hukum sebagai sistem peraturan

24
Page | 1 HUKUM SEBAGAI SISTEM PERATURAN Disusun oleh : Erika 0706291243 Tugas Makalah untuk Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum Program Studi S1 Reguler Ilmu Hubungan Internasional Semester Pendek 2007/2008 DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 2008

Upload: erika-angelika

Post on 14-Jun-2015

6.747 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 1

HUKUM SEBAGAI SISTEM PERATURAN

Disusun oleh :

Erika

0706291243

Tugas Makalah untuk Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum

Program Studi S1 Reguler Ilmu Hubungan Internasional

Semester Pendek 2007/2008

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

2008

Page 2: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas berkat-Nya

lah, makalah ini dapat saya selesaikan. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Andi Asmoro Putro yang telah menugaskan saya membuat makalah ini, karena dengan

membuat makalah ini, saya menjadi semakin paham dan mengerti mengenai peran hukum

sebagai sistem peraturan, dan hal-hal yang terkait di dalamnya.

Makalah yang berjudul “Hukum Sebagai Sistem Peraturan” ini pada dasarnya

bersumber pada buku Prof. Dr. Satjipto Rahardjo yang berjudul “Ilmu Hukum”, akan tetapi

penulis juga menambahkan beberapa tambahan penting yang kiranya terkait dengan bahasan

mengenai hukum sebagai sistem peraturan.

Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Begitu pula dengan makalah ini, yang

tentunya masih jauh dari sempurna. Maka dari itu penulis mohon maaf atas segala

kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi

segenap pembaca.

Sekian kata pengantar ini, akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Jakarta, 6 Juli 2008

Hormat saya,

Penulis

Page 3: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 3

BAB I

PENDAHULUAN

Hukum dan masyarakat. Kedua hal tersebut bagaikan berada dalam satu keping uang

logam, berbeda akan tetapi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Keberadaan hukum

tampa adanya masyarakat tidaklah berguna, begitu pula sebaliknya, keberadaan masyarakat

tanpa adanya hukum dapat menghancurkan masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang beragam

tentu menimbulkan munculnya kepentingan-kepentingan yang beragam pula. Karena itulah,

dalam masyarakat diperlukan adanya pengaturan berbagai kepentingan yang ada, agar

kepentingan-kepentingan itu tidak saling berbenturan satu dengan yang lain. Di sinilah

hukum berperan, hukum dibuat dalam rangka menciptakan ketertiban dan mengatur relasi

antar masyarakat. Dalam melaksanakan fungsinya untuk menciptakan ketertiban, hukum

berlaku sebagai sistem peraturan, yang kemudian melahirkan peraturan hukum dengan

berdasar pada asas hukum yang harus dipatuhi oleh setiap subjek hukum (dalam hal ini,

masyarakat). Hukum mengatur hubungan hukum yang terjadi antara subjek hukum,

memberikannya kewenangan baru yang kemudian disebut hak. Makalah ini akan membahas

peran hukum sebagai sistem peraturan, yang mengatur ketertiban dalam masyarakat; serta

hal-hal yang berkaitan dengannya.

Page 4: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 4

BAB II

PEMBAHASAN

A. ANATOMI PERATURAN

1. Norma Kultur

Dalam bagan sibernetika dari Parsons dikemukakan bahwa manusia dikontrol oleh

arus-arus informasi tertentu yang diterimanya dari sumber yang tertinggi, yang oleh Parsons

disebut sebagai ultimate reality atau “kebenaran jati”. Bekerjanya arus informasi tersebut

kemudian menimbulkan kesadaran diskriminatif pada manusia, yang menyebabkan mereka

dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Nilai-nilai itu memberikan suatu

pengertian tentang hal-hal yang patut dijunjung tinggi, yang juga harus dicapai dan dipelihara.

Sehubungan dengan nilai-nilai tersebut, timbul suatu penggolongan yang penting mengenai

norma, yaitu menjadi “keharusan-keharusan alamiah” dan “keharusan-keharusan susilawi”,

yang selanjutnya dikenal sebagai “norma alam” dan “norma susila” (Radbruch, 1961:12).

Norma alam dan norma susila memiliki perbedaan-perbedaan, seperti yang tampak

dalam bagan di bawah ini :

Norma Alam Norma Susila

Norma yang mengatakan tentang apa yang

pasti akan terlaksana.

Norma yang mengatakan tentang sesuatu

yang mungkin tidak akan terlaksana.

Sesuatu yang dijadikan norma karena

kesesuaiannya dengan kenyataan.

Sesuatu yang dijadikan norma, sekalipun ia

nantinya ternyata tidak bersesuaian dengan

kenyataan.

Norma yang menggambarkan dunia

kenyataan, yaitu mengutarakan sesuatu yang

memang sudah ada.

Norma yang menggambarkan suatu rencana,

atau suatu keadaan yang ingin dicapai.

Norma ini mengutarakan sesuatu yang masih

ingin dicapai.

Sumber : Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 25.

Page 5: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 5

Selain perbedaan-perbedaan seperti yang telah disebutkan dalam bagan di atas,

norma alam dan norma susila juga memiliki satu perbedaan yang mendasar lain, yang terletak

dalam hal hubungan yang dibicarakan di dalamnya. Dalam norma alam, hubungan-hubungan

yang terjadi di bidang kehidupan alam terbilang dapat diukur secara eksak, oleh karena itu

yang dibicarakan di dalam norma alam adalah hubungan sebab-akibat (causal relation).

Kausalitas semacam ini tidak ditemukan dalam norma susila. Sebaliknya, yang terjadi dalam

norma susila merupakan hal yang sulit diukur secara eksak, sehingga hubungan yang ada

adalah hubungan pengaitan (zurechnungsprinzip), yang berarti norma susila cenderung

dikaitkan pada suatu kejadian bila timbul suatu kejadian tertentu. Perbedaan kedua terletak

pada perantara yang dibutuhkan dalam hubungan pada kedua norma tersebut. Pada norma

alam, hubungan sebab-akibat dapat berjalan dengan sendirinya, tanpa membutuhkan

perantara. Sedang dalam norma susila, suatu hubungan tidak mungkin terjadi tanpa adanya

perantara. Perantara inilah yang kemudian akan memutuskan apakah norma susila tertantu

layak untuk dikaitkan dengan suatu kejadian atau tidak.

Lantas, apa hubungan antara hukum, yang sedang kita pelajari dengan kedua norma

tersebut? Norma hukum ternyata termasuk dalam norma susila, norma susila sendiri terdiri

dari norma hukum dan norma kesusilaan. Norma hukum dan norma kesusilaan sendiri

memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Persamaan antara kedua norma itu adalah

keduanya sama-sama ingin mencapai atau menciptakan sesuatu; oleh karena persamaannya

inilah, maka norma hukum dan norma kesusilaan sama-sama digolongkan ke dalam norma

susila. Namun demikian, keduanya juga memiliki perbedaan dalam ciri-cirinya, norma

kesusilaan dimasukkan ke dalam golongan norma ideal, sedang norma hukum dimasukkan

dalam golongan norma kultur (Radbruch, 1961:15). Mengenai perbedaan norma ideal, norma

alam, dan norma kultur, akan lebih jelas bila kita melihatnya dalam bagan di bawah ini :

Dunia Ideal Norma Dunia Kenyataan

Norma Ideal Kultur Norma Alam

Sumber : Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 27.

Page 6: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 6

Dalam bagan di atas, jelas terlihat bahwa norma kultur terletak pada pertengahan

antara norma ideal dan norma alam. Hukum, sebagai norma kultur, mengajak masyarakat

untuk mencapai cita-cita serta keadaan tertentu, tetapi tanpa mengabaikan dunia kenyataan.

Akan tetapi, hukum sebagai norma kultur tetap menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan

(norma ideal), bukan apa yang pasti akan dilakukan (norma alam). Dalam bahasa Inggris, ciri

norma susila tersebut disebut sebagai ought, sedang ciri norma alam disebut sebagai is.

Sedang dalam Bahasa Jerman, mereka disebut Gesetzen des Sollens (dunia keinginan,

melambangkan norma ideal), dan Gesetzen des Mussens (dunia kenyataan, melambangkan

norma alam).

2. Norma Sebagai Perintah dan Penilaian

Telah dijelaskan sebelumnya mengenai pembagian dan penggolongan berbagai

norma. Selanjutnya, pada pokok bahasan ini akan dijelaskan mengenai norma hukum sendiri,

yang berfungsi sebagai perintah dan penilaian. Dalam buku “Ilmu Hukum”, Prof. Dr. Satjipto

Rahardjo mengatakan norma adalah sarana yang dipakai oleh masyarakatnya untuk

menertibkan, menuntut, dan mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat dalam

hubungannya satu sama lain. Selanjutnya, untuk menjalankan fungsi menertibkan masyarakat

tersebut, norma sudah tentu harus memiliki kekuatan yang bersifat memaksa. Ciri paksaan ini

kemudian menjadi ciri yang paling menonjol dari norma. Senada dengan hal itu, banyak

penulis lantas beranggapan norma adalah “perintah yang didukung oleh ancaman paksaan”

(Raz, 1973; Hart, 1972; Kelsen, 1957). Unsur paksaan dalam norma tersebut kemudian akan

memberi bentuk pada suatu masyarakat, masing-masing tatanan sosial akan mencari cara dan

jalannya sendiri yang cocok untuk membuat anggota masyarakatnya berbuat seperti yang

dikehendakinya.

Sehubungan dengan ciri paksaan yang melekat pada norma, Harl mengatakan bahwa

pada pandangan pertama tampak tidak ada bedanya antara apa yang dilakukan oleh seorang

penodong dan hukum (Harl, 1972: 19). Keduanya sama-sama mengeluarkan perintah dengan

ancaman kekerasan, yang lantas ditujukan pada siapa saja yang menjadi sasaran perintah

tersebut. Dengan kata lain, hukum membuat seseorang dipaksa untuk melakukan suatu

Page 7: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 7

perbuatan. Identifikasi hukum sebagai perintah ini oleh John Austin dikembangkan menjadi

suatu ajaran, yang dikenal dengan nama Doktrin Austin.

Harl melanjutkan, ciri-ciri pembeda antara penodongan dengan hukum adalah (Harl,

1972: 21-23) :

a) Sifat keumumannya. Penodongan ditujukan kepada orang tertentu, sedang hukum

kepada kelas, kelompok, atau golongan tertentu, atau bahkan kepada semua orang

yang memenuhi persyaratan tertentu (seperti misalnya orang yang menjadi penduduk

suatu bangsa).

b) Bentuk perbuatannya. Pada hukum, perbuatan yang dituntut oleh dilakukan

dirumuskan secara umum, sedang pada penodongan perbuatan yang dilakukan harus

bersifat konkrit.

c) Sifat kekuatan kekekalan perintahnya. Pada hukum, perintah berlangsung

terus-menerus sementara pada penodongan, apabila perintah telah dilaksanakan, maka

habislah kekuatannya.

Norma merupakan pencerminan dari kehendak masyarakat. Kehendak masyarakat

untuk mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat dilakukan dengan membuat pilihan

antara tingkah laku yang disetujui dan yang tidak disetujui. Pilihan itulah yang kemudian

akan menjadi norma dalam masyarakat. Karena itulah, norma hukum merupakan persyaratan

dari tumbuh dan munculnya penilaian-penilaian yang ada dalam masyarakat. Selain

mengandung penilaian, norma hukum juga mengandung nalar tertentu. Nalar tersebut terletak

pada penilaian yang dilakukan masyarakat terhadap tingkah laku dan perbuatan orang-orang

dalam masyarakat. Sehingga hukum, yang mengandung nalar, dapat membentuk masyarakat

menurut suatu pola tertentu yang dikehendakinya.

Dari penjelasan si atas, dapat disimpulkan norma hukum mengandung dua unsur,

yaitu :

1) Patokan penilaian. Hukum digunakan untuk menilai kehidupan masyarakat, yaitu

dengan menyatakan apa yang dianggap baik dan buruk. Penilaian inilah yang

kemudian akan melahirkan petunjuk tentang tingkah laku masyarakat.

Page 8: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 8

2) Patokan tingkah laku. Pandangan tingkah laku ini lahir bila hukum dipandang sebagai

perintah, yaitu ketika masyarakat bertingkah laku sesuai dengan yang diperintahkan

oleh hukum.

3. Norma Hukum dan Peraturan Hukum

Norma hukum sering disebut juga sebagai norma petunjuk tingkah laku. Norma

hukum sendiri berisi suruhan dan larangan. Untuk memastikan apakah suatu peraturan

merupakan norma hukum atau bukan, dapat dilihat dalam dua ukuran tersebut. Dengan

patokan tersebut, ternyata tidak semua peraturan hukum mengandung norma hukum di

dalamnya. Beberapa peraturan hukum yang tidak mengandung norma hukum adalah :

1) Peraturan-peraturan yang termasuk ke dalam hukum acara

2) Peraturan-peraturan yang berisi rumusan-rumusan pengertian yang dipakai dalam

suatu kitab hukum.

3) Peraturan-peraturan yang memperluas, membatasi, atau mengubah isi dari peraturan

lain.

4) Peraturan-peraturan yang hanya menunjuk kepada peraturan lain.

Sebenarnya, peraturan hukum tidak lain hanya merupakan lambang-lambang yang

dipakai untuk menyampaikan norma-norma hukum. Lambang itu sendiri dapat berupa

peraturan tertulis, dapat pula berupa tanda-tanda lain. Apapun bentuknya, karena semua itu

hanya berupa lambang saja, maka hal itu bisa saja dibuang, dirusak, dan dimusnahkan tanpa

menghapus norma hukumnya sendiri. Peraturan hukum memuat rumusan-rumusan yang

bersifat abstrak, namun demikian peraturan-peraturan itu merupakan bagian dari tatanan

hukum yang memberikan suatu klasifikasi hukum terhadap kenyataan kehidupan sehari-hari.

Norma hukum, berasal dari rumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana seharusnya

atau seyogyanya seseorang bertingkah laku. Asal-usul norma hukum ini berupa kekuasaan

yang memaksa. Sanksi bila melanggar norma hukum ini berasal dari masyarakat secara resmi.

Daya kerja norma hukum ini adalah dengan membebani individu dengan kewajiban, dan

memberi hak. Norma hukum bersifat normatif dan memerintah.

Page 9: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 9

Dalam hukum, dikenal istilah perbuatan nir-hukum (unlawful act), yang dimengerti

sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Yang dimaksud melanggar hukum di sini adalah

sifat dari perbuatan tersebut, bukan perbuatan itu sendiri; dengan kata lain, hukumlah yang

memberi kualifikasi terhadap perbuatan itu sebagai perbuatan yang nir-hukum.

B. PERATURAN HUKUM DAN PERISTIWA HUKUM

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, peraturan hukum tidaklah sama dengan

dunia kenyataan, peraturan hukum hanya memberikan kualifikasi terhadap dunia tersebut.

Untuk dapat berfungsi dalam masyarakat, peraturan hukum membutuhkan adanya suatu

peristiwa hukum. Peristiwa hukum ini adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang

menggerakkan suatu peraturan hukum tertentu, sehingga ketentuan-ketentuan yang tercantum

di dalamnya lalu diwujudkan1. Sementara menurut Van Apeldooren, peristiwa hukum adalah

suatu peristiwa yang didasarkan pada hukum, menimbulkan atau menghapuskan hak. Lebih

lanjut lagi, Bellefroid mengatakan peristiwa hukum adalah suatu peristiwa sosial yang tidak

secara otomatis dapat menimbulkan hukum, karena suatu peristiwa dapat merupakan

peristiwa hukum apabila peristiwa tersebut oleh hukum dijadikan sebagai suatu peristiwa

hukum. Dari pengertian tersebut, dapat kita simpulkan bahwa tidak setiap peristiwa

merupakan peristiwa hukum, hanya peristiwa yang dapat menimbulkan akibat hukum serta

yang menimbulkan hak dan kewajiban sajalah yang kemudian dapat digolongkan sebagai

peristiwa hukum.

Peraturan hukum membuat suatu kerangka dari peristiwa yang dapat terjadi dalam

kenyataan kehidupan sehari-hari.Vinogradoff mengatakan bahwa peraturan hukum hanya

berupa garis besar yang bersifat sebagai bagan dari peristiwa sesungguhnya. Keberadaan

peristiwa hukum memang dapat menggerakkan hukum, akan tetapi tidak semua hal dalam

peristiwa itu dianggap penting oleh hukum. Hukum hanya membutuhkan peristiwa-peristiwa

yang menunjukkan bahwa tingkah laku yang tercantum dalam peraturan hukum itu memang

terjadi.

1 Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 35.

Page 10: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 10

Bagan peristiwa hukum :

Peristiwa Hukum Perbuatan Subjek Perbuatan Hukum

Hukum (PSH)

Sepihak

Peristiwa Ganda

Perbuatan Subjek

Hukum Lainnya

Melawan Hukum Sah

Bukan PSH

(Kejadian, Keadaan, Lampaunya Waktu)

Bukan Peristiwa Hukum

Pada bagan di atas, peristiwa hukum dibagi menjadi perbuatan subjek hukum dan bukan

perbuatan subjek hukum. Perbuatan subjek hukum didefinisikan sebagai perbuatan

manusia atau badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban2. Perbuatan subjek hukum

sendiri kemudian dibagi menjadi perbuatan hukum dan perbuatan subjek hukum lainnya.

Perbuatan hukum adalah perbuatan yang dilakukan orang dengan maksud guna

menimbulkan suatu akibat hukum yang dikehendaki dan diperkenankan oleh hukum3.

Sehingga dengan kata lain perbuatan hukum adalah perbuatan subjek hukum yang ditujukan

untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum itu sendiri.

Perbuatan hukum ini kemudian dibagi menjadi 2, yaitu secara sepihak dan ganda. Perbuatan

hukum sepihak adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seseorang melalui

pernyataan kehendaknya, sehingga menimbulkan akibat hukum4. Contoh perbuatan hukum

yang dilakukan secara sepihak misalnya adalah pemberian hibah untuk pembangunan sekolah,

atau tempat-tempat umum lainnya. Sedang perbuatan hukum yang dilakukan secara ganda

adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang menimbulkan akibat

2 Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004). 3 H. F. A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996). 4 H. Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006).

Page 11: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 11

hukum5, yang kemudian menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua belah

pihak tersebut secara timbal-balik. Contoh perbuatan hukum yang dilakukan secara ganda

adalah perjanjian balik nama, yang memindahkan hak kepemilikan atas suatu barang dari

seseorang kepada orang lain. Namun perlu diingat bahwa perjanjian balik nama tidak hanya

memindahkan hak kepemilikan atas suatu barang, melainkan juga kewajiban-kewajiban yang

terkait dengan kepemilikan barang tersebut.

Pembagian kedua dari perbuatan subjek hukum adalah perbuatan subjek hukum lainnya.

Perbuatan subjek hukum lainnya ini kemudian dibagi 2, yaitu perbuatan yang sah dan

perbuatan yang melawan hukum. Adapun perbuatan yang sah (“zaakwaarneming”) adalah

perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum yang mendatangkan hak dan kewajiban dan

akibat hukum, akan tetapi tidak melanggar hukum, dan oleh karenanya disebut sah secara

hukum. Contoh dari perbuatan sah adalah perkawinan. Perkawinan yang dilakukan antar

kedua individu akan sah bila tercatat pada catatan sipil, dan bila perkawinan itu telah sah,

maka kedua individu akan memperoleh berbagai hak dan kewajiban baru yang tadinya tidak

mereka peroleh akibat hukum. Sedang perbuatan yang melawan hukum adalah perbuatan

yang bertentangan dengan berbagai kaidah hukum. Substansi dari perbuatan melawan hukum

adalah sebagai berikut:

a. bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau

b. melanggar hak subyektif orang lain, atau melanggar kaidah tata susila (goede

zeden), atau

c. bertentangan dengan azas “Kepatutan”, ketelitian serta sikap hati-hati dalam

pergaulan hidup masyarakat6.

Contoh perbuatan melawan hukum adalah tindak pembunuhan berencana, yang diatur dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab XIX Pasal 340. Dalam pasal 340 disebutkan

bahwa “barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain,

diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”7. Dari

5 Ibid. 6 Perbuatan Melawan Hukum. http://ppk.or.id/downloads/Perbuatan%20Melawan%20Hukum.pdf, diakses pada 28 Juni

2008, pukul 23.31. 7 Prof. Moeljatno, S.H. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003), hal.123.

Page 12: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 12

pasal tersebut jelas terlihat bahwa tindak pembunuhan berencana merupakan perbuatan yang

melanggar hukum, dan pelaku yang melakukannya akan ditindak sesuai hukum yang berlaku.

Pembagian kedua dari peristiwa hukum adalah bukan perbuatan subjek hukum. Peristiwa

yang termasuk bukan perbuatan subjek hukum adalah peristiwa yang menimbulkan akibat

hukum tetapi terjadi di luar kehendak subjek hukum, dan tidak dapat dikendalikan oleh

subjek hukum. Peristiwa bukan perbuatan subjek hukum ini kemudian dibagi menjadi tiga,

yaitu kejadian, keadaan, dan lampaunya waktu (daluarsa). Yang dimaksud dengan kejadian

adalah terjadinya suatu peristiwa yang tidak dikehendaki/diduga sebelumnya, dan berakibat

pada munculnya hak dan kewajiban serta menimbulkan akibat hukum. Contohnya ketika

terjadi kecelakaan pada A, di mana A sudah mengasuransikan dirinya lewat sebuah

perusahaan asuransi, yang mengakibatkan A menjadi cacat total. Di sini perusahaan asuransi

kemudian berkewajiban memberikan santunan dan sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan

perjanjian dalam asuransi tersebut, sementara A kemudian berhak meminta haknya pada

perusahaan asuransi, sesuai dengan kesepakatan perjanjian sebelumnya. Jenis peristiwa bukan

perbuatan subjek hukum yang kedua adalah keadaan, yaitu suatu peristiwa yang

menimbulkan akibat hukum yang disebabkan oleh keadaan/berlangsungnya suatu proses.

Contoh dari keadaan adalah pendewasaan seseorang, yang kemudian menimbulkan

munculnya hak dan kewajiban baru bagi orang tersebut, karena orang itu dianggap sudah

menjadi subjek hukum yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya (subjek hukum

cakap). Jenis ketiga adalah lampaunya waktu (daluarsa), yaitu ketika tercapainya jangka

waktu tertentu yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban yang baru bagi seseorang,

serta menimbulkan akibat hukum baru yang sebelumnya tidak ada. Contohnya pada kasus

warisan, ketika seluruh pihak keluarga meninggal kecuali seorang anak yang masih di bawah

umur, dan tidak ada sanak keluarga lain. Pada kasus ini, warisan akan jatuh pada anak yang

belum dewasa tersebut, akan tetapi karena sang anak belum dewasa, warisan akan disimpan

dahulu oleh pihak lain (misalnya pengacara sang ayah), sampai jangka waktu tertentu, yaitu

ketika anak itu sudah dianggap dewasa secara hukum. Ketika tercapainya jangka waktu itu,

sang anak kemudian akan memperoleh haknya sebagai ahli waris.

Setelah timbul suatu peristiwa hukum akan diikuti oleh timbulnya

Page 13: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 13

kelanjutan-kelanjutan. Kelanjutan-kelanjutan seperti ini biasa disebut akibat hukum, namun

yang perlu diingat di sini adalah pemakaian istilah akibat hukum sendiri haruslah hati-hati,

agar jangan sampai menimbulkan kesan adanya hubungan sebab-akibat dalam norma hukum.

Agar dapat timbul akibat hukum, dibutuhkan berbagai syarat tertentu. Syarat ini kemudian

disebut sebagai dasar hukum. Istilah dasar hukum berbeda dengan dasar peraturan, yang

dimengerti sebagai peraturan hukum yang dipakai sebagai kerangka acuan.

Hukum sendiri diciptakan dengan tujuan untuk mengatur kehidupan sosial , yang

merupakan jalinan dari berbagai hubungan yang dilakukan antara para anggota masyarakat

satu sama lain. Hubungan-hubungan ini bersifat kepentingan-kepentingan, yang ditujukan

kepada semua sasaran, mulai dari sasaran yang paling kasar sampai pada sasaran ayng paling

halus. Kepentingan-kepentingan ini kemudian diatur oleh peraturan hukum, yang memuat

norma hukum yang mengandung penilaian serta rumusan yang bersifat hipotesis.

C. AKIBAT HUKUM, DASAR HUKUM, HUBUNGAN HUKUM

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum adalah hal yang bersifat abstrak, yang

memberikan kualifikasi terhadap perbuatan masyarakat. Dengan adanya klasifikasi dari

hukum tersebut, maka terbentuklah hubungan-hubungan hukum. Agar terjadi hubungan

hukum, diperlukan pihak-pihak yang melakukan hal sehubungan dengan hukum tersebut,

yang mana disebut subjek hukum.

Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam

lalu lintas hukum8. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam hukum.

Orang-orang yang tidak memiliki kecakapan dalam hukum ini kemudian disebut sebagai

subjek hukum yang tidak cakap. Subjek hukum yang tidak cakap adalah subjek hukum yang

dianggap mempunyai kemampuan pertanggungjawaban rendah, sehingga ia dibebaskan dari

hak dan kewajiban tertentu, terutama yang berhubungan dengan hukum. Subjek hukum yang

digolongkan “tidak cakap” oleh hukum digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu:

Orang-orang yang belum dewasa atau anak yang belum mencapai usia 18 tahun,

8 Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran, Berdasarkan Hukum Indonesia.

http://leeriem.blogspot.com/2008/01/status-hukum-anak-hasil-perkawinan.html, diakses pada 28 Juni 2008, pukul 23.38.

Page 14: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 14

atau belum melangsungkan pernikahan. Sehingga walaupun seseorang belum

mencapai usia 18 tahun, tetapi ia sudah melangsungkan pernikahan, maka ia

sudah dianggap sebagai subjek hukum yang cakap oleh hukum.

Orang-orang yang berada di bawah pengampuan (curatele). Pengampuan sendiri

adalah suatu permohonan yang dilakukan oleh sekelompok orang (biasa oleh

pihak keluarga) terhadap seseorang yang dianggap tidak bisa menilai apa

perbuatannya salah/benar, sehingga ia tidak dapat bertanggung jawab pada

perbuatannya sendiri. Golongan orang yang biasa dimintakan pengampuan adalah

orang yang mengalami keterbelakangan mental, orang sakit jiwa, pecandu,

pemabuk, penjudi, dan lain-lain. Tiga contoh yang terakhir adalah pihak yang

biasa dimintakan pengampuan dalam lapangan hukum harta kekayaan.

Orang-orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk melakukan perbuatan

hukum tertentu, dan oleh karenanya ia dianggap “tidak cakap” secara hukum.

Contohnya adalah orang yang telah dinyatakan pailit secara hukum. Oleh

Undang-Undang, orang yang telah dinyatakan pailit dibebaskan dari hukum, dan

dilarang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu.

Selanjutnya, diperlukan juga sasaran dari hubungan hukum tersebut, yang disebut

objek hukum. Ketiga unsur tersebut (subjek hukum, objek hukum, dan hubungan hukum)

merupakan kategori hukum, karena tanpa ketiganya, suatu hukum tidak akan dapat berfungsi

sebagaimana mestinya. Pemberian kualifikasi dalam masyarakat oleh hukum mengubah

hubungan-hubungan yang terjalin dalam masyarakat, sehingga menimbulkan

pertalian-pertalian tertentu antara subjek-subjek hukum. Pertalian-pertalian ini berupa

kewenangan yang terdapat dalam diri subjek hukum. Kewenangan ini kemudian disebut hak.

Secara umum, hak mengandung pengertian sebagai kewenangan atau kekuasaan

untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Sementara Prof. Mr. L.J. Van Apeldoorn

mengatakan hak adalah hukum yang dihubungkan dengan seseorang manusia atau subjek

hukum tertentu yang menjelma menjadi suatu kekuasaan dan suatu hal yang timbul apabila

hukum mulai bergerak. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan Van Apeldoorn

berpendapat bahwa hak merupakan hukum subjektif yang diaplikasikan oleh

Page 15: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 15

individu-individu.

Berbeda dengan Van Apeldoorn, Prof. Utrech berpendapat bahwa hak adalah jalan

untuk memperoleh kekuatan, akan tetapi yang perlu diingat di sini hak bukanlah sebuah

kekuatan, melainkan hanya berupa jalan untuk memperolehnya. Sebuah pengertian mengenai

hak yang dianggap cukup dimengerti ditawarkan oleh Fitzgerald (1966 : 224-233) dalam

buku “Ilmu Hukum” karangan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo. Ia menyebutkan adanya empat

pengertian dalam hak, yaitu:

a. Hak dalam arti sempit, yaitu pengertian hak yang berkorelasi dengan kewajiban.

Dalam pengertian hak dalam arti sempit ini, seseorang akan memperoleh hak bila ia

telah melaksanakan kewajibannya. Hak berjalan seiring dengan kewajiban yang telah

dituntaskan oleh seseorang. Contohnya adalah ketika seseorang makan di restoran;

pada kasus ini, orang tersebut menikmati haknya, yaitu menikmati makanan enak di

restoran. Akan tetapi yang perlu diperhatikan di sini adalah, orang tersebut harus

melaksanakan kewajibannya, yaitu membayar sejumlah uang sesuai dengan

makanan yang ia santap. Bila orang tersebut tidak melaksanakan kewajibannya

(tidak membayar), maka orang tersebut tidak diperkenankan mendapatkan haknya

(menikmati makanan di restoran tersebut). Begitu juga dari sisi pemilik restoran, bila

orang telah membayar sejumlah uang untuk makanan tersebut (yang berarti si

pemilik restoran telah menerima haknya), maka pemilik restoran berkewajiban untuk

menyediakan makanan bagi orang tersebut.

b. Kemerdekaan. Pengertian hak dalam arti kemerdekaan di sini mengandung

pengertian sebagai kebebasan/kewenangan seseorang untuk melakukan berbagai hal

yang disenangi atau ingin dilakukan. Perbedaan unsur kemerdekaan di sini jelas

berbeda dengan unsur sebelumnya, yaitu hak dalam arti sempit. Pada unsur hak

dalam arti sempit, hak berhubungan dengan hal-hal yang harus dilakukan oleh orang

lain untuk subjek hukum, sementara dalam unsur kemerdekaan, hak hanya berurusan

dengan hal-hal yang boleh dilakukan subjek hukum untuk dirinya sendiri. Pada

pengertian kemerdekaan ini sebenarnya juga ditemui adanya korelasi dengan

kewajiban, yaitu kemerdekaan pada seorang subjek hukum berkorelasi pada

Page 16: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 16

kewajiban subjek hukum lain untuk tidak mengganggu kemerdekaan tersebut.

Contohnya adalah hak untuk mengeluarkan pendapat, yang kini telah dijamin dalam

pasal 28 UUD 1945. Sehubungan dengan unsur kemerdekaan dalam pengertian hak,

maka setiap subjek hukum memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya,

yang tidak boleh diganggu oleh subjek hukum lainnya.

c. Kekuasaan, berupa hak yang diberikan kepada seseorang untuk, melalui jalan

hukum, mewujudkan kemauannya guna mengubah hak-hak, kewajiban-kewajiban,

pertanggungjawaban atau lain-lain hubungan hukum, baik dari dirinya sendiri

maupun orang lain9. Pengertian kekuasaan di sini bisa bersifat perdata maupun

publik. Kekuasaan yang terletak di bidang publik disebut kewenangan, sedang

kekuasaan di bidang perdata disebut kecakapan. Perbedaan unsur kekuasaan dan

kemerdekaan adalah pada unsur kemerdekaan, subjek hukum berhak melakukan

perbuatan sesuai dengan keinginannya, asal tidak bertentangan dengan hukum;

sedang pada unsur kekuasaan, hak membuat subjek hukum dapat mensahkan suatu

perbuatan sehingga tidak bertentangan dengan hukum, sehingga dapat dikatakan

unsur hak sebagai kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengubah

hubungan-hubungan hukum.

d. Imunitas, yaitu hak dalam arti kekebalan terhadap kekuasaan hukum orang lain. di

sini, kekebalan mempunyai kedudukan yang sama dalam hubungan dengan

kekuasaan, seperti antara kemerdekaan dengan hak dalam arti sempit: kekebalan

adalah pembebasan dari kekuasaan orang lain, sedang kemerdekaan merupakan

pembebasan dari hak orang lain10

. Contoh dari unsur imunitas dalam hak ini adalah

hak-hak diplomatik, yang diberikan dengan (salah satu) tujuan agar para diplomat

dapat melaksanakan tugas mewakili negaranya dengan sebaik-baiknya tanpa harus

terganjal oleh masalah hukum di negara tempatnya diutus.

Telah disebutkan di atas bahwa hak mengandung pengertian sebagai

kewenangan/kekuasaan yang dimiliki seseorang untuk melakukan/tidak melakukan sesuatu.

9 Satjipto Rahardjo, op.cit., hal. 57. 10 Ibid, hal. 58.

Page 17: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 17

Secara sepintas, dapat kita tangkap bahwa hak merupakan milik seseorang secara sepenuhnya.

Akan tetapi harus diingat bahwa hak juga harus tetap memiliki fungsi sosial, yaitu bahwa

pelaksanaan hak individu itu jangan sampai bertentangan dengan hak dan kepentingan

individu lainnya. Sehubungan dengan fungsi sosialnya, Leon Duguit berpendapat hak adalah

fungsi sosial dalam arti bahwa kekuasaan yang dimiliki seseorang dibatasi oleh kepentingan

masyarakatnya. Lebih lanjut lagi, Duguit mengatakan bahwa perseorangan tidak memiliki

hak, tapi tiap-tiap orang mempunyai tugas tertentu dalam masyarakat, sehingga fungsi sosial

harus dipenuhinya. Ini menyebabkan pelaksanaan dan pemanfaatan hak tidak dapat dilakukan

secara sepenuhnya dan sebebas-bebasnya, karena setiap subjek hukum juga harus

memperhatikan dampak dari pelaksanaan haknya terhadap kepentingan subjek lainnya. Bila

ternyata pelaksanaan hak tersebut bertentangan dan merugikan hak orang lain, maka

perbuatan (hak)-nya tersebut dapat digolongkan bersalah dalam hukum.

Kaitan antara kualifikasi hukum, hubungan hukum, subjek hukum, objek hukum,

dan hak ditunjukkan oleh bagan di bawah ini :

Dunia A B

Kenyataan sasaran

Pemberian kualifikasi hukum

Pertalian antara subjek hukum

berupa hubungan yang dikualifikasi

sebagai : hak

Dunia Subjek Subjek

Tatanan Hukum Hukum

Hukum Objek Hukum

Sumber : Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 41.

Page 18: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 18

D. ASAS HUKUM, STANDAR, PENGERTIAN HUKUM, PERATURAN

Sebelumnya telah disebutkan bahwa peraturan hukum hanya merupakan lambang

dari norma hukum saja, namun walaupun begitu, hingga kini peraturan hukum masih

merupakan cara paling sempurna untuk mewujudkan norma-norma hukum dalam masyarakat.

Dalam mewujudkan norma hukum agar dapat ditangkap oleh masyarakat, peraturan hukum

menggunakan berbagai kategori sarana. Sarana pertama adalah, peraturan hukum disusun

dalam rangkaian kata-kata yang membentuk suatu kalimat. Rangkaian kata-kata ini disebut

bahasa hukum. Ciri dari bahasa hukum adalah adanya penggunaan kata-kata yang terukur

yang berusaha merumuskan suatu pengertian secara eksak. Karena sifatnya itulah, sering

timbul kesan bahwa ragam bahasa hukum menjemukan dan kering. Bahasa hukum sedapat

mungkin menghindari pengaturan yang berbunga-bunga yang dapat menimbulkan tafsir ganda.

Dalam perkembangannya, dahulu ragam bahasa hukum pernah menggunakan bahasa yang

puitis; namun seiring perkembangan jaman, ragam bahasa hukum menjadi semakin prosais

dengan kecenderungan ke arah ketepatan arti.

Peraturan hukum juga menggunakan pengertian atau konsep-konsep untuk

menyampaikan kehendaknya, pengertian ini merupakan abstraksi dari barang-barang yang

pada dasarnya bersifat konkrit dan individual. Dengan menggunakan abstraksi, cara

penyampaian bahasa hukum menjadi lebih ekonomis. Tingkat abstraksi yang digunakan dalam

suatu bahasa hukum dapat digunakan sebagai petunjuk mengenai tingkat kematangan dari

sistem hukum yang bersangkutan. Semakin tinggi tinkat abstraksi pengertian hukum, semakin

kosong pula keadaannya dan tingkat abstraksi yang tertinggi disebut sebagai kategori hukum11

.

Dalam pembuatannya, pengertian-pengertian hukum ada yang dingkat dari pengertian

sehari-hari, dan ada pula yang diciptakan secara khusus sebagai suatu pengertian secara teknis.

Sekalipun suatu pengertian hukum diangkat dari bahasa sehari-hari, namun begitu ia dijadikan

pengertian hukum, maka makna yang berlaku padanya hanyalah makna yang diberikan hukum

padanya. Pengertian hukum mempunyai isi dan batas-batas yang jelas, serta dirumuskan

secara pasti, tidak seperti pengertian lainnya.

11 Ibid, hal. 42.

Page 19: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 19

Karena membutuhkan isi dan batas-batas yang jelas, tidak jarang penyusunan

pengertian hukum menemui berbagai kendala. Tidak selalu mudah menyusun suatu pengertian

hukum yang benar-benar dapat memberi kepastian kepada pemakainya, oleh karena itu

pengisian suatu pengertian hukum untuk menjadi pasti diserahkan pada praktek penafsiran,

terutama oleh pengadilan. Pengertian hukum pada jaman sekarang lebih bersifat fungsional,

yaitu dengan memberi arti dengan dituntun oleh keinginan menciptakan keadilan terhadap

kasus-kasus secara individual. Hal ini berbeda dengan pemahaman secara a priori, yang lebih

menekankan pada “isi yang pasti” dari suatu pengertian hukum (Paton, 1971: 207).

Pengertian hukum yang mempunyai kadar yang kurang seperti dijelaskan di atas

disebut standar hukum. Standar hukum ini cenderung memiliki isi yang longgar, jika

dibandingkan dengan pengertian atau konsep hukum. Mengenai isi dan sifatnya yang longgar

ini, standar hukum memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Kekurangannya terletak

pada sifatnya yang kurang pasti, sehingga terkadang tidak bisa dipakai sebagai patokan yang

jelas untuk menilai suatu perbuatan. Sedang kelebihannya adalah, karena sifatnya yang luwes

tersebut, maka ia dapat senantiasa mengikuti perkembangan jaman serta perkembangan

pemikiran dalam masyarakat. Sifatnya yang luwes menyebabkan standar hukum menjadi

bersifat dinamis dan tidak statis. Standar ini merupakan sarana bagi hukum untuk berkembang

sesuai dengan perkembangan masyarakatnya (Paton, 1971:205)12

.

Dalam pembuatannya, peraturan maupun standar hukum berdasar pada asas hukum.

Asas hukum sendiri merupakan unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum. Asas

hukum seringkali dikatakan merupakan “jantung” dari peraturan hukum. Ia disebut demikian

karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum,

peraturan hukum pada akhirnya akan dikembalikan pada asas-asas hukum tersebut. Asas

hukum juga disebut sebagai alasan lahirnya peraturan hukum, yang merupakan ratio legis dari

peraturan hukum. Asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis. Karena

itulah, Paton menyebut asas hukum sebagai sarana yang membuat hukum tetap hidup, dan

berkembang; asas hukum jugalah yang menunjukkan bahwa hukum bukan sekedar merupakan

kumpulan peraturan-peraturan belaka.

12 Ibid, hal. 45.

Page 20: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 20

Karena ia mengandung tuntutan etis, asas hukum digunakan sebagai jembatan

penghubung antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis

masyarakatnya. Dalam usaha pencarian makna dari suatu peraturan, masyarakat umumnya

memulainya dengan mengangkat suatu peraturan hukum pada tingkat yang lebih tinggi (atau

yang disebut dengan kegiatan mencari ratio legisnya). Dari penarikan ke arah tingkatan yang

lebih tinggi inilah, masyarakat kemudian dapat menemukan pengertian yang lebih luas, dan

lebih umum jangkauannya dari yang semula. Pada pengertian yang lebih tinggi dijumpai

perumusan yang lebih padat dan memberi penjelasan mengapa peraturan tersebut dikeluarkan.

Sehingga dapat dikatakan tanpa menemukan ratio legis dari suatu peraturan, sulit memahami

arah etis dari peraturan tersebut. Pengertian yang telah ditemukan tersebut kemudian dapat

terus ditarik pada tingkatan yang lebih tinggi, sampai akhirnya ditemukanlah suatu pengertian

yang berbeda dari pengertian-pengertian sebelumnya. Pengertian tersebut tidak dapat lagi

dijelaskan oleh pengertian yang lebih tinggi lagi. Inilah yang disebut asas hukum.

E. SISTEM HUKUM

Sistem dimengerti sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan

yang dimaksud di sini menunjuk kepada suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian.

Sistem juga dimengerti sebagai suatu rencana, metda, atau prosedur untuk mengerjakan

sesuatu (Shorde&Voich, 1974: 121-133)13

. Ada pula yang mengartikan sistem sebagai “suatu

kesatuan yang bersifat kompleks, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama

lain”. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa bagian-bagian tersebut bekerja bersama secara

aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut.

Shrode dan Voich dalam buku “Ilmu Hukum” karangan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,

S.H. mengatakan sistem memiliki beberapa pengertian dasar, yaitu:

1) Sistem itu berorientasi kepada tujuan.

2) Keseluruhan adalah lebih dari sekadar jumlah dari bagian-bagiannya (Wholism).

3) Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yaitu lingkungannya

(Keterbukaan sistem).

13 Ibid, hal. 48.

Page 21: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 21

4) Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga

(Transformasi).

5) Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (Keterhubungan).

6) Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (Mekanisme kontrol).

Dikenal pula istilah pendekatan sistem, yang dipahami sebagai pendekatan yang

mengisyaratkan seseorang untuk mengindari kompleksitas dari suatu masalah dengan cara

menghindari pendapat yang terlalu menyederhanakan persoalan yang dapat menghasilkan

pendapat yang keliru.

Asas hukum, yang berada di luar peraturan hukum dan bersifat self evident terhadap

hukum, mempunyai ikatan antar sesama asasnya. Karenanya, dapat dikatakan hukum pun

merupakan suatu sistem. Peraturan-peraturan hukum yang berdiri sendiri terikat dalam satu

susunan kesatuan dan bersumber pada satu induk penilaian etis tertentu. Beberapa alasan lain

yang mempertanggungjawabkan bahwa hukum merupakan satu sistem dikemukakan oleh

Dias (Dias, 1976: 696-700). Alasan pertama terletak pada masalah keabsahannya. Dikatakan,

hukum bukan sekedar merupakan kumpulan peraturan-peraturan belaka, melainkan peraturan

dalam suatu hukum hanya dikatakan sah apabila dikeluarkan dari sumber-sumber yang sama,

seperti peraturan hukum, yurisprudensi, dan kebiasaan. Sumber-sumber tersebuh sudah barang

tentu melibatkan kelembagaan seperti pengadilan dan pembuat undang-undang. Kedua,

terlihat dari ikatan yang tercipta melalui praktek penerapan peraturan-peraturan hukum

tersebut. Di sini, praktek menjamin terciptanya susunan kesatuan dari peraturan-peraturan

tersebut dalam suatu dimensi waktu. Sarana-sarana yang digunakan untuk menjalankan

praktek kemudian menyebabkan terciptanya ikatan-ikatan dalam sistem tersebut.

Berbeda dengan Dias, Fuller mengajukan suatu ukuran untuk mengukur suatu sistem

hukum. Ukuran tersebut diletakkan pada delapan asas yang disebut principles of legality,

yaitu :

1. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Yang dimaksud di

sini adalah, bahwa ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan

yang bersifat ad hoc.

2. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.

3. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang demikian

Page 22: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 22

itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak bisa dipakai untuk menjadi pedoman

tingkah laku. Membolehkan pengaturan secara berlaku surut berarti merusak

integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan datang.

4. Peraturan-peratuan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.

5. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan

satu sama lain.

6. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang

dapat dilakukan.

7. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga

menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi.

8. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya

sehari-hari.

Sumber: Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 51.

Lebih lanjut lagi, Fuller mengatakan bahwa kedelapan asas yang disebutkannya tidak

hanya merupakan persyaratan bagi adanya suatu sistem hukum, melainkan juga memberikan

pengkualifikasian terhadap suatu sistem hukum sebagai sistem yang mengandung moralitas

tertentu. Tidak tercapainya kedelapan asas itu akan mengakibatkan suatu kegagalan, yang

pada akhirnya tidak hanya akan melahirkan sistem hukum yang buruk, melainkan sesuatu

yang tidak bisa disebut sebagai sistem hukum sama sekali.

Page 23: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 23

BAB III

PENUTUP

Kualitas suatu masyarakat dapat dikatakan ditentukan oleh kondisi ketertiban

masyarakat tersebut. Ketertiban sendiri tidaklah didukung oleh suatu lembaga yang monolitik.

Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama secara terintegrasi. Berbagai macam

norma yang ada dalam masyarakat memberikan sumbangannya masing-masing dalam

mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Salah satu sarana untuk mencapai ketertiban dalam

masyarakat adalah dengan menggunakan hukum. Hukum, sebagai norma kultur, mengajak

masyarakat untuk mencapai cita-cita serta keadaan tertentu, tetapi tanpa mengabaikan dunia

kenyataan. Peraturan-peraturan hukum bersumber dari asas-asas hukum, yang menjadi

jembatan penghubung antara peraturan-peraturan tersebut dengan cita-cita serta pandangan

etis masyarakat. Sebagai suatu sistem peraturan, hukum bekerja dengan memberikan

kualifikasi pada perbuatan masyarakat, mengelompokkannya menjadi perbuatan hukum dan

perbuatan bukan hukum. Hukum juga mengatur relasi yang terjadi antar subjek hukum, dan

kemudian melahirkan pertalian berupa hubungan yang telah dikualifikasi, yang disebut

dengan hak.

Page 24: Hukum Sebagai Sistem Peraturan

Page | 24

DAFTAR PUSTAKA

Sumber utama : Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Sumber dari buku :

Ali, Zainuddin. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Arrasjid, Chainur. 2004. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Moeljatno. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Rujukan dari internet :

Perbuatan Melawan Hukum. http://ppk.or.id/downloads/Perbuatan%20Mela-

wan%20Hukum.pdf, diakses pada 28 Juni 2008, pukul 23.31.

Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran, Berdasarkan Hukum Indonesia.

http://leeriem.blogspot.com/2008/01/status-hukum-anak-hasil-perkawinan.html, diakses

pada 28 Juni 2008, pukul 23.38.