hubungan budaya organisasi dengan kinerja perawat di
TRANSCRIPT
Hubungan Budaya Organisasi dengan Kinerja Perawat di Instalasi
Rawat Inap Public (Non Intensif) Rumah Sakit Umum Daerah
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
SKRIPSI
Diajukan sebagai Persyaratan untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan
Disusun Oleh:
Eka Sawitri
17111024110422
Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan Dan Farmasi
Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
2018
Hubungan Budaya Organisasi dengan Kinerja Perawat di Instalasi Rawat Inap Publik (Non Intensif) Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda
Eka Sawitri1, Maridi Marsan Dirdjo2
INTISARI
Latar Belakang: Budaya organisasi menjadi ciri khas dari organisasi. Hal ini berhubungan dengan acuan atau pedoman dalam kaitannya dengan kinerja perawat. Berdasarkan studi pendahuluan budaya organisasi di RSUD Abdul Wahab Sjahranie pe menunjukkan 55 (84,%) perawat merasa kerja di ruang perawatan tidak dapat membuat perawat kreatif dan inovatif 59 (90,7%) perawat merasa kebiasaan kerja tidak perlu cermat dan detail. Kemudian studi pendahuluan kinerja perawat menunjukkan 35 (53,9%) perawat merasa kolaborasi perawat dengan perawat atau profesi lain belum terjalin dengan baik dan terdapat 27 (42,%) perawat merasa kerapkali terjadi miskomunikasi antara perawat dengan perawat atau profesi lain.
Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan budaya organisasi dengan kinerja perawat di instalasi rawat inap public (non intensif) RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Metode: Peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif korelasional dengan rancangan Cross Sectional. Sampel pada penelitian yaitu perawat di instalasi rawat inap public (non intensif) RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda yaitu berjumlah 189 responden. Analisis data menggunakan univariat dan bivariat menggunakan uji Pearson Product Moment.
Hasil Peneltian: Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar usia responden antara 23-27 tahun sebanyak 88 responden (46,6%), jenis kelamin perempuan sebanyak 105 responden (55,6%), lulusan Ners sebanyak 94 responden (49,7%) dan masa kerja 1-3 tahun sebanyak 76 responden (40,2%). Untuk budaya organisasi dengan kinerja perawat yaitu nilai signifikansi < α, yaitu 0,000 < 0,05 yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima dan nilai Pearson Correlation yaitu 0,291 yang berarti terjadi korelasi yang rendah.
Kesimpulan: Ada hubungan antara budaya organisasi denngan kinerja perawat di instalasi rawat inap publik (non intensif) RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Saran: Penelitian yang sama dapat dilakukan di unit – unit lain dari rumah sakit yang sama untuk membandingkan hasil yang diperoleh
Kata Kunci: Budaya Organisasi, Kinerja Perawat.
1Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur 2Dosen Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
The Relationship of Organizational Culture with Performance of Nurses in Installation of Public Patient (Non Intensive) Regional Public Hospital
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Eka Sawitri1, Maridi Marsan Dirdjo2
ABSTRACT
Background: The organizational culture to be characteristic from organization. This is releated with orientation in relation with performance of nurse. Based on preliminary studies organizational culture in RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda show 69 (84%) nurse feel work in ward patient can not creative and innovative, 59 (90,7%) nurse reel habit of work no need careful and details. Then based on preliminary performance of nurse show 35 (53,9%) nurse feel collaboration of nurse with nurse or another profession is not good and there are 27 (42%) nurse feel miscommunication between nurse with nurse or another profession.
Objective: The study aimed to determine the organizational culture between performance of nurse in installation of public patient (non intensive) RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Methods: The research was a correlation descriptive study with cross sectional design. Sampels in this research that nurses in installation of public patient.
Result: The research result to show of the responden aged between 23-27 years of the 88 respondents, sex of female respondents as many as 105 respondents (55,6%), Nurse program as much as 94 respondents (49,7%), work periode between 1-4 years as many as 76 respondent (40,2%). Organizational culture with performance of nurse that is the significance value < α, that is 0,000 < 0,05, which means that Ho refused and Ha accepted and Pearson Correlation value is 0,291 which means the correlation is low.
Conclusion: There was a significant between relationship of culture with performance nurse in installation of public patient (non intensive) RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Recommendation: The another research can do in the another units of same hospital to compare result.
Keywords: Organizational culture, performance of nurse
1 Student of Nursing University Muhammadiyah Kalimantan Timur 2 Lecture of Nursing University Muhammadiyah Kalimantan Timur
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah salah satu wujud
dari tuntutan masyarakat di era globalisasi saat ini. Masyarakat
yang semakin kritis dan terdidik menguatkan agar pelayanan
kesehatan lebih responsif atas kebutuhan masyarakat, menerapkan
manajemen yang transparan, partisipatif dan akuntabel.
Masyarakat menuntut rumah sakit agar dapat memberikan
pelayanan kesehatan terkait dengan kebutuhan pasien secara
mudah, cepat, tepat dengan biaya ekonomis (BAPPENAS, 2011).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 tahun
2014, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelengarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang salah satunya menyediakan pelayanan rawat inap.
Rumah sakit adalah institusi yang merupakan bagian integral dari
organisasi kesehatan dan organisasi sosial, berfungsi menyediakan
pelayanan kesehatan lengkap dari pelayanan medis hingga
keperawatan. Pelayanan kesehatan di rumah sakit yang baik
ditunjang juga oleh Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK).
Sumber daya manusia kesehatan (SDMK) merupakan salah satu
sub sistem kesehatan nasional yang mempunyai peranan penting
dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui
berbagai upaya dan pelayanan kesehatan. Upaya dan pelayanan
kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
bertanggung jawab, memiliki etik dan moral tinggi, keahlian, dan
berwenang (Profil Kesehatan Indonesia, 2015).
Dalam menjamin sistem pelayanan kesehatan maka telah
ditetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan. Tenaga kesehatan dikelompokkan dalam beberapa
rumpun dan sub rumpun salah satunya keperawatan. Pelayanan
keperawatan memiliki kedudukan penting bagi kualitas pelayanan
kesehatan di rumah sakit, berdasarkan pendekatan bio-psiko-
sosial-spiritual selama 24 jam dan berkesinambungan.
Undang-Undang RI Nomor 38 tahun 2014 menjelaskan
keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu,
keluarga, kelompok atau masyarakat, baik keadaan sakit maupun
sehat. Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi
keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh
pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Pelayanan keperawatan adalah pelayanan yang
diselenggarakan oleh perawat dalam bentuk asuhan keperawatan.
Tim pelayanan keperawatan memberikan pelayanan kepada
klien sesuai keyakinan profesi dan standar yang telah ditetapkan.
Hal ini ditujukan agar pelayanan keperawatan yang diberikan
senantiasa merupakan pelayanan yang aman serta dapat
memenuhi kebutuhan dan harapan pasien yang dirawat. Salah satu
fungsi pelayanan tenaga kesehatan di rumah sakit yaitu
menyelenggarkan pelayanan keperawatan oleh para perawat,
pedidikan dan penelitian sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pelayanan kesehatan (Undang-
Undang Nomor 44, 2009).
Pada tahun 2015, total perawat di Indonesia sebanyak
223.910 orang atau 34,% dari total tenaga kesehatan (Profil
Kesehatan Indonesia, 2015). Berdasarkan data tersebut perawat
adalah tenaga kesehatan terbanyak dan merupakan karyawan lini
yang kontak secara langsung dengan pasien, sehingga kinerja
perawat berperan penting dalam menentukan kualitas pelayanan
kesehatan di rumah sakit melalui kinerja (Murtiningsih, 2015).
Rai, dkk (2008) mendefinisikan kinerja adalah cara
perseorangan atau kelompok dari organisasi dalam menyelesaikan
pekerjaan atau tugas. Kinerja pegawai rumah sakit seperti halnya
perawat pada dasarnya memberikan pengertian yang
komperehensif meliputi penilaian prestasi kerja, efektivitas kerja,
hasil kerja, pencapaian tujuan dan produktifitas kerja. Hasil
penilaian ini menjadi penentu pencapaian tugas terhadap pegawai
dalam penetapan kinerja organisasi (Sinambela. 201).
Kinerja perawat merupakan akivitas perawat dalam
mengimplementasikan sebaik-baiknya suatu wewenang tugas dan
tanggung jawab dalam rangka pencapaian tujuan tugas pokok
profesi dan terwujudnya tujuan dan sasaran unit organisasi dalam
memberikan asuhan keperawatan. Dimana kepala ruang
keperawatan memiliki tanggung jawab menggerakkan perawat
pelaksana untuk bekerja lebih baik (Kuntoro dalam Putra dkk,
2014).
Namun data tentang kinerja perawat di Indonesia masih
belum sama. Hasil penelitian yang pernah dilakukan di Instalasi
Rawat Inap RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dimana distribusi
frekuensi responden kinerja perawat lebih tinggi yang baik (73%).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian responden masih
memiliki kinerja yang kurang baik. Hal ini dapat menggangu kinerja
perawat lainnya yang menyebabkan penurunan kinerja. Kinerja
perawat perlu lebih ditingkatkan agar pelayanan keperawatan lebih
berkualitas (Paomey dkk, 201).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Iqbal dan Agritubella
pada bulan Oktober 2017 di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Pekan
Baru Medical Center (RS PMC). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar kinerja perawat pelaksana berada pada
kategori dengan kinerja yang kurang (71,4%). Hal ini menunjukkan
bahwa masih rendahnya kinerja perawat pelaksana, sehingga akan
mempengaruhi mutu pelayanan rumah sakit.
Salah satu tantangan utama dalam meningkatkan kinerja
pegawai terutama perawat adalah bagaimana menciptakan sumber
daya manusia yang dapat menghasilkan kinerja optimal dalam
mencapai tujuan organisasi. Untuk menciptakan kinerja perawat
yang efektif dan efisien demi kemajuan organisasi maka perlu
adanya penerapan budaya organisasi sebagai salah satu pedoman
kerja yang dapat menjadi acuan pegawai dalam melakukan
aktivitas organisasi (Kalsum dkk, 2017).
Budaya organisasi Menurut Vijay dan Robert (dalam
Nawawi, 2015) budaya merupakan suatu sistem pembagian nilai
dan kepercayaan yang berinteraksi dengan orang dalam suatu
organisasi, struktur, dan sistem kontrol yang menghasilkan norma
perilaku anggota masyarakat. Budaya organisasi sangat meresap
dalam kehidupan organisasi dan selanjutnya dapat memengaruhi
kehidupan organisasi (Kalsum dkk, 2017).
Budaya organisasi memiliki peran penting dalam kaitannya
dengan kinerja karyawan, karena budaya sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Nilai-nilai dan keyainan yang berbeda
berdasarkan kinerja karyawan membantu dalam peningkatan
organisasi. Budaya organisasi yang membantu dalam internalisasi,
mengarah untuk mengelola proses organisasi yang efektif (Syauta,
2012 dan Awadh, 2013 dalam Elfiani dkk, 2015).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
oleh Iqbal dan Agritubella (2017) bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara budaya organisasi dengan kinerja perawat.
Budaya organsasi yang dimaksud mencakup keterlibatan,
penyesuaian, konsistensi, dan misi organisasi. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, maka diharapkan budaya organisasi benar-
banar dikelola sebagai alat manajemen pada perawat pelaksana
dalam menyesuaikan kebijakan rumah sakit sebagai organisasi.
Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda (RSUD A.W Sjharanie Samarinda) merupakan salah
satu rumah sakit rujukan milik Pemerintah Provinsi Kalimantan
Timur. Selain rumah sakit rujukan RSUD Abdul Wahab Sjahranie
merupakan rumah sakit kelas A dengan capaian akreditasi
paripurna dari Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/390/2014 bahwa RSUD Abdul Wahab
Sjahranie ditetapkan sebagai salah satu dari 14 Rumah Sakit
Rujukan Nasional.
Pada era globalisasi ini, persaingan dalam pealyanan
kesahatan semakin meningkat mulai dari rumah sakit milik
pemerintah hingga rumah sakit swasta. Persaingan bukan hanya
pada fasilitas rumah sakit tetapi pada kualitas dan kuantitas sumber
daya manusianya (SDM). Dalam berbagai pencapaian yang telah
ada termasuk menjadi rumah sakit rujukan nasional, Rumah Sakit
Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda juga
menerapkan peningkatan SDM. Dimana SDM yang berkuallitas
akan meningkatkan kinerja dan memberikan kepuasan pelayanan
rumah sakit pada setiap pasiennya.
Studi pendahuluan yang di lakukan peneliti pada bulan
Januari 2018 di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
sebanyak 5 perawat di 13 ruang perawatan non-intensif. Studi
pendahuluan dilakukan dengan pengisian kuesioner.
Studi pendahuluan budaya organisasi mencakup: kondisi
kerja, penekanan hasil, kecermatan keja, dan kerjasama tim. Hasil
studi pendahuluan menunjukkan 55 (84,%) perawat merasa kondisi
kerja di ruang perawatan tidak dapat membuat perawat kreatif dan
inovatif. Hal ini menjadikan setiap pekerjaan hanya dikerjakan
berlandaskan sebatas tugas. Perawat yang kreatif dan inovatif
sangat diperlukan dalam mewujudkan rumah sakit berkualitas
tinggi.
Kemudian hasil studi pendahuluan lainnya menunjukkan 59
(90,7%) perawat merasa kebiasaan kerja tidak perlu cermat dan
detail. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perawat masih
mementingkan waktu yang cepat tanpa memperhatikan ketelitian
dalam mengerjakan tugas.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan di atas, peneliti juga
melakukan studi pendahuluan tetang kinerja perawat. Pada studi
pendahuluan yang didapatkan, terdapat 35 (53,9%) perawat
merasa dalam membangun kinerja terhadap kolaborasi perawat
dengan perawat atau profesi lain belum terjalin dengan baik dan
terdapat 27 (42,%) perawat merasa kerapkali terjadi miskomunikasi
antara perawat dengan perawat atau profesi lain.
Dokumentasi keperawatan merupakan bagian dari
komunikasi. Berdasarkan hasil audit keperawatan dan analisis data
asuhan keperawatan pasien RSUD A.W Sjahranie Samarinda
tahun 2016 rata-rata 75%. Hasil tersebut masih di bawah standar
yang ditetapkan Kemenkes yaitu 85%. Pendokumentasian yang
tidak efisien dan efektif menyebabkan terjadinya kesalahan
komunikasi antar perawat maupun profesi lain. Pendokumentasian
yang tidak lengkap memberikan kerugian bagi klien dan keluarga
karena informasi penting terkait perawatan dan kondisi
kesehatannya terabaikan.
Rumah sakit sebagai organisasi memerlukan kerjasama baik
dalam profesi yang sama maupun lintas profesi. Salah satu hal
yang mengawali kerjasama tim adalah menjalin komunikasi yang
baik. Oleh karena itu, setiap pegawai di rumah sakit wajib
mengembangkan komunikasi dari berbagai pihak, baik antara
pemimpin, anggota, hingga masyarat sekitar rumah sakit agar
dapat mewujudkan kerjasama tim yang baik.
Berdasarkan teori Robbert dan Couter (2010) terdapat tujuh
dimensi budaya organisasi yaitu perhatian pada detail, orientasi
hasil, orientasi manusia, orientasi tim, agresivitas, stabilitas, dan
inovasi dan pengambilan risiko. Masing-masing dari ketujuh
dimensi tersebut memiliki tingkatan dari rendah hingga tinggi. Salah
satu dimensi budaya organisasi sering kali diberi penekanan yang
lebih kuat dibandingkan dimensi-dimensi yang lainnya, karena pada
prinsipnya budaya organisasi membentuk kepribadian organisasi
yang bersangkutan langsung dengan para anggotanya.
Berdasarkan uraian fenomena di atas, maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Budaya
Organisasi dengan Kinerja Perawat di Instalasi Rawat Inap Publik
(Non-Intensif) RSUD A.W Sjahranie Samarinda”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Hubungan
Budaya Organisasi dengan Kinerja Perawat di Instalasi Rawat Inap
Publik (Non-Intensif) RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui
Hubungan Budaya Organisasi dengan Kinerja Perawat di
Instalasi Rawat Inap Publik (Non-Intensif) RSUD A.W Sjahranie
Samarinda.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu:
a. Mengidentifikasi karkteristik responden
b. Mengetahui gambaran budaya organisasi
c. Mengetahui gambaran kinerja perawat pada perawat
pelaksana
d. Menganalisis hubungan budaya organisasi dengan kinerja
perawat pelaksana
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
Sebagai bahan bacaan di perpustakaan atau sumber
data bagi peneliti lain yang memerlukan masukan berupa
data atau penngembangan peneliti dengan salah satu
variable yang sama demi kesempurnaan penelitian tersebut.
Sebagai sumber informasi yang bermanfaat bagi institusi
dan sebagai salah satu dokumentasi ilmiah untuk
merangsang minat peneliti selanjutnya.
b. Bagi Ilmu Keperawatan
Sebagai masukan pengetahuan baru bagi perawat
untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan di bidang manajemen keperawatan, terutama
dalam mengoptimalkan kinerja perawat melalui budaya
organsisasi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi perawat
Sebagai informasi dimana budaya organisasi akan
meningkatkan kinerja perawat pelaksana.
b. Bagi RSUD A.W Sjahranie Samarinda
Memberikan informasi kepada perawat pelaksana untuk
mempertahankan budaya organisasi yang baik, dengan
harapan dapat meningkatkan kinerja perawat sehingga
dengan hal ini juga dapat meningkatkan mutu pelayanan.
c. Bagi Peneliti
Merupakan pengalaman baru yang berharga pada peneliti
dimana penelitian ini dapat menambah pengetahuan antara
budaya organisasi dengan kinerja perawat di ruang
perawatan, yang nantinya diperoleh agar dapat membantu
mengaplikasikannya dengan baik.
E. Keaslian Penelitian
1. Penelitian yang dilakukan oleh Cristian J Paomey, Mulyadi, dan
Revelino H (201) tentang “Hubungan Kecerdasan Emosional
dengan Kinerja Perawat dalam Menerapkan Asuhan
Keperawatan di IRINA A RSUP PROF. DR. D Kandou Manado”.
Jenis penelitian ini adalah observasi analitik dengan pendekatan
cross sectional. Instrument yang digunakan adalah kuesioner
dan lembar observasi.
Perbedaan penelitian yang dilakukan saat ini, jenis penelitian
deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional.
Intrumen yang digunakan adalah kuesioner.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Umi Kalsum, La Ode Ali I.A, Wa
Ode Siti N.A (2017) tantang “Pengaruh Budaya Organisasi
Terhadap Kinerja Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Umum Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2010”.
Populasi penelitian ini adalah seluruh perawat PNS, sampel
didapatkan dengan rumus lemehsow dan menggunakan teknik
stratified random sampling.
Perbedaan yang dilakukan penelitian saat ini yaitu populasi
pada seluruh perawat PNS dan kontrak, sampel didapatkan
dengan rumus slovin dan menggunakan teknik stratified random
sampling.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Iqbal dan Syafrisar
Meri A (2017) tentang “Hubungan Budaya Organisasi dengan
Kinerja Perawat Pelaksana di Rawat Inap RS PMC”. Populasi
yang digunakan peneliti adalah seluruh perawat dengan teknik
total sampling. Analisa data yang digunakan adalah univariat,
bivariat (uji T independen dan chi square), dan multivariat
(regresi logistik ganda).
Perbedaan yang dilakukan peneliti saat ini yaitu teknik
sampling yang digunakan adalah simpel random sampling.
Analisa data yang digunakan adalah univariat dan bivariat
(pearson product moment).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Kinerja
a. Pengertian Kinerja
Kinerja adalah tingkat prestasi individu bekerja yang
datang setelah usaha dilakkukan (Silalahi, 2011). Kinerja
adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam
rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan
secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai moral
maupun etika.
Silalahi (2011) di dalam bukunya memaparkan bahwa
kinerja didefinisikan sebagai hasil akhir dari suatu aktivitas.
Sedangkan kinerja organisasional (organizational
performance) adalah hasil akhir yang diakumulasi dari
seluruh proses dan kegiatan kerja organisasi. Kinerja
karyawan individual merupakan faktor utama penentu
keberhasilan organisasional.
Dengan manajemen kinerja, usaha dari setiap karyawan
harus diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.
Faktor penting untuk suksesnya manajemen kinerja adalah
penilaian kinerja, karena sistem tersebut menceminkan
secara langsung rencana stratejik organisasi. Meskipun
evaluasi atas kinerja tim penting seiring keberadaan tim-tim
dalam suatu organisasi, fokus penilaian kinerja sebagian
besar pada karyawan individual (Mondy, 2008).
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja menurut
Gibson (1997) dalam Nursalam (2017):
Gibson menyatakan kinerja dipengaruhi oleh tiga
variabel yaitu variabel individu, variabel organisasi, dan
variabel psikologis. Variabel individu terdiri dari kemampuan,
keterampilan, latar belakang (keluarga, tingkat sosial, dan
pengalaman), dan demografi (umur dan jenis kelamin).
Variabel organisasi terdiri dari sumber daya, kepemimpinan,
imbalan, struktur, dan desain pekerjaan. Variabel psikologi
terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, belajar, dan
motivasi.
1) Variabel Individu
Menurut Sedarmayanti (2011) individu memiliki
integritas antara fungsi pikis dan fisik. Dengan memiliki
integritas tinggi maka individu memilliki konsentrasi yang
baik. Hal ini menjadi modal utama untuk individu dalam
mengelola dan mendayagunakan potensi dirinya secara
optimal dalam melaksanakan aktivitas bekerja dalam
mencapai tujuan organisasi. Konsentrasi individu dalam
bekerja juga dipengaruhi oleh kemampuan potensi:
kecerdasan pikiran / IQ dan kecerdasan emosi / EQ.
Kecerdasan individu dilihat dari keahlian-keahlian
yang harus dikembangkan oleh staf atau pegawai bila
ingin menunjukkan kinerja memenuhi standar. Keahlian-
keahlian pegawai dalam melaksanakan tugas-tugas
merupakan kompetensi yang dimiliki, sehingga
memberikan hasil secara efektif dan efisien (Suyar
Dharma dalam Makmur, 2009).
Kompetensi merupakan kemampuan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan yang dilandasi
keterampilan dan pengetahuan yang mejadi ciri
profesionalisme (Wibowo, 2016). Kompetensi terbentuk
adanya keselarasan antara mental dan keterampilan
fisik. Dalam hal ini perawat bukan hanya menerapkan
asuhan keperawatan saja tapi perawat juga dapat
mengembangkan kemampuan yang dimiliki agar pasien
puas atas pelayanan yang diberikan (Mandangi dkk,
2015).
Robbins (2010) menyatakan bahwa karakteristik
individu seperti umur, lama kerja, dan status perkawinan
mempengaruhi kinerja individu. Umur dikaitakan dengan
produktivitas kerja. Jenis kelamin menjadi perbedaan
yang signifikan dalam produktifitas kerja, faktor
psikologis wanita cenderung mematuhi otoritas,
sedangkan pria cenderung agresif di dalam
penghargaan. Faktor lama bekerja dihubungkan dengan
senioritas atau anggapan bahwa semakin lama bekerja
maka semakin lebih berpengalaman dan berpengaruh
terhadap produktivitasnya.
2) Variabel organisasi
Suatu organisasi dibentuk untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Tujuan organisasi dapat berupa
perbaikan pelayanan pelanggan, pemenuhan
permintaan pasar, peningkatan kualitas produk atau
jasa, meningkatnya daya saing, dan meningkatnya
kinerja organisasi. Faktor penting yang memengaruhi
tujuan organisasi adalah desain dan struktur organisasi.
Melalui desain dan strukturlah para pemimpin
organisasai mampu menentukan harapan-harapan
dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi (Invancevich
dkk, 2007).
Pencapaian tujuan organisasi menunjukkan hasil
kerja atau prestasi kerja organisasi dan menunjukkan
sebagai kinerja atau performa organisasi. Untuk
menjamin agar aktivitas tersebut dapat mencapai hasil
yang diharapkan, diperlukan upaya manajemen dalam
pelaksanaan aktivitasnya. Dengan demikian, hakikat
manajemen kinerja adalah bagaimana mengelola
seluruh kegiatan organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya (Wibowo,
2016).
Banyak praktisi dan ahli manajemen menekankan
pentingnya peran manusia dalam menentukan
keberhasilan sebuah organisasi salah satunya adalah
pemimpin. Pemimpin merupakan salah satu faktor
penentu sukses tidaknya organisasi. Disini pemimpin
dianggap sebagai panutan dalam organisasi, sehingga
perubahan secara lebih baik harus dimulai dari tingkat
yang paling atas (pemimpin) hingga ke tingkat paling
bawah. Untuk itu organisasi memerlukan pemimpin yang
mampu menjadi motor penggerak perubahan organisasi
(Suyuthi, 2014).
Sementara itu, untuk meningkatkan kinerja, pemimpin
menyediakan intensif bagi pekerja yang dapat
memberikan prestasi kerja melebihi standar kinerja yang
diharapkan. Dengan kata lain, manajemen memberikan
penghargaan atau reward (Wibowo, 2016). Tujuan
utama program penghargaan adalah untuk menarik
orang yang cakap untuk mencapai kinerja tingkat tinggi
(Gibson dkk, 2000 dalam Wibowo, 2016).
Dalam penelitian Mandagi, dkk (2015) penghargaan
yang diberikan kepada perawat dalam aspek
profesionalisme dapat meliputi atas memberikan pujian,
gaji yang diterima sesuai dengan UMP, saat lembur
mendapat intensi tambahan, dan selalu dilibatkan dalam
acara rumah sakit dan mendapat nillai yang baik dari
atasan sehingga perawat bisa meningkatkan kinerjanya.
Kinerja suatu organisasi sangat ditentukan oleh
sumber daya manusia yang berada di dalamnya.
Apabila sumber daya manusianya memiliki motivasi
tinggi, kreatif, dan mampu mengembangkan inovasi,
kinerjanya akan semakin baik. Pada masa lalu,
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia
dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan. Cara
tersebut secara bertahap mulai ditinggalkan karena
bersifat top-down sehingga kurang mampu
mengembangkan kreativitas dan inovasi sumber daya
manusia. Cara pendekatan baru yang dipergunakan
untuk mengembangkan sumber daya manusia saat ini
lebih dikenal sebagai pemberdayaan (Wibowo, 2016).
Menurut Wibowo (2016) pemberdayaan adalah
mendorong orang untuk lebih terlibat dalam pembuatan
keputusan dalam organisasi, sehingga dengan cara ini
kinerja pegawai akan meningkat. Memberdayakan orang
akan mendorong keterlibatan dalam mengambil
keputusan. Hal itu akan memberi kesempatan untuk
menunjukkan bahwa individu dapat memberikan
gagasan baik dan memiliki keterampilan menempatkan
gagasan praktik.
3) Variabel psikologi
Faktor psikologi menurut teori Gibson (1997) dalam
Nursalam (2017) terdiri dari perspsi, sikap, kepribadian,
belajar, dan motivasi. Kinerja organisasi diwujudkan oleh
kumpulan kinerja dari semua pekerja untuk mencapai
tujuan organisasi. Apabila pekerja mempunyai motivasi
untuk mencapai tujuan pribadinya, maka mereka harus
meningkatkan kinerja.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2010) dalam Wibowo
(2016) motivasi merupakan proses psikologi yang
membangkitkan dan mengarahkan perilaku pada
pencapaian tujuan atau goal-directed behavior. Manajer
itu perlu memahami proses psikologis ini apabila mereka
ingin berhasil membina pekerja menuju pada
penyelesaian sasaran organisasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Mandagi, dkk (2015)
motivasi juga merupakan kondisi dari perawat yang bisa
mendorong seorang perawat untuk berperilaku menuju
tujuan yang ingin dicapainya. Apabila seorang perawat
memiliki motivasi yang baik untuk mencapai tujuannya,
maka kinerja akan meningkat. Dalam penelitian tersebut
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara motivasi perawat dengan kinerja perawat.
Dengan demikian, meningkatnya motivasi pekerja akan
meningkatkan kinerja organisasi.
Menurut Wirawan (2015) faktor-faktor yang
memperngaruhi kinerja terdiri dari lingkungan eksternal
organisasi,lingkungan internal organisasi, dan pegawai.
1) Lingkungan eksternal organisasi
a) Faktor ekonomi makro dan mikro-organisasi. Jika
ekonomi makro dan mikro memburuk dan inflasi
meninggi akan berakibat harga barang dan jasa
meningkat sedangkan upah pegawai tetap, akan
memengaruhi nilai nominal upah pegawai yang
merosot daya belinya.
b) Kehidupan politik. Kehidupan politik yang tidak stabil
juga memengaruhi kinerja para pekerja. Di negara-
negara yang kacau kehidupan politiknya atau politik
menjadi panglima menimbulkan konflik politik yang
mengganggu produktivitas tenaga kerja. Indonesia
mengalami krisis politik tahun 1965 dan tahun 1998.
Akibatnya produktivitas merosot drastis dan buruh
kehilangan pekerjaannya.
c) Kehidupan sosial budaya masyarakat. Kehidupan
sosial budaya juga memengaruhi kinerja SDM.
Sebagian masyarakat masih hidup dengan pola
sosial budaya yang sangat sederhana sehingga
produktivitas sangat rendah.
d) Agama / spiritualitas. Sejumlah ayat dalam Injil dan
Al-Qur’an mendorong umat beragama untuk bekerja
dan meningkatkan produktivitas. “Bekerjalah seolah-
olah kamu akan hidup seribu tahun lagi, dan
beribadahlah seolah-olah akan meninggal dunia
besok”. Di Indonesia pada tahun 1990-an mulai
terjadi gerakan spiritualitas ke tempat kerja. Para
Da’i dan motivator memberi khotbah dan ceramah di
perusahaan-perusahaan dan lembaga pemerintah.
e) Kompetitor Kompetitor merupakan faktor yang
memengaruhi produktivitas barang dan jasa.
Kompetitor mendorong perusahaan untuk
memproduksi barang dan jasa dalam jumlah banyak
serta lebih murah untuk menciptakan keunggulan
komparatif, keunggulan diferensial, dan keunggulan
kompetitif.
2) Faktor internal organisasi
a) Budaya organisasi
Wirawan (2015) mendefinisikan budaya organisasi
sebagai norma, nilai-nilai asumsi, kepercayaan,
filsafat, dan kebiasaan organisasi dan sebagainya
(isi budaya organisasi) yang dikembangkan dalam
waktu yang lama oleh pendiri, pemimpin dan
anggota organisasi yang disosialisasikan dan
diajakan kepada anggota baru serta diterapkan
dalam aktivitas organisasi sehingga memengaruhi
pola pikir, sikap dan perilaku anggota organisasi
dalam memproduksi produk, dan melayani
0konsumen dan mencapai tujuan organisasi.
b) Iklim organisasi
Iklim organisasi sangat memengaruhi sikap dan
perilaku pegawai dalam melaksanakan
pekerjaannya yang kemudian memengaruhi kinerja.
Oleh karena itu tugas manajer adalah menciptakan
suatu iklim organisasi yang kondusif yang
memungkinkan para pegawai dapat melaksanakan
tugas secara maksimal dan menghasilkan kinerja
yang maksimal.
Table 2.1 Iklim Organisasi (Wirawan, 2015) Variabel Dimensi Indikator
Iklim organisasi
1. Lingkungan fisik
1.1 Ruang kerja
1.2 Teknologi produksi
1.3 Peralatan kerja
2. Lingkungan social
2.1 Hubungan atasan bawahan
2.2 Hubungan teman sekerja
2.3 Sistem kepemimpinan
2.4 Sistem komunikasi
3. Pelaksanaan sistem manajemen
3.1 Struktur organisasi
3.2 Sistem birokrasi organisasi
3.3 Distribusi kekuasaan
3.4 Delegasi
kekuasaan
3.5 Allokasi sumber-sumber
3.6 Sistem kompensasi
3.7 Pengambangan karier
3.8 Manajemen konflik
3.9 Tanggung jawab
4. Produk 4.1 Jenis produk
4.2 Jenis barang dan teknik melayani konsumen
4.3 Jenis jasa dan teknik melayaninya
4.4 Proses produksi
5. Konsumen, nasabah, klien yang dilayani
5.1 Jenis konsumen
5.2 Perilaku konsumen
5.3 Sistem layanan
5.4 Hubungan konsumen daengan pegawai yang melayani
3) Faktor pegawai
a) Etos kerja.
Etos kerja individu sangat menentukan keberhasilan
individu dalam mencapai tujuannya. Salah satu
rendahnya produktivitas tenaga kerja dan kurang
kompetitifnya dalam bersaing adalah rendahnya
etos kerja.
b) Disiplin kerja
Salah satu perilaku pegawai yang memengaruhi
kinerjanya adalah disiplin kerjanya. Perilaku disiplin
pegawai adalah perilaku pegawai yang memenuhi
standar perilaku, kode etik, peraturan kerja,
prosedur operasi kerja yang ditetapkan organisasi.
Perilaku pegawai yang tidak sesuai ketentuan
tersebut disebut perilaku indisipliner.
c) Kepuasan kerja
Kepuasan kerja adalah perspsi-perasaan dan sikap-
orang mengenai berbagai aspek dari pekerjaan.
Persepsi tersebut dapat positf, dimana menimbulkan
kepuasan kerja dan dapat negatif yang
menimbulkan ketidakpuasan kerja. Persepsi positif
dapat menimbulkan berbagai akibat positif misalnya
kinerja tinggi, motivasi kerja tinggi, perilaku
kewargaan tinggi, dan etos kerja tinggi. Sebaliknya
persepsi negatif dapat menurunkan kinerja, motivasi
dan etos kerja.
c. Penilaian kinerja
Pada umumnya untuk mengetahui seberapa jauh
kinerja individu, tim, maupun organisasi telah mencapai
kemajuan maka dapat dilakukan penilaian atau apprasial.
Penilaian kinerja sesungguhnya merupakan penilaian atas
perilaku manusia dalam melaksanakan peran yang mereka
mainkan di dalam organisasi (Wibowo, 2016).
Bacal (2004) dan Havard Business Essentials (2006)
dalam Wibowo (2016) Penilaian kinerja atau performance
appraisal adalah proses dimana kinerja individual diukur dan
dievaluasi selama periode waktu tertentu. Maksud utama
penilaian kinerja adalah mengkomunikasikan tujuan,
memotivasi, memberi umpan balik, dan menetapkan tahapan
untuk rencana pengembangan yang efektif.
Manfaat penilaian kinerja antara lain adalah: (a)
penilaian kinerja yang dilakukan dengan berhati-hati dapat
membantu memperbaiki kinerja pekerja sepanjang tahun, (b)
proses penilaian yang efektif merupakan bagian dari
menejemen sumber daya manusia yang dapat membantu
organisasi berhasil, dan (c) merupakan komponen kunci dari
strategi kompetitif (Allen, 2007 dalam Wibowo, 2016).
Tujuan utama penilaian kinerja adalah untuk
memotivasi pegawai personel dalam mencapai sasaran
strategik organisasi dan dalam memenuhi standar perilaku
yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan
tindakan dan hasil yang dikehendaki oleh organisasi.
Penilaian kinerja dimanfaatkan oleh organisasi untuk:
1) Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien
melalui pemotivasian personel secara maksimal.
2) Membantu pengembalian keputusan yang berkaitan
dengan penghargaan personel, seperti: promosi, transfer,
dan pemberhentian.
3) Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan
pengembangan personel, dan untuk menyediakan kriteria
seleksi dan evaluasi program pelatihan pegawai.
4) Menyediakan suatu dasar untuk mendistribusikan
penghargaan.
Tujuan pokok sistem penilaian kinerja adalah
menghasilkan informasi yang akurat dan sahih tentang
perilaku dan kinerja anggota-anggota organisasi. Menurut
T.V. Rao (1996) dalam Sinambela (2016) tujuan penilaian
diri atau penilaian kinerja individu adalah sebagai berikut:
1) Menyediakan kesempatan bagi pegawai untuk
mengiktisarkan.
a) Berbagai tindakan yang telah diambil pegawai dalam
kaitan dengan aneka fungsi yang berkaitan dengan
perannya.
b) Keberhasilan dan kegagalan pegawai sehubungan
dengan fungsi-fungsi itu.
c) Kemampuan-kemampuan yang pegawai perlihatkan
dan kemampuan-kemampuan yang dirasakan kurang
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan dan berbagai
dimensi manajerial, serta perilaku yang telah
diperlihatkannya selama setahun.
2) Mengenali akan kebutuhan perkembangannya sendiri
dengan membuat rencana bagi perkembangannya di
dalam organisasi dengan mengidentifikasi dukungan
yang diperlukan dari pimpinan dan orang-orang lainnya di
dalam organisasi.
3) Menyampaikan kepada pimpinan yang berkepentingan,
apa yang sudah dicapai dan refleksinya agar ia mampu
meninjau prestasinya sendiri dalam perspektif yang benar
dan dalam penilaian yang lebih objektif. Hal ini
merupakan sebuah persiapan yang perlu bagi diskusi-
diskusi peninjauan prestasi kerja dan rencana-rencana
perbaikan prestasi kerja.
4) Memprakarsai suatu proses peninjauan dan pemikiran
tahunan yang meliputi seluruh organisasi untuk
memperkuat perkembangan atas inisiatif sendiri guna
mencapai keefektifan manajerial.
d. Dimensi kinerja untuk mengukur kinerja perawat
Pengukuran terhadap kinerja/ prestasi kerja pegawai
secara umum dapat diukur melalui aspek-aspek kerja
pegawai. Menurut Istijanto (2005) aspek-aspek kerja
pegawai meliputi: kualitas kerja, tanggungjawab terhadap
pekerjaan, kerjasama dengan rekan kerja, motivasi kerja,
orientasi terhadap pelanggan, dan inisiatif pegawai. Namun,
kinerja perawat sebagai tenaga kesehatan memiliki
kekhususan yang berbeda dengan karyawan di organisasi
non kesehatan.
Salah satu metode dalam menilai kinerja perawat
yaitu dengan melihat standar asuhan keperawatan
(Mandagi, Umboh & Rattu, 2015). Asuhan keperawatan ini
menggunakan metode proses keperawatan yang terdiri dari
lima komponen, yaitu pengkajian, diagnosis keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan/ implementasi dan evaluasi
(Siahaan & Tarigan, 2012).
Dimensi kinerja perawat sebenarnya telah
dikembangkan sejak lama oleh Patricia M. Schwirian pada
tahun 1978 yang diterbitkan dalam Nursing Research,
dengan judul Evaluating the performance of nurses: A multi-
dimensional approach. Dimensi ini masih digunakan oleh
Yuxiu, Kunaviktikul dan Thungjaroenkul (2011). Dimensi
tersebut meliputi: (1) kepemimpinan, (2) perawatan kritis, (3)
pembelajaran/ kolaborasi, (4) perencanaan dan evaluasi, (5)
komunikasi interpersonal dan (6) pengembangan
profesional.
1) Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok menuju pencapaian
sebuah visi atau serangkaian tujuan (Robbins & Jugde,
2015). Sementera McShane & Von Glinow (2018)
menyatakan kepemimpinan itu tentang mempengaruhi,
memotivasi, dan memungkinkan orang lain memberikan
kontribusi kearah efektivitas dan keberhasilan organisasi
dimana mereka menjadi anggotanya.
Menurut American Organization of Nurse Executive
Competencies (Marquis & Houston, 2015: xiv):
ketrampilan kepemimpinan yang harus dimiliki perawat
meliputi ketrampilan berfikir kritis, disiplin diri,
kemampuan untuk menggunakan pemikiran sistem,
keberhasilan dalam perencanan dan manajemen
perubahan.
2) Perawatan kritis
Perawatan kristis adalah area keperawatan yang
memberikan pelayanan spesifik terhadap respon
manusia yang sedang menghadapi masalah uang
mengacam kehidupan (Landrum dkk, 2012: 3). Perawat
yang bekerja dalam kondisi ini harus mampu melakukan
pengkajian secara efisien, memerikan tindakan yang
tepat dan mahir, melakukan sesuai budaya dan secara
emosional sensitif terhadap pasien dan kelurganya.
Nilai-nilai inti yang dijalankan dalam memberikan
pelayanan dalam keadaan kritis adalah ketrampilan
melakukan pengkajian, kemampuan melakukan berbagai
tugas, kemapuan beradapatasi, ketrampilan komunikasi,
perhatian secara detail terhadap suatu masalah yang
besar, dan teknik koping positif.
3) Pembelajaran/ kolaborasi
Pembelajaran adalah perubahan perilaku yan relatif
permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman
(Robbins dan Judge, 2008). Melalui pengalaman
berinteraksi dengan lingkungan pelayanan kesehatan
perawat belajar tentang berbagai hal untuk membangun
perilaku profesional sebagai tenaga kesehatan. Perawat
juga berperan sebagai pendidik pasien yang dilayani
tentang hidup sehat. Peran ini dapat dilakukan dengan
mengkaji kebutuhan belajar pasien dan membuat
seperangkat tujuan terkait dengan pasien, menetapkan
strategi dan mengukur hasil belajarnya (Berman, Snyder,
& Frandsen, 2016: 15).
Kolaborasi adalah adalah prinsip perencanaan dan
pengambilan keputusan bersama, berbagi saran,
kebersamaan, tanggunggugat, keahlian dan tujuan serta
tanggungjawab bersama (Siegler dan Whitney, 2000,
hal. 2). Definisi tentang kolaborasi dalam pelayanan
kesehatan, lebih lanjut mereka jelaskan bahwa
kolaborasi merupakan penekanan tanggungjawab
bersama dalam manajemen perawatan pasien, dengan
proses pembuatan keputusan bilateral didasarkan pada
masing-masing pendidikan dan kemampuan praktisi.
Kolaborasi ini tidak hanya untuk dalam satu profesi tetapi
dengan profesi lain. Chitty (1997) menekankan bahwa
kolaborasi merupakan kerja bersama dengan profesional
lain, yang respek terhadap keunikan pengetahuan dan
kemampuan, yang memberi keuntungan pada pasien
atau untuk memecahkan masalah organisasi. Standar
kolaborasi pada kinerja profesional ingin menilai
bagaimana seorang perawat bekerjasama dengan klien,
orang terdekat dan pemberi pelayanan kesehatan lain
dalam memberikan perawatan klien (Doenges,
Moorehouse dan Geissler, 1993, 2000).
4) Perencanaan dan evaluasi
Perawat memiliki peran dalam perencanaan,
khususnya perencana asuhan keperawatan pasien.
Perencanaan dapat berbentuk formal maupun informal.
Perencanan formal adalah perencanaan yang disadari
dan sengaja dilakukan. Dilakukan dengan melibatkan
pengambilan keputusan, berfiskir kritis dan kreativitas.
Sementara perencanaan informal adalah perencaan
yang tidak tertulis dan sesuai dengan situasi dan kondisi
(Wilkinson, Treas, Barnet, & Smith, 2016: 85).
Evaluasi adalah aktivitas yang direncanakan, terus
menerus dan sistematik sehingga perawat dapat
mempertimbangkan tentang pasien yang dirawatnya,
tentang: (1) perkembangan pasien terhadap hasil yang
diinginkan, (2) efektivitas rencana perawatan pasien, dan
(3) kualitas pelayanan keperawatan dalam tatanan
pelayanan kesehatan (Wilkinson, Treas, Barnet, &
Smith, 2016: 129).
5) Komunikasi interpersonal
Keperawatan merupakan suatu proses interpersonal
yang terapeutik dan signifikan. Inti dari asuhan
keperawatan yang diberikan kepada klien adalah
hubungan perawat-klien yang bersifat profesional
dengan penekanan pada bentuknya interaksi aktif antara
perawat dan klien. Hubungan ini diharapkan dapat
memfasilitasi partisipasi klien dengan memotivasi
keinginan klien untuk bertanggung jawab terhadap
kondisi kesehatannya.
Menurut Peplau, dalam membina hubungan
profesional ini, kedua pihak seyogyanya harus melewati
beberapa tahapan (Marriner-Tomey, 1994, Aggleton dan
Chalmers, 2000) yaitu: (1) tahap orientasi; (2) tahap
identifikasi; (3) tahap eksploitasi; dan (4) tahap resolusi.
Pada tahap orientasi, setelah saling memperkenalkan
diri, perawat berupaya menolong klien mengidentifikasi
masalah yang sedang dihadapi klien. Penjelasan dan
penekanan perlu dikemukakan oleh perawat agar klien
menyakini masalah atau beberapa masalah yang perlu
diatasi.
Tahap identifikasi terjadi ketika klien mampu
mengidentifikasi sesorang atau beberapa orang yang
dapat menolongnya. Pada tahap ini perawat memberi
kesempatan klien untuk mengkaji lebih jauh perasaan
tentang diri, penyakit, dan kemampuan yang dimilikinya.
Tahap eksploitasi terjadi ketika klien mampu
menguraikan nilai dan penghargaan yang dia peroleh
dari hubungan profesional dari hubungan profesional
antara perawat dan dirinya. Beberapa tujuan baru yang
perlu dicapai melalui upaya diri klien dapat dikemukakan
oleh perawat, dan kekuatan akan dialihkan oleh
perawata kepada klien apabila klien mengalami
hambatan akibat ia tidak mampu mencapai tujuan baru
tersebut. Tahap akhir dari hubungan profesional perawat
- klien adalah tahap resolusi ditandai dengan tercapainya
tujuan yang telah ditetapkan dan tidak lagi menjadi
prioritas kegiatan klien. Pada tahap ini klien
membebaskan diri dari keterkaitannya dengan perawat
dan menunjukkan kemampuannya untuk bertanggung
jawab terhadap kesehatan dirinya. Keempat tahapan
dalam hubungaan profesional ini dapat terjadi tumpang
tindih antara satu tahapan dengan tahapan berikutnya.
Dalam membina hubungan profesional, asuhan
keperawatan juga merupakan media edukatif dimana
suatu kekuatan internal yang kokoh dari seseorang
perawat dapat mempengaruhi klien untuk meningkatkan
perilaku dan kepribadian klieen selama sakit ke arah
kehidupan yang kreatif, konstruktif, dan produktif.
Beberapa peran perlu diemban oleh perawat ketika
menjalankan dan membina hubungan profesional yaitu:
(1) peran sebagai orang asing (stranger), (2)
narasumber (resource person), (3) pendidik (teaching
role), (4) pemimpin (leadership role), dan (5) peran
pengganti (surrogate role) (Marriner-Tomey, 1994,
Nurachmah, 2001).
6) Pengembangan profesional.
Pengembangan merupakan ruang lingkup yang lebih
luas dari pelatihan. Pengembangan dapat berupa
peningkatan pengetahuan yang dapat digunakan segera
atau untuk kepentingan masa depan (Mangkuprawira,
2011: 134). Human capital theory mendukung tentang
investasi dalam pendidikan dan pengembangan
profesional jika organisasi percaya mereka akan
mendapatkan bayaran dikemudian hari.
e. Evaluasi kinerja perawat
Tujuan evaluasi kinerja adalah untuk memperbaiki atau
meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja
dari SDM organisasi. Secara lebih spesifik, tujuan evaluasi
kinerja sebagaimana dikemukakan (Mangkunegara, 2005)
adalah:
1) Meningkatkan saling pengertian antar karyawan tentang
persyaratan kinerja.
2) Mencatat dan mengakui hasil kinerja seorang karyawan,
atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan
prestasi yang terdahulu.
3) Memberikan peluang kepada karyawan untuk
mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan
meningkatkan kepedulian terhadap karier atau terhadap
pekerjaan yang diembannya sekarang.
4) Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa
depan, sehingga karyawan termotivasi untuk berprestasi
sesuai potensinya.
5) Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan
yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan, khusus
rencana diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika
tidak ada hal-hal yang perlu diubah.
f. Standart instrumen penilaian kerja perawat
Standar praktik keperawatan yaitu mengacu pada
tahapan proses keperawatan yang meliputi pengkajian,
diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi dan
evaluasi (Nursalam, 2017).
1) Pengkajian
Perawat mengumpulkan data tentang status
kesehatan klien serta sistematis menyeluruh, akurat
singkat dan berkesinambungan. Kriteria pengkajian
keperawatan meliputi:
a) Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesa,
observasi, pemeriksaan fisik serta dari pemeriksaan
penunjang.
b) Sumber data adalah klien, keluarga atau orang yang
terkait, tim kesehatan, rekam medis dan catatan lain.
c) Data yang dikumpulkan difokuskan untuk
mengidentifikasi:
(1) Status kesehatan klien masa lalu
(2) Status kesehatan klien saat ini
(3) Status biologis-psikologis-spiritual
(4) Respon terhadap terapi
(5) Harapan terhadap tingkat kesehatan yang
optimal
(6) Risiko-risiko tinggi masalah
2) Diagnosa Keperawat
Perawat menganalisa data pengkajian merumuskan
diagnosis keperawatan. Kriteria diagnosa keperawatan
meliputi:
a) Proses diagnosa terdiri dari analisis, interprestasi
data, identifikasi masalah klien dan perumusan
diagnosa keperawatan.
b) Diagnosa keperawatan terdiri dari: masalah (P),
penyebab (E) dan tanda atau gejala (S), atau terdiri
dari masalah dan penyebab (PE).
c) Bekerja sama dengan klien dan petugas kesehatan
lain untuk memvalidasi diagnosa keperawatan.
d) Melakukan pengkajian ulang dan merevisi diagnosa
berdasarkan data terbaru.
3) Perencanaan
Perawat membuat rencana tindakan keperawatan
untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan
klien. Kriteria perencanaan keperawatan meliputi:
a) Perencanaan terdiri dari penetapan prioritas masalah,
tujuan dan rencana tindakan keperawatan.
b) Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana
tindakan keperawatan.
c) Perencanaan bersifat individual sesuai dengan
kondisi atau kebutuhan klien.
d) Mendokumentasi rencana keperawatan.
4) Implementasi
Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah
diidentifikasi dalam rencana asuhan keperawatan.
Kriteria implementasi meliputi:
a) Bekerjasama dengan klien dalam pelaksanaan
tindakan keperawatan.
b) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain.
c) Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi
kesehatan klien.
d) Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga
mengenai konsep, keterampilan asuhan diri serta
membantu klien memodifikasi lingkunngan yang
digunakan.
e) Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan
keperawatan berdasarkan respon klien.
5) Evaluasi
Perawat mengevaluasi kemajuan klien terhadap
tindakan keperawatan dalam pencapaian tujuan dan
merevisi data dasar dan perencanaan. Kriteria evaluasi
meliputi:
a) Menyusun perencanaan evaluasi hasil dari intervensi
secara komprehensif, tepat waktu dan terus menerus.
b) Menggunakan data dasar dan respon klien dalam
mengukur perkembangan kearah pencapaian tujuan.
c) Memvalidasi dan menganalisis data baru dengan
teman sejawat.
d) Bekerjasama dengan klien keluarga untuk
memodifikasi perencanaan.
2. Budaya Organisasi
a. Pengertian Budaya
Menurut Kusdi (2011) budaya atau kebudayaan
berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi dan akal)
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan
akal manusia. Budaya adalah hasil kerja dari sejumlah akal
dan bukan hanya dari satu akal individu saja. Dalam bahasa
inggris, kebudayaan berasal dari kata culture, yang berasal
dari kata latin colere, yaitu mengelola dan mengerjakan.
Budaya merupakan konsep yang penting dalam
memahami masyarakat dan kelompok manusia untuk waktu
yang lama (Nawawi, 2013). Menurut Muljono (2003) dalam
Nawawi (2013) budaya adalah sebagai semua pola suasana
baik material atau semua perilaku yang sudah diadopsi
masyarakat sebagai pemecahan masalah anggotanya,
budaya di dalamnya juga termasuk semua cara yang telah
terorganisasi, kepercayaan, norma, nilai-nilai budaya yang
implisit serta presmis yang mendasar dan mengandung
suatu perintah.
Menurut Vijay dan Robert dalam Nawawi (2013)
budaya merupakan suatu sistem pembagian nilai dan
kepercayaan yang berinteraksi dengan orang dalam suatu
organisasi, struktur, dan sistem kontrol yang menghasilkan
norma perilaku anggota masyarakat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa budaya
organisasi adalah sekumpulan nilai-nilai yang mendasari
organisasi dalam beperilaku.
Ndraha (2005) dalam Timotius (2016) menjelaskan
bahwa terdapat beberapa fungsi budaya, yang terdiri dari:
1) Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat
2) Sebagai suatu pengikat masyarakat
3) Sebagai sumber, budaya merupakan sumber inspirasi,
kebanggaan, dan sumber daya
4) Sebagai kekuatan penggerak dan pengubah
5) Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah
6) Sebagai pola perilaku
7) Sebagai warisan, budaya disosialisasikan dan diajarkan
kepada generasi berikutnya
8) Sebagai subtitusi (pengganti) formalisasi, sehingga tanpa
diperintahkan orang melakukan tugasnya
9) Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan
10) Sebagai proses yang mempersatukan
11) Sebagai produk proses usaha mencapai tujuan bersama
dan sejarah yang sama
12) Sebagai program mental sebuah masyarakat
b. Pengertian Organisasi
Organisasi adalah kelompok orang yang berusaha
dan bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang sama atas
dasar pembagian kerja, pengelompokan kerja, distribusi
otoritas dan koordinasi (Burt dan Bernard, 1983 dalam Ulber
2011). Organisasi adalah perkumpulan orang-orang yang
masing-masing diberi peran tertentu dalam suatu sistem
kerja (Cyril, 1973 dalam Nawawi, 2013).
Organisasi merupakan sarana bagi kerjasama yang
efektif dan efesien. Orang yang bekerja di dalam organisasi
dapat menjadi lebih produktif dan efisien daripada orang
yang bekerja sendirian. Produksi barang-barang dan jasa
akan lebih banyak diciptakan daripada bekerja secara
individual. Hal ini membuktikan bahwa, bekerja dalam
organisasi secara tim dapat meningkatkan kuantitas barang
maupun jasa (Ulber, 2011).
Organisasi adalah kesatuan yang terbentuk oleh
beberapa orang yang memiliki sedikit atau semua kesamaan
latar belakang, identitas, harapan, dan berbagai hal lainnya
untuk mencapai tujuan bersama (Timotius, 2016). Dalam
penerapannya, individu yang berada di dalam organisasi
bekerja bedarsarkan tugas masing-masing, dan saling
berkoordinasi dengan bagian lain tanpa mengintervensi, dan
tumpang tindih kewajiban dengan orang lain.
Menurut Nawawi (2013) organisasi dari dua bagian
besar, yaitu: (1) Organisasi sebagai wadah atau tempat,
subsistem. (2) Organisasi sebagai proses yang
menggambarkan aktivitas yang akan, sedang, atau telah
dilakasanakan oleh manusia yang bergabung dalam sebuah
organisasi sosial. Organisasi dapat disorot dari dua sudut
pandang, yaitu sebagai wadah berbagai kegiatan dan
sebagai proses interaksi antara orang-orang yang berada di
dalamnya.
Menurut Timotius (2016) organisasi hendaknya
menjadi sebagai suatu kesatuan yang utuh. Setiap
organisasi memiliki latar belakang, kegiatan operasional, dan
pelaksanaan yang berbeda, sebab masing-masing
organisasi memiliki karakteristik tersendiri. Namun pada
umumnya, terdapat ciri-ciri dari sebuah organisasi yang
mewakili secara umum, berikut ciri-ciri organisasi:
1) Sekurang-kurangnya terdiri dari dua orang, jumlah
terbanyak tak terbatas.
2) Setiap individu memiliki tugas, fungsi, dan wewenang
masing-masing.
3) Memiliki struktur organisasi yang menguraikan posisi dan
pembagian kerja.
4) Terdapat kantor kerja / ruang / lokasi / sekretariat untuk
beraktivitas, dan mengadakan pertemuan membahas
kegiatan organisasi.
5) Cakupan wilayah kegiatan oprasional organisasi jelas.
6) Organisasi memiliki tujuan yang ingin dicapai.
c. Pengertian Budaya Organisasi
Menurut Hotgetts Richard M dan Fred Luthan (2000)
dalam Tobari (2015) Budaya organisasi didefinisikan dengan
norma-norma, nilai-nilai, filosofi, aturan-aturan dan iklim kerja
pegawai. Budaya organisai merupakan nilai-nilai dan norma
yang dianut dan dijalankan oleh sebuah organisasi terkait
dengan lingkungan dimana organisasi tersebut menjalankan
kegiatannya. Adanya kesesuaian antara nilai pribadi dengan
nilai perusahaan akan meningkatkan kinerja (Sule dan
Saefullah, 2005 dalam Lina, 2014).
Menurut Sedarmayanti (2011) Budaya organisasi
adalah sebuah keyakinan, sikap dan nilai yang umumnya
dimiliki, yang timbul dalam organisasi, dikemukakan dengan
lebih sederhana, budaya adalah cara kita melakukan
sesuatu di sini. Pola nilai, norma, keyakinan, sikap dan
asumsi ini mungkin tidak diungkpkan, tetapi akan
membentuk cara orang berperilaku dan melakukan sesuatu.
Robbins dan Coulter (2010) mendefinisikan budaya
organisasi dalam tiga hal. Pertama, budaya dalah sebuah
persepsi, bukan sesuatu yang dapat disentuh secara fisik,
namun karyawan dapat memahami melalui apa yang mereka
alami dalam organisasi. Kedua, budaya organisasi bersifat
deskriptif, berkenaan bagaimana karyawan mengartikan dan
menerima budaya tersebut. Ketiga, meskipun memiliki latar
belakang yang berbeda, mereka cenderung mengartikan
dengan cara yang sama.
Dalam studi budaya organisasi terdapat dua hal,
yaitu: (1) kuat atau nyatanya budaya suatu organisasi
berkaitan dengan keberhasilan atau kegagalan organisasi
tersebut; (2) ideologi, simbol, dan keyakinan bersama
memiliki dampak besar terhadap perusahaan, lepas dari
karakteristik objektif dan strukturnya (Nawawi, 2013).
Sumber pertama budaya organisasi biasanya adalah
visi para pendiri organisasi. Budaya sangat memengaruhi
kriteria yang digunakan dalam memperkerjakan karyawan.
Tindakan manajemen puncak menentukan iklim umum
perilaku yang dapat diterima baik dan yang tidak. Terakhir,
para karyawan beradaptasi dengan budaya organisasi
melalui sosialisasi; yaitu sebuah proses yang membantu
para karyawan baru untuk memahami dan menyesuaikan diri
dengan budaya organisasi (Robbins dan Coulter, 2010).
Gambar 2.1 Budaya Organisasi (Roobbins, Stephen dan Coulter, 2010)
Menurut Robbins dan Coulter (2010) para karyawan
belajar tentang budaya organisasi melalui berbagai cara,
diantaranya melalui cerita, acara-acara simbolik (ritual),
simbol-simbol keberadaan, dan bahasa yang akan
dijabarkan sebagai berikut:
1) Cerita. Dalam organisasi biasanya terdapat berbagai
kenangan dari berbagai kejadian atau orang-orang
Falsafah para
Pendiri organisasi
Kriteria seleksi
Manajemen puncak
Sosialisasi
Budaya organisasi
penting, termasuk kisah pendirian organisasi,
pelanggaran atas peraturan. Kisah-kisah tersebut
membuka jembatan dari masa sekarang ke masa lalu
organisasi, sekaligus memberikan penjelasan serta
pembenaran bagi praktik-praktik organisasi yang berlaku
saat ini, menanamkan apa yang dianggap berharga
dalam organisasi.
2) Acara-acara simbolis (ritual). Apabila seorang karyawan
menerima tugas yang cukup berat dan telah
menyelesaikannya maka akan menerima penghargaan,
sebagai tanda bahwa terdapat dukungan penuh kepada
sang karyawan. Acara-acara simbolis memiliki peranan
besar dalam membangkitkan motivasi dan harapan
dalam diri karyawan.
3) Simbol-simbol kebendaan. Tata letak kantor atau
ruangan milik organsasi, dan cara berpakaian karyawan
merupakan salah satu nuansa kepribadian organisasi.
4) Bahasa. Banyak organsisasi yang menggunakan bahasa
sebagai cara mengasosiasikan serta menyatukan para
anggotanya ke dalam sebuah budaya. Dengan
memperlajari bahasa, para anggota organisasi mengakui
penerimaan mereka terhadap budaya organisasi dan
kesediaannya untuk membantu memertahankannya.
Seiring waktu, organisasi sering kali menciptakan istilah
dan nama yang unik untuk menyebut perangkat kerja
mereka. Oleh karena itu, bahasa berperan sebagai
sebuah identitas bersama yang mengikat dan
menyatukan para anggota organisasi.
Menurut Robbins dan Timothy (2008) dalam
Taurisa dan Ratnawati (2012) budaya organisasi
mewakili sebuah persepsi yang sama dari para anggota
organisasi. Oleh karena itu, diharapkan bahwa individu-
individu yang memiliki latar belakang berbeda atau
berada pada tingkatan yang tidak sama dalam organisasi
dapat memahami budaya organisasi dengan pengertian
yang serupa.
d. Jenis-Jenis Budaya Organisasi
Menurut Kreitner dan Kinicki (2003) dalam Arianty (2014)
secara umum terdapat tiga jenis budaya organisasi yaitu:
1) Budaya konstruktif
Budaya konstruktif adalah budaya dimana para karyawan
didorong untuk berinterksi dengan orang lain dan
mengajarkan tugas dan proyeknya dengan cara yang
membantu mereka dalam memuaskan kebutuhannya
untuk tumbuh dan berkembang. Tipe budaya ini
mendukung keyakinan normatif yang berhubungan
dengan pencapaian tujuan aktualisasi diri, penghargaan
yang manusiawi dan persatuan.
2) Budaya pasif – defensif
Budaya pasif – defensif bercirikan keyakinan yang
memungkinkan bahwa karyawan berinteraksi dengan
karyawan lain dengan cara yang tidak mengancam
keamanan kerja sendiri. Budaya ini mendorong
keyakinan normatif yang berhubungan dengan
persetujuan, konvensional, ketergantungan, dan
penghidupan.
3) Budaya agresif defensif
Budaya agresif – defensif mendorong karyawannya
untuk mengerjakan tugasnya dengan kerja keras untuk
melindungi keamanan kerja dan status mereka. Tipe
budaya ini lebih bercirikan keyakinan normatif yang
mencerminkan oposisi, kekuasaan, kompetitif, dan
perfeksionis.
e. Dimensi-Dimensi Budaya Organisasi
Dari berbagai konsep budaya organisasi, ditemukan
sebuah uraian budaya organisasi sebagai suatu pola dan
model yang terdiri atas kepercayaan, dan nilai-nilai yang
memberikan arti bagi anggota suatu organisasi dalam
berperilaku di organisasi tersebut (Nawawi, 2013). Dalam
kebanyakan organisasi, nilai-nilai, dan praktik yang diantut
bersama ini telah berkembang pesat seiring dengan
perkembangan zaman dan benar-benar sangat
mempengaruhi organisasi yang dijalankan (Robbins dan
Coulter, 2010).
Menurut Robbins dan Coulter (2010) berbagai kajian
telah mengungkapkan bahwa terdapat tujuh dimensi yang
menjabarkan budaya organisasi, yaitu:
1) Perhatian pada detail. Seberapa dalam ketelitian,
analisis, dan perhatian pada detail yang dianut oleh
organisasi dari para karyawannya.
2) Orientasi hasil. Seberapa besar organisasi menekankan
pada pencapaian sasaran (hasil), dari pada cara
mencapai sasaran (proses).
3) Orientasi manusia. Seberapa jauh organisasi bersedia
mempertimbangkan faktor manusia (karyawan) di dalam
pengambilan keputusan manajemen.
4) Orientasi tim. Seberapa besar organisasi menekankan
pada kerja kelompok (tim), dari pada kerja individu,
dalam menyelesaikan tugas-tugas.
5) Agresivitas. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan
kompetitif, bukannya suatu yang santai-santai.
6) Stabilitas. Seberapa besar organisasi menekankan pada
pemeliharaan status quo di dalam pengambilan
keputusan dan tindakan.
7) Inovasi dan pengambilan risiko. Seberapa besar
organisasi mendorong para karyawannya untuk bersikap
inovatif dan berani mengambil risiko.
Masing-masing dimensi tersebut memiliki kisaran
mulai dari rendah hingga tinggi. Salah satu dimensi budaya
sering kali diberi penekanan yang lebih kuat dibandingkan
dimensi-dimensi lainnya, dan pada prinsipnya, membentuk
kepribadian organisasi yang bersangkutan serta cara kerja
para anggotanya (Robbins dan Coulter, 2010).
f. Peran dan Fungsi Budaya Organisasi
Budaya yang diterapkan dalam suatu organisasi,
hendaklah bermanfaat dan memberi kebanggaan tersendiri
bagi organisasi. Budaya organisasi dapat membantu
pimpinan dan pengelolaan untuk menjalankan organisasi.
Berikut peran dan fungsi budaya organisasi:
1) Peran Budaya Organisasi
Dari sisi fungsi, budaya organisasi mempunyai
beberapa peran dalam organisasi menurut Robbins (199)
dalam Nawawi (2013), yaitu:
a) Budaya mempunyai suatu peran pembeda. Budaya
organisasi menciptakan pembedaan yang jelas antara
suatu organisasi dengan yang lain.
b) Budaya organisasi membawa suatu indentitas bagi
anggota organisasi.
c) Budaya organisasi mempermudah timbul
pertumbuhan komitmen pada sesuatu yang lebih luas
daripada kepentingan diri individu.
d) Budaya korporat meningkatkan kemantapan sistem
sosial.
2) Fungsi Budaya Organisasi
Beberapa fungsi budaya organisasi menurut
Timotius (201), diantaranya:
a) Sebagai identitas
Setiap organisasi memiliki budaya, dengan
bergabungnya individu ke dalam organisasi, maka
segala unsur-unsur budaya yang ada dalam
organisasi harus dimiliki dan dijalankan dengan baik
oleh individu. Individu harus berintegras penuh untuk
menghasilkan identitas baru dalam pekerjaannya.
b) Sebagai pedoman dasar
Budaya organisasi dapat dijadikan falsafah
organisasi yang memiliki nilai-nilai luhur dan
berharga. Budaya yang dimiliki, dijadikan sebagai
dasar dari segala yang akan dilakukan di dalam
organisasi.
c) Mengarahkan kesamaan
Budaya merupakan keindahan, maka semua elemen
di organisasi, mengindahkan keindahan tersebut.
Organisasi - organisai memiliki perilaku dan cara
pandang semuanya sama dan sesuai dengan apa
yang ditetapkan di dalam budaya tersebut.
d) Mencegah percepatan perubahan
Dengan adanya budaya organisasi diharapkan
menjadi benteng untuk menghadang berbagai
pengaruh-pengaruh dari luar yang tidak pasti dalam
jumlah banyak. Tidak dapat dipungkiri bahwa
organisasi tidak boleh menghindari diri dari
perubahan. Namun sekurang-kurangnya, dengan
adanya keberadaan budaya organisasi, perubahan
tersebut tidak cepat tetapi dapat disaring dengan
baik. Dengan begitu, meskipun terdapat perubahan,
tetapi tidak sampai merusak tatanan kehidupan
organisasi karena telah dilindungi oleh budaya.
e) Pemberi kesadaran
Budaya memberi kesadaran bahwa individu berada
di dalam satu sistem yang memiliki dinamika dan
gerak tersendiri. Individu harus berpacu terus
dengan mengikuti arah dan gerak yang sejalan.
Individu harus menghormati organisasi dengan
menyadari keberadaannya untuk memberi
pengabdian secara produktif yang mengasilkan
sebuah prestasi.
f) Pemersatu
Budaya mendukung terciptanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban. Budaya mengarahkan
setiap elemen untuk berpartisipasi secara
professional dan mencegah terjainya konflik.
Diharapkan dengan adanya budaya, melalui nilai-
nilainya dapat mencegah semua pihak untuk tidak
berlaku curang dan organisasi berjalan selaras antar
semua pihak.
g. Manfaat Budaya Organisasi
Nawawi (2013) dalam bukunya menyebutkan,
terdapat dua manfaat dari budaya organisasi, yaitu manfaat
bagi karyawan dan manfaat bagi pemimpin.
1) Bagi karyawan:
a) Memberikan arah atau pedoman berperilaku di
dalam perusahaan.
b) Memiliki kesamaan langkah dan visi dalam
melakukan tugas dan tanggung jawab, masing-
masing individu dapat meningkatkan fungsinya dan
mengembangkan tingkat interdependensi antar-
individu / bagian karena antar-individu / bagian yang
saling melengkapi dalam kegiatan perusahaan.
c) Mendorong mencapai prestasi kerja atau
produktivitas yang lebih baik.
d) Mencapai secara pasti tentang kariernya di
perusahaan sehingga mendorong mereka untuk
konsisten dengan tugas dan tanggung jawab
masing-masing.
2) Bagi pemimpin:
a) Sebagai salah satu unsur yang dapat menekan
tingkat turn over karyawan. Ini dapat dicapai karena
budaya organisasi mendorong sumber daya
manusia memutuskan untuk tetap berkembang
bersama perusahaan.
b) Sebagai pedoman dalam menentukan kebijakan
yang berkenaan dengan ruang lingkup kegiatan
intern perusahaan seperti: tata tertib administrasi,
hubungan antar bagian, penghargaan prestasi
sumber daya manusia, penilaian kerja.
c) Untuk menunjukkan pada pihak eksternal tentang
keberadaan organisasi dari ciri khas yang dimiliki, di
tengah-tengah organisasi yang berada di
masyarakat.
d) Sebagai acuan dalam penyusunan perencanaan
organisasi perusahaan (corporate planning) yang
meliputi: pembentukan marketing plant, penentuan
segmentasi pasar yang akan dikuasai, dan
penentuan positioning organisasi yang dikuasai.
e) Dapat membuat program pengembangan usaha dan
pengembangan sumber daya manusia dengan
dukungan penuh dari seluruh jajaran sumber daya
manusia.
B. Penelitian Terkait
Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Hernawilly dan Anita Puri (2013)
Penelitian tersebut tentang “Hubungan Budaya Organisasi
dengan Kinerja Pegawai”. Variabel independen adalah budaya
organisasi sedangkan variabel dependen adalah kinerja
pegawai. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif, desain
penelitian adalah analitik dengan pendekatan cross sectional.
Analisis yang digunakan univariat dan bivariate dengan chi
square dengan tingkat kemaknaan 95%.
Penelitian dilakukan di Poltekes Depkes Tanjungkarang.
Populasi penelitian adalah 292 orang, dan sampel 18 orang.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer
yaitu menggunakan kuesioner.
Hasil penelitian terhadap 18 pegawai diketahui 78% pegawai
mempersepsikan budaya organisasi di Poltekes Depkes
Tanjungkarang adalah baik dan 75% pegawainya
mempersepsikan kinerjanya baik. Berdasarkan analisis bivariate
diketahui terdapat hubungan bermakna antara budaya
organisasi dengan kinerja dengan p-Value= 0,024.
2. Umi Kalsum, La Ode Ali dan Wa Ode (2017)
Penelitian tersebut tentang “Pengaruh Budaya Organisasi
Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap
Rumah Sakit Umum Bahteramas Provinsi Sulawesi Tennggara
Tahun 2016. Jenis penelitian menggunakan pendekatan metode
survey dengan analisis regresi ordinal. Populasi penelitian
adalah seluruh perawat PNS yang aktif dan bekerja dengan
shift, yaitu berjumlah 244 orang. Pengambilan sampel
menggunakan Teknik stratified random sampling, yang
didapatkan 74 responden dan tersebar di 3 ruangan.
Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang sugnifikan
antara budaya organisasi berdasarkan keterlibatan terhadap
kinerja perawat (p value= 0,040), ada pengaruh signifikan
antara budaya organisasi berdasarkan konsistensi kinerja
perawat(p value= 0,003), ada pengaruh signifikan atara budaya
organisasi berdasarkan misi organisasi terhadap kinerja perawat
(p value= 0,002).
3. Muhammad Iqbal dan Syafrisar Meri Agritubella (2017)
Penelitian tersebt tentang “Hubungan Budaya Organisasi
dengan Kinerja Perawat Pelaksana di Rawat Inap RS PMC”.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan
pendekatan cross sectional study. Populasi berjumlah 49 orang,
sampel yang digunakan untuk penelitian menggunakan Teknik
total sampling.
Penelitian tersebut menggunakan instrument berupa
kuesioner yang disusun dengan skala likert (1-4). Hasil uju
validitas adalah valid (0,368-0,841) dan reliabel (0,904-0,947).
Data dianalisis secara univariat, bivariat (uji T independent dan
chi square) dan multivariat (regresi logistik ganda). Hasil uji
bivariat dijelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
budaya organisasi dengan kinerja perawat pelaksana (p < 0,05).
C. Kerangka Teori
Kerangka berpikir dapat diperoleh melalui pemikiran dasar
teori yang akan digunakan peneliti. Dasar teori melalui buku, jurnal
ataupun sumber data lain. Bentuk kerangka berpikir tidak selalu
berupa kalimat, bias berupa diagram atau table (Donsu, 2017).
A. B. C. D. E.
F. G. H.
Gambar 2.2 Kerangka Teori Penelitian
Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah sebuah keyakinan, sikap dan nilai yang umumnya dimiliki, yang timbul dalam organisasi, dikemukakan denganlebih sederhana, budaya adalah cara kita melakukan sesuatu disini.
Sedarmayanti (2014)
Dimensi Budaya Organisasi 1. Perhatian terhadap
detail 2. Orientasi hasil 3. Orientasi manusia 4. Orientasi tim 5. Agresivitas 6. Stabilitas 7. Inovasi dan
pengambilan risiko (Robbins dan Coulter, 2010)
Dimensi Kinerja
1. Kualitas kerja 2. Kuantitas kerja 3. Ketepatan waktu 4. Kebutuhan
pengawasan
(Fricilla, 2016)
Faktor Organisasi
1. Sumber daya 2. Kepemimpinan 3. Imbalan 4. Struktur 5. Desain
pekerjaan
(Gibson, 1997 dalam Nursalam, 2015)
Faktor Psikologi
1. Persepsi 2. Sikap 3. Kepribadian 4. Belajar 5. Motivasi
(Gibson, 1997 dalam Nursalam, 2015)
Faktor Individu
1. Kemampuan dan keterampilan
2. Latar belakang 3. Demografis
(Gibson, 1997 dalam Nursalam, 2015)
Kinerja
Kinerja adalah tingkat prestasi individu bekerja yang dating setelah usaha dilakukan. (Ulber, 2011)
D. Kerangka Konsep
Kerangka berpikir yang baik, mampu menjelaskan secara
runtut dan teoritis. Hal penting dalam poin ini adalah
menghubungkan antara variabel independen dan variabel
dependen (Donsu, 2017).
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian
E. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban atau dugaan sementara.
Hipotesis sebagai pernyataan tentative antara satu variabel, dua
variabel atau lebih. Setiap melakukan hipotesis, ada dua
kemungkinan jawaban yang di simbolkan “H”. simbol “H” untuk
melihat apakah ada pengaruh atau hubungan antara variabel
terikat atau bebas. Dua kemungkinan tersebut sebagai jawaban
berdasarkan teori dan penelitian sebelumnya (Donsu, 2017).
Hipotesis di bagi menjadi dua yaitu:
1. Hipotesis (Ha)
Ada hubungan yang bermakna antara budaya
organisasi dengan kinerja perawat instalasi rawat inap publik
(non-intensif) RSUD A.W Sjahranie Samarinda.
Budaya Organisasi Kinerja Perawat
2. Hipotesis (H0)
Tidak ada hubungan yang bermakna budaya
organisasi dengan kinerja perawat di instalasi rawat inap
publik (non-intensif) RSUD A.W Sjahranie Samarinda.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian …………………………………………. 63
B. Populasi dan Sampel …………………………………………. 64
C. Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………… 68
D. Definisi Operasional ……………………………………………. 69
E. Instrumen Penelitian …………………………………………… 70
F. Uji Validitas dan Reliabilitas …………………………………. 73
G. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………. 78
H. Teknik Anilisi Data ……………………………………………… 80
I. Jalannya Penelitian ……………………….……………………. 89
J. Etika Penelitian …………………………………………………. 90
K. Jadwal Penelitian ………………………………………………. 93
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian………………………… 94
B. Hasil Penelitian …………………………………………………. 96
C. Pembahasan ……………………………………………………. 101
D. Keterbasan Penelitian …………………………………………. 112
SILAHKAN KUNJUNGI PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
KALIMANTAN TIMUR
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini akan disajikan tentang kesimpulan hasil penelitian dan
saran penelitian yang perlu ditindak lanjuti dari hasil penelitian ini.
A. Kesimpulan
1. Karakteristik responden yang terlibat dalam penelitian ini yang
terbanyak adalah responden yang berusia antara 23 tahun – 27
tahun, yaitu sebanyak 88 responden ( 46,6%). Sehingga dapat
dikatakan bahwa mayoritas responden usia dewasa awal.
Responden yang terlibat dalam penelitian ini yang terbanyak
adalah responden dengan pendidikan Ners sebanyak 94 perawat
atau sebesar 49,7%.
2. Budaya organisasi memiliki skor rata – rata 119,89 dan
mempunyai nilai tengah sebesar 121 dari skor rata – rata yang
berarti Budaya Organisasi di RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda sudah baik namun masih ada beberapa dimensi
budaya organisasi yang harus ditingkatkan lagi. Kinerja perawat
memiliki skor rata – rata 113,10 dan mempunyai nilai tengah
sebesar 112 dari skor rata-rata yang berarti kinerja perawat di
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda sudah baik namun
masih ada beberapa dimensi kinerja harus ditingkatkan lagi.
3. Hasil penelitian menunjukkan P-Value 0,000 < 0,05 dengan Ho
ditolak yang berarti ada hubungan antara budaya organisasi
dengan kinerja perawat di intalasi rawat inap publik (non
intensif) RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Nilai
korelasi adalah 0,291, artinya variabel budaya organisasi
dengan kinerja berkorelasi rendah.
B. Saran
Peneliti akan memberikan beberapa saran yang kiranya
bermanfaat yaitu sebagai berikut:
1. Bagi Rumah Sakit
a. Sebanyak 67 orang perawat atau 35,4% perawat di RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda adalah Diploma III.
Sehingga pihak rumah sakit dapat memberi pengertian kepada
perawat yang lulusan Diploma III untuk melanjutkan pendidikan
lagi dalam rangka meningkatkan kinerja.
b. Pihak rumah sakit diharapkan bisa membudayakan komunikasi
teraupeutik agar perawat berkomunikasi yang sifatnya
membangun bagi sesama perawat atau bahkan pasien.
komunikasi yang baik mampu untuk mendisiplinkan perawat
agar tidak terjadi konflik sesama perawat yang dikarenakan
ketidak profesionalitas perawat dalam mengemban tugas dan
jadwal kerja perawat, dan mengevaluasi lebih lanjut lagi suatu
arahan yang lebih jelas lagi dalam pembagian tugas dan
wewenang dalam tindakan masing – masing profesi.
c. Meningkatkan budaya organisasi, sehingga sistem manajemen
terutama keperawatan akan semakin meningkat, baik budaya
dalam membiasakan tepat waktu hadir maupun budaya yang
dapat meningkatkan kinerja perawat.
d. Memberikan kondisi yang memungkinkan kebebasan ekpresi
ide dan pertukaran pendapat tanpa ancaman tuduh menuduh
yang dapat menjadi laporan kinerja negatif, konflik atau
kehilangan pekerjaan, misalkan dengan meningkatkan
komunikasi yang lebih baik antara sesame perawat, staf
administrasi dan keuangan, ataupun dengan paramedic unit –
unit lain, dalam pertemuan – pertemuan yang dilaksanakan
secara rutin dan terfasilitasi oleh pihak rumah sakit.
e. Evaluasi secara berkala sehingga hasilnya dapat digunakan
sebagai umpat balik bagi pengembangan kinerja perawat.
2. Bagi Perawat
a. Mengikuti seluruh program rumah sakit yang tersedia demi
peningkatan kualitas dan kuantitas dari seorang perawat agar
kinerja perawatpun dapat meningkat.
b. Perawat dapat meningkatkan memampuan berkomunikasi yang
baik dan komunikasi yang membangun bagi sesama perawat
atau bahkan pasien.
c. Perawat lebih meningkatkan tanggung jawab atas jadwal dan
pekerjaan yang diberikan dan bisa lebih mengerti dengan
sesama perawat agar tidak terjadi konflik antar perawat.
d. Perawat yang memiliki kompetensi keperawatan seharusnya
tidak perlu ragu dalam memberikan tindakan keperawatan
kepada pasien tanpa harus menerima arahan atau perintah
terlebih dahulu.
4. Bagi peneliti selanjutnya
a. Penelitian yang sama dapat dilakukan di unit – unit lain dari
rumah sakit yang sama untuk membandingkan hasil yang
diperoleh.
b. Ada berbagai instrument untuk mengukur kinerja perawat dan
budaya. Peneliti disarankan menggunakan instrument dengan
validitas dan reliabilitas yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Alfred, R. L. (1983). Teknik Memimpin Pegawai dan Pekerja. (I. Soedjono,
Trans.) Jakarta: Aksara Baru.
Ali, Z. (2010). Pengantar Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC.
Allen, Peter L. (2007). Managing Performance to Maximize Result, Performance Appraisals with More Gains, Less Pain. Boston: Harvard Business School Publishing Corporation.
Arianty, Nel. (2014). "Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai" (Vol. Vol. 14). Jurnal Manajemen dan Bisnis.
Awadh, Alharbi Muhammad & Alyahya, Mohammed Saad. (2013). "Inpact of Organizational Culture on Employe Performance" (Vol. 2). International Review of Management and Business Research.
Bacal, Robert. (2004). How to Manage Performance. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2011). "Indonesia Adaptation Strategy Improving Capacity to Adapt". Republik Indonesia: BAPPENAS.
Berman, A, Snyder, S dan Frandsen, G. (2016). Kozier and Erb’s Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, & Practice. New York: Pearson.
Depkes, RI. (2005). Intrumen Evaluasi Penerapan Standar Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit (Cetakan Ke 5). Jakarta: Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Direktorat Jendral Pelayanan Keperawatan.
Donsu, Jenita Doli. (2017). Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Efliani, Destria, dkk. (2015). "Pengaruh Motivasi, Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Perawat di RSUD DR. Moewardi Surakarta" (Vol. Vol. 17). Jurnal Ekonomi Manajemen Sumberdaya.
Gibson, James L. John M. Invancevich dan James H. Donnelly, Jr. (2000). Organizations. Boston: McGraw-Hill Companies, Inc.
Hardika, R. (2017). Pengembangan Model Budaya Organisasi terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja Perawat di Rumah Sakit Islam Banjarmasin (Vol. 8).
Harvard and Business Essentials. (2006). Performance Management. Boston: Harvard Business School Press.
Hernawilly dan Puri, Anita. (2013). "Hubungan Budaya Organisasi dengan Kirerja Pegawai" (Vol. Vol. 9). Jurnal Keperawatan.
Hidayat, Aziz Alimul. (2017). Metodologi Penelitian Keperawatan dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.
Invancevich, Konopaske, dan Matteson. (2007). Perilaku dan Manajemen Organisasi, Edisi Ketujuh. (D. Yuwono, Trans.) Jakarta: Penerbit Erlangga.
Iqbal dan Syafrisar. (2017). "Hubugan Budaya Organisasi dengan Kinerja Perawat Pelaksana di Rawat Inap RS PMC". Jurnal Endurance.
Iqbal, Muhammad & Agritubella, Syafrisar M. (2017). "Hubugan Budaya Organisasi dengan Kinerja Perawat Pelaksana di Rawat Inap RS PMC". Jurnal Endurance.
Irianto dan Shidarta. (2009). Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kalsum, dkk. (2017). "Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2016 (Vol. Vol. 2). JIMKESMAS.
Kementrian Kesehatan Indonesia. (2015). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.
Kreitner, Robert dan Angelo Kinicki. (2010). Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill.
Kuntoro, Agus. (2010). Buku Ajar Manajemen Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Kusdi. (2011). Budaya Organisasi Teori, Penelitian, dan Praktik. Jakarta: Salema Empat.
Landrum, dkk. (2012). The Impact of Organizational Stress and Burnout on Client. Texas: PubMed Central.
Lina, Dewi. (2014). "Alalisis Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai dengan Sistem Reward Sebagai Variabel Moderating" (Vol. Vol. 14). Jurnal Riset Akutansi dan Bisnis.
Makmur. (2009). Teori Manajemen Stratejik dalam Pemerintahan dan Pembangunan. Bandung: PT Refika Aditama.
Mandagi Fergie M, Umboh Jootje, dan Rattu Joy. (2015). “Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Perawat dalam Menerapkan Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit Umum Bethesda GMIM Tomohon” (Vol. Vol. 3). Jurnal e-Biomedik (eBm).
Mangkunegara, Anwar Prabu. (2005). Evaluasi Kinerja SMD. Bandung: Penerbit Rafika Aditama.
Marquis, B. L dan Huston C. J. (2015). Leardership Roles and Management Functions in Nursing: Theory and Application, 7th Edition. China: The Point.
Marwati. (2016). Hubungan Kecerdasan Spiritual, Budaya Organisasi dan Perilaku Caring Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap RSUD Arjawinangun Cirebon.
McShane, S. L dan Glinow, M. A. (2018). Organizational Behavior : Emerging Knowledge, Global Reality. New York: McGraw Hill Education.
Mondy, R Ayne. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Erlangga.
Mowen, H. d. (2009). Akutansi Manajemen. Jakarta: Penerbit Selemba Empat.
Muljono, Djokosantosa. (2003). Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi. Jakarta: Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.
Murtiningsih. (2015). "Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional pada Kinerja Perawat Rumah Sakit Islam Islam Siti Aisyah Madiun" (Vol. Vol. 7). Jurnal Ekonomi Manajemen Sumber Daya.
Nawawi, Ismail. (2015). Budaya Organisasi Kepemimpinan dan Kinerja, Cetakan kedua. Jakarta: Kencana.
Ndraha, Taliziduhu. (2005). Teori Budaya Organisasi, Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Noor, Juliansyah. (2017). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah Edisi Pertama. Jakarta: Kencana.
Notoatmojo, Soekidjo. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan; Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawtan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. (2017). Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional, Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika.
Oktavia, Nova. (2015). Sistematika Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta: Deepublish.
Paomey, Mulyadi, dan Hamel. (2016). "Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Kinerja Perawat dalam Menerapkan Asuhan Keperawatan di IRINA A RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU Manado" (Vol. Vol. 4). E-journal Keperawatan (e-Kp).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56. (2014). Perizinan dan Klasifikasi Rumah Sakit.
Pu Yuxiu, dkk. (2011). Job Characteristics and Job Performance among (Vol. 10). CMU. J. Nat. Sci.
Putra, I Kadek, dkk. (2014). "Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan dengan Kinerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah RAA Soewondo Pati". Prosiding Konferensi Nasional II PPNI Jawa Tengah.
Rai. L, W. (2008). "Mapping the Terrain of Spirituality in Organizational". Jurnal of Organizational Change Management.
Rao, T.V. (1996). Penilaian Prestasi Kerja: Teori dan Praktek. (N. L. Mulyana, Trans.) Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
Riyanto, A. ((2011)). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Robbins, S. P dan Judge T. A. (2008). Perilaku Organisasi, Buku 2. Jakarta: Salemba Empat.
Robbins, S.P dan Judge T.A. (2015). Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.
Robbins, Stephen dan Coulter. (2010). "Management, Tenth Editon". (S. d. Putra, Trans.) Indonesia: Penerbit Erlangga.
Robbins, Stephen dan Judge, Timothy. (2008). Perilaku Organisasi, Edisi 13, Buku 1. (d. Angelica, Trans.) Jakarta: Pearson Education.
Robbins, Stephen P dan Timothy A. Judge. (2008). Perilaku Organisasi, Edisi 12 Jilid 1 dan 2. Jakarta: Salemba Empat.
Runtuwene, Fricilla. (n.d.). "Pengaruh Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Pegawai di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Minahasa Selatan" (Vol. Vol. 1). Jurnal Eksekutif.
Sedarmayanti. (2011). Manajemen Sumber Daya Manusia, Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil (Cetakan kelima). Bandung: PT. Refika Aditama.
Silalahi, Ulber. (2011). Asas-Asas Manajemen. Bandung: PT Refika Aditama.
Sinambela, Lijan Poltak. (2016). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sudarman, D. (2004). Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok. Jakarta: Rineka Cipta.
Sugiyono. (2015). Metodologi Penlitian: Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2015). Metodologi Penlitian: Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, Cetakan ke-22. Bandung: Alfabeta.
Sule, Ernie Tisnawati dan Kurniawan Saefullah. (2004). Pengantar Manajemen, Edisi Pertama, Cetakan Pertama. Jakarta: Prenada Media.
Suyuthi Nurmadhani F, Hamzah H D, dan Payangan Otto R. (2014). “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional Terhadap Kinerja Melalui Kepuasan Kerja Karyawan PT. Telkom Drive VII Makassar".
Swajarna, I Ketut. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan (Edisi Revisi). Yogyakarta: CV Andi Offset.
Syauta, Jack Henry, dkk. (2012). "The Influence of Organizational Culture, Organizational Commitment to Job Satisfaction and Employee Performance (Study at Municipal Waterworks of Jayapura, Papua Indonesia)" (Vol. Vol. 1). International Journal of Business and Management Invention.
Taurisa, Chaterina M & Ratnawati, Intan. (2012). AnalisisPengaruh Budaya Organsasi dan Kepuasan Kerja Terhadap Komitmen Organisasional dalam Meningkatkan Kinerja Karyawan (Studi pada PT. Sido Muncul Kaliwage Semarang) (Vol. 19). Jurnal Bisnis dan Ekonomi.
Timotius, Duha. (2016). Perilaku Organisasi Edisi 1 (Cetakan kedua). Yogyakarta: Deepublish.
Tobari. (2015). Membangun Budaya Organisasi pada Instansi Pemerintahan Edisi 1 (Cetakan kedua). Yogyakarta: Deepublish.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 . (2009). Tentang Rumah Sakit.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009. (n.d.). Tentang Rumah Sakit.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 . (2014). Tentang Tenaga Kesehatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014. (n.d.). Tentang Tenaga Kesehatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 . (2014). Tentang Keperawatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014. (n.d.). Tentang Keperawatan.
Wibowo. (2016). Manajemen Kinerja. Jakarta: Rajawali Pers.
Wirawan. (2015). Manajemen Sumber Daya Manusia Indonesia: Teori, Psikologi, Hukum Ketenagakerjaan, Aplikasi dan Penelitian: Aplikasi dalam Organisasi Bisnis, Pemerintahan dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.