hubungan antara kecerdasan emosional dan penyesuaian...
TRANSCRIPT
1
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN
PENYESUAIAN SOSIAL PADA REMAJA KORBAN KEKERASAN
SEKSUAL DI KABUPATEN MALANG
ARTIKEL
Oleh:
MUDRIKATUN NIKMAH
130811606884
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS PENDIDIKAN PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
AGUSTUS 2018
2
LEMBAR PERSETUJUAN
Artikel oleh Mudrikatun Nikmah
telah diperiksa dan disetujui.
Malang, 23 Agustus 2018
Pembimbing I,
Prof. Dr. Fattah Hanurawan, M.Si., M.Ed
NIP. 19661006 198812 1 001
Malang, 23 Agustus 2018
Pembimbing II,
Indah Yasminum Suhanti, S.Psi.,M.Psi., Psikolog
NIP. 19821217 200912 2 002
3
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN
PENYESUAIAN SOSIAL PADA REMAJA KORBAN KEKERASAN
SEKSUAL DI KABUPATEN MALANG
Mudrikatun Nikmah*, Fattah Hanurawan, dan Indah Yasminum Suhanti
Jurusan Psikologi, FPPSI, Universitas Negeri Malang
Jalan Semarang No. 5 Malang, 65145
*Email: [email protected]
Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) gambaran
kecerdasan emosional remaja korban kekerasan seksual di Kabupaten Malang, (2)
gambaran penyesuaian remaja korban kekerasan seksual di Kabupaten Malang, dan
(3) hubungan antara kecerdasan emosional dan penyesuaian social pada remaja
korban kekerasan seksual di Kabupaten Malang. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan rancangan deskriptif dan korelasional. Populasi dalam
penelitian ini adalah semua remaja korban kekerasan seksual di Kabupaten Malang.
Sampel penelitian ini berjumlah 53 orang yang diperoleh dengan teknik Accidental
Sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala kecerdasan
emosional yang berjumlah 35 aitem dan skala penyesuaian sosial yang berjumlah 36
aitem dengan analisis data menggunakan teknik analisis Pearson Product moment
dengan hasil koefisien korelasi sebesar 0,656 dan p<0,05. Hasil penelitian
menunjukkan (1) kecerdasan emosional remaja korban kekerasan seksual di
Kabupaten Malang termasuk dalam kategori rendah, (2) penyesuaian social remaja
korban kekerasan seksual remaja korban kekerasan seksual di Kabupaten Malang
termasuk dalam kategori rendah, dan (3) terdapat hubungan positif yang signifikan
antara kecerdasan emosional dan penyesuaian sosial pada remaja korban kekerasan
seksual di Kabupaten Malang.
Kata kunci: kecerdasan emosional, penyesuaian sosial, remaja korban kekerasan
seksual.
Abstract: The purpose of this study is to know (1) the descriptions of emotional
intellegence of adolescent who sexual violence victims in Malang district, (2) the
adjustment of adolescent who sexual violence victims in Malang district, and (3)The
correlation between emotional intelligence and social adjustment of adolescent who
sexual violence victims in Malang district. This study uses a quantitative approach
wich descriptive and correlational design. The population in this study were all the
victims of sexsual violence in Malang district. The sample of this study involved 53
people who were obtained with accidental sampling technique. The instrument used
in this study is the emotional intelligence scale of 35 items, and social adjustment
scale of 36 items by using analysis tehnique pearson product moment with a
correlation coefficient of 0,656 and p<0,05. The results show (1) the emotional
intelligence of juvenile victims of sexual violence in Malang district is included in
low category, (2) the social adjustment of adolescent victims of sexual violence in
malang district is included in low category, and (3) there is a significant positive
correlation between emotional intelligence and social adjustment of adolescent who
sexual violence victims in Malang district.
4
Keywords: emotional intelligence, social adjustment, adolescent who sexual violence
victims.
PENDAHULUAN
Menurut Hurlock (2002) penyesuaian social diartikan sebagai keberhasilan
seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lainpada umumnya dan
terhadap kelompok pada khususnya. Salah satu indikasi penyesuaian sosial yang
berhasil adalah kemampuan untuk menetapkan hubungan yang dekat dengan
seseorang. Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mempelajari berbagai
keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan diplomatis
dengan orang lain, baik orang yang dikenal maupun orang yang tidak di kenal
sehingga sikap orang lain terhadap mereka menyenangkan. Kondisi yang
diperlukan untuk mencapai penyesuaian sosial yang baik yaitu memperlihatkan
sikap serta tingkah laku yang menyenangkan, sehingga ia diterima oleh
lingkungannya. Apabila interaksi harmonis maka dapat diharapkan terjadi
perkembangan kepribadian yang sehat.
Kekerasan seksual secara umum menurut Utamadi (Christi, 2013) adalah
segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal
seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang
menjadi sasaran, sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci,
tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban kekerasan
tersebut. Sedangkan secara operasional, kekerasan seksual di definisikan
berdasarkan hukum sebagai adanya bentuk dari diskriminasi seksual.
Goleman (2009) mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi adalah suatu
kemampuan seseorang yang didalamnya terdiri dari berbagai kemampuan untuk
dapat memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan
impulsive needs atau dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun
kesusahan, mampu mengatur reactive needs, menjaga agar bebas stress, tidak
melumpuhkan kemampuan berfikir dan kemampuan untuk berempati pada orang
lain, serta adanya prinsip berusaha sambil berdoa. Goleman juga menambahkan
kecerdasan emosional merupakan sisi lain dari kecerdasan kognitif yang berperan
dalam aktivitas manusia yang meliputi kesadaran diri dan kendali dorongan hati,
ketekunan, semangat dan motivasi diri serta empati dan kecakapan sosial.
Masa remaja adalah masa krisis identitas bagi kebanyakan anak remaja.
Remaja sedang mencari-cari figur panutan, namun figur itu tidak ada didekatnya.
Secara umum dan dalam kondisi normal sekalipun, masa ini merupakan periode
yang sulit untuk ditempuh, baik secara individual ataupun kelompok, sehingga
remaja sering dikatakan sebagai kelompok umur bermasalah (the trouble teens).
Perubahan yang terjadi pada diri remaja bukan hanya fisik dan kognitif saja, namun
juga emosi dalam diri yang diekspresikan melalui perilaku terhadap lingkungan
sekitar juga berkembang. Hal tersebut juga berkaitan dengan bagaimana
kecerdasan emosional yang dimiliki oleh remaja.
Keberhasilan remaja dalam menyelesaikan tugas- tugas perkembangan ini
mengantarkannya kedalam suatu kondisi penyesuaian sosial yang baik dalam
keseluruhanya kedalam suatu kondisi penyesuaian sosial yang baik dalam
keseluruhan hidupnya sehingga remaja yang bersangkutan dapat merasa bahagia,
harmonis dan dapat menjadi orang yang produktif. Namun sebaliknya apabila
gagal, maka remaja akan mengalami ketidakbahagian atau kesulitan dalam
5
kehidupannya. Menurut pendapat Goleman (2009) apabila individu pandai
menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dengan kata lain
mampu berempati, maka individu tersebut akan memiliki tingkat emosi yang tinggi
dan akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Selanjutnya Goleman (2009) juga menyatakan bahwa keberhasilan seseorang
dalam menyelesaikan permasalahan banyak ditentukan oleh kualitas
kecerdasannya, sebagian dari kecerdasan yang dapat membantu dalam
menyelesaikan permasalahan adalah kecerdasan yang berkaitan dengan aspek
emosional seseorang yang cerdas dalam mengelola emosinya akan meningkatkan
kualitas penyesuaian terhadap lingkungannya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) gambaran kecerdasan
emosional remaja korban kekerasan seksual di Kabupaten Malang, (2) gambaran
penyesuaian remaja korban kekerasan seksual di Kabupaten Malang, dan (3)
hubungan antara kecerdasan emosional dan penyesuaian social pada remaja korban
kekerasan seksual di Kabupaten Malang.
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan
deskriptif dan korelasional. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kekuatan atau
signifikasi hubungan antara kecerdasan emosional dan penyesuaian sosial. Dalam
penelitian ini digunakan teknik Accidental sampling atau sampling peluang.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa daftar pernyataan yang
disusun oleh peneliti dengan menggunakan model angket skala Likert. Responden
diminta untuk memilih salah satu dari alternatif jawaban yang tersedia yang
disesuaikan dengan keadaan dirinya dengan memberikan tanda checklist (√).
Pernyataan yang terdapat dalam instrumen penelitian memiliki dua arah yaitu
favourable (mendukung) dan unfavourable (tidak mendukung). Alternatif pilihan
jawaban pada penelitian ini menggunakan 4 pilihan jawaban, yaitu yaitu Sangat
Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).
Peniadaan pada jawaban netral atau ragu-ragu dihilangkan agar subjek penelitian
dapat memberikan jawaban yang pasti terhadap pernyataan yang tersedia.
Skala kecerdasan emosional di susun berdasarkan aspek-aspek yang di
kemukakan Goleman (2009). Skala ini digunakan untuk mengungkap sejauhmana
kecerdasan emosional yang dimiliki subjek.Terdapat 60 aitem pernyataan pada
skala ini yang terdiri dari 30 pernyataan favourable dan 30 aitem pernyataan
unfavourable. Semakin tinggi skor yang didapat, menunjukkan bahwa kecerdasan
emosional yang dimiliki semakin baik, sebaliknya jika skor yang diperoleh
semakin rendah maka kecerdasan emosional yang dimiliki juga kurang baik.
Tabel 1. Skala Kecerdasan Emosional
Indikator Aitem ∑
Favorable Unfavorable
Mengenali emosi diri 1,3,5,7,9,11 2,4,6,8,10,12 12
Mengelola emosi 13,15,17,19,21,23 14,16,18,20,22,24 12
Memotivasi diri sendiri 25,27,29,31,33,35 26,28,30,32,34,36 12
Mengenali emosi orang lain 37,39,41,43 38,40,42,44 8
Membina hubungan baik
dengan orang lain 45,47,49,51,53,55,57,59 46,48,50,52,54,56,58,60 16
Jumlah 30 30 60
6
Skala penyesuaian sosial disusun berdasarkan apek-aspek yang dikemukakan
oleh Hurlock (2002). Skala ini digunakan untuk mengungkap sejauhmana
kemampuan penyesuaian sosial yang dimiliki subjek. Terdapat 60 aitem pernyataan
pada skala ini yang terdiri dari 30 pernyataan favourable dan 30 aitem pernyataan
unfavourable. Semakin tinggi skor yang didapat, menunjukkan bahwa penyesuaian
sosialyang dimiliki semakin baik, sebaliknya jika skor yang diperoleh semakin
rendah maka penyesuaian sosial yang dimiliki kurang baik.
Tabel 2. Skala Penyesuaian Sosial
Indikator Aitem ∑
Favorable Unfavorable
Penampilan Nyata 1,3,5,7,9,11 2,4,6,8,10,12 12
Penyesuaian sosial
terhadap berbagai
kelompok
13,15,17,19,21,23 14,16,18,20,22,24 12
Sikap Sosial 25,27,29,31,33,35 26,28,30,32,34,36 12
Kepuasan Pribadi 37,39,41,43 38,40,42,44 8
Hubungan yang baik
dengan seseorang 45,47,49,51,53,55,57,59 46,48,50,52,54,56,58,60 16
Jumlah 30 30 60
Untuk menguji validitas dalam penelitian ini, peneliti menggunakan validitas
konstruk, dalam hal ini setelah instrument dikonstruksi tentang aspek-aspek yang
akan diukur dengan berdasarkan teori tertentu, selanjutnya pengujian terhadap isi
tes dengan analisis rasional atau melalui professional judgement, dalam skala ini
merupakan dosen pembimbing. Kemudian menggunakan validitas isi dengan
diestimasi berdasarkan pengujian isi alat ukur dengan pengujian analisis rasional.
Validitas isi dapat terpenuhi dengan memperhatikan aitem-aitem pada alat ukur
yang disusun berdasarkan blue print yang telah dibuat. Jumlah aitem pada skala
Kecerdasan Emosional terdiri dari 60 pernyataan yang kemudian diuji cobakan dan
diuji validitasnya. Hasil nilai corrected aitem-total correlation yang diperoleh pada
60 aitem tersebut sebesar -0,314 – 0,601. Setelah dilakukan analisa pada hasil uji
validitas tersebut, diperoleh hasil sebanyak 35 butir pernyataan yang valid. 35
aitem tersebut memiliki nilai corrected aitem-total correlation sebesar 0,322 –
0,601. Jumlah aitem pada skala Penyesuaian Sosial terdiri dari 60 pernyataan yang
kemudian diuji cobakan dan diuji validitasnya. Hasil nilai corrected aitem-total
correlation yang diperoleh pada 60 aitem tersebut sebesar -0,134 – 0,674. Setelah
dilakukan analisa pada hasil uji validitas tersebut, diperoleh hasil sebanyak 36 butir
pernyataan yang valid. Setelah dilakukan analisa pada hasil uji validitas tersebut,
diperoleh hasil sebanyak 36 butir pernyataan yang valid dengan nilai corrected
aitem-total correlation sebesar 0,304 – 0,674. Uji reliabilitas pada penelitian ini
menggunakan pendekatan internal consistency (cronbach’s alpha coefficient)
dengan bantuan program SPSS for Windows Release 22.0.
Penelitian ini menggunaka teknik uji instrumental penelitian sebagai berikut.
(1) Analisis Statistik Deskriptif. Hasil dari pengolahan data dengan teknik ini
bertujuan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai karakteristik sampel
penelitian berdasarkan frekuensi, nilai rata-rata (mean), nilai maksimum, nilai
minimum, dan persentasi skor. (2) Uji Normalitas. Uji normalitas digunakan untuk
mengetahui normal atau tidaknya suatu distribusi data dari setiap variabel
penelitian. Uji normalitas data pada penelitian menggunakan Test of Normality
7
Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan program Statistical Package for Sosial
Science (SPSS) for Windows Release 22.0. (3) Uji Linieritas. Uji linieritas
bertujuan untuk mengetahui apakah dua variabel yang akan dikenai prosedur
analisis statistik korelasional menunjukkan hubungan yang linier atau tidak. (4) Uji
Hipotesis. Pengujian hipotesis dilakukan untuk menjawab rumusan masalah dan
membuktikan kebenaran dari hipotesis penelitian, untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan secara signifikan antara dua variabel atau lebih. Uji hipotesis yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan korelasi pearson product
moment,dengan bantuan program Statistical Package for Sosial Science (SPSS) for
Windows Release 22.0. Uji korelasi digunakan untuk mempelajari pola dan
mengukur hubungan statistic dua variabel atau lebih serta menguji kekuatan
hubungan antara dua variabel atau lebih.
HASIL ANALISIS
Deskripsi Karakteristik Kecerdasan Emosional
Hasil deskripsi statistik hasil skor karakteristik kecerdasan emosional remaja
korban kekerasan seksual di Kabupaten Malang adalah sebagai berikut.
Tabel 3. Perbandingan Data Empirik dan Data Absolut Kecerdasan Emosional
Variabel Data Empirik
Min Max Mean Std. Deviation
Kecerdasan emosional 70 119 97,45 8,813
Rentang Skala Data Absolut
Rentangan Keterangan
1 35-69 Sangat Rendah
2 70-104 Rendah
3 105-139 Tinggi
4 140 Sangat Tinggi
Tabel 3 menunjukkan bahwa kecerdasan emosional pada remaja korban
kekerasan seksual di Kabupaten Malang sebanyak 53 subjek mempunyai nilai
rata-rata 97,45 dengan nilai minimal 70 dan maksimal 119, sedangkan standar
deviasi sebesar 8,813. Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa kecerdasan emosional
remaja korban kekerasan seksual berada pada kategori rendah. Jumlah dan presentase
dari masing-masing kategori terangkum dalam tabel berikut: Tabel 4. Kategori Kecerdasan Emosional
Interval Kategori Aitem Jumlah Frekuensi
105-139 Tinggi 7,10,17,19,21,31 6 10
70-104 Rendah 1,2,3,4,5,6,8,9,11,12,13,14,15,16,
18,20,22,23,24,25,26,27,28,29,30,
32,33,34,35
29 43
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa diperoleh skor dominan
kecerdasan emosional remaja korban kekerasan seaksual pada kategori rendah
sebanyak 29 aitem dengan fkekuensi 43 subjek, dan pada kategori tinggi sebanyak
6 aitem dengan frekuensi 10 subjek. Dapat disimpulkan bahwa rata-rata subjek
memiliki kecerdasan emosional rendah.
Deskripsi Penyesuaian Sosial
8
Hasil deskripsi statistik hasil skor karakteristik penyesuaian sosial remaja
korban kekerasan seksual di Kabupaten Malang adalah sebagai berikut.
Tabel 5. Perbandingan Data Empirik dan data Absolut Penyesuaian Sosial
Variabel Data Empirik
Min Max Mean Std. Deviation
Penyesuaian Sosial 84 121 105,83 10,666
Rentang Skala Data Absolut
Rentangan Keterangan
1 36-71 Sangat Rendah
2 72-107 Rendah
3 108-143 Tinggi
4 144 Sangat Tinggi
Tabel 5 menunjukkan bahwa penyesuaian sosial pada remaja korban kekerasan
seksual di Kabupaten Malang sebanyak 53 subjek mempunyai nilai rata-rata 105,83,
dengan nilai minimal 84 dan maksimal 121, sedangkan standar deviasi sebesar
10,666. Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa penyesuaian sosial remaja korban
kekerasan seksual berada pada kategori rendah.
Tabel 6. Kategori Kecerdasan Emosional Interval Kategori Aitem Jumlah Frekuensi
108-143 Tinggi 1,13,17,19,22,24 6 24
72-107 Rendah 2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,14,15,16,
18,20,21,23,25,26,27,28,29,30,31,
32,33,34,35,36
30 29
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa diperoleh skor dominan
oenyesuaian sosial remaja korban kekerasan seaksual pada kategori rendah
sebanyak 30 aitem dengan frekuensi sebanyak 29 subjek, dan pada kategori tinggi
sebanyak 6 aitem dengan frekuensi sebanyak 24 subjek. Dapat disimpulkan bahwa
rata-rata subjek memiliki penyesuaian sosial rendah.
Sebelum melakukan analisis korelasional, peneliti melakukan uji asumsi untuk
menentukan apakah pengujian hipotesis menggunakan statistik parametric atau
non parametric. Pengujian analisis meliputi uji normalitas dan linieritas.
Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui normal atau tidaknya suatu
distribusi data dari setiap variabel penelitian. Uji normalitas data pada penelitian
menggunakan Test of Normality Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan program
Statistikal Package for Sosial Science (SPSS) for Windows Release 22.0. Suatu
sebaran dapat dikatakan normal apabila nilai probabilitas yang diperoleh lebih dari
0,05 (p > 0,05), jika probabilitas kurang dari 0,05 (p < 0,05), maka sebaran data
tersebut dikatakan tidak normal. Hasil uji normalitas pada kedua variabel dapat
dilihat dalam tabel 4.3 sebagai berikut.
Tabel 7. Hasil Uji Normalitas Data Variabel Penelitian Signifikansi(P) Keterangan Keterangan
Kecerdasan emosional 0,200* p>0,05 Normal
Penyesuaian sosial 0,079 p>0,05 Normal
Hasil uji normalitas pada tabel 7 menunjukkan bahwa data pada variabel
kecerdasan emosional memiliki signifikansi sebesar 0,200 dan variabel
9
penyesuaian sosial memiliki signifikansi sebesar 0,079. Hal ini menunjukkan
bahwa sebaran data kecerdasan emosional dan penyesuaian sosial dapat dikatakan
normal karena nilai yang diperoleh lebih besar dari 0,05 (p > 0,05).
Uji Linieritas
Uji linieritas bertujuan untuk mengetahui apakah variabel bebas yang akan
dikenai prosedur analisis statistik korelasional berhubungan secara linier dengan
variabel terikat atau tidak.
Tabel 8. Hasil Uji Linieritas F Signifikansi Kesimpulan
Kecerdasan
emosional
*penyesuaian
social
Between
group
(combined) 2,132 0,028 Linier
Linierity 34,057 0,000 Linier
Deviation
linearity
0,744 0,764 Linier
Berdasarkan hasil uji linieritas menunjukkan bahwa nilai deviation linearity
menunjukkan F sebesar 1,744 dengan signifikansi sebesar 0,764 (p>0,05).
Sehingga perubahan bada variabel bebas akan diikuti oleh perubahan pada variabel
terikat, yang menunjukkan hubungan antara kecerdasan emosional dan
penyesuaian sosial adalah linier. Dari hasil uji normalitas dan uji linieritas yang
telah dilakukan diperoleh hasil bahwa data berdistribusi normal dan linier sehingga
analisis korelasional dapat dilakukan dengan menggunakan statistik parametrik.
Uji Hipotesis
Uji korelasi digunakan untuk mempelajari pola dan mengukur hubungan statistik
dua variabel atau lebih serta menguji kekuatan hubungan antara dua variabel atau
lebih. Pada penelitian ini menggunakan uji signifikansi korelasi pearson product
moment. Kekuatan hubungan antar variabel ditunjukkan melalui nilai korelasi.
Apabila nilai sig <0,05 maka ada korelasi yang signifikan (Ha diterima). Arah
hubungan dilihat dari tanda koefisien korelasi, jika tanda (-) berarti apabila variabel x
tinggi variabel y rendah, tanda (+) berarti apabila variabel x tinggi maka variabel y
juga tinggi. Hasil uji korelasi disajikan dalam tabel dibawah ini.
Tabel 9. Hasil Uji Korelasi antara Kecerdasan Emosional dan Penyesuaian Sosial
Variabel r Signifikansi Keterangan
Kecerdasan emosional
dengan Penyesuaian sosial 0,656 0,000
Signifikan
Hasil dari tabel 9 menunjukkan bahwa analisis korelasi product moment
menunjukkan koefisien korelasi antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian
sosial sebesar r = 0,656 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p<0.05). Nilai tersebut
bertanda positif artinya hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian
sosial searah, menunjukkan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional, maka
penyesuaian sosial yang dimiliki seseorang cenderung semakin tinggi. Ini berarti
bahwa ada hubungan antara kecerdasan emosional dan penyesuaian sosial pada
remaja korban kekerasan seksual di Kabupaten Malang.
PEMBAHASAN
Kecerdasan Emosional
Goleman (2002) kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk
mengatur kehidupan emosi dengan intelegensi, menjaga keselarasan emosi dan
10
pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi
diri dan empati. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa subjek yang mengalami
kekerasan seksual mempunyai kecerdasan emosional yang baik, dapat dilihat dari
hasil skoring yang menunjukkan bahwa rata-rata subjek mampu mengatur suasana
hati dengan baik, dan memiliki motivasi yang tinggi setelah mengalami kejadian
tersebut. Tetapi lingkungan sangat mempengaruhi subjek dalam mengendalikan
dirinya, jika lingkungan mampu mendukung terus menerus maka subjek dapat
mempertahankan kecerdasan emosionalnya. Sebaliknya jika lingkungan tidak bisa
mendukung atau justru menghambat subjek tersebut dalam mengendalikan
emosinya, maka kecerdasan emosional subjek dapat berubah-ubah.
Cooper dan Sawaf (Ginanjar, 2001) mengemukakan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, menerapkan kemampuan
emosi, mampu menghargai perasaan orang lain dan diri sendiri serta menanggapinya
dengan tepat, menerapkan secara efektif energi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian bahwa subjek mampu menghargai diri sendiri,
rata-rata subjek tingkat kecerdasan emosi rendah sehingga dapat dikatakan bahwa
subjek mampu menanggapi permasalahan yang ada dengan cukup baik.
Menurut Bar-On (Stein & Book, 2004) bahwa kecerdasan emosional juga
serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non-kognitif, yang
mempengaruhi seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan,
yang memungkinkan kita melapangkan jalan di dunia yang rumit, meliputi aspek
pribadi, sosial, dan pertahanan dari seluruh kecerdasan dan kepekaan yang penting
untuk berfungsi secara efektif setiap hari. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa subjek mampu menerima kelebihan dan kekurangan mereka, subjek memiliki
kemampuan untuk tidak terpengaruh oleh kekerasan seksual yang dialami sehingga
tidak merasa dikucilkan di lingkungan.
Weisinger (2006) menyatakan bahwa kecerdasaan emosi adalah menggunakan
emosi secara cerdas, yaitu seseorang membuat emosi menjadi bermanfaat dengan
menggunakannya sebagai pemandu perilaku dan pemikiran sehingga terdapat hasil
yang meningkat dalam diri seseorang tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
bahwa subjek yang dapat menggunakan emosinya dengan baik, maka subjek juga
akan meningkat pula dalam hal pemikiran dan perilakunya.
Dusek (Casmini, 2007) mendifinisikan pengertian kecerdasan emosional yaitu
secara kuantitatif adalah proses belajar untuk memecahkan masalah yang dapat
diukur dengan tes intelegensi, dan secara kualitatif suatu cara berpikir dalam
membentuk konstruk bagaimana menghubungkan dan mengelola informasi dari luar
yang disesuaikan dengan dirinya. Sesuai dengan hasil penelitian bahwa subjek
mampu memecahkan masalahnya dengan cukup baik.
Daniel Goleman (2009) Kecerdasan emosional yaitu kemampuan-kemampuan
seperti kemampuan memotivasi diri dan bertahan dalam menghadapi frustasi,
mengendalikan dorongan hati dan tidak berlebih-lebihan, mengatur suasana hati dan
menjaga agar tetap berfikir jernih, berempati dan optimis. Berdasarkan hasil
penelitian bahwa subjek mampu memotivasi dirinya sendiri bahkan juga dapat
memotivasi orang lain.
Sesuai yang penulis kutip dari Hidayati dkk.(2010) menyatakan bahwa
kecerdasan emosi yang tinggi akan membantu individu dalam mengatasi konflik
secara tepat dan menciptakan kondisi kerja yang tinggi pula. Berdasarkan hasil
penelitian menjelaskan bahwa adanya kecerdasan emosi yang tinggi dapat membuat
11
individu memiliki kestabilan emosi. Kestabilan emosi tersebut menjadikan individu
mampu menyesuaikan diri dengan baik, merasa senang dan tertarik untuk bekerja
serta berprestasi, mampu memotivasi diri terhadap masalah yang dialami, dan dapat
mengendalikan kebutuhan-kebutuhan yang dipengaruhi oleh emosi.
Kecerdasan emosional yang dimiliki remaja korban kekerasan seksual di
Kabupaten Malang dalam kategori rendah, dikarenakan dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa remaja tersebut tidak bisa mengatasi masalah yang dialami
kemudian stress yang tidak terkendali bisa berdampak pada kesehatan mental yang
membuat ia rentan terhadap kecemasan dan depresi. Remaja tersebut tidak bisa
mengatasi emosinya, sehingga akan beresiko tidak bisa membangun hubungan yang
kuat sehingga ia merasa kesepian dan terisolasi. Subjek mungkin cenderung
menyalahkan oranglain, sehingga ia tidak bisa mengendalikan stressnya. Kekerasan
seksual yang dialami remaja tersebut tidak bisa dilupakan. Emosi yang terpendam
akan menumpuk akan menyebabkan ia kurang bisa belajar dari masalah yang
dialaminya, membuat ia gelisah dan cemas, sehingga akan berdampak pula pada
kepribadian, bahkan kesehatan fisik dan mentalnya. Ketidakmampuan seseorang
dengan kecerdasan emosi yang rendah dalam memahami emosi juga berdampak pada
orang lain karena cenderung sulit untuk memahami perasaan orng lain, mereka akan
sulit juga untuk beremlpati dan berusaha memahami perasaan orang lain.
Untuk meningkatkan kecerdasan emosi subjek yang rendah adalah antara lain:
mengurangi emosi negatif, berlatih tetap tenang dan mengatasi stress, bersikap
proaktif saat berhadapan dengan orang lain yang memicu emosi, harus berani bangkit
dari kesalahan atau masalah yang pernah dialami dan mampu memiliki kemampuan
untuk mengungkapkan perasaan kepada orang lain.
Penyesuaian Sosial Menurut Hurlock (2002), penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan
seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap
kelompok pada khususnya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja
dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan lingkungannya, baik orang yang
dikenal maupun orang yang tidak di kenal sehingga sikap orang lain terhadap mereka
menyenangkan. Selanjutnya, dijelaskan lagi bahwa penyesuaian sosial adalah
kemampuan individu untuk memperlihatkan sikap serta tingkah laku yang
menyenangkan, sehingga ia diterima oleh kelompok atau lingkungannya. Kondisi
tersebut dapat ditunjukkan oleh subjek bahwa rata-rata subjek mampu memotivasi
dirinya untuk dapat menjalani kehidupan kedepannya lebih baik lagi, sehingga
lingkungan juga dapat menerimanya dengan baik pula.
Menurut (Desmita, 2009) penyesuaian sosial adalah bentuk proses yang
melingkupi reaksi mental dan tingkah laku, dimana individu sedang berupaya untuk
mengambil keberhasilan dalam mengatasi kebutuhan di dalam dirinya, ketegangan,
konflik dan frustasi yang dialaminya, sehingga tingkat keselarasan antara tuntutan
dalam diri dan apa yang diinginkan oleh lingkungan dimana ia tinggal dapat terwujud
dengan baik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa subjek dapat mengambil
manfaat dan pengalaman dari kejadian yang dia alami sehingga ia dapat menerima
dan diterima di lingkungan dengan baik.
Yusuf (2011) mengungkapkan penyesuaian sosial sebagai kemampuan untuk
mereaksi secara tepat terhadap realitas sosial, situasi dan relasi. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian bahwa subjek mampu mereaksi secara tepat untuk permasalaha yang
sedang dialami, ia mampu menerima kondisinya dengan cukup baik.
12
Keseluruhan proses hidup dan kehidupan individu akan selalu diwarnai oleh
hubungan dengan orang lain, baik itu dalam lingkup keluarga, maupun masyarakat.
Sebagai makhluk sosial individu selalu membutuhkan pergaulan dalam hidupnya
dengan oranglain, pengakuan dan penerimaan terhadap dirinya dari orang lain. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa subjek dapat menerima dirinya, apapun yang
dialami dan apapun yang akan terjadi setelah kejadian tersebut. Sehingga dapat
dikatakan bahwa subjek mampu berhubungan baik dengan lingkungannya.
Menurut Runyon dan Haber (Artha & Supriyadi, 2013), penyesuaian sosial
sebagai keadaan atau sebagai proses yang terus berlangsung dalam kehidupan
individu. Penyesuaian sosial sebagai proses menunjukkan bagaimana penyesuaian
sosial yang efektif dapat diukur dengan mengetahui bagaimana kemampuan individu
menghadapi perubahan di lingkungannya. Subjek dalam penelitian dapat
menyesuaikan diri terhadap lingkungan dengan baik, dapat dilihat dari subjek yang
dapat menghadapi permasalahan yang dialami dengam cukup baik pula.
Penyesuaian sosial merupakan proses mental dan tingkah laku yang mendorong
seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keinginan yang berasal dari dalam diri
sendiri yang dapat diterima oleh lingkungannya. Tuntutan yang dihadapi subjek
adalah ia harus dapat mengendalikan emosinya, harus dapat berfikir jernih dalam
menghadapi masalah yang dialaminya. Seseorang dikatakan mempunyai
penyesuaian sosial yang berhasil apabila ia dapat mencapai kepuasan dalam
usahanya memenuhi kebutuhan, mengatasi ketegangan, bebas dari berbagai simptom
(gejala) emosi yang mengganggu seperti, kecemasan, kemurungan, depresi, obsesi,
atau gangguan psikosomatis yang dapat menghambat tugas seseorang. Dapat
diketahui dari hasil penelitian bahwa uji korelasi menunjukkan arah positif sehingga
dapat disimpulkan bahwa semakin subjek dapat mengatasi gejala emosinya, maka
semakin ia dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Kondisi fisik juga sangat mempengaruhi proses penyesuaian sosial dan
kecerdasan remaja yang digambarkan melalui keberadaan system utama tubuh
misalnya sistem saraf dan kesehatan fisik yang dimiliki individu. Fungsi sistem saraf
yang memadai diperlukan bagi penyesuaian sosial yang baik, akan tetapi bila
penyimpangan terjadi dalam sistem saraf akan berpengaruh pada kondisi mental dan
penyesuaian sosial. Hal tersebut dapat dicontohkan melalui gejala psikosomatis, pada
gejala tersebut terjadi keberfungsian sistem saraf yang kurang baik sehingga
mempengaruhi penyesuaian sosial yang kurang baik. Di samping itu, penyesuaian
sosial individu akan lebih mudah dilakukan bila kondisi fisiknya sehat karena dengan
fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya diri, dan harga diri.
Faktor kepribadian memberikan pengaruh terhadap penyesuaian sosial remaja.
Dalam hal ini remaja yang memiliki kemauan, kemampuan, dan belajar secara
bersungguh-sungguh untuk merubah diri dalam merespon lingkungan sekitarnya,
tidak akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dibandingkan dengan
remaja yang tidak memiliki kemauan untuk berubah. Kemampuan dalam mengatur
diri dan inteligensi juga mempengaruhi penyesuaian sosial remaja. Pendapat tersebut
mendukung hasil penelitian ini.
Penyesuaian sosial yang dimiliki remaja korban kekerasan seksual di Kabupaten
Malang dalam kategori rendah, dikarenakan dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa remaja tersebut tidak bisa bereaksi terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Ia
tidak bisa mengatasi stress, kecemasan, depresi dan gangguan psikosomatis lainnya
sehingga ia tidak bisa dengan mudah beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap
13
lingkungannya. Untuk meningkatkan penyesuaian sosial subjek yang rendah adalah
antara lain: penyesuaian dari lingkungan dalam keluarga, mulai belajar menerima
orang lain, belajar dari kegagalan dan bisa menerima perubahan di lingkungannya.
Hubungan antara Kecerdasan Emosional dan Penyesuaian Sosial Pada Remaja
Korban Kekerasan Seksual di Kabupaten Malang
Menurut pendapat Goleman (2009) apabila individu mampu berempati, maka
individu tersebut akan memiliki tingkat emosi yang tinggi dan akan lebih mudah
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Pendapat tersebut
memperkuat hasil penelitian yakni arah hubungan kedua variabel bersifat positif,
yang maknanya adalah apabila kecerdasan emosi yang dimiliki individu semakin
tinggi, maka penyesuaian sosial yang dimiliki individu cenderung meningkat.
Apabila individu dapat mengelola emosinya, maka dapat disimpulkan bahwa
individu tersebut dapat memiliki hubungan yang baik pula dengan lingkungan.
Selanjutnya Goleman (2009) juga menyatakan bahwa keberhasilan seseorang
dalam menyelesaikan permasalahan banyak ditentukan oleh kualitas kecerdasannya,
sebagian dari kecerdasan yang dapat membantu dalam menyelesaikan permasalahan
adalah kecerdasan yang berkaitan dengan aspek emosional seseorang yang cerdas
dalam mengelola emosinya akan meningkatkan kualitas kepribadiannya.
Perkembangan kepribadian yang baik akan membantu individu untuk lebih mudah
melakukan penyesuaian terhadap lingkungan sosialnya. Pendapat tersebut
menguatkan hasil penelitian ini bahwasannya ketika kecerdasan emosi seseorang
tinggi maka seseorang tersebut juga memiliki penyesuaian sosial yang tinggi pula.
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri
dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres
tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa (Goleman, 2009).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa diperoleh nilai korelasi r menunjukkan
bahwa kontribusi yang diberikan oleh kecerdasan emosi terhadap penyesuaian sosial
pada penelitian ini sebesar 43% dilihat dari nilai R2 (R Square) adalah 0,430, jadi
sumbangan pengaruh dari variabel independen yaitu 43% sedangkan sisa lainnya
dipengaruhi oleh faktor yang lain yang tidak diteliti pada penelitian ini. Hasil
penelitian ini memberikan gambaran kecerdasan emosi merupakan salah satu faktor
yang dapat berpengaruh terhadap penyesuaian sosial yang dialami remaja korban
kekerasan seksual.
Menurut pendapat Goleman (2009) apabila individu pandai menyesuaikan diri
dengan suasana hati individu yang lain atau dengan kata lain mampu berempati,
maka individu tersebut akan memiliki tingkat emosi yang tinggi dan akan lebih
mudah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Selanjutnya Goleman
(2009) juga menyatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan
permasalahan banyak ditentukan oleh kualitas kecerdasannya. Sesuai dengan hasil
penelitian bahwa subjek dapat mengelola emosinya pasca kejadian tersebut sehingga
ia akan meningkatkan kualitas kepribadiannya. Kualitas kepribadian subjek yang
baik akan membuat ia akan diterima oleh lingkungannya.
Penyesuaian sosial individu akan lebih mudah dilakukan bila kondisi fisiknya
sehat karena dengan fisik yang sehat dapat menimbulkan penerimaan diri, percaya
diri, dan harga diri. Dalam hal ini subjek penelitian yang memiliki kemauan,
kemampuan, dan belajar secara bersungguh-sungguh untuk merubah diri dalam
merespon lingkungan sekitarnya, tidak akan mengalami kesulitan dalam
14
menyesuaikan diri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek bisa merespon
lingkungan sekitar dengan baik sehingga dapat dikatakan bahwa subjek memiliki
kondisi fisik yang sehat.
Yusof dan Yacob (Artha & Supriyadi, 2013) mengatakan bahwa kecerdasan
emosional sebagai sebuah cermin untuk merefleksikan kemampuan seseorang dalam
bernegosiasi dengan baik terhadap orang lain dan untuk mengontrol diri selain itu
juga kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengatasi tantangan di
lingkungan sehari-hari dan membantu memprediksi kesuksesan dalam hidup
termasuk dalam masalah pribadi dan karir. Pendapat ini sesuai dengan hasil
penelitian yaitu subjek dapat mengontrol dirinya setelah mengalami kekerasan
seksual tersebut dan bisa menghadapi kehidupan setelah kejadian tersebut.
Mengelola emosi berarti kemampuan menghadapi badai emosi yang terjadi dan
mengacu pada bagaimana individu mampu mengatur dan mengelola emosi dalam
diri. Penyesuaian sosial merupakan kemampuan individu untuk mampu
bersosialisasi dan mampu membina hubungan baik dengan orang lain. Sesuai dengan
hasil penelitian bahwa subjek mampu mengendalikan diri dan memghadapi masalah
yang dihadapi sehingga subjek mampu melakukan penyesuaian sosial yang baik.
Memotivasi diri sebagai alat ukur untuk mengendalikan dorongan hati sehingga
ia mampu mengendalikan kecemasan, optimis, dan mampu mencapai keadaan flow
yaitu keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya, perhatiannya hanya fokus apa yang dikerjakannya, dan kesadaran
dengan tindakan. Kemampuan membangkitkan minat agar mencapai tujuan tertentu.
Sesuai dengan hasil penelitian bahwa subjek dapat mengendalikan kecemasannya. Ia
mampu mengembangkan minatnya karena tujuannya adalah bisa memiki hubungan
baik dengan lingkungannya, sehingga ia dapat diterima dan menerima
lingkungannya.
Remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan mampu
mengendalikan emosinya sehingga dapat menghasilkan optimalisasi pada fungsi
kerjanya. Remaja yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan
baik, mereka cenderung tidak memahami apa yang terjadi atau atau dikatakan cacat
sosial. Remaja yang menunjukkan cacat sosial yaitu remaja karena kecanggungannya
membuat mereka merasa diabaikan atau diabaikan oleh teman-temannya. Bukan
hanya factor kecerdasan emosional yang mempengaruhinya, salah satunya adalah
penyesuaian sosial. Kondisi lingkungan selalu berubah setiap saat oleh karenanya
remaja dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan bentuk hubungan yang baru
dalam berbagai situasi. Remaja diharapkan mampu bertanggung jawab secara social,
mengembangkan keamampuan intelektual, emosional dan konsep yang penting bagi
kompetensinya. Remaja yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, maka akan
melewati masa remajanya dengan lancar da nada perkembangan ke arah kedewasaan
yang optimal serta dapat diterima lingkungannya. Berdasarkan hasil penelitian
bahwa remaja memiliki kecerdasan emosi yang cukup baik, maka ia akan memiliki
penyesuaian yang baik pula.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil data penelitian serta perhitungan secara statistik yang telah
dilakukan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut. (1) Kecerdasan emosional
remaja korban kekerasan seksual di Kabupaten Malang berada pada kategori rendah.
(2) Penyesuaian sosial remaja korban kekerasan seksual di Kabupaten Malang berada
15
pada kategori rendah. (3) Ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan
emosional (X) dan penyesuaian sosial (Y) pada remaja korban kekerasan seksual di
Kabupaten Malang.
DAFTAR RUJUKAN Artha, N. M. W. I. & Supriyadi. 2013. Hubungan antara Kecerdasan emosional dan
Self Efficacy dalam Pemecahan Masalah Penyesuaian sosial Remaja.
Jurnal Psikologi Udayana, 1 (1), 190-202.
Casmini. 2007. Emotional Parenting. Yogyakarta: Pilar Medika.
Christi, D. 2013. Kesehatan Reproduksi (Kekerasan Seksual). Makalah: Program
Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Darul
Ma’arif Al-Insan Baturaja.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Goleman, D. 2002. Working with Emotional Intelligence. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Goleman, D. 2009. Kecerdasan emosional: Mengapa EI lebih penting daripada IQ.
Terjemahan: Hermaya, T. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hidayati, R., Purwanto, Y., &Yuwono, S. 2010. Korelasi Kecerdasan emosional dan
Stres Kerja dengan Kinerja. Indigenous, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi,
12 (1), 81-87.
Hurlock, EB. 2002. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. (Terjemahan Istiwidayanti & Soejarwo). Jakarta: Erlangga.
Stein, S. J. & Book, H. E. 2004. Ledakan EQ 15: Prinsip Dasar Kecerdasan
emosional Meraih Sukses. Penerjemah: Trinanda Rainy Januarsari dan
Yudhi Murtanto. Bandung: Kaifa.
Weisinger, H. 2006. Emotional Intelligence at Work. Penerjemah: Roro Ratih
Ambarwati. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.
Yusuf, S. 2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.