jurnal hepatotoksik

8
PENGARUH BAHAN KIMIA TERHADAP HEPATOTOKSIK Yunita Boron, Emiliana D.P Djawa, Ernawati, Masni Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin ABSTRAK Angka kematian akibat hepatotoksik dari hari ke hari semakin menngkat. Hal ini berkaitan dengan ketidakhuan dari pengguna bahan-baha kimia yang ternyata berefek hepatotoksik. Bahn kimia seperti kloroform, tetrasiklin, bromobenzene, parasetamol, trikloroetilen, aflatoxin dan masih bayak lagi ternayata mampu memberi efek toksik pada penggunanya. Oleh karena itu, pentingnya peningkatan informasi dan pemahaman tentang bahan-bahan kimia yang hepatotoksik tersebut terhadap orang yang sering terpapar oleh bahan kimia di atas. Kata kunci : Hepatotoksik, Bahan Kimia PENDAHULUAN Hepatotoksik merupakan kerusakan hati yang dipengaruhi efek toksik yag menyebabkan terjadinya ketidakseimbagan antara produksi dan sekresi dalam hati. Hati merupakan organ berbentuk baji dengan berat 1,5 kg pada orang dewasa. Hati terletak pada kavum abdominalis region hipokondrium bagian kanan. Secara mikroanatomik hepar tersusun atas asinus dan lobulus. 1) Asinus berpusat pada pembuluh darah aksial, berasal dari arteri hepatika dan vena porta yang berdekatan dengan traktus portal. Bagian perifer dibatasi oleh vena hepatika yang mengelilinginya. 2) Lobulus berpusat pada venula hepatika terminalis. Bagian perifer dibatasi oleh garis imajiner yang menghubungkannya dengan traktus portal yang mengelilinginya. Hepar terdiri dari lobulus-lobulus lobulus, masing-masing dengan struktur serupa dan terdiri dari vena sentralis dan vena hepatika, saluran sinusoid yang dilapisi oleh endotel vaskuler dan sel-sel Kupffer yang merupakan bagian dari sistem limforetikuler. Di antara sinusoid terdapat kolom sel-sel hepar yang tersusun secara teratur dan radier serta meluas ke bagian perifer lobus. Di perifer terdapat beberapa traktus portal, masing-masing mengandung cabang-cabang arteri hepatika, vena porta dan duktus biliaris intrahepatik, bersama dengan jaringan ikat fibrosa dan limfatik. Duktus biliaris meneruskan aliran dari banyak kanalikuli biliaris antralobuler yang terletak di antara sel-sel hepar. Sel hepar mengandung berbagai enzim, beberapa di

Upload: devy-djawa

Post on 03-Dec-2015

64 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Senyawa yang dapat menyebabkan Hepatotosik

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Hepatotoksik

PENGARUH BAHAN KIMIA TERHADAP HEPATOTOKSIK

Yunita Boron, Emiliana D.P Djawa, Ernawati, Masni

Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin

ABSTRAK

Angka kematian akibat hepatotoksik dari hari ke hari semakin menngkat. Hal ini berkaitan dengan ketidakhuan dari pengguna bahan-baha kimia yang ternyata berefek hepatotoksik. Bahn kimia seperti kloroform, tetrasiklin, bromobenzene, parasetamol, trikloroetilen, aflatoxin dan masih bayak lagi ternayata mampu memberi efek toksik pada penggunanya. Oleh karena itu, pentingnya peningkatan informasi dan pemahaman tentang bahan-bahan kimia yang hepatotoksik tersebut terhadap orang yang sering terpapar oleh bahan kimia di atas.

Kata kunci : Hepatotoksik, Bahan Kimia

PENDAHULUAN

Hepatotoksik merupakan kerusakan hati yang dipengaruhi efek toksik yag menyebabkan terjadinya ketidakseimbagan antara produksi dan sekresi dalam hati. Hati merupakan organ berbentuk baji dengan berat 1,5 kg pada orang dewasa. Hati terletak pada kavum abdominalis region hipokondrium bagian kanan. Secara mikroanatomik hepar tersusun atas asinus dan lobulus.1) Asinus berpusat pada pembuluh darah aksial, berasal dari arteri hepatika dan vena porta yang berdekatan dengan traktus portal. Bagian perifer dibatasi oleh vena hepatika yang mengelilinginya.2) Lobulus berpusat pada venula hepatika terminalis. Bagian perifer dibatasi oleh garis imajiner yang menghubungkannya dengan traktus portal yang mengelilinginya. Hepar terdiri dari lobulus-lobulus lobulus, masing-masing dengan struktur serupa dan terdiri dari vena sentralis dan vena hepatika, saluran sinusoid yang dilapisi oleh endotel vaskuler dan sel-sel Kupffer yang merupakan bagian dari sistem limforetikuler. Di antara sinusoid terdapat kolom sel-sel hepar yang tersusun secara teratur dan radier serta meluas ke bagian perifer lobus.

Di perifer terdapat beberapa traktus portal, masing-masing mengandung cabang-cabang arteri hepatika, vena porta dan duktus biliaris intrahepatik, bersama dengan jaringan ikat fibrosa dan limfatik. Duktus biliaris meneruskan aliran dari banyak kanalikuli biliaris antralobuler yang terletak di antara sel-sel hepar. Sel hepar mengandung berbagai enzim, beberapa di antaranya penting untuk diagnostik karena dialirkan ke pembuluh

darah. Aktivitasnya dapat diukur sehingga dapat menunjukkan adanya penyakit hati atau tingkat keparahannya. Enzim-enzim tersebut yaitu aspartat aminotransferase (AST), alanin aminotransferase (ALT), γ-glutamiltransferase (γ-GT).

Hati berfungsi dalam pembentukan dan ekskresi empedu. Selain itu hati juga memegang peranan penting dalam metabolisme tiga bahan makanan yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. Fungsi lainnya yaitu metabolisme lemak; penyimpanan vitamin, besi dan tembaga; konjugasi dan ekskresi steroid adrenal dan gonad; mensintesis glukosa, protein, dan lemak.Hepatotoksin merupakan senyawa yang dapat menyebabkan gangguan pada jaringan hati. Hepatotoksin juga merupakan zat yang mempunyai efek toksik pada hati dengan dosis berlebih atau dalam jangka waktu yang lama. Hepatotoksisitas dibagi menjadi 2: 1) Hepatotoksisitas intrinsik (tipe A, dapat diprediksi) Hepatotoksin intrinsik merupakan hepatotoksin yang dapat diprediksi, tergantung dosis dan melibatkan mayoritas individu yang menggunakan obat dalam jumlah tertentu. Rentang waktu antara mulainya dan timbulnya kerusakan hati sangat bervariasi (dari beberapa jam sampai beberapa minggu). Salah satu contohnya adalah parasetamol (asetaminofen) menyebabkan nekrosis hati yang dapat diprediksi pada pemberian over dosis.2). Hepatotoksisitas idiosinkratik (tipe B, tidak dapat diprediksi) Hepatotoksin idiosinkratik merupakan hepatotoksin yang tidak dapat diprediksi. Hepatotoksin ini terkait dengan

Page 2: Jurnal Hepatotoksik

hipersensitivitas atau kelainan metabolisme. Respon dari hepatotoksin ini tidak dapat diprediksi dan tidak tergantung pada dosis pemberian. Masa inkubasi toksin ini bervariasi, tetapi biasanya berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Contohnya seperti sulfonamid, isoniazid, halotan, dan klorpromazin.

TINJAUAN PUSTAKA

1.. ParasetamolParasetamol merupakan metabolit

fenasetin dengan efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1983. Di Indonesia, penggunaan parasetamol sebagai analgesik dan antipiretik telah menggantikan penggunaan salisilat. Parasetamol merupakan asam lemah, serbuk berwarna putih, rasa agak pahit, dan sukar larut dalam air. Parasetamol single overdose memiliki t1/2 kurang dari 4.

Dua sampai tiga jam setelah pemberian parasetamol timbul gejala mual, muntah, dan sakit perut yang menandai timbulnya nekrosis hati. Gangguan fungsi hati terjadi dalam waktu 24 jam, dan mencapai puncak kurang lebih 48 jam dengan tanda-tanda biokimia yaitu meningkatnya aktivitas enzim serum GOT, GPT, oksibutirat dehidrogenase (HBD), dan laktat dehidrogenase (LDH). Pada dosis normal, parasetamol masuk kedalam tubuh akan mengalami biotransformasi di dalam hati dengan mekanisme konjugasi dengan glukuronat sebanyak 40% - 67%, sulfonat 20% – 46%, serta kurang dari 5% nya adalah sistein, berupa metabolit terhidroksilasi dan terdeasetilasi.

Hasil reaksi konjugasi ini menghasilkan senyawa yang larut air dan tidak toksik sehingga disekresikan melalui urin. Pada keadaan over dosis, sisa parasetamol akan dibiotransformasi oksidatif oleh sitokrom P-450 membentuk suatu metabolit elektrofil N-asetil-pbenzokuinonimina (NAPQI) yang bersifat hepatotoksik dan reaktif. NAPQI kemudian akan bereaksi dengan biomolekul penyusun membran sel hati, seperti fosfolipid dan protein bergugus SH. Detoksifikasi NAPQI diawali oleh konjugasi dengan GSH menjadi asam merkapturat yang bersifat hydrosoluble non toxic dan dapat diekskresikan oleh ginjal. Jika laju pembentukan NAPQI lebih dari laju detoksifikasi oleh GSH, maka akan terjadi oksidasi berbagai biomolekul penyusun membran seperti lipid atau gugus SH pada protein.

Proses ini menyebabkan kandungan GSH hati < 30% dari normalnya, sehingga NAPQI berikatan dengan makromolekul protein sel hati membentuk senyawa semikuinon. Senyawa semikuinon akan mereduksi O2 menjadi O2 yang kemudian membentuk senyawa radikal lagi yang akan mengoksidasi fosfolipid lain secara berantai. hal ini mengakibatkan kerusakan sel hati sampai timbul nekrosis hati. Aktivitas SGPT meningkat dalam darah disebabkan adanya kerusakan hati yang parah dan disertai nekrosis, sehingga enzim dari mitokondria juga ikut keluar sel. Kerusakan sel hati diawali dengan perubahan permeabilitas membran yang diikuti dengan kematian sel. Pada gangguan sel hati yang ringan maka enzim sitoplasma akan merembes kedalam serum terutama enzim SGPT. Oleh karena itu, kadar enzim SGPT bersifat khas dan spesifik terhadap kerusakan sel hati sehingga merupakan indikator terbaik sebagai tes dalam menentukan adanya gangguan fungsi hati walaupun dalam derajat ringan.

Page 3: Jurnal Hepatotoksik

2. TetrasiklinTetrasiklin adalah salah satu antibiotik

spektrum luas pertama dikembangkan dan pernah menjadi antibiotik pilihan untuk berbagai infeksi bakteri. Selain itu, tetrasiklin topikal merupakan salah satu obat pertama yang secara khusus disetujui untuk pengobatan acne vulgaris.

Tetracycline adalah antibiotik poliketida, yang merupakan keluarga obat (tetrasiklin keluarga) yang juga mencakup anti-jerawat yang populer antibiotik doksisiklin dan minosiklin. Antibiotik poliketida bekerja dengan mencegah bakteri yang rentan dari sintesis protein baru (yang mencegah mereka dari tumbuh). Tetrasiklin bekerja denga cara mengikat unit sub-30S ribosom dan kemampuan menghambat untuk menerjemahkan RNA menjadi protein.Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberian golongan tetrasiklin dosis tinggi (lebih dari 2 gram sehari) dan paling sering terjadi setelah pemberian parenteral. Oksitetrasiklin dan tetrasiklin mempunyai sifat hepatotoksik yang paling lemah dibandingkan dengan golongan tetrasiklin lain. Wanita hamil dengan pielonafritis paling sering menderita kerusakan hepar akibat pemberian golongan tetrasiklin. Kecuali doksisiklin,golongan tetrasiklin akan mengalami kumulasi dalam tubuh, karena itu dikontraindikasikan pada gagal ginjal.Efek samping yang paling sering timbul biasanya berupa azotemia,iperfosfatemia dan penurunan berat badan. Golongan tetrasiklin memperlambat koagulasi darah dan memperkuat efek antikoagulan kumarin. Diduga hal ini disebabkan oleh terbentuknya kelat dengan kalsium, tetapi mungkin juga karena obat-obat ini mempengaruhi sifat fisikokimia lipoprotein plasma.

3. KloroformKloroform merupakan obat anastetik

tertua, berupa cairan tak berwarna atau biru muda (tambahan zat warna untuk mempermudah identifikasi), juga tidak dapat menyala atau eksplosif. Kloroform sangat bersifat hepatotoksik yang dapat merusak hati. Kloroform merupakan senyawa hepatotoksik. Mekanisme kerjanya adalah melalui metabolit reaktifnya, radikal triklorometil yang secara kovalen mengikat protein dan lipid tidak jenuh dan menyebabkan peroksidasi lipid. Membran sub sel sangat kaya akan lipid seperti itu, akibatnya bersifat sangat rentan. Perubahan kimia

dalam membran dapat menyebabkan pecahnya membran itu.

Namun Recnagel mengemukakan bahwa peroksidasi lipid mikrosom mungkin menyebabkan penekanan pada pompa Ca2+ mikrosom yang mengakibatkan gangguan awal honeostatis Ca2+ sel hati.Keadaan ini dapat menyebabkan kematian sel hati.

Yang terutama toksik adalah senyawa yang dapat membentuk radikal bebas misalnya karbon tetraklorida, tetraklorometana atau dikloroetana. Toksisitas kemungkinan besar terutama disebabkan oleh reaksi radikal dengan banyak asam lemak tak jenuh. Di samping terbentuk hidrokarbon terhalogenasi dengan satu atom halogen yang lebih sedikit (misaknya dari karbon teraklorida terbentuk kloroform) maka terbentuk pula radikal asam lemak dengan ikatan rangkap terkonjugasi. Dengan masuknya oksigen akan terbentuk peroksidasi atau hidroperoksida.

4. RifampisinRifampisin adalah sebuah golongan antibiotik

yang mempunyai spektrum luas. Rifampisin adalah antibiotik yang banyak dipakai untuk menanggulangi infeksi Mycobacterium tuberculosis. Rifampisin juga efektif menghadapi infeksi Staphylococcus dan Neisseria meningitidis. Antibiotik ini merupakan bentuk pengobatan pertama untuk menanggulangi penyakit tuberkulosis dan lepra. Rifampisin menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat sintesis protein, terutama pada tahap transkripsi. Rifampisin menghalangi pelekatan enzim RNA polimerase dengan berikatan dengan sisi aktif enzim tersebut. Kerusakan hati oleh rifampisin terjadi melalui 3 jalur :

a) Bergantung pada besarnya dosis, dapat menyebabkan gangguan hepatic uptake terhadap bilirubin, sulfo bromoftalein dan asam empedu. Efek ini bersifat reversibel.

b)  Rifampisin dapat menjadi Microsomal enzym inducers sehingga meningkatkan efek hepatotoksik obat-obat yang tergolong metabolite related-hepatotoxicity, terutama isoniazid.

c)  Rimfapisin dapat menimbulkan viral-like hepatitis

Page 4: Jurnal Hepatotoksik

5. AlkoholAlkohol yang dikonsumsi 90% akan

dimetabolisme oleh tubuh terutama dalam hati oleh enzim alkoholdehidrogenase (ADH) dan koenzim nikotinamid-adenin-dinukleotida (NAD) menjadi asetaldehid dan kemudian oleh enzim aldehida dehidrogenase (ALDH) diubah menjadi asam asetat. Asam asetat dioksidasi menjadi CO2 dan H2O. Piruvat, levulosa (fruktosa), gliseraldehida (metabolit dari levulosa)dan alanina akan mempercepat metabolism alkohol.

Sebenarnya didalam tubuh ditemukan juga mekanisme pemecahan alkohol yang lain, yaitu hydrogen peroksida katalase dan sistem oksidasi etanol mikrosomal, namun kurang berperan. Kadar alkohol darah kemudian akan menurun dengan kecepatan yang sangat bervariasi (12-20 mg% per jam), biasanya penurunan kadar tersebut dianggap rata-rata 15 mg% (Knight, 1987) atau 14 mg% setiap jam. Pada alkohol kronik, yang telah dipercepat metabolismenya, eliminasi alkohol dapat mencapai 40 mg% per jam.

Hepatosit memiliki tiga jalur metabolisme alkohol, yang masing-masing terletak pada bagian yang berlainan. Jalur yang pertama adalah jalur alkohol dehidrogenase (ADH) yang terletak pada sitosol atau bagian cair dari sel. Dalam keadaan fisiologik, ADH memetabolisir alkohol yang berasal dari fermentasi dalam saluran cerna dan juga untuk proses dehidrogenase steroid dan omega oksidasi asam lemak. ADH memecah alkohol menjadi hidrogen dan asetaldehida, yang selanjutnya akan diuraikan menjadi asetat. Asetat akan terurai lebih lanjut menjadi H2O dan CO2.

Jalur kedua ialah melalui Microsomal Ethanol Oxydizing System (MEOS) yang terletak dalam retikulum endoplasma. Dengan pertolongan tiga komponen mikrosom yaitu sitokrom P-450, reduktase, dan lesitin, alkohol diuraikan menjadi asetaldehida.

Jalur ketiga melalui enzim katalase yang terdapat dalam peroksisom (peroxysome). Hidrogen yang dihasilkan dari metabolisme alkohol dapat mengubah keadaan redoks, yang pada pemakaian alkohol yang lama dapat mengecil. Perubahan ini dapat menimbulkan perubahan metabolisme lemak dan karbohidrat, mungkin menyebabkan bertambahnya jaringan kolagen dan dalam keadaan tertentu dapat menghambat sintesa protein. Perubahan redoks menimbulkan perubahan dari piruvat ke laktat yang menyebabkan terjadinya hiperlaktasidemia. Bila sebelumnya sudah terdapat

kadar laktat yang tinggi karena sebab lain, bisa terjadi hiperurikemia. Serangan kejang pada delirium tremens juga meningkatkan kadar asam urat dalam darah. Pada pasien gout, alkohol dapat meningkatkan produksi asam urat sehingga kadarnya dalam darah makin meningkat.

Meningkatnya rasio NADH/NAD akan meningkatkan pula konsentrasi alfa gliserofosfat yang akan meningkatkan akumulasi trigliserida dengan menangkap asam lemak dalam hepar. (NAD= Nicotinamide Adenine Dinucleotide; NADH = reduced NAD.) lemak dalam hepar berasal dari tiga sumber: dari makanan, dari jaringan lemak yang diangkut ke hepar sebagai Free Fatty Acid (FFA), dan dari hasil sintesis oleh hepar sendiri. Oksidasi alkohol dalam hepar menyebabkan berkurangnya oksidasi lemak dan meningkatnya lipogenesis dalam hepar.

Pemakaian alkohol yang lama juga akan menimbulkan perubahan pada mitokondria, yang menyebabkan berkurangnya kapasitas untuk oksidasi lemak. Semua yang tersebut di atas menyebabkan terjadinya perlemakan hati (fatty lever). Perubahan pada MEOS yang disebabkan pemakaian alkohol yang berlangsung lama dapat menginduksi dan meningkatkan metabolisme obat-obatan, meningkatkan lipoprotein dan menyebabkan hiperlipidemia, berkurangnya penimbunan vitamin A dalam hepar, meningkatkan aktivasi senyawa hepatotoksik, termasuk obat-obatan dan zat karsinogen. Walaupun jarang, alkohol juga dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia (karena menghambat glukoneogenesis) dan ketoasidosis.

Alkohol juga menghambat sintesis protein. Asetaldehida mempengaruhi mikrotubulus sehingga hapatosit menggembung. Sebaliknya, sintesis kolagen bertambah sehingga menambah jaringan fibrotik. Itulah sebabnya 8-20% peminum alkohol yang kronik dalam jumlah banyak mengalami sirosis hepatis.

KESIMPULAN

Angka kematian akibat hepatotoksik semakin meningkat. Hal ini dikarenakan penderita epatotoksik sering terpapar dengan bahan-bahan kimia, namun pengetahuan akan efek yang dapat diakibatkan dari bahan-bahan kimia tersebut masih terbatas. Adapun bahan-bahan kimia yang bersifat hepatotoksik adalah anatara lain, asetaminofen, tetrasiklin, rifampisin, kloroform, alkohol dan

Page 5: Jurnal Hepatotoksik

masih banyak lagi. Oleh karena itu, keseringan penggunaan bahan-bahan kimi ini harus dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Davis M, Williams R. 1977. Hepatic Disorders. In: Davies DM, editor. Textbook of Adverse Drug Reactions, Oxford: Oxford University Press. 2. Zimmerman HJ. 1978. Hepatotoxicity. New York: Appleton Century Crofts..3. Ostapowicz G, Fontana RJ, Schiødt FV. 2002. Results of a prospective study of acute liver failure at 17 tertiary care centers in the United States. Ann

Intern Med. 137(12): 947–9544. Lee WM. 2003. Acute liver failure in the United States. Semin Liver Dis. 23:217–2265. Bayupurnama, Putut. Hepatotoksisitas Imbas Obat. Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Jilid I. Balai Penerbit FK-UI. Jakarta. 2006.

.