran-butiran kristal air yang jatuh ke bumi.
Kilatnya yang saling menyambar memberikan rasa
dingin yang menusuk hingga ke tulang di pagi ini, dan
hal itu menandakan bahwa salah seorang gadis harus
naik kendaraan umum. Berjalan kaki di cuaca seperti ini
sama saja cari penyakit. Gadis itu harus naik bentor35.
Gadis itu adalah aku, Aisyah Putri Mooduto. Gadis yang
terlahir di kota yang memiliki makanan khas Binthe
Biluhuta36 memiliki bukit Tilongkabila, Sungai Bone dan
Bolango yang bertemu mengalir bersama ke laut lepas
dan juga Danau Limboto yang tidak kalah menarik dari
Danau Toba. Inilah kotaku, Kota Gorontalo.
***
Aku terus menatap arloji yang melingkar di
pergelangan tangan kananku. Arloji itu menunjukkan
pukul 6 lewat 45 menit WITA yang artinya aku harus
sampai dalam waktu 10 menit atau tidak aku akan
terlambat.
“Om, bole capat sadiki? Saya somo terlambat.”37 Ucapku
pada pengendara bentor dan si lawan bicara hanya
berehem ria sembari menambah kecepatan laju bentornya.
Tidak sampai 10 menit akhirnya aku sampai di sekolahku,
35 Kendaraan khas Gorontalo yang diambil dari akronim Becak motor 36 Jagung yang disiram; makanan berkuah khas Gorontalo seperti sup ajgung yang dicampur ikan atau udang, rasanya manis, asin, dan pedas. 37 Om, bisakah dipercepat? Saya akan terlambat
Euforia Senja
104
SMK Negeri 1 Gorontalo. Setelah turun dari bentor, aku
langsung lari menuju kelasku yang berada di area paling
belakang.
“Aisyah, tumben kamu baru datang? Biasanya pagi-
pagi sudah mengomel karena ada yang tidak piket.” Ucap
Nisa saat aku baru sampai di depan pintu dengan napas
yang masih tersengal-sengal. Ya, aku ketua kelas.
Mengontrol piket adalah salah satu tanggung jawabku.
“Diam Nis, kamu tidak tahu tadi hujan dan juga
bentor yang kutumpangi lambat sekali, bahkan lebih
cepat lariku daripada laju bentor itu.” Ucapku panjang
lebar sembari masuk kelas dan meletakkan tasku. Nisa
pun mengikuti dan duduk disampingku.
“Aisyah, di kelas kita akan ada murid baru. Cowok,
ganteng lagi.” Ucap Nisa dengan ekspresi yang sedang
membayangkan sesuatu.
“Lalu?” tanyaku tak acuh karena sama sekali tidak
tertarik.
“Aisyah, dia itu pindahan dari ibukota. Cowok,
ganteng, tinggi, putih, dan kamu hanya bilang ‘lalu’?
Kalau saja aku belum jadi kekasih Akbar, aku pasti sudah
akan menggoda dia nanti.”
Aku hanya menggelengkan kepala mendengar
ocehan Nisa, dan beberapa menit kemudian Pak Salman
datang bersama seorang cowok. Mungkin itu murid baru
yang dikatakan Nisa tadi.
“Selamat pagi semuanya, hari ini kita kedatangan
murid baru. Silakan perkenalkan namamu, Nak,” kata Pak
Salman kepada cowok itu.
Euforia Senja
105
“Nama saya Alex Christian, kalian bisa memanggil
saya Alex. ”
“Namanya Alex.” Bisik Nisa padaku.
“Aku tidak peduli.” Jawabku ketus, sedari tadi aku
tidak terlalu tertarik pada perkenalan anak baru itu, tapi
entah mengapa aku merasa dia terus saja menatapku.
Mungkin, hanya firasatku saja. Ya, mungkin saja.
***
“Aisyah, Alex bakalae deng38 kakak kelas lagi.” Ucap
Nisa sambil berlari ke arahku.
“Lagi? Anak itu membuat malu kelas kita saja, baru
enam bulan sekolah tapi selalu membuat keributan,”
ucapku kesal.
Aku heran pada anak itu, dia baru saja bersekolah 6
bulan yang lalu tapi selalu saja membuat keributan, ini
adalah ke-4 kalinya dia berkelahi, di dalam otaknya hanya
ada berkelahi, bolos, merokok dan bersenang-senang. Dia
bahkan pernah bertanya padaku tempat clubbing yang
terkenal di kota ini dan mengajakku kesana, “Ayolah
Aisyah, lepaslah kerudung itu dan ayo bersenang-senang
denganku,” ucapnya kala itu dan aku hampir saja
menamparnya jikalau Nisa tidak menahanku.
“Itu dia.” Bisik Nisa padaku.
Alex tiba di kelas dan melihat ke arahku, wajahnya
murung seperti memikirkan sesuatu. Kurasa dia dimarahi
habis-habisan tadi. Kulihat dia berjalan ke arahku masih
dengan ekspresi wajah yang sama.
38 Berkelahi dengan
Euforia Senja
106
“Ngana39 memang tidak pernah kapok, ya, sudah di
beri sur….” Ucapanku terhenti. Alex merengkuhku ke
dalam pelukannya. Alex memelukku di depan Nisa dan
ruang BK. Aku segera melepaskan pelukannya.
“Sakit jiwa ngana, Lex.”
“Apa aku sangat menjijikkan? Apa benar aku seperti
sampah yang bahkan tidak layak untuk didaur ulang?”
Alex pergi setelah mengatakan hal itu.
***
Hari ini adalah hari kelima Alex tidak hadir karena
diskors. Tapi ucapannya hari itu masih menghantui
kepala dan berputar di pikiranku. Pertanyaannya itu
seolah menamparku, dan membuatku merasa sangat
kejam. Aku tahu setiap pertanyaannya mengandung
kesedihan sekaligus kemarahan. Dan hari ini aku
memutuskan datang ke rumahnya meminta maaf. Aku
mendapatkan alamat Alex dari Putra, teman sekelasku
yang dekat dengan Alex. Rumah Alex terletak di Jalan
Palu, dan sepertinya rumahnya adalah rumah yang paling
besar di jalan itu.
Setelah menempuh waktu sekitar 20 menit, aku
sampai di rumah Alex. Dan Alex? Dia tepat ada di
depanku. Dia sangat terkejut saat melihatku tadi, dan
sekarang kami hanya berdiam diri di ruang tamunya yang
memiliki tanda salib di dinding atas ruang tamu.
“Mau apa kamu kemari?” Tanya Alex, memecahkan
keheningan di antara kami.
39 kamu
Euforia Senja
107
“Aku ingin minta maaf karena kejadian lima hari
yang lalu, tidak seharusnya aku sangat marah padamu.”
“Tenanglah aku sudah melupakan kejadian kemarin,
dan lagi pula aku yang seharusnya minta maaf karena
memelukmu tanpa izin.” Ucapnya sambil tersenyum. Aku
berani bersumpah, senyum Alex sangat menawan, pantas
saja anak-anak di sekolah tergila-gila padanya.
“Apa kau tahu Aisyah? Aku memiliki penyakit yang
tak bisa disembuhkan,” sambungnya.
“Ha? Penyakit apa?” tanyaku karena terkejut.
“Rindu.” Jawabnya, kali ini tersenyum lebar.
“Rindu?”
“Iya, aku adalah seorang perindu. Para perindu tak
akan pernah sembuh dari rindu.” Aku hanya bisa
tersenyum mendengar penjelasannya, kurasa otaknya
benar-benar rusak karena tidak sekolah selama lima hari.
“Ngana tidak sedang mabuk, kan?” Tanyaku
meledek.
“Aku rindu kamu Aisyah, aku senang kamu datang.
Akuilah, kamu datang bukan untuk meminta maaf tapi
karena mengkhawatirkanku, kan? Apa kamu juga
memikirkanku?” Alex menyerangku dengan beberapa
pertanyaan. Aku hanya menunduk sambil memikirkan
jawabannya. Tidak memikirkannya? Hanya dia yang ada
di kepalaku lima hari terakhir.
“Keluarga kamu pada ke mana? Kok sepi?”
Cerita pun mengalir dari bibir Alex.
Hari ini aku mengetahui beberapa sisi lain dan juga
tentang silsilah keluarga Alex. Dia adalah seorang anak
Euforia Senja
108
yang dibesarkan dalam keluarga yang baik, alasan dia
menjadi seperti sekarang adalah pemberontakan terhadap
ayahnya yang dengan semena-mena memisahkan dia
dengan sang bunda dengan alasan agar dia hidup mandiri
dan tidak bergantung pada keluarganya, karena dia
adalah anak tunggal. Jadi dia menjadi nakal dan selalu
dipanggil ke ruang BK dengan maksud agar sang bunda
bisa datang menjenguknya atau memarahinya, tapi apalah
daya sampai berkelahi menjadi salah satu hobinya
sekarang ini tetap saja ibu yang dia harapkan tidak pernah
datang. Sekarang aku paham mengapa dia merasa seperti
sampah yang bahkan tidak layak untuk didaur ulang.
Setelah hari itu aku menjadi sangat dekat dengan
Alex. Ada perasaan yang tidak bisa kupungkiri. Benar, ini
adalah perasaan lebih, aku ingin lebih dekat dengan Alex,
dan hari ini aku percaya jika tidak ada yang namanya
persahabatan lelaki dan perempuan yang tetap berlanjut
tanpa adanya rasa lebih. Aku mencintai Alex
Christian.Tapi salib itu….
“Aisyah, sedang apa kamu? Memikirkan aku?” Suara
itu membuatku tersadar dari lamunanku, itu adalah Alex.
Seseorang yang jadi tokoh utama di pikiranku akhir-akhir
ini.
“Percaya diri sekali kamu, aku sedang memikirkan
bagaimana caranya kita panen padi saat kita menanam
jagung.” Ucapku. Alex tertawa mendengar perkataanku
barusan.
“Sepertinya kamu terlalu banyak makan micin, oh ya,
apa kamu sebentar akan beribadah?” Tanyanya.
Euforia Senja
109
“Sholat maksudmu?”
“Ah iya, sholat. Jika iya, apakah kamu bisa
menanyakan pertanyaanku pada Tuhanmu?”
“Sebentar lagi aku akan ke mushola. Menanyakan
apa?”
“Tanyakan pada Tuhanmu, apakah aku yang bukan
umatnya bisa mencintai salah satu hambanya?”
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.”
“Sepertinya filosofi yang mengatakan wanita selalu
peka itu tidak sepenuhnya benar, apakah harus kukatakan
lebih jelas? Aku mencintaimu Aisyah Putri Mooduto.”
Ucapnya dengan senyuman yang mampu mencairkan hati
siapapun yang melihatnya, dan perkataannya sukses
membuatku membatu beberapa saat. Inikah rasanya cinta
yang terbalaskan? Aku pun tersenyum dan langsung
berlari kecil menjauhinya.
“Ada apa? Apa aku ditolak?” Tanyanya dengan
sedikit berteriak karena aku sudah agak jauh.
Akupun berbalik lalu tersenyum, dan berkata.
“Tanyakan pertanyaan yang sama pada Tuhanmu.”
Tasbih dan salib tidak akan pernah cocok berada di satu tempat
yang sama.
Euforia Senja
110
Euforia Senja
111
RUMAH BERJALAN NENEK SRI
Nurdjamilah Hijriah Miolo
Rindu sudah . . .
Menumpuk di ruang hatiku
Kapan aku bisa kembali?
Menginjakkan kakiku ke tanahmu
Kampung halamanku, Bogor.
Rumah berjalan itu mengitari kawasan Kota
Gorontalo. Botol-botol plastik yang berserakan adalah
menjadi kebahagiaan bagi wanita tua itu.
“Alhamdulillah, dapat banyak botol hari ini.
Lumayan untuk bisa makan sekali.” Tutur Nenek Sri
dengan semringah.
Hasil dari jerih payahnya memungut botol-botol
plastik biasa hanya mendapat Rp20.000. Hidup sebagai
pendatang di daerah orang tidaklah mudah baginya.
Apalagi tak ada satu pun orang yang ia kenal.
Empat belas tahun sudah, ia tak pernah menginjak
tanah kelahirannya, Bogor. Ia berharap hasil upahnya
yang ia simpan selama bertahun-tahun bisa membawanya
kembali ke kampung. Tapi, apa daya uang Rp20.000
kadang hanya bisa beli makan pagi dan sore.
“Hei, ba apa ngana40 di situ?” Bentak wanita setengah
baya sambil memelototi matanya kepada sang nenek.
“Tidak ba apa-apa, hanya mo ambil botol plastik.”
40 Sedang apa kamu
Euforia Senja
112
“Ah, ba akal, ba pancuri ngana?” 41 lanjut wanita itu
lagi.
“Astagfirullah, ora mbah.”
“Hmmm, mana ada pota’o mo mangaku. Alasan ambe
botol padahal mo ambe barang laeng, pigi ngana!” 42 Bentak
wanita itu, kali ini dengan nada yang lebih tinggi.
“I… iya.” Jawab Nenek Sri dengan gelagapan.
Diambilnya gerobak dan keluar dari kawasan perumahan.
***
Di langit sana, bulan purnama bersinar begitu indah.
Penuh pesona berhiaskan bintang yang gemerlapan.
Nenek Sri masih berjalan sambil mendorong gerobak
dengan tubuh gemetar, entah karena perjalanan yang ia
telusuri terlalu jauh atau karena ia belum makan dari pagi.
Diambilnya uang dalam saku yang kini tinggal
Rp5000. Tempat jualan rongsokan kini sudah tertutup,
tak ada lagi tambahan uang untuk membeli makanan.
Sayang juga, jika harus menggunakan uang tabungan. Ia
pun tetap melanjutkan langkah. Ia melewati sebuah
restoran mewah dan gembira menemukan beberapa botol
bekas lagi. Ia memperhatikan seseorang yang sebaya
dengannya yang sedang tertawa riang melihat tingkah
laku cucu-cucunya yang lucu. Nenek Sri Nampak
termenung sambil berlinang air mata. Di usia yang sudah
tua seharusnya ia beristirahat dan diperhatikan oleh
41 bohong, kau sedang mencuri? 42 mana ada pencuri yang mau mengaku. Alasan ingin mengambil botol, padahal akan mengambil barang lain. Pergi kamu!
Euforia Senja
113
keluarganya. Namun, itu hanya mimpi bagi seorang
Nenek Sri.
“Permisi, Nek? Sudah selesai ambil botolnya?” tegur
seorang satpam.
Nenek Sri spontan kaget dan langsung menghapus
air matanya.
“Eh, i… iya mas, sudah.”
“Kalau begitu, silakan pergi. Ada oto yang mau parkir
di situ.”
“Iya, Mas.”
Malam yang indah ini seakan menjadi saksi kesekian
kalinya pilu Nenek Sri. Air mata jatuh tanpa permisi di
pipi nenek renta itu. Dengan segenap hati, ia melanjutkan
perjalanan menuju warung makan yang berada tak jauh
dari restoran mewah tadi, bermodalkan uang lima ribu
rupiah di tangan. Nenek Sri sudah bisa makan makanan
khas Gorontalo, Binthe Biluhuta. Baginya makanan ini
lebih enak jika dibanding makan nasi yang tak berlauk.
Setelah mengisi perutnya, wanita itu kembali
berjalan, mencari tempat nyaman untu beristirahat.
Nenek Sri tak punya rumah. Gerobak miliknya adalah
rumah yang paling nyaman untuk wanita berkeriput itu.
Oleh masyarakat yang sering melihatnya, gerobak itu
diberi nama “Rumah berjalan Nenek Sri”.
Malam semakin larut, jalanan sudah mulai sepi. Ia
menemukan satu area kosong dekat sebuah ruko. Ia
memarkir gerobaknya. Lalu mulai menghitung uang
tabungannya yang berupa recehan. Uang recehan itu
Euforia Senja
114
dibiarkan berserakan di atas kardus, agar mudah di
hitung .
“Allhamdulillah, sepertinya ini sudah cukup untuk
pulang. Bisa beli oleh-oleh sedikit untuk keluargaku.
Pulang, pulang, ya, pulang,” ia bergumam dengan
gembira. Beratapkan langit beralaskan kardus, mata
wanita tua itu terpejam begitu lelap. Wajah yang kusam,
ditambah badan mungil yang semakin bungkuk. Tapi,
semua itu akan terbalaskan kebahagiaan. Ia akan segera
bertemu keluarganya di kampung.
***
“Dodol pocong, dodol pocong, Rp10.000 empat.”
“Bu, dodol pocongnya 20 biji.” Nenek Sri
menyerahkan uangnya.
“Iya, bagus buat oleh–oleh, Nek?” Komentar penjual
dodol berkerudung kuning.
“Hehehe, iya, Bu... Terima kasih.” Jawab nenek sambil
menyodorkan selembar uang Rp50.000.
Karena ini hari Sabtu, pasar Telaga cukup ramai
pengunjung. Wanita tua itu, rela tubuhnya berdesak-
desakan dengan pembeli yang lain. Seharian ini Nenek Sri
memanjakan mata di pasar Gorontalo. Memburu oleh-
oleh untuk keluarganya. Selesai berbelanja, ia pun menuju
travel untuk memesan tiket kepulangannya ke Bogor.
Tapi, sebelum melangkah lebih jauh, tiba-tiba tak
jauh di depannya berhenti sebuah sepeda motor. Seorang
perempuan muda bergegas turun dari motor itu dan
membawa sebuah keranjang kayu, lalu meletakkanya di
dalam bak sampah, lalu buru-buru pergi dari tempat itu.
Euforia Senja
115
Perilaku perempuan itu membuat Nenek Sri penasaran
dengan apa isi keranjang yang dibawanya.
“Subhanallah.” Pekik Nenek Sri terkejut, saat melihat
isi dalam keranjang itu. Isinya adalah bayi kembar dan di
tubuh sang bayi ada banyak tanda memar kebiruan.
“Om, tolong Om.” Teriak Nenek Sri saat melihat
abang bentor yang lewat di jalanan.
“Ya, Nek, kenapa?”
“Tolong bantu saya, bawa bayi kembar ini ke rumah
sakit terdekat.”
“Nenek periksa denyut nadinya dulu.” Abang bentor
itu menjadi panik melihat bayi kebiruan yang dibawa
Nenek Sri.
“Alhamdulillah, masih hidup. Ayo cepat ke rumah
sakit.” Seru Nenek Sri.
Nenek itu tak bergeming lagi dan terlihat seperti
orang kebingungan, sebelum ia naik ke bentor ia baru
ingat gerobaknya. Ia pun menitipkan gerobaknya di
rumah warga sekitar situ. Lalu bergegas naik di bentor.
Nenek Sri meremas-remas jari tangan, raut mukanya
pucat pasi sejak tadi dan menggigit bibirnya karena
cemas. Sesekali ia melihat bayi kembar di pangkuannya.
Akhirnya mereka tiba di UGD. Bayi itu langsung
ditangani para perawat dan seorang dokter perempuan.
“Bagaimana kondisi bayi itu, Dokter? Mereka baik-
baik saja, kan? Mereka tidak apa-apa, kan?”
“Mereka kekurangan cairan, Nek. Ini bayi siapa?
Mana orang tuanya?”
Euforia Senja
116
“Saya menemukannya di jalan, Dok. “
Dokter melihat Nenek Sri lalu ke abang bentor di
sebelahnya. Ia melihat kejujuran di mata mereka berdua.
***
Sudah pukul 07.00 malam, tapi bayi kembar itu belum
sadarkan diri juga. Tiba-tiba Nenek Sri teringat sesuatu.
Ia harus membayar tiketnya. Ia lebih panik dari
sebelumnya dan tampak sangat frustrasi. Tapi ada bayi
itu. Mereka lebih membutuhkan uang dari pada diriku.
Sesaat suara azan menggema tak jauh dari kamar
perawatan bayi itu.
“Allahu Akbar, tiada tempat untuk bersandar selain
diriMu.”
Wanita tua itu beranjak pergi menuju masjid,
mencurahkan segala kesedihan yang membebani
kepalanya.
Selesai salat, ia masih duduk tepekur di lantai masjid.
“Aku ingin pulang ya, Allah, tapi kasihan mereka.”
Lirihnya.
“Mungkin aku ditakdirkan untuk hidup bersama
anak kembar itu.” Nenek Sri membulatkan tekad.
Euforia Senja
117
DESIRAN JINGGA DANAU LIMBOTO
Usman Y. Lapasau
Rindu, rindu tak bertuan
Aku tak mengerti
Kepada siapa rindu ini bertumpuk
Teruntuk senja,
hadirkan insan serupa dirimu
Mungkin indah namun hanya sesaat
Bait demi bait menjadi saksi
Di mana ‘kan kutemui?
Anat seakan tak hasrat sendiri
Namun apalah daya
Akankah dia hadir?
Mustahil
Seperti biasa pemuda itu duduk dengan coretan
aksara. Tidak pernah tidak ia mengunjungi tempat itu.
Senja, satu satunya alasan yang menariknya setiap hari.
Semburat jingga yang menyembul, menghadirkan nuansa
tidak biasa bagi Ali. Baginya, senja memiliki cara indah
untuk mengucapkan selamat tinggal. Ketika malam
hendak membawa pergi, ia seolah memberi isyarat bahwa
ia akan kembali.
Sore ini, di tengah-tengah genangan air yang luas,
Ali bermain dengan penanya. Berperahu menyusuri
Danau Limboto sembari mengecap senja. Danau dengan
luas 3000 hektar ini terletak di kecamatan Limboto,
Kabupaten Gorontalo.
Euforia Senja
118
Bait demi bait ia rangkai membentuk puisi. Di
sela-sela merangkai kata telinganya mendengar sesuatu,
kepalanya melirik kesana-kemari namun tiba-tiba
terhenti pada satu titik dan membuat matanya terhenti
pada titik itu. Seorang gadis sedang berdiri menatap
danau.
Ali berusaha kembali mencoret-coret dan
melupakan gadis itu, namun pandangannya lagi-lagi
terarah ke sana. Lalu ia menulis.
“Terlihat indah, namun hati seolah takut. Senja, hati
ini merasakan titik keanehan. Sosok gadis datang dalam
hidupku. Membuat pandangan tak henti menatapnya. Ingin
sekali mendekat, namun hati berkata lain. Akankah ada
petunjuk?
Tiba-tiba perasaan terasa bahagia hendak ingin
menarik senja lalu menyampaikan rasa ini. Jantung
berdetak kencang, angin yang lalu lalang menambah
keistimewaan hari itu. Sosok gadis cantik dengan uraian
rambut dan berkulit putih langsat mengalahkan
semuanya. Ketika Ali akan menghampiri gadis itu, ia tiba-
tiba menghentikan dayung.
“Apakah ia mau kuajak kenalan?”
“Ah tidak, pasti ia menolak.”
Ali mencoba memikirkan hal ini lagi. Lalu ia
bergumam dalam hati lagi.
“Jangan menyerah Al, kamu pasti bisa!” Ia
berdebat dengan dirinya sendiri.
Kemudian ia mendayungi kembali perahu,
kemudian mendekati sosok gadis itu. Jantung semakin
Euforia Senja
119
berdetak kencang, kaki mulai dingin membuat Ali gugup
meengeluarkan sepatah kata, setelah itu ia menarik napas
lalu dikeluarkan lewat mulut. Sampai beberapa kali hal itu
dilakukan. Ia memberanikan diri.
“Hei, kamu sendiri saja?”
Gadis ini kaget, melihat kedatangan Ali.
“Hari mulai malam, kamu mau apa di sini?”
Melihat gadis itu hanya diam, Ali lanjut bertanya.
Gadis itu terkekeh pelan lalu berkata, “Aku suka
senja.”
Gadis ini. Ali bergumam dalam hati
“Tapi senja sudah menghilang, sebaiknya kamu
pulang.” Wanita itu diam sampai Ali menawarkan.
“Pulanglah denganku kamu akan aman, wanita
tidak baik pulang sendirian.”
Awalnya gadis itu ragu, namun dia pikir apa
salahnya menerima tawaran itu. Akhirnya ia mengikuti
Ali. Selama perjalanan suasana sunyi senyap, tak ada satu
pun kata yang terucap dari mulut mereka. Dengan
percaya diri Ali memulai percakapan
“Apa yang membuatmu menyukai senja?”
“Fenomena itu mengajarkan pergi dengan cara
indah, tanpa membuat orang yang melihat terluka.” Ali
tertegun mendengar pernyataan gadis itu.
“Walaupun ia sudah pergi, setidaknya ia akan
kembali, membawa keindahan yang membuat orang
terpesona.”
Tak lama, mereka tiba di rumah gadis itu.
Euforia Senja
120
“Terima kasih, ya.” Kata gadis itu. Lalu segera
berbalik masuk ke pekarangan rumahya.
“Hei, namamu siapa?” Ali berbisik namun cukup
untuk didengar gadis itu.
“Dinda. Namaku Dinda.”
“Aku Ali.”
Dinda tersenyum dan berbalik. Ali ditinggal
sendiri dalam kebahagiaan.
***
Setelah mereka saling kenal satu sama lain
akhirnya timbul dalam hati benih-benih cinta. Seolah
kedua insan saling menyimpan rasa namun entah kenapa
sulit diungkapkan.
Sore itu angin bertiup kencang membuat Ali dan
Dinda menikmati indahnya Danau Limboto. Ditambah
dengan suara burung berkicau dan langit biru terang
seakan terasa itu hari paling indah. Jarum jam semakin
mengejar angka tak terasa fenomena alam yang mereka
nanti telah tiba.
“Dinda, di sore ini, aku ingin menyampaikan
sesuatu.”
“Apa yang ingin kamu katakan?”
“Senjalah menjadi saksi atas ucapanku ini, mohuto
yi’o mowali maituwa’u?” (Maukah kau menjadi istriku?)
Dinda terdiam, napasnya sudah tak beraturan lagi.
Tanpa berpikir ia mengatakan.
“Tentu saja, aku mau menjadi istrimu.”
Ali mengunjungi rumah Dinda untuk melamar.
Namun raganya seolah tak mampu menghadapi ini.
Euforia Senja
121
Tetapi mau tidak mau ia harus melakukannya. Tiba di
depan pintu Ali mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
“Maaf, Nak. Dinda sudah kami jodohkan dari
kecil.” Pernyataan ayah Dinda membuat langit Ali runtuh
seketika. Ia lalu mengambil buku catatan yang selalu dia
bawa. Di sana ia menulis puisi. Lalu menitipkannya pada
Ayah Dinda.
SELAMAT TINGGAL
Angin, angin biarkan aku terlelap.
Rasanya tubuh seolah ingin berbicara.
Membuat malam ini menjadi saksi.
Di bawah indahnya purnama.
Ingin kumelangkah namun raga,
seolah tak setuju.
Aku tak dapat berbuat apa.
Skenario telah dibuat.
Selamat tinggal.
Euforia Senja
122
Euforia Senja
123
MONIKA OLEMU
Melnim Mentari
“Monika Olemu?”
Niku menarik selimutnya sampai menutupi
wajahnya dan berguling-guling di atas tempat tidur
seperti cacing kepanasan. Gadis itu terus mengulang
perkataan yang sama sejak satu jam yang lalu, “Monika
olemu… monika olemu.”
Sampai keesokan harinya, Niku bangun lebih awal
dari biasanya. Sialnya, pagi ini gadis itu terlihat sangat
kacau karena ia terus menerus merutuki hal gila yang
terjadi tadi malam. Baru kali ini ada yang memintanya
menikah, bukan menjadi pacar.
“Menikah dengannya sementara kami berdua baru
pacaran satu bulan? Hanya satu bulan pacaran?” ujar
gadis itu membolak balik kalimatnya.
Memang tak ada yang bisa menebak jalan pikiran
seorang Usman. Pria itu sering berubah sikap, kadang
dingin, kadang hangat. Orang-orang di sekitarnya harus
menyesuaikan diri. “Ah, paling te usman mabo sto” ‘Usman
mabuk barangkali’, gumam Niku.
Bagi Niku, pernikahan bukanlah sesuatu yang
mudah diputuskan. Pernikahan juga butuh cinta dan
membangun cinta tidak bisa dilakukan dalam waktu yang
singkat seperti pertemuannya dengan Usman satu bulan
lalu. Meskipun ia mengakui ada ketertarikan sejak awal
bertemu, rasanya mustahil baginya untuk bisa langsung
jatuh cinta pada pria itu.
Euforia Senja
124
Sementara itu, di saat Niku sedang frustrasi, hal
yang sama juga menimpa Usman. Pria itu juga gelisah di
tempat tidurnya.
“Jangan bilang , dia kira kita so ‘saya sudah’ gila!
Apa yang ada pa depe pikiran pas kita pangge kawen e? (ajak
nikah, ya?)”
“Usman berbicara dengan mata terpejam. Pria itu
seperti kehilangan akal sehatnya setelah kejadian
semalam.
***
“No’u, jam 7 malam kita mo jemput ngana.” Suara
Usman di telepon. Niku berdebar.
“Mo ba apa so (mau apa)?” Niku berusaha tenang.
“Pokoknya, ngana pe pilihan bo dua. Kita mo
jemput ato…? (Pilihanmu cuma dua, saya jemput
atau….)”
“Ato apa?”
“Torang kawen (kita menikah).”
“Hp Niku terjatuh dari tangannya.
Pukul 7 malam, Niku sudah rapi. Gaun biru tua
membalut tubuh rampingnya. Rambutnya yang panjang
dan bergelombang ia biarkan tergerai sebahu. Polesan
make up tipis membuat Niku lebih cantik dari biasanya.
Usman terpanah sejenak. Seakan ia tersihir
dengan pesona Niku malam ini. Usman tak rela berkedip
walau hanya sekali saja. Dia baru sadar saat Niku
membelai pipinya dengan manja.
Euforia Senja
125
“Ala ey, ganteng skali ngana ini uti. (Kamu tampan
sekali).”
“Kita pe calon maitua (istri) cantik sekali ini
malam.” Usman akhirnya menyahut. Mobil Honda Brio
itu melesat pergi meninggalkan kawasan Telaga.
***
Tepat 20 menit, Usman dan Niku sampai di
kediaman keluarga Manorapon, yang tak lain kekasihnya,
Niku dibuat terhenyak ketika melihat rumah Usman yang
sepeti Istana.
“Usman, ini ngana pe rumah?”
“Tidak, rumah lo ponggo (setan Gorontalo) ini.”
Candanya.
“Serius uti, iyo?” Niku bergidik.
“Bukan. Ini Cuma rumah kita pe mama papa.”
“Sama saja popo (idiot).”
“Oh. Ini cewe yang ngana bilang, Usman?” Sebuah
suara nan jernih terdengar. Seorang perempuan paruh
baya. Cantik sekali.
“Iya, mama! Cantik to Usman pe calon maitua?”
“Iya sayang… baru tida mo kase masuk di rumah
dia ini? (Tidak mau persilakan dia masuk?)’”
“Manjo (mari) masuk sayang.” Sambil mengajak
Niku masuk.
Mereka bertiga beriringan menuju halaman
belakang yang sudah ditata rapi. Sedemikian rupa
menjadi tempat makan malam yang santai. Beberapa
orang telah berada di sana.
***
Euforia Senja
126
Beberapa kerabat lainnya menyambut dan
menyalami Usman.
“Siapa wanita cantik di sebelahmu itu Usman?”
“Tunanganku, Om.”
“Wah… wah luar biasa anak muda ini.”
Diam-diam Usman memperhatikan Niku.
Dipandangnya gadis itu baik-baik seakan ia tersihir
dengan kecantikan Niku malam ini.
“Betapa cantiknya jika kau jadi pengantin, Niku.”
Gumam Usman setengah berbisik pada Niku.
Acara makan malam selesai, yang paling pertama
pamit adalah Niku. Gadis itu beralasan bahwa dia harus
menemani ibunya pergi ke pasar besok.
Sebagai kekasih yang baik, Usman mengantar Niku
kerumahnya.
***
Tepat pukul tiga sore, Usman meraih hpnya.
“Ya, siapa, ya?“ Canda Niku.
“Siapa lagi kalo bukan ngana pe calon paitua
(suami)?’”
“Yeee, ge’er. Emang kita mo tarima so (memangnya
saya mau terima)?”
“Pastilah diterima. Siapa coba yang mau menolak
keluarga Manorapon yang hanya satu-satunya di
Gorontalo.” Kata Usman penuh percaya diri.
“Bilang ke Mamamu, ya, kami mau datang
sebentar malam.” Sahut Usman sebelum menutup
teleponnya.
***
Euforia Senja
127
Usman terlihat sibuk menata rambutnya serapi
mungkin. Ia menawan dengan kemeja kerawang
berwarna navy denga aksen bunga merah di pergelangan
tangan. Usman lagi-lagi memperhatikan dari cermin
dalam kamarnya. Ia akan ikut mama dan papanya
melamar Niku.
Setelah siap, mereka bertiga menuju rumah Niku.
“Bismillah.” Perasaan Usman campur aduk,
bahagia, gugup , takut, dan cemas.
“Assalamu’alaikum, Papa.” Usman memberi salam.
“Wa’alaikummusalam, tunggu sebentar,”
terdengar suara wanita setengah baya dari dalam.
Mama Usman melihat sebuah foto yang
tergantung di atas sofa. Mama Usman tiba-tiba pucat.
Papa Usman juga kaget melihat foto laki-laki itu. Mama
Usman segera menarik tangan suaminya pergi dari situ.
Usman mengejar ke mobil.
“Mama? Kenapa? Ada apa? Ia bingung melihat
perubahan yang terjadi di wajah mamanya.
“Naik, ke rumah sekarang juga!” Perintah papa
Usman.
“Lho, mana tamunya? Perasaan tadi ada orang
yang memberi salam.” Mama Niku terheran-heran
melihat ruang tamunya kosong melompong.
* * *
Ayah Niku adalah masa lalu Mama Usman.
Mereka tidak jadi menikah karena Mama Usman sudah
dijodohkan dengan Papa Usman yang sekarang. Mereka
berdua harus berpisah saat masih saling mencintai.
Euforia Senja
128
Euforia Senja
129
RASA SENJA
Sri Farilah S. Yahya
Semilir angin menemani hilangnya senja, senja
yang tak memiliki beban dan selalu memanjakan setiap
mata yang memandang. Itulah senja yang tak
menyembunyikan luka. Namun masih ada senja yang lain.
Senja yang selalu terlihat sempurna meski kesempurnaan
itu digunakan untuk menutupi setiap luka yang dimiliki.
Ya! Dialah Senja Winara Permata, gadis cantik yang
bertubuh ramping, berkulit kuning langsat, dan
disempurnakan dengan gelar queen-nya SMA Atlanta.
“Mama? Kok Mama menangis?” panggil Senja.
“Bukan ngana pe urusan!”43 Jawab Nina, Ibu Senja
dan segera berlalu dari hadapan senja.
Sepertinya malam ini akan terasa panjang, batinnya.
Terdengar riuh ramai di lapangan SMA Atlanta.
Para murid perempuan yang menyerukan seorang nama
yang memiliki kesempurnaan. Dia cassanova-nya Atlanta,
siapa lagi kalau bukan Azka Pratama. Wajahnya yang
tampan sekaligus memiliki bentuk tubuh sempurna,
tinggi berisi. Siapa yang tak mengenal cowok tampan ini
meski penampilannya urakan luar biasa, rambut yang
berantakan, baju jauh dari kata rapi, dasinya tersampir
sembarangan.
“Azka… semangat!” teriak seorang sisiwi dari sisi
lapangan
43 Bukan urusanmu
Euforia Senja
130
“Azka… kita dukung ngana!” teriak siswi lainnya
ikut-ikut histeris dan masih banyak teriakan-teriakan alay
dari siswi-siswi lainnya.
Namun seperti biasa Azka hanya menggeleng-
gelengkan kepala. Menurutnya siswi-siswi itu hanya
membuang waktu agar bisa mendapatkan perhatian. Juga
mengganggu konsentrasi. Padahal mereka tahu yang bisa
menarik perhatiannya hanya gadis itu. Hanya Senja.
Azka adalah putra tunggal pemilik sekolah
sehingga dia bisa melakukan apapun tanpa ada yang
berani melarang. Gelar cassanova itu diberikan karena
Azka yang selalu gonta-ganti pacar dalam sehari. Bolos
untuk sekadar merokok atau tawaran adalah hal yang
biasa baginya.
Di tempat lain, Senja menatap tumpukan buku
yang baru saja ia letakkan di atas meja Pak Ardi. “Hari
yang sangat melelahkan.” Senja berkata pada dirinya
sendiri.
Dengan gontai senja berjalan ke arah kelasnya,
namun belum sampai di tempat tujuan, langkah gadis itu
terhenti karena teriakan seorang cowok berkacamata
tebal. Adit.
“Kenapa teriak-teriak?”
“Ke kantin, yuk?” Adit langsung menggenggam
tangan Senja dan menuju ke kantin. Tapi, belum sempat
mereka melangkah, tiba-tiba ada tangan yang menarik
kerah bajunya dengan kasar, lalu memaksanya
melepaskan genggamannya di tangan Senja.
Euforia Senja
131
“Tak usah ba pegang-pegang! Ngana suka mo mati!
(Tidak perlu pegang-pegang. Kamu mau mati, ya)?” ucap
cowok itu kasar.
“Eh… Azka.”
Senja yang sadar akan hawa panas yang berasal
dari Azka, segera menyuruh Adit pergi.
“Nanti malam siap-siap! Jam delapan kita jemput!”
Suara Azka berubah jadi lembut ketika berbicara kepada
Senja.
“Ka mana? Tumben, biasanya tidak pernah ba
pangge bajalan (ngajak jalan).” Sahut Senja dengan nada
malas.
“Baku dapa (bertemu) dengan kita pe orang tua.”
“Apa?” Senja berharap dia tidak salah dengar.
“Pilihan li ngana cuma dua, datang baku dapa
dengan kita pe ortu atau….”
“Ato apa?”
“Torang tunangan!” tegas Azka
“Torang ini masih kalas sablas (kita ini masih kelas
sebelas).”
“Kiyapa? Ngana tidak serius dengan torang dua pe
hubungan? Apa cuma dari awal kita yang serius?”
(Kenapa? Kamu tidak serius dengan hubungan kita
berdua?)
“Kamu ini kenapa? Posesif sekali.”
“Ada yang salah dengan itu? Saya hanya
perjuangkan apa yang saya mau.”
“Astaga… Azka, kita ini serius dengan ngana.
Cuma kita masih…”
Euforia Senja
132
“Kalo ngana serius kinapa musti ba pikir? Ato
jangan-jangan ngana ada cowok lain selain kita?” tegas
Azka, tanpa sadar pertanyaan itu telah melukai hati Senja.
”Kenapa dia? Jawab? Azka membentaknya dengan
kasar tanpa memerdulikan tatapan dari siswa-siswi yang
mulai ramai ada di koridor sekolah.
Senja menggeleng, kedua matanya tiba-tiba
memanas “Apa maksud kamu, Azka?”
“Sudah, kalau memang kamu tidak serius, lebih
baik kita putus!” Azka pun meninggalkan Senja begitu
saja.
* * *
Angka jarum jam semakin sibuk mengejar waktu
namun itu tak dihiraukan oleh Senja. Ia masih berkutat
dengan rumus kimia yang harus ia pecahkan. Haus
menyergap tenggorokannya hingga memaksa gadis itu
melangkah ke dapur. Langkahnya tertahan melihat
ibunya yang baru memasuki rumah dengan langkah
sempoyongan.
”Kenapa, Ma? Mama mabuk lagi?”
“Bukan urusanmu, sana masuk kamar lagi!”
Hardik mamanya.
“Ini urusan Senja, Mama kan ma….”
Plaakkk!
Senja merasakan perih di pipinya. Ia menatap
perempuan di depannya, tak percaya bahwa orang yang
selama ini dia hargai yang menamparnya.
Euforia Senja
133
“Diam. Tidak usah campuri urusan mama lagi.
Atau Mama akan beri yang lebih dari itu!” Perempuan itu
berlalu meninggalkan putrinya.
Dengan pipi membengkak, senja pun berlari
kembali ke dalam kamar. Senja berusaha agar tak
menangis namun usaha itu sia-sia. Air mata itu terus
mengalir. Begitu banyak masalah yang terjadi. Mulai dari
pertengkaran dengan Azka yang berujung berakhirnya
hubungan mereka, dan sekarang pipinya yang
membengkak karena ulah dari orang yang ia sayangi.
Ibu senja merupakan sosok yang begitu baik
dulunya, tapi setelah kematian ayahnya, perempuan itu
berubah. Ia sering minum-minuman keras, berjudi, suka
berfoya-foya dan menyiksa anaknya.
Senja berharap kehadiran Azka dapat mengobati
kegundahannya karena perilaku mamanya yang suka
mabuk-mabukan. Tapi dia salah. Hanya dia sendiri yang
bisa mengatasi semua lukanya. Ia pun memutuskan untuk
fokus pada sekolahnya. Ia melarikan semua kesedihannya
dan mengalihkan perhatiannya pada pelajaran. Semua
kegiatan ekstra kurikuler dia ikuti hingga tak ada
waktunya untuk melamun lagi. Semua tenaga, waktu dan
pikirannya habis tercurah di sekolah, hingga ketika
sampai di rumah, ia hanya tahu tidur, untuk kembali
beraktivitas keesokan harinya. Nilai-nilai Senja pun
meroket. Dari nilai rata-rata, dia akhirnya bisa menjadi
juara di sekolah dengan nilai tertinggi. Luka dan patah
hati telah membuatnya fokus pada satu hal saja. Prestasi.
Euforia Senja
134
Tak semua kata pepatah itu benar! Terkadang, yang
kita anggap mampu melindungi itulah yang mampu menyakiti.
Ada banyak pilihan hidup tetapi untuk menentukan pilihan
yang tepat itu tidak mudah. Luka terdalam adalah luka yang
tak terlihat oleh mata, kesedihan terdalam adalah yang tak
terucap oleh kata-kata. Mama sudah dewasa. Aku akan
membiarkannya menyembuhkan lukanya sendiri.
Euforia Senja
135
RODA BENTOR
Mega Adipu
Anak itu berkulit sawo matang, matanya yang
bulat, memiliki pipi yang besar dan lesung pipi, tubuh
yang pendek. Dia anak sedikit populer di sekolahnya.
Untuk soal pelajaran, dia paling jago dalam hal berdebat.
Kalau sudah berdebat, teman-teman sekelas pasti
menyerah. Di kelas, dia sering dijuluki si mulut forum
politik.
“So44 jam berapa ini?” ucap Mega sambil melihat
jam dinding. Matanya melotot tak percaya melihat waktu
yang ditunjukkan jam dinding di kamarnya.
“Cepat jo mandi, No’u!45 So mo terlambat kamu.”46
Tegur seorang laki-laki yang paling ditakutinya.
“Iya papa, ini ti No’u so mo mandi.” Ucap Mega
terburu-buru.
Anak itu bergegas ke kamar mandi, sementara
papanya memanaskan bentor yang sangat terkenal di
Gorontalo. Bentor, perpaduan dari becak dan motor
adalah kendaraan umum yang banyak dipakai masyarakat
Gorontalo. Jumlahnya sudah beribu-ribu termasuk
bentor papanya. Beberapa menit kemudian anak itu
keluar rumah dengan pakaian yang sudah rapi dengan
seragam putih abu-abu dan jilbab putih serta tas ransel di
punggungnya. Mega segera naik ke bentor papanya.
44 sudah 45 Panggilan sayang untuk anak perempuan di Gorontalo 46 Cepatlah mandi, sayang. Kamu akan terlambat.
Euforia Senja
136
“Cepat No’u! Sudah jam 6 lewat 30 menit.” Teriak
papanya lagi.
“Iya papa.”
Sesampai di sekolah, Mega turun dari bentor dan
segera mencium tangan papanya. Laki-laki itu lalu
memberinya uang saku lima ribu rupiah. Setiap hari
papanya itu hanya memberikan uang jajan lima ribu saja.
Ia harus berhemat di sekolah membagi uang itu untuk
fotokopi materi pelajaran bila diminta oleh guru dan
untuk jajannya saat istirahat.
Mega bergegas meninggalkan papanya menuju
gerbang sekolah, menuju kelasnya yang ada di belakang.
Dia harus memutar lapangan olahraga yang luasnya bisa
menampung ribuan siswa. Setibanya di kelas, ia bergegas
menyimpan tas dan mengambil sapu yang ada di sudut
kelas. Hari ini ia piket.
“Terlambat lagi? Begitulah kalau naik bentor.
Lambat,” hahahaha. Seorang anak berkulit putih
meledeknya. Namun, gadis itu tak peduli. Ia tetap
menyapu dan membersihkan kelas dengan cepat.
Papanya selalu mengajarkan kesabaran padanya. Jangan
mendendam, Nak, tidak baik. Ia ingat papanya selalu bilang
begitu.
Tak lama, bel pertanda pelajaran pertama
berbunyi. Ia meletakkan sapu dan menuju kursinya.
“Anak-anak, hari ini kita debat, ya. Ibu akan bagi
kelas menjadi beberapa kelompok.” Kata Bu Guru ketika
ia telah masuk di kelas Mega. Teman-teman Mega pun
berebut ingin sekelompok dengan Mega.
Euforia Senja
137
“Bagus sekali, Mega.” Puji Bu Guru setelah
mendengar paparan Mega dalam debatnya.
“Lagi-lagi anak bentor, mungkin dia sudah pakai
opo-opo (guna-guna) supaya semua guru menunjuknya
saat akan berdebat.” Teriak murid yang mengejeknya
tadi.
Mega pura-pura tidak mendengar. Bu Guru hanya
geleng-geleng kepala.
Mega duduk di halte bus menunggu kedatangan
papanya. Di sekitarnya, anak-anak bergerombol di satu
bentor lain, tiga sampai lima anak naik beramai-ramai.
Pemandangan yang wajar di kotanya. Mega tersenyum.
Waktu sudah semakin siang. Biasanya, kalau papanya
terlambat begini, dia sedang banyak penumpang.
Setelah beberapa lama, akhirnya bentor papanya
terlihat juga.
“Ati’olo (kasihan). Maaf ya, papa terlambat
menjeput No’u soalnya hari ini banyak penumpang yang
harus Papa antar.”
“Tidak apa, Papa. Alhamdulillah kalau papa
banyak penumpang.”
Saat sampai di rumah, Mega segera makan siang.
Setelah cukup beristirahat, ia menyalakan laptop, itu hasil
ia menabung uang jajannya selama dua tahun. Ia lalu
tenggelam menyaksikan video para polisi sedang lari
pagi.
“Kamu ingin sekali menjadi seorang polisi, No’u?”
tanya mamanya sambil mendekat kepada Mega itu.
Euforia Senja
138
“Ingin sekali, Ma. Tapi, jadi polisi membutuhkan
biaya yang besar.”
Papa Mega yang berada tidak jauh dari mereka
berkata “Insyaallah kalau Papa punya rezeki, Papa akan
mewujudkan mimpimu, Nak.”
Anak itu hanya bisa mengaminkan hal itu. Meski
kedengarannya mustahil, tidak ada salahnya punya mimpi,
kan? Mega berkata pada dirinya sendiri.
* * *
“Pa, boleh antar Mega ke toko buku?”
“Boleh, Nak. Tunggu sebentar, ya.”
Saat tiba di toko buku, pandangan Mega
tertumbuk pada sebuah buku bersampul seorang laki-laki
berseragam polisi. Mega pun mengambil buku itu.
Tetapi, sebelum tangannya sempat menyentuh buku itu,
ada tangan lain yang juga terulur ke arah buku yang
sama.
“Maaf, Bapak mau ambil buku ini?” tanya Mega
sopan.
“Kalau kamu mau ambil, silakan, saya cari yang
lain saja.” Jawab laki-laki yang ternyata adalah polisi juga.
“Tidak, Pak, saya tidak mau ambil buku ini. Bapak
yang lebih cocok punya buku ini.” Ucap Mega lagi.
“Jangan panggil saya Bapak, saya masih dua puluh
satu tahun. Kelihatan sudah tua, ya.” Mega menatap
wajah laki-laki itu. Ada keramahan di sana.
“Maaf, Kak. Baiklah. Saya permisi dulu.”
Euforia Senja
139
Rupanya buku yang dicari anak itu tidak ada.
Anak itu pun keluar dari toko itu dan menghampiri
papanya yang menunggu di bentor.47
“Mana buku yang kamu beli?” tanya papanya.
“Tidak ada, Papa, kita pulang saja.”
***
Beberapa bulan kemudian Mega mulai sibuk
dengan persiapan ujian nasional. Dia lebih memilih
mengurung diri di kamarnya. Belajar dengan tekun.
Tanpa sepengetahuan Mega, papanya terus menabung
untuk persiapannya masuk ke kepolisian. Masih jauh dari
cukup, tapi laki-laki itu tak ingin putus asa.
“Belum cukup ya, Pa?” Istrinya gelisah.
Laki-laki itu hanya mengangguk.
“Kan anak kita sudah bilang, kalau dia lulus
sekolah nanti akan bekerja, dia tidak akan melanjutkan
sekolahnya.”
“Tapi setidaknya anak kita bisa sukses. Papa tidak
mau anak kita itu seperti kita,” kata laki-laki itu lirih.
Beberapa hari kemudian selesai ujian nasional,
Mega membaca pengumuman kalau ia lulus dengan nilai
yang sangat memuaskan.
“Papa, ti No’u lulus, coba lihat nilai aku, Pa!” Mega
berlari tak sabar menghampiri ayahnya.
“Alhamdulillah, Nak.”
“Lihat ada anak bentor, setelah lulus anak itu akan
menjadi gelandangan karena ayahnya tidak punya uang
47 Kendaraan khas masyarakat Gorontalo yang diambil dari akronim becak dan motor.
Euforia Senja
140
untuk melanjutkan sekolahnya.” Teriak seorang murid.
Teman sekelas Mega yang sering mengejeknya.
Tanpa memerdulikan anak itu, Mega dan papanya
segera pergi meninggalkan sekolah.
“Papa, setelah aku menerima ijazah, aku mau
langsung melamar kerja ya, Pa?” Kata Mega ketika
bentor mereka sudah berada di jalan raya.
“Ya sudah, mana yang terbaik buatmu saja, maaf
Papa tida bisa menyekolahkan ti No’u lagi.” Balas
papanya.
“Tidak apa, Pa. Aku mengerti. “
Ketika bentor mereka sudah dekat dari rumah,
mereka berdua dikejutkan oleh mobil kepala sekolah yang
ada di depan rumah.
Mega segera turun, disusul papanya setelah
memarkirkan bentor.
“Assalamu’alaikum, Bu, Pak.“ Di ruang tamu,
ibunya sedang menjamu Pak Adriansyah, bersama
seorang laki-laki yang wajahnya tak asing bagi Mega.
Laki-laki di toko buku.
“Mega, Pak Adriansyah datang menawarkan
beasiswa untukmu, Nak. Nilaimu tertinggi se-Provinsi
Gorontalo. Polda Gorontalo punya program untuk siswa-
siswa lulusan SMA berprestasi.
“Alhamdulillah, ya Allah.” Mega langsung sujud
syukur.
Laki-laki di samping Pak Kepala Sekolah
tersenyum melihat Mega.
Euforia Senja
141
“Adi, anak saya yang menyampaikan itu. Dia
cerita ketemu kamu di toko buku.” Pak Adriansyah
berkata lagi.
“Terima kasih, Pak. Terima Kasih, Kak. Papa,
Mama, Mega bisa jadi polisi juga. “
Papa dan Mama Mega menangis haru.
Tidak ada hasil yang mengkhianati proses. Jerih
payahnya belajar terbayarkan.
Mega mempersiapkan dirinya sungguh-sungguh.
Ia membuktikan jika dirinya memang pantas mendapat
beasiswa itu. Ia dan Adi bersahabat dan akhirnya karena
telah sama-sama mengenal dengan baik, mereka
memutuskan menikah. Kehidupan keluarga Mega telah
berubah. Ia berhasil membelikan ayahnya sepuluh bentor
lagi sehingga papanya sekarang hanya tinggal di rumah
menunggu setoran. Roda kehidupan terus berjalan. Selalu
ada kehidupan yang lebih baik, untuk mereka yang
bersungguh-sungguh berusaha.
Euforia Senja
142
Euforia Senja
143
GADIS PENJUAL KANTONG PLASTIK
Meilan Lotup
Takdir memang tidak selalu sesuai dengan apa yang
kita impikan. Siapa yang tidak tahu itu? Terkadang
membawa ke dalam lubang kebahagiaan. Terkadang
membawa ke dalam lubang penderitaan. Kita tak bisa
melawan takdir, hanya bisa menerima dan menjalaninya.
Itu yang diyakini Putri, gadis berusia sepuluh tahun
yang harus membanting tulang di usianya yang masih
sangat muda. Ia menjadi penjual kantong plastik di pasar
yang tak jauh dari rumahnya.
* * *
Menginjakkan kaki di kota kelahiran setelah lama
tak jumpa adalah hal yang sangat membahagiakan bagi
setiap orang. Rindu akan adat istiadat, budaya, bahasa,
orang-orang, serta suasana dari kota tersebut. Tapi tidak
bagi wanita berusia 22 tahun ini. Dia, Yurni Botutihe,
seorang wanita berperawakan tinggi, kulit sawo matang,
wajah oval cantik dengan lesung pipit di sebelah kanan,
tak lupa kacamata minus bertengger manis di hidungnya.
Setelah berhasil menempuh pendidikan S1-nya di Jakarta,
ia pun kembali pulang ke Gorontalo.
Pernah dibacanya di salah satu blog, bahwa Kota
Gorontalo telah berkembang pesat. Ia rindu pada aroma
dan rasa Binte Biluhuta48, sup kuah jagung yang bikin
48 Jagung yang disiram; makanan berkuah khas Gorontalo seperti sup jagung yang dicampur ikan atau udang, rasanya manis, asin, dan pedas.
Euforia Senja
144
ketagihan. Hari itu, ia akan mencoba memasak Binte
Biluhuta lagi.
Pasar hari itu lumayan ramai. Orang-orang
berdesakan. Suara penjual mie, ikan, tahu bergantian
memenuhi pendengarannya.
Perhatian Yurni lalu terpaku pada gadis kecil
yang mengenakan baju agak lusuh dengan menenteng
beberapa kantong plastik besar warna putih sembari
menawarkan pada orang-orang yang lewat untuk
membeli kantong plastiknya. Gadis kecil itu bahkan tak
segan menawarkan jasa angkat barang. Beberapa
pertanyaan berkecamuk di pikiran Yurni ketika melihat
gadis itu.
Gadis sekecil itu apakah tak sekolah?
Di mana orang tuanya?
Tanpa sadar bulir-bulir air jatuh dari kedua sudut
mata wanita itu, membasahi kacamata yang tampak sudah
mulai kabur. Apalagi melihat orang-orang melewati anak
itu tanpa berniat membeli satu pun kantong plastik
miliknya.
Sejam berlalu, Yurni masih memandang anak itu,
hingga gadis kecil itu berjalan ke luar pasar. Mungkin
sudah lelah menjual. Hanya satu dua ibu yang mau
membeli kantong plastik miliknya. Selebihnya, ibu-ibu
sudah membawa tas dan keranjang sendiri dari rumah
mereka.
Ia mengikuti langkah gadis kecil itu hingga
berhenti di sebuah pondok kecil terbuat dari kayu yang
berada tak jauh dari pasar. Di sana berkumpul anak-anak
Euforia Senja
145
penjual kantong plastik yang lain. Seperti menunggu
seseorang.
Pondok apa ini? Gumam Yurni memandang dari
jarak dekat tempat itu.
Tak lama kemudian muncul seorang pria berusia
30 tahunan membawa papan tulis putih sedang. Dari
situlah Yurni mengerti. Pondok itu tempat anak-anak
pasar itu belajar. Tempat mereka menimba ilmu walau
nampak kurang layak.
***
Pagi ini, cuaca sangat mendukung kedatangan
Yurni ke pasar. Ia masih penasaran dengan gadis kecil
penjual kantong plastik. Tak peduli kalau harus mencium
bau amis dari dalam pasar, karena rasa penasarannya
sangatlah besar. Seakan sudah mengenal lama anak itu.
Mungkin sebuah kebetulan ataukah takdir, baru
saja memikirkannya Yurni langsung bertemu gadis kecil
itu. Malahan gadis kecil itu menawarkan kantong plastik
padanya.
"Mau beli kantong plastiknya, Kak?"
“Boleh deh. Satu saja, ya.”
“Terima kasih, Kak.” Sahut gadis itu gembira dan
segera menyerahkan satu kantong plastik.
Putri berbalik saat merasakan tepukan di
pundaknya. Di depannya ada seorang nenek berambut
putih sebahu yang sedang kewalahan membawa
belanjaannya di kantong plastik kecil-kecil.
Euforia Senja
146
"Kamu bicara dengan siapa, Nak? Aku ingin
membeli kantong plastikmu itu. Cepatlah." Kata nenek
itu.
Tiba-tiba terdengar kegaduhan. Dompet nenek
itu diambil paksa oleh seorang pencopet. Nenek itu panik.
“Aduh, bagaimana saya bisa pulang kalau begini?”
Putri merasa kasihan melihat si Nenek, dengan
ketulusan hati Putri memberikan satu lembar sepuluh
ribuan untuk Nenek itu.
Yurni tersentuh dengan kebaikan hati gadis itu.
Tak lama, gadis itu pun pulang ke rumahnya. Di
depan pintu rumah sederhana itu, telah menunggu
seorang perempuan berkacak pinggang.
"Pulang kenapa sampai siang begini? Mana uang
hari ini?" Anak kecil itu menunduk takut saat ibunya
bertanya sampai Yurni kasihan melihatnya.
"Maaf, Ibu, Putri….”
"Oh, pasti kamu belajar lagi di pondok itu, kan?
Putri dengar! Kamu itu perempuan, jadi tidak perlu kamu
sekolah! Kamu itu sebaiknya cari aja uang, terus besarnya
ibu kawinkan biar tidak bikin pusing terus.”
“Bu, jangan begitu, kasihan Putri masih kecil,”
Yurni berusaha menenangkan ibu itu. Tapi, perempuan
itu tak mendengarnya sama sekali.
Yurni bingung. Dirinya seperti tak ada di sana.
Yurni marah. Sangat marah. Melihat seorang ibu
menyuruh anak sendiri berjualan kantong plastik di pagi
hari dan melarang anak untuk bersekolah. Harusnya
seorang ibu memberikan pendidikan pada anak mereka.
Euforia Senja
147
Itu hak mereka. Apa dia tidak berpikir, siapa tahu saja
dengan belajar dapat membuat masa depan anak menjadi
cerah dan bisa saja mengubah nasib keluarganya. Ingin
rasanya Yurni membuka pikiran ibu si Putri ini. Tapi
bagaimana caranya jika ibu itu tak bisa mendengarnya
sama sekali. Saking marahnya, Yurni menangis. Tapi
tiba-tiba ia tak sadarkan diri.
***
“Yurni, kamu sudah sadar, Nak?”
Ia berada di ruangan serba putih. Ia merasa asing.
Ia seperti telah tidur bertahun-tahun lamanya. Wanita
itu perlahan menyesuaikan retina dengan cahaya yang
menerobos masuk ke dalam matanya. Aroma obat-obatan
menyeruak menyerbu penciumannya.
Ini rumah sakit.
Di mana Putri? Kenapa aku berada di sini?
"Kamu sudah sadar, Nak?” Yurni menolehkan
kepalanya saat mendengar suara. Seorang wanita paruh
baya menatapnya penuh khawatir.
Itu ibu. Tapi dia mirip seseorang. Dia mirip ibu Putri.
Euforia Senja
148
Euforia Senja
149
MAMEHUATO
Siti Rabia Hunawa Mohi
Waktu terus bergulir. Jeritan bass dan treble yang
menggema seketika berubah menjadi lagu galau dalam
waktu sedetik. Jarum jam yang berputar seakan menatap
gadis itu dengan iba. Ia mengacak rambutnya dengan
kesal. Seolah-olah frustrasi akan bunyi yang masuk ke
dalam gendang telinganya.
Gadis bernama lengkap Sitti Nurafni Danial itu
menghela napas kasar lalu beranjak menuju ruang
tengah. Di sana, ia mendapati seorang lelaki yang tengah
asik dengan benda pipih dalam genggamannya. Segera,
Afni menghampiri lelaki itu.
“Kakak!”
“Wolo?”49 Fahri merespon dengan intonasi malas.
“Look at my face.”
“Mamehuato wa’u, mamehuato!” 50 Fahri memekik
seraya melompat dari ranjangnya dengan cemas. Sontak
saja alis Afni mengerut, bingung akan tingkah Fahri.
“Kakak! Remote DVD mana? Aku ingin
mengecilkan volume musiknya.”
Alih-alih merespon ucapan Afni, Fahri malah
jingkrak-jingkrak tak jelas seraya memekik, “Wuuu!
Mamehuato wa’u uti, mamehuato!”
49 Apa? 50 Saya akan tertabrak.
Euforia Senja
150
“Kakak! Kecilkan volumenya. Aku ingin
mengerjakan tugas tapi konsentrasiku terganggu dengan
bunyi musik ini.”
“Latipo uti, latipo! Mamehuato wa’u.”51 Pekikan
Fahri semakin kencang diikuti wajahnya yang juga
semakin cemas dan tegang dalam waktu yang bersamaan.
“Wuuu! Lehuato loma’o.”52 Raut wajah Fahri yang
tadinya cemas dan tegang kini berubah menjadi muram
saat jagoannya ditabrak oleh truk dalam game yang
dimainkan sedetik lalu.
Setelahnya, Fahri menatap Afni tajam.
“Ada apa?”
“Tidak apa-apa.” Jawab Afni.
Tatapan gadis itu beralih ke layar ponsel yang ada
dalam genggaman Fahri, penasaran akan game yang baru
saja dimainkan kakaknya itu. “Tadi, game apa yang kakak
mainkan?”
Fahri menatap layar ponselnya lalu menjawab,
“Subway Surfer’s.”
Sontak saja Afni tertawa keras setelah mendengar
jawaban Fahri. Fahri yang tidak tahu akan hal apa yang
ditertawakan adiknya mengernyit seketika, lalu bertanya,
“Kenapa kau tertawa?”
Gadis itu berdeham pelan, bermaksud meredakan
tawanya. Ia menggeleng pelan, lalu menatap Fahri. “Kak,
apa kau tidak malu? Kau memainkan game lama, berbeda
51 Tunggu ya, tunggu! Saya akan tertabrak. 52 Terlanjur menabrak
Euforia Senja
151
dengan remaja lelaki zaman sekarang yang sibuk
memainkan game Mobile Legends.”
“Aku tidak mencuri, kenapa harus malu?” Afni
tersenyum mendengar jawaban Fahri, beruntung
kakaknya tidak terlalu larut akan perkembangan zaman.
“Keluarlah. Aku ingin melanjutkan permainanku.” Sahut
Fahri sedetik setelahnya.
Mendengar hal itu, Afni mendengus kesal. Lalu
beranjak dari posisinya menuju ambang pintu. Namun,
saat akan memutar knop pintu, Afni teringat akan
sesuatu.
Segera ia berbalik, menatap Fahri. “Kak!” panggil
Afni.
Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar
ponsel, Fahri merespon singkat. “Mmm, kenapa?”
Afni terdiam sesaat, mencari kalimat yang pas
untuk dikatakan agar bisa membujuk Fahri mengiyakan
perkataannya. Dua detik kemudian, sebaris kalimat
langsung menghampiri otak gadis itu. Ia menghela napas
sebelum mengatakan kalimat yang hinggap di otaknya.
“Kak, sebentar sore aku ingin ke rumah Vani.”
Ucap Afni.
Fahri mengangguk ringan, “Lalu?”
“Kakak mau, kan, mengantarku?” tanya Afni
dengan intonasi yang was-was sekaligus memelas,
berharap Fahri mau mengantarnya ke rumah Vani.
“Jam berapa memang?” tanya Fahri.
“Sekitar jam lima sore.”
Euforia Senja
152
Sesaat, Fahri menekan tombol pause pada game
yang tengah dimainkannya. Lalu menatap Afni seraya
berkata, “Baiklah. Tapi jangan terlambat sedetik pun. Jika
terlambat sedetik saja, lebih baik kau naik bentornya Om
Daeng.”
Bentor53 Om Daeng yang disebut-sebut kakaknya
berjalan pelan sekali, suka macet di jalan. Mendengar hal
itu, Afni bergidik ngeri. Membayangkan bagaimana
nantinya ia akan naik bentor milik Om Daeng. Mungkin ia
akan sampai di rumah Vani setelah salat Isya.
Afni kemudian menepis pikirannya mengenai Om
Daeng, beralih menatap Fahri lagi. “Iya, iya. Aku pastikan
akan tepat waktu sebentar nanti.” Kata gadis itu.
“Pona’olo!54 Aku ingin melanjutkan
permainanku.” Fahri berucap seraya mengibas-ngibaskan
tangannya ke arah Afni layaknya orang yang tengah
mengusir ayam.
Melihat tingkah Fahri, Afni mendengus kesal lagi
sembari memutar bola matanya malas lalu berbalik dan
membanting pintu kamar. Membuat Fahri terperanjat
seketika.
***
“Stop!” Gadis itu memekik diiringi telapak
tangannya yang menepuk-nepuk bahu Fahri.
Fahri menghentikan kemudi sesaat, melepas helm
dan menatap Afni yang kini telah turun dari motor. “Ini
rumahnya?” tanya Fahri.
53 Kendaraan khas masyarakat Gorontalo yang diambil dari akronim becak dan motor 54 Pergilah!
Euforia Senja
153
Afni mengangguk sebagai jawaban. “Aku masuk
ya, kak? Daaa!”
“Afni!” panggil Fahri. Sang pemilik nama
menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap
Fahri, “Kenapa?”
“Pulang jam berapa?”
“Perkiraanku jam 7 lebih. Kenapa?”
“Kakak jemput, ya?”
Afni terdiam sesaat, menimbang-nimbang
tawaran yang diberikan Fahri. Lalu empat detik
setelahnya mengangguk.
Afni berjalan pelan memasuki halaman rumah
Vani. Di sana, ia mendapati teman-temannya yang sudah
siap ditemani dengan berbagai kegiatan. Ada yang duduk
manis dengan benda pipih dalam genggamannya, ada
yang mengobrol satu sama lain, dan ada juga yang sibuk
membolak-balikkan buku cetak.
Segera, Afni menghampiri mereka sembari
membuka percakapan singkat, “Sudah lama, Reza?”
Lelaki bertubuh agak besar dan berkulit coklat itu
menggeleng lalu menjawab, “Tidak. Kami juga baru saja
sampai, mungkin sekitar jam empat.”
“Afni!”
Merasa namanya disebut, Afni menoleh ke sumber
suara. Ia menatap Dita dengan alis terangkat, “Ya?”
“PJ mana?” tanya Dita.
Afni mengernyit, “Maksudnya?” Gadis itu tidak
mengerti akan pertanyaan yang diajukan Dita.
“Pajak Jadian mana?” Dita mengulangi.
Euforia Senja
154
Seketika, Afni dan Reza saling pandang. Merasa
terpojok akan suasana yang diciptakan Dita. Afni
menggigit bibir bawahnya pelan, kesal kepada sahabatnya
yang satu itu.
“Oh! Jadi, Reza sama Afni sudah menjadi sepasang
kekasih sekarang?” Puput memekik, semakin
memojokkan Reza dan Afni.
Afni menghela napas pelan, menatap Puput lalu
berkata, “Put, tadi saat menuju ke sini aku sempat melihat
Aldo makan bersama seorang cewek.”
Puput diam. “Jangan sangkut pautkan Aldo!” Afni
terkekeh. Hanya itu cara yang ampuh agar Puput bisa
diam.
“Sudahlah. Kalian seperti tidak pernah jadian
saja.” Virda menengahi, “Lagi pula, kita ke sini untuk
mengerjakan tugas. Bukan untuk memojokkan Afni dan
Reza.” Lanjutnya.
“Afni!”
Tidak. Dita tidak memanggil Afni. Tidak juga
dengan teman-temannya yang lain. Namun, Afni
mengenali suara itu. Itu suara...
“Kakak?”
Fahri berjalan menghampiri adiknya, menarik
tangan Afni dengan kasar sembari berkata, “Pulang!”
Gadis itu terkejut akan perlakuan yang diberikan
Fahri padanya. Malu. Ia malu karena dimarahi dan diajak
pulang dengan kasar di depan teman-temannya. Terlebih
lagi di sana ada Reza.
Euforia Senja
155
Afni menyentak tangan Fahri, menatap kakaknya
dengan marah, “Ada apa, kak? Lagi pula, kenapa kakak ke
sini? Ini belum jam tujuh, bahkan baru sekitar tujuh belas
menit aku di rumah Vani dan kakak menyuruhku untuk
pulang?”
Fahri menatapnya dengan tajam, “Pulang, Afni!”
Afni menggeleng keras, “Tidak! Aku bahkan
belum mengerjakan tugasku. Tidak, aku tidak mau!”
“Bagaimana kau akan mengerjakan tugasmu jika
hanya asik bercanda seperti itu? Lagi pula, kau bisa
mengerjakannya sendiri. Mereka yang membutuhkan
otakmu, harusnya mereka yang datang ke rumah. Bukan
malah sebaliknya!”
“Kakak! Aku tidak suka kakak merendahkan
teman-temanku! Aku juga tidak butuh teman yang
cerdas, aku hanya butuh teman yang pengertian!”
Setelah berkata demikian, Afni berbalik. Kembali
menuju teras rumah Vani. Namun, dengan sigap Fahri
mencekal tangannya.
“Pulang, Afni!” Fahri membentak.
“Kakak, sebenarnya kenapa saat ini? Jika ada
masalah jangan lampiaskan padaku.”
“Aku tidak ingin berdebat denganmu, Afni. Akan
lebih baik, kau pulang sekarang.” Kata Fahri tanpa
berniat melepaskan cekalan tangannya pada Afni.
Tetapi, dengan sigap Afni menyentak dengan
kasar tangan Fahri kemudian berkata, “Kak, aku ini sudah
besar, jangan perlakukan seperti anak kecil!” Afni mulai
menangis. “Mengertilah, Kak.”
Euforia Senja
156
Fahri mengembuskan napas pelan, menatap Afni
lamat-lamat. “Aku melakukan ini karena suatu alasan,
Afni. Dan kau tidak perlu tahu itu.”
Gadis itu tertawa remeh, “Aku memang tidak
perlu tahu semua tentangmu, apalagi jika itu menyangkut
privasimu. Tapi, kurasa aku berhak tahu jika alasan itu
ada kaitannya denganku.”
“Sudah kubilang kau tidak perlu tahu alasannya.”
Fahri mengacak rambutnya kasar, kesal akan sikap keras
kepala adiknya itu.
“Aku perlu tahu, Kak! Katakan saja, apa
alasannya? Aku berhak tahu!”
“Alasannya apa, itu tidak penting dan tidak perlu
kau ketahui.”
“Aku berhak tahu, Kak! Jika tidak penting, kau
pasti tidak akan semarah ini padaku.”
“Aku menyukaimu, Afni.” Kata Fahri akhirnya.
“Aku menyayangimu lebih dari sayang seorang kakak
terhadap adiknya.
Afni tertegun. Tidak percaya akan kalimat yang
dilontarkan kakaknya.
“Kak...” kalimatnya terhenti kala lelaki itu dengan
cepat berkata, “Tidak apa. Aku juga tidak akan
memaksamu untuk menjadi kekasihku. Dan aku juga
sadar bahwa perasaan ini seharusnya tidak pernah
hinggap di hatiku.”
“Kak, kau tidak bisa seperti ini. Hilangkan
perasaanmu itu.” Sahut Afni dengan nada dingin lantas
melihat ke objek lain, asal bukan pada wajah Fahri.
Euforia Senja
157
“Aku sudah berusaha, Afni. Aku sudah berusaha
menghilangkan perasaan itu sedari lama. Tapi, tidak
kunjung berhasil juga.”
“Kuharap ini hanya leluconmu, Kak.”
“Kurasa kau bisa membedakan setiap ekspresiku.”
Kata Fahri.
“Jika begitu, maka menjauhlah. Enyahlah dari
hadapanku, Kak. Jangan pernah sekalipun mendekatiku.
Kita ini saudara kandung, Demi Tuhan!”
Afni berlalu, meninggalkan Fahri yang diam
mematung menatapnya.
“Afni!” panggil Fahri.
Namun, sang pemilik nama seakan enggan
menoleh apalagi sampai merespon panggilan lelaki itu.
“Afni! Bagaimana aktingku? Sudah sempurna?”
Fahri memekik kegirangan. Seolah-olah ia merasa akting
yang diperagakannya tadi telah sempurna.
Deg!
Mendengar kalimat tanya yang diajukan Fahri,
sontak saja membuat Afni menghentikan langkahnya.
Gadis itu diam mematung. Tidak percaya akan apa yang
terjadi saat ini.
Dua detik setelahnya, ia berbalik. Menatap Fahri.
“Maksud, Kakak?” tanya Afni. Kini jarak antara
dirinya dan Fahri hanya sekitar satu setengah meter, jadi
Fahri dapat dengan jelas mendengarkan setiap kalimat
yang dilontarkan gadis itu.
Fahri tersenyum canggung, merasa bersalah atas
apa yang dilakukannya beberapa menit lalu. “Maaf, ya?”
Euforia Senja
158
“Kurasa aku telah menjadi bahan percobaanmu.
Kau egois, Kak. tidak memikirkan bagaimana perasaanku
nantinya.”
“Aku minta maaf karena hal ini. Lagipula, jika aku
meminta izin padamu terlebih dahulu kau pasti tidak akan
mau. Dan ini saat yang pas karena di sini ada teman-
temanmu jadi aku bisa membiasakan mentalku yang
biasanya gugup jika berhadapan dengan orang banyak.”
Fahri jeda sejenak, “Oh, ya, satu lagi. Aku juga sudah
harus pentas di kampus besok, datang ya? Ajak teman-
temanmu juga.” Jelas Fahri.
Euforia Senja
159
TERLALU BESAR HARAPAN
Zein Mokodongan
Matahari mulai menampakkan senyumannya di
ufuk timur. Aku mulai melangkahkan kaki menelusuri
jalanan yang sepi, orang-orang masih dalam bunga
tidurnya masing-masing. Paduan suara dari gemercik
Sungai Bone dan burung cui menambah keindahan
suasana pagi ini.
“Masih pagi-pagi ngana so pigi di sekolah?” 55Sapa
tanteku yang sedang menyiram tanaman
“Iya, kenapa?”
“Tidak apa.”
Aku memang senang datang lebih awal ke
sekolah. Jalanan sepi dan belum banyak orang yang lalu
lalang. Sekolahku, satu-satunya di desa. Teman-teman
lebih suka bersekolah di kota, padahal sama aja. Mau
sekolah di kota dan di desa, ujung-ujungnya putus
sekolah karena salah pergaulan.
Aku punya dua orang sahabat, Afni dan Nia. Kami
selalu bersama-sama di sekolah, banyak teman-teman
yang iri terhadap pertemanan kami. Aku sangat
bersyukur bisa berteman dengan mereka, walaupun
kadang kami selalu bertengkar atau salah paham.
‘’Kamu sudah sampai? Cepat sekali.” Nia sedang
merapikan mejanya.
“Iya, saya bawa kunci, jadi harus cepat datang.”
55 Masih terlalu pagi kamu sudah pergi ke sekolah?
Euforia Senja
160
Sejujurnya aku selalu iri sama Nia. Dia bisa dekat
dengan guru-guru. Mungkin karena dia anak pintar.
Hari ini adalah hari Senin. Aku sudah yakin 100%
banyak anak-anak yang akan dihukum karena bolos di
hari sabtu. Paling hukumannya hormat bendera atau
membersihkan toilet sekolah.
Aku dan Nia menunggu sosok Afni yang selalu
terlambat. Aku, setiap hari selalu berusaha datang lebih
pagi dari Nia tapi tak pernah bisa.
“Wah…kalian sudah tiba!” Afni muncul
mengagetkan aku dan Nia.
‘’Sudah dari tadi!’’ Jawab kami serempak.
“Saya kira upacara sudah mulai.”
Teng…teng…teng… akhirnya bel upacara
memenuhi semua telinga siswa-siswi.
Aku, Nia, dan Afni langsung bergegas ke
lapangan.
“Eh, sebentar jadi ulangan T.I.K?” Bisik Afni pada
Nia di tengah upacara.
‘’Bisa tidak diam dulu. Ini upacara. Hormati
negara kita dong.“ Nia terusik.
‘’Tahu, ah.’’
Akhirnya serangkaian tahap-tahap upacara
selesai. Menurutku upacara adalah hal paling
mengerikan.
Baru saja selesai berdiri lama-lama, aku baru ingat
kalau hari ini, siswa-siswa yang bolos pada hari Sabtu
akan dihukum. Kepala sekolah mulai beraksi menghadapi
murid-murid nakal, aku tidak pernah absen dari
Euforia Senja
161
kelompok itu. Tiba-tiba mataku melotot hampir meloncat
ketik mendapati Nia ikut bergabung dengan kami.
“What are you doing here, Nia?’’ tanyaku kaget
melihatnya. Dia tak mungkin berada di sini.
“Nothing, kapan kamu belajar bahasa Inggris?’’
Jawabnya santai.
‘’Nia? Kenapa kamu di sini?” Kepala sekolah
bertanya dengan raut wajah yang sama seperti wajahku
tadi.
‘’Saya di luar, Pak, pas mata pelajaran terakhir.”
“Sengaja atau tidak?” Pak Kepsek menatap Nia
penuh selidik.
“Sengaja, Pak.”
‘’Alasannya?”
‘’Saya tidak suka cara mengajar guru bahasa
Inggris, pake hukuman gosok penghapus di muka. Bapak
tahu bahan kimia yang ada di dalam tinta itu bisa merusak
kulit, bahkan bisa kudisan. Itu alasan saya tidak masuk,
Pak.” Nia tegas dan tidak ragu menyampaikan alasannya.
‘’Kalau Bapak mau bukti, ini Bapak lihat muka
saya saja.” Aku yang berdiri tepat di samping Nia,
langsung spontan melihat wajah Nia. Memang ada
bintik-bintik merah di sana. Beberapa bagian kecil ada
yang terkelupas.
Bapak Kepala Sekolah terdiam, benar-benar tidak
ada tanggapan.
‘’Baiklah, akan saya undang Bu Guru Bahasa
Inggris ke ruangan saya nanti.”
Euforia Senja
162
Gara-gara kasus Nia, siswa lain tidak jadi
dihukum. Kami diperintahkan masuk kelas. Aku salut
melihat tingkah Nia tadi, bayangkan saja, Kepala Sekolah
bahkan tidak menghukumnya karena alasan yang
bagaikan peluru yang sangat mematikan.
‘’Hei, ada siswa baru.’’ Afni memecahkan hening.
‘’Mana?’’ Sahutku dengan wajah penasaran.
‘’Saya duluan ke kelas, ya?” Ucap Nia sambil
berlalu.
‘’Kamu tidak penasaran dengan siswa baru?”
tanya Afni.
‘’Nanti juga ketemu, sekolah kita ini kan tidak
besar.”
Nia pun berlalu meninggalkan aku dan Afni.
Dasar anti sosial, sahutku dalam hati.
Aku dan Afni langsung menuju kelas 11 IPS 2,
kelas anak baru yang kami bicarakan tadi. Itulah pertama
kali aku percaya bahwa Tuhan memang baik menciptakan
cowok secakep itu. Rasanya seperti bertemu pangeran.
“Cakep sekali dia.” Ucap Afni.
“Rapi juga. “ Aku menimpali.
“Eh ayo masuk, yuk, tuh Bu Guru T.I.K. sudah
menuju kelas kita.”
Sial. Aku belum puas melihat wajah cowok itu.
Setelah selesai ulangan kami bertiga berjalan
menuju kantin.
Tiba-tiba di jalan menuju kantin, kami bertemu
siswa baru tadi. Hatiku benar-benar meleleh bagaikan es
batu diletakkan di bawah matahari.
Euforia Senja
163
Di kantin aku mendadak hilang selera makan. Tak
ada angin dan hujan, tiba-tiba pangeran itu muncul dan
meminta izin duduk bersama kami.
Aku melihatnya diam-diam. Tapi ternyata,
pandangannya terfokus ke Nia.
“Hai.” Dia menyapa Nia.
“Hai, juga.” Jawab Nia santai.
“Boleh kenalan?”
“Nia.” Nia menjawab singkat.
“Fadel.”
Mereka lalu bercakap layaknya aku dan Afni
seolah tidak ada di sana. Tapi, dari percakapan itu, aku
jadi tahu, Fadel adalah siswa pindahan dari Kwandang,
salah ibu kota Kabupaten Gorontalo Utara. Dia pindah ke
sini karena ikut orang tuanya yang ditugaskan menjadi
dokter di puskesmas kami. Fadel adalah anak tunggal.
Dia cukup ramah untuk ukuran seorang anak baru. Aneh
mengapa dia bisa mudah bergaul dengan Nia yang anti
sosial. Kami bertiga ditraktir milu siram, sebagai salam
perkenalan.
Setelah makan, kami kembali menuju kelas.
Karena kelas kami berdampingan, Fadel memutuskan
berjalan bersama dengan kami. Aku dan Afni merasa
heran dan bingung melihat Nia yang dari tadi asik
tertawa cekikikan dengan Fadel.
Tiga minggu telah berlalu sejak kedatangan Fadel
di sekolah kami. Nia dan Fadel semakin akrab. Hari demi
hari mereka semakin tidak terpisahkan. Hal itu membuat
Euforia Senja
164
aku cemburu berat. Tiap hari mereka selalu bersama. Aku
dan Afni bagaikan pembasmi nyamuk saja.
Aku baru sadar kalau aku sedang jatuh cinta. Tapi,
aku beda jauh dengan Nia. Nia adalah sosok yang disiplin,
pintar, asik, tegas, dan cantik. Aku? Kebalikan dari semua
sifat Nia itu.
Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan
mengubah pola hidupku ini. Gumamku dalam hati. Aku
akan merebut Fadel dari Nia, bagaimanapun caranya.
Apalagi dari yang aku lihat, sepertinya Nia hanya
menganggap Fadel sebagai teman. Satu hal yang
membuatku ragu, Fadel punya rasa terhadap Nia. Aku
tahu dari cara dia membuat Nia selalu tertawa di setiap
hari.
Hari ini, aku berangkat pukul 05.45 pagi. Tapi
tetap saja, aku sudah keduluan Nia. Nia sudah ada di
bangkunya. Tiba-tiba sesuatu terbesit di pikiranku, ingin
rasanya aku jujur kepada Nia.
‘’Pagi Nia,” sapaku.
“Tumben ngana pagi-pagi so ada,”56 sahutnya.
“Sebenarnya ada yang mau aku bilang ke kamu,
Nia. Tapi, ini antara kita berdua saja, ya?”
“Apa itu?”
“Aku suka sama Fadel.”
“Lalu?”
“Boleh kamu batasi kedekatan kamu dengan
Fadel?”
56 Tumben kamu masih pagi sudah ada?
Euforia Senja
165
“Sorry, aku juga mulai suka sama dia. Dia itu lucu.
Tahu caranya bikin orang tertawa.”
“What?” Aku kaget mendengarnya. “Kamu tega,
Nia.” Baru saja aku ingin berbalik pergi, tiba-tiba Afni
sudah ada di dekat kami.
“Kalian kenapa?”
“Aku sudah tidak mau berteman dengan dia,” aku
menunjuk Nia dengan malas.
“Kamu tidak punya hak aku dekat dengan siapa,
meski kita berteman baik.” Balas Nia tak kalah enggan.
Aku pergi, keluar dari kelas. Baru ketika jam
pelajaran mulai, aku masuk. Begitu terus yang terjadi
selama tiga hari. Aku dan Nia saling menghindar satu
sama lain. Afni yang terbelah antara mau memihak Nia
atau membelaku. Afni akhirnya bosan dan terbersit di
kepalanya satu ide. Dia mengajak Fadel, Nia, dan aku
bertemu di kantin pas istirahat.
“Daripada kalian begini terus, ikut saja dengan
solusi yang aku tawarkan, ya?” Kata Afni memulai
pembicaraan.
“Ada apa sebenarnya?” Fadel yang mengantuk
tiba-tiba sadar dan bertanya.
“Aku dan dan Nia suka sama kamu.” Kataku tiba-
tiba. Aku juga sudah bosan dengan keadaan ini.
Fadel, Nia, dan Afni sama-sama terbelalak ke
arahku.
“Guys, sebenarnya aku suka sama Afni. Aku
mendekati Nia karena ingin cari tahu tentang Afni. Aku
dan Afni sudah dijodohkan dari kecil.” Kata Fadel ragu.
Euforia Senja
166
“Apa?” Kali ini giliran aku dan Nia yang terbelalak
ke arah Fadel.
Suara sesuatu yang mendebuk lantai di samping
kami jauh lebih mengagetkan. Afni jatuh tak sadarkan
diri.
Euforia Senja
167
KARENA
Stepin
“Tidak… Tidak boleh, kamu tidak boleh sekolah!”
"Tapi, Yah. Aku suka sekali sekolah. Mohon
izinkan aku.” Untuk kali ke sekeian aku mencoba
membujuk Ayah.
"Tetap tidak boleh!"
Fiiiuuh… ingatan tentang bagaimana marahnya
Ayah pada saat aku izin untuk sekolah masih terngiang-
ngiang di kepalaku bagaikan kaset rusak. Bagaimana
tidak, aku hanyalah anak kecil berumur tujuh tahun yang
tinggal di desa terpencil, lebih tepatnya di desa
Dulamayo, salah satu desa yang berada di Provinsi
Gorontalo. Desa kami jauh dari pusat kota. Ayah perlu
aku untuk membantunya di kebun. Sekolah hanya
menghabiskan biaya yang ia tidak punya.
Namaku Amel, nama yang sama dengan nama ibu.
Ayahku bernama Dani. Ayah sengaja memberi nama yang
sama dengan ibu, dan setiap kali aku bertanya alasannya,
Ayah selalu menjawab karena aku mirip sama ibu. Ibu
meninggal saat melahirkanku. Hanya Ayahlah yang
kupunya saat ini.
Hari ini seperti hari-hari kemarin. Aku pergi ke
sekolah tanpa sepengetahuan Ayah. Setelah ayah
melarangku untuk sekolah, bukan berarti aku benar tidak
sekolah. Tanpa sepengetahuan Ayah, diam-diam aku
datang ke sekolah. Aku tidak ikut belajar dengan duduk
di kelas memakai seragam seperti anak-anak lain. Aku
Euforia Senja
168
hanya mengintip saja lewat jendela pada saat guru sedang
mengajar. Aku sangat ingin bersekolah dan mencapai
cita-cita. Aku ingin menjadi seorang penulis ternama
suatu saat nanti. Tapi sepertinya aku harus membuang
jauh-jauh pikiranku itu.
Sebelum kelas bubar, aku kembali pulang ke
kebun. Akupun segera berlari ke kebun sebelum Ayah
sampai. Dengan napas tersendat-sendat akhirnya aku
sampai juga di kebun. Ayah sudah berada di sana. Sedang
marah.
"Dari mana saja kamu, Amel?" Ayah sedang
menatapku. Seram sekali tatapan itu.
“Dari mana saja kamu, Amel?" Ayah mengulangi
pertanyaannya. Kali ini dengan nada suara yang lebih
tinggi.
"Da… dari rumah teman, Yah.”
“Jangan bohong! Ayah tidak pernah mengajarimu
berbohong!”
“Benar, Yah, Amel tidak bohong.”
“Lalu apa ini?” Tanya ayah sambil melempar
beberapa buku pelajaran ke arahku.
“I… i… itu….”
Sekali lagi Ayah lihat kamu mencoba, tidak akan
Ayah maafkan.” Ayah melangkah pergi.
Aku pulang ke rumah tak lama kemudian. Aku ke
kamar Ayah. Tadi aku belum sempat meminta maaf. Tapi,
Ayah tak ada di kamarnya. Aku mencari sampai malam.
Tapi Ayah tak pulang-pulang.
Euforia Senja
169
Paginya, aku mencoba ke kebun. Aku baru ingat
kalau Ayah tidak menginap di rumah, pasti ia tidur di
pondok kecil yang ada di kebun. Benar saja. Ayah di sana.
Termenung sedih.
"Amel minta maaf, Yah.”
Ayah tetap diam. Tak melihatku sama sekali.
“Amel hanya ingin belajar dan bersekolah. Hanya
itu tidak lebih."
“Pergi!”
“Ta… tapi, Yah.”
“Tidak ada tapi-tapian sekarang. Pergi dari sini.
Dasar anak tidak berguna, pembangkang, tidak tahu diri.
Pergi kamu! Jangan pernah kamu menampakkan muka di
hadapanku lagi."
Dengan hati penuh kecewa dengan sikap Ayah,
aku berjalan menjauh. Sekilas, aku merasa seperti
mendengar ayah mengucapkan sesuatu. “Maafkan Ayah,
Nak.” Ah, mungkin hanya halusinasiku saja. Aku terus
berjalan tanpa tahu arah. Terik matahari terasa
menyengat dan peluh membanjiri tubuhku. Perutku yang
sudah berbunyi sejak tadi. Pasti karena tadi malam aku
tidak makan. Kepalaku semakin sakit dan semua yang
kulihat serasa berputar. Seketika semua menjadi gelap.
“Saya juga tidak tahu siapa anak ini, tadi saya
menemukannya di jalan… sekilas aku mendengar ada
yang bercakap-cakap. Entah siapa aku tidak tahu.
“Di mana aku?”
“Kamu ada di klinik, sayang.” Sebuah suara yang
tadi kudengar mengagetkanku.
Euforia Senja
170
"Kenapa aku bisa ada di sini?" Tanyaku sambil
berusaha bangun. Tapi, kepalaku terasa sangat berat.
“Tadi saya menemukanmu pingsan di jalan, jadi
saya bawa ke sini.”
“Terima kasih banyak, Tante. Maaf karena sudah
merepotkan.”
“Tidak apa-apa. Nama kamu siapa?”
“Amel, Tante."
“Oh, Amel. Nama yang bagus. Jangan panggil
Tante dong, panggil saja Bu Maya.”
“Iya tan… eh Bu Maya."
“Amel, rumah kamu di mana?” tanya bu Maya
setelah aku ada di mobil. Baik sekali dia mengantarku
pulang.
“Saya sudah tidak punya rumah, Bu. Ayah saya
mengusir saya pergi.” Air mataku keluar lagi tanpa bisa
kutahan.
“Masa?”
Mau tidak mau aku menjelaskan semua yang
terjadi antara aku dan Ayah.
“Bagaimana kalau kamu ikut Ibu saja ke kota?”
Tanyanya setelah aku selesai bercerita.
"Maksud Ibu?" Aku tidak percaya dengan apa
yang kudengar barusan.
”Ibu tinggal sendiri. Kalau kamu mau, Ibu akan
senang sekali dapat teman.” Dia tampaknya sungguh-
sungguh. “Anak saya yang perempuan meninggal lima
tahun lalu. Kamu mengingatkanku dengan dia.”
Euforia Senja
171
Katanya-katanya itu memantapkan hatiku
mengikutinya. Selamat tinggal, Ayah.
***
Setelah dua jam berkendara, kami tiba di
rumahnya. Rumah yang besar dan mewah.
“Rumahnya besar sekali, Bu.” Aku tak tahan
berkomentar.
“Dan sekarang, rumah yang besar itu tidak akan
kesepian lagi. Kan, sudah ada kamu.” Bu Maya menatapku
dengan mata yang berbinar-binar. Aku terharu melihat
ketulusannya.
“Kita makan malam dulu ya, habis itu kamu
istirahat.”
“Baik, Bu.”
Keesokan harinya aku bangun dan langsung
bergegas mandi. Ketika keluar kamar mandi, aku melihat
sepasang seragam sekolah dasar tergeletak di tempat
tidur. Aku masih menatap seragam itu ketika Bu Maya
mengetuk pintu.
“Semoga seragam itu cocok buatmu, Amel.”
“Bu… Amel….” Aku tidak tahu kata-kata apa
yang pantas aku ucapkan. Tuhan telah
mempertemukanku dengan seorang malaikat.
“Sudah, Ibu paham. Kamu mau sekali bersekolah,
kan?” Setahu Ibu, anak yang sungguh-sungguh ingin
sekolah, tidak akan mengecewakan.” Seragam itu Ibu beli
buat anak Ibu. Tapi, belum sempat ia kenakan… Tuhan
sudah mengambilnya lebih dulu.”
Aku memeluk Bu Maya.
Euforia Senja
172
“Bu Maya jangan sedih lagi, ya? Amel janji akan
belajar yang rajin.”
“Anak baik.” Ia melepaskan pelukanku dan
mengusap rambutku pelan. Ia sudah tersenyum lagi. Ayo
kita makan. Sarapannya sudah dingin.”
***
Lima belas tahun kemudian.
“Sayang, apa kamu yakin mau ke kampung
sendirian?” Tanya pemilik suara yang selalu menemaniku
selama ini. Bu Maya. Ia sudah tua, tapi kecantikannya
tidak pernah pudar. Pasti karena kebaikan hatinya.
Aku sudah menjadi penulis terkenal. Berkat Bu
Maya yang selalu mendukungku. Ia menggemblengku,
menyekolahkan, dan mengikutkanku di sebuah kelas
menulis yang bergengsi. Aku sudah menerbitkan dua
buku di usia yang belia. Remaja seumuranku sangat
menyukai karyaku karena merasa membaca kisah mereka
di sana.
Lima belas tahun berlalu tanpa aku pernah
bertemu ayah. Aku sudah merasa ini waktunya. Aku pun
pamit pada Bu Maya. Aku rindu Ayah dan khawatir
dengan nasibnya.
“Maafkan ibu, Nak, Ibu tidak bisa menemanimu
ke kampung.”
“Tidak apa-apa, Bu. Ibu istirahat saja di rumah, ya.
Amel tidak akan lama di kampung.”
“Iya, hati-hati.”
Perjalananku ke kampung hari itu adalah dua jam
terlama dalam hidupku.
Euforia Senja
173
Semoga Ayah baik-baik saja. Tiba-tiba aku merasa
bersalah. Anak macam apa yang tidak pernah mencari tahu
tentang ayahnya? Tapi, dia kan mengusirmu? Tapi tetap saja
kamu tidak boleh pergi begitu saja. Kamu tidak pamit.
Perdebatan itu terjadi di kepalaku sepanjang perjalanan.
Aku melihat rumah lama kami. Tertutup rapat.
“Assalamualaikum, Ayah? Ini Amel. Buka
pintunya, Yah.” Aku mengetuk pintu. Lama. Tak ada
yang menyahut. Aku mengetuk lagi.
“Permisi, adik ini cari siapa, ya?” Seorang ibu
menghampiriku.
“Saya lagi cari Ayah saya, Bu. Pak Dani.
Rumahnya ya ini. Ibu kenal? Saya anaknya, Pak Dani.”
“Amel? Kamu Amel? Ibu itu segera memelukku.
“Tunggu di sini, ya.”
Belum sempat aku menjawab, ibu itu berbalik
pergi. Rumahnya tak jauh dari rumahku. Pantas saja aku
tidak kenal. Lima belas tahun yang lalu, rumah itu belum
ada di sini.
“Ini, Nak. Ayahmu menitipkan ini 15 tahun yang
lalu.” Ia menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat.”
“Ini apa, Bu?”
“Bacalah, Nak.”
Aku membuka amplop itu dengan perasaan tidak
enak.
Amel sayang, Ayah tahu kamu pasti akan kembali
suatu saat nanti. Jadi mungkin setelah kamu menbaca surat
ini, Ayah sudah tidak ada di dunia ini. Amel maafkan ayah,
Euforia Senja
174
Nak. Ayah tidak bisa menjadi orang tua yang baik untuk kamu.
Ayah juga orang tua yang sangat buruk karena tidak
mengizinkan kamu sekolah dan belajar. Tapi satu hal yang
harus kamu tahu Amel, Ayah sangat menyayangimu. Alasan
ayah tidak mengizinkanmu sekolah bukan karena ayah tidak
percaya dengan pendidikan. Asal kamu tahu Amel. Dulu,
ibumu seorang guru yang sangat baik. Bahkan saat
mengandung kamu saja, ibumu tetap pergi ke sekolah untuk
mengajar. Bahkan sampai kandungannya berumur sembilan
bulan. Dia tetap pergi ke sekolah. Sehingga pada saat mau
melahirkan kamu saja, dia harus dilarikan dari sekolah ke
klinik. Kata dokter, Ibumu kelelahan. Kondisinya itu tidak
memungkinkan ia selamat saat melahirkanmu.
Karena itulah, Nak. Ayah sangat membenci sekolah.
Sekolah yang menjauhkan Ibumu dari Ayah.
Ayah mengusirmu karena Ayah tak ingin kamu
melihat ayah sekarat. Saat Ibumu melahirkanmu, Ayah
pingsan. Dokter sempat memeriksa Ayah. Ayah kanker paru-
paru. Pasti karena kebanyakan merokok. Umur Ayah hanya
tinggal delapan tahun. Ayah membuatmu membenci Ayah agar
kamu tak perlu merasa kehilangan.
Maafkan Ayah, Nak. Semoga kamu bisa jadi penulis
seperti cita-citamu.
Ayah sayang kamu, Amel.
Aku menangis sejadi-jadinya. Ibu yang tadi memberiku
surat memelukku erat.
“Makam Ayahmu ada di belakang rumah ini,
Nak.”
Euforia Senja
175
ANAA UHIBBUKA FILLAH
Putri Warsono
Ini pertama kali aku terpukau. Aku tidak bisa
menerjemahkan rasa ini. Apakah ini cinta atau hanya rasa
kagum. Suara dia melantunkan ayat-ayat suci Alquran
membuatku hanyut oleh suara merdunya. Azhar
namanya.
Pagi ini, hari Jumat. Semua santri pesantren
Hubulo, Desa Kramat, Bone Bolango, berkumpul di
musala. Aku adalah salah satu santriwati di pesantren ini.
Namaku Anisya Afriliani Monoarfa. Orang-orang
menyapaku dengan Nisya. Tinggi badanku 150 cm. Aku
memiliki lesung pipit mungkin karena itu banyak yang
bilang aku adalah si munggil yang manis.
Aku memiliki dua orang sahabat yaitu Aisyah dan
Zahra. Aisyah adalah anak yang pendiam, cuek, tapi kalau
masalah novel dia akan berubah cerewet. Mungkin itu
yang menyebabkan dia pakai kacamata. Aku sering
mengejeknya si kutu buku. Kalau si Zahra, hobinya
makan. Jam yang paling ia sukai adalah jam istirahat. Saat
itulah dia bisa ke kantin untuk makan sepuasnya. Tak
heran, Zahra bertubuh gemuk. Kami sekarang duduk di
kelas XI Jurusan IPA.
Pagi itu, tadarus Alquran dipimpin Ustaz Arif.
Itulah kegiatan rutin kami setiap jumat di pesantren ini.
Aku, Aisyah, dan Zahra bergegas kembali setelah
pengajian berakhir.
Euforia Senja
176
“Assalamu’alaikum.” Kak Azhar sudah ada di
depan kami bertiga. Ia memang kakak angkatan kami.
“Wa’alaikumussalam, Kak.” Balas kami serempak.
“Nisya, kamu katanya ditunjuk untuk ikut
muhadara besok. Ceramah antarkelas. Mewakili kelasmu,
ya?” Ucap Kak Azhar.
“Baik, Kak. Insyaallah.”
Kak Azhar adalah ketua osis di pesantren kami.
Sebab itulah ia mencari perwakilan kelas untuk mengikuti
muhadara. Selain pintar, ia juga memiliki akhlak mulia,
tampan, penghapal Alquran lagi.
Aku disekolahkan di pesantren ini sebab orang
tuaku ingin aku menjadi anak saleh dan berbakti kepada
kedua orang tua. Terutama papa. Ia ingin sekali aku
menjadi hafizah. Alhamdulillah. Aku sekarang sudah hafal
25 juz. Semoga saat aku lulus di pesantren ini aku bisa
menghafal lima juz sisanya.
Saat sampai di kelas, aku langsung mengambil
buku Mahfudzot. Ustaz Ahmad yang akan mengajar. Di
pesantren kami, bapak dan ibu guru biasa dipanggil ustaz
dan ustazah.
Ketika aku merapikan buku tepat pada saat jam
terakhir usai, aku baru sadar kalau Alquran milikku
ketinggalan di musala tadi pagi.
“Nisya, ke asrama, yuk?” Zahra sudah berada di
dekat mejaku.
“Aku ke musala dulu, ya? Alquranku ketinggalan.”
”Aku duluan kalau begitu.”
Euforia Senja
177
Aku mengangguk tapi Zahra sudah tidak melihat
karena ia sudah berbalik.
Mendekati musala, aku mendengar suara lelaki
yang membacakan ayat suci Alquran. Sangat merdu dan
syahdu. Indah sekali.
Aku masuk dari pintu belakang dan berusaha
tidak menimbulkan suara sama sekali. Aku mencari di
semua sudut musala di bagian akhwat, sebutan bagi santri
perempuan. Alquran itu tidak ada. Aku hanya bisa melihat
sebuah punggung yang khusyuk mengaji di dekat podium
mesjid.
“Assalamu’alaikum, kamu mencari ini, ya?” Laki-
laki yang belum kukenal tiba-tiba muncul dan Alquran
berwarna biru milikku ada di tangannya. Saking
seriusnya mencari, aku tidak sadar kalau suara yang
mengaji tadi sudah berhenti. Diakah yang mengaji semerdu
itu?
“Wa’alaikumussalam, eh iya, Kak.”
“Maaf ya, tadi aku pakai ngaji. Kebetulan saat aku
selesai salat Zuhur tadi, aku melihatnya tergeletak di
dekat lemari mukena.”
“Tidak apa-apa, Kak. Terima kasih. Saya pamit
dulu. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikum salam.”
Suaranya merdu, wajahnya tampan.
“Astagfirullah, Nisya. Apa yang kamu pikirkan?”
Aku memarahi diriku sendiri.
Aku tiba di asrama. Aku lupa kalau Aisyah dan
Zahra yang sudah menunggu.
Euforia Senja
178
“Kamu dari mana saja? Kok lama sekali ke
musala?” Tanya Aisyah.
“Iya, ini kan sudah lewat waktu Zuhur. Mendekati
Asar malah.” Zahra tak mau kalah.
“Aduh maaf. Ini. Tadi aku ke musala cari Alquran
ini. Ternyata lagi dipakai sama cowok. Jadi ya, begitu
lah.”
“Siapa?”
Entahlah, aku tidak sempat bertanya.”
“Ya sudah, kamu ganti pakaian dulu.” Baru kita
makan sama-sama.” Ucap Aisyah.
Aku mengganti pakaian dengan pikiran kacau.
Siapa laki-laki tadi, ya? Kenapa aku tidak sempat menanyakan
namanya.
Eh itu dia.
“Nisya…bNis?”
“I… iya kenapa?” ucapku kaget.
“Dari tadi kamu mengkhayal, kamu mau pesan
makanan apa?” Aisyah sudah mulai tidak sabar.
“Maaf… maaf. Iya. Aku mau nasi lalapan saja, ya.
Dengan Es Teh.”
Selesai makan, kami kembali ke asrama. Aku tetap
tak bisa konsentrasi. Suara merdu itu seperti
mengikutiku.
Hari ini, hari Sabtu. Ada muhadara. Aku bersiap
menuju lapangan pesantren. Sebentar di lapangan. Segera
aku mempersiapkan materi yang akan kubawa.
Di sana sebagian besar santri sudah berkumpul.
Acara pun dimulai. Kak Azhar sudah siap di posisi
Euforia Senja
179
pemimpin. Ia lalu memanggil perwakilan kelas satu demi
satu untuk membawakan ceramah. Aku, Aisyah, dan
Zahra duduk di lapangan. Mereka berdua ikut
menemaniku. Memberi dukungan katanya. Akhirnya,
namaku dipanggil. Utusan kelas XI IPA 1. Aisyah dan
Zahra memberikanku semangat. Bismillah.
Aku merasa sedikit gugup untuk maju namun
dengan tekad yang kuat aku memberanikan diri.
Saat aku berceramah, santri-santri terdiam.
Apakah mereka terhipnotis ceramahku? Aku tidak tahu.
Aku hanya berharap Allah membantuku melewati hari ini.
Tepuk tangan yang meriah bergemuruh saat aku selesai
ceramah. Kak Azhar tersenyum dan memberikan selamat
dari tempatnya. Ia lalu memanggil utusan-utusan kelas
yang lain.
“Saatnya mari kita dengar ceramah dari kelas XII
IPA 2 yang akan dibawakan oleh Moh. Arga Saputra,
santriawan baru di pesantren kita.”
Itu dia! Moh. Arga Saputra. Lelaki yang beberapa
hari ini bermain-main di otakku, yang memiliki suara
indah itu.
“Aisyah, Zahra. Itu yang meminjam Alquranku.
“Aku berbisik ke Asyah dan Zahra.
“Benar, Nis?” Aisyah dan Zahra bersamaan
menjawab.
“Dia cakep juga, Nis.” Zahra menggodaku.
Aku mencoba menyimak ceramah Kak Arga.
Masyaallah. Ceramahnya membuat anak-anak santri
menangis.
Euforia Senja
180
* * *
Selesai sudah acara muhadara hari itu. Kami
memburu kantin karena lapar. Ketika lagi asyik
mengobrol dengan Aisyah dan Nisya, Kak Arga
menghampiri meja kami.
“Nis, aku kemarin belum sempat bilang terima
kasih.” Ia berkata dengan kikuk.
“Tidak apa-apa, Kak. Terima kasih.”
“Ya sudah, silakan lanjutkan makan.”
Aisyah dan Zahra tersenyum ke arahku.
Selesai kami makan, tiba-tiba ponselku berbunyi
tanda pesan WhatsApp. Aku membaca pesan itu. Hanya
mengirimkan salam. Kubalas dengan bertanya siapa.
Ini Arga. Hatiku seketika berdebar membaca nama
itu di layar hp.
Maaf ya, aku tadi dapat nomor kamu dari Azhar. Ini
nomorku. Simpan, ya. Semoga kita bisa berteman baik.
Iya, Kak. Tidak-apa-apa.
Aku mencubit pipiku sendiri. Ya Tuhan, ini bukan
mimpi!
Hari demi hari berlalu. Setiap hari kami bertukar
cerita melalui WA. Hanya sebatas itu. Santri dilarang
pacaran. Aturan itu sangat tegas di pesantren kami. Aku
dan Kak Arga tahu itu. Kami pun sangat membatasi diri
dalam berkomunikasi. Hanya seputar pelajaran dan hari-
hari kami. Ia membantuku menghapal Alquran. Jarang
kami membahas perasaan kami masing-masing. Tapi,
suatu malam ia bilang kalau ia berharap, Allah
mempertemukan kami berdua berjodoh. Dia serius
Euforia Senja
181
dengan hubungan kami. Aku hanya menjawab amin. Aku
berserah diri kepada Sang Mahakuasa.
Tiba saatnya Kak Arga mengikuti ujian nasional.
Aku mendoakannya. Semoga Allah mempermudahnya
menjawab soal-soal dan bisa mengikuti UN dengan baik
dan sehat. Pada hari kelulusan, pihak pesantren
mengumumkan nilai Kak Arga sebagai nilai tertinggi
tahun itu. Kak Arga menjadi santri terbaik. Aku ikut
tersenyum dengan itu.
Setelah acara kelulusan dia menemuiku. Untuk
pamit.
“Nisya, jaga diri baik-baik, ya. Semoga Allah
memudahkan langkah kita.”
Lima tahun telah berlalu. Aku, Aisyah, dan Zahra
lulus dari pesantren itu dengan nilai yang sangat
memuaskan. Aku kembali ke rumah dan tinggal bersama
mama dan papa. Aku sudah hapal 30 juz. Kabar itu yang
paling Ayah tunggu.
Hari-hariku lalu disibukkan dengan pendaftaran
kuliah. Papa pun membantuku mengurusnya. Aku
melanjutkan kuliah di Universitas Negeri Gorontalo dan
mengambil Program Studi Ilmu Keperawatan. Aisyah
dan Zahra mengambil program studi yang sama yaitu
Pendidikan Kimia. Kami tetap berteman baik. Kak Arga
tak pernah berkabar sama sekali. Aku pun memutuskan
fokus ke kuliah.
Suatu hari, sepulang dari kampus, aku melihat
mobil Avanza putih terparkir di depan rumah.
Euforia Senja
182
Mobil Om Toni. Om Toni adalah sahabat papa
sejak kecil. Mereka terpisah karena Om Toni harus
bertugas ke Manado.
“Nisya, simpan tasmu dulu, ya. Papa dan Om Toni
mau bicara.”
“Ada apa, Pa?” Sahutku begitu duduk di samping
Papa. Entah kenapa, wajah Om Toni mengingatkanku
pada Arga.
“Om Toni ingin melamar Nisya untuk anaknya,
Nak. “
“Bukannya Om Toni tidak punya anak laki-laki,
Pa?” Iya kan, Om?” Aku sudah menganggap Om Toni
seperti paman sendiri. Jadi aku tak sungkan bertanya
padanya.
“Betul, Nisya. Arga ini anak angkat Om.”
“Arga? Anak angkat?” Hatiku kembali berdebar.
Arga yang samakah, ya Allah?
“Ini fotonya, Nisya. Kata Arga, hanya kamu
perempuan yang ingin dia jadikan istri.”
Aku melihat foto yang diberikan Om Toni.
Masyaallah. Betul Arga yang sama.
Apa mungkin ini semua jawaban atas doa-doaku?
Allah Maha Adil. Dia memberikan apa yang telah
kutunggu selama lima tahun lalu. Wajah Kar Arga masih
sama dengan yang kuingat di kepala.
“Iya, Pa. Aku menerima lamaran ini.” Jawabku tak
kuasa menyembunyikan senyum.
Inilah takdir yang Allah rencanakan. Allah adalah
pembuat skenario terbaik.
Euforia Senja
183
KULAKUKAN SEMUA KARENA ALLAH
Siskawati Tawape
Terdengar suara azan sudah berkumandang. Hari
ini adalah hari aku memulai hidup yang baru. Yaitu hari
di mana tidak ada kata pacaran lagi. Aku pun beranjak
bangun, untuk bersiap-siap salat subuh. Setelah salat aku
langsung mandi lalu mengganti pakaian dengan seragam
sekolah.
Aku bergegas untuk sarapan pagi dengan
makanan yang sudah disiapkan Bunda. Aku makan
dengan lahap.
Hari demi hari aku lewati, tanpa seseorang yang
dulu pernah hadir di hari-hariku. Aku pun selalu tegar
dan semangat, walaupun dia sudah bukan lagi prioritasku.
Prioritasku saat ini adalah Tuhanku, yaitu Allah
Swt. dan keluargaku. Aku tak pusing orang-orang
mengatakan aku jomblo. So... aku kan nggak sendiri,
masih ada Allah, Malaikat, dan orang tuaku yang selalu
ada di tiap detik, menit, jam, dan hari-hariku.
Aku mulai hidupku penuh dengan manfaat. Aku
ingin lebih dekat dengan Allah dan memperbanyak
amalku sebelum malaikat maut menjemputku.
Hari-hariku pun penuh dengan lantunan ayat-
ayat suci Alquran. Aku pun terasa bahagia karena
sekarang sudah tiada lagi kata galau karena seorang laki-
laki.
Seminggu kemudian aku pun mulai mengikuti
kegiatan islami di masjid sekolah. Hari demi hari, terlihat
Euforia Senja
184
perubahan yang mungkin nggak aku sadari. Saking aku
nggak sadar teman-temanku memanggilku ustazah. Oh,
my God! Sampai segitunya perubahanku. Tapi nggak apa-
apa mereka ngatain aku ustazah, mungkin karena
perubahanku yang sangat drastis. Ditambah aku sering
ceramah di dalam kelas, gimana nggak dibilang ustazah
Berbulan-bulan kemudian, aku pun mulai
memakai pakaian syar’i. Aku yang dulu sering tak
memakai jilbab, sekarang ke mana-mana memakai jilbab.
Karena aku mendapat ilmu islam di mana “Jika wanita
keluar tanpa menggunakan jilbab, maka dia menambah
langkah kaki ayahnya menuju ke jalan neraka. “
Setelah aku menggunakan pakaian syar’i, banyak
sekali omongan-omongan orang tentang aku. Ada yang
bilang aku seperti ibu-ibu pengajian yang hobinya pakai
jilbab panjang dan lebar. Dan yang lebih parah ibuku
sendiri mengatakannnya.
Aku pun terdiam. Sekali lagi aku hanya bisa diam
dan mendoakan orang-orang yang mengataiku agar
diberi kesadaran. Hari terus berlalu, masih saja aku jadi
bahan omongan mereka. Degan hati yang tegar aku tetap
berada pada prinsipku yaitu hijrah. Kulakukan semua
karena Allah.
Bertahun-tahun kemudian, yang kemarinnya aku
memakai pakaian syar’i, sekarang aku memakainya dan
menutupi wajahku dengan cadar. Aku pun semakin
diolok-olok. Sampai-sampai memancing Bundaku lebih
marah kepadaku. Ia bahkan mengatakan aku teroris. Aku
Euforia Senja
185
pun tak membantahnya, dengan hati yang kecewa aku
langsung menuju kamarku.
Keesokan harinya, Bundaku tak henti-hentinya
memarahiku. Sampai sampai bunda sudah tidak mau
menganggapku anaknya. Mungkin karena ia malu
dengan pakianku saat ini.
Hari demi hari hidupku penuh dengan cacian dan
makian dari orang-orang. Aku berusaha bertahan
meskipun banyak orang yang tak suka cara berpakaianku.
Tapi aku tegar. Aku kan hanya menjalankan perintah
Allah yang telah diwajibkan untuk kaum hawa dan telah
tertuliskan di dalam Alquran.
Aku selalu berdoa kepada Allah untuk meminta
pertolongannya. Karena aku yakin pertolongan dari Allah
tidak pernah terlambat.
Beberapa bulan kemudian, aku pun jarang
dimarahi Bundaku. Sampai aku heran. Tapi, sisi lain aku
senang. Karena dengan hati yang tulus dan sabar,
Bundaku akhirnya mengerti dengan apa yang aku
lakukan selama ini. Aku sangat berterima kasih kepada
Allah karena telah membuka mata dan hati Bundaku.
Waktu terus berlalu, sampai tiba di mana hari aku
jatuh sakit. Aku pun cuek dengan penyakit yang ada di
tubuh ini. Seiring berjalan waktu, aku sadar penyakit itu
bukan penyakit biasa. Bukannya sembuh, malah
bertambah parah. Aku tidak bisa lagi meninggalkan
tempat tidurku.
Euforia Senja
186
Penyakit yang menyerangku adalah leukemia.
Bunda mendengar diagnosa dokter dengan hati hancur.
Ia memelukku erat.
Setelah satu bulan dirawat di rumah sakit, aku pun
pulang ke rumah dengan raut wajah yang sedih dan
terlihat pucat. Aku tak lupa berdoa dan salat kepada Allah
dan meminta agar aku disembuhkan dari penyakit ini.
Setelah semakin bertambah parah, aku pun berdoa
kepada Illahi, “Jika memang ajalku tak jauh lagi, aku siap
Tuhan. Aku siap jika engkau mengambil nyawaku, aku
sudah tak sanggup Tuhan....”
Bundaku sibuk menemukan dokter yang tepat.
Ketika Bunda akhirnya menemukan dokter itu, Allah
berkehendak lain. Saat aku sudah mau berobat keluar
negeri, tiba-tiba napasku sesak, dan di akhir napasku ini
aku mengucapkan terima kasih kepada Bunda, karena
telah menyayangiku dengan tulus dan mengucapkan maaf
jika aku pernah menyakiti hatinya. Bunda pun menangis
terus menerus. Bunda pun mengatakan, “Jangan
tinggalkan Bunda.... Bunda tidak mau kehilanganmu,
maafkan Bunda yang dulu pernah menolak keputusanmu
untuk memakai pakaian syar’i.” Dengan perlahan-lahan
napasku sudah mulai habis.
“Aku sudah memaafkan Bunda jauh dari sebelum
bunda meminta maaf.” Akupun mengatakan kalimat
terakhirku dengan mengatakan, “Laa ilaaha illaallah....”
Euforia Senja
187
PASIR PENUTUP
Nova Bokosi
Nada yang tidak beraturan itu seakan menjadi
hiburan tersendiri baginya serta keringat yang meluncur
dari pelipis menjadi perpaduan yang sangat komplet bagi
Ila siang itu. Bagaimana tidak, anak yang berumur 12
tahun itu sangat kelelahan dan kelaparan karena harus
pulang berjalan kaki. Setiap langkahnya ditatap oleh
ribuan mata dengan perasaan yang bermacam-macam,
mungkin ada yang kasihan ataupun sibuk
menertawakannya ditambah lagi Ila membayangkan
cacing-cacing di perutnya mungkin sudah berjoget
karena minta diisi.
Ila Zakaria adalah siswi di SMP Negeri 8 Kota
Gorontalo. Gadis mungil itu memiliki lesung pipit, gigi
gingsul dengan kulitnya yang sawo matang dan tubuh
yang ramping.
Langkah itu harus terhenti, dilihatnya rumah
yang sejak dulu ia huni bersama keluarga kini sudah tak
mempunyai atap dan sebagian dindingnya sudah
dirobohkan. Tapi jangan salah paham dulu, ini bukan
peristiwa tentang eksekusi rumah atau pengusiran dari
rumah melainkan rumah itu berhasil dijual atau kurang
lebih sudah laku dan dibeli oleh pemilik toko busana yang
cukup sukses di Kota Gorontalo ini.
Ibunya berjalan ke arah Ila
”Ila, ba ganti baru makan saja! Abis itu tolong ti
mama mo ba angkat barang di rumah sablah (Ila, ganti
Euforia Senja
188
pakaianlah segera, lalu bantu Mama angkat barang ke
rumah sebelah).
”Iya, Mama.” Kata Ila.
Ila segera berjalan menuju rumah sebelah. Rumah
kosong itu dipinjamkan sementara oleh pemilik rumah itu
yang kebetulan sudah dibeli sampai rumah Ila jadi dan
bisa ditinggali.
Selesai mengganti pakaian, Ila segera makan.
Setelah Itu Ila membantu orang tuanya memindahkan
barang ke rumah itu sambil menikmati lagu yang setiap
hari diputar oleh kakek tua yang biasa dipanggil Aba
Suna yang berada di samping rumahnya.
Setelah selesai, Ila menghempaskan tubuh
mungilnya ke kursi sambil menonton TV. Tidak lama
hujan kembali turun semakin lama semakin keras. Sudah
seminggu ini Kota Gorontalo diguyur hujan.
Sedang asyik-asyiknya Ila menikmati
istirahatnya, ia terkaget dengan berita yang ada di TV.
”Hari ini tanggul yang terletak di Sungai Bulango
telah roboh karena kapasitas penampungan air sudah
penuh, akibatnya diperkirakan air akan naik dan
menerobos rumah warga.” Kata penyiar TV tersebut.
“Astaga banjir, semoga tidak sampai ke sini.” Kata
Ila dengan suara kecil. Karena kelelahan, Ila tertidur di
kursi. Tiba-tiba Ila terbangun karena mendengar
tetangga sebelah rumah memberitahukan bahwa air
sudah mulai naik dan akan menuju rumah-rumah warga.
Perkataan itu sontak membuat Ila kaget, tapi aneh, Ayah
Euforia Senja
189
Ila dengan santainya mengatakan, “Tidak butul itu, air
tidak mo sampe di sini.”
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam tapi
Paman, Ibu, serta Ila dan kakaknya tampak gelisah.
Mereka bingung harus berkemas atau tidak. Masalahnya
banyak tetangga yang sudah bersiap-siap mengamankan
barang-barang mereka dari ancaman banjir. Hingga
paman Ila berkata,”Lebih baik, barang-barang elektronik
saja yang kita amankan.” Ibu Ila pun menyetujuinya.
Bersama-sama mereka mengangkat barang-barang itu ke
dataran yang lebih tinggi. Sedangkan Ayah hanya tidur
di kamarnya tanpa memerdulikan mereka sedikitpun.
Tidak tergerak sedikitpun hatinya untuk menolong
mereka.
Malam semakin larut, hujan kembali mengguyur
kota Gorontalo. Dinginnya malam menusuk sampai ke
tulang-tulang. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar
teriakan Aba Suna yang berlari kesana-kemari, “woy
taluhe woy!” (Woi, air!) Suara itu merusak mimpi Ila.
Merasa ada yang aneh, Ila pun segera membangunkan
kakaknya.
Di lain tempat, Ayah dan Ibunya harus mengalami
kejadian konyol. Ketika ibu memutar tubuhnya ke kiri
tidak sengaja tangan tersebut menghempas air
membuatnya kaget dan segera membangunkan Ayah.
Ketika mereka berdiri kasur tempat mereka tidur
ternyata sudah mengapung di atas air bagaikan perahu
yang sedang berlayar dan mulai bergerak kesana-kemari.
Euforia Senja
190
Kejadian itu justru membuat mereka lebih panik. Segera
saja ibu dan ayah keluar dari kamar.
Air sudah masuk ke dalam rumah. Suasana
menjadi kacau. Tidak berlama-lama lagi kami pun berlari
menyelamatkan barang masing-masing. Wajah-wajah
mengantuk saling bertabrakan, tapi ada satu orang yang
bahkan lebih sibuk, itulah Ayah Ila. Ia panik, sepertinya
mencari barang yang sangat penting kemudian marah-
marah sendiri.” Dompet Bapak di mana?”
Ibu pun menjawab, ”Coba cari dulu, jangan dulu
marah-marah.” Ia pun kembali mencarinya.
“Bukannya ti Papa ada simpan di atas lamari itu
dompet?” kata Ila. Ayahnya segera memeriksa lemari
tersebut ternyata benar. Ayahnya pun tersenyum geli
ternyata ia lupa dompet tersebut telah disimpannya di
atas lemari tadi.
Langsung saja mereka mencari cara agar air itu
tidak masuk ke rumah, karena banjir itu mengalir deras.
Muncullah ide di kepala Ila.
“Ibu, pakai saja pasir yang di muka rumah itu. Itu
pasir kita jadikan penutup di pinggir selokan.”
“Oh betul juga.” Sahut Ayah Ila menyetujui usulan
anaknya.
Langsung saja mereka beramai-ramai
mengangkat pasir keras itu di ember masing-masing.
Setelah penimbunan itu dirasa cukup, mereka mulai
mengeluarkan air yang berada di dalam rumah itu
menggunakan ember dan gayung. Tidak terasa air di
Euforia Senja
191
dalam rumah tinggal sedikit. Kejadian itu memakan
waktu dua jam.
Azan Subuh telang berkumandang, Ila dan
keluarganya kembali tidur dan sekarang tepukan yang
disambut suara tawa teman-teman Ila memenuhi ruang
kelas karena ia baru saja menceritakan pengalamannya
semalam yang membuat ia harus di hukum karena
terlambat datang ke sekolah.
Euforia Senja
192
Euforia Senja
193
PUZZLE KESEDIHAN
Noermayang Kaluku
Saronde, Gorontalo.
Ini liburan paling menyedihkan bagiku. Ketika
aku melihat Bapak dan Ibu bertengkar. Adikku menangis
sambil memeluk bantal. Teriak-teriakan yang menggema
di mana-mana. Kapan ini akan berakhir? Kenapa liburan
yang awalnya menyenangkan harus berakhir seperti ini?
Kenapa harus terjadi perpisahan?
***
Aku kembali ke kota setelah liburan menyedihkan
itu terjadi. Kata ibu, aku harus ikut dengannya. Tapi
hatiku tidak ingin memilih antara Ibu atau Bapak. Aku
ingin mereka kembali seperti dulu. Kembali bersama.
Akhirnya kuputuskan untuk menyewa kamar yang tidak
jauh dari rumah bapak maupun ibu. Sedangkan adik yang
masih kecil ikut dengan Ibu.
Aku mulai mencari kesibukan dengan
mendaftarkan diri ke salah satu kampus terbaik di
Gorontalo. Kampusnya tidak jauh dari tempatku, hanya
sekali naik bentor sudah sampai. Aku mulai menata
hidupku kembali. Walaupun luka ini belum sembuh. Rasa
rindu untuk berkumpul kembali masih sangat terasa dan
air mataku terus mengalir jika mengingat hal ini.
Di kampus aku dikenal sebagai anak tidak suka
bergaul. Karena masih trauma dengan kejadian itu. Aku
tidak suka dengan orang yang berusaha mendekat.
Euforia Senja
194
Bahkan ketika ada yang tersenyum aku jarang
membalasnya.
Ketika sedang duduk sendiri di taman. Aku
melihat seorang gadis seumuranku sedang berjalan
sambil membawa begitu banyak map. Lalu beberapa map
yang dibawanya tiba-tiba saja terjatuh.
“Perlu bantuan?”
“Oh, ya. Makasih.”
Lalu dia duduk di sampingku.
“Via.” Katanya sambil memberikan tangan.
“Feli,” entah kenapa aku mau diajaknya kenalan.
“Aku sering melihatmu,” lanjutnya lagi.
“Di mana?”
“Di kelasmu. Aku sering melihatmu sendiri.”
“Ya, aku memang suka sendiri.”
Semenjak kejadian itu aku dan Via menjadi sangat
dekat. Kami sering berbagi cerita dan selalu bersama.
Apalagi kami satu fakultas, yaitu Fakultas Ilmu
Pendidikan. Bisa dibilang kami sekarang sahabatan.
***
Akhir semester tiba. Dosen menyuruh kami untuk
magang di salah satu sekolah dasar terpencil di desa
Pinogu. Sebuah desa yang jauh di atas gunung. Selama
dua minggu kami menyiapkan diri untuk tinggal di sana
selama tiga bulan. Untunglah aku dipasangkan dengan
Via, jadi aku tidak perlu beradaptasi dengan orang baru.
Kami pun berangkat ke desa Pinogu. Akses ke
sana cukup sulit. Kami harus naik mobil selama kurang
lebih satu setengah jam. Sesampainya di pintu masuk
Euforia Senja
195
menuju desa Pinogu kami harus memilih antara jalan kaki
atau menyewa ojek. Dua-duanya sama-sama memakan
waktu enam sampai delapan jam. Akhirnya kami memilih
untuk menyewa ojek biar kami tidak sendirian.
Ongkosnya sih, lumayan mahal. Satu kali angkut satu
juta. Motornya pun unik. Dimodifikasi sedemikian rupa
supaya bisa melewati jalan yang sangat menanjak ini.
Sepanjang perjalanan kami harus beberapa kali
turun dari motor. Karena jalannya sangat menanjak.
Ditambah lagi dengan hari yang sudah gelap. Sebenarnya
jaraknya tidak terlalu jauh. Kata tukang ojek yang
membawa kami kalau jalannya tidak menanjak seperti ini
kami akan sampai di desa kurang lebih satu jam.
Kami sampai di desa ketika Subuh. Kami disambut
oleh pemandangan matahari terbit yang sangat
menakjubkan. Rasanya terbayar sudah rasa lelah kami
dengan pemandangan ini. Ditambah dengan hijaunya
perkebunan kopi di desa ini. Sungguh, pemandangan
yang jarang kami temui di kota.
Kepala desa menyarankan kami untuk istirahat
terlebih dahulu. Supaya besok kami bisa langsung
mengajar. Selama di sini, kami akan tinggal di rumah Pak
Kepala Desa.
***
Hari ini hari pertama kami mengajar di sekolah.
Mengikuti upacara dengan guru dan calon siswa-siswi
kami. Guru di sini hanya berjumlah tiga orang, empat
dengan Kepala Sekolah. Sedangkan murid-muridnya
kurang lebih ada 50 orang. Setiap guru harus mengajar
Euforia Senja
196
dua kelas sekaligus. Bangunannya pun hanya terdiri dari
lima ruangan. Tiga ruang kelas yang masing-masing
dibagi dua, satu perpustakaan dan satunya lagi ruang
Kepala Sekolah yang sekaligus menjadi ruang guru.
Mereka bersyukur dengan kehadiran kami.
Setidaknya kami dapat mengurangi beban mereka. Aku
pun bersyukur, siapa tahu dengan pergi ke sini dapat
mengobati luka akibat perceraian ibu dan bapak. Murid-
murid di sekolah ini menyambut kami dengan baik.
“Setiap murid di sini mempunyai ceritanya
masing-masing.” Kata Pak Kepala Sekolah pada kami
seusai upacara.
“Maksudnya, Pak?”
Beliau tidak menjawabnya. Beliau hanya
tersenyum menatap kami. Aku jadi penasaran apa
maksudnya.
Aku mengajar di kelas V dengan jumlah murid 15
orang. Sedangkan Via mengajar di kelas VI.
Alhamdulillah, selama mengajar di sini tidak ada
kesulitan yang berarti bagi kami. Hanya saja stok buku di
sekolah ini sangatlah kurang. Tidak jarang aku harus
membagi kelompok supaya semuanya dapat melihat buku.
Memang banyak yang menyumbangkan buku kemari.
Tapi karena akses ke sini sangat sulit, tak jarang banyak
proses pengiriman yang tertunda.
***
Tak terasa aku sudah satu setengah bulan.
Penduduk yang ramah, pemandangan yang indah, apalagi
kopi khas Pinogu buatan Ibu Kepala Desa enak sekali.
Euforia Senja
197
Rasa dan aromanya bikin aku lebih betah tinggal di sini.
Kalau Via selalu bilang ingin pulang, aku malah tidak
ingin pulang.
Benar kata Kepala Sekolah, setiap siswa di sini
punya ceritanya masing-masing. Salah satunya Dila.
Hampir setiap hari dia datang terlambat kalau ditanya dia
selalu tidak menjawab. Bukan hanya itu aku selalu
melihatnya sendiri. Bahkan ketika istirahat ketika teman-
temannya asyik bermain di luar, dia malah duduk sendiri
atau malah tidur di kelas. Suatu kali aku bertanya
kepadanya.
“Kamu tidak main dengan mereka?”
“Tidak, Bu.”
“Kenapa?”
“Karena saya suka sendiri.”
Mendengar jawaban itu aku jadi teringat ketika
aku dan Via berkenalan.
Karena aku merasa ada yang mengganjal.
Akhirnya aku mengikutinya sepulang sekolah. Rumahnya
cukup jauh. Melewati kebun kopi yang cukup luas. Lalu
aku melihatnya memasuki sebuah gubuk kecil. Di sana
aku melihat seorang nenek yang sudah renta dan seorang
anak kecil, kira-kira usianya satu setengah tahun. Dengan
tergesa-gesa dia memasuki gubuk itu dan berganti
pakaian. Setelah itu membuat kayu bakar, menimba air
dan memasukkannya ke panci. Kemudian dia mengambil
sedikit beras dan memasukkannya ke panci yang sudah
berisi air. Air mataku mengalir ketika melihatnya.
Euforia Senja
198
Sungguh sebuah pukulan hebat yang memukulku saat ini.
Akhirnya kuputuskan untuk mendekati anak itu.
“Assalamualaikum.”
“Walaikum.... Kenapa ibu ada di sini?” Dila sontak
kaget ketika melihatku.
Kami duduk di bangku yang menghadap langsung
ke kebun kopi. Setelah Dila membereskan peralatannya
memasak tadi.
“Ibu tadi mengikutimu.”
“Kenapa?”
“Ibu ingin tahu kenapa kamu sering terlambat.”
“Maaf, Bu.”
“Tidak apa-apa. Orang tua kamu ke mana?”
“Orang tua saya sudah meninggal tahun lalu
karena kecelakaan.” Jawabnya dengan isakan. Tak lama
kami mendengar adiknya menangis.
“Sebentar ya, Bu.” Katanya sambil berlari dan
menghapus air matanya.
Akupun membantunya mengurus nenek dan
adiknya. Dia menggendong adiknya di punggung,
sedangkan aku menyuapi neneknya yang sedang sakit.
Lalu kami pergi ke kebun kopi untuk memetik biji kopi di
sana. Upah yang diberikan lima ribu rupiah per kilo.
Tidak jarang mereka memberikan upah lebih karena
merasa kasihan padanya. Uang itu dipakai untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari dan obat untuk
neneknya.
“Kenapa kamu suka menyendiri?”
“Saya sebenarnya tidak suka menyendiri.”
Euforia Senja
199
Aku bingung mendengar pernyataannya. “Saya
ingin main dengan yang lain. Tapi saya sudah kelelahan,
Bu. Waktu istirahat di sekolah adalah waktu saya untuk
istirahat.”
Untuk kedua kalinya aku dipukul dengan sangat
keras. Seorang anak umur sebelas tahun harus
menanggung beban yang begitu berat. Mengurus adik
dan neneknya yang sedang sakit, bekerja banting tulang
untuk memenuhi kebutuhan. Semua pekerjaan itu dia
lalukan sendiri tanpa mengeluh. Waktu yang diberikan
pihak sekolah untuk istirahat selama 30 menit adalah
waktu yang sangat berharga untuknya.
“Dila, kamu mau dengar cerita Ibu?” Kataku
seusai memetik biji kopi.
“Cerita apa, Bu?”
“Ibu adalah seorang anak dari orang tua yang
berpisah. Ibu baru lulus SMA tapi sudah merasakan
perpisahan orang tua. Awalnya ibu kira ibu adalah orang
yang paling tidak beruntung di dunia ini. Tapi setelah
bertemu denganmu ibu merasa malu. Ibu banyak
mengeluh. Ternyata masih banyak orang yang lebih tidak
beruntung dari Ibu.”
Dila terdiam. Kami berjalan menyusuri luasnya
kebun kopi. Tiba-tiba Dila memberikan sebuah puzzle
dari tasnya.
“Untuk apa ini?”
“Saya sering bermain puzzle kalau sedang sedih.
Coba ibu bermain puzzle, pasti ibu tidak akan sedih lagi,”
katanya. “Ibu bilang puzzle itu seperti hati kita kalau
Euforia Senja
200
sedang sedih. Rasanya seperti terpisah-pisah. Jadi kita
harus menyatukannya kembali walaupun terasa sangat
sulit.”
Aku tersenyum dan menerima puzzle itu.
***
Masa magang kami telah usai. Aku dan Via harus
kembali ke kota untuk mengerjakan skripsi. Walaupun
sebenarnya aku tidak ingin pulang. Namun mau
bagaimana lagi tugas kami sebagai mahasiswa
menunggu. Setelah berpamitan dengan kepala desa. Kami
pun pergi ke sekolah untuk berpamitan pada murid-murid
kami.
Di sekolah, kami pun pergi ke kelas untuk
berpamitan pada murid-murid kami. Mereka semua
tampak sedih ketika melihatku. Terlebih lagi Dila yang
menangis ketika melihatku.
“Kamu kenapa menangis?” dia tidak menjawab.
Dia hanya memelukku dengan sangat erat seolah tak
ingin dilepas.
“Yang tegar, ya?” Dila mengangguk.
Aku dan Via sudah kembali ke kota. Rasanya baru
kemarin kami naik motor untuk pergi ke Pinogu.
Sekarang aku dan Via duduk menghadap laptop sambil
menikmati harumnya kopi pemberian ibu kepala desa
sebagai oleh-oleh.
Aku mulai menerima perpisahan ini. Mulai
mempererat kembali hubunganku dengan orang tuaku.
Seperti yang dikatakan Dila, aku harus mengutuhkannya
Euforia Senja
201
kembali. Seperti puzzle yang ia berikan. Terima kasih,
Dila.
Euforia Senja
202
Euforia Senja
203
RANDY
Syarafina Dewiyana Taha
Hujan kembali menerpa kota Gorontalo sore ini.
Beberapa orang berlarian mencari tempat berteduh.
Aroma kopi hangat yang begitu nikmat mengundangku
untuk menyesapnya sedikit, lalu memandang kembali
keluar jendela kafe.
Akhir-akhir ini, hujan sering turun. Yah, tidak
heran. Ini Desember, bulan yang tepat bagi hujan turun.
Ngomong-ngomong soal hujan, aku ingin
memperkenalkan diri. Namaku Putri Berliana Labagow,
biasa dipanggil Putri. Mungkin kalian berpikir bahwa aku
adalah cewek populer, cantik, stylish, anak gaul, dan masih
banyak lagi. Hei, aku bukan seperti itu. Sebaliknya, aku
hanyalah perempuan biasa. Orang-orang bilang bahwa
aku manis. Yah, tidak heran, aku memiliki bulu mata yang
lentik, bola mata berwarna coklat, pipi yang chubby,
hidung pesek, dan bibir merah ranum. Ditambah lagi aku
pendek dan mungil, sehingga menambah kesan yang
imut, katanya.
Oke, aku terlalu banyak berkoar-koar. Ternyata
hujan belum reda. Hmmm, hujannya benar-benar awet. Eh
cowok di sana itu ganteng juga.
"Eum... permisi, bolehkah saya duduk di sini?”
Aku menoleh ke asal suara itu, ternyata seorang cowok.
"Tentu saja." Balasku disertai senyuman. Cowok
itupun duduk di depanku. "Kafenya rame, emang setiap
hari begini, ya?" tanya cowok itu.
Euforia Senja
204
"Hmmm, iya, di sini emang rame," kataku, sambil
melirik para pengunjung kafe. Benar katanya, kafe hari ini
begitu ramai. "Baru kali ini aku melihatmu di sini, kamu
pelanggan baru, ya?" lanjutku.
"Ah iya, aku baru pindah ke sini." Katanya sopan.
Aku perhatikan, sepertinya dia memang berasal dari luar
daerah. Caranya berbicara, terasa asing di telingaku. Dia
memiliki bola mata yang indah, warna hitam. Bulu mata
yang lentik, alis tebal, rahang yang kokoh, bibir tipis yang
begitu merah. Apakah dia memakai lipstik? Aish, tidak
mungkin.
"Hei, ada apa? Kenapa geleng-geleng kepala?"
Uh… oh, wajahnya begitu dekat denganku. Ya ampun,
dia ganteng banget! "Lagi-lagi kamu melamun,"
kekehnya sambil memundurkan wajahnya. Aish, betapa
malunya aku, kurasa sekarang pipiku merah seperti
tomat.
"Eum... hehe maaf. Aku tadi cuman... cuman... ee…
anu...." Kenapa aku tergagap begini, sih?
"Anu apa? Oh aku tahu, pasti kamu terpesona kan
sama kegantenganku? Ngaku deh." Katanya sambil
memainkan alis. Astaga, cowok ini ternyata begitu narsis.
Dengan cepat aku membalas. "Apa? Terpesona?
Ya ampun, narsis banget, sih, kamu. Aku tadi cuman lagi
inget-inget besok ada PR apa.” Huh, kenapa aku paling
bodoh mencari alasan, sih? Lihat, kan, dia malah cengar-
cengir mendengar alasanku.
Euforia Senja
205
"Baiklah, alasan diterima." Emang aku
menyuruhnya apa menerima alasanku? Dasar cowok
menyebalkan!
"Ngomong-ngomong, kita belum kenalan.
Kenalkan namaku Randy Valero Bramasta, panggil aja
Randy." Katanya sambil mengulurkan tangan, aku pun
membalas uluran tangan itu.
"Putri."
"Putri aja? Tengah sama belakangnya nggak ada,
ya?" Cowok ini banyak tanya. "Ada. Tapi aku
males kasih tahu kamu," kataku jutek.
"Jangan jutek-jutek, dong. Manisnya jadi kurang."
Tuh, kan. Apa aku bilang. Cowok ini benar benar
menyebalkan!
"Gimana tidak jutek, kamu nyebelin!"
Cowok itu, malah ketawa-ketawa sendiri bak
orang gila. Setelah tawanya reda, dia pun berkata. "Ya
udah kalau kamu gak mau ngasih tahu, cepet atau lambat
aku bakalan tahu nama kamu," ucapnya, sambil
mengedipkan mata.
Huh? Cepat atau lambat? Emang kita bakalan
ketemuan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi
kepalaku. Layaknya bisa baca pikiran dia menyahut lagi,
“udah, gak usah dipikirin. Ntar rambutmu bisa rontok."
Apa katanya? Rontok? Dasar cowok....
"Hujannya udah reda, kamu nggak mau balik?"
Kutolehkan kepalaku ke luar jendela. Benar, hujan sudah
reda. Aku harus cepat pulang. Bisa-bisa aku dimarahin
mama. Buru-buru aku membereskan barang-barangku.
Euforia Senja
206
“Mau kuantar pulang, gak?” Gerakanku terhenti.
"Gak, makasih. Aku bisa pulang sendiri."
“Ya sudah kalau nggak mau, tapi aku tetep temenin
kamu nyariin bentor. Gimana?"
Hmmm…. boleh juga. "Oke, deh." Jawabku
singkat dan jelas.
Sebelum keluar, aku membayar di kasir. Tapi
gerakanku malah dihalangi oleh cowok itu. “Biar aku aja
yang bayar.”
“Totalnya berapa ya, Mbak?” Bukannya
menjawab, kasir itu malah terpesona sama kegantengan
Randy. Karena aku sebal, dengan muka datar aku
bertanya. “Mba, barapa depe total? Saya deng dia somo capat
pulang ini. Mo riki akan supaya tidak mo basah di jalan.”57
Mungkin karena mendengar suaraku yang begitu datar,
mbaknya tersadar lalu meminta maaf. Setelah dia
menyebutkan total yang harus dibayar, mbak kasir itu
meminta maaf kembali.
Setelah keluar dari kafe itu, tiba-tiba Randy
bertanya “Kamu tadi ngomong apa sama mbak kasirnya?”
Aku hanya tersenyum saat dia bertanya seperti
itu. Cowok itu pasti tidak mengerti apa yang aku katakan
tadi. Hihihi. “Gapapa, kok, gak usah dipikirin. Ntar
rambutmu rontok lagi,” kataku sambil tersenyum jahil.
Akhirnya aku bisa membuatnya kesal, yesss!
57“Totalnya berapa mba? Kami buru-buru mau pulang. Takut kehujanan nanti”
Euforia Senja
207
“Iya juga, ya, kan ada kamu buat mikirinnya. Jadi,
aku gak usah susah-susah buat mikir.” Dia terbahak.
Nyebelin! Sekarang aku kembali dibuat kesal.
“Oh ya, aku pinjam hp-mu, dong.”
Uh? “Buat apa?” Walaupun aku dibuat bingung
olehnya. Aku tetap memberikan hp-ku. “Untuk jaga-jaga,
di sini udah ada nomorku. Jadi, kalau ada apa-apa, hubungi
aku. Oke?”
Akupun mengangguk.
“Oke, kalau gitu. Kamu pulang, ya, sudah malam.
Ntar dimarahin mama kamu, loh.”
Lho? Kok dia tahu? “Oke, kalau gitu aku pulang
dulu. Daaa.” ucapku.
“Iya-iya, hati-hati, ya.”
Setelah hari itu, aku semakin dekat dengannya.
Setiap hari dia menjemputku sepulang sekolah, jalan-
jalan bersamanya, menceritakan hal-hal lucu. Apapun itu.
Semakin hari semakin dekat, akhirnya kami pun
berpacaran. Tapi entah mengapa, akhir-akhir ini dia
berbeda seperti biasa.
“Ran, kamu kenapa? Kenapa sikapmu jadi dingin
begini?” Aku heran, kenapa dia jadi begitu dingin
kepadaku. Apakah aku pernah berbuat salah?”
“Enggak kok, perasaan kamu aja kali.” Hmmm…
iya ya, perasaan aku aja. Gak mungkin dia menyembunyikan
sesuatu dariku.
Sampai suatu hari, dia pergi dari kehidupanku.
Meninggalkanku sendirian. Di tempat yang sama.
Tempat pertama kali aku bertemu dengannya. Hatiku
Euforia Senja
208
hancur, dia pergi begitu saja. Masih terngiang-ngiang di
kepalaku kata-kata itu. “
“Aku mau kita putus,” ucapannya membuatku
bagaikan tersambar petir. “Ke… kenapa? Kenapa harus
diakhiri?” aku terbata bertanya.
“Aku rasa hubungan ini udah nggak bisa
dilanjutin. Hubungan ini udah nggak kayak dulu lagi.”
Dengan mata terpejam dia berkata seperti itu.
“Kenapa, Ran? Apa salahku? Selama ini hubungan
kita baik-baik aja. Kenapa harus diakhiri?” Tak terasa air
mataku menetes. Satu, dua, tiga. Tak bisa kubendung lagi
tangisan itu.
“Maafin aku, Put.” Setelah berkata seperti itu, dia
pergi begitu saja. Pergi meninggalkanku.
Aku menangis sejadi-jadinya, tak peduli dengan
tatapan-tatapan itu. Aku terus menangis. Tiba-tiba aku
merasakan sentuhan dipundakku. Aku tersadar, dan
menoleh ke samping. Kudapati pelayan kafe yang
tersenyum lega, “Akhirnya, Mbak sadar juga! Loh mbak
nangis?”
Uh? Kusentuh pipiku. Ah ya, aku sedang
menangis.
“Nggak papa, Mbak. Terima kasih, ya.” Balasku
dengan senyuman.
Pelayan itu pun pergi.
Ternyata hanya imajinasiku saja. Akupun
tersenyum memandangi hujan yang belum juga reda.
“Boleh saya duduk di sini?”
“Randy...!”
Euforia Senja
209
PENANTIAN YANG TERBALASKAN
Sharen Ganap
Dua tahun lamanya aku memendam perasaan
kepada kakak kelasku, Kak Adit. Aku melihatnya pertama
kali saat dia menabrakku karena buru-buru masuk ke
kelasnya. Aku yang kaget karena ditabrak langsung jatuh
terduduk. Kak Adit langsung mengulurkan tangannya
untuk mengangkat aku dan kemudian meminta maaf.
Walaupun sakit tapi nggak apa-apa, deh. Orang yang
nabrak aja gantengnya minta ampun. Hehe… maaf lebay
dikit.
Kak Adit adalah seorang siwa kelas XII IPA 3.
Nama lengkapnya adalah Aditya Putra. Tubuhnya yang
tinggi dan atletis membuatnya terlihat tampan dengan
kulit putih bersih tanpa ada noda sedikitpun. Kak Adit
adalah kapten basket di sekolahku. Sungguh dia adalah
sosok yang begitu sempurna di mataku, seperti pangeran
di dongeng-dongeng saja.
Sebelumnya perkenalkan, namaku Dilla Fauzia.
Aku adalah siswa kelas XI IPS 1. Tinggiku sekitar 165
cm, kulit putih, rambut hitam panjang yang selalu kuurai.
Kata teman-teman, aku cantik.
Semenjak insiden aku ditabrak sama Kak Adit,
kami jadi dekat. Awalnya hanya rasa kagum biasa, namun
seiring berjalannya waktu lama-kelamaan berubah
menjadi rasa suka yang amat mendalam. Rasa suka itu
pun membuat aku selalu mencari tahu apa yang sering
Kak Adit lakukan, sampai apa yang disukai dan tidak
Euforia Senja
210
disukainya. Akupun selalu meng-update kegiatan yang
dilakukan, dia ada di mana, sama siapa, sampai lagi
ngapain. Lambat laun perasaan ini sudah semakin
membara dan tak dapat lagi kutahan. Secara diam-diam
aku menulis surat dan menaruhnya di dalam laci Kak Adit
saat semua siswa sudah pulang sekolah
Kak Adit, maafkan saya yang sudah lancang menulis
surat ini, tapi harus kak Adit tahu kalau aku sudah memendam
perasaan suka ke Kak Adit selama dua tahun terakhir. Surat
ini aku tulis untuk mewakili perasaanku sama Kakak.“ Dilla.
Pagi harinya aku sengaja datang lebih pagi untuk
melihat apakah Kak Adit sudah membaca surat itu atau
belum. Aku mengintip dari luar jendela kelasnya. Yang
benar saja, surat itu sudah ada di tangan Kak Adit. Setelah
kulihat wajahnya, dia senyum-senyum sendiri membaca
surat dariku. Oh Tuhan, apakah ini pertanda baik?
Dengan rasa senang aku pun langsung beranjak
dan pergi ke kelas untuk mengikuti pelajaran seperti biasa
namun dengan perasaan yang berbeda. Akhirnya setelah
dua tahun memendam perasaan ini, aku pun
memberanikan diri untuk mengungkapkannya. Semoga
awal yang baik, ya Tuhan.
Bel istirahat pun berbunyi, aku yang sudah
kelaparan langsung beranjak dari tempat dudukku untuk
segera ke kantin. Namun saat aku akan melewati pintu
kelas, ternyata sudah ada Kak Adit yang berdiri di situ.
Dan tanpa sengaja mata kami berdua saling bertatapan.
Duh, malu banget rasanya.
“ Dilla, beneran ini surat dari kamu? “ tanya Kak Adit
Euforia Senja
211
“ Be... ben... benar, Kak.” Jawabku gugup. Untung
saja kelas sudah sepi. Hingga tidak ada yang melihatku
kikuk begini.
Tanya kak adit lagi, “Kamu suka sama saya?”
“Iya, udah dari dua tahun lalu, Kak, semenjak
Kakak nabrak saya waktu itu.” Ucapku spontan. Tidak ada
jalan keluar lagi. Aku sudah kepalang basah mengakui
perasaanku ke Kak Adit. Biar nyemplung sekalian.
“Sebenarnya Kak Adit juga suka sama kamu.
Cuman Kak Adit malu ngungkapinnya. Soalnya, kakak
pikir kamu udah punya pacar. “
“Punya pacar? Apaan, sih. Aku itu sukanya cuman
sama Kakak.“ Ucapku ketus.
“Iya deh, maaf. Gini aja deh, kamu mau nggak jadi
pacar Kakak?“
Euforia Senja
212
Euforia Senja
213
KANIYA DAN SANIYA
Nursiya Safarini Mohamad
Aku, Saniya memiliki sahabat sejak kecil.
Namanya Kaniya. Kami dibesarkan di Gorontalo, negeri
Hulontalo yang kaya kuliner dan pemandangan alam.
“Saniya, aku punya kain Karawo58 baru. Ibu baru
saja menjahitnya kemarin.”
“Wah, cantik sekali motifnya.”
“Ibu menjahitkan juga untukmu. Bisa kita pakai
saat perpisahan sekolah.”
Tiba-tiba, Saniya menjadi sedih.
“Kenapa?”
“Sebentar lagi perpisahan. Aku akan kembali ke
desa. Kita pasti akan lama tidak bertemu.”
“Betul juga. Tapi, tenang saja. Kita akan berpisah
seperti bulan dan bintang.”
“Hah? Bulan dan bintang? Maksud kamu apa,
Kaniya?”
“Walaupun bulan dan bintang jaraknya sangat
berbeda, tetapi mereka selalu menerangi satu sama lain.
Begitu juga dengan kita berdua yang jauh di mata tapi
dekat di hati.”
Air mata pun mengalir dengan sendirinya dan
membasahi wajah, suasana menjadi hening.
58 Kerajinan tangan khas daerah Gorontalo yang dibuat dengan cara disulam
Euforia Senja
214
“Eh, ini kenapa jadi sedih? Ibu muncul dari dapur
membawa milu siram59 yang beraroma sangat harum dan
mengundang selera.”
“Ini, Ma. Saniya sedih karena akan kembali ke
desa.”
“Oh, begitu. Saniya, memangnya kamu tidak ingin
kuliah, Nak?”
Saniya diam. Betapa ia ingin kuliah, tapi ia tahu
keadaan orang tuanya sangat tidak memungkinkan.
Biayanya dari mana?
“Tante akan carikan informasi mengenai beasiswa
jika kamu ingin lanjut, Nak.” Ibu seperti mampu membaca
pikiran Saniya. “Begitu Tante dapat informasinya, Tante
akan mengabari keluargamu di Pohuwato.”
“Terima kasih, Tante.”
“Ayo, makan dulu? Makan bisa menghilangkan
kesedihan katanya.”
Kaniya bangga memiliki ibu seperti ibunya.
Tak terasa perpisahan tiba. Saniya pun kembali
ke Pohuwato. Tapi kabar gembira segera datang. Saniya
lolos menjadi salah satu penerima beasiswa Bidikmisi. Ia
diterima di Fakultas Pertanian. Kaniya diterima di
Fakultas Ekonomi.
Meskipun berbeda fakutas, Saniya dan Kaniya
tetap tak terpisahkan. Mereka selalu berusaha berkumpul
dalam satu minggu. Saniya diizinkan tinggal di rumah
59 Makanan berkuah khas Gorontalo seperti sup jagung yang dicampur ikan atau udang, rasanya manis, asin, dan pedas.
Euforia Senja
215
Kaniya yang anak tunggal seperti memiliki saudara
perempuan.
“Makasih, ya, Ma. Sudah mengizinkan Saniya
tinggal di sini. Tentu saja, sayang. Saniya sudah ibu
anggap sebagai anak sendiri.
“Sama sama. Mama ke dapur dulu, mau cuci
piring.” “Biar saya saja, Tante.” Saniya sudah muncul di
depan pintu kamar Kaniya.
“Sama-sama saja, yuk, Saniya? Biar mama
istirahat. Sahut Kaniya tidak mau kalah.
Begitulah, Saniya dan Kaniya menjadi gadis
kebanggaan. Mereka cerdas dan ramah, serta suka
menolong.
Cobaan datang ketika ayah Kaniya difitnah oleh
teman satu kantornya menggelapkan uang
perusahaannya. Mama Kaniya sampai uring-uringan
berhari-hari. Untungnya ada Saniya yang menemani
Kaniya melalui ujian berat itu.
Tok-tok…tok.
“Kaniya?”
Kaniya keluar dengan mata sembab. “Ada apa?”
“Sini, deh, aku ingin memberitahumu sesuatu.
Semoga bisa menolong ayahmu.”
“Benar itu, Saniya?” Kaniya lompat memeluk
sahabatnya.
Kaniya mengangguk. “Ayo, kita temui ibumu.”
“Bapak Saniya tak sengaja mendengar
pembicaraan di sebuah warung makan di Pohuwato, Ma.
Nama Ayah disebut-sebut.” Bapak Saniya pun diam-diam
Euforia Senja
216
meminjam hp yang punya warung dan merekam
pembicaraan itu.
Seolah mendapat suntikan tenaga, Ibu Kaniya
langsung memeluk Saniya.
Tok...tok...tok...
Terdengar ketukan pintu dari kamar mereka. Dan
ternyata itu mama.
“Ehh... mama ada apa?”
“Sekarang kamu dan Saniya bersiap-siap, ya, hari
ini mama sama papa mau ngajak kalian berdua ke Saronde.
Kita butuh liburan setelah kejadian kemarin.
“Horeee... siap, Ma.”
“Mama tunggu di mobil.”
Euforia Senja
217
DI BALIK JUTEK ADA KEBAIKAN
Miftina Suleman
Via dan Nana adalah dua sahabat baik. Via
orangnya baik, cantik, tinggi tapi jutek. Sedangkan Nana
orangnya baik, cantik, pendek, murah hati, namun
sifatnya masih kekanak-kanakan.
Persahabatan mereka dimulai sejak mereka duduk
di kelas satu SMP. Sekarang mereka sudah kelas dua
SMA. Mereka pun sekolah di SMK Negeri 1 Gorontalo.
Pagi yang cerah, Via sudah berada di kelas.
Namun tak lama kemudian Nana datang.
"Hai, Via."
"Hai juga Nana. Kok tumben datangnya telat?"
"Iya nih, hari ini aku bangunnya agak
kesiangan."
"Ngomong-ngomong, sebentar malam kamu ada
acara nggak?"
"Memangnya kenapa?"
"Aku pengen mengajak kamu makan di rumah
makan yang baru di buka di Gorontalo."
"Ayo, bagaimana kalau pulang sekolah saja?"
"Kayaknya itu ide yang bagus."
Tak lama kemudian bel sekolah berbunyi
menandakan bahwa sudah istirahat. Via mengajak Nana
pergi ke kantin. Di pertengahan menuju kantin, mereka
menabrak seorang laki-laki yang tidak dikenal oleh
mereka.
Euforia Senja
218
"Eh, kalo jalan pake mata, dong, gak liat apa ada
orang jalan di depan kamu?" seru Via kesal. Via memang
gadis yang gampang sekali marah. Dia sangat terkenal
dengan kejutekannya.
"Eh, maaf-maaf nggak sengaja." Jawab cowok itu.
"Iya, nggak papa kok. Maafin teman aku, ya, dia
nggak sengaja, Via." Jawab Nana
"Lain kali, kalau jalan liat-liat!" Via masih kesal.
"Iya, maafin aku, ya. Eh, bisa kenalan, gak?
Namaku Fahri." Fahri spontan memperkenalkan diri.
“Nana.”
"Kamu namanya siapa?" tanya Fahri ke arah Via.
"Via."
"Ruangan kepala sekolah di mana, ya?”
“Lurus aja, nanti pas ada belokan, kamu ke kanan.
Ruang Pak Kepsek tepat di ujung belokan itu.” Nana yang
menjawab lagi. Via membuang muka. Tanpa basa-basi,
Via menarik tangan Nana untuk segera pergi
meninggalkan Fahri.
“Ngapain sih kamu ramah banget sama orang
yang tidak dikenal? Via masih kesal rupanya.
"Via, kayaknya cowok yang tadi tuh murid baru
ya, kok aku tidak pernah liat?"
"Mungkin." Jawab Via pendek.
Tak lama kemudian bel berbunyi menandakan
bahwa jam istirahat selesai.
Tiba di kelas mereka, Fahri masuk bersama
dengan guru.
"Selamat siang anak-anak."
Euforia Senja
219
"Siang, Bu."
"Anak-anak kalian kedatangan murid baru
pindahan dari Kalimantan. Namanya Fahri."
"Hai, teman-teman perkenalkan namaku Fahri.
Semoga kita bisa berteman baik.
"Via, betul kan, Fahri itu murid baru di sekolah
kita.” Nana tersenyum senang, tapi Via tidak peduli.
"Iya benar, itukan cowok yang menabrak kita
pada saat kita pergi ke kantin." Jawab Via dengan kesal.
"Apakah sudah ada yang mengenal Fahri
sebelumnya?" tanya ibu guru.
“Iya, Bu." jawab Nana sambil mengangkat
tangannya.
"Na, apaan, sih? Bikin malu saja." Kata Via sambil
menurunkan tangannya Nana. Beberapa menit kemudian
bel sekolah berbunyi menandakan bahwa waktu sudah
menunjukkan pukul 01:30 artinya semua siswa pulang.
Hari demi hari Fahri menjadi dekat dengan Nana
dan Via. Via pun diam-diam menyukai Fahri yang ramah
dan pintar.
"Via, ternyata kamu baik juga, ya." Ujar Fahri
suatu hari.
"Memangnya kenapa?" tanya Via.
"Kamu tidak seperti yang kuduga." Jawab Fahri
"Maksud kamu?" tanya Via dan Nana dengan
bersamaan .
"Hmmm.... Yaudah, lupakan saja." Jawab Fahri
dengan menatap wajah Via
Euforia Senja
220
"Eh.... teman-teman, minggu besok kita ke
Benteng Otanaha, yuk. Lama aku tidak ke sana sejak
direnovasi. Katanya semakin cantik pemandangannya.
Via sudah suntuk di rumah.”
"Ayo, aku juga belum pernah ke sana.” Fahri
tampak bersemangat.
Keesokan harinya mereka bertiga pergi ke
Benteng Otanaha untuk refresing. Benteng itu tampak
anggun menghadapi zaman. Pemandangan Danau
Limboto di bawah sana menenangkan perasaan mereka
bertiga. Fahri diam-diam mengamati Via. Nana diam-
diam memperhatikan Fahri. Ketika puas berfoto dengan
berbagai pose konyol, mereka pun lelah dan memutuskan
pulang. Tiba-tiba, Via terpeleset di salah satu anak
tangga. Untung saja ada Fahri yang sigap di
belakangnya. Kalau tidak, entah apa yang terjadi.
“Makasih ya, Fahri.” Via kikuk. Perasaannya
berdebar-debar ketika tubuhnya ditangkap oleh Fahri
tadi.
Setelah mereka pulang dari Benteng Otanaha,
Fahri sudah memutuskan, dia menyukai Via. Via yang
jutek tapi baik.
"Na, kok tumben kamu datangnya sendirian?"
"Iya nih, Via hari ini nggak bisa masuk."
"Memang kenapa?" tanya Fahri dengan cemas
"Via sakit."
"Sakit apa?"
"Ginjal.” Nana tak bisa menyembunyikan
kesedihannya.
Euforia Senja
221
“Aduh, kasihan sekali!"
“Via tak suka dikasihani, Fahri. “
“Baiklah, terima kasih sudah memberitahuku. Sore
ini kita ke sana, yuk?”
“Tunggu saja sampai ia masuk. Ia ke Manado
berobat.”
“Oh, begitu.” Fahri galau karena harus bertemu
Via dalam waktu yang masih lama lagi."
Satu hal yang Fahri tidak tahu, Nana
menyukainya sejak ia tak sengaja menabrak Via pada hari
pertamanya tiba di sekolah. Nana suka senyum Fahri,
juga kebaikan Fahri selama mereka bersahabat. Namun
ketika Nana tahu bahwa Fahri hanya menyukai Via, Nana
merasa kesal dan marah kepada Via.
Sejak kejadian itulah Nana mulai menjauhi Via
dan Fahri. Via terus berusaha sembuh tapi ia kehilangan
Nana. Pada suatu kesempatan ketika akhirnya Via
kembali ke sekolah, Via pun menanyakan hal itu pada
Nana.
"Na, kenapa sih belakangan ini kamu selalu
menjauhiku dan Fahri?
"Aku menjauhi kalian karena aku sayang sama
Fahri."
"Apa? Jawab Via dengan terkejut.
"Sejak Fahri menabrak kita lalu dia mengajak
kenalan, saat kejadian itulah aku sudah mempunyai
perasaan kepadanya. Namun perasaanku berubah pada
saat kita bertiga menjadi sahabat. Hari demi hari kita
lewati bersama, perasaanku muncul kembali pada saat
Euforia Senja
222
kita pergi ke Benteng Otanaha. Namun beberapa hari
kemudian aku mendengar bahwa Fahri menembakmu.
Aku merasa kesal waktu aku mendengarnya."
Via terdiam mendengar penjelasan Nana. Namun
beberapa menit kemudian Via berkata,
"Kenapa kamu baru menceritakan semuanya
kepadaku?"
"Karena aku tidak mau persahabatan kita hancur."
"Kamu salah mengambil keputusan. Maka dari
inilah persahabatan kita hancur. Lalu bagaimana aku bisa
memperbaiki hubungan kita dan bisa membuatmu
bahagia?”
Nana diam. Via pun tahu apa yang akan dia
lakukan.
* * *
"Fahri, jika kamu mencintaiku maukah kamu
menikahi Nana kelak?"
Euforia Senja
223
SENYUM YANG PUDAR
Wulandari Manoppo
Namaku Dinda, lengkapnya Adinda Wulandari.
Nama depanku diambil dari nama Ayah, Adan dan nama
Ibuku, Indah. Tak punya saudara membuatku bosan di
rumah. Setiap hari harus mendengarkan perdebatan
mereka. Apakah hanya untuk itu aku dilahirkan? Ah, aku
tak peduli. Selama aku mendapatkan apa yang aku
inginkan. Asalkan mereka tidak berpisah. Biar saja
mereka bertengkar tiap hari. Tapi jangan berpisah.
Gubraaakkk!!!
Aku hampir terlonjak dari tempat dudukku.
Terdengar pintu dibanting. Mereka mulai lagi.
Sesekali aku memilih untuk tidak pulang ke
rumah. Rumah teman menjadi satu-satunya tempatku
mengalihkan pikiran. Pulang ke rumah berarti masuk ke
neraka.
Ibu sepertinya tak pernah benar-benar sayang
padaku, pada Ayah. Apa karena Ayah berasal dari
keluarga miskin? Tapi kenapa aku yang harus mendapat
dampaknya?
“Kok jendelanya dibiarkan terbuka, Nak? Nanti
kamu masuk angin.” Itu suara ayah. Saking asyiknya
melamun, aku tidak menyadari kedatangan Ayah. Dia
sudah berada di kamarku.
Mungkin aku harus bertanya langsung padanya.
“Ayah?”
“Ya, Nak?”
Euforia Senja
224
“Mengapa ayah dan ibu selalu bertengkar?”
Ayah tampak menarik napas.
“Sini, duduk dekat Ayah. “Ayah duduk di tepi
tempat tidurku.
Enam belas tahun yang lalu, sebelum kamu lahir,
Ibumu adalah majikan Ayah. Ayah bekerja sebagai sopir
di rumah orang tua Ibumu. Ayah bertemu ibumu saat
pertama kali menjemputnya di bandara. Ia wanita yang
sangat sibuk.
“Sekarang pun masih, Yah.” Ayah tersenyum.
Tanpa bisa Ayah cegah, Ayah jatuh cinta pada
ibumu. Ia wanita yang sangat peduli pada sesama. Pernah
suatu hari, kami harus singgah di sebuah pondok di tepi
jalan karena Ibumu melihat seekor kucing kecil tengah
kedinginan. Ibumu tampak tak tega meninggalkan kucing
itu. Ia pun membawanya. Sayangnya kucing itu tidak
berumur panjang.” Mata Ayah menerawang saat
bercerita.
“Ibumu sangat sayang padamu, Nak. Dia hanya
sedih karena harus meninggalkanmu terus. Dia marah-
marah itu hanya melepas stres karena pekerjaannya.”
“Tapi ibu melampiaskanya pada Ayah.”
“Tidak apa, Nak. Ibu mau menerima Ayah saja,
Ayah sangat bersyukur.”
“Kenapa Ibu mau sama Ayah?”
“Rasa suka itu misterius, Nak. Tidak bisa
dikendalikan kau akan suka atau sayang pada siapa.” Ayah
lalu tersenyum dan mengusap rambutku perlahan.” Suatu
saat kau pasti mengerti.
Euforia Senja
225
Bertahun-tahun kemudian aku mulai mengerti
apa yang dikatakan Ayah hari itu. Aku merasakan apa
yang ayah rasakan saat Dion, seorang murid baru yang
datang dari kabupaten terjauh di Gorontalo pindah
bersekolah di sekolahku. Dion mengingatkanku pada
kesabaran Ayah. Sebagai murid baru, ia selalu diejek
anak-anak karena ayahnya hanya tukang bentor. Tapi,
Dion tidak pernah menggubris mereka semua.
Tapi, aku hanya menyimpan perasaanku sendiri.
Sekolahmu harus selalu jadi prioritasmu, Dinda. Begitulah
dalam sekali percakapanku perempuan yang
melahirkanku tapi seperti tak menginginkanku. Hanya
itu yang dia katakan sebelum kembali pergi dengan koper
kerjanya. Entah untuk terbang ke mana lagi.
Aku dan Dion menjadi dekat dalam sebuah tugas
kelompok. Kami harus menulis esai tentang remaja dan
narkoba. Dion anak yang cerdas, tapi tak pernah mau
menonjolkan kemampuannya secara terang-terangan.
Nilainya tak pernah di bawah sembilan. Sikap itu pula
yang akhirnya meredakan ejekan teman-teman pada Dion
dan berbalik menghormatinya.
“Aku menyukaimu, Adinda.”
Bakso yang sedang berusaha kukunyah lolos
masuk ke kerongkonganku karena kaget dengan
pengakuannya barusan. Saat itu kami sedang makan di
kantin sekolah yang sepi karena jam istirahat belum tiba.
“Eh maaf, aku membuatmu kaget, ya? Ini minum
dulu.” Ia menyodorkan es teh.
Aku meneguknya untuk sembunyi dari rasa kaget.
Euforia Senja
226
“Aku tak bisa, Dion.“
“Kenapa?”
"Aku tak boleh memikirkan hal selain sekolah.”
“Kalau begitu, aku akan menunggumu. Sampai
kita tamat. Tidak, sampai aku selesai kuliah dan diterima
bekerja.
Aku minum lagi. Gila, anak ini serius rupanya.
“Sebenarnya, selain itu aku masih takut.”
“Takut kenapa?” Dion menatapku lekat.
“Aku pernah terluka. Kau tahu, kan, keadaan
orang tuaku. Aku tak percaya ada rasa yang bisa
membuatmu tidak membentak seseorang. Ibu begitu
sayangnya pada Ayah, tapi, tak tahan untuk tidak
bertengkar dalam sehari pun.”
“Aku tahu. Tapi tidak semua pasangan sama.”
“Pembicaraan ini harusnya kita tunda.“
Dion melempar pandangannya ke lapangan sepak
bola.
“Aku juga menyukaimu, Dion. Tapi aku tak bisa.
Setidaknya tidak sekarang.”
Dion berdiri dan meninggalkanku sendiri.
Kenapa hatiku sakit? Dion bukannya hanya
berusaha masuk di kehidupanku dan memberi sedikit
warna? Kenapa aku tidak memberinya kesempatan?
“Tidak Dinda, sekolah harus menjadi prioritas.”
Kembali suara Ibu terngiang di kepalaku.
Tapi, kehadiran Dion telah mengembalikan
senyumku yang lama pudar sejak Ibu berubah menjadi
sosok yang dingin di rumah. Dion berhasil membuatku
Euforia Senja
227
tertawa akan sikapnya yang konyol. Aku benci ini. Aku
benci harus menyakiti Dion.
Sejak saat itu, Dion menjauh. Dia bahkan minta
pindah sekolah. Hari itu di kantin, hari terakhir aku
berbicara dan bertemu dengannya.
Tuhan, mengapa hanya sebentar rasa senang kau
biarkan menyelimutiku. Kini kau menggantinya dengan
rasa kehilangan sekali lagi. Aku benci ketika dua hati
harus berpisah karena alasan yang salah.
Maafkan aku Dion, aku hanya takut apa yang
menimpa Ayah terjadi padaku. Air mataku jatuh tanpa
sanggup aku cegah.
Dion, Langit kita sama, tetapi mengapa saat aku
berteriak merindukanmu kau tak mendengarkannya?
Aku menatap langit yag tak satupun kulihat benda langit
yang selalu bekerlap-kerlip di sana.
Euforia Senja
228
Euforia Senja
229
DIVA
Nurfadila Olii
Hidup sederhana tak menjadi penghalang bagi
Diva. Anak remaja yang duduk di bangku kelas II IPA
SMA Kartika itu tidak putus asa untuk terus bisa
melanjutkan pendidikannya dengan giat belajar. Diva
anak yang pintar dan selalu berprestasi di kelasnya. Selain
itu, Diva juga gemar menulis puisi.
Diva telah ditinggal ayahnya untuk selamanya
sejak ia masih menginjak usia lima tahun. Sekarang, ia
hanya tinggal berdua dengan ibunya di rumah yang
ukurannya bisa dibilang kecil. Meskipun begitu, rumah
itu terlihat begitu terawat. Ada halaman kecil di depan
dan di belakang, dihiasi dengan berbagai macam tanaman.
Ibu Diva bekerja sebagai tukang jahit. Walau
pendapatannya tak seberapa, penghasilan Ibu Diva
lumayan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari
dan untuk biaya sekolah Diva.
Setiap hari minggu ataupun setiap hari libur, Diva
membantu ibunya dengan mengantarkan jahitan yang
sudah selesai dengan jalan kaki. Para pelanggan Ibu Diva
tinggal tidak jauh-jauh dari rumahnya. Diva yang sudah
terbiasa dengan pekerjaannya tidak pernah mengeluh
atau merasa lelah. Ia justru merasa sedih dan kasihan
kepada ibunya yang banting tulang untuk memenuhi
kebutuhan mereka sehari-hari, juga biaya sekolahnya.
Diva bertekad akan terus belajar agar ia bisa mencapai
Euforia Senja
230
cita-citanya dan dengan itu ia bisa membahagiakan serta
membanggakan ibunya satu saat nanti.
Suatu hari, Diva berada di halaman belakang
rumahnya. Ia duduk di bawah pohon yang rindang dan
menikmati suasana sore hari setelah selesai mengantar
jahitan. Baru saja ia membuka novel yang ingin
dibacanya, ibunya memanggilnya.
“Diva, ada Andre.”
“Tolong minta dia ke sini saja, Bu.”
Andre adalah sahabat Diva sejak SD. Ia adalah
anak tunggal dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya
adalah pemilik toko roti di daerah itu. Andre sudah
dianggap ibu Diva sebagai anaknya sendiri dan begitupun
sebaliknya. Meskipun dari keluarga berada, keluarga
Andre adalah orang baik dan ramah karena itulah Diva
bisa dekat dengan Andre dan keluarganya.
"Kamu lagi apa, Va?" kata Andre setelah datang
dan duduk di samping Diva.
“Tadinya sebelum kamu datang sih, saya mau baca
ini." Diva mengacungkan novel di tangannya. Ada apa,
Ndre?”
"Besok ada lomba menulis puisi, yang akan
diadakan di sekolah kita. Nah, puisi yang terbaik akan
mewakili sekolah kita ke tingkat pusat."
"Lalu? Apa hubungannya denganku?”
”Kamu ikut tidak? Kamu kan suka bikin puisi.
Siapa tahu kamu bisa menang. Hadiahnya beasiswa untuk
bisa melanjutkan pendidikan di Universitas Sastra loh."
Kata Andre semangat.
Euforia Senja
231
"Boleh juga, tapi aku masih agak ragu, Ndre."
Diva menundukan kepalanya. Andre yang melihat
keraguan di wajah Diva pun mencoba menghibur
sahabatnya.
"Va, coba saja dulu, jangan berputus asa sebelum
kamu berusaha. Kamu tidak usah memikirkan menang
atau kalah, bagus tak bagusnya puisimu yang penting
kamu sudah menyalurkan apa yang kamu punya dan
berusaha untuk yang terbaik.”
“Baiklah, aku akan coba dan berusaha jadi yang
terbaik, makasih ya, Ndre. Kamu selalu mendukung dan
selalu ada buat aku.”
Diva menggenggam tangan Andre dengan rasa
terima kasih yang besar.
Keesokan harinya, saat upacara bendera yang
wajib dilaksanakan setiap hari Senin selesai, seluruh siswa
masuk ke kelas masing-masing. Tidak berapa lama
seorang guru Bahasa Indonesia masuk ke kelas Diva dan
mendaftar siswa yang ingin mengikuti lomba puisi. Ada
beberapa siswa yang mendaftar lomba tersebut, termasuk
Diva sendiri.
Hari lomba menulis puisi pun tiba. Para peserta
lomba sudah berkumpul di aula yang sudah ditentukan
oleh panitia. Tidak lama kemudian lomba pun dimulai.
Para peserta diberikan waktu selama 120 menit untuk
menulis sebuah puisi. Dengan rasa penuh percaya diri,
Diva mulai membuat tulisan-tulisan di atas kertas yang
sudah disediakan panitia.
Euforia Senja
232
Sehari setelah itu, pengumuman hasil penilaian
juri terhadap puisi-puisi dari masing-masing siswa pun
diumumkan.
“Baiklah, puisi terbaik yang akan mewakili SMA
Kartika ke tingkat pusat adalah karya dari adik kita, Diva
Kaila Putri dari Kelas Sebelas IPA 2.” Mendengar
namanya yang disebutkan, Diva sangat gembira. Andre
segera memberinya selamat.
Diva tak percaya sekaligus merasa sangat bahagia
bahwa ia akan mewakili sekolahnya ke tingkat pusat.
Hari di mana Diva akan mewakili sekolahnya
untuk lomba puisi pun tiba. Diva merasa bangga bisa
mewakili sekolahnya walaupun nanti ia tak bisa
memastikan akan memenangkan lomba ini. Diva hanya
bisa berdoa dan berusaha.
Setelah lembaran puisi para peserta sudah
dikumpulkan, para juri pun mulai sibuk dengan
penilaiannya masing-masing. Diva hari itu ditemani
Andre. Kurang lebih satu jam menunggu, pembawa acara
sudah akan mengumumkan hasil penilaian para juri. Dari
sepuluh peserta yang mengikuti lomba tersebut, hanya
tiga yang akan terpilih menjadi juara dan akan membawa
pulang hadiah dan beasiswa untuk bisa masuk ke
Universitas Sastra. Ada juga uang tunai untuk tabungan
bagi yang juara. Diva dan Andre sangat tegang
menantikan pengumuman itu.
“Bapak dan Ibu serta adik-adik peserta, yang
menjadi pemenang dalam lomba puisi tingkat pusat
pertama diraih oleh siswa SMA Jaya Bakti atas nama
Euforia Senja
233
Sriputri Ananda dengan judul puisi ‘Hujan’, pemenang
kedua diraih oleh siswa SMA Kartika atas nama Diva
Kaila Putri dengan judul puisi ‘Sang Malam’, dan yang
pemenang ketiga diraih oleh SMA Bina Nusantara atas
nama Sulastri dengan judul puisi ‘Malaikat’.” Mendengar
apa yang dibacakan juri Diva dan Andre meneteskan air
mata bahagia dengan rasa syukur yang sangat besar.
Lomba puisi itu mengubah hidup Diva. Dan dia
sangat berterima kasih pada Andre yang telah
mendukungnya. Diva semakin giat belajar. Diva yang
giat belajar naik kelas dengan nilai yang memuaskan dan
meraih peringkat dalam kelasnya.
Tidak terasa dua semester telah berlalu, Diva
lulus dengan nilai yang sangat memuaskan dan sekali lagi
ia bisa membanggakan sang ibu. Dengan berbekal
beasiswa yang ia menangkan saat lomba puisi itu kini
Diva sudah kuliah di Universitas Sastra, Jakarta.
Sambil kuliah, Diva mulai menciptakan karya-
karyanya, esai, puisi, cerpen maupun novel.
Keseriusannya berkarya dan berlatih menjadikan tulisan-
ulisan Diva sangat menonjol. Perlahan, tulisan dan nama
Diva dikenal di Indonesia. Ia mendapat penghasilan yang
lumayan hingga bisa menghidupi ia dan ibunya. Ibunya
tetap menjahit, tapi kini, hal itu hanya untuk mengisi
waktu luangnya. Dari penghasilannya sebagai penulis,
Diva bisa mendirikan ibunya sebuah butik. Diva sungguh
bersyukur, atas jalan yang dipilihkan Tuhan untuknya.
Kesuksesan Diva perlahan membuktikan bahwa
anggapan orang yang mengatakan kalau penulis itu
Euforia Senja
234
hanya pekerjaan yang menghabiskan waktu dan
menghasilkan sedikit uang itu salah.