ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai...

44
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya (Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs) (World Commission on Environment and Development - WCED 1987). The term sustainability expresses the human desire for an environment that can provide for our needs now and for future generations. Our collective journey to find a way to live harmoniously with each other and within our social, economic, and ecological environments is a quest for sustainability. Di dalam definisi pembangunan berkelanjutan terkandung dua gagasan penting: (1) gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia, yang harus diberi prioritas utama; dan (2) gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. Pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia adalah tujuan utama pembangunan. Kebutuhan esensial sejumlah besar penduduk di negara-negara berkembang: pangan, sandang, rumah, pekerjaan, belum terpenuhi dan di luar kebutuhan dasar itu orang-orang tersebut mempunyai cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Dunia yang di dalamnya kemiskinan dan kepincangan sudah endemik akan selalu mudah terserang krisis ekologi dan krisis-krisis lainnya. Pembangunan berkelanjutan mengharuskan dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar bagi semuanya dan diberinya kesempatan kepada semua untuk mengejar cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi selalu membawa risiko kerusakan lingkungan, karena hal itu meningkatkan tekanan pada sumberdayasumberdaya lingkungan (WCED 1987). Menurut Munasinghe (1993), tiga tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dicapai secara simultan dengan kombinasi ketiganya sesuai dengan kondisi dan tingkat kemajuan masyarakat yaitu (1) tujuan ekonomi: pertumbuhan

Upload: dodan

Post on 24-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang

dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan

generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya (Sustainable

development is development that meets the needs of the present without

compromising the ability of future generations to meet their own needs) (World

Commission on Environment and Development - WCED 1987). The term

sustainability expresses the human desire for an environment that can provide for

our needs now and for future generations. Our collective journey to find a way to

live harmoniously with each other and within our social, economic, and

ecological environments is a quest for sustainability.

Di dalam definisi pembangunan berkelanjutan terkandung dua gagasan

penting: (1) gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin

sedunia, yang harus diberi prioritas utama; dan (2) gagasan keterbatasan yang

bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan

lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan.

Pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia adalah tujuan utama

pembangunan. Kebutuhan esensial sejumlah besar penduduk di negara-negara

berkembang: pangan, sandang, rumah, pekerjaan, belum terpenuhi dan di luar

kebutuhan dasar itu orang-orang tersebut mempunyai cita-cita akan kehidupan

yang lebih baik. Dunia yang di dalamnya kemiskinan dan kepincangan sudah

endemik akan selalu mudah terserang krisis ekologi dan krisis-krisis lainnya.

Pembangunan berkelanjutan mengharuskan dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan

dasar bagi semuanya dan diberinya kesempatan kepada semua untuk mengejar

cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi selalu membawa

risiko kerusakan lingkungan, karena hal itu meningkatkan tekanan pada

sumberdaya–sumberdaya lingkungan (WCED 1987).

Menurut Munasinghe (1993), tiga tujuan pembangunan berkelanjutan

yang harus dicapai secara simultan dengan kombinasi ketiganya sesuai dengan

kondisi dan tingkat kemajuan masyarakat yaitu (1) tujuan ekonomi: pertumbuhan

14

ekonomi, peningkatan output, pembentukan modal dan peningkatan daya saing;

(2) tujuan sosial: kesejahteraan sosial, pemerataan, kenyamanan dan

ketenteraman; (3) tujuan ekologis: pemeliharaan dan peningkatan kualitas

lingkungan, mengurangi dampak eksternalitas negatif dan mendorong dampak

ekternalitas positif dalam proses kegiatan pembangunan.

2.2. Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Sumber daya alam (natural resources) adalah segala unsur lingkungan

(biotik maupun abiotik) yang bermanfaat dan digunakan oleh manusia untuk

memenuhi kebutuhan dan keinginannya, baik kebutuhan primer yang bersifat

lahiriah (pangan, sandang, dan papan), kebutuhan sekunder yang bersifat batiniah

(estetika) maupun kebutuhan tersier dan seterusnya yang lebih bersifat hobi atau

pengembangan bakat. Berdasarkan pemanfaatannya sumberdaya dikelompokkan

menjadi dua yaitu (1) sumberdaya alam langsung, seperti: udara, air, dan bahan

pangan dan (2) sumberdaya tidak langsung seperti: minyak, besi, dan bahan

tambang. Berdasarkan jenis, sumberdaya alam dikelompokkan menjadi dua

yaitu: (1) sumberdaya tidak dapat diperbahurui (non renewable naural resources)

seperti: tembaga, besi, emas, batubara, minyak; dan (2) sumberdaya alam yang

dapat diperbaharui (renewable natural resources) seperti: hutan, satwa, deposit

air tanah.

Dalam Undang Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 23 tahun

1997 dirumuskan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua

benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,

yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta

makhluk hidup lainnya. Prinsip pengelolaan lingkungan adalah pencegahan dan

penanggulangan terhadap penurunan dan kerusakan kualitas lingkungan akibat

terganggunya atau rusaknya tatanan ekos.

2.3. Kerusakan Lahan Kering

Tanah sebagai bagian dari sumberdaya alam adalah suatu benda alami

heterogen yang terdiri atas komponen padat, cair dan gas, dan mempunyai sifat

serta perilaku yang dinamik. Sebagai sumberdaya alam untuk pertanian, tanah

mempunyai dua fungsi utama yaitu: (1) sebagai sumber unsur hara bagi

15

tumbuhan, dan (2) sebagai matrik tempat akar tumbuh berjangkar dan air tanah

tersimpan, tempat unsur-unsur hara dan air ditambahkan (Arsyad 2000). Lahan

adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta

benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan

lahan.

Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau

tergenang air pada sebagian besar waktu selama setahun (Hidayat et al. 2000).

Keberadaan lahan kering di Indonesia, pada saat ini telah menempati lahan tanpa

kendala atau pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan

dengan tanah dangkal, dan lahan perbukitan (Hidayat et al. 2000). Relief tanah

yang ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian sangat menentukan

mudah dan tidaknya pengelolaan tanah tersebut untuk usaha tani yang produktif.

Sebagai gambaran, lahan kering disebut berelief perbukitan jika memiliki

kelerengan 15% sampai 30% dan dengan perbedaan ketinggian 50 sampai 300

meter. Berdasarkan hasil penelitian para ahli, proporsi lahan kering berelief perbukitan

di Jawa Tengah paling besar (40%), demikian pula di Daerah Istimewa Yogyakarta

(60%). Ditinjau dari bentuk, kesuburan dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan

kering relatif lebih berat dibanding dengan lahan basah (sawah). Hingga kini,

perhatian pemerintah dan pelaku ekonomi pasar terhadap pengelolaan lahan kering

secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan perhatian terhadap lahan

sawah dataran rendah.

Lahan perlu dikelola dengan baik agar dapat tetap berfungsi untuk

memenuhi kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa yang akan datang.

Menurut Sitorus (2001) sistem pengelolaan lahan mencakup lima unsur yaitu: (1)

perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya, (2) tindakan-

tindakan konservasi tanah dan air, (3) menyiapkan tanah dalam keadaan olah

yang baik, (4) menggunakan sistem pergiliran tanaman yang tersusun baik, dan

(5) menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi pertumbuhan

tanaman.

16

2.3.1. Beberapa Hasil Penelitian Tentang Lahan Kering

Sebagai bahan acuan dan perbandingan penelitian berikut ini (Tabel 1)

penulis kemukakan hasil penelitian dalam periode tahun 1996-2007 berkaitan

dengan usahatani lahan kering oleh Basit (1996), Moore and Hill (2000),

Syamsudin (2001), Pranaji (2005), dan Pujiharti (2007), dan Mulatsih (2006).

Tabel 1 Beberapa hasil penelitian tentang lahan kering dalam periode tahun

1996 -2007

No Penulis Judul Thn. Hasil Penelitian 1 Abdul Basit Analisis Ekonomi Pe-

nerapan Teknologi Usa-

ha Tani Konservasi La-

han Kering Berlereng di

Wilayah Hulu DAS Jra-

tunseluna Jawa Tengah

1996 Teknologi usahatani konservasi tersebut merupakan

faktor yang paling menentukan dalam peningkatan

dan pedapatan petani, selain itu peningkatan

intensitas penyuluhan merupakan salah satu usaha

untuk memperbaiki produksi dan pendapatan usaha

lahan kering wilayah hulu DAS.

2 Moore dan

Hill

Models of Community

Development Practice.

2000 Model Menghasilkan Reflective practice, yang

elemen utamanya adalah pengalaman lapang yang

perlu didukung oleh elemen model pemberdayaan.

3 Syamsuddin Model Evaluasi Keber-

hasilan usaha tani di

lahan kering Studi ka-

sus penanaman Jambu

mete di Kabupaten

Lombok Barat

2001 Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukan

adanya peningkatan pendapatan petani, tingkat erosi

menunjukan keberhasilan pengelolaan usaha tani

secara berkelanjutan

4 Tri Pranadji Model pemberdayaan

masyarakat pedesaan

untuk pengelolaan

Agroekosistem Lahan

Kering. Studi penguat-

an modal sosial dalam

desa-desa (Hulu Das) Ex

proyek, Bangun Desa,

Kabupaten Gu-nung

Kidul dan Ex Proyek

Pertanian Lahan Kering

Kab. Boyolali.

2005 Peningkatan manajemen pertanian lahan kering

melalui program UACP dan BDP tidaklah berhasil,

perbedaan dari modal sosial dalam masyarakat dapat

dijadikan indikator dari lemahnya masyarakat

pedesaan dalam mengatur UAE dan juga lemahnya

sistem pemerintahan di pedesaan. Rusaknya nilai-

nilai dalam masyarakat menjadi menjadi faktor yang

dominan dalam menciptakan suatu kemunduran

sosial. Usaha untuk mengem-bangkan lahan kering

ke depannya pemberdayaan lahan kering harus

diintegrasikan dengan transformasi dari kebudayaan

dan kondisi ekonomi pedesaan. Pemberdayaan yang

efektif harus dibangun melalui peningkatan modal

sosial dalam suatu masyarakat, dan akan lebih efektif

jika didukung oleh kepemimpinan lokal, manajemen

sosial, dan organisasi sosial pada wilayah yang kecil

5 Yulia Pujiharti Model Pengelolaan La-

han Kering Berkelan-

jutan pada Sistem Agri-

bisnis Tanaman Pangan

2007 Teknologi yang diterapkan dalam pengelolaan lahan

kering adalah pola usaha tanaman ternak yang

menerapkan pola pergiliran tanaman jagung ubi.

Penggunaan pupuk belum berim-bang dan tidak

menggunakan pupuk kandang adalah pengelolaan

lahan yang tidak berkelanjutan, karena menurunkan

kesuburan dan pendapatan petani.

6 Sri Mulatsih Faktor Sosial Ekonomi

dan Kondisi Lahan yang

Mempengaruhi

Penggunaan Lahan Ke-

ring.

2006 Faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam

menggunakan lahan kering adalah: (1) faktor sosial:

pendidikan petani dan pengetahuan mengenai

agroforestri; (2) faktor ekonomi: sumber utama

pendapatan keluarga, kemampuan membentuk

modal, dan luas persil lahan kering; (3) faktor

kondisi lahan: jarak lokasi dengan rumah petani,

kemiringan lahan dan status lahan.

17

2.3.2. Penyebab dan Akibat Kerusakan Lahan Kering

Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kerusakan tanah antara

lain erosi. Erosi mengakibatkan hilangnya unsur hara dan bahan organik karena

pencucian (leaching) dan atau terangkut melalui panen tanpa ada usaha untuk

mengembalikannya, timbulnya senyawa-senyawa beracun dan penjenuhan air

(Arsyad 2000; Sitorus 2001). Akibat kerusakan lahan secara langsung adalah

kurang optimalnya produksi; dan hal ini langsung atau tidak langsung akan

berdampak negatif terhadap tingkat pendapatan masyarakat yang selanjutnya

mempersulit upaya pengentasan kemiskinan atau perbaikan ekonomi masyarakat.

2.3.3. Hubungan antara Mutu Lahan Kering dengan Kependudukan

Sejumlah hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa ada hubungan

antara kerusakan atau menurunnya mutu lahan kering untuk usahatani dengan

faktor-faktor kependudukan, seperti tingkat pendidikan formal, pengetahuan,

kepadatan penduduk, perilaku atau kebiasaan hidup, adat dan tingkat kemiskinan

penduduk. Akibat dari rendahnya tingkat pendapatan maka untuk mencukupi

kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat kerapkali mengabaikan pemeliharaan

lingkungan misalnya dengan menebang pohon untuk keperluan kayu bakar,

menggunakan pupuk secara tidak teratur dan tidak proporsional.

Notodarmojo (2005) mengemukakan bahwa selain faktor alami, kegiatan

manusia, seperti penambangan lahan untuk kawasan permukiman dan industri,

eksploitasi pertambangan, pembuangan limbah, dan kegiatan lain akan berdampak

pada tanah dan air tanah di kawasan tersebut. Karakter hidrologi mungkin akan

berubah, demikian pula dengan kualitas tanah dan air tanah. Kerusakan lahan juga

berhubungan secara bermakna dengan derajat atau status kesehatan masyarakat.

Kerusakan lahan berhubungan secara bermakna dengan tingkat ekonomi atau

pendapatan masyarakat. Dua faktor penting dalam usaha pertanian yang potensial

menimbulkan dampak pada sumberdaya lahan, yaitu tanaman dan manusia (sosio

kultural) yang menjalankan pertanian. Diantara kedua faktor, faktor manusialah

yang berpotensi berdampak positif atau negatif pada lahan, tergantung cara

menjalankan pertaniannya. Kegiatan menjalankan pertanian atau cara budidaya

18

pertanian yang menimbulkan dampak antara lain meliputi kegiatan pengolahan

tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah.

Perubahan penggunaan lahan miring dari vegetasi permanen menjadi lahan

pertanian intensif menyebabkan tanah menjadi lebih mudah terdegradasi oleh

erosi tanah. Akibat degradasi oleh erosi ini dapat dirasakan dengan semakin

meluasnya lahan kritis. Praktek penebangan dan perusakan hutan (deforesterisasi)

merupakan penyebab utama terjadinya erosi di kawasan daerah aliran sungai

(DAS).

2.3.4. Hubungan antara Mutu Lahan Kering dengan Layanan Pemerintah

Pengelolaan tanah pada umumnya dimaksudkan untuk menjaga kualitas

atau mutu tanah dan lingkungan serta meminimalkan dampak negatif dari

aktivitas manusia, seperti pengembangan lahan, pemanfaatan lahan sebagai

tempat buangan atau kegiatan lainnya yang berdampak negatif terhadap kualitas

tanah dan air tanah baik secara langsung maupun tidak langsung (Notodarmojo

2005). Untuk itu pemerintah perlu senantiasa mengembangkan kebijakan-

kebijakan pengelolaan dan law enforcement di bidang tanah dan air tanah. Sejauh

ini aspek hukum secara khusus mengatur tentang kualitas tanah belum ada, tetapi

aspek hukum dari pencemaran tanah termasuk dalam aspek pencemaran

lingkungan secara keseluruhan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku

yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dan air tanah di antaranya yaitu

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air,

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,

Perikanan, dan Kehutanan.

2.3.5. Hubungan antara Mutu Lahan Kering dengan Lingkungan dan

Teknologi

Dari beberapa penelitian diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara kerusakan lahan kering dengan lingkungan : sumberdaya air,

keadaan pohon tanaman keras, curah hujan, suhu, kelembaban udara, dan

teknologi (biologi, fisika, kimia).

19

Tanah merupakan suatu ekosistem yang mendukung kehidupan flora dan

fauna (Notodarmojo 2005). Tanah merupakan medium bagi mikroorganisme;

beragam mikroorganisme terdapat dalam tanah. Di antara organisme yang penting

dan perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan keberadaan zat pencemar

dalam tanah dan air tanah ialah mikroorganisme. Mikroorganisme yang terdiri

dari bebagai jenis mampu mengubah atau melakukan transformasi biotis terhadap

kontaminan, terutama kontaminan organik. Keberadaan mikroorganisme dalam

tanah mempunyai peranan penting dalam perombakan (degradsi) zat pencemar

organik dalam tanah melalui proses metabolismenya. Bakteri hidup subur dalam

tanah, terutama tanah dengan kelembaban yang mencukupi dan mengandung

cukup banyak substrat. Dalam kondisi kelembaban yang cukup, satu gram tanah

terdapat satu juta bakteri (Foth 1984, diacu dalam Notodarmojo 2005). Selain

bakteri di dalam tanah terdapat pula aktivitas hewan tanah, di antaranya cacing

tanah, arthropoda, semut, dan rayap (Notodarmojo 2005). Cacing tanah membuat

rongga yang dangkal dan memakan sisa organik dari tanaman yang mati. Kotoran

cacing tersebut dibuang di sekitar lubang, membuat tanah di sekitarnya menjadi

kaya dengan zat organik. Jaringan lubang yang dibuat cacing tanah ini membuat

tanah mengalami aerasi, membuat tanah menjadi aerobik dan mempermudah

infiltrasi air hujan. Demikian pula halnya dengan arthropoda, semut, dan rayap

memakan sisa organik dan membuat rongga dalam tanah.

Tanah dan air tanah sebagai komponen lingkungan yang merupakan

sumberdaya alam adalah sama pentingnya bagi manusia. Mutu tanah sangat

ditentukan oleh tersedia atau tidaknya sumberdaya air yang bermutu baik, dalam

arti bukan air yang terkontaminasi zat atau bahan mencemar. Mutu lahan sangat

ditentukan oleh keadaan kontaminan tanah yang berasal dari berbagai sumber.

OTA (Office of Technology Assesment, United States of America) (1984)

membagi sumber kontaminan air tanah dalam 6 kategori : (1) sumber yang

berasal dari tempat atau kegiatan yang dirancang untuk membuang dan

mengalirkan, contoh tanki septictank dan kakus, sumur injeksi; (2) sumber yang

berasal dari tempat atau kegiatan yang dirancang untuk mengolah dan membuang

zat atau substansi, contoh: landfill, tempat pembuangan limbah pertambangan,

kolam penampungan, tempat penyimpanan limbah berbahaya dan material

20

radioaktif; (3) sumber yang berasal dari tempat atau kegiatan transportasi zat atau

substansi, contoh: saluran riol atau saluran limbah; (4) sumber yang berasal dari

konsekuensi suatu kegiatan yang terencana, contoh air irigasi yang berlebih dan

mengandung pupuk, termasuk penggunaan pestisida dan pupuk dalam pertanian;

contoh sumur bor untuk produksi atau eksplorasi minyak, gas, dan panas bumi;

(5) sumber yang berasal dari kegiatan yang menyebabkan adanya jalan masuk

bagi air terkontaminasi masuk ke dalam akifer, (6) sumber kontaminan yang

bersifat alamiah atau terjadi secara alamiah, tetapi terjadinya pengaliran atau

penyebarannya disebabkan oleh aktivitas manusia, contoh penggunaan bahan

bakar minyak dan batu bara.

Kandungan kimia mempengaruhi kualitas tanah dan air tanah. Kandungan

kontaminan anorganik yang bersifat asam dapat melarutkan zat-zat yang

membentuk struktur tanah. Pestisida merupakan salah satu kontaminan organik

yang berasal dari aktivitas manusia. Penggunaan pestisida secara besar-besaran

untuk keperluan pertanian telah mencemari tanah dan air tanah. Ada dua hal

penting dari kontaminasi pestisida yang perlu diperhatikan dalam kaitannya

dengan gangguan pada lingkungan dan manusia yaitu (1) umumnya pestisida

mempunyai sifat yang relatif persisten yang menyebabkan terjadinya akumulasi

dalam tanah, dan beramplifikasi pada makhluk hidup melalui rantai makanan;

(2) sifat racun (toksin) pada makhluk hidup, termasuk manusia, yang mengganggu

sistem syaraf, bahkan dapat menimbulkan kanker; selain itu dapat mengakibatkan

kerusakan keanekaragaman hayati dan perubahan komposisi biota.

Kerusakan lahan juga disebabkan karena erosi yang terjadi tidak hanya di

bagian hulu (on site) akan tetapi juga di bagian hilir (off site) dari suatu daerah

aliran sungai (DAS). Kerusakan di hulu menyebabkan penurunan kesuburan tanah

dan berpengaruh terhadap kemunduran produktivitas tanah dan meluasnya lahan

kritis. Di bagian hilir kerusakan diakibatkan oleh sedimentasi yang menyebabkan

pendangkalan saluran air dan sungai dan berakibat tejadinya kekeringan di musim

kemarau. Erosi merupakan faktor utama penyebab ketidakberlanjutan kegiatan

usaha tani di wilayah hulu. Erosi yang intensif di lahan pertanian menyebabkan

semakin menurunnya produktivitas usahatani karena hilangnya lapisan tanah

21

bagian atas yang subur dan berakibat tersembul lapisan cadas yang keras (Atmojo

2006).

2.4. Pengendalian Mutu Lahan Kering

Dari hasil studi kepustakaan diketahui bahwa pengendalian mutu lahan

kering sangat penting agar tetap berfungsi dan berproduksi dengan baik, Karena

itu diperlukan upaya pengelolaan atau konversi lahan yang benar-benar efektif,

bukan saja oleh pemerintah dan masyarakat tetapi juga oleh pihak swasta dan

lembaga sosial masyarakat. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006

mengisyaratkan pentingnya pengembangan sistem penyuluhan pertanian di

seluruh daerah di Indonesia. Kebijakan penting dikembangkan sesuai dengan

situasi dan kondisi daerah berdasarkan prinsip-prinsip otonomi daerah.

2.5. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan yang

menitikberatkan pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mengarah pada

kemandirian masyarakat, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan (Hikmat 2001).

Dalam UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bahwa kemandirian dan keberdayaan

masyarakat merupakan prasyarat untuk menumbuhkan kemampuan masyarakat

sebagai pelaku dalam pengelolaan lingkungan hidup bersama dengan pemerintah

dengan pelaku pembangunan lainnya. Pemberdayaan adalah bagian dari

paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek

yang prinsipil dari manusia dan lingkungannya yakni mulai dari aspek intelektual

(sumber daya manusia), aspek material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial.

Aspek-aspek tersebut bisa jadi dikembangkan menjadi aspek sosial-budaya,

ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan. Menurut McArdle (1989)

pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang

secara konsekuen melaksanakan keputusan, orang-orang yang telah mencapai

tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan

keharusan untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi

pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan

mereka tanpa bergantung pertolongan dari hubungan eksternal. Namun, bukan

hanya untuk mencapai tujuannya yang penting, akan tetapi lebih pada makna

22

pentingnya proses dalam pengambilan keputusan. Sedangkan menurut Friedmann

(1992) bahwa proses pemberdayaan adalah upaya menjadikan suasana

kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural baik

di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional maupun

bidang politik, ekonomi dan lain-lain. Adapun proses pemberdayaan mengandung

dua kecendrungan di antaranya yaitu: (1) menekankan pada proses pemberian atau

mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat

agar individu menjadi lebih berdaya; (2) kemampuan individu untuk

mengendalikan lingkungannya, adalah suatu proses pemahaman situasi yang

sedang terjadi sehubungan dengan politik, ekonomi dan sosial yang tidak dapat

dipaksakan dari luar.

Pemberdayaan masyarakat dipengaruhi pula oleh faktor sosial, politik dan

psikologi. Konsep pemberdayaan masyarakat ini mencerminkan paradigma baru

dalam pembangunan. Upaya pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan

harkat dan martabat lapisan masyarakat yang kondisinya sekarang tidak mampu

untuk melepaskan diri dari perangkap ketidakmampuan dan keterbelakangan.

Untuk itu perlunya melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan

pengambilan keputusan dalam kegiatan pembangunan dan pemberdayaan sangat

penting. Alasan utama pelibatan masyarakat menurut Uphoff (1992) ada tiga

yaitu: (1) sebagai langkah awal mempersiapkan masyarakat untuk berpartisipasi

dan merupakan suatu cara untuk menumbuhkan rasa memiliki dan rasa tanggung

jawab masyarakat terhadap program pembangunan yang dilaksanakan, (2) sebagai

alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan potensi dan sikap

masyarakat setempat; (3) masyarakat mempunyai hak untuk memberikan

pemikirannya dalam menentukan program-program yang akan dilaksanakan di

wilayah mereka (Uphoff 1992, diacu dalam Sumarjo dan Saharudin 2004).

Upaya-upayan pemberdayaan tidak hanya terpusat pada individu-individu

masyarakat, tetapi juga pendukungnya misalnya peraturan, nilai-nilai modern,

kerja keras, hemat, keterbukaan, rasa tanggung jawab dan lain sebagainya.

Pemberdayaan masyarakat adalah kemampuan setiap individu untuk terlibat dan

berperan dalam pembangunan, dengan demikian masyarakat berhak dan wajib

menyumbangkan potensinya dalam pembangunan, sekecil dan selemah apapun

23

kualitas sumberdaya seseorang bisa diberdayakan dalam pembangunan di

daerahnya.

Untuk itu, terkait dengan keberhasilan suatu program dalam suatu

masyarakat tidak terlepas dengan keadaan sosial di dalam masyarakat tersebut.

Hal ini sejalan dengan pendapat Blackshaw (2004) bahwa modal sosial memiliki

empat dimensi diantaranya yaitu: (1) integrasi, berupa ikatan-ikatan antara

kekerabatan, agama dan etnik; (2) pertalian, ikatan dengan komunitas lain di luar

komunitas asal; (3) integritas organisasional, kemampuan dan keeftifan institusi

negara menjalankan fungsinya; (4) sinergi, relasi antara pimpinan dan institusi

pemerintahan dengan komunitas. Fokus perhatian adalah apakah negara

memberikan ruang gerak yang luas atau tidak bagi partisipasi warganya.

Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang merupakan

institusional incentive dan menjadi fasilitator untuk membangun hubungan antar

kelembagaan di tingkat komunitas.

Bobo (2003) menyatakan bahwa pengembangan kualitas SDM perlu

secara terus menerus dilakukan sebagai alat efektif pada masa mendatang dalam

mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sekaligus memeratakannya.

Terutama pada lapisan manajemen atau keterampilan menengah yang paling

dibutuhkan di berbagai sektor perekonomian dan yang memberikan imbalan pada

pekerjaan secara memadai. Selain itu juga pekerja berketerampilan menengah

akan dapat menjembatani pekerja berketerampilan tinggi dengan pekerjaan yang

tidak berketerampilan dan sekaligus memudahkan pengadaaan transformasi dari

pekerjaan tidak berketerampilan menjadi pekerja berketerampilan menengah.

Untuk dapat menciptakan hal tersebut perlu adanya kerjasama kemitraan antara

pemerintah dengan LSM, perguruan tinggi dan ormas sebagai katalis

pembangunan, dalam upaya mendapatkan dan melibatkan masyarakat dengan

dunia usaha. Selanjutnya tindakan yang perlu diambil untuk pengembangan

ekonomi masyarakat adalah dengan: (1) mengadakan pendekatan integral

mencakup isu sosial, lingkungan dan ekonomi; (2) perancangan strategi dengan

melibatkan berbagai pihak terkait terutama tokoh masyarakat; (3) komitmen,

kredibilitas dan kemampuan pemimpin lokal untuk menyatukan seluruh

24

stakeholder; (4) kapasitas manajemen dari Tim Pengembangan Ekonomi Lokal;

(5) dukungan politik, keuangan dan teknis yang mendukung (Syaukat et al.2004).

Hasil kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Fernandez

(2005) mencapai lebih dari 1,5 juta masyarakat miskin di India, yang berbasis

afinitas (affinity) atau ikatan anggota kelompok yang berbasis pada saling

percaya, tidak eksploitatif, saling mendukung dan saling cinta-kasih di antara

mereka. Atas dasar afinitas inilah kelompok masyarakat dibangun dan

diberdayakan. Pada awal kegiatannya, tahun 1984, Fernandez (2005) menyebut

kelompok ini sebagai kelompok pengelola kredit (credit management groups)

yang memfokuskan pada pengelolaan kegiatan simpan pinjam, bukan kelompok

yang berfokus memberi kredit.

Keberadaan kelompok tersebut bermula dari kekecewaan sejumlah

anggota koperasi di India yang mengalami krisis kepemimpinan dan manajemen,

karena koperasi tersebut dikelola oleh kalangan elit masyarakat yang tidak bisa

menyatu dengan anggota dari masyarakat kalangan bawah. Lebih dari 100 orang

anggota koperasi mendatangi Fernandez (2005) untuk mengembalikan pinjaman

mereka kepadanya karena tidak percaya lagi kepada pengurus koperasi mereka.

Fernandez (2005) menolak menerima pengembalian pinjaman tersebut karena ia

tidak memberi pinjaman tersebut. Ia menyarankan dan membimbing mereka agar

membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 10 sampai 15 orang yang

saling percaya, saling mendukung dan memiliki saling cinta kasih (tidak saling

eksploitatif) di antara mereka dan mengembalikan pinjaman tersebut pada

kelompok yang mereka bentuk sendiri.

Lambat laun kelompok afinitas ini berkembang dan pada tahun 1986-1987

Myrada mendapat kontrak kerjasama dari National Bank for Agriculture and

Rural Development (NABARD) India untuk menumbuhkembangkan kelompok

pengelola kredit (credit management groups). Pada tahun 1987–1992 beberapa

studi terhadap kinerja kelompok afinitas telah dilakukan oleh NABARD

menunjukkan bahwa strategi pengelolaan kredit yang berbasis kelompok afinitas

berjalan efektif. Saat ini Fernandez (2005) telah menjalin kerjasama dengan

organisasi bilateral maupun multirateral di Myanmar, Cambodia, Vietnam,

Bangladesh, dan Indonesia untuk mengembangkan strategi pengembangan

25

kelompok keswadayaan mandiri (self help group) yang berbasis afinitas (affinity).

Pada kasus Fernandez (2005) terdapat prinsip model pemberdayaan yang

dikembangkan adalah diawali bagaimana memfasilitasi pembentukan kelompok

itu berbasis afinitas. Setelah kelompok afinitas terbentuk, diperkuat kapasitasnya

sekitar 12 sampai 18 bulan dengan memberikan sujumlah paket modul pelatihan

penguatan kapasitas (capacity building) yang meliputi: analisis sosial, analisis

sumber kredit lokal, konsep kelompok, pertemuan kelompok, komunikasi, afinitas

kesatuan dalam kelompok), pembangunan visi kelompok, rencana kelompok,

peraturan kelompok, pembukuan kelompok, kepemimpinan, tanggung jawab

anggota kelompok, monitoring & evaluasi partisipatif, pemecahan konflik, proses

pengambilan keputusan, penilaian partisipatif, evaluasi kelompok, analisis

kesetaraan jender, credit plus, federasi kelompok, jejaring kelembagaan dan

penilaian mandiri. Fernandez (2005) tidak akan memfasilitasi kelompok, untuk

mengakses kredit dari luar atau melakukan investasi infrastruktur. Fasilitasi

kegiatan yang bersifat penguatan kapasitas teknis (technical building) akan

dilakukan setelah kelompok kuat secara kelembagaan (Fernandez 2005).

2.5.1. Model Pengembangan Masyarakat

More and Hill (2000) melakukan grounded research tentang model

pengembangan masyarakat (community development) pada tahun 1997-1999

melalui interview langsung, observasi, foto, dan dokumen-dokumen terkait yang

melibatkan 33 praktisi pengembangan masyarakat di 5 negara (Amerika Selatan,

Australia, Canada, Botswana dan Malaysia).

Penelitian tersebut menghasilkan dua model pengembangan masyarakat,

namun tetap saling terhubung. Gambar 2 menunjukkan model yang terefleksi dari

pelaksanaan pengembangan masyarakat yang diteliti. Adapun elemen-elemen

yang diusulkan oleh model tersebut adalah (1) Implicit practice–based theory.

Dalam rangkaian tugasnya, para praktisi pemberdayaan cenderung untuk

mengembangkan pendapat pribadinya dan melakukan “suatu praktek

pemberdayaan” yang dilandasi teori secara implisit yang dikombinasikan dengan

pengalaman lapangan mereka; (2) Para praktisi pengembangan masyarakat harus

berjuang untuk menciptakan ramuan yang tepat yang merupakan penggabungan

26

dari pengetahuan lokal, keterlibatan para ahli dari luar, menerima petunjuk dari

tokoh masyarakat setempat, dan kapan waktu yang tepat untuk mengaplikasikan

pengetahuan mereka untuk kegiatan pengembangan masyarakat. Mereka ditantang

untuk mengetahui kapan dan bagaimana cara yang tepat untuk memasukkan

pengetahuan baru ke dalam masyarakat tersebut, misalnya peraturan pemerintah

atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kemasyarakatan, (3) Dialog dan

kerja bersama masyarakat serta mengamati. Para praktisi pemberdayaan belajar

dengan cara bekerja saling membantu satu dengan lainnya dan juga bekerja

bersama masyarakt setempat, kerja bersama dalam proyek, mengunjungi

masyarakat-masyarakat lainnya, dan mengumpulkan ide-ide dan saran-saran dari

pihak masyarakat yang didampingi, (4) Literature-based theories. Para praktisi

pemberdayaan masyarakat membaca referensi mengenai bisnis, lingkungan, studi

kebijakan, hukum, psikologi, pertanian, dan pendidikan orang dewasa secara luas.

Gabungan dari berbagai teori menjadi pemandu mereka, daripada sekedar teori

tunggal yang diperoleh dari referensi khusus pengembangan masyarakat, (5) Field

experience and practice. Ini merupakan komponen utama dari reflective practice.

Melalui pengalaman dan praktek yang berlangsung, para praktisi pemberdayaan

membantu masyarakat sekaligus membangun teori secara implisit.

Salah satu prinsip dari praktisi pemberdayaan masyarakat adalah percaya

pada masyarakat yang diilustrasikan model 1 pada Gambar 2. Prinsip ini terkait

erat dengan model dua yang diilustrasikan pada Gambar 3 yang menunjukkan ide

bahwa para praktisi harus mempunyai kemampuan bekerja dalam garis kontinum

mulai dari mengkolaborasikan pengetahuan lokal setempat sampai mampu

bekerja sama dengan tenaga ahli dari pihak luar, tergantung situasinya. Garis

kontinum tersebut meliputi rangkaian: (1) menerapkan pengetahuan tenaga ahli;

(2) mengimpor informasi yang berguna; (3) memperoleh informasi dari

masyarakat; dan (4) berkolaborasi dengan pengetahuan lokal. Poin-poin ini tidak

didesain untuk menjadi satu-satunya pilihan yang mungkin dibuat oleh para

praktisi; para praktisi boleh saja mengubah posisi poin-poin tersebut sesuai

dengan perubahan lingkungan dan kebutuhan yang diperlukan.

Di Amerika Utara, para praktisi pengembangan masyarakat lebih suka

menggunakan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up approach) dan

27

Kepercayaan

Terhadap

Masyarakat

Praktek Lapang

-Berdasarkan

Teori (implicit)

Literatur yang

Mempengaruhi

Teori

Pengalaman dan

Praktek

Lapangan

Refleksi Refleksi

Refleksi

Refleksi

Berbicara,

Bekerja

Bersama,

Mengamati

menggabungkannya dengan ilmu pengetahuan lokal setempat. Di negara-negara

lainnya banyak faktor yang mengintervensi, di antaranya adalah rendahnya

kemampuan teknologi dan sumber daya, kebutuhan asli masyarakat, rendahnya

tingkat pendidikan, dan meluasnya kemiskinan.

Gambar 2 Pemberdayaan masyarakat

Banyak praktisi di negara-negara seperti Malaysia dan Botswana bersandar

pada acuan pengetahuan lokal setempat, namun demikian terkadang juga ditemui

kemungkinan penggunaan tenaga ahli dari pihak luar. Mereka membuat pilihan

terbaik berdasarkan sumber daya yang tersedia, orang-orang, dan konteks serta

pemunculan yang disengaja dalam pilihan mereka untuk melakukan pendekatan

dan mengenalkan tenaga ahli dari pihak luar kepada masyarakat.

- - - -# - - - - - - - - - - - - - - - - - - #- - - - - - - - - - - - #- - - - - - - - - - - - - - - -#- - - -

Gambar 3 Rangkaian situasional

Menggunakan tenaga ahli

dari pihak luar

Memunculkan informasi

Berkolaborasi dengan

pengetahuan lokal setempat

Mengimpor informasi yang

berguna

28

Rangkaian situasional menggambarkan keputusan utama yang diambil

oleh para praktisi pengembangan masyarakat ketika berhadapan dengan situasi

lingkungan tertentu dan pihak-pihak yang terlibat. Keputusan-keputusan ini

dipengaruhi dengan kuat oleh aspek-aspek yang digambarkan oleh Gambar 3:

implicit practice-based theories, beliefs about community, referensi terkini, dan

komunikasi mereka dengan praktisi-praktisi lainnya. Apakah memilih untuk

melakukan pendekatan proyek dengan menggunakan tenaga ahli dari pihak luar,

dengan mempekerjakan secara eksklusif dengan pengetahuan lokal setempat, atau

posisi tertentu yang terletak di tengah-tengah poin akhir rangkaian yang

merupakan keputusan penting di mana hal ini bisa menentukan irama keterlibatan

para pratisi dengan masyarakat.

2.5.2. Modal Sosial

Modal secara umum dikenal sebagai modal uang atau barang yang

digunakan dalam proses produksi, dan dapat diinvestasikan dengan mengharapkan

keuntungan dari penggunaanya. Oleh karenanya konsep modal ini sejak awal

hanya dikenal dua jenis, yaitu modal finansial dan modal fisikal. Light (2004)

melihat bahwa konsep modal ini dapat diperluas bila modal didefinsikan sebagai

suatu simpanan yang berharga yang memfasilitasi tindakan. Dengan mengutip

Bordieu (1986), Light (2004) menjelaskan tambahan tiga jenis modal lainnya,

yaitu modal insani, modal budaya, dan modal sosial. Ketiga jenis modal

tambahan ini, tetap sejalan dengan konsep investasi, yaitu jenis modal tersebut

dapat diciptakan dan dikembangkan untuk dapat memetik keuntungan darinya.

Bila modal insani terletak pada pengetahuan dan keterampilan individual, modal

budaya terletak pada pengetahuan budaya yang memberikan manfaat berupa

keunggulan sosial ekonomi, sedangkan modal sosial dimaknai sebagai hubungan-

hubungan dari kepercayaan yang tertanam dalam jaringan sosial. Gaag (2005)

melihat bahwa konsep modal sosial merupakan permodelan kegiatan ekonomi

terhadap pembentukan dan pemeliharaan hubungan-hubungan.

Penerapan methapora modal dalam kehidupan sosial ini dilihat dari

kenyataan bahwa, tindakan-tindakan diperlukan untuk membentuk dan

memelihara hubungan, yang pada suatu ketika dapat diambil manfaat dari adanya

29

hubungan tersebut. Proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial ini

tentunya dapat dipandang sebagai investasi. Keuntungan yang dapat diperoleh

dari investasi pada hubungan sosial tidak hanya bersifat material seperti

mendapatkan bantuan uang atau barang, tetapi juga material, seperti mendapatkan

dukungan moril ketika ditimpa musibah, kesenangan dari proses interaksi sosial,

ataupun nasehat dari teman. Contoh nyata dari investasi di bidang hubungan

sosial ini bisa dilihat dari seseorang yang memiliki banyak relasi sosial akan lebih

mudah untuk mendapatkan sumber daya yang ia perlukan, misalnya ia dapat

mendapatkan nasehat dan petunjuk untuk melaksanakan sesuatu dari temannya

secara gratis. Seorang pedagang yang memiliki jaringan yang luas dan

mendapatkan kepercayaan dalam jaringan itu, akan mudah untuk mendapatkan

tambahan modal finansial, misalnya dengan mendapatkan barang dagangan dari

pemasok dengan penundaan pembayaran setelah barang tersebut terjual. Karena

sifatnya yang bisa dipupuk (storageable) dan orang yang memilikinya dapat

mengambil keuntungan inilah, yang menjadi argumen. Coleman (1988) bahwa

modal sosial adalah bentuk kapital yang analog dengan modal ekonomi (Coleman

1988, diacu dalam Light 2004). Lebih jauh Gaag (2005) menjelaskan bahwa

hubungan-hubungan sosial ini dapat menjadi simpanan yang berharga (a store of

value) karena melalui hubungan sosial ini memungkinkan seseorang untuk

menggunakan sumber daya yang dimiliki oleh orang lain. Misalnya, seorang

mahasiswa pascasarjana meminjamkan komputernya kepada teman, karena ia

percaya kepada temannya tersebut dan tentunya mengharapkan kebaikannya akan

dibalas pada suatu saat.

Proses transaksi dengan menggunakan modal sosial ini (seseorang

menggunakan sumber daya orang lain melalui hubungan sosial) yang dipandang

oleh Gaag (2005) sebagai pemahaman mendasar dari modal sosial. Proses ini

dimungkinkan dengan adanya proses timbal balik (reciprocity), kepercayaan

(trust), saling melengkapi (complementary), dan adanya norma-norma yang

rnendukung. Jadi dari konsep modal sebagai investasi guna mendapatkan

keuntungan inilah, hubungan-hubungan sosial dan sumber daya yang terdapat

(embeded) di dalamnya dapat dipandang sebagai modal (capital). Karenanya Lin

(2001) menyimpulkan bahwa premis di balik modal sosial adalah sederhana, yaitu

30

investasi dalam hubungan sosial dengan mengharapkan keuntungan dalam suatu

pasar. Methapora pasar ini dapat diterapkan pada berbagai bidang seperti

ekonomi, politik, ketenagakerjaan ataupun masyarakat. Karena dilihat dari

berbagai bidang atau sudut pandang, adalah wajar bila dalam perkembangannya,

pemahaman tentang modal sosial ini menjadi beragam begitu pula

pendefinisiannya (Woolcock 2004; Rohe 2004).

Modal sosial sebenarnya bukanlah sebuah konsep yang baru, makna modal

sosial ini sudah lama dikenal sebagai ikatan yang membuat mekanisme hidup

kemasyarakatan menjadi efektif. Sebagaimana Light (2004) menyebutkan bahwa

makna seperti ini sudah lama dikenal seperti konsep quangxi yang sudah dikenal

sejak zaman China kuno. Konsep quangxi ini mirip seperti apa yang

dimaksudkan oleh para ilmuwan sekarang sebagai modal sosial. Selain itu

sebagai contoh lainnya, ia juga mengutip Hanifan (1920) dan Diani (2001) yang

juga sudah membahas modal sosial. Bila Hanifan menyebut modal sosial yang

mengacu pada dasar penyatuan dari pusat-pusat kemasyarakatan, yang

memungkinkan keefektifan mereka, maka Tocqueville menyebutkan kontribusi

dari asosiasi sukarela terhadap demokrasi Amerika. Pembahasan Tocqueville

inilah yang diangkat oleh Putnam (2001) berkenaan dengan modal sosial. Hal

yang sama dari konsep modal sosial yang dikenal oleh para ilmuwan sekarang,

dan membedakannya dengan konsep modal sosial pada masa lalu, adalah modal

sosial dipandang sebagai suatu kumpulan dari ide-ide yang komplek (a collection

of constructs) (Rohe 2004). Lebih jauh ia menjelaskan bahwa modal sosial ini

paling baik dipandang sebagai sebuah model dari keterhubungan dari ide-ide yang

komplek (a model of linking constructs). Apa yang dimaksudkan dengan linking

constructs ini adalah modal sosial menghubungkan bersama-sama konsep-konsep

seperti pelibatan masyarakat, kepercayaan interpersonal, dan tindakan bersama

yang efektif. Konsep-konsep ini sudah lama menjadi perbincangan di antara para

ahli sosiologi dan perencanaan pembangunan masyarakat. Memandang modal

sosial sebagai linking constructs yang menjadi kebaruan dari konsep modal sosial

dan menjadikannya penting. Meskipun modal sosial dipandang sebagai sesuatu

yang berharga untuk diinvestasikan, tetapi beberapa penulis mengingatkan bahwa

modal sosial juga dapat menimbulkan dampak yang negatif (Gaag 2005; Lin

31

2001; Grootaert 1998). Bentuk-bentuk dampak negatif dari modal sosial misalnya

bersikap jujur dan setia kepada sesama anggota dalam suatu kelompok, tetapi

berlaku sebaliknya terhadap orang di luar kelompok, jaringan dan norma pada

kelompok mafia, norma sosial yang membatasi kemajuan individu dengan

melarang perempuan untuk sekolah, dan lain-lain.

Bila kita melihat konsep modal sosial ini sebagai suatu fenomena alamiah

dari kehidupan manusia, sebagaimana konsep perencanaan di atas maka modal

sosial dapat pula dilihat sebagai ciri alamiah dari manusia sebagai makhluk sosial

yang tidak dapat hidup sendiri; ia membutuhkan orang lain dalam kehidupannya.

Manusia mendapatkan kebutuhannya melalui kehidupan kemasyarakatan di mana

ia hidup, yang memiliki karakter dan norma-norma tertentu. Dalam kehidupan

kemasyarakatan ini, seseorang memupuk jaringan kerja dan kepercayaan dengan

orang lain. Dengan jaringan kerja dan kepercayaan dari orang lain yang ia

dapatkan, maka seseorang akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhannya.

Misalnya, dalam kehidupan masyarakat desa yang masih bersifat tradisional,

mereka terbiasa dengan kegiatan gotong royong dalam musim tanam dan musim

panen. Bila seseorang ikut bergotong royong untuk menanam padi pada sawah

orang lain, maka sekaligus ia akan mendapat kepercayaan dari si pemilik sawah

dan orang-orang yang terlibat dalam gotong royong tersebut, bahwa bila diminta

pertolongan maka ia akan membantu. Kegiatan gotong royong ini tentunya

bersifat timbal balik (reciprocal), dan orang yang terlibat didalamnya sekaligus

pula memupuk aset (sesuatu yang berharga), yaitu norma tolong menolong yang

bersifat timbal balik, dan orang yang memupuknya bisa mendapatkan keuntungan.

Keuntungan yang dapat diterima tidak hanya bersifat material namun juga

imaterial. Keuntungan material adalah seperti bantuan tenaga dalam contoh

gotong royong di atas, sedangkan keuntungan imaterial seperti hubungan

persahabatan, mendapat dukungan moril dan dihibur ketika mendapat musibah,

ataupun setidaknya mendapatkan nasehat atau informasi dari teman. Dalam

kehidupan modem, pentingnya jaringan dan kepercayaan sudah lama diakui dalam

perdagangan, misalnya seperti penerapan multi level marketing. Dalam

kehidupan seseorang sebagai pegawai birokrasi, diakui pula bahwa untuk bisa

naik ke jenjang karir yang lebih tinggi, diperlukan jaringan dan kepercayaan dari

32

lingkaran terdalam kekuasaan. Woolcock et al. (2000) menjelaskan bahwa ide

mendasar dari modal sosial adalah keluarga, teman dan asosiasi yang memiliki

aset penting, sesuatu yang dapat digunakan dalam krisis, dinikmati sebagai milik

sendiri, dan digunakan untuk mendapatkan keuntungan material.

2.5.3. Kemiskinan dan Kesejahteraan Masyarakat

Dalam dunia pekerjaan sosial (social work), kesejahteraan sosial oleh

Baker (1993) diartikan sebagai berikut:“A condition of physical health, emotional

comfort and economic security also the effect of society to help its citizens achieve

that condition. The term is also the use popularly as a synonym for public

assistance or other program that provide for the economic and social service of

the poor”.

Kesejahteraan diartikan sebagai kondisi mengenai kesehatan fisik,

ketenangan emosi atau batin serta ketenangan di bidang ekonomi, juga

kemampuan masyarakat untuk menolong warga dalam mencapai kondisi tertentu

yang dirasakan bersama oleh seluruh warga masyarakat, atau kesejahteraan sosial

mencakup tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai taraf hidup yang

lebih baik. Taraf hidup tidak diukur secara ekonomi dan fisik tetapi aspek sosial,

mental dan kehidupan spiritual.

Menurut Adi (2003), kesejahteraan sosial dapat dikaji dan dicermati dalam

4 golongan: (1) kesejahteraan sebagai suatu keadaan; (2) kesejahteraan sebagai

suatu ilmu; (3) kesejahteraan sebagai suatu kegiatan; dan(4) kesejahteraan sebagai

suatu gerakan. Konsep kesejahteraan yang dipakai di sini adalah konsep

kesejahteraan sebagai suatu keadaan, yaitu keadaan terpenuhinya kebutuhan

pelayanan kesehatan, sanitasi, air bersih, pendidikan yang layak, dan peningkatan

pendapatan untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik.

2.5.4. Life Skill (Kecakapan Hidup)

Mengenai pengertian dari pendidikan life skill atau pendidikan kecakapan

hidup terdapat bermacam-macam pendapat, akan tetapi esensinya tetap sama. Life

skill atau kecakapan hidup adalah sebagai pengetahuan dan kemampuan yang

diperlukan oleh seseorang agar menjadi independen dalam kehidupan. Fadjar

(2002) mengatakan bahwa life skill adalah kecakapan yang dibutuhkan untuk

33

bekerja selain kecakapan dalam bidang akademik. Broad Base Education

Kementerian Departemen Pendidikan Nasional mendefinisikan bahwa life skill

adalah kecakapan yang dimiliki oleh seseorang agar berani dan mau menghadapi

segala permasalahan kehidupan dengan aktif dan proaktif sehingga dapat

menyelesaikannya. Slamet (2005) mendefinisikan life skill adalah kemampuan,

kesanggupan dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk

menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. Kecakapan tersebut

mencakup segala aspek sikap perilaku manusia sebagai bekal untuk menjalankan

kehidupannya. World Health Organization (WHO) mendefinisikan life skill

sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri dan berperilaku positif yang

memungkinkan seseorang untuk menghadapi tantangan sehari-hari.

Kecakapan hidup sebagai inti dari kompetensi dan hasil pendidikan adalah

kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan

kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan

kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya

(Depdiknas 2006).

Kecakapan hidup terdiri dari kecakapan hidup yang bersifat umum

(general life skills) dan kecakapan hidup yang bersifat khusus (specific life skills).

Menurut Fadjar (2003) kecakapan hidup yang bersifat umum terdiri dari

kecakapan personal dan sosial, sedangkan kecakapan hidup yang bersifat spesifik

terdiri dari kecakapan akademik dan vokasional. Kecakapan hidup tersebut sesuai

dengan empat pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO.

Empat pilar yang dicanangkan UNESCO apabila diterapkan dengan baik

di sekolah-sekolah akan mampu membekali siswa dengan kecakapan hidup yang

dibutuhkan siswa untuk bekal hidup di masyarakat. Empat pilar pendidikan

tersebut adalah belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk

berbuat atau bekerja (learning to do), belajar untuk menjadi jati diri (learning to

be) dan belajar untuk hidup bermasyarakat (learning to live together). Empat pilar

pendidikan tersebut merupakan prinsip yang perlu dijadikan landasan dan

pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah-sekolah, yang ditujukan

untuk menghasilkan generasi-generasi penerus bangsa sesuai dengan harapan

masyarakat dan bangsa Indonesia.

34

Untuk mencapai empat pilar pendidikan yang disertai kepemilikan bekal

kecakapan hidup (life skills) yang sangat dibutuhkan, seyogyanya siswa terlibat

aktif dalam pembelajaran yang mempraktekkan berinteraksi dengan lingkungan

fisik dan sosial, agar siswa memahami pengetahuan yang terkait dengan

lingkungan sekitarnya (learning to know). Proses pembelajaran tersebut bertujuan

memfasilitasi siswa dalam melakukan perbuatan atas dasar pengetahuan yang

dipahaminya untuk memperkaya pengalaman belajar (learning to do). Siswa

diharapkan dapat membangun kepercayaan dirinya supaya dapat menjadi jati

dirinya sendiri (learning to be); dan sekaligus juga berinteraksi dengan berbagai

individu dan kelompok yang beraneka ragam, yang akan membentuk

kepribadiaanya, memahami kemajemukan, dan melahirkan sikap toleran terhadap

keanekaragaman dan perbedaan yang dimiliki masing-masing individu (learning

to live together) sesuai dengan haknya masing-masing.

Konsep kecakapan hidup (life skill) dirumuskan secara beragam, sesuai

dengan landasan filosofis penyusunnya atau tergantung pada sudut pandang dan

tingkat kepentingan masing-masing. Namun demikian kesemuanya memiliki

kesamaan di antaranya yaitu bahwa kecakapan hidup adalah merupakan urutan

pilihan yang dibuat seseorang dalam bidang keterampilannya yang spesifik.

Secara konseptual, kecakapan hidup adalah urutan pilihan yang memperkuat

kehidupan psikologis yang dibuat seseorang dalam bidang keterampilan yang

spesifik.

Sumber lain memaknai kecakapan hidup sebagai pengetahuan yang luas

dan interaksi kecakapan yang diperkirakan merupakan kebutuhan esensial bagi

manusia dewasa untuk dapat hidup secara mandiri (Brolin diacu dalam Goodship

2002). Atau kecakapan hidup merupakan pedoman pribadi untuk tubuh manusia

yang membantu anak belajar bagaimana menjaga kesehatan tubuh, tumbuh

sebagai individu, bekerja dengan baik, membuat keputusan logis, menjaga mereka

sendiri ketika diperlukan dan menggapai tujuan hidup (Davis 2000). Kecakapan

hidup juga dimaknai sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani

menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan,

kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga

akhirnya mampu mengatasinya.

35

Atas dasar batasan-batasan tersebut pendidikan berorientasi kecakapan

hidup diartikan sebagai pendidikan untuk meningkatkan kemampuan,

kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjaga

kelangsungan hidup dan pengembangan dirinya (Depdiknas. 2002). Kemampuan

adalah realisasi dari kecakapan hidup yang bersifat kognitif (mengetahui cara

mengerjakan), kesanggupan adalah realisasi dari kecakapan hidup yang lebih

bersifat afektif (kemauan atau dorongan untuk berperilaku), dan keterampilan

adalah realisasi dari kecakapan hidup yang bersifat psikomotorik (tindakan yang

dilakukan atas dasar pengetahuan dan kemauan). Kecakapan hidup itu menunjuk

kepada kegiatan dalam (inner-games) dan kegiatan luar (outer-games). Sebagai

kegiatan dalam, kecakapan hidup berkaitan dengan apa yang sedang berlangsung

dalam diri seseorang, yaitu bagaimana seseorang berpikir atau keterampilan

berpikir, sedangkan sebagai kegiatan luar berkaitan dengan apa yang sedang

berlangsung di luar diri seseorang, yaitu bagaimana ia bertindak atau keterampilan

bertindak. Menurut pandangan ini, inti dari kecakapan hidup adalah kecakapan

berpikir dan bertindak. Pandangan ini tampaknya memperkuat rumusan

kecakapan hidup yang dikemukakan oleh Depdiknas, karena aspek kemampuan

dan kesanggupan tercakup dalam keterampilan berpikir, sementara aspek

keterampilan ada dalam keterampilan bertindak.

Pendidikan berorientasi kecakapan hidup seyogyanya dilaksanakan untuk

menangani masalah-masalah spesifik atau khusus, maka dalam penggunaannya

untuk pembelajaran di sekolah hendaknya selalu memperhatikan kekhususan yang

akan dikembangkan. Hal ini perlu diperhatikan karena akan berkaitan dengan

masalah pengelompokkan kecakapan hidup. Salah satu pengelompokan

kecakapan hidup dikemukakan oleh Depdiknas, bahwa kecakapan hidup ada yang

bersifat generik (generic life skills atau GLS) dan ada kecakapan hidup yang

bersifat spesifik (spesific life skills atau SLS).

Kecakapan hidup generik adalah kecakapan yang harus dimiliki oleh

setiap manusia yang terdiri atas kecakapan personal (personal skill) dan

kecakapan sosial (social skill). Kecakapan personal mencakup kesadaran diri atau

memahami diri atau potensi diri, serta kecakapan berpikir rasional. Kesadaran diri

merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota

36

masyarakat dan warga negara, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan

kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam

meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan

lingkungannya. Kecakapan berpikir rasional mencakup kecakapan: (1) menggali

dan menemukan informasi; (2) mengolah informasi dan mengambil keputusan;

dan (3) memecahkan masalah secara kreatif. Kecakapan sosial atau kecakapan

antar pribadi (inter-personal skill) meliputi kecakapan berkomunikasi dengan

empati dan kecakapan bekerja-sama (collaboration skill). Pada kecakapan

komunikasi seperti empati, sikap penuh pengertian, dan seni berkomunikasi dua

arah perlu ditekankan, karena berkomunikasi bukan sekedar menyampaikan

pesan, tetapi isi dan sampainya pesan disertai dengan kesan baik yang akan

menumbuhkan hubungan harmonis.

Kecakapan komunikasi sangat diperlukan, karena manusia berinteraksi

dengan manusia lain melalui komunikasi, baik secara lisan, tertulis, tergambar,

maupun melalui kesan. Kecakapan komunikasi terdiri dari dua bagian, yaitu

verbal dan non-verbal. Komunikasi verbal meliputi kecakapan mendengarkan

berbicara, dan membaca-menulis. Komunikasi non-verbal meliputi pemahaman

atas mimik, bahasa tubuh, dan tampilan atau peragaan. Dengan demikian, dalam

kecakapan komunikasi tercakup kecakapan mendengarkan, berbicara, dan

kecakapan menulis pendapat dan gagasan. Sementara itu, dalam kecakapan

bekerjasama tercakup kecakapan sebagai teman kerja yang menyenangkan dan

sebagai pemimpin yang berempati. Sebagai teman yang menyenangkan, seseorang

harus mampu membangun iklim yang kondusif dalam bersosialisasi di antaranya

menghargai orang lain secara positif, membangun hubungan dengan orang lain

dan sikap terbuka. Dalam kepemimpinan tercakup aspek tanggungjawab,

sosialisasi, teguh, berani, mampu mempengaruhi dan mengarahkan orang lain.

Kecakapan hidup spesifik adalah kecakapan yang diperlukan seseorang

untuk menghadapi problema bidang khusus seperti pekerjan atau kegiatan dalam

keadaan tertentu, yang terdiri atas kecakapan akademik dan vokasional.

Kecakapan akademik mencakup antara lain kecakapan mengidentifikasi variabel

dan menjelaskan hubungannya dengan suatu fenomena tertentu, merumuskan

37

hipotesis terhadap suatu rangkaian kejadian, serta merancang dan melaksanakan

penelitian untuk membuktikan suatu gagasan atau keingintahuan.

Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan atau kegiatan

tertentu yang terdapat di masyarakat dan lebih memerlukan keterampilan motorik.

Dalam kecakapan vokasional tercakup kecakapan vokasional dasar atau

pravokasional yang meliputi kecakapan menggunakan alat kerja, alat ukur,

memilih bahan, merancang produk; dan kecakapan vokasional penunjang yang

meliputi kecenderungan untuk bertindak dan sikap kewirausahaan. Ini tidak

berarti siswa Sekolah Menengah Pertama harus dibekali dengan jenis-jenis

keterampilan kerja tetapi memberi kesempatan mengembangkan wawasan kerja,

etos kerja dan aktivitas produktif.

Perlu disadari, bahwa di dalam kehidupan nyata, antara GLS dengan SLS,

yaitu antara kecakapan memahami diri, berpikir rasional, kecakapan sosial,

akademik, dengan kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah-pisah,

atau tidak terpisah secara eksklusif. Artinya, dalam kehidupan nyata seluruh

kecakapan tersebut saling melengkapi, sehingga menyatu menjadi tindakan

individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional, dan intelektual. Derajat

kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh derajat kualitas

berbagai aspek pendukung tersebut. Pendeskripsian secara kategorial bertujuan

mempermudah dalam perumusan indikator yang dapat dijadikan kriteria

keberhasilan suatu program yang dikembangkan; atau lebih jauh untuk

kepentingan studi dan kegunaan praktis.

Inti kecakapan hidup seperti dikemukakan di atas secara tegas adalah

kemampuan, kesanggupan dan keterampilan, yang jika dikelompokkan secara

lain aspek kemampuan dan kesanggupan tercakup dalam kecakapan berpikir,

sedangkan keterampilan tercakup dalam aspek kecakapan bertindak. Dari uraian

di atas dapa disarikan bahwa kecakapan berpikir meliputi 12 ranah berpikir

yaitu:(1) tanggung jawab untuk memilih (memilih atas keinginan sendiri tanpa

dipengaruhi orang lain, (2) pemahaman hubungan antara cara berpikir, merasa dan

bertindak, (3) menganalisis perasaan-perasaan sendiri yaitu berusaha memahami

atau mengerti perasaan yang sedang dialaminya, (4) mempergunakan self-talk

yang menunjang dia bertanya pada dirinya sendiri tentang masalah yang sedang

38

dialaminya, (5) memilih aturan-aturan pribadi yang realistis atau membuat aturan

yang dapat dilaksanakan dan masuk akal, misalnya : tidak usah selalu menjadi

nomor satu di kelas, (6) mengamati secara akurat, (7) menjelaskan sebab-sebab

secara akurat, (8) membuat prediksi yang realistis atau membuat dugaan

berdasarkan alasan yang dapat diterima akal, (9) menetapkan tujuan-tujuan

yang realistis, (10) menggunakan keterampilan-keterampilan visual, contoh:

membuat bagan untuk memberi penjelasan, (11) membuat keputusan yang

realistis,(12) mencegah dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Sementara itu

kecakapan bertindak meliputi : (1) pesan verbal, (2) pesan suara, (3) pesan melalui

gerak tubuh, (4) pesan melalui sentuhan, dan (5) pesan melalui tindakan, misalnya

mengirim bunga dan sebagainya.

Perlu ditegaskan kembali bahwa setiap kecakapan hidup mengandung

kemampuan dan kesanggupan (kecakapan berpikir) serta keterampilan (kecakapan

bertindak). Sebagai contoh, kesadaran sebagai mahluk Tuhan mengandung

kesanggupan dan kemampuan mengakui dan meyakini diri sebagai ciptaan Tuhan

serta mulai melakukan tindakan seperti berdoa atau sembahyang.

Dalam kecakapan berkomunikasi, dituntut pengembangan kemampuan

berpikir, merasa dan bertindak. Misalnya, ketika siswa merasa senang terhadap

seseorang maka siswa harus berpikir bagaimana seharusnya bertindak agar

hubungannya dengan teman tersebut menjadi ramah dan berkembang menjadi

lebih baik.

Berdasarkan contoh-contoh di atas dapat dikemukan bahwa tidak setiap

kecakapan hidup selalu mengandung 12 jenis ranah kecakapan berpikir

melainkan mungkin hanya satu atau dua jenis ranah berpikir dengan satu atau dua

jenis kecakapan bertindak. Inti kecakapan hidup siswa SMP adalah kecakapan

berpikir dan bertindak atau kemampuan, kesanggupan dan keterampilan yang

seyogyanya berkembang pada siswa SMP. Tingkat perkembangan siswa SMP

berada pada tahap ambivalen yaitu kondisi dimana siswa merasa bimbang atau

ragu dalam membuat keputusan karena pada satu sisi masih terikat atau

tergantung pada orang tua atau dewasa sementara pada sisi lain ingin

menunjukkan dirinya sendiri. Implikasinya guru harus hati-hati dalam melakukan

pembelajaran agar kecenderungan ke arah perkembangan negatif dapat dihindari.

39

2.5.5. Strategi Coping dan Jenisnya

Strategi coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun

perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisasikan

suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain strategi

coping merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk menangani dan

menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang

dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna

memperoleh rasa aman dalam dirinya.

Para ahli menggolongkan dua strategi coping yang lazim digunakan oleh

individu, yaitu: (1) problem-solving focused coping, di mana individu secara

aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi

yang menimbulkan stres; dan (2) emotion-focused coping, di mana individu

melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan

diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang

penuh tekanan. Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan

kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam

berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari (Lazarus dan Susan 1985).

Faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering

digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauhmana tingkat

stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Contoh, seseorang

cenderung menggunakan problem-solving focused coping dalam menghadapai

masalah-masalah yang menurutnya bisa dikontrol seperti masalah yang

berhubungan dengan sekolah atau pekerjaan; sebaliknya ia akan cenderung

menggunakan strategi emotion-focused coping ketika dihadapkan pada masalah-

masalah yang menurutnya sulit dikontrol seperti masalah-masalah yang

berhubungan dengan penyakit yang tergolong berat seperti kanker atau acquired

immunodeficiency syndrome (AIDS).

Hampir senada dengan penggolongan jenis coping seperti dikemukakan di

atas, dalam literatur tentang coping juga dikenal dua strategi coping ,yaitu active

& avoidant coping strategy sementara Lazarus (1987) mengkategorikan menjadi

Direct Action & Palliative. Active coping merupakan strategi yang dirancang

untuk mengubah cara pandang individu terhadap sumber stres, sementara

40

avoidant coping merupakan strategi yang dilakukan individu untuk menjauhkan

diri dari sumber stres dengan cara melakukan suatu aktivitas atau menarik diri dari

suatu kegiatan atau situasi yang berpotensi menimbulkan stres. Apa yang

dilakukan individu pada avoidant coping strategy sebenarnya merupakan suatu

bentuk mekanisme pertahanan diri yang sebenarnya dapat menimbulkan dampak

negatif bagi individu karena cepat atau lambat permasalahan yang ada haruslah

diselesaikan oleh yang bersangkutan. Permasalahan akan semakin menjadi lebih

rumit jika mekanisme pertahanan diri tersebut justru menuntut kebutuhan energi

dan menambah kepekaan terhadap ancaman.

Pengertian coping, menurut Friendman (1992), adalah perilaku yang

terlihat dan tersembunyi yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan

ketegangan psikologi dalam kondisi yang penuh stres (Friendman 1992). Lazarus

dan Susan (1984) mengemukakan secara lebih spesifik yaitu bahwa coping

adalah usaha kognitif dan tingkah laku untuk mengatur kebutuhan eksternal atau

internal dan dinilai dapat mengurangi atau melampaui sumberdaya yang dimiliki

seseorang. Coping sebagai respon terhadap ketegangan eksternal berfungsi untuk

mencegah, menghindari, atau mengendalikan tekanan emosional. Dalam

pengertian lebih luas Monat dan Richard (1977) mengemukakan bahwa proses

koping adalah usaha mengatasi kondisi bahaya, ancaman atau tantangan dan

tuntutan lingkungan harus memberikan solusi untuk berperilaku yang harus

disesuaikan untuk dapat menghadapi stres. Menurut Stuart dan Sundeen (1991),

mekanisme coping adalah berbagai usaha yang dilakukan individu untuk

menanggulangi stres yang dihadapi. Menurut Lazarus dan Susan (1984) keadan

stres yang dialami seseorang akan menimbulkan efek yang kurang

menguntungkan baik secara fisiologis maupun psikologis. Individu tidak akan

membiarkan efek negatif ini terus terjadi, ia akan melakukan suatu tindakan untuk

mengatasi atau menangani hal ini. Tindakan yang diambil individu ini di

namakan koping. Mekanisme coping pada hakekatnya dipengaruhi oleh latar

belakang budaya pengalaman dalam menghadapi masalah, faktor lingkungan

kepribadian, konsep diri individu, faktor sosial dan lain-lain. Semua aspek

tersebut akan sangat berpengaruh pada kemampuan individu, faktor sosial dan

lain-lain dalam menyelesaikan masalah.

41

Menurut John et al. (1998), ada dua jenis mekanisme koping yang terjadi

pada individu yaitu koping yang berpusat pada masalah (problem foused form of

coping mechanism) dan koping yang berpusat pada emosi (emotion focused of

coping). Coping yang berpusat pada masalah diarahkan untuk mengurangi

tuntutan situasi yang menimbulkan stres atau mengembangkan sumberdaya atau

mengatasinya. Mekanisme coping ini bertujuan untuk menghadapi tuntutan

secara sadar, realistis, objektif, dan rasional. Menurut Stuart dan Sundeen (1991),

hal-hal yang berhubungan dengan mekanisme coping yang berpusat pada masalah

adalah: (1) koping konfrontasi adalah mengambarkan usaha-usaha untuk

mengubah keadaan atau masalah secara agresif, juga menggambarkan tingkat

kemarahan serta pengambilan resiko; (2) isolasi, individu berusaha menarik diri

dari lingkungan atau tidak mau tahu dengan masalah-masalah yang dihadapi;

(3) kompromi, menggambarkan usaha untuk mengubah keadaan secara berhati-

hati, meminta bantuan dari orang lain dan kerja sama dengan orang lain.

Menurut Stuart dan Sundeen (1995), jenis mekanisme coping yang

berpusat pada emosi adalah: (1) denial, menolak masalah dengan mengatakan hal

tersebut tidak terjadi pada dirinya; (2) rasionalisasi, menggunakan alasan yang

dapat diterima oleh akal dan diterima oleh orang lain untuk menutupi

ketidakmampuan dirinya; dengan rasionalisasi kita tidak hanya dapat

membenarkan apa yang kita lakukan, tetapi kita juga merasa sudah selayaknya

berbuat demikian menurut keadilan. (3) kompensasi, menunjukan tingkah laku

untuk menutupi ketidakmampuan dengan menonjolkan sifat yang baik, atau

karena frustasi dalam suatu bidang maka dicari kepuasan secara berlebihan

dalam bidang lain; kompensasi timbul karena adanya perasaan kurang mampu;

(4) represi, yaitu dengan melupakan masa-masa yang tidak menyenangkan dari

ingatan dengan hanya mengingat waktu-waktu yang menyenangkan; (5) regresi,

yaitu sikap seseorang yang kembali ke masa lalu atau bersikap seperti anak kecil

yang dalam regresi secara tidak sadar manusia mencoba berperilaku pada masa

lalu; (6) sublimasi, yaitu seseorang mengekspresikan atau menyalurkan perasaan,

bakat atau kemampuan dengan bersikap positif; (7) identifikasi, yaitu meniru cara

berfikir, ide dan tingkah laku orang lain; pada umumnya seseorang manusia ini

mengidentifikasikan dirinya dnegan seseorang yang mirip sekali dengan dirinya;

42

(8) proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain tentang kesulitannya sendiri atau

melampiaskan kepada orang lain; (9) konversi, yaitu mentransfer atau

memindahkan reaksi psikologi ke gejala fisik; (10) displacement, yaitu reaksi

emosi terhadap seseorang atau suatu benda yang diarahkan kepada seseorang atau

suatu benda lain; (11) reaksi formasi, yaitu membentuk reaksi baru yang bertolak

belakang atau tidak sesuai dengan perasaan sendiri.

Menurut Lazarus dan Susan (1984), secara umum strategi coping dapat

dibagi menjadi dua yaitu coping berfokus pada masalah dan coping berfokus pada

emosi. Coping berfokus pada masalah, individu melakukan suatu tindakan yang

diarahkan kepada pemecahan masalah. Individu akan cenderung menggunakan

perilaku ini bila dirinya menilai masalah yang dihadapi dapat dikontrol dan

diselesaikan. Adapun yang termasuk dalam jenis coping ini adalah: (1) planful

problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha tertentu yang

bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti dengan pendekatan analitis dalam

menyelesaikan masalah; (2) confrontative coping yaitu bereaksi untuk

mengubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat resiko yang harus

diambil; (3) seeking social support yaitu bereaksi dengan mencari dukungan dari

pihak luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan emosional.

Coping terfokus emosi individu melakukan usaha mengubah stresor secara

langsung. Ada lima cara yang termasuk coping ini, yaitu: (1) self controling

yaitu bereaksi dengan melakukan regulasi baik dalam perasaan maupun tindakan;

(2) distancing adalah tidak melibatkan diri dalam permasalahan; (3) escape

avoidance yaitu menghindarkan diri dari masalah yang dihadapi; (4) accenting

responsibility yaitu bereaksi dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri

dalam permasalahan yang dihadapi, dan berusaha mendudukkan segala sesuatu

sebagaimana mestinya; (5) positive reappraisal adalah berekasi dengan

menciptakan makna positif dalam diri yang bertujuan untuk mengembangkan diri

termasuk melibatkan dalam hal-hal yang religius.

Perilaku koping yang berpusat pada masalah cenderung dilakukan jika

individu merasa bahwa sesuatu yang konstruktif dapat dilakukan terhadap situasi

tersebut atau ia yakin bahwa sumberdaya yang dimiliki dapat mengubah situasi.

Sebagai contoh strategi coping yang digunakan masyarakat rumah tangga

43

dalam mengatasi masalah kekurangan pangan akbat banjir besar di Bangladesh

adalah strategi koping berpusat pada masalah yaitu: (1) melakukan pinjaman

ke bank, (2) membeli makanan dengan kredit, (3) mengubah perilaku makan, dan

(4) menjual aset yang dimiliki.

2.5.6. Strategi Perubahan Sosial

Upaya perubahan sosial dan kelembagaan yang diarahkan kepada

peningkatan produktivitas sektor dan orientasi kegiatan hendaknya sejalan dengan

perkembangan dan tujuan kelembagaan lokal di lokasi yang bersangkutan. Faktor-

faktor yang layak dipertimbangkan antara lain: (1) tujuan kelembagaan,(2) peran

kepemimpinan, (3) pola komunikasi, (4) tatanan sosial, (5) strategi pendekatan,

dan (6) langkah kegiatan.

Tujuan kelembagaan (institutional goal) merupakan faktor terpenting yang

seyogyanya dipahami secara mendalam. Tujuan komunal suatu lembaga lokal

memiliki daya ikat sosio-teknis yang besar. Upaya perubahan sosial melalui

rekayasa, atau lebih tepat: penyesuaian struktur, kelembagaan akan lebih mudah

terlaksana bila memiliki tujuan yang jelas. Upaya perubahan sosial melalui rekayasa

kelembagaan hendaknya memenuhi prasyarat berikut: (a) memiliki dampak yang

jelas dan dapat dicapai oleh para stakeholder; (b) tersedia sistem pendukung internal,

pengetahuan stakeholder, dan eksternal yaitu infrastruktur fisik dan sosial lain; dan

(c) stakeholder bersedia berpartisipasi. Ketiga elemen ini saling terkait satu sama

lain dan kekurangan salah satu faktor saja akan memperlambat upaya perubahan

sosial setempat. Introduksi lembaga baru yang bersifat coercive dan top-down

banyak menemukan halangan dalam mencapai tujuannya karena lemahnya

partisipasi stakeholder dan berbedanya persepsi tujuan kelembagaan. Sebaliknya

introduksi norma tanam serempak mampu dipahami tujuan dan jelas dampaknya

sehingga di beberapa lokasi bahkan menggeser peran lembaga tata pengaturan

kegiatan usahatani tradisional.

Peran kepemimpinan (leadership) dalam kelembagaan lokal suatu komunitas

memainkan peran signifikan dalam menanamkan nilai dan norma kemasyarakatan

setempat. Lembaga kepemimpinan mampu menentukan arah, dan dalam

kebanyakan kondisi bahkan mampu menghentikan proses dan progres perubahan

44

sosial di wilayahnya. Fungsi utama lembaga kepemimpinan lokal adalah sebagai

mobilisator anggota lembaga organisasi lokal, sebagai pusat dan penyalur informasi

dan berbagai fungsi sosial lainnya. Dalam kelompok masyarakat yang berada dalam

tahap awal evolusi organisasi, lembaga kepemimpinan umumnya berupa seorang

individu sebagai kepala suku dengan berbagai nama: keret (Arfak), ondoafie

(Sarmi), pah-tuaf (Tetun), raja-soa (Maluku) dan lain-lain. Dalam masyarakat yang

telah berevolusi lebih jauh, kepemimpinan cenderung bersifat kolektif dengan

struktur dan pendelegasian kewenangan yang lebih jelas. Etnis Dani di Papua

mengenal lembaga kepemimpinan kolektif otini-tabenak yang memainkan peran

penting dalam mengalirkan informasi dari atas ke bawah (top-down). Lembaga-

lembaga kepemimpinan memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan secara

positif dalam berbagai upaya reformasi kelembagaan sosial untuk mempercepat laju

pembangunan sektor.

Pola komunikasi dalam suatu kelembagaan lokal berkaitan dengan tingkat

kohesi atau daya ikat sosial. Pola komunikasi juga merupakan indikator tingkat

partisipasi stakeholder kelembagaan tersebut. Masyarakat dengan kohesi sosial

tinggi memiliki tingkat kesetaraan sosial yang tinggi, atau sebaliknya. Namun

demikian pola komunikasi suatu kelembagaan bersifat spesifik lokasi, tergantung

pada bentuk dan struktur kelembagaan tersebut. Pada masyarakat dengan kohesi

sosial rendah dan lembaga kepemimpinan tunggal, pola komunikasi yang tumbuh

umumnya berupa pola rantai satu arah atau dua arah. Sedangkan pada komunitas

denhgan kesetaraan sosial tinggi serta memiliki organisasi kelembagaan dengan

struktur lebih rumit memiliki pola komunikasi yang beragam: pola roda, lingkaran,

multi-arah. Para petugas penyuluh sebagai change agent seyogyanya dibekali

dengan pemahaman dan keterampilan komunikasi dalam berbagai hierarki

kelembagaan.

Tatanan sosial (social setting) memiliki potensi sebagai entry point

pertama bagi seorang diseminator dalam menyampaikan gagasan awal terkait

perubahan kelembagaan. Kohesi sosial dan social interplay (hubungan sosial)

merupakan dua diantara beragam elemen tatanan sosial yang memiliki pengaruh

dalam memilih strategi pendekatan kelembagaan. Kelompok masyarakat yang

memiliki daya ikat sosial tinggi pada umumnya membuka kesempatan besar bagi

45

anggotanya untuk melakukan kontak dan hubungan sosial. Masyarakat petani

yang sangat terikat dengan kohesifitas ekosistem dan kohesifitas sosial memiliki

social interplay yang relatif tinggi dan hal ini dimanifestasikan dalam bentuk

komunikasi setara multi-arah (horisontal multilateral) secara baik. Kondisi seperti

ini hendaknya dimanfaatkan dalam berbagai program pembangunan dengan misi

meningkatkan produktivitas sektor secara lebih baik melalui inovasi teknologi.

Dalam prosesnya, upaya mencapai tujuan seperti diatas seringkali memanfaatkan

kondisi social interplay melalui penerapan berbagai strategi pendekatan yang

disesuaikan dengan norma sosial dan kelembagaan spesifik lingkungan dimana

kegiatan dilaksanakan. Lebih jauh lagi patut pula dipertimbangkan daya lenting

sosial (social resilience) kelompok stakeholder yang akan menerima perubahan

kelembagaan tersebut. Daya lenting sosial seringkali berperan sebagai salah satu

elemen kunci dalam suatu proses perubahan karena calon penerima perubahan

memerlukan waktu dan kelenturan mental sebelum menerima perubahan yang akan

mengubah jalan hidupnya. Kondisi seperti ini akan lebih dipersulit lagi oleh

pertanyaan dalam bentuk apa dan sejauh mana perubahan tertentu harus diterapkan?

Apa yang harus dilakukan terhadap kelompok yang tersisihkan karena tidak mampu

menerima dan menjalankan perubahan tersebut?

Dengan memahami pola pikir seperti di atas, strategi pendekatan

perubahan sosial masyarakat pedesaan menghadapi dua pilihan: (a) strategi

intrusif, dan (b) strategi introduksi. Strategi intrusif menerapkan paradigma

evolusi sesuai dengan perjalanan evolusi kelembagaan secara alami dimana

inovasi kelembagaan dilakukan sedekat mungkin dengan bentuk dan struktur

kelembagaan lokal yang masih berjalan. Strategi ini memakan waktu relatif lama

dan perubahan terjadi secara bertahap karena kelompok stakeholder diberi cukup

waktu untuk memahami dan melakukan eksperimentasi penerapan inovasi secara

gradual. Sebaliknya, strategi introduksi menerapkan paradigma revolusi di mana

kelembagaan lokal yang ada digantikan secara total dengan lembaga baru dengan

struktur yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan. Hal ini terjadi dalam era

orde baru dimana kelembagaan lokal (lembaga kepala suku) digantikan secara

total oleh lembaga kepemimpinan formal (organisasi struktural pemerintahan).

Dalam beberapa kondisi strategi ini memberikan hasil yang diharapkan, namun

46

dalam kenyataan ternyata lebih banyak keberhasilan yang bersifat artifisial karena

sifat pendekatan koersif top-down dalam pembentukan lembaga baru tersebut.

Implementasi strategi perubahan sosial melibatkan seluruh stakeholder

institusi di seluruh hierarki struktural pemerintahan dan lembaga-lembaga terkait.

Kelompok ilmuwan bersama dengan lembaga penyuluhan, lembaga perancang

pembangunan daerah dan masyarakat bersama-sama merancang bentuk dan pola

lembaga baru yang diarahkan guna mengembangkan, mengubah atau

mengintroduksi nilai dan norma sosial yang diperlukan. Upaya perubahan sosial

diawali dengan diagnosa situasi lintas sektor dan lintas aspek terhadap elemen-

elemen terkait di suatu wilayah. Dalam tahap ini kelompok perekayasa

kelembagaan (peneliti dan ilmuwan) merupakan aktor utama dalam proses

identifikasi dan diagnosa masalah lapangan. Semakin jauh waktu berjalan dan

semakin dekat proses ke fase terakhir, semakin menurun peran peneliti dan

ilmuwan. Sebaliknya, peran penyuluh semakin meningkat sehingga pada akhirnya

keberhasilan proses rekayasa kelembagaan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan

dan kemampuan berkomunikasi petugas lapang. Tahap diagnostik dilanjutkan

dengan tahap rancang bangun di mana peran lembaga penyuluhan meningkat

secara teknis, dan lembaga perancangan pembangunan secara politis mulai

berperan dalam kegiatan koordinasi dan administratif kewilayahan. Lembaga-

lembaga sektor di tingkat otonom merancang kegiatan uji lapang di lokasi-lokasi

percontohan. Fase selanjutnya adalah tahap uji lapang di mana seluruh komponen

pembangunan kelembagaan mengevaluasi dan memantau proses perubahan sosial

di lingkungan setempat. Pilihan strategi (intrusif atau introduksi) dipilih dan

disepakati dalam fase uji lapang. Fase verifikasi dan implementasi merupakan

tahap terahir dimana lembaga penyuluhan beserta aparatnya memikul tanggung

jawab terbesar dalam sosialisasi dan penyebaran kelembagaan dan norma sosial

yang baru.

2.5.7. Beberapa Program Pemberdayaan Masyarakat

2.5.7.1. Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Nelayan Kecil (P4K)

Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani Nelayan Kecil (P4K)

merupakan suatu proyek pendidikan yang membimbing dan mengarahkan petani

47

nelayan kecil, agar mau dan mampu menjangkau fasilitas dan kemudahan

pembangunan yang tersedia untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

keluarganya.

Upaya penanggulangan kemiskinan haruslah dilakukan dengan cara

memberdayakan si miskin yang dilaksanakan melalui suatu proses pendidikan

yang berkelanjutan dengan menerapkan prinsip "Menolong Diri Sendiri" melalui

prinsip belajar menemukan sendiri. Dengan pendidikan, diharapkan pada

waktunya, si miskin akan mencapai tingkat keswadayaan dan kemandirian

tertentu, sehingga mereka mampu menjangkau (akses) secara normal terhadap

sumber pelayanan yang tersedia, yang meliputi sumber : permodalan , informasi,

dan teknologi.

Warga binaan pada proyek P4K adalah: (1) penerima manfaat dari proyek

P4K yaitu penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan; yang memerlukan

pengembangan keterampilan yang sesuai, pelatihan dan dukungan (termasuk

pelayanan keuangan mikro) guna mengubah status ekonomi mereka secara

berkelanjutan; (2) mereka yaitu para petani pemilik, pengelola lahan sempit,

penggarap, penyakap, buruh tani, buruh nelayan, pendega, nelayan dengan

peralatan sederhana, peternak kecil, pengrajin kecil dan sebagainya.

Tujuan proyek P4K yaitu membangun sistem partisipatif dan

berkelanjutan untuk membantu keluarga miskin di pedesaan, memperbaiki taraf

hidup dan kesejahteraan keluarganya, melalui pencapaian kemandirian dan

mengantarkan mereka keluar dari kemiskinan dengan kekuatan sendiri.

P4K memiliki tiga komponen utama yang semuanya saling terkait yaitu

(1) penumbuhkembangan kelompok swadaya (KPK), (2) pelayanan keuangan

mikro, dan (3) penguatan kapasitas manajemen.

Penumbuhan dan pengembangan kelompok-kelompok swadaya telah

terbukti merupakan instrumen yang amat efektif bagi penduduk miskin dari

kemiskinan. Pelayanan keuangan mikro diperlukan untuk membantu kelompok

swadaya memobilisir tabungan dan akses kredit untuk menambah pembiayaan

usaha kelompok yang mendukung usaha kelompok dari usahanya sendiri. Untuk

membangun sistem manajemen proyek yang aktif diperlukan penugasan

48

manajemen dan staf proyek yang mememmi syarat kecakapan dan kemajuan baik

di tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten.

2.5.7.2. Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI)

Untuk meningkatkan pendapatan, petani harus dapat merespon peluang

pasar dengan berinovasi dalam produksi dan pemasaran pertanian. Hal ini

menemui kendala dikarenakan terbatasnya teknologi yang tepat guna, kurangnya

investasi, dan keterbatasan akses petani terhadap informasi. Untuk itu diperlukan

peningkatan akses petani terhadap informasi pertanian, dukungan pengembangan

inovasi pertanian, serta upaya pemberdayaan petani. Poor Farmer’s Income

Improvement through Innovation Project (PFI3P) atau disebut Program

Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P2MI).

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atau Balitbangtan

Kementerian Pertanian atau Kemtan. bermaksud: membangun sistem agribisnis di

lahan marjinal, melalui pemberdayaan petani, pengembangan kelembagaan desa,

dan perbaikan sarana dan prasarana pendukung di desa (investasi desa) secara

partisipatif, serta meningkatkan akses pada jaringan informasi untuk menunjang

inovasi teknologi, guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani

miskin.

Adapun tujuan program P4MI adalah meningkatkan pendapatan petani

miskin melalui inovasi produksi pertanian dan pemasaran (agribisnis) dengan

cara: (1) memberdayakan petani melalui mobilisasi kelompok dan pengembangan

kelembagaan serta memperbaiki sarana dan prasarna tingkat desa yang

dibutuhkan petani dalam mendukung pengembangan agribisnis, (2) meningkatkan

akses petani terhadap informasi pertanian; dan (3) melakukan reorientasi

penelitian di daerah marjinal (lahan kering atau tadah hujan).

Target dari program P4MI adalah desa-desa miskin atau desa yang dihuni

oleh >75% keluarga miskin. Ciri petani miskin yang dijadikan target dalam

kegiatan P4MI yaitu: (1) memiliki lahan sempit atau kurang dari 0,1 hektar,

(2) berproduktivitas relatif rendah, (3) hanya mengusahakan makanan pokok,

(4) pendapatan rata-rata di bawah Rp.1.000.000,-/ kapita/tahun, dan (5) merambah

sumber daya hutan dan laut untuk mencukupi kebutuhan dasar hidupnya.

49

Program ini dirancang untuk masa 5 (lima) tahun dan terdiri atas empat

komponen, yaitu: (1) pemberdayaan petani, (2) pengembangan sumber informasi

nasional dan lokal, (3) dukungan pengembangan inovasi pertanian dan

diseminasinya, dan (4) manajemen program.

2.5.7.3. Participatory Integrated Development in Rainfed Areas (PIDRA)

Program PIDRA adalah program pengembangan pertanian di lahan kering

yang diarahkan dalam upaya pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan atas

kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan IFAD. Pendanaan program

bersumber pada pinjaman lunak dari IFAD sebesar US$ 23.570.000,-- dengan

bunga pinjaman 0,75% per tahun, grace period 10 tahun dan jangka waktu

pengembalian pinjaman selama 30 tahun tanpa management fee. Jangka waktu

pelaksanaan program selama 8 tahun yang dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase I

(2001-2004) dan fase II (2005-2008).

Pelaksanaan kegiatan komponen PIDRA berorientasi program yang

dicirikan (1) berbasis membangun kelembagaan masyarakat miskin secara

partisipatip untuk mewujudkan kemandirian masyarakat dan berkesinambungan,

(2) tumbuhnya perhatian dan kontribusi pemerintah daerah bersama unsur instansi

teknis terkait dalam memperkuat dan memperluas program, (3) kontribusi

lembaga non pemerintah untuk memperkuat basis kelembagaan masyarakat yang

mandiri yang mendukung kelangsungan program, dan (4) kaderisasi fasilitator

dari masyarakat untuk mendampingi masyarakat miskin secara

berkesinambungan.

Tujuan program adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan

produksi pertanian berwawasan lingkungan, dalam rangka mewujudkan ketahanan

pangan secara berkesinambungan, serta memperbaiki taraf hidup 100.000

penduduk miskin, yang akan dicapai melalui: (1) pembentukan dan penumbuhan

kelompok mandiri dengan memperkuat kemampuan manajemen kelompok, baik

pada kelompok pria, wanita maupun campuran, (2) peningkatan produksi

pertanian melalui konservasi dan perbaikan sumber daya alam, dan (3) perbaikan

prasarana dan sarana pedesaan.

50

Sasaran program diarahkan kepada 3 propinsi: Jawa Timur (Jatim), Nusa

Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Lokasi di Propinsi

Jatim mencakup 6 kabupaten yaitu Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung,

Blitar, dan Lumajang, dengan sasaran sebanyak 225 desa atau 34.000 hingga

56.000 kepala keluarga. Lokasi di Propinsi NTB mencakup 3 kabupaten, yaitu

Sumbawa, Dompu, dan Bima dengan sasaran sebanyak 75 desa atau 11.000

hingga 19.000 kepala keluarga. Lokasi di Propinsi NTT mencakup 5 kabupaten,

yaitu Timor Tengah Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS), Sumba Barat,

Sumba Timur, dan Alor dengan sasaran sebanyak 200 desa atau 30.000 hingga

50.000 kepala keluarga. Desa-desa tersebut dipilih berdasarkan kriteria desa

miskin yang meliputi aspek-aspek: topografi dan geografi, tingkat kesejahteraan

desa, persentase lahan kering, persentase perempuan sebagai kepala rumah

tangga, akses terhadap ketersediaan air bersih dan sarana transportasi serta

persentase tenaga kerja yang pergi ke luar negeri.

Pendekatan yang dilakukan dalam program ini meliputi: (1) partisipatif,

upaya pemberdayaan masyarakat dalam membangun dan meningkatkan

kemampuan sendiri; (2) fleksibel, mengakomodasi aspirasi keluarga miskin

selaku perencana, pelaksana dan pengawas dalam pembangunan; dan (3)

pemberdayaan yang berperspektif jender, semua komponen program dilaksanakan

dengan mengacu pada kesetaraan dan keadilan jender; (4) pendampingan oleh

LSM, pembinaan proses transformasi untuk meningkatkan kemampuan kelompok

dan anggotanya;(5) keberlanjutan, pelaksanaan program didasarkan untuk

tumbuhnya kemandirian dalam menetapkan dan mengembangkan usaha yang

bermanfaat dan menguntungkan yang dilakukan secara terus menerus; (6)

desentralisasi, pendelegasian penuh dalam proses perencanaan dan pelaksanaan

program, dari tingkat masyarakat desa sebagai pelaksana sampai dengan

manajemen program tingkat kabupaten; manajemen program tingkat propinsi dan

pusat sebagai pelaksana koordinasi, pemantauan dan pengawasan.

2.6. Pendekatan Sistem

Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai

dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan

51

sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif.

Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang

menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin 2007).

Pendekatan sistem merupakan cara pandang bersifat menyeluruh (holistik) yang

memfokuskan pada integrasi dan keterkaitan antar komponen (Hartrisari 2007).

Tahapan pendekatan sistem menurut Manetsch dan Park (1977) dalam

Hartrisari (2007) yaitu: mulai, analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi

sistem, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi, implementasi dan selesai.

2.6.1. Analisis Kebutuhan

Pada tahap analisis kebutuhan ini diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari

masing-masing pelaku sistem (stakeholder). Setiap pelaku sistem memiliki

kebutuhan yang dapat mempengaruhi kinerja sistem. Pelaku mengharapkan

kebutuhan tersebut dapat terpenuhi jika mekanisme sistem tersebut dijalankan

(Hartrisari 2007). Pada tahap analisis kebutuhan, dapat ditentukan komponen-

komponen yang berpengaruh dan berperan dalam sistem. Komponen-komponen

tersebut mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda sesuai dengan tujuannya

masing-masing dan saling berinteraksi satu sama lain serta berpengaruh terhadap

keseluruhan sistem yang ada (Marimin 2005).

2.6.2. Formulasi Permasalahan

Formulasi permasalahan merupakan identifikasi dari kebutuhan

stakeholder yang kontradiktif, yang dapat menyebabkan kejadian konflik pada

pencapaian tujuan. Dari hasil analisis kebutuhan akan tampak kebutuhan-

kebutuhan yang sejalan (sinergis) maupun yang kontradiktif (Hartrisari 2007).

2.6.3. Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem merupakan hubungan antara pernyataan kebutuhan-

kebutuhan dengan pernyataan-pernyataan khusus dari masalah yang harus

dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut (Marimin 2007).

Pada tahap identifikasi sistem, salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah

dengan menyusun diagram lingkar sebab-akibat (causal-loop-diagram) atau

diagram input-output (black box diagram). Hal yang terpenting dalam

52

mengidentifikasi sistem adalah melanjutkan interpretasi diagram lingkar ke dalam

konsep kotak gelap (black box). Para analis harus mampu mengkonstruksi

diagram kotak gelap (Marimin 2005).

2.6.4. Pemodelan Sistem

Menurut Hartrisari (2007) model merupakan penyederhanaan sistem.

Karena sistem sangat kompleks, tidak mungkin membuat model yang dapat

menggambarkan seluruh proses yang terjadi dalam sistem. Model disusun dan

digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit dan hampir

tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan sebenarnya. Oleh sebab itu, model

hanya memperhitungkan beberapa faktor dalam sistem dalam rangka mencapai

tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Model adalah suatu bentuk yang dibuat

untuk menirukan suatu gejala atau proses.

2.6.5. Validitas dan Sensitivitas Model

Model yang baik adalah model yang valid atau lulus uji validitas. Model

yang telah melewati uji validitas struktur akan menghasilkan keyakinan pemodel

tentang bangunan model yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

(building confidence), dan model yang melewati uji validitas kinerja akan

menghasilkan keyakinan pemodel tentang tingkat ketelitian metode yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah (level of confidence). Ringkasnya model

ilmiah yang baik adalah yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris

(logico-empirical). Selain uji validitas juga diperlukan uji sensitivitas model. Uji

sensitivitas model dapat dilakukan dengan dua macam intervensi yaitu intervensi

fungsional dan intervensi struktural. Intervensi fungsional ialah dengan

memberikan fungsi-fungsi khusus terhadap model dengan menggunakan fasilitas,

antara lain: fungsi step, pulse, graph, dan delay. Intervensi struktural ialah dengan

mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur model dengan cara mengubah

struktur modelnya. Sensitivitas model mengungkapkan hasil-hasil intervensi

terhadap unsur dan struktur sistem. di samping itu, analisis sensitivitas model juga

berfungsi dalam menemukan alternatif tindakan atau kebijakan, baik untuk

mengakselerasi kemungkinan pencapaian hasil positif maupun untuk

mengantisipasi kemungkinan dampak negatif.

53

2.7. Teori Keputusan dan Model serta Teknik Analisis

Marimin (2005) mengemukakan beberapa teknik pengambilan keputusan

berbasis indeks kinerja, di antaranya ialah Proses Hierarki Analitik (Analytical

Hierarchy Process-AHP) dan Interpretative Structural Modelling (ISM). AHP

dikembangkan oleh Dr.Thomas L. Saaty dari Wharton School Of Business pada

tahun 1970-an untuk mengorganisasikan informasi dan judgment dalam memilih

alternatif yang paling disukai (Marimin 2005). Analisis ini ditujukan untuk

membuat model permasalahan yang tidak terstruktur dan biasanya diterapkan

untuk memecahkan masalah-masalah terukur maupun masalah-masalah yang

memerlukan pendapat (judgement) (Ma‟arif et al. 2003).

Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang

tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata

dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai

numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif

dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut

kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas

tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Adapun ide

dasar prinsip kerja AHP menurut Marimin (2005) yaitu penyusunan hierarki,

penilaian kriteria dan alternatif, penentuan prioritas dan konsistensi logis.

Penjelasan langkah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu

kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki,

2. Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty

(1983), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam

mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala

perbandingan Saaty tampak dalam Tabel 2. Nilai perbandingan A dengan B

adalah 1 (satu) dibagi dengan nilai perbandingan B dengan A (Saaty T.L. 1983,

diacu dalam Marimin 2005).

54

Tabel 2 Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan menurut

Saaty (1983)

Nilai Keterangan

1 Kriteria atau alternatif A sama penting dengan kriteria atau alternatif B

3 A sedikit lebih penting dari B

5 A jelas lebih penting dari B

7 A sangat jelas lebih penting dari B

9 A mutlak lebih penting dari B

2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan

3. Penentuan prioritas.Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan

perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan

relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif.

Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai

dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas.

Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui

penyelesaian persamaan matematik.

4. Konsistensi logis. Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan

secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Consistency ratio

merupakan parameter yang digunakan untuk memeriksa apakah perbandingan

berpasangan telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak. Pengolahan pendapat

pakar berdasarkan AHP dapat dilakukan dengan bantuan perangkat lunak.

Adapun diagram alir metoda AHP ialah seperti tampak pada Gambar 4.

55

Sumber: Saaty T.L.1980,

Gambar 4 Diagram alir metoda AHP

2.8. Analisis Kebijakan

Menurut Ma‟arif (2007) analisis kebijakan didefinisikan sebagai advis

yang berorientasi kepada klien yang relevan dengan keputusan publik dan

dipengaruhi oleh nilai sosial. Kebijakan generik (generic policies), adalah

berbagai macam tindakan pemerintah yang dilakukan untuk memecahkan masalah

kebijakan yang dihadapi dan biasanya berupa suatu strategi umum. Kebijakan

generik seharusnya berujung pada suatu keadaan yang spesifik untuk

menghasilkan alternatif kebijakan yang dapat dilaksanakan serta berkelanjutan.

Terdapat lima hal penting yang termasuk dalam kebijakan generik,

yakni: (1) membebaskan, fasilitasi dan simulasi pasar, (2) penggunaan pajak dan

subsidi sebagai pilihan insentif, (3) penetapan peraturan perundangan, (4)

penyediaan barang barang melalui mekanisme bukan pasar, dan (5)

penyelenggaraan asuransi dan jaring pengaman.

Mulai

Identifikasi sistem

Pengisian matriks pendapat individu

Revisi pendapat

Penyusunan hierarki

CR

memenuhi

Ya

Tidak

Menyusun matriks gabungan

Pengolahan vertikal

Selesai

Menghitung vektor prioritas

56

2.9. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

Indeks pembangunan manusia (IPM) atau human development index

(HDI) yaitu indikator komposit tunggal yang mengukur tiga dimensi pokok

pembangunan manusia yang dinilai mencerminkan status kemampuan dasar

(basic capabilities) penduduk. Ketiga kemampuan dasar itu adalah (1) tingkat

kesehatan yang tercermin dengan umur panjang dan sehat yang mengukur

peluang hidup, (2) berpengetahuan dan berketerampilan, serta (3) akses terhadap

sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup layak (Rustiadi et al.

2007).

2.10. Stakeholder

Menurut Freeman (1984) stakeholder ialah sebagai kelompok atau

individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian

tujuan tertentu. Stakeholder adalah masyarakat yang memiliki daya untuk

mengendalikan penggunaan sumber daya seolah-olah mereka tidak terkena

pengaruh, tetapi kehidupannya dipengaruhi oleh perubahan penggunaan sumber

daya tersebut. Stakeholder berbeda dengan pelaku (actor). Stakeholder adalah

bagian yang secara langsung terkait dengan hasil kajian. Mereka menjadi

pengguna di masa depan dari suatu hasil kajian; sedangkan pelaku semua

masyarakat dalam suatu wilayah yang memainkan suatu peran dalam suatu sektor

tertentu. Mereka bukan kelompok sasaran (target group) bagi hasil suatu kajian.

2.11. Focus Group Discussion (FGD) dan Wawancara Mendalam

FGD adalah salah satu teknik dalam mengumpulkan data kualitatif, di

mana sekelompok orang berdiskusi dengan pengarahan dari seorang moderator

atau fasilitator mengenai suatu topik.

Wawancara mendalam atau indepth interview merupakan salah satu teknik

pengumpulan data kualitatif, di mana wawancara dilakukan antara seorang

responden dengan pewawancara yang terampil, yang ditandai dengan penggalian

yang mendalam dan menggunakan pertanyaan terbuka.