jbptitbpp gdl biofagriar 26426 1 lapprak a

Upload: ana-fithria

Post on 15-Jul-2015

143 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Otot Rangka LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN

DISUSUN OLEH: NAMA NIM KELOMPOK : BIOFAGRI A.R : 10604111 :3

TANGGAL PERCOBAAN: 5 April 2006 TANGGAL PENYERAHAN: 12 April 2006 ASISTEN:aaaaaaaa

LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN PROGRAM STUDI BIOLOGI SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2006

1. Tujuan - Mengamati respons otot rangka (gastrocnemius) terhadap rangsang tunggal dengan intensitas berbeda, serta menentukan kuat rangsang minimal, submaksimal, dan maksimal - Mengamati dan mengukur lamanya waktu perioda kontraksi - Mengamati respons otot rangka (gastrocnemius) terhadap rangsang listrik secara dua kali berturut-turut - Mengamati respons otot rangka (gastrocnemius) terhadap perangsangan listrik frekuensi tinggi (multiple) - Mengukur kerja otot dalam dua kondisi; after loaded dan direct loaded.

2. Teori Dasar Pemberian nama otot rangka disebabkan karena otot ini menempel pada sistem rangka (Seeley, 2002). Berdasarkan Tobin (2005), otot terdiri atas bundel-bundel sel otot. Setiap bundel berada di dalam lembaran jaringan ikat yang membawa pembuluh darah dan saraf yang mensuplai kebutuhan otot tersebut. Di setiap ujung otot, lapisan luar dan dalam dari jaringan ikat bersatu menjadi tendon yang biasanya menempel pada tulang. Otot rangka memiliki empat karakteristik fungsional sebagai berikut: 1. kontraktilitas; kemampuan untuk memendek karena adanya gaya 2. eksitabilitas; kapasitas otot untuk merespons sebuah rangsang 3. ekstensibilitas; kemampuan otot untuk memanjang 4. elastisitas; kemampuan otot untuk kembali ke panjang normal setelah mengalami pemanjangan. (Seeley, 2002) Potensial aksi merupakan depolarisasi dan repolarisasi membran sel yang terjadi secara cepat (Seeley, 2002). Pada sel otot (serabut-serabut otot), potensial aksi menyebabkan otot berkontraksi (Seeley, 2002). Berdasarkan Campbell (2004), sebuah potensial aksi tunggal akan menghasilkan peningkatan tegangan otot yang berlangsung sekitar 100 milidetik atau kurang yang disebut sebuah kontraksi tunggal. Jika potensial aksi kedua tiba sebelum respons terhadap potensial aksi pertama selesai, tegangan tersebut akan menjumlahkan dan menghasilkan respons yang lebih besar. Jika otot menerima suatu rentetan potensial aksi yang saling tumpang tindih, maka akan terjadi sumasi yang lebih besar lagi dengan tingkat tegangan yang bergantung pada laju perangsangan. Jika laju

perangsangan cukup cepat, sentakan tersebut akan lepas menjadi kontraksi yang halus dan bertahan lama yang disebut tetanus. Waktu antara datangnya rangsang ke neuron motoris dengan awal terjadinya kontraksi disebut fase laten; waktu terjadinya kontraksi disebut fase kontraksi, dan waktu otot berelaksasi disebut fase relaksasi (Seeley, 2002). Berdasarkan Seeley (2002), kontraksi otot dibagi menjadi kontraksi isometrik dan kontraksi isotonik. Pada kontraksi isometrik (jarak sama), besarnya tekanan meningkat saat proses kontraksi, tetapi panjang otot tidak berubah. Di sisi lain, pada kontraksi isotonik (tekanan sama), besarnya tekanan yang dihasilkan otot adalah konstan saat kontraksi, tetapi panjang otot berkurang (otot memendek).

3. Metode dan Tata Kerja Pertama-tama praktikan diberi penjelasan singkat mengenai cara mengisolasi otot gastrocnemius katak serta cara kerja kimograf oleh pemimpin praktikum. Setelah itu, alat dan bahan praktikum disiapkan. Selama kimograf disiapkan, katak didekapitasi dan diisolasi gastrocnemiusnya. Pendekapitasian katak dilakukan dengan menggunakan guillotine mini. Setelah kepala katak putus, sumsum tulang belakang dirusak dengan jarum sonde. Hal ini dilakukan agar tubuh katak menjadi lemas. Jika tubuh katak sudah lemas, isolasi otot gastrocnemius dapat dilakukan. Untuk mengisolasi otot gastrocnemius, kulit katak di bagian paha dan betis dibuka (digunting) dahulu dengan menggunakan gunting bedah. Setelah kulit terbuka, otot gastrocnemius (hingga tendon achilles) bersama pangkal femur dipisahkan dari bagian kaki katak lainnya. Ketika isolasi otot gastrocnemius telah selesai dilakukan dan kimograf telah siap, maka otot dapat dipasang pada bak spesimen dari kimograf. Di dalam bak spesimen, tendon achilles diikat dengan benang dan dihubungkan dengan alat pengungkit otot. Di sisi lain, pangkal femur yang diisolasi bersama otot gastrocnemius dijepit (ditahan) dengan menggunakan jarum agar benang penghubung berada dalam keadaan tegang dan respons yang terjadi pada otot akan dapat tercatat oleh kimograf. Jika otot telah terhubung dengan kimograf dengan benar, percobaanpercobaan dapat mulai dilakukan.

3.1 Percobaan Respons Otot Terhadap Rangsang Tunggal Dengan Intensitas Berbeda Pertama-tama, jenis rangsang diatur sebagai rangsang single, tromol dibuat berputar dengan kecepatan sedang (kira-kira 50 mm/det), dan kemudian elektroda stimulator ditempatkan pada otot di sekitar tendon achilles. Setelah itu, tromol dinyalakan dan otot dirangsang dengan kuat rangsang paling rendah (0 V) hingga kuat rangsang paling tinggi (25 volt). Berdasarkan grafik yang didapat, nilai kuat rangsang minimal, submaksimal, dan maksimal ditentukan. 3.2 Percobaan Kontraksi Tunggal Otot Rangka Pada percobaan ini, jenis rangsang masih diatur sebagai rangsang single, tromol diatur agar berputar dengan kecepatan maksimum, yaitu 625 mm/detik, dan kuat rangsang yang dipakai adalah kuat rangsang submaksimal yang didapat dari percobaan sebelumnya. Selain itu, titik awal dari jarum pencatat harus ditandai pada kertas berskala. Setelah elektroda stimulator ditempatkan pada otot di sekitar tendon achilles, tombol penyala tromol dan pemberi rangsang ditekan secara bersamaan. Berdasarkan grafik yang terbentuk, lamanya periode-periode satu kali kontraksi otot (periode laten, kontraksi, dan relaksasi) ditentukan. 3.3 Percobaan Efek Perangsangan Dua Kali Berturut-turut Pada percobaan ini, jenis rangsang masih diatur sebagai rangsang single, tromol diatur agar berputar dengan kecepatan sedang, dan kuat rangsang yang dipakai adalah kuat rangsang submaksimal seperti percobaan sebelumnya. Pemberian rangsang dilakukan dengan dua kali penekanan tombol stimulator. Pada perlakuan pertama, permberian rangsang kedua dilakukan segera setelah kontraksi pertama berlangsung seluruhnya (beneficial effect of contraction). Pada perlakuan kedua, pemberian rangsang kedua dilakukan sebelum kontraksi pertama berlangsung seluruhnya (summation of effect), dan pada perlakuan ketiga, pemberian rangsang kedua dilakukan secepat mungkin setelah pemberian rangsang pertama agar rangsang kedua jatuh pada periode laten dari kontraksi pertama (summation of stimuli). 3.4 Percobaan Efek Perangsangan Lebih Dari Dua Kali Pada percobaan ini, jenis rangsang diatur sebagai rangsang multiple. Tromol diatur agar berputar sedang, dan kuat rangsang yang dipakai adalah kuat rangsang

submaksimal. Frekuensi rangsang yang diberikan diatur dari frekuensi lambat, sedang, cepat, hingga sangat cepat. 3.5 Percobaan Kerja Otot 3.5.1 After Loaded Dalam percobaan ini, digunakan tumpuan pada muscle lever yang bertujuan agar penambahan beban tidak menyebabkan pertambahan panjang otot sebelum kerja dilakukan. Mula-mula jenis rangsang diatur kembali menjadi rangsang, single. Setelah itu, kuat rangsang diatur menjadi kuat rangsang maksimal. Kemudian, kawat penggantung beban diletakan pada muscle lever, lalu tombol stimulator ditekan satu kali dengan keadaan tromol yang tidak bergerak hingga diperoleh satu goresan. Setelah itu, tromol digeser kira-kira 1 cm, lalu beban ditambahkan. Kemudian tombol stimulator ditekan kembali hingga terbentuk satu goresan. Percobaan ini dilakukan hingga penambahan beban tidak menimbulkan goresan lagi. 3.5.2 Direct Loaded Dalam percobaan ini, tumpuan pada muscle lever dilepas, sehingga tiap pembebanan menyebabkan panjang otot bertambah sebelum kerja dilakukan. Cara kerja selanjutnya sama seperti percobaan after loaded. Setelah kedua percobaan kerja otot selesai, besar kerja otot ditentukan untuk setiap beban yang diberikan. Hasil yang didapat disusun pada tabel yang menyatakan berat beban, jarak pengangkatan, dan kerja otot. Dari tabel yang didapat, dapat dibuat sebuah grafik yang menunjukan hubungan antara kerja otot (ordinat) dan berat beban (absis). Besar kerja optimal otot dan letaknya dapat dilihat pada grafik yang telah dibuat. Catatan: Dalam setiap percobaan (termasuk isolasi gastrocnemius), otot harus senantiasa dibasahi dengan larutan Ringer. Larutan Ringer merupakan larutan yang terdiri atas NaCl 6,95gr, KCl 0,075gr, CaCl2 0,1-0,2gr, NaHCO3 0,1-0,2gr, dan glukosa 1gr dalam 1000 ml air (The Staff, 1958). Larutan ini dipakai untuk menjaga otot agar tetap hidup.

4. Hasil Pengamatan dan Pengolahan Data 4.1 Percobaan Respons Otot Terhadap Rangsang Tunggal Dengan Intensitas Berbeda

Gambar 1. Respons otot terhadap rangsang tunggal dengan intensitas berbeda

Jadi, kuat rangsang minimal = 1V, kuat rangsang submaksimal = 20V, dan kuat rangsang maksimal = 25 V. 4.2 Percobaan Kontraksi Tunggal Otot Rangka

Gambar 2. Kontraksi tunggal otot rangka

1 skala = 6,25 mm Kecepatan putaran tromol = 625 mm/detik 1 skala = 6,25 mm = 0,01 detik Periode laten = 6 skala 6 x 0,01 detik = 0,06 detik Periode kontraksi = 7 skala 7 x 0,01 detik = 0,07 detik Periode relaksasi = 9,5 skala 9,5 x 0,01 detik = 0,095 detik Satu kontraksi = (6 + 7 + 9,5) skala = 22,5 skala 22,5 x 0,01 detik = 0,225 detik

4.3 Percobaan Efek Perangsangan Dua Kali Berturut-turut

Gambar 3. Respons otot terhadap perangsangan dua kali berturut-turut

4.4 Percobaan Efek Perangsangan Lebih Dari Dua Kali

Gambar 4. Respons otot terhadap perangsangan frekuensi tinggi

4.5 Percobaan Kerja Otot 4.5.1 After LoadedBeban (gr) 10 20 30 Jarak pengangkatan CD (cm) 1,35 0,35 0,15

Gambar 4. Jarak pengangkatan beban yang dilakukan otot (dengan tumpuan)

Jarak pengangkatan yang diperoleh dari kimograf bukanlah jarak pengangkatan sebenarnya, melainkan jarak yang telah mengalami perbesaran. Gambar segitiga di bawah menunjukan bahwa AC adalah jarak dari sumbu ke jarum penulis, AB jarak

dari sumbu ke tempat di mana beban digantungan, CD jarak pengangkatan yang mengalami perbesaran, dan x adalah jarak pengangkatan yang sebenarnya.

Gambar 5. Segitiga

Berdasarkan rumus segitiga AC/CD = AB/x, didapat bahwa jarak pengangkatan sebenarnya (x) sebesar:Beban (gr) 10 20 30 Jarak pengangkatan sebenarnya (cm) 0,135 0,035 0,015

Dari hasil di atas, kerja otot dapat dihitung dengan menggunakan rumus: W = F x S, dengan W = kerja otot, F = Gaya = beban x gravitasi, dan S = Jarak pengangkatan.Berat Beban = B (kg) 0,01 0,02 0,03 Gaya (Bx9,8 m/s) 0,098 0,196 0,294 0,00135 0,00035 0,00015 0,0001323 0,0000686 0,0000441 Jarak Pengangkatan = S (m) Kerja Otot = W (Joule)

Grafik Hubungan Antara Kerja Otot Terhadap Berat Beban (After Loaded)0,00014 0,00012 0,0001 0,00008 0,00006 0,00004 0,00002 0 0 0,01 0,02 0,03 0,04 Berat Beban (kg)

Kerja (Joule)

4.5.2 Direct Loaded

Gambar 6. Jarak pengangkatan beban yang dilakukan otot (tanpa tumpuan) Beban (gr) 10 20 30 40 50 60 Jarak pengangkatan CD (cm) 2,95 2,2 1,65 1,45 1,05 0,5

Sama seperti pada after loaded, jarak pengangkatan CD yang didapat, bukan merupakan jarak sebenarnya. Perhitungan jarak sebenarnya (x), dilakukan dengan cara yang sama seperti pada after loaded, yaitu dengan menggunakan rumus segitiga AC/CD = AB/x. Berdasarkan rumus tersebut, didapat bahwa jarak pengangkatan sebenarnya (x) sebesar:Beban (gr) 10 20 30 40 50 60 Jarak pengangkatan sebenarnya (cm) 0,295 0,22 0,165 0,145 0,105 0,05

Dari hasil di atas, kerja otot dapat dihitung dengan menggunakan rumus: W = F x S, dengan W = kerja otot, F = Gaya = beban x gravitasi, dan S = Jarak pengangkatan.

Berat Beban = B (kg) 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06

Gaya (Bx9,8 m/s) 0,098 0,196 0,294 0,392 0,49 0,588

Jarak Pengangkatan = S (m) 0,00295 0,0022 0,00165 0,00145 0,00105 0,0005

Kerja Otot = W (Joule) 0,0002891 0,0004312 0,0004851 0,0005684 0,0005145 0,000294

Grafik Hubungan Antara Kerja Otot Terhadap Berat Beban (Direct Loaded)0,0006 Kerja Otot (Joule) 0,0005 0,0004 0,0003 0,0002 0,0001 0 0 0,02 0,04 0,06 0,08 Berat Beban (Kg)

Grafik Gabungan Antara Kerja Otot Terhadap Berat Beban Pada After Loaded dan Direct Loaded0,0006 0,0005 0,0004 0,0003 0,0002 0,0001 0 0 0,05 Berat Beban (kg) 0,1 Kerja Otot (Joule)

After Loaded Direct Loaded

5. Pembahasan 5.1 Percobaan Respons Otot Terhadap Rangsang Tunggal Dengan Intensitas Berbeda Berdasarkan Seeley (2002), serabut otot tidak akan merespons suatu rangsang kecuali jika rangsang tersebut telah mencapai kekuatan minimal yang cukup untuk menghasilkan potensial aksi dari serabut otot. Di sisi lain, dalam merespons suatu potensial aksi, serabut otot akan berkontraksi secara maksimal. Fenomena ini disebut sebagai respons-ya-atau-tidak-sama-sekali. Dalam praktikum kali ini, rangsang yang diberikan pada otot adalah sebesar 0 V; 0,005 V; 0,01V; 0,02V; 0,025 V; 0,5 V; 1V; 2V; 2,5V; 5V; 10V; 15V; 20V; dan 25V. Berdasarkan hasil yang diperoleh, rangsang dari 0V-0,5V tidak memberikan respons apa-apa yang berarti bahwa kuat rangsang tersebut belum cukup untuk menghasilkan suatu potensial aksi. Kemudian, voltase 1 Volt berhasil membuat otot memberikan respons yang ditandai dengan goresan pada kertas grafik sepanjang 0,15 cm (jarak perbesaran). Voltase 1 Volt ini merupakan kuat rangsang minimal untuk menghasilkan potensial aksi. Setelah itu, hasil goresan kimograf yang diperoleh juga menunjukan bahwa semakin besar kuat rangsang, respons otot yang dihasilkan pun akan semakin besar. Hasil ini menunjukan bahwa kuat rangsang maksimal adalah 25 Volt karena otot memberikan respons paling besar dan 25 Volt merupakan voltase maksimal yang dapat diberikan oleh elektroda stimulator, sedangkan kuat rangsang submaksimal adalah 20 Volt. 5.2 Percobaan Kontraksi Tunggal Otot Rangka Pada percobaan ini, besarnya voltase yang digunakan adalah voltase submaksimal yang diperoleh dari percobaan sebelumnya, yaitu sebesar 20 Volt. Voltase ini dianggap cukup besar untuk membuat otot berkontraksi maksimal. Pencatatan kimograf menghasilkan satu sekuens rangsang-kontraksi-relaksasi yang terbagi atas perode laten, periode kontraksi, dan periode relaksasi. Hasil perhitungan menunjukan bahwa lamanya periode laten adalah 0,06 detik, periode kontraksi 0,07 detik, periode relaksasi 0,095 detik, dan satu sekuens adalah 0,225 detik. Berdasarkan Mitchell (1956), waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu sekuens pada otot rangka Rana sp. adalah 0,1 detik. Satu sekuens ini terdiri atas periode laten selama 0,01 detik, periode kontraksi selama 0,04 detik, dan periode relaksasi selama 0,05 detik. Perbedaan paling mencolok terutama terlihat dari lamanya periode laten. Hal ini disebabkan karena perbedaan waktu antara

penekanan tombol penyala tromol dan pemberi rangsang sangat relatif, sehingga periode laten yang dihasilkan menjadi kurang valid. 5.3 Percobaan Efek Perangsangan Dua Kali Berturut-turut. Pada percobaan ini, pemberian rangsang secara dua kali berturut-turut menimbulkan beberapa keadaan kontraksi otot. Ketika pemberian rangsang kedua diberikan pada saat respons terhadap rangsang pertama telah selesai, respons kedua yang dihasilkan akan sama besar dengan respons pertama karena dalam hal ini otot telah menyelesaikan satu sekuens rangsang-kontraksi-relaksasi pertama, kemudian diberi rangsang kedua dan memulai kembali satu sekuens dari keadaan awal. Pada perlakuan kedua, rangsang kedua diberikan pada saat periode relaksasi pertama belum selesai. Seharusnya perlakuan seperti ini menimbulkan suatu gejala yang disebut summation of effect (penjumlahan efek) dimana pemberian rangsang kedua menghasilkan kontraksi yang lebih kuat daripada kontraksi yang disebabkan rangsang pertama. Dalam percobaan ini, peberian rangsang kedua justru menghasilkan kontraksi yang lebih lemah dibandingkan kontraksi pertama. Perlakuan ini dilakukan beberapa kali, namun hasil yang didapat tetap sama, yaitu kontraksi kedua lebih lemah dibandingkan kontraksi pertama. Hal ini mungkin disebabkan penekanan tombol pemberi rangsang yang kurang cepat. Pada perlakuan ketiga, rangsang kedua diberikan saat periode kontraksi pertama belum selesai. Perlakuan seperti ini membeikan suatu gejala yang disebut summation of stimuli (penjumlahan rangsang). Hasil yang didapat dari efek ini adalah kontraksi tunggal yang kuatnya lebih besar daripada kontraksi tunggal yang disebabkan oleh rangsang tunggal. 5.4 Percobaan Efek Perangsangan Lebih Dari Dua Kali Dalam percobaan ini, pemberian rangsang pada otot secara bertubi-tubi dengan frekuensi yang berbeda akan menimbulkan gejala-gejala yang berbeda, seperti staircase effect, incomplete tetanus, dan complete tetanus. Hasil pencatatan kimograf tidak berhasil memperlihatkan ketiga efek ini. Hal ini mungkin disebabkan karena frekuensi yang diberikan belum cukup besar, sehingga rangsang selalu jatuh saat kontraksi yang disebabkan rangsang sebelumnya telah selesai. Jika hal ini terjadi, tentu saja summation of effect tidak terjadi, dan gejala staircase maupun gejala lainnya tidak akan terbentuk.

Berdasarkan Martini (2001), stimulasi yang diberikan secara berulang-ulang akan menghasilkan efek-efek sebagai berikut:

Gambar 7. Respons otot terhadap rangsang berulang

Staircase effect, sebenarnya sama dengan summation of effect, terjadi saat rangsang datang sebelum periode relaksasi selesai. Incomplete tetanus terjadi jika laju stimulasi (frekuensi) bernilai lebih besar, sehingga tekanan yang dihasilkan akan mencapai maksimum, dan periode relaksasi menjadi sangat singkat. Complete tetanus terjadi jika frekuensi stimulasi bernilai sangat besar sehingga otot tidak diberi kesempatan untuk berelaksasi, dan akan terbentuk plato (garis lurus) pada tekanan maksimum. 5.5 Percobaan Kerja Otot Pada percobaan ini, otot dibuat bekerja pada dua kondisi, yaitu after loaded dan direct loaded. Pada kondisi after loaded, otot tidak dibiarkan memanjang pada saat pemberian beban karena adanya tumpuan, sedangkan pada direct loaded, ketiadaan tumpuan menyebabkan otot dapat memanjang pada saat beban ditambahkan. Berdasarkan hukum Starling yang berbunyi Kuat kontraksi otot berbanding lurus dengan panjang mula-mula otot tersebut, maka jelas kerja otot yang dihasilkan pada keaadaan direct loaded akan lebih besar daripada kerja otot yang dihasilkan pada keadaan after loaded. Hasil yang didapat dalam percobaan ini sudah sesuai dengan hukum Starling, dimana pada direct loaded kerja otot yang dihasilkan jauh lebih besar daripada kerja otot pada after loaded. Selain itu, pada keadaan direct loaded, otot mampu mengangkat beban yang memiliki berat 6 gr, sedangkan pada after loaded, otot hanya mampu mengangkat beban hingga berat 3 gr.

6. Kesimpulan - Besarnya kuat rangsang minimal yang diperoleh dalam praktikum ini adalah 1 V, kuat rangsang submaksimal 20 V, dan kuat rangsang maksimal 25 V - Dalam percobaan ini, diperlukan waktu selama 0,225 detik bagi otot gastrocnemius katak untuk melakukan satu kontraksi penuh. Satu kontraksi penuh ini terdiri atas periode laten selama 0,06 detik, periode kontraksi selama 0,07 detik, dan periode relaksasi selama 0,095 detik - Beneficial effect of contraction terjadi bila rangsang kedua diberikan saat periode relaksasi telah selesai, dan akan dihasilkan respons kedua yang sama dengan respons pertama. Summation of effect terjadi jika rangsang kedua diberikan saat periode relaksasi belum selesai, dan idealnya akan dihasilkan kontraksi kedua yang lebih kuat dari kontraksi sebelumnya. Summation of stimuli dihasilkan jika rangsang kedua diberikan pada saat periode laten, dan akan dihasilkan kontraksi tunggal yang lebih kuat daripada kontraksi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tunggal. - Pada praktikum ini, Staircase effect, incomplete tetanus, dan complete tetanus tidak berhasil teramati, namun idealnya staircase effect terjadi saat rangsang datang sebelum periode relaksasi selesai incomplete tetanus terjadi jika laju stimulasi (frekuensi) bernilai lebih besar, sehingga tekanan yang dihasilkan akan mencapai maksimum, dan periode relaksasi menjadi sangat singkat, dan complete tetanus terjadi jika frekuensi stimulasi bernilai sangat besar sehingga otot tidak diberi kesempatan untuk berelaksasi, dan akan terbentuk plato (garis lurus) pada tekanan maksimum. - Sesuai dengan hukum Starling, kerja otot pada kondisi direct loaded lebih besar daripada kerja otot pada keadaan after loaded.Beban (kg) 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,0001323 0,0000686 0,0000441 Kerja Otot (Joule) After Loaded Direct Loaded 0,0002891 0,0004312 0,0004851 0,0005684 0,0005145 0,000294

7. Daftar Pustaka Campbell, N.A., J.B. Reece, L.G. Mitchell. 2004. Biologi edisi kelima jilid 3. Erlangga, Jakarta Mitchell, P.H. 1956. A Textbook of General Phisiology. McGraw-Hill Book Company, Inc, New York Seeley, R.R., T.D. Stephens, P. Tate. 2003. Essentials of Anatomy and Physiology fourth edition. McGraw-Hill Companies The Staff. 1958. Experimental Phisiology third edition. Burgess Publishing Company, Minnesota Tobin, A.J. 2005. Asking About Life. Thomson Brooks/Cole, Canada

Otot Rangka LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN

DISUSUN OLEH: NAMA NIM KELOMPOK : BIOFAGRI A.R : 10604111 :3

TANGGAL PERCOBAAN: 5 April 2006 TANGGAL PENYERAHAN: 12 April 2006 ASISTEN:aaaaaaaa

LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN PROGRAM STUDI BIOLOGI SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2006