jurnal semantik

16
Jurnal Semantik The concept of Semantic (konsep dari semantik)- Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah ‘semaino’ yang berarti ‘menandai’atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis : signé linguistique). Menurut Ferdinan de Saussure (1966), tanda lingustik terdiri dari : 1) Komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa. 2) Komponen yang diartikan atau makna dari komopnen pertama. Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, dan sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adaah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai referent / acuan / hal yang ditunjuk. Jadi, Ilmu Semantik adalah : Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Ilmu tentang makna atau arti. A. Batasan Ilmu Semantik Istilah Semantik lebih umum digunakan dalam studi ingustik daripada istilah untuk ilmu makna lainnya,seperti Semiotika, semiologi, semasiologi,sememik, dan semik. Ini dikarenakan istilah-istilah yang lainnya itu mempunyai cakupan objek yang cukup luas,yakni mencakup makna tanda atau lambang pada umumnya. Termasuk tanda lalulintas, morse, tanda matematika, dan juga tanda-tanda yang lain sedangkan batasan cakupan dari semantik adalah makna atau arti yang berkenaan

Upload: ayen-katili

Post on 18-Feb-2015

434 views

Category:

Documents


43 download

DESCRIPTION

Jurnal MK. Semantic

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Semantik

Jurnal Semantik

The concept of Semantic (konsep dari semantik)-

Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata benda)

yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah ‘semaino’ yang berarti

‘menandai’atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-

tanda linguistik (Perancis : signé linguistique).

Menurut Ferdinan de Saussure (1966), tanda lingustik terdiri dari :

1) Komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa.

2) Komponen yang diartikan atau makna dari komopnen pertama.

Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, dan sedangkan yang ditandai atau

dilambangkan adaah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai

referent / acuan / hal yang ditunjuk.

Jadi, Ilmu Semantik adalah :

Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang

ditandainya.

Ilmu tentang makna atau arti.

A. Batasan Ilmu Semantik

Istilah Semantik lebih umum digunakan dalam studi ingustik daripada istilah untuk

ilmu makna lainnya,seperti Semiotika, semiologi, semasiologi,sememik, dan semik. Ini

dikarenakan istilah-istilah yang lainnya itu mempunyai cakupan objek yang cukup luas,yakni

mencakup makna tanda atau lambang pada umumnya. Termasuk tanda lalulintas, morse,

tanda matematika, dan juga tanda-tanda yang lain sedangkan batasan cakupan dari semantik

adalah makna atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal.

B. Hubungan Semantik dengan Tataran Ilmu Sosial lain

Berlainan dengan tataran analisis bahasa lain, semantik adalah cabang imu linguistik

yang memiliki hubungan dengan Imu Sosial, seperti sosiologi dan antropologi. Bahkan juga

dengan filsafat dan psikologi.

1. Semantik dan Sosiologi

Semantik berhubungan dengan sosiologi dikarenakan seringnya dijumpai kenyataan bahwa

penggunaan kata tertentu untuk mengatakan sesuatu dapat menandai identitas kelompok

penuturnya.

Contohnya :

Page 2: Jurnal Semantik

Penggunaan / pemilihan kata ‘cewek’ atau ‘wanita’, akan dapat menunjukkan identitas

kelompok penuturnya.

Kata ‘cewek’ identik dengan kelompok anak muda, sedangkan kata ‘wanita’ terkesan lebih

sopan, dan identik dengan kelompok orang tua yang mengedepankan kesopanan.

2. Semantik dan Antropologi.

Semantik dianggap berkepentingan dengan antropologi dikarenakan analisis makna

pada sebuah bahasa, menalui pilihan kata yang dipakai penuturnya, akan dapat menjanjikan

klasifikasi praktis tentang kehidupan budaya penuturnya.

Contohnya :

Penggunaan / pemilihan kata ‘ngelih’ atau ‘lesu’ yang sama-sama berarti ‘lapar’ dapat

mencerminkan budaya penuturnya.

Karena kata ‘ngelih’ adalah sebutan untuk ‘lapar’ bagi masyarakat Jogjakarta.

Sedangkan kata ‘lesu’ adalah sebutan untuk ‘lapar’ bagi masyarakat daerah Jombang.

The history of semantic (Sejarah semantic)

Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics, dari

bahasa Yunani Sema (Nomina) ‘tanda’: atau dari verba samaino ‘menandai’, ‘berarti’. Istilah

tersebut digunakan oleh para pakar bahasa untuk menyebut bagian ilmu bahasa yang

mempelajari makna. Semantik merupakan bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi

fonologi, tata bahasa (morfologi-sintaksis) dan semantik.

Istilah semantik baru muncul pada tahun 1984 yang dikenal melalui American

Philological Association ‘organisasi filologi amerika’ dalam sebuah artikel yang berjudul

Reflected Meanings: A point in Semantics. Istilah semantik sendiri sudah ada sejak abad ke-

17 bila dipertimbangkan melalui frase semantics philosophy. Sejarah semantik dapat dibaca

di dalam artikel “An Account of the Word Semantics (Word, No.4 th 1948: 78-9). Breal

melalui artikelnya yang berjudul “Le Lois Intellectuelles du Language” mengungkapkan

istilah semantik sebagai bidang baru dalm keilmuan, di dalam bahasa Prancis istilah sebagai

ilmu murni historis (historical semantics).

Historical semantics ini cenderung mempelajari semantik yang berhubungan dengan unsur-

unsur luar bahasa, misalnya perubahan makna dengan logika, psikologi, dst. Karya Breal ini

berjudul Essai de Semanticskue. (akhir abad ke-19).

Reisig (1825) sebagai salah seorang ahli klasik mengungkapkan konsep baru tentang

grammar (tata bahasa) yang meliputi tiga unsur utama, yakni etimologi, studi asal-usul kata

sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna; sintaksis, tata kalimat dalam

semasiologi, ilmu tanda (makna). Semasiologi sebagai ilmu baru pada 1820-1925 itu belum

disadari sebagai semantik. Istilah Semasiologi sendiri adalah istilah yang dikemukakan

Reisig. Berdasarkan pemikiran Resigh tersebut maka perkembangan semantik dapat dibagi

Page 3: Jurnal Semantik

dalam tiga masa pertumbuhan, yakni:

1. Masa pertama, meliputi setengah abad termasuk di dalamnya kegiatan reisig; maka ini

disebut Ullman sebagai ‘Undergound’ period.

2. Masa Kedua, yakni semantik sebagai ilmu murni historis, adanya pandangan historical

semantics, dengan munculnya karya klasik Breal(1883)

3. Masa perkembangan ketiga, studi makna ditandai dengan munculnya karya filolog Swedia

Gustaf Stern (1931) yang berjudul “Meaning and Change of Meaning With Special Reference

to the English Language Stern melakukan kajian makna secara empiris

Semantik dinyatakan dengan tegas sebagai ilmu makna, baru pada tahun 1990-an

dengan munculnya Essai de semantikue dari Breal, yang kemudian pada periode berikutnya

disusul oleh karya Stern. Tetapi, sebelum kelahiran karya stern, di Jenewa telah diterbitkan

bahan, kumpulan kuliah dari seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan perkembangan

linguistik berikutnya, yakni Ferdinand de Saussure, yang berjudul Cours de Linguistikue

General. Pandangan Saussure itu menjadi pandangan aliran strukturalisme. Menurut

pandangan strukturalisme de Saussure, bahasa merupakan satu sistem yang terdiri atas unsur-

unsur yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan (the whole unified). Pandangan

ini kemudian dijadikan titik tolak penelitian, yang sangat kuat mempengaruhi berbagai bidang

penelitian, terutama di Eropa.

Naming (penamaan)

Penamaan atau pemberian nama adalah soal konvensi atau perjanjian belaka di antara

sesama anggota statu masyarakat bahasa. (Aristoteles) Antara suatu satuan bahasa sebagai

lambang, misalnya kata, dengan sesuatu yang dilambangkannya bersifat sewenang-wenang

dan tidak ada hubungan “wajib” di antara keduanya. Jika sebuah nama sama dengan lambang

untuk sesuatu yang dilambangkannya, berarti pemberian nama itu pun bersifat arbitrer, tidak

ada hubungan wajib sama sekali. Misalnya antara kata <kuda> dengan benda yang diacunya

yaitu seekor binatang yang biasa dikendarai atau dipakai menarik pedati, tidak bisa dijelaskan

sama sekali. Lagi pula andaikata ada hubungannya antara lambang dengan yang

dilambangkannya itu, tentu orang Jawa tidak akan menyebutnya <jaran>, orang Inggris tidak

akan menyebutnya <horse>, dan orang Belanda tidak akan menyebutnya <paard>. Tentu

mereka semuanya akan menyebutnya juga <kuda>, sama dengan orang Indonesia.

Walaupun demikian, secara kontemporer kita masih dapat menelurusi sebab-sebab

atau peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya penamaan atau penyebutan

terhadap sejumlah kata yang ada dalam leksikon bahasa Indonesia.

Page 4: Jurnal Semantik

1 Peniruan Bunyi

Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang terbentuk sebagai hasil peniruan

bunyi. Maksudnya, nama-nama benda atau hal tersebut dibentuk berdasarkan bunyi dari

benda tersebut atau suara yang ditimbulkan oleh benda tersebut.

Misalnya, binatang sejenis reptil kecil yang melata di dinding disebut cecak karena

bunyinya “cak, cak, cak-“. Begitu juga dengan tokek diberi nama seperti itu karena bunyinya

“tokek, tokek”. Contoh lain meong nama untuk kucing, gukguk nama untuk anjing, menurut

bahasa kayak-kanak, karena bunyinya begitu.

Kata-kata yang dibentuk berdasarkan tiruan bunyi ini disebut kata peniru bunyi atau

onomatope.

2 Penyebutan Bagian

Penamaan suatu benda atau konsep berdasarkan bagian dari benda itu, biasanya

berdasarkan ciri khas yang dari benda tersebut dan yang sudah diketahui umum.

Misalnya kata kepala dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan bersa 10 kg.

Bukanlah dalam arti „kepala“ itu saja, melainkan seluruh orangnya sebagai satu kesatuan

(pars pro toto, menyebut sebagian untuk keseluruhan).

Contoh lainnya yaitu kata Indonesia dalam kalimat Indonesia memenangkan medali emas di

olimpiade. Yang dimaksud adalah tiga orang atlet panahan putra (tótem pro parte, menyebut

keseluruhan untuk sebagian.)

3 Penyebutan Sifat Khas

Penyebutan sifat khas adalah penamaan sesuatu benda berdasarkan sifat yang khas

yang ada pada benda itu yang hampir sama dengan pars pro toto. Gejala ini merupakan

peristiwa semantik karena dalam peristiwa ini terjadi transposisi makna dalam pemakaian

yakni perubahan dari kata sifat menjadi kata benda. Di sini terjadi perkembangan yaitu berupa

ciri makna yang disebut dengan kata sifat itu mendesak kata bendanya karena sifatnya yang

amat menonjol itu; sehingga akhirnya, kata sifatnya itulah yang menjadi nama bendanya.

Umpamanya, orang yang sangat kikir lazim disebut si kikir atau si bakhil. Yang kulitnya

hitam disebut si hitam, dan yang kepalanya botak disebut si botak.

Page 5: Jurnal Semantik

Di dalam dunia politik dulu ada istilah golongan kanan dan golongan kiri. Maksudnya,

golongan golongan kanan untuk menyebut golongan agama dan golongan kiri untuk

menyebut golongan komunis.

4 Penemu dan Pembuat

Nama benda dalam kosa kata bahasa Indonesia yang dibuat berdasarkan nama

penemunya, nama pabrik pembuatnya, atau nama dalam peristiwa sejarah disebut dengan

istilah appelativa.

Nama-nama benda yang berasal dari nama orang, antara lain, kondom yaitu sejenis

alat kontrasepsi yang dibuat oleh Dr. Condom; mujahir atau mujair yaitu nama sejenis ikan

air tawar yang mula-mula ditemukan dan diternakan oleh seorang petani yang bernama

Mujair di Kediri, Jawa Timur. Selanjutnya, dalam dunia ilmu pengetahuan kita kenal juga

nama dalil, kaidah, atau aturan yang didasarkan pada nama ahli yang membuatnya. Misalnya,

dalil arkhimides, hukum kepler, hukum van der tunk, dan sebagainya. Nama orang atau nama

pabrik dan merek dagang yang kemudian menjadi nama benda hasil produksi itu banyak pula

kita dapati seperti aspirin obat sakit kepala, ciba obat sakit perut, tipp ex koreksi tulisan,

miwon bumbu masak, dan lain sebagainya.

Dari peristiwa sejarah banyak juga kita dapati nama orang atau nama kejadian yang

kemudian menjadi kata umum. Misalnya kata boikot, bayangkara, laksamana, Lloyd, dan

sandwich. Pada mulanya kata bayangkara adalah nama pasukan pengawal keselamatan raja

pada zaman Majapahit. Lalu, nama ini kini dipakai sebagai nama korps kepolisian R.I. Kata

laksamana yang kini dipakai sebagai nama dalam jenjang kepangkatan pada mulanya adalah

nama salah seorang tokoh dalam wiracarita Ramayana. Laksamana adik Rama dalam cerita

itu memang terkenal sebagai seorang pahlawan. Kata boikot berasal dari nama seorang tuan

tanah di Iggris Boycott, yang karena tindakannya yang terlalu keras pada tahun 1880 oleh

perserikatan tuan tanah Irlandia tidak diikutsertakan dalam suatu kegiatan dikatakan orang itu

diboikot, diperlakukan seperti tuan Boycott. Kaat Llyoid seperti yang terdapat pada nama

perusahaan pelayaran seperti Djakarta Lloyd dan Rotterdamse Lloyd diturunkan dari nama

seorang pengusaha warung kopi di kota London pada abad XVII, yaitu Edward Lloyd.

Warung kopi itu banyak dikunjungi oleh para pelaut dan makelar perkapalan. Maka dari itu

namanya dipakai sebagai atribut nama perusahaan pelayaran yang searti dengan kata kompeni

atau perserikatan, khususnya perserikatan pelayaran.

Page 6: Jurnal Semantik

Kata Sandwich, yaitu roti dengan mentega dan daging didalamnya, berasal dari nama seorang

bangsawan Inggris Sandwich. Dia seorang penjudi berat, yang selalu membawa bekal berupa

roti seperti di atas agar dia bisa tetap sambil tetap bermain.

5 Tempat Asal

Sejumlah nama benda dapat ditelusuri berasal dari nama tempat asal benda tersebut.

Misalnya kata magnit berasal dari nama tempat Magnesia; kata kenari, yaitu nama sejenis

burung, berasal dari nama pulau kenari di Afrika; kata sarden atau ikan sarden, berasal dari

nama pulau Sardinia di Italia; kata klonyo berasal dari au de Cologne artinya air dari kuelen,

yaitu nama kota di Jerman Barat.

Banyak juga nama piagam atau prasasti yang disebut berdasarkan nama tempat penemuannya

seperti piagam kota Kapur, prasasti kedudukan bukit, piagam Telaga Batu dan piagam

Jakarta.

Selain itu ada juga kata kerja yang dibentuk dari nama tempat, misalnya, didigulkan yang

berarti di buang ke Digul di Irian jaya; dinusakambangkan, yang berarti di bawa atau

dipenjarakan di pulau Nusakambangan.

6 Bahan

Ada sejumlah benda yang namanya diambil dari nama bahan pokok benda itu.

Misalnya, karung yang dibuat dari goni yaitu sejenis serat tumbuh-tumbuhan yang dalam

bahasa latin disebut Corchorus capsularis, disebut juga goni atau guni.

Contoh lain, kaca adalah nama bahan. Lalu barang-barang lain yang dibuat dari kaca seperti

kaca mata, kaca jendela, dan kaca spion. Bambu runcing adalah nama sensata yang digunakan

rakyat Indonesia dalam perang kemerdekaan dulu. Bambu runcing dibuat dari bambu yang

ujungnya diruncingi sampai tajam. Maka di sini nama bahan itu, yaitu bambu, menjadi nama

alat sensata itu.

7 Keserupaan

Dalam praktek berbahasa banyak kata yang digunakan secara metaforis. Artinya kata

itu digunakan dalam suatu ujaran yang maknanya dipersamakan atau diperbandingkan dengan

makna leksikaldari kata itu.

Page 7: Jurnal Semantik

Misalnya kata kaki pada frase kaki meja dan kaki kursi dan ciri “terletak pada bagian

bawah”.contoh lain kata kepala pada kepala kantor, kepala surat dan kepala meja. Disini kata

kepala memiliki kesamaan makna dengan salah satu komponen makan leksikal dari kata

kepala itu, yaitu “bagian yang sangat penting pada manusia” yakni pada kepala kantor,

“terletak sebelah atas” yakni pada kepala surat, dan “berbentuk bulat” yakni pada kepala

paku. Malah kemudian, kata-kata seperti kepala ini dianggap sebagai kata yang polisemi, kata

yang memiliki banyak makna.

8 Pemendekan

Penamaan yang didasarkan pada hasil penggabungan unsur-unsur huruf dan beberapa

suku kata yang digabungkan menjadi satu. Misalnya rudal untuk peluru kendali, iptek untuk

ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tipikor untuk tindak pidana korupsi.

Kata-kata yang terbentuk sebagai hasil pemendekan ini lazim disebut akronim.

9 Penamaan Baru

Penamaan baru dibentuk untuk menggantikan kata atau istilah lama yang sudah ada

karena kata atau istilah lama yang sudah ada dianggap kurang tepat, kurang rasional, tidak

halus atau kurang ilmiah.

Misalnya, kata pariwisata untuk menggantikan kata turisme, darmawisata untuk

piknik, dan karyawan untuk mengganti kata kuli atau buruh. Penggantian kata gelandangan

menjadi tuna wisma, pelacur menjadi tunasfusila, dan buta huruf menjadi tuna aksara adalah

karena kata-kata tersebut dianggap kurang halus; kurang sopan menurut pandangan dan

norma sosial. Proses penggantian nama atau penyebutan baru masih akan terus berlangsung

sesuai dengan perkembangan pandangan dan norma budaya yang ada di dalam masyarakat.

Concep, sense and reference

Sense and reference

Broadly speaking, the reference (or referent) of a proper name is the object it means

or indicates. The sense of a proper name is whatever meaning it has, when there is no object

to be indicated. What this article has called sense and reference are what Frege calls Sinn and

Bedeutung, respectively, in the original German. Sometimes the pair of terms is translated as

sense and meaning or as sense and nominatum. The precise meaning of these terms can vary

quite significantly from writer to writer, so some caution is due.

Page 8: Jurnal Semantik

- For Sinn, writers have used the terms sense, meaning, intension, connotation, and content. -

For Bedeutung, writers have used the terms reference, referent, meaning, extension,

denotation, nominatum, and designatum. Note that (confusingly) each expression has been

translated as meaning by someone.

An expression's relation to sense or reference

Terminology has also been applied to capture the relation between

- an expression and its sense

- an expression and its reference

Frege is typically translated as saying that an expression "expresses its sense" and

"stands for or designates its reference". Yet earlier in the essay he offers another verb, refers,

writing of "that to which the sign refers, which may be called the reference of the sign". Since

then writers have variously said that an expression stands for, designates, refers to, or denotes

its reference. We can also say that an expression picks out its reference, or (alternatively) that

the sense of an expression is what picks out its reference.

Sense without reference

One application Frege saw for the distinction concerns what are called nonreferring,

nondenoting, or empty, expressions. These expressions do not have a reference, for example

"the greatest integer" [1]. Since there is not a greatest integer, the expression doesn't refer to

anything. But it seems perfectly meaningful, since we seem to understand claims like "The

greatest integer is larger than one million". Employing the sense-reference distinction, we can

say that the expression has a sense but lacks a reference.

Although the term "the greatest integer" has no reference in the conventional

arithmetic, in the ultra-intuitionistic arithmetic suggested by Alexander Esenin-Volpin (1960),

it has a reference because one of the axioms of this arithmetic is that there is "the greatest

integer." So, in one universe, an expression can have sense without reference, while in

another universe, the same expression can have both sense and reference.

Another example is Odysseus. Since he is a fictional character, the name Odysseus does not

appear to mean anyone at all; yet sentences like "Odysseus was set down on the beach at

Ithaca" are meaningful, in that they can be true or false. If a sentence's meaning is a function

of the meanings of its parts[2], then parts of the sentence, such as Odysseus, seemingly do have

meaning.

Whether this solution works, and whether it was even seriously intended by Frege, is

disputed. In order for it to work, it must be possible for a term to have a sense without a

reference, and this requires that sense cannot be defined simply as the mode of presentation of

the reference, since sometimes there is no reference being presented. Thus the view that the

sense-reference distinction solves the problem of empty names encourages the view that a

Page 9: Jurnal Semantik

sense is an individuating description (which could be understood with or without a reference

satisfying it). This makes a sense equivalent to a Russellian description (see below), and

makes Frege's position "descriptivist", leaving it prey to a number of difficulties raised

against that view. Other philosophers have argued that Frege is not a descriptivist, and hence

that the sense-reference distinction does not solve the problem of fictional names. Proponents

of this view often claim that sentences using empty names do not in fact express propositions,

hence are not literally meaningful, despite appearances. They face the difficulty of explaining

the apparent meaningfulness of sentences using the word Odysseus. On one view, fictional

names merely pretend to express propositions. Our understanding of sentences about

Odysseus consists then in our "playing along" (see Gareth Evans, Saul Kripke).

Linguistic Relativity

The orriginal idea, variously attribute to Boas, Sapir and Whorf was that the semantic

structure of different languages might be fundamentally incommensurable with consequences

for the way in which speaker specific language might think and act. Benjamin Lee Whorf

(1987-1941) a gifted amateur linguist independently interested in these issue as they related to

the nature of science, came into contact with Edward Sapir (1884-1939), an American

anthropologist, began developing these views to a more specific ways. They made a

hypothesis and made an observation about relation between language and world. Their

hypothesis are known as Sapir-Whorf hypothesis or linguistic relativity theory.

Linguistic relativity, the current term of the relationship between language and thought,

encompasses a series of debates stretching back to ancient Greece. It derives its modern form

from a school of thought establish by Baron Wilhelm. Linguistic relativity is the examination

of the relationship between thinking and the grammar of language: how what is considered

logical in any language grows out of what is grammatical. Linguistic relativity is not actually

a well-formulated theory at all, but a series of observations about the relationship between

language and thinking stretching back to the time of Plato. The major application of linguistic

relativity is in thinking about thinking itself, in trying to figure out how much of our own

cultural logic and views of reality are influenced simply by the language we speak.

Speech Act and verb in English

Perlocutionary act quite generally as the action or activity complex of achieving

something by means of speech, then not all perlocutionary acts are appropriately represented

the means. The figure represents only prelocutionary effect which follow as an intended result

of the hearer’s interpretation of the speaker illocutionary goal. Thus, while ask denotes an

illocutionary act which has, as a success condition, a decision to carry out the action that

Page 10: Jurnal Semantik

intends, the perlocutionarry verbs prevall upon and incite incorporate that success condition

as part of their meaning.

The contact between illocutions, perlocutions and other and other speech act categories

have typically been illustrated by list of verbs like expressions; for example:

Illocutionary: report, announce, predict, admit opine, ask, reprimand, request,

suggest, order, propose, express, congratulate, promise, thank, and exhort.

Perlocutionarry: bring to the learn that, persuade, device, encourage, irritate,

frighten, amuse, inspire, distract, embarrass, attract attention.

Jurnal

Created By

NURAIN KATILI

321 406 043

Page 11: Jurnal Semantik

ENGLISH DEPARTMENT

FACULTY OF LETTER AND CULTURE

GORONTALO STATE UNIVERSITY

2010