indonesia toward aec 2015

2
Yang kedua, Neo Liberal Institusional. Teori ini akan memiliki argumentasi yang lebih positif terhadap liberalisasi. Teori ini akan melihat bahwa liberalisasi ASEAN akan meningkatkan level interdependensi kawasan. Asia Tenggara dikenal sebagai kawasan dengan balance of power deficit, sehingga perang mudah terjadi apabila tidak dikelola dengan baik. Ini sebabnya, relasi interdependensi harus dikembangkan dan berbagai institusi yang efektif perlu dikelola, sehingga kawasan ini dapat lebih aman dan damai. Apabila transaksi intra kawasan dapat ditingkatkan, maka peluang konflik antar negara akan semakin kecil karena perekonomian regional akan dirugikan. Ini akan membuat setiap negara di kawasan ini menghindari perang. Bagi Indonesia, liberalisasi adalah insentif kerja sama yang menguntungkan. Ini dengan asumsi bahwa rencana-rencana penguatan daya saing Indonesia berjalan dengan semestinya. Tetapi kalau persiapan Indonesia gagal menciptakan daya saing, maka perlu diciptakan insentif regional yang lain sehingga Indonesia dan negara-negara lain yang masih tertinggal bisa ikut menikmati keuntungan dari liberalisasi ini. Neo Liberal Institusional percaya bahwa ketika absolute gain tidak tercapai, maka perlu dicari peluang insentif baru. Ini dilakukan dengan penciptaan institusi-institusi lainnya yang lebih mengakomodir semua aktor. Penundaan liberalisasi sendiri bisa menjadi salah satu "insentif" agar semua aktor yang ada dapat menikmati absolute gain pada waktunya. Neo Liberal Institutional juga tidak dapat menganalisis masalah-masalah gap antar kelas ataupun konflik-konflik yang terjadi di dalam negara. Sama seperti Neo Realisme, level domestik itu bukan urusan Neo Liberal Institusional. Teori ini juga tidak melihat adanya ekploitasi negara maju terhadap negara berkembang yang dilanggengkan, karena baginya liberalisasi hanyalah salah satu bentuk institusi internasional yang berusaha mewujudkan interdependensi, meskipun itu adalah assymertrical interdependence. Sedangkan teori yang ketiga, World System Analysis, adalah teori yang pesimis terhadap liberalisasi. Liberalisasi adalah sistem yang diciptakan dan dipertahankan pusat-pusat kapitalisme di negara core terutama untuk mengeksploitasi negara peripheral. Ini akan memperlebar jurang antar kelas dan memperluas ketidakadilan. Dengan AEC yang mengkoordinasikan penerapan liberalisasi di Asia Tenggara, ada setidaknya dua skenario yang dapat terjadi: Pertama, apabila intra regional trade meningkat di Asia Tenggara, maka ini akan melemahkan eksploitasi negara core global terhadap Asia Tenggara. Eksploitasi masih akan terjadi, namun dengan rantai yang lebih pendek dan dengan lebih banyak surplus berputar di dalam kawasan. Ini akan melahirkan negara-negara semi peripheral baru di kawasan. Apakah Indonesia termasuk yang diuntungkan? Itu tergantung pada tingkat daya saing, kepemilikan modal, dan monopoli produksi kita.

Upload: rendy-iskandar-chaniago

Post on 03-Sep-2015

5 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Regionalism, ASEAN

TRANSCRIPT

Yang kedua, Neo Liberal Institusional. Teori ini akan memiliki argumentasi yang lebih positif terhadap liberalisasi. Teori ini akan melihat bahwa liberalisasi ASEAN akan meningkatkan level interdependensi kawasan. Asia Tenggara dikenal sebagai kawasan denganbalance of power deficit,sehingga perang mudah terjadi apabila tidak dikelola dengan baik. Ini sebabnya, relasi interdependensi harus dikembangkan dan berbagai institusi yang efektif perlu dikelola, sehingga kawasan ini dapat lebih aman dan damai. Apabila transaksi intra kawasan dapat ditingkatkan, maka peluang konflik antar negara akan semakin kecil karena perekonomian regional akan dirugikan. Ini akan membuat setiap negara di kawasan ini menghindari perang.

Bagi Indonesia, liberalisasi adalah insentif kerja sama yang menguntungkan. Ini dengan asumsi bahwa rencana-rencana penguatan daya saing Indonesia berjalan dengan semestinya. Tetapi kalau persiapan Indonesia gagal menciptakan daya saing, maka perlu diciptakan insentif regional yang lain sehingga Indonesia dan negara-negara lain yang masih tertinggal bisa ikut menikmati keuntungan dari liberalisasi ini. Neo Liberal Institusional percaya bahwa ketika absolute gain tidak tercapai, maka perlu dicari peluang insentif baru. Ini dilakukan dengan penciptaan institusi-institusi lainnya yang lebih mengakomodir semua aktor. Penundaan liberalisasi sendiri bisa menjadi salah satu "insentif" agar semua aktor yang ada dapat menikmatiabsolute gainpada waktunya.Neo Liberal Institutional juga tidak dapat menganalisis masalah-masalah gap antar kelas ataupun konflik-konflik yang terjadi di dalam negara. Sama seperti Neo Realisme, level domestik itu bukan urusan Neo Liberal Institusional. Teori ini juga tidak melihat adanya ekploitasi negara maju terhadap negara berkembang yang dilanggengkan, karena baginya liberalisasi hanyalah salah satu bentuk institusi internasional yang berusaha mewujudkan interdependensi, meskipun itu adalah assymertrical interdependence.Sedangkan teori yang ketiga, World System Analysis, adalah teori yang pesimis terhadap liberalisasi. Liberalisasi adalah sistem yang diciptakan dan dipertahankan pusat-pusat kapitalisme di negaracoreterutama untuk mengeksploitasi negaraperipheral.Ini akan memperlebar jurang antar kelas dan memperluas ketidakadilan. Dengan AEC yang mengkoordinasikan penerapan liberalisasi di Asia Tenggara, ada setidaknya dua skenario yang dapat terjadi:Pertama, apabila intra regional trade meningkat di Asia Tenggara, maka ini akan melemahkan eksploitasi negaracoreglobal terhadap Asia Tenggara. Eksploitasi masih akan terjadi, namun dengan rantai yang lebih pendek dan dengan lebih banyaksurplusberputar di dalam kawasan. Ini akan melahirkan negara-negara semi peripheral baru di kawasan. Apakah Indonesia termasuk yang diuntungkan? Itu tergantung pada tingkat daya saing, kepemilikan modal, dan monopoli produksi kita.Skenario kedua, apabila dengan AEC justru extra regional trade kita tetap atau bertambah besar daripada intra regional, maka liberalisasi akan semakin memiskinkan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kawasan ini akan semakin rawan konflik sosial, dan bisa menjadi masalah transnasional karena akan ada interaksi migran yang lebih intens dari sebelumnya. Sedangkan, gap ekonomi antara negara core dan Asia Tenggara semakin jauh.Skenario pertama dapat lebih menguntungkan Indonesia daripada yang kedua. Namun, karena kedua skenario tersebut tetap akan menciptakan gap ekonomi, maka ketidakadilan akan tetap terjadi, Kedua skenario tersebut tidak akan mampu memutus sepenuhnya eksploitasi negaracore global. Karenanya, Asia Tenggaraakan tetap rawan konflik,.

WSA juga akan menyoroti peran pemerintah Indonesia dalam liberalisasi ini. Apabila liberalisasi dilakukan tanpa kekuatan infrastruktur yang matang di Indonesia, berarti pemerintah belaku sebagaicompradoryang memediasi kepentingan kapitalis negaracoredan bukan sebagai representasi rakyatnya sendiri.Bagi WSA,balance of powermaupun penciptaan interdependensi hanyalah solusi sesaat di level antar negara. Solusi-solusi tersebut justru dapat menciptakan masalah baru yang lebih fundamental di level masyarakat. Misalnya saja, Indonesia demi mempertahankan dukungan keamanan dari Amerika Serikat terpaksa menjaga keberadaan perusahaan-perusaahn tambang negara tersebut meskipun telah menciptakan banyak masalah dengan penduduk lokal. Indonesia juga atas nama penciptaan interdependensi terpaksa mencabut berbagai subsidi pendidikan bagi masyarakatnya. Ini menunjukkan, solusi yang diberikan pada level antar negara dapat menciptakan masalah di level masyarakat. Padalah, justru substansi semua masalah itu ada di level ini, bukan di level negara.