judul : dinamika pementasan drama gong di bali tahun...
TRANSCRIPT
ii
Judul : Dinamika Pementasan Drama Gong di Bali
Penulis : Dr. Drs. I Wayan Sugita, M.Si
Penerbit : Sekdut Bali Performing Arts Community
Alamat : Perumahan Taman Lembu Sora, No. 6, Dusun
Poh Gading, Desa Ubung Kaja, Denpasar.
Tahun Terbit : Desember 2016
ISBN : 978-602-60409-0-9
iii
PENGANTAR PENULIS
Om Swastyastu,
Seni pertunjukan drama gong merupakan salah satu
kesenian tradisional yang hidup di antara kesenian tradisional
lainnya di Bali. Kesenian ini terbentuk dari kolaborasi antara
kesenian tradisional sendratari,arja,dan teater modern barat yang
diiringi gamelan gong. Seni pertunjukan ini dalam perjalanannya
mengalami dinamika. Pada sekitar tahun 1970-an sampai dengan
tahun 1980-andrama gong sempat mengalami masa kejayaan.
Kesenian yang tergolong seni balih-balihan ini tidak saja menjadi
seni tontonan, melainkan masyarakat sampai ke pelosok pedesaan
pun ikut menjadi praginadrama gong. Drama gong yang sudah
mempunyai nama melakukan pementasan setiap hari.Akan tetapi,
setelah beberapa stasiun televisi menayangkan berbagai hiburan
modern dari luar, kehidupan drama gong menjadi terpinggirkan.
Kini drama gong jarang mendapat tanggapan untuk pentas dari
masyarakat. Namun, sebagai upaya pelestarian, drama gong selalu
dipentaskan dalam ajang Pesta Kesenian Bali, Bali Mandara
Mahalango dan Bali Mandara Nawa Natya.
Berdasarkan fenomena itu, dinamika kehidupan drama
gong di Bali menjadi sebuah pembahasan menarik, baik dari segi
sosial budaya maupun kehidupan beragama dalam masyarakat.
Karya ini mencoba menemukan faktor penyebab seni pertunjukan
drama gong di Balimengalami dinamika; untuk menganalisis dan
memahami bentuk dinamika seni pertunjukan drama gongserta
menganalisis dan memahami implikasi dinamika seni pertunjukan
drama gong terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat. Karya
ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dalam
meningkatkan wawasan, terutama tentang eksistensi seni
pertunjukan drama gong, yang memiliki bentuk, fungsi, dan
implikasi serta mengantarkan mereka ke arah pemahaman yang
holistik tentang keberadaan drama gong di Bali. Bagi pemerintah,
baik pusat maupun daerah hasil penelitian ini dapat dijadikan
bahan pertimbangan dalam melaksanakan program pembangunan
di bidang seni budaya, khususnya seni pertunjukan tradisional
Bali, termasuk drama gong sebagai media komunikasi tradisional
yang dapat menyampaiakan nilai-nilai pendidikan dalam arti
seluas-luasnya.
Om Shantih, Shantih, Shantih Om
Penulis
iv
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II BENTUK DINAMIKA PERTUNJUKAN DRAMA
GONG 12
Dinamika dalam Bentuk Tema 13
Sesuai dengan Permintaan Pasar 13
Sesuai dengan Keperluan Upacara 18
Sesuai dengan Situasi Sosial Masyarakat 20
Sesuai dengan Wacana 27
Dinamika dalam Organisasi 28
Sekaadrama gong dalam Bentuk Sebunan29
Sekaadrama gong Profesional 31
Dinamika dalam Hal Iringan/Gamelan 33
Gamelan Janger 33
Gong Kebyar 33
Semar Pagulingan 37
BAB III DINAMIKA DRAMA GONG DALAM
FUNGSINYA39
Fungsi sebagai Hiburan41
Fungsi sebagai Media Pendidikan44
Fungsi sebagai Media Sosialisasi Program48
Fungsi sebagai Media Penggalian Dana51
BAB IV PENUTUP 55
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
Selain memiliki alam yang indah, pulau Bali juga kaya
akan seni budaya tradisional. Di daerah ini terdapat bebagai
macam seni pertunjukan, baik seni tari, seni suara, maupun seni
karawitan. Semua kesenian itu memiliki fungsi bagi kehidupan
masyarakat. Menurut hasil seminar kesatuan tafsir terhadap
aspek-aspek agama Hindu yang diselenggarakan pada tahun 1971,
seni pertunjukan diklasifikasikan menjadi tiga golongan, yakni tari
wali, tari bebali, dan tari balih-balihan (Bandem, 1996:49). Seni tari
wali merupakan tarian sakral yang berfungsi sebagai pelengkap
pelaksana dalam upacara keagamaan. Seni pertunjukan ini
disuguhkan di tempat-tempat tertentu yang erat hubungannya
dengan upacara agama. Seni wali menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kronologis upacara-upacara tersebut.Contoh seni
wali, yakni antara tari rejang dan pertunjukan wayang sapuh leger.
Seni tari bebali adalah seni pertunjukan yang erat
hubungannya dengan upacara keagamaan, berfungsi sebagai
pengiring upacara, baik di dalam pura maupun di luar pura.
Contoh seni bebali ini, yakni topeng, wayang kulit. Di pihak lain
seni tari bali-balian adalah segala seni pertunjukan yang fungsinya
lebih mengutamakan hiburan. Beberapa contoh tari balih-balihan
adalah tari joged, janger, sendratari, arja, dan drama gong.
Senada dengan penggolongan fungsi seni itu, secara
umum Soedarsono (2002:15) mengemukakan bahwa seni
pertunjukan memiliki tiga fungsi, yaitu (1) untuk kepentingan
upacara ritual, (2) sebagai hiburan pribadi, dan (3) sebagai
penyajian estetis atau tontonan. Dalam perkembangan
selanjutnya, seni dapat pula berfungsi sebagai sarana pendidikan,
media terapi, dan sebagai sarana komunikasi. Tiap-tiap fungsi
tersebut dapat berkembang secara terpisah tanpa mengurangi
makna dan tujuan penciptanya.
Dalam masyarakat tradisional, Soedarsono lebih jauh
mengemukakan bahwa fungsi seni untuk pemujaan berlangsung
pada masa ketika peradaban manusia masih sangat terbelakang.
Kehidupan kesenian waktu itu belum mengenal adanya instrumen
musik, busana, gerak, tata panggung, dan lain-lainnya, seperti
2
kesenian pada masa kini. Kecenderungan seni ritual pada masa
lalu lebih menekankan misi daripada fisik atau bentuk. Oleh
karena itu, bentuk seni ritual untuk pemujaan pada masa silam
sangat sederhana, baik dari aspek musik iringan, busana (kostum),
rias, gerak, maupun penggunaan dekorasi sebagai setting
pertunjukan. Sebagai tuntunan, fungsi seni pertunjukan lebih
menyentuh pada misi yang secara verbal diungkapkan. Para
pelaku seni lebih dituntut untuk menyampaikan pesan moral
kepada masyarakat atau penonton. Kemudian sebagai hiburan,
seni ini diharapkan mampu memberikan kesenangan pada
seseorang atau kelompok orang yang berada di sekitar
pertunjukan.
Pada era modern fungsi seni berkembang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat modern yang sangat beragam dan
kompleks. Seni secara jelas dapat dijumpai di setiap elemen dan
situasi kehidupan. Mungkin pada masa lalu seni juga sudah
mengusung berbagai fungsi, tetapi tidak tampil secara jelas.Fungsi
senidalam masyarakat moderndapat dikemukakan sebagai (1)
ekspresi/aktualisasi diri, (2) pendidikan, (3) industri, (4) seni
terapi,dan (5) komersial/instant (Casjan, 2012:3).
Sebagai fungsi ekspresi/aktualisasi diri, kecenderungan
fungsi seni pertunjukan ini merupakan perwujudan dari
semboyan “seni untuk seni”. Tidak ada orang yang dapat
mengganggu gugat ekspresi seni dalam penampilannya.
Kebebasan di sini lebih menekankan pada pencapaian tujuan
tertentu yang diperjuangkan. Seni pertunjukan sebagai
pendidikan merupakan elemen mendasar yang perlu dipahami
karena esensi seni sebenarnya tidak dapat lepas dari muatan
edukatif. Dengan kalimat lain, apa yang dituangkan ke dalam
berbagai cabang seni merupakan sarana untuk mewujudkan
tujuan membentuk budi pekerti seseorang.
Fungsi seni sebagai industri lebih mengarah pada tujuan
atau kepentingan tertentu untuk mendukung satu produk
tertentu. Seni untuk industri adalah sesuatu yang mampu
memberikan daya tarik pada produk yang ditawarkan. Misalnya,
sebuah lagu dibuat untuk kepentingan iklan produk susu. Atau
ketika seorang penata tari membuat koreografi untuk
menggambarkan sesuatu yang terkait dengan keperkasaan
seseorang lewat iklan rokok. Selanjutnya, fungsi seni untuk terapi
digunakan secara khusus memberikan ketenangan batin seseorang
yang sedang menderita secara psikis. Masalah kejiwaan yang
dihadapimanusia seringkali membutuhkan media untuk
3
menyelesaikannya. Salah satu cara tersebut dapat ditempuh
dengan melakukan aktivitas di dunia seni. Dengan berolah seni,
seseorang yang memiliki permasalahan atau tekanan jiwa akan
terobati. Dengan demikian, orang belajar seni untuk terapi sebagai
media untuk memberikan siraman estetis melalui kegiatan seni
yang digemari.
Terakhir, seni untuk kategori sebagai alat mendatangkan
keuntungan (entertaiment) ini bisa dibuat sesuai dengan keperluan
dan keinginan si penggarap. Apa pun wujud kesenian itu asal
mampu memenuhi keinginan pembeli tidak masalah walaupun
kadang-kadang harus menyimpang pada norma estetis yang
berlaku. Seni untuk fungsi ini terjadi karena permintaan yang
banyak (Herytrisusanto. 2012:4).
Menurut Setyawan (2011:3), salah satu fungsi seni
pertunjukan adalah sebagai media penerangan atau kritik sosial.
Dalam masa pembangunan seperti sekarang ini, menurut
Setyawan, seni pertunjukan tradisional juga cukup efektif untuk
menyampaikan pesan-pesan pembangunan, khususnya bagi
masyarakat pedesaan atau masyarakat pada umumnya. Pesan
yang ingin disampaikan dapat dilakukan melalui tokoh
punakawan pada seni pertunjukan wayang orang. Punakawan
inilah yang mengggambarkan figur-figur rakyat sehingga kritik-
kritik sosial ataupun media penerangnan disampaikan melalui
mereka dan diharapkan para penonton akan lebih mudah
mencernanya. Pesan-pesan pembangunan yang ingin
disampaikannya bisa berbagai macam topik sesuai dengan
keinginan misalnya sekitar kepahlawanan, kebersamaan,
kesetiaan, kepatuhan, bahkan dapat pula berupa kritik sosial yang
cenderung banyak dilakukan oleh masyarakat pada masa kini.
Kritik sosial yang disampaikan melalui bentuk kesenian
tradisional sungguh tepat. Hal itu disebabkan oleh masyarakat
Indonesia yang menganut paham paternalistik. Artinya, tabu
apabila orang yang dikritik adalah pemimpinnya, atasannya,
ataupun saudaranya. Media yang sangat tepat untuk menyindir
adalah melalui tokoh-tokoh yang diperankan dalam seni
pertunjukan tersebut (Setyawan, 2011:3). Berdasarkan
pengamatan, diketahui bahwa sindiran-sindiran memang perlu
disampaikan untuk mendapat respons masyarakat penonton.
Uraian di atas menunjukkan bahwa perjalanan sejarah
seni pertunjukan tidak diragukan memiliki arti penting bagi
kehidupan bermasyarakat. Kusmayati (2010) mengemukakan
bahwa seni pertunjukan dengan aspek-aspek pembentuk
4
sosoknya sesungguhnya telah berusaha menempatkan diri sebagai
pilar-pilar yang dapat digunakan sebagai penyangga kehidupan
berbangsa yang saat ini sedang dalam melaksanakan
pembangunan, baik material maupun moral. Khususnya dalam
pembangunan moral, negera memerlukan dukungan untuk
kebersamaan. Kebersamaan yang dilandasi oleh toleransi
bermasyarakat ditawarkan oleh seni pertunjukan yang sedang
membangun kembali jatidiri, kebanggaan, dan martabat bangsa
seperti sekarang ini.
Dari beberapa fungsi seni pertunjukan yang telah
dikemukakan, diketahui bahwa seni pertunjukan drama gong
merupakan tari balih-balihan atau yang berfungsi sebagai hiburan.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai hiburan, sangat besar
kemungkinannya, seni pertunjukan drama gong juga
menyampaikan pesan-pesan pendidikan, seperti pendidikan
moral atau budi pekerti. Sebagaimana dikatakan Waluyo (2002)
bahwa kata drama berasal dari bahasa Yunani, yaitu dramoai yang
berarti berbuat, berlaku, beraksi, bertindak, dan sebagainya. Teater
merupakan kisah kehidupan manusia yang disusun untuk
ditampilkan sebagai pertunjukkan di atas pentas oleh para pelaku
dan ditonton oleh publik (penonton). Lebih jauh Waluyo
mengemukakan bahwa teater sebagai sebuah seni pertunjukan
tidak terlepas dari aspek tanda dan simbol kehidupan manusia.
Kehidupan manusia yang merupakan bahan penciptaan, baik bagi
penulis maupun pekerja seni teater lainnya, akan membangun
karya seni pertunjukan penuh dengan tanda dan
simbolkehidupan. Tanda dan simbol yang sifatnya universal
tersebut diyakini sebagai dasar darikomunikasi teater.
Suherjanto (2015) menegaskan bahwa yang paling penting
dalam komunikasi adalah pesan. Menurut Powers, pesan memiliki
tiga unsur, yaitutanda, simbol, bahasa, dan wacana. Sama halnya
dengan teater yang lain, drama gong sebagai sebuah karya seni
pertunjukan akan mengangkat pesan tentang kehidupan, norma,
kebaikan, keburukan, kejahatan, dan berbagai watak karakter
manusia untuk ditampilkan di atas panggung.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa
perbincangan tentang dinamika kehidupan drama gong di Bali
menjadi sebuah pembahasan menarik dari segi sosial dan budaya
dalam kehidupan masyarakat Bali. Suartaya (2003)
mengemukakan bahwa seni pertunjukan drama gong eksis dengan
dominasi menunya yang bersifat menghibur. Menurut Suartaya
resep ini telah dipakai oleh kebanyakan seni yang bersifat
5
kerakyatan. Dalam hal ini seni pertunjukan drama gong selain sarat
dengan kiat-kiat meraih tawa, cerita yang disajikan secara
sederhana dan ringanrupanya memang pas dikonsumsi oleh
masyarakat Bali pada umumnya. Dalam konteks psikologi dan
atmosfer atau perkembangan masyarakat yang demikianlah drama
gong berkiprah dan berkibar.
Sebagai kesenian pertunjukan yang memiliki fungsi
hiburan, drama gong merupakan salah satu teater tradisional
masyarakat Bali yang hidup dan bersaing di tengah-tengah ingar-
bingar berbagai kesenian yang ada di Pulau Dewata. Kesenian
drama tradisional ini memiliki sejarah yang unik dan mengalami
dinamika, seirama dengan perubahan zaman dari tahun ke tahun.
Sekitar tahun 1950 terbentuk sebuah kesenian yang disebut drama
janger, yang merupakan bagian dari kesenian janger. Dalam
banyak hal drama janger sangat mirip dengan sandiwara atau
stambul yang ada dan populer pada sekitar tahun 1950-an. Drama
janger inilah diduga sebagai embrio kelahiran drama gong. Iringan
musik drama janger ini masih sangat sederhana dan tergolong
barungan gamelan kecil. Di samping itu, para pelaku dan cerita
yang dibawakan masih sangat sederhana dan durasiyang
diperlukan tidak panjang.
Putra (1999:4) mengatakan bahwa, pada akhir tahun 1959
lembaga umat Hindu Parisada Hindu Dharma membentuk seni
pertunjukan yang mendapat pengaruh kesenian klasik atau
tradisional Bali lainnya. Karena mendapat pengaruh dari kesenian
tradisional, maka seni pertunjukan disebut drama klasik. Lakon
cerita yang diangkat dalam drama klasik, yakni Mayadenawa
sehingga sering disebut drama Mayadenawa oleh
masyarakat.Tokoh Mayadenawa adalah kisah raja raksasa yang
melarang rakyatnya untuk menyembah Tuhan, mengajak rakyat
ateis, dan menyuruh rakyat menghancurkan pura. Sehubungan
dengan itu Dewa Indra turun ke bumi untuk membunuh
Mayadenawa. Dalam perang itu dharmamenang melawan adharma.
Lakon ini sering dikaitkan dengan mitos tentang Galungan. Pada
waktu itu drama gong untuk seni pertunjukan ini belum muncul
walaupun dalam pementasan drama Mayadenawa diiringi
gamelan gong. Dalam rentang waktu tujuh tahun, yaitu 1959--
1966, drama Mayadenawa melakukan pertunjukan sampai
sepuluh kali di Bali dan Lombok. Pertunjukan pertama di Lombok
berlangsung pada 1962 untuk memeriahkan hari raya Galungan
dan kedua pada 1963 dalam rangka mengumpulkan dana atas
undangan Palang Merah Indonesia (PMI). Setelah 1966 drama
6
Mayadenawa terus dipentaskan. Menurut laporan koran,
pementasan mereka selalu “sukses besar”.
Dari segi lakon cerita, pementasan drama awalnya
mengangkat mitologi Hindu. Dalam perkembangannya drama ini
mengangkat cerita romantis kehidupan sehari-hari yang
terinspirasi dari keadaan alam. Sebagaimana dipaparkan Putra
(1999:4) bahwa drama yang terbentuk sebelum 1965 ada yang
mengangkat lakon cerita dengan judul “Bertemu di Ujung Keris”
karya Tjokorda Rai Sudharta. Drama itu mengisahkan pertemuan
kembali dua remaja bercinta setelah sempat terpisah saat gunung
meletus. Kisah tersebut mendapat inspirasi dari letusan Gunung
Agung 1963. Kemudian pada tahun 1966 di Gianyar muncul
drama mengangkat kisah “I Swasta Setahun di Bedahulu”, novel
Panji Tisna. Meskipun novel itu berbahasa Indonesia, dialog
drama menggunakan bahasa Bali (Bali Post, 4 September 1999).
Kisah drama kembali mengangkat legenda atau cerita
rakyat yang memang populer. Payadnya (dalam Bali Post, 4
September 1999:4)menggarap drama dengan lakon “Jayaprana”.
Kisah itu diangkat dari legenda yang terjadi di Buleleng itu
dipentaskan pada 24 Februari 1966 di halaman sebuah pura di
desanya,sedangkan drama dengan lakon “I Swasta Setahun di
Bedahulu” dimainkan lima atau enam tahun kemudian. Bahasa
yang digunakan bukan sepenuhnya bahasa Bali, melainkan bahasa
Indonesia (80%) dan bahasa Bali (20%).
Dalam perjalanannyaseni pertunjukan drama gong
dibentuk dengan memadukan unsur-unsur teater modern (Barat)
dengan teater tradisional (Bali). Unsur-unsur drama tari
tradisional Bali yang memengaruhi drama gong, menurut Soelarso
dan S.Ilmi Albiladiyah (1975:12--18), antara lain sendratari, arja,
dan sandiwara. Di pihak lain unsur-unsur teater modern yang
dikawinkan dalam drama gong, antara laintata dekorasi,
penggunaan sound efect, akting, dan tata busana. Kesenian ini
diberikan nama drama gong karena dalam pementasannya setiap
gerak pemain dan peralihan suasana dramatik diiringi oleh
gamelan gong kebyar. Di samping itu, penggunaan lakon cerita pun
beraneka ragam untuk memenuhi selera masyarakat. Misalnya,
Sampek Eng Thay, cerita dari Cina yang sudah sangat populer di
Bali. Kemudian drama gong meniru struktur kesenian arja yang
bersifat istana sentris. Artinya, ada dua kerajaan dan dua tokoh
yang bersifat protagonis (tokoh baik), antagonis (tokoh jahat), dan
sebagainya. Oleh karena itu, lakon cerita diambil dari cerita Panji
(Malat). Untuk memenuhi lakon cerita, para pemeran penting
7
drama gong adalahraja manis, raja buduh, putri manis, putri buduh,
raja tua, permaisuri, dayang-dayang, patih keras (patih agung), patih
tua (patih anom), dua pasang punakawan. Ada beberapa sekaadrama
gong menampilkan pemain tambahan, seperti penari kursi
kerajaan dan tukang tombak. Kadang-kadang sesuai dengan
tuntutan cerita, ada pula tokoh yang disebut Pan Bedung atau Jero
Dukuh dan istrinya Men Bekung.
Pada mulanya drama gong sering dipentaskan pada saat
upacara keagamaan. Walaupun demikian, drama gong termasuk
kesenian sekuler yang dapat dipentaskan di mana dan kapan saja
sesuai dengan keperluan.Kesenian drama gong inilah yang
memulai tradisi pertunjukan “berkarcis” di Bali karena
sebelumnya pertunjukan kesenian bagi masyarakat setempat tidak
pernah berbentuk komersial. Drama gong kemudian merupakan
media yang cukup ampuh untuk menggali dana. Tidak sedikit
banjar dan desa pakraman menanggap drama gong dengan tujuan
menggali dana untuk membiayai berbagai pembangunan. Drama
gong dinilai mengalami kejayaan sejak tahun 1970-an. Pada masa
itu kesenian tradisional Bali yang lain ditinggalkan oleh
penontonnya yang mulai menggemari drama gong kemudian
membentuk sekaadrama gong. Kesenian yang dibentuk itubanyak
yang dipentaskan sebagai kesenian yang temporer, misalnya
untuk mengisi acara tertentu, baik yang bersifat keagamaan
maupun sekuler. Akan tetapi, banyak pula sekaa yang mengarah
pada profesional. Artinya, sekaa drama gong itu pentas di berbagai
tempat dan dibayar oleh penanggapnya.
Pada masa kejayaannyabanyak desa yang menanggap
drama gong sebagai media penggali dana. Karena sekaadrama gong
ini pentas hampir setiap hari, para pemainnya pun terus-menerus
mengisi diri dengan ilmu pengetahuan dengan berbagai cara. Hal
itu terjadi karena dalam aktivitas berkesenian, para pemain drama
gong tentu ingin menampilkan permainan yang terbaik. Oleh
karena itu, mereka menggali bahan-bahan dari berbagai sumber,
baik lisan maupun tertulis, untuk dialog-dialog yang akan
diucapkan dalam pertunjukan. Oleh karena mereka beragama
Hindu, maka bahan-bahan dari berbagai sumber diambil sesuai
dengan ajaran Hindu. Mereka melakukan latihan berkali-kali agar
dapat menampilkan suguhan terbaik.
Para pemain drama gong merupakan objek sekaligus
subjek dalam proses pembelajaran agama Hindu di jalur
pendidikan informal. Sebagai subjek, mereka memberikan
tuntunan atau ajaran kepada orang lain melalui pertunjukan seni
8
drama. Mereka menyampaikan misinya melalui seni pertunjukan
dengan berbagai strategi yang dilakukan. Berbagai macam
tuntunan dalam bingkai agama Hindu disampaikan kepada
penggemar yang menonton pertunjukannya. Mereka
menyampaikan tuntunan yang dibungkus atau dikemas oleh
tontonan. Sebaliknya sebagai objek, mereka mengisi dirinya
dengan berbagai tuntunan agama atau spiritual sesuai dengan
ajaran agama Hindu. Mereka mendapatkan ajaran atau tuntunan
agama Hindu ketika menggali dan mengisi dirinya sebagai bahan
dialog sesuai dengan tuntutan lakon. Nilai-nilai ajaran Hindu
dicerna, diolah, dan dikemas sedemikian rupa dalam pertunjukan
drama gong. Dari kebiasaan ini para pelaku drama gong secara tidak
langsung dituntut untuk menampilkan suatu pertunjukan seni
yang bertujuan untuk memberikan kepuasan batin kepada
penikmat dan pencinta seni, khususnya kesenian Bali. Hal itu
disebabkan olehdrama gong sebagai sebuah seni pertunjukan tidak
terlepas dari aspek tanda dan simbol kehidupan manusia.
Kehidupan manusia yang merupakan bahan penciptaan bagi
pekerja seni drama gong akan membangun karya seni pertunjukan
penuh dengan tanda dan simbol-simbol kehidupan. Tanda dan
simbol yang sifatnya universal tersebut diyakini sebagai dasar dari
komunikasi teater.
Sebagai bentuk teater, lakon drama gong merupakan
manifestasi pergolakan jiwa dan peristiwa yang diangkat dan
dihayati dalam masyarakat. Seni drama gong menjadi tumpuan
harapan yang mampu memberikan sumbangan horizon pemikiran
baru pada berbagai aspek kehidupan. Implikasi yang diharapkan
adalah adanya perubahan sikap dalam menilai suatu
permasalahan akibat terjadi pergeseran pemikiran dalam
menghayati kehidupan itu sendiri. Drama gong dalam lakonnya
tidak hanya memperbincangkan berbagai nilai yang telah berakar
sebagai tradisi, tetapi juga mempertanyakan sesuatu yang akan
terjadi sebagai akibat perubahan pola berpikir. Soelarso dan S.Ilmi
Albiladiyah (1975:40) menilai bahwadrama gong telah memberikan
makna kultural yang berorientasi pada pemikiran kreatif dan
modern,tetapi tetap berpijak pada tradisi positif yang
mencerminkan kepribadian (identitas) kebudayaan nasional.
Dari persepktif eksistensialisme, diketahui bahwa sistem
nilai yang terimplisit dalam lakon drama gong pada hakikatnya
merupakan problem dasar kehidupan manusia.Dikatakan
demikian karena sistem nilai itu merupakan perangkat struktur
dalam dari kehidupan manusia secara individual dan secara
9
sosial. Sisi-sisi kehidupan yang selalu menjadi sorotan dalam
lakon drama gong pada umumnya berkisar pada kondisi-kondisi
sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat yang ada
kaitannya dalam pembentukan kepribadian.
Dalam perkembangannyakehidupan drama gong
mengalami keterpurukan. Menurut Semadi (2015:162), menginjak
tahun 1986sekaadrama gong yang ada di Bali sudah bisa dihitung
dengan jari. Kemudian kesenaian itu mulai meredup dan
terpinggirkan sejak tahun 1990-an. Hal itu dapat dilihat dari
jarangnya pertunjukan drama gong melakukan pementasan.Selain
itu juga merosotnya minat masyarakat sebagai pelaku dan
kurangnya minat masyarakat untuk menonton pertunjukan
tersebut. Faktor-faktor yang menyebabkan drama gong
meredupmenurutnya, antara lain kurang profesionalnya
pengelolaan organisasi dan gencarnya pengaruh hiburan luar Bali
yang ditayangkan televisi. Meredupnya kehidupan seni
pertunjukan itu menimbulkan dampak negatif, baik dari sisi
kultural maupun dari sisi kehidupan religius bagi masyarakat
Hindu di Bali.Dari sisi kultural, meredupnya kehidupan drama
gong berarti salah satu seni pertunjukan yang pernah menjadi
idola dan kebanggaan masyarakat Bali ini terancam punah.
Punahnya drama gong (yang dialog-dialognya memakai bahasa
Bali) juga berarti hilangnya sebuah media tradisional yang dapat
melestarikan bahasa dan sastra Bali. Hal itu disebabkan oleh salah
satu fungsi drama gong adalah sebagai pelestari budaya lokal
seperti bahasa dan sastra Bali. Dengan demikian, memudarnya
drama gong tentu merupakan sebuah kerugian kultural.
Dilihat dari aspek religius, apabila drama gong mengalami
kepunahan, maka juga berarti hilangnya salah satu media
tradisional yang dapat dijadikan sebagai transformasi nilai-nilai
budaya agama Hindu. Dalam setiap pertunjukan drama gong selalu
ada pesan-pesan moral, baik yang menyangkut tattwa (filsafat)
maupun susila (etika). Pesan-pesan itu bisa disampaikan, baik
secara terang-terangan atau vulgar maupun dibungkus atau
dikemas dalam bentuk bahasa sindiran.
Sementara itu, sebagaimana dapat disimak dalam
berbagai berita yang berkembang di media massa bahwa di
masyarakat Indonesia telah terjadi degradasi moral, baik di
kalangan orang tua maupun anak-anak remaja.Menurut
akademisi Antropologi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
Laksono (2015:1), degradasi moral saat ini cenderung terjadi di
Indonesia karena generasi muda semakin meninggalkan
10
kebudayaan yang diwarisi oleh pendahulunya. Kecenderungan
degradasi moral di Indonesia semakin meningkat, terbukti di
daerah-daerah di Tanah Air semakin berani melakukan suatu aksi
atas ketidakpuasannya dalam menerima kebudayaan melalui
pendidikan yang didapat,baik di bangku sekolah maupun di
kampus. Laksono mencontohkan pada saat perayaan hari
Pendidikan Nasional, yang semestinya dirayakan dengan upacara
untuk memaknai begitu penting pendidikan, malah para pelajar
melakukan bentuk protes melalui aksi unjuk rasa di jalan, seperti
kejadian di Yogyakarta. Menurut Laksono, itu berarti bahwa di
kalangan para generasi muda telah terjadi degradasi moral dan
kebudayaan dalam setiap generasi. Semestinya program
pendidikan membawa perubahan bagaimana cara belajar lebih
baik ke depan, malah dimaknai dalam bentuk kegiatan aksi unjuk
rasa.
Berdasarkan fenomena tersebut, diketahui bahwa
keterpurukan drama gong sebagai salah satu media tradisional
yang dapat dijadikan media pendidikan moral merupakan sebuah
keprihatinan berbagai pihak. Berbagai kalangan menginginkan
drama gong hidup berkembang dan lestari untuk menjalankan
berbagai fungsinya. Hal itusebagaimana dikatakan Yuliadi (2005:
168) bahwa drama gong memberikan semangat kerakyatan,
pencerahan diri melalui hiburan, gejala komersialisasi dalam
dunia hiburan dan ritual keagamaan, pergeseran pada norma-
norma baru, yang menjadi bagian dari kehidupan sosial
masyarakat Bali.Akan tetapi, dalam kenyataannya, seni
pertunjukan ini mengalami dinamika dan belakangan hidupnya
terpinggirkan. Pertunjuksn drama gong hanya bisa ditemukan
dalam acara yang dislenggarakan pemerintah, seperti Pesta
Kesenian Bali dan Bali Manadara Mahalango di Taman Budaya
Denpasar. Pertnjukan itu pun tidak dipungut bayaran.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka penelitian tentang
dinamika drama gong perlu dilakukan. Ada beberapa alasan
dinamika kehidupan drama gong dipilih sebagai topik kajian.
Pertama, sepengetahuan peneliti, belum ada yang melakukan
penelitian tentang dinamika kehidupan drama gong di Bali sejak
kelahirannya, sampai dewasa ini. Kedua, sebagai kesenian
tradisional,seni petunjukan drama gong memiliki fungsi sebagai
senibalih-balihansehingga dapat menyisipkan nilai-nilai
pendidikan, terutama dalam bidang budi pekerti atau moral.
Dengan demikian, berbagai pihak, terutama yang terlibat dalam
dunia pendidikan memiliki harapan agar seni pertunjukan ini
11
selalu hidup lestari sebagai transformasi nilai-nilai pendidikan
moral.Ketiga, karena adanya kemajuan teknologi di bidang
komunikasi, kehidupan seni pertunjukan drama gong mengalami
dinamika. Mula-mula dengan adanya televisi, seni pertunjukan ini
sempat populer dan digemari masyarakat. Namun, ketika seni
hiburan modern datang dari segala penjuru yang disiarkan oleh
sejumlah stasiun telivisi, kehidupan drama gong mengalami
keterpurukan. Oleh karena itu, berimplikasi terhadap kehidupan
sosial budaya masyarakat Bali. Akibat seni pertunjukan drama
gong mengalami keterpurukan, itu berarti hilangnya salah satu
media yang memiliki fungsi sebagai transformasi nilai-nilai
pendidikan moral dan kehidupan sosial budaya masyarakat Bali.
Keempat, seni pertunjukan drama gong juga merupakan salah satu
media yang berfungsi sebagai pelestari budaya lokal, yakni bahasa
dan sastra Bali. Hal itu disebabkan oleh dalam pertunjukan drama
gong, lebih banyak digunakan bahasa Bali. Sejumlah paribasa
bahasa Bali juga sering diungkap dalam dialog-dialognya
sehingga seni pertunjukan ini dapat memelihara bahasa dan sastra
Bali. Jika kehidupan drama gong mengalami keterpurukan, maka
akan berimplikasi terhadap kelestarian budaya lokal, terutama
bahasa dan sastra daerah.
12
BAB II
BENTUK DINAMIKA PEMENTASAN
DRAMA GONG
Definisi dinamika adalah sesuatu yang mengandung arti
tenaga kekuatan, selalu bergerak, berkembang, dan dapat
menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan. Dinamika
juga berarti adanya interaksi dan interdependensi antara anggota
kelompok dan kelompok secara keseluruhan. Keadaan ini dapat
terjadi karena selama ada kelompok, semangat kelompok (group
spirit) terus-menerus ada dalam kelompok itu.Oleh karena itu,
kelompok tersebut bersifat dinamis, artinya setiap saat kelompok
yang bersangkutan dapat berubah (Purwandari, 2010).
Jika dihubungkan dengan budaya, maka dinamika
kebudayaan adalah tata cara kehidupan masyarakat yang selalu
bergerak, berkembang, dan menyesuaikan diri dengan setiap
kadaan seiring dengan perkembangan zaman. Dinamika
kebudayaan juga sering disebut dengan perubahan kebudayaan.
Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan karena manusia merupakan pendukung keberadaan
suatu kebudayaan. Fungsi kebudayaan, yakni dapat menunjang
pemenuhan kebutuhan bagi para anggota pendukung
kebudayaan. Dalam jangka waktu tertentu semua kebudayaan
mengalami perubahan. Sebagaimana dikatakan White (1969)
dalam Husin (2013) bahwa kebudayaan merupakan fenomena
yang selalu berubah sesuai dengan lingkungan alam sekitarnya
dan keperluan suatu komunitas pendukungnya. Senada dengan
pendapat itu, Haviland (1993:251) menyebut bahwa salah satu
penyebab kebudayaan berubah adalah lingkungan yang dapat
menuntut kebudayaan yang bersifat adaptif. Perubahan-
perubahan dalam kebudayaan mencakup seluruh bagian
kebudayaan, termasuk kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi,
filsafat, bahkan dalam bentuk aturan-aturan organisasi sosial.
Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih menekankan pada
ide-ide mencakup perubahan dalam hal norma-norma dan aturan-
aturan yang dijadikan sebagai landasan berperilaku dalam
masyarakat.
13
Berdasarkan uraian itu, diketahui bahwa seni pertunjukan
drama gong juga tidak luput dari dinamika, yakni mengalami
perubahan. Sejak kelahirannya pada tahun 1966, drama gong
mengalami dinamika, yakni mengalami perubahan dalam
berbagai aspek. Adapun bentuk-bentuk dinamika tersebut
meliputi tema, organisasi, iringan musik, dan fungsinya.
Dinamika dalam Bentuk Tema
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab terdahulu
bahwa tema adalah ide pokok atau ide utama yang merupakan
dasar cerita, pandangan hidup pengarang, persoalan atau
permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra sekaligus
merupakan rangkaian nilai yang membangun dasar atau ide
utama suatu karya sastra yang dirumuskan dan dirangkai
pengarang di dalam karya sastra. Seni pertunjukan drama gong di
Bali memiliki beberapa tema, seperti cinta kasih, persaudaraan,
perjuangan, kepahlawanan, keberanian, pengorbanan, dan
sebagainya. Tema-tema drama gong tersebut selalu berubah-ubah
sesuai dengan permintaan pasar, keperluan upacara, dan keadaan
sosial masyarakat. Dinamika tema dalam seni pertunjukan drama
gong tersebut dipaparkan sebagai berikut.
Sesuai dengan Permintaan Pasar
Dalam dunia bisnis permintaan sering diartikan sebagai
suatu keinginan untuk memenuhi suatu kebutuhan yang
diekspresikan melalui pembelian barang dan jasa. Bagi produsen,
permintaan adalah sesuatu yang harus dipenuhi melalui
penciptaan produk atau jasa sesuai dengan yang diinginkan.
Dengan memenuhi permintaan akan diperoleh keuntungan sesuai
dengan yang diharapkan dan yang menjadi tujuan utamanya.
Pengukuran permintaan pasar memperlihatkan pemahaman yang
jelas akan pasar yang tercakup. Menurut pengertian sehari-hari,
permintaan pasar dapat diartikan sebagai jumlah barang atau jasa
yang dibutuhkan. Jalan pikiran ini berangkat dari pemikiran
bahwa manusia memiliki kebutuhan dan atas dasar kebutuhan
inilah individu mempunyai permintaan akan barang atau jasa.
Masih dalam konteks bisnis, menurut Rina (2008:325),
permintaan pasar untuk suatu produk adalah jumlah volume total
yang dibeli oleh kelompok pelanggan tertentu dalam wilayah
geografis tertentu dalam jangka waktu tertentu dan dalam
lingkungan pemasaran tertentu di bawah program pemasaran
tertentu. Menurut McEachern (2000:42), pemasaran dapat
14
didefinisikan sebagai jumlah produk yang diinginkan dan mampu
dibeli konsumen pada berbagai kemungkinan harga selama
jangka waktu tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
permintaan adalah keinginan serta kemampuan konsumen untuk
memiliki suatu barang atau jasa tertentu dengan tingkat harga dan
waktu tertentu. Sementara itu menurut Lamb (2001: 280), pasar
adalah orang-orang atau organisasi dengan kebutuhan atau
keinginan, kemampuan,dan keinginan untuk membeli.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam konteks
kesenian dapat dikatakan bahwa permintaan pasar adalah
keinginan masyarakat terhadap kesenian yang dapat memenuhi
kebutuhan kulturalnya. Khusus seni pertunjukan drama gong,
sejauh mana minat atau keinginan masyarakat terhadap seni
pertunjukan tradisional itu. Masyarakat akan “membeli” atau
menanggap jika seni pertunjukan itu merupakan produk kultural
yang memiliki fungsi sebagai pemenuhan kultural. Karena drama
gong memiliki fungsi sebagai hiburan dan menyampaikan pesan-
pesan, maka penikmatnya menginginkan produk yang
memberikan kenikmatan dalam rangka pemenuhan batin, bukan
fisik. Mengingat hal itu, masyarakat menginginkan produk
budaya yang sesuai dengan keadaan dirinya. Sehubungan dengan
itu, menurut Wayan Puja, untuk memberikan kenikmatan kepada
penonton, para pelaku seni, khususnya drama gong menyuguhkan
tema-tema yang disampaikan melalui lakon, yang dalam budaya
Bali disebut lampahan(wawancara, 1 Januari 2016).
Dalam bahasa Bali dan bahasa Kawi, kata lampahan berasal
dari kata lampah, yang berarti perjalanan. Dalam kaitannya dengan
drama gong, kata lampahan mengandung dua arti. Pertama, lampahan
berarti sebuah kisah, peristiwa, atau dinamika perjalanan para
dewa, binatang, seseorang, masyarakat dan lain-lainnya. Kisah ini
biasanya memiliki bagian awal, pertengahan, dan bagian akhir.
Kedua, penyajian, penuturan, atau peragaan di atas pentas dengan
media kesenian. Berdasarkan kedua arti ini, lampahan dapat
diartikan sebagai sebuah kisah atau cerita yang dijalankan, yang
dituturkan, atau yang dilakonkan di atas pentas. Beberapa
seniman mengatakan bahwalampahan juga bisa diartikan dengan
satwa (cerita). Hal itu disebabkan oleh sebuah lampahan adalah
suatu jalinan kisah yang diperkaya dengan pesan-pesan berupa
nasihat atau petuah-petuah yang lazim disebut tutur yang
disajikan,baik secara terbuka (langsung), maupun secara
terselubung (tidak langsung). Akan tetapi, tidak semua cerita
dapat disebut lampahan. Artinya, sebuah ceritadisebut lampahan
15
jika cerita tersebut ditata dan disusun sedemikian rupa untuk
dipertunjukkan di atas panggung (Dibia, 2007:1).
Berdasarkan uraian itu, diketahui bahwa lampahan dalam
pertunjukan drama gong sangat penting untuk dapat memenuhi
kultural penonton. Lampahan yang diangkat dalam pertunjukan
drama gong, tidak hanya berupa cerita, tetapi juga sesungguhnya
merupakan sebuah jalinan peristiwa yang terdiri atas berbagai
aktivitas, pesan-pesan, wejangan untuk merangsang penonton
berpikir. Oleh karena itu, menurut Wayan Puja, untuk memenuhi
keinginan masyarakat penonton, maka sekaa drama yang
dipimpinnya melihat lampahan sebagai salah satu faktor penentu
bagi kesuksesan sebuah suguhan seni petunjukan. Bagi Wayan
Puja, ia ingin pertunjukannya menyuguhkan lampahan yang bagus
agar dapat menggetarkan sukma para penonton, akan tetap
melekat dalam ingatan penonton dan dikenang sepanjang hayat.
Berkaitan dengan keinginann, Dibia (2007:2) mengatakan
bahwalampahan yang dibawakan seni pertunjukan tradisional Bali
dijiwai oleh prinsip keseimbaangan atau keselarasan yang
diwujudkan dengan prinsip rwa bhineda, dua kekuatan berbeda
positifnegatif, atasbawah, baikburuk, yang saling berkaitan dan
saling membutuhkan. Sebuah lampahan bisa brakhir dengan happy
ending (sukaria), kemenangan berpihak pada yang jujur.Tidak
sedikit pula lampahan berakhir imbang, yakni kedua pihak sama-
sama menang dan sama-sama kalah. Apapun akhirnya, sebuah
lakon diharapkan bisa mengingatkan penonton bahwa hidup di
dunia ini diikat dan dipengaruhi oleh unsur-unsur kekuatan rwa
bhineda.
Pilihan lampahan atau lakon yang sering dibawakan para
sekaadrama gong di Kabupaten Gianyar mengacu pada tema baku.
Misalnya, “betapa pun hebatnya kekuatan jahat, akhirnya pasti
dikalahkan oleh kekuatan suci.” Dengan kalimat lain, “kebenaran
senantiasa di atas kebatilan”. Soelarso dan Albiladiyah (1975:24)
mengemukakan bahwa dalam lakon-lakon klasik pada teater
tradisional yang umumnya berbentuk dramatari, tema-tema
universal seringkali dikaitkan dengan kepercayaan lama berupa
ungkapan perjuangan kekuatan ilmu putih (whitemagic) melawan
kekuatan ilmu hitam (black magic),khususnya dalam dramatari
sakral, seperti dramatari Calonarang, lakon-lakon klasik bertma
universial mencerminkan keluhuran falsafi pandangan hidup
masyarakat sejak zaman dahulu. Dari segi spiritual, ia
menghidupkan lakon-lakon yang mengandung nilai-nilai
16
pendidikan moral dan tata krama pergaulan hidup dalam ikatan
adat dan agama yang kokoh.
Dalam kepercayaan Hindu dikenal hukum karma phala
atau hukum sebabakibat. Hukum itu selain sebagai norma hidup,
juga memberikan gambaran mengenai romantika, vitalitas
masyarakatnya yang terus berkembang dengan penuh semangat
hidup secara alamiah dalam peredaran zaman. Dari segi kultural,
secara artistik mencerminkan nilai-nilai estetik seutuhnya,
yaitumulai dari segi sastra, tata bahasa, tari, musik, tata busana,
tata rambut, tata rias, sampai pada tata krama pergaulan antara
atasanbawahan, antarkeluarga, dan antarmanusia. Hal itu juga
mencerminkan daya cipta yang tidak pernah mandul sepanjang
masa. Norma-norma itulah menurut Soelaso dan Albiladiyah,
merupakan kepastian yang terungkap dalam semua lakon. Tidak
menjadi soal, apakah lakon itu merupakan lakon saduran
(adaptasi) seperti lakon Panji, Ramayana, atau lakon asli yang
diambil dari usana Bali (babad Bali), dari legenda cerita rakyat
(folkstales) seperti lakon Jayaprana-Layonsari dan Mayadenawa.
Soelaso dan Albiladiyah (1975:24--25) mengemukakan
bahwa lakon ciptaan baru yang dipentaskan drama gong berbeda
dengan lakon teater tradisional yang tidak dikenal siapa
penciptanya. Oleh karena itu, dalam lakon-lakon modern pada
umumnya dicipta secara perseorangan atau kolektif yang tidak
dikehui secara jelas, siapa pencipta atau penyadurnya. Sebagai
salah satu contoh, lakon Jayaprana-Layonsari adalah sebuah lakon
klasik yang padamulanya digunakan untuk sendratari. Akan
tetapi, Anak Agung Raka Payadnyamenggubah lakon itu menjadi
lakon drama gong. Di samping itu pula lakon Dukuh Suladri,
digubah menjadi lakon drama gong.
Menurut Payadnya, lakon Jayaprana-Layonsari sangat
digemari penonton Gianyar saat drama gong pertama kali ia
dipentaskan. Hal itu terbukti, ketika lakon itu dipentaskan
pertama kali di jaba sisi Pura Abianbase pada 24 Februari 1966,
penonton memberikan sambutan hangat. Penonton menggemari
lakon itu karena lakon itu mengusung tema percintaan yang
murni dan berakhir dengan tragedi. Seperti sudah tertulis dalam
geguritan Jayaprana, lakon itu mengisahkan dua anak desa, I
Nyoman Jayaprana (abdi kesayangan Raja Kalianget) bertemu
dengan Ni Nyoman Layonsari (putri Jero Bandesa Banjar Sekar).
Sejak pertemuan mereka di pasar, Jayaprana dan Layonsari saling
jatuh cinta yang akhirnya menikah. Akan tetapi, perkawinan itu
tidak bertahan lama karena Raja Kalianget tergila-gila pada
17
kecantikan Ni Layonsari. I Jayaprana diutus ke Teluk Terima
bersama Patih Sawunggaling dengan dalih menghadapi
perampok. Sawunggaling kemudian membunuh Jayaprana di
hutan Teluk Terima. Dengan berpura-pura meratapi kematian
abdi kesayangannya, sambil menawarkan belas kasihan, Prabu
Kalianget merayu Ni Layonsari agar mau dibawa ke puri.
Permintaan ini ditolak mentah-mentah oleh Ni Layonsari.Tidak
sudi menerima perlakuan seperti itu, sang raja merasa berang, lalu
memaksa Ni Layonsari. Ketika terjadi pergumulan dengan sang
raja, Ni Layonsari menarik keris sang raja untuk menikam dirinya
sendiri. Melihat hal ini sang raja menjadi kalap lalu membunuh
setiap orang yang mendekat padanya. Kisah ini berakhir secara
tragis dengan tewasnya raja Kalianget di tangan rakyatnya sendiri.
Apa yang dilakukan Payadnya, diikuti oleh sekaadrama
gong lain di seluruh Bali. Hal itu bisa menyebabkan kejenuhan
dalam masyarakat. Oleh karena itu, Payadnya kemudian
mengganti lakon baru untuk sekaa drama yang dipimpinnya,
yakni Made Raka dan Made Rai. Lakon cerita itu diilhami cerita
siklus Panji, yang berkisar pada empat kerajaan besar zaman
lampau, yakni Gagelang, Kahuripan, Daha, dan Singosari.
Anak Agung Raka Payadnya(kiri) dengan penulis ketika menjadi
pembina drama gong di Tegallalang, Gianyar
(foto: dokumen I Wayan Sugita)
18
Sebagian besar drama gong mengambil lakon Panji. Cerita
Panji juga sering disebut Malat. Bagi masyarakat Bali, cerita Panji
ini tidak asing lagi karena selain dibawakan drama gong, juga
sering diangkat sebagai lakon dalam kesenian dramatari arja,
gambuh, sendratari, bahkan tari legong keraton. Cerita ini digemari
masyarakat Bali karena pada umumnya disuguhkan secara
romantis, sebagai akibat mengisahkan percintaan putra-putri
keluarga bangsawan di beberapa kerajaan, terutama Daha,
Jenggala di Jawa Timur. Kisah Panji ini digemari karena menurut
Dibia (2007:16), mengisahkan Raden Panji sebagai tokoh sentral
dengan sederatan nama samarannya. Cerita itu berkisah tentang
putra-putri empat kerajaan bersaudara di Jaya, yakni Kahuripan,
Daha, caglang, dan Singasari. Pertemuan dan perpisahan,
penyamaran, penculikan dan pertempuran menjadi bumbu dari
kisah inisehingga masyarakat tetap menggemari jika dibawakan
dengan baik oleh sekaa dama gong.
Perubahan lakon sering dilakukan oleh sekaadrama gong di
Gianyar untuk memenuhi permintaan pasar. Menurut Soelaso dan
Albiladiyah (1975:25), Drama gong Abianbase sudah memiliki lebih
dari seratus lakon yang dipentaskan.
Sesuai dengan Keperluan Upacara
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Hindu di Bali
selalu berpedoman pada ajaran agama Hindu yang bersumber
dari Veda. Dalam pelaksanaan upacara ritual, umat Hindu selalu
mengacu pada falsafah tri hita karana. Menurut Wiana (2004: 141),
secara substantif, ajaran tri hita karana itu sudah ada di tingkat
nasional, bahkan internasional dengan nama “konsep hidup
seimbang”.Pengertian tri hita karana dirinci oleh Jaman (2006:18)
bahwa istilah tri hita karana berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu
dari kata “tri hita” dan “karana”. “Tri” berarti “tiga”, “hita” berarti
“baik, senang, gembira, lestari”, dan“karana” berarti penyebab
atau sumber sebab. Dengan demikian, “tri hita karana” berarti tiga
unsur yang merupakan sumber sebab yang memungkinkan
timbulnya kebaikan. Ketiga unsur itu adalah unsur jiwa (atma);
unsur tenaga (kekuatan, prana), dan unsur badan wadah (sarira).
Dengan demikian, tri hita karana adalah perwujudan kesejahteraan
dan kebahagiaan yang terdiri atas unsur Ida Sanghyang
Widhi/Tuhan (super natural power), manusia (microcosmos), dan
alam semesta/bhuwana (macrocosmos).Hal ini menjadi pola dasar
tatanan kehidupan umat Hindu, yang dijadikan budaya perilaku
sehari-hari dalam berbagai aktivitas sehingga muncul konsep
19
mengajarkan pola hubungan yang harmoni (selaras, serasi, dan
seimbang) di antara ketiga sumber kesejahteraan dan
kebahagiaan, yang terdiri atas unsur, (1)parahyangan, harmonis
antara manusia dan Sang Pencipta (Brahman), (2)pawongan,
harmonis antara manusia dan sesama manusia (microcosmos), dan
(3)palemahan, harmonis antara manusia dan bhuwana (macrocosmos).
Berdasarkan pada falsafah itu, maka umat Hindu
melaksanakan ritual panca yadnya. Menurut Wiana (1995),
rumusan panca yadnya termuat dalam beberapa sumber. Adapun
kegiatan panca yadnya itu meliputi upacara agama yakni dewa
yadnya, bhuta yadnya, pitra yadnya, rsi yadnya, dan manusa yadnya.
Kelima yadnya itu secara ringkas bisa diuraikan sebagai berikut. (1)
dewa yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas ke
hadapan Hyang Widhi Wasa dengan berbagai manifestasi-Nya, (2)
butha yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas ke
hadapan unsur-unsur alam, (3) manusa yadnya, yaitu upacara
persembahan suci yang tulus ikhlas kepada manusia, (4) pitra
yadnya, yaitu upacara persembahan suci yang tulus ikhlas bagi
manusia yang telah meninggal, (5) rsi yadnya, yaitu upacara
persembahan suci yang tulus ikhlas ke hadapan para orang suci
umat Hindu.
Berdasarkan rumusan panca yadnya tersebut,diketahui
bahwa jika drama gong melakukan pertunjukan yang berkaitan
dengan yadnya,tema atau paling tidak pesan-pesannya akan
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan. Menurut
Ketut Tanggu, praginadrama gong dari Serongga, Gianyar,lakon
yang dibawakan tidak mesti diubah, yang penting pesan-pesan
yang disampaikan disesuaikan dengan jenis upacara yadnya
sehingga diharapkan dapat mencapai sasaran. Lebih jauh Tanggu
mengatakan sebagai berikut.
Kami memang sering pentas pada upacara yadnya. Kalau pentas
di pura, kami menyampaikan pesan tentang pentingnya bakti
kepada Hyang Widhi. Mengapa umat melakukan yadnya.
Bagaimana melakukan bakti yang baik. Kami juga sering
memperbincangkan apa arti bunga, tirta, api, dan sebagainya.
Tentu saja kami menyampaikan pesan itu lewat banyolan. Sebab,
tujuan kami memang menghibur.Itu kalau di pura,tapi kalau
pada acara ngaben, kami juga sering menyinggung, mengapa
harus melakukan upacara pitra yadnya. Demikian pula saat
upacara perkawinan. Kami sering melontarkan lelucon dengan
mengambil bahan dari sarana upacara. Jadi, yang penting
penonton merasa senang. Berdasarkan jenis yadnya, kami selalu
20
mengubah-ubah bahan lelucon,tapi kalau lakonnya, bisa sama
antara pitra yadnya dengan dewa yadnya (wawancara, 12 Februari
2016).
Berdasarkan penuturan Tanggu, dapat dikatakan bahwa
perubahan-perubahan yang terjadi ada tema dan pesan-pesan
drama gong disebabkan oleh faktor jenis yadnya yang dilakukan
umat Hindu sebagai penanggap. Perubahan itu sesuai dengan
teori fungsionalis yang antara lain mengatakan bahwa apabila
perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat
fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat. Akan tetapi,
apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan
akan ditolak (Albar, 2014).
Sesuai Situasi Sosial yang Berkembangdalam Masyarakat
Sepanjang zaman seni dan kesenian (budaya dan
kebudayaan) masih terus menempati posisi khusus dalam
kehidupan manusia. Tidak sedikit orang menganggap bahwa seni
dan kesenian merupakan panggilan tertinggi diantara semua
panggilan jiwa. Banyak juga yang menganggap bahwa kesenian
sebagai bidang yang berada di atas kegiatan komersial biasa.
Memang, mungkin juga masih ada sedikit orang menganggap
bahwa para ekonom harus menjauhkan diri dari seni dan
kesenian.
Terlepas dari semua pandangan masyarakat atas seni dan
kesenian, faktanya adalah seni dan budaya merupakan bidang
kehidupan dan produk yang dihasilkan oleh individu-individu
dan lembaga-lembaga yang bekerja dalam perekonomian,
sehingga tidak dapat melepaskan diri dari dunia materi.Ketika
warga masyarakat, baik secara individu, kelompok,maupun atas
nama kelompok organisasi menyelenggarakan acara kesenian
dengan berbagai keperluan, mereka harus memikirkan dana.
Penyelenggara kesenian tentu memiliki modal awal untuk
penyelenggaraan itu. Jika drama gong yang ditanggap bertujuan
untuk menggali dana, maka hasil dari penjualan tiket biasanya
sudah dapat menutupi semua biaya penyelenggaran. Ketika drama
gong menjadi kesenian favorit, pihak penyelenggara biasanya
mendapat untung yang lumayan. Hal itu diakui Nyoman Surata,
Kepala Desa Payangan, Gianyar, yang juga pernah menjadi
pragina drama gong sebagai raja buduh. Sekitar tahun 1980-an,
desanya hendak membangun beberapa bangunan fisik. Untuk
menggali dana, maka pihaknya menyelenggarakan pertunjukan
21
drama gong. Jenis tiket yang dijual ada dua macam, yakni tiket
masuk dan tiket kursi. Tiket masuk lebih murah daripada tiket
kursi. Pada saat pertunjukan, pihaknya menanggap drama gong
terkenal. Sambutan masyarakat cukup menggembirakan.
Penonton yang menyaksikan drama gong itu berjubel, baik yang
mendapat tempat duduk maupun yang rela berdiri. Dari hasil
penjualan tiket, pihak penyelenggara dapat meraup sejumlah
uang yang lumayan. Lebih jauh Nyoman Surata, menuturkan
sebagai berikut.
Terus terang, banyak pembangunan di desa kami dibangun dari
hasil ngupah drama. Kami mengupah drama gong karena saat itu
sangat digemari masyarakat. Bagi yang suka menonton drama,
ia tidak takut mengorbankan uangnya demi dapat menonton
drama. Bahkan, banyak warga masyarakat yang kecewa karena
kehabisan karcis. Mereka terpaksa menonton dengan cara berdiri
(Wawancara, 2 Februari 2016).
Berdasarkan pengakuan Surata di atas, kiranya dapat
dibuktikan bahwa kesenian drama gong sangat digemari.
Kesempatan itu digunakan dengan sebaik-baiknya oleh
masyarakat untuk menggali dana demi pembiayaan berbagai
macam jenis pembangunan di desa.
Selain dengan maksud menggali dana, pada tahun 1970-
an banyak warga secara pribadi juga menanggap drama gong
dengan berbagai kepentingan. Biaya yang diperlukan tidak besar
karena hanya untuk keperluan konsumsi saja. Sekaadrama gong
tidak mendapat honoraium karena atas dasar ngayah. Akan
tetapi,drama gong yang ditanggap, sebuah sekaa di desanya, yang
belum profesional. Mereka memiliki kepentingan masing-masing
atas dasar merasa saling menguntungkan. Pihak penyelenggara
merasa terhibur sekaligus dapat memeriahkan acara yang
digelarnya. Di pihak sekaa drama, mereka juga merasa mendapat
keuntungan nonmaterial. Meskipun tidak mendapat honorarium,
mereka merasa puas karena dapat bermain drama. Hal itu diakui
oleh Wayan Tablo, praginadrama gong dari Tegallalang. Ia
mengatakan sering bermain drama gongtanpa bayaran. Lebih jauh
ia mengatakan sebagai berikut.
Ketika saya masih muda dulu, saya memang suka main drama
gong. Saya sering meniru para pemain drama gong terkenal.
Pakaian drama gongsaya beli sendiri. Hampir setiap hari
melakukan latihan. Menghafal kata-kata yang diberikan
22
penguruk. Meskipun saya tidak dibayar dan begadang, saya
senang main drama gong. Kalau dihitung-hitung secara materi,
saya sebenarnya rugi,tapi saya senang dapat bermain drama
gong. Apalagi penontonnya senang, mau tertawa saat saya
melucu. Itu merupakan kepuasan saya. Bukan masalah uang,tapi
kalau zaman sekarang kan lain. Selain drama gong tidak
disenangi lagi, orang sekarang lebih banyak menghitung secara
ekonomis. Kalau pentas di pura, tak masalah karena bisa ngayah
secara sekala dan niskala. Tapi kalau di tempat perorangan atau
di tempat acara-acara yang diselenggarakan pemerintah, mana
mau orang gratis. Para pragina atau penabuh saat ini kan banyak
yang bekerja, baik sebagai buruh bangunan maupun bekerja di
tempat lain. Kalau pementasan tidak dibayar, lalu di mana cari
uang. Kita ini kan perlu hidup. Perlu makan setiap hari.
(Wawancara, 4 Februari 2016).
Pengakuan Tablo menandakan bahwa dinamika
kehidupan drama gong baik yang ada di desa-desa yang terbentuk
berupa sekaasebunan, maupun yang profesional, bergantung pula
pada keadaan sosial masyarakat. Warga masyarakat sekarang,
termasuk di Kabupaten Gianyar pada umumnya sering berhitung
secara bisnis dalam melakukan berbagai kegiatan. Hal itu
disebabkan oleh berbagai tuntutan hidup pada zaman era
globalisasi ini. Biaya hidup sehari-hari dewasa ini tidak hanya
menyangkut perut, tetapi juga banyak yang memerlukan dana
untuk keperluan lain, seperti pulsa, biaya pendidikan, dan
keperluan yang bersifat konsumtif lainnya. Artinya, para
praginadrama gong dan para penabuh memerlukan honorarium
untuk membiayai hidupnya. Oleh karena itu, sebuah pertunjukan
drama gong memerlukan dana yang cukup besar, sehingga warga
masyarakat merasa enggan menanggap kesenian demi
kepentingan acara pribadi. Hal itu diakui Ni Wayan Seri, seorang
warga banjar Buruan, Blahbatuh, Gianyar. Ia menuturkan sebagai
berikut.
Dulu, ketika saya menyelenggarakan otonan anak, saya ngupah
drama gong yang ada di desa saya. Waktu itu, saya hanya
mengeluarkan biaya untuk konsumsi saja. Saya tidak membayar
ongkos drama gong. Hanya sesaribanten saja, jadi tidak terlalu
besar. Saya senang karena acara menjadi ramai. Saya juga
melihat para pemain drama gongjuga senang. Mereka kan juga
banyak dari anggota keluarga. Jadi, kita sama-sama senang.
(Wawancara 5 Februari 2016).
23
Berdasarkan pengakuan Seri tersebut, dapat dikatakan
bahwa hubungan antara kesenian dan ekonomi ditentukan oleh
bagaimana fungsi-fungsi kesenian (dan kebudayaan) memainkan
peranannya dalam konteks perekonomian masyarakat.Dalam
banyak hal, warga yang mengonsumsi atau menghasilkan seni
berperilaku seperti produsen dan konsumen barang dan jasa
lainnya. Meskipun demikian, sampai tahap tertentu perilaku
ekonomi masyarakat seni secara signifikan berbeda dibandingkan
dengan perilaku ekonomi masyarakat pada umumnya. Hubungan
antara ekonomi dan kesenian tidak dapat dianalisis secara
komprehensif apabila belum mengetahui pentingnya sektor
kesenian dalam perekonomian.Informasi dan data ekonomi
tentang kesenian sampai saat ini masih agak sulit
dikumpulkan.Sampai saat ini belum ditemukan informasi untuk
mengetahui berapa pengeluaran konsumsi masyarakat yang
digunakan untuk menikmati seni dan kesenian rata-rata per
tahun, pendapatan operasi rata-rata sekaa kesenian, khususnya
drama gong (tidak termasuk dana pemerintah dan donasi swasta);
rata-rata dana bantuan pemerintah dalam pembiayaan kegiatan
seni dan kesenian per tahun, dan jumlah rata-rata sumbangan
masyarakat terhadap kegiatan kesenian.
Berdasarkan pemaparan di atas, diketahui bahwa keadaan
sosial masyarakat, khususnya di Kabupaten Gianyar juga ikut
menentukan dinamika kehidupan kesenian tradisional, termasuk
drama gong. Ketika masyarakat masih terbatas kebutuhan
ekonominya karena tidak memerlukan banyak dana untuk
memenuhi tuntunan hidup, orang-orang lebih suka bergelut
dengan kesenian meskipun tidak mementingkan keuntungan
materi. Banyak orang merasa cukup puas dapat bermain drama
gong, jika mendapat sambutan hangat masyarakat penonton. Akan
tetapi dalam perkembangan zaman, yaitu kehidupan dipengaruhi
oleh ideologi pasar, maka keadaan ikut memengaruhi kehidupan
drama gong.
Atmadja (2006a: 120) mengutip Marcuse dalam Sachari
menyatakan bahwa ciri-ciri masyarakat berdimensi satu yaitu segi
kehidupannya hanya diarahkan pada satu tujuan, yakni
keberlangsungan dan peningkatan sistem yang telah ada, yaitu
sistem kapitalisme. Apa pun lebelnya, prinsip dasarnya tetap
sama, yakni manusia melakukan kegiatan ekonomi secara bebas
dengan sasaran mendapatkan laba sebanyak-banyaknya (Magnis
Suseno dalam Atmadja, 2006:121). Menurut Atmadja mengutip
Steger (2005), sistem ekonomis kapitalis berlandaskan ideologi
24
pasar. Ideologi ini semakin kuat melandasi kehidupan masyarakat
Bali dalam berbagai aktivitas, bersamaan dengan derasnya arus
globalisasi. Atmaja menyatakan sebagai berikut.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan bahwa
ideologi pasar tidak saja melandasi globalisasi, tetapi sekaligus
juga napas atau semangat yang diembuskan oleh globalisasi.
Ideologi pasar merupakan suatu sistem kepercayaan yang
mengagungkan pasar sebagai media utama bagi pemenuhan
segala kebutuhan manusia maupun hasrat manusia akan
kesejahteraan sehingga manusia memiliki pandangan yang
positif, bahkan mendewakan pasar (Steger dalam Atmadja,
2006a:121)
Ideologi pasar memiliki sejumlah karakteristik, tidak saja
berada pada tataran kognisi (teks), tetapi juga memengaruhi teks
sosial manusia Bali. Karakteristik dan teks sosial yang menyertai
dan atau yang dijadikan pedoman oleh ideologi pasar.Uraiannya
dapat dilihat pada tabel
Karakteristik Ideologi Pasar
Indikator Pemaknaan
Hakikat uang
bagi
kehidupan
manusia
Memuja uang karena uang mahakuasa dalam
memenuhi keinginan, hasrat, kama atau nafsu,
karenamanusia adalah mesin hasrat. Pemujaan
uang melahirkan maneytehisme.
Hakikat pasar
bagi
kehidupan
manusia
Pasar merupakan tempat sangat penting bagi
pemenuhan segala keinginan dan kebutuhan
manusia. Oleh Karena itu, pasar tak ubahnya
seperti tempat suci bagi ideologi pasar atau
agama pasar. Pasar bisa berbentuk pasar
tradisional, mall, supermarket, hypermarket, atau
lazim disebut istana belanja. Pemujaan terhadap
pasar melahirkan daulat pasar.
Hakikat
manusia
sebagai homo
consumer, homo
hedonicus, dan
homo
Pada tempat suci ini manusia sebagai homo
consumer, homo hedonicus, dan homo economicus
melakukan ritual sosial ekonomi, misalnya
merayakan hasrat, merayakan konsumerisme,
merayakan citra, dll. Pada saat berbelanja
mereka melakukan ritual memilih barang sesuai
25
economicus
dengan selera, warna, merek, dan mode disertai
dengan tawar menawar (pada pasar tradisional
berlaku harga luncur) atau mereka
menggunakan sistem pelayanan
impersonal(pada supermarket, mall berlaku harga
mati). Barang yang dibeli tidak hanya dilihat
dari segi nilai guna, tetapi juga nilai simbolik
sehingga dia diposisikan sebagai totem atau
fetish.
Hakikat
manusia
sebagai mesin
hasrat atau
pabrik kama
Merangsang kama agar terus tumbuh dan
berkembang secara subur. Hal ini dilakukan
lewat iklan di TV atau penyediaan barang pada
istana belanja. Istana belanja merupakan pula
ruang untuk menumbuhkembangkan kama.
Kama yang tumbuh subur adalah medan amat
baik bagi pemasaran suatu produk.
Hakikat tujuan
hidup manusia
adalah surga di
sini
Tujuan hidup manusia adalah kenikmatan
hidup duniawi (surga di sini), sehingga manusia
terjerat pada materialisme, hedonisme,
wajahisme, penampilanisme, individualisme,
sekularisme, instant solution, atomisme, dll.
Sumber: Atmadja (2006) berdasarkan adaptasi dari Maguire (2004),
Sutrisno (2004), Griffin (2005), Zaehner (1992), Geertz (1977), Thoha
(2004), dan Titib (2005).
Atmadja (2006a:60--61) mengatakanbahwa ideologi yang
melandasi teknologi Barat tidak saja individualisme dan
eksklusivisme, tetapi juga kapitalisme, ideologi pasar, atau agama
pasar menurut istilah yang diberikan Maguire (2004). Agama
pasar memiliki karakteristik berbeda, bahkan bertolak belakang
dengan agama Hindu. Perbedaan agama Hindu dengan agama
pasar dapat dilihat pada tabel 6.2.
26
Perbedaan Agama Hindu dengan Agama Pasar
Agama Hindu Agama Pasar
Memuja kekuatan
adikodrati yang disebut
Brahman, Tuhan, atau
Dewa sebagai
personifikasi-Nya dan
roh leluhur. Agama
Hindu percaya terhadap
Tuhan Yang Maha Esa
atau monoteisme.
Memuja uang karena uang
mahakuasa (daulat uang) memenuhi
keinginan, hasrat, kama atau nafsu
manusia yang tidak pernah berakhir
karena manusia adalah mesin hasrat.
Pemujaan uang melahirkan
maneytehisme.
Tempat sucinya agama
Hindu adalah pura
Tempat suci agama pasar adalah
pasar,mall, supermarket, hypermarket,
atau lazim disebut istana belanja.
Pada tempat suci ini
manusia sebagai
homoreligius melakukan
sistem ritual, dalam
bentuk aneka perilaku,
misalnya sembahyang,
bersaji, berdoa, menari,
menyanyi, dll. Melalui
doa mereka memohon
sesuatu kepada kekuatan
adikodrati, misalnya
keselamatan,
kesejahteraan.
Pada tempat suci ini manusia
sebagai homo consumer, melakukan
ritual sosial ekonomi, misalnya
rekreasi, berkencan, berbelanja, dll.
Pada saat berbelanja mereka
melakukan ritual memilih barang
sesuai dengan selera, warna, merek
dan mode, disertai dengan tawar
menawar (pada pasar tradisional
berlaku harga luncur) atau mereka
menggunakan sistem pelayanan
impersonal(pada supermarket, mall
berlaku harga mati). Barang yang
dibeli tidak hanya dilihat dari segi
nilai guna, tetapi juga nilai simbolik
sehingga dia diposisikan sebagai
totem atau fetish.
Menekankan pada
pengendalian kama,
hasrat, keinginan, atau
nafsu. Kama yang tidak
terkendalikan oleh asas
moralitas bisa
menimbulkan
penderitaan bagi
manusia.
Merangsang kama agar terus tumbuh
danberkembang secara subur. Hal ini
dilakukan lewat iklan di TV atau
penyediaan barang pada istana
belanja. Istana belanja merupakan
pula ruang untuk
menumbuhkembangkan kama. Kama
yang tumbuh subur adalah medan
amat baik bagi pemasaran suatu
27
produk.
Tujuan hidup manusia
adalah mewujudkan
kesejahteraan, baik di
alam sini maupun di
alam sana. Untuk itu
spiritualitas agama
sangat penting, bahkan
modal utama bagi
kehidupoan manusia.
Tujuan hidup manusia adalah
kenikmatan hidup duniawi (surga di
sini) sehingga manusia terjerat pada
materialisme, hedonisme, wajahisme,
penampilanisme, individualisme,
sekularisme, instant solution,
atomisme, dll.
Sumber: Atmadja (2006) yang diadaptasikan dari Maguire (2004), Sutrisno
(2004), Griffin (2005), Zaehner (1992), Geertz (1977), dan Titib (2005)
Berdasarkan ciri-ciri ideologi pasar tersebut, dapat
dikatakan bahwa orang merasa malas untuk bermain drama gong
karena seni pertunjukan tersebut tidak mampu lagi mendatangkan
keuntungan materi. Hal itu disebabkan oleh materi terasa sangat
penting untuk hidup pada zaman modern ini.
Sesuai Dengan Wacana
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan
bahwa wacana merupakan kelas kata benda (nomina) yang
mempunyai arti sebagai berikut.(a) ucapan, perkataan, tuturan,
(b)keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan, (c)satuan
bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan
yang utuh, seperti novel, buku, dan artikel.
Wacana adalah segala sesuatu yang berbentuk tulisan,
perkataan, atau ucapan yang bersifat kontekstual. Wacana juga
dapat diartikan sebagai kumpulan kalimat yang saling berangkai
membentuk suatu kesatuan makna yang padu dan utuh. Dalam
strata kebahasaan, wacana ditempatkan pada posisi teratas,
karena wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi dan
terbesar di dalam sebuah bahasa. Wacana dapat berbentuk kata,
kalimat, paragraf atau bahkan karangan utuh yang memiliki
amanat lengkap seperti pada buku atau pun artikel. Kalimat-
kalimat yang menyusun sebuah wacana haruslah kalimat yang
padu dan sesuai dengan konteks, bukan kalimat-kalimat yang
saling terputus dan lepas konteks. Oleh karena itu, wacana dapat
diartikan juga sebagai tulisan atau perkataan yang memiliki
keutuhan unsur-unsur makna dan konteks yang melingkupinya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka wacana yang
disuguhkan dalam seni pertunjukan drama gong di Kabupaten
28
Gianyar yakni antara lain tentang kesewenang-wenangan seorang
pemimpin, dan tentang cinta sejati. Wacana kesewenang-
wenangan pemimpin dapat disimak dalam seni pertunjukan drama
gong dengan lakon Jayaprana-Layonsari. Dalam lakon itu
diceritakan raja Kalianget melakukan pemaksaan kehendak yakni
ingin mengawini Layonsari yang telah menikah dengan
Jayaprana. Untuk memenuhi keinginannya itu, raja melenyapkan
Jayaparana dengan cara memerintahkan Saunggaling untuk
membunuhnya. Setelah Jayaprana meninggal maka raja merayu
Layonsari dan memaksa agar mau menjadi istri sang raja. Oleh
karena Layonsari sudah bersuami dan tidak mau menikah dengan
raja, maka hal itu mencerminkan kesewenang-wenangan raja
sebagai seorang pemimpin.
Tentang cinta sejati dapat disimak pada lakon Sampik-
Ingtay. Dalam lakon diceritakan bahwa Sampik dan Ingtay sama-
sama menuntut ilmu pada sekolah yang sama. Ingtay, seorang
wanita pada mulanya menyamar menjadi seorang laki-laki.
Setelah tahu bahwa temannya itu seorang wanita, Sampik ingin
menikahi Ingtay. Namun Ingtay diceritakan pula hendak
dinikahkan dengan seorang pemuda lain. Pada akhirnya Sampik-
Ingtay bertemu dalam alam baka. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam lakon tersebut, wacana yang disampaikan adalah cinta
sejati. Dengan adanya wacana tersebut, drama gong mengalami
dinamika.
Dinamika dalam Organisasi
Organisasi kesenian tradisional di Bali umumnya disebut
sekaa. Sekaa adalah sebuah organisasi tradisional yang pada
umumnya bergerak dalam satu bidang profesi untuk
menyalurkan kesenangan atau hobi. Ada bermacam-macam sekaa
di Bali, misalnya sekaa tuak, sekaa manyi, sekaa mamula, dansekaa
semal. Ada sekaa yang menekankan aktivitasnya pada pelayanan
sosial untuk meringankan beban, baik fisik maupun finansial para
anggotanya, seperti sekaa manyidansekaa subak. Ada juga sekaa
yang lebih menekankan pada olah keterampilan seni sehingga
dapat dijadikan profesi yang memberikan kesenangan dan nafkah
bagi para anggotanya seperti sekaa gong, sekaa joged, dan
sekaashanti. Keanggotaan sekaa biasanya bersifat sukarela,tetapi
secara efektif dapat digerakkan untuk melaksanakan tugas-tugas
sosial (Astita, 2009:2).
Demikian pula kesenian drama gong, mereka membentuk
sekaa sebagai organisasi. Dalam konteks kesenian, dilihat dari
29
keanggotaannya, secara garis besar, ada dua macam bentuk
sekaa,yaitu sekaa sebunan dan seka bonan. Menurut Kamus Bali-
Indonesia kata sekaa berarti perkumpulan, persatuan organisasi
(Panitia Penyusun Kamus Bali-Indonsia, 1978:623). Di pihak lain
kata “sebun” secara harfiah berarti sarang burung (Panitia
Penyusun Kamus Bali-Indonesia, 1978:619).Dalam konteks
kesenian, kata sebunan terbentuk dari kata dasar sebun dan
memperoleh akhiran “an” sehingga pengertiannya satu tempat
atau satu banjar/satu desa. Dengan demikian sekaa sebunanberarti
sebuah organisasi yang semua anggotanya di satu tempat atau
satu banjar/desa.
Kata “bonan” kata dasarnya adalah “bon” yang dalam
bahasa Bali memiliki dua pengertian. Pengertian pertama, kata
“bon” berarti sama dengan bahasa Indonesia, yakni membeli
sesuatu tanpa membayar. Pengertian kedua, yakni gabungan
perkumpulan. Kemudian kata “ngebon” diartikan minta bantuan
dari perkumpulan lain. Jadi, kata “bon-bonan” diartikan hasil
penggabungan (Panitia Penyusun Kamus Bali-Indonesia, 1978:94).
Berdasarkan pengertian tersebut, diketahui bahwa sekaa
bonan adalah organisasi yang anggotanya terdiri atas berbagai
tempat, baik di dalam maupun di luar desa. Pada kesenian arja
pernah ada sekaa disebut Arja Bon Bali. Artinya, organisasi
dramatari itu, baik sekaa gamel maupun penarinya, terdiri atas
berbagai daerah di Bali. Demikianlah, seni pertunjukan drama gong
di Bali memiliki sekaa sebunan dan sekaabonan. Kata “bonan” dalam
kasus ini tidak hanya berarti gabungan perkumpulan, tetapi juga
berarti perorangan. Terbentuknya sekaa ini merupakan akibat dari
adanya berbagai tuntutan, baik dari para pragina maupun
masyarakat Bali sendiri.
a. Sekaa Drama Gongdalam Bentuk Sebunan
Pada dasarnya dari segi teknis tidak sulit membuat drama
gong. Iringan musiknya, yakni sebarung gamelan tidak sulit
diperoleh karena desa adat rata-rata memiliki gamelan itu untuk
keperluan yadnya. Para penabuh gemelan yang biasa mengiringi
berbagai kesenian tradisional di pura tidak mengalami kesulitan
yang berarti ketika mengiringi pelaku drama gong di atas pentas.
Hal itu terjadi sebab irama gamelan drama tidak begitu rumit.
Demikian pula para pemain seni pertunjukan drama gong.
Pada tahun 1970-an, saat kesenian itu mulai populer, banyak
warga banjar ingin menjadi pemain. Lebih-lebih untuk menjadi
pemain drama gong, persyaratannya tidak berat. Hal itulah yang
30
menyebabkan banyak bermunculan sekaa drama gong sebunan
sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.3
Data Sekaa Drama Gong Sebunan No Nama Sekaa
Drama Gong
Sebunan
Alamat No Nama Sekaa
Drama Gong
Sebunan
Alamat
1 Sekaa Drama
Gong Wijaya
Kusuma
Abianbase,
Gianyar
7 Sekaa Drama
Gong Dlod
Tangluk
Dlod
Tangluk,
Gianyar
2 Sekaa Drama
Gong Bukit Batu
Bukit Batu,
Gianyar
8 Sekaa Drama
Gong Singapadu
Singapadu,
Gianyar
3 Sekaa Drama
Gong Blah Pane
Blah Pane,
Gianyar
9 Sekaa Drama
Gong Calo
Tegallalang,
Gianyar
4 Sekaa Drama
Gong Purwa
Soma Budaya
Pejeng,
Gianyar
10 Sekaa Drama
Gong Sebatu
Tegallalang,
Gianyar
5 Sekaa
DramaGong
Pengembungan
Pejeng,
Gianyar
11 Sekaa Drama
Gong Melinggih
Payangan,
Gianyar
6 Sekaa Drama
Cebok
Tegallalang,
Gianyar
12 Sekaa Drama
Gong Ked
Tegallalang,
Gianyar
Catatan: Sekaa DramaGong Sebunan yang masih eksis sampai saat ini
dalam nomor dalam lingkaran
Hal itu berarti bahwa membangun sebuah sekaadrama gong
di banjar atau desa tidak sulit. Itulah sebabnya organisasi drama
gong di Kabupaten Gianyar disebut sekaasebunan. Hal itu
dilakukan karena berbagai faktor. Menurut Wayan Sudiarsa
(wawancara 25 Februari 2016), ia membentuk sekaasebunan selain
persyaratannya mudah juga karena membuat drama gong hanya
untuk sekadar menjalankan hobi. Selain itu sekaa itu dibentuk
hanya untuk keperluan ngayah di pura. Setelah dapat ngayah di
pura ia yang memerankan putra manis dalam drama gong di Banjar
Calo, Tegallalang, Gianyar melanjutkan kehidupan drama gong itu.
Ia kemudian melakukan pementasan di beberapa tempat, dan
diupah sekadarnya.
Padamulanyasekaa-sekaadrama gong di Bali bermunculan
mewakili sebuah banjar atau desa. Nama sekaa itu biasanya
diambil dari nama banjar atau desa. Apabila menyebut sebuah
desa, seseorang akan teringat kesenianapa yang tersohor di tempat
itu. Misalnya Drama Gong Abianbase Gianyar. Setia (2006:228)
mengemukakan, jika orang menyebut Abianbase, maka yang
teringat di kepala adalah drama gong. Kalau menyebut Desa
31
Carangsari yang langsung diingat adalah topeng. Menyebut
Kramas teringat pada arja. Batu Bulan dengan barongnya,
Wangaya dengan joged. Sukawati dengan wayang kulitnya.
Pedungan dengan gambuhnya.
Berdasarkan pernyataan Setia tersebut, diketahui bahwa
nama drama gong sebunan dengan nama desa tidak bisa
dipisahkan. Nama desa sering menjadi populer oleh kesenian
yang ada di desa tersebut. Apalagi kesenian tersebut mengalami
kejayaan.
b. Sekaa Drama gong Profesional
Sekaasebunan lambat laun bubar satu persatu. Sekarang ini,
desa sudah banyak yang menyatu akibat padatnya penduduk,
baik oleh pendatang maupun karena pertumbuhan penduduk
akibat kelahiran di desa itu sendiri. Selain itujuga terjadi
pertukaran penduduk. Penduduk desa yang satu bisa menetap di
desa lain atau pergi ke kota dan menetap di sana. Mereka hanya
pulang sewaktu-waktu, terutama untuk keperluan
persembahyangan atau ada acara sukaduka (misalnya kematian
dan upacara perkawinan). Sementara itu, orang di kota tinggal di
pedesaan membuka usaha.
Keadaan seperti itu menurut Setia (2006:227--228)
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sosial
kemasyarakatan, termasuk di bidang kesenian. Sekaa-sekaa
kesenian yang ada di desa sulit dipertahankan karena tidak semua
pendukungnya setiap saat ada di desa. Mereka sulit sekali untuk
berkumpul. Karena sekaasebunan ini sudah sangat tinggi
mobilitasnya, mereka hampir tidak memiliki waktu untuk
berkumpul di desanya sendiri untuk meneruskan tradisi
sebelumnya. Lebih jauh Setia menulis sebagai berikut.
“...perkembangan pendidikan tari sekarang ini demikian pesat
sehingga orang-orang yang tetap tinggal di desa -apalagi yang
desanya jauh dari kota- merasa selalu terlambat mengikuti
perkembangan tari. Akibatnya muncul rasa minder pada remaja
desa untuk belajar menari. Sebaliknya, jika memang ada remaja
desa yang begitu tinggi minatnya pada dunia kesenian, ia akan
lari ke kota dan mengikuti kursus-kursus tari, atau bersekolah di
sekolah tari. Jika di desanya sendiri ia tak bisa menyalurkan
bakatnya dalam suatu kelompok (sekaa) maka mereka akan larut
di sekolah atau tempatnya kursus. Dari sinilah lahirnya sekaa
baru, entah itu disebut sanggar atau kelompok.”
32
Berdasarkan pernyataan Setia tersebut dapat dikatakan
bahwa masyarakat selalu mengalami perubahan. Menurut
Soekanto (1980:107) perubahan-perubahan sosial terjadi
disebabkan oleh bermacam-macam. Penyebab perubahan sosial
tersebut, berasal dari dalam (internal) dan dari luar masyakarat itu
sendiri (eksternal). Sebab-sebab internal, antara lain dapat
disebutkan misalnya pertambahan penduduk atau berkurangnya
penduduk, penemuan-penemuan baru; pertentangan (konflik),
atau mungkin karena terjadinya revolusi. Sebaliknya, penyebab
eksternal dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari
lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain,
peperangan, dan seterusnya. Suatu perubahan sosial lebih mudah
terjadi apabila suatu masyarakat sering mengadakan kontak
dengan masyarakatlain atau mempunyai sistem pendidikan yang
maju. Di samping itu, sistem lapisan sosial yang terbuka,
penduduk yang heterogen, serta ketidakpuasan masyarakat
terhadap bidang kehidupan tertentu dapat juga memperlancar
proses perubahan-perubahan sosial.
Perubahan-perubahan sosial sebagaimana dikatakan
Soekanto tersebut memang terjadi, antara lain menyangkut
kesenian Bali, khususnya sekaadrama gong. Seperti telah dikatakan
Setia di atas bahwasekaasebunan berubah menjadi sekaa baru yang
disebut sanggar atau nama lain. Perubahan organisasi kesenian
itu, terutama terjadi pada kesenian yang “umum”, artinya bukan
sebagai kesenian tradisi yang ada kaitannya dengan ritual. Sekaa
baru yang berupa sanggar ini akan lebih menonjol dibandingkan
dengan sekaasebunan. Penyebabnya adalah di dalam sanggar ada
semangat profesionalisme sekaligus harapan mendapatkan nafkah
lebih besar, sementara dalam sekaasebunan semangatnya adalah
kebersamaan dan ngayah (bekerja tanpa mendapatkan imbalan).
Dengan demikian, nama desa sebagai “cap dagang” digantikan
dengan nama kelompok. Ada Drama Gong Bintang Bali Timur
(BBT), Drama Drama gong Dewan Kesenian Denpasar (DKD),
Drama Gong Bhara Budaya, DramaGong Kerti Buwana Sari, yang
paling bertahan Drama Gong Sancaya Dwipa. Menurut Setia,
pergeseran pola kelompok para seniman Bali ini memang tidak
bisa dihindarkan. Ini adalah irama dunia yang menuju era
kesejagatan, yaitu para profesional berkumpul di antara mereka
yang seprofesi (Setia, 2006:228--229). Sampai saat ini sekaa drama
gong profesional yang masih eksis dapat dilihat pada tabel berikut
ini.
33
Tabel 6.4
Sekaa Drama Gong Profesional yang Masih Eksis No Sekaa Drama Gong
Profesional/Bon-
bonan
Alamat No Sekaa Drama Gong
Profesional/ Bon-
bonan
Alamat
1 Sekaa Drama Gong
Puspa Kencana
Bon Bali
Bukit Batu,
Gianyar
3 Sekaa Drama Gong
Putra Bali Budaya
Tegallalang,
Gianyar
2 Sekaa Drama Gong
Santi Lango
Tegallalang,
Gianyar
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul organisasi
baru yang diberikan nama Paguyuban Lawak se-Bali. Mereka
bermain dalam seni pertunjukan drama gong dengan judul
Pengamen. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa para pragina
terdiri atas wajah-wajah lama seperti Petruk, Dolar, Dabdab,
Yudana, Mongkeg, dan lain-lain. Dalam drama gong ini
dikolaborasi dengan lagu dangdut. Mereka memakai bahasa
Indonesia dan beragama non-Hindu, tetapi tetap memakai busana
adat Bali. Dilihat dari segi organisasinya, paguyuban ini sama
dengan sekaa bonan, karena para pragina terdiri atas berbagai
kabupaten.
Menurut Yuliadi (2005:42), pudarnya sekaasebunan, juga
disebabkan oleh hadirnya stasiun televisi. Keberadaan TVRI
Denpasar juga menumbuhkan semangat profesionalisme
pengelolaan drama gong. TVRI Denpasar yang menayangkan
siaran drama gong tiap hari Minggu malam memengaruhi
perkembangan kelompok drama gong yang ada di desa-desa.
Berangsur-angsur drama gong di desa tidak terdengar lagi
namanya dan tidak pernah melakukan pertunjukan. Masyarakat
lebih memilih menonton drama gong yang pernah muncul di
televisi dengan menyertakan pemain Dewa Ayu Rai, I Wayan
Lodra, I Gede Yudhana, Daddab, Petruk, dan Dolar.
Dinamika dalam Hal Iringan/Gamelan
Gamelanmerupakansalah satuwarisan budayaHindupada
masa lalu. Gamelanadalahsebuahorkesbesar yang terdapat di Jawa
dan Bali, terutama terdiri atas alat-alat pukul yangterbuat dari
perunggu (Pringgodigdo dkk., 1973: 427).
Bagi masyarakat Hindu di Bali, gamelan memiliki
berbagai fungsi, yakni antara lain untuk melakukan upacara yang
34
tergabung dalam panca yadnya dan untuk mengiringi kesenian.
Gamelan yang pernah mengiringi seni pertunjukan drama gong
bebeda-beda sesuai dengan dinamika kehidupan seni pertunjukan
itu, misalnya gamelan janger, gong kebyar dan semar pagulingan.
a. Gamelan Janger
Sebagaimana telah diungkapkan pada uraian terdahulu
bahwa munculnya drama gong di Bali bermula dari tari janger
sehingga ada istilah drama janger. Kesenian ini merupakan sebuah
kesenian drama yang menjadi bagian dari pertunjukan tari janger.
Dalam banyak hal, drama janger sangat mirip dengan sandiwara
atau stambul yang ada dan populer pada sekitar tahun 1950.
Pendapat itu senada dengan apa yang dikatakan Putu Setia dalam
Yuliadi (2005:40) bahwa embrio drama gong adalah kesenian
janger.Kemunculan drama gong merupakan sebuah kelanjutan dari
berbagai bentuk drama yang mendahuluinya. Yuliadi mengatakan
bahwa pandangan ini didasari oleh teori evolusi budaya yang
dalam kasus ini menyiratkan perubahan terarah (Yuladi, 2005:40).
Drama janger diiringi musik atau gamelan Janger.
Gamelan Janger terdiri atas sepasang gender wayang; sepasang
kendang kekrumpungan (kecil),satu buah tawa-tawa,satu buah
kajar,satu buah rebana (yang kadang kala digantikan dengan gong
pulu),satu buah klenang,satu pangkon ricik,satu sampai dengantiga
buah suling. Walaupun gender wayang berlaras slendro (lima nada),
gamelan janger berlaras slendro dan pelog. Untuk mengiringi
lagu-lagu berlaras pelog biasanya gender wayang tidak digunakan
dan pimpinan melodi diambil alih oleh suling.
b. Gong Kebyar
Gong kebyar adalah barungan gamelan Bali sebagai
perkembangan terakhir dari gong gede, memakai laras pelog lima
nada, yaitu nding, ndong, ndeng, ndung, danndang. Gong gede awal
mulanya tidak menggunakan instrumen trompong. Selanjutnya
gong kebyar merupakan suatu barungan gamelan gong yang
didalam permainannya sangat mengutamakan kekompakan
suara, dinamika, melodi, dan tempo. Dalam permainannya
diperlukan keterampilan mengolah melodi dengan berbagai
variasi permainan dinamika yang dinamis dan permainan tempo
yang diatur sedemikian rupa.Selain itu, juga didukung oleh teknik
permainan yang cukup tinggi sehingga dapat membedakan
stylegong kebyar yang satu dengan yang lainnya.
35
Menurut sejarahnya, gamelan gong kebyar baru muncul
pada permulaan abad XX, yang pertama kali diperkirakan muncul
di daerah Bali Utara tepatnya sekitar tahun 1915 di Desa Jagaraga.
Namun, Beryl de Zoete dan Walter Spies dalam buku Dance and
Drama in Bali mengatakan bahwa I Ketut Mario yang lahir sekitar
tahun 1900 sudah menari sisya dalam dramatari calonarang di
tahun 1906. Dalam ungkapan selanjutnya sama sekali tidak ada
menyinggung masalah gong kebyar atau tari kekebyaran.
Berdasarkan ungkapan itu, dapat dikatakan bahwaI Ketut Mario
dikenal sebagai salah seorang tokoh dalam gong kebyar sampai
dengan 1906 (perang Puputan Badung ) masih menjadi penari
sisyayang dapat diartikan bahwa sampai tahun 1906 itu Mario
belum mengenal tari kebyar. Ini juga berarti bahwa gamelan gong
kebyar belum ada pada tahun 1906. Menurut Colin McPhee dalam
buku Musik in Bali,untuk pertama kalinya gamelan gong kebyar
diperdengarkan di depan umum adalah pada Desember
1915.Ketika itu tokoh-tokoh gong Bali Utara mengadakan
kompetisi yang pertama kali untuk gong kebyar di Jagaraga. Colin
McPhee mengakui bahwa apa yang dikemukakan itu adalah hasil
interviunya dengan A.A. Gde Gusti Jelantik mantan Regen
Buleleng (Colin McPhee, 1966:328 dalam Kade Tastra). Apabila
diperhatikan baik-baik apa yang dikemukakan Colin McPhee,
akan tampak bahwa tahun 1915 itu adalah saat kompetisi yang
pertama kali di Bali Utara yang menampilkan bentuk-bentuk
kekebyaran dan sudah tentu sekaa-sekaa yang ikut ambil bagian
dalam kompetisi ini sudah menciptakan bentuk-bentuk kekebyaran
satu atau dua tahun sebelumnya, bahkan mungkin beberapa
tahun sebelumnya. Mustahil apabila gong-gong yang ditampilkan
dalam kompetisi pada tahun 1915 yangbertempat di Jagaraga itu
menciptakan bentuk-bentuk kekebyaran beberapa jam atau
beberapa hari sebelumnya. Selain ungkapan Colin McPhee ini,
dapat diketahui juga bahwa Desa Jagaraga yang selama ini
dianggap sebagai daerah asal mula munculnya gamelan gong
kebyar di Bali Utara pada tahun 1915 ternyata hanya dijadikan
tempat kompetisi gong kebyar pada tahun 1915 tersebut.
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Beryl de Zoete, Walter
Spies, dan Colin McPhee di atas, maka kiranya dapat ditarik suatu
batas pemunculan gong kebyar di Bali, yakni diantara tahun 1906
sampai dengan tahun 1915.Dengan kata lain gong kebyar diduga
muncul sesudah tahun 1906 dan sebelum tahun 1915. Tempat
pemunculannya pertama kali bukan di Desa Jagaraga.
36
Dalam perjalanan sejarahnya drama gong kemudian
diiringi dengan gong kebyar. Hal itu disesuaikan dengan tuntutan
dan kebutuhan pertunjukan. Gong kebyar merupakan salah satu
perangkat/barungan gambelan Bali yang terdiri atas lima nada
(panca nada) dengan laras pelog, tetapi tiap-tiap instrumen terdiri
atas sepuluh bilah. Barungan gong kebyar terdiri atas dua buah
(tungguh) pengugal/giying, empat buah (tungguh) pemade/gansa,
empat buah (tungguh) kantilan, dua buah (tungguh) jublag, dua
buah (tungguh) penyacah, dua buah (tungguh) jegogan, satu buah
(tungguh) reong/riyong, satu buah (tungguh) trompong, satu
pasang gong lanang wadon,satu buah kempur, satu buah kemong
gantung, satu buah bebende, satu buah kempli, satu buah (pangkon)
ceng-cengricik, satu pasang kendang lanang wadon, dan satu buah
kajar.
Di Bali ada dua macam bentuk perangkat dan gaya utama
gambelan gong kebyar yaitu gambelan gong kebyar Bali Utara dan
gambelan gong kebyar Bali Selatan. Kedua gambelan gong kebyar ini
perbedaannya terletak pada tungguhan gangsa, yaitu Bali Utara
bentuk bilah penjain dan dipacek, sedangkan Bali Selatan
menggunakan bentuk bilah kalorusuk dan digantung. Gamelan Bali
Utara kedengarannya lebih besar daripada suara gamelan Bali
Selatan meskipun dalam patutan yang sama. Dalam
perkembangannya gong kebyar muncul istilah gaya Bali Utara dan
gaya Bali Selatan meskipun batasan istilah ini juga masih belum
jelas. Sebagai gambaran daerah atau kabupaten yang termasuk
daerah Bali Utara hanyalah Kabupaten Buleleng, sedangkan
Kabupaten Badung, Tabanan, dan yang lain mengambil gaya Bali
Selatan. Disamping itu, penggunaan tungguhan gong kebyar di
tiap-tiap daerah sebelumnya memang selalu berbeda karena
disesuaikan, baik dengan kebutuhan maupun fungsinya. Gong
kebyar itu telah berfungsi sebagai pembaru dan pelanjut tradisi.
Sebagai pembaru maksudnya adalah lewat gong kebyar
para seniman kita telah berhasil menciptakan gending-gending
baru yang lepas dari tradisi yang sudah ada. Di pihak lain sebagai
pelanjut tradisi maksudnya adalah gong kebyar telah mampu
mempertahankan eksistensi reporter gambelan lainnya melalui
transformasi dan adaptasi. Seperti apa yang telah diuraikan di atas
bahwa gong kebyar memiliki fungsi untuk mengiringi tari
kekebyaran. Namun, sesuai dengan perkembangannya bahwa gong
kebyar memiliki fungsi yang sangat banyak. Hal ini disebabkan
oleh gong kebyar memiliki keunikan tersendiri, sehingga mampu
berfungsi untuk mengiringi berbagai bentuk, baik tarian gending-
37
gending lelambatan, palegongan, maupun jenis gending yang
lainnya. Disamping itu gong kebyar juga bisa digunakan sebagai
salah satu penunjang pelaksanaan upacara agama, seperti misal
mengiringi tari sakral, jenis tarian wali, dan balih-balihan. Di
samping itu, juga disebutkan dengan menggunakan iringan
gamelan gong kebyar, dalam sejarah drama klasik di Bali, drama
tersebut berganti nama menjadi drama gong. Sejak itulah muncul
sekaa-sekaadrama gong baru lainnya.
Sekaa Tabuh drama gong dengan perangkat gong kebyar
(Foto: Dokumen I Wayan Sugita)
c. Semar Pagulingan
Semar pagulingan adalah sebuah gamelan yang dekat
hubungannya dengan gamelan gambuh, yaitu juga merupakan
perpaduan antara gamelan gambuh dan legong. Semar pagulingan
merupakan gamelan rekreasi untuk istana raja-raja zaman dahulu.
Biasanya dimainkan pada waktu raja-raja akan ke peraduan
(tidur). Gamelan ini juga digunakan untuk mengiringi tari leko
dan gandrung yang semula dilakukan oleh abdi raja-raja keraton.
Semar pagulingan memakai laras pelog tujuh nada, terdiri atas lima
nada pokok dan dua nada pamero. Repertoar gamelan ini hampir
keseluruhannya diambil dari pegambuhan (kecuali gending leko)
dan semua melodi yang mempergunakan tujuh nada dapat segera
ditransfer ke dalam gamelan semar pagulingan.
Bentuk gamelan semar pagulingan mencerminkan juga
gamelan gong, tetapi lebih kecil dan lebih manis disebabkan oleh
hilangnya reongdan gangsa-gangsa yang besar. Demikian bejenis-
jenis pasang cengceng tidak digunakan di dalam semar pagulingan.
Instrumen yang memegang peranan penting dalam semar
38
pagulingan ialah trompong. Trompong lebih menitik-beratkan
penggantian melodi suling dalam gambuh yang dituangkan ke
dalam nada yang lebih fiks. Gending-gending yang dimainkan
dengan memakai trompong, biasanya tidak digunakan untuk
mengiringi tari. Di samping trompong ada juga empat buah
gender yang kadang-kadang menggantikan trompong, khususnya
untuk gending-gending tari. Dalam hal ini semar pagulingan sudah
berubah namanya menjadi gamelan pelegongan. Instrumen yang
lain seperti gangsa, jublag dan calung masing-masing mempunyai
fungsi sebagai cecandetan ataupun untuk memangku lagu. Semar
Pagulingan juga memakai dua buah kendang, satu buah kempur,
kajar, kelenang, suling. Kendang merupakan sebuah instrumen yang
amat penting untuk menentukan dinamika pada lagu.
Barungan gamelan semar pagulingan saih pitu terdiri dari:
satu tungguh trompong memakai, empat belaspencon,empat tungguh
gangsa pemade, tujuh bilah,empat tungguh gangsa kantil, tujuh
bilah,sebuah curing; dua tungguh penyahcah, tujuh bilah; dua
tungguh jublag, tujuh bilah; dua tungguh jegogan, tujuh bilah;
sebuah rebab; dua buah suling ukuran besar, dan kecil; sepasang
kendang kekrumpungan lanang dan wadon; sebuah kajar; sebuah
klenong (klentong); sebuah genta, orag; satu pangkonceng-ceng kece.
Gamelan semar pagulingan pernah mengiringi beberapa
drama gong. Menurut Wayan Puja, drama gong yang dipimpinnya
beberapa kali diiringi semar pagulingan. Hal itu tidak menimbulkan
masalah karena seni pertunjukan drama gong termasuk luwes dan
bisa menyesuaikan dengan berbagai musik tradisional.
Gambar 6.3 seperangkat Gamelan Semar Pagulingan (foto: https://
adhiwiguna. files.wordpress.com).
39
BAB III
DINAMIKA DRAMA GONG DALAM
FUNGSINYA
Para peneliti dan ahli menengarai bahwa fungsi seni
pertunjukan setidak¬tidaknya sudah mulai dilekatkan di dalam
keberadaannya pada waktu masyarakat mengenal peradaban
bercocok tanam, yaitu ketika masyarakat sudah tidak lagi
berpindah-pindah tempat untuk menemukan dan mengumpulkan
makanan yang disediakan oleh alam. Waktu luang di sela-sela dan
di antara bercocok tanam merupakan saat yang tepat untuk
berkesenian. Di samping itu, kebutuhan dan harapan akan
keselamatan dan kesejahteraan di dalam kehidupan
membutuhkan kehadiran seni pertunjukan sebagai sarananya.
Secara umum, pengertian seni adalah segala sesuatu yang
diciptakan manusia yang mengandung unsur keindahan dan
mampu membangkitkan perasaan orang lain. Istilah seni berasal
dari kata Sanskerta, yaitu dari kata sani yang diartikan pemujaan,
persembahan, dan pelayanan yang erat dengan upacara
keagamaan yang disebut kesenian. Menurut Padmapusphita, seni
berasal dari bahasa Belanda genie dalam bahasa Latin disebut
dengan genius yang berarti kemampuan luar biasa dibawa sejak
lahir. Menurut ilmu Eropa, seni berasal dari kata art yang berarti
artivisual, yaitu suatu media yang melakukan kegiatan tertentu.
Fungsi seni dikelompokkan menjadi dua, yaitu fungsi
individu dan fungsi sosial,yaitu sebagai berikut.
1. Fungsi individu, yaitu merupakan suatu fungsi seni
yang bermanfaat untuk kebutuhan pribadi individu itu sendiri.
Terdapat dua macam fungsi seni untuk individu, yaitu sebagai
berikut.Pertama, fungsi pemenuhan kebutuhan fisik. Pada
hakikatnya manusia adalah makhluk homofaber yang memiliki
kecakapan untuk apresiasi pada keindahan dan pemakaian benda-
benda. Seni terapan memang mengacu kepada pemuasan
kebutuhan fisik sehingga segi kenyamanan menjadi suatu hal
penting.Kedua, fungsi pemenuhan kebutuhan emosional.
40
Seseorang mempunyai sifat yang beragam dengan
manusia lain. Pengalaman hidup seorang sangat memengaruhi sisi
emosional atau perasaannya. Sebagai contoh perasaan sedih, lelah,
letih, gembira, iba, kasihan, benci, cinta, dll. Manusia dapat
merasakan semua itu karena didalam dirinya terkandung
dorongan emosional yang merupakan situasi kejiwaan pada setiap
manusia normal. Untuk memenuhi kebutuhan emosional manusia
memerlukan dorongan dari luar dirinya yang sifatnya
menyenangkan, memuaskan kebutuhan batinnya. Sebagai contoh
karena kegiatan dan aktivitas sehari-harinya membuat mengalami
kelelahan sehingga memerlukan rekreasi, seperti menonton film di
bioskop, hiburan teater, dan musik. Seseorang yang memiliki
estetikanya lebih banyak maka ia memiliki kepuasan yang lebih
banyak pula. Di pihak lain seniman adalah seseorang yang
mampu mengapresiasikan pengalaman dan perasaannya dalam
sebuah karya seni yang diciptakannya. Hal ini juga diyakini
olehnya sebagai sarana memuaskan kebutuhan emosional dirinya.
2. Fungsi sosial, yaitu suatu fungsi seni yang bermanfaat
sebagai pemenuhan kebutuhan sosial seorang individu. Terdapat
beberapa macam fungsi seni sebagai fungsi sosial, antara lain
sebagai berikut.Pertama, fungsi religi/keagamaan, yaitu karya seni
sebagai pesan religi atau keagamaan. Seni digunakan untuk
sebuah upacara pernikahan, kelahiran, kematian, dan lain-
lain.Kedua,fungsi pendidikan. Seni sebagai media pendidikan
dapat dilihat dalam seni pertunjukan.Ketiga,fungsi komunikasi.
Seni sebagai media komunikasi misalnya dalam kritik sosial,
kebijakan, gagasan untuk memperkenalkan kepada masyarakat.
Contohnya pagelaran wayang kulit, wayang orang, dan seni teater
ataupun poster, drama komedi, dan reklame. Keempat, fungsi
rekreasi/hiburan. Fungsi utama seni adalah hiburan atau rekreasi
untuk melepas kejenuhan atau mengurangi kesedihan yang
khusus untuk pertunjukan berekpresi atau hiburan. Kelima,fungsi
artistik. Seni yang berfungsi sebagai media ekspresi seniman
dengan menyajikan karyanya tidak untuk hal yang komersial,
seperti musik kontemporer, tari kontemporer, dan seni rupa
kontemporer. (Seni pertunjukan yang tidak bisa dinikmati
pendengar/pengunjung, hanya bisa dinikmati oleh para seniman
dan komunitasnya).Keenam,fungsi guna. Karya seni yang dibuat
tanpa memperhitungkan kegunaannya, kecuali sebagai media
ekspresi (karya seni murni) ataupun dalam proses penciptaan
mempertimbangkan aspek kegunaannya, seperti
perlengkapan/peralatan rumah tangga yang berasal dari gerabah
41
ataupun rotan.Ketujuh, fungsi kesehatan. Seni sebagai fungsi
kesehatan, seperti pengobatan penderita gangguan fisik ataupun
medis distimulasi melalui terapi musik (disesuaikan dengan latar
belakang pasien). Terbukti musik telah mampu untuk
menyembuhkan penyandang autisme, gangguan psikologis
trauma suatu kejadian.
Siegel menyatakan bahwa musik klasik menghasilkan
gelombang alfa yang dapat menenangkan dengan merangsang
sistem limbic jaringan neuron otak dan gamelan menurut
Gregorian dapat mempertajam pikiran.
Senada dengan pendapat tadi, fungsi tari Bali secara
umum dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu seni tari wali,
seni tari bebali dan seni tari balih-balihan. Pembagian itu merupakan
rumusan Seminar Seni Sakral dan Profan bidang seni tari yang
diadakan oleh Proyek Pemeliharaan dan Pengembangan
Kebudayaan Daerah Bali pada 24 Mei 1971 di Denpasar. Seni tari
wali adalah segala jenis seni tari yang dilakukan di pura dan di
tempat-tempat lain yang ada hubungannya dengan upacara
agama (agama Hindu). Tari-tarian Bali yang dapat digolongkan
kedalam tari wali, antara lain tari rejang, tari pendet, tari sanghyang,
tari baris upacara, topeng sidhakarya, wayang lemah. Seni tari bebali,
adalah sekelompok tari Bali yang berfungsi sebagai pengiring
upacara dan upakara agama baik yang dilakukan di pura-pura
maupun di luar pura. Jenis tari Bali yang dapat digolongkan
kedalam tari bebali, antara lain: wayang wong, topeng, drama tari
dan lainnya. Tari balih-balihan adalah segala jenis tari Bali yang
mempunyai unsur-unsur dan dasar dari seni tari yang luhur yang
tidak tergolong kedalam tari wali dan tari bebali. Kelompok tari Bali
ini dapat disajikan sewaktu-waktu, baik sehubungan dengan
suatu upacara agama maupun terlepas sama sekali. Jenis tarian
yang tergolong dalam taribalih-balihan, antara lain dramatari
calonarang, prembon, arja, tari joged. janger, dan drama gong.
Sebagai fungsi balih-balihan, pertunjukan drama gong
bersifat sekuler. Sesuai dengan dinamika perjalanannya, seni
pertunjukan drama gong dibagi menjadi beberapa fungsi, yakni
sebagai hiburan, media pendidikan, media sosialisasi program.Di
samping itu, karena digemari, sering pula dipakai sebagai media
penggalian dana.
a. Fungsi Hiburan
Sesuai dengan fungsinya sebagai seni hiburan, sebuah
pertunjukan drama gong membuat ekspresi yang mengandung
42
hiburan. Pada saat pertunjukan ini drama gong tanpa dikaitkan
dengan sebuah upacara. Masyarakat Bali yang pada umumnya
mempunyai tatanan kehidupan yang sudah tersusun rapi semakin
menyadari perlunya drama gong sebagai media hiburan. Gairah
kegiatan seni drama gong sebagai ekspresi dapat disaksikan dalam
kehidupan masyarakat yang terjalin dalam struktur sosial serta
meninggalkan karya seni yang monumental. Seni drama gong
sebagai manifestasi aktivitas yang hadir dalam masyarakat tampil
dengan berbagai ekspresi visual dan suara yang menonjol. Drama
gong yang berfungsi menghibur memberikan kepuasan kepada
penontonnya. Oleh karena itu, penampilan drama gong
mementingkan lelucon yang dominan.
Menurut Gusti Ngurah Darma, praginadrama gong dari
Tengkulak, Gianyar, drama gong dalam fungsinya menghibur,
tidak saja dapat memberikan kesenangan kepada penonton tetapi
juga demi pemain sendiri. Sebagaimana diucapkan Darma,”amerih
sukaning awak, angawe sukaning wang len” yang artinya, mencari
kesenangan untuk diri sendiri dan membuat orang lain senang.
Apa yang dikatakan Darma, senada dengan pendapat
Merriam (1964) ketika ia mengemukakan fungsi kesenian musik.
Menurut Merriam, fungsi musik ada sepuluh macam yakni (1)
sebagai pengungkapan emosional (the function of emotional),(2)
fungsi tentang kenikmatan estetis (the function of aesthetic
enjoyment),(3) Fungsi hiburan (the function of entertainment),(4)
fungsi komunikasi (the fungtion communicatioan),(5) fungsi
presentasi simbolis (the function of symbolis representation),(6)
frespon fisik (the function of physical response),(7) fungsi
menguatkan konformitas terhadap norma-norma sosial (the
function of enforcing conformity to social norm),(8) fungsi validasi
tentang institusi-institusi sosial dan ritual-ritual keagamaan (the
function of validation of social institutions and religious vital),(9) fungsi
tentang kontribusi terhadap kontinyuitas dan stabilitas budaya
(the function of contribution to the continuity and stability of
culture),dan (10) fungsi kontribusi terhadap integrasi masyarakat
(the fungtion of contribution of contribution to the integration of society).
Senada dengan pendapat itu, Soedarsono dalam bukunya
Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi mengatakan bahwa
fungsi seni ada tiga yakni (1) seni pertunjukan yang berfungsi
sebagai sarana ritual,(2) seni pertunjukan yang berfungsi sebagai
hiburan pribadi,(3) seni pertunjukan yang berfungsi sebagai
presentasi estetis.
43
Seni pertunjukan drama gong, sebagai tontonan atau
hiburan tidak banyak membutuhkan persyaratan karena tidak
terikat pada misi tertentu. Menurut Wayan Suarta (wawancara 7
Januari 2016), seni pertunjukan drama gong harus mampu
memberikan kesenangan pada seseorang atau kelompok orang
yang berada di sekitar pertunjukan. Sebagai media tontonan, seni
pertunjukan drama gong harus dapat menghibur penonton.
Pertunjukan itu bertujuan untuk memberikan pengalaman estetis
kepada penonton. Seni pertunjukan disajikan agar dapat
memperoleh tanggapan apresiasi sebagai suatu hasil seni yang
dapat memberi kepuasan pada mata dan hati penontonnya.
Contoh adegan yang dapat memberikan hiburan dapat dilihat
pada gambar di bawah ini.
Dua parekan buduh sedang menari barong-barongan menggunakan tikar
(foto: Dok. I Wayan Sugita)
44
Putri buduh/Liku mengejar putra manis
(foto: Dok. I Wayan Sugita)
b. Sebagai Media Pendidikan
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali tidak
pernah lepas dari sebuah seni. Seni merupakan suatu proses
penggambaran ekspresi diri manusia sehingga bisa dilihat dalam
intisari ekspresi dari kreativitas manusia. Dalam mengungkapkan
ekspresi jiwa, seorang individu memiliki cara yang berbeda-beda
untuk menggambarkannya. Oleh karena itu, seni sangat sulit
dijelaskan dan sangat sulit untuk dinilai bahwa tiap-tiap individu
memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntun dalam
mengekpresikan diri. Hal itu membuat sebuah seni dirasakan
menarik untuk dipelajari karena dengan mempelajari seni dapat
dilihat berbagai macam cara penggambaran ungkapan ekspresi
individu. Demikian pula seni memiliki fungsi sebagai media
pendidikan. Di dalam dunia pendidikan, terutama pendidikan
informal, seni mempunyai peran yang sangat penting. Seni yang
digunakan sebagai alat pendidikan dalam pendidikan seni tidak
semata-mata bertujuan untuk mendidik anak menjadi
seniman,tetapi juga membina anak-anak untuk menjadi kreatif.
Seni merupakan aktivitas permainan. Melalui permainan itu dapat
mendidik anak dan membina kreativitasnya sedini mungkin.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seni dapat digunakan
sebagai alat pendidikan. Anak dapat berimajinasi sesuai dengan
apa yang dikehendaki untuk memunculkan apa yang ada dalam
pikirannya melalui pendidikan seni.
Upaya itulah yang dilakukan ketika Pemerintah Daerah
Bali menyelenggarakan festival drama gong anak-anak. Festival itu
diikuti oleh semua kabupaten se-Bali. Penampilan seni
pertunjukan drama gong pada kesempatan demikian menjadi
media pendidikan. Dalam proses pelatihan dan pertunjukan
mereka mendapat pendidikian moral. Hal itu senada dengan
pendapat yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara sekitar
setengah abad lalu bahwa nilai-nilai moral dapat diajarkan melalui
seni pertunjukan. Sandiwara atau yang kini dikenal dengan drama
disebutkan sebagai salah satu di antaranya. Tokoh pendidikan itu
menyebutkan bahwa sandiwara yang berasal dari kata “sandi”
yang berarti tertutup atau rahasia dan “wara” yang berarti
45
pelajaran memiliki peran penting dalam pendidikan yang
berhubungan dengan moral (Kusmayati, 2006).
Seni pertunjukan drama gong juga mengingatkan nilai-nilai
moral bagi masyarakat. Ke dalam tema pertunjukan tidak sedikit
disisipkan cerita, baik berupa mitos, legenda, maupun babad.
Kearifan yang selayaknya diteladani atau sebaliknya tabu yang
harus dihindari oleh masyarakat berulang-ulang ditampilkan
melalui seni pertunjukan, terutama yang berpola dan berakar
tradisi. Seni pertunjukan menjadi kepanjangan norma dan nilai
yang diharapkan oleh masyarakat. Ia juga mampu menjaga
kebersamaan dalam bermasyarakat apabila ditempatkan sebagai
savety valve atau katup pengaman ketegangan dan peredam
dorongan-dorongan agresif ketika seseorang berada dalam
konflik.
Wiracarita Ramayana dan atau Mahabharata juga
dijadikan lakon drama gong. Kedua epos itu rermasuk itihasa,
bagian dai kitab suci agama Hindu. Oleh karena itu, kedua epos
itu terasa sangat dekat dengan masyarakat Bali yang menganut
agama Hindu. Kedua epos itu mengandung nilai-nilai pendidikan
yang perlu direnungkan dan diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Menurut Suarta, nilai-nilai pendidikan yang sering
diungkapkan dalam pertunjukan drama gong, yakni konsep
kepemimpinan astabrata. Konsep kepemimpinan itu dalam drama
gong diungkapkan ketika hendak menobatkan seorang pangeran
duduk di singasana kerajaan.
Istilah asta brata terdiri atas kata “asta” yang delapan dan
“brata” yang berarti pegangan atau pedoman. Ajaran asta brata ini
terdapat dalam Kakawin Ramayana. Konsep kepemimpinan ini
diturunkan oleh Prabu Rama kepada Wibhisana dalam rangka
untuk melanjutkan proses pemerintahan kerajaan Alengka setelah
Rahwana gugur.
Dalam sloka pendahuluannya disebutkan sifat Sang Hyang
Wihi Wasa yang menjadikan kekuatan bagi umatnya dan
menggambarkan kemampuan yang harus dimiliki oleh segenap
pemimpin. Dalam slokanya yang kedua disebutkan seperti
berikut. Hyang Indra Yama Surya Candranila Kuwera
Banyunagi nahan walu ta sira maka angga
Sang bupati matangyang inisti asta brata
Artinya:
46
Dewa Indra, Yama, Surya, Chandra, Anila/Bayu, Kuwera,
Baruna dan Agni itulah delapan dewa yang merupakan badan
sang pemimpin, kedelapan itulah yang merupakan asta brata
Berdasarkan bunyi bait tersebut diketahui bahwa ada
delapan karakter dewata yang perlu diteladani. Dewata, itu yakni
Dewa Indra, Yama, Surya, Chandra, Anila/Bayu, Kuwera, Baruna
dan Agni. Tiap-tiap karkater dewata tersebut dapat dikemukakan
sebagai berikut.
1. Indra Brata, yakni laku Dewa Indra yang selalu
memberikan hujan dan air yang memungkinkan tumbuh dan
hidupnya tumbuh-tumbuhan serta makhluk di dunia ini. Dengan
demikian,pemimpin itu selalu memikirkan nasib anak buahnya,
selalu bekerja untuk mencapai kemakmuran masyarakat secara
menyeluruh. Pemimpin dituntut untuk bisa memupuk human
relation (hubungan kemanusiaan) guna menegakkan human right
(kebenaran dan keadilan).
2. Yama Brata, yakni laku Dewa Yama sebagai dewa
keadilan dengan menghukum segala perbuatan jahat. Dalam
kepemimpinan initerkandung bahwa seorang pemimpin harus
berlaku adil dengan menghukum segala perbuatan yang jahat,
dengan menjatuhi hukuman yang sesuai dengan besarnya
kesalahan, dan menghargai perbuatan yang baik. Apabila
pemimpin tidak bersikap adil, akan timbul krisis kewibawaaan
dan anarki dalam menjalankan tugas. Sesuai dengan hukum karma
phala maka hukuman tersebut harus bersifat edukatif,yaitu
hukuman bertujuan untuk memperbaiki kesalahan sehingga
bawahan lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas
kewajibannya.
3. Surya Brata, yakni laku Dewa Surya yang membeikan
ajaran bahwa seorang pemimpin dalam tugasnya harus dapat
memberikan penerangan kepada anak buahnya atau bawahannya
serta memberikan kekuatan kepadanya. Bawahan harus diberikan
kesadaran akan tanggung jawabnya dan benar-benar menginsafi
tugas yang dipikulnya. Kalau diperhatikan keadaan sehari-hari,
ternyata bahwa matahari memancarkan sinarnya ke segala
pelosok dunia dan menerangi seluruh alam semesta ini tanpa
pandang tempat, rendah, dan tinggi. Dengan demikian, pemimpin
hendaknya tidak jemu-jemu mengadakan hubungan dengan
bawahannya sehingga mengetahui benar tentang keadaan anak
buahnya atau bawahannya.
47
4. Candra Brata, yakni laku Dewa atau Dewi Candra yang
mengharapkanseorang pemimpin memberikan penerangan yang
sejuk dan nyaman. Seseorang akan menjadi senang dan taat
apabila kebutuhannya dapat dipenuhi, baik bersifat material
maupun bersifat spiritual. Setiap orang pada hakikatnya
mempunyai keinginan untuk dihargai.Sebaliknya, tidak senang
kalau dihina, lebih-lebih hal itu dilakukan di depan khalayak
ramai. Untuk menjaga kehormatan diri anak buah, sebaliknya
peneguran dilakukan di tempat sendiri.
5. Bayu Brata, yakni laku Dewa Bayu. Pemimpin harus
dapat mengetahui segala hal ihwal dan pikiran anak
buahnyasehingga dapat mengerti lebih dalam, terutama dalam
kesukaran hidupnya dan dalam menjalankan tugasnya, tetapi
tidak perlu diketahui oleh anak buah. Dalam manajemen, hal ini
dinamakan employee concelling.
6. Kuwera Brata, yakni laku Dewa Kuwera. Pemimpin
harus dapat memberikan contoh yang baik kepada anak buahnya,
seperti berpakaian yang rapisebab pakaian itu besar sekali
pengaruhnya terhadap seorang bawahan. Hal lain yang
terkandung adalah sebelum seorang pemimpin mengatur orang
lain, pemimpin harus bisa mengatur dirinya sendiri.
7. Baruna Brata, laku Dewa Baruna, yakni seorang
pemimpin hendaknya mempunyai pandangan yang luas dan
bijaksana didalam menyikapi semua permasalahan yang ada.
Pemimpin mau mendengarkan suara hati atau pendapat anak
buah dan bisa menyimpulkan secara baik sehingga bawahan
merasa puas, taat,dan mudah digerakkan untuk menyelesaikan
suatu pekerjaan.
8. Agni Brata, yakni laku Dewa Agni. Seorang pemimpin
harus mempunyai semangat yang berkobar-kobar laksana agni
dan dapat pula mengobarkan semangat anak buah yang
diarahkan untuk menyelesaikan segala pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya. Seorang pemimpin juga harus bisa
menghanguskan musuh-musuhnya.
Ajaran kepemimpinan asta brata itu, baik secara implisit
maupun eksplisit seringkali disampaikan oleh praginadrama gong.
Selain pesan-pesan dalam bentuk bahasa, kepemimpinan astra
brata juga tercermin dalam tingkah laku raja dalam pertunjukan
drama gong. Dalam beberapa lakon drama gong, seorang raja sering
memberikan wejangan tentang kepemimpinan Hindu kepada
putranya yang akan dinobatkan sebagai raja.
48
Selain raja, seorang ayah juga sering menyampaikan
tuntunan itu kepada anaknya. Salah satu adegan yang
menggambarkan seorang ayah memberikan wejangan tentang
kepemimpinan kepada putranya dapat dilihat pada gambar
berikut ini.
Seorang ayah memberikan nasihat kepada putranya tentang
kepemimpinan Hindu
(Foto: Dok. I Wayan Sugita)
c. Sebagai Media Sosialisasi Program
Kesenian drama gong merupakan salah satu media
tadisional. Media ini juga sering dipercaya ampuh untuk
menyosialisasikan programatau mempromosikan sesuatu. Dengan
demikian, dalam beberapa hal, prinsip-prinsip yang dimiliki oleh
sekaadrama gong tidak jauh berbeda dengan sebuah perusahaan
bisnis. Di satu sisi, ia bisa mempromosikan dirinya sendiri dan di
pihak lain, ia mempromosikan produk orang lain.
Dalam dunia perdagangan, kegiatan promosi merupakan
sebuah kegiatan yang sangat penting.Artinya, di mana ada bisnis
di situ selalu ada promosi. Promosi adalah berbagai strategi yang
dilakukan untuk menginformasikan dan memengaruhi target
konsumen untuk akhirnya membeli produk yang dipasarkan.
Promosi penting dilakukan agar calon konsumen tertarik untuk
melakukan pembelian produk barang atau jasa yang ditawarkan.
49
Tujuan promosi, antara lain seperti berikut.Pertama,
menciptakan brand awareness,yakni membuat produk dikenal oleh
konsumen. Supaya sebuah produk bisa terjual banyak, maka perlu
diperkenalkan kepada konsumen. Prinsip ini merupakan alasan
paling dasar dari sebuah strategi promosi yang dilakukan. Strategi
promosi dengan tujuan ini sangat penting dilakukan untuk
produk yang baru saja diluncurkan atau belum banyak dikenali.
Kedua, promosi bertujuan untuk meciptakan dan meningkatkan
loyalitas konsumen. Loyalitas konsumen menjadi sangat penting
agar konsumen tidak beralih ke pesaing. Pebisnis bisa melakukan
berbagai langkah untuk membangun loyalitas konsumen, seperti
diadakannya program promosi berhadiah, point reward, harga
khusus saat momen tertentu, paket bonus produk, dan
sebagainya. Ketiga, promosi penting untuk membangun
merek.Ketika konsumen sudah mengenal produk (brand awareness
tinggi) langkah kemudian adalah menciptakan kesan merek positif
(brand image). Merek tidak cukup hanya terkenal. Merek tersebut
harus dibangun menjadi merek yang memiliki citra yang kuat dan
memiliki nilai positif. Langkah penting untuk membangun merek
yang memiliki citra positif adalah fokus pada kualitas dan layanan
yang baik. Keempat, sarana untuk edukasi ke konsumen. Promosi
berperan untuk menyampaikan suatu pesan kepada konsumen.
Promosi juga bisa menjadi sarana edukasi konsumen tentang
manfaat sebuah produk. Sebagai produk yang relatif baru atau
belum terkenal, si pemilik produk wajib untuk mengedukasi
konsumen tentang kegunaan produk, cara pakai produk, dan
berbagai hal yang berhubungan dengan produk. Hal ini menjadi
alasan penting mengapa promosi wajib dilakukan (Nabilla,2014).
Berdasarkan prinsip-prinsip itu, maka sebuah pementasan
drama gong juga mengandung unsur promosi. Selain bermaksud
mempromosikan dirinya sendiri, pertunjukan dama gong juga
dapat mempromisikan produk pihak lain. Dalam hal ini, minimal
menyosialisasikan program-program pemerintah, seperti masalah
kependudukan, lingkungan hidup, dan program lainnya.
Hal itu diakui oleh Ni Wayan Sriyani (wawancara, 8
Januari 2016). Pragina drama gong dari Payangan, Gianyar ini
seringkali menyampaikan program keluarga berencana secara
terselubung dalam pementasannya. Program itu memang tidak
diperinci secara lengkap dalam pertunjukan karena berbagai
sebab. Namun para penonton yang diberikan pesan dapat
memahaminya.
50
Pengetian KB ini secara lengkap adalah suatu program
pemerintah yang dirancang untuk menyeimbangkan antara
kebutuhan dan jumlah penduduk. Program keluarga berencana
dilakukan agar keluarga sebagai unit terkecil kehidupan bangsa
diharapkan menerima “Norma Keluarga Kecil Bahagia dan
Sejahtera” yang disingkat NKKBS yang berorientasi pada
pertumbuhan yang seimbang. Gerakan KB Nasional telah
berumur sangat lama, yaitu pada tahun 70-an dan masyarakat
dunia menganggap berhasil menurunkan angka kelahiran yang
bermakna.Perencanaan jumlah keluarga dilakukan dengan
pembatasan yang bisa dilakukan dengan penggunaan alat-alat
kontrasepsi atau penanggulangan kelahiran, seperti kondom,
spiral, IUD, dan sebagainya.
Adapun beberapa jenis alat kontrasepsi adalah sebagai
berikut. Pertama,pil (biasa dan menyusui) yang mempunyai
manfaat tidak mengganggu hubungan seksual dan mudah
dihentikan setiap saat. Demikian pula terhadap kesehatan,
risikonya sangat kecil.Kedua suntikan (satu bulan dan tiga bulan)
sangat efektif (0,1-0,4 kehamilan per 100 perempuan) selama tahun
pertama penggunaan. Alat kontrasepsi suntikan juga mempunyai
keuntungan seperti klien tidak perlu menyimpan obat suntik dan
jangka pemakaiannya bisa dalam jangka panjang.Ketiga, implan
(susuk) yang merupakan alat kontrasepsi yang digunakan di
lengan atas bawah kulit dan sering digunakan pada tangan kiri.
Keuntungannya daya guna tinggi, tidak mengganggu produksi
ASI dan pengembalian tingkat kesuburan yang cepat setelah
pencabutan.Keempat, AKDR (Alat Kontrasepsi dalam rahim)
merupakan alat kontrasepsi yang digunakan dalam rahim. Efek
sampingnya sangat kecil dan mempuyai keuntungan efektivitas
dengan proteksi jangka panjang lima tahun dan kesuburan segera
kembali setelah AKDR diangkat.Kelima, kondom merupakan
selubung/sarung karet yang dapat terbuat dari berbagai bahan,
diantaranya lateks (karet), plastik (vinil), atau bahan alami
(produksi hewani) yang dipasang pada penis saat berhubungan
seksual. Manfaat kondom sangat efektif bila digunakan dengan
benar dan murah atau dapat dibeli secara umum.Keenam,
tubektomi adalah prosedur bedah mini untuk memotong,
mengikat, atau memasang cincin pada saluran tuba fallopi untuk
menghentikan fertilisasi (kesuburan) seorang perempuan.
Manfaatnya sangat efektif, baik bagi klien apabila kehamilan akan
terjadi risiko kesehatan yang serius dan tidak ada efek samping
dalam jangka panjang.
51
Tujuan KB adalah meningkatkan kesejahteraan ibu, anak
dalam rangka mewujudkan NKKBS (Norma Keluarga Kecil
Bahagia Sejahtera) yang menjadi dasar terwujudnya masyarakat
yang sejahtera dengan mengendalikan kelahiran sekaligus
menjamin terkendalinya pertambahan penduduk. Di pihak lain
tujuan khusus, yakni (1) meningkatkan jumlah penduduk untuk
menggunakan alat kontrasepsi, (2) menurunnya jumlah angka
kelahiran bayi,dan (3) meningkatnya kesehatan keluarga
berencana dengan cara penjarangan kelahiran.
Program KB tersebut sering pula disosialisasikan oleh
sekaadrama gong yang dimainkan oleh Anak Agung Pareso dari
Banjar Cebang, Serongga, Gianyar. Namun, program KB itu
disampaikan dengan cara dikemas dengan lelucon atau degalan.
Misalnya, tokoh parekan ketika memberikan hormat kepada
junjungannya, ia mengatakan dengan suara lantang “Pasang
kabe...” padahal sesungguhnya, ucapan penghormatan ini
semestinya diucapkan, “Pasang tabe...” yang artinya kurang lebih
“mohon maaf...permisi....semoga tidak kena kutukan.” Bentuk
penghormatan itu diucapkan sebelum menyampaikan sesuatu.
Dengan mengucapkan “pasang kabe...” maka penonton
menjadi tertawa sebab asosiasi penonton, KB identik dengan
kondom, atau alat kotrasepsi IUD spiral yang dipasang pada
vagina perempuan. Dengan mengucapkan “pasang kabe” maka
penonton seakan diingatkan pada program KB. Hal itu diakui, Ni
Nyoman Luwes, seorang penggemar drama gong dari Banjar
Kawan, Tampaksiring, Gianyar. Ia mengatakan sebagai berikut.
“Ucapan pasang kabe...itu disampaikan dengan lucu oleh gerak
pemain drama. Saya jadi tertawa. Sebab, ia kan maunya
mengucapkan pasang tabe. Tapi kok bisa keseleo mengucapkan
pasang kabe. Ini kan lucu. Tapi memang itu disengaja. Jadi,
selain lucu, juga mengingatkan saya bahwa saya sudah
melakukan program keluarga berencana.”
Upaya menyampaikan sesuatu yang serius dalam sebuah
pertunjukan seni sering dilakukan dengan menggunakan lelucon.
Hal itu sering dilakukan para seniman pertunjukan seni
tradisional Bali karena fungsi seni, antara lain memberikan
tuntunan dan tontonan.
d. Sebagai Media Penggalian Dana
52
Pada mulanya seni drama gong sering ditampilkan oleh
masyarakat Bali dalam upacara keagamaan yang bersifat sosial.
Meskipun demikian, sebagai kesenian sekuler, drama gong sering
dipertunjukkan sebagai media penggalian dana. Bahkan, menurut
Wayan Darma, seorang pelaku drama gong dari Blahpane, Tulikup,
Gianyar,drama gong merupakan salah satu seni pertunjukan yang
seringkali menerapkan “karcis”. Kesenian yang mengalami masa
kejayaan pada tahun 1970-an yang berarti sebagian besar
masyarakat lebih menyukai drama gong daripada kesenian
tradisional Bali lainnya pada saat itu seperti kesenian arja dan
topeng(wawancara 8 Februari 2016).
Dalam perkembangandrama gong sampai tahun 1980
kehidupan kesenian ini masih menjadi tontonan favorit
masyarakat Bali. Masyarakat Bali, dari semua lapisan usia,
termasuk anak-anak menggemari seni pertunjukan ini.
Kesuksesan drama gong ini sangat ditentukan oleh pemeran-
pemerannya. Masyarakat Bali selalu memperhitungkan
keberadaan pemain saat mereka berniat menonton pertunjukan
drama gong. Orang-orang seperti Dewa Ayu Rai, I Wayan Lodra,
Petruk, Dolar, Komang Apelmenjadi lambang kesuksesan
pertunjukan drama gong pada tahun 1980-an. Oleh karena itu, tidak
sedikit warga masyarakat, terutama dari golongan tua, lebih
mengenal nama Lodra daripada nama organisasinya sehingga
mereka menyebut Drama Lodra. Penyebutan seperti ini tidak
berbeda dengan penyebutan arja ketika dramatari itu sedang jaya-
jayanya pada tahun 1960-an. Ketika itu Arja Bon Bali, oleh
sebagian warga disebut Arja Ribu. Hal itu disebabkan oleh Ribu
sebagai pemeran Mantri Buduh terkenal dan dinanti-nantikan
penonton.
Kehadiran TVRI Stasiun Denpasar juga merupakan bukti
tentang melejitnya “taksu” drama gong. Secara berkala setiap hari
Minggu malam, TVRI Denpasar menyiarkan pertunjukan drama
gong keseluruh Bali. Grup drama gong yang memasuki studio
rekaman melakukan persiapan yang lebih matang, baik dari segi
teknis maupun materi siaran. Cerita, penggarapan, akting, vokal,
dan lain-lain menjadi sangat diperhitungkan baik, oleh
pendukung drama maupun pihak televisi. Tentu saja mereka
memperhitungkan hal itu karena akan berbeda dibandingkan
dengan pentas di luar studio.
Siaran drama gong tersebut mendapat sambutan hangat
dari pemirsa, apalagi ketika TVRI milik pemerintah itu masih
memonopoli siaran karena stasiun televisi swasta belum muncul.
53
Dengan demikian, pemirsa tidak memiliki pilihan lain atau
memindahkanchannel ke stasiun televisi lainnya. Pada saat jayanya
drama gong di televisi pernah ada sebuah rumor yang mengatakan
bahwa satu-satunya acara TVRI Bali yang bisa mengalahkan film
“Mission Imposible” adalah tayangan drama gong (Sari,2011).
Pengalaman pemeran Dolar menjadi bukti yang tidak
terbantahkan bagaimana drama gong benar-benar menjadi idola
masyarakat. Hampir setiap malam ia melakukan pertunjukan.
Bahkan, menurut catatannya, dalam sebulan lebih tiga puluh kali
ia menerima pesanan. Namun, karena tidak dapat memenuhi
pesanan itu, ia terpaksa melakukan penolakan.
Karena pesanan sangat padat, ia menggunakan waktu
sebaik-baiknya untuk istirahat. Supaya dapat istirahat yang
cukup, ia sering istarahat di mobil angkutan truk ketika berangkat
ke tempat tujuan pentas atau sepulang dari main drama. Bahkan,
ia sering pula harus istirahat di tempat berhias sebelum mendapat
giliran main di pangggung. Pengalaman Dolar itu membuktikan
bahwa drama gong pada masa jayanya memang benar-benar
menjadi perrtunjukan favorit masyarakat Bali.
Selain di desa-desa, ketika masih digemari masyarakat
drama gong selalu ditunggu-tunggu saat melakukan pertunjukan di
Pesta Kesenian Bali, yang berlokasi di Taman Budaya Denpasar.
Karenasangat digemari masyarakat, seni pertunjukan ini
dilangsungkan di Panggung Terbuka Ardha Chandra. Di
panggung terbuka terbesar di Taman Budaya yang menampung
10.000 penonton tersebut dijejali penonton, sampai-sampai
penonton yang datang belakangan tidak mendapatkan tempat
duduk. Pertunjukan yang baru dimulai pukul 20.00 WITA itu
sudah dipenuhi pada pukul 19.00 WITA. Mereka yang datang
“terlambat” mau tidak mau harus rela duduk di lorong-lorong.
Banyak pula penonton yang berada di deretan paling belakang
harus berdiri dalam keadaan berdesak-desakan. Tidak sedikit pula
yang memanjat pohon yang berada di belakang panggung, untuk
menyaksikan drama gong ini. Sementara ketika itu belum
disediakan layar lebar yang bisa dipasang di luar panggung.
Menurut Ketut Sudira (wawancara 4 Maret 2016) salah seorang
penonton yang berada di luar panggung, panggung ArdaChandra
benar-benar penuh sesak sehingga ia tidak bisamasuk untuk
menonton drama. Bahkan, ia mengaku melihat Gubernur Bali,
waktu itu, Prof.Dr. Ida Bagus Mantra bersama beberapa
ajudannya terpaksa membatalkan menonton pertunjukan tersebut.
Mungkin karena sebelumnya tidak dijadwalkan secara resmi,
54
maka panitia tidak menyedikan tempat khusus untukgubernur
dan atau pejabat lainnya. Sementara panitia tidak mampu
“mengusir” penonton yang sudah menguasai semua ruang
panggung. Apalagi gang yang berada di panggung tersebut sudah
penuh sesak sehingga sangat sulit menuju tempat terdepan.
Fenomena itu membuktikan bahwa drama gong memang
sangat ampuh untuk dijadikan media sebagai penggali dana.
Banjar dan atau desa menggali dana untuk kepentingan
pembangunan fisik, seperti pura, bale banjar dan sebagainya.
Meskipun untuk penyelenggaraan ini diperlukan dana yang
cukup besar, banyak desa memerlukannya karena di atas kertas
yakin mendapatkan keuntungan yang cukup besar pula. Salah
satu contoh, sebagaimana dicatat Yuliadi (2005:43) Drama Gong
Sancaya Dwipa melakukan pertunjukan di jaba Pura Dadia Dalem
Kubakal, Banjar Segah, Rendang, Karangasem pada Rabu, 25
Oktober 2000. Meskipun pertunjukan itu dimulai pada pukul 21.30
WITA masyarakat Bakul jauh-jauh sebelumnya telah memenuhi
tempat pertunjukan. Dengan harga karcis Rp1.000,-kursi yang
disediakan 200-an buah penuh terisi. Penonton yang tidak
kebagian kursi, berdiri di pinggir arena atau memanjat tembok
pembatas pura.
Peristiwa serupa juga berlangsung di Pura Samuan Tiga,
Bedulu, Gianyar.Menurut Dewa Swastika (wawancara 3 Februari
2016) pemilik Sanggar Kayon, Pejeng, Gianyar, ketika drama gong
mengalami masa kejayaannya, seni pertunjukan itu sering
dipertunjukkan saat melangsungkan upacara di Pura Samuan
Tiga. Karena upacara berlangsung beberapa hari, maka
masyarakat juga meminta agar pertunjukan drama juga
dipergelarkan beberapa kali. Panitia upacara pun memenuhi
permintaan masyarakat setempat sehingga di wantilan pura,
drama gong itu dipentaskan setiap hari selama upacara odalan
berlansung. Menurut Swastika, pernah ada drama gong yang
dipentaskan setiap hari sehingga lakonnya pun dibuat berseri.
Penonton selalu memenuhi tempat pertunjukan meskipun mereka
diharuskan membeli karcis.
55
BAB IV
PENUTUP
Bentuk dinamika seni pertunjukan drama gong di
Kabupaten Gianyar secara garis besar dapat dibagi menjadi
beberapa bagian, yakni terdiri dari dinamika dalam bentuk tema
yang meliputi (1) sesuai permintaan pasar,(2) sesuai keperluan
upacara,(3) sesuai keadaan sosial masyarakat, dan (4) sesuai
wacana yang disuguhkan. Kemudian bentuk dinamika dalam
organisasi yakni meliputi (1) sekaa drama gong dalam bentuk
sebunan,(2) sekaa drama gong profesional. Dalam bentuk tema,
drama gong mengalami dinamika karena adanya perubahan tema
yang disuguhkan. Perubahan tema tersebut, antara lain juga
berkaitan erat dengan permintaan pasar atau untuk memenuhi
keinginan masyarakat. Selain itu, juga memiliki kaitan dengan
keperluan upacara. Meskipun drama gong merupakan kesenian
sekuler/provan yang tergolong memiliki fungsi hiburan, namun
acapkali dipertunjukkan dalam memeriahkan upacara keagamaan
di Bali. Oleh karena disesuaikan dengan upacara keagamaan,
maka tema dan lakon seringkali mengalami dinamika. Kemudian
gamelan sebagai musik pengiringnya juga mengalami dinamika
sesuai dengan situasi dan kondisi. Gamelan yang digunakan
sebagai pengiring drama gong tersebut yakni gamelan Janger
karena embrio drama gong adalah kesenian janger. Kemudian
digunakan gamelan gong kebyar dan sering pula menggunakan
semar pagulingan. Sesuai dengan fungsinya, drama gong mengalami
dinamika dalam pertunjukannya. Fungsi yang paling dominan
yakni hiburan, sehingga penampilannya selalu berubah-ubah
sesuai dengan tujuannya. Kemudian sebagai media pendidikan,
drama gong menyampaikan pendidikan terutama yang
menyangkut nilai atau ajaran agama Hindu. Hal itu disebabkan
para pragina drama gong menganut agama Hindu. Selain itu, drama
gong juga sering digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan
program pemerintah. Hal itu disebabkan, ketika drama gong
mengalami masa kejayaan, seni pertunjukan ini dinilai efektif
menyampaikan pesan-pesan yang perlu disosialisaikan oleh
pemerintah. Kemudian di masa kejayaannya, yakni dimana
masyarakat menjadikan seni pertunjukan ini sebagai seni hiburan
56
pavorit, masyarakat seringkali menggunakan drama gong sebagai
media penggalian dana untuk membiayai bebagai pembangunan
di desa.
Ada beberapa temuan yang bisa dikemukakan dalam
karya ini. Pertama, Seni pertunjukan drama gong merupakan
kesenian baru, yakni terdiri atas kolaborasi antara sendratari, arja,
dan teater modern.Kesenian drama ini pada mulanya
menggunakan bahasa Indonesia, tetapi dalam perkembangannya
memakai bahasa Bali, yang diiringi gamelan gong.Kesenian ini
termasuk bebas dalam arti tidak terlalu terikat oleh pakem-pakem
yang kaku sehingga dalam perkembangannya, drama gong juga
bisa dipadukan dengan kesenian modern, seperti pertunjukan
lagu-lagu dangdut, bahkan audiovisual. Kedua, Seni pertunjukan
drama gong yang embrionya mulai dari kesenian janger dan
sendratari itu mengalami masa kejayaan pada tahun 1970 sampai
dengan 1980. Pada masa kejayaannya itu hampir semua desa di
Bali membuat sekaadrama gong, baik atas nama desa, banjar,
maupun sekaasebunan. Ketiga, Pada tahun-tahun berikutnya, yakni
mulai tahun 1980-anseni pertunjukan drama gong mengalami
keterpurukan. Penyebab keterpurukan itu yakni, pengaruh
hiburan modern dari teknologi canggih (televise, internet),
memudarnya minat generasi muda untuk menjadi pemain drama
gong, minimnya keterampailan berbahasa Bali dari generasi muda;
lemahnya di kalangan para seniman. Keterpurukan atau
terpinggirnya drama gong, dalam arti hanya melakukan
pertunjukan secara insidentil, yakni jika ada pesanan dari lembaga
pemerintah seperti untuk keperluan mengisi acara Pesta Kesenian
Bali, Bali Mandara Mahalango, atau acara lain yang
diselenggarakan oleh pemerintah. Masyarakat umum memang
masih ada yang menanggap seni drama gong, tetapi sangat jarang.
Selain itu, sudah ada rekaman seperi VCD/DVD, sehingga bisa
dinikmati dengan lebih hemat antara lain hemat waktu dan emat
energi.
Dinamika seni pertunjukan drama gong dalam jagat seni
hiburan di Bali umumnya dan di Kabupaten Gianyar khususnya,
merupakan suatu fenomena yang terjadi pada kesenian tradisional
bukan hanya di Bali, melainkan juga di beberapa daerah lain.
Dinamika tersebut seperti hukum alam yaituutpati (diciptakan),
stithi (dipelihara), dan pralina (mengalami kematian). Dinamika
tersebut terjadi tidak hanya semata-mata faktor internal, tetapi
banyak, bahkan dominan faktor eksternal, yakni disebabkan oleh
kemajuan teknologi yang mempunyai kekuatan luar biasa dalam
57
membawa perubahan. Dengan demikian, nasib baikburuknya seni
pertunjukan drama gong merupakan fenomena sosial yang
dipengaruhi oleh berbagai pihak. Jika kehidupan drama gong
mengalami keterpurukan, bukanlah merupakan kesalahan para
seniman semata (internal), melainkan faktor luar (eksternal)
berpengaruh besar sekali pengaruh.
Seni pertunjukan drama gong, sebagai sebuah kesenian
hiburan, yang tercipta dari beberapa kesenian tradisional Bali dan
teater modern Barat memiliki sejarah yang unik. Unsurteater
modern lebih difokuskan pada tata dekorasi, sound effect, akting,
dan tata busana selain didominasi kesenian klasik Bali. Drama gong
menyuguhkan lakon-lakon yang bersumber pada Itihasa, cerita
romantis, seperti cerita Panji (Malat) dan kisah-kisah sejenis,
termasuk yang berasal dari luar lingkungan budaya Bali. Di
samping itu, juga kesenian drama gong ditampilkan dengan para
pemain yang berakting realistis dan menggunakan dialog-dialog
verbal yang didominasi bahasa Bali. Meskipun tergolong tari balih-
balihan (hiburan), seni pertunjukan ini biasa ditampilkan oleh
masyarakat Bali untuk memeriahkan dan mengisi acara hiburan
pada upacara agama dan kegiatan sosial.
Disebut unik karena drama gong sebagai kesenian sekuler
lahir di tengah-tengah situasi politik yang memanas, tumbuh
dengan cepat sebagai kesenian favorit.Seni pertunjukan ini, bukan
hanya sebagai tontonan, tetapi juga mampu menggairahkan warga
untuk melakoni atau ikut menjadi pelaku dalam kesenian itu. Oleh
karena itu, maka dapat dipahami, bahwa hampir semua desa di
Bali memiliki kesenian drama gong. Karenataksu atau pamornya
menanjak, sejumlah kesenian tradisional lainnya sempat
terpinggirkan. Artinya dimana-mana orang membicarakan drama
gong dan kesenian ini menjadi idola berbagai usia.
Mengingat kepopuleran tersebut, seni pertunjukan ini
akhirnya memiliki sejumlah fungsi. Selain sebagai media
komunikasi tradisional yang dapat menyebarkan berbagai
program pemerintah dan nilai-nilai pendidikan agama, juga
memiliki fungsi ekonomi, yakni dijadikan media sebagai
penggalian dana. Tidak sedikit desa di Bali dapat membiayai
pembangunan dengan menggunakan drama gong sebagai media
penggalian dana. Setelah berdirinya TVRI Denpasar, sebagai satu-
satunya stasiun televisi pada sekitar tahun 1970-an, drama gong
yang ditayangkan oleh televisi tersebut menjadi sebuah kesenian
yang ditunggu-tunggu masyarakat.
58
Pada pertengahan tahun 1980 popularitas drama gong
mulai menurun. Seiring dengan derasnya arus globalisasi yang
menerjang Bali, seni pertunjukan ini berangsur-angsur
ditinggalkan.Tanda-tanda mulai suramnya pamor drama gong,
antara lain adalah ketika tampilnya televisi swasta sebagai
alternatif tontonan dan hiburan di tengah masyarakat Bali.
Bersamaan dengan fenomena itu pula generasi muda tidak tertarik
lagi untuk menjadi pelaku drama gong. Demikian pula masyarakat
Bali mulai malas datang menonton.Sebaliknya, mereka lebih betah
menatap pesawat televisi, menyuntuki beragam acaranya, di
rumah, bahkan di kamar masing-masing. Era globalisasi dan
gelombang transformasi budaya merupakan dinamika zaman
yang sudah tentu membawa guncangan besar dan kecil pada tata
kehidupan dan perilaku masyarakat.
Perubahan budaya yang terjadi di dalam masyarakat
tradisional, yakni perubahan dari masyarakat tertutup menjadi
masyarakat yang lebih terbuka merupakan salah satu dampak dari
adanya globalisasi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah
mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan sarana
transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas
budaya setiap bangsa. Peristiwa transkultural disadari atau tidak
berpengaruh terhadap keberadaan kesenian drama gong. Pada saat
orang memandang bahwa drama gong harus dijaga kelestariannya,
pada di saat itu pula teknologi informasi yang semakin canggih
menyuguhkan banyak alternatif tawaran hiburan dan informasi
yang lebih beragam, yang lebih menarik dibandingkan dengan
kesenian drama gong. Misalnya dengan antena parabola
masyarakat bisa menyaksikan berbagai tayangan hiburan yang
bersifat mendunia atau berasal dari berbagai belahan bumi.
Terpuruknya drama gong juga menimbulkan berbagai
implikasi terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Bali.
Implikasi itu selain pada aspek kognisi, afektif, psikomotorik
masyarakat juga terhadap pelestarian seni budaya Bali dan ilmu
pendidikan. Semula masyarakat Bali, bisa mendapatkan pesan-
pesan moral dari pertunjukan drama gong, kemudian diganti oleh
media modern, seperti televisi dan alat komunikasi canggih
lainnya.
Para seniman seni pertunjukan, khususnya yang
berkecimpung di dalam seni pertunjukan drama gongdiharapkan
atau disarankan selalu belajar menuntut ilmu pengetahuan umum
atau belajar dalam segala hal, terutama keterampilan
menari/berakting agar kualitas SDM-nya selalu mengalami
59
peningkatan. Selain itu, yang sangat penting dilakukan, yakni
selalu mencari inovasi agar kesenian ini bangkit kembali seperti
pada masa jaya-jayanya pada tahun 1970-an. Walaupun kesenian
drama gong masih kalah bersaing dengan kesenian lain, terutama
kesenian modern di televisi, pada suatu saat nanti, kemungkinan
untuk bangkit kembali sangat besar. Argumen itu dikemukakan
dengan becermin pada dinamika kehidupan kesenian wayang
kulit, yaitu pada mulanya banyak kalangan menilai bahwa seni
pertunjukan ini sangat lesu, bahkan dikatakan hampir punah.
Pendapat yang pesimis juga mengatakan bahwa masih syukur,
seni pertunjukan wayang kulit sering dipentaskan dalam upacara,
sehingga tidak akan punah, selama masih ada upacara keagamaan
di Bali. Dalam fungsinya sebagi seni hiburan, wayang kulit di
beberapa tempat dan secara umum boleh dekatakan
terpinggirkan. Akan tetapi, seni pertunjukan ini tidak berarti
punah atau tidak bisa dibangkitkan. Pada kenyataannya, ketika
ada dalang yang mengembangkan wayang kulit inovatif, kesenian
ini bangkit kembali dan ternyata digemari semua golongan.
Pertunjukan wayang kulit itu kemudian menjadi seni tontonan
favorit meskipun tidak semua dalang mendapat penggemar yang
sama. Becermin pada kenyataan itu, maka drama gong
kemungkinan juga bisa bangkit kembali, meskipun jumlah
sanggarnya sangat sedikit.
Pemerintah, terutama pemerintah daerah diharapkan atau
disarankan selalu meningkatkan pembinaan kepada kesenian
drama gong, dengan dukungan materiel dan moril sehingga
kesenian ini menjadi hidup lebih bergairah, terutama sebagai
media hiburan dan penyampai ajaran-ajaran moral yang
bermanfaat bagi penontonnya.
Masyarakat diharapkan atau disarankan agar menjadikan
hasil penelitian ini sebagai bahan informasi yang berguna dalam
menambah wawasan tentang bentuk, fungsi dan makna
pertunjukan kesenian tradisional, khsusunya drama gong. Fungsi-
fungsi tersebut, antara lain sebagai media komunikasi tradisional
sekaligus media pendidikan, terutama pendidikan yang
menyangkut moral. Pengurus(prajuru) desa, baik desa ddat
maupun desa dinas, diharapkan agar meningkatkan perhatian
kepada kesenian ini dengan mengadakan pertunjukan drama gong
pada hari-hari tertentu, baik untuk memeriahkan acara yang
bersifat sekuler maupun pada upacara keagamaan. Jika kesenian
drama gong sering ditanggap, maka para seniman, baik pemula
maupun yang sudah berpengalaman, akan lebih bergairah
60
melakukan pembelajaran dalam berkesenian, khususnya yang
berkaitan dengan kesenian drama gong.
Parapeneliti, disarankan agar sering melakukan penelitian
tentang drama gong dengan mengkaji aspek lain sehingga akan
lebih banyak terdapat hasil penelitian tentang kesenian tradisional
ini. Banyaknya ada hasil penelitian akan dapat memperkaya
kepustakaan tentang seni budaya Bali umumnya dan drama gong
pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abercrombie,J.. 1987. Dictionary of Sociology. London:Penguin.
Acarya, Avadhutika Anandamitra. 1991. Makanan untuk Membina
Kejernihan Pikiran. Terjemahan Ketut Nila. Jakarta:
Persatuan Ananda Marga Indonesia.
Adiprakosa. 2008. “Media Tradisional”. (Online). Tersedia dalam
http://adiprakosa.blogspot.co.id/2008/01/media-
tradisional.html. Diakses 2 Februari 2016.
Agastia, Ida Bagus, 2012. “Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali
Pengembangan Peradaban dan Jatidiri Orang Bali”
Makalah disampaikan di Fakultas Sastra Universitas
Udayana, Denpasar, Sabtu, 22 September 2012.
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyanti. 2003. Ilmu Pendidikan. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Anom, Ida Bagus. 2008. “Bahasa Bali Terancam Punah” dalam
Antara, Senin, 28 April 2008.
Anshari, H. Endang Saifudin.1987.Ilmu, Filsafat dan Agama,
Pendahuluan Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi,
Surabaya, PT Bina Ilmu Offset.
Aryasa, I Wayan. 1984. Pengetahuan Karawitan Bali. Denpasar:
Proyek Pengembangan Kesenian Bali, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Atmadja, Nengah Bawa, 2006a. “Pemanfaatan Modal Budaya dan
Modal Tubuh Menjadi Modal Ekonomi Berbentuk
Hiburan Seks Melalui Rangsangan Mata: Kasus Joged
Bumbung Ngebor di Buleleng Bali.Laporan Penelitian
(belum diterbitkan). Singaraja.
Atmadja, I Nengah Bawa. 2006b.”Bali Pada Era Globalisasi: Pulau
Seribu Pura Tidak Seindah Penampilannya”. Laporan
Penelitian. Tak diterbitkan. Singaraja.
Atmadja, I Nengah Bawa. 2007. Metode Penelitian Kualitatif (Edisi
Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Atmaja, Jiwa. 2009. Tri Dasa Warsa Teater Mini Badung.
Denpasar:Udayana University Press.
Ayu. 2012. “Drama Gong Nasibmu Kini”.Tabloid Galang Kangin.
Selasa, 25 September 2012. Edisi IX/2012.
Bagong Suyanto dan Sutinah, (Eds). 2006. Metode Penelitian Sosial:
Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Prenada Media
Group.
Bandem, I Made dan Fradrik Eugene de Boer. 2004. Kaja dan Kelod,
Tarian Bali dalam Transisi. Yogyakarta: Badan Penerbit
Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Bandem, I Made dan Murgiyanto, Sal. 1996.Teater Daerah Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius.
Bandem, I Made dan Rembang, I Nyoman. 1976. Perkembangan
Topeng Bali dan sebagai Seni Pertunjukan.Denpasar: Proyek
Penggalian, Pembinaan, Pengembangan Seni Klasik/
Tradisional dan Kesenian Baru, Pemerintah Daerah
Tingkat I Bali.
Bandem, I Made. 1996. Evolusi Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius.
Barker. Chris. 2004. Cultural Studies, Teori & Praktik.Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Berg,C.C. 1930. “Cerita Panji”. (Online). Tersedia dalam
https://id.wikipedia.org/wiki/Cerita_Panji.
Bernet Kempers, A.J. 1959. Ancient Indonesia Art. Cambridge,
Massachusetts: Harvard University Press.
BMPS Pusat. 2011. “Rumusan Seminar Pendidikan Karakter BMPS
Sumut 2011”. (Online) Tersedia dalam
http://skp.unair.ac.id/repository/Guru-
Indonesia/RUMUSANSEMINARPEND_BMPSPUSAT_9
493.pdf.Diakses 2 Februari 2016.
Bungin, Burhan (ed). 2006. Metode Penelitian Kualitatif: Aktualisasi
Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman
Filosofis dan Metodologis ke arah Penguasaan Model Aplikasi.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Cudamani. 1991. Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi.
Jakarta: Yayasan Wisma Karya.
Dibia, I Wayan (Ed).2008. Seni Kekebyaran. Denpasar: Balimangsi
Foundation.
Dibia, I Wayan. 2003. “Ketika Drama Gong Kehilangan Gong”.
Makalah disajikan pada reuni para Pemain Drama Gong
se-Bali, 23 November 2003, di Auditorium Natya
Mandala Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Dibia, I Wayan. 2004. Pragina: Penari, Aktor,dan Pelaku Seni
Pertunjukan Bali. Jawa Timur:Sava Media.
Dibia, I Wayan. 2007. Lampahan (Kumpulan Lakon-lakon Seni
Pertunjukan Bali). Denpasar: Institut Seni Indonesia (ISI)
Denpasar.
Dipoyudo, 1986.”Pembangunan Ideologi Pancasila”dalam Analisa,
Tahun XV, No.8 Agustus 1986.
Eriyanto. 2005. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik
Media. Cetakan Ketiga. Yogyakarta: PT LkiS Pelangi
Aksara.
Fisher, B.Aubrey.1990. Teori-Teori Komunikasi: Perspektif Mekanistis,
Psikologis, Interaksional dan Pragmatis. Penerjemah
Soejono Trimo, MLS. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Fiske, John. 2006. Cultural and Communication Studies. Terjemahan
Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim. Yogyakarta:
Jalasutra.
Goodman, Douglas J. dan George Ritzer. 2005. Modern Sociological
Theory, 6th. Edition. Terjemahan Alimandan. Teori
Sosiologi ModernEdisi Keenam. Jakarta: Prenada Media.
Hadi, Syamsul. 2015. “Pengertian Dinamika Kelompok Menurut
Para Ahli”. (online).Tersedia dalam
http://www.maribelajarbk.web.id/2015/04/pengertian-
dinamika-kelompok-menurut.html. Diakses 2 Mei 2016.
Hamidi. 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang:
UMM Pres.
Hamzah, A.Adjib.1985. Pengantar Bermain Drama. Bandung: CV
Rosda.
Harefa, Andrias. 2002. Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Haviland, William A. 1993. Antropologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Herytrisusanto. 2012. “Fungsi Seni dalam Kehidupan
Masyarakat.” Makalah. Tak Diterbitkan.
Husin.2013. “Melihat Kembali Transisi Teater Tradisional,
Modern, ke Kontemporer”. (Online) Tersediadalam
http://www.riaupos.co/1583-spesial-melihat-kembali-
transisi-teater-tradisional,-modern,-ke-
kontemporer.html. Diakses 6 Januari 2016.
Jahi, Amri. 1988.Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di
Negara-Negara Dunia Ketiga. Jakarta: PT Gramedia.
Joddy M. 1993.Mengenal Permainan Seni Drama. Jakarta-Surabaya:
Arena Ilmu.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Sociological Theory Classical Founders
andContemporary Perspectives. (Diterjemahkan oleh Robert
M.Z. Lawang) Jakarta: Gramedia.
Kusmayati, A.M. Hermien. 2010. “Fungsi Seni Pertunjukan bagi
Pembangunan Moral Bangsa” (Online).Tersedia dalam
http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/10/fungsi-
seni-pertunjukan-bagi.html. Diakses 25 Agustus 2015.
Tastra, Kade. T.t. “Sejarah Munculnya Gong Kebyar di Bali”.
(Online) Tersedia dalam http://blog.isi-
dps.ac.id/kadetastra/sejarah-munculnya-gong-kebyar-di-
bali. Diakses 6 Januari 2016.
Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta. Paradigma.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Kusmayati, A.M. Hermien. 2006. “Fungsi Seni Pertunjukan bagi
Pembangunan Moral Bangsa”. Makalah dipresentasikan
dalam Diskusi Sejarah dengan tema “Sejarah Seni
Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa” yang
diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta pada tanggal 17—18 Mei 2006.
Laksono. 2015.”Degradasi Moral Cenderung Terjadi di Indonesia”
dalam ANTARA Nws, Jumat, 8 Mei 2015 03:16 WIB |
5.114 Views.
Lamb, Hair, Daniel. 2001.”Pengertian Permintaan Pasar”. (Online)
Tersedia dalam
https://pubon.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-
permintaan-pasar.html. Diakses 6 Januari 2016.
Lauer, Robert H. 2003. Perspektif tentang Perubahan Sosial
(terjemajan). Jakarta: Rineka Cipta.
Mahmudah, Rizky Luthfiya.2014. “Penjelasan Ranah Kognitif,
Afektif,dan Psikomotor Menurut para Ahli”. (Online).
Tersedia dalam
http://rizkymahmudah.blogspot.co.id/2014/09/
penjelasan-ranah-kognitifafektif-dan.html. Diakases 2
Maret 2016.
Marajaya, I Made. 2002. “Pertunjukan Wayang Kulit Parwa Lakon
Brahmana Sidi di TVRI Denpasar: Kajian Bentuk, Fungsi,
dan Makna”. Tesis Program Studi (S2), Magister Kajian
Budaya, Program Pascaarjana, Universitas Udayana,
Denpasar.
Maran, Rafael Raga.2007. Manusia & Kebudayaan dalam Perspektif
Ilmu Budaya. Jakarta: Rineka Cipta.
McEachern,Carla E..2000.”Convergent Marketing: Executing on
the Promiseof 1:1” Journal of Consumer Marketing, vol. 15
no. 5 1998, pp. 481-490 © mcb University Press.
Merriam, Alant P. 1964. The Anthropology of Music. Northwestern
University Press.
Milles, M.B. and Huberman, M.A. 1984. Qualitative Data Analysis.
London: Sage Publication. Terjemahan Tjetjep Rohindi
Rohidi, UIPress 1992.
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:PT
Remaja Rosdakarya.
Moore, J.1997. The Exploitation of Women in Evolutionary Perspektive,
dalam Critique of Anthropology, Vol.3.
Mudyahardjo,Redja.2004. Filsafat Ilmu Pendidikan, Sebuah
Pengantar. Bandung, PT Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Nabilla. 2014. “Pentingnya Promosi, Promosi, dan Promosi untuk
Perusahaan.” (Online) Tersedia dalam
http://www.gravicode.com/news-blog/63-pentingnya-
promosi-promosi-dan-promosi-untuk-perusahaan.html.
Diakses 7 Mei 2015.
Pancasila, Rajawali Garuda. 2011. “Triangulasi dalam Penelitian
Kualitatif.” (Online). Tersedia
dalamhttp://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2011/09/tr
iangulasi-dalam-penelitian-kualitatif.htm. Diakses 15 Juli
2015.
Panitia Penyusun Kamus Bali-Indonesia.1978.Kamus Bali-Indonesia.
Denpasar.
Panolih, Krishna P dan Suwardiman. 2015. “Televisi Sumber
Utama Hiburan Keluarga”. (Online) Tersedia dalam
dalam http://print.kompas.com/baca/2015/08/25/Televisi-
Sumber-Utama-Hiburan-Keluarga. Diakses 6 Januari
2016.
Pareno, H. Sam Abede. 2005. Media Massa antara Realitas dan
Mimpi. Surabaya: Papyrus.
Patilima, Hamid.2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta.
Piliang, Yasraf Amir. 2007. Dari Media Menuju Pos Media: Media
dalam “Cultural Studies”. Makalah dalam seminar yang
diselenggarakan Program Magsiter Kajian Budaya Unud,
17 November 2007.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam
Era Posmetafisika. Cetakan Pertama. Yogyakarta:
Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir. 2005. “Cultural Studies dan Posmodernime:
Isyu, Teori dan Metode”. Makalah pada Seminar
‘’Cultural Studies: Isu, Teori, dan Metode’’ yang
diselenggarakan Program Magister dan Doktor Kajian
Budaya Universitas Udayana di Denpasar, 12 Juli 2005.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1968. Tjerita Pandji dalam Perbandingan.
Diterjemahkan oleh Zuber Usman, Djakarta: Gunung
Agung.
Poerwanto, Hari. 2005. Kebudayaandan Lingkungan:Dalam Perspektif
Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pringgodigdo, A.G. 1973. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta. Kanisius.
Purnamawati, Ni Putu Diah, 1984. “Drama Gong sebagai Bentuk
Teater Tradisional Berbahasa Bali”. Skripsi (Tidak
Diterbitkan). Denpasar: Fakultas Sastra Universitas
Udayana.
Purwandari, Retno. 2010. "Pengertian Dinamika"(Online) Tersedia
dalam http://yulia-
putri.blogspot.com/2010/10/pengertian-
dinamika.html.Diakses 7 Januari 2016.
Purwanto, M. Ngalim. 2002. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis..
Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Putra, I Nyoman Darma.2009. “Meninjau Kembali Sejarah Drama
Gong”. dalam Bali Post. 28 Juni 2009.
Raho, Bernard, S.V.D. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Ralp Ross and Ernest Van Den Haag. 1957. The Fabric of Society,
New York.
Ramadhani, Prito. 2008. “Pengertian Dinamika Kelompok”
(Online)Tersedia dalam http://dinamika-
ok.blogspot.com/Diakses 2 Juli 2015.
Ranganath. 1976. Telling the People Tell Themselves. Media Asia 3.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies,
Representasi Fiksi dan Fakta. Cetakan Pertama.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Redana, Made. 2006. Panduan Praktis Penulisan Karya Ilmiah dan
Proposal Riset. Denpasar: Institut Hindu Dharma Negeri
Denpasar.
Rina, Amelia. 2008.Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Kinerja
Perawat Dalam Asuhan Keperawatan Pasien. 2008.USU e-
Repository © 2009.
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2002. “Mencermati Hubungan Seni dan
Politik”. (Online). Tersedia dalam
http://www.suaramerdeka.com/harian/0211/19/kha2.htm
. Diakses 7 Januari 2016.
Rota, Ketut. 1982. Dramatari Gambuh dan Tari-tarian yang Hampir
Punah di Beberapa Daerah di Bali. Proyek Pusat
Pengembangan Kebudayaan Bali.
Safni, Irma. 2015. “Politik dan Kebudayaan”. (Online) Tersedia
dalam
http://www.kompasiana.com/www.irmasafni.com/politi
k-dan-kebudayaan_54f6a670a33311f1558b457e
Sari, Dyah Ayu Purnama. 2011. “Drama Gong”. (Online). Tersedia
dalam http://itikholic.blogspot.co.id/2011/03/drama-
gong.html. Diakses 5 Mei 2015.
Suleiman,Satyawati. 1978. The Pendopo Terrace of Panataran. Pictorial
number 2. Jakarta: Proyek Pelita Pembinaan
Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional.
Semadi, Anak Agung Putra. 2004. “Seni Pertunjukan Drama Gong
Sancaya Dwipa di TVRI Stasiun Denpasar Lakon Galuh
Kembar Sebuah Kajian Budaya”.Tesis (Tidak
diterbitkan). Denpasar: Program Studi (S2), Magister
Kajian Budaya, Universitas Udayana.
Semadi, Anak Agung Putra. 2015. “Keterpinggiran Drama Gong
Wijayakusuma Abianbase, Gianyar dalam Seni
Pertunjukan Bali di Era Globalisasi”. Disertasi Tidak
Diterbitkan. Denpasar: Program Doktor Program Studi
Kajian Budaya Universitas Udayana.
Setia, Putu. 2006. Mendebat Bali. Denpasar: Pustaka Manikgeni.
Setia, Putu.2008. “Irama Drama Gong”. dalam Bali Post, Sabtu
Umanis, 23 Februari 2008.
Setyawan, Arya Dani. 2011. “Fungsi Seni Pertunjukan
Tradisional”, (Online), Tersedia dalam
http://aryadanisetyawan.blogspot.com/2011/11/fungsi-
seni-pertunjukan-tradisional-di.html). Diakses 25
Agustus 2015.
Shri Danu D.P. 2009. “Memahami Jati Diri Membongkar Identitas
Hindu”. (Online). Tersedia dalam
https://dharmavada.wordpress.com/2009/10/05/memaha
mi-jati-diri-membongkar-identitas-hindu/. Diakses 1 Mei
2016.
Simon, Roger. 1991. Gramsci’s Political Thought: An Introduction,
Lawrence and Wishart. London.
Sivananda, Sri Swami. 1993. “Intisari Ajaran Hindu”. Alih
bahasa,Tim Penerjemah Yayasan Sanatana
Dharmasrama. All About Hinduisme. Surabaya: Paramita.
Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk
Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Praming.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Cetakan Kedua. Bandung:
Rosda Karya.
Soedarsono,R.M. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soedarsono. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia & Pariwisata.
Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Soekanto, Soerjono.1980. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: CV
Rajawali.
Soelarso, B. dan S. Ilmi Albiladiyah. 1975. Pertunjukan Rakyat
Drama Gong dari Bali. Proyek Pengembangan Media
Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI Jakarta.
Stokes, Jane, 2003. How To Do Media and Cultural Studies.
Terjemahan oleh Santi Indra Astuti. 2007. Yogyakarta:
Bintang Pustaka.
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap
Konseptual Cultutal Studies. Yogyakarta: CV Qalam.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-Dasar Penelitian
Kualitatif. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Strinati, Dominic. 1995. An Introduction to Theories of Popular
Culture. Routledge, London.
Stutterheim,W.F.1935. “Enkele Interessante t Reliefs van Oost-
Java”. Djawa.
Suamba, I.B. Putu. 2003. Dasar-Dasar Filsafat India. Denpasar:
Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan
Universitas Hindu Indonesia.
Suartaya, Kadek. 2003. “Grup Drama Gong, Mengapa Kini
Rontok?” Bali Post Minggu Pon, 23 November 2003.
Subrata, I Wayan. 2014. Komodifikasi Tari Barong. Surabaya:
Paramita.
Sudhana, Dede Ryan. 2015. “Teori Globalisasi”. (Online).
http://www.scribd.com/doc/5508. Diakses 2 Juli 2015.
Sudipta,I Nyoman Agus. 2016. “Selamatkan Bahasa Bali” dalam
Pos Bali 13 April 2016.
Sugita, I Wayan. 2006. “Lakon I Gusti Made Getas dalam Drama
Gong Bintang Bali Timur Kajian Berdasarkan Perspektif
Budaya” Tesis (Tidak Diterbitkan). Denpasar: Program
Studi (S2), Kajian Budaya Universitas Udayana.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV
Alfabeta.
Suharianto. 1982. Dasar-Dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.
Suherjanto, Indra. 2015. “Dramaturgi Seni Pertunjukan Teater”
(Online), Tersedia dalam
https://indrasuherjanto.wordpress.com/teori-
drama/dramaturgi-seni-pertunjukan-teater/, Dikases 6
Juli 2015.
Sumanto,Wasti & Hendyat Soetopo. 1982. Sosiologi
Pendidikan.Jakarta.
Sumatika, W.2008. “Menyelamatkan Drama Gong dari
‘Ketersesatan’, Bali Post, Sabtu Umanis, 23 Februari 2008.
Suseno, Franz Magnis, 1992. Filsafat Kebudayaan Politik, Butir-Butir
Pemikiran Kritis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sutjaja, I Gusti Made.2008. “Bahasa Bali Terancam Punah” dalam
Antara, Senin, 28 April 2008.
Sztompka. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.
Tamburaka, Rustam. E. 2002. Pengantar Ilmu Sejarah Teori Filsafat
Sejarah Filsafat & Iptek. Jakarta: Rineka Cipta.
Taqiyudin. 2008. Sejarah Pendidikan, Melacak Geneologi Pendidikan
Islam di Indonesia. Bandung: Mulia Pers.
Tim Redaksi. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.
Tim Redaksi. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat.
Jakarta: Pustaka Utama Gramedia.
Tisnu, Tjokorda Raka. 1996. “Drama Gong Teater Rakyat Bali”.
Orasi Ilmiah pada Dies Natalis XXIV Sekolah Tinggi Seni
Indonesia Denpasar.
Triguna, Ida Bagus Yudha, dkk. 2000. Teori tentang Simbol.
Denpasar: Widya Dharma.
Vaughn, Jack A.1978. Drama A to Z: A Handbook. New York:
Fredrick Ungar Publishing Co.
Vickers, Andrian. 2009. Peradaban Pesisir Menuju Sejarah Budaya
Asia Tenggara. Denpasar: Pustaka Harasan Bekerja sama
dengan Udayana University Press.
Waluyo, Herman. 2002. Drama, Teori dan Pengajarannya.
Yogyakarta: Hamindita Graha Widya.
Wiana, I Ketut, 2004. Makna Upacara Yajña dalam Agama Hindu Jilid
II. Surabaya: Paramita.
Winarso, H.P. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Wiratni, Ni Made. 2009.Problem Peranan Wanita dalam Seni
Pertunjukan Bali di Kota Denpasar: Kajian Bentuk, Fungsi,
dan Makna. Malang:Bayumedia Publishing.
Wiyanto, Asul.2002. Trampil Bermain Drama. Jakarta: Gramedia
Widiarsana Indonesia.
Yudabakti, I Made dan I Wayan Watra. 2007. Filsafat Seni Sakral
dalam Kebudayaan Bali. Surabaya: Paramita.
Yuga, Ibed Surgana. 2009. “Apakah Bali Memang Tak Lagi
Membutuhkan Drama Gong?” (Online). Tersedia dalam
http://kalalakon.blogspot.co.id/2009/01/dan-drama-gong-
itu.html. Diakses 1 Maret 2016.
Yuliadi, Koes. 2005. Drama Gong di Bali. Yogyakarta: BP ISI
TENTANG PENULIS
Dr. Drs. I Wayan Sugita, M.Silahir di Br. Bukit Batu pada
8 Mei 1965. Ia berpropesi sebagai dosen IHDN Denpasar dan juga
pemain drama gong senior sebagai pemeran Patih
Agung.Mengenai riwayat pendidikannya, Sekolah Dasar
ditamatkan di SD Negeri 1 Samplangan tahun 1977, Sekolah
Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Gianyar pada tahun 1981,
Sekolah Menengah Atas di SPG (TGA) Saraswati Gianyar pada
tahun 1985, Sarjana S1 di Fakultas Sastra Universitas Udayana
Jurusan Bahasa dan Sastra Bali tahun 1991), S2 pada Kajian
Budaya Universitas Udayana tahun 2004 dan S3 pada jurusan
Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia tahun
2016. Ia adalah suami dari Ni Wayan Sukasih, S.Pd.B. dan ayah
dari dua anak putra dan putri: I Gede Tilem Pastika, S.Sn. dan Ni
Kadek Yuni Gitasih.
Disamping aktif manggung di berbagai tempat, ia juga
aktif di berbagai kegiatan organisasi. Ada beberapa organisasi
yang pernah atau sedang dipimpinnya seperti Sekaa Drama Gong
Panjanu Asrama, Gianyar; Ketua STT Dharma Putra Bukit Batu
Gianyar, Sanggar SekdutJl. Kenyeri Denpasar; Pasraman Giri
Dharma Acarya, Sanggar Seni Giri Lango, Sekaa Angklung dan
Sabha Desa di Br. Bukit Batu, Desa Samplangan, Kecamatan
Gianyar, Kabupaten Gianyar; Bidang Agama Kemoncolan
Mahawarga Bujangga Waisnawa Denpasar; Badan Pembina
Lembaga Pembinaan Bahasa dan Sastra Provinsi Bali; Listibia
Kabupaten Gianyar; Bendesa Adat Pakraman Bukit Batu; Kerta
Desa Pakraman, Desa Pakraman Bukit Batu.
Beberapa buku yang pernah diterbitkan diantaranya:
Buku Ajar Bahasa Daerah Bali, Paribasa Basa Bali, Tata Bahasa
Bali, Buku Ajar Dharma Gita, Buku Ajar Dharma Wacana, Buku
Ajar Kemahiran Bahasa Bali, Berpidato dengan Bahasa Bali, 25
Jenis Satua-satua Bali. Menulis Prosiding di beberapa seminar
nasional dan internasional, antara lain: Seminar Nasional Seri
Sastra, Sosial, Budaya dengan Tema Menggugat Sisi Sosial Budaya
Pariwisata Bali, Seminar Nasional Seri Sastra, Sosial, Budaya
dengan Tema Konsep Tongos dan Gumi Orang Bali dilihat dari
sisi Kebebasan, Seminar Nasional Seri Sastra, Sosial, Budaya
dengan Tema Orientasi Metodologis Kajian Budaya, Seminar
Nasional Seri Sastra, Sosial, Budaya dengan Tema Perayaan
Pluralitas Budaya dalam Keragaman, Ekspresi Seni Global,
Seminar Nasional Seri Sastra, Sosial, Budaya dengan Tema Kajian
Kritis Infotainment TV diIndonesia, Seminar Nasional dengan
Tema Eksistensi Hukum Hindu dalam Rangka Pembentukan
Pengadilan Agama Hindu di Indonesia, Seminar Regional dengan
Tema Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Bahasa Bali menuju
Ajeg Bali, Internasional Seminar dengan Tema Hindu: Sexual
Happiness in Marriage, Internasional Seminar dengan Tema
Improving God Conscioness in Life Through Yoga, Seminar
Nasional Sehari Agama Hindu, Budaya Bali, dan Pariwisata
Berkelanjutan.