ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · fma dibentuk oleh kelompok kecil fungi yang termasuk...

14
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jabon (Anthocephalus cadamba) (Roxb.) Miq. Taksonomi dari Jabon (Anthocephalus cadamba) yaitu : Kingdom : Plantae Sub Kingdom : Tracheobionta Super Devisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Asteridae Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Anthocephalus Spesies : Anthocephalus cadamba Nama Daerah : Jabon, jabun, kelampeyan, kelampaian, gelupai, johan, taloh, empayang, worotua, masarambi. Daerah penyebaran Jabon mulai dari India sampai ke kepulauan Malaynesia. Terdapat di Nepal, Bengal, Assam, Ceylon, Vietnam, Burma, Semenanjung Malaya, Serawak, Sabah, Indonesia, Filipina, Papua New Guinea, dan Australia. Di Indonesia terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sumba, Sumbawa, dan Irian Jaya (Martawidjaya et al. 1989). Pohon Jabon dapat tumbuh dihampir berbagai kondisi tanah mulai dari tanah kering sampai tanah-tanah yang kadang-kadang tergenang. Pohon Jabon tumbuh baik pada ketinggian 0-1000 m dpl, pada jenis tanah lempung, podsolik cokelat dan aluvial lembab yang umumnya terdapat di sepanjang sungai yang beraerasi baik (Khaerudin 1999). Menurut Asnawi (2009), pohon Jabon dapat tumbuh pada lahan kritis atau yang terbuka mengingat jenis ini mudah tumbuh pada lahan terbuka. Tinggi pohon Jabon dapat mencapai 45 m dengan panjang batang bebas cabang 30 m, diameter pohon dapat mencapai 160 cm. Pohon Jabon berbentuk lurus dan silindris, bertajuk tinggi dengan cabang mendatar, berbanir sampai ketinggian 1.50 m, kulit luar berwarna keabuan, kecoklatan sampai coklat dan

Upload: vokien

Post on 06-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jabon (Anthocephalus cadamba) (Roxb.) Miq.

Taksonomi dari Jabon (Anthocephalus cadamba) yaitu :

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Tracheobionta

Super Devisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae

Genus : Anthocephalus

Spesies : Anthocephalus cadamba

Nama Daerah : Jabon, jabun, kelampeyan, kelampaian, gelupai,

johan, taloh, empayang, worotua, masarambi.

Daerah penyebaran Jabon mulai dari India sampai ke kepulauan

Malaynesia. Terdapat di Nepal, Bengal, Assam, Ceylon, Vietnam, Burma,

Semenanjung Malaya, Serawak, Sabah, Indonesia, Filipina, Papua New Guinea,

dan Australia. Di Indonesia terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sumba,

Sumbawa, dan Irian Jaya (Martawidjaya et al. 1989).

Pohon Jabon dapat tumbuh dihampir berbagai kondisi tanah mulai dari

tanah kering sampai tanah-tanah yang kadang-kadang tergenang. Pohon Jabon

tumbuh baik pada ketinggian 0-1000 m dpl, pada jenis tanah lempung, podsolik

cokelat dan aluvial lembab yang umumnya terdapat di sepanjang sungai yang

beraerasi baik (Khaerudin 1999). Menurut Asnawi (2009), pohon Jabon dapat

tumbuh pada lahan kritis atau yang terbuka mengingat jenis ini mudah tumbuh

pada lahan terbuka.

Tinggi pohon Jabon dapat mencapai 45 m dengan panjang batang bebas

cabang 30 m, diameter pohon dapat mencapai 160 cm. Pohon Jabon berbentuk

lurus dan silindris, bertajuk tinggi dengan cabang mendatar, berbanir sampai

ketinggian 1.50 m, kulit luar berwarna keabuan, kecoklatan sampai coklat dan

11

sedikit beralur dangkal (Martawijaya et al.,1989). Bentuk tajuk pohon Jabon

seperti payung dengan sistem percabangan melingkar, daun Jabon tidak lebat.

Pada umur 3 tahun, tinggi pohon Jabon dapat mencapai 9 m dengan diameter 11

cm serta daur panen untuk kepentingan non pulp sekitar 15 tahun dimana Jabon

termasuk jenis pohon cahaya (light demander) yang cepat tumbuh (Khaerudin

1999).

Untuk buah Jabon sendiri berbentuk bulat dan bersayap panjang

(Martawijaya et al. 1989). Buah Jabon yang telah masak adalah yang berwarna

hijau kekuningan. Pohon Jabon berbuah setahun sekali, dimana musim

berbunganya pada bulan Januari sampai Juni dan buah masak pada bulan Juli

sampai Agustus dengan jumlah buah majemuk per kilogramnya 33 buah,

sedangkan jumlah biji kering per kilogram sekitar 26.182.000 biji (Khaerudin

1999).

Benih Jabon diduga termasuk jenis ortodok (Nurhasybi et al. 2003).

Penyebaran benih dibantu oleh angin dan air. Permudaan Jabon dapat dilakukan

secara generatif melalui biji dan secara vegetatif melalui stek pucuk. Pertumbuhan

kecambah Jabon sampai kecambah membentuk daun dengan ukuran sebesar kuku

(tinggi 2 cm) membutuhkan waktu yang sangat lama, tetapi setelah daun

terbentuk, bibit akan tumbuh sangat cepat (Mansur 2009).

Kayu Jabon termasuk kayu ringan dengan berat jenis berkisar antara 0.29-

0.56, termasuk ke dalam kelas kuat III-IV dan kelas awet V. Kayu dengan

karaktersitik tersebut mudah dikeringkan dengan sedikit cacat berupa pecah dan

retak ujung serta sedikit melengkung. Kayu Jabon tersebut dapat digunakan untuk

berbagai keperluan seperti untuk pembuatan korek api, peti pembungkus, papan

cor, mainan anak-anak, pulp, kayu lapis, dan kontruksi ringan lainnya

(Martawijaya et al. 1989).

2.2. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Mikoriza merupakan suatu struktur hubungan simbiosis mutualistis antara

fungi (mykes) dan perakaran (rhiza) tumbuhan tingkat tinggi (Setiadi 2007).

Asosiasi antara fungi mikoriza ini sebenarnya merupakan bentuk parasitisme

dimana fungi menyerang sistem perakaran tetapi tidak sebagai parasit (patogen)

12

yang berbahaya bagi tanaman. Pada umumnya mikoriza dibedakan menjadi tiga

yang berdasarkan pada terbentuk atau tidak terbentuknya selubung hifa pada

mikoriza yaitu ektomikoriza, endomikoriza dan ektendomikoriza.

Endomikoriza disebut juga dengan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA).

Menurut Brundrett (2004) bahwa FMA tergolong kedalam ordo Glomales dan

memiliki 6 genus yaitu Acoulospora, Entrophospora, Gigaspora, Glomus,

Sclerocystis, dan Scutellospora. Namun dalam perkembangannya FMA tidak lagi

hanya diidentifikasi berdasarkan bentuk morfologi sporanya dan dinding

sporanya, akan tetapi sekarang telah menggunakan struktur dari DNA sporanya.

Berdasarkan hal tersebut, saat ini FMA diklasifikasikan menjadi 13 genus dimana

Sclerocystis dihapus, ditambah dengan Archaeospora, Paraglomus, Geosiphon,

Intraspora, Kuklospora, Appendicispora, Diversispora, dan Pacispora (Mansur

2007). Berikut adalah sistem klasifikasinya :

Kingdom : Fungi

Divisi : Zygomycetes

Ordo : Glomales

Famili : Acoulosporaceae, Glomaceae, Gigasporaceae

Genus : Acoulospora, Entrophospora, Gigaspora, Glomus,

Scutellospora, Archaeospora, Paraglomus,

Geosiphon, Intraspora, Kuklospora, Appendicispora,

Diversispora, dan Pacispora

FMA adalah salah satu tipe fungi mikoriza yang termasuk dalam

Gloleromycota, Ordo Glomales dan mempunyai sub ordo Gigasporineae dan

Glomineae (INVAM 2006). Menurut Scannewrini Fosolo (1984) dalam Delvian

(2005) arbuskula merupakan struktur yang paling berarti dalam kompleks FMA

yang berfungsi untuk pertukaran metabolit antara fungi dan tanaman. Vesikula

mempunyai bentuk globose yang berasal dari menggelembungnya hifa internal

dari FMA. FMA memiliki karakteristik antara lain : perakaran yang terinfeksi

tidak membesar, hifa masuk ke dalam individu sel jaringan korteks, dan adanya

struktur khusus berbentuk oval yang disebut vesicles dan sistem percabangan hifa

yang disebut arbuskula (Kuswanto 1990).

13

FMA dibentuk oleh kelompok kecil fungi yang termasuk di dalam kelas

Zygomycetes. Fungi mikoriza ini akan menginfeksi atau menyerang bagian

korteks akar sedangkan bagian endodermis batang dan meristem akar atau bagian

titik-titik tumbuh tidak dapat diserang oleh fungi mikoriza ini. Ciri utama infeksi

mikoriza ini adalah adanya vesikula atau organ jamur yang berbentuk bulat atau

oval dan arbuskula atau organ fungi yang bentuknya seperti serabut yang

bercabang-cabang.

Arbuskula adalah struktur yang paling utama yang terlihat dalam transfer

hara dua arah antara simbion cendawan dan tanaman inang (Gunawan 1993),

sedangkan vesikula berfungsi sebagai organ penyimpan cadangan makanan dan

juga organ reproduktif propagul bagi cendawan. Vesikula menurut Abbot dan

Robson (1982), berbentuk globose dan berasal dari menggelembungnya hifa

internal dari FMA. Vesikula ditemukan baik di dalam maupun di luar lapisan

kortek parenkim dan tidak semua FMA membentuk vesikula dalam akar

inangnya, seperti Gigaspora dan Scutellospora yang vesikulanya berupa ekstra

radikal dan tidak teratur, sedangkan Glomus, Entrophospora, Acaulospora dan

Sclerocystis memiliki vesikula. Arbuskula dan vesikula sangat penting untuk

mengidentifikasi telah terjadinya infeksi pada akar tanaman.

Beberapa karakteristik kolonisasi endomikoriza di dalam akar tumbuhan

menurut Harley dan Smith (1983) sebagai berikut :

1. Cendawan membentuk struktur lapisan hifa tipis pada permukaan akar, tetapi

tidak setebal mantel pada ektomikoriza.

2. Hifa mendorong masuk dinding sel jaringan korteks sehingga terbentuk

struktur yang disebut vesikular (berbentuk oval) dan sistem percabangan hifa di

dalam sel korteks yang disebut arbuskular.

Manfaat biologis dari fungi mikoriza arbuskula (FMA) dapat

dikelompokkan sebagai berikut :

1. Perbaikan nutrisi serta peningkatan pertumbuhan tanaman

FMA yang menginfeksi sistem perakaran tanaman inang akan memproduksi

jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman bermikoriza akan mampu

meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap unsur hara dan air. Fospat

merupakan unsur hara utama yang dapat diserap oleh tanaman bermikoriza.

14

Menurut Van Aarle et al. (2005) tanaman bermikoriza mampu membantu

menyerap fospat tak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman karena pada

tanaman tersebut terdapat jaringan hifa yang menyebar dan adanya aktifitas

fosfatase pada hifa tanaman tersebut.

Alasan FMA dapat meningkatkan penyerapan hara dalam tanah yaitu : (1)

FMA mampu mengurangi jarak bagi hara untuk memasuki akar tanaman; (2)

FMA mampu meningkatkan rata-rata penyerapan hara dan konsentrasi hara

pada permukaan penyerapan dan (3) FMA mampu merubah secara kimia sifat-

sifat hara sehingga memudahkan penyerapannya ke dalam akar tanaman

(Abbott dan Robson 1992).

2. Pelindung hayati (bio-protection)

FMA mampu meningkatkan daya tahan tanaman terhadap serangan patogen

tular tanah dan FMA dapat membantu pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah

yang tercemar logam berat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa FMA

dapat digunakan sebagai bio-protection dan sebagai bio-remedator bagi tanah-

tanah yang tercemar logam berat seperti pada lahan pasca tambang.

3. Meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan

Hifa FMA mampu menyerap air pada pori-pori tanah pada saat akar tanaman

sudah kesulitan memanfaatkannya, hal ini dikarenakan penyebaran hifa FMA

dalam tanah sangat luas sehingga dapat mengambil air relatif lebih banyak .

4. Mempertahankan Keanekaragaman tumbuhan

FMA mempunyai kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% jenis-

jenis tanaman sehingga FMA mampu mempertahankan stabilitas

keanekaragaman tumbuhan dengan cara transfer nutrisi dari satu akar tanaman

ke akar tanaman lainnya yang saling berdekatan melalui struktur yang disebut

bridge hypha (Allen dan Allen 1999 dalam Setiadi 2000).

5. Terlibat dalam siklus biogeokimia

Di alam, keberadaan FMA dapat mempercepat terjadinya suksesi alami pada

habitat-habitat yang mendapat gangguan ekstrim (Allen dan Allen, 1999 dalam

Setiadi 2000) dan keberadaannya mutlak diperlukan karena berperan penting

dalam mengefektifkan daur ulang unsur hara sehingga dapat dianggap sebagai

15

alat yang efektif dalam mempertahankan stabilitas ekosistem hutan dan

keanekaragaman hayati.

6. Sinergis dengan mikroorganisme lain

FMA dapat berfungsi untuk meningkatkan biodiversitas mikroba potensial di

sekitar perakaran tanaman (rhizosphere) (Setiadi 2000).

Berikut merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dari mikoriza :

1. Air

Air dapat memperlancar pencernaan serta pertumbuhan dari miselia.

2. Suhu

Suhu optimum yang diperlukan fungi pembentuk mikoriza beragam tergantung

jenis dan strainnya. Pada umumnya suhu yang optimum adalah 19-450C.

3. pH tanah

Mikoriza ditemukan pada pH 2.7-9.2 dimana setiap isolat memiliki toleransi

terhadap pH yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Cendawan endomikoriza memerlukan sumber energi untuk menjalankan

berbagai proses metabolismenya dimana salah satu energi yang dibutuhkannya

berupa unsur hara karbon. Pada umumnya karbon yang dibutuhkan tersebut

berasal dari alokasi fotosintat tanaman inangnya dan juga dari luar sistem

tanaman.

Keberadaan mikroorganisme tanah seperti FMA sangat menentukan tingkat

adaptabilitas dan daya hidup bagi pertumbuhan tanaman dalam jangka panjang

serta kemantapannya dalam ekosistem secara alamiah (Marpaung et al. 1994

dalam Darwo 2003). Menurut Sukano (1998), pengaruh pemupukkan terhadap

perkembangan FMA sangat bervariasi tergantung pada bermacam-macam faktor

diantaranya kandungan bahan organik tanah, tingkat kesuburan awal tanah,

ketergantungan tanaman inang terhadap simbiosis FMA serta jenis FMA yang

digunakan.

2.3. Batubara

Menurut Darajat (2009), batubara merupakan batuan sediment (padatan)

yang dapat terbakar berasal dari tumbuhan, yang pada kondisi tertentu tidak

mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna karena aktivitas

16

bakteri anaerob, berwarna coklat sampai hitam yang sejak pengendapannya

terkena proses fisika dan kimia, yang mana mengakibatkan pengayaan kandungan

karbon. Menurut Sukandarrumidi (2006), batubara terbentuk dari sisa-sisa

tumbuhan yang sudah mati, dengan komposisi utama terdiri dari sellulosa. Proses

pembentukan batubara dikenal sebagai proses pembatubaraan atau coalification.

Faktor fisika dan kimia yang ada di alam akan mengubah sellulosa menjadi

lingnit, subbitumina, bitumina atau antrasit. Reaksi pembentukan batubara sebagai

berikut :

5(C6H10O5) → C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO

Cellulosa Lignit Gas metan

Menurut Sukandarrumidi (2006), komposisi kimia batubara hampir sama

dengan komposisi kimia jaringan tumbuhan, dimana keduanya mengandung unsur

utama yang terdiri dari unsur C, H, O, N, S, P. Hal ini dikarenakan batubara

terbentuk dari jaringan tumbuhan yang telah mengalami proses pembatubaraan

(coalification). Di dalam mempelajari cara terbentuknya batubara dikenal 2 teori,

yaitu teori insitu dan teori drift (Krevelen, 1993 dalam Sukandarrumidi 2006).

Teori insitu menjelaskan tempat dimana batubara terbentuk sama dengan tempat

terjadinya proses coalification dan sama pula dengan tempat dimana tumbuhan

tersebut berkembang. Sedangkan teori drift menjelaskan bahwa endapan batubara

yang terdapat pada cekungan sedimen berasal dari tempat lain, dengan kata lain

tempat terbentuknya batubara berbeda dengan tempat tumbuhan semula

berkembang kemudian mati.

Cara terbentuknya batubara melalui proses yang sangat panjang dan lama,

disamping faktor alamiah yang tidak mengenal batas waktu terutama ditinjau dari

segi fisika, kimia dan biologis. Faktor-faktor yang berpengaruh dan menentukan

terbentuknya batubara antara lain : posisi geoteknik, keadaan topografi daerah,

iklim daerah, proses penurunan cekungan sedimentasi, umur geologi, jenis

tumbuh-tumbuhan, proses dekomposisi, sejarah setelah pengendapan, struktur

geologi cekungan dan metamorfosa organik (Sukandarrumidi 2006).

17

Secara umum batubara digolongkan menjadi 5 tingkatan, antara lain :

(Sukandarrumidi 2006)

1. Anthracite

Warna hitam, sangat mengkilap, kompak, kandungan karbon sangat tinggi,

nilai kalor sangat tinggi, kandungan air sangat sedikit, kandungan abu sangat

sedikit, kandungan sulfur sangat sedikit.

2. Bituminous coal

Warna hitam mengkilat, kurang kompak, kandungan karbon relatif tinggi, nilai

kalor tinggi, kandungan air sedikit, kandungan abu sedikit, kandungan sulfur

sedikit.

3. Sub bituminous coal

Warna hitam mengkilat, kurang kompak, kandungan karbon relatif tinggi, nilai

kalor tinggi, kandungan air sedikit, kandungan abu sedikit, kandungan sulfur

sedikit.

4. Lignite (Brwon coal)

Warna hitam, sangat rapuh, kandungan karbon sedikit, nilai kalor rendah,

kandungan air tinggi, kandungan abu banyak, kandungan sulfur banyak.

5. Peat (Gambut)

Sedangkan klafikasi batubara berdasarkan atas nilai kalor, dibagi menjadi :

1. Batubara tingkat tinggi (high rank), meliputi meta anthracite, anthracite, semi

anthracite.

2. Batubara tingkat menengah (moderate rank), meliputi low volatile bituminous

coal, high volatile coal.

3. Batubara tingkat rendah (low rank), meliputi sub bituminous coal, lignite.

Dalam menentukan kualitas batubara perlu diperhatikan beberapa hal, antara

lain : (Darajat 2009)

1. Heating Value (HV) (Calorific value/Nilai Kalori)

Banyaknya jumlah kalori yang dihasilkan oleh batubara tiap satuan berat

dinyatakan dalam kkal/kg.

18

2. Moisture Content (Kandungan Lengas)

Lengas batubara ditentukan oleh jumlah kandungan air yang terdapat dalam

batubara. Kandungan air dalam batubara dapat terbentuk air internal

(senyawa/unsur), yaitu air yang terikat secara kimiawi.

3. Ash Content (Kandungan Abu)

Komposisi batubara bersifat heterogen, terdiri dari unsur organik dan senyawa

anorganik yang merupakan hasil rombakan batuan yang ada di sekitarnya

bercampur selama proses transportasi, sedimentasi dan proses pembatubaraan.

Abu hasil dari pembakaran batubara disebut ash content dimana abu ini

merupakan kumpulan dari bahan-bahan pembentuk batuabara yang tidak dapat

terbakar atau yang dioksidasi oleh oksigen. Bahan sisa dalam bentuk padatan

ini antara lain senyawa SiO2, Al2O3, TiO3, Mn3O4, CaO, Fe2O3, MgO, K2O,

Na2O, P2O, SO3, dan oksida unsur lain.

4. Sulfur Content (Kandungan Sulfur)

Adanya kandungan sulfur baik dalam bentuk organik maupun anorganik di

atmosfer dipicu oleh keberadaan air hujan mengakibatkan terbentuknya air

asam.

Menurut Sukandarrumidi (2006), batubara dipergunakan sebagai sumber

energi pada pembangkit listrik dan digunakan sebagai sumber energi pada

berbagai industri kecil maupun industri besar. Selain itu, limbah batubara dapat

digunakan dalam pembuatan briket batubara, media semai tanaman dan pupuk

organik. Pengaruh bagan organik terhadap sifat fisik tanah dan akibat terhadap

pertumbuhan tanaman adalah sebagai granulator yaitu memperbaiki struktur

tanah; sumber hara N, P, belerang, unsur mikro, dan lain-lain; menambah

kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara (KTK menjadi tinggi);

sumber energi bagi mikroorganisme (Hardjowigeno 1995). Fitzpatrick (1986)

menyatakan bahwa bahan organik sangat penting dan bernilai terutama dalam

pengolahan tanah. Menggunakan bahan organik berarti memberikan pupuk alami

pada tanah. Keuntungan bahan organik terhadap tanah yaitu memperbaiki

stabilitas tekstur dan struktur, meningkatkan daya tahan terhadap air dan

menurunkan daya racun Al.

19

2.4. Pupuk NPK

Pupuk diberikan pada tanaman dengan tujuan menambah unsur hara yang

dibutuhkan tanaman. Unsur hara yang dibutuhkan tanaman terdiri dari unsur hara

makro dan mikro. Unsur hara makro (N, P, K, S, Ca, dan Mg) dibutuhkan

tanaman dalam jumlah banyak sedangkan unsur hara mikro (Cl, Mn, Fe, Cu, Zn,

B, dan Mo) dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang sedikit. Unsur makro

merupakan unsur esensial dengan konsentrasi 0.1% (1000 ppm) atau lebih,

sedangkan unsur dengan konsentrasi kurang dari 0.1% digolongkan sebagai unsur

mikro ( Lakitan 2008).

Unsur hara N, P dan K di dalam tanah tidak cukup tersedia dan terus

berkurang karena diambil untuk pertumbuhan tanaman dan terangkut pada saat

panen, tercuci, menguap, erosi, dan kegiatan lainnya seperti pertambangan. Untuk

mencukupi kekurangan unsur hara N, P dan K perlu dilakukan pemupukkan.

Jumlah pupuk yang diberikan berhubungan dengan kebutuhan tanaman akan

unsur hara, kandungan unsur hara yang ada dalam tanah dan kadar unsur hara

yang terdapat dalam pupuk (Hardjowigeno 1995). Menurut Leiwakabessy dan

Sutandi (1998) menyatakan bahwa penambahan unsur hara akan meningkatkan

pertumbuhan tanaman yang berarti pengangkutan unsur hara oleh tanaman akan

terus meningkat. Pemberian pupuk harus dilakukan dengan memperhatikan

faktor-faktor sebagai berikut : Sutedjo (2008)

1. Keadaan iklim

Pemupukkan biasanya dilakukan pada permulaan musim hujan agar unsur-

unsur yang terkandung dalam pupuk dapat larut ke dalam tanah sehingga

tersedia bagi tanaman.

2. Keadaan dan umur tanaman

Makin bertambah umur tanaman maka makin diperlukan pemberian pupuk

bagi proses pertumbuhannya. Demikian juga pada tanaman yang tumbuhnya

dalam keadaan merana perlu mendapat pemupukkan yang sesuai dengan

defisiensi unsur hara bagi pertumbuhannya. Sedangkan untuk tanaman yang

berumur pendek, perlu juga diperhatikan pemberian pupuknya karena

kelambatan dalam hal ini hasil yang diharapkan akan berkurang baik kualitas

maupun kuantitas.

20

3. Macam pupuk yang diperlukan

Macam pupuk yang diperlukan tanaman berbeda-beda tergantung pada jenis

tanamannya dan ketersediaannya di dalam tanah.

Pupuk NPK merupakan pupuk majemuk yang diperlukan tanaman untuk

pertumbuhannya. Unsur hara N, P dan K merupakan unsur hara essensial yang

diperlukan oleh tanaman dalam jumlah besar untuk memenuhi proses fisiologi dan

metabolisme tanaman. Apabila unsur hara N, P dan K tersedia dalam jumlah yang

terbatas dalam tanah maka akan menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan dan

produksi tanaman. Menurut Marschner (1986), penyerapan hara oleh tanaman

sifatnya selektif dan spesifik, dimana tanaman hanya menyerap hara yang

dibutuhkan dan sesuai dengan fungsi berdasarkan umur pertumbuhan tanaman.

Menurut Vogel (1987) dalam rehabilitasi tanah bekas tambang dan

revegetasi pemberian pupuk merupakan salah satu kriteria keberhasilan

revegetasi. Pemupukkan dengan sumber unsur N, P dan K akan merangsang

pertumbuhan tanaman di bekas lahan penambangan. Selain itu juga, komponen

komponen biologi tanah adalah unsur penting bagi keberhasilan revegetasi dalam

jangka panjang.

Unsur Nitrogen (N) dan Peranannya Bagi Tanaman

Nitrogen merupakan salah satu unsur pokok penyusun bahan kehidupan. Di

dalam jaringan tanaman, N dikenal sebagai unsur utama penyusun zat hijau daun

yang disebut dengan klorofil. Sumber utama N untuk tanaman berasal dari N2 di

atmosfir, yang menempati 78% dari volume udara. Kekurangan N pada jaringan

tanaman pada mulanya akan mengakibatkan terjadi klorosis pada daun dan pada

tingkat selanjutnya mengakibatkan daun tanaman mudah gugur, pertumbuhan

vegetatif terhambat serta pada akhirnya produksi tanaman menurun dengan drastis

(Ma‟shum et al. 2003). N apabila keberadaannya berlebihan akan

memperpanjang masa pertumbuhan, menghambat kematangan dan menurunkan

daya tahan terhadap penyakit. Tanaman yang kelebihan N akan berwarna hijau

gelap dengan daun sukulen sehingga mudah terinfeksi penyakit, tanaman mudah

terkena cekaman karena kekeringan dan produksi menurun (Jones 1989).

21

Unsur N diserap tanaman dalam bentuk ion nitrat (NO3-) dan ion ammonium

(NH4+). Sebagian besar N diserap dalam bentuk ion nitrat karena ion tersebut

bermuatan negatif sehingga selalu berada di dalam larutan tanah dan mudah

terserap oleh akar. Sebaliknya ion ammonium bermuatan positif sehingga terikat

oleh koloid tanah. N tidak tersedia dalam bentuk mineral alami seperti unsur hara

lainnya. N merupakan komponen utama dari berbagai substansi yang penting

dalam tanaman (Mengel dan Kirby 1982).

Dalam jaringan tumbuhan N merupakan komponen penyusun dari banyak

senyawa esensial bagi tumbuhan, misalnya asam-asam amino karena setiap

molekul protein tersusun dari asam-asam amino dan setiap enzim adalah protein,

maka nitrogen juga merupakan unsur penyusun protein dan enzim. Selain itu, N

juga terkandung dalam klorofil, horomon sitokinin, dan auksin (Lakitan 2008).

Ma‟shum et al. (2003) manyatakan bahwa terdapat faktor-faktor lingkungan

tanah yang ikut mempengaruhi keseimbangan mineralisasi dan immobilisasi N

yaitu temperatur, tersedianya senyawa N, areasi, dan reaksi tanah.

Unsur Fosfor dan Peranannya Bagi Tanaman

Fosfor (P) merupakan unsur yang sangat kritis dan esensial bagi

pertumbuhan tanaman. P yang tersedia dalam tanaman umumnya rendah.

Tanaman umumnya mengandung 0.5% P dalam jaringan (Ma‟shum et al. 2003).

Masalah Keefisienan P tidak sama dengan N, perbedaannya terlihat pada sifat

inmobil P dalam Tanah (Soepardi 1983). Unsur P diserap tanaman dalam bentuk

H2PO4-, HPO4

2- dan PO4

2- atau tergantung dari pH tanah. Pada tanah dengan pH

rendah (asam) P akan bereaksi dengan ion besi dan alumunium. Reaksi ini akan

membentuk besi fosfat atau alumunium. Reaksi ini akan membentuk besi fosfat

atau alumunium fosfat yang sukar larut dalam air sehingga sukar diserap tanaman.

Keberadaan P-organik di dalam tanah tidak selalu memberikan kontribusi

terhadap ketersediaan P bagi tanaman. Hal ini disebabkan mineralisasi dan

immobilisasi berlangsung secara bersamaan di dalam tanah. Bahan organik akan

memberikan kontribusi pada ketersediaan P jika mineralisasi P-organik tidak

diikuti dengan immobilisasi. Kecepatan mineralisasi P dipengaruhi oleh

kandungan C dan N dalam bahan organik tanahyang dicirikan dengan nisbah C/P

22

dan N/P. Berikut beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan

mineralisasi P-organik : temperatur tanah, kelembaban dan aerasi, kemasaman

tanah, masukan P-anorganik ke dalam tanah, pengolahan tanah, dan masukan

mikoriza. Terjadinya asosiasi mikoriza dengan tanaman inang diduga kuat dapat

meningkatkan mineralisasi P. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya serapan P

oleh tanaman yang berasosiasi dengan mikoriza. Peningkatan serapan P terjadi

sebagai akibat dari meningkatnya kegiatan fosfatase dan meningkatnya luas

permukaan akar yang berarti meningkatnya volume jelajah akar untuk

mengabsorbsi fosfat (Ma‟shum et al. 2003).

Menurut Tan (1993), P diperlukan dalam perkembangan akar,

mempertahankan vigor tanaman, pembentukan benih, dan pengontrolan

kematangan tanaman. P juga merupakan bagian yang esensial dari berbagai gula

fosfat yang berperan dalam reaksi-reaksi pada fase gelap fotosintesis, respirasi,

dan berbagai proses metabolisme lainnya. P juga merupakan bagian dari

nukleotida (dalam RNA dan DNA) dan fosfolipida penyusun membran (Lakitan

2008).

Tanaman yang kelebihan P akan menampakkan gejala seperti defisiensi

unsur mikro Fe dan Zn. Unsur P yang berlebihan akan menganggu metabolisme

tanaman. Jika kadar P dalam daun lebih dari 100% akan menjadi racun (Jones

1989). Menurut Marschner (1986), kekurangan (kahat) P akan menyebabkan

abnormalitas pada kloroplas dimana efeknya akan berbeda tergantung jenis

tanamannya. Menurut Hakim et al. (1986), kekurangan P akan menampakkan

gejala pertumbuhan yang terhambat karena terjadi gangguan pada pembelahan sel,

tanaman kerdil serta perakaran miskin dan produksi merosot. Defisiensi P akan

mengakibatkan daun berwarna hijau gelap atau hijau kebiru-biruan, tanaman

kerdil dan panjang akar berkurang (Gardner et al. 1991). Sedangkan menurut

Ma‟shum et al. (2003), gejala defisiensi P pada tanaman dikenali dengan

terjadinya warna kekuning-kuningan pada daun tua, yang diikuti dengan gugurnya

daun. Sementara pada daun yang nisbi muda memiliki warna hijau gelap yang

disertai bayang-bayang merah keungu-unguan karena adanya akumulasi pigmen

antosianin.

23

Unsur Kalium dan Peranannya Bagi Tanaman

Unsur Kalium tidak disintesis menjadi senyawa organik oleh tumbuhan,

sehingga unsur ini tetap sebagai ion di dalam tumbuhan. K berperan sebagai

aktivator dari berbagai enzim yang esensial dalam reaksi-reaksi fotosintesis dan

respirasi serta untuk enzim yang terlibat dalam sintesis protein dan pati. K juga

merupakan ion yang berperan dalam mengatur potensi osmotik sel, sehingga

berperan dalam mengatur tekanan turgor sel. Dalam kaitannya dengan pengaturan

turgor sel, maka peran pentingnya adalah dalam proses membuka dan

menutupnya stomata (Lakitan 2008).

K adalah unsur yang mobil sehingga akan terjadi translokasi dari bagian

tanaman yang tua ke bagian tanaman yang lebih muda, bila terjadi kekurangan K

pada tanaman. Oleh karena itu, gejala kekurangan K mulai tampak pada bagian

tanaman yang lebih tua terlebih dahulu, lalu diikuti pada bagian tanaman yang

lebih muda. Tanaman yang kekurangan K akan menunjukkan gejala klorosis, tepi

daun mengering, produksi daun berkurang, dan malformasi daun. Selain itu,

permukaan luas daun akan berkurang pada saat defisiensi K (Prawiranata et al.

1991). Defisiensi K dapat dicegah dengan menambahkan jumlah K yang cukup ke

dalam tanah.