hilma s - menuntut negara

37
Menuntut Negara by HS Page 1 Menuntut Negara: Hak Azasi Manusia, Konflik dan Pendudukan Tanah Hilma Safitri 1 I. Menuju kepada Permasalahan: Perebutan Hak atas Tanah dan Perjuangan Menegakan Hak Azasi Manusia Hak atas tanah dalam konsepsi HAM harus diletakan dalam konteks hak seseorang untuk memperoleh penghidupan yang layak, yakni terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal; maupun dalam konteks hak sekelompok orang (komunitas tertentu) untuk melanjutkan kehidupan budayanya. Bagi kelompok masyarakat yang sumber kehidupannya baik secara ekonomi, sosial maupun budaya bergantung kepada penguasaan terhadap tanah, maka terjamin dan terpenuhinya haknya atas tanah menjadi mutlak: semutlak hak azasi manusia itu sendiri. Tersedianya atau terjaminannya hak mereka atas tanah dalam luasan yang memadai secara berkelanjutan akan membuat mereka mendapatkan penghidupan yang layak secara berkelanjutan pula. Dalam hal ini Negara harus menjamin terjadinya keberlanjutan hak mereka atas tanah (security of tenure) yang berarti memberikan jaminan atas kesempatan bagi warga Negara yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah untuk berkembang dan meningkatkan kualitas hidupnya dan keturunannya baik sebagai warga Negara maupun sebagai manusia. Banyaknya kasus-kasus konflik agraria yang didahului dengan kebijakan yang tidak adil lalu disusul dengan aksi-aksi penggusuran dan dilawan dengan aksi-aksi pendudukan kembali (reclaiming actions) menunjukan bahwa Negara tidak menjalankan fungsinya untuk memberikan jaminan bagi keberlangsungan hidup sekelompok orang yang kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya sangat bergantung kepada tanah. Perlawanan-perlawanan tersebut juga mencerminkan adanya tuntutan dari mereka sebagai warga Negara kepada Negara, khususnya pemerintah yang berkuasa, untuk memberikan jaminan yang sangat dibutuhkan tersebut. Dalam perspektif hak azasi manusia jaminan atas penguasaan tanah sebagai alat untuk mencapai kehidupan yang layak dan meningkatkan kualitas kehidupan secara tidak langsung terkandung di dalam sejumlah dokumen tentang penegakan hak azasi seperti Universal Declaration on Human Rights (UDHR), International Covenant on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR), International Covenant on Civil Politic Rights (ICCPR) dan International Covenant on Indigenous People Rights (ICIPR). 2 Beberapa klausul yang terkait dengan hal-hal untuk mencapai penghidupan yang layak, dimana di dalamnya diatur tentang hak pangan dan gizi yang cukup, pakaian, perumahan, hak-hak ekonomi, hak Kepemilikan, hak untuk bekerja, hak atas jaminan sosial, dan hak-hak budaya 3 tercermin misalnya dalam beberapa pasal dari dokumen-dokumen tersebut. Misalnya dalam Universal Declaration on 1 Saat ini menjadi salah satu peneliti bidang agraria di Yayasan AKATIGA – Bandung dan Agrarian Resource Center (ARC) – Bandung. 2 Indonesia telah meratifikasi kovenan-kovenan internasional tersebut pada tahun 2005 dan 2006. Undang-undang No. 11/2005 diterbitkan untuk mengesahkan ratifikasi ICESCR dan Undang-undang No. 12/2005 untuk mengesahkan ratifikasi ICCPR; sedangkan ICIPR diratifikasi pada tahun 2006. Sebagai negara yang telah meratifikasinya maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk mentaati dan menjalankan isi dari setiap kovenan tersebut. 3 Hak-hak untuk melestarikan identitas kebudayaan kelompok minoritas.

Upload: hilhil-qumqum

Post on 19-Jun-2015

137 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Hak atas tanah dalam konsepsi HAM harus diletakan dalam konteks hak seseorang untuk memperoleh penghidupan yang layak, yakni terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal; maupun dalam konteks hak sekelompok orang (komunitas tertentu) untuk melanjutkan kehidupan budayanya. Bagi kelompok masyarakat yang sumber kehidupannya baik secara ekonomi, sosial maupun budaya bergantung kepada penguasaan terhadap tanah, maka terjamin dan terpenuhinya haknya atas tanah menjadi mutlak: semutlak hak azasi manusia itu sendiri. Tersedianya atau terjaminannya hak mereka atas tanah dalam luasan yang memadai secara berkelanjutan akan membuat mereka mendapatkan penghidupan yang layak secara berkelanjutan pula. Dalam hal ini Negara harus menjamin terjadinya keberlanjutan hak mereka atas tanah (security of tenure) yang berarti memberikan jaminan atas kesempatan bagi warga Negara yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah untuk berkembang dan meningkatkan kualitas hidupnya dan keturunannya baik sebagai warga Negara maupun sebagai manusia.

TRANSCRIPT

Page 1: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 1 

Menuntut Negara: Hak Azasi Manusia, Konflik dan Pendudukan Tanah Hilma Safitri1 I. Menuju kepada Permasalahan: Perebutan Hak atas Tanah dan Perjuangan Menegakan Hak Azasi Manusia Hak atas tanah dalam konsepsi HAM harus diletakan dalam konteks hak seseorang untuk memperoleh penghidupan yang layak, yakni terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal; maupun dalam konteks hak sekelompok orang (komunitas tertentu) untuk melanjutkan kehidupan budayanya. Bagi kelompok masyarakat yang sumber kehidupannya baik secara ekonomi, sosial maupun budaya bergantung kepada penguasaan terhadap tanah, maka terjamin dan terpenuhinya haknya atas tanah menjadi mutlak: semutlak hak azasi manusia itu sendiri. Tersedianya atau terjaminannya hak mereka atas tanah dalam luasan yang memadai secara berkelanjutan akan membuat mereka mendapatkan penghidupan yang layak secara berkelanjutan pula. Dalam hal ini Negara harus menjamin terjadinya keberlanjutan hak mereka atas tanah (security of tenure) yang berarti memberikan jaminan atas kesempatan bagi warga Negara yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah untuk berkembang dan meningkatkan kualitas hidupnya dan keturunannya baik sebagai warga Negara maupun sebagai manusia.

Banyaknya kasus-kasus konflik agraria yang didahului dengan kebijakan yang tidak adil lalu disusul dengan aksi-aksi penggusuran dan dilawan dengan aksi-aksi pendudukan kembali (reclaiming actions) menunjukan bahwa Negara tidak menjalankan fungsinya untuk memberikan jaminan bagi keberlangsungan hidup sekelompok orang yang kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya sangat bergantung kepada tanah. Perlawanan-perlawanan tersebut juga mencerminkan adanya tuntutan dari mereka sebagai warga Negara kepada Negara, khususnya pemerintah yang berkuasa, untuk memberikan jaminan yang sangat dibutuhkan tersebut.

Dalam perspektif hak azasi manusia jaminan atas penguasaan tanah sebagai alat untuk mencapai kehidupan yang layak dan meningkatkan kualitas kehidupan secara tidak langsung terkandung di dalam sejumlah dokumen tentang penegakan hak azasi seperti Universal Declaration on Human Rights (UDHR), International Covenant on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR), International Covenant on Civil Politic Rights (ICCPR) dan International Covenant on Indigenous People Rights (ICIPR).2 Beberapa klausul yang terkait dengan hal-hal untuk mencapai penghidupan yang layak, dimana di dalamnya diatur tentang hak pangan dan gizi yang cukup, pakaian, perumahan, hak-hak ekonomi, hak Kepemilikan, hak untuk bekerja, hak atas jaminan sosial, dan hak-hak budaya3 tercermin misalnya dalam beberapa pasal dari dokumen-dokumen tersebut. Misalnya dalam Universal Declaration on 1 Saat ini menjadi salah satu peneliti bidang agraria di Yayasan AKATIGA – Bandung dan Agrarian Resource Center (ARC) – Bandung. 2 Indonesia telah meratifikasi kovenan-kovenan internasional tersebut pada tahun 2005 dan 2006. Undang-undang No. 11/2005 diterbitkan untuk mengesahkan ratifikasi ICESCR dan Undang-undang No. 12/2005 untuk mengesahkan ratifikasi ICCPR; sedangkan ICIPR diratifikasi pada tahun 2006. Sebagai negara yang telah meratifikasinya maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk mentaati dan menjalankan isi dari setiap kovenan tersebut. 3 Hak-hak untuk melestarikan identitas kebudayaan kelompok minoritas.

Page 2: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 2 

Human Rights (UDHR), khususnya pasal 25 (1), dikatakan bahwa “setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya, serta usaha-usaha social yang diperlukan …..”.

International Covenant on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR) pasal 6 menyebutkan: “(1) Setiap Negara peserta kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah dengan pekerjaan yang dipilihnya atau diterimanya sendiri secara bebas dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjamin hak ini; (2) Langkah-langkah yang diambil oleh suatu Negara Peserta Kovenan ini untuk mencapai perwujudan sepenuhnya dari hak ini, harus meliputi juga pembinaan teknis dan kejuruan serta program latihan, kebijakan dan berbagai teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, social dan budaya yang mantap, dan pekerjaan yang penuh dan produktif dengan persyaratan yang menjamin kebebasan politik maupun ekonomi yang hakiki bagi individu”. Sementara pasal 9, 10 dan 11 menegaskan tentang kewajiban Negara untuk mengakui, melindungi dan memberikan jaminan terhadap penegakan hak-hak di atas. Dalam pasal 9 ICESCR disebutkan “[N]egara-negara Peserta Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial”; sementara pasal 10 (ayat 1) menyebutkan “[S]eharusnya diberikan perlindungan dan bantuan seluas-luasnya kepada keluarga, sebagai satuan kelompok dasar yang alami dari masyarakat khususnya untuk membentuknya dan selama ia bertanggung jawab untuk perawatan dan pendidikan anak-anak yang masih ditanggung…..” Sedangkan dalam pasal 11 (ayat 1) dari dokumen yang sama (ICESCR) dikatakan “[N]egara-negara peserta kovenan ini mengakui hak setiap orang atas taraf kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk sandang, pangan dan tempat tinggal dan perbaikan yang terus menerus dari lingkungannya. …”.

Hak seseorang untuk memperoleh kehidupan yang layak tidak mengenal diskriminasi. Artinya setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kehidupan yang layak dan memiliki hak yang sama untuk memperoleh jaminan atas penegakan haknya tersebut; apalagi jika ia hidup di negara yang secara tegas telah menyatakan jaminan setiap orang dihadapan umum dan berhak atas perlindungan hukum tanpa ada perbedaan karena ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, asal usul kebangsaan atau status sosial (harta) (ICCPR pasal 26). Demikian juga bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial dan berhak atas atas pilihan-pilihan pribadinya untuk melakukan usaha seperti diuraikan dalam UDHR pasal 22, sehingga hal ini telah memberikan jaminan bagi setiap manusia untuk mengembangkan martabat pribadinya. Selanjutnya dalam pasal 23 UDHR ditegaskan bahwa “setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan baik atas perlindungan kepada pengangguran”. Jaminan bagi keberlangsungan hidup setiap manusia juga tercantum dalam UDHR, khususnya pasal 25 (1), yang menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya, serta usaha-usaha sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan di waktu mengalami pengangguran, janda, lanjut usia atau mengalami kekurangan nafkah ketiadaan mata pencaharian yang lain dalam keadaan di luar pengusaannya”.

Meskipun tidak ada satu klausul pun yang menyatakan secara langsung bahwa hak atas tanah adalah hak yang mendasar dalam konsepsi hak asasi manusia, namun hak atas tanah bagi kelompok masyarakat yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah dalam rangka mencapai penghidupan yang layak dapat dimaknai terliput/terkandung di dalam klausul-

Page 3: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 3 

klausul di atas (lihat juga Plant 1984: 189). Posisi Negara sebagaimana diatur di dalam sejumlah kovenan tersebut adalah pihak yang harus menjamin terselenggaranya penegakan hak-hak azasi seperti disebutkan di atas, termasuk dalam hal ini adalah memberikan jaminan bagi penegakan hak-hak sekelompok warga negara yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah; bukan sebaliknya. Dengan demikian, kelalaian Negara untuk menyediakan jaminan-jaminan bagi keberlangsungan hidup dan perbaikan kualitas kehidupan warganya sudah merupakan bagian dari pelanggaran terhadap HAM; apalagi jika dengan ‘sengaja’ melanggar hak, seperti hak atas tanah, yang secara nyata sudah dikuasai sebelumnya, maka jelas Negara telah mengambil posisi berlawanan dengan kerangka penegakan hak azasi manusia.

Di sisi lain, konsepsi Hak Atas Tanah dalam konsepsi HAM sangat lekat dengan Hak Atas Pangan (right to food), karena pada intinya pangan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari hak-hak lainnya, karena terkait dengan pancapaian hak atas pangan itu yaitu untuk mencapai penghidupan yang layak. Terkait dengan hak atas tanah, proporsi atas lahan serta aksesnya untuk menjamin ketersediaan pangan menjadi indicator utama (Muhtaj 2008: 123). Karenanya, permasalahan ketimpangan penguasaan dan akses atas tanah perlu menjadi perhatian utama, karena akan berimplikasi langsung kepada terpenuhinya hak-hak mendasar masyarakat. Demikian juga dengan yang sudah dihasilkan oleh International Conference on Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD) di Porto Alegre bulan Maret 2006, bahwa kedaulatan pangan adalah hal yang sangat mendasar yang dibutuhkan dalam kebijakan pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan guna mengurangi kemiskinan, melindungi lingkungan, sekaligus bagian dari pembangunan ekonomi. Pilar pokok dari kedaulatan pangan adalah penghormatan dan pemberdayaan rakyat hak atas pangan dan hak atas pemilikan dan penguasaan tanah (Plant 1984: 189).

Dalam konteks memerangi kelaparan dan kemiskinan khususnya yang terjadi di Negara-negara terbelakang maupun yang sedang berkembang, hal ini terkait dengan penilaian yang sudah diletakkan oleh Sekjen PBB (dokumen A/57/356/27 August 2002) yang telah meletakkan perlunya agenda Reforma Agraria dalam melawan kelaparan dan kemiskinan serta kunci hak atas pangan sebagaimana sudah tertuang dalam ICESCR pasal 11, hak atas tanah dan perjuangan hak atas tanah menjadi sesuatu yang wajar (Gunawan 2009). Komisi HAM PBB telah membentuk Special Rapporteur on The Rights to Food, dimana didalamnya berisi bahwa akses terhadap tanah adalah elemen kunci yang penting untuk membasmi kelaparan di dunia. Hal ini dapat dimaknai bahwa pilihan kebijakan Reforma Agraria atau Land Reform harus memainkan peranan penting dalam suatu strategi Negara dalam hal ketahanan pangan, dan akses terhadap tanah adalah hal mendasar untuk mewujudkan ketahanan pangan tersebut (Gunawan 2009, Muhtaj 2008: 124-129).

Di Indonesia, perwujudan pemenuhan hak asasi manusia, baik hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil politik, sesungguhnya dapat ditemukan dalam sejumlah peraturan perudangan-undangan yang ada. UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (yang lebih dikenal dengan UUPA 1960) misalnya telah memuat sejumlah peraturan yang menegaskan perlunya dipenuhi hak atas tanah untuk penghidupan yang layak bagi kelompok masyarakat yang hidupnya sangat tergantung kepada tanah. UUPA juga mengatur bagaimana Negara seharusnya memberikan jaminan dan pelayanan untuk mengatur seluruh sumber-sumber agraria di Indonesia untuk tujuan sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Prinsip utama yang diuraikan dalam UUPA adalah prinsip keadilan dalam penguasaan tanah dengan memberikan prioritas kepada petani dan keluarga tani yang tidak memiliki tanah. Prinsip ini merupakan perwujudan dari pandangan bahwa penguasaan tanah dalam luasan tertentu akan memberikan (menjamin) terjadinya peningkatan produktivitas mereka yang sekaligus akan menjamin kebutuhan pangan serta mencapai kehidupan yang layak. Dengan

Page 4: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 4 

kata lain, UUPA 1960 sudah mencakup prinsip-prinsip pemenuhan hak-hak rakyat, khususnya kaum tani, tersebut.

Walaupun UUPA 1960 telah merumuskan dan menjamin hak-hak rakyat khususnya kaum tani untuk mencapai penghidupan yang layak, menguatnya kecenderungan untuk memberikan fasilitas yang sebesar-besarnya kepada kepentingan pengusaha untuk menguasai tanah dan sumber-sumber agraria lainnya lebih mendominasi kebijakan pemerintah di Indonesia pasca 1965. Akibatnya yang terjadi adalah ketimpangan dalam penguasaan tanah yang disusul dengan maraknya konflik pertanahan sebagai akibat dari praktek-praktek penggusuran dan proses peningkatan ‘ketuna-kismaan’ (landlessness).

Pada kenyataannya di banyak tempat seperti di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, banyak tanah-tanah bekas hak erfpacht dalam bentuk perkebunan besar pada jaman kolonial Belanda yang telah dikukuhkan kembali keberadaannya oleh pemerintah Indonesia4 dalam bentuk HGU tidak diusahakan secara produktif oleh pemegang haknya. Sebagian atau bahkan ada juga yang seluruh lahan tersebut kemudian hanya disewakan kepada penduduk setempat untuk ditanami tanaman-tanaman pangan seperti yang terjadi di perkebunan PT Ambarawa Maju dan PT Tratak yang kemudian berkembang menjadi kasus konflik pertanahan. Ketika kesadaran para penyewa lahan perkebunan tersebut akan hak-hak mereka atas tanah yang dijamin oleh undang-undang meningkat, mereka menuntut hak atas tanah yang selama ini mereka garap yang tentu saja tidak dikehendaki oleh para pemegang HGU perkebunan tersebut. Dalam hal ini proses menyewakan tanah perkebunan kepada penduduk setempat, yang sesungguhnya merupakan praktek yang melanggar hukum, telah menjadi bom waktu yang meledak di kemudian hari khususnya ketika gerakan-gerakan sosial yang membela hak-hak rakyat dan menentang rejim Orde Baru mulai menguat sejak akhir tahun 90an dan semakin berkembang ketika kekuasaan politik rejim itu mulai melemah sejak pertengahan tahun 90an.

Konflik pertanahan yang terjadi di Kabupaten Batang di satu sisi mencerminkan berlanjutnya kebijakan yang lebih mengutamakan penguasaan tanah dalam skala besar oleh badan-badan usaha komersial dan, di sisi lain, menunjukan semakin terbatasnya akses penduduk setempat terhadap tanah untuk kepentingan keberlanjutan kehidupan ekonomi dan sosialnya. Gambaran ketimpangan penguasaan tanah tersebut dapat tergambar sebagai berikut:

1) Dalam lingkup Kabupaten Batang, dengan luas wilayah 78.895,00 ha5, terdapat 12 HGU perkebunan yang dikuasai oleh 9 perusahaan, baik perusahaan swasta maupun badan usaha milik negara, dengan total luas lahan yang dikuasai sebanyak 6.308,75 ha6 (atau sama dengan sekitar 7,9% dari luas keseluruhan wilayah kabupaten tersebut).

4 Berdasarkan UUPA Pasal 55 (1) berbunyi “Hak-hak Asing menurut ketentuan Konversi pasal I, II, III, IV dan V dijadikan hak guna usaha dan hak guna bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa-sisa waktu hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun”. Hal ini berarti, dengan ditetapkannya UUPA pada tahun 1960, maka paling lama hak-hak tersebut akan berakhir pada tahun 1980. 5 Sumber: Badan Pusat Statistik, „Jawa Tengah Dalam Angka 2007“, BPS Jawa Tengah dan Bappeda Provinsi Jawa Tengah, Tabel I.2.1. Luas Penggunaan Lahan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2006 (ha) 6 Sumber: Dokumen “Data Hak Guna Usaha (HGU) Seluruh Indonesia, 1 Juni 2006, Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat – BPN dan Dokumen “Inventarisasi Masalah Pertanahan di Kabupaten Batang”, tt.

Page 5: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 5 

2) Di Kabupaten Batang, berdasarkan data tahun 2006, terdapat wilayah yang dinyatakan sebagai wilayah “kehutanan” seluas 18.194,70 ha7 (atau sama dengan 23,06% dari luas kabupaten). Kawasan “hutan” ini merupakan kawasan yang dikuasai oleh Perum Perhutani baik yang dijadikan Hutan Suaka Alam/Hutan Wisata, Hutan Lindung maupun Hutan Produksi.

3) Dengan demikian terdapat sekitar 68% dari seluruh luas Kabupaten Batang yang merupakan lahan-lahan yang dipergunakan untuk pertanian rakyat, hutan rakyat, sarana umum, sarana transportasi, gedung-gedung pemerintahan dan perkantoran, kawasan perkotaan, desa-desa, pemukiman dan perumahan serta sarana-sarana lainnya. Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, jumlah Rumah Tangga Pertanian adalah sebanyak 91.141 rumah tangga8 atau sekitar 50.05% dari jumlah keseluruhan rumah tangga di Kabupaten Batang. Sementara menurut hasil Sensus Pertanian 2003 rata-rata penguasaan tanah oleh rumah tangga tani adalah 0.36 ha.9 Sedangkan berdasarkan data dari sensus yang sama Gini Ratio kepemilikan lahan di Kabupaten ini adalah 0.486, yang berarti tingkat ketimpangan penguasaan lahan mendekati ketimpangan yang cukup parah.10

Ketimpangan penguasaan tanah menjadi penyebab utama terjadinya aksi-aksi pendudukan tanah di sejumpah tempat di Kabupaten Batang khususnya di areal-areal perkebunan besar. Aksi-aksi pendudukan tanah perkebunan oleh petani ini pada saatnya mendapatkan perlawanan dari pihak penguasa tanah (pemegang HGU) melalui sejumlah penggusuran, Meskipun lahan-lahan yang telah digarap oleh penduduk setempat tersebut dalam waktu yang sudah sejak lama merupakan lahan-lahan yang tidak digarap secara efektif/produktif oleh pemegang HGU tersebut.

Penggusuran-penggusuran yang terjadi misalnya terjadi dalam bentuk sebagai berikut:

• Pada Kasus PT Perkebunan Pagilaran yang terletak di Desa Keteleng (Pagilaran), Bismo, Bawang, Kalisari dan Gondang Kecamatan Blado pengusiran penduduk dari tempat tinggalnya tanpa diberikan ganti rugi telah terjadi sejak masa Hindia Belanda ketika di daerah itu hendak dibangun emplacement untuk buruh perkebunan. Penduduk setempat dihadapkan pada pilihan untuk menjadi buruh perkebunan jika mereka hendak tetap tinggal di wilayah tersebut atau jika tidak mau menjadi buruh perkebunan, mereka harus meninggalkan kampungnya. Memasuki masa perang kemerdekaan dan pada masa pendudukan Jepang di tahun 40-an, banyak perkebunan asing yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Penduduk setempat menjadi leluasa untuk menguasai tanah-tanah yang dulu mereka klaim sebagai miliknya. Tetapi ketika pengakuan kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada Desember 1948 dimana pemerintah Indonesia harus mengakui kembali keberadaan perkebunan-perkebunan asing penggusuran kembali terjadi karena para penggarap tanah tidak dapat membuktikan surat sewa tanah pertaniannya yang pernah dikeluarkan oleh pemerintahan Jepang.

7 Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 5.5.1. 8 Berdasarkan “Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Propinsi Jawa Tengah”, BPS,Jakarta, Tabel 1.C. 9 Diolah dari Tabel 4.c. “Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Propinsi Jawa Tengah”, BPS – Jakarta. 10 Angka Gini Ratio penguasaan tanah merupakan indeks atas konsentrasi penguasaan tanah. Hasil perhitungan gini ratio akan menghasilkan besaran antara 0 – 1. Semakin mendekati angka 1, maka kesimpulannya struktur penguasaan tanah semakin timpang. Sebaliknya, jika angka gini memiliki kecenderungan mendekati 0, maka penguasaan tanah relatif merata.

Page 6: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 6 

• Penggusuran kembali terjadi pada tahun 1966, dimana penduduk setempat mengalami pengusiran dari lahan garapannya dengan menggunakan stigma PKI. Di dalam surat instruksi pengosongan lahan tertera bahwa operasi yang sedang dijalankan adalah upaya untuk melakukan pembersihan atau penutupan “tanah Gestok”.11

• Dalam kasus tanah HGU PT Tratak penggusuran terjadi pada tahun 1998 dengan cara melakukan perjanjian dengan pihak lain (PT Sragi/Pabrik Gula) di atas tanah yang masih dalam status sewa dengan petani penggarap setempat. Penggusuran semacam ini juga terjadi pada kasus petani penggarap dengan PT Segayung. Perbedaannya pada kasus Segayung penggusuran terjadi secara terbuka dimana pihak perusahaan mengerahkan sejumlah alat berat untuk membersihkan tanaman palawija rakyat yang tidak lama lagi siap panen, sama halnya dengan PT Tratak, pihak PT Segayung pun bermaksud menyewakan tanah tersebut kepada salah satu pemilik pabrik tebu di daerah Batang-Pekalongan.

• Dalam kasus lain yang terjadi di atas lahan HGU Kebun Sluwok milik PTPN IX penduduk setempat menggarap lahan PTPN IX dengan skema tumpangsari12 diusir begitu saja ketika pihak perusahaan tidak mau memperpanjang ‘kerja sama’ tersebut. Sejak tahun 1989 penduduk setempat menggarap lahan PTPN IX dengan skema tumpangsari secara formal dengan dikeluarkannya surat perjanjian antara penduduk setempat dan Sinder Afdeling PTPN IX. Perjanjian terus diperbarui dalam jangka waktu tertentu dan yang terakhir adalah tahun 2002 (perjanjian sebelumnya dikeluarkan tahun 1989, 1995, dan 1998). Pada saat perjanjian tahun 2002 itu berakhir pada tahun 2005, pihak PTPN IX tidak bermaksud memperpanjang perjanjian dan penduduk yang menggarap lahan tersebut diperintahkan untuk keluar dari lahan garapannya. Alasan pihak PTPN IX untuk tidak memperpanjang kerjsama tumpangsari ini dikarenakan tanaman utama perkebunan, yakni Kapuk Randu, sudah siap ditebang. Rakyat penggarap tidak mempunyai pilihan selain tergusur karena dengan skema kerjasama tumpangsari sesungguhnya mereka tidak memiliki kekuatan untuk bertahan di atas tanah garapan tersebut.

Ketika gerakan pembelaan terhadap hak-hak petani atas tanah berkembang marak di Indonesia sejak pertengahan tahun 1980an, gelombang protes terhadap penggusuran-penggusuran yang disusul dengan aksi-aksi pendudukan tanah juga terjadi di Batang. Pada masa pasca reformasi 1998 aksi-aksi untuk mempertahankan dan merebut hak atas tanah tersebut semakin berkembang dan membesar. Di satu sisi, aksi-aksi ini menegaskan kembali bahwa petani setempat, khususnya di daerah yang struktur penguasaan tanahnya timpang, 11 Istilah ini dipergunakan dan tertera didalam Surat Instrukti tertanggal 11 April 1966 yang ditandatangani oleh PN Pagilaran UGM, Bag. Pagilaran, judul surat tersebut adalah “Penutupan Tanah-tanah Gestok”. Tanah-tanah Gestok adalah tanah-tanah yang diindikasikan terkait dengan Gerakan Satu oktober (Gestok) dan wilayah Pagilaran termasuk salah satunya. (Wawancara dengan salah seorang warga Desa Keteleng bulan Februari 2008) 12 Sejak tahun 1989, penduduk setempat menggarap lahan PTPN IX Kebun SLuwok dengan skema Tumpangsari. Perjanjiannya dilakukan antara penduduk setempat dengan Sinder Afdeling PTPN IX yang juga ditandatangani oleh Kepala Desa Kuripan. Perjanjian tersebut, berisi sejumlah ketentuan sebagai berikut: (1) penduduk setempat diijinkan untuk menggarap masing-masing 0,20 hektar; (2) tanaman yang diperbolehkan adalah tanaman musiman; (3) tidak diperkenankan memperluas areal tumpangsari tanpa ijin; (4) diwajibkan melakukan penjagaan terhadap areal PTPN IX Kebun SLuwok dengan menjaga dari kemungkinan terjadinya kebakaran; (5) tidak diperkenankan menabang dan mengambil hasil karet; (6) jika pihak perkebunan memerlukan lahan tersebut, maka petani harus menyerahkannya dengan tanpa menuntut ganti rugi; dan (7) pembagian hasil dari perjanjian ini adalah 1/5 untuk perusahaan dan 4/5 untuk petani. (Berdasarkan Surat Perjanjian No. 054/KMR/TS/2002).

Page 7: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 7 

sedang memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara seperti yang ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan. Di sisi lain, dalam perkembangannya kemudian, seperti akan diuraikan pada bab-bab selanjutnya, terlihat nyata bahwa gerakan-gerakan pendudukan tanah atau gerakan-gerakan untuk mempertahankan tanah yang diklaim dan dikuasai sejak lama oleh penduduk setempat semakin menjurus kepada upaya-upaya mereka untuk memperoleh kepastian hukum atas penguasaan tanah sebagai Hak Milik ketimbang sekedar memperjuangkan tanah untuk basis penghidupannya. Hal yang terakhir ini tentu saja memiliki implikasi lain karena ketika tanah-tanah yang dikusai oleh seseorang berstatus Hak Milik maka yang bersangkutan memiliki kebebasan untuk memperlakukannya sesuai dengan kepentingannya melampaui dari sekedar kepentingan untuk mendukung keberlanjutan kehidupan sosial-ekonominya sebagai petani.

II. Hak atas Tanah Dalam Perspektif Hukum Indonesia

Soal Agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal sumber makanan. Soal

tanah adalah soal hidup, soal darah yang menghidupi segenap manusia (Tauchid 1952: 6)

Di Indonesia, hak atas tanah bagi warga negara dan khususnya bagi kaum tani yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah telah diatur dengan sangat baik melalui UUPA 1960. Dalam konteks penegakan HAM seperti diuraikan di atas, kita dapat mengatakan bahwa dengan adanya UUPA 1960 sesungguhnya Indonesia telah cukup maju untuk memberikan ketentuan hukum formal mengenai jaminan hak atas tanah bagi warga negara yang membutuhkannya. UUPA 1960, meskipun tidak disusun dengan mengacu secara khusus kepada sejumlah ketentuan hak azasi manusia seperti yang tertuang di dalam sejumlah instrumen internasional penegakan HAM, mengandung sejumlah penekanan yang penting bagi perwujudan keadilan agraria dalam rangka menegakan keadilan dan kesejahteraan sosial di Indonesia.

Ketika UUPA dirumuskan sejak tahun 1948 hingga mulai diberlakukan pada tahun 1960 konsepsi domein verklaring yang menjadi dasar dari hukum agraria kolonial dihapuskan. UUPA becita-cita menasionalkan peraturan-peraturan tentang agraria dan hak-hak atas tanah agar lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia yang telah merdeka. Dengan semangat untuk mengembalikan seluruh kedaulatan tanah air Indonesia kepada bangsa Indonesia maka para perumus UUPA 1960 menggunakan konsep Hak Menguasai Negara (HMN) yang bersumber dari UUD 1945 pasal 33 ayat 3 sebagai pengganti dari konsepsi domein verklaring. Menurut Harsono perbedaan penting antara konsepsi domenin verklaring dengan HMN adalah target atau tujuan pengaturannya, dimana ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam konsep domein verklaring adalah semata-mata untuk kepentingan pengusaha besar, sedangkan konsep HMN tujuannya adalah untuk mensejahterakan rakyat Indonesia seperti yang sudah tertuang di dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 (Harsono 1996: 36).

Dalam UUPA 1960 (pasal 2:2) HMN menegaskan bahwa Negara mempunyai kewenangan untuk (1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (2) mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan bumi, air dan ruang angkasa; (3) mengatur dan menentukan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi,

Page 8: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 8 

air dan ruang angkasa. Konsepsi HMN, didalam konteks politik pengaturan sumber-sumber agrarian pada saat itu, kemudian menjadi dasar penting dari dua konsepsi penting lainnya dalam hukum agrarian di Indonesia hingga saat ini, yakni konsep Tanah Negara dan Hutan Negara. Kedua konsepsi tersebut di dalam hukum agraria Indonesia, telah merefleksikan dominasi Negara dalam hal penguasaan tanah.

Asal muasal konsepsi Tanah Negara dan Hutan Negara serta prakteknya dapat ditelusuri sejak era kolonial ketika pada masa itu diterapkan konsep Landsdomein (tanah-tanah adalah milik Negara atau Raja) untuk mengontrol tanah di Hindia Belanda.13 Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Deandles (1808-1811) konsep Landsdomein (tanah Negara) diterapkan di Jawa untuk mengontrol produksi kayu jati dari kawasan hutan di pulau ini.14 Penerapan konsep ini diperkuat kembali pada masa pemerintahan Gubernur Letnan Inggris di Jawa, Raffles (1811-1816), yang menjalankan prinsip yang sama untuk tujuan pengumpulan pajak tanah (landrente).15 Gubernur Jenderal Belanda lainnya yakni Van den Bosch juga memperkukuh penerapan konsep landsdomein untuk menjalankan cultuurstelsel (1830-1870)16 sebelum peraturan kolonial Belanda yang berorientasi Liberal memodifikasinya menjadi prinsip domein verklaring melalui pembentukan Agrarisch Wet (Hukum Tanah) 1870 yang bertujuan untuk mengijinkan investor asing untuk menyewa tanah, baik tanah Negara maupun tanah penduduk setempat untuk kepentingan pembangunan industri perkebunan di Hindia Belanda.17 Prinsip domein verklaring juga menjadi dasar baru dalam pembentukan Undang-undang Eksploitasi Hutan tahun 1865 (Staatsblad No. 96)18 yang berisi tentang perluasan kawasan Hutan Negara di pulau Jawa dan Madura.19

Dari sejarah kemunculannya Agrarische Wet 1870 sesungguhnya merupakan perwujudan dari gelombang revolusi liberalisme yang melanda Eropa sejak pertengahan abad ke-18 dan menerpa tanah-tanah jajahan dalam bentuk lahirnya kebijakan-kebijakan baru yang memberikan fasilitas kepada usaha-usaha swasta untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan manusia di tanah-tanah jajahan (Wiradi 2000: 125-126). Dalam konsepsi domein verklaring ditegaskan bahwa “semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) Negara atau Landsdomein” (Soetiknjo 1987: 34-37, Gautama 1993: 55, Harsono 1996: 41-43, Wiradi 2000: 128).20 Konsepsi landsdomein ini lah 13 Pada saat itu kebijakan ini dibuat untuk tujuan menambah pemasukan melalui pajak tanah atau menambah peningkatan produksi untuk memenuhi permintaan pasar Eropa yang cukup tinggi atas hasil-hasil pertanian dan hutan 14 Lihat Boomgaard, 1988: 73-75; Peluso 1990 and 1992; Bachriadi and Lucas 2002 15 Lihat Wiradi 1986: 11-12 and 2000: 121-123; Boomgaard 1989: 5-7 16 Lihat Van Niel 2003 and 1992: 5-28; Boomgaard 1989: 7-9; Wiradi 2000: 124 17 Lihat Tauchid 1953, Wiradi 1986: 15-17 and 2000: 127-132, Kartodirdjo and Suryo 1991, Harsono 1999: 35-37. 18 Staatsblad 1865-96: Reglement voor het beheer en de exploitative der houtbosschen van de Lande op Java en Madura. 19 Lihat Peluso 1990: 34 and 1992: 53; Bachriadi and Lucas 2002: 82 20 Menurut Harsono (1995:37) Konsep ini adalah konsepsi yang terdapat dalam pasal 1 Agrarisch Besluit. Konsepsi ini adalah konsep yang secara khusus diberlakukan di pulau Jawa dan Madura, sementara untuk aturan yang berlaku di luar pulau Jawa tercantum di dalam ketentuan perundang-undangan yang lain. Pernyataan Domein yang ada didalam Domeinverklaring juga kemudian diberlakukan di wilayah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam S.1875-119a. Selain Agrarisch Besluit juga dijumpai pernyataan-pernyataan serupa untuk daerah-daerahtertentu, yaitu yang dicantumkan dalam pasal 1 peraturan-peraturan tentang Hak Erpacht, yaitu yang diundangkan dalam S.1874-94f, S.1877-55 dan S.1888-55.

Page 9: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 9 

yang kemudian dijadikan dasar untuk mengukuhkan konsep “Tanah Negara” dan “Hutan Negara” pada era pasca kemerdekaan.

Konsepsi “Tanah Negara” yang diberlakukan di wilayah-wilayah non hutan dan diatur dalam PP No. 8/1953 tentang Tanah Negara yang menyatakan bahwa ‘Tanah Negara adalah tanah yang keseluruhannya dipegang dan dikuasai oleh negara’ (pasal 1).21 Di dalam peraturan pemerintah ini intinya yang dimaksud dengan Tanah Negara adalah tanah-tanah yang merujuk pada semua tanah di luar kawasan Hutan Negara yang tidak dimiliki oleh siapapun dan/atau tanah-tanah yang tidak ada kekuatan hukumnya termasuk yang tanah-tanah diperoleh berdasarkan/melalui hukum adat. Di atas Tanah Negara, yang dalam hal ini adalah tanah-tanah non kehutanan, sejumlah hak baru dapat diterbitkan oleh pemerintah termasuk HGU (Hak Guna Usaha) yang menjadi jenis hak atas tanah untuk membangun perkebunan besar. Pada kenyataannya, berdasarkan peraturan tanah di Indonesia, Tanah Negara juga menjadi objek land reform.

Sedangkan konsepsi “Hutan Negara” diberlakukan pada kawasan-kawasan yang secara arbitrer ditetapkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).22 Menurut UU Kehutanan yang dimaksud dengan Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (UU No. 41/1999 Pasal 1 ).23

Dalam konteks menegakan prinsip nasionalitas peraturan agraria, UUPA 1960 juga berkehendak mengganti sejumlah hak-hak atas tanah berdasarkan konsepsi hukum adat yang telah berkembang pada masyarakat dengan cara mengkonversinya menjadi bentuk hak-hak baru. Misalnya konsepsi penguasaan tanah dengan hak agrarisch eigendom, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grand sultan, landerinjbezitrech, altijddurende erpacht, hak usaha atas tanah partikelir, dan hak-hak lain dengan nama apapun serta hak gogolan dan pekulen akan diubah menjadi hak milik sesuai dengan ketentuan di dalam UUPA 1960. Hak eigendom berdasarkan fungsinya akan dikonversi menjadi hak milik, hak pakai dan hak guna bangunan; sementara hak postal dan hak erpacht berdasarkan fungsinya dikonversi menjadi hak guna bangunan dan hak guna usaha (UUPA Bagian II Ketentuan-ketentuan Konversi). Hak gogolan dan pekulen atau sanggan yang selama ini berkembang dalam masyarakat Jawa melalui prosedur tertentu harus/akan dikonversi menjadi Hak Milik.24

Di dalam UUPA 1960, diatur tentang bagaimana hak atas tanah di Indonesia diberlakukan, termasuk hak atas tanah untuk setiap warga Negara Indonesia, dimana tanah ditujukan untuk memberikan jaminan keberlangsungan hidup warganya. Dalam beberapa pasal UUPA 1960

21 Liat kajian Harsono (1996: 881 dan 1999: 270) yang memperlihatkan semua terminology dan definisi yang ada didalam peraturan tersebut masih merujuk (berdasarkan) pada prinsip-prinsip domeinverklaring. Jelas bahwa PP ini merujuk kepada Agrarisch Besluit yang terurai dalam bagian penjelasan umum (no. 1)berisi “berdasarkan prinsip Domeinverklaring, yang dinyatakan dalam Agrarisch Besluit pasal 1, semua tanah yang tidak dihak-I oleh seseorang … Semua tanah-tanah tersebut didalam peraturan ini disebut sebagai Tanah Negara.” 22 Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) adalah kebijakan penetapan kawasan Hutan Negara dalam satu wilayah administratif tertentu yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah daerah dan pemegang otoritas kehutanan setempat. 23 Pada tahun 2004, Undang-undang Kehutanan ini diperbarui menjadi UU No…19/2004 yang merupakan peraturan yang menetapkan berlakunya Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang yang diterbitkan sebelumnya. 24 Berdasarkan UUPA Bagian Kedua tentang Ketentuan-ketentuan Konversi pasal VII.

Page 10: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 10 

seperti yang disebutkan di bawah sudah terkandung pernyataan-pernyataan hukum yang terkait dengan isu penegakan HAM. Misalnya:

“Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.” [UUPA 5/1960, 9:2]

“… dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga negara yang lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan ekonominya… yang bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan dengan azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan.” [Penjelasan UUPA 1960 Bagian II:6]

Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. [UUPA5/60, 17:1]

Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. [UUPA5/60, 17:3]

… perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya [Penjelasan UUPA Bagian II (7)]

Hal terpenting dalam pengaturan soal hak atas tanah ini adalah UUPA 1960 mensyaratkan peran Negara yang besar untuk mengatur soal penguasaan tanah dan pemberian hak atas tanah untuk keadilan dan kesejahteraan sosial melalui konsepsi Hak Menguasai Negara (HMN). Bukan sebaliknya, dominasi negara melalui penerapan konsepsi HMN berarti Negara memiliki seluruh sumber-sumber agraria yang ada di Indonesia, atau menjadi sewenang-wenang untuk memberikan hak atas tanah dengan mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial. Dengan demikian sesungguhnya jika dijalankan dengan baik dan konsisten UUPA 1960 sejalan dengan apa yang menjadi prinsip ICESCR, yakni dalam rangka menjamin pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya setiap warga negara maka Negara harus memegang peranan yang besar.

Di dalam UUPA 1960 jelas terkandung peraturan yang merujuk pada keadilan dalam penguasaan tanah dengan prioritas utamanya adalah petani, khususnya petani penggarap dan keluarga tani yang tidak memiliki tanah. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa UUPA hendak mengatur struktur penguasaan tanah untuk kepentingan semua pihak dan mengutamakan pemenuhan kebutuhan hidup petani sebagai tulang punggung perekonomian desa dan pembangunan nasional. Meskipun demikian, UUPA 1960 juga mengatur soal pembatasan penguasaan (: bukan hanya pemilikan) tanah oleh tiap-tiap keluarga tani.25 Jadi UUPA menentukan bahwa setiap warga Negara Indonesia baik laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama atas sumber-sumber agraria dan luas penguasaanya diatur dalam aturan 25 UUPA mengatur pembatasan maksimal penguasaan tanah oleh setiap keluarga tani, yaitu Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum., berdasarkan UUPA 1960, pasal 17 ayat 1

Page 11: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 11 

tentang batas luas minimum dan maksimum bagi setiap rumah tangga.26 Untuk menegaskan pentingnya petani menguasai tanah yang cukup untuk peningkatan produktivitas mereka, bahkan UUPA mengatur soal perlunya diupayakan tiap rumah tangga tani menguasai tanah pertanian minimal seluas 2 hektar. Untuk itu, seperti ditegaskan dalam undang-undang ini, Negara berkewajiban mengusahakannya secara bertahap.27

Selain itu UUPA 1960 juga mengatur soal larangan monopoli dalam aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan agraria oleh badan-badan usaha swasta.28 Pengaturan-pengaturan ini dapat dimaknai sebagai adanya larangan penguasaan tanah dalam jumlah besar yang menjurus kepada monopoli atau konsentrasi penguasaan tanah baik oleh badan usaha maupun oleh perorangan.

Upaya-upaya untuk menata ulang struktur penguasaan tanah dengan jalan membatasi dan melakukan redistribusi penguasaan tanah-tanah yang berlebihan serta redistribusi terhadap Tanah-tanah Negara dan memberikan prioritas kepada penguatan ekonomi rakyat di pedesaan ini lah yang dikenal dengan prinsip land reform29 di dalam UUPA 1960. Dalam hal ini land reform menurut UUPA 1960 adalah satu jalan untuk mengukuhkan penguasaan tanah secara individual yang terkontrol melalui redistribusi. Dalam prakteknya program land reform yang sesuai dengan amanah UUPA 1960 hanya sempat dijalankan selama kurun waktu 4 tahun, sejak 1961 hingga 1965, sebelum terhenti akibat gonjang-gonjing perebutan kekuasaan yang mengakhiri pemerintahan Soekarno dan menjadi awal berkuasanya rejim yang menyebut dirinya sebagai Orde Baru (Wiradi 2000: 136, Hutagalung 1985, Utrecht 1969, Lucas and Bachriadi 2009).

Selain mengandung banyak pasal yang memperkuat hak rakyat, khususnya hak kaum tani, atas tanah, menurut banyak ahli UUPA 1960 memiliki sejumlah kelemahan di dalam rumusan-rumusannya khususnya yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat terhadap tanah (lihat misalnya Ruwiastuti 1998 dan McAuslan 1986: 30). Di dalam UUPA tidak dijelaskan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan “Masyarakat Hukum Adat” (Ruwiastuti 1998: 130, McAuslan 1986: 31) akibatnya juga menjadi tidak jelas rumusan “tanah adat” di dalam undang-undang ini yang dikemudian hari menjadi salah satu sumber dari konflik akibat proses “negara-isasi” tanah-tanah adat. UUPA 1960 memang menegaskan bahwa tanah-tanah adat (yang bersumber dari hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat) diakui selama sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi (Pasal 3).

Sayangnya sejumlah pengaturan dalam UUPA 1960 yang dirumuskan dengan proses panjang sejak 1948 hingga 1960 tidak diterapkan secara konsisten oleh rejim penguasa yang berganti sejak tahun 1965.30 Seiring dengan berkuasanya rejim Orde Baru di bawah pimpinan 26 Lihat UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, UU No. 38 Prp Tahun 1960 tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk Tanaman Tertentu, dan Keputusan Menteri Agraria No. SK 922/Ka tanggal 28 November 1960 tentang Penetapan Minimum Luas Tanah Yang Harus Ditanami Tebu. 27 Lihat UUPA Bagian Penjelasan Bagian Penjelasan Umum II nomor (8). 28 Sayangnya UUPA 1960 tidak mengatur soal pembatasan penguasaan tanah oleh badan-badan usaha ini secara lebih tegas. 29 Lihat UUPA 1960 Pasal 10 ayat (1) dan (2) dan Bagian Penjelasan Bagian Penjelasan Umum II nomor (7). 30 Mengenai proses perdebatan dan penyusunan UUPA lihat misalnya Soetiknjo 1987.

Page 12: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 12 

Presiden Soeharto UUPA 1960 tidak dengan tegas dihapuskan atau diganti dengan peraturan perudang-undangan yang lain, melainkan hanya di ‘bekukan’ atau keberadaannya tidak dijalankan sebagaimana mestinya (Wiradi 2000: 137, Tjondronegoro 2007). Kemudian pemerintahan Orde Baru lebih memilih menciptakan kebijakan-kebijakan dan peraturan perundangan-undangan baru yang sifatnya sektoral dan cenderung hanya untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pengusaha untuk mengekstraksi sumber daya alam di Indonesia (Bachriadi 2001; Bachriadi, Safitri, Bachrioktora 2004; Bachriadi dan Fauzi 2006).

Pada perkembangannya, walaupun UUPA 1960 masih berlaku dan dianggap relatif sangat baik sebagai sebuah produk undang-undang, di Indonesia jumlah konflik dan pelanggaran HAM banyak terjadi. Konflik-konflik tersebut, di berbagai kasus-kasus pertanahan yang ada, lebih banyak disebabkan oleh diabaikannya sejumlah ketentuan di dalam UUPA 1960 oleh rejim yang berkuasa baik melalui pelanggaran-pelanggaran terhadap sejumlah ketentuan yang secara langsung maupun pelanggaran yang dilakukan dengan cara menciptakan peraturan perundangan-undangan lainnya yang bertentangan dengan amanat UUPA 1960 (lihat misalnya Wiradi 2000: 140; Bachriadi dan Lucas 2001; dan Bachriadi, Bachrioktora dan Safitri 2005).

Prinsip Land Reform dalam rangka mencapai tujuan pemenuhan jaminan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya seluruh warga melalui pemerataan penguasaan tanah yang terkandung dalam UUPA 1960 tidak lagi dijalankan secara sistematik dan sesuai ketentuan setelah tahun 1965. Land reform yang merupakan alat/program yang efektif untuk memberikan jaminan untuk penguasaan dan pemilikan tanah oleh kaum tani yang miskin (petani pengarap dan tak bertanah) bagi peningkatan kualitas kehidupannya tidak pernah lagi dijalankan secara sistematik sejak terhenti pada tahun 1966 (lihat misalnya Hutagalung 1985, Lucas and Bachriadi 2009). Selain itu, politik agraria yang dikembangkan rejim Orde Baru hingga kini tidak lagi menempatkan tanah sebagai dasar pembangunan, melainkan hanya menempatkan aspek pengaturan hak atas tanah sebagai suatu pekerjaan administratif rutin semata (Wiradi 2000: 143). Aspek peningkatan produksi dijadikan orientasi utama dan mengabaikan soal keadilan di dalam struktur-struktur usaha produksi tersebut. Peningkatan produksi pangan kemudian disandarkan kepada program Revolusi Hijau yang dijalankan dengan mengabaikan kecenderungan-kecenderungan negatif yang ditimbulkannya khususnya dalam soal penguasaan tanah (lihat misalnya Franke 1972, Manning 1988, Husken 1998: 37-38, dan Wiradi 2000: 141-148).

Peningkatan produksi juga dilakukan melalui dikembangkannya usaha perkebunan, dengan cara merevitalisasi perkebunan-perkebunan besar peninggalan kolonial Belanda, yang kemudian disusul dengan penerbitan sejumlah HGU baru untuk perusahaan perkebunan swasta. Banyak perusahaan perkebunan swasta berkehendak mengambil alih pengelolaan sejumlah perkebunan besar peninggalan Belanda yang sudah tidak beroperasi yang dalam banyak kasus tanah-tanah eks-perkebunan tersebut sesungguhnya sudah digarap secara produktif oleh masyarakat setempat (lihat misalnya Bachriadi 1997 dan 2002; dan Bachriadi dan Lucas 2001). Akibatnya tidak sedikit kasus-kasus dimana sekelompok petani penggarap harus meninggalkan lahan pertaniannya dengan ganti rugi yang tidak memadai atau bahkan tanpa kompensasi apa pun hanya untuk alasan pembangunan perkebunan.

Begitu pula di wilayah-wilayah yang diklaim sebagai kawasan “hutan negara”,- penduduk setempat harus “mengalah’ karena lahan garapan atau kawasan tempat tinggalnya sudah diberikan persetujuan hak kuasanya kepada perusahaan tertentu untuk dikelola sebagai bagian dari pembangunan industri kehutanan maupun pertambangan (lihat misalnya Djuweng 1996 dan Bachriadi 1998). Ketika seluruh perencanaan ini dibuat dan terdapat kajian yang telah memperhitungkan dampak yang akan timbul, termasuk dampak harus memindahkan

Page 13: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 13 

sekelompok rakyat dari wilayah tertentu untuk proses pembangunan, maka ‘proyek-proyek pembangunan’ tersebut akan dinilai positif. Tetapi, seringkali dan umumnya, proses ini dilakukan secara sepihak dan dampak yang terbesar adalah tergusurnya rakyat dari lahan pertaniannya. Jika ada skema ganti rugi di dalam proses alih kuasa atas lahan-lahan tersebut, biasanya ganti rugi yang diberikan tidak setara dengan nilai ekonomis dari tanah dan potensi yang dikandungnya yang dapat menyokong kehidupan kelompok masyarakat yang tergusur, tidak hanya pada saat sebelum penggusuran terjadi, tetapi juga bagi masa depan mereka. Penggusuran dan alih kuasa atas lahan untuk beragam ‘proyek pembangunan’ yang sesungguhnya kebanyakan adalah proyek-proyek komersial, lebih banyak mengorbankan kehidupan dan masa depan kelompok yang tergusur.

III. Tanah Perkebunan dan Perhutani versus Tanah Pertanian Rakyat di Batang

Batang adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah terletak di jalur pantura 84 km sebelah barat kota Semarang. Terletak antara 6º 51' 46" dan 7º 11' 

47" Lintang Selatan dan antara 109º 40' 19" dan 110º 03' 06" Bujur Timur. Merupakan salah satu kabupaten propinsi Jawa Tengah dikukuhkan dengan 

berdasarkan Undang‐undang No. 9 Tahun 1965 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 20 Tahun 1965. Tepatnya tanggal 8 April 1966, Kab. Batang 

resmi menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Batang.31  

Dalam lingkup Kabupaten Batang, dengan luasan wilayah 78.895 Ha32, terdapat 12 HGU perkebunan yang dikuasai oleh 9 perusahaan yang menguasai 6.308,75 ha33. Artinya, sekitar 7.99% wilayah Kabupaten Batang merupakan wilayah yang dikuasai oleh perkebunan besar swasta dan Negara. Berdasarkan data yang ada didalam buku “Daftar Perkebunan-perkebunan Asing” yang disusun oleh Ismet (1970), jumlah perkebunan pada masa pemerintahan Hindia Belanda lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perkebunan yang ada pada saat ini yaitu sejumlah 8 perkebunan; 4 diantaranya masih beroperasi dengan nama dan pemilik yang tentu saja sudah berbeda, yakni perkebunan Pagilaran, Tratak, Simbangjati dan Kebun Sluwok (milik PTPN IX). 31 Mengenai sejarah pembentukan Kabupaten Batang lihat “Sejarah Pembentukan Kab. Batang”, di http://www.batangkab.go.id/profile/sejarah.htm 32 Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 5.5.1. Luas Penggunaan Lahan dan Luas Kawasan Hutan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2006.. 33 Sumber: Dokumen “Data Hak Guna Usaha (HGU) Seluruh Indonesia, 1 Juni 2006, Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat – BPN dan Dokumen “Inventarisasi Masalah Pertanahan di Kabupaten Batang”, tt. Sementara menurut data tahun 2006, luas perkebunan Negara di Kabupaten Batang adalah 7.910 ha, yaitu 10,03% dari keseluruhan luas Kabupaten Batang. Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 1.2.4. Luas Penggunaan Lahan Bukan Sawah Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2006. Sumber lain menyatakan bahwa perkebunan besar di kabupaten Batang seluruhnya berjumlah 19 perkebunan, jumlah ini didasarkan pada jenis tanaman yang dihasilkan setiap tahunnya. Dari 19 perkebunan besar yang tercatat tersebut disebutkan bahwa total luas lahan yang dipergunakan adalah 5.930,82 ha. Hal ini menunjukkan terdapat selisih luas lahan dari jumlah yang diperuntukkan untuk perkebunan yaitu lahan perkebunan yang dikeluarkan sertifikat HGU-nya oleh Badan Pertanahan Nasional hingga tahun 2006 dengan pemanfaatannya untuk menghasilkan komoditi perkebunan yang tercatat di Dinas Pertanian. Lihat situs resmi Pemerintah Propinsi Jawa Tengah: .http/www.jawatengah.go.id/

Page 14: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 14 

Tabel 3.1. Daftar Perkebunan Besar di Batang

No. Perkebunan Besar Sejak Jaman Kolonial* Perkebunan Besar Pemegang HGU**Onderneming Pemilik/ex Pemilik Tanaman Nama

Perusahaan No. HGU Peruntukan Tanaman

1. Pagilaran Lokasi: Blado-Batang

NV Mij ter Expl. Der Pamanukan en Tjiasem-landen Subang

Teh PT Pagilaran 15/HGU/DA/1983 Teh 14/HGU/DA/1977 Kakao dan Kelapa

2. Tratak I sd. V dan Tjipoko Lokasi: Bandar - Batang

NV Cult. Mij Tratak, Pekalongan

Kopi, Kapok, Vanili

PT Perkebunan Tratak

61/HGU/DA/88 Kopi dan Cengkeh

3. Sawangan (Siluwuk) Lokasi: Batang

Cult. Mij. “Siluwuk Sawangan” Semarang

Karet, Kopi, Coklat

PTPN IX 53/HGU/DA/80 Karet dan Kakao 59/HGU/DA/1976 Kopi dan Teh 60/HGU/DA/1980 Karet, Kopi dan Peternakan

4. Simbang Djati Lokasi: SUbah – Batang

NV. Handel Mailian Hiong/ NV. Handel Mij Sing Bie Demak (PT Ambarawa Maju)

Kopi Didistribusikan kepada 800 KK pada tahun 2002

5. Semugih Lokasi: Randu Dongkal – Batang

NV. Cult. Mij. “Semugih” Demak

Teh Kopi

6. Sidomukti Lokasi: Bandar - Batang

NV. Landb. Mij “Tombo-Wonodadi” Rijswijk den Haag

Kopi

7. Kedongdong (Si Pendem) Lokasi: Subah - Batang

NV. Pekalongansche Cult. Mij. Totterdam

Kopi, Coklat, Kapok

8. Subah Lokasi: Subah - Batang

Negara Republik Indonesia Karet

9. PT Segayung 49/HGU/DA/86 Randu dan Kelapa 10. PT Aneka

Usaha 08/HGU/DA/1990 Randu dan Kopi

11. PT Estu Subur 06/HGU/DA/1978 Kakao dan Kelapa 12. PT Puspita

Nicky 21/HGU/DA/1985 Cengkeh, Kopi dan Melinjo

13. PT Rehobat 116/HGU/DA/1997 Karet, Kopi dan Peternakan *Sumber: Ismet (1970), 156-157 **Sumber: Daftar HGU Seluruh Indonesia, tanggal 1 Juni 2006, BPN-Jakarta

Page 15: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 15 

Selain wilayah yang menjadi areal perkebunan-perkebunan besar, wilayah yang dinyatakan sebagai areal kehutanan mengambil porsi cukup luas di Kabupaten Batang. Pada tahun 2006 terdapat wilayah Hutan Negara seluas 13.299 ha34; artinya sekitar 16,86% dari seluruh luas Kabupaten Batang.

Di luar wilayah-wilayah perkebunan dan hutan adalah areal yang dipergunakan untuk lahan sawah, bangunan/pekarangan, tegal/kebun, hutan rakyat dan lahan untuk penggunaan lain-lain yang jumlah keseluruhannya adalah 73.13% dari keseluruhan luas Kabupaten Batang. Dengan memperhatikan proporsi luas lahan dan jumlah orang yang mengusahakannya serta yang mendapatkan manfaat dari lahan tersebut, maka dapat dikatakan proporsi lahan yang dipergunakan untuk perkebunan besar dan wilayah hutan cukup besar, yakni sekitar 26.87%. Tabel di bawah memperlihatkan alokasi penggunaan tanah di Kabupaten Batang pada tahun 2006.

Tabel 3.2. Penggunaan Lahan di Kabupaten Batang, 2006.

Peruntukkan Luas (ha) Prosentase dari

keseluruhan luas Kab. Batang (%)

Hutan Negara (dikuasai Perhutani) 13.299 16.85 Hutan Rakyat 35 0.04 Perkebunan Besar 7.910 10.02 Tegal/Kebun 19.249 24,40 Lahan Sawah 22.409 28,40 Bangunan/Pekarangan 12.127 15.37 Padang Rumput 90 0.11 Tambak, Kolam/Tebat 138 0.20 Lain-lain 3.638 4,61 Total 78.895 100.00

Sumber: “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 1.2.1. dan 1.2.4.

Jumlah populasi di Kabupaten Batang, berdasarkan Sensus Ekonomi tahun 2006, adalah 689.917 Jiwa (345.864 Laki-laki dan 330.288 Perempuan) yang membentuk 166.656 rumah tangga.35 Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, sekitar 50,05% dari jumlah keseluruhan rumah tangga di Kabupaten Batang adalah Rumah Tangga Petanian pengguna lahan,36 yang menguasai 32.563 ha lahan pertanian dengan rata-rata kepemilikan sekitar 0,36 ha.

34 Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 1.2.4. Luas Penggunaan Lahan Bukan Sawah Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2006 35 Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 3.1.1. Penduduk Jawa Tengah Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin tahun 2006 dan Tabel 3.1.5. Banyaknya Rumah Tangga dan Rata-rata Anggota Rumah Tangga Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2006. 36 Berdasarkan “Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Propinsi Jawa Tengah”, Badan Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia. Tabel 1.c. Banyaknya Rumah Tangga, Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan dan Rumah Tangga Petani GUrem Menurut Kabupaten/Kota. Data yang tersedia tidak menyajikan jumlah rumah tangga pertanian yang tidak menguasai lahan (landless).

Page 16: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 16 

Tabel 3.3. Penguasaaan Tanah Rumah Tangga Petani Pengguna Lahan di Kabupaten Batang,

2003 Kelas

Penguasaan Tanah

Rumah Tangga Petani Luas Rata-rata Jumlah % Luas Lahan %

< 0,10 14,800 16.24 539.70 1.66 0.04 0.10 - 0.19 25,119 27.56 3,717.42 11.42 0.15 0.20 - 0.49 31,008 34.02 9,220.84 28.32 0.30 0.50 - 0.99 13,225 14.51 8,667.76 26.62 0.66 1.00 - 1.99 5,702 6.26 6,383.79 19.60 1.12 2.00 - 2.99 851 0.93 1,926.69 5.92 2.26 3.00 - 3.99 299 0.33 978.91 3.01 3.27 4.00 - 4.99 - 0.00 - 0.00 0.00 ≥ 5.00 152 0.17 1,128.72 3.47 7.43 Total 91,156 100.00 32,563.83 100.00 0,36

Sumber: Data Sensus Pertanian tahun 2003(diakses langsung dari Kantor BPS di Jakarta)

Sumber statistik yang lain menyebutkan bahwa di Kabupaten Batang pada tahun 2006 ada sekitar 115 ribu orang yang bekerja sebagai buruh tani.37 Sejarah perkebunan di Kabupaten Batang yang telah dimulai sejak masa kolonial hingga kini masih menerapkan pola yang relatif sama khususnya dalam hal mengeksploitasi tenaga kerja setempat tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka. Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Jateng Ir. Siswanto mengatakan““sejumlah areal perkebunan besar tidak lepas dari kesan kolonialisme, eksploitasi tenaga kerja dan kurang memperhatikan lingkungan sosial masyarakat. Hal inilah yang melahirkan konflik sosial antara perkebunan besar dan masyarakat sekitar kebun dan perkebunan besar dengan plasmanya, terutama menyangkut keberadaan HGU Perkebunan”.38

Upah buruh perkebunan yang besarnya rata-rata Rp. 504.000 perbulan39 jumlahnya masih di bawah Upah Minimum Propinsi/UMP atau Upah Minimum Kabupaten/UMK yang ditetapkan oleh Gubernur Jawa Tengah tahun 200740 yaitu Rp. 615.000 yang diberlakukan sepanjang tahun 2008. Kondisi ini, pada saat ini menjadi lebih buruk karena seperti yang diuraikan oleh salah seorang buruh perkebunan di PT Pagilaran menyatakan perubahan kepemilikan perusahaan dari dibawah pemerintahan Hindia Belanda kepada pihak swasta (Yayasan Universita Gajah Mada) telah membuat mereka kehilangan beberapa kompensasi yang biasanya diperoleh. Ia mengatakan“… sekarang buruh pekerja tidak mendapatkan jaminan sosial, kalau dulu sebelum diserahkan kepada UGM, buruh perkebunan masih mendapatkan jatah beras dan sembako setiap bulan..”.41

37 Berdasarkan “Hasil Sensus Ekonomi 2006, Pendataan Potensi Desa/Kelurahan”, Badan Pusat Statistik – Jakarta. 38 Lihat “Sertifikat Status HGU Sering Munculkan Konflik”, Harian Suara Merdeka tanggal 1 Juni 2004 39 Dengan perhitungan mereka bekerja dalam sebulan adalah 28 hari dengan upah harian sebagai buruh tetap adalah Rp. 18.000 perhari, akan berbeda dengan upah buruh harian lepas yang upahnya rata-rata Rp. 15.600/hari atau (jika waktu kerja dalam sebulan adalah 28 hari) Rp. 436.800. (Sumber: hasil wawancara dengan salah satu buruh perkebunan Pagilaran). 40 Berdasarkan SK Gubernur No. 561.4/51/2007 41 Wawancara dengan salah satu petani Pagilaran, 7 Februari 2008

Page 17: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 17 

Keberadaan perkebunan-perkebunan besar telah menjadi sumber utama munculnya sejumlah konflik pertanahan di Kabupaten Batang. Perusahaan-perusahaan perkebunan menguasai lahan secara luas, sementara banyak penduduk setempat yang tingkat kesejahteraannya rendah sehingga menjadikannya “lapar tanah”. Pada masa Orde Baru beberapa perkebunan besar yang dikembangkan dengan cara mengambil alih secara sepihak lahan-lahan garapan penduduk setempat telah mengubah petani penggarap lahan menjadi buruh perkebunan atau buruh bangunan dan pedagang kecil di daerah perkotaan.

Meskipun pada sejumlah lahan perkebunan penduduk setempat dapat mengolah lahan dengan cara bagi hasil, khususnya pada lahan-lahan yang tidak dikerjakan secara produktif oleh pemegang HGU-nya, hal itu tidak mengurangi potensinya menjadi sumber konflik pertanahan. Hal ini terjadi karena ada cara pandang yang berbeda diantara kedua belah pihak (petani penggarap/penduduk setempat dan pemegang HGU) seperti yang terjadi di perkebunan Tratak misalnya. Di perkebunan ini Bagi Hasil dilakukan antara penduduk setempat yang membutuhkan tanah dengan Mandor Perkebunan tanpa sepengetahuan perusahaan pemegang HGU. Pada mulanya pihak PT Tratak selaku pemegang sertifikat HGU tidak mengusahakan tanahnya, sementara penduduk setempat membutuhkan tanah untuk sumber penghidupannya, sehingga terjadilah ‘perjanjian’ antara Mandor dan penduduk setempat tentang pemanfaatan lahan perkebunan tersebut. Konflik kemudian muncul karena penduduk setempat beranggapan bahwa pihak perusahaan tidak lagi membutuhkan tanah tersebut. Sementara pada suatu waktu PT Tratak bermaksud menyewakan lahannya kepada pabrik gula sebagai upaya memanfaatkan tanah yang sudah menjadi haknya tersebut. Pada kasus Tratak ini konflik yang terjadi tidak sampai pada tindakan penggusuran petani dari lahan garapannya. Berbeda dengan kasus Segayung yang polanya kurang lebih sama dengan kasus Tratak tetapi petani penyewa lahan diusir ketika pihak perusahaan pemegang HGU hendak menyewakan lahannya kepada perusahaan lainnya

Demikian juga dengan pola tumpangsari yang diterapkan oleh pemegang HGU Kebun Sluwok, yakni PTPN IX, telah berkontribusi terhadap kemunculan aksi pendudukan tanah di dalam kawasan “hutan” di Kabupaten Batang. Pada kasus HGU kebun Sluwok ini, penduduk setempat menggarap lahan dengan skema Tumpangsari diatas wilayah yang selama ini dianggap wilayah hutan, tetapi kemudian lahan garapan penduduk setempat tersebut diklaim sebagai bagian dari lahan HGU Kebun Sluwok PTPN IX42. Hal ini sama halnya dengan kasus Tratak dan Segayung, karena begitu lamanya skema tumpangsari yang diterapkan di atas tanah yang bersertifikat HGU membuat penduduk setempat berpikir bahwa pihak perusahaan sudah tidak membutuhkan lagi tanah tersebut. Sementara kehidupan ekonomi penduduk setempat yang menggarap lahan dengan pola tumpangsari tersebut sangat terbantu karena sebelumnya mereka tidak memiliki sumber penghasilan yang tetap.

Dalam kasus-kasus seperti di atas, di satu sisi, petani berpikir bahwa para pemegang HGU tidak lagi membutuhkan tanah karena mereka sudah menerapkan pola Bagi Hasil dan Tumpangsari dalam jangka waktu yang cukup lama. Di sisi lainnya, didorong oleh pengetahuan mereka tentang hak atas tanah, sebagai petani penggarap mereka berkeyakinan bahwa sebagian dari tanah HGU tersebut bisa diberikan haknya oleh pemerintah kepada mereka jika diusahakan. Pada saat itulah konflik muncul ke permukaan, petani-petani yang kemudian mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok tani mengajukan tuntutan hak atas

42 Berdasarkan surat perjanjian Tumpangsari yang dimiliki oleh salah seorang penduduk setempat. Didalam surat perjanjian Tumpangsari ini disebutkan bahwa lahan yang dijadikan areal Tumpangsari adalah lahan yang termasuk kedalam HGU Kebun Sluwok PTPN IX. Secara formal, tidak dimungkinkan kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan menjadi bagian dari areal HGU, karena HGU hanya bisa diterbitkan diatas Kawasan Budidaya Non Kehutanan/KNBK.

Page 18: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 18 

tanah yang sudah mereka garap selama ini sementara tentu saja para pemegang HGU hendak mempertahankan asetnya.

Hal ini menunjukkan bahwa kondisi tingkat kesejahteraan penduduk setempat baik sebagai buruh perkebunan maupun petani penggarap lahan perkebunan (dengan skema bagi hasil) yang tidak memadai, juga telah menjadi pemicu utama munculnya sengketa-sengketa tanah di Kabupaten Batang. Rendahnya tingkat kesejahteraan yang disertai dengan sejumlah penggusuran menjadi alasan utama bagi penduduk setempat yang tinggal di sekitar areal perkebunan besar dan kawasan kehutanan untuk melakukan aksi-aksi pendudukan tanah yang mulai marak pada akhir tahun 1990-an. Pada akhir era Orde Baru, yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998, aksi-aksi pendudukan tanah semakin banyak terjadi. Sejak era reformasi, petani penggarap yang mulanya terlibat dalam pola Bagi Hasil dengan pihak perkebunan atau yang terlibat Tumpangsari di wilayah hutan tidak lagi melakukan penyerahan hasil panennya sebagaimana telah menjadi kesepakatan di antara mereka dengan ‘pemilik’ lahan. Sedangkan penduduk setempat yang sebelumnya tidak mempunyai akses terhadap tanah (landless) mencoba melakukan penggarapan lahan-lahan perkebunan yang sudah dipenuhi semak belukar karena tidak dimanfaatkan secara produktif oleh perusahaan pemegang HGU. Aksi-aksi penduduk tanah yang mulai berkembang sejak 1998 di Batang ini, walau bagaimana pun, merupakan akumulasi dari gejolak-gejolak yang ada di masyarakat sejak tahun 1990-an awal atau bahkan sebelumnya. Selama ini mereka menunggu saat yang tepat untuk melakukan gerakan terbuka, dan tahun 1998 adalah waktu yang dianggap tepat untuk memulai aksi-aksi yang lebih terbuka seperti pendudukan tanah secara langsung.

IV. Gerakan untuk Mengklaim kembali Hak atas Tanah di Batang

Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk ini orang rela menumpahkan darah,

mengorbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup selanjutnya (Tauchid 1952:6)

Meskipun telah ditetapkan melalui sejumlah peraturan yang jelas, mengapa tuntutan hak atas tanah masih terus bermunculan di Indonesia? Apa yang menyebabkan tuntutan-tuntutan dan aksi-aksi untuk mengklaim tanah oleh penduduk setempat (reclaiming actions) terus terjadi? Seperti telah diungkapkan di atas, hal ini terkait dengan bagaimana UUPA 1960 diterapkan dari waktu ke waktu yang sangat terkait dengan orientasi politik dan ekonomi pemerintahan yang berkuasa pada waktu tersebut. Di sini lah letak titik krusial dalam soal pemenuhan hak atas tanah di Indonesia yang sekaligus menjadi upaya untuk pemenuhan hak dasar kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah. Sejumlah studi telah menunjukan bahwa alih-alih menjalankan amanat UUPA 1960 untuk menjamin hak-hak penduduk setempat atas tanah, rejim yang berkuasa di Indonesia khususnya pasca 1965 lebih berorientasi kepada pemberian fasilitas bagi eksploitasi kekayaan alam secara berlebihan untuk kepentingan komersial yang kemudian mengabaikan hak-hak dari penduduk setempat terhadap sumber-sumber yang sama (=tanah) untuk keberlangsungan dan peningkatan kualitas hidupnya (lihat misalnya Fauzi 1998 dan 1999; Wiradi 2000; Bachriadi 1998a, 1998b, 2002 dan 2004; Suryaalam 2003; dan Bachriadi, Bachrioktora dan Safitri 2005).

Melihat kasus-kasus penggusuran dan pola-pola perjuangan petani penggarap untuk merebut kembali hak-hak mereka atas tanah ternyata sebagian besar alasan yang mendasari

Page 19: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 19 

perjuangannya itu adalah merebut kembali tanah yang dianggap sebagai alat produksi yang terpenting jika tidak dikatakan sebagai satu-satunya alat produksi yang dapat memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Perjuangan yang ada selama ini adalah perjuangan atas sebidang tanah oleh keluarga petani agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari hari ke hari. Juga tertanam di dalam kerangka perjuangan mereka sebuah harapan bahwa dari sebidang tanah yang dikuasainya dapat memberikan manfaat yang lebih besar untuk kebutuhan anak-anaknya untuk dapat memperoleh pendidikan yang lebih baik dan tabungan untuk masa mendatang. Dalam perkataan yang lain, sesungguhnya perjuangan mereka untuk menguasai sebidang tanah, jika dapat mendekati batas minimal penguasaan tanah seperti yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan sejak tahun 1960, adalah pengejawantahan dari perjuangan menegakan Hak Asasi Manusia. Terlebih dari itu perjuangan-perjuangan tersebut adalah bagian dari perjuangan mereka untuk merebut hak-haknya sebagai warga negara sebagaimana telah ditentukan oleh Konstitusi dan undang-undang yang berlaku.

Dalam hal ini mereka sangat sadar bahwa kehidupan politik di Indonesia sangat tidak berpihak, sehingga hak atas tanah yang menjadi bagian dari hak azasi manusia tersebut harus diperjuangkan bahkan dalam banyak kasus dilakukan dengan cara direbut. Selanjutnya, jika tanah-tanah sudah berhasil dikuasai, mereka mengetahui bahwa kewenangan pemberian haknya secara formal tetap ada di tangan pemerintah. Karena itu, dalam banyak kasus perjuangan untuk mempertahankan atau merebut hak atas tanah kemudian disusul dengan upaya-upaya untuk memperoleh pengakuan secara formal; jika dapat pengakuan yang dilegitimasi melalui sebuah sertifikat.

Dalam kasus-kasus konflik pertanahan seperti yang terjadi di Kabupaten Batang, Negara, dalam hal ini pemerintah yang berkuasa di Indonesia, ternyata lebih mengambil posisi bukan sebagai pemberi jaminan akan keberlangsungan hidup dan peningkatan kualitas kehidupan sejumlah penduduk setempat yang hidupnya sangat membutuhkan/bergantung kepada tanah. Sebaliknya, pemerintah yang berkuasa telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak azasi manusia di sana, yang lebih spesifik lagi adalah hak atas tanah bagi kelompok masyarakat yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah. Lebih ironis lagi pelanggaran tersebut dilakukan terhadap hak-hak (azasi) yang sesungguhnya telah diatur secara rinci dalam seperangkat peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Di Kabupaten Batang, banyak penduduk setempat melakukan pendudukan terhadap lahan-lahan perkebunan dan kehutanan dengan alasan tidak memiliki satu petak lahan pun, sementara keahlian mereka hanya bertani. Secara kasat mata mereka melihat banyak tanah-tanah yang dikuasai perkebunan tidak dikelola dengan baik dan tampak tidak dimanfaatkan dalam rentang waktu tertentu yang cukup panjang (bertahun-tahun). Kondisi penelantaran tanah ini kemudian dilihat sebagai peluang bagi petani-petani yang tinggal di sekitar tanah-tanah perkebunan dan kehutanan tersebut, yang umumnya adalah kelompok petani yang kerjanya selama ini hanya sebagai buruh tani dengan penghasilan yang sangat tidak memadai, Selain karena kebutuhan mendasar tersebut mereka pun menganggap bahwa wilayah-wilayah perkebunan dan kehutanan itu adalah wilayah yang dikuasai oleh Negara yang “seharusnya” digunakan untuk mensejahterakan rakyatnya.

Kasus sengketa tanah di Kabupaten Batang salah satunya menunjukkan sengketa antara petani penggarap dengan perusahaan perkebunan pemegang HGU (lawan sengketa), khususnya HGU yang diterbitkan pada masa Orde Baru sekitar tahun 1980-an. Selain sengketa antara penduduk setempat dengan perusahaan perkebunan, terdapat juga sengketa yang diakibatkan oleh tidak sempurnanya pelaksanaan Land Reform pada tahun 1960-an, yang menjadikan munculnya tuan tanah baru diatas lahan-lahan objek Land Reform (lihat

Page 20: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 20 

Mamock 1995), juga terdapat sengketa yang disebabkan karena sedimentasi laut yang menimbulkan sengketa di atas “tanah timbul“ sebagaimana yang dialami oleh salah satu anggota FPPB yaitu kelompok tani Paguyuban Tani Tritunggal Sejahtera (PT3S).

Dalam rangka mengkonsolidasi perjuangannya, para petani di Batang kemudian bersepakat membentuk satu wadah perjuangan bersama. Kasus-kasus atau konflik tanah yang mereka hadapi dan juga dialami oleh penduduk setempat lainnya, membuat mereka berpikir untuk membentuk satu organisasi agar perjuangannya dapat dilakukan secara bersama-sama dan mencapai hasil seperti yang diharapkan, yaitu mendapatkan hak atas tanah dan mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB) adalah organisasi tani di tingkat kabupaten yang dibentuk untuk mewadahi berbagai kelompok petani yang ada di Kabupaten Batang untuk memperjuangkan secara bersama-sama kepentingan tersebut. Perjuangan bersama di lingkup kabupaten juga diyakini sebagai strategi untuk mendesakkan kepentingannya kepada pemerintah daerah setempat khususnya ketika pemerintahan pasca 1998 menerapkan kebijakan otonomi daerah.

Pembentukkan wadah-wadah perjuangan seperti FPPB di Kabupaten Batang juga sangat terkait dengan perjuangan untuk menegakan HAM dari sisi kebebasan untuk berserikat seperti yang tercantum didalam klausul ICCPR pasal 22(1) yang menyatakan “[S]etiap orang berhak untuk bergabung berasosiasi dengan orang-orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan memasuki serikat sekerja untuk menjaga kepentingan-kepentingannya sendiri. Kebebasan untuk berserikat ini juga adalah hak warga Negara dan bagian dari hak azasi manusia yang dilenyapkan ketika Orde Baru berkuasa, dan baru berhasil mereka peroleh kembali setelah gerakan reformasi berhasilkan menumbangkan Soeharto di tahun 1998. Dengan kata lain, walaupun tidak pernah secara tegas dinyatakan oleh FPPB bahwa mereka sedang memperjuangkan penegakan HAM bagi kaum tani di Batang, sesungguhnya perjuangan kelompok-kelompok petani yang tergabung di dalam FPPB telah mewakili bentuk-bentuk perjuangan menegakan HAM khususnya di Kabupaten Batang.

Di sini akan dibahas 5 kasus sengketa tanah yang melibatkan penduduk setempat dengan perusahaan perkebunan, yakni (1) Kasus PT Perkebunan Pagilaran dengan Paguyuban Petani Korban Perkebunan Pagilaran (P2KPP)/Persatuan Masyarakat Gunung Kamulyaan (PMGK); (2) Kasus Perkebunan PT Tratak dengan Persatuan Petani Penggarap Perkebunan Tratak (P4T); (3) Kasus PTPN IX Kebun Sluwok dengan Persatuan Petani Brontok Sejahtera (P2BS); (4) Kasus perkebunan PT Ambarawa Maju dengan Kelompok Petani Kembang Tani; dan (5) Kasus Perkebunan PT Segayung dengan Persatuan Petani Sido Dadi (P2SD). Empat perkebunan besar yang terlibat di dalam konflik ini merupakan perkebunan-perkebunan besar yang telah ada di Kabupaten Batang sejak masa kolonial yaitu PT Pagilaran, PT Tratak, PTPN IX Kebun Sluwok dan PT Ambarawa Maju. Sementara PT Segayung adalah perkebunan yang dibentuk pada masa Orde Baru. Dari perkebunan tersebut, hanya empat perusahaan yang memiliki sertifikat HGU atas kebun-kebun yang disengketakan, yaitu PT Pagilaran, PT Tratak, PT Segayung dan PTPN IX. Perkebunan dari keempat perusahaan ini juga dinyatakan aktif yang mengusahakan tanaman yang sekarang menjadi komoditas andalan daerah Jawa Tengah seperti cengkeh, kapok, kelapa, coklat dan teh. Satu perusahaan lagi, yaitu PT Ambarawa Maju tidak mempunyai sertifikat HGU. Perkebunan ini tidak sesungguhnya sudah tidak memperpanjang haknya sejak hak erpacht-nya (RVE Verponding No.67) berakhir pada 13 Juni 1968.

4.1. Perjuangan Hak Atas Tanah

Page 21: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 21 

Ringkasan kelima konflik pertanahan yang dikaji dalam tulisan ini tersaji dalam matriks di bawah yang menggambarkan tipologi kasus konfliknya. Matriks yang memperbandingkan kelima kasus ini memungkinkan untuk melihat siapa saja lawan sengketa dari kelompok petani di Batang, siapa saja yang melakukan perjuangan dan bagaimana strategi yang mereka kembangkan, serta hasil-hasil dari perjuangannya.

Page 22: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 22 

Tabel 4.1. Matriks 5 Kasus Sengketa Tanah Anggota FPPB

Deskripsi Kasus/Sengketa Tanah

Perkebunan Pagilaran Perkebunan Tratak PTPN IX Kebun Sluwok

PT Ambarawa Maju Perkebunan Segayung

Tenta

ng La

wan S

engk

eta

Status Hak HGU HGU HGU Eks hak Erpacht HGU Legal Formal Hak SK No. 15/HGU/DA/1983

SK No. 14/HGU/DA/1977 SK No. 61/HGU/DA/88 SK No.

53/HGU/DA/1980 Eks RVE Verp. No. 67 SK No.49/HGU/DA/86

Pemegang Hak dan Pemilik PT Pagilaran (BUMN) PT Perkebunan Tratak (swasta)

PTPN IX (BUMN) PT Ambarawa Maju (swasta)

PT Segayung (swasta)

Peruntukan Kebun The (SK No. 15) Kebun Kakao (SK No, 14)

Kebun Kopi dan Cengkeh

Kebun Karet dan Kakao Kebun Karet Kebun Randu dan Kelapa

Lokasi SK No. 15 (1) Desa Kalisari (2) Desa Bismo (3) Desa Gondang (4) Desa Bawang (5) Desa Keteleng (6) Desa Kembang Kec. Blado SK No. 14 (1) Desa Kenconorejo (2) Desa Tulis (3) Desa Beji (4) Desa Simbang Jati Kec. Tulis

Desa Tumbrep, kec. Bandar

Desa Gondang, Kec. Subah

Desa Kebumen kec. Tulis Desa Simbang kec. Subah

(1) Desa Posong (2) Desa Batiombo Kec. Bandar (3) Desa Sembojo Kec. Tulis

Luas Keseluruhan 1.113,85 ha 89,64 ha 1.227,082 ha 52,5 ha 243,535 ha

Tenta

ng O

rgan

isasi

Tani

OTL Peasatuan Petani Korban Perkebunan Pagilaran (P2KPP) berubah menjadi PMGK (Persatuan Masyarakat Gunung Kamulyaan)

Paguyuban Petani Penggarap Perkebunan Tratak (P4T)

Paguyuban Petani Brontok Sejahtera (P2BS)

Kembang Tani Paguyuban Petani Sidodadi

Jumlah Anggota 2000 Kk 420 KK 141 KK 800 KK 1500 KK Cakupan wilayah 5 Desa, 1 kecamatan

(1) Keteleng (2) Gondang

3 Desa, 2 Kecamatan. (1) Tumbrep (2) Wonomerto

1 desa, 1 kecamatan (1) Kuripan Kec. Subah

2 desa, 2 kecamatan Desa Kebumen Kec. Tulis

4 desa, 2 kecamatan (1) Posong (2) Batiombo

Page 23: Hilma s - Menuntut Negara

Menuntut Negara  by HS  Page 23 

(3) Kalisari (4) Bismo (5) Bawang Kecamatan Blado

Kec. Bandar (3) Kambangan Kec. Blado

Desa Simbang kec. Subah

Kec. Bandar (3) Wonosegoro (4) Sembojo Kec. Tulis

Tahun berdiri 1999 1999 2002 1999 1999 Tahun menjadi anggota FPPB

2000 (pendiri) 2000 (pendiri) 2002 2000 (pendiri) 2000

Tenta

ng G

erak

an M

engg

arap

Laha

n

Tahun mulai penggarapan (belum mulai menggarap) 1980, 1988 dan 1999 1994, 1998, 2002 1945 1995 Jumlah yg terlibat 1.200 KK 450 KK 141 KK 800 KK 1500 KK Luas yang digarap/dituntut 450 hektar 89,64 ha 42 ha 52,5 ha 243,535 ha Alasan utama menggarap mengambil kembali haknya.

(1) Tidak mempunyai matapencaharian lain

(1) memanfaatkan tanah timbul (2) Tidak memiliki lahan garapan

Tidak memiliki tanah garapan

Tidak memiliki tanah garapan

Strategi memasuki lahan garapan

Pembabatan tanaman teh.

(1) 1980; membuka lahan hutan (2) 1988; skema bagi hasil dengan mandor PT Tratak (3) memanfaatkan lahan yang diterlantarkan PT Tratak

(1) meneruskan garapan lahan petani yang ditinggalkan (2) Tumpang sari di lahan PTPN IX (3) menggarap lahan Tumpangsari tanpa skemaTumpangsari

(1) membuka lahan yang tidak bertuan peninggalan perusahaan Belanda (2) Memohon hak kepemilikan lahan

(1) 1995; Membuka lahan yang dipenuhi semak belukar. (2) 2000; skema Tumpangsari dengan PT Segayung

Strategi perjuangan lainnya (1) Menggalang dukungan terutama buruh perkebunan lain. (2) Mendudukan kader di posisi Kepala Desa (3) Lobi, negosiasi, aksi dan kampanye media massa

Lobi, negosiasi, aksi dan kampanye media massa

Lobi, negosiasi, aksi dan kampanye media massa

Lobi, negosiasi dan kampanye media massa

Lobi, negosiasi, aksi dan kampanye media massa

Keadaan terakhir Belum mulai menggarap, dan masih menjadi buruh di perkebunan Pagilaran

Masih digarap oleh petani penggarap

Masih digarap oleh petani penggarap

Sudah sah dimiliki petani penggarap dan mendapatkan sertifikat, dan sebagian sudah dijual.

Kembali dikuasai oleh PT Segayung, ditanami tebu. (sejak Nov 2007)

Page 24: Hilma s - Menuntut Negara

FINAL – Menuntut Negara by HS  Page 24 

Dari matriks diatas, dapat dilihat terdapat 3 kelompok kasus yang di dalamnya menggambarkan tahapan perjuangan penduduk setempat untuk memperoleh/menuntut hak atas tanah, yaitu:

1) Kategori pertama adalah kelompok yang hingga saat ini masih dalam upaya perjuangan untuk mendapatkan legalitimasi formal atas tanah yang sudah mereka garap sejak awal tahun 1980-an, yaitu kelompok tani P4T, P2BS dan P2SD.43 Anggota P4T dan P2BS sudah berhasil melakukan penggarapan lahan dan saat ini upayanya adalah melakukan lobi dan negosiasi kepada instansi terkait dengan pemegang otoritas pertanahan dan Pemda setempat untuk pengakuan atas tanah yang sudah mereka garap. Lobi dan negosiasi telah dan terus kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Batang, Kanwil BPN Jawa Tengah bahkan ke Kantor BPN Pusat di Jakarta. Begitu juga dengan P2SD, khususnya pasca penggusuran di akhir tahun 2007 yang lalu, mereka melakukan lobi dan negosiasi tidak hanya ke Kantor Pertanahan dan BPN setempat saja, melainkan juga meminta dukungan kepada Pemda Kabupaten Batang. Selain proses-proses lobi dan negosiasi tersebut, untuk menekan pemerintah setempat mereka juga melakukan aksi-aksi bersama di halaman depan Kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang. Dalam kategori pertama ini, upaya-upaya melakukan desakan-desakan kepada instansi terkait telah menunjukkan bagaimana dinamika birokrasi yang terkait dengan administrasi pertanahan didalam upaya penyelesaian kasus tanah di kabupaten Batang. Selain memang banyak prosedur yang diatur didalam proses mendapatkan legitimasi, prosesnya pun tidak mudah. Kelompok tani seringkali harus berulang-ulang mengadakan pertemuan dengan instansi terkait namun hingga saat ini belum tampak penyelesaiannya khususnya kelompok tani belum mendapatkan legitimasi atas tanah-tanah garapannya.

2) Kategori kedua adalah kelompok yang dapat digolongkan belum menggarap lahan perkebunan untuk kegiatan pertanian mereka, tetapi kelompok petani dalam kategori ini masih/telah bertempat tinggal di areal lahan yang sekarang mereka tuntut. Kelompok tani yang masuk dalam kategori ini adalah P2KPP/PMGK. Petani-petani yang tergabung dalam P2KPP/PMGK hingga saat ini masih menempati tempat tinggal yang disediakan oleh PT Pagilaran (emplacement) karena mereka secara turun temurun sesungguhnya adalah buruh perkebunan PT Pagilaran dan sebelumnya lokasi emplacement yang saat ini mereka tinggali merupakan wilayah perkampungan mereka (sebelum perkebunan Pagilaran dibangun pada masa kolonial). Sejak tahun 1999 sebagian anggota P2KPP/PMGK tidak lagi menjadi buruh perkebunan PT Pagilaran, sebagian lagi tetap menjadi buruh di perkebunan ini. Mereka yang masih beratahan menjadi buruh perkebunan memang sengaja mempertahankan statusnya karena hanya dengan cara demikian mereka dapat tetap tinggal di emplacement perkebunan. Didasari oleh keyakinan bahwa emplacement yang mereka tinggali saat ini dahulunya adalah wilayah kampung mereka selama beberapa generasi sebelum perkebunan Pagilaran dibangun, sekarang mereka menuntut agar areal yang sekarang menjadi emplacement perkebunan tersebut dikeluarkan dari HGU PT Pagilaran dan dikembalikan kepada haknya sepenuhnya kepada mereka. Selain menuntut tanah yang sekarang menjadi emplacement perkebuanan, angota-anggota P2KPP/PMGK juga menuntut beberapa bagian dari areal perkebunan Pagilaran diserahkan kembali kepada mereka karena tanah-tanah tersebut

43 Perkembangan terakhir dalam konflik antara P2SD vs PT Segayung tanah yang disengketakan kembali dikuasai oleh PT Segayung setelah terjadi pengambilalihan kembali secara paksa pada bulan November tahun 2007. Meskipun demikian, konflik ini masih dapat dikategorikan dalam kelompok ini.

Page 25: Hilma s - Menuntut Negara

FINAL – Menuntut Negara by HS  Page 25 

merupakan areal pertanian keluarga mereka yang diambil alih ketika perkebunan Pagilaran dibangun.

Perkembangan terakhir (akhir tahun 2007), PT Pagilaran sudah mengajukan perpanjangan HGU-nya dan prosesnya sudah memasuki penerbitan SK perpanjangan yang akan dikeluarkan oleh Kepala BPN Pusat. Dengan adanya perkembangan mutakhir ini, maka segala upaya lobi dan negosiasi sebagai upaya untuk mendapatkan hak atas tanah dapat dikatakan menemui hambatan. Saat ini anggota-anggota kelompok tani P2KPP/PMGK sedang menyusun strategi baru untuk melakukan pendudukan lahan perkebunan Pagilaran dan secara bersamaan kembali melakukan negosiasi dengan instansi terkait yaitu seperti BPN, Dinas Perkebunan dan Pemerintah Daerah (Tingkat Kabupaten dan Propinsi) untuk mendapatkan pengakuan atas tuntutan mereka.

3) Kategori ketiga adalah kelompok yang sudah mencapai tujuan akhir perjuangannya yaitu pengakuan formal atas tanah yang dituntutnya. Kelompok tersebut adalah kelompok tani Kembang Tani yang menggarap lahan perkebunan PT Ambarawa Maju. Sebagaimana diuraikan dalam matriks di atas, sebanyak 800 KK anggota kelompok Kembang Tani akhirnya pada tahun 2002 mendapatkan sertifikat hak milik atas tanah garapannya yang sebelumnya dikuasai oleh PT Ambarawa Maju. Keberhasilan perjuangan kelompok Kembang Tani ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa areal lahan perkebunan yang mereka garap dan tuntut haknya adalah areal eks perkebunan yang sudah tidak aktif dan juga sudah tidak melekat lagi hak apa pun di atasnya (bukan lahan HGU).

Menurut luasan tanah yang dituntut versus luasan yang dikuasai oleh pemegang HGU, kasus-kasus di atas bisa dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) petani penggarap yang menuntut seluruh tanah yang dikuasai pemegang HGU; dan (2) petani penggarap yang hanya menuntut sebagian tanah yang dikuasai pemegang HGU. Kelompok pertama adalah kelompok tani P4T yang menuntut seluruh areal HGU seluas 89,64 hektar yang saat ini dikuasai oleh PT Tratak, kelompok tani Kembang Tani yang menuntut seluruh lahan perkebuanan seluas 52,5 hektar yang dikuasai PT Ambarawa Maju dan kelompok tani P2SD yang menuntut seluruh areal HGU seluas 243,535 hektar yang saat ini masih berada di tangan PT PT Segayung. Sementara kelompok kedua yakni kelompok P2KPP/PMGK menuntut hanya 450 hektar dari keseluruhan HGU seluas 1.113,85 hektar yang dikuasai PT Pagilaran, dan kelompok tani P2BS yang hanya menuntut 42 hektar dari keseluruhan HGU (1.227,082 hektar) yang dikusai oleh PTPN IX Kebun Sluwok.

Perbedaan-perbedaan tuntutan dari masing-masing kelompok tani tersebut di atas dilatarbelakanginya oleh alasan-alasan yang berbeda yang terkait dengan ’sejarah’ tanah yang dituntutnya dan kepentingan terhadap tanah yang dituntutnya. P2KPP/PMGK hanya menuntut 450 hektar karena mereka meyakini bahwa tanah yang mereka tuntut adalah tanah yang dulunya menjadi lahan garapan mereka sebelum PT Pagilaran mengambil secara paksa untuk kepentingan perluasan usaha perkebunan. Anggota P2KPP/PMGK dapat membuktikan bahwa tanah tersebut seharusnya tidak masuk menjadi bagian dari areal HGU yang sekarang dikuasai oleh PT Pagilaran. Mereka beralasan bahwa tanah sudah digarap sebagai areal pertanian rakyat sejak jaman pemerintahan Hindia Belanda berdampingan dengan kegiatan perkebunan Pagilaran. Ada persamaan antara kasus di Pagilaran dengan tuntutan penduduk setempat atas tanah di Kebun Sluwok PTPN IX. Anggota P2BS telah menggarap tanah timbul karena proses sedimentasi laut yang letaknya berdampingan dengan areal perkebunan yang saat ini menjadi lahan HGU Kebun Sluwok PTPN IX. Tetapi lahan garapan mereka kemudian diklaim secara sepihak oleh PTPN IX sebagai bagian dari areal Kebun Sluwok. Sementara di perkebunan Tratak dan perkebunan Segayung, anggota P4T dan P2SD menuntut hak atas tanah karena mereka berkeyakinan perusahaan pemegang HGU Tratak dan

Page 26: Hilma s - Menuntut Negara

FINAL – Menuntut Negara by HS  Page 26 

Segayung sama sekali tidak aktif atau tidak melakukan aktivitas produksi sama sekali sejak HGU untuk kedua perkebunan tersebut diterbitkan;44 apalagi pemilik HGU memberikan kesempatan kepada penduduk setempat untuk menggarap lahan perkebunan tersebut dengan skema Bagi Hasil. Karena itu mereka beranggapan sudah semestinya tanah tersebut menjadi hak sepenuhnya dari anggota-anggota P4T dan P2SD yang selama ini menggarap tanah secara aktif.

Dari kelima kasus yang dikaji, penduduk setempat menunjukan bahwa mereka memiliki keterikatan dengan tanah yang dituntut sekarang. Dalam kasus Pagilaran baik lahan pertanian yang sekarang dituntut maupun areal tempat tinggal (emplacement perkebunan) mereka saat ini adalah wilayah dimana orang tua mereka hidup dan melakukan aktivitas pertanian sejak jaman kolonial. Mereka membuktikan hal ini dengan cara mengidentifikasi adanya kesamaan nama emplacement yang mereka tinggali dengan nama-nama kampung dimana orang tua mereka (pernah) tinggal.

Dalam tiga kasus lainnya, yakni Tratak, Simbangjati dan Segayung para penuntut tanah menuturkan cerita bahwa orang tua mereka bersama-sama dengan penduduk lainnya telah membuka lahan yang sebelumnya adalah semak belukar untuk diubah menjadi lahan pertanian sebelum kemudian di atas tanah-tanah tersebut diterbitkan HGU. Sementara dalam kasus areal Kebun Sluwok PTPN IX, para penuntut tanah menjelaskan bahwa mereka menggarap tanah timbul (tidak termasuk areal Kebun Sluwok) yang sebelumnya sudah dimanfaatkan oleh sekelompok warga dari Kendal. Sekelompok warga dari Kendal tersebut kemudian pergi meninggalkan lahan pertaniannya (kembali ke tempat asalnya di Kendal) dan pemanfaatannya dilanjutkan oleh penduduk setempat. Setelah penduduk setempat melanjutkan penggarapan lahan yang ditinggalkan oleh orang-orang asal Kendal, beberapa tahun kemudian tanah tersebut diklaim oleh perusahaan perkebunan (PTPN IX) sebagai bagian dari areal HGU perkebunan Sluwok. Seluruh petani penggarap – penduduk setempat – yang sudah terlanjur beraktivitas di atas lahan tersebut tidak bisa berbuat apa-apa karena memang mereka tidak bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan yang sah atas tanah-tanah tersebut. Untuk melanjutkan kehidupannya kemudian petani penggarap anggota P4T (di perkebunan Tratak), P2BS (di perkebunan Sluwok PTPN IX) dan P2SD (di perkebunan Segayung) menerima tawaran dari Mandor/Sinder Afdelling untuk mengikuti skema Bagi Hasil atau tumpangsari. Sementara kelompok tani Kembang Tani, karena sudah berhasil mendapatkan hak atas tanah berupa sertifikat, melanjutkan kehidupannya dengan memanfaatkan tanahnya dengan caranya masing-masing.

4.2. Strategi Perjuangan Berdasarkan tahap-tahap perjuangan mereka saat ini untuk menuntut hak atas tanah, dari kelima kasus ini terlihat adanya strategi yang berbeda-beda yang dijalankan oleh masing-masing kelompok tani. Dalam kategori pertama penuntut tanah, yang telah diuraikan di atas, kelompok-kelompok yang masih dalam upaya untuk memperoleh legilitimasi formal atas tanah yang mereka garap selama ini (kelompok tani P4T, P2BS dan P2SD), untuk mencapai tujuan perjuangannya ini mereka melanjutkan terus penggarapan tanah meskipun saat ini sudah tidak lagi terikat dalam perjanjian Bagi Hasil dengan pihak perusahaan. Pertimbangan yang paling menonjol adalah pertimbangan ketiadaan lahan lain yang dapat menjadi sumber mata pencahariannya. Bersamaan dengan itu mereka terus mengupayakan memperoleh pengakuan hak atas tanah dengan cara melakukan lobi dan negosiasi kepada pihak-pihak

44 HGU untuk PT Tratak terbit tahun 1988 dan HGU untuk PT Segayung tahun 1986.

Page 27: Hilma s - Menuntut Negara

FINAL – Menuntut Negara by HS  Page 27 

terkait khususnya Kantor Pertanahan Kab. Batang, Kanwil BPN Jawa Tengah, Bupati Batang, Gubernur Jawa Tengah selain (yang terpenting) melakukan rangkaian pertemuan dengan pihak perusahaan pemegang HGU.

Dari rangkaian kegiatan lobi dan negosiasi kepada instansi-instansi terkait tersebut, FPPB dan perwakilan kelompok taninya bermaksud meminta kejelasan posisi birokrat dan pemerintah setempat atas tanah yang mereka tuntut. Dalam pertemuan dengan pejabat di Kantor Pertanahan Kabupaten Batang, FPPB berupaya menjelaskan status hukum tanah yang dituntut oleh kelompok-kelompok tani anggotanya. Pada umumnya, dari berbagai dialog yang terjadi antara mereka dengan pejabat Kantor Pertanahan setempat, pejabat Kantor Pertanahan setempat hanya menegaskan bahwa yang berwenang untuk memutuskan bisa atau tidaknya tuntutan atas tanah tersebut dikabulkan adalah pejabat di tingkat Propinsi Jawa Tengah dan Pusat. Dalam hal ini mereka menyatakan bahwa dalam hal penerbitan maupun perpanjangan termasuk pencabutan HGU tertentu pejabat di tingkat kabupaten hanya berfungsi sebagai ‘petugas administrasi’ saja, sehingga untuk menerbitkan hak baru di atas tanah-tanah yang berstatus HGU posisi Kantor Pertanahan hanya dapat memberikan rekomendasi kepada Kanwil BPN Propinsi yang kemudian diteruskan ke tingkat pusat. Bagi FPPB posisi dan fungsi Kantor Pertanahan Kabupaten Batang yang berwenang memberikan rekomendasi sudah cukup, dan FPPB memang menuntut agar Kantor Pertanahan Kabupaten Batang mengeluarkan rekomendasi-rekomendasi tersebut yang terkait dengan tuntutan mereka: pembatalan sejumlah HGU yang ada di Kabupaten Batang, dan pemberian hak baru kepada kelompok-kelompok tani anggotanya. Akibat berbagai tekanan dari FPPB dan kelompok-kelompok tani anggotanya ini diperoleh komitmen dari pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Batang bahwa instansi pertanahan ini akan memberikan rekomendasi kepada BPN Pusat melalui Kanwil BPN Propinsi Jawa Tengah yang intinya menegaskan ada sejumlah tanah-tanah yang sekarang berstatus HGU (yaitu PT Tratak, PT Pagilaran dan PT Segayung) yang sangat dibutuhkan oleh penduduk setempat sehingga diperlukan peninjauan ulang atas HGU ketiga perkebunan itu.

Dalam konteks penerbitan, perpanjangan maupun pencabutan HGU, hal yang sama juga berlaku bagi Kanwil BPN Propinsi Jawa Tengah. Dalam batas-batas tertentu mereka tidak memiliki kewenangan memutuskan proses pemberian dan perpanjangan HGU. Kanwil BPN tingkat Propinsi dapat memutuskan proses pemberian dan perpanjangan HGU, jika luas tanahnya dibawah 200 ha, jika lebih dari itu, maka kewenangan berada di tingkat Pusat.45 Dengan kata lain, untuk HGU yang luasnya kurang dari 200 ha, meskipun kewenangan untuk memutuskan pemberian maupun perpanjangan HGU ada di tangan pejabat tingkat propinsi, tetap saja penetapannya secara formal menjadi kewenangan BPN tingkat Pusat. Sehingga dengan kenyataan prosedural penetapan HGU ini, mau tidak mau FPPB harus melakukan serangkaian lobi dan negosiasi di tiga tingkat instansi kewenangan BPN tersebut, yaitu BPN di tingkat kabupaten (Kantor Pertanahan), propinsi (Kanwil BPN) dan BPN pusat.

Berdasarkan situasi ini, maka FPPB mempertimbangkan strategi advokasi yang berbeda-beda untuk masing-masing kasus. Kelompok Tani P4T, P2SD dan Kembang Tani, memfokuskan lobi dan negosiasinya di Kanwil Propinsi Jawa Tengah,46 sementara P2KPP/PMGK dan P2BS lobi dan negosiasinya diarahkan ke Kantor BPN Pusat di Jakarta. Selain ke instansi BPN, FPPB juga melakukan lobi dan negosiasi ke Pemda Kabupaten dan Kantor Gubernur Jawa Tengah. FPPB menggunakan keberadaan Pemerintah Daerah (Kabupaten dan Propinsi) 45 Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak, Pasal 3-4. 46 P4T yang berhadapan dengan Perkebunan Tratak, luasan HGU yang sedang dituntut dibawah 200 ha.

Page 28: Hilma s - Menuntut Negara

FINAL – Menuntut Negara by HS  Page 28 

untuk (mempermudah) melakukan dialog dengan pihak perusahaan pemegang HGU dan sekaligus juga dengan pihak BPN.

Dalam setiap kesempatan yang ada dalam rangkaian lobi dan negosiasi yang dilakukan FPPB sesungguhnya mereka selalu mendapat pernyataan-pernyataan dari pihakyang berwenang yang mengindikasikan adanya titik terang penyelesaian sengketa di Batang (khususnya untuk kelima kasus ini).47 Salah satunya adalah pernyataan Kepala Kanwil BPN Jawa Tengah pada pertengahan tahun 2005 yang menyatakan akan memberikan prioritas penyelesaian sengketa tanah di Batang.48 Pernyataan Kepala Kanwil BPN Jawa Tengah itu kemudian dengan cepat ditanggapi oleh Kantor Pertanahan Kab. Batang dan Pemda Kab. Batang. Dalam jangka waktu kurang dari 6 bulan setelah itu, pemerintahan kabupaten yang terdiri dari Pemda Kabupaten Batang, masing-masing Kantor Kecamatan, Kantor Pertanahan serta instansi kepolisian, kerap melakukan dialog-dialog dengan kelompok petani serta dengan pihak perusahaan pemegang HGU. Terkait dengan upaya-upaya pertemuan dengan pihak perusahaan, kelompok-kelompok tani, khususnya ketiga kelompok tani ini seringkali menemui kesulitan. Seringkali pertemuan yang sudah direncanakan gagal karena ketidakhadiran pihak perusahaan. Hasil dari rangkaian dialog ini adalah bahwa setiap pihak (aparat pemerintahan, Kantor Pertanahan dan pihak perusahaan) “dapat memahami” posisi kasus tanah yang ada dan akan meneruskan proses selanjutnya dengan melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan pejabat di tingkat propinsi. Hal ini pun membuat kepercayaan kelompok petani menjadi meningkat dan membuat mereka mendapatkan harapan atas penyelesaian kasusnya. Namun, setelah itu perkembangannya seakan-akan terhenti dan setiap ditanyakan kepada Pemda maupun Kantor Pertanahan Kabupaten Batang mereka selalu mengatakan bahwa prosesnya masih berlangsung.

Selain melakukan lobi dan negosiasi kepada pihak-pihak yang terkait, kelompok-kelompok tersebut secara bersama-sama melakukan aksi mobilisasi massa (minimal FPPB merancang aksi bersama setiap satu tahun sekali pada saat Hari Tani Nasional yang jatuh setiap tanggal 24 September), yang tujuannya untuk lebih memberikan gaung dan desakan yang kuat terhadap tuntutan-tuntutan mereka. Aksi-aksi dengan cara mobilisasi massa ini ditujukan kepada instansi-instansi pemerintah terkait dengan tujuan meminta penjelasan langsung tentang tuntutan hak atas tanah yang sedang mereka perjuangkan. Melalui aksi-aksi ini juga diupayakan untuk mendapat pernyataan resmi dari pejabat terkait yang pada gilirannya kemudian dapat dijadikan pegangan untuk menagih realisasinya. Misalnya, pada saat aksi mobilisasi massa di kantor Pertanahan Kabupaten Batang, Kepala Kantor Pertanahan setempat memberikan janji akan segera membentuk tim penyelesaian kasus sengketa di Kabupaten Batang setelah mendapatkan persetujuan dari Kepala Kanwil BPN Propinsi Jawa Tengah. Namun, seperti halnya kesepakatan yang didapatkan dari kegiatan lobi dan negosiasi yang sudah diuraikan diatas, janji Kepala Kantor Pertanahan tidak kunjung diwujudkan, dan ketika ditanyakan kembali oleh FPPB, jawabannya adalah prosesnya sedang dilakukan oleh pejabat di tingkat yang lebih tinggi, yaitu di tingkat propinsi. Menanggapi perkembangan ini, FPPB tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain menunggu.

Hingga saat ini, upaya-upaya yang dilakukan FPPB masih terus berlanjut karena belum semua tuntutan anggota-anggotanya terkabul, kecuali kelompok tani Kembang Tani yang sudah berhasil mendapatkan sertifikat tanah pada tahun 2002. Sesungguhnya, tidak ada yang 47 Selain kelima kasus yang dikaji dalam tulisan ini FPPB juga mewadahi perjuangan beberapa kelompok tani lainnya. Hingga saat ini ada sekitar 14 kelompok tani yang memperjuangkan hak atas tanah di Kabupaten Batang yang bernaung dalam FPPB. 48 Lihat Dokumen “Kesepakatan Kanwil BPN Propinsi Jawa Tengah”, tanggal 15 Juni 2005, tertanda Kepala BPN Jawa Tengah, Bambang Widjanarko

Page 29: Hilma s - Menuntut Negara

FINAL – Menuntut Negara by HS  Page 29 

membedakan rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memperjuangkan kelompok tani Kembang Tani dengan empat kelompok tani lainnya, perbedaannya keempat kelompok tani lainnya belum berhasil. Sedangkan keberhasilan kelompok Kembang Tani seperti telah dijelaskan di atas sangat terkait dengan status tanah yang mereka garap saat itu yang tidak lagi melekat hak apa pun (tidak berstatus HGU setelah hak erfpacht verpoding No. 67 berakhir).

Dalam upaya perjuangannya tersebut bahkan kelompok tani P2SD di tengah-tengah upaya melakukan lobi dan negosiasi dengan pihak-pihak terkait pada bulan November tahun 2007 harus menghadapi kenyataan tanah garapannya “dibersihkan” oleh pihak perkebunan karena ternyata tanah tersebut sudah disewakan kepada Pabrik Gula. Demikian juga dengan P2KPP/PMGK, pada awal tahun 2009 mereka mendapatkan informasi bahwa PT Pagilaran sudah mendapatkan persetujuan perpanjangan HGU untuk 25 tahun mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya hasil-hasil yang mereka dapatkan selama melakukan lobi dan negosiasi tidak terlalu banyak berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan di tubuh pemerintahan (khususnya BPN). Sementara itu pada dua kelompok tani lainnya, yaitu P2BS dan P4T, walaupun masih belum menunjukan kejelasan atas tuntutannya mereka relatif masih bisa melakukan kegiatan menggarap di lahan garapannya relatif tanpa gangguan.

4.3. FPPB: Wadah Perjuangan Petani Batang FPPB dibentuk pada tahun 2000 melalui kongres pertamanya atau Rembug Tani I FPPB. Pada saat pembentukannya, FPPB terdiri dari 3 kelompok tani yang berasal dari kecamatan Tulis, Bandar dan Blado. Mereka adalah 3 kelompok tani yang masing-masing bersengketa dengan Perkebunan Ambarawa Maju, Tratak dan Pagilaran. FPPB dibentuk dengan kesadaran penuh petani di 3 kelompok tani tersebut, karena mereka memiliki kesamaan permasalahan dan memerlukan satu wadah perjuangan agar koordinasi dan penyelesaian masalah sengketa tanah yang mereka hadapi dapat lebih cepat diselesaikan. Dengan demikian, mandat utama FPPB adalah untuk mencarikan jalan keluar atas permasalahan petani khususnya permasalahan yang terkait dengan sengketa tanah yang dihadapi khususnya dan umumnya yang terjadi di kabupaten Batang.

Melalui FFPB kemudian dilakukan serangkaian aktivitas untuk memperkuat kelompok maupun ikatan antar kelompok tani yang menjadi anggotanya. Sejumlah pertemuan atau kumpulan antar pengurus OTL sering dilakukan di bawah koordinasi FPPB untuk mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan isu-isu yang berkembang (misalnya isu-isu tentang bagaimana meningkatkan produksi pertanian, modal produksi pertanian atau isu-isu yang terkait dengan kebijakan-kebijakan yang ada terkait dengan masalah sengketa tanah) maupun untuk mendiskusikan langkah kerja jika satu kelompok tani menghadapi permasalahan yang perlu segera ditindaklanjuti secara bersama. Untuk mengambil sikap terhadap isu-isu atau persoalan yang penting yang menyangkut kepentingan keseluruhan kelompok yang menjadi anggotanya, FPPB memiliki mekanisme untuk pengambilan keputusan yang disebut dengan Rembug Tani. Dengan kata lain Rembug Tani adalah sarana pengambilan keputusan organisasi tertinggi dalam FPPB.

Beberapa topik diskusi dalam pertemuan-pertemuan tersebut biasanya menyangkut berbagai perkembangan kebijakan agraria yang dikeluarkan oleh pemerintah. Salah satu contohnya adalah membahas PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang secara terbuka dinyatakan oleh Presiden SBY akan dijalankan secara nasional mulai tahun 2007. Seringkali diskusi dilakukan tidak hanya dikalangan anggota FPPB, tetapi dengan melibatkan jaringan gerakan sosial lainnya baik jaringan organisasi tani di Jawa Tengah maupun organisasi-

Page 30: Hilma s - Menuntut Negara

FINAL – Menuntut Negara by HS  Page 30 

organisasi gerakan sosial lainnya di tingkat nasional seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), PEGERAKAN, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) khususnya Kantor LBH-Semarang, Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), dan Asosiasi Petani Indonesia (API).

Selain pertemuan-pertemuan yang membahas tentang perkembangan masing-masing tuntutan, FPPB juga merencanakan melakukan serangkaian pendidikan yang dilakukan secara berkala yang melibatkan seluruh pengurus kelompok tani maupun kader-kader muda dari masing-masing kelompok tani. Pelatihan-pelatihan tersebut dilakukan oleh FPPB secara bersama-sama dengan kelompok-kelompok yang menjadi pendukung perjuangan FPPB selama ini, khususnya kelompok mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Persaudaraan Warga Tani (PEWARTA)49.

Pada Rembug Tani II tahun 2005 digodok secara bersama-sama langkah-langkah perjuangan selanjutnya untuk lebih memperkuat dan mempertajam perjuangan politik mereka. Pada saat itu diputuskan untuk mempersiapkan dengan baik kader-kader organisasi untuk dapat menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat di tingkat Kabupaten Batang. Bahkan secara rinci mereka sudah menargetkan untuk mendudukkan kadernya sebagai anggota DPRD Kabupaten Batang pada Pemilu 2009. Untuk itu, sejumlah persiapan di tingkat lokal dilakukan. Salah satu langkah yang dianggap strategis untuk ditempuh adalah menguji kapasitas politik kelompok-kelompok tani yang ada saat ini dalam sejumlah pemilhan kepala desa yang berlangsung sepanjang tahun 2007. Selain untuk menguji kemampuan kelompok-kelompok tani ini dalam mengumpulkan dan meraih suara dukungan, posisi kepala desa dianggap satu faktor penting yang dapat menghambat perpanjangan atau penerbitan sertifikat HGU. Karena pada proses yang paling awal, persetujuan penerbitan dan perpanjangan HGU, didahului dengan persetujuan secara formal dari masing-masing kepala desa dimana lokasi HGU itu berada.

Dari lima kasus yang dikaji dalam tulisan ini, ada tiga kelompok tani (P2KPP/PMGK, P2SD, dan P2BS) yang kader-kadernya diikutkan dalam pemilihan kepala desa pada tahun 2007. Proses persiapannya bukanlah proses yang pendek, karena sejak proses sosialisasi hingga pemilihannya itu sendiri pengurus FPPB dan pengurus kelompok tani melakukan serangkaian kegiatan persiapan sejak tahun 2005. Mereka melakukan serangkaian kegiatan kumpulan secara intensif di masing-masing kelompok dan masing-masing desa serta melakukan pendampingan dan pendidikan kader yang dicalonkan agar menjalankan mandat

49 PEWARTA berdiri sejak tahun 2000. PEWARTA awalnya adalah kelompok mahasiswa yang tergabung dalam Serikat Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR), berdomisili di kota Yogyakarta. SMKR memiliki agenda penguatan kapasitas setiap mahasiswa yang bergabung didalamnya. Salah satu cara yang mereka tempuh adalah mengirimkan beberapa orang mahasiswa ke desa-desa di sekitar Jawa Tengah, dengan tujuan agar seluruh mahasiswa yang tergabung dapat memahami seutuhnya kehidupan rakyat dimanapun berada termasuk rakyat di pedesaan. Pada tahun 1999, desa yang menjadi target adalah desa-desa di sekitar dimana anggota FPPB berada. Bertepatan dengan kedatangannya, petani penggarap penuntut tanah perkebunan Pagilaran mendapatkan perlawanan dari pihak perkebunan. Sejak saat itu, beberapa orang mahasiswa yang tergabung dalam SMKR itu terus melanjutkan kebersamaannya dengan FPPB, padahal agenda SMKR sudah berakhir, Ketika FPPB dideklarasikan pada tahun 2000, SMKR pun kemudian berdiskusi untuk meneguhkan kerja-kerjanya dengan FPPB. Kemudian diputuskan bahwa SMKR perlu membentuk satu sayap khusus untuk menfokuskan kerja-kerjanya dengan kelompok petani, maka dibentuklah Persaudaraan Warga Tani – PEWARTA. Bagi FPPB, keberadaan PEWARTA kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari FPPB, karena baik FPPB dan PEWARTA memiliki kesepahaman bagiamana memposisikan dan berperan didalam penguatan petani di Batang, sejak saat itu, PEWARTA secara khusus memegang peran melaksanakan rangkaian pendidikan untuk anggota seluruh FPPB.

Page 31: Hilma s - Menuntut Negara

FINAL – Menuntut Negara by HS  Page 31 

organisasi/kelompok jika nantinya terpilih. Pendidikan juga diberikan kepada para pemilih khususnya anggota kelompok tani, yang tujuannya agar seluruh kelompok tani memilih calon yang dicalonkan oleh organisasi. Hal ini perlu dilakukan, karena pengalaman pemilihan kepala desa yang sudah dilakukan sebelumnya, faktor kekerabatan antara calon dan pemilih sangat kuat, hal ini perlu diantisipasi dengan memberikan arahan kepada seluruh anggota agar mereka memilih calon dari organisasi. Di dalam pendidikan itu juga dijelaskan bahwa jika memang calon yang diusung oleh organisasi bukan kerabatnya, maka pilihannya tetap calon dari organisasi, karena hal ini adalah salah satu agenda perjuangan organisasi. Penekanannya adalah bahwa ketika kader organisasi yang memimpin desa, maka akan didapatkan dua keuntungan sekaligus, yaitu penyelesaian sengketa atas tanah dan harapan akan perubahan kehidupan di pedesaan.

FPPB juga melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi kebutuhan-kebutuhan pembiyaan yang muncul akibat pencalonan kader-kader kelompok tani mereka sebagai kepala desa. Sebagaimana ketentuan yang berlaku, setiap calon kepala desa harus menanggung biaya pemilihan Kepala Desa di desanya secara bersama-sama dengan calon lainnya. Artinya, setiap calon harus menyediakan sejumlah dana untuk terselenggaranya pemilihan didesanya, yaitu jumlah yang sama dengan calon lainnya, tergantung jumlah biaya yang diperkirakan oleh panitia pemilihan dan tergantung jumlah calon kepala desa. Intinya, berdasarkan ketentuan tentang pemiliha kepala desa, biaya pemilihan adalah tanggungjawab calon yang akan maju didalam proses pemilihan. Hampir keseluruhan calon kepala desa dari kelompok-kelompok tani anggota FPPB adalah calon-calon yang tidak mempunyai kecukupan dalam hal ekonomi, sehingga FPPB perlu memikirkan bagaimana agar seluruh konsekuensi administratif bisa diatasi dan tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk ikut pemilihan. Salah satu caranya yang ditempuh adalah dengan melakukan pengumpulan dana dari seluruh anggota melalui iuran uang atau mengumpulkan hasil pertaniannya. Dengan cara ini, FPPB bias menanggulangi satu persoalan administratif pemilihan kepala desa yang menyangkut soal dana pemilihan.

Selain itu, satu sayap organisasi FPPB yang memfokuskan pada pengorganisasian kaum perempuan, yakni SITA (Suara Ibu Tani) juga melakukan rangkaian kegiatan yang tujuannya untuk memperkuat gerakan tani FPPB. SITA melakukan pertemuan secara bergiliran di masing-masing desa kelompok taninya dan menyusun jadwalnya sendiri. Pendamping FPPB – dalam hal ini adalah PEWARTA – kemudian mengikuti jadwal yang sudah dibuat oleh SITA dan datang pada waktunya untuk menjadi partner diskudi dalam setiap pertemuan. Inti dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan adalah untuk melakukan pengorganisasian kaum perempuan di masing-masing desa-desa, dan khususnya di kalangan kelompok-kelompok tani anggota FPPB. SITA juga mengambil peran untuk menjalankan fungsi penguatan ekonomi organisasi FPPB, dimana pada tahap awal pendiriannya, SITA melakukan upaya-upaya untuk pembentukan koperasi di FPPB. Setiap anggota SITA, setiap bulan bersepakat untuk mengumpulkan uang iuran sebagai upaya pembentukan modal untuk pendirian koperasi di kelompok taninya masing-masing.

Di tingkat kelompok tani, upaya-upaya penguatan organisasi dilakukan sesuai dengan situasi yang berkembang dari waktu ke waktu, misalnya pada saat muncul isu akan terjadi ‘penyerangan’ dari sekelompok orang yang berpihak pada perusahaan perkebunan. Di kelompok tani P4T pada saat muncul isu akan terjadi penyerangan kepada anggota-anggota kelompok tani P4T, mereka mengadakan Nariyahan50 selama 40 malam secara berturut sebagai bagian dari upaya untuk konsolidasi juga menunjukan kepada pihak luar bahwa kelompok mereka cukup solid; selain tentu saja sebagaimana layaknya pertemuan yang 50 Nariyahan adalah kegiatan pengajian

Page 32: Hilma s - Menuntut Negara

FINAL – Menuntut Negara by HS  Page 32 

bersifat religious, pertemuan nariyahan itu juga diisi dengan doa-doa bersama untuk keselamatan bagi mereka dalam menggarap lahan dan dibebaskan dari ganguan-gangguan kelompok-kelompok lainya.

V Penutup Gerakan Petani Batang dan Perjuangan Penegakkan HAM

Telah dijelaskan di muka bahwa perjuangan kelompok-kelompok masyarakat yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah tetapi tidak memiliki akses yang cukup terhadap sumber kehidupanya tersebut (tanah) adalah bagian dari perjuangan kehidupan mereka, bukan saja untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupannya, tetapi perjuangan tersebut menjadi bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk menegakan HAM. Gerakan petani Batang adalah salah satu gambaran tentang perjuangan tersebut. Perjuangan 5 kelompok tani di sana untuk memperoleh hak atas tanah yang sesungguhnya telah dijamin oleh undang-undang sekaligus perjuangan mereka dalam membangun organisasi tani lokal adalah gambaran nyata bagaimana kelompok-kelompok petani setempat memperjuangkan hak-hak azasinya.

5.1. Merebut Kembali Hak-hak Atas Tanah yang Dijamin oleh Undang-undang

Perjuangan petani di Batang yang diwakili oleh lima kasus diatas, didasarkan atas asumsi sejarah bahwa orang tua mereka sebelumnya adalah penggarap diatas tanah yang sekarang sedang diberikan kuasa HGU kepada perusahaan perkebunan, yaitu PT Pagilaran, PT Segayung, PTPN IX Kebun Sluwok dan PT Ambarawa Maju. Berdasarkan penuturan orang tua yang masih hidup hingga sekarang, kawasan empat perkebunan tersebut dahulunya adalah berupa kawasan hutan, dan atas dasar kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka berkelompok membuka kawasan hutan untuk dijadikan kawasan pertanian mereka. Tetapi kemudian, datang perusahaan perkebunan dengan berbekal surat formal untuk mengelola lahan tersebut, dengan seketika petani yang sudah menggarap diatas lahan yang sama tersebut harus segera meninggalkan lahan pertaniannya tanpa ganti rugi. Pada saat itu, keadaan tidak memungkinkan bagi petani untuk melawan dan mempertanyakan mengapa mereka harus pergi dan mengapa penerbitan ijin bagi perusahaan-perusahaan tersebut tanpa koordinasi dengan petani yang sedang menggarap lahan tersebut. Pada saat itu sangat kental stigma PKI bagi siapa saja yang mencoba melawan keputusan Negara termasuk jika petani mencoba mempertanyakan lahan pertaniannya yang diambil alih dengan cara sepihak.

Dengan pemahaman sejarah yang dipahami bersama mereka pun mengaitkan produk perundang-undangan yang berlaku (UUPA 1960) dengan jaminan dari Negara bagi mereka yang tidak memiliki tanah. Perjuangan hak atas tanah yang berlangsung, yang pada akhirnya berakumulasi pada strategi pendudukan tanah-tanah perkebunan tersebut, pada hakekatnya adalah perjuangan menagih jaminan-jaminan dari Negara seperti yang sudah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Dengan merujuk kepada sejarah penguasaan lahan di lima kelompok tani di Batang dan cara pemerintah menanggapinya terlihat bahwa masih ada ‘keraguan’ dari penguasa Negara saat ini untuk menjalankan visi kemerdekaan republik ini. Padahal pada tahun 1960 sudah diterbitkan UUPA 1960 yang secara jelas menguraikan visi kenegaraan tersebut dalam perspektif pembangunan kemandirian masyarakat desa. Di satu sisi, hingga saat ini UUPA

Page 33: Hilma s - Menuntut Negara

FINAL – Menuntut Negara by HS  Page 33 

1960 belum dicabut keberadaannya. Pada sisi lainnya banyak kelompok petani yang sangat membutuhkan tanah tidak hanya sebagai alat untuk berproduksi tetapi juga untuk mengembangkan kehidupan sosial-ekonomi dan budaya secara layak. Tetapi dengan merujuk kembali kepada kelima kasus yang dikaji, terlihat jelas bahwa Negara tidak menjalankan fungsi pokoknya untuk melindungi dan menjamin tersedianya kebutuhan yang pokok bagi kelompok masyarakat yang sangat membutuhkan tanah tersebut. Dalam perspektif HAM dengan tidak diberikannya kepastian hukum hak atas tanah kepada warga yang sangat membutuhkannya maka dapat dikatakan bahwa hak azasi kelompok masyarakat ini telah dilanggar, dan Negara yang seharusnya melindungi hak-hak azasi tersebut justru terlibat dalam serangkaian pelanggaran itu. Dengan kata lain, Negara sudah mengabaikan hak-hak azasi warganya yang berkaitan dengan tanah dan sekaligus sudah melanggar konstitusi.

Ditengah-tengah pelanggaran yang sudah dilakukan oleh Negara kepada warganya itu, situasinya diperparah lagi dengan kondisi-kondisi dimana warga yang membutuhkan tanah harus tersingkir dari tanah garapannya bahkan dari tempat tinggalnya. Dalam hal ini, khususnya melihat apa yang dialami petani di Batang, setelah mereka tidak diberikan hak atas tanah yang mereka butuhkan kemudian mereka secara ‘sah’ digusur dari lahan garapannya, karena pada era Orde Baru terbit berbagai macam peraturan yang dapat membenarkan tindakan-tindakan penggusuran. Pada titik ini, keberadaan Negara yang telah melanggar HAM dengan tidak menjalankan ketentuan hukum yang berlaku mengenai jaminan kepastian hak atas tanah bagi warga yang membutuhkannya diperparah dengan mendukung proses-proses penggusuran warga dari tanah garapannya.

Setelah peristiwa-peristiwa yang terjadi dialami oleh penduduk setempat di Batang, tidak ada pilihan lagi bagi mereka untuk tetap berjuang mendapatkan sumber penghidupan dengan cara menguasai sebidang tanah pertanian. Pada sekitar tahun 1990-an (era Orde Baru) mereka ‘terpaksa’ mengikuti skema-skema yang disediakan oleh pihak perusahaan perkebunan melalui Mandor Perkebunan, yaitu skema Tumpangsari dan Bagi Hasil, kemudian pada era Reformasi mereka tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajiban atas tanah yang mereka garap yang sebelumnya adalah tanah garapan dengan skema Tumpangsari atau Bagi Hasil. Bahkan, bentuk yang paling berbeda adalah seperti yang terjadi di Perkebunan Pagilaran, di tengah-tengah sebagian anggota keluarganya tetap menjadi buruh perkebunan, mereka tetap menuntut pencabutan atas sebagian tanah yang termasuk dalam sertifikat HGU. Apapun yang dilakukan oleh petani di Batang tersebut adalah bentuk-bentuk perjuangan mereka atas penghidupannya, dan tidak hanya untuk merebut kembali akses mereka terhadap sumber penghidupan tetapi lebih dari itu mereka sedang berjuang untuk memperoleh kepastian bagi masa depan keluarganya. Sedangkan perjuangan mereka untuk memperoleh pengakuan hukum atas tanah-tanah yang sekarang sedang digarap kembali atau dituntut adalah bagian dari perjuangan mereka untuk memperoleh security of tenure, yang dalam arti sempit adalah terbebas dari upaya-upaya penggusuran-penggusuran yang merugikan, seperti yang pernah mereka alami di masa lalu.

Dalam konteks kehidupan bernegara, perjuangan kelompok-kelompok petani di Batang malah dapat dikatakan sebagai bagian dari partisipasi warga negara untuk mengingatkan pemerintah yang berkuasa untuk menjalankan amanat-amanat konstitusi dan undang-undang untuk menegakan keadilan sosial dan mensejahterakan rakyat. Perjuangan petani di Batang seharusnya dipandang sebagai bagian dari upaya nyata kelompok petani untuk mengingatkan kembali pemerintah yang berkuasa tentang perlunya dijalankan land reform, perlunya meninjau kembali keberadaan penguasaan tanah dalam skala besar yang merugikan penduduk setempat, dan perlunya diberikan kepastian-kepastian hukum atas tanah-tanah yang sudah digarap oleh penduduk setempat apalagi jika mereka hidupnya sangat bergantung kepada tanah tersebut.

Page 34: Hilma s - Menuntut Negara

FINAL – Menuntut Negara by HS  Page 34 

5.2. Merebut Kembali Hak-hak untuk Berorganisasi

Gerakan petani Batang yang terhimpun dalam satu wadah perjuangan FPPB, merupakan salah satu cara bagi petani untuk mengefektifkan strategi perjuangannya secara bersama-sama di tingkat kabupaten. Ketika permasalahan yang mereka hadapi memiliki kesamaan, maka merekapun merumuskan secara bersama-sama agar pemerintah daerah kabupaten Batang dapat menyelesaikan permasalahan petani di wilayahnya.

Di sisi lain, kesadaran petani di Batang untuk menghimpun dirinya menjadi satu wadah FPPB juga merupakan upaya yang mereka lakukan untuk juga merebut hak-hak mereka untuk berorganisasi atau berkumpul untuk memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya. Dalam sejarah Indonesia, khususnya sejak Orde Baru berkuasa, kebebasan berorganisasi yang merupakan bagian dari HAM ini telah diberangus. Bahkan bersamaan dengan itu, rejim Orde Baru juga memberikan stigma-stigma politik yang terkait dengan peristiwa tahun 1965 dan komunisme atas berbagai inisiatif kelompok masyarakat yang mencoba berorganisasi untuk memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya .

Karena itu baru setelah reformasi 1998 berhasil menjatuhkan Soeharto, kelompok-kelompok perjuangan petani di Batang menyatukan diri dalam wadah FPPB. Meskipun hal itu tidak berarti para petani dan aktivis-aktivis gerakan sosial di Batang tidak terlibat dalam gerakan reformasi. Perjuangan petani di Pagilaran dan Ambarawa Maju, misalnya, yang telah mulai muncul sejak 1990-an awal telah turut mendelegitimasi kekuasaan Orde Baru dengan mempertanyakan kebijakan-kebijakan pemerintah ini terhadap keberadaan perkebunan besar yang mengambil tanah-tanah yang seharusnya menjadi hak masyarakat.

Dalam hal ini, mereka dengan FPPB-nya sesungguhnya sedang melakukan perebutan kembali terhadap hak-hak mereka untuk bebas berkumpul dan berorganisasi yang tidak terakomodasi selama masa Orde Baru.

[]

Page 35: Hilma s - Menuntut Negara

FINAL – Menuntut Negara by HS  Page 35 

Referensi:

Bachriadi, Dianto. Situasi Perkebunan di Indonesia Kontemporer. Dalam Bachriadi, Faryadi dan Setiawan (ed.). Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. KPA dan LP FE Universitas Indonesia. 1997.

Bachriadi, Dianto. Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakkan Kembali Lembaga Peradilan Yang Independen. Kertas Posisi KPA No. 2 Tahun 1998. Bandung. Konsorsium Pembaruan Agraria. 1998a.

Bachriadi, Dianto. Merana di Tengah Kelimpahan: Pelanggaran-pelanggaran HAM pada Industri Pertambangan di Indonesia. Jakarta. ELSAM. 1998b.

Bachriadi, Dianto. Memandang Selayang Kedalam: Latar Belakang Munculnya Usulan Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alamyang Adil dan Berkelanjutan. Dalam Meneguhkan Komitmen Mendorong Perubahan. Bandung. KSPA-KPA,Pokja PAPSDA. 2001.

Bachriadi, Dianto. Warisan Kolonial yang Tidak Diselesaikan: Konflik dan Pendudukan Tanah di Tapos dan Badega, Jawa Barat. Dalam Lounela dan Zakaria (ed.). Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta. Insist Press. 2002.

Bachriadi Dianto. Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia: Menunggu Lahirnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA). Jurnal Dinamika Masyarakat Vol. III, No. 3, November 2004, hal. 497-521. 2004.

Bachriadi, Dianto, dan Noer Fauzi. The Resurgence of Agrarian Movements in Indonesia: Scholar-Activists, Popular Education and Peasant Mobilization—Some Sketches For Discussion. Paper presentasi the International Conference on Social Movement Perspectives: Land, Poverty, Social Justice and Development. The Hague: ISS. 2006.

Bachriadi, Dianto dan Lucas, Anton. Merampas Tanah Rakyat. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia. 2001.

Bachriadi, Safitri, Bachrioktora. Menuju Integrasi Sistem Hukum Agraria Nasional – Kajian Kebijakan dan Pengaturan Perundang-undangan di Bidang Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Bandung. KPA-Pokja PAPSDA-BPN-HuMA-ICRAF. 2004.

Bachriadi, Bachrioktora dan Safitri. Ketika Penyelenggaraan Pemerintahan Menyimpang. Yogyakarta. Lapera Pustaka Utama. 2005.

Boomgaard, Peter. Between Sovereign Domain and Servile Tenure: The Development of Rights to Land in Java, 1780-1870. Amsterdam. Free University Press. 1988.

Djuweng, Stepanus. Land Disputes Cases – The Strawberry of Development: Global Causes of Local Conflict vs Local Cost of Global Problems. Paper pada 10th INFID Conference: ‘Land and Development’. Canberra 26-28 April 1996. 1996.

Fauzi, Noer. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia. Yogyakarta. Insist Press, KPA, Pustaka Pelajar. 1999.

Franke, Richard. The Green Revolution in a Javanese Village. (tidak dipublikasi) Ph.D. thesis at Harvard University. Cambridge. Massachusetts. 1972.

Gautama, Sudargo. Tafsiran UUPA. Jakarta. Citra Aditya Bakti. 1993

Gunawan. Pembaruan Agraria, Pembaruan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dokumen Focus Group Meeting “Merumuskan Pokok-pokok Pikiran tentang RUU Reforma

Page 36: Hilma s - Menuntut Negara

FINAL – Menuntut Negara by HS  Page 36 

Agraria”. Diselenggarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Jakarta, 29-30 Januari 2009. 2009.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukkan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta. Djambatan. 1996.

Husken, Frans. Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa, 1830-1980. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 1998.

Hutagalung, Arie Sukanti. Program Redistribusi Tanah di Indonesia: Suatu Sarana ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah dan Pemilikan Tanah. Jakarta, Rajawali Pers. 1985.

Ismet. Daftar Tanah Perkebunan-perkebunan di Indonesia. Bandung. CV Biro Sinar. 1970.

Kartodirdjo, Sartono dan Suryo, Djoko. Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. 1991

Lucas, Anton and Dianto Bachriadi. Loosing Rights to Land: the Fate of Land Reform in Five Villages in West Java. dalam Land Laws, Conflicts and Liveilihood in Indonesia. Anton Lucas and Carol Warren (ed.). Athen: Ohio Univ. Press. 2009

Mammock, Kasus Tanah Ujung Negoro Batang, Jawa Tengah. Dalam Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah. Harman et al (ed.). Jakarta. YLBHI. 1995

Manning, Chris. The Green Revolution, Employment, and Economic Change in Rural Java: A Reassessment of Trends under the New Order. ISEAS Occasional Paper No. 84, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. 1988.

McAuslan, Patrick. Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata. Jakarta. Gramedia dan Walhi. 1986

Muhtaj, Majda El. Dimensi-dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta. Rajawali Pers. 2008

Peluso, Nancy Lee. A History of State Forest Management in Java. Dalam Keeper of The Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia, pp 27-55. Mark Poffenberger (ed.). Connecticut. Kumarian Press. 1990

Peluso, Nancy Lee. Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Berkeley. University of California Press. 1992.

Plant, Roger. The Right To Food and Agrarian System: Law and Practice in Latin. Dalam The Right To Food. Alston dan Tomasevski (ed.). International Studies in Human Rights. SIM dan Martinus Nijhoff Publishers. 1984

Ruwiastuti, Maria R. Menuju Pluralisme Hukum Agraria: Analisa dan Kritik Terhadap Marginalisasi Posisi Hukum-hukum dan Hak-hak Adat Penduduk Asli atas Tanah dan Sumber-sumber Agraria oleh UUPA 1960. Dalam Usulan Revisi UUPA: Menuju Penegakkan Hak-hak Rakyat Atas Sumber-sumber Agraria. Bandung. Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Konsorsium Pembaruan Agraria. Oktober 1998. 1998.

Soesangobeng, Herman. Kontekstualisasi Filosofi Adat tentang Tanah dan Penerapannya Setelah UU No. 5/1960 Serta Advokasi Pertanahan di Indonesia. Makalah Diskusi di AKATIGA – Bandung, 21 Februari 1998. 1998.

Soetiknjo, Iman. Proses Terjadinya UUPA: Peranserta Seksi Agraria Universitas Gdjah Mada. Jogjakarta. Gadjah Mada University Press. 1987.

Page 37: Hilma s - Menuntut Negara

FINAL – Menuntut Negara by HS  Page 37 

Suryaalam, Maria R. (ed.). Menguak Rahasia: Di balik Merebaknya Konflik-konflik Agraria di Flores dan Timor. Denpasar. VeCo-Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria. 2003.

Tauchid, Mohammad. Masalah Agraria: Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia. Jakarta. Penerbit Tjakrawala. 1952.

Tjondronegoro, Sediono MP. A Brief Quarter Century Overview of Indonesia’s Agrarian Policies. Makalah pada the National Seminar of ‘Land and Households Economy 1979-2005: Changing Roads for Poverty Reduction’. ICASEPS and UNESCAP-CAPSA, Bogor 25 June 2007. 2007.

Utrecht, E. Land Reform. Bulletin of Indonesia Economics Studies 5(3) (November 1969). Pp. 71-88. 1969

Van Niel, Robert. Sistem Tanam Paksa di Jawa: Kumpulan Tulisan. Jakarta. LP3ES. 2003.

Wiradi, Gunawan. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Bandung. KPA dan Insist Press. 2000.

BPS. Sensus Pertanian 2003: Angka Nasional Hasil Pendaftaran Rumah Tangga. Jakarta, Badan Pusat Statistik, 2004.

BPS. Jawa Tengah dalam Angka 2007. Bappeda Propinsi Jawa Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah. 2008.

BPN. Data Hak Guna Usaha (HGU) Seluruh Indonesia, 1 Juni 2006. Jakarta. Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat – BPN. 2006.

Sejarah Pembentukan Kab. Batang. di http://www.batangkab.go.id/profile/sejarah.htm

Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

Undang-undang No 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).

Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara

Peraturan Menteri Negara Agraria No. 3 tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak.

Keputusan Menteri Agraria No. SK 922/Ka tanggal 28 November 1960 tentang Penetapan Minimum Luas Tanah Yang Harus Ditanami Tebu.