6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taksonomi Tanaman Sorgum
Tanaman sorgum diperkirakan berasal dari daerah timur laut Afrika atau di
sekitar perbatasan Mesir-Sudan dan pertama kali dibudidayakan sekitar 6000-3000
tahun sebelum Masehi. Keragaman terbesar dari sorgum liar maupun yang
dibudidayakan sangat banyak ditemukan di daerah tersebut dan kemudian
menyebar ke wilayah Asia terutama diawali dari daerah India, Timur Tengah dan
China seiring dengan migrasi manusia (Hariprasanna dan Rakshit, 2016). Menurut
USDA (2017), tanaman sorgum diklasifikasikan sebagai berikut:
Superdivisi : Spermatophyta (tanaman berbiji)
Divisi : Magnoliophyta (tanaman berbunga)
Kelas : Liliopsida (Monokotiledon/biji berkeping satu)
Subkelas : Commelinidae
Ordo : Cyperales
Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus : Sorghum Moench
Spesies : Sorghum bicolor (L.) Moench
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman yang
menyerbuk sendiri, di mana spesies ini termasuk ke dalam famili Poaceae. Sorgum
merupakan tanaman C4 dan memiliki berbagai bentuk morfofisiologis dan bentuk
bunga yang menjadi bahan klasifikasi keragaman dasar dan intermediet dari setiap
ras tanaman tersebut. Secara taksonomi tanaman ini pertama kali dideskripsikan
oleh Linnaeus pada tahun 1753 dengan nama Holcus. Pada tahun 1794, Moench
membedakan genus Sorghum dari genus Holcus. Selanjutnya beberapa peneliti
7
mempelajari lebih dalam dan sistematis klasifikasi sorgum setelah Linnaeus dan
dikemukakanlah sorgum sebagai bagian dari famili Poaceae, suku Andropogenae,
sub suku Sorghinae dan genus Sorghum (Kumar, 2016).
Sorghum bicolor memiliki beberapa sub spesies di mana dari sub spesies
bicolor terdiri dari seluruh tanaman sorgum yang dibudidayakan (Kumar, 2016).
Harlan dan de Wet (1972) dalam Kumar (2016) menyusun klasifikasi sederhana
dari tanaman sorgum budidaya untuk mempermudah para peneliti dalam
melakukan penelitian. Sorgum bicolor (L.) Moench, subspp. bicolor dibagi lagi
kedalam 5 ras (kultivar) utama yaitu:
1. Bicolor: Malai (panikel) terbuka, bertangkai tegak, bulir memanjang, berbentuk
bulat telur dan bagian bawah hampir simetris, gluma (glumes/gloom/ pelindung
biji) menggenggam bulir biji dan lebih panjang dari biji, berbatang manis dan
dibudidayakan sebagai bahan baku bioetanol. Terdapat di Afrika dan Asia.
2. Caudatum: Biji simetris agak rata di satu sisi dan menonjol di sisi lain. Malai
beragam tetapi agak kompak dan tegak. Style (tangkai putik) tegap dan sering
mengarah ke arah gluma bagian bawah. Gluma menutupi setengah panjang biji.
Terdapat di Afrika khususnya Sudan, Uganda, dan Nigeria.
3. Durra: Bulir berbentuk bulat telur atau globular, dan seperti terjepit pada
bagian dasar bulir dan yang paling luas di bagian tengahnya. Malai sangat
kompak, gluma sangat lebar, tidak memiliki gluma bawah, tangkai malai
melengkung dan melipat ke arah tengah. Banyak ditemui di Asia Barat,
sebagian India dan Afrika.
4. Guinea: batang tinggi, panikel terpisah, tandan bagian bawah dan atas
berukuran panjang relatif sama. Biji bulat melebar dengan panjang gluma
8
hampir sama atau lebih. Bulir tersusun dalam jumlah banyak dan terbuka.
Beberapa kultivar kelompok ini beradaptasi dengan kondisi lembab sehingga
umum dibudidayakan di Asia Tenggara.
5. Kafir: Malai memanjang dan kompak. Tandan cenderung tegak mendekati
poros malai. Biji agak bulat dengan gluma seperti menggenggam bulir dan
panjangnya bervariasi. Banyak di temui di Afrika Selatan, Tanzania dan
sejumlah negara lain di Afrika sebagai makanan pokok.
Gambar 1. Panikel dan spikelet dari lima ras sorgum: (1) bicolor; (2) caudatum;
(3) durra; (4) guinea; (5) kafir (Sumber: Kumar, 2016).
9
Proses evolusi dari kelima ras sorgum kemudian menghasilkan ras
intermediet atau variasi ras akibat kombinasi 5 ras tersebut, yaitu: 1. guinea-bicolor,
2. caudatum-bicolor, 3. kafir-bicolor, 4. durra-bicolor, 5. guinea-caudatum, 6.
guinea-kafir, 7. Guinea-durra, 8. kafir-caudatum, 9. durra-caudatum, dan 10.
kafir-durra. Menurut Kumar (2016), ke 15 ras tersebut dapat diidentifikasi
berdasarkan spikelet yang matang. Klasifikasi ini dalam praktik lapang sudah cukup
jelas dan sederhana untuk membedakan variasi dari masing-masing ras baik dari
kelima ras dasar maupun dari sepuluh ras intermediet.
Sorgum termasuk ke dalam satu keluarga dengan tanaman serealia lainnya
seperti jagung, padi dan gandum hingga tanaman lain seperti tebu dan bambu.
Semua tanaman tersebut termasuk ke dalam keluarga besar Poaceae yang juga
disebut Graminae (rumput-rumputan) (Andriani dan Isnaini, 2013). Terdapat 20
genus sorgum dan 30 spesies sorgum. Spesies yang paling banyak dibudidayakan
adalah Sorghum bicolor (L.) Moench (Iriany dan Makkulawu, 2013).
2.2 Morfologi Sorgum
Sorgum merupakan tanaman berkeping satu, berakar serabut dan perakaran
hanya terdiri atas akar lateral. Sistem perakaran terdiri dari akar seminal (primer)
pada dasar buku pertama pangkal batang, akar sekunder yang terdiri dari akar
koronal (akar pada batang yang tumbuh ke arah atas) dan akar udara (tumbuh di
permukaan tanah). Tanaman ini membentuk akar sekunder dua kali lebih banyak
daripada jagung. Panjang akar mencapai 10,8 m dengan kedalaman ruang akar 1,3-
1,8 m. Sistem perakaran yang masif mendukung tanaman sorgum untuk mampu
menahan cekaman kekeringan (Andriani dan Isnaini, 2013).
10
Batang tanaman sorgum berbentuk silinder, tidak berkambium, memiliki
ruas yang mirip dengan tebu namun memiliki lapisan lilin yang tebal, dapat tumbuh
hingga tinggi 2,6-4 m. Tipe batang bervariasi dari solid dan kering hingga sekulen
dan manis. Ruas paling panjang terdapat pada ruas terakhir di ujung tanaman yang
berupa tangkai malai. Bagian batang sorgum yang sudah tua seperti spon. Pada
kondisi kekeringan parah, bagian dalam batang dapat pecah. Pada jenis sorgum
manis, bagian batang berair (juicy) karena mengandung gula yang berkisar 10-25%
saat biji masak fisiologis dan merupakan karbohidrat yang dapat terfermentasi
(Andriani dan Isnaini, 2013).
Sorgum memiliki bentuk daun pita dengan struktur terdiri atas helai dan
tangkai daun. Daun sorgum berukuran panjang berkisar 1 m dan lebar 5-13 cm.
Posisinya terdistribusi secara berlawanan sepanjang batang dengan pangkal daun
menempel pada ruas batang. Jumlah daun berbeda antar varietas yakni bervariasi
antara 7-40 helai. Helai daun sorgum berbentuk lanselot, mendatar dan berwarna
hijau muda hingga hijau tua dan terdapat lapisan lilin yang mengkilap di
permukaannya dan dapat mengurangi transpirasi sehingga toleran kekeringan.
Tulang daun lurus memanjang dengan variasi warna hijau muda, kuning hingga
putih tergantung pada varietasnya. Tanaman sorgum juga memiliki daun bendera
yang muncul paling akhir serentak dengan inisiasi malai. Terdapat sel penggerak di
sepanjang tulang daun yang dapat menggulung daun secara cepat untuk mencegah
transpirasi saat kekeringan (Andriani dan Isnaini, 2013).
Bentuk tanaman sorgum secara keseluruhan mirip dengan jagung, tetapi
memiliki perbedaan utama yaitu tipe bunga di mana sorgum memiliki bunga
sempurna sedangkan jagung memiliki bunga tidak sempurna. Bunga sorgum
11
merupakan bunga tipe panikel (susunan bunga di tangkai) dengan rangkaian bunga
berada di bagian ujung tanaman (Rismunandar, 2006). Secara utuh bunga sorgum
terdiri atas tangkai malai (Peduncle), malai (panicle), rangkaian bunga (raceme),
dan bunga (spikelet).
Gambar 2. Bentuk-bentuk malai sorgum (Sumber: Andriani dan Isnaini, 2013).
Tangkai malai merupakan ruas paling ujung dan merupakan penopang
malai. Malai sorgum tersusun atas tandan primer, sekunder, dan tersier dengan
ukuran malai berkisar panjang 4-50 cm dan lebar 2-20 cm. Berdasarkan posisi,
malai dibedakan menjadi tegak, miring, dan melengkung. Berdasarkan kerapatan,
malai sorgum dibedakan menjadi kompak, semi kompak, semi terbuka, dan terbuka
(Gambar 2). Sedangkan berdasarkan bentuk, malai sorgum terbagi menjadi bentuk
oval, silinder, kerucut, seruling, dan elip. Susunan percabangan malai semakin rapat
pada arah atas membentuk rangkaian bunga longgar atau kompak tergantung
panjang malai, panjang tandan, jarak percabangan tandan dan kerapatan spikelet
(Andriani dan Isnaini, 2013).
Tanaman sorgum merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri dengan
peluang menyerbuk silang 2-10% (Azrai et al., 2013). Sorgum memiliki bunga
biseksual (hermaprodit) dan bunga uniseksual yang berupa bunga jantan atau steril.
Kompak Semi Kompak Semi Terbuka Terbuka
12
Setiap malai terdapat sekitar 1500-4000 bunga. Diujung malai (terminal spicelet)
biasanya hanya terdiri dari dua bunga uniseksual. Glume pada bunga sorgum
berbeda-beda tergantung varietas. Saat masak fisiologis, glume ada yang berwarna
coklat, merah, hingga jingga hitam.
Perbedaan morfologi antar kultivar sorgum dapat dilihat dari bentuk
keseluruhan, namun dapat lebih jelas bila dilihat dari warna, bentuk, dan ukuran
pada malai dan organ-organ penyusun malai sorgum (Andriani dan Isnaini, 2013).
Sorgum terbagi menjadi dua kelompok yaitu sorgum tahunan dan berumur pendek
(musiman). Sorgum musiman adalah jenis yang paling banyak dibudidayakan.
Terdapat 4 keluarga pada sorgum musiman yaitu sorgum manis (sweet sorghum)
yang batangnya mengandung gula, sorgum penghasil biji (grain sorghum), sorgum
rumput (grass sorghum), dan sorgum sapu (broom sorghum). Hampir semua bagian
tanaman sorgum dapat dimanfaatkan baik daun, biji dan batang (Rismunandar,
2006). Sorgum biji merupakan jenis yang paling berpotensi untuk diversifikasi
beberapa tanaman sereal lain, sedangkan sorgum manis memiliki prospek sebagai
bahan baku bioetanol karena kadar gula (brix) pada batang sorgum setara dengan
tebu (13,6-18,4 %) (Pabendon et al., 2013).
2.3 Kandungan Nutrisi Sorgum
Sorgum memiliki perbedaan morfologis yang cukup jelas hingga tingkat
klasifikasi sub spesies dari spesies bicolor (komoditas sorgum budidaya)
(Rismunandar, 2006). Kandungan nutrisi sorgum berbeda-beda antar sub spesies,
tetapi secara umum sorgum memiliki keunggulan yang dapat dibandingkan dengan
tanaman satu familinya sehingga sorgum berpotensi untuk terus dikembangkan.
Berdasarkan kandungan nutrisinya (Tabel 1), jenis sorgum biji memiliki kandungan
13
protein lebih tinggi dan kalori lebih rendah sehingga cocok sebagai diet pangan
sehat pengganti beras. Dibandingkan dengan tanaman lain seperti gandum, jagung,
dan millet, sorgum memiliki nutrisi yang dapat bersaing dengan komoditas lain.
Perbandingan nutrisi sorgum biji dengan beberapa tanaman sereal lain
Zat Gizi Sorgum Beras Gandum Jagung Millet
Protein (g) 10,4 7,9 11,6 9,2 11,8
Lemak (g) 3,1 2,7 2 4,6 4,8
Kadar abu (g) 1,6 1,3 1,6 1,2 2,2
Serat kasar (g) 2 1 2 2,8 2,3
Karbohidrat (g) 70,7 76 71 73 67
Kalori (kkal) 329 362 348 358 363
Kalsium (mg) 25 33 30 26 42
Besi (mg) 5,4 1,8 3,5 2,7 11
Thiamin (mg) 0,38 0,41 0,41 0,38 0,38
Riboflavin (mg) 0,15 0,04 0,1 0,2 0,21
Niacin (mg) 4,3 4,3 5,1 3,6 2,8
Sumber: Hariprasanna dan Rakshit, 2016.
Jenis sorgum manis memiliki keuntungan komparatif yang tinggi terhadap
tebu dan jagung. Sorgum manis memiliki peluang yang besar sebagai bahan baku
energi alternatif bioetanol yang ramah lingkungan. Sorgum manis memiliki umur
tanaman yang singkat, tingkat kebutuhan air yang rendah dan biaya produksi etanol
per kiloliter ($/kl) yang lebih rendah dibandingkan tebu dan jagung (Tabel 2).
Keuntungan komparatif sorgum manis terhadap tebu dan jagung
Parameter Sorgum
Manis Tebu Jagung
Umur tanaman 4 bulan 9-12 bulan 4 bulan
Kebutuhan air 4.000 m3 36.000 m3 8.000 m3
Hasil biji (t/ha) 2,0 - 8
Produksi etanol nira batang (l/ha) 1.400 5.600 0
Silase/stover (t/ha) 4 13 8
Hasil etanol dari bagase (l/ha) 1.000 3.325 1.816
Total hasil ehanol (l/ha) 3.160 8.925 3.216
Biaya produksi tanaman ($/ha) 220 995 272
Biaya produksi ethanol per kilo liter ($/kl) 75,3 111,5 89,2
Sumber: Reddy et al., 2006.
14
2.4 Studi Keragaman Genetik Sorgum
Keragaman adalah perbedaan yang ditimbulkan dari penampilan suatu
populasi tanaman meliputi keragaman fenotipe dan keragaman genotipe.
Keragaman fenotipe merupakan ekspresi dari gen suatu tanaman yang disebabkan
oleh faktor genetik, lingkungan dan interaksi keduanya. Keragaman genetik
merupakan keragaman yang diakibatkan oleh faktor genetik (Ruwaida, 2009). Saat
ini telah luas digunakan metode mutasi atau transgenik untuk meningkatkan sumber
keragaman genetik. Keragaman genetik dalam suatu populasi menjadi indikasi
adanya variasi nilai genotipe antar individu dalam suatu populasi dan menjadi
faktor yang sangat berpengaruh dalam pemuliaan tanaman (Poespadarsono, 1998).
Keragaman genetik plasma nutfah sorgum dapat berasal dari kerabat liar
(wildtype), varietas lokal, varietas introduksi, dan hasil variasi somaklonal.
Keragaman genetik difungsikan sebagai materi genetik dan donor gen untuk
perbaikan berbagai karakter tanaman dalam pemuliaan melalui tahapan
rekombinasi dan seleksi. Tanpa keragaman genetik tinggi, program pemuliaan tidak
mungkin dilakukan. Koleksi plasma nutfah menjadi tahapan kritis dalam program
pemuliaan (Santoso et al., 2013).
Perolehan informasi keragaman genetik tanaman tidak terlepas dari
kegiatan karakterisasi. Karakterisasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk
mengidentifikasi sifat-sifat penciri suatu individu dan memiliki nilai penting.
Karakter yang diamati dapat berupa karakter morfologis (bentuk daun, bentuk buah,
bentuk batang, dan sebagainya), karakter fisiologis (senyawa fenol, alkaloid,
alelopati dan sebagainya), karakter agronomis (umur panen, jumlah anakan, dan
sebagainya), penanda isoenzim dan marka molekular. Karakterisasi dan evaluasi
15
akan menghasilkan sumber gen dan sifat-sifat potensial yang akan dipilih, diseleksi,
dan digunakan dalam program pemuliaan (Kusumawati et al., 2013).
Secara tradisional, perkembangan diversitas antar genotipe sorgum
dianalisis melalui penanda morfologis seperti bentuk malai, bentuk gluma, bentuk
panikel, ukuran dan bentuk daun, pertumbuhan, distribusi pigmen, dan beberapa
karakter kuantitatif (fenotipe) yang bisa diukur. Tetapi karakter fenotipe yang
diperoleh tidak seutuhnya merupakan hasil ekspresi murni dari genotipe tanaman
melainkan pengaruh dari lingkungan. Idealnya studi polimorfisme paling valid
dilakukan pada tingkat susunan basa nukleotida pada DNA yang merupakan
sumber informasi biologis utama makhluk hidup dan bebas dari pengaruh
lingkungan. Keragaman yang diketahui berdasarkan hasil analisis molekuler
merupakan studi keragaman yang ditetapkan melalui perbedaan karakter DNA yang
dapat dilakukan berdasarkan penanda molekuler. Perbedaan keragaman tersebut
dideterminasi berdasarkan perbedaan pola pita DNA yang terbentuk (Nagaral et al.,
2009).
Pentingnya studi keragaman genetik adalah untuk mengetahui variasi
genetik serta jarak genetik dan hubungan kekerabatan pada setiap jenis tanaman.
Keragaman genetik dapat diketahui setelah dilakukan karakterisasi dan dianalisis
jarak genetik antar tanaman. Semakin jauh jarak genetik antar tetua, semakin besar
peluang untuk menghasilkan kultivar baru dengan variabilitas genetik yang luas.
Sebaliknya bila jarak genetik sangat dekat (berkerabat), maka variabilitas genetik
yang dihasilkan menjadi sempit (Tenda et al., 2009).
Sorgum sudah dibudidayakan di Indonesia oleh petani baik secara
monokultur maupun tumpang sari dengan tanaman semusim lain (Subagio dan
16
Suryawati, 2013). Badan Litbang Pertanian hingga tahun 2012 telah melepas 15
varietas sorgum dengan berbagai karakter unggul (Tabel 3). Produktivitas sorgum
yang tinggi umumnya ditemui pada jenis yang berumur dalam (>95 hari). Daya
adaptasi sorgum tergolong luas mulai dari dataran rendah, sedang, hingga tinggi.
Sorgum yang diusahakan di beberapa daerah di Indonesia bersifat alternatif dan
belum sebagai tanaman utama. Pada 2011 pemerintah melalui Direktorat serealia
melakukan demfarm untuk usaha tani sorgum seluas 180 ha dalam rangka
penggalakan kembali usaha sorgum di kalangan petani. Usaha tersebut tersebar di
15 kabupaten dan 9 provinsi di Indonesia (Subagio dan Suryawati, 2013).
Varietas sorgum yang dilepas di Indonesia
Varietas Asal Tahun
dilepas
Umur
panen (hari)
Potensi
hasil (t/ha) Warna biji
Cempaka Introduksi < 1960 105 3,50 Putih
Birdroof Introduksi < 1960 105 3,50 Putih, coklat tua
Katengu Introduksi < 1960 105 3,50 Coklat tua
No.46 Introduksi 1967 105 4,00 Putih, coklat tua
No.6C Lokal 1969 105 4,50 Kemerah-merahan
UPCA-S2 Introduksi 1972 105 4,50 Coklat
UPCA-S1 Introduksi 1972 95 4,00 Coklat
KD4 Introduksi 1973 95 4,00 Putih
Keris Introduksi 1973 83 3,00 Putih
Badik Introduksi 1983 85 3,00 Putih
Hegari genjah Lokal 1985 85 3,70 Putih
Mandau Introduksi 1991 91 4,50 Coklat muda
Sangkur Introduksi 1991 92 3,80 Coklat muda
Kawali Introduksi 2001 110 4,76 Krem
Numbu Introduksi 2001 105 5,05 Krem
Sumber: Santoso et al., 2013.
Data dari Badan Pusat Statistik sejak 1973-1994 menunjukkan daerah
penghasil utama sorgum meliputi Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur, NTB,
dan NTT (BPS 1973-1994, dalam Subagio dan Suryawati, 2013). Daerah penghasil
sorgum dilakukan dengan pengusahaan tradisional terutama di daerah Jawa Tengah
17
(Purwodadi, Demak, Pati, Wonogiri), Daerah Istimewa Yogyakarta (Kulonprogo,
Gunung Kidul), dan Jawa Timur (Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Probolinggo)
(Susilowati dan Saliem, 2013).
Pada tahun 2012 terjadi pergeseran daerah penghasil sorgum di mana
awalnya terpusat di pulau Jawa, bergeser ke daerah Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Pergeseran tersebut berkaitan dengan program lahan marginal di kedua daerah
tersebut. Sementara itu, di pulau Jawa sendiri, daerah penghasil sorgum bergeser
dari Jawa Tengah ke daerah Jawa Timur (Subagio dan Suryawati, 2013).
Eksplorasi, koleksi, dan konservasi sorgum di dunia telah dilakukan sejak
1960 dan koleksinya dikelola oleh International Crops Research Institute for the
Semi-Arid Tropics (ICRISAT) di Hyderabat, India. Sedangkan kegiatan eksplorasi,
konservasi dan koleksi plasma nutfah sorgum di Indonesia dilakukan oleh Balai
Penelitian Serealia (Balitsereal). Hingga tahun 2012 diperoleh sebanyak 52 koleksi
plasma nutfah sorgum. Lokasi eksplorasi plasma nutfah sorgum tersebut dilakukan
di berbagai daerah di Indonesia terutama di daerah-daerah yang menjadi lokasi
utama pengembangan sorgum di Indonesia (Tabel 4) (Santoso et al., 2013).
Koleksi plasma nutfah sorgum oleh Balitsereal, Maros, tahun 2010-2012
Lokasi Hasil Koleksi
Sulawesi Selatan 10 aksesi
Nusa Tenggara Timur 18 aksesi
Nusa Tenggara Barat 7 aksesi
Jawa Barat 4 aksesi
Jawa Tengah 9 aksesi
D. I. Yogyakarta 2 aksesi
Jawa Timur 2 aksesi
Total 52 aksesi
Sumber: Santoso et al., 2013.
18
2.5 Kekerabatan dan Variasi Genetik Tanaman Berdasarkan Penanda
RAPD
RAPD adalah suatu metode yang didasari oleh reaksi PCR dan
diperkenalkan oleh Williams et al. (1990). RAPD secara luas digunakan untuk
mendeteksi sekuen nukleotida yang polimorfis. Teknik RAPD lebih mudah
dilakukan, tingkat polimorfisme tinggi, cepat, tidak memerlukan informasi awal
genom target, dan hanya membutuhkan sedikit DNA sebagai cetakan. Oleh
karenanya, sejumlah penelitian taksonomi berbagai tanaman dan keragaman
genetik telah dilakukan dengan teknik ini (Agisimanto et al., 2007; Lin et al., 2011).
RAPD adalah salah satu metode yang banyak digunakan untuk
mengidentifikasi polimorfisme yang bisa digunakan untuk menganalisis perbedaan,
variasi, analisis keragaman, dan sebagainya. Kelebihan dari teknik RAPD adalah
tingkat kesederhanaan tekniknya dan amplifikasi dapat dilakukan tanpa harus
mengetahui sekuen DNA target, serta tidak membutuhkan pelabelan radioaktif.
Teknik ini membutuhkan polimerase chain reaction (PCR) atau reaksi polimerasi
berantai yang ditemukan oleh Kary Mullis (Nagaral et al., 2009). PCR merupakan
metode in vitro yang menghasilkan sejumlah fragmen DNA spesifik di mana
ukuran dan sekuen sesuai dengan DNA templat. PCR menjadi teknik yang cukup
kuat dan sensitif dalam aplikasi berbagai bidang seperti biologi molekuler, analisis
forensik, dan genetika populasi (Anggereini, 2008).
PCR merupakan metode in vitro untuk sintesis enzimatik dari sekuen DNA
menggunakan dua oligonukleotida primer yang komplementer pada ujung 5 di
kedua heliks DNA target. Primer berperan menginisiasi proses amplifikasi dan
mendeteksi polimorfisme fragmen DNA. Primer menempel pada bagian
komplemennya di templat DNA sampel. Sebelum primer menempel pada templat,
19
double heliks DNA pada mulanya dipisahkan (denaturasi) melalui proses
pemanasan (92-95oC). Suhu reaksi selanjutnya diturunkan menjadi 36-60oC
sehingga primer dapat menempel pada templat (annealing/penempelan). Kemudian
suhu dinaikkan kembali tetapi dengan suhu yang lebih rendah dari suhu denaturasi.
Pada saat suhu kembali naik yakni 72oC maka proses polimerasi (ekstensi) berjalan
oleh enzim Taq polimerase (Anggereini, 2008).
Metode RAPD menggunakan oligonukleotida tunggal pendek (biasanya 10
bp) sebagai primer dengan kandungan GC (guanin-sitosin) minimal 50%.
(Bhagyawant, 2016). RAPD menghasilkan berjuta-juta kopi segmen DNA melalui
primer oligonukleotida tunggal acak (oligonukleotida sintetik). Istilah random
dikaitkan dengan lokasi penempelan primer yang acak pada daerah-daerah genom
urutan DNA tertentu tanpa diketahui apakah sekuen yang terpolimerasi merupakan
gen atau bukan. Primer memungkinkan untuk mendeteksi polimorfisme pada
fragmen DNA. Produk amplifikasi dapat dipisahkan berdasarkan ukurannya
menggunakan elektroforesis gel dan divisualisasi melalui pewarnaan dengan
etidium bromida. Hasil amplifikasi menghasilkan fragmen DNA dengan ukuran
biasanya dalam kisaran 0,1 – 3 kb (Anggereini, 2008).
Keberhasilan teknik RAPD sangat bergantung pada kecocokan primer
dengan sekuen fragmen DNA sampel secara berpasangan pada ujung 5’ sekuen
DNA dari arah forward maupun reverse. Selain itu, keberhasilan amplifikasi sangat
dipengaruhi oleh konsentrasi primer, optimasi larutan PCR, kondisi siklus suhu
PCR, serta konsentrasi dan kemurnian DNA (Li et al., 2006). Berbagai penelitian
sorgum membuktikan bahwa setiap primer yang digunakan memberikan hasil yang
berbeda dan secara umum tidak dapat dianggap cocok pada semua sampel. Oleh
20
karena itu, Ruwaida (2009) menyatakan bahwa dalam melakukan penelitian
molekuler, perlu dilakukan kembali seleksi jenis primer RAPD yang akan
digunakan dalam penelitian.
RAPD menghasilkan pita yang putus-putus sebagai gambaran DNA yang
teramplifikasi dengan ukuran panjang basa yang berbeda-beda, umumnya kurang
dari 3000 bp. Hasil PCR dengan primer RAPD berupa potongan DNA dipisahkan
dengan elektroforesis. Hasil amplifikasi (amplikon) merupakan penanda genetik
dan karakter molekuler untuk tingkat keragaman genetik yang didasari oleh
terjadinya polimorfisme yang ditandai dengan ada atau tidaknya amplikon antar
sampel pada suatu ukuran basa. Primer yang digunakan dianggap efektif bila
mampu menghasilkan tingkat polimorfisme yang tinggi sehingga memudahkan
dalam menentukan karakter genetik (Williams et al., 1990). Setiap produk hasil
amplifikasi berupa pita DNA diasumsikan sebagai interpretasi sebuah lokus tunggal
dan data tersebut diberikan nilai 1 untuk representasi kehadiran pita DNA, dan nilai
0 untuk ketiadaan pita DNA (Carvalho et al., 2004).
Analisis data keragaman genetik sorgum menggunakan RAPD dilakukan
setelah diperoleh pita DNA hasil amplifikasi menggunakan primer RAPD. Menurut
Sukartini (2008), salah satu metode perhitungan derajat kedekatan antar aksesi
adalah dengan menggunakan koefisien kemiripan genetik Dice. Koefisien
kemiripan genetik Dice mula-mula dihitung dengan rumus:
Sb =
sedangkan jarak genetik antar aksesi sorgum dihitung dengan rumus:
d = 1-Sb
2a
(ni + nj)
21
Keterangan:
Sb : Koefisien kemiripan genetik Dice
a : total pita (nilai 1) yang dimiliki oleh aksesi ke-i dan ke-j
ni dan nj : total nilai 1 dari kolom ke-i dan ke-j
d : jarak genetik
Gambaran variasi genetik baik dalam bentuk jarak maupun kekerabatan
genetik dapat dianalisis lebih lanjut dalam bentuk pohon filogenetik. Pohon
filogenetik berupa diagram yang terdiri atas cabang luar atau daun di mana titik-
titik dan cabang mewakili hubungan di antara taksa. Penyusunan pohon filogenetik
tersebut bertujuan untuk melihat hubungan antara organisme dan mengestimasi
perbedaan yang terjadi antar organisme tersebut sehingga dapat diduga keragaman
maupun hubungan kekerabatan suatu organisme (Dharmayanti, 2011).
Terdapat beberapa metode konstruksi pohon filogenetik dari data molekuler
seperti pita DNA hasil amplifikasi menggunakan RAPD. Salah satu metode
penyusunan pohon berdasarkan jarak genetik yang paling banyak digunakan adalah
metode gerombol (cluster) seperti UPGMA (unweighted-pair group method with
arithmetic means) atau metode unweighted-pair group dengan rata-rata aritmatika
menggunakan algoritma pengelompokan bertahap dan dengan asumsi laju evolusi
adalah sama untuk semua cabang. Akar pada pohon filogenetik adalah gambaran
titik percabangan pertama atau asal masing-masing populasi. Pola percabangan
pohon dibentuk dari jarak matriks antar pasangan populasi yang dapat
menggambarkan fusi genetik yang terjadi. Sedangkan panjang cabang menjadi
gambaran dari jumlah substitusi basa yang dapat berupa polimorfisme DNA
(Dharmayanti, 2011).
Terdapat metode perhitungan lain dalam menghitung derajat kedekatan
selain menggunakan koefisien Dice yaitu menggunakan koefisien kemiripan
22
Jaccard. Berbeda dengan koefisien Dice, koefisien Jaccard hanya
mempertimbangkan karakter/pita yang tampak (present) sebagai faktor yang
berkontribusi terhadap kemiripan individu dan mengabaikan nilai nol atau absen.
Kedua koefisien tersebut sangat mirip, sehingga topologi dendogram tidak berbeda.
Perbedaan yang jelas terlihat hanyalah pada panjang cabang dendogram. Koefisien
Dice sebenarnya sama dengan koefisien Nei & Li (Nei dan Li, 1979) dan secara
umum lebih dijadikan preferensi dan lebih cocok dalam perhitungan hubungan
genetik berdasarkan pola pita DNA (Applied Maths, 2018).
Beberapa penelitian yang menggunakan metode RAPD untuk menganalisis
keragaman, kekerabatan genetik, dan studi pemuliaan lain pada sorgum telah
dilakukan. Metode UPGMA juga digunakan sebagai metode perancangan
dendogram untuk analisis gerombol berdasarkan koefisien kemiripan yang
digunakan pada setiap penelitian. Beberapa penelitian tersebut antara lain adalah:
analisis keragaman 32 genotipe sorgum dengan penanda RAPD (Prakash et al.,
2006), studi RAPD dalam identifikasi hibrida sorgum dan tetuanya (Akhare et al.,
2008), evaluasi keragaman genetik sorgum dengan RAPD (Nagaral et al., 2009),
dan biodiversitas plasma nutfah sorgum di Pakistan (Iqbal et al., 2010). Berbagai
penelitian menggunakan penanda RAPD juga telah dilakukan pada spesies tanaman
lain di antaranya, jagung (Carvalho et al., 2004; Martin et al., 2017), tebu (Kawar
et al., 2009), dan gandum (Teshale et al., 2003; Abdellatif dan AbouZeid, 2011).