indonesia dan hukum internasional: dinamika posisi … dan hukum... · 7 satu-satunya sumber...

37
JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014 8 INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI INDONESIA TERHADAP HUKUM INTERNASIONAL Damos Dumoli Agusman Abstract Jurists had debated the relationship between international law and national law for many years. They created the legendary theories, namely monism and dualism and continue with adoption and transformation theories. Within the historical perspective of Indonesia, international law is the pro establishments that give the legitimation for colonial state to colonize its colony. Therefore, international law is different with the legal system of Indonesia and become a new element within the architecture of Indonesian Law. The impact of the aforementioned issue is Indonesian legal system had not concerned with the existence of international law, particularly international treaties. The issue concerning relationship between international treaties and national law in Indonesia become unique and interesting. Indonesian tradition of international law had been colored by nationalistic sentiment, resistance and the struggling against the colonial tone of international law. This presumption and tradition will affect the behavior of Indonesia toward international law as stated by Ko Swan Sik. Keywords: international law, national law, Indonesian legal system, treaty law A. Pendahuluan Pakar hukum Belanda, Lambertus Erades, pernah mengekpresikan kegelisahannya bahwa “the relation between international law and municipal law is a subject with which many generations of lawyers have

Upload: dodieu

Post on 03-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

8

INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL:

DINAMIKA POSISI INDONESIA TERHADAP

HUKUM INTERNASIONAL Damos Dumoli Agusman

Abstract

Jurists had debated the relationship between international law and national law for many years. They created the legendary theories, namely monism and dualism and continue with adoption and transformation theories. Within the historical perspective of Indonesia, international law is the pro establishments that give the legitimation for colonial state to colonize its colony. Therefore, international law is different with the legal system of Indonesia and become a new element within the architecture of Indonesian Law. The impact of the aforementioned issue is Indonesian legal system had not concerned with the existence of international law, particularly international treaties. The issue concerning relationship between international treaties and national law in Indonesia become unique and interesting. Indonesian tradition of international law had been colored by nationalistic sentiment, resistance and the struggling against the colonial tone of international law. This presumption and tradition will affect the behavior of Indonesia toward international law as stated by Ko Swan Sik. Keywords: international law, national law, Indonesian legal system, treaty law

A. Pendahuluan

Pakar hukum Belanda, Lambertus Erades, pernah

mengekpresikan kegelisahannya bahwa “the relation between international

law and municipal law is a subject with which many generations of lawyers have

Page 2: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

9

wrestled, are wrestling and will continue to wrestle”.1 Para pakar hukum

telah lama berdebat soal bagaimana hubungan kedua bidang hukum ini

yang akhirnya melahirkan teori legendaris yang disebut dengan monisme

dan dualisme dan berlanjut dengan derivatif-nya yaitu teori adopsi dan

transformasi. Studi tentang hubungan kedua hukum ini sudah banyak,

tidak hanya soal interaksi antara kedua hukum ini namun juga menguak

konflik diantara keduanya. Namun sayangnya, studi ini masih terbatas

pada negara-negara modern2 dan belum banyak mengkaji sistem-sistem

hukum di negara-negara berkembang. Belum banyak terkuak bagaimana

hubungan hukum internasional dan hukum nasional di negara-negara

baru yang lahir setelah PD II dan yang melepaskan diri tradisi hukum

kolonialnya seperti Indonesia.3

Negara-negara bekas koloni, yang mewariskan sistem hukum

negara penjajahnya, lebih gampang menjelaskan hubungan kedua hukum

ini karena negara-negara ini cenderung mewarisi sistem hukum yang

dianut oleh negara penjajahnya yang telah menyediakan doktrin untuk

1 Lambertus Erades, ‘International Law and the Netherlands Legal Order’, di H.F. van Panhuys (ed.), International Law in the Netherlands, vol. III (1980), 376. 2 Andrea Bianchi, ‘International Law and US Courts: the Myth of Lohengrin Revisited’, 15 EJIL (2004) 4, 751; Tidak seperti pengalaman negara-negara Barat, Ko berargumen bahwa Negara-negara Asia tidak pernah membahas masalah ini, lihat Swan Sik Ko, ‘International Law in Municipal Legal Orders of Asian States: Virgin Land’, di Ronald St. J. Macdonald (ed.), Essays in Honour of Wang Tieya (1994), 740. 3 Studi komparatif dengan merujuk pada beberapa system hukum Negara berkembang dalam proses penyusunan perjanjian internasional dan status domestik perjanjian internasional dapat ditemukan di Duncan B Hollis, Merritt R. Blakeslee and L. Benyamin Ederington (eds), National Treaty Law and Practice (2005); David Sloss (ed.), The Role of Domestic Courts in Treaty Enforcement, A Comparative Study (2009); Dinah Shelton (ed.), International Law and Domestic Legal Systems: Incorporation, Transformation and Persuasion (2011).

Page 3: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

10

persoalan ini.4 Bekas jajahan Inggris akan serta merta mewarisi sistem

common law yang telah menyediakan doktrin untuk persoalan hubungan

hukum internasional dan hukum nasional yang cenderung menganut

dualisme, namun untuk Indonesia persoalan ini tampaknya belum jelas.5

Indonesia adalah negara baru yang memperoleh kemerdekaannya

dan pejajahan Belanda dengan perjuangan pahit. Akibatnya, Indonesia

cenderung anti penjajah dan menjadi tidak antusias mengadopsi tradisi

hukum Belanda sehingga cenderung membangun sistem hukumnya

sendiri.6 Bagi Indonesia, secara historis hukum internasional adalah pro

establishement yang memberi legitimasi bagi negara penjajah untuk terus

menjajah negara jajahannya. Hukum internasional pada waktu itu

menjadi sangat tidak bersahabat bagi Indonesia. Itulah sebabnya, hukum

internasional menjadi agak asing bagi sistem Indonesia dan menjadi

elemen yang cenderung baru dalam arsitektur hukum Indonesia.

Akibatnya, bagaimana sistem hukum Indonesia menyikapi hukum

4 Tiyanjana Maluwa, ‘The Incorporation of International Law and its Interpretational Role in Municipal Legal Systems in Africa: An Exploratory Survey’, 23 SAYIL (1998), 48. 5 Bekas koloni Inggris di dunia berkembang seperti Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh dan lainnya) dan di Asia Tenggara (Malaysia, Singapora, Brunei Darussalam) akan tanpa terelakkan menerapkan prinsip common law Inggris pada status perjanjian internasionalnya. Namun Shaw memberi kesan bahwa hal tersebut akan berbeda pada Negara civil law, lihat Malcolm N. Shaw, International Law (1997), 123. 6 Swan Sik Ko mengkategorikan Negara-negara tersebut sebagai tanah perawan, lihat Sik Ko (note 4), 737-752.

Page 4: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

11

internasional khususnya perjanjian internasional belum mendapatkan

perhatian dalam sistem hukum ini.7

Persoalan tentang hubungan perjanjian internasional dan hukum

nasional menjadi sangat menarik dan unik. Pengalaman sejarah Indonesia

sedikit banyak dapat menjelaskan relasi ini. Indonesia melepaskan diri

dari sistem kolonialisme Belanda yang waktu itu dilabelkan sebagai

dunia Barat, dunia yang menciptakan “hukum internasional”. Tradisi

Indonesia sudah diwarnai oleh sentimen nasionalisme, resistensi dan

perlawanan terhadap apa yang diyakini sebagai “hukum internasional

kolonial”. Persepsi dan tradisi ini, seperti kata Ko Swan Sik8 akan

mewarnai sikap Indonesia terhadap hukum internasional.

Indonesia memisahkan diri dari Belanda dengan cara revolusioner

dan dengan demikian menolak mewarisi tradisi hukum Belanda tentang

hukum internasional.9 Indonesia membangun sistem hukumnya sendiri

dan menetapkan sikap tersendiri terhadap hukum internasional.

Sekalipun mempertahankan tradisi civil law Belanda, Indonesia

merumuskan UUD-nya sendiri setelah kemerdekaan.

Sejak kemerdekaan, Indonesia berjuang keras untuk memperoleh

pengakuan internasional yang akhirnya diperoleh pada tahun 1949.

7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan Sik Ko, The Indonesian Law and Treaties 1945-1990 (1993). 8 Sik Ko (note 4), 738. 9 Selama masa kolonial, Indonesia tidak memiliki sistem hukum yang mengatur perjanjian internasional karena merupakan bagian dari Belanda dan tidak memiliki kedaulatan. Setelah masa kemerdekaan, Indonesia mewarisi sebagian besar sistem hukum Belanda (hukum perdata dan hukum pidana) terkecuali hukum konstitusi.

Page 5: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

12

Setelah itu, Indonesia mengalami 3 periode rejim pemerintahan, pertama

disebut dengan ‘orde lama’10 yang ditandai dengan sistem demokrasi

terpimpin oleh Presiden Sukarno yang sangat dominan dalam politik

nasional. Pada awalnya Presiden Sukarno berorientasi pada demokrasi

namun lambat laun mengarah pada pelanggengan kekuasaan yang

ditandai dengan istilah Presiden seumur hidup. Krisis ekonomi pada

tahun 1960-an menggiring keruntuhan rejim ini dan selanjutnya diganti

dengan rejim ‘orde baru’ yang dipimpin oleh pemerintahan militer

Presiden Soeharto. Krisis ekonomi yang sama terjadi pada tahun 1998 dan

juga memaksa rejim orde baru ini mengakhiri kekuasaannya yang

kemudian diganti dengan rejim ketiga yaitu rejim ‘reformasi’ yang

menguasai sampai saat ini.

Pada masa rejim otoriter baik orde lama maupun orde baru,

perdebatan tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional

tidak berkembang. Sistem politik yang dominan pada waktu itu dengan

serta merta akan memberikan jawaban politik terhadap persoalan juridis

ini. Persoalan ini tidak kontroversial dan tidak merangsang publik untuk

membahas persoalan ini dari segi hukum. Namun di era reformasi

pertanyaan tentang status hukum dari suatu perjanjian internasional di

dalam sistem hukum Indonesia sudah mulai mencuat. Pertanyaan ini

lahir karena tekanan dari dua arah secara bersamaan yaitu internal

10 Istilah ‘orde lama’ (1945-1966) diperkenalkan dan dipergunakan oleh rejim ‘orde baru’ (1966-1999).

Page 6: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

13

maupun eksternal. Secara internal, Indonesia mulai mempraktekkan

demokrasi modern yang harus ditandai dengan prinsip rule of law,

partisipasi parlemen, pembagian kekuasaan dan kepastian hukum.

Prinsip-prinsip demokrasi ini menuntut adanya ketegasan hukum

tentang status suatu perjanjian internasional dalam sistem hukum.

Tekanan eksternal terjadi akibat globalisasi. Ciri utama dari

globalisasi adalah semakin kaburnya batas perbedaan antara hukum

internasional dan hukum nasional. Dewasa ini telah lahir banya

perjanjian internasional yang bersifat intrusif ke hukum nasional seperti

perjanjian tentang lingkungan hiudp, HAM dan perdagangan. Sifat

intrusif dari perjanjian ini telah mendorong para pakar Indonesia untuk

menemukan jawaban terhadap status perjanjian ini dalam kaca mata

hukum nasional.

B. Respon Indonesia terhadap Hukum Internasional

1. Sikap Permusuhan (1945-1966)

Indonesia memiliki sikap yang sama dengan negara-negara Asia

pada umumnya terhadap hukum internasional, yakni selektif: memilih

norma hukum internasional yang bermanfaat bagi perjuangannya dan

menolak norma yang merugikannya.11 Sikap ini selaras dengan

pengalaman sejarahnya yang melihat hukum internasional sangat

11 James Leslie Brierly, The Law of Nations (1963), 43-44; J.J.G. Syatauw, Some Newly Established Asian States and the Development of International Law (1961), 221.

Page 7: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

14

menguntungkan negara penjajah dan sebaliknya merugikan setiap negara

yang hendak merdeka karena karakternya yang ‘separatism”.12 Sentimen

ini telah mendorong para pendiri bangsa untuk mencap bahwa

kolonialisme adalah dunia Barat si pencipta hukum internasional.

Hukum ini menjustifikasi penundukan bangsa Asia Afrika terhadap

kolonialisme.13 Sebaliknya, proklamasi kemerdekaan oleh dunia Barat

dituduh sebagai tindakan sepihak yang melanggar hukum

internasional.14

Berakhirnya perang kemerdekaan ditandai dengan pembentukan

the Netherlands-Indonesia Union pada tahun 1949 dan sejak itu sikap

Indonesia terhadap hukum internasional berorientasi pada Belanda yakni

sangat bersahabat. Namun sikap bersahabat ini hanya berlansung singkat

karena sejak 1950 Indonesia memutuskan secara sepihak Konferensi Meja

12 Kemerdekaan Indonesia terjadi sebelum kaidah self-determination yang dikembangkan dalam UN Universal Declaration of Human Rights 1948 dan Declaration of Granting Independence to Colonial People and Countries, 1960. Pada tahap selanjutnya, seiring proses dekolonialisasi setelah Perang Dunia Kedua, pandangan Negara berkembang terhadap hukum internasional telah menjadi topik klasik di buku-buku hukum internasional, lihat N. Shaw (note 7), 36-39; Michael Akehurst, Modern Introduction to International Law (1977), 29; Antonio Cassese, International Law (2005), 115-123. Beberapa peneliti membahasnya dalam topik “Third World Approaches to International Law”, lihat B.S. Chimni, ‘Third World Approaches to International Law: Manifesto’, 8 International Community Law Review (2006), 3-27; David P. Fidler, ‘Revolt Against of From Within the West? TWAIL, the Developing World, and the Future Direction of International Law’, 2 Chinese JIL (2003) 29, 1-46; Antony Anghie and B.S. Chimni, ‘Third World Approaches to International Law and Individual Responsibility in Internal Conflicts’, 2 Chinese JIL (2003) 1, 77-103. 13 Persepsi terhadap hukum internasional sebagai penopang kolonialisme dimiliki oleh sebagian besar orang Asia pada abad ke-20, lihat Muthucumaraswamy Sornarajah, ‘Asian Perspective to International Law in the Age of Globalization’, 5 Sing. J. Int'l & Comp. L. (2001) 2, 284-313. 14 Sunaryati Hartono, ‘The Interaction between National Law and International Law in Indonesia’, di Paul Waart, Paul Peters and Erik Denters (eds), International Law and Development (1988), 35.

Page 8: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

15

Bundar 1949, yang waktu itu dikritik sebagai melanggar hukum

internasional. Sejak itu, seiring dengan memburuknya hubungan

Indonesia dengan Belanda, sikap anti Barat semakin menguat dan

cenderung menjadi identik dengan sikap anti hukum internasional. Sikap

Indonesia menjadi sangat anti Barat dan cenderung membangkitkan

semangat revolusi yang pernah dikobarkan pada era perang

kemerdekaan.15 Akibatnya, sentimen ini berimbas pada sikap yang sama

yaitu anti terhadap hukum internasional.

Beberapa kebijakan Indonesia pada era ini sangat sarat dengan

perlawanan terhadap hukum internasional. Pada tahun 1957, kekecewaan

Indonesia terhadap PBB semakin memuncak karena PBB dianggap tidak

lagi membantu Indonesia dalam pertikaian dengan Belanda atas Irian

Barat sehingga pada tahun 1958 Indonesia mengeluarkan PP No. 23 tahun

1958 yang menasionalisasikan semua Perusahaan Belanda di Indonesia.

Berdasarkan penjelasan dari PP ini, kebijakan ini diambil dalam rangka

penyelamatan kelangsungan dan kelancaran ekonomi akibat perjuangan

pembebasan Irian Barat. Kebijakan nasionalisasi ini telah menimbulkan

kontroversi dan melahirkan gugatan terhadap Indonesia di pengadilan

Jerman.16 Para pakar hukum internasional juga angkat bicara mengkritisi

15 B.H. Vlekke, Indonesia in 1956 (1957), 9. 16 Decision of Landesgericht 1958 and Oberlandesgericht Bremen 1959, De Vereingde Deli Maatschapijen vs Deutsch-Indonesischen Tabak Handels G.m.b.H; Martin Domke, ‘Indonesian Nationalisation Measures before Foreign Courts’, 54 AJIL (1960) 2, 205-323 and the reply by Hans W. Baade, ‘Indonesian Nationalization Measures Before Foreign Courts- a Reply’, 54 AJIL (1960), 801-835.

Page 9: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

16

kebijakan ini sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional.17 Pakar

hukum internasional Mochtar Kusumaatmadja sendiri mengakui bahwa

kebijakan ini prima facie bertentangan dengan hukum internasional

tentang perlindungan warga asing beserta propertinya.18

Resistensi Indonesia terhadap hukum internasional memuncak

pada waktu munculnya ancaman strategis yang diakibatkan oleh hukum

laut yang berlaku pada saat itu. Lebar laut yang hanya diperkenankan 3

mil telah mengakibatkan Indonesia dipisahkan oleh laut bebas dan

membuka ruang bagi kebebasan kapal-kapal perang Belanda di tengah-

tengah perebutan Irian Barat. Akibatnya Indonesia melihat hukum laut

yang berlaku saat itu sangat merugikan kelangsungan hidup Indonesia

karena wilayah Indonesia menjadi tercerai-berai dan sangat rawan

terhadap disintegrasi oleh daerah-daerah yang pada waktu itu cenderung

menguat. Ancaman ini menimbulkan persoalan ketahanan dan keamanan

negara dan semakin meningkatkan sentimen negatif bahwa hukum

internasional tidak adil.19

Sebagai reaksi terhadap ketidakadilan hukum laut ini maka pada

tahun 1957 Indonesia mengeluarkan deklarasi unilateral yang terkenal

17 Board of Editors, ‘The Measure Taken by Indonesian Government against the Netherlands Enterprises’, 5 NILR (1958) 3, 227-247; Lord McNair, ‘The Seizure of Property and Enterprises in Indonesia’, 6 NILR (1959) 3, 218-256; Alfred Verdross, ‘Die Nationalisierung niederländischer Unternehmungen in Indonesien im Lichte des Völkerrechts’, 6 NILR (1959) 3, 278-290. 18 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (1976), 48-49. 19 Beberapa penulis seperti Sornarajah menyatakan bahwa: ‘once free, the new States began to construct a series of principles of international law that conserved their interest’, lihat Sornarajah (note 15), 286.

Page 10: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

17

dengan Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini menegaskan bahwa laut yang

berada diantara pulau-pulau adalah laut yang menghubungkan pulau-

pulau ketimbang memisahkannya. Untuk itu, Deklarasi menetapkan

penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar

dari pulau-pulau terluar dan selanjutnya mengklaim bahwa perairan

didalamnya yang semula adalah laut bebas menjadi perairan pedalaman.

Deklarasi ini tentu saja mengundang protes keras dari negara-negara

Barat20 khususnya Amerika Serikat21 yang menganggap Deklarasi ini

sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Walaupun deklarasi

ini ditolak dalam Konferensi Jenewa 1958 tentang Hukum Laut, Indonesia

tetap bersikukuh dengan kebijakan ini dengan mengeluarkan UU No. 4

Tahun 1960 yang mempertahankan sikap ‘persistent non-compliance’

terhadap ‘international law’, sampai akhirnya gagasan ini diterima dalam

Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut.

Sikap apatis terhadap hukum internasional semakin meningkat

manakala politik luar negeri Indonesia mendekat ke blok sosialis Russia

dan China di era perang dingin, dan eskalasinya semakin buruk pada

tahun 1963 waktu Presiden Soekarno menggagas ide kontroversial

tentang ‘new emerging forces’ (NEFOS) yang mewakili negara-negara Asia,

Amerika Latin, negara-negara sosialis dan berhadapan dengan apa yang

dia sebut sebagai ‘old emerging forces’ (OLDEFOS) yang merujuk pada

20 Daniel P. O’Connell, The International Law of the Sea (1982), 39. 21 Arthur H. Dean, ‘The Second Geneva Conference on the Law of the Sea: The Fight for Freedom of the Seas’, 54 AJIL (1960) 4, 753.

Page 11: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

18

negara-negara kapitalis. Gerakan ini berakhir ketika Soekarno dipaksa

turun dari kekuasaannya pada tahun 1966. Sikap perlawanan terhadap

hukum internasional mencapai klimaks pada saat Indonesia melalui

suratnya tanggal 20 January 1965 menyatakan mundur 22 dari

keanggotaan PBB dan semua organnya dengan dasar pertimbangan sbb:

… that in the circumstances which have been created by colonial

powers in the United Nations so blatantly against our anti-

colonial struggle and indeed against the lofty principles and

purposes of the United Nations Charter, the Government felt

that no alternative had been left for Indonesia but withdrawal

from the United Nations.

Sikap permusuhan Indonesia terhadap hukum internasional juga

memperoleh dukungan dari para pakar Indonesia. Dalam rangka

pembelaan terhadapa posisi Indonesia yang menarik diri sepihak dari

Perjanjian Konferensi Meja Bundar 1949 yang dituduh sebagai

pelanggaran pacta sunt servanda, Roeslan Abdulgani, berpendapat bahwa

tindakan itu bisa dibenarkan berdasarkan prinsip rebus sic stantibus.23

22 Piagam PBB tidak memiliki aturan terkait mundurnya Negara dari PBB sehingga ada argument bahwa tindakan Indonesia tidak memiliki dasar hukum, lihat Egon Schwelb, ‘Withdrawal from the United Nations: the Indonesian Intermezzo’, 61 AJIL (1967), 661-672. Pada tahun 1966, keanggotaan Indonesia berlanjut dan Sekjen PBB U Thant menganggap bahwa mundurnya Indonesia sebagai penangguhan tindakan Indonesia di PBB. Oleh karenanya, Indonesia tetap harus membayar kontribusi tahunan selama masa penangguhan tersebut, lihat Kusumaatmajda (note 20), 89-99. 23 Roesland Abdulgani, Hukum dalam Revolusi dan Revolusi dalam Hukum (1965), 36.

Page 12: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

19

Dalam pernyataannya di London Conference on the Suez Canal Crisis 1956,

Abdulgani mengklarifikasi posisi Indonesia terhadap perjanjian

internasional dengan menyatakan:

Mr. Chairman, I understand fully Sir Anthony Eden’s remarks

this morning about respect for the sanctity of international law.

However Mr. Chairman, I should add one comment upon this,

and that is that most of international treaties which are a

reflection of international law do not respect the sanctity of men

as equal human beings irrespective of their race, or their creed or

locality. Most of the existing laws between Asian and African

and the old-established western world are more or less outmoded

and should be regarded as a burden of modern life. They should

be revised and be made more adaptable to modern international

relations and the emancipation of all parts of mankind.24

Presiden Soekarno juga menggunakan dalil yang diungkapkan

oleh Roeslan Abdulgani diatas dalam setiap pidato retorikanya yang

akhirnya berhasil menarik hati rankyat Indonesia untuk mendukung

kebijakan anti terhadap hukum internasional. Soekarno mengkritik para

ahli yang terlalu menekankan pada kesakralan perjanjian internasional

karena setiap perjanjian harus dapat direvisi jika bertentangan dengan

24 Pidato Menlu RI pada London Conference on Suez Canal, Aug. 16, 1956, in Abdulgani (note 25), 59.

Page 13: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

20

keadilan dan kemanusiaan. Menurut Soekarno, perjanjian internasional

yang merestui penjajahan harus segera diakhiri.25 Pakar hukum lain yang

mengecap pendidikan di Belanda, Muhammad Yamin, juga mengkritik

hukum internasional yang berlaku saat itu sebagai ciptaan Eropa Barat

dimana negara-negara Eropa Timur dan Asia tidak terlibat dalam

permubataannya.26

Sentimen anti hukum internasional ini telah mengkristal menjadi

persepsi publik dan mengakibatkan perkembangan hukum internasional

pada era ini di Indonesia sangat lambat bahkan mengarah ke apatisme.

2. “Sikap Bersahabat” Era Orde Baru (1966-1998)

Sejak 1966, Indonesia dibawah kekuasaan rejim orde baru yang

dipimpin oleh Presiden Soeharto sampai tahun 1998. Rejim ini ditandai

dengan dominasi kekuasaan eksekutif yang senantiasa mampu

mengambil keputusan politik yang sangat solid. Pengalaman

ketatanegaraan sebelumnya telah mendorong rejim ini untuk

menekankan stabilitas politikd dan ekonomi sehingga menutup ruang

adanya perubahan konstitutional yang bakal rawan terhadap stabilitas

dimaksud.

Di bawah rejim ini, sikap terhadap hukum internasional

cenderung “bersahabat” karena kiblat politik luar negeri-nya sangat

25 President Soekarno’s Speech on Aug. 17, 1959, Bahan-bahan Pokok Indoktrinasi (1964), 33. 26 Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, vol. III (1960), 48.

Page 14: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

21

bersahabat dengan dunia Barat. Terjadi pergeseran yang signifikan dari

yang semula bermusuhan menjadi lebih berkerjasama dengan dunia

internasional. The attitude had moved from being hostile to being more

cooperative with respect to international law. Pergeseran ini ditegaskan

oleh pakar hukum internasional, Mochtar Kusumaatmadja, yang

berupaya mencari keseimbangan antara kebutuhan negara-negara

berkembang dan stabilitas hukum internasional yang berlaku saat itu.

Dia menyadari bahwa hukum internasional yang berlaku mungkin sudah

usang dan tidak lagi sesuai dengan perubahan masyarakat internasional.

Namun dalam menyikapi keusangan hukum internasional ini sikap

penolakan Indonesia tidak harus diartikan sebagai pelanggaran hukum

ini. Selanjutnya dia mengembangkan dalil bahwa Indonesia dapat saja

tidak menerapkan norma hukum internasional yang usang itu sepanjang

Indonesia juga memperhatikan kepentingan hukum negara-negara lain.

Dalam hal ini Indonesia sangat ingin berkontribusi terhadap perubahan

hukum internasional yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat

internasional yang telah berubah ini.27

Politik luar negari Indonesia selanjutnya terinspirasi dengan

gagasan konstruktif dari Mochtar Kusumaatmadja sehingga penolakan

terhadap hukum laut internasional yang kerasa di jaman orde lama

bergeser menjadi politik keterlibatan yang konstuktif di jaman orde baru.

Sejak era ini, Indonesia tidak lagi menolak membabi buta hukum laun

27 Kusumaatmadja (note 20), 63.

Page 15: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

22

namun turut aktif menegosiasikan klaim Deklarasi Djuanda-nya pada

rangkaian perundingan hukum laut di PBB yang berakhir dengan

diterimanya konsep negara kepulauan pada Konferensi PBB tentang

Hukum Laut 1982.28 Suksesnya Indonesia memeperoleh pengakuan atas

apa yang selama ini dinilai sebagai “pelanggaran hukum internasional”

telah mengubah pola pikir para ahli bahwa apa yang dilakukan oleh

Indonesia adalah “membuat hukum internasional” ketimbang

melanggarnya (making instead of breaking international law).29 Mochtar

Kusumaatmadja30 selalu menekankan bahwa klaim unilateral yang

didorong oleh kebutuhan prinsip suatu negara dapat mengkristal

menjadi suatu norma hukum baru berdasarkan kebiasaan internasional.

Dalam hal ini menurunya, klaim unilateral dari negara berkembang,

terlepas apakah itu destruktif atau konstruktif terhadap hukum

internasional pada awalnya, tidak harus berarti tetap desruktif pada

akhirnya. Dalil ini telah dibuktikan dengan pengalaman Indonesia di

bidang hukum laut.

Mengingat bahwa rejim order baru didukung oleh kekuasaan

militer yang kuat di wilayah politik, hukum internasional juga dimaknai

28 The Archipelagic concept for which Indonesia sought international recognition had been submitted to the UN Conference by Mochtar Kusumaatmadja in a well descriptive international legal policy, see Kusumaatmadja, Konsepsi Hukum Negara Nusantara pada Konferensi Hukum Laut ke III (The Legal Concept of Archipelagic State at Conference of Law of the Sea)(1977). 29 Barbara Kwiatkowska, ‘The Archipelagic Regime in the Philippines and Indonesia, Making or Breaking International Law’, 6 International Journal of Estuarine (1991) 1, 13-30. 30 Kusumaatmadja (note 20), 56-65.

Page 16: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

23

dan diperlakukan dalam konteks berdasarkan politik ketimbang hukum.

Dalam hal ini kehendak politik Presiden sangat menentukan tentang

bagaimana hukum internasional beroperasi di wilayah hukum nasional.

Sehingga tidaklah mengherankan jika keputusan politik lah yang

mendorong Indonesia menerima jurisdiksi Mahkamah Internasional

untuk penyelesaian konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia

pada tahun 1997. Kekuatan politik pula yang mendorong Indonesia

mengintegrasikan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia tahun 1976,

yang oleh masyarakat internasional dinilai sebagai pelanggaran hukum

internasional.31 Artinya, hukum internasional tidak berakar pada sistem

hukum nasional melainkan ditegakkan dan bahkan dilanggar oleh

pertimbangan politik yang kuat.

Issue HAM sangat menonjol di era orde baru. Dalam hal ini

Indonesia mengembangkan prinsip hukum internasional tentang

penolakan campur tangan asing kedalam masalah dalam negeri dalam

rangka serangan internasional di bidang HAM.32 Mengingat kekuatan

militer di Indonesia berorientasi pada keamanan nasional yang acap kali

memasuki wilayah sipil, maka hukum internasional tentang HAM

31 Pada tahun 1975 Indonesia ‘menganeksesi’ Timor Timur dengan merujuk pada hak self-determination yang telah ditunjukan oleh perwakilan rakyat Timor Timur melalui Balibo Declaration of 1975. PBB tidak mengakui klaim Indonesia bahwa rakyat Timor Timur telah mempergunakan hak self-determination dan tetap menyimpan isu tersebut di Agenda sampai tahun 1999, dimana setelah referendum yang disponsori PBB, Timor Timur menjadi negara merdeka. 32 Anja Jetschke, ‘Linking the Unlinkable? International Norms and Nationalism in Indonesia and the Philippines’, di Thomas Risse, Stephen C. Ropp and Kathryn Sikkink (eds), The Power of Human Rights: International Norms and Domestic Change (1999), 141; Bahwa sosialisasi suatu negara pads norma HAM international dapat dibagi pada model spiral 5 fase: 1. Represi; 2. Penyangkalan; 3. Konsesi taktis; 4. Status preskriptif; 5. Tingkah laku yang mengikuti aturan secara konsisten.

Page 17: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

24

menjadi tidak kompatibel dengan politik pemerintah. Kecaman HAM

terhadap Indonesia semakin memuncak pada waktu Indonesia

menduduki Timor Timur pada tahu 1975. Dalam rangka menjawab

kecaman internasional ini, Indonesia menggalang kekuatan Asia dan

mengembangkan konsep Asian value dengan melahirkan apa yang

disebut konsep cultural relativism (melawan Western universality of human

rights)33 yang oleh dunia akademisi dikecam sebagai upaya untuk

melegitimasi kekuasaan otoriter.34

Kebijakan HAM ini pada hakekatnya didasarkan pada konsep

tentang negara integral yang telah digagas oleh Professor Soepomo pada

watu pendirian negara di awal kemerdekaan, yang pada waktu itu

menolak ide individualisme.35 Pada tahap persiapan kemerdekaan RI, ide

negara integralistik dinilai lebih berakar pada kultur Indonesia yang

menekankan bahwa hak individu dan hak negara tidak dapat dipisahkan.

Ide ini secara efektif diterapkan oleh pemerintah order baru sehingga

tidak membuka ruang bagi penghormatan HAM individu seperti yang

dibayangkan oleh dunia Barat.

33 R.J. Vincent, Human Rights and International Relations (2001), 39-48. 34 Knut D. Asplund, ‘Resistance to Human Rights in Indonesia’, 10 Asia-Pacific Journal on Human Rights and Law (2009) 1, 27-47. 35 Prof. Soepomo, anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, menyatakan di depan BPUPKI bahwa ide ‘negara totaliter’ seperti Jerman di bawah Nazi atau Jepang sebelum PD II agar dipakai pada negara Indonesia, lihat Supomo, ‘Integralist State’ di Herbert Feith and Lance Castles (eds), Indonesian Political Thinking 1945-1966 (1970), 188-192.

Page 18: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

25

3. Hukum International di Era Reformasi (1998-sekarang)

Rerformasi politik yang berlangsung sejak 1999 telah melahirkan

perubahan radikal dalam sistem hukum dan kelembagaan

ketatanegaraan Indonesia. Dalam perubahan radikal ini, hukum

internasional sayangnya belum memperoleh perhatian yang memadai

dan bahkan tidak melahirkan sama sekali aturan konstitusi tentang

hukum internasional. Luputnya perhatian politik terhadap hukum

internasional dapat dimaklumi. Reformasi yang terjadi sejak tahun 1998

dipicu oleh tekanan politik domestik dalam rangka menyelesaikan

persoalan dalam negari akibat krisis multi dimensi yang dipicu oleh krisi

ekonomi. Sehingga arah reformasi lebih diorientasikan pada

pembangunan kelembagaan konstitusional dimana hukum internasional

bukan merupakan prioritas. Dalam konteks ini gerakan reformasi tidak

melihat ada yang salah dalam hukum internasional dalam sistem hukum

Indonesia dan kalau pun ada tidaklah langsung bersentuhan persoalan

reformasi itu sendiri. Oleh sebab itu persoalan status hukum internasional

tidaklah merupakan agenda penting dalam reformasi.

Faktor utama lainnya yang mengakibatkan hukum internasional

tidak menjadi perhatian reformasi adalah karena disiplin hukum ini tidak

terlalu popular dalam kesharian masyarakat dan tidak terlalu menarik

minat publik Indonesia. Hukum internasional masih dipahami sebagai

bidang yang ekslusif tugas pemerintah khususnya kementerian luar

negeri. Ketertarikan terhadap hukum internasional masih terbatas pada

komunitas akademis dan itu pun masih diajarkan secara minimalis dan

Page 19: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

26

masih jauh dari standar negara-negara maju36 sehingga studi dan

penelitian tentang hukum internasional masih sangat langka.37 Sekalipun

merupakan mata kuliah dalam berbagai universitas, hukum ini masih

diajarkan secara terisolasi tanpa perlu mengkaitkannya dengan hukum

nasional. Di lain pihak, disiplin hukum tata negara dan administrasi

negara telah berkembang dengan pesat di Indonesia namun agak

membisu soal hukum internasional. Bab tentang hubungan hukum

internasional dan hukum nasional sekalipun diajarkan di mata kuliah

hukum internasional jarang merujuk kepada praktik Indonesia dan kalau

pun ada hanya bersifat indikasi saja.38 Pakar hukum Indonesia secara

umum masih belum memiliki minat untuk mendalami tentang status

hukum internasional di dalam sistem hukum nasional.

Sampai pada tahun 2000-an, hubungan hukum internasional dan

hukum nasional belum menjadi perhatian akademis dan belum

menyinggung kepentingan praktis para praktisi sehingga bukanlah

36 Hikmahanto Juwana, ‘Teaching International Law in Indonesia’, 5 Sing. J. Int'l & Comp. L. (2001) 412, 412-415. 37 Beberapa ahli hukum telah meneliti masalah perjanjian internasional dari kebijakan hukum Indonesia namun kebanyakan berpusar pads masalah pembuatan perjanjian internasional bukan malah status perjanjian internasional di hukum Indonesia, seperti Harjono, Politik Hukum Perjanjian Internasional (1999); Swan Sik Ko turut menulis secara singkat mengenai Hukum Indonesia dalam keterkaitannya dengan perjanjian internasional, lihat Swan Sik Ko, The Indonesian Law and Treaties 1945-1990 (1994). 38 Ahli hukum Indonesia di era 1950 seperti Prof. Utrecht dan Prof. Kusumaatmadja di 1980s telah mengindikasikan bahwa Indonesia cenderung mempergunakan pendekatan monisme, lihat E. Utrecht and Moh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia (1983), 120; Kusumaatmadja (note 20), 65-67.

Page 20: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

27

merupakan isu yang kontroversial. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor

sbb:

Pakar konstitusi/tatanegara dan pakar hukum internasional di

Indonesia masih terpaku dengan wilayah disiplinnya sendiri-sendiri dan

memandang hukum internasional menurut perspektif masing-masing.39

Bagi pakar konstitusi/tatanegara, perjanjian internasional secara teoritis

adalah sumber hukum tatanegara. Sedangkan bagi pakar hukum

internasional, perjanjian internasional adalah dokumen hukum yang

tunduk pada hukum internasional. Pakar hukum internasional tidak

tertarik untuk membahas status hukum ini dalam sistem hukum nasional.

Karena perjanjian internasional ditangani oleh eksektuf yang kuat dan

dominan maka issue-issue praktis tentang perjanjian internasional tidak

pernah muncul dalam wacana dan perdebatan publik. Jika timbul

permasalahan maka keputusan politik akan dengan serta merta

menuntaskannya tanpa hiruk pikuk debat publik. Komunitas akademis

menjadi tidak terstimulasi untuk memperdebatkannya dan kalaupun

didiskusikan maka akan terlihat kurangnya aspek-aspek internasional

dari hukum tatanegara, dan sebaliknya lemahnya pembahasan aspek

konstitusional dari hukum internasional.

Sejak kemerdekaan RI tahun 1945, dunia akademisi Indonesia

diwarnai oleh sentimen nasionalisme yang tinggi dan memandang

39 Situasi ini turut disebabkan oleh struktur Fakultas Hukum di Indonesia dimana hukum konstitusi/administrasi dan hukum internasional adalah subjek terpisah dengan departemen yang berbeda.

Page 21: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

28

hukum internasional sebagai hukum kolonial. Para pakar akan melirik

hukum internasional hanya jika mempengaruhi kepentingan hukum

nasionalnya.40

Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia berada

pada wilayah terpencil yang jauh dari interkasi lintas perbatasan.

Hubungan internasional hanya dilihat sebagai hubungan antar

pemerintah ketimbang hubungan antar manusia. Pola pikir ini

mendorong para pakar untuk bersikap konservatif tentang hukum

internasional sehingga hanya memandang perjanjian internasional

sebagai dokumen antar negara urusan ekslusif kementerian luar negeri.

Pertanyaan tentang status domestik dari perjanjian internasional tidak

meyangkut kepentingan publik sehingga tidak menjadi perhatian para

pakar konstitusi/tatanegara maupun pakar hukum internasional.

C. Perlunya Rejim Hukum yang jelas tentang Perjanjian

Internasional dalam transisi demokrasi Indonesia

1. Konsekuensi dari Sistem Hukum yang berlandaskan

Demokrasi

Indonesia sedang menuju ke arah sistem demokrasi penuh. Dalam

suatu negara demokrasi, prinsip rule of law/Rechtsstaat, yang bercirikan

legalitas, kepastian hukum dan equality adalah bagian yang tidak

40 Hukum laut menjadi subjek yang menarik pada tahun 1960-1982 saat Indonesia mengajukan kepentingan strategies national pada konsep kepulauan internasional ke PBB.

Page 22: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

29

terpisahkan. Semua negara demokrasi pada umumnya akan mengalami

tuntutan tentang elemen-elemen ini yang pada akhirnya harus

memperjelas tentang status perjanjian dalam sistem hukum nasionalnya.

Mengingat perjanjian internasional akan menciptakan hak dan kewajiban

terhadap individu maka validitasnya dalam hukum nasional harus jelas

secara konstitutional dan tidak didasarkan pada suatu diskresi semata.

Dengan kata lain, rejim hukum yang jelas yang mengatur status

perjanjian dalam hukum nasional adalah conditio sine quo non untuk suatu

sistem negara demokrasi. Proses transisi demokrasi di Indonesia

mensyaratkan rejim hukum yang jelas tentang hukum internasional.

Sebelum menjadi negara demokrasi, pada umumnya suatu negara

tidak memiliki rejim hukum yang jelas tentang status hukum

internasional dalam hukum nasionalnya. Afrika Selatan, contohnya,

sebagai bekas jajahan negara-negara persemakmuran seyogianya sudah

memiliki rejim yang jelas dari negara penjajahnya, namun kenyataannya

asumsi ini tidak tercermin dalam jurisprudensinya.41 Rejim hukum yang

jelas tentang status hukum khsusunya perjanjian internasional baru

tercipta sejak lahirnya Konstitusi baru tahun 1994 Afrika Selatan.42 Untuk

pertama kalinya, Konstitusi Afrika Selatan menyediakan memuat norma

yang mengatur perjanjian dan hukum internasional dalam hukum

41 J.W. Bridge, ‘The Relationship between International Law and the Law of South Africa’, 20 ICLQ (1971), 746. 42 Dermott Devine, ‘The Relationship between International Law and Municipal Law in the Light of the Interim South African Constitution 1992’, 44 ICLQ (1995), 1.

Page 23: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

30

nasionalnya. Hubungan hukum internasional dan hukum nasional lebih

jelas diatur pasca reformasi di Afrika Selatan.43

Negara-negara demokrasi baru di Eropa Timur dan bekas Uni

Soviet juga mengalami situasi yang sama dan pada umumnya dituntut

untuk memperjelas status perjanjian dan hukum internasional dalam

hukum nasionalnya. Sebelum proses demokratisasi, status hukum

internasional sama sekali tidak diatur dalam konstitusi maupun undang-

undang nasionalnya. Akibatnya, sistem hukumnya menjadi tidak

konsisten dan tidak tegas dalam teori dan prakteknya. Itulah sebabnya,

para pakar di negara-negara ini mendesak agar hubungan hukum

internasional dan hukum nasional diatur secara jelas dalam konstitusi.44

Sekalipun masing-masing negara berbeda dalam mengatur hubungan ini

namun klausula tentang ini sudah terdapat di banyak konstitusi negara-

negara tersebut.45

Indonesia pada akhirnya harus melalui tuntutan seperti yang

dialami negara-negara demokrasi dimaksud. Sejak jatuhnya orde baru,

terdapat tuntutan yang keras untuk perubahan struktur dan bangunan

43 Andre Stemmet, ‘The Influence of Recent Constitutional Developments in South Africa on the Relationship between International Law and Municipal Law’, 33 Int'l L.(1999) 1, 74. 44 Eric Stein, ‘International Law in Internal Law: Toward Internationalization of Central-Eastern European Constitutions’, 88 AJIL (1994) 3, 427-450. 45 Vladlen S. Vereshchetin, ‘New Constitution and the Old Problem of the Relationship between International Law and National Law’, 7 EJIL (1996), 34.

Page 24: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

31

politik Indonesia.46 Struktur politik dan ketatanegaraan ini telah telah

mengalami reformasi melalui amandemen UUD 1945 yang berlangsung

antara tahun 1999-2002. Reformasi konstitusional telah menghasilkan

perubahan fundamental yang ditandai dengan pembagian kekuasaan

yang signifikan dalam rangka terbentuknya sistem demokrasi.

UUD 1945 sebelum amandemen telah dikritik oleh para ahli HTN

karena memiliki banyak kelemahan. Pakar konstitusi Moh. Mahfud47

menyatakan bahwa UUD 1945 sebelum amandemen menciptakan sistem

ekesekutif yang lebih kuat, lemahnya checks and balances, banyaknya

pendelegasian aturan ke level UU, banyaknya norma konstitusi yang

rancu, serta penekanan pada kemauan politik dan integritas para politisi.

Amandemen UUD 1945 telah menciptakan sistem yang secara teori

dalam mengatasi kelemaahan-kelemahan ini melalui pemberian

kekuasaan lebih besar kepada Parlemen, terciptaknya sistem checks and

balances serta dianutnya prinsip rule of law. Namun sayangnya, persoalan

tentang status perjanjian internasional dalam hukum Indonesia masih

belum terjamah oleh amandemen. Sebelum amandemen, pertanyaan ini

ditangani melalui diskresi pemerintah tanpa proses checks and balances

dari kekuasaan parlemen. Sistem yang terbentuk dapat menciptakan

stabilitas dalam mengeimplementasikan perjanjian internasional namun

46 I Ketut Putra Erawan, ‘Political Reform and Regional Politics in Indonesia’, 39 Asian Survey (1999) 4, 588. 47 Moh. Mahfud, Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara (1999), 52; Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia (2010), 1-10.

Page 25: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

32

secara bersamaan gagal menjelasan tentang statusnya dalam hukum

nasional.

UUD 1945 yang telah diamandemen telah mentransformasikan

beberapa ciri-ciri sbb:

(a) dari otoriter ke pemerintahaan demokratis,

(b) dari executive heavy ke equal checks and balances,

(c) dari kekuasaan militer ke supremasi hukum

(d) dari pengingkaran ke penghormatan terhadap HAM,

(e) dari sentralisasi ke otonomi daerah.

Konstelasi kekuasaan ketatanegaraan dewasa ini tentunya

membutuhkan adanya sistem hukum yang jelas termasuk rejim hukum

yang mengatur hubungan hukum internasional dan hukum nasional.

Struktur ketatanegaraan pasca amandemen telah memperjelas kekuasaan

masing-masing lembaga negara, baik eksekutif, legislatif dan judikatif.

Kekuasaan eksekutif telah diberi kekuasaan yang terbatas namun masih

memegang kekuasaan untuk membuat perjanjian internasional dan

implementasinya. Kekuasaan legislatif diberi kekuasaan yang lebih besar

dalam pembuatan undang-undang dan tentunya akan mencakup

kekuasaan yang dapat mempengaruhi penentuan status norma

internasional kedalam hukum nasional. Kekuasaan judikatif saat ini telah

bebas dari pengaruh eksekutf dan tentunya berwenang

menginterpretasikan dan menentukan kekuatan mengikat perjanjian

internasional. Selain itu, bebasnya kekuasaan judikatif juga melahirkan

pertanyaan apakah kekuasaan ini mencakup unuk menguji perjanjian

Page 26: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

33

internasional terhadap UUD 1945. Dalam sistem checks and balances ini,

setiap organ negara harus memiliki posisi konstitusional yang jelas

tentang hak dan kewajiban dari perjanjian internasional.

Perdebatan tentang hubungan hukum nasional dan hukum

internasional khususnya perjanjian internasional telah menjadi agenda

publik. Pertanyaan tentang status perjanjian internasional dalam hukum

nasional telah mencuat tidak hanya di kalangan praktisi melainkan juga

di kalangan pembuat UU dan penegak hukum. Perjanjian internasional

yang dibuat oleh Indonesia semakin meningkat baik dari segi kualitas

maupun kuantitias. Perjanjian yang dibuat deawas ini cenderung mulai

mengatur hak dan kepentingan individual seperti HAM, lingkungan

hidup dan perdagangan sehingga melahirkan pertanyaan tentang

bagaimana penerapaknya dalam hukum nasional.48 Dengan

perkembangan ini maka ketiadaan rejim hukum yang jelas akan

melahirkan ketidakpastian hukum tentang hak dan kewajiban individual

yang lahir dari perjanjian-perjanjian tersebut. Dari perspektif

internasional, Indonesia tentunya dituntut untuk memenuhi kewajiban

internasionalnya yang lahir dari setiap perjanjian internasional yang

mengikatnya. Para pakar meyakini bahwa negara yang tidak memiliki

48 Debat yang mengemuka pada rangkaian Focussed Group Discussions dalam Status Perjanjian Internasional di Sistem Hukum Indonesia telah dilaksanakan oleh Kemlu RI dan dihadiri oleh ahli hukum dari berbagai universitas semenjak tahun 2006, hasilnya bisa dibaca di Perjanjian Internasional dalam Teori dan Praktik Indonesia, Kompilasi Permasalahan, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (2008); Status Perjanjian Internasional dalam Tata Perundang-undangan Nasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (2009).

Page 27: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

34

rejim hukum yang jelas tentang hukum internasional akan mengalami

risiko ganda, yaitu melanggar hukum internasional dan merusak balance

of powers dalam sistem konstitusinya.49

Ketidakpastian akibat tidak adanya rejim hukum yang jelas

tentang hukum internasional semakin diperparah dengan derasnya arus

globalisasi. Karakter perjanjian internasional di era globalisasi ini sangat

intrusif dan menyentuh wilayah ekslusif hukum nasional, seperti

perjanjian-perjanjian di bidang HAM, lingkungan hidup dan

perdagangan.50 Hukum Indonesia tidak dapat lagi berdiri sendiri.

Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa setiap sistem

hukum nasional saat ini harus melakukan rekonsiliasi terhadap standar

internasional. Jika di masa-masa lalu hukum nasional bisa kebal dari

pengaruh internasional maka dewasa ini telah mengkristal adanya syarat

minimum bagi setiap negara untuk mematuhi suatu perjanjian

internasional.51

Sebagai negara demokrasi yang terinspirasi dengan model Barat,

Indonesia saat ini berupaya untuk menerapkan standar negara-negara

modern. Sistem negara hukum, partisipasi parlemen, pembagian

49 Giuliana Ziccardi Capaldo, ‘Treaty and National Law in a Globalizing Sytem’, in The Global Community, 1 Yearbook of Internatioanl Law and Jurisprudence (2003) , 140. 50 Banyak yang berargumen bahwa globalisasi hukum internasional telah memasuki ranah domestik yang dulu secara eksklusif mengatur hubungan antara pemerintah dan warganya, lihat Anne Marie Slaughter and William Burke-White, ‘The Future of International is Domestic (or, The European Way of Law)’, 47 Harv. Int'l L. J. (2006) 2, 327. 51 Stefan Kadelbach, ‘The Transformation of Treaties into Domestic Law’, 42 GYIL (1999), 67.

Page 28: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

35

kekuasaan, kepastian hukum merupakan ciri-ciri negara demokrasi yang

hendak dibangun oleh negara Indonesia. Konsekuensi logis dari upaya

ini adalah bahwa Indonesia perlu memiliki rejim hukum yang jelas yang

mampu menjawab secara pasti dan predictable tentang status perjanjian

internasional dalam hukum nasional. Pertanyaan tentang status

perjanjian ini juga akan terkait dengan kedudukan hirarkis-nya dalam

sturktur perundang-undangan. Sejak kemerdekaannya, Indonesia telah

menganut teori Stufenbau dari Hans Kelsen. Dengan teori ini maka

Indonesia telah membangun secara hirarkis sumber hukum dan tata

urutan perundang-undangannya yang dimulai dari norma fundamental

Pancasila, UUD 1945, UU dan seterusnya.52 Sistem hirarkis ini juga akan

menyisakan pertanyaan tentang bagaimana kedudukan hukum

internasional khsusunya perjanjian internasional dalam bangunan

hirarkis tersebut.53

52 Semenjak tahun 1966, terinspirasi oleh Hans Kelsen dengan teori Grundnorm and Stufenbau des Rechts/Stufenbau der Rechtsordnung dan Hans Nawiasky dengan teori Staatsfundamental Norm, Indonesia telah menyusun sistem hirarki norma. Saat ini diatur oleh UU No. 12 tahun 2011 yang menyatakan bahwa tata urutan peraturan adalah:

a. Undang-Undang Dasar 1945; b. Ketetapan MPR;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi;

g. Peraturan Daerah Kabupaten. 53 Tata urutan perjanjian internasional diakui merupakan a critical subject dalam status perjanjian internasional di hokum nasional, lihat Francis G. Jacobs, ‘Introduction’, di G. Jacobs and Roberts (note 3), xxiv.

Page 29: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

36

2. Pentaatan terhadap Hukum Internasional

Indonesia menghadapi tekanan dinamis dari dua arah sekaligus

secara bersamaan Pertama, tekanan dari dinamika reformasi yang

menuntut adanya standar demokrasi serta penegakan dan pentaatan

hukum termasuk kewajiban internasional Indonesia yang lahir dari

hukum termasuk perjanjian internasional. Kedua, tekanan dari

globalisasi yang juga membentuk suatu sistem dalam masyarakat

internasional yang telah menuntut adanya standar minimum tentang

postur suatu sistem hukum nasional dalam mengimplementasikan

kewajiban internasionalnya.54

Sejak kemerdekaan, Indonesia telah membuat banyak perjanjian

internasional dan telah merupakan aktivitas rutin dari pemerintah.

Indonesia turut aktif membuat perjanjian internasional dalam berbagai

forum baik multilateral, regional maupun bilateral. Sampai saat ini,

Indonesia telah mendpositkan sekitar 4000 dokumen “perjanjian” yang

mengatur berbagai issue. Jumlah perjanjian yang membutuhkan

pemberlakuan dalam hukum nasional juga semakin meningkat

khususnya di bidang ekonomi seperti pasar bebas, investasi,

penghindaran pajak berganda; kerjasama hukum seperti ekstradisi,

bantuan hukum timbal balik, pembrantasan kriminal terorganisasi, anti

korupsi, dan pemberantasan terorisme.

54 Kadelbach (note 53), 67-68.

Page 30: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

37

Sejak reformasi tahun 1998, semua Presiden yang memerintah

sampai saat ini secara konsisten menetapkan politik luar negeri yang

berorientasi pada peningkatkan peran Indonesia di fora internasional,

menciptakan perdamaian, pemulihan citra Indonesia di mata dunia, dan

mendorong terciptanya tata ekonomi dunia yang lebih baik pada tingka

regional maupun internasional serta mendukung pembangunan

nasional.55 Untuk memperoleh reputasi dan kredibilitas dimata

internasional seperti yang dicanangkan dalam politik luar negeri itu

Indonesia harus memperlihatkan kepatuhannya kepada hukum

internasional.56 Pentaatan terhadap perjanjian internasional merupakan

parameter utama. Sebagai pihak dalam perjanjian internasional Indonesia

terikat pada prinsip pacta sunt servanda, suatu prinsip fundamental dalam

hukum perjanjian internasional bahwa para pihak harus melaksanakan

perjanjian dengan itikad baik.57 Kegagalan untuk melaksanakan

perjanjian akan melahirkan pelanggaran hukum internasional dan hanya

akan merusak reputasi dan kredibilitas Indonesia di mata dunia.

Kegagalan mentaati perjanjian internasional akan melahirkan

pertanggungjawaban internasional dan negara tidak dapat berlindung

55 Kementrian Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Rencana Pembangungan Jangka Menengah 2004 – 2009, Bab 8. 56 Dari implikasi empiris pre-commitment and diffusion theories, Ginsburg menemukan bahwa adopsi hukum international merupakan strategy yang berguna bagi demokrasi untuk menetapkan kebijakan tertentu, menambah kepercayaan pads pemerintah dan rejim yang berkuasa dan menambah reputasi internasional, lihat Tom Ginsburg, Svitlana Chernykh and Zachary Elkins, ‘Commitment and Diffusion: How and Why National Constitutions Incorporate International Law’, University of Illinois Law Review (2008), http://works.bepress.com/tom_ginsburg/18, 201 (last visited on 9 April 2013). 57 Article 26 VCLT of 1969.

Page 31: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

38

dibalik hukum nasionalnya untuk menjustifikasi kegagalan ini. Dalam hal

ini, suatu negara justru harus memastikan bahwa pentaatan perjanjian ini

mendapat justifikasi dari hukum nasionalnya. Di lain pihak, bagaimana

perjanjian internasional ditransformasikan, diadopsi, dan diperingkatkan

dalam hukum nasional adalah urusan hukum nasional.58 Kedaulatan

hukum nasional untuk menentukan status ini akan tetap dihormati

sepanjang hukum internasional masih berkarakter Westphalian.59

Mengingat bahwa hukum nasional harus menentukan status ini maka

setiap hukum nasional harus memiliki rejim hukum yang jelas tentang

hukum internasional khususnya perjanjian internasional.

Globalisasi saat ini cenderung mensyaratkan adanya kepastian

bahwa setiap hukum nasional negara pihak mentaati perjanjian

internasional sehingga dan untuk itu hukum internasional telah mulai

mengembangkan suatu mekanisme pentaatan perjanjian. Indonesia telah

menjadi pihak pada berbagai perjanjian internasional yang menyediakan

mekanisme pentaatan dimaksud seperti Konvensi-konvensi HAM yang

diperlengkapi dengan mekanisme monitoring.60 Indonesia telah

dimonitor secara regular oleh mekanisme ini dan dari perspektif politik

58 Kadelbach (note 53), 66. 59 Stephane Beaulac, ‘Westphalia, Dualism and Contextual Interpretation’, EUI Working Papers, European University Institute (2007), 5-6; Mattias Kumm, ‘Democratic Constitutionalism Encounters International Law: Terms of Engagement’, di S. Choudhry (ed.), The Migration of Constitutional Ideas (2006), 258. 60 Michael O'Flaherty and Claire O'Brien, ‘Reform of UN Human Rights Treaty Monitoring Bodies: A Critique of the Concept Paper on the High Commissioner's Proposal for a Unified Standing Treaty Body’, 7 Human Rights Law Review (2007) 1, 141-172.

Page 32: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

39

luar negeri tetap berkomitment untuk mentaati kewajiban

perjanjiannya.61 Mengingat konvensi-konvensi HAM mengatur hak

indvidu yang merupakan domain hukum nasional, maka implementasi

dari hak-hak ini di dalam hukum nasional menjadi mutlak. Untuk

maksud itu, Indonesia sudah menghadapi berbagai persoalan hukum

tentang bagaimana perjanjian ini beroperasi di dalam hukum nasional.62

Dalam konteks regional, Indonesia saat ini terlibat dalam proses

konstitusionalisasi di ASEAN. Diberlakukannya Piagam ASEAN 2008

telah melahirkan pertanyaan baru tentang hubungan Piagam ASEAN

termasuk aturan turunannya dengan hukum nasional setiap negara. Para

pakar telah membayangkan munculnya perosalan-persoalan hukum dari

meningkatnya konstitusionalisasi hukum internasional yang disebabkan

beroperasinya Piagam ASEAN termasuk persoalan bagaimana

mengintegrasikan norma-norma yang lahir dari sistem ASEAN kedalam

hukum nasional, menginterpretasikannya serta menerapkannya dalam

domain hukum nasional.63

61 Semenjak tahun 1998, Indonesia telah meluncurkan rangakaian rencana aksi dalam hak asasi manusia yang ditujukan, inter alia, implementasi norma dan standar hak asasi manusia. Rencana kerja yang berlaku saat ini (2011-2014) diatur dalam Peraturan Presiden No. 23 tahun 2011. 62 Badan HAM PBB seperti Committee on the Elimination of Racial Discrimination mempertanyakan status Konvensi di hukum nasional dan sejauh mana pengadilan domestik dapat secara langsung menerapkan aturan Konvensi dimaksud, UN Doc. CERD/C/IDN/3, Seventy-first session, Geneva, 30 July-18 August 2007, question no. 3. 63 Diane Desierto, ‘ASEAN’S Constitutionalization of International Law: Challenges to Evolution under the New ASEAN Charter’, 49 Colum. J. Transnat’l L. (2010-2011), 268-320.

Page 33: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

40

3. Desentralisasi

Salah satu agenda utama dari reformasi 1998 adalah tuntutan

desentralisasi kekuasaan yang selama ini terkonsentrasi pada pemerintah

pusat. Sebelumnya, pemerintah pusat memegang kendali pemerintahaan

atas pemerintah daerah. Kekuasaan pemerintah daerah bersumber dari

pemerintah pusat sehingga dalam pelaksanaan fungsinya pemerintah

daerah bertindak atas nama pemerintah pusat.

UUD 45 hasil reformasi telah memberi ruang bagi otonomi daerah

yang memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada daerah melalui

sistem tiga lapis: pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Masing-masing tingkat diberikan otonomi untuk melaksanakan fungsi

pemerinthaan untuk hampir di semua bidang kecuali politi luar negeri,

pertahana, keamanan, keuangan, kehakiman dan agama.

Secara paralel terdapat pula otonomi khusus yang diberikan

kepada dua provinsi yaitu Provinsi Aceh dan Papua. Otonomi khusus ini

diberikan karena secara historis terdapat karakteristik khusus dari kedua

daerah ini yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Tuntutan akan

otonomi khusus ini sudah ada sebelum reformasi berlangsung dan

selama ini telah menjadi issue politik yang sensitif antara pusat dan

daerah. Konflik antara pusat dan daerah ini telah mengundang perhatian

internasional dan berpontensi untuk gerakan separatisme yang

melibatkan negara-negara lain. Dengan otonomi khusus ini maka kedua

daerah tersebut memperoleh kekuasaan yang lebih besar dibandingkan

provinsi-provinsi lainnya.

Page 34: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

41

Adanya otonomi daerah ini akan melahirkan pertanyaan baru

tentang kekuasaan membuat perjanjian internasional pemerintah daerah

khususnya jika materi yang diperjanjikan berada dibawa kewenangan

eksklusifnya. Terlebih lagi dengan otonomi khusus yang diberikan

kepada Pemerintah Papua dan Aceh telah melahirkan tuntutan baru agar

mereka dapat langsung berinteraksi dengan masyarakat internasional

atas namanya sendiri yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan

apakah mereka berwenang untuk membuat perjanjian dengan pihak

asing. Pertanyaan ini bukan hal yang baru bagi setiap negara modern dan

selalu muncul di banyak negara khususnya yang berkarakter federalisme.

Para pakar hukum sepakat bahwa konstitusi masing-masing

negara sangat menentukan dalam pemberian kekuasaan membuat

perjanjian oleh entitas daerah. Kekuasaan ini dapat dinikmati oleh

pemerintah daerah jika diberikan oleh konstitusinya.64 Draft akhir dari

Komisi Hukum Internasional tentang Perjanjian Internasional65 yang

kemudian dihapus pada saat Konferensi pada tahun 1969 menyerahan

persoalan ini kepada konstitusi masing-masing negara. Draft tersebut

menyatakan: States members of a federal union may posses a capacity to

conclude treaties if such capacity is admitted by the federal constitution and

within the limits there laid down. Dihapuskan draft pasal ini tidak diartikan

64 Helmut Steinberger, ‘Constitutional Subdivisions of States or Unions and their Capacity to conclude Treaties’, 27 ZaöRV (1967), 428; Thomas A. Levy, ‘Provincial International Status Revisited’, 3 Dalhousie L.J. (1976-1977), 75. 65 ILC Official Records: 21st session, Supplement No. 9 (A/6309/Rev.1), UN (1966), 10.

Page 35: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

42

sebagai penolakan terhadap kekuasaan negara bagian untuk membuat

perjanjian internasional.66

Menurut pandangan tradisionl, kekuasaan membuat perjanjian

internasional secara keseluruhan berada di tangan Raja sebagai atribut

kedaulatan. Namun gerakan konstitusionalisme dan pemisahan

kekuasaan dewasa ini telah mendorong lahirnya aturan konstitusi yang

membedakan antara membuat perjanjian internasional dengan

melaksanakan perjanjian internasional.67 Sebagai konsekuensi, kekuasaan

membuat perjanjian telah telah dialokasikan kepada berbagai organ

negara baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal terdapat

tuntutan untuk adanya partisipasi parlemen sehingga terjadi pembagian

kekuasaan antara pemerintah dan parlemen dan memberikan kepada

parlemen kekuasaan untuk melaksanakan perjanjian dalam kerangka

fungsi legislasi. Secara vertikal telah lahir pemerintah daerah yang

memiliki kewenangan eksklusif atas beberapa urusan pemerintahaan

yang mengakibatkan mereka harus berpartisipasi jika urusan eksklusif ini

diperjanjikan dengan pihak asing.

66 Mark E. Villiger, Commentary on the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties (2009), 127-128; Alasan utama penghapusan adalah dengan membuat kecakapan (bagi negara bagian untuk membuat perjanjian internasional) hanya bergantung bagi aturan konsitusi federal, paragraf tersebut akan dapat menjadi pemicu untuk bagi negara lain untuk menginterpretasikan sendiri konstitusi tersebut, lihat J.S. Stanford, ‘United Nations Law of Treaties Conference: First Session’, 19 U. Toronto L.J. (1969), 60-61. 67 Luzius Wildhaber, ‘Provisions of Internal Law Regarding Competence to Conclude a Treaty’, 8 Va. J. Int'l L. (1967-1968), 94.

Page 36: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

43

Persoalan ini sangat nyata dalam sistem federalisme karena

kekuasaan pemerintah terbagi antara pemerintah pusat dan daerah dan

setiap penduduk akan tunduk pada dua otoritas pembuat undang-

undang secara bersamaan. Dalam hal ini masing-masing otoritas tidak

tunduk satu sama lain (subordinasi) melainkan bersifat koordinatif.68

Praktek negara menunjukkan bahwa ternyata persoalan kontroversi

tentang kekuasaan membuat perjanjian internasional oleh entitas atau

bagian negara tidak hanya melulu terjadi pada situasi negara federalisme

melainkan juga dalam situasi hubungan kolonial. overseas territories, dan

dependent territories. Ini membuktikan bahwa persoalan kekuasaan

membuat perjanjian bisa muncul di setiap entitas selain negara.

Walapun terdapat kecenderungan negara-negara untuk

menghapuskan kekuasaan membuat perjanjian dari entitas daerah,69

persoalan dasarnya masih mewarnai hubungan pusat dan daerah.

Tantangan yang muncul saat ini adalah bagaimana menangani konflik

antara pusat dan daerah jika pemerintah pusat membuat perjanjian yang

materinya dibawah kekuasaan eksklusif dari pemerintah daerah. Saat ini

muncul gagasan bahwa keterlibatan pemerintah daerah untuk membuat

perjanjian tidaklah semata-mata untuk maksud melindungi kepentingan

daerah tsb melainkan adalah konsekuensi dari desentralisasi dan

68 A. Kim Campbell, ‘Federalism and International Relations: The Canadian Experience’, 85 Am. Soc'y Int'l L. Proc. (1991), 125. 69 Oliver J. Lissitzyn, ‘Territorial Entities other than Independent States in the Law of Treaties’, RdC (1968-III), 87.

Page 37: INDONESIA DAN HUKUM INTERNASIONAL: DINAMIKA POSISI … dan Hukum... · 7 Satu-satunya sumber berbahasa Inggris mengenai hukum perjanjian internasional Indonesia hanya ada pada Swan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 15 Januari-April 2014

44

globalisasi. Di era globalisasi terdapat kebutuhan adanya kebijakan luar

negeri oleh otonomi daerah sebagai konsekuensi dari demokratisasi,

federalisme, tingkat pertumbuhan ekonomi, meningkatnya

internasionalisasi pasar.70

Terlepas dari apa pun struktur negara, apakah kesatuan atau

federalisme, pertanyaan tentang bagaimana kewenangan eksklusif daerah

diperlakukan jika urusan yang dibawah wewenang eksklusif ini menjadi

objek dan materi dari suatu perjanjian internasional. Pertanyaan ini akan

bersentuhan dengan kekuasaan membuat perjanjian internasional

menurut hukum konstitusinya. Beberapa perjanjian justru telah membuka

ruang bagi partisipasi sub-negara jika materinya adalah wewenang

eksklusif dari sub-negara itu yang berada di luar kewenangan pemerintah

pusat.71 Dalam hal ini fenomena desentralisasi tetap melahirkan persoalan

kontroversi terhadap posisi negara terhadap perjanjian internasional.

***

70 Ferran Requejo, ‘Foreign Policy of Constituents Units in a Globalised World’, di Ferran Requejo (ed.), Foreign Policy of Constituents Units at the Beginning of 21st Century (2010), 11. 71 Agreement Establishing the World Trade Organization menyatakan di Pasal XII bahwa Setiap Negara atau wilayah kepabeanan terpisah memiliki otoritas penuh untuk mengatur hubungan dagang eksternal dan masalah-masalah lain yang diatur di Perjanjian ini dan Perjanjian Dagang Multilateral yang mengacu pada Perjanjian ini, dalam aturan yang disetujui diantara mereka dan WTO. Aksesi tersebut akan berlaku pada Perjanjian ini dan Perjanjian Dagang Multilateral yang terlampir.