infeksi leher bagian dalam
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
.
Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial di
antara fasia leher sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber,
seperti gigi, sinus paranasal, telinga tengah, leher, dan lainnya. Tergantung
ruang mana yang terlibat, gejala dan tanda klinis setempat berupa nyeri dan
pembengkakan akan menunjukkan lokasi infeksi.1,2
Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses
parafaring, abses submandibula dan angina Ludovici ( Ludwig’s angina).
Sejak ditemukannya antibiotik, secara signifikan angka kesakitan
(morbiditas) dan kematian (mortalitas) kasus abses leher dalam menurun
secara drastis. Walaupun demikian, abses leher dalam tetap merupakan salah
satu kasus kegawatan di bidang THT. Keterlambatan dalam diagnosis dan
pemberian terapi yang tidak adekuat dapat mengakibatkan komplikasi yang
dapat membahayakan jiwa, seperti mediastinitis, dengan angka mortalitas
sebesar 40%.2,3
1
BAB II
ANATOMI FARING
II.1 Lokasi dan deskripsi4,5
Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang berbentuk corong yang besar
di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak
terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke VI. Pada bagian atas,
faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, pada bagian depan
berhubungan dengan mulut melalui istmus orofaring, sedangkan laring di bawah
berhubungan melalui additus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm. Bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Bagian faring yang terlebar
terdapat setinggi os hyoideum (5cm), dan bagian faring yang tersempit (1,5cm) pada
ujung bawahnya, yakni pada peralihannya ke esophagus. Dinding laring dibentuk
oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal. Secara anatomis, faring terbagi menjadi, nasofaring, orofaring, dan
laringofaring.
2
Gambar 2.1 Anatomi faring. 10
II.2 Struktur dalam Faring
Untuk keperluan klinis faring dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu
nasofaring, orofaring dan laringofaring atau hipofaring. Sepertiga bagian atas atau
nasofaring adalah bagian pernafasan dari faring dan tidak dapat bergerak, kecuali
palatum molle bagian bawah. Bagian tengah faring, disebut orofaring, meluas dari
batas bawah palatum molle sampai permukaan lingual epiglottis.
3
Pada bagian ini termasuk tonsila palatina dengan arkusnya dan tonsila lingualis yang
terletak pada dasar lidah. Bagian bawah faring dikenal dengan laringofaring atau
hipofaring, menunjukan daerah jalan nafas bagian atas yang terpisah dari saluran
pencernaan bagian atas.
Gambar 2.2 Struktur dalam faring 11
II.2.1 Nasofaring
Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum molle.
4
Bila palatum molle diangkat dan dinding posterior faring ditarik ke depan,
seperti waktu menelan, maka nasofaring tertutup dari orofaring. Nasofaring
mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral.
Atap nasofaring dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris
ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngealis,
terdapat di dalam submmucosa daerah ini. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan
atas palatum molle yang miring. Isthmus pharyngeus adalah lubang di dasar
nasopharynx di antara pinggir bebas palatum molle dan dinding posterior faring.
Selama menelan, hubungan antara naso dan orofaring tertutup oleh naiknya palatum
molle dan tertariknya dinding posterior faring ke depan. Dinding anterior
nasopharynx dibentuk oleh apertura nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir
posterior septum. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang
berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis.
Dinding lateral pada tiap-tiap sisi mempunyai muara tuba auditiva ke pharynx.
Pinggir posterior tuba membentuk elevasi yang disebut elevasi tuba. M.
salphingopharyngeus yang melekat pada pinggir bawah tuba, membentuk lipatan
vertical pada membranca mucosa yang disebut plica salphingopharyngeus. Recessus
pharyngeus adalah lekukan kecil pada dinding lateral di belakang elevasi tuba.
Kumpulan jaringan limfoid di dalam submucosa di belakang muara tuba auditiva
disebut tonsila tubaria.
5
II.2.2 Orofaring
Orofaring terletak di belakang cavum oris dan terbentang dari palatum molle
sampai ke pinggir atas epiglotis. Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior,
dinding posterior, dan dinding lateral.
Atap orofaring dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus
pharyngeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submucosa
permukaan bawah palatum molle.
Dasar orofaring dibentuk oleh sepertiga posterior lidah (yang hampir vertical)
dan celah antara lidah dan permukaan anterior epiglottis. Membrana mucosa yang
meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya
jaringan limfoid di bawahnya, disebut tonsila linguae. Membrana mucosa melipat
dari lidah menuju epiglottis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica
glossoepiglottica mediana, dan dua plica glossoepiglottica lateralis. Lekukan kanan
dan kiri plica glossoepiglottica mediana disebut vallecula.
Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus orofaring
(isthmus faucium). Di bawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae.
Dinding posterior orofaring disokong oleh corpus vertebra cervicalis kedua
dan bagian atas corpus vertebra cervicalis ketiga.
Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palatoglossus dan arcus
palatopharyngeus dengan tonsila palatina di antaranya.
6
Arcus palatoglossus adalah lipatan membrane mucosa yang menutupi m.
palatoglossus yang terdapat di bawahnya. Celah di antara kedua arcus palatoglossus
merupakan batas antara rongga mulut dan orofaring dan disebut isthmus faucium.
Arcus palatopharyngeus adalah lipatan membrane mucosa pada dinding
lateral orofaring, di belakang arcus palatoglossus. Lipatan ini M. palatopharyngeus
yang ada di bawahnya.
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral
orofaring di antara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus di
belakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina.
Tonsila palatina merupakan dua massa jaringan limfoid yang terletak pada dinding
lateral orofaring di dalam fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh membrane
mucosa, dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam faring. Pada
permukaannya terdapat banyak lubang kecil, yang membentuk crypta tonsillaris.
Permukaan lateral tonsila palatina ini diliputi oleh selapis jaringan fibrosa yang
disebut capsula.
Tonsila mencapai ukuran terbesarnya pada masa anak-anak, tetapi sesudah
pubertas akan mengecil dengan jelas.
Batas anterior dari tonsila palatina adalah arcus palatoglossus. Di posterior
terdapat arcus palatopharyngeus. Pada superior terdapat palatum molle, disini tonsila
palatina dilanjutkan oleh jaringan limfoid di permukaan bawah palatum molle. Di
inferior dari tonsila palatina terdapat sepertiga posterior lidah.
7
Di sebelah medial dari tonsila palatina terdapat orofaring. Dan batas lateral tonsila
palatine adalah kapsula yang dipisahkan dari m. constrictor pharyngis superior oleh
jaringan alveolar jarang.
Pendarahan arteri yang mendarahi tonsila adalah a. tonsilaris, sebuah cabang
dari a. facialis. Sedangkan aliran vena-vena menembus m. constrictor pharyngis
superior dan bergabung dengan v. palatine externa, v. pharyngealis, atau v. facialis.
Pada aliran limfe, pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan nodi lymphoidei
profundi. Nodus yang terpenting dari kelompok ini adalah nodus nodus
jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibula.
II.2.3 Laringofaring
Laringofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior
laring, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah
cartilago cricoidea. Laringofaring mempunyai dinding anterior, posterior, dan lateral.
Dinding anterior laringofaring dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane
mucosa yang meliputi permukaan posterior laring. Dan dinding posterior
laringofaring disokong oleh corpus vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan
keenam. Sedangkan dinding lateral laringofaring disokong oleh cartilage thyroidea
dan membrane thyroidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrane, disebut
fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis. Fossa ini berjalan miring
ke bawah dan belakang dari dorsum linguae menuju oesophagus.
8
Fossa piriformis dibatasi di medial oleh plica aryepiglottica dan di lateral oleh lamina
cartilago thyroidea dan membrane thyroidea.. Pada pemeriksaan laringofaring dengan
dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan
laryngoskop akan tampak struktur yang dinamakan valekula (pill’s pocket), yang
merupakan 2 buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial
dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.
Gambar 2.3 Nasofaring,orofaring dan laringofaring 12
Gambar 2.4 Nasofaring, orofaring dan laringofaring 11
9
II.3 Ruang Faringal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.
II.3.1 Ruang Retrofaring (Retropharyngeal Space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari
mukosa fasia faringobasilar dan otot-otot faring.
Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari
dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat-
serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelah lateral ruang
ini berebatasan dengan fosa faringomaksila. Abses retrofaring sering ditemukan pada
bayi atau anak. Kejadiannya ialah karena di ruang retrofaring terdapat kelenjar-
kelenjar limfa. Pada peradangan kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang
bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruang retrofaring. Kelenjar limfa
di ruang retrofaring ini akan banyak menghilang pada pertumbuhan anak.
II.3.2 Ruang Parafaring (Fosa Faringomaksila= Pharyngo-Maxillary Fossa)
Ruang ini berebentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hyoid. Ruang
ini dibatasi di bagian dalam oleh M.Konstriktor faring superior, batas luarnya adalah
ramus asenden mandibula yang melekat dengan M.Pterigoid interna dan bagian
posterior kelenjar parotis.
10
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os. Stiloid
dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang
lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akaibat tonsil yang
meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi A. Karotis
interna, V. Jugularis interna, N.Vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang
disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring
oleh suatu lapisan fasia yang tipis. 6
11
BAB III
INFEKSI LEHER BAGIAN DALAM
Infeksi leher bagian dalam berkembang dalam ruang faring yang potensial.
Sumber infeksi dapat berasal dari gigi geligi, faring atau traumatik, dimana terjadi
perforasi pada membrane mukosa pelindungan mulut atau ruang faring. Gejala dan
tanda klinik berupa nyeri dan pembengkakan.1,7
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan
membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher
dalam.1
Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses
parafaring, abses submandibula dan angina Ludovici ( Ludwig’s angina).
Etiologi8
Sebelum ditemukannya antibiotik, 70% dari kasus abses leher dalam
disebabkan oleh penyebaran dari infeksi yang berasal dari faring dan tonsil.
Setelah ditemukannya antibiotik, infeksi gigi merupakan sumber infeksi
paling banyak yang dapat menyebabkan abses leher dalam. Kebersihan gigi
yang kurang dan penyalahgunaan obat intravena bisa menjadi faktor penyebab
tersering pada orang dewasa.
12
Penyebab infeksi leher dalam sebagai berikut:
• Infeksi pada faring dan tonsil
• Infeksi atau abses dental
• Prosedur bedah mulut atau pengangkatan kawat gigi
• Infeksi atau obstruksi glandula saliva
• Trauma kavum oris dan faring
• Pemeriksaan, terutama esofagoskopi atau bronkoskopi
• Aspirasi benda asing
• Limfadenitis servikal
• Anomali celah brakial
• Kista ductus tyroglossalis
• Tiroiditis
• Mastoiditis dengan petrositis dan Bezold's abscess
• Penggunaan obat intravena
• Nekrosis dan supurasi masa atau limfonodus servikalis maligna 8
13
III.1 ABSES PERITONSIL
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan
(accumulation) pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan
peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis
Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri
penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar
faring menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul
tonsil tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring. 9
III.1.1 Etiologi
Kadang-kadang, infeksi tonsila berlanjut menjadi selulitis difusa dari
daerah tonsila sampai palatum mole. Kelanjutan proses ini menyebabkan
abses peritonsilaris. Kelainan ini dapat terjadi lebih cepat, dengan awitan
awal dari tonsillitis atau akhir perjalanan penyakit tonsilitis akut. Hal ini
dapat terjadi walaupun diberikan penisilin. Proses ini terjadi sebagai
komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar
mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama
dengan penyebab tonsillitis, dapat ditemukan kuman anaerob dan
anaerob.7,1
14
Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang lebih tua
dan dewasa muda.7
III.1.2 Gejala
Selain gejala dan tanda tonsiltis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri
menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga. 1 Pada kasus
yang agak berat, biasanya terdapat disfagia yang nyata, nyeri alih ke
telinga pada sisi yang terkena, salivasi yang meningkat, dan khususnya
trismus. Pembengkakan mengganggu artikulasi dan jika nyata, bicara
menjadi sulit. Demam sekitar 1000F, meskipun adakalanya mungkin lebih
tinggi.7 Juga bisa terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foeter ex
ore), suara sengau ( rinolalia) dan kadang-kadang sukar membuka mulut
(trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri
tekan.1
III.1.3 Diagosis
III.1.3.1 Patologi
Daerah superior ddan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil
tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole
membengkak. Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di
bagian inferior. 1
15
Infiltrasi supuratif dari jaringan peritonsilaris terjadi paling sering
pada fosa supratonsilaris (70%).7 Pada stadium permulaan (stadium
infiltrate), selain pembengkakan tampak permukaannya hiperemis. Bila
proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-
kuningan. Hal ini menyebabkan edema palatum mole pada sisi yang
terkena dan pendorongan uvula melewati garis tengah. Tonsil terdorong
ke tengah, depan dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi
kontralateral.1
Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya
akan menyebabkan iritasi pada M. Pterigoid interna, sehingga timbul
trismus. Pembengkakan meluas ke jaringan lunak sekitarnya,
menyebabkan rasa nyeri menelan dan trismus1,7
Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.
III.1.3.2 Bakteriologi
Biakan tenggorokan diambil tetapi seringkali tidak membantu dalam
mengetahui organisme penyebab. Pasien tetap diobati dengan terapi
antibiotic terlebih dahulu. Biakan dari drainase abses yang sebenarnya
dapat menunjukkan terutama Streptokokus pyogenes dan yang agak
jarang, Staphylococcus aureus.
16
Sprinkle dan lainnya menemukan insidens yang tinggi dari bakteri anaerob,
yang memberikan bau busuk pada drainase. Organisme-organisme tersebut
biasanya ditemukan dalam rongga mulut termasuk anggota dari famili
Bacteroidaceae 7.
III.1.3.3. Pemeriksaan
Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit
karena ketidakmampuan pasien membuka mulut. Pemeriksaan
menyebabkan pasien merasa tidak enak. Diagnosis jarang sangsi jika
pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong
uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum mole dan
penonjolan dari jaringan ini ke arah garis tengah. Tonsila sendiri nampak
normal juga terdorong ke medial, dan pembengkakan terjadi lateral
terhadap tonsil.Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan
terdorong kearah tengah, depan dan bawah. Palpasi, jika mungkin,
membantu membedakan abses dari selulitis. 1,7
III.1.4 Pengobatan
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres
dingin pada leher.
17
Jika terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik
dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase.
Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada
pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas
terakhir pada sisi yang sakit. 1
Kesulitan dapat timbul dalam memasikan apakah berhubungan
dengan selulitis akut atau pemberian abses yang sebenarnya telah terjadi.
Jika ragu-ragu, jarum ukuran 17 dapat dimasukkan (setelah aplikasi
dengan anestesi semprot) ke dalam tiga lokasi yang tampaknya paling
mungkin untuk menghasilkan aspirasi pus. Jika pus ditemukan secara
kebetulan, metode ini mungkin cukup untuk drainase dengan diikuti
antibiotik. Jika jumlah pus banyak ditemukan dan tidak cukup drainase
dengan metode ini, insisi yang jauh dan drainase dapat dilakukan. Jika
tidak ditemuka pus, tampaknya ini masih berhubungan dengan selulitis
dibandingkan dengan abses. Mereka yang menolak teknik ini berpatokan
pada kenyataan bahwa 30% dari abses terdapat pada sisi inferior dari fosa
tonsilaris dan tidak dapt dicapai dengan menggunakan teknik jarum. 7
Bila terdapat trismus, maka intuk mengatasi rasa nyeri, diberikan
analgesia ( lokal), dengan menyuntikan xylocain atau Novocain 1 % di
ganglion sfenopaltinum. Ganglion ini terletak di bagian belakang atas
lateral dari konka media.
18
Ganglion sfenopalatinum mempunyai cabang N. Palatina anterior,
media dan posterior yang mengirimkan cabang aferennya ke tonsil dan
palatum mole di atas tonsil. Daerah inervasi dari cabang palatine
N.Trigeminus yang melewati ganglion sfenopaltinum. 1
Teknik insisi dan drainase menbutuhkan anestesi local. Pertama,
faring disemprot dengan anestesi topical. Kemudian 2 cc Xilicain dengan
Adrenalin 1/100.000 disuntikan. Pisau tonsil no.12 atau no.11 dengan
plester unutk mencegah penetrasi yang dalam yang digunakan untuk
mebuat insisi melalui mukosa dan submukosa dekat kutub atas fosa
tonsilaris. Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan dengan
lembut direntangkan. Pengisapan tonsila sebaiknya segera disediakan
untuk mengumpulkan pis yang dikeluarkan. Pada anak yang lebih tua atau
dewasa muda dengan trismus berat, pembedahan drainase untuk abses
peritonsilaris mungkin dilakukan setelah aplikasi cairan kokain 4% pada
daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa nasalis. Hal ini
kadang-kadang mengurangi nyeri dan trismus. Anak-anak yang lebih
muda membutuhkan anestesi umum. Menganjurkan tonsilektomi segera
(tonsilektomi Quinsy) merasa bahwa ini merupakan prosedur yang aman
yang membantu drainase sempurna dari abses jika tonsila diangkat.
19
Hal ini mengurangi kebutuhan tonsilektomi berencana yang dilakukan enam
minggu kemudian, di mana saat itu sering terdapat jaringan parut dan fibrosis dan
kapsul tonsilaris kurang mudah dikenali. Indikasi-indikasi untuk tonsilektomi segera
disusun pada tabel.
Indikasi-Indikasi Untuk Tonsilektomi Segera Pada Abses Peritonsilaris
Obstruksi jalan napas
Sepsis dengan adenitis servikalis atau abses leher bagian dalam.
Riwayat abses peritonsilaris sebelumnya
Riwayat faringitis eksudatifa yang berulang
Tabel 1. Indikasi tonsilektomi segera pada abses peritonsilaris 7
Disamping pembedahan drainase, apakah dengan aspirasi jarum atau dengan
insisi, pasien dengan antibiotik dan irigasi cairan garam hangat. Walaupun biakan
tidak menunjukkan adanya pertumbuhan karena pemberian antibiotic terlebih dahulu,
antibiotik diberikan yang efektif melawan Streptokokus, Stafilokokus, dan anerob
oral. Pada individu dengan abses peritonsilaris ulangan atau riwayat episode faringitis
ulangan, tonsilektomi dilakukan segera atau dalam jangka waktu enam minggu
kemudian dilakukan tonsilektomi.7
20
III.1.5 Komplikasi
(1) Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan, aspirasi
paru atau piemia.
(2) Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi
abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke
mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis.
(3) Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. 1
21
III.2 ABSES RETROFARING
Penyakit ini terjadi terutama pada bayi atau anak-anak kecil yang
berusia di bawah dua tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang
retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi
kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung, sinus
paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius dan telingan tengah. Pada
usia di atas 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi. 7,1
III.2.1 Etiologi
Pada anak yang lebih tua atau dewasa penyakit ini hampir selalu
terjadi sekunder akibat dari penyebaran abses spatium parafaringeum atau
gangguan traumatik dari batas dinding faring posterior oleh trauma yang
berasal dari benda asing atau selam penggunaan alat-alat atau intubasi.
Pada anak-anak terdapat akumulasi pus antara dinding faring posterior dan
fasia prevertebra yang terjadi akibat supurasi dan pecahnya nodi limfatisi
pada jaringan retrofaring. Nodi-nodi ini terletak anterior terhadap vertebra
servikalis kedua dan pada anak-anak yang lebih tua tidak ditemukan lagi. 7
Keadaan yang dapat menyebakan terjadinya abses ruang retrofaring
ialah (1) Infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis
retrofaring.
22
(2) Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang
ikan atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan
endoskopi.(3) Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas ( abses dingin).
1
III.2.2 Gejala
Gejala abses retrofaring ialah rasa nyaeri dan sukar menalan. Pada
anak kecil, menyebakan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau
makan atau minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. 1
Penyakit sebaiknya dicurigai pada bayi atau anak yang masih kecil
terdapat demam yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi pernapasan
bagian atas dan terdapat gejala-gejala hilangnya nafsu makan, perubahan
dalam bicara, dan kesulitan menelan. Stridor terjadi jika abses semakin
besar atau edema meluas ke bawah mengenai laring. Pada dewasa terdapat
gejala disfagia, nyeri menelan, dan gejala-gejala yang memberi kesan
adanya obstruksi jalan napas. Pada orang dewasa, jika abses semakin
besar terdapat nyeri dan pembengkakan pada leher, spatium
parafaringeum biasanya terkena secara bersamaan.
23
Anestesi umum yang diberikan memungkinkan intubasi tersebut dapat
dilakukan dan tidak akan menyebabkan pecahnya abses. Pada bayi
mungkin dapat dilakukan drainase abses dengan menggunakan anestesi
lokal sebagai tindakan darurat, tetapi lebih disukai intubasi yang aman
oleh ahli anestesi yang berpengalaman. 7
III.2.3 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran
napas atau trauma. Gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang
foto Rontgen jaringan lunak leher lateral, akan tampak pelebaran ruang
retrofaring dan berkurangnya lordosis kolumna vertebra servikalis1.
Pada bayi pembengkakan dinding faring tidak dapat dengan mudah
dideteksi dengan inspeksi atau palpasi. Pada kasus-kasus ini, radiografi
jaringan lunak lateral leher menunjukkan bayangan jaringan lunak yang
jelas antara saluran udara faring dan korpus vertebra servikalis. Laring dan
trakea ditunjukkan dalam posisi kea rah depan. Jika terdapat keraguan
mengenai radiografi, maka dapat dipertegas dengan radiografi penelanan
barium.7
24
III.2.4 Penanganan
Karena pemberian antiobiotik dini, maka stadium abses yang
sebenarnya tidak pernah terjadi, tetapi terdapat adenitis retrofaring yang
luas, yang akan memberikan respons yang sesuai terhadap antibiotic
intravena. Jika diagnosis abses yang sebenarnya sudah pasti, sebaiknya
dilakukan drainase abses. Jalan napas harus dilindungi. Kepala
direndahkan sehingga pengeluaran pus tidak akan diaspirasi, dan dengan
menggunakan pisau skapel tajam yang kecil dilakukan insisi vertical yang
pendek pada titik dimana pembengkakan paling besar. Untuk faktor
keamanan, pisau sebaiknya dituntun oleh jari telunjuk yang diletakkan
pada abses. Jika pus tidak keluar, dimasukkan hemostat tertutup yang
kecil pada luka, kemudian dengan lembut didorong kea rah lebih dalam,
dan meluas.
Biakan dilakukan untuk organisme aerobic dan anaerobic seperti
tuberkulosis. Juga dilakukan pewarnaan gram. Pengobatan antibiotic
sebaiknya termasuk untuk Stafilokokus, Streptokokus, dan anaerob oral
yang biasa, termasuk strain Bacteroides ( B. fragilis) yang resisten
terhadap penisilin.
Sekarang ini lebih banyak terdapat pada bayi yang muda dengan
gambaran klinis khas yang memberi kesan suatu abses spatium
retrofaringeum.
25
Radoigrafi jaringan lunak memperjelas edema yang terdapat pada
spatium retrofaringeum. Pada bayi yang lebih besar digunakan pendekatan
servikal lateral. Kelainan yang ditemukan adalah jaringan menjadi lunak
atau nekrotik, pembesaran nodi limfatisi yang masif dan edematus.
Jaringan dikirim untuk dialkukan evaluasi patologik untuk menyingkirkan
leukemia dan limfoma disamping biakan. Jalan napas diperbaiki dengan
berkurangnya edema jaringan, dan trakeostomi seringkali dihindari.
Gambaran klinis ini paling sering menunjukkan perubahan dari gambaran
yang kalsik karena pemberian antibiotik dini pada pasien yang diduga
menderita abses spatium retrofaringeum.7
III.2.5 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah (1) penjalaran ke ruang
parafaring, ruang vaskuler visera, (2) mediastinitis, (3) obstruksi jalan napas
sampai asfiksia, (4) bila pecah spontan, dapat menyebkan pneumonia dan
abses paru. 1
Asfiksia karena aspirasi debris septik dan perdarahan merupakan
komplikasi abses retrofaring yang ditakuti. Asfiksia terjadi waktu
memasukkan alat ke mulut untuk pemeriksaaan dan drainase atau akibat
pecahnya abses yang besar tiba-tiba, sehingga memenuhi laring dengan pus.
26
Jika terjadi perdarahan, perdarahan biasanya terjadi berlebihan dan
mungkin membutuhkan ligasi arteri karotis interna pada sisi yang terkena
untuk mengendalikan perdarahan.
Infeksi pada ruang ini dapat meluas ke mediastinum dengan akibatnya
terjadi mediastinitis. 7
27
III.3 ABSES PARAFARING
III.3.1 Etiologi
Ruang potensial ini berbentuk sperti corong dengan dasarnya terletak
pada dasar tengkorak pada setiap sisi berdekatan dengan foramen jugularis
dan apeksnya pada kornu mayor tulang hyoid. Batas bagian dalam adalah
ramus asenden mandibula dan perlekatan otot pterigoideus media dan
bagian posterior kelenjar parotis. Batas bagian dorsal terdiri dari otot-otot
prevertebra. Setiap fosa dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besar
oleh prosesus stiloideus dan perlekatan otot-otot. Bagian anterior
(prestiloideus)merupakan bagian yang lebih besar. Dan bagian ini dapat
terkena proses supuratif sebagai akibat dari tonsil yang terinfeksi,
beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, karies gigi, dan pembedahan.
Bagian posterior yang lebih kecil terdiri dari arteri karotis interna, vena
jugularis, saraf vagus, dan saraf simpatis. Bagian ini dipisahkan dari
spatium retrofaring oleh selaput fasia yang tipis. 7
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara 1) Langsung,
yaitu akibat tusukan jarum pada saat melaukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah
terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis ( M. Konstriktor
Faring Superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris.
28
2) Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil,
faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikalis dapat
merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. 3)
Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.
III.3.2 Gejala
Gejala dan tanda utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus mandibula, demam tinggi. 1 Jika infeksi meluas dari faring
ke ruang ini, pasien akan menunjukkan trismus yang jelas. Sedangkan
dinding faring lateral akan terdorong ke medial, seperti pada abses
peritonsilaris. Infeksi ini sebaiknya selalu dilakukan drainase melalui
insisi vertikal. Leher menjadi bengkak dekat sudut mabdibula, CT Scan
membantu dalam menggambarkan abses.7
III.3.3 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda
klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
foto rontgen jaringan lunak AP atau CT Scan. 1
29
III.3.4 Penanganan
Untuk terapi diberi antibiotic dosis tinggi secara parenteral terhadap
kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila
tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara
eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui insisi dari luar dan intra oral. 1
Insisi transversal, dua ruas jari di bawah mandibula, menunjukkan
jalan masuk ke batas anterior otot sternokleidomastoideus. Kelenjar
submandibula dikenali juga sebagai venter posterior otot digastrikus
posterior. Pembedahan tumpul kearah prosesus stiloideus membuka ruang
ini. Setelah pus diambil untuk biakan dan pewarnaan gram,dimasukkan
pipa drainase ke dalam abses. Kulit akan menjadi tampak longgar.7
Bila nanah terdapat di selubung karotis, insisi dilanjutkan vertical dari
pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
M.Sternokleidomastoideus. (cara Mosher).
Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai
klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus M. Konstriktor faring
Superior ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila
perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal. 1
30
III.3.5 Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau
langsung (per kontinuatatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas
menyebabkan peradangan intracranial, ke bawah menyusuri selubung
karotis mencapai mediastinum.
Komplikasi yang paling berbahaya dari infeksi spatium
faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat
terjadi tromboflebitis septic vena jugularis. Bila terjadi periflebitis atau
endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septicemia. 7,1
Juga dapat terjadi perdarahan masif yang tiba-tiba akibat dari erosi
arteri karotis interna. Kompikasi ini dapat memberi kesan dengan adanya
perdarahan awal yang kecil (perdarahan tersamar). Jika diduga terjadi
kompikasi ini dan rencana akan dibuat untuk drainase dari abses maka
identifikasi arteri karotis interna harus dilakukan. Dengan demikian, jika
terjadi perdarahan ketika dilakukan drainase abses, maka dapat segera
dilakukan ligasi arteri karotis interna atau arteri karotis komunikans. 7
31
III.4 ABSES SUBMANDIBULA
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.
Ruang Sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid.
Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang
submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke
dalam ruang submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang
submental dan ruang submaksila saja. Abses dapat terbentuk di ruang
submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah
kepala leher.
III.4.1 Etiologi
Ruang potensial ini terletak berdekatan dengan spatium faringomaksilaris.
Ruang ini termasuk otot pterigoideus interna, otot maseter, dan ramus mandibula.
Walaupun infeksi pada spatium faringomaksilaris yang berdekatan terutama
akibat ineksi pada faing, ruang mastikator paling sering terkena sekunder dari
infeksi yang berasal dari gigi. 7
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau
kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga sebagai kelanjutan infeksi ruang
leher dalam lain.
32
Kuman penyebab biasanya campuran, dapat kuman aerob atau anaerob. 1
III.4.2 Gejala
Pembengkakan dan nyeri tekan terjadi di atas ramus mandibula
demikian juga dengan kekerasan yang timbul sepanjang lateral dasar mulut. Lidah
tidak mungkin ditekan karena pembengkakan dan edema dari dasar mulut. 7
III.4.3 Penanganan
Infeksi pada ruang ini sebaiknya diobati dari awal dan cepat
menggunakan antibiotika yang sesuai. Antibiotik dosis tinggi terhadap
kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara parenteral. Jika infeksi
gagal diatasi setelah satu minggu dengan terapi antibiotik yang intesif,
maka perlu dilakukan pembedahan drainase. Suatu insisi servikal
transversal dibuat dua jari di bawah mandibula dan dilanjutkan sampai
periosteum mandibula. Kemudian dilakukan pembedahan tumpul untuk
mendrainase abses. Dapat juga diperlukan untuk membuat suatu insisi
intraoral yang terpisah sehingga mendrainase infeksi ke dalam mulut.
Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda. 7,1
33
III.5 ANGINA LUDWIG
Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari
bagian superior ruang suprahioid. Ruang potensial ini berada antara otot-
otot yang melekatkan lidah pada tulang hyoid dan otot milohioideus.7
Ruang ini terdiri dari ruang sublingual, submental dan
submaksilar yang disebut juga ruang submandibular .
III.5.1 Etiologi
Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang
berasal dari gigi geligi, tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi
servikalis pada ruang submaksilaris. Kuman dapat berupa aerob dan
anaerob.7,1
Jika infeksi berasal dari gigi, organisme pembentuk gas tipe
anaerob sangat dominan. Jika infeksi bukan berasal dari daerah gigi,
biasanya disebabkan oleh Streptococcus dan Staphylococcus.
Angina Ludwig sering ditemukan pada orang dewasa muda yang
menderita infeksi gigi. Kelainan ini juga ditemukan pada anak-anak
namun jarang terjadi. Etiologi angina Ludwig antara lain karena
trauma bagian dalam mulut, karies gigi, infeksi gigi, dan sistem
imunitas tubuh yang lemah, tindik lidah.8
34
III.5.2 Patogenesis
Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi. Nekrosis pulpa
karena karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam
merupakan jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah
bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang
spongiosa sampai tulang cortical. Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan
menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung
dari daya tahan jaringan tubuh. Odontogen dapat menyebar melalui jaringan
ikat (perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogenous), dan pembuluh limfe
(limfogenous). Yang paling sering terjadi adalah penjalaran secara
perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara jaringan yang
berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus. Penjalaran infeksi pada rahang
atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses gingiva,
cavernous sinus thrombosis, abses labial, dan abses fasial. Penjalaran infeksi
pada rahang bawah dapat membentuk abses subingual, abses submen-tal,
abses submandibular, abses submaseter, dan angina Ludwig. Ujung akar
molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea mylohyoidea (tempat
melekatnya m. mylohyoideus) yang terletak di aspek dalam mandibula,
sehingga jika molar kedua dan ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya
dapat menyebar ke ruang submandibula dan dapat meluas ke ruang
parafaringal.
35
Selain infeksi gigi abses ini juga dapat disebabkan pericoronitis, yaitu suatu
infeksi gusi yang disebabkan erupsi molar ketiga yang tidak sempurna. 1
Infeksi bakteri yang paling sering oleh streptococcus atau staphylococcus.
Sejak semakin berkembangnya antibiotik, angina Ludwig menjadi penyakit
yang jarang.
Gambar 3 1. Linea mylohyoidea, tempat perlekatan m. mylohyoideus. Infeksi premolar dan molar
menyebabkan perforasi, kemudian menyebar keruang-ruang yang dibatasi oleh m.
mylohyoideus.8
Infeksi pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan yang
keras dari fasia servikal profunda dengan m. digastricus anterior dan tulang
hyoid. Edema dagu dapat terbentuk dengan jelas.8
36
Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu
sendiri, tetapi dapat pula menyusuri sepanjang duktus submaksilar Whartoni
dan mengikuti struktur kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga
meluas ke bawah sepanjang m. hyoglossus menuju ruang-ruang fasia leher
Gambar 3. 2. Ruang submandibular terletak antara m. mylohyoid, fasia dan kulit. Ruang
submandibular terinfeksi langsung oleh molar kedua dan ketiga. 8
Pada infeksi ruang sublingual, edema terdapat pada daerah terlemah
dibagian superior dan posterior, sehingga menghambat jalan nafas. 8
37
Gambar 3.3. Ruang sublingual, terletak antara mukosa mulut dan m. mylohyoid. Ruang ini
dapat terinfeksi yang berasal dari premolar dan molar pertama .8
Gambar 3. 4. Penyebaran pembengkakan akibat abses di ruang sublingual
dan submandibular8
38
III.5.3 Gejala
Terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan di daerah
submandibula, yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan.
Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas belakang,
sehingga menimbulkan sesak napas, karena sumbatan jalan napas. 1
Peradangan pada ruang ini menyebakan kekerasan yang berlebihan pada
jaringan dasar mulut dan mendorong lidah ke atas dan belakang dan dengan
demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial. 7
Gambar 3.5. Anak dengan Angina Ludovici8
39
III.5.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau
cabut gigi, gejala dan tanda klinik.
Pada “Pseudo Angina Ludovici” dapat terjadi fluktuasi. 1
Ada empat kriteria yang dikemukakan Grodinsky untuk membedakan
angina Ludwig dengan bentuk lain dari infeksi leher dalam. Infeksi
pada angina Ludwig harus memenuhi kriteria:
- Terjadi secara bilateral pada lebih dari satu rongga.
- Menghasilkan infiltrasi yang gangren-serosanguineous dengan
atau
tanpa pus.
- Mencakup fasia jaringan ikat dan otot namun tidak melibatkan
kelenjar.
- Penyebaran perkontinuitatum dan bukan secara limfatik. 8
III.5.5 Penanganan
Setelah diagnosis angina Ludwig ditegakkan, maka
penanganan yang utama adalah menjamin jalan nafas yang stabil
melalui trakeostomi yang dilakukan dengan anestesia lokal.
40
Trakeostomi dilakukan tanpa harus menunggu terjadinya dispnea
atau sianosis karena tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang sudah
lanjut. Jika terjadi sumbatan jalan nafas maka pasien dalam
keadaan gawat darurat. 8
Sebagai terapi diberikan dengan antibiotoka dengan dosis tinggi,
untuk kuman aerob dan anaerob, dan diberikan secara parenteral. 1
Pengobatan angina Ludwig pada anak untuk perlindungan jalan
napas digunakan antibiotik intravena, selain itu dapat juga
digunakan terapi pembedahan. Antibiotik yang digunakan adalah
Penicilin G dosis tinggi, kadang-kadang dapat dikombinasikan
dengan obat antistaphylococcus atau metronidazole. Jika pasien alergi
pinicillin, maka clindamycin hydrochloride adalah pilihan yang
terbaik. Dexamethasone yang disuntikkan secara intravena, diberikan
dalam 48 jam untuk mengurangi edem dan perlindungan jalan
nafas. 8
Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan
dekompresi ( mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus (pada Angina
Ludovici jarang terdapat pus) atau jaringan nekrosis.1
41
Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam
tumpul. Jika terbentuk nanah dilakukan insisi dan drainase. Insisi
dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os. hyoid (3-4
jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan paralel
dengan korpus mandibula melalui fasia dalam sampai ke kedalaman
kelenjar submaksilar. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas
os. hyoid sampai batas bawah dagu. Perlu juga dilakukan
pengobatan terhadap infeksi gigi untuk mencegah kekambuhan.
Pasien dirawat inap sampai infeksi reda. 8
Penanganan terdiri dari pembedahan insisi melalui garis tengah,
dengan demikian menghentikan ketegangan yang terbentuk pada dasar
mulut. Karena ini merupakan selulitis, maka sebenarnya pus jarang
diperoleh. Sebelum insisi dan drainase dilakukan sebaiknya dilakukan
persiapan terhadap kemungkinan trakeostomi karena ketidakmampuan
melakukan intubasi pada pasien, seperti lidah yang mengobstruksi
pandangan laring dan tidak dapat ditekan oleh laringoskop. 7
42
III.5.6 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah 1) Sumbatan jalan napas, 2)
Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum, dan 3) Sepsis.
Gambar 3.7. Proses penjalaran ke mediastinum sebagai salah satu komplikasi
ludwig angina8
Gambar 3.6. Insisi ludwig Angina8
43
BAB IV
KESIMPULAN
Infeksi leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring,
abses submandibula, angina ludovici, dan abses parafaring. Infeksi leher
bagian dalam berkembang dalam ruang faring yang potensial. Sumber infeksi
dapat berasal dari gigi geligi, faring atau traumatik, dimana terjadi perforasi
pada membrane mukosa pelindungan mulut atau ruang faring.
Infeksi leher dalam harus secepatnya di diagnosis kemudian diobati
secara adekuat dengan pemberian antibiotika dan jika sudah terbentuk abses
dapat dilakukan pembedahan berupa insisi drainase. Karena jika tidak diobati
secara adekuat dapat menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan
nyawa.
44
Daftar Pustaka
1. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga-Hidung-Tenggorok. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006.hlmn 185-189
2. Driscoll BP, Scott B, Stiernberg C. Deep neck space infection. In: Bailey, ed.
Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 2nd ed. Vol 1. Philadelphia New
York:Lippincott-Raven; 2002.hlmn 819-35
3. Lee Kj. Neck spaces and fascial planes. In: Essential Otolryngology Head &
Neck Surgery. 8th ed. New York:McGraw-Hill.hlmn 422-37
4. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid
Satu,
Edisi 13. Jakarta : Binarupa Aksara. 1994
5. Liston SL. Embriologi, anatomi dan fisiologi rongga mulut, faring, esophagus dan
Leher. Dalam: Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : Penerbit buku kedokteran
EGC.1997. Hlmn. 264-271
6. Ruamarjono. Kartosoediro, Soerjadi. Odinofagi. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2006.hlmn 173-177
45
7. Adams,L.George. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Boies
Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.1997. Hlmn
320-354
8. Raharjo, Sutji Pratiwi. Penatalaksanaan Angina Ludwig. Dexfi Media Jurnal
Kedokteran dan Farmasi 2008; 1 : 29-33
9. Adrianto, Petrus. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran 1986.hlmn 308-309
10. Davis, Gwilym G. Applied Anatomy: The Construction Of The Human Body.
Available from URL :// chestofbooks.com/. Acessed : January 02,2010
11. Anatomy of Respiratory System. Available from URL :// fau.pearlashes.com.
Acessed : January 02, 2010
12. Anatomy of Digestive System. Available from URL :// www.ccast.edu.ps.
Acessed : January 02, 2010
46