repository.unpas.ac.idrepository.unpas.ac.id/32064/3/bab ii_ref_sidang1.doc · web viewsistem...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Sampah
Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam
yang berbentuk padat (Undang-undang No. 18 Tahun 2008). Sampah yang
dikelola berdasarkan Undang- Undang No 18 Tahun 2008 pasal 2 terdiri atas :
1. Sampah rumah tangga berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah
tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik.
2. Sampah sejenis sampah rumah tangga berasal dari kawasan komersial,
kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum,
dan/atau fasilitas lainnya.
3. Sampah spesifik meliputi:
a. sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun;
b. sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun;
c. sampah yang timbul akibat bencana;
d. puing bongkaran bangunan;
e. sampah yang secara teknologi belum dapat diolah; dan/atau
f. sampah yang timbul secara tidak periodik.
Sampah adalah sesuatu yang tidak dapat digunakan lagi, tidak terpakai,
tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, yang berasal dari kegiatan manusia
dan tidak terjadi dengan sendirinya (Kusnoputranto, 1993). Sampah adalah sisa-
sisa bahan yang mengalami perlakuan, baik karena telah diambil bagian
utamanya atau karena pengolahan, atau karena sudah tidak ada manfaatnya, yang
ditinjau dari segi sosial ekonomi tidak ada harganya dan dari segi lingkungan
dapat menyebabkan pencemaran atau gangguan kelestarian (Hadiwiyoto, 1989).
Menurut SNI 19-2454-2002 sampah adalah limbah yang terdiri dari zat organik
dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak
membahayakan lingkungan dan melindungi investasi pembangunan. Sampah
perkotaan adalah sampah yang timbul di kota (tidak termasuk sampah yang
berbahaya dan beracun).
II - 1
II - 2
2.2 Penggolongan Jenis Sampah
Penggolongan jenis sampah berdasarkan Damanhuri, E. Dan Padmi, T.
Di industri, jenis sampah atau yang dianggap sejenis sampah, dikelompokkan
berdasarkan sumbernya seperti :
Permukiman : biasanya berupa rumah atau apartemen. Jenis sampah yang
ditimbulkan antara lain sisa makanan, kertas, kardus, plastik, tekstil, kulit,
sampah kebun, kayu, kaca, logam, barang bekas rumah tangga, limbah
berbahaya dan beracun, dan sebagainya.
Daerah Komersial : yang meliputi pertokoan, rumah makan, pasar,
perkantoran, hotel, dan lain-lain. Jenis sampah yang ditimbulkan antara lain
kertas, kardus, plastik, kayu, sisa makanan, kaca, logam, limbah berbahaya
dan beracun, dan sebagainya.
Institusi : yaitu sekolah, rumah sakit, penjara, pusat pemerintahan, dan lain-
lain. Jenis sampah yang ditimbulkan sama dengan jenis sampah pada daerah
komersil.
Kontruksi dan pembongkaran bangunan : meliputi pembuatan kontruksi
baru, perbaikan jalan, dan lain-lain. Jenis sampah yang ditimbulkan antara
lain kayu, baja, beton, debu, dan lain-lain.
Fasilitas umum : seperti penyapuan jalan, taman, pantai, tempat rekreasi, dan
lain-lain. Jenis sampah yang ditimbulkan antara lain rubbish, sampah taman,
ranting, daun, dan sebagainya.
Pengolahan limbah domestik seperti instalasi pengolahan air minum,
instalasi pengolahan air buangan, dan insinerator. Jenis sampah yang
ditimbulkan antara lain lumpur hasil pengolahan, debu, dan sebagainya.
Kawasan industri : Jenis sampah yang ditimbulkan antara lain sisa proses
produksi, buangan non industri, dan sebagainya.
Pertanian : Jenis sampah yang dihasilkan antara lain sisa makanan busuk,
sisa pertanian.
Penggolongan tersebut diatas lebih lanjut dapat dikelompokkan
berdasarkan cara penanganan dan pengolahannya, :
Komponen mudah membusuk (putrescible) : sampah rumah tangga, sayuran,
buah-buahan, kotoran binatang, bangkai dan lain-lain.
II - 3
Komponen bervolume besar dan mudah terbakar (bulky combustible) : kayu,
kertas, kain plastik, karet, kulit, dan lain-lain.
Komponen bervolume besar dan sulit terbakar (bulky noncombustible) :
logam, mineral, dan lain-lain.
Komponen bervolume kecil dan mudah terbakar (small combustible).
Komponen bervolume kecil dan sulit terbakar (small noncombustible).
Wadah bekas : botol, drum, dan lain-lain.
Tabung bertekanan/gas.
Serbuk dan abu : organik (pestisida dan sebagainya), logam metalik, non
metalik, bahan amunisi, dan sebagainya.
Lumpur, baik organik maupun non organik.
Puing bangunan.
Kendaraan tak terpakai.
Sampah radioaktif.
Pembagian yang lain sampah dari negara industri antara lain berupa:
Sampah organik mudah busuk (garbage) : sampah sisa dapur, sisa makanan,
sampah sisa sayur, dan kulit buah-buahan.
Sampah organik tak membusuk (rubbish) : mudah terbakar (combustible)
seperti kertas, karton, plastik, dsb dan tidak mudah terbakar (non-
combustible) seperti logam, kaleng, gelas.
Sampah sisa abu pembakaran penghangat rumah (ashes).
Sampah bangkai binatang (dead animal) : bangkai tikus, ikan, anjing, dan
binatang ternak.
Sampah sapuan jalan (street sweeping) : sisa-sisa pembungkus dan sisa
makanan, kertas, daun.
Sampah buangan sisa kontruksi (demolition waste) dsb.
Berdasarkan sifat-sifat biologis dan kimianya, sampah dapat digolongkan
sebagai berikut :
Sampah yang dapat membusuk (garbage), seperti sisa makanan, daun,
sampah kebun, sampah pasar, sampah pertanian, dan lain-lain
Sampah yang tidak membusuk (refuse), seperti plastic, kertas, karet, gelas
logam, kaca dan sebagainya.
II - 4
Sampah yang berupa debu dan abu
Sampah yang mengandung zat-zat kimia atau zat fisis yang berbahaya.
Disamping yang berasal dari industri atau pabrik-pabrik, sampah jenis ini
banyak pula dihasilkan dari kegiatan kota termasuk dari rumah tangga.
2.3 Komposisi dan Karakteristik Sampah
Pengelompokan yang sering dilakukan adalah berdasarkan komposisinya,
misalnya dinyatakan sebagai % berat (biasanya berat basah) atau % volume
(basah) dari kertas, kayu, kulit, karet, plastik, logam, kaca, kain, makanan dan
lain-lain.
Tabel 2.1 Komposisi Sampah Kota Bandung Berdasarkan Sumber (% Berat
Sampah) 1988.
Komposisi Pasar Pertokoan Sapuan TPS TPA
Sampah Basah 86,36 67,03 42,23 82,76 87,78
Daun-daun 1,25 0,05 29,30 3,76 -
Kertas 5,77 0,05 18,16 4,94 4,60
Tekstil 0,45 17,38 0,19 1,03 0,76
Karet 0,14 2,89 - 0,07 0,35
Plastik 5,67 - 8,16 4,85 4,71
Kulit - 11,96 - 0,06 0,10
Kayu - 0,29 - 0,43 1,13
Kaca 0,19 0,29 - 0,28 0,10
Logam 0,09 0,10 - 0,19 0,12
Lain-lain 0,08 0,01 1,96 1,16 1,35
Sumber : Damanhuri, 2004
Selain komposisi, maka karakteristik lain yang biasa ditampilkan dalam
penanganan sampah adalah karakteristik fisika dan kimia. Karakteristik tersebut
sangat bervariasi, tergantung pada komponen-komponen sampah. Kekhasan
sampah dari berbagai tempat/daerah serta jenisnya yang berbeda-beda
memungkinkan sifat-sifat yang berbeda pula. Sampah kota di Negara-negara
II - 5
yang sedang berkembang akan berbeda susunannya dengan sampah kota di
negara-negara maju. Karakteristik sampah dapat dikelompokkan menurut sifat-
sifatnya, seperti:
Karakteristik fisika: yang paling penting adalah densitas, kadar air, kadar
volatile, kadar abu, nilai kalor, distribusi ukuran
Karateristik kimia: khususnya yang menggambarkan susunan kimia sampah
tersebut yang terdiri dari unsur C, N, O, P, H, S dsb.
Tabel 2.2 Karakteristik Sampah Kota Bandung 1988
Parameter Persentase
Kelembaban (% berat basah) 64,27
pH 6,27
Materi Organik (% berat basah) 44,70
Karbon (% berat kering) 44,70
Nitrogen (% berat kering) 1,56
Posfor (% berat kering) 0,241
Kadar Abu (% berat kering) 23,09
Nilai Kalor (kkal/kg) 1197
Sumber : Damanhuri, 2004
2.4 Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah menurut undang-undang No 18 Tahun 2008 adalah
kegiatan sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan yang meliputi
pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah berdasarkan pasal
20 undang-undang No 18 Tahun 2008 meliputi kegiatan pembatasan timbulan
sampah, pendaur ulang sampah dan pemanfataan kembali sampah. Sedangkan
penanganan sampah berdasarkan pasal 22 undang-undang No 18 Tahun 2008
meliputi:
Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai
dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah,
II - 6
Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari
sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat
pengolahan sampah terpadu,
Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau
dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat
pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir,
Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan
jumlah sampah,
Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau
residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
2.4.1 Pola Pengelolaan Sampah Kota
Teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan terdiri dari kegiatan
pewadahan sampai dengan pembuangan akhir sampah bersifat terpadu dengan
melakukan pemilahan sejak dari sumbernya dapat dilihat pada Gambar 2.1 (SNI
19-2454-2002).
Gambar 2.1 Paradigma Lama Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Kota
Sumber : SNI 19-2454-2002
PEMINDAHAN
TIMBULAN SAMPAH
PEMILAHAN, PEWADAHAN DAN PENGOLAHAN DI SUMBER
PENGUMPULAN
PENGANGKUTAN
PEMILAHAN, DAN PENGOLAHAN
PEMBUANGAN AKHIR
II - 7
Teknik operasional pengelolaan sampah kota seperti gambar di atas ini
dikenal sebagai pola penanganan sampah wadah – kumpul – angkut – buang.
Pola ini menyebabkan masalah dari segi beban transportasi dan penumpukan di
TPA. Oleh karena itu perlu adanya perubahan paradigma teknik operasional
pengelolaan sampah kota yang dapat meminimalkan masalah yang terjadi. Salah
satu pola penanganan yang dewasa ini banyak diwacanakan adalah pendauran
ulang sampah dan pemanfaatan kembali sampah yang dikenal dengan 3R (Dinas
tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat, 2008). 3R adalah kependekan
dari reduce, reuse, dan recycle. Idiom tersebut kemudian dialihbahasakan ke
dalam Bahasa Indonesia menjadi kurangi sampah, guna ulang sampah, dan daur
ulang sampah. 3R merupakan prinsip utama dalam pengelolaan sampah
berwawasan lingkungan (environmental friendly) (www.menlh.go.id).
Prinsip pertama reduce adalah segala aktivitas yang mampu mengurangi segala
sesuatu yang dapat menimbulkan sampah, misalnya:
Ketika berbelanja membawa kantong/keranjang dari rumah, tidak
memakai kantong plastik (kresek) yang dibeli/disediakan.
Mengurangi konsumsi makanan dan minuman berkemasan plastik,
kaleng, atau styreofoam.
Prinsip kedua reuse adalah kegiatan penggunaan kembali sampah yang layak
pakai untuk fungsi yang sama atau fungsi yang lain, misalnya:
Menggunakan secara berulang botol plastik bekas minuman atau
digunakan kembali sebagai wadah minyak goreng.
Modifikasi ban bekas menjadi kursi atau pot bunga.
Prinsip ketiga recycle adalah kegiatan mengolah sampah untuk dijadikan produk
baru, misalnya:
Mengolah sampah kertas menjadi kertas daur ulang/kertas seni/campuran
pabrik kertas.
Mengolah sampah plastik kresek menjadi kantong kresek lagi atau produk
plastik lower grade lainnya.
Mengolah sampah organik menjadi kompos.
Kegiatan 3R dimulai dari sumber sampah, dan dilakukan secara sistematis dalam
alur perjalanan sampah dari sumber sampah menuju ke TPA. Reduksi (R1)
II - 8
sampah merupakan upaya yang dilakukan baik oleh produsen maupun konsumen,
dengan tujuan utama agar terbentuknya sampah semaksimal mungkin dihindari
atau diminimalkan. Kegiatan R2 dan R3 dilakukan pada setiap level dalam
perjalanan sampah menuju pemerosesan akhir (Damanhuri, Ismaria, dan Padmi,
2006).
Gambar 2.2 Paradigma Baru Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Kota
Sumber : Damanhuri, Ismaria, dan Padmi, 2006
Keterangan : - Pengelolaan sampah B3 rumah tangga dikelola secara khusus sesuai aturan
yang berlaku
- Kegiatan pemilahan dapat pula dilakukan pada kegiatan pengumpulan
pemindahan
- Kegiatan pemilahan dan daur ulang diutamakan di sumber sampah
- R1 : Kegiatan membatasi sampah
- R2 : Kegiatan mengguna-ulang
- R3 : Kegiatan mendaur-ulang
Timbulan Sampah
Pemindahan, Pengangkutan
Pengangkutan
Pembuangan Akhir
Akhir
Pewadahan
Pemilahan
(R1, R2)
(R2, R3)
Sumber Sampah
(R1)Pengumpulan
(R3)
Pengolahan
(R2, R3)
(R2, R3)
II - 9
Pelaksanaan penanganan sampah dengan 3R, yang dimulai dengan pemilahan
sampah, sedapat mungkin dilakukan di tingkat sumber, dan akan berjalan dengan
baik bila masyarakat terlibat dan dilibatkan secara aktif dalam pelaksanaannya.
Kegiatan daur ulang dan resource recovery (pemanfaatan kembali) dapat
mengurangi beban pengumpulan dan pembuangan akhir. Gambar 2.3 berikut
adalah algoritma metode pemilihan pengelolaan sampah (Damanhuri, Ismaria, dan
Padmi, 2006).
II - 10
Gambar 2.3 Algoritma Pemilihan Metode Pengelolaan Persampahan
Sumber : Damanhuri, Ismaria, dan Padmi, 2006
II - 11
Gambar 2.4 di bawah ini merupakan kaitan pembagian komposisi sampah dengan
pola pengelolaan sampah kota. Berdasarkan arus pergerakan sampah sejak dari
sumber hingga menuju ke pemerosesan atau pembuangan akhir, penanganan
sampah dikaitkan dengan upaya R2 dan R3, pengelolaan sampah kota dapat
dibagi dalam 3 kelompok utama (Damanhuri, Ismaria, dan Padmi, 2006):
Penanganan sampah tingkat sumber
Penanganan sampah tingkat kawasan
Penanganan sampah tingkat kota
Ga
mbar 2.4 Kaitan Komposisi Sampah Dengan Pola Pengelolaan
Sumber : Damanhuri, Ismaria, dan Padmi, 2006
Keterangan : UPKDU = Unit Produksi Kompos dan Daur Ulang
A. Penanganan Tingkat Sumber:
Merupakan kegiatan penanganan secara individual yang dilakukan
sendiri oleh penghasil sampah dalam area dimana penghasil sampah
tersebut berada. Penanganan sampah di tingkat sumber sangat
II - 12
dianjurkan dengan 3R, yang diawali dengan pemilahan sampah
berdasarkan jenisnya.
Minimasi sampah (R1) dilakukan sejak sampah belum terbentuk yaitu
dengan menghemat penggunaan bahan, membatasi konsumsi sesuai
kebutuhan, memilih bahan yang mengandung sedikit sampah, dan
sebagainya.
Pemanfaatan sampah dilakukan dengan menggunakan kembali sampah
sesuai fungsinya seperti halnya penggunaan botol minuman atau
kemasan lainnya.
Pengomposan sampah, misalnya dengan composter, diharapkan
diterapkan di sumber (rumah tangga, kantor, sekolah, dll). Bila lahan
memungkinkan, pengomposan dapat dilakukan dengan penimbunan
sampah, dan pengelolaan sampah di tingkat sumber dapat ditingkatkan
dengan gabungan pengelolaan yang bersifat individual maupun
komunal.
B. Penanganan sampah tingkat kawasan :
Merupakan kegiatan penanganan secara komunal untuk melayani
sebagian atau keseluruhan sumber sampah yang ada dalam area dimana
pengelola kawasan berada
Pengelolaan sampah tingkat kawasan harus mendorong peningkatan
upaya minimisasi sampah untuk mengurangi beban pada pengelolaan
tingkat kota, khususnya yang akan diangkut ke TPA
Pengelolaan sampah kawasan harus mampu melayani masyarakat yang
berada dalam daerah pelayanan yang telah ditentukan
Proses pemilahan sampah yang telah dimulai dari sumber, membutuhkan
pengaturan alat pengumpul (misal gerobak) yang terpisah ataupun
penjadwalan pengangkutan, agar sampah yang telah dipisah di tingkat
sumber tersebut akan tetap terpisah berdasarkan jenisnya
Lokasi pengumpulan sementara (TPS) dapat difungsikan sebagai pusat
pengolahan sampah tingkat kawasan, atau sebaliknya, yang berfungsi
untuk pemindahan, daur ulang, atau penanganan sampah lainnya dari
daerah yang bersangkutan.
II - 13
C. Penanganan Sampah Tingkat Kota:
Merupakan penanganan sampah yang dilakukan oleh pengelola
kebersihan kota, baik dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, atau
dilaksanakan oleh institusi lain yang ditunjuk untuk itu, yang bertugas
untuk melayani sebagian atau seluruh wilayah yang ada dalam kota yang
menjadi tanggung jawabnya.
Prinsip pengolahan dan daur-ulang sampah adalah mengedepankan
pemanfaatan sampah sebagai sumber daya sehingga sampah yang harus
dibuang ke TPA menjadi lebih sedikit
Keberhasilan upaya pengolahan dan daur-ulang sangat tergantung pada
adanya pemilahan sampah mulai dari sumber, pada wadah komunal,
pada sarana pengumpul dan pengangkut, sehingga sampah yang akan
diangkut ke lokasi pengolahan telah terpilah sesuai jenis atau
komposisinya
Walaupun terdapat kemungkinan mendapatkan nilai tambah dari hasil
penjualan produk pengolahan atau daur-ulang, namun dasar pemikiran
pengolahan dan daur-ulang sampah hendaknya didasarkan atas
pendekatan non-profit-center, dan bahwa upaya tersebut bertujuan
untuk mengurangi sampah yang akan diurug di TPA
Sarana di tingkat kawasan atau TPS dapat berfungsi untuk pengumpulan
sampah berkategori B3 dari kegiatan rumah tangga, untuk ditangani
lebih lanjut
Proses pemilahan sampah yang telah dimulai dari sumber, dan telah
dipisahkan di tingkat pengumpulan, membutuhkan kontainer dan
pengaturan alat angkut yang terpisah ataupun penjadwalan
pengangkutan yang berbeda, agar sampah yang telah dipisah di tingkat
sumber dan tingkat kawasan tersebut akan tetap terpisah berdasarkan
jenisnya.
penanganan sampah di TPA hendaknya bertumpu pada beberapa prinsip,
yaitu :
Penanganan sampah di sarana ini hendaknya terpadu.
II - 14
Bahan yang masih bernilai ekonomis hendaknya diupayakan untuk
didaur-ulang sebelum dilakukan upaya terakhir dengan
pengurugan sampah ke dalam tanah.
Pada lokasi ini dapat dioperasikan beberapa jenis pengolahan sampah,
seperti pengomposan, biogasifikasi, ataupun insinerasi bila memenuhi
syarat
Sarana ini berfungsi pula sebagai tempat penyimpanan sementara bahan
berbahaya yang terkumpul dari kegiatan kota, untuk diangkut ke lokasi
pemerosesan yang sesuai.
2.4.2 Upaya Reduksi Sampah (R-1)
Terdapat berbagai tingkat fungsi pengemasan (Damanhuri, Ismaria, dan Padmi,
2006), yaitu :
Produk yang tanpa pengemas sama sekali
Pengemas level-1 : pengemas yang kontak langsung dengan produk
Pengemas level-2 : pengemas suplementar dari primary packaging
Pengemas level-3 : pengemas yang dibutuhkan untuk pengiriman
Beberapa pengemas dapat dipakai berulang-ulang, seperti botol minuman.
Di samping mendorong produsen untuk mencari bentuk pengemas yang lebih
ramah lingkungan, perlu adanya peran dan tanggung jawab produsen dalam
internalisasi biaya lingkungan dalam biaya produksi, termasuk tanggung jawab
untuk menerima pengemas (atau limbah B3 seperti batu batere) yang telah
digunakan oleh konsumen, sebagai Extended Producer Responsibility (EPR).
Dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan yang
mengatur penyelesaian yang bersifat lintas sektoral ini.
Bahan buangan berbentuk padat, seperti kertas, logam, plastik adalah bahan yang
biasa didaur-ulang. Bahan ini bisa saja didaur-pakai secara langsung atau harus
mengalami proses terlebih dahulu untuk menjadi bahan baku baru. Bahan
buangan ini banyak dijumpai, biasanya merupakan bahan pengemas produk.
Upaya mereduksi sampah akan menimbulkan manfaat jangka panjang seperti :
Mengurangi biaya pengelolaan dan investasi
Mengurangi potensi pencemaran air dan tanah
II - 15
Memperpanjang usia TPA
Mengurangi kebutuhan sarana sistem kebersihan
Menghemat pemakaian sumber daya alam.
2.4.3 Upaya Mengguna Ulang dan Daur Ulang (R2 Dan R3)
Dalam Penanganan Sampah Kota
Guna menentukan potensi daur-ulang, dibutuhkan adanya survei tentang
persentase sampah pada masing-masing sumber, dan pada masing-masing tingkat
penanganan sampah, sehingga dapat dibuat neraca alur sampah mulai dari sumber
sampai ke tempat pemerosesan akhir (TPA). Contoh neraca persentase sampah
dari mulai sumber sampai ke TPA adalah seperti terlihat dalam Gambar 2.5 di
bawah ini, sedang Gambar 2.6 merupakan skema contoh produk hasil pemilahan
(Damanhuri, Ismaria, dan Padmi, 2006).
Gambar 2.5 Contoh Neraca Persentase Sampah Mulai Sumber Sampai Ke TPA
Sumber : Damanhuri, Ismaria, dan Padmi,2006
II - 16
Gambar 2.6 Skema Contoh Produk Hasil Pemilahan
Sumber : Damanhuri, Ismaria, dan Padmi, 2006
2.4.4 Unit Pengolahan Sampah Skala Komunal
Unit pengolahan sampah skala komunal adalah unit pengolahan sampah
rumah tangga (organik saja atau organik dengan non organik) yang dikelola oleh
masyarakat dengan atau tanpa bantuan pemerintah meliputi 1-3 rukun warga
(RW) yang berada di suatu lingkungan permukiman atau komplek perumahan.
Kapasitas olah unit skala komunal biasanya tidak lebih dari 5 m3/hari
Kriteria pemilihan lokasi pengolahan sampah skala komunal :
1. Menemukan dan mengembangkan kegiatan 3R di permukiman atau
perumahan yang sudah berjalan.
2. Prioritaskan memilih lokasi dimana masyarakatnya telah diberi
pelatihan/penyuluhan pengelolaan sampah dengan 3R.
3. Lokasi potensial adalah di TPS komplek perumahan.
Sistem pengolahan sampah yang dapat dikembangkan pada skala komunal
adalah pengomposan open windrow atau menggunakan tong composter untuk
sampah organik. Sementara untuk non organik dengan pemilahan, pengepakan
dan penjualan atau dapat ditambah kegiatan pembuatan barang-barang kerajinan
dengan bahan baku dari sampah. Rencana pembangunan unit pengolah sampah
II - 17
skala komunal sebaiknya diintegrasikan dengan unit pengolah sampah skala
kawasan terdekat, sehingga unit skala komunal dapat menjadi supporting unit
skala kawasan, khususnya penyedia bahan baku kompos atau bahan baku plastik
dan kaleng untuk dicacah dan di-press (www.menlh.go.id).
2.4.5 Unit Pengolahan Sampah Skala Kawasan
Unit pengolahan skala kawasan adalah satu sistem pengolahan sampah
kota, baik organik maupun non organik, yang dikelola oleh pemerintah atau
kerjasama pemerintah dengan masyarakat atau dunia usaha yang ditempatkan di
beberapa kawasan perkotaan seperti: permukiman yang dilayani lebih dari satu
TPS/TD, kompleks perumahan, kawasan sekitar pasar tradisional, kawasan
perdagangan, kawasan industri, kawasan pendidikan/sosial atau di lokasi TPA
sebagai pilihan terakhir
Kriteria pemilihan lokasi unit pengolahan sampah skala kawasan :
1. Sedekat mungkin dengan sumber timbulan sampah
2. Diusahakan ditempatkan di TPS/Transfer Depo atau di kawasan yang
menghasilkan sampah cukup banyak seperti pasar tradisional, kawasan
perdagangan .
3. Lokasi yang dipilih diupayakan menyebar secara merata di seluruh wilayah
kota.
4. Terdapat lahan siap bangun seluas minimal :
- 250 m2 untuk kapasitas 36 m3/hari.
- 750 m2 untuk kapasitas 60 m3/hari.
5. Status lahan yang digunakan diusahakan milik pemerintah daerah setmpat.
6. Lahan TPA sebagai pilihan terakhir.
Kapasitas olah unit pengolahan skala kawasan adalah sekurang-kurangnya 30 m3
sampah per hari disesuaikan dengan jumlah timbulan sampah kota, target jumlah
sampah yang akan diolah, ketersediaan lahan, kemampuan anggaran dan
sumberdaya lainnya serta peran serta masyarakat dan dunia usaha
(www.menlh.go.id).
II - 18
2.5 Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
Community Based Solid Waste Management (CBSWM) atau dialih bahasakan
menjadi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat adalah sistem penanganan
sampah yang direncanakan, disusun, dioperasikan, dikelola dan dimiliki oleh
masyarakat. Tujuannya adalah kemandirian masyarakat dalam mempertahankan
kebersihan lingkungan melalui pengelolaan sampah yang ramah lingkungan
(www.esp.or.id).
Dengan demikian terdapat 5 (lima) prinsip utama yang menjadi dasar
pengembangan Sistem Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat (Dinas Tata
Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat, 2008) yaitu:
1. Prinsip Keterlibatan Warga ; dimana suatu CBSWM harus direncanakan,
dikembangkan, dioperasikan, dan diawasi dengan melibatkan setiap warga
yang memiliki hak dan kewajiban setara.
2. Prinsip Kemandirian ; dimana suatu CBSWM harus dikelola secara mandiri
sesuai dengan kemampuan sumber daya menerus yang dapat dimanfaatkan
oleh kelompok warga.
3. Prinsip Efisiensi ; dimana suatu CBSWM harus dikelola seefisien mungkin
dengan biaya yang minimal dan penggunaan sumber daya yang optimal
untuk memperoleh manfaat yang maksimal.
4. Prinsip Pelestarian Lingkungan ; dimana suatu CBSWM harus mampu
a. menciptakan lingkungan pemukiman yang bersih dari sampah.
b. melakukan upaya pemanfaatan sampah (waste recovery) seoptimal
mungkin, dan
c. mencegah dampak buruk lain yang dapat terjadi dari kegiatan pengelolaan
sampahnya.
5. Prinsip Keterpaduan ; dimana suatu CBSWM harus memiliki elemen sistem
yang terpadu dengan sistem pengelolaan luar-wilayah yang dikelola oleh
instansi kebersihan milik pemerintah setempat.
II - 19
Gambar 2.7 Sistem Atau Model Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
Sumber : www.esp.or.id
Mengacu kepada ke-5 prinsip di atas, suatu wilayah yang menerapkan pola
CBSWM (Community Based Solid Waste Management) harus memenuhi
beberapa persyaratan aspek teknis, sosial-budaya, lingkungan, ekonomi,
kelembagaan, dan peraturan, (Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa
Barat, 2008) sebagai berikut:
Kejelasan batasan wilayah.
Wilayah CBSWM harus memiliki batas-batas yang jelas sesuai dengan
kesepakatan warga. Wilayah layanan sebaiknya ditentukan dengan batasan
wilayah yang umum dikenal misalnya RT, RW, maupun desa atau lebih luas
dari itu.
Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat di dalam pengelolaan sampah dapat didefinisikan
sebagai suatu proses pelibatan seluruh stakeholder dalam menentukan arah,
menjalankan proses dan mencapai tujuan bersama.
Seluruh kelompok stakeholder harus selalu dilibatkan dalam proses
perencanaan, pengoperasian, penentuan anggaran, perolehan dana
operasional, penilaian kinerja, penentuan struktur organisasi pengelola, dan
II - 20
lainnya. Mekanisme keterlibatan stakeholder harus diatur dengan jelas dan
dipahami semua pihak.
Strategi pengelolaan sampah yang terpadu;
Strategi yang dimiliki oleh suatu CBSWM harus menguraikan secara rinci
dan kuantitatif tentang pola tindakan terhadap berbagai jenis sampah yang
timbul, mulai dari upaya pewadahannya sampai ke upaya penampungan atau
pemusnahannya. Termasuk ke dalam strategi pengelolaan sampah ini adalah
keterkaitan antara sistem CBSWM dengan sistem kebersihan yang dijalankan
oleh instansi kebersihan pemerintah. Sesuai prinsip sebelumnya, penentuan
strategi ini harus dilakukan melalui proses pelibatan warga (participatory
process) dan konsultasi dengan pemerintah.
Upaya pemanfaatan sampah yang optimal;
CBSWM harus mengoptimalkan upaya pemanfaatan sampah untuk
mendukung;
a. upaya pelestarian lingkungan,
b. pemanfaatan produk sampah,
c. perolehan dana operasional, dan
d. pengurangan beban kerja instansi pengelola kebersihan pemerintah.
Tanpa adanya upaya tersebut, makna keberadaan CBSWM akan tidak
berarti. Minimal CBSWM harus mempertimbangkan adanya tindakan
pengkomposan terhadap sampah layak-kompos (compostable) dan tindakan
penjualan sampah layak-daur (recyclable). Optimasi pemanfaatan sampah
akan didukung oleh rencana pemilahan, penyiapan, proses produksi,
penyaluran produknya, dan mekanisma jual-belinya.
Sarana persampahan yang memadai;
Sarana yang dimiliki CBSWM harus mampu mendukung keberlangsungan
strategi pengelolaan sampah terpadu. Sarana yang dibutuhkan antara lain
adalah a) wadah sampah (yang mendukung upaya pemilahan sampah pada
sumbernya), b) gerobak pengumpul sampah, c) depo penampungan
sementara, d) fasilitas pengkomposan, e) fasilitas penyiapan bahan layak
daur ulang. dan f) fasilitas penampungan sementara.
Minimalisasi dampak lingkungan;
II - 21
Sarana dan pola kerja yang digunakan dalam suatu CBSWM tidak boleh
menimbulkan dampak lingkungan lain yang ternyata lebih berbahaya dari
dampak sampah itu sendiri.
Kejelasan organisasi pengelola sampah;
Kehadiran organisasi baik formal maupun non formal yang memegang
kendali kegiatan CBSWM, harus difasilitasi oleh pihak insiator. Hal ini
menjadi penting untuk keberlajutan CBSWM ketika inisiator tidak lagi
mendampingi masyarakat.
Sedapat mungkin, organisasi dibetuk atas kebutuhan warga, dan
berangotakan warga setempat.
Optimasi sumber pendanaan sendiri;
CBSWM harus memiliki sumber pendanaan yang jelas untuk memenuhi
biaya operasi dan biaya pengembangannya. CBSWM harus dapat
mengandalkan sumber dananya sendiri, seperti iuran warga, penjualan
produk pemanfaatan sampah, kontribusi pihak lain yang diupayakan sendiri.
Bantuan pendanaan dari pemerintah sebaiknya diberikan sesuai dengan
manfaat keberadaan CBSWM terhadap sistem persampahan yang dikelola
pemerintah.
Mekanisma pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja;
CBSWM harus memiliki mekanisma pertanggungjawaban yang jelas, baik
terhadap kinerja administrasi, kinerja teknis, maupun kinerja keuangan.
Mekanisma pertanggungjawaban harus didukung dengan sistem penilaian
yang konsisten agar mempermudah proses pembandingan kinerjanya secara
periodik.
Integrasi CBSWM dalam Sistem Pengelolaan Sampah Kota;
Kehadiran CBSWM harus terintegrasi dengan sistem pengelolaan sampah
kota. Pengakuan CBSWM sebagai bagian dari Sistem Pengelolaan yang
dijalankan oleh Pemerintah adalah penting. Tanpa itu, eksistensi CBSWM
akan selalu menjadi pertanyaan berbagai pihak yang meragukan kemampuan
masyarakat.
Persyaratan di atas dalam pelaksanaan pengembangan suatu CBSWM, akan
sangat bervariasi tergantung dari karakteristik tiap wilayah CBSWM itu sendiri.
II - 22
2.6 Pola Pemilahan
Kunci keberhasilan program kebersihan dan pengelolaan sampah terletak pada
pemilahan. Tanpa pemilahan, pengolahan sampah menjadi sulit, mahal dan
beresiko tinggi mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan
(www.esp.or.id).
Pemilahan adalah memisahkan antara jenis sampah yang satu dengan jenis yang
lainnya. Minimal pemilahan menjadi dua jenis: sampah organik dan non organik.
Sebab sampah organik yang menginap satu hari saja sudah dapat menimbulkan
bau, namun tidak demikian halnya dengan sampah non organik (www.esp.or.id).
Berbagai bentuk dan bahan wadah pemilahan dapat digunakan. Setiap pilihan
memiliki kelebihan dan kekurangan. Prinsipnya: disesuaikan dengan kondisi
lingkungan dan kemampuan masyarakat yang akan memilah. Umumnya
pemilahan di lokasi yang telah melakukan program pengelolaan sampah adalah
sebagai berikut (www.esp.or.id) :
Gambar 2.8 Diagram Pewadahan Sampah Untuk Mempermudah Pemilahan.
Sumber : www.esp.or.id
II - 23
Pemilahan sampah non organik yang dapat didaur ulang kemudian di tindak
lanjuti untuk dijual agar dapat mendatangkan keuntungan ekonomi.
Gambar 2.9 Urutan Dari Kiri Ke Kanan Pengumpulan Sampah Non-Organik
Untuk Dijual
Sumber : www.esp.or.id
Model 1: Pemilahan Oleh Rumah Tangga
Pemilahan paling baik dilakukan mulai dari sumbernya, yaitu rumah
tangga. Setiap anggota keluarga baik ayah, ibu, anak dan anggota keluarga
lainnya memiliki tanggung jawab yang sama dalam pemilahan di rumah
tangga (www.esp.or.id).
Model 2: Pemilahan Oleh Petugas (Tingkat Komunal)
Jika pemilahan di rumah sulit dan perlu waktu lama untuk diterapkan,
sedangkan di wilayah RT atau RW tersedia area yang cukup luas, maka
model yang kedua ini cocok diterapkan (www.esp.or.id).
2.7 Pola Pengumpulan Pertama (Dari Rumah Ke TPS)
Pengumpulan pertama umumnya didukung oleh prasarana yang terdiri dari
pewadahan dan gerobak pengangkut. Bentuk, ukuran dan bahan prasarana
pendukung ini sangat bervariasi. Prinsipnya, pewadahan sampah yang
ditempatkan di area terbuka harus dilengkapi dengan penutup agar air hujan tidak
masuk. Tong atau bak sampah juga perlu mempertimbangkan kemudahan bagi
petugas sampah untuk mengeluarkan sampah dan memindahkannya ke dalam
gerobak sampah (www.esp.or.id).
2.8 Pola Penanganan Sampah di TPS
Penanganan sampah di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) adalah
kewenangan pemerintah daerah. Namun agar sistem pengelolaan sampah di
II - 24
masyarakat dapat bersinergi dengan sistem lanjutannya, pengetahuan tentang
penanganan sampah di TPS sangat penting (www.esp.or.id).
Gambar 2.10 Penanganan sampah di rumah, TPS, dan TPA.
Sumber : www.esp.or.id
Keterangan:1. Sampah dihasilkan dari rumah
2. Tukang sampah mengumpulkan sampah di gerobak
3. Tukang sampah memindahkan sampah dari gerobak ke TPS
4. Sampah dipindahkan dari TPS ke truk oleh petugas pengangkut truk Dinas
Kebersihan
5. Sampah dari truk ditimbun di TPA
Masalah teknis yang sering timbul di TPS umumnya disebabkan oleh:
Ketidaksesuaian kapasitas TPS dengan jumlah sampah yang masuk,
sehingga banyak sampah yang tidak tertampung dan berceceran.
Jadwal pengangkutan ke TPA yang tidak lancar, sehingga sampah
terkadang harus ’menginap’ di TPS.
2.9 Pola Pengolahan
Pengolahan sampah adalah upaya yang sangat penting untuk mengurangi
volume sampah dan mengubah sampah menjadi material yang tidak berbahaya.
Pengolahan dapat dilakukan di sumber, di TPS, maupun di TPA. Prinsipnya
adalah dilakukan setelah pemilahan sampah dan sebelum penimbunan akhir,
sehingga sering juga disebut pengolahan antara (www.esp.or.id).
II - 25
Pencacahan: pengolahan fisik dengan memotong/mengurangi ukuran
sampah agar lebih mudah diolah, misalnya untuk proses pengomposan
rumah tangga
Pemadatan: pengolahan fisik dengan menambah densitas (kepadatan)
sampah agar volumenya berkurang, terutama untuk menghemat
penggunaan truk untuk pengangkutan sampah ke TPA.
Pengomposan/komposting: pengolahan sampah organik melalui
pembusukan (proses biologis) yang terkendali. Hasil yang diperoleh
disebut kompos.
Daur ulang sampah non organik: pengolahan fisik dan kimia untuk
mengubah sampah non organik menjadi material baru yang dapat
dimanfaatkan kembali. Contoh: melelehkan plastik dan mencacahnya
menjadi bijih plastik, membuat bubur kertas untuk menjadikan kertas
daur ulang, dan membuat kerajinan atau hasta karya.
Pembakaran: pengolahan fisik dengan membakar sampah pada
temperatur tinggi (diatas 1000 derajat celcius). Pembakaran atau
insinerasi sangat mahal dan perlu teknologi tinggi agar tidak berbahaya
bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Karena itu, insinerasi tidak
cocok untuk tingkat RT atau RW, yang jumlah sampahnya masih
dibawah 120 ton per hari.
2.9.1Komposting
Komposting adalah upaya mengolah sampah organik melalui proses
pembusukan yang terkontrol atau terkendali. Produk utama komposting adalah
kebersihan lingkungan, karena jumlah sampah organik yang dibuang ke TPA
menjadi berkurang. Adapun kompos sebagai produk komposting adalah hasil
tambahan atau bonus yang dapat kita gunakan untuk tanaman sendiri ataupun
untuk dijual. Proses perubahan sampah organik menjadi kompos merupakan
proses metabolisme alami dengan bantuan makhluk hidup. Untuk itu, ada
beberapa faktor yang wajib dipenuhi (www.esp.or.id).
II - 26
Gambar 2.11 Faktor yang Mempengaruhi Proses Pembuatan Kompos
Sumber : www.esp.or.id
a. Mikroorganisme atau mikroba
Mikroorganisme atau mikroba yaitu makhluk hidup berukuran mikro
(sangat kecil) yang hanya dapat dilihat melalui mikroskop, misalnya
bakteri dan jamur. Mikroba inilah yang ’memakan’ sampah dan hasil
pencernaannya adalah kompos. Semakin banyak jumlah mikroba maka
semakin baik proses komposting. Mikroba ini dapat diperoleh dari
kompos yang sudah jadi ataupun dari lapisan atas tanah yang gembur
(humus).
b. Udara
Komposting adalah proses yang bersifat aerob (membutuhkan udara).
Aliran udara yang kurang baik selama komposting akan menyebabkan
mikroba jenis lain (yang tidak baik untuk komposting) yang lebih
banyak hidup, sehingga timbul bau menyengat dan pembentukan
kompos tidak terjadi. Oleh karena itu, wadah yang berlubang ataupun,
pembalikan dan pengadukan secara teratur sangat penting dalam
komposting.
II - 27
c. Kelembaban
Komposting berlangsung optimal dalam kelembaban antara 50 – 70%.
Jika terlalu lembab maka udara akan terhambat masuk ke dalam materi
organik sehingga bakteri mati karena kekurangan udara. Maka
simpanlah di tempat yang cukup kering. Namun juga jangan terlalu
kering karena mikroba membutuhkan air sebagai media hidupnya. Maka
siram atau percikkan lah air jika terlalu kering.
d. Suhu
Proses penguraian materi organik oleh mikroba menyebabkan suhu yang
cukup tinggi (fase aktif). Suhu akan turun secara bertahap yang
menandakan fase pematangan kompos. Kisaran suhu yang ideal untuk
komposting adalah 45 – 70 derajat celcius.
e. Nutrisi
Seperti manusia, mikroba juga membutuhkan makanan atau nutrisi.
Kandungan karbon dan nitrogen yang ada dalam sampah organik
merupakan sumber makanan mikroba. Perbandingan kedua unsur ini
akan berubah saat komposting berakhir.
f. Faktor lainnya
Faktor lainnya seperti waktu, pH (derajat keasaman), dan ukuran partikel
sampah organik. Rata-rata proses komposting membutuhkan waktu
sekitar 6 - 8 minggu. Variasi waktu tergantung pada jenis sampah
organik dan ada tidaknya unsur tambahan yang mempercepat proses
komposting seperti EM4. Ukuran partikel sampah juga perlu
diperhatikan dalam pengomposan rumah tangga. Kulit pisang dan
sayuran misalnya, perlu dicacah terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke
dalam komposter.
Aerob
Aerob adalah kondisi dimana udara atau oksigen hadir dalam suatu reaksi
biologis, misalnya dalam proses komposting. Kondisi sebaliknya disebut
dengan anaerob, yaitu kondisi tanpa udara atau oksigen, misalnya sampah
yang ditimbun di TPA. Kondisi anaerob menyebabkan tumpukan/timbunan
II - 28
sampah organik berbau busuk dan tidak sedap, disebabkan reaksi biologis
yang terjadi. Oleh karena itulah pada proses komposting kondisi anaerob
harus dihindari. Caranya, berikan sirkulasi udara yang baik atau lakukan
proses pembalikan yang teratur.
a. Metoda Pengomposan/Komposting
MODEL 1: SKALA RUMAH TANGGA
Takakura dan modifikasinya Gentong
Doskura Ember Berlubang
Gambar 2.12 Contoh Pengomposan Skala Rumah Tangga
MODEL 2: SKALA KOMUNAL
Drum/tong Bak/Kotak
II - 29
Windrow
Gambar 2.13 Contoh Pengomposan Skala Komunal
Untuk komposting dengan metoda ini, dibutuhkan lahan yang cukup, yaitu
untuk:
Area penerimaan sampah
Area pemilahan dan pencacahan (jika diperlukan, terutama untuk
sampah pertamanan)
Area sampah non organik/lapak
Ruang pengomposan (windrow)
Ruang pengayakan kompos
Gudang kompos
Gudang peralatan
Instalasi pengelolaan lindi (air sampah)
Instalasi pengomposan sebaiknya dilengkapi juga dengan kantor, sebagai ruang
untuk pemantauan, dan dilengkapi juga dengan fasilitas air bersih, toilet dsb.
2.9.2 Daur Ulang Sampah Non-Organik
Daur ulang adalah proses memanfaatkan bahan bekas atau sampah untuk
menghasilkan produk yang dapat digunakan kembali. Daur ulang memiliki
banyak manfaat, diantaranya:
Mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan
Akhir)
Mengurangi dampak lingkungan yang terjadi akibat menumpuknya
sampah di lingkungan
II - 30
Dapat menambah penghasilan melalui penjualan produk daur ulang yang
dihasilkan
Mengurangi penggunaan bahan alam untuk kebutuhan industri plastik,
kertas, logam, dan lain-lain.
2.9.3 Aneka Kreasi (Hasta Karya) Daur Ulang
Gambar 2.14 Aneka Kreasi (Hasta Karya) Daur Ulang
1. Tas anyaman dari bungkus mi instan
2. Amplop dan kertas surat dari kertas daur ulang
3. Tas anyaman dari aluminium foil
4. Taplak dari sedotan plastik
5. Berbagai produk dari flexible plastic.
Sumber : Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat, 2008
II - 31
Daur Ulang Plastik
Gambar 2.15 Proses daur ulang plastik menjadi bijih plastik dan digunakan
kembali sebagai barang rumah tangga.
Sumber : Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat, 2008
2.10 Definisi Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (bahasa Inggris: Geographic Information System
disingkat GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang
memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih
sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun,
menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis,
misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database.
Para praktisi juga memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya
dan data sebagai bagian dari sistem ini. Teknologi Sistem Informasi Geografis
dapat digunakan untuk investigasi ilmiah, pengelolaan sumber daya, perencanaan
pembangunan, kartografi dan perencanaan rute. Misalnya, SIG bisa membantu
II - 32
perencana untuk secara cepat menghitung waktu tanggap darurat saat terjadi
bencana alam, atau SIG dapat digunaan untuk mencari lahan basah (wetlands)
yang membutuhkan perlindungan dari polusi (www.wikipedia.org.id).
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu prosedur manual atau beberapa
set berbasis komputer dari prosedur-prosedur yang digunakan untuk
mengumpulkan atau memanipulasi data geografis. SIG dapat juga diartikan
sebagai himpunan atau kumpulan yang terpadu dari hardware, software, data dan
liveware (orang-orang yang bertanggungjawab dalam merancang,
mengimplemantasikan dan menggunakan SIG). SIG juga merupakan hasil dari
perpaduan disiplin ilmu didalam beberapa proses data spasial. Berdasarkan
pengertian-pengertian diatas, maka Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat
berfungsi sebagai: bank data terpadu, yaitu dapat memandu data spasial dan non
spasial dalam suatu basis data terpadu; sistem modeling dan analisi, yaitu dapat
digunakan sebagai sarana evaluasi potensi wilayah dan perencanaan spasial;
sistem pengelolaan yang bereferensi geografis, yaitu untuk mengelola operasianal
dan administrasi lokasi geografis; sebagai sistem pemetaan komputasi, yaitu
sistem yang dapat menyajikan peta sesuai dengan kebutuhan
(www.imamwardany.com).
2.10.1 Sejarah Pengembangan
35000 tahun yang lalu, di dinding gua Lascaux, Perancis, para pemburu Cro-
Magnon menggambar hewan mangsa mereka, juga garis yang dipercaya sebagai
rute migrasi hewan-hewan tersebut. Catatan awal ini sejalan dengan dua elemen
struktur pada sistem informasi gegrafis modern sekarang ini, arsip grafis yang
terhubung ke database atribut. Pada tahun 1700-an teknik survey modern untuk
pemetaan topografis diterapkan, termasuk juga versi awal pemetaan tematis,
misalnya untuk keilmuan atau data sensus (www.wikipedia.org.id).
Awal abad ke-20 memperlihatkan pengembangan "litografi foto" dimana
peta dipisahkan menjadi beberapa lapisan (layer). Perkembangan perangkat keras
komputer yang dipacu oleh penelitian senjata nuklir membawa aplikasi pemetaan
menjadi multifungsi pada awal tahun 1960-an (www.wikipedia.org.id).
II - 33
Tahun 1967 merupakan awal pengembangan SIG yang bisa diterapkan di
Ottawa, Ontario oleh Departemen Energi, Pertambangan dan Sumber Daya.
Dikembangkan oleh Roger Tomlinson, yang kemudian disebut CGIS (Canadian
GIS - SIG Kanada), digunakan untuk menyimpan, menganalisis dan mengolah
data yang dikumpulkan untuk Inventarisasi Tanah Kanada (CLI - Canadian land
Inventory) - sebuah inisiatif untuk mengetahui kemampuan lahan di wilayah
pedesaan Kanada dengan memetakaan berbagai informasi pada tanah, pertanian,
pariwisata, alam bebas, unggas dan penggunaan tanah pada skala 1:250000.
Faktor pemeringkatan klasifikasi juga diterapkan untuk keperluan analisis. CGIS
merupakan sistem pertama di dunia dan hasil dari perbaikan aplikasi pemetaan
yang memiliki kemampuan timpang susun (overlay), penghitungan,
pendijitalan/pemindaian (digitizing/scanning), mendukung sistem koordinat
national yang membentang di atas benua Amerika , memasukkan garis sebagai
arc yang memiliki topologi dan menyimpan atribut dan informasi lokasional pada
berkas terpisah. Pengembangya, seorang geografer bernama Roger Tomlinson
kemudian disebut "Bapak SIG" (www.wikipedia.org.id).
CGIS bertahan sampai tahun 1970-an dan memakan waktu lama untuk
penyempurnaan setelah pengembangan awal, dan tidak bisa bersaing dengan
aplikasi pemetaan komersil yang dikeluarkan beberapa vendor seperti Intergraph.
Perkembangan perangkat keras mikro komputer memacu vendor lain seperti
ESRI, CARIS, MapInfo dan berhasil membuat banyak fitur SIG, menggabung
pendekatan generasi pertama pada pemisahan informasi spasial dan atributnya,
dengan pendekatan generasi kedua pada organisasi data atribut menjadi struktur
database. Perkembangan industri pada tahun 1980-an dan 1990-an memacu lagi
pertumbuhan SIG pada workstation UNIX dan komputer pribadi. Pada akhir abad
ke-20, pertumbuhan yang cepat di berbagai sistem dikonsolidasikan dan
distandarisasikan menjadi platform lebih sedikit, dan para pengguna mulai
mengekspor menampilkan data SIG lewat internet, yang membutuhkan standar
pada format data dan transfer (www.wikipedia.org.id).
II - 34
2.10.2 Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis
Pertengahan 1970-an telah dikembangkan sistem-sistem yang secara
khusus dibuat untuk menangani masalah informasi yang bereferansi geografis
dalam berbagai cara dan bentuk (www.imamwardany.com). Masalah-masalah
ini mencakup:
a. Pengorganisasian data dan informasi.
b. Penempatan informasi pada lokasi tertentu.
c. Melakukan komputasi, memberikan ilusi keterhubungan satu sama
lainnya (koneksi), beserta analisa-analisa spasial lainnya.
Sebutan umum untuk sistem-sistem yang menangani masalah-masalah
tersebut adalah Sistem Informasi Geografis. Dalam literatur, Sistem Informasi
Geografis dipandang sebagai hasil perpaduan antara sistem komputer untuk
bidang Kartografi (CAC) atau sistem komputer untuk bidang perancangan (CAD)
dengan teknologi basis data (data base). Pada awalnya, data geografis hanya
disajikan di atas peta dengan menggunakan symbol, garis dan warna. Elemen-
elemen geografis ini dideskripsikan di dalam legendanya misalnya: garis hitam
tebal untuk jalan utama, garis hitam tipis untuk jalan sekunder dan jalan-jalan
yang berikutnya. Selain itu, berbagai data yang di-overlay-kan berdasarkan
sistem koordinat yang sama. Akibatnya sebuah peta menjadi media yang efektif
baik sebagai alat presentasi maupun sebagai bank tempat penyimpanan data
geografis. Tetapi media peta masih mengandung kelemahan atau keterbatasan.
Informasi-informasi yang disimpan, diproses dan dipresentasikan dengan suatu
cara tertentu, dan biasanya untuk tujuan tertentu pula, tidak mudah untuk
merubah presentasi tersebut karena peta selalu menyediakan gambar atau simbol
unsur geografis dengan bentuk yang tetap walaupun diperlukan untuk kebutuhan
yang berbeda (www.imamwardany.com).
2.10.3 Subsistem SIG
Sistem Informasi Geografis dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem
sebagai berikut (www.imamwardany.com) :
a. Data Input: Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan data dan
mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber dan
II - 35
bertanggung jawab dalam mengkonversi atau mentransfortasikan format-
format data-data aslinya kedalam format yang dapat digunakan oleh SIG.
b. Data output: Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran
seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy maupun
bentuk hardcopy seperti: tabel, grafik dan peta.
c. Data Management: Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial
maupun data atribut ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga
mudah dipanggil, di-update dan di-edit.
d. Data Manipulation & Analysis: Subsistem ini menentukan informasi-
informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG dan melakukan manipulasi serta
pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan.
Gambar 2.16 Subsistem-subsistem SIG
Sumber : (www.imamwardany.com)
DataManipulation & Analisis
S I G
DataManageme
nt
DataOutput
DataInput