ii - universitas sanata dharma1].pdf · belanda dalam perjanjian linggarjati.3 ri juga mengeluh...

63
i

Upload: others

Post on 02-Feb-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • i

  • ii

  • iii

  • iv

    MOTTO

    “Jangan khawatir tentang langkah ini atau itu. Hanya

    dia yang memandang sampai jauh yang akan menemukan

    hidupnya”

    “Hidup…….kata yang penuh arti bagiku. Kata yang

    kaya dan amat kusukai”

    “Aku lapar akan persaudaraan dan keadilan. Kubangun

    hidupku sebagai jembatan menuju orang lain”

    (Dari buku harian Dag Hamarskjold, Sekjen PBB yang gugur dalam

    tugas perdamaian di Kongo)

  • v

    PERSEMBAHAN

    Ucap syukur senantiasa kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria, yang

    selalu membimbing dan menunjukkan jalan terbaik. Serta mengarahkan hati dan

    pikiranku, hingga terselesainya karya ini,

    Sebuah karya, sebagai persembahan untuk Bapak tercinta G. Daliyo yang telah

    menghadap Tuhan. Meski terlambat, tapi sekarang harapan Bapak sudah

    terwujud. Banyak maaf, dan terimakasih untuk semuanya.

    Untuk Ibuku, Kristina Yudarwati, terimakasih atas kesabarannya selama ini.

    Semoga aku akan tetap bisa mewujudkan harapan-harapan Ibu.

    No woman better than you.

    Untuk Kakakku, Mbak Heni dan Mas Dian, terimakasih atas motivasi,

    bimbingan dan bantuannya. Juga untuk keponakanku, Eldo, yang telah

    menghadirkan spirit baru untukku.

    Untuk UfiQ Yuraida,

    Thanks for everything, and keep support me !

    Untuk Pakde Tukiran, terimakasih atas motivasi dan nasehat-nasehatnya. Juga

    peringatan-peringatannya disaat aku lemah.

  • vi

    PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

    Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

    tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di

    suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya

    atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang

    disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

    Yogyakarta, …….Desember 2007

    Penulis

    Gregorius Khrisna Wicaksono

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih yang telah

    dilimpahkan, sehingga kami dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Puncak

    Perjuangan Rakyat Sleman Utara Dalam Menghadapi Agresi Militer

    Belanda II, Studi Kasus: Peristiwa 7 Januari 1949”. Penulisan skripsi ini dapat

    diselesaikan berkat dukungan, bantuan, dan bimbingan dari banyak pihak. Oleh

    karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada:

    1. Bapak Drs. H. Purwanta, MA selaku dosen pembimbing yang telah

    dengan sabar membimbing dari awal hingga selesainya skripsi ini.

    Terimakasih untuk semuanya.

    2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu

    Sejarah. Terimakasih telah banyak membantu kami dari semester awal

    sampai selesai sekarang ini.

    3. Bapak Drs. Silverio R.L. Aji S, M.Hum, Bapak Drs. Ign. Sandiwan

    Suharso, Romo Dr. FX. Baskara T Wardaya serta semua dosen Ilmu

    Sejarah yang telah berkenan membagikan ilmunya kepada kami.

    4. Sahabatku: Hendri, Berta, Lasarus, Eko, Maryanto, Tato, Gagak, Nanang,

    Khrisna, Eno, Adit, Eka, Lina, Ndaru, Ita, Erna, Ajeng, dan Riska.

    Terimakasih atas kebersamaannya selama ini. Semoga persaudaraan kita

    tetap abadi.

  • viii

    5. Bapak Sumidjan dan Lurah Desa Purwobinangun yang telah berkenan

    memberikan informasi dan referensi yang penting bagi kami.

    6. Terimakasih tak terhingga untuk para pahlawan negeri ini, yang telah

    mengawal Indonesia menuju kemerdekaan. Semoga kami dapat

    meneruskan cita-cita dan perjuanganmu.

    Kami menyadari adanya kekurangan dan kelemahan dalam skripsi ini. Untuk

    itu segala saran dan kritik akan kami terima. Akhirnya, dengan segala

    kerendahan hati, kami berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

    pembaca.

    Yogyakarta,. .… Desember 2007

    Penulis

    Gregorius Khrisna Wicaksono

  • ix

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL………………………...……………………………………..i

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………..ii

    HALAMAN PERSEMBAHAN…………………...…………………………......iii

    HALAMAN MOTTO………………..……...……………………………………iv

    HALAMAN PERSEMBAHAN………...…………………………………………v

    PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………………………….vi

    KATA PENGANTAR…………………………………………………………...vii

    DAFTAR ISI…………………..………………………………………………….ix

    ABSTRAK…………………………..……………………………………………xi

    ABSTRACT…….………………………………………………………………..xii

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah……………………………………….1 B. Pembatasan Masalah…………………………………………..5 C. Rumusan Masalah…………………….…………………..…...6 D. Tujuan Penelitian…………………………..…..……………...7 E. Manfaat Penelitian……………………………………….…....7 F. Tinjauan Pustaka……………………………….……..….…....8 G. Kerangka Teori…………………………………………..…....9 H. Metode Penelitian………………………………………….....11 I. Sistematika Pembahasan……………………………………..14

    BAB II GAMBARAN YOGYAKARTA PADA MASA REVOLUSI

    KEMERDEKAAN

    A. Kedatangan Belanda di Yogyakarta……………………….…15 1. Pemerintahan Militer……………………………...….17 2. Pemerintahan Sipil………………………… ……...19

    B. Situasi di Sleman Pasca Kedatangan Belanda………….……24

    BAB III LATAR BELAKANG TERJADINYA PERISTIWA 7 JANUARI 1949

  • x

    A. Pasar Srowolan Sebagai Basis Perjuangan……..………… 25 B. Aksi Penyerangan Terhadap Belanda di Sleman Utara…… ..28

    1. Pertempuran di Polowidi dan Angin-angin………......30 2. Pertempuran di Tunggul Wonokerto Turi…………. .31 3. Peristiwa Kembangarum……………………….…….32 4. Penangkapan Mata-mata Belanda……………….….. 33

    BAB IV PERISTIWA 7 JANUARI 1949

    A. Insiden di dusun Cepet…………………………………….....34 B. Puncak Peristiwa 7 Januari 1949…………..……… …..…...36

    BAB V PENUTUP………………………………………………….……41 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… . 45 DAFTAR INFORMAN........................................................................................49 LAMPIRAN……………………………………………………………………..50

  • xi

    ABSTRAK

    Gregorius Khrisna Wicaksono, Puncak Perjuangan Rakyat Sleman Utara Dalam Menghadapi Agresi Militer Belanda II, Studi Kasus: Peristiwa 7 Januari 1949. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, 2007. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga permasalahan. Pertama, bagaimana kondisi Yogyakarta pada masa revolusi kemerdekaan. Kedua, bagaimana latarbelakang terjadinya peristiwa 7 Januari 1949. Ketiga, bagaimana puncak peristiwa 7 Januari 1949. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan adalah studi dokumen dan wawancara mendalam. Analisis dilakukan dengan mengelompokkan, mengkaitkan, membandingkan, dan interpretasi terhadap data yang berhasil dikumpulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Agresi Militer Belanda II tahun 1948-1949 ternyata berdampak pada bangkitnya perjuangan rakyat Sleman Utara dan mengalami puncaknya ketika terjadi peristiwa 7 Januari 1949, di mana terjadi pembumihangusan beberapa desa di wilayah Sleman Utara oleh tentara Belanda. Peristiwa tersebut mengakibatkan korban jiwa yang banyak dari para pejuang serta rakyat Sleman Utara. Hal ini merupakan periode transisi dari revolusi bersenjata menuju rekonstruksi sosial dalam suasana kemerdekaan yang diakui secara internasional.

  • xii

    ABSTRACT

    Gregorius Khrisna Wicaksono, The Summit of Struggle of North Sleman Society in Facing Nederland Military Aggression II, Case Study: Incident January 7th of 1949. Under graduate thesis. Yogyakarta: Study Program of Historical Science, Faculty of Letter, Sanata Dharma University, 2007. This research aimed to respond three problems. First, it contained on how the condition in Yogyakarta during the era of independent revolution. Second, how is the background of happening the incident January 7th of 1949. Third, how is the summit of incident January 7th of 1949. This research is qualitative research. Method used was documentary study and interview. Analysis was conducted by classifying, relating, comparing and interpreting toward the data has been successfully gained. The result of this research revealed that the Nederland military aggression II in 1948 up to 1949 in fact brought impacts toward the emergence of society struggle in North Sleman and had its summit while it happened the incident January 7th of 1949, where there happened the incident of burning of some villages in North Sleman area by Nederland troops. This incident caused large number of victims from the struggler also the civil society in North Sleman. It was transition period from armed revolutiom toward social reconstruction in the independent situation which was confessed internationally.

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17

    Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta merupakan suatu tahap bagi bangsa

    Indonesia menjadi negara yang berdaulat penuh. Dengan pernyataan

    kemerdekaan itu, pada hakikatnya secara de jure Indonesia telah merdeka.

    Akan tetapi secara de facto menunjukkan bahwa kekuatan asing masih

    bertahan dan belum meninggalkan Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan

    kedatangan tentara Sekutu pada akhir September 1945. Pada awalnya

    kedatangan Sekutu adalah untuk mengurusi tawanan perang, yaitu

    membebaskan orang-orang Eropa yang selama perang ditawan oleh Jepang

    dan memulangkan tentara Jepang ke tanah airnya. Namun kedatangan tentara

    Sekutu tenyata juga membawa pasukan Belanda yaitu NICA (Netherlands

    India Civil Administration).

    Kedatangan Sekutu ke Indonesia juga dalam rangka menjadi mediator

    antara Indonesia dengan Belanda. Hal tersebut tampak pada pengumuman

    yang dikeluarkan oleh panglima pasukan Sekutu, Jendral Philip Christison

    pada tanggal 1 Oktober 1945 yang berisi pernyataan bahwa kedatangan

    Sekutu di Indonesia adalah untuk mempertemukan pemimpin Indonesia dan

  • 2

    Belanda dalam suatu perundingan.1 Atas prakarsa Christison pada akhir bulan

    Oktober 1945 pemimpin-pemimpin Republik Indonesia (RI) dan Belanda

    bertemu di Jakarta. Indonesia diwakili oleh Soekarno, Hatta dan Syahrir,

    sedangkan Belanda diwakili oleh Van Mook dan Van der Plas. Dalam

    perundingan tersebut pihak Belanda mengusulkan apabila pemerintah

    Indonesia tidak dapat menerima masa peralihan, sebaiknya Indonesia mau

    menerima kedudukan sebagai negara bagian dari kerajaan Belanda.2 Namun

    usul itu ditolak dan perundingan dilanjutkan untuk mencari keputusan yang

    tidak hanya berpihak pada satu negara. Dari perundingan itu akhirnya

    diputuskan Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani di Linggarjati oleh

    kedua belah pihak. Ketentuan-ketentuan penting yang terdapat dalam naskah

    tersebut adalah:

    a. Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan-kekuasaan de facto

    pemerintah Republik Indonesia (RI) atas Jawa, Madura, dan Sumatera.

    b. Pemerintah RI dan Belanda akan bekerjasama untuk membentuk Negara

    Indonesia Serikat (NIS) yang meliputi seluruh wilayah India-Belanda

    sebagai negara berdaulat.

    c. Pemerintah RI dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda.

    d. Pemerintah RI dan Belanda akan mengusahakan agar pembentukan NIS

    dan Uni Indonesia-Belanda bisa diselesaikan sebelum 1 Januari 1949.

    1 Sartono Kartodirdjo dkk, ed., Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI (Jakarta:

    Balai Pustaka, 1977) hlm. 37

    2 Sartono Kartodirdjo, dkk, Sejarah Revolusi Indonesia, Jilid VI (Jakarta: Balai Pustaka, 1977) hlm. 43

  • 3

    e. Pemerintah RI mengakui, memulihkan dan melindungi hak milik orang

    asing.

    f. Pemerintah RI dan Belanda setuju untuk mengadakan pengurangan tentara

    dan kerjasama dalam hal ketentaraan.

    Walaupun perjanjian sudah disepakati bersama, tetapi perselisihan

    antara RI dengan Belanda bertambah tegang dikarenakan Belanda mulai

    mengingkari perjanjian Linggarjati. Ini berawal ketika adanya keluhan dari

    pihak RI dan Belanda. Pihak Belanda mengeluh ketika pihak Indonesia terus

    saja menyelenggarakan hubungan dengan luar negeri, seperti ke India dan

    negara-negara Timur Tengah. Pihak Belanda tidak sepakat dengan hal itu

    karena sesuai perjanjian Linggarjati bahwa Belanda dan RI akan bersama-

    sama menyelenggarakan berdirinya Negara Indonesia Serikat. Sedangkan

    pihak RI merasa tidak adanya kejelasan tentang bagaimana statusnya dalam

    hukum dan hubungan internasional. Dalam arti, apakah RI boleh melakukan

    hubungan langsung dan bebas dengan luar negeri atau tidak. Pihak RI juga

    mengeluhkan tindakan separatis Belanda, dan yang palinh menyolok adalah

    bantuan Belanda kepada Partai Rakyat Pasundan yang mempelopori pendirian

    Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947 di wilayah RI yang diakui oleh

    Belanda dalam perjanjian Linggarjati.3 RI juga mengeluh karena pihak

    Belanda terus memperkuat tentaranya, padahal sesuai perjanjian Linggarjati

    seharusnya tentara Belanda dikurangi dan ditarik dari daerah RI.

    3 Drs. G. Moedjanto, MA, Indonesia Abad ke-20: Dari Kebangkitan

    Nasional sampai Linggajati (Yogyakarta: Kanisius, 1991) hlm. 184

  • 4

    Pada tanggal 20 Juli 1947 malam hari, Belanda menyatakan tidak lagi

    terikat dengan perjanjian Linggarjati. Pagi harinya, yaitu tanggal 21 Juli 1947

    Belanda mulai melancarkan agresi militer pertama, dengan menyerang daerah-

    daerah RI baik di Jawa maupun Sumatera dengan menggunakan seluruh

    kekuatannya. Yogyakarta yang pada waktu itu menjadi ibukota negara RI juga

    ikut menjadi sasaran Belanda.4 Hal ini menimbulkan reaksi dari Dewan

    Keamanan PBB dan dibuktikan dengan menawarkan komisi jasa baiknya yang

    dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN), yang beranggotakan tiga

    negara yaitu Australia, Amerika Serikat dan Belgia. Ketiga negara itu diwakili

    oleh Richard C. Kirby (Australia), Dr. Frank Graham (Amerika) dan Paul van

    Zeeland (Belgia). KTN merupakan komisi hasil bentukan dari Dewan

    Keamanan PBB pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda I.5 KTN dibentuk

    sebagai wujud ikut berperan aktif menjadi pihak penengah antara Indonesia

    dengan Belanda. KTN mencoba melerai perselisihan dengan mengadakan

    gencatan senjata. Usahanya diwujudkan dengan diputuskannya Perjanjian

    Renville.

    Sementara itu di dalam negeri Indonesia sendiri bergejolak

    perselisihan, yaitu adanya rasionalisasi dalam tubuh Angkatan Perang,

    pembentukan RIS dan pemberontakan PKI Madiun. Pada saat terjadinya

    4 Ibid, hlm. 189 5 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Sejarah Daerah

    Istimewa Yogyakarta (Yogyakarta: Balai Pustaka, 1977) hlm. 325

  • 5

    gejolak perselisihan ini, Belanda mulai melancarkan Agresi Militer ke II.

    Pihak Indonesia menyatakan melawan terhadap Agresi Militer Belanda ke II.6

    Pada masa Agresi Militer Belanda II, berdasarkan Peraturan

    Pemerintah No. 30 tanggal 22 Desember 1948 tentang penetapan Pemerintah

    Militer, semua alat kekuasaan negara dimiliterkan dan berlaku hukum militer.

    Pemerintahan militer disusun dalam suatu susunan dari atas ke bawah, yaitu

    mulai dari Panglima Angkatan Perang, , Panglima Tentara dan Teritorium,

    Gubernur Militer, Sub Teritorial Comando (STC), Komando Distrik Militer

    (KDM), Komando Onder Distrik Militer (KODM), Lurah dan kader-kader

    desa serta kader-kader dukuh.7 Secara taktis, pemerintah militer membawahi

    pemerintahan sipil dengan basis kekuatan di desa-desa. Maksud dari

    pembentukan pemerintahan ini untuk mengusahakan agar ada suatu

    pemerintahan yang dapat membantu kalangan militer dalam menghadapi

    Belanda. Dalam prakteknya, pemerintah militer ini adalah pemerintahan

    gerilya karena mendapat dukungan dari seluruh masyarakat. Hal ini yang

    kemudian menjadikan desa terlibat pada masa revolusi fisik.

    Awal tahun 1949, saat kota Yogyakarta telah jatuh ke tangan Belanda,

    para pejuang lebih focus berjuang menjaga pertahanan di desa-desa. Di

    wilayah Sleman, pejuang bersiaga di wilayah sekitar gunung Merapi, dan

    selanjutnya Markas Besar Komando Djawa (MBKD) dipindah dari Kodya

    6 Ibid, hlm 328 7 Tanu Suherly, Sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia (Jakarta: Pusat

    Sejarah ABRI, 1971) hlm. 71

  • 6

    Yogyakarta ke wilayah lereng gunung Merapi, dengan nama sandi MBKD Pos

    X-1.8

    B. Pembatasan Masalah

    Sleman Utara sebagai obyek kajian dalam tulisan ini merupakan salah

    satu kota tujuan Belanda. Perjuangan gerilya mulai difokuskan di desa-desa.

    Pasar Srowolan yang berada di wilayah kelurahan Purwobinangun merupakan

    basis perjuangan di wilayah Sleman Utara. Tempat ini adalah saksi bisu

    meletusnya peristiwa 7 Januari 1949 yang merupakan peristiwa besar dalam

    rangkaian sejarah perjuangan di wilayah Sleman.

    Penelitian meliputi scope spasial, scope temporal dan scope materi.

    Scope spasial penelitian dibatasi dengan mengambil lokasi di wilayah Sleman

    Utara, dengan scope temporal mengambil rentang waktu tahun 1945-1949,

    mengingat periode tersebut merupakan peristiwa yang penting bagi bangsa

    Indonesia dalam usahanya mempertahankan kemerdekaan. Scope materi yang

    dikaji mencakup situasi di Sleman Utara pasca kemerdekaan, latar belakang

    terjadinya peristiwa 7 Januari 1949 dan meletusnya peristiwa 7 Januari 1949.

    C. Rumusan Masalah

    Permasalahan pokok yang dikaji dalam penelitian ini adalah peristiwa

    7 Januari 1949 sebagai puncak perjuangan rakyat Sleman Utara dalam

    menghadapi Agresi Militer Belanda II.

    8 Yayasan Dharma Sakti Pancasila, Sejarah Monumen “Yogya Kembali”

    (Yogyakarta: CV. Adi Sarana Yogyakarta, 1994) hlm. 67

  • 7

    Untuk memudahkan penelitian, permasalahan dirumuskan dalam

    bentuk pernyataan sebagai berikut:

    1. Bagaimana kondisi Yogyakarta pada masa Revolusi Kemerdekaan?

    2. Mengapa terjadi peristiwa 7 Januari 1949?

    3. Bagaimana puncak peristiwa 7 Januari 1949?

    D. Tujuan Penelitian

    Berangkat dari rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk

    mengetahui sejarah perjuangan di wilayah Sleman Utara, peranan rakyat

    Sleman Utara dan meletusnya peristiwa 7 Januari 1949 sebagai puncak

    perjuangan rakyat Sleman Utara dalam menghadapi Agresi Militer Belanda II.

    Dari penelitian ini diharapkan dapat digambarkan secara terperinci

    tentang kondisi Sleman Utara pasca kemerdekaan, secara kronologis dari

    sudut pandang historis. Dari gambaran kondisi Sleman Utara pasca

    kemerdekaan dimana pada saat itu masyarakat sedang melakukan perjuangan

    menghadapi Agresi Militer Belanda II, akan dapat diketahui seberapa besar

    peran rakyat dalam membantu perjuangan melawan Belanda. Tujuan akhir

    penelitian ini adalah memperoleh informasi sebanyak-banyaknya tentang latar

    belakang terjadinya peristiwa 7 Januari 1949 serta kronologi peristiwa 7

    Januari 1949, sebagai obyek studi kasus dalam penelitian ini.

    E. Manfaat Penelitian

  • 8

    Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

    gelar sarjana S1 Ilmu Sejarah. Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa

    memberikan kontribusi bagi perbendaharaan dan kajian sejarah lokal. Selain

    itu juga diharapkan menjadi bisa sumber ilmu pengetahuan yang dapat

    mencerdaskan kehidupan bangsa.

    Selain sumbangan keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan juga bisa

    menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat non akademisi, sebagai

    sumbangan sosial bagi masyarakat umum, tentang perjuangan rakyat Sleman

    Utara dalam menghadapi Agresi Militer Belanda II serta peristiwa-peristiwa

    yang terjadi.

    F. Tinjauan Pustaka

    Berkenaan dengan tema ini, belum ada tulisan yang secara khusus

    membahas mengenai peristiwa 7 Januari 1949. Buku berjudul Replika

    Perjuangan Rakyat Yogyakarta II karya Dharmono, yang dikeluarkan oleh

    Proyek Pemeliharaan Tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa di DIY

    membahas mengenai peristiwa 7 Januari 1949 secara singkat. Meskipun hanya

    sedikit yang dibahas, tetapi apa yang digambarkan dalam buku ini dapat kami

    jadikan pengantar untuk melakukan wawancara pada beberapa saksi sejarah di

    wilayah Sleman Utara.

    Tulisan berjudul Peranan Tentara Pelajar di Sleman Pada Masa

    Revolusi 1948-1949 dalam Laporan Penelitian Jarahnitra No: 017 A/P/1999,

    yang dikeluarkan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta

  • 9

    menjelaskan tentang perjuangan pelajar di wilayah Sleman pada masa Agresi

    Militer Belanda II. Dalam tulisan ini dapat dilihat bagaimana strategi

    perjuangan para tentara pelajar yang diuraikan dalam dua bidang, yaitu sosial

    dan pertahanan keamanan. Tulisan ini penting sebagai gambaran tentang

    bagaimana strategi perjuangan menghadapi Belanda.

    Buku berjudul Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikeluarkan

    oleh Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen

    Pendidikan dan Kebudayaan, banyak membahas kondisi Yogyakarta pasca

    kemerdekaan. Disini digambarkan perjuangan para gerilyawan di berbagai

    tempat, sampai pelosok Yogyakarta, termasuk di wilayah Sleman. Buku ini

    membahas pembentukan pemerintahan militer dan peranannya dalam ikut

    serta menggalang dana perjuangan di berbagai wilayah kecil di Yogyakarta.

    Perbedaan ketiga buku dengan tulisan ini adalah studi kasus yang

    menjadi pembahasan utama skripsi ini. Ketiga buku tersebut kami jadikan

    pembanding dengan sumber-sumber lisan hasil wawancara. Skripsi ini lebih

    fokus membahas perjuangan rakyat Sleman Utara yang mencapai puncaknya

    pada saat terjadinya peristiwa 7 Januari 1949.

    G. Kerangka Teori

    Ini merupakan bentuk penulisan yang menghasilkan suatu bentuk

    proses pengkisahan atas peristiwa-peristiwa manusia yang terjadi di masa

    lalu.9

    9 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos

    Wacana Ilmu, 1999) hlm. 5

  • 10

    Pendekatan dan teori adalah dua perangkat penelitian yang sangat

    penting dalam interpretasi data yang telah terkumpul dan teruji kebenarannya.

    Berkenaan dengan penulisan skripsi ini, digunakan pendekatan historis yang

    merupakan suatu tindakan untuk memaparkan obyek kajian sejarah secara

    kronologis dengan melihat dan memperhatikan keterkaitan antara satu

    peristiwa dengan peristiwa yang lain. Suatu peristiwa dikatakan sebagai

    sejarah jika masing-masing peristiwa terkait atau bias dikaitkan dalam satu

    konteks historis. Artinya, masing-masing peristiwa itu merupakan bagian dari

    suatu proses atau dinamika yang sedang menjadi perhatian sejarawan.10

    Adapun teori yang digunakan berkaitan dengan pendekatan historis

    adalah teori konflik. Menurut Webster, istilah konflik berarti suatu

    perkelahian, peperangan atau perjuangan, yaitu berupa konfrontasi fisik antara

    beberapa pihak.11 Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik.

    Perbedaan pendirian dan keyakinan bisa menyebabkan konflik antar individu.

    Dalam konflik seperti ini akan terjadi bentrokan-bentrokan pendirian dan

    masing-masing pihak berusaha membinasakan lawannya baik secara fisik

    maupun dalam bentuk pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-

    pikiran lawan. Kecuali perbedaan pendirian, perbedaan kebudayaan juga bisa

    menimbulkan konflik, baik antar individu maupun antar kelompok. Pola-pola

    kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan pola kepribadian dan perilaku

    yang berbeda pula di kalangan kelompok luas. Kepentingan-kepentingan yang

    10 Taufiq Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo, Ilmu Sejarah dan

    Historiografi: Arah dan Perspektif (Jakarta: Gramedia, 1985) hlm. 12 11 Dean G. Pruitt & Jeffrey Z. Rubin, Teori Konflik Sosial (Yogyakarta:

    Pustaka Pelajar, 2004) hlm. 9

  • 11

    berbeda juga memudahkan terjadinya konflik. Mengejar tujuan kepentingan

    masing-masing yang berbeda, kelompok-kelompok akan bersaing dan

    berkonflik untuk memperebutkan suatu tujuan yang diinginkan.12

    Sesuai dengan pembahasan skripsi ini, konflik yang terjadi di wilayah

    Sleman pada masa Agresi Militer Belanda II disebabkan adanya perbedaan

    kepentingan. Indonesia mempunyai keinginan untuk mempertahankan

    kemerdekaan, sedangkan Belanda mempunyai kepentingan politik, yaitu ingin

    menguasai Indonesia. Konflik yang berupa peperangan seperti ini akan

    menimbulkan berjatuhnya korban.

    Dalam penelitian ini akan digunakan teori konflik yang dikemukakan

    oleh Gillin yang menyebutkan bahwa konflik merupakan suatu proses sosial

    saat orang atau kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya dengan

    jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan.13

    Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik itu dilangsungkan tidak hanya

    sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi, akan tetapi juga

    bertujuan sampai ke taraf pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain

    yang dipandang sebagai lawan atau saingannya. Teori ini sesuai untuk

    digunakan karena pada masa itu masyarakat Sleman telah melakukan

    perlawanan terhadap Belanda yang dalam hal ini adalah sebagai musuh, untuk

    memperoleh kebebasan dari tekanan orang-orang Belanda di wilayah Sleman.

    12 J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, ed., Sosiologi: Teks Pengantar dan

    Terapan (Jakarta: Prenada Media, 2004) hlm. 48-49 13 Soerjono Sukanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali, 1988)

    hlm. 36

  • 12

    H. Metodologi Penelitian

    1. Lokasi Penelitian

    Penelitian dari penulisan ini dilakukan di wilayah Sleman Utara,

    Yogyakarta

    2. Heuristik (Pengumpulan Data)

    Penulisan ini menggunakan metode histories, yaitu proses menguji dan

    menganalisis secara kritis tentang rekaman peristiwa masa lampau.14 Metode

    histories ini bertujuan merekontruksi kejadian masa lalu, secara sistematis dan

    obyektif.

    Tahapan pertama adalah heuristik (pengumpulan data). Dilakukan

    dengan jalan mengumpulkan sumber-sumber yang berguna seperti arsip, foto

    dan dokumen. Keberadaan dokumen seperti arsip-arsip laporan sebagai

    sumber primer tertulis menjadi syarat utama bagi langkah awal penelitian.

    Dokumen-dokumen yang ada kemudian dikumpulkan untuk selanjutnya

    dipilih, mana yang berkaitan dengan topic penelitian. Selain sumber tertulis,

    metode wawancara juga akan menjadi sumber primer lisan. Wawancara

    dilakukan untuk memperoleh data dari pelaku atau saksi mata.

    Referensi berupa buku, artikel, maupun makalah yang ditulis bukan

    oleh saksi mata akan menjadi sumber sekunder. Selanjutnya sumber primer

    maupun sekunder ditelaah untuk menghasilkan data bagi penulisan ini.

    3. Verifikasi (Kritik Sumber)

    14 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta: UI Press, 1986) hlm. 32

  • 13

    Tahapan ini bertujuan untuk menguji otentisitas dan kredibilitas

    sumber. Verifikasi dilakukan dengan cara mengoreksi sumber yang telah

    dikumpulkan untuk diketahui apakah sumber tersebut otentik dan kredibel,

    dan meneliti data agar jauh dari segala bentuk subyektifitas.

    Teknik yang dilakukan disini adalah dengan melakukan studi

    komparatif antara sumber yang satu dengan sumber yang lain, terutama

    apabila berkaitan dengan sumber tertulis. Apabila memungkinkan, tradisi yang

    telah ditulis dapat dikonfirmasikan kembali kepada sumber lisan yang lebih

    akurat, karena tujuan utama dari kritik ini adalah menemukan kredibilitas data.

    4. Analisa sumber

    Data yang telah diseleksi dan diuji kemudian dianalisa. Analisa sumber

    merupakan tahap yang penting dan menentukan. Hasil analisa akan

    menunjukkan tingkat keberhasilan suatu penelitian. Peneliti akan berusaha

    menempatkan data secermat mungkin supaya hasil penelitian bisa mendekati

    keadaan yang sebenarnya. Pengolahan data secara cermat diharapkan mampu

    mengurangi subyektifitas yang biasanya muncul dalam penulisan sejarah,

    sebab sejarah dalam arti obyektif yang diamati dan dimasukkan ke dalam

    fikiran subyek tidak akan pernah murni.15

    5. Interpretasi

    Tahapan selanjutnya adalah interpretasi, yaitu mensintesakan data

    yang diperoleh untuk dapat menetapkan fakta dan mencapai kesimpulan. Data

    yang diperoleh baik dari sumber tertulis maupun dari hasil wawancara yang

    15 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah

    (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992) hlm. 92

  • 14

    telah teruji validitasnya melalui tahap verifikasi akan ditafsirkan sesuai

    kondisi senyatanya.

    Sebagai tahap pamungkas akan disampaikan sintesa ke dalam bentuk

    penuturan. Setelah data sejarah diinterpretasikan dan menghasilkan sintesa,

    pada tahap selanjutnya adalah memaparkannya dalam bentuk tulisan secara

    deskriptif analisis, berdasarkan sistematika yang telah ditetapkan.

    I. Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan yang dipakai secara umum terdiri dari

    pendahuluan, isi dan penutup. Namun secara spesifik, penulisan ini dibagi

    dalam 5 bab untuk mempermudah pembahasan, yaitu:

    Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,

    pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

    tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika

    pembahasan.

    Bab II berisi penjelasan tentang proses kedatangan Belanda di

    Yogyakarta dan mengenai situasi Sleman pasca kedatangan Belanda.

    Bab III membahas tentang latar belakang terjadinya peristiwa 7 Januari

    1949, yang dimulai dengan pembahasan mengenai pasar Srowolan yang

    merupakan basis perjuangan pada masa revolusi kemerdekaan. Di sini juga

    dibahas mengenai aksi-aksi penyerangan para gerilyawan terhadap pasukan

    Belanda.

    Bab IV akan memaparkan mengenai peristiwa 7 Januari 1949 yang

    merupakan peristiwa besar dalam rangkaian sejarah perjuangan di wilayah

  • 15

    Sleman Utara, dan peristiwa-peristiwa penting lainnya yang terjadi di wilayah

    Sleman Utara.

    Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh

    pembahasan.

  • 16

    BAB II

    GAMBARAN YOGYAKARTA PADA MASA REVOLUSI

    KEMERDEKAAN 1948 – 1949

    A. Kedatangan Belanda di Yogyakarta

    Pada tanggal 19 Desember 1948 pukul 05.45 bertepatan dengan hari

    Minggu, terdengar bunyi pesawat melayang di atas Maguwo. Hal tersebut tidak

    mengejutkan bagi masyarakat Yogyakarta, karena diperkirakan bahwa hari itu ada

    latihan Angkatan Perang RI, sesuai dengan pengumuman pimpinan Angkatan

    Perang RI.16 Akan tetapi ternyata itu adalah bunyi pesawat pemburu Belanda,

    karena tidak lama kemudian pesawat pemburu itu menembaki pertahanan RI di

    Yogyakarta. Perlawanan dari bawah terus dilakukan, meskipun untuk

    mempertahankan sudah tidak mungkin lagi, karena serangan dari Belanda yang

    sangat membabibuta. Penjagaan di pangkalan saat itu hanya dilakukan oleh 150

    orang anggota pasukan pertahanan dengan persenjataan minim.

    Kurang lebih pukul 07.00, 15 pesawat Dakota Belanda berhasil

    menerjunkan pasukan payungnya di Maguwo serta menurunkan pasukan beserta

    peralatannya. Dalam waktu yang singkat, Belanda dapat menguasai lapangan

    terbang Maguwo. Pukul 09.30 pasukan Belanda mulai bergerak menuju kota

    Yogyakarta. Sasaran utama mereka adalah Istana Kepresidenan. Dalam

    mempertahankan pangkalan Maguwo, telah gugur Pilot Kadet Kasmiran dan 34

    anggota lainnya. Kerugian lain adalah 6 pesawat siap terbang, 8 pesawat dalam

    16 Yayasan Dharma Sakti Pancasila, Sejarah Monumen “Yogya Kembali” (Yogyakarta: CV Adi Sarana Yogyakarta, 1994) hlm. 59

  • 17

    perbaikan dan pesawat RI-006 Catalina ditawan Belanda bersama awak

    pesawatnya.17

    Selain menyerang Maguwo, Belanda juga menjatuhkan bom di komplek

    MBKD (Markas Besar Komando Djawa) dan komplek militer lain untuk

    menghentikan segala aktivitas TNI. Secara keseluruhan, pertahanan Yogyakarta

    berada di bawah tanggung jawab Brigade X dengan Komandan Brigade Letkol

    Soeharto. Setelah mengetahui Belanda menguasai Maguwo, Letkol Soeharto

    segera bertindak. Dengan sisa-sisa pasukan yang ada, Letkol Soeharto melakukan

    penghambatan dan bumi hangus. Peleton Marjuki menghadang di sepanjang jalan

    Solo, peleton Dimyati bergerak ke Lempuyangan menghadang di sepanjang rel

    kereta api. Pasukan polisi dibawah pimpinan Johan Soeparno menghadang di

    Ambarukmo dan Gedongkuning.

    Di Maguwo, pasukan Belanda bergerak dalam 2 poros. Sayap kiri

    melewati Semaki dan sayap kanan melewati jalan besar dan rel kereta api Yogya-

    Solo. Karena terbatasnya pasukan, gerakan TNI hanya sebatas mengulur waktu.

    Pada pukul 15.30 tentara Belanda akhirnya berhasil memasuki Istana Presiden dan

    menawan Presiden, Wakil Presiden dan pasukan pengawal. Pukul 16.00 seluruh

    kota Yogyakarta dapat mereka kuasai. Sementara itu Sri Sultan HB IX

    mengadakan perundingan di Keraton untuk mengatur siasat perjuangan di dalam

    kota, sedangkan panglima Besar Jenderal Soedirman menyingkir keluar kota

    untuk memimpin perjuangan di daerah.

    17 Ibid, hlm. 61

  • 18

    Melihat situasi yang genting seperti itu, Kolonel AH Nasution sebagai

    Panglima Komando Djawa mengeluarkan suatu instruksi yang isinya untuk semua

    kesatuan aparat pertahanan agar segera mengosongkan kota Yogyakarta dan

    meneruskan perjuangan dengan menjalankan siasat perang gerilya di daerah

    pedesaan. Ini dalam rangka menjadikan daerah pedesaan sebagai benteng

    pertahanan dan sebagai ajang pertempuran melawan tentara Belanda.

    Belanda menguasai tempat-tempat penting dan mulai menjalankan roda

    pemerintahan pendudukan, dalam rangka memulihkan ketertiban dan keamanan di

    kota Yogyakarta. Dalam perjalanannya, usaha ini tidak dapat berjalan karena

    pemerintah RI telah mempersiapkan baik pemerintahan militer maupun

    pemerintahan sipil.

    1. Pemerintahan Militer

    Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa untuk menghadapi

    tentara Belanda, pemerintah Indonesia membentuk pemerintahan militer.

    Pelaksanaan pemerintahan militer mendapat dukungan dari seluruh masyarakat.

    Hal ini yang kemudian menjadikan desa terlibat pada masa revolusi fisik.

    Pelaksanaan pemerintahan militer di Yogyakarta berpedoman pada

    Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 1948 tentang pemerintahan militer di

    daerah Jawa yang menyatakan bahwa badan dan jawatan yang penting

    dimiliterkan dan berlaku hukum militer. Selain itu, pedoman pemerintahan juga

    bersumber pada Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 1948 yang menetapkan

    tanggung jawab komando militer atas kepala-kepala daerah yang sederajat dan

    pelaksanaan perintah dari Kepala Daerah atas semua instansi sipil di daerahnya.

  • 19

    Pelaksanaan pemerintahan militer di daerah Yogyakarta yang bersumber pada

    peraturan pemerintah tersebut sejalan dengan instruksi Panglima Tentara dan

    Teritorium Djawa (PTTD) Nomor: 1/MBKD/1948 tanggal 25 Desember 1948

    tentang struktur pemerintahan militer seluruh Jawa. Adapun susunan

    pemerintahan militer adalah sebagai berikut:

    a. Panglima Besar Angkatan Perang

    b. Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD)

    c. Gubernur Militer (GM)

    d. Komando Militer Daerah (KMD)

    e. Komando Distrik Militer (KDM)

    f. Komando Onder Distrik Militer (KODM)

    g. Kader Desa

    h. Kader Dukuh

    Pemerintahan militer dikembangkan agar mampu mengadakan gerakan

    atau operasi militer menghadapi Belanda. Adapun susunan pemerintahan militer

    di Yogyakarta adalah sebagai berikut:

    a. Daerah Karesidenan Yogyakarta sama dengan Komando Militer Daerah

    Yogyakarta ( KMDJ ) atau Sub-Teritorium Militer Yogyakarta (STMJ).

    b. Daerah kabupaten sama dengan Kepala Pemerintahan Militer

    Kabupaten PMKB) / Komando Distrik Militer (KDM).

    c. Daerah kapanewon (kecamatan) sama dengan Kepala Pemerintahan

    Militer Kecamatan (PMKT). Pemerintahan militer hanya sampai

  • 20

    kapanewon (kecamatan), dan yang menjabat kepala pemerintah militer

    adalah seorang militer KODM

    Pada tingkat staf meliputi aspek- aspek:

    a. Pemerintahan umum, mengurus masalah organisasi, kehakiman,

    ketertiban dan perhubungan

    b. Masalah Perekonomian, menyelenggarakan kelancaran perekonomian di

    dalam pemerintah dan kantong-kantong gerilya

    c. Masalah kemasyarakatan, mengatur usaha-usaha kesejahteraan

    masyarakat, misalnya pendidikan dan organisasi

    d. Masalah Pertahanan, dalam arti pertahanan di desa-desa

    Agar dapat melakukan serangan secara efektif terhadap kedudukan

    Belanda maka dibentuklah Wehrkreise. Yogyakarta menjadi daerah perlawanan

    Wehrkreise (WK) III, yang membawahi 6 Sub Wehrkreise (SWK) yaitu:

    a. SWK 101 daerah Bantul Timur dengan Komandan Mayor Sakri

    b. SWK 102 daerah Bantul Barat dengan Komandan Mayor Sardjono

    c. SWK 103 daerah Godean dengan Komandan Mayor Sumual

    d. SWK 104 daerah Sleman Utara dengan Komandan Mayor Sukasno

    e. SWK 105 daerah Gunung kidul dengan Komandan Mayor Soedjono

    2. Pemerintahan Sipil

    Pemerintahan sipil mula-mula berpusat di kepatihan Yogyakarta, dipimpin

    oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dalam melaksanakan pemerintahan sipil

    sesudah Agresi Militer Belanda II, berpedoman pada instruksi bagi para pamong

    praja yang berisi antara lain :

  • 21

    1. Sri Paduka Sultan, Sri Paduka Pakoe Alam, dan staf Jawatan Praja

    Daerah tetap di Yogyakarta.

    2. Apabila tempat diduduki Belanda, Pamong Praja supaya berusaha

    jangan sampai jatuh di tangan Belanda.

    3. Pamong Praja termasuk Pamong Desa yang harus tetap berada di dalam

    wilayahnya masing-masing dan melindungi rakyatnya.

    4. Perhubungan dengan pimpinan daerah Sultan dan Sri Pakoe Alam harus

    sebanyak-banyaknya diadakan dan diatur secara ilegal.

    5. Jawatan Praja memberikan kodenya, begitu juga dengan kabupaten.

    6. Kurir (penghubung) tidak boleh membawa surat, semua laporan dan

    instruksi disampaikan oleh kurir dari Jawatan Praja dan Kabupaten

    dengan menyampaikan kode untuk legitimasi.

    7. Jawatan Praja ialah penghubung kepala daerah, kabupaten, kapanewon

    dan tentara, polisi, badan-badan perjuangan dan kementrian-kementrian,

    semua itu dengan jalan ilegal.

    8. Kantor Kepatihan / Pemerintah Daerah semua tutup, sampai ada perintah

    dari Sultan.18

    Pelaksanaan pemerintahan sipil daerah Yogyakarta dilaksanakan oleh

    Jawatan Praja, yang ditunjuk sebagai pemerintah darurat. Fungsi dan peranan

    Jawatan Praja ini pada hakekatnya merupakan penghubung antara Kepala

    18 SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 Di Yogyakarta Latar Belakang dan Pengaruhnya (Jakarta: PT. Cipta Lamtoro Gung Persada, 1990) hlm. 110

  • 22

    Daerah/Wakil Kepala Daerah yaitu Sri Sultan dan Paku Alam dengan segenap

    aparat pemerintahan dan rakyat meskipun kegiatan tersebut dilaksanakan secara

    sembunyi-sembunyi.

    Pemerintahan sipil di daerah Sleman pada saat kedatangan Belanda

    sempat mengalami kekacauan, akan tetapi bisa pulih dan berjalan lagi walaupun

    Belanda mulai menduduki wilayah-wilayah di Sleman seperti Beran, Medari dan

    sebagainya. Aparat pemerintahan sipil bahu-membahu bersama rakyat dan

    pejuang menjaga stabilitas keamanan di wilayah Sleman. Di samping itu,

    gangguan terhadap kedudukan Belanda pun dilaksanakan oleh gerilyawan dibantu

    rakyat, bahkan kedudukan atau pos-pos Belanda di Tempel, Pakem, dan Kaliurang

    juga mendapat serangan. Selain kegiatan membantu para pejuang, pemerintahan

    sipil dapat melaksanakan peran sosial bagi para pengungsi, pengobatan untuk

    rakyat, sekolah darurat dan penerangan kepada rakyat untuk tetap berjuang

    mempertahankan kemerdekaan.

    B. Situasi di Sleman Pasca Kedatangan Belanda

    Dengan didudukinya ibu kota, tentara Belanda segera mengadakan operasi

    pembersihan sampai di pelosok pedesaan, antara lain mengadakan operasi ke

    daerah Yogya bagian utara. Setelah berhasil menduduki Yogyakarta pada sore

    harinya tentara Belanda berhasil menduduki ibukota Sleman dan sekitarnya.

    Usaha Belanda selanjutnya adalah membuat pertahanan dengan sistem benteng

    dan pos-pos. Bekas gedung pabrik yang masih utuh seperti Tanjungtirto, Medari,

    Cebongan dan lain-lain dijadikan markas pertahanan mereka. Hal itu

  • 23

    dimaksudkan untuk menunjang operasi pembersihan yang dilakukan oleh tentara

    Belanda.

    Berhubung pada waktu itu pemerintahan kabupaten tidak menduga akan

    adanya serangan Belanda, maka bupati segera memerintahkan kepada aparat

    bawahannya agar tetap mempertahankan daerahnya walaupun dengan cara

    berpindah-pindah. Bupati Prodjodiningrat beserta beberapa orang stafnya sempat

    menyingkir ke daerah Sleman tengah dan selanjutnya menuju Sleman timur. Hal

    itu dimaksudkan untuk mencari daerah perlindungan yang aman dari serbuan

    tentara Belanda. Selang beberapa hari, pemerintah militer dibentuk dengan

    Komandan Distrik Militer ( KDM ) Mayor Moh. Basuni. Sejalan dengan

    pemerintahan militer tersebut maka daerah kabupaten Sleman dibagi menjadi tiga

    kewedanan yang pada waktu itu disebut wedono militer. Ketiga kewedanan itu

    adalah:

    1. Kawedanan Sleman Barat dengan wedono Prodjosudarmo yang meliputi tujuh

    kapanewon.

    2. Kawedanan Sleman Tengah dengan wedono Prodjowilogo meliputi empat

    kapanewon.

    3. Kawedanan Sleman Timur dengan Wedono Prodjosutikno meliputi enam

    kapanewon.

    Sewaktu tentara Belanda mengadakan serbuan ke daerah Sleman Barat,

    wedono Prodjosudarmo menyelamatkan diri dengan meninggalkan Sleman.

    Selanjutnya wedono Prodjosutikno memegang jabatan di kawedanan Sleman

    Barat, sementara kawedanan Sleman Timur kosong.

  • 24

    Struktur pemerintahan Kabupaten Sleman adalah Bupati sebagai kepala

    pemerintahan, yang membawahi wedono-wedono distrik yang wilayah

    kekuasannya disebut kawedanan.

    Wedono-wedono distrik dalam menjalankan tugas pemerintahannya

    dibantu oleh para asisten wedono atau panewu yang wilayah kekuasaannya

    disebut keasistenan wedono atau yang lebih dikenal kapanewon. Selanjutnya para

    penewu membawahi para lurah yang wilayah kekuasaannya disebut kelurahan.

    Adapun tugas seorang bupati pada waktu itu adalah menyelenggarakan kebutuhan

    sektor militer dan kepentingan masyarakat, serta menjaga lancarnya perputaran

    roda pemerintahan. 19

    Dalam bidang perekonomian telah ditetapkan bahwa urusan suplai

    Komando Distrik militer (KDM) diserahi tugas menyusun organisasi

    perdagangan di distrik-distrik Militer. Untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan

    tentara perlu diselenggarakan perdagangan totaliter melalui pasar-pasar, sehingga

    tukar-menukar antar-onder distrik militer (ODM) dapat berjalan lancar. Hal itu

    dimaksudkan agar supaya dapat dilakukan perdagangan dengan kota pendudukan.

    Kesemuanya bertujuan untuk memperoleh barang-barang yang didapat dari kota,

    sedangkan untuk keperluan dana perjuangan dapat dipenuhi dari hasil bantuan

    rakyat, yang pelaksanaannya diatur secara lokal.20

    Sleman sebagai daerah SWK 104 di bawah pimpinan Mayor Sukasno yang

    terdiri dari pasukan Tentara Pelajar dan Kesatuan Batalyon 151, mulai

    19 Lihat Replika Perjuangan Rakyat Yogyakarta, hlm. 362 20 A.H. Nasution, Pokok-pokok Gerilya hlm. 133

  • 25

    melancarkan serangan terhadap Belanda. Para gerilyawan mengadakan

    pengacauan dan serangan ke markas-markas Belanda. Para gerilyawan SWK 104

    juga tetap berada dibawah Komando Letkol Soeharto sebagai Komandan WK III.

    Mereka menggalang pasukan dan mengatur strategi di wilayah Sleman Utara.

    Selain bersiaga mempertahankan wilayahnya, rakyat Sleman Utara juga bersiaga

    untuk mengadakan serangan yang dipusatkan di kota Yogyakarta, sesuai perintah

    Letkol Soeharto, dimana setiap gerakan perlawanan menyesuaikan dengan kondisi

    tentara Belanda yang selalu melakukan konvoi keliling kota dan juga ke daerah-

    daerah. Kondisi ekonomi pada masa itu sedikit kacau akibat adanya peredaran

    uang federal yang sudah mulai masuk ke desa-desa, serta adanya perampasan

    terhadap Oeang Republik Indonesia (ORI) oleh Belanda di jalan-jalan jurusan

    kota. Dalam keadaan darurat, pasar Turi yang pada waktu itu merupakan satu-

    satunya pasar yang ada di wilayah Sleman Utara harus dipindah ke tempat yang

    lebih aman yaitu ke dusun Srowolan, dan menjadi satu dengan pasar Srowolan.21

    Dalam perkembangannya, pasar Srowolan menjadi ramai setiap hari, karena

    sebelumnya merupakan pasar dengan hari pasaran setiap Wage.

    21 Proyek Pemeliharaan Tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa, Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta (Yogyakarta: Dinas Sosial Propinsi DIY dan Fakultas Sastra UGM, 1983) hlm. 107

  • 26

    BAB III

    LATAR BELAKANG TERJADINYA PERISTIWA

    7 JANUARI 1949

    A. Pasar Srowolan Sebagai Basis Perjuangan

    Salah satu tugas pemerintahan militer dalam perekonomian adalah

    menyelenggarakan keperluan tentara dan keperluan rakyat. Di Sleman, staf

    pemerintahan militer mengeluarkan Peraturan Kebaktian Rakyat yang

    ditandatangani Komandan SWK 104 Mayor Sukasno, Bupati Sleman

    Projodiningrat dan Komandan KDM Mayor Muhammad Basyuni. Berdasarkan

    peraturan tersebut, panewu Ngaglik memerintahkan lurah-lurah untuk memberi

    nafkah kepada para pegawai instansi pemerintah atau badan-badan yang diakui

    pemerintah, misalnya tentara, polisi, pamong praja, dan lain-lain agar perjuangan

    dapat terus berlangsung.

    Kelurahan Purwobinangun yang termasuk dalam wilayah Kapanewon

    Ngaglik menanggapi perintah tersebut. Susilo Winarto selaku lurah

    Purwobinangun memerintahkan Sosrowiharjo (Kepala Bagian Kemakmuran)

    untuk memimpin tugas suplai dengan dibantu oleh Abdul Jabar (Kepala Bagian

    Keamanan), Wasito Diharjo (Kepala Bagian Umum), Tondo Martoyo (Kepala

    Bagian Agama dan Mantan Mandor Pasar) dan 16 kepala dukuh seluruh

    Purwobinangun.

    Dalam rangka memenuhi tugas sebagai penyedia logistik, pamong desa

    Purwobinangun melakukan berbagai usaha untuk menggalang dana, antara lain

  • 27

    dengan mengumpulkan retribusi dana pasar, pungutan dari masyarakat, dan

    berbagai bentuk bantuan dikoordinir di pasar Srowolan. Pasar Srowolan menjadi

    basis logistik bagi pejuang gerilya di wilayah Purwobinangun dan sekitarnya.

    Untuk memperlancar tugas pemerintahan militer, di kelurahan

    Purwobinangun dibentuk suatu organisasi pertahanan yang disebut Markas

    Pertahanan Kelurahan (MPK).22 Selain bidang keamanan, tugas markas

    pertahanan adalah menunjang kehidupan tentara gerilya dengan melakukan

    penarikan pajak in natura kepada pedagang yang berjualan di pasar Srowolan.23

    Untuk menambah dana perjuangan dilakukan juga penambahan pajak pasar.

    Selain itu hasil penarikan uang kebersihan yang digunakan untuk kebersihan

    pasar, sebagian digunakan untuk dana perjuangan. Pemuda-pemudi juga berperan

    dalam mengumpulkan dana di perempatan jalan yang ada disekitar pasar

    Srowolan.24 Selain itu pengunjung Pasar Srowolan dengan sukarela memberikan

    dana bantuan yang dikumpulkan melalui tempat yang sudah disediakan.

    Selain itu para pedagang pasar Srowolan juga berpartisipasi dengan suka

    rela memberikan sumbangan berupa sayur-sayuran maupun bahan makanan

    lainnya. Mereka secara sukarela memasukkan sebagian hasil dagangannya

    sewaktu para pemuda-pemudi menyodorkan kotak sumbangan. Semua hasil

    sumbangan yang dihimpun dipasar Srowolan kemudian diserahkan kepada Letnan

    22 Wawancara dengan Bapak Sumidjan, hari Kamis 22 November 2007, di Gatep Purwobinangun Pakem Sleman 23 Wawancara dengan Bapak Sumidjan, hari Kamis 4 Oktober 2007. di Gatep Purwobinangun Pakem Sleman 24 Wawancara dengan Bapak Mardi Utomo, hari Sabtu 6 Oktober 2007, di Beneran Purwobinangun Pakem Sleman

  • 28

    R. Suyono yang berkedudukan di dusun Karanggeneng dan dipergunakan untuk

    biaya perjuangan

    Interaksi antara Markas Pertahanan Kelurahan (MPK) dengan pedagang

    juga meliputi pemberian berbagai informasi situasi kota Yogyakarta, yang

    disampaikan oleh pedagang yang pulang dari pasar di kota. Salah satu pedagang

    yang banyak memberikan informasi untuk para pejuang adalah Somodiharjo.

    Beliau adalah seorang pedagang buah dan sayuran di pasar Srowolan, Karangwaru

    dan Kranggan. Dengan memperhatikan tempat-tempat yang didatanginya itu, dia

    banyak melakukan penjelajahan dengan tetap berpura-pura sebagai pedagang.

    Setelah berhasil memperoleh informasi, dia dengan leluasa memberikan laporan

    tentang kedatangan konvoi Belanda, pos-pos Belanda dan kekuatan tentara

    Belanda kepada para pejuang yang ada di pasar Srowolan maupun berada di

    tempat lain yang beliau lalui. Beliau banyak memberikan informasi penting

    sehubungan dengan perjuangan pada waktu itu. Dalam berbagai peristiwa beliau

    berperan sebagai penyelidik pasukan gerilya.25

    Pasar Srowolan juga merupakan markas pejuang yang biasa digunakan

    untuk mengatur strategi perjuangan. Di markas ini pula para pedagang maupun

    pembeli memberikan laporan mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan

    pasukan Belanda. Para kader desa dan dukuh kadangkala menyamar sebagai

    pedagang agar bisa menjalin hubungan dengan sesama kader desa dan dukuh serta

    pejuang lainnya sehingga mampu mendapatkan informasi tentang situasi desa lain

    25 Dharmono H dkk, Replika Perjuangan Rakyat Yogyakarta (Yogyakarta: Proyek Pemeliharaan Tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa di DIY) hlm. 549-550

  • 29

    dan mengetahui situasi markas Belanda. Mereka sengaja melakukan penyamaran,

    karena pada waktu itu juga ada orang Indonesia yang menjadi mata-mata

    Belanda.26

    B. Aksi penyerangan para gerilyawan terhadap Belanda di Sleman Utara Untuk menghadapi Belanda, para pejuang menerapkan sistem perang

    rakyat semesta. Pada tingkat pertama menghindarkan penghancuran dari kekuatan

    musuh dan sesudah itu bersama rakyat, TNI mengadakan pengintaian dan

    selanjutnya melakukan penyerangan mendadak. Pengalaman selama menghadapi

    Agresi Militer Belanda I telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi

    pimpinan TNI. Sistem pertahanan linier yang dianut selama itu tidak mungkin

    dilaksanakan lagi karena dalam waktu yang singkat dapat diterobos tentara

    Belanda. Menjelang Agresi Militer Belanda II, TNI telah menyusun sistem

    pertahanan yang lebih baik yaitu sistem pertahanan Wehrkreise, perang rakyat

    semesta dan perang gerilya.

    Sistem perang rakyat semesta yang diterapkan oleh TNI itu sesuai dengan

    Perintah Siasat No 1 yang dikeluarkan pada bulan November 1948, yang isinya:

    a. Tidak akan melakukan pertahanan linier

    b. Tugas memperlambat kemajuan serbuan musuh serta bumi hangus total

    c. Tugas membentuk kantong gerilya di tiap Onder Distrik Militer (ODM) yang

    mempunyai pemerintahan gerilya dan mempunyai pusat dibeberapa daerah

    pegunungan

    26 Wawancara dengan Bapak Sumidjan, hari Minggu 11 November 2007 di Gatep Purwobinangun Pakem Sleman

  • 30

    d. Tugas pasukan adalah menyusup kembali ke daerah dan membentuk

    kantong-kantong gerilya.27

    Di wilayah Sleman Utara, rakyat dan pejuang mulai melancarkan aksi

    pengintaian terhadap pasukan Belanda yang mengadakan konvoi. Menjelang

    malam, tentara Belanda kembali ke markasnya. Hal ini dimanfaatkan para

    gerilyawan untuk mengadakan pengacauan dan penghadangan. Bagi gerilyawan,

    waktu malam hari adalah waktu yang tepat sehingga harus digunakan sebaik

    mungkin untuk mengatur strategi, mengadakan pengacauan dan membuat

    rintangan-rintangan. Jalan-jalan besar yang sering dilewati tentara Belanda dibuat

    rintangan berupa kubangan yang dipasang ranjau. Selain itu pada malam hari para

    gerilyawan berkumpul untuk menyerang pos Belanda di Kaliurang, Pakem dan

    Beran. Mereka mudah bergerak meskipun malam hari karena mereka hafal

    medan.

    Salah satu kekuatan yang aktif melakukan penyerangan adalah Tentara

    Pelajar yang berada di Beneran yaitu kediaman bapak Mardi Utomo, meski hanya

    dengan kekuatan sekitar 12 orang. Pasukan ini dipimpin oleh Sumanto, dalam

    penyerangan terhadap kedudukan Belanda pasukan ini menggunakan sistem

    bergilir. Hal ini disebabkan keterbatasan persenjataan. Mereka melakukan

    penyerangan dengan jalan melakukan penghadangan terhadap konvoi tentara

    Belanda yang berada di wilayah Beneran ataupun markas-markas Belanda yang

    berada di wilayah Sleman Utara. Pakaian yang digunakan oleh para gerilyawan ini

    sama dengan masyarakat biasa. Hal ini bertujuan untuk memudahkan penyamaran

    27 Paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta (Jakarta: Balai Pustaka, 1987) hlm. 6

  • 31

    dan pada siang hari, para gerilyawan menyamar sebagai pencari rumput, pencari

    kayu, pedagang dan sebagainya, dengan tetap berjaga, apabila ada kemungkinan

    daerah sekitarnya akan ada patroli Belanda. Setiap kali mengetahui informasi,

    para gerilyawan segera memberitahukan rekan-rekannya yang lain dan

    melaporkannya ke markas pejuang. Untuk mengetahui apakah orang yang

    dicurigai itu tentara, Belanda adalah dengan melihat tangan orang tersebut.

    Apabila tangannya kasar orang itu adalah petani namun apabila tangannya halus

    adalah tentara. Metode tersebut sering dipakai Belanda untuk mencari

    gerilyawan.28

    Diantara berbagai aksi yang dilakukan para gerilyawan dengan Belanda

    yang masih tetap dalam ingatan masyarakat antara lain:

    a. Pertempuran di Polowidi dan Angin-angin

    Pada akhir Desember 1948, pasukan Tentara Pelajar dengan komandan

    Arif Suratno bermarkas di Polowidi. Memasuki bulan Januari 1949, markas

    berpindah ke dusun Angin-angin. Pada pagi hari tanggal 2 Januari 1949 rakyat

    memberi tahu pasukan Tentara Pelajar bahwa dari arah barat datang pasukan

    Belanda. Pasukan Tentara Pelajar segera mempersiapkan diri menghadapi musuh.

    Di wilayah Sleman ini sangat menguntungkan sebagai tempat pertahanan karena

    rumah-rumah berpagar batu. Di samping serdadu Belanda dari sebelah barat

    dusun Polowidi, ada juga pasukan Belanda yang datang dari selatan, yaitu di

    dusun Angin-angin. Belanda tidak mengetahui bahwa pasukan Tentara Pelajar

    Arif Suratno sudah bersiap siaga di belakang pagar batu. Saat Belanda datang,

    28 Wawancara dengan Bapak Wignyo Harsono hari Kamis tanggal 22 November 2007 di Beneran Purwobinangun Pakem Sleman.

  • 32

    pasukan Tentara Pelajar segera menyerang. Mendapat serangan mendadak,

    banyak tentara Belanda yang mati tertembak, sedangkan yang masih hidup

    akhirnya melarikan diri. Keesokan harinya Belanda melakukan balasan dengan

    menyerang Polowidi dan Angin-angin. Tetapi pasukan Tentara Pelajar dapat

    menghindarkan diri dan selamat. 29

    b. Pertempuran di Tunggul Wonokerto Turi

    Pada tanggal 5 Januari 1949, pada saat Tentara Batalyon 151 melakukan

    gerilya, mereka bertemu dengan pasukan Belanda di dusun Tunggul. Pasukan

    Belanda ini datang dari Kaliurang, dan terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok

    pertama melewati Turgo, Tritis, Kaliurang Barat menuju dusun Patuk dan

    menyerang dusun Tunggul dari utara, sedangkan kelompok kedua melalui Turgo,

    Tritis, Ngandong ke barat menuju dusun Tunggul dari arah timur. 30

    Terjadi kontak senjata di dusun ini. Dalam kondisi pasukan yang terdesak,

    para pejuang tetap melakukan perlawanan. Walaupun pada akhirnya para pejuang

    mundur meninggalkan dusun Tunggul karena melihat kekuatan yang tidak

    seimbang. Komandan Batalyon 151, Kapten Haryadi gugur dalam peristiwa

    tersebut.

    c. Peristiwa Kembangarum

    Peristiwa lain yang mendasari Belanda untuk lebih meyakini di wilayah

    Sleman Utara sebagai markas pejuang adalah peristiwa Kembangarum.

    Penghadangan pertama kali terhadap Belanda terjadi pada awal bulan Januari,

    29 Sewan Susanto, Perjuangan Tentara Pelajar Dalam Perang Kemerdekaan Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985) hlm. 75 30 Wawancara dengan Bapak Mardi Utomo hari Kamis tanggal 22 November 2007 di Beneran Purwobinangun Pakem Sleman

  • 33

    peristiwa ini terjadi disebelah Utara Dusun Kembangarum. Penghadangan terjadi

    pada siang hari dengan dilakukan bersama-sama antara tentara pelajar, kesatuan

    Brigade 151, dan tentara gerilya. Meskipun pasukan Belanda bersenjata lengkap

    tetapi jumlah anggota pasukannya hanya beberapa orang sehingga terdesak

    kemudian terpaksa melarikan diri. Karena dikejar oleh gerilyawan , pasukan

    Belanda panik. Dalam peristiwa itu satu orang berhasil ditangkap dan dibunuh31

    Terbunuhnya salah seorang pasukan menimbulkan kemarahan pihak

    Belanda. Hanya selang beberapa hari pasukan Belanda yang bermarkas di Beran

    dan Medari mengadakan operasi pembersihan di daerah sekitar Kembangarum.

    Pasukan Belanda bergerak dari arah Barat Daya sebelum sampai padukuhan

    Kembangarum, seorang penduduk Kembangarum mengetahui adanya konvoi

    tersebut kemudian diberitahukan secara beranting kepada seluruh penduduk

    Kembangarum sehingga penduduk setempat dapat mengungsi.32

    Bagi gerilyawan malam hari digunakan umtuk mengatur strategi gerilya

    pengaturan siasat penyerangan, mengadakan pengacauan dan membuat rintangan

    di jalan yang dilalui pasukan Belanda. Setelah para gerilyawan berkumpul

    dengan mengontak anggota gerilyawan lain untuk bersama-sama mengadakan

    penghadangan dan penyerangan terhadap pasukan Belanda. Adanya gangguan

    yang selalu dilakukan gerilyawan menimbulkan kemarahan pihak Belanda.

    Pasukan Belanda setiap melakukan opersi pembersihan di wilayah Sleman Utara

    31 Dharmono Hardjowidjono, dkk, Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta II.Proyek Pemeliharaan Tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa di DIY, ypgyakarta,1985,hal. 110. 32 Wawancara dengan Purwowidodo, pada hari Kamis tanggal 22 November 2007 di Cepet Purwobinangun Pakem Sleman.

  • 34

    selalu melakukan pembersihan di desa-desa yang dicurigai sebagai markas

    gerilyawan, hampir setiap hari Belanda melakukan pembakaran melakukan

    pembakaran rumah di daerah sekitar Kembangarum yang dianggap pernah

    menjadi markas gerilyawan.

    d. Penangkapan mata-mata Belanda

    Peristiwa ini terjadi 2 hari sebelum peristiwa 7 Januari 1949 yaitu tanggal

    5 Januari 1949. Berawal dari ditangkapnya 2 orang mata-mata Belanda warga

    Ngipik Kaliurang di sebelah timur dusun Beneran. Kedua orang tersebut lalu

    dibawa ke rumah bapak Bayan di dusun Beneran. Di rumah inilah mereka

    diinterogasi oleh rakyat. Setelah diinterogasi, kedua mata-mata ini dibunuh

    dengan cara dikubur hidup-hidup.

  • 35

    BAB IV

    PERISTIWA 7 JANUARI 1949

    A. Insiden Di Dusun Cepet Puncak penyerangan Belanda secara besar-besaran di wilayah Srowolan

    Purwobinangun Pakem yang terjadi pada tanggal 7 Januari 1949. Peristiwa ini

    berawal ketika Belanda berhasil menduduki Beran dan Medari pada tanggal 20

    Desember 1948. Selain menduduki Beran dan Medari, Belanda juga membuat

    pos-pos pertahanan di Kaliurang, Kledokan, dan yang paling dekat dengan desa

    Kembangarum adalah pos pertahanan Belanda yang menempati bekas pabrik

    tembakau di sebelah timur perbatasan kelurahan Donokerto dengan kelurahan

    Purwobinangun. Pembangunan pos-pos pertahanan di Sleman Utara merupakan

    langkah penting bagi Belanda. Selain mempertahankan wilayah itu, jalan-jalan

    besar yang ada dapat dipakai untuk mengadakan hubungan dengan sesama tentara

    Belanda yang ada di Klaten, Magelang dan sekitarnya, sehingga dengan

    sendirinya jalan-jalan tersebut selalu dipertahankan.

    Cara-cara tentara Belanda mengadakan patroli dan serangan terhadap

    kedudukan pertahanan dan markas gerilya, selain mengerahkan pasukan infanteri

    dengan persenjataan lengkap juga mengerahkan pesawat terbangnya seperti

    Bomber dan Capung. Serangan yang dilancarkan oleh Belanda pada umumnya

    bertujuan untuk menghabiskan tentara gerilya. Selain menggunakan cara-cara

    tersebut di atas Belanda juga memakai masyarakat pribumi untuk dijadikan mata-

    mata. Salah satu peristiwanya adalah ketika dua hari sebelum peristiwa 7 Januari

  • 36

    1949 di sebelah timur dusun Beneran di tangkap 2 orang yang berasal dari dusun

    Ngipik-Kaliurang. Kedua orang tersebut lalu dibawa ke rumah bapak Bayan di

    dusun Beneran. Di rumah inilah dilakukan interogasi. Setelah diintrogasi, kedua

    mata-mata tersebut dibunuh dengan cara dikubur hidup-hidup.33

    Namun kenyataannya usaha Belanda tersebut tidak membawa hasil yang

    memuaskan. Hal ini dikarenakan gerak langkah tentara gerilya yang selalu

    berpindah-pindah. Salah satu peristiwa yang mengindikasikan kegagalan strategi

    Belanda adalah terjadinya insiden Cepet.

    Insiden di Cepet berawal pada tanggal 1 Januari 1949 ketika Belanda

    melakukan konvoi ke dusun-dusun. Salah satu dusun yang dituju oleh Belanda

    dan akan diduduki adalah Watuadeg. Di dusun itu terdapat rumah bangunan

    Belanda yang oleh masyarakat sekitar dinamakan “Loji”.34 Para pejuang

    mengetahui hal ini dan kemudian mengawasi rumah loji itu. Merasa gerak-

    geriknya diawasi, para tentara Belanda menggeser pasukan menuju barat daya

    yaitu di Dusun Ngaglik. Dalam pergeseran pasukan ini salah satu anggota Tentara

    Pelajar bernama Marsono tewas ditembak tentara Belanda. Tentara dari Batalyon

    151 bersama masyarakat dan pejuang yang lain mengejar tentara Belanda. Tentara

    Belanda kembali bergeser ke arah tenggara menuju Dusun Cepet. Pada saat

    pergeseran lokasi inilah, Tentara Indonesia berhasil menangkap 3 tentara Belanda.

    Tentara Belanda lainnya berhasil melarikan diri. Dari 3 orang pasukan Belanda 33 Wawancara dengan Bapak Wignyo Harsono pada hari Kamis tanggal 22 November 2007 di Beneran Purwobinangun Pakem Sleman. 34 Pasar Srowolan Pasar Perjuangan (Yogyakarta: Pelaku Perjuangan Angkatan 45/Anggota LVRI Ranting Pakem ) hlm. 11

  • 37

    yang ditangkap, 1 orang berhasil lolos dan melaporkan peristiwa tersebut kepada

    markas Belanda, kemudian yang 2 orang dibunuh rakyat Indonesia. Mayatnya

    dimakamkan di dusun Cepet. Sedangkan dari pihak Indonesia memakan korban 2

    tentara yang dimakamkan di dusun Cepet.35 Menurut bapak Wignyo Harsono,

    malam hari sebelum tertangkap, tentara Belanda bertahan di sebelah utara dusun

    Watuadeg. Mereka menembaki wilayah tersebut dengan cara naik ke atas pohon

    beringin besar, sehingga menyebabkan tentara Belanda kehabisan amunisi.

    Melihat tentara Belanda kehabisan amunisi masyarakat dan tentara tidak menyia-

    nyiakan kesempatan untuk menangkapnya. Setelah ditangkap gerilyawan, tentara

    Belanda lalu dibawa ke dusun Cepet dan dibunuh di sana.36

    B. Puncak Peristiwa 7 Januari 1949

    Insiden Cepet inilah yang mengakibatkan kemarahan tentara Belanda,

    yang kemudian melakukan penyerangan secara besar-besaran. Tentara Belanda

    mendatangkan pasukan dari Medari, Beran, Pakem dan Kaliurang untuk

    menyerang desa Purwobinangun. Tujuan pertama kali tentara Belanda adalah

    dusun Cepet karena di dusun inilah tentara Belanda dimakamkan dan berusaha

    unuk diambil kembali serta dibawa ke markas Belanda. Setelah selesai

    pengambilan jenazah, tentara Belanda mulai mengadakan pembersihan di dusun-

    dusun di sekitar Cepet dengan berjalan kaki. Mereka menghancurkan rumah-

    35 Wawancara dengan Bapak Mardi Utomo, Hari Rabu 17 Oktober 2007, di Cepet Purwobinangun Pakem Sleman 36 Wawancara dengan Bapak Wignyo Harsono, Hari Kamis tanggal 22 November 2007 di Beneran Purwobinangun Pakem Sleman.

  • 38

    rumah penduduk dan mengadakan aksi pembakaran. Cepet sebagai dusun yang

    mereka tuju sudah sepi, karena penduduk mengungsi ketika mengetahui akan

    adanya serangan balasan dari Belanda. Dalam perjalanannya Belanda melepaskan

    tembakan ke sembarang tempat sehingga membuat penduduk menjadi panik.

    Ketika sampai di wilayah Pulerejo, Belanda menembak penduduk setempat

    sehingga jatuh 7 korban jiwa. Yang menarik dari peristiwa itu adalah ketika ada

    salah satu penduduk Pulerejo bernama Muh Toha yang dengan berani

    menghadang serdadu Belanda yang sedang mengadakan pembersihan. Dalam

    peristiwa ini Moh Toha berhasil merebut salah satu senjata serdadu Belanda,

    sehingga serdadu Belanda memberondong tubuh Moh Toha dan menusuknya

    dengan bayonet hingga tewas.37 Peristiwa lain yang cukup menarik diungkapkan

    oleh ibu Sumiyati “ketika tentara Belanda mengadakan pembersihan ke dusun

    Karanganyar beliau berlari sambil menggendong adiknya namun karena

    kebrutalan tentara Belanda yang menembakkan senjata sembarangan

    menyebabkan adik yang beliau gendong tertembak sampai meninggal dunia.38

    Ketika Belanda sampai di dusun Cepet, mereka tidak menemukan

    penduduk di sana, kemudian bergeser ke Pasar Srowolan yang merupakan basis

    pejuang. Sepanjang perjalanan menuju dusun Srowolan, tentara Belanda

    membakar rumah-rumah penduduk yang mereka lalui, yaitu dusun Pulowatu,

    Cepet, Gatep, Beneran, Pulerejo dan Karanggeneng. Setelah itu, dusun Srowolan

    dikepung tentara Belanda dari 4 penjuru. Dari selatan, Belanda datang dari Beran

    37 Lihat Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta, hlm. 108 38 Wawancara dengan Ibu Sumiyati hari Jumat tanggal 23 November 2007 di Cepet Purwobinangun Pakem Sleman.

  • 39

    berhadapan dengan anggota Batalyon 151 di Dusun Kadilobo dan di selatan dusun

    Karanggeneng. Tembakan-tembakan tidak bisa dihindari Dari kedua belah pihak

    banyak korban berjatuhan. Anggota Batalyon 151 yang gugur adalah Jamroni dan

    Sugiono, serta sepuluh orang yang jenazahnya tidak dikenali. Adapun korban

    yang berasal dari masyarakat adalah:

    1. Sumarjo dari Gondang

    2. Kartojumeno dari Angin-angin

    3. Seja dari Angin-angin

    4. Sudarjo dari Jetis Suruh

    5. Taruno dari Kadilobo

    6. Jopawiro dari Kadilobo

    7. Mangun dari Kadilobo

    8. Wongsoinangun dari Kadilobo

    9. Suryadi dari Maron

    10. Kertodiharjo dari Srowolan

    Dari barat Belanda datang dari Medari berhadapan dengan pasukan

    Batalyon 151 dan anggota Tentara Pelajar. Kontak senjata terjadi di antara Desa

    Kembangan dan Turi. Dalam kejadian ini Belanda terpukul mundur dan melarikan

    diri ke arah selatan menuju dusun Kembangarum. Disana mereka menghujani

    tembakan kanon dan mortir. Di dusun Kembangarum banyak korban berjatuhan,

    yaitu:

    1. Prawirokaryo dari Kembangarum

    2. Sukitri dari Kembangarum

  • 40

    3. Kramajaya dari Kembangarum

    4. Dullah Mukri dari Kembangarum

    5. Supatmin dari Kembangarum

    Dari utara Belanda datang dari Kaliurang melewati dusun Jamblangan,

    Watuadeg, Daren dan Karanganyar, dan dari timur Belanda datang dari Pakem

    melewati Pulowatu, Cepet, Glondong, Bunder, Kardangan, menuju dusun Gatep,

    Srowolan, Beneran dan Pulerejo. Disini mereka bertemu dengan pasukan Belanda

    yang datang dari arah utara. Kontak senjata tidak bisa dihindari. Pejuang berama

    rakyat mengadakan perlawanan dengan senjata seadanya. Oleh karena kekuatan

    yang tidak seimbang, para gerilyawan tidak bisa mempertahankan perlawanan lalu

    mundur bersama rakyat untuk menyelamatkan diri. Korban yang meninggal

    adalah:

    1. Marsana dari Donomulyo

    2. Darmopawiro dari Donomulyo

    3. Cokrodiharjo dari Glondong

    4. Mertosetiko dari Cepet

    5. Pawirotani dari Cepet

    6. Sutinah dari Karanganyar

    7. Wongsopawiro dari Pulerejo

    8. Amatrejo dari Pulerejo

    9. Karmin dari Pulerejo

    10. Supadiyo dari Pulerejo

    11. Mulyorejo dari Pulerejo

  • 41

    12. Moh. Toha dari Pulerejo 39

    Kedatangan tentara Belanda menuju Srowolan yang sudah diketahui

    membuat tentara dari Batalyon 151 bersiap-siaga dengan dibantu sepenuhnya

    oleh para pejuang gerilya dan masyarakat. Kontak senjata tidak bisa lagi

    dihindarkan. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak.

    Oleh karena kekuatan antara kedua belah pihak yang tidak seimbang, di

    mana tentara Belanda memiliki kekuatan yang lebih besar dan didukung

    persenjataan modern, pelan-pelan pejuang Indonesia mundur, tapi sambil tetap

    berjaga. Ini dilakukan untuk menghindari korban yang semakin banyak, apalagi

    kebanyakan korbannya adalah masyarakat di wilayah dusun Srowolan dan

    sekitarnya.

    39 Data-data korban bersumber dari catatan pelaku perjuangan Bapak Sumidjan Dwidjosumpono, anggota Legiun Veteran RI Ranting Pakem

  • 42

    BAB V

    PENUTUP

    Dari uraian panjang skripsi ini, sebagai penutup adalah kesimpulan.

    Dengan proklamasi kemerdekaan, maka bangsa Indonesia telah memulai revolusi

    sebagai suatu negara yang merdeka. Momentum proklamasi itu menjadi komando

    bagi seluruh bangsa Indonesia untuk bangkit melawan secara politis dan fisik

    demi mempertahankan kemerdekaan.

    Kedatangan Belanda kembali ke Indonesia menimbulkan suatu

    pertentangan yang akhirnya menjadikan rakyat Indonesia kembali mengangkat

    senjata, melewati berbagai peristiwa dalam revolusi fisik.

    Perjanjian Linggarjati, sebagai sebuah kesepakatan antara Indonesia

    dengan Belanda akhirnya disetujui, meskipun pada kenyataannya perjanjian

    tersebut tetap tidak berpihak pada Indonesia. Dalam perjanjian itu disepakati

    bahwa Belanda tetap mempunyai hak dalam pemerintahan Indonesia. Itu artinya

    Indonesia masih dijajah.

    Tanggal 21 Juli 1947 Belanda mengingkari perjanjian Linggarjati dengan

    melancarkan agresi militernya yang ke I. Dunia Internasional tidak

    membenarkannya, dan kemudian Dewan Keamanan PBB mengeluarkan perintah

    agar segera diadakan gencatan senjata. Perjanjian Renville sebagai bentuk solusi

    yang disepakati bersama akhirnya diputuskan dan ditandatangani pada tanggal 17

    Januari 1948. Untuk kedua kalinya Belanda kembali melanggar perjanjian.

  • 43

    Adanya ketidakstabilan politik dan keamanan dalam intern Indonesia menjadikan

    Belanda memanfaatkan kesempatan dengan melancarkan agresinya yang ke II.

    Yogyakarta sebagai ibukota negara pada masa itu mulai bersiap siaga dan

    menyatakan perang terhadap Agresi Militer Belanda II. Tanggal 19 Desember

    1948 Belanda menyerang kota Yogyakarta dari udara dan berhasil menguasai

    lapangan terbang Maguwo dan menyerang Istana Kepresidenan. Para pemimpin

    ditawan Belanda.

    Tentara Pelajar sebagai organisasi kemiliteran ikut serta mempelopori

    gerakan perjuangan rakyat di desa-desa. Mereka memberikan pendidikan dasar-

    dasar kemiliteran untuk rakyat dan kemudian bersama-sama rakyat berjuang

    menghadapi Belanda.

    Secara umum Tentara Pelajar mempunyai dua bidang peranan di wilayah

    Sleman Utara yaitu bidang sosial dan bidang pertahanan dan keamanan. Dalam

    bidang sosial, para anggota Tentara Pelajar mewujudkan peranannya dengan

    mendirikan pos palang merah untuk memberikan pelayanan kesehatan terhadap

    masyarakat, mendirikan dapur umum sebagai tempat memasak dan menyiapkan

    perbekalan bagi para pejuang, tempat komunikasi antar pejuang, tempat

    perawatan kebutuhan operasional militer, tempat menyampaikan informasi dan

    tempat perundingan dan menyusun rencana apabila akan mengadakan serangan.

    Yang terakhir adalah masalah pendidikan, yaitu mengadakan kelompok belajar

    bagi para anggota Tentara Pelajar dan juga anak-anak desa. Ini dikarenakan pada

    waktu itu sekolah ditutup. Yang kedua adalah bidang pertahanan dan keamanan.

    Di wilayah Sleman Utara, para anggota Tentara Pelajar mempunyai peranan

  • 44

    penting dalam mempertahankan daerah tersebut. Mereka bertugas

    mempertahankan wilayah mulai dari Jalan Yogyakarta-Magelang dengan batas

    sungai Krasak, sampai jalan Yogyakarta-Kaliurang. Siasat pertempuran diatur

    sesuai dengan instruksi dari komandan Wehrkreise.

    Sleman Utara sebagai obyek kajian dalam tulisan ini merupakan salah satu

    kota tujuan konvoi Belanda. Perjuangan gerilya mulai difokuskan di desa-desa.

    Salah satu tempat yang dijadikan basis pejuang adalah pasar Srowolan, di wilayah

    Purwobinangun Pakem. Lokasinya yang jauh dari jalan raya menjadikannya

    strategis sebagai markas pejuang. Masyarakat juga ikut membantu para pejuang

    dengan memberikan informasi yang mereka dengar, kemudian melaporkannya di

    markas pejuang yang ada di sebelah utara pasar Srowolan. Mereka juga

    membantu dukungan logistik bagi para pejuang dengan menggalang dana melalui

    berbagai cara.

    Di pasar Srowolan juga dijadikan sebagai tempat masyarakat dalam

    mempertahankan uang asli Imdonesia, karena pada waktu itu juga beredar uang

    federal keluaran Belanda. Para pedagang tidak mau dibayar dengan uang federal.

    Puncak dari perjuangan di Sleman Utara dalam menghadapi Agresi Militer

    Belanda II adalah sebuah peristiwa tanggal 7 Januari 1949 yang dikenal dengan

    nama Peristiwa Jumat Kliwon. Ini merupakan serangan balasan dari Belanda,

    yang dipicu oleh 2 insiden baku tembak di dusun Pulerejo dan dusun Cepet, yang

    menewaskan tentara Belanda. Serangan dipusatkan di pasar Srowolan, yang

    merupakan basis pejuang. Pasar Srowolan dikepung dari berbagai penjuru.

    Suasananya sangat mengerikan. Kebiadaban Belanda jelas terlihat disitu. Banyak

  • 45

    rakyat yang menjadi korban, dikarenakan kekuatan tentara Belanda lebih besar

    dan didukung persenjataan lengkap.

    Peristiwa 7 Januari 1949 memang sudah lama berlalu. Tapi hingga saat ini

    masih begitu dikenang masyarakat, sebagai sebuah potret buram dalam sejarah

    perjuangan Indonesia, khususnya di wilayah Sleman Utara. Pendudukan kota

    Yogyakarta oleh tentara Belanda merupakan titik balik yang penting bagi

    kemajuan masyarakat menuju demokrasi hampir dalam segala bidang kehidupan.

    Ini merupakan periode transisi dari revolusi bersenjata, di mana lebih banyak

    kehancuran daripada pembangunan yang dilakukan, ke periode rekonstruksi sosial

    dalam suasana kemerdekaan yang diakui secara internasional.

  • 46

    DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufiq. Surjomihardjo, Abdurrahman. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif . Gramedia, Jakarta, 1985 Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999 Agung Gede Agung, Anak. Persetujuan Linggarjati: Prolog Dan Epilog. Yayasan Pustaka Nusatama dan Sebelas Maret University Press, Yogyakarta, 1995 Dharmono, Replika Perjuangan Rakyat Yogyakarta II. Proyek Pemeliharaan Tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa di DIY, Yopgyakarta. Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. UI Press, Jakarta, 1986. Himpunan Informasi Sejarah Penyerbuan Kotabaru Yogyakarta dan Peristiwa- perisiwa Penting di Yogyakarta Sekitar Proklamasi Kemerdekaan RI Tahun 1945, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta, 1998. Kahin, George Mc, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, UNS Press-Sinar Harapan, 1995 Kartodirdjo, Sartono. Sejarah Revolusi Indonesia. Jilid VI. Balai Pustaka, Jakarta, 1977 Kartodirdjo, Sartono. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI. Balai Pustaka, Jakarta, 1977 Kementrian Penerangan, Republik Indonesia, Djawatan Penerangan, Yogyakarta, 1953

  • 47

    Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Bentang Budaya, Yogyakarta 2001 Moedjanto, G. Indonesia Abad Ke-20: Dari Perang Kemerdekaan Pertama Sampai Pelita III. Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1989 Narwoko, Dwi. Suyanto, Bagong. Sosiologi: Teks Pengantar Dan Terapan. Prenada Media, Jakarta, 2004 Nasution, AH. Memenuhi Panggilan Tugas. Jilid V. CV Haji Masagung, Jakarta, 1989 ___________, Pokok-pokok Gerilya. Pembimbing, Jakarta, 1953 ___________, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid V (Bandung: Disjarah dan Angkasa, 1979) ___________, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid IX (Bandung: Disjarah dan Angkasa, 1979) ___________, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid X (Bandung: Disjarah dan Angkasa, 1979) Paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta. Balai Pustaka, Jakarta, 1987 Peranan Pelajar Dalam Perang Kemerdekaan, Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, 1985 Proyek Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan Bangsa. Peristiwa Pertempuran Kotabaru, Dinas Sosial Propinsi DIY, Yogyakarta, 2001 Proyek Pemeliharaan Tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa. Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta. Dinas Sosial Propinsi DIY dan Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta, 1983

  • 48

    Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, Balai Pustaka, Yogyakarta, 1976 Pruitt, Dean G. Rubin, Jeffrey Z. Teori Konflik Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004 Ritzer, George. Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media, Jakarta, 2004 Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di DIY, Dedikbud, Yogyakarta, 1990 Simatupang, B. Laporan Dari Banaran. Sinar Harapan, Jakarta, 1980 Suherly, Tanu. Sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia. Pusat Sejarah ABRI, Jakarta, 1971 Sukanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta, 1988 Sumardjan, Selo. Perubahan Sosial Di Yogyakarta. Gadjah Mada University

    Press, Yoyakarta, 1981 Susanto, Sewan. Perjuangan Tentara Pelajar Dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1985 Tashadi, Sejarah Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 di DIY. Proyek Inventarisasi dan Dokumen Kebudayaan DIY, Yogyakarta, 1986/1987 Tjokropranolo, Panglima Besar Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia. PT Surya Persindo, Jakarta, 1992 Yayasan Dharma Sakti Pancasila. Sejarah Monumen Yogya Kembali, CV Adi Sarana, Yogyakarta, 1994

  • 49

    DOKUMEN/ARSIP Pasar Srowolan di Sleman Pada Masa Agresi Militer Belanda II oleh Yustina Hastrini Nurwanti, SS dalam Jurnal Patrawidya Vol. I No. 2 Juli 2000, Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Yogyakarta Pasar Srowolan Pasar Perjuangan, oleh Bapak Sumidjan Dwidjosumpono (Pelaku Perjuangan Angkatan 45/ Anggota LVRI Ranting Pakem Sleman

  • 50

    NARA SUMBER Nama : Bapak Kadarsono Usia : 79 tahun Pekerjaan Dulu : Tentara Pelajar Pekerjaan Sekarang : Pensiunan Guru Alamat Sekarang : Srowolan Purwobinangun Pakem Nama : Bapak Sumidjan Usia : 75 tahun Pekerjaan Dulu : Tentara Pelajar Pekerjaan Sekarang : Pensiunan Guru Alamat Sekarang : Gatep Purwobinangun Pakem Nama : Bapak Mardi Utomo Usia : 74 tahun Pekerjaan Dulu : Petani Pekerjaan Sekarang : Petani Alamat Sekarang : Beneran Purwobinangun Pakem Nama : Bapak Wignyo Harsono Usia : 72 tahun Pekerjaan Dulu : Petani Pekerjaan Sekarang : Pensiunan Kepala Sekolah Alamat Sekarang : Beneran Purwobinangun Pakem Nama : Bapak Purwo Widodo Usia : 76 tahun Pekerjaan Dulu : Pedagang Pekerjaan Sekarang : Petani Alamat Sekarang : Cepet Purwobinangun Pakem Nama : Ibu Sumiyati Usia : 70 tahun Pekerjaan Dulu : - Pekerjaan Sekarang : Pensiunan Guru Alamat Sekarang : Beneran Purwobinangun Pakem

  • 51