jurnal fk ed-3

55
____________________________________________________Waktu reaksi terhadap bebagi sinar ... (Mas Mansur, ....) 1 WAKTU REAKSI TERHADAP BERBAGAI SINAR WARNA PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA TIME RESPONSE IN VARIOUS COLOUR LIGHT ON THE STUDENT OF SCHOOL OF MEDICINE OF WIJAYA KUSUMA SURABAYA UNIVERSITY Mas Mansyur, E. Devi Dwi Rianti, Fuad Ama Department of Medical Physics-School of Medicine of Wijaya Kusuma Surabaya University Phone : 031-78887814, HP. 08563384833 E-mail : [email protected] ABSTRACT Time response is the duration between light stimulation until the effect arises, it involves the duration of sight receptor, processing of signal information in the nerve system, until the motion turn up on motoric system. From result of which we do at randomize of the first semester of 30 male and 30 female students of Medical Faculty of Wijaya Kusuma Surabaya University, the time responses of male student on blue, green, yellow, and red light, respectively are: 0,3631 s < tb < 0,3765 s, 0,3563 s < tg < 0,3725 s, 0,3493 s < ty < 0,3641 s, and 0,3076 s < tr < 0,3142 s, while the time responses of female student to the same color are: 0,3908 s < tb < 0,4058 s, 0,3608 s < tg < 0,3142 s, 0,3713 s < ty < 0,3865 s, and 0,3127 s < tr < 0,3223 s. It seem that the red light makes the quickest response on male and female, while blue light gave slower response on male or female students. There are no correlation between time response with lihght color and the gender. Key words : electromagnetic waves, rod and cone cells, color spectrum ABSTRAK Waktu reaksi adalah selang waktu antara pemberian rangsangan sampai timbulnya jawaban. Jadi waktu reaksi yang diukur disini adalah waktu reaksi reseptor penglihatan, pengolahan sistem informasi saraf, dan penghantaran sinyal hingga terjadi gerak oleh sistem motorik. Dari hasil yang kami lakukakn secara acak terhadap 30 mahasiswa pria dan 30 mahasiswa wanita Fakultes Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Semester 1. Hasil yang diperoleh adalah waktu reaksi pria terhadap lampu warna biru, hijau, kuning dan merah berturut-turut adalah : 0,3619 s < tb < 0,3765 s, 0,3563 s < th < 0,3725 s, 0,3493 s < tk < 0,3641 s, and 0,3076 s < tm < 0,3142 s. Sedangkan waktu reaksi mahasiswa wanita terhadap lampu warna biru, hijau, kuning dan merah adalah : 0,3908 s < tb < 0,4058 s, 0,3608 s < th < 0,3865 s, 0,3713 s < ky < 0,3865 s, and 0,3127 s < tr < 0,3223 s. Dari hasil penelitian tersebut diatas, terlihat bahwa sinar berwarna merah mempunyai waktu reaksi tercepat bagi mahasiswa pria dan wanita, sedangkan warna biru mempunyai waktu reaksi terlambat bagi mahasiswa pria dan wanita. Disamping itu waktu reaksi tidak mempunyai korelasi dengan warna dan jenis kelamin. Kata kunci : gelombang elektromagnet, sel batang, sel kerucut, spektrum warna. PENDAHULUAN Sebagian besar pengetahuan kita tentang dunia di sekeliling kita didapat melalui mata. Perasaan tidak berdaya yang muncul saat kita terperangkap dalam kegelapan lingkungan yang asing merupakan petunjuk kuat akan ketergantungan kita pada penglihatan. Indera penglihatan terdiri dari tiga komponen utama yaitu mata yang memfokuskan bayangan dari dunia luar ke retina peka cahaya, sistem syaraf yang menyalurkan informasi ke dalam otak, dan korteks penglihatan yaitu bagian dari otak tempat semuanya dipadukan. Kebutaan terjadi apabila salah satu dari ketiganya tidak berfungsi. Mata adalah alat indera kompleks yang berevolusi dari bintik-bintik peka sinar primitif pada permukaan golongan invertebrata. Dalam bungkus pelindungnya, mata mempunyai reseptor, sistem lensa yang membiaskan cahaya ke reseptor tersebut, dan sistem saraf yang menghantarkan impuls dari reseptor ke otak. Mata terlindungi dengan baik dari cedera oleh adanya dinding orbita yang terdiri dari tulang. Sedangkan kornea dibasahi dan dijaga tetap jernih oleh air mata yang

Upload: idha-kurniasih

Post on 24-Jun-2015

1.088 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________Waktu reaksi terhadap bebagi sinar ... (Mas Mansur, ....)

1

WAKTU REAKSI TERHADAP BERBAGAI SINAR WARNA PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

TIME RESPONSE IN VARIOUS COLOUR LIGHT ON THE STUDENT OF SCHOOL OF MEDICINE OF WIJAYA KUSUMA SURABAYA UNIVERSITY

Mas Mansyur, E. Devi Dwi Rianti, Fuad Ama

Department of Medical Physics-School of Medicine of Wijaya Kusuma Surabaya University

Phone : 031-78887814, HP. 08563384833

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

Time response is the duration between light stimulation until the effect arises, it involves the duration of sight receptor, processing of signal information in the nerve system, until the motion turn up on motoric system. From result of which we do at randomize of the first semester of 30 male and 30 female students of Medical Faculty of Wijaya Kusuma Surabaya University, the time responses of male student on blue, green, yellow, and red light, respectively are: 0,3631 s < tb < 0,3765 s, 0,3563 s < tg < 0,3725 s, 0,3493 s < ty < 0,3641 s, and 0,3076 s < tr < 0,3142 s, while the time responses of female student to the same color are: 0,3908 s < tb < 0,4058 s, 0,3608 s < tg < 0,3142 s, 0,3713 s < ty < 0,3865 s, and 0,3127 s < tr < 0,3223 s. It seem that the red light makes the quickest response on male and female, while blue light gave slower response on male or female students. There are no correlation between time response with lihght color and the gender. Key words : electromagnetic waves, rod and cone cells, color spectrum

ABSTRAK

Waktu reaksi adalah selang waktu antara pemberian rangsangan sampai timbulnya jawaban. Jadi waktu reaksi yang diukur disini adalah waktu reaksi reseptor penglihatan, pengolahan sistem informasi saraf, dan penghantaran sinyal hingga terjadi gerak oleh sistem motorik. Dari hasil yang kami lakukakn secara acak terhadap 30 mahasiswa pria dan 30 mahasiswa wanita Fakultes Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Semester 1. Hasil yang diperoleh adalah waktu reaksi pria terhadap lampu warna biru, hijau, kuning dan merah berturut-turut adalah : 0,3619 s < tb < 0,3765 s, 0,3563 s < th < 0,3725 s, 0,3493 s < tk < 0,3641 s, and 0,3076 s < tm < 0,3142 s. Sedangkan waktu reaksi mahasiswa wanita terhadap lampu warna biru, hijau, kuning dan merah adalah : 0,3908 s < tb < 0,4058 s, 0,3608 s < th < 0,3865 s, 0,3713 s < ky < 0,3865 s, and 0,3127 s < tr < 0,3223 s. Dari hasil penelitian tersebut diatas, terlihat bahwa sinar berwarna merah mempunyai waktu reaksi tercepat bagi mahasiswa pria dan wanita, sedangkan warna biru mempunyai waktu reaksi terlambat bagi mahasiswa pria dan wanita. Disamping itu waktu reaksi tidak mempunyai korelasi dengan warna dan jenis kelamin.

Kata kunci : gelombang elektromagnet, sel batang, sel kerucut, spektrum warna. PENDAHULUAN

Sebagian besar pengetahuan kita tentang dunia di sekeliling kita didapat melalui mata. Perasaan tidak berdaya yang muncul saat kita terperangkap dalam kegelapan lingkungan yang asing merupakan petunjuk kuat akan ketergantungan kita pada penglihatan. Indera penglihatan terdiri dari tiga komponen utama yaitu mata yang memfokuskan bayangan dari dunia luar ke retina peka cahaya, sistem syaraf yang menyalurkan informasi ke dalam otak, dan korteks penglihatan yaitu bagian dari otak tempat semuanya

dipadukan. Kebutaan terjadi apabila salah satu dari ketiganya tidak berfungsi.

Mata adalah alat indera kompleks yang berevolusi dari bintik-bintik peka sinar primitif pada permukaan golongan invertebrata. Dalam bungkus pelindungnya, mata mempunyai reseptor, sistem lensa yang membiaskan cahaya ke reseptor tersebut, dan sistem saraf yang menghantarkan impuls dari reseptor ke otak. Mata terlindungi dengan baik dari cedera oleh adanya dinding orbita yang terdiri dari tulang. Sedangkan kornea dibasahi dan dijaga tetap jernih oleh air mata yang

Page 2: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________Waktu reaksi terhadap bebagi sinar ... (Mas Mansur, ....)

2

mengalir di permukaan mata. Berkedip membantu kornea tetap basah.

Salah satu kemampuan luar biasa mata adalah

kemampuan melihat warna. Mekanisme pasti melihat warna belum dipahami secara penuh, tetapi dapat diterima bahwa terdapat tiga jenis sel kerucut yang merespon terhadap sinar dari tiga bagian spektrum yang berlainan. Gambar di TV berwarna dihasilkan dengan metode yang serupa pada mata. Apabila kita teliti layar TV berwarna dengan kaca pembesar, kita akan melihat banyak sekali titik kecil merah, hijau dan biru. Titik-titik itu dapat menghasilkan semua warna dalam spektrum, dengan cara mengkombinasikan berbagai warna yang ada. Diperkirakan dengan cara serupa, sinyal dikirim ke otak dari tiga kerucut berwarna dalam berbagai kombinasi warna sehingga otak dapat menentukan warna. Apabila salah satu dari warna hilang, yang terjadi adalah buta warna yaitu beberapa warna tidak dapat dikenali.

Mata berfungsi untuk melihat yang dapat

menimbulkan sensasi di otak. Sifat terpenting dari sistem penglihatan adalah kemampuan untuk berfungsi pada intensitas cahaya yang luas. Faktor yang bereaksi terhadap naik turunnya intensitas cahaya ialah adanya dua jenis reseptor. Sel batang sangat peka terhadap cahaya dan merupakan reseptor untuk penglihatan malam (penglihatan skotopik). Alat penglihatan skotopik tidak mampu memisahkan secara rinci dan batas obyek dengan baik atau menentukan warna. Sel kerucut mempunyai ambang yang lebih tinggi, dan memiliki ketajaman yang jauh lebih besar dan merupakan sistem yang berperan dalam penglihatan pada cahaya terang (penglihatan fotopik) dan penglihatan warna. Dengan demikian terdapat dua jenis masukan ke sistem saraf pusat dari sel batang dan sel kerucut. Adanya dua jenis masukan ini yang masing-masing bekerja maksimum di bawah kondisi pencahayaan yang berbeda disebut teori duplisitas.

Setiap warna terdapat warna komplementer

yang bila dicampurkan secara tepat dengan warna tersebut akan menghasilkan kesan putih. Hitam adalah kesan yang dihasilkan bila tidak ada cahaya. Setiap warna spektrum dapat dihasilkan dengan cara mencampurkan cahaya merah, hijau dan biru dengan berbagai macam perbandingan. Dengan

demikian cahaya merah, hijau dan biru disebut warna primer. Hal lain yang penting tentang persepsi warna juga tergantung pada warna benda lain dalam lapangan penglihatan (Land, 1973).

Selang waktu antara pemberian rangsangan sampai dengan timbulnya jawaban disebut waktu reaksi (Ganong, 2001). Pada manusia, waktu reaksi untuk refleks regang misalnya refleks ketok lutut adalah 19 – 24 ms. Sedangkan waktu reaksi terhadap sinar adalah waktu reaksi reseptor penglihatan, pengolahan informasi system syaraf dan penghantaran sinyal hingga terjadinya gerak oleh sistem motorik.

Pada alat ukur waktu reaksi, menggunakan lampu indikator berupa LED (Light Emittting Diode) warna tunggal dan empat buah berwarna (biru, hijau, kuning dan merah). Pengukuran dengan menggunakan lampu indikator empat warna ini dimaksudkan untuk mengamati hubungan antara waktu reaksi terhadap warna sumber cahaya, sebab menurut teori Young – Helmholt terdapat tiga jenis sel kerucut dalam retina yang masing-masing peka terhadap warna tertentu.

Dari latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut : 1. Berapakah waktu reaksi Mahasiswa Fakultas

Kedokteran terhadap Sinar berwarna : biru, hijau, kuning dan merah.

2. Apakah ada korelasi waktu reaksi antara sinar bewarna yang digunakan dalam percobaan.

3. Apakah ada korelasi waktu reaksi terhadap sinar berwarna antara pria dan wanita. Mengingat kemampuan seseorang dalam

menerima rangsangan sinar berwarna berbeda, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menentukan waktu reaksi terhadap sinar biru,

hijau, kuning dan merah. 2. Menentukan korelasi waktu reaksi antara sinar

biru dan hijau, biru dan kuning, biru dan merah, hijau dan kuning, hijau dan merah, serta kuning dan merah.

3. Menentukan korelasi waktu reaksi terhadap sinar biru, hijau, kuning dan merah antara pria dan wanita. Hasil penelitian ini yakni diketahuinya waktu

reaksi terhadap sinar biru, hijau, kuning dan merah, diharapkan dapat membuka peluang untuk dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode dan peralatan yang berbeda serta penelitian lain

Page 3: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________Waktu reaksi terhadap bebagi sinar ... (Mas Mansur, ....)

3

yang terkait dengan waktu reaksi seperti : tingkat kelelahan, kecepatan reaksi akibat pemberian obat tertentu dan sebagainya. Dengan mengetahui tingkat kelelahan pengelihatan penelitian dapat dikembangkan untuk mengetahui sampai sejauh mana kelelahan mata dapat dikaitkan dengan ketelitian kerja atau kecelakaan kerja dan sebagainya.

BAHAN DAN CARA Pada penelitian ini metode yang digunakan

adalah random sampling dengan sample 30 mahasiswa pria dan 30 mahasiswa wanita dari seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran UWKS tahun 2006/2007. Untuk menentukan waktu reaksinya menggunakan alat reaction time meter. Alat ini terdiri atas tombol operator yang berfungsi untuk memberi rangsangan yang berupa sinar berwarna secara acak dan tombol responden yang berfungsi untuk menanggapi rangsangan yang diberikan oleh operator.

Penelitian ini dilakukan di bagian fisika

kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya pada tahun 2006 selama 6 bulan.

Peralatan yang utama yang dibutuhkan dari penelitian ini adalah alat ukur waktu reaksi. Alat ini di buat di laboratorium Biofisika FMIPA Universitas Airlangga Surabaya. Alat ini mempunyai ketelitian 0,0001 sekon, sehingga perbedaan reaksi yang sangat kecil dapat terdeteksi dengan baik.

Menentukan salah seorang mahasiswa yang akan diukur waktu reaksinya dan empat orang mahasiswa yang berdiri di belakang operator untuk mencatat waktu reaksi dari sinar biru, hijau, kuning dan merah. Saat operator menekan salah satu tombol secara acak untuk menghidupkan lampu time display pada alat ukur akan berjalan dan lampu indicator akan mati jika responden menekan tombol yang sesuai dengan lampu pada operator dengan demikian time displaynya akan berhenti dan waktu reaksinya dapat diketahui.

Untuk selanjutnya operator menyalakan lampu lain secara acak dengan cepat, hal ini dimaksudkan agar responden tadi punya kesempatan untuk memperkirakan lampu selanjutnya yang akan menyala. Percobaan ini dilakukan pengulangan untuk mahasiswa yang lain.

Analisa data dilakukan dengan metode uji t.

Dari data hasil penelitian ini dapat ditentukan : mean, variance dan standar deviasinya (s), interval estimasi waktu reaksinya dapat ditentukan dengan rumus :

nsZXU

nsZX

Uji t untuk membedakan 2 buah mean digunakan untuk menentukan apakah suatu mean sample mempunyai hubungan atau tidak perlu dihitung standar error dari beda dengan rumus:

2121

2121

112 nnnn

SsSsxSs

nx

xSs ii

22 dan nilai statistik

21

21

xSxxxt

dengan :

Z : level significance tertentu Ss1 : sun square sample 1 Ss2 : sun square sample 2 n1 : besar sample 1 n2 : besar sample 2 X : nilai rata-rata HASIL Dari data hasil penelitian dapt ditentukan mean, standar deviasi, dan standar error sbb

Page 4: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________Waktu reaksi terhadap bebagi sinar ... (Mas Mansur, ....)

4

Tabel : 1 Tabel Mean, Standar Deviasi, Interval Estimasi, dan Standar Error Waktu Reaksi

Nilai Statistik Pria Wanita Mean waktu reaksi t b = 0,3698 s t b = 0,3983 s t h = 0,3644 s t h = 0,3647 s t k = 0,3567 s t b = 0,3789 s t m = 0,3109 s t b = 0,3175 s

Standart Deviasi S b = 0,1033 s S b = 0,1145 s S h = 0,1239 s S h = 0,0598 s S k = 0,1131 s S k = 0,1168 s S m = 0,0508 s S m = 0,0741 s

Interval Estimasi Dengan Level Significance 95% (Z=1,96)

0,3631 s < tb < 0,3765 s 0,3908 s < tb < 0,4058 s 0,3563 s < th < 0,3725 s 0,3608 s < th < 0,3686 s 0,3493 s < tk < 0,3641 s 0,3713 s < tk < 0,3865 s 0,3076 s < tm < 0,3142 s 0,3127 s < tm < 0,3223 s

Standart Error Dari Beda

SE bh = 0,2734 s SE bh = 0,2739 s

Antar Warna SE bk = 0,2801 s SE bk = 0,2820 s SE bm = 0,2708 s SE bm = 0,2756 s SE hk = 0,2842 s SE hk = 0,2744 s SE hm = 0,2751 s SE hm = 0,2606 s SE km = 0,2762 s SE km = 0,2762 s Standart Error Dari Beda Warna biru : 0,3489 s Antara Pria dan Wanita Warna hijau : 0,3337 s Warna kuning : 0,3414 s Warna merah : 0,2973 s

Nilai statistik hitungan dengan derajat kebebasan 58, untuk menentukan hubungan waktu reaksi

antara sinar yang berbeda warna pada pria dan wanita ditampilkan pada tabel dibawah ini.

Tabel : 2 Hubungan Antara Warna

Hubungan antara warna T hitungan Pria Wanita

Biru dan hijau Biru dan kuning Biru dan merah Hijau dengan kuning Hijau dengan merah Kuning dengan merah

0,0198 0,0468 0,2175 0,0270 0,2053 0,1658

0,1227 0,0686 0,3931 0,0517 0,1811 0,2223

Nilai statistik t hitungan dengan derajat kebebasan 58 untuk menentukan hubungan antara waktu reaksi terhadap sinar warna antara pria dan wanita adalah :

- Warna biru : 0,0817 - Warna hijau : 0,0009 - Warna kuning : 0,0650 - Warna merah : 0,0230

Page 5: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________Waktu reaksi terhadap bebagi sinar ... (Mas Mansur, ....)

5

Nilai statistik t pada tabel dengan level significance 95% dan derajat kebebasan 58 adalah 2,002. PEMBAHASAN

Dari hasil pengolahan data di atas terlihat bahwa waktu reaksi mahasiswa wanita untuk sinar biru, hijau, kuning dan merah lebih lambat dari waktu reaksi mahasiswa pria. Sedangkan sinar warna merah mempunyai waktu reaksi paling cepat bagi mahasiswa pria dan wanita. Waktu reaksi mahasiswa pria terhadap sinar warna dari yang paling cepat ke yang paling lambat adalah merah, kuning, hijau dan biru. Sedangkan bagi mahasiswa wanita adalah merah, hijau, kuning dan biru.

Besar rangsangan yang timbul pada sel kerucut yang peka terhadap warna oleh adanya cahaya monokhromatik terbesar pada warna jingga. Hal ini sesuai dengan percobaan yang kami lakukan yang menghasilkan waktu reaksi tercepat pada sinar merah bagi mahasiswa pria dan wanita. Cahaya disekitar lingkungan tempat percobaan juga berpengaruh terhadap tampilan sinar warna sehingga tampak kurang jelas. Ini terjadi pada sinar baru yang menghasilkan waktu reaksi terbesar atau paling lambat bagi mahasiswa pria dan wanita. Faktor posisi juga berpengaruh pada waktu reaksi sinar merah yang terletak di ujung sebelah kanan sehingga relatif lebih mudah untuk dijangkau dibandingkan posisi lampu berwarna yang lain. Secara umum waktu reaksi terhadap sinar berwarna biru, hijau, kuning, dan merah bagi mahasiswa semester 1 tahun 2006/2007 Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya diantaranya dipengaruhi oleh : 1. Faktor posisi 2. Intensitas cahaya di tempat percobaan

berlangsung. 3. Konsentrasi

Hasil pengolahan data untuk mencari t hitungan antar berbagai macam kontribusi warna yaitu : biru dengan hijau, biru dengan kuning, biru dengan merah, hijau dengan kuning, hijau dengan merah dan kuning dengan merah. Diperoleh t hitungan lebih kecil dari t tabel, hal ini berarti warna tidak mempunyai korelasi dengan besar waktu reaksi yang ditimbulkan bagi mahasiswa pria dan wanita. Peristiwa itu dapat dipahami karena sinar warna termasuk gelombang elektromagnetik yang mempunyai kecepatan sama

pada medium udara, sehingga sampai di mata responden dalam waktu yang sama.

Dari uji t untuk menentukan beda dua buah mean yaitu waktu reaksi terhadap sinar warna untuk mahasiswa pria dan wanita, diperoleh nilai statistik t hitungan untuk warna biru, hijau, kuning, dan merah adalah 0,0817, 0,0009, 0,0650, dan 0,0230. Sedangkan nilai statistik pada tabel dengan derajat kebesaran 58 dan level significance 95% adalah 2,002. Karena t hitungan lebih kecil dari t tabel, ini berarti tidak ada korelasi antara waktu reaksi mahasiswa pria dan wanita. KESIMPULAN Dari penelitian yang kami lakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Waktu reaksi mahasiswa pria terhadap sinar :

- biru : 0,3631 s < tb < 0,3765 s - hijau : 0,3563 s < th < 0,3725 s - kuning : 0,3493 s < tk < 0,3641 s - merah : 0,3076 s < tm < 0,3142 s

2. Waktu reaksi mahasiswa wanita terhadap sinar : - biru : 0,3908 s < tb < 0,4058 s - hijau : 0,3608 s < th < 0,3686 s - kuning : 0,3713 s < tk < 0,3865 s - merah : 0,3127 s < tm < 0,3223 s

3. Waktu reaksi terhadap sinar merah paling cepat bagi mahasiswa pria dan wanita.

4. Tidak ada korelasi waktu reaksi antara sinar berwarna biru dan hijau, biru dan kuning, biru dan merah, hijau dan kuning, hijau dan merah, serta kuning dan merah.

5. Tidak ada korelasi waktu reaksi terhadap sinar warna antara pria dan wanita.

SARAN 1. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat

perlu dilakukan penyempurnaan alat ukur waktu reaksi antara lain : a. Posisi lampu berwarna diubah-ubah pada

setiap percobaan. b. Perlu diupayakan untuk mendisain suatu

alat yang terdiri dari satu lampu yang dapat mengeluarkan cahaya berwarna biru, hijau, kuning dan merah secara acak. Sedangkan tombol pada responden untuk mematikan lampu tersebut sebanyak empat buah.

2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengukur tingkat kelelahan seseorang, yang memerlukan peralatan baru dengan prinsip

Page 6: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________Waktu reaksi terhadap bebagi sinar ... (Mas Mansur, ....)

6

kerja yang sama dengan alat ukur waktu reaksi tetapi dengan jumlah lampu diperbanyak sehingga dapat membentuk pola-pola berupa garis horizontal, vertikal dan diagonal.

DAFTAR PUSTAKA Ackerman, Engene, 1988, Ilmu Biofisika,

Diterjemahkan oleh Rejani, Airlangga University Press Surabaya.

Alan H. Cromer, 1994, Physics for The Life Sciences, Second Edition, Mc. Graw Hill, Book Company USA.

Anggono, Priyo Tri, 1989, Alat Ukur Refleks Manusia Secara Digital, Jurusan Fisika FMIPA Universitas Airlangga Surabaya

Cameron John R., 2006, Fisika Tubuh Manusia, Diterjemahkan Oleh Brahm U. Pendit, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Cameron John R., Skofronick, James G., 1978, Medical Physics, John Willey & Sons Inc, New York.

Gabriel. J.F, 1998, Fisika Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Ganong William F., 2003, Fisiologis Kedokteran, Diterjemahkan oleh H.M. Djauhari W., Edisi 20, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Guyton & Hall, 1997. Fisiologi Kedokteran, Diterjemahkan oleh Setiawan Irawati Dkk, Edisi 9, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Sherwood, Lauralee, 1996, Humam Physiology, A Division of International Thomson Publishing Inc.

Spiegel, Murray R., 1996, Statistik, Diterjemahkan Oleh Nyoman Susila & Elen Gunawan, Edisi 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Zemansky, Sears, Fisika Untuk Universitas, Cetakan ke 6, Penerbit Bina Cipta Bandung.

Page 7: Jurnal FK Ed-3

______________________________________________________________Studi pendahuluan analisis mutasi ... (Sri Lestari Utami)

7

STUDI PENDAHULUAN ANALISIS MUTASI PADA PENYINARAN DENGAN SINAR ULTRAVIOLET (UV) TERHADAP LARVA

Drosophila melanogaster, Meigen

Sri Lestari Utami

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Jln. Dukuh Kupang XXV/54, Surabaya 60225 ; Telp/Fax : (031) 5686531

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

UV light is a potential mutagen with slightly penetration. This research aims to observe the number of living imago and its mutant ; the fertility of the adult Drosophila melanogaster, Meigen from which the larva have illuminated with UV light at : 254 nm. The data was analysed by One Way ANOVA and continued by BNJ test. The results indicated that there are significant differences the number of living imago (1885,312>2,87, p<0,05)) and its mutant (403,287>2,87,p<0,05) of irradiating with UV light to the larva D. melanogaster, Meigen. Meanwhile the fertility of the adult D. melanogaster, Meigen had no significant effect (1,0< 2,87,p<0,05). From BNJ test knomn that there were correlation between the duration of UV irradiation and the number of living imago. Meanwhile the number of mutant D. melanogaster, Meigen showed significantly differences treatment combination, i.e. between 30 minute and 10 minute, control and 30 minute, control and 10 minute. The products of D. melanogaster, Meigen mutant were abero and Gull. Key word : ultraviolet (UV) light, mutation, Drosophila melanogaster, Meigen larvae

ABSTRAK

Sinar UV merupakan mutagen yang potensial dengan daya tembus yang tidak terlalu besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati jumlah imago yang hidup, jumlah mutan dan fertilitas Drosophila melanogaster, Meigen dewasa dari larva yang disinari dengan sinar UV pada : 254 nm. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA Satu Arah dan dilanjutkan dengan uji BNJ. Hasil analisa data menunjukkan bahwa terdapat beda nyata untuk jumlah imago yang hidup (1885,312>2,87,p<0,05) dan jumlah mutan (403,287>2,87,p<0,05) dari penyinaran dengan sinar UV terhadap larva D. melanogaster, Meigen. Sedangkan fertilitas dari larva D. melanogaster, Meigen dewasa tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikans (1,0< 2,87,p<0,05). Dari uji BNJ diketahui bahwa semakin lama penyinaran maka semakin sedikit jumlah imago yang hidup. Sementara untuk jumlah D. melanogaster, Meigen mutan hanya terdapat 3 kombinasi perlakuan yang berbeda nyata, yaitu antara 30 menit dengan 10 menit. 30 menit dengan kontrol dan 10 menit dengan kontrol. D. melanogaster, Meigen mutan yang dihasilkan adalah abero dan Gull.

Key word : sinar ultraviolet (UV), mutasi, larva Drosophila melanogaster, Meige PENDAHULUAN

Drosophila melanogaster, Meigen merupakan salah satu jenis lalat buah dari famili Drosophilidae yang banyak ditemukan di antara rumput-rumput, semak atau buah-buah yang masak sebagai tempat berkembang biak seperti buah mangga, jambu dan pisang. Mereka meletakkan telur pada buah yang masih muda dan larvanya akan menghabiskan buah yang masak sebagai makanannya, sehingga bersifat sangat merugikan. D. melanogaster, Meigen juga merupakan obyek studi genetika dasar yang terpenting (termasuk mutasi) (Metcalf, 1973 ; Shull, 1948).

Genetika akan ditentukan oleh gen, yang merupakan unit dari informasi genetik. Informasi atau materi genetik ini dikode sebagai ADN, yang akan tersusun menjadi sejumlah organel berbentuk batang yang disebut kromosom. Pada kromosom ini terdapat ADN (asam deoksiribonukleat) berpilin ganda atau “double

helix” (tergolong asam nukleat selain ARN), yang susunan kimianya terdiri atas gula pentoda (deoksiribosa), asam fosfat dan basa nitrogen. Basa nitrogen dapat dibedakan atas 2 tipe dasar, yaitu : pirimidin (yang terbagi atas sitosin/C dan timin/T) dan purin (yang terbagi atas adenin/A dan guanin/G). ADN ini dalam proses ekspresinya dapat berupa ARN dan protein. (Nussbaum, McInnes and Willard, 2007)

Mutasi adalah perubahan materi genetik (ADN dan ARN) dan proses yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. Sedangkan mutan adalah organisme yang menunjukkan fenotip baru sebagai hasil terjadinya mutasi. Mutasi dapat disebut sebagai mutasi terinduksi jika terjadinya disebabkan perlakuan organisme dengan agen mutagenik seperti irradiasi pengionan, sinar ultraviolet (sinar UV) atau berbagai bahan kimia yang bereaksi dengan ADN atau ARN (Garder, Simmons and Snustad, 1991).

Page 8: Jurnal FK Ed-3

______________________________________________________________Studi pendahuluan analisis mutasi ... (Sri Lestari Utami)

8

ADN akan menyerap sinar UV secara maksimum pada = 254 nm, sehingga mutagenitas maksimum juga terjadi pada panjang gelombang tersebut. Sinar UV tidak mampu menimbulkan pengionan dan hanya sedikit menembus jaringan (umumnya hanya pada sel-sel lapisan permukaan organisme multiseluler) dikarenakan memiliki energi yang rendah. Walaupun demikian sinar UV merupakan mutagen yang potensial untuk organisme uniseluler (Gardner, Simmons and Snustad, 1991).

Shull (1948) menyatakan bahwa sinar UV menyebabkan mutasi pada Drosophila. Demikian juga dengan Altenburg yang melakukan irradiasi telur Drosophila. Sinar UV diserap olah substansi ADN (purin dan pirimidin) yang menyebabkan lebih reaktif atau dalam keadaan tereksitasi. Penyerapan sinar UV oleh pirimidin menyebabkan terbentuknya primidin hidrat dan pirimidin dimer. Beberapa peristiwa menunjukkan bahwa dimerisasi timin (studi in vitro) mungkin merupakan akibat mutagenik sinar UV. (Gardner, Simmons and Snustad, 1991 ; Sinnot et. al., 1958).

D. melanogaster, Meigen merupakan organisme eksperimen modern dalam bidang genetika karena memiliki karakter fenotip yng berbeda dan terlihat nyata, mudah mendapatkannya, murah (dapat dibiakkan dalam botol yang hanya berisi media pisang yang difermentasi) dan mempunyai waktu perkembiakan yang tidak terlalu lama (2 minggu dengan waktu pematangan seksual awal yaitu 7 jam setelah keluar dari pupa) (Walter, 1938).

Masa dewasa D. melanogaster, Meigen biasanya mempunyai panjang 2-3 mm dengan betina lebih

besar daripada jantan. D. melanogaster, Meigen yang didapatkan di alam disebut sebagai lalat buah “wild type” (jenis/tipe liar) mempunyai badan berwarna abu-abu dan mata merah. Lalat jantan dapat dibedakan dari betina dengan adanya : sisir kelamin pada sepasang kaki depan (segmen metatarsal pertama), ujung abdomen membulat dengan pita hitam yang merupakan penyatuan beberapa segmen dosal dari abdomen dan akhir bagian ventral terdapat penis dan klaspen (dari ovipositor) (Herskowitz, 1965 ; Strickberger, 1962 ; Yasin, 1989). Siklus hidup D. melanogaster, Meigen pada suhu optimum untuk pekembangannya (250C) adalah : 0 jam (0 hari) telur diletakkan ; 0-22 jam (0-1 hari) embrio ; 22 jam (1 hari) menetas dari telur (instar pertama) ; 47 jam (2 hari) instar kedua ; 70 jam (3 hari) instar ketiga ; 118 jam (5 hari) pembentukan puparium ; 122 jam (5 hari) instar keempat ; 130 jam (5,5 hari) pupa ; 167 jam (7 hari) pigmentasi mata pupa ; 214 jam (9 hari) imago keluar dari puparium dengan sayap yang melekuk dan berlipat dan merupakan stadium dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa D. melanogaster, Meigen mengalami metamorfosis sempurna selama siklus hidupnya. Walapun fertilisasi biasanya dapat terjadi setelah 24 jam dalam stadium dewasa, peletakan telur umumnya baru dilakukan setelah 2 hari dengan 50-75 telur setiap hari (kemungkinan maksimum total 400-500 dalam 10 hari, yang merupakan waktu generasi). Lalat dewasa dapat hidup selama 10 minggu (Herskowitz, 1965 ; Strickberger, 1962).

Gambar 1. D. melanogaster, Meigen jantan (♂) dan betina (♀) stadium dewasa (Strickberger, 1962 setelah Morgan dan Utami, 1996)Telur D. melanogaster, Meigen berbentuk ovoid dengan adanya “sayap air” yang mencegah telur agar tidak tenggelam dan terbenam dalam medium

semicair. (Bursell, 1970 ; Strickberger, 1962). Larva D. melanogaster, Meigen berwarna putih,

bersegmen dan bertipe vermiform. Pada segmen

Page 9: Jurnal FK Ed-3

______________________________________________________________Studi pendahuluan analisis mutasi ... (Sri Lestari Utami)

10

kepala dalam prothoraks dan thorasik tidak terdapat lengan. Tubuh berubah meruncing dan menajam pada ujungnya. Kepala berbentuk globular dan mempunyai warna yang sama dengan dada dan perut, dengan lebar lebih pendek daripada prothoraks dan perut. Antena dan ocelli menghilang. Kulitnya pada permulaan stadium tidak begitu kuat tetapi larva kecil muda secara periodik akan menambahkan kulit hingga mencapai ukuran dewasa. Pada beberapa keadaan disebut dengan belatung. Selama tiap periode di antara belatung Selama tiap periode di antara belatung, larva disebut dengan instar. Setiap instar ditunjukkan oleh perbedaan ukuran larva dan jumlah gigi pada kait rahang yang berwarna hitam. Sedangkan perkembangan larva hingga membentuk pupa meliputi reorganisasi seluler dalam differensiasi pertama dari sel epidermal, mulai terjadi differensiasi progresif dari sel somtik dan jaringan menuju kondisi dewasa, pembentukan organ-organ dalam atau alat-alat tambahan untuk dewasa yaitu antena, bagian-bagian mulut, kaki, sayap dan genitalia eksternal. (Borror, Triplehorn dan Johnson, 1989 ; Bursell, 1970 ; Metcalf dan Flint, 1973 ; Strickberger, 1962)

Pada stadium pupa terjadi perubahan organ larva menjadi organ imago, meskipun beberapa organ larva masih ada yang terbawa menjadi organ imago. Organisme terdapat dalam peti seperti biji yang keras atau puparium (merupakan kulit larva yang kering), yang menutupi semua alat-alat tambahan sehingga bertipe koarktat. (Borror, Triplehorn dan Johnson, 1989 ; Bursell, 1970 ; Sastrodihardjo, 1984)

Deskripsi D. melanogaster, Meigen pada stadium dewasa diantaranya, yaitu tubuh terdiri atas caput/kepala, thorax/dada dan abdomen/perut. Pada kepala yang tersusun atas 6 somit menjadi satu terdapat sepasang antena, mata dan mulut dengan bagian-bagiannya. Dada terdiri dari 3 somit, yaitu prothorax/dada depan, mesothorax/dada tengah dan metathorax/dada belakang serta terdapat 3 pasang kaki yang beruas-ruas pada tiap somit dan sepasang sayap pada dada tengah. Pada somit perut terdiri atas 3 bagian, yaitu dorsum/atas, pleura/samping dan venter/bawah. Garis dorso-pleura terdapat di antara dorsum dan pleura, sedangkan garis pleura-ventral di antara pleura dan venter. Sayap pada dada tengah lebar dan lebih panjang daripada dada serta membulat di bagian ujung, yang merupakan pertumbuhan daerah tergum dan pleura. Pada sayap tedapat berbagai cabang tabung

pernapasan (trakea). Tabung ini mengalami penebalan sehingga dari luar tampak seperti jari-jari sayap. Oleh karenanya tabung berfungsi ganda sebagai pembawa oksigen dan penguat sayap. Semua bagian-bagian tubuh dari D. melanogaster, Meigen dewasa ini juga terdapat pada imago yang baru keluar dari pupa. Perbedaanya hanya adanya penyempurnaan bentuk dan fungsi organ dalam tubuh (Borror, Triplehorn and Johnson, 1989 ; Bursell, 1970 ; Metcalf and Flint, 1973 ; Sastrodihardjo, 1984 ; Yasin, 1989).

Kromosom (sebagai pembawa bahan keturunan) pada D. melanogaster, Meigen berjumlah 8, yaitu 6 autosom (kromosom somatik) dan 2 gonosom (kromosom seks). Komposisi basa nitrogen pada D. melanogaster, Meigen adalah adenin = 30,7% ; guanin = 19,6% ; sitosin = 20,2% dan timin = 29,4% (Gardner, Simmons and Snustad, 1991 ; Suryo, 1986).

Sebagian besar mutasi yang terjadi bersifat merugikan organisme dan dijaga pada frekuensi rendah dalam populasi oleh seleksi alam. Sementara organisme mutan yang terbentuk karena mutasi biasanya tidak mampu bersaing sama kuat dengan individu-individu wild type karena terjadinya penurunan daya tahan hidup dan/atau kapasitas reproduktif yang lebih rendah daripada wild type. Diantara hasil mutasi oleh mutagen adalah mutasi visible (yang terlihat), yang mempengaruhi perangai morfologi dan mutasi letal. Mutasi letal umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan gen untuk menghasilkan bentuk aktif protein yang tak dapat ditiadakan. Mutasi letal pada diploid memiliki kemampuan membunuh oganisme secara langsung atau menghalanginya dari berbiak (kematian genetik). Mutasi letal atau steril dominan pada organisme diploid tidak dapat dipertahankan melalui satu generasi, tetapi tidak berlaku untuk letal-letal resesif karena selalu bergabung dengan alel dominan (dapat dipertahankan tanpa batas pada kondisi heterozigot).

Radiasi mensuplai energi dalam bentuk yang berbeda, yaitu panas, aktivasi atau eksitasi dan ionisasi. Sinar UV merupakan radiasi non-ionisasi dengan kemampuan daya tembus dalam sel yang lebih kecil dibandingkan dengan gelombang elektromagnetik yang lebih pendek, seperti sinar X. Walaupun begitu sinar UV juga menghasilkan mutasi gen dan eberasi kromosom, karena absorbsi yang besar oleh asam nukleat. Seperti yang ditunjukkan oleh Noethling dan Stubbe yang mengirradiasi serbuk sari Antirrhinum ataupun

Page 10: Jurnal FK Ed-3

______________________________________________________________Studi pendahuluan analisis mutasi ... (Sri Lestari Utami)

11

oleh Stadler dan Uber pada serbuk sari jagung, bahwa potensi spektum sinar UV sebagai mutagn paralel dengan tingkat absorbsi panjang gelombang tertentu dalam asam nukleat (Sinnot et. al., 1958). Absorbsi yang bsar oleh asam nukleat diantaranya pirimidin, menyebabkan terjadinya pirimidin hidrat dan pirimidin dimer. Beberapa peristiwa menunjukkan bahwa dimerisasi timin (studi in vitro) mungkin merupakan akibat mutagenik sinar UV. Adanya kerusakan pada dimerisasi timin akan merangsang terjadinya proses perbaikan kerusakan ADN (repair DNA systems), yang meliputi fotoreaktivasi dan postreplikasi perbaikan rekombinasi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penyinaran dengan sinar UV (pada = 254 nm dan perbedaan lama penyinaran) pada larva D. melanogaster, Meigen terhadap perkembangannya hingga dewasa dan perubahannya (meliputi jumlah imago yang hidup, jumlah mutan dan fertilitas saat dewasa).

Hipotesis penelitian ini adalah adanya perbedaan jumlah imago yang hidup, jumlah mutan dan fertilitas D. melanogaster, Meigen dewasa pada larva D. melanogaster, Meigen yang disinari dengan sinar UV pada lama penyinaran yang berbeda dan yang tidak disinari. BAHAN DAN CARA

Obyek atau sampel penelitian yang digunakan adalah larva D. melanogaster, Meigen yang dikembangbiakkan dari D. melanogaster, Meigen “wild type” strain Canton dengan jenis kelamin jantan dan betina. Sedangkan sinar UV yang digunakan berasal dari lampu UV dengan = 254 nm.

Media D. melanogaster, Meigen yang digunakan adalah media pisang-agar, yaitu dengan mencampurkan pisang ambon dan agar bubuk serta difermentasi dengan ragi. Media ini dimasukkan dalam botol-botol yang diberi sumbat gabus dan kemudia disterilkan sebelum dipakai.

Jantan dan betina D. melanogaster, Meigen yang digunakan untuk menghasilkan obyek penelitian harus virgin dan baru memasuki masa dewasa. Cara yang digunakan yaitu dengan mengisolasi individu-individu imago setiap satu jam sekali pada botol-botol yang terpisah menurut jenis kelaminnya.

Obyek penelitian dipersiapkan dengan memasukkan 20 jantan dan 40 betina D. melanogaster, Meigen virgin yang berusia sama (lebih dari 7 jam) dalam beberapa botol yang telah diberi

media setinggi 0,3 cm. Setelah telur menetas menjadi larva instar pada hari ketiga maka D. melanogaster, Meigen jantan dan betina dikeluarkan dan siap untuk diperlakukan.

Terdapat 5 perlakuan yang berbeda dalam kelompok A – E dengan masing-masing kelompok perlakuan ini dilakukan 5 kali ulangan. Kelompok A : kelompok kontrol, tidak disinari dengan sinar UV Kelompok B : setiap larva disinari dengan sinar UV selama 10 menit Kelompok C : setiap larva disinari dengan sinar UV selama 20 menit Kelompok D : setiap larva disinari dengan sinar UV selama 30 menit Kelompok E : setiap larva disinari dengan sinar UV selama 40 menit Setelah disinari dengan sinar UV maka botol sampel akan ditambah dengan media sebelum ditutup kembali dengan tutup gabus. Larva dibiarkan berkembang hingga menjadi imago D. melanogaster, Meigen. Setiap imago diisolasi dalam botol-botol tersendiri dan dilakukan setiap 1 jam sekali

Imago yang hidup pada botol-botol isolasi dihitung jumlahnya dan diamati dengan mikroskop binokuler untuk mengamati kelainan sifat fenotipnya (deskripsinya sesuai dengan rumusan Strickberger, 1962 : sifat fenotip pada mutasi D. melanogaster, Meigen). Setelah itu D. melanogaster, Meigen dewasa yang normal akan dikawinkan sesamanya (yang perlakuan dan ulangannya sama). Apabila perkawinan ini tidak menghasilkan anak maka akan dikawinkan dengan jantan atau betina D. melanogaster, Meigen wild type virgin untuk mengetahui fertilitasnya.

Semua perlakuan dan pemeliharaan D. melanogaster, Meigen dilakukan pada ruangan khusus yang bersuhu 250C.

Data yang diperoleh berupa data diskrit (jumlah imago yang hidup dan jumlah mutan) dan data rasio (fertilitas atau sifat fertil D. melanogaster, Meigen dewasa), sehingga akan ditransformasi dengan menggunakan transformasi akar kuadrat. Kemudian akan dianalisa dengan Analisis Varians (Anava) Satu Arah untuk Desain Acak Sempurna dengan Model Tetap dan Uji BNJ (Beda Nyata Jujur) jika Ho ditolak (ada beda nyata). HASIL

Jumlah imago yang hidup pada penyinaran sinar UV dengan = 254 nm terhadap larva D. melanogaster, Meigen menunjukkan adanya

Page 11: Jurnal FK Ed-3

______________________________________________________________Studi pendahuluan analisis mutasi ... (Sri Lestari Utami)

12

perbedaan yang signifikan (terdapat beda nyata atau Ho ditolak dengan nilai Fhitung > Ftabel pada p<0,05), dimana datanya dapat dilihat pada Tabel 1. Sedangkan nilai Anava yang didapat adalah = Fhitung : 1885,312 > Ftabel : 2,87 pada p<0,05. Sementara hasil uji BNJ (Tabel 2) sebagai perbandingan antar kelompok-kelompok perlakuan (setiap 2 perlakuan) menunjukkan

bahwa nilai selisih rata-rata perlakuan akan linier dengan besar selisih waktu perlakuan (menit). Hal ini menunjukkan semakin lama penyinaran maka makin sedikit jumlah imago yang hidup dari penyinaran dengan sinar UV pada = 254 nm terhadap larva D. melanogaster, Meigen .

Tabel 1. Jumlah imago yang hidup pada penyinaran dengan sinar UV pada = 254 nm terhadap larva D.

melanogaster, Meigen

Tabel 2. Hasil uji BNJ pada jumlah imago yang hidup dari larva D. melanogaster, Meigen yang disinari dengan

sinar UV pada = 254 nm.

Kombinasi perlakuan (menit)

Selisih rata-rata perlakuan

Nilai BNJ

Uji BNJ

Selisih waktu perlakuan (menit)

10 >< 20 20 >< 30 30 >< 40 10 >< 30 20 >< 40 K >< 10 10 >< 40 K >< 20 K >< 30 K >< 40

0,636 1,051 1,386 1,687 2,437 2,888 3,073 3,524 4,575 5,961

0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14 0,14

beda nyata beda nyata beda nyata beda nyata beda nyata beda nyata beda nyata beda nyata beda nyata beda nyata

10 10 10 20 20 10 30 20 30 40

Jumlah mutan yang hidup pada penyinaran

sinar UV dengan = 254 nm terhadap telur D. melanogaster, Meigen menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (terdapat beda nyata dengan nilai Anava yang didapat adalah = Fhitung :

403,287 > Ftabel : 2,87 pada p<0,05), dimana datanya dapat dilihat pada Tabel 3. Sedang untuk mutan-mutannya yang diidentifikasi dengan rumusan Strickberger (1962) akan mempunyai fenotip seperti yang tampak pada Ilustrasi.

Sementara dari hasil uji BNJ (Tabel 4) sebagai perbandingan antar kelompok perlakuan (setiap 2 kelompok perlakuan) menunjukkan hasil yang berbeda dengan jumlah imago yang hidup pada penyinaran dengan sinar UV pada = 254 nm

tterhadap larva D. melanogaster, Meigen. Walaupun terdapat beda nyata antar perlakuan tetapi ini hanya terjadi pada 3 kombinasi perlakuan, yaitu antara 30 menit dengan kontrol, 10 menit dengan kontrol dan 30 menit dengan 10 menit. Sedangkan

Ulangan

Jumlah imago hidup (individu)

Perlakuan

Kontrol (Klp A)

10 menit (Klp B)

20 menit (Klp C)

30 menit (Klp D)

40 menit (Klp E)

I II III IV V

121 120 121 117 115

67 62 66 64 62

53 56 53 54 56

39 41 40 39 41

24 26 24 25 23

Page 12: Jurnal FK Ed-3

______________________________________________________________Studi pendahuluan analisis mutasi ... (Sri Lestari Utami)

8

pada perbandingan antar kelompok perlakuan yang lain didapatkan nilai yang tidak signifikan

(tidak beda nyata).

Tabel 4. Hasil uji BNJ pada jumlah mutan D. melanogaster, Meigen dari larva D. melanogaster, Meigen yang disinari dengan sinar UV pada = 254 nm

Kombinasi Perlakuan (menit)

Selisih rata-rata

perlakuan

Nilai BNJ

Uji BNJ

Selisih waktu perlakuan (menit)

30 >< K 10 >< K 30 >< 10 20 >< 30 20 >< 10 20 >< 40 20 >< K 30 >< 40 10 >< 40 40 >< K

1,049 1,049 1,259 0,21 0,21 0,0

0,659 0,449 0,449 0,6

0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7 0,7

beda nyata beda nyata beda nyata

tidak beda nyata tidak beda nyata tidak beda nyata tidak beda nyata tidak beda nyata tidak beda nyata tidak beda nyata

30 10 20

Sedangkan jumlah individu yang fertil

(fertilitas dari D. melanogaster, Meigen dewasa) pada penyinaran dengan sinar UV pada = 254 nm terhadap larva D. melanogaster, Meigen menunjukkan

tidak adanya perbedaan yang signifikan (tidak ada beda nyata dengan nilai Anava yang didapat adalah = Fhitung : 1,0 < Ftabel : 2,87 pada p<0,05), dimana datanya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel Ilustrasi. Kelainan fenotip akibat penyinaran dengan sinar UV pada = 254 nm terhadap

larva D. melanogaster, Meigen dan gambarnya.

Mutan Fenotip

Page 13: Jurnal FK Ed-3

______________________________________________________________Studi pendahuluan analisis mutasi ... (Sri Lestari Utami)

8

abero (abr)

pita-pita pada abdomen (a) dan tepi sayap (b) yang tidak teratur (irregular), dengan mata kasar, bulu jarang, fertilitas dan viabilitas rendah. Sedangkan gambarnya adalah :

Gull (G)

sayap menyimpang keluar dari sisi-sisi tubuh pada sudut 450 sampai 900 dan membengkok ke bawah. Bulu-bulu kepala vertical dan thorasik umumnya terduplikasi. Homozigot letal. Barangkali defisiensi atau merupakan suatu alel pada fat.

Tabel 5. Sifat fertil dari D. melanogaster, Meigen dewasa pada penyinaran dengan sinar UV pada = 254 nm terhadap larva D. melanogaster, Meigen.

Page 14: Jurnal FK Ed-3

______________________________________________________________Studi pendahuluan analisis mutasi ... (Sri Lestari Utami)

9

* : terdapat satu ekor D. melanogaster, Meigen yang bersifat steril, yaitu mutan abero. PEMBAHASAN

Adanya penurunan jumlah imago yang hidup akibat penyinaran dengan sinar UV pada = 254 nm terhadap larva D. melanogaster, Meigen yang linier dengan lama penyinaran diasumsikan sebagai adanya mutasi letal karena kerusakan ADN yang bertambah banyak seiring dengan lamanya penyinaran. Hal ini juga berlaku pada jumlah mutan D. melanogaster, Meigen, walapun pada uji antar kelompok-kelompok perlakuan hanya ada 3 kombinasi antara 2 perlakuan yang menunjukkan adanya perbedaan yang signikans. Dari 3 kombinasi perlakuan tersebut mempunyai selisih waktu perlakuan 10 menit, 20 menit dan 30 menit, tetapi hal ini tidak terlihat pada lama penyinaran 40 menit. Hal ini mungkin disebabkan oleh lama penyinaran yang lama sehingga adanya kesalahan pada proses perbaikan ADN yang dilakukan sangat sedikit. Sehingga terdapat pengaruh penyinaran dengan sinar UV pada = 254 nm terhadap larva D. melanogaster, Meigen terhadap perkembangannya hingga dewasa dan perubahannya, yaitu pada jumlah imago dan jumlah mutan pada 3 kombinasi perlakuan tersebut.

Mutasi dapat terjadi walaupun sudah terdapat proses perbaikan pada kerusakan ADN karena bertambahnya frekuensi basa-basa yang tidak berpasangan, yang lolos dari proses perbaikan yang mengakibatkan perubahan pita asli dari ADN (Schleif, 1985). Selain itu Watson et. al. (1987), Elseth dan Baumgadner (1984) dan Bainbridge (1987) menyebutkan bahwa yang paling bertanggung jawab pada keadaan ini adalah proses perbaikan ADN ”SOS”, karena prosesnya yang dapat menyebabkan mutasi akibat induksi UV ketika menyampaikan basa ADN yang salah.

Sementara mutan-mutan yang dihasilkan menunjukkan bahwa perubahan fenotip yang terjadi terkait dengan lapisan embrional ektoderm yang terkena langsung sinar UV yang menembus lapisan permukaan larva D. melanogaster, Meigen. Hal ini disebabkan adanya pembentukan pirimidin hidrat dan timin dimer pada absorbsi sinar UV pada = 254 nm oleh asam nukleat. Timin dimer dan pirimidin hidrat menyebabkan mutasi tidak langsung dalam dua cara, yaitu :

1. mengacaukan “double helix” ADN dan mencampuri keakuratan replikasi ADN,

2. mengadakan perbaikan ADN (DNA repair systems) yang telah rusak yang bahkan akan mengakibatkan bertambahnya jumlah gen esensial, tempat sisi mutasi letal terjadi.

Keadaan tersebut merupakan kegagalan dan kesalah fungsi ADN. Sementara pada penelitian sebelumnya oleh Harris P.V. dan Boyd J.B. (1988) disimpulkan bahwa pirimidin dimer pada kromatin Drosophila akan bertambah setelah irradiasi sinar UV. (Garder, Simmons and Snustad, 1991 ; Shull, 1948 ; Sinnot et. al. 1958).

Sifat mutan yang terjadi pada abero dan Gull adalah kelainan pada sayap, pita-pita abdomen dan bulu-bulu thorasik. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan yang terkena adalah lapisan ektoderm. Sinar UV tidak dapat menembus lapisan mesoderm karena sifat steril sebagai akibat dari penyinaran UV tidak terjadi. Lapisan mesoderm akan berkembang menjadi kelenjar-kelenjar kelamin pada proses differensiasi dan spesialisasi.

Walapun begitu ada D. melanogaster, Meigen mutan yang bersifat steril, yaitu abero. Hal ini disebabkan karena adanya pita-pita abdomen dengan kerusakan yang sangat parah sehingga lubang vaginal pada betina atau arkus genital pada

Ulangan

Sifat fertil (individu)

Perlakuan

Kontrol (Klp A)

10 menit (Klp B)

20 menit (Klp C)

30 menit (Klp D)

40 menit (Klp E)

I II III IV V

121 120 121 117 115

67 62 66 64 62

53 56 53 54 56

39 41 39* 39 41

24 26 24 25 23

Page 15: Jurnal FK Ed-3

_____________________________________________________________Studi Pendahuluan Analisis Mutasi ...(Sri Lestari Utami)

15

jantan tidak teratur dan sulit untuk mengadakan perkawinan.

Mutasi yang terjadi pada penyinaran dengan sinar UV terhadap larva D. melanogaster, Meigen menghasilkan mutan abero lebih banyak. Hal ini disebabkan oleh besarnya daerah permukaan pada lapisan sel yang membentuk abdomen yang disinari oleh siner UV, sehingga sinar UV yang diserap lebih banyak. Akibatnya kemungkinan untuk mengalami kerusakan lebih besar dan lebih mudah.

KESIMPULAN 1. Penyinaran dengan sinar UV pada = 254 nm

terhadap larva D. melanogaster, Meigen menyebabkan adanya perbedaan nyata (efek yang signifikans) pada jumlah imago yang hidup dan jumlah mutan D. melanogaster, Meigen, tetapi tidak menunjukkan adanya efek yang signifikans pada pengamatan fertilitas pada D. melanogaster, Meigen dewasa.

2. Semakin lama penyinaran dengan sinar UV pada = 254 nm terhadap larva D. melanogaster, Meigen menunjukkan semakin sedikit jumlah imago yang hidup. Sedangkan pada jumlah mutannya hanya ada 3 kombinasi perlakuan, yaitu antara 10 menit dengan kontrol (selisih waktu 10 menit), 30 menit dengan 10 menit (selisih waktu 20 menit) dan 30 menit dengan kontrol (selisih waktu 30 menit) yang menunjukkan adanya nilai yang signifikans (beda nyata). Sementara yang selisih waktu 40 menit tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata.

3. Terdapat pengaruh penyinaran dengan sinar UV pada = 254 nm dan lamanya waktu penyinaran terhadap larva D. melanogaster, Meigen pada perkembangannya hingga dewasa dan perubahannya, yaitu pada jumlah imago dan jumlah mutan pada 3 kombinasi perlakuan, tetapi tidak berpengaruh pada fertilitasnya.

DAFTAR PUSTAKA Bainbridge, BW., 1987. Genetics of Microbes, edisi 2,

Chapman : Hall dan Methuen Inc., hal. 168-180.

Borror, DJ., ; Triplehorn, CA. and Johnson, NF., 1982. Pengenalan Pelajaran Serangga, edisi 6,

Gadjah Mada University Press., Yogyakarta, hal. 79-91 dan 617-710.

Bursell, E., 1970. An Introduction to Insect Physiology, Academic Press Inc. Ltd., London, hal. 185-189 dan 203.

Elseth, GD., dan Baumgardner, KD., 1991. Principles of Genetics, edisi 7, John Wiley and Sons Inc., USA, hal. 292-297.

Gardner, EJ. and Snustad, DP., 1984. Principles of Genetics, 7th edition, John Wiley and Sons Inc., USA, hal. 292-297.

Herskowitz, IH., 1965. Genetics, 2nd edition, Little Brown Company, Boston and Toronto (USA), hal. 23-25.

Metcalf, CL and Flint, WP., 1973. Destructive and Useful Insect : Their Habits and Control, 4th edition, Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd., New Delhi, hal. 193-199 dan 293-309.

Nussbaum, RL., McInnes, RR. and Willard, HF., 2007. Thompsom & Thompson : Genetics in Medicine, 7th edition, Saunders-Elsevier Inc., Kanada, hal. 5-10.

Sastrodihardjo, 1984. Pengantar Entomologi Terapan, Penerbit Sinar Wijaya, hal. 36 dan 19-21.

Schleif, R., 1985. Genetics and Molecular Biology, The Benjamin/Cummings Publishing Company Inc., hal. 192.

Shull, AF., 1948. Heredity, 4th edition, McGraw-Hill Book Company Ltd., New York (USA), hal. 153 dan 183.

Sinnot, et. al., 1958. Principles of Genetics, 5th edition, McGraw-Hill Book Company Inc., hal. 169 dan 237-239.

Strickberger, MW., 1962. Experiments in Genetics with Drosophila, John Wiley and Sons Inc., New York, hal. 4-18.

Suryo, 1986. Genetika Manusia, Gadjah Mada University Press., Yogyakarta.

Walter, HE., 1938. Genetics. 4th edition, The MacMillan Company, New York.

Watson, JD. ; Hopkins, NH. ; Roberts, JW. ; Steitz, JA. dan Weiner, AM., 1987. Molecular Biology of the Genes, The Benjamin/Cummings Publishing Company Inc., hal. 354.

Yasin, M., 1989. Sistematika Hewan (Invertebrata danVertebrata) untuk Universitas, Penerbit SinarWijaya, hal 161-165 dan 187-1

Page 16: Jurnal FK Ed-3

_____________________________________________________________Studi Pendahuluan Analisis Mutasi ...(Sri Lestari Utami)

15

Page 17: Jurnal FK Ed-3

__________________________________________________________________Langerhans cell histiocytosis (Jimmy Hadi Widjaja)

17

LANGERHANS CELL HISTIOCYTOSIS

Jimmy Hadi Widjaja

Dosen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran UWKS Peserta PPDS Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran UNAIR

ABSTRACT

A case of Langerhans cell histiocytosis in a 1- year- Javanese boy was reported. He was brought to our hospital because of skin rashes. Skin rashes was seen 1 month before, on his trunk, palm, sole and scalp. His abdomen was distended. There were enlargement of lymphnodes back of ear and cervical. There was no gum bleeding and epistaxis but there was febrile, pale, jaundice and otitis media. The laboratory and radiographic investigation: the hemoglobin was 7 g/dl. The peripheral smear showed normocytic normochromic anemia with normal platelet. The abdominal sono-graphy revealed hepatospenomegaly. The skull radiograph was normal. Diagnosis was established by clinical appearance, laboratory and histopathology examination. Histopathology examination : Langerhans cell histiocytosis . He was treatment with prednisone 50 mg/ m2 daily than tapering off for 2 weeks, cyclophospamide 200 /m2 once weekly, introduction phase was 8 weeks than continued with maintenance phase until 6 months. Maintenance phase consisted of: prednisone 50 mg/m2 daily for a week every 1 month, Metotrexate 20 mg/m2 once weekly per oral, cyclophospamide 200 mg/m2 once weekly per oral. Key words: Langerhans Cell Histiocytosis, Chemotherapy INTRODUCTION The clinical presentation of Langerhans Cell Histiocystosis is highly variable. Almost every organ in the body can be effected. This case repport is hoped to be able to contribute a more detailed features about the prognosis and theraphy of this disease. Furthermore, it also about explained the importance of histophathology in making the diagnosis. CASE REPORT AP, one year old boy, came to pediatric out patient clinic Dr.Soetomo Hospital, at May 6, 2005. He had main complain skin rash accompanied by fever. Skin rash was seen one month before hospitalization, on his back, buttock, stomach, both of palms and soles, and head. His abdomen was distended. There enlargement of lymphnodes back of ear and cervical since 2 weeks. Ten days before admission, he suffered from fever, cough, coryza and diarrhea. The stool and urine were normal. He was brought to public health centre, but there was no improvement of the sign and symptoms, five days later his conditions became decrease, he looked pale and weak, then he was brought to Mojokerto hospital, He got transfusion because his hemoglobin was 7. There was no gum bleeding nor epistaxis. His abdomen became bigger. There was no history of the same disease on his family. He was born fully term with

spontaneous delivery and his birth weight was 3 kg. He had got immunization completely (BCG, DPT, Polio, measles). Growth and development were normal. Physical examination on admission revealed: General status Body weight : 9 kg Pulse rate : 180x/m, RR: 28x/m BT: 37,5oC Head and neck : conjunctiva: rather anemis, sclera: no icteric, Nose: no dyspnoe, lip : no cyanosis Cor : S1-S2 reguler, murmur-,

gallop- Pulmo : Vesiculer +/+, rh-/-, wh-

/- Abdomen : Hepar: papable 5x5x4

BRCM (Below Right Costal Margin)

Lien : Schuffner IV, no tenderness

Lymphnodes : Back of ear and cervical were enlargement

Dermatological Status Regio head, neck, back, stomach, buttock, both of palm and soles There were petechiae and yellow brown papules topped with scale and crust. The papules were

Page 18: Jurnal FK Ed-3

__________________________________________________________________Langerhans cell histiocytosis (Jimmy Hadi Widjaja)

18

coalesce to form an erythematous weeping eruption mimicking seborrheic dermatitis. Regio Mouth

There was an ulcerative white plaques Assessment Suspect Langerhans Cell Histiocytosis Differential diagnose: Leukemia Planning Diagnose:

Blood, urine, LFT, RFT examination Peripheral blood smear examination Skin biopsy for Histopathology examination. Bone marrow aspiration (BMA) Ro. Scull Anteroposterior and chest

Laboratory examination

Hb: 11,4 WB : 4900 Diffcount: 2/-/1/37/58/2 RBC: 4.360.000 Platelets: 151.000

SGOT/ SGPT : 23/ 22 Albumin : 2,6 Globulin : 2,6

BUN/ Creatinin : 96/1,0 Bilirubin direct/ indirect: 2,8/ 5,7 Feses examination: Leuco/ ery/ ascaris/

cysteamuba: -/-/-/- Amylum + Result Radiology examination

Thorax: Bronchopneumonia Skull: within normal limit. There was no

osteolytic lesions Result from Bone Marrow Aspiration: normal marrow

Result Histopathology :

Proliferation of histiocytes with oval-nucleus and abundant foamy cytoplasm, eosinophyl, multinucleated giant cells Langerhans’ cell histiocytosis FOLLOW UP 15/05/2005 S : Fever +, skin and eye looked yellowish,

cough+, defecation: brown stool, Urinate: like tea, discharge from right ear (brown, no smelt)

O : Look weak, BT: 38, RR: 40OC, PR: 160x/m Sclera: icteric+/+, conjunctiva : anemis+/+, Abdomen: Distended+, ascites+ Lab: Billirubin direct: 2,8, total: 5,7 mg/dl, RBC: 4.300.000, WBC: 2500

Plateletes: 11.000, Blood culture: coccus gram negative and E.coli

A : Langerhans cell histiocytosis P : Infus D5 ¼ NS 500 cc, Transfusion of

pack red cell 2x70cc (2 days) pre lasix 9 mg IV and post Ca Gluconas 0,7 cc( bolus ), Cefotaxim 3x 300 mg IV, O2 nasal, Imboost 1x1 cth

: Consult to ENT department otitis externa D/S tampon burowi

Burowi ear drop each 3 hour two days later aff tampon : Tampon aff otopain ear drop

Page 19: Jurnal FK Ed-3

__________________________________________________________________Langerhans cell histiocytosis (Jimmy Hadi Widjaja)

19

Paracetamol pro renata, Diet High kalori and protein. 17/05/2005 Vinblastine 2,6 mg in 200 cc D5 ¼ S 18/05/2005 Prednison tab 2-2-1 and Metotrexate 8 mg IV, Leucovorin 6 mg IV every six hour (for 3 days) 19/05/2005 Cyclophosphamide 80 mg drip 26/05/2005 Tranfusion Pack red cell 75 cc (2X) 3/06/2005 S : Fever, nausea+, vomit+, skin

rash more severe, cough + O : Looked weak, BT: 38OC, RR:

24x/m, Sclera icteric+ : Abd: distended, Hepar II-IV, Spleen S III

Lab: SGOT/SGPT: 16/36, Billirubin direct/ indirect/tot: 1,0/4,8/5,8 Hb: 10,5, WBC 3500, Plateletes: 248.000

P : Diet High calory and protein: 900 cal sonde, D5 ¼ S 1000 cc, Prednison 2-2-1, Vinblastine 2,6 mg diluted with 250 cc NaCl 0,9 % drip in 2 hour. Mycostatin oral drop 2x 0,5 cc Infus D5 ¼ NS 500 cc/24 hour, Clindamycin 4x50 mg, Allopurinol 2x100 mg , multivit 1x1 tea spoon.Urdakalk 3x 80 4/06/05 metotrexate 8 mg diluted with 20 cc NS IV. 5/06/05 Cyclophosphamide 8 mg drip in D5 ¼ NS 250 cc 20 gtt/m

Pictures: The first time when he hospitalized to Dr Soetomo Hospital. There were petechiae and yellow- brown papules top with scale and crust. Pictures of head the papules were coalesce to form an erythematous weeping eruption mimicking seborrheic dermatitis.

Page 20: Jurnal FK Ed-3

_________________________________________________________________Langerhans Cell Histiocytosis(Jimmy Hadi Widjaja)

20

DISCUSSION Patient came to Dr. Soetomo Hospital with main complain “skin rash” on the head, neck, both of palm and soles, and trunk. Another sign and symptom were found: fever, cough, diarrhea, otitis, anemia and hepatosplenomegaly. Laboratory examinations revealed severe anemia. These clinical symptoms and signs can be found in Leukemia or Histiocytosis. Bone marrow aspiration and skin biopsy had been done. The diagnoses was Langerhans Cell Histiocytosis. The clinical presentation of Langerhans cell histiocytosis is highly variable. Patients with acute disseminated LCH (multi-organ involvement) present with fever; anemia; thrombocytopenia; pulmonary infiltrates; skin lesions; and enlargement of the lymph nodes, the spleen, and the liver.

Almost every organ in the body can be affected. Prognosis and treatment depend on the number of organ systems involved. Single bony lesions may resolve spontaneously or require only curettage. Multi-organ diseases may require chemotherapy, as in case. REFERENCES Hurwitz S, 1993, Clinical Pediatric Dermatology,

WB Sounders, Philadelphia, p68-77. Juan Rosai, 2004, Surgical Pathology, Elsevier inc,

p1913-1915. Vinay Kumar, abul abbas, 2004, Pathologic Basis

of Disease, 7th edition, Elsevier Saunders, Philadelphia, p701-702.

Stacey E. mills, 2004, Diagnostic Surgical Pathology, 4th edition, Lippincott William & Wilkins, Philadelphia, p308-309.

Page 21: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________________________Pengeruh uji invivo .... (Fadli Ama)

21

PENGARUH UJI INVIVO HIPERTERMIA TERHADAP DAYA PEMBANGKIT GELOMBANG MIKRO 2450 MHz

THE EFFECT OF TEST HYPERTHERMIA INVIVO WITH MICROWAVE GENERATOR

POWER 2450 MHz

Fadli Ama

Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Surabaya 60225. Email : [email protected]

ABSTRACT

Hyperthermia gives new hope for the patients and is offering faster responses, better cancer control, and fewer side

effects. The aim of this research is getting optimal temperature of hyperthermia and necrosis of tissue. This research method was an experimental with mice as test of invivo experiment. At tail organ of mice was given treatment using prototype hyperthermia microwave with the generator power was 750 watt. It was used for temperature treatment producting at 40 up to 50 centidegrees. The conclusion of this research shows that the optimal of hyperthermia was gotten at temperature 43oC, and the necrosis of tissue was happened at temperature 45oC and 50oC. Key Words : Hyperthermia, Necrosis, Optimal.

ABSTRAK

Terapi hipertermia memberikan harapan baru pada penderita kanker atau tumor dan menawarkan respon yang lebih cepat, pengontrolan kanker lebih baik dan sedikit efek samping. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan suhu optimal hipertermia dan nekrosis jaringan. Metode penelitian ini adalah experimental dengan tikus sebagai uji percobaan invivo. Organ ekor tikus diberikan paparan menggunakan prototipe hipertermia gelombang mikro dengan daya pembangkit adalah 750 watt. Hal itu digunakan untuk menghasilkan paparan suhu 40 sampai 50 derajat celsius. Kesimpulan pada penelitian ini menunjukkan bahwa optimal hipertermia diperoleh pada suhu 43 derajat celsius dan nekrosis jaringan terjadi pada suhu 45 dan 50 derajat celsius. Kata Kunci : Hipertermia, Nekrosis, Optimal.

PENDAHULUAN Tujuan terapi dengan hipertermia adalah

membangkitkan panas yang cukup untuk membunuh sel tumor. Tujuan tersebut akan diperoleh bila telah dibuatkan suatu perangkat hipertermia. Sedangkan pembuatan perangkat ini, didasarkan atas penemuan sebelumnya tentang gelombang elektromagnetika dan pemahaman tentang gelombang mikro.

Penggunaan gelombang elektromagnetik gelombang pendek (27,33 MHz) dan Microwave (2450 MHz) telah lama digunakan untuk memanaskan jaringan yang letaknya di dalam tubuh untuk tujuan pengobatan medis (Guy, James, 1974, 2003).

Studi experimental dan studi klinis, menunjukkan suatu respon fisiologis pada jaringan tubuh bila terjadi pemanasan jaringan pada suhu yang berkisar 41o – 50o Celcius sehingga diperlukan pengaturan temperatur yang tepat agar didapatkan efisiensi terapi.. (Stewart, Song, 1978, 1980)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan suhu optimal hipertermia dan nekrosis jaringan ekor tikus mencit serta untuk menguji kinerja dari prototipe hipertermia microwave.

Pada umumnya, sel jahat (kanker atau tumor) lebih peka terhadap panas daripada sel normal pada suhu di atas 40oC. Secara klinis hampir semua tumor yang tampak (dengan diameter sekitar 1 cm) mempunyai laju peredaran darah kurang dari 1/5 laju jaringan normal bila dipanasi.

Kepekaan termis dinyatakan dengan dosis DO hipertermia. Dosis ini sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk mengamati penurunan banyaknya sel yang tahan hidup dengan faktor е atau rasio ketahanan 37% pada suhu tertentu yang diberikan.

Sedangkan metode hipertermia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hipertermia total dan hipertermia lokal. Membangkitkan hipertermia total berarti menaikkan kuantitas panas tubuh kemudian mempertahankan konstan pada aras yang diinginkan dan mempengaruhi

Page 22: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________________________Pengeruh uji invivo .... (Fadli Ama)

22

fungsi – fungsi fisiologis vital. Sementara itu, reaksi hipertermia lokal adalah kecil dan timbul secara lokal.

Teknik untuk memanasi jaringan biologis ini dilakukan secara elektromagnetik – termik dengan menggunakan gelombang elektromagnetik yang terdiri atas tiga cara, yaitu kapasitif, induktif dan radiatif. (Gambar 1.1)

Gambar 1.1 Teknik hipertermia

Prototipe hipertermia terdiri atas magnetron, pemandu gelombang dan aplikator. Magnetron adalah tabung elektron bertipe diode yang terdiri atas anoda, katode/filamen, antena dan magnet berdaya tinggi yang digunakan untuk menghasilkan energi 2450 MHz di daerah frekuensi gelombang mikro. (Gambar 1.2)

Pemandu gelombang merupakan tabung logam yang berpenampang persegi dan berfungsi untuk menghantarkan pancaran gelombang elektromagnetik. Dan aplikator merupakan rangkaian akhir dari pemandu gelombang, yang dipergunakan untuk mengarahkan energi gelombang mikro ke jaringan.

Gambar 1.2 Struktur dasar magnetron

BAHAN DAN CARA Metoda yang dilakukan dalam penelitian ini

adalah eksperimental secara Invivo dan dilakukan dengan binatang percobaan tikus mencit dengan berat masing – masing (kontrol dan perlakuan) adalah 30 gram.

Pemaparan hipertermia dilakukan terhadap 24 ekor tikus mencit dengan empat kelompok suhu berbeda, yakni; 40oC, 43oC, 45oC, 50oC., yang difokuskan pada organ ekor dan 1 ekor tikus mencit sebagai kontrol (tanpa perlakuan), untuk selanjutnya diamati secara mikroskopis dalam laboratorium Patologi Anatomi.. Sedangkan daya pembangkit gelombang mikro yang dipergunakan dalam uji experimental ini adalah 750 watt.

HASIL Hasil penelitian ini didasarkan pada hasil uji

klinis yang dilakukan di Laboratorium Patologi dan Anatomi. Terdiri atas organ ekor kontrol, serta jaringan ekor terpapar pada 40, 43, 45, dan 50 derajat celcius.

Lemak

Tulang dgn Medulla Ossium

Otot Lurik

Corium

Syaraf

Otot Fragmented

Epidermis

Bulla

Gambar 3.1. Jaringan ekor mencit kontrol Gambar 3.2. Jaringan ekor mencit pada 40oC

Page 23: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________________________Pengaruh Uji Invivo ...(Fadli Ama)

23

Gambar 3.3. Jaringan ekor mencit pada 43oC

Gambar 3.4 Jaringan ekor mencit pada 45oC

Gambar 3.5 Jaringan ekor mencit pada 5

PEMBAHASAN

Hasil uji klinis invivo menunjukkan bahwa pada kontol diperoleh berkas jaringan (otot, tulang, syaraf, corium dan epidermis) yang sangat jelas bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan. Pada kelompok suhu 40 derajat celcius, terjadi perubahan pada jaringan luar (epidermis) dengan sedikit bulla dan batas berkas pada otot, tulang, syaraf, corium masih sangat jelas.

Sedangkan pada kelompok suhu 43 derajat celcius, berkas pada epidermis semakin hilang, berkas corium sedikit jelas dan berkas pada otot,

tulang, saraf masih sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa suhu 43 derajat celcius merupakan kelompok suhu yang optimal untuk perlakuan hipertermia.

Pada kelompok suhu 45 dan 50 derajat celcius, terjadi kerusakan jaringan yang sangat berat pada ekor tikus mencit yang ditandai dengan semakin hilangnya berkas dari otot, tulang dan saraf oleh adanya keberadaan lemak.

KESIMPULAN

Prototipe Hipertermia Microwave mampu membangkitkan panas mulai suhu 40oC, 43oC, 45oC, dan 50oC. Pada suhu 40oC dihasilkan efek hipertermia yang minimal, pada suhu 43oC dihasilkan efek hipertermia yang optimal, dan pada suhu 45oC & 50oC dihasilkan efek nekrosis jaringan ekor tikus yang sangat berat.

DAFTAR PUSTAKA Bicher HI, Hetzel FW, Shandu TS, 1980, “Effects

of Hyperthermia on normal and tumor micro envienment”, Radiology 137: 352.

Curtis C. Johnson, Arthur W. Guy, 1972, “Nonionizing Electromagnetic Wave Effects in Biological Materials and Systems”, Proceeding of I.E.E.E. vol. 60, June 1972.

Dewey WC, Highfield, Freeman ML, 1979, “Cell biology of hyperthermia and radiation”, In : Okada S. 6th International congress Radiat Research Tokyo pp 832.

Eddy H.A, 1980, “Alteration in tumor microvasculature during hyperthermia”, Radiology 137.515.

Guy A.W Lehman J.F., Stone bridge JB, 1974, ”Therapeutic Applications of Electromagnetic Power”, Proceeding of I.E.E.E. January 1974.

James R. Lepock, 2003, “Cellular effects of hyperthermia : relevance to the minimum dose for thermal damage”, Int. J. Hyperthermia, pp 252-266.

Stewart CA, Denekamp j, 1977, “Sensititaion of mouse skin to X irradiation by moderate heating”, Radiology 123.195.

Song CW, 1978, “Effect of hyperthermia on vascular function of normal tissue and experimental tumor”, J. Natl. Cancer Inst. 60: 711.

Page 24: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________________________Pengaruh Uji Invivo ...(Fadli Ama)

24

Song CW, Kang MS, Rhee JG, 1980, “Vascular damage and delayed cell death in tumor after hyperthermia”, Br.J. Cancer 41: 309.

Stewart CA, Denekamp J., 1978, “Therapeutic advantage of combined heat and X ray on mouse fibrosarcoma”, Br. J Radiology.

Vaupel P, Ostheimer K Muller Klieser W., 1980, “Circulatory and metabolic responses of malignant tumors during localized hyperthermia”, J. Cancer Res Clin Oncol. 98 :15.

Webster John G, 1978, “Medical Instrumentation Aplication & Desaign”, Houghton Mifflin Company, Boston.

Page 25: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________________________Pengaruh Uji Invivo ...(Fadli Ama)

25

Page 26: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________________________Pengaruh Uji Invivo ...(Fadli Ama)

26

Page 27: Jurnal FK Ed-3

________________________________________________________________________Genetika kanker (Retno Dwi Wulandari)

25

GENETIKA KANKER

Retno Dwi Wulandari

Dosen Genetika Medik Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Jln. Dukuh Kupang XXV/54 Surabaya 60225 ; Telp/Fax (031) 5670495 Email : [email protected]

ABSTRACT

The goal of this paper is to provide an introduction to genetic bases of cancers and the roles of various genes in the development of cancer cells which will lead to better approaches for cancer diagnosis, treatment, and prevention. Cancers develop due to alterations (mutations) in genes which characterized by uncontrolled cellular proliferation and capable of invading other biological tissues, either direct growth in surrounding tissues (invading) or cells migration to more distant sites (metastasizing). Genes involved in development of cancer are oncogenes, tumor suppressor genes and DNA repair genes. Certain cancers are hereditary, and what can be inherited is an increased susceptibility to developing cancers. Cancers that arise because inherited predisposition are called familial or hereditary cancers, whereas the more common cancers are sporadic or nonhereditary cancers.

Key word : cancer, oncogene, tumor suppressor gene, DNA repair gene

ABSTRAK

Tujuan tulisan ini adalah memberikan dasar-dasar genetika kanker dan peranan berbagai macam gen dalam perkembangan sel-sel kanker yang pada akhirnya dapat memberikan pendekatan yang lebih baik dalam diagnosis kanker, pengobatan, dan pencegahannya. Kanker disebabkan adanya perubahan (mutasi) pada gen yang ditandai dengan pembelahan sel yang tidak terkendali dan mampu menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis). Gen-gen yang terlibat dalam perkembangan kanker adalah onkogen, gen supresor tumor (tumor suppressor genes) dan gen untuk perbaikan kerusakan DNA (DNA repair genes). Yang diwariskan pada kanker adalah kepekaan untuk terkena kanker yang sama. Kanker semacam ini disebut kanker familial atau herediter, sedangkan yang banyak ditemukan adalah kanker yang muncul secara sporadik atau nonherediter. Kata kunci : kanker, onkogen, gen supresor tumor, gen untuk perbaikan kerusakan DNA PENDAHULUAN

Kanker (dalam bahasa Latin berarti kepiting) adalah salah satu penyakit yang dapat mengakibatkan kematian pada penderitanya bila tidak diterapi. Diagnosis dan perawatan dini sangat penting, demikian pula identifikasi penderita yang memiliki resiko tinggi untuk terkena kanker (neoplasma) sebelum perkembangan kanker itu sendiri.(Nussbaum, McInnes, Willard, 2001)

Statistik menunjukkan beberapa bentuk kanker dapat diderita oleh lebih dari sepertiga populasi dan merupakan penyebab lebih dari 20% kematian. (Nussbaum, McInnes, Willard, 2001). Sepuluh juta kasus baru didiagnosis setiap tahunnya di seluruh dunia. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 20 juta pada tahun 2020. (Kleinsmith,L.J.,2006). Di Indonesia, menurut Menkes, jumlah penderita kanker mencapai 6% dari populasi, namun, kecenderungannya terus meningkat seiring globalisasi, gaya hidup dan kualitas pelayanan kesehatan.(Siswono, 2005)

Berbagai kemajuan telah dicapai dalam beberapa dekade terakhir ini untuk mengetahui mekanisme seluler dan molekuler yang mendasari perkembangan suatu kanker. Penelitian pada sifat-sifat sel kanker telah memperdalam pengetahuan kita mengenai sel-sel normal. Demikian pula sebaliknya, makin berkembangnya pengetahuan tentang sifat sel-sel normal akan menambah wawasan kita mengenai sifat-sifat sel kanker. (Kleinsmith, L. J., 2006)

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan dasar-dasar genetika kanker, serta peranan berbagai macam gen dalam perkembangan sel-sel kanker, yang pada akhirnya dapat memberikan pendekatan yang lebih baik dalam diagnosis kanker, pengobatan, dan pencegahannya.

Apakah kanker itu ?

Kanker bukan kelainan tunggal, tetapi merupakan suatu istilah untuk menggambarkan bentuk yang lebih ganas dari neoplasia, yaitu suatu proses penyakit yang memiliki karakterisasi

Page 28: Jurnal FK Ed-3

________________________________________________________________________Genetika kanker (Retno Dwi Wulandari)

26

proliferasi (pembelahan) yang tak terkontrol yang menyebabkan terbentuknya suatu massa atau tumor. Suatu neoplasia akan berubah menjadi kanker apabila bersifat maligna/ganas, artinya pertumbuhannya tidak lagi terkendali dan tumor tumbuh langsung di jaringan didekatnya (invasi), menyebar (metasatase) ke tempat yang lebih jauh, atau keduanya. (tumor yang tidak bermetastase tidak dapat disebut kanker, tetapi disebut tumor jinak) (Nussbaum, McInnes, Willard, 2001).

Neoplasia sendiri adalah akumulasi abnormal dari sel-sel yang terjadi karena ketidakseimbangan antara pembelahan sel dan atrisi sel. Sel-sel membelah pada saat mitosis dan atrisi merupakan kematian sel yang terprogram melalui proses normal yang disebut apoptosis. (Nussbaum, McInnes, Willard, 2001)

Kanker berkembang apabila gen-gen pada sel normal mengalami mutasi. Mutasi pada DNA dapat terjadi karena berbagai sebab. Diperkirakan sebanyak 80% penyebab kanker adalah faktor lingkungan, terutama paparan bahan kimiawi tertentu pada tempat kerja, polusi lingkungan, merokok kretek, konsumsi alkohol berlebihan, infeksi virus atau bakteri, radiasi matahari dan radiasi ion, serta diet. (Hunt, III, Jay D.Dr.)

Terdapat tiga jenis kanker yaitu : (1). Sarcoma, dimana tumor berasal dari jaringan mesenkim, seperti tulang, otot atau jaringan ikat; (2). Carcinoma, yang berasal dari jaringan epithel, seperti sel-sel yang melapisi bagian dalam usus, atau bronchi dan (3). Keganasan pada limfoid (kelenjar getah bening) dan hematopoietic, seperti leukemia dan limfoma yang menyebar melalui sumsum tulang, sistem limfatik dan pembuluh darah tepi.(Nussbaum, McInnes, Willard, 2001)

Manusia memiliki sekitar 25.000 gen pada tiap-tiap selnya, tetapi pada umumnya mutasi pada satu gen tidak akan berkembang menjadi kanker, kecuali apabila mutasi terjadi pada gen-gen tertentu yang dapat menimbulkan kanker. Gen-gen tersebut dikelompokkan menjadi tiga (3) kelompok, yaitu : (Strachan, T.)

1. ONKOGEN

Onkogen adalah bentuk mutan dari proto-onkogen (disebut juga gen-gen untuk pertumbuhan/growth promoting genes). Pada umumnya proto-onkogen mengkode protein seluler yang merespon sinyal dari sel-sel lain dan membawanya ke inti sel, untuk menstimulasi pertumbuhan. Dengan kata lain proto-onkogen

berfungsi dalam pertumbuhan dan pembelahan sel-sel normal. (Hunt, III, Jay D.Dr.)

Apabila proto-onkogen mengalami mutasi menjadi onkogen (berasal dari bahasa Yunani “Oncos” yang berarti tumor) yang bersifat karsinogen, akibatnya sel-sel mengalami multiplikasi (penggandaan) secara berlebihan, karena gen-gen mutan ini tidak bereaksi terhadap sinyal pengatur pada sel ( cellular regulatory signals). (Kleinsmith, L.J.)

Aktivasi suatu proto-onkogen sehingga mengeskpresikan potensi onkogen dapat melalui 5 mekanisme : mutasi titik (point mutation) ; penggandaan kopi proto-onkogen normal dalam suatu sel (gene amplification) ; translokasi kromosom ; pengaturan kembali DNA (DNA rearrangements) ; infeksi virus yang mengandung onkogen. (Kleinsmith, L.J.) :

Mekanisme 1 : Mutasi Titik (point mutation)

Perubahan 1 (satu) basa tunggal pada sekuen nukleotida dari suatu gen normal dapat menyebabkan gen tersebut berubah menjadi gen yang menyebabkan kanker. Contoh dari mutasi semacam ini adalah adanya perubahan 1 basa tunggal pada proto-onkogen RAS yang menyebabkan onkogen RAS menghasilkan protein Ras abnormal dimana asam amino glycine berubah menjadi valine Mekanisme 2 : Penggandaan kopi proto-onkogen (Gene Amplification)

Melalui proses replikasi DNA pada regio tertentu pada suatu kromosom yang berlebihan, akan dihasilkan puluhan atau ratusan, bahkan ribuan kopi DNA. Regio kromosom yang mengandung amplifikasi gen ini seringkali menunjukkan bentuk abnormal yang dapat dideteksi melalui mikroskop cahaya. Terdapat 2 macam abnormalitas karena proses ini, yaitu homogenously staining regions (HSRs) dan double minutes (DMs). HSRs adalah regio kromosom yang tidak menunjukkan pita-pita berwarna gelap dan terang seperti pada kromosom normal, tetapi menunjukkan warna yang sama (homogen). Sedangkan DMs adalah bentukan mirip kromosom tetapi berukuran lebih kecil, berbentuk bulat/speris dan berpasangan. Ke dua macam kelainan kromosom ini merupakan regio dimana amplifikasi DNA menyebabkan terbentuknya berpuluh-puluh sampai beratus-ratus kopi satu atau lebih gen-gen.

Page 29: Jurnal FK Ed-3

________________________________________________________________________Genetika kanker (Retno Dwi Wulandari)

27

Apabila suatu gen mengalami amplifikasi, kopi-kopi gen tersebut akan mengalami ekspresi secara berlebihan, sehingga jumlah protein total yang dihasilkan juga lebih banyak. Sekuen nukleotida pada tiap-tiap kopi gen pada umumnya normal. Berbeda dengan mutasi titik yang menghasilkan protein abnormal, amplifikasi gen menghasilkan protein normal, tetapi dalam jumlah yang berlebihan.

Contoh onkogen yang dihasilkan dari proses amplifikasi semacam ini adalah kelompok gen MYC, yaitu : MYC, MYCL dan MYCN. Amplifikasi pada gen MYCN dapat dideteksi pada kanker payudara , ovarium dan serviks uteri. Mekanisme 3 : Translokasi Kromosom

Translokasi adalah patahnya segmen suatu kromosom yang diikuti pindah dan melekatnya segmen patahan tersebut ke kromosom lain. Contohnya Kromosom Philadelphia yang ditemukan pada 90% penderita chronic myelogenous leukemia. Kromosom Philadelphia dihasilkan dari tanslokasi antara kromosom nomer 9 dan 22, dan mengakibatkan terbentuknya onkogen yang mengandung bagian 2 (dua) gen normal yang berasal dari kromosom 9 (gen ABL) dan 22 (gen BCR). Gabungan gen ABL dan BCR pada kromosom nomer 22 bertindak sebagai onkogen yang mengkode protein abnormal yang dapat menyebabkan kanker.

Contoh lain adalah translokasi antara kromosom nomer 8 dan 14 pada Burkitt’s lypmphoma, yang menyebabkan proto-onkogen MYC berpindah dari kromosom 8 ke regio yang sangat aktif pada kromosom 14. Akibatnya protein Myc dihasilkan secara berlebihan yang merangsang sel untuk berproliferasi.

Kontribusi translokasi kromosom pada perkembangan suatu kanker dapat melalui 2 (dua) mekanisme berbeda, yaitu : (1). gabungan dua gen membentuk onkogen yang mengkode protein gabungan atau (2). Aktifasi ekspresi suatu proto-onkogen karena lokasinya dekat dengan gen yang sangat aktif. Mekanisme 4 : Pengaturan kembali DNA (DNA rearrangement) Pindahnya sekuen basa DNA pada regio tertentu pada suatu kromosom dapat merubah struktur atau mengganggu ekspresi proto-onkogen pada regio tersebut. Pengaturan kembali DNA meliputi delesi (hilangnya segmen DNA); insersi (DNA

mendapat sekuen nukleotida); transposisi (perpindahan segmen DNA) dan inversi (patahnya segmen DNA yang diikuti pembalikan 1800, kemudian segmen patahan tersebut melekat kembali). Sebagai contoh, mekanisme semacam ini dapat dideteksi pada hampir 50% tumor pada penderita kanker thyroid. Mekanisme 5 : Infeksi Virus

Sekitar 15% kanker yang ditemukan di seluruh dunia dipicu oleh infeksi virus, bakteri atau parasit. Contoh : infeksi virus Epstein-Barr (EBV) menyebabkan kanker nasofaring; infeksi virus hepatitis B (HBV) atau hepatitis C (HBC) menyebabkan kanker pada liver.

Dikenal lebih dari 100 onkogen, dan tidak diragukan lagi jumlahnya akan makin banyak di masa yang akan datang. Onkogen diklasifikasikan menurut lokasinya pada sel dan fungsi onkoprotein yang dihasilkannya, antara lain : (Mueller, R.F., Young, I.D., 2001)

Faktor pertumbuhan (Growth factors) : growth factor akan merangsang sel untuk membelah dengan melekat pada reseptornya. Salah satu onkogen yang bertindak sebagai growth factor adalah onkogen v-sis. Reseptor faktor pertumbuhan (Growth factor receptors) : secara normal akan menjadi "on" atau "off" bagi “growth factors”. Apabila berada dalam keadaan "on", akan merangsang sel untuk terus tumbuh. Sebaliknya apabila berada dalam keadaan “off”, maka sel tidak tumbuh. Mutasi-mutasi tertentu pada gen-gen yang menghasilkan reseptor ini menyebabkan reseptor-reseptor selalu dalam keadaan “on”. Sinyal transduser (Signal transducers) : merupakan petanda jalur antara reseptor faktor pertumbuhan (growth factor receptor) dan inti sel dimana sinyal diterima. Petanda-petanda inipun seperti juga growth factor receptors, dapat berada dalam keadaan “on” atau “off”. Pada sel-sel kanker, sinyal transduser berada dalam keadaan “on”.

Faktor transkripsi (Transcription factors) : di antara onkogen yang menghasilkan faktor transkripsi yang umum ditemukan adalah onkogen yang mengkode faktor transkripsi Myc, yang mengontrol ekspresi berbagai gen yang terlibat dalam proliferasi dan ketahanan hidup sel.

Onkogen dalam sel bersifat dominan, sehingga mutasi pada satu kopi gen sudah dapat

Page 30: Jurnal FK Ed-3

________________________________________________________________________Genetika kanker (Retno Dwi Wulandari)

28

menyebabkan pertumbuhan sel ke arah keganasan (Vile, R.G.,1992)

2. GEN SUPRESOR TUMOR (Tumor

Suppressor Genes) Dahulu disebut sebagai anti-onkogen,

(Strachan, T.1992) merupakan gen-gen yang apabila inaktif atau hilang dapat menyebabkan kanker, suatu kondisi dimana terjadi peningkatan proliferasi sel dan penurunan tingkat kematian sel. Penelitian oleh Harris, dkk pada akhir tahun 1960 yang menggabungkan sel-sel maligna dan sel-sel normal menghasilkan sel-sel hibrid yang awalnya bersifat normal dan tidak menunjukkan pertumbuhan tumor. Hal ini menunjukkan bahwa sel mengandung gen-gen yang dapat menekan pertumbuhan tumor dan mengontrol pembelahan sel. (Kleinsmith, L.J.,2006)

Walaupun gabungan sel-sel kanker dan sel-sel normal menghasilkan sel-sel hibrid yang kehilangan kemampuan untuk membentuk tumor, tidak berarti sel-sel ini normal. Apabila sel-sel hibrid ini dibiakkan dalam waktu yang lebih lama, sel-sel ini akan menunjukkan keganasan. Munculnya sifat-sifat maligna dihubungkan dengan hilangnya kromosom tertentu yang diperkirakan mengandung gen-gen yang dapat menekan pertumbuhan tumor. Dari observasi akhirnya disimpulkan, gen-gen tersebut adalah gen supresor tumor (tumor suprpressor genes). (Kleinsmith, L.J.,2006)

Gen supresor tumor yang pertama kali diidentifikasi adalah gen RB1, dimana hilangnya gen ini menyebabkan kanker mata pada anak, retinoblastoma. (Mueller R.F., Young, I.D.,2001)

Sejak penemuan gen RB pada pertengahan tahun 1980, puluhan gen supresor tumor telah diidentifikasi, termasuk didalamnya BRCA1, BRCA2, dan p53. Salah satu yang terpenting adalah gen p53 (pada manusia disebut TP53, terletak pada kromosom 17p13.1 Neville, P.J., et al), yang menghasilkan protein p53. Separuh dari hampir sepuluh juta penderita yang didiagnosa menderita kanker tiap tahunnya di seluruh dunia menunjukkan adanya mutasi pada gen p53. (Kleinsmith, L.J.,2006)

Protein p53 disebut “penjaga genom”, karena memiliki peran sentral dalam menjaga sel-sel dari pengaruh kerusakan DNA. Sebagai respon terhadap kerusakan DNA, protein p53 akan mencegah sel-sel untuk berproliferasi sehingga kerusakan tidak akan diwariskan ke generasi

selanjutnya. Mutasi pada p53 akan menyebabkan peningkatan resiko terjadinya kanker karena sel-sel yang DNAnya mengalami kerusakan akan tetap survive dan bereproduksi. Mutasi pada p53 tidak diwarisi, tetapi disebabkan paparan terhadap radiasi dan bahan-bahan kimiawi. Sebagai contoh, bahan kimia yang bersifat karsinogenik pada asap tembakau diketahui menjadi pemicu mutasi titik pada gen p53 pada paru-paru ; radiasi ultra violet dari sinar matahari menyebabkan mutasi gen p53 pada sel-sel kulit. (Kleinsmith, L.J.,2006)

Gen supresor tumor cenderung bersifat resesif, dimana kedua alel normal harus bermutasi sebelum pertumbuhan ke arah kanker dimulai. Inaktifasi atau hilangnya gen supresor tumor dapat dijumpai di seluruh sel-sel tubuh termasuk pada sel-sel germinal atau mungkin hanya diketemukan pada sekelompok sel-sel somatik saja. (Mueller R.F., Young, I.D.,2001)

3. GEN PERBAIKAN KERUSAKAN DNA (DNA repair genes)

Terdapat berbagai mekanisme seluler untuk memperbaiki atau mentolerir kerusakan pada DNA. Mutasi pada gen-gen yang mengkode protein untuk perbaikan kerusakan DNA merupakan predisposisi terjadinya keganasan. Pada tingkat seluler, seringkali ditandai dengan makin meningkatnya frekuensi aberasi/kelainan kromosom dan hipersensitivitas terhadap sinar u.v dan/atau radiasi ion. (Strachan, T.,1992)

Sistem perbaikan DNA penting untuk mempertahankan integritas genom, sehingga ketidakteraturan (disregulation) gen-gen perbaikan DNA akan menyebabkan pengaruh buruk pada kesehatan, termasuk peningkatan prevalensi cacat lahir, memperbesar resiko kanker dan mempercepat proses penuaan. Saat ini telah diidentifikasi sebanyak 125 gen untuk perbaikan DNA, demikian pula telah diketahui urutan cDNAnya. Gen-gen ini berfungsi untuk mengenali dan membuang DNA yang rusak, serta proteksi terhadap kesalahan yang terjadi selama replikasi DNA atau perbaikan DNA.( Glickman Ronen A)

Sitogenetika kanker

Perubahan sitogenetik merupakan pertanda kanker, terutama kanker pada tahap lanjut yang lebih ganas atau pada tahap invasif pada perkembangan kanker. Perubahan sitogenetik ini menunjukkan adanya elemen penting pada

Page 31: Jurnal FK Ed-3

________________________________________________________________________Genetika kanker (Retno Dwi Wulandari)

29

perkembangan kanker yang mencakup defek pada gen-gen yang terlibat dalam menjaga kestabilan dan integritas kromosom dan menjamin pembelahan pada mitosis terjadi secara akurat. (Nussbaum, McInnes, Willard, 2001)

Pada awalnya, penelitian sitogenetik pada perkembangan tumor terutama dilakukan pada leukemia, karena sel-sel tumornya mudah dikultur dan diketahui karyotipnya dengan menggunakan metode standard. Metoda lain yang digunakan oleh para ahli sitogenetika kanker untuk mengetahui adanya mutasi genom atau kromosom pada jaringan tumor tanpa harus melakukan karyotyping adalah Comparative Genome Hybridization (CGH). Atau Spectral karyotyping yang dapat mengetahui adanya abnormalitas lebih baik dibanding karyotyping / identifikasi kromosom dengan teknik banding. Meskipun semua kanker menunjukkan adanya abnormalitas, tetapi pada beberapa contoh tumor, tidak selalu ditemukan abnormalitas ini. Beberapa perubahan hanya ditemukan pada kanker metastase tetapi tidak ditemukan pada tumor primernya. (Nussbaum, McInnes, Willard, 2001)

Kanker dan Hereditas

Tiap-tiap orang memiliki kemungkinan yang berbeda untuk terkena kanker karena faktor herediter membuat sebagian orang lebih rentan daripada yang lain. 80-90% resiko terkena kanker pada keseluruhan populasi berasal dari faktor lingkungan dan gaya hidup (lifestyle), sedang 10% -20% sisanya merupakan faktor herediter. Meskipun faktor herediter penyebab kanker ini hanya kecil, tidak berarti merupakan faktor minor untuk tiap individu. Beberapa individu mewarisi mutasi gen yang dapat meningkatkan faktor resiko untuk terkena kanker, bahkan hingga 100%, artinya individu dengan mutasi semacam ini pasti akan terkena kanker.(Kleinsmith, L.J.,2006)

Meskipun beberapa kanker diwariskan, tidak berarti seseorang akan mewarisi kanker dari orang tuanya. Yang sebetulnya diwarisi adalah peningkatan kerentanan untuk terkena kanker. Kanker yang diderita karena adanya faktor predisposisi yang diwarisi ini disebut familial cancers atau hereditary cancers, sedangkan kanker yang lebih umum ditemukan, tidak menunjukkan pola pewarisan yang jelas disebut sporadic cancers atau nonhereditary cancers. Pada beberapa kasus langka seperti retinoblastoma, 40% nya merupakan familial cancer dan sisanya sporadic. Anak-anak

dengan familial form menderita tumor pada kedua belah matanya, sedangkan pada penderita dengan retinoblastoma sporadic hanya menunjukkan tumor tunggal.(Kleinsmith, L.J.,2006)

Mutasi pada gen BRCA1 dan BRCA2

dihubungkan dengan resiko terkena kanker payudara dan ovarium yang diwarisi. Statistik menunjukkan 1 di antara 8 wanita di Amerika Serikat akan menderita kanker payudara. Resiko terkena kanker payudara dua kali lipat lebih besar pada wanita yang memiliki hubungan darah dekat dengan penderita (ibu, saudara, atau anak). Resiko juga meningkat apabila terdapat sejarah adanya kanker payudara pada anggota keluarga, semisal bibi atau nenek dari pihak ibu ataupun ayah.(Kleinsmith, L.J.,2006)

Sekitar 10% kasus kanker payudara disebabkan oleh pewarisan mutasi pada gen BRCA1 dan BRCA2 (BRCA merupakan singkatan dari BReast CAncer). Kerusakan pada gen-gen ini bertanggungjawab untuk familial breast cancer, dengan karakter onset kelainan pada usia muda dan, pada beberapa kasus, kanker menimpa dua payudara atau satu payudara dan ovarium sekaligus pada satu individu. Yang menarik adalah wanita-wanita yang lahir setelah tahun 1940 dengan mutasi pada gen BRCA1 atau BRCA2 memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terkena kanker payudara dibanding wanita dengan mutasi yang sama yang lahir sebelum tahun 1940. Hal ini menunjukkan adanya faktor non genetik yang mempengaruhi resiko terkena kanker payudara, bahkan pada individu yang mewarisi resiko tinggi untuk terkena kanker. (Kleinsmith, L.J.,2006)

Proyek pemetaan genom manusia (“Human Genom Project”) yang dimulai tahun 1990 bertujuan untuk memetakan lokasi seluruh gen-gen pada kromosom dari sel. Pencapaian monumental ini memberikan kepada ilmuwan-ilmuwan bangunan dasar untuk menentukan bagaimana terjadinya suatu penyakit seperti kanker, bagaimana pengobatannya dan pada akhirnya dapat diketahui cara-cara pencegahannya. (http://www.stjosephsatlanta.org/HealthLibrary/content.aspx?pageid=P07243) DAFTAR` PUSTAKA Anonymous. Description of Genetics. Saint Joseph's

Hospital, Atlanta. dalam http://www.stjosephs atlanta.org/HealthLibrary/content.aspx?pageid=

Page 32: Jurnal FK Ed-3

________________________________________________________________________Genetika kanker (Retno Dwi Wulandari)

30

P07243. (tanggal akses 12 Mei 2007 pukul 19.25)

Glickman Ronen A. Human DNA repair genes. Environ Mol Mutagen. 2001;37(3):241-83. dalam http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ .

Hunt, III, Jay D. Ph.D. An Introduction to Cancer. dalam http://www.medschool.lsuhsc.edu/ genetics_center/louisiana/article_cancer.htm. (tanggal akses 13 Mei 2007 pukul 20.59)

Kleinsmith, L.J., 2006. Principles of Cancer Biology. Pearson International Edition, San Francisco.

Mueller, R.F., Young, I.D., 2001. Emery’s Elements of Medical Genetics. 11th edition, Churchill Livingsone

Neville, P.J., Morland, S.J., Vaziri, S and Casey, G. 2001. The genetics of breast and ovarian cancer, Molecular Genetics of Cancer,

edited by Cowell, J.K. ,2nd ed. Academic Press New York

Nussbaum, R.L., McInnes, R.R., Willard, H.F., 2001. Thompson and Thompson Genetics in Medicine 6th ed., WB Saunders Company, Philadelphia

Siswono. 29 Maret 2005. Penderita Kanker Terus Meningkat, Indonesia Kekurangan Dokter Bedah Onkologi. dalam www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1111986431,81378 (tanggal akses 19 Agustus 2007 pukul 19.47)

Strachan, T.1992. The Human Genome.BIOS Scientific Publishers Limited

Vile, R.G. 1992. Tumour Suprressor Genes and Cancer – the Missing Link?, Introduction to the Molecular Genetics of Cancer, edited by Vile, R.G. John Wiley & Sons. Chichester New York.

Page 33: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________Kriopreservasi dalam teknologi...(Harry Kurniawan Gondo)

31

KRIOPRESERVASI DALAM TEKNOLOGI REPRODUKSI BANTUAN (TRB)

Harry Kurniawan Gondo

Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Udayana, Denpasar

ABSTRAK

Tujuan artikel tinjauan pustaka mengenai kriopreservasi dalam teknologi reproduksi bantuan ini adalah untuk memperkaya khasanah pengetahuan teknologi reproduksi yang dewasa ini terus berkembang, disamping juga untuk membuka diskusi melalui media ini sehingga memperoleh pengayaan materi tentang teknologi reproduksi.

Bahan dan cara penulisan artikel adalah dengan mengumpulkan berbagai referensi yang berhubungan dengan Teknologi Reproduski Bantuan (TRB), terutama mengenai kriopreservasi dalam penyimpanan gamet, kemudian di telaah dan kemudian ditulis kembali dengan tujuan memberikan tinjauan pustaka ilmiah dalam ilmu kedokteran.

Dari hasil kajian pustaka tersebut dapat disimpulkan bahwa penyimpanan embrio dalam bentuk beku sebagai salah satu bank genetika merupakan upaya penyimpanan embrio yang aman untuk bisa dimanfaatkan dimasa datang atau untuk keperluan mendadak. Hal ini sangat diperlukan mengingat bahwa gamet mempunyai daya tahan hidup yang relatif singkat.

Kata Kunci : TRB (Teknologi Reproduksi Bantuan), Kriopreservasi, Gamet

ABSTRACT

The aim of writing of this article is to give an evaluation concerning cryptopreservatin Assited Technology Reproduction (ART), and opening discussions on this media to enrich the science about reproduction technology.

The materials of this article were optained by collecting various references related to, especially Assited Technology Reproduction (ART) regarding cryopreservasion in gamet, then in study and later then rewritten with a purpose to give erudite book evaluation in medical science

From this reference study we get a conclusion that depository of embryo in the form of frost as one of the bank of genetika represent depository effort peaceful embryo to be able to exploited a period of/to coming or for is sudden. This matter very needed to see that gamet have life endurance which relative shorten. Key Words : ART (Assited Reproduction Techique), Cryopreservation, Gamet PENDAHULUAN

Teknologi kriopreservasi oosit, sperma dan embrio banyak dikembangkan pada berbagai spesies hewan dan manusia bersamaan dengan kemajuan pesat teknologi produksi embrio baik secara in vivo maupun in vitro. Walaupun viabilitas sperma, oosit dan embrio segar lebih baik daripada setelah pembekuan, namun teknologi ini berkembang pesat untuk menangani ketersediaan gamet (sperma dan oosit) pada saat in vitro fertilisasi serta kelebihan embrio hasil produksi in vivo maupun in vitro. Teknologi ini memungkinkan penyimpanan oosit dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga bisa dimanfaatkan dalam kondisi tertentu. (Marcelle, 2005; Decherney et al., 1997)

Pada program ART (Assisted Reproduction Technique), pasien dengan kondisi Policystic Ovary (PCO) dimana tidak memungkinkan dilakukan transfer embrio (TE) pada siklus yang sedang berjalan, maka strategi pembekuan oosit setelah

fertilisasi (tahap 2PN) maupun pembekuan embrio tahap pembelahan (cleavage) dan blastosis menjadi solusi untuk dilakukan transfer embrio dimasa datang pada kondisi yang lebih baik. Sampai saat ini teknologi pembekuan embrio telah menjadi program rutin pada banyak klinik infertilitas untuk kepentingan transfer embrio dikemudian hari tanpa menimbulkan pengaruh negatif terhadap bayi yang dilahirkan. (Siristatidis, 2008)

Penyimpanan embrio dalam bentuk beku sebagai salah satu bank genetika merupakan upaya penyimpanan embrio yang aman untuk bisa dimanfaatkan dimasa datang atau untuk keperluan mendadak. Hal ini sangat diperlukan mengingat bahwa gamet mempunyai daya tahan hidup yang relatif singkat.

Solusi untuk masalah ini adalah pengawetan gamet wanita dalam suhu dingin. Sterilitas iatrogenik yang timbul setelah pemberian kemoterapi atau radioterapi pada kondisi

Page 34: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________Kriopreservasi dalam teknologi...(Harry Kurniawan Gondo)

32

neoplasma dapat dihindari dengan pengawetan dari oosit, sama seperti penyimpanan sperma dalam suhu dingin. Hal ini disebabkan karena gambaran biologis dari oosit, dan telah muncul sejumlah pertanyaan mengenai induksi dari aneuploidy setelah gamet terpapar dengan cryoprotectant dan pembekuan serta proses pencairan. Oosit, faktanya, dihambat saat ovulasi pada metafase dari pembelahan meiosis kedua, dimana 23 kromosom dikromatid terikat dengan mikrotubulus dari benang meiosis. Pada fase ini, dimana oosit amat peka terhadap perubahan suhu dan akhirnya mengalami depolimerisasi dari benang mikrotubulus yang disebabkan karena cryoprotectant atau es kristal yang terbentuk selama proses pembekuan dan pencairan, pemisahan normal dari kromatid pada saat fertilisasi dapat mengalami kerusakan, maka dari itu menyebabkan aneuploidy setelah pengeluaran dari badan polar kedua. (Pandian Z, 2008)

METODE KRIOPRESERVASI

Terdapat lima langkah penting pada prosedur penyimpanan dengan suhu dingin ini : (D’Angelo, 2008; Porcu, 2001; Sperof, 2005) 1. Paparan awal dengan cryoprotectant, bahan yang

digunakan untuk mengurangi kerusakan seluler yang disebabkan karena kristalisasi air.

2. Mendinginkan suhu sampai dibawah 0ºC. 3. Penyimpanan 4. Pencairan kembali 5. Dilusi dan menyingkirkan cryoprotectan,

mengembalikan fisiologi dari microenvironment, sehingga membuat oosit ini mampu dikembangkan lebih jauh. Momen paling kritis untuk mempertahankan

kehidupan seluler adalah pada fase awal dari pembekuan dengan suhu yang sangat rendah dan pengembalian akhir ke kondisi fisiologis awal.

Apabila suhu rendah yang cukup telah dicapai (normalnya -196ºC, suhu dari nitrogen cair), penyimpanan, bahkan untuk periode waktu yang cukup lama, tidak akan memberikan pengaruh apapun pada survival rate dari oosit tersebut.

Pada suhu ini, faktanya, tidak tersedia cukup energi untuk kebanyakan reaksi fisiologis dan molekul air akan terbentuk dalam struktur kristal. Kerusakan dari DNA yang disebabkan karena radiasi kosmik merupakan satu-satunya kerusakan gamet dan embrio yang disimpan pada suhu demikian. Ketika oosit didinginkan pada suhu

diantara -5ºC sampai -15ºC, pembentukan es pertama kali diinduksi oleh media ekstraseluler sebagai proses yang dinamakan dengan seeding. Saat suhu menurun, maka jumlah es akan meningkat dan terlarut pada media ekstraseluler. Hasilnya adalah pembentukan gradien osmotik. Sebagai hasil dari gradien ini, air akan tertarik dari sitoplasma ke media ekstraseluler, dan sel akan menjadi lebih kecil. Apabila proses ini berjalan cukup lambat, maka aliran air keluar dari sel akan menurunkan kemungkinan nukleasi es dalam sel, pada suhu sekitar -15ºC. Untuk sel dengan rasio surface atau volume yang rendah, seperti gamet, diperlukan suhu pembekuan yang rendah agar didapatkan aliran air yang cukup untuk mengalir keluar dari sel. Dengan cara seperti ini, kristal es intraseluler yang terbentuk akan menjadi cukup sedikit untuk menimbulkan kerusakan pada komponen intraseluler. Perlu ditekankan, bagaimanapun juga, bahwa peningkatan angka pembekuan akan menurunkan survival rate dari semua jenis sel.

Angka pembekuan yang optimal bergantung pada banyak variabel : komponen air sitosolik, perubahan permeabilitas membran, permukaan membran, dan suhu. Komponen air intraseluler, disamping menimbulkan kerusakan mekanik pada saat pembekuan, juga akan menyebabkan kerusakan bahan pada saat pencairan kembali, sebagai akibat dari peningkatan volume selama proses ini berlangsung. Apabila proses pencairan berlangsung lambat, maka survival rate akan menurun karena kristal yang terbentuk pada sitosol akan memiliki waktu yang cukup untuk berkembang, dan maka dari itu akan menimbulkan kerusakan pada struktur intraseluler. Rekristalisasi dan shok osmotik, yang terjadi selama proses pencairan dari oosit yang beku, akan menurunkan suvival rate secara efektif.

Rekristalisasi adalah proses dimana air kembali masuk ke dalam sel menjadi keadaan yang padat disekitar kristal es yang telah terbentuk sebelumnya pada sitosol. Ketika suhu meningkat menjadi -40ºC, beberapa molekul air akan kembali pada sepanjang jalur yang dilalui selama proses pembekuan, maka dari itu molekul air akan kembali ke sitosol dan membentuk kembali ikatan hidrogen dengan kristal es yang telah ada dan meningkatkan dimensi sel secara bermakna. Baik proses pencairan maupun proses pembekuan kemungkinan akan mempengaruhi berulangnya fenomena ini. Dehidrasi sel kemungkinan tidak

Page 35: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________Kriopreservasi dalam teknologi...(Harry Kurniawan Gondo)

33

memadai setelah pembekuan cepat, menimbulkan pembentukan masa intraseluler yang besar apabila proses pencairan berlangsung sangat lambat. Pembentukan es intraseluler dapat dicegah apabila pencairan cepat terjadi di inti nukleasi dari es. Shock osmotik kemungkinan diperlukan selama proses pencairan cepat. Faktanya, apabila cryoprotectant yang diletakkan sebelumnya pada sel tidak berdifusi cukup cepat untuk mencegah masuknya air, maka oosit akan membengkak dan akhirnya pecah. Pada fase ini, dua kebutuhan yang saling berlawanan harus dihadapi : pada satu sisi, waktu kontak antara sel dengan bahan cryoprotectant pada suhu kamar harus dikurangi sampai tingkat yang paling minimal karena cryoprotectant akan memicu sitotoksik yang bergantung pada suhu; pada sisi lainnya, proses dilusi dari cryoprotectant pada sitosol harus dikerjakan dengan amat lambat untuk mencegah reduksi osmotik ekstraseluler yang berlebihan, yang akan menyebabkan masuknya air dalam jumlah besar ke dalam sel yang akan mengakibatkan lisisnya sel. (Rao, 2001)

Keberhasilan proses pembekuan tergantung dari jenis embrio melalui upaya pemilihan media pembekuan (krioprotektan) yang tepat, pengaturan suhu baik saat pendinginan (cooling), penyimpanan (storage), dan pencairan (warming) dan manipulasi embrio sebagai upaya pengeluaran air sebanyak mungkin dari dalam embrio untuk menghindari terbentuknya kristal es. (Porcu, 2001) VARIASI TEKNIK KRIOPRESERVASI

Banyak tehnik pengawetan suhu dingin yang telah diterapkan pada oosit manusia. Penggunaan gliserol, yang secara umum dianggap kurang toksik daripada bahan cryoprotectant. Peranan dari equilibration oosit baik pada Me2SO (15 oosit) atau gliserol (13 oosit) telah dibandingkan. Setelah diawetkan dengan suhu dingin, oosit kemudian di-inseminasi-kan, namun hanya ada satu oosit yang membelah menjadi stadium dua sel setelah diawetkan dengan suhu dingin pada Me2SO dan tidak ditemukan pembelahan pada oosit yang diawetkan pada suhu dingin dengan gliserol atau yang terpapar dengan gliserol tanpa pendinginan. (D’ Angelo et al., 2008; Boediono, 2007)

Pembuahan dari oosit segar didapatkan setelah pendinginan lambat pada Me2SO dan vetrification selanjutnya yang dinamakan dengan solusi VS1, yang mengandung 2.62 mol/l Me2SO, 2.62 mol/l acetamide, 1.3 mol/l PrOH, dan 6%

polyethlene glycol, dan telah berhasil digunakan untuk vetrification dari embrio murine. Hasil yang bervariasi telah didapatkan dari pengawetan oosit murine pada suhu dingin dengan menggunakan campuran ini, dengan malformasi fetus telah dilaporkan setelah terpapar dengan solusi vetrification dengan atau tanpa pendinginan. Oosit manusia terpapar dengan VS1 untuk periode waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan yang digunakan untuk penelitian embrio yang sebenarnya dan sukrosa digunakan untuk membantu agar bahan cryoprotectant dapat berdilusi. Hendaknya dicatat bahwa komponen acetamide dari VS1 merupakan bahan karsinogen bagi manusia.

Walaupun semua kelahiran hidup yang dicapai saat ini menggunakan Me2SO sebagai bahan cryoprotectant, namun perhatian beralih pada metode pendinginan lambat dalam PrOH yang mengikuti penggunaan PrOH untuk pembekuan embrio. (Bessenlink DE et all., 2008) PENYIMPANAN OOSIT IMMATURE DENGAN SUHU DINGIN

Masalah utama dari pengawetan oosit matur pada suhu dingin berasal dari sensitifitas gelendong mikrotubuler terhadap suhu dingin dan bahan cryoprotectant, satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menyimpan oosit immatur pada stadium germinal vesikel dimana tidak dijumpai adanya gelendong mikrotubuler. Penggunaan oosit immatur juga berarti bahwa pasien akan menerima rangsangan hormonal yang lebih sedikit untuk menghasilkan oosit atau oosit mungkin akan dihasilkan tanpa rangsangan apapun. Oosit immatur yang mampu melakukan pembelahan meiosis dapat diperoleh transvaginal, walaupun prosedur ini memerlukan modifikasi dari tehnik pengambilan oosit matur.

Penyimpanan oosit manusia yang immatur pada suhu dingin dari pasien yang mendapat rangsangan hormonal telah menghasilkan pemulihan dan pematangan menjadi metafase II. Oosit manusia yang immatur yang diperoleh dari ovarium yang tidak dirangsang yang didinginkan secara cepat dengan 3.5 mol/l Me2SO ditambah dengan 0.5 mol/l sukrosa ditemukan mampu untuk mengalami kematangan meiosis setelah pencairan namun dijumpai adanya kondensasi kromosom prematur dan sebagian pada hampir setengah dari oosit yang ditangani dimana

Page 36: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________Kriopreservasi dalam teknologi...(Harry Kurniawan Gondo)

34

fenomena demikian tidak pernah dijumpai pada oosit murine.

Kerugian dari pembekuan oosit immatur pada suhu dingin termasuk masih diperlukan prosedur pematangan tambahan. Walaupun pematangan oosit invitro seringkali berhasil pada beberapa spesies binatang, namun tidak demikian halnya pada oosit manusia. Sejauh ini hanya sedikit kehamilan yang berhasil dicapai yang berasal dari oosit immatur. Disamping itu immatur oosit harus disimpan bersama dengan sel kumulus yang intak karena sel ini sangat diperlukan agar pematangan bisa terjadi, pada kasus yang demikian protokol penyimpanan pada suhu dingin nampaknya perlu dilakukan kompromi antara protokol terbaik untuk oosit dan untuk sel kumulus. (D’Angelo et al., 2008) VARIABEL YANG TERKAIT DENGAN OOSIT

Ukuran dari oosit mempengaruhi survival rate secara keseluruhan, kemungkinan pemben-tukan es intraseluler juga akan bergantung pada ukuran oosit ini. Sperma manusia merupakan contoh yang baik untuk menjelaskan peranan volume sitoplasmik terhadap survival rate pada penyimpanan dengan suhu dingin ini; gamet laki-laki berukuran 180 kali lebih kecil daripada gamet wanita, dan survival ratenya jauh lebih tinggi. (Anwar et al., 2002)

Kualitas oosit yang optimal sangat penting untuk menjamin survival rate selama proses pembekuan. Seringkali, sejumlah oosit dengan kualitas yang rendah dibekukan sehingga memberikan hasil yang rendah pada survival rate. Beberapa peneliti berdebat mengenai perlu atau tidaknya mempertahankan kumulus ooporus untuk meningkatkan survival rate. Tidak adanya kumulus ooporus ini akan memudahkan penetrasi dari bahan cryoprotectant untuk masuk ke dalam sitoplasma. Pentingnya kumulus yang akan meningkatkan seluler survival pada akhir dari proses penyimpanan dengan suhu dingin. Keberadaan kumulus akan berfungsi sebagai lapisan pelindung terhadap perubahan osmotik dan stres yang tiba-tiba yang diakibatkan karena perubahan konsentrasi dan dilusi dari cryoprotectant selama proses equilibrum dan pemindahan setelah proses pencairan. Semua oosit hendaknya dibekukan segera setelah dipanen, antara 38 sampai 40 jam setelah munculnya human chorionic gonadotrophin (hCG). Oosit yang lebih

tua, dikultur terlebih dahulu secara in vitro sebelum dibekukan, yang menghasilkan penurunan fertilisasi, dan peningkatan fertilisasi anomalous dan polyploidy. Semua kehamilan yang didapatkan dari oosit yang dibekukan berasal dari oosit metafase II. Faktanya, oosit yang matur pada saat diambil memiliki survival dan fertilisasi rate yang lebih tinggi. Penyimpanan oosit dengan suhu dingin pada profase I dianggap sebagai pendekatan alternatif yang lain dalam usaha untuk menyimpan gamet wanita. Pada oosit ini, meiosis ditahan, dan kromosom berada di dalam nukleus, tidak berjajar di sepanjang spindle. Lebih jauh, pada stadium ini, sel berukuran kecil dan tidak berdeferensiasi, kurang akan zona pellucida, dan relatif diam dari metabolisme. (Boediono et al., 2007)

Pada pasien yang ingin mempertahankan potensi reproduksinya walaupun sedang menjalani kemoterapi atau radioterapi atau telah menjalani ovariektomi, mungkin akan mendapat keuntungan dari tehnik ini dikombinasi dengan IVF. Tehnik pembekuan yang baru untuk menyimpan lapisan tipis dari parenkim ovarium, kortek ovarium kaya akan folikel pada berbagai macam tingkatan kematangan, khususnya folikel primordial. Telah menjadi mungkin untuk menyimpan lapisan dari kortek ovarium untuk periode yang bervariasi dari 24 jam sampai lima minggu dengan menggunakan dua protokol pembekuan yang berbeda (DMSO 1,5 M+ PROH 1,5 M+ Sukrose 0,1M). Air dengan suhu 37ºC digunakan pada kedua kasus segera menyelesaikan proses pencairan. Tehnik penyimpanan dengan suhu dingin dan transplantasi ini masih diperlukan, hasil yang didapatkan cukup memuaskan, dan penyimpanan jaringan ovarium disarankan sebagai metode yang berlaku untuk mempertahankan fertilitas pada kasus tertentu. Apabila autograft ortotopik cukup memadai untuk menciptakan sebuah siklus menstruasi ovulatori, maka kebutuhan akan induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro akan tidak dibutuhkan lagi. Pasien anak-anak juga akan diuntungkan dengan metode ini. Faktanya, kebanyakan folikel primordial dan keadaan ovarium yang relatif stabil pada masa prepubertas akan meningkatkan peluang keberhasilan, dan pada beberapa kasus, penyimpanan jaringan ovarium merupakan pilihan untuk mempertahankan fertilitas yang telah ada. (Darmasetiawan MS et al., 2006)

Page 37: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________Kriopreservasi dalam teknologi...(Harry Kurniawan Gondo)

35

VARIABEL TEKNIK Krioprotektan

Cryoprotectant adalah bahan yang memiliki komposisi bahan kimia yang berbeda. Mereka memiliki kelarutan air yang cukup tinggi yang dikaitkan dengan toksisitas, yang proporsional secara langsung dengan konsentrasi dan suhu. Peranan ini adalah untuk melindungi sel dari kerusakan, yang dikenal dengan “cold shock”, yang mungkin terjadi selama proses pembekuan, penyimpanan, dan pencairan kembali. Cryoprotectant dibagi menjadi 2 katagori menurut kemampuannya dalam menembus sel : 1. Krioprotektan yang dapat masuk kedalam sel

(permeable cryoprotectants) atau agen intraseluler, misalnya : glycerol, dimethylsulfoxide (DMSO), ethylene glycol, propanediol, diethylene glycol.

2. Krioprotektan yang tidak dapat masuk kedalam sel (non permeable cryoprotectants) atau agen ekstraseluler, misalnya : sucrose, raffinose, protein, lipoprotein, kuning telur dan serum. Secara biokimia, dibedakan 3 kelas bahan dari

cryoprotectant : 1. Alkohol (methanol, ethanol, propanol, 1,2

propanediol (PROH), gliserol), 2. Gula (glukosa, laktosa, sukrose, strach) 3. Dimetilsulfoksida (DMSO).

Krioprotektan merupakan komponen utama dalam proses pembekuan, namun demikian hampir semua jenis krioprotektan bersifat toksik. Ketepatan dalam menentukan jenis krioprotektan dan waktu ekuilibrasi sebelum embrio dibekukan akan menentukan keberhasilan pembekuan embrio. (D’Angelo et al., 2008; Wilson et al., 2008) DMSO dan Gliserol

Penggunaan glycerol sebagai krioprotektan pertama dalam bidang kriopreservasi ditemukan secara kebetulan pada tahun 1948 karena kesalahan pemberian label pada bahan atau media pembekuan sperma unggas. Sejak temuan tersebut keberhasilan yang pesat dilaporkan pada pembekuan sperma dan embrio. DMSO dan gliserol, keduanya memiliki berat molekul yang rendah, telah dikenal sebagai bahan cryoprotectant terhadap kerusakan dari suhu dingin selama lebih dari 30 tahun.

1,2 Propanediol (PROH) PROH telah digunakan pada sebagian besar

penyimpanan blastosit dan pre-embrio dengan suhu dingin baik pada manusia maupun spesies lainnya. Pada kombinasi dengan agen lainnya yang menurunkan toksisitas dan kekuatan osmotik, PROH nampaknya memiliki oosit survival rate yang lebih baik setelah pencairan, karakteristik ini kemungkinan disebabkan karena fakta bahwa PROH dapat menembus oolema lebih cepat; disamping itu juga lebih larut air dan kurang toksik. Sukrose

Sukrose seringkali digunakan bersama dengan bahan cryoprotectant yang lain. Bahan ini tidak mampu menembus membran sel, dan keberadaannya pada media ekstraseluler akan menimbulkan efek pengeluaran osmotik yang bermakna. Sukrose merupakan bahan pelindung selama fase dilusi atau setelah pencairan cepat, ketika sel mulai mengalami rehidrasi dan membengkak.

Resiko ini dapat ditekan dengan memindahkan cryoprotectant intraseluler (misal, PROH) pada langkah dilusi (1,5 ; 1,0 ; 0,25M) dengan tujuan untuk mengurangi perluasan dari sembab seluler. Suatu metode alternatif dan lebih cepat untuk menghilangkan cryoprotectant yang permeabel berkaitan dengan penambahan dari molekul yang non permeabel, seperti sukrosa, ke dalam larutan pencair.

Konsentrasi ekstraseluler yang meningkat dari molekul ini menyeimbangkan konsentrasi intraseluler cryoprotectant yang tinggi, menguragi perbedaan osmolaitas pada kedua sisi dari membran plasma. Kini, sukrosa adalah satu-satunya cryoprotectant non penetratif yang secara rutin digunakan di dalam pengawetan oosit manusia dengan suhu dingin. Mekanisme kerja dari cryoprotectant cukup rumit dan dikarenakan beberapa rentetan dari fungsinya. Yang pertama, adanya cryoprotectant di dalam larutan mengijinkan penurunan sedikit dari titik cryoscopic larutan, sekitar pada suhu -2ºC atau -3ºC. Efek proteksi pada prinsipnya diakibatkan oleh kapasitas dari molekul ini untuk membentuk ikatan hidrogen yangmana mengubah struktur ristal yang normal, sehingga mengurangi dimensinya. Melalui gugus –OH nya, sebagai contoh, gliserol dan PROH, dapat membentuk ikatan hidrogen denan air sama halnya dnegan

Page 38: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________Kriopreservasi dalam teknologi...(Harry Kurniawan Gondo)

36

DMSO melalui atom oksigennya. Agen cryoprotectant mengurangi efek perusakan dari konsentrasi tingggi elektrolit di dalam porsi air cair. Pada sistem yang terjadi dari dua fase pada tekanan yang konstan, seperti es dan air, konsentrasi total dari cairan pada fase cair adalah konstan untuk masing-masing konsentrasi. Dikarenakan konsentrasi total dari cairan harus konstan, penambahan dari cryoprotectant mengurangi jumlah dari air yang mengkristal. (Boediono et al., 2007; D’Angelo et al., 2008)

Efikasi dari senyawa ini secara langsung terkait dengan temperatur pada saat di mana mereka ditambahkan ke dalam media kultur. Oosit manusia yang dipajankan terhadap DMSO pada suatu temperatur 37ºC kapasitas untuk mengalami fertilisasinya lenyap, tetapi pada suhu 4ºC kapasitas ini dapat dipertahankan. Penambahan dari suatu cryoprotectant pada media harus dilakukan pada suhu di bawah -10ºC dengan tujuan untuk menghindari kegagalan fertilisasi. Konsentrasi cryoprotectant optimal bervariasi tergantung dari tipe sel dan tipe spesies yang diperiksa.

Suatu langkah yang penting di dalam proses kriopreservasi adalah pelenyapan dari cryoprotectant permeabel dari sitoplasma. Prosedur ini terdiri dari proses lewatnya oosit melewati suatu rangkaian larutan yang mengandung konsentrasi yang menurun bertahap. sebagai akibat dari efek tekanan osmotok, sel tersebut akan segera pecah apabila ditempatkan pada suatu medium tanpa cryoprotectant pada saat pencairan. Penyimpanan oosit seringkali dilakukan dengan suatu prosedur pembekuan lambat-pencairan cepat.

Walaupun tidak lazim dan jarang dilaporkan di dalam literatur, pembekuan lambat atau pencairan lambat terjadi pada kehamilan kedua dengan suatu oosit beku. Penggunaan dari cryoprotectant konsentrasi tinggi, pembekuan ultracepat atau pencairan cepat mencegah terbentuknya kristal es dan menginduksi terjadinya suatu medium yang amorfik dan bening.

Pada proses lainnya yang disebut vitrification, suatu larutan sangat pekat dari cryoprotectant dipadatkan selama proses pembekuan tanpa terbentuknya kristal es, di dalam suatu cairan yang sangat kental, dan superdingin. Hal ini menunjukkan beberapa keuntungan yang sangat jelas dibandingkan dengan pembekuan sederhana dikarenakan kerusakan yang disebabkan oleh bentukan kristal es intraseluler yang dapat dihindarkan. Kombinasi dari kecepatan

pendinginan yang tinggi (hampir 1500°C/menit) dan konsentrasi yang tinggi dari cryoprotectant seperti DMSO, acetamide, propyleneglycol, dan polyethyleneglycol dibutuhkan untuk vitrification. Dasar teoritis dari vitrification, suatu teknik untuk mempreservasi embrio. Namun demikian, hasilnya tidak sesuai, dan toksisitas dari cryoprotectant dikonfirmasi dengan penelitian eksperimental. Hambatan pembelahan mungkin dikaitkan dengan kerusakan ireversibel yang terjadi di dalam sitoskeleton terkait dengan cairan pendinginan dan vitrifikasi. Vitrifikasi oosit manusia dengan tujuan untuk membuktikan kemungkinan berhasilnya prosedur ini. Proses dari pembekuan dan pencairan dan cryoprotectant dapat merusak beberapa struktur sel. KROMOSOM DAN GELENDONG MEIOSIS

Gelendong meiosis terdiri dari benang-benang rapuh berasal dari kutub yang berhadapan dari sel, dari suatu struktur yang disebut sentriole, dan membentang sampai kromosom. Kehilangan apapun dari mikrotubular selama proses pembekuan dapat memisahkan kromosom dan menyebabkan aneuploidi.

Fertilisasi normal dapat dicapai pada oosit yang menjalani kriopreservasi, menunjukkan bahwa integritas yang layak dipertahakan setelah kriopreservasi. Sebagai akibat dari kariotyping dan staining atau pengecatan DNA, kromosom terbukti tidak hilang dari gelendong selama fertilisasi dari oosit beku, tidak terbukti untuk oosit manusia. Mungkin hilangnya kromosom ditambatkan melalui kynetochores terkait dan tidak bebas bergerak di dalam sitoplasma. Mungkin juga bahwa gelendong oosit manusia lebih tidak sensitif untuk membeku dibandingakn dengan gelendong tikus. Kehilangan kromosomal dari gelendong minimal pada oosit manusia setelah pembekuan atau pencairan dan fertilisasi, menunjukkan bahwa kerusakan krio yang dicatat pada binatang tidak sama seringnya pada oosit manusia.(Larsen, 1993) SITOSKELETON

Terdiri dari struktur sitoplasmik bersabut kompleks, yang berguna untuk mempertahankan dan memodifikasi bentuk, mengijinkan pergerakan dari organela sitoplasmik, eksositosis dari protein membran intrinsik. Mikrotubular, aktin mikrofilamen, dan filamen intermediate adalah

Page 39: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________Kriopreservasi dalam teknologi...(Harry Kurniawan Gondo)

37

komponen utama dari sitoskeleton. Keseluruhan dari komponen tersebut cukup sensitif terhadap berbagai stimuli dan mempunyai kemampuan untuk depolimerisasi cepat subunit. Cryoprotectant DMSO menghasilkan kerusakan pada mikrofilamen dari oosit tikus, yang secara langsung proporsional terhadap konsentrasinya. Ketika DMSO digunakan pada temperatur mendekati 0°C, efek ini nampaknya berkurang. Perubahan pada komponen sitoskeleton, diakibatkan oleh kristal es atau cryoprotectant di dalam oosit beku atau cair. GRANULA – GRANULA KORTIKAL

Oosit yang selamat dari pencairan menunjukkan suatu tingkat aneuploid yang tinggi ketika menjalani fertilisasi in vitro. Normalnya, granula kortikal pada oosit yang matur segera dialinisasi di bawah oolemma. Reaksi zona terjadi setelah pergerakan granula ini ke bagian perifer dari sitoplasma dan bertanggung jawab akan hambatan dari polispermia. Ketika menggunakan mikroskop elektron untuk mempelajari oosit manusia dan tikus, suatu reduksi yang bermakna terdapat dalam hal jumlah dan perubahan morfologi granula kortikal setelah pencairan. Pengamatan ini mungkin dapat menjelaskan insiden yang tinggi dari aneuploidi dalam oosit beku atau cair. Eksositosis prematur dari granula kortikal mungkin dikarenakan kerusakan diakibatkan kristal es atau cryoprotectant pada mikrofilamen aktin yang terdapat tepat di bawah oolemma. ZONA PELLUCIDA

Suatu karakteristik umum dari semua oosit mamalia adalah adanya suatu lapisan glikoprotein, zona pellucida, di sisi luar dari oolemma. Fungsi dari zona pellucida adalah majemuk dan hanya sebagian yang sudah dimengerti. Yang paling dimengerti dengan baik antara lain adalah: adanya reseptor terhadap sperma, induksi dari reaksi zona, blokade dari polispermia, dan proteksi fisik dari embrio. Bahaya dari perusakan zona pellucida pada saat kriopreservasi, secara khusus, dapat terjadi 20-29% oosit. Kerusakan pada zona pellucida diperkirakan akibat dari pembentukan dari bidang pembelahan di dalam es atau akibat pembentukan dari kristal yang besar, yang mana dapat mengurung sel dan membuat sel mengalami perforasi pada saat proses pembekuan atau pencairan. (D’Angelo et al., 2008)

AKTIVASI PARTHENOGENETIK Sejak tahun 1940 telah ditunjukkan bahwa

aktivasi parthenogenetik dapat diinduksi oleh kondisi fisik seperti pembekuan. Secara sukses, ditemukan bahwa syok termal dalam bentuk panas dan dingin dapat bertindak secara efektif sebagai aktivator parthenogenetik pada beberapa spesies binatang. Kemungkinan dengan mengubah ultrastruktur dan respon integral dari berbagai komponen oosit, akan mengganggu fertilisasi dan pertumbuhan embrio. Secara khusus,

Kemungkinan untuk timbulnya kelainan genetik yang menyertai distribusi kromosom yang abnormal selama dan setelah fertilisasi merupakan perhatian utama. Hampir 15% oosit manusia yang baru diperoleh (pada metafase II dan secara morfologi nampak normal dengan mikroskop cahaya) menunjukkan satu atau lebih gelendong yang tidak dikaitkan dengan kromosom. Pada oosit murine yang diawetkan dengan suhu dingin, yang selama pendinginan lambat dengan menggunakan DMSO sebagai cryoprotectant menunjukkan bahwa oosit kemudian akan mengalami pembuahan dan mencapai stadium pembelahan pertama, polyploidy mengalami peningkatan, namun hal ini nampaknya tidak berkaitan dengan polispermia. Retensi dari polar body nampaknya menjadi penyebab utama peningkatan poliploidy yang mirip dijumpai juga pada oosit tikus yang diawetkan dengan suhu dingin dengan menggunakan tahnik ultrarapid, ini juga dinamakan dengan triploidy, walaupun nampaknya tidak mungkin untuk menentukan apakah berasal dari diandric atau digynic.(Rao et al., 2001)

Pada oosit manusia, hanya terdapat sedikit informasi mengenai kemungkinan penyebab dari kelainan kromosom, karena fertilisasi yang berhasil dicapai setelah diawetkan dengan suhu dingin hanya ada beberapa kasus. Perbandingan antara pengawetan suhu dingin pada oosit segar dan pada oosit manusia yang telah matur yang dilakukan dengan menggunakan 1,2-propanediol sebagai bahan cryoprotectant, bahwa distribusi kromosom yang normal akan diketahui dari karyotipe setelah pembuahan dari oosit segar yang diawetkan dengan suhu dingin. Apabila oosit yang telah berumur diawetkan dengan suhu dingin dan kemudian dilakukan inseminasi, maka akan terdapat peningkatan angka fertilisasi yang abnormal, hal ini menunjukkan bahwa oosit yang telah matur hendaknya segera diawetkan dengan

Page 40: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________Kriopreservasi dalam teknologi...(Harry Kurniawan Gondo)

38

suhu dingin pada hari oosit ini diambil. Tingginya angka fertilisasi yang abnormal nampaknya dikaitkan dengan penuaan in-vitro daripada prosedur pengawetan suhu dingin ini.

Tidak ada peningkatan yang bermakna dari frekuensi aneuploidy pada populasi oosit matur setelah pengawetan dengan suhu dingin, pada oosit immatur, yang diambil dari keadaan beku dan dikultur pada suhu 37ºC untuk mencapai kematangan, juga tidak menunjukkan adanya bukti pembentukan kromosom yang abnormal. Apabila oosit manusia diawetkan pada suhu dingin pada stadium germinal vesikel, dikembalikan lagi, dan dikultur sampai mencapai kematangan, dan kemudian didinginkan kembali untuk kedua kalinya, maka aneuploidy akan ditemukan pada 25% dari populasi yang dipulihkan kembali, hal ini menunjukkan masalah yang mungkin timbul dari pengawetan suhu dingin yang berulang kali. KESIMPULAN

Sesungguhnya, sebelum penerapan klinis dari pengawetan oosit dengan suhu dingin menyebar luas, penting untuk merencanakan penelitian prospektif lebih jauh dan untuk memeriksa dengan hati-hati oosit manusia yang telah matur, baik sebelum dan sesudah pembuahan dan dengan cara yang dapat diterima secara etis, untuk membuktikan hipotesis bahwa pengawetan dengan suhu dingin tidak menyebabkan aneuploidy.

Hasil terbaik diperoleh dengan pemindahan

embryo dalam suatu siklus penggantian hormonal lambat. Pengawetan oosit dengan suhu dingin dapat digunakan untuk berbagai pemakaian klinis. Sindrom hiperstimulai ovarium merupakan kondisi klinis yang berbeda dimana pengawetan dengan suhu dingin elektif dari seluruh oosit merupakan alternatif yang berlaku tanpa adanya implikasi etis dibandingkan dengan embryo beku.

Pengawetan oosit dengan suhu dingin pada

masa lalu dipertimbangkan sebagai tehnik yang tidak efisien, memberikan hasil, fertilisasi dan pembelahan sel yang buruk. Dengan pengenalan tehnik ICSI, hasil fertilisasi, perkembangan embryo dan implantasi menjadi serupa dengan yang dihasilkan oleh oosit segar. Satu-satunya langkah yang kritikal dari proses akhirnya tampak menjadi survival rate dari oosit beku dan hal ini harus dikembangkan lagi selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA Anwar NC, Jamaan T, Manual Inseminasi Intrauterus

(IIU). Klinik Fertilitas Morula RS Bunda Jakarta. Jakarta, 2002.

Besselink DE, Marjoribanks J, Farquhar C et all. Cervical Insemination versus intrauterine insemination of donor sperm for subfertility (Protocol). The Cochrane Collboration and Published in The Cochrane Library 2008, issue 2.

Boediono. A., Kriopreservasi sperma, oosit dan embrio. Laboratorium Embriologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dibacakan pada PIT III HIFERI 24-27 januari 2007, Yogyakarta

D’Angelo A, Amso N. Embryo Freezing For Preventing Ovarian Hyperstimulation Syndrome (Review). The Cochrane Collboration and Published in The Cochrane Library 2008, issue 2.

Darmasetiawan MS, Anwar Indra. Fertilisasi In Vitro Dalam Praktek Klinik. Kelompok Seminat Kedokteran Reproduksi dan Embriologi. Jakarta, 2006.

Decherney A, Polan ML (Alih Bahasa : Widjaya kusuma, Lydon Saputra), Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan Infertilitas. Binarupa Aksara, Jakarta, 1997.

Larsen WJ. Human Embriology. Churchill Livingstone. Singapore, 1993.

Marcelle I, Practical Pathways In Infertility. McGraw-Hill, United of State, 2005.

Pandian Z, Bhattacharya S, Vale L, et all. In Vitro Fertilization For Unexplained Subfertility (Review). The Cochrane Collboration and Published in The Cochrane Library 2008, issue 2.

Porcu. E., Oocyte cryopreservation. In Textbook of Assested Reproductive Techniques Laboratory and Clinical Perspectives. Martin Dunitz Ltd. United Kingdom, 2001 : 233-241

Rao KA, brinsden PR. The Infertility Manual. Jaypee Brothers, New Dehli, 2001.

RCOG Press at the Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, 27 Sussex Place, Guideline Fertility : Assesment and treatment for people with fertility problem. London 2004.

Self MM, Edi OE, Farquhar C, et all. Assisted hatching on assisted conception (IVF & ICSI, Review). The Cochrane Collboration and

Page 41: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________Kriopreservasi dalam teknologi...(Harry Kurniawan Gondo)

39

Published in The Cochrane Library 2008, issue 2.

Simson, Elias. Genetic In Obstetri And Gynecology 3rd edition. Saunders, United States of America, 2003.

Siristatidis CS, Bhattacharya S, Mahewshawri A. In Vitro Maturation in subfertile patient with Polycystic Ovarian Syndrome Undergoing Assisted Reproduction (Protocol). The Cochrane Collboration and Published in The Cochrane Library 2008, issue 2.

Sperof L, Fritz MA. Clinical Gynecologic Endocrinology And Infertility 7th edition, Assited Reproductive Technologies, p 1215 – 74. Lipincott Williams & Wilkins. Phildelphia, 2005.

Taylor A, Braude P. ABC of Subfertility. Bristish Medicine Jurnal, 2007.

Wilson A, Proctor M, Garzo G. Techinique For Intrautrine Embryo Transfer (Protocol). The Cochrane Collboration and Published in The Cochrane Library 2008, issue 2.

Page 42: Jurnal FK Ed-3

____________________________________________________________Kriopreservasi dalam teknologi...(Harry Kurniawan Gondo)

40

Page 43: Jurnal FK Ed-3

_________________________________________________________________________The Influence of Glucagon ...(Dao, L.H.)

41

THE INFLUENCE OF GLUCAGON LIKE PEPTIDE-1 (GLP-1) FOR GLUCONEOGENESIS

Dao, L H

Department of Biochemistry, School of Medicine Wijaya Kusuma Surabaya University E-MAIL : [email protected]

ABSTRACT

Glucagon like peptide-1 (GLP-1) is gut hormone which secreted by intestinal L-cell. Secretion GLP-1 by L-cell dependent on

the presence of nutrients in the lumen of the small intestine. GLP-1 stimulation Glucagon like peptide-1 receptor in pancreatic ß-cell so that increases insulin secretion from the pancreas. Increasing insulin in the blood level to cause inhibits gluconeogenesis in liver. Therefore Glucagon like peptide-1 can reduce blood sugar level especially after eaten. Key words: Glucagon like peptide-1, gluconeogenesis, insulin INTRODUCTION

Some tissues, such as brain and erythrocytes, depend on a constant supply of glucose. If the amount of carbohydrate taken up in food is not sufficient, the blood sugar level can be maintained for a limited time by degradation of hepatic glycogen. If these reserves are also exhausted, de-novo synthesis of glucose (gluconeogenesis) begins. The liver is also mainly responsible for this, but the tubular cells of the kidney also show a high level of gluconeogenetic activity. During fasting and starvation, when hepatic glycogen is depleted, gluconeogenesis is essential for maintenance of blood glucose homeostasis. Gluconeogenesis requires both a source of energy and a source of carbons for formation of the backbone of the glucose molecule. The energy is provided by metabolism of fats released from adipose tissue. The carbons skeletons are provided from three primary sources:

* Lactate produced in tissues such as the red cell by anaerobic glycolysis;

* Amino acids derived from muscle protein; * Glycerol released from tryglycerides during

lipolysis in adipose tissue. Among these, muscle protein is the major

precursor of blood glucose – the rated of gluconeogenesis is often limited by the availability of substrate, including the rate of proteolysis in muscle. During prolonged fasting, malnutrition, or starvation, we loss both adipose and muscle mass. The fat is used both for the general energy needs of the body and to support gluconeogenesis, while most of the amino acids in protein are converted into glucose.

PYRUVATE & PHOSPHOENOLPYRUVATE

Mitochondrial pyruvate carboxylase catalyzes the carboxylation of pyruvate to oxaloacetate, an ATP-requiring reaction in which the vitamin biotin is the coenzyme.

Biotin binds CO2 from bicarbonate as carboxybiotin prior to the addition of the CO2 to pyruvate. A second enzyme, phosphoenolpyruvate carboxykinase, catalyzes the decarboxylation and phosphorylation of oxaloacetate to phosphoenolpyruvate using GTP (or ITP) as the phosphate donor. Thus, reversal of the reaction catalyzed by pyruvate kinase in glycolysis involves two endergonic reactions.

The main source of GTP for phosphoenolpyruvate carboxykinase inside the mitochondrion is the reaction of succinyl-CoA synthetase. This provides a link and limit between citric acid cycle activity and the extent of withdrawal of oxaloacetate for gluconeogenesis. FRUCTOSE 1,6-BISPHOSPHATE & FRUCTOSE 6-PHOSPHATE

The conversion of fructose 1,6-bisphosphate to fructose 6-phosphate, to achieve a reversal of glycolysis, is catalyzed by fructose-1,6-bisphosphatase. Its presence determines whether or not a tissue is capable of synthesizing glycogen not only from pyruvate but also from triosephosphates. It is present in liver, kidney, and skeletal muscle but is probably absent from heart and smooth muscle.

Page 44: Jurnal FK Ed-3

_________________________________________________________________________The Influence of Glucagon ...(Dao, L.H.)

42

GLUCOSE 6-PHOSPHATE & GLUCOSE The conversion of glucose 6-phosphate to

glucose is catalyzed by glucose-6-phosphatase. It is present in liver and kidney but absent from muscle and adipose tissue, which, therefore, cannot export glucose into the bloodstream. GLUCOSE 1-PHOSPHATE & GLYCOGEN

The breakdown of glycogen to glucose 1-phosphate is catalyzed by phosphorylase. Glycogen synthesis involves a different pathway via uridine diphosphate glucose and glycogen synthase.

After transamination or deamination, glucogenic amino acids yield either pyruvate or intermediates of the citric acid cycle. Therefore, the reactions described above can account for the conversion of both glucogenic amino acids and lactate to glucose or glycogen. Propionate is a major source of glucose in ruminants and enters gluconeogenesis via the citric acid cycle. Propionate is esterified with CoA, then propionyl-CoA, is carboxylated to D-methylmalonyl-CoA, catalyzed by propionyl-CoA carboxylase, a biotin-dependent enzyme. Methylmalonyl-CoA racemase catalyzes the conversion of D-methylmalonyl-CoA to L-methylmalonyl-CoA, which then undergoes isomerization to succinyl-CoA catalyzed by methylmalonyl-CoA isomerase. This enzyme requires vitamin B12 as a coenzyme, and deficiency of this vitamin results in the excretion of methylmalonate (methylmalonic aciduria).

Glycerol is released from adipose tissue as a result of lipolysis, and only tissues such as liver and kidney that possess glycerol kinase, which catalyzes the conversion of glycerol to glycerol 3-phosphate, can utilize it. Glycerol 3-phosphate

may be oxidized to dihydroxyacetone phosphate by NAD+ catalyzed by glycerol-3-phosphate dehydrogenase. Gluconeogenesis from lactate

Gluconeogenesis is conceptually the opposite of anaerobic glycolysis, but proceeds by a slightly different pathway, involving both mitochondrial and cystolic enzymes. Blood lactate, produced during anaerobic glycolisis in red cells and exercising skeletal muscle, is used as a substrate for aerobic metabolism in some tissues, such as heart and brain. Gluconeogenesis, the major pathway for lactate metabolism in the liver, converts the lactate back into glucose, using, in part, the same glycolytic enzymes involved in conversion of glucose into lactate. The lactate – glucose cycle involving red cycle, muscle, and liver, is known as the cori cycle.

A critical problem in the reversal of glycolysis is overcoming the irreversibility of three kinase reactions: glucokinase, phosphofructokinase-1, and pyruvate kinase. The fourth kinase in glycolysis, phosphoglycerate kinase, catalyzes a freely reversible, equilabirium reaction, transferring a high energy acyl phosphate in 1,3-biphospho- glycerate to an energetically similar pyrophosphate bond in ATP. To circumvent the three irreversible reactions, the liver uses four unique enzymes: pyruvate carboxylase in the mitochondrion and phosphoenolpyruvate carboxykinase in the cytoplasm to bypass pyruvate kinase, fructose 1,6-bisphosphatase to bypass phosphofructokinase-1, and glucose 6-phosphatase to bypass glucokinase. Because these enzymes are located in different compartemens, substrates, including pyruvate and malate, must be shuttle between the mitochondrion and the cytosol.

Page 45: Jurnal FK Ed-3

_________________________________________________________________________The Influence of Glucagon ...(Dao, L.H.)

43

Gluconeogenesis from lactate involves, first, its conversion into phosphoenol pyruvate, a process requiring investment of two ATP equivalents because of the high energy of the enol-phosphate bond in phosphoenol pyruvate. Lactate is first converted into pyruvate by lactate dehydrogenase, then enters the mitochondrion, where it is converted into oxaloacetate by pyruvate carboxylase, using biotin and ATP. Oxaloacetate is reduced to malate for export from the mitochondrion, then reoxidized to oxaloacetate by cystolic malat dehidrogenase. The

cystolic oxaloacetate is then decarboxylated by phosphoenolpyruvate carboxykinase, using GTP as a cosubstrate, yielding Phosphoenol pyruvate. The energy for synthesis of phosphoenol pyruvate from oxaloacetate is derived from both the GTP and the decarboxylation of oxaloacetate.

Glycolisis may now proceed backwards from phosphoenol pyruvate until it reaches the next irreversible reaction, phosphofructokinase-1. This enzymes is bypassed by a simple hydrolysis reaction, catalyzed by fructose 1,6-bisphosphatase without production of ATP, as would be required

Page 46: Jurnal FK Ed-3

_________________________________________________________________________The Influence of Glucagon ...(Dao, L.H.)

44

by reversal of the phosphofructokinase-1 reaction. Similarly, the bypass of glucokinase is accomplished by hydrolysis of glucose 6-phosphat by glucose-6-phosphatase, without production of ATP. The free glucose is then released into blood. Gluconeogenesis from amino acids and glycerol

Most amino acids are glucogenic, i.e. following deamination their carbon skeletons can be converted into glucose. Alanine and glutamine are the major amino acids exported from muscle for gluconeogenesis. Their relative concentrations in venous blood from muscle exceed their relative concentration in muscle protein, indicating considerable reshuffling of muscle amino acids to provide gluconeogenic substrates. Other amino acids are converted into tricarboxylic acid cycle (TCA-cycle) intermediates, then to malate for gluconeogenesis. Aspartate, for example, is converted into oxaloacetate by aspartate amino transferase, and glutamate into α-ketoglutarate by glutamate dehydrogenase. Other glucogenic amino acids are converted by less direct routes into alanine or intermediates in the tricarboxylic acid cycle for gluconeogenesis. Excess amino groups generated during the transamination reactions are converted into urea, via the urea cycle and the urea is excreted in urine.

Glycerol enters gluconeogenesis at the level of triose phosphates. Following release of glycerol and fatty acids from adipose tissue, the glycerol is taken up into liver and phosphorylated by glycerol kinase, then enters the gluconeogenic pathway as dihydroxyacetone phosphate. Only the glycerol component of fats can be converted into glucose. Odd chain and branched chain fatty acids yield propionyl-Coa, which can serve as a minor precursor for gluconeogenesis. Propionyl-Coa is first carboxylated to methylmalonyl-Coa, which undergoes racemase and mutase reactions to form succinyl-Coa, a tricarboxylic acid cycle intermediate. Succinyl-Coa is converted into malate, exits the mitochondrion and is oxidized to oxaloacetat. Following decarboxylation by phosphoenolpyruvate carboxykinase, the three carbons of propionate appear intact in phosphoenol pyruvate for gluconeogenesis. INCRETINS Incretins are a type of gastrointestinal hormone that cause an increase in the amount of insulin

released from the beta cells of the islets of Langerhans after eating, even before blood glucose levels become elevated. They also slow the rate of absorption of nutrients into the blood stream by reducing gastric emptying and may directly reduce food intake. As expected, they also inhibit glucagon release from the alpha cells of the Islets of Langerhans. The two main candidate molecules that fulfill criteria for an incretin are glucagon-like peptide-1 (GLP-1) and Gastric inhibitory peptide (glucose-dependent Insulinotropic peptide or GIP). Both GLP-1 and GIP are rapidly inactivated by the enzyme dipeptidyl peptidase 4 (DPP-4). The human Proglucagon gene was cloned in 1983 by G. Bell, et al, and the human proglucagon sequence was subsequently deduced. However, the entire GLP-1 molecule had no effect on insulin levels. It was found that only one specific sequence of GLP-1 has insulinotropic effect: GLP-1 (7-36) amide. It is rapidly inactivated to GLP-1 (9-36) by DPP-4 with a plasma half-life of only 1-2 minutes. Glucagon-like peptide-1

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) is derived from the transcription product of the proglucagon gene. The major source of GLP-1 in the body is the intestinal L cell that secretes GLP-1 as a gut hormone. The biologically active forms of GLP-1 are: GLP-1-(7-37) and GLP-1-(7-36)NH2. GLP-1 secretion by L-cells is dependent on the presence of nutrients in the lumen of the small intestine. The secretagogues (agents that causes or stimulates secretion) of this hormone include major nutrients like carbohydrate, protein and lipid. Once in the circulation, GLP-1 has a half life of less than 2 minutes, due to rapid degradation by the enzyme dipeptidyl peptidase-4. The known physiological functions of GLP-1 include:

# increases insulin secretion from the pancreas in a glucose-dependent manner.

# decreases glucagon secretion from the pancreas.

# increases beta cells mass and insulin gene expression.

# inhibits acid secretion and gastric emptying in the stomach.

# decreases food intake by increasing satiety. GLP-1 has multifaceted actions, which include stimulation of insulin gene expression, trophic effects on the beta-cells, inhibition of glucagon

Page 47: Jurnal FK Ed-3

_________________________________________________________________________The Influence of Glucagon ...(Dao, L.H.)

45

secretion, promotion of satiety, inhibition of food intake, and slowing of gastric emptying, all of which contribute to normalizing elevated glucose levels. Regulation of gluconeogenesis

Gluconeogenesis is regulated primarily by hormonal mechanism. The primary control point is at the regulatory enzymes phosphorfructokinase-1 and fructose 1,6-bisphosphatase, which in liver, are exquisitely

sensitive to allosteric effectors fructose 2,6-bisphosphate. Fructose 2,6-bisphosphate is an activator of phosphofructo- kinase-1 and an inhibitor of fructose 1,6-bisphosphatase. In the phosphorylated state, under the influence of glucagon, this enzymes displays fructose 2,6-bisphosphatase activity, reducing the level of fructose 2,6-bisphosphate, which simultaneously decreases the stimulation of glycolysis (phosphofructokinase-1) and relieves inhibition of gluconeogenesis (fructose 1,6-bisphosphatase)

The coordinate, allosterically-mediated

decrease in phosphofructokinase-1 and increase in fructose 1,6-bisphosphatase activity ensures that glucose made by gluconeogenesis is not consumed by glycolysis in a futile cycle, but released into blood by glucose 6-phosphatase. Similarly, any flux of glucose from glycogen, also induced by glucagon, is diverted to blood, rather than glycolysis, by inhibition of phosphofructokinase-1. Pyruvate kinase is also inhibited by phosphorilation by protein kinase A,

providing an additional site for inhibition of glycolysis.

When glucose enters the liver following a meal, insulin mediates the dephosphorylation of phosphofructokinase-2/fructose 2,6 bisphosphatase turning on its phosphofructokinase-2 activity. The resultant increase in fructose 2,6-bisphosphate activates phosphofructokinase-1 and inhibits fructose 1,6-bisphosphatase activity. Gluconeognesis is inhibited, and glucose entering the liver is then

Page 48: Jurnal FK Ed-3

_________________________________________________________________________The Influence of Glucagon ...(Dao, L.H.)

46

incorporated into glycogen or routed into glycolysis and lipogenesis. Thus, liver metabolism following is focused on synthesis and storage of both carbohydrate and lipid energy reserves, which it will later use, in the post absorptive state, for maintenance of blood glucose and fatty acid homeostasis.

Gluconeogenesis is also regulated in the mitochondrion by acetyl-Coa. The influx of fatty acids from adipose tissue, stimulated by glucagon to support gluconeogenesis, leads to an increase in hepatic acetyl-Coa, which is both an inhibitor of pyruvate dehydrogenase and an essential allosteric activator of pyruvate carboxylase. In this way, fat metabolism inhibits the oxidation of pyruvate and favor gluconeogenesis in liver, in muscle, the utilization of glucose is limited both by the low level of GLUT-4 in the plasma membranes and by inhibition of pyruvate dehydrogenase by acetyl-Coa. Active fat metabolism and high levels of acetyl-Coa in muscle promote the excretion of a significant fraction of pyruvate as lactate, even in the resting state. CONCLUSION

GLP-1(7-36) NH2 have activity Insulinotropic, but its can inactivity to GLP-1(9-36) NH2 by enzyme dipeptidyl peptidase-4(DPP-4). With given DPP-4 inhibitor, GLP-1(7-36) NH2 can stimulation GLP-1 receptor in ß-pancreatic cells then increase insulin secretion. Increase insulin level in blood can inhibits lypolysis then decrease glycerol. Inhibits lipolysis can decrease of [ATP]/[ADP] ratio leads to activity of pyruvate kinase, then increase [pyruvate]/[lactate] ratio. This condition leads to inhibits gluconeogenesis.

DPP-4 inhibitor also inhibited pyruvate carboxylase, inhibited phosphoenol pyruvate carboxykinase, inhibited fructose 2,6-bisphosphatase, stimulated phosphofructose kinase-2, stimulated phosphofructokinase-1,and inhibited fructose 1,6-bisphosphatase.

DPP-4 inhibitor can activated glucokinase or heksokinase. Thus, at summary DPP-4 inhibitor can stimulated glycolysis and inhibited gluconeogenesis. This effect of DPP-4 is useful for patient with diabetes mellitus type I (Insulin dependent diabetes mellitus) or type II (Non-Insulin dependent diabetes mellitus).

REFERENCES Brubaker PL, Drucker DJ (2002). "Structure-

function of the glucagon receptor family of G protein-coupled receptors: the glucagon, GIP, GLP-1, and GLP-2 receptors". Recept. Channels 8 (3-4): 179-88.

Baynes J, Dominiczak MH, Medical Biochemistry, Mosey,2003 :139-155, 201-216,243-265

D’Alessio DA, Vogel R, Prigeon R, et al. 1996 Elimination of the action of glucagon-like peptide 1 causes an impairment of glucose tolerance after nutrient ingestion by healthy baboons. J Clin Invest 97:133–138

Donovan CM, Sumida KD 1997 Training enhanced hepatic gluconeogenesis: The importance for glucose homeostasis during exercise. Med sci sports exercise 29: 628-634.

Koolman J, Roehm KH, Color Atlas of Biochemistry, Thieme,2005 :224, 381,389

Kolligs F, Fehmann HC, Goke R, Goke B 1995 Reduction of the incretin effect in rats by the glucagon-like peptide 1 receptor antagonist exendin (9–39) amide. Diabetes 44:16–19

Kieffer TJ, Habener JF 1999 The glucagon-like peptides. Endocr Rev 20:876–913

Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Pathology Basic of Disease : THE ENDOCRINE PANCREAS, Elsevier Saunders, 2005 1189-1203

Marks DB,Marks AD, Smith CM, Basic Medical Biochemistry: A Clinical Approach, Williams & wilkins, 1996 :243-265;201-216

Meier J, Weyhe D, Michaely M, Senkal M, Zumtobel V, Nauck M, Holst J, Schmidt W, Gallwitz B (2004). "Intravenous glucagon-like peptide 1 normalizes blood glucose after major surgery in patients with type 2 diabetes.". Crit Care Med 32 (3): 848-51.

Murray RK, Granner DK et al, Harper’s Illustrated Biochemistry 26 th edition, Lange medical book,2003 :466-470

Orskov C, Rabenhoj L, Wettergren A, Kofod H, Holst JJ 1994 Tissue and plasma concentrations of amidated and glycine-extended glucagon-like peptide in humans. Diabetes 43:535–539

Orskov C, Wettergren A, Holst JJ 1993 Biological effects and metabolic rates of glucagon-like peptide-1(7–36) amide and glucagon-like peptide-1(7–37) in healthy subjects are indistinguishable. Diabetes 42:658–661

Page 49: Jurnal FK Ed-3

_________________________________________________________________________The Influence of Glucagon ...(Dao, L.H.)

47

Toft-Nielsen M, Madsbad S, Holst J (2001). "Determinants of the effectiveness of glucagon-like peptide-1 in type 2 diabetes.". J Clin Endocrinol Metab 86 (8): 3853-60

Wang Z, Wang RM, Owji AA, Smith DM, Ghatei MA, Bloom SR 1995 Glucagon-like peptide-1 is a physiological incretin in rat. J Clin Invest 95:417–421

Page 50: Jurnal FK Ed-3

_____________________________________________________________________Pencegahan dan pembelaan ...(Ibrahim Nyoto)

49

PENCEGAHAN DAN PEMBELAAN DIRI DOKTER TERHADAP TUDUHAN MALPRAKTEK

Ibrahim Njoto

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

Alumnus Pasca Sarjana Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

ABSTRAK Dokter yang melakukan praktek kedokteran merupakan profesi yang rawan dituduh melakukan malpraktek oleh pasien, pengetahuan tentang Hukum Kedokteran dan Hukum Peradilan Umum perlu diketahui oleh Dokter, sebagai upaya pencegahan dan pembelaan diri terhadap tuduhan malpraktek. Kata kunci : malpraktek, hukum kedokteran dan hukum peradilan umum, pencegahan dan pembelaan diri, tuduhan malpraktek.

ABSTRACT Physician as a medical practicioners was fragile profession to malpractice misconduct by patient, a knowledge of medical law and general law must be known by physician, as a prevention and to defend against a malpractice accusation. Key words : malpractice, medical law and general law, prevention and to defend, malpractice accusation. PENDAHULUAN Profesi Dokter merupakan profesi yang rawan timbul permasalahan hubungan antara dokter dan pasien, umumnya pasien menilai pelayanan pengobatan, komunikasi yang terbina, tindakan medis yang dilakukan dokter, serta hasil dari pengobatan; apabila pasien puas maka tidak timbul permasalahan tetapi bila timbul rasa tidak puas maka dapat timbul tuduhan dokter telah melakukan malpraktek. Praktek kedokteran merupakan pelayanan jasa pengobatan yang diberikan dokter kepada pasien, hubungan ini merupakan hubungan kepercayaan berdasarkan keahlian medis. Hubungan Dokter den pasien merupakan hubungan kebersamaan yang tidak terpisahkan beriring bersama dalam upaya pencapaian kesembuhan, dimana dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu : faktor pasien, faktor dokter dan faktor penyakitnya. Proses hubungan tersebut melalui tahapan INPUT—PROSES—OUTPUT, dokter memegang peranan penting dalam tahapan proses diatas, oleh karena itu dibutuhkan kecermatan dalam melakukan praktek kedokteran. Pada tahapan INPUT, seorang dokter harus membina komunikasi Dokter-Pasien yang efektif sehingga tidak terjadi kesalahpahaman, juga mengisi rekam medik yang lengkap dan bertanggung jawab serta tidak lupa meminta Informed Concent apabila dibutuhkan. Tahapan INPUT merupakan tahapan yang menentukan kelancaran hubungan Dokter-Pasien, bila tahapan

ini terbina dengan baik dan efektif maka dapat diminimalisasi kemungkinan terjadinya tuduhan dugaan malpraktek terhadap dokter. Lahirnya UU no 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi kalangan dokter, pasien dan aparat penegak hukum, tetapi dengan lahirnya undang-undang tersebut fakta dilapangan semakin tinggi pengaduan malpraktek yang dituduhkan kepada dokter, oleh karena itu dokter hendaknya mengetahui peraturan perundangan baik yang bersifat umum, misalnya : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan peraturan perundangan yang bersifat kusus, misalnya : UU no 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran; sehingga dokter dapat melakukan langkah-langkah pencegahan dan pembelaan diri terhadap tuduhan malpraktek. Tidak seluruh pengaduan malpraktek dapat dibuktikan kebenarannya, sebagian besar merupakan salah pengertian hubungan dokter-pasien, efek samping obat, resiko tindakan medis, proses perjalanan penyakit, penyulit penyakit sebelumnya, atau hanya berupa hasutan dari pihak-pihak tertentu, Etika Pers yang tidak profesional, pengetahuan hukum kedokteran yang kurang dimiliki oleh aparat penegak hukum; sehingga sering terjadi Carracter assasination atau Trial by Pers yang merugikan pihak dokter. Karya Tulis ini diharapkan memberikan wawasan hukum kepada kolega dokter, sehingga dapat melakukan praktek kedokteran sesuai peraturan yang berlaku dan dapat melakukan

Page 51: Jurnal FK Ed-3

_____________________________________________________________________Pencegahan dan pembelaan ...(Ibrahim Nyoto)

50

langkah-langkah pencegahan dan pembelaan diri secara hukum terhadap tuduhan dugaan malpraktek oleh pihak pasien, pihak aparat penegak hukum, tanpa rasa ragu-ragu ataupun rasa tak berdaya. PEMBAHASAN

Seorang dokter yang sehat jasmani dan rohani, saat melakukan praktek kedokteran selalu mengutamakan keselamatan pasien dan tidak ada niatan untuk mencelakai pasien dari sejak awal praktek. Dokter dalam melakukan praktek kedokteran perlu membekali diri tentang pengetahuan tentang Hukum Kedokteran dan KUHP agar dapat memenuhi kewajiban dokter sesuai amanat perundangan yang berlaku serta melakukan praktek kedokteran yang baik dan benar, hal ini dapat mencegah terjadinya tuduhan dugaan malpraktek terhadap dokter.

Malpraktek atau malpractice berarti praktek yang jelek/salah, dalam sistem perundangan Republik Indonesia tidak dijumpai istilah dan definisi tentang malpraktek, tetapi seiring dengan lahirnya UU no 29 tahun 2004 makin populer istilah malpraktek pada kalangan pers. Acuan suatu tindakan dokter tergolong malpraktek, bila memenuhi unsur 4D yaitu : Duty, Damaged, Dereliction of that duty, Direct causal of relationship

Hukum Republik Indonesia menganut Positif-Normatif, yang berarti bahwa segala yang tertulis merupakan bukti kuat di peradilan umum, oleh karena itu dokter harus cermat dalam menyusun Rekam Medis agar menjadi alat bukti yang benar di depan peradilan.

Pencegahan terhadap tuduhan dugaan malpraktek dapat dilakukan oleh dokter dengan cara melakukan praktek kedokteran yang baik dan benar, yaitu terikat :

1) Moral (kepada Sang Pencipta), melalui Sumpah Dokter.

2) Etika Kedokteran kepada organisasi profesi dan masyarakat kedokteran.

3) Disiplin Kedokteran kepada Konsil Kedokteran Indonesia.

4) Hukum Kedokteran, Hukum Pidana-Perdata dan administrasi kepada Negara dan masyarakat umum.

Apabila kewajiban dokter telah dipenuhi menurut aturan perundangan yang berlaku, maka

dokter memiliki ”Payung Hukum” untuk melakukan praktek kedokteran.

Praktek kedokteran dilaksanakan dengan melalui tahapan INPUT—PROSES—OUTPUT, dimana peran dokter sangat menentukan sejak awal dalam membina hubungan dokter-pasien/tahapan INPUT, bila tahapan Input terbina baik maka selanjutnya memasuki tahap Proses/tahap pengobatan atau tindakan medis dalam upaya pencapaian kesembuhan dapat dilaksanakan oleh dokter secara cermat dengan harapan memperoleh hasil pengobatan/output yang baik dengan rahmat Sang Pencipta. Seorang dokter dalam berpraktek dilarang men-JANJI-kan kesembuhan pada pasien dengan menjamin besaran biaya pengobatan atau lamanya proses pengobatan, sebab dokter adalah seorang manusia yang tak sempurna dan bukan DEWA.

Beberapa contoh pelanggaran seorang dokter, yang dapat diadukan adalah sebagai berikut:

Tidak kompeten misalnya seorang dokter umum melakukan tindakan aborsi; tidak merujuk, seorang dokter jaga poliklinik tidak merujuk pasien contusio cerebri dengan cermat, sehingga timbul squele otak; pendelegasian kepada tenaga kesehatan yang tidak kompeten, seorang dokter menyerahkan kondisi monitor keadaan vital pasien kepada siswa Ak-Per; dokter pengganti tidak memiliki Surat Ijin Praktek, seorang dokter senior berhalangan praktek, kemudian menyerahkan praktek kepada dokter lain yang tidak memiliki ijin praktek sebagai pengganti; tidak layak praktek/tidak sehat jasmani dan rohani, seorang dokter spesialis bedah menderita sakit tetapi memaksakan diri untuk tetap melakukan operasi; kelalaian dalam penatalaksanaan pasien, pasien menderita pendarahan yang banyak, kemudian dilakukan rehidrasi cairan yang seharusnya segera diusahakan transfus; pengobatan dan pemeriksaan yang berlebihan, seorang pasien wanita hamil yang dapat partus per vagina tetapi dilakukan partus dengan sectio caezaria; tidak memberikan informasi yang benar, seorang dokter tidak menjelaskan secara rinci tentang resiko tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien dan keluarganya; tidak membuat informed concent tertulis, seorang dokter spesialis Obsgyn melakukan pertolongan pendarahan per vagina dengan melakukan curetage tanpa disertai persetujuan tindakan medis secara tertulis tetapi hanya secara lisan, hal ini rawan tuntutan dari pihak pasien apabila hasil pengobatan tidak memuaskan; tidak menyusun

Page 52: Jurnal FK Ed-3

_____________________________________________________________________Pencegahan dan pembelaan ...(Ibrahim Nyoto)

51

rekam medis, seorang dokter praktek swasta, tidak menyusun rekam medis; menghentikan kehamilan tanpa indikasi medis, seorang dokter melakukan tindakan abortus tanpa indikasi medis; melakukan praktek kedokteran yang belum diakui kebenarannya, seorang dokter melakukan terapi kombinasi antara pengobatan medis dan pengobatan supranatural; euthanasia, seorang dokter menghentikan peralatan penunjang kehidupan pada pasien vegetatif yang kronis di Rumah Sakit; tidak melakukan pertolongan darurat, seorang dokter yang menjumpai pasien dalam kondisi darurat, tidak memberikan pertolongan; penelitian klinis tanpa persetujuan tertulis, seorang dokter melakukan penelitian klinis pada pasiennya tanpa meminta persetujuan tertulis; menolak/menghentikan pengobatan tanpa alasan yang benar, seorang dokter perusahaan menghentikan proses pengobatan pada karyawan perusahaan atas permintaan pihak personalia dengan alasan biaya, padahal secara medis belum sembuh; memberikan surat keterangan dokter yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, seorang dokter verifikator asuransi melakukan penilaian langsung terhadap klaim, tanpa melakukan penyelidikan kasus secara cermat dari pasien dan dokter yang merawat; membuka rahasia medis tanpa izin, seorang dokter membuka rahasia medis tanpa persetujuan tertulis dari pihak pasien-pemilik sarana kesehatan dan dilakukan bukan di depan peradilan; melakukan pelanggaran susila, seorang dokter memeriksa payudara pasien tanpa indikasi medis; membuat peresepan narkotik-opioid tanpa indikasi medis, seorang dokter meresepkan obat psikotropika tanpa indikasi medis yang tepat; ketergantungan Napza, seorang dokter turut kecanduan obat psikotropika; menerima komisi atas peresepan, adanya kolusi antara dokter dan apotik dimana obat yang diracik hanya disediakan pada apotik tertentu; melakukan intimidasi/kekerasan, seorang dokter memaksa pasien untuk menerima suatu tindakan medis dengan intimidasi atau kekerasan; memakai gelar palsu, seorang dokter umum memakai gelar dokter spesialis sebagai upaya menyakinkan pasien; STR/SIP/Surat Kompetensi yang tidak sah, seorang dokter tetap menjalankan praktek kedokteran walaupun tidak memiliki STR/SIP yang sah; pengiklanan diri yang tidak benar/menyesatkan, seorang dokter melakukan promosi tentang kemampuan pengobatan yang dimilikinya; imbal jasa yang tidak sesuai dengan tindakan, seorang dokter mematok tarif pengobatan yang tinggi tidak sesuai dengan

tingkat kesulitan tindakan medis yang dilakukan; tidak memberikan keterangan yang diminta MKDKI, seorang dokter menolak memberikan keterangan saat diperiksa oleh MKDKI.

Kondisi diatas merupakan tindakan dokter yang dapat diadukan secara etik, disiplin ataupun secara hukum/litigasi, oleh karena itu patut dilakukan pencegahan untuk melanggarnya.

Beberapa macam istilah berkaitan dengan Malpraktek, yaitu : a) Negligence/Culpa, yaitu melakukan praktek kedokteran tetapi lalai sehingga dapat berakibat fatal pada pasien, misalnya : kelalaian merujuk, kelalaian berkonsultasi dengan dokter yang merawat sebelumnya, memberikan instruksi per-telepon, tidak dapat dihubungi saat pasien memerlukan, tidak membuat surat rujukan saat merujuk, lalai mendeteksi suatu gejala infeksi yang akan timbul sebagai keadaan komplikasi. Keadaan diatas dapat terjerat KUHP pasal 359-360 dengan ancaman penjara paling lama lima tahun. b) Lack of Skills, yaitu melakukan tindakan medis dengan pengalaman yang kurang atau diluar kemampuan ketrampilannya, misalnya : dokter spesialis bedah melakukan curetage, dokter umum melakukan abortus provocatus criminalis. Keadaan demikian dapat juga berakibat fatal pada pasien, mengandung unsur kesengajaan/tahu bahwa bukan keahliannya dan dapat terjerat KUHP pasal 338 jo 347-348 dengan ancaman hukuman penjara paling lama lima belas tahun. c) Medical Error, yaitu melakukan tindakan medis terencana tetapi tidak berhasil akibat terjadi kesalahan tertentu yang tidak sengaja dilakukan, misalnya : operasi ”closed cholecystectomy” yang gagal karena pemotongan ductus cysticus yang tidak benar walaupun prosedur pelaksanaan operasi telah mengikuti aturan baku. Keadaan ini memerlukan saksi ahli dan biasanya dokter juga mendapat perlindungan dari asosiasinya tentang keadaan yang terjadi. d) Medical Blunder yaitu melakukan tindakan medis yang bodoh, buruk, tidak sesuai dengan aturan baku dan menyebabkan output yang fatal/merugikan pasien, misalnya : menegakkan diagnosa dan melakukan operasi mastectomy tanpa didahului pemeriksaan FNA, hanya berdasarkan Mammography, melakukan sirkumsisi pada pasien dengan hipospadia. Keadaan ini mirip dengan culpa tetapi lebih ke

Page 53: Jurnal FK Ed-3

_____________________________________________________________________Pencegahan dan pembelaan ...(Ibrahim Nyoto)

52

arah pelanggaran prinsip aturan baku, dapat dijerat dengan KUHP yang sama dengan culpa. e) Medical Accident, yaitu melakukan tindakan medis yang benar dan sesuai aturan baku tetapi dalam proses terjadi keadaan yang tidak disengaja, misalnya : pemasangan IUD coper-T yang benar dan telah dilakukan USG tetapi etrjadi kehamilan pada pasien tersebut, saat proses operasi terjadi kerusakan alat respirator sehingga mengakibatkan pasien koma. Keadaan ini merupakan kondisi yang tidak direncanakan, terjadi diluar kehendak sehingga perlu pembuktian unsur tidak diinginkan yang timbul tersebut agar lolos dari jerat hukum. f) Medical Risk/Resiko Medis, yaitu melakukan tindakan medis yang benar dan sesuai aturan baku serta telah dilengkapi persetujuan tindakan medis/informed concent, tetapi output-nya tidak sesuai harapan dokter-pasien, misalnya : operasi trepanasi pada kasus CVA haemoragis yang berhasil tetapi post-op pasien tetap koma dan meninggal beberapa hari kemudian, pengobatan Radio-Tx menyebabkan kebotakan total pasien, pemberian obat-obat tertentu menyebabkan Steven Johnson Syndrome, pemberian antibiotika menyebabkan alergi sampai shock anafilaktik, pasien anak dengan febris, diberi obat per-oral tidak timbul respons terapi malah timbul kejang-kejang. Keadaan ini sering merupakan efek samping obat, proses perjalanan penyakit yang parah, resiko tindakan medis; diperlukan input yang terbina baik antara dokter-pasien berupa komunikasi yang efektif sehingga dapat dihindari kesalahpahaman yang berujung pada tuduhan dugaan malpraktek terhadap dokter. PEMBELAAN DIRI DOKTER

Hukum di Republik Indonesia menganut asas Praduga Tak Bersalah/Presumption of Innocence dan Persamaan Derajat di depan Hukum/Equality Before The Law, sehingga dokter tidak perlu takut untuk melakukan langkah pembelaan hukum asalkan telah melakukan praktek kedokteran yang baik dan benar sesuai dengan moral, etika, disiplin kedokteran dan hukum kedokteran serta hukum pidana, berupa melaksanakan amanat yang terkandung dan mencegah melakukan larangan yang tertulis disertai ancaman sanksi. Dokter yang telah melakukan seluruh kaidah diatas telah memperoleh ”Payung Hukum” untuk melakukan praktek kedokteran dengan cermat dan berhati-hati.

Pembelaan diri dokter mencakup dua faktor, yaitu : 1) Faktor Internal :

a) Memiliki STR, SIP dan Surat Kompetensi yang berlaku (sesuai UU no 29 tahun 2004).

b) Menyusun Rekam Medis dan Informed Concent yang benar (sesuai ManualKonsil Kedokteran Indonesia ).

c) Melakukan praktek kedokteran yang sesuai Standar Kompetensi Dokter serta penyelenggaraan praktek kedokteran yang baik di Indonesia ( sesuai Manual KKI ).

d) Melakukan komunikasi efektif dokter-pasien dan membina kemitraan dokter-pasien ( sesuai manual KKI ), menjelaskan diagnosa, rencana tindakan medis, persetujuan tindakan medis, resiko tindakan medis yang akan dilakukan, komplikasi yang dapat timbul; penjelasan tersebut dilakukan terhadap pasien dan keluarganya disaksikan staf paramedis.

e) Memiliki integritas diri, tidak mudah stress dan tidak takut menempuh jalur hukum.

2) Faktor Eksternal : a) Meminta perlindungan dari organisasi

profesi atau asosiasi spesialis tertentu. Misalnya : IDI, IKABI, POGI.

b) Melakukan hak-jawab/klarifikasi terhadap Pers atas tuduhan dugaan malpraktek sambil mengumpulkan alat-bahan bukti di peradilan umum, berupa: rekam medis, informed concent, berkas hasil pemeriksaan penunjang, laporan operasi, dokumen rekaman operasi, bentuk komunikasi tertulis lain;

c) Mempersiapkan tim pembela di depan peradilan umum, memilih pengacara, mempersiapkan saksi ahli.

d) Melakukan tuntutan balik terhadap tuduhan dugaan malpraktek melalui jalur hukum/litigasi berdasarkan pasal KUHP, yaitu : - pasal 310 tentang pencemaran nama

baik, ancaman penjara max 9 bulan. - pasal 311 tentang fitnah terkait

pencemaran nama baik, ancaman penjara max 4 tahun.

- pasal 315 tentang penghinaan, ancaman penjara max 4 bulan 2 minggu.

- pasal 317 tentang pengaduan palsu, ancaman penjara max 4 tahun.

Page 54: Jurnal FK Ed-3

_____________________________________________________________________Pencegahan dan pembelaan ...(Ibrahim Nyoto)

53

- pasal 318 tentang persangkaan palsu, ancaman penjara max 4 tahun.

- pasal 322 tentang membuka rahasia, ancaman penjara max 9 bulan.

- pasal 242 tentang sumpah palsu, ancaman penjara max 7-9 tahun.

e) Mempersiapkan langkah-langkah mediasi dengan menggunakan jasa mediator.

Seluruh faktor diatas menjadi pertimbangan dokter dalam melakukan pembelaan diri terhadap tuduhan dugaan malpraktek. KESIMPULAN Profesi Dokter merupakan profesi yang rawan terhadap tuduhan dugaan malpraktek, hal ini dapat dihindari jika dokter berpraktek sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Proses pengobatan melalui tiga tahapan, yaitu : INPUT—PROSES—OUTPUT, dokter berperan maksimal pada tahap Input untuk membina komunikasi dan hubungan dokter-pasien yang efektif sehingga dapat mencegah timbulnya kesalahpahaman. Dokter sebagai subyek hukum dapat melakukan pembelaan diri dengan melakukan tuntutan balik atas tuduhan dugaan malpraktek yang merugikannya asalkan dokter tersebut telah melakukan praktek secara prosedural. SARAN Seorang Dokter akan merasa aman terlindungi oleh Hukum Kedokteran dan Hukum Peradilan

Umum, apabila telah melaksanakan syarat-syarat yang telah diatur dan tidak melakukan Praktek Kedokteran atau tindakan medis yang melawan Hukum yang berlaku DAFTAR PUSTAKA Anny Isfandyarie.,dkk.(2006).: Tanggung Jawab

Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku ke II, volume 2, edisi pertama, Jakarta, Prestasi Pustaka.

As’ad Sungguh.(2004).: 25 Etika Profesi, edisi kedua, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 105-108. Danny Wiradharma.(1996).: Penuntun Kuliah

Hukum Kedokteran, edisi pertama, Jakarta, Binarupa Aksara, hal.87-110.

J.Guwandi.(2004).: Hukum Medik, edisi pertama, Jakarta, Balai Penerbit FKUI, hal 22-59. J.Guwandi.(2005).: Medical Error dan Hukum

Medis, edisi pertama, Jakarta, Balai Penerbit FKUI, hal 59-101.

Moeljatno.(1996).: KUHP, edisi sembilan belas, Jakarta, Bumi Aksara. Konsil Kedokteran Indonesia, 2006, Standar Kompetensi Dokter, Jakarta. Konsil Kedokteran Indonesia, 2006, Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik Di Indonesia, Jakarta. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Praktek Kedokteran, Jakarta.

Page 55: Jurnal FK Ed-3

_____________________________________________________________________Pencegahan dan pembelaan ...(Ibrahim Nyoto)

54