isi laporan kelompok
DESCRIPTION
Fundamental patofis dan askepTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus, atau SLE) adalah
penyakit autoimun sistemik idiopatik yang berbeda dari penyakit autoimun lainnya
dalam hal keberagaman manifestasi klinis, perbedaan perjalanan penyakit, dan
dasar anomali imunologisnya. SLE dapat melibatkan seluruh sistem organ. Walaupun
kejadian SLE predominan pada wanita usia produktif, pasien dengan usia lebih muda
atau lebih tua masih dapat ditemukan. Perbedaan manifestasi klinis membuat
dokter dan perawat harus memiliki pengetahuan dalam menentukan apakah
penyakit ini memiliki tampilan klinis yang umum atau tampilan klinis yang tidak
umum dan mengantisipasi komplikasi yang mungkin terjadi.
Hampir 50 tahun berlalu sejak observasi terhadap antibodi melawan konstituen
sel normal dapat ditemukan dalam serum pasien dengan lupus. Lupus tetap dikenali
dari keberadaan antibodi di serum terhadap antigen nukleus (antinuclear antibodies,
atau ANA). Di samping kemajuan signifikan dalam menjelaskan spesifisitas dan
patogenisitas autoantibodi ini, pertanyaan mengapa antibodi ini muncul dan
peranannya dalam patogenesis penyakit sebagian besar masih belum terjawab.
Perkembangan terapi efektif dan spesifik untuk sebagian besar manifestasi lupus
terhambat oleh keterbatasan pengetahuan mengenai penyakit yang mendasarinya.
Secara spesifik, perkembangan terapi yang lebih efektif akan membutuhkan
pemahaman mengenai mengapa toleransi terhadap self-antigen hilang, gen apa
yang bertanggung jawab untuk menandai predisposisi familial terhadap penyakit
dan bagaimana gen ini berinteraksi untuk mengakibatkan penyakit, serta
mekanisme di mana faktor ini mengakibatkan cedera kronik jaringan. Makalah ini
akan memaparkan mengenai epidemiologi dan manifestasi lupus, serta
mengetengahkan pengetahuan terbaru mengenai anomali imunologis yang
mendasari dan menjadi faktor predisposisi lupus, yang akan membawa pada
diagnosis lupus.
1
STUDENTS LEARNING OBJECTIVE (SLO)
1. Definisi SLE
2. Epidemiologi SLE
3. Patofisiologi SLE
4. Faktor Risiko SLE
5. Manifestasi Klinis SLE
6. Pemeriksaan Diagnostik SLE
7. Penatalaksanaan Medis SLE
8. Asuhan Keperawatan SLE
9. Klasifikasi
2
PEMBAHASAN
1. Definisi SLE
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan suatu penyakit autoimun kronik
yang ditandai oleh terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen diri
yang berlainan. Antibodi-antibodi tersebut biasanya adalah IgG dan IgM dan dapat
bekerja terhadap asam nukleat pada DNA atau RNA,protein jenjang koagulasi, kulit,
sel darah merah,sel darah putih,dan trombosit. Kompleks antigen antibodi dapat
mengendap di jaringan kapiler sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III,
kemudian terjadi peradangan kronik.(Corwin EJ,2009)
Penyakit Lupus erithematosus sistemik (SLE) tampaknya terjadi akibat
terganggunya regulasi kekebalan tubuh yang menyebabkan peningkatan
autoantibodi yang berlebihan . Peningkatan tersebut diperkirakan terjadi akibat
fungsi sel T- supressor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun
dan kerusakan jaringan .Inflamasi akan menstimulusi antigen yang selanjutnya
merangsang antibodi tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali .
( Smeltzer,Suzanne C,2001)
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang ditandai
oleh produksi antibodi terhadap komponen inti sel yang berhubungan dengan
manifestasi klinis yang luas. LES terutama terjadi pada usia reproduksi antara 15-40
tahun dengan rasio wanita dan laki laki 5 : 1.(Kusuma A.A.N.J, 2007)
Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun yang
melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan
sampai berat . Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena
manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini penyebab LES belum
diketahui ada dugaan faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada
patofisiologi LES.(Sukmana N,2012)
Dari keempat pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa lupus eritematosus
sistemik (LES) merupakan suatu penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh
peningkatan produksi atau terbentuknya antibodi-antibodi seperti IgG dan IgM
secara brlebihan terhadap beberapa antigen diri yang berlainan yang dhasilkan oleh
patogen. Antibodi-antibodi tersebut dapat bekerja terhadap asam nukleat pada DNA
3
atau RNA, protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah merah, sel darah putih,dan
trombosit. Peningkatan antibodi tersebut diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-
supressor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakan jaringan. Kompleks imun/antigen antibodi dapat mengendap di jaringan
kapiler sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III yaitu komplek imun yang
terbentuk ketika antigen terikat dengan antibodi dan dibersihkan dari dalam sirkulasi
darah lewat kerja fagositik, kemudian terjadi inflamasi kronik. Inflamasi akan
menstimulusi antigen yang selanjutnya merangsang antibodi tambahan, dan siklus
tersebut berulang kembali. LES terutama terjadi pada usia reproduksi antara 15-40
tahun dengan rasio wanita dan laki laki 5 : 1 dan manifestasinya bervariasi mulai
ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES,
karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan.
2. Epidemiologi SLE
SLE lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dengan perbandingan 10 :
1. Perbandingan ini menurun menjadi 3 : 2 pada lupus yang diinduksi oleh obat.
Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15 – 64 tahun. Meskipun
begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia dan
jenis kelamin (Delafuente, 2002).
Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi
diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang
(Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE
di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi
penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan
low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang, penderita SLE pada bulan Januari
sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dengan 1 orang meninggal dunia.
3. Patofisiologi SLE
(terlampir)
4. Faktor Risiko SLE
a) Faktor resiko genetik meliputi jika (frekuensi pada wanita dewasa 8 kalilebih
sering dari pada pria dewasa). Umur (lebih sering pada usia 20-40 tahun), etnik,
4
dan faktor keturunan (frekuensinya 20 kali lebih sering dalam keluarga dimana
terdapat anggota dengan penyakit tersebut).
b) Faktor resiko hormon, estrogen menambah resiko LES, sedangkan endrogen
mengurangi resiko ini.
c) Sinar ultra violet, mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang
efektif, sehingga LES kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi ditempat
tersebut sehingga secara sistemik melalui pererdaran dipembuluh darah.
d) Imunitas, pada pasien LES terdapat hiperaktivitas sel B atau toleransi terhadap
sel T.
e) Obat, obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan
dimana dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug
Induced Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obet yang menyebabkan lupus
adalah : klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid.
f) Infeksi, pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang
penyakitnya ini kambuh setelah infeksi.
g) Stres, stres berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan pasien ini.
5. Manifestasi klinis SLE
A. Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Anak-anak yang paling sering adalah
anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan irritable.
Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus.
B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa athralgia
(90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena
adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis dapat terjadi pada lebih
dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun
kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan
organ yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan
5
ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat
timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati.
Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri ini tak
proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis
menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang sendi.
C. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.
1). Lesi Kulit Akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu
(butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua
pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan
bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly
patches. Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah
terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan
dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan
pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.
2). Lesi Kulit Sub Akut
Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular
3). Lesi Diskoid
Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar7 %
lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor
secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi
antinuclear (ANA) yang
disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan. Ruam diskoid
adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan
ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm,
tidak gatal maupun nyeri Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema,
hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang
meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel.
Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di
6
masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari
SLE daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua
DLE terjadi di masa kanak-kanak.
4). Livido Retikularis
Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat
menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga
tampak perdarahan dan eritema periungual.
5). Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang
secara klinis dan serologis
D. Gejala pada Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus
nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama
terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah :
(1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
(2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
(3) Kelas III: focal lupus nephritis
(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis
(5) Kelas V: membranous lupus nephritis
(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis
Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu
nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan
kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi,
serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis membranosa lebih
jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal
ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat
tapi progresif.
7
E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan
radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih
sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi
menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.
F.Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut
abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis.
Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya mendapat
pengobatan yang adekuat.
G.Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang
disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali
normal
H. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis
Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya
berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis
membesar pada 60% kasus SLE.
I. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya
bersifat sementara.
J.Susunan Saraf Pusat
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan
kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan
memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi
ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Gangguan susunan saraf pusat
terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit
otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-
8
sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas
kelainan organik otak.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain
yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal,
hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit
kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme
terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang
memegang peranan antaran lain vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus
koroideus.
K. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,
Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis trombositopenia, dan
lekopenia.
L. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali
hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endothelium pembuluh darah
dan aktivasi komplemen lokal
6. Pemeriksaan Diagnostik SLE
Secara diagnostik, antibodi yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA
(Antibody Antinuclear) karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya
pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA berkembang dalam satu tahun setelah
onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna. Pemeriksaan
laboratorium untuk menentukan adanya penyakit SLE :
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah bisa menunjukan adanya antibodi antinuclear yang terdapat
pada hampir semua penderita lupus. Tapi antibodi ini juga bisa ditemukan pada
penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antrinuclear harus di lakukan
juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda . Pemeriksaan
darah untuk mengukur kadar komplemen (Protein yang berperan dalam sistem
9
kekebalan) dan untuk menentukan antibodi lainnya, mungkin perlu untuk
memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
Ruam Kulit atau Lesi Khas
Rontgen Dada Menunjukan Pleuritis atau Perikarditis
Pemeriksaaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukan adanya gesekan
pleura dan jantung.
Analisa Air Kemih Menunjukan Adanya Darah atau Protein
Hitung jenis darah menunjukan adanya penurunan beberapa jenis sel darah
Biopsi Ginjal
Pemeriksaan Saraf.
7. Penatalaksanaan SLE
Terapi nonfarmakologi
Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU
and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-
6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et al.,
1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk
penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat
pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).
Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi
inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan
lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.
NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan
NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi,
dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX
inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim
COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat.
Antimalaria
10
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam,
atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ
penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi membran
lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA,
mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan
leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing
factor α (TNF- α).
Klorokuin
Klorokuin mempunyai indeks terapetik yang sempit sehingga tidak dianjurkan
pemberian secara parenteral untuk anak-anak. Dosis yang digunakan 150 mg (250
mg klorokuin fosfat) per hari. Efek samping yang terjadi meliputi ocular toksisitas
(keratopati dan retinopati), saluran cerna, SSP, kardiovaskular, dll. Sebaiknya
diberikan bersama dengan makanan karena bioavailabilitasnya bagus (absorpsi
meningkat). Secara luas didistribusikan di seluruh tubuh, mengikat sel-sel yang
mengandung melanin yang terdapat dalam kulit dan mata, 50% – 65% terikat
dengan protein plasma. Diekskresi secara lambat di ginjal dan yang tidak terabsorpsi
diekskresi dalam feses (McEvoy, 2002).
Hidroksiklorokuin
Dosis yang digunakan 155 – 310 mg (200 – 400 mg hidroksiklorokuin sulfat). Efek
samping yang terjadi sama dengan klorokuin tetapi kardiomiopati jarang terjadi.
Didistribusikan ke dalam air susu ibu (ASI) (McEvoy, 2002).
Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon
terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi
kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik
kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau
intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi
melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam
arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator inflamasi seperti
leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat
11
melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks
neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya
inflamasi.
Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik
bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas
mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA
yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam
inflamasi.
Obat lain
Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah
azatioprin, intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon,
mikofenolat mofetil dan pemberian antiinfeksi.
Azatioprin
Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila pasien
mengalami intoleran siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada pasien SLE 2 – 3
mg/kg BB per hari. Mekanisme kerja azatioprin meliputi menurunkan limfosit sel B
dan sel T dalam sirkulasi, sintesis IgM dan IgG, sekresi IL-2, serta gangguan
ribonukleotida adenin dan guanin melalui supresi sintesis asam inosinat (Clements
and Furst, 1994).
Metotreksat
Merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase,
memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE,
digunakan dosis 7,5 – 15 mg secara oral satu kali seminggu (Herfindal et al., 2000).
Pada pemakaian oral absorpsi obat bervariasi dan tergantung dosis tetapi rata-rata
30%.
Intravena gamma globulin
12
Intravena gamma globulin digunakan purpura trombositopenia idiopatik, sindroma
Gillae-Barre, miastenia gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain.
Mekanisme kerja gamma globulin sangat kompleks meliputi perubahan ekspresi dan
fungsi reseptor Fc, menganggu aktivasi komplemen dan sitokin, menyediakan
antibodi antiidiopatik, dan mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor
dari sel T dan sel B.
Mikofenolat mofetil
Efektif pada lupus nefritis terutama pada pasien yang tidak menunjukkan respon
dan intoleran terhadap siklofosfamid. Mikofenolat mofetil mempunyai mekanisme
kerja antara lain menekan secara selektif proliferasi limfosit T dan B, pembentukan
antibodi, menghambat sintesis purin dan deplesi monosit dan limfosit (Chan et al.,
2000).
8. Asuhan Keperawatan SLE
Pengkajian
1. Identitas Klien : Nama, usia, jenis kelamin, alamat, no telp, status
pernikahan, agama, suku, pendidikan, pekerjaan dan lama bekerja, tgl
masuk, tgl pengkajian, sumber informasi, nama keluarga dekat yang dapat
dihubungi.
2. Status kesehatan saat ini : keluhan utama dan durasinya, kualitas keluhan
(tingkat keparahan) dan karakteristiknya, lokasi, factor pencetus dan
pemberatnya, upaya yang telah dikakukan klien atas keluhaan tersebut,
manifestasi yang berhubungan :
- Keluhan tipikal (esofagus) : heartburn, regurgitasi, dan disfagia.
- Keluhan atipikal (eskstraesofagus) : batuk kronik, suara serak, pneumonia,
fibrosis paru, bronkiektasis, dan nyeri dada nonkardiak.
- Keluhan lain : penurunan berat badan, anemia, hematemesis atau
melena, odinofagia.
3. Riwayat kesehatan saat ini : jelaskan apa yang dikeluhkan pasien saat
datang ke RS dan keadaan pasien saat itu
4. Riwayat kesehatan terdahulu : kaji tentang penyakit yang pernah dialami
klien, alergi terhadap zat-zat tertentu, kaji imunisasi yang pernah
13
dilakukan, kebiasaan mengonsumsi sesuatu, serta obat-obatan yang
pernah/sedang digunakan.
5. Riwayat penyakit keluarga
6. Pola fungsi keperawatan :
a. Aktivitas latihan : kaji ada tidaknya nyeri saat beraktivitas
b. Sirkulasi : kaji suhu tubuh dan jumlah komponen darah (sel-sel darah)
c. Eliminasi : kaji ada tidaknya gangguan eliminasi, nefritis, pielonefritis,
TB ginjal
d. Makan/minum : kaji adanya rasa mual/muntah, anoreksia, disfagia,
dan rasa pahit di lidah
e. Nyeri/kenyamanan : kaji adanya nyeri, karakteristik dan skala, lihat
ekspresi klien.
f. Respirasi : kaji adanya sesak, batuk, radang pleura, pola napas
g. Pencernaan : kaji adanya mual, muntah, diare, ulserasi usus,
pancreatitis, alergi terhadap makanan,
h. Susunan saraf pusat : kaji adanya psikosis organic, delusi/halusinasi,
kejang-kejang, paraplegia, hemiplegia, afasia, kejang tipe Jackson
i. Musculoskeletal : kaji adanya arthritis, arthralgia yang sering terjadi
pada interfalangeal proksimal, lutut, pergelangan tangan, siku dan
pergelangan kaki. Kaji pula adanya efusi sendi, nekrosis avaskular
pada caput femoris, dan kaku sendi pada pagi hari.
j. Hematologi : kaji adanya anemia, hemolisis autoimun, leucopenia,
limfopenia, trombositopenia, dan tromboemboli.
7. Pemeriksaan fisik :
a. Keadaan umum : meliputi kesan keadaan sakit termasuk ekspresi
wajah dan posisi pasien, kesadaran klien, kaji tingkat kecemasan
klien, kaji adanya demam.
b. Tanda-tanda vital : Meliputi nadi (frekuensi, irama, kualitas), tekanan
darah, pernafasan (frekuensi, irama, kedalaman, pola pernafasan),
suhu tubuh, berat badan.
c. Pemeriksaan kulit dan getah bening : kaji adanya ruam eritematosus,
plak eritematosus pada kulit kepala, muka, atau leher, kaji ada
14
tidaknya lesi kulit, fotosensitivitas, pigmentasi, edema, ulserasi.
Selain itu kaji pula adanya pembesaran getah bening.
d. Pemeriksaan Head to toe
Kepala dan leher : kaji adanya rambut rontok atau allopecia, ruam
malar di daerah sekitar hidung dan pip. Kaji adanya pembesaran
kelenjar parotis. Kaji pula adanya kelainan mata dapat berupa
konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan subkonjungtival, uveitis
dan adanya sitoid di retina. Pada mukosa oral kaji adanya lesi ulser,
kelainan produksi saliva.
Thorak dan dada : kaji adanya arteriosklerosis, valvula heart disease,
iskemi miokard, endokarditis verukosa, perikarditis, pleuritis,
pneumonitis, efusi pleura, sesak napas, nyeri dada, sakit saat
menghirup napas panjang, batuk kering/batuk darah, napas
terengah-engah.
Payudara dan ketiak : kaji adanya pembesaran kelenjar limfa axilla
Abdomen : kaji adanya nyeri tekan, peritonitis.
Extremitas : kaji adanya fenomena raynaud
Neurologi : kaji adanya gangguan sensorik dan motorik, disorientasi,
sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali gambar-
gambar yang pernah dilihat.
8. Hasil pemeriksaan penunjang : hasil pemeriksaan tes antibody (serologis),
darah lengkap, rontgen dada, analisa air kemih, biopsi ginjal, dan
pemeriksaan saraf.
Diagnosa Keperawatan
- Nyeri kronis
- Kerusakan integritas kulit
- Intoleran aktivitas
15
Asuhan keperawatan
1) Nyeri Kronis
Tujuan : Menurunkan tingkat nyeri pasien.
Kriteria Hasil :
Pasien tidak meringis kesakitan
Pasien tidak merintih
RR normal
Nadi normal
HR normal
Intervensi :
- Menggunakan pengkajian yang komprehensif terhadap nyeri
- Menggunakan komunikasi terapeutik
- Menggunakan bahasa nonverbal agar pasien lebih nyaman
- Gunakan ukuran kontrol nyeri
- Memberikan analgesik
2) Kerusakan integritas kulit
Tujuan : Menigkatkan integritas kulit pasien.
Kriteria Hasil :
Integritas membran mukosa terjaga
Tidak terjadi kerusakan integritas kulit yang parah
Intervensi :
- Mengkaji kulit setiap hari. Mencatat warna, turgor, sirkulasi dan
sensasi.
- Mempertahankan hygiene kulit
- Gunting kuku secara teratur
- Memberi obat topical sesuai indikasi.
3) Intoleran aktivitas
Tujuan : Meningkatnya toleransi aktivitas
Kriteria Hasil :
Pasien mendemonstrasikan aktivitas yang dapat dilakukan.
Intervensi :
16
Berikan lingkungan yang aman misalnya memasang restain, menggunakan
pegangan tangga pada toilet.
9. Klasifikasi
Menurut Derajat Berat Ringannya Penyakit
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh: SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan :
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50×103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,
tamponade jantung, hipertensi maligna
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru,
infark paru, fibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia (< 20.000/mm3) , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.
17
RINGKASAN
Systemic lupus Erythematosus berasal dari kata “lupus” yang berarti serigala dan
“erito” yang berarti merah. Jadi, SLE merupakan penyakit dengan gejala kemerahan
pada sekitar hidung dan pipi. SLE merupakan suatu penyakit autoimun kronik yang
ditandai oleh terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen yang
berlainan. Penyakit kulit vaskuler ini terdapat endapan darah yang khas dengan banyak
manifestasi klinis dan butuh pengobatan yang kompleks.
Diagnosis lupus eritematosus sistemik bukanlah merupakan hal yang sederhana,
karena penyakit ini memiliki beragam manifestasi, dengan keterlibatan berbagai macam
organ maupun sistem organ, serta derajat keparahan penyakit yang beragam.
Keberagaman manifestasi penyakit ini membuat SLE cukup sulit dibedakan dengan
berbagai penyakit lain.
Untuk dapat mendiagnosis SLE dengan benar, maka dibutuhkan anamnesis yang
cermat dan lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti dan berhati-hati, serta pemeriksaan
penunjang yang rasional. Selain itu, dibutuhkan pula dasar ilmu pengetahuan dalam
menegakkan diagnosis SLE agar tidak terjadi misdiagnosed, underdiagnosed, dan
overdiagnosed. Pengumpulan data yang lengkap juga dapat membantu menentukan
prognosis penyakit.
18
DAFTAR PUSTAKA
Buther, Howard K, dkk. 2009. Nursing Intervention Classification. USA : Mosby
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Costenbader KH, Fidias P, Gilman MD, Qureshi A, Tambouret RH. Case 29-2006: A 43-
Year-Old Woman with Painful Nodules on the Fingertips, Shortness of Breath, and
Fatigue.N Engl J Med 2006 Sep 21; 355: 1263-72
Kusuma A.A.N.J. 2007. LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK PADA KEHAMILAN. J Peny
Dalam, Volume 8 Nomor 2 Mei 2007
Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Moorhead, Sue dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification. USA : Mosby
Philadelphia. 2003. p810-813 Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th
edition. W.B Saunders,
Rahman A, Isenberg DA. Mechanisms of Disease: Systemic Lupus Erythematosus. N Engl
J Med 2008 Feb 28; 358: 929-39.
Remmers EF, Plenge RM, Gregersen PK. Rheumatoid Arthritis, Systemic Lupus
Erythematosus, and STAT4. N Engl J Med 2007 Dec 13; 357: 2517-8.
Smeltzer,Suzanne C.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and
suddarth.Jakarta:EGC
Sukman N, 2012. LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK :Imunopatogenesis dan
Penatalaksanaan.Jakarta:2012
Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus Sistemik.
Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.
19
Pengisian diastolik menurun
Volume sekuncup menurun
Penurunan curah jantung
Jantung
Penumpukan komplek imun
Proses inflamasi
perikarditis
Pergerakan fase diastole dan sistole
menurunTekanan ventrikal naik
Resiko Cedera
Mata
Penumpukan komplek imun
Konjungtivitis Skleritis
Proses inflamasi
Paru-paru
Penumpukan cairan di cavum pleura
Penumpukan kompleks imun di cavum pleura
Ketidakefektifan pola nafas
Kesulitan bernapas
Pleuritis
Respon inflamasi
Nyeri
Muskuloskeletal
Penumpukan kompleks imun di sinovial dan
kartilago
Respon inflamasi
Arthritis
Nyeri
Hambatan mobilitas fisik
Nyeri
Menimbulkan reaksi inflamasi
Glomerulonefritis
Ginjal
Kompleks imun disaring
Mengendap di membran basal glomerulus
Peningkatan permeabilitas
`kapilerProteinuria
Kulit
Respon imun seluler
Monosit dan makrofag
Interleukin 1
Merangsang sel T Helper
Gangguan citra tubuh
Butter fly rash
Terbentuk kompleks imun
Pembentukan ANA & anti DNA tdk terkendali berikatan dgn antigen yg
relevan
Komplemen teraktivasi
Kerusakan jaringan
Hipergamaglobulinemia
Sel B hiperaktif↓ sel T supressor
Infeksi opurtunistik Imonuglobulin
>> di darah tepi
Sinar UV
Anti limfosit T
Limfopenia / leukopenia
Resiko Infeksi
Faktor genetik
Gangguan fungsi sel BGangguan sistem regulasi sel T
20
PATOFISIOLOGI SLE