jebakan sensivitas simbolik keagamaan

12
1. Tempo ”Kepleset” Cover The Last Supper edisi Pebruari 2008 7 B agi banyak orang di Indonesia, Soeharto adalah cerita yang tak pernah usai. Hingga prosesi penguburannya, semua media massa memperebutkannya sebagai lapo- ran utama dan cover story. Tidak terkecuali Majalah Ming- guan Tempo edisi minggu itu mengangkat bekas diktator Orde Baru itu dalam Edisi Khusus 4-10 Februari 2008. Bertajuk “Setelah Dia Pergi”, edisi khusus menurunkan sampul mirip lukisan The Last Supper (perjamuan terakhir) karya Leonardo da Vinci. Dengan rambut dan alis yang me- mutih, Soeharto duduk di tengah enam anaknya dengan kedua tangan terbuka di atas meja. Tiga anaknya tampak di sebelah kanan Soeharto, yaitu Tommy Soeharto, Tutut dan Titiek. Sedang tiga anak lainnya di kiri Soeharto, yaitu Sigit, Bambang Tri dan Mamiek. Di meja tampak gelas dan piring yang kosong. Sampul itu penuh makna. Juga The Last Supper yang men- ginspirasinya. Bagi umat Kristiani, Perjamuan Terakhir ini adalah sebuah momen amat sakral dan simbol beragam rah- mat Tuhan. Itu simbol penghormatan, kenangan, dan kerin- duan kepada Yesus. Mengasosiasikan gambar agung, apalagi dengan sosok Soeharto, melukai perasaan sebagian umat Kristiani. Salah satunya dirasakan sejumlah perwakilan ma- hasiswa dari kalangan Kristiani. Oleh sebab itu sekitar delapan orang perwakilan dari Pemuda Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Repub- lik Indonesia (PMKRI) mendatangi kantor Tempo di Jalan Proklamasi Jakarta Pusat, Selasa (05/02/2008) pukul 13.20 WIB. Bersama mereka, ada Paskalis Pieter yang didapuk se- Jebakan Sensivitas Simbolik Keagamaan Sinopsis S ensitivitas simbolik keberagamaan yang terlampau tinggi seringkali menjebak sebagian masyarakat sehingga begitu mudah tersinggung. “Simbol” keagamaan ditempatkan terlalu tinggi ketimbang substansi. Hal inilah yang menimpa Majalah Tempo karena mem-pleset-kan lukisan The Last Supper karya Leonardo da Vinci pada cover-nya. Majalah ini diprotes sekelompok Kristiani yang menamakan diri sebagai Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Aliansi Mahasiswa Pemuda Kristen (AMPK). Lukisan The Last Supper ternyata bukan lagi semata-mata kreativitas imajiner da Vinci, tapi tampaknya telah menjadi bagian dari simbol kesucian agama itu sendiri. Kasus cover Majalah Tempo ini menjadi salah satu laporan penting Monthly Report on Religious Issues edisi VII. Edisi ini melaporkan sejumlah peristiwa keagamaan yang berlangsung sejak pertengahan Januari sampai akhir Pebruari 2008. Di samping kasus Tempo, edisi ini juga melaporkan sejumlah peristiwa seperti Maulid Hijau—sebuah peringatan Maulid Nabi Muhammad yang mengeksplorasi kearifan lokal-- di Lumajang, Jatim yang difatwa sesat MUI setempat; kasus penyerangan pengikut Tarekat Satariyah Sahid di Medan; perhelatan rohani Jemaat Gereja Bethel di Bukittinggi Sumbar yang menuai protes; gerilya sejumlah kelompok untuk membubarkan Ahmadiyah; serta pertobatan seorang tukang cukur, Ahmad Sayuti, yang dituduh sebagai nabi palsu dan menyebarkan aliran sesat. Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Nurul H Ma’arif, Abd Moqsith Ghazali. Staf Redaksi: M. Subhi Azhari Lay out: Widhi Cahya Alamat Redaksi: The Wahid Institute Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 Website: www.wahidinstitute.org Email: [email protected] Kontributor: Akhdiansyah (NTB), Suhendy (Jawa Barat), Nur Kholik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Alamsyah M. Dja’far (DKI Jakarta), Zainul Hamdi (Jawa Timur), Syamsul Rijal (Makassar) Kerjasama dengan TIFA Foundation Monthly Report on RELIGIOUS ISSUES

Upload: others

Post on 03-Feb-2022

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jebakan Sensivitas Simbolik Keagamaan

1. Tempo”Kepleset”CoverTheLastSupper

edisi

Pebruari 2008

7

Bagi banyak orang di Indonesia, Soeharto adalah cerita yang tak pernah usai. Hingga prosesi penguburannya, semua media massa memperebutkannya sebagai lapo-

ran utama dan cover story. Tidak terkecuali Majalah Ming-guan Tempo edisi minggu itu mengangkat bekas diktator Orde Baru itu dalam Edisi Khusus 4-10 Februari 2008.

Bertajuk “Setelah Dia Pergi”, edisi khusus menurunkan sampul mirip lukisan The Last Supper (perjamuan terakhir) karya Leonardo da Vinci. Dengan rambut dan alis yang me-mutih, Soeharto duduk di tengah enam anaknya dengan kedua tangan terbuka di atas meja. Tiga anaknya tampak di sebelah kanan Soeharto, yaitu Tommy Soeharto, Tutut dan Titiek. Sedang tiga anak lainnya di kiri Soeharto, yaitu Sigit, Bambang Tri dan Mamiek. Di meja tampak gelas dan piring yang kosong.

Sampul itu penuh makna. Juga The Last Supper yang men-ginspirasinya. Bagi umat Kristiani, Perjamuan Terakhir ini adalah sebuah momen amat sakral dan simbol beragam rah-mat Tuhan. Itu simbol penghormatan, kenangan, dan kerin-duan kepada Yesus. Mengasosiasikan gambar agung, apalagi dengan sosok Soeharto, melukai perasaan sebagian umat Kristiani. Salah satunya dirasakan sejumlah perwakilan ma-hasiswa dari kalangan Kristiani.

Oleh sebab itu sekitar delapan orang perwakilan dari Pemuda Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Repub-lik Indonesia (PMKRI) mendatangi kantor Tempo di Jalan Proklamasi Jakarta Pusat, Selasa (05/02/2008) pukul 13.20 WIB. Bersama mereka, ada Paskalis Pieter yang didapuk se-

JebakanSensivitasSimbolikKeagamaan

Sinopsis

Sensitivitas simbolik keberagamaan yang terlampau tinggi seringkali menjebak sebagian masyarakat sehingga begitu

mudah tersinggung. “Simbol” keagamaan ditempatkan terlalu tinggi ketimbang substansi. Hal inilah yang menimpa Majalah Tempo karena mem-pleset-kan lukisan The Last Supper karya Leonardo da Vinci pada cover-nya. Majalah ini diprotes sekelompok Kristiani yang menamakan diri sebagai Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Aliansi Mahasiswa Pemuda Kristen (AMPK). Lukisan The Last Supper ternyata bukan lagi semata-mata kreativitas imajiner da Vinci, tapi tampaknya telah menjadi bagian dari simbol kesucian agama itu sendiri. Kasus cover Majalah Tempo ini menjadi salah satu laporan penting Monthly Report on Religious Issues edisi VII. Edisi ini melaporkan sejumlah peristiwa keagamaan yang berlangsung sejak pertengahan Januari sampai akhir Pebruari 2008. Di samping kasus Tempo, edisi ini juga melaporkan sejumlah peristiwa seperti Maulid Hijau—sebuah peringatan Maulid Nabi Muhammad yang mengeksplorasi kearifan lokal-- di Lumajang, Jatim yang difatwa sesat MUI setempat; kasus penyerangan pengikut Tarekat Satariyah Sahid di Medan; perhelatan rohani Jemaat Gereja Bethel di Bukittinggi Sumbar yang menuai protes; gerilya sejumlah kelompok untuk membubarkan Ahmadiyah; serta pertobatan seorang tukang cukur, Ahmad Sayuti, yang dituduh sebagai nabi palsu dan menyebarkan aliran sesat. ■

Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Nurul H Ma’arif, Abd Moqsith Ghazali. Staf Redaksi: M. Subhi Azhari Lay out: Widhi Cahya Alamat Redaksi: The Wahid Institute Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 Website: www.wahidinstitute.org Email: [email protected]

Kontributor: Akhdiansyah (NTB), Suhendy (Jawa Barat), Nur Kholik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Alamsyah M. Dja’far (DKI Jakarta), Zainul Hamdi (Jawa Timur), Syamsul Rijal (Makassar) Kerjasama dengan TIFA Foundation

Monthly Report on ReligiouS iSSueS

Page 2: Jebakan Sensivitas Simbolik Keagamaan

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VII, Pebruari 2008

The Wahid Institute

bagai tim pembela kebebasan beragama. Siang itu mereka ingin mendapat penjelasan pihak Tempo soal sampul tersebut. “Kita tidak demo, hanya ingin berdialog,” kata Ketua Forum Komunikasi Alumni PMKRI Hermawi F Tas-lim (detik.com, 05/02/2008).

Setelah satu jam berdialog, pihak Tempo dan perwakilan mahasiswa Katolik meng-gelar jumpa pers. “Saya atas nama seluruh wartawan dan institusi Tempo, memohon maaf. Karenanya permohonan maaf ini akan kita muat dalam Koran Tempo edisi besok, situs Tempo interaktif online dan Majalah Tempo edisi minggu depan,” jelas Pemimpin Redaksi Ma-jalah Tempo Toriq Hadad. Tapi Majalah Tempo yang sudah beredar tak akan ditarik kembali. Sementara untuk Tempo edisi Inggris akan menggunakan cover lain. “Ini hanya salah tafsir. Ternyata penafsiran kita berbeda. Kami hanya mengambil inspirasi dari Leonardo Da Vinci. Ternyata foto itu diagungkan oleh umat Kristiani,” tambah pria berkacamata itu seperti dilansir Detik.

Perwakilan Mahasiswa Katolik sendiri menjelaskan, pihaknya tak akan meminta ganti rugi. Bagi mereka, maaf dari pihak Tem-po sudah cukup. Tapi ternyata masih ada yang tidak puas dengan permintaan maaf itu. Ke-lompok yang menamakan Aliansi Mahasiswa Pemuda Kristen (AMPK) mengadukan kasus ini ke Polda Metro Jaya sambil membawa Ma-jalah Tempo edisi khusus Soeharto itu sebagai barang bukti, Jumat (08/02/2008). Aliansi itu terdiri dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI (PMKRI), Dewan Pemuda Gereja Indone-sia (DPGRI), Gerakan Mahasiswa Kristen In-donesia (GMKI).

Dalam selebaran yang dibagikan, AMPK menulis lima tuntutan: Tempo minta maaf se-lama tiga edisi di majalahnya, dan dua hari di media cetak lokal dan elektronik; menghen-tikan eksploitasi simbol agama untuk kepen-

tingan komersial; meminta menteri agama proaktif menangani masalah ini; meminta Dewan Pers menjatuhkan sanksi pelanggaran kode etik pers; dan meminta majalah edisi 4-10 Februari itu ditarik dari peredaran (Koran Tempo, 08/02/2008). Pasal yang dipakai un-tuk kasus ini pasal 156 a KUHP tentang penis-taan agama.

Lantaran dianggap tak cukup bukti, oleh Sentra Layanan Kepolisian mereka sempat di-tolak. Tapi pukul 15.00 mereka kembali sam-bil membawa salinan lukisan The Last Supper karya Leonardo da Vinci yang diperoleh dari warnet. Hingga berita ini ditulis, pengaduan mereka masih dalam proses.

Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Martinus Dogma Situmorang sebe-tulnya menyayangkan langkah AMPK. “Kami sendiri tak akan melaporkannya ke polisi,” ujar Martinus (Koran Tempo, 09/02/2008). KWI juga tak akan melaporkan kasus ini ke Vatikan, otoritas Katolik tertinggi sedunia. Permintaan maaf pihak Tempo sudah cukup. “Tapi harus tulus dan jujur mengakuinya,” tambahnya.

Banyak komentar di media massa terkait kasus yang muncul bersamaan dengan mo-mentum Hari Pers Nasional ke-62 ini. Seba-gian mengaitkannya lebih karena isu Soeharto yang hingga hari ini masih jadi kontroversi ketimbang isu agama. Lainnya lebih karena sentimen agama dan ketidakpekaan Tempo. Dari Surabaya Dhimam Abror, Ketua PWI Jawa Timur yang juga Pemred Harian Surya Jawa Timur berharap kedua pihak bisa me-nemukan kesamaan kerangka berpikir demi menjaga kebebasan pers.

“Jangan sampai ada menang-menangan, yang mengedepankan kebebasan berek-spresi dan merasa benar. Sehingga malah akan mengorbankan kebebasan itu send-iri,” katanya seperti dikutip suarasurabaya.net

2. FatwaSesatMaulidHijaudiLumajang

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) kembali ‘memakan korban’. Pada tang-gal 2 Januari 2008 lalu MUI Kecamatan

Klakah, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur mengeluarkan fatwa larangan terhadap penye-

lenggaraan Maulid Hijau oleh warga Desa Tegalrandu (salah satu desa di Kecamatan Klakah). Perhelatan ini dianggap termasuk dalam 10 kriteria aliran sesat yang dikeluar-kan MUI Pusat. Fatwa ini telah menimbulkan

Page 3: Jebakan Sensivitas Simbolik Keagamaan

kasus-kasusbulanini

The Wahid Institute �

Monthly Report on Religious Issues, Edisi VII, Pebruari 2008 ■

The Wahid Institute

kontroversi dan keresahan di masyarakat, ter-utama warga Tegalrandu yang menjadi peserta utama Maulid.

Dalam lampiran fatwa tersebut, MUI Klakah menegaskan pokok masalah keluarnya larangan ini. Yaitu ada kegiatan-kegiatan yang mengarah pada mempersembahkan sesuatu kepada selain Allah, seperti larung sesaji yang disinyalir ada unsur kemusyrikan. Kegiatan ini dinilai melanggar tiga dari 10 kriteria aliran sesat, yaitu meyakini dan mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i, menging-kari autentisitas dan kebenaran al Qur’an dan menghina, melecehkan dan atau merendah-kan Nabi dan Rasul.

Fatwa ini kemudian mendapat dukungan dari MUI Kabupaten Lumajang yang meni-lai tindakan itu sudah benar. Bahkan MUI Lumajang mengeluarkan surat resmi yang me-nyatakan acara Maulid Hijau dikhawatirkan akan menyesatkan akidah Islam (Radar Jember 12/02/2008).

Maulid Hijau sendiri adalah kegiatan yang digagas dan diselenggarakan oleh masyarakat di Desa Tegalrandu. Kegiatan ini direncanakan untuk menjadi agenda tahunan. Acara yang diikuti ribuan masyarakat ini, mendapat sam-butan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lumajang. Pada pembukaan Maulid Hijau 2007, Bupati Lumajang Drs H Ahmad Fauzi menegaskan bahwa acara ini merupakan icon pariwisata Kabupaten Lumajang yang perlu dilestarikan dan didukung oleh semua pihak agar dapat terus terselenggara dengan baik dari tahun ke tahun. Kegiatan ini pertama kali diselenggarakan pada April 2006 dan kedua pada April 2007 dengan memilih tempat yang tetap yaitu di tepian Ranu Klakah (salah satu danau dari tiga danau yang ada di Kecamatan Klakah).

Sesuai dengan namanya, dalam Maulid Hijau terdapat dua kegiatan besar yang dilak-sanakan dalam waktu berurutan, yaitu penye-derhanaan dari Maulid Nabi dan Penghijauan. Kegiatan ini memiliki beberapa tujuan yakni: untuk memperingati hari kelahiran Nabi Mu-hammad SAW, melestarikan tradisi dan adat istiadat lokal, meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian sumber daya alam untuk kelangsungan hidup manusia, meningkatkan peran serta masyarakat dalam

melestarikan hutan dan ekosistem di sekitar Ranu Klakah dengan cara menanam bersama-sama, memberikan ruang ekspresi bagi ma-syarakat untuk menampilkan kreatifitas dan produk-produk unggulan yang dimiliki oleh masyarakat dan lain-lain.

Beberapa tujuan tersebut kemudian di-turunkan dalam berbagai kegiatan kongkrit seperti reboisasi (penanaman kembali) oleh masyarakat secara bersama-sama, pasar rakyat, perlombaan, pementasan kesenian, selamatan desa yang di dalamnya ada larung sesaji, pem-bacaan barzanji, istigotsah, ceramah agama dan do’a bersama lintas aliran.

Dalam penjelasan ketua panitia Maulid, A’ak Abdullah al Kudus, Maulid Hijau tidak lain adalah bentuk realisasi dari kegiatan mau-lid yang dirayakan umat Islam secara nasional. Dalam merayakannya, masyarakat Indonesia melaksanakan dalam berbagai bentuk (tidak seragam) termasuk memadukannya dengan tradisi lokal. Secara konsepsi, Maulid Hijau ini tidak berbeda dengan upacara Grebeg Mau-lid atau Sekatenan di Yogyakarta atau acara Maulid yang diisi lelang bandeng di Sidoarjo yang kesemuanya mengadopsi tradisi dan bu-daya setempat. Dalam Islam, ada kaidah fikih yang mengatakan tradisi masyarakat yang su-dah jadi kesepakatan bisa dijadikan landasan hukum (al’adatu muhakkamah).

Karena itu, A’ak bersama sejumlah tokoh Tegalrandu menolak tegas fatwa MUI tersebut dan menganggapnya sebagai fatwa yang tidak prosedural dan berlebihan. Dampak fatwa ini menurut mereka telah melahirkan polemik yang mengakibatkan keresahan di masyara-kat Tegalrandu. Mereka meminta agar MUI Klakah mencabut fatwa tersebut dan memin-ta maaf kepada warga Desa Tegalrandu (Memo-randum, 21/01/’08).

Hal ini perlu ditegaskan karena tiga ala-san utama. Pertama, fatwa MUI Kecamatan Klakah cacat secara administrasi internal MUI. Dalam Pedoman Penetapan Fatwa yang diatur dalam SK No. U-596/MUI/X/1997 menyatakan bahwa yang berhak mengeluar-kan fatwa hanya MUI Pusat yang berkedudu-kan di Jakarta dan berkantor di Masjid Istiqlal serta MUI Daerah tingkat (Propinsi) dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan MUI (Komisi Fatwa) Pusat (Pasal 1 ayat 1 dan 2). Artinya secara prosedural, fatwa MUI Klakah

Page 4: Jebakan Sensivitas Simbolik Keagamaan

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VII, Pebruari 2008

The Wahid Institute

cacat secara prosedural karena melampaui kewenangan mereka.

Kedua, tudingan sesat MUI Klakah terha-dap Maulid Hijau adalah tindakan sepihak (Memorandum, 21/01/2008). Menurut panitia penyelenggara, jauh sebelum diterbitkannya fatwa tersebut pihak panitia sudah berkali-kali menawarkan dialog terbuka/ musyawarah dengan maksud untuk menghindari muncul-nya dampak-dampak negatif. Bahkan panitia meminta dialog tersebut dilakukan di Masjid Jami’ Klakah setelah shalat Jum’at agar lebih banyak masyarakat yang terlibat. Namun ta-waran tersebut tidak diindahkan MUI Klakah. Bahkan dengan tegas, Sekretaris MUI Klakah, Moh Shodiq menyatakan bahwa larangan tersebut merupakan keputusan final dan tidak bisa diganggu gugat. Pihak panitia Maulid Hi-jau menilai sikap tersebut sebagai sikap yang sangat angkuh dan arogan dari seseorang yang menempatkan dirinya sebagai ulama.

Ketiga, secara substansi, kriteria aliran se-sat yang dipakai MUI Klakah tidak mendasar karena tidak mencantumkan dasar-dasar, uraian dan sumber pengambilan hukumnya. Kalaupun ada acara larung sesaji, yang diang-gap mencampuradukkan keyakinan sama sekali tidak beralasan. Yang dilakukan dalam acara ini hanyalah menceburkan boneka uku-ran sedang yang terbuat dari tepung terigu ke tengah-tengah danau Tegalrandu, tidak lebih dari itu (harian Bhirawa, 21/01/2008).

Karena berbagai tuntutan tersebut tidak direspon MUI Klakah, pihak panitia memba-wa kasus ini ke Mapolres Lumajang. Mereka melaporkan sedikitnya 6 tokoh agama yang ter-diri dari 3 pengurus MUI dan 3 tokoh agama di Kecamatan Klakah. Laporan ini sendiri dilakukan setelah tenggat satu minggu yang diberikan panitia untuk mencabut fatwa la-rangan Maulid Hijau terlewati. Keenam tokoh agama tersebut adalah H Herman Affandi, H Adnan Nawawi, Khusnul Khuluk, KH Zainul, KH Umar Farouq dan Moh Shodiq (Memoran-dum 30/01/2008). Pelaporan keenam tokoh ini berisi enam pasal tuntutan yakni pasal-pa-sal penghinaan, fitnah, penghasutan, menebar kebencian, pemalsuan surat dan terorisme.

Merespon langkah hukum di atas, MUI Klakah tidak tinggal diam, mereka melakukan langkah yang sama dengan melaporkan panitia Maulid Hijau ke Mapolres Lumajang, (Selasa,

01/02/2008) dengan tuduhan telah melaku-kan pencemaran nama baik. Para pelapor yang diterima Kapolres AKP Edy Sukaryo menan-daskan bahwa tuntutan permintaan maaf oleh panitia Maulid Hijau adalah tindakan main hakim sendiri dan menyebarkan opini yang menyebabkan masyarakat Tegalrandu Klakah resah. Mereka juga menuding langkah panitia Maulid Hijau sebagai provokasi dan mengadu domba masyarakat. Selain itu, panitia Maulid Hijau dianggap telah memalsukan tanda ta-ngan (Radar Jember, 02/02/2008).

Langkah saling melaporkan ini menunjuk-kan adanya upaya dari masing-masing pihak untuk menggunakan jalur hukum sebagai saluran yang resmi disediakan oleh negara. Namun di luar itu, polemik di masyarakat te-rus bergulir karena masing-masing pihak tetap kukuh dengan pendiriannya. Apalagi pihak MUI Klakah kemudian mendapat dukungan dari MUI Lumajang sehingga persoalan yang awalnya terbatas di Kecamatan Klakah men-jadi kontroversi yang meluas di Kabupaten Lumajang. Bahkan dalam satu buletin yang diterbitkan Lembaga Dakwah An Nashirush Sunnah, Lumajang (Edisi Khusus, 02/2008) kembali ditegaskan bahwa larung sesaji adalah perbuatan musyrik dan bisa menghancurkan aqidah Islam. Karena itu buletin ini menyeru-kan umat Islam untuk tidak terlibat dengan perayaan tersebut.

Menghadapi perkembangan ini, pihak pa-nitia pun tidak kalah gesit. Selain melakukan pendekatan secara intensif ke beberapa to-koh di Lumajang, A’ak juga berupaya meng-galang dukungan di tingkat nasional seperti mendatangi PHBI, YLBHI dan Wahid Insti-tute. Bahkan A’ak juga sempat menemui KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) untuk meng-adukan persoalan ini. Gus Dur memberi du-kungan penuh kepada pihak panitia Maulid Hijau. Bahkan Gus Dur dalam satu talk show radio menegaskan siap menjadi salah satu penuntut.

Upaya-upaya panitia itu, membuat MUI Klakah panik. Beberapa tokoh mereka segera menemui Pemkab Lumajang untuk menye-rahkan persoalan ini. Ketua MUI Klakah mengatakan sudah mempercayakan masalah ini kepada Bupati Lumajang. Dia yakin, de-ngan ditangani Pemkab masalah ini bisa diselesaikan secara damai dan cepat. Bupati

Page 5: Jebakan Sensivitas Simbolik Keagamaan

kasus-kasusbulanini

The Wahid Institute �

Monthly Report on Religious Issues, Edisi VII, Pebruari 2008 ■

The Wahid Institute

Sekelompok massa tidak dikenal menye-rang kelompok pengajian Satariyah Sa-hid yang berlokasi di Kelurahan Bagan

Deli, Medan Belawan sekitar Pukul 00.00 WIB (22/01/08), karena diduga menyebarkan ajaran sesat. Penyerangan itu terjadi ketika ke-lompok Satariyah Sahid sedang menggelar pe-ngajian di pendopo markas aliran itu. Kel-ompok penyerang berupaya menghancurkan tempat pengajian kelompok Satariyah Sahid dan berusaha menangkapi pengikutnya. Dua orang kritis dan puluhan lainnya luka-luka dalam bentrokan itu.

Wagiri, warga Lorong 5 Veteran, Ling-kungan 14, Kelurahan Bagan Deli menjalani perawatan intensif di ruang VIP Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan. Punggung laki-laki berusia 31 tahun ini tertembus tombak. Kon-disi tak jauh berbeda dialami Supriyadi (33 ta-hun), yang mendapat 16 luka tusukan senjata tajam hampir di sekujur tubuhnya.

Menurut keterangan warga, bentrokan be-rawal dari keresahan warga terhadap hadirnya pengajian Satariyah Sahid yang dimobilisasi Himpunan Pemuda Sinar Sahid (Himpass) yang tak lain adalah organisasi pemuda under-bow aliran Satariyah Sahid. Warga menilai aja-ran yang disebarkan pengajian ini melenceng dengan ajaran Islam.

Sementara di lokasi bentrokan, pendopo yang biasa digunakan pengajian Satariyah Sahid terlihat lengang dan dipasangi garis pembatas polisi. Di dalam pendapa masih berserakan batu-batu bekas pelemparan, sisa botol yang dijadikan bom molotov, serta atap pendapa yang berserakan.

Kepolisian Kota Besar Medan belum menetapkan tersangka dalam kasus bentrokan ini. Namun disebut-sebut, sudah memeriksa 40 orang dari warga dan kelompok pengajian (www.liputan6.com, 22/01/2008).

Sebelum bentrokan meluas, petugas kepoli-sian dari Poltabes Medan yang turun ke lokasi kejadian berhasil menghentikan aksi massa. Petugas sempat mengeluarkan tembakan pe-ringatan beberapa kali untuk menghentikan aksi tersebut. Polisi juga membawa kelompok aliran itu ke Mapoltabes Medan untuk diaman-kan dari amukan massa.

Salah seorang pengikut kelompok Satariyah Sahid, Desrijal, membantah kelompok penga-jiannya menyebarkan ajaran sesat. Kelompok pengajian Satariyah Sahid merupakan ketu-runan dari Syekh Abdurrahman Singkil yang merupakan salah satu penyebar agama Islam di Indonesia, katanya.

Kasat Reskrim Poltabes Medan, Kompol Budi Haryanto, SIK., mengatakan, pihak-nya telah mengevakuasi pengikut kelompok pengajian itu mengembalikan mereka ke ru-mah masing-masing. Hal itu dilakukan untuk menghindari amukan massa yang menganggap kelompok pengajian itu menyebarkan ajaran sesat. Untuk sementara, pengikut kelompok itu diimbau untuk tidak kembali ke pendopo Satariyah Sahid sampai keadaan kembali tenang (www.antara.co.id, 22/1/2008).

Namun, sehari setelah peristiwa itu kegiatan Thariqat Satariyah Sahid dibekukan Camat Medan Belawan untuk sementara waktu. Pembekuan itu diberlakukan sampai ketegang-an di tengah masyarakat dapat mereda serta untuk memberikan kesempatan pihak kepoli-sian mengamankan lokasi kejadian, kata Ca-mat Medan Belawan, M. Ridho Pahlevi Lubis, di Medan, setelah rapat koordinasi Muspika Medan Belawan dengan Majelis Ulama Indo-nesia (MUI) Kota Medan (23/01/2008).

Menurut Lubis, pihaknya membekukan ke-giatan thariqat itu untuk menghindari kekis-ruhan yang lebih besar karena sedang melaku-kan proses penenangan massa. Pihaknya me-

3.KelompokSatariyahSahidDiserang

Lumajang menegaskan bahwa persoalan ini terjadi hanya karena perbedaan pendapat dan itu sesuatu yang biasa. Dan perbedaan itu se-harusnya menjadi alat untuk mempersatukan dan mencari jalan keluar secara damai. “Ini kan ukhuwah Islamiyah, wong sama Islamnya. Beda pendapat sudah biasa” tegasnya (Harian

Bangsa, 06/02/2008).Menyambut ajakan damai ini, pihak pani-

tia Maulid Hijau menyatakan bersedia duduk bersama meskipun tetap dengan tuntutan fat-wa MUI Klakah harus dicabut (Harian Bangsa 06/02/2008). ■

Page 6: Jebakan Sensivitas Simbolik Keagamaan

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VII, Pebruari 2008

The Wahid Institute

minta kepada kepolisian untuk memasang police line di lokasi kejadian agar tidak dapat dimasuki oleh pihak mana pun. “Pemerintah Kecamatan Medan Belawan perlu berkoor-dinasi dulu dengan semua pihak agar dapat menetapkan keputusan mengenai thariqat itu,” katanya.

Kapolsekta Medan Belawan, AKP SF Napi-tu, SIK, mengatakan, pihaknya menempatkan petugas di lokasi kejadian untuk menjaga se-gala kemungkinan. Pihaknya juga melakukan patroli secara rutin di sekitar lokasi kejadian untuk menghindari hal-hal yang tidak di-inginkan. “Apalagi petugas sempat menemu-kan botol berisi cairan seperti bom molotov,” katanya.

Ketua MUI Kota Medan, Prof. DR HM Hatta, mengatakan bahwa pihaknya akan memanggil pimpinan Thariqat Satariyah Sa-hid untuk mendiskusikan ajarannya. MUI Medan mengharapkan pemerintah, khusus-nya kepolisian untuk bertindak tegas tetapi bijaksana agar permasalahan itu tidak berkem-bang menjadi bentrokan fisik. Polisi juga per-lu dapat membedakan antara perkara yang berkaitan dengan hukum dan yang memerlu-kan pendekatan secara persuasif, katanya.

Menurut Hatta, MUI Kota Medan belum bersedia menyatakan Thariqat Satariyah Sa-hid sebagai aliran sesat tetapi ajarannya perlu diperbaiki karena bertentangan dengan ajaran Islam.

Ia menjelaskan, secara prinsip keagamaan MUI kota Medan belum menemukan kesalah-

an ajaran Thariqat Satariyah Sahid karena ma-sih mengakui keesaan Allah SWT dan kerasu-lan Nabi Muhammad SAW. Tetapi, menurut Hatta, memang thariqat itu memberlakukan beberapa ketentuan yang dinilai bertentang-an dengan ajaran Islam, antara lain konsep pembai`atan (sumpah -red.). Jamaah yang akan mengikuti thariqat itu di sumpah untuk mengajak keluarganya bergabung. Jika keluar-ganya tidak bersedia bergabung maka jamaah itu bersumpah untuk menceraikannya.

Ketentuan itu bertentangan dengan ajaran Islam yang sangat membenci percerai-an. Ajaran itulah yang menyulut kemarahan warga sehingga menganggapnya sebagai aliran sesat, kata mantan Dekan Fakultas Dakwah IAIN Sumut tersebut.

Ia menambahkan, protes masyarakat terha-dap pemberlakuan ketentuan yang bertentan-gan dengan ajaran Islam itu bukan pertama kalinya dialami kelompok thariqat yang di-pimpin Zubair bin Amir Abdullah itu. Pada tahun 2003 thariqat itu pernah diserang war-ga ketika masih berada di Medan Labuhan. Ketika disebarkan di Kabupaten Langkat, musholla kelompok itu juga pernah dibakar warga (www.antara.co.id, 23/01/2008).

Meski demikian, kekerasan tetap harus di-pandang sebagai kejahatan. Kekerasan yang dilakukan terhadap pengikut tarekat Sattari-yah Sahid di tempat lain tidak bisa dijadikan sebagai pemakluman, apalagi pembenaran atas tindakan balasan. ■

Sebuah perhelatan rohani di Hotel The Hills Bukittinggi di Jalan Laras Datuk Bandaro menuai badai protes sejumlah

ormas Islam dan tokoh masyarakat Minang-kabau, Jumat (25/01/2008). Bersama be-berapa perwakilan ormas Islam se-Sumatera Barat, Hamdi El Gumanti Ketua Paga Nagari meluruk DPRD. Mereka mengecam aktivitas jamaah Gereja Bethel Bukittinggi, pelaksana perhelatan yang diberi tajuk “Penuaian Jiwa Beribu Laksa”. Kelompok ini dituding melaku-kan praktik Kristenisasi bermodus pembagian uang. Namun bagaimana praktik Kristenisasi

itu berlangsung di hotel dengan fasilitas tujuh ruang rapat dan sebuah convention center yang menampung hingga 1.000 orang ini tak begitu jelas.

“Mereka sama sekali tidak menghargai Is-lam sebagai keyakinan mayoritas masyarakat Minangkabau. Keyakinan kita mereka hargai dengan amplop Rp 50 ribu, bahkan Rp 30 ribu,” kata Hamdi seperti dikutip Padang Ek-pres (24/01).

Kepada wartawan Hamdi mengaku, lem-baganya dan beberapa ormas lain sudah me-mantau aktivitas kelompok ini sejak enam

4.PenuaianJiwaBeribuProtes

Page 7: Jebakan Sensivitas Simbolik Keagamaan

Keputusan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (Bakorpakem) yang mengeluarkan keputusan dengan

tidak melarang keberadaan Ahmadiyah di In-donesia (15/01/2008) mendapat perlawanan

dari MUI yang didukung Forum Umat Islam Indonesia (FUII). Bakorpakem memberi Ah-madiyah kesempatan selama tiga bulan untuk menjalankan 12 pernyataan yang dikeluarkan-nya pada 14 Januari 2008 (lihat Monthly Report

5.GerilyaMembubarkanAhmadiyah

kasus-kasusbulanini

The Wahid Institute �

Monthly Report on Religious Issues, Edisi VII, Pebruari 2008 ■

The Wahid Institute

bulan lalu. Hingga saat ini mereka mencatat pihak Bethel berhasil memikat 40 pengikut. Sebagian besarnya, klaim Hamdi, berasal dari masyarakat lokal yang beragama Islam. “Ini kan sudah melanggar SKB 2 Menteri.” Ham-di merujuk peraturan yang kini sudah direvisi menjadi Peraturan Bersama No: 8 dan 9 Ta-hun 2006 itu. Peraturan ini memang meng-atur pendirian rumah ibadah termasuk pem-bentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Senada dengan Hamdi, Wakil Ketua DPRD Mahyeldi Ansharullah dan pimpinan PKS Sumbar yang menerima tuntutan mereka ini juga heran, mengapa praktik itu tak terdeteksi sejak awal oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Barat dan Pemerintah Kota Bukittinggi, juga FKUB.

Lembaga yang disebut terakhir ini juga tak lepas dari kritik Hamdi. Selain tak representa-tif, FKUB di Tanah Minang dianggap tak ba-nyak bekerja. “Kantornya saja kita tak pernah tahu,” katanya didampingi Abdi Masfur, Ke-tua Front Masyarakat Pembela Islam (FMPI). Jika jumlah non muslim sekitar 1,5 persen diwakili 10 orang, Hamdi berargumen, maka tidak logis umat Islam yang berjumlah 98,5 persen hanya diwakili 11 orang.

Dituding miring pihak Bethel Bukit Ting-gi menggelar klarifikasi keesokan harinya (27/01). “... Kelompok kami resmi dan legal dengan pengakuan dari negara dan terdaftar di Departemen Agama Indonesia, serta tem-busannya telah ada di setiap kabupaten dan kota di Sumatera Barat,” kata Hendrik Sina-ga, Humas Gereja Bethel Bukit Tinggi kepada wartawan.

Menurut Raja Simanjuntak, Wakil Gemba-la Gereja Bethel Indonesia yang ikut menyam-paikan klarifikasi, program “Penuaian Jiwa Beribu Laksa” bukan kegiatan propaganda pemurtadan. Hanya program kerohanian in-

ternal aliran yang sudah dislogankan secara terpusat dari Jakarta. Raja bahkan memper-silahkan pihak-pihak yang merasa dirugikan untuk melakukan crosscheck kepada jamaah-nya terkait aktivitas kerohanian mereka. Tapi ia tak menampik jika ada umat lain yang ikut bergabung yang kebanyakan lantaran faktor ikatan perkawinan. “Jumlahnya tidak seperti dituduhkan,” tandas Raja.

Saat ini, seperti dipaparkan Raja, pihak Bethel Bukittinggi memiliki hampir 300 jamaah. Sebagian besar warga Bukittinggi asal Nias Sumatera Utara. Di sana mereka sudah ada sejak 1994 silam. Secara nasional organi-sasi yang lahir 37 tahun silam di Sukabumi ini sebetulnya sama dengan Gereja Protestan lainnya yang berinduk ke Protestan di bawah payung Persatuan Gereja Indonesia (PGI) seperti Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) dan Huria Kristen Batak Protes-tan (HKBP).

Kelompok ini sering pula menggelar per-helatan akbar dengan menghadirkan ribuan jamaah. Terakhir mereka menggelar Kebak-tian Kebangunan Rohani (KKR) mujizat kesembuhan ilahi di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta akhir tahun 2007. Di situsnya www.sinodegbi.org, kelompok yang kali pertama dipimpin H.L. Senduk itu mengaku telah memiliki sekitar 4.500 jamaah yang tersebar di Indonesia dan luar negeri. Tapi, di Tanah Minang mereka memang tak punya gereja.

Klarifikasi pihak Bethel tak mampu mere-dam protes. Beberapa hari setelah klarifikasi, 28 tokoh masyarakat Tanah Minang dari un-sur ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai di lingkungan Kurai Limo Jorong menandatanga-ni pernyataan yang ditujukan ke sejumlah lembaga pemerintah dan keagamaan. Mereka mendesak pemerintah mengambil langkah te-gas. ■

Page 8: Jebakan Sensivitas Simbolik Keagamaan

edisi VI). Menanggapi ketidakpuasan MUI, pada

23/01/2008 diadakan rapat Bakorpakem di Kejaksaan Agung dengan mengundang khu-sus Pimpinan MUI. Rapat dipimpin oleh Se-kretaris Jaksa Agung Muda Intelijen. Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk menye-lesaikan masalah Ahmadiyah agar tidak me-nimbulkan permasalahan di umat Islam dan juga tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

Bagi MUI, 12 butir Penjelasan PB JAI tang-gal 14 Januari 2008 bukanlah landasan untuk melegalkan Ahmadiyah. Karena penjelasan itu bukan penyataan pertaubatan, sehingga perlu adanya pernyataan yang lebih tegas bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah bukan seorang Nabi. Namun demikian MUI dapat memahami apabila Bakorpakem, dalam hasil rapatnya tanggal 15 Januari 2008, akan men-jadikan Penjelasan itu sebagai acuan meman-tau kegiatan JAI.

Sehari setelah pertemuan Bakorpakem de-ngan MUI, pada 24/01/2008, Menteri Agama

RI mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tim Pemantau dan Eva-luasi Pelaksanaan 12 (dua belas) Butir Penjela-san Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indo-nesia (PB-JAI) tanggal 14 Januari 2008. Tim ini diketuai oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, dengan para anggota dari un-sur-unsur Depag RI, Depdag RI, Kejakgung RI, dan Kepolisian RI. Hasil pemantauan tim selama tiga bulan inilah yang nanti akan me-nentukan nasib Ahmadiyah.

Momentum inilah yang dimanfaatkan para penentang keberadaan Ahmadiyah melaku-kan mobilisasi opini publik, lobi politik dan sebagainya untuk menegaskan kesesatan Ah-madiyah. Mereka terus melakukan upaya agar Ahmadiyah dibubarkan, mulai dari lobi ke Kejaksaaan Agung, Menteri Agama sampai audiensi dengan anggota DPR. Berbagai kam-panye publik juga terus dilakukan, melalui roadshow ke berbagai daerah untuk mengga-lang kekuatan. Berikut ini tabel roadshow pen-gajian untuk membubarkan Ahmadiyah:

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

Waktu Tempat Pembicara isi Ceramah

14 Februari 2008 Jam 20.00 – 23.00 Wib

Alun-alun Banjar, Jawa Barat

Abu Bakar Baasyir (Ketua MMI)

Menghujat sistem pemer-intahan dan mendesak agar segera diberlakukan syariat Islam di Negara RI.

Ir. Muhammad al-Khathath(DPP HTI/

Sekjen FUI Jakarta)

Menghujat serta menyerukan ormas Islam untuk datang ke Jakarta mengadakan aksi demonstrasi besar-besaran pada awal bulan Maret 2008 mendesak presiden mengeluarkan Kepres pembubaran Je-maat Ahmadiyah.Mendesak agar segera menegakan syariat Islam

1.

2.

Sobri Lubis (Sekjen FPI)

Menghujat serta men-gancam jiwa orang Ah-madiyah.Menyerukan kepada umat Islam untuk mem-bunuh setiap orang Ahmadiyah dimanapun mereka berada.Mencela Gus Dur den-gan panggilan si Paul yang cari muka untuk menjilat Setan Amerika dan Iblis Inggris.

1.

2.

3.

■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VII, Pebruari 2008

The Wahid Institute

Page 9: Jebakan Sensivitas Simbolik Keagamaan

Di samping melalui forum-forum pengajian dengan memanfaatkan masjid sebagai simpul gerakan, lobi-lobi politik yang terus dilaku-kan. Direktur Lembaga Penelitian dan Peng-kajian Islam (LPPI), Amin Jamaluddin, yang dianggap think thank dan pen-support data-data kesesatan Ahmadiyah, melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR (18/02/2008). Dia membedah isi buku Tadz-kirah yang dianggapnya sebagai kitab suci je-maat Ahmadiyah, meski Ahmadiyah berulang kali membantah hal itu. Penjelasannya mem-perkuat fatwa MUI bahwa ajaran Ahmadiyah menyimpang dari akidah Islam (Republika, 19/02/2008).

Isi Tadzkirah, menurut Amin, juga men-gandung ayat-ayat al-Quran yang diambil se-potong-sepotong. ‘’Berbagai bunyi surat di al-Quran dibajak sana-sini,’’ katanya. Begitu pula mengenai syahadatnya, lanjut Amin, sekalipun sama dengan umat Islam, namun Muhammad yang dimaksud mereka berbeda. Muhammad dalam syahadat Islam adalah Muhammad SAW. Sementara dalam syahadat Ahmadiyah yang dimaksud Muhammad adalah Mirza Gh-ulam Ahmad. Menanggapi penjelasan Amin, anggota Komisi VIII Syafriansyah (FPP), men-gatakan, DPR harus mendesak pemerintah membubarkan Jemaat Ahmadiyah yang sudah dianggap sesat oleh ulama dunia. ■

kasus-kasusbulanini

Waktu Tempat Pembicara isi Ceramah

15 Februari 2008Jam 14.00-16.00

Mesjid Agung Ciamis, Jawa Barat

Drs. Ahmad Hidayat, SH (Ketua DKM Mesjid Agung

Ciamis)

Menyampaikan bahwa di akhir zaman Islam akan kembali menjadi asing (Tidak menyinggung ma-salah Ahmadiyah)

Ir. Muhammad al Khathath (DPP HTI/ Sekjen FUI)

Selama sistem pemer-intahan masih belum menegakan syariat Islam maka aliran sesat tidak dapat dibubarkan, dan hukuman bagi orang murtad dalam hal ini Je-maat Ahmadiyah adalah harus dibumikan alias di bunuh

Ustadz Abu Bakar Baasyir (Ketua MMI)

Daulah Islamiyah harus ditegakkan

Jumat 15 Februari 2008 Jam 20.00 – 23.00

Pondok Pesantren Al Irsadiyah, Tasikmalaya

Abu Bakar Baasyir (Ketua MMI)

Menghujat sistem pemerintahan dan me-nyatakan, Ahmadiyah harus dipotong lehernya.

Sabtu 16 Februari 2008 Jam 13.00 – 15.00 Mesjid Agung Tasikmalaya Abu Bakar Baasyir

(Ketua MMI)

Haram hukumnya mengangkat orang kafir menjadi pemimpin dan haramnya hukumnya be-rada di bawah kekuasaan orang kafir. Bila Indo-nesia sudah menegakan sistem Khilafah maka negara tetangga seperti Singapura dan Australia akan didatangi untuk diajak menerima Islam dengan baik-baik, bila menolak maka jalan tera-khir peperangan akan dilakukan.

The Wahid Institute �

Monthly Report on Religious Issues, Edisi VII, Pebruari 2008 ■

The Wahid Institute

Page 10: Jebakan Sensivitas Simbolik Keagamaan

Ahmad Sayuti (76) yang berprofesi se-bagai tukang cukur di kota Bandung mengarang dua buku: “Kelalaian para

pemuka agama dalam memahami kitab-kitab peninggalan Nabi-nabi Rasul Allah (Taurat, Injil, dan Al-Quran) Dengan Segala Akibat-nya” dan “Mungkinkah Tuhan Murka”.

Buku pertama bersampul abu-abu dan bergambar setengah bola dunia yang disorot cahaya dari atasnya, seperti cahaya matahari. Dalam sampul buku tertulis Muhammad Sayuti (Ahmad Sayuti) sebagai penyusun-nya. Diterbitkan pada 5 April 2005. Tidak dicantumkan nama penerbit. Tebal bukunya hanya 42 halaman. Buku kedua bersampul hijau dengan gambar yang sama seperti di buku pertama. Di bagian atas judul tertulis “berbagai bencana terus menerus menimpa bangsa Indonesia. Begitu pula ahlak moral sudah hampir merata”.

Kemudian di bagian bawah judul, tertu-lis “Karena itu mari mawas diri (instropeksi) bersama saya Muhammad (Ahmad Sayuti) sehingga semuanya menjadi jelas”. Tidak dicantumkan kapan dan siapa yang mener-bitkan. Hanya ada penjelasan dalam sampul muka jika buku ini adalah edisi kedua. Jum-lah halaman pada buku kedua ini hanya 24 halaman.

Buku-buku karyanya itu, kata pria yang beralamat di Jl. Samsudin No. 3, Kecamatan Regol, Kota Bandung ini, dicetak sebanyak 200 eksemplar. “Saya tidak menjual buku-buku itu. Tapi memberikan gratis kepada orang-orang yang saya ajak berdialog,” ung-kapnya.

Awal mencuatnya kasus ini, setelah Sayuti mengirim dua buku via pos ke alamat Kantor KUA Bojongloa Kidul dan ditujukan kepa-da Nurmawan yang bekerja sebagai pegawai di kantor tersebut. “Pada bulan Desember lalu, saya menulis di sebuah koran tentang makna Hijrah. Kemudian tanggal 18 Januari saya menerima kiriman pos yang isinya dua buku itu. Pengirim bernama Sayuti. Dalam surat itu, Sayuti merasa tertarik dengan tu-lisan saya dan memberikan dua buku untuk dibaca,” papar Nurmawan. Buku itu lanju-

tnya, langsung diberikan kepada pimpinan-nya di DPW Persatuan Islam (Persis) Jawa Barat (Jabar).

PW Persis Jawa Barat, Selasa (05/02/2008), melaporkan Ahmad Sayuti ke polisi karena dianggap telah memutarbalikkan fakta dan kebenaran syariat Islam. Wakil Ketua Persis Jabar Rahmat Nadjieb mengatakan kedua buku tersebut telah memutarbalikkan fakta dan kebenaran. “Berdasarkan penelitian dan investigasi kami pada kedua buku ini, Ah-mad Sayuti menganggap dirinya sebagai nabi yang diutus Allah dan Nabi Muhammad bu-kan nabi terakhir,” jelasnya saat jumpa pers di Kantor DPW Persis, Jl Pungkur, Bandung (05/02/2008).

Ahmad Sayuti juga dituduh telah meng-anggap kalau al-Quran sebagai kitab hukum bahasa Arab peninggalan Nabi Muhammad putra Abdullah yang ditulis oleh para sa-habatnya atas perintah Muhammad. “Dia mengaku kalau al-Quran turun pada tahun 1993 saat dirinya mendapatkan wahyu,” ung-kap Rahmat. Penyimpangan lain yang dike-mukakan Sayuti dalam bukunya, lanjut Rah-mat, mengganti bacaan shalat kecuali surat al-Fatihah. “Dia juga menganggap tafsir al-Quran selama ini hanya kebohongan belaka dan kitab hadis Bukhori hanya kitab bohong yang isinya bukan perkataan Nabi Muham-mad,” katanya.

Polsekta Regol memeriksa Ahmad Sayuti di Mapolsekta Regol, Rabu (06/02/08), se-lama kurang lebih 5 jam. Menurut Kapolwilt-abes Bandung Kombes Pol Bambang Supar-sono, pihaknya masih menyelidiki kasus ini. Kemudian, pihaknya juga menunggu pem-bahasan Bakorpakem dan MUI. Polisi tidak menahan Ahmad Sayuti karena kondisinya yang lemah dan mengidap penyakit jantung. Setelah keluar dari kantor polisi, Ahmad Sayuti diungsikan oleh keluarganya ke Singa-parna, Tasikmalaya.

Ahmad Sayuti membuat pernyataan tertulis bertobat untuk kembali ke Islam. Pernyataan tobat itu ditulis di Sekretariat DPW Persis Jabar di Gang Muncang Jalan Pungkur, Bandung, Jawa Barat pada Jum’at

6.SiTukangCukurDituduhNabiPalsu

kasus-kasusbulanini

kasus-kasusbulanini

10

■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi VII, Pebruari 2008

The Wahid Institute

Page 11: Jebakan Sensivitas Simbolik Keagamaan

(08/02/08). Dihadiri beberapa perwakilan unsur MUI, DPW Persis Jabar dan keluarga, Sayuti dibimbing mengucapkan dua kali-mat syahadat sebagai simbol kembalinya ke ajaran Islam. Namun proses hukum terha-dap ayah 10 anak ini akan tetap dilanjutkan. Mengingat, hasil keputusan rapat tim Penga-was Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) Kota Bandung menyebutkan, tindakan Sayu-ti dikategorikan sesat dan menyimpang.

Sekretaris Umum MUI Jabar KH Rafani Akhyar mengatakan, setelah menelaah ten-tang pendapat-pendapat Sayuti diperkuat isi dua buku karyanya, maka diputuskan bahwa ajaran maupun pendapatnya sesat dan menyimpang. “Hari ini Sayuti membuat pernyataan tobat secara tertulis di depan kami semua. Dia mengakui telah melakukan kekhilafan dan akan kembali ke ajaran Islam. Sampai disini, masalah Sayuti selesai,” ujar Rafani kepada wartawan usai memimpin per-tobatan Sayuti.

Rafani mengatakan, isi dua buku Sayuti merupakan bentuk keyakinan yang bisa dikategorikan menodai dan mencemari agama Islam. Ada beberapa keyakinan yang diakui dan yang dilaksanakan Sayu-ti, menjadi dasar keputusan Tim Pakem. “Diantaranya, keyakinan Sayuti mengaku menerima wahyu, mengaku sebagai nabi ter-

akhir, dan kitab suci al-Quran bukan wahyu dari Allah SWT. Sayuti juga tidak mengakui hadist Rasulullah SAW,” paparnya. Bahkan timpalnya, Sayuti menganggap hadist-hadist tersebut bukan sabda dari Nabi Muhammad SAW. Melainkan rekaan dan pernyataan dari sahabat-sahabat seperti Buchari, Syafii, dan lainnya. “Selain itu dalam kesehariannya, dia melaksanakan shalat wajib hanya tiga kali se-hari. Termasuk tata cara seperti shalat Subuh yang hanya 1 rakaat namun melakukan be-berapa kali sujud,” tandas Rafani.

Pernyataan Tobat Ahmad Sayuti diha-dapan pengurus MUI dan PW Persis Jabar, berisi, “Saya Ahmad Sayuti menyatakan kem-bali kepada ajaran Islam yang bersumber pada Al Quran dan Sunah. Sebagai akibat perbuatan saya dengan ini menyatakan, saya mencabut pernyataan-pernyataan saya yang pernah diucapkan ke berbagai pihak dengan paham ke-sesatan saya,” ucapnya. Dia men-egaskan, isu buku itu salah dan sesat. Dia meminta doa agar tobatnya diterima Allah SWT. Surat pertobatan bermaterai Rp 6.000 itu ditandatangani Sayuti dan dua saksi, yaitu Rafani dan anak ketiga Sayuti, Maman Saefulah. Dalam kesempatan itu, Sayuti juga menyerahkan 120 buku dari 200 eksemplar dua buku karyanya. ■

kasus-kasusbulanini

The Wahid Institute 11

Monthly Report on Religious Issues, Edisi VII, Pebruari 2008 ■

The Wahid Institute

Page 12: Jebakan Sensivitas Simbolik Keagamaan

Suhendy (Jawa Barat), Samsu Rijal (Sulawesi Selatan), Ahmad Zainul Hamdi, Yuni (Jawa Timur), Alamsyah M Dja’far, Subhi Azhari Rumadi (Jakarta),

Akhdiansyah (Nusa Tenggara Barat)

Sejumlah kasus yang dilaporkan di atas menunjukkan, agama senantiasa menjadi faktor penting atas ter-jadinya berbagai gejolak kehidupan masyarakat. Dalam laporan ini, ada beberapa yang layak untuk analisis:

Memang tidak semua gejolak tersebut menjadi isu besar berskala nasional, kecuali isu Ahmadiyah. Meski dalam beberapa kasus bersifat lokal, namun hal yang lokal ini tidak bisa dilepaskan dari pergumu-lan keagamaan di tingkat yang lebih tinggi. Isu aliran sesat dan semakin mudahnya sekelompok orang menuduh orang lain sesat, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari isu keagamaan di tingkat nasional.

Dalam kaitan dengan isu aliran sesat yang terus terjadi ini, ada pola yang biasa berlangsung: mulai dari adanya kabar sebuah ajaran baru, masyarakat dibuat resah dan bergejolak, si tokoh diintimidasi (kalau perlu diserang), dipanggil MUI, sampai akhirnya disuruh bertaubat dengan mengucapkan syahadat. Yang menarik, taubat kepada Allah itu biasanya diikuti dengan pernyataan tertulis dan tanda tangan di atas materai. Kasus Ahmad Sayuti yang dituduh menjadi nabi palsu di Bandung bisa menjadi contoh. Hal ini menunjukkan, para tokoh agama setempat benar-benar memposisikan dirinya sebagai “pengadil” dan “penerima taubat” seseorang. Sikap mental seperti ini jelas mengindikasikan adanya kesombongan dalam beragama. Ada kecenderungan, senstivitas keberagamaan di Indonesia terlampau tinggi. Orang begitu mudah tersinggung dan marah jika hal-hal yang dianggap sebagai “simbol agama” diperlakukan tidak semestinya, meskipun orang tersebut tidak bermaksud melecehkan sebuah agama. Sensitivitas yang berlebihan itu tampak dalam hampir semua kasus yang diangkat dalam laporan ini, mulai dari kasus cover Majalah Tem-po, aliran sesat, aktivitas Gereja Bethel di Sumbar, penyerangan Tarekat Satariyah, dan juga Ahmadiyah. Sensitivitas yang berlebihan ini bisa menjadi problem kehidupan beragama di kemudian hari.

Terkait dengan Ahmadiyah, nasibnya akan ditentukan sekitar pertengahan Maret 2008 pasca peman-tauan tim pelaksanaan 12 pernyataan aliran itu. Ini adalah saat-saat yang paling menentukan. Menjelang pembicaraan hasil pemantauan, eskalasi ketegangan kehidupan beragama akan naik. Kelompok yang anti Ahmadiyah akan semakin lantang suaranya, sementara kelompok yang tidak keberatan dengan ke-beradaan Ahmadiyah juga akan melakukan hal yang sama. Lobi-lobi politik tingkat tinggi juga akan ter-jadi. Akhirnya, keputusan tentang Ahmadiyah adalah keputusan politik, bukan keputusan agama. ■

1.

2.

3.

4.

Masyarakat perlu didorong untuk menggeser sensitifitas keberagamaan yang berlebihan. Sensitivitas ke-beragamaan tidak semestinya hanya diarahkan pada hal-hal yang sifatnya simbolik dan artifisial, tapi lebih didorong pada senstifitas yang lebih substansial. Artinya, ketersinggungan keagamaan tidak ditumpah-kan secara berlebihan pada masalah-masalah simbolik, tapi lebih diarahkan pada pembelaan nilai-nilai dasar dan semangat universal agama. Dengan demikian, umat beragama seharusnya marah besar jika ada umat beragama melakukan penindasan, diskriminasi, korupsi dan sebagainya karena hal itu bertentangan dengan nilai asasi agama-agama. Hal demikian memerlukan kerja keras dalam waktu yang panjang. Dari sinilah kedewasaan beragama akan terbangun.

Aparat keamanan perlu mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi menjelang dan pasca peneta-pan status Ahmadiyah setelah ada hasil evaluasi tim atas pelaksanaan 12 pernyataan Ahmadiyah. Hal yang penting untuk mendapat perhatian adalah kemungkinan demonstrasi berbagai kelompok yang memung-kinkan tumbuhnya tindak kekerasan. Pemerintah diharapkan menjadi pelindung warga negara yang se-cara independen menjalankan amanat konstitusi dan undang-undang, bukan dikendalikan kelompok tertentu. ■

1.

2.

Rekomendasi

AnalisisdanKomentar