ii. tinjauan pustaka 2.1 taksonomi tanaman sorgumeprints.umm.ac.id/39559/3/bab ii.pdf · batang...

17
6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Tanaman Sorgum Tanaman sorgum diperkirakan berasal dari daerah timur laut Afrika atau di sekitar perbatasan Mesir-Sudan dan pertama kali dibudidayakan sekitar 6000-3000 tahun sebelum Masehi. Keragaman terbesar dari sorgum liar maupun yang dibudidayakan sangat banyak ditemukan di daerah tersebut dan kemudian menyebar ke wilayah Asia terutama diawali dari daerah India, Timur Tengah dan China seiring dengan migrasi manusia (Hariprasanna dan Rakshit, 2016). Menurut USDA (2017), tanaman sorgum diklasifikasikan sebagai berikut: Superdivisi : Spermatophyta (tanaman berbiji) Divisi : Magnoliophyta (tanaman berbunga) Kelas : Liliopsida (Monokotiledon/biji berkeping satu) Subkelas : Commelinidae Ordo : Cyperales Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan) Genus : Sorghum Moench Spesies : Sorghum bicolor (L.) Moench Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri, di mana spesies ini termasuk ke dalam famili Poaceae. Sorgum merupakan tanaman C4 dan memiliki berbagai bentuk morfofisiologis dan bentuk bunga yang menjadi bahan klasifikasi keragaman dasar dan intermediet dari setiap ras tanaman tersebut. Secara taksonomi tanaman ini pertama kali dideskripsikan oleh Linnaeus pada tahun 1753 dengan nama Holcus. Pada tahun 1794, Moench membedakan genus Sorghum dari genus Holcus. Selanjutnya beberapa peneliti

Upload: truongtuyen

Post on 12-Jun-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi Tanaman Sorgum

Tanaman sorgum diperkirakan berasal dari daerah timur laut Afrika atau di

sekitar perbatasan Mesir-Sudan dan pertama kali dibudidayakan sekitar 6000-3000

tahun sebelum Masehi. Keragaman terbesar dari sorgum liar maupun yang

dibudidayakan sangat banyak ditemukan di daerah tersebut dan kemudian

menyebar ke wilayah Asia terutama diawali dari daerah India, Timur Tengah dan

China seiring dengan migrasi manusia (Hariprasanna dan Rakshit, 2016). Menurut

USDA (2017), tanaman sorgum diklasifikasikan sebagai berikut:

Superdivisi : Spermatophyta (tanaman berbiji)

Divisi : Magnoliophyta (tanaman berbunga)

Kelas : Liliopsida (Monokotiledon/biji berkeping satu)

Subkelas : Commelinidae

Ordo : Cyperales

Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)

Genus : Sorghum Moench

Spesies : Sorghum bicolor (L.) Moench

Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman yang

menyerbuk sendiri, di mana spesies ini termasuk ke dalam famili Poaceae. Sorgum

merupakan tanaman C4 dan memiliki berbagai bentuk morfofisiologis dan bentuk

bunga yang menjadi bahan klasifikasi keragaman dasar dan intermediet dari setiap

ras tanaman tersebut. Secara taksonomi tanaman ini pertama kali dideskripsikan

oleh Linnaeus pada tahun 1753 dengan nama Holcus. Pada tahun 1794, Moench

membedakan genus Sorghum dari genus Holcus. Selanjutnya beberapa peneliti

7

mempelajari lebih dalam dan sistematis klasifikasi sorgum setelah Linnaeus dan

dikemukakanlah sorgum sebagai bagian dari famili Poaceae, suku Andropogenae,

sub suku Sorghinae dan genus Sorghum (Kumar, 2016).

Sorghum bicolor memiliki beberapa sub spesies di mana dari sub spesies

bicolor terdiri dari seluruh tanaman sorgum yang dibudidayakan (Kumar, 2016).

Harlan dan de Wet (1972) dalam Kumar (2016) menyusun klasifikasi sederhana

dari tanaman sorgum budidaya untuk mempermudah para peneliti dalam

melakukan penelitian. Sorgum bicolor (L.) Moench, subspp. bicolor dibagi lagi

kedalam 5 ras (kultivar) utama yaitu:

1. Bicolor: Malai (panikel) terbuka, bertangkai tegak, bulir memanjang, berbentuk

bulat telur dan bagian bawah hampir simetris, gluma (glumes/gloom/ pelindung

biji) menggenggam bulir biji dan lebih panjang dari biji, berbatang manis dan

dibudidayakan sebagai bahan baku bioetanol. Terdapat di Afrika dan Asia.

2. Caudatum: Biji simetris agak rata di satu sisi dan menonjol di sisi lain. Malai

beragam tetapi agak kompak dan tegak. Style (tangkai putik) tegap dan sering

mengarah ke arah gluma bagian bawah. Gluma menutupi setengah panjang biji.

Terdapat di Afrika khususnya Sudan, Uganda, dan Nigeria.

3. Durra: Bulir berbentuk bulat telur atau globular, dan seperti terjepit pada

bagian dasar bulir dan yang paling luas di bagian tengahnya. Malai sangat

kompak, gluma sangat lebar, tidak memiliki gluma bawah, tangkai malai

melengkung dan melipat ke arah tengah. Banyak ditemui di Asia Barat,

sebagian India dan Afrika.

4. Guinea: batang tinggi, panikel terpisah, tandan bagian bawah dan atas

berukuran panjang relatif sama. Biji bulat melebar dengan panjang gluma

8

hampir sama atau lebih. Bulir tersusun dalam jumlah banyak dan terbuka.

Beberapa kultivar kelompok ini beradaptasi dengan kondisi lembab sehingga

umum dibudidayakan di Asia Tenggara.

5. Kafir: Malai memanjang dan kompak. Tandan cenderung tegak mendekati

poros malai. Biji agak bulat dengan gluma seperti menggenggam bulir dan

panjangnya bervariasi. Banyak di temui di Afrika Selatan, Tanzania dan

sejumlah negara lain di Afrika sebagai makanan pokok.

Gambar 1. Panikel dan spikelet dari lima ras sorgum: (1) bicolor; (2) caudatum;

(3) durra; (4) guinea; (5) kafir (Sumber: Kumar, 2016).

9

Proses evolusi dari kelima ras sorgum kemudian menghasilkan ras

intermediet atau variasi ras akibat kombinasi 5 ras tersebut, yaitu: 1. guinea-bicolor,

2. caudatum-bicolor, 3. kafir-bicolor, 4. durra-bicolor, 5. guinea-caudatum, 6.

guinea-kafir, 7. Guinea-durra, 8. kafir-caudatum, 9. durra-caudatum, dan 10.

kafir-durra. Menurut Kumar (2016), ke 15 ras tersebut dapat diidentifikasi

berdasarkan spikelet yang matang. Klasifikasi ini dalam praktik lapang sudah cukup

jelas dan sederhana untuk membedakan variasi dari masing-masing ras baik dari

kelima ras dasar maupun dari sepuluh ras intermediet.

Sorgum termasuk ke dalam satu keluarga dengan tanaman serealia lainnya

seperti jagung, padi dan gandum hingga tanaman lain seperti tebu dan bambu.

Semua tanaman tersebut termasuk ke dalam keluarga besar Poaceae yang juga

disebut Graminae (rumput-rumputan) (Andriani dan Isnaini, 2013). Terdapat 20

genus sorgum dan 30 spesies sorgum. Spesies yang paling banyak dibudidayakan

adalah Sorghum bicolor (L.) Moench (Iriany dan Makkulawu, 2013).

2.2 Morfologi Sorgum

Sorgum merupakan tanaman berkeping satu, berakar serabut dan perakaran

hanya terdiri atas akar lateral. Sistem perakaran terdiri dari akar seminal (primer)

pada dasar buku pertama pangkal batang, akar sekunder yang terdiri dari akar

koronal (akar pada batang yang tumbuh ke arah atas) dan akar udara (tumbuh di

permukaan tanah). Tanaman ini membentuk akar sekunder dua kali lebih banyak

daripada jagung. Panjang akar mencapai 10,8 m dengan kedalaman ruang akar 1,3-

1,8 m. Sistem perakaran yang masif mendukung tanaman sorgum untuk mampu

menahan cekaman kekeringan (Andriani dan Isnaini, 2013).

10

Batang tanaman sorgum berbentuk silinder, tidak berkambium, memiliki

ruas yang mirip dengan tebu namun memiliki lapisan lilin yang tebal, dapat tumbuh

hingga tinggi 2,6-4 m. Tipe batang bervariasi dari solid dan kering hingga sekulen

dan manis. Ruas paling panjang terdapat pada ruas terakhir di ujung tanaman yang

berupa tangkai malai. Bagian batang sorgum yang sudah tua seperti spon. Pada

kondisi kekeringan parah, bagian dalam batang dapat pecah. Pada jenis sorgum

manis, bagian batang berair (juicy) karena mengandung gula yang berkisar 10-25%

saat biji masak fisiologis dan merupakan karbohidrat yang dapat terfermentasi

(Andriani dan Isnaini, 2013).

Sorgum memiliki bentuk daun pita dengan struktur terdiri atas helai dan

tangkai daun. Daun sorgum berukuran panjang berkisar 1 m dan lebar 5-13 cm.

Posisinya terdistribusi secara berlawanan sepanjang batang dengan pangkal daun

menempel pada ruas batang. Jumlah daun berbeda antar varietas yakni bervariasi

antara 7-40 helai. Helai daun sorgum berbentuk lanselot, mendatar dan berwarna

hijau muda hingga hijau tua dan terdapat lapisan lilin yang mengkilap di

permukaannya dan dapat mengurangi transpirasi sehingga toleran kekeringan.

Tulang daun lurus memanjang dengan variasi warna hijau muda, kuning hingga

putih tergantung pada varietasnya. Tanaman sorgum juga memiliki daun bendera

yang muncul paling akhir serentak dengan inisiasi malai. Terdapat sel penggerak di

sepanjang tulang daun yang dapat menggulung daun secara cepat untuk mencegah

transpirasi saat kekeringan (Andriani dan Isnaini, 2013).

Bentuk tanaman sorgum secara keseluruhan mirip dengan jagung, tetapi

memiliki perbedaan utama yaitu tipe bunga di mana sorgum memiliki bunga

sempurna sedangkan jagung memiliki bunga tidak sempurna. Bunga sorgum

11

merupakan bunga tipe panikel (susunan bunga di tangkai) dengan rangkaian bunga

berada di bagian ujung tanaman (Rismunandar, 2006). Secara utuh bunga sorgum

terdiri atas tangkai malai (Peduncle), malai (panicle), rangkaian bunga (raceme),

dan bunga (spikelet).

Gambar 2. Bentuk-bentuk malai sorgum (Sumber: Andriani dan Isnaini, 2013).

Tangkai malai merupakan ruas paling ujung dan merupakan penopang

malai. Malai sorgum tersusun atas tandan primer, sekunder, dan tersier dengan

ukuran malai berkisar panjang 4-50 cm dan lebar 2-20 cm. Berdasarkan posisi,

malai dibedakan menjadi tegak, miring, dan melengkung. Berdasarkan kerapatan,

malai sorgum dibedakan menjadi kompak, semi kompak, semi terbuka, dan terbuka

(Gambar 2). Sedangkan berdasarkan bentuk, malai sorgum terbagi menjadi bentuk

oval, silinder, kerucut, seruling, dan elip. Susunan percabangan malai semakin rapat

pada arah atas membentuk rangkaian bunga longgar atau kompak tergantung

panjang malai, panjang tandan, jarak percabangan tandan dan kerapatan spikelet

(Andriani dan Isnaini, 2013).

Tanaman sorgum merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri dengan

peluang menyerbuk silang 2-10% (Azrai et al., 2013). Sorgum memiliki bunga

biseksual (hermaprodit) dan bunga uniseksual yang berupa bunga jantan atau steril.

Kompak Semi Kompak Semi Terbuka Terbuka

12

Setiap malai terdapat sekitar 1500-4000 bunga. Diujung malai (terminal spicelet)

biasanya hanya terdiri dari dua bunga uniseksual. Glume pada bunga sorgum

berbeda-beda tergantung varietas. Saat masak fisiologis, glume ada yang berwarna

coklat, merah, hingga jingga hitam.

Perbedaan morfologi antar kultivar sorgum dapat dilihat dari bentuk

keseluruhan, namun dapat lebih jelas bila dilihat dari warna, bentuk, dan ukuran

pada malai dan organ-organ penyusun malai sorgum (Andriani dan Isnaini, 2013).

Sorgum terbagi menjadi dua kelompok yaitu sorgum tahunan dan berumur pendek

(musiman). Sorgum musiman adalah jenis yang paling banyak dibudidayakan.

Terdapat 4 keluarga pada sorgum musiman yaitu sorgum manis (sweet sorghum)

yang batangnya mengandung gula, sorgum penghasil biji (grain sorghum), sorgum

rumput (grass sorghum), dan sorgum sapu (broom sorghum). Hampir semua bagian

tanaman sorgum dapat dimanfaatkan baik daun, biji dan batang (Rismunandar,

2006). Sorgum biji merupakan jenis yang paling berpotensi untuk diversifikasi

beberapa tanaman sereal lain, sedangkan sorgum manis memiliki prospek sebagai

bahan baku bioetanol karena kadar gula (brix) pada batang sorgum setara dengan

tebu (13,6-18,4 %) (Pabendon et al., 2013).

2.3 Kandungan Nutrisi Sorgum

Sorgum memiliki perbedaan morfologis yang cukup jelas hingga tingkat

klasifikasi sub spesies dari spesies bicolor (komoditas sorgum budidaya)

(Rismunandar, 2006). Kandungan nutrisi sorgum berbeda-beda antar sub spesies,

tetapi secara umum sorgum memiliki keunggulan yang dapat dibandingkan dengan

tanaman satu familinya sehingga sorgum berpotensi untuk terus dikembangkan.

Berdasarkan kandungan nutrisinya (Tabel 1), jenis sorgum biji memiliki kandungan

13

protein lebih tinggi dan kalori lebih rendah sehingga cocok sebagai diet pangan

sehat pengganti beras. Dibandingkan dengan tanaman lain seperti gandum, jagung,

dan millet, sorgum memiliki nutrisi yang dapat bersaing dengan komoditas lain.

Perbandingan nutrisi sorgum biji dengan beberapa tanaman sereal lain

Zat Gizi Sorgum Beras Gandum Jagung Millet

Protein (g) 10,4 7,9 11,6 9,2 11,8

Lemak (g) 3,1 2,7 2 4,6 4,8

Kadar abu (g) 1,6 1,3 1,6 1,2 2,2

Serat kasar (g) 2 1 2 2,8 2,3

Karbohidrat (g) 70,7 76 71 73 67

Kalori (kkal) 329 362 348 358 363

Kalsium (mg) 25 33 30 26 42

Besi (mg) 5,4 1,8 3,5 2,7 11

Thiamin (mg) 0,38 0,41 0,41 0,38 0,38

Riboflavin (mg) 0,15 0,04 0,1 0,2 0,21

Niacin (mg) 4,3 4,3 5,1 3,6 2,8

Sumber: Hariprasanna dan Rakshit, 2016.

Jenis sorgum manis memiliki keuntungan komparatif yang tinggi terhadap

tebu dan jagung. Sorgum manis memiliki peluang yang besar sebagai bahan baku

energi alternatif bioetanol yang ramah lingkungan. Sorgum manis memiliki umur

tanaman yang singkat, tingkat kebutuhan air yang rendah dan biaya produksi etanol

per kiloliter ($/kl) yang lebih rendah dibandingkan tebu dan jagung (Tabel 2).

Keuntungan komparatif sorgum manis terhadap tebu dan jagung

Parameter Sorgum

Manis Tebu Jagung

Umur tanaman 4 bulan 9-12 bulan 4 bulan

Kebutuhan air 4.000 m3 36.000 m3 8.000 m3

Hasil biji (t/ha) 2,0 - 8

Produksi etanol nira batang (l/ha) 1.400 5.600 0

Silase/stover (t/ha) 4 13 8

Hasil etanol dari bagase (l/ha) 1.000 3.325 1.816

Total hasil ehanol (l/ha) 3.160 8.925 3.216

Biaya produksi tanaman ($/ha) 220 995 272

Biaya produksi ethanol per kilo liter ($/kl) 75,3 111,5 89,2

Sumber: Reddy et al., 2006.

14

2.4 Studi Keragaman Genetik Sorgum

Keragaman adalah perbedaan yang ditimbulkan dari penampilan suatu

populasi tanaman meliputi keragaman fenotipe dan keragaman genotipe.

Keragaman fenotipe merupakan ekspresi dari gen suatu tanaman yang disebabkan

oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi keduanya. Keragaman genetik

merupakan keragaman yang diakibatkan oleh faktor genetik (Ruwaida, 2009). Saat

ini telah luas digunakan metode mutasi atau transgenik untuk meningkatkan sumber

keragaman genetik. Keragaman genetik dalam suatu populasi menjadi indikasi

adanya variasi nilai genotipe antar individu dalam suatu populasi dan menjadi

faktor yang sangat berpengaruh dalam pemuliaan tanaman (Poespadarsono, 1998).

Keragaman genetik plasma nutfah sorgum dapat berasal dari kerabat liar

(wildtype), varietas lokal, varietas introduksi, dan hasil variasi somaklonal.

Keragaman genetik difungsikan sebagai materi genetik dan donor gen untuk

perbaikan berbagai karakter tanaman dalam pemuliaan melalui tahapan

rekombinasi dan seleksi. Tanpa keragaman genetik tinggi, program pemuliaan tidak

mungkin dilakukan. Koleksi plasma nutfah menjadi tahapan kritis dalam program

pemuliaan (Santoso et al., 2013).

Perolehan informasi keragaman genetik tanaman tidak terlepas dari

kegiatan karakterisasi. Karakterisasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk

mengidentifikasi sifat-sifat penciri suatu individu dan memiliki nilai penting.

Karakter yang diamati dapat berupa karakter morfologis (bentuk daun, bentuk buah,

bentuk batang, dan sebagainya), karakter fisiologis (senyawa fenol, alkaloid,

alelopati dan sebagainya), karakter agronomis (umur panen, jumlah anakan, dan

sebagainya), penanda isoenzim dan marka molekular. Karakterisasi dan evaluasi

15

akan menghasilkan sumber gen dan sifat-sifat potensial yang akan dipilih, diseleksi,

dan digunakan dalam program pemuliaan (Kusumawati et al., 2013).

Secara tradisional, perkembangan diversitas antar genotipe sorgum

dianalisis melalui penanda morfologis seperti bentuk malai, bentuk gluma, bentuk

panikel, ukuran dan bentuk daun, pertumbuhan, distribusi pigmen, dan beberapa

karakter kuantitatif (fenotipe) yang bisa diukur. Tetapi karakter fenotipe yang

diperoleh tidak seutuhnya merupakan hasil ekspresi murni dari genotipe tanaman

melainkan pengaruh dari lingkungan. Idealnya studi polimorfisme paling valid

dilakukan pada tingkat susunan basa nukleotida pada DNA yang merupakan

sumber informasi biologis utama makhluk hidup dan bebas dari pengaruh

lingkungan. Keragaman yang diketahui berdasarkan hasil analisis molekuler

merupakan studi keragaman yang ditetapkan melalui perbedaan karakter DNA yang

dapat dilakukan berdasarkan penanda molekuler. Perbedaan keragaman tersebut

dideterminasi berdasarkan perbedaan pola pita DNA yang terbentuk (Nagaral et al.,

2009).

Pentingnya studi keragaman genetik adalah untuk mengetahui variasi

genetik serta jarak genetik dan hubungan kekerabatan pada setiap jenis tanaman.

Keragaman genetik dapat diketahui setelah dilakukan karakterisasi dan dianalisis

jarak genetik antar tanaman. Semakin jauh jarak genetik antar tetua, semakin besar

peluang untuk menghasilkan kultivar baru dengan variabilitas genetik yang luas.

Sebaliknya bila jarak genetik sangat dekat (berkerabat), maka variabilitas genetik

yang dihasilkan menjadi sempit (Tenda et al., 2009).

Sorgum sudah dibudidayakan di Indonesia oleh petani baik secara

monokultur maupun tumpang sari dengan tanaman semusim lain (Subagio dan

16

Suryawati, 2013). Badan Litbang Pertanian hingga tahun 2012 telah melepas 15

varietas sorgum dengan berbagai karakter unggul (Tabel 3). Produktivitas sorgum

yang tinggi umumnya ditemui pada jenis yang berumur dalam (>95 hari). Daya

adaptasi sorgum tergolong luas mulai dari dataran rendah, sedang, hingga tinggi.

Sorgum yang diusahakan di beberapa daerah di Indonesia bersifat alternatif dan

belum sebagai tanaman utama. Pada 2011 pemerintah melalui Direktorat serealia

melakukan demfarm untuk usaha tani sorgum seluas 180 ha dalam rangka

penggalakan kembali usaha sorgum di kalangan petani. Usaha tersebut tersebar di

15 kabupaten dan 9 provinsi di Indonesia (Subagio dan Suryawati, 2013).

Varietas sorgum yang dilepas di Indonesia

Varietas Asal Tahun

dilepas

Umur

panen (hari)

Potensi

hasil (t/ha) Warna biji

Cempaka Introduksi < 1960 105 3,50 Putih

Birdroof Introduksi < 1960 105 3,50 Putih, coklat tua

Katengu Introduksi < 1960 105 3,50 Coklat tua

No.46 Introduksi 1967 105 4,00 Putih, coklat tua

No.6C Lokal 1969 105 4,50 Kemerah-merahan

UPCA-S2 Introduksi 1972 105 4,50 Coklat

UPCA-S1 Introduksi 1972 95 4,00 Coklat

KD4 Introduksi 1973 95 4,00 Putih

Keris Introduksi 1973 83 3,00 Putih

Badik Introduksi 1983 85 3,00 Putih

Hegari genjah Lokal 1985 85 3,70 Putih

Mandau Introduksi 1991 91 4,50 Coklat muda

Sangkur Introduksi 1991 92 3,80 Coklat muda

Kawali Introduksi 2001 110 4,76 Krem

Numbu Introduksi 2001 105 5,05 Krem

Sumber: Santoso et al., 2013.

Data dari Badan Pusat Statistik sejak 1973-1994 menunjukkan daerah

penghasil utama sorgum meliputi Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, NTB,

dan NTT (BPS 1973-1994, dalam Subagio dan Suryawati, 2013). Daerah penghasil

sorgum dilakukan dengan pengusahaan tradisional terutama di daerah Jawa Tengah

17

(Purwodadi, Demak, Pati, Wonogiri), Daerah Istimewa Yogyakarta (Kulonprogo,

Gunung Kidul), dan Jawa Timur (Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Probolinggo)

(Susilowati dan Saliem, 2013).

Pada tahun 2012 terjadi pergeseran daerah penghasil sorgum di mana

awalnya terpusat di pulau Jawa, bergeser ke daerah Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Pergeseran tersebut berkaitan dengan program lahan marginal di kedua daerah

tersebut. Sementara itu, di pulau Jawa sendiri, daerah penghasil sorgum bergeser

dari Jawa Tengah ke daerah Jawa Timur (Subagio dan Suryawati, 2013).

Eksplorasi, koleksi, dan konservasi sorgum di dunia telah dilakukan sejak

1960 dan koleksinya dikelola oleh International Crops Research Institute for the

Semi-Arid Tropics (ICRISAT) di Hyderabat, India. Sedangkan kegiatan eksplorasi,

konservasi dan koleksi plasma nutfah sorgum di Indonesia dilakukan oleh Balai

Penelitian Serealia (Balitsereal). Hingga tahun 2012 diperoleh sebanyak 52 koleksi

plasma nutfah sorgum. Lokasi eksplorasi plasma nutfah sorgum tersebut dilakukan

di berbagai daerah di Indonesia terutama di daerah-daerah yang menjadi lokasi

utama pengembangan sorgum di Indonesia (Tabel 4) (Santoso et al., 2013).

Koleksi plasma nutfah sorgum oleh Balitsereal, Maros, tahun 2010-2012

Lokasi Hasil Koleksi

Sulawesi Selatan 10 aksesi

Nusa Tenggara Timur 18 aksesi

Nusa Tenggara Barat 7 aksesi

Jawa Barat 4 aksesi

Jawa Tengah 9 aksesi

D. I. Yogyakarta 2 aksesi

Jawa Timur 2 aksesi

Total 52 aksesi

Sumber: Santoso et al., 2013.

18

2.5 Kekerabatan dan Variasi Genetik Tanaman Berdasarkan Penanda

RAPD

RAPD adalah suatu metode yang didasari oleh reaksi PCR dan

diperkenalkan oleh Williams et al. (1990). RAPD secara luas digunakan untuk

mendeteksi sekuen nukleotida yang polimorfis. Teknik RAPD lebih mudah

dilakukan, tingkat polimorfisme tinggi, cepat, tidak memerlukan informasi awal

genom target, dan hanya membutuhkan sedikit DNA sebagai cetakan. Oleh

karenanya, sejumlah penelitian taksonomi berbagai tanaman dan keragaman

genetik telah dilakukan dengan teknik ini (Agisimanto et al., 2007; Lin et al., 2011).

RAPD adalah salah satu metode yang banyak digunakan untuk

mengidentifikasi polimorfisme yang bisa digunakan untuk menganalisis perbedaan,

variasi, analisis keragaman, dan sebagainya. Kelebihan dari teknik RAPD adalah

tingkat kesederhanaan tekniknya dan amplifikasi dapat dilakukan tanpa harus

mengetahui sekuen DNA target, serta tidak membutuhkan pelabelan radioaktif.

Teknik ini membutuhkan polimerase chain reaction (PCR) atau reaksi polimerasi

berantai yang ditemukan oleh Kary Mullis (Nagaral et al., 2009). PCR merupakan

metode in vitro yang menghasilkan sejumlah fragmen DNA spesifik di mana

ukuran dan sekuen sesuai dengan DNA templat. PCR menjadi teknik yang cukup

kuat dan sensitif dalam aplikasi berbagai bidang seperti biologi molekuler, analisis

forensik, dan genetika populasi (Anggereini, 2008).

PCR merupakan metode in vitro untuk sintesis enzimatik dari sekuen DNA

menggunakan dua oligonukleotida primer yang komplementer pada ujung 5 di

kedua heliks DNA target. Primer berperan menginisiasi proses amplifikasi dan

mendeteksi polimorfisme fragmen DNA. Primer menempel pada bagian

komplemennya di templat DNA sampel. Sebelum primer menempel pada templat,

19

double heliks DNA pada mulanya dipisahkan (denaturasi) melalui proses

pemanasan (92-95oC). Suhu reaksi selanjutnya diturunkan menjadi 36-60oC

sehingga primer dapat menempel pada templat (annealing/penempelan). Kemudian

suhu dinaikkan kembali tetapi dengan suhu yang lebih rendah dari suhu denaturasi.

Pada saat suhu kembali naik yakni 72oC maka proses polimerasi (ekstensi) berjalan

oleh enzim Taq polimerase (Anggereini, 2008).

Metode RAPD menggunakan oligonukleotida tunggal pendek (biasanya 10

bp) sebagai primer dengan kandungan GC (guanin-sitosin) minimal 50%.

(Bhagyawant, 2016). RAPD menghasilkan berjuta-juta kopi segmen DNA melalui

primer oligonukleotida tunggal acak (oligonukleotida sintetik). Istilah random

dikaitkan dengan lokasi penempelan primer yang acak pada daerah-daerah genom

urutan DNA tertentu tanpa diketahui apakah sekuen yang terpolimerasi merupakan

gen atau bukan. Primer memungkinkan untuk mendeteksi polimorfisme pada

fragmen DNA. Produk amplifikasi dapat dipisahkan berdasarkan ukurannya

menggunakan elektroforesis gel dan divisualisasi melalui pewarnaan dengan

etidium bromida. Hasil amplifikasi menghasilkan fragmen DNA dengan ukuran

biasanya dalam kisaran 0,1 – 3 kb (Anggereini, 2008).

Keberhasilan teknik RAPD sangat bergantung pada kecocokan primer

dengan sekuen fragmen DNA sampel secara berpasangan pada ujung 5’ sekuen

DNA dari arah forward maupun reverse. Selain itu, keberhasilan amplifikasi sangat

dipengaruhi oleh konsentrasi primer, optimasi larutan PCR, kondisi siklus suhu

PCR, serta konsentrasi dan kemurnian DNA (Li et al., 2006). Berbagai penelitian

sorgum membuktikan bahwa setiap primer yang digunakan memberikan hasil yang

berbeda dan secara umum tidak dapat dianggap cocok pada semua sampel. Oleh

20

karena itu, Ruwaida (2009) menyatakan bahwa dalam melakukan penelitian

molekuler, perlu dilakukan kembali seleksi jenis primer RAPD yang akan

digunakan dalam penelitian.

RAPD menghasilkan pita yang putus-putus sebagai gambaran DNA yang

teramplifikasi dengan ukuran panjang basa yang berbeda-beda, umumnya kurang

dari 3000 bp. Hasil PCR dengan primer RAPD berupa potongan DNA dipisahkan

dengan elektroforesis. Hasil amplifikasi (amplikon) merupakan penanda genetik

dan karakter molekuler untuk tingkat keragaman genetik yang didasari oleh

terjadinya polimorfisme yang ditandai dengan ada atau tidaknya amplikon antar

sampel pada suatu ukuran basa. Primer yang digunakan dianggap efektif bila

mampu menghasilkan tingkat polimorfisme yang tinggi sehingga memudahkan

dalam menentukan karakter genetik (Williams et al., 1990). Setiap produk hasil

amplifikasi berupa pita DNA diasumsikan sebagai interpretasi sebuah lokus tunggal

dan data tersebut diberikan nilai 1 untuk representasi kehadiran pita DNA, dan nilai

0 untuk ketiadaan pita DNA (Carvalho et al., 2004).

Analisis data keragaman genetik sorgum menggunakan RAPD dilakukan

setelah diperoleh pita DNA hasil amplifikasi menggunakan primer RAPD. Menurut

Sukartini (2008), salah satu metode perhitungan derajat kedekatan antar aksesi

adalah dengan menggunakan koefisien kemiripan genetik Dice. Koefisien

kemiripan genetik Dice mula-mula dihitung dengan rumus:

Sb =

sedangkan jarak genetik antar aksesi sorgum dihitung dengan rumus:

d = 1-Sb

2a

(ni + nj)

21

Keterangan:

Sb : Koefisien kemiripan genetik Dice

a : total pita (nilai 1) yang dimiliki oleh aksesi ke-i dan ke-j

ni dan nj : total nilai 1 dari kolom ke-i dan ke-j

d : jarak genetik

Gambaran variasi genetik baik dalam bentuk jarak maupun kekerabatan

genetik dapat dianalisis lebih lanjut dalam bentuk pohon filogenetik. Pohon

filogenetik berupa diagram yang terdiri atas cabang luar atau daun di mana titik-

titik dan cabang mewakili hubungan di antara taksa. Penyusunan pohon filogenetik

tersebut bertujuan untuk melihat hubungan antara organisme dan mengestimasi

perbedaan yang terjadi antar organisme tersebut sehingga dapat diduga keragaman

maupun hubungan kekerabatan suatu organisme (Dharmayanti, 2011).

Terdapat beberapa metode konstruksi pohon filogenetik dari data molekuler

seperti pita DNA hasil amplifikasi menggunakan RAPD. Salah satu metode

penyusunan pohon berdasarkan jarak genetik yang paling banyak digunakan adalah

metode gerombol (cluster) seperti UPGMA (unweighted-pair group method with

arithmetic means) atau metode unweighted-pair group dengan rata-rata aritmatika

menggunakan algoritma pengelompokan bertahap dan dengan asumsi laju evolusi

adalah sama untuk semua cabang. Akar pada pohon filogenetik adalah gambaran

titik percabangan pertama atau asal masing-masing populasi. Pola percabangan

pohon dibentuk dari jarak matriks antar pasangan populasi yang dapat

menggambarkan fusi genetik yang terjadi. Sedangkan panjang cabang menjadi

gambaran dari jumlah substitusi basa yang dapat berupa polimorfisme DNA

(Dharmayanti, 2011).

Terdapat metode perhitungan lain dalam menghitung derajat kedekatan

selain menggunakan koefisien Dice yaitu menggunakan koefisien kemiripan

22

Jaccard. Berbeda dengan koefisien Dice, koefisien Jaccard hanya

mempertimbangkan karakter/pita yang tampak (present) sebagai faktor yang

berkontribusi terhadap kemiripan individu dan mengabaikan nilai nol atau absen.

Kedua koefisien tersebut sangat mirip, sehingga topologi dendogram tidak berbeda.

Perbedaan yang jelas terlihat hanyalah pada panjang cabang dendogram. Koefisien

Dice sebenarnya sama dengan koefisien Nei & Li (Nei dan Li, 1979) dan secara

umum lebih dijadikan preferensi dan lebih cocok dalam perhitungan hubungan

genetik berdasarkan pola pita DNA (Applied Maths, 2018).

Beberapa penelitian yang menggunakan metode RAPD untuk menganalisis

keragaman, kekerabatan genetik, dan studi pemuliaan lain pada sorgum telah

dilakukan. Metode UPGMA juga digunakan sebagai metode perancangan

dendogram untuk analisis gerombol berdasarkan koefisien kemiripan yang

digunakan pada setiap penelitian. Beberapa penelitian tersebut antara lain adalah:

analisis keragaman 32 genotipe sorgum dengan penanda RAPD (Prakash et al.,

2006), studi RAPD dalam identifikasi hibrida sorgum dan tetuanya (Akhare et al.,

2008), evaluasi keragaman genetik sorgum dengan RAPD (Nagaral et al., 2009),

dan biodiversitas plasma nutfah sorgum di Pakistan (Iqbal et al., 2010). Berbagai

penelitian menggunakan penanda RAPD juga telah dilakukan pada spesies tanaman

lain di antaranya, jagung (Carvalho et al., 2004; Martin et al., 2017), tebu (Kawar

et al., 2009), dan gandum (Teshale et al., 2003; Abdellatif dan AbouZeid, 2011).