jurnal reading

31
Pedoman Internasional untuk Menangani Sepsis Berat dan Syok Septik R. Phillip Dellinger, MD1; Mitchell M. Levy, MD2; Andrew Rhodes, MB BS3; Djillali Annane, MD4; Herwig Gerlach, MD, PhD5; Steven M. Opal, MD6; Jonathan E. Sevransky, MD7; Charles L. Sprung, MD8; Ivor S. Douglas, MD9; Roman Jaeschke, MD10; Tiffany M. Osborn, MD, MPH11; Mark E. Nunnally, MD12; Sean R. Townsend, MD13; Konrad Reinhart, MD14; Ruth M. Kleinpell, PhD, RN-CS15; Derek C. Angus, MD, MPH16; Clifford S. Deutschman, MD, MS17; Flavia R. Machado, MD, PhD18; Gordon D. Rubenfeld, MD19; Steven A. Webb, MB BS, PhD20; Richard J. Beale, MB BS21; Jean-Louis Vincent, MD, PhD22; Rui Moreno, MD, PhD23; and the Surviving Sepsis Campaign Guidelines Committee including the Pediatric Subgroup*, 2013, Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012, www.ccmjournal.org Sepsis adalah respons sistemik individu pada infeksi yang merusak yang mengarah ke sepsis berat (disfungsi organ akut sekunder pada infeksi) dan syok septik (sepsis berat ditambah hipotensi yang tidak kembali dengan resusitasi cairan). Sepsis berat dan syok septik adalah masalah kesehatan utama, mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia setiap tahunnya, membunuh satu dari empat (bahkan lebih) dan angka kejadiannya meningkat. Seperti politrauma, infark miokard akut atau stroke, kecepatan dan ketepatan terapi yang diberikan pada jam-jam awal setelah sepsis berat berkembang cenderung mempengaruhi hasil. 1

Upload: fahmi-aryandi

Post on 17-Feb-2016

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sepsis

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Reading

Pedoman Internasional untuk Menangani Sepsis Berat dan Syok

Septik

R. Phillip Dellinger, MD1; Mitchell M. Levy, MD2; Andrew Rhodes, MB BS3; Djillali Annane, MD4; Herwig Gerlach, MD, PhD5; Steven M. Opal, MD6; Jonathan E. Sevransky, MD7; Charles L. Sprung, MD8; Ivor S. Douglas, MD9; Roman Jaeschke, MD10; Tiffany M. Osborn, MD, MPH11; Mark E. Nunnally, MD12; Sean R. Townsend, MD13; Konrad Reinhart, MD14; Ruth M. Kleinpell, PhD, RN-CS15; Derek C. Angus, MD, MPH16; Clifford S. Deutschman, MD, MS17; Flavia R. Machado, MD, PhD18; Gordon D. Rubenfeld, MD19; Steven A. Webb, MB BS, PhD20; Richard J. Beale, MB BS21; Jean-Louis Vincent, MD, PhD22; Rui Moreno, MD, PhD23; and the Surviving Sepsis Campaign Guidelines Committee including the Pediatric Subgroup*, 2013, Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012, www.ccmjournal.org

Sepsis adalah respons sistemik individu pada infeksi yang merusak yang mengarah ke sepsis berat (disfungsi organ akut sekunder pada infeksi) dan syok septik (sepsis berat ditambah hipotensi yang tidak kembali dengan resusitasi cairan). Sepsis berat dan syok septik adalah masalah kesehatan utama, mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia setiap tahunnya, membunuh satu dari empat (bahkan lebih) dan angka kejadiannya meningkat. Seperti politrauma, infark miokard akut atau stroke, kecepatan dan ketepatan terapi yang diberikan pada jam-jam awal setelah sepsis berat berkembang cenderung mempengaruhi hasil.

Pedoman ini bertujuan untuk menyediakan petunjuk bagi tenaga medis dalam merawat pasien dengan sepsis berat atau syok septik. Pedoman ini tidak bisa menggantikan kemampuan pengambilan keputusan tenaga medis ketika dia dihadapkan dengan berbagai kondisi pasien. Pedoman ini sesuai untuk pasien sepsis berat di ICU dan non-ICU. Perkembangan hasil yang baik tergantung pada perawatan pasien sepsis berat tersebut di non-ICU dan seluruh perawatan akutnya. Keterbatan sumber daya pada beberapa institusi dan negara dapat mencegah tenaga medis dalam pencapaian hal-hal tertentu.

Sepsis didefinisikan sebagai kehadiran infeksi bersama dengan manifestasi sistemik dari infeksi. Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis dan disfungsi organ yang diinduksi sepsis atau hipoperfusi jaringan. Hipotensi yang diinduksi sepsis di

1

Page 2: Jurnal Reading

definisikan sebagai tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg atau tekanan darah sistolik turun > 40 mmHg atau kurang dari dua standar deviasi di bawah normal tanpa penyebab hipotensi lainnya. Syok septik didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis yang menetap meskipun resusitasi cairan adekuat. Hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis, peningkatan laktat dan oliguria.

Kriteria Diagnostik Sepsis

Variabel Umum- Demam ( > 38,3°C)- Hipotermia (suhu inti < 36°C)- Nadi > 90 /menit- Takipnea- Perubahan status mental- Edema yang signifikan atau keseimbangan cairan positif ( > 20 mL /kgBB

selama 24 jam)- Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dL atau 7,7 mmol/L) tanpa

diabetesVariabel Inflamasi

- Leukositosis (sel darah putih > 12.000 /µL)- Leukopenia (sel darah putih < 4.000 /µL)- Jumlah sel darah putih normal dengan bentuk sel imaturnya lebih dari 10%- PCR plasma lebih dari dua standar deviasi di atas nilai normal- Procalcitonin plasma lebih dari dua standar deviasi di atas nilai normal

Variabel Hemodinamik- Hipotensi arteri (tekanan darah sistolik < 90 mmHg, tekanan arteri rata-

rata < 70 mmHg atau tekanan darah sistolik turun > 40 mmHg pada dewasa atau kurang dari dua standar deviasi dibawah normal)

Variable Disfungsi Organ- Hipoksemia arteri (PaO2 / FiO2 < 300)- Oliguria akut (produksi urin < 0,5 mL/kgBB/jam selama minimal 2 jam

meskipun resusitasi cairan adekuat)- Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dL atau 44,2 µmol/L- Abnormalitas koagulasi (INR > 1,5 atau aPTT > 60 detik)- Ileus ( bising usus negatif)- Trombositopenia (platelet < 100.000 /µL)- Hiperbilirubinemia (bilirubin total > 4 mg/dL atau 70 µmol/L)

Variable Perfusi Jaringan- Hiperlaktatemia (> 1 mmol/L)- Penuruanan capillary refill

2

Page 3: Jurnal Reading

Sepsis Berat

Hipotensi diinduksi sepsisLaktat diatas batas atas nilai laboratorikProduksi urin < 0,5 mL/kgBB/jam lebih dari dua jam meskipun resusitasi cairan adekuatGagal paru akut dengan PaO2 / FiO2 < 250 tanpa pneumonia sebagai sumber infeksiGagal paru akut dengan PaO2 / FiO2 < 200 dengan pneumonia sebagai sumber infeksiKreatinin > 2,0 mg/dL (176,8 µmol/L)Bilirubin > 2 mg /dL (34,2 µmol/L)Platelet < 100.000 µLKoagulopati (rasio normal internasional (INR) > 1,5)

MANAJEMEN SEPSIS BERAT

Resusitasi Awal

1. Resusitasi pada pasien dengan hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis (didefinisikan sebagai hipotensi persisten setelah pemberian cairan atau konsentrasi laktat darah ≥ 4 mmol/L. Resusitasi seharusnya diberikan segera setelah hipoperfusi diketahui dan tidak seharusnya ditunda menunggu penerimaan ICU. Pada 6 jam awal resusitasi, tujuan resusitasi pada pasien dengan hipoperfusi yang diinduksi sepsis yaitu mencakup semua kriteria berikut: CVP 8-12 mmHg, MAP ≥ 65 mmHg, produksi urin ≥ 0,5 mL/kgBB/jam, saturasi oksigen vena cava superior 70% atau saturasi oksigen vena 65%.

2. Target resusitasi yaitu untuk menormalkan laktat pada pasien dengan peningkatan kadar laktat sebagai penanda hipoperfusi jaringan.

Panel konsensus menilai penggunaan CVP dan SvO2 untuk menilai target fisiologis pada resusitasi. Meskipun ada keterbatasan CVP sebagai penanda status volume intravaskular dan respon terhadap cairan, CVP rendah umumnya dapat diandalkan sebagai pendukung respon positif terhadap pemberian cairan. Pengukuran saturasi oksigen yang dinilai secara intermiten atau kontinu dapat diterima. Selama 6 jam pertama resusitasi, jika ScVO2 kurang dari 70% atau SvO2 kurang dari 65% menetap dengan anggapan volume intravaskular yang memadai namun hipoperfusi jaringan menetap, maka infus dobutamin (maksimum 20 µg / kg / menit) atau transfusi Packed Red Cell (PRC) untuk mencapai hematokrit lebih besar atau sama dengan 30% untuk mencapai nilai target ScvO2 dan SvO2.

3

Page 4: Jurnal Reading

Pada pasien dengan ventilasi mekanik atau mereka yang diketahui memiliki penurunan kemampuan ventrikel, target CVP yang lebih tinggi yaitu 12 sampai 15 mm Hg harus dicapai untuk memperhitungkan hambatan dalam pengisian. Pertimbangan yang sama mungkin terjadi pada keadaan peningkatan tekanan abdomen. Peningkatan CVP juga dapat dilihat pada hipertensi arteri paru-paru yang signifikan, memanfaatkan variabel ini tidak dapat dipertahankan untuk menilai status volume intravaskular. Meskipun penyebab takikardi pada pasien septik mungkin multifaktorial, penurunan denyut nadi yang meningkat dengan resusitasi cairan sering merupakan penanda yang berguna dalam peningkatan pengisian intravaskular.

Prevalensi global pasien sepsis berat yaitu hadir dengan hipotensi dan laktat ≥ 4 mmol/L, hanya hipotensi atau hanya laktat ≥ 4 mmol/L, dilaporkan masing-masing 16,6%, 49,5%, dan 5,4%,

Jika ScvO2 tidak tersedia, normalisasi laktat mungkin menjadi pilihan yang layak pada pasien dengan hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis berat. ScvO2 dan normalisasi laktat mungkin juga digunakan ketika keduanya tersedia.

Strategi pada percobaan ini didasarkan pada penurunan laktat lebih besar dari atau sama dengan 20% per 2 jam pada 8 jam pertama selain pencapaian target ScvO2.

Skrining Sepsis dan Perbaikan Keadaan

1. Skrining rutin pada pasien infeksi berat yang berpotensi sepsis berat untuk meningkatkan identifikasi awal sepsis dan pelaksanaan terapi awal sepsis.

Mengurangi waktu untuk diagnosis sepsis berat dianggap komponen penting untuk menurunkan angka kematian disfungsi berbagai organ terkait sepsis. Kurangnya pengenalan awal merupakan kendala utama untuk terjadinya sepsis.

2. Peningkatan upaya penanganan sepsis berat untuk meningkatkan keadaan akhir pasien.

Diagnosis

1. Kultur yang sesuai dilakukan sebelum terapi antimikroba dimulai. Untuk mengoptimalkan identifikasi organisme penyebab, setidaknya ada dua set kultur darah (anaerob dan aerob) sebelum terapi antimikroba dengan setidaknya satu dari perkutan dan satu lagi dari alat akses vaskular, kecuali jika alatnya baru dipasang < 48 jam. Kultur darah ini bisa digunakan pada

4

Page 5: Jurnal Reading

waktu yang bersamaan jika diperoleh dari lokasi yang berbeda. Kultur dari tempat yang berbeda seperti urin, cairan serebrospinal, luka, sekret pernapasan atau cairan tubuh lainnya yang mungkin menjadi sumber infeksi seharusnya diperoleh sebelum terapi antimikroba.

Meskipun pengambilan sampel tidak seharusnya menunda pemberian agen antimikroba tepat waktu pada pasien dengan sepsis berat (misalnya, pungsi lumbal pada suspek meningitis), memperoleh kultur yang sesuai sebelum pemberian antimikroba adalah penting untuk mengkonfirmasi infeksi dan patogen yang bertanggung jawab dan untuk memungkinkan penghentian terapi antimikroba setelah diterimanya profil sensitifitas. Sampel dapat didinginkan atau dibekukan jika pemeriksaan tidak dapat dilakukan segera. Karena sterilisasi cepat pada kultur darah dapat terjadi dalam beberapa jam setelah dosis antimikroba pertama, memperoleh kultur sebelum terapi adalah penting jika organisme penyebab harus diidentifikasi. Dua atau lebih kultur darah yang direkomendasikan. Pada pasien dengan kateter (selama lebih dari 48 jam), setidaknya satu kultur darah harus diambil melalui setiap lumen masing-masing perangkat akses vaskular (jika memungkinkan, terutama untuk perangkat vaskular dengan tanda-tanda peradangan, disfungsi kateter, atau indikator pembentukan trombus). Perolehan kultur darah perifer dan melalui perangkat akses vaskular merupakan strategi penting. Jika organisme yang sama muncul dari kedua kultur tersebut, kemungkinan organisme tersebut yang menyebabkan sepsis berat.

Selain itu, jika volume darah yang diambil untuk kultur dan perangkat akses vaskular positif jauh lebih awal dari kultur darah perifer (yaitu lebih dari 2 jam sebelumnya), maka perangkat akses vaskular merupakan sumber infeksi. Kultur kuantitatif dari kateter dan darah perifer mungkin juga berguna untuk menentukan apakah kateter adalah sumber infeksi. Volume darah yang diambil dengan tabung kultur seharusnya ≥ 10 mL. Kultur kuantitatif (atau semikuantitatif) dari sekret saluran pernapasan sering direkomendasikan untuk diagnosis pneumonia terkait ventilator, tetapi nilai diagnostik mereka masih belum jelas.

Pewarnaan Gram dapat berguna, khususnya untuk spesimen saluran pernafasan, untuk menentukan kehadiran sel-sel inflamasi (lebih dari lima leukosit polimorfonuklear / lapang pandang besar dan kurang dari sepuluh sel skuamosa / lapang pandang kecil) dan hasil kultur akan informatif untuk patogen pernapasan bawah. Uji cepat antigen influenza juga direkomendasikan selama periode aktivitas influenza meningkat di masyarakat. Riwayat dapat memberikan informasi penting tentang faktor-faktor risiko potensial untuk infeksi dan kemungkinan patogen pada jaringan tertentu.

Kegunaan kadar prokalsitonin atau biomarker lainnya (seperti protein C-reaktif) untuk membedakan pola inflamasi akut sepsis dari penyebab lain

5

Page 6: Jurnal Reading

peradangan sistemik (misalnya, pasca operasi, bentuk lain dari shock) belum ditunjukkan. Tidak ada rekomendasi penggunaan penanda tersebut untuk membedakan antara infeksi berat dan keadaan inflamasi akut lainnya.

Dalam waktu dekat, metode diagnostik berdasarkan non-kultur yang cepat (polymerase chain reaction, spektroskopi massa, microarray) mungkin bisa membantu untuk identifikasi patogen lebih cepat dan penentu resistensi antimikroba utama. Metodologi ini bisa sangat berguna untuk patogen yang sulit dikultur atau dalam situasi klinis dimana agen antimikroba empiris telah diberikan sebelum sampel kultur diperoleh.

2. Uji 1,3 β-D-glukan, mannan dan antibodi anti-mannan dilakukan ketika kandidiasis invasif dicurigai sebagai diagnosis diferensial.

Diagnosis infeksi jamur sistemik (biasanya kandidiasis) pada pasien kritis dapat diperhitungkan, dan metodologi diagnostik cepat, seperti tes deteksi antigen dan antibodi, dapat membantu dalam mendeteksi kandidiasis pada pasien ICU. Tes tersebut menunjukkan hasil yang positif secara signifikan lebih cepat dari metode kultur standar, tetapi reaksi positif palsu dapat terjadi karena kolonisasi, dan diagnostik tersebut dalam mengelola infeksi jamur di ICU membutuhkan penelitian lebih lanjut.

3. Pemeriksaan pencitraan dilakukan segera sebagai upaya untuk mengkonfirmasi sumber potensi infeksi. Sumber potensi infeksi tersebut seharusnya menjadi sampel untuk diidentifikasi dan dipertimbangkan pada pasien berisiko akibat prosedur invasif.

Studi diagnostik dapat mengidentifikasi sumber infeksi yang memerlukan pengambilan benda asing atau drainase untuk memaksimalkan respons terapi.

Terapi Antimikroba

1. Pemberian obat antimikroba intravena dalam satu jam pertama setelah syok septik dikenali dan sepsis berat tanpa syok septik seharusnya menjadi tujuan terapi.

Pemasangan akses vaskular dan pemulaian resusitasi cairan secara agresif adalah prioritas pertama ketika menangani pasien dengan sepsis berat atau syok septik. Pemberian infus agen antimikroba juga harus menjadi prioritas dan mungkin memerlukan tambahan akses vaskular.

Pemberian agen antimikroba untuk mengobati patogen yang bertanggung jawab secara efektif dalam 1 jam setelah diagnosis sepsis berat dan syok septik.

6

Page 7: Jurnal Reading

Jika agen antimikroba tidak dapat dicampur dan dikirimkan segera dari apotek, membuat antibiotik campuran untuk situasi yang mendesak tersebut adalah strategi yang tepat untuk memastikan pemberian yang cepat. Namun, banyak antibiotik tidak akan tetap stabil jika dicampur dalam suatu larutan.

Dalam memilih obat antimikroba, dokter harus menyadari bahwa beberapa obat antimikroba memiliki keuntungan yaitu pemberian bolus, sementara yang lainnya memerlukan pemberian secara infus yang lama. Dengan demikian, jika akses vaskular terbatas dan banyak obat yang berbeda harus diberikan, obat bolus mungkin memberikan keuntungan.

2. Terapi empiris anti infeksi diberikan segera, satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas terhadap semua jenis patogen baik bakteri, jamur atau virus dan mampu menembus ke jaringan yang diduga kuat menjadi sumber sepsis dengan konsentrasi yang adekuat.

Pilihan terapi antimikroba empiris tergantung pada riwayat pasien, termasuk intoleransi obat, antibiotik terakhir yang dikonsumsi (3 bulan sebelumnya), penyakit yang mendasari, sindrom klinis, dan pola sensitifitas patogen dalam masyarakat dan rumah sakit, dan yang sebelumnya telah menginfeksi pasien. Patogen yang paling umum yang menyebabkan syok septik pada pasien rawat inap adalah bakteri Gram-positif, diikuti oleh mikroorganisme bakteri Gram-negatif dan mikroorganisme campuran. Kandidiasis, sindrom syok toksik, dan patogen tertentu yang jarang harus dipertimbangkan pada pasien tertentu. Berbagai macam patogen potensial dapat muncul pada pasien neutropenia. Baru-baru ini penggunaan agen anti infeksi umumnya dihindari. Ketika memilih terapi empiris, dokter harus menyadari virulensi dan perkembangan prevalensi Staphylococcus aureus resisten oksasilin (methicillin), dan resistensi terhadap beta laktam spektrum luas dan carbapenem antara basil Gram-negatif pada beberapa komunitas dan lembaga kesehatan. Dalam wilayah di mana prevalensi organisme yang resistan terhadap obat tersebut, terapi empirik yang adekuat untuk mengatasi patogen tersebut dibenarkan.

Dokter juga harus mempertimbangkan apakah candidemia adalah kemungkinan patogen ketika memilih terapi awal.

Pemilihan terapi antijamur empiris (misalnya, echinocandin, triazoles seperti flukonazol, atau formulasi amfoterisin B) harus disesuaikan dengan pola lokal spesies Candida paling umum dan eksposur baru-baru ini untuk obat antijamur. Pedoman Infectious Diseases Society of America (IDSA) merekomendasikan baik flukonazol atau echinocandin. Penggunaan secara empiris echinocandin disukai oleh kebanyakan pasien dengan penyakit berat, terutama pada pasien yang baru saja diobati dengan agen antijamur, atau jika diduga infeksi Candida glabrata dari kultur sebelumnya. Pengetahuan tentang

7

Page 8: Jurnal Reading

pola resistensi lokal untuk agen antijamur harus memandu pemilihan obat sampai hasil tes sensitifitas jamur, jika tersedia, dilakukan. Faktor risiko untuk candidemia, seperti imunosupresi atau neutropenia, sebelum terapi intens antibiotik, atau kolonisasi di beberapa lokasi, juga harus dipertimbangkan ketika memilih terapi awal.

Seleksi awal terapi antimikroba harus cukup luas untuk mencakup semua kemungkinan patogen. Pilihan antibiotik harus dipandu oleh pola lokal prevalensi bakteri patogen dan data sensitifitas.

Paparan baru-baru ini terhadap antimikroba (dalam 3 bulan terakhir) harus dipertimbangkan dalam pilihan rejimen antibakteri empirik. Pasien dengan sepsis berat atau syok septik memerlukan antimikroba spektrum luas sampai organisme penyebab dan sensitifitas antimikrobanya diketahui.

Namun, segera setelah patogen penyebab telah diidentifikasi, penghentian harus dilakukan dan lanjut dengan memilih antimikroba yang paling tepat yang dapat menangani patogen, aman dan hemat biaya.

Semua pasien harus menerima dosis penuh setiap agen antimikroba. Pasien dengan sepsis sering memiliki fungsi ginjal dan hepar yang abnormal, atau mungkin memiliki distribusi volume tinggi yang abnormal karena resusitasi cairan yang agresif sehingga membutuhkan penyesuaian dosis. Pemantauan konsentrasi serum obat diperlukan untuk memastikan efektivitas maksimal konsentrasi serum obat dan toksisitas yang minimal.

3. Obat antimikroba seharusnya dinilai kembali setiap hari untuk mencegah resistensi obat, menurunkan toksisitas dan menurunkan biaya pengobatan.

Setelah patogen penyebab teridentifikasi, agen antimikroba yang paling tepat yang mampu mengatasi patogen, aman dan hemat biaya harus dipilih. Kadang-kadang, terus menggunakan kombinasi spesifik antimikroba mungkin diindikasikan bahkan setelah uji sensitifitas tersedia (misalnya, Pseudomonas spp hanya sensitif terhadap aminoglikosida; endokarditis enterococcal; infeksi Acinetobacter spp. hanya rentan untuk polymyxins). Keputusan pilihan antibiotik definitif harus didasarkan pada jenis patogen, karakteristik pasien dan regimen yang disedikan oleh rumah sakit.

Penyempitan spektrum antimikroba dan penurunan durasi terapi antimikroba akan mengurangi kemungkinan perkembangan superinfeksi dengan patogen lain atau organisme resisten, seperti spesies Candida, Clostridium difficile, atau Enterococcus faecium resisten vankomisin.

8

Page 9: Jurnal Reading

4. Penggunaan kadar prokalsitonin rendah atau biomarker serupa untuk membantu penghentian antibiotik empiris pada pasien yang muncul sepsis tapi belum ada bukti infeksi.

Penggunaan prokalsitonin sebagai alat untuk menghentikan obat antimikroba yang tidak perlu. Namun, pengalaman klinis dengan strategi ini terbatas dan potensi bahaya tetap menjadi perhatian. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa praktek ini mengurangi prevalensi resistensi antimikroba atau risiko diare terkait antibiotik dari C. difficile. Satu studi baru-baru ini gagal menunjukkan manfaat dari pengukuran harian prokalsitonin dalam terapi antibiotik.

5. Terapi empiris seharusnya memiliki aktivitas antimikroba terhadap patogen yang paling mungkin berdasarkan lokasi penyakit pasien dan pola infeksi. Kombinasi terapi empiris untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat dan untuk pasien yang sulit diobati, patogen yang resisten terhadap banyak obat seperti Acinetobacter dan Pseudomonas spp. untuk pasien dengan infeksi berat yang berhubungan dengan gagal napas dan syok sepsis, terapi kombinasi dengan beta-laktam spektrum luas dan aminoglikosida atau floroquinolon digunakan untuk bakteremia P. Aeruginosa. Kombinasi beta-laktam dan makrolida disarankan untuk pasien dengan syok septik karena infeksi bakteri Streptococcus pneumoniae.

Kombinasi obat mungkin diperlukan dalam penanganan patogen yang sangat resisten antibiotik muncul, dengan obat seperti carbapenems, colistin, rifampisin, atau obat lainnya. Namun, penelitian terbaru menyarankan bahwa menambahkan fluorokuinolon ke carbapenem sebagai terapi empirik tidak meningkatkan hasil pada populasi risiko rendah terjadinya infeksi karena mikroorganisme yang resisten.

6. Kombinasi terapi, ketika digunakan secara empiris pada pasien dengan sepsis berat seharusnya tidak diberikan lebih dari 3-5 hari. Terapi yang sesuai seharusnya segera diberikan setelah profil sensitifitas diketahui. Kecuali monoterapi aminoglikosida yang seharusnya secara umum dihindari, terutama untuk sepsis akibat P. aeruginosa dan beberapa bentuk endokarditis dimana diperlukan pengobatan kombinasi antibiotik dalam jangka panjang.

Mengingat peningkatan frekuensi resistensi terhadap agen antimikroba di berbagai belahan dunia, cakupan spektrum luas umumnya memerlukan penggunaan kombinasi antimikroba. Terapi kombinasi yang digunakan dalam konteks ini berkonotasi setidaknya ada dua kelas antibiotik yang berbeda

9

Page 10: Jurnal Reading

(biasanya agen beta laktam dengan makrolida, fluorokuinolon, atau aminoglikosida untuk pasien).

Terapi kombinasi untuk suspek Pseudomonas aeruginosa atau patogen Gram negatif resisten berbagai obat, menunggu hasil sensitifitas, meningkatkan kemungkinan bahwa setidaknya menggunakan satu obat yang efektif terhadap strain tersebut.

7. Durasi terapi 7-10 hari. Pengobatan yang lebih lama mungkin sesuai pada pasien yang memiliki respons klinis yang lambat, fokus infeksi yang tidak terdrainase dengan baik atau defisiensi imun termasuk neutropenia.

Meskipun faktor pasien dapat mempengaruhi lamanya terapi antibiotik, secara umum, durasi 7-10 hari (tidak adanya masalah pada kontrol sumber infeksi) sudah cukup. Dengan demikian, keputusan untuk meneruskan, menyempitkan, atau menghentikan terapi antimikroba harus dilakukan atas dasar pertimbangan dokter dan informasi klinis. Dokter harus menyadari bahwa kultur darah akan negatif dalam persentase yang signifikan dari kasus sepsis berat atau syok septik, meskipun banyak dari kasus-kasus ini sangat mungkin disebabkan oleh bakteri atau jamur.

8. Terapi antivirus diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan sepsis berat atau syok septik karena virus.

Rekomendasi untuk pengobatan antivirus termasuk penggunaan: a) pengobatan antivirus dini diduga atau dikonfirmasi influenza di antara orang-orang dengan influenza yang parah (misalnya, mereka yang memiliki berat, parah, atau penyakit progresif atau yang membutuhkan perawatan di rumah sakit); b) pengobatan antivirus dini dicurigai atau dikonfirmasi influenza di kalangan orang dengan risiko lebih tinggi untuk komplikasi influenza; dan c) terapi dengan neuraminidase inhibitor (oseltamivir atau zanamivir) untuk orang dengan influenza yang disebabkan oleh virus H1N1 2009, virus influenza A (H3N2), atau virus influenza B, atau ketika jenis virus influenza atau subtipe virus influenza A tidak diketahui. Sensitifitas untuk antiviral sangat bervariasi dalam virus yang berkembang pesat seperti influenza, dan keputusan terapi harus dipandu oleh informasi terbaru mengenai paling aktif, strain-spesifik, obat antivirus selama epidemi influenza.

Viremia Cytomegalovirus (CMV) yang aktif umumnya (15% -35%) pada pasien kritis; kehadiran CMV dalam aliran darah telah berulang kali ditemukan menjadi indikator prognostik yang buruk. Apa yang tidak diketahui adalah apakah CMV hanya merupakan penanda penyakit keparahan atau jika virus benar-benar memberikan kontribusi untuk cedera organ dan kematian pada pasien septik.

10

Page 11: Jurnal Reading

Pada pasien dengan infeksi virus varicellazoster yang parah, dan pada pasien langka dengan infeksi herpes simpleks diseminata, agen antivirus seperti acyclovir dapat sangat efektif bila diberikan di awal perjalanan infeksi.

9. Obat antimikroba tidak digunakan pada pasien dengan inflamasi berat yang disebabkan bukan karena infeksi.

Ketika infeksi tidak ditemukan, terapi antimikroba harus dihentikan segera untuk meminimalkan kemungkinan bahwa pasien akan terinfeksi oleh patogen resisten antimikroba atau akan muncul efek samping obat.

Dokter harus menyadari bahwa kultur darah akan negatif pada lebih dari 50% kasus sepsis berat atau syok septik jika pasien menerima terapi antimikroba empiris; namun banyak dari kasus sangat mungkin disebabkan oleh bakteri atau jamur. Dengan demikian, keputusan untuk melanjutkan, menyempitkan, atau menghentikan terapi antimikroba harus dilakukan atas dasar pertimbangan dokter dan informasi klinis.

Kontrol Sumber Infeksi

1. Diagnosis anatomis yang spesifik dari lokasi infeksi yang membutuhkan pertimbangan untuk segera kontrol sumber infeksi (seperti infeksi jaringan lunak nekrotik, peritonitis, kolangitis, infark intestinal) perlu dicari atau disingkirkan sesegera mungkin sehingga dapat segera diintervensi untuk mengontrol sumber infeksi dalam 12 jam pertama setelah diagnosis ditegakkan.

2. Ketika nekrosis pada peripankreas yang terinfeksi teridentifikasi sebagai sumber infeksi maka terapi definitif sebaiknya ditunda hingga batas yang jelas teridentifikasi.

3. Ketika sumber infeksi pada pasien sepsis berat diketahui, intervensi efektif berhubungan dengan sedikitnya teknik (seperti teknik perkutan lebih baik daripada drainase abses secara bedah).

4. Jika akses intravaskular kemungkinan adalah sumber sepsis berat atau syok septik, akses tersebut seharusnya dilepaskan dengan segera setelah akses lain ditentukan untuk memasang jalur intravaskular tersebut.

Prinsip-prinsip kontrol sumber infeksi pada manajemen sepsis meliputi diagnosis yang cepat dari lokasi infeksi dan identifikasi fokus infeksi setuju untuk tindakan pengendalian sumber infeksi (khususnya drainase dari abses, debridement jaringan nekrotik yang terinfeksi, pelepasan perangkat yang berpotensi terinfeksi, dan kontrol definitif sumber kontaminasi mikroba yang sedang berlangsung). Fokus infeksi dilakukan tindakan pengendalian mencakup abses intra-abdominal atau perforasi gastrointestinal, kolangitis atau pielonefritis,

11

Page 12: Jurnal Reading

iskemia usus atau infeksi jaringan lunak yang nekrotik, dan infeksi dalam ruang lain, seperti empiema atau septic arthritis. Fokus infeksi seharusnya dikontrol sesegera resusitasi diberikan, dan perangkat akses intravaskular yang berpotensi menjadi sumber sepsis berat atau syok septik harus dilepas segera setelah lokasi lain untuk akses vaskular ditentukan.

Untuk intervensi bedah yang tertunda selama nekrosis peripancreatic menunjukkan hasil yang lebih baik. Selain itu, sebuah studi bedah acak menemukan bahwa minimal invasif memiliki angka kematian lebih rendah daripada nekrosektomi terbuka pada pankreatitis nekrotik meskipun daerah nekrotik belum pasti.

Intervensi sumber kontrol dapat menyebabkan komplikasi lebih lanjut, seperti pendarahan, fistula, atau cedera organ. Intervensi bedah harus dipertimbangkan ketika intervensi lainnya tidak memadai atau bila ketidakpastian diagnostik terus berlanjut meskipun sudah evaluasi radiologis.

Pencegahan Infeksi

1. Dekontaminasi oral dan digestif seharusnya dikenali dan diinvestigasi sebagai cara untuk menurunkan pneumonia akibat ventilator.

2. Glukonas klorheksidin per oral digunakan sebagai bentuk dekontaminasi orofaringeal untuk menurunkan risiko pneumonia akibat ventilator (VAP/ventilator-associated pneumonia) pada pasien ICU dengan sepsis berat.

Praktek pengendalian infeksi (misalnya cuci tangan, perawatan kateter, manajemen jalan nafas, elevasi kepala di tempat tidur, subglottic penyedotan) harus dijalankan selama perawatan pasien septik.

Glukonas klorheksidin oral relatif mudah untuk diberikan, mengurangi risiko infeksi nosokomial, dan mengurangi kekhawatiran atas resistensi antimikroba oleh agen Selective Digestive Decontamination (SDD).

12

Page 13: Jurnal Reading

Rekomendasi: Resusitasi Awal dan Infeksi

Resusitasi Awal1. Tujuan resusitasi 6 jam pertama:

a. Tekanan vena sentral 8-12 mmHgb. Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥ 65 mmHgc. Produksi urin ≥ 0,5 mL/kgBB/jamd. Saturasi vena sentral (vena cava superior) 70% atau saturasi vena

campuran 65%2. Pada pasien dengan kadar laktat tinggi target resusitasi adalah untuk

menormalkan kadar laktatSkrining Untuk Sepsis dan Perbaikan Keadaan

1. Skrining rutin pada pasien dengan penyakit infeksi serius yang dapat berpotensi sepsis berat untuk dilakukan pemberian terapi awal

Diagnosis1. Kultur yang sesuai klinis sebelum terapi antimikroba jika tidak ada

penundaan yang signifikan (> 45 menit) pada awal antimikroba. Setidaknya 2 set kultur darah (aerobik dan anaerobik) diperoleh sebelum terapi antimikroba dengan setidaknya 1 diperoleh secara perkutan dan satu lagi diperoleh dari akses vaskular kecuali akses tersebut baru dimasukkan (< 48 jam)

2. Uji 1,3 β-D-glukan, mannan dan antibodi anti-mannan, jika kandidiasis invasif merupakan diagnosis diferensial dari penyebab infeksi

3. Studi pencitraan dilakukan segera untuk mengkonfirmasi sumber potensial infeksi

Terapi Antimikroba1. Pemberian antimikroba intravena yang efektif dalam satu jam pertama

setelah syok septik dikenali dan sepsis berat tanpa syok septik sebagai tujuan terapi

2. Terapi anti infeksi empiris yang diberikan sedini mungkin dengan satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas terhadap semua patogen (bakteri, jamur, virus) dan yang berpenetrasi ke jaringan yang diduga sebagai sumber infeksi dengan konsentrasi yang adekuat

3. Obat antimikroba seharusnya dievaluasi ulang setiap hari4. Penggunaan kadar prokalsitonin rendah atau biomarker serupa sebagai

pertanda dalam penghentian antibiotik empiris pada pasien sepsis tanpa bukti infeksi

5. Terapi empiris kombinasi untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat dan pasien yang sulit diobati, patogen yang resisten dengan berbagai obat seperti Acinetobacter dan Pseudomonas spp. untuk pasien dengan infeksi berat yang berhubungan dengan gagal napas dan syok septik, terapi kombinasi dengan beta-laktam spektrum luas dan aminoglikosida atau floroquinolon untuk bakteremia P. aeruginosa. Kombinasi beta-laktam dan makrolida untuk pasien syok septik karena infeksi Streptococcus pneumoniae.

6. Terapi kombinasi empiris tidak seharusnya diberikan lebih dari 3-5hari. Penggantian ke terapi tunggal yang paling sesuai seharusnya dilakukan sesegera mungkin setelah profil sensitifitas diketahui.

13

Page 14: Jurnal Reading

7. Durasi terapi umumnya 7-10 hari. Pengobatan yang lebih lama sesuai pada pasien dengan respons klinis yang lambat, fokus infeksi yang sulit terdrainase, bakteremia dengan S. aureus, beberapai infeksi jamur dan virus atau defisiensi imun, termasuk neutropenia.

8. Terapi antivirus diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan sepsis berat atau syok septik akibat virus.

9. Obat antimikroba tidak seharusnya diberikan pada pasien dengan inflamasi berat noninfeksi.

Kontrol Sumber1. Diagnosis anatomis spesifik pada infeksi membutuhkan pertimbangan

untuk kontrol sumber infeksi, dicari dan didiagnosis atau dikecualikan sesegera mungkin sehingga intervensi bisa dilakukan untuk kontrol sumber infeksi dalam 12 jam pertama setelah diagnosis ditegakkan.

2. Ketika nekrosis pada peripankreas yang terinfeksi teridentifikasi sebagai sumber infeksi maka terapi definitif sebaiknya ditunda hingga batas yang jelas teridentifikasi.

3. Ketika sumber infeksi pada pasien sepsis berat diperlukan, intervensi efektif berhubungan dengan sedikitnya teknik (seperti teknik perkutan lebih baik daripada drainase abses dengan bedah).

4. Jika alat akses intravaskular kemungkinan menjadi sumber infeksi sepsis berat atau syok septik, seharusnya seger dilepas setelah akses intravaskular lainnya dipasang.

Pencegahan Infeksi1. Dekontaminasi oral dan digestif seharusnya dilakukan sebagai cara untuk

menurunkan kejadian pneumonia akibat ventilator.2. Glukonas clorheksidin oral digunakan sebagai cara dekontaminasi

orofaringeal untuk menurunkan risiko pneumonia akibat ventilator pada pasien ICU dengan sepsis berat.

Terapi Pendukung Hemodinamik

Terapi Cairan untuk Sepsis Berat

1. Kristaloid digunakan sebagai pilihan terapi awal pada resusitasi sepsis berat dan syok septik.

2. Penggunaan hidroksietil starch (HES) untuk resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik.

3. Albumin dapat digunakan untuk resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik ketika pasien membutuhkan sejumlah substansi dari kristaloid.

Tidak ada manfaat yang jelas pada pemberian larutan koloid dibandingkan dengan kristaloid, selain biaya yang tinggi pada pemberian koloid, sehingga direkomendasikan penggunaan kristaloid pada resusitasi awal pasien dengan sepsis berat dan syok septik.

14

Page 15: Jurnal Reading

4. Pada pasien dengan hipoperfusi jaringan yang diinduksi sepsis dengan kecurigaan hipovolemia perlu menerima minimum 30 mL/kgBB kristaloid.

5. Pemberian cairan diteruskan hingga ada perbaikan hemodinamik berdasarkan variabel dinamik (tekanan nadi, stroke volume) dan statik (tekanan arterial, detak jantung).

Vasopresor

1. Terapi vasopresor untuk target MAP (Mean Arterial Pressure) 65 mmHg.

Terapi vasopressor diperlukan untuk mempertahankan hidup dan perfusi dalam menghadapi hipotensi yang mengancam jiwa bahkan ketika hipovolemia belum teratasi. Di bawah ambang batas MAP, autoregulasi vaskular dapat hilang dan perfusi tergantung pada tekanan. Dengan demikian, beberapa pasien mungkin membutuhkan terapi vasopressor untuk mencapai tekanan minimal perfusi dan mempertahankan aliran yang adekuat. Titrasi norepinefrin diberikan untuk mencapai MAP 65 mmHg dapat memperbaiki perfusi jaringan.

Dalam kasus apapun, MAP optimal secara individual mungkin lebih tinggi pada pasien dengan aterosklerosis dan / atau riwayat hipertensi sebelumnya dibandingkan pada pasien muda tanpa komorbiditas kardiovaskuler. Misalnya, MAP 65 mm Hg mungkin terlalu rendah pada pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol parah; pada dewasa muda, pasien yang sebelumnya normotensif, MAP rendah mungkin sudah adekuat. Penilaian tekanan darah, konsentrasi laktat darah, perfusi ke kulit, status mental, dan produksi urin adalah penting. Resusitasi cairan yang cukup merupakan aspek fundamental dari manajemen hemodinamik pasien dengan syok septik dan idealnya harus dicapai sebelum vasopressor dan inotropik digunakan. Namun, menggunakan vasopressor awal sebagai langkah darurat pada pasien dengan syok berat sering diperlukan, seperti ketika tekanan darah diastolik yang terlalu rendah. Ketika itu terjadi, upaya besar harus diarahkan untuk menghentikan vasopressor dengan resusitasi cairan yang terus berjalan.

2. Norepinefrin digunakan sebagai pilihan pertama vasopresor.3. Epinefrin bisa untuk menggantikan norepinefrin untuk mempertahankan

tekanan darah yang adekuat.4. Vasopresin (hingga 0,03 U/menit) bisa ditambahkan ke norepinefrin

dengan tujuan meningkatkan MAP ke nilai target atau untuk menurunkan dosis norepinefrin.

5. Vasopresin dosis rendah tidak direkomendasikan sebagai vasopresor awal tunggal untuk pengobatan hipotensi yang diinduksi sepsis dan vasopresin dengan dosis lebih dari 0,03-0,04 U/menit digunakan untuk terapi

15

Page 16: Jurnal Reading

penyelamatan ketika terjadi kegagalan untuk mencapai MAP adekuat dengan agen vasopresor lainnya.

6. Dopamin digunakan sebagai agen vasopresor alternatif dari norepinefrin namun hanya untuk pasien tertentu seperti pasien dengan risiko rendah takiaritmia dan bradikardi absolut atau relatif.

7. Fenileprin tidak direkomendasikan dalam pengobatan syok septik kecuali pada keadaan berikut: norepinefrin berhubungan dengan aritmia, cardiac output diketahui menjadi tinggi dan tekanan darah secara persisten rendah, sebagai terapi penyelamat ketika kombinasi inotropin/vasopresor dan dosis rendah vasopresin gagal untuk mencapai target MAP.

Dopamin meningkatkan MAP dan curah jantung, terutama karena peningkatan stroke volume dan denyut jantung. Norepinefrin meningkatkan MAP karena efek vasokonstriksi, dengan sedikit perubahan denyut jantung dan sedikit peningkatan stroke volume dibandingkan dengan dopamin. Norepinefrin lebih kuat dari dopamin dan mungkin lebih efektif dalam memperbaiki hipotensi pada pasien dengan syok septik. Dopamin mungkin sangat berguna pada pasien dengan fungsi sistolik ‘compromised’ tetapi menyebabkan lebih takikardia dan mungkin lebih aritmogenik dari norepinefrin. Hal ini juga mempengaruhi respon endokrin melalui jalur hipofisis-hipotalamus dan memiliki efek imunosupresif.

Meskipun pada beberapa studi manusia dan hewan, epinefrin memiliki efek merusak pada sirkulasi splanknik dan menghasilkan hiperlaktatemia, namun tidak ada bukti klinis yang menunjukkan bahwa epinefrin memberikan hasil yang lebih buruk, sehingga epinefrin menjadi alternatif pertama dari norepinefrin.

Epinefrin dapat meningkatkan produksi laktat secara aerobik melalui stimulasi otot rangka reseptor β2-adrenergik dan dengan demikian dapat mencegah penggunaan kadar laktat untuk memandu resusitasi. Dengan efek α-adrenergik hampir total, fenilefrin adalah agen adrenergik paling mungkin untuk menghasilkan takikardia, tetapi dapat menurunkan stroke volume oleh karena itu tidak dianjurkan untuk digunakan dalam pengobatan syok septik kecuali dalam keadaan di mana norepinefrin: a) terkait dengan aritmia serius, atau b) curah jantung diketahui tinggi, atau c) sebagai terapi penyelamatan ketika agen vasopressor lain telah gagal untuk mencapai target MAP. Kadar vasopressin pada syok septik telah dilaporkan lebih rendah. Dosis rendah vasopressin mungkin efektif dalam meningkatkan tekanan darah pada pasien. Terlipressin memiliki efek yang sama tetapi durasi aksinya panjang. Studi menunjukkan bahwa konsentrasi vasopressin meningkat pada awal syok septik, tapi menurun ke kisaran normal pada mayoritas pasien antara 24 dan 48 jam ketika syok berlanjut. Ini telah disebut ‘defisiensi vasopressin relatif’ karena dengan adanya hipotensi, vasopressin diharapkan meningkat.

16

Page 17: Jurnal Reading

Studi menunjukkan pasien yang menerima norepinephrine dengan dosis <15 ug/menit lebih baik kondisinya dengan penambahan vasopressin. Dosis tinggi vasopressin berkaitan dengan iskemia splanchnic dan jantung serta harus disediakan untuk situasi di mana vasopressor alternatif telah gagal.

Bagaimanapun, risiko aritmia supraventrikular meningkat dengan norepinefrin. Pengukuran curah jantung untuk memantau aliran normal atau meningkat dilakukan ketika vasopressor ini diberikan.

8. Dopamin dosis rendah tidak dapat digunakan utnuk melindungi renal.9. Semua pasien yang membutuhkan vasopresor memiliki kateter arterial

yang dipasang segera mungkin.

Pada fase syok, pengukuran tekanan darah menggunakan manset umumnya tidak akurat; penggunaan kanula arteri dapat memberikan pengukuran tekanan arteri yang lebih tepat dan dapat dipercaya. Pipa ini juga memungkinkan pemantauan terus menerus sehingga keputusan pengambilan terapi dapat didasarkan pada informasi tekanan darah yang segera diketahui dan dapat dipercaya.

Terapi Inotropik

1. Infus dobutamin hingga 20 µg/kgBB/menit diberikan atau ditambahkan ke vasopresor (jika digunakan) pada keadaan: disfungsi miokard yang diketahui dari tekanan pengisian kardiak yang meningkat namun cardiac output rendah, tanda hipoperfusi yang terus-menerus meskipun volume intravaskular dan MAP adekuat.

2. Penggunaan strategi untuk meningkatkan cardiac index kadar supranormal yang telah ditentukan.

Dobutamin adalah inotropik pilihan pertama untuk pasien yang dicurigai curah jantungnya rendah dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang adekuat (atau penilaian klinis resusitasi cairan yang adekuat) dan MAP yang cukup. Pasien sepsis yang tetap hipotensi setelah resusitasi cairan mungkin memiliki curah jantung yang rendah, jantung normal atau meningkat. Oleh karena itu, pengobatan dengan gabungan inotropik/vasopressor, seperti norepinefrin atau epinefrin, dianjurkan jika curah jantung tidak diukur. Ketika kemampuan yang ada untuk memantau curah jantung di samping tekanan darah, vasopressor, misalnya norepinefrin, mungkin digunakan secara terpisah untuk menargetkan tingkat tertentu dari MAP dan curah jantung.

17

Page 18: Jurnal Reading

Jika bukti hipoperfusi jaringan terus berlanjut meskipun volume intravaskular dan MAP memadai, alternatifnya adalah dengan menambahkan terapi inotropik.

Kortikosteroid

1. Tidak menggunakan hidrokortison intravena sebagai pengobatan pasien dewasa dengan syok septik jika resusitasi cairan adekuat dan terapi vasopresor memungkinkan untuk pengembalian stabilitas hemodinamik. Jika tidak tercapai, penggunaan hidrokortison intravena secara tunggal dengan dosis 200 mg per hari.

Respon pasien syok septik terhadap terapi cairan dan vasopressor tampaknya menjadi faktor penting dalam pemilihan untuk terapi hidrokortison.

2. Tidak menggunakan tes stimulasi ACTH untuk mengidentifikasi pasien dewasa dengan syok septik yang seharusnya menerima hidrokortison.

Kadar kortisol acak mungkin masih berguna untuk insufisiensi adrenal absolut; bagaimanapun, pasien syok septik yang menderita insufisiensi adrenal relatif (tidak ada respon stres yang memadai), kadar kortisol acak belum terbukti berguna.

Walaupun klinis tidak jelas, sekarang dikenal etomidate, ketika digunakan untuk induksi intubasi, akan menekan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal.

Kadar kortisol acak yang rendah (<18 mg / dL) pada pasien dengan syok akan dianggap memiliki indikasi untuk terapi steroid sesuai pedoman insufisiensi adrenal.

3. Menurunkan dosis steroid ketika vasopresor tidak lagi diperlukan.

Dalam empat studi, steroid yang dosisnya diturunkan perlahan selama beberapa hari dan steroid yang dihentikan tiba-tiba, satu studi menunjukkan efek rebound pada hemodinamik dan imunologi setelah penghentian mendadak kortikosteroid. Selanjutnya, sebuah penelitian mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan hasil pada pasien syok septik jika dosis rendah hidrokortison digunakan selama 3 atau 7 hari; oleh karena itu, tidak ada rekomendasi yang dapat diberikan berkenaan dengan durasi optimal terapi hidrokortison.

4. Kortikosteroid tidak diberikan untuk pengobatan sepsis tanpa syok.

Steroid dapat diindikasikan dengan adanya sebuah riwayat terapi steroid atau disfungsi adrenal, tapi apakah steroid dosis rendah memiliki potensi

18

Page 19: Jurnal Reading

pencegahan dalam mengurangi insiden sepsis berat dan syok septik pada pasien sakit kritis tidak dapat dijawab.

5. Ketika hidrokortison dosis rendah diberikan, penggunaan infus kontinyu lebih baik daripada injeksi bolus berulang.

Beberapa percobaan acak pada penggunaan dosis rendah hidrokortison pada pasien syok septik mengungkapkan peningkatan signifikan hiperglikemia dan hipernatremia sebagai efek samping. Sebuah studi prospektif kecil menunjukkan bahwa pemberian bolus hidrokortison secara berulang mengarah ke peningkatan signifikan glukosa darah; namun efek ini tidak terdeteksi jika diberikan secara infus.

Rekomendasi: Terapi Tambahan dan Dukungan Hemodinamik

Terapi Cairan untuk Sepsis Berat1. Kristaloid adalah pilihan pertama resusitasi cairan pada sepsis berat dan

syok septik2. Penggunaan hidroksietil starch untuk resusitasi cairan pada sepsis berat

dan syok septik3. Albumin diberikan pada resusitasi cairan untuk pasien sepsis berat dan

syok septik ketika pasien membutuhkan sejumlah zat dari kristaloid4. Pemberian awal cairan pada pasien dengan hipoperfusi jaringan yang

diinduksi sepsis dengan kecurigaan hipovolemia yaitu minimum 30 mL/kgBB kristaloid.

5. Cairan terus diberikan sepanjang ada perbaikan hemodinamik baik berdasarkan dinamik (tekanan nadi, stroke volume) maupun statik (tekanan arterial, detak jantung)

Vasopresor1. Terapi vasopresor diberikan untuk mencapai MAP 65 mmHg2. Norepinefrin adalah pilihan pertama vasopresor3. Epinefrin (ditambahkan dan secara potensial menggantikan norepinefrin)

ketika diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah adekuat4. Vasopresin 0,03 U/menit bisa ditambahkan ke norepinefrin dengan

maksud peningkatan MAP atau penurunan dosis norepinefrin5. Vasopresin dosis rendah tidak direkomendasikan sebagai vasopresor

tunggal awal untuk pengobatan hipotensi terinduksi sepsis dan vasopresin dosis tinggi lebih dari 0,03-0,04 U/menit seharusnys menjadi terapi (ketika gagal mencapai MAP adekuat dengan vasopresor lainnya)

6. Dopamine sebagai vasopresor alternatif dari norepinefrin hanya untuk pasien tertentu (seperti pasien dengan risiko rendah takiaritmia dan bradikardi absolut atau relatif)

7. Fenileprin tidak disarankan pada pengobatan syok septik kecuali pada keadaan :- Norepinefrin berhubungan dengan aritmia- Cardiac output tinggi namun tekanan darah tetap rendah

19

Page 20: Jurnal Reading

- Sebagai terapi ketika kombinasi inotropin atau vasopresor dan vasopresin dosis rendah gagal mencapai targer MAP

8. Dopamin dosis rendah tidak seharusnya digunakan untuk proteksi ginjal9. Semua pasien yang membutuhkan vasopresor memiliki kateter arterial

yang ditempatkan sesegera mungkin jika sumber tersediaTerapi Inotropik

1. Infus dobutamin hingga 20 µg/kgBB/menit diberikan atau ditambahkan ke vasopresor (jika digunakan) pada disfungsi miokardium yang ditandai oleh tekanan pengisian kardium meningkat namun cardiac output rendah, atau tanda hipoperfusi yang menetap meskipun mencapai volume intravaskular dan MAP yang adekuat

2. Tidak menggunakan strategi untuk meningkatkan cardiac index ke kadar supranormal yang telah ditentukan sebelumnya.

Kortikosteroid1. Tidak menggunakan hidrokortison intravena untuk mengobati pasien

dewasa dengan syok septik jika resusitasi cairan adekuat dan terapi vasopresor memungkinkan pengembalian stabilitas hemodinamik. Jika tidak tercapai, hidrokortison intravena diberikan pada dosis 200 mg per hari

2. Tidak menggunakan uji stimulasi ACTH untuk identifikasi dewasa dengan syok septik yang seharusnya menerima hidrokortison

3. Pada pasien dengan pemberian hidrokortison diturunkan dosisnya ketika vasopresor tidak lagi diperlukan

4. Kortikosteroid tidak diberikan untuk pengobatan sepsis tanpa syok5. Ketika hidrokortison diberikan, gunakan aliran kontinyu

20