jurnal keperawatan indonesia, volume 18 no.1, maret 2015
TRANSCRIPT
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 1-8
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELENGKAPAN
DOKUMENTASI KEPERAWATAN
Noorkasiani, Gustina, R. Siti Maryam*
Jurusan Keperawatan, Prodi Keperawatan Persahabatan Poltekkes Kemenkes Jakarta III, Jakarta 13230, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Dokumentasi keperawatan merupakan bukti pencatatan dan pelaporan yang dimiliki perawat dalam melakukan catatan
keperawatan yang berguna untuk kepentingan klien, perawat dan tim kesehatan dalam memberikan pelayanan
kesehatan. Desain penelitian adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel berjumlah 173 perawat
dari 14 ruang rawat dan lembar observasi kelengkapan dokumentasi berjumlah 80 dokumen. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pelaksanaan dokumentasi keperawatan dalam kriteria baik sebesar 47,4% dan perawat yang
melengkapi dokumentasi keperawatan sebesar 57,2%. Sedangkan faktor yang paling berkontribusi secara bermakna
dengan kelengkapan dokumentasi keperawatan adalah Ruang Dinas (p= 0,002; α= 0,05) setelah dikontrol oleh umur,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tipe kelas ruangan. Diharapkan bidang perawatan dapat melengkapi dokumentasi
keperawatan dengan format yang sama, memberi kesempatan perawat untuk melanjutkan kuliah dan mengikuti
pelatihan askep serta bertukar informasi atau gagasan antar ruang rawat.
Kata kunci: dokumentasi, kelengkapan, ruang dinas keperawatan
Abstract
Factors Related to The Documentation Completeness of Nursing. Nursing documentation is proof of recording and
reporting is owned nurses in nursing notes were useful to the interests of clients, nurses and health team in providing
health services. The study design was an analytical survey with cross sectional approach. Amount of 173 samples taken
in a total nurse of 14 ward and 80 observation sheets about completeness of documentation in nursing process. The
results showed that the implementation of nursing documentation in good criterion of 47,4% and nurses who complete
the documentation of nursing at 57,2%. The factors most significantly associated with completeness of nursing
documentation is the ward (p= 0,002; α= 0,05) after controlled by age, sex, educational level, and class room type.
Advice can be given to the field of nursing in hospital to complete the documentation nursing with the same format,
allowing nurses to pursue graduate studies and follow nursing process training and exchange information or ideas
between the ward.
Keywords: completeness, documentation, nursing ward
Pendahuluan
Pelaksanaan dokumentasi keperawatan merupa-
kan salah satu alat ukur untuk mengetahui,
memantau, dan menilai suatu pelayanan asuhan
keperawatan yang dilakukan oleh rumah sakit
(Fischbach, 1991). Dokumentasi keperawatan
tidak hanya mencerminkan kualitas perawatan
saja tetapi membuktikan pertanggunggugatan
setiap tim keperawatan (Potter & Perry, 2005).
Oleh karena itu, jika kegiatan keperawatan tidak
didokumentasikan dengan baik, akurat, obyektif,
dan lengkap serta sesuai dengan standar asuhan
keperawatan maka sulit untuk membuktikan
bahwa tindakan keperawatan telah dilakukan
dengan benar (Gillies, 2000; Carpenito, 1999).
Hasil penelitian mengenai kelengkapan doku-
mentasi keperawatan bervariasi tiap rumah sakit.
Penelitian yang dilakukan Hartati, Handoyo, dan
Anis (2001) didapatkan skor 58%; penelitian
yang dilakukan Soetisno dan Christophara (2000)
didapatkan angka 60%; penelitian yang dilakukan
Gaos dan Keliat (2002) pada 3 ruangan di RSUP
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 1-8
2
Persahabatan (Soka Atas, Soka Bawah dan
Anggrek Bawah) ditemukan dokumentasi asuhan
keperawatan mencapai 57,8%; dan penelitian
yang dilakukan Sumitra dan Savitri (2000) di
RSUD Karawang didapatkan rata-rata keleng-
kapan pendokumentasian asuhan keperawatan
mencapai ±50%. Hasil penelitian tersebut menun-
jukkan kelengkapan dokumentasi keperawatan
belum memenuhi standar asuhan keperawatan
Depkes yaitu 80% sehingga mencerminkan mutu
pelayanan keperawatan yang masih rendah.
Keberhasilan pendokumentasian asuhan kepera-
watan sangat dipengaruhi oleh seorang perawat
sebagai ujung tombak dalam memberikan
asuhan keperawatan (Potter & Perry, 2005).
Menurut Gibson (1996) dalam Suratun (2008)
bahwa faktor individu yang memengaruhi
perilaku kerja antara lain umur, lama kerja,
pendidikan, dan pelatihan. Produktivitas seorang
pekerja menurun dengan bertambahnya umur,
sedangkan lama kerja mempunyai hubungan
yang positif terhadap produktivitas pekerjaan.
Siagian (2002) menyatakan bahwa makin tinggi
tingkat pendidikan seseorang makin besar
keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan
dan keterampilan. Pelatihan merupakan bagian
dari proses pendidikan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan (Notoatmodjo,
2003).
Dokumentasi dibutuhkan untuk keamanan
pasien dan menjaga catatannya untuk tetap jelas,
akurat, dan komprehensif menjadi bermanfaat
bagi perawat dalam pekerjaan sehari-hari (Bjorvell,
2002 & Owen, 2005). Hal ini didukung pula
oleh pendapat Wang, Hailey, dan Yu (2011)
yang menyatakan bahwa kualitas dokumentasi
keperawatan menunjukkan pemberian perawatan
yang baik melalui komunikasi yang efektif di
antara perawat dan dengan pemberi perawatan
yang lain seperti keluarga pasien. Bjorvell (2002)
menyatakan dari hasil FGD perawat bahwa cara
menuliskan dokumentasi keperawatan membuat
mereka menjadi berpikir kritis dan berpikir
dengan cara yang berbeda terkait pelayanan
yang diberikan kepada pasiennya.
Hasil observasi awal dan wawancara terhadap
dokumentasi keperawatan diketahui dan ditemu-
kan beberapa dokumen yang tidak diisi dengan
benar dan lengkap terutama pada evaluasi
keperawatan. Penilaian terhadap kelengkapan
dokumentasi keperawatan untuk ruangan yang
memiliki cara pendokumentasian yang sama
belum pernah dilakukan.
Metode
Desain penelitian yang digunakan adalah survei
analitik yaitu survei yang mencoba menggali
bagaimana dan mengapa fenomena terjadi
dengan pendekatan cross sectional. Penelitian
dilakukan di RS X, Jakarta pada Bulan
September 2010 sampai dengan Februari 2011.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
perawat yang bekerja di RS X dan memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel pada
penelitian ini adalah 173 perawat yang bekerja
di RS X dan memenuhi kriteria inklusi yaitu
semua perawat di 14 ruangan dinas yang
memiliki format dokumentasi keperawatan
yang sama (Ruang Rawat Bedah dan Penyakit
Dalam) dan bersedia menjadi responden.
Kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah
kepala ruangan dan wakil kepala ruangan.
Analisis bivariat menggunakan uji kai kuadrat
dan multivariat dengan regresi logistik.
Tabel 1. Karakteristik Responden Menurut Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan
Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan Jumlah Persentase
Kurang Lengkap 74 42,8
Lengkap 99 57,2
Total 173 100
Noorkasiani, et al., Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelengkapan Dokumentasi
3
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi
perawat yang dokumentasi keperawatannya
lengkap lebih banyak (57,2%) dibandingkan
dengan proporsi perawat yang dokumentasi
keperawatannya kurang lengkap (42,8%) (lihat
pada Tabel 1).
Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 93 perawat
yang berusia lebih dari hingga sama dengan 28
tahun, sebanyak 57 perawat (61,3%) yang
melakukan dokumentasi kepera-watan dengan
lengkap. Hasil didapatkan bahwa dari 80
perawat yang berusia kurang dari 28 tahun,
terdapat 42 perawat (52,5%) yang dokumentasi
kepera-watannya lengkap. Hasil penelitian juga
didapatkan bahwa dari 11 perawat yang
berpendidikan SPK, sebanyak empat perawat
(36,4%) yang melakukan dokumentasi
keperawatan dengan lengkap. Selain itu, dari
162 perawat yang berpendidikan DIII
Keperawatan, sebanyak 95 (58,6%) perawat
yang dokumentasi keperawatannya lengkap.
Hasil juga menunjukkan bahwa dari 101
perawat yang bekerja kurang dari 5 Tahun,
terdapat 59 perawat (58,4%) yang dokumentasi
keperawatannya lengkap. Dari 22 perawat
yang bekerja selama 5–10 Tahun, sebanyak 10
perawat (45,5%) yang dokumentasi keperawatan-
nya lengkap. Dari 50 perawat yang bekerja
lebih dari 10 tahun, sebanyak 30 (60,0%) yang
dokumentasi keperawatannya lengkap.
Hasil menunjukkan bahwa dari 114 perawat
yang tidak pernah mengikuti pelatihan asuhan
keperawatan, sebanyak 64 perawat (56,1%)
yang dokumentasi keperawatannya lengkap.
Dari 59 perawat yang pernah mengikuti pe-
latihan, ada sebanyak 35 perawat (59,3%) yang
dokumentasi keperawatannya lengkap.
Hasil menunjukkan bahwa dari 84 perawat yang
pengetahuan terkait dokumentasi keperawatan-
nya rendah, sebanyak 49 perawat (58,3%) yang
dokumentasi keperawatannya lengkap. Dari 89
perawat yang pengetahuan dokumentasi ke-
perawatannya tinggi hanya ada sebanyak 50
perawat (56,2%) yang melakukan dokumentasi
keperawatan dengan lengkap.
Tabel 2. Karakteristik Responden Menurut Usia, Tingkat Pendidikan, Lama Kerja, Mengikuti Pelatihan, Tingkat
Pengetahuan, Pelaksanaan Dokumentasi Keperawatan, dan Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan
Variabel
Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan Total
Kurang Lengkap Lengkap
n % N % N %
Usia
≥28 Tahun 36 38,7 57 61,3 93 100
<28 Tahun 38 47,5 42 52,5 80 100
Tingkat Pendidikan
SPK 7 63,6 4 36,4 11 100
DIII 67 41,4 95 58,6 162 100
Lama Kerja
<5 Tahun 42 41,6 59 58,4 101 100
5–10 Tahun 12 54,5 10 45,5 22 100
>10 Tahun 20 40,0 30 60,0 50 100
Mengikuti Pelatihan
Tidak pernah 50 43,9 64 56,1 114 100
Pernah 24 40,7 35 59,3 59 100
Tingkat Pengetahuan
Rendah 35 41,7 49 58,3 84 100
Tinggi 39 43,8 50 56,2 89 100
Pelaksanaan Dokumentasi Keperawatan
Kurang baik 41 45,1 50 54,9 91 100
Baik 33 40,2 49 59,8 82 100
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 1-8
4
Tabel 3. Karakteristik Responden Menurut Ruangan Dinas dan Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan
Ruangan Dinas
Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan Total
p Kurang Lengkap Lengkap
n % n % n %
Griya Puspa 11 84,6 2 15,4 13 100 0,000
Mawar Atas 15 100,0 0 00,0 15 100
Mawar Bawah 0 00,0 17 100,0 17 100
Dahlia Atas 6 60,0 4 40,0 10 100
Dahlia Bawah 0 00,0 9 100,0 9 100
Melati Atas 10 71,4 4 28,6 14 100
Melati Bawah 6 31,6 13 68,4 19 100
Soka Atas 7 50,0 7 50,0 14 100
Soka Bawah 4 36,4 7 63,6 11 100
Cempaka Atas 8 57,1 6 42,9 14 100
Cempaka Bawah 0 00,0 9 100,0 9 100
Bedah Kelas 4 33,3 8 66,7 12 100
Anggrek Bawah 1 12,5 7 87,5 8 100
Bedah Thorax 2 25,0 6 75,0 8 100
Jumlah 74 42,8 99 57,2 173 100
Tabel 4. Karakteristik Responden Menurut Tipe Kelas Ruangan dan Kelengkapan Dokumentasi
Keperawatan
Tipe Kelas
Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan Total
p Kurang Lengkap Lengkap
n % n % n %
Kelas I 21 61,8 13 38,2 34 100 0,028
Kelas II 18 50,0 18 50,0 36 100
Kelas III 24 33,3 48 66,7 72 100
VIP 11 35,5 20 64,5 31 100
Tabel 5. Hasil Pemodelan Terakhir Analisis Multivariat
Variabel p OR 95 % CI
Batas Bawah Batas Atas
Usia 0,071 0,410 0,156 1,080
Jenis Kelamin 0,126 0,324 0,076 1,375
Tingkat Pendidikan 0,061 6,795 0,917 50,338
Ruang Dinas Melati Bawah 0,002 24,183 3,370 173,51
Tipe Kelas Ruangan 0,960 0,000 0,000 -
Hasil menunjukkan bahwa dari 91 perawat
yang kurang baik melaksanakan dokumentasi
keperawatan, sebanyak 50 perawat (54,9%)
yang dokumentasi keperawatannya lengkap.
Dari 82 perawat yang baik dalam pelaksanaan
dokumentasi keperawatan, sebanyak 49 perawat
(59,8%) yang dokumentasi keperawatannya
lengkap.
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 14 ruangan
dinas, ada 3 ruangan dimana perawatnya meleng-
kapi dokumentasi keperawatan sebesar 100%
yaitu ruang mawar bawah, dahlia bawah dan
Noorkasiani, et al., Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelengkapan Dokumentasi
5
cempaka bawah. Sedangkan ruang griya puspa
hanya sebanyak 15,4% yang dokumentasi
keperawatan lengkap. Dari hasil analisis lebih
lanjut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara ruangan dinas perawat
dengan kelengkapan dokumentasi keperawatan
(p = 0,000; α = 0,05).
Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 34 perawat
yang dinas di ruangan kelas I, sebanyak 13
perawat (38,2%) yang dokumentasi keperawatan-
nya lengkap. Dari 36 perawat yang dinas di
ruangan kelas II, ada sebanyak 18 perawat
(50,0%) yang dokumentasi keperawatannya
lengkap. Dari 72 perawat yang dinas di ruangan
kelas III, sebanyak 48 perawat (66,7%) yang
dokumentasi keperawatannya lengkap. Sejumlah
31 perawat yang dinas di ruangan VIP, sebanyak
20 perawat (64,5%) yang dokumentasi kepera-
watannya lengkap. Dari hasil analisis lebih
lanjut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara tipe kelas ruangan dinas
perawat dengan kelengkapan dokumentasi ke-
perawatan (p= 0,028; α= 0,05).
Tabel 5 menunjukkan bahwa hasil analisis
didapatkan nilai OR dari variabel Ruang Dinas
Melati Bawah adalah 24,2 artinya perawat yang
berada di Ruang Dinas Melati Bawah melakukan
pendokumentasian keperawatan yang lebih
lengkap dibandingkan ruangan lain setelah
dikontrol variabel usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, dan tipe kelas ruangan (p= 0,002;
α= 0,05). Ruang Dinas Melati Bawah paling besar
pengaruhnya terhadap kelengkapan dokumentasi
keperawatan.
Pembahasan
Kelengkapan Dokumentasi Keperawatan.
Kelengkapan dokumentasi keperawatan di 14
ruang rawat inap RS X, Jakarta menunjukkan
proporsi perawat yang pendokumentasian ke-
perawatannya lengkap sebesar 57,2%. Hal ini
hampir sama dengan penelitian yang dilakukan
Hartati, Handoyo, dan Anis (2001) didapatkan
skor 58%; penelitian yang dilakukan Soetisno
dan Christophara (2000) didapatkan angka 60%;
penelitian yang dilakukan Gaos dan Keliat
(2002) pada 3 ruangan di RSUP Persahabatan
(Soka Atas, Soka Bawah dan Anggrek Bawah)
ditemukan dokumentasi asuhan keperawatan
mencapai 57,8%; dan penelitian yang dilakukan
Sumitra dan Savitri (2000) di RSUD Karawang
didapatkan rata-rata kelengkapan pendokumen-
tasian asuhan keperawatan mencapai ±50%. Hasil
penelitian di atas menunjukkan kelengkapan
dokumentasi keperawatan belum memenuhi
standar asuhan keperawatan Depkes yaitu 80%
sehingga mencerminkan mutu pelayanan ke-
perawatan yang masih rendah.
Usia. Perawat yang berusia lebih dari hingga
sama dengan 28 tahun melakukan
pendokumentasian dengan lengkap sebesar 61,3%
dibandingkan dengan perawat yang berusia
kurang dari 28 tahun. Hal ini memperlihatkan
bahwa hubungan antara umur dan kinerja
merupakan isu penting, karena terdapat
keyakinan bahwa kinerja akan merosot dengan
bertambahnya umur (Robbin, 2006). Akan
tetapi, hasil penelitian ini merubah keyakinan
tersebut. Penelitian ini didukung pendapat
Gibson (1996) dalam Suratun (2008) yang
mengemukakan bahwa pekerja yang lebih tua
dianggap lebih cakap secara teknis, lebih
banyak pengalaman dan lebih bijaksana dalam
pengambilan keputusan.
Tingkat Pendidikan. Hasil penelitian menunjuk-
kan bahwa perawat yang berpendidikan DIII
Keperawatan mendokumentasikan asuhan ke-
perawatan lengkap sebesar 58,6% dibanding
dengan SPK (36,4%). Hal ini sesuai dengan
pendapat Gibson (1996) dalam Suratun (2008)
yang mengemukakan bahwa tingkat pendidikan
yang tinggi umumnya menyebabkan seseorang
lebih mampu dan bersedia menerima tanggung
jawab. Sedangkan Siagian (2002) menjelaskan
bahwa makin tinggi pendidikan seseorang
makin besar keinginan untuk memanfaatkan
pengetahuan dan keterampilan. Penelitian ini
didukung pula oleh penelitian Fizran dan
Mamdy (2002) yang mendapatkan bahwa
tingkat pendidikan berhubungan secara bermakna
dengan kinerja perawat dalam pendokumentasian
keperawatan serta penelitian Usman dan Tafal
(2002) yang mengemukakan bahwa tingkat
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 1-8
6
pendidikan berhubungan secara bermakna
dengan motivasi perawat dalam penerapan
proses keperawatan.
Lama Kerja. Hasil penelitian didapatkan perawat
yang bekerja lebih dari 10 Tahun melakukan
pendokumentasian keperawatan dengan lengkap
sebesar 60,0%. Hal ini sesuai dengan pendapat
Robbins (2006) dalam Suratun (2008) yang
menyatakan terdapat suatu hubungan yang positif
antara masa kerja dan produktifitas pekerjaan.
Makin lama seseorang bekerja makin terampil
dan berpengalaman melaksanakan pekerjaannya.
Lama kerja menjadi sangat penting karena dapat
mencerminkan tingkat kepuasan akhir yang
dapat dicapai oleh karyawan. Hal ini didukung
pula oleh penelitian Hotnida dan Sumiatun
(2002) yaitu faktor lama kerja berpengaruh
terhadap kinerja perawat dalam pendokumentasi-
an proses keperawatan.
Ruang Dinas. Hasil penelitian dari 14 ruang
dinas, ada 3 ruangan dengan perawat yang
melengkapi dokumentasi keperawatan sebesar
100% yaitu Ruang Mawar Bawah (VIP),
Dahlia Bawah (Kelas III), dan Cempaka
Bawah (Kelas III). Sedangkan, Ruang Griya
Puspa (VIP) hanya ada sebanyak 15,4% yang
dokumentasi keperawatan lengkap. Dari hasil
analisis lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara ruangan
dinas perawat dengan kelengkapan dokumentasi
keperawatan (p= 0,000, α= 0,05). Asumsi
peneliti menyatakan bahwa ruang dinas dan
tipe kelas yang tinggi tidak selalu menunjukkan
pendokumentasian keperawatannya lebih bagus
dari ruang dinas dan tipe kelas yang lebih rendah.
Pelatihan. Hasil penelitian didapatkan bahwa
perawat yang pernah mengikuti pelatihan akan
melengkapi dokumentasi keperawatannya sebesar
59,3% dibandingkan dengan perawat yang tidak
pernah mengikuti pelatihan asuhan keperawatan.
Penelitian ini sesuai dengan pendapat Noto-
atmodjo (2003) yang menyatakan pelatihan
merupakan bagian dari proses pendidikan untuk
peningkatan pengetahuan dan keterampilan
kerja. Hal ini didukung oleh penelitian Fizran
dan Mamdy (2002) yang mendapatkan bahwa
pelatihan berhubungan secara bermakna dengan
kinerja perawat dalam pendokumentasian kepe-
rawatan dan penelitian Soetisno dan Christophora
(2000) yang menunjukkan bahwa ada pengaruh
positif dari pelatihan pada kelengkapan doku-
mentasi keperawatan.
Pengetahuan terkait Dokumentasi Kepera-
watan. Hasil penelitian menunjukkan perawat
yang pengetahuannya terkait dokumentasi
keperawatan rendah, ada sejumlah 58,3% yang
dokumentasi keperawatannya lengkap. Sedangkan
perawat yang memiliki pengetahuan dokumentasi
keperawatan tinggi, ada sebanyak 56,2% yang
dokumentasi keperawatannya lengkap. Hal ini
bertentangan dengan penelitian Fizran dan
Mamdy (2002) yang mendapatkan bahwa tingkat
pengetahuan berhubungan secara bermakna
dengan kinerja perawat dalam pendokumentasian
keperawatan. Begitu pula dengan penelitian
Kusumawaty dan Yani (2001) yang mendapatkan
bahwa adanya hubungan bermakna dan berpola
positif antara pemahaman terhadap pendokumen-
tasian proses keperawatan dengan kompetensi
mendokumentasikan proses keperawatan. Asumsi
peneliti menyatakan bahwa pengetahuan tinggi
tidak selalu menunjukkan pelaksanaan doku-
mentasi keperawatan yang lengkap.
Pelaksanaan Dokumentasi Keperawatan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perawat yang
baik dalam pelaksanaan dokumentasi keperawatan,
ada sebanyak 59,8% perawat yang dokumentasi
keperawatannya lengkap. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ali (2001) yang mengatakan bahwa
penggunaan proses keperawatan sangat bermanfaat
bagi pasien, perawat dan rumah sakit. Manfaat
bagi pasien antara lain mendapat pelayanan
keperawatan yang bermutu, efektif dan efisien;
pasien bebas mengemukakan pendapat atau kebu-
tuhannya demi proses kesembuhan; mendapatkan
kepuasan dari pelayanan yang diberikan. Manfaat
untuk perawat adalah mengembangkan kemam-
puan berpikir kritis maupun keterampilan teknis;
meningkatkan kemandirian perawat dan mening-
katkan citra perawat di mata masyarakat. Manfaat
bagi rumah sakit adalah meningkatkan citra
rumah sakit sehingga meningkatkan keuntungan
bagi rumah sakit.
Noorkasiani, et al., Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelengkapan Dokumentasi
7
Hasil penelitian didapatkan bahwa perawat
yang berada di Ruang Dinas Melati Bawah
pendokumentasian keperawatannya lebih lengkap
dibandingkan ruangan lain setelah dikontrol
variabel usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan
dan tipe kelas ruangan (p= 0,002; α= 0,05).
Peneliti berasumsi karena Ruang Dinas Melati
Bawah didukung dengan banyaknya jumlah
perawat dibandingkan dengan ruangan lain
dan penerapan metoda tim serta penggunaan
format RM 6 yaitu format rekaman asuhan
keperawatan yang hanya tinggal memberikan
checklist dan menambah data atau rencana dari
yang sudah ada.
Kesimpulan
Perawat yang dinas di Ruang Melati Bawah
(Kelas I) menjadi faktor yang paling berhubungan
dengan kelengkapan dokumentasi keperawatan
setelah dikontrol oleh usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, dan tipe kelas ruangan. Perawat yang
melaksanakan dokumentasi keperawatan dengan
baik akan mendokumentasikan keperawatan
dengan lengkap. Diharapkan bagi RS dapat
menetapkan kebijakan terkait pelayanan kepe-
rawatan yang bermutu dengan meningkatkan
kelengkapan dokumentasi keperawatan melalui
bidang keperawatan dengan melengkapi format
dokumentasi keperawatan dan aturan yang sama
untuk setiap ruangan dan memberikan kesem-
patan pada perawat untuk mengikutsertakan
atau mengadakan pelatihan terkait dokumentasi
keperawatan dengan sistem komputerisasi.
Bagi penelitian selanjutnya diharapkan dapat
mengidentifikasi faktor lain yang berhubungan
dengan kelengkapan dokumentasi keperawatan
seperti supervisi, motivasi, pemberian reward
dan punishment, jumlah ketenagaan perawat,
beban kerja dan sebagainya (AS, RR).
Referensi
Ali, Z. (2001). Dasar-dasar keperawatan
profesional. Jakarta: Penerbit EGC.
Bjorvell, C. (2002). Nursing documentation in
clinical practice: Instrument development
and evaluation of a comprehensive
intervention programme. Stockholm
Sweden: Karolinska Institutet.
Carpenito, L.J. (1999). Rencana asuhan
keperawatan & dokumentasi keperawatan,
diagnosis keperawatan, dan masalah
kolaborasi. Jakarta: Penerbit EGC.
Fischbach, F.T. (1991). Dokumenting care,
communication, the nursing process, and
documentation standards. Philadelphia:
F.A.Davis Company.
Fizran, & Mamdy, Z. (2002). Faktor-faktor yang
berhubungan dengan kinerja perawat
dalam pendokumentasian asuhan
keperawatan di unit rawat inap RSUD Dr.
Achmad Muchtar Bukittinggi (Tesis,
Program Magister Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI). Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI, Jakarta.
Gaos, A.S., & Keliat, B.A. (2002). Hubungan
kelelahan kerja perawat pelaksana dengan
dokumentasi asuhan keperawatan di ruang
rawat RS Persahabatan. (Tesis magister,
tidak dipublikasikan) Jakarta: FIK UI.
Gillies, D.A. (2000). Nursing management: A system
approach. Philadelphia: Saunders Company.
Hotnida, L., & Sumiatun (2002). Analisis faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap kinerja
perawat dalam pendokumentasian proses
keperawatan di ruang rawat inap RSUD
Koja (Tesis magister, tidak
dipublikasikan). Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI, Jakarta.
Kusumawaty, I., & Yani, A. (2001). Hubungan
antara pemahaman tentang proses
keperawatan dan fungsi supervisi dengan
kompetensi mendokumentasikan proses
keperawatan di RS Karya Bhakti Bogor
(Tesis magister, tidak dipublikasikan).
Fakultas Ilmu Keperawatan UI, Jakarta.
Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan kesehatan
masyarakat. Jakarta: Badan Penerbit
Kesehatan Masyarakat FKM UI.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 1-8
8
Owen, K. (2005). Documentation in nursing
practice. Nursing standard, 19 (32), 48–
49.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku ajar
fundamental keperawatan: ajar
fundamental keperawatan: Konsep, proses
& praktik. proses, & praktik. (Alih
Bahasa: Yasmin Asih, et al.,) (Edisi 4).
Jakarta: Penerbit EGC.
Siagian, S.P. (2002). Manajemen sumber daya
manusia. sumber daya manusia. Jakarta:
Bumi Aksara.
Sumitra, & Savitri, M. (2000). Faktor-faktor yang
berhubungan dengan pelaksanaan
dokumentasi pengkajian keperawatan oleh
perawat di ruang rawat inap RSUD
Karawang (Tesis magister, tidak
dipublikasikan). Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI, Jakarta.
Suratun. (2008). Hubungan penerapan metode
penugasan tim dengan kelengkapan
dokumentasi asuhan keperawatan di RSUP
Bekasi (Tesis magister, tidak
dipublikasikan). Fakultas Ilmu
Keperawatan UI, Jakarta.
Soetisno, B., & Christophora, S. (2000). Pengaruh
pelatihan perawat pada kelengkapan
dokumentasi keperawatan di RS Imanuel
(Tesis, Program Magister Fakultas
Kesehatan Masyarakat UI). Fakultas
Kesehatan Masyarakat UI, Jakarta.
Usman, S., & Tafal, Z. (2002). Faktor-faktor yang
memotivasi perawat dalam penerapan
proses keperawatan di ruang rawat inap
RS Zainoel Abidin Banda Aceh (Tesis,
Program Magister Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI). Fakultas Kesehatan
Masyarakat UI, Jakarta.
Wang, N., Hailey, D., & Yu, P. (2011). Quality of
nursing documentation and approaches to
its evaluation: a mixed-method systematic
review. Journal of Advanced Nursing, 67
(9), 1858–1875. doi: 10.1111/j.1365-
2648.2011.05634.x
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 9-16
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
HUBUNGAN MOTIVASI DAN KOMITMEN ORGANISASI DENGAN
KINERJA PERAWAT DALAM PELAKSANAAN DOKUMENTASI
ASUHAN KEPERAWATAN
Nur Miladiyah R
1,2*, Mustikasari
3, Dewi Gayatri
3
1. STIKes Bani Saleh, Bekasi 17113 Indonesia
2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Motivasi dan komitmen organisasi merupakan faktor yang meningkatkan dan membangun kinerja perawat secara
konstruktif dalam menghasilkan kualitas asuhan keperawatan yang bermutu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan motivasi dan komitmen organisasi dengan kinerja perawat dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan
keperawatan di sebuah Rumah Sakit di Bekasi. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan rancangan cross
sectional. Sampel penelitian ini adalah seratus enam perawat pelaksana dengan menggunakan kuesioner dan observasi
dokumentasi asuhan keperawatan. Analisis dengan univariat, bivariat (chi square), dan multivariat (regresi logistik
berganda). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara motivasi dan kinerja perawat dalam pelaksanaan
dokumentasi asuhan keperawatan (p= 0,000; α= 0,05). Motivasi ekstrinsik memengaruhi kinerja perawat dua puluh
enam kali lebih tinggi (OR= 26,708) setelah dikontrol oleh variabel umur, status kepegawaian, dan masa kerja. Perlu
dilakukan audit dokumentasi sebagai bagian dari penilaian kinerja perawat.
Kata kunci: dokumentasi asuhan keperawatan, kinerja komitmen organisasi motivasi
Abstract
Motivation and Organizational Commitment Determine Nursing Quality and Performance in ones Hospital Bekasi. Motivation and organizational commitment is a factor that can increase positive attitudes towards work and build
constructively nurses performance in producing quality nursing care quality. Study is to examine the relationship
between motivation and commitment to the organization's performance in implementing nursing documentation of
nursing care in hospitals Bekasi. This descriptivestudy with cross sectional correlation. Sample of 106 nurses using
questionnaires and observation documentation of nursing care with univariate analysis, bivariate (chi-square) and
multivariate (multiple logistic regression). The research results concluded there was relationship between motivation
with nurses' performance in implementing nursing care documentation (p= 0,000; α = 0,05). Extrinsic motivation could
affect the performance of nurses 26 times higher (OR= 26,708) after controlled by age, employment status, and years of
service. Audit documentation needs to be done as part of the performance assessment nurse.
Keywords: documentation of nursing, motivation, organizational commitment, performance
Pendahuluan
Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan
dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang
bermutu sesuai standar yang sudah ditentukan
dalam meningkatkan derajat kesehatan masya-
rakat. Perawat sebagai profesi yang mandiri
dituntut untuk dapat memberikan kualitas
asuhan keperawatan yang berkualitas kepada
individu, keluarga, dan masyarakat (Delaune,
2002). Perawat sebagai tenaga profesional dituntut
untuk mampu menunjukkan kinerja yang sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan.
Kinerja adalah suatu pekerjaan yang dilakukan
berdasarkan pada proses suatu tindakan dan
evaluasi hasil tindakan (Sonentag & Frese, 2001).
Motivasi yang relatif stabil membuat staf bekerja
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 9-16 10
lebih baik dalam meningkatkan kinerja kerjanya
(Robbins, 2006). Kanfer, Chen, dan Pritchard
(2008) menyatakan bahwa motivasi kerja meru-
pakan faktor yang meningkatkan kinerja secara
konstruktif. Motivasi perawat berperan dalam
menghasilkan kualitas asuhan keperawatan yang
bermutu. Penelitian yang dilakukan Khan, et al.,
(2010) menyatakan bahwa salah satu determinan
kinerja adalah komitmen organisasi. Hasil pene-
litian yang dilakukan Lee dan Olshfsi (2002)
dalam Khan, et al., (2010) menyatakan bahwa
komitmen organisasi tinggi menyebabkan
karyawan menyukai dan menyelesaikan
pekerjaannya dengan baik sehingga dapat
meningkatkan kinerja.
Berdasarkan Joints Commission Internatioanl
Accreditation (JCIA, 2011) asuhan keperawatan
yang diberikan kepada setiap pasien harus
terencana dan tertulis dalam dokumentasi asuhan
keperawatan. Penilaian kinerja perawat pelaksana
yang sudah berjalan di sebuah Rumah Sakit
(RS) di Bekasi meliputi tiga komponen, yaitu
kedisiplinan staf, produktivitas kerja, dan
perilaku terhadap pekerjaannya. Produktivitas
kerja perawat dinilai berdasarkan nilai keter-
capaian terhadap standar asuhan keperawatan
(SAK). Berdasarkan Departemen Kesehatan
(Depkes, 2005), standar pelayanan dan standar
asuhan keperawatan berfungsi sebagai alat ukur
untuk mengetahui dan memantau pelayanan
kualitas asuhan keperawatan yang dilakukan di
rumah sakit sudah memenuhi persyaratan sesuai
dengan standar. Kualitas pelayanan keperawatan
salah satunya dapat diukur dari ketercapaian
standar asuhan keperawatan. Menurut standar
kinerja rumah sakit (Depkes Republik Indonesia,
2005) hasil persentase penilaian minimal ke-
tercapaian standar asuhan keperawatan sebesar
85%. Hasil audit dokumentasi penerapan SAK
di sebuah RS di Bekasi pada tahun 2012 dari tiga
belas ruangan yang menjadi sasaran evaluasi
SAK, hanya lima ruangan yang telah memenuhi
SAK (>85%). Hasil audit menunjukkan bahwa
hanya 38% ruangan rawat inap yang telah
memenuhi standar ketercapaian SAK, 62%
ruangan yang lain belum memenuhi standar
SAK (<85%), sehingga rerata nilai ketercapaian
SAK seluruh ruang rawat inap sebesar 64%.
Kondisi ini mengalami penurunan sebesar 25%
dari kondisi pada tahun 2011, yaitu pada tahun
2011 ketercapaian SAK mencapai 89%.
Penurunan ketercapaian SAK disebabkan oleh
kurangnya kesadaran perawat tentang pentingnya
pendokumentasian asuhan keperawatan secara
lengkap, pengisian identitas pasien yang kurang
lengkap, rencana tindakan yang tidak sesuai
dengan diagnosis keperawatan, sebagian tindakan
terutama pada pergantian kerja sore dan malam,
tidak sesuai dengan rencana yang telah dibuat,
dan pada catatan perawatan sering tidak men-
cantumkan nama dan paraf perawat.
Komitmen perawat juga dipengaruhi oleh status
kepegawaian dari staf karena 40% perawat
pelaksana yang berada di sebuah RS di Bekasi
merupakan tenaga kerja kontrak. Hal ini
menyebabkan angka turn over di sebuah RS di
Bekasi pada tahun 2012 adalah sebesar 1,
91%. Kurangnya kedisiplinan staf dan status
kepegawaian staf merupakan bagian dari
permasalahan komitmen organisasi yang akan
berdampak terhadap kinerja perawat.
Pentingnya motivasi dan komitmen perawat
terhadap tujuan dan kebijakan organisasi adalah
sebagai daya dorong dalam meningkatkan kinerja
staf. Berdasarkan fenomena ini, peneliti meng-
anggap penting untuk meneliti hubungan antara
motivasi dan komitmen organisasi terhadap
kinerja perawat dalam melaksanakan dokumentasi
asuhan keperawatan di sebuah RS di Bekasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
hubungan motivasi dan komitmen organisasi
terhadap kinerja perawat dalam pelaksanaan
dokumentasi asuhan keperawatan di sebuah
RS di Bekasi.
Metode
Desain penelitian ini adalah deskriptif korelasi
dengan rancangan cross sectional. Kuesioner
diberikan kepada seratus enam orang perawat
pelaksana di ruang rawat inap sebuah RS di
Bekasi. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner
dan observasi dokumentasi asuhan keperawatan.
Kuesioner meliputi karakteristik perawat, motivasi,
Miladiyah R, et al., Hubungan Motivasi dan Komitmen Organisasi dengan Kinerja 11
dan komitmen organisasi. Lembar observasi
penilaian kinerja perawat melalui berkas rekam
medis pasien. Data dianalisis dengan univariat
menggunakan tabel distribusi frekuensi, analisis
bivariat menggunakan uji chi-square, dan analisis
multivariat menggunakan uji regresi logistik.
Hasil
Karakteristik perawat meliputi umur, jenis
kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, dan
status kepegawaian perawat di ruang rawat inap
sebuah RS di Bekasi. Berdasarkan Tabel 1 didapat
bahwa karakteristik responden berumur 20-35
tahun (76,4%), berjenis kelamin perempuan
(83,6%), masa kerja kurang dari10 tahun
(66%), pendidikan D-3 keperawatan (84,9%)
dan pegawai negeri sipil (53,8%).
Berdasarkan Tabel 2 didapat bahwa motivasi
perawat dipersepsikan masih kurang (58,5%).
Motivasi yang dirasakan masih kurang adalah
motivasi instrinsik (57,5%) dan motivasi eks-
trinsik (55,7%).
Tabel 1. Karak-teristik Responden
Variabel Jumlah Persentase
(%)
Umur
a. 20—35 tahun
b. 36—55 tahun
81
25
76,4
23,6
Jenis Kelamin
a. Pria
b. Wanita
18
88
17
83
Masa Kerja
a. <10 tahun
b. >10 tahun
70
36
66
34
Pendidikan terakhir
a. Surat Perintah Kerja
(SPK)
b. D-3 Keperawatan,
c. S-1 Keperawatan+
Ners
10
90
6
9,4
84,9
5,7
Status Kepegawaian
a. Pegawai Negeri Sipil
(PNS)
b. Tenaga Kerja kontrak
(TKK)
57
49
53,8
46,2
Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa responden
yang memiliki komitmen kurang mempunyai
selisih 6% lebih besar daripada responden yang
memiliki komitmen baik. Responden mempunyai
komitmen afektif yang baik (90,6%), komitmen
normatif yang baik (96,2%), dan komitmen
continuance baik (82,1%).
Tabel 2. Motivasi Perawat Pelaksana
Variabel Jumlah Persentase
Motivasi
a. Baik
b. Kurang
44
62
41,5
58,5
Motivasi Instrinsik
a. Baik
b. Kurang
45
61
42,5
57,5
Motivasi Ekstrinsik
a. Baik
b. Kurang
47
59
44,3
55,7
Tabel 3. Komitmen Organi-sasi Perawat
Pelaksana
Variabel Jumlah Persentase
Komitmen Organisasi
a. Baik
b. Kurang
51
55
48
52
Komitmen Afektif
a. Baik
b. Kurang
96
10
90,6
9,4
Komitmen Normatif
a. Baik
b. Kurang
102
4
96,2
3,8
Komitmen Continuance
a. Baik
b. Kurang
87
19
82,1
17,9
Tabel 4. Kinerja Perawat dalam Pelaksanaan
Dokumentasi Asuhan Keperawatan Variabel Jumlah Persentase Kinerja Pelaksanaan
Dokumentasi Asuhan
Keperawatan
a. Baik
b. Kurang
54
52
51
49
Hasil kinerja perawat diukur berdasarkan nilai
rerata dari tiga berkas rekam medis pasien
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 9-16 12
pulang. Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa
kinerja perawat pelaksana yang mempunyai
kinerja baik dalam pelaksanaan dokumentasi
asuhan keperawatan berdasarkan rekam medis
sebanyak lima puluh empat orang (51%).
Berdasarkan pada Tabel 5 dapat dijelaskan bahwa
proporsi perawat yang mempunyai motivasi
baik dan menunjukkan kinerja yang baik dalam
pelaksanaan dokumentasi asuhan keperawatan
adalah sebesar 72,7%. Perawat yang memiliki
motivasi yang kurang dan menunjukkan kinerja
yang baik adalah sebesar 48,9%. Hasil uji
statistik terdapat hubungan antara motivasi dan
kinerja perawat dalam pelaksanaan dokumentasi
asuhan keperawatan (p= 0,000; α= 0,05).
Hasil akhir dari analisis multivariat menunjuk-
kan bahwa komponen motivasi yang paling
berhubungan dengan kinerja perawat dalam
pendokumentasian asuhan keperawatan adalah
motivasi ekstrinsik dapat mempengaruhi kinerja
perawat dua puluh enam kali lebih tinggi
(OR= 26,708) setelah dikontrol oleh variabel
umur, status kepegawaian, dan masa kerja.
Tabel 5. Hubungan antara Motivasi dan Kinerja Perawat dalam Pelaksanaan Dokumentasi Asuhan
Keperawatan
Variabel
Kinerja Dokumentasi Total
X2
P OR
(95% CI) Kurang Baik
N % N % N %
Motivasi
a. Kurang
b. Baik
41
12
66,1
27,3
21
32
33,9
72,7
44
62
100
100
14,027
0,000*
5,206
(2,233; 12,140)
Motivasi Instrinsik
a. Kurang
b. Baik
30
23
49,2
51,1
31
22
46,7
48,9
61
45
100
100
0,000
3
1,000
0,926
(0,428; 2,000)
Motivasi Ekstrinsik
a. Kurang
b. Baik
46
7
78
14,9
13
40
13
85,1
47
59
100
100
39,143
0,000
*
5.235
(2,608; 10,507)
Tabel 6. Hubungan antara Komitmen Organisasi dan Kinerja Perawat dalam Pelaksanaan Dokumentasi Asuhan
Keperawatan
Variabel
Kinerja Dokumentasi Total
X2 P
OR
(95% CI) Kurang Baik
N % N % n %
Komitmen organisasi
a. Kurang
b. Baik
27
27
49
53
28
24
51
47
55
51
100
100 0,023 0,692
0,857
(0,400: 0,838)
Komitmen afektif
a. Kurang
b. Baik
4
50
40
52,1
6
46
60
47.9
10
96
100
100 0,156 0,693
0,613
(0,163; 2,31)
Komitmen Normatif
a. Kurang
b. Baik
1
53
25
52
3
49
75
48
4
102
100
100 0,301 0,584
0,308
(0,031; 3,06)
Komitmen Continuance
a. Kurang
b. Baik
9
45
47,7
51,7
10
42
52,6
48,3
9
87
100
100 0,008 0,928
0,840
(0,311; 2,26)
Miladiyah R, et al., Hubungan Motivasi dan Komitmen Organisasi dengan Kinerja 13
Pembahasan
Berdasarkan hasil pengukuran berkas rekam
medis pasien didapatkan hasil kinerja perawat
dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan kepera-
watan sebesar 51% responden mempunyai kinerja
yang baik dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan
keperawatan. Menurut Jefferies, et al., (2011),
proporsi perawat yang melakukan dokumentasi
asuhan keperawatan dengan baik harus meliputi
komponen-komponen pengkajian, diagnosis,
perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Ke-
lima komponen tersebut harus didokumentasikan
secara jelas dan berurutan, sehingga dapat
dipahami oleh semua profesi.
Pengukuran kinerja merupakan serangkaian
kegiatan perawat yang memiliki kompetensi
pengetahuan, keterampilan, dan pengambilan
keputusan klinis. Kualitas dokumentasi asuhan
keperawatan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan
perawat dalam melakukan pendokumentasian
dengan tata bahasa yang baik (Jefferies, et al.,
2011). Menurut Wang (2011), penggunaan
bahasa dan istilah yang tidak dimengerti dapat
mengakibatkan berbagai interpretasi yang salah
terhadap dokumentasi asuhan keperawatan.
Berdasarkan hasil analisis bivariat karakteristik
responden ditemukan tidak ada hubungan antara
karakteristik perawat pelaksana dan pelaksanaan
dokumentasi asuhan keperawatan. Hal ini disebab-
kan oleh semua perawat mempunyai kewajiban
yang sama dalam mendokumentasikan asuhan
keperawatan yang telah dilakukan terhadap klien-
nya karena dokumentasi asuhan keperawatan
merupakan salah satu aspek legal sebagai bentuk
pertanggungjawaban perawat terhadap pasien,
tanpa dipengaruhi oleh karakteristik responden
(Owen, 2005).
Hasil uji statistik menunjukan bahwa perawat yang memiliki motivasi yang baik menunjukan kinerja baik dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan keperawatan sebesar 72,7 %, dibandingkan yang motivasi kurang. Hasil uji statistik menunjukan bahwa ada Hasil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara motivasi dan kinerja perawat
dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan kepera-
watan (p= 0,000; α= 0,05). Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Indrastuti, Hamid, dan Mustikasari (2010). Kanfer,
Chen, dan Pritchard (2008) menyatakan bahwa
motivasi kerja merupakan faktor yang dapat
meningkatkan kinerja secara konstruktif. Hasil
analisis subvariabel terdapat hubungan yang
signifikan antara motivasi ekstrinsik dan kinerja
perawat dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan
keperawatan (p= 0,000; α= 0,05). Hasilnya menun-
jukkan bahwa perawat yang mempunyai motivasi
ekstrinsik baik berpeluang menunjukkan kinerja
baik lima kali lebih besar dibandingkan dengan
perawat yang mempunyai motivasi kurang (OR=
5,235).
Menurut Herzberg, et al., (1959) dalam Lu
(2000), motivasi kerja individu dapat ditelaah
secara instrinsik maupun ekstrinsik. Menurut Lu
(2000), seseorang yang mempunyai motivasi
ekstrinsik kuat dipengaruhi oleh insentif dan
kondisi kerja, seperti lingkungan pekerjaan,
hubungan antarstaf, dan kebijakan yang
dikeluarkan oleh perusahaan. Motivasi
berdasarkan pada bagaimana seseorang
mengevaluasi kompetensi sesuai dengan tujuan
awal tindakan dan apakah kompetensi tersebut
sudah sesuai dengan pencapaian yang diharapkan
(Nicholls, 1984 dalam Domangue & Solmon, 2010).
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, salah
satu faktor motivasi ekstrinsik yang dapat
meningkatkan kinerja adalah supervisi pimpinan.
Tingginya supervisi kepala ruangan terhadap
kinerja perawat dalam pelaksanaan dokumentasi
menghasilkan kualitas dokumentasi asuhan
keperawatan yang baik. Ada tiga ruangan
(37,5%) yang memiliki kinerja dokumentasi
asuhan keperawatan yang baik (>85%) karena
mendapatkan supervisi dari kepala ruangan secara
optimal. Kepala ruangan memberikan bimbingan
proses dokumentasi asuhan keperawatan dan
umpan balik terhadap hasil asuhan keperawatan
yang telah didokumentasikan.
Peningkatan motivasi ekstrinsik dapat dilakukan
dengan memperhatikan kesejahteraan staf. Berda-
sarkan analisis instrumen, perawat merasa adanya
penghargaan yang disesuaikan dengan beban kerja
dan kinerja membuat mereka lebih termotivasi
dalam meningkatkan kinerjanya. Hal ini menun-
jukkan bahwa kebutuhan perawat terhadap
hadiah yang berupa promosi atau peningkatan
pendidikan juga sangat tinggi, yang dibutuhkan
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 9-16 14
oleh staf adalah program-program pelatihan atau
pendidikan berkelanjutan untuk meningkatkan
kompetensi perawat.
Komponen berikutnya yang terdapat dalam
subvariabel motivasi ekstrinsik adalah hubungan
antarstaf. Berdasarkan analisis kuesioner, mayoritas
perawat menyatakan hubungan antarstaf yang
baik. Berdasarkan Robbins (2006), kebutuhan
untuk berhubungan antarstaf merupakan kebutuhan
seseorang untuk dapat berafiliasi dengan orang
lain. Marquis dan Huston (2010) menyatakan
bahwa hubungan antarstaf yang harmonis memu-
dahkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang
lain, membantu pencapaian target kinerja individu.
Berdasarkan hasil penelitian, responden yang
memiliki komitmen organisasi yang kurang
sekitar 52%. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Rose dan Kumar
(2009), Yatnikasari, et al., (2010). Hasil ini
menunjukkan bahwa responden yang memiliki
komitmen kerja kurang lebih besar daripada
responden yang memiliki komitmen kerja baik.
Hasil uji statistik, tidak ditemukan subvariabel
komitmen organisasi yang berhubungan dengan
kinerja perawat dalam pendokumentasian asuhan
keperawatan. Hasil ini sejalan dengan penelitian
McMurray, et al., (2004) yang menyatakan
bahwa ada faktor lain yang menyebabkan tidak
adanya hubungan antara komitmen organisasi dan
kinerja staf. McMurray, et al., (2004) menyatakan
bahwa iklim organisasi secara tidak langsung
dapat memengaruhi hasil kinerja. Komponen dari
iklim organisasi yang dapat meningkatkan
komitmen staf adalah adanya hubungan
antarstaf yang baik, lingkungan kerja yang
kondusif sehingga terdapat keterlibatan staf
dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan
organisasi.
Hasil analisis menunjukkan bahwa subvariabel
komitmen afektif menunjukan proporsi perawat
yang mempunyai komitmen afektif tinggi dan
mempunyai kinerja pendokumentasian asuhan
keperawatan yang kurang disebabkan oleh
sebagian besar responden mempunyai masa
kerja yang kurang dari sepuluh tahun. Menurut
Meyer, Stanley, Herscovitch, dan Topolnytsky
(2001), komitmen afektif merupakan komponen
emosional dari staf dalam mengidentifikasi dan
terlibat dalam pencapaian tujuan organisasi
sehingga dengan masa kerja yang singkat ke-
terikatan secara emosional belum terbentuk.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden
yang mempunyai komitmen normatif baik dan
menunjukkan kinerja baik sebesar (49%). Menurut
Meyer, et al., (2001) komitmen normatif
merupakan perasaan staf untuk tetap
berkewajiban secara moral tetap dalam
organisasi untuk sejumlah alasan. Tingginya
proporsi perawat yang mem-punyai komitmen
normatif yang baik, salah satunya disebabkan
oleh status kepegawaian responden. Sebagian
besar responden (53,8%) berstatus sebagai
pegawai negeri sipil (PNS). Sebagai PNS,
mereka akan menerima dan mengadopsi
kebijakan yang terdapat dalam organisasi
karena kebijakan yang dikeluarkan melalui
surat keputusan dan juga disahkan oleh
pemerintah. Keadaan ini menyebabkan perawat
sebagai PNS mempunyai rasa keterikatan yang
besar terhadap organisasi dan mengikuti semua
kebijakan yang sudah ditetapkan oleh organisasi.
Menurut Meyer, et al., (2001), staf dengan
komitmen continuance yang tinggi akan tetap
berada dalam organisasi untuk menghindari
biaya yang harus dikeluarkan bila mereka
meninggalkan organisasi. Berdasarkan analisis
kuesioner, 87% responden merasakan terdapat
keseimbangan antara gaji dan tanggung jawab
yang dilakukan, mendapatkan kenaikan gaji
berkala sesuai dengan kinerja yang telah
dilakukan, dan responden merasa akan rugi
secara moril dan materiil bila keluar dari rumah
sakit. Menurut McMurray, et al., (2004),
komitmen organisasi dan kepercayaan staf yang
tinggi terhadap organisasi secara signifikan
merupakan salah satu determinan dalam
pencapaian kinerja secara optimal. Berdasarkan
analisis peneliti, perawat mendapatkan insentif
dari jasa tindakan keperawatan, uang dinas malam,
dan lain-lain sehingga mengakibatkan dampak
yang positif terhadap komitmen continuance
perawat terhadap rumah sakit.
Miladiyah R, et al., Hubungan Motivasi dan Komitmen Organisasi dengan Kinerja 15
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian didapat karakteristik
responden yang terdapat di sebuah RS di Bekasi
sebagian besar berada pada umur 20-35 tahunan
dengan masa kerja kurang dari sepuluh tahun,
mempunyai latar belakang pendidikan D-3 kepe-
rawatan, dan berstatus sebagai pegawai negeri
sipil. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada
hubungan antara motivasi dan kinerja perawat
dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan kepe-
rawatan. Hasil analisis-subvariabel motivasi
didapatkan bahwa ada hubungan antara motivasi
ekstrinsik dan kinerja perawat dalam pelaksanaan
dokumentasi asuhan keperawatan. Hasil akhir
analisis multivariat menunjukkan bahwa motivasi
ekstrinsik dapat memengaruhi kinerja perawat
dua puluh enam kali lebih tinggi setelah dikontrol
oleh variabel umur, status kepegawaian, dan
masa kerja. Namun, untuk faktor komitmen
organisasi tidak ada hubungan antara komitmen
organisasi dan kinerja perawat dalam pelaksanaan
dokumentasi asuhan keperawatan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa motivasi ekstrinsik memberi-
kan kontribusi besar dalam meningkatkan kinerja
perawat dalam pelaksanaan dokumentasi asuhan
keperawatan di sebuah RS di Bekasi.
Penulis menyarankan agar RS dapat membuat
kebijakan dengan menjadikan audit dokumentasi
keperawatan sebagai salah satu indikator kinerja
perawat. Perencanaan pengembangan sumber
daya keperawatan dengan mengadakan program
pendidikan berkelanjutan untuk perawat pelaksana
yang masih berpendidikan D-3 keperawatan
serta mengikutsertakan perawat dalam program-
program pelatihan yang dapat meningkatkan
kemampuan dan kompetensi perawat pelaksana
dalam melakukan asuhan keperawatan. Rumah
sakit harus dapat menciptakan lingkungan dan
kondisi kerja yang aman dan nyaman sebagai
bagian dari motivasi ekstrinsik untuk lebih
dapat meningkatkan kinerja perawat dengan
penyediaan sarana dan prasarana penunjang
tindakan keperawatan yang memadai serta men-
dukung dalam melaksanakan asuhan keperawatan
(HH, EF, AR).
Referensi
Delaune, S.C. (2002). Fundamental of nursing:
Standartdan practice (2nd Ed.). Sydney:
Delmar Thomson Learning.
Departemen Kesehatan RI. (2005). Instrumen evaluasi
penerapan standar asuhan keperawatan di
rumah sakit (Cetakan ke lima). Jakarta:
Direktorat Jenderal Pelayanan Medis
Direktorat Pelayanan Keperawatan.
Domangue, E., & Solmon, M. (2010). Motivational
Responses to fitness testing by award status
and gender. Res Q Exerc Sport, 81 (3), 310–
318.
Indrastuti, Y., Hamid, A.Y.S., & Mustikasari.
(2010). Analisis hubungan perilaku caring
dan motivasi dengan kinerja perawat
pelaksana menerapkan prinsip etik
keperawatan dalam asuhan keperawatan di
RSUD Sragen (Tesis, magister tidak
dipublikasikan). Program Pascasarjana FIK-
UI, Jakarta.
Jefferies, D., Johnson, M., Nicholls, D., & Lad, S.
(2012). A ward-based writing coach
program to improve the quality of nursing
documentation. Nurse Education Today, 32,
647–651. doi:10.1016/j.nedt.2011.08.017.
Joints Commission Internatioanl Accreditation
(JCIA). (2011). Standards for hospitals (4th
Ed.). Washington: Department of
Publications Joint Commission Resources.
Kanfer, R., Chen, G., & Pritchard, R. (2008).
Workmotivation past, present, future. Florida:
Society for Industrial dan Organisazational
Psychology.
Khan, R.M., Ziauddin, Jam, F.A., & Ramay, M.
(2010). The impacts of organizational
commitment on employee Job performance.
European Journal of Social Sciences, 15
(3), 292–298.
Lu, L. (1999). Work Motivation, job stress, and
employment well being. Journal of Applied
Management Studies, 8 (1), 61–72.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 9-16 16
Martin, J.A. (2009). Interpersonal relationships,
motivation, engagement, and achievement:
Yields for theory, current issues, and
educational practice. Review of Educational
Research, 79 (1), 327–365. Doi: 10.3102/
0034654308325583.
Marquis, B.L., & Houston, C.J. (2006). Leadership
roles and management, management
function in nursing, theory and application.
Philadelphia: Lippincott
McMurray, A.J, Scott, D.R., & Pace, R.W. (2004).
Relationship between organizational
commitment and organizational climate to
performance appraisal in manufacturing.
Human Resource Development Journal, 15
(4), 473–488.
Meyer, J.P., Stanley, D.J., Herscovitch, L., &
Topolnytsky, L. (2001). Affective,
continuance, and normative commitment to
the organization: A meta analysis of
antecedents, correlates, and consequences.
Journal of Vocational Behavior, 61 (1), 20–
52. Doi:10.1006/jvbe.2001.1842.
Owen, K. (2005). Documentation in nursing
practice. Nursing Standard, 19, 48–49.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI).
(2010). Standar profesi dan kode etik
perawat Indonesia. Jakarta: Tim Penyusun
PP PPNI.
Robbins, S.P. (2006). Organizational behavior
(10th Ed.). New Jersey: Pearson education.
Rose, C.A., & Kumar, R. (2009). The effect of
organizational learning on organizational
commitment, job satisfaction, and work
performance. Journal of Applied Business
research, 25 (6), 55–65.
Sonentag, S., & Frese, M. (2001). Performance
concepts and performance theory. Germany:
John willey & Sons.
Sulistyowati, D., Hariyati, T., & Kuntarti. (2012),
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
pencapaian target kinerja individu perawat
pelaksana berdasarkan indeks kinerja
individu di Gedung A Rumah sakit umum
pusat nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
(Tesis, magister, tidak dipublikasikan). FIK
UI, Jakarta.
Wahyudi, I., Irawaty, D., & Mulyono, S. (2010)
Hubungan persepsi perawat tentang profesi
keperawatan, kemampuan dan motivasi
kerja terhadap kinerja perawat pelaksana
di RSU dr. Slamet Garut (Tesis magister,
tidak dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.
Wang, N., Hailey, D., & Yu, P. (2011). Quality of
nursing documentation and approaches to
its evaluations a mixed-method systematic
review. Journal of Advanced Nursing, 1–
18. Doi: 10.1111/j.1365-2648.2011.05634.x
Yatnikasari, A., Sahar, J., & Mustikasari. (2010).
Hubungan program retensi dengan
komitmen organisasi perawat pelaksana di
RSAB Harapan Kita (Tesis magister, tidak
dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 17-22
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
KONTRIBUSI PERBEDAAN PSIKOLOGIS PERAWAT TERHADAP
PEMBERDAYAAN PSIKOLOGIS
Diah Arruum
1,2*, Junaiti Sahar
3, Dewi Gayatri
3
1. Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155, Indonesia
2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail : [email protected]
Abstrak
Karakteristik perawat merupakan ciri-ciri perawat yang melekat terhadap dirinya, baik secara alami maupun yang
didapat dari orang lain yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, status pekerjaan, dan
lama kerja. Karakteristik dapat membedakan psikologis perawat terhadap pemberdayaan psikologis dalam peningkatan
kemampuan diri, motivasi intrinsik, dan kinerja perawat di rumah sakit. Penelitian ini bertujuan mengetahui
karakteristik perawat dengan pemberdayaan psikologis. Desain penelitian yang digunakan deskripsi korelasi dengan
cross sectional, sampel seratus lima belas perawat pelaksana. Hasil penelitian adalah jenis kelamin yang berhubungan
dengan pemberdayaan psikologis perawat pelaksana p= 0,041, yang berarti terdapat hubungan antara jenis kelamin dan
pemberdayaan psikologis perawat pelaksana (CI 95% OR= 1,001–66,893). Kemudian, 90% perawat pelaksana yang
berjenis kelamin laki-laki lebih berpeluang untuk diberdayakan secara psikologis, sedangkan perawat pelaksana dengan
jenis kelamin perempuan yang berpeluang diberdayakan sebesar 52,4%. Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlu
mengusulkan pendidikan formal dan pelatihan untuk perawat pelaksana khususnya yang memiliki lama kerja minimal
lima tahun, serta perlu memberi pengarahan dari kepala ruangan untuk membina seluruh perawat melalui supervisi agar
dapat memiliki kompetensi dalam melakukan tindakan di rumah sakit yang mencerminkan pemberdayaan psikologis
perawat.
Kata kunci: perbedaan psikologis perawat, pemberdayaan psikologis
Abstract
Contribution of the Difference of Psychological Nurses's toward Psycological Empowerment. Characteristics of
nurses are the traits attached to nurses, either naturaly or acquired from others. They include age, gender, educational
level, marital status, employment status, and length of employment. The psychological characteristics distinguish nurses
in psychological empowerment in improving self-efficacy, intrinsic motivation and performance of nurses in hospital.
This research aims to know the characteristics and the psychological empowerment of nurses. The research design used
cross-sectional correlation description with sample of 115 nurses. The results of the study are, gender that related with
nurses’ psychological empowerment (p= 0,041), which means that there is relation between gender with psychological
empowerment of nurses (CI 95% OR= 1,001–66,893), and 90% of male nurses are more likely to be empowered
psychologically, whereas female nurses that is likely to be empowered is 52,4%. Recommendations is the need to
propose a formal education and training, especially for nurses who have at least 5 years length of work, as well as the
need to give direction from head nurse to nurture all nurses through supervision in order to have the competences to
carry out actions in hospital that reflect the nurses psychological empowerment.
Keywords: nurses psychological difference, psychological empowerment
Pendahuluan
Perawat sebagai individu yang bergerak di bidang
kesehatan khususnya di rumah sakit harus mampu
memberikan pelayanan keperawatan sesuai
dengan keahlian. Pelayanan keperawatan yang
diberikan harus menjamin asuhan keperawatan
yang berkualitas (Aditama, 2008). Pelayanan
yang berkualitas tersebut dapat dilakukan melalui
pendekatan pemberdayaan, yaitu pendekatan
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 17-22
18
hubungan dan pendekatan motivasi (Huber,
2006). Pendekatan hubungan bertujuan untuk
memperbaiki kinerja, sedangkan pada pendekatan
motivasi bertujuan untuk menciptakan tangggung
jawab, kemampuan, komitmen, dan keterlibatan
perawat (Huber, 2006).
Keterlibatan individu pada setiap pekerjaannya
dapat mengukur secara psikologis individu
tersebut terhadap pekerjaannya dan kinerjanya
untuk mencapai penghargaan diri (Robbins &
Judge, 1998/2008). Safaria (2004) menyatakan
bahwa pemberdayaan memberikan keyakinan
kepada individu tentang kompetensi yang
dimilikinya yang dapat meningkatkan harga
diri dan kepuasan kerja, dan meningkatkan
komitmen individu untuk berkontribusi terhadap
organisasinya.
Pemberdayaan menurut Whetten dan Cameron
(2005) adalah memampukan individu untuk
dapat menumbuhkan kepercayaan pada dirinya,
membantu memulihkan ketidakberdayaan, se-
hingga individu memiliki semangat, dan motivasi
intrinsik dalam melakukan setiap tindakan.
Pemberdayaan psikologis memiliki lima dimensi
kunci, menurut Whetten dan Cameron (2005),
yaitu kemampuan diri, penentuan diri, pengen-
dalian diri, makna, dan kepercayaan. Kemampuan
diri memiliki kontribusi dalam perilaku praktik
keperawatan profesional, dan untuk memperta-
hankan perilaku praktik keperawatan professional
diperlukan adanya pemberdayaan (Manojlovich,
2007). Wibowo (2007) menyatakan bahwa ke-
mampuan diri mencerminkan kompetensi yang
dimiliki individu.
Kepuasan individu dapat ditunjukkan dengan
aktif bekerja dan berkomitmen terhadap
organisasinya. Komitmen terhadap organisasi
dapat dicerminkan dari turn over (Spreitzer,
2007). Hasil survei awal peneliti di salah satu
rumah sakit Jakarta didapatkan bahwa ketidak-
puasan perawat pelaksana terhadap pekerjaannya
sebesar 46,2%. Tenaga nonprofessional dengan
usia tengah baya cenderung memiliki ketidak-
puasan dibandingkan dengan tenaga profesional
(Robbins & Judge, 1998/2008). Data lain yang
didapatkan dari hasil survei peneliti pada salah
satu rumah sakit adalah turn over perawat
14,49%. Terjadinya turn over pada staf juga
cenderung pada usia yang lebih muda diban-
dingkan dengan usia yang lebih tua. Hal ini
disebabkan oleh penghasilan yang lebih tinggi
(Robbins & Judge, 1998/2008). Hasil wawancara
didapatkan bahwa perawat pelaksana dalam
melaksanakan tugas lebih berfokus terhadap
tindakan medis daripada tindakan keperawatan.
Berdasarkan hal tersebut dapat dianalisis bahwa
karakteristik perawat dapat memengaruhi pem-
berdayaan psikologis perawat untuk meningkatkan
kinerja dan kepuasan kerja. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui karakteristik perawat
dengan pemberdayaan psikologis perawat pelak-
sana.
Metode
Desain pada penelitian ini adalah deskripsi
korelasi dengan cross-sectional. Sampel dalam
penelitian ini adalah seratus lima belas perawat
pelaksana, dengan teknik total sampling. Uji
validitas pada kuesioner pemberdayaan psi-
kologis dilakukan dengan ahlinya, sedangkan uji
reliabilitas pada tiga puluh perawat dengan meng-
gunakan Cronbach’s alpha coeficient dan hasil
uji adalah 09,02.
Hasil
Karakteristik perawat terdiri atas usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan,
status pekerjaan, dan lama kerja.
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar
perawat pelaksana yang berjenis kelamin perem-
puan 91,3%, berpendidikan D-3 Keperawatan
88,7%, mempunyai status kawin 51,3%, dengan
status pekerjaan non-PNS 79,1%. Pada Tabel 2
dapat dilihat bahwa rata-rata usia perawat pelak-
sana adalah 27,9 tahun, dengan rata-rata lama
kerja perawat pelaksana adalah 5,1 tahun.
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian
besar 55,7% perawat pelaksana diberdayakan
dengan baik secara psikologis, sedangkan 44,3%
perawat pelaksana kurang diberdayakan secara
Arruum, et al., Kontribusi Perbedaan Psikologis Perawat terhadap Pemberdayaan
19
psikologis. Berdasarkan hasil penelitian yang
berhubungan dengan pemberdayaan psikologis
adalah jenis kelamin.
Pada Tabel 4 dinyatakan bahwa karakteristik
jenis kelamin yang berhubungan dengan pem-
berdayaan psikologis dengan p= 0,041 dan 90%
perawat pelaksana yang berjenis kelamin laki-
laki diberdayakan dibanding perawat yang
berjenis kelamin perempuan dan hasil pada OR
didapatkan 3,844. Hal ini menunjukkan bahwa
perawat pelaksana yang berjenis kelamin laki-laki
Tabel 1. Karakteristik Perawat Pelaksana menurut
Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan
Status Perkawinan, Status Pekerjaan
Variabel Frekuensi Persentase (%)
Jenis Kelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan
10
105
8,7
91,3
Tingkat Pendidikan
a. Surat Perintah
Kerja (SPK)
b. D-3 Keperawatan
c. S-1 Keperawatan
5
102
8
4,3
88,7
7,0
Status Perkawinan
a. Kawin
b. Tidak Kawin
59
56
51,3
48,7
Status Pekerjaan
a. Non-Pegawai
Negeri Sipil (Non-
PNS)
b. Pegawai Tidak
Tetap (PTT)
c. Calon Pegawai
Negeri Sipil
(CPNS)
d. Pegawai Negeri
Sipil (PNS)
91
7
6
11
79,1
6,1
5,2
9,6
Tabel 2. Karakteristik Perawat Pelaksana Menurut
Usia dan Lama Kerja
Variabel Mean
Median SD
Minimal-
Maksimal
95%
CI
Usia 27,9
27,0
4,3 21
41
27,2
28,7
Lama kerja 5,1
4,0
4,2 0,6
22
4,4
5,9
Tabel 3. Pemberdayaan Psikologis Perawat
Pelaksana
Pemberdayaan Frekuensi Persentase
Kurang
Baik
51
64
44,3
55,7
berpeluang 3,8 kali untuk diberdayakan dibanding
perawat pelaksana yang berjenis kelamin perem-
puan (95% CI= 1,001–66,893).
Namun, pada Tabel 4 tersebut dapat dilihat
perbedaan masing-masing karakteristik untuk
status pendidikan D-3 lebih diberdayakan secara
psikologis dibanding status pendidikan SPK
dan S-1 Keperawatan. Pada status pernikahan
perawat yang tidak kawin lebih diberdayakan
secara psikologis dibanding yang kawin. Pada
status pekerjaan perawat yang Pegawai Negeri
Sipil (PNS)/Calon Pegawai Negeri Sipil
(CPNS) lebih diberdayakan dibandingkan
status PTT dan Non-PNS.
Pembahasan
Hasil penelitian didapatkan bahwa karakteristik
perawat yang berhubungan dengan pemberdaya-
an psikologis adalah jenis kelamin. Di rumah
sakit tempat lokasi peneliti di salah satu rumah
sakit di Jakarta didapatkan hampir keseluruhan
perawat berjenis kelamin perempuan dan terkait
dengan pemberdayaan didapatkan hasil bahwa
perawat berjenis kelamin perempuan yang diber-
dayakan secara psikologis dengan yang tidak
diberdayakan hampir tidak ada perbedaan.
Sementara jumlah perawat yang berjenis kelamin
laki-laki di lokasi penelitian tersebut didapatkan
hampir keseluruhan diberdayakan secara psiko-
logis. Analisis dari hasil tersebut bahwa terdapat
perbedaan antara perawat berjenis kelamin
perempuan dan laki-laki dalam pemberdayaan
psikologis. Namun, hasil penelitian menurut
Rogers, Chamberlin, Ellison, dan Crean (1997)
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara
jenis kelamin laki-laki maupun perempuan
dengan pemberdayaan.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 17-22
20
Hasil penelitian ini sejalan dengan dengan hasil
penelitian menurut Sitiawati dan Zulkaida (2007)
yang menyatakan ada perbedaan dalam komitmen
staf, yaitu staf yang berjenis kelamin laki-laki
memiliki komitmen yang tinggi dibanding
staf perempuan. Spreitzer (2007) menyatakan
bahwa kepuasan individu dapat ditunjukkan
dengan aktif bekerja dan berkomitmen terhadap
organisasinya, dan komitmen terhadap organisasi
dapat dicerminkan melalui turn over. Selain itu,
Spreitzer (2007) menyatakan juga bahwa tim
yang memiliki pemberdayaan menunjukkan
produktivitas dan kinerja yang tinggi, individu
yang memiliki kinerja yang tinggi berarti
memiliki kompetensi dan kemampuan untuk
melaksanakan tugasnya, sehingga dapat membe-
rikan kepuasan kepada pasien.
Robbins dan Judge (1998/2008) menyatakan
bahwa ketidakhadiran pada perempuan lebih
besar dibanding pada laki-laki dan hal tersebut
pada umumnya dikarenakan masalah rumah
tangga yang merupakan tanggung jawab pada
perempuan seperti yang terjadi di Amerika
Utara. Robbins dan Judge (1998/2008) juga
menyatakan bahwa perempuan lebih memilih
jadwal kerja paruh waktu dikarenakan lebih
memilih untuk mengurus keluarganya.
Semakin lama individu berada dalam satu
pekerjaan, maka lebih kecil kemungkinan untuk
mengundurkan diri dari pekerjaan (Robbins dan
Judge, 1998/2008). Semakin lama masa kerja
perawat maka individu mampu menyesuaikan
diri terhadap lingkungan pekerjaannya sehingga
dapat mencapai kepuasan dalam menjalankan
pekerjaannya (Aprizal, Kuntjoro, & Probandari,
2008). Lama kerja perawat di salah satu rumah
sakit Jakarta lama kerja perawat rata-rata lima
tahun. Berdasarkan hasil survei penelitian di
salah satu rumah sakit di Jakarta didapatkan turn
over perawat 14,49%, data tersebut merupakan
Tabel 4. Karakteristik Perawat pada Pemberdayaan Psikologis
Variabel
Pemberdayaan Psikologis
Total X2 OR p
Kurang
Diberdayakan Diberdayakan
n % n % n %
Jenis Kelamin 3,822 0,041*
a. Perempuan 50 47,6 55 52,4 105 100 1
b. Laki-laki 1 10 9 90 10 100 3,844
1,001–66,893
Pendidikan 0,651 0,722
a. SPK 3 60 2 40 5 100 1
b. D-3 Kep 45 44,1 57 55,9 102 100 1,900
0,304–11,861
c. S-1 Kep 3 37,1 5 62,5 8 100 2,500
0,253–24,719
Perkawinan 0,251 0,616
a. Kawin 28 47,5 31 52,5 59 100 1
b. Tidak Kawin 23 41,1 33 58,9 56 100 1,296
0,620–2,711
Pekerjaan 2,231 0,328
a. PTT 5 71,4 2 28,6 7 100 1
b. Non PNS 39 42,9 52 57,1 91 100 3,333
0,614–18,093
c. PNS & CPNS 7 41,2 10 58,8 17 100 3,571
0,532–23,953
* Bermakna pada < 0,05
Arruum, et al., Kontribusi Perbedaan Psikologis Perawat terhadap Pemberdayaan
21
data yang perlu diwaspadai pada turn over
perawat yang optimal adalah 5-10% per tahun
(Gauerke, 1977 dalam Gillies, 1994). Hal ini
membuktikan bahwa perawat di rumah sakit masih
perlu untuk diberdayakan secara psikologis.
Hasil survei peneliti di salah satu rumah sakit
Jakarta menemukan bahwa terdapat hampir
separuh dari jumlah perawat perempuan terjadi
ketidakpuasan terhadap pekerjaannya. Sementara
itu, hasil penelitian yang didapatkan, yaitu jumlah
perawat yang berjenis kelamin perempuan
yang tidak diberdayakan hampir tidak memiliki
perbedaan dengan jumlah perawat yang menga-
lami ketidakpuasan dalam bekerja. Ini berarti
ketidakpuasan perawat dapat terjadi terhadap
perawat berjenis kelamin perempuan yang
mencerminkan perawat mengalami ketidak-
berdayaan secara psikologis.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dianalisis
bahwa perawat yang berjenis kelamin perempuan
yang diberdayakan mencerminkan perawat yang
memiliki kinerja baik, sedangkan perawat
yang berjenis kelamin perempuan yang tidak
diberdayakan mencerminkan memiliki kinerja
yang tidak baik. Namun, perawat yang berjenis
kelamin laki-laki di salah satu rumah sakit
Jakarta tersebut secara keseluruhan mencermin-
kan memiliki kinerja yang baik. Whetten dan
Cameron (2009) menyatakan bahwa pemberdayaan
psikologis merupakan kunci efektif dan dasar
terbentuknya kinerja. Penelitian Santoso (2006)
menunjukkan ada hubungan antara pemberda-
yaan perawat dengan kinerja perawat pelaksana.
Eagly dan Johannesen-Schmidt (2001) dalam
penelitiannya menyatakan bahwa perempuan
maupun laki-laki memiliki peran yang sama
dalam organisasinya seperti memberikan norma-
norma yang mengatur kinerja, melakukan
pengawasan kinerja staf, memberikan informasi.
Pernyataan tersebut dapat dianalisis bahwa
seharusnya tanggung jawab dalam meningkatkan
organisasi merupakan tanggung jawab bersama,
baik perempuan maupun laki-laki. Namun, ada-
nya perbedaan terhadap hasil penelitian tersebut
membuktikan bahwa perbedaan kontribusi karak-
teristik perawat memengaruhi pemberdayaan
psikologis perawat itu sendiri dalam bekerja di
rumah sakit.
Apabila perbedaan psikologis perawat ditinjau
berdasarkan karakteristik status perkawinan, hal
itu dapat diuraikan bahwa perawat yang diber-
dayakan di salah satu rumah sakit di Jakarta
mayoritas adalah perawat yang belum menikah.
Berbeda dengan hasil penelitian Gatot dan
Adisasmito (2005) yang menyatakan bahwa
perawat yang sudah menikah memiliki kepuasan
dalam bekerja. Spreitzer (2007) menyatakan
bahwa pemberdayaan memberikan dampak
terhadap sikap kerja yang positif, dimana individu
yang diberdayakan dapat memengaruhi tim
kerjanya sehingga dapat mencapai kepuasan
kerja. Demikian pula pernyataan Safaria (2004),
bahwa pemberdayaan memberikan keyakinan
kepada individu tentang kompetensi yang
dimilikinya, yaitu dengan kompetensi dapat
meningkatkan harga diri dan kepuasan kerja,
dan meningkatkan komitmen individu untuk
berkontribusi terhadap organisasinya. Hal ini
dapat diartikan bahwa perawat yang berstatus
menikah maupun yang tidak menikah memiliki
kepuasan kerja dan mempunyai peluang untuk
diberdayakan, selain itu perawat yang merasakan
puas karena memiliki sikap positif dalam
bekerja sama dengan tim, memiliki komitmen,
dan kepuasan kerja.
Kesimpulan
Hasil penelitian berdasarkan uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa jenis kelamin berhubungan
dengan pemberdayaan psikologis dan ada per-
bedaan antara perawat yang berjenis kelamin
perempuan dan perawat berjenis kelamin laki-
laki. Perawat laki-laki memiliki pemberdayaan
psikologis dan memiliki peluang untuk diberda-
yakan secara psikologis dibandingkan dengan
perawat perempuan. Saran dari hasil penelitian
ini adalah perlu dilakukan pemberdayaan
psikologis terhadap perawat, baik yang berjenis
kelamin laki-laki atau perempuan serta perlu
mengusulkan pendidikan formal dan informal
untuk perawat pelaksana khususnya yang memiliki
lama kerja minimal lima tahun. Selain itu juga,
kepala ruangan perlu memberi pengarahan untuk
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 17-22
22
membina seluruh perawat melalui supervisi
sehingga dapat memiliki kompetensi kinerja
yang baik, dan mencerminkan pemberdayaan
psikologis perawat (MS, RR, PN).
Referensi Aditama, T.Y. (2008). Manajemen adminstrasi
rumah sakit (Edisi Kedua). Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Aprizal, S., Kuntjoro, T., & Probandari, A. (2008).
Kepuasan kerja perawat di Rumah Sakit
Jiwa Prof. HB. Sa’anin Padang. Diperoleh
dari http://www.
lrckmpk.ugm.ac.id/id/UPPDF/_working/N
o.17_Yana_04_08.pdf.
Eagly, A.H., & Johannesen-Schmidt, M.C. (2001).
The Leadership styles of women and men.
Journal of Social Issues, 1 (12), 1–31.
Gillies, D.A. (1994). Nursing management: A
system approach (3rd Ed.). Philadelphia:
W.B. Saunders Company.
Gatot, D.B., & Adisasmito, W. (2005). Hubungan
karakteristik perawat, isi pekerjaan
terhadap kepuasan kerja perawat di
Instalasi Rawat Inap RSUD Gunung Jati
Cirebon. Jurnal Kesehatan Makara, 9 (1),
1–8.
Huber, D.L (2006). Leadership and nursing care
management (3rd Ed.). Philadelphia:
Saunders Elsevier.
Manojlovich, M. (2007). Power and empowerment
in nursing: Looking backward to inform
the future. The Online Journal of Issues in
Nursing. A Scholarly Journal of the
American Nurses Association, 12 (1), 1–16.
Robbins, S.P., & Judge, T.A. (2008). Perilaku
organisasi. Edisi kedua belas. Buku 1.
(Angelica, D., penerjemah). Jakarta:
Penerbit Salemba Empat.
Robbins, S.P., & Judge, T.A. (2008). Perilaku
organisasi. Ed ke 12. Buku 1. (Angelica,
D., Cahyani., R., & Rosyid, A., penerjemah).
Buku asli diterbitkan tahun 1998. New
Jersey: Pearson Education.
Rogers, E.S., Chamberlin, J., Ellison, M.L., &
Crean, T. (1997). A Consumer-constructed
scale to measure empowerment among
users of mental health services. Psychiatric
Services, 48 (8), 1042–1047.
Safaria, T. (2004). Kepemimpinan. (Edisi Pertama).
Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Santoso, A. (2006). Hubungan empowerment
dengan kinerja perawat pelaksana di
rumah sakit umum kota Semarang (Tesis
magister tidak dipublikasikan). Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia,
Depok-Jawa Barat.
Sitiawati, D., & Zulkaida, A. (2007). Perbedaan
komitmen kerja berdasarkan orientasi
peran gender pada karyawan di bidang
kerja non tradisional. ISSN (2), 1858-
2599. Diperoleh dari http://www.
gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/p
sychology/2007/artikel_10502058.pdf.
Spreitzer, G. (2007). Taking stock: A review of
more than twenty years of research on
empowerment at work. For publication in
the handbook of organizational behavior,
Sage Publications. Diperoleh dari
http://webuser.bus.
umich.edu/spreitze/EmpowermentandSelf-
management.pdf.
Whetten, D.A., & Cameron, K.S. (2005).
Developing management skills (6th
ed).
International Edition. New Jersey: Pearson
Prentice Hall.
Wibowo. (2007). Mananjemen kinerja. (Edisi
Pertama). Jakarta: PT Raja Gravindo.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 23-30
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
MENGATASI KONSTIPASI PASIEN STROKE DENGAN MASASE
ABDOMEN DAN MINUM AIR PUTIH HANGAT
Dameria Br Ginting
1,2*, Agung Waluyo
3, Lestari Sukmarini
3
1. Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes SUMUT, Medan 20136, Indonesia
2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Perawat memiliki peranan yang penting mengatasi konstipasi pada pasien stroke selama perawatan di rumah sakit.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan masase abdomen dengan masase abdomen dan minum air putih
hangat pada pasien stroke yang mengalami konstipasi terhadap proses defekasi di Kota Medan. Penelitian kuasi
eksperimen dengan dua kelompok intervensi dan satu kelompok kontrol menggunakan pendekatan purposive sampling
dengan total empat puluh tujuh responden, masing-masing empat belas responden kelompok masase abdomen, enam
belas responden kelompok masase abdomen dan minum air putih hangat, dan tujuh belas responden intervensi standar
diobservasi setiap hari selama tujuh hari. Proses defekasi terhadap ketiga kelompok dilihat dari waktu terjadinya
defekasi antara kelompok intervensi I dan II dengan nilai p= 0,015, dan dari frekuensi defekasi antara kelompok
intervensi II dan kelompok kontrol dengan nilai p= 0,000. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi evidence based
practice dalam asuhan keperawatan medikal bedah dalam memberikan intervensi keperawatan terhadap pasien stroke
yang mengalami konstipasi sehingga perawatan terapi komplementer di bidang keperawatan dapat dikenal dan memberikan
manfaat sebagai pencegahan dan pengobatan alami.
Kata kunci: konstipasi, masase abdomen, minum air putih hangat, proses defekasi, stroke
Abstract
Overcoming Constipation on Stroke Patient with Abdominal Massage and Drinking Warm Plain Water. Nurses had
an important role to overcome constipation of stroke patient during the treatment in hospital. This study was aimed to
find out the difference of abdominal massage and abdominal massage with dringking warm plain water to defecation
process of stroke patient in Medan. This quasi experimental study used two intervention groups and one group as a
control, this purposive sampling approach had 47 respondents, they were 14 respondents in the abdominal massage
intervention group, 16 respondents in the abdominal massage with drinking warm plain water intervention group and
17 respondents in standard intervention group. Defecation process was observed everyday for seven days. Defecation
process of the three groups were analyzed from the time of significant defecation between the first and the second
intervention group (p= 0,015), and the time of significant defecation between the second intervention and control group
(p= 0,00). The results of this study are expected to be as evidence-based practice in medical-surgical nursing care in
the nursing interventions in stroke patients who experience constipation so that complementary therapies in the field of
nursing care can be known and provide to be used as a preventative and natural medicine.
Keywords: constipation, abdominal massage, drinking warm plain water, defecation process, stroke
Pendahuluan
Stroke merupakan sindrom klinis akibat gangguan
pembuluh darah otak biasanya timbul secara
mendadak dan mengenai usia 45-80 tahun.
Menurut Smeltzer dan Bare (2008), stroke
merupakan ketidaknormalan fungsi sistem saraf
pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan
kenormalan aliran darah ke otak. World Health
Organization (WHO) menetapkan bahwa stroke
merupakan suatu sindrom klinis dengan gejala
berupa gangguan fungsi otak secara fokal atau
global yang dapat menimbulkan kematian atau
kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa
penyebab lain kecuali gangguan vaskular (Rasyid,
& Soertidewi, 2007).
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30
24
Prognosis stroke dapat dilihat dari enam aspek
menurut Lasmudin (1999). Keenam aspek itu
adalah death (kematian), disease (kesakitan),
disability (kerusakan), discomfort (ketidaknyaman-
an), dissatisfaction (ketidakpuasan) dan destitution
(kemiskinan). Keenam aspek tersebut terjadi
pada fase awal stroke atau pasca stroke (Gofir,
2009). Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor dan keadaan yang terjadi
terhadap penderita stroke. Tolak ukur di antaranya
outcome fungsional, seperti kelemahan motorik,
disabilitas, quality of life (kualitas hidup), serta
mortalitas (Gofir, 2009).
Faktor prognosis yang penting dalam morbiditas
dan mortalitas pasien stroke adalah komplikasi
yang terjadi pascastroke. Menurut Doshi (2003,
dalam Gofir, 2009), di Singapura tingkat kom-
plikasi stroke secara keseluruhan adalah 54,3%,
komplikasi stroke pada sistem gastrointestinal
adalah ulkus, perdarahan lambung, konstipasi,
dehidrasi dan malnutrisi (Rasyid & Soertidewi,
2007). Namun, menurut Navarro, et al., (2008,
dalam Gofir 2009) dari 495 pasien yang mengalami
komplikasi konstipasi sebesar 7,9%.
Di Amerika Serikat hampir setiap tahunnya
dilakukan survei terkait masalah konstipasi,
15% dari jumlah populasi usia dewasa mengalami
konstipasi setiap tahunnya (Higgins, 2004).
Survei juga dilakukan di tujuh negara pada
13.879 sampel berusia di atas 20 tahun berdasar-
kan wawancara dan kuisioner rerata 12,3%
orang dewasa mengalami konstipasi dan wanita
lebih cenderung mengalami konstipasi dari
pada laki-laki dan dilaporkan 20% mengalami
konstipasi adalah lanjut usia yang dirawat di
rumah dan 70% mengalami gangguan konstipasi
yang kronis (Wald, 2007). Suvei dilakukan
kembali tahun 2010 pada 8100 sampel berusia
di atas 20 tahun dari empat negara termasuk
Indonesia diperoleh hasil dari wawancara 16,2%
mengalami konstipasi (Wald, 2010). Akan tetapi,
Su, et al., (2009) melaporkan pasien stroke yang
mengalami masalah konstipasi 55,2% dari 154
pasien pada serangan stroke yang pertama.
Konstipasi dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu faktor mekanis, faktor fisiologis,
faktor fungsional, faktor psikologis, dan faktor
farmakologis (Nanda, 2010). Faktor mekanis
berkaitan dengan gangguan neurologis, pada
pasien stroke disebabkan oleh penurunan beberapa
fungsi neurologis. Pertama penurunan fungsi
motorik yang menyebabkan terjadi imobilisasi.
Gangguan mobilitas dan ketidakberdayaan
(deconditioning) adalah masalah yang paling
sering dialami pasien stroke (Wahjoepramono,
2005). Imobilisasi yang berkepanjangan dapat
mengakibatkan komplikasi pada pasien stroke
salah satunya adalah konstipasi.
Pasien stroke yang dirawat di rumah sakit sering
mengalami kelemahan anggota gerak, baik sebagian
maupun seluruhnya yang menyebabkan pasien
imobilisasi. Imobilisasi yang berkepanjangan
berpotensi terjadi komplikasi, salah satunya
adalah konstipasi. Konstipasi dapat menyebabkan
tekanan pada abdomen yang memicu pasien
mengejan saat berdefekasi. Pada saat mengejan
yang kuat terjadi respons maneuver valsava
yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Peningkatan tekanan intrakranial pada pasien
stroke merupakan prognosis yang buruk.
Konstipasi merupakan defekasi yang tidak teratur
serta terjadi pengerasan pada feses menyebabkan
pasase sulit, menimbulkan nyeri, frekuensi de-
fekasi berkurang, volume, dan retensi feses dalam
rektum (Smeltzer & Bare, 2008). Konstipasi
juga diartikan sebagai perubahan dari frekuensi
defekasi, volume, berat, konsistensi dan pasase
dari feses tersebut (Arnaud, 2003). Usia lanjut
sering mengalami masalah konstipasi karena
faktor yang mendukung, seperti imobilisasi
(Norton & Harry, 1999). Frekuensi defekasi
bervariasi antara satu individu dengan individu
yang lain, sehingga konstipasi ditentukan ber-
dasarkan kebiasaan pola eleminasi orang yang
normal (William & Wikins, 2000). Namun,
menurut Guyton dan Hall (2008) konstipasi
berarti pelannya pergerakan tinja melalui usus
besar dan sering berhubungan dengan sejumlah
tinja yang kering dan keras.
Refleks defekasi ditimbulkan oleh refleks
intrinsik yang diperantarai oleh sistem saraf
enterik setempat. Jika feses memasuki rektum,
Ginting, et al., Mengatasi Konstipasi Pasien Stroke dengan Masase Abdomen
25
peregangan dinding rektum menimbulkan sinyal-
sinyal aferen yang menyebar melalui pleksus
mienterikus untuk menimbulkan gelombang
peristaltik di dalam kolon desenden, sigmoid
dan rektum, serta mendorong feses ke arah
anus. Sewaktu gelombang peristaltik mendekati
anus, sfingter ani internus direlaksasi oleh
sinyal-sinyal penghambat dari pleksus mienteri-
kus, jika sfingter ani eksternus secara sadar,
secara volunter berelaksasi dan bila terjadi pada
waktu yang bersamaan akan terjadi defekasi
(Guyton & Hall, 2006).
Proses defekasi dipercepat dengan adanya
peningkatan tekanan intraabdomen dan kontraksi
pada otot-otot abdomen. Proses defekasi dapat
dihambat oleh kontraksi volunter otot-otot sfingter
eksterna dan levator ani sehingga secara bertahap
dinding rektum akan rileks dan keinginan
defekasi hilang (Smeltzer & Bare, 2008).
Masase abdomen membantu untuk merangsang
peristaltik usus dan memperkuat otot-otot abdomen
serta membantu sistem pencernaan sehingga dapat
berlangsung dengan lancar. Masase abdomen
telah dibuktikan efektif mengatasi konstipasi
terhadap beberapa pene-litian. Menurut Liu, et al.,
(2005), masase abdomen dapat meningkatkan
tekanan intra-abdomen. Pada kasus-kasus neurologi
masase abdomen dapat memberikan stimulus
terhadap rektal dengan somato-autonomic reflex
dan adanya sensasi untuk defekasi.
Mengonsumsi air putih yang hangat dalam
jumlah yang cukup dapat menyebabkan pen-
cernaan bekerja dengan kapasitas yang maksimal.
Air hangat dapat bekerja dengan melembabkan
feses dalam usus dan mendorongnya keluar
sehingga memudahkan untuk defekasi. Membe-
rikan pasien minum air putih hangat yang
cukup merupakan intervensi keperawatan yang
mandiri. Dalam penelitian ini memberikan
pasien minum air putih hangat yang dimaksud
adalah memberikan minum air hangat setelah
dilakukan masase abdomen sebanyak 500 ml
secara rutin untuk mengatasi konstipasi.
Masase abdomen membantu untuk merangsang
peristaltik usus dan memperkuat otot-otot abdomen
serta membantu sistem pencernaan dapat berlang-
sung dengan lancar. Masase abdomen dilakukan
untuk mengatasi komplikasi yang mungkin timbul
akibat konstipasi. Teknik masase abdomen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
Swedish massage tecnique, yaitu masase dengan
penekanan yang lembut pada jaringan yang dapat
memberikan perbaikan sirkulasi darah, memperbaiki
sistem pencernaan, serta memberikan kenyamanan.
Berdasarkan fenomena, pemaparan latar belakang
di atas, peneliti ingin mengetahui pengaruh
masase abdomen dan minum air putih hangat
dalam mengatasi konstipasi terhadap pasien
stroke di Rumah Sakit X Medan. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui
perbedaan masase abdomen dengan masase
abdomen dan minum air putih hangat terhadap
pasien stroke yang mengalami konstipasi dalam
proses defekasi.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
menggunakan metode Quasi eksperiment pen-
dekatan post test only non equivalent control
group design. Pada desain ini, kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol tidak dipilih
secara random (Sugiyono, 2011). Dalam penelitian
ini responden sebanyak lima belas subjek.
Untuk mengantisipasi drop put, dilakukan koreksi
sampel menggunakan formula sederhana: n’=
n/(1-f), f (10% atau 0,1) (Sastroasmoro &
Ismael, 2010). n’= 15/0,9= 16,6 dibulatkan
menjadi menjadi tujuh belas subjek. Kriteria
inklusi pada penelitian ini adalah pasien stroke
iskemi yang sesudah tujuh hari serangan stroke;
tekanan darah dalam rentang (120/80–150/100)
dan tidak memiliki tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial sebelum, selama, dan sesudah
intervensi, pasien sadar dan dapat berkomunikasi,
tidak mengalami penurunan fungsi memori
(dengan melakukan tes memori jangka pendek
dan jangka panjang), teridentifikasi mengalami
konstipasi melalui constipasi scoring system,
tidak sedang mengalami peradangan pada sistem
gastrointestinal, sistem perkemihan, dan sistem
metabolik, tidak terdapat massa pada abdomen,
dan bersedia menjadi responden.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30
26
Penelitian dibagi dalam tiga kelompok, kelompok
kontrol mendapatkan intervensi yang biasa
dilakukan di ruangan seperti menganjurkan
makan makanan mengandung serat, memenuhi
kebutuhan cairan, aktivitas dalam batas yang
dapat ditoleransi dan dengan bantuan obat
laksatif. Kelompok Intervensi I dilakukan satu
kali dalam tujuh hari mendapatkan terapi standar
seperti kelompok kontrol sebelum sarapan pagi,
responden diberikan masase abdomen dengan
teknik swedish massage selama 15-20 menit
Setelah enam puluh menit, responden dipersilakan
sarapan pagi Kelompok Intervensi II dilakukan
satu kali dalam tujuh hari mendapatkan terapi
standar seperti kelompok kontrol sebelum sarapan
pagi, responden diberikan masase abdomen
dengan teknik swedish massage selama 15-20
menit Kemudian responden diberi tambahan
minum air hangat sebanyak 500 ml. Setelah enam
puluh menit, responden dipersilakan sarapan pagi.
Maka jumlah sampel dalam penelitian ini
masing-masing kelompok adalah tujuh belas
subjek, jumlah sampel keseluruhan adalah lima
puluh satu subjek. Namun, pada saat proses
pengambilan data pada Kelompok Intervensi I
terdapat dua responden yang dieksklusi karena
responden demam dan satu responden yang
dieksklusi pada Kelompok Intervensi II karena
demam pada saat perlakuan, sehingga jumlah
responden sebanyak empat puluh tujuh orang
pasien stroke yang mengalami konstipasi. Untuk
melihat perbedaan proses defekasi antarkelompok
menggunakan analisis beda lebih dari dua mean
digunakan uji ANOVA atau uji F (Hastono, 2007).
Hasil
Hasil penelitian berdasarkan waktu terjadinya
defekasi dan frekuensi defekasi pada kelompok
intervensi I, Intervensi II, dan intervensi standar
dapat dilihat pada Tabel 1.
Pada Tabel 1 diperoleh rerata waktu terjadinya
defekasi responden pada kelompok intervensi I
adalah 70,43 jam (SD 30,736). Pada kelompok
intervensi II rerata waktu terjadinya defekasi
responden adalah 35,25 jam (SD= 25,470).
Akan tetapi, pada kelompok kontrol rerata
waktu terjadinya defekasi responden adalah 60,35
jam (SD= 35,375). Hasil estimasi interval dapat
disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rerata
waktu terjadinya defekasi tercepat terdapat pada
kelompok intervensi II adalah 21,68-48,82 jam.
Berdasarkan hasil uji statistik dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaan waktu terjadinya defekasi
di antara ketiga kelompok (p= 0,015; α= 0,05).
Pada Tabel 2 dapat dilihat perbedaan waktu
terjadinya proses defekasi antara ketiga kelompok
yang bermakna adalah antara kelompok intervensi
I dengan kelompok II. Hasil dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaan yang bermakna antara
perlakuan masase abdomen dengan masase
abdomen dan minum air putih hangat terhadap
waktu terjadinya defekasi (p= 0,015; α= 0,05).
Pada Tabel 3 dapat dilihat perbedaan frekuensi
defekasi antara ketiga kelompok yang bermakna
adalah antara kelompok intervensi II dengan
kelompok kontrol. Hasil dapat disimpulkan bahwa
Tabel 1. Distribusi Waktu Terjadinya Defekasi dan Frekuensi Defekasi pada Kelompok Intervensi I,
Intervensi II, dan Intervensi Standar
Variabel Kelompok N Mean SD 95% CI p
Waktu terjadinya defekasi
Intervensi I 14 70,43 30,736 52,68–88,18
0,015 Intervensi II 16 35,25 25,470 21,68–48,82
Kontrol 17 60,35 35,375 39,82–80,88
Frekuensi defekasi
Intervensi I 14 1,93 0,829 1,45–2,41
0,000 Intervensi II 16 2,62 1,0255 2,08–3,17
Kontrol 17 1,29 0,772 0,90–1,69
Ginting, et al., Mengatasi Konstipasi Pasien Stroke dengan Masase Abdomen
27
Tabel 2. Perbedaan Waktu Terjadinya Defekasi pada Kelompok Intervensi I, II, dan II
Variabel Mean Sig 95% CI p
Waktu terjadinya defekasi
Intervensi I Intervensi II
Kontrol
35,179*
10,076
0,016
1,000
5,25–65,11
19,44–39,59
0,015
Intervensi II Intervensi I
Kontrol
35,179*
25,103
0,016
0,101
65,11–5,25
53,59–3,38
Kontrol Intervensi I
Intervensi II
10,076
25,103
1,000
0,101
35,59–19,44
338–53,59
Tabel 3. Perbedaan frekuensi defekasi pada kelompok intervensi I, II, dan II
Variabel Mean Sig 95% CI P
Frekuensi Defekasi
Intervensi I Intervensi II
Kontrol
0,696
0,634
0,109
0,157
1,50–0,11
0,16–1,43
0,000
Intervensi II Intervensi I
Kontrol
0,696
1,331*
0,109
0,000
0,11–1,50
0,57–2,10
Kontrol Intervensi I
Intervensi II
0,634
1,331*
0,157
0,000
1,43–0,16
2,10–0,57
ada perbedaan yang bermakna antara perlakuan
masase abdomen dan minum air putih hangat
dengan intervensi yang standar terhadap frekuensi
defekasi (p= 0,000; α= 0,05).
Pembahasan
Minum air hangat dapat memberikan sensasi
yang cepat menyebarkan gelombang panasnya
ke segala penjuru tubuh manusia. Pada saat yang
bersamaan pembuluh darah akan berdilatasi
sehingga dapat mengeluarkan keringat dan gas
dalam tubuh. Abdomen salah satu organ yang
memiliki reseptor terhadap suhu yang panas
dan lebih dapat mendeteksi suhu panas dibanding
dengan suhu dingin (Guyton & Hall, 2006).
Hasil penelitian menunjukkan waktu terjadinya
defekasi pada kelompok masase abdomen lebih
lambat, yaitu rerata waktu terjadinya defekasi
adalah 70,43 jam jika dibandingkan dengan
kelompok kontrol, yaitu rerata waktu terjadi
defekasi responden adalah 60,35 jam yang hanya
mendapatkan intervensi yang standar. Salah
satu faktor yang dapat menyebabkan perbedaan
tersebut adalah dilihat dari hasil penelitian bahwa
responden yang mendapatkan masase abdomen
mayoritas berada pada tingkat kemandirian
rendah dan ketergantungan total. Responden
pada kelompok masase abdomen ini secara fisik
mengalami penurunan kekuatan otot dan kele-
mahan pada otot-otot abdomen yang memicu
perlambatan waktu yang dibutuhkan feses untuk
berpindah dari kolon ke rektum, dibandingkan
dengan responden pada kelompok kontrol rata-
rata memiliki tingkat kemandirian yang sedang.
Dalam beberapa aktivitas responden pada kelom-
pok kontrol masih dapat melakukan pergerakan
secara aktif, pergerakan secara aktif dapat
memengaruhi percepatan waktu perpindahan
feses dari kolon ke rektum.
Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa
telah dapat mengatasi masalah konstipasi pada
pasien stroke setelah masase abdomen dilakukan
setiap hari selama tujuh hari. Masase abdomen
efektif mengatasi konstipasi jika dilakukan secara
rutin setiap hari. Hal ini yang menyebabkan
perbedaan dengan penelitian terdahulu karena
pada penelitian terdahulu masase abdomen tidak
dilakukan setiap hari secara rutin. Masase
abdomen yang dilakukan secara rutin dapat
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30
28
merangsang peristaltik usus serta memperkuat
otot-otot abdomen yang akan membantu system
pencernaan dapat berlangsung secara lancar
(Folden, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui
bahwa frekuensi defekasi antara kelompok
responden yang mendapat masase abdomen
dengan kelompok kontrol tidak berbeda jauh.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh jumlah serat
yang dikonsumsi oleh kelompok kontrol lebih
banyak dibandingkan dengan kelompok masase
abdomen. Responden yang menjadi kelompok
kontrol adalah responden yang berasal dari rumah
sakit swasta yang setiap penyajian menu makan
siang selalu disertai dengan buah-buahan,
dibandingkan dengan responden kelompok
masase abdomen yang berasal dari rumah sakit
pemerintah. Hal ini dapat menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan perbedaan frekuensi
defekasi kelompok masase abdomen dengan
kelompok intervensi standar tidak berbeda jauh.
Frekuensi defekasi pada responden yang men-
dapat masase abdomen dibandingkan dengan
frekuensi defekasi pada responden kelompok
masase abdomen dan minum air putih hangat
lebih sedikit. Perbedaan frekuensi ini dapat
dipengaruhi oleh jumlah asupan cairan resonden
terhadap kelompok masase abdomen setiap
harinya, kemungkinan lebih sedikit dibandingkan
dengan kelompok masase abdomen yang diberi
tambahan minum air putih hangat 500 ml
setiap hari. Jika asupan cairan dalam tubuh
kurang, tubuh akan menyerap cadangan air
dalam usus dan absorbsi air menjadi lebih
sedikit menyebabkan kandungan air dalam feses
akan diserap kembali. Kekurangan kandungan
air dalam feses menyebabkan feses menjadi
kering, keras, dan membutuhkan waktu yang
cukup lama dari kolon transfersum sampai ke
kolon sigmoid.
Hasil penelitian yang sudah dilakukan dan
hasil penelitian terdahulu dapat disimpulkan
bahwa masase abdomen efektif dilakukan
untuk mengatasi konstipasi pada pasien stroke.
Namun, memerlukan intervensi tambahan agar
efek terhadap waktu terjadinya defekasi lebih
cepat sehingga frekuensi defekasi juga dapat
bertambah.
Pada penelitian ini, minum air hangat sebanyak
500 ml diberikan setelah responden mendapatkan
masase abdomen. Beberapa responden awalnya
tidak dapat meminum air hangat yang telah
disediakan 500 ml sekaligus sehingga pada
awalnya harus diberikan secara bertahap untuk
mengurangi ketidaknyamanan.
Pada kelompok yang mendapatkan masase
abdomen dan minum air putih hangat, waktu
terjadinya defekasi dimulai dalam dua puluh
empat jam terhadap perlakuan di hari pertama.
Dilihat dari waktu terjadinya proses defekasi
pada kelompok ini lebih cepat, yaitu rata-rata
waktu terjadi defekasi responden adalah 35,25
jam dibandingkan dengan kelompok yang hanya
mendapat masase abdomen. Masase abdomen
dan mendapatkan minum air putih hangat
sebanyak 500 ml setelah dilakukan masase
abdomen terbukti dapat mempercepat terjadinya
proses defekasi. Proses defekasi ini dapat
berlangsung secara cepat disebabkan oleh
stimulasi pada otot-otot abdomen yang secara
langsung dapat merangsang peristaltik usus
ditambah dengan minum air hangat sebanyak
500 ml yang akan memberikan suasana yang
encer dan cair pada usus. Suasana yang encer
ini akan memudahkan usus halus mendorong
sisa makanan untuk diabsorbsi di usus besar.
Pernyataan ini didukung oleh teori yang menya-
takan bahwa pemberian minum air putih hangat
memberikan efek hidrostatik dan hidrodinamik
dan hangatnya membuat sirkulasi peredaran
darah khususnya pada daerah abdomen menjadi
lancar. Secara fisiologis, air hangat juga memberi
pengaruh oksigenisasi dalam jaringan tubuh
(Hamidin, 2012). Hal serupa diungkapkan oleh
Yuanita (2011), minum air hangat dapat mem-
perlancar proses pencernaan, karena pencernaan
membutuhkan suasana yang encer dan cair.
Pada penderita konstipasi minum air hangat
sangat tepat untuk membantu memperlancar
pencernaan karena dengan minum air hangat
partikel-partikel dalam usus akan dipecah dan
menyebabkan sirkulasi pencernaan menjadi lancar
sehingga mendorong usus mengeluarkan feses.
Ginting, et al., Mengatasi Konstipasi Pasien Stroke dengan Masase Abdomen
29
Frekuensi defekasi responden pada kelompok
masase abdomen dan minum air putih hangat
lebih sering dua kali (2,62 kali) dibandingkan
dengan kelompok yang mendapat masase
abdomen frekuensi defekasi satu kali (1,93
kali), sementara itu frekuensi defekasi pada
kelompok kontrol adalah 1,29 kali. Namun,
jika dilihat dari hasil penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Tampubolon (2008),
frekuensi defekasi pada kelompok intervensi
empat kali lebih sering dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan
oleh perbedaan jumlah air minum yang diberikan
kepada responden yang mengalami konstipasi.
Jika pada penelitian ini responden diberikan
minum air putih hangat sebanyak 500 ml
sementara penelitian oleh Tampubolon (2008),
memberi minum air putih sebanyak 1500 ml.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak
asupan cairan yang diminum maka proses
defekasi akan lebih baik.
Proses defekasi pada kelompok yang hanya men-
dapatkan intervensi standar dimulai pada hari
kedua. Proses defekasi pada kelompok ini hanya
memperoleh terapi standar dari rumah sakit berupa
anjuran makan makanan yang mengandung serat,
memenuhi kebutuhan cairan, melakukan aktivitas
dalam batas yang dapat ditoleransi, dan memberi-
kan obat laksatif membantu melunakkan feses.
Intervensi standar yang diberikan kepada pasien
yang mengalami konstipasi didukung oleh pe-
menuhan kebutuhan cairan dan jumlah serat yang
dimakan dapat membantu terjadinya proses
defekasi. Hasil penelitian ini didukung oleh teori
yang dikemukakan oleh Mckay (2012), dengan
diet kaya serat sangat membantu untuk mem-
perlancar pencernaan sehingga dapat mencegah
konstipasi, namun pada pasien yang mengalami
dehidrasi asupan cairan harus ditambah dengan
minum lebih banyak.
Frekuensi defekasi pada kelompok yang hanya
mendapatkan intervensi standar ini jauh lebih
sedikit bahkan ada yang sama sekali belum
terjadi proses defekasi selama observasi dilakukan
dibanding kelompok intervensi masase abdomen
dan kelompok masase abdomen dengan men-
dapatkan minum air putih hangat. Hal ini
disebabkan oleh banyak faktor, seperti imobilisasi,
yaitu tirah baring yang lama dapat memengaruhi
penurunan tonus otot abdomen, motilitas, serta
tonus usus sehingga menyebabkan waktu terjadi
defekasi menjadi lambat. Hal ini disebabkan
oleh kurangnya latihan pergerakan yang dilakukan,
baik secara aktif oleh pasien maupun secara pasif
oleh keluarga dan tenaga kesehatan. Menurut
Smeltzer dan Bare (2008), tirah baring yang lama
merupakan penyebab terjadinya konstipasi pada
pasien stroke.
Tidak dapat diabaikan secara psikologis seseorang
yang lama dirawat dengan diagnosis stroke dapat
mengakibatkan seseorang menjadi depresi, emosi
yang tidak stabil, rasa cemas, takut, dan merasa
rendah diri. Menurut Guyton dan Hall (2006),
seseorang yang dalam keadaan cemas, depresi,
stres dan gangguan mental lainnya memengaruhi
kerja hormon pencernaan (sekretin, gastrin,
kolestositokinin) yang mengakibatkan penurunan
nafsu makan, menurunkan motilitas usus dan
mekanisme tubuh meningkatkan rangsangan
saraf simpatis yang menghambat pengosongan
lambung, sehingga menyebabkan seseorang
dalam keadaan ini mengalami konstipasi. Dalam
penelitian ini, faktor psikologis tersebut tidak
dikaji sebagai faktor yang dapat memengaruhi
terjadinya konstipasi pada pasien stroke.
Kesimpulan
Terdapat perbedaan waktu terjadinya proses
defekasi yang signifikan antara kelompok
intervensi I dengan kelompok II, bahwa ada
perbedaan yang bermakna antara perlakuan
masase abdomen dengan masase abdomen dan
minum air putih hangat terhadap waktu terjadinya
defekasi (p= 0,015; α= 0,05). Terdapat perbedaan
frekuensi defekasi yang signifikan antara ketiga
kelompok, yaitu antara kelompok intervensi II
dan kelompok kontrol, bahwa ada perbedaan
yang bermakna antara perlakuan masase abdomen
dan minum air putih hangat dengan intervensi
yang standar terhadap frekuensi defekasi (p=
0,000; α= 0,05).
Bagi keilmuan keperawatan, hasil penelitian
ini diharapkan dapat sebagai evidence based
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30
30
practice dalam asuhan keperawatan medikal
bedah dalam memberikan intervensi keperawatan
pada pasien stroke yang mengalami konstipasi
sehingga perawatan terapi komplementer di bidang
keperawatan dapat dikenal dan memberikan
manfaat untuk digunakan sebagai pencegahan
dan pengobatan alami. Bagi peneliti selanjutnya
dapat digunakan sebagai data dasar untuk
melakukan penelitian selanjutnya dengan mem-
bandingkan masase abdomen dan minum air
putih hangat dengan tindakan kompres hangat
(range of motion) pada daerah perut untuk
melihat proses defekasi yang lebih efektif (YS,
KN, EF).
Referensi Arnaud, M.J. (2003). Mild dehydration: A risk
factor of constipation? European Journal
of Clinical Nutrition, 57 (2), 588–595.
Gofir, A. (2009). Manajemen stroke: Evidence based
medicine. Yogyakarta: Pustaka Cendikia Press.
Guyton, A.C., & Hall, J.E. (2006). Buku ajar
fisiologi kedokteran (edisi 9) (Irawati
Setiawan, penerjemah). Jakarta: EGC.
Hamidin, A. (2012). Keampuhan terapi air putih:
Untuk penyembuhan, diet, kehamilan dan
kecantikan. Yogyakarta: Media Presindo.
Higgins, P.D., & Johanson, J.F. (2004). Epidemiology
of constipation in North America: A
systematic review. The American Journal
of Gastroenterology, 99, 750–759.
Liu, Sakakibara., T. Odaka., T. Uchiyama.,
T. Yamamoto., T. Ito., T. Hattori (2005).
Mechanism of abdominal massage for
difficult defecation in patient with
myeolopathy. Journal of Neurology, 252,
1280–1282.
Mckay, S.L., Fravel, M., & Scanlon, C. (2012).
Evidence-based practice guildeline:
management of constipation. Gerontology
nursing, 38 (7), 9–15. Journal of
Gerontological Nursing. Diperoleh dari
http://www.healio.com/nursing/journals/jg
n/2012-7-38-7/%7Bf9178bcd-5d38-4ad2-
92ea-25be9eee4a1b%7D/management-of-
constipation
Folden, S.L. (2002). Practice guidelines for the
management of constipation in adults.
Rehabilitation nursing, 27 (5), 169–175.
Diperoleh dari
http://www.rehabnurse.org/pdf/BowelGuidef
orWEB.pdf
Norton, C. (1999). Ivestigation and treatment of
bowel problem. Medical post, 21 (1), 27–
36. Nursing & Allied Health Source
Rasyid, A., & Soertidewi, L. (2007). Unit stroke:
Manajemen stroke secara komprehensif.
Jakarta: Bala Penerbit Fakultas Kedokteran
Indonesia.
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2008). Brunner &
Suddarth: Textbook of medical surgical
nursing. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins.
Su, Y., Zhang, X., Zeng, J., Pei, Z., Cheung,
R.T.F., Zhou, Q., Ling, L., Yu, J., Tan, J.,
& Zhang, Z. (2009). New-onset constipation
at acute stage after first stroke: Incidence,
risk factors, and impact on the stroke
outcome. Stroke, 40, 1304–1309.
Sugiyono. (2009). Statistika untuk penelitian
(cetakan ke-14). Bandung: Alfabeta.
Tampubolon, L. (2008). Pengaruh terapi air putih
pada pasien konstipasi terhadap proses
defekasi (Tesis, tidak dipublikasikan). FIK
UI, Depok – Jawa Barat.
Tappan, F. & Benjamin, P. (1998). Healing
massage techniques: Classic, holistic, and
emerging methods (3rd Ed.). USA: Appleton-
Lange.
Wald, A. (2006). Constipation in the primary care
setting: current concepts and misconceptions.
The American journal of medicine, 119,
227–236.
Yuanita, A. (2011). Terapi air putih. Jakarta: Klik
Publishing.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 23-30
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
MENGATASI KONSTIPASI PASIEN STROKE DENGAN MASASE
ABDOMEN DAN MINUM AIR PUTIH HANGAT
Dameria Br Ginting
1,2*, Agung Waluyo
3, Lestari Sukmarini
3
1. Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKes SUMUT, Medan 20136, Indonesia
2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Perawat memiliki peranan yang penting mengatasi konstipasi pada pasien stroke selama perawatan di rumah sakit.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan masase abdomen dengan masase abdomen dan minum air putih
hangat pada pasien stroke yang mengalami konstipasi terhadap proses defekasi di Kota Medan. Penelitian kuasi
eksperimen dengan dua kelompok intervensi dan satu kelompok kontrol menggunakan pendekatan purposive sampling
dengan total empat puluh tujuh responden, masing-masing empat belas responden kelompok masase abdomen, enam
belas responden kelompok masase abdomen dan minum air putih hangat, dan tujuh belas responden intervensi standar
diobservasi setiap hari selama tujuh hari. Proses defekasi terhadap ketiga kelompok dilihat dari waktu terjadinya
defekasi antara kelompok intervensi I dan II dengan nilai p= 0,015, dan dari frekuensi defekasi antara kelompok
intervensi II dan kelompok kontrol dengan nilai p= 0,000. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi evidence based
practice dalam asuhan keperawatan medikal bedah dalam memberikan intervensi keperawatan terhadap pasien stroke
yang mengalami konstipasi sehingga perawatan terapi komplementer di bidang keperawatan dapat dikenal dan memberikan
manfaat sebagai pencegahan dan pengobatan alami.
Kata kunci: konstipasi, masase abdomen, minum air putih hangat, proses defekasi, stroke
Abstract
Overcoming Constipation on Stroke Patient with Abdominal Massage and Drinking Warm Plain Water. Nurses had
an important role to overcome constipation of stroke patient during the treatment in hospital. This study was aimed to
find out the difference of abdominal massage and abdominal massage with dringking warm plain water to defecation
process of stroke patient in Medan. This quasi experimental study used two intervention groups and one group as a
control, this purposive sampling approach had 47 respondents, they were 14 respondents in the abdominal massage
intervention group, 16 respondents in the abdominal massage with drinking warm plain water intervention group and
17 respondents in standard intervention group. Defecation process was observed everyday for seven days. Defecation
process of the three groups were analyzed from the time of significant defecation between the first and the second
intervention group (p= 0,015), and the time of significant defecation between the second intervention and control group
(p= 0,00). The results of this study are expected to be as evidence-based practice in medical-surgical nursing care in
the nursing interventions in stroke patients who experience constipation so that complementary therapies in the field of
nursing care can be known and provide to be used as a preventative and natural medicine.
Keywords: constipation, abdominal massage, drinking warm plain water, defecation process, stroke
Pendahuluan
Stroke merupakan sindrom klinis akibat gangguan
pembuluh darah otak biasanya timbul secara
mendadak dan mengenai usia 45-80 tahun.
Menurut Smeltzer dan Bare (2008), stroke
merupakan ketidaknormalan fungsi sistem saraf
pusat (SSP) yang disebabkan oleh gangguan
kenormalan aliran darah ke otak. World Health
Organization (WHO) menetapkan bahwa stroke
merupakan suatu sindrom klinis dengan gejala
berupa gangguan fungsi otak secara fokal atau
global yang dapat menimbulkan kematian atau
kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa
penyebab lain kecuali gangguan vaskular (Rasyid,
& Soertidewi, 2007).
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30
24
Prognosis stroke dapat dilihat dari enam aspek
menurut Lasmudin (1999). Keenam aspek itu
adalah death (kematian), disease (kesakitan),
disability (kerusakan), discomfort (ketidaknyaman-
an), dissatisfaction (ketidakpuasan) dan destitution
(kemiskinan). Keenam aspek tersebut terjadi
pada fase awal stroke atau pasca stroke (Gofir,
2009). Prognosis stroke juga dipengaruhi oleh
berbagai faktor dan keadaan yang terjadi
terhadap penderita stroke. Tolak ukur di antaranya
outcome fungsional, seperti kelemahan motorik,
disabilitas, quality of life (kualitas hidup), serta
mortalitas (Gofir, 2009).
Faktor prognosis yang penting dalam morbiditas
dan mortalitas pasien stroke adalah komplikasi
yang terjadi pascastroke. Menurut Doshi (2003,
dalam Gofir, 2009), di Singapura tingkat kom-
plikasi stroke secara keseluruhan adalah 54,3%,
komplikasi stroke pada sistem gastrointestinal
adalah ulkus, perdarahan lambung, konstipasi,
dehidrasi dan malnutrisi (Rasyid & Soertidewi,
2007). Namun, menurut Navarro, et al., (2008,
dalam Gofir 2009) dari 495 pasien yang mengalami
komplikasi konstipasi sebesar 7,9%.
Di Amerika Serikat hampir setiap tahunnya
dilakukan survei terkait masalah konstipasi,
15% dari jumlah populasi usia dewasa mengalami
konstipasi setiap tahunnya (Higgins, 2004).
Survei juga dilakukan di tujuh negara pada
13.879 sampel berusia di atas 20 tahun berdasar-
kan wawancara dan kuisioner rerata 12,3%
orang dewasa mengalami konstipasi dan wanita
lebih cenderung mengalami konstipasi dari
pada laki-laki dan dilaporkan 20% mengalami
konstipasi adalah lanjut usia yang dirawat di
rumah dan 70% mengalami gangguan konstipasi
yang kronis (Wald, 2007). Suvei dilakukan
kembali tahun 2010 pada 8100 sampel berusia
di atas 20 tahun dari empat negara termasuk
Indonesia diperoleh hasil dari wawancara 16,2%
mengalami konstipasi (Wald, 2010). Akan tetapi,
Su, et al., (2009) melaporkan pasien stroke yang
mengalami masalah konstipasi 55,2% dari 154
pasien pada serangan stroke yang pertama.
Konstipasi dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu faktor mekanis, faktor fisiologis,
faktor fungsional, faktor psikologis, dan faktor
farmakologis (Nanda, 2010). Faktor mekanis
berkaitan dengan gangguan neurologis, pada
pasien stroke disebabkan oleh penurunan beberapa
fungsi neurologis. Pertama penurunan fungsi
motorik yang menyebabkan terjadi imobilisasi.
Gangguan mobilitas dan ketidakberdayaan
(deconditioning) adalah masalah yang paling
sering dialami pasien stroke (Wahjoepramono,
2005). Imobilisasi yang berkepanjangan dapat
mengakibatkan komplikasi pada pasien stroke
salah satunya adalah konstipasi.
Pasien stroke yang dirawat di rumah sakit sering
mengalami kelemahan anggota gerak, baik sebagian
maupun seluruhnya yang menyebabkan pasien
imobilisasi. Imobilisasi yang berkepanjangan
berpotensi terjadi komplikasi, salah satunya
adalah konstipasi. Konstipasi dapat menyebabkan
tekanan pada abdomen yang memicu pasien
mengejan saat berdefekasi. Pada saat mengejan
yang kuat terjadi respons maneuver valsava
yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
Peningkatan tekanan intrakranial pada pasien
stroke merupakan prognosis yang buruk.
Konstipasi merupakan defekasi yang tidak teratur
serta terjadi pengerasan pada feses menyebabkan
pasase sulit, menimbulkan nyeri, frekuensi de-
fekasi berkurang, volume, dan retensi feses dalam
rektum (Smeltzer & Bare, 2008). Konstipasi
juga diartikan sebagai perubahan dari frekuensi
defekasi, volume, berat, konsistensi dan pasase
dari feses tersebut (Arnaud, 2003). Usia lanjut
sering mengalami masalah konstipasi karena
faktor yang mendukung, seperti imobilisasi
(Norton & Harry, 1999). Frekuensi defekasi
bervariasi antara satu individu dengan individu
yang lain, sehingga konstipasi ditentukan ber-
dasarkan kebiasaan pola eleminasi orang yang
normal (William & Wikins, 2000). Namun,
menurut Guyton dan Hall (2008) konstipasi
berarti pelannya pergerakan tinja melalui usus
besar dan sering berhubungan dengan sejumlah
tinja yang kering dan keras.
Refleks defekasi ditimbulkan oleh refleks
intrinsik yang diperantarai oleh sistem saraf
enterik setempat. Jika feses memasuki rektum,
Ginting, et al., Mengatasi Konstipasi Pasien Stroke dengan Masase Abdomen
25
peregangan dinding rektum menimbulkan sinyal-
sinyal aferen yang menyebar melalui pleksus
mienterikus untuk menimbulkan gelombang
peristaltik di dalam kolon desenden, sigmoid
dan rektum, serta mendorong feses ke arah
anus. Sewaktu gelombang peristaltik mendekati
anus, sfingter ani internus direlaksasi oleh
sinyal-sinyal penghambat dari pleksus mienteri-
kus, jika sfingter ani eksternus secara sadar,
secara volunter berelaksasi dan bila terjadi pada
waktu yang bersamaan akan terjadi defekasi
(Guyton & Hall, 2006).
Proses defekasi dipercepat dengan adanya
peningkatan tekanan intraabdomen dan kontraksi
pada otot-otot abdomen. Proses defekasi dapat
dihambat oleh kontraksi volunter otot-otot sfingter
eksterna dan levator ani sehingga secara bertahap
dinding rektum akan rileks dan keinginan
defekasi hilang (Smeltzer & Bare, 2008).
Masase abdomen membantu untuk merangsang
peristaltik usus dan memperkuat otot-otot abdomen
serta membantu sistem pencernaan sehingga dapat
berlangsung dengan lancar. Masase abdomen
telah dibuktikan efektif mengatasi konstipasi
terhadap beberapa pene-litian. Menurut Liu, et al.,
(2005), masase abdomen dapat meningkatkan
tekanan intra-abdomen. Pada kasus-kasus neurologi
masase abdomen dapat memberikan stimulus
terhadap rektal dengan somato-autonomic reflex
dan adanya sensasi untuk defekasi.
Mengonsumsi air putih yang hangat dalam
jumlah yang cukup dapat menyebabkan pen-
cernaan bekerja dengan kapasitas yang maksimal.
Air hangat dapat bekerja dengan melembabkan
feses dalam usus dan mendorongnya keluar
sehingga memudahkan untuk defekasi. Membe-
rikan pasien minum air putih hangat yang
cukup merupakan intervensi keperawatan yang
mandiri. Dalam penelitian ini memberikan
pasien minum air putih hangat yang dimaksud
adalah memberikan minum air hangat setelah
dilakukan masase abdomen sebanyak 500 ml
secara rutin untuk mengatasi konstipasi.
Masase abdomen membantu untuk merangsang
peristaltik usus dan memperkuat otot-otot abdomen
serta membantu sistem pencernaan dapat berlang-
sung dengan lancar. Masase abdomen dilakukan
untuk mengatasi komplikasi yang mungkin timbul
akibat konstipasi. Teknik masase abdomen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
Swedish massage tecnique, yaitu masase dengan
penekanan yang lembut pada jaringan yang dapat
memberikan perbaikan sirkulasi darah, memperbaiki
sistem pencernaan, serta memberikan kenyamanan.
Berdasarkan fenomena, pemaparan latar belakang
di atas, peneliti ingin mengetahui pengaruh
masase abdomen dan minum air putih hangat
dalam mengatasi konstipasi terhadap pasien
stroke di Rumah Sakit X Medan. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui
perbedaan masase abdomen dengan masase
abdomen dan minum air putih hangat terhadap
pasien stroke yang mengalami konstipasi dalam
proses defekasi.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
menggunakan metode Quasi eksperiment pen-
dekatan post test only non equivalent control
group design. Pada desain ini, kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol tidak dipilih
secara random (Sugiyono, 2011). Dalam penelitian
ini responden sebanyak lima belas subjek.
Untuk mengantisipasi drop put, dilakukan koreksi
sampel menggunakan formula sederhana: n’=
n/(1-f), f (10% atau 0,1) (Sastroasmoro &
Ismael, 2010). n’= 15/0,9= 16,6 dibulatkan
menjadi menjadi tujuh belas subjek. Kriteria
inklusi pada penelitian ini adalah pasien stroke
iskemi yang sesudah tujuh hari serangan stroke;
tekanan darah dalam rentang (120/80–150/100)
dan tidak memiliki tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial sebelum, selama, dan sesudah
intervensi, pasien sadar dan dapat berkomunikasi,
tidak mengalami penurunan fungsi memori
(dengan melakukan tes memori jangka pendek
dan jangka panjang), teridentifikasi mengalami
konstipasi melalui constipasi scoring system,
tidak sedang mengalami peradangan pada sistem
gastrointestinal, sistem perkemihan, dan sistem
metabolik, tidak terdapat massa pada abdomen,
dan bersedia menjadi responden.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30
26
Penelitian dibagi dalam tiga kelompok, kelompok
kontrol mendapatkan intervensi yang biasa
dilakukan di ruangan seperti menganjurkan
makan makanan mengandung serat, memenuhi
kebutuhan cairan, aktivitas dalam batas yang
dapat ditoleransi dan dengan bantuan obat
laksatif. Kelompok Intervensi I dilakukan satu
kali dalam tujuh hari mendapatkan terapi standar
seperti kelompok kontrol sebelum sarapan pagi,
responden diberikan masase abdomen dengan
teknik swedish massage selama 15-20 menit
Setelah enam puluh menit, responden dipersilakan
sarapan pagi Kelompok Intervensi II dilakukan
satu kali dalam tujuh hari mendapatkan terapi
standar seperti kelompok kontrol sebelum sarapan
pagi, responden diberikan masase abdomen
dengan teknik swedish massage selama 15-20
menit Kemudian responden diberi tambahan
minum air hangat sebanyak 500 ml. Setelah enam
puluh menit, responden dipersilakan sarapan pagi.
Maka jumlah sampel dalam penelitian ini
masing-masing kelompok adalah tujuh belas
subjek, jumlah sampel keseluruhan adalah lima
puluh satu subjek. Namun, pada saat proses
pengambilan data pada Kelompok Intervensi I
terdapat dua responden yang dieksklusi karena
responden demam dan satu responden yang
dieksklusi pada Kelompok Intervensi II karena
demam pada saat perlakuan, sehingga jumlah
responden sebanyak empat puluh tujuh orang
pasien stroke yang mengalami konstipasi. Untuk
melihat perbedaan proses defekasi antarkelompok
menggunakan analisis beda lebih dari dua mean
digunakan uji ANOVA atau uji F (Hastono, 2007).
Hasil
Hasil penelitian berdasarkan waktu terjadinya
defekasi dan frekuensi defekasi pada kelompok
intervensi I, Intervensi II, dan intervensi standar
dapat dilihat pada Tabel 1.
Pada Tabel 1 diperoleh rerata waktu terjadinya
defekasi responden pada kelompok intervensi I
adalah 70,43 jam (SD 30,736). Pada kelompok
intervensi II rerata waktu terjadinya defekasi
responden adalah 35,25 jam (SD= 25,470).
Akan tetapi, pada kelompok kontrol rerata
waktu terjadinya defekasi responden adalah 60,35
jam (SD= 35,375). Hasil estimasi interval dapat
disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa rerata
waktu terjadinya defekasi tercepat terdapat pada
kelompok intervensi II adalah 21,68-48,82 jam.
Berdasarkan hasil uji statistik dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaan waktu terjadinya defekasi
di antara ketiga kelompok (p= 0,015; α= 0,05).
Pada Tabel 2 dapat dilihat perbedaan waktu
terjadinya proses defekasi antara ketiga kelompok
yang bermakna adalah antara kelompok intervensi
I dengan kelompok II. Hasil dapat disimpulkan
bahwa ada perbedaan yang bermakna antara
perlakuan masase abdomen dengan masase
abdomen dan minum air putih hangat terhadap
waktu terjadinya defekasi (p= 0,015; α= 0,05).
Pada Tabel 3 dapat dilihat perbedaan frekuensi
defekasi antara ketiga kelompok yang bermakna
adalah antara kelompok intervensi II dengan
kelompok kontrol. Hasil dapat disimpulkan bahwa
Tabel 1. Distribusi Waktu Terjadinya Defekasi dan Frekuensi Defekasi pada Kelompok Intervensi I,
Intervensi II, dan Intervensi Standar
Variabel Kelompok N Mean SD 95% CI p
Waktu terjadinya defekasi
Intervensi I 14 70,43 30,736 52,68–88,18
0,015 Intervensi II 16 35,25 25,470 21,68–48,82
Kontrol 17 60,35 35,375 39,82–80,88
Frekuensi defekasi
Intervensi I 14 1,93 0,829 1,45–2,41
0,000 Intervensi II 16 2,62 1,0255 2,08–3,17
Kontrol 17 1,29 0,772 0,90–1,69
Ginting, et al., Mengatasi Konstipasi Pasien Stroke dengan Masase Abdomen
27
Tabel 2. Perbedaan Waktu Terjadinya Defekasi pada Kelompok Intervensi I, II, dan II
Variabel Mean Sig 95% CI p
Waktu terjadinya defekasi
Intervensi I Intervensi II
Kontrol
35,179*
10,076
0,016
1,000
5,25–65,11
19,44–39,59
0,015
Intervensi II Intervensi I
Kontrol
35,179*
25,103
0,016
0,101
65,11–5,25
53,59–3,38
Kontrol Intervensi I
Intervensi II
10,076
25,103
1,000
0,101
35,59–19,44
338–53,59
Tabel 3. Perbedaan frekuensi defekasi pada kelompok intervensi I, II, dan II
Variabel Mean Sig 95% CI P
Frekuensi Defekasi
Intervensi I Intervensi II
Kontrol
0,696
0,634
0,109
0,157
1,50–0,11
0,16–1,43
0,000
Intervensi II Intervensi I
Kontrol
0,696
1,331*
0,109
0,000
0,11–1,50
0,57–2,10
Kontrol Intervensi I
Intervensi II
0,634
1,331*
0,157
0,000
1,43–0,16
2,10–0,57
ada perbedaan yang bermakna antara perlakuan
masase abdomen dan minum air putih hangat
dengan intervensi yang standar terhadap frekuensi
defekasi (p= 0,000; α= 0,05).
Pembahasan
Minum air hangat dapat memberikan sensasi
yang cepat menyebarkan gelombang panasnya
ke segala penjuru tubuh manusia. Pada saat yang
bersamaan pembuluh darah akan berdilatasi
sehingga dapat mengeluarkan keringat dan gas
dalam tubuh. Abdomen salah satu organ yang
memiliki reseptor terhadap suhu yang panas
dan lebih dapat mendeteksi suhu panas dibanding
dengan suhu dingin (Guyton & Hall, 2006).
Hasil penelitian menunjukkan waktu terjadinya
defekasi pada kelompok masase abdomen lebih
lambat, yaitu rerata waktu terjadinya defekasi
adalah 70,43 jam jika dibandingkan dengan
kelompok kontrol, yaitu rerata waktu terjadi
defekasi responden adalah 60,35 jam yang hanya
mendapatkan intervensi yang standar. Salah
satu faktor yang dapat menyebabkan perbedaan
tersebut adalah dilihat dari hasil penelitian bahwa
responden yang mendapatkan masase abdomen
mayoritas berada pada tingkat kemandirian
rendah dan ketergantungan total. Responden
pada kelompok masase abdomen ini secara fisik
mengalami penurunan kekuatan otot dan kele-
mahan pada otot-otot abdomen yang memicu
perlambatan waktu yang dibutuhkan feses untuk
berpindah dari kolon ke rektum, dibandingkan
dengan responden pada kelompok kontrol rata-
rata memiliki tingkat kemandirian yang sedang.
Dalam beberapa aktivitas responden pada kelom-
pok kontrol masih dapat melakukan pergerakan
secara aktif, pergerakan secara aktif dapat
memengaruhi percepatan waktu perpindahan
feses dari kolon ke rektum.
Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa
telah dapat mengatasi masalah konstipasi pada
pasien stroke setelah masase abdomen dilakukan
setiap hari selama tujuh hari. Masase abdomen
efektif mengatasi konstipasi jika dilakukan secara
rutin setiap hari. Hal ini yang menyebabkan
perbedaan dengan penelitian terdahulu karena
pada penelitian terdahulu masase abdomen tidak
dilakukan setiap hari secara rutin. Masase
abdomen yang dilakukan secara rutin dapat
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30
28
merangsang peristaltik usus serta memperkuat
otot-otot abdomen yang akan membantu system
pencernaan dapat berlangsung secara lancar
(Folden, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui
bahwa frekuensi defekasi antara kelompok
responden yang mendapat masase abdomen
dengan kelompok kontrol tidak berbeda jauh.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh jumlah serat
yang dikonsumsi oleh kelompok kontrol lebih
banyak dibandingkan dengan kelompok masase
abdomen. Responden yang menjadi kelompok
kontrol adalah responden yang berasal dari rumah
sakit swasta yang setiap penyajian menu makan
siang selalu disertai dengan buah-buahan,
dibandingkan dengan responden kelompok
masase abdomen yang berasal dari rumah sakit
pemerintah. Hal ini dapat menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan perbedaan frekuensi
defekasi kelompok masase abdomen dengan
kelompok intervensi standar tidak berbeda jauh.
Frekuensi defekasi pada responden yang men-
dapat masase abdomen dibandingkan dengan
frekuensi defekasi pada responden kelompok
masase abdomen dan minum air putih hangat
lebih sedikit. Perbedaan frekuensi ini dapat
dipengaruhi oleh jumlah asupan cairan resonden
terhadap kelompok masase abdomen setiap
harinya, kemungkinan lebih sedikit dibandingkan
dengan kelompok masase abdomen yang diberi
tambahan minum air putih hangat 500 ml
setiap hari. Jika asupan cairan dalam tubuh
kurang, tubuh akan menyerap cadangan air
dalam usus dan absorbsi air menjadi lebih
sedikit menyebabkan kandungan air dalam feses
akan diserap kembali. Kekurangan kandungan
air dalam feses menyebabkan feses menjadi
kering, keras, dan membutuhkan waktu yang
cukup lama dari kolon transfersum sampai ke
kolon sigmoid.
Hasil penelitian yang sudah dilakukan dan
hasil penelitian terdahulu dapat disimpulkan
bahwa masase abdomen efektif dilakukan
untuk mengatasi konstipasi pada pasien stroke.
Namun, memerlukan intervensi tambahan agar
efek terhadap waktu terjadinya defekasi lebih
cepat sehingga frekuensi defekasi juga dapat
bertambah.
Pada penelitian ini, minum air hangat sebanyak
500 ml diberikan setelah responden mendapatkan
masase abdomen. Beberapa responden awalnya
tidak dapat meminum air hangat yang telah
disediakan 500 ml sekaligus sehingga pada
awalnya harus diberikan secara bertahap untuk
mengurangi ketidaknyamanan.
Pada kelompok yang mendapatkan masase
abdomen dan minum air putih hangat, waktu
terjadinya defekasi dimulai dalam dua puluh
empat jam terhadap perlakuan di hari pertama.
Dilihat dari waktu terjadinya proses defekasi
pada kelompok ini lebih cepat, yaitu rata-rata
waktu terjadi defekasi responden adalah 35,25
jam dibandingkan dengan kelompok yang hanya
mendapat masase abdomen. Masase abdomen
dan mendapatkan minum air putih hangat
sebanyak 500 ml setelah dilakukan masase
abdomen terbukti dapat mempercepat terjadinya
proses defekasi. Proses defekasi ini dapat
berlangsung secara cepat disebabkan oleh
stimulasi pada otot-otot abdomen yang secara
langsung dapat merangsang peristaltik usus
ditambah dengan minum air hangat sebanyak
500 ml yang akan memberikan suasana yang
encer dan cair pada usus. Suasana yang encer
ini akan memudahkan usus halus mendorong
sisa makanan untuk diabsorbsi di usus besar.
Pernyataan ini didukung oleh teori yang menya-
takan bahwa pemberian minum air putih hangat
memberikan efek hidrostatik dan hidrodinamik
dan hangatnya membuat sirkulasi peredaran
darah khususnya pada daerah abdomen menjadi
lancar. Secara fisiologis, air hangat juga memberi
pengaruh oksigenisasi dalam jaringan tubuh
(Hamidin, 2012). Hal serupa diungkapkan oleh
Yuanita (2011), minum air hangat dapat mem-
perlancar proses pencernaan, karena pencernaan
membutuhkan suasana yang encer dan cair.
Pada penderita konstipasi minum air hangat
sangat tepat untuk membantu memperlancar
pencernaan karena dengan minum air hangat
partikel-partikel dalam usus akan dipecah dan
menyebabkan sirkulasi pencernaan menjadi lancar
sehingga mendorong usus mengeluarkan feses.
Ginting, et al., Mengatasi Konstipasi Pasien Stroke dengan Masase Abdomen
29
Frekuensi defekasi responden pada kelompok
masase abdomen dan minum air putih hangat
lebih sering dua kali (2,62 kali) dibandingkan
dengan kelompok yang mendapat masase
abdomen frekuensi defekasi satu kali (1,93
kali), sementara itu frekuensi defekasi pada
kelompok kontrol adalah 1,29 kali. Namun,
jika dilihat dari hasil penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Tampubolon (2008),
frekuensi defekasi pada kelompok intervensi
empat kali lebih sering dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan
oleh perbedaan jumlah air minum yang diberikan
kepada responden yang mengalami konstipasi.
Jika pada penelitian ini responden diberikan
minum air putih hangat sebanyak 500 ml
sementara penelitian oleh Tampubolon (2008),
memberi minum air putih sebanyak 1500 ml.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak
asupan cairan yang diminum maka proses
defekasi akan lebih baik.
Proses defekasi pada kelompok yang hanya men-
dapatkan intervensi standar dimulai pada hari
kedua. Proses defekasi pada kelompok ini hanya
memperoleh terapi standar dari rumah sakit berupa
anjuran makan makanan yang mengandung serat,
memenuhi kebutuhan cairan, melakukan aktivitas
dalam batas yang dapat ditoleransi, dan memberi-
kan obat laksatif membantu melunakkan feses.
Intervensi standar yang diberikan kepada pasien
yang mengalami konstipasi didukung oleh pe-
menuhan kebutuhan cairan dan jumlah serat yang
dimakan dapat membantu terjadinya proses
defekasi. Hasil penelitian ini didukung oleh teori
yang dikemukakan oleh Mckay (2012), dengan
diet kaya serat sangat membantu untuk mem-
perlancar pencernaan sehingga dapat mencegah
konstipasi, namun pada pasien yang mengalami
dehidrasi asupan cairan harus ditambah dengan
minum lebih banyak.
Frekuensi defekasi pada kelompok yang hanya
mendapatkan intervensi standar ini jauh lebih
sedikit bahkan ada yang sama sekali belum
terjadi proses defekasi selama observasi dilakukan
dibanding kelompok intervensi masase abdomen
dan kelompok masase abdomen dengan men-
dapatkan minum air putih hangat. Hal ini
disebabkan oleh banyak faktor, seperti imobilisasi,
yaitu tirah baring yang lama dapat memengaruhi
penurunan tonus otot abdomen, motilitas, serta
tonus usus sehingga menyebabkan waktu terjadi
defekasi menjadi lambat. Hal ini disebabkan
oleh kurangnya latihan pergerakan yang dilakukan,
baik secara aktif oleh pasien maupun secara pasif
oleh keluarga dan tenaga kesehatan. Menurut
Smeltzer dan Bare (2008), tirah baring yang lama
merupakan penyebab terjadinya konstipasi pada
pasien stroke.
Tidak dapat diabaikan secara psikologis seseorang
yang lama dirawat dengan diagnosis stroke dapat
mengakibatkan seseorang menjadi depresi, emosi
yang tidak stabil, rasa cemas, takut, dan merasa
rendah diri. Menurut Guyton dan Hall (2006),
seseorang yang dalam keadaan cemas, depresi,
stres dan gangguan mental lainnya memengaruhi
kerja hormon pencernaan (sekretin, gastrin,
kolestositokinin) yang mengakibatkan penurunan
nafsu makan, menurunkan motilitas usus dan
mekanisme tubuh meningkatkan rangsangan
saraf simpatis yang menghambat pengosongan
lambung, sehingga menyebabkan seseorang
dalam keadaan ini mengalami konstipasi. Dalam
penelitian ini, faktor psikologis tersebut tidak
dikaji sebagai faktor yang dapat memengaruhi
terjadinya konstipasi pada pasien stroke.
Kesimpulan
Terdapat perbedaan waktu terjadinya proses
defekasi yang signifikan antara kelompok
intervensi I dengan kelompok II, bahwa ada
perbedaan yang bermakna antara perlakuan
masase abdomen dengan masase abdomen dan
minum air putih hangat terhadap waktu terjadinya
defekasi (p= 0,015; α= 0,05). Terdapat perbedaan
frekuensi defekasi yang signifikan antara ketiga
kelompok, yaitu antara kelompok intervensi II
dan kelompok kontrol, bahwa ada perbedaan
yang bermakna antara perlakuan masase abdomen
dan minum air putih hangat dengan intervensi
yang standar terhadap frekuensi defekasi (p=
0,000; α= 0,05).
Bagi keilmuan keperawatan, hasil penelitian
ini diharapkan dapat sebagai evidence based
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 23-30
30
practice dalam asuhan keperawatan medikal
bedah dalam memberikan intervensi keperawatan
pada pasien stroke yang mengalami konstipasi
sehingga perawatan terapi komplementer di bidang
keperawatan dapat dikenal dan memberikan
manfaat untuk digunakan sebagai pencegahan
dan pengobatan alami. Bagi peneliti selanjutnya
dapat digunakan sebagai data dasar untuk
melakukan penelitian selanjutnya dengan mem-
bandingkan masase abdomen dan minum air
putih hangat dengan tindakan kompres hangat
(range of motion) pada daerah perut untuk
melihat proses defekasi yang lebih efektif (YS,
KN, EF).
Referensi Arnaud, M.J. (2003). Mild dehydration: A risk
factor of constipation? European Journal
of Clinical Nutrition, 57 (2), 588–595.
Gofir, A. (2009). Manajemen stroke: Evidence based
medicine. Yogyakarta: Pustaka Cendikia Press.
Guyton, A.C., & Hall, J.E. (2006). Buku ajar
fisiologi kedokteran (edisi 9) (Irawati
Setiawan, penerjemah). Jakarta: EGC.
Hamidin, A. (2012). Keampuhan terapi air putih:
Untuk penyembuhan, diet, kehamilan dan
kecantikan. Yogyakarta: Media Presindo.
Higgins, P.D., & Johanson, J.F. (2004). Epidemiology
of constipation in North America: A
systematic review. The American Journal
of Gastroenterology, 99, 750–759.
Liu, Sakakibara., T. Odaka., T. Uchiyama.,
T. Yamamoto., T. Ito., T. Hattori (2005).
Mechanism of abdominal massage for
difficult defecation in patient with
myeolopathy. Journal of Neurology, 252,
1280–1282.
Mckay, S.L., Fravel, M., & Scanlon, C. (2012).
Evidence-based practice guildeline:
management of constipation. Gerontology
nursing, 38 (7), 9–15. Journal of
Gerontological Nursing. Diperoleh dari
http://www.healio.com/nursing/journals/jg
n/2012-7-38-7/%7Bf9178bcd-5d38-4ad2-
92ea-25be9eee4a1b%7D/management-of-
constipation
Folden, S.L. (2002). Practice guidelines for the
management of constipation in adults.
Rehabilitation nursing, 27 (5), 169–175.
Diperoleh dari
http://www.rehabnurse.org/pdf/BowelGuidef
orWEB.pdf
Norton, C. (1999). Ivestigation and treatment of
bowel problem. Medical post, 21 (1), 27–
36. Nursing & Allied Health Source
Rasyid, A., & Soertidewi, L. (2007). Unit stroke:
Manajemen stroke secara komprehensif.
Jakarta: Bala Penerbit Fakultas Kedokteran
Indonesia.
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2008). Brunner &
Suddarth: Textbook of medical surgical
nursing. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins.
Su, Y., Zhang, X., Zeng, J., Pei, Z., Cheung,
R.T.F., Zhou, Q., Ling, L., Yu, J., Tan, J.,
& Zhang, Z. (2009). New-onset constipation
at acute stage after first stroke: Incidence,
risk factors, and impact on the stroke
outcome. Stroke, 40, 1304–1309.
Sugiyono. (2009). Statistika untuk penelitian
(cetakan ke-14). Bandung: Alfabeta.
Tampubolon, L. (2008). Pengaruh terapi air putih
pada pasien konstipasi terhadap proses
defekasi (Tesis, tidak dipublikasikan). FIK
UI, Depok – Jawa Barat.
Tappan, F. & Benjamin, P. (1998). Healing
massage techniques: Classic, holistic, and
emerging methods (3rd Ed.). USA: Appleton-
Lange.
Wald, A. (2006). Constipation in the primary care
setting: current concepts and misconceptions.
The American journal of medicine, 119,
227–236.
Yuanita, A. (2011). Terapi air putih. Jakarta: Klik
Publishing.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 38-44
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
PELAYANAN KEPERAWATAN PRIMA BERBASIS BUDAYA
BERPENGARUH TERHADAP TINGKAT KEPUASAN PASIEN
DI RUMAH SAKIT
Suroso1,2*
, Rr Tutik Sri Haryati3, Mustikasari
3, Enie Novieastari
3
1. Rumah Sakit TNI AL Dokter Soedibjo Sardadi, Jayapura 59112, Indonesia
2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Kepuasan pelanggan terhadap pelayanan kesehatan yang diterima dapat diwujudkan dengan melaksanakan pelayanan
prima. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pelayanan prima berbasis budaya terhadap tingkat kepuasan pasien di
rumah sakit. Metode penelitian menggunakan quasi experiment dengan rancangan pre and post with control group design.
Jumlah sampel adalah tiga puluh lima perawat dan seratus empat puluh pasien. Teknik pengambilan sampel untuk perawat
menggunakan total sampling, sementara untuk pasien dilakukan dengan consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan
adanya pengaruh yang bermakna (p< 0,05) terhadap tingkat kepuasan pasien setelah perawat mendapatkan pelatihan
pelayanan prima berbasis budaya pada sebelum dan sesudah di kelompok intervensi. Rekomendasi yang dapat diberikan
adalah perlunya meningkatkan peran supervisi agar keberlangsungannya tetap terjaga. Selain itu, untuk penelitian berikut
dapat juga dilakukan dengan model triangulasi.
Kata kunci: budaya, keperawatan, kepuasan pasien, pelayanan prima
Abstract
Nursing Care Prima Culture-Based Influence to Patient Satisfaction in Hospitals. This research aimed to determine
the effect of service excellent based on culture to patient satisfaction level in installation of hospitalization Hospital
Jayapura. This research is a quasi experiment with pre and post with control group design. The number of samples is
someone 35 nurses and 140 patients. The results showed have significant effect (p< 0.05) on the level of patient
satisfaction after nurses receive training excellent service based onculture pre and post intervention group.
Recommendations can be given is the need to enhance the role of supervision in order to maintain continuity, for the
following research maybe done by triangulation models.
Keywords: culture, nursing, patient satisfaction, service excellence
Pendahuluan
Pelayanan prima dalam keperawatan adalah
pelayanan yang berdasarkan perilaku caring,
dengan sepuluh karatif caring. Menurut Leinenger
dan McFarland (2002), yang didasarkan pada
kebudayaan adalah suatu aspek esensial untuk
memperoleh kesejahteraan, kesehatan, partum-
buhan dan ketahanan, serta kemampuan untuk
menghadapi rintangan maupun kematian. Pera-
watan yang mendasarkan budaya adalah bagian
komprehensif serta holistik untuk mengetahui,
menjelaskan, menginterpretasikan, dan mem-
prediksikan fenomena asuhan keperawatan serta
memberikan panduan dalam pengambilan ke-
putusan dan tindakan keperawatan. Keperawatan
transkultural adalah disiplin ilmu perawatan
humanistik dan profesi yang memiliki tujuan
utama untuk melayani individu dan kelompok.
Praktik perawatan dipengaruhi oleh keyakinan
dan nilai budaya yang cenderung tertanam dalam
pandangan dunia, bahasa, filosofi, agama, ke-
keluargaan, sosial, politik, pendidikan, ekonomi,
Suroso, et al., Pelayanan Keperawatan Prima Berbasis Budaya Berpengaruh 39
teknologi, etnohistory, dan lingkungan kebudayaan.
Keperawatan yang berdasarkan budaya dapat
meningkatkan kepuasan pasien sehingga dapat
memengaruhi derajat kesehatan dan kesejahteraan
individu, keluarga, kelompok, dan komunitas
di dalam lingkungannya. Keperawatan yang ber-
dasarkan budaya dapat terwujud apabila pola,
nilai budaya dan perawatan digunakan secara
tepat, aman dan bermakna (Bhui, Warfa, Edonya,
McKenzie, & Bhugra, 2007).
Raso (2006) menyatakan bahwa memahami
bahasa sangat penting. Ketidakmampuan untuk
berkomunikasi tidak hanya membuat frustasi
bagi kedua belah pihak, tetapi juga menimbulkan
risiko keselamatan pasien dalam rangka untuk
merencanakan dan mengoordinasikan sesuai
perawatan. Douglas, et al., (2009) menyatakan
bahwa perawat perlu mendapatkan pendidikan
tentang budaya dalam melakukan pelayanan,
sehingga perawat mempunyai kompetensi atau
kemampuan tentang kebudayaan pasien yang
dirawat. Standar praktik untuk kompetensi
perawat berbasis budaya terdiri atas keadilan
sosial, pemikiran kritis, pengetahuan tentang
perawatan lintas budaya, praktik lintas budaya,
sistem kesehatan dan organisasi, pemberdayaan
dan advokasi pasien, tenaga kerja yang bermacam
ragam budaya, pendidikan dan pelatihan, komu-
nikasi lintas budaya, kepemimpinan lintas budaya,
kebijakan pengembangan, dan penelitian berbasis
evidence base.
Model keperawatan transkultural adalah panduan
yang baik bagi perawat dalam memberikan
pelayanan kepada pasien dengan struktur budaya
masyarakat yang bermacam ragam (Gulbu, 2006;
Maier-Lorentz, 2008; Foster & Anderson, 2009).
Kemampuan tentang budaya dalam keperawatan
profesional sangat penting untuk mengatasi masa-
lah kesehatan pasien. Perawatan peka budaya
mengelola konflik yang dapat menyebabkan
frustrasi, baik kepada pasien maupun keluarga.
Manfaat yang diperoleh dengan menyiapkan
kompetensi budaya kesehatan adalah mening-
katkan efisiensi waktu. Pasien lebih mendapat
informasi dan dapat menurunkan rasa stress
pada pasien dan tenaga perawat, kemampuan
kompetensi peka budaya juga meningkatkan
kepercayaan pasien dan kepuasan pasien (DeRosa
& Kochurka, 2006).
Nilai kultural adalah prinsip-prinsip atau kualitas
yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat
dan diyakini tentang hal-hal baik dan berguna
bagi kelompoknya. Setiap kelompok masyarakat
mempunyai nilai-nilai yang berbeda. Perawat
sebagai tenaga profesional harus mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang nilai-nilai yang
dianut oleh kliennya sehingga interaksi dapat
berjalan dengan baik (Sumijatun, 2011).
Perawat sebagai bagian dari sumberdaya manusia
yang bekerja di rumah sakit (RS) memiliki nilai
budaya tertentu, yang menyangkut masyarakat
kecil dengan kebudayaannya sendiri yang sangat
mirip dengan suatu desa petani atau suatu masya-
rakat rumpun kecil dengan suatu kebudayaan
tertentu (Foster & Anderson, 2009). Meskipun
demikian, rumah sakit memiliki kebudayaannya
sendiri, kebudayaan secara umum sulit untuk
dicirikan, keperawatan merupakan ilmu tentang
manusia dan pengalaman sehat-sakit manusia
yang disampaikan melalui transaksi profesional,
ilmiah, estetis, dan etis. Perawatan kesehatan yang
benar adalah yang berfokus pada gaya hidup,
kondisi sosial dan lingkungan, bukan proses
diagnosa penyakit atau pengobatan (Watson,
2002; Tomey & Alligood, 2006).
Menurut Bosek dan Savage (2007), perawat perlu
melengkapi dirinya dengan cultural competency,
terutama bagi perawat yang bertugas pada tatanan
komunitas. Apabila klien dirujuk dan dirawat
di rumah sakit, klien akan membawa budaya
yang selama ini dianut sehingga perlu bantuan
perawat dalam beradaptasi dengan lingkungannya
yang baru. Kebiasaan hidup klien sehari-hari
dapat berubah secara drastis, seperti kebiasaan
makan, mandi, tidur, dan sebagainya. Oleh karena
itu, perawat perlu memahami aspek budaya yang
dianut kliennya. Dengan demikian, pengkajian
perlu dilakukan secara komprehensif dan juga
melibatkan orang-orang terdekat klien.
Penelitian ini dilakukan di sebuah rumah sakit
di Papua dengan dilatarbelakangi bahwa pasien
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 38-44 40
banyak mengeluh tentang sikap perawat yang
kurang perhatian dalam pemberian pelayanan
sebesar 48%, perawat kurang komunikasi terhadap
pasien dan keluarga 53%, sikap perawat yang
lambat dalam merespons keluhan atau panggilan
pasien sebesar 46%, sarana dan prasarana penun-
jang yang kurang memuaskan sebesar 30%.
Berdasarkan hasil wawancara dengan lima orang
perawat tentang tingkat kepuasan pasien dida-
patkan hasil bahwa hampir setiap bulan terjadi
komplain atau keluhan baik dari pasien maupun
keluarga. Keluhan yang dirasakan adalah sikap
petugas administrasi yang kurang ramah, sikap
perawat yang cerewet, judes, dan lamban dalam
merespons keluhan pasien serta komunikasi yang
kurang baik terhadap pasien.
Hasil observasi penulis juga mendapatkan bahwa
sebagian besar perawat terutama yang shift
sore atau malam tidak memakai seragam yang
lengkap, ada yang memakai sandal jepit, ada yang
tidak memakai kap, ada yang menggunakan
seragam atasan saja, ada yang memakai seragam
hanya bawahan saja, penampilan terlihat kurang
rapi, dan kurang komunikasi kepada pasien. Ber-
dasarkan kondisi tersebut, pertanyaan penelitian
adalah “apakah ada pengaruh pelayanan prima
berbasis budaya terhadap tingkat kepuasan
pasien di rumah sakit X Jayapura?”
Metode
Penelitian ini adalah penelitian quasi experiment
dengan rancangan pre and post with control
group design. Jumlah sampel adalah tiga puluh
lima perawat dan seratus empat puluh pasien.
Teknik pengambilan sampel untuk perawat
menggunakan total sampling, sementara untuk
pasien dilakukan dengan consecutive sampling.
Perawat yang menjadi responden dalam penelitian
ini ada dua, yaitu perawat dalam kelompok
intervensi berasal dari RS X dan perawat
dalam kelompok kontrol berasal dari RS Y.
Sementara pasien yang dirawat inap sebagai
responden yang berasal dari RS X (kelompok
intervensi) dan pasien yang dirawat inap sebagai
responden berasal dari RS Y (kelompok kontrol).
Pada kelompok perlakuan diberi pelatihan tentang
pelayanan prima, sedangkan kelompok kontrol
tidak diberi pelatihan. Sebelum perlakuan
terhadap kedua kelompok dilakukan melalui
pengukuran awal (pretest) untuk tingkat kepuasan
responden atau pasien. Setelah intervensi, dilaku-
kan pengukuran akhir (post test) terhadap semua
kelompok untuk menentukan efek perlakuan
inap. pada responden yang dalam hal ini pasien
rawat
Hasil analisis data univariat untuk data numerik
disajikan dalam bentuk mean (rerata), median,
standar deviasi, nilai maksimum-minimum,
dan CI 95%. Sementara data kategori disajikan
dalam bentuk distribusi frekuensi dan proporsi.
Selanjutnya dilakukan uji kesetaraan karakteristik
pasien (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
penghasilan, dan suku/budaya) dan karakteristik
perawat (umur, status kepegawaian, dan tingkat
pengetahuan) menggunakan uji Chi Square (CS).
Hasil uji kesetaraan karakteristik pasien dan
karakteristik perawat didapatkan data yang
homogen. Kemudian dilanjutkan dengan analisis
bivariat menggunakan uji Paired t-test. Pene-
litian ini sudah lulus uji etik di Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI).
Hasil
Intervensi yang dilakukan dengan memberikan
pelatihan pelayanan prima berbasis budaya selama
dua hari untuk dua gelombang. Pelatihan yang
diberikan kepada perawat kelompok intervensi
meliputi materi pelayanan prima, caring, komuni-
kasi terapeutik, dan budaya. Setelah mendapatkan
materi pelatihan dilakukan kegiatan role play,
tentang cara komunikasi dengan pasien meng-
gunakan dialek Papua, peserta disimulasikan
sebagai pasien dan perawat. Kegiatan ini
berlangsung selama dua jam, memang tidak
semua peserta mendapat kesempatan untuk
melakukan simulasi karena keterbatasan waktu
pelatihan.
Kegiatan selanjutnya adalah pendampingan,
pendampingan untuk perawat pelaksana dilakukan
selama dua minggu, perawat diberikan pendam-
pingan oleh peneliti dibantu oleh tiga kepala
Suroso, et al., Pelayanan Keperawatan Prima Berbasis Budaya Berpengaruh 41
ruang. Kegiatan pendampingan meliputi kegiatan
pelayanan prima berbasis budaya, seperti cara
menyapa pasien dengan dialek Papua, cara men-
jelaskan informasi berkaitan dengan pelayanan
keperawatan yang diberikan kepada pasien,
cara memfasilitasi pasien jika ada kunjungan
dari keluarga, tetangga, atau perkumpulan gereja.
Kendala yang dihadapi pada saat pendampingan
adalah kurangnya tenaga pendamping atau
mentor sehingga hanya kepala ruang yang
diharapkan bisa memberikan pendampingan.
Jika kepala ruangan memiliki jadwal yang
padat, seperti rapat, dan kegiatan sosialisasi,
perawat pelaksana sedikit sekali mendapatkan
bimbingan.
Kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan prima
berbasis budaya yang dilakukan di rumah sakit
kelompok intervensi, yaitu dengan memfasilitasi
pengunjung pasien yang membesuk untuk diberi
waktu dalam memberikan doa kepada pasien.
Pasien yang mendapat kunjungan dari kelompok
gereja atau jemaatnya disiapkan ruangan khusus.
Dalam kegiatan ini, sementara, ruangan yang
dipakai adalah ruangan pertemuan perawat. Pasien
yang mendapat kunjungan dari jemaat gereja
di dorong ke ruangan tersebut, di sinilah para
jemaat atau keluarga yang ingin mendoakan
diberi waktu 15-20 menit untuk mendoakan
agar pasien lekas sembuh. Ternyata kegiatan
yang dilakukan seperti ini mendapatkan respons
positif dari pasien dan keluarga serta pengun-
jung sehingga banyak keluarga dan pengunjung
pasien yang menyatakan bahwa hal semacam
ini baik dan tetap terus untuk ditingkatkan dan
dipertahankan. Pelaksanaan kegiatan ini belum
tersosialisasi dengan baik ke seluruh petugas
sehingga ada yang melakukan dan ada yang
tidak. Selain itu, belum adanya aturan yang
tertulis berapa kali pasien diberi kesempatan,
berapa lama waktu yang disediakan, dan perlu
adanya pemberitahuan dari keluarga untuk bisa
dijadwalkan dalam kegiatan harian perawat untuk
memfasilitasi keluarga dalam memberikan doa
kepada pasien sehingga tidak terjadi penumpukan
atau jadwal yang sama dalam satu waktu.
Kegiatan pelayanan prima berbasis budaya
yang lain adalah dengan menganalisis budaya
masyarakat Papua yang biasa makan pinang,
dan membuang ludah pinang di sembarang
tempat. Berdasarkan hal tersebut, perawat
berinisiatif untuk menyediakan suatu tempat
yang sudah disiapkan, seperti bak pasir tempat
membuang ludah pinang, para pasien atau
pengunjung yang akan makan pinang diarahkan
ketempat tersebut, secara fasilitas tempat tersebut
masih perlu pembenahan agar representatif.
Tanggapan dari keluarga pasien atau pengunjung
juga baik, bahkan ada yang menyarankan agar
ruangannya diperluas dan dibuat permanen
sehingga para pengunjung dapat menikmatinya
dengan nyaman.
Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata skor kepuasan
pasien sebelum intervensi adalah -8,81 dan
rerata skor kepuasan pasien setelah intervensi
menjadi 4,95. Hal ini menunjukkan adanya
peningkatan rerata skor kepuasan pasien sebelum
dan sesudah pelaksanaan intervensi pelatihan
pelayanan prima berbasis budaya pada kelompok
intervensi (p= 0,000). Artinya ada pengaruh
pelatihan pelayanan prima berbasis budaya ter-
hadap kepuasan pasien pada kelompok intervensi.
Tabel 1. Perbedaan Kepuasan Pasien Sebelum dan Sesudah Pelatihan terhadap Kelompok Intervensi dan
Kontrol
Mean SD CI 95% p
Kelompok intervensi
a. Pretest -8.81 14.226 -20,26–7,24 0,001*
b. Postest 4.95 14.795
Kelompok kontrol
a. Pretest 3,11 12,020 0,37–7,39 0,075
b. Postest 0,41 8,930
*bermakna pada α= 0,05
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 38-44 42
Hasil analisis pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
skor rerata kepuasan pasien sebelum intervensi
di kelompok kontrol terjadi penurunan tingkat
kepuasan pasien sebelum dan sesudah pelatihan
pelayanan prima berbasis budaya kontrol.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata skor
kepuasan pasien sebelum intervensi dan setelah
intervensi mengalami peningkatan satu setengah
kali lipat lebih puas dari kondisi awal. Artinya ada
pengaruh pelatihan pelayanan prima berbasis
budaya terhadap kepuasan pasien pada kelompok
intervensi. Komunikasi perawat terhadap pasien
menjadi faktor yang penting dalam pemberian
pelayanan prima berbasis budaya.
Pelayanan prima menurut Budiono (2012) adalah
pelayanan jasa yang dapat membuat pelanggan
merasa mendapatkan pelayanan sesuai harapan,
sesuai dengan indikator yang ditentukan serta
dapat dipertanggungjawabkan, sehingga merasa
puas. Pelayanan prima harus memberikan yang
terbaik bagi pelanggan, melakukan apapun yang
mungkin untuk memuaskan pelanggan, serta
membuat keputusan yang dapat memberikan
keuntungan pada pelanggan tapi tidak merugikan
perusahaan (Gerson, 2011). Pelayanan prima
dilaksanakan dalam rangkaian kegiatan secara utuh
yang bersifat wajar, lancar, terbuka, sederhana,
tepat sasaran, terjangkau, lengkap, dan tidak
rumit.
Menurut Narayanasamy (2002), “Caring” yang
berdasarkan kebudayaan adalah aspek asensial
untuk mengobati dan menyembuhkan dimana
pengobatan tidak akan mungkin dilakukan tanpa
perawatan, sebaliknya perawatan dapat tetap eksis
tanpa pengobatan. Konsep keperawatan kultural,
arti, ekspresi, pola-pola, proses, dan struktur dari
bentuk perawatan transkultural yang beragam
dengan perbedaan dan persamaan yang ada.
Setiap kebudayaan manusia memiliki pengetahuan
dan praktik keperawatan tradisional serta praktik
profesional yang bersifat budaya dan individual.
Pelayanan prima dalam keperawatan adalah
pelayanan yang didasari oleh tindakan caring
terhadap pasien dan keluarga. Akhtari-Zavare,
Abdullah, Hassan, Said, dan Kamali (2010)
menjelaskan caring adalah esensi dari kepe-
rawatan yang berarti juga pertanggung jawaban
hubungan antara perawat dengan klien, dimana
perawat melibatkan klien untuk berpartisipasi
dalam memperoleh pengetahuan, dan mening-
katkan derajat kesehatan. Caring adalah kegiatan
langsung untuk memberikan bantuan, dukungan
perilaku kepada individu atau kelompok melalui
antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi
manusia atau kehidupan (Leininger & McFarland,
2002).
Praktik perawatan yang berbasis nilai budaya
dipengaruhi oleh bahasa, filosofi, agama, keke-
luargaan, sosial, politik, pendidikan, ekonomi,
teknologi, etnohistory, dan lingkungan. Keun-
tungan dari keperawatan yang berbasis budaya
dapat memberikan kepuasan kepada pasien
sehingga mempengaruhi derajat kesehatan dan
kesejahteraan individu, keluarga, kelompok, dan
komunitas di dalam lingkungannya. Kebudayaan
dan keperawatan yang seimbang dapat terwujud
apabila pola dan nilai-nilai perawatan digunakan
secara tepat, aman dan bermakna (Beach, et
al., 2006).
Faktor komunikasi. Komunikasi adalah sesuatu
untuk dapat menyusun dan menghantarkan suatu
pesan dengan cara yang gampang sehingga orang
lain dapat mengerti dan menerima (Nursalam,
2002). Komunikasi dalam praktik keperawatan
profesional merupakan unsur utama bagi perawat
dalam melaksanakan pelayanan keperawatan
untuk mencapai hasil yang optimal. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan
komunikasi terapeutik antara lain: pendidikan,
lama bekerja, dan pengetahuan, sikap dan
kondisi psikologi (Sumijatun, 2011).
Komunikasi yang baik dalam pelayanan prima
yang berkualitas akan membuat pasien menjadi
puas. Suatu pelayanan dinilai memuaskan apabila
pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan
dan harapan pelanggan. Jika pelanggan merasa
tidak puas terhadap suatu pelayanan yang
disediakan, maka pelayanan tersebut dapat
dipastikan tidak efektif dan tidak efisien
Suroso, et al., Pelayanan Keperawatan Prima Berbasis Budaya Berpengaruh 43
(Suryawati, 2006). Supranto (2006) mengemukakan
bahwa jika pelayanan keperawatan yang
dirasakan tidak sesuai dengan harapan maka
pasien akan merasakan ketidakpuasan terhadap
layanan tersebut dan akan menimbulkan keluhan
atau klaim dari pasien.
Menurut Bail (2008) mengemukakan bahwa
ketidakpuasan pasien dalam menerima pelayanan
keperawatan berhubungan dengan ketidakjelasan
prognosis, ketidakjelasan penyampaian informasi,
dan pembuatan keputusan. Tingkat kepuasan
pasien mengalami peningkatan setelah perawat
mendapatkan pelatihan tentang pelayanan prima
berbasis budaya, artinya bahwa ada pengaruh
intervensi tentang pelayanan prima berbasis
budaya terhadap tingkat kepuasan pasien.
Rumah sakit mempunyai tanggung jawab untuk
selalu meningkatkan kepuasan pasien sehingga
rumah sakit juga mempunyai tanggung jawab
untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan
tindakan perawatnya agar dapat memberikan
pelayanan prima kepada pasien maupun keluarga.
Kesimpulan
Intervensi yang diberikan tentang pelayanan prima
berbasis budaya local, khususnya budaya Papua
seperti menyediakan tempat khusus bagi keluarga
dan para pengunjung untuk memberikan doa bagi
pasien yang sakit, menyediakan bak pasir tempat
membuang ludah pinang, dan membudayakan
perawat agar dalam berkomunikasi dengan pasien
memakai dialek Papua mendapat respons yang
baik oleh pasien, keluarga maupun pengunjung
yang datang.
Tingkat pengetahuan perawat terkait pelayanan
prima terhadap kelompok intervensi sebelum
dan sesudah pelatihan pelayanan prima ada
peningkatan sebesar dua kali lipat, demikian
juga hasil observasi yang dilakukan terhadap
perawat yang melakukan pelayanan prima ber-
basis budaya terdapat peningkatan sebesar tiga
kali lipat jika dibandingkan dengan sebelumnya.
Peningkatan tersebut terjadi karena perawat
telah mendapatkan pelatihan berupa teori, juga
mendapatkan bimbingan selama dua minggu
sehingga ilmu yang didapat setelah pelatihan
dapat diaplikasikan kepada pasien sehingga
meningkatkan kepuasan pasien yang dirawat.
Sikap dan perilaku perawat juga mengalami
perubahan dari yang kurang care menjadi lebih
care terhadap pasien, lebih ramah dengan pasien,
penampilan perawat juga menjadi lebih baik,
cara komunikasi lebih efektif dengan pasien dan
sebagian perawat sudah mulai menggunakan
dialek Papua ketika berinteraksi dengan pasien,
khususnya pasien yang berasal dari suku Papua.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
kepuasan pasien terhadap kelompok intervensi
terjadi peningkatan jika dibandingkan antara
sebelum pelatihan dan setelah pelatihan. Hal
ini terjadi karena pemberian pelayanan prima
berbasis budaya yang dilakukan oleh perawat
dapat diterima dan sesuai dengan budaya lokal
di Papua, artinya dalam pemberian pelayanan
prima, kita perlu mempertimbangkan budaya
lokal yang tidak dapat kita hilangkan, tetapi
dapat kita modifikasi sehingga antara budaya
dan pelayanan dapat berjalan seiring, tujuan
akhirnya adalah kepuasan bagi pasien, keluarga
maupun pengunjung (HH, TN).
Referensi
Bail, K. (2008). Patient and professional dissatis-
faction: A literature review of prognosis
communication related to hospital settings.
Contemporary Nurse, 29 (2), 135–146.
Budiono. (2012). Pelayanan Prima dalam memuaskan
konsumen. Yogyakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
DeRosa, N., & Kochurka, K. (2006). Implement
culturally competent healthcare in your
workplace. Nursing Management, 37(10),
18–26
Douglas, M.K., Pierce, J.U., Rosenkoetter, M., Callister,
L.C., Hattar-Pollara, M., Lauderdale, J. &
Pacquiao, D. (2009). Standards of practice for
culturally competent nursing care: A request for
comments. Journal of Transcultural Nursing, 20,
257–269. doi: 10.1177/1043659609334678
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 38-44 44
Foster, G., & Anderson, B. (2009). Antropologi
kesehatan. (Priyanti Suryadarma dan Meutia
F Hatta, Penerjemah). Jakarta: Universitas
Indonesia.
Gerson, F.R. (2011). Beyound customer service,
program-program untuk mempertahankan
pelanggan. Jakarta: Lutan Edukasi.
Gulbu, T. (2006). The implications of transcultural
nursing models in the provision of culturally
competent care. Icus Nurs Web J, 25, 1–11.
Bhui, K., Warfa, N., Edonya, P., McKenzie, K., &
Bhugra, D. (2007). Cultural competence in
mental healthcare: A review of model
evaluations. BMC Health Serv Res., 7 (15),
1–10. doi: 10.1186/1472-6963-7-15.
Leininger, M., & McFarland, M.R. (2002).
Transcultural nursing: Concepts, theories,
research, and practice. United States: The
McGraw-Hill Companies.
Maier-Lorentz, MM. (2008). Transcultural nursing
is importance in nursing practice. Journal of
Cultural Diversity, 15 (1), 37–43.
Beach, M.C., Gary, T.L., Price, E.G., Robinson, K.,
Gozu, A., Palacio, A., Smarth, C., Jenckes,
M., Feuerstein, C., Bass, E.B., Powe, N.R.,
& Cooper, L.A. (2006). Improving health
care quality for racial/ethnic minorities: A
systematic review of the best evidence
regarding provider and organization
interventions. BMC Public Health, 24 (6)
104.
Akhtari-Zavare, M., Abdullah, M.Y., Hassan, T.S.,
Said, S.B., & Kamali, M. (2010). Patient
satisfaction: Evaluating nursing care for
patients hospitalized with cancer in Tehran
Teaching Hospitals, Iran. Global Journal of
Health Science, 2 (1), 117–126.
Narayanasamy, A. (2002). The ACCESS model: A
transcultural nursing practice framework. Br
J Nurs, 11 (9), 643–650.
Raso, R. (2006). Cultural competence: Integral in
diverse populations. Journal of Nursing
Management, 37 (7), 56.
Sumijatun. (2011). Membudayakan etika dalam
praktek keperawatan. Jakarta: Medika
Salemba.
Supranto, J. (2006). Pengukuran tingkat kepuasan
pelanggan untuk menaikkan pangsa pasar.
Jakarta: Rineka Cipta.
Suryawati, C., Dharminto., & Zahroh, S (2006).
Penyusunan indikator kepuasanpasien rawat
inap rumah sakit di propinsi Jawa Tengah.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 9
(4), 177–184.
Watson, J. (2002). Caring science as sacred
science. Philadelphia: Davis Company.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 45-50
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
PENGALAMAN HOSPITALISASI ANAK USIA SEKOLAH
Siti Chodidjah
*, Elfi Syahreni
Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Bahder Djhohan, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Mengalami sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan pengalaman yang traumatik pada anak dan orang tua.
Lingkungan rumah sakit yang asing, interaksi dengan pertugas kesehatan yang belum dikenal, berbagai prosedur
diagnostik, dan pengobatan yang menimbulkan kecemasan menjadi faktor penyebab pengalaman traumatik tersebut.
Pengalaman traumatik tersebut dapat dirasakan anak bahkan sampai bertahun-tahun setelah dipulangkan dan
mempengaruhi perkembangan anak di masa mendatang. Riset ini merupakan riset dengan desain kualitatif yang
bertujuan menggali pengalaman hospitalisasi anak usia sekolah. Data didapatkan dari wawancara dengan pertanyaan
semi terstruktur pada sepuluh orang anak berusia 6–12 tahun yang sedang dirawat di ruang penyakit dalam anak dengan
teknik pengambilan sampel purposive sampling. Analisis data dengan metode Vann Manen menemukan tema:
terbatasnya melakukan aktivitas rutin sehari-hari, suasana ruang rawat tidak nyaman, tidak bebas menentukan
keinginan, mengalami nyeri selama perawatan, dan menemukan cara mengatasi masalah selama dirawat. Penelitian ini
merekomendasikan dilakukannya berbagai upaya untuk mencegah dampak negatif hospitalisasi pada anak.
Kata kunci: anak usia sekolah, hospitalisasi, pengalaman traumatik
Abstract
Hospitalization Experiences among School Age Children. Hospitalization can be a traumatic and stressful experience
for children and also the parents. Unfamiliar environment and health personnel, diagnostic procedures and treatments
have been identified as the stressor. The traumatic experiences following hospitalization might influence the children’s
well being until years after the hospitalization. This qualitative research aimed to explore children’s experiences during
hospitalization. Data were collected using purposive sampling technique from 10 hospitalized school-aged children in
pediatric medical ward. Themes from qualitative analysis included: separation from family and peer, unfamiliar
environment, loss of self determination, experience of pain, and health awareness. These research recomendates
strategies to prevent negative effect of hospitalization.
Keywords: hospitalization, school age children. children’s traumatic experiences
Pendahuluan
Saat ini telah terjadi pergeseran alasan hospi-
talisasi. Dahulu, anak mengalami hospitalisasi
karena menderita penyakit akut dan dirawat untuk
waktu yang relatif singkat. Saat ini banyak bayi
dan anak-anak mengalami hospitalisasi karena
penyakit kronik dan ketidakmampuan yang
serius. Kemajuan ilmu dan teknologi memberikan
kesempatan bagi anak-anak tersebut untuk
bertahan hidup lebih lama, namun mereka
membutuhkan perawatan yang lebih sering dan
lebih intensif (James & Ashwill, 2007).
Menjalani perawatan di rumah sakit dapat menjadi
pengalaman yang tidak menyenangkan bagi
anak dan orang tua. Secara umum, anak akan
merasakan kecemasan karena perpisahan dengan
orang tua/orang terdekat, kehilangan kontrol
diri, dan ketakutan akan rasa sakit (Bowden &
Greenberg, 2010). Anak akan menangis, menjerit,
dan menolak petugas kesehatan. Berada di ling-
kungan yang asing, petugas kesehatan yang
asing, pelengkapan dan prosedur pengobatan dan
pembedahan, perubahan aktivitas rutin, melihat
kondisi sakit pasien lain, dan membuat anak
kehilangan kontrol untuk melakukan aktivitas
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 45-50 46
yang biasanya mereka lakukan. Kehilangan kon-
trol diri ini antara lain dimanifestasikan dengan
regresi ke tahapan perkembangan sebelumnya dan
pencapaian tugas perkembangan yang telah dicapai
anak mungkin akan hilang (Basiri-Moghaddam,
Sadeghmogaddam, & Ahmadi, 2011). Karlings
(2006) menambahkan adanya masalah negativis-
tik, tempertantrum yang cenderung destruktif,
ketergantungan terhadap orang tua, ketakutan
terhadap dokter, perawat, dan rumah sakit pada
anak pasca dirawat di rumah sakit.
Masalah-masalah yang terjadi pada saat anak
mengalami hospitalisasi tersebut dapat berlanjut
setelah anak sehat dan dipulangkan. Umumnya
masalah-masalah tersebut mempengaruhi anak
setelah anak dipulangkan dari perawatan dan
menghilang sejalan dengan perjalanan waktu.
Namun, penelitian oleh Rautava, Lehtonen,
Heleneus, dan Sillanpaa (2003), pada bayi yang
dihospitalisasi sejak baru dilahirkan menunjukkan
bahwa dampak perubahan perilaku dan masalah
keluarga baru menghilang setelah anak berusia
dua belas tahun.
Meskipun demikian, selain meninggalkan dampak
negatifterhadap psikologis anak, hospitalisasi
juga dinilai dapat memberikan dampak positif
terhadap anak. Mengalami sakit dan stres selama
proses hospitalisasi memberikan kesempatan
kepada anak untuk beradaptasi mengatasi
masalah dan kecemasan yang dihadapi selama
proses perawatan kesehatannya. Ketika anak
mampu mengatasi masalah dan stres yang
dihadapi, hal ini akan menumbuhkan keeper-
cayaan diri yang tinggi pada anak. Selain itu,
edukasi yang diberikan selama hospitalisasi
juga dapat menjadi pembelajaran tentang
kesehatan dan penyakitnya. Hal ini mungkin
menimbulkan ketertarikan anak terhadap karir
di bidang kesehatan (Wong & Hockenberry, 2003).
Ryan-Wegner dan Gardner (2012) menambahkan
bahwa pengalaman hospitalisasi juga mempenga-
ruhi pemanfaatan sarana kesehatan di masa
depan. Pengalaman positif selama hospitalisasi
membuat pemanfaatan sarana kesehatan untuk
menjaga dan mempertahankan kesehatan menjadi
lebih optimal.
Hospitalisasi juga dapat memberikan dampak
positif terhadap orang tua. Hospitalisasi mem-
berikan kesempatan bagi orang tua untuk lebih
memahami tumbuh kembang anaknya dan
membina ikatan antara orang tua dan anak, dan
meningkatkan kemampuan parenting (Wong
& Hockenberry, 2003).
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
dengan pendekatan deskriptif fenomenologi.
Data didapatkan dari sepuluh orang anak berusia
6–12 tahun, yang minimal telah mengalami
perawatan selama satu hari dan maksimal lima
hari di ruang penyakit dalam anak Jakarta Timur,
mampu berkomunikasi dengan baik, dan dapat
menceritakan pengalaman hospitalisasinya, serta
mendapatkan perawatan dengan tindakan invasif
minimal berupa pemasangan infus dan pemberian
obat melalui pembuluh darah. Penilaian kemam-
puan komunikasi dilakukan dengan meminta
rekomendasi perawat ruangan. Orang tua/pengasuh
diikutsertakan dan dimintakan informasinya
terutama jika anak kurang mampu mengomu-
nikasikan pengalaman hospitalisasinya dengan
baik.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara
semi terstruktur yang direkam dengan menggu-
nakan tape recorder. Wawancara dilakukan di
ruang rawat informan, dan berlangsung sekitar
dua puluh sampai dengan tiga puluh delapan
menit. Verbatim dari hasil wawancara kemudian
dilakukan analisis meggunakan metode Vann
Manen. Prinsip kepercayaan hasil penelitian
dilakukan dengan melakukan triangulasi teknik
dengan cara memvalidasi pengalamanan hos-
pitalisasi yang diceritakan anak kepada orang tua
yang mendampingi anak selama perawatannya.
Hasil
Penelitian ini menemukan lima tema pengalaman
hospitalisasi pada anak usia sekolah. Tema tersebut
adalah terbatasnya melakukan aktivitas rutin
sehari-hari, suasana ruang rawat tidak nyaman,
tidak bebas menentukan keinginan, mengalami
Chodidjah, et al., Pengalaman Hospitalisasi Anak Usia Sekolah 47
nyeri selama perawatan, dan menemukan cara
mengatasi masalah selama dirawat.
Terbatasnya melakukan aktivitas rutin sehari-
hari. Mengalami keterbatasan melakukan aktivitas
rutin sehari-hari dialami oleh semua anak.
Keterbatasan beraktivitas yang dialami oleh
anak meliputi keterbatasan melakukan aktivitas
rutin dengan keluarga, teman, dan aktivitas
sekolah. Dirawat di rumah sakit membuat anak
tidak dapat melakukan aktivitas yang biasa
mereka lakukan bersama anggota keluarganya.
Anak menyatakan rasa kehilangannya karena
tidak dapat lagi membantu ayah memasak atau
mengaji bersama ayahnya.
“Di sini enggak bisa bantuin Abi masak….”
(partisipan 3).
“Apalagi ditinggal orang tua, enggak diajak
ngobrol gitu. Biasanya kan kalo sama ayah,
kan, baca Alquran bareng....” (partisipan 10).
Anak menyatakan bahwa perawatan di rumah
membuat mereka tidak dapat melakukan aktivitas
yang biasa dilakukan bersama teman sekolah
atau teman seperti bermain, mengobrol, dan
jajan.
“ Enggak enak. Enggak bisa ngoborol, enggak
bisa jajan bareng..” (partisipan 8).
“Enggak bisa main sama temen-temen…”
(partisipan 9)
Hospitalisasi juga membuat anak kehilangan
kesempatan untuk melakukan aktivitas yang
biasa anak lakukan sehari-hari, seperti pergi ke
sekolah dan belajar. Hal ini membuat anak
mengalami kekhawatiran terhadap prestasi bela-
jarnya, terutama pada anak yang berada di kelas
enam.
“Soalnya udah kelas 6, entar kalo ujian
gimana, takut nilainya jelek, takut ketinggalan
pelajaran…” (partisipan 8).
“Enggak enak, enggak sekolah, enggak ketemu,
itu ketinggalan pelajaran..” (partisipan 10).
Akan tetapi, tidak semua anak mengalami
keterbatasan melakukan aktivitas rutin sehari-
harinya. Terdapat satu orang anak yang tidak
mengalami dampak dari terpisahnya dengan
orang tua dan teman bermainnya. Anak menga-
takan bahwa pada saat ibunya pulang ke rumah
karena suatu keperluan, perawat mengajaknya
bermain sekolah-sekolahan, mewarnai, dan
menulis. Anak menyatakan bahwa dirinya tetap
bisa bermain dan mempunyai banyak teman di
rumah sakit. Anak juga belajar matematika
dengan ibunya. Pengalaman berbeda yang dialami
anak ini disebabkan oleh ia sering mengalami
hospitalisasi. Selain itu, anak tersebut termasuk
anak yang ceria dan senang berinteraksi dengan
orang lain.
Suasana ruang rawat tidak nyaman. Hampir
semua anak merasakan ketidaknyamanan terhadap
lingkungan ruang rawat. Ketidaknyamanan yang
anak rasakan meliputi kebisingan suara dari
pasien lain yang menangis atau suara orang
mengobrol, ruang rawat yang panas, ruang
perawatan intensif yang sangat dingin, serta
sarana perawatan, seperti tempat tidur yang
keras dan perlak pelapis yang menimbulkan
rasa gatal. Suasana ruang rawat yang tidak nyaman
membuat anak terbangun-saat tidur.
“Kebangun mulu, banyak berisik, ada kayak
suara orang ngobrol, ada suara anak nangis…
bayinya bangun, nangis, iya bikin susah tidur….
(partisipan 10).
“Gerah, enggak bisa tidur…” (partisipan 8).
“Di ICU dingin, kalau malem dingin banget…”
(partisipan 6).
“Ininya bikin sakit (menunjuk bagian pinggir
perlak),gatal” (partisipan 7).
“kasurnya keras, bikin pegel” (partisipan 9).
Meskipun demikian, terdapat satu orang anak
yang tidak merasakan ketidaknyaman terhadap
lingkungan ruang rawat. Kemungkinan anak
ini tidak merasakan kegerahan karena tempat
tidurnya berada dekat dengan kipas angin. Perlak
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 45-50 48
pelapis tempat tidurnya terpasang rapi dan
tidak tampak terlihat bagian yang menyebabkan
rasa gatal. Anak ini mengalami keterbatasan
mobilisasi karena menderita patah tulang se-
hingga seprainya terjaga tetap rapi.
Tidak bebas menentukan keinginan. Anak
mengalami keterbatasan melakukan aktivitas.
Keterbatasan ini disebabkan oleh pemasangan
infus dan kurangnya jenis aktivitas dan peralatan
untuk bermain. Anak mengatakan bahwa pema-
sangan infus membatasi pergerakannya. Anak
juga mengatakan bosan karena dia lebih banyak
tidur dan tidak ada aktivitas lainnya.
“Enggak bisa bergerak bebas, kalau bergerak
ketarik-tarik terus…..( partisipan 6).
“Bosen, enggak bisa nonton tivi” (partisipan 9).
“Bete karena cuma tidur doang terus
pengennya jalan-jalan, gitu ” (partisipan 10).
Anak juga mengalami kehilangan kontrol untuk
memenuhi kebutuhannya, seperti tidur dan makan.
Mereka mengatakan tidak bisa tidur saat me-
ngantuk karena adanya anak lain yang menangis,
atau dibangunkan karena harus mendapatkan
suntikan antibiotik. Anak juga tidak dapat
mengontrol menu makan yang sesuai dengan
selera makannya. Porsi makan anak berkurang
karena nasi terlalu lembek atau jenis lauk yang
tidak mereka sukai.
“Kebangun mulu, banyak berisik, bikin susah
tidur…. (partisipan 10).
“Iya sih, kadang-kadang disuntik waktu sedang
tidur gitu, ngasih obat” (partisipan 10).
“Di sini nasinya lembek banget, enggak enak,
masuk, tapi sedikit…”( partisipan 5).
“Ya, ada yang enak, sebagian enggak bagi
saya, enggak ngerti, kayak sekali nyicip gitu,
langsung mau muntah ….( partisipan 10).
Mengalami nyeri selama perawatan.
Pengalaman merasakan ketidaknyamanan,
seperti nyeri yang dirasakan oleh semua anak
yang terlibat dalam penelitian ini. Rasa nyeri
ini disebabkan oleh proses perjalanan penyakit
dan tindakan perawatan seperti pemasangan
infus atau pengambilan darah untuk pemeriksaan
laboratorium.
“Sakit perut tapi bagian bawah, waktu pipis” ..”
(partisipan 8).
“Disuntik sakit banget gitu, ngilu, he-eh,
sampe teriak malah…” (partisipan 10).
Menemukan cara mengatasi masalah selama
dirawat. Mengalami sakit dan menjalani prosedur
pengobatan mengajarkan anak memiliki kemam-
puan untuk mengatasi stresor yang dihadapinya.
Anak mengatakan bahwa ia tidur-tiduran atau
main game dulu untuk mengurangi mual saat
makan. Anak mengakui strategi itu ia dapatkan
sendiri dan bukan dari orang tuanya.
“Kalau mual makannya berhenti dulu, tidur-
tiduran dulu, atau main game dulu, baru
makan lagi…” ( partisipan 6).
Berinteraksi dengan petugas kesehatan dan
menjalani prosedur pengobatan juga memberikan
kesadaran tentang kesehatan dan upaya mencegah
dan mengobati penyakit yang dialaminya.
“Jangan jajan sembarangan lagi, biar ususnya
gak infeksi” (partisipan 6).
“Diinfus, buat ngasih cairan biar sehat…”
(partisipan 2).
Pembahasan
Penelitian ini menemukan lima tema pengalaman
hospitalisasi pada anak, yaitu terbatasnya melaku-
kan aktivitas rutin sehari-hari, suasana ruang
rawat tidak nyaman, tidak bebas menentukan
keinginan, mengalami nyeri selama perawatan,
dan menemukan cara mengatasi masalah selama
dirawat.
Mengalami keterbatasan melakukan aktivitas
rutin sehari-hari yang didapatkan dalam penelitian
Chodidjah, et al., Pengalaman Hospitalisasi Anak Usia Sekolah 49
ini juga ditemukan oleh banyak penelitian
sebelumnya (Coyne, 2006; Wilson, Megel,
Enenbach dan Carlson, 2010; Bsiri-Moghaddam,
Basiri-Moghaddam, Sadeghmogaddam, & Ahmadi,
2011). Hasil penelitian ini sama dengan hasil
penelitian Coyne (2006) yang menyatakan bahwa
hospitalisasi menyebabkan anak terpisah dari
anggota keluarga, teman bermain, aktivitas rutin
anak, dan pencapaian prestasi sekolah. Penelitian
ini juga mendapatkan temuan yang sama dengan
penelitian oleh Bsiri-Moghaddam, et al., (2011),
yaitu keterbatasan interaksi dengan orang tua
masih menjadi permasalah utama pada anak
berusia sekolah. Padahal perpisahan dengan orang
tua seharusnya tidak menjadi masalah utama
pada anak usia sekolah (Wong & Hockenberry,
2003).
Dampak negatif dari terbatasnya interaksi dan
terpisah dengan keluarga, teman bermain, dan
aktivitas rutin sehari-hari dapat dicegah dengan
memaksimalkan kontak anak dengan keluarga,
teman, dan sekolah (Coyne, 2006). Upaya ini
dapat dilakukan dengan menambah jam kunjung-
an terutama kunjungan keluarga, menyediakan
ruang untuk bermain dan peralatan bermain,
serta memfasilitasi anak untuk bermain dengan
pasien lainnya (Wilson, et al., 2010). Bermain
merupakan kebutuhan dasar bagi anak. Anak
menyatakan bahwa aktivitas yang paling menye-
nangkan selama hospitalisasi adalah aktivitas
yang menghibur, seperti bermain video dan
menonton video (Pelander & Leino-Kilpi, 2010).
Tema lainnya yang juga dialami oleh semua anak
adalah suasana ruang rawat tidak nyaman. Tema
ini juga ditemukan pada penelitian oleh Coyne
(2006) dan Salmela, Aronen, dan Salantera (2010).
Penyebab pengalaman suasana ruang rawat tidak
nyaman dalam penelitian ini sama dengan
penyebab pada penelitian Coyne (2006). Ketidak-
nyamanan pada ruang rawat tersebut adalah
kebisingan ruangan, suhu ruangan yang panas,
fasilitas yang tidak adekuat, silau pada malam
hari, dan makanan. Bsiri-Moghaddam, et al.,
(2011) menambahkan bahwa selain faktor-
faktor yang telah disebutkan di atas, penyebab
ketidaknyamanan lainnya adalah peraturan rumah
sakit dan jam kunjungan. Coyne (2006) menyaran-
kan perlunya pengaturan ruang rawat dengan
lebih berfokus kepada kenyamanan anak dan
bukan kepada kenyamanan petugas kesehatan.
Tema lain yang juga dialami oleh semua anak
adalah tidak bebas menentukan keinginan. Tim-
bulnya ketidakbebasan menentukan keinginan
dalam penelitian ini sama dengan yang didis-
kusikan oleh Coyne (2006), yaitu karena adanya
hambatan melakukan aktivitas, hambatan meme-
nuhi kebutuhannya, serta tidak dapat mengontrol
keinginan tidur dan makan. Strategi yang dapat
digunakan untuk mengurangi dampak tersebut
dapat dilakukan dengan menghargai anak sebagai
seorang individu. Setiap tindakan perawatan
terhadap anak harus melibatkan anak sebagai
partisipan aktif. Strategi lainnya adalah dengan
memberi kesempatan pada anak untuk menentu-
kan waktu pelaksanaan suatu prosedur yang
diinginkannya (Wilson, et al., 2010).
Tema mengalami nyeri selama perawatan dalam
penelitian ini juga ditemukan dalam penelitian
Coyne (2006) dan Bsiri-Moghaddam, et al. (2011).
Ketakutan mengalami nyeri karena prosedur
pengobatan merupakan pengalaman yang paling
tidak disukai anak (Pelander & Leino-Kilpi, 2010).
Ketakutan terhadap prosedur yang menyakitkan
dapat dikurangi dengan mempersiapkan anak
sebelum prosedur dilakukan. Persiapan harus
dilakukan sesuai dengan tahapan usia anak
(Coyne, 2006). Melakukan prosedur perawatan
sambil bermain terapi efektif untuk mengurangi
ketakutan anak. Bermain seharusnya selalu
dilakukan selama proses perawatan anak dan
disesuaikan dengan kondisi penyakit anak
(Wilson, et al., 2010).
Tema terakhir dalam penelitian ini adalah anak
dapat menemukancara mengatasi masalahnya
selama dirawat. Selama perawatan, anak belajar
menemukan koping untuk mengatasi ketakutan
dan kecemasannya. Anak akan merasakan ke-
puasan ketika mereka mampu menemukan koping
untuk mengatasi ketakutan dan kecemasannya.
Pada akhirnya, hal ini akan menumbuhkan
rasa percaya diri. Berinteraksi dengan petugas
kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan anak
tentang penyakit yang dideritanya dan upaya
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 45-50 50
untuk pengobatan dan pencegahannya. Dampak
lebih lanjut berkomunikasi dan interaksi dengan
pertugas kesehatan mungkin akan memberikan
ketertarikan terhadap pemilihan karir masa depan
di bidang kesehatan (James & Ashwill, 2007).
Selain itu, pengalaman hospitalisasi akan me-
mengaruhi pemanfaatan sarana kesehatan di
masa mendatang. Pengalaman hospitalisasi yang
traumatik menyebabkan keengganan dan keta-
kutan untuk menggunakan fasilitas kesehatan
untuk menjaga dan mempertahankan kesehatan
(Ryan-Wegner & Gardner, 2012).
Kesimpulan
Hospitalisasi dapat memberikan pengalaman
menyedihkan dan menyenangkan bagi anak.
Mengalami sakit dan dirawat di rumah sakit
membuat anak mengalami perpisahan dengan
keluarga, teman bermain, serta keterbatasan
melakukan aktivitas yang biasa mereka lakukan
bersama keluarga dan teman bermainnya. Ling-
kungan yang asing dan tidak nyaman, mengalami
kehilangan kontrol diri, ketidakberdayaan, dan
merasakan nyeri merupakan pengalaman tidak
menyenangkan lainnya yang anak rasakan selama
perawatanya.
Meskipun demikian, hospitalisasi dapat mem-
berikan dampak positif bagi anak. Kemampuan
anak mengatasi ketakutan dan kecemasannya
selama perawatan dapat meningkatkan rasa
percaya diri anak. Selain itu, hospitalisasi akan
membukakan wawasan tentang kesehatan dan
kemungkinan karier di bidang kesehatan. Peneli-
tian ini merekomendasikan perlunya pemahaman
tentang tumbuh kembang anak dan teknik
komunikasi dengan anak bagi petugas kesehatan
agar hospitalisasi menjadi pengalaman yang
memberikan dampak positif bagi anak dan
keluarga (HW, YR, PN).
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih diberikan kepada Direktorat
Riset dan Pngabdian Masyarakat Universitas
Indonesia (DRPM UI) yang telah memberikan
dana bagi terlaksananya penelitian ini.
Referensi
Bowden, B.R., & Greenberg, C.M. (2010).
Children and their families: Continuum of
care. Second edition. Philadephia: Lippincott
Willian & Wilkins.
Bsiri-Moghaddam, K., Basiri-Moghaddam, M.,
Sadeghmoghaddam, L., & Ahmadi, F. (2011).
The concept of hospitalization of children from
the point of view of parents and children.
Iranian Journal of Pediatric, 21, 2, 201-208.
Coyne, I. (2006). Children’s experiences of
hospitalization. Journal of Child Health Care,
10, 4, 326–336.
James, S.R. & Ashwil, J.W. (2007). Nursing care
of children: Principle & practice. United of
America: Saunders Elsevier.
Karlings, M. (2006). Child behaviour and pain after
hospitalization, surgey, and anaesthesia. UMEA.
Sweden: University medical dissertation.
Pelander, T., & Leino-Kilpi, H. (2010). Children’s
best and worst experiences during hospital-
lization. Scandinavian Journal of Caring
Sciences, 24, 726–733.
Rautava, P., Lehtonen, L., Heleneus, H., & Sillanpaa,
M. (2003). Effects of newborn hospitalization
on family and child behaviour: A 12-year
follow-up study. Pediatrics, 111, 277–283.
Ryan-Wegner, N.A. & Gardner, W. (2012).
Hospitalized children’s perspective on the
quality and equity of the nursing care. Nursing
Care Quality, 27, 1, 35–42.
Salmela, M., Aronen, E. T., & Salentera, S. (2010).
The experience of hospital-related fear of 4–6
year old children.Child: Care, Health and
Development. 37, 5, 719–726.
Wong, D.L., & Hockenberry, M.J. (2003). Wong’s
nursing care of infants and children. (7th
Ed.). USA: Mosby company.
Wilson, M.E., Megel, M.E., Enenbach, L., &
Carlson, K.L. (2010). The voice of children:
stories about hospitalization. Journal of
Pediatric Health Care, 24, 95–102.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 51-58 pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT PENDERITA
SAKIT KRONIS
Annisa Wuri Kartika
1,2*, Wiwin Wiarsih
3, Henny Permatasari
3
1. Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang 65145, Indonesia
2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Merawat anggota keluarga yang mengalami sakit kronis memengaruhi kehidupan anggota keluarga secara fisik,
psikologis, dan sosial. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengalaman keluarga dalam merawat anggota keluarga
dengan penyakit kronis. Metode penelitian yang digunakan, yaitu kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif.
Partisipan merupakan delapan keluarga yang merawat anggota keluarga dengan sakit kronis. Tema yang ditemukan
mencakup perubahan status kesehatan penderita, respons psikologis keluarga, upaya untuk mempertahankan kesehatan,
dan harapan keluarga. Simpulan penelitian menggambarkan respons yang dialami oleh keluarga berbeda bergantung
pada onset, lama, dan prognosis penyakit serta tahapan stres yang dialami keluarga. Perawat dapat memberikan
manajemen asuhan keperawatan kepada keluarga berupa intervensi pendidikan kesehatan mengenai penyakit kronis,
psikoedukasi, dan konseling keluarga dalam merawat penderita sakit kronis.
Kata kunci: merawat, pengalaman keluarga, penyakit kronis
Abstract
The Experience of Family Caregivers of Persons with Chronic Illness. Caring for family member with chronic illness
affects the lives of family physically, psychologically, and socially. The aim of this study was to describe the experience
of family member in caring for family members with chronic illness. A qualitative design with descriptive
phenomenological approach was chosen for this study. Qualitative interviews with eight families were performed. The
results included a changed health status for the person with chronic illness, family psychological response, efforts of
maintain health and family expectations about type and quality of health services. Conclusion of research illustrated
that response experienced by families were different depending on the onset, duration, and prognosis of the diseases
and the stage of stress experienced by the family. Thus nurses could provide nursing care to family with chronic illness
which are consist of health education and counseling in order to caring for family members with chronic illness.
Keywords: caregiver, chronic disease, family experience
Pendahuluan
Penyakit kronis merupakan salah satu beban
ganda dalam bidang kesehatan selain penyakit
infeksi yang merajalela. Diprediksikan pada tahun
2020 penyakit tidak menular akan mencapai 73%
dari penyebab kematian dan 60% dari beban
penyakit dunia (World Health Organization,
2002). Data kesehatan di Indonesia, khususnya
Kota Depok menunjukkan kasus kematian akibat
stroke empat tahun berturut-turut menempati
urutan pertama. Penyebab utama stroke pada
umumnya adalah hipertensi, diabetes mellitus
(DM) yang tidak terkontrol, serta penyakit
jantung. Hal ini saling berkaitan dengan urutan
tertinggi penyebab kematian di Kota Depok
(Dinas Kesehatan Depok, 2007).
Penyakit kronis tidak hanya mengakibatkan
kesakitan, kematian, dan ketidakmampuan fisik
dari penderita, namun juga prosedur pengobatan
yang panjang dan menghabiskan banyak biaya
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 51-58 52
(Denham & Looman, 2010). Oleh karena itu,
sistem pelayanan kesehatan pada klien kronis
berubah dengan memperpendek masa rawat inap
di Rumah Sakit dan beralih pada program
perawatan di rumah (home-based care) yang
memberikan keuntungan secara materi karena
dapat menekan biaya perawatan (Lim & Zebrack,
2004). Penelitian yang dilakukan Moalosi,
Phatswane, Moeti, Binkin dan Kenyon (2003)
melaporkan bahwa penurunan biaya sebesar 44%
pada klien yang dirawat di rumah dibandingkan
dengan biaya perawatan di rumah sakit. Selain
efektif dalam hal biaya, program perawatan di
rumah juga efektif dalam hal proses pengobatan.
Hasil penelitian Gomes, Boas, dan Foss (2012)
menyebutkan bahwa dukungan sosial yang
diberikan oleh keluarga klien DM secara langsung
berhubungan dengan kepatuhan pengobatan, klien
yang mendapatkan dukungan sosial baik memiliki
perilaku kontrol glikemi yang tinggi, sedangkan
klien yang mendapatkan dukungan sosial kurang
memiliki perilaku kontrol glikemi rendah.
Peran dan fungsi keluarga dalam teori sistem
salah satunya adalah sebagai pemberi perawatan
(caregiver) pada anggota keluarga yang sakit.
(Smith, Greenberg, & Seltzer, 2007). Lim dan
Zebrack (2004) menyatakan bahwa konsep
normalisasi pada keluarga yang memiliki anggota
keluarga dengan penyakit kronis dilakukan dengan
merubah gaya hidup yang mendukung proses
pengobatan. Kegiatan-kegiatan tersebut antara
lain melakukanpemeriksaan rutin, manajemen
perawatan diri, perubahan pola makan, aktivitas
fisik, dan memaksimalkan dukungan emosional
dilakukan untuk memberikan kenyamanan (Lim
& Zebrack, 2004). Studi yang dilakukan Knafl
dan Gilliss (2002) menyebutkan bahwa meskipun
konsep normalisasi keluarga merupakan proses
adaptif, namun beberapa keluarga mengalami
kesulitan dalam menjalani rutinitas yang stabil
berhubungan dengan proses pengobatan yang
lama, perubahan aktivitas fisik, serta perubahan
peran dan tanggung jawab. Tingkat kemandirian
anggota keluarga yang mengalami sakit kronis
juga mempengaruhi tantangan yang dihadapi
keluarga, keluarga dengan anak SHCN (Special
Health Care Needs) melaporkan bahwa mereka
tidak hanya mengalami stress emosional tapi
juga beban finansial (Denham & Looman, 2010).
Di Amerika Serikat, 40% keluarga melaporkan
mengalami beban finansial ketika merawat anak
mereka dengan SHCN (Looman, O’Conner-Von,
Ferski, & Hildenbrand, 2009).
Keperawatan keluarga merupakan tingkat pe-
layanan kesehatan masyarakat yang dipusatkan
pada keluarga sebagai unit kesatuan dengan
tujuan pelayanan dan perawatan sebagai upaya
pencegahan penyakit (Friedman, Bowden, &
Jones, 2010). Keluarga yang mendapatkan
dukungan dari lingkungan sosialnya mengalami
tingkat stres yang lebih rendah daripada yang
tidak mendapatkan dukungan sosial. Hal ini
menggambarkan bahwa pentingnya peran perawat
sebagai konselor untuk mengarahkan keluarga
dalam menggunakan strategi koping yang positif
(Allender, Rector, & Warner, 2010). Oleh karena
itu, tujuan penelitian ini adalah untuk menggali
pengalaman keluarga dalam merawat klien dengan
penyakit kronis di rumah.
Metode
Metode penelitian yang digunakan adalah kuali-
tatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif.
Partisipan yang terlibat merupakan keluarga yang
merawat anggota keluarga dengan sakit kronis.
Pemilihan partisipan dilakukan dengan meng-
gunakan teknik purposive sampling dengan
kriteria inklusi: (1) keluarga adalah keluarga
inti (anggota keluarga terdiri atas orang tua
dan anak yang tinggal dalam satu rumah) yang
merawat anggota keluarga yang mengalami
penyakit kronis minimal dalam jangka tiga bulan.
Hal ini didasarkan pada penelitian Vedhara,
Shanks, Anderson, dan Lightman (2000) yang
menyatakan stress pada caregiver terjadi pada
rentang waktu bulan ke-3 dan ke-6 dan tinggal
serumah dengan penderita sakit kronis, (2)
bersedia ikut sebagai partisipan, (3) mampu
menceritakan pengalamannya dengan baik, (4)
berusia di atas delapan belas tahun, sesuai dengan
data dari The National Alliance for Caregiving
and AARP (2009) yang menyatakan bahwa
rentang usia rata-rata caregiver adalah 1849
tahun. Saturasi data pada penelitian ini dicapai
pada partisipan ke-8.
Kartika, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Penderita Sakit Kronis
53
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
mendalam, menggunakan voice recorder dan
catatan lapangan. Teknik wawancara dilakukan
dengan semi structured interview dan joint-
interview yang melibatkan dua orang dalam satu
unit keluarga. Metode analisis data yang di-
gunakan adalah metode Colaizzi yang melibatkan
partisipan penelitian untuk memvalidasi hasil
penelitian (Burns & Grove, 2009).
Salah satu komponen inti yang menentukan
kualitas output dari keseluruhan proses penelitian
kualitatif adalah keabsahan data (trustworthiness).
Dalam Speziale (2003) dinyatakan bahwa untuk
dapat menjamin keabsahan data maka peneliti
menerapkan empat kriteria keabsahan data, yaitu
credibility, dependability, confirmability, dan
transferability. Hal tersebut dilakukan dengan
strategi pengecekan kembali oleh partisipan. Data
berupa analisis tematik yang telah dihimpun oleh
peneliti ditunjukkan kepada partisipan untuk
dibaca ulang dan dilakukan verifikasi terhadap
keakuratan data. Prinsip transferability dilakukan
dengan membandingkan hasil penelitian yang
telah dilakukan dengan keluarga yang merawat
penderita penyakit kronis di Kelurahan CP yang
belum menjadi partisipan karena tidak men-
dapatkan kesempatan untuk ikut serta dalam
penelitian setelah tercapai saturasi data. Prinsip
confirmability dilakukan dengan melibatkan
auditor eksternal, yaitu pembimbing dan penguji
mulai dari proses pembuatan proposal, pengum-
pulan data, analisa dan interpretasi data serta
rekomendasi penelitian (Pollit & Beck, 2010).
Hasil
Tema yang ditemukan mencakup respons psi-
kologis keluarga, upaya untuk mempertahankan
kesehatan, dan harapan keluarga dengan jenis
dan kualitas layanan baik.
Respons Psikologis Keluarga. Tema ini dibentuk
dari subtema perasaan takut, bingung, sedih,
khawatir, dan menerima. Perasaan kaget, takut,
sedih, dan khawatir yang dialami oleh partisipan
merupakan respons awal ketika anggota keluarga
mulai menunjukkan gejala sakit. Perasaan tersebut
diwakili dalam pernyataan sebagai berikut.
“Yang pertama dulu…. tiba-tiba aja waktu itu
tidur..saya, kan, tidur di sebelahnya..tiba-tiba
kejang gitu ya…. Ya kaget ya… bingung,
langsung panggil adeknya” (Partisipan 8a).
“Yang namanya takut mah..kira-kira…yang
namanya kata orang ya penyakit itu agak
sedikit…agak sedikit gawat juga, takutnya ya
kayak gitu” (Partisipan 6a).
“Kalau B lagi kambuh, trus juga kalau
ngomongin B juga enggak kuat beneeer
(menangis dan mengelus dada)..ini hati was-
was aja kak, gitu ceritanya” (partisipan 3a).
Respons lain yang muncul adalah perasaan
menerima yang diwujudkan dalam pernyataan
biasa saja karena penyakit tersebut sudah ber-
langsung lama dan karena sakit merupakan
musibah dan cobaan dari Tuhan. Hal tersebut
diwakili dalam pernyataan berikut.
“Udah biasa, sih, sekarang karena udah
lama” (partisipan 7b).
“Enggak…merupakan biasa saja, tapi anggap
kita itu adalah musibah, cobaan Tuhan buat
apa…buat hidup kita itu di situ” (partisipan
1a).
Upaya Mempertahankan Kesehatan. Hasil
analisis tema menyatakan bahwa upaya memper-
tahankan kesehatan yang dilakukan keluarga
dalam mengatasi penyakit yang menimpa anggota
keluarga mereka dibentuk dari tiga subtema, yaitu
membawa ke fasilitas layanan kesehatan, melaku-
kan tindakan perawatan di rumah, serta melakukan
upaya pengobatan tradisional dan alternatif.
Semua partisipan menyatakan bahwa yang
pertama kali mereka lakukan ketika anggota
keluarga mereka menunjukkan gejala sakit adalah
membawa ke layanan kesehatan, yaitu tempat
praktik dokter, rumah sakit, atau puskesmas. Hal
ini diwakili oleh pernyataan berikut.
“...sering batuk, trus seseknya…tadinya ke
puskesmas, trus uwaknya ngajakin, tuh, waktu
kelas empat ke spesialis” (Partisipan 3a).
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 51-58 54
Keluarga mengungkapkan bahwa mereka mela-
kukan tindakan perawatan untuk mengatasi
penyakit yang diderita oleh anggota keluarga
selama dirawat di rumah. Beberapa tindakan
perawatan yang dilakukan terangkum dalam
kategori merawat luka pada klien DM, mengatur
perilaku, dan pengaturan pola makan sebagai
upaya pencegahan penularan penyakit, dan
monitor kesehatan anggota keluarga yang sakit.
Salah satu partisipan menyatakan bahwa:
“Di rumah saya praktekkan itu...merawat koreng-
koreng yang bekas dikorek sama dokter
bedah…saran-sarannya, trus suntikannya”
(Partisipan 1a).
“Bahkan rokoknya Bapak sekarang saya
ambil… jadi udah berkurang sekarang”
(Partisipan, 8a).
“Dikasih pola makan….pantangan dikasih
tahu semua” (Partisipan, 6a).
Upaya pengobatan lainnya adalah melakukan
pengobatan alternatif. Hal tersebut diwakili
dalam pernyataan berikut.
“Sepupu saya gini…eh, coba Mbak sebelum di
CT-scan ke ini aja, ke alternative (…) ditotok
gitu lo, Mbak” (Partisipan 2a).
Pemanfaatan obat tradisional dinyatakan oleh
partisipan untuk menggambarkan jenis obat yang
digunakan. Jenis obat tradisional yang digunakan
adalah herbal atau tumbuh-tumbuhan yang
memiliki khasiat untuk menyembuhkan penyakit
tertentu. Salah satu partisipan mengungkapkan.
“Daun itu sirsak, itu yang kita pake rutin, akar
alang-alang tapi enggak lama” (Partisipan
8a).
Harapan Keluarga: Jenis dan Kualitas La-
yanan Baik. Tema jenis dan kualitas layanan
baik dibentuk dari subtema pernyataan mengenai
keinginan keluarga tentang jenis layanan yang
tepat untuk penderita sakit kronis dan kualitas
layanan oleh tenaga kesehatan.
Partisipan menyatakan kebutuhan terhadap adanya
informasi mengenai cara perawatan yang tepat
serta layanan home care yang mereka anggap
tepat karena membawa manfaat dan efektif.
Hal ini seperti yang dinyatakan oleh partisipan
berikut.
“Kalau saya, sih, lebih pasnya ada pelayanan
ke rumah” (Partisipan 7a).
Subtema kualitas layanan oleh tenaga kesehatan
dibentuk dari kategori harapan agar perawat dapat
bekerja dengan profesional. Pernyataan-pernyataan
tersebut diungkapkan oleh salah satu partisipan
sebagai berikut.
“Lebih bisa menjalani profesi sebagai perawat,
memahami klien ya, dengan baik,.., tidak
membeda-bedakan klien bagi dari kelas sosial
maupun apa ya...klien itu bisa termotivasi untuk
sembuh ya Mbak, dari pelayanan keperawatannya
gitu” (Partisipan 6b).
Pembahasan
Pengalaman merawat anggota keluarga dengan
penyakit kronis menghasilkan tema yang meng-
gambarkan dinamika keluarga setelah anggota
keluarga menderita sakit kronis. Hal tersebut
meliputi respons keluarga, upaya keluarga mem-
pertahankan kesehatan keluarga, dan layanan
kesehatan yang diharapkan.
Keluarga yang hidup dengan penderita sakit
kronis menghadapi tantangan berat dalam hidup
mereka berupa stress, kecemasan dan kemarahan
akibat rutinitas pengobatan yang harus mereka
lakukan (Denham & Looman, 2010). Stressor
tersebut memicu munculnya respon stres yang
dapat dijelaskan dengan respon kehilangan oleh
Kubler-Ross (1969) (Kozier, Erb, Berman, &
Snyder, 2004). Hasil penelitian menggambarkan
respons keluarga bergantung pada onset, lama,
dan prognosis penyakit serta tahapan stres yang
dialami oleh keluarga. Respons pertama yang
diungkapkan keluarga adalah adalah penyangkalan
atau shock dan tidak percaya yang ditunjukkan
dengan perasaan bersalah dan sedih, tidak percaya,
dan penolakan terhadap kehilangan. Reaksi
Kartika, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Penderita Sakit Kronis
55
pertama tersebut dipengaruhi oleh persepsi
keluarga terhadap keparahan penyakit yang
diderita klien. Respons tersebut kemudian diikuti
dengan perasaan marah, tawar-menawar, kese-
dihan yang mendalam serta diakhiri dengan
penerimaan.
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa tahap
pertama dari berduka yang dialami keluarga adalah
munculnya respons kaget dan takut. Mayoritas
partisipan yang menyatakan kekagetannya di-
sebabkan oleh perubahan fisik atau gejala yang
dialami oleh anggota keluarga mereka yang
muncul tiba-tiba dan tidak ada keluhan sebelum-
nya. Selain kaget, keluarga juga merasakan takut
karena mengetahui bahwa penyakit tersebut
dapat berakibat buruk terhadap keselamatan
istrinya. Seperti hasil penelitian pada klien Ca.
Mammae yang menyatakan bahwa respon emosi-
onal yang ditampilkan oleh pasangan ketika masa
diagnosis, pengobatan dan perjalanan penyakit
meliputi perasaan kaget, tidak percaya, penyang-
kalan, marah, rasa bersalah, depresi, kecemasan,
ketidakyakinan akan prognosis penyakit, ketakutan,
kehilangan kontrol dan persepsi lain yang menyertai
(Hilton, Crawford, & Tarko, 2000).
Respons psikologis lain adalah perasaan menerima
sebagai hasil dari respons adaptasi. Perasaan
menerima ini diungkapkan keluarga saat penyakit
tersebut sudah berlangsung lama dan mereka
sudah terbiasa dengan kondisi klien. Selain itu
keluarga juga merasa bahwa sakit yang dialami
anggota keluarga mereka merupakan cobaan
dari Tuhan yang harus mereka jalani. Penerimaan
yang muncul merupakan respons dari respon
reorganisasi perasaan berduka terhadap individu
yang telah menerima kenyataan yang terjadi
serta mendapatkan gambaran tentang penyebab
masalah dan secara bertahap menyesuaikan diri
dengan keadaan yang dialami. Keluarga tersebut
menyatakan bahwa ketika menghadapi stressor
pertama kali, mereka berusaha untuk menyelesai-
kan masalah sakit dengan melakukan tindakan
pengobatan. Namun, ketika stressor sudah
berlangsung lama dan keluarga mereka tidak
kunjung sembuh, keluarga kemudian percaya
bahwa sakit yang dialami keluarga merupakan
bentuk cobaan dari Tuhan untuk keluarga mereka.
Hal ini menggambarkan bahwa dalam tahap
penerimaan juga terdapat respons kepasrahan
terhadap takdir yang merupakan bagian dari
mekanisme turning to religion.
Persepsi dan respons emosional yang menyertai
keluarga bergantung pada koping yang dimiliki
keluarga. Tahap pertama dimulai dengan meng-
gunakan strategi problem-focused. Hal ini
dilakukan dengan mencari dan belajar lebih
banyak mengenai penyakit dan proses pengobatan
yang harus dilakukan. Strategi selanjutnya adalah
emotional-focused yang ditunjukkan dengan
penerimaan dan kepasrahan, digunakan ketika
mereka merasa bahwa sudah tidak ada lagi
yang bisa mereka lakukan untuk mengubah
situasi yang membahayakan atau mengancam
(Lovelace, 2012; Demirtepe, 2008). Salah satunya
adalah dengan turning to religion. yaitu situasi
ketika individu merasa putus asa dengan keadaan
yang tidak segera membaik (Demirtepe, 2008).
Upaya pengobatan dipengaruhi oleh informasi
yang didapatkan mengenai penyakit dan per-
sepsi masyarakat mengenai kemanfaatan dan
sumber daya yang dimiliki. Mayoritas partisipan
menyatakan bahwa mereka meminta bantuan
tenaga kesehatan ketika pertama kali keluarganya
mengalami sakit. Upaya yang kedua adalah
menggunakan pengobatan alternatif dan obat-
obat tradisional untuk menyembuhkan penyakit.
Alasan yang diungkapkan keluarga antara lain
adalah biaya pengobatan di tenaga kesehatan
yang mahal, sedangkan di pengobatan alternatif
dan penggunaan obat tradisional menghabiskan
biaya lebih murah dan lebih terasa efeknya.
Penderita sakit kronis pada umumnya meng-
gunakan fasilitas layanan kesehatan tradisional
dan alternatif karena adanya pengalaman positif
yang didapatkan dari pengobatan alternatif
tersebut (Chen, Huang, Lin, Smith, & Liu,
2009). Kemudahan akses dan kenyamanan yang
dirasakan juga menjadi alasan bagi masyarakat
memilih penyembuh tradisional, serta rekomendasi
dari orang lain tentang keberhasilan dan manfaat
yang diperoleh (Chao, Wade, & Kronerberg,
2006; Chen, et al., 2009). Prinsip ekonomi
juga memengaruhi pilihan pemanfaatan akses
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 51-58 56
layanan kesehatan, meskipun pengobatan medis
memberikan kemajuan terhadap kondisi kesehatan
klien, keluarga akan tetap memilih pengobatan
alternatif karena biaya yang lebih murah dan
terjangkau. Faktor ketakutan penderita terhadap
proses pengobatan juga mendorong penderita
dan keluarga memilih pengobatan alternatif
dengan harapan dapat memberikan kesembuhan
tanpa harus menjalani operasi.
Upaya lain yang dilakukan keluarga adalah upaya
perawatan di rumah. Penelitian Knafl dan Gilliss
(2002) menggambarkan proses adaptasi keluarga
yang hidup dengan penderita penyakit kronis
antara lain adalah konsep normalisasi dengan
meletakkan rutinitas perawatan penyakit dalam
aktivitas keseharian mereka termasuk perubahan
gaya hidup sesuai dengan rencana pengobatan
yang dijalani penderita. Proses adaptasi yang
ditunjukkan keluarga termasuk juga melakukan
kegiatan yang mereka percaya secara rasional
dapat mengurangi dampak penyakit atau bahkan
menyembuhkan. Alasan rasional ini bisa saja
muncul akibat pengalaman terdahulu bahwa
kegiatan tersebut berhasil mengatasi masalah
seperti yang disebutkan partisipan yang menya-
takan bahwa dengan memberikan air hangat
maka dapat mencegah batuk dan sesak napas
yang diderita anak sehingga dapat disimpulkan
bahwa kegiatan perawatan yang dilakukan ke-
luarga dalam penelitian ini menggambarkan
bahwa mereka melakukan upaya mempertahankan
kesehatan berdasarkan informasi yang pernah
diterima maupun alasan yang dipercaya keluarga
dapat menyembuhkan penyakit.
Perawat dapat menerapkan strategi “Empat R”
untuk memahami konsep normalisasi tersebut,
yaitu dengan remediation, redefinition, realign-
ment dan re-education. Remediation adalah
tahapan ketika keluarga menempatkan rutinitas
pengobatan dalam kehidupan keluarga sehari-
hari. Redefinition merupakan strategi terhadap
seluruh anggota keluarga terlibat secara emosional
dalam memahami perubahan rutinitas yang telah
ditetapkan. Hal ini membuat keluarga menye-
suaikan diri dengan kerelaan, bukan paksaan.
Realignment terjadi bila dalam prosesnya, terjadi
ketidaksetujuan dalam anggota keluarga mengenai
rutinitas medis yang dilakukan. Proses selanjut-
nya adalah re-education, indikasinya adalah
terdapat dis-organisasi atau ketidak teraturan
pada keluarga dalam proses menjalani rutinitas
pengobatan (Fiese & Everhart, 2006).
Karakteristik penyakit kronis yang berlangsung
dalam jangka waktu lama membawa dampak
terhadap proses pengobatan yang dilaksanakan
berkali-kali. Letak fasilitas layanan kesehatan
yang memadai untuk mengobati penyakit kronis
kadang menyulitkan keluarga untuk mengakses
fasilitas layanan kesehatan. Hambatan transportasi
karena tidak memiliki kendaraan sendiri memun-
culkan masalah membengkaknya biaya untuk
transportasi. Kesulitan tersebut membuat keluarga
menilai bahwa kunjungan rumah oleh tenaga
kesehatan merupakan bentuk layanan yang
tepat diberikan kepada klien dengan penyakit
kronis. Hal ini digambarkan dalam pernyataan
keluarga bahwa layanan home visit yang dilaku-
kan tenaga kesehatan sangat membantu dan
dinilai tepat bagi penderita kronis dan keluarga.
Penanganan terbaik untuk mengatasi penyakit
kronis adalah dengan mencegah terjadinya penya-
kit kronis melalui manajemen dan modifikasi
perilaku kesehatan (Glasgow, Orleans, & Wagner,
2001). Proses modifikasi perilaku kesehatan
tersebut dapat dilakukan dengan optimal jika
tenaga kesehatan dapat meningkatkan peran serta
keluarga untuk mendukung upaya peningkatan
kesehatan penderita sakit kronis. Eksplorasi penga-
laman keluarga dalam membangun koping dan
mekanisme adaptasi penting bagi perawat agar
mampu memberikan edukasi yang sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi klien.
Kesimpulan
Respons keluarga ketika salah satu anggota
keluarga menderita sakit kronis terdiri atas
respons psikologis dan upaya mempertahankan
kesehatan. Respons psikologis yang ditampilkan
bergantung pada onset penyakit, lama, dan tingkat
keparahan penyakit. Di sisi lain, upaya pengobatan
yang dilakukan oleh keluarga dipengaruhi oleh
informasi mengenai penyakit dan persepsi masya-
rakat mengenai kemafaatan dan sumber daya
Kartika, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Penderita Sakit Kronis
57
yang dimiliki. Layanan kesehatan tidak lagi
menjadi pilihan utama karena kendala biaya
kesehatan yang tinggi dan masyarakat lebih
percaya terhadap manfaat yang diperoleh dari
obat tradisional dan penyembuhan komplementer.
Pengalaman keluarga juga menjadi salah satu
faktor penting bagi keluarga dalam menerapkan
strategi perawatan yang efektif terhadap anggota
keluarga yang mengalami sakit kronis.
Perawat dapat mengembangkan strategi yang
tepat dalam bentuk kunjungan rumah bagi ke-
luarga dengan penderita sakit kronis. Manajemen
asuhan keperawatan kepada keluarga dilakukan
dengan mengkaji respons adaptasi keluarga.
Perawat perlu melakukan pengkajian yang men-
dalam mengenai persepsi keluarga mengenai
penyakit kronis terutama pengetahuan mengenai
proses perjalanan penyakit. Rencana intervensi
berupa psikoedukasi mengenai koping dan pen-
didikan kesehatan mengenai cara perawatan
diberikan pada fase awal keluarga mengetahui
sakit yang diderita anggota keluarganya. Pendi-
dikan kesehatan mengenai jenis terapi tradisional
yang manfaatnya telah terbukti secara ilmiah perlu
diberikan untuk mendukung upaya perawatan
yang dilakukan keluarga di rumah (MR, JS, PN).
Referensi
Allender, J.A., Rector, C., & Warner, K.D. (2010).
Community health nursing: Promoting and
protecting the public’s health (7th Ed.).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
The National Alliance for Caregiving and
AARP. (2009). Selected caregiver statistic.
Family Caregiver Alliance. Diperoleh dari
http://www.caregiver.org/caregiver/jsp/con
tent_node.jsp?nodeid=439
Burns, N., & Grove, S.K. (2009). The Practice of
nursing research: Appraisal, synthesis,
and generation of evidence. St. Louis
Missouri: Saunders Elsevier.
Chao, M.T., Wade, C., & Kronerberg. (2006).
Womens reason for complementary and
alternative medicine use: Rasial ethnc
difference. Journal of Altern Complemen
Medicine. 12 (8), 719–720.
Chen, LL., Huang, LC.,Lin, SC., Smith, M., Liu,
SJ., (2009). Use of folk remedies among
families of children hospitalize in Taiwan.
Journal of Clinical Nursing. 18, 2162–2179.
Demirtepe, D. (2008). Testing the caregiver stress
model with the caregivers of children with
leukemia (Thesis, Middle East Technical
University). Middle East Technical
University.
Denham, S.A., & Looman, W. (2010). Families
With Chronic Illness, dalam Kaakinen, et
al, Family Health Care Nursing, Theory,
Practice and Research (4th Ed.). F.A
Davis Company: Philadelphia. Hal 235–
272.
Dinas Kesehatan Depok (2007). Profil dinas
kesehatan depok Tahun 2007. Depok:
Dinkes Depok.
Fiese, B.H., & Everhart, R.S. (2006). Medical
adherence and childhood chronic illness:
Family daily management skills and
emotional climate as emerging
contributors. Current Opinion in
Pediatrics, 18 (5), 551–557.
Friedman, Bowden, & Jones. (2010). Family
nursing: Research, theory, and parctice..
New Jersey: Prentice Hall.
Gomes, C., Boas, V., & Foss, M. (2012).
Relationship among social support, treatment
adherence and metabolic control of DM
patient. Rev-Latno Am, 20 (1), 52–58.
Glasgow, R.E., Orleans, C.T., & Wagner, E.H.
(2001). Does the Chronic Care Model
serve also as a template for improving
prevention? The Milbank Quarterly, 79(4),
579–612.
Hilton, B.A., Crawford, J.A., & Tarko, M.A.
(2000). Men’s Perspectives on Individual
and Family Coping with Their Wive’s
Breast Cancer and Chemotherapy. West
Journal Nurse Res, 22, 438.
Knafl, K.A., & Gilliss, C. (2002). Families and
chronicc illness: A synthesis of current
research. Journal of Family Nursing, 8 (3),
178–198.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 51-58 58
Kozier, B.J., Erb, G., Berman, A., & Snyder, S.
(2004). Fundamental of nursing: Concept,
process, and practice (7th Ed.). Upper
Saddle River: Perason Education Inc.
Lim, J., & Zebrack, B. (2004). Caring family
members with chronic physical illness: A
critical review of caregiver literature.
Health and Quality of Lifes Outcomes, 2,
50. doi: 10.1186/1477-7525-2-50.
Looman, W. S., O’Conner-Von, S. K., Ferski, G.
J., & Hildenbrand, D.A. (2009). Financial
and employment problems in families of
children with special health care needs:
Implications for research and practice.
Journal of Pediatric Health Care, 23 (2),
117–125.
Lovelace, L.M. (2012). The Effect of coping
strategies on burden among male
alzheimers caregivers (Thesis, Lousiana
State University). B.S. Lousiana State
University.
Moalosi, G.F., Phatswane, J., Moeti, T., Binkin, N.,
& Kenyon. T. (2003). Cost-effectiveness of
home based care versus hospital care for
chronically ill tuberculoasis Patients,
Francistown, Botswana. International
Journal Tuberculosis Lung Disease, 7, 80–
85.
Pollit, D.F., & Beck, C.T. (2010). Essential of
nursing research: appraising evidence for
nursing practice. Philadelphia: Lippincot
Williams & Wilkins.
Smith, M., Greenberg, J., & Seltzer, M. (2007).
Siblings of adults with schizophrenia:
Expectations about future care giving roles.
American Journal of Orthopsychiatry. 77,
29–37.
Speziale, H.J.S. (2003). Designing data generation
and management strategies. In Speziale,
H.J.S., & Carpenter, D.R. (Ed.) Qualitative
research in nursing: Advancing the
humanistic imperative. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Vedhara, K., Shanks, N., Anderson, S., &
Lightman, S. (2000). The role of stressors
and psychosocial variables in the stress
process: A study of chronic caregiver
stress. Psychosomatic Medicine, 62, 374–
385.
WHO. (2002). Integrated chronic disease
prevention control. Diperoleh dari
http://www.who.int/chp/about/integrated_
cd/en/index.html.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.1, Maret 2015, hal 59-66
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
TERAPI SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA
TERHADAP KLIEN DAN KELUARGA
Winda Ratna Wulan
*
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, Jl. Kolonel Masturi, Bandung 40511, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Sejak Juli 2013, Rumah Sakit Provinsi Jawa Barat membuka Poli Konseling Psikiatri di Grha Atma yang melibatkan
perawat spesialis keperawatan jiwa. Penelitian yang dilakukan adalah dengan menggunakan penelitian survei dengan
metode kuantitatif dan menggunakan rancangan cross sectional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
karakteristik klien dan keluarga yang berkonsultasi di Poli Konseling, terapi spesialis keperawatan jiwa yang banyak
digunakan dan keberhasilan terapi spesialis keperawatan jiwa terhadap klien dan keluarga. Sebagian besar klien dan
keluarga yang melakukan konseling dengan datang langsung berdasarkan rujukan dari dokter spesialis kesehatan jiwa
kepada klien rawat jalan di Grha Atma. Pada penelitian ini didapatkan bahwa kelompok terbesar adalah kelompok jenis
kelamin perempuan usia 20—40 tahun, berpendidikan SMU, jumlah yang bekerja hampir sama dengan yang tidak bekerja,
didiagnosis skizofrenia, sebagian besar klien mengalami harga diri rendah, sedangkan koping keluarga inefektif dialami
oleh seluruh keluarga yang mendampingi klien saat konseling. Faktor predisposisi sebagian besar faktor herediter,
kegagalan, dan faktor ekonomi, sedangkan faktor presipitasi sebagian besar diakibatkan oleh putus obat antipsikotik,
kegagalan, dan faktor ekonomi. Terapi spesialis keperawatan jiwa individu yang paling banyak dilakukan adalah Cognitive
Therapy, sedangkan terapi spesialis keperawatan jiwa yang paling banyak dilakukan adalah terapi Family Psycho Education.
Jumlah klien yang tuntas melakukan terapi hampir sama dengan yang tidak tuntas melakukan terapi. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan gambaran karakteristik klien dan terapi spesialis yang dilakukan serta untuk membuat
suatu bentuk pemberian terapi spesialis keperawatan jiwa yang optimal terhadap kendala-kendala yang ada. Kata kunci: poliklinik konseling, karakteristik klien dan keluarga, terapi spesialis keperawatan jiwa
Abstract
Therapy Specialist Nursing Psychiatric Specialist Therapy. Mental Hospital of West Java province since July 2013
opening poly psychiatric counseling at Grha Atma involving nurse specialist psychiatric nursing. Research conducted
using survey research with a quantitative method using cross sectional. The purpose of this study was to identify the
characteristics of the client and family are consulted in poly counseling, psychiatric nursing specialist therapy that is
widely used and successful psychiatric nursing specialist therapy to clients and families. Most of the client and family
counseling based on those referrals come from mental health specialists in outpatient clients at Grha Atma. In this
study it was found that the largest group is the age group 20—40 years, female gender, the majority of high school
educated, almost the same amount of work with that are not work, the majority of diagnosed schizophrenia, most clients
experience low self-esteem while ineffective family coping experienced by the whole family who accompany clients
when counseling. Predisposing factors largely hereditary factors, failure and economic factors, while most of the
precipitation factor due to antipsychotic drug withdrawal, failures and economic factors. Therapeutic nursing specialist
individual soul is the most widely performed while therapy Cognitive Therapy specialist psychiatric nursing is the most
widely performed therapy Family Psycho Education. Number of clients who completed therapy similar to incomplete
therapy. This study is expected to provide an overview of client characteristics and treatment specialists who performed
as well as the constraints that exist to make a form of therapy specialist psychiatric nursing optimal.
Keywords: polyclinic counseling, client and family characteristic, psychiatric nursing specialist ther
Pendahuluan
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,
mental, spiritual maupun sosial yang memung-
kinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomi (UU Kesehatan No.36 tahun
2009:4). Menurut Johnson (1997, dalam Videbeck,
2008), kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 59-66
60
emosional, psikologis, dan sosial yang dilihat
dari hubungan interpersonal yang memuaskan,
perilaku dan koping yang efektif, konsep diri
yang positif dan kestabilan emosional. Jika se-
seorang tidak memiliki kemampuan-kemampuan
tersebut, seseorang akan mengalami gangguan
jiwa.
Maramis (2006) mengidentifikasi bahwa sekitar
12—16 persen atau 26 juta dari total populasi
Indonesia mengalami gejala-gejala gangguan
jiwa. Fakta ini didukung data berdasarkan hasil
riset kesehatan dasar tahun 2007 yang menyebut-
kan bahwa gangguan mental berat mencapai
0,46%. Wilayah paling banyak dengan kasus
gangguan mental berat adalah Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta sebesar 2,03%, Nanggroe
Aceh Darusalam sebesar 1,85%, dan Sumatera
Barat sebesar 1,67%. Angka terhadap ketiga
wilayah tersebut menunjukkan prevalensi gang-
guan jiwa jauh lebih tinggi daripada angka
gangguan jiwa di tingkat nasional.
Fakta tentang masalah kesehatan mental ini perlu
mendapatkan penanganan yang berkesinambungan
dari berbagai elemen di masyarakat. Strategi
yang dapat dilakukan meliputi strategi nasional
dan strategi keilmuan. Strategi nasional dapat
dilihat dari adanya berbagai program kesehatan
terkait dengan masalah kesehatan jiwa. Berbagai
bentuk strategi yang dapat dilakukan meliputi
kegiatan pencegahan primer, kuratif, dan reha-
bilitasi. Selain itu, terdapat bentuk pelayanan
yang diberikan terdiri atas pendekatan hospital
base dan community base. Bentuk pelayanan
paripurna tersebut melibatkan setiap unsur
fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat
Kegiatan pencegahan dan rehabilitasi dapat
dikembangkan di masyarakat dalam bentuk
community mental health nursing. Akan tetapi,
kegiatan kuratif dapat dilakukan di rumah sakit
jiwa dan unit pelayanan umum/rumah sakit
umum dan puskesmas bagi kasus gangguan
mental berat dan gangguan mental emosional.
Berdasarkan fenomena tersebut, Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu
rumah sakit khusus yang menyediakan layanan
kesehatan jiwa, mengubah paradigma tidak
hanya menyediakan pelayanan kesehatan pada
masyarakat yang mengalami gangguan jiwa
berat, tetapi juga pada upaya promotif dan
preventif juga rehabilitatif. Upaya promotif
dilaksanakan dengan mengadakan pendidikan
kesehatan ke sekolah-sekolah yang ada di Kota
Bandung dan sekitarnya. Upaya prefeventif di-
lakukan dengan melakukan screening masalah
gangguan jiwa di sekolah-sekolah.
Penyediaan Poliklinik Konseling juga dilaksana-
kan sebagai upaya preventif terutama terhadap
diagnosis psikososial dan upaya rehabilitatif.
Upaya tersebut ditujukan kepada penderita
gangguan jiwa dan keluarganya yang berobat
jalan di salah satu Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Jawa Barat di Grha Atma Bandung. Poliklinik
Konseling tersebut dibuka mulai Juli 2013,
setiap Selasa dan Rabu mulai pukul 08.00
sampai dengan 14.00 WIB. Sasaran Poliklinik
Konseling adalah pasien dan keluarga yang
dirujuk oleh dokter spesialis kesehatan jiwa di
Grha Atma dan pasien umum yang memerlukan
pelayanan konseling keperawatan jiwa. Pene-
rapan terapi spesialis keperawatan jiwa, selain
bermanfaat untuk pengguna jasa keperawatan
jiwa juga bermanfaat untuk meningkatkan profesi
keperawatan, dari novice menuju perawat spesialis
keperawatan jiwa.
Metode
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian survei
yang menggunakan rancangan potong lintang.
Survei dilakukan kepada dua puluh satu orang
pasien dan sembilan keluarga yang melakukan
konsultasi di Poliklinik Konseling Grha Atma
Bandung. Penelitian ini dilakukan selama dua
belas 1 minggu sejak tanggal 3 Juli sampai dengan
28 Agustus 2013.
Hasil
Karakteristik pasien dikelompokkan berdasarkan
jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, dan
status pernikahan. Tabel 1 mengambarkan karak-
teristik pasien. Berdasarkan Tabel 1 diketahui
Wulan, Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa terhadap Klien dan Keluarga 61
bahwa pasien yang berkonsultasi ke Poliklinik
Konseling lebih banyak perempuan (62%), pasien
yang berkonsultasi ke Poliklinik Konseling lebih
banyak yang berusia 20—40 tahun (52%) hampir
sebanding yang berusia 40—65 tahun (43%).
Status pekerjaan antara yang tidak bekerja (52%)
dan berlatar belakang pendidikan terbanyak
adalah menengah (52%).
Karakteristik keluarga dikelompokkan berdasarkan
jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, status
pernikahan, dan hubungan keluarga ditampilkan
pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 diketahui
bahwa keluarga pasien lebih banyak yang
berjenis kelamin perempuan (83%), Sebagian
besar berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak
lima keluarga (62,5%) berjenis kelamin perempuan.
Sebagian besar keluarga berusia 41—60 tahun
(62%) dan sebagian besar keluarga yang men-
dampingi pasien adalah orang tua pasien (54%).
Keluarga yang mendampingi pasien sebagian
besar berpendidikan tinggi (54%). Status perni-
kahan keluarga sebagian besar menikah (69%).
Sebagian besar adalah keluarga bekerja (54%).
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Pasien di Ruang
Konseling Grha Atma
Variabel Jumlah Persentase
Jenis Kelamin
a. Laki-laki 8 38%
b. Perempuan 13 62%
Usia
a.<20 tahun 1 5%
b. 20—40 tahun 11 52%
c. 40—65 tahun 9 43%
Pendidikan
a. Rendah 4 19%
b. Menengah 11 52%
c. Tinggi 6 24%
Status Pekerjaan
a. Bekerja 10 48%
b. Tidak Bekerja 11 52%
Status Pernikahan
a. Menikah 7 33%
b. TidakMenikah 10 48%
c. Janda/Duda 4 19%
Tabel 2. Distribusi Karakteristik Keluarga di Ruang
Konseling Grha Atma
Variabel Jumlah Persentase
Jenis Kelamin
a. Laki-laki 2 17%
b. Perempuan 10 83%
Usia
a.< 20 tahun 0 0%
b.20-40 tahun 5 38%
c.41-65 tahun 8 62%
Pendidikan
a.Rendah 3 23%
b.Menengah 3 23%
c.Tinggi 7 54%
Status Pekerjaan
a.Bekerja 7 54%
b.Tidak Bekerja 6 46%
Status Pernikahan
a.Menikah 9 69%
b.Belum Menikah 3 23%
c.Janda/Duda 1 8%
Hubungan Keluarga
a.Pasangan Hidup 2 15%
b.Saudara 4 31%
c.Orang Tua 7 54%
Faktor predisposisi pasien yang datang ke
Poliklinik Konseling Grha Atma ditampilkan
pada Tabel 3. Faktor predisposisi biologis yang
paling banyak adalah faktor genetik (74%). Pada
faktor psikologis kegagalan dan perpisahan
merupakan faktor predisposisi yang paling banyak
terjadi (24%). Faktor sosial yang paling banyak
menyebabkan gangguan jiwa antara lain adalah
faktor ekonomi dan pendidikan rendah (24%).
Tabel 4 menggambarkan distribusi faktor presi-
pitasi pasien yang datang ke Poliklinik Konseling
Grha Atma. Berdasarkan Tabel 4 diketahui
bahwa faktor presipitasi terbanyak pada pasien
adalahkegagalan (27%), putus obat (23%), dan
kesulitan dalam bekerja (23%). Menurut Stuart
(2009), faktor presipitasi merupakan stimulus
yang terjadi kepada individu, stimulus yang dapat
memproduksi tekanan dan stres, dapat berupa
faktor biologis, psikologis, dan sosiokultural.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 59-66
62
Tabel 3. Distribusi Faktor Predisposisi Pasien di Ruang
Konseling Grha Atma
Variabel Jumlah Persentase
Faktor Biologis
a. Genetik 6 74%
b. NAPZA 1 13%
c. Gangguan Nutrisi 1 13%
Psikologis
a. Kepribadian
tertutup
5 20%
b. Kegagalan 6 24%
c. Perpisahan 6 24%
d. Pola Asuh 1 4%
e. Penilaian
Negatif
1 4%
f. Bukan Anak
Diharapkan
1 4%
g. Kekerasan
Dalam Rumah
Tangga
(KDRT)
2 8%
h. Penolakan 1 4%
i. Ideal diri tinggi 2 8%
Sosial
a. Pendidikan
Rendah
4 27%
b. Ekonomi
Rendah
4 27%
c. Labeling 2 13%
d. Stress di
Pekerjaan
2 13%
e. Kegagalan
Peran Gender
2 13%
f. Putus sekolah 1 7%
Tabel 4. Distribusi Faktor Presipitasi Pasien di Ruang
Konseling Grha Atma
Variabel Jumlah Persentase
a. Putus obat 5 23%
b. Kegagalan 6 27%
c. Konflik 1 4%
d. Malu 1 4%
e. Masalah Pekerjaan 5 23%
f. Sulit Ekonomi 4 18%
Tabel 5 memaparkan distribusi diagnosis medis
dan diagnosis keperawatan. Berdasarkan Tabel
5, diagnosis medis yang paling banyak adalah
skizofrenia (50%). Pada Tabel 6 menjelaskan
distribusi diagnosis keperawatan keluarga. Ber-
dasarkan Tabel 6 diketahui bahwa setelah
dianalisis diketahui bahwa seluruh keluarga
yang mendampingi pasien saat konseling di
Grha Atma mengalami koping keluarga inefektif.
Pada Tabel 7 adalah terapi spesialis kepera-
watan jiwa yang yang dilakukan pada pasien.
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa terapi
spesialis yang paling banyak dilakukan terhadap
individu adalah terapi kognitif (32%). Selain
itu, seluruh keluarga pasien juga mendapatkan
terapi psikoedukasi keluarga.
Tabel 5. Distribusi Diagnosis Diagnosis Medis
dan Diagnosis Keperawatan Pasien di
Ruang Konseling Grha Atma
Variabel Jumlah Persentase
Diagnosis Medis
a. Psikotik Akut 4 18%
b. Depresi 3 14%
c. Skizofrenia 10 50%
d. Gangguan Afektif 1 4 %
e. Gangguan Cemas 3 14%
Diagnosis Keperawatan
Individu
a. Isolasi Sosial 3 14%
b. Perilaku Kekerasan 3 14%
c. Harga Diri Rendah 6 29%
d. Koping Individu
Inefektif
4 19%
e. Regimen Terapeutik
Inefektif
2 9%
f. Waham 1 5%
g. Ketidakberdayaan 1 5%
h. Ansietas 1 5%
Tabel 6. Distribusi Diagnosis Keperawatan Keluarga
di Ruang Konseling Grha Atma
Variabel Jumlah Persentase
Diagnosis Keperawatan Keluarga
a. Koping Keluarga Inefektif 13 100%
Wulan, Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa terhadap Klien dan Keluarga 63
Tabel 8 menampilkan kesinambungan terapi
spesialis keperawatan jiwa terhadap individu.
Berdasarkan Tabel 8 diketahui terapi spesialis
keperawatan jiwa yang tuntas dilakukan hampir
sebanyak yang tidak tuntas dilakukan (47%).
Beberapa terapi yang tidak tuntas disebabkan
oleh 43% pasien tidak melanjutkan sesi terapi
hingga selesai.
Tabel 9 menjelaskan kekontinuitasan terapi
spesialis keperawatan jiwa pada keluarga. Berda-
sarkan Tabel 9 diketahui bahwa terapi spesialis
keperawatan jiwa lebih banyak yang tidak tuntas
(62%). Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa
Tabel 7. Distribusi Diagnosis Keperawatan Keluarga
di Ruang Konseling Grha Atma
Variabel Jumlah Persentase
Terapi Individu
a. Terapi Kognitif 9 32%
b. Terapi Keterampilan Sosial 7 25%
c. Terapi Penghentian Pikiran 3 11%
d. Asertif Terapi 6 21%
e. Logoterapi 3 11%
Terapi Keluarga
a. Terapi Psikoedukasi
Keluarga
13 100%
Tabel 8. Distribusi Keberlangsungan Pelaksanaan
Terapi Spesialis Individu di Ruang Konseling
Grha Atma
Variabel Jumlah Persentase
Terapi Individu
a.Tuntas 12 47%
b.Tidak Tuntas 9 43%
Tabel 9. Distribusi Keberlangsungan Pelaksanaan
Terapi Spesialis Keluarga di Ruang
Konseling Grha Atma
Variabel Jumlah Persentase
Terapi Keluarga
a.Tuntas 5 38%
b.Tidak Tuntas 8 62%
Tabel 10. Distribusi Kendala Pelaksanaan Terapi
Spesialis Individu dan Keluarga di
Ruang Konseling Grha Atma
Variabel Jumlah Persentase
Terapi Individu
a.Masalah Ekonomi 2 22%
b.Jarak tempat tinggal 1 11%
c.Waktu Tunggu 4 45%
d.Kesibukan 2 22%
Terapi Keluarga
a.Masalah Ekonomi 1 12,5%
b.Jarak tempat tinggal 1 12,5%
c.Waktu Tunggu 4 50%
d.Kesibukan 2 25%
distribusi kendala pelaksanaan terapi spesialis
individu dan keluarga di ruang konseling Grha
Atma yang paling banyak pada terapi individu
dan keluarga adalah waktu tunggu.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa
usia pasien bervariasi. Stuart (2009) menyatakan
bahwa usia yang bervariasi berhubungan dengan
stresor kehidupan, sumber dukungan, dan ke-
mampuan koping. Status pernikahan pasien
yang terbanyak adalah tidak menikah (48%).
Menurut Stuart dan Laraia (2005), ketidakmam-
puan mencintai merupakan salah satu penyebab
gangguan jiwa. Berdasarkan pendapat ini dapat
dikatakan pasien merasa frustasi dengan kondisi-
nya yang sendiri dan merasa iri jika melihat
orang berpacaran dan menikah, pasien merasa
malu dan marah kepada diri sendiri, orang lain,
dan lingkungan.
Keluarga yang merawat pasien sebagian besar
adalah perempuan. Friedman (2010) menyatakan
bahwa peran penting perempuan di sebagian
besar keluarga, yaitu sebagai pemimpin kesehatan
dan pemberi asuhan. Menjadi caregiver bagi
penderita gangguan jiwa tentulah tidak mudah.
Menurut Mueser dan Gingerich (2006) diketahui
bahwa skizofrenia berdampak terhadap kehidupan
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 59-66
64
dan hubungan relasional pada orang-orang yang
memiliki hubungan peran dengannya.
Dampak skizofrenia terhadap orang tua adalah
terganggunya rutinitas sehari-hari, mengabaikan
kebutuhan diri sendiri, perubahan hubungan
antara orang tua dengan anak yang merupakan
penderita skizofrenia, perubahan hubungan antara
orang tua dengan anak lainnya, dan orang tua
dengan pasangan hidupnya setelah anak menderita
skizofrenia, isolasi diri terhadap dunia luar kerap
dilakukan oleh orang tua karena orang tua
merasa kesulitan untuk berbagi pengalaman
akibat banyaknya stereotip negatif (Mueser
dan Gingerich, 2006).
Suatu keluarga memiliki fungsi ekonomi yang
melibatkan penyediaan keluarga terhadap sumber
daya yang cukup secara finansial, ruang, materi,
serta alokasinya berdasarkan pengambilan
keputusan (Friedman, 2010). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor predisposisi biologis
yang paling banyak adalah faktor genetik seperti
faktor psikologis kegagalan dan perpisahan;
faktor sosial yang paling banyak menyebabkan
gangguan jiwa seperti faktor ekonomi dan
pendidikan rendah. Menurut penelitian mengenai
Proyek Genom Manusia diketahui bahwa kom-
pleksitas emosi dan perilaku manusia dibangun
oleh varietas genetik, interretasi dari manusia
lainnya, faktor lingkungan, kepribadian, dan
pengalaman hidup (Stuart, 2009).
Menurut hasil pengkajian dan analisis penulis,
putus obat merupakan respons yang terjadi akibat
kejenuhan pasien dalam pengobatan. Efek se-
kunder obat gangguan jiwa memberikan efek
sekunder, misalnya kekakuan yang membuat
pasien enggan menggunakan pengobatan secara
kontinyu. Stuart (2009) menyatakan bahwa ekstra
piramidal syndrome (EPS) terjadi sebagai efek
samping pemberian psikofarmaka golongan
tipikal. Gejala EPS mirip dengan penyakit
Parkinson yang ditandai dengan, tremor pada
kedua tangan, kekakuan alat gerak, jika berjalan
seperti robot, otot leher kaku sehingga kepala
seolah-olah terpelintir.
Faktor presipitasi psikologis terhadap pasien
didapatkan bahwa pasien memiliki riwayat
psikologis yang berkaitan dengan kegagalan
sebagai pengalaman yang kurang menyenangkan,
yaitu seperti kegagalan dalam membina hubungan
dengan lawan jenis, kegagalan dalam pendidikan,
kegagalan dalam dan kehilangan orang yang
berarti. Menurut Stuart dan Laraia (2005), faktor
psikologis tersebut meliputi konsep diri, intelek-
tualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa
lalu, koping, dan keterampilan komunikasi secara
verbal memengaruhi perilaku seseorang dalam
hubungannya dengan orang lain.
Diagnosis medis terbanyak terhadap pasien
terbanyak adalah skizofrenia. Hal ini sesuai
dengan data Departemen Kesehatan (Depkes)
tahun 2013 yang menyatakan bahwa skizofrenia
menempati 70% gangguan jiwa terbesar di
Indonesia. Diagnosis keperawatan yang paling
banyak ditemukan adalah harga diri rendah
(29%). Banyaknya diagnosis keperawatan harga
diri rendah terkait dengan rasa malu pasien
karena mengalami gejala-gejala gangguan jiwa
berat maupun gangguan jiwa ringan dan adanya
stigma negatif di masyarakat mengenai pasien
gangguan jiwa.
Seluruh keluarga pasien mengalami koping
keluarga inefektif. Friedman (2010) menyatakan
bahwa gangguan jiwa kronik merupakan salah
satu masalah kesehatan yang dapat menjadi
stresor dalam keluarga. Lebow (2005) menyatakan
gangguan jiwa mengakibatkan perubahan struktur
keluarga, perubahan fungsi normal keluarga dan
juga perubahan pola interaksi dalam keluarga.
Beban dalam keluarga meningkat disertai kete-
gangan akibat perilaku yang tidak terduga dari
penderita gangguan jiwa, perasaan bermusuhan
yang berkelanjutan berhubungan dengan rasa
curiga, dan kebutuhan penderita untuk mengawasi
orang lain secara berlebihan. Berbagai gejala
yang terjadi terhadap pasien gangguan jiwa
menyebabkan individu dan keluarga tidak dapat
hidup normal seperti sebelumnya. Beberapa
dampak tersebut dirasakan oleh keluarga antara
lain orang tua, adik atau kakak kandung, pasangan
hidup, dan anak-anak penderita gangguan jiwa.
Wulan, Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa terhadap Klien dan Keluarga 65
Terapi spesialis keperawatan jiwa yang banyak
diberikan adalah terapi kognitif. Hal ini sesuai
dengan diagnosis keperawatan terbanyak, yaitu
harga diri rendah. Beberapa studi menjelaskan
efektifitas terapi kognitif dalam mengatasi kondisi
depresi dan ansietas serta harga diri rendah.
Townsend (2009) menjelaskan bahwa terapi
kognitif juga dapat membantu individu mengatasi
respons ansietas akibat yang ditimbulkan oleh
distorsi pikiran negatif sehingga meningkatkan
kemampuan positif pasien. Rupke, Blecke, dan
Renfrow (2006).
Terapi keluarga yang paling banyak dilakukan
adalah terapi psikoedukasi keluarga. Varcarolis
(2006) menyatakan bahwa psikoedukasi keluarga
bertujuan untuk berbagi informasi tentang
perawatan kesehatan jiwa. Campbell (2000)
menyatakan bahwa program psikoedukasi dapat
sangat bermanfaat untuk mengajari keluarga
yang berfokus pada penyakit dan koping keluarga,
hal ini disebabkan psikoedukasi keluarga tidak
hanya berusaha untuk mengenali kebutuhan
keluarga dan memperoleh pengetahuan kesehatan
yang dibutuhkan untuk perawatan, tetapi juga
untuk aspek psikososial dan mengurangi kece-
masan yang dirasakan oleh keluarga (Friedman,
2010).
Berbagai kendala dikeluhkan baik oleh pasien
maupun keluarga. Sebagian besar pasien dan
keluarga mengeluhkan waktu tunggu terapi yang
lama. Satu kali terapi rata-rata memerlukan waktu
30—60 menit. Kendala ini diakibatkan oleh
terbatasnya jumlah perawat spesialis keperawatan
jiwa dan Poliklinik Konseling yang dikelola
oleh perawat spesialis keperawatan jiwa tidak
membuka pelayanan setiap hari, hanya buka
satu hari dalam seminggu. Selain itu, belum
ada konsultasi berbasis media telekomunikasi
maupun internet yang dapat digunakan sebagai
alternatif konsultasi pasien dan terapis.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, karakteristik pasien
dan keluarga adalah bervariasi sehingga masing-
masing memerlukan penanganan yang berbeda
sesuai dengan diagnosis keperawatan. Beberapa
terapi dapat dilakukan dengan tuntas, hal tersebut
memberikan manfaat bagi pasien dan keluarga
selama perawatan di rumah. Dengan demikian,
hal tersebut harus dalam pemantauan supaya
hal yang telah diajarkan oleh perawat spesialis
keperawatan jiwa dapat dilakukan secara kon-
sisten.
Penulis menyarankan kepada peneliti selanjutnya
untuk melakukan penelitian tentang keefektifan
setiap terapi spesialis. Selain itu, bagi sivitas
akademik Fakultas Ilmu Keperawatan disarankan
untuk menetapkan sertifikasi bagi perawat yang
boleh melakukan terapi spesialis keperawatan
jiwa dan melatih mahasiswa spesialis keperawatan
jiwa terhadap berbagai kasus di lapangan. Untuk
Rumah Sakit Jiwa di Provinsi Jawa Barat disaran-
kan untuk mengembangkan Poli Konseling secara
optimal dengan cara menambah perawat spesialis
keperawatan jiwa melalui pendidikan, menem-
patkan perawat spesialis keperawatan jiwa setiap
hari kerja, dan juga menentukan tarif karena
selama ini tidak diberlakukan tarif untuk layanan
konseling. Pemanfaatan media telekomunikasi
dan internet juga dapat dimanfaatkan untuk
pelaksanaan terapi (DN, MK)
Referensi
Friedman, M.M. (2010). Buku ajar keperawatan ke-
luarga: riset, teori dan praktik. Jakarta: EGC.
Lebow, J.L. (2005). Handbook of clinical family
therapy, United States of America: Wiley.
Maramis, W.F. (2006). Catatan ilmu kedokteran
jiwa. Surabaya. Airlangga University Press.
Mueser, K.T., & Gingerich, S. (2006). The complete
family guide of schizophrenia. New ????
Rupke, S.J., Blecke, D., & Renfrow, M. (2006).
Cognitive therapy for depression.29 Februari
2012
Stuart, G.W. (2009). Principles and practice of
psychiatric nursing (9th Ed.). St.Louis: Mosby.
Stuart, G.W & Laraia, M.T. (2005). Principles and
practice of psychiatric nursing (8 Ed.).
St.Louis: Mosby
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 1, Maret 2015, hal 59-66
66
Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health
nursing: concepts of care in evidance-based
practice. Philadelphia: F.A Davis Company.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Varcarolis, E.M. (2006). Psychiatric nursing clinical
guide; assesment tools and diagnosis.
Philadelphia: W.B Saunders Co
Videbeck, S.L. (2008). Buku ajar keperawatan
jiwa. Jakarta. EGC.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 67-71
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
EFEK DUKUNGAN EMOSIONAL KELUARGA PADA HARGA DIRI
REMAJA: PILOT STUDY
Mara Imbang S. Hasiolan1*, Sutejo2
1. PSIK FKIK, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta55183, Indonesia
2. Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Yogyakarta 55183, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Dukungan emosional keluarga berupa perhatian, kepercayaan, empati dan kepedulian pada remaja, bisa membuat
remaja merasa diperhatikan, dicintai, nyaman, dan dihargai. Dampaknya terhadap pembentukan harga diri remaja yaitu
pendirian yang kuat, sikap optimis, dan percaya diri. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi efek dukungan emosional
keluarga pada harga diri remaja. Desain penelitian korelasi dengan potong lintang. Sampel penelitian 31 responden,
dengan analisis uji Spearman Rank. Hasil penelitian menunjukkan terdapat efek dukungan emosional keluarga pada
harga diri remaja (p= 0,002). Rekomendasi penelitian ini diharapkan remaja tetap mempertahankan hubungan dengan
keluarga dan kualitas harga diri.
Kata kunci: dukungan emosional, harga diri, keluarga, remaja
Abstract
The Effect of Family Emotional Support on Teenager’s Self-Esteem. Family emotional support in the form of attention, trust,
empathy, and concern in adolescents, can make teenagers feel cared for, loved, comfortable and appreciated. The
impact on the formation of adolescent self-esteem that is the establishment of a strong, optimistic attitude, and
confidence. The aim of research to identify the effects of emotional support for the family on adolescent self-esteem.
Design correlation with cross sectional study. The research sample 31 respondents, with analysis of Spearman Rank
test. The results showed there were effects on the family emotional support adolescent self-esteem (p= 0,002). Recommendations
of this study are expected to adolescents retaining relationships with family and the quality of self-esteem.
Keywords: emotional support, family, self-esteem, teenager
Pendahuluan
Masa remaja adalah periode perkembangan dari
masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasanya
antara usia 13 sampai 21 tahun (Potter & Perry,
2005), yang memiliki kematangan mental, emo-
sional, sosial, dan fisik (Hurlock, 2004). Menurut
Wong (2009), remaja merupakan suatu periode
transisi dari anak-anak menjadi dewasa dan pada
masa ini terjadi perubahan psikososial, kognitif,
moral, spiritual, dan sosial. Kesimpulannya remaja
merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa
yang mengalami perubahan fisik dan psikososial.
Perubahan fisik dan psikososial memengaruhi
cara pandang remaja terhadap dirinya yang dikenal
dengan konsep diri. Konsep diri didefinisikan
sebagai suatu pikiran, keyakinan, dan kepercayaan
yang memengaruhi individu dalam menilai dirinya
dan memengaruhi hubungan dengan orang lain
(Stuart, 2013). Konsep diri terdiri dari 5 komponen
yang salah satunya adalah harga diri. Harga diri
(self-esteem) adalah penilaian seseorang terhadap
diri sendiri, berdasarkan kesesuaian tingkah laku
seseorang terhadap ideal dirinya adalah (Suliswati,
2005; Stuart, 2013). Remaja yang memiliki harga
diri tinggi apabila mampu menghargai dirinya
dan dihargai orang lain, sehingga individu dapat
meningkatkan rasa dihormati, diterima, dan di-
cintai (Potter & Perry, 2005).
Harga diri yang tinggi memiliki banyak manfaat
bagi seseorang. Manfaat harga diri yang tinggi,
yaitu membentuk pendirian yang kuat, mem-
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 67-71 68
bangkitkan kemauan untuk menerima tanggung
jawab, membentuk sikap optimis, meningkatkan
hubungan dan hidup lebih berarti, membuat
seseorang lebih peka terhadap kebutuhan orang
lain dan mengembangkan sikap saling mengasihi,
memotivasi diri dan berambisi, membuat sese-
orang bersikap terbuka terhadap peluang dan
tantangan baru, memperbaiki kinerja dan mening-
katkan kemampuan mengambil risiko, membantu
seseorang dalam memberi dan menerima kritik,
dan penghargaan dengan bijaksana (Khera, 2002).
Keberhasilan peningkatan harga diri remaja tidak
terlepas dari dukungan sosial keluarga. Dukungan
sosial keluarga adalah sikap, tindakan, dan
penerimaan keluarga terhadap individu (Friedman,
2010) melalui keterikatan aturan, emosional
individu dari masing-masing peran anggota di
dalam keluarga yaitu orang tua, anak, dan saudara
kandung (Potter & Perry, 2005). Keterikatan
aturan dan interaksi antar anggota dapat meme-
ngaruhi emosional dari masing-masing anggota
keluarga, sehingga untuk mempertahankan kondisi
tersebut, masing-masing keluarga saling membe-
rikan dukungan emosional.
Dukungan emosional merupakan dukungan untuk
memberikan perasaan nyaman, perasaan dicintai
dalam bentuk semangat, dan empati yang dipe-
roleh melalui interaksi remaja dengan dengan
orang lain dalam lingkungan sosialnya, dan bisa
berasal dari siapa saja, keluarga, dan teman
(Friedman, 2010; Sarafino, 2006). Dukungan
emosional keluarga yang berupa penerimaan,
perhatian, dan rasa percaya akan meningkatkan
kebahagian dalam diri remaja (Hurlock, 2004),
sehingga remaja termotivasi untuk terus berusaha
mencapai tujuannya. Hal ini berdampak pada
rasa percaya diri dalam menyelesaikan tugas
yang dihadapinya.
Metode
Desain penelitian korelasi dengan potong lintang.
Populasi penelitian adalah remaja sebanyak 31
orang. Sampel penelitian menggunakan teknik
total sampling, dengan kriteria inklusi: 1) remaja
yang berusia 10–21 tahun dan tinggal di panti
sosial, 2) bersedia menjadi responden, 3) sehat
mental dan fisik, 4) remaja yang memiliki
keluarga. Sedangkan kriteria eksklusi: tidak hadir
pada saat pengisian kuesioner. Tempat penelitian
di sebuah panti di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Instrumen harga diri yang digunakan diadopsi
dari Jati (2011 dalam Arphan, 2012) yang
berjumlah 28 pernyataan. Instrumen dukungan
emosional keluarga dibuat oleh peneliti sendiri
berjumlah 20 pernyataan. Kedua instrumen
dilakukan uji validitas berupa content validity
index (CVI) oleh 3 (tiga) orang pakar yaitu dua
pakar bidang Keperawatan Jiwa dan satu pakar
bidang Keperawatan Komunitas.
Hasil content validity index dikatakan valid jika
skor CVI 0,80 (Polit dan Beck, 2008). Hasil hitung
content validity index instrument: 1) harga diri
menunjukkan 0,83–0,91 dengan rerata 0,84;
dan 2) dukungan emosional keluarga 0,83–0,91
dengan rerata 0,85. Kesimpulannya bahwa
hasil kedua instrumen menunjukkan valid, dengan
nilai melebihi dari skor CVI standar.
Analisis data penelitian ini terdiri dari analisis
univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat
adalah 1) data numerik dengan tampilan data
tendensi sentral, dan 2) data kategorik dengan
tampilan data frekuensi dan persen. Sedangkan
analisis bivariat dengan menggunakan analisis
uji Spearman Rank.
Hasil
Hasil penelitian yang ditampilkan meliputi;
1) karakteristik responden, 2) dukungan emo-
sional keluarga, 3) harga diri remaja, dan 4) efek
dukungan emosional keluarga pada harga diri
remaja.
Karakteristik Responden. Karakteristik res-
ponden yang diteliti meliputi: usia, pendidikan,
dan status perkawinan. Hasil penelitian dari 31
responden sebanyak: 1) 48,4% usia 15–17 tahun,
2) 61,3% pendidikan SMP, dan 3) 100% belum
menikah.
Dukungan Emosional Keluarga. Dukungan
emosional keluarga adalah dukungan yang dite-
Hasiolan, et al., Efek Dukungan Emosional Keluarga pada Harga Diri Remaja
69
rima oleh remaja dari keluarga mereka berupa rasa
empati, kepercayaan, kepedulian, dan perhatian.
Berdasarkan Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa
sebagian dari responden menerima dukungan
emosional keluarga dengan kategori baik se-
banyak 18 orang (58,1%) dan kategori cukup
sebanyak 13 orang (41,9%).
Harga diri remaja. Harga diri remaja yaitu
hasil penilaian dan evaluasi diri yang dilakukan
remaja panti sosial terhadap dirinya sendiri
berdasarkan kekuatan individu, keberartian dalam
lingkungan, kemampuan yang dimiliki, kebajikan
terhadap nilai dan moral, dan konsisten dalam
menentukan batas.
Berdasarkan Tabel 2 di atas didapatkan sebagian
dari responden harga diri dikategori sedang
sebanyak 19 orang (61,3%) dan kategori tinggi
sebanyak 12 orang (38,7%).
Efek Dukungan Emosional Keluarga pada
Harga Diri Remaja. Hasil penelitian berdasarkan
Tabel 3 tentang efek dukungan emosional keluarga
pada harga diri remaja menunjukkan 18 orang
(58%) memiliki dukungan emosional keluarga
baik dengan tingkatan harga diri sedang sebanyak
7 orang (22,6%) dan harga diri tinggi sebanyak
11 orang (35,4%). Diketahui bahwa 19 orang
(61,4%) memiliki tingkatan harga diri sedang
dengan mendapat dukungan emosional keluarga
dengan kategori baik sebanyak 7 orang (22,6%)
dan dukungan emosional keluarga cukup seba-
nyak 12 orang (38,8%).
Tabel 1. Dukungan Emosional Keluarga
Variabel Frekuensi Persen
Dukungan emosional keluarga
Baik
18
58,1
Cukup 13 41,9
Tabel 2. Harga Diri Remaja
Variabel Frekuensi Persen
Harga diri remaja
Sedang
19
61,3
Tinggi 12 38,7
Tabel 3. Efek Dukungan Emosional Keluarga pada
Harga Diri Remaja
Hasil analisis didapatkan ada efek dukungan
emosional keluarga pada harga diri remaja dengan
nilai p= 0,002 (p< 0,05), sehingga disimpulkan
bahwa dukungan emosional keluarga memberikan
efek pada harga diri remaja.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan ada efek dukungan
emosional keluarga pada harga diri remaja,
artinya dukungan emosional keluarga memberikan
efek pada harga diri remaja. Hal ini menunjukkan
bahwa dukungan emosional merupakan dukungan
untuk memberikan perasaan nyaman, perasaan
dicintai dalam bentuk semangat dan empati yang
diperoleh melalui interaksi remaja dengan dengan
orang lain dalam lingkungan sosialnya, dan bisa
berasal dari siapa saja, keluarga, dan teman
(Friedman, 2010; Sarafino, 2006). Dukungan
emosional keluarga yang berupa penerimaan,
perhatian, dan rasa percaya akan meningkatkan
kebahagiaan dalam diri remaja (Hurlock, 2004),
sehingga remaja termotivasi untuk terus berusaha
mencapai tujuannya.
Sejalan dengan penelitian Nurmalasari (2007),
bahwa rasa aman, cinta, dan kasih sayang yang
tulus mampu membuat individu yang sakit jadi
merasa nyaman, tenang berada dilingkungannya,
tidak merasa takut, malu, dan rendah diri bila
berhadapan dengan orang-orang atau remaja-
remaja lainnya, dan individu akan merasa
meningkat harga dirinya.
Hal lainnya apabila ada pengakuan atau peng-
hargaan terhadap kemampuan dan kualitas klien,
akan membuat klien merasa dirinya diterima dan
Dukungan
Emosional
Keluarga
Harga Diri
Remaja Total p
Sedang Tinggi
Baik 7
(22,6%)
11
(35,4%)
18 (58%) 0,002
Cukup 12
(38,8%)
1
(3,2%)
13 (42%)
Total 19
(61,4%)
12
(38,6%)
31 (100%)
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 67-71 70
dihargai. Contoh dari dukungan ini misalnya
memberikan pujian kepada klien karena telah
melakukan sesuatu dengan baik. Dimana pengaruh
dukungan sosial yang tinggi terhadap individu
akan memiliki pengalaman hidup yang lebih baik,
harga diri yang lebih tinggi, serta memiliki
pandangan yang lebih positif terhadap kehidupan
(Nurmalasari, 2007).
Harga diri tinggi apabila remaja memiliki
dukungan yang baik, seperti pengaruh adanya
perasaan nyaman yang dirasakan individu saat
berada di lingkungan dan diperhatikan orang lain.
Keluarga merupakan tempat remaja bercerita
dan untuk mendapat nasihat ataupun saran serta
tempat untuk mengeluarkan keluhan-keluhan
ketika remaja mengalami suatu permasalahan.
Remaja cenderung menganggap bahwa keluarga
merupakan tempat yang paling nyaman untuk
berbagi dalam menghadapi suatu masalah, berbagi
kebahagiaan, dan tempat tumbuhnya harapan-
harapan baru yang lebih baik.
Keluarga merupakan keterikatan aturan, emosional
individu dari masing-masing peran anggota di
dalam keluarga yaitu orang tua, anak, dan saudara
kandung (Potter dan Perry, 2005). Keterikatan
aturan dan interaksi antar anggota dapat meme-
ngaruhi emosional dari masing-masing anggota
keluarga dalam memberikan dukungan.
Dukungan yang diterima remaja berupa perhatian,
penghargaan, empati, dan kepedulian yang diteri-
ma membuat remaja merasa nyaman, diperhatikan,
dicintai, dan meningkatkan harga diri klien.
Hal ini karena keluarga dapat mendengarkan
keluhan remaja dan keluarga ikut terlibat dalam
permasalahan remaja.
Penelitian ini memberikan dampak bahwa ke-
terikatan emosional remaja dengan anggota
keluarga yang lain memberikan rasa percaya
dan harga diri karena remaja merasa didengarkan
dan diberikan perhatian dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapinya. Sehingga me-
munculkan komitmen dan keterikatan keluarga
dalam menyelesaikan masalah. Keluarga juga
bisa menjadi koping bagi remaja yang mengalami
masalah karena dapat menyelesaikan masalah para
remaja. Implikasi pada penelitian lanjutnya perlu
juga melihat pada keberhasilan dan pengalaman
masa lalu remaja serta pola asuh remaja sehingga
remaja bisa menyelesaikan masalah dan mening-
katnya mekanisme koping remaja.
Kesimpulan
Penelitian ini memberikan hasil bahwa dukungan
emosional keluarga pada remaja adalah baik.
Harga diri remaja panti sosial adalah harga diri
sedang. Penelitian ini memberikan hasil ada efek
dukungan emosional keluarga pada harga diri
remaja.
Penelitian ini juga memberikan dampak pada
remaja untuk menggunakan keluarga dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Keluarga
dipersiapkan untuk bisa menjadi pendamping
bagi remaja sehingga dapat meningkatkan harga
diri remaja. Hal lain adalah perlunya penelitian
lanjut untuk membahas tentang prestasi dan
pengalaman masa lalu remaja dan keluarga perlu
diperhatikan pola asuh, sehingga penelitian
menjadi komprehensif (MK, INR)
Referensi
Friedman, M.M., Bowden, V.R., & Jones, E.G.
(2010). Keperawatan keluarga: Riset, teori
dan praktik (Ed. ke 3). Alih Bahasa: Achir
Yani S. Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan
tahun 2003)
Hurlock, E.B. (2004). Psikologi perkembangan
suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan
(Ed. ke 5). Yogyakarta: Erlangga.
Khera. (2002). Kiat jitu menjadi pemenang: You
can win. Jakarta: PT Prenhallindo & Pearson
Education Asia Pte Ltd.
Nurmalasari, Y. (2007). Hubungan antara
dukungan sosial dengan harga diri pada
remaja penderita penyakit lupus. Diperoleh
dari
http://library/articles/graduate/psychology/200
7/Artikel_10502263.pdf.
Hasiolan, et al., Efek Dukungan Emosional Keluarga pada Harga Diri Remaja
71
Polit, D.F., & Beck, C.T. (2008). Nursing
research: Generating and assessing evidence for
nursing practice. Philadelphia: Lippincott.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku ajar
fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan
praktik (Ed. ke 4, Volume 2). Ahli Bahasa:
Renata Komalasari... (et al). Jakarta: EGC.
Buku asli diterbitkan tahun 2003
Sarafino, E.P. (2006). Health psychology:
Biopsychosocial interactions (5th ed.). New
York: John Wiley & Sons.
Stuart, G.W. (2007). Buku saku keperawatan jiwa
(Ed. ke 5). Ahli Bahasa: Ramona P. Kapoh,
Egi. Komara Yudha. Jakarta. EGC. Buku asli
diterbitkan tahun 1995
Stuart, G.W. (2013). Principles and practice of
psychiatric nursing (9th Ed.). St. Louis: Mosby.
Suliswati., dkk. (2005). Konsep dasar keperawatan
jiwa (Ed. ke I). Jakarta: EGC.
Wong, D.L. (2009). Buku ajar keperawatan pediatric
(Ed. ke 6, Volume 1). Ahli bahasa: Agus
Sutarna, Neti Juniarti, H.Y. Kuncara. Jakarta:
EGC. Buku asli diterbitkan tahun 2008
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 72-80
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
IKLIM KERJA BERKONTRIBUSI TERHADAP
KEPUASAN KERJA PERAWAT
Yayah1*, Rr. Tutik Sri Hariyati2
1. Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Kepuasan kerja perawat merupakan faktor yang dapat memengaruhi motivasi dalam bekerja, kepuasan sering
dipengaruhi faktor lingkungan kerja, demikian juga kepuasan kerja di lingkungan rumah sakit militer yang memiliki
hubungan dengan iklim militer yang dibentuk di lingkungan bekerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan iklim kerja dengan kepuasan kerja perawat di rumah sakit militer. Desain penelitian yang digunakan yaitu
deskriptif korelasi dengan pendekatan potong lintang dan menggunakan sampel 110 perawat yang dipilih melalui teknik
purposive sampling. Instrumen yang digunakan adalah Minnesota Satisfaction Quesioner (MSQ) dan The Gallup
Questionnaire dan dianalisis menggunakan uji chi-square. Hasil riset menyampaikan terdapat hubungan yang bermakna
antara iklim kerja dengan kepuasan kerja perawat di RS Militer (p< 0,001, α= 0,05, OR= 13,132). Hal ini menunjukkan
bahwa perawat yang mempunyai persepsi tentang iklim kerja baik berpeluang 13,132 kali untuk merasa puas dalam
pekerjaannya, dibandingkan dengan perawat yang memiliki persepsi iklim kerja tidak baik. Hasil tersebut dapat menjadi
dasar untuk manajemen keperawatan dan manajemen rumah sakit dalam meningkatkan iklim kerja yang dapat
memengaruhi kepuasan kerja perawat.
Kata kunci: iklim kerja, kepuasan kerja, perawat
Abstract
Working Environment Contributes to The Nurse Satisfaction. Nurses’ work satisfaction is one of factors that can
contribute to working motivation. Work satisfaction often affected by working environment. The purpose of this
research is to identify correlation between working environment and nurse working satisfaction. This descriptive
correlational study used cross sectional approach and recruited 110 nurses as their respondent. Respondents were
selected using purposive convenience sampling as non-probability sampling approach. Data were collected using
Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ) and The Gallup Questionnaire. Data were analyzed using chi-square and
shows there was significant correlation between working environment and nurse working satisfaction (p< 0,001, α=
0,05, OR= 13,132). A good working environment has possibility 13,132 times in having nurses’ work satisfaction than
those nurses who perceived unsatisfied with their job. This result can be used as basic information in improving nursing
management especially in improving working environment, which indirectly influenced to nurses’ work satisfaction.
Keywords: hospital, military, satisfaction, working environment
Pendahuluan
Perawat sebagai sumber daya manusia dengan
jumlah terbanyak dan selalu berhubungan dengan
pasien selama 24 jam sehingga dituntut untuk
dapat memberikan pelayanan yang profesional.
Perawat yang memiliki kepuasan kerja tinggi
akan mempunyai motivasi yang baik, dan sebalik-
nya perawat yang mempunyai motivasi akan
meningkatkan kepuasan staf (Sahar, Ahmed,
Lamiaa, Elsayed, Nahed, & El-Nagger, 2013).
Faktor yang dapat memengaruhi kepuasan kerja
diantaranya budaya rumah sakit, kualitas
manajemen, gaya kepemimpinan, efektivitas
komunikasi, desain pekerjaan, gaji, tunjangan,
tuntutan teknis pekerjaan, emosional, tuntutan
situasi pasien yang unik, dan faktor lingkungan
Yayah, et al., Iklim Kerja Berkontribusi terhadap Kepuasan Kerja Perawat 73
(Wood, 2008). Hal ini berbeda dengan riset dari
(Schiestel, 2007), yang menyampaikan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin, tipe bekerja dan keanggotaan profesi
dengan kepuasan.
Rumah sakit militer mempunyai sistem yang
dipengaruhi manajemen militer dan menuntut
disiplin tinggi dari personilnya. Perawat yang
bertugas merupakan PNS dan sebagai Komponen
Cadangan Ketahanan Negara, sehingga perawat
sering terlibat dalam kegiatan latihan militer
disamping tugasnya sebagai perawat di rumah
sakit. Lingkungan militer disamping mendidik
kedisiplinan juga kadang membuat tekanan dalam
bekerja yang memengaruhi kepuasan perawat.
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan
antara iklim kerja (harapan, alat dan fasilitas
kerja, penghargaan, rancangan pekerjaan, rekan
kerja, dan program pengembangan karir) di rumah
sakit militer dengan kepuasan kerja perawat.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
korelasional dengan pendekatan potong lintang.
Responden dalam penelitian ini adalah 110
perawat yang bekerja di rumah sakit. Kriteria dari
responden adalah perawat pelaksana; telah bekerja
minimal 2 tahun di rumah sakit tersebut, tidak
dalam kondisi sakit dan tidak sedang cuti lebih
dari 1 bulan, serta bersedia menjadi responden.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggu-
nakan teknik purposive sampling dan dengan
menggunakan teknik convenience sampling, dan
analiasis menggunakan distribusi frekuensi dan
Chi Square.
Instrumen dalam penelitian ini menggunakan
kuesioner. Data demografi perawat diperoleh
dengan menggunakan kuesioner A. Kuesioner
B dari The Gallup Questionnaire untuk mengukur
iklim kerja. Kuesioner C dari Minnesota Satis-
faction Questionnaire (MSQ) untuk mengukur
kepuasan kerja (Weiss, Dawis, England & Lofquist,
1976). MSQ yang digunakan adalah model short
form MSQ dengan 20 pertanyaan. MSQ dibagi
dalam dua faktor yaitu faktor intrinsik dari
pekerjaan atau pekerjaan itu sendiri dan faktor
ekstrinsik atau aspek-aspek kontekstual dari
pekerjaan itu sendiri. The Gallup Questionnaire
memiliki nilai crombach alpha 0,90 untuk
memprediksi iklim kerja terhadap kepuasan kerja
(Meeusen, Van Dam, Brown-Mahoney, Van Zundet
& Knape, 2011) sedangkan MSQ memiliki
koefisien alpha yang sangat baik (mulai 0,85–
0,91) dan stabil dari waktu ke waktu (Martins
& Proenca, 2012).
Hasil
Hasil analisis karakteristik perawat (umur, jenis
kelamin, masa kerja dan unit kerja) tertera pada
Tabel 1. Pada Tabel 2 menunjukkan analisis iklim
kerja dan kepuasan kerja perawat.
Tabel 1 menunjukan hasil analisis karakteristik
perawat, dari 110 perawat di rumah sakit ini
(90,0%) berusia antara 26–35 tahun, jenis kelamin
perempuan (90,9%), pendidikan 100% DIII
keperawatan, dan masa kerja 2–5 tahun (59,1%).
Perawat yang bertugas di unit rawat inap sebanyak
75,5%.
Tabel 1. Karakteristik Perawat
Karakteristik Frekuensi Presentase (%)
Umur:
≤ 25 th
26–35 th
≥36–40 th
7
99
4
6,4
90,0
3,6 Total 110 100
Jenis kelamin:
Laki-laki
Perempuan
10
100
9,1
90,9
Total 110 100
Pendidikan:
DIII
S1
110
0
100
0,0
Total 110 100
Lama kerja:
2–5 th
>5 th
65
45
59,1
40,9
Total 110 100
Unit kerja:
Ranap
Rajal
83
27
75,5
24,5
Total 110 100
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 72-80 74
Tabel 2. Kepuasan Kerja Perawat dan Persepsi
Perawat tentang Iklim Kerja
Variabel Frekuensi Presentase (%)
Kepuasan Kerja
Tidak puas
Puas
55
55
50
50
Total 110 100
Iklim Kerja
Tidak baik
Baik
46
64
41.8
58.2
Total 110 100
Tabel 2 menunjukkan 50% perawat merasa puas
dan sebagian lagi merasa tidak puas dengan
pekerjaannya sebagai perawat di rumah sakit. Tabel
ini juga menunjukkan 58,2% perawat memiliki
persepsi iklim kerja baik.
Hasil analisis hubungan iklim kerja dengan
kepuasan kerja perawat ditampilkan pada Tabel 3.
Hasil analisis hubungan karakteristik perawat
dengan kepuasan kerja ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 3 menunjukan hasil analisis hubungan iklim
kerja dengan kepuasan kerja perawat. Nilai p<
0,001 (α= 0,05; OR= 13,132; CI 5,115–33,715).
Hal ini berarti terdapat hubungan yang ber-
makna antara persepsi tentang iklim kerja
dengan kepuasan kerja perawat. Nilai OR=
13,132, menunjukkan bahwa persepsi tentang
iklim kerja tidak baik berpeluang 13,132 kali
untuk merasa tidak puas dalam pekerjaannya,
dibandingkan dengan perawat yang memiliki
persepsi iklim kerja baik.
Tabel 4 menunjukan hasil analisis hubungan
karakteristik perawat dengan kepuasan kerja
perawat. Hasil analisis tersebut adalah tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara karakteristik
perawat (umur, jenis kelamin, masa kerja dan
unit kerja) dengan kepuasan kerja perawat (p=
0,05; α= 0,05).
Pembahasan
Penelitian ini menjelaskan terdapat hubungan yang
bermakna antara iklim kerja dengan kepuasan
kerja perawat. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa perawat yang memiliki persepsi baik
tentang iklim kerja, berpeluang 13,132 kali untuk
merasa lebih puas terhadap pekerjaannya sebagai
perawat, dibandingkan dengan perawat yang
memiliki persepsi iklim kerja tidak baik.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Meeusen, et al., (2011) yang
menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna
antara iklim kerja dengan kepuasan kerja perawat
(p< 0,001).
Ganz dan Toren (2014) kepuasan kerja memiliki
korelasi tinggi dengan lingkungan kerja perawat.
Sesuai pendapat dari Triwibowo (2013) yang
menyatakan bahwa jika perawat memiliki persepsi
iklim kerja positif maka akan meningkatkan
semangat kerja dan kepuasan kerja, sebaliknya
jika iklim kerja dipersepsikan buruk, maka akan
menimbulkan efek pada semangat kerja dan burn
out yang tinggi dan produktifitas kerja yang
menurun. Hal ini disebabkan perawat yang merasa
puas terhadap pekerjaannya cenderung akan
mencintai pekerjaannya, dan akan memandang
pekerjaan itu sebagai hal yang menyenangkan.
Sebaliknya jika perawat merasa tidak puas terhadap
pekerjaannya, maka perawat akan menganggap
pekerjaannya sebagai sesuatu hal yang mem-
bosankan.
Perawat yang memiliki harapan baik dan merasa
puas memilliki jumlah lebih banyak dibandingkan
dengan perawat yang memiliki harapan tidak
baik. Meskipun demikian hubungan ini tidak
bermakna. Teori ketidaksesuaian (discrepancy
theory) menjelaskan bahwa semakin sedikit
selisih antara harapan dengan kenyataan, maka
seseorang akan merasa semakin puas (Bangun,
2012).
Alat dan fasilitas memiliki hubungan yang
bermakna pada kepuasan kerja. Hal ini sesuai
dengan pendapat Dariyo (2004) yang menyata-
kan bahwa kondisi kerja yang baik yaitu nyaman
dan mendukung pekerja untuk dapat menjalan-
kan aktivitasnya dengan baik, meliputi segala
sesuatu yang ada di lingkungan karyawan yang
dapat memengaruhi pekerjaan serta keselamatan
dan keamanan kerja, diantaranya yaitu alat dan
fasilitas.
Yayah, et al., Iklim Kerja Berkontribusi terhadap Kepuasan Kerja Perawat 75
Tabel 3. Hubungan Iklim kerja dengan Kepuasan Kerja Perawat
Variabel
Sub variabel
Kepuasan Kerja p
OR
(95% CI) Tidak Puas % Puas %
Iklim Kerja
Tidak baik
Baik
82,6
26,6
17,4
73,4
0,000*
13.132
(5,115–33,715)
Sub variabel
1. Harapan
Tidak baik
Baik
2. Alat dan fasilitas
Tidak baik
Baik
3. Penghargaan
Tidak baik
Baik
4. Rancangan pekerjaan
Tidak baik
Baik
5. Dukungan
Tidak baik
Baik
6. Pengembangan
Tidak baik
Baik
68,0
44,7
70,6
40,8
78,4
35,6
71,2
31,0
78,9
34,7
77,8
44,6
32,0
55,3
29,4
59,2
21,6
64,4
28,8
69,0
21,1
65,3
22,2
55,4
0,069
0,007*
0,000*
0,000*
0,000*
0,020*
2.628
(1,024–6,748)
3,484
(1,462–8,299)
6,553
(2,618–16,405)
5,481
(2,419–12,423)
7,050
(2,814–17,664)
4,354
(1,331–14,237)
*Bermakna pada α= 0,05
Tabel 4. Hubungan Karakteristik Perawat dengan Kepuasan Kerja Perawat
Variabel Kepuasan Kerja
p OR
(95% CI) Tidak Puas % Puas %
Umur:
<30 th
≥30 th
47,1
52,5
52,9
47,5
0,702
0,803
(0,379–1,701)
Jenis kelamin:
Laki-laki
Perempuan
30,0
52,0
70,0
48,0
0,320
0,396
(0,097–1,168)
Lama kerja:
<5 th
≥5 th
46,2
55,6
53,8
44,4
0,438
0,686
(0,319–1,472)
Unit kerja:
Ranap
Rajal
51,8
44,4
48,2
55,6
0,658
1,344
(0,561–3,216)
Senada dengan pendapat Ganz dan Toren (2014),
para pembuat kebijakan dan manajer rumah
sakit harus membahas lingkungan praktik,
dalam rangka meningkatkan kepuasan kerja
dan meningkatkan retensi. Alat dan fasilitas
keperawatan yang lengkap dalam melaksana-
kan asuhan pasien akan mendukung keselamatan
dan keamanan kerja.
Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa peng-
hargaan yang baik akan memengaruhi peningkatan
kepuasan kerja dan memiliki hubungan yang
bermakna. Penghargaan tidak selalu diharapkan
dalam bentuk bayaran, akan tetapi lebih dari
sekedar upah atau gaji, misalnya dapat berupa
penghargaan dan dukungan untuk berkembang
baik dari peningkatan karir maupun peluang
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 72-80 76
untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.
Tanner (2007) mengungkapkan bahwa gaji
memiliki hubungan yang lemah dengan kepuasan
kerja perawat. Marquis dan Huston (2010; 2003)
menyatakan penghargaan yang diberikan pimpinan
kepada staf seberapapun nilainya, penghargaan
cenderung menimbulkan pengabdian dan kesetiaan
yang sangat besar.
Penelitian ini menunjukkan bahwa perawat yang
merasa adanya rancangan pekerjaan yang baik
memiliki kepuasan kerja lebih tinggi. Rancangan
pekerjaan yang menantang dan menuntut ke-
mandirian dapat menjadikan perawat memiliki
kesempatan untuk melakukan yang terbaik
menurut pribadinya. Perawat juga merasa lebih
memiliki perasaan bertanggung jawab terhadap
hasil dari pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan
pendapat dari Jayasuria, Whittaker, Halim, dan
Matineau (2012) yang menyatakan bahwa perawat
yang memiliki kesempatan untuk lebih mandiri
dalam pekerjaannya cenderung merasa lebih puas.
Dukungan yang baik dari rekan kerja dan
organisasi dapat meningkatkan kepuasan kerja.
Hal ini memiliki hubungan yang bermakna.
Senada dengan Dion (2006) yang menjelaskan
bahwa persepsi dukungan dari organisasi dan
dukungan dari rekan kerja memiliki hubungan
yang bermakna terhadap kepuasan kerja, sedangkan
persepsi dukungan dari supervisor tidak terdapat
hubungan dengan kepuasan kerja. Pendapat yang
sama diungkapkan Triwibowo (2013) yang menya-
takan bahwa perasaan adanya dukungan dalam
kehidupan organisasi dan saling membantu, serta
adanya hubungan sesama yang baik mempunyai
keterikatan emosional untuk mencapai tujuan
organisasi secara bersama-sama.
Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Suroso (2011) mengungkapkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
pengembangan karir dengan kepuasan kerja
perawat. Demikian juga dengan penghargaan,
pengakuan, dan promosi memiliki hubungan
yang bermakna dengan kepuasan kerja dengan
nilai p< 0,01. Pendapat yang senada yang di-
ungkapkan oleh Jayasuria, et al., (2012) bahwa
peluang promosi, dan kesempatan bagi pengem-
bangan pribadi dan pengakuan memengaruhi
kepuasan kerja seseorang. Penghargaan juga
akan memengaruhi kinerja seseorang (Farjam,
Razak, & Jafar, 2013).
Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar bagi
manajemen rumah sakit dalam menentukan
kebijakan, untuk menciptakan iklim kerja yang
dapat meningkatkan kepuasan kerja perawat.
Pihak manajemen dapat meningkatkan program
pengembangan karir, peluang promosi, dan sistem
reward yang jelas. Semua program ini merupakan
faktor pemuas ekstrinsik jika diperbaiki, maka
akan meningkatkan kepuasan kerja (Wood, 2008).
Reward yang dapat diterapkan adalah untuk
meningkatkan perasaan dihargai atas hasil kerja
yang telah dicapai.
Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hu-
bungan dari usia dengan kepuasan kerja perawat.
Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh
Suroso (2011) yang menyatakan tidak terdapat
hubungan antara usia dengan kepuasan kerja
perawat. Hasil penelitian ini berbeda dengan
survei yang dilakukan oleh Jayasuria, et al.,
(2012) yang menyatakan terdapat hubungan
antara usia dengan kepuasan kerja perawat,
kepuasan kerja lebih tinggi pada usia perawat
diatas 35 tahun dan hubungan ini bermakna.
Penelitian ini memang tidak dapat membuktikan
adanya hubungan antara usia dengan kepuasan
kerja, akan tetapi hasil perhitungan didapatkan
bahwa kepuasan kerja lebih tinggi pada usia
perawat yang lebih muda. Berbeda dengan Robbins
dan Judge (2013) yang menyatakan bahwa semakin
tua usia keryawan, maka akan lebih merasa puas
terhadap pekerjaannya. Pendapat ini diperkuat
oleh hasil penelitian Jayasuria, et al., (2012)
yang menyatakan bahwa perawat yang berusia
lebih tua memiliki kepuasan yang lebih tinggi.
Perbedaan kepuasan kerja antara perawat yang
lebih muda dengan perawat yang lebih tua adalah
terkait dengan situasi kerja. Sistem reward yang
belum jelas, sistem promosi dan pengembangan
karir yang tidak dirasakan oleh perawat senior,
serta ada ketidaksesuaian antara harapan dengan
yang kenyataan.
Yayah, et al., Iklim Kerja Berkontribusi terhadap Kepuasan Kerja Perawat 77
Berdasarkan jenis kelamin didapatkan angka
kepuasan lebih tinggi pada perawat laki-laki
daripada pada perawat perempuan. Meskipun
demikian tidak terdapat hubungan antara jenis
kelamin dengan kepuasan kerja. hasil ini berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Jayasuria, et al., (2012) yang menunjukkan ke-
puasan kerja lebih tinggi pada perawat perempuan
daripada perawat laki-laki, walaupun ada ke-
samaan hasil bahwa tidak terdapat hubungan
antara jenis kelamin dengan kepuasan kerja
perawat.
Terdapat perbedaan kepuasan kerja pada perawat
perempuan dengan kepuasan kerja pada perawat
laki-laki yang bekerja di rumah sakit militer.
Kepuasan kerja lebih tinggi persentasenya pada
perawat laki-laki, sedangkan jumlah perawat
perempuan lebih banyak dari pada jumlah
perawat laki-laki. Robbins dan Judge (2013)
mengemukakan bahwa perempuan memiliki
peran dan tanggung jawab dalam keluarga sebagai
pengasuh anak, dan pencari nafkah sekunder.
Hal ini perlu disikapi oleh pihak manajemen
rumah sakit dengan meningkatkan program dan
kebijakan yang dapat meningkatkan kepuasan
kerja pada perawat.
Perawat pelaksana yang menjadi responden
seluruhnya berpendidikan DIII Keperawatan,
sehingga penelitian ini tidak meneliti hubungan
pendidikan perawat dengan kepuasan kerja
perawat di rumah sakit tersebut. Hasil penelitian
Jayasuria, et al., (2012) menunjukkan bahwa
pendidikan perawat memiliki hubungan yang
bermakna dengan tingkat kepuasan kerja.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara lama kerja dengan kepuasan
kerja perawat. Berbeda dengan pendapat Siagian
(2009) yang menyatakan bahwa pengalaman
kerja menyebabkan seseorang semakin terampil
untuk menyelesaikan permasalahan dalam pe-
kerjaannya, sehingga dapat menimbulkan ke-
puasan. Pendapat Siagian diperkuat oleh hasil
penelitian Jayasuria, et al., (2012) yang me-
nunjukkan bahwa perawat dengan lama kerja
0–5 tahun dengan usia kurang dari 35 tahun
memiliki tingkat kepuasan lebih rendah dan
tingkat turnover yang lebih tinggi, sedangkan
perawat dengan masa kerja lebih lama me-
miliki kepuasan kerja lebih tinggi hubungan ini
bermakna dengan nilai p< 0,01.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kepuasan kerja
lebih tinggi pada perawat dengan lama kerja
kurang dari 5 tahun, sedangkan kepuasan kerja
rendah pada perawat yang telah bekerja lebih
dari 5 tahun. Hal ini disebabkan karena belum
ada penerapan jenjang karir yang jelas bagi
perawat, sehingga status perawat yang masih
baru bekerja dengan perawat yang sudah lama
bekerja tidak ada perbedaan. Sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Suroso (2011)
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
persepsi tentang jenjang karir dengan kepuasan
kerja perawat. Perawat yang memiliki persepsi
baik tentang jenjang karir cenderung lebih puas
dibandingkan dengan perawat yang memiliki
persepsi kurang baik tentang jenjang karir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat
di unit rawat jalan memiliki kepuasan kerja
lebih tinggi persentasenya dibandingkan dengan
pera-wat yang bertugas di unit rawat inap. Hal
ini disebabkan adanya perbedaan penjadwalan
yang berlaku dimasing-masing unit. Unit rawat
jalan memberlakukan jadwal 2 shift dinas pagi
dan sore, serta libur pada akhir pekan dan hari
libur nasional. Jadwal di unit rawat inap mem-
berlakukan 3 shift, yaitu dinas pagi, sore, dan
malam, serta tidak selalu mendapatkan libur di
akhir pekan dan hari libur nasional. Marquis
dan Huston (2010) menyatakan bahwa pen-
jadwalan merupakan faktor yang penting dalam
meningkatkan ketidakpuasan dan kepuasan
kerja, serta retensi perawat selanjutnya. Pihak
manajemen rumah sakit seharusnya dapat me-
nyikapi hal ini agar dapat meningkatkan ke-
puasan kerja perawat.
Perawat yang bertugas di unit rawat inap dapat
membandingkan dirinya dengan perawat yang
bertugas di unit rawat jalan atas adanya per-
bedaan penjadwalan tersebut, sesuai dengan
teori keadilan (equity theory). Pendapat Wood
(2008) teori keadilan adalah teori motivasi
yang memberikan penjelasan tentang penyebab
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 72-80 78
kepuasan kerja dan ketidakpuasan, dimana
individu akan membandingkan dirinya dengan
orang lain yang bekerja di tempat yang sama
atau di tempat yang berbeda.
Rumah sakit tempat penelitian ini dilakukan
memiliki sistem manajemen yang mengacu
kepada kebijakan dari Kementerian Pertahanan
RI. Rumah sakit ini tidak memiliki kebijakan
mengenai insentif untuk perawat yang bertugas
jaga malam sebagai kompensasi atau reward.
Perawat yang bertugas diperlakukan sama dengan
PNS Kementerian Pertahanan pada umumnya.
Hal ini menyebabkan perawat di unit rawat inap
merasakan ada ketidaksesuaian harapan dengan
kenyataan. Hal ini sesuai dengan teori dis-
crepancy theory.
Perbedaan kepuasan kerja perawat yang ber-
tugas di unit rawat inap dengan kepuasan kerja
perawat yang bertugas di unit rawat jalan ini
hendaknya menjadi perhatian pihak manajemen
rumah sakit. Marquis dan Huston (2003; 2010)
menyatakan bahwa bagi sebagian perawat,
tuntutan untuk bekerja di malam hari, sore
hari, akhir pekan, dan hari libur dapat me-
nimbulkan stres dan frustasi. Berdasarkan hal
ini, hendaknya rumah sakit dapat membuat
kebijakan untuk memberlakukan sistem reward
berupa insentif bagi perawat yang bertugas
jaga malam agar perawat merasakan adanya
penghargaan atas pengorbanan waktu dan me-
rasa adanya perlakuan adil dari pimpinan.
Penelitian ini bersifat umum, sehingga keter-
batasan dalam penelitian ini adalah tidak dapat
menggali lebih jauh bagaimana budaya orga-
nisasi dan iklim kerja yang ada dirumah sakit
yang bersifat militer.
Implikasi penelitian bagi manajemen pelayanan
keperawatan adalah hasil penelitian ini dapat
dijadikan bahan pertimbangan bagi manajemen
keperawatan dan manajemen rumah sakit untuk
segera melakukan evaluasi dan menerapkan
sistem yang dapat menumbuhkan kepuasan
kerja bagi perawat. Memahami harapan dari
staf terhadap pimpinan dan manajemen ke-
perawatan, melengkapi alat dan fasilitas yang
masih dirasakan kurang, menerapkan sistem
reward yang jelas bagi perawat yang berhasil
melaksanakan tugasnya sekecil apapun itu.
Mengusulkan kebijakan untuk memberikan
insentif bagi perawat yang bertugas jaga malam.
Perawat yang merasa pekerjaannya dihargai
akan melaksanakan pekerjaan dengan baik dan
hal ini tentu akan berpengaruh terhadap pe-
layanan dan keselamatan pasien.
Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar bagi
penelitian selanjutnya untuk melakukan pe-
nelitian lebih dalam mengenai iklim kerja di
rumah sakit yang bersifat militer serta kaitan-
nya dengan kepuasan kerja perawat. Penelitian
selanjutnya juga dapat lebih berkembang agar
mendapatkan hasil yang lebih komprehensif,
dengan menggunakan metode kuantitatif dan
kualitatif.
Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini didapatkan bahwa
karakteristik perawat di rumah sakit ini ma-
yoritas berusia antara 26 sampai 35 tahun,
jenis kelamin perempuan, berpendidikan DIII
Keperawatan dengan lama kerja 2 sampai 5
tahun, dan bekerja di unit rawat inap. Perawat
yang merasa iklim kerja baik memiliki pro-
porsi lebih besar dibandingkan dengan perawat
yang merasa iklim kerja tidak baik.
Perawat yang merasa puas dengan pekerjaannya
memiliki proporsi yang sama dengan dengan
perawat yang tidak puas. Terdapat hubungan yang
bermakna antara iklim kerja dengan kepuasan
kerja perawat di rumah sakit, termasuk didalamnya
sub variabel dari iklim kerja alat dan fasilitas,
penghargaan, rancangan pekerjaan, dukungan
dan pengembangan karir. Terdapat sub variabel
dari iklim kerja yang tidak berhubungan dengan
kepuasan kerja perawat. Sub variabel tersebut
adalah harapan. Tidak terdapat hubungan antara
karakteristik perawat dengan kepuasan kerja
perawat.
Saran kepada manajemen pelayanan keperawat-
an diharapkan dapat meningkatkan iklim kerja
yang dapat mendukung peningkatan kepuasan
Yayah, et al., Iklim Kerja Berkontribusi terhadap Kepuasan Kerja Perawat 79
kerja perawat, antara lain dengan menerapkan
sistem reward yang jelas bagi perawat yang
berprestasi. Manajemen keperawatan juga dapat
mengusulkan kebijakan kepada manajemen
rumah sakit mengenai insentif jaga malam bagi
perawat pelaksana, dan juga dapat mengusul-
kan kepada manajemen rumah sakit untuk
penyediaan alat dan fasilitas yang mendukung
pekerjaan perawat dalam melakukan asuhan
keperawatan.
Saran untuk penelitian selanjutnya agar dapat
mengembangkan metode penelitian ini lebih
dalam tentang iklim kerja di rumah sakit yang
bersifat militer dan melakukan analisis pengaruh
dari iklim kerja terhadap kepuasan kerja.
Selain itu, penelitian selanjutnya dapat lebih
mengembangkan kuesioner yang meneliti iklim
kerja (RR, INR, AR).
Referensi
Dariyo, A. (2004). Psikologi perkembangan
remaja. Bogor: Ghalia Indonesia.
Farjam, H., Razak, A. & Jafar, N. (2013).
Pengaruh dimensi iklim kerja terhadap
kepuasaan kerja perawat di Instalasi Rawat
Inap RSUD I.A. Moeis Samarinda tahun
2013. (Tesis magister tidak dipublikasikan).
Universitas Hasanudin, Makasar.
Jayasuriya, R., Whittaker, M., Halim, G., &
Matineau, T. (2012). Rural health workers
and their work environment: The role of
inter-personal factors on job satisfaction of
nurses in rural Papua New Guinea. BMC
Health Services Research, 12, 156.
Marquis, B.L., & Huston, C.J. (2010). Leadership
Roles and management function in nursing:
Theory & Aplication (4th Ed). (Widyawati,
Wilda E.H., Fruliolina A., Penerj).
Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins.
(Buku asli diterbitkan tahun 2003).
Martin, H. & Proenca, T. (2012). Minnestota
satisfaction questionnaire psychometric
properties and validation in a population of
Portuguese hospital workers. FEP Economics
and Management. Diperoleh dari
http://wps.fep.up.pt/wps/wp471.pdf
Mayo, J.L. (2004). The effects of work environment
on job satisfaction in the nursing workforce
(Disertasi Doktor). Diperoleh dari ProQuest
Information and Learning Company (UMI
No 3135667).
Meeusen, V.C., Van Dam, K., Brown-Mahoney,
C., Van Zundet, A.A., & Knape, H. T.
(2011). Work climate related to job
satisfaction among Dutch nurse anesthetists,
American Association of Nurse Anesthetists
Journal, 79 (1), 63–70.
Robbins, S.P., & Judge, T.A. (2013). Essential of
organizational behavior, Global Edition,
New Jersey: Pearson Education Inc.
Siagian, S.P. (2009). Manajemen sumber daya
manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Suroso, J. (2011). Hubungan persepsi tentang
jenjang karir dengan kepuasan kerja dan
kinerja perawat RSUD Banyumas, (Tesis
magister) FIK-UI. Diperoleh dari
lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20281624-
T%20Jebul%20Suroso.pdf
Sahar, M., Ahmed, A., Lamiaa, A., Elsayed,
Nahed, S. & El-Nagger. (2013). Effect of
motivation versus de-motivation on job
satisfaction among the nurses working in
Hera General Hospital at Makkah Al-
Mukramh. Life Science Journal, 10 (2), 450–
457. doi: 10.4103/2348-6139.151294
Schiestel, C. (2007). Job satisfaction among
Arizona adult nurse practitioners. Journal of
the American Academy of Nurse
Practitioners, 19 (1), 30–34.
Tanner, Jr. B.M. (2007). An analysis of the
relationships among job satisfaction,
organizational trust, and organizational
commitment in an acute care hospital
(Disertasi Doktor). Diperoleh dari ProQuest
Information and Learning Company (UMI
No 3266765).
Triwibowo, C. (2013). Manajemen keperawatan di
rumah sakit. Jakarta: Trans Info Media.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 72-80 80
Weiss, D.J., Dawis, R.V., England, G.W. &
Lofquist, L.H. (1967). Mannual for the
Minnesota satisfaction questionnaire.
Minneapolis: Industrial Realtions Center,
University of Minnesota.
Wood, N.E. (2008). A study on the relationship
between perceived leadership styles of
hospital clinical leaders and perceived
empowerment, organizational commitment,
and job satisfaction of subordinate hospital
nurses in a management position (Disertasi
Doktor). Diperoleh dari ProQuest LLC.
(UMI No 3336849).
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 81-87
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
KUALITAS TIDUR ANAK USIA SEKOLAH YANG MENJALANI
KEMOTERAPI DI RUMAH SAKIT KANKER
Novita Dewi Rahmayanti*1, Nur Agustini2
1. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Kemoterapi diyakini efektif dalam menghambat pertumbuhan sel kanker. Namun demikian kemoterapi juga
menimbulkan efek samping bagi penderita kanker, salah satunya yaitu gangguan pemenuhan kebutuhan tidur. Penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang gambaran kualitas tidur anak usia sekolah yang sedang menjalani
kemoterapi di rumah sakit kanker. Penelitian menggunakan metode potong-lintang dengan melibatkan 40 responden
yang diambil dengan teknik total sampling. Responden mengisi kuesioner berupa data demografi dan kuesioner
Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Analisa data menggunakan uji univariat. Hasil penelitian menunjukkan rerata
skor PSQI adalah 7 dari maksimal 21 (95% CI, 6,24–7,76) yang berarti responden memiliki kualitas tidur buruk.
Tenaga kesehatan (khususnya perawat) diharapkan dapat melakukan monitoring untuk evaluasi pemenuhan kebutuhan
tidur anak kanker.
Kata kunci: anak usia sekolah, kanker, kemoterapi, kualitas tidur
Abstract
Quality of Sleep of School Age Children are Undergoing Chemotheraphy in Cancer Hospital Chemotherapy is
believed to be effective in inhibiting cancer cell’s growth. However, this therapy has side effects for cancer patients, one
of them is sleeping needs disturbance. This study aims to get information about the status of sleep quality in school-age
children whom are undergoing chemotherapy at cancer hospital, Jakarta. This study used cross sectional design with
40 participants using total sampling technique. Participants filled the questionnaire consisting of demographic data
and the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). This study was analyzed using univariate test. The result showed that
participants have quality sleep index with average score 7 from total 21 (95% CI, 6,24–7,76). It’s indicated that
participants have poor sleep quality. Health providers (especially nurses) are expected to conduct monitoring to
evaluate sleep quality in children with cancer.
Keywords: cancer, chemotherapy, school-age children, sleep quality
Pendahuluan
Angka kejadian kanker pada anak semakin me-
ningkat. Tahun 2004 dilaporkan terdapat 160.000
kasus baru kanker pada anak usia 0–15 tahun di
dunia. WHO juga mencatat 90.000 anak meninggal
dunia setiap tahunnya karena sakit kanker. Bebe-
rapa faktor yang dapat memengaruhi diantaranya
adalah kurangnya tingkat pengetahuan dan
kesadaran masyarakat tentang kanker, tingkat
ekonomi yang rendah, dan budaya masyarakat
(WHO, 2010). Kanker pada anak tidak menunjuk-
kan prevalensi tinggi seperti penyakit infeksius,
namun kanker menempati sepuluh besar penyebab
mortalitas pada anak di beberapa negara di dunia.
Di Amerika Serikat dan Kanada pada tahun 2006,
kanker menjadi penyebab kematian nomor dua
pada anak setelah kecelakaan (unintentional
injury) (Center for Disease Control/ CDC, 2007).
Tahun 2005 di India kanker menduduki peringkat
ke delapan sebagai penyebab kematian anak usia
5 sampai 14 tahun.
Prevalensi kanker di Indonesia menurut Yayasan
Kanker Indonesia (YKI) diperkirakan 100 pen-
derita kanker baru dari setiap 100.000 penduduk
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 81-87 82
(Depkes, 2008). Pada prevalensi kanker pada
anak 4,9% dengan kasus terbanyak leukemia,
sehingga paling tidak terdapat 4100 kasus kanker
baru pada anak di Indonesia di tahun tersebut.
Data Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD)
(2013) menunjukkan telah terjadi peningkatan
jumlah prevalensi penderita kanker pada anak.
Pada tahun 2013 prevalensi kanker pada anak
yang dirawat di RSKD leukemia 39%, limfoma
10,63%, osteosarkoma 6,38%, rhabdomiosarkoma
6,38%, neuroblastoma 5,67%, retinoblastoma
4,25%, tumor otak 3,54%, karsinoma nasofaring
2,83%, tumor germinal 2,12%, kanker ovarium
2,12%, tumor Willms 1,41%, dan kanker/tumor
lainnya 15,6%. Dalam kurun waktu tiga tahun
terakhir (2011–2013) urutan tiga besar kanker
anak yang terbanyak di RSKD adalah leukemia,
limfoma, dan osteosarkoma (RSKD, 2013).
Penanganan dan pengobatan kanker semakin
maju dan berkembang. Hal ini membuat angka
harapan hidup pada anak kanker semakin me-
ningkat. Otto, Fulton, dan Langhorne (2007)
menjelaskan bahwa harapan hidup pasien kanker
selama lima tahun terakhir setelah pasien men-
dapatkan diagnosa pasti kanker meningkat dari
4% di 1960-an menjadi 80% pada tahun 2000.
Kemoterapi merupakan salah satu terapi pengobat-
an kanker yang dapat menghambat pertumbuhan
dan membunuh sel kanker (DiSaia & Creasman,
2007). Pilihan pengobatan melalui kemoterapi
banyak menimbulkan efek samping seperti mual
dan muntah, keletihan, ansietas, bahkan bisa
mengalami gangguan tidur (Gedaly-Duff, et
al., 2006).
Hasil penelitian American Society of Clinical
Oncology menunjukkan bahwa sekitar 52% pasien
kanker melaporkan kesulitan untuk tidur karena
insomnia. Sejumlah 58% melaporkan bahwa pe-
nyakit kanker yang mereka alami menyebabkan
perburukan pada kualitas tidur. Pasien kanker
mengeluhkan bahwa mereka sulit untuk memulai
tidur, memperoleh kepulasan tidur, dan merasa
kelelahan di pagi hari.
Anak usia sekolah yang kanker juga diduga
mengalami perubahan kualitas tidur. Pada tahap
perkembangannya anak usia sekolah memerlukan
istirahat dan tidur yang adekuat untuk meng-
akomodasi aktivitas keseharian anak yang tinggi.
Tidur juga sangat penting dalam memelihara
fungsi kognitif anak, seperti kemampuan ber-
konsentrasi, berpikir, belajar, dan menyelesaikan
masalah pada tahap tumbuh kembangnya. Jumlah
jam tidur normal untuk anak usia sekolah sekitar
10 jam per hari. Anak usia sekolah yang kanker
perlu mendapat perhatian perawat dan orang tua
agar anak mendapatkan jumlah tidur yang ade-
kuat sesuai usianya.
Penelitian ini berfokus untuk mendapatkan infor-
masi tentang gambaran kualitas tidur pada anak
kanker usia sekolah yang menjalani kemoterapi.
Hasil penelitian dapat mengevaluasi kecukupan
tidur dan istirahat anak kanker. Selanjutnya,
perawat dapat merencanakan terapi untuk
meningkatkan kualitas tidur anak jika terdapat
masalah pemenuhan kebutuhan tidur, baik
melalui terapi mandiri maupun kolaborasi.
Metode
Desain penelitian menggunakan pendekatan
kuantitatif potong lintang. Instrumen penelitian
yang digunakan adalah kuesioner. Penilaian
terhadap kualitas tidur anak kanker dilakukan
dengan mengisi kuesioner karakteristik responden
dan instrumen Pittsburgh Sleep Quality Index
(PSQI). Data karakteristik responden terdiri dari
jenis kelamin, umur, status pendidikan, tingkat
pendidikan, kebiasaan sebelum tidur selama di
rumah/rumah singgah, kebiasaan sebelum tidur di
rumah sakit, kebiasaan yang mendukung tidur,
jenis sakit kanker, lama periode kemoterapi, dan
jenis obat kemoterapi yang diperoleh klien. Ins-
trumen PSQI terdiri dari pengkajian terhadap
kualitas tidur secara subjektif, waktu mulainya
tidur, lamanya tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur,
kebiasaan penggunaan obat untuk membantu
tidur, dan aktivitas sehari-hari yang terkait dengan
tidur (Buysse, Reynolds, Monk, & Berman, 1989).
Rahmayanti, et al., Kualitas Tidur Anak Usia Sekolah yang Menjalani Kemoterapi 83
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan instrumen baku namun peneliti tetap
melakukan uji validitas untuk menguji keterba-
caan setelah dilakukan alih bahasa. Uji validitas
dilakukan pada tiga anak kanker yang sedang
menjalani kemoterapi di yayasan kanker di
wilayah Jakarta. Hasil uji validitas didapatkan
bahwa ketiga anak dapat memahami isi dan
maksud pertanyaan dalam kuesioner, sehingga
peneliti menyimpulkan instrumen dapat dipakai
pada responden anak kanker usia sekolah di
rumah sakit kanker.
Responden dalam penelitian ini sebanyak 40 anak
yang dipilih dengan teknik total sampling. Ana-
lisis yang digunakan pada penelitian ini adalah
analisis univariat yang dilakukan pada seluruh
variabel penelitian. Untuk mengetahui status
kualitas tidur responden, hasil penghitungan pada
instrumen PSQI dikategorikan berdasarkan
klasifikasi kualitas tidur, yaitu baik dan buruk.
Instrumen PSQI memiliki rentang skor 0 sampai
dengan 21. Skor total PSQI yang lebih dari 5
menunjukkan responden memiliki kualitas tidur
yang buruk dan skor kurang dari atau sama dengan 5
menunjukkan kualitas tidur baik (Buysee, et al.,
1989).
Hasil
Hasil penelitian diuraikan sebagai berikut: karak-
teristik responden (jenis kelamin, status pendidikan,
tingkat pendidikan, jenis kanker); usia dan periode
kemoterapi; penggunaan obat kemoterapi) dan
kualitas tidur pasien kanker anak berdasarkan
PSQI.
Tabel 1 menggambarkan responden perempuan
lebih banyak dari pada laki-laki yaitu 21 (52,5%)
dengan status pendidikan responden mayoritas
sekolah (70%). Pada tingkat pendidikan didapat-
kan tiga urutan terbanyak responden yaitu kelas 1
SD (22,5%), kelas 3 SD (17,5%), dan TK dan
SMP (15%). Kebiasaan sebelum tidur di rumah,
rumah singgah dan di rumah sakit yang paling
banyak dilakukan yaitu menonton televisi sebesar
50% dan 37,5%. Kebiasaan yang mendukung
tidur responden adalah tidur bersama orang tua
(30%). Untuk jenis kanker diperoleh tiga besar
kanker yang banyak diderita oleh responden yaitu
leukemia (35%), limfoma (25%), dan osteosar-
koma (12,5%).
Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa rerata usia
responden penelitian yaitu 8,7 tahun dengan
interval kepercayaan 7,98–9,42. Sementara rerata
periode kemoterapi yang telah dijalani
responden yaitu 6,25 bulan dengan interval
kepercayaan 4,31–6,25.
Tabel 3 menjelaskan bahwa obat kemoterapi
dapat diberikan secara tunggal maupun kombinasi.
Penggunaan kombinasi obat golongan antimeta-
bolites dengan alkaloid tanaman dan kombinasi
golongan alkylating agent dengan tanaman meru-
pakan obat yang paling banyak digunakan yaitu
masing- masing 15%. Pada Tabel 4 menunjukkan
bahwa rata rata skor PSQI anak usia sekolah yang
men-jalani kemoterapi di rumah sakit kanker
adalah 7 (SD= 2,386) yang mengindikasikan
kualitas tidur buruk.
Pembahasan
Anak usia sekolah berjenis kelamin perempuan
yang dirawat lebih banyak. Hasil ini tidak sejalan
dengan data dari Departemen Kesehatan RI
(2005) yang memaparkan bahwa kanker pada
anak laki-laki jumlahnya lebih banyak. Kualitas
tidur paling baik dialami oleh anak perempuan
(23,81%). Hasil ini bertolak belakang dengan
penelitian Burgard (2010) yang menyatakan
bahwa perempuan memiliki kualitas tidur yang
lebih buruk daripada laki-laki. Burgard men-
jelaskan 58% responden perempuan remaja dan
dewasa awal memiliki kualitas tidur yang buruk
disebabkan karena faktor stres, beban kerja, dan
ketidakseimbangan hormon saat menstruasi dan
kehamilan.
Status pendidikan responden yang bersekolah
sebesar 70%. Anak yang sekolah mayoritas me-
miliki kualitas tidur yang buruk (67,85%). Anak
yang tidak sekolah pun memiliki kualitas tidur
yang lebih buruk daripada yang sekolah. Hal ini
sejalan dengan penelitian Betz dan Sowden (2009)
yang menyatakan bahwa anak biasanya merasa
jenuh dengan proses pengobatan, hospitalisasi,
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 81-87 84
dan keterbatasan aktivitas harian karena penyakit
kanker. Responden penelitian paling banyak
duduk di SD kelas 1 dengan jumlah 22,5 % dari
total responden. Distribusi tingkat pendidikan ini
sejalan dengan penelitian Gurney (2005) yang
menemukan data bahwa prevalensi anak kanker
terbanyak pada usia sekolah.
Menonton televisi merupakan kebiasaan yang
paling sering dilakukan anak sebelum tidur. Hal
Tabel 1. Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin, Status Pendidikan, Tingkat Pendidikan, Kebiasaan
Sebelum Tidur di Rumah dan Rumah Sakit, Kebiasaan yang Mendukung Tidur dan Jenis Sakit
Kanker di RS Kanker
Variabel Jumlah (n) Presentase (%)
Jenis kelamin
a. Laki laki 19 47,5
b. Perempuan 21 52,5
Status Pendidikan
a. Sekolah 28 70
b. Tidak sekolah 12 30
Tingkat Pendidikan
a. TK 6 15
b. SD kelas 1 9 22,5
c. SD kelas 2 4 10
d. SD kelas 3 7 17,5
e. SD kelas 4 1 2,5
f. SD kelas 5 4 10
g. SD kelas 6 3 7,5
h. SMP kelas 1 6 15
Kebiasaan sebelum tidur di rumah/rumah singgah
a. Menonton TV 20 50
b. Bermain game 7 17,5
c. Bermain internet 2 5
d. Membaca buku 6 15
e. Mengobrol 1 2,5
f. Lainnya 4 10
Kebiasaan sebelum tidur di rumah sakit
a. Menonton TV 15 37,5
b. Bermain game 8 20
c. Bermain internet 3 7,5
d. Membaca buku 2 5
e. Mengobrol 9 22,5
f. Lainnya 3 7,5
Kebiasaan yang mendukung tidur
a. Minum susu / empeng 8 20
b. Mematikan lampu kamar 6 15
c. Tidur bersama ibu/ ayah/ orang tua 12 30
d. Tidur ditemani mainan kesayangan 8 20
e. Lainnya 6 15
Jenis sakit kanker
a. Leukemia 14 35
b. Retinoblastoma 1 2,5
c. Tumor otak 0 0
d. Neuroblastoma 2 5
e. Osteosarkoma 5 12,5
f. Limfoma 10 25
g. Lainnya 8 20
Rahmayanti, et al., Kualitas Tidur Anak Usia Sekolah yang Menjalani Kemoterapi 85
Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia dan Periode Kemoterapi Responden di RS Kanker
Variabel Mean Median SD 95% CI
Usia 8,7 8 2,244 7,98–9,42
Periode kemoterapi 6,25 4 6,071 4,31–6,25
Tabel 3. Karakteristik Penggunaan Obat Kemoterapi yang Diterima Responden di RS Kanker
Kombinasi Obat Jumlah (n) Presentase (%)
Alkylating agen 5 12,5
Antimetabolites 4 10
Antibiotik 1 2,5
Alkaloid tanaman 4 10
Alkylating agen, Antimetabolites 1 2,5
Antimetabolites, Alkaloid tanaman 6 15
Alkylating agen, Alkaloid tanaman 6 15
Alkylating agen, Antimetabolites 2 5
Alkylating agen, Anthracyclines 5 12,5
Antimetabolites, Anthracyclines, Alkaloid tanaman 3 7,5
Alkylating agen, Antimetabolites, Alkaloid tanaman 2 5
Alkylating agen, Anthracyclines, Alkaloid 1 2,5
Total 40 100
Tabel 4. Kualitas Tidur Responden Berdasarkan Skor PSQI di RS Kanker
Variabel Mean Median SD 95% CI
Kualitas tidur subjektif (0–3) * 1,1 1 0,632 0,9–1,3
Latensi tidur (0–3) * 1,38 1 0,586 1,19–1,56
Durasi tidur (0–3) * 0,20 0 0,464 0,05–0,35
Efisiensi tidur (0–3) * 0,80 1 0,883 0,52–1,08
Gangguan tidur (0–3) * 1,9 2 0,545 1,73–2,07
Penggunaan obat tidur (0–3) * 0,15 0 0,362 0,03–0,27
Gangguan beraktifitas (0–3) * 1,48 1,5 0,640 1,27–1,68
PSQI (0–21) * 7 7 2,386 6,24– 7,76
ini dijelaskan oleh National Sleep Foundation
(2013) bahwa tren kebiasaan yang paling banyak
dilakukan oleh anak usia sekolah sebelum tidur
adalah menonton televisi dan bermain games.
Kebiasaan ini muncul sebagai akibat perkem-
bangan teknologi dan kecanggihan peralatan yang
memfasilitasi kebutuhan anak saat ini. Kebiasaan
sebelum tidur yang paling banyak dilakukan oleh
responden di rumah sakit juga menonton televisi.
Kebiasaan yang paling sering dilakukan anak
untuk mendukung tidurnya adalah anak tidur
bersama orang tua. Kebiasaan tidur bersama orang
tua dilakukan oleh 30% responden penelitian.
Anak-anak umumnya membutuhkan rasa aman
dan nyaman sebelum tidur. Oleh karena itu anak
biasanya memiliki kebiasaan-kebiasaan unik yang
dilakukan sebelum tidur. Kebiasaan yang men-
dukung tidur seperti tidur bersama orang tua
hendaknya mulai dikurangi secara perlahan pada
anak usia sekolah (Klirgmen & Arvin, 2009). Hal
ini berkaitan dengan pembiasaan kemandirian
anak untuk memenuhi kebutuhan tidur maupun
yang lain.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 81-87 86
Jenis kanker yang dialami responden yaitu leu-
kemia (35%), limfoma (25%), dan osteosarkoma
(12,5%). Menurut Departemen Kesehatan RI
(2009) prevalensi leukemia merupakan kanker
yang paling banyak diderita anak usia 0–17 tahun.
Data Rumah Sakit Kanker Dharmais (2013) juga
menyebutkan leukemia merupakan jenis kanker
yang paling banyak ditemukan pada pasien anak
tahun 2009–2013. WHO (2010) juga menyebutkan
bahwa leukemia merupakan insiden kanker yang
paling sering dialami anak di dunia. Mayoritas
jenis kanker mengakibatkan kualitas tidur yang
buruk bagi responden. American Cancer Society
(2013) menjelaskan bahwa 85,3% anak akan
mengalami gangguan tidur pada awal diagnosis
kanker jenis apapun dan saat menjalani pengo-
batan kemoterapi.
Golongan obat tunggal maupun kombinasi meng-
akibatkan kualitas tidur buruk pada responden.
Penelitian Meckler (2009) menyebutkan bahwa
75,6% anak yang mendapatkan obat kemoterapi
akan mengalami neutropenia, trombositopenia,
dan anemia yang mengakibatkan reaksi radang
(demam) yang mengakibatkan perburukan pe-
menuhan tidur anak.
Rerata periode kemoterapi yang sudah dijalani
responden yaitu 6,25 bulan dari rentang 1–26
bulan. Variasi periode kemoterapi ini terjadi karena
adanya perbedaan fase kemoterapi yang sedang
dijalani responden. Responden ada yang masih
dalam fase induksi, konsolidasi, maupun main-
tenance pada kemoterapi tumor padat dan fase
induksi, konsolidasi, intensidikasi, dan main-
tenance pada tumor cair (RS Kanker Dharmais,
2013).
Kualitas tidur anak usia sekolah yang menjalani
kemoterapi di rumah sakit kanker diukur dengan
menggunakan instrumen PSQI yang memiliki
rentang skor 0 sampai 21. Skor total PSQI yang
lebih dari lima menunjukkan responden memiliki
kualitas tidur buruk dan skor kurang dari atau
sama dengan 5 menunjukkan kualitas tidur baik
(Buysee, Reynolds, Monk, & Berman, 1989).
Kualitas tidur anak usia sekolah yang menjalani
kemoterapi di rumah sakit kanker rerata nilai 7
dengan interpretasi kualitas tidur buruk. Hasil ini
sejalan dengan penelitian Rosen dan Brand
(2011) yang dilakukan pada 70 anak kanker di
Amerika, menyatakan bahwa adanya kualitas
tidur yang buruk pada responden penelitian yang
disebabkan kejadian insomnia, hipersomnia, dan
gangguan bernafas.
Anak usia sekolah memiliki kerentanan untuk
mengalami gangguan tidur yang berkaitan dengan
peningkatan aktivitas anak seperti sekolah, ekstra-
kurikuler, bermain, dan kegiatan lain (Nutter,
2007). Pada penelitian ini selain anak berada pada
masa usia sekolah, anak juga memiliki faktor
predisposisi yang menyebabkan gangguan tidur
yaitu sakit kanker dan menjalani kemoterapi.
Kesimpulan
Anak usia sekolah berjenis kelamin perempuan
lebih banyak ditemukan pada penelitian ini dengan
kualitas tidur yang lebih baik daripada laki laki.
Responden memiliki rerata usia 8,7 tahun dari
rentang anak usia sekolah yaitu 6–12 tahun
Periode kemoterapi yang dijalani responden rata
rata berlangsung selama 6,25 dari rentang
waktu yaitu 1–26 bulan.
Responden yang menjalani kemoterapi di rumah
sakit kanker memiliki skor kualitas tidur rerata
yaitu 7 dari skor total 21 yang berarti kualitas
tidur buruk. Jenis sakit kanker yang paling
banyak diderita oleh responden anak usia
sekolah yaitu leukemia, limfoma dan
osteosarkoma.
Presentase masing-masing golongan obat kemote-
rapi yang diterima oleh responden yaitu alkylating
agent, antimetabolites, antibiotik, anthracyclines,
dan alkaloid tanaman. Penelitian ini menunjukkan
bahwa obat golongan alkylating agent dan
alkaloid tanaman merupakan obat yang paling
banyak diberikan pada responden saat
kemoterapi.
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masuk-
an bagi pelayanan keperawatan untuk membuat
asuhan keperawatan yang lebih efektif pada pasien
anak kanker yang memiliki gangguan pemenuhan
kebutuhan tidur. Perawat dapat melakukan eva-
luasi kebutuhan tidur pasien dan kemudian dapat
Rahmayanti, et al., Kualitas Tidur Anak Usia Sekolah yang Menjalani Kemoterapi 87
dijadikan dasar dalam memberikan terapi mandiri
maupun kolaborasi (NN, INR).
Referensi
American Cancer Society. (2013). Cancer
statistics in USA. Altanta: American Cancer
Society.
American Cancer Society. (2011). Global cancer:
Facts & figures. United States: American
Cancer Society.
Betz, C.L., & Sowden, L.A. (2009). Buku saku
keperawatan pediatri (Edisi ke 5). (Eny M.,
Penerj). Jakarta: EGC. Buku asli ditertibkan
2004)
Buysse, D.J., Reynold, C.F., Monk, T.H., Berman,
S.R., & Kupfer, D.J. (1989). ThePittsburg
Sleep Quality Indeks (PSQI). Journal of
Psychiatric Research, 28 (2), 193–213.
Diperoleh dari http://findarticles.com/p/
articles/mi_mOFSS/is_4_12/ai_n 18616017.
CDC (Center for Disease Control and Prevention).
(2007). Leading causes of death of children
and youth. Diperoleh dari http://www.cdc.
gov.
Departemen Kesehatan RI. (2009). Buku saku
pencegahan kanker. Jakarta: Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular
Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan R.I. (2008). Profil
Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.
DiSaia, P.J., & Creasman, W.T. (2007). Clinical
gynecologic oncology (7th Ed.). St. Louis:
Mosby.
Gedaly-Duff, V., Lee, K., Nail, L.M., Nicholson,
H.S., & Johnson, K.P. (2006). Pain, sleep
disturbance, and fatigue in children with
cancer and their parents: A pilot study.
Oncology Nursing Forum, 33, 641–646.
National Sleep Foundation. (2013). Annual sleep in
America exploring connections with
communications technology use and sleep.
Diperoleh dari http://sleepfoundation.org/
media-center/press-release/annual-sleep-ame
rica-poll-exploring-connections-communicat
ions-technology-use-/page/0,1/.
National Sleep Foundation. (2013). Children and
sleep. Diperoleh dari http://sleepfoundation.
org/sleep-topics/children-and-sleep/page/0, 1/.
Nutter, D.A. (2007). Sleep disorder: problems
associated with other disorders. Diperoleh
dari http:// emedicine.medscape.com/article/
916611-ov erview.
Otto, S.E., & Fulton, J., & Langhorne, M. (2007).
Oncology nursing (5th Ed.) St. Louis:
Mosby.
Rosen, S., & Brand, S. (2011). Sleep in children
with cancer: Case review of 70 children
evaluated in a comprehensive pediatric sleep
center. Supportive Care in Cancer, 19 (7),
985–994. doi: 10.1007/s00520-010-0921-y.
RS Kanker Dharmais. (2013). Registrasi Cancer.
Diperoleh dari http://www.dharmais.co.id
/index.php/registrasi-cancer.html.
WHO: Children’s Health and The Environment.
(2006). Cancer statistic in children. Diperoleh
dari www.who.int/ceh.
WHO. (2010). Children’s Health and the
environment: Children and cancer.
Diperoleh dari
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/431
62/1/9241562927_eng.pdf
WHO: Children’s Health and The Environment.
(2010). Children and cancer. Diperoleh dari
www.who.int/ceh.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 88-94
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
MENURUNKAN INDEKS MASSA TUBUH PEREMPUAN DEWASA
DENGAN KELEBIHAN BERAT BADAN DAN KEGEMUKAN MELALUI
LATIHAN FISIK INTERVAL TRAINING
Irma Darmawati1,2*, Agus Setiawan3, Henny Permatasari3
1. Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan PPNI Jawa Barat, Bandung 40161, Indonesia
2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Sebagian besar kematian di dunia berhubungan dengan penyakit akibat kelebihan berat badan dan kegemukan. Latihan
fisik interval training menjadi alternatif untuk mengatasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
latihan fisik interval training terhadap Indeks Massa Tubuh dengan menggunakan metode eksperimental semu dengan
kelompok kontrol yang melibatkan 44 sampel perempuan dewasa dengan masalah kelebihan berat badan dan
kegemukan. Hasil penelitian menunjukan bahwa latihan fisik interval training dapat memberikan manfaat penurunan
Indeks Massa Tubuh setelah 12 kali latihan (p= 0,000). Perawat komunitas diharapkan dapat mengimplementasikan
latihan fisik interval training sebagai bagian dari program pencegahan penyakit tidak menular di masyarakat.
Kata kunci: indeks massa tubuh, kelebihan berat badan, kegemukan, latihan fisik interval training, perempuan dewasa
Abstract
Reducing Body Mass Index of Adult Female who has Excessive Weight and Obesity through Physical Exercise of
Interval Training. Most of the deaths in the world are predominantly caused by diseases associated with overweight
and obesity. Interval training exercise could be an alternative to overcome that problem. The aim of the study was to
explain the effect of the interval training exercise on Body Mass Index. This research used a quasi-experimental design,
pre-post with control group that involved 44 samples of female adult suffered from overweight and obesity. The results
showed that Interval training could give the significant reduction of the body mass index after 12 times exercises (p=
0,000). Community nurses may consider to implement interval training exercise as a promising strategy for non-
communicable disease prevention program.
Keywords: adult female, BMI, interval training exercis, obesity, overweight
Pendahuluan
Sebagian besar (63%) kematian di dunia disebab-
kan karena penyakit tidak menular (WHO, 2011).
Jenis penyakit tersebut diantaranya diabetes
melitus, jantung, stroke, dan kanker (WHO, 2011).
Penyakit-penyakit tersebut dapat dipicu secara
tidak langsung oleh masalah ketidakseimbangan
metabolisme tubuh yang diakibatkan oleh kele-
bihan berat badan dan kegemukan yang menjadi
masalah global di banyak negara (Keller, 2008).
Prevalensi masalah kelebihan berat badan dan
kegemukan di Indonesia mengalami peningkatan
pesat selama kurun waktu 7 tahun terakhir. Data
Kemenkes tahun 2013 menyebutkan prevalensi
kelebihan berat badan dan kegemukan mencapai
23,6%, meningkat dari tahun 2007 sebesar
10,3%. Kota Depok juga memiliki prevalensi
cukup tinggi yakni sebesar 16,4% pada populasi
penduduk dewasa dengan rentang usia 18–55
tahun pada tahun 2007 dengan sebaran tertinggi
pada perempuan dewasa (21,6%) pada usia lebih
dari 25 tahun (Rahmawati & Sudikno, 2008).
Upaya pengelolaan masalah kelebihan berat badan
dan kegemukan dapat dilakukan melalui opti-
malisasi tindakan pencegahan penyakit. Upaya
pencegahan ini dapat dilakukan oleh perawat
Darmawati, et al., Menurunkan Indeks Massa Tubuh Perempuan Dewasa 89
melalui latihan fisik bagi masyarakat. Latihan
fisik dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas
aktivitas fisik terbukti efektif dalam menurunkan
berat badan (Biggs, 2005). Salah satu bentuk
latihan fisik yang dapat dilakukan adalah interval
training. Latihan ini merupakan modifikasi dari
latihan dalam bentuk lari yang diselang-seling
dengan masa istirahat aktif (Boyd, 2012).
Whyte, Gill, dan Cathcar (2010) melakukan
penelitian yang dilakukan terhadap responden
dewasa dengan kelebihan berat badan dan
kegemukan. Intervensi latihan interval training
dilakukan selama enam kali pertemuan dalam dua
minggu dan memberikan hasil penurunan lingkar
pinggang dan lingkar panggul secara signifikan
(p= 0,004 dan p= 0,017). Peterson, Schnohr, dan
Sorensen (2004) berbeda pendapat, ditunjukkan
melalui studi longitudinal yang dilakukan pada
6279 responden dewasa di Copenhagen. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan tidak ada penga-
ruh aktivitas fisik terhadap kejadian kelebihan
berat badan dan kegemukan. Penelitian tersebut
menunjukkan fakta sebaliknya bahwa kelebihan
berat badan dan kegemukan yang menjadi penye-
bab dari aktivitas fisik yang rendah.
Fenomena tersebut mendorong peneliti untuk
mengadakan penelitian mengenai pengaruh
latihan fisik interval training terhadap Indeks
Massa Tubuh (IMT) perempuan dewasa dengan
kelebihan berat badan dan kegemukan di Ke-
lurahan X Kota Depok. Penelitian ini bertujuan
mengidentifikasi apakah terdapat perubahan
berat badan setelah dilaksanakannya intervensi
latihan fisik, berupa latihan interval training
berupa lari 1,5 menit diselingi dengan jalan
cepat selama tiga menit dengan durasi selama
50 menit dilakukan tiga kali dalam seminggu
selama empat minggu (12 kali perlakuan) pada
perempuan dewasa dengan status kelebihan
berat badan dan kegemukan.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kuantitatif dengan desain eksperimental semu
dengan kelompok kontrol dengan intervensi
latihan fisik interval training. Eksperimen yang
diberikan pada kelompok perlakuan adalah
latihan fisik 1,5 menit lari dilanjutkan tiga menit
istirahat aktif jalan santai, dilakukan pengulangan
sebanyak 10 kali dengan waktu total 50 menit/
pertemuan dan 150 menit/minggu.
Sampel dalam penelitian ini sebanyak 44 respon-
den yang ditentukan dengan menggunakan teknik
purposive sampling terhadap warga salah satu
kelurahan di Kota Depok. 22 responden dipilih
sebagai kelompok perlakuan dan 22 lainnya
sebagai kelompok kontrol. Sebelum penelitian
dilakukan, responden mendapat penjelasan ten-
tang prosedur penelitian. Jika responden setuju,
responden diminta menandatangani persetujuan
penelitian (informed consent).
Pengumpulan data penelitian menggunakan kue-
sioner yang berisi karakteristik dan lembar
observasi hasil pemeriksaan IMT. IMT yang
dikategorikan berdasarkan standar WHO (2004)
yaitu 25–29,9 menunjukkan masalah kelebihan
berat badan dan IMT ≥ 30 menunjukkan masalah
kegemukan. Analisis univariat digunakan untuk
menjelaskan karakteristik responden. Hasil pengu-
kuran IMT sebelum dan sesudah intervensi serta
perbedaan IMT pada kedua kelompok dianalisis
menggunakan uji t berpasangan setelah distribusi
data dipastikan normal.
Hasil
Responden sebagian besar berada pada rentang
dewasa pertengahan dengan tingkat pendidikan
tinggi dan hampir seluruh responden memiliki
persepsi bahwa kegemukan adalah masalah yang
harus diatasi. Seluruh responden memiliki ke-
biasaan mengonsumsi makanan tinggi lemak.
Seluruh responden mempunyai dan motivasi
intrinsik yang mendominasi motivasi responden
untuk berolahraga.
Rerata IMT pada kelompok intervensi dan kontrol
berada pada status nutrisi kelebihan berat badan
(overweight). Nilai IMT terkecil pada kedua
kelompok berada pada rentang status nutrisi
overweight dan nilai IMT terbesar berada pada
rentang status nutrisi kegemukan (obesitas). Hal
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 88-94 90
Tabel 1. Analisis Nilai IMT Sebelum Dilakukan
Latihan Interval Training pada Perempuan
Dewasa Kelebihan Berat Badan dan
Kegemukan
N Mean Median SD Min–Mak
IMT
(Kg/m2) 44 29,73 26,63 2,94 25,25–35,97
Tabel 2. Analisis Perubahan Nilai IMT pada
Kelompok Intervensi Perempuan Dewasa
Kelebihan Berat Badan dan Kegemukan
IMT (Kg/m2 ) n Mean SD p
Sebelum 22 29,84 2,94 0,001
Sesudah 22 29,42 2,98
Selisih -0,42 0,04
Tabel 3. Analisis Perubahan Nilai IMT pada
Kelompok Kontrol Perempuan Dewasa
Kelebihan Berat Badan dan Kegemukan
IMT (Kg/m2 ) n Mean SD p
Sebelum 22 29,62 3,01 0,030
Sesudah 22 29,91 3,14
Selisih 0,29 0,13
Tabel 4. Analisis Perbedaan Nilai IMT pada
Kelompok Intervensi dan Kontrol
Perempuan Dewasa Kelebihan Berat
Badan dan Kegemukan
IMT (Kg/m2 ) n Mean SD p
Intervensi 22 29,42 2,98 0,000
Kontrol 22 29,91 3,14
Setelah dilakukan latihan fisik interval training
pada kelompok intervensi selama 12 kali selama
4 minggu menunjukkan bahwa terjadi perubahan
yang bermakna pada IMT. Perubahan tersebut
adalah perubahan IMT bermakna positif atau
terjadi penurunan dari 29,84±2,94 menjadi 29,42±
2,98 (p= 0,001) (lihat pada Tabel 2).
Pada kelompok kontrol terjadi perubahan yang
bermakna negatif atau terjadi peningkatan dari
29,62±3,01 menjadi 29,91±3,14 (p= 0,03) (lihat
pada Tabel 3). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada perubahan yang bermakna pada nilai
IMT setelah dilakukan latihan fisik pada ke-
lompok perlakuan maupun pada kelompok
kontrol dengan nilai p= 0,000 (lihat pada Tabel
4).
Pembahasan
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan salah
satu indeks pengukuran yang dapat dilakukan
untuk menentukan status gizi. Perhitungan di-
dapatkan dengan membagi berat badan (Kg)
dengan kuadrat dari tinggi badan (meter).
Klasifikasi IMT menurut WHO (2004) diguna-
kan secara internasional di seluruh dunia yang
merefleksikan risiko diabetes tipe 2 dan penyakit
jantung yang menjadi penyebab utama kematian
pada kelompok usia dewasa yang angkanya
bervariasi di seluruh dunia.
Penelitian ini dilakukan pada responden dengan
nilai IMT diatas 25 Kg/m2. Rerata IMT seluruh
responden yang mengikuti penelitian ini berada
pada rentang kelebihan berat badan (overweight)
dengan nilai minimal IMT responden berada
pada rentang status kelebihan berat badan dan
rentang nilai maksimal pada status kegemukan.
Penelitian diikuti 23 responden dengan status
nutrisi kelebihan berat badan dan 21 responden
kegemukan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa respon-
den yang diberi latihan fisik selama 12 kali dalam
satu bulan memperlihatkan adanya perbedaan
bermakna pada nilai rerata IMT. Sebelum latihan
fisik interval training rerata IMT kelompok
intervensi lebih besar dibandingkan kelompok
kontrol, namun hasil sesudah latihan fisik menun-
jukkan sebaliknya. Setelah latihan fisik interval
training terjadi penurunan rerata IMT kelompok
intervensi dan kenaikan rerata IMT di kelompok
kontrol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peru-
bahan positif terjadi pada kelompok intervensi
dengan indikator adanya penurunan IMT dan
perubahan ke arah yang negatif terjadi pada
kelompok kontrol ditandai adanya peningkatan
nilai IMT.
Darmawati, et al., Menurunkan Indeks Massa Tubuh Perempuan Dewasa 91
Penurunan berat badan sebagai indikator pe-
nurunan nilai IMT menggambarkan peningkat-
an proses pemecahan lemak (lipolisis) dalam
tubuh responden yang terangsang oleh pening-
katan adiponektin dan interleukin 6 (IL-6) yang
dikeluarkan dalam sirkulasi darah selama ke-
giatan latihan fisik interval training dilakukan
(Pedersen & Edward, 2009). Penelitian yang
dilakukan oleh Shahram, Masoomeh, Reza,
dan Gholamreza (2011) menunjukkan bahwa
latihan fisik interval training dapat meningkat-
kan kadar adiponektin dan IL-6.
Kondisi tubuh saat melakukan latihan fisik akan
mengaktifkan IL-6 secara cepat dikarenakan
adanya kontraksi otot rangka. Lepasnya IL-6 ke
dalam sirkulasi darah akan menginduksi pem-
bakaran lemak yang terdapat di jaringan adiposa
subkutan dan visceral yang pada akhirnya akan
mampu menurunkan nilai IMT. Proses pemecah-
an lemak ini terjadi dalam kurun waktu 24–48
jam, dan jika latihan fisik dilanjutkan selama
4 minggu akan mampu menurunkan risiko
diabetes melitus tipe 2, serta menurunkan koles-
terol LDL dan trigliserida dalam tubuh (Biggs,
2005).
Interval training disebut juga latihan berselang
yang bercirikan adanya periode latihan diselingi
periode istirahat. Periode istirahat yang digunakan
merupakan istirahat yang aktif, dapat berupa
jalan, relaxed jogging, serta senam kelenturan
(Bompa & Haff, 2009). Dalam penelitian ini
digunakan jenis interval training tipe lambat yang
dilakukan selama 50 menit. Interval training dapat
melatih serabut otot tipe I dan tipe II secara ber-
samaan, meningkatkan kapasitas sistem fosfagen
dan sistem glikolisis, meningkatkan toleransi ter-
hadap kadar asam laktat, meningkatkan fungsi
sistem kardiorespiratori dan meningkatkan metabo-
lic rate sehingga mempercepat proses penurunan
berat badan (Bompa & Haff, 2009).
Latihan fisik mampu meningkatkan oksidasi lemak
5–10 kali lebih tinggi dibandingkan keadaan
normal (Horowitz & Klien, 2000). Lipolisis dapat
meningkat 3 kali lipat setelah dilakukan latihan
fisik selama 30 menit. Lipolisis pada setiap
individu berbeda-beda, orang yang tidak terlatih
akan mengalami proses lipolisis yang lambat
dibandingkan orang yang terlatih melakukan
latihan fisik selama 4 minggu (Horowitz & Klien,
2000). Peningkatan proses lipolisis pada saat
latihan fisik akan menurunkan kandungan lemak
di jaringan lemak sehingga sel adiposit mengecil.
Pengecilan ukuran ini akan menyebabkan ber-
kurangnya massa jaringan lemak individu dan
menurunkan berat badan seseorang (Horowitz &
Klien, 2000).
Boyd (2012) melakukan penelitian dengan inter-
vensi latihan interval training selama tiga minggu
(sembilan kali latihan). Penelitian dilakukan
terhadap 19 responden dewasa dengan tingkat
aktifitas fisik ringan. Penelitian ini menyebutkan
bahwa dengan melakukan latihan interval training
berkorelasi positif terhadap penurunan kadar
IL-6, adiponektin, dan TNFα sebagai indikator
penurunan indikator penurunan berat badan pada
manusia. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa
latihan interval training dapat menurunkan berat
badan IMT. Perubahan nilai IMT dalam
penelitian Boyd (2012) hampir sama dengan
perubahan nilai IMT dalam penelitian ini yakni
sebesar penurunan sebesar 0,42 Kg/m2.
Selanjutnya penelitian ini didukung hasil
penelitian Leegate, Carter, Evans, Vennard,
Sribala, dan Nimmo (2012) yang melakukan 10
kali latihan fisik interval training selama 2 minggu
dengan hasil penurunan IMT dari 29,1±3,1 menjadi
29,0±3,2. Sehingga dapat dikatakan ketiga pene-
litian ini saling mendukung dan membuktikan
bahwa latihan fisik interval training mampu
memberikan manfaat penurunan IMT terhadap
responden.
Penurunan nilai IMT pada responden kelebihan
berat badan dan kegemukan berkorelasi positif
dengan penurunan risiko penyakit akibat gang-
guan metabolisme seperti diabetes melitus. Proses
metabolisme tubuh seseorang memegang peranan
penting dalam mengontrol pencernaan, menyim-
pan zat makanan, serta mengeluarkan produk sisa
metabolisme dari tubuh (Keller, 2008). Jika hal
tersebut terganggu maka pemenuhan kebutuhan
nutrisi ke dalam sel secara keseluruhan akan
terganggu dan secara tidak langsung dapat meng-
akibatkan produktivitas seseorang berkurang.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 88-94 92
Peterson, et al., (2004) mengemukakan pendapat
bahwa kelebihan berat badan dan kegemukan
menjadi penyebab dari produktivitas yang rendah
dan berdampak pada kualitas hidup yang rendah
karena adanya ancaman penyakit dan ketidak-
puasan dalam hidup.
Optimalisasi kualitas hidup seseorang dapat di-
capai jika pemenuhan kebutuhan dasar seseorang
terpenuhi termasuk kebutuhan fisiologis yang
meliputi masalah nutrisi didalamnya. Perawat
komunitas memiliki peran penting dalam upaya
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat melalui
peran perawat pelaksana dan konsultan. Sebagai
konsultan, perawat dapat melakukan berbagai
upaya implementasi keperawatan berupa terapi
perilaku bagi masyarakat. Wargahadibrata (2014)
mengemukakan terapi perilaku bagi individu
dengan kelebihan berat badan dan kegemukan
dilakukan untuk membentuk perilaku sehat yang
meliputi makan makanan bergizi dan hidup aktif.
Terapi diberikan dengan harapan dapat memben-
tuk masyarakat yang berperilaku hidup sehat dan
aktif yang dilakukan menjadi sebuah kebiasaan
tanpa keterpaksaan. Tujuan penurunan berat badan
pada masyarakat harus menekankan pada ke-
untungan upaya pengelolaan berat badan untuk
menurunkan proporsi lemak tubuh sehingga
mampu mencegah komplikasi penyakit akibat
kegemukan untuk mencapai harapan hidup yang
sehat, produktif, dan berkualitas (Wargahadibrata,
2014).
Salah satu upaya perawat dalam pemenuhan
kebutuhan fisiologis yang adekuat terhadap
masyarakat adalah melalui upaya pendidikan
kesehatan terkait nutrisi dan perencanaan latihan
fisik untuk menurunkan berat badan. American
Nurse Practitioner Foundation (2013) men-
diskusikan pencegahan dan strategi penata-
laksanaan obesitas pada kelompok usia dewasa
yang mudah diimplementasikan dalam praktik
keperawatan diantaranya meliputi pengukuran
antropometri (berat badan, tinggi badan, dan
lingkar pinggang), pendidikan kesehatan ter-
kait nutrisi, serta pembahasan mengenai target
aktivitas fisik yang akan dilakukan oleh klien.
Optimalisasi aktivitas klien dapat dilakukan
melalui pelaksanaan latihan fisik yang terukur
dan dilakukan berkelanjutan oleh kelompok usia
dewasa.
Perawat perlu memfasilitasi masyarakat untuk
mencapai tujuan pengelolaan berat badan melalui
pelaksanaan intervensi keperawatan yang sesuai
dengan keunikan individu. Intervensi keperawatan
tersebut diharapkan memenuhi target SMART:
spesifik, dapat diukur (measurable), dapat dicapai
(achievable), serta dengan target waktu yang
jelas (time-bound goals) (American Nurse Prac-
titioner Foundation, 2013).
Pelaksanaan latihan fisik interval training pada
perempuan dewasa dengan kelebihan berat badan
dan kegemukan sudah sesuai dengan target
SMART dan direkomendasikan American College
of Sport Medicine (ACSM) sebagai salah satu
jenis latihan fisik daya tahan (endurance exercise)
yang dapat menurunkan IMT termasuk berat
badan didalamnya. Latihan fisik interval training
yang direkomendasikan menggunakan interval
training tipe cepat maupun lambat, dengan
intensitas sedang, lama olahraga 150 menit dalam
satu minggu dan ditingkatkan sampai 250–300
menit/ minggu (ACSM, 2014).
Latihan fisik interval training akan mampu
memberikan manfaat penurunan IMT lebih besar
jika latihan dilanjutkan dengan jangka waktu yang
lebih panjang. Menurut hasil sistematik review
yang dilakukan oleh Vissers, Hens, Taeymans,
Baeyens, Poortmans, dan Gaal (2013), waktu
pelaksanaan latihan fisik yang efektif untuk
menurunkan berat badan tanpa dikontrol pengu-
rangan jumlah kalori adalah adalah dengan
durasi tiga kali per minggu selama 12 minggu
dengan jenis latihan fisik daya tahan (endurance
exercise), termasuk interval training salah satunya.
Program latihan fisik interval training dapat ber-
guna bagi masyarakat untuk pencegahan penyakit
akibat kelebihan berat badan dan kegemukan
yang dapat diaplikasikan melalui kegiatan mandiri
di masyarakat seperti pos pembinaan terpadu
(posbindu). Kegiatan tersebut dapat berupa penge-
cekan kesehatan secara berkala, mengurangi asap
rokok, menjaga aktifitas fisik, diet sehat dan
seimbang, istirahat cukup, dan mengelola stres.
Penerapan kegiatan tersebut ditujukan untuk
Darmawati, et al., Menurunkan Indeks Massa Tubuh Perempuan Dewasa 93
mengembangkan aktivitas masyarakat untuk
mengendalikan faktor risiko penyakit tidak
menular secara mandiri oleh masyarakat. Selain
itu latihan interval training dapat dijadikan
alternatif bagi program pemerintah dalam program
pengendalian berat badan aparat pemerintahan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat. Menurunnya angka kelebihan berat
badan dan kegemukan pada aparat negara mampu
meningkatkan produktivitas kerja dan menghi-
langkan citra negatif aparat karena kegemukan.
Selain itu penurunan angka kelebihan berat badan
dan kegemukan diharapkan mampu mengen-
dalikan pengeluaran kesehatan pegawai karena
keluhan dan penyakit yang berhubungan dengan
masalah ketidakseimbangan metabolisme yang
disebabkan oleh kegemukan.
Kesimpulan
Responden yang terlibat dalam penelitian selu-
ruhnya berjenis kelamin perempuan sebagian
besar berada pada rentang dewasa pertengahan.
Status nutrisi responden berada pada rentang
kelebihan berat badan. Upaya yang dapat di-
lakukan untuk mengelola berat badan responden
adalah latihan fisik interval training. Latihan
dilakukan dengan cara melakukan 1,5 menit lari
dilanjutkan tiga menit istirahat aktif jalan santai,
dilakukan pengulangan sebanyak 10 kali dengan
waktu total 50 menit/ pertemuan dan 150 menit/
minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
responden yang melakukan latihan fisik selama
12 kali dalam satu bulan memperlihatkan adanya
perubahan yang bermakna pada responden di
kelompok perlakuan.
Hasil penelitian dapat menjadi masukan bagi pera-
wat untuk lebih peduli dan mencegah penyakit-
penyakit tersebut melalui upaya promotif dan
preventif. Penerapan penelitian ini dapat diikut-
sertakan dalam kegiatan di masyarakat melalui
posbindu di setiap wilayah. Selanjutnya direko-
mendasikan pada kelompok perempuan dewasa
untuk melakukan latihan fisik interval training 3
kali seminggu dengan target waktu 150 menit/
minggu. Saran bagi penelitian selanjutnya untuk
melanjutkan penelitian dengan menambahkan
waktu pelaksanaan latihan fisik interval training
dengan jangka waktu menjadi 12 minggu dengan
mengukur pola makan pada responden untuk
mengetahui pengaruh diet digabung dengan in-
tervensi latihan fisik interval training terhadap
IMT (AG, PN, INR).
Referensi
ACSM. (2014). ACSM information on high
intensity interval training. ACSM.
American Nurse Practitioner Foundation. (2013).
Nurse practitioners and the prevention and
treatment of adult obesity. Austin:
American Nurse Practitioner Foundation.
Biggs, C. (2005). Impact of physical activity on
health indicator in overweight and obesity.
Pharmacy Post, 13 (10). 1–8. Diperoleh
dari
http://www.canadianhealthcarenetwork.ca/
files/2009/10/PPOCE_Oct_E.pdf
Boyd, J.C. (2012). The impact of interval intensity
in overweight young men. Diperoleh dari
http://qspace.library.queensu.ca/bitstream/
1974/7540/1/Boyd_John_C_201209_MSc.pdf.
Bompa, T.O., & Haff, G.G. (2009). Periodization:
Theory and methodology of training (5th
ed.). Illinois: Human Kinetics Publishers.
Corte de Araujo, A.C., Rosche, H., Picanc, A.R.,
Leite do, D.M., Villares, S.M.F., De Sa
Pinto, A.l., Gualano, B. (2012). Similar
health benefits of endurance and high-
intensity interval training in obese. Plos
One Exercise and Juvenile Obesity, 1–8.
Green, D., Campbel, L., & Wallman, K. (2010).
Effect of intermitent exercise on physiological
outcome in an obese population: Continuous
versus interval walking. Journal of Sports
Science and Medicine (2010) 09. 24–30.
Horowitz, J., & Klien, S. (2000). Lipid metabolism
during endurance exercise. Am J of Clin
Nutrition, 558–563.
Keller, K. (2008). Encyclopedia of obesity.
Thosand Oak: Sage Publications, Inc.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 88-94 94
Kemenkes RI. (2013). Penyajian pokok-pokok
hasil riset kesehatan dasar 2013. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kemenkes RI.
Leegate, M., Carter, W.G., Evans, M., Vennard,
R.A., Sribala, S., & Nimmo, M.A. (2012).
Determination of inflammatory and
prominent proteomic changes in plasma
and adipose tissue after high-intensity
intermittent training in overweight and
obese males. J Appl Physiol, 112(8).
1356–1360. doi:
10.1152/japplphysiol.01080.2011.
Pedersen, B., & Edward, F. (2009). Adolph
distinguished lecture: Muscle as an
endocrine organ: IL 6 and other myokinens.
J Appl Physiolo, 107 (4), 1006–1014.
Peterson, L., Schnohr, P., & Sorensen, T. (2004).
Longitudinal study of the long term
relation between physical activity and
obesity in adults. International Journal of
Obesity, 28(1). 105–112.
Rahmawati & Sudikno. (2008). Faktor-Faktor yang
berpengaruh terhadap status gizi obesitas
orang dewasa di Kota Depok tahun 2007.
The Indonesian Journal of Clinical
Nutrition.
Shahram, S., Masoomeh, K., Reza, I., &
Gholamreza, F. (2011). Adiponectin
responses to vontinues and intermitten
training in non athlete obese women.
European Journal of Experimental Biology,
1 (4): 216–220.
Sudikno, Herdayati, M., & Besral. (2010). Hubungan
aktifitas fisik dengan kejadian obesitas pada
orang dewasa di Indonesia. Journal of the
Indonesian Nutrition Association, 33. 37–
49.
Wargahadibrata, A. F. (2014). Kelebihan berat
badan dan kegemukan "berat badan turun:
sehat dan lestari". Bandung: Familia Medika.
WHO. (2004). Appropriate body-mass index for
Asian populations and its. The Lancet,
363, 157–163.
WHO. (2011). Global status report on
communicable disease 2010. Italy: WHO.
WHO. (2011). Non communicable disease Country
profile 2011. Geneva: WHO Press.
WHO. (2013). Obesity and overweight. Diperoleh
dari http://www.who.int/mediacentre/fact
sheets /fs311/en/.
Whyte, L.J., Gill, J.M., & Cathcar, A.J. (2010).
Effect of 2 weeks of sprint interval training
on health-related outcomes in sedentary
overweight/ obese men. Metabolism
Clinical and Experimental, 59 (10). 1421–
1428.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 95-101
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
PENGARUH PEMBERIAN AUGMENTATIVE AND ALTERNATIVE
COMMUNICATION (AAC) TERHADAP KEMAMPUAN FUNGSIONAL
KOMUNIKASI DAN DEPRESI PASIEN AFASIA MOTORIK
Amila1*, Ratna Sitorus2, Tuti Herawati2
1. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Afasia motorik merupakan salah satu gangguan komunikasi yang terjadi akibat stroke yang dapat menyebabkan
gangguan kemampuan fungsional komunikasi dan depresi. Pasien dengan afasia motorik membutuhkan alat pengganti
komunikatif yang efektif. Salah satu alat pengganti komunikasi adalah Augmentative and Alternatif Communication
(ACC) yang merupakan alat komunikasi pengganti dengan menggunakan papan elektronik berupa gambar dan simbol.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian AAC terhadap kemampuan fungsional komunikasi dan
depresi pasien stroke dengan afasia motorik. Peneliti menggunakan desain quasi experiment post test non equivalent
control group pada 21 responden yang terbagi menjadi 11 responden pada kelompok kontrol dan 10 responden pada
kelompok intervensi. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna rerata depresi antara
kelompok kontrol dengan intervensi (p= 0,542), namun terdapat perbedaan yang tidak bermakna rerata kemampuan
fungsional antara kelompok kontrol dan intervensi (p= 0,022). Hasil penelitian ini merekomendasikan AAC menjadi
salah satu alternatif intervensi untuk memfasilitasi komunikasi, sehingga dapat menurunkan depresi pasien stroke
dengan afasia motorik.
Kata kunci: afasia motorik, augmentative and alternative communication, depresi, stroke
Abstract
The Effect of Augmentative and Alternative Communication towards Depression and Communication Functional
Ability of Patient with Motoric Aphasia. The purpose of this study was to determine the influence of conducting
communication by AAC to the communication functional ability and depression for stroke patients with motor aphasia.
The study design used was quasi experiment by approaching post test non equivalent control group for 21 respondents
consist of 11 people of control group and 10 people of the intervention group. The results showed that no significant
difference in the average communication functional ability between the control group and intervention group (p=
0,542), but there were significant differences between the average depression of control and intervention group (p=
0,022). Based on the results of study, the giving by AAC could be one of the nursing intervention for facilitating
communication that will decrease depression to the stroke patient with motor aphasia.
Keywords: augmentative and alternative communication, depression, motoric aphasia, stroke
Pendahuluan
Stroke merupakan gangguan yang terjadi pada
aliran darah khususnya aliran darah pada pembu-
luh arteri otak yang dapat menimbulkan gangguan
neurologis. Di Indonesia, diperkirakan setiap
tahun sekitar 500.000 penduduk terkena serangan
stroke dan sekitar 125.000 orang meninggal dan
sisanya mengalami cacat ringan atau berat
(Yastroki, 2011).
Stroke dapat mengakibatkan manifestasi klinik
yang beragam. Manifestasi yang timbul akibat
stroke sangat tergantung pada luasnya area otak
yang mengalami kerusakan dan jenis pembuluh
darah atau area perfusi yang terganggu (Silbernagl
& Lang, 2007). Pembuluh darah yang sering
mengalami gangguan pada pasien stroke adalah
pembuluh darah arteri serebri media. Manifestasi
yang timbul akibat gangguan pada arteri media
adalah afasia.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 95-101
96
Afasia merupakan gangguan interpretasi dan
formulasi simbol bahasa yang disebabkan oleh
cedera otak atau proses patologik stroke, per-
darahan otak, tumor otak pada lobus frontal,
temporal atau parietal yang mengatur kemam-
puan berbahasa yaitu area Broca, area Wernicke
dan jalur yang menghubungkan antara keduanya.
Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer
kiri otak yang merupakan tempat kemampuan
berbahasa (Price & Wilson, 2006). Diperkirakan
sekitar 21%–35% pasien stroke akut dapat
mengalami afasia (Salter, Jutai, Foley, Hellings,
& Teasell, 2006).
Menurut Lumbantobing (2011) beberapa bentuk
afasia mayor adalah afasia sensoris (Wernicke),
motorik (Broca), dan Global. Afasia motorik
terjadi akibat lesi pada area Broca di lobus
frontal yang ditandai dengan kesulitan dalam
mengkoordinasikan pikiran, perasaan dan kemau-
an menjadi simbol bermakna dan dimengerti
oleh orang lain dalam bentuk ekspresi verbal
dan tulisan.
Afasia memberikan dampak pada berbagai
aspek kehidupan. Terutama pada kesejahteraan
pasien, kemandirian, partisipasi sosial, dan
kualitas hidup pasien. Dampak ini muncul
diakibatkan komunikasi yang tidak adekuat
antara pasien dan lingkungan. Kondisi mortilitas
yang tinggi dan kemampuan fungsional yang
rendah pada pasien afasia dapat terjadi karena
pasien tidak mampu mengungkapkan apa yang
pasien inginkan, tidak mampu menjawab per-
tanyaan atau berpartisipasi dalam percakapan.
Ketidakmampuan ini menyebabkan pasien men-
jadi frustasi, marah, kehilangan harga diri, dan
emosi pasien menjadi labil yang pada akhirnya
dapat menyebabkan pasien menjadi depresi
(Mulyatsih & Ahmad, 2010).
Depresi paska stroke (DPS) merupakan gangguan
mood yang dapat terjadi setiap waktu pada
fase akut atau satu tahun paska stroke dengan
puncaknya terjadi pada bulan pertama (Dahlin,
et al., 2007). Menurut Amir (2005), frekuensi
depresi lebih tinggi pada pasien afasia motorik
daripada afasia global (71% : 44%). Tingginya
frekuensi depresi pada pasien afasia motorik
disebabkan oleh tingginya kesadaran pasien
akan ketidakmampuan yang dialami pasien.
DPS memiliki efek negatif terhadap pemulihan
fungsi kognitif, aktivitas hidup sehari-hari dan
dapat meningkatkan kematian (Caiero, Ferro,
Santos, & Luis, 2006). Pasien akan menarik
diri dari kegiatan sosial, menjadi rendah diri,
dan rehabilitasi yang tidak optimal.
Hasil sistematik review yang dilakukan Poslawsky,
Schuurmans, Lindeman, dan Hafstensdottir
(2010), menjelaskan tentang kontribusi perawat
dalam latihan wicara secara intensif yang
dimulai pada fase akut menunjukkan hasil reha-
bilitasi yang terbaik terhadap fungsi berbahasa
pasien afasia. Berdasarkan hasil tersebut, peran
perawat untuk melatih wicara yang dimulai sejak
fase akut sangat penting untuk tercapainya
proses rehabilitasi yang optimal pada pasien
afasia. Studi ini juga menjelaskan keterlibatan
keluarga pada proses latihan juga dibutuhkan
untuk memberikan dalam proses pemulihan
bahasa dan pelaksanaan latihan komunikasi
pasien, baik selama di rumah sakit ataupun di
rumah. Studi ini sejalan dengan Bullan, Chiki,
dan Stern (2007) yang menjelaskan pentingnya
keterlibatan anggota keluarga dan teman dalam
latihan untuk meningkatkan efektivitas rehabilitasi.
Gangguan komunikasi pada pasien afasia me-
merlukan intervensi keperawatan yang tepat.
Beberapa alat bantu komunikasi yang dapat
digunakan pada pasien afasia menurut Nursing
Interventions Classification (NIC) adalah peng-
gunaan perangkat elektronik, papan alfabet,
papan gambar/ flash card yang berisi gambar
kebutuhan dasar, stimulus visual, alat tulis,
kata-kata yang sederhana, bahan yang berisi
tulisan atau gambar yang dapat ditunjuk oleh
pasien (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).
Intervensi keperawatan tersebut merupakan
bagian dari Augmentative and Alternatif Commu-
nication (AAC).
Menurut Johnson, Hough, King, Vos, dan Jeffs,
(2008), AAC merupakan pengganti komunikasi
verbal seseorang. AAC terdiri dari low tech-
nology dan high technology. AAC dengan low
technology yaitu komunikasi tanpa menggunakan
Amila, et al., Pengaruh Pemberian Augmentative and Alternative
97
elektronik, seperti papan komunikasi yang
berisi gambar/simbol dan tulisan berisi gambar.
AAC yang menggunakan elektronik adalah high
technology, seperti komputer. AAC memberikan
keuntungan terhadap kemampuan bahasa dan
berkomunikasi, meningkatkan kemandirian dan
perkembangan hubungan sosial dan membantu
perawat berkomunikasi dengan pasien yang menga-
lami keterbatasan komunikasi verbal (Clarkson,
2010).
Beberapa penelitian tentang manfaat pemberian
latihan komunikasi terhadap kemampuan fungsional
komunikasi diatas telah banyak dikembangkan
oleh beberapa peneliti. Hasil penelitian oleh
Bhogal, Teasell, Foley, dan Speechley (2003) yang
menggunakan kartu gambar dalam latihan wicara
pada afasia selama 30 jam selama 10 hari
menunjukkan peningkatan kemampuan berbahasa,
penamaan, dan pemahaman berbahasa yang
dievaluasi dengan tes wicara (Token Test).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bakheit,
et al., (2007) yang menggunakan media gambar
(orientasi tugas menyeleksi gambar, penamaan
objek, menjelaskan, dan mengenalkan hubungan
antara kedua item) pada 2 kelompok dengan
durasi yang berbeda (5 jam dan 2 jam) selama
12 minggu, menunjukkan perbedaan yang
bermakna terhadap kemampuan berbahasa
pada kelompok standar dengan waktu 2 jam
(p= 0,002) dibandingkan dengan kelompok
intensif dengan waktu 5 jam (p> 0,05).
Dari kedua penelitian terdapat berbagai variasi
intensitas dan durasi latihan komunikasi, tetapi
yang terpenting latihan harus dimulai sedini
mungkin setelah melewati fase akut dan dalam
kondisi stabil. Pendapat ini didukung oleh
penelitian Bakheit, et al., (2007), latihan secara
intensif dapat meningkatkan neuroplastisitas,
reorganisasi peta kortikal dan meningkatkan
fungsi motorik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat
ruangan, selama ini penanganan pasien stroke
yang mengalami afasia hanya berfokus pada
penanganan fisik saja. Pemberian alat bantu
komunikasi pada pasien afasia hanya diberikan
isyarat atau alat tulis tanpa diberikan stimulasi
latihan, sehingga tidak sepenuhnya mendukung
pasien untuk memfasilitasi komunikasi dan
meningkatkan komunikasi pasien selama di
rumah sakit. Perawat juga tidak mengetahui kalau
pasien mengalami afasia, karena tidak mendeteksi
adanya afasia, sehingga latihan komunikasi
terlambat/ tidak dilakukan. Keadaan ini akan
memperlambat pola penyembuhan dan pasien
akan mengalami depresi karena tidak mampu
dalam berkomunikasi. Penelitian ini bertujuan
mengetahui pengaruh pemberian AAC terhadap
kemampuan fungsional komunikasi dan depresi
pada pasien stroke dengan afasia motorik dengan
mengidentifikasi perbedaan rerata kemampuan
fungsional komunikasi dan depresi sesudah
diberikan AAC.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain penelitian
quasi experiment dengan pendekatan post test
non equivalent control group, dengan jumlah
sampel 11 kontrol dan 10 intervensi yang
ditetapkan dengan teknik consecutive sampling.
Kriteria inklusi sampel antara lain: pasien yang
didiagnosa stroke hemoragik dan non-hemoragik
yang mengalami afasia motorik. Penentuan afasia
motorik dibuat berdasarkan format Frenchay
Aphasia Screening Test (FAST), kesadaran kompos
mentis, pasien yang ditunggu oleh keluarganya
dan terlibat dalam latihan komunikasi, pasien, dan
keluarga bersedia menjadi responden. Sedangkan
kriteria ekslusi meliputi pasien dengan disar-
tria, mempunyai riwayat depresi sebelum stroke,
pasien yang mendapat terapi antidepresan dan
mengalami peningkatan tekanan intrakranial
(adanya muntah proyektil, pusing, tekanan darah
tidak stabil, penurunan kesadaran).
Proses pengumpulan data dilaksanakan di ruang
neurologi di tiga RSUD di Jawa Barat. Latihan
komunikasi dengan AAC dilakukan 3 kali sehari,
yaitu pada pagi hari pukul 09.00, siang hari
pukul 13.00 dan sore hari pukul 15.00 WIB dengan
frekuensi waktu 30 menit. Latihan komunikasi
juga melibatkan keluarga menggunakan pedoman
kebutuhan aktivitas sehari-hari yang disusun oleh
peneliti dengan tugas menyebutkan penamaan,
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 95-101
98
pengulangan, membaca, mengeja, dan menulis
dan dilakukan selama 90 menit. Total latihan
ini 30 jam selama 10 hari. Waktu 30 jam selama
10 hari merupakan waktu yang pernah digunakan
oleh Bhogal, et al., (2003) yang menggunakan
constraint induced therapy (menggunakan kartu
bergambar) dalam latihan wicara.
Hasil
Hasil analisis univariat mendapatkan data
rerata umur responden adalah 62,10 tahun,
dengan umur termuda 42 tahun dan tertua 76
tahun. Sebagian besar responden memiliki jenis
kelamin laki–laki yaitu 13 orang (61,90%).
Distribusi karakteristik responden berdasarkan
banyaknya jumlah serangan stroke menunjukkan
bahwa dari 21 orang responden, sebagian besar
responden memiliki jumlah serangan stroke 1 kali
sebanyak 11 orang (52,38%). Rerata
ketidakmampuan fisik responden adalah 25,48
dengan ketidak-mampuan fisik terendah 10
dan tertinggi 40. Rerata dukungan keluarga
responden adalah 46,48 dengan dukungan
keluarga terendah 39 dan tertinggi 53. Rerata
kemampuan fungsional komunikasi responden
adalah 10,86 dengan kemampuan fungsional
komunikasi terendah 8 dan tertinggi 14.
Analisis bivariat perbedaan kemampuan
fungsional komunikasi dan depresi sesudah
diberikan komunikasi dengan AAC
digambarkan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Berdasarkan hasil analisis Tabel 1, didapatkan
rerata kemampuan fungsional komunikasi
responden kelompok kontrol adalah 10,64 dengan
standar deviasi 1,748, sedangkan rerata
kemampuan fungsional komunikasi responden
kelompok intervensi adalah 11,10, dengan
standar deviasi 1,663. Hasil analisis lebih lanjut
menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang bermakna rerata kemampuan fungsional
komunikasi antara kelompok kontrol dengan
intervensi.
Tabel 2 menjelaskan rerata depresi pada
kelompok kontrol adalah 9,64 dan pada kelompok
intervensi adalah 8,30. Analisis lebih lanjut
menyimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna
rerata depresi antara kelompok kontrol dan
intervensi (p= 0,022).
Hasil uji pengaruh faktor-faktor perancu terhadap
kemampuan fungsional komunikasi dan depresi
(umur, jenis kelamin, frekuensi serangan stroke,
ketidakmampuan fisik, dan dukungan keluarga)
pada pasien stroke dengan afasia motorik yang
diberikan komunikasi dengan AAC memperoleh
kesimpulan bahwa secara garis besar faktor-
faktor perancu tidak berpengaruh terhadap
kemampuan fungsional komunikasi dan depresi,
kecuali frekuensi serangan stroke berpengaruh
terhadap depresi (p= 0,048).
Tabel 1. Perbedaan Kemampuan Fungsional Komunikasi antara Kelompok Kontrol dan Intervensi Pasien
Afasia Motorik
Variabel n Mean SD SE T Mean Diff
95% p
Kemampuan Fungsional Komunikasi
Kontrol 11 10,64
1,748 0,527
-0,621
-0,464
-2,026 – 1,099
0,542 Intervensi 10 11,10 1,663 0,526
Tabel 2. Perbedaan Depresi antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi Pasien Afasia Motorik
Variabel n Mean SD SE T Mean Diff
95% p
Depresi
Kontrol 11 9,64 1,1 0,388
2,491
1,336
0,213–2,459
0,022* Intervensi 10 8,30 1,160 0,367
*signifikan pada α= 0,05
Amila, et al., Pengaruh Pemberian Augmentative and Alternative
99
Pembahasan
Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian
AAC terhadap kemampuan fungsional komuni-
kasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia
motorik antara kelompok kontrol dan intervensi
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang
bermakna terhadap kemampuan fungsional komu-
nikasi, namun terdapat perbedaan yang bermakna
terhadap depresi sesudah diberikan AAC pada
pasien stroke dengan afasia motorik. Hasil
analisis variabel perancu didapatkan frekuensi
serangan stroke berhubungan dengan depresi.
Hasil penelitian terhadap kemampuan fungsional
komunikasi menjadi tidak signifikan. Hal ini
dapat disebabkan karena latihan komunikasi
yang dilakukan terlalu singkat hanya 10 hari,
sehingga tidak maksimal untuk memperbaiki
kemampuan fungsional komunikasi pada semua
subjek penelitian karena berat stroke dan derajat
keparahan afasia subjek penelitian bervariasi
dan terdapat variasi pada setiap individu dalam
hal waktu pemulihan. Faktor lain, seperti gangguan
kognitif, motivasi pasien juga memengaruhi
kemampuan fungsional komunikasi pasien.
Sementara hasil penelitian terhadap depresi
memberikan pengaruh yang signifikan pada
pasien stroke dengan afasia motorik. Nilai
depresi pada kelompok kontrol adalah 9,64
dan kelompok intervensi adalah 8,30. Menurut
Benaim, Cailly, Perennou, dan Pelissier (2004),
dalam instrumen depresi (ADRS), dikatakan
depresi apabila skor pasien sama atau lebih
dari 9.
Penggunaan alat bantu visual seperti gambar,
tulisan dengan beberapa kata kunci, alat tulis
dapat memfasilitasi pemahaman dan ekspresi
pasien afasia (Clarkson, 2010). Hal ini sejalan
dengan pendapat Kusumoputro (1992) bahwa
efektifitas terapi afasia akan meningkat jika
latihan menggunakan bentuk stimulus audio
dalam bentuk musik dan stimulus visual dalam
bentuk gambar-gambar serta lukisan. Sedangkan
mengajak pasien bercakap-cakap merupakan
terapi dengan pendekatan strategi komunikasi
untuk mengembangkan kemampuan komunikasi
(Kusumoputro, 1992).
Terapi intonasi lagu dapat digunakan pada pasien
afasia dengan kemampuan ekspresi verbal minim
(Kusumoputro, 1992; Wirawan, 2009). Pemberian
stimulasi melalui lagu, menyanyikan, dan
menyuarakan lagu sebelum pasien sakit akan
lebih bermanfaat dengan memfungsikan hemisfer
kanan karena hemisfer kiri (dominan) mengalami
kerusakan. Selain itu musik juga dapat digu-
nakan pasien depresi untuk mengekspresikan
emosinya, sehingga dapat mengurangi depresi
paska stroke (American Music Association,
2005).
Hasil penelitian ini setelah diberikan AAC
pada kelompok intervensi ditemukan penurunan
nilai depresi. Berdasarkan hasil pengamatan
pasien mampu mengkomunikasikan kebutuhan
melalui pemberian buku komunikasi dan objek
yang ada disekitar ruangan dengan menunjukkan
gambar, sehingga pasien dapat berinteraksi
dengan keluarga dan petugas kesehatan.
Menurut hasil penelitian Finke, Light, dan Kitko
(2008) bahwa komunikasi dengan AAC dapat
membantu perawat berkomunikasi pada pasien
yang mengalami keterbatasan komunikasi verbal.
Penelitian ini diperkuat oleh hasil penelitian
(Clarkson 2010) bahwa AAC dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi pasien, memperbaiki
kehidupan seseorang dengan meningkatkan ke-
mandirian dan perkembangan hubungan sosial,
sehingga akan memengaruhi kualitas hidup. Hal
ini dapat terjadi karena pasien yang menggu-
nakan AAC pada umumnya memiliki kepuasan
dalam hubungan dengan keluarga, teman, dan
aktivitas hidup yang menyenangkan.
Jumlah serangan stroke akan berpengaruh terhadap
kerusakan otak lebih luas, sehingga dapat me-
mengaruhi wicara dan bahasa. Menurut pendapat
Silbernagl dan Lang (2007) bahwa manifestasi
klinis stroke ditentukan berdasarkan area serebri
yang terkena. Walaupun frekuensi serangan
stroke terjadi satu kali, namun bila stroke mengenai
lobus frontalis pada hemisfer kiri dominan,
kemungkinan pasien akan mengalami afasia
dan gangguan mood. Menurut hasil penelitian
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 95-101
100
Lee, et al., (2009) bahwa lesi pada hemisfer kiri
lebih sering menyebabkan depresi daripada lesi
hemisfer kanan dan lebih berat jika lesi men-
dekati lobus frontal kiri.
Keterbatasan dalam penelitian ini subjek pene-
litian tidak sesuai dengan target penelitian,
karena beberapa responden mengalami drop out.
Waktu latihan selama 10 hari tergolong singkat,
sehingga tidak maksimal untuk memperbaiki
kemampuan komunikasi karena responden
memiliki berat stroke dan derajat keparahan
afasia yang bervariasi dalam hal waktu pemulihan
bicara. Selain itu instrumen yang digunakan untuk
menilai kemampuan fungsional komunikasi dan
depresi ini walaupun sudah dilakukan interrater,
tetapi pada instrumen kemampuan fungsional
komunikasi masih membutuhkan acuan/alat
yang membuat penilaian menjadi lebih objektif
diantara peneliti dan asisten peneliti. Untuk
instrumen penilaian depresi, tidak semuanya
dilakukan observasi dan ada beberapa item
observasi yang perlu dikembangkan agar pe-
nilaian observasi lebih objektif.
Kesimpulan
Penelitian ini membuktikan bahwa tidak adanya
perbedaaan yang bermakna terhadap kemampuan
fungsional komunikasi sesudah diberi komunikasi
dengan AAC. Pada pasien depresi terdapat perbe-
daan yang bermakna sesudah diberi komunikasi
dengan AAC di tiga RSUD Jawa Barat. Hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian
komunikasi dengan AAC berpengaruh secara
bermakna terhadap depresi pada pasien stroke
dengan afasia motorik.
Pemberian komunikasi dengan AAC dapat digu-
nakan sebagai salah satu intervensi keperawatan
memfasilitasi komunikasi pasien afasia motorik,
seperti papan gambar/buku komunikasi, majalah,
foto, musik/lagu, dan alat tulis untuk menurunkan
depresi pada pasien afasia motorik. Selain
perawat, keterlibatan keluarga juga merupakan
salah satu bentuk dukungan yang diperlukan
dalam pelaksanaan latihan komunikasi, baik
selama di rumah sakit ataupun di rumah.
Penelitian selanjutnya perlu membuat penelitian
sejenis yang menilai kemampuan fungsional
komunikasi dengan memperhatikan tingkat
keparahan afasia, luas, lokasi lesi, dan lama
waktu pemberian latihan. Mengembangkan alat
ukur untuk penilaian kemampuan fungsional
komunikasi serta mengembangkan instrumen
observasi depresi pada afasia (PY, RM, AR)
Referensi
Ackley, B.J. & Ladwig, G.B. (2011). Nursing
diagnosis handbook: An evidence based guide to
planning care (9th Ed.). St. Louis: Mosby
Elseiver.
American Music Association (2005). Music
therapy. Diperoleh dari http://www.
musictherapy.org.
Amir, N. (2005). Depresi: Aspek neurobiologi
diagnosis dan tatalaksana. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI.
Bakheit, Shaw, S., Barret, L., Wood, J.,
Carrington, S., Griffith, S., Searle, K., &
Koutsi, F. (2007). A prospective, randomized,
parallel group, controlled study of the effect
of intensity of speech and language therapy
on early recovery from post stroke aphasia.
Clinical Rehabilitation, 21(10), 885–894.
Benain, C., Cailly, B., Perennou, D., & Pelissier, J.
(2004). Validation of the aphasic depression
rating scale. Stroke, 35(7), 1692–1696.
Bhogal, S.K., Teasel, R., Foley, N., & Speechley,
M. (2004). Lesion location and poststroke
depression: Systematic review of the
methodological limitations in the literature.
Stroke, 35 (3), 794–802.
Black, J.M., & Jacob, E.M. (2009). Medical
surgical nursing clinical management for
positive outcomes (8th Ed.). St. Louis: Elsevier
Saunders.
Bulecheck, G.M. & McCloskey, J.C. (1999).
Nursing interventions: Effective nursing treatment
(3rd Ed.). Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Amila, et al., Pengaruh Pemberian Augmentative and Alternative
101
Caeiro, L., Ferro, J.M., Santos, C.O., & Luisa, F.
(2006). Depression in acute stroke. Journal of
Psychiatry Neuroscience, 31(6), 377–383.
Clarkson, K. (2010). Aphasia after stroke enabling
communication through speech and language
therapy. British Journal of Neuroscience
Nursing, 6(5), 227–231.
Dahlin, A.F., Laska, A.C., Larson, J., Wredling.,
Billing, E., & Murray, F. (2007). Predictors of
life situation among significant others of
depresses or aphasia stroke patients. Journal of
Clinical Nursing, 17, 1574–1580.
Finke, E.H., Light, J., & Kitko, L. (2008). A
systematic review of the effectiveness of nurse
communication with patients with complex
communication needs with a focus on the use
of augmentative and alternative communication.
Journal of Clinical Nursing, 17(16), 2102–
2115.
Johnson, R.K., Hough, M.S., King, K.A., Vos P.,
& Jeffs, T.A. (2008). Functional commu-
nication in individual with chronic severe
aphasia using augmentative communication.
Informa Healthcare, 24(4), 269–280.
Kusumoputro, S. (1992). Afasia: Gangguan
berbahasa. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Lumbantobing, S.M. (2011). Neurologi klinik
pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI.
Mulyatsih, E., & Ahmad, A.A. (2010). Stroke:
Petunjuk perawatan pasien pasca stroke di
rumah. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
NANDA International. (2011). Diagnosis
keperawatan: Definisi dan klasifikasi 2009–
2011 (Sumarwati dkk, Penerj). Jakarta: EGC.
Buku asli diterbitkan 2002.
Price, S.A., & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi:
Konsep klinis proses-proses penyakit (Edisi ke
6). Terjemahan oleh: Pendit, Hartanto, H,
Wulansaei, P & Kurniangsih. Jakarta: EGC.
Buku asli diterbitkan 2003.
Rasyid, A., & Soertidewi, L. (2007). Unit stroke.
Manajemen stroke secara komprehensif.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Salter, K., Jutai, J., Foley, N., Hellings, C., &
Teasell, R. (2006). Identification of aphasia
poststroke: A review screening assesment
tools. Brain injury, 20(6), 559–568.
Schub, E., & Caple, C. (2010). Stroke
complication: Post stroke depression.
California: Cinahl Information System.
Silbernagl, S., & Lang, F. (2007). Teks dan atlas
berwarna patofisiologi. (Iwan S. & Iqbal M.,
Penerj). Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., &
Cheever, K.H. (2010). Brunner & Suddarth’s
textbook of medical surgical nursing (12th Ed.).
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Thomas, S.A., & Lincoln, N.B. (2008). Predictors
of emotional distress after stroke. Journal of
the American Heart Association, 39, 1240–1245.
Wirawan, R.P. (2009). Rehabilitasi stroke pada
pelayanan kesehatan primer. Majalah
Kedokteran Indonesia, 59(2), 61–71.
Yastroki (2011). Stroke penyebab kematian urutan
pertama di rumah sakit di Indonesia.
Diperoleh dari http://www.yastroki.or.id.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 102-113
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
PENGARUH PIJAT PUNGGUNG TERHADAP TINGKAT KECEMASAN
DAN KENYAMANAN PASIEN ANGINA PEKTORIS STABIL SEBELUM
TINDAKAN ANGIOGRAFI KORONER
Eddy Rosfiati1,2*, Elly Nurachmah3, Yulia3
1. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jayakarta, Pondok Karya Pembangunan DKI, Jakarta 13730, Indonesia
2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Menghadapi tindakan diagnostik coronary angiography dan kemungkinan diintervensi lanjut dengan PCI, pasien APS
sering cemas, merasa tidak nyaman karena stres. Cemas dan tidak nyaman sebagai respon fisiologis dan psikologis tubuh,
terlihat juga pada perubahan tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pijat punggung
terhadap tingkat kecemasan dan kenyamanan serta dampaknya pada tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu sebelum
tindakan coronary angiography. Penelitian ini menggunakan desain equivalent pretest-posttest with control group quasi
experiment, dengan pemilihan sampel probability simple random sampling sejumlah 30 responden. Data kecemasan dan
kenyamanan dikumpulkan menggunakan kuesioner berskala 0–10, pengukuran tekanan darah dan jumlah denyut nadi
menggunakan tensimeter digital dan suhu menggunakan termometer digital dengan baterai. Hasil penelitian menunjukkan
perbedaan sesudah pijat punggung pada tingkat kecemasan, tingkat kenyamanan, tekanan darah diastolik, nadi, respirasi,
dan suhu (p= 0,002; 0,0001; 0,016; 0,0001; 0,005; 0,052). Pijat punggung dapat digunakan untuk mengurangi stres psikologis
(kecemasan) dan meningkatkan kenyamanan pasien sebelum tindakan coronary angiography. Rekomendasi ditujukan
kepada manajemen ruangan untuk mengaplikasikan pijat punggung sebagai bagian dari SPO angiography.
Kata kunci: coronary angiography, pasien APS, pijat punggung, respons fisiologis-psikologis, stres
Abstract
The Effects of Back Rub on Anxiety and Comfort Level of Patients with Stable Angina Pectoris Before Coronary
Angiography Procedure at Cardiac and Cardiovascular. Dealing with coronary angiography diagnostic procedures
and the possibility of being intervene with PCI, SAP patients are often anxious, feel uncomfortable due to stress.
Anxiety and discomfort are physiological and psychological response, which can be noticed on the change in blood
pressure status, pulse, respiration and body temperature. This research was conducted with the main objective to
identify the effect of back rub on the level of patient’s anxiety and comfort before coronary angiography procedure.
Design used in this research was an equivalent pretest-posttest with control group quasi experiment. Research was
conducted using probability simple random sampling; with 30 respondents participated. A questionnaire was used for
data collecting of anxiety level with 0–10 scale, digital sphygmomanometer was used for measuring blood pressure and
pulse rate, and digital battery powered thermometer was used for measuring body temperature. The results showed
differences after back-rub were found in anxiety, comfort, diastolic BP, pulse, respiration, and temperature (p= 0,002;
0,0001; 0,016; 0,0001; 0,005; 0,052). Based on the findings, it can be concluded that back-rub can be applied to reduce
patient’s psychological stress (anxiety) and increase comfort before coronary angiography procedure. A recommendation
is directed to the management of the ward to apply back-rub as a part of SOP of Angiography Procedure.
Keywords: back-rub, coronary angiography, physical response, psychological response, SAP patients’, stress
Pendahuluan
Pasien dengan angina pektoris stabil (APS) yang
menghadapi tindakan diagnostik coronary angio-
graphy dan kemungkinan diintervensi lanjut
dengan percutaneous coronary interventions (PCI),
sering cemas dan merasa tidak nyaman karena
stres. Cemas dan tidak nyaman sebagai respon
fisiologis dan psikologis tubuh, terlihat dengan
perubahan tekanan darah, nadi, respirasi, dan suhu.
Rosfiati, et al., Pengaruh Pijat Punggung terhadap Tingkat Kecemasan 103
Respon pasien berbentuk respon psikologis
yang beragam termasuk timbulnya kecemasan,
ketakutan, ketegangan bahkan depresi. Pasien
yang dilakukan tindakan kateterisasi jantung
dengan coronary angiography dan PCI, tetap
mengalami kecemasan walaupun sudah dipersiap-
kan dengan baik termasuk pemberian penjelasan
prosedur dan segala risiko yang dapat terjadi
serta informed consent yang ditandatangani
pasien (Eran, Erdmann, & Er, 2010).
Back rub atau pijat punggung juga dapat diberikan
kepada pasien untuk meningkatkan relaksasi
sebelum pasien menjalani tindakan coronary
angiography (McNamara, Burnham, Smith, &
Carrol, 2003). Pijat punggung merupakan salah
satu tindakan alternatif dan terapi komplementer
seperti terapi musik, relaksasi, guided imagery,
reflexiology, herbal medicine, hypnotis, terapi
sentuhan yang digunakan untuk mengurangi
nyeri, cemas, takikardia, dan hipertensi pada
pasien beberapa tahun terakhir ini. Pijat punggung
bertujuan untuk membantu pengobatan sistem
saraf dan kardiovaskular secara efektif menim-
bulkan rasa aman, rileks, dan rasa nyaman
(Hajbaghery, Abasi, & Behestabad, 2012). Di
Indonesia, pijat punggung dilakukan ketika
perawat memandikan pasien dengan tirah baring
untuk memberikan rasa nyaman dan belum ada
penelitian khusus tentang manfaat pijat punggung
ini dan belum ada data yang menunjukkan hasil
dari pijat punggung tersebut.
Pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam
penelitian ini adalah bagaimana pengaruh pijat
punggung terhadap tingkat kecemasan dan tingkat
kenyamanan pasien sebelum tindakan coronary
angiography. Tujuan umum penelitian ini adalah
mengidentifikasi pengaruh pijat punggung ter-
hadap tingkat kecemasan dan tingkat kenyamanan
pasien angina pektoris stabil sebelum tindakan
coronary angiography di sebuah rumah sakit
di Jakarta.
Metode
Desain penelitian ini menggunakan satu kelompok
intervensi dan satu kelompok kontrol, yaitu
tindakan yang dilaksanakan pada satu kelompok
perlakuan dan satu kelompok kontrol sebagai
pembanding. Sebelum dan sesudah perlakuan
pada kelompok dilakukan pengukuran awal
(pretest) dan posttest termasuk pengukuran
tekanan darah (TD), nadi, respirasi, dan suhu.
Pengambilan sampel dengan menggunakan
simple random sampling (Dharma, 2011) dan
didapatkan sebanyak 30 responden. Variabel
penelitian ini yaitu pemberian intervensi pijat
punggung (variabel bebas), tingkat kecemasan
dan tingkat kenyamanan (variabel terikat), serta
usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan
(variabel perancu).
Instrumen pengambilan data yang digunakan
adalah kuesioner, persepsi tingkat kecemasan
sebelum dan sesudah intervensi yang dimodifikasi
peneliti dari gugup (nervous), khawatir (worried),
dan tegang (tense)/NEWTEN (Kari, 2009). Tingkat
kecemasan diukur dengan rentang skala 0–10,
untuk mengukur: gugup (nervous), khawatir
(worried), dan tegang (tense). Angka 0 mewakili
pengertian bahwa tidak ada; 1–3= ringan; 4–6=
sedang; 7–8= berat dan 9–10= sangat berat.
Persepsi tingkat kenyamanan menggunakan skala
Verbal Rating Scale Questioner dari Kolcaba
yang dimodifikasi peneliti (Dowd, et al. 2007).
Instrumen ini dipilih untuk mengukur Kenya-
manan yang dirasakan responden dengan rentang
skala 0–10. Angka 0 mewakili pengertian bahwa
tidak nyaman; 1–3= sedikit nyaman; 4–6= nyaman
sedang; 7–8= nyaman, dan 9–10= sangat berat.
Kuesioner B merupakan lembar observasi, diisi
oleh observer sesuai dengan hasil pengukuran dan
pengamatan secara langsung untuk mengiden-
tifikasi tanda-tanda fisiologis (tekanan darah,
nadi, respirasi, dan suhu).
Analisis data menggunakan uji statistik independent
t test untuk menguji hipotesis komparatif
rerata. Satu sampel dalam pengukuran berarti
sampel tersebut berpasangan, yaitu model before-
after yang dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Satu sampel diberi perlakuan 1 kali
(Sugiono, 2010). Nilai confidence interval (CI)
yang digunakan adalah 95% dengan tingkat
kemaknaan 5% (= 0,05). Pada penelitian ini
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 102-113 104
dilakukan juga uji homogenitas pada faktor
konfonding pada kedua kelompok intervensi
dan kelompok kontrol. Model statistik yang
digunakan yaitu uji homogenitas dengan Chi-
Square, Kolmogorof-Smirnov test, uji independent-
t, korelasi, dan regresi linear sederhana. Uji
homogenitas responden penelitian berdasarkan
usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan
memiliki kesetaraan atau tidak ada perbedaan
yang signifikan pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol yang dibuktikan dari hasil uji
statistik keempat variabel tersebut memiliki
nilai p> (0.05).
Hasil
Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan
bahwa rerata usia responden pada kelompok
intervensi (SD= 9,3) dan kelompok kontrol
(SD= 9,0) tidak berbeda yaitu 58 tahun (95%
CI). Usia minimum kelompok intervensi 43
tahun dan kelompok kontrol 46 tahun dengan
usia maksimum yang sama yaitu 73 tahun.
Tabel 2 menerangkan tentang jenis kelamin,
pendidikan responden dan pekerjaan yang
berisikan bahwa responden berjenis kelamin
laki-laki yang paling banyak yaitu 83,3% (25
orang) yang terdiri dari 43,3% (13 orang) di
kelompok intervensi dan 40% (12 orang) di
kelompok kontrol. Proporsi responden berjenis
kelamin perempuan sejumlah 16,6% (5 orang)
yang terdiri dari 6,6% (2 orang) di kelompok
intervensi dan 10% (3 orang) di kelompok
kontrol.
Karakteristik responden berdasarkan pendidikan
perguruan tinggi yang paling banyak yaitu 70%
(21 orang), terdiri dari 46,6% (14 orang) di
kelompok intervensi dan 23,3% (7 orang) di
kelompok kontrol, responden berpendidikan
SLTA berjumlah 26,7% (8 orang) yang terdiri
dari 3,3% (1 orang) di kelompok intervensi
dan 23,3% (7 orang) di kelompok kontrol, dan
hanya 3,3% responden atau 1 orang responden
dengan pendidikan SLTP. Berdasarkan
pekerjaan responden dengan pekerjaan sebagai
karyawan swasta adalah responden yang paling
banyak yaitu 46,7% (14 orang) dengan jumlah
yang sama pada kelompok intervensi dan ke-
lompok kontrol yaitu masing-masing 23,3%.
Tabel 1. Karaktersitik Responden Berdasarkan Usia (tahun)
Variabel Usia Mean Median SD Minimum Maksimum n
Kelompok Intervensi 58 60 9.3 43 73 15
Kelompok Kontrol 58 55 9.0 46 73 15
Tabel 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan
Karakteristik Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol N Presentase (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 13 12 25 83,3
Perempuan 2 3 5 16,6
Jumlah 15 15 30 100
Pendidikan
SLTP - 1 1 3,3
SLTA 1 7 8 26,7
PT 14 7 21 70
Jumlah 15 15 30 100
Pekerjaan
PNS 3 5 8 26,7
Swasta 7 7 14 46,7
Lain-lain 5 3 8 26,7
Jumlah 15 15 30 100
Rosfiati, et al., Pengaruh Pijat Punggung terhadap Tingkat Kecemasan 105
Responden dengan pekerjaan sebagai PNS dan
pekerjaan lain termasuk pensiunan masing-masing
berjumlah 26,7%. Hasil penelitian pada Tabel
3 didapatkan bahwa rerata tingkat kecemasan
responden sebelum pijat punggung terdapat per-
bedaan pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol (p= 0,048).
Hasil penelitian pada Table 4 didapatkan bahwa
rerata tingkat kecemasan responden sesudah
pijat punggung terdapat perbedaan yang signifikan
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
(p= 0,002). Selain itu didapatkan (Tabel 5) juga
hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
pada tingkat kenyamanan setelah pijat punggung
(p= 0,0001) Data tersebut menunjukkan ada
pengaruh pijat punggung terhadap tingkat kece-
masan dan tingkat kenyamanan pasien angina
pektoris stabil sebelum tindakan coronary angio-
graphy (n= 30). Tabel 6 menerangkan bahwa
rerata tekanan darah sistolik responden sebelum
pijat punggung tidak ada perbedaan yang
signifikan p= 0,112 pada kelompok intervensi=
153,53 mmHg, SD 20,184 mmHg, kelompok
kontrol= 141,80 mmHg, SD 18,974 mmHg.
Tabel 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol N Presentase (%)
PNS 3 5 8 26,7
Swasta 7 7 14 46,7
Lain-lain 5 3 8 26,7
Jumlah 15 15 30 100
Tabel 4. Tingkat Kecemasan Kelompok Intervensi dan Kontrol Sebelum dan Sesudah Pijat Punggung
Tingat Kecemasan Mean SD SE p* n
Sebelum Pijat Punggung
Kelompok Intervensi 6,73 1,870 0,483 0,048
15
Kelompok Kontrol 5,53 1,246 0,322
Sesudah Pijat Punggung
Kelompok Intervensi 3,67 1,676 0,433 0,002
15
Kelompok Kontrol 5,53 1,246 0,322 15
*=0,05
Tabel 5. Tingkat Kenyamanan Kelompok Intervensi dan Kontrol Sebelum dan Sesudah Pijat Punggung
Tingkat Kenyamanan Mean SD SE p* n
Sebelum Pijat Punggung
Kelompok Intervensi 5,07 1,163 0,300 0,454
15
Kelompok Kontrol 5,40 1,242 0,321 15
Sesudah Pijat Punggung
Kelompok Intervensi 7,53 0,834 0,125 0,0001
15
Kelompok Kontrol 5,60 1,242 0,321 15
*=0,05
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 102-113 106
Tabel 6. Tekanan Darah Sistole dan Diastole Kelompok Intervensi dan Kontrol Sebelum dan Setelah Pijat
Punggung
Tekanan Darah Sistole Mean SD SE p* n
Sebelum Pijat Punggung
Kelompok Intervensi 153,53 20,184 5,212 0,112
15
Kelompok Kontrol 141,80 18,974 4,899 15
Sesudah Pijat Punggung
Kelompok Intervensi 141,13 19,755 5,101 0,826
15
Kelompok Kontrol 142,67 18,102 4,674 15
Tekanan Darah Diastole
Sebelum Pijat Punggung
Kelompok Intervensi 76,60 9,478 2,447 0,352
15
Kelompok Kontrol 80,73 13,997 3,614 15
Sesudah Pijat Punggung
Kelompok Intervensi 68,80 8,082 2,087 0,016
15
Kelompok Kontrol 78,87 12,867 3,322 15
*=0,05
Pada Tabel 6 merangkan tentang tekanan darah
sistolik dan diastolik responden sebelum dan
sesudah pijat punggung. Rerata tekanan darah
sistolik responden sesudah pijat punggung tidak
ada perbedaan yang signifikan p= 0,826 pada
kelompok intervensi= 141,13 mmHg, SD
19,755 mmHg, kelompok kontrol= 142,67
mmHg, SD 18,102 mmHg. Rerata tekanan darah
diastole responden sebelum pijat punggung tidak
ada perbedaan yang signifikan p= 0,352 (> dari
), pada kelompok intervensi= 76,60 mmHg,
SD 9,478 mmHg, kelompok kontrol= 80,73
mmHg, SD 13,997 mmHg. Rerata tekanan
darah diastole responden sesudah pijat punggung
ada perbedaan yang signifikan p= 0,016 (< dari
), pada kelompok intervensi= 68,80 mmHg,
SD 8,082 mmHg, kelompok kontrol= 78,87
mmHg, SD 12,867 mmHg. Tabel 7 menerangkan
tentang denyut nadi, respirasi dan suhu sebelum dan
sesudah pijat punggung. Berdasarkan denyut nadi
responden yaitu sebelum pijat punggung tidak
ada perbedaan yang signifikan p= 0,444 (>
dari ) pada kelompok intervensi= 76,00 kali/
menit, SD 11,244 kali/ menit, pada kelompok
kontrol= 79,07 kali/ menit, SD 10,347 kali/
menit. Sesudah pijat punggung ada perbedaan
yang signifikan p= 0,0001 (< dari ), pada
kelompok intervensi= 65,00 kali/ menit, SD
7,181 kali/ menit, pada kelompok kontrol=
81,47 kali/ menit dengan SD 9,841 kali/ menit.
respirasi responden sebelum pijat punggung
tidak ada perbedaan yang signifikan p= 0,733
(> dari ), pada kelompok intervensi= 20,13
kali/menit, SD 2,532 kali/menit, pada kelompok
kontrol= 19,87 kali/ menit, SD 1,598 kali/
menit. Respirasi responden sesudah pijat
punggung terdapat perbedaan yang signifikan
p= 0,05 (= ), pada kelompok intervensi=
18,47 kali/menit, SD 1,125 kali/menit, pada
kelompok kontrol= 19,87 kali/menit, SD 1,407
kali/menit. Suhu responden sebelum pijat
punggung tidak ada perbedaan yang signifikan
p= 0,324 (> dari ), pada
Rosfiati, et al., Pengaruh Pijat Punggung terhadap Tingkat Kecemasan 107
Tabel 7. Denyut Nadi, Respirasi, Suhu Kelompok Intervensi dan Kontrol Sebelum dan Sesudah Pijat
Punggung
Denyut Nadi Mean SD SE p* N
Sebelum Pijat Punggung
Kelompok Intervensi 76,00 11,244 2,903 0,444
15
Kelompok Kontrol 79,07 10,347 2,672 15
Sesudah Pijat Punggung
Kelompok Intervensi 65,00 7,181 1,854 0,0001
15
Kelompok Kontrol 81,47 9,841 2,541 15
Respirasi Mean SD SE p* n
Sebelum Pijat Punggung
Kelompok Intervensi 20,13 2,532 0,654 0,733
15
Kelompok Kontrol 19,87 1,598 0,413 15
Sesudah Pijat Punggung
Kelompok Intervensi 18,47 1,125 0,291 0,05
15
Kelompok Kontrol 19,87 1,407 0,363 15
Suhu Mean SD SE p* n
Sebelum Pijat Punggung
Kelompok Intervensi 36,51 0,397 0,098 0,324
15
Kelompok Kontrol 36,67 0,488 0,126 15
Sesudah Pijat Punggung
Kelompok Intervensi 36,33 0,362 0,093 0,052 15
Kelompok Kontrol 36,67 0,523 0,135 15
*=0,05
kelompok intervensi= 36,51 °C, SD 0,379 °C,
pada kelompok kontrol= 36,67 °C, SD 0,488 °C.
Rerata suhu sesudah pijat punggung ada per-
bedaan yang signifikan p= 0,052, (= ), pada
kelompok intervensi= 36,33 °C, SD 0,362 °C,
pada kelompok kontrol= 36,67 °C, SD 0,523 °C.
Hubungan antara tingkat kecemasaan dan tingkat
kenyamanan diuji melalui uji korelasi dan
regresi linear sederhana. Hasil analisis statistik
dapat dikaji nilai-nilai dalam regresi linear yaitu
koefisien determinasi, persamaan garis dan p.
Nilai koefisien determinasi dilihat pada nilai
R² (R Square) dalam tabel Model Summary
yaitu 0,344, pada Confidence Interval 95%
artinya persamaan garis regresi yang didapat
menjelaskan 34,4% variasi tingkat kenyamanan.
Pada tabel Anova didapat nilai p (kolom Sig)=
0,001 < dari (0,05), sehingga disimpulkan
bahwa regresi sederhana cocok dengan data yang
ada. Dari hasil diatas didapat nilai konstan (a)
sebesar 8,793 dan nilai b = -0,484. Maka rumusan
model prediksi tingkat kenyamanan dari tingat
kecemasan pasien setelah diberikan pijat pung-
gung, dengan persamaan regresi sebagaimana
persamaan (1) berikut:
Y = a+bX (1)
Tingkat kenyamanan setelah pijat punggung=
8,793 + {(-0,484) (tingkat kecemasan)}
Pembahasan
Penelitian mempunyai tujuan untuk mendapatkan
gambaran tentang pengaruh pijat punggung terha-
dap tingkat kecemasan dan tingkat kenyamanan
pasien sebelum tindakan coronary angiography.
Usia dominan menurut Black dan Hawks (2009)
yang mengalami penyakit jantung koroner adalah
>40 tahun. Sesuai dengan faktor yang mem-
pengaruhi respon individu terhadap stres, juga
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 102-113 108
faktor usia rerata 50–60 tahun, pada populasi
<30 tahun sampai usia >70 tahun (Hinz, et al.,
2011). Jenis kelamin, walaupun kedua jenis
kelamin dapat sama-sama mengalami penyakit
jantung koroner, laki-laki merupakan jenis kelamin
yang berisiko tinggi mengalami penyakit jantung
koroner pada usia lebih muda dan perempuan
berisiko meningkat secara signifikan setelah
menopause 2–3 kali dibandingkan dengan perem-
puan pada usia sama sebelum menopause (Black
& Hawks, 2009). Demikian pula faktor jenis
kelamin terhadap tingkat kecemasan pasien
sebelum tindakan coronary angiography, oleh
Hinz, et al., (2011) dalam Anxiety and Depression
in Cardiac Patients: Age Diffrences and Comparison
with General Population, dikatakan bahwa kedua
jenis kelamin mempunyai tingkat kecemasan
yang setara.
Hasil penelitian karakteristik responden dengan
pendidikan perguruan tinggi mendominasi diag-
nosis angina pektoris stabil memperlihatkan
bahwa pendidikan juga merupakan salah satu
faktor bahwa seseorang lebih memahami kondisi
jantung sehingga melanjutkan pemeriksaan
diagnosis ke tingkat coronary angiography.
Pekerjaan responden yang datang untuk tindakan
coronary angiography didapatkan yang paling
banyak adalah swasta, baik di kelompok in-
tervensi dan kelompok kontrol karena jaminan
sosial kesehatan yang pasti mereka memiliki
kemudahan untuk memutuskan melakukan tin-
dakan ini, walaupun ini juga terjadi pada responden
dengan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) ada
jaminan tapi terlihat lebih sedikit yang me-
lanjutkan untuk tindakan diagnostik coronary
angiography.
Tingkat kecemasan sebelum intervensi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol
memperlihatkan pada awalnya bahwa kelompok
intervensi (6,73) dan kelompok kontrol (5,53)
mempunyai tingkat kecemasan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok kontrol sebelum
diberikan pijat punggung sebagai data dasar.
Dari penelitian terdahulu ditemukan 51% di-
laporkan mengalami stres secara klinis, cukup
signifikan menggunakan alat ukur Distress
Thermometer (DT), 52% pasien dilaporkan
mengalami depresi dengan level tinggi, kegugupan
atau mengalami keduanya yang diukur meng-
gunakan alat ukur Edmonton Symptom Assessment
Scale (ESAS). Penelitian tersebut dilakukan untuk
menyelidiki hubungan faktor-faktor fisiologis dan
psikologis menghadapi diagnosis kanker paru
(Steinberg, et al., 2009). Menurut artikel medikal
yang ditulis Kugler (2009) tentang Waiting for
diagnostic, seseorang yang menunggu diagnostik
mengalami respon stres, seperti marah (anger),
tidak sabar, frustrasi dan ansietas, sedih bahkan
depresi sebagai akibat reaksi fisiologis dan
psikologis tubuh.
Tingkat kecemasan sesudah intervensi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol
memperlihatkan bahwa tingkat kecemasan ke-
lompok intervensi 3,67 menjadi berkurang
secara signifikan dibandingkan dengan tingkat
kecemasan kelompok kontrol (5,53) yang menetap
karena tidak diintervensi dengan pijat punggung
walaupun pada awalnya kedua kelompok mem-
punyai tingkat kecemasan yang relatif sama
tinggi sebelum intervensi (p= 0,002). Sesuai
dengan penelitian terdahulu pijat punggung yaitu
the effect of massage intervention on anxiety,
comfort and physiological responses in patient
with congestive heart failure (Liebert, 2012),
massage therapy dapat meningkatkan saturasi
oksigen secara signifikan, responden laki-laki
lebih merasakan berkurangnya ansietas secara
signifikan. Pada penelitian the effect of back-
massage on the vital signs and anxiety level of
elderly staying in a rest home, didapatkan antara
lain ada penurunan tingkat kecemasan secara
signifikan (p= 0,001) setelah pijat punggung
(Cinar, Eser, & Khorshid, 2009). Berarti pijat
punggung mampu memberikan ketenangan
kepada pasien secara signifikan.
Tingkat kenyamanan sebelum intervensi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol
memperlihatkan pada awalnya bahwa kelompok
intervensi (5,07) dan kelompok kontrol (5,53)
mempunyai tingkat kenyamanan yang relatif
sama rendah dengan kelompok kontrol sebelum
diberikan pijat punggung (p= 0,454). Menurut
Rosfiati, et al., Pengaruh Pijat Punggung terhadap Tingkat Kecemasan 109
Kolcaba (2010), rasa nyaman didapatkan bila
tidak ada ancaman terhadap diri seseorang. Dalam
kondisi menunggu tindakan seperti coronary
angiography, dimana diagnosis ditentukan
setelah tindakan dilakukan menjadi ancaman
bagi pasien, hal ini yang membuat pasien tidak
nyaman.
Tingkat kenyamanan sesudah intervensi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
memperlihatkan bahwa tingkat kenyamanan
kelompok intervensi (7,53) menjadi meningkat
secara signifikan dibandingkan dengan tingkat
kenyamanan kelompok kontrol (5,60) yang
tidak diintervensi dengan pijat punggung walau-
pun pada awalnya kedua kelompok mempunyai
tingkat kenyamanan yang relatif sama rendah
sebelum intervensi (p= 0,0001). Sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Chen, Liu, Yeh,
Chiang, Fu, dan Hsieh (2013), menemukan bahwa
ada penurunan yang signifikan tingkat ansietas,
tingkat kenyamanan setelah dilakukan pijat
punggung pada pasien dengan congestive heart
failure (F[2,61]= 4,31, p= 0,02). Secara fisologis
juga dikatakan dengan pijat punggung merangsang
keluarnya hormon endorfin (Noonan, 2006) dari
lokasi nosiseptor, terminal saraf kornu dorsalis
medula spinalis (Potter & Perry, 2013). Tekanan
darah sistolik sebelum intervensi pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol memperlihatkan
bahwa kelompok intervensi (153,53 mmHg) dan
kelompok kontrol (141,80 mmHg) mempunyai
tekanan darah sistolik yang relatif sama tinggi
dengan kelompok kontrol sebelum diberikan
pijat punggung (p= 0,112).
Penelitian terdahulu cortisol responses to mental
stress and the progression of coronary artery
calcification in healthy men and women, mem-
buktikan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara peningkatan kortisol sebagai reaksi dari
peningkatan stres dan kalsifikasi arteri koronaria
yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya
stres psikososial yang dapat memengaruhi penya-
kit jantung koroner (Hamer, Endrighi, Venraju,
Lahiri & Steptoe, 2012). Penelitian lain menemukan
bahwa stres mental dapat berpengaruh pada
tekanan darah dan denyut nadi (Hjortskov, et al.,
2004).
Pengukuran tekanan darah sistolik kelompok
intervensi terlihat lebih tinggi dibandingkan
dengan tekanan darah sistolik kelompok kontrol
sebelum pijat punggung, asumsi ini bila dikaitkan
dengan konsep model dari Spielberger tentang
State and Trait Anxiety (STAI) menjelaskan
ansietas, proses mengalami ansietas sebagai
akibat dari interaksi stimulus internal dan eks-
ternal stimulus, faktor kognitif, dan mekanisme
pertahanan tubuh. Model ini menjelaskan bahwa
anxious state ditandai dengan respon fisiologis
dan pikiran merasa terasing, akibat stresor
eksternal atau penyebab internal.
Tekanan darah sistolik sesudah intervensi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol
memperlihatkan bahwa kelompok intervensi
(141,13 mmHg) dan kelompok kontrol (142,67
mmHg) mempunyai tekanan darah sistolik yang
relatif tetap sama tinggi dengan kelompok kontrol
sebelum diberikan pijat punggung (p= 0,826).
Walaupun tekanan darah sistolik kelompok
intervensi terlihat penurunan menjadi 141,13
mmHg dari 153,53 mmHg, yang secara statistik
dinilai tidak signifikan sedangkan pada penelitian
terdahulu tanda vital dapat turun setelah pijat
punggung (Liebert, 2012) sementara menurut
Hamer, et al., (2012) tekanan darah relatif menetap
karena ada kalsifikasi arteri koronaria karena
penumpukan kortisol, dan pada penelitian lain
dikatakan bahwa stres mental dapat berpengaruh
pada tekanan darah dan denyut nadi (Hjortskov,
et al., 2004).
Tekanan darah diastolik sebelum intervensi
pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
memperlihatkan bahwa kelompok intervensi
(76,60 mmHg) dan kelompok kontrol (80,73
mmHg) mempunyai tekanan darah diastolik yang
relatif sama tinggi dengan kelompok kontrol
sebelum diberikan pijat punggung (p= 0,352).
Menurut Hamer, et al., (2012) ini diakibatkan
karena kalsifikasi arteri koroner yang disebabkan
penumpukan kortisol, dan stres mental (Hjortskov,
et al., 2004). Hasil analisis tekanan darah diastole
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 102-113 110
sesudah intervensi pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol memperlihatkan bahwa kelom-
pok intervensi (68,80 mmHg) dan kelompok
kontrol (78,87 mmHg) mempunyai tekanan
darah diastolik yang relatif menurun dengan
kelompok kontrol sebelum diberikan pijat
punggung (p= 0,016), tekanan darah diastolik
kelompok intervensi terlihat penurunan menjadi
68,80 mmHg dari 76,60 mmHg.
Menurut Olney (2002) dalam penelitiannya
back massage long term effect and dosage
determination for person with pre hypertension
and hypertension, dikatakan bahwa diperlukan
intervensi berulang dan dalam waktu lama untuk
menurunkan tekanan darah pasien dengan tekanan
darah yang tinggi atau pasien pre hipertensi.
Pada penelitian ini tekanan darah hanya diukur
sekali setelah intervensi dengan pijat punggung
hanya sekali, cukup bermakna untuk menurunkan
tekanan darah diastolik.
Denyut nadi sebelum intervensi pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol memperlihatkan
bahwa kelompok intervensi (76,00 kali/menit)
dan kelompok kontrol (79,07 kali/menit) mem-
punyai denyut nadi yang relatif sama tinggi
dengan kelompok kontrol sebelum diberikan
pijat punggung (p= 0,444). Hasil analisis denyut
nadi sesudah intervensi pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol memperlihatkan bahwa
denyut nadi kelompok intervensi (65 kali/
menit) menjadi menurun secara signifikan
dibandingkan dengan denyut nadi kelompok
kontrol (81,47 kali/menit dari jumlah 79,07
kali/menit) meningkat dan tidak diintervensi
dengan pijat punggung (p= 0,0001) walaupun
pada awalnya kedua kelompok mempunyai
denyut nadi yang relatif sama tinggi sebelum
intervensi.
Respirasi sebelum intervensi pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol memperlihatkan
bahwa kelompok intervensi (20,13 kali/menit)
dan kelompok kontrol (19,87 kali/menit)
mempunyai respirasi yang relatif sama tinggi
dengan kelompok kontrol sebelum diberikan
pijat punggung (p= 0,733). Penelitian terdahulu
membuktikan bahwa respons dari hormon stres
terjadi pada stres fisiologis dan stres psikologis.
Terjadi juga interaksi yang signifikan dalam
penelitian tersebut antara respons kardiorespirasi
dengan denyut jantung, ventilasi, dan respirasi
yang memperlihatkan peningkatan adanya kondisi
stres fisiologis dan psikologis (Webb, et al.,
2008). Stres menunggu tindakan coronary angio-
graphy merupakan salah satu stressor yang
dapat mengakibatkan peningkatan denyut nadi,
pernafasan, aktivitas saluran cerna, dan liver
melepaskan glukosa untuk energi, sebagai respon
dari stimulus stressor (McLeod, 2010)
Respirasi sesudah intervensi pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol memperlihatkan
bahwa respirasi kelompok intervensi (18,47
kali/menit) menjadi menurun secara signifikan
dibandingkan dengan respirasi kelompok kontrol
(19,87 kali/menit) tetap, tidak diintervensi dengan
pijat punggung (p= 0,005), walaupun pada
awalnya kedua kelompok mempunyai respirasi
yang relatif sama tinggi sebelum intervensi.
Stres menunggu tindakan coronary angiography
merupakan salah satu stressor yang dapat meng-
akibatkan peningkatan denyut nadi, pernafasan,
aktivitas saluran cerna, dan liver melepaskan
glukosa untuk energi, sebagai respon dari stimulus
stresor (McLeod, 2010), dengan pijat punggung
respon fisiologis ini dapat dibantu diadaptasi
dengan lebih baik (Wentworth, et al., 2009).
Suhu sebelum intervensi pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol memperlihatkan bahwa
kelompok intervensi (36,51 °C) dan kelompok
kontrol (36,67 °C) mempunyai suhu yang relatif
sama tinggi sebelum dilakukan intervensi (p=
0,324). Menurut mekanisme fisiologi tubuh
suhu dipengaruhi oleh lingkungan, bila lingkungan
atau ruangan panas tubuh tidak mampu mengatur
suhu tubuh dengan mekanisme heat loss, sehingga
suhu tubuh akan naik, sebaliknya lingkungan
yang dingin berakibat extensive radiant dan
panas hilang karena konduksi (Potter & Perry,
2013). Penelitian ini dilakukan pada ruangan
dengan suhu 16 °C, hal ini yang menyebabkan
suhu tubuh pasien tetap pada kondisi normal
dan cenderung kurang dari 37 °C. Hasil analisis
Rosfiati, et al., Pengaruh Pijat Punggung terhadap Tingkat Kecemasan 111
suhu sesudah intervensi pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol memperlihatkan bahwa
kelompok intervensi (36,33 °C) dan kelompok
kontrol (36,33 °C) mempunyai suhu yang relatif
tetap sama tinggi dengan kelompok kontrol
sesudah diberikan pijat punggung (p= 0,052),
suhu kelompok intervensi setelah pijat punggung
terlihat ada penurunan dari 36,51 °C menjadi
36,33 °C. Penelitian terdahulu yang dilakukan
pada the effect of back-massage on the vital
signs and anxiety level of elderly staying in a
rest home, menemukan bahwa kecuali suhu
tubuh, ada penurunan secara signifikan pada
tanda-tanda vital segera setelah pijat punggung,
diukur 15 menit, dan 30 menit kemudian, juga
pengukuran hasil selama 3 hari berturut. Penelitian
dilakukan pada responden dengan rata-rata
usia 62–85 tahun (Cinar, Eser, & Ismet, 2009).
Pada penelitian ini sedikit berbeda dengan
penelitian tersebut yaitu pengukuran hanya
dilakukan satu kali segera setelah pemberian
pijat punggung dan responden yang berusia
antara 43–73 tahun. Penelitian ini dilakukan pada
ruangan dengan suhu 16 °C, pengaruh lingkungan
ini yang menyebabkan suhu tubuh pasien tetap
pada kondisi normal dan cenderung kurang
dari 37 °C.
Hasil analisis statistik pada hubungan tingkat
kecemasan dan tingkat kenyamanan setelah pijat
punggung menjelaskan bahwa semakin tinggi
tingkat kecemasan akan semakin rendah tingkat
kenyamanan (p= 0,001; = 0,05). Penelitian
lain membuktikan bahwa pasien sebagai makhluk
sosial, mendapatkan rasa nyaman dari dukungan
sosial karena membutuhkannya untuk mengurangi
stres, dapat percaya kepada orang lain, aman
untuk berhubungan dengan orang lain serta mem-
punyai jaringan sosial yang lebih luas (Kaniasty
& Norris, 2000).
Kesimpulan
Gambaran umum karakteristik responden yang
mengikuti penelitian ini yaitu usia rata-rata;
persentase jenis kelamin laki-laki dan perempuan;
persentase pendidikan SLTP, SLTA, dan PT;
jenis pekerjaan responden yang terdiri dari pega-
wai negeri sipil, swasta, dan lain-lain termasuk
pensiunan. Ada hubungan tingkat kecemasan
dan kenyamanan sesudah pijat punggung sebelum
tindakan coronary angiography. Ada pengaruh
pijat punggung terhadap tingkat kecemasan
pasien sebelum tindakan coronary angiography
setelah dikontrol dengan karakteristik pasien. Ada
pengaruh pijat punggung terhadap tingkat ke-
nyamanan pasien sebelum tindakan coronary
angiography setelah dikontrol dengan karakteristik
pasien. Ada pengaruh pijat punggung terhadap
tekanan darah diastolik, frekuensi nadi dan
respirasi, dan suhu pasien sebelum tindakan
angiografi koroner setelah dikontrol dengan
karakteristik pasien. Tidak ada pengaruh pijat
punggung terhadap tekanan darah sistol sesudah
intervensi sebelum tindakan coronary angio-
graphy.
Saran atau rekomendasi selanjutnya untuk
melakukan penelitian tentang pengaruh pijat
punggung terhadap tingkat kecemasan dan ke-
nyamanan dengan cara: mengikutsertakan faktor
konfonding usia, jenis kelamin, pendidikan,
dan pekerjaan dalam penelitian dengan mengana-
lisis pengaruh terhadap tingkat kecemasan,
tingkat kenyamanan, TD, nadi, respirasi, dan
suhu. Melakukan analisis data dalam bentuk
kategorik. Melakukan penelitian tentang teknik
pijat punggung dengan tekanan berbeda pada
punggung pasien. Melakukan evidence based
practice untuk menempatkan pijat punggung
sebagai bagian dari standar prosedur operasional
tindakan angiography pasien dewasa dan pediatrik.
(TG, HH, AR)
Referensi Black, M.J., & Hawks. J.H. (2009) Medical
surgical nursing: Clinical management for
positive outcome (8th Ed.). St Louis
Missouri: WB Saunders
Chen, W., Liu, G.J., Yeh, S.H., Chiang, M.C., Fu,
M.Y., & Hsieh, Y.K. (2012). Effect of back
massage intervention. Diperoleh dari http://
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23186129.
Cinar, S., Eser, I., & Khorshid, L. (2009). The
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 102-113 112
effects of back massage on the vital signs
and anxiety level of elderly staying in a rest
home. Diperoleh dari http://www.hacette
pehemsirelikdergisi.org/pdf/pdf_HHD_76.pdf.
Dharma, K.K. (2011). Metodologi penelitian
keperawatan, panduan melaksanakan dan
menerapkan hasil penelitian. Jakarta: TIM
Dowd, T., Kolcaba, K., Steiner, R., & Fashinpaur,
D. (2007). Verbal rating scale questionnaire
comparision of healing touch, coaching,
and a combined intervention on comfort
and stress in younger college students.
Holistic Nursing Practice, 21(4), 194–202.
Eran, A., Erdmann, E., & Er, F. (2010). Informed
consent prior to coronary angiography in
a real world scenario: what do patients
remember? Diperoleh dari http://journals.
plos.org/plosone/article?id=10.1371/journa
l.pone.0015164.
Hinz, A., Kittel, J., Karoff, M., & Daig, I.
(2011). Anxiety and depression in cardiac
patients: Age differences and comparisons
with the general population. Psychopathology,
44(5), 289–295. Doi: 10.1159/000322796.
Hajbaghery, M.A., Abasi, A., Beheshtabad, R.R,
& Fini, I.A. (2012). The Effects of
Massage Therapy by the Patient’s Relative
on Vital Signs of Males Admitted in
Critical Care Unit. Nursing and Midwifery
Studies, 1(1), 16–21. Doi:10.5812/nms.7903.
Hamer, M., Endrighi, R., Venuraju, S. M.,
Lahiri, A., & Steptoe, A. (2012). Cortisol
responses to mental stress and the
progression of coronary artery calcification in
healthy men and women. Diperoleh dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22
328931.
Kugler, M. (2009). Waiting for diagnosis: The
time you spend waiting for a diagnosis can
be emotional. Diperoleh dari http://rarediseases.
about.com.
Hjortskov, N., Rissén, D., Blangsted, A. K.,
Fallentin, N., Lundberg, U., & Søgaard, K.
(2004). The Effect of Mental stress on
Heart Rate Variability and Blood Pressure
during Computer Work. European journal
of applied physiology, 92(1-2), 84–9. Doi:
10.1007/s00421-004-1055-z.
Kari, A.R. (2009). Exploration of The Quality of
Three Measures for Assessing State Anxiety
in Hospitalized cardiac. Diperoleh dari
http://search.proquest.com/docview/30498
7249/fulltextPDF/13CFC24637D527AD50
F/8?accountid=17242.
Kaniasty, K., & Norris, F.H. (2000). Help-
seeking comfort and Receiving Social
Support: the role of ethnicity and context
of need. American journal of community
psychology, 28(4), 545–581.
Kolcaba, K. (2010). An introduction to comfort
theory. Diperoleh dari http://www.thecomfort
line.com/.
McLeod, S. (2010). What is the stress response.
Diperoleh dari http://www.simplypsychology.
org/stress-biology.html.
Olney, C.M. (2007). Back massage long term
effects and dosage determination for
persons with pre-hypertension and
hypertension. Diperoleh dari http://scholar
commons.usf.edu/cgi/viewcontent.cgi?arti
cle=3306&context=etd.
Liebert, M.A. (2013). Effect of massage
intervention on anxiety, comfort and
physiological respons in patient congestive
heart failure. Journal of Alternative and
Complementary Medicine, 19(5), 464–4
70.
McNamara, M.E., Burnham, D.C., Smith C., &
Carroll, D.L. (2003). The effects of Masase
massage before diagnostic cardiac
catheterization. Diperoleh dari http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pubmed/12564351.
Noonan.T. (2006). Effect of massage therapy
techniques on the autonomic nervous
system (ANS), endocrine and the other
body systems. Diperoleh dari http://www.tim
noonan.com.au/maspap98.htm.
Rosfiati, et al., Pengaruh Pijat Punggung terhadap Tingkat Kecemasan 113
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2013) Fundamentals
of nursing (8th Ed.). St Louis, Missouri:
Elsevier Mosby.
Steinberg, T., Roseman, M., Kasymjanova, G.,
Dobson, S., Lajeunesse, L., Dajczman, E.,
Kreisman, H., MacDonald, N., Agulnik, J.,
Cohen, V., Rosberger, Z., Chasen, M.,
Small, D. (2009). Prevalence of emotional
distress in newly diagnosed lung cancer
patients. Supportive care in cancer:
Official journal of the multinational
association of supportive care in cancer,
17(12), 1493–1497. Doi: 10.1007/s00520-
009-0614-6.
Sugiono, J. (2010). Metoda Pendekatan
Kuantitatif. Bandung: Alfabeta.
Webb, H.E., Weldy, M.L., Fabianke-Kadue,
E.C., Orndorff, G.R., Kamimori, G.H., &
Acevedo, E.O. (2008). Psychological
stress during exercise: cardiorespiratory
and hormonal responses. European journal
of applied physiology, 104(6), 973–981.
Doi: 10.1007/s00421-008-0852-1.
Wentworth, L.J., Briese, L.J., Timimi, F.K.,
Sanvick, C.L., Bartel, D.C., Cutshall, S.M.,
Tilbury, R.T., Lennon, R., Bauer, B.A.
(2009). Massage therapy reduces tension,
anxiety, and pain in patients awaiting
invasive cardiovascular procedures. Progress
in cardiovascular nursing, 24(4), 155–161.
Doi: 10.1111/j.1751-7117.2009.00054.x.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 115-122
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
PENINGKATAN PELAKSANAAN KESELAMATAN PASIEN OLEH
MAHASISWA MELALUI PERAN PEMBIMBING KLINIK
Lilis Suryani¹, Hanny Handiyani², Sutanto Priyo Hastono³
1. Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Pembimbing klinik sangat berperan dalam proses pembelajaran mahasiswa yang melaksanakan tindakan langsung
kepada pasien di rumah sakit, namun peran pembimbing masih belum optimal dalam memberikan pembimbingan yang
menjamin keselamatan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan peran pembimbing klinik
dengan pelaksanaan keselamatan pasien oleh mahasiswa di rumah sakit. Responden penelitian sebanyak 196 mahasiswa
tingkat akhir Sekolah Tinggi Keperawatan yang terdiri dari program Ners, D3 Keperawatan, dan D3 Kebidanan. Desain
penelitian menggunakan pendekatan potong lintang. Analisis regresi logistik menyampaikan ada hubungan bermakna
antara peran pembimbing klinik dengan pelaksanaan keselamatan pasien yang dilaksanakan oleh mahasiswa setelah
dikontrol dengan jenis pendidikan (p= 0,02; CI= 1,19–3,71). Rekomendasi antara lain peran pembimbing klinik perlu
ditingkatkan dalam pelaksanaan keselamatan pasien oleh mahasiswa.
Kata kunci: keselamatan pasien, mahasiswa, peran pembimbing klinik
Abstract
The Improvement of Student’s Behavior in Patient Safety towards Clinical Instructor’s Role. Clinical instructor has
an important role in student’s learning process in implementing direct intervention toward patient within the hospital.
The purpose of this study is to determine thecorrelation between the role of clinical instructor and patient safety
implementation by the student in hospital. This is descriptive correlational method which is recruited 196 students in
their final year in Stikes as respondents. These respondents were studying in bachelor nursing, diploma nursing and
diploma in midwifery program. The study used cross sectional design. The result by regression logistic shows
significant correlation between the role of clinical instructor and patient safety implementation by the student where
education as a confounding factor were controlled (p= 0,02; CI= 1,19–3,71). It is recommended that increase for
clinical instructor in patient safety and implementation of patient safety by students.
Keywords: clinical instructor role, patient safety, student
Pendahuluan
Kelalaian individu merupakan ancaman terjadi-
nya kejadian yang tidak diharapkan pada pasien.
Institute Medicine of America melaporkan
100.000 orang meninggal setiap tahun sebagai
akibat dari kesalahan medis, kesalahan berasal
berasal dari efek samping obat, komplikasi bedah,
kesalahan sistem, dan kesalahan pengobatan. Studi
di Kanada didapatkan 7–12% pasien di rumah
sakit mengalami efek samping obat dan 30–40%
dari peristiwa itu dapat dicegah. Berdasarkan
laporan tersebut maka penting untuk meningkat-
kan program keselamatan pasien (Forster, Dervin,
Martin Jr., Papp, 2012; Montoya & Kimbal, 2013).
Sasaran program keselamatan pasien meliputi:
ketepatan identifikasi pasien, komunikasi efektif,
keamanan obat, kepastian tepat lokasi, tepat
prosedur, tepat pasien, pengurangan risiko infeksi,
dan pengurangan risiko pasien jatuh (Depkes
RI, 2008; Permenkes, 2011).
Mahasiswa keperawatan yang sedang melak-
sanakan praktik di rumah sakit dapat juga
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 115-122 116
melakukan suatu kesalahan. Mahasiswa sebagai
faktor individu berpengaruh terhadap kualitas
perawatan dan keselamatan pasien (Mwachofi,
Walston, & Al-Omar, 2011). Mahasiswa perlu
melaksanakan dan menerapkan program kesela-
matan pasien sehingga dapat mencegah adanya
cedera pada pasien. Implementasi sistem kese-
lamatan pasien yang baik oleh mahasiswa dapat
menghindari suatu kesalahan. Data pelaksanaan
keselamatan pasien oleh mahasiswa STIKes X
di RSUD Y masih terjadi suatu kesalahan antara
lain kesalahan rute pemberian salah satu obat
injeksi. Kesalahan yang dilakukan mahasiswa
dimungkinkan karena tidak didampingi oleh
pembimbing klinik. Pembimbing klinik banyak
yang mempunyai kesibukan rangkap seperti
kegiatan manajerial maupun tugas memberikan
asuhan keperawatan. Kondisi ini menyebabkan
bimbingan kepada mahasiswa menjadi kurang
optimal. Proses pembelajaran selama mahasiswa
praktik tentunya tidak lepas dari peran pembim-
bing klinik. Mahasiswa perlu mengintegrasikan
keselamatan pasien dalam proses pembelajaran
yang dilakukan kepada pasien dengan bimbingan
dari para pembimbing klinik (Johnson, 2011;
Gantt & Corbett, 2010).
Pembimbing klinik sangat berperan dalam proses
pembelajaran klinik dan pencapaian kompetensi
(Johnson, 2011; Jecklin, 2009). Pembimbing klinik
perlu memiliki keahlian klinis dan pengajaran
sehingga dapat memberikan bimbingan yang
berkualitas dan pencapaian kompetensi yang
optimal (Dahlke, Baumbusch, Affleck, & Kwon,
2012). Peran pembimbing klinik yang diperlukan
antara lain sebagai pendidik, sebagai perawat
profesional dan sebagai role model (Johnson
2011; Lewallen & DeBrew, 2012; Tang, Chou,
& Chiang, 2005). Peran sebagai pendidik akan
mengelola pembelajaran terkait keselamatan pa-
sien, peran sebagai pemberi perawatan profesional
akan memberikan pelayanan atau perawatan
kepada pasien sebagai bagian dari proses pem-
belajaran dan peran memberi contoh kepada
mahasiswa terkait pelaksanaan keselamatan
pasien. Peran pembimbing yang baik dapat
meningkatkan pencapaian kompetensi dan tujuan
pembelajaran. Pembimbing klinik juga sangat
berperan dalam proses pembelajaran klinik dan
pencapaian kompetensi (Johnson, 2011; Jecklin,
2009), dan sangat penting perannya dalam meng-
hasilkan lulusan yang profesional (Nurachmah,
2005). Peran pembimbing klinik dapat menentukan
kualitas lulusan di masa mendatang. Pembimbing
klinik diharapkan memiliki keahlian klinis dan
pengajaran sehingga dapat memberikan bimbingan
yang berkualitas dan pencapaian kompetensi yang
optimal (Dahlke, et al., 2012).
Keselamatan pasien merupakan hak bagi setiap
pasien, oleh karena itu keselamatan pasien harus
mendapatkan prioritas untuk diperhatikan dan
dilaksanakan. Terkait keberadaan mahasiswa
yang sedang melaksanakan praktik di RS dan
kaitannya dengan keamanan dan keselamatan
pasien, maka sangat diperlukan peran pembimbing
klinik dalam rangka menjaga keamanan dan
keselamatan pasien serta pencapaian kompetensi
pembelajaran, sehingga pada penelitian ini
dianalisis hubungan peran pembimbing klinik
dengan pelaksanaan keselamatan pasien yang
dilakukan oleh mahasiswa.
Metode
Desain yang digunakan pada penelitian adalah
korelasi dengan pendekatan potong lintang. Sampel
berjumlah 196 mahasiswa STIKes tingkat akhir,
yang terdiri terdiri dari 38 Prodi Ners, 56 D3
Keperawatan, dan 102 D3 Kebidanan. Instrumen
yang digunakan terdiri dari tiga jenis yaitu
kuesioner A tentang data demografi yang terdiri
dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pelatihan keselamatan pasien yang diikuti,
sedangkan instrumen kedua yaitu kuesioner B
tentang pelaksanaan keselamatan pasien oleh
mahasiswa yang terdiri dari 33 item, meliputi
aspek ketepatan identifikasi pasien, komunikasi
efektif, pencegahan infeksi, dan pencegahan
risiko pasien jatuh. Sedangkan instrumen ketiga
yaitu kuesioner C tentang peran pembimbing.
Item meliputi peran sebagai pendidik, peran
sebagai pemberi perawatan profesional, dan
peran sebagai role model. Hasil Uji coba instrumen
pada kuesioner B dengan Alpa Cronbach 0,784,
sedangkan pada kuesioner C dengan Alpha
Cronbach 0,873. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan uji statistik Chi-Square. Penelitian
Suryani, et al., Peningkatan Pelaksanaan Keselamatan Pasien Oleh Mahasiswa 117
ini telah lolos uji etik dari komite etik Fakultas
Ilmu Keperawatan Indonesia.
Hasil Penelitian
Karakteristik Responden (Mahasiswa). Berda-
sarkan hasil penelitian yaitu mayoritas mahasiswa
berusia dewasa muda, mayoritas perempuan,
berpendidikan D3 Kebidanan dan sebagian besar
pernah mendapatkan materi tentang keselamatan
pasien.
Gambaran pelaksanaan keselamatan pasien oleh
mahasiswa STIKes X yang melaksanakan praktik
di RSUD Y secara umum menunjukkan 52%
masih kurang. Pelaksanaan keselamatan pasien
yang sudah menunjukkan baik lebih dari 80%
yaitu Prodi Ners. Gambaran peran pembimbing
klinik RSUD Y pada mahasiswa STIKes X untuk
setiap program studi rerata masih kurang.
Tabel 1. Karakteristik Mahasiswa Tingkat Akhir STIKes X Berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Tingkat
Pendidikan, dan Pelatihan
Varibel Frekuensi Persen (%)
Usia
≤25 tahun
176
89,8
>25tahun 20 10,2
Jenis Pendidikan
D3 Kebidanan 102 52
D3 Keperawatan 56 28,6
Ners 38 19,4
Jenis Kelamin
Laki-laki 70 35,7
Perempuan 126 64,3
Pelatihan keselamatan pasien
Tidak pernah 8 4,1
Pernah 188 95,9
Tabel 2. Pelaksanaan Keselamatan Pasien oleh Mahasiswa STIKes X
Jenis Pendidikan
Pelaksanaan Keselamatan Total
Kurang Baik
n % n % N %
D3 Kebidanan 65 63,7 37 36,3 102 100
D3 Keperawatan 30 53,6 26 46,4 56 100
Ners 7 18,4 31 81,6 38 100
Total 102 52 94 48 196 100
Tabel 3. Peran Pembimbing Klinik RSUD Y pada Mahasiswa STIKes X
Jenis Pendidikan
Peran Pembimbing Klinik Total
Kurang Baik
n % n % n %
D3 Kebidanan 42 41.2 60 58.8 102 100
D3 Keperawatan 39 69.6 17 30.4 56 100
Ners 19 50 19 50 38 100
Total 100 51 96 49 196 100
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 115-122 118
Tabel 4. Hubungan Peran Pembimbing Klinik dengan Pelaksanaan Keselamatan Pasien oleh Mahasiswa
STIKes X
Peran
Pelaksanaan Keselamatan Pasien Oleh
Mahasiswa Total OR
(95%) p
Kurang Baik
n % n % n %
Kurang 61 61,0 39 39,0 100 100 2,098
(1,19-3,71) 0,016* Baik 41 42,7 55 57,3 96 100
Total 102 52 94 48 196 100
Tabel 5. Hubungan Karakteristik dengan Pelaksanaan Keselamatan Pasien oleh Mahasiswa STIKes X
Pelaksanaan Keselamatan Pasien
oleh Mahasiswa Total
OR
(95% CI) p
Kategori Kurang Baik
N % n % n %
Usia
≤ 25 tahun
101
57,4
75
42,6
176
100
2,559
(3,35-19,54)
0,0001* >25 tahun 1 5 19 95 20 100
Total 102 52 94 48 196 100
Jenis Pendidikan
D3 Kebidanan 65 63,7 37 36,3 102 100 1,52
(-0,24-1,08)
0,006*
D3 Keperawatan 30 53,6 26 46,4 56 100
Ners 7 18,4 31 81,6 38 100 7,78
(1,14-2,96)
Total 102 52 94 48 196 100
Jenis Kelamin
Laki-laki 31 44,3 39 55,7 70 100 0,616
(0,34-1,11)
0,141
Perempuan 71 56,3 55 43,7 126 100
Total 102 52,0 94 48,0 196 100
Pelatihan
Tidak Pernah
6
75
2
25
8
100
2,875
(0,57-14,6)
0,334
Pernah 96 51,1 92 48,9 188 100
Total 102 52 94 48 196 100
*Bermakna pada α 0,05
Hubungan Peran Pembimbing Klinik dengan
Pelaksanaan Keselamatan Pasien oleh Maha-
siswa. Hasil uji statistik didapatkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara peran pembimbing
klinik dengan pelaksanaan keselamatan pasien
oleh mahasiswa di RSUD Y, dibuktikan dengan
p yang bermakna yaitu 0,016. Dari hasil analisis
diperoleh pula nilai OR= 2,098, artinya dengan
peran pembimbing yang kurang, maka mahasiswa
berisiko 2,098 kali lebih besar untuk melaksanakan
keselamatan pasien dengan kurang dibandingkan
pada peran pembimbing yang baik.
Hubungan Karakteristik Mahasiswa dengan
Pelaksanaan Keselamatan Pasien oleh Maha-
siswa. Pada Tabel 5 menunjukkan 2 (dua) variabel
yang berhubungan dengan pelaksanaan keselamat-
an pasien yang dipersepsikan oleh mahasiswa
yaitu variabel usia (p= 0,0001) dan jenis pendidikan
(p= 0,006). Pada Tabel 6 memperlihatkan hasil
Suryani, et al., Peningkatan Pelaksanaan Keselamatan Pasien Oleh Mahasiswa 119
Tabel 6. Pemodelan Akhir Regresi Logistik Peran Pembimbing Klinik dengan Pelaksanaan Keselamatan
Pasien oleh Mahasiswa
Variabel B p OR
Peran Pembimbing(1) 1,017 0,002 2,766
Jenis Pendidikan 0,000
pendidikan(1) 0,747 0,043 2,111
pendidikan(2) 2,260 0,000 9,586
Constant -1,200 0,000 0,301
analisis multivariat yaitu menunjukkan bahwa
peran pembimbing klinik berhubungan dengan
pelaksanaan keselamatan pasien oleh mahasiswa
setelah dikontrol dengan jenis pendidikan. Hasil
analisis didapatkan peran pembimbing yang
kurang berisiko 2,76 kali lebih besar untuk melak-
sanakan keselamatan pasien yang kurang oleh
mahasiswa dibandingkan dengan mahasiswa
yang mendapatkan peran pembimbing yang baik.
Pembahasan
Peran Pembimbing Klinik dengan Pelaksanaan
Keselamatan Pasien oleh Mahasiswa. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa peran pembimbing
klinik masih kurang. Hal yang menyebabkan
peran pembimbing klinik masih kurang di RSUD
Y adalah pembimbing klinik sebagian besar
masih merangkap jabatan sebagai kepala ruangan
dan belum mendapatkan pelatihan tentang ke-
selamatan pasien, sehingga bimbingan yang
dilakukan kepada mahasiswa menjadi kurang
optimal. Pembimbingan yang kurang dapat meng-
akibatkan pelaksanaan keselamatan pasien yang
dilakukan oleh mahasiswa pun menjadi kurang.
Mahasiswa yang selama praktik di rumah sakit
dapat melaksanakan asuhan atau tindakan secara
langsung kepada pasien (Lewallen & DeBrew,
2012; Tang, et al., 2005). Peran pembimbing
klinik akan menentukan dalam pencapaian
kompetensi pembelajaran khususnya kompetensi
terkait keselamatan pasien. Hal ini sejalan dengan
yang disampaikan oleh Parsh (2010), bahwa
pembimbing klinik yang memiliki pengetahuan
dan keterampilan yang baik, maka akan dapat
membantu mahasiswa untuk memperoleh penge-
tahuan dan keterampilan. Pembimbing klinik
sangat berperan dalam proses pembelajaran
klinik bagi mahasiswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran (Johnson, 2011; Jecklin, 2009).
Pembimbing klinik perlu memiliki keahlian klinis
dan pengajaran sehingga dapat memberikan bim-
bingan yang berkualitas (Dahlke, et al., 2012).
Peran pembimbing klinik yang kurang dalam
penelitian ini meliputi peran sebagai pendidik,
pemberi pelayanan keperawatan profesional kepada
pasien dan sebagai role model terkait keselamatan
pasien. Peran sebagai pendidik meliputi peran
dalam mempersiapkan mahasiswa terutama dalam
mengelola pembelajaran, melaksanakan pembe-
lajaran, dan mengevaluasi pembelajaran (Tang, et
al., 2005). Peran sebagai pendidik dapat mencapai
tujuan pembelajaran dan meningkatkan percaya
diri serta kepuasan mahasiswa (Parsh, 2010).
Peran sebagai pemberi perawatan profesional
kepada pasien, pembimbing dapat melakukan
pelayanan kepada pasien sebagai bagian dari
proses pembelajaran kepada mahasiswa.
Pembimbing klinik dapat melibatkan pasien
dalam proses pembelajaran kepada mahasiswa
tetapi dengan tetap menjaga dan melindungi
pasien (Dahlke, et al., 2012). Hal ini juga sejalan
dengan yang disampaikan oleh Johnson (2011)
dan Kim, Park, dan Kang (2013), bahwa peran
sebagai perawat profesional yaitu peran sebagai
pemberi asuhan keperawatan kepada pasien,
mulai dari kemampuan melakukan pengkajian
sampai dengan melakukan evaluasi kepada pasien
serta kemampuan memberikan umpan balik.
Peran pembimbing klinik sebagai role model
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 115-122 120
merupakan peran yang dapat memberikan contoh
bagi mahasiswa untuk menjelaskan dan men-
demonstrasikan teknik-teknik terkait pelaksanaan
keselamatan pasien dan diharapkan memberikan
contoh yang meliputi perilaku dan sikap positif
(Beth, 2009; Kim, et al., 2013). Jika peran pem-
bimbing klinik kurang maka proses bimbingan
dan pencapaian tujuan akan menjadi kurang
optimal terkait pelaksanaan keselamatan pasien
yang meliputi penerapan sasaran keselamatan
pasien terdiri dari ketepatan identifikasi pasien,
peningkatan komunikasi yang efektif, peningkatan
keamanan obat yang perlu diwaspadai, pengu-
rangan risiko infeksi, dan pengurangan risiko
pasien jatuh (Depkes, 2008).
Keberadaan mahasiswa di rumah sakit walaupun
sedang belajar tetap perlu menjaga keselamatan
pasien. Keselamatan pasien rumah sakit merupakan
suatu sistem yang ada di rumah sakit yang
membuat asuhan pasien lebih aman dan bebas
dari cedera yang tidak disengaja (Montoya &
Kimbal, 2013; Permenkes, 2011). Mahasiswa perlu
mengintegrasikan keselamatan pasien dalam
proses pembelajaran yang dilakukan kepada
pasien (Johnson, 2011; Gantt & Corbett, 2010).
Peran pembimbing klinik sangat penting dalam
membantu memfasilitasi proses pembelajaran
dan peran pembimbing berhubungan dengan
pelaksanaan keselamatan pasien oleh mahasiswa.
Hubungan Karakteristik Mahasiswa dengan
Pelaksanaan Keselamatan Pasien oleh Mahasis-
wa. Hasil analisis menunjukkan ada hubungan
antara usia dengan pelaksanaan keselamatan
pasien oleh mahasiswa. Hasil analisis menunjuk-
kan semakin muda usia mahasiswa sama atau
kurang dari 25 tahun, semakin risiko kurang
baik dalam pelaksanaan keselamatan pasien.
Sedangkan usia lebih dari 25 tahun semakin
baik dalam pelaksanaan keselamatan pasien
oleh mahasiswa. Hal ini sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Robbin (2003) bahwa
pertambahan usia berhubungan erat dengan ke-
mampuan analisis terhadap permasalahan yang
dihadapi, komitmen untuk ke arah lebih baik,
dan dapat mengendalikan emosi lebih baik.
Hasil analisis menunjukkan jenis pendidikan
berhubungan dengan pelaksanaan keselamatan
pasien. Jenis pendidikan pada penelitian ini yaitu
Prodi Ners, D3 Keperawatan, dan D3 Kebidanan.
Jika dilihat dari proporsi pelaksanaan keselamatan
pasien yang lebih baik adalah Prodi Ners diban-
dingkan D3 Keperawatan maupun D3 Kebidanan.
Semakin tinggi pendidikan kemungkinan semakin
tinggi pula kemampuan dan daya nalar maha-
siswa, sehingga mahasiswa dapat dengan mudah
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Hal ini sejalan dengan penelitian Anugrahini,
Sahar, dan Mustikasari (2010) yang menerangkan
bahwa tingkat pendidikan S1 dan D3 Keperawatan
lebih patuh dari perawat berpendidikan SPK.
Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan
antara jenis kelamin dengan pelaksanaan kese-
lamatan pasien oleh mahasiswa. Hal ini sejalan
dengan pendapat Robbin (2003) yang menyatakan
bahwa tidak terdapat perbedaan pada pria dan
wanita dalam hal kemampuan memecahkan
masalah, keterampilan analisis, persaingan,
motivasi, maupun kemampuan belajarnya.
Peneliti menganalisis tidak adanya hubungan
antara jenis kelamin dengan pelaksanaan kese-
lamatan pasien disebabkan karena mayoritas
pada penelitian ini adalah perempuan, bahkan
untuk prodi D3 Kebidanan 100% perempuan. Hal
ini menjadi pertimbangan bahwa pada dasarnya
terdapat kesamaan dalam pelaksanaan keselamatan
pasien oleh mahasiswa. Perbedaan jenis kelamin
tidak menjadi masalah bagi mahasiswa dalam
melaksanakan keselamatan pasien.
Hubungan Pelatihan dengan Pelaksanaan
Keselamatan pasien. Hasil analisis menunjukkan
tidak ada hubungan antara pelatihan dengan
pelaksanaan keselamatan pasien oleh mahasiswa.
Hal ini tidak sejalan dengan Gregory, et al., (2007),
pelatihan sangat diperlukan bagi mahasiswa untuk
meningkatkan kemampuan mahasiswa terkait
keselamatan pasien. Yulia, Hamid, dan Mustikasari
(2012) menerangkan bahwa pelatihan berpengaruh
terhadap pemahaman perawat pelaksana dalam
penerapan keselamatan pasien. Peneliti mengana-
lisis tidak adanya hubungan antara pelatihan
dengan pelaksanaan keselamatan pasien oleh
mahasiswa STIKes X yaitu pelatihan tentang
keselamatan pasien merupakan bagian akhir
Suryani, et al., Peningkatan Pelaksanaan Keselamatan Pasien Oleh Mahasiswa 121
dari mata kuliah yang perlu diikuti oleh seluruh
mahasiswa di akhir perkuliahan, sehingga sebagian
besar mahasiswa telah mengikuti pelatihan ini
yaitu lebih dari 95%.
Kesimpulan
Kesimpulan hasil penelitian adalah terdapat
hubungan signifikan antara peran pembimbing
klinik dengan pelaksanaan keselamatan pasien
oleh mahasiswa. Setelah dikontrol oleh
pendidikan, peran pembimbing yang kurang
akan memberikan risiko 2,766 kali lebih besar
untuk mahasiswa melaksanakan kese-lamatan
pasien yang kurang jika dibandingkan dengan
kelompok mahasiswa yang peran pem-
bimbingnya baik.
Hasil penelitian ini dapat membantu pembimbing
klinik untuk lebih meningkatkan perannya yang
meliputi peran sebagai pendidik, sebagai pemberi
pelayanan keperawatan kepada pasien, dan peran
sebagai role model terkait pelaksanaan kese-
lamatan pasien. Peningkatan peran pembimbing
klinik antara lain dengan meningkatkan pengetahu-
an melalui pelatihan terkait program keselamatan
pasien sehingga perannya akan lebih baik.
Mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuan
terkait program keselamatan pasien. Berdasarkan
penelitian ini, dapat dilakukan penelitian selanjut-
nya dengan metode penelitian observasi langsung
dari pelaksanaan bimbingan klinik oleh pem-
bimbing dan observasi langsung pelaksanaan
keselamatan pasien oleh mahasiswa (RR, INR,
AR).
Referensi Anugrahini, C., Sahar, J., & Mustikasari. (2010).
Kepatuhan perawat menerapkan pedoman
patient safety berdasarkan faktor individu dan
organisasi. Jurnal Keperawatan Indonesia,
13(3), 139–144.
Beth, P. (2009). Role modeling excellence in
clinical nursing practice. Nurse Education in
Practice, 9(1), 36–44. Doi: http://dx.doi.org/
10.1016/j.nepr.2008.05.001.
Dahlke, S., Baumbusch, J., Affleck, F., & Kwon, J.
(2012). The clinical instructor role in nursing
education: A structured literature review.
Journal of Nursing Education, 51(12), 692–
696. Doi: http://dx.doi.org/10.3928/01484834-
20121022-01.
Depkes RI. (2008). Panduan nasional keselamatan
pasien rumah sakit (patient safety) (Edisi
ke-2). Jakarta: Depkes.
Forster, A.J., Dervin, G., Martin Jr., C., Papp, S.
(2012). Improving patient safety through the
systematic evaluation of patient outcomes.
Canadian Journal of Surgery, 55(6), 418–
425. Diperoleh dari http://search.proquest.
com/docview/1282102486?accountid=17242.
Frush, K.S., Alton, M., & Frush, D. (2006).
Development and implementation of hospital-
based patient safety program. Pediatr Radiol,
36, 241–298. Doi 10.1007/s 00247-006-0120-
7.
Gantt, L.T., & Corbett, W.R. (2010). Using
simulation to teach patient safety behaviors
in undergraduate nursing education. Journal
of Nursing Education, 49(1), 48–51. Diperoleh
dari http://search.proquest.com/docview/203
965336?accountid=17242.
Johnson, S. (2011). Preceptor-guided clinical
practicum orientation manual. School of
Nursing Virginia Commonwealth University.
Diperoleh dari Johnson, S. (2011).
http://www.nursing.vcu.edu/media/school-
of-
nursing/docs/resources/PreceptorGuidedClin
icalPracticum_OrientationManual_rev2016.
Jecklin, S.K. (2009). Assessing nursing student
perceptions of the clinical learning environment:
Refinement and testing of the SECEE
inventory. Journal of Nursing Measurement,
17(3), 232–246. Diperoleh dari http://search.
proquest.com/docview/206332547?accounti
d=17242.
Kim, C., Park, J., & Kang, S. (2013). Effects of a
collaborative clinical practicum on clinical
practice ability and teaching effectiveness
among nursing students. Journal of Nursing
Education and Practice, 3(12), 143.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 115-122 122
Diperoleh dari http://search.proquest.com/
docview/1431143158?accountid=17242.
Lewallen, L.P., & DeBrew, J.K. (2012). Successful
and unsuccessful clinical nursing students.
Journal of Nursing Education, 51(7), 389–
395. Doi: http://dx.doi.org/10.3928/01484
834-20120427-01.
Mwachofi, A., Walston, S.L., & Al-Omar, B.
(2011). Factors affecting nurses' perceptions
of patient safety. International Journal of
Health Care Quality Assurance, 24(4), 274–
283. Doi: http://dx.doi.org/10.1108/0952686
1111125589.
Montoya, I.D., Kimbal, O.M. (2013). Gauging
patient safety program. Journal of allied
health, 42(3).
Nurachmah, E. (2005). Metode pengajaran klinik
keperawatan. Makalah pelatihan bimbingan
klinik FIK UI. Tidak dipublikasikan.
Parsh, B. (2010). Characteristics of effective
simulated clinical experience instructors:
Interviews with undergraduate nursing
students. Journal of Nursing Education,
49(10), 569–572. Doi: http://dx.doi.org/10.
3928/01484834-20100730-04
Menteri Kesehatan RI. (2011). Peraturan Menteri
kesehatan Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/
2011 tentang keselamatan pasien rumah
sakit. Jakarta: Kemenkes RI.
Robbin, S.P. (2003). Perilaku organisasi. (Edisi
ke-10). Jakarta: PT. Indeks Gramedia.
Tang, Chou, S., & Chiang, H. (2005). Students'
perceptions of effective and ineffective
clinical instructors. Journal of Nursing
Education, 44(4), 187–192. Diperoleh dari
http://search.proquest.com/docview/203931
594?accountid=17242.
Yulia, S., Hamid, A.Y., & Mustikasari. (2012).
Peningkatan Pemahaman Perawat Pelaksana
dalam Penerapan Keselamatan Pasien Melalui
Pelatihan Keselamatan Pasien. Jurnal
Keperawatan Indonesia, 15(3), 185–192.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 123-131
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN KEPATUHAN MELAKUKAN
KEBERSIHAN TANGAN MELALUI PELATIHAN DENGAN
FLUORESCENCE LOTION
Grace Solely1,2*, Hanny Handiyani3, Tuti Nuraini3
1. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Pelita Harapan
2. Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Kebersihan tangan dapat mencegah Health Care Associated Infections (HAIs) dan meningkatkan keselamatan pasien.
Penggunaan fluorescence lotion pada pelatihan kebersihan tangan merupakan metode pembelajaran dengan menggunakan
experiential learning yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan perawat dalam kebersihan tangan.
Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi pengaruh program pelatihan kebersihan tangan terhadap pengetahuan dan
kepatuhan perawat dalam kebersihan tangan. Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan quasy experiment
dengan metode pre test-post test designs with comparison group. Sampel dalam penelitian adalah 32 perawat pelaksana
untuk kelompok intervensi dan 38 perawat pelaksana untuk kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan terdapat
perbedaan pengetahuan dan kepatuhan kebersihan tangan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah
pelatihan kebersihan tangan (p< 0,001, CI pengetahuan= 2,061; 3,541, CI kepatuhan= 6,792; 10,929). Pelatihan
kebersihan tangan perlu dilakukan berkesinambungan.
Kata kunci: fluorescence lotion, kebersihan, kepatuhan, pelatihan, pengetahuan, tangan.
Abstract
Fluorescence Lotion Training Increases Knowledge and Conformity in Hand Hygiene. Hand hygiene prevents
Health-Care-Associated Infections (HAIs) and improves patient safety. The use of fluorescence lotion in hand hygiene
training is the implementation of a learning method that use experiential learning to improve the level of knowledge
and conformity of nurses in maintaining hand hygiene. The research objective is to identify the influence of hand
hygiene training program on the level of knowledge and conformity of nurses in maintaining hand hygiene. The
research is quasy experiment research using pretest-posttest design with comparison group. The research sample
consists of 32 nurses in experiment group and 38 nurses in control group. The result showed a difference in the
knowledge after hand hygiene training was conducted (p< 0,001, CI knowledge= 2,061; 3,541, CI conformity= 6,792;
10,929) between those in the control group and those in the experiment group. It is recommended to sustainably
conduct hand hygiene training program.
Keywords: conformity, fluorescence lotion, hand hygiene, knowledge, training.
Pendahuluan
Kepatuhan dalam kebersihan tangan (KT) yang
benar mutlak dilakukan oleh perawat sehingga
praktik KT dapat dilakukan pada setiap tindakan
keperawatan. KT merupakan faktor utama dan
penting dalam mencegah penyebaran patogen
dan resisten antibiotik di rumah sakit karena
jumlah infeksi yang dapat ditransmisikan melalui
tangan tim kesehatan sangat banyak. KT dapat
mencegah Health Care Associated Infections
(HAIs) dan meningkatkan keselamatan pasien.
KT merupakan bagian dari kewaspadaan standar
yang dapat menurunkan infeksi pada tim kesehatan
dan juga pasien (CDC, 2010).
Program KT perawat dapat berhasil apabila
pengetahuan dan kepatuhan perawat juga baik.
Kepatuhan KT menurunkan angka insiden HAIs
(dari 11 menjadi 8,2 per 1000 pasien per hari)
dan 60% adanya penurunan risiko HAIs pada
neonatal (Silva, et al., 2004; WHO, 2009a; WHO,
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 123-131 124
2009b). Kepatuhan KT secara signifikan menu-
runkan MRSA bakterimia, yaitu dari 0,03/100
pasien pulang menjadi 0,01/100 pasien pulang
selama 1 bulan (Grayson, et al., 2008; WHO,
2009a; WHO, 2009b).
Kompetensi perawat terkait dengan KT akan
meningkat dengan meningkatnya pengetahuan,
praktik, dan perilaku perawat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa program pendidikan yang
efektif dapat meningkatkan pengetahuan, perilaku
positif, praktik yang tepat dalam menjalankan
kebijakan pencegahan, dan pengendalian infeksi
(Madrazo, et al., 2009) menyatakan bahwa tim
kesehatan memerlukan informasi dan pendidikan
yang lebih banyak tentang pencegahan dan
pengendalian infeksi khususnya tentang KT
sehingga akan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan (Rajcevic, Djuric, Grujicic, Dugandzija,
& Cosic, 2012). Ketidakpatuhan terhadap KT
merupakan suatu perilaku yang buruk dan
dapat dikontrol dengan melakukan pelatihan
(Fitzpatrick, et al., 2011).
Experiential learning adalah teori pembelajaran
yang dapat digunakan di dalam pelatihan keber-
sihan tangan karena peserta didik dibimbing untuk
melakukan langsung keterampilan kebersihan
tangan (learning by doing). Hasil penelitian Berg,
Sultana, Sorokin, Kairys, Vergare, dan Berg (2008)
menunjukkan bahwa KT dengan menggunakan
ceramah, video tentang indikasi, teknik melakukan
KT, dan simulasi dengan menggunakan fluoresence
lotion meningkatkan pengetahuan residen menjadi
78% dan hasil observasi menunjukkan bahwa
kepatuhan residen meningkat menjadi 65%. Hasil
penelitian ini dapat menjadi acuan untuk melaku-
kan penelitian yang serupa di Indonesia karena
masih kurangnya kepatuhan tenaga kesehatan
khususnya perawat untuk melakukan cuci tangan.
Simarmata (2009) menyatakan bahwa alasan
dilakukannya proyek pelatihan, evaluasi, umpan
balik, dan reminder KT di tiga rumah sakit swasta
di Indonesia karena tidak konsistennya perilaku
mencuci tangan oleh tim kesehatan pada saat
sebelum dan sesudah melakukan tindakan, khu-
susnya apabila staf menyentuh lingkungan di
sekitar pasien yang meningkatkan potensial risiko
transmisi infeksi. Pengetahuan dan kepatuhan
KT di rumah sakit belum baik. Hasil observasi
kepatuhan KT menunjukkan bahwa 10 perawat
yang di observasi belum melakukan praktik
KT yang benar menurut WHO. Kepala seksi
keperawatan rumah sakit menyatakan bahwa
sampai dengan saat ini belum ada pelatihan
KT yang spesifik.
Metode
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kuasi eksperimen dengan pendekatan
pre test-post test with control group design yang
melibatkan experiment treatment dari dua
kelompok subjek (Polit & Beck, 2009). Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengukur pengaruh
program pelatihan KT dengan fluorscence lotion
terhadap pengetahuan dan kepatuhan perawat
dalam KT. Variabel independen adalah program
pelatihan KT dengan alat fluorescence lotion
dan variabel dependen adalah pengetahuan dan
kepatuhan perawat tentang KT.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian
ini adalah total sampling perawat pelaksana di
RS S. Sampel yang didapatkan dari kelompok
eksperimen berjumlah 32 orang dan 38 orang
untuk kelompok kontrol.
Penelitian ini sudah melalui uji etik di Fakultas
Ilmu Keperawatan UI. Penelitian ini menggunakan
prinsip utama etik (Polit & Beck, 2009). Peneliti
melindungi responden dari bahaya fisik maupun
psikologis. Responden ditemui oleh peneliti
dengan didampingi oleh kepala ruang kemudian
peneliti menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian.
Peneliti menjamin fluorescence lotion yang
digunakan pada penelitian ini aman dan tidak
menimbulkan alergi pada kulit tangan responden.
Responden diberikan kesempatan untuk membe-
rikan pertanyaan. Peneliti memberikan informed
consent kepada responden setelah diberikan
informasi dan penjelasan tentang penelitian.
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini
adalah kuesioner A, B, C, dan instrumen
observasi D. Kuesioner A untuk mendapatkan
data karakteristik perawat pelaksana yang terdiri
Solely, et al., Peningkatan Pengetahuan dan Kepatuhan Melakukan Kebersihan 125
atas usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan
masa kerja. Kuesioner B dan C dikembangkan
dalam bentuk pertanyaan untuk mengukur tingkat
pengetahuan perawat sebelum dan setelah in-
tervensi. Instrumen D adalah lembar observasi
untuk melihat kepatuhan perawat sebelum dan
setelah intervensi. Intervensi pelatihan menggu-
nakan modul program pelatihan KT simulasi
dengan alat fluorescence lotion dan lampu UV
Light BLB 10 watt. Pembelajaran menggunakan
metode ceramah, diskusi, video, demonstrasi,
dan didemonstrasikan kembali. Pelatihan ini
hanya diberikan pada kelompok eksperimen.
Kelompok kontrol tidak diberikan intervensi.
Analisis data dilakukan dengan analisis univariat
dan bivariat. Uji kesetaraan karakteristik responden
yaitu: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
masa kerja, dan pelatihan KT menggunakan uji
Chi-Square. Analisis perbedaan pengetahuan dan
kepatuhan perawat tentang KT sebelum dan
sesudah intervensi antara kelompok eksperimen
dan kontrol menggunakan uji Mann-Whitney
karena data berdistribusi tidak normal.
Hasil
Pengamatan langsung dilakukan pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Pengamatan
dilakukan sampai dengan 200 kesempatan dalam
melakukan kebersihan tangan pada masing-masing
kelompok (Tabel 1). Kesetaraan karakteristik
perawat pelaksana pada kelompok eksperimen
dengan kelompok kontrol dapat dilihat pada
Tabel 2. Setelah intervensi, dengan menggunakan
uji Mann-Whitney, terlihat perbedaan yang ber-
makna pada pengetahuan dan tingkat kepatuhan
perawat pelaksana kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol (Tabel 3 dan 4). Pengetahuan
kelompok eksperimen lebih tinggi tiga poin di-
bandingkan dengan kelompok kontrol. Kepatuhan
kelompok eksperimen lebih tinggi 8 poin diban-
ding kelompok kontrol.
Pembahasan
Hasil univariat memberikan gambaran bahwa
umur perawat pelaksana kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol mayoritas adalah diatas
dan sama dengan 32 tahun. Bastable (2008)
menjelaskan bahwa kemampuan fisik pada
rentang usia 20–40 tahun berada pada tingkat
tinggi karena tubuh dapat berfungsi secara
optimal, mayoritas keterampilan psikomotorik
dapat dilakukan pada rentang usia ini. Penelitian
Yulia (2010) menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara umur dan
pemahaman perawat pelaksana pada kelompok
eksperimen dengan p= 0,460 dan tidak adanya
hubungan signifikan antara umur dan pemahaman
perawat pelaksana pada kelompok kontrol dengan
p= 0,373. Analisis peneliti terkait dengan hal
ini bahwa kemampuan kognitif tidak dapat
hanya dikaitkan dengan faktor pertambahan umur
tetapi variasi individual dari luas pengetahuan,
banyaknya keterampilan, kapasitas memori yang
bekerja, dan kecepatan memproses memori.
Mayoritas jenis kelamin pada kelompok eksperi-
men dan kontrol adalah perempuan sebanyak 56
orang (80%). Pria dan wanita memiliki perbedaan
di dalam bertindak dan bereaksi di dalam setiap
aspek kehidupan (Cahill, 2007; Bastable, 2008).
Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan di dalam proses pembelajaran antara
pria dan wanita (Tumkaya, 2012). Jenis kelamin
tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan
pengetahuan dan kepatuhan perawat pelaksana
dalam melakukan KT.
Tingkat pendidikan pada kelompok eksperimen
dan kontrol secara keseluruhan adalah vokasional
sebanyak 63 orang (90%). Penelitian tentang
attitudes toward and knowledge of affirmative
action in higher education menunjukkan bahwa
umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan
tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap pengetahuan dan sikap seseorang (Carr,
2007). Peningkatan pengetahuan dan kepatuhan
perawat pelaksana dalam melakukan KT tidak
hanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.
Mayoritas masa kerja pada kelompok eksperimen
dan kontrol diatas 1 tahun sebanyak 65 orang
(92,9%). Seseorang yang sudah lama bekerja
dengan pengalaman yang lebih banyak akan
lebih baik dalam melakukan pekerjaannya.
Semakin lama seseorang di pelayanan klinis
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 123-131 126
Tabel 1. Hasil Observasi Perilaku Kepatuhan Kebersihan Tangan pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok
Kontrol Setelah Pelatihan Kebersihan Tangan dengan Fluorescence Lotion
Variabel
Kelompok
Eksperimen Kelompok Kontrol Total
n % n % n %
Perilaku Kepatuhan KT (Post Test)
Patuh 61 30,5 12 6 73 18,25
Tidak Patuh 139 69,5 188 94 327 81,75
Total 200 100 200 100 400 100
Tabel 2. Analisis Kesetaraan Umur, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, Masa Kerja, dan Pelatihan KT
Perawat Pelaksana pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Variabel
Kelompok
Eksperimen
Kelompok Kontrol
p 95% CI
n % n %
Umur
a. ≥ 32 tahun 19 40,6 19 50 0,587 0,565; 3,778
b. < 32 tahun 13 59,4 19 50
Total 32 100 38 100
Jenis Kelamin
a. Laki-laki 3 9,4 11 28,9 0,041 0,991; 15,655
b. Perempuan 29 90,6 27 71,7
Total 32 100 38 100
Tingkat Pendidikan
a. Vokasional 30 93,7 33 86,8 0,442 0,079; 2,439
b. Profesional 2 6,3 5 13,2
Total 32 100 38 100
Masa Kerja
a. Diatas 1 tahun 29 90,6 36 94,7 0,654 0,084; 3,432
b. Dibawah 1 tahun 3 9,4 2 5,3
Total 32 100 38 100
Mengikuti Pelatihan
a. Pernah 9 28,1 12 31,6 0,958 0,303; 2,376
b. Tidak Pernah 23 71,9 26 68,4
Total 32 100 38 100
Tabel 3. Perbedaan Pengetahuan Perawat Pelaksana pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
menurut Pengukuran II (Post Test)
Variabel n Median (
minimum-maksimum) Rerata ± s.b. CI 95% p
Pengetahuan (0-20)
Kelompok Eksperimen 32 16 (13–19) 15,91±1,329 2,061–3,541 < 0,001
Kelompok Kontrol 38 13 (8–17) 13,11±1,705
Solely, et al., Peningkatan Pengetahuan dan Kepatuhan Melakukan Kebersihan 127
Tabel 4. Perbedaan Kepatuhan Perawat Pelaksana pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
menurut Pengukuran II (Post Test)
Variabel n Median
(minimum-maksimum) Rerata ± s.b. CI 95% p
Kepatuhan (15-60)
Kelompok Eksperimen 32 49 (43–59) 50,28±5,050 6,792–10,929 < 0,001
Kelompok Kontrol 38 41 (31–48) 41,42±3,168
maka akan semakin baik penampilan klinis sese-
orang tersebut (Swansburg, 2002). Semakin lama
orang bekerja akan semakin berpengalaman dalam
menghadapi masalah yang ada, akan tetapi belum
tentu juga seorang individu yang lama bekerja
lebih produktif dibandingkan dengan yang baru
bekerja (Robbins, 2006). Masa kerja tidak selalu
dapat dihubungkan dengan pengetahuan dan
kepatuhan, perlu adanya pelatihan KT yang
berkesinambungan sehingga perawat pelaksana
akan mengingat dan melakukan informasi yang
didapatkan.
Sebagian besar perawat pelaksana pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol tidak pernah
mengikuti pelatihan kebersihan tangan, yaitu 49
orang (70%). Pemberian informasi kepada perawat
pelaksana tentang KT sangat diperlukan. Perawat
pelaksana yang tidak memiliki pengetahuan KT
akan sulit untuk memiliki perilaku yang baik
tentang kepatuhan KT.
Hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan
pengetahuan perawat pelaksana tentang kebersihan
tangan setelah mendapatkan pelatihan kebersihan
tangan dengan fluorescence lotion pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Pelatihan
kebersihan tangan diperlukan untuk melakukan
perubahan perilaku perawat dalam kepatuhan
KT. Selain itu, dalam poin evaluasi dan umpan
balik akan dilakukan survei terhadap pengetahuan
perawat tentang KT. Pelatihan yang teratur
tentang pentingnya KT berdasarkan pendekatan
“my 5 moments for hand hygiene” dan teknik
yang tepat untuk melakukan handrubbing dan
handwashing kepada tenaga kesehatan termasuk
perawat sangat diperlukan (WHO, 2009; CDC,
2010). Perhatian terhadap pendidikan kebersihan
tangan di dalam kurikulum pendidikan sangat
penting karena pengetahuan dan keterampilan
siswa ini akan memengaruhi kepatuhan keber-
sihan tangan mereka pada saat praktik klinik
(Grayling & Stevenson, 2006; Kelcíkova, Skodova,
& Straka, 2012).
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan
kepatuhan perawat pelaksana tentang kebersihan
tangan setelah mendapatkan pelatihan kebersihan
tangan dengan Fluorescence Lotion pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Peningkatan
kualitas praktik kebersihan tangan pada perawat
dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan
tentang bentuk tindakan perawatan pasien yang
dapat menyebabkan kontaminasi pada tangan
dan keuntungan dan kerugian dari berbagai
metode dalam kebersihan tangan (Parini, 2004).
Kepatuhan tenaga kesehatan dalam melakukan
kebersihan tangan harus selalu di monitor dan
setiap individu diberikan umpan balik terkait
dengan praktik kebersihan tangan (Pittet, et al.,
2004).
Hasil penelitian yang menunjukkan perbedaan
yang signifikan ini tidak terlepas dari intervensi
yang berbeda dari intervensi pelatihan yang
biasa. Pelatihan yang dipakai dalam intervensi
ini menggunakan model experiental learning.
Beberapa penelitian mendukung model experiental
learning digunakan dalam model pembelajaran.
(Szilagyi, et al., 2013; Abdulwahed & Nagy,
2009; Kolb & Kolb, 2005). Model pembelajaran
experiential learning memberikan 4 pencapaian
tujuan pembelajaran yaitu memperkenalkan
peserta didik pada konseptual, teoritikal, dan
metodologi mata ajar, meningkatkan kesadaran
peserta didik tentang topik yang spesifik,
menciptakan hubungan yang lebih kuat antara
peserta didik dan komunitas, membantu peserta
didik untuk memahami rangkaian kesatuan antara
teori, praktik, dan kebijakan (Rone, 2008).
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 123-131 128
Pelatihan dengan menggunakan experiential
learning memberikan kesempatan kepada peserta
didik bukan sebagai pendengar yang aktif tetapi
sebagai peserta yang aktif untuk berpartisipasi
di dalam proses pembelajaran. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa program pelatihan
dengan fluorescence lotion memberikan pengaruh
yang positif terhadap pengetahuan dan men-
ciptakan persepsi yang positif pada perawat
pelaksana di dalam melakukan kebersihan
tangan. Pelatihan merupakan salah satu cara
untuk mempelajari kebersihan tangan karena
dapat mentransformasi pengetahuan ke dalam
tingkah laku dan peserta pelatihan akan menyim-
pan informasi yang didapatkan.
Pembelajaran experiential learning harus berfokus
pada peserta didik. Tenaga pengajar harus memi-
liki komitmen dan integritas untuk memastikan
bahwa program pendidikan berpusat pada peserta
didik. Peserta didik harus dilibatkan di dalam
proses pengajaran (Estes, 2004). Hasil penelitian
Niemantsverdriet, Van der Vleuten, Majoor, dan
Scherpbier (2005) menyatakan bahwa experiential
learning memberikan hasil pencapaian yang
positif dan bernilai pada peserta didik. Keeton,
Sheckley, dan Griggs (2002) menyatakan bahwa
dengan mengembangkan keefektifan sebagai
seorang peserta didik, peserta didik dapat member-
dayakan tanggung jawab dari proses pembelajaran
melalui pengalaman. Pengalaman merupakan
cara terbaik untuk belajar dan meningkatkan
keterampilan yang diperlukan.
Pelatihan dengan cara tradisional tidak akan
dapat memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kepatuhan kebersihan tangan. Perlu
adanya program pendidikan pelatihan yang
lebih komprehensif yang dapat meningkatkan
motivasi staf untuk melakukan kebersihan tangan
sehingga kebersihan tangan menjadi tingkah
laku yang permanen. Pelatihan kebersihan tangan
dengan fluorescence lotion dapat meningkatkan
motivasi dan rasa antusias peserta didik sehingga
akan meningkatkan kepatuhan staf di dalam
melakukan kebersihan tangan. Pihak manajemen
juga harus memberikan dukungan untuk menyuk-
seskan program kebersihan tangan.
Yeganeh dan Kolb (2009) menyatakan bahwa
teori experiential learning memiliki pengaruh
yang sangat besar terhadap perkembangan
kepemimpinan dan organisasi. Peningkatan
kualitas kebersihan tangan dapat dilakukan
dengan menyediakan alternatif cairan pembersih
tangan bagi kulit tangan tenaga kesehatan yang
alergi, program pelatihan, motivasi, dan dukungan
manajemen (Akyol, 2007).
Pelatihan kebersihan tangan merupakan salah
satu fungsi pengarahan dari fungsi manajemen
(Marquis & Huston, 2010). Spouse (2003) menya-
takan bahwa melakukan fungsi pengarahan pada
fungsi manajemen adalah dengan melakukan
supervisi yang baik dari seorang mentor sehingga
kemampuan seseorang di dalam memberikan
tindakan keperawatan akan meningkat. Kegiatan
yang dapat dilakukan pada fungsi manajemen
adalah melakukan pelatihan kebersihan tangan
dengan fluorescence lotion, memberikan motivasi,
bimbingan dan arahan, melakukan monitoring
kepatuhan kebersihan tangan, dan memberikan
umpan balik dari hasil monitoring tersebut.
Fungsi pengarahan pada fungsi manajemen
berkaitan dengan pelatihan kebersihan tangan yang
dilakukan. Fungsi pengarahan yang berkaitan
dengan kebersihan tangan dapat diberikan dengan
memberikan motivasi kepada para perawat, mem-
bantu untuk selalu memperbaharui keterampilan
sesuai dengan visi dan misi rumah sakit, menjadi
mentor bagi perawat pada saat memberikan
bimbingan dan arahan (Wilson-Barnett, et al.
1995). Manajemen rumah sakit perlu membe-
rikan dukungan untuk menyukseskan program
kebersihan tangan.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang
signifikan pengetahuan dan kepatuhan perawat
pelaksana tentang kebersihan tangan antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Rumah sakit dapat menggunakan modul pelatihan
dan hasil yang didapatkan dari penelitian ini
sebagai dasar untuk mengembangkan program
pelatihan kebersihan tangan baik bagi perawat
maupun profesi yang lain.
Perawat pelaksana yang diberikan pelatihan
kebersihan tangan dengan fluorescence lotion
Solely, et al., Peningkatan Pengetahuan dan Kepatuhan Melakukan Kebersihan 129
lebih memiliki rasa keingintahuan, antusias
dan kesadaran yang tinggi tentang pentingnya
melakukan kebersihan tangan karena melakukan
dan melihat langsung (learning by doing). Perawat
lebih terbuka untuk memberikan pendapatnya
pada saat diskusi.
Hasil penelitian yang diperoleh dapat digunakan
sebagai bahan kajian yang bermanfaat dalam
mengembangkan pengalaman belajar peserta
didik dengan menggunakan teori experiential
learning dengan metode pembelajaran demonstrasi
dan didemonstrasikan kembali sehingga informasi
yang didapatkan oleh peserta didik akan dilakukan
pada ruang lingkup praktik klinik. Penelitian
ini menghasilkan sejumlah data yang dapat
digunakan untuk mengembangkan penelitian
lebih lanjut dengan desain yang berbeda baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Penelitian
ini dapat menjadi dasar untuk mengembangkan
metode pembelajaran yang tepat untuk mening-
katkan motivasi dan kinerja perawat dalam
melakukan kebersihan tangan.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan
yang signifikan pada pengetahuan dan kepatuhan
antara kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol setelah dilakukan pelatihan KT dengan
fluorescence lotion. Direktur rumah sakit sebaik-
nya merumuskan dan mengembangkan kebijakan
khususnya tentang kebersihan tangan dan meren-
canakan anggaran untuk program kebersihan
tangan. Manajemen keperawatan untuk melakukan
pelatihan kebersihan tangan dengan fluorescence
lotion dengan melibatkan Infection Prevention
Control Nurse (IPCN). IPCN dan kepala ruang
melakukan observasi kebersihan tangan dan
memberikan umpan balik. Peneliti lain diharapkan
dapat mengembangkan penelitian dengan desain
kualitatif yang dapat menggali berbagai fenomena
lebih mendalam khususnya tentang persepsi dan
pengalaman terkait dengan kebersihan tangan
(MS, TN, AR)
Referensi
Abdulwahed, M., & Nagy, Z.K. (2009). Applying
Kolb's experiential learning cycle for
laboratory education. Journal of Engineering
Education, 98(3), 283–294.
Akyol, A.D. (2007). Hand hygiene among nurses
in Turkey: Opinions and practices. Journal Of
Clinical Nursing, 16(3), 431–437. Doi: 10.1111/
j.1365 2702.2005.01543.x.
Bastable, S.B. (2008). Nurse as educator:
Principles of teaching and learning for nursing
practice (3rd Ed.). Sudbury, Mass: Jones and
Bartlett Publisher.
Berg, K., Sultana C., Sorokin R., Kairys, J.,
Vergare, M., & Berg, D. (2008). A novel
curriculum using simulation to teach and assess
indications and technique of handwashing to
GME learners. Philadelphia: Thomas Jhonson
Univeristy.
Cahill, L. (2006). Why sex matter in neurosciences.
Nature Review Neuroscience, 7, 477– 484.
Doi:10.1038/nrn1909.
Carr, E.A. (2007). Attitudes toward and knowledge
of affirmative action in higher education.
Western Michigan University. Diperoleh dari
http://scholarworks.wmich.edu/dissertations/8
41/
Centers for Disease Control & Prevention (CDC).
(2010). Hand hygiene infection control.
Diperoleh dari http://www.cdc.gov/handhygiene/.
Estes, C.A. (2004). Promoting student-centered
learning in experiential education. Journal Of
Experiential Education, 27(2), 141–160.
Fitzpatrick, M., Everett-Thomas, R., Nevo, I.,
Shekhter, I., Rosen, L.F., Scheinman, S.R.,
Arheart, K.L., & Birnbach, D.J. (2011). A
novel educational programme to improve
knowledge regarding health care-associated
infection and hand hygiene. International
Journal of Nursing Practice, 17(3), 269–274.
doi: 10.1111/j.1440-172X.2011.01934.x.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 123-131 130
Grayling, I., & Stevenson, K. (2006). A trainer’s
perspective. in workplace bullying in the nhs
(Randle J. Ed.). Radcliffe Press: Oxford.
Grayson, M.L., Jarvie, L.J., Martin, R., Johnson,
P.D.R., Jodoin, M.E., McMullan, C., Gregory,
R.H.C., Bellis, K., Cunnington, K., Wilson,
F.L., Quin, D., & Kelly, A.M. (2008).
Significant reductions in methicillin-resistant
Staphylococcus aureus bacteraemia and clinical
isolates associated with a multisite, hand
hygiene culture-change program and subsequent
successful statewide roll-out. Medical Journal
of Australia. 188 (11), 633–640.
Keeton, M.T., Sheckley, B.G., & Griggs, J.K.
(2002). Efficiency and effectiveness in higher
education. Dubuque, IA: Kendall/ Hunt
Publishing Company.
Kelcíkova, S., Skodova, Z., & Straka, S. (2012).
Effectiveness of hand hygiene education in a
basic nursing school curricula. Public Health
Nursing, 29(2), 152–159. Doi: 10.1111/j.1525-
1446.2011.00985.x.
Kolb, A.Y., & Kolb, D.A. (2005). Learning styles
and learning spaces: Enhancing experiential
learning in higher education. Academy Of
Management Learning & Education, 4(2),
193–212. Doi: 10.5465/AMLE.2005.17268566.
Marquis, B.L., & Huston, C.J. (2010).
Kepemimpinan dan manajemen keperawatan:
teori & aplikasi (4th Ed.) (Widyawati
Penerj.). Philadelphia: Lippincott.
Madrazo, C.M., Dorado, A.C., Fort, M.A.S.,
Herranz, J.C.A., Selfa, R.A., Ferradal, I.G.,
Matorral, F.E., Pau, C.E., & Diaz, S.S. (2009).
Effectiveness of a training programme to
improve hand hygiene compliance in primary
healthcare. BMC Public Health, 9469–9476.
Doi: 10.1186/1471-2458-9-469.
Niemantsverdriet, S., Van derVleuten, C.M., Majoor,
G.D., & Scherpbier, A.A. (2005). An explorative
study into learning on international traineeships:
Experiential learning processes dominate.
Medical Education, 39(12), 1236–1242. Doi:
10.1111/j.1365-2929.2005.02114.x.
Parini, S.M. (2004). Know your hand in hygiene.
Nurse Management, 35, 12–15.
Silva, C.L.P., Dharan S., Hugonnet S., Touveneau,
S., Barbe, K.P., Pfister, R., & Pittet D. (2004).
Dynamics of bacterial hand contamination
during routine neonatal care. Infection Control
and Hospital Epidemiology, 25(03), 192–197.
Pittet, D., Simon, A., Hugonnet, S., Silva, C.L.P.,
Sauvan, V., & Perneger, T.V. (2004) Hand
hygiene among phycians: Performance,
beliefs, and perceptions. Annals Internal
Medicine, 141(1), 1–8. Doi: 10.7326/0003-
4819-141-1-200407060-00008.
Polit, F.D., & Beck, C.T. (2009). Essentials of
nursing research (7th Ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Rajcevic, S., Djuric, P., Grujicic, M., Dugandzija,
T., & Cosic, G. (2012). Knowledge, habits,
and attitudes of health care workers about
hand hygiene. Healthmed, 6(4), 1418–1423.
Robbins, S.P. (2006). Perilaku organisasi
(Benyamin Molan, Penerj.). Jakarta:
Gramedia.
Rone, T.R. (2008). Culture from the outside in and
the inside out: Experiential education and the
continuum of theory, practice, and policy.
College Teaching, 56(4), 237–246.
Simarmata, R. (2009). Clean care is safer care
WHO case study. Diperoleh dari http://www.
who.int/gpsc/5may/share/case_study_ramsay_
health_care_indonesia/en/index.html.
Spouse, J. (2003). Professional learning in
nursing. Oxford: Blackwell Science.
Swansburg, R.C. (2002). Management and
leadership for nurse manager. United States
of America: Jones and Bartlett.
Szilágyi, L., Haidegger, T., Lehotsky, Á., Nagy,
M., Csonka, E.A., Sun, X., Ooi, K.L., &
Fisher, D. (2013). A large-scale assessment of
hand hygiene quality and the effectiveness of
the "WHO 6-steps". BMC Infectious Diseases,
13(1), 1–10. Doi: 10.1186/1471-2334-13-249.
Tumkaya, S. (2012). The Investigation of the
epistemological beliefs of university students
according to gender, grade, fields of study,
academic success and their learning styles.
Solely, et al., Peningkatan Pengetahuan dan Kepatuhan Melakukan Kebersihan 131
Educational Sciences: Theory & Practice,
12(1), 88–95.
Wilson-Barnett J., Butterworth, T., & White, E.,
(1995). Clinical support and the project 2000
nursing student: Factors influencing this
process. Journal of Advanced Nursing. 21,
1152–1158.
World Health Organization. (2009a). WHO Multi
modal hand hygiene strategy. Geneva,
Switzerland: World Health Organization Press.
World Health Organization. (2009b). Hand
hygiene technical reference manual. Geneva,
Switzerland: World Health Organization
Press.
Yeganeh, B., & Kolb, D. (2009). Mindfulness and
Experiential Learning. OD Practitioner,
41(3), 13–18.
Yulia, S. (2010). Pengaruh pelatihan keselamatan
pasien terhadap pemahaman perawat pelaksana
mengenai penerapan keselamatan pasien di
RS Tugu Ibu Depok. (Tesis magister, tidak
dipublikaskan) Fakultas Ilmu Keperawatan,
Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.2, Juli 2015, hal 132-138
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
PERKEMBANGAN BAYI USIA 6–12 BULAN DENGAN RIWAYAT
ASFIKSIA PERINATAL
Ninis Indriani1,2*, Yeni Rustina3, Nur Agustini3
1. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banyuwangi, Banyuwangi 68400, Jawa Timur , Indonesia
2. Program Studi Magister Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Bayi dengan asfiksia perinatal sangat rentan mengalami komplikasi baik jangka pendek seperti disfungsi multiorgan
maupun jangka panjang dengan terjadinya gangguan perkembangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan riwayat asfiksia perinatal dengan perkembangan bayi usia 6–12 bulan. Desain penelitian menggunakan potong
lintang, yang melibatkan 56 bayi dengan riwayat asfiksia perinatal (berat, sedang, dan ringan) di Kabupaten Banyuwangi.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara riwayat asfiksia perinatal dengan perkembangan
bayi (p= 0,026). Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlu melakukan deteksi dini penyimpangan perkembangan
khususnya bayi risiko tinggi dan mengoptimalkan peran serta orang tua dalam proses perkembangan anak.
Kata kunci: asfiksia perinatal, perkembangan bayi
Abstract
Development of Infant Age 6–12 Months with History Perinatal Asphyxia. Infant with perinatal asphyxia history is
very susceptible to have both short term complications such as multiple organ dysfunctions and long-term complications
with development disorder. The purpose of this study is to indentify the correlation between perinatal asphyxia history
and infant’s development age 6 to 12 months. Design of study used cross sectional, which involves 56 infants with
severe, moderate, and mild asphyxia history in Banyuwangi Regency. The result of this study indicates that there is a
significant correlation between perinatal asphyxia history and infant’s development (p= 0,026). The recommendations
of this study is that it is necessary to do early detection development disorder especially for high risk infants and
optimize the participation of parents in a child's development process.
Keywords: infant’s development, perinatal asphyxia history
Pendahuluan
Kematian neonatal dini pada tahun 2010 paling
banyak disebabkan oleh asfiksia (48%) diikuti
oleh prematur (23%), sepsis dan sindrom gawat
napas (11%), serta karena kelainan bawaan (9%).
Asfiksia merupakan kegawatan bayi baru lahir
yang menyebabkan terjadinya depresi pernapasan
serta mengakibatkan komplikasi (Wantania, 2011).
Komplikasi akibat asfiksia perinatal jangka pendek
berupa disfungsi multiorgan yang dapat berlanjut
kematian, serta komplikasi jangka panjang adalah
kelainan neurologi dan keterlambatan perkem-
bangan. Komplikasi ini dapat terjadi karena
adanya gangguan pertukaran gas dan pengangkutan
oksigen selama persalinan yang dapat memengaruhi
fungsi sel organ-organ vital terutama otak yang
dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan yang
ireversibel (Morales, Bustsmante, Marchant, Pena,
Manuel, Hernandez, & Mancilla, 2011). Bayi
prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
berisiko mengalami asfiksia perinatal lebih berat
dibandingkan dengan bayi yang lahir aterm (Suradi,
Aminullah, Kosim, Rohsiswatmo, Soeroso, Kaban,
& Prasmusinto, 2008).
Sekitar 5–10% anak mengalami keterlambatan
perkembangan dalam dua atau lebih dari aspek
perkembangan. Satu sampai tiga persen keterlam-
Indriani, et al., Perkembangan Bayi Usia 6–12 Bulan dengan Riwayat Asfiksia
133
batan perkembangan ini terjadi dibawah usia 5
tahun (Cleary & Green, 2013). Keterlambatan
perkembangan dapat terdeteksi secara dini oleh
perawat anak. Tindakan yang dapat dilakukan
adalah mengidentifikasi bayi yang berisiko me-
ngalami keterlambatan perkembangan, mengikuti
perkembangan sejak lahir, serta merencanakan
intervensi untuk menghindari masalah yang
mungkin timbul. Penelitian Meena, Kurup, dan
Ramesh (2013) pada sampel usia neonatal sampai
dengan 12 bulan yang berisiko mengalami gang-
guan perkembangan ditemukan bahwa program
intervensi dini dapat meningkatkan perkembangan
saraf bayi. Penelitian lain juga menjelaskan bahwa
stimulasi perkembangan serta pemberian edukasi
pada orang tua dapat mendukung perkembangan
anak secara optimal (Tjandrajani, Dewanti, Burhany,
& Widjaja, 2012).
Hasil observasi klinik tumbuh kembang di Kabu-
paten Banyuwangi (2012) teridentifikasi yaitu
11 anak mengalami perkembangan meragukan dan
8 anak mengalami kemungkinan penyimpangan
perkembangan. Pada tahun 2013 terdapat 5 anak
mengalami perkembangan meragukan dan 11
anak mengalami kemungkinan penyimpangan
perkembangan. Rata-rata anak yang berkunjung
ke klinik tumbuh kembang mengalami keter-
lambatan pada motorik kasar dan gangguan
pendengaran.
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi
perkembangan bayi usia 6–12 bulan yang mem-
punyai riwayat asfiksia perinatal. Hal ini penting
dilakukan agar perkembangan bayi dapat dicapai
dengan optimal dan bayi dapat menjalankan tugas
perkembangan sesuai dengan tahap usia.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
dengan menggunakan desain potong lintang. Tek-
nik pengambilan sampel menggunakan straitifed
random sampling dengan jumlah sampel 56 bayi
yang berusia 6–12 bulan dengan riwayat asfiksia
perinatal yang lahir di salah satu rumah sakit pe-
merintah di wilayah Kabupaten Banyuwangi yang
memenuhi kriteria inklusi yaitu tidak memiliki
kelainan kongenital.
Alat pengumpul data untuk mengukur perkem-
bangan bayi menggunakan formulir kuesioner pra
skrining perkembangan (KPSP) untuk bayi usia 6
bulan, 9 bulan, dan 12 bulan, sedangkan untuk
instrumen stimulasi perkembangan, peneliti mela-
kukan modifikasi instrumen yang diambil dari
buku pedoman pelaksanaan stimulasi, deteksi dan
intervensi dini tumbuh kembang anak di tingkat
pelayanan kesehatan dasar (SDIDTK). Uji vali-
ditas instrumen menggunakan uji korelasi product
moment dengan hasil nilai r hitung lebih besar
dari r tabel, sehingga disimpulkan bahwa per-
tanyaan dalam kuesioner tersebut valid. Uji
reliabilitas instrumen menggunakan koefisien
Cronbach alpha dan didapatkan nilai koefisien
sebesar 0,92 dan 0,90 yang menunjukkan kedua
instrumen tersebut dinyatakan reliabel.
Untuk menyamakan persepsi dalam menggunakan
formulir KPSP dilakukan uji inter-rater reliability.
Hasil uji korelasi Kappa adalah 0,000 yang me-
nunjukkan bahwa terdapat persepsi yang sama
antara peneliti dengan asisten peneliti. Analisis
data menggunakan program komputer untuk
analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat
digunakan untuk variabel karakteristik responden
(jenis kelamin, usia gestasi, jenis persalinan, berat
badan saat lahir, dan status gizi) dan karakteristik
orang tua responden (jumlah anak, status pekerjaan
ibu, pendidikan orang tua, status ekonomi, dan
stimulasi yang diberikan orang tua kepada bayi).
Analisis bivariat digunakan untuk melihat adanya
korelasi dengan uji Spearman dan Lamda.
Hasil
Karakteristik responden penelitian berdasarkan
jenis kelamin menunjukkan jumlah yang hampir
seimbang antara laki-laki dan perempuan, dengan
jenis persalinan paling banyak adalah jenis per-
salinan spontan yaitu 50,0%. Sebagian besar
responden berstatus gizi baik yaitu sebesar 91,1%.
Berdasarkan usia gestasi, rerata usia gestasi respon-
den adalah 37,84 minggu, usia gestasi responden
termuda adalah 31 minggu dan usia gestasi
responden tertua adalah 43 minggu, sedangkan
berdasarkan berat badan saat lahir didapatkan
rerata adalah 2933,04 gram. Berat badan respon-
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 132-138
134
den terendah adalah 1800 gram dan berat badan
responden tertinggi adalah 4500 gram.
Karakteristik orang tua responden pada penelitian
ini adalah sebagian besar memiliki jumlah anak
sebanyak 2 orang, dengan latar belakang pen-
didikan mayoritas SLTA, status pekerjaan ibu
paling banyak adalah tidak bekerja dan sebagian
besar berstatus sosial ekonomi atas. Berdasarkan
stimulasi yang diberikan pada bayi, sebagian
orang tua jarang memberikan stimulasi kepada
bayi mereka.
Tabel 1 menjelaskan bahwa perkembangan bayi
dengan riwayat asfiksia perinatal sebagian besar
mempunyai perkembangan yang sesuai dengan
usia, yaitu 46,4%. Persentase tersebut lebih tinggi
daripada bayi yang mengalami kemungkinan
penyimpangan perkembangan (14,3%). Tabel 2
menggambarkan adanya hubungan yang bermakna
antara riwayat asfiksia perinatal dan perkembang-
an bayi (p= 0,026; α= 0,05).
Hasil analisis antara riwayat asfiksia perinatal
dengan karakteristik responden dan orang tua
responden menunjukkan bahwa variabel usia
gestasi, berat badan saat lahir, tingkat pendidikan
orang tua dan pemberian stimulasi mempunyai
hubungan yang bermakna dengan perkembangan
Tabel 1. Karakteristik Responden berdasarkan
Perkembangan Bayi
Kriteria Frekuensi
(n)
Prosentase
(%)
Kemungkinan menyimpang 8 14,3
Meragukan 22 39,3
Sesuai 26 46,4
Tabel 2. Hubungan Riwayat Asfiksia Perinatal
dengan Perkembangan Bayi
Jenis
Asfiksia
Perkembangan
Menyimpang Meragukan Sesuai p
n % n % n %
Asfiksia
ringan 3 27,3 5 45,5 3 27,3
0,026
Asfiksia
sedang 2 11,1 10 55,6 6 33,3
Asfiksia
berat 3 11,1 7 25,9 17 63,0
Tabel 3. Hubungan Karakteristik Responden dan
Orang Tua Responden dengan Perkem-
bangan Bayi
Parameter Nilai Korelasi (r) p
Jenis kelamin 0,033 0,841
Usia gestasi 0,314 0,018
Jenis Persalian 0,100 0,465
Status gizi bayi 0,053 0,697
Berat badan saat lahir 0,280 0,037
Pendidkan orang tua 0,401 0,002
Jumlah anak 0,029 0,919
Pekerjaan ibu 0,251 0,062
Status sosial ekonomi 0,084 0,538
Stimulasi 0,329 0,013
bayi, sedangkan variabel jenis kelamin, jenis
persalinan, status gizi bayi, jumlah anak, status
pekerjaan ibu, dan status sosial ekonomi tidak
mempunyai hubungan yang bermakna dengan
perkembangan bayi. Hasil analisis korelasi antara
karakteristik responden dan orang tua responden
dengan perkembangan bayi dipaparkan pada
Tabel 3.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan
antara kelahiran asfiksia dengan perkembangan
bayi. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian
Resegue, Puccini, dan Silva (2008) yang me-
nyatakan bahwa bayi dengan asfiksia perinatal
mempunyai risiko untuk mengalami kesakitan
yang tinggi. Kerusakan otak pada bayi asfiksia
dianggap sebagai penyebab utama terjadinya
gangguan perkembangan. Penelitian lain juga
menjelaskan bahwa asfiksia perinatal merupakan
penyebab terjadinya Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD), dan kejadian ADHD lebih
banyak ditemukan pada anak dengan riwayat skor
APGAR yang rendah (Willcutt, 2007). Bayi dengan
asfiksia perinatal apabila mampu beradaptasi
dengan lingkungan ekstrauterin akan mampu
melewati perkembangan bayi selanjutnya (Tomey
& Alligood, 2010). Kerusakan otak bayi dengan
asfiksia perinatal mengancam integritas struktur
bayi yang dapat mengganggu perkembangan bayi
selanjutnya. Intervensi yang bisa dilakukan untuk
mencegah terjadinya gangguan perkembangan
diantaranya adalah dengan mencegah terjadinya
Indriani, et al., Perkembangan Bayi Usia 6–12 Bulan dengan Riwayat Asfiksia
135
faktor risiko asfiksia perinatal yaitu dengan
menghindari terjadinya penyulit persalinan, dan
penanganan bayi asfiksia perinatal dengan cepat
dan tepat sehingga ancaman terjadinya gangguan
perkembangan dapat diminimalkan.
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubung-
an antara jenis kelamin dengan perkembangan
bayi. Hasil penelitian ini selaras dengan yang
dilakukan Nayeri, et al., (2010) yang menjelaskan
bahwa tidak ada perbedaan pada perkembangan
antara bayi laki-laki dan perempuan. Menurut
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(2010), perkembangan antara laki-laki dan pe-
rempuan perbedaannya terletak pada kecepatan
pertumbuhan secara fisik. Anak perempuan lebih
cepat tumbuh dan berkembang, serta lebih cepat
mencapai kedewasaan jika dibandingkan dengan
laki-laki.
Hasil analisis antara usia gestasi dengan per-
kembangan bayi didapatkan terdapat korelasi
yang bermakna. Salah satu penelitian menjelaskan
bahwa prematur dapat menyebabkan beberapa
gangguan perkembangan diantaranya terjadinya
serebral palsi; retardasi mental; gangguan sensori
seperti terjadinya gangguan pendengaran dan
penglihatan; disfungsi otak seperti gangguan
bahasa dan kemampuan belajar, hiperaktivitas,
kurang perhatian, serta adanya gangguan perilaku
(Kosim, 2006).
Hasil analisis antara variabel jenis persalinan
dengan perkembangan bayi diketahui tidak ada
hubungan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Islam, Khan, dan
Murtaza (2008) yang menyatakan bahwa per-
kembangan bayi yang lahir dengan vakum
menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan.
Vakum ekstraksi membantu pengeluaran bayi
dengan memberikan tekanan negatif dan mem-
permudah tarikan saat ibu mengejan dan hal ini
tidak mengganggu perkembangan bayi selanjut-
nya.
Hubungan yang bermakna juga ditemukan pada
penelitian ini antara variabel berat badan saat
lahir dan perkembangan bayi. Shabliz dan Kianian
(2014) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan pada hasil tes Inteleqtual Quotient
(IQ) pada kelompok berat badan lahir normal
dengan kelompok BBLR dimana kelompok
BBLR mayoritas memiliki tingkat IQ lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok bayi lahir normal.
Selain itu ditemukan juga bahwa BBLR secara
tidak langsung berhubungan dengan terjadinya
retardasi mental.
Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan
bermakna antara status gizi dan perkembangan
anak. Hasil penelitian ini didukung penelitian
yang dilakukan oleh Gunawan, Fadlyana, dan
Rusmil (2011) yang menyatakan bahwa tidak
ada hubungan antara gangguan perkembangan
dan status gizi anak, responden penelitian berusia
1–2 tahun dan berada dibawah pengawasan
ibunya, sehingga mendapatkan stimulasi yang
adekuat. Dalam penelitian ini sebagian besar dari
responden mempunyai status gizi yang cukup
baik. Hal ini diasumsikan bahwa anak usia di-
bawah 12 bulan mayoritas masih mendapatkan
perhatian dari segi makanan serta masih men-
dapatkan ASI dari ibunya.
Jumlah anak dalam keluarga dapat menentukan
perkembangan seorang anak. Pada penelitian ini
rerata jumlah anak dalam keluarga memiliki 2
sampai 3 anak; sedangkan hasil analisis bivariat
dalam penelitian ini menunjukkan tidak adanya
hubungan bermakna antara jumlah anak dan per-
kembangan anak. Menurut Okzan, Senel, Arslan,
dan Karacan (2012) keluarga dengan anak lebih
dari 3 orang menyebabkan kualitas dalam penga-
suhan kurang maksimal karena waktu yang tidak
optimal untuk setiap anak. Namun demikian, mes-
kipun jumlah anak dari masing-masing keluarga
lebih dari 3 orang, tetapi karena kebanyakan para
ibu responden sebagai ibu rumah tangga maka
setiap saat ada bersama dengan anak serta me-
miliki waktu yang cukup untuk mengasuh anak
dan masih tetap bisa berinteraksi dengan anak.
Oleh karena itu jumlah anak 2–3 orang tidak
berdampak terhadap perkembangan anak.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat
pendidikan orang tua paling banyak adalah SLTA
(37,5%) dan hasil analisis bivariat menunjukkan
tidak adanya hubungan antara tingkat pendidikan
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 132-138
136
orang tua dengan perkembangan anak. Hal ini
dapat disebabkan karena mayoritas pendidikan
orang tua responden adalah SLTA. Hal lain yang
dapat dijelaskan adalah tingkat pendidikan orang
tua yang SLTA diasumsikan mampu mencari
informasi baik melalui media cetak maupun
televisi serta mampu menerima informasi yang
diberikan oleh tenaga kesehatan tentang pola asuh
yang benar dan cukup baik untuk memberikan
pendidikan dini melalui stimulasi yang diberikan
kepada anak.
Hasil analisis status pekerjaan ibu terhadap per-
kembangan anak dinyatakan tidak ada hubungan
yang signifikan. Hal ini bisa disebabkan rerata
ibu responden tidak bekerja sehingga para ibu
setiap saat dapat berinteraksi dengan bayi serta
memiliki waktu penuh untuk mengasuh anak.
Menurut Lindawati (2013) ibu yang bekerja
tidak mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan
dan perkembangan anak. Hal ini dimungkinkan
terjadi karena pendidikan ibu yang bekerja lebih
tinggi atau lebih banyak terpapar informasi sehing-
ga ibu dapat mengantisipasi segala kemungkinan
yang dapat terjadi ketika anak ditinggal bekerja.
Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hu-
bungan yang bermakna antara status sosial
ekonomi dan perkembangan anak. Hal ini di-
mungkinkan karena rerata responden berasal
dari keluarga dengan status sosial ekonomi
menengah ke atas, sehingga pola pengasuhan
terhadap anak cukup baik. Disamping itu, faktor
sosial ekonomi juga merupakan salah satu faktor
lingkungan yang dapat memengaruhi perkem-
bangan anak. Orang tua responden yang berasal
dari status sosial ekonomi atas dapat menyediakan
makanan yang bergizi serta mampu menyediakan
alat bantu yang memadai untuk memberikan
stimulasi pada anak.
Stimulasi dari lingkungan dalam hal ini orang
tua sebagai orang yang terdekat dengan anak
sangat mendukung tercapainya perkembangan
anak yang optimal. Stimulasi sebaiknya dilakukan
sedini mungkin sejak dalam kandungan (Suryawan
& Irwanto, 2009). Pada penelitian ini didapatkan
ada hubungan antara pemberian stimulasi dan
perkembangan bayi. Hal ini sesuai dengan per-
nyataan sebelumnya yang menjelaskan bahwa
stimulasi sangat penting untuk perkembangan
anak. Anak yang mendapatkan stimulasi yang
benar dan teratur akan lebih cepat berkembang
dibandingkan dengan anak yang tidak atau kurang
mendapatkan stimulasi dari orang tuanya.
Implikasi penelitian bagi pelayanan keperawatan
adalah perawat dapat menghindari faktor risiko
terjadinya asfiksia perinatal. Selain itu penolong
persalinan juga harus mempunyai keterampilan
dalam menangani kelahiran bayi dan memfasilitasi
proses adaptasi bayi dari lingkungan intrauterin
ke ekstrauterin secara optimal, sehingga asfiksia
dapat dihindari. Petugas kesehatan sangat perlu
melakukan pemantauan pertumbuhan dan per-
kembangan anak, terutama pada bayi yang lahir
dengan risiko keterlambatan perkembangan. So-
sialisasi pentingnya stimulasi dan cara pemberian
stimulasi yang benar oleh perawat perlu ditingkat-
kan, sehingga perawat mampu mengedukasi orang
tua tentang pentingnya stimulasi tumbuh kembang
anak.
Kesimpulan
Hasil penelitian yang dilakukan pada 56 respon-
den ini menunjukkan hasil bahwa jumlah jenis
kelamin yang seimbang antara laki-laki dan
perempuan, dengan jenis persalinan paling banyak
adalah spontan, mayoritas bayi berstatus gizi
baik, rerata usia gestasi 37,84 minggu dan berat
badan rerata 2933 gram. Karakteristik orang
tua responden mayoritas mempunyai anak 2
sampai dengan 3 orang, dengan latar belakang
pendidikan paling banyak adalah SLTA, ibu
berstatus tidak bekerja dengan mayoritas tingkat
status sosial ekonomi atas dan kebanyakan orang
tua jarang memberikan stimulasi kepada anak.
Mayoritas perkembangan bayi adalah sesuai
dengan usia. Berdasarkan uji statistik bivariat
didapatkan bahwa ada hubungan antara riwayat
asfiksia perinatal dengan perkembangan bayi
usia 6 sampai 12 bulan. Variabel perancu yang
memiliki korelasi dengan perkembangan bayi
diantaranya adalah usia gestasi, berat bayi saat
lahir, pendidikan orang tua, serta pemberian
stimulasi orang tua kepada anak.
Indriani, et al., Perkembangan Bayi Usia 6–12 Bulan dengan Riwayat Asfiksia
137
Rekomendasi penelitian khususnya untuk perawat
anak adalah diharapkan mampu melakukan deteksi
dini bayi yang berisiko mengalami gangguan
perkembangan serta mampu bekerjasama dengan
perawat komunitas dalam mensosialisasikan tahap
perkembangan anak sesuai usia kepada masya-
rakat (NN, INR, PN)
Referensi
Cleary, M.A., & Green, A. (2013). Developmental
delay: When to suspect and how to
investigate for an inborn error of metabolism.
Archives of Disease in Childhood, 90(11),
1128–1132.
Depkes RI. (2009). Sistem kesehatan nasional.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
Gunawan, G., Fadlyana, E., & Rusmil, K. (2011).
Hubungan status gizi dan perkembangan
anak usia 1–2 tahun. Sari Pediatri, 13(2),
142–146.
Islam, A., Khan, A.H., & Murtaza. (2008).
Vacuum extraction and forceps deliveries;
comparison of maternal and neonatal
complication. Professional Med J, 15(1),
87–90.
Kementerian Kesehatan RI. (2010). Pedoman
pelaksanaan stimulasi, deteksi dan intervensi
dini tumbuh kembang anak ditingkat
pelayanan kesehatan dasar. Jakarta:
Departemen Kesehatan republik Indonesia.
Kosim, M.S. (2006). Gawat darurat neonatus pada
persalinan preterm. Sari Pediatri, 7(4),
225–231.
Lindawati. (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan motorik anak usia pra sekolah.
Jurnal Health Quality, 4(1), 22–27.
Meena, N., Kurup, V.K.M., & Ramesh, S. (2013).
Impact of early intervention in the
developmental outcome of infants with
birth asphyxia. Indian Journal of Applied
Research, 3(3), 301–304.
Morales, P., Bustamante, D., Marchant, P.E., Peña,
T.N., Hernández, M.A.G., Castro, C.A., &
Mancilla, E.R. (2011). Pathophysiology of
perinatal asphyxia: Can we predict and
improve individual outcome? EPMA
Journal, 2(2), 211–230.
Nayeri, F., Shariat, M., Dalili, H., Adam, L.B.,
Mehrjerdi, F.Z., & Shakeri, A. (2012).
Perinatal risk factor neonatal asphyxia in
Vali-e-Asr Hospital, Tehran Iran. Iran J
Reprod Med, 10(2), 137–140.
Okzan, M., Senel, S., Arslan, E.A., & Karacan, C.
D. (2012). The socioeconomic and
biological risk factor for developmental
delay in early childhood. Eur J Pediatr,
171, 1815–1821.
Resegue, R., Puccini, R.F., & Silva, E.M.K. (2008).
Risk factors associated with developmental
abnormalities among high-risk children
attended at a multidisciplinary clinic. San
Paulo Med J, 126(1), 4–10.
Shabliz, M.S., & Kianian, E. (2014). The
relationship between child’s birth weight
and mental retardation among low-weight
children. International Journal of Academic
Research in Business and Social Sciences,
4(1), 592–599.
Suradi, R., Aminullah, A., Kosim, S., Rohsiswatmo,
R., Soeroso, S., Kaban, R., & Prasmusinto,
D. (2008). Pencegahan dan penatalaksanaan
asfiksia neonaturum. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Suryawan, A., & Irwanto. (2009). Deteksi dini
tanda dan gejala penyimpangan partum-
buhan dan perkembangan anak. Surabaya:
IDAI Jawa Timur.
Tjandrajani, A., Dewanti, A., Burhany, A., &
Widjaja, J.A. (2012). Keluhan utama pada
keterlambatan perkembangan umum di
klinik khusus tumbuh kembang RSAB
Harapan Kita. Sari Pediatri, 13(6), 373–
377.
Tomey, A.M., & Alligood, M.R. (2010). Nursing
theorists and their work (7th Ed.). St
Louis: Mosby Elsevier.
Wantania, J., Wilar, R., Antolis, R., &
Mamangkey, G. (2011). Faktor risiko
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 2, Juli 2015, hal 132-138
138
kehamilan dan persalinan yang berhubungan
dengan kematian neonatal dini di RSU
Prof. R. D. Kandou Manado. Buletin
Perinasia, 3, 1–10.
Willcutt, E. (2007). The etitlogy of GPP/H.
London: Oxford University Press.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 139-142
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
EFEK LIFE REVIEW THERAPY TERHADAP DEPRESI PADA LANSIA
Nati Aswanira, Rumentalia*, Vausta
Prodi DIV Keperawatan, Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Palembang, Palembang 30126, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Depresi dapat dialami oleh lanjut usia (lansia) di penghujung kehidupannya. Depresi bukan merupakan proses penuaan
yang normal, melainkan masalah psikososial yang dapat diatasi. Prevalensi depresi berkisar antara 10–15% pada lansia
di komunitas, 11–45% pada lansia yang membutuhkan rawat inap, dan sampai 50% pada residen panti jompo. Penelitian
ini adalah jenis penelitian kuantitatif dengan desain penelitian pre-eksperimen dengan pendekatan one group pre-post
test design. Pengambilan sampel dilakukan secara metode total sampling, sebanyak 28 orang dengan kriteria inklusi
lansia yang mengalami depresi tingkat ringan dan sedang. Penelitian dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha
Palembang. Hasil penelitian diperoleh rerata skor depresi lansia sebelum life review therapy adalah 11,61 (SD= 2,061),
rerata skor depresi sesudah life review therapy 10,07 (SD= 2,035). Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan skor
depresi sebelum dan sesudah dilakukan life review therapy (p= 0,02). Life review therapy direkomendasikan sebagai
alternatif tindakan keperawatan jiwa untuk mengatasi depresi pada lansia.
Kata kunci: lansia, life review therapy, depresi
Abstract
The Effect of Life Review to the Depression in Elderly People. The Depression can be experienced by the elderly at
the end of his life. This is not a normal aging process, but a medical illness that can be treated. Its prevalence ranges
from 10–15% of the elderly at the community, 11–45% of the elderly age who require inpatient, and up to 50% in
nursing home residents. This research is a pre experiment study with one group pre-post test design. This design used a
sample group that was interviewed twice. Pretest and post test were done by using ratio scale. The total sample of 28
elderly people with mild and medium depression at Tresna werdha Elderly Social Institution Palembang. The result
showed an average depression score elderly people before life review therapy is 11,61 (SD= 2,061), the average
depression scores after the therapy 10,07 review life (SD= 2,035). The result showed that there is a significant
difference between before and after life review therapy with therapy for depression in elderly (p= 0,002). It is expected
for Tresna Werdha Teratai Social Institution in order to increase quality of services especially in an effort to reduce
depression in the elderly people in the home by using review life therapy.
Keywords: elderly, life review therapy, depression
Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara ber-
kembang dengan angka harapan hidup yang
meningkat. Menurut WHO, populasi lansia di
Asia Tenggara sebesar 8% atau sekitar 142 juta
jiwa. Pada tahun 2000 jumlah lansia sekitar
5.300.000 (7,4%) dari total populasi, sedangkan
pada tahun 2010 jumlah lansia 24.000.000 (9,77%)
dari total populasi, dan tahun 2020 diperkirakan
jumlah lansia mencapai 28.800.000 (11,34%) dari
total populasi. Di Indonesia pada tahun 2020
diperkirakan jumlah lansia sekitar 80.000.000.
Amerika Serikat mengalami peningkatan lansia
pada tahun 2000, sebanyak 35 juta orang dewasa
yang berusia di atas 65 tahun jumlahnya mencapai
12,4% dari total populasi (AOA, 2006). Jumlah
ini menunjukkan terjadinya peningkatan sebesar
3,7 juta sejak tahun 1990. Pada populasi lansia
di tahun 2000, 18,4 juta orang berusia 65–74 tahun;
12,4 juta berusia di atas 85 tahun. Diperkirakan,
pada tahun 2030 populasi lansia akan mencapai
70 juta orang. Peningkatan ini disebabkan ber-
tambahnya usia harapan hidup. Menurut Badan
Pusat Statistik Sumatera Selatan jumlah penduduk
lansia pada tahun 2009 adalah 7.222.635 orang,
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 139-142
140
dengan komposisi 3.650.615 orang laki-laki dan
3.572.020 orang perempuan, diantaranya penduduk
yang berusia 60 tahun ke atas berjumlah 419.900
orang dengan komposisi 3.792.647 orang laki-
laki dan 3.657.747 orang perempuan, diantaranya
penduduk yang berusia 60 tahun keatas berjumlah
466.033 orang. Pada tahun 2012 telah mencapai
464.554 orang atau 6,24% dari jumlah penduduk
lansia perempuan 245.852 orang dan jumlah pen-
duduk lansia laki-laki 218.702 orang. Sedangkan
di Kota Palembang, jumlah lansia pada tahun
2009 sebesar 236.446 orang, pada tahun 2010
jumlah lansia sebesar 288.180 orang. Ini mengalami
peningkatan jumlah lansia pada tahun 2011
sebesar 497.655 orang.
Lansia sangat rentan mengalami masalah kese-
hatan baik masalah fisik maupun psikologis
akibat terjadinya perubahan dalam kehidupan.
Perubahan tersebut meliputi pensiun, penyakit
atau ketidakmampuan fisik, penempatan dalam
panti werda, kematian pasangan dan kebutuhan
untuk merawat pasangan yang kesehatannya
menurun. Salah satu masalah psikologis adalah
depresi sebagai tahun emas. Tingginya stresor
dan peristiwa-peristiwa kehidupan yang tidak
menyenangkan dapat menimbulkan kemungkinan
lanjut usia mengalami kecemasan, kesepian,
sampai pada tahap depresi (Saputri, 2011).
Menurut Hawari (2001 dalam Saputri, 2011)
depresi merupakan salah satu bentuk gangguan
kejiwaan pada alam perasaan (affective/mood
disorder), yang ditandai dengan ketidakgairahan
hidup, kemurungan, kelesuan, putus asa dan
perasaan tidak berguna. Gangguan depresi sendiri
apabila tidak diobati maka akan mengakibatkan
kesulitan pada penderitanya yang terlihat dalam
pencapaian akademik yang buruk, keterlambatan
dalam perkembangan psikososial, penyalahgunaan
zat adaptif, bahkan percobaan bunuh diri. Pre-
valensinya depresi berkisar antara 10–15% pada
lansia di komunitas; 11–45% pada lansia yang
membutuhkan rawat inap; dan sampai 50% pada
residen lansia yang tinggal di panti jompo (Patricia,
2009).
Salah satu intervensi keperawatan dalam menga-
tasi depresi pada lansia adalah life review therapy
yang dapat membawa seseorang lebih akrab pada
realita kehidupan. Life review therapy membantu
seseorang untuk mengaktifkan ingatan jangka
panjang dimana akan terjadi mekanisme recall
tentang kejadian pada kehidupan masa lalu
hingga sekarang. Dengan cara ini lansia akan
dapat memperbaiki kualitas hidupnya. Life review
therapy akan mengurangi depresi dan meningkat-
kan kepercayaan diri, kesejahteraan atau kesehatan
psikologis, dan kepuasan hidup (Kusharyadi,
2011).
Metode
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
kuantitatif dengan desain penelitian Kuasi Ekspe-
rimen dengan pendekatan One Group pre–post
test design. Penelitian ini dilakukan di Panti
Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang yang
dilakukan pada bulan Juni 2014. Populasi peneli-
tian adalah semua lansia yang tinggal di Panti
Sosial Tresna Werdha Teratai Km 6 Palembang
yang berjumlah 70 orang. Teknik pengambilan
sampel pada penelitian ini yaitu total sampling,
dimana sampel merupakan keseluruhan dari
populasi, sampel dalam penelitian ini adalah
semua lansia yang berada di Panti Sosial Tresna
Werdha Km 6 Palembang dengan kriteria inklusi
mengalami depresi ringan dan sedang, komunikasi
verbal dapat dipahami dan bersedia menjadi
responden.
Sejumlah 70 lansia yang tinggal di panti didapat-
kan 28 lansia yang mengalami depresi ringan
dan sedang yang dijadikan yang pada akhirnya
dijadikan sebagai sampel. Alat pengumpulan data
yang digunakan adalah Depression Anxiety and
Stress Scale (DASS) yang diadopsi dari Livibond
dan Lovabond (2011). Kuesioner terdiri dari 14
pertanyaan yang mengukur 14 pertanyaan dengan
skala 0 (jika tidak pernah), 1 (kadang-kadang),
2 (jarang), 3 (sering), dan 4 (selalu).
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan skor depresi se-
belum life review therapy, skor depresi sesudah
life review therapy dan perubahan skor depresi
sebelum dan sesudah life review therapy. Skor
Aswanira, et al., Efek Life Review Therapy terhadap Depresi pada Lansia 141
depresi sebelum life review therapy pada lansia
tergambar pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1
diketahui bahwa rerata skor depresi lansia
sebelum dilakukan life review therapy adalah
11 dengan standar deviasi sebesar 2,06.
Skor depresi sesudah life review therapy pada
lansia tergambar pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel
2 diketahui bahwa rerata skor depresi lansia
setelah dilakukan life review therapy adalah 10
dengan standar deviasi sebesar 2,03.
Pengaruh life review therapy terhadap depresi
pada lansia terlihat pada Tabel 3. Berdasarkan
Tabel 3 diketahui bahwa skor depresi sebelum
pemberian life review therapy adalah 11 dan
setelah pemberian terapi 10. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa ada pengaruh life review
therapy terhadap skor depresi lansia di Panti
Tresna Wreda Teratai Palembang.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui rerata
skor depresi lansia sebelum dilakukan life review
therapy adalah 11,00 dengan standar deviasi 2,061.
Rerata skor depresi lansia sesudah dilakukan
life review therapy menjadi 10,00 dengan standar
deviasi 2,035. Hasil uji statistik didapatkan nilai
p= 0,002, dimana dalam hal ini ada cukup bukti
untuk menolak hipotesis null yang berarti bahwa
ada perbedaan bermakna antara skor depresi
lansia sebelum life review therapy dengan skor
depresi lansia sesudah life review therapy di Panti
Sosial Tresna Werdha Teratai Km 6 Palembang
Tahun 2014.
Hasil ini sejalan dengan pendapat Kushariyadi
(2011) yang mengatakan bahwa suatu proses
life review therapy dengan Standar Prosedural
Operasional yang baik akan mengurangi depresi
Tabel 1. Rerata Skor Depresi Lansia di Panti Tresna Wreda Teratai Palembang Sebelum Life Review
Therapy
Variabel Median SD Min – Max 95%CI
Skor Depresi sebelum
intervensi 11,00 2,061 9 – 19 10,81 – 12,41
Tabel 2. Rerata Skor Depresi Lansia di Panti Tresna Wreda Teratai Palembang Sesudah Life Review
Therapy
Variabel Median SD Min – Max 95%CI
Skor Depresi sesudah
intervensi 10,00 2,035 5 – 14 9,28 – 10,86
Tabel 3. Pengaruh Life Review Therapy Terhadap Depresi Pada Lansia di Panti Tresna Wreda Teratai
Palembang
Skor Depresi n Median Min – Max SD p
Sebelum life review therapy 28 11 (9 – 19) 2,061
0,002 Setelah life review therapy
28 10 (5 – 14) 2,035
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 139-142
142
dan meningkatkan kepercayaan diri, kesejahteraan
atau kesehatan psikologis, dan kepuasan hidup.
Terapi life review adalah upaya untuk membantu
seseorang untuk mengaktifkan ingatan jangka
panjang dimana akan terjadi mekanisme recall
tentang kejadian pada kehidupan masa lalu hingga
sekarang, dengan cara ini, lansia akan lebih menge-
nal siapa dirinya dan dengan recall tersebut, lansia
akan mempertimbangkan untuk dapat mengubah
kualitas hidup menjadi lebih baik dibandingkan
dengan sebelumnya.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian
Rita (2013) dengan judul pengaruh intervensi
musik gamelan terhadap depresi pada lasia di
Panti Werdha Harapan Ibu Semarang, menyatakan
bahwa pengendalian dan penatalaksanaan depresi
khususnya pada lansia memerlukan perawatan
secara terus-menerus dan berkelanjutan agar tidak
terjadi bunuh diri karena perasaan bersalah, gagal,
dan kecewa yang dialami sebagai dampak depresi.
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyim-
pulkan bahwa terjadinya depresi dapat dikurangi
dengan cara melakukan pengendalian serta pera-
watan pada lansia secara berkesinambungan.
Hal ini bertujuan agar lansia terhindar dari bunuh
diri karena perasaan bersalah serta kecewa yang
dialami sebagai dampak depresi. Life review
therapy merupakan salah satu terapi yang dapat
mengurangi depresi pada lansia.
Kesimpulan
Hasil penelitian dapat disimpulkan rerata skor
depresi pada lansia sebelum dilakukan life review
therapy adalah 11,61 dengan standar deviasi
sebesar 2,061. Rerata skor depresi lansia sesudah
dilakukan life review therapy adalah 10,07 dengan
standar deviasi sebesar 2,035. Hasil penelitian
didapatkan bahwa ada perbedaan rerata skor
depresi yang signifikan sebelum dan sesudah
life review therapy yaitu dengan skor depresi
sebelum life review therapy adalah 11.61. Rerata
skor depresi sesudah life review therapy adalah
10,07. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan
nilai p= 0.002, yang berarti ada pengaruh antara
sebelum diberikan life review therapy dan sesudah
life review therapy terhadap depresi pada lansia.
Pihak Panti Sosial Tresna Werdha Teratai
Palembang diharapkan dapat meningkatkan mutu
pelayanan terutama dalam upaya untuk mengurangi
depresi pada lansia yang ada di panti tersebut
dengan menggunakan life review therapy (IC,
INR, AM).
Referensi
Kushariyadi. (2011). Terapi modalitas keperawatan
pada klien psikogeriatrik. Jakarta: Salemba
Medika.
Livibond, S.H., & Lovabond, P.F. (2012).
Depression anxiety and stress scale (DASS).
Diperoleh dari www.acpmh. unimelb.edu.
au/site_resources/.../followup/DASS.pdf.
Rita, H. (2013). Pengaruh intervensi musik
gamelan terhadap depresi pada lansia di
Panti Wreda Harapan Ibu, Semarang
(online). Diperoleh dari www.bianpdf.org/
view_205909.php.
Saputri, W. (2011). Hubungan antara dukungan
sosial dengan depresi pada lanjut usia yang
tinggak di Panti Wreda Wening Wardoyo
Jawa Tengah (online). Diperoleh dari
www.ejournal.undip.ac.id/index.php/psikolo
gi/article/download/2910/2592-2910-6323-
1- SM.pdf pada tanggal 4 Mei 2014.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 143-150pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
EFEKTIVITAS RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPYBERDASARKAN PROFILE MULTIMODAL THERAPY PADA KLIENSKIZOFRENIA DENGAN MASALAH KEPERAWATAN PERILAKU
KEKERASAN DAN HALUSINASI DI RUMAH SAKIT JIWA
Retno Yuli Hastuti1*, Budi Anna Keliat2, Mustikasari2
1. STIKes Muhammadiyah Klaten, Jawa Tengah 57419, Indonesia2. Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) berdasarkan profilemultimodal therapy terhadap kemampuan klien dan perubahan gejala perilaku kekerasan dan halusinasi di RS Jiwa.Desain penelitian quasi eksperimental dengan jumlah sampel 56 responden. Sebanyak 28 responden memiliki ProfileMultimodal Therapy untuk mendapatkan REBT sebagai kelompok intervensi, 28 responden sebagai kelompok nonintervensi. Hasil penelitian ditemukan penurunan gejala perilaku kekerasan dan halusinasi lebih besar daripada yangtidak mendapatkan REBT berdasarkan profile multimodal therapy (p< 0,05). Kemampuan kognitif, afektif dan perilakuklien yang mendapatkan REBT berdasarkan profile multimodal therapy meningkat secara bermakna (p< 0,05) Hasilpenelitian ini efektif meningkatkan kemampuan klien kognitif, afektif dan perilaku hingga 57% dan penurunan gejalaperilaku kekerasan 48%, penurunan gejala halusinasi 47%. Profile multimodal therapy direkomendasikan sebagaiscreening klien yang akan diberikan terapi spesialis dalam hal ini khususnya rational emotive behavior therapy.
Kata kunci: gejala haluasinasi; gejala perilaku kekerasan; kemampuan kognitif, afektif dan perilaku; profilemultimodal therapy; rational emotive behavior therapy
Abstract
The Effectiveness of Rational Emotive Behavior Therapy Based on Profile Multimodal Therapy for Client’sSchizophrenia with Violence and Hallucination Nursing Diagnoses at Mental Hospital. This study aims to determinethe effectiveness of rational emotive behavior therapy (REBT) profile of multimodal therapy based on the client's abilityand changes in symptoms violent behavior and hallucinations in Psychiatric Hospital. Quasi-experimental researchdesign with a number of 56 respondents. 28 respondents had to get a Profile Multimodal Therapy REBT therapy as theintervention group, 28 respondents as a group of non intervention. The research found a decrease symptom of violentbehavior and hallucinations bigger than not getting REBT based profile of multimodal therapy (p<0.05). Cognitive,affective and behavioral clients who get REBT based profile of multimodal therapy increased significantly (p<0.05).Results clients experience an effectively improve cognitive, affective and behavioral to 57% and reduction in symptomsof violent behavior 48%, reduction in symptoms of hallucinations 47%. Profile multimodal therapy is recommended asscreening client will be given specialist treatment in this particular rational emotive behavior therapy
Keywords: cognitive, affective and behavioral; hallucination symptoms; profile multimodal therapy; rational emotivebehavior therapy; symptoms of violent behavior
Pendahuluan
Skizofrenia merupakan salah satu jenis gang-guan jiwa berat yang paling banyak ditemu-kan. Stuart (2009) menyebutkan di Amerika
Serikat sekitar 1 dari 100 orang mengalamiskizofrenia. Departemen Kesehatan RI (2009)mencatat bahwa 70% gangguan jiwa terbesardi Indonesia adalah skizofrenia. Jumlah klienskizofrenia juga menempati 90% klien di ru-
Hastuti, et al., Efektivitas Rational Emotive Behaviour Therapy Berdasarkan Profile Multimodal Therapy 144
mah sakit jiwa di seluruh Indonesia (Jalil,2006). Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasionaldi Indonesia disebutkan bahwa prevalensigangguan jiwa berat (Skizofrenia) adalah4,6 % dimana untuk jumlah yang tertinggi dipropinsi DKI Jakarta yaitu 20,3% sedangkanuntuk wilayah propinsi Jawa Barat
mencapai 2,2% (DepKes, 2008). Melihatbanyaknya klien skizofrenia menjadi pemiki-ran perlunya meningkatkan pemahaman indi-vidu tentang gangguan jiwa berat yang satuini, agar mampu memberikan penangananyang tepat jika terjadi pada salah satu anggotakeluarga maupun masyarakat.
Perilaku yang sering muncul pada klienskizofrenia menurut Keliat (2006) antara lain;motivasi kurang (81%), isolasi sosial (72%),perilaku makan dan tidur yang buruk (72%),sukar menyelesaikan tugas (72%), sukar me-ngatur keuangan (72%), penampilan yangtidak rapi/bersih (64%), lupa melakukan sesu-atu (64%), kurang perhatian pada orang lain(56%), sering bertengkar (47%), bicara padadiri sendiri (41%), dan tidak teratur makanobat (40%). Berdasarkan paparan diatas me-nunjukkan bahwa pada klien skizofreniabanyak ditemukan masalah yang memerlukanpemberian terapi yang mengacu pada konseppenyembuhan secara holistik, yang tidakhanya mengobati aspek psikis (kognisi, afeksidan psikomotorik) dari klien namun jugamemperhatikan aspek kesehatan fisik sertakualitas lingkungan hidup disekitar klien yangmemengaruhi kehidupannya.
Lazarus (1992) menyatakan bahwa konseppenyembuhan penyakit didasarkan secaraholistik yang tidak hanya mengobati aspekpsikis (kognisi, afeksi dan psikomotor) dariklien saja namun juga memperhatikan tujuhaspek yang membentuk kepribadian darimanusia, yang meliputi perilaku (behaviour),perasaan (affect), pengindraan (sensation),angan-angan (imagery), pikiran (cognitition),hubungan interpersonal (interpersonal rela-tionship) dan semua faktor-faktor yang berhu-
bungan dengan keadaan biokimia dan fisi-ologis tubuh (drugs). Konsep penanganan holi-stik ini dalam psikoterapi kemudian disebutsebagai multimodal therapy.
Putri (2010) dalam penelitiannya terhadap 28klien skizofrenia yang mengalami perilakukekerasan menyatakan bahwa terapi RationalEmotive Behavior Therapy (REBT) mampumeningkatkan kemampuan kognitif sebesar9,6% dan sosial 47%. REBT juga mampumenurunkan respon emosi 43%, fisiologis76%, dan perilaku 47%. REBT dan CBT yangdilakukan secara bersama-sama pada klien yangmemiliki lebih dari satu gejala menurutpenelitian Lelono (2011) efektif menurunkanperilaku kekerasan sebesar 61%, menurunkantanda dan gejala munculnya halusinasi sebesar52,1% dan menurunkan gejala harga diri rendahsebesar 66,2%. Juga menunjukan hasil 74,53%untuk meningkatkan kemampuan kognitif,afektif dan perilaku pada klien perilaku keke-rasan, halusinasi dan harga diri rendah. Hal inijuga didukung oleh penelitian dari Sudiatmika(2011) menunjukan hasil efektif menurunkanperilaku kekerasan hingga 77% dan penurunangejala halusinasi mencapai 85%. Untuk ke-mampuan kognitif meningkat 74%, afektif76% dan perilaku 77%. Sedangkan hasil pene-litian Hidayat (2011) menunjukan hasil mam-pu menurunkan gejala perilaku kekerasan yangterdiri atas kognitif, emosi, perilaku, sosial,fisiologi secara bermakna dari kategori sedangmenjadi rendah dimana secara keseluruhanterjadi penurunan sebesar 44,45%. Penelitianyang dilakukan para peneliti belum pernahmenambahkan dengan profile multimodal the-rapy dimana penambahan PMT dapat menjadilebih baik guna meningkatkan kemampuanklien selain menurunkan gejala perilaku.
Metode
Penelitian ini adalah penelitian quasi experi-mental dengan metode kuantitatif denganmenggunakan desain penelitian “QuasiExperimental Pre-Post Test with ControlGroup” dengan intervensi Rational Emotive
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 143-150145
Behavior Therapy (REBT) yang berdasarkanProfile Multimodal Therapy (REBT & PMT)dan kontrol Rational Emotive CognitiveBehavior Therapy (RECBT). Teknik pengam-bilan sampel menggunakan Consecutive Sam-pling. Penelitian ini dilakukan untuk menge-tahui efektivitas Rational Emotive BehaviorTherapy berdasarkan profile multimodal thera-py terhadap perubahan gejala dan kemampuankognitif, afektif dan perilaku klien denganperilaku kekerasan dan halusinasi yang dira-wat di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa.
Responden berjumlah 56 orang yang terdiriatas 28 orang menjadi kelompok kontrol dan28 orang yang memiliki profile multimodaltherapy sebagai kelompok intervensi. Analisisstatistik yang digunakan adalah univariat,bivariat dengan analisis dependen dan inde-pendent sample t-Test, Chi-square dengantampilan dalam bentuk tabel dan distribusifrekuensi.
Hasil
Karakteristik klien dengan perilaku kekerasandan halusinasi dalam penelitian ini adalah padakelompok intervensi jenis kelamin lebih ba-nyak laki-laki 24 orang (85,7%), jenjangpendidikan paling banyak adalah PT 11 orang(39,4%) yang meliputi D3 9 orang dan S1 2orang, pada pekerjaan lebih banyak yang tidak
bekerja yaitu 16 orang (57,1%), sebagian besartidak kawin 15 orang (53,6%). Sedangkanpada kelompok kontrol jenis kelamin lebih ba-nyak laki-laki 19 orang (67,9%), jenjang pen-didikan paling banyak PT 12 orang (42,9%)yang meliputi D3 10 orang S1 2 orang, lebihbanyak yang bekerja 16 orang (57,1%), untukstatus perkawinan jumlah sama antara yangkawin dengan tidak kawin yaitu 14 orang(50%)
Pengaruh REBT berdasarkan profile multimo-dal therapy terhadap perubahan gejala padaperilaku kekerasan yang dibandingkan denganhasil penelitian sebelumnya yaitu pemberianRECBT (Sudiatmika, 2011).
Hasil penelitian menunjukkan perubahangejala perilaku kekerasan pada klien yangdiberikan REBT berdasarkan profile multi-modal therapy lebih baik dibandingkan denganhasil penelitian sebelumnya yaitu pemberianRECBT. Uji statistik menunjukkan ada hubu-ngan yang signifikan pemberian REBT ber-dasarkan PMT dibandingkan dengan RECBT(p= 0,000).
Pengaruh REBT berdasarkan profile multi-modal therapy terhadap perubahan gejala padahalusinasi yang dibandingkan dengan hasilpenelitian sebelumnya yaitu pemberianRECBT (Sudiatmika, 2011).
Tabel 1. Perubahan gejala perilaku kekerasan klien yang diberikan REBT & PMT dengan RECBT
Gejala KelompokREBT & PMT (N= 56) RECBT (N= 60)
pMean MeanSblm Ssdh Slsih Sblm Ssdh Slsih
Kognitif IntervensiKontrol
15,2515,64
10,2912,36
4,963,28
13,8714,40
10,5312,30
3,342,10
0,0000,000
Emosi IntervensiKontrol
18,6818,68
11,2515,00
7,433,68
15,8314,97
10,7713,00
5,061,97
0,0000,000
Perilaku IntervensiKontrol
16,0015,82
10,3613,36
5,642,46
13,7314,47
10,2012,50
3,531,97
0,0000,000
Sosial IntervensiKontrol
19,4618,89
12,6815,36
6,783,53
19,3718,60
12,7314,77
6,633,83
0,0000,000
Fisiologis IntervensiKontrol
8,468,54
5,216,96
3,251,58
8,708,53
5,776,47
2,931,06
0,0000,000
PK IntervensiKontrol
77,8677,57
49,7963,04
28,0714,53
71,5070,97
50,0059,03
21,5011,93
0,0000,000
Hastuti, et al., Efektivitas Rational Emotive Behaviour Therapy Berdasarkan Profile Multimodal Therapy 146
Tabel 2. Perubahan gejala halusinasi klien yang diberikan REBT & PMT dengan RECBT
Gejala KelompokREBT & PMT (N= 56) RECBT (N= 60)
pMean MeanSblm Ssdh Slsih Sblm Ssdh Slsih
Kognitif IntervensiKontrol
8,258,14
5,076,39
3,181,75
7,606,83
4,205,47
3,401,37
0,0000,000
Emosi IntervensiKontrol
8,297,96
4,185,75
4,112,21
7,836,90
4,575,47
3,261,43
0,0000,000
Perilaku IntervensiKontrol
7,797,57
4,795,86
3,001,71
7,006,43
4,335,57
2,670,86
0,0000,000
Sosial IntervensiKontrol
7,937,64
4,005,57
3,392,07
7,506,97
4,135,63
3,371,33
0,0000,000
Fisiologis IntervensiKontrol
8,398,50
5,717,25
2,681,25
7,977,47
5,906,90
2,070,57
0,0000,000
Halusinasi IntervensiKontrol
40,6439,82
23,7530,82
16,899,00
37,9034,60
23,1329,03
14,775,57
0,0000,000
Hasil penelitian menunjukkan perubahangejala halusinasi pada klien yang diberikanREBT berdasarkan profile multimodal therapylebih baik dibandingkan dengan hasil pene-litian sebelumnya yaitu pemberian RECBT.Hanya gejala kognitif pada klien yang menda-patkan RECBT lebih baik dibandingkan de-ngan pemberian REBT dan PMT. Uji statistikmenunjukkan ada hubungan yang signifikanpemberian REBT berdasarkan PMT diban-dingkan dengan RECBT (p= 0,000).
Perubahan kemampuan kognitif, afektif danperilaku pada klien skizofrenia dengan maslahkeperawatan perilaku kekerasan dan halusinasisetelah diberikan REBT berdasarkan profilemultimodal therapy.
Perubahan Kognitif. Pada penelitian ini pem-berian REBT dan PMT mampu mening-katkankemampuan kognitif dari 23,32 menjadi 41,07sedangkan pemberian RECBT meningkatkankemampuan kognitif ddari 33,63 menjadi65,87 (lihat Gambar 3).
Gambar 3. Perubahan kemampuan kognitif
Perubahan Afektif. Pada penelitian inipemberian REBT dan PMT mampu mening-katkan kemampuan afektif dari 17,14 menjadi29,93 sedangkan pemberian RECBT mening-katkan kemampuan afektif dari 33,13 menjadi66,03 (lihat Gambar 4).
Gambar 4. Perubahan kemampuan afektif
Perubahan Perilaku. Pada penelitian ini pem-berian REBT dan PMT mampu mening-katkankemampuan perilaku dari 22,32 menjadi 37,32sedangkan pemberian RECBT meningkatkankemampuan perilaku dari 33,87 menjadi 66,90(lihat Gambar 5).
Gambar 5. Perubahan kemampuan perilaku
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 143-150147
Efektifitas Terapi REBT berdasarkan ProfileMultimodal Therapy terhadap peningkatan ke-mampuan kognitif, afektif, dan perilaku REBTpada klien skizofrenia dengan masalah kepera-watan perilaku kekerasan dan halusinasi de-ngan dibandingkan hasil penelitian terdahuludapat dilihat efektivitas terapi REBT berda-sarkan profile multimodal therapy dalam me-ningkatkan kemampuan kognitif, afektif danperilaku sebesar 57%. Sedangkan penelitiansebelumnya (Sudiatmika, 2011) RECBT mem-berikan hasil dapat meningkatkan kemampuankognitif, afektif dan perilaku sebesar 41%.
Pembahasan
Efektifitas Terapi REBT berdasarkan ProfileMultimodal Therapy untuk menurunkan gejalaperilaku kekerasan sebesar 48% sedangkanyang diberikan RECBT mampu menurunkangejala perilaku kekerasan sebesar 45%. Hal inimenunjukan bahwa klien dengan perilakukekerasan dan halusinasi jika diberikan terapiREBT akan lebih baik yang dengan profilemultimodal therapy dengan RECBT meskipunhampir sama nilainya
Jensen (2008) yang menyatakan bahwa res-pon-respon perilaku kekerasan mengalami pe-rubahan yang bermakna disebabkan karenaterapi REBT yang diberikan menggunakanpendekatan kognitif dan perilaku denganmengemukakan fakta-fakta bahwa perilakuyang dihasilkan bukan berasal dari kejadianyang dialami namun dari keyakinan-keyakinanyang tidak rasional. REBT diberikan bertujuanuntuk mengurangi keyakinan irrasional danmenguatkan keyakinan rasional yang dapatefektif untuk dewasa yang marah dan agresif(Ellis, 1997; Ellis, 2003).
REBT juga merupakan bagian dari pilihanterapi dalam Multimodal Therapy yang diberi-kan dengan memperhatikan tujuh aspek pem-bentukan kepribadian seseorang (Lazarus,1992). Multimodal Therapy melihat bahwamanusia merupakan satu kesatuan yang unikoleh karenanya jika adanya gangguan pada sa-
lah satu aspek akan memengaruhi aspek yanglain (Lazarus, 1992). REBT menjadi salah satupilihan terapi pada klien yang mengalamigangguan karena kebanyakan orang di saat se-dang ada masalah perilaku yang muncul cen-derung menghindari atau mengalihkan obyekyang menimbulkan masalah, perasaan khawa-tir dan kegelisahan terus menerus, rasa bersa-lah dan konsep diri yang bruruk yang disertaidengan keyakinan-keyakinan yang salah atautidak rasional, sehingga dengan diberikan tera-pi yang mengajarkan pada klien untuk menge-nali peristiwa yang rasional dan tidak rasionaldiharapkan klien akan dapat mengatasi masa-lah yang muncul.
Efektifitas Terapi REBT berdasarkan ProfileMultimodal Therapy untuk menurunkan gejalahalusinasi dengan dibandingkan hasil peneli-tian terdahulu dapat dilihat bahwa efektivitasterapi REBT berdasarkan profile multimodaltherapy dalam menurunkan halusinasi sebesar47%. Sedangkan penelitian yang dilakukanoleh Sudiatmika (2011) bahwa RECBT menu-runkan tanda gejala halusinasi sebesar 62%.
Kondisi perpecahan pada pikiran, terutamapada persepsi klien yang mengalami skizofre-nia sering dikaitkan dengan halusinasi. Hal inidiperkuat pendapat Stuart dan Laraia (2005);Stuart (2009); Townsend (2009); Fontaine(2009) ketika terjadi perubahan persepsi padaklien skizofrenia, bersamaan gangguan dalamfungsi kognitif secara umum, ditemukanbahwa 90% klien mengalami halusinasi dandelusi dimana halusinasi pendengaran diala-mi 50–80% klien dengan skizofrenia. Halusi-nasi merupakan perubahan dalam jumlah danpola stimulus yang diterima disertai denganpenurunan berlebih distorsi atau kerusakanrespon beberapa stimulus NANDA-I(2009-2011). Klien dengan skizofrenia yangmengalami halusinasi akibat kesalahan persep-sinya sering kehilangan kontrol dan mengikutiperintah dari halusinasinya yang mengaki-batkan klien berperilaku di luar kendali danmelakukan perilaku kekerasan.
Hastuti, et al., Efektivitas Rational Emotive Behaviour Therapy Berdasarkan Profile Multimodal Therapy 148
Penggunaan terapi REBT mempunyai targetdimana bahwa pada dasarnya pola pemikiranmanusia terbentuk melalui serangkaian prosesstimulus–kognitif–respon. Peneliti sebagai te-rapis diharapkan mampu berfungsi sebagaiguru/tranier dan mengajarkan kepada klienstrategi pembelajaran dalam perubahan kog-nitif yang berdampak pada afektif dan perilakuyang adaptif. Sedangkan halusinasi merupakansalah satu gejala positif pada klien skizofreniayang merupakan suatu penyakit yang meme-ngaruhi otak yang menyebabkan timbulnyafikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilakuyang aneh dan terganggu (Videbeck, 2006;2008). Sehingga dapat dinyatakan bahwa ski-zofrenia sebagai penyakit mental serius yangmemengaruhi otak dengan ciri adanya perpe-cahan antara pikiran, emosi dan perilakusehingga klien menunjukan perilaku aneh yangdianggap tidak sesuai dengan standar di mas-yarakat.
Multimodal Therapy terhadap peningkatan ke-mampuan kognitif, afektif dan perilaku REBTpada klien skizofrenia dengan masalah kepe-rawatan perilaku kekerasan dan halusinasidengan dibandingkan hasil penelitian terda-hulu dapat dilihat efektivitas terapi REBTberdasarkan profile multimodal therapy dalammeningkatkan kemampuan kognitif, afektifdan perilaku sebesar 57%. Sedangkan, pene-litian sebelumnya (Sudiatmika, 2011) RECBTmemberikan hasil dapat meningkatkan ke-mampuan kognitif, afektif dan perilaku sebesar41%.
Hasil di atas dapat terjadi karena pada klienskizofrenia dengan perilaku kekerasan danhalusinasi terjadi masalah berupa gangguanpada pengontrolan perilaku yang dapat mence-derai diri maupun orang lain. Perilaku yangmuncul pada skizofrenia dengan perilaku ke-kerasan berupa agresif dan hostile. MenurutStuart dan Laraia (2005; Stuart, 2009;Townsend, 2005; Townsend, 2009; Fontaine,2009) ketika terjadi perubahan persepsi padaklien skizofrenia, bersamaan gangguan dalamfungsi kognitif secara umum, ditemukan bah-
wa 90% klien mengalami halusinasi dan delusidimana halusinasi pendengaran dialami50–80% klien dengan skizofrenia. Kliendengan skizofrenia yang mengalami halusinasiakibat kesalahan persepsinya sering kehi-langan kontrol dan mengikuti perintah darihalusinasinya yang mengakibatkan klien ber-perilaku di luar kendali dan melakukan perila-ku kekerasan. Perilaku ini terjadi disebabkankarena klien merasakan adanya ancaman yangdipersepsikan menganggu konsep diri danintegritas diri.
Pemberian REBT, klien dilatih untuk bisamengenali pikiran atau persepsi yang salahatau distorsi kognitif dari kejadian yang dira-sakan yang mengancam atau juga bisa daripenyebab perilaku kekerasan, malu dan rendahdiri yang dialami serta apa yang klien rasakandari suara-suara yang muncul, kemudian kliendiarahkan untuk bisa menilai akibat dari keja-dian tadi yang berdampak pada perasaan de-ngan mengukur menggunakan termometerperasaan dan dampak terhadap perilaku berupaperilaku maladaptif yang sering muncul.Kejadian atau peristiwa itu klien diajarkanuntuk menilai kejadian berdasarkan keyakinanklien anggap tepat, namun keyakinan kliensering sering berupa keyakinan yang tidaknyata atau berdasar opini bukan fakta-faktayang ada, maka klien dilatih untuk melawanopini-opini yang tidak nyata tadi dengan fakta-fakta yang nyata hingga klien mulai mengatasidistorsi kognitifnya dan dapat berpikir rasi-onal, dimana berdampak pada perasaan nya-man, tenang, berharga, dibutuhkan, merasaterlindungi dan perilaku yang asertif, tidakmenyendiri, dan lainnya.
Profile Multimodal Therapy yang dimilikiklien juga dapat memberikan pengaruhterhadap keberhasilan REBT meningkatkankemampuan secara kognitif, afektif danpsikomotor dari klien dikarenakan dalammenetapkan terapi berdasarkan hasil analisisdari tujuh aspek yang dimiliki klien yangdalam hal ini adalah pada behaviour, affect,sensation, imagery, cognition, interpersonal
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 143-150149
relationship and drugs yang hal tersbut beradapada diri seseorang yang merupakan satukesatuan yang unik oleh karenanya adanyagangguan pada salah satu modalitas diatasakan mempengaruhi modalitas yang lainnya(Lazarus,1992; Dryden, David, & Ellis,2010).
Berdasarkan paparan di atas penggunaan terapiREBT mempunyai target yang berdasar padakonsep bahwa emosi dan perilaku merupakanhasil dari proses pikir yang memungkinkanbagi manusia untuk memodifikasinya sepertiproses untuk mencapai cara yang berbedadalam merasakan dan bertindak (Froggatt,2005). Reaksi emosional seseorang sebagianbesar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi,dan filosofi yang disadari maupun tidakdisadari. Hambatan psikologis atau emosionaltersebut merupakan akibat dari cara berpikiryang tidak logis dan irrasional, dimana emosiyang menyertai individu dalam berpikir penuhdengan prasangka, sangat personal dan irra-sional. Menurut Ellis (2003), manusia padadasarnya adalah unik yang memiliki kecende-rungan untuk berpikir rasional dan irrasional.Ketika berpikir dan bertingkah laku rasionalmanusia akan efektif, bahagia, dan memilikikemampuan.
Kesimpulan
Karakterisitik dari 56 orang klien yang men-jadi responden yang dilakukan dalam peneli-tian ini rata-rata berusia 33,21 tahun denganusia termuda 18 tahun dan tertua 55 tahun,jenis kelamin lebih banyak laki-laki, statuspekerjaan adalah yang tidak bekerja, statuspendidikan paling banyak di jenjang Pergu-ruan Tinggi, status perkawinan sebagian besartidak kawin, frekuensi dirawat di rumah sakitrata-rata 2 kali. Hasil screening dari 56 klienyang menjadi responden hanya 28 orang yangdapat diberikan REBT berdasarkan profilemultimodal therapy. Rational emotive beha-viour therapy berdasarkan profile multimodaltherapy efektif menurunkan gejala perilakukekerasan dan gejala halusinasi (kognitif,
emosi, perilaku, sosial, dan fisiologis) daritingkat sedang ke rendah. Rational emotivebehaviour therapy berdasarkan profile multi-modal therapy efektif meningkatkan kemam-puan klien yaitu kognitif, afektif dan perilakudari tingkat rendah ke tingkat tinggi.
Perawat jiwa di rumah sakit diharapkan dapatmelakukan screning klien dengan profilemultimodal therapy guna menentukan indikasipemberian terapi terutama terapi keperawatanspesialis dan selalu memotivasi klien sertamengevaluasi kemampuan-kemampuan yangtelah dipelajari dan dimiliki oleh kliensehingga latihan yang diberikan membudaya.Apabila terjadi kemunduran pada klienhendaknya perawat mengkonsultasikan per-kembangan kliennya yang telah mendapatterapi spesialis kepada perawat spesialis yangdimiliki rumah sakit. Hasil penelitian ini dapatdigunakan sebagai evidence based pengemba-ngan profile multimodal therapy guna penen-tuan indikasi pemberian terapi REBT baikpada individu maupun kelompok. Perlu pene-litian lanjut tentang pengaruh profile multi-modal therapy dengan terapi spesialis lainnya;pengaruh peningkatan kemampuan klien se-telah terapi REBT terhadap penurunan gejalaperilaku kekerasan dan halusinasi pada klienskizofrenia (BA, INR, MK).
Referensi
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.(2008). Riset kesehatan dasar 2007.http://www.litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/IndonesiaNasional.pdf.
Dryden, W., David, D., & Ellis, A. (2010).Rational emotive behaviour therapy:Handbook of Cognitive-behavioral therapies(3rd ed). New York, US: Guilford Press.
Ellis, A. (1997). REBT and its application toGroup Therapy, In Special Applications ofREBT: A. therapit’s casebook, Yankura, J., andDryden, W. (eds). New York: SpringerPublishing Company. pp 131–161.
Hastuti, et al., Efektivitas Rational Emotive Behaviour Therapy Berdasarkan Profile Multimodal Therapy 150
Ellis, A. (2003). Reasons why rational emotivebehaviour therapy is relatively neglected in theprofessional and scientific literature. Journalof Rational Emotive & cognitive – behaviourtherapy, 21 (3/4), 245–252.
Ellis, A. (2004). Why rational emotive behaviourtherapy is the most comprehensive andeffective from of behaviour therapy. Journal ofRational emotive behaviour therapy, 22 (2),85–92.
Fontaine, K.L. (2009). Mental health nursing (7thEd.). New Jersey: Pearson Education, Inc.
Froggatt, W. (2005). A brief introduction torational emotive behaviour therapy (3rd Ed.).Diperoleh dari www.rational.org.nz/prof-docs/Intro-REBT.pdf.
Hidayat, E. (2011). Pengaruh cognitive behaviourtherapy dan rational emotive behaviourtherapy pada perilaku kekerasan dan hargadiri rendah di Rumah Sakit Marzoeki MahdiBogor (Tesis, Tidak dipublikasikan). FakultasIlmu Keperawatan Universitas Indonesia,Jakarta.
Jalil, M. (2006). Faktor-faktor yang mempengaruhikekambuhan penderita skizoprenia di RSJProf. Dr. Soeroyo Magelang. (Skripsi. Tidakdipublikasikan)
Jensen. (2010). Evaluating the ABC models ofrational emotive behaviour therapy theory: Ananalysis of the relationship between irrationalthinking and guilt (Thesis of Science inPsychology). The Faculty of DepartmentPsychology Villanova University, UnitedState. ProQuest LLC.
Keliat, B.A. (2006). Peran serta keluarga dalamperawatan klien gangguan jiwa. Jakarta: EGC.
Lazarus, A.A. (1992). Multimodal therapy:Technical eclecticism with minimalintegration. New York: Basic Books.
Lelono, S.K. (2011). Efektifitas cognitivebehaviour therapy dan rational emotivebehaviour therapy terhadap klien perilakukekerasan, halusinasi dan harga diri rendah di
RSMM Bogor (Tesis, Tidak dipublikasikan).Fakultas Ilmu Keperawatan UniversitasIndonesia, Jakarta.
NANDA. (2009). Nursing diagnoses: Definitions& classification 2009-2011. Philadelphia:NANDA International.
Putri, D.W. (2010) Pengaruh rational emotivebehaviour therapy (REBT) terhadap klienperilaku kekerasan di Rumah Sakit MarzoekiMahdi Bogor (Tesis, Tidak dipublikasikan).Fakultas Ilmu Keperawatan UniversitasIndonesia, Jakarta.
Sudiatmika, I.K. (2011). Pengaruh cognitivebehaviour therapy dan rational emotivebehaviour therapy pada perilaku kekerasandan halusinasi di Rumah Sakit MarzoekiMahdi Bogor (Tesis, Tidak dipublikasikan).Fakultas Ilmu Keperawatan UniversitasIndonesia, Jakarta.
Stuart, G.W., & Laraia, M.T. (2005). Principlesand practice of psychiatric nursing (8th Ed.).Missouri: Mosby, Inc.
Stuart, G.W. (2009). Principles and practice ofpsychiatric nursing (9th Ed.). Missouri:Mosby, Inc.
Townsend, M.C. (2005). Essentials of psychiatricmental health nursing (3rd Ed.). Philadelphia:F.A. Davis Company.
Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental healthnursing concepts of care in evidence-basedpractice (6th Ed.). Philadelphia: F.A. DavisCompany.
Videbeck, S.L. (2006). Psychiatric-mental healthnursing (4th Ed.). Philadelphia: LippincottWilliams & Wilkins.
Videbeck, S.L. (2008). Buku ajar keperawatanjiwa. Jakarta: EGC.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 149-156
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
KARAKTERISTIK SUBJEKTIF TIDUR KLIEN RAWAT INAP DEWASA
DI RUMAH SAKIT X DEPOK
Rahma Marfiani1*
, Hening Pujasari2
1. Program Studi Sarjana, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini mengenai karakteristik subjektif tidur pada klien rawat inap dewasa di Rumah Sakit X Depok. Desain
penelitian ini deskriptif sederhana dengan pendekatan cross-sectional. Sampel yang terlibat berjumlah 72 pasien dengan
teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Responden mengisi kuesioner berisi skala tidur Verran dan Snyder-
Halpern. Hasil penelitian didapatkan bahwa pasien mengalami gangguan tidur tingkat sedang (47,22%) hingga berat
(25%). Efektivitas tidur pasien juga hanya berada pada tingkat sedang (50%) hingga rendah (19,44%). Pasien juga
mensuplementasikan tidurnya dengan tingkatan sedang (38,88%) hingga tinggi (22%). Penelitian ini dapat digunakan
sebagai penelitian dasar untuk meneliti faktor-faktor yang memengaruhi pola tidur pasien rawat inap.
Kata kunci: karakteristik subjektif tidur, klien dewasa, rawat inap, skala tidur Verran dan Snyder-Halpern
Abstract
Sleeping Subjective Characteristics of Adult Patient at X Hospital Depok. This research explored subjective sleep
characteristics of hospitalized adult patients in X Hospital Depok. Simple descriptive design was used in this research.
Consecutive sampling was applied on this study involving 72 patients. Patients were asked to fill the questionnaire
about Verran and Snyder Halpern sleep scale (VSH Sleep Scale). Results showed that patients experienced sleep
disturbance with moderate levels (47,22%), moreover (25%) patients experienced severe sleep disturbance. Patients
felt that sleep effectiveness in moderate levels (50%), moreover (19,44%) patients felt that sleep effectiveness only in
low levels. Sleep supplementation also experienced by patients with moderate levels (38,88%), moreover (22%) patients
experienced sleep supplementation in high levels. This research can be used as a pilot study to find out factors that
affecting how patients sleep in the hospital environment.
Keywords: adult patients, hospitalized, subjective sleep characteristics, VSH Sleep Scale
Pendahuluan
Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar yang
juga penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Seseorang yang sedang sakit dan dirawat di rumah
sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
sering kali dihadapkan pada dua keadaan yang
berlawanan, yaitu di satu sisi individu yang sakit
tersebut mengalami peningkatan kebutuhan tidur
(Crisp & Taylor, 2001). Di sisi lain pola tidur
seseorang yang masuk dan dirawat di rumah
sakit akan dengan mudah terganggu (DeLaune
& Ladner, 2011). Hal ini sangat disayangkan
karena kekurangan tidur secara potensial dapat
mengganggu sistem pertahanan tubuh seseorang,
sehingga pemenuhan kebutuhan tidur yang adekuat
harus tercapai pada tahap penyembuhan penyakit. Menurut Benca dan Quintans (1997) seseorang
yang kurang tidur akan berdampak secara tidak
langsung pada sistem pertahanan tubuhnya. Sel
natural killer, yaitu salah satu komponen pada
sistem pertahanan non spesifik tubuh yang beres-
pon untuk mengatasi stres akut, akan menurun
jumlahnya seiring dengan kurangnya kualitas dan
kuantitas tidur (Wright, Erblich, Valdimarsdottir,
& Bovbjerg, 2007).
Pola tidur seseorang yang dirawat di rumah sakit
akan mudah terganggu oleh berbagai macam
faktor, seperti lingkungan rumah sakit yang baru
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 149-156
150
ditempati, penyakit yang dideritanya, tingkat
stres, dan lain-lain. Perubahan pola tidur seseorang
ditandai dengan buruknya karakteristik tidur yang
hanya dirasakan oleh orang tersebut dan lebih
lanjut lagi akan menimbulkan gangguan tidur.
Gangguan tidur menurut pendapat para ahli dapat
dikaitkan dengan penurunan fungsi imun sese-
orang, perubahan status mental, dan peningkatan
tingkat stres (Meerlo, Sgoifo, & Suchecki, 2008).
Efek negatif tersebut dapat mengganggu proses
penyembuhan pada klien dewasa yang sedang
dirawat di ruang rawat akut rumah sakit (Patel,
Chipman, Carlin, & Shade, 2008). Penelitian
terhadap pasien dewasa di Amerika menemukan
bahwa gangguan tidur memengaruhi proses
penyembuhan seseorang dari penyakit (Doering,
McGuire, & Rourke, 2002; Redeker, Ruggiero,
& Hedges, 2004).
Karakteristik tidur yang dirasakan oleh pasien
terdiri dari beberapa komponen. Menurut kerangka
konsep taksonomi Snyder-Halpern dan Verran
(1987) bahwa ada tiga komponen karakteristik
subjektif tidur, yaitu komponen gangguan tidur,
efektivitas tidur, dan suplementasi tidur (Hum-
phries, 2008). Komponen gangguan pada tidur
terdiri dari tujuh komponen, yaitu terbangun di
sela-sela waktu tidur, terbangun saat hendak me-
mulai tidur, pergerakan saat tidur, kedalaman
tidur, latensi tidur, kualitas latensi tidur, dan
kualitas gangguan tidur. Komponen efektivitas
tidur memiliki lima karakteristik, yaitu perasaan
lelah saat sudah terjaga, kualitas tidur yang dirasa
oleh klien, total periode tidur, total waktu tidur,
dan evaluasi kecukupan tidur. Komponen supple-
mentasi tidur terdiri dari empat karakteristik,
yaitu terbangun setelah sadar sepenuhnya, tidur
di siang hari, pagi hari, dan sore hari.
Penelitian terkait mengenai angka kejadian dan
karakteristik subjektif tidur pada klien dewasa
yang dilakukan di Rumah Sakit Amerika Serikat
mengungkapkan bahwa sebagian besar subjek
penelitian melaporkan telah mengalami gangguan
tidur berat, efektivitas tidur yang rendah, dan
suplementasi tidur tingkat sedang (Humphries,
2008). Indonesia sendiri belum ada penelitian yang
meneliti karakteristik subjektif tidur pada klien
dewasa seperti penelitian yang telah disebutkan di
atas. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti
tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai
karakteristik subjektif tidur pada klien rawat
inap dewasa di Rumah Sakit X Depok.
Metode
Penelitian ini menggunakan desain penelitian
deskriptif sederhana. Sampel penelitian berjumlah
72 pasien yang ditentukan dengan menggunakan
teknik consecutive sampling. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang
berisi 10 pertanyaan mengenai karakteristik res-
ponden dan 15 pernyataan yang berisi VSH
Sleep Scale. Pernyataan yang ada di kuesioner
berjumlah 15 terdiri dari 7 pernyataan yang
menggambarkan komponen gangguan tidur, 5
pernyataan menggambarkan komponen efektivitas
tidur, dan 4 pernyataan lainnya menggambarkan
komponen suplementasi tidur yang dialami res-
ponden saat mencoba untuk tidur malam hingga
terjaga di pagi harinya. Pernyataan yang ada di
kuesioner sejumlah 15, namun karakteristik yang
harus diukur ada 16. Karakteristik keenam belas
akan diukur dengan cara menjumlahkan pernya-
taan nomor 1 dan 2.
Kuesioner ini menggunakan visual analogue scale
(VAS), yaitu rentang 0–100 dari sebelah kiri ke
kanan, dinyatakan dalam suatu garis, yang akan
direfleksikan ke dalam kertas millimeter blocks
sepanjang 10 cm. Kuesioner ini juga sudah baku
dalam Bahasa Inggris, lalu diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia dan dinyatakan valid serta
reliabel. Nilai alpha cronbach untuk kuesioner ini
terbagi menjadi 3, disebabkan tiap komponen
karakteristik subjektif tidur tidak dapat digabung
satu sama lain. Komponen gangguan tidur me-
miliki nilai alpha cronbach sebesar 0,77, untuk
komponen efektivitas tidur sebesar 0,69, sedangkan
yang terakhir untuk komponen suplementasi tidur
nilai alpha cronbach yang dihasilkan yaitu 0,6,
sehingga kuesioner ini dinyatakan reliabel.
Polit dan Beck (2008) menjelaskan bahwa terdapat
tiga acuan utama mengenai etika penelitian, yaitu
prinsip manfaat (beneficence), prinsip menghor-
mati harkat dan martabat orang lain (respect of
human dignity), dan prinsip keadilan (justice).
Marfiani, et al., Karakteristik Subjektif Tidur Klien Rawat Inap Dewasa
151
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan
cara prosedur administrasi yang diawali dengan
izin pengambilan data awal dan izin penelitian.
Pengolahan data dilakukan dengan empat tahap,
yaitu editing, coding, processing, cleaning. Setelah
melakukan pengolahan data, dilakukan analisis
data. Penelitian ini menggunakan analisis univariat
dengan menyajikan distribusi frekuensi dan
ditampilkan dalam bentuk tabel.
Hasil
Karakteristik Responden. Pada Tabel 1 didapat-
kan bahwa rerata usia klien dewasa yang rawat
inap di rumah sakit yaitu 35 tahun dengan standar
deviasi sebesar 11,55. Hasil pengakuan responden
mengenai jam tidurnya saat masih di rumah yaitu
didapatkan rerata sebesar 8 jam dengan standar
deviasi 1,69. Nilai tengah lama hari rawat klien
dewasa di rumah sakit yaitu selama 3 hari dengan
rentang lama hari rawat minimal 1 hari dan yang
paling lama yaitu 9 hari.
Pada Tabel 2 didapatkan bahwa perbandingan
jenis kelamin responden yang mengikuti penelitian
ini yaitu hampir seimbang antara laki-laki dan
perempuan, terdiri dari perempuan 37 orang
(51,4%) sedangkan laki-laki 35 orang (48,6%).
Pasien rawat inap di rumah sakit cenderung lebih
banyak yang bekerja tanpa shift yaitu berjumlah
20 orang (27,8%), meskipun demikian banyak
pula yang memiliki pekerjaan dengan metode
shift sebesar 17 orang (23,6%). Status perkawinan
responden didominasi dengan status menikah
berjumlah 47 orang (65,3%). Pasien cenderung
dirawat di rumah sakit karena diagnosis medis
yang dikelompokan pada penyakit dalam non-
infeksius, yaitu berjumlah 54 orang (75%).
Mayoritas responden dalam penelitian ini menga-
ku memiliki kebiasaan sebelum tidur saat masih
di rumah yaitu berjumlah 43 orang (59,7%).
Pasien juga banyak yang mengaku mengalami
gangguan tidur saat dirawat di rumah sakit dengan
jumlah 46 orang (63,9%). Daftar pemberian obat
yang dimiliki oleh setiap pasien yang didominasi
dengan pasien yang tidak sedang menggunakan
obat tidur dengan jumlah 67 orang (93,1%). Ter-
dapat pula pasien yang sedang menggunakan
obat tidur sebanyak 5 orang (6,9%). Sebanyak
59,7% pasien yang memiliki kebiasaan tidur saat
masih di rumah, didominasi dengan menonton
TV sebagai kebiasaan sebelum tidurnya sebesar
33 orang (76,74%). Sebanyak 63,9% pasien yang
memiliki gangguan tidur di rumah sakit, didomi-
nasi dengan masalah yang terkait lingkungan
ruang rawat inap sebesar 30 pasien (65,22%).
Karakteristik Subjektif Tidur Pasien. Hasil
penelitian menunjukan bahwa klien dewasa di
rumah sakit berada pada kategori sedang untuk
semua komponen karakteristik subjektif tidur.
Pada Tabel 3 didapatkan bahwa gangguan tidur
yang terjadi pada pasien berada pada tingkat
sedang yaitu sebanyak 34 orang (47,22%), mes-
kipun demikian terjadi pula gangguan tidur berat
sebanyak 18 orang (25%) atau seperempatnya
dari jumlah sampel yang ada. Efektivitas tidur
yang diharapkan berada pada posisi tinggi tidak
tercapai pada klien dewasa di rumah sakit. Pasien
yang hanya mendapatkan efektivitas tidur tingkat
tinggi sebanyak 22 orang (30,56%), sedangkan
yang banyak dicapai oleh pasien yaitu efektivitas
tidur tingkat sedang sebanyak 36 orang (50%).
Lebih banyak pasien yang mengalami suplemen-
tasi tidur tingkat sedang sebesar 28 orang (38,88%).
Suplementasi tidur ini seharusnya hanya berada
pada tingkat rendah, akan tetapi terjadi pula
suplementasi tidur tinggi pada 22 orang pasien
di rumah sakit (30,56%).
Pada Tabel 4 didapatkan bahwa klien dewasa di
rumah sakit sering sekali mengalami gangguan
tidur khususnya terbangun di sela-sela tidurnya
pada malam hari. Hal ini dapat dilihat dari
rerata yang cukup tinggi dicapai yaitu sebesar
72,60 dari rentang 0–100. Banyak pasien yang
sering bergerak saat tidur rerata sebesar 60,53
dari rentang 0–100. Kedalaman tidur pasien
selama dirawat inap di rumah sakit terbilang hanya
berada pada tingkat sedang yaitu reratanya
sebanyak 59,74 dari rentang 0–100.
Efektivitas tidur klien dewasa di rumah sakit
secara umum berada pada tingkat sedang, yang
sebaiknya berada pada tingkat tinggi. Durasi
total tidur yang didapat oleh pasien rerata
sebesar 54,61 dari rentang 0-100, yang berarti
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 149-156
152
hanya 5,46 jam durasi total tidur klien dewasa
di rumah sakit. Penafsiran ini didapat karena ada
beberapa rentang garis pada kuesioner yang dapat
direfleksikan sebagai suatu waktu, yaitu dari 0–10
jam. Hal tersebut ternyata tidak seimbang dengan
pencapaian periode total tidur pasien yaitu
rerata sebesar 73,43 dari rentang 0–100, artinya
klien dewasa yang rawat inap di rumah sakit
rerata memiliki periode total tidur sebanyak 7,34
jam.
Klien dewasa yang mengalami kekurangan tidur
pasti akan mengganti waktu tidurnya di lain
waktu, seperti di waktu pagi, siang, ataupun sore
hari. Hal tersebut disebut dengan suplementasi
tidur. Suplementasi tidur secara umum pada klien
dewasa di rumah sakit reratanya berada pada
tingkat sedang. Meskipun demikian suplementasi
tidur yang paling banyak terjadi yaitu saat di pagi
hari dengan rerata sebesar 56,67 dari rentang 0–
100, yang berarti pasien rerata menghabiskan
waktu tidur di pagi hari sebanyak 5,7 jam.
Tabel 1. Karakteristik Klien Rawat Inap Dewasa di Rumah Sakit Berdasarkan Usia, Lama Hari Rawat, dan
Jam Tidur di Rumah
Variabel Mean Median Standar Deviasi Min-Maks Mean Difference
(CI 95%)
Usia 34,99 32 11,55 18-55 32,27-37,70
Lama Hari Rawat 3,26 3 1,78 1-9 2,85-3,68
Jam Tidur di Rumah 7,68 7,75 1,69 1-13 7,28-8,08
Tabel 2. Klien Rawat Inap Dewasa di Rumah Sakit Berdasarkan Jenis Kelamin, Pekerjaan, Status
Perkawinan, Diagnosis Medis, Kebiasaan Sebelum Tidur di Rumah, Masalah Tidur di RS, dan
Penggunaan Obat Tidur
Data Demografi Kategori Frekuensi Persentase (%)
Jenis Kelamin Perempuan
Laki-Laki
37
35
51,4
48,6
Pekerjaan Pelajar/mahasiswa
Bekerja tanpa shift
Bekerja dengan shift
Pensiun
Tidak bekerja
6
20
17
0
29
8,3
27,8
23,6
0
40,3
Status Perkawinan Belum menikah
Menikah
Janda/duda
20
47
5
27,8
65,3
6,9
Diagnosis Medis Penyakit dalam non-infeksius
Penyakit dalam infeksius
Penyakit bedah
54
6
12
75,0
8,3
16,7
Kebiasaan Sebelum Tidur di
Rumah
Tidak ada kebiasaan
Ada kebiasaan
29
43
40,3
59,7
Masalah Tidur di RS Tidak ada masalah tidur
Ada masalah tidur
26
46
36,1
63,9
Penggunaan Obat Tidur Tidak menggunakan obat tidur
Menggunakan obat tidur
67
5
93,1
6,9
Marfiani, et al., Karakteristik Subjektif Tidur Klien Rawat Inap Dewasa
153
Tabel 3. Karakteristik Subjektif Tidur Klien Rawat Inap Dewasa di Rumah Sakit
Karakteristik Subjektif Tidur Kategori Frekuensi Persentase (%)
Gangguan Tidur Ringan
Sedang
Berat
20
34
18
27,78
47,22
25
Efektivitas Tidur Rendah
Sedang
Tinggi
14
36
22
19,44
50
30,56
Suplementasi Tidur Rendah
Sedang
Tinggi
22
28
22
30,56
38,88
30,56
Tabel 4. Nilai Rerata Semua Pernyataan Karakteristik Subjektif Tidur pada Klien Rawat Inap Dewasa di
Rumah Sakit
Sub Variabel Karakteristik Subjektif Tidur Mean Standar
Deviasi Min-Maks
Gangguan Tidur:
a. Terbangun di sela-sela waktu tidur 72,60 26,96 0–100
b. Terjaga saat sudah mulai mengantuk 18,75 32,09 0–100
c. Pergerakan saat tidur 60,53 36,42 0–100
d. Kedalaman tidur 59,74 39,87 0–100
e. Kualitas gangguan tidur 43,68 37,15 0–100
f. Latensi tidur 38,21 38,07 0–100
g. Kualitas latensi tidur 48,67 38,02 0–100
Efektivitas Tidur:
a. Perasaan lelah saat sudah terjaga 40,94 37,86 0–100
b. Kualitas tidur yang dirasa oleh pasien 57,86 34,65 0–100
c. Evaluasi kecukupan tidur 53,94 40,94 0–100
d. Total waktu tidur 54,61 32,56 0–100
e. Periode total tidur 73,43 37,91 0–200
Suplementasi Tidur:
a. Tidur pada rentang pagi hingga sore hari 34,17 32,68 0–100
b. Tidur di pagi hari 56,67 42,29 0–100
c. Tidur di sore hari 49,35 41,68 0–100
d. Waktu terjaga setelah sadar sepenuhnya 50,19 41,56 0–100
Pembahasan
Karakteristik responden yang dibahas pada pe-
nelitian ini meliputi usia, jam tidur pasien saat
masih di rumah, lama hari rawat pasien, jenis
kelamin, pekerjaan, status perkawinan, diagnosis
medis, masalah tidur di rumah sakit, kebiasaan
sebelum tidur di rumah, dan penggunaan obat
tidur. Hasil penelitian didapatkan bahwa rerata
usia klien dewasa di RS X Depok yaitu 35
tahun, dengan rentang 18–55 tahun. Jam tidur
pasien saat masih di rumah dengan reratanya
sebesar 7,7 jam per hari. Lama hari rawat pasien
rerata sebanyak 3 hari. Rerata jenis kelamin
pasien hampir sama jumlahnya antara laki-laki
dan perempuan. Mayoritas pekerjaan pasien yaitu
bekerja tanpa shift, meskipun demikian jumlah
pekerja dengan shift cukup banyak pula. Hal ini
dapat memengaruhi pola tidur pasien. Kebanyakan
status perkawinan pasien yaitu berstatus menikah,
akan tetapi jumlah pasien yang masih sendiri
serta yang berstatus janda/duda cukup banyak
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 149-156
154
pula. Menurut Humphries (2008) seseorang yang
berstatus sudah menikah namun sekarang hidup
sendiri ataupun seseorang yang dari sejak awal
sudah hidup sendirian, mungkin akan mengalami
stres yang berdampak pada pengurangan efektivitas
tidurnya.
Mayoritas klien dewasa di RS X Depok dirawat
inap karena diagnosis medis yang digolongkan
pada penyakit dalam non-infeksius. Sebanyak
setengah lebih jumlah sampel di RS X Depok
menyatakan dirinya selalu melakukan kebiasaan
sebelum tidur, yang rerata dilakukan yaitu
menonton TV. Klien dewasa di RS X Depok
banyak yang mengeluhkan adanya masalah tidur
saat dirawat inap di rumah sakit tersebut. Tiga
jenis masalah tidur yang dialami pasien secara
berturut-turut yaitu masalah tidur terkait ling-
kungan, penyakit fisik, dan stres emosional.
Masalah lingkungan disini yaitu terkait dengan
suhu ruang rawat inap yang panas. Perawat
pelaksana secara subjektif juga mengatakan
hal yang serupa seperti yang pasien rasakan
tersebut. Karakteristik responden yang terakhir
yaitu penggunaan obat tidur. Hasil analisis uni-
variat tentang penggunaan obat tidur didominasi
dengan pasien yang tidak sedang menggunakan
obat tidur, akan tetapi terdapat pula beberapa
pasien yang sedang menggunakan obat tidur.
Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai karak-
teristik subjektif tidur klien dewasa di RS X
Depok. Komponen yang pertama yaitu gangguan
tidur. Keseluruhan komponen gangguan tidur
pada karakteristik subjektif tidur menunjukkan
bahwa klien dewasa di ruang rawat inap RS X
Depok mengalami gangguan tidur tingkat sedang
(47,22%), akan tetapi terdapat (25%) pasien yang
mengalami gangguan tidur berat. Hal tersebut
tidak seharusnya terjadi, meskipun seseorang
yang masuk dan di rawat di rumah sakit pasti
akan mengalami perubahan pola tidur (DeLaune
& Ladner, 2011), namun diharapkan hanya berada
pada tingkatan yang rendah saja. Gangguan tidur
pada tingkatan sedang berarti gangguan tidur
tersebut telah cukup dirasa mengganggu oleh
pasien. Hal ini akan memicu terjadinya gangguan
tidur akut yang selanjutnya akan mengganggu
proses penyembuhan pasien tersebut.
Gangguan tidur menurut pendapat para ahli
dapat dikaitkan dengan penurunan fungsi imun
seseorang, perubahan status mental, dan peningkat-
an tingkat stres (Meerlo, et al., 2008). Efek negatif
tersebut dapat mengganggu proses penyembuhan
pada klien dewasa yang sedang dirawat di ruang
rawat akut rumah sakit (Patel, et al., 2008).
Penelitian terhadap pasien dewasa di Amerika
menemukan bahwa gangguan tidur memengaruhi
proses penyembuhan seseorang dari penyakit
(Doering, et al., 2002; Redeker, et al., 2004).
Hal ini seharusnya sangat dihindari terjadi pada
suatu rumah sakit, karena dapat memperpanjang
masa penyembuhan pasien yang berarti memper-
panjang proses rawat inap pasien (Patel, et al.,
2008). Proses rawat inap yang memanjang dan
berlarut-larut akan memperburuk mutu pelayanan
rumah sakit tersebut.
Komponen karakteristik subjektif tidur yang
kedua yaitu efektivitas tidur. Secara keseluruhan
semua komponen karakteristik efektivitas tidur
berada pada tingkatan sedang. Akan tetapi, adanya
gap/jarak antara total waktu tidur pasien dengan
periode total tidur, menandakan pasien tidak
langsung tidur saat sudah mengantuk. Penyebab-
nya mungkin adalah faktor-faktor yang dibahas
pada karakteristik responden seperti faktor ling-
kungan, penyakit fisik, stres emosional, dan
lain-lain. Seperti yang telah diketahui penyebab
tertinggi masalah tidur pada klien dewasa di
RS X Depok adalah suhu ruang rawat inap yang
panas, hal itulah yang menjadi alasan mengapa
pasien tidak langsung tertidur meskipun sudah
mengantuk. Hal inilah yang menyebabkan kom-
ponen efektivitas tidur pasien hanya berada pada
tingkatan sedang (50%), yang sebaiknya berada
pada tingkatan tinggi. Pasien yang hanya menda-
pat efektivitas tidur yang tinggi sebesar (30,56%)
saja.
Komponen karakteristik subjektif tidur yang
terakhir yaitu suplementasi tidur. Suplementasi
tidur merupakan kegiatan dalam mengganti waktu
tidur malam seseorang di waktu pagi hingga sore
hari. Seorang individu yang mengalami keku-
rangan tidur tahap REM akan tertidur pada pagi
harinya, sebagai tambahan waktu tidurnya yang
kurang di malam hari. Hal tersebut karena menurut
Marfiani, et al., Karakteristik Subjektif Tidur Klien Rawat Inap Dewasa
155
Hayter (1980) tahap REM lebih banyak jumlah
durasinya saat tidur di pagi hari (Humphries
2008). Menurut teori dari Patel dan Gupta (2008)
bahwa pasien yang sering terbangun di malam
hari membutuhkan waktu tidur di siang hari
sebagai kompensasi waktu total tidurnya yang
kurang. Lebih lanjut dikemukakan bahwa tidur
pada sore hari terjadi pada individu yang menga-
lami kekurangan tidur tahap NREM 3. Pasien di
RSUD Depok yang berada pada tahap perkem-
bangan dewasa dan terbukti tidak terlalu dalam
tidurnya sudah pasti membutuhkan waktu tidur
pengganti di pagi hari.
Klien dewasa di RS X Depok sudah mampu
dalam tingkatan sedang untuk mensuplementasi-
kan waktu tidur malamnya yang kurang dengan
waktu tidur pada pagi hari. Seluruh komponen
pada suplementasi tidur klien dewasa di RSUD
Depok berada pada tingkatan sedang (38,88%),
akan tetapi terdapat (30,56%) pasien yang menga-
lami tingkat kejadian suplementasi tidur yang
tinggi. Hal ini seharusnya tidak terjadi, apabila
pasien telah cukup waktu tidurnya di malam
hari. Pola tidur pasien kenyataanya tidak adekuat
dalam hal kuantitas maupun kualitasnya, sehingga
salah satu cara untuk menutupi kekurangan terse-
but adalah dengan mengganti waktu tidur malam
dengan waktu-waktu lain dari rentang pagi hingga
sore hari. Bila suplementasi tidur yang dibutuhkan
oleh pasien untuk mengganti waktu tidurnya di
malam hari tidak didapatkan, maka pasien tersebut
akan sangat mengalami kekurangan waktu tidur,
yang akan selalu berujung pada kejadian gangguan
tidur. Lebih lanjut lagi, gangguan tidur tersebut
akan memperlama proses penyembuhan pasien
serta memperpanjang masa perawatan pasien di
rumah sakit tersebut (Patel, et al., 2008). Proses
rawat inap yang memanjang dan berlarut-larut
akan memperburuk mutu pelayanan rumah sakit
tersebut. Hal tersebut tentunya sangatlah dihindari
oleh pihak rumah sakit.
Kesimpulan
Klien dewasa di RS X Depok rerata berusia 35
tahun, dengan perbandingan jenis kelamin
antara laki-laki dan perempuan yaitu hampir sama
jumlahnya, mayoritas berstatus sudah menikah,
namun didominasi dengan status pekerjaan tidak
bekerja. Pasien saat masih di rumah rerata tidur
malam selama 8 jam, yang didahului dengan
kebiasaan sebelum tidur yaitu mayoritas menonton
TV. Pasien masuk dan dirawat di RSUD Depok
rerata karena diagnosis medis penyakit dalam
non-infeksius, dengan rerata lama hari rawat-nya
sebesar 3 hari, mayoritas pasien tidak sedang
menggunakan obat tidur, dan pasien mengaku
mengalami gangguan tidur khususnya gangguan
tidur karena lingkungan yang panas di ruang
rawat inap RS X Depok.
Klien dewasa di RS X Depok mengalami gangguan
tidur dengan tingkatan sedang (47,22%), lebih
lanjut lagi ternyata terdapat beberapa pasien
(25%) yang mengalami gangguan tidur berat.
Klien dewasa di RS X Depok mengalami efek-
tivitas tidur dengan tingkatan sedang (50%), lebih
lanjut lagi ternyata terdapat beberapa pasien
(19,44%) yang hanya mengalami efektivitas
tidur rendah. Klien dewasa di RSUD Depok
mengalami suplementasi tidur dengan tingkatan
sedang (38,88%), lebih lanjut lagi ternyata ter-
dapat beberapa pasien (22%) yang mengalami
suplementasi tidur tinggi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai penelitian dasar bagi penelitian kepera-
watan selanjutnya yang berkaitan dengan tidur
pasien di rumah sakit, seperti mengenai faktor-
faktor yang memengaruhi tidur pasien rawat
inap di rumah sakit terkait karakteristik demografi
pasien, serta angka kejadian berbagai jenis gang-
guan tidur pada pasien rawat inap di rumah sakit.
Penelitian ini juga dapat menjadi rencana edukasi
dan terapi dengan tujuan untuk meningkatkan
kualitas dan kuantitas tidur pasien rawat inap,
salah satunya dengan modifikasi lingkungan,
mengajarkan teknik relaksasi dan pijat, serta
kolaborasi dengan pihak manajemen sarana dan
prasarana di RS X Depok untuk menyediakan
AC di ruang rawat inap dan TV (MR, YU, AR).
Referensi Benca, R.M., & Quintans, J. (1997). Sleep and host
defenses: A review. Sleep, 20 (11), 1027–
1037.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 149-156
156
Crisp, J. & Tailor, C. (2001). Potter and perry’s
fundamentals of nursing. Sidney: Mosby.
DeLaune, S.C., & Ladner, P.K. (2011).
Fundamentals of nursing: Standards &
practice. (4th Ed.). USA: Thomson Learning,
Inc.
Doering, L.V., McGuire, A.W., & Rourke, D.
(2002). Recovering from cardiac surgery:
What patients want you to know. American
Journal of Critical Care, 11 (4), 333–343.
Humphries, J.D. (2008). Sleep disruption in
hospitalized adults. Medsurg Nursing, 17
(6), 391–395.
Meerlo, P., Sgoifo, A., & Suchecki, D. (2008).
Restricted and disrupted sleep: Effects on
autonomic function, neuroendocrine stress
systems and stress responsivity. Sleep
Medicine Reviews, 12 (3), 197–210.
Patel, M., Chipman, J., Carlin, B., & Shade, D.
(2008). Sleep in the intensive care unit setting.
Critical Care Nursing Quarterly, 31, 309–318.
Patel, P., & Gupta, R. (2008). Quality of sleep in
hospitalized patients. Medicine and Health
Rhode Island, 91 (11), 346–346.
Polit, D.F., & Beck, C.T. (2008). Nursing
research: generating and assessing evidence
for nursing practice. (8th Ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Redeker, N.S., Ruggiero, J.S., & Hedges, C.
(2004). Sleep is related to physical function
and emotional well-being after cardiac
surgery. Nursing Research, 53 (3), 154–162.
Wright, C.E., Erblich, J., Valdimarsdottir, H.B., &
Bovbjerg, D.H. (2007). Poor sleep the night
before an experimental stressor predicts
reduced NK cell mobilization and slowed
recovery in healthy women. Brain,
Behavior, and Immunity, 21 (3), 358–363.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 157-166
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
KEPATUHAN DAN KOMITMEN KLIEN SKIZOFRENIA MENINGKAT
SETELAH DIBERIKAN ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY
DAN PENDIDIKAN KESEHATAN KEPATUHAN MINUM OBAT
Jek Amidos Pardede1,2*, Budi Anna Keliat3, Ice Yulia3
1. Universitas Sari Mutiara Indonesia, Medan 20123, Indonesia
2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Masalah keperawatan skizofrenia terbanyak adalah risiko perilaku kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah, dengan
55% mengalami kekambuhan karena tidak patuh minum obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
Acceptance and Commitment Therapy (ACT) dan pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat terhadap gejala,
kemampuan menerima dan berkomitmen klien skizofrenia. Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimental pre-
posttest with control group, dengan jumlah sampel 90 orang klien skizofrenia yang dibagi menjadi 3 kelompok. Hasil
penelitian ini ditemukan penurunan gejala risiko perilaku kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah serta peningkatan
kemampuan menerima dan berkomitmen pada pengobatan dan kepatuhan klien skizofrenia yang mendapatkan ACT dan
pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat lebih besar secara bermakna dibandingkan kelompok yang hanya
mendapatkan terapi ACT (p< 0,05). Terapi ACT dan pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat direkomendasikan
sebagai terapi keperawatan klien skizofrenia dengan risiko perilaku kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah.
Kata Kunci: Acceptance and Commitment Therapy (ACT), pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat, skizofrenia
Abstract
Compliance and Commitment to Clients Schizophrenia Increased After Given Acceptance and Commitment Therapy
(ACT) and Education Health Medication Adherence. Schizophrenia nursing problems most commonly found is the
risk of violent behavior, hallucinations, and low self esteem. Found 55% of client risk violent behavior, hallucinations,
and low self-esteem who have a relapse and medication adherence. This study aims to obtain the effects Acceptance and
Commitment Therapy and Health Education adherence to symptoms, ability to accept and commit to treatment and
compliance in schizophrenia clients Mental Hospital of Medan, North Sumatra. This research design quasi-
experimental pre-test post-test with control group. This sampling technique was purposive sampling, where the sample
is 90 clients with schizophrenia, 30 the intervention group were given Acceptance and Commitment Therapy and
medication adherence health education, intervention group were given 30 Acceptance and Commitment Therapy and 30
control group. Results of this study found a reduction in symptoms risk of violent behavior, hallucinations, and low self-
esteem and increased ability to accept and commit to the treatment of schizophrenia and compliance client who gets
Acceptance and Commitment Therapy and health education medication adherence was significantly greater than the
group that only get Acceptance and Commitment Therapy (p< 0,05). Acceptance and commitment therapy and
medication adherence health education recommended as a therapeutic nursing and therapy support advanced nursing
care for clients in the risk of schizophrenia with violent behavior, hallucinations, and low self esteem.
Keywords: Acceptance and Commitment Therapy (ACT), health education medication adherence, schizophrenia
Pendahuluan
Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik
yang memengaruhi berbagai area fungsi individu,
termasuk berpikir, berkomunikasi, menerima,
menginterpretasikan realitas, merasakan dan me-
nunjukkan emosi (Isaacs, 2005). Rhoads (2011)
menambahkan definisi skizofrenia yaitu penyakit
kronis, parah, dan melumpuhkan, gangguan otak
yang ditandai dengan pikiran kacau, waham,
halusinasi, dan perilaku aneh.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166 158
Prevalensi skizofrenia diperkirakan 0,2% mening-
kat menjadi 1,5% setara untuk pria dan wanita
di semua tingkatan usia (Buchanan & Carpenter,
2005 dalam Barlow & Durand, 2011). National
Institute of Mental Health (2008, dalam Shives,
2012), mengatakan 2–4 juta orang, atau 1,1% dari
populasi di bumi menderita skizofrenia atau
gangguan yang mirip dengan skizofrenia yang
merusak kesadaran diri bagi banyak individu tapi
mereka tidak menyadari bahwa mereka sakit dan
membutuhkan pengobatan. Statistik menunjukkan
sekitar 40% jiwa (1,0 juta jiwa) tidak menerima
perawatan psikiatri yang menyebabkan terjadinya
tuna wisma, penahanan atau kekerasan.
Klien skizofrenia 70% mengalami halusinasi
(Stuart, 2009). Halusinasi merupakan keadaan
seseorang mengalami perubahan dalam pola dan
jumlah stimulasi yang diprakarsai secara internal
atau eksternal di sekitar dengan pengurangan,
berlebihan, distorsi, atau kelainan berespon ter-
hadap setiap stimulus (Townsend, 2009). Hal ini
juga didukung oleh Fontaine (2009), menyatakan
halusinasi dengar merupakan gejala skizofrenia
yang paling sering dijumpai mencakup 50–80%
dari keseluruhan halusinasi. Halusinasi dapat
menjadi suatu alasan mengapa klien melakukan
tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara
yang memberinya perintah sehingga rentan me-
lakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku
kekerasan merupakan respon maladaptif dari
kemarahan, hasil dari kemarahan yang ekstrim
atau panik. Perilaku kekerasan yang timbul pada
klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan
tidak berharga, takut, dan ditolak oleh lingkungan
sehingga individu akan menyingkir dari hubungan
interpersonal dengan orang lain (Stuart, 2009).
Klien skizofrenia sering juga mengalami ke-
kambuhan karena kekambuhan adalah keadaan
penyakit setelah berada pada periode pemulihan
yang disebabkan tiga faktor yaitu: aspek obat,
aspek pasien, dan aspek keluarga (Wardani,
Hamid, & Wiarsih, 2009). Klien menghentikan
pengobatan karena merasa pengobatan sudah tidak
diperlukan. Kegagalan dan ketidakpatuhan dalam
meminum obat sesuai program adalah alasan
paling sering dalam kekambuhan skizofrenia
dan kembali masuk rumah sakit. Penyebab klien
skizofrenia tidak teratur meminum obat yaitu
karena adanya gangguan realitas dan ketidak-
mampuan mengambil keputusan, dan hospitalisasi
yang lama memberi konsekuensi kemunduran
pada klien (ditandai dengan hilangnya motivasi
dan tanggung jawab, apatis, menghindar dari
kegiatan dan hubungan sosial, kemampuan dasar
sering terganggu, seperti perawatan mandiri dan
aktifitas hidup seharian) (Wardani, et al., 2009).
Oleh karena itu, perlu tindakan keperawatan yang
komprehensif untuk menangani klien skizofrenia
ini.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk me-
nurunkan gejala perilaku kekerasan Pemberian
Cognitive Behavior Therapy (CBT) pada klien
skizofrenia dengan perilaku kekerasan dapat
meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku
klien (Wahyuni, 2010). Hasil penelitian lain me-
nunjukkan adanya perbedaan penurunan tanda
dan gejala klien perilaku kekerasan yang bermakna
setelah diberikan CBT dan Rational Emotive
Behavior Therapy (REBT) (Sudiatmika, Keliat,
& Wardani, 2011). Penelitian menggunakan
Acceptance and Commitment Therapy (ACT)
sangat efektif dalam menciptakan penerimaan,
perhatian dan lebih terbuka dalam mengembang-
kan kemampuan yang dimiliki klien skizofrenia
(Hayes & Smith, 2005); dengan menurunkan
gejala perilaku marah dan kekerasan (Twohig,
2009; Sulistiowati, Keliat, & Wardani, 2012),
serta memperbaiki gejala afektif, sosial halusinasi
yang terjadi pada klien skizofrenia (Gaudiano &
Herbert, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sasmita, Keliat, dan Budiharto (2007) di-
dapatkan hasil bahwa CBT dapat meningkatkan
kemampuan kognitif 29,31% dan kemampuan
perilaku 22,4% pada klien skizofrenia dengan
harga diri rendah. Hidayat, Keliat, dan Wardani
(2011) menemukan penurunan gejala dan pening-
katan kemampuan klien harga diri rendah yang
mendapat CBT dan REBT lebih besar dari di-
banding yang tidak mendapatkan CBT dan REBT
(p< 0,05). Beberapa penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa dengan menggunakan terapi
keperawatan mampu untuk mengatasi skizofrenia
dengan risiko perilaku kekerasan, halusinasi, dan
harga diri rendah terutama dengan menggunakan
Acceptance and Commitment Therapy (ACT).
Pardede, et al., Kepatuhan dan Komitmen Klien Skizofrenia Meningkat
159
Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian ini
menunjukkan tindakan keperawatan spesialis
sudah terbukti mampu menangani klien skizo-
frenia seperti yang sudah dipaparkan tetapi
perlu diantisipasi untuk menghindari kekambuhan
akibat ketidakpatuhan minum obat sehingga
terapi keperawatan perlu dikombinasikan dengan
pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat.
Pendidikan Kesehatan kepatuhan minum obat
merupakan pemberian informasi kepada pasien
untuk memengaruhi pasien agar patuh meminum
obat sehingga tidak menimbulkan kekambuhan
dan tidak kembali lagi kerumah sakit untuk rawat
inap. Menurut Skiner (1938, dalam Notoatmodjo,
2007), kepatuhan minum obat pada penderita me-
rupakan suatu perilaku terbuka. Dengan demikian
dapat dikatakan kepatuhan minum obat adalah
mengkonsumsi obat-obatan yang diresepkan
dokter pada waktu dan dosis yang tepat karena
pengobatan hanya akan efektif apabila penderita
mematuhi aturan dalam penggunaan obat. Pem-
berian obat yang teratur dan sesuai dengan dosis,
klien mampu sembuh dari penyakit ditambah
dengan terapi keperawatan spesialis dan pendi-
dikan kesehatan yang mengubah kognitif dan
perilaku klien sehingga patuh minum obat.
Metode
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian
ini adalah “Quasi Eksperiment Pre-Posttest with
Control Group” dengan memberikan ACT dan
pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat
pada kelompok intervensi 1, hanya ACT pada
kelompok intervensi 2. Klien yang dijadikan
sampel adalah klien skizofrenia yang mengalami
risiko perilaku kekerasan, halusinasi, dan harga
diri rendah di sebuah rumah sakit di Medan
yang memenuhi kriteria penelitian ini yakni:
klien terdiagnosa skizofrenia, klien skizofrenia
berusia 18–60 tahun, klien relaps/kambuh ≥1 kali,
klien masuk rumah sakit karena alasan perilaku
kekerasan (marah-marah, amuk, mencederai diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan), klien
dengan diagnosis keperawatan: risiko perilaku
kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah, serta
telah mendapatkan terapi generalis keperawatan,
klien wajib screening untuk mengetahui tindakan
terapi generalis, klien tenang atau tidak dalam
perilaku amuk, klien dapat membaca dan menulis,
dan klien bersedia menjadi responden dan me-
ngikuti terapi serta pendidikan kesehatan yang
diberikan.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan
dalam penelitian ini dengan teknik purposive
sampling dengan jumlah sampel 90 responden.
Sebanyak 30 reponden mendapatkan ACT dan
pendidikan kesehatan minum obat (intervensi 1),
30 responden mendapatkan ACT (intervensi 2),
dan 30 responden kelompok kontrol.
Kelompok intervensi 1, intervensi 2, dan ke-
lompok kontrol sama-sama mendapatkan terapi
generalis sesuai dengan standar yang berlaku
di rumah sakit, dan untuk kelompok intervensi
diberikan juga ACT sebanyak 4 sesi masing-
masing selama 30–45 menit. Pada sesi 1: Klien
dibimbing untuk mengidentifikasi kejadian buruk
dan mengungkapkan pikiran, perasaan dan pe-
rilaku yang muncul akibat kejadian tersebut.
Sesi 2: Klien mengidentifikasi dan memilih nilai
hidupnya berdasarkan pengalaman sehingga
dapat membantu menyelesaikan masalah yang
dihadapi dan merubah pola pikir yang salah men-
jadi benar. Pada sesi 3: Klien berlatih menerima
kejadian berdasarkan nilai yang sudah dipilih
atau klien diajarkan mengklarifikasi nilai dan
kemampuan yang dimiliki. Sesi 4: Klien melaku-
kan komitmen terhadap nilai yang dipilih untuk
merubah perilaku untuk mencegah kekambuhan.
Kelompok intervensi 1 juga mendapatkan pen-
didikan kesehatan kepatuhan minum obat yang
terdiri dari 2 sesi masing-masing selama 25–30
menit. Sesi 1: Menjelaskan manajemen pengobatan
untuk pasien skizofrenia dengan risiko perilaku
kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah. Sesi
2: Penetapan tujuan dan bentuk rencana tindakan.
Pengukuran gejala risiko perilaku kekerasan,
halusinasi dan harga diri rendah pada setiap klien
dilakukan pada awal. Penelitian menggunakan
modifikasi versi Overt Aggression Scale (OAS),
Launay-Slade Hallucination Scale (LSHS), dan
Rosenberg Self Esteem Scale (RSES). Begitu
juga untuk pengukuran kemampuan menerima
dan berkomitmen pada pengobatan menggunakan
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166 160
Acceptance and Action Questionnaire (AAQ II;
Hayes, Jason, Frank, Akihiko, & Jason 2006)
dan Kepatuhan pengukurannya menggunakan
Medication Adherence Rating Scale for the
psychoses (MARS; Thompson, Kulkarni, &
Sergejew, 2000).
Pengukuran risiko perilaku kekerasan menggu-
nakan OAS terdiri dari 26 item, pengukuran
halusinasi menggunakan LSHS terdiri dari 12 item
dan pengukuran harga diri rendah menggunakan
RSES terdiri dari 27 item yang didalamnya
mengukur respon kognitif, afektif, psikomotor,
dan sosial. Pada pengukuran observasi terdiri dari
15 item yang mengukur respon fisik. Pengukuran
kemampuan menerima dan berkomitmen pada
pengobatan menggunakan modifikasi dari (AAQ
II; Hayes, et al., 2006) yang terdiri dari 16
pernyataan dan pengukuran kepatuhan minum
obat menggunakan modifikasi MARS; (Thompson,
et al., 2000) yang terdiri dari 20 pernyataan.
Analisis gejala, kemampuan menerima dan
berkomitmen pada pengobatan dan kepatuhan
dilakukan dengan menggunakan paired t-test,
Anova test dan correlation test.
Hasil
Hasil penelitian ini menunjukkan rerata rentang
usia klien 35 tahun (19–58 tahun), memiliki
frekuensi dirawat rerata 3 kali paling banyak
12 kali dan paling sedikit 2 kali. Klien berjenis
kelamin laki-laki 47 orang dan 43 orang perem-
puan, berpendidikan tinggi 46 orang dan 44
orang berpendidikan rendah, klien yang bekerja
70 orang dan tidak bekerja 20 orang, menikah
40 orang dan 50 orang yang tidak menikah/cerai.
Klien memiliki riwayat gangguan jiwa 79 orang
dan 11 orang tidak memiliki riwayat gangguan
jiwa.
Hasil uji kesetaraan menunjukkan variabel pendidik-
an, pekerjaan, dan status perkawinan memengaruhi
kemampuan menerima dan berkomitmen pada
pengobatan dan kepatuhan klien (p> 0,05). Semen-
tara untuk variabel jenis kelamin, dan riwayat
gangguan jiwa tidak memengaruhi kemampuan
menerima dan berkomitmen pada pengobatan
dan kepatuhan klien (p< 0,05).
Gambar 1 memperlihatkan gejala risiko perilaku
kekerasan pada kelompok intervensi 1 sebelum
diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum
obat 39,23 (35,99%), intervensi 2 sebelum diberi-
kan ACT 39,17 (35,93%) dan kelompok kontrol
36,67 (33,64%). Gejala risiko perilaku kekerasan
pada kelompok intervensi 1 setelah diberikan ACT
dan pendidikan kepatuhan minum obat 86,87
(79,70%), intervensi 2 setelah diberikan ACT
79,33 (72,78%) dan kelompok kontrol 44,27
(39,61%). Hasil uji statistik menunjukkan ada
perbedaan yang bermakna antara kelompok in-
tervensi 1, intervensi 2, dan kelompok kontrol
setelah pemberian terapi (p< 0,05). Perubahan ri-
siko perilaku kekerasan pada kelompok intervensi
1 yang diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan
minum obat 47,63 (43,71%), intervensi 2 yang
diberikan ACT 33,87 (36,85%), dan kelompok
kontrol 7,60 (5,94%).
Gambar 2 memperlihatkan gejala halusinasi pada
kelompok intervensi 1 sebelum diberikan ACT
dan pendidikan kepatuhan minum obat 17,40
(32,83%), intervensi 2 sebelum diberikan ACT
19,97 (37,67%), dan kelompok kontrol 17,37
(32,77%). Gejala halusinasi pada kelompok inter-
vensi 1 setelah diberikan ACT dan pendidikan
kepatuhan minum obat 46,50 (87,73%), intervensi
2 setelah diberikan ACT 42,47 (80,13%) dan
kelompok kontrol 24,30 (43,33%). Hasil uji
statistik menunjukkan ada perbedaan yang ber-
makna antara kelompok intervensi 1, intervensi
2, dan kelompok kontrol setelah pemberian terapi
(p< 0,05). Perubahan halusinasi pada kelompok
35,99%
79,70%
35,93%
72,78%
33,64%39,61%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
Sebelum SetelahIntervensi 1Intervensi 2Kontrol
Gambar 1. Perubahan Risiko Perilaku
Pardede, et al., Kepatuhan dan Komitmen Klien Skizofrenia Meningkat
161
intervensi 1 yang diberikan ACT dan pendidikan
kepatuhan minum obat 29,10 (54,9%), intervensi
2 yang diberikan ACT 22,50 (42,46%), dan
kelompok kontrol 2,83 (10,53%).
Gambar 3 memperlihatkan gejala harga diri rendah
pada kelompok intervensi 1 sebelum diberikan
ACT dan pendidikan kepatuhan minum obat 45,70
(39,05%), intervensi 2 sebelum diberikan ACT
48,10 (41,02%), dan kelompok kontrol 44,37
(37,92%). Hasil uji statistik menunjukkan ada
ketidaksetaraan (p<0,05). Gejala harga diri rendah
pada kelompok intervensi 1 setelah diberikan ACT
dan pendidikan kepatuhan minum obat 94,40
(80,68%), intervensi 2 setelah diberikan ACT
76,67 (65,53%), dan kelompok kontrol 53,43
(45,66%). Hasil uji statistik menunjukkan ada
32,82%
87,73%
37,67%
80,13%
32,77%
43,33%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Sebelum Setelah Intervensi 1 Intervensi 2Kontrol
Gambar 2. Perubahan Halusinasi
39,05%
80,68%
41,02%
65,53%
37,92%45,66%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
Sebelum SetelahIntervensi 1
Intervensi 2
Kontrol
Gambar 3. Perubahan Harga Diri Rendah
perbedaan yang bermakna antara kelompok in-
tervensi 1, intervensi 2, dan kelompok kontrol
setelah pemberian terapi (p< 0,05). Perubahan
harga diri rendah pada kelompok intervensi 1
yang diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan
minum obat 48,70 (41,63%), intervensi 2 yang
diberikan ACT 6,58 (24,51%) dan kelompok
kontrol 9,07 (7,74%).
Gambar 4 memperlihatkan kemampuan menerima
dan berkomitmen pada pengobatan pada kelom-
pok intervensi 1 sebelum diberikan ACT dan
pendidikan kepatuhan minum obat 24,37 (38,08%),
intervensi 2 sebelum diberikan ACT 24,37 (38,08%)
dan kelompok kontrol 24,30 (37,97%). Hasil uji
statistik menunjukkan ada kesetaraan (p> 0,05).
Kemampuan menerima dan berkomitmen pada
pengobatan pada kelompok intervensi 1 setelah
diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum
obat 58,03 (90,67%), intervensi 2 setelah diberi-
kan ACT 50,47 (78,86%) dan kelompok kontrol
27,23 (42,55%). Hasil uji statistik menunjukkan
ada perbedaan yang bermakna antara kelompok
intervensi 1, intervensi 2, dan kelompok kontrol
setelah pemberian terapi (p< 0,05). Perubahan
kemampuan menerima dan berkomitmen pada
pengobatan pada kelompok intervensi 1 yang
diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum
obat 33,68 (52,71%), intervensi 2 yang diberikan
ACT 26,10 (40,78%), dan kelompok kontrol 2,93
(4,58%).
Gambar 5 memperlihatkan kepatuhan pada ke-
lompok intervensi 1 sebelum diberikan ACT dan
pendidikan kepatuhan minum obat 7,33 (36,65%),
38,08%
90,67%
38,08%
78,86%
37,97%
42,55%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
Sebelum Setelah
Intervensi 1
Intervensi 2
Kontrol
Gambar 4. Perubahan Kemampuan Menerima dan
Berkomitmen pada Tritmen
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166 162
intervensi 2 sebelum diberikan ACT 7,30 (36,50%),
dan kelompok kontrol 7,37 (36,85%). Hasil uji
statistik menunjukkan ada kesetaraan (p> 0,05).
Kepatuhan pada kelompok intervensi 1 setelah
diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum
obat 18,07 (90,35%), intervensi 2 setelah diberi-
kan ACT 13,00 (65%), dan kelompok kontrol
9,70 (48,5%). Hasil uji statistik menunjukkan
ada perbedaan yang bermakna antara kelompok
intervensi 1, intervensi 2, dan kelompok kontrol
setelah pemberian terapi (p< 0,05). Perubahan
kepatuhan pada kelompok intervensi 1 yang
diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum
obat 10,73 (53,7%), intervensi 2 yang diberikan
ACT 5,70 (28,5%), dan kelompok kontrol 2,33
(11,65%).
Analisis hubungan antara kemampuan menerima
dan berkomitmen pada pengobatan dengan penu-
runan gejala risiko perilaku kekerasan, halusinasi,
dan harga diri rendah dengan menggunakan uji
correlation. Menurut Colton, dimana kekuatan
36,65%
90,35%
36,50%
65%
36,85%
48,50%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Sebelum SetelahIntervensi 1
Intervensi 2
Kontrol
Gambar 5. Perubahan Kepatuhan
hubungan dua variabel secara kualitatif dibagi
dalam 4 area, meliputi: r= 0,00–0,25 dikatakan
tidak ada hubungan/hubungan lemah, r= 0,26–
0,50 dikatakan hubungan sedang, r= 0,51–0,75
dikatakan hubungan kuat, dan r = 0,76–1,00
dikatakan hubungan sangat kuat/sempurna. Hasil
analisis dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan analisis pada Tabel 1 didapatkan
ada hubungan yang kuat (r = 0,590) antara
kemampuan menerima dan berkomitmen pada
pengobatan dengan penurunan gejala risiko pe-
rilaku kekerasan. Ada hubungan yang sedang
(r= 0,489) antara kemampuan menerima dan
berkomitmen pada pengobatan dengan penurunan
gejala halusinasi dan ada hubungan yang kuat
(r= 0,714) antara kemampuan menerima dan
berkomitmen pada pengobatan dengan penurunan
gejala harga diri rendah. Hasil uji statistik di-
dapatkan ada hubungan yang signifikan antara
kemampuan menerima dan berkomitmen pada
pengobatan dengan penurunan gejala harga diri
rendah (p< α= 0,05).
Pembahasan
Penelitian ini mendapatkan hasil yang meningkat
setelah diberikan ACT dan pendidikan kesehatan
minum obat, yaitu terjadi peningkatan rata-rata
skor yang berarti membuktikan terjadi penurunan
gejala pada responden skizofrenia dengan risiko
perilaku kekerasan. Hasil penelitian ini menun-
jukkan terjadi penurunan antara sebelum dan
setelah diberikan terapi, gejala risiko perilaku
kekerasan pada kelompok yang diberikan ACT
dan pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat
menurun 43,71%, sedangkan kelompok yang
hanya diberikan ACT gejala menurun 36,85% dan
Tabel 1. Hubungan Kemampuan Menerima dan Berkomitmen pada Pengobatan dengan Gejala Risiko
Perilaku Kekerasan, Halusinasi, dan Harga Diri Rendah Klien Skizofrenia
Variabel n r p
Kemampuan Menerima dan Berkomitmen pada Pengobatan
*Gejala Risiko Perilaku Kekerasan (RPK)
60
0,590
0,000
Kemampuan Menerima dan Berkomitmen pada Pengobatan
*Gejala Halusinasi
60
0,489
0,000
Kemampuan Menerima dan Berkomitmen pada Pengobatan
*Gejala Harga Diri Rendah (HDR)
60
0,714
0,000
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 157-166
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
kelompok yang tidak diberikan terapi menurun
5,94%. Hasil penelitian menunjukkan ACT dan
pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat lebih
ampuh untuk menurunkan gejala risiko perilaku
kekerasan klien skizofrenia.
Perilaku kekerasan merupakan masalah yang
sering terjadi pada klien skizofrenia sehingga
beberapa terapi keperawatan dalam beberapa
penelitian dilakukan untuk mengatasinya. Putri,
Keliat, dan Nasution (2010) memberikan REBT
pada klien dengan perilaku kekerasan secara
bermakna mempunyai pengaruh menurunkan
gejala perilaku kekerasan 15,35%. Sudiatmika,
et al. (2011) memberikan Rational Emotive
Cognitive Behavior Therapy (RECBT) pada klien
perilaku kekerasan yang menunjukkan adanya
penurunan gejala setelah diberikan RECBT
30,06%. Sedangkan Sulistiowati, et al. (2012)
memberikan ACT pada klien skizofrenia dengan
risiko perilaku kekerasan mengalami penurunan
53,49%. Dalam hal ini terapi keperawatan sangat
ampuh dalam penurunan gejala perilaku keke-
rasan sesuai dengan penelitian. Seperti terlihat
di Gambar 6.
Penurunan gejala perilaku kekerasan klien skizo-
frenia berbeda-beda dari masing-masing terapi
yang diberikan oleh peneliti, dan dapat dilihat
pengaruh ACT yang dilakukan oleh Sulistiowati,
et al. (2012) lebih besar penurunannya, begitu
juga dengan yang dilakukan peneliti sendiri
lebih besar penurunannya dari terapi yang lain
karena peneliti sendiri menggunakan ACT. Hal
ini dikarenakan ACT membantu klien menerima
keadaannya dan kejadian yang membuat dirinya
43.71%53.49% 36.85%30.06%
15.35%
ACT
(2012)
ACT +
PENKES
(2013)
ACT
(2013)
RECBT
(2011)
REBT
(2010)
Gambar 6. Pengaruh REBT, RECBT, ACT dan
ACT + Penkes terhadap Penurunan
Gejala Risiko Perilaku Kekerasan
berperilaku buruk atau tidak baik sehinggga
klien harus berkomitmen merubah perilakunya
untuk mencegah kekambuhan.
Penelitian ini mendapatkan hasil yang meningkat
setelah diberikan ACT dan Pendidikan kesehatan
kepatuhan minum obat, dimana terjadi pening-
katan rata-rata skor berarti membuktikan terjadi
penurunan gejala pada responden skizofrenia
dengan halusinasi. Penurunan gejala halusinasi
pada responden kelompok intervensi 1 54,9%.
Untuk kelompok intervensi 2 yang hanya menda-
patkan ACT saja 42,46% yang meliputi penurunan
gejala kognitif 45,58%, afektif 33,92%, psikomotor
38,09%, sosial 44,17%, dan fisik 40,8%. Namun,
kelompok yang tidak mendapatkan terapi juga
mengalami penurunan gejala 10,53% yang terdiri
dari respon kognitif 5,33%, afektif 4,75%, psiko-
motor 2,08%, sosial 1,16%, dan fisik 8,02%.
Penelitian Sudiatmika, et al. (2011) dengan mem-
berikan RECBT pada klien halusinasi mampu
menurunkan gejala 38,97% dalam hal ini klien
diajarkan untuk merubah fungsi berfikir klien
ke arah yang positif yang akan membuat klien
berperilaku konstruktif. Akan tetapi, Sulistiowati,
et al. (2012) dalam penelitiannya menerangkan
pemberian ACT pada klien skizofrenia dengan
halusinasi mampu menurunkan gejala yang signi-
fikan yaitu 40,78%, yang meliputi gejala kognitif
53,67%, afektif 60,78%, psikomotor 54,785, sosial
48,44%, dan fisik 27,40%.
Terapi keperawatan yang diberikan terbukti
mampu menurunkan gejala halusinasi seperti
yang sudah dilakukan dari beberapa penelitian,
seperti terlihat pada Gambar 7. Hayes dan Smith
(2005) menegaskan ACT mengajarkan klien
untuk tidak menghindari tujuan hidupnya atau
mampu menerima hidupnya dan berkomitmen
terhadap dirinya sehingga mampu mengatasi
masalahnya. Hal ini di dukung oleh Stuart (2009)
yang mengatakan klien harus dapat bertahan
dengan apa yang sudah dipilihnya ketika sudah
berkomitmen sehingga dengan mampu menerima
dan berkomitmen klien diharapkan tidak akan
mengalami kekambuhan lagi. Harapannya terapi
keperawatan seperti ACT perlu diberikan pada
beberapa klien sehingga mampu menurunkan
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166 164
gejala penyakit, karena dapat dilihat ACT di-
tambah dengan pendidikan kesehatan kepatuhan
minum obat mampu menurunkan gejala dengan
baik. Penelitian ini mendapatkan hasil yang me-
ningkat setelah diberikan ACT dan Pendidikan
kesehatan kepatuhan minum obat, dimana terjadi
peningkatan rata-rata skor berarti membuktikan
terjadi penurunan gejala pada responden skizo-
frenia dengan harga diri rendah.
Penurunan gejala harga diri rendah pada res-
ponden kelompok intervensi 1 41,63% terdiri
dari penurunan gejala kognitif 40,97%, afektif
39,15%, psikomotor 38,93%, sosial 45,47%, dan
fisik 52,8%. Untuk kelompok intervensi 2 yang
hanya mendapatkan ACT saja 24,51%, yang
meliputi penurunan gejala kognitif 22,5%, afektif
24,4%, psikomotor 22,86%, sosial 25,75%, dan
fisik 32,6%. Namun, kelompok yang tidak menda-
patkan terapi juga mengalami penurunan gejala
7,74% yang terdiri dari respon kognitif 9,32%,
afektif 1,42%, psikomotor 5,72%, sosial 11,43%,
dan fisik 24,8%.
Penelitian lain juga mampu menurunkan gejala
harga diri rendah 37,83% dengan menggunakan
CBT dan REBT atau RECBT yang dilakukan
oleh Hidayat, et al. (2011). Hasil yang sama juga
ditemukan oleh Sasmita, et al. (2007), CBT
juga mampu memengaruhi respon kognitif dan
perilaku klien skizofrenia dengan harga diri rendah
dengan penurunan gejala 25,85%. Berdasarkan
kedua penelitian ini, RECBT lebih mampu untuk
menurunkan gejala harga diri rendah, karena
penelitian yang dilakukan dengan menggunakan
CBT hanya memengaruhi kognitif dan perilaku
sedangkan penelitian dengan RECBT memenga-
54.90% 42.46% 40.78% 38.97% 34.50%
ACT +
PENKES
(2013)
ACT
(2013)
ACT
(2012)
RECBT
(2011)
CBT
(2010)
Gambar 7. Pengaruh CBT, RECBT, ACT, dan
ACT + Penkes terhadap Penurunan
Gejala Halusinasi
0%5%
10%15%20%25%30%35%40%45%
ACT +
PENKES
(2013)
RECBT
(2011)
CBT
(2007)
ACT
(2013)
ACT + PENKES
RECBT
CBT
ACT
Gambar 8. Pengaruh CBT, RECBT, ACT, dan
ACT + Penkes terhadap Penurunan
Gejala Harga Diri Rendah
ruhi kognitif, afektif, psikomotor, sosial, dan fisik.
Hasil penelitian beberapa peneliti terbukti bahwa
terapi keperawatan mampu untuk menurunkan
gejala harga diri rendah, dapat dilihat pada Gambar
8.
Hal ini dapat dilihat dari pemaparan hasil pe-
nelitian di atas, ACT dan pendidikan kesehatan
kepatuhan minum obat lebih besar pengaruhnya
dalam menurunkan gejala harga diri rendah diban-
dingkan dengan terapi lain. Sedangkan yang hanya
menggunakan ACT tidak begitu berpengaruh
dalam menurunkan gejala harga diri rendah pada
penelitian ini sehingga dapat dikatakan dengan
kombinasi ACT dan pendidikan kesehatan lebih
baik dilakukan daripada hanya ACT saja.
Kesimpulan
Hasil penelitian membuktikan ACT yang diberi-
kan pada klien skizofrenia dapat meningkatkan
kemampuan menerima dan berkomitmen pada
pengobatan. Hasil juga menunjukkan pendidikan
kesehatan kepatuhan minum obat dapat me-
ningkatkan kepatuhan klien untuk minum obat.
Keduanya mampu menurunkan gejala risiko
perilaku kekerasan, halusinasi, dan harga diri
rendah klien skizofrenia sehingga dapat diap-
likasikan sebagai terapi spesialis jiwa di rumah
sakit maupun di komunitas.
Pardede, et al., Kepatuhan dan Komitmen Klien Skizofrenia Meningkat
165
Hasil penelitian ini dapat dijadikan evidence based
dalam membandingkan pengaruh beberapa terapi
yang dapat diberikan pada klien skizofrenia mau-
pun klien dengan diagnosa lain. Penelitian ini
perlu dikembangkan dengan menggabungkan
ACT dengan FPE (Family Psychoeducation)
karena klien perlu sistem pendukung dari keluarga
sebagai pemberi materiil maupun moril sehingga
klien mau menerima dan berkomitmen pada
pengobatan. Selain FPE, ACT juga dapat di-
kombinasikan dengan Logo terapi, Progressive
Muscle Relaxation (PMR), dan lainnya. Pendidikan
kesehatan kepatuhan minum obat juga perlu di-
kombinasikan dengan BT, CBT, REBT, RECBT,
dan terapi lainnya sehingga klien yang dirawat
mau patuh minum obat, yang artinya salah satu
terapi yang disarankan perlu dikombinasikan
dengan pendidikan kesehatan kepatuhan minum
obat (BA, TN, PN).
Referensi
Barlow, D.H., & Durand, V.M. (2011). Abnormal
psychology: An integrative approach (5th
Ed.). USA: Wadsworth Cengage Learning.
Fontaine, K.L. (2009). Mental health nursing (6th
Ed.). New Jersey: Upper saddle River
Pearson Prentice Hall.
Gaudiano, B.A., & Herbert, J.D. (2006). Acute treat-
ment of in patients with psychotic symptoms
using ACT: Pilot result. Journal of Behavior
Research and Therapy, 44, 415–437.
Hayes, S.C., & Smith, S. (2005). Get out of your
mind & into your life: The new acceptance
and commitment therapy. Oakland: New
Harbinger.
Hayes, S., Jason, B.L., Frank, W.B., Akihiko, M., &
Jason, L. (2006). ACT: Model, processes,
and outcomes. Journal of Behaviour
Research and Therapy. 44, 1–25.
Hidayat, E., Keliat, B.A., & Wardani, I.Y. (2011).
Pengaruh CBT dan REBT terhadap klien
dengan PK dan HDR di RSMM Bogor (Tesis,
tidak dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.
Isaacs, A. (2005). Keperawatan kesehatan jiwa &
psikiatri (3th Ed.). Jakarta: EGC.
Notoatmodjo, S. (2007). Pengantar pendidikan
kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: EGC.
Putri, D.E., Keliat, B.A., & Nasution, Y. (2010)
Pengaruh Rational Emotive Behaviour
Therapy (REBT) terhadap klien perilaku
kekerasan di RSMM Bogor. Jurnal
Keperawatan Indonesia, Volume 15, No 3,
November, 2012. Diperoleh dari
http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/view
/27/27
Rhoads, J. (2011). Clinical consult for psychiatric
mental health care. New York: Springer
Publishing Company.
Sasmita, H., Keliat, B.A., & Budiharto. (2007).
Efektifitas Cognitive Behavioral Therapy
(CBT) pada klien harga diri rendah di
RSMM Bogor (Tesis, tidak dipublikasikan).
FIK UI, Jakarta.
Shives, L.R. (2012). Basic concepts of psychiatric
mental health nursing (8th Ed.). Philadel-
phia: Lippincott William & Wilkins.
Stuart, G.W. (2009). Principles & practice of
psychiatric nursing (9th Ed.) Philadelphia:
Elsevier Mosby.
Sudiatmika, I.K., Keliat, B.A., & Wardani, I.Y.
(2011). Efektivitas CBT dan REBT
terhadap klien dengan PK dan halusinasi
di RSMM Bogor (Tesis, tidak
dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.
Sulistiowati, N.M.D., Keliat, B.A., & Wardani, I.Y
(2012). Pengaruh acceptance and
commitment therapy terhadap gejala dan
kemampuan klien dengan perilaku kekerasan
dan halusinasi di RSMM Bogor (Tesis,
tidak dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.
Thompson, K.J., Kulkarni, A.A., & Sergejew.
(2000). Reliability and validity of a new
Medication Adherence Rating Scale
(MARS) for psychoses. Schizophrenia
Research, 42, 241–247.
Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health
nursing: Concepts of care in evidence-
based practice. Philadelphia: F.A Davis
Company.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166 166
Twohig, M. (2009). The aplication of acceptance
and commitment therapy to OCD. Journal
of Cognitive and Behavioral, 16, 18–28.
Wahyuni, S.E. (2010). Pengaruh cognitive behaviour
therapy terhadap halusinasi pasien di
Rumah Sakit Jiwa Pempropsu Medan (Tesis,
tidak dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.
Wardani, I.Y., Hamid, A.Y., & Wiarsih,W. (2009).
Pengalaman keluarga menghadapi ketidak-
patuhan anggota keluarga dengan
skizoprenia dalam mengikuti regimen
terapeutik: Pengobatan (Tesis, tidak
dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 167-170
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
MADU MENURUNKAN FREKUENSI BATUK PADA MALAM HARI
DAN MENINGKATKAN KUALITAS TIDUR BALITA PNEUMONIA
Rokhaidah
1*, Nani Nurhaeni
2, Nur Agustini
2
1. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Gejala umum yang sering dirasakan balita pneumonia adalah batuk. Intervensi keperawatan mandiri yang dapat
dilakukan untuk mengatasi masalah batuk pada malam hari dan kualitas tidur anak di antaranya adalah dengan
memberikan terapi komplementer madu. Madu bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung antibiotik alami,
antiinflamasi, dan antioksidan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi efektivitas pemberian madu terhadap batuk
pada malam hari dan kualitas tidur balita yang mengidap pneumonia. Desain penelitian ini menggunakan rancangan
eksperimen semu pretest posttest with non equivalent control group dengan tiga puluh enam responden yang diambil
secara consecutive sampling. Hasil analisis data menggunakan independent t-test yang menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan penurunan skor batuk (p< 0,001; CI 95% 1,82–3,37) dan peningkatan kualitas tidur yang bermakna (p<
0,001; CI 95% 0,66–1,67) saat posttest pada kelompok yang mendapatkan madu dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Peneliti merekomendasikan pemberian madu bagi balita pneumonia sebagai terapi komplementer yang aman
untuk mengatasi batuk.
Kata kunci: batuk, kualitas tidur, madu, pneumonia
Abstract
Honey for Decreasing Cough at Night and Increasing the Sleep Quality of Children with Pneumonia. A common
symptom of pneumonia in toddler is coughing. Coughing is the body's natural mechanism in response to the
inflammation that occurs in the lungs. Coughing that occurs at night can disrupt sleep quality of toddler with
pneumonia. Independent nursing interventions that can be done to overcome this problem is to provide honey as a
complementary therapy. Honey is very beneficial for health because it contains natural antibiotic, anti-inflammation,
and antioxidant. This study aimed to identify the effectiveness of honey to decrease night time cough and to increase
sleep quality of toddler with pneumonia. This study used a quasi-experimental pretest-posttest design with non-
equivalent control group with 36 respondents taken by consecutive sampling. Results of data analysis using
independent t-test showed differences decrease cough scores (p< 0,001; CI 95% 1,82–3,37) and a significant increase
in sleep quality (p< 0,001; CI 95% 0,66–1,67). It is recommended to give honey to toddlers with pneumonia as a safe
complementary therapy for treating coughs.
Keywords: cough, honey, pneumonia, quality of sleep
Pendahuluan
Pneumonia saat ini masih menjadi masalah
kesehatan utama di beberapa negara di dunia,
termasuk Indonesia. Hal ini dapat dilihat masih
tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneu-
monia, terutama pada balita. Upaya penanganan
pneumonia difasilitasi oleh kesehatan tingkat
dasar terintegrasi dalam Manajemen Terpadu
Balita Sakit (MTBS).
Gejala klinis yang sering dirasakan balita atau
anak dengan pneumonia adalah batuk. Batuk
dapat terjadi sepanjang hari dan dapat meng-
ganggu kenyamanan anak dalam beraktivitas.
Batuk pada malam hari dapat menyebabkan
kualitas tidur anak terganggu. Perawat sebagai
pemberi asuhan utama dapat memberikan inter-
vensi keperawatan yang aman dan efektif untuk
membantu anak pneumonia yang mengalami
batuk. Madu adalah salah satu terapi komple-
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 167-170
168
menter yang dapat digunakan untuk membantu
meredakan batuk pada malam hari sehingga dapat
meningkatkan kualitas tidur anak.
Madu dapat diberikan kepada anak karena aman
dan efektif menurunkan skor frekuensi batuk
dan meningkatkan kualitas tidur anak seperti
yang dijelaskan pleh Evans, Tuleu, dan Sutcliffe
(2010), pengobatan dengan madu efektif untuk
batukdan tidur anak. Penelitian oleh Shadkam,
Mozafari-Khosravi, dan Mazayan (2010) menye-
butkan bahwa madu dapat mengontrol batuk,
lebih murah, mudah didapatkan dan aman untuk
anak-anak. Penelitian Paul, Beiler, Mc Monagle,
Shaffer, Duda, dan Berlin (2007) menemukan
fakta bahwa madu adalah alternatif yang efektif
dan aman untuk meredakan batuk pada malam
hari dan mengatasi kesulitan tidur anak, madu
bekerja sangat baik dalam mengurangi gangguan
tidur akibat keparahan dan frekuensi batuk malam
hari pada anak dengan infeksi saluran pernafasan
atas dibandingkan dengan dextromethorphan
maupun tanpa treatment.
Cohen, et al., (2012) menemukan ada perbedaan
yang signifikan dari penurunan skor batuk dan
skor kualitas tidur anak pada kelompok yang
diberikan madu dibandingkan dengan kelompok
plasebo. Tujuan penelitian ini untuk mengiden-
tifikasi efektivitas pemberian madu terhadap
batuk pada malam hari dan kualitas tidur balita
dengan pneumonia.
Metode
Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi
eksperimen dengan pendekatan nonequivalent
control group before after design. Responden
dipilih dengan teknik consecutive sampling.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah (1)
anak yang sedang dirawat inap, (2) anak usia
1-5 tahun yang didiagnosis pneumonia/bron-
kopneumonia, (3) anak mendapat terapi medis
berupa antibiotik, mukolitik, dan inhalasi, (4)
anak dirawat pada hari pertama saat penetapan
sebagai responden, (5) orang tua atau wali dapat
diajak bekerja sama dan menyetujui anaknya
menjadi responden penelitian. Kriteria ekslusi
adalah anak pneumonia berat dan disertai kom-
plikasi penyakit lain sehingga anak membutuhkan
perawatan intensif. Instrumen yang digunakan
adalah berupa kuesioner untuk data karekteristik
responden dan lembar observasi orang tua/wali
untuk skor frekuensi batuk dan skor kualitas tidur
anak. Data awal diambil pada hari pertama anak
dirawat dan data akhir atau post test diambil pada
hari keempat.
Analisis data dilakukan dengan analisis univariat
dan analisis bivariat. Analisis bivariat dilakukan
dengan menggunakan uji parametrik (paired t
test dan independent t test). Penelitian ini telah
mendapatkan izin dari tim kaji etik Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
Hasil
Penelitian ini mengidentifikasi beberapa karak-
teristik responden, yaitu usia anak pneumonia
berkisar 17,7 bulan sampai 19,4 bulan. Mayoritas
berjenis kelamin laki-laki (58,3%), status gizi
sebagian besar (63,8%) normal, mayoritas (69,5%)
tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif
dan mayoritas (63,9%) anak pneumonia menda-
patkan imunisasi Difteri, Pertusis, dan Tetanus
(DPT) dan campak.
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa ada perbedaan
yang bermakna antara rerata selisih skor fre-
kuensi batuk dan skor kualitas tidur kelompok
Tabel 1. Selisih Skor Frekuensi Batuk dan Skor
Kualitas Tidur antara Kelompok Intervensi
(n=18) dan Kelompok Kontrol (n=18)
Variabel Rerata ±
s.d.
Interval
Kepercayaan
(CI 95%)
p
Selisih Skor
Frekuensi Batuk
a. Kelompok
Intervensi
6,22-1,76
2,78
(1,82–3,73) <0,001
b. Kelompok
Kontrol 5,05-1,62
Selisih Skor
Kualitas Tidur
a. Kelompok
Intervensi
2,27 ± 0,82
1,17
(0,66–1,67)
<0,001
b. Kelompok
Kontrol 1,50 ± 0,51
Rokhaidah, et al., Madu Menurunkan Frekuensi Batuk Pada Malam Hari
169
intervensi dengan kelompok kontrol. Selisih skor
frekuensi batuk dan skor kualitas tidur kelompok
intervensi lebih tinggi secara bermakna diban-
dingkan dengan kelompok kontrol (p< 0.001).
Pembahasan
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Cohen, et al., (2012) yang menemukan skor
frekuensi batuk dan skor kualitas tidur anak yang
mengalami infeksi saluran pernafasan akut pada
kelompok yang diberikan madu menunjukkan
penurunan yang bermakna pada saat post test
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Warren,
Pont, Barkin, Callahan, Caples, Carol, dan
Plemmons (2007) juga menemukan bahwa
terdapat perbedaan penurunan skor batuk yang
signifikan antara kelompok yang diberikan madu
dengan kelompok kontrol, penurunan skor batuk
pada kelompok intervensi lebih besar dibanding-
kan dengan kelompok kontrol. Penelitian lain
dari Paul, et al., (2007) tentang efek madu, dex-
tromethorphan, dan tanpa intervensi terhadap
batuk malam hari dan kualitas tidur anak dan
orang tua, didapatkan hasil terdapat perbedaan
penurunan skor frekuensi batuk yang signifikan
pada kelompok yang diberikan madu dibanding-
kan dengan kelompok lainnya. Rerata penurunan
skor frekuensi batuk dan skor kualitas tidur pada
kelompok yang diberikan madu lebih tinggi di-
bandingkan dengan kelompok dextromethorphan
dan kelompok tanpa intervensi. Hasil penelitian
ini dan penelitian serupa tentang efek madu
terhadap batuk pada malam hari dan kualitas
tidur anak telah membuktikan bahwa madu
efektif untuk mengurangi frekuensi batuk dan
memperbaiki kualitas tidur. Manfaat ini terkait
dengan komposisi madu yang mengandung zat-zat
unik yang sangat bermanfaat untuk kesehatan.
Alquran surah An-Nahl (lebah) ayat 69 men-
jelaskan tentang manfaat madu, yang artinya
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam)
buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang
telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah
itu keluar minuman (madu) yang bermacam-
macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang
berpikir.”
Penurunan skor frekuensi batuk pada anak setelah
diberikan madu terjadi karena madu mempunyai
kandungan antibiotik alami, antioksidan, dan
kombinasi zat-zat lain. Selain itu, madu merupakan
komponen penting yang dapat membantu me-
ringankan batuk anak-anak. Madu berfungsi
melapisi tenggorokan dan memicu mekanisme
menelan, rasa manis pada madu akan mengubah
sensitivitas serabut sensori. Ada interaksi antara
saraf sensori lokal dengan sistem saraf pusat
yang terlibat dalam regulasi mekanisme batuk
sehingga mampu meredakan batuk (McCoy dan
Chang, 2013).
Di Indonesia, penyebab tersering pneumonia pada
anak adalah dari jenis bakteri. Menurut Bogdanov
(2011), madu mempunyai efek antimikroba lang-
sung dan tidak langsung. Efek madu sebagai
antimikroba langsung adalah dengan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme, madu memiliki
efek bakteriostatik dan bakterisida. Oksidase
glukosa madu menghasilkan agen antibakteri
hidrogen peroksida, sedangkan agen antibakteri
nonhidrogen peroksida antara lain kandungan
gula yang tinggi pada madu menyebabkan efek
osmotik gula, pH bersifat asam, kandungan
fenolat dan flavonoid, serta kandungan protein
dan karbohidrat madu yang semuanya bertang-
gung jawab atas aktivitas antibakteri sehingga
madu dapat membantu melawan agen penyebab
pneumonia anak. Ajibola (2012) menjelaskan
bahwa madu dapat merangsang dan meningkatkan
produksi antibodi selama proses pembentukan
imunitas primer dan sekunder.
Peningkatan kualitas tidur yang signifikan pada
saat posttest kelompok yang diberikan madu
sebelum tidur disebabkan oleh madu dapat
merangsang pengeluaran hormon melatonin yang
berfungsi memicu pelepasan hormon pertumbuhan
yang mengatur pemulihan fungsi fisiologis tubuh,
memelihara dan membangun kembali tulang,
serta otot dan jaringan tubuh lainnya. Semua itu
terjadi pada waktu malam. Melatonin berdampak
pada konsolidasi memori dengan pembentukan
molekul adhesi sel saraf selama tidur rapid eye
movement (REM). Bersamaan dengan itu,
fruktosa dalam madu diserap oleh hati untuk
diubah menjadi glukosa kemudian menjadi
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 167-170
170
glikogen sehingga mampu memasok kebutuhan
glukosa otak dengan cepat pada waktu malam.
Selain itu, fruktosa mengatur penyerapan glukosa
ke dalam hati dengan merangsang pelepasan glu-
kokinase. Fruktosa memastikan pasokan glikogen
hati selama semalam dan mencegah lonjakan
glukosa, insulin, dan pelepasan hormon stres
(McInnis, 2008).
Kesimpulan
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
madu terbukti efektif menurunkan skor frekuensi
batuk malam hari dan meningkatkan kualitas tidur
anak balita dengan penumonia. Hasil penelitian
ini juga dapat menjadi bahan masukan atau per-
timbangan bagi perawat anak untuk dijadikan
sebagai bagian dari intervensi keperawatan dalam
merawat anak yang mengalami pneumonia. Pe-
nelitian berikutnya perlu dikembangkan kembali,
yaitu penelitian manfaat madu terhadap batuk
pada malam hari serta kualitas tidur anak dan
orang tua yang mengidap pneumonia (YR, INR,
AM).
Referensi Alquran, Surah An-Nahl, ayat 69.
Ajibola, A., Chamunorwa, J. P. & Erlwanger, K.
H. (2012). Nutraceutical values of natural
honey and its contribution to human health
and wealth. Nutrition metabolism, 9, 61.
doi:10.1186/1743-7075-9-61.
Bogdanov, S. (2011). Honey as nutrient and
functional food: A review. Bee Product
Science, 3(2), 1–33. Diperoleh dari www.bee-
hexagon.net.
Cohen, H.A., Rozen, J., Kristal, H., Laks, Y.,
Berkovitch, M., Uziel, Y., et al. (2012). Effect
of honey on nocturnal cough and sleep
quality: A doubleblind, randomized placebo-
controlled study. Pediatrics, 130 (3), 1–9.
Evans. H., Tuleu. C., & Sutcliffe. A. (2010). Is
honey a well-evidenced alternative ti over-
the-counter cough medicines? Journal of R
Social Medicine, 103, 164–165.
Paul, I.M., Beiler, J., Mc Monagle, A., Shaffer,
M.L., Duda, L., & Berlin C.M. (2007). Effect
of honey, dextromethorphan, and no treatment
on nocturnal cough and sleep quality for
coughing children and their parent. Archive of
Pediatrics Adolescent Medicine, 161 (12),
1140-1160.
Shadkam, M.N., Mozaffari-Khosravi, H., &
Mozayan, M.R. (2009). A comparison ofthe
effect of honey, Dextromethorphan,and
Diphenhydramine on nightly coughand sleep
quality in children and their parents. The
Journal of Alternative and Complementary
Medicine, 16 (7), 787–793.
Warren, M.D., Pont, S.J., Barkin, S.L., Callahan,
S.T., et al., (2007). The effect of honey on
nocturnal cough and sleep quality for children
and their parents. Archives of pediatrics &
adolescent medicine, 161 (12), 1149–1153.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 171-180
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN
PASCAPASUNG
Wahyu Reknoningsih
1*, Novy Helena Catharina Daulima
2, Yossie Susanti Eka Putri
2
1. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Pasien pasung yang telah pulang dari rumah sakit jiwa (RSJ) oleh keluarga akan berpotensi untuk dipasung kembali.
Tujuan penelitian menguraikan pengalaman keluarga dalam merawat pasien pascapasung. Desain penelitian kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengambilan purposive sampling dengan wawancara mendalam. Kriteria
inklusi caregiver yang mempunyai anggota keluarga pernah dipasung sebelum dan sesudah dirawat di RSJ dan mampu
berkomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga pasien pascapasung mengalami beban emosional dan
kelelahan fisik. Rekomendasi penelitian adalah berupa pengembangan pelayanan keperawatan jiwa di masyarakat dan
pemberian pendidikan kesehatan dengan cara penanganan pasien gangguan jiwa dengan perilaku agresif.
Kata kunci: caregiver, pasung, perilaku agresif
Abstract
Phenomenology Study on the Family’s Experience in Caring for Client Post Restraint (Seclusion) in Central Java. The seclusion or restraint’s client will send home to their family was experienced re restraint or re seclusion. The aim
of this study is to elaborate the family’s experience in caring for the client post restraint or seclusion through the
qualitative study with the phenomenology approach. The sampling technique is purposive sampling with in-depth
interview. The inclusion criteria are the caregiver who has a family member with the experience of being restraint or
seclusion before hospitalized, had been restraint, being restraint or being re-restraint, and being able to communicate
well. The results show that the family have emotional burden and physical exhausted. This study has suggested that
psychiatric nursing may develop a mental nurse psychiatric nursing services in the community by providing health
education on how to manage the aggressive behavior of the client with mental disorder.
Keywords: the experience, caregiver, restraint (seclusion)
Pendahuluan
Kementerian Kesehatan (2010) menjelaskan
seseorang dengan gangguan jiwa atau disebut
dengan orang dengan masalah kejiwaan (ODMK)
umumnya mengalami stigma, diskriminasi dan
marginalisasi. Diskriminasi dan marginalisasi pada
ODMK berupa individu dipandang “sebelah mata”
atau mengalami ketidakadilan dalam memperoleh
akses kehidupan, seperti pendidikan dan kesehat-
an. Stigma adalah pandangan negatif masyarakat
yang melihat ODMK sebagai aib karena kutukan
atau kemasukan roh, mengganggu, membahayakan
orang lain, dan membebani masyarakat. Dampak
ODMK, biasanya, keluarga seringkali dikucilkan
oleh masyarakat. Bahkan sebagian dari mereka
ada yang dipasung dengan kondisi yang sangat
memprihatinkan, seperti dipasung dengan kayu,
dirantai, dikandangkan, atau diasingkan di tengah
hutan yang jauh dari masyarakat.
Maramis (2006) menjelaskan pasung sebagai
tindakan memasang sebuah balok kayu pada
tangan dan atau kaki seseorang, diikat atau dirantai
lalu diasingkan pada suatu tempat tersendiri di
dalam rumah ataupun di hutan. Istilah lain pasung
adalah pengikatan (restrain). Menurut Councel
and Care UK (2002) (dalam Royal Collage of
Nursing, 2008), restrain merupakan tindakan
membatasi atau mengekang seseorang dengan
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180 172
sengaja untuk bergerak sesuka hatinya atau berpe-
rilaku. Menurut Dinas Kesehatan Bireuen (2008),
jumlah pasien pasung di wilayah Bireuen dalam
periode 2005 sampai dengan 2008 berjumlah 49
orang. Di sisi lain, Nevi (2012) mengungkapkan
data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah
mencatat 200 orang gangguan jiwa telah menga-
lami pasung.
Berdasarkan data rekam medik rumah sakit jiwa
(RSJ) Amino Gondohutomo, Semarang pada
Desember 2012, diketahui jumlah pasien pasung
yang telah dirawat sejak tahun 2011 sampai
dengan Desember 2012 sebanyak 343 orang
yang pulang ke rumah. Pasien pascapasung yang
telah dirawat di RSJ dan dikembalikan pada
keluarga adalah pasien dalam masa pengobatan
dan penyembuhan karena mereka masih terus
minum obat dan melakukan kontrol kesehatan,
baik di rumah sakit maupun Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas), yang masih menunjuk-
kan perilaku agresif seperti mudah marah dan
mengamuk sehingga berdampak pada keluarga
melakukan pemasungan kembali.
Metode
Desain penelitian menggunakan penelitian kuali-
tatif dengan pendekatan fenomenologi. Partisipan
penelitian ini adalah keluarga atau caregiver
pasien pascapasung yang pernah atau sedang
mengalami pemasungan ulang. Jumlah partisipan
berjumlah tujuh orang hingga saturasi data.
Tempat penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten
Pekalongan pada Mei 2013. Wawancara mendalam
dilakukan selama 30–35 menit. Analisis data
penelitian menggunakan langkah-langkah, yaitu
membuat transkripsi verbatim, membaca trankripsi
secara berulang-ulang, mengumpulkan pernyataan
yang signifikan, menentukan kata kunci dari
setiap pernyataan yang penting, mengelompokkan
ke dalam kategori, menyusun, dan mengelom-
pokkan menjadi tema yang sesuai dengan tujuan
penelitian.
Hasil
Partisipan terdiri atas satu orang laki-laki dan
enam orang perempuan dengan usia dewasa
(30-59 tahun). Partisipan memiliki anggota
keluarga yang menjalani dua kali perawatan di
RSJ. Karakteristik partisipan secara lengkap
dapat dilihat pada Tabel 1.
Pengalaman keluarga merawat pasien pasca-
pasung, didapatkan lima tema sebagai berikut.
Kelelahan fisik dan pergolakan emosi sebagai
dampak merawat. Dampak merawat pasien
pascapasung disikapi oleh partisipan dengan
munculnya kelelahan fisik dan pergolakan emosi
yang dirasakan keluarga. Dampak merawat pasien
pascapasung berupa kelelahan fisik, yaitu meng-
habiskan tenaga atau energi, pusing, dan tekanan
darah rendah, seperti yang diungkapkan partisipan
berikut.
”Ya capai terus, Bu...” (P2).
“Capai melayani terus..,sampai pikirannya
pusing, kadang tensi saya rendah …” (P1).
Dampak merawat pasien pascapasung pada ke-
luarga juga terjadi pergolakan emosi keluarga.
Sebagian besar partisipan mengeluhkan adanya
rasa marah dan jengkel, seperti dalam wawan-
caranya berikut.
“Ya marah, jengkel, terus terang saja ya
bu...”(P1).
Tidak jarang terjadi emosi marah dan jengkel
diungkapkan secara langsung pada pasien dengan
menyuruh pasien pergi dari rumah daripada mem-
buat marah keluarga, seperti dalam penuturannya:
“Ya bosan, jengkel sampai muncul ucapan
pergi saja.”(P1).
Emosi marah juga disampaikan oleh partisipan
lain dengan memikirkannya di dalam hati seperti
dalam ungkapannya berikut.
“Sampai saya berpikir, ya, Tuhan kalau mau
meninggal, ya, jangan kelamaan…” (P4).
Beberapa partisipan mengungkapkan rasa malu
dengan adanya pasien pascapasung sebagai bagian
dari keluarga. Mereka malu mempunyai anggota
keluarga dengan gangguan mental, seperti dalam
ungkapannya berikut.
Reknoningsih, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Pasien Pascapasung 173
Tabel 1. Karakteristik Partisipan
Jenis Penggolongan Partisipan
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
a. Jenis Kelamin
Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Perempuan
b.Usia (tahun)
36 58 50 58 56 30 58
c.Hubungan dg Pasien
Adik Ibu
Kandung
Ibu
Kandung
Ibu
Kandung
Bapak
Kandung
Adik
kandung
Ibu
Kandung
d.Agama
Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam
e.Status Perkawinan
Menikah Janda Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah
f.Pendidikan
SD Tidak
Sekolah
Tidak
Sekolah
SD Tidak
Sekolah
SD Tidak
Sekolah
g.Pekerjaan
IRT IRT IRT Buruh Buruh Jahit IRT Jualan Sayur
h.Berapa kali pasien
dirawat di RSJ
2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 3 kali 2 kali 1 kali
i.Bentuk pemasungan
ulang terhadap pasien
Dirantai
dan
dikunci di
kamar
Dikurung di
kamar
Diikat
dengan tali
& dikunci di
kamar
Dirantai di
dalam
rumah
Dikunci di
kamar
Dirantai dgn
rantai
panjang di
dlm rumah
Dikunci di
dalam
kamar
“Ya malu karena mengganggu orang
lain...”(P5).
Kesulitan keluarga dalam manajemen beban.
Pada tema kedua ini, peneliti menemukan bahwa
keluarga pasien pascapasung mengalami kesulitan
manajemen beban dalam merawat keluarga yang
mengalami keterbatasan tenaga untuk menemani
atau mengawasi pasien. Kesulitan inilah yang
menjadikan keluarga memilih untuk kembali mela-
kukan pemasungan terhadap pasien pascapasung.
Keterbatasan keluarga dalam membagi bebannya
dinyatakan oleh partisipan dengan menjelaskan
bahwa keluarga mengalami kesibukan karena
keluarga juga harus mengurus suami dan anaknya
di samping mengurus pasien, seperti dalam wa-
wancaranya berikut ini.
“….Bagaimana lagi ya bu, saya sudah
sibuk jadi ya dirantai lagi.”(P1).
Keterbatasan juga dijelaskan lebih lanjut oleh
partisipan karena tidak adanya anggota keluarga
lain yang membantu merawat pasien, seperti
wawancara di bawah ini.
“Ya, tidak ada yang mengawasi, tenaganya
tidak ada, pada kerja semua.”(P2).
Bentuk kesulitan keluarga dalam manajemen
beban juga terlihat dari adanya risiko berat yang
harus ditanggung oleh pasien apabila pasien dibiar-
kan keluar rumah tanpa pengawasan. Kehamilan
maupun pelecehan seksual dapat terjadi pada
pasien wanita pascapasung, seperti disampaikan
partisipan dalam wawancaranya berikut.
“..Soalnya bahaya kalau hilang, takut diapa-
apain orang (dihamili)”(P2).
Perilaku agresif sebagai alasan pemasungan
ulang. Pada tema ketiga ini, peneliti menemukan
alasan keluarga melakukan pemasungan ulang
pada pasien adalah karena perilaku agresif pasien
yang mengganggu keluarga dan lingkungan.
Perilaku agresif pasien yang mengganggu ling-
kungan dinyatakan oleh sebagian besar partisipan
dengan menjelaskan bahwa pasien mengganggu
tetangga di sekitarnya dengan berteriak-teriak,
makan jajanan di warung tidak membayar, memu-
kul, mengejar orang yang lewat di sekitar pasien,
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180 174
mengamuk, dan merusak kaca, seperti dalam
wawancaranya berikut.
“...Kalau tidur tembok dicongkeli, kalau di
warung banyak hutang, sama siapa saja
memukul, mengejar-kejar.”(P4).
Selain perilaku agresif pasien yang mengganggu
lingkungan, ditemukan pula perilaku agresif pasien
yang mengganggu keluarga dengan selalu marah
dan mengamuk bila keinginannya tidak dipenuhi
keluarga, seperti dalam wawancaranya berikut.
“Ya, di rumah marahan, suka mengamuk…”
(P3).
Selain mengamuk dan merusak, pasien juga me-
nunjukkan sikap kasar terhadap keluarga dengan
berbicara kurang sopan dan melemparkan makanan
ke arah muka, seperti dalam ungkapannya sebagai
berikut.
“…kalau memberi makan saya lewat jendela
tapi nanti dilemparkan ke saya.”(P4).
Bentuk Dukungan Internal dan Eksternal
pada Keluarga dalam Merawat. Dukungan
dalam me-rawat pasien pascapasung sangat
penting bagi keluarga. Berbagai bentuk dukungan
yang peneliti temukan pada penelitian ini berasal
dari dukungan internal dan dukungan eksternal.
Dukungan internal didapatkan dari dalam
keluarga besar pasien sendiri, sedangkan
dukungan eksternal diperoleh dari luar keluarga,
yaitu dari pemerintah dan lingkungan.
Bentuk dukungan keluarga besar terhadap partisi-
pan dalam merawat pasien pascapasung dilakukan
dengan membantu memenuhi kebutuhan dasar
pasien, seperti dalam wawancara berikut.
“Ya memberi makan, membersihkan kotoran,
memakaikan baju, memandikan gitu, Bu.”(P6).
Selain memenuhi kebutuhan dasar pasien, bentuk
dukungan internal juga diberikan dengan me-
menuhi kebutuhan sosial pasien, yaitu dengan
mengajak pasien bicara untuk mengajak berdoa
atau berzikir, seperti dalam ungkapannya berikut.
“Kalau isteri adik mengajak bicara bila
lagi nyambung…”(P2).
Selain dukungan keluarga dalam bentuk peme-
nuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial
pasien, bantuan materiil berupa uang dan beras
juga diperoleh caregiver dari keluarga besar,
seperti dalam wawancaranya berikut.
“Ya kadang memberi beras, uang tapi tidak
rutin.”(P4).
Bentuk dukungan keluarga yang tidak kalah
penting juga diperoleh partisipan berupa doa
supaya pasien cepat sembuh dan keluarga diberi
kekuatan, seperti dalam wawancaranya berikut
ini.
“ ..Nggih mereka juga mendoakan”(P7).
Selain bentuk dukungan internal, peneliti juga
menemukan bentuk dukungan eksternal pada
keluarga berupa dukungan dana dari pemerintah
dan dukungan lingkungan. Bentuk dukungan dana
pemerintah yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah fasilitas pelayanan kesehatan gratis untuk
mengecek kondisi pasien dan pengobatan lanjutan
gratis di puskesmas yang dekat dengan tempat
tinggal pasien, seperti dalam wawancaranya
berikut.
“…Alhamdulillah dibantu, biaya dirawat dari
pemerintah, obat ya dari puskesmas.”(P7).
Sebagian besar partisipan menyatakan bahwa
tetangga sekitar sering menanyakan kondisi pasien,
seperti dalam wawancarannya berikut.
“…Ya, mereka sering menanyakan kondisi
Mawar.”(P1).
Selain itu, dukungan lingkungan lainnya dinyata-
kan oleh partisipan dengan mengingatkan pasien
untuk memakai baju bila tetangga mendapati
pasien sedang tidak memakai baju di luar rumah,
seperti dalam wawancaranya berikut.
“…kadang mereka mengingatkan bila tidak
pakai baju untuk pulang ke rumah…”(P1).
Reknoningsih, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Pasien Pascapasung 175
Bentuk dukungan lingkungan lain yang tidak
kalah penting adalah kepedulian aparat desa
yang berusaha mencarikan bantuan dana bagi
keluarga, meskipun sampai saat ini keluarga belum
menerima bantuan dari desa, seperti dinyatakan
partisipan berikut ini.
“…tidak ada yang menghina, perangkat
desa mengusahakan bantuan”(P7).
Peningkatan Pemahaman Spiritualitas sebagai
Hikmah Merawat. Pengalaman keluarga
dalam merawat pasien pascapasung merupakan
pembe-lajaran nyata yang telah dialami keluarga.
Hikmah merawat pasien pascapasung bagi
keluarga terlihat dari meningkatnya pemahaman
spiritualitas ke-luarga. Pemahaman spiritualitas
bersifat unik bagi setiap orang bergantung dari
budaya, per-kembangan, pengalaman hidup,
kepercayaan, dan ide-ide tentang
kehidupannya. Spiritualitas dijelaskan dalam
dimensi keterhubungan sebagai keterhubungan
dengan diri sendiri (intrapersonal), keterhubungan
dengan orang lain (interpersonal), dan
keterhubungan dengan Tuhan (transpersonal).
Meningkatkan pemahaman spiritualitas keluarga
berupa penerimaan diri ditunjukkan oleh dua
partisipan dengan menjadi lebih sabar dan satu
partisipan menjadi tidak mudah marah, seperti
dalam wawancaranya berikut ini.
“Ya, tidak apa-apa, lebih sabar, tidak cepat
marah”(P2).
Selain lebih sabar dan tidak mudah marah, satu
partisipan merasakan banyak berkah yang diterima
dalam merawat pasien pascapasung, seperti dalam
wawancaranya berikut.
“Hikmahnya, ya berkah, masih bisa berdoa,
ikut pengajian, mengurus keluarga”(P7).
Meningkatnya pemahaman spiritualitas keluarga
juga digambarkan dalam bentuk kedekatan keluar-
ga kepada Tuhan dengan menganggap merawat
pasien pascapasung sebagai takdir yang diung-
kapkan oleh tiga partisipan, bersikap pasrah
diungkapkan oleh satu partisipan, dan menganggap
sebagai cobaan/ujian dari Tuhan diungkapkan
oleh dua partisipan serta lebih mendekatkan diri
kepada Tuhan diungkapkan oleh dua partisipan,
seperti dalam wawancaranya berikut.
“...ya gimana lagi sudah takdir, namanya
sakit ya harus diusahakan”(P5).
Hubungan positif keluarga dengan lingkungan
diungkapkan oleh satu partisipan dengan bisa ikut
pengajian serta perkumpulan ibu-ibu di wilayahnya,
seperti dalam ungkapannya :berikut.
“Nggih, jadi sering ikut pengajian sama
kumpulan ibi-ibu, saya tidak apa-apa” (P7).
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh
keluarga yang menjadi caregiver/partisipan pasien
pascapasung berada pada rentang usia dewasa
penuh yaitu 30–59 tahun, sedangkan enam dari
tujuh orang partisipan berjenis kelamin perempuan,
yaitu empat orang merupakan ibu kandung pasien
dan dua orang adalah adik kandung pasien.
Lebih dominannya perempuan dibanding laki-
laki sebagai caregiver dalam penelitian ini,
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Jankovic, et al. (2011); Hou, Ke, Sue, Lung
dan Huang (2008); Hanzawa, Tanaka, Inadomi
dan Urata (2008) yang menyatakan bahwa
sebagian besar caregiver pasien schizophrenia
di London, Taiwan, dan Jepang adalah orang tua
perempuan atau ibu pasien sendiri.
Penelitian ini juga menemukan bahwa usia care-
giver bagi pasien pascapasung berada pada rentang
usia dewasa (30–59 tahun). Penelitian yang
dilakukan Hou, Ke, Sue, Lung dan Huang (2008)
menjelaskan bahwa rata-rata usia keluarga yang
menjadi caregiver bagi pasien schizophrenia
di Taiwan adalah 55 tahun, sedangkan Yusuf
dan Nuhu (2011) menjelaskan bahwa rata-rata
usia caregiver pasien schizophrenia adalah 45
tahun dan rata-rata mempunyai stres emosional
yang tinggi.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180 176
Tema 1: Kelelahan Fisik dan Pergolakan
Emosi Keluarga sebagai Dampak Merawat.
Kelelahan fisik yang dialami keluarga berupa
keletihan berdampak pada munculnya keluhan
pusing, tekanan darah menurun, lemas, demam,
dan berat badan menurun. Selain itu, pergolakan
emosi tergambar dari keberagaman emosi keluarga
saat merawat pasien pascapasung meliputi rasa
marah, bosan, jengkel, dan malu.
Kelelahan fisik yang dialami keluarga dan emosi
yang dirasakan keluarga merupakan dampak
negatif yang dialami keluarga karena merawat
anggota keluarganya yang sakit atau lebih dikenal
dengan beban keluarga. Hal ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Grad dan Sainsbury
(1966 dalam Rafiyah & Sutharangsee, 2011)
yang menyatakan beban adalah dampak negatif
yang dirasakan keluarga karena merawat anggota
keluarganya yang sedang sakit. Chadda, Singh,
dan Ganguly (2007) menjelaskan bahwa caregiver
atau keluarga yang bertanggung jawab merawat
anggota keluarganya yang mengalami schizo-
phrenia dan bipolar disorder akan mengalami
beban hidup karena tanggungjawab yang kompleks
dari caregiver pada pembiayaan, perawatan
kesehatan pasien dan kebebasan serta aktivitas
caregiver itu sendiri. Awad dan Voruganti (2008)
menjelaskan bahwa beban dalam merawat meru-
pakan dampak dan konsekuensi yang diterima
oleh caregiver yang meliputi aspek emosional,
aspek fisik, psikologi dan dampak ekonomi.
Hoenig dan Hamilton (1966 dalam Rafiyah dan
Sutharangsee, 2011) dan Montgomery, Gonyea,
dan Hooyman (1985) mendefinisikan beban dalam
kategori obyektif dan subyektif dimana beban
obyektif merupakan kejadian atau aktivitas
yang berhubungan dengan pengalaman negatif
caregiver, sedangkan beban subyektif adalah
perasaan yang dialami caregiver selama merawat.
Hasil penelitian kelelahan fisik keluarga yang
diikuti dengan keluhan pusing, lemas, tekanan
darah menurun, dan badan kurus merupakan
dampak atau beban objektif, sedangkan pergolakan
emosi merupakan dampak atau beban subjektif
caregiver.
Pergolakan emosi yang ditemukan pada penelitian
ini adalah rasa marah, jengkel, bosan, dan malu.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hou, et al., (2008) yang menya-
takan bahwa caregiver yang merawat pasien
schizophrenia di Taiwan mengalami ansietas,
rasa malu dan berdosa serta terganggu selama
merawat pasien.
Peneliti juga menemukan emosi berbeda yang
dirasakan oleh satu orang partisipan dan bertolak
belakang dengan emosi yang dirasakan sebagian
besar partisipan. Emosi berbeda itu adalah ke-
luarga tidak merasakan marah dan tidak malu
terhadap pasien pascapasung, melainkan merasa
kasihan terhadap pasien. Kondisi ini terjadi karena
keluarga dalam hal ini ibu kandung pasien sangat
menyayangi pasien dan mempunyai koping diri
yang sangat baik. Di samping itu, caregiver
dalam hal ini ibu kandung pasien hanya memiliki
tanggung jawab merawat pasien karena anak-
anak yang lain sudah mempunyai keluarga sendiri.
Tema 2: Kesulitan Keluarga dalam Mana-
jemen Beban. Tema kedua hasil penelitian ini
menggambarkan adanya kesulitan keluarga dalam
mengatur beban selama merawat. Kesulitan ke-
luarga dalam manajemen beban ini terlihat dari
keterbatasan keluarga dalam merawat serta
risiko pada pasien bila tidak ada yang mengawasi
mereka. Keterbatasan keluarga dalam merawat
dialami keluarga karena keluarga merasa sibuk,
tidak ada anggota keluarga lain yang membantu
merawat pasien serta keluarga tidak dapat bekerja
apabila terus mengawasi pasien. Kesulitan keluar-
ga juga berisiko terjadinya pelecehan seksual
(dihamili) atau pasien hilang bila tidak ada yang
mengawasi.
Munculnya kesulitan manajemen beban keluarga
saat merawat dapat dilihat dari beberapa faktor yang
memengaruhi beban. Rafiyah dan Sutharangsee
(2011) menjelaskan adanya tiga faktor yang me-
mengaruhi beban keluarga, yaitu faktor yang
berasal dari keluarga atau caregiver sendiri,
faktor dari pasien dan faktor lingkungan. Salah
satu faktor dari keluarga yang mampu menjelaskan
kesulitan manajemen beban adalah “Time Spent
per Day” atau kebutuhan waktu perawatan pasien
setiap harinya. Semakin tinggi atau banyaknya
waktu untuk merawat pasien, semakin besar pula
Reknoningsih, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Pasien Pascapasung 177
beban keluarga. Hasil penelitian ini juga didukung
oleh Yi, Pin, dan Hsiu (2009 dalam Rafiyah dan
Sutharangsee, 2011) yang menjelaskan adanya
hubungan yang bermakna antara kebutuhan
waktu perawatan pasien setiap harinya dengan
beban keluarga. Li, Lambert, dan Lambert (2007)
juga menjelaskan terdapat hubungan yang bermak-
na antara jumlah waktu yang diperlukan caregiver
untuk merawat dengan beban obyektif caregiver.
Pasien pascapasung yang kembali ke rumah
setelah perawatan di RSJ masih menunjukkan
perilaku yang mengganggu lingkungan atau ke-
luarga dan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya
masih banyak dibantu oleh keluarga. Hal ini
didukung oleh penelitian Fujino dan Okamura
(2009) yang menjelaskan bahwa ketidakmampuan
pasien memenuhi kebutuhan dasarnya secara
mandiri berpengaruh terhadap beban caregiver
dimana caregiver mengalami keterbatasan waktu,
tenaga dan perhatian. Penelitian lain dilakukan
oleh Hou, et al., (2008) menjelaskan bahwa gejala
klinis pasien yang mempengaruhi perilaku pasien
mengakibatkan beban pada caregiver. Pasien
pascapasung yang dirawat partisipan dalam
penelitian ini menunjukkan gejala klinis yang
hampir sama dengan pasien schizophrenia.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kesulitan
keluarga dalam manajemen beban disebabkan
oleh keterbatasan berupa tidak adanya anggota
keluarga lain yang ikut membantu merawat.
Partisipan dalam penelitian ini adalah satu-
satunya caregiver bagi pasien pascapasung.
Penelitian yang dilakukan oleh Hou, et al., (2008)
menjelaskan bahwa dalam merawat pasien schizo-
phrenia dibutuhkan 2 atau 3 anggota keluarga
lain yang membantu merawat selain caregiver
itu sendiri. Hal inilah yang turut menjelaskan
bahwa untuk merawat pasien dengan gangguan
jiwa tidak cukup hanya seorang caregiver, namun
juga anggota keluarga lain yang membantu tugas
caregiver secara bergantian.
Tema 3: Perilaku Agresif Pasien sebagai
Alasan Pemasungan Ulang. Hasil penelitian
didapatkan bahwa pasien pascapasung setelah
pulang dari perawatan di RSJ masih mengalami
kekambuhan di rumah dengan menunjukkan bebe-
rapa perilaku yang mengganggu lingkungan dan
keluarga sendiri. Perilaku pasien yang mengganggu
lingkungan antara lain berteriak-teriak, memukul,
merusak, mengejar-ngejar, dan berhutang di
warung sekitar rumah. Selain itu, perilaku pasien
yang menggangu keluarga adalah mengamuk,
merusak perabotan, dan bersikap kasar terhadap
keluarga.
Perilaku pasien yang masih mengganggu keluarga
dan lingkungan membuat keluarga memutuskan
kembali untuk melakukan pembatasan gerak
berupa pemasungan, antara lain diikat, dirantai,
ditali, dikurung di dalam kamar, atau di rumah
sendirian. Semua partisipan dalam penelitian
ini menyatakan bahwa pemasungan ulang terjadi
karena perilaku agresif dari pasien. Kondisi ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Puteh, Marthoenis, dan Minas (2011) tentang
karakteristik pasien pasung di Aceh yang men-
jelaskan bahwa alasan terbanyak dilakukannya
pemasungan adalah perilaku agresif dari pasien
di samping alasan keamanan dan alasan khusus
lainnya. Stewart, Bowers, Simpson, Ryan, dan
Tziggili (2009) juga menyatakan bahwa terjadinya
restraint atau pengekangan fisik lebih banyak
disebabkan karena perilaku agresif atau perilaku
yang membahayakan dibandingkan alasan mana-
jemen di ruang perawatan. Namun, hasil yang
berbeda didapatkan dari temuan Departemen
Kesehatan (Depkes) (2005) yang menerangkan
alasan terjadinya pemasungan di Indonesia di-
sebabkan oleh kurangnya pemahaman keluarga
akan kesehatan jiwa, rasa malu keluarga, beban
penyakit yang tidak kunjung sembuh serta tidak
adanya biaya pengobatan. Perbedaan alasan
pemasungan ini dapat terjadi mengingat alasan
yang disampaikan oleh Depkes berkaitan dengan
alasan pemasungan yang dilakukan keluarga
pertama kalinya, sedangkan alasan perilaku agresif
pasien yang menjadi hasil temuan penelitian
ini merupakan alasan terjadinya pemasungan
ulang oleh keluarga.
Tema 4: Bentuk Dukungan Internal dan
Eksternal pada Keluarga dalam Merawat.
Dukungan Internal adalah dukungan yang berasal
dari dalam keluarga, sedangkan dukungan eks-
ternal adalah dukungan yang berasal dari luar
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180 178
keluarga. Hasil penelitian diketahui bahwa
keluarga yang merawat pasien pascapasung atau
caregiver mendapatkan berbagai macam bentuk
dukungan yang berasal dari internal atau keluarga
besar pasien dan dukungan eksternal atau yang
berasal dari luar keluarga. Bentuk dukungan
internal keluarga besar yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah dengan membantu memenuhi
kebutuhan dasar pasien, mengajak pasien berbicara,
mencari pasien bila hilang atau keluyuran, ikut
mendoakan, menjaga perasaan pasien, dan memberi
bantuan beras atau uang kepada caregiver.
Bentuk dukungan eksternal yang ditemukan
dalam penelitian ini adalah dukungan dana dan
dukungan lingkungan. Dukungan dana yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah bantuan
pemerintah berupa fasilitas pelayanan kesehatan
gratis untuk kontrol ulang dan pengobatan lanjutan
melalui puskesmas terdekat. Bentuk dukungan
eksternal lain dalam merawat pasien pascapasung
adalah dukungan dari lingkungan antara lain
mengingatkan pasien untuk memakai baju apabila
tidak memakai baju di luar rumah, menanyakan
kondisi pasien, memberi saran untuk mencari
alternatif pengobatan lainnya, dan kepedulian
aparat desa turut mengusahakan bantuan dana
dari desa meskipun sampai saat ini belum ter-
wujud.
Dukungan internal maupun eksternal pada
keluarga dalam merawat pasien pascapasung
sejalan dengan teori Friedman (2010) yang
menjelaskan bahwa dukungan sosial keluarga
adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang
masa kehidupan dan dapat berasal dari internal
seperti dukungan dari suami/istri atau saudara
kandung dan dukungan eksternal seperti budaya,
agama, sosial ekonomi dan lingkungan. Friedman
(2010) juga menjelaskan bahwa dukungan keluar-
ga terdiri dari dukungan emosional, penghargaan,
materi serta informasi. Konsep tersebut menjelas-
kan bahwa dukungan materi diperoleh caregiver
dari keluarga besar pasien berupa bantuan tenaga,
uang dan beras, serta bantuan pemerintah berupa
fasilitas pelayanan kesehatan gratis bagi pasien
pascapasung sangat berarti bagi keluarga. Peneli-
tian Lai dan Thomson (2011) juga menyatakan
bahwa penentu kebijakan pemerintah berpotensi
tinggi untuk memberikan dukungan keuangan
pada keluarga. Akan tetapi, bentuk dukungan
emosional juga diperoleh caregiver dari keluarga
besar maupun lingkungan sekitar. Bentuk du-
kungan informasi juga diperoleh keluarga pada
saat memeriksakan pasien ke puskesmas.
Tema 5: Peningkatan Pemahaman Spiritualitas
sebagai Hikmah Merawat. Hasil penelitian ini
menjelaskan bahwa keluarga sebagai caregiver
pasien pascapasung mendapatkan hikmah merawat
dengan meningkatnya pemahaman spiritual ke-
luarga. Peningkatan pemahaman spiritual tersebut
terlihat dari penerimaan diri keluarga, kedekatan
keluarga kepada Tuhan, serta hubungan keluarga
dengan lingkungan. Partisipan menunjukkan pene-
rimaan diri dengan menjadi lebih sabar, tidak
mudah marah, dan mendapatkan banyak berkah.
Kedekatan keluarga terhadap Tuhan ditunjukkan
dengan menerima kehidupan yang dijalani sebagai
takdir Tuhan, pasrah, dan menganggapnya sebagai
cobaan atau ujian dari Tuhan.
Menjadi lebih sabar, tidak mudah marah, dan
mendapatkan banyak berkah merupakan bentuk
penerimaan diri keluarga terhadap kondisi ke-
hidupan yang dijalani, yaitu merawat pasien
pascapasung. Di sisi lain, dengan menganggap
merawat pasien pascapasung merupakan takdir,
cobaan dari Tuhan dan bersikap pasrah merupakan
wujud kedekatan keluarga terhadap Ilahi. Keluarga
mampu mencari arti kehidupan dengan merawat
pasien pascapasung. Mauk dan Schmidt (2004
dalam Potter dan Perry, 2010) menjelaskan spiri-
tualitas sebagai konsep komplek yang unik untuk
setiap orang yang tergantung dari pengalaman
hidup, kepercayaan, budaya dan ide-ide tentang
kehidupan yang akan membuat seseorang dapat
mencintai, memiliki kepercayaan dan harapan,
mencari arti dalam hidup dan memelihara hu-
bungan dengan orang lain. Pemahaman spiritual
keluarga tidak hanya ditunjukkan dari sisi religi
atau hubungan vertikal keluarga dengan Tuhan,
tetapi juga ditunjukkan adanya hubungan ho-
rizontal antara keluarga dan lingkungannya
melalui keikutsertaan keluarga dalam kegiatan
di masyarakat.
Reknoningsih, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Pasien Pascapasung 179
Kedekatan keluarga terhadap Tuhan menunjukkan
peningkatan spiritual keluarga dari dimensi
hubungan secara vertikal atau hubungan dengan
Tuhan (transpersonal), sedangkan penerimaan
diri keluarga merupakan bentuk keterhubungan
keluarga dengan diri sendiri (intrapersonal), dan
hubungan positif keluarga dengan lingkungan
merupakan keterhubungan keluarga dengan ling-
kungan (interpersonal). Hal ini sejalan dengan
konsep teori Miner dan Williams (2006 dalam
Potter dan Perry, 2010) yang menjelaskan bahwa
dimensi keterhubungan dalam spiritualitas terdiri
dari keterhubungan dengan diri sendiri (intra-
personal), keterhubungan dengan orang lain
(interpersonal) dan keterhubungan dengan Tuhan
(transpersonal). Hasil penelitian yang sejalan
dengan temuan penelitian ini adalah penelitian
kualitatif tentang pengalaman keluarga merawat
pasien halusinasi oleh Ngadiran, Hamid, dan
Daulima (2010) yang menjelaskan bahwa keluarga
pasien halusinasi mampu merawat dengan baik,
tulus, ikhlas, menganggapnya sebagai cobaan dari
Tuhan, pasrah menerimanya dan menjadi lebih
sabar.
Kesimpulan
Keluarga atau caregiver pasien pascapasung
mengalami kesulitan melakukan menajemen
beban yang kemudian menimbulkan dampak
berupa kelelahan fisik dan pergolakan emosi.
Pasien pascapasung yang kembali dirawat oleh
keluarga menunjukkan penurunan kondisi berupa
munculnya perilaku agresif yang kemudian men-
jadi alasan dilakukannya pemasungan ulang oleh
keluarga. Berbagai bentuk dukungan internal dan
eksternal diperlukan keluarga dalam merawat
pasien pascapasung. Selain itu, diketahui pula
bahwa hikmah merawat bagi keluarga atau care-
giver adalah peningkatan pemahaman spiritual.
Saran penelitian adalah diadakannya pengembang-
an pelayanan keperawatan jiwa di masyarakat dan
pemberian pendidikan kesehatan dengan cara
penanganan pasien gangguan jiwa (DN, INR,
MK).
Referensi Awad, A.G., & Voruganti, L.N. (2008). The
burden of schizophrenia on caregivers.
Pharmacoeconomics, 26 (2), 149–162.
Creswell, J.W. (2010). Research design: pendekatan
kualitatif, kuantitatif dan mixed (Terj.
Achmad Fawaid). Yogyakarta. Pustaka
Pelajar.
Depkes RI. (2005). Masalah-masalah psikososial
di Indonesia. Diperoleh dari http://www.
depkes.go.id.
Dinas Kesehatan Bireuen. (2008). Laporan kesehatan
tahun 2008. Tidak dipublikasikan. Nangro
Aceh Darussalam: Dinas Kesehatan
Kabupaten Bireuen.
Friedman, M.M. (2010). Keperawatan keluarga:
Teori dan praktik (2rd Ed.). (Terjemahan).
Jakarta. EGC.
Fujino, N., & Okumura, H. (2009). Factors
affecting the sense of burden felth by
family members caring for patients with
mental illness. Archieves of Psychiatric
Nursing, 23, 128–137.
Hanzawa, S., Tanaka, G., Inadomi, H., Urata, M.,
& Ohta, Y. (2008). Burden and coping
strategies in mother of patients with
schizophrenia in Japan. Psychiatric and
Clinical Neurosciences, 62, 256–263.
Hou, S.Y., Ke, C.L., Su, Y.C., Lung, F.W., &
Huang, C.J. (2008). Exploring the burden
of the primary family caregivers of
schizophrenia patients in Taiwan. Psychiatry
Clinical Neurosciences, 62, 508–514.
Jankovic, J., Yeeles, K., Katsakou, C., Amos, T.,
Morriss, R., Rose, D., Nichol, P., McCabe,
R., & Priebe, S. (2011). Family caregivers’
experiences of involuntary psychiatric
hospital admissions of their relatives– a
qualitative study. PLoS One 6 (10), e25425.
doi: 10.1371/journal.pone.0025425.
Li, J., Lambert, C.E., & Lambert, V.A (2007).
Predictors of family caregiver’s burden
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180 180
and quality of life when providing care for
a family member with schizophrenia in the
people’s republic of China. Nursing and
Health Sciences, 9 (3), 192–198. doi:
10.1111/j.1442-2018.2007.00327.x
Lai, C., & Thomson, D. (2011). The impact of
perceived adequacy of social support on
caregiving burden of family caregivers.
Families in Society: The Journal of
Contemporary Social Services, 92 (1), 99-
106. doi: http://dx.doi.org/10.1606/1044-
3894.4063
Maramis, W.F. (2006). Catatan ilmu kedokteran
jiwa. Surabaya: Airlangga.
Montgomery, R.J.V., Gonyea, J.G., & Hooyman,
N.R. (1985). Caregiving and the experience
of subjective and objective burden. Family
Relation, 34, 19–26. doi: 10.2307/583753
Ngadiran, A., Hamid, A.Y.S., & Daulima, N.H.C.
(2010). Studi fenomenologi pengalaman
keluarga tentang beban dan sumber
dukungan keluarga dalam merawat anggota
keluarga dengan halusinasi di wilayah
Cimahi dan Bandung (Tesis, tidak dipub-
likasikan). Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia, Jakarta.
Nevi. (2012). Jawa Tengah bebas pasung tahun
2012. December 20, 2012. Diperoleh dari
http://www.dinkesjatengprov.go.id/.../jaten
g_bebas_odm.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2010). Fundamental of
nursing (7th Ed.). (Adrina Ferderika &
Marina Albar, Penerjemah). Singapore:
Elsevier.
Puteh, I., Marthoenis, M., & Minas, H. (2011).
Aceh free pasung: Releasing the mentally
ill from psysical restrain. International
Journal of Mental Health Systems, 5 (10),
1–5. doi: 10.1186/1752-4458-5-10.
Rafiyah, I., & Sutharangsee, W. (2011). Review:
Burden on family caregivers caring for
patients with schizophrenia and its related
factor. Nurse Media Journal of Nursing, 1
(1), 29–41.
Royal Collage of Nursing. (2008). Let’s talk about
restraint. Diperoleh dari https://www2.rcn.
org.uk/__data/assets/pdf_file/0007/157723
/003208.pdf.
Stewart, D., Bowers, L., Simpson, A., Ryan, C., &
Tziggili, M. (2009). Manual restrain of
adult psychiatric inpatients. J Psychiatr
Ment Health Nurs, 16 (8), 749–757. doi:
10.1111/j.1365-2850.2009.01475.x.
Yusuf, A.J., & Nuhu, F.T. (2011). Factors
associated with emotional distress among
caregivers of patients with schizophrenia
in Katsina Nigeria. Soc psychiat epidemiol,
46, 11–16. doi: 10.1007/s00127-009-0166-6.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 181-187
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
PENGALAMAN ORANG TUA MENERIMA PERILAKU CARING
PERAWAT DALAM MEMFASILITASI BONDING ATTACHMENT BAYI
PREMATUR
Laviana Nita Ludyanti
1*, Yeni Rustina
2, Yati Afiyanti
2
1. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Perpisahan dengan orang tua akibat perawatan pada bayi prematur berpengaruh terhadap proses bonding attachment.
Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif pada tujuh partisipan ini menggunakan teknik
purpossives sampling yang bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam pengalaman orang tua menerima perilaku
caring perawat dalam memfasilitasi bonding attachment bayi prematur di Ruang NICU. Pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara mendalam dan dianalisis dengan metode Colaizzi. Hasil analisis data mendapatkan tujuh tema, yaitu
proses peningkatan pengetahuan, mampu melakukan perawatan terhadap bayinya, respons ibu terhadap tindakan
perawatan yang diberikan, termotivasi dalam melakukan perawatan bayi prematur, terpenuhinya kebutuhan bayi selama
dilakukan perawatan, keterlibatan dalam asuhan keperawatan, dan kepuasan terhadap perawatan. Penelitian ini
diharapkan dapat meningkatkan asuhan keperawatan dan bonding attachment pada bayi prematur.
Kata kunci: bayi prematur, pengalaman ibu, perilaku caring perawat, perawatan intensif neonatus
Abstract
Experience Caring Parents Receive The Behavior of Nurses in Premature Infants Facilitate Bonding Attachment.
Separation between parents and premature babies in intensive care unit affects in bonding attachment process. This
study was a qualitative research design with descriptive phenomenology approach took 7 participants used Purpossive
Sampling Technique. This study aims to explore mother’s experience received nursing caring in facilitated bonding
attachment of premature babies. Data were collected with indepht interview and analized with Colaizzi method. The
results of data analysis got seven themes: knowledge improving process; capable to cared their babies; mother’s
respons with nursing care; was motivated to cared their premature babies, the premature babies needed was fullfiled
well; participated in nursing care; and nursing care satisfaction. The result is expectedto be inputin improvingnursing
care and bonding attachment in premature babies.
Keywords: premature babies, mother’s experiences, nursing caring, neonatus intensive care
Pendahuluan
Usia gestasi dan berat badan lahir merupakan
hal yang sangat penting dalam memprediksi
kesehatan dan kematian bayi. Bayi dengan usia
gestasi kurang dari 32 minggu (prematur)
berisiko tinggi mengalami kematian atau
kecacatan baik dalam jangka panjang maupun
pendek (Cloherty, Eichen-wald, & Stark, 2008).
Masalah kesehatan yang banyak muncul pada
bayi prematur diantaranya adalah gangguan pada
sistem respirasi (Juretschke, 2007; Lopez,
Anderson, & Fentchinger, 2012),
kardiovaskuler, penyakit infeksi, pertumbuhan,
dan nutrisi (Juretschke, 2007), jaundice serta lama
perawatan di rumah sakit (Lopez, Anderson, &
Fentchinger, 2012). Menurut Potts dan Mandleco
(2012), komplikasi bayi prematur semakin me-
ningkat seperti Intraventricular Haemorrhage
(IVH) (15–20%) pada bayi dengan usia gestasi
kurang dari 32 minggu, kematian akibat Necro-
tizing Enterocolitis (NEC) (28%) dan Retinopathy
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 181-187 182
of Prematurity (ROP) (65%) pada bayi yang
lahir kurang dari 1250 gram.
Peningkatan komplikasi pada bayi prematur
menyebabkan perlunya perawatan yang maksimal
dan intensif (Montanholli, Merighi, & Pinto de
Jesus, 2011) di Neonatal Intensive Care Unit
(NICU). Bayi akan mendapatkan berbagai macam
tindakan dan prosedur selama menjalani perawatan
di ruang intensif. Selain itu, lingkungan eksternal
termasuk kondisi perpisahan dengan orang tua
terutama ibu dan sibling (Goldson, 1999; Boxwell,
2007), memberikan dampak secara emosional
dan psikologis pada bayi dan orang tua yang
mungkin saja menimbulkan kekhawatiran ter-
hadap kemampuan orang tua dalam merawat bayi
dan dapat memunculkan juga depresi maternal
(Davis, Edwards, Mohay, & Wollin, 2003). Hal
ini tentunya akan menambah faktor risiko yang
dapat memperburuk interaksi antara ibu dengan
bayi (Guillaume, et al., 2013).
Kualitas bonding attachment yang dilakukan lebih
awal akan memengaruhi perkembangan fisik dan
emosional bayi di masa yang akan datang ketika
mereka dewasa dan memiliki anak. Interaksi
ini akan menjadikan orang tua dan anak lebih
mengenal dan lebih sensitif terhadap perilaku
satu sama lain (Willinger, Diendorfer-Radner,
Wilnauer, Jorgl, & Hager, 2005; Chapman &
Durham, 2010) yang merefleksikan tingkat ke-
percayaan diri anak, meningkatkan kemampuan
berinteraksi sosial, dan kemampuan koping dalam
menghadapi stress (Willinger, Diendorfer-Radner,
Wilnauer, Jorgl & Hager, 2005). Berdasarkan hal
tersebut, bonding attachment merupakan hal yang
sangat penting dan perlu difasilitasi oleh perawat
di ruang intensif secepat mungkin setelah bayi
lahir (White, Duncan, & Baumle, 2011).
Metode
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi
deskriptif. Partisipan dalam penelitian ini adalah
orang tua dengan bayi prematur yang bayinya
dirawat di ruang NICU sebanyak tujuh partisipan.
Partisipan diambil dengan menggunakan teknik
purposive sampling. Adapun kriteria inklusi yang
ditetapkan peneliti adalah orang tua yang memiliki
bayi prematur dan memiliki pengalaman mem-
peroleh perilaku caring dari perawat, orang tua
adalah ibu dengan bayi prematur yang dirawat di
ruang NICU dan yang akan menjalani perawatan
di rumah serta orang tua mampu menceritakan
dengan baik pengalamannya dan bersedia menjadi
partisipan.
Pedoman penentuan jumlah sampel berdasarkan
adanya saturasi data. Penelitian ini dilakukan di
ruang NICU Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
dr. Iskak Tulungagung dan dilakukan bulan April-
Juni 2014. Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara mendalam. Analisis data menggu-
nakan Metode Colaizzi. Peneliti mengolah dan
mempersiapkan data, membaca keseluruhan data,
melakukan coding data, mendeskripsikan data,
menyajikan data dalam bentuk narasi, dan mengin-
terpretasi data.
Penelitian ini telah melalui kaji etik Komite Etik
Riset Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
Hasil
Pengalaman orang tua (ibu) menerima perilaku
caring perawat dalam memfasilitasi bonding
attachment pada bayi prematur memiliki pan-
dangan yang berbeda dari setiap partisipan.
Tema pertama yang teridentifikasi adalah proses
peningkatan pengetahuan yang tergambar dalam
kalimat berikut.
“Tapi ya paling tidak sedikit-sedikit saya
sudah tau. Ganti-ganti pampers gitu.”(P3).
”Ya, dibilangi gitu, kalau sudah ada
perubahan, sudah bagus gitu, minumnya
juga sudah bagus. Saya jadinya ngerti
gitu….”(P4).
“Enggak terlalu tau, Bu. Makanya, kan,
enggak ngerti, kan, Mbak. Soalnya saya
enggak dibilangi. Saya juga enggak tahu,
kok, Mbak bagaimana caranya merawat
bayi.”(P6).
Ludyanti, et al., Pengalaman Orang Tua Menerima Perilaku Caring Perawat 183
Tema berikutnya adalah mampu melakukan
perawatan terhadap bayinya setelah diajari dan
diberikan informasi oleh perawat. Pernyataan
ibu yang mendukung tema tersebut dapat dilihat
dalam kutipan berikut ini.
“Kalau memang pengen tahu, waktu
susternya apa itu…mandiin atau ganti
popok gitu, ya melihat sekali gitu, ya sudah
bias.”(P1).
“Iya insyaallah bisa, yakin bisalah,
Bu…”(P4).
“Terus sekarang mengerjakan sendiri
semakin berani.“(P5).
Ibu menyatakan senang, tenang, dan bersyukur
terhadap perawatan yang telah diberikan. Tema
ketiga ini didukung pernyataan ibu sebagai
berikut.
“Ya anaknya sudah dalam keadaan
bersih. Itu yang saya suka.”(P4).
“Iya saya bersyukur banget. Sama Mbak-
Mbaknya (perawat) juga dibilangi
gitu….”(P1).
“Tapi sekarang alhamdulilah sudah ada
perubahannya”(P4).
“Tapi kalau sekarang sudah tidak berpikir
macam-macam”(P1).
“Ya kalau sudah dikasih tahu perawatnya
gitu, ya sudah agak tenang.”(P3).
Ibu menyatakan termotivasi dengan adanya
perilaku caring perawat. Hal ini nampak pada
usaha ibu untuk mendapatkan informasi yang
lebih banyak terhadap kondisi dan cara merawat
bayinya. Tema keempat ini ditunjukkan oleh
pernyataan ibu sebagai berikut.
“Iya…. Nanti setidak-tidaknya bertanyalah,
pokoknya berusaha”(P4).
“Iya, jadi semangat melihat perkembangan
adiknya.” (P2).
Perawat melakukan pemenuhan kebutuhan nutrisi
dengan memberikan susu, membersihkan bayi
saat buang air kecil (BAK) maupun buang air
besar (BAB), serta memfasilitasi ibu untuk dekat
dengan bayinya. Tema kelima ini digambarkan
dalam pernyataan berikut.
“Ya, perawatnya semua yang melakukan,
ngasih minum, ganti pampers, ganti baju.
Semua ya, sudah dipakaikan ke bayinya
oleh perawatnya.”(P7).
Terdapat lima partisipan yang mengatakan perawat
mengikutsertakan ibu dalam perawatan bayinya.
Perawat memberi kesempatan kepada ibu untuk
melihat dan belajar dalam memberikan perawatan
terhadap bayinya. Tema keenam ini dapat digam-
barkan dalam pernyataan ibu sebagai berikut.
“Pekerjaan gitu saya dilibatkan…ya
seneng…sambil belajar…”(P1).
“…Ya ikut…ikut melihat gitu biar tahu,
sambil belajar…”(P3).
“…ya kalau pas pasang bedong,
memakaikan pampers gitu saya ikut
melihat, boleh ikut.”(P7).
Kepuasan pasien juga diungkapkan oleh ibu
melalui pernyataan-pernyataan sebagai berikut.
Ibu menyatakan bahwa perawat telah melakukan
penanganan dan perawatan yang terampil. Per-
nyataan yang mendukung tema terakhir ini ada
di bawah ini.
“Tapi kalau di sini langsung, cakcek (gesit,
segera ditangani) gitu lho, pokoknya cepat
terus alat-alat juga komplit. Itu mudahnya
ya di situ itu” (P1).
“Kan sudah dipercaya anaknya dirawat
disini, percaya supaya anaknya cepat
sembuh.”(P4).
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 181-187 184
“Ya obat-obatnya untuk bayi-bayi segitu,
kan, ya bagus. Buktinya mereka yang
dirawat di sini, ya bisa sehat-sehat.”(P7).
Pembahasan
Teori caring Watson dalam salah satu faktor
karatifnya menyatakan bahwa perawat memiliki
kemampuan untuk meningkatkan sistem pem-
belajaran interpersonal. Perawat hendaknya
melakukan proses pembelajaran yang menarik
dan sungguh-sungguh termasuk diantaranya
adalah memberikan informasi pada pasien dan
keluarganya, memberikan pengertian tentang
kesehatan, serta berbagi pengalaman dengan
pasien dan keluarga (Alligood, 2010). Pemberian
informasi yang mudah dimengerti oleh keluarga
menunjukkan sensitivitas dan penghargaan ter-
hadap orang tua serta dapat mengurangi adanya
kebingungan pada saat merencanakan asuhan
keperawatan dan mengetahui kondisi anaknya
(Gillespie, et al., 2012).
Keluarga maupun tenaga kesehatan, yaitu perawat
merupakan faktor yang dapat memengaruhi proses
belajar tersebut. Kemampuan perawat dalam mem-
berikan informasi kepada ibu serta karakteristik
ibu yang berbeda mempunyai pengaruh yang
besar terhadap proses peningkatan pengetahuan
terutama dalam menjalin bonding attachment dan
memberikan perawatan kepada bayi prematur.
Partisipan mengungkapkan bahwa perawat
memberikan informasi tentang perkembangan
bayinya, cara perawatan, pemberian nutrisi, serta
kedekatan orang tua dan bayi. Karakteristik par-
tisipan dengan tingkat pendidikan yang berbeda
memengaruhi proses peningkatan pengetahuan.
Demikian pula dengan pengalaman sebelumnya
yang dimiliki oleh partisipan.
Penelitian yang seiring dengan penelitian ini
adalah penelitian Wilkin dan Slevin (2004) yang
mengeksplorasi makna caring di ruang ICU
(Intensive Care Unit). Hasil penelitian mengiden-
tifikasi adanya beberapa tema, yaitu perasaan
perawat, pengetahuan perawat, dan keterampilan
perawat. Pengetahuan perawat meliputi kom-
petensi teknik, pengalaman pengetahuan dan
profesionalitas, memahami pasien, merawat
orang lain dengan tepat, prioritas perawatan,
teknologi, dan situasi kritis. Selain itu, keteram-
pilan perawat meliputi interaksi perawat dan
pasien, advokat, fisik, dorongan, dan hambatan
dalam perawatan.
Orang tua dengan bayi prematur tentunya lebih
banyak membutuhkan hal-hal yang harus dipe-
lajari dan disiapkan dalam perawatan bayinya.
Peran perawat adalah memampukan orang tua
terutama ibu. Hal ini sesuai dengan komponen
caring yang diungkapkan oleh Arnold dan Boggs
(2003), yaitu empowerment (pemberdayaan).
Pemberdayaan bertujuan untuk mengurangi ke-
gagalan ibu dalam merawat bayinya di rumah
setelah bayi dipulangkan. Teori caring Swanson
(1995) dalam enabling human being menyatakan
bahwa perawat memfasilitasi kemampuan orang
lain untuk melakukan perawatan terhadap dirinya
sendiri maupun anggota keluarganya.
Berdasarkan konsep Becoming a mother, pada
tahap pengenalan, proses belajar dan keberadaan
secara fisik, ibu mulai mengenal bayinya dan
mulai belajar berbagai hal tentang bayi dan
perawatannya (Hushmilo, 2013). Hal ini dapat
digambarkan dalam hasil penelitian bahwa orang
tua (ibu) berusaha untuk mengerti dan memahami
kondisi bayinya serta belajar untuk merawat
bayi. Orang tua (ibu) mempunyai keinginan
untuk belajar agar dapat melakukan perawatan
secara mandiri dan bayinya mencapai derajat
kesehatan yang lebih optimal. Perawat mem-
fasilitasi kebutuhan orang tua tersebut dengan
memberi kesempatan pada ibu untuk belajar
memahami bayinya dan melakukan perawatan.
Hasil penelitian ini menggambarkan perawat
telah melakukan perilaku caring dalam mening-
katkan kemampuan orang tua untuk bonding
attachment maupun perawatan bayi prematur
yang diungkapkan partisipan dalam tema mampu
melakukan perawatan terhadap bayinya. Perawat
mengajari orang tua (ibu) berbagai hal, seperti
mengajari cara menyusui yang benar, mengajari
cara menjalin kedekatan dengan bayi, mengajari
perawatan metode kanguru, mengajari perawatan
bayi, serta mengajari untuk mengetahui adanya
tanda-tanda kegawatan terhadap bayi sehingga
Ludyanti, et al., Pengalaman Orang Tua Menerima Perilaku Caring Perawat 185
orang tua merasa mampu melakukan perawatan
terhadap bayinya yang prematur.
Masa transisi, kondisi bayi yang prematur, dan
lingkungan perawatan akan meningkatkan ke-
khawatiran, kecemasan, dan ketakutan terhadap
orang tua. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi
seorang perawat dalam melakukan asuhan kepe-
rawatan terhadap pasien. Kondisi bayi prematur
memotivasi perawat maupun orang tua untuk
melakukan perawatan yang optimal. Perawat
mengajarkan orang tua cara merawat bayi pre-
matur yang meliputi aspek pemenuhan kebutuhan
dasar, seperti pemberian nutrisi dan menjaga
kebersihan. Selain itu, perawat juga memotivasi
orang tua (ibu) untuk selalu menjalin kedekatan
dengan bayinya, sabar dan teliti dalam melakukan
merawat bayi agar bayi cepat sehat.
Pada dimensi caring Swanson tentang maintaining
belief in, proses caring memfasilitasi pasien atau
orang tua untuk meningkatkan kepercayaan
diri sesuai dengan kemampuannya untuk menge-
tahui arti hidupnya, lebih optimis dan teguh
pendirian (Swanson, 1995). Caring yang dilaku-
kan oleh perawat menjadikan ibu lebih termotivasi
untuk belajar dan melakukan perawatan terhadap
bayinya yang prematur.
Perilaku caring yang paling pokok dalam pem-
berian asuhan keperawatan adalah membantu
memenuhi kebutuhan pasien dan sensitif pada
diri sendiri dan orang lain (Gillespie, et al.,
2012). Hal ini juga diungkapkan oleh Watson
dalam Aligood, 2010, melalui sepuluh karatif
caring yang salah satunya adalah kepuasan dalam
memenuhi kebutuhan dasar manusia. Perawat
selalu membantu memenuhi kebutuhan dasar
pasien. baik secara fisik maupun psikologis untuk
memberikan kenyamanan kepada pasien. Pada
penelitian ini, ibu menyatakan bahwa bayinya
yang menjalani perawatan selalu dalam keadaan
bersih dan rapi saat diberikan kepada ibunya. Pada
waktunya minum susu, perawat juga memberikan
susu kepada bayi, serta memberi kesempatan
kepada ibu untuk menyusui. Perawat juga mem-
fasilitasi kedekatan ibu dengan bayinya. Hal
ini menunjukkan bahwa perawat memenuhi
kebutuhan bayi, baik secara fisik maupun psiko-
logis dengan baik. Tindakan perawat tersebut
menggambarkan perilaku caring perawat dalam
melakukan pemenuhan kebutuhan dasar.
Keluarga merupakan bagian terpenting dalam
perawatan pasien. Anggota keluarga diharapkan
ikut bertanggung jawab dalam memenuhi
kebutuhan pelayanan yang kompleks (Lewis,
Gundwarden, & Saadawi, 2005). Watson juga
menjelaskan bahwa melibatkan anggota keluarga
dalam memotivasi pasien dan mengambil ke-
putusan adalah suatu hal yang penting dalam
perawatan (Watson & Foster, 2003).
Keterlibatan ibu dalam perawatan juga akan
meningkatkan kemampuan ibu dalam belajar
melakukan perawatan kepada bayi prematur.
Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak semua
perawat di ruang perawatan intensif melibatkan
ibu dalam perawatan bayinya. Ibu menyatakan
bahwa perawat melakukan perawatan bayi sendiri
dan hanya melibatkan ibu saat pemberian nutrisi
saja. Ibu lainnya menyatakan bahwa perawat
memfasilitasi keterlibatan ibu dalam perawatan.
Hal ini berarti bahwa perawat belum benar-
benar melibatkan ibu dalam perawatan bayi
prematur.
Kehadiran orang tua (ibu) di dekat bayinya
memberikan efek yang positif terhadap perkem-
bangan bayi prematur yang dirawat di ruang
NICU. Perawat selalu berusaha meminta ibu untuk
datang ke ruang perawatan pada setiap jam me-
nyusui, meskipun bayi yang sedang dirawat belum
bisa disusui secara langsung dengan tujuan agar
ibu dapat lebih dekat dan menunggui bayinya.
Kedekatan antara orang tua dan anak dapat
terjalin melalui sentuhan, eksplorasi perasaan,
berbicara, dan menggunakan kontak mata (White,
Duncan, & Baumle, 2011). Bonding akan semakin
meningkat pada saat orang tua melakukan sen-
tuhan dan interaksi dengan bayinya (Bowden,
Dickey, & Greenberg, 1998). Jadi ketika orang tua
(ibu) merasa takut melakukan kontak fisik dan
komunikasi verbal dengan bayinya, kedekatan
antara orang tua dan bayi juga akan mengalami
hambatan. Hal ini tentunya juga akan berpengaruh
terhadap perkembangan bayi di masa yang akan
datang karena bonding attachment tidak dapat
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 181-187 186
terjalin dengan baik. Oleh sebab itu, keterlibatan
ibu dalam perawatan merupakan hal yang sangat
penting dalam menjalin bonding attachment.
Perawat NICU sebaiknya mendampingi orang
tua saat bersama dengan bayinya, memberi
kesempatan untuk menyentuh, memegang, dan
mendampingi bayinya lebih dekat. Hal ini me-
rupakan tindakan yang dapat membantu orang
tua untuk menguatkan ikatan emosional dengan
bayinya (Merighi, Pinto de Jesus, Santin, &
Oliveira, 2011). Hasil penelitian ini juga me-
nyatakan bahwa perawat memberi kesempatan
kepada ibu untuk menyentuh, memegang, berada
di dekat bayi, mengajak berbicara bahkan menya-
nyi untuk bayinya sebagai bentuk keterlibatan
ibu dalam perawatan.
Kepuasan orang tua merupakan indikator penting
dalam perawatan di NICU dalam mencapai derajat
kesembuhan dan kesehatan bayi (Hawes, 2009).
Menurut Cunningham, et al., (2005), harapan
pasien terhadap perawatan meliputi adanya staff
yang kompeten, perawatan atau penanganan yang
cepat, perawatan yang menyenangkan, perawatan
yang efektif, lama perawatan yang lebih cepat,
dan kesembuhan pasien lebih cepat.
Berdasarkan studi kualitatif yang dilakukan oleh
Harbaugh, Tomlinson, dan Kirschbaum (2004),
harapan orang tua terhadap perawat dalam mem-
berikan asuhan keperawatan adalah menunjukkan
kualitas keterlibatan, pengawasan dan perlin-
dungan. Perilaku caring yang dilakukan perawat
termasuk memberikan informasi pada orang tua
dan keluarga, menghargai keunikan dari anak,
dan memberikan perawatan yang kompeten.
Keberhasilan perawat dalam melakukan asuhan
keperawatan dapat dilihat dari kemampuan dan
kompetensi perawat dalam memberikan asuhan.
Kompetensi klinik perawat merupakan penilaian
tertinggi dari pendidikan, interpretasi, dan penga-
laman dari berbagai situasi klinik. Kompetensi
klinik menjadi hal yang penting bagi orang tua
karena ada ketakutan dan kekhawatiran orangtua
tentang perawat yang mungkin akan menyakiti
atau melukai anaknya (Gillespie, et al., 2012).
Perawat yang tanggap dan responsif dalam mem-
bantu orang tua serta cepat merespons terhadap
pasien dan keluarganya juga diungkapkan oleh
ibu.
Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa
secara umum para ibu merasa puas terhadap
perawatan yang diberikan di ruang NICU terutama
dalam memfasilitasi kedekatan orang tua dan
bayinya. Menurut para ibu perawatan yang dila-
kukan di ruang NICU sudah baik, meskipun ada
juga ibu yang mengatakan bahwa ada perawat
yang memberikan asuhan tidak sesuai dengan
harapan orang tua. Hal ini menunjukkan kepuasan
orang tua terhadap caring yang dilakukan perawat.
Kesimpulan
Pengalaman orang tua menerima perilaku caring
perawat dalam memfasilitasi bonding attachment
bayi prematur tergambar dalam tujuh tema, yaitu
proses peningkatan pengetahuan, mampu mela-
kukan perawatan terhadap bayinya, respons ibu
terhadap tindakan perawatan yang diberikan,
termotivasi dalam melakukan perawatan bayi
prematur, terpenuhinya kebutuhan selama pera-
watan, keterlibatan dalam asuhan keperawatan,
dan kepuasan terhadap perawatan. Rekomendasi
hasil penelitian ini adalah institusi perlu memfasi-
litasi perawat dalam menerapkan proses bonding
attachment bayi prematur dengan orang tua
terutama ibu. Hasil penelitian dijadikan bahan
masukan dalam mempersiapkan lulusan untuk
melatih sensitifitas kebutuhan orang tua terutama
bayi prematur dan dapat digunakan dalam me-
ngembangkan riset keperawatan terutama yang
berkaitan dengan perilaku caring perawat dalam
memfasilitasi bonding attachment terhadap bayi
premature (NN, INR, AM).
Referensi
Alligood, M.R. (2010). Nursing theory: Utilization
and application (4th Ed.). Philadelphia: Mosby
Elsevier.
Bowden, V.R., Dickey, S.B., & Greenberg, C.S.
(1998). Children and their families: The
continuum of care. Philadelpia: W.B. Saunders
Company.
Ludyanti, et al., Pengalaman Orang Tua Menerima Perilaku Caring Perawat 187
Boxwell, G. (2007). Neonatal intensive care
nursing. New York: Routledge.
Cloherty, J.P., Eichenwald, E.C., & Stark, A.R.
(2008). Manual of neonatal care (6th Ed.).
Philadelphia: Lippincotts Williams and
Wilkins.
Cunningham, T.T., Carpenter, C.C., Charlip, R.B.,
Goodloe, J.L., Griffin, L.D., Maccione, N.
Zuckerman, A.M. (2005). Patient satisfaction:
Understanding and managing the experience
of care. Second Edition. Chicago: Irwin Press.
Davis, L., Edwards, H., Mohay, H. & Wollin, J.
(2003). “The course of depression in mothers
of premature infants in hospital and at home”.
Australian Journal of Advance Nursing, 21
(2), 20–26.
Gillespie, L.D., Robertson, M.C., Gillespie,
W.J., Sherrington, C., Gates, S., Clemson,
L.M., & Lamb, S.E. (2012). Interventions for
preventing falls in older people living in the
community. Cochrane Database Syst Rev., 12
(9), CD007146. doi: 10.1002/14651858.
CD007146.pub3.
Guillaume, S., Natacha, M., Amrani, E., Benier,
B., Durrmeyer, X., Lescure, S., Ceymaex, L.
(2013). Parent’s expectations of staff in the
early bonding process with their premature
babies in the intensive care setting: A
qualitative multicenter study with 60 parents.
BMC Pediatrics, 13 (18), 1–9.
Harbaugh, B.L., Tomlinson, P.S., & Kirschbaum,
M. (2004). Parents' perceptions of nurses'
caregiving behaviors in the pediatric intensive
care unit. Issues Comprehensive Pediatric
Nursing, 27 (3), 163–178. doi: 10.1080/0146
0860490497985.
Juretschke, L.J. (2007). Do parents of premature
infants perceive neonatal nurse practitioners
as Caring? (Unpublished doctoral
dissertation). Loyola University Chicago.
Proquest database.
Lopez, G.L., Anderson, K.H., & Feutchinger, J.
(2012). Transition of premature infants from
hospital to home life. Neonatal Network, 31
(4), 207–214.
Merighi, M.A.B., Pinto de Jesus, M.C., Santin,
K.R., & Moura de Oliveira, D. (2011). Caring
for newborn in the presence of their parents:
The experience of nurses in the neonatal
intensive care unit. Rev. Latino-Am
Enfermagem, 19 (6), 1398–1404.
Potts, N.L., & Mandleco, B.L. (2012). Pediatric
nursing: Caring for children and their
families (3rd Ed.). New York: Delmar
Cengage Learning.
Swanson, K.M. (1995). Response to “The power of
human caring: Early recognition of patient
problem”. Scholarly Inquiry for Nursing
Practice: An International Journal, 9 (4),
319–321.
Watson, J., & Foster, R. (2003). “The attending
nurse caring model: Integrating theory,
evidence and advanced caring–healing
therapeutics for transforming professional
practice”. Journal of Clinical Nursing, 12,
360–365.
White, L., Duncan, G., & Baumle, W. (2011).
Foundations of maternal and pediatric
nursing (3rd Ed.). New York: Delmar
Cengage Learning.
Wilkin, K., & Slevin, E. (2004). The meaning of
caring to nurses: An investigation into the
nature of caring work in an intensive care
unit. Journal of Clinical Nursing, 13 (1), 50–
59. Doi: 10.1111/j.1365-2702.2004.00814.x.
Willinger, U., Diendorfer-Radner, G., Wilnauer,
R., Jorgl, G., & Hager, V. (2005). Parenting
stress and parental bonding. Behavioral
Medicine, 31 (2), 63–80.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 188-191
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
PERCEPATAN MASA PENGGUNAAN SONDE MELALUI
STIMULASI NON NUTRITIVE SUCKING DALAM PEMBERIAN MINUM
BAYI PREMATUR
Nurhayati1,2*
, Dessie Wanda3, Elfi Syahreni
3
1. Rumah Sakit Anak Bunda Harapan Kita, Jakarta Barat 11420, Indonesia
2. Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus, Depok, 16424, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Kemampuan mengisap mengisapbayi prematur dapat ditingkatkan dengan pemberian stimulasi non nutritive sucking
(NNS) dengan menggunakan empeng. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh stimulasi NNS
menggunakan empeng terhadap lama penggunaan sonde dalam pemberian minum bayi prematur. Desain penelitian
menggunakan kuasi eksperimen dengan post test only with control group design dengan sampel dua puluh responden
untuk dua kelompok yang dipilih secara purposive sampling di salah satu rumah sakit daerah Tangerang. Pengumpulan
data menggunakan kuesioner dan instrumen lembar observasi indikator pelepasan sonde dan dianalisis dengan uji t
tidak berpasangan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh stimulasi NNS dengan menggunakan empeng
terhadap lama penggunaan sonde dalam pemberian minum bayi prematur (p= 0,379), tetapi masa penggunaan sonde
lebih pendek. Peneliti merekomendasikan agar stimulasi NNS dengan menggunakan empeng tetap dijadikan prosedur
alternatif untuk meningkatkan refleks mengisapmengisap pada bayi prematur.
Kata kunci: empeng, prematur, refleks mengisap, stimulasi non nutritive sucking, sonde
Abstract
Acceleration of Gastric Tube Usage through Non Nutritive Sucking Simulation for Premature Infant Feeding. An
adequate sucking can be improved a premature infant’s sucking reflex with non nutritive sucking stimulation (NNS)
with pacifier. The purpose of this research was to identify the influence of NNS stimulation with pacifier towards the
duration of gastric tube usage during premature infant feeding. The design of this research was quasi experimental with
post test only control group design with 20 respondents for two groups, then were chosen by purposive sampling in one
of Tangerang District Hospital. The data were collected using a questionnaire and an observation form. Data were
analized using independent t test. The result of this research showed that there was no influence of NNS with pacifier
towards the duration of gastric tube usage (p=0,379), however the duration of gastric tube usage was shortened. This
research recommends that non nutritive sucking stimulation with pacifier is an alternative procedures to improve a
premature infant’s sucking reflex.
Keywords: non nutritive sucking stimulation, preterm babies, pacifier, sucking reflex, gastric tube
Pendahuluan
Prematuritas merupakan salah satu penyebab
kematian neonatus tertinggi (Blencowe, et al., 2012).
Kondisi prematur sering berdampak pada kesehatan
anak di kemudian hari yaitu berupa gangguan per-
tumbuhan dan perkembangan (Judarwanto, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Gewolb dan Vice
(2006) melaporkan bahwa masa gestasi yang
kurang dapat menyebabkan gangguan koordinasi
antar refleks mengisap, menelan dan bernapas,
sehingga dapat terjadi penundaan pemberian air
susu ibu (ASI). Pemberian ASI yang terlambat
dapat mengakibatkan berat badan bayi sulit naik
dan dehidrasi pada minggu pertama kehidupannya.
Bayi prematur belum mempunyai kemampuan
minum yang adekuat. Ketidakmampuan minum
pada bayi prematur disebabkan oleh kemampuan
otot mengisapmengisap masih lemah, kapasitas
Nurhayati, et al., Percepatan Masa Penggunaan Sonde Melalaui Stimulasi 189
oral belum stabil, dan penyebab yang berhubungan
dengan gangguan neurologi. Keefektifan koordinasi
antara refleks mengisap, menelan, dan bernapas
pada bayi prematur dipengaruhi oleh kematangan
struktur otak dan saraf kranial (Da Costa, van den
Engel-Hoek, & Bos, 2008; Glass & Wolf, 1994).
Kemampuan mengisap dan menelan bayi prematur
dapat ditingkatkan dengan melakukan stimulasi oral
motor dini dan non nutritive sucking (NNS) (Lau,
Alagugurusamy, Shulman, Smith, & Schanler, 2000).
NNS merupakan aktivitas mengisap bayi tanpa
adanya cairan atau nutrisi dan merupakan terapi
non farmakologis dengan menggunakan empeng
yang bertujuan untuk merangsang kemampuan me-
ngisap tanpa pemberian ASI atau formula (Kenner
& McGrath, 2004; Merenstein & Gardner, 2002).
Beberapa penelitian terkait stimulasi oral dan
NNS telah dilakukan, antara lain penelitian yang
dilakukan Cevasco dan Grant (2005). Hasil
penelitian yang dilakukan Cevasco dan Grant
menunjukkan bahwa intervensi NNS dan men-
dengarkan musik lima belas menit sebanyak
tiga kali pada enam puluh dua bayi usia gestasi
32–36 minggu meningkatkan berat badan bayi
prematur. Penelitilain, Lessen (2011) melaporkan
bahwa stimulasi oral (premature infant oral motor
intervention) telah membuktikan kemampuan
minum bayi lima hari lebih cepat dan dapat
pulang dua sampai dengan tiga hari lebih cepat.
Stimulasi oral dilakukan lima menit sehari, selama
tujuh hari pada sembilan belas bayi prematur
dengan usia gestasi 26–29 minggu.
Penggunaan empeng (NNS) yang telah banyak
dilakukan pada pelayanan keperawatan adalah
untuk memberikan rasa nyaman pada bayi. Peng-
gunaan empeng sebagai cara meningkatkan refleks
mengisap bayi masih jarang ditemukan. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana
pengaruh stimulasi NNS dengan menggunakan
empeng terhadap lama penggunaan sonde dalam
pemberian minum bayi prematur.
Metode
Rancangan penelitian ini menggunakan eksperi-
men semu menggunakan kelompok kontrol. Data
diambil dengan sekali pengukuran dan sampel
ditentukan secara non probability sampling dengan
teknik purposif. Jumlah responden adalah dua
puluh bayi yang didapatkan dari penghitungan
besar sampel berdasarkan rumus uji hipotesis
beda dua mean kelompok independen. Kriteria
inklusi penelitian ini adalah usia gestasi bayi
antara tiga puluh satu sampai dengan tiga puluh
tujuh minggu, mendapat persetujuan dari orang
tua, bayi sudah tidak mendapat terapi infus total,
masih minum memakai sonde, suhu tubuh antara
36,5 sampai dengan 37,5 °C, serta bayi tidak dalam
kondisi gangguan napas dan kondisi sakit berat,
seperti perdarahan otak, kelainan jantung, kelainan
bedah serta kelainan kongenital. Penentuan kelom-
pok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan
secara acak sederhana.
Alat pengumpul data yang digunakan dalam pene-
litian ini adalah kuesioner dan lembar observasi
indikator pelepasan sonde. Kuesioner digunakan
untuk mendapatkan data karakteristik bayi prema-
tur dan lembar observasi indikator pelepasan sonde
(berupa pencatatan hasil pengukuran berat badan
bayi dan kemampuan minum bayi per oral). Ins-
trumen penelitian ini adalah lembar observasi
indikator pelepasan sonde, validitas isi instrumen
telah dikonsulkan kepada pakar di bidang ke-
perawatan neonatus. Uji reliabilitas instrumen
menggunakan uji Cronbach alpha dengan nilai
alpha sebesar 0,74.
Uji interrater reliability menggunakan uji Cohen’s
Kappa menghasilkan nilai Kappa sebesar satu.
Peneliti melakukan stimulasi NNS menggunakan
empeng lima menit sebelum bayi minum, seba-
nyak tiga kali sehari dan selama tujuh hari. Jumlah
ASI atau formula yang dapat diminum bayi
melalui oral dan hasil penimbangan berat badan
dicatat pada lembar observasi. Intervensi stimulasi
NNS telah dilakukan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip etik, yaitu respect for human
dignity, beneficence, dan justice.
Analisis data dilakukan menggunakan program
komputer dan uji yang dilakukan adalah uji t
tidak berpasangan untuk mengetahui pengaruh
stimulasi NNS dengan menggunakan empeng
terhadap lama penggunaan sonde. Tempat pene-
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 188-191
190
litian dilakukan di ruang perinatologi di salah
satu rumah sakit daerah Kabupaten Tangerang.
Hasil
Gambaran karakteristik responden pada penelitian
ini sebagian besar memiliki berat badan antara
2.000 sampai dengan 2.500 gram (40%), rerata
usia gestasi tiga puluh tiga minggu dengan nilai
APGAR 4,9, dan jenis kelamin seimbang antara
lelaki dan perempuan.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak
ada pengaruh stimulasi NNS dengan menggu-
nakan empeng terhadap lama penggunaan sonde
dalam pemberian minum bayi prematur (p= 0,379).
Penelitian ini menunjukkan bahwa masa peng-
gunaan sonde pada kelompok intervensi lebih
cepat dari pada kelompok kontrol (Tabel 1).
Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada
pengaruh stimulasi NNS dengan menggunakan
empeng terhadap lama penggunaan sonde. Hal
ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Cevasco dan Grant (2005), yang melaporkan bahwa
stimulasi NNS dan mendengarkan musik dapat
meningkatkan berat badan. Lessen (2011) juga
melaporkan bahwa stimulasi oral yang dilakukan
telah dapat meningkatkan minum per oral lima
hari lebih cepat dan bayi dapat pulang 2,6 hari
lebih cepat. Peneliti mengasumsikan bahwa keti-
daksesuaian hasil ini disebabkan oleh perbedaan
besarnya sampel yang sangat bervariasi, adanya
kombinasi stimulasi yang dilakukan, dan durasi
serta frekuensi stimulasi yang berbeda.
Meskipun hasil penelitian menunjukkan tidak ada
pengaruh yang bermakna, namun secara kuantitas
terdapat perbedaan lama penggunaan sonde antara
kelompok yang diberi stimulasi NNS dan yang
Tabel 1. Perbedaan Lama Penggunaan Sonde dalam
Pemberian Minum Bayi Prematur (n= 10)
Variabel Rerata p
Lama penggunaan sonde
a. Kelompok Intervensi 4,7 0,379
b. Kelompok Kontrol 6
tidak mendapat stimulasi. Stimulasi NNS dapat di-
lakukan untuk meminimalkan terjadinya gangguan
refleks mengisap pada bayi prematur sehingga
pelepasan sonde dapat dipercepat.
Hubungan usia gestasi terhadap lama penggunaan
sonde pada penelitian ini menunjukkan hubungan
yang bermakna. Hasil penelitian sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Raju, Higgins, Stark,
dan Levano (2006), yang menjelaskan bahwa usia
gestasi memengaruhi kematangan organ. Da Costa,
Hoek, dan Bos (2008) juga menjelaskan bahwa
kematangan struktur otak dan saraf kranial meme-
ngaruhi keefektifan koordinasi refleks mengisap,
menelan dan bernapas pada bayi prematur. Refleks
mengisap dipengaruhi oleh kematangan fungsi
otak, semakin muda usia gestasi, fungsi organ
tubuh semakin kurang, sehingga refleks mengisap
juga belum adekuat.
Hubungan berat badan terhadap lama penggunaan
sonde pada penelitian ini bermakna. Hasil pe-
nelitian ini sejalan dengan Cevasco dan Grant
(2005) yang melaporkan bahwa stimulasi NNS
dengan mendengarkan musik dapat meningkatkan
berat badan. Kenaikan berat badan merupakan
salah satu indikator peningkatan status pertumbuh-
an bayi. Peningkatan pertumbuhan ini membantu
proses pematangan organ tubuh, termasuk kemam-
puan refleks mengisap bayi.
Selain itu, tidak ditemukan adanya hubungan
antara jenis kelamin terhadap lama penggunaan
sonde. Studi literatur yang mengatakan perbedaan
refleks mengisap antara jenis kelamin laki dan
perempuan belum ada.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada
pengaruh stimulasi NNS dengan menggunakan
empeng terhadap lama penggunaan sonde dalam
pemberian minum bayi prematur. Namun, lama
penggunaan sonde pada Kelompok Intervensi
lebih pendek daripada Kelompok Kontrol. Ber-
dasarkan hal tersebut, perawat dapat dimotivasi
untuk lebih berperan dalam meningkatkan refleks
mengisap dengan cara melakukan sosialisasi dan
edukasi pentingnya stimulasi NNS pada bayi
prematur (NN, INR, AM).
Nurhayati, et al., Percepatan Masa Penggunaan Sonde Melalaui Stimulasi 191
Referensi
Blencowe, H., Cousens, S., Oestergaard, M., Chou,
D., Moller, A.B., Narwal, R., & Lawn, J.E.
(2012). National, regional, and worldwide
estimates of preterm birth. The Lancet, 9,
2162–2172. Diperoleh dari http://www.
WHO.Int.com.
Cevasco, A.M., & Grant, R.E. (2005). Effect of
pacifier activated lullaby on weight gain of
premature infants. Journal of Music
Therapy, 42 (2), 123.
Da Costa, S. P., van den Engel-Hoek, L., & Bos,
A. F. (2008). Sucking and swallowing in
infants and diagnostic tools. Journal of
Perinatology, 28, 247–257.
Gewolb, I., & Vice, F. (2006). Maturational
changes in rhythms, patterning and
coordination of respiration and swallow
during feeding in preterm and infants. Dev
Med Child Neurol, 48, 568–594.
Glass, R.P., & Wolf, L.S. (1994). A global
perspective on feeding assessment in the
neonatal intensive care unit. The American
Journal of Occupational Therapy, 48 (6),
514–526.
Judarwanto, W. (2012). Bayi prematur beresiko
alergi dan hipersensitifitas saluran cerna.
Jakarta: Grow Up Clinic Information
Education Network.
Kenner, C., McGrath, J. M. (2004). Developmental
care of newborn and infants: A guide for
health professionals. New York: Elsevier.
Lau, C., Alagugurusamy, R., Schanler, R. J.,
Smith, E. O., & Shulman, R. J. (2000).
Characterization of the developmental
stages of sucking in preterm infant during
bottle feeding. Acta Paediatric, 89, 846–
852.
Lessen, B. S. (2011). Effect of the premature infant
oral motor intervention on feeding
progression and length of stay in preterm
infants. Advances in Neonatal Care, 11
(2), 129–139.
Merenstein, G.B., & Gardner, S.L. (2002).
Handbook of neonatal intensive care (5th
Ed.). St. Louis, Missouri: Mosby.
Raju, T.N.K., Higgins, R.D., Stark, A.R., &
Leveno, K.J. (2006). Optimizing care and
outcome for late preterm (near term)
infants: A summary of the workshop
sponsored by the National Institute of
Child Health and Human Development.
Pediatrics, 118, 1207–1214.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 192-198
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203
PERILAKU CARING PERAWAT BERDASARKAN FAKTOR INDIVIDU
DAN ORGANISASI
Eva Supriatin*
Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas BSI Bandung, Bandung 40282, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Abstrak
Perilaku caring perawat dapat meningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik, psikologis, spiritual, dan sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan faktor individu dan organisasi dengan perilaku caring
perawat. Desain penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini
adalah seluruh perawat pelaksana di empat ruang rawat inap suatu rumah sakit. Sampel penelitian berjumlah empat
puluh tiga perawat secara total sampling. Hasil penelitian ini adalah ada hubungan usia (p= 0,027; α= 0,05), masa kerja
(p= 0,001; α= 0,05), kepemimpinan (p= 0,005; α= 0,05), struktur organisasi (p= 0,001; α= 0,05), imbalan (p= 0,037; α=
0,05), dan desain kerja (p= 0,006; α= 0,05) dengan perilaku caring perawat. Saran dari penelitian ini adalah perlunya
pembinaan yang berkaitan dengan kepemimpinan dan pengorganisasian pada perawat untuk meningkatkan perilaku
caring perawat.
Kata kunci: perilaku caring perawat, faktor individu, faktor organisasi
Abstract
Nurse Caring Behavior based on Individual and Organization Factors. Nurse caring behavior will increase the
positive impacts on physical, psychological, spiritual, and social. The purpose of the study was to idetify how the
relationship of individual factors and organizational factors with the nurse caring behavior. The research design was a
descriptive correlation using cross sectional. The study population was all nurses practtisioners in 4 (four) wards.
Samples of this study were 43 nurses in total sampling. Results of this study was no related of age (p= 0,027; α= 0,05),
year (p= 0,001; α= 0,05), leadership (p= 0,005; α= 0,05), organizational structure (p= 0,001; α= 0,05), reward (p=
0,037; α= 0,05), and design work (p= 0,006; α= 0,05) with the nurse caring behavior. Suggestions from these findings
is related to the development of leadership and organization.
Keywords: individual factor, organisation factor, nurse caring behaviour
Pendahuluan
Caring sebagai inti keperawatan merupakan fokus/
sentral dari praktik keperawatan yang dilandaskan
pada nilai-nilai kebaikan, perhatian, kasih terhadap
diri sendiri dan orang lain, serta menghormati
keyakinan spiritual klien. Caring dikatakan sebagai
jantung dalam praktik keperawatan.
Leinenger (1997) dalam Watson (2004) mengatakan
bahwa caring dapat terlihat pada perilaku perawat.
Perilaku tersebut antara lain memberi rasa nyaman,
memberikan perhatian, kasih sayang, peduli, meme-
lihara kesehatan, memberi dorongan, empati, minat,
cinta, percaya, melindungi, kehadiran, mendukung,
memberi sentuhan, menunjukkan siap membantu,
dan mengunjungi klien. Perilaku caring perawat
akan membantu menolong klien dalam me-
ningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik,
psikologis, spiritual, dan sosial.
Perilaku caring perawat pelaksana dalam asuhan
keperawatan merupakan kinerja perawat yang
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor individu,
faktor organisasi, dan faktor psikologis (Gibson,
1997). Faktor individu meliputi kemampuan, kete-
rampilan, latar belakang pribadi, dan demografis.
Faktor psikologis banyak dipengaruhi oleh keluarga,
Supriatin, Perilaku Caring Perawat berdasarkan Faktor Individu 193
tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya, dan
demografis. Faktor organisasi menurut Gibson
(1997) terdiri atas variabel sumber daya, kepemim-
pinan, imbalan, struktur, dan desain pekerjaan.
Sebuah Rumah Sakit di Kota Bandung tipe C
memiliki kapasitas tempat tidur sejumlah seratus
lima pukuh tempat tidur. Laju penggunaan tempat
tidur (BOR) 69,97%. Instalasi rawat inap terdiri
atas ruang rawat inap anak dengan rerata rasio
perawat dengan klien 1:12, di ruang penyakit
dalam 1:14, di ruang bedah 1:5, ruang kebidanan
1:18, dan ruang perinatal 1:18. Rasio tersebut
menunjukkan adanya ketidakseimbangan rasio
perawat dengan klien dan distribusi perawat yang
tidak merata di setiap ruang rawat inap.
Evaluasi kinerja perawat ditinjau dari perilaku
caring dalam asuhan keperawatan melalui hasil
kotak saran klien di antaranya perawat hendaknya
lebih gesit dalam memenuhi panggilan klien,
lebih ramah, dan lebih sopan dalam berhadapan
dengan klien. Hasil wawancara dengan beberapa
perawat di ruang rawat inap didapatkan bahwa
perawat bekerja sebatas rutinitas, jenjang karier
yang tidak jelas, sistem insentif yang kurang
memadai, dan kurang mendapatkan perhatian dari
pimpinan. Peneliti belum menemukan adanya
hubungan faktor individu (usia dan pengalaman)
dan faktor organisasi (kepemimpinan, imbalan,
struktur organisasi, dan jenjang karier) dengan
perilaku caring perawat.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
dengan pendekatan cross sectional. Populasi
penelitian ini adalah empat puluh tiga perawat
pelaksana pada instalasi rawat inap rumah sakit
(RS) di Kota Bandung pada 22–30 Juni 2009 (total
sampling). Instrumen penelitian berupa kuesioner
yang disusun berdasarkan skala Likert. Instrumen
dikembangkan berdasarkan konsep faktor individu,
faktor organisasi, dan perilaku caring. Hasil uji
coba kuesioner menunjukkan kuesioner valid
(0,3705–0,9266) dan reliabel (0,9615–0,9709)
untuk seluruh kuesioner. Data dianalisis secara
univariat dan bivariat (uji t-independent dan Kai
kuadrat).
Hasil
Perilaku Caring Perawat. Penelitian ini meng-
gunakan enam indikator perilaku caring perawat
(Watson, 2004) adalah meliputi accessible,
explain-fasilatates, comfort, anticipates, trusting
relationship, dan monitors-follows. Alat ukur yang
digunakan untuk menilai perilaku caring perawat
menggunakan Care Q (The Nurse Behaviour
Caring Study) Larson.
Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan se-
bagian besar (58,1%) perilaku caring perawat
pelaksana masih kurang.
Faktor Individu dengan Caring Perawat. Sub-
variabel kemampuan dan keterampilan merupakan
faktor utama yang memengaruhi perilaku dan
individu. Subvariabel demografis, menurut (Gibson,
1997), mempunyai efek tidak langsung pada
perilaku dan kinerja individu, namun karakteristik
demografik merupakan hal yang penting diketahui
oleh pimpinan atau seorang dalam memotivasi
dan meningkatkan kinerjanya. Karakteristik de-
mografi meliputi usia, jenis kelamin, latar belakang
pendidikan, masa kerja, dan status perkawinan.
Rerata usia perawat pelaksana adalah 28,7
tahun dengan usia termuda 22 tahun dan tertua
43 tahun. Rerata masa kerja perawat adalah
6,05 tahun dengan lama kerja tersingkat 2 tahun
dan terlama 16 tahun, sebagian besar perawat
berjenis kelamin perempuan (74,4%), berpendi-
dikan D-3 (90,7%), dan telah menikah (79,1%).
Hasil dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 1. Perilaku Caring Perawat
Perilaku Caring f %
a. Kurang Baik 25 58,1
b. Baik 18 41,9
Tabel 2. Karakteristik Responden berdasarkan
Umur dan Masa Kerja
Variabel Mean SD Min–
Mak 95%CI
a.Umur 28,70 3,66 22–43 27,57–29,82
b.Masa
Kerja
6,05 3,10 2–16 5,09–7,00
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 192-198 194
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan
antara usia perawat yang perilaku caring perawat
(p= 0,027; = 0,05). Masa kerja perawat juga
berhubungan dengan perilaku caring perawat
(p= 0,001; = 0,05). Tampak pada Tabel 4.
Pendidikan dan jenis kelamin tidak berhubungan
dengan perilaku caring perawat pelaksana (p=
0,398; = 0,05) tergambar pada Tabel 5.
Faktor Organisasi dengan Perilaku Caring
Perawat. Variabel organisasi menurut Gibson
(1997) berefek tidak langsung terhadap perilaku dan
kinerja individu. Variabel organisasi digolongkan
dalam subvariabel sumber daya, kepemimpinan,
imbalan, struktur, dan desain pekerjaan.
Hasil penelitian didapatkan persepsi perawat pe-
laksana kurang tentang kepemimpinan (58,1%),
struktur organisasi (51,2%), dan desain kerja
(62,8%). Akan tetapi, yang dipersepsikan baik
oleh perawat pelaksana adalah imbalan (53,5%).
Hasil tampak pada Tabel 6.
Tabel 3. Karakteristik Responden berdasarkan
Pendidikan dan Jenis Kelamin
Variabel F %
Pendidikan
- a.Surat Perintah Kerja
(SPK)
- bD-3 Keperawatan
- c.S-1 Keperawatan
1
39
3
2,3
90,7
7
Jenis Kelamin:
- a.Laki-Laki
- b.Perempuan
11
32
25,6
74,4
Tabel 4. Hubungan Umur dan Masa Kerja Perawat
dengan Perilaku Caring Perawat
Variabel Variabel
dependen Mean SD p N
a. Umur Perilaku
caring
- Kurang
- Baik
27,5
30,3
2,06
4,71
0,137
66
75
b. Masa
Kerja
Perilaku
caring
- Kurang
- Baik
4,6
8,0
1,5
3,7
0,066
66
75
Tabel 5. Hubungan Pendidikan dan Jenis Kelamin
dengan Perilaku Caring Perawat
Variabel
Perilaku Caring
N p Kurang Baik
n % n %
Pendidikan
a.SPK/D-3
b.S-1
Keperawtan
23
2
59,0
66,7
17
1
41,0
33,3
40
3
0,39
8
Jenis
Kelamin
a.Laki-Laki
b.Perempuan
6
19
54,5
59,5
5
13
45,5
40,6
11
32
0,52
5
Tabel 6. Faktor Organisasi
Variabel f (%)
Faktor Organisasi
Subvariabel
1. Kepemimpinan
o a. Kurang
o b. Baik
o
25
18
58,1
41,9
Struktur organisasi
o a. Kurang
o b. Baik
o
22
21
51,2
48,8
Imbalan
o a. Kurang
o b. Baik
o
20
23
46,5
53,5
Desain kerja
o a. Kurang
o b. Baik
27
16
62,8
37,2
Hasil penelitian pada faktor organisasi menunjuk-
kan terdapat hubungan bermakna antara persepsi
perawat terhadap kepemimpinan kepala ruangan,
struktur organisasi, imbalan, dan desain kerja
dengan perilaku caring perawat pelaksana (p≤
0,05 (= 0,05). Hasil tersebut dapat dilihat pada
Tabel 7.
Pembahasan
Perilaku Caring Perawat. Hasil penelitian menun-
jukkan sebagian besar perilaku caring perawat
pelaksana masih kurang. Hal ini dapat terjadi
karena kebanyakan perawat terlibat secara aktif
dan memusatkan diri pada fenomena medik,
Supriatin, Perilaku Caring Perawat berdasarkan Faktor Individu 195
Tabel 7. Hubungan Kepemimpinan, Struktur Organisasi, Imbalan, dan Desain kerja dengan Perilaku Caring
Perawat
Variabel
Perilaku Caring Total p
Kurang Baik
n % n % N
Kepemimpinan
a. Kurang
b. Baik
19
6
76,033,3
6
12
41,0
33,3
40
3
0,005
Struktur organisasi
a. Kurang
b. Baik
18
7
81,8
33,3
4
14
18,2
66,7
22
21
0,001
Imbalan
a. Kurang
b. Baik
15
10
75
43,5
5
13
25
56,5
20
23
0,037
Desain pekerjaan
a. Kurang
b. Baik
20
5
74,1
31,3
7
11
25,9
68,8
27
16
0,006
seperti cara diagnostik dan cara pengobatan.
Akibatnya, perawat kekurangan waktu dalam
memberikan perhatian pada tugas care klien.
Beberapa bukti empirik yang mendukung kurang-
nya perilaku caring perawat, yaitu hasil penelitian
Greenhalgh, Vanhanen, dan Kyngas (1998). Peneli-
tian yang bertujuan menelaah perilaku perawat yang
bekerja di ruang perawatan umum menunjukkan
bahwa perawat lebih menekankan perilaku caring
fisik daripada afektif. Pemenuhan kebutuhan
biologis menjadi fokus utama perawat sehingga
kebutuhan lainnya seperti kebutuhan psikologis,
sosial, dan spiritual klien kurang mendapat per-
hatian.
Perilaku caring perawat yang kurang menurut
Greenhalgh, Vanhanen, dan Kyngas (1998) di-
sebabkan jumlah perawat yang sangat terbatas
dengan jumlah klien yang banyak (rasio perawat:
klien adalah 1:12-18). Perawat juga belum mema-
hami makna caring, baik arti caring, spirit caring,
maupun tindakan atau wujud nyata dari perilaku
caring.
Faktor Individu dengan Caring Perawat. Umur
perawat yang berada pada masa produktif di RS
ini berhubungan dengan perilaku caring-nya. Pada
umur ini memungkinkan perawat dalam masa
kedewasaan dan kematangan. Dessler (1997)
menekankan bahwa umur produktif adalah usia
25–30 tahun di mana pada tahap ini merupakan
penentu seseorang untuk memilih bidang pekerjaan
yang sesuai bagi karir individu tersebut. Umur
30–40 tahun merupakan tahap pemantapan pilihan
karier untuk mencapai tujuan. Namun, puncak
karier terjadi pada umur 40 tahun. Menurut Siagian
(1999), semakin lanjut umur seseorang semakin
meningkat pula kedewasaan teknisnya, demikian
pula psikologis, menunjukkan kematangan jiwa.
Perawat di RS ini menjadi modal dasar dalam
mengembangkan sumber daya manusia (SDM)
dilihat secara umur.
Masa kerja perawat di RS tersebut berhubungan
dan bermakna dengan perilaku caring-nya. Robbins
(1998) menguraikan bahwa semakin lama sese-
orang bekerja semakin terampil dan akan lebih
berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya.
Masa kerja perawat RS tersebut berpengaruh
terhadap pengalaman kerja. Hal ini dapat dilihat
dari adanya perawat senior berdasarkan lama kerja
yang dijadikan role model dan dijadikan acuan
bagi perawat muda dalam berperilaku caring.
Jenis kelamin perawat tidak berhubungan dengan
perilaku caring-nya. Penelitian ini didukung
Aminuddin (2004) yang menyatakan bahwa
tidak ada perbedaan kinerja perawat laki-laki
dengan perempuan.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 192-198 196
Hasil penelitian ini tidak didukung oleh hasil
penelitian Greenhalgh, Vanhanen dan Kyngas
(1998) yang mendapatkan hubungan antara jenis
kelamin perawat dengan perilaku caring. Adanya
perbedaan ini dapat disebabkan oleh adanya
perbedaan budaya, kebiasaan, nilai, dan faktor
lainnya. Saat ini perbedaan gender sudah tidak
berlaku di masyarakat. Perawat perempuan me-
miliki tugas dan kewajiban yang sama dengan
perawat laki-laki.
Tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan
perilaku caring perawat pelaksana di RS ini.
Hasil ini tidak sependapat dengan Siagian (1999)
yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan me-
mengaruhi kinerja perawat yang bersangkutan.
Tenaga keperawatan yang berpendidikan tinggi
kinerjanya akan lebih baik karena telah memiliki
pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.
Pendapat peneliti berdasarkan identifikasi dan
referensi, caring merupakan ilmu tentang manusia,
bukan hanya sebagai perilaku, melainkan juga
suatu cara sehingga sesuatu menjadi berarti dan
memberi motivasi untuk berbuat kepedulian ter-
hadap klien. RS ini baru selesai menyekolahkan
perawat berpendidikan SPK sehingga belum ada
tampak perbedaan perawat berpendidikan SPK
dengan D-3 Keperawatan.
Status perkawinan tidak berhubungan dengan
perilaku caring perawat pelaksana. Hasil ini
sesuai dengan penelitian Rusmiati (2008) yang
menyatakan tidak ada hubungan status pernikahan
dengan kinerja.
Perilaku Caring Perawat Berdasarkan Faktor
Organisasi (Kepemimpinan, Struktur Orga-
nisasi, Imbalan, dan Desain Kerja). Persepsi
perawat pelaksana terhadap kepemimpinan kepala
ruangan berhubungan dengan perilaku caring-nya.
Hasil ini didukung Aminudin (2004) yang men-
dapatkan adanya hubungan antara kepemimpinan
dengan kinerja.
Pada organisasi, kepemimpinan terletak pada usaha
memengaruhi aktivitas orang lain individu atau
kelompok melalui komunikasi untuk mencapai
tujuan organisasi dan prestasi (Swansburg dan
Swansburg, 1999). Seorang kepala ruangan yang
merupakan firts line manager berfungsi sebagai
seorang pemimpin yang akan memengaruhi staf-
nya dalam berperilaku dan bekerja. Setiap kepala
ruangan harus memiliki pengetahuan, sikap, dan
berperilaku sebagai seorang pemimpin dengan
mengetahui prinsip dari kepemimpinan.
Persepsi perawat pelaksana terhadap struktur
organisasi ruangan berhubungan dengan perilaku
caring perawat pelaksana. Kondisi ini terjadi ka-
rena Robbins (1998) menekankan bahwa struktur
organisasi menunjukkan cara suatu kelompok
dibentuk, garis komunikasi, dan hubungan otoritas,
serta pembuatan keputusan. Struktur organisasi
ini menunjukkan garis kewenangan dan rentang
kendali dari suatu organisasi yang akan menen-
tukan kegiatan dan hubungan serta ruang lingkup
tanggung jawab dan peran setiap individu.
Belum adanya desain kerja, menimbulkan setiap
orang tidak mengetahui tupoksinya sehingga tugas
dan kewenangan masing-masing individu tidak
jelas. Kepala ruangan memberikan tugas belum
berdasarkan kemampuan dan kesanggupan perawat
pelaksana. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya
jumlah perawat pelaksana yang ada di setiap rawat
inap. Standar Operasional Prosedur (SOP) dan
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) pun belum
dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pelayan-
an keperawatan. Hal ini terlihat dalam melakukan
tindakan keperawatan banyak yang tidak sesuai
dengan SOP dan SAK rumah sakit.
Persepsi perawat pelaksana terhadap imbalan
berhubungan dengan perilaku caring perawat
pelaksana. Desler dalam Samsudin (2005), Hasibuan
(2003), dan Wibowo (2007) mengutarakan imbalan/
kompensasi mengandung makna pembayaran/
imbalan baik langsung maupun tidak langsung
yang diterima karyawan sebagai hasil dari kinerja.
Hasibuan (2003) dan Wibowo (2007) menjelaskan
bahwa status kepegawaian sangat berkaitan dengan
besarnya imbalan pegawai. Imbalan tersebut men-
jadi salah satu motivasi pegawai untuk bekerja
dan menunjukkan kinerja. Perawat RS dengan
status pegawai negeri merupakan kekuatan dan
motivasi perawat untuk meningkatkan kinerja
Supriatin, Perilaku Caring Perawat berdasarkan Faktor Individu 197
dari aspek finansial. Imbalan dalam nonfinansial
pun dibutuhkan untuk memotivasi dan mening-
katkan kinerja. Kurangnya penghargaan kepada
perawat berprestasi dan perawat yang caring dapat
menurunkan motivasi perawat untuk caring pada
klien.
Pemberian kompensasi yang baik akan mendorong
karyawan bekerja secara produktif dan organisasi
yang sukses dapat terlihat dari besarnya kompensasi
yang diberikan oleh organisasi. Jika seseorang
menggunakan pengetahuan, keterampilan, tenaga,
dan sebagian waktunya untuk berkarya pada suatu
organisasi, ia akan mengharapkan kompensasi/
imbalan tertentu.
Persepsi perawat pelaksana terhadap desain peker-
jaan berhubungan dengan perilaku caring perawat
pelaksana. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
pemberian otonomi kepada perawat, kurangnya
kewenangan, kurangnya bimbingan kepada pera-
wat, dan faktor senioritas menjadi penghambat
bagi perawat dalam berperilaku caring.
Penelitian ini dapat berdampak positif dan menjadi
masukan bagi pelayanan keperawatan khususnya
dalam meningkatkan perilaku caring perawat.
Kompetensi pemimpin, seperti kepala ruangan
juga memengaruhi perilaku caring perawat pelak-
sana. Pihak RS perlu lebih memperhatikan dan
memprioritaskan kompetensi kepala ruangan,
sebagai manajer first line yang harus dapat
berperan sebagai pemimpin. Kepala ruangan yang
mampu berperan sebagai role model dapat me-
motivasi perawat pelaksana berperilaku caring.
Kesimpulan
Perawat pelaksana di instalasi rawat inap RS
tersebut sebagian besar kurang berperilaku caring.
Faktor individu (umur dan masa kerja) serta
faktor organisasi (kepemimpinan kepala ruangan,
struktur organisasi, imbalan, dan desain kerja)
berhubungan perilaku caring perawat pelaksana.
Peneliti menyarankan perlu dukungan kebijakan
atas perilaku caring perawat oleh pihak RS ke
dalam pelayanan asuhan keperawatan dalam
upaya meningkatkan kinerja perawat dan mutu
pelayanan keperawatan. caring perawat perlu
dimasukkan ke dalam penilaian kinerja perawat
dalam rangka meningkatkan motivasi perawat
dalam bekerja (MS, HH, TN).
Referensi
Aminudin, T.Y. (2004). Hubungan iklim kerja
dengan kinerja perawat pelaksana di Ruang
Rawat Inap RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
(Tesis, tidak dipublikasikan). Program Studi
Magister Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Dessler, G. (1997). Manajemen sumber daya
manusia. Terjemahan (1st Ed.). Jakarta: PT
Prentallindo.
Gibson, J.L. (1997). Organisasi: Perilaku, struktur,
proses (Edisi kedelapan). (Nunuk. A,
Penerjemah). Jakarta: Binarupa Aksara.
Greenhalgh, J., Kyngas, H., & Vanhanen, L.
(1998). Nurse caring behavior. Journal of
Advanced Nursing, 27 (5), 927–932.
Hasibuan, M.S.P. (2003). Manajemen sumber daya
manusia (edisi revisi). Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Robbins, S.P. (1998). Perilaku Organisasi, konsep,
kontroversi, dan aplikasi (Edisi kedelapan).
Jakarta: PT. Prenhallindo.
Rusmiati. (2008). Hubungan lingkungan organisasi
dan karakteristik perawat dengan kinerja
perawat pelaksana di ruangan rawat inap
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Jakarta (Tesis, tidak dipublikasikan). Program
Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia, Depok,
Jawa Barat.
Samsudin, S. (2005). Manajemen sumber daya
manusia. Bandung: CV Pustaka Setia.
Siagian, S.P. (1999). Manajemen sumber daya
manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Siagian, S.P. (2000). Teori dan Praktek
Kepemimpinan (Cetakan kelima). Jakarta: PT
Rineke Cipta.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 192-198 198
Swansburg, R.C., & Swansburg, R.J. (1999).
Introductory management and leadership for
nurse (2nd Ed.). Boston: Jones and Bartlet
Publishers.
Watson, J. (2004). Assessing and measuring caring
in nursing and health science (2nd Ed.). New
York: Springer Publication Company.
Wibowo. (2007). Manajemen kinerja. Jakarta: PT
Raja Grufindo Persada.