hasil penelitian - unja

192
PROSIDING Hasil Penelitian “ Membangun Peternakan Berkelanjutan Menuju Era Industri 4.0” Jambi, 2 - 3 Oktober 2019 TIM PENYELIA : Prof. Dr. Ir. H. Abdul Azis , MS Prof. Dr. Ir .H. R.A. Muthalib, MS Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, MSc. Agr. Prof. Dr. Ir . Hj. Adriani. MS Prof. Dr. Ir. Hj. Zubaidah, MS Prof. Dr. Ir. Ucop Haroen, MS Penerbit : Fakultas Peternakan Universitas Jambi

Upload: others

Post on 09-Nov-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hasil Penelitian - UNJA

ii

PROSIDING Hasil Penelitian

“ Membangun Peternakan Berkelanjutan

Menuju Era Industri 4.0”

Jambi, 2 - 3 Oktober 2019

TIM PENYELIA : Prof. Dr. Ir. H. Abdul Azis , MS Prof. Dr. Ir .H. R.A. Muthalib, MS Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, MSc. Agr. Prof. Dr. Ir . Hj. Adriani. MS Prof. Dr. Ir. Hj. Zubaidah, MS Prof. Dr. Ir. Ucop Haroen, MS

Penerbit : Fakultas

Peternakan

Universitas Jambi

Page 2: Hasil Penelitian - UNJA

ii

PROSIDING

HASIL PENELITIAN

SEMINAR NASIONAL 2019 “Membangun

Peternakan Berkelanjutan Menuju Era

Industri 4.0”

Tim Penyelia : Prof. Dr. Ir. H. Abdul Azis , MS Prof. Dr. Ir .H. R.A. Muthalib, MS Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, MSc. Agr. Prof. Dr. Ir . Hj. Adriani. MS Prof. Dr. Ir. Hj. Zubaidah, MS Prof. Dr. Ir. Ucop Haroen, MS

ISBN : 976-602-50946-2-0

Disain sampul dan tata letak :

Dr. Ir. H.M. Afdal, MSc., M.Phil.

Penerbit :

Fakultas Peternakan Universitas Jambi

Alamat :

Kampus UNJA Mendalo Indah KM 15 Jambi 36361 Telepon/Fax : (0741) 582907

Cetakan pertama, Januari 2020

Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

Page 3: Hasil Penelitian - UNJA

iii

PROSIDING

Hasil Penelitian SEMINAR NASIONAL 2019

Membangun Peternakan Berkelanjutan Menuju

Era Industri 4.0”

Panitia Pelaksana kegiatan Seminar Nasional tahun 2019 Fakultas

Peternakan Universitas Jambi

Steering Comitee

Penanggung Jawab : Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, M.Sc Agr. (Dekan Fakultas Peternakan)

Anggota Dr. Sc. Agr Ir. Teja Kaswari, M.Sc (W akil Dekan Bidang Akademik, Kerjasama dan Sistem Informasi) Dr. Ir. Agus Budiansyah, MS (W akil Dekan Bidang Umum, Perencanaan dan Keuangan) Dr. Ir. Depison, M.P. (W akil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni)

Ketua : Dr. Firmansyah, SPtM.P W akil ketua : Dr. Ir. Mairizal, Msi Sekretaris : Dr. Heni Suyani, SPt. Bendahara : Afriani H. SPt. M.P

Bagian Pelaksanaan Acara

Seminar

: Prof. Dr. Ir . Adriani. MS

Ir. Yusrizal, MSc., Ph.D Ir. W iwaha A.S, MSc., Ph.D. Dr. drh. Fahmida Manin, MP Dr. Ir. Syafril Hadi, M.S Dr. Ir. H. Afzalani, M.P Dr. Ir. Suparjo, M.P

Bagian Sekretariat, Publikasi dan dokumentasi

: Dr. Ir. H.M. Afdal, MSc., M.Phil Dr. Ir . Akmal MSi Dr. Bagus Pramusintho, SPt.M.Sc.

M. Hariski, S.Pi

Page 4: Hasil Penelitian - UNJA

RTS Sherly Dwijayanti, S.Pt., M.Pt. Siti Rahayu, S.E Drh. Nurbani Azis

Bagian Kerjasama : Dr. Ir. Fachroerrozy Hoesni, M.P.

Bagian Field Trip : Ir. Saitul Fakhri, M.Sc., Ph.D

Dr. Ir Rahmi Dianita S.Pt. M.Sc

Bagian Konsumsi : Nelwida, S.Pt., MP Filawati, S.Pt., MP

Bagian Perlengkapan dan Transprotasi

: Dr. Yatno, S.Pt., M.Si

Supriyadi, S.H

W ahyudi Darmawan Fauzan Ramadan S.Pi

Penyelia : Prof. Dr. Ir .H. R.A. Muthalib, MS Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, M.Sc. Agr. Prof. Dr. Ir. Hj. Adriani, MS Prof. Dr. Ir. H. Abdul Azis, MS Prof. Dr. Ir. Hj. Zubaidah, MS Prof. Dr. Ir. Ucop Haroen, MS

Penyunting : Ir. W iwaha A.S, M.Sc., Ph.D Dr. Heni Suryani, S.Pt. Dr. Bagus Pramusintho, S.Pt. M.Sc

iv

Page 5: Hasil Penelitian - UNJA

KAT A PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang

Maha Esa atas segala rahmatNya kepada kita sekalian, serta dengan izinNya

SEMINAR NASIONAL TAHUN 2019 Hasil Penelitian yang bertema :

Membangun Peternakan Berkelanjutan Menuju Era Industri 4.0 yang

diadakan oleh Fakultas Peternakan Universitas Jambi dapat terlaksana

dengan baik dan prosiding ini dapat diterbitkan.

Teknologi akan selalu berkembang untuk mendukung berbagai aspek

kehidupan manusia, tidak terkecuali di bidang peternakan. Industri peternakan

semakin berkembang di era industri 4.0 dimana produk peternakan

diciptakan dan dibuat segala sesuatunya menjadi lebih cepat, smart, dan

efisien.

Prosiding ini memberikan kesempatan untuk berbagi informasi

tentang berbagai strategi untuk meningkatkan kemampuan peneliti

dalam melakukan penelitian serta penerapan hasil-hasil penelitian bidang

peternakan. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat menciptakan inovasi serta

memenuhi tuntutan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan sosial

ekonomi khususnya di bidang peternakan

Kami menyadari bahwa dalam penyelenggaran seminar ini masih

banyak kekurangan baik dalam penyajian acara, pelayanan administrasi maupun

keterbatasan fasilitas, serta penyusunan prosiding Seminar Nasional hasil

penelitian tahun 2019 ini masih banyak kekurangan. Pada akhirnya kami

ucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang begitu tinggi kepada

semua pihak yang membantu dalam penyusunan prosiding Seminar Nasional

hasil penelitian tahun 2019.

Jambi, Oktober 2019

Ketua Panitia

Dr. Firmansyah, S.Pt., MP.

v

Page 6: Hasil Penelitian - UNJA

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….... ii

DAFTAR ISI ……………………………………………..……………………...… v

PEMAKALAH SEMINAR HASIL PENELITIAN

1. Kecernaan Serat Kasar Dan Energi Metabolisme Ayam Broiler Yang Diberi

Ransum Tepung Daun Lamtoro dengan Beberapa Perlakuan ..................................... 1

Nita Yessirita, Zasmeli Suhaemi, dan Yurnalis

2. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan pada Sapi Potong Di Kecamatan Sumber

Harta Kabupaten Musi Rawas ................................................................................... 12

Ririn Novita, Sadjadi, Budi Susilo

3. Inventarisasi Hijaun Pohon Sebagai Pakan TambahanTernak Ruminansia Di

Kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat Daya ....................................................... 27

D.deLima dan C. K. Pattinasarany

4. Evaluasi Kualitas Fisik dengan beberapa Jenis Pengolahan Pakan pada Pelepah

Sawit Sebagai Pakan Ternak Kerbau Rawa (Buffelus asiaticus)

W. Ibrahim dan J. Laksono ....................................................................................... 40

5. Pengaruh Bioprosessing Kulit Buah kakao (Theobroma cacao) menggunakan

ProbiotikTerhadap Kandungan Fraksi Serat Serat ....................................................48

Sri Rahayu dan Djoko Subagyo

6. Kualitas Reproduksi Sapi Jantan PO Sebagai Calon Bibit yang Diberi Minum

Tersuplementasi Ekstrak Buah Merah .......................................................................57

Nurcholis, S.M. Salamony, dan D. Muchlis

7. Pengaruh Pengunaan Tepung Biji Asam kandis (Garcinia cowa) sebagai Imbuhan

Pakan Alami (NGPs) terhadap Kecernaan Protein, Energi Metabolis, Lebar Kripta

dan Panjang Vili Usus Ayam Pedaging… ................................................................ 63

O.Sjofjan, D.N. Adlia, S. Lailiyah, dan M.J. Abdillah

8. Potensi dan Produktivitas Ternak Itik di Kawasan Pasang Surut Kabupaten

Tanjung Jabung Barat .............................................................................................. 73

Jalius dan Musriadi

Page 7: Hasil Penelitian - UNJA

9. Strategi Pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis Peternakan Berdasarkan

Model Sosial dan Ekonomi Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur ......................... 89

Afriani, H. Syafril, H. dan Firmansyah

10. Pengaruh Pemberian Probio_FM Powder dalam Pakan Terhadap Jumlah Eritrosit,

Nilai Hematokrit dan Kadar Hemoglobin Kambing Kacang ................................... 101

Alexander, Pudji, R. Anie, I. Famida, M and Darlis

11. Efektifitas Senyawa Antibakteri Asal Pediococcus pentosaceus BAF715 untuk

Meningkatkan Kualitas Mikrobiologis Fillet Ikan Gabus (Channa Striata) Pada

Penyimpanan Suhu Chiling .................................................................................... 107

Afriani dan Haris Lukman

12. Analisis struktur, perilaku dan kinerja (structure-conduct-performance) pasar

ternak sapi untuk meningkatkan efisiensi pemasaran di Kabupaten Batanghari ...... 119

Firmansyah, Afriani H, dan Aulia Arum Chandra Kartika

13. Keberhasilan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab)

Berdasarkan Pemeriksaan Status Dan Gangguan Reproduksi Serta Pengendalian

Pemotongan Sapi Betina Produktif Di Kabupaten Tebo .......................................... 130

Fachroerrozi Hoesni dan Firmansyah

14. Evaluasi Penggunaan Berbagai Jenis Dan Konsentrasi Bahan Perekat Terhadap

Kualitas Fisik Biskuit Konsentrat Mengandung Indigofera Untuk Ternak

Kambing ................................................................................................................ 144

R. A. Muthalib, Afzalani, Wati N, Dianita, R

15. Pengaruh Biourin dan Fungi Mikoriza Arbuskula Terhadap Hasil, Kecernaan Bahan

Kering Dan Bahan Organik Hijauan Kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge)

Nees.) pada Lahan Bekas Tambang Batu Bara …………………………………… 156

H. Syafria dan N. Jamarun

16. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi Pada Sentra Peternakan

Rakyat (Spr) Di Kabupaten Merangin …...........................................……………. 163

Muhammad Farhan dan Farizal

17. Analisis Model Impor Ternak Sapi Asal Australia .……………..………….……. 178

Muhammad Farhan, Pahantus Maruli dan Iskandar

vi

Page 8: Hasil Penelitian - UNJA

1

Kecernaan Serat Kasar Dan Energi Metabolisme Ayam Broiler

Yang Diberi Ransum Tepung Daun Lamtoro dengan Beberapa

Perlakuan

Nita Yessirita1), Zasmeli Suhaemi2), dan Yurnalis1)

1)Prodi Tekhnologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Ekasakti,

Padang 2)

Prodi Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Tamansiswa, Padang

Corresponding author e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Lamtoro adalah hijauan makanan ternak yang dapat dijadikan bahan

pakan ternak karena bernilai gizi baik namum defisiensi terhadap asam amino

metionin lisin, untuk itu harus didatangkan dari luar karena ternak unggas tidak

dapat memproduksinya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kecernaan serat

kasar dan energi metabolisme ransum ayam pedaging yang mengandung tepung

daun leucaena (TDL) dengan beberapa perlakuan. Penelitian menggunakan 30 ekor

ayam broiler umur 6-8 minggu. Percobaan ini menggunakan rancangan acak

lengkap, yang terdiri dari 3 perlakuan dan 8 ulangan. Perlakuannya adalah sebagai

berikut: R0 = ransum berbahan dasar + 7,5% TDL tanpa fermentasi, R1 = ransum

berbahan dasar + 7,5% TDL yang difermentasi oleh Bacillus laterosporus dan R2

= ransum berbahan dasar + 7,5% TDL yang difermentasi oleh Bacillus laterosporus

dengan suplementasi 0,40 % metionin 1,25% lisin. Data dianalisis dengan analisis

varians (ANOVA) dan dilanjutkan oleh uji Duncan New Multiple Range Test 5%.

Parameter yang diamati adalah kecernaan serat kasar dan energi metabolisme. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat perlakuan sangat nyata (P < 0,01) terhadap

kecernaan serat kasar dan energi metabolisme ayam broiler. Berdasarkan penelitian

ini dapat disimpulkan bahwa 7,5% tepung daun lamtoro yang difermentasi oleh

Bacillus laterosporus dengan suplementasi 0,40% metionin 1,25% lisin dapat

meningkatnya nilai kecernaan serat kasar (57,66%) energi dan metabolisme

(3013,49 kkal / kg) ayam broiler.

Kata kunci: serat kasar, kecernaan, energi metabolisme, perlakuan

PENDAHULUAN

Ternak unggas seperti broiler merupakan pilihan yang tepat dalam memenuhi

kebutuhan protein secara cepat. Dalam pemeliharaan ternak unggas perlu

diperhatikan kebutuhan nutrisi yang berhubungan dengan biaya pakan yang

memegang peranan penting karena mempengaruhi 70% biaya produksi. Untuk

menekan biaya pakan dicari alternatif dengan menfaatkan bahan lokal seperti

limbah dan hijauan, yang murah, dan banyak tersedia apabila diolah dengan baik

dapat dijadikan pakan broiler berkualitas, salah satunya daun lamtoro.

Page 9: Hasil Penelitian - UNJA

2

komposisi proksimat yaitu 88,2% bahan kering, 21,8% protein kasar, 15,1% serat

kasar, 3,1% abu, 8,6% lemak, dan 50,7% BETN dan ditambahkan oleh Ayssiwede,

et al. (2010) menambahkan dari beberapa hasil penelitian, bahwa lamtoro penting

sebagai sumber bahan pakan karena kaya akan protein, asam- asam amino esensial,

mineral, karotenoid dan vitamin. Namum demikian terdapat mimosin sebagai faktor

toksik penting dan sering disebut sebagai penghambat dalam pemanfaatan secara

intensif.

Yessirita (2013) melaporkan tepung daun lamtoro difermentasi dengan

Bacillus laterosporus, menggunakan bakteri yang berasal dari saluran pencernaan

itik Pitalah sebagai inokulum fermentasi dapat mendetoksi mimosin daun lamtoro

dan mereduksi Mimosin 64,89% (dari 2,62 turun menjadi 0,92%) serta peningkatan

Beta-karoten 96,91% (dari 972,75 ppm naik menjadi 1915,48 ppm).

Permasalahannya bahwa produk samping fermentasi mengandung asam

nukleat, dimana protein tidak dimanfaatkan maksimal pada unggas karena tidak

memiliki enzim Ribonuklease akan terbuang bersama feces, sehingga protein yang

dihasilkan bukan protein yang mengandung asam-asam amino yang lengkap (Safaa

et al, 2008). Selanjutnya ditambahkan Garcia et al, 1996) bahwa lamtoro defisiensi

akan asam amino metionin dan lisin, jadi harus didatangkan dari luar karena ternak

tidak dapat memproduksinya sendiri, untuk itu perlu suplementasi asam amino

metionin lisin sintesis mengatasi masalah tersebut (Widyastuti, 2010). Asam

amino lisin dan metionin, merupakan asam amino perlu diperhatikan dalam

menyusunan ransum karena lisin merupakan asam amino pembatas utama unggas

disusul metionin sebagai asam amino pembatas kedua, yang merupakan asam

amino essensial dalam pakan unggas (Lessson and Summers, 2001). Tepung

daun lamtoro fermentasi dan disuplementasi 0,40% metionin dan 1,25% lisin dapat

meningkatkan kandungan protein kasar 6,88% menurunkan serat kasar 39,30% dan

kandungan Betakaroten 68,49%, lebih baik dibandingkan produk fermentasi tanpa

suplementasi metionin-lisin (Yessirita, 2017).

Pengukuran kecernaan disebut jugq nilai cerna suatu bahan pakan adalah

usaha untuk menentukan jumlah nutrien dari bahan pakan yang didegradasi dan

diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga merupakan presentasi nutrisi

yang diserap dalam saluran pencernaan dimana hasilnya akan diketahui, yaitu

Eniolorunda (2011) melaporkan Tepung daun lamtoro (TDL) mempunyai

Page 10: Hasil Penelitian - UNJA

3

yang dikeluarkan dalam feses. Nutrisi yang tidak terdapat dalam feses inilah

diasumsikan sebagai nilai yang dicerna dan diserap (Suhardjo dan Kusharto, 2001).

Energi metabolis menurut Sibbald (1980) adalah perbedaan antara

kandungan energi bruto bahan pakan atau ransum dengan energi bruto yang

dikeluarkan melalui ekskreta. Dalam menyusun ransum untuk unggas selain

kandungan nutrien seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral juga

kandungan energi perlu di perhatikan mengingat tingkat energi ransum menentukan

banyaknya pakan yang dikosumsi (Wahju, 1997). Kebutuhan energi dijadikan

standar dalam penyusunan ransum ternak sehingga pengetahuan kandungan energi

secara kuantitatif sangat penting (Mc Donald et al.,2010). Anggorodi (1995)

menyatakan bahwa zat nutrisi sumber energi adalah karbohidrat, lemak dan protein,

sedangkan menurut Wahju (1997) karbohidrat berbentuk selulosa, hemiselulosa,

dan lignin sulit dicerna oleh unggas. Tingginya kandungan serat kasar dapat

memberikan dampak negatif terhadap metabolisme energi. Apabila polisakarida

dalam serat kasar tidak dapat dicerna, maka bisa menurunkan ketersediaan energi

dalam ransum, sedangkan jika polisakarida dalam serat kasar dapat dicerna,

selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan energi dalam ransum dan

meningkatkan energi metabolis (Elvina, 2008). Berdasarkan hal di atas maka

dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi

metionin lisin Kecernaan Serat Kasar dan Metabolisme Energi pada ayam broiler.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di kandang percobaan di Lolong Padang.

Metode penentuan kualitas nutrisi perlakuan terhadap energi metabolisme dan

retensi nitrogen menggunakan metode Sibbald dan Morse (1983) yang dimodifikasi

oleh Darana (1995). Analisa retensi N dan Metabolisme energi dilaksanakan di

labor Nutrisi non Ruminansia, Fakultas Peternakan Unand Padang. Penelitian ini

menggunakan 30 ekor broiler strain Cobb, berumur 6-8 minggu dengan bobot badan

±1600 gram. Kandang yang digunakan adalah kandang battery berukuran

20x30x30 cm sebanyak 30 unit, dilengkapi dengan

dengan melihat selisih antara jumlah nutrisi yang dimakan d an jumlah nutrien

Page 11: Hasil Penelitian - UNJA

4

digital O’Haus (untuk menimbang ayam, ransum dan eksreta), wadah penampung

eksreta, tabung penyemprot, spuit untuk mencekokkan ransum perlakuan ke broiler,

aluminium foil, pengaduk dan oven untuk mengeringkan eksreta. Bahan kimia yang

digunakan adalah aquades 1 liter dan H2SO4 0,3 N. Pakan yang digunakan adalah,

jagung giling, dedak, bungkil kedelai, tepung ikan, premix A, tepung daun lamtoro:

tidak difermentasi, difermentasi dengan Bacillus laterosporus dan, difermentasi

dengan Bacillus laterosporus ditambah suplemen 0,40% metionin dengan 1,25%

lisin. Komposisi zat-zat makanan dan energi metabolisme dari bahan makanan

penyusun ransum dapat dilihat pada Tabel 1.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang menggunakan Rancangan

acak lengkap (RAL) (Steel and Torrie, 1994) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 8

ulangan, dengan susunan sebagai berikut:

R0 = Ransum basal + LLM tidak difermentasi

R1 = Ransum basal + LLM difermentasi dengan Bacillus laterosporus

R2 = Ransum basal + LLM difermentasi dengan Bacillus laterosporus

disuplementasi 0,40% metionin 1,25% lisin

Pada penelitian ini, ayam ditempatkan di kandang battery secara individual

dan diberi pakan perlakuan masing-masing 10% dari berat badan (BB).

Penampungan eksreta dilakukan setelah ternak dipuasaka selama 24 jam.

Penampungan eksreta dilakukan setelah ternak dibei ransum perlakuan. Setiap

eksreta disemprot H2SO4 setiap 3 jam, supaya Nitrogennya tidak menguap. Ayam

diberi minum ad libitum. Kemudian eksreta dikeringkan dan digiling dan ditimbang

untuk kemudian dianalisa. Parameter yang diukur adalah : daya cerna serat kasar

dan energi metabolismenya.

A. Pelaksanaan Penelitian

Proses Fermentasi Tepung Daun Lamtoro dengan Bacillus laterosporus

1. Persiapan substrat tepung daun lamtoro

Lamtoro yang dipakai dalam penelitian ini , adalah lamtoro lokal yang

memilki tinggi 2 – 5 m, diambil daunnya, kemudian dioven suhu 60oC selama 24

jam, selanjutnya digiling untuk dijadikan tepung (untuk ransum R0)

2. Pembuatan inokulum

Pembuatan inokulum dengan menggunakan substrat dedak 100 g ditambah

dengan aquades 60 ml di autoklaf selama 30 menit pada suhu 120oC, 1 atm lalu

tempat makan dan minum. Perlengkapan yang digunakan adalah timbangan

Page 12: Hasil Penelitian - UNJA

5

tambahkan 20 ml aquades, kemudian digerus dengan jarum ose. Selanjutnya

divortek agar larutan homogen, campurkan isolate kedalam plastik yang berisi

dedak, diaduk hingga merata dan ditutup kemudian diberi lubang untuk menjaga

aerasi. Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C.

3. Prosedur fermentasi

Substrat kering tepung daun lamtoro ditimbang dengan berat 1 kg.

Ditambahkan aquades 800 ml. Kemudian diautoklaf selama 30 menit dengan suhu

1210 C, 1 atm. Setelah itu diinokulasi dengan Bacillus laterosporus sebanyak 6%

dari jumlah substrat (untuk ransum R1), dan satu lagi untuk perlakuan tepung daun

lamtoro fermentasi disuplementasi 0,40% metionin dan 1,25% lisin (untuk ransum

R2) kemudian diinkubasi selama 24 jam seterusnya produk fermentasi Dikeringkan

pada suhu 600C selama 24 jam. Produk yang telah dikeringkan siap dipakai, untuk

pakan ternak.

Perhitungan kecernaan serat kasar dan energi metabolisme dihitung berdasarkan

rumus berikut :

A. Energi Metabolisme

Untuk pengukuran Energi Metabolis Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn) dan

Energi Metabolis Murni Terkoreksi Nitrogen (EMMn) dilakukan dengan 2

pendekatan, yaitu:

Berdasarkan metode Sibbald (1980)

Energi Metabolis Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn) (Kal/kg) EMSn =

(EB x K) – {(EBe x Y) + (8,22 x RN)} x 1000

K

Keterangan :

EB = energi bruto bahan pakan

(Kal/kg) EBe = energi bruto ekskreta

(Kal/kg)

EBk = energi bruto ayam yang dipuasakan (endogenous)

(Kal/kg) K = konsumsi bahan kering ransum (g)

Y = berat kering ekskreta ayam yang diberi pakan perlakuan (g)

Z = berat kering ekskreta ayam yang dipuasakan (endogenous)

(g) RN = retensi nitrogen (g)

8,22 = nilai yang terkoreksi sebagai asam urat (Kal/kg) dalam Sibbald (1980

didinginkan sampai suhu sekitar 37oC. Diambil tabung reaksi yang berisi isolate,

Page 13: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

6

B. Kecernaan Serat Kasar

Kecernaan Serat Kasar (%) = Konsumsi SK – SK Ekskreta X 100%

Konsumsi SK

Keterangan :

SK = Serat Kasar

Konsumsi SK = Kadar serat kasar ransum x jumlah konsumsi

SK ekskreta = Jumlah ekskreta x SK ekskreta

Komposisi Bahan dan Zat-zat Makanan dan Energi Metabolisme Ransum Percobaan,

selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Komposisi Bahan dan Zat Makanan dan Energi Metabolisme Ransum

Percobaan Bahan Pakan

R0

Ransum Perlakuan (%)

R1

R2

Jagung giling 48,50 49,50 48,50

Dedak halus 21,00 21,00 21,00

B. Kedelai 10,00 10,00 10,00

T. Ikan 11,00 11,00 11,00

TDLF+ metionin+lisin 0,00 0,00 7,50

TDL tanpa fermentasi 7,50 0,00 0,00

TDLF 0,00 7,50 0,00

Premix A 2,00 2,00 2,00

Total 100 100 100

Kandungan Nutrien

Protein kasar (%)

20,02

20,21

21,19

Lemak (%) 6,45 6,34 6,52

Serat kasar (%) 5,43 5,23 5,14

Ca (%) 0,89 0,76 0,54

P (%) 0,69 0,53 0,67

Metionin (%) 0,4539 0,4531 0,4576

Lisin (%) 0,8165 0,8770 0,9637

ME (kkal/kg)b 2987,45 3056,13 3115,23

Keterangan :

a = Analisis Laboratorium. Nutrisi Non Ruminansia (2019)

b = Analisa Laboratorium Terpadu IPB (20167) dan Wahju

(1997) TDL tanpa Ferm = Tepung Daun Lamtoro Tanpa

Fermentasi TDLF = Tepung Daun Lamtoro Fermentasi Bacillus laterosporus

TDLF met+-lisin = Tepung Daun Lamtoro Fermentasi + 0,40% Methionin +

1,25% Lisin R0 = Ransum Basal + TDL tanpa fermentasi.

R1 = Ransum Basal + TDL Fermentasi

R2 = Ransum Basal + TDL Fermentasi + 0,40% Methionin + 1,25% Lisin

Page 14: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan nilai retensi nitorgen dan rataan nilai metabolisme menggunakan

ransum TDL fermentasi disuplementasi 0,40 % metionin 1,25% lisin pada brioler

disajikan pada Tabel 2, dan digambarkan di Gambar 1.

Tabel 2. Rataan Nilai Kecernaan Serat Kasar dan Energi Metabolisme Ransum

Mengandung Tepung Daun Lamtoro beberapa Perlakuan

Parameter Parameter

R0 R1 R2 Kecernaan Serat kasar (%) 42,21a 52,52b 57,66c

Metabolisme Energi 2288,15a 2706,80b 3013,49c

(Kkal/kg)

Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat

nyata (P < 0,01).

Hubungan antara nilai kecernaan serat kasar dan metaboilisme, dapat dilihat pada

Gambar 2 di bawah ini

Gambar 1. Diagram Kecernaan Serat Kasar dan Energi Metabolisme Ramsum

Perlakuan

A. Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Kecernaan Serat Kasar

Ransum perlakuan tepung daun lamtoro tidak difermentasi, yang difermentasi

maupun difermentasi dan disuplementasi metionin lisin, dari analisis sidik ragam

menujukkan pengaruh sangat nyata terhadap kecernaan serat kasar (P<0,01).

Kecernaan serat kasar semakin menigkat dengan perbedaan perlakuan yaitu

berturut-turut R0 (42,21%), R1 (52,52%) dan R2 (57,66%), hal ini jelas terlihat

pada Gambar 2, dimana kecernaan kasar tertinggi terdapat pada ransum R2 yang

mendapat perlakuan TDL difermentasi dengan Bacillus laterosporus,

disumpementasi 0,40% metionin 1,25% lisin.

Page 15: Hasil Penelitian - UNJA

8

kasar yang dimiliki masing-masing perlakuan.juga berbeda. Kecernaan serat kasar

ransum perlakuan berpengaruh sangat nyata karena kandungan serat kasar dan

konsumsi serat kasar ransum perlakuan yang berbeda. Kandungan serat kasar dalam

ransum, komposisi penyusun serat kasar dan aktivitas dari mikroorganisme

mempengaruhi kecernaan serat kasar. Hal ini sesuai pendapat Hidanah et al. (2013)

kecernaan serat kasar dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain konsumsi pakan,

kadar serat dalam pakan, komposisi penyusun serat kasar dan aktivitas

mikroorganisme.

Menurut Prawitasari et al. (2012) menyatakan bahwa kandungan serat kasar

dalam ransum yang semakin tinggi menyebabkan kecernaan serat kasar yang

semakin rendah begitu juga sebaliknya. Kadar serat kasar yang tinggi dalam pakan

menyebabkan kurangnya kecernaan zat lain yang ada pada pakan yang dapat

menyebabkan turunnya konsumsi ransum pada broiler. Hal ini sesuai dengan

pendapat Tillman et al. (2001), yang menyatakan bahwa kecernaan serat kasar

tergantung pada kandungan serat kasar dalam ransum dan jumlah serat kasar yang

di konsumsi. Ditambahkan bahwa kadar serat kasar terlalu tinggi dapat

mengganggu pencernaan zat lain. Selanjutnya Despal (2000) menyatakan bahwa

serat kasar memiliki hubungan negatif dengan daya cerna serta kasar.

B. Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Energi Metabolisme

Nilai energi metabolisme tertinggi pada perlakuan terdapat pada R2 (3013,16

kkal/kg) diikuti R1 (2706,80 kkal/kg) dan yang terendah pada perlakuan R0

(2288,15 kkal/kg). Analisis sidik ragam menunjukkan terdapat perngaruh yang

sangat nyata (P<0,01) terhadap energi metobolisme ayam broiler. Menurut Hapsari

(2006) faktor yang mempengaruhi energy metabolisme terdiri dari kandungan

energi ransum, konsumsi pakan, jenis ternak dan umur serta kemampuan ternak

untuk melakukan metabolisme didalam tubuh.

Menurut Bahri dan Rusdi (2008) bahwa energi metabolis merupakan energi

yang digunakan ternak untuk menjalankan aktivitas berupa mempertahankan suhu

tubuh, metabolisme, aktifitas fisik, produksi, reproduksi dan pembentukan jaringan

dan tingkat energi metabolisme berhubungan erat dengan kecernaan dan

penyerapan zat-zat makanan. Menurut Mc Donald et al (2010) bahwa daya cerna

ransum yang rendah menyebabkan banyak energi yang hilang melalui eksreta,

Kecernaan serat kasar ransum perlakuan berbeda karena kandungan serat

Page 16: Hasil Penelitian - UNJA

9

eksreta sedikit. Jumlah serat kasar yang tidak tercerna akan membawa sebagian

nutrien lain yang tercerna ikut ikut keluar bersama dengan eksreta. Selanjutnya

menurut Wulandari et al. (2013) ketersediaan energi metabolis dalam ransum akan

berkurang apabila kandungan polisakarida dalam serat kasar susah untuk dicerna

begitu juga sebaliknya

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimaksih diucapkan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian

Masyarakat (DRPM), dimana penelitian ini dapat terlaksana dengan bantuan dana

penelitian Hibah Terapan dari Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan

Pengembangan, Kementrian Riset, Tekhnologi dan Pendidikan Tinggi dengan

Nomor SP DIPA-042.06.1.401516/2019, Tanggal 5 Desember 2018, dan Kontrak

Penelitian Terapan, No: 005/LPPM-UNES/Kontrak-Penelitian-J/2019, Tanggal 08

April 2019..

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa 7,5% tepung daun

lamtoro yang difermentasi dengan Bacillus laterosporus dengan suplementasi

0,40% methyonine 1,25% lisin dapat digunakan sebagai salah satu bahan pakan

alternatif ransum ayam broiler dilihat dari meningkatkan nilai kecernaan serat kasar

(57,66%) dan energi metabolisme (3013,49 kkal / kg) .

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Jakarta: Gramedia Pustaka,

Utama. Steel, R.G.D 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik: Suatu Pendekatan

Biometrik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Ayssiwede, S.B., A. Dieng., C. Chrysostome., W. Ossebi., J.L. Hornick and A.

Missohou. 2010. Digestibility and metabolic utilization and nutritional value

of Leucaena leucocephala (Lam.) leaves meal incorporated in the diets of

indigenous Senegal Jurnal Zootek (“Zootrek” Journal ) Vol. 35 No. 1 : 72- 77

(Januari 2015) ISSN 0852 -2626 77 chickens. Int. J. of Poult. Sci. 9 (8):767-

776. Davies, H.L. 1982. Nutrition and Growth Manual. AUIDP. Melbourne.

Bahri, S dan Rusdi. 2008. Evaluasi energi metabolis pakan lokal pada ayam petelur.

J. Agroland. 15 (1) : 75-78.

sebaliknya daya cerna yang tinggi menyebabkan energi yang hilang melalui

Page 17: Hasil Penelitian - UNJA

10

Darana, S. 1995. Penggunaan Sorghum bicolar L. Moench yang Difermentasi

dengan Kapang Rhizopus oligoporus dalam Ransum Ayam Pedaging.

Disertasi, Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Despal. 2000. Kemampuan komposisi kimia dan kecernaan in vitro dalam

mengestimasi kecernaan in vivo. Media Peternakan, 23 (3): 84-88.

Elvina. D. 2008. Nilai energi metabolis ransum ayam broiler berbasis Pollard yang

ditambahkan enzim Xilanase dan diprosaes dengan mesin Pelleter. Fakultas

Peternakaa Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).

Eniolorunda, O.O. 2011. Evaluation of biscuit waste meal and Leucaena

leucocephala leaf hay as sources of protein and energy for fattening

“yankassa” rams. African J. of Food Sci. Vol. 5 (2):57-62.

Garcia, G.W., T.U. Ferguson., F.A. Neckles dan K.A.E. Archibald. 1996. The

nutritive value and forage productive of Leucaena leucochepala.

Anim. Feed Sci. Technol. 60: 29 – 41.

Hapsari, R. P. 2006. Energi metabolis dan Efisiensi Penggunaan Energi Ransum

Ayam Broiler yang mengandung Limbah Restoran sebagai Pengganti Dedak

Padi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).

Hidanah, S., E. M. Tamrin., D. S. Nazar dan E. Safitri. 2013. Limbah tempe dan

limbah tempe fermentasi sebagai substitusi jagung terhadap daya cerna serat

kasar dan bahan organik pada itik petelur. Jurnal Agroveteriner. 2 (1): 71- 79.

Leeson, S dan J. D. Summers. 2001. Comercial Poultry Nutrition. Thirth Edition.

Departement of Animal and Poultry Science. University of Guelph Ontariom,

Canada.

Mc Donald, P., A. Edwards and J.F.D. Green Haigh. 1994. Animal Nutrition. 4th

Ed. Longman Scientific and Technical. Copublishing in The USA with John

Wiley and Sons. Inc. New York.

Prawitasari, R. H., V. D. Y. B. Ismdi dan I. Estiningdriati. 2012. Kecernaan protein

kasar dan serat kasar serta laju digesta pada ayam arab yang diberi ransum

dengan berbagai level Azolla microphylla. Animal Agricultur Journal. 1 (1):

471- 478.

Safaa, H.M., D.G. Valencia., E. Arbe., E. Jibenez-Morena., R. Lazaro., G.G.

Moteos G.G. 2008. Effect of the level of Methionine, linoleic acid and added

fat in the diet on productive poerformance and egg quality on Brown laying

hen the late phase of production. Poult. Sci. 87 (8): 1595-602.

Sibbald, I.R dan P.M Morse. 1983. Provision of suplemental feed and the aplication

of Nitrogen coorection in Bioassay for true metabolizable energy. Poultry

Science 62; 1587 – 1605.

Sibbald, I.R. 1982. Measurement of bioavailable energy in poultry feedingstuffs.

Ca. J. of Anim. Sci., 62: 983-1048. Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu

Pendekatan Biometrik. Terjemahan B. Sumantri. Gramedia. Pustaka Utama,

Jakarta.

Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusuma & S.

Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada,

University.

Widyastuti., C.H. Prayitno dan Sudibya. 2007. Kecernaan dan intensitas warna

kuning telur itik lokal yang mendapat pakan tepung kepala udang, tepung

Page 18: Hasil Penelitian - UNJA

11

daun lamtoro dan suplementasi L-Carnithin. 2007. Animal Production. ISSN

1411 – 2027. Vol 9 No.1 hlm : 30 – 35.

Wulandari, K. Y, V. D. Y. B. Ismadi., dan Tristiarti. 2013. Kecernaan serat kasar

dan energi metabolis pada ayam Kedu umur 24 minggu yang diberi ransum

dengan berbagai level protein kasar dan serat kasar. Journal Animal

Agriculture. 2 (1) : 9 - 17.

Yessirita, N., H. Abbas., Y. Heryandi dan A. Dharma. 2013. The effect of Leucaena

Leaf Meal (Leucaena leucochepala) Fermented by Bacillus laterosporus and

Trichoderma viride in the ration on Performance of Pitalah Ducks. Pakistan.

J. Nutr., 12(7): 678-682.

Yessirita, N., H. Abbas., Y. Heryandi dan A. Dharma. 2017. Improved quality

lamtoro leaf meal fermented Bacillus laterosporus with the addition of

supplement methionine-lysin synthetic. J. Scientific and Engineering

Research, India, 4(10): 483-488.

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

Page 19: Hasil Penelitian - UNJA

12

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

Tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan pada sapi Potong Di

Kecamatan Sumber harta kabupaten musi Rawas

Ririn Novita*, Sadjadi, dan Budi Susilo

Prodi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Musi Rawas

Coressponding author email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan Inseminasi

Buatan pada Sapi Potong di Kecamatan Sumber Harta Kabupaten Musi Rawas.

Parameter yang diamati adalah Service per Conception (S/C), Conception Rate

(CR), Non Raturn Rate (NRR) dan Calving Interval (CI). Metode penelitian yang

digunakan adalah metode survey di seluruh Kecamatan Sumber Harta Kabupaten

Musi Rawas yang dipilih paling banyak populasi ternak. Karena populasi yang

sifatnya menyebar diantara lokasi tersebut, maka dilakukan pengambilan sampel

secara Analisis deskriptif dengan menggunakan rumus Slovin sehingga didapatkan

91 sampel. Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa Conseption Rate

(C/R) di Kecamatan Sumber Harta sangat baik karena di peroleh 75,82 %. Angka

S/C di Kecamatan Sumber Harta rata-rata menunjukkan 1,4. Sedangkan untuk nilai

NRR di Kecamatan Sumber Harta yaitu NRR0-30 diperoleh persentase yaitu 75,82

%. NRR31-60 diperoleh 91,21 % dan NRR61-90 diperoleh 94,51 %. Nilai Calving

Interval (CI) sangat baik yaitu mencapai rata-rata 12,4 atau 12 bulan 4 hari.

Kata Kunci : IB, Kecamatan Sumber Harta, Sapi Potong, Tingkat Keberhasilan

PENDAHULUAN

Sebagian besar penduduk di Indonesia khususnya didaerah pedesaan

menginvestasikan sebagian hartanya untuk beternak sapi, hal ini dikarenakan nilai

jual sapi yang cukup tinggi seperti halnya Sapi Potong. Sedangkan Sapi Potong

merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging.

Sapi Potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Adapun ciri-ciri sapi pedaging

adalah seperti berikut: tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, kualitas

dagingnya maksimum dan mudah dipasarkan, laju pertumbuhan cepat, efisiensi

pakannya tinggi (Abidin, 2010)

Usaha ternak Sapi Potong di Indonesia membutuhkan perhatian khusus

dalam kaitannya dengan upaya mempertahankan dan menunjang peningkatan

populasi ternak. Guna peningkatan populasi tersebut maka dilakukan pemanfaatan

Page 20: Hasil Penelitian - UNJA

13

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

teknologi reproduksi peternakan melalui teknik Inseminasi Buatan (IB) dengan

menggunakan semen beku (Kaiin et.al, 2004)

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu

Penelitian ini telah dilaksanakan di Kecamatan Sumber Harta Kabupaten

Musi Rawas dilaksanakan selama tiga puluh hari di mulai pada bulan Maret 2019.

B. Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi

langsung di lapang dengan metode pengambilan sampel secara sengaja (purposive

sampling ) dengan ketentuan sapi betina indukan yang masuk dalam akseptor IB di

Kecamatan Sumber Harta dibuktikan dengan adanya kartu recording IB yang

dimiliki peternak, data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.

Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara dengan peternak

dan inseminator untuk dijadikan responden. Data primer yang diambil meliputi

identitas peternak, umur ternak, jenis sapi, dan pengetahuan peternakdalam sistem

pemeliharaan induk.

Data sekunder didapat dari data recording IB inseminator setempat, studi

pustaka dan keterangan dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Musi

Rawas.

Variabel Pengamatan

1. Service per Conception (S/C) adalah jumlah pelayanan inseminasi (service) yang

dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan (konsepsi)

dihitung dengan rumus; straw yang digunakan dibagi ternak betina bunting

(Susilawati, 2011). Pengambilan data (S/C) dilakukan dengan cara melihat dan

bertanya langsung kepada inseminator dengan dibuktikan adanya kartu peserta

(IB) dan mengambil data dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten

Musirawas. Kemudian data dikumpulkan dan akan dihitung dengan rumus :

S/C Σ straw yang digunakan

x 100%

Σ ternak betina yang bunting

Page 21: Hasil Penelitian - UNJA

14

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

2. Conception rate (CR) merupakan jumlah akseptor yang bunting pada IB ke - I

dibagi jumlah semua akseptor kali 100% (Susilawati, 2011a). Menghitung nilai

variabel Conception rate (CR) yang diperoleh dari inseminator dan Dinas

Pertanian dan Peternakan berdasarkan kartu pelaksanaan (IB) yang

diformulasikan dengan rumus:

C.R Σ ternak betina bunting IB pertama

x 100%

Σ ternak betina yang di inseminasi

3. Non Raturn Rate (NRR) adalah persentase sapi betina akseptor IB yang tidak

kembali lagi birahi selama 20-60 hari atau 60-90 hari pasca pelaksanaan IB.

Metode NRR berpedoman pada asumsi bahwa jika sapi yang telah diinseminasi

dan tidak birahi lagi, maka dianggap bunting (Susilawati, 2011a). NRR yang

digunakan dalam penelitian ini adalah NRR0-30, NRR31-60 dan NRR61-90.NRR0-30

diamati pada hari ke 0-30, NRR31-60 diamati mulai hari ke 31-60 dan NRR61-90

diamati mulai hari ke 61-90. Sapi yang menunjukkan tanda-tanda birahi setelah

IB ke tiga maka dianggap gagal. Menurut Iswoyo dan P Widiyaningrum (2008),

rumus menghitung NRR adalah sebagai berikut:

NRR

NRR

030

3160

Σsapi yang di IBΣ sapi yang di IB ulang S

Σ sapi yang di IB x 100%

Σsapi yang di IBΣ sapi yang di IB ulang SS

x 100%

Σ sapi yang di IB

NRR

6090

Σsapi yang di IBΣ sapi yang di IB ulang SSS x 100%

Σ sapi yang di IB

4. Calving Interval (CI) adalah jarak antara kelahiran satu dengan kelahirann

berikutnya pada ternak betina. Jarak kelahiran (CI) merupakan salah satu

ukuran produktivitas ternak sapi untuk menghasilkan pedet dalam waktu yang

singkat. Jarak waktu beranak (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan

bunting dan 3 bulan menyusui. Efisiensi reproduksi dikatakan baik apabila

seekor induk sapi dapat menghasilkan satu pedet dalam satu tahun (Ball and

Peters, 2004).

Page 22: Hasil Penelitian - UNJA

15

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Secara geografis Kecamatan Sumber Harta berbatasan dengan :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Megang Sakti.

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Suku Tengah Lakitan Ulu (STL

Ulu) Terawas.

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Megang Sakti dan Kecamatan

Purwodadi.

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Suku Tengah Lakitan (STL Ulu)

Terawas.

Kecamatan Sumber Harta terdiri dari 9 Desa dan 1 Kelurahan. Terdapat 1

Desa baru yaitu Desa Sumber Asri yang berasal dari sebagian wilayah Kelurahan

Sumber Harta. Luas wilayah Kecamatan Sumber Harta sebesar 10.378,03 Ha,

dimana Desa Madang memiliki wilayah terluas yaitu 3.181,78 Ha atau sekitar 30,66

persen dari luas wilayah Kecamatan Sumber Harta. Sedangkan yang memilki luas

wilayah terkecil adalah Desa Sukamulya yaitu 278,85 Ha atau hanya sekitar 2,69

persen dari Luas wilayah. Jumlah Penduduk Kecamatan Sumber Harta tercatat

sebanyak 17.062 jiwa. Dimana penyebaran penduduk Sumber Harta cukup merata

dengan kepadatan penduduk sebear 164,40 jiwa/km2. Sedangkan untuk letak

geografis wilayah Kecamatan Sumber Harta merupakan daerah bukan pantai,

dengan rata-rata ketinggian wilayah <500 meter diatas permukaan laut. Ada

beberapa sungai yang melalui Wilayah Kecamatan Sumber harta, hanya satu

Wilayah Sumber Harta yang tidak di lalui sungai yaitu Desaa Sukamaju. Sumber

penghasilan utama penduduk Kecamatan Sumber Harta yaitu padi dan karet, selain

padi dan karet komoditi lain yang juga diusahakan penduduk berupa tanaman sayur,

tanaman palawija dan tanaman buah-buahan namun masih dalam sekala kecil.

Untuk sektor peternakan penduduk Sumber Harta banyak mengusahakan sapi

untuk ternak besar, kambing untuk ternak kecil serta unggas dan perikanan. Jumlah

ternak besar yang ada di Kecamatan Sumber Harta yaitu sapi sebanyak

Page 23: Hasil Penelitian - UNJA

16

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

2800 ekor dengan rincian jumlah jantan 858 ekor dan betina 1942 ekor, kambing

berjumlah 2191 ekor dan domba 203 (Badan Pusat Statistik Tahun 2018)

2. Identifikasi Responden Penelitian di Kecamatan Sumber Harta

Karakteristik responden dilakukan untuk mengetahui identitas peternak yang

terlibat dalam penelitian ini. Responden yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

ternak yang dijadikan sampel. Responden yang dijadikan sampel dalam penelitian

ini adalah ternak yang mengikuti program Inseminasi Buatan di Kecamata Sumber

Harta Kabupaten Musi Rawas.

Berdasarkan jumlah populasi ternak yang mengikuti program Inseminasi

Buatan pada tahun 2018 sebanyak 1.063 ekor dengan pengambilan sampel

sebanyak 91 ekor dari populasi ternak yang mengikuti program Inseminasi Buatan.

Berdasarkan 91 sampel pada penelitian tersebut, dapat diidentifikasikan peternak

Sapi Potong berdasarkan umur peternak, pendidikan terahir yang pernah ditempuh

dan pengalaman beternak. Identifikasikan peternak Sapi Potong berdasarkan umur

peternak dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Karakteristik Peternak Berdasarkan Umur Peternak

No Umur (Tahun) Jumlah Peternak (Orang) Persentase (%)

1 20 – 29 4 6,46

2 30 – 39 27 43,55

3 40 - 49 21 33,87

4 50 - 59 5 8,06

5 ≥ 60 5 8,06

Jumlah 62 100

Berdasarkan dari data tabel 1 diatas dapat di ketahui bahwa peternak pada

responden dengan umur 20 – 29 tahun sebanyak 4 orang dengan persentase

sebanyak 6,46 %, umur 30 – 39 tahun sebanyak 27 orang dengan persentase

sebanyak 43,55%, umur 40 – 49 tahun sebanyak 21 orang dengan persentase

sebanyak 33,87 %, umur 50 – 59 tahun sebanyak 5 orang dengan persentase

sebanyak 8,06 % dan umur ≥60 tahun sebanyak 5 orang dengan persentase

sebanyak 8,06 %.

Page 24: Hasil Penelitian - UNJA

17

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

Identifikasi responden penelitian berdasarkan pendidikan formal dapat dilihat

pada Tabel. 2, berikut ini

Tabel 2. Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Pendidikan

No Pendidikan Terakhir Jumlah Peternak (Orang) Persentase (%)

1 SD 34 54,84

2 SMP 19 30,65

3 SMA 8 12,90

4 Sarjana 1 1,61

Jumlah 62 100

Dilihat dari hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan tingkat

pendidikan formal peternak Sapi Potong di Kecamatan Sumber Harta yang menjadi

responden penelitian diantaranya yaitu Pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah

Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sarjana (S1).

Berdasarkan dari data tabel 2 dapat di ketahui bahwa berdasarkan pendidikan

formal peternak pada responden dengan kelulusan SD sebanyak 34 orang dengan

persentase sebanyak 54,84 %, peternak dengan kelulusan SMP sebanyak 19 orang

dengan persentase sebanyak 30,65 %, peternak dengan kelulusan SMA sebanyak 8

orang dengan persentase sebanyak 12,90% dan peternak dengan kelulusan Sarjana

sebanyak 1 orang dengan persentase sebanyak 1,6 1%.

Sedangkan identifikasi responden penelitian berdasarkan pengalaman beternak

dapat dilihat pada tabel 3 berikut.

Tabel 3. Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Pengalaman Beternak

No Pengalaman Beternak (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)

1 1 – 10 43 69,35

2 11 – 20 8 12,90

3 21 – 30 11 17,75

Jumlah 62 100

Berdasarkan Tabel 3 dapat diliht bahwa berdasarkan pengalaman beternak dengan

lama waktu beternak 1 – 10 tahun sebanyak 43 orang dengan persentase

Page 25: Hasil Penelitian - UNJA

18

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

sebanyak 69,35 %, lama waktu beternak 11 – 20 tahun sebanyak 8 orang dengan

persentase sebanyak 12,90%, lama waktu beternak 21 – 30 tahun sebanyak 11 orang

dengan persentase sebanyak 17,75 %. Identifikasi responden penelitian berdasarkan

jenis straw yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4, dibawah ini

Tabel 4. Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Straw

No. Jenis Straw Jumlah Sapi (Ekor) Persentase (%)

1 Bali 82 90,11

2 Simental 5 5,49

3 Brangus 1 1,10

4 Limosin 3 3,30

91 100

Dapat diketahui bahwa dari tabel 6 diatas sapi yang mendapatkan Inseminasi

Buatan dengan Jenis Straw Bali sebanyak 82 ekor dengan persentase sebanyak

90,11 %, jenis Straw Simental sebanyak 5 ekor dengan persentase sebanyak 5,49%,

Jenis Straw Brangus sebanyak 1 ekor dengan persentase 1,10 %, Jenis Straw

Limosin sebanyak 3 ekor dengan persentase sebanyak 3,30 %.

2. Indikator Pengukuran Hasil Inseminasi Buatan

1. Data Pelayanan Inseminasi Buatan

Tabel 4. Indikator Pengukuran Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Sapi Potong

(Kali)

2. Service Per Conception (S/C)

Service Per Conception (S/C) yang di dapat pada penelitian di Kecamatan

Sumber Harta yaitu sebesar 1,4.

No Pelayanan Inseminasi Buatan

Jumlah Sapi (Ekor) Jumlah Straw (Dosis)

1 1 69 69

2 2 14 28

3 3 3 9

4 4 1 4

5 5 3 15

6 6 1 6

Jumlah 91 131

Page 26: Hasil Penelitian - UNJA

19

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

3. Conception Rate (CR)

Nilai Conception Rate (CR) yang di dapat pada penelitian di Kecamatan

Sumber Harta yaitu sebesar 75,82 %.

4. Non Return Rete (NRR)

Tabel 5. Data pelayanan Inseminasi buatan berdasarkan Non Return Rete (NRR)

No Non Return Rete Jumlah Ternak Sapi bunting (Ekor) Persentase (%)

1 NRR(0-30) 69 75,82

2 NRR(31-60) 83 91,21 3 NRR(61-90) 86 94,51

Jadi, nilai NRR0-30 diperoleh persentase yaitu 75,82 %, NRR31-60 diperoleh

91,21 %dan NRR61-90 diperoleh 94,51 % dari jumlah akseptor yang di Inseminasi

Buatan sebanyak 91 sampel.

5. Calving Interval (CI)

Sedangkan untuk melihat data jarak kelahiran pada Sapi Potong di Kecamatan

Sumber Harta dapt dilihat pada tabel 6 berikut.

Tabel 6. Klasifikasi Responden Penelitian Berdasarkan Jarak Beranak

No. Jarak Beranak Jumlah Sapi (Ekor) Perkalian

1 12 bulan 50 600

2 13 bulan 1 13

3 14 bulan 2 28

4 17 bulan 1 17

5 18 bulan 2 36

Jumlah 56 694

Berikut ini adalah jarak beranak pada Sapi Potong di Kecamatan Sumber Harta

diantaranya yaitu jarak beranak selama 12 bulan sebanyak 50 ekor, jarak beranak

13 bulan sebanyak 1 ekor, jarak beranak 14 bulan sebanyak 2 ekor, jarak beranak

17 bulan sebanyak 1 ekor dan yang terahir jarak beranak 18 bulan sebanyak 2

ekor. Rata-rata jarak kelahiran = !"#

= 12,4 atau 12 bulan lebih 4 hari. !"

Page 27: Hasil Penelitian - UNJA

20

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Identifikasi Responden

a. Umur Peternak

Berdasarkan hasil penelitian Dikecamatan Sumber Harta diketahui bahwa

peternak Sapi Potong tertinggi yaitu pada kelompok umur 30 sampai 39 tahun,

peternak pada umur tersebut masih dalam kategori usia produktif sehingga

memungkinkan bagi para peternak tersebut dapat bekerja lebih baik, bersemangat

serta mempunyai motivasi yang tinggi. Sementara pada umur ≥ 60 tahun telah

mengalami penurunan kemampuan kerja sehingga mereka digolongkan kedalam

umur nonproduktif. Hal ini sejalan dengan pendapat Chamdi (2003) yang

menyatakan bahwa usia produktif 20 – 45 tahun masih memiliki semangat yang

tinggi dan mudah mengadopsi hal-hal yang baru, berbeda dengan peternak yang

telah berusia lanjut (diatas 50 tahun). Soekartawi (2002) menyatakan bahwa mereka

yang berusia lanjut cenderung fanatik terhadap kondisi dan sulit untuk diberikan

pengertian-pengertian yang dapat mengubah cara berfikir, cara kerja dan cara

hidupnya.

b. Pendidikan

Berdasarkan dari tingkat pendidikan formal peternak Dikecamatan Sumber

Harta yang memelihara Sapi Potong taraf pendidikannya masih rendah yaitu pada

pendidikan terahir pada taraf Sekolah Dasar (SD). Tetapi rendahnya pendidikan

tidak mempengaruhi partisipasi atau keterlibatan responden dalam pengembangan

Sapi Potong. Peternak yang memiliki pola pikir yang baik, dia mampu mengadopsi

pengembangan informasi dan inovasi teknologi khususnya teknologi di bidang

peternakan dengan cepat. Tetapi lain halnya pada peternakan rakyak, pendidikan

yang tinggi sama sekali tidak mempengaruhi masyarakat pedesaan yang terlibat

dalam pemeliharaan ternak sapi potong.

Dalam hal ini sudah terbukti bahwa keadaan masyarakat yang ada di pedesaan

lebih banyak pendidikan SD yang berpartisipasi dalam pengembangan Sapi Potong

dibanding masyarakat yang memiliki pendidikan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan

pendapat Hasbullah (2009) yang menyatakan bahwa, pendidikan adalah usaha yang

dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar

Page 28: Hasil Penelitian - UNJA

21

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi

dalam arti mental.

c. Pengalaman Beternak

Pada pemeliharaan ternak Sapi Potong harus disertai dengan pengalaman

beternak, lama beternak seseorang dapat diperoleh dari lama mereka menggeluti

dalam suatu usaha peternakan sehingga pengetahuan dan kemampuan seseorang

dapat bertambah. Menurut pendapat Tatipikalawan (2006) yang mengatakan

bahwa, pengalaman beternak merupakan faktor yang penting bagi peternak dalam

mengambil keputusan, semakin lama pengalaman dalam beternak maka

keterampilan yang dimiliki akan lebih tinggi dan berkualitas dan cenderung akan

lebih menggeluti pekerjaan tersebut sehingga akan cenderung berpartisipasi atau

ikut serta dalam kegiatan pemeliharaan ternak Sapi Potong tersebut. Dikecamatan

Sumber Harta sendiri pengalaman beternak terbanyak yaitu selama 1 – 10 tahun.

d. Jenis Straw

Hasil penelitian menunjukan bahwa permintaan masyarakat di Kecamatan

Sumber Harta untuk Inseminasi Buatan masih banyak menggunakan Jenis Straw

Sapi Bali lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan Jenis Straw Sapi bertubuh

besar. Karena peternak yang ada di Kecamatan Sumber Harta kebanyakan

memelihara jenis Sapi Potong berupa Sapi Bali sehingga tidak mau ambil resiko

akan kematian karena tidak bisa keluar pada saat proses melahirkan dan akan

berdampak pada kematian.

2. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan pada Sapi Potong

Tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan adalah persentase nilai kebuntingan

yang dapat dicapai dalam pelaksanaan Inseminasi Buatan dengan melihat beberapa

indikator pengukuran keberhasilan yaitu diantaranya angka Service Per

Conception, Conception Rate, Non Raturn Rate dan Calving Interval teknik ini

telah banyak digunakan untuk melihat keberhasilan pelaksanaan Inseminsi Buatan

(Saputra, 2008).

a. Service Per Conception (S/C)

Servis Per Conception (S/C) merupakan jumlah pelayana Inseminasi Buatan

seekor betina bunting. Dari hasil penelitian di Kecamatan Sumber Harta diperoleh

nilai S/C sebesar 1,4 artinya rata-rata sapi akseptor IB di Kecamatan Sumber

Page 29: Hasil Penelitian - UNJA

22

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

Harta membutuhkan 1,4 dosis straw untuk terjadi kebuntingan. Jalius (2011)

menjelaskan tinggi rendahnya nilai S/C dipengaruhi oleh ketepatan deteksi birahi,

ketepatan waktu IB dan kondisi reproduksi ternak betina. Ihsan dan Wahjuningsih

(2011) menyatakan tingginya nilai S/C tidak terlepas dari rata-rata pemberian

kandungan nutrisi dalam pakan yang sangat mempengaruhi kondisi reproduksi

betina. Apabila S/C rendah, maka nilai kesuburan sapi betina semakin tinggi dan

apabila nilai S/C tinggi, maka semakin rendah tingkat kesuburan sapi betina

tersebut. Ihsan (2010) menyatakan bahwa nilai S/C yang baik berkisar antara 1,5 –

2,0. Dengan hasil S/C 1,4 di Kecamatan Sumber Harta, berarti pelaksanaan IB

sangat baik hal ini didukung oleh tingkat kesuburan sapi yang tinggi, kemampuan

peternak mendeteksi birahi yang sangat baik serta keterampilan petugas yang

tinggi.

b. Conception Rate (CR)

Conception Rate (CR) merupakan persentase kebuntingan sapi betina pada

pelaksanaan Inseminasi Buatan pertama dan dapat dijadikan sebagai alat ukur

kesuburan ternak. Dikecamatan Sumber Harta nilai CR pada Sapi Potong sebesar

75,82 %, artinya untuk seluruh akseptor IB di Kecamatan Sumber Harta sebanyak

75,82% yang bunting pada IB pertama. Nilai CR pada penelitian ini lebih tinggi

dibandingkan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Ihsan dan Wahjuningsih

(2011) menyebutkan bahwa nilai CR ideal adalah 60%. Sehingga nilai CR di

Kecamatan Sumber Harta sudah sangat baik.Angka CR pada kelompok ternak

dipengaruhi oleh besarnya rata-rata nilai S/C, jika semakin rendah S/C maka CR

akan semakin tinggi. Tinggi rendahnya angka konsepsi atau CR disebabkan oleh

banyak faktor, salah satunya adalah deteksi birahi. Ketepatan deteksi birahi sangat

mempengaruhi nilai CR. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Jalius (2011)

bahwa nilai CR dipengaruhi oleh ketepatan deteksi birahi dan waktu Inseminasi

Buatan. Kesalahan deteksi birahi dapat dikarenakan terjadinya silent heat atau

birahi tenang. Susilawati (2004) menyatakan bahwa tinggi rendahnya nilai CR

disebabkan oleh banyak tidaknya ternak yang kembali birahi setelah Inseminas

Buatan pertama. Kembalinya birahi ternak disebabkan oleh beberapa faktor, salah

satunya karena kurangnya perhatian peternak terhadap deteksi birahi dan

keterlambatan melapor, sehingga menyebabkan keterlambatan pelaksanaan

Page 30: Hasil Penelitian - UNJA

23

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

Inseminas Buatan. Birahi dipengaruhi oleh pakan yang diberikan. Pada musim

kemarau hijauan yang diberikan cenderung berkualitas jelek, sehingga

menyebabkan birahi lagi dan berakibat pada rendahnya CR.

c. Non Raturn Rate (NRR)

Evaluasi keberhasilan Inseminasi Buatan dan kebuntingan ternak dapat

dilihat dari timbulnya birahi kembali pada kurun waktu tertentu. Susilawati (2011b)

menjelaskan bahwa NRR merupakan persentase jumlah ternak yang tidak kembali

birahi antara 60–90 hari. Susilawati (2011a) melakukan evaluasi Inseminasi Buatan

dengan perhitungan NRR0-30, NRR31-60, dan NRR61-90. Sedangkan dalam penelitian

ini pengamatan NRR dilakukan di hari 0-30, 31-60 dan 61-90. Sapi yang

menunjukkan tanda-tanda birahi setelah Inseminasi Buatan pertama dilakukan

Inseminasi Buatan kedua, kembali birahi setelah Inseminasi Buatan kedua

dilakukan Inseminasi Buatan yang ketiga dan apabila terjadi birahi kembali setelah

Inseminasi Buatan ketiga dianggap gagal. Metode NRR berpedoman pada asumsi

bahwa sapi yang telah di Inseminasi Buatan dan tidak birahi kembali, maka

dianggap bunting (Susilawati, 2011a)

Jalius (2011) menyatakan NRR merupakan gambaran jumlah kebuntingan

berdasarkan satu siklus birahi 17–35 hari yang tidak minta kawin kembali setelah

di Inseminasi Buatan. Nilai NRR di Kecamatan Sumber Harta yaitu NRR0-30

diperoleh persentase 75,82 %, artinya 30 hari setelah dilakukan IB pertama maka

sebanyak 75,82% akseptor IB di Kecamatan Sumber Harta tidak birahi kembali atau

dalam kondisi bunting. NRR31-60 diperoleh 91,21 %, artinya 60 hari setelah

dilakukan IB kedua maka sebanyak 91,21% akseptor IB di Kecamatan Sumber

Harta tidak birahi kembali atau dalam kondisi bunting dan NRR61-90 diperoleh 94,51

%, artinya 90 hari setelah dilakukan IB ketiga maka sebanyak 94,51% akseptor IB

di Kecamatan Sumber Harta tidak birahi kembali atau dalam kondisi bunting.

d. Calving Interval (CI)

Calving Interval (CI) adalah jarak antara kelahiran satu dengan kelahiran

berikutnya pada ternak betina. Jarak kelahiran (CI) merupakan salah satu ukuran

produktivitas ternak sapi untuk menghasilkan pedet dalam waktu yang singkat.

Jarak waktu beranak (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3

Page 31: Hasil Penelitian - UNJA

24

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

bulan menyusui. Evisiensi reproduksi dikatakan baik apabila seekor induk sapi

dapat menghasilkan satu pedet dalam satu tahun (Ball and Peters, 2004). Calving

Interval rata-rata di Kecamatan Sumber Harta masih baik yaitu 12,4 atau 12 bulan

lebih 4 hari, artinya jarak kelahiran antara anak satu dengan anak berikutnya rata –

rata 12 bulan 4 hari yaitu 9 bulan bunting dan 94 hari menyusui. Hal ini tidak jauh

berbeda dengan pendapat Ball and Peters (2004) diatas yaitu pada kisaran 12 bulan

bunting dan 3 bulan menyusui, yang artinya pertumbuhan Sapi Potong di

Kecamatan tersebut sangat baik.

Beberapa hal yang medukung bagusnya nilai Calving Interval adalah

kesadaran peternak untuk segera melaporkan kepada petugas IB 2 – 3 bulan setelah

induk beranak, sehingga dalam kisaran satu tahun induk sapi akan beranak.

Inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik adalah upaya memasukkan semen/mani

ke dalam saluran reproduksi hewan betina yang sedang birahi dengan bantuan

inseminator agar hewan bunting. Dari definisi ini inseminator berperan sangat besar

dalam keberhasilan pelaksanaan IB. Keahlian dan keterampilan inseminator dalam

akurasi pengenalan birahi, sanitasi alat, penanganan (handling) semen beku,

pencairan kembali (thawing) yang benar, serta kemampuan melakukan IB akan

menentukan keberhasilan (Utami dan Angris. 2012)

Teknologi IB memberikan keunggulan antara lain; bentuk tubuh lebih baik,

pertumbuhan ternak lebih cepat, tingkat kesuburan lebih tinggi, berat lahir lebih

tinggi serta keunggulan lainnya. Melalui teknologi IB diharapkan secara ekonomi

dapat memberikan nilai tambah dalam pengembangan usaha peternakan

(Merthajiwa, 2011)

Seharusnya dengan adanya program Inseminasi Buatan ini Indonesia bisa

memenuhi kebutuhan daging sapi tanpa harus menginpor dari luar negeri, akan

tetapi pada kenyataannya Indonesia masih harus mengimpor daging dari luar

negeri. Sedangkan secara nasional kebutuhan daging Sapi dan Kerbau tahun 2013

untuk konsumsi dan industri sebanyak 484 ribu ton, sedangkan ketersediaannya

sebanyak 399 ribu ton (82,52%) dicukupi dari sapi lokal, sehingga terdapat

kekurangan penyediaan sebesar 85 ribu ton (17,5%), program IB mempunyai peran

yang sangat strategis dalam usaha meningkatkan kualitas dan kuantitas bibit

(Direktorat Jenderal Peternakan, 2013)

Page 32: Hasil Penelitian - UNJA

25

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

Program IB di usaha Sapi Potong rakyat di Sumater Selatan, Jateng, DIY

dan Bali menunjukkan bahwa >50% peternak masih menghendaki program IB

dilanjutkan; namun permasalahannya masih terjadinya kawin berulang kali

(Affandhy et.al, 2006), sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan

kebuntingan dan jarak beranak.

KESIMPULAN

Berdasarkan data hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa :

a. Conseption Rate (C/R) di Kecamatan Sumber Harta sangat baik karena di

peroleh pada persentase 75,82 % .

b. Service Per Conception (S/C) di Kecamatan Sumber Harta rata-rata yaitu 1,4

artinya tingkat keberhasilan insemiasi buatan pada ternak tersebut sangat baik.

c. Non Raturn Rate (NRR) di Kecamatan Sumber Harta yaitu NRR0-30 diperoleh

persentase yaitu 75,82 %. NRR31-60 diperoleh 91,21 % dan NRR61-90 diperoleh

94,51 %.

d. Nilai Calving Interval (CI) sangat baik yaitu mencapai rata-rata 12,4 atau 12

bulan lebih 4 hari.

e. Inseminai Buatan merupakan program yang telah dikenal oleh peternak sebagai

teknologi reproduksi ternak yang efektif. Inseminasi Buatan di Kecamatan

Sumber Harta sudah dikenal masyarakat cukup lama, sehingga tingkat

keberhasilan Inseminasi Buatan di Kecamatan tersebut sudah sangat baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin,Z. 2010. Pengemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta Badan Pusat Statistik Kabupaten Musi Rawas. 2017. Musi Rawas dalam Agka

Tahun 2017. Pemerintah Kabupaten Musi Rawas. CV.Alief Media Grafika.

Kabupaten Musi Rawas

Badan Pusat Statistik Kabupaten Musi Rawas. 2018. Sumber Harta dalam Agka

Tahun 2018. Pemerintah Kabupaten Musi Rawas. CV.Alief Media Grafika.

Kabupaten Musi Rawas

Ball,P.J dan H. A.R. Peters. 2004. Reproduction in Cattle. Third Edition Blackwell

Publishing. Victoria. Australia.

Chamdi, A.N., 2003. Kajian Profil Sosial Ekonomi Usaha Kambing di Kecamatan

Kradenan Kabupaten Grobongan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi

Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003. Puslitbang

Peternakan Departemen Pertanian. Bogor.

Page 33: Hasil Penelitian - UNJA

26

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

Direktorat Jendral Peternakan. 2013. Usaha Peternakan, Perencanaan, Analisa dan

Pengolahan. Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta.

Hartatik, T., D. A. Mahardika, T. S. M.Widi dan E. Baliarti. 2009. Karakteristik dan

kinerja induk sapi silangan Limousin-Madura dan Madura di Kabupaten

Sumenep dan Pamekasan. Buletin Peternakan. 33 (3) : 25–28

Husein, Umar. 2008. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. PT

Rajagafindo Persada. Jakarta.

Hasbullah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Edisi Revisi. Rajawali Pers. Jakarta

Ihsan, M. N. dan S. Wahjuningsih. 2011. Penampilan reproduksi sapi potong di

Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Ternak Tropika 12 (2) : 77–79

Ihsan, M. N. 2010. Indeks fertilitas sapi PO dan persilangannya dengan Limousin.

Jurnal Ternak Tropika 11 : 82–87. Jalius. 2011. Hubungan mortalitas progresif dan keutuhan membran sperma dalam

semen beku sapi Bali dengan keberhasilan inseminasi. Agrinak. 01 (1) : 44–

46

Kaiin EM, M Gunawan, S Said dan B Tappa. 2004. Fertilisasi dan Perkembangan

Oosit Hasil IVF dengan Sperma Hasil Pemisahan. Prosiding Seminar

Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor 4-5 Agustus, 2004 : 21-25.

Merthajiwa. 2011. Inseminasi Buatan (IB) atau Kawin Suntik pada Sapi. Sekolah

Ilmu Dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Bandung

Nur Ihsan, M dan S. Wahjuningsih. 2011. Penampilan reproduksi sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Fakultas peternakan, universitas brawijaya, Malang.

J. Ternak Tropika Vol.12, No. 2:76 – 80

Nukra. 2005. Kontribusi Usaha Pemeliharaan Ternak Sapi Potong Terhadap Total

Penerimaan Petani Peternak di Desa Manuju Kecamatan Parangloe

Kabupaten Goa. Universitas Hasanuddin. Makasar

Saputra A. G. S. 2008. Evaluasi Program Inseminasi Buatan Pada Sapi Bali

Dikecamatan Skanto Kabupaten Jaya Pura.

Soekartawi. 2002. Analisis Usaha Tani. UI Press. Jakarta

Sugeng, Y. Bambang. 2007. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta Sugoro, I. 2009. Pemanfaatan Inseminasi Buatan Untuk Meningkatkan

Produktifitas Sapi. Kajian Bioetika Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Susilawati T. 2004. Keberhasilan IB menggunakan semen sexing setelah

dibekukan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan DanVeteriner : 199– 202

Susilawati,T. 2011a. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan Dengan Kualitas dan

Deposisi Semen Yang Berbeda pada Sapi Peranakan Ongole. J. Ternak

Tropika 12 (2) : 15-24

Susilawati, T. 2011b. Spermatology. Universitas Brawijaya (UB) press. Malang

Tatipikalawan.J.M, 2006. Analisis produktivitas tenaga kerja keluarga Pada usaha

peternakan kerbau di pulau moa Kabupaten maluku barat daya. Jurnal

Agroforestri. Volume Nomor 1 Maret 2012. Jurusan Peternakan Fakultas

Pertanian Universitas Pattimura – Ambon.

Tatipikalawan. J.M, 2006. Analisis produktivitas tenaga kerja keluarga Pada usaha

peternakan kerbau di Pulau Moa Kabupaten Maluku Barat Daya. Jurnal

Agroforestri. Volume Nomor 1 Maret 2012. Jurusan Peternakan Fakultas

Pertanian Universitas Pattimura – Ambon.

Utami, D,. Angris, A. 2012. Peran Insiminator Dalam Keberhasilan Inseminasi

Buatan pada Sapi. Hasil Penelitian Balai Inseminasi Buatan. Bandung.

Page 34: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

28

Inventarisasi Hijaun Pohon Sebagai Pakan TambahanTernak

Ruminansia Di Kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat Daya

de Lima* dan C. K. Pattinasarany**

*) Dosen Jurusan Peternakan Faperta Unpatti

**) Dosen Jurusan Kehutanan Faperta Unpatti

ABSTRAK

Inventarisasi Hijaun Pohon Sebagi Pakan Tambahan Ternak Ruminansia di

Kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat Daya.Di bawah bimbingan Penelitian ini

menggunakan metode survey melalui pengamatan dan pengukuran langsung

dilapangan yang dilakukan di 4 desa, sedangkan pengambilan sampel berdasarkan

jumlah populasi ternak terbanyak di ambil sebagai responden, dengan mengikuti

petunjukArifin (1994) dengan menggunakan petak-petak berukuran 20×20 m

(400m²). Hasil penelitian menujukan bawah pada inventarisasi hijau pohon

didominasi oleh pohon Aileru (Vicusspp), Titi (Gemelina luollvenan) dan Beringin

(Vicus Bejamin) dengan masing-masing nilai kerapatan adalah: 17.86, 14.86, 8.32.

Kata Kunci : Inventarisasi Hijauan Pohon, PakanTambahan Ternak Ruminansia

PENDAHULUAN

Ternak ruminansia di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam

memenuhi kebutuhan daging nasional. Kebutuhan daging nasional sebagian besar

merupakan kontribusi dari peternakan rakyat dan pemasokannya dipasokimpor.

Permasalahan-permasalahan yang di hadapi peternak saat ini adalah rendahnya

produktivitas ternak sebagai dampak dari rendahnya kualitas dan kuantitas pakan

hijaun. Menurur Bumualim (2009) rendahnya produktivitas ternak potong di

sebabkan karena status nutrisi dan suplai hijaun sepanjang tahun yang rendah

terutama pada musim kemarau khususnya di daerah kering wilayah Timur Indonesia.

Terbatasnya pasokan hijaun pakan selama musim kemarau bukan hanya terjadi di

Indonesia bagian timur, termasuk di Kabupaten Maluku Barat Daya Propinsi Maluku

dimana petani hanya mengandalkan hijauan pakan lokal yang terdapat di sekitar

pekarangan, perkebunan, hutan dan ladang. Ginting dan Sukandi, (2012) jumlah

penduduk yang besar telah memaksa masyarakat praktis dan peneliti peternakan

untuk mengarah perhatian pada usaha peningkatan produksi ternak dan produksi

pakan.

Page 35: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

29

Kabupataen Maluku Barat Daya khususnya Kecamatan Moa merupakan salah

satu daerah di Propinsi Maluku yang berpotensi untuk pengembanagan ternak

ruminansia (kerbau, sapi, kuda, kambing dan domba). Menurut data yang dilansir

BPS Kecamatan Moa pada tahun 2017, populasi hewan ternak di Kecamatan Moa

sangat berlimpah. Luas wilayah Kecamatan Moa 1.262,70 km2, dengan jumlah

populasi ternak yaitu 352 Sapi, 14,531 Kerbau, 4,832 Kambing, 856 ekor domba dan

261 Kuda. Kelimpahan ternak ini tentu saja merupakan permasalahan yang dihadapi

oleh peternak dalam penyediaan hijauan pakan terutama pada musim kemarau yang

panjang ± 5 bulan.

Data ketersedian pakan di suatu daerah dapat di peroleh antara lain melalui

Inventarisasi dan data identifikasi hijaun pakan di daerah tersebut. Inventarisasi

adalah suatu kegiatan untuk membuat daftar data suatu barang, (Baumer, 1992).dan

pemberian makanan tambahan adalah upaya memberikan tambahan makanan dan

untuk menambah asupan gizi yang baik bagi ternak. Inventarisasi hijauan pohon

sebagai makanan tambahan ternak yaitu suatu kegiatan untuk membuat data, untuk

mengetahui nama, jenis dan asal suatu tumbuhan hijaun pohon sebagai pakan ternak.

Inventarisasi jenis-jenis hijaun pohon Sebagai pakan tambahan ternak

ruminansia sangat dibutuhkan, sehinga dapat mengatasi kekurangan dan membantu

peternak dalam peningkatan produktifitas terutama musim kemarau. Berdasarkan

permasalahan tersebut dilaksanakan penelitian dengan judul: Inventarisasi Hijaun

Pohon sebagai Pakan Tambahan Ternak Ruminansia Di Kecamatan Moa, Kabupaten

Maluku Barat Daya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis- jenis hijaun

pohon dan presentasi pemanfaatan hijau pohon oleh peternak di Kecamatan Moa

Kabupaten Maluku Barat Daya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat

Daya yang telah berlangsung pada bulan November sampai Desember 2018.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey dan pengukuran

lapangan yang dilakukan di desa sampel berdasarkan jumlah populasi ternak

terbanyak (strafied propusove sampling) diambil sebagai responden. Variabel yang

diamati pada penelitian ini adalah Inventarisasi dan presentasi pemanfaatan hijaun

Page 36: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

30

pohon sebagai pakan tambahan bagi ternak, kerapatan dan frekwensi hijuan pohon

di Kecamatan Moa.

Untuk Inventarisasi potensi hijaun pohon dilakukan secara cluser sampling

pada padang pengembalan dan untuk mengetahui kepadatan populasi tanaman

digunakan petunjuk Arifin (1994). Analisis yang dibuat pada areal di Kecamatan

Moa berbentuk bujur sangkar dan dibuat dalam petak-petak secara kontinu 20 × 20

m² adalah sebagai berikut:

a. Ubinan pertama dengan luas 400 m² ditentukan secara acak, sedangkan ubinan

kedua diambil secara kontinu dari ubinan pertama dan seterusnya.

b. Dilakukan pendataan semua jenis tanaman hijaun pohon yang ada pada masing-

masing ubinan dengan jumlah individunya.

c. Untuk mengetahui Kondisi hijaun pohon khususnya tumbuhan yang membentuk

vegetasi sebagai kawasan hutan akan dianalisis menggunakan Analisis Vegetasi

oleh Suryanegara (1979), dalam Indriyanto (2006), sebagai berikut :

Kerapatan Σ individu

Luas petak contoh

Kerapatan Relatif (KR) Kerapatan suatu jenis

x 100%

kerapatan seluruh jenis

Frekwensi Jumlah petak ditemukan species

x 100%

jumlah seluruh petak

Frekwensi Relatif (FR) Frekwensi suatu jenis

x 100%

Frekwensi seluruh Jenis

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Keadaan Umum

Kecamatan Moa merupakan salah satu kecamatan yang terletak di wilayah

Kabupaten Maluku Barat Daya. Kecamatan Moa menurut astronomis terletak

diantara 08º25,51 Lintang Selatan dan 127º 52,30 - 128º 28,15 Bujur Timur.

Luas wilayah Kecamatan Moa adalah 1.262,70 km2, terdapat 7 desa dan 3

dusun. Berdasarkan luasnya maka desa Patti merupkan desa yang paling memiliki

luas wilayah yang paling besar yaitu 17,700 km² yaitu sekitar 19% dari total luas

wilayah Kecamatan Moa, sedangkan desa Moain merupakan desa yang memiliki

Page 37: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

31

luas wilayah terkecil yaitu 3,500 Km² atau 4% dari total luas wilayah Kecamatan

Moa

Iklim di daerah terebut didominasi oleh dua musim yairu musim barat dengan

intensitas hujan yang tinggi terjadi pada bulan April sampai Juli disertai dengan

angin. Sedangkan musim kemarau dimulai dari bulan Agustus sampaibulan

Desember diikuti dengan musim panjaroba (transisi) dengan temperatur berkisar

antara 26.60C - 30,40C

Hasil pengamatan diketahui bahwa di kecamatan Moa tidak terdapat

sungai.Namun masih ditemukan sumur-sumur alam yang terdapat pada lubang-

lubang batu karang atau celah-celah batu karang.Sumber air inilah masyarakat

setempat memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari dan juga untuk kebutuhan

ternak.

Penduduk masyarakat di kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat Daya

mempunyai mata pencaharian utama yaitu bercocok tanam serta beternak.Tanaman

pangan utama masyarakat Kecamatan Moa yaitu .jagung, kacang-kacanagan dan

singkong.

2. Jenis Tanaman, Kerapatan dan Frekwensi Masing-Masing Hijaun Pohon di

Kecamatan Moa

a. Inventarisasi jenis-jenis Hijaun Pohon

Hasil inventarisasi jenis hijauan Pohon sebagai pakan tambahan ternak

ruminansia di Kecamatan Moa dengan luas areal padang penggembalaan alam yang

ada seluas 4.600 ha dari 1.262,70 km². Pada padang pengembalaan alam terdapat

beberapa jenis hijaun pohon yang dapat dikonsumsi ternak disaat musim kemarau

sebagai makanan tambahan ternak ruminansia antara lain pohon Titi (Gemelina

luollvenan), aitiman(nama lokal), weru (Albizia procera), kusambing (Schletchera

oleasa), turi(Sesbania grandiflora), aileru (Vicus spp), pnoa(nama lokal), Ara

(Drypetes sp), sirikaya (Annona squamosa), beringin (Vicus Bejamin),

haunama(nama lokal), lamtoro (Lecuena leucocephala), gamal (Gliricidia sepium),

asam jawa (Tamarindus indica), dan nangka (Annona Muricata).

Kecamatan Moa sebagai salah satu daerah penghasil ternak Ruminansia

terutama ternak kerbau, tidak luput dari permasalahan penyediaan pakan. Hal ini

terlihat pada waktu musim kemarau dimana semua jenis rumput lapangan

(Graminae) tidak dapat bertahan hidup.Upaya penyedian pakan ternak sepanjang

Page 38: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

32

tahun selalu dibatasi oleh adanya perubahan iklim dan pola penggunaan lahan.Hal

tersebut sangat mempengaruhi jenis hijaun yang dipakai sebagai pakan ternak. Pada

musim hujan banyak jenis hijaun dapat disediakan, akan tetapi kemampuan daerah

sangat terbatas dalam menghasilkan hijaun pakan karena pada musim hujan hampir

semua areal dimanfaatkan oleh petani sebagai tanah pertanian. Sebaliknya, musim

kemarau selain hijaun berkurang, kualitas hijaun pun semakin rendah.Hasil

penelitian menunjukan bahwa luasn padang penggembalaan alam dipulau moa

adalah 4.600 ha. Luas padang pengembalaan sangat berpotensi untuk

penggembangan pakan ternak dalam bentuk hijaun pohon guna mendukung

terpenuhinya hijaun pakan sepanjang tahun. Menurut Lai (1998) Hijaun pohon juga

merupakan andalan untuk menyediakan pakan ternak khususnya pada musim

kemarau dimana produksi rumput menurun.

Pemanfaaatan hijaun pohon di Kecamatan Moa dapat disebabkan karena

ketebalan tanah lapisan atas (Top Soil) yang tipis sehingga hijauan seperti rumput

(Graminae) yang mempunyai sistem perakaran yang dangkal dengan melakukan

dorman sepanjang musim panas. Subagio dan Kusmartono (1988), lapisan tanah atas

merupakan bagian dari tanah yang ada didalamnya terkandung bahan-bahan organik

serta macam-macam mineral yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman.

Jenis - jenis hijauan pohon yang terdapat padang penggembalaan alam di

Moa dapat bertahan pada musim kemarau disebabkan karena pepohonan ini

merupakan tumbuhan xerofit yang dapat hidup di alam yang kering sehingga mampu

beradaptasi untuk bertahan hidup. Kondisi kekeringan yang ekstrim dengan

mengembangkan strategi untuk bertahan hidup yang bervariasi yaitu dengan luas

tajuk pohon yang kecil sehingga transpirasi air akan semakin sedikit dan sistem akar

yang sanggup untuk menembus kedalam tanah yang berbatu untuk mendapatkan air

secara kontinu sehingga dapat mengatasi kekeringan air pada musim kemarau yang

panjang. (Sumardi dan Widyastuti, 2004).

b. Kerapatan dan Frekwensi Hijaun Pohon

Penyebaran dari jenis hijaun pohon pada lokasi-lokasi penelitian tidak merata

karena pengelolahan dan pemeliharaan tanaman atau perubahan status tanah dan

sebagainya. Soerianegara dan Andry (1998), penyebaran tanaman kebanyakan

sebagai akibat manusia ditempat itu seperti: perubahan hutan, pengelolaan tanah,

Page 39: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

33

dan juga penanaman tanaman yang berubah-ubah. Dimana sumber pakan ternak

ruminansia adalah hijaun rumput, leguminosa dan konsentrat sehingga bila tidak

terpenuhi kebutuhan dari ternak maka tentu akan mengakibatkan kegagalan dalam

pemeliharan ternak.

Hasil perhitungan kerapatan dan frekwensi jenis-jenis hijaun pohon di

kecamatan Moa pada 4 (empat) Desa sampel, pada Tabel 1.

Hasil peneliitian menunjukan bahwa hijaun pohon aileru (Vicus spp), memiliki nilai

kerapatan dan frekwensi tinggi yaitu kerapatan 17,86 % dan frekwensi 11,63%

(Tabel.1) bila dibandingkan dengan hijaun lain. Aileru (Vicus spp), merupakan

bangsa beringin yang memiliki ketinggian rata-rata 1-5 meter sehingga tidak muda

rusak akibat rengutan ternak. Tingginya nilai kerapatan dan frekwensi aileru

disebabkan karena hijaun ini memiliki tingkat kesukaran untuk di rengut ternak

kecuali diambil oleh peternak sebagai pakan. Selain itu aileru (Vicus spp),

mempunyai sistem akar tunggang dan berkembangbiak dengan biji serta

bersimbiosis dengan tawan beringin sehingga mendukung kelangsungan hidup dan

penyebarannya, (Anonymus 1997).

Hijauan pohon titi (Gemelina luollvenan), memiliki nilai kerapatan 14,86%

dengan nilai frekwensi 9,75% (Tabel 1), tingginya nilai kerapatan dan frekwensi ini

disebabkan karena hijaun pohon ini merupakan hijaun yang kurang dimakan oleh

ternak juga memiliki pohon yang agak lebih tinggi dan hijaun pohon ini juga

memiliki getah yang banyak sehingga kurang disukai oleh ternak. Tetapi kelebihan

dari hijaun ini dapat bertumbuh pada tanah yang kering, juga dapat bertahan hidup

pada musim kemarau panjang sehingga bisa digunakan hijaun sebagai tempat

bertedu, bagi ternak maupun peternak, bisa sebagai pakan tambahan bila musim

kemarau yang panjang. Siregar, (1999) keunggulan lain jenis tanaman tersebut dapat

tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi tanah, walaupun pada lahan kering.

Page 40: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

34

Tabel 1. Nilai Rata-rata Kerapatan dan Frekwensi Masing-masing Hijaun Pohon di Kecamatan Moa

No Jenis Hijaun Kerapatan Frekwensi (%) (%)

1 Titi (Gemelina luollvenan) 14,86 9,75

2 Aitiman (Nama Lokal) 8,32 8,10

3 Weru (Albizia procera) 6,08 6,67

4 Turi (Sesbania grandiflora) 4,10 3,66

5 Gamal (Gliricidia sepium) 4,35 4,05

6 Aileru (Vicus spp) 17,86 11,63

7 Kusambi (Schletchera oleasa) 6,93 8,08

8 Asam jawa (Tamarindus indica) 6,35 6,50

9 Beringin (Vicus Bejamin) 5,39 6,26

10 Haunama (Nama Lokal) 5,57 6,13

11 Pnoa (Nama Lokal) 6,40 7,17

12 Ara (Drypetes sp) 3,32 4,30

13 Sirikaya (Annona squamosa) 3,70 5,22

14 Nangka (Annona Muricata) 4,15 5,23

15 Lamtoro (Lecuena leucocephala) 2,77 5,08

Hijauan aitiman(nama lokal) dengan kerapatan 8,32% dan frekwensi 8,10%,

hal ini disebabkan karena hijaun aitiman tidak di makan oleh ternak kerbau tetapi

dimakan oleh ternak kambing, sehingga kerapatan dan frekwensi yang tidak berbeda

jauh dengan pohon aileru (Vicus spp) dan titi (Gemelina luollvenan), Hijauan pohon

kaya akan nitrogen dan tidak tergantung pada kondisi nitrogen dalam tanah atau

pemberian pupuk karena sifatnya dapat memanfaatkan nitrogen udara melalui bintil-

bintil akar (Anonymous, 1997).

Di samping itu hijaun pohon ada yang memiliki tingkat kerapatan dan

ferkwensi lebih rendah yaitu lamtoro (Lecuena leucocephala), kerapatan 2,73% dan

frekwensi 5,08 (Tabel 1) dimana lamtoro merupakan hijaun pohon yang sering

digunakan pada musim kemarau untuk pakan ternak. Jenis hijauan ini dapat tumbuh

dengan baik pada berbagai kondisi tanah, sekalipun ditanam pada lahan yang kering

(Siregar, 1999). Gamal (Gliricidia sepium), memiliki nilai kerapatan 4,10 dan nilai

frekwensi 4,05, gamal(Gliricidia sepium), memiliki nilai frekwensi yang rendah

sama dengan lamtoro. Hal ini disebabkan karena peternak sering menggunakan

hijaun ini untuk pakan, selain itu peternak tidak hanya mengambil daunnya sebagai

pakan tetapi batang diambil atau di potong sebagai kayu bakar. Hal ini merupakan

suatu masalah bagi peternak dan harus diperbaiki karena disaat musim kemarau yang

panjang pakan hijaun berkurang sehingga bisa memanfaatkan

Page 41: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

35

lamtoro (Lecuena leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium), sebagai pakan

ternak. Kedua hijaun ini juga mempunyai kandungan protein tinggi sehingga dapat

dipakai sebagai makanan tambahan ternak terutama pada musim kemarau. Sosetyo

(1980), hijaun pohon merupakan sumber protein dan mineral yang berkadar tinggi

bagi ternak, disamping memperbaiki kesuburan tanah, sehingga.dengan adanya sifat-

sifat tersebut maka kedua jenis hijaun ini sangat baik untuk di kembangkan.

c. Persentase Pemanfaatan Hijauan Pohon

Rendahnya produktifitas hijaun padang pengembalaan di Kecamatan Moa

pada musim kemasrau disebabkan oleh curah hujan yang rendah dan suhu udara yang

cukup tinggi, sehingga menyebabkan kerusakan pada tanaman, seperti kematian

anakan, luka pada bagian tanaman yang memiliki jaringan yang lemah. Sumardi dan

Wdyastuti, (2004) kekurangan air akan dapat menghambat terjadinya proses

regenerasi pada tanaman serta dapat menyebabkan daun rontok dan hangus, hal ini

terjadi karena hilangnya air dengan cepat.

Hal ini menyebabkan peternak memanfaatkan hijauan pohon sebagai pakan.

Hasil perhitungan presentase pemanfaatan jenis-jenis hijaun pohon di kecamatan

Moa pada 4 (empat) Desa sampel, pada tabel 2. Pemanfaatan daun hijauan pohon

seperti daun aileru (Vicus spp), titi (Gemelina luollvenan), weru (Albizia procera),

gamal (Gliricidia sepium), lamtoro (Lecuena leucocephala), dan lain-lain sebagai

pakan ternak dapat diberikan secara tunggal atau dicampurkan (lebih dari satu jenis)

dengan rumput atau pakan lainnya sebagai pakan tambahan. Pemberian hijauan

pohon sebagai pakan diKecamatan Moa, diberikan dalam bentuk segar, menurut

kebiasaan masyarakat/peternakHasil penelitian, masyarakat belum mengetahui

tentang teknik pengolahan hijauan khusus hijauan pohon sebagai pakan ternak.

Hijaun weru (Albizia procera), merupakan hijaun yang sering diberikan untuk ternak

pada musim hujan dan musim kemarau. Presentase pemberian pada musim kemarau

lebih tinggi dibandingkan dengan hijauan yang lain yaitu 35,71 % dan presentase

pemberian musim hujan 14.28 % (Tabel 2). Akan tetapi tetap menjadi permasalahan

adalah pada musim hujan hijaun ini sangat banyak didapat, tetapi pada musim

kemarau sangat sulit didapat karena disaat musim kemarau pada umumnya peternak

mengambil hijaun ini untuk pakan ternak.

Page 42: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

36

Tabel 2. Presentase pemanfaatan hijaun pohon sebagai pakan ternak ruminansia

No Jenis Hijauan Pohon

Kemarau Hujan

1 Beringin (Vicus Bejamin) 17,85

2 Aitiman (Nama Lokal) 7,14

3 Weru (Albizia procera) 35,71 14,28

4 Turi (Sesbania grandiflora) 17,85 -

5 Gamal (Gliricidia sepium) 7,14 -

6 Aileru (Vicus spp) 10,71 -

7 Kusambi (Schletchera oleasa) 14,28 3,37

8 Asam jawa (Tamarindus indica) 10,71 -

9 Titi (Gemelina luollvenan) 14,28 7,21

10 Haunama (Nama Lokal) 7,14 -

11 Pnoa (Nama Lokal) 7,14 3,37

12 Ara (Drypetes sp) 14,28 -

13 Sirikaya (Annona squamosa) 7,21 -

14 Nangka (Annona Muricata) 7,21 -

15 Lamtoro (Lecuena leucocephala) 7,21 -

. Tingginya pemanfaatan hijaun weru sebagai pakan, mengakibatkan

kekurangan hijaun pakan pada saat musim kemarau. Menurut Lai (1998) Hijauan

Pohon juga merupakan andalan untuk menyediakan pakan ternak khususnya pada

musim kemarau dimana produksi rumput menurun. Hijauan ini juga bisa dapat

bertumbuh dan bertahan lama pada musim kemarau yang panjang tetapi peternak

tidak memanfaatkan hijaun ini dengan baik sehingga berdampak pada ternak yang

bisa mengakibatkan kekurangan hijaun dan akan mengakibatkan kematian pada

ternak. .

Hijaun pohon beringin (Vicus Bejamin) dan turi (Sesbania grandiflora),

memiliki presentase pemberian pada musim kemarau yaitu 17,85 %, (Tabel 2).

Pemberian untuk ternak dalam bentuk segar tanpa pengolahan, hal ini menjadi suatu

masalah bagi ternak, bila pengambilan hijaun disaat pagi hari dan langsung diberikan

pada ternak akan mengakibatkan kembung perut bagi ternak karena sisa- sisa embun

masih ada pada daun-daun tersebut sehingga bisa berdampak kematian juga pada

ternak.

Hijauan Pohon gamal (Gliricidia sepium) dan lamtoro (Lecuena

leucocephala) memiliki presentase pemberian yang rendah yaitu 7,14 %, kedua

hijaun pohon sangat sulit untuk dimanfaatkan pada saat musim hujan sehingga

Page 43: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

37

sangat sulit didapat pada saat musim kemarau di padang pengembalaan karena

peternak belum mengetahui dengan pasti manfaat dari kedua jenis hijaun ini.

Keberhasilan usaha peternakan khususnya ruminansia sangat tergantung dari

kecukupan tersedianya pakan hijaun baik jumlah maupun kesinambungannya.

Menurut Tangendjaja (1985) usaha produksi peternakan saat ini sangat tergantung

dari ketersedian bahan pakan.Produktivitas peternakan dapat dinaikan apabila pakan

yang diberikan secara optimal memenuhi kebutuhan ternak.Jadi untuk memenuhi

tersedianya pakan sepanjang tahun maka harus meningkatkan jumlah dan mutu

pakan ternak.

Menurut Mathius dkk (1989), kebutuhan zat-zat makanan sangat tergantung

pada kondisi ternak.Misalnya ternak muda yang sedang tumbuh dan ternak yang

sedang bunting membutuhkan lebih banyak zat makanan. Di Kecamatan Moa,

musim kemarau lebih panjang dari musim hujan sehingga bila pada musim hujan

pakan hijauan melimpah, tetapi pada musim kemarau pakan hijauan menurun ini

menjadi tugas bagi para peternak di daerah tersebut, apabila kondisi tidak atasi maka

peternak yang menjadi mata pencaharian akan berdampak pada pendapatan rumah

tangga.

Jenis-jenis hijaun pohon yang ada di daerah tersebut sangat berpeluang untuk

dikembangkan, sebagai cadangan pakan hijauan pada musim kemarau yang panjang.

Hijaun pohon dapat bertahan dan tumbuh pada musim kemarau yang panjang.

Menurut Lai (1998) hijaun pohon juga merupakan andalan untuk penyedian pakan

ternak khususnya pada musim kemarau dimana produksi rumput menurun.

Hijaun pohon mempunyai banyak fungsi antara lain untuk pakan ternak,

tanaman pagar, tanaman pelindung, kayu bakar, pupuk daun dan pencegah erosi.

Hijaun pohon sebagai pakan ternak mempunyai susunan zat makanan yang sangat

baik. Semua makanan ternak hijauan pohon yang sangat tinggi kadar proteinnya.

Disamping itu protein yang cukup tinggi sekitar 22 %, sehingga sangat tepat bila

dipakai sebagai sumber protein untuk ruminansia yang hanya diberi rumput saja.

Pemanfaatan hijaun pohon sebagai pakan ternak dapat diberikan secara tunggal atau

dicampur dengan rumput atau hijauan lainnya. Hijauan pohon adalah tanaman yang

sangat potensial digunakan sebagai hijaun pakan sumber protein untuk ternak

ruminansia didaerah tropis (Devendra, 1992). Hijaun Pohon perlu di kembangkan

Page 44: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

38

di Kecamatan Moa untuk mengetasi kekurangan hijauan pada musim kemarau.

Kecamatan Moa berpotensi untuk pengembangan ternak ruminansia dimana

didaerah tersebut ternak ruminansia merupakan pendapatan utama bagi masyarakat.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan kerapatan dan pada masing-masing

desa sampel adalah sebagai berikut :

1. Kecamatan Moa memiliki nilai kerapatan didominasi oleh hijauan Pohon Aileru

(Vicus spp), dengan nilai kerapatan adalah 17,86% dengan frekuensi 11,63%.

dan Pohon lamtoro (Lecuena leucocephala) yang terendah dengan nilai

kerapatan 2,73% .dengan nilai ferkuensi 4,82%

2. Jenis hijaun pohon Weru (Albizia procera) mempunyai persentase pemberian

pakan dimusim kemarau sebesar 35,71% dan di musim hujan 14,28%; beringin

(Vicus Bejamin) dan pohon turi (Sesbania grandiflora) dengan presentase

pemberian sebagai pakan di musim kemarau adalah 17,85 %.

3. Luas padang penggembala di Kecamatan Moa sebesar 4.600 ha, sangat

berpontesi untuk pengembangan hijaun pohon sebagai pakan pada musim

kemarau.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas maka ada beberapa saran yang perlu

dilakukan antara lain :

1. Untuk mengatasi kekurangan hijauan pada musim kemarau, perlu dilakukan

pembudidayaan hijauan pohon seperti weru (Albizia procera), beringin (Vicus

Bejamin), lamtoro (Lecuena leucocephala), gamal (Gliricidia sepium)dan turi

(Sesbania grandiflora), karena mampu bertahan pada musim kemarau dan juga

bisa digunakan sebagai pakan tambahan untuk menambah asupan gizi bagi ternak.

2. Perlu adanya penelitian lanjutan tentang kualitas dan kuantitas serta penyediaan

hijauan pohon sebagai pakan pada musim kemarau maupun musin hujan

3. Perlu adanya penerapan teknologi untuk melakukan pengawetan hijaun pada saat

hijauan melimpah di musim hujan, untuk mengantisipasi kekurangan makanan

ternak pada musim kemarau.

Page 45: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

39

DAFTAR PUSTAKA

Anonymus, 1997. Hijauan Makanan Ternak Potong, Kerja dan Perah.

Dendrologi.Pusdiklat. Bogor.

Arifin. A. 1994. Hutan, Hakekat dan Pengharunya Terhadap Lingkungan, Yayasan

Obor Indonesia, Jakarta.

Badan Pusat Satistik (BPS), 2016 Kecamatan Moa dalam angka. Badan Pusat

Statistik. Kecamatan Moa.

Bamualim, A.M. 2009. Dinamika Sumber Daya Rumput Asli Di Lahan Kering

Indonesia Untuk Mendukung Produksi Sapi Potong: Studi Kasus Nusa

Tenggara. Makalah Yang Di Presentasikan Pada Seminar Internasional

Tentang Sumber Pakan Berbasis. Pusat Teknologi Makanan Dan Fertilizer

ASPAC, Pusat Penelitian Peternakan-COA , ROC Dan Lembaga Penelitian

Indonesia Untuk Produksi Hewan, Bandung, 3-7 Agustus 2009.

Baumer, M. 1992. Pohon sebagai penjelajah dan untuk mendukung produksi

hewan.Pohon legume dan pohon pakan ternak ternak lainnya sebagai sumber

protein untuk ternak (Ed. Speedy, A. dan Pugliese, P.L).Produksi Hewan dan

Kertas Kesehatan, No. 102. FAO, Ro,a.

Devendra, 1992. Potensi Nutrisi Dari Pakan Ternak Perdu Sebagai Sumber Protein

Dalam Nutrisi Ruminansia Di Leguminosa Dan Pakan Ternak Lainnya

Sebagi Sumber Protein Unuk Ternak. Produksi Hewan Dan Kertas

Kesehetan. 102. Fao, Roma, Italy. Diakses Pada Maret 2004.

Ginting, A.N dan Sukandi, T. 2012. Penelitian agroforestry di Indonesia.Di sulmana

et al. (Eds) Pengembangan dalam Prosedur untuk Penelitian Sistem

Pertanian.AARD. Jakarta.

Indriyanto (2006).Ekelogi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Lai, R. 1998. Control Erosi Tanah dengan Alley Cropping. Konferensi Konservasi

Tanah Internasional kelima. Bangkok, Thailand.

Mathius.I.W..Dwi Yulistiani dan Agustinus Wilson.1989. Tata Laksana Pemberian

Pakan Kambing dan Domba Kumpulan Peragaan dalam Rangka Penelitian

Ternak Kambing dan Domba di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak.

Siregar, S. B. 1999. Pengemukan Kerbau, Penebar Swadaya. Jakarta. Soerianegara.,

I. Andry, I, 1998, Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Eklogi

Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Subagio dan Kusmartono 1988.Ilmu Kultur Padangan.Universitas Brawijaya

Malang.

Sumardi dan S.M. Widyastuti, 2004.Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Susetyo, S. 1980. Hijauan Makanan Ternak. Dirjen Peternakan. Departemen

Pertanian, Jakarta.

Tangendjaja, B. 1985.Analisa Bahan dan Manfaatnya dalam menyusun Ransum

Ternak.Journal Penelitian dan Pengembangan pertanian.

.

Page 46: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

40

Evaluasi Kualitas Fisik dengan beberapa Jenis Pengolahan Pakan

pada Pelepah Sawit Sebagai Pakan Ternak Kerbau

Rawa (Buffelus asiaticus)

W. Ibrahim dan J. Laksono

Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Musi Rawas

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi kualitas fisik

terdiri dari warna, aroma, tekstur, pH, kadar air dan bahan kering. Metode penelitian

ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

faktorial terdiri dua faktor. Faktor pertama P1: Amoniasi, P2 : Silase, P3 : Fermentasi

Faktor kedua W1 : 18 hari W2 : 21 hari W3 : 24 hari. Untuk mengetahui pengaruh

perlakuan data yang didapat dianalisis ANOVA dan uji Duncan. Hasil uji fisik warna

pada perlakuan amoniasi memberikan warna coklat muda, silase coklat muda,

fermentasi hijau kekuningan. Hasil uji fisik aroma pada perlakuan amoniasi berbau

sedikit amoniak , silase berbau asam, fermentasi berbau asamal segar. Hasil uji fisik

tekstur pada perlakuan amoniasi agak lembut, silase agak lembut, fermentasi sangat

lembut. Sedangkan untuk pH, Kadar air dan Bahan Kering berpengaruh sangat nyata

(P<0,01). Kualitas fisik pelepah sawit yang baik pada perlakuan P3 dengan perlakuan

Fermentasi dan W2 dengan perlakuan 21 hari memberikan hasil yang terbaik pada

semua parameter pengamatan.

Kata kunci: Pelepah sawit, Amoniasi, Silase, Fermentasi

Page 47: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

41

PENDAHULUAN

Kebutuhan akan ketersedian protein hewani untuk masyarakat Indonesia

meningkat dari tahun ke tahun, ini disebabkan peningkatan pertambahan penduduk dan

tingkat kesejahteraan yang juga mempengaruhi pola konsumsi pangan masyarakat.

Dalam meningkatkan produksi ternak ruminansia pakan merupakan faktor utama yang

sangat utama untuk kebutuhan hidup pokok yang dikonsumsi, baik secara kuantitas,

maupun kualitas. Salah satu hijauan sebagai sumber utama pakan ternak adalah limbah

dari perkebunan kelapa sawit, limbah yang dapat di jadikan sumber hijauan yaitu

pelepah sawit. Pelepah kelapa sawit terdiri dari daun dan tulang pelepah, pada daun

mengandung N, K, P, Mg, Ca dan S masing-masing 2,05%, 0,88%, 0,13%, 0,23%,

0,36% dan 0,17% sedangkan pada tulang pelepah

mengandung 0,37%,1,49%, 0,07%, 0,19%, 0,21% dan 0,18% (Corley and Tinker,

2016). Kandungan gizi pelepah kelapa sawit terdiri dari bahan kering (BK) 97,39, abu

3,96%, protein kasar (PK) 2,23%, serat kasar (SK) 47,00%, lemak kasar (LK) 3,04%,

NDF 76,09%, ADF 57,56%, Hemiselulosa 18,51%, lignin14,23% dan selulosa 43,00%

. Untuk meningkatkan kualitas dari pelepeh sawit dapat di lakukan denga teknologi

pengolahan pakan. Pakan memiliki pengertian segala sesuatu yang dapat diberikan

kepada ternak baik sebagian atau seluruhnya yang berasal dari bahan organik dan

anorganik yang tanpa mengganggu kesehatan ternak.

Teknologi dalam pengolahan limbah kelapa sawit seperti pelepah dan daun

kelapa sawit yang dapat dilakukan yaitu dengan fermentasi, amoniasi dan silase.

Kandungan lignin pelepah sawit mencapai 20% dari biomassa kering, sehingga

merupakan pembatas utama dalam penggunaan pelepah sawit sebagai pakan ternak

(Rahman et al., 2011). Ternak yang memiliki potensi untuk memanfaatkan hasil

teknologi pengolahan pelepa sawit ini adalah ternak kerbau rawa. Kerbau rawa hidup

di daerah tanah kotor berlumpur atau berawa-rawa, kesukaan kerbau rawa adalah

berkubang dan utamanya digunakan sebagai penghasil daging dan tenaga kerja (Murti,

2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas fisik dengan beberapa jenis

pengolahan pelepah sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa

Page 48: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

42

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Penelitian dilaksanakan Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Musi

Rawas Kelurahan Warterpang Kota Lubuklinggau Timur I Sumatra Selatan, dengan

ketinggian tempat 93 meter di atas permukaan laut. Penelitian berlangsung mulai bulan

April sampai dengan bulan Juni 2019.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: pelepah sawit,

dedak, urea, molases, air, Mol Bonggol Pisang. Sedangkan alat-alat yang digunakan

adalah: mesin coper, mesin fakum, timbangan, oven, pelastik, gelas ukur, Ph meter,

alat tulis. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Metode penelitian ini

menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial

terdiri dua faktor. Faktor pertama P1: Amoniasi, P2 : Silase, P3 : Fermentasi. Faktor

kedua W1 : 18 hari W2 : 21 hari W3 : 24 hari. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan

data yang didapat dianalisis ANOVA dan uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Uji Fisik Warna, Aroma dan Tekstur

Hasil pengamatan uji fisik pada beberapa jenis teknologi dan lama waktu

pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa dapat di lihat pada Tabel

1. Berdasarkan pada Tabel. 1, hasil dari pengamatan uji fisik pada beberapa jenis

teknologi dan lama waktu pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa

dapat dilihat adanya perubahan warna, aroma dan tekstur pada setiap parameter

pengamatan. Perubahan ini berbeda dikarenakan adanya perbedaan pelakuan seperti P1

amoniasi P2 Silase dan P3 Fermentasi. Sedangkan waktu tidak memberikan perbedaan

terhadap warna, aroma dan tekstur.

Page 49: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

43

Tabel 1. Hasil Uji fisik beberapa jenis teknologi dan lama waktu pengolahan pelepa

sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa

Perlakuan Warna

W1 W2 W3

P1 Coklat Muda Coklat muda Coklat Muda

P2 Coklat Muda Coklat Muda Coklat Muda

P3 Hijau Kekuningan Hijau Kekuningan Hijau Kekuningan

Aroma

P1

P2

P3

Khas Amoniak

Asam

Asam Segar

Khas Amoniak

Asam

Asam Segar

Khas Amoniak

Asam

Asam Segar

Tekstur

P1 Agak Lembut Agak Lembut Agak Lembut

P2 Lembut Lembut Lembut

P3 Sangat Lembut Sangat Lembut Sangat Lembut

B. pH, Kadar Air dan Bahan Kering

Berdasarkan hasil penelitian beberapa jenis teknologi dan lama waktu

pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa Berpengaruh sangat

nyata(P<0,01) pada parameter pH, Kadar air, Bahan Kering. Interaksi tidak terlihat

pada parameter pengamatan. Rata-rata jenis teknologi dan lama waktu pengolahan

pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa dapat di lihat pada Tabel. 2.

Tabel. 2. Rata-rata beberapa jenis teknologi dan lama waktu pengolahan pelepa

sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa

Perlakuan pH Kadar air Bahan Kering

Pengolahan Pakan

P1

P2

P3

Waktu

4,52 ± 2,26 bB

3,90 ± 1,95 abAb

3,66 ± 1,83 aA

6,13 ± 3,35

6,30 ± 3,38

6,60 ± 3,69

93,13 ± 46,65

93,68 ± 46,86

93,42 ± 46,74

W1

W2

4,04 ± 0,44

8,20 ± 0,50 cC

91,17 ± 1,04 aA

W3 4,05 ± 0,42 6,01 ± 0,24 abAB 93,97 ± 0,20 bB 3,98 ± 0,46 4,91 ± 0,25 aA 95,15 ± 0,14 bB

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukan

perbedaan sangat nyata pada taraf 1% Uji Berganda Duncan

Page 50: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

44

C. Warna

Berdasarkan hasil uji fisik Perlakuan P1 dan P2 menghasilkan warna coklat muda

sedangkan perlakuan P3 menghasilkan warna hijau kekuningan. Sedangkan untuk

perlakuan W1,W2 dan W3 menunjukan warna yang sama. P1 dan P2 Menghasilkan

warna coklat muda hal ini di duga karena pelepah sawit yang di gunakan dalam

penelitian ini dalam bentuk segar, sehingga warna yang dihasilkan selama proses

pemeraman berwarna coklat muda hampir sama dengan warna sebelum di lakukan

pemeraman. Sedangkan pada pelakauan P3 berwarna hijau kekuningan hal ini diduga

karean adanya aktifitas mikro organisme yang berasal dari MOL bonggol pisang yang

dapat menghasilkan bakteri asam laktat BAL yang dapat mendegradasi bahan sehingga

menyebabkan warna hijau kekuningan, selain itu juga pengaruh panas dari proses

ensilase selama proses fermentasi Hal ini sesuai dengan pendapat Folley et al. (1972)

menyatakan Bakteri asam laktat akan mengubah glukosa atau karbohidrat sederhana

menjadi alkohol, asam asetat, asam karbonat dan asam laktat

D. Aroma

Berdasarkan uji fisik perlakuan P1 menghasilkan aroma khas amoniak, P2

Menghasilkan aroma sedikit asam dan P3 menghasilkan wangi. Sedangkan untuk

perlakuan W1, W2 dan W2 menunjukan aroma yang sama. Hal ini di duga karena pada

setiap perlakuan diberikan bahan tambahan yang berbeda-beda, seperti P1 di

tambahkan urea sehingga aroma yang di hasilkan aroma khas amoniak, sesuai dengan

pendapat Sumarsih et, al (2009) yang menyatakan bahwa ciri amoniasi yang baik yaitu

bau yang khas amoniak. P2 di tambahkan molases dan dedak sehingga aroma yang di

hasilkan aroma asam, masam tersebut di sebabkan oleh bak teri anaerob menghasilkan

asam organik. Menurut Kurnianingtyas et al., (2012) aroma asam pada silase

disebabkan pada saat proses pembuatan silase, bakteri anaerob aktif bekerja

menghasilkan asam organik dan membuat aroma silase menjadi asam, aroma silase

yang baik berbau asam dan tidak tajam. P3 di tambahkan Mol Bonggol pisang dan

sehingga aroma yang di hasilkan wangi, aroma wangi tersebut di sebaabkan

Page 51: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

45

adanya bakteri asam lakstat yang di hasilkan dari Mol Bonggol pisang dan di tambah

dengan tetes tebu sehingga aroma yang di hasilkan wagi.

E. Tekstur

Berdasarkan uji fisik perlakuan P1 menghasilkan tekstur Agak Lembut, P2 dan

P3 menghasilkan tekstur lembut. Sedangkan untuk perlakuan W1, W2 dan W2

menunjukan tekstur yang sama. Hal ini di duga karena Pada perlakuan P1 kandungan

air dalam bahan masih tinggi sehingga proses ureanase tidak berjalan dengan

maksimal, sehingga bahan tidak menjadi lunak. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat

Sumarsih et al. (2009) yang menyatakan bahwa ciri amoniasi yang baik yaitu tekstur

berubah menjadi lebih lunak dan kering. Perlakuan P2 dan P3 menghasilkan tekstur

lunak hal ini di duga karena bahan yang di gunaka serta bahan tambahan yang di

gunakan seperti Mol bonggol pisang. Hal ini sesuai dengan pendapat Schroeder (2004),

secara umum kualitas silase dipengaruhi oleh bahan yang digunakan, kadar air, ukuran

partikel bahan, penyimpanan pada saat ensilase dan pemakaian aditif.

F. pH

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa beberapa jenis teknologi dan lama waktu

pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa berpengaruh sangat nyata

(P<0,01) terhadap pH (Tabel 2). Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan pada P1

berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan P2 dan berbeda nyata dengan P3. Hal ini di

duga karena adanya perbedaan dalam pengolahan bahan. P1 proses amoniasi, dimana

pH amoniasi yang baik 6,5 -7 selain itu juga pengolah ini menggunakan bahan kimia

berupa urea yang bersifat basah. Pada perlakuan P2 dan P3 pH yang di hasilkan reratif

sama berkisar 3,0 - 4,0 dimanan pada kedua perlakuan ini bersifat asam, sehingga

dalam proses nya banyak melibatkan bakteri asam laktat Keadaan asam pada silase

dikarenakan oleh oksidasi etanol menjadi asetildehid yang selanjutnya dioksidasi

menjadi asam laktat, kondisi ini akan menyebabkan suasana menjadi asam. Hal ini

sesuai dengan pendapat Sebayang (2006) bahwa keadaan asam dari hasil fermentasi

silase disebabkan oleh teroksidasinya etanol menjadi asetildehid yang mengalami

Page 52: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

46

oksidasi lanjutan menjadi asam laktat.

G. Kadar Air

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa beberapa jenis teknologi dan lama waktu

pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa berpengaruh sangat nyata

(P<0,01) terhadap Kadar Air Tabel 2. Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan pada

W1 berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan W3 dan berbeda nyata dengan W2. Hal ini

di duga karena waktu dalam proses pemeraman terlalu lama menyebabkan peningktan

kadar air dalam bahan yang di gunakan dalam proses ensilase tersebut, ini dapat dilihat

bahwa W1 dengan lama pemeraman 18 hari kadar airnya 8,20 dan W3 dengan lama

pemeraman 24 hari kadar air 4,91. Anggraeny et al.,(2009) selama proses fermentasi

akan terjadi peningkatan kadar air dalam subtrat karena penguraiyan bahan kering total,

yang akan di gunakan sebagai sumber energi atau sebagai pembentuk sell baru

sehingga kandungan bahan kerinya menurun.

H. Bahan Kering

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa beberapa jenis teknologi dan lama waktu

pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa berpengaruh sangat nyata

(P<0,01) terhadap Bahan kering (Tabel 2) Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan

pada W3 berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan W1 dan berbeda nyata dengan W2.

Hal ini di duga karena semakin lama waktu yang di gunakan dalam pemeramam

sehingga menyebabkan kandungan air dalam bahan akan rendah sehinga terjadi

peningkatan pada kandungan bahan kering hal ini sesuai dengan pendapat Anggraeny

et al.,(2009) semakin basah bahan yang diensilase semakin banyak panas yang di

butuhkan untuk meningkatkan suhu silase dan semakin banyak kehilangan bahan

kering atau peneingkatan kadar air.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa uji fisik

yang baik yang baik pada pelakuan fermentasi, pada paremeter pH Kadar Air dan

Bahan Kering menghsilkan nilai terbaik pada perlakuan P3W3.

Page 53: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

47

S

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang palatabilitas pada ternak kerbau

rawa

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeny, Y.N. dan Umiyasih. U. 2009. Pengarug Fermentasi cerevision Terhadap

kandungan Nutrisi dan Kecernaan Ampas Aren (Arenga pinata MERR). Seminar

Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Hal 256-262.

Corler, R.H.V. and P.B. Tinker. 2016. The Oil Palm. Fifth Edition. Wiley Blackwell,

UK.

Folley, R.C., Bath, D.L., Dickinson, F.N and Tucker, H.A., 1972. Dairy Cattle: Principles, Practice.

Kurnianingtyas, I.B., Pandansari, P.R., Astuti, I., Widyawati, S.D., dan Suprayogi,

W.P.S. 2012. Pengaruh Macam Akselerator terhadap Kualitas Fisik, Kimiawi

dan Biologis Silase

Murti,T.S. 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Kanisius, Yogyakarta.

Rahman, M.M., M. Lourenco, H.A. Hassim, J.J.P. Boars, A.S.M. Sonnenberg, J.W.

Cone J.W, J. De Boever, and V. Fievez. 2011. Improving ruminal degradability

of oil palm fronds using white rot fungi. Anim. Feed. Sci. and Tech. Vol. 169,

Issues 3-4:157-166.

Sumarsih, S., C. I. Sutrisno., B. Sulistiyanto.2009. Kajian Penambahan Tetes Sebagai

Aditif Terhadap Kualitas Organoleptik dan Nutrisi Silase Kulit Pisang.Seminar

Nasional Kebangkitan Peternakan, Semarang.

Schroeder, J.W. 2004. Silage Fermentation and Preservation. Extension Dairy

Specialist. AS-1254.

Sebayang, F. 2006. Pembuatan Etanol dari Molases secara Fermentasi Menggunakan

Sel Saccharomyces cerevisiae yang Terimobilisasi pada Kalsium Alginat. Jurnal

Teknologi Proses 5 (2) 75-80.

Page 54: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

48

Pengaruh Bioprosessing Kulit Buah Kakao (Theobroma Cacao)

Menggunakan Probiotik Terhadap Kandungan Fraksi Serat

Sri Rahayu dan Djoko Subagyo

Universitas Jabal Ghafur, Sigli

e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kulit buah kakao merupakan salah satu limbah perkebunan yang ada di

Kabupaten Pidie, masyarakat menganggap bahwasanya limbah harus dibuang, tapi

pada kenyataannya limbah Kulit buah kakao sangat berpotensi sebagai pakan ternak.

Pemberian Kulit buah kakao kepada ternak harus melalui proses perbaikan zat nutrisi

terlebih dahulu, salah satunya dengan fermentasi. Penelitian ini bertujuan melihat

pengaruh dosis pemberian probiotik dan lama waktu fermentasi terhadap kandungan

fraksi serat kulit buah kakao yang telah difermentasi. Penelitian ini menggunakan

Rancangan Acak Kelompok (RAK) Pola Faktorial dengan 3x2 dengan 3 ulangan.

Faktor A adalah dosis pemberian probiotik yaitu A1= 7,5%, A2= 10%, dan A3= 12,5%.

Faktor B adalah lama waktu fermentasi B1= 25 hari dan B2= 30 Hari. Data dianalisa

mengguna analisa varian (Anova) dan uji Lanjut DMRT. Hasil penelitian menunjukan

bahwa perlakuan A3B2 dapat menurunkan kandungan fraksi serat substrat setelah

difermentasi yaitu SK sebesar 40,33%, NDF sebesar 23,07%, ADF sebesar 11,50 %,

selulosa sebesar 23,72%, dan hemiselulosa 58,43%.

Kata Kunci: Kulit buah kakao, Bioprosessing, Win Prob, Nutrisi

PENDAHULUAN

Semakin lama jumlah penduduk semakin bertambah, seiring dengan hal tersebut

kebutuhan akan pangan juga meningkat. Meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat

menyebabkan peralihan fungsi lahan yang terjadi tidak dapat dibendung. Peralihan

fungsi lahan yang terjadi menyebabkan berkurangnya areal padang pengembalaan dan

lahan Hijauan Makanan Ternak (HMT). Kekurangan HMT merupakan faktor yang

sangat mempengaruhi populasi ternak. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk

memenuhi kebutuhan pakan ternak alternatif, mudah didapat, harga murah, tersedia

sepanjang waktu dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yaitu dengan

memanfaatkan limbah perkebunan. Salah satu dari limbah perkebunan tersebut yang

dapat dimanfaatkan adalah kulit buah kakao (KBK). KBK sangat

Page 55: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

49

berpotensi sebagai pakan ternak alternatif khususnya untuk ternak Ruminansia.

Pemanfaatan limbah KBK ini dapat membantu peternak dalam hal penyediaan pakan

ternak.

Luas areal perkebunan kakao di Pidie Tahun 2015 adalah 10.308 Ha dengan

jumlah produksi 4.568 ton. Sedangkan pada Tahun 2016 luas areal perkebunan kakao

meningkat menjadi 10.376 Ha dengan jumlah produksi sebesar 4.717 ton (Aceh Dalam

Angka, 2017). Dari data tersebut dapat kita lihat baik luas areal maupun jumlah

produksi Kakao mengalami peningkatan dengan masing-masingnya 0,7% dan 3,3%.

Dengan demikian dapat kita artikan dengan adanya peningkatan luas areal dan jumlah

produksi kakao ini juga meningkatkan limbah dari kulit kakao. KBK merupakan

limbah dengan proporsi paling besar dihasilkan. Buah kakao terdiri dari 3 bagian yaitu:

kulit buah kasar 74%, plasenta 2% dan biji 24% (Harsini dan Susilowati, 2010).

Limbah KBK yang semakin banyak dan menumpuk jika tidak dimanfaatkan tentu akan

menjadi limbah yang terbuang. Dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi yang ada

pada sekarang ini limbah KBK dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak

inkonvensional.

Pemanfaatan limbah KBK ini dapat dijadikan sebagai pakan alternatif dengan

sentuhan teknologi fermentasi. Fermentasi KBK dapat meningkatkan kualitas dari

KBK itu sendiri. KBK memiliki kualitas yang rendah jika kita berikan secara langsung

kepada ternak. Kulit Buah Kakao sebelum fermentasi mengandung BK 78,91%, BO

71,58%, PK 5,251%, SK 35,23%, LK 1.7%, NDF 76,980 %, ADF

58,003%, Hemiselulosa 18,977%, Selulosa 29,47%, dan Lignin 36,00% (Hasil Uji

Labor TIP Unand, 2019).

Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa fermentasi dengan menggunakan

mikroba hasil isolasi dan melalui proses sterilisasi terlebih dahulu memiliki hasil yang

baik, akan tetapi sulit untuk diterapkan pada masyarakat kita. Saat ini sudah banyak

produk probiotik yang dikeluarkan oleh para praktisi peternakan untuk membantu para

peternak agar menjadi lebih mudah dalam melakukan fermentasi pakan berserat. Proses

fermentasi Kulit Buah Kakao dilakukan dengan bantuan Win Prob. Win Prob

merupakan sebuah produk berupa probiotik

Page 56: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

50

yang mengandung beberapa mikroba yang terdiri dari Aspergilus niger, Bacillus

subtilis, Lactobacyllus aeidophyllus, Rizhopus oligosporus, Saccharomyces cereviciae,

Trichoderma viride.

MATERI METODA

Bahan yang digunakan adalah limbah kulit buah kakao, aquadest, molasses,

Probiotik merk Win Prob (CV. Mukti Abadi, Perum Sidokare Indah Blok FF No. 8

Sidoarjo Jawa Timur). Seperangkat alat fermentasi, seperangkat alat analisa proximat

dan analisa vansoest. Penelitian ini menggunakan adalah Rancangan Acak Kelompok

(RAK) pola faktorial dengan (3x2) dengan 3 ulangan. Faktor A adalah dosis

penggunaan probiotik yaitu: A1=7,5%, A2=10% dan A3=12,5% sedangkan yang

menjadi Faktor B adalah lama waktu fermentasi dengan B1=25 hari, dan B=30 hari.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kandungan Serat Kasar (SK) setelah Fermentasi

Rataan kandungan serat kasar kulit buah kakao setelah difermentasi dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Kandungan SK dalam %

Faktor A

Faktor B 1 2 3 Rataan

B1 28,237a 26,642ab 23,630b 26,170

B2 27,594c 25,551d 21,022e 24,722

Rataan 27,915 26,096 22,326

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P<0.05)

Hasil sidik ragam pada serat kasar (SK) menunjukan adanya interaksi antara

dosis pemberian Probiotik (Faktor A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor B). Hasil

uji lanjut DMRT terhadap interaksi masing-masing perlakuan terhadap kandungan SK

menunjukkan bahwa perlakuan A3B2 berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan

lainnya.

Pada Tabel 1 diatas memperlihatkan terjadinya penurunan kandungan SK pada

setiap perlakuan jika dibandingan dengan kandungan SK pada saat sebelum

Page 57: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

51

dilakukan fermentasi, yaitu 35,23% atau mengalami penurunan sebesar 40,33% (Hasil

analisa Laboratotium TIP Unand, 2019). Penurunan SK ini diduga akibat penurunan

kandungan lignin pada kulit buah kakao, dimana kandungan lignin awal adalah sebesar

36 % (Hasil analisa Laboratotium TIP Unand, 2019) dan setelah difermentasi

kandungan lignin turun menjadi 21,02% (Hasil analisa Laboratorium TIP Unand,

2019).

Penurunan kandungan lignin ini merupakan aktifitas dari mikroba yang bekerja

secara optimal dalam hal ini adalah kombinasi perlakuan A3B2 dengan kandungan SK

sebesar 21,02%. Proses degradasi lignin yang terjadi dengan optimal ini

mengindikasikan bahwa perlakuan ini dapat meningkatkan jumlah miselium kapang

dan menghasilkan enzim-enzim yang lebih banyak sehingga proses degradasi lignin

terjadi secara optimal. Semakin lama waktu fermentasi semakin baik pertumbuhan

mikroba, dalam penelitian ini waktu 30 hari merupakan waktu terbaik untuk aktifitas

mikroba dalam merombak zat pakan secara optimal jika dibandingkan dengan

perlakuan B1 (25 hari). Marlina (2004) menyebutkan bahwa fermentasi substrat enceng

gondok menggunakan Aspergillus niger dapat menurunkan kandungan serat kasar dari

24,6% menjadi 19,00%. Nurhayati (2005) juga menambahkan bahwa teknologi

fermentasi banyak dilakukan untuk peningkatan nilai gizi bahan pakan lokal atau asal

limbah, misalnya melalui fermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger.

Pada Tabel 1, juga terlihat bahwa kandungan SK terendah yaitu pada perlakuan

A1B1, hal ini diduga karena pemberian dosis probiotik 7,5% dengan waktu 25 hari

belum dapat mengoptimalkan pertumbuhan miselium-miselium pada kapang sehingga

enzim-enzim yang dihasilkan juga sedikit sehingga membuat aktifitas enzim dalam

mendegradasi SK belum terjadi secara maksimal. Penurunan kandungan SK pada

substrat sangat dipengaruhi oleh keberadaan lignin pada substrat. Kuswandi (2011)

menyatakan bahwa kandungan lignin dalam bahan pakan dan kecernaan bahan kering

pakan sangat berhubungan erat, oleh karena itu untuk mempermudah proses

pencernaan kulit buah kakao oleh mikroba rumen, maka diperlukan suatu teknologi

Page 58: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

52

yang dapat mendegradasi ikatan lignin dengan selulosa dan hemiselulosa dengan

selulosa yaitu dengan menguraikan komponen polisakarida yang terkandung di kulit

buah kakao melalui proses degradasi atau fermentasi menggunakan aktivitas mikroba.

B. Kandungan NDF Setelah Fermentasi

Rataan kandungan NDF Kulit Buah Kakao setelah difermentasi dapat dilihat

pada Tabel 2

Tabel 2. Rataan Kandungan NDF dalam %

Faktor A

Faktor B 1 2 3 Rataan

B1 74,700a 73,167a 70,547b 72,804

B2 67,947c 65,453c 59,220d 64,207

Rataan 71,323 69,310 64,883

Keterangan : superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P < 0,05)

Hasil sidik ragam pada NDF menunjukan adanya interaksi antara dosis

pemberian Probiotik (Faktor A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor B). Hasil uji

lanjut DMRT terhadap interaksi masing-masing perlakuan terhadap kandungan NDF

menunjukkan bahwa perlakuan A3B2 berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan

lainnya. Perlakuan A1B2 dan A2B2 tidak berbeda nyata (P>0,05), akan tetapi

perlakuan A1B2 dan A2B2 berbeda nyata (P < 0,05) dengan perlakuan A3B2, A1B1,

A2B1, dan A1B3.

Pada Tabel 2 diatas memperlihatkan terjadinya penurunan kandungan NDF pada

setiap perlakuan jika dibandingan dengan kandungan NDF pada saat sebelum

dilakukan fermentasi yaitu 76,98% (Hasil analisa Laboratotium TIP Unand, 2019).

Penurunan NDF ini diduga akibat penurunan kandungan Lignin pada Kulit Buah

Kakao, dimana kandungan lignin awal adalah sebesar 36 % (Hasil analisa

Laboratotium TIP Unand, 2019) dan setelah difermentasi kandungan lignin Kulit Buah

Kakao turun menjadi 21,02% (Hasil analisa Laboratotium TIP Unand, 2019).

Pada Tabel 2 diatas terlihat bahwa penurunan NDF terbaik terdapat pada

perlakuan A3B2 yaitu sebesar 59,220%, hal ini disebabkan oleh proses degradasi lignin

yang terjadi secara sempurna oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba,

Page 59: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

53

sehingga lignin serta fraksi serat lainnya mengalami penurunan. Proses fermentasi

menyebabkan degradasi terhadap dinding sel yang meliputi lignin, sellulosa, dan

hemisellulosa. Degradasi lignin yang terjadi menyebabkan putusnya ikatan

lignoselulosa dan lignohemiselulosa, sehingga memudahkan mikroba merombak

selulosa dan hemiselulosa. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Suparjo, 2010 bahwa

degradasi lignin akan membuka akses untuk perombakan selulosa dan hemiselulosa.

Rendahnya NDF pada perlakuan A1B1 yaitu sebesar 74,70% diduga kombinasi

perlakuan 7,5 % (A1) dengan lama waktu fermentasi 25 hari (B1) belum mampu

mengoptimalkan kerja enzim yang dihasilkan oleh mikroba, sehingga pengaruhi

aktifitas mikroba dalam mendegradasi pakan masih rendah mengakibatkan kandungan

NDF dan fraksi serat kasar lainnya menjadi rendah (Rahayu, 2014).

C. Kandungan ADF Setelah Fermentasi

Rataan kandungan ADF kulit buah kakao setelah difermentasi dapat dilihat

pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Kandungan ADF dalam %

Faktor A

Faktor B 1 2 3 Rataan B1 57,071 56,176 53,058 55,435a

B2 53,607 52,412 51,332 52,450b

Rataan 55,339a 54,294a 52,195b

Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P<0.05)

Hasil sidik ragam pada ADF menunjukan tidak adanya interaksi antara dosis

pemberian Probiotik (Faktor A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor B). akan tetapi

masing-masing faktor yaitu dosis pemberian probiotik (Faktor A) dan lama waktu

fermentasi (Faktor B) menunjukan pengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap

penurunan kandungan ADF kulit buah kakao setelah difermentasi.

Hasil uji lanjut DMRT terhadap dosis pemberian probiotik (Faktor A)

menunjukan pada perlakuan A3 berbeda nyata (P<0,05) terhadap penurunan

kandungan ADF dibandingkan dengan perlakuan A2 dan A1. Hasil uji lanjut DMRT

Page 60: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

54

terhadap lama waktu fermentasi (Faktor B) menujukan perlakuan B2 berbeda nyata

(P<0,05) terhadap penurunan kandungan ADF dibandingkan dengan perlakuan B1.

Terlihat pada Tabel 3 bahwa hasil terbaik terdapat pada perlakuan A3 dan

perlakuan B2. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan penambahan dosis tertinggi

(12.5%) dan waktu fermentasi selama 30 hari merupakan kolaborasi perlakuan yang

dapat menurunkan kandungan ADF pada substrat. Penurunan ADF dibuktikan dengan

kandungan ADF substrat sebelum difermentasi adalah sebesar 58.003% sedangkan

substrat sebelum fermentasi memiliki kandungan ADF sebesar 51,332%. Penurunan

kandungan ADF merupakan konstribusi dari penurunan kandungan lignin dan fraksi

serat lainnya pada substrat setelah fermentasi. Hasil ini menunjukan bahwa

penambahan probiotik dapat meningkatkan produktifitas mikroorganisme dalam

merombak diding sel bahan pakan. (Ali et al, 2015) menyatakan bahwa penambahan

probiotik dalam proses fermentasi secara anaerob menunjukkan hasil yang lebih baik

dalam menurunkan kandungan ADF pelet silase pelepah kelapa sawit dibandingkan

dengan tanpa penambahan probiotik.

D. Kandungan Selulosa dan Hemiselulosa Setelah Fermentasi

Rataan kandungan selulosa dan hemiselulosa kulit buah kakao setelah

difermentasi dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Hasil sidik ragam pada selulosa

(Tabel 4) menunjukan tidak adanya interaksi antara dosis pemberian Probiotik (Faktor

A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor B), akan tetapi masing-masing faktor yaitu

dosis pemberian probiotik (Faktor A) dan lama waktu fermentasi (Faktor

B) menunjukan pengaruh berbeda nyata (P<0.05) terhadap penurunan kandungan

Selulosa Kulit Buah Kakao setelah difermentasi. Pada faktor A1 dan A2

memperlihatkan hubungan tidak berbeda nyata (P>0,05) dan perlakuan A2 dan A3

memperlihatkan hubungan tidak berbeda nyata (P>0,05),sedangkan pada Faktor B1

dan B2 memperlihatkan hubungan yang berbeda nyata (P< 0,05).

Page 61: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

55

Tabel 4. Rataan Kandungan Selulosa dalam % Faktor A

Faktor B 1 2 3 Rataan

B1 28,987 27,618 25,714 27,440a

B2 24,381 22,700 22,481 23,187b

Rataan 26,684a 25,159ab 24,097b

Keterangan : superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P < 0,05)

Hasil sidik ragam pada Hemiselulosa (Tabel 5.) menunjukan adanya interaksi

antara dosis pemberian Probiotik (Faktor A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor B).

Hasil uji lanjut DMRT terhadap interaksi masing-masing perlakuan terhadap

kandungan Hemiselulosa menunjukkan bahwa perlakuan A3B2 berbeda nyata dengan

perlakuan lainnya.

Perlakuan A1B1 dan A2B1 dan A3B1 menunjukan hubungan tidak berbeda nyata

(P>0,05), perlakuan A1B2 dan A2B2 tidak berbeda nyata (P>0,05).

Tabel 5. Rataan Kandungan Hemiselulosa dalam %

Faktor A

Faktor B 1 2 3 Rataan

B1 17,929a 16,990a 17,488a 17,469

B2 14,340b 13,042b 7,888c 11,757

Rataan 16,135 15,016 12,688

Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P < 0,05)

Terlihat pada Tabel 4 dan Tabel 5 bahwa perlakuan A3 dan B2 adalah perlakuan

yang terbaik dalam penurunan kandungan selulosa dan hemiselulosa, dimana

kandungan fraksi serat ini sebelum fermentasi adalah 29.47% dan 18.977%, sedangkan

setelah difermentasi kandungan selulosa dan hemiselulosa adalah sebesar 24.097% dan

12.688%. Penurunan kandungan fraksi serat dapat dilihat dari selisih kandungan NDF

dan NDF (Tabel 4 dan 5) terlihat semakin lama fermentasi semakin kecil kandungan

selulosa dan hemiselolusa. Penurunan kandungan selulosa disebabkan oleh enzim yang

dihasilkan oleh mikroba dalam merombak komponen lignohemiselulosa dan

lignoselulosa. (Hartono dalam Rahmawati, 2017) menyatakan bahwa Aspergillus niger

menghasilkan enzim sellulase disamping itu juga menghasilkan enzim amilase,

protease, glukoamilase, laktase, katalase, glukosa oksidase, lipase, hemisellulase dan

peptinase.

Page 62: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

56

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian perlakuan A3B2 (dosis

12,5% dan lama waktu fermentasi 30 hari) dapat menurunkan kandungan fraksi serat

substrat setelah difermentasi yaitu SK sebesar 40,33%, NDF sebesar 23,07%, ADF

sebesar 11,50 %, Selulosa sebesar 23,72%, dan Hemiselulosa 58,43%.

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Riset

dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jendral Penguatan Riset dan Pengembangan

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sebagai penyandang dana. Telah

memberikan kepercayaan kepada kami menerima dana skema penelitian dosen pemula

Universitas Jabal Ghafur (UNIGHA) Sigli.

DAFTAR PUSTAKA

Ali A, Tarmizi M dan D. Febrina. 2017. Fraksi Serat Pelet Silase Pelepah Kelapa Sawit

(Elaeis guineensis) dan Indigofera (Indigofera zollingeriana) dengan Komposisi

yang Berbeda. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

BPS. 2017. Aceh Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Aceh. Aceh.

Harsini, T. dan susilowati. 2010. Pemanfaatan kulit buah kakao dari limbah pekrebunan

kakao sebagai bahan baku pulp dengan proses organosol V. Jurnal Ilmiah teknik

Lingkungan. 2(2):80-89

Kuswandi. 2011. Teknologi Pemanfaatan Pakan Lokal untuk Menunjang Peningkatan

Produksi Ternak Ruminansia Pengembangan Inovasi Pertanian 4 (3):189-204.

Marlina, L. 2004. Pengaruh Suhu dan Lama Fermentasi dengan Aspergillus sp terhadap

pH, Kandungan Serat Kasar dan BETN Eceng Gondok (Eichornia crassipes).

Skripsi Fakultas Petemakan Universitas Andalas, Padang.

Nurhayati. 2005. Evaluasi nutrisi campuran bungkil inti sawit dan onggok yang

difermentasi menggunakan Aspergillus niger sebagai bahan pakan alternatif.

Tesis. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang, 71 hlm.

Rahayu, S. 2014. Biodelignifikasi pelepah sawit menggunakan kapang Phanerochaete

chrysosporium yang disuplementasi mineral Ca dan evaluasi kecernaan secara In

vitro. Tesis. Pascasarjana. Universitas Andalas. Padang.

Rahmawati. 2017. Bioprosessing Limbah Kulit Kopi Arabika Dataran Tinggi Gayo

sebagai Pakan Ternak Alternatif. Laporan Hibah PDP. Universitas Gajah Putih.

Takengon, Aceh.

Suparjo. 2010. Peningkatan kualitas nutrisi kulit buah kakao sebagai pakan ternak secara

bioproses dengan Phanerochaete chrysosporium yang diperkaya ion Mn2+ dan

Ca2+. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 63: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

57

Kualitas Reproduksi Sapi Jantan PO Sebagai Calon Bibit Yang Di

Beri Minum Terseuplementasi Ekstrak Buah Merah

Nurcholis*, S.M. Salamony, dan D Muchlis

Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Musamus *Coressponding author: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas reproduksi sapi

jantan PO sebagai calon bibit yang diberi minum mengandung ekstrak buah merah di

kabupaten merauke. Metode yang diguankan dalam penelitian ini meliputi beberapa

tahapan yaitu tahap seleksi berdasarkan BCS dan seleksi berdasarkan BSE. Parameter

yang di ukur dalam penelitian ini meliputi skoring badan, lingkar skrotum, libido dan

kualitas semen segar yang di evaluasi secara makroskopis dan mikroskopis. Rancangan

yang dugunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 3 perlauan dan 4 ulangan,

data dianalisis secara statistik dengan bantuan soft ware SPSS versi 21.0. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa sapi jantan PO yang berada di kabupaten merauke

memiliki BCS rata-rata 3 dan libido sedang - tinggi, selain itu rata-rata lingkar skrotum

mencapai 27 – 28 cm. Kualitas semen sapi PO yang diberi minuman tersuplementasi

ekstrak buah merah secara makroskopis dan mikroskopis tidak berpengaruh nyata,

namun angka penilaian secara grafik cenderung meningkat. Kesimpulan penelitian ini

bahwa sapi jantan PO yang ada dikabupaten merauke memiliki potensi sebagai calon

bibit lokal, karena kualitas reproduksi dalam keadaan normal.

Kata kunci: Sapi PO; Kualitas semen; Buah Merah

PENDAHULUAN

Merauke sebagai kabupaten yang berkembang di wilayah papua selatan menjadi

salah satu ikon indonesia karena terletak di kawasan perbatasan RI/PNG. Merauke

meliliki potensi pertanian dan peternakan yang sangat baik, khusus bidang peternakan

hijauan pakan dan limbah pertanian yang cukup banyak menjadikan merauke dijadikan

daerah pembibitan sapi potong dikawasan indonesia timur berdasarkan peraturan dirjen

peternakan tahun 2016. Pengembangan sapi potong tentu tidak dapat dipisahkan dengan

potensi bibit, khusunya bibit sapi lokal yang telah teruji dan mampu bertahan dengan

kondisi iklim di merauke, rata-rata suhu di merauke hingga agustus 2019 mencapai

30-33oC (BMKG, 2019). Khusus Pengujian calon bibit sapi jantan dapat ditentukan

dengan beberapa tahapan diantaranya adalah dengan seleksi secara kuantitatif. Seleksi

berdasarkan postur badan, dapat di lakukan dengan mengitung BCS ( Body Condition

Page 64: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

58

scoring) dan BSE (Breeding Soundness Evaluation).

Pengujian BSE salah satunya tentang kualitas semen segar, kualitas semen pada

sapi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya genetik, kualitas pakan, dan

suhu. Suhu yang terlalu panas dapat menyebabkan ternak menjadi stress dan dapat

menurunkan kualitas spermatzoa, selain itu pakan yang bernutrisi rendah tentunya dapat

menurunkan kualitas semen segar. Pakan tenak sebainya mengandung nutrisi yang

cukup untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan reproduksi, nutrisi yang baik selain dapat

ditemukan pada pakan rumput juga dapat ditemukan pada limbah pertanian seperti

limbha jagung, limbah kacang dan limbah tauge (Nurcholis et al., 2015). Selain itu

nutrisi juga dapat diberikan melalui air minum. Proses pemberian pada air minum

diduga lebih cepat dalam proses penyerapan nutrisinya, minuman yang baik untuk

ternak selain air putih adalah minuman yang mengandung nilai vitamin serta antioksidan

yang tinggi. Buah merah telah diketahui memiliki kandungan antiksidan dan vitamin

yang banyak serta baik untuk kesehatan, sehingga diharapkan dengan adanya

suplementasi ekstrak buah merah dalam air minum pada ternak sapi, dapat

meningkatkan kualitas reproduksi ternak yaitu kualitas spermatozoa. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas reproduksi sapi PO pada suhu tinggi

yang diberi air minum terseuplementasi ekstrak buah merah.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan mei hingga juli 2019, bahah yang

digunakan dalam penelitian ini sebanyak 9 ekor sapi jantan umur 3-4 tahun, ekstrak buah

merah. Alat yang digunakan sepasang meter ukur rondo, jangka sorong, vagina biatan

dan alat evaluasi semen lengkap. Proses pembuatan ekstrak buah merah dilakukan

dengan merendam bulir-bulir buah merah dalam air hanggat bersuhu 35oC dan di aduk-

aduk hingga warna air menjadi merah, selanjutnya proses penyaringan menggunakan

kain saring dengan tujuan kotoran dapat terpisah dari sari buah merah. Buah merah yang

telah dieksrak disaring selanjutnya dapat dicampur dengan air dengan perbandingan 100

ml EBM : 900 ml air , 200 ml EBM : 800 ml air dan 300 ml EBM : 700 ml air. Pemberian

air yang tersuplementasi ekstrak buah merah (EBM) pada sapi dilakukan sebanyak 1

kali dalam sehari yaitu sore hari, dan pakan yang dugunakan adalah rumput serta

Page 65: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

59

leguminosa pada porposi perbandingan 70% rumput dan 30% leguminosa.

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan x 3

perlakuan. data dianalisis secara anova menggunakan bantuan soft ware SPSS versi 21.0

Perhitungan korelasi antara lingkar skrotum dan volume semen menggunakan analisis

korelasi dan regresi sederhana. Analisis korelasi yang digunakan adalah analisis

koefisien korelasi (r) yaitu nilai tingkat keeratan hubungan antara peubah (X) dengan

peubah (Y) dan analisis koefisien determinasi (r2) yaitu menyatakan besarnya peubah

X yang mempengaruhi peubah Y. Adapun peubah X adalah lingkar skrotum dan peubah

Y adalah volume semen dan motilitas semen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sapi jantan pada umumnya memiliki kemampuan untuk berkembang lebih cepat

dari ternak betina, perkembangan tubuh ternak tentunya berhubungan dengan BCS, rata-

rata BCS dapat menjadi suatu tolak ukur apakah ternak tersebut pada kondisi baik atau

tidak baik. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata BCS adalah 3, hal ini memberikan

makna bahwa sapi-sapi yang dijadikan penelitian adalah sapi dengan sedang tabel 1.

Tabel 1 nilai BCS, lingkar skrotum dan libido n (9)

Parameter A

Nilai pengukuran ± SE

B

C

BCS (cm)

Lingkar Skrotum (cm)

Libido

3,00 ±1.05

28,30 ±1.02

Tinggi

2,66 ±0.52

27,40±1.01

Sedang

3,00±1.17

28,10±0.04

Tinggi

Keterangan : A, B dan C ulangan yang masing-masing terdiri dari 3 ekor sapi

Selain itu untuk mengetahui apakah ternak jantan ini baik untuk menjadi calon pejantan

maka harus dibuktikan untuk mengetahui libido dan kualitas semen segarnya. Libido

pada sapi PO dalam penelitian ini rata-rata sedang hingga tinggi yang dibuktikan dengan

cepat memanjat betina walaupun betina tersebut belum birahi. Kualitas semen

berhubungan dengan lingkar skrotum pada sapi, rata-rata lingkar skrotum pada sapi

adalah 27-28 cm, hal ini menunjukkan ciri-ciri yang normal. Menurut saputra et al.,

(2017) bahwa rata-rata lingkar skrotum sapi pada usia 4 tahun adalah 26 cm, Said et al.,

Page 66: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

60

(2016) menunjukkan hasil relatif sama yaitu lingkar skrotum sapi sumba ongole rata-

rata 27,86 cm. lingkar skrotum berhubungan dengan volume spermatozoa tabel 2.

Pengujian korelasi antara lingkar skrotum, volume dan motilitas dilakukan sebelum

perlakuan pemberian minuman tersuplementasi buah merah. . Hasil penelitian lain

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara lingkar skrotum dan volume semen

dengan nilai koefisien kolerasi 0,63 (Saputra et al., 2017), penelitian lain pada sapi bali

koefisien kolerasi mencapai 0,72 ( Latif et al., 2009) dan Sarder (2005) bahwa lingkar

skrotum berkorelasi positif terhadap volume semen.

Tabel 2 Nilai lingkar skrotum, volume dan motilitas spematozoa n = (9)

Variabel X ±SB KK (%) K

Lingkar skrotum (cm) 28,30±1,37 4,32 27-28

Volume (ml) 4,35±1,05 22,10 2,6-7,5

Motilitas spermatozoa 75,60±2.37 4,27 60-80

(%)

Keterangan : SB (simpangan baku), KK ( koofisien keragaman) dan K (Kisaran)

Kualitas semen segar sapi yang diberi perlakukan tidak berpengaruh nyata

terhadap volume, motilitas dan konsentrasi (P>0.05) sedangkan nilai abnormalitas

berpengaruh nyata (P<0.05) tabel 3. Penelitian ini menjunjukkan bahwa asupan nutrisi

yang diberikan mampu meningkatkan kualitas spermatozoa, hal ini ditunjukkan dengan

rendahnya nilai abnormalitas primer yang terjadi pada bagian tubuliseminiferi. Hal ini

dapat terjadi diduga karena antioksidan dan vitamin yang terdapat dalam minuman

tersuplementasi buah merah bekerja secara efektif dalam pembentukan spermatozoa

pada proses permatogenesis. Namun demikian nilai motilitas cenderung mengalami

peningkatan.

Tabel 3 kualitas semen segar sapi Po yang diberi ekstrak buah merah dalam air minum

n (9)

Variabel A B C

Volume (ml) 4,35±1,08 4,15±1,13 4,10±1,02

Motilitas (%) 75,60±2,37 75,00±1,15 75,50±0,04

Viabilitas (%) 80,45±1,16 82,50±1,03 82,25±1,23

Abnormalitas (%) 8,20±2,10 5,11±0,72 2,00±1,06

Page 67: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

61

Keterangan : A, B dan C ulangan yang masing-masing terdiri dari 3 ekor sapi

Abnormalitas yang terjadi sebagian besar terdiri dari narrow head yaitu kepala

lonjong, hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa ternak yang diberikan pakan

dan minum yang mengandung suplemen herbal serta bernilai gizi tinggi akan

memberikan peningkatan kualitas ternak. Menurut Garner dan Hafez, (2000) nilai

abnormalitas yang sesuai standar rata-rata antara 5 sampai dengan 20%. Rendahnya nilai

abnormalitas spermatozoa dalam penelitian ini diduga pakandan minum yang diberikan

sangat bagus sehingga mendukung proses spermatogenesis dan pematangan

spermatozoa dalam epididymis (Nurcholis et al., 2015). Selain itu Kandungan utama

dari minyak buah merah diantaranya antioksidan vitamin E dan γ- tokoferol, omega-3

dan asam lemak tak jenuh, asam lemak tak jenuh berguna bagi permiabilitas membran

sel (6) yang mampu mempertahankan dan melindungi spermatozoa dari radikal bebas.

KESIMPULAN

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ternak sapi dikabupaten merauke dengan

suhu yang cukup tinggi, kualitas repduksinya dalam kondisi normal dan pemberian

minum tersuplementasi ekstrak buah merah memberikan dampak positif terhadap

kualitas semen segar sapi PO dan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Riset Teknologi

Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan

penelitian yang didanai oleh DRPM pada skema PDP.

DAFTAR PUSTAKA

Byrne CJ, Kenny DA, Fair S, English AM, Holden SA, Dick JR, Lonergan P. 2017.

Dietary polyunsaturated fatty acid supplementation of young postpubertal dairy

bulls alters the fatty acid composition of seminal plasma and spermatozoa but has

no effect on semen volume or sperm quality. Theriogenology. 90 : 289 – 300.

Garner, D.L. andE.S.E. Hafez. 2000.Spermatozoa and seminal plasma. In Reproduction

in Farm Animals.Hafez, E.S.E. andB. Hafez th (ed). 7.Lippincot Williams and

Wilkins,Philadelphia pp :206-227.

Latif, M.A., Ahmed, J.U., Bhuiyan, M.M.U., and Shamsuddin, M. 2009. Relationship

Page 68: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

62

Between Scrotal Circumference and Semen Parameters in Crossbred Bulls. The

Bangladesh Veterinarian. 26 (2):61-67.

Nurcholis., R.I Arifiantini, M. Yamin. 2015.Pengaruh pakan limbah tauge dan

suplementasi omega-3 terhadap produksi spermatozoa domba garut. Agricola. 5

(2) : 133-142.

Said, S., Agung, P.P., Putra, W.P.B., Anwar, S., Wulandari, A.S., and Sudiro, A. 2016.

Selection of Sumba Ongole (SO) Cattle based on Breeding value and Performance

Test. Journal of the Indonesian Tropical Animal Agriculture. 41(4): 175-187.

Saputra D.J., M. N. Ihsan, N. Isnaeni. 2017. Korelasi antara lingkar skrotum dengan

volume semen, konsentrasi dan motilitas spermatozoa pejantan sapi bali. Jurnal

Ternak Tropik. 18 (2) :59-68.

Sarder, M.J.U. 2005. Scrotal Circumference Variaton on Semen Characteristics of

Artificial Insemination (AI) Bull. Journal of Animal and Vetenary Advances. 4

(3): 335-340.

Page 69: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

63

Pengaruh Pengunaan Tepung Biji Asam Kandis (Garcinia cowa)

Sebagai Imbuhan Pakan Alami (NGPs) Terhadap Kecernaan Protein,

Energi Metabolis, Lebar Kripta, dan Panjang Vili Usus Ayam

Pedaging

O.Sjofjan, D.N. Adli*, S. Lailiyah, dan M.J. Abdillah

Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang *)

nama penulis sebagai korespondensi: [email protected]

ABSTRAK

Banyak usaha yang dilakukan untuk mengurangi dampak pelarangan

penggunaan AGP sebagai imbuhan pakan di Indonesia. Salah satunya adalah

penggunaan fitogenik dan acidifier berupa biji asam kandis (Gracinia cowa). Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung biji asam kandis (Gracinia

cowa) sebagai imbuhan pakan terhadap kecernaan protein, energi metabolis, lebar

kripta, dan panjang vili ayam pedaging. Metode penelitian yang digunakan adalah

percobaan lapang dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan

dan 5 ulangan. Pakan perlakuan yang digunakan adalah P0= pakan basal, P1= pakan

basal + tepung biji asam kandis 0.25%/kg pakan basal, P2= pakan basal + tepung biji

asam kandis 0.5 %/kg pakan basal, P3= pakan basal + tepung biji asam kandis 0.75%/kg

pakan basal, P4= pakan basal + tepung biji asam kandis 1.0

%/kg pakan basal. Parameter yang diukur adalah kecernaan protein, energi metabolis,

lebar kripta, dan panjang vili ayam pedaging. Data dianalisis denga sidik ragam (anova)

dan apabila hasil penelitian menunjukan pengaruh nyata (P < 0,05) maka dilanjutkan

dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD). Hasil menunjukan pengunaan biji asam

kandis berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) terhadap kecernaan protein dan berpengaruh

nyata (P < 0.05) panjang villi usus ayam pedaging. Penambahan tepung biji asam kandis

dapat meningkatkan kecernaan protein dan meningkatkan panjang vili ayam pedaging.

Kata kunci: asam kandis, ayam pedaging, kecernaan protein, panjang vili

PENDAHULUAN

Ayam pedaging merupakan salah satu komoditi ternak unggas yang banyak

diminati oleh masyarakat untuk di konsumsi. Ayam pedaging banyak dikonsumsi untuk

mencukupi kebutuhan protein hewani karena memiliki harga yang terjangkau dan

mudah di dapat. Perkembangan peternakan ayam pedaging di Indonesia mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini dibuktikan dengan data yang

Page 70: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

64

dihimpun oleh Direktorat Jendral Peternakan (2017) menyatakan bahwa pada tahun

2016 populasi ayam ras pedaging sebanyak 1.632.567.839 ekor dan mengalami

peningkatan sebanyak 65.800.902 ekor yaitu sebanyak 1.698.368.741 ekor pada tahun

2017. Meningkatnya populasi ayam ras pedaging di Indonesia juga diikuti dengan

meningkatnya produksi daging ayam. Pada tahun 2016 produksi daging ayam di

Indonesia mencapai 284.988 ton dan meningkat menjadi 296.189 pada tahun 2017.

Pakan merupakan salah satu dari tiga faktor yang menentukan keberhasilan dalam

pemeliharaan ayam. Peningkatan kecernaan nutrisi, terutama protein diperlukan untuk

mengatasi masalah tersebut, salah satunya dengan cara penambahan feed additive dalam

pakan untuk meningkatkan kecernaan nutrisi dari pakan (Indrasari, Yunianto, dan

Mangisah, 2014).

Feed additive merupakan bahan yang tidak termasuk zat makanan yang

ditambahkan ke dalam pakan dalam jumlah sedikit dan bertujuan untuk memacu

pertumbuhan dan meningkatkan populasi mikroba baik di dalam saluran pencernaan dan

menguntungkan untuk ayam. Namun, pengunaan feed additive dalam bentuk antibiotik

sudah dilarang oleh pemerintah dimulai dari tanggal 1 januari 2018, hal tesebut

tercantum pada pasal 1 ayat (14) Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia

Permentan nomor 14 tahun 2017. Feed additive selama ini banyak terbuat dari bahan

nonorganic yang kurang terjamin aspek keamanannya karena dapat menimbulkan

resistensi mikroba dan residu antibiotik di dalam tubuh ayam, hal ini dapat

menghasilkan produk daging ayam yang tidak sehat dan berbahaya untuk manusia jika

dikonsumsi. Solusi yang dapat dilakukan yaitu pemberian fitogenik dan acidifier.

Fitobiotik merupakan senyawa yang berasal dari tanaman yang digunakan didalam

pakan ternak untuk meningkatkan penampilan produksi ternak (Yuniarti, Wahyono, dan

Yunianto, 2015). Fitobiotik dapat dimanfaatkan sebagai antibiotics growth promoters

(AGPs) seperti asam organik dan probiotik Pemanfaatan bahan organik berupa biji asam

kandis (Garcinia cowa) sebagai fitogeik merupakan salah satu solusi untuk mengatasi

permasalahan tersebut. Tumbuhan Garcinia cowa atau asam kandis merupakan tanaman

asli Indonesia dari Sumatera Barat (Darwati dkk, 2018).

Page 71: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

65

Tanaman asam kandis memiliki aktivitas biologis dan farmakologis yang

bervariasi, seperti sitotoksik, antiinflamasi, antimikroba, antifungi, dan antioksidan

(Mahabusarakam dkk, 2004). Asam kandis banyak mengandung triterpen, flavonoid,

xanthan, dan phloroglucinol (Wahyuni dkk, 2017). Senyawa tersebut mampu berperan

sebagai antimikroba yang sangat efektif dalam menekan pertumbuhan bakteri dan

memperbaiki karakteristik morfologi usus. Senyawa pada tanaman asam kandis mampu

menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp dalm usus

sehingga meningkatkan penyerapan nutrisi pada villi usus. Semua bagian dari tanaman

asam kandis dapat dimanfaatkan, baik buah, kulit batang, daun, dan akar, sedangkan

untuk biji dari asam kandis tidak banyak dimanfaatkan, pada tanaman genus Garcinia,

biji dari buahnya banyak dimanfaatkan untuk pengobatan dan feed additive pada ternak,

seperti Garcinia kola sebagai feed additive untuk meningkatkan pertumbuhan ayam ras

pedaging (Muhammed and Abdulmalik, 2013). Pertumbuhan ayam pedaging

dipengaruhi oleh tingkat kecernaan protein dan energi metabolis pada ayam. Semakin

tinggi tingkat kecernaan protein dan energi metabolis maka semakin baik pula tingkat

pertumbuhan ayam.Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang

kecernaan energi metabolis dan protein tepung biji asam kandis sebagai imbuhan pakan

untuk mengetahui mengetahui kecernaan protein, energi metabolis, lebar kripta, dan

panjang vili usus ayam pedaging.

MATERI DAN METODE

Materi

Ayam pedaging yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor ayam pedaging

platinum strain Cobb yang tidak dibedakan jenis kelaminnya (unsexed) dengan rataan

49,67 ± 3,3 dengan koefisien keragaman 7,5% sedangkan untuk mengukur kecernaan

protein dan energi metabolis digunakan ayam pedaging fase finisher umur 35 hari

dengan rata-rata bobot badan 2.140 ± 0,084 g/ekor, dengan koefisien keragamaan

3,940%. Pakan dan air minum diberikan secara ad libitum, untuk pemberian pakan dan

minum dilakukan pagi hari pada puku 07.00 dan sore hari pada pukul 16.00. Biji asam

kandis yang digunakan sebagai fitobiotik didapatkan dari Padang, Sumatera Barat

Page 72: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

66

Komposisi kandungan nutrien pakan basal yang digunakan dapat dilihat pada Tabel. 1.

Tabel 1. Komposisi Kandungan Zat Makanan

Zat Makanan Kandungan

Bahan Kering (%) 89,54

Air (%) 10,46

Abu (%) 4,72

Protein Kasar (%) 20,36

Lemak Kasar (%) 5,68

Serat Kasar (%) 4,54

Gross Energy (Kkal/kg)* 4168

Sumber : Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas

Peternakan Universitas Brawijaya (2018). (*) Hasil Analisis Laboratorium Veteriner

Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Blitar.

Tabel 2. Kandungan Zat Makanan pada Tepung Biji Asam Kandis

Zat Makanan Kandungan

Bahan Kering (%) 89,11

Abu (%) 4,77

Lemak Kasar (%) 24,67

Serat Kasar (%) 18,57

Protein Kasar (%) 0,99

GE (kkal/g) 5244

Ca %* 0,72

P %* 0,22

Sumber : Hasil uji proksimat di Labotaroriu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas

Peternakan. (*) Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian (2018)

Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah percobaan in vivo dengan

menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang teridiri dari 5 perlakuan

percobaan dan 5 ulangan, sehingga terdapat 25 unit percobaan. Setiap kandang

percobaan terdiri dari 8 ekor DOC dengan total 200 ekor. Sementara untuk mengukur

kecernaan protein dan energi metabolis setiap 1 unit percobaan menggunakan 1 ekor

ayam, sehingga jumlah ayam yang digunakan sebanyak 25 ekor. Pakan yang digunakan

adalah sebagai berikut:

P0 = Pakan Basal

P1 = Pakan Basal + Tepung Biji Asam Kandis 0,25%/kg

P2 = Pakan Basal + Tepung Biji Asam Kandis 0,5%/kg

P3 = Pakan Basal + Tepung Biji Asam Kandis 0,75%/kg

Page 73: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

67

P4 = Pakan Basal + Tepung Biji Asam Kandis 1,0%/kg

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam dari Rancangan Acak

Lengkap (RAL) menggunakan aplikasi SAS version 9.4. Apabila hasil penelitian

menunjukkan pengaruh nyatta (P<0,05) atau sangat nyata (P<0,01) maka dilanjutkan

dnegan Uji Jarak Berganda Duncan’s (UJBD). Metode dalam RAL yang digunakan

adalah sebagai berikut :

Yij = µ + πi + Ɛij

Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke j

µ = Nilai tengah umum

πi = Pengaruh perlakuan ke-i

Ɛij = Kesalahan (galat) percobaan pada perlakuan

i = Perlakuan ke 0, 1, 2, 3, 4

j = Ulangan ke- 1, 2, 3, 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengukuran kecernaan protein dan energi metabolis serta hasil analisis

statik dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Pengukuran kecernaan protein dan energi metabolis pada masing-

masing perlakuan.

Variabel Pengamatan Perlakuan

kcpk (%) AME (Kkal/kg) AMEn (Kkal/kg)

P0 76,95 ± 1,69a 3133,68 ± 68,55 3113,47 ± 70,31

P1 77,56 ± 2,13a 3163,12 ± 73,80 3145,99 ± 74,18

P2 81,15 ± 0,92b 3222,05 ± 34,97 3205,74 ± 33,03

P3 77,27 ± 1,72a 3176,42 ± 77,09 3159,62 ± 77,70

P4 76,65 ± 1,73a 3189,50 ± 54,29 3175,50± 58,48

Keterangan : Superskip (a-b) yang berbeda pada kolom yang sama yang menunjukkan

pengaruh yang sangat nyata (P<0,01).

Hasil analisis statisstik dari bentuk perlakuan pemberian tepung biji asam kandis

menunjukkan bahwa kecernaan protein berpengaruh sangat nyata terhadap kecernaan

protein ayam pedaging (P<0,01), hasil analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 10.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan protein dari penambahan

Page 74: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

68

tepung biji asam kandis P2(0,5%) lebih tinggi dibandingkan dengan P0(0), P1(0,25),

P3(0,75), dan P4(1%) dengan nilai P2(81,15), P0(76,95), P1(77,56), P3(77,27),

P4(76,65 Kkal/kg), hal ini dapat dilihat pada pada Tabel 3. Peningkatan kandungan

protein disebabkan adanya senyawa flavonoid pada tepung biji asam kandis yang dapat

merangsang peningkatan sekresi enzim pepsin, trypsin, lypase, dan amylasee di dalam

lambung yang nantinya akan diteruskan ke dalam usus, sehingga proses metabolisme

zat-zat makanan di dalam usus meningkat. Mario, dkk (2014) menyatakan bahwa enzim

protease, amilase,dan lipase berperan dalam mencerna protein, karbohidrat dan lemak.

Zat antibakteri yang terdapat di dalam tepung biji asam kandis berperan untuk

menekan mikroorganisme pathogen yang terdapat di dalam saluran pencernaan,

sehingga mikroba non pathogen di dalam saluran pencernaan dapat meningkat dan

meningkatkan kecernaan protein.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa nilai AME penambahan tepung biji

asam kandis sebanyak 0,5 (P2) lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan tepung

biji asam kandis 0(P0), 0,25(P1), 0,75(P3) dan 1%(P4) dengan nilai P2(3222,05),

P0(3133,68), P1(3163,12), P3(3176,42), dan P4(3189,50 Kkal/kg). Hasil perhitungan

statistik dari bentuk atau perlakuan penambahan tepung biji asam kandis menunjukkan

bahwa energi metabolis tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan energi metabolis

ayam pedaging (P>0,05), hasil analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 10. Hasil

perlakuan yang tidak berbeda nyata dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti

stress, suhu yang kurang optimal, jenis kelamin ayam, dan kandungan nutrisi bahan

pakan yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Achmanu (1997) yang

menyatakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi nilai energi metabolis pada

ternak yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik merupakan faktir yang

berpengaruh dari dalam ternak itu sendiri seperti strain unggas, umur dan jenis kelamin.

Faktor ekstrinsik merupakan faktor yang berpengaruh dari luar seperti suhu,

kelembapan, dan bahan pakan. Ditambahkan oleh Andjani dkk, (1989) yang

menyatakan bahwa tinggi rendahnya energi metabolis sangat tergantung pada konsisi

fsik terak dan kandungan nutrien pada pakan. Ditambahkan oleh Asmari dan suprajitna

(2002) bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh metabolisme zat makanan pada ternak

dan akhirnya dapat meningkatkan komsumsi pakan.

Page 75: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

69

Tingginya perlakuan penambahan tepung biji asam kandis sebnyak 0,5% (P2)

dikarenakan penambahan tepung biji asam kandis dengan konsentrasi tersebut dapat

menekan pertumbuhan bakteri pathogen, sehingga pertumbuhan bakteri non pathogen

dapat meningkat dan dapat memperbaiki sistem penyerapan di dalam usus. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Yang et al. (2009) bahwa antibiotik dalam pakan dapat

meningkatkan kesehatan dan performan unggas dengan meningkatkan pertumbuhan

bakteri yang menguntungkan dengan menurunkan potensi bakteri patogen. Kandungan

flavonoid di dalam tepung biji asam kandis juga dapat merangsang peningkatan sekresi

enzim pepsin, trypsin, lypase, dan amylasee di dalam lambung yang nantinya akan

diteruskan ke dalam usus, sehingga proses metabolisme zat-zat makanan di dalam usus

dapat meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Djunaedi dan Natsir (2003) yang

menyatakan bahwa semakin banyak zat makanan di dalam tubuh yang ditimbulkan oleh

peningkatan penyerapan zat makanan akan lebih efektif untuk diubah menjadi energi.

Ditambahkan oleh Wahju (2004), tinggi rendahnya energi metabolis tergantung pada

kandungan gross energy pakan dan banyaknya energi yang digunakan oleh ternak.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa nilai AMEn penambahan tepung biji

asam kandis sebanyak 0,5 (P2) lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan tepung

biji asam kandis 0(P0), 0,25(P1), 0,75(P3) dan 1%(P4) dengan nilai P2(3113,47),

P0(3145,99), P1 (3205,74), P3(3159,62), dan P4(3175,50 Kkal/kg), hal ini dapat

dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis statistik dari perlakuan penambahan tepung biji asam

kandis terhadap energi metabolis terkoreksi nitrogen menunjukkan bahwa AMEn tidak

berpengaruh nyata terhadap kecernaan energi metabolis terkoreksi N ayam pedaging

(P>0,05), hasil analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 10. Energi metabolis

terkoreksi nitrogen tergantung pada besarnya kandungan retensi nitrogen pada ayam

pedaging, jika semakin besar retensi nitrogen pada ayam pedaging maka akan semakin

rendah retensi nitrogen pada ekskreta. Selain itu, kandungan protein di dalam bahan

pakan pada setiap perlakuan hampir sama, sehingga tidak berpengaruh terhadap

kecernaan energi metabolis terkoreksi N. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi

(1994) menyatakan bahwa ternak per individu dari spesies yang sama memiliki

perbedaan dalam setiap mencerna pakan yang diberikan. Hal ini sesuai pula dengan

Wuragil (2007) bahwa lebih banyak nitrogen yang di retensi antara lain disebabkan oleh

Page 76: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

70

proses pencernaan dan absorbsi zat-zat makanan yang lebih baik sehingga mempercepat

rate of passage retensi nitrogen. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Sarma dkk, (2006)

yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya nitrogen yang terkandung di dalam feses

dapat berpengaruh terhadap retensi nitrogen. Semakin banyak nitrogen yang tertinggal

di dalam tubuh maka nitrogen yang terbuang bersama feses akan semakin sedikit.

Tabel 4. Rata-rata lebar kripta dan panjang vili ayam pedaging

Variabel Pengamatan Perlakuan

Lebar Kripta (µm) Panjang vili (µm)

P0 131,60 ± 0,61 600,57 ± 0,64a

P1 131,92 ± 0,32 621,71 ± 7,34a

P2 132,11 ± 0,38 632,46 ± 4,79a

P3 132,15 ± 0,22 657,76 ± 14,29a

P4 132,29 ± 0,32 700,89 ± 12,48b

Keterangan : Superskip (a-b) yang berbeda pada kolom yang sama yang menunjukkan

pengaruh yang nyata (P<0,05).

Hasil analisis statisstik dari bentuk perlakuan pemberian tepung biji asam kandis

menunjukkan bahwa pengunaan biji asam kandis tidak berpengaruh nyata terhadap lebar

kripta ayam pedaging (P>0,05), hasil analisis statistik dapat dilihat pada tabel 4. Hasil

dari penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan protein dari penambahan tepung biji

asam kandis P4 (132,29%) lebih tinggi dibandingkan dengan P0(131,60), P1(131,92),

P3(132,15), hal ini dapat dilihat pada pada Tabel 4. Hal tersebut membuktikan bahwa

jika bertambahnya konsentrasi tepung biji asam kandis yang dicampurkan pada pakan

basal maka lebar kripta semakin baik. Hasil analisis statistik menunjukan penambahan

asam kandis berpengaruh tidak nyata (P<0.05) terhadap lebar kripta usus ayam

pedaging. Hal tersebut terindikasi karena pemberian asam kandis 1% masih dapat

ditolerir sehingga kurang maksimalnya pengoptimalan penyerapan nutrisi yang ada

pada tepung biji asam kandis termasuk lebar kripta. Adanya zat anti nutrisi berupa

saponin disinyalir menghambat proses penyerapan nutrisi ditambah faktor ekstrinsik

yang menyebabkan ayam mudah stress. Walupun, pemberian pada P4 memberikan hasil

Page 77: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

71

yang tertinggi hal ini diindikasikan karena kandungan flavonoid pada aditif lebih banyak

dibanding perlakuan lain. Hal lain yang menjadi faktor penyebab tidak berpengaruh

nyata karena kurang lamanya tepung biji asam kandis yang dicampurkan tersebut yang

mengacu pada pernyataan Wuragil (2007) bahwa absorsi usus akan lebih tinggi lagi

dengan lamanya waktu kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus.

Hasil analisis statisstik dari bentuk perlakuan pemberian tepung biji asam kandis

menunjukkan bahwa pengunaan biji asam kandis berpengaruh nyata terhadap panjang

vili ayam pedaging (P<0,05), hasil analisis statistik dapat dilihat pada tabel 4. Hasil dari

penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan protein dari penambahan tepung biji

asam kandis P4 (700,89) lebih tinggi dibandingkan dengan P0(600,57), P1(621,71), P2

(632,46 ), P3(657,76). Hal ini tercantum pada tabel 4 yang menunjukan bahwa semakin

bertambahnya konsentrasi tepung biji asam kandis yang dicampurkan pada pakan basal

maka panjang vili pada usus ayam pedaging ikut meningkat. Peningkatan tersebut

diduga karena asam organic pada tanaman asam kandis dapat meningkatkan penyerapan

nutrisi. Lucida dkk, (2012) tanaman asam kandis mengandung Hydroxycitric acid (-)-

HCA ), asam laktat, asam oksalat, dan asam sitrat. Hal itu didukung oleh pernyataan

Natsir (2007) bahwa suasana asam yang tercipta didaerah usus halus karena adanya

penambahan asam laktat yang dapat menguntungkan bagi perkembangan bakteri non

patogen sehingga dapat meningkatkan pencernaan zat zat makanan.

KESIMPULAN

Pemberian imbuhan pakan berupa tepung biji asam kandis dapat meningkatkan

kecernaan protein dan meningkatkan panjang vili pada ayam pedaging, namun belum

dapat meningkatkan kecernaan energi metabolis pada ayam pedaging.

DAFTAR PUSTAKA

Achmanu. 1997. Determinasi nilai eneri metabolis bahan ransum pada unggas. UB

press, Universitas Brawijaya, Malang

Andjani, S. Susanto, M. Surisdiarto, E. Widodo, dan O. Sjofjan. 1989. Pengaruh

penggunaan yeast culture terhadap rasio efisiensi protein ayam pedaging. UB

Press, Universitas Brawijaya, Malang.

Anggorodi R. 1994. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT Gramedia, Jakarta.

Darwati., Nurlaelasari., T. Herlina, dan T. Mayanti. 2018. Depsidon dari buah tumbuhan

asam kandis (Garcinia cowa). Chim. et Nat. Act. 6(1): 25-29.

Page 78: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

72

Indrasari V. D., B.I. Yunianto, dan I. Mangisah. 2014. Evaluasi kecernaan protein kasar

dan retensi notrogen pada ayam broiler dengan ransum berbeda level protein dan

asam asetat. J. Anim. Agr. 3(3): 401-408.

Lucida H., E.S. Ben, dan E. Delita. 2012. Pengembangan kulit buah kering asam kandis

sebagai herbal medicine: optimasi formulasi tablet effervesen dan uji efeknya

terhadap kenaikan berat badan dan pola makan tius. J. Sci dan Tek. Farm. 17(2):

126-136.

Mahabuskaram W., P. Chairerk, and W.C. Taylor. 2005. Xanthones from Garcinia

cowa Roxb. latex. Phyt. J. 66: 1148-1153.

Mario W. L. M., E. Widodo, dan O. Sjofjan. 2014. Pengaruh penambahan kombinasi

tepung jahe merah, kunyit dan meniran dalam pakan terhadap kecernaan zat

makanan dan energi metabolisme ayam pedaging. JIIP. 24(1): 1-8.

Muhammed A. A., and M.A. Abdulmalik. 2013. Effect of bitter kola (Garcinia kola) as

a dietary additive on the performance of broiler chicks. J. of Env. and Eco. 4(2):

95-104.

Natsir M.H. 2007. Pengaruh penggunaan beberapa jenis enkapsulan pada asam laktat

terenkapsulasi sebagai acidifier terhadap daya cerna protein dan energi metabolis

ayam pedaging. J. T. Trop. 6(2):13-17.

Sarma S., R. Kumar, J. Reddy, and T. Thriveni. 2006. Studies of zinc (ii) in

pharmaceutical and biological samples by extractive spectrophotometry: using

pyridoxal-4-penyl-3-thiosemicarbazone as chelating reagent. J. Braz Chen. Soc.

17(3): 463-472.

Wahju J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Rev (ed). UGM Press, Yogyakarta.

Wahyuni, S. Fatma, I.A. Putri, dan D. Arsyanti. 2017. Uji toksisitas subkrnis fraksi etil

asetat kulit buah asam kandis (Garcinia cowa Roxb.) terhadap fungsi hati dan

ginjal mencit putih betina. J. Sci. Farm. dan Klin. 3(2): 202-212.

Wuragil L. R. 2007. Gambaran histopatologi pencernaan tius pada pemberian fraksi

asam amino non-protein dan fraksi polifenol lamtoro merah (Acasia villosa).

Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Yang Y., A. Iji, and M. Chot. 2009. Effects of different dietary levels of

mannanoligosaccharides on growth performances and gut development of broiler

chickens. As. Aust J. Anim. Sci. 20: 1084-1091.

Yuniarti M., F. Wahyono, dan V. D. Yunianto. 2015. Kecernaan protein dan energi

metabolis akibat pemberian zat aditif cair buah naga merah (Hylocereus

polyrhizus) pada burung puyuh japonica betina umur16-50 hari. JIIP. 25(3): 45-

52.

Page 79: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

73

Potensi dan Produktivitas Ternak Itik di Kawasan Pasang Surut

Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Jalius* dan Musriadi** Fakultas Peternakan Universitas Jambi*

Dinas Peternakan Provinsi Jambi **

Email: [email protected]

ABSTRACT

The purpose of the study was to analyze the productivity of ducks in the Tides

of Tanjung Jabung Barat District. The research method was conducted in a survey in 3

Subdistricts of 13 Subdistricts in the West Tanjung Jabung Regency of Jambi Province,

Bram Itam, Senyerang and Kuala Betara Districts. Data were analyzed descriptively and

using SWOT. The results showed the productivity of ducks obtained an average egg

production of 141.20 eggs / year and hatched 15.92 eggs / year and hatchability of

60.40%, consumed 29.51 eggs (21.10%), and sold 94.57 eggs / head / year (66.21%).

The level of knowledge possessed by farmers were the selection of seedlings 46.87%,

feed 47.08%, housing system 42.88%, maintenance management 40.77%, livestock

reproduction 48.14% and livestock disease 16.07%. The potential of duck feed is very

abundant and the potential of tides is very supportive. Threat Factors, worms,

Butulismus and Coryza were still common, and predators were monitor lizards and

snakes. Weaknesses factor is that technology mastery is still low. Duck duck business

opportunities are not many that utilize vacant land for livestock farming. Conclusion

Tides potential for raising ducks in Tanjung Jabung Barat Regency is in Senyerang

District because of the potential of producing natural food.

Keyword: Potential, duck, tides and Tanjung Jabung Barat.

PENDAHULUAN

Itik sudah sejak lama diketahui mempunyai eksistensi yang berarti bagi

kehidupan masyarakat petani di Pedesaan. Ternak itik sebagai jenis peternakan rakyat

yang banyak dipelihara pada kondisi lingkungan yang penuh keterbatasan. Populasi

ternak itik pada tiga tahun terakhir 2010 sebanyak 55600 ekor, tahun 2011 sebanyak

58493 ekor dan tahun 2012 sebanyak 68500 ekor atau terjadi peningkatan dari tahun

sebelumnya, meskipun peningkatan populasinya itik relatif paling kecil di Tanjung

Jabung Barat (1,05% per tahun) dibandingkan jenis unggas lainnya ayam ras layer

Page 80: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

74

3,24% dan ayam broiler 35,88%, serta ayam buras 1,34% per tahun (Dinas Peternakan

2012).

Apabila ditinjau secara impirik kawasan Tanjung Jabung Barat berada pada areal

kawasan pasang surut. Ternak itik tersebar dan berkembang pada kawasan tersebut dan

memberikan kontribusi atau sumbangan yang sangat berarti dalam perekonomian

masyarakat. Oleh karena itu perlu dikaji Analisis Potensi dan Produktivitas Ternak Itik

di Kawasan Pasang Surut Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Kabupaten Tanjung Jabung Barat mempunyai 13 kecamatan sedangkan kawasan

pasang surut yang terdiri dari 7 kecamatan. Kawasan ini secara impirik terdapat populasi

ternak itik cukup banyak dipelihara oleh masyarakat dan memberikan sumbangan yang

cukup berarti dalam menunjang perekonomian masyarakat setempat. Namun belum ada

kajian tentang analisis potensi dan produktivitas ternak itik dari kawasan tersebut,

terutama potensi species atau varitas yang paling cocok ekosistem dari masing-masing

kawasan tersebut. Apakah produktivitas ternak itu tinggi atau rendah dan bagaimana

pula kapasitas produksi telurnya, dan juga bagaimana pula potensi ketersediaan pakan

di kawasan tersebut, serta bagaimana pula strategi kebijakan pengembangan ternak itik

tersebut.

Tujuan Penelitian adalah melakukan analisis produktivitas ternak itik di kawasan

Pasang Surut Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan bermanfaat memperoleh informasi

tentang produktivitas ternak itik di Kawasan Pasang Surut di Kabupaten Tanjung Jabung

Barat.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Metode survei bertujuan

untuk memperoleh fakta, gejala dan keterangan yang ada secara faktual, serta keadaan

sosial ekonomi pada daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, yang terdiri dari 13

Kecamatan. Sampel kecamatan yang diambil pada lahan pasang surut sebanyak 3

Kecamatan berdasarkan populasi yang tertinggi, sedang dan rendah sehingga diperoleh

Page 81: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

75

yaitu, Kecamatan Bram Itam, Kecamatan Senyerang dan Kecamatan Kuala Betara.

Kecamatan Bram Itam terdiri atas 10 Desa, sampel desa yang diambil yaitu Desa

Pembengis, Desa Tanjung Senjulang, Desa Bram Itam Kiri, dan Desa Bram Itam Kanan.

Kecamatan Senyerang terdiri dari 10 Desa, sampelnya adalah Desa Sei Kayu Aro,

Lumahan, Kempas Jaya dan Sunsang. Kecamatan Kuala Betara terdiri 10 Desa,

sampelnya yaitu Desa Betara Kiri, Desa Sungai Gebar, Kuala Indah, dan Tanjung Pasir.

Sampel diambil masing-masing desa 15 peternak untuk dilakukan wawancara yang

dipandu dengan daftar pertanyaan. Data dianalisis secara deskriptif dan dengan

menggunakan SWOT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Tanjung Jabung Barat Luas 5.701 Km² terletak di Pantai Timur

Provinsi Jambi, tepatnya antara 0°53´ - 01°41´ Lintang Selatan dan antara 103°23´ -

104°21´ Bujur Timur, Sebelah Utara berbatas dengan Provinsi Riau, Sebelah Selatan

berbatas dengan Kabupaten Batanghari, Sebelah Timur berbatas dengan Selat Berhala

dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur serta Sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten

Batanghari dan Kabupeten Tebo, secara administratf terdiri dari 13 Kecamatan 20

Kelurahan, dan 114 Desa.

Kecamatan tempat penelitian Bram Itam terdiri dari 10 desa, dengan luas

wilyah 468 Km² dan jumlah penduduk 15.113 jiwa. Kecamatan Senyerang terdiri dari

10 desa, dengan luas wilayah 471 Km² dan jumlah penduduk 22.988 jiwa, golongan

kelompok muda sebanyak 6.768 jiwa, golongan kelompok kerja 15.274 jiwa,

Kecamatan Kuala Betara terdiri dari 10 desa, dengan Luas wilayah 258 Km² dan jumlah

penduduk 10.656 jiwa.

2. Karakteristik Peternak di Lokasi Penelitian

2.1. Umur Peternak

Umur peternak kelompok umur di Kecamatan Bram Itam dari 60 sampel

penelitian diperoleh umur 25 - 30 tahun serbanyak 20 %, , umur 30 - 35 tahun

Page 82: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

76

sebanyak 20%, dan umur 35 - 50 tahun sebanyak 33,33%, serta diatas 40 tahun

berjumlah 26,67%. Pada Kecamatan Senyerang, dari 60 sampel penelitian diperoleh

umur 25 - 30 tahun sebanyak 13,33%, usia 30 - 35 tahun sebanyak 11,66%, usia 35 -

50 tahun sebanyak 36,67%, dan diatas 40 tahun berjumlah 38,34%. Pada Kecamatan

Kuala Betara dari 60 sampel penelitian diperoleh kelompok umur 25 - 30 tahun

sebanyak 13,33%, usia 30 - 35 tahun sebanyak 11,66%. dan umur 35 - 50 tahun

sebanyak 36,67%, dan diatas 40 tahun berjumlah 38,34%.(Tabel 1). Peternak sampel

dalam penelitian ini merupakan kelompok umur produktif, hal ini sesuai pendapat Sidu

(2002) bahwa umur antara 15 - 60 tahun merupakan usia produktif dan sesuai dengan

pendapat Soeharjo dan Polong (1984) mengelompokan rentang umur produktif antara

15 sampai 54 tahun.

Tabel 1. Umur Peternak di Kecamatan Bram Itam,Senyerang dan Kuala Betara.

Desa

Kecamatan Umur

Kecamatan

Pembengis

Tanjung

Senjulang

Bram

Itam Kiri

Bram

Itam

Kanan

Total %

>40 16

2.2. Tingkat Pendidikan Peternak

Tingkat pendidikan peternak itik di Kecamatan Bram Itam tidak tamat SD

(41,67%), SD (38,33%), SLTP (08,33%), SLTA(11,67%) dan D3/S1 hanya 0,0,%.

Pada Kecamatan Senyerang tidak tamat SD (50,00%), SD (28,33%), SLTP (13,34%),

SLTA(08,33%), D3/S1 (00,00% dan pada Kecamatan Kuala Betara tidak tamat SD

(53,34%), SD (28,33%), SLTP (10,00%), SLTA(08,33%) dan D3/S1 tidak ada 00,00%

(Tabel 2). Keadaan ini mengambarkan bahwa tingkat pendidikan peternak masih

Bram Itam 25 - 30 4

2 5 1 12

20

30 - 35 2

5 2 3 12

20

35 – 40 5

4 5 6 20

33,33

4 4 3 5 26,67

Kecamatan

Senyerang 25 - 30

2

2

3

1

9

13,33

30 - 35 2 1 2 2 7 11,66

35 – 40 6 4 5 7 22 36,67

>40 5 8 5 5 23 38,34

Kecamatan

Kuala Betara 25 - 30

1

1

3

1

6

13,33

30 - 35 3 1 2 2 8 11,66

35 – 40 7 5 5 7 24 36,67

>40 5 8 5 5 23 38,34

Page 83: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

77

rendah dan berpengaruh terhadap kemampuan dalam penguasaan inovasi yang diterima,

sehingga berdampak dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan serta pola

pikir dalam mencari solusi penyelesaian berbagai permasalahan yang dihadapi. Seperti

yang diungkapkan oleh Evitaningsih (2014) bahwa tingkat pendidikan sangat

berpengaruh terhadap penerapan teknologi atau peningkatan Sumber Daya Manusia

peternak yang berpendidikan akan mudah menyerap ilmu pelatihan dibanding dengan

peternak yang tidak berpendidikan. Lebih lanjut menurut Saragih (2002), tingkat

pendidikan petani berpendidikan sangat rendah (87%) dari 35 juta tenaga kerja

pertanian berpendidikan SD kebawah, keadaan ini berpengaruh terhadap kemampuan

menerapkan dan penguasaan terhadap inovasi yang diterima.

Tabel 2. Tingkat Pendidikan Peternak di Kecamatan Bram Itam, Senyerang dan Kuala

Betara

Kecamatan

Bram Itam

Pendidikan

Pembengis

Tanjung

Senjulang

Desa Bram

Itam Kiri

Bram Itam %

Kanan Total

<SD 4 6 7 8 25 41,67

SD 8 6 4 5 23 38,33

SLTP 1 1 2 1 5 08,33

SLTA 2 2 2 1 7 11,67

D3/S1 0 0 0 0 0 00,00

Kecamatan

Kayu

Kempas

Lumahan

Sunsang

Total

Senyerang Aro Jaya

<SD 7

6 8 9 50,00

SD 6

5 3 3

30 28,33

SLTP 1

2 3 2

17 13,34

SLTA 1

2 1 1

8 08,33

D3/S1 0

0 0 0 00,00

Kecamatan Betara Sungai Gebar Kuala Tanjung Total

Kuala Kiri Indah Pasir

Page 84: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

78

Betara

<SD 8

32

7 8 9 17 53,34

SD 6 5 4 2 6 28,33

SLTP 1 1 2 2 5 10,00

SLTA 0 2 1 2 0 08,33

D3/S1 0 0 0 0 00,00

Keterangan: <SD= Tidak tamat SD

Tingkat pendidikan peternak itik dari tiga Kecamatan Bram Itam, Senyerang

dan Kuala Betara rata- rata tingkat pendidikanya adalah tidak tamat SD (48,34%), SD

(31,66%), SLTP (10,56%), SLTA(09,44%) dan D3/S1(00,00%) (Tabel 3). Keadaan ini

menunjukan bahwa tingkat pendidikan peternak masih rendah dan berpengaruh

terhadap kemampuan menerapkan dan penguasaan terhadap inovasi yang baru. Sesuai

yang disampaikan Nugroho (2011) bahwa pendidikan yang dimiliki petani peternak

mempunyai pengaruh terhadap kemampuan adopsi teknologi dan keterampilan dan

menajemen.

Tabel 3. Tingkat Pendidikan Peternak di Tiga Kecamatan Penelitian.

Kecamatan

No Pendidikan Bram Itam Senyerang

Kuala Total

%

2.3. Mata pencaharian Peternak

Mata Pencaharian peternak responden pada tiga Kecamatan yaitu Kecamatan

Bram Itam, Senyerang, dan Kuala Betara di kawasan Pasang Surut Kabupaten Tanjung

Jabung Barat pada umumnya sama yakni bertani/berkebun, sedikit sebagai Nelayan,

dominan bertani (42%), berkebun (50%), Swasta (3%), dan sebagai pengayam atap

Nipah sebanyak (4%) dan Nelayan sebanyak (1%), tidak sama yang sampaikan

Musriadi (2002), jumlah penduduk menurut matapencaharian terdiri dari Pengusaha,

Betara

1 <SD

25

30

32

87

48,34

2 SD

23 17 17 57 31,66 3

SLTP 5

8 6 19 10,56 4

SLTA 7

5 5 17 09,44

5 D3/S1

0

0 0 0 00,00

Jumlah 60 60 60 180

Page 85: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

79

Buruh Pabrik, Buruh Tani, Pedagang, PNS/ABRI, Petani, Peternak Pengrajin dan

Penjahit.

2.4. Kepemilikan Ternak Itik

Populasi ternak itik dilokasi penelitian di Kecamatan Bram itam tingkat

kepemilikan ternak itik di bawah 10 ekor sebanyak 8 0rang (13,33%), 11 sampai 25

ekor sebanyak 31 orang (51,67%), dan diatas 26 ekor sebanyak 21 orang (35%), Pada

Kecamatan Senyerang diatas 11- 26 ekor 31 orang (51,67%), kepemilikan diatas 26 ekor

29 orang (48,33%). Pada Kecamatan Kuala Betara kepemilikan dibawah 10 ekor

sebanyak 26 orang (43,33%), kepemilikan 11-25 ekor sebanyak 34 orang (56,67%), dan

tidak ada yang memelihara lebih dari 25 ekor(Tabel 4). Tingkat kepemilikan ternak itik

masih rendah apabila dibandingkan hasil survei Paal dkk., (2006) tingkat kepemilikan

ternak itik antara 50 - 150 ekor di Sulawesi Utara. Jika populasi yang demikian belum

dapat memberikan pendapatan yang layak bagi keluarga peternak.

Tabel 4. Tingkat Kepemilikan Ternak Itik di Kecamatan Bram Itam, Senyerang dan

Kuala Betara

Desa

Kecamatan Jumlah Tanjung Bram Bram % Bram Itam Itik Pembengis Senjulang Itam Kiri Itam

Kanan

Total

1 10 < 2 2 2 2 8 13,33

2 10 - 25 6 7 9 9 31 51,67

3 26 ≥ 7 6 4 4 21 35,00

Kecamatan

Senyerang

Jumlah

Itik

Kayu

Aro

Kempas

Jaya Lumahan Sunsang Total %

1 10 < 0

2 10 - 25 7

3 26 ≥ 8

0 0 0

7 9 8

8 6 7

0 00,00

31 51,67

29 48,33

Kecamatan

Kuala

Betara

Jumlah

Itik

Betara

Kiri

Sungai

Gebar

Kuala

Indah

Tanjung Total

Pasir

Page 86: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

80

43,33

56,67

00,00

Tingkat kepemilikan ternak itik pada Tiga Kecamatan Bram Itam, Senyerang dan

Kuala Betara kepemilikan dibawah 10 ekor sebanyak 34 orang (18,88%), kepemilikan

11-25 ekor sebanyak 96 orang (53,33%), dan kepemilikan lebih dari 26 ekor sebanyak

50 orang (27,79%) (Tabel 5). Species ternak Itik yang dipelihara dominan Entok 57%,

disusul peranakan Itik Mojosari 33% dan peranakan Itik Alabio 10%, tingkat kemilikan

ternak itik yang belum menunjukan pada skala usaha beternak itik petelur yaitu

sebanyak 1000 ekor dengan R/C 1,2 berdasarkan perhitungan perhitungan analisa usaha

ternak itik petelur oleh Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian,

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Anonim, 2008).

Tabel 5. Tingkat Kepemilikan Ternak Itik di Tiga Kecamatan

Jumlah Kecamatan

No Itik

1 10 <

Bram Itam Senyersng Kuala

Betara

26

Total %

34

2.5. Umur Ternak Itik di Tiga Kecamatan

Tingkat umur ternak itik di Kecamatan Bram Itam rata-rata peternak memiiliki

Induk itik sebanyak 11,1 ekor, itik dara 6,98 ekor dan anak itik 7,85 ekor (Tabel 6).

Dalam penetasan telur peternak telah menggunakan induk ayam dan entok, dengan daya

tetas 60%. Ada peternak itik di Desa Pembengis yang telah memulai menggunakan

mesin tetas dengan daya tetas masih rendah sekitar 45%. Keadaan ini disebabkan

peternak ini baru memulai dan belum terampil dalam penggunaan mesin tetas karena

pemilihan telur tetas kurang cermat atau telur tetas tersebut tidak tertunas.

1 10 < 7 7 6 6 26

2 10 - 25 8 8 9 9 34

3 26 ≥ 0 0 0 0 0

2 10 - 25 8

0

34 96 18,88

3 26 >- 31

31

0 50 53,33

21 29 27,79

Jumlah 60 60 60 180 100

Page 87: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

81

Menurut Cahyono (2011) mengatakan telur yang telah dierami 24 jam harus

dilakukan pemeriksaan, pada telur yang subur akan tampak adanya benda berwarna

putih berbentuk bulat dibagian tengah kuning telur yang ikut bergoyang saat telur

digoyangkan.

Tabel 6. Tingkat Umur Ternak Itik di Kecamatan Bram Itam.

No Desa Tingkat Umur (%)

%

Pada Kecamatan Senyerang memiliki rata-rata Induk itik sebanyak 7,32 ekor, itik

dara sebanyak 9,26 ekor dan anak sebanyak 9,33 ekor (Tabel 7), kalau dilihat peternak

di Kecamatan senyerang sudah melakukan penetasan telur itik untuk mendapatkan anak

itik/DOD yang tujuanya untuk premajaan atau menggantikan ternak itik yang sudah

tidak produktif lagi setelah berumur 2 -2,5 tahun, Hal ini sesuai panduan Praktis

Budidadya itik bagi KSM (Kelompok Sosial Mandiri) yang mengatakan usia produktif

2 -2,5 tahun (Anonim 2009).

Tabel 7. Tingkat Umur Ternak Itik di Kecamatan Senyerang.

No Desa Tingkat Umur (%)

% Induk % Dara % Anak % Total

1 Kayu Aro 103 23,46 161 28,95 127 22,67 391 25,14

2 Kempas Jaya 103 23,46 100 17,98 145 25,89 348 22,37

3 Lumahan 138 31,43 141 25,35 138 24,64 417 26,82

4 Sunsang 95 21,64 154 27,69 150 26,78 399 25,65

Jumlah 439 28,23 556 26,92 560 30,26 1555

Rata – rata 7,32 9,26 9,33 25,91

Tingkat umur ternak itik di Kecamatan Kuala Betara rata - rata

memelihara/memiliki Induk itik sebanyak 1,60 ekor, itik dara 1,11 ekor dan anak itik

0,65 ekor (Tabel 8). Peternak di kecamatan ini hanya 15 orang telah melakukan

pengeraman menggunakan ayam dan entok sebagai pengeram untuk mendapatkan anak

itik karena tingkat kepemilikan sangat kecil rata - rata 3,75 ekor saja, dipelihara

Induk % Dara % Anak % Total

1 Pembengis 209 42,39 135 27,38 149 30,22 493 31,68

2 Tanjung 148 44,71 91 27,49 92 27,79 331 21,27 Senjunlang

3 Bram Itam 160 43,47 93 25,27 115 31,25 368 23,65 Kiri

4 Bram Itam

Kanan

149 40,93 115 31,59 115 31,59 364 23,39

Jumlah 666 42,80 419 26,92 471 30,26 1556

Rata – rata 11,10 6,98 7,85 25,93

Page 88: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

82

seadanya dan pemberian pakan dengan sisa makanan selebihnya itik mencari sendiri

makanan di parit dan sawah/kebun, hal ini sesuai pendapat Cahyono (2011) profil

peternakan itik rakyat yang skala pemeliharan kecil dapat dilakukan secara diumbarkan.

Tabel 8. Tingkat Umur Ternak Itik di Kecamatan Kuala Betara.

No Desa Tingkat Umur (%)

%

Tingkat umur ternak itik pada Tiga Kecamatan yaitu Bram Itam, Senyerang dan

Kuala Betara setelah digabungkan rata - rata memelihara/memiliki Induk itik sebanyak

7,73 ekor, itik dara 6,93 ekor dan anak itik 6,36 ekor (Tabel 9). Tingkat kepemilikan

rata - rata 21,03 ekor dari tiga Kecamatan ini yang paling banyak melakukan

pengeraman/penetasan adalah pada peternak itik di Kecamatan Bram itam disusul

peternak di Kecamatan Senyerang dengan menggunakan ayam dan entok. Hasil

wawancara dengan bapak Suhendar (2014) mengatakan penggunaan entok daya tetas

dapat mencapai 70%.

Tabel 9. Tingkat Umur Ternak Itik Itik di Tiga Kecamatan

No Kecamatan Tingkat Umur (%)

%

2.6. Produktvitas Ternak Itik pada Tiga Kecamatan

Tingkat Produktivitas ternak itik pada Kecamatan Bram itam rata-rata produksi

telur 161,20 per tahun dan ditetaskan 12,96 butir per tahun dan menetas 18,92 ekor, daya

tetas 54,18 %, dikonsumsi 24,20 butir (16,46%), serta dijual 106,35 butir(72,93%) per

ekor per tahun. Menurut Suharno dan Amri (2011), produksi telur itik Mojosari

sebanyak 200 – 265 butir per tahun namun ditemukan pada Kecamatan Bram Itam

Induk % Dara % Anak % Total

1 Betara Kiri 72 25,00 78 28,67 23 20,00 173 25,62

2 Sungai Gebar 78 27,08 63 23,16 34 29,56 175 25,92

3 Kuala Indah 65 22,56 47 17,27 33 28,69 145 21,48

4 Tanjung 73

Pasir

25,34 84 30,88 25 21,73 182 26,96

Jumlah 288 28,23 272 26,92 115 30,26 675

Rata – rata 1,60 1,11 0,65 3,75

Induk % Dara % Anak % Total

1 Bram Itam 666 47,81 419 33,60 471 41,09 1556 41,09

2 Senyerang 439 31,51 556 44,58 560 44,86 1555 41,09

3 Kuala Betara 288 20,67 272 21,81 115 10,03 675 17,82 Jumlah 1393 36,72 1247 32,93 1146 30,26 3786

Rata – rata 7,73 6,93 6,36 21,03

Page 89: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

83

dibawah produksi. Tingkat Produktivitas ternak itik pada Kecamatan Senyerang rata -

rata produksi telur 159,03 per tahun dan ditetaskan 21,58 butir per tahun dan menetas

13,65 ekor, daya tetas 63,74%, dikonsumsi 33,12 butir (20,98%), serta dijual 101,80

butir (63,83%) per ekor per tahun. Menurut Saleh (2004), Produktivitas ternak itik

Mojosari yang dipelihara dengan baik akan berproduksi sekitar 200 -300 butir pertahun

dan selanjutnya ternak itik sebaiknya diafkir setelah berumur 1,5 tahun, perbedaan

produksi ternak ini disebabkan oleh faktor genetik, dimana itik yang dipelihara peternak

adalah itik keturunan itik Mojosari yang telah mengalami perkawinan dengan itik lokal.

Dalam Kecamatan Kuala Betara produksi telur rata- rata 119,55 per tahun dan

ditetaskan 13,22 butir per tahun dan menetas 8,36 ekor, daya tetas 63,29%, dikonsumsi

31,21 atau 25,85%, butir serta dijual 75,11 butir per ekor per tahun atau 62,47%.

Produksi telur itik di Kecamatan Kuala Betara masih kurang bila dibandingkan itik

Kerinci sebanyak 180 butir pertahun (Anonim 2006), disebabkan dalam budidaya ternak

itik peternak memelihara seadanya tampa diberi pakan kosentrat, hanya mengandalkan

sisa dapur dan ternak itik mencari makan sendiri disekitar lingkungan tempat tinggal

peternak.

Tingkat Produktivitas ternak itik pada Tiga Kecamatan tempat penelitian rata -

rata produksi telur 141,20 per tahun dan ditetaskan 15,92 butir per tahun dan menetas

13,64 ekor dengan daya tetas 60,40%, dikonsumsi 29,51 butir (21,10%), serta dijual

94,57 butir per ekor per tahun (66,21%). Ketidakseragaman umur itik yang di pelihara

misal dalam satu kandang 100 ekor masa produksi menghasilkan 60 butir telur perhari,

maka dapat dihitung tingkat produktivitasnya adalah 60% dengan demikian 40%

diantaranya masa produksi terhenti atau sudah terlewat masa produktifnya hal ini

disebabkan bibit yang tidak seragam dari sumber bibit (Srigandono, 1991).

2.7. Penerapan Teknologi Budidaya Itik pada Tiga Kecamatan

Tingkat penerapan Teknologi budidaya ternak itik pada Kecamatan Bram Itam

dijadikan sampel adalah Desa Pembengis, Bram Itam Kanan, Bram itam Kiri dan

Tanjung Senjulang sebanyak 60 orang responden. Hasil penerapan Teknologi budidaya

ternak itik pada Kecamatan Bram sebagai berikut; Tingkat penerapan pada Bibit dari

nilai harapan tertinggi 24 dan mendapat nilai rata - rata 11,57, sehingga diasumsikan

Page 90: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

84

dalam penerapan teknologi bibit sekitar 48,21%. Penguasaan pengetahuan pakan ternak

itik dari nilai harapan tertinggi 20 diperoleh nilai rataan 9,41 sehingga diasumsikan

kemampuan peternak dalam hal teknologi pakan 47.05%. Penguasaan pengetahuan

perkandangan ternak itik dari nilai harapan tertinggi 20 diperoleh rataan 8,45, sehingga

penerapan teknologi perkandangan sekitar 42,25%. Sedangkan tatalaksana

pemeliharaan ternak itik dari nilai harapan tertinggi 36 diperoleh nilai rataan 14,01

sehingga penerapan tatalasana oleh peternak sekitar 38,92%. Pengetahuan reproduksi

ternak itik dari nilai harapan tertinggi 16 diperoleh rataan 7,46 sehingga penguasaan

teknologi reproduksi mencapai 46,62%. dan pengetahuan pengendalian penyakit ternak

itin dari harapan tertinggi 40 mendapat nilai rata -rata 6,06 sehingga penguasaan

pengetahuan pengendalian penyakit oleh peternak diperoleh sekitar 15,15%.

Hasil penerapan teknologi budidaya Itik pada Kecamatan Senyerang sebagai

berikut; Tingkat penerapan teknologi Bibit dari nilai harapan teringgi 24 dan diperoleh

rataan 11,18, atau dengan kata lain diasumsikan peternak menguasai pengetahuan

teknologi pemilihan bibit sekitar 46,58%. Pengusaan pengetahuan teknologi pakan dari

nilai harapan tertinggi 20 diperoleh rataan 9,67 sehingga penguasaan pengetahuan

teknologi pakan diperoleh sekitar 48,35%. Penguasaan pengetahuan perkandangan dari

nilai harapan tertinggi 20 dan didapat rataan 8,33, sehingga diinterprestasikan

penguasan pengetahuan ini sekitar 41,65%. Pada Tatalaksana dari nilai harapan tertinggi

36 mendapat rata -rata 14,25. Pada Reproduksi dari nilai harapan tertinggi 16 mendapat

rata - rata 7,93 atau 49,81% peternak menguasai tatalaksana reproduksi dan pada

Pengendalian penyakit ternak itik dari harapan tertinggi 40 mendapat rata - rata 6,61

atau 16,52% pengetahuan peternak tentang penyakit.

Penelitian penerapan teknologi budidaya beternak itik juga dilakukan di

Kecamatan Kuala Betara dan desa yang dijadikan sampel adalah Betara Kiri, Sungai

Gebar, Kuala Indah dan Tanjung Pasir sebanyak 60 Orang responden. Pada point

penerapan teknologi sebagai berikut; Pada penerapan teknologi Bibit dari nilai harapan

tertinggi 24 mendapat nilai rata - rata 11,00 atau diasunsikan 45% responden menguasai

teknologi pemilihan bibit. Pada penerapan teknologi Pakan dari nilai harapan tertinggi

20 mendapat nilai rata - rata 10,54 atau sekitar 52,70% peternak itik menguasai

pengetahuan pakan ternak. Sistem perkandangan dari nilai harapan tertinggi 20

Page 91: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

85

mendapat rata - rata 8,95 atau sekitar 44,75% peternak menguasai system perkandang.

Sistem tatalaksana budidaya itik diperoleh dari nilai harapan tertinggi 36 mendapat nilai

rata - rata 16,13 atau berarti penguasaan pengetahuan tatalaksana peternak itik sekitar

44,81%. Pengetahuan Reproduksi dari nilai harapan tertinggi 16 mendapat nilai rata -

rata 7,68 diasumsikan sekitar 48,00% peternak telah menguasai tentang pengetahuan

reproduksi ternak itik. Pada pengetahuan pengendalian penyakit ternak itik dari harapan

tertinggi 40 mendapat nilai rata - rata 6,62 diasumsikan sekitar 16,55% atau rendahnya

pengetahuan peternak mengenal tentang penyakit ternak itik.

3. Analisis Faktor Internal Kekuatan dan Kelemahan.

Faktor Internal Kekuatan yang ada pada Lahan pasang Surut dianggap sebagai

kekuatan dalam pemeliharaan ternak itik yang harus dimanfaatkan secara maksimal

sesuai dengan potensi lahan dengan kondisi lahan yang cocok untuk beternak itik lahan

yang masih cukup luas di Kecamatan Bram Itam lahan yang belum dimanfaatkan seluas

939 Km², Demikian juga Kecamatan Senyerang potensi lahan seluas 960 Km², dan di

Kecamatan Kuala Betara lahan yang belum dimanfaatkan seluas 516 Km². Potensi

sebagai sumber pakan di Sawah Pasang Surut Tanjung Jabung Barat produksi padi pada

tahun 2011 sebanyak 93.379 ton, produksi Jagung sebanyak 1.516 ton, Kedelai produksi

1.786 ton, Ubi kayu sebanyak 3.3391 ton, Kelapa dalam sebanyak 59.499 ton, produksi

ikan 18.275 ton. Luas panen padi 25.7903 ha dengan produksi 3.633 ton dan jagung

luas panen 691 ha dan produksi 2.194 ton cukup sebagai sumber pakan ternak(Widodo

dkk., 2013). Diasumsikan bahwa bahan pakan tersebut cukup sebagai sumber pakan

ternak itik, sedangkan bahan untuk pembuatan Kandang itik seperti Kayu Bulat dan

Bambu serta atap Nipah masih banyak tersedia.

Faktor Internal Kelemahan adalah Sumber Daya Manusia peternak itik masih

rendah, karena belum optimalnya penyuluhan dan belum terbentuknya wadah kelompok

tani, sehingga partisipasi keluarga dalam beternak masih kurang, dilain sisi juga

kekurangan modal dalam kelansungan beternak dan penggunaan bibit unggul masih

belum dilaksanakan Sesuai yang disampai Raharjo (2004), mengatakan alternatif

strategi dalam pengembangan usaha ternak itik antara lain peningkatan sumberdaya

manusia melalui penyuluhan dan pelatihan terkait dengan optimalisasi penggunaan

Page 92: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

86

sumberdaya lokal, peningkatan jiwa kewirausahaan peningkatan peran kelompok dan

koperasi dan kemitraan lainnya serta pengembangan ekonomi mikro di Pedesaan.

Peternak itik pada kawasan padat penduduk dengan rumah panggung, yang

rapat hanya batas rumah kerumah 0.5 - 1 meter saja di kawasan Pasang Surut dalam satu

RT (Rukun Tetangga yang di huni 25 - 100 KK (Kepala keluarga) hasil observasi

menunjukkan bahwa peternak dapat memelihara 60 - 100 ekor Itik petelur dengan

pemberian pakan tambahan dedak dan nasi aking/kering pada pagi hari dan sore hari

selebihnya itik mencari makan dikolong-kolong rumah sisa-sisa pakan dan dan binatang

atau cacing di kolong rumah, namun itik dapat berproduksi 60%, Keadaan ini dapat

menjadikan alternatif cara pemeliharan ternak itik di kawasan pasang surut.

4. Analisis Faktor Eksternal Peluang dan Ancaman

Faktor eksternal peluang usaha ternak itik pada Lahan pas5ang surut pada

lokasi penelitian Kecamatan Bram Itam, Senyerang dan Kuala Betara adalah belum

banyak yang memanfaatkan lahan yang kosong dan mudah dalam pemasaran serta

permintaan telur itik cukup tinggi Keadaan ini sesuai perdapat Suryana (2007), prospek

yang cerah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran

masyarakat akan konsumsi protein asal ternak.

Faktor eksternal Ancaman adalah masih seringnya terjadinya ancaman

penyakit, berdasarkan survey lapangan menunjukan bahwa faktor penyakit yang sering

menyerang ternak itik seperti penyakit cacingan, Butulismus dan Coryza/Pilek pada

ternak itik. Juga terjadi ancaman musim seperti musim kemarau dan air pasang, serta

ancaman predator seperti Biawak dan Ular. Usaha peternak dalam mengatasi serangan

predator adalah dengan pemasangan jaring atau membuat pagar keliling dan

pembersihan lahan dan pengembalaan itik ditempat yang tidak ada predatornya,

Ancaman penyakit dapat diatasi dengan melakukan sanitasi kandang itik mutlak perlu

dilakukan dalam pemeliharan ternak itik dan tindakan pencegahan penyakit perlu

dilakukan secara dini sehingga peternak dapat waspada terhadap serangan penyakit pada

itik. Sesuai apa yang dilakukan Evitaningsih (2014) lakukanlah pengawasan atau

pengontrolan secara menyeluruh apabila ada tanda - tanda ternak itik kurang sehat.

Page 93: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

87

KESIMPULAN

Kesimpulan

Strategi pengembangan ternak itik dilahan pasang surut pada 3 Kecamatan

Bram Itam, Senyerang dan Kuala Betara dapat disimpulkan sebagai berikut :Lahan

Pasang Surut merupakan lahan yang cocok untuk beternak itik, Sawah pasang surut yang

cukup luas, sebagai penghasil dedak padi sebagai bahan pakan, masih mudah diperoleh

dari hasil penggilingan padi sendiri atau dibeli dengan harga yang masih rendah, selain

dari sumber dedak padi diperoleh juga pakan alami misalnya anak ikan , udang, cacing,

kiong mas dan rumput alami,Penggunaan bibit unggul dan pengembangan usaha ternak

itik antara lain peningkatan sumberdaya manusia melalui penyuluhan dan pelatihan

terkait dengan optimalisasi penggunaan sumberdaya lokal, peningkatan jiwa

kewirausahaan peningkatan peran kelompok dan koperasi dan kemitraan lainnya serta

pengembangan ekonomi mikro di Pedesaan.Berdasarkan hasil analisis indek potensi

terhadap kondisi lapangan terhadap faktor internal kekuatan, kelemahan dan faktor

eksternal peluang dan ancaman pada lokasi terdapat pada keadaan antara kekuatan dan

kelemahan 10 dan 15 berarti posisi faktor Internal Kekuatan yang ada pada Lahan

pasang surut dianggap sebagai kekuatan dalam pemeliharaan ternak itik yang harus

dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan potensi lahan dengan kondisi lahan yang

cocok untuk beternak itik lahan yang masih cukup luas.

Saran

Dari hasil Studi kasus direkomendasikan untuk melakukan pengembangan

itik di Kecamatan Senyerang karena memiliki potensi pakan ternak yang cukup dan

dianjurkan pemerintah daerah dapat mendirikan pabrik pada mini, perbaikan mutu bibit

ternak itik dengan mengganti ternak itik yang unggul, dukungan modal usaha yang

bertujuan peningkatan skala usaha dan penyuluhan dan pelatihan terus ditingkatkan

serta perbaikan sistim pemasaran yang dapat menguntungkan peternak, dengan

menguatkan lembaga perekonomian dipedesaan seperti KUD dan unit simpan pinjan

lainya.

Page 94: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

88

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006. Itik Kerinci Sebagai Sumber Daya Genetik (SDG) Provinsi Jambi,

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jambi.

Anonim, 2008. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian,

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Cahyono, B, 2011. Pembibitan Itik. Penerbit: Penebar Swadaya, Jakarta. Dinas Peternakan. 2013, Laporan Statistik Peternakan Kabupaten tanjung Jabung Barat.

Evitaningsih, 2014. Strategi Pengembangan Peternakan Itik di Kecamatan Curup

Selatan Kabupaten Rejang Lebong.

Musriadi, 2002. Produksi Bakalan Domba Sebagai Alternatif Usaha di Desa Srogol Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor. Karya Ilmiah Praktek Akhir.

Nugroho, T K, 2011. Pengaruh Faktor-faktor Sosial terhadap Perilaku Beternak Itik di

KTTI Kabupaten Brebes. Skripsi Fakultas Peternakan Univ. Diponegoro.

Semarang.

Paal, P, Polakitan, D dan Toulu, L, 2006. Sistem Produksi Ternak Itik di Sulawesi

Utara, Lokakarya Inovasi dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing.

Raharjo, R, 2004. Analisis Sistem Pemeliharaan dan Strategi Pengembangan Usaha

Ternak Itik Tegal di Kelurahan Pesurungan Lor, Kecamatan Margadana Kota

Tegal. Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Bogor.

Saleh, E, 2004. Pengelolaan Ternak Itik di Pekarangan Rumah, Digitzed by USU digital

library

Saragih, B, 2002. Kebijakan Nasional Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian,

Departemen Pertanian

Sidu, D, 2002. Prilaku Masyarakat Tani dalam Konservasi Tanah dan Air di Kawasan

DAS Wirongo Kabupaten Seleman. Tesis Progran Pasca Sarjana UGM,

Jogjakarta.

Srigandono, B, 1991. Produksi Unggas Air. Penerbit: UGM-Press. Yogyakarta. Suharno, B. dan Amri, K. 2011. Panduan Beternak Itik Secara Intensif Penebar

Swadaya, Jakarta

Suhendar, 2014. Wawancara langsung tanggal 19 April, Kuala Tungkal.

Suryana, 2007. Prospek dan Peluang Pengembangan Itik Alabio di Kalimantan

Selatan. Jurnal Litbang Pertanian. 26 (3).

Soeharjo, A dan Polong, D 1984. Sendi Sendi Pokok Ilmu Usahatani Universitas

Hasanuddin, Ujung Pandang.

Widodo, H, Usman, S dan Lamsursyah, 2013. Programa Penyuluh

Pertanian,Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.

Page 95: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

89

Strategi Pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis Peternakan

Berdasarkan Modal Sosial Dan Ekonomi Di Kabupaten Tanjung

Jabung Timur

Afriani H1*, Syafril Hadi1 dan Firmansyah1

1Fakultas Peternakan Universitas Jambi

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis strategi pengembangan BUMDesa unit

usaha berbasis peternakan berdasarkan modal sosial di Kabupaten Tanjung Jabung

Timur. Pengukuran variabel kualitatif digunakan kuesioner bentuk pertanyaan dengan

Scala Likert’s Summated Rating’s yang diuji dengan uji validitas dan reliabilitas. Model

analisisnya adalah analisis SWOT serta QSPM. Strategi pengembangan Badan Usaha

Milik Desa (BUMDesa) unit usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung

Timur adalah penguatan kapasitas modal sosial dengan peningkatan kepercayaan

masyarakat pengelolaan BUMDesa yang transparan, akuntabel, dan berlandana nilai-

nilai kejujuran. Strategi penguatan kapasitas modal ekonomi dengan cara kerjasama

dengan pihak swasta (perusahaan) melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR).

Kata Kunci : Strategi, BUMDesa, Peternakan

PENDAHULUAN

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ditambah dengan Peraturan

Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015

tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa

(BUMDesa) mengamatkan kepada desa untuk mengelola sumberdaya yang ada di desa,

termasuk pengembangan ekonomi masyarakatnya melalui pembentukan BUMDesa.

BUMDesa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh

Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang

dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-

besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.

Page 96: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

90

Lembaga perekonomian desa atau disebut BUMDes yang menjadi pendekatan

baru dalam upaya pemerintah mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa melalui

kemandirian masyarakat desa itu sendiri. BUMDes sebagai pilar baru kegiatan ekonomi

di desa berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan komersial (commercial

institution). Konsep lembaga sosial dapat dijelaskan bahwa seluruh hasil akhir kegiatan

BUMDes ditunjukan pada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya dalam

penyediaan berbagai kebutuhan dan pelayanan sosial. Pendekatan semacam ini

setidaknya menjelaskan bahwa BUMDes merupakan instrumen modal sosial (social

capital) yang dimiliki desa untuk mencapai proses kesejahteraan sekaligus

pemberdayaan.

Untuk mengembangkan BUMDes dengan unit usaha berbasis peternakan

Kabupaten Tanjung Jabung Timur dibutuhkan modal sosial. Menurut Carpenter (2004),

modal sosial merupakan kemampuan yang muncul dari kelaziman kepercayaan dalam

suatu masyarakat atau dalam bagian tertentu dari masyarakat. Masyarakat yang saling

percaya akan lebih baik dalam inovasi organisasi karena kepercayaan yang tinggi

memungkinkan munculnya rentang hubungan sosial yang lebar.

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode

survei. Teknik penarikan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Cluster

Random Sampling (Rahmatina, 2010) yaitu sebagai cluster adalah Kabupaten Tanjung

Jabung Timur. Ukuran sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan

metoda iterati (Harun Al Rasyid, 1994).

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keaslian suatu alat ukur

(instrumen). Uji validitas alat ukur kuesioner menggunakan rumus Korelasi Product

Moment Pearson berdasarkan Singarimbun dan Effendy (1995). Reliabilitas adalah

derajat ketepatan, ketelitian atau keakuratan yang ditunjukkan oleh instrumen

pengukuran. Untuk mengetahui koefisien reliabilitas instrumen (Cronbach) dapat

menggunakan rumus :

Page 97: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

91

𝑘

𝑘 − 1

r11 = 1 −

Ket :

r11 = reliabilitas instrument 1 = konstanta

k = banyak butir pertanyaan,

Santoso dan Ashari (2005) menyatakan bahwa suatu kuesioner dikatakan reliabel jika

nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,60 sehingga kuesioner layak digunakan dalam

penelitian.

Metode Analisis

Untuk menyusun strategi pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis

Peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur menggunakan analisis SWOT.

Menurut Rangkuti (2006) matrik SWOT adalah metode yang dipakai untuk menyusun

faktor-faktor strategis. Matriks SWOT ini dapat menghasilkan empat sel kemungkinan

alternatif strategi SO, strategi WO, strategi WT, dan strategi ST.

Tabel 1. Matriks SWOT Pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis Peternakan di

Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Faktor Eksternal

PELUANG-O

Daftar peluang

ANCAMAN-T

Daftar ancaman

KEKUATAN-S

Daftar kekuatan

STRATEGI SO

Menggunakan kekuatan untuk

memanfaatkan peluang

STRATEGI ST

Menggunakan kekuatan untuk

menghindari ancaman

KELEMAHAN-W

Daftar kelemahan

STRATEGI WO

Mengatasi kelemahan dengan

memanfaatkan peluang

STRATEGI WT

Meminimalkan kelemahan

dan menghindari ancaman

𝜎 ℎ²

𝜎 1²

Page 98: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

92

Analisis QSPM (Quantitative Strategic Planning Matriks)

Penggunaan QSPM dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 2. Matriks QSPM Pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis Peternakan di

Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Faktor Kunci Rating

Peluang

Ancaman

Kekuatan

Kelemahan

Jumlah

Sumber : Umar, 2008

Alternatif Strategi

Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3

AS TAS AS TAS AS TAS

Ket : Nilai daya tarik (Attractiveness Scores – AS)

Total nilai daya tarik (Total Attractiveness Scores – TAS)

HASIL PENELITIAN

Modal Sosial

Partispasi pada Kegiatan Sosial

Modal sosial menunjuk pada segi-segi organisasi sosial, seperti kepercayaan,

norma-norma, dan jaringan-jaringan sosial yang dapat memfasilitasi tindakan kolektif.

Tindakan kolektif masyarakat pedesaan berupa kegiatan sosial di Kabupaten Tanjung

Jabung Timur terdiri dari berbagai kegiatan yaitu mulai dari gotong royong, ronda

malam, menyumbang kegiatan desa, menyumbang untuk musibah, arisan ibu-ibu,

yasinan bapak-bapak, pengajian ibu-ibu, perayaan keagamaan, melayat orang

meninggal, menjenguk orang sakit, acara 17 Agustus, memberi bingkisan untuk bayi

yung baru dilahirkan, dan membagi makanan kepada tetangga. Hasil survey di lapangan

menemukan bahwa keaktifan kegiatan sosial masyarakat di Kabupaten Tanjung Jabung

Timur sebagian besar aktif, hanya kegiatan roda malam dan kegiatan

Page 99: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

93

membagi makanan kepada tetangga yang kurang aktif, secara rinci tersaji pada Grafik

berikut ini.

Fukuyama (1995) menyebutkan bahwa modal sosial memiliki peran penting

dalam keberhasilan pembangunan (sosial, budaya, ekonomi, dan politik), tidak

terkecuali pembangunan desa. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat

gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas,

dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Penelitian ini juga menemukan bahwa partisipasi masyarakat pada kegiatan sosial

di Kabupaten Tanjung Jabung Timur beragam, sebagian partisipasi masyarakat pada

kegiatan sosial tetap tinggi yaitu menjenguk orang sakit, melayat orang meninggal, acara

yasinan bapak-bapak dan lain-lain. Sedangkan sebagian lagi partisipasi masyarakat pada

kegiatan sosial rendah contohnya berbagi makanan kepada tetangga, pengajian Ibu-ibu,

Arisan Ibu-ibu dan lain-lain, secara rinci tersaji pada Grafik 2.

80.10

80.00 100.00 120.00 60.00 40.00 20.00

19.90

97.01

100.00

99.50 100.00

99.00 98.01

99.50

96.52

74.75

82.09

20.00 Membagi Makanan kpd Tetangga

Memberi Bingkisan utk Bayi yg Baru Dilahirkan

Acara 17 Agustusan

Menjenguk Orang sakit

Melayat Orang Meninggal

Perayaan Keagamaan

Pengajian Ibu-Ibu

Yasinan Bapak-Bapak

Arisan Ibu-Ibu

Menyumbang Musibah

Menyumbang Kegiatan Desa

Ronda Malam

Gotong Royong

0.00

Page 100: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

94

Menurut Fadil et al. (2013) bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan

sangat berpengaruh pada keberhasilan pelaksanaan suatu program pembangunan.

Menurut Elida Imro’atin et al. (2015), partisipasi masyarakat dalam pembangunan

sangat penting karena partisipasi/keikut sertaan masyarakat tersebut akan

menumbuhkan rasa memiliki terhadap proses pembangunan khususnya pelaksanaan

program pembangunan di desa.

Hasil penelitian Latif (2014) menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam

setiap pembangunan di desa masih kurang maksimal, terutama dalam tahap pelaksanaan

pembangunan. Kurang aktifnya masyarakat dalam tahapan pembangunan desa ini

disebabkan masih kurang pahamnya masyarakat akan pentingnya partisipasi. Potoboda

(2011) menjelaskan bahwa dalam perencanaan program pembangunan, peran partisipasi

masyarakat juga belum secara maksimal dilibatkan.

Partispasi pada Institusi Sosial

Secara sosiologis, lembaga sosial merupakan sistem norma yang memiliki tujuan

tertentu yang dianggap penting oleh masyarakat. Mengacu pada Kepmensos RI Nomor

12/HUK/2006, kelembagaan sosial lokal adalah suatu sistem nilai dan norma yang

Membagi Makanan kpd Tetangga

Memberi Bingkisan utk Bayi yg Baru Dilahirkan

Acara 17 Agustusan

Menjenguk Orang sakit

Melayat Orang Meninggal

Perayaan Keagamaan

Pengajian Ibu-Ibu

Yasinan Bapak-Bapak

Arisan Ibu-Ibu

Menyumbang Musibah

Menyumbang Kegiatan Desa

Ronda Malam

Gotong Royong

0.00

30.35

55.22

56.22

96.52

97.01

84.58

22.89

93.03

20.40

94.03

94.03

50.25

20.00 40.00 60.00

87.06

80.00 100.00 120.00

Page 101: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

95

mengatur tata hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat lokal. Kelembagaan sosial

lokal berfungsi sebagai pedoman bersikap dan bertingkah laku menghadapi

permasalahan kehidupan dalam masyarakat lokal, menjaga keutuhan masyarakat

(integrasi), sebagai kontrol sosial. Pandangan lain mengungkapkan bahwa kelembagaan

sosial lokal merupakan sistem nilai dan norma yang berwujud pada pendirian organisasi

sosial sebagai sentra warga masyarakat lokal menjalankan hak dan kewajiban ketika

mengimplimentasikan nilai dan norma sebagai acuan kehidupan bersama (Rusmin

Tumanggor, 2006).

Temuan penelitian ini bahwa cukup banyak institusi sosial di Kabupaten Tanjung

Jabung Timur yang aktif, misalnya posyandu, kelompok tani, Bumdesa, PKK,

kelompok olahraga dan karang taruna. Namun lebih banyak lagi institusi sosial di

Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang kurang aktif, misalnya koperasi, LSM,

organisasi politik, kelompok kesukuan dan lembaga adat.

4.48 1.49 9.45

28.36 26.37

54.73 53.23 61.69

75.62 73.13 70.15

81.09

94.03 87.56 100.00

90.00

80.00

70.00

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

Page 102: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

96

Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa partisipasi masyarakat pada institusi

sosial di Kabupaten Tanjung Jabung Timur hampir seluruhnya masih rendah kecuali

tingkat partisipasi masyarakat pada kelompok tani (77,61 %). Menurut Adisasmita

(2006) peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan

masyarakat (social empowerment) secara aktif yang berorentasi pada pencapaian hasil

pembangunan yang dilakukan dalam masyarakat pedesaan. Pemberdayaan masyarakat

merupakan upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya masyarakat pedesaan

secara lebih aktif dan efisien.

Sumodingrat (1998) menyebutkan bahwa partisipasi sebagai salah satu elemen

pembangunan. Partisipasi mempunyai posisi yang penting dalam pembangunan, dimana

untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dibutuhkan keikutsertaan anggota

masyarakat dalam setiap tahap pembangunan. Conyers (1991) memberikan tiga alasan

utama pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu: (1) partisipasi

masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi,

kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program

pembangunan dan proyek akan gagal, (2) masyarakat mempercayai program

pembagunan jika dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena

masyarakat lebih mengetahui seluk beluk proyek dan merasa memiliki proyek tersebut,

90.00

80.00

70.00

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

77.61

36.82

22.89 25.87 22.89 18.41 21.89

6.47 6.97 3.48 3.48 2.99 0.00 0.50

Page 103: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

97

(3) partisipasi merupakan hak demokrasi masyarakat dalam keterlibatannya di

pembangunan

Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa

Strategi merupakan sebuah rencana atau pendekatan secara keseluruhan yang

berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas

untuk dapat mencapai sebuah tujuan yang telah ditetapkan. Pengembangan BUMDesa

sangat memerlukan adanya sebuah strategi agar pengembangan BUMDesa dapat

maksimal dalam mencapai tujuan BUMDesa yaitu a). meningkatkan perekonomian

Desa; b). mengoptimalkan aset Desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan Desa; c).

meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomiDesa; d).

mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau denganpihak ketiga; e).

menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum

warga; f). membuka lapangan kerja; g). meningkatkan kesejahteraan masyarakat

melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Desa; dan

h). meningkatkan pendapatan masyarakat Desa dan Pendapatan Asli Desa.

Strategi pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan berdasarkan

modal sosial dan ekonomi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah memperkuat

permodalan BUMDesa menggunakan analisis SWOT. Dalam analisis SWOT terdiri dari

analisis Matriks IFE digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan

internal dan menggolongkannya menjadi kekuatan dan kelemahan pengembangan

BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur melalui

pembobotan :

a. Faktor kekuatan dalam pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di

Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah dukungan kebijakan pemerintah melalui

dana desa dalam bentuk APB desa dan pendamping desa, sumberdaya alam

khususnya pakan yang mendukung pengembangan ternak, peternak yang

berpengalaman, dan modal sosial masyarakat yang tinggi.

b. Faktor kelemahan dalam pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan

di Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah struktur organisasi BUMDesa yang

Page 104: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

98

tidak efisiensi, kualitas sumberdaya manusia pelaksana operasional yang masih

rendah, modal kerja yang terbatas, dan pola pembagian hasil usaha yang belum

optimal.

Sedangkan, matriks EFE digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor

lingkungan eksternal dan menggolongkannya menjadi peluang dan ancaman

pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung

Timur dengan melakukan pembobotan :

a. Faktor peluang dalam pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di

Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah harga produk ternak yang mahal, tingkat

permintaan produk ternak yang tinggi, jaringan BUMDesa bersama, kerjasama

kemitraan dengan berbagai pihak.

b. Faktor ancaman dalam pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di

Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah banyak pesaing BUMDEsa sejenis,

regulasi pemerintah yang berubah-ubah

Siagian (2004) menyatakan bahwa strategi adalah serangkaian keputusan dan

tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh

seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi tersebut.

Pengertian strategi lainnya seperti yang diutarakan Craig & Grant (1996) adalah strategi

merupakan penetapan sasaran dan tujuan jangka panjang sebuah perusahaan dan arah

tindakan serta alokasi sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan.

Berdasarkan analisis SWOT diperoleh strategi pengembangan BUMDesa unit

usaha berbasis peternakan berdasarkan modal sosial dan ekonomi di Kabupaten Tanjung

Jabung Timur adalah memperkuat permodal BUMDesa adalah :

1. Strategi penguatan kapasitas modal sosial untuk pengembangan BUMDesa unit

usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur

2. Strategi penguatan kapasitas modal ekonomi untuk pengembangan BUMDesa unit

usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

Setelah mengembangkan sejumlah alternatif strategi, BUMDesa Unit Usaha

Berbasis Peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur harus mampu mengevaluasi

Page 105: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

99

dan kemudian memilih strategi yang terbaik dan paling cocok dengan kondisi internal

serta lingkungan eksternal berdasarkan Analisis QSPM (Quantitative Strategic

Planning Matriks) yaitu :

1. Penguatan kapasitas modal sosial terutama kepercayaan dan jaringan untuk

pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung

Jabung Timur melalui pemeliharaan kearifan lokal (local wisdom) yang mempunyai

makna bahwa struktur sosial masyarakat masih mengandung sifat arif yaitu nilai-

nilai sosial yang digunakan sebagai sumber pemikiran dan pedoman berperilaku

anggota dan pengurus BUMDesa. Peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap

BUMDesa melalui pengelolaan BUMDesa yang transparan, akuntabel, dan

berlandana nilai-nilai kejujuran.

2. Penguatan kapasitas modal ekonomi untuk pengembangan BUMDesa unit usaha

berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur melalui penambahan modal

kerja BUMDesa. Peningkatan modal kerja BUMDesa dengan cara kerjasama dengan

pihak swasta (perusahaan) melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR).

KESIMPULAN

Penelitian tentang ini menyimpulkan bahwa strategi pengembangan Badan Usaha

Milik Desa (BUMDesa) unit usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung

Timur adalah penguatan kapasitas modal sosial dengan peningkatan kepercayaan

masyarakat pengelolaan BUMDesa yang transparan, akuntabel, dan berlandana nilai-

nilai kejujuran. Strategi penguatan kapasitas modal ekonomi dengan cara kerjasama

dengan pihak swasta (perusahaan) melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR).

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Carpenter, J.P, et al. 2004. Social Capital and Trust in South-east Asian Cities, Urban

Studies 41 (4), 853-874.

Conyers, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta: UGM Press.

Page 106: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

100

Craig & Grant. 1996. Manajemen Strategi. Jakarta: Alex Media Komputindo Kelompok

Gramedia.

Elida Imro’atin et al. 2015. “Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan Partisipatif”. Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik, volume 3, nomor 2.

Fadil, Fathurrahman et al. 2013. “Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah

Perencanaan Pembangunan di Kelurahan Kotabaru Tengah”. Dalam Jurnal Ilmu

Politik dan Pemerintahan Lokal, Volume II Edisi 2.

Fukuyama, F. (1995) Trust: The Social Virtues and Creation of Prosperity. New York:

Free Press Paperbacks.

Harun Al Rasyid. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala. disunting oleh

Teguh Krismantoroadji dkk., Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,

Bandung.

Latif Farid. 2014. Pengaruh Partisipasi Anggaran terhadap Kinerja Manajerial pada

Direktorat Jendral Perbendaharaan, Undergraduate thesis, Fakultas Ekonomika

dan Bisnis.

Lin, N. 2001 Social Capital: A Theory of Social Structure and Action. USA: Cambridge

University Press.

Potoboda AC. 2011. Partisipasi masyarakat dalam menunjang pelaksanaan

pembangunan dalam pembangunan di Desa Tarohan Kec. Beo Selatan. [internet].

Tersedia pada: Http://Ejournal.Unsrat.Ac.Id/Index.Php/Jurnal eksekutif/ Article/

Viewfile/ 7816/7379

Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4

Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran Badan

Usaha Milik Desa.

Rahmatina, Desi. 2010. Prosedur Menggunakan Stratified Random Sampling Method

dalam Mengestimasi Parameter Populasi, JEMI, Volume I, No.1. Universitas

Maritim Ali Haji.

Rosana, E.A., Saleh, dan Hadiyanto. 2010. Hambatan-hambatan komunikasi yang

dirasakan peternak dalam pembinaan budidaya sapi potong di Kabupaten Ogal

Ilir. Jurnal Komunikasi Pembangunan Februari 2010. Vol. 08. No. 1. Hal : 27 –

41.

Santosa dan Ashari. 2005. Analisis Statistik dengan Microsoft Axcel dan SPSS.

Yogyakarta.

Siagian,Sondang P, 2004, Teori Motivasi Dan Aplikasinya,Bina Aksara Jakarta

Singarimbun, M. dan Effendy. 1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES, Jakarta.

Sumodiningrat, Gunawan. 1998. Membangun Perekonomian Rakyat, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramediza

Pustaka Utama. Jakarta.

Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014

tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa.

Tumanggor, Rusmin.2010. Review Conceptual About Family.Information. 15 (2).

Page 107: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

101

Pengaruh Pemberian Probio_FM Powder Dalam Pakan Terhadap

Jumlah Eritrosit, Nilai Hematokrit Dan Kadar Hemoglobin Kambing

Kacang

Alexander, Pudji. R*, Anie. I, Famida. M dan Darlis

Fakultas Peternakan Universitas Jambi

Alamat Kontak : Jl. Jambi-Ma. Bulian KM 15 Mendalo Darat Jambi 36361 *e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Probio_FM Powder

dalam pakan terhadap jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin kambing

kacang. Penelitian ini dilakukan di Farm Fakultas Peterakan Universitas Jambi dan

analisis di Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Penelitian ini

menggunakan 12 ekor kambing kacang jantan umur 6-8 bulan, dengan bobot badan rata-

rata 14.33±2.14, rumput lapang, dedak padi dan Probio_FM Powder. Perlakuan yang

diberikan yaitu: P0 (0% Probio_FM Powder), P1 (1% Probio_FM Powder), P2 (2%

Probio_FM Powder), P3 (3% Probio_FM Powder). Rancangan percobaan yang

digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 3

kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam

ransum berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan

kadar hemoglobin darah. Berdasarkan hasil pada penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan

bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam pakan berpengaruh tidak nyata terhadap

jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin.

Kata kunci : kambing kacang, Probio_FM Powder, Eritrosit, Hematokrit, Hb.

PENDAHULUAN

Secara umum pakan ternak ruminansia di Indonesia mempunyai kualitas rendah,

sehingga di perlukan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pakan alternatif

yang berpotensial, memiliki harga yang relatif murah, mudah diperoleh serta tidak

bersaing dengan kebutuhan manusia, Salah satu bahan pakan alternatif yang dapat

digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak kambing adalah dedak padi. Dedak padi

merupakan salah satu dari limbah hasil pertanian yang ketersediaannya cukup banyak

dan mudah untuk didapatkan. Selain harga dedak padi yang relatif murah, menjadi salah

satu pertimbangan penggunaan dedak sebagai pakan ternak. Menurut Utami (2011),

dedak padi mengandung nutrisi bahan kering 88,93%, protein kasar 12,39%, serat kasar

Page 108: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

102

12,59%, kalsium 0,09% dan posfor 1,07%. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk

meningkatkan nilai nutrisi dedak padi adalah dengan menambahkan Probio_FM Powder

yang dapat meningkatkan kinerja fungsi rumen, yang mengandung bakteri selulolitik

tinggi, secara efisien untuk menghasilkan produk ternak yang maksimal. Fuller (1989),

menyatakan bahwa probitiotik merupakan pakan aditif berupa mikroba hidup yang

dapat meningkatkan keseimbangan dan fungsi pencernaan inang, manipulasi mikroflora

saluran pencernaan untuk tujuan peningkatan kondisi kesehatan serta meningkatkan

produksi. Menurut Raguati dan Rahmatang (2012), ternak yang sehat mendapat nutrisi

yang cukup dapat terlihat dari gambaran darahya yaitu jumlah eritrosit, nilai hematokrit,

dan kadar hemoglobin yang stabil atau normal.

Darah merupakan cairan ekstra seluler yang berada dalam system vaskular dan

menjalani sirkulasi di seluruh tubuh. Darah mempunyai fungsi sebagai transportasi

(pembawa zat-zat makanan dan oksigen ke seluruh sel di dalam tubuh, pembawa

karbondioksida, sisa metabolisme atau zat lainnya yang berbahaya untuk dibuang,

termoregulasi pengatur suhu tubuh, pertahanan tubuh mengandung antibodi) dan

homeostatis mengatur keseimbangan zat, PH. (Frandson, 1996).

Volume darah total adalah 5-13% dari bobot badan tergantung dari spesies, umur,

jenis kelamin dan status fisiologi (Frandson, 1996). Melihat fungsi penting darah

tersebut maka kondisi fisiologi darah yang baik dapat mencerminkan kondisi kesehatan

ternak yang baik. Berdasarkan fungsi atau khasiat dari Probio_FM Powder dalam dedak

diharapkan dapat meningkatkan proses pencernaan menjadi lebih baik, dan

memperbaiki nilai fisiologi darah pada ternak kambing kacang.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Farm Fakultas Peterakan Universitas Jambi dan

analisis di Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi dari tanggal 26

September s/d 21 November 2018.

Alat dan Bahan

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah, ternak kambing kacang jantan

sebanyak 12 ekor, Probio_FM Powder, dedak padi, larutan turk, larutan hayem, HCl 0,1

Page 109: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

103

N, aquades, alcohol 70 %, es batu dan EDTA.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spuit ukuran 5 cc, tabung darah,

pipa kapiler, rak tabung darah, dan cool box, pipet pengencer, untuk eritrosit,

mikroskop, mikrohematokrit reader, pipet Pasteur, kamar hitung, counter, tissue, dan

kapas.

Metode Penelitian

Sebelum melakukan penelitian ini terlebih dahulu dilakukan sanitasi pada kandang

dengan cara menyemprotkan air ke lantai dan dinding kandang untuk membersihkan

kotoran kambing dan sisa pakan. Setelah kandang kering, dilakukan pengapuran

keseluruh kandang dengan tujuan untuk mencegah penyakit pada ternak. Semua

kambing kacang ditimbang untuk mendapatkan bobot badan yang menentukan

kebutuhan hidup pokok dan menentukan perlakuan penelitian. Dalam masa adaptasi,

kambing kacang diberi pakan hijauan berupa rumput lapang dan dedak padi yang

dicampur sedikit Probio_FM Powder selama seminggu. Setelah masa adaptasi,

pemberian kebutuhan pakan dari masing-masing kambing berdasarkan bobot badan dan

sesuai perlakuan penelitian.

Pembuatan pakan pada penelitian ini dilakukan dengan mencampurkan dedak padi,

Probio_FM Powder dan air. Ransum yang diberikan sesuai bobot badan dan perlakuan,

setiap kambing menggunakan satu ember untuk tempat ransum. Dalam proses

pembuatan pakan dedak dan Probio FM_Powder di campurkan sampai merata

(homogen) dan tambahkan sedikit air.

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama delapan minggu. Dimulai pada minggu

pertama masa adaptasi ternak terhadap lingkungan, pakan dan lain-lain. Pengambilan

sampel dilakukan 3 kali yaitu pada mingggu ke 0, minggu ke 4 dan minggu ke 8. Darah

diambil langsung melalui vena jugularis sebanyak 5 ml kemudian dimasukan ke dalam

tabung darah yang berisi EDTA, pemeriksaan sampel darah yang di lakukan meliputi

jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemaglobin.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri dari 4

perlakuan (P0,P1,P2,P3) dan 3 kelompok dengan 12 unit percobaan perlakuan yang

Page 110: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

104

diberikan adalah :

P0 = (90% Rumput lapang + 10% Dedak padi)

P1 = (90% Rumput lapang + 10% Dedak padi) + 1% Probio_FM Powder

P2 = (90% Rumput lapang + 10% Dedak padi) + 2% Probio_FM powder

P3 = (90% Rumput lapang + 10% Dedak padi) + 3% Probio_FM powder

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah Jumlah Eritrosit dinyatakan sel

x 106/µl, Nilai Hematokrit dinyatakan %. dan Kadar Hemoglobin dinyatakan g/dl pada

ternak kambing kacang.

Analisis Data

Data yang diperoleh dari setiap parameter yang diamati dan dianalisis

menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan model persamaan berikut :

Υij = µ +Ai + Bj + Eij µ = nilai tengah umum dari perlakuan

i = 1,2,3,4 ( kelompok perlakuan)

j = 1,2,3 ( Banyak kelompok)

Ai = pengaruh perlakuan

Bj = pengaruh Kelompok

Eij = galat percobaan

Jika analisis memperlihatkan pengaruh yang nyata (p <0,05) maka dilanjutkan

dengan menggunakan Uji Jarak Duncan (Steel dan Torrie,1989)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian pengaruh pemberian probiotik powder terhadap kandungan

eritrosit,hematokrit dan hemoglobin darah dapat dilihat pada Tabel 1. pada kambing

kacang.

Tabel 1. Rata-rata Eritrosit, Hematokrit dan Hemoglobin kambing kacang jantan.

Perlakuan Rataan

Eritrosit (106/µL) Hematokrit (%) Hemoglobin (g/dl)

P0 10.66±0.46 29.22±1.08 8.97±0.46

P1 10.69±0.14 29.39±1.40 9.11±0.75

P2 10.39±0.22 29.11±0.42 9.49±0.40

P3 10.92±0.60 29.45±0.39 9.25±0.55

Page 111: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

105

Jumlah Eritrosit

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam

pakan terhadap jumlah eritrosit ternak kambing kacang berpengaruh tidak nyata

(P>0,05). Rataan jumlah eritrosit yang diperoleh pada penelitian ini yaitu berkisar antara

10,39-10,92 x 106/µl. Jumlah eritrosit kambing kacang pada semua perlakuan masih

dalam kisaran normal sesuai dengan pernyataan Blood (1989), yang menyatakan bahwa

jumlah eritrosit ternak kambing berkisar 8 - 18 x 106/µl.

Jumlah eritrosit tergantung pada bangsa, kondisi nutrisi, aktivitas fisik, dan umur

hewan (Dellman dan Brown, 1989). Selain itu jumlah eritrosit juga dipengaruhi suhu

lingkungan, ketinggian tempat dan iklim (Dukes et al., 1995). Jika tubuh hewan

mengalami fisiologis maka gambaran darah juga akan mengalami perubahan. Secara

internal seperti kesehatan, stres dan suhu tubuh, sedangkan secara eksternal akibat

infeksi kuman, fraktura, dan perubahan suhu lingkungan (Guyton dan Hall, 1997).

Menurut Pearce (1985), pembentukan eritrosit membuhtukan nutrisi yang cukup dan

seimbang.

Nilai Hematokrit

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam

pakan terhadap nilai hematokrit ternak kambing kacang berpengaruh tidak nyata

(P>0,05). Rataan nilai hematokrit yang diperoleh pada penelitian ini yaitu berkisar

antara 29,11-29,45%. Nilai hematokrit yang diperoleh masih dalam kisaran normal,

sesuai dengan pendapat Pendapat Blood (1989), bahwa nilai normal hematokrit pada

kambing adalah 22-38%. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran sel

eritrosit, sehingga apabila eritrosit dalam jumlah normal persentase hematokrit juga

normal karena eritrosit merupakan massa sel terbesar dalam darah. Menurut Frandson

(1996), nilai hematokrit adalah persentase volume darah yang terdiri sel-sel darah

merah, semakin besar hematokrit sehingga eritrosit berbanding lurus dengan hematokrit.

Kadar Hemoglobin

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam

pakan terhadap kadar hemoglobin ternak kambing kacang berpengaruh tidak nyata

(P>0,05). Rataan jumlah eritrosit yang diperoleh pada penelitian ini yaitu berkisar antara

Page 112: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

106

8,97-9,49 g/dl. Kadar hemoglobin ini sesuai dengan pernyataan Blood (1989), berkisar

antara 8 - 12 g/dl darah pada ternak kambing.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan

bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam pakan berpengaruhi tidak nyata terhadap

jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin kambing kacang.

Terima kasih kepada Ristekdikti yang telah mendanai penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Blood, 1989. Veterinary Medicine. A Textbook of the Diseases of Cattle, Sheep, Pigs,

Goats and Horses. Seventh Edition. Bailliere Tindall Ltd. 24-18 Oval Road,

London NW1 7DX.

Dellman H.D and E.M. Brown. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Penerbit

Universitas Indonesia. Jakarta.

Dukes, E.H. 1995. The Physiology of Domestic Animals. 7th ed. Comstock Pub., Asso.

A division of Cornell Univ. Press Itacha and London

Frandson. R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University

Press.Yogyakarta.

Fuller, R. 1989. Probiotic in man and animals. J. Appl. Bacteriol. 66: 365 – 378. Guyton

& Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irawati Setiawan

Penerjemah, jakarta : EGC.

Pearce, C.E. 1985. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia, Jakarta.

Raguati dan Rahmatang. 2012. Suplementasi urea multi nutrien blok plus terhadap

hemogram darah kambing peranakan ettawa. Jurnal Peternakan Sriwijaya

(JPS). 1(1): 55-64.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie.1989. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan

Biometrik. Edisi Kedua. PT. Gramedia, Jakarta.

Utami, Y. 2011. Pengaruh imbangan feed suplemen terhadap kandungan protein kasar,

kalsium dan fosfor dedak padi yang difermentasi dengan Bacillus amylo-

liquefaciens. Skripsi, Fakultas Peternakan Universitas Andalas, hal. 21 Padang.

Page 113: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

107

Efektivitas Senyawa Antibakteri Asal Pediococcus pentosaceus

BAF715 Untuk Meningkatkan Kualitas Mikrobiologis Fillet Ikan

Gabus (Channa Striata) Pada Penyimpanan Suhu Chilling

Afriani dan Haris Lukman

Fakultas Peternakan Universitas Jambi (36361) E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Fillet ikan gabus merupakan produk pangan yang sangat mudah mengalami

kerusakan (perishable food), kerusakan ini salah satunya disebabkan oleh aktivitas

mikroba. Cara yang dilakukan untuk mengatasi kerusakan ikan adalah dengan

pengawetan.Pengawet yang digunakan sebaiknya aman bagi kesehatan seperti bakteri

asam laktat. Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri yang aman untuk dikonsumsi

menghasilkan senyawa antibakteri yang dapat mematikan bakteri patogen dan

pembusuk. Penelitian ini bertujuan unutk mengetahui efektivitas senyawa antibakteri

asal Pediococcus pentosaceus BAF 715 terhadap kualitas mirobiologis fillet ikan gabus

yang disimpan pada suhu dingin. Filet gabus direndam dalam substrat antibakteri,

kemudian disimpan pada suhu chilling. Penyimpanan dilakukan selama 0 hari (P), 2 hari

(P1),4 hari (P4), 6 hari(P6), 8 hari (P8), 10 hari (P10) dan 12 hari (P12). Rancangan

yang dipakai adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 7 perlakuan dan 3 ulangan dan

analisis statistik akan dilakukan terhadap peubah yang diamati. Bila terdapat perbedaan

dilanjutkan dengan uji jarak berganda. Peubah yang diamati : pH daging ikan, total

bakteri, total Escherichia coli, total Staphilococcus aureus dan total Salmonella sp.

Hasil analisis menunjukkan bahwa selama penyimpanan terjadi peningkatan pH,

penghambatan terhadap total bakteri dan total S. aureus dan tidak ditemui keberadaan

E. coli dan Salmonella. Fillet ikan gabus yang diawetkan dengan senyawa antibakteri

asal Pediococcus pentosaceus BAF 715 dapat disimpan selama 8 hari pada suhu

chilling.

Kata kunci: Fillet ikan gabus, Pediococcus pentosaceus, antibakteri, suhu chilling

PENDAHULUAN

Ikan gabus (Channa striata) merupakan salah satu jenis ikan air tawar asli

perairan Indonesia yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Ikan ini diperoleh dari

penangkapan di perairan umum seperti rawa-rawa, danau, dan kolam. Ikan gabus

diketahui mengandung senyawa-senyawa penting yang berguna bagi tubuh, diantaranya

Page 114: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

108

protein yang cukup tinggi, lemak, air, dan beberapa mineral (Mulyadi et al. 2011). Ikan

gabus memiliki kandungan nutrisi yang sangat baik untuk kesehatan. Kandungan

tersebut terdiri dari protein terutama albumin dan asam amino esensial, lemak esensial,

mineral khususnya zink/seng (Zn) dan beberapa vitamin yang sangat baik untuk

kesehatan. Menurut Nugroho (2013), kandungan protein ikan gabus sebesar 25,5 %.

Kadar albumin ikan gabus bisa mencapai 6,22%, selain itu ikan gabus mengandung

mineral yang erat kaitannya dengan proses penyembuhan luka, yaitu Zn sebesar 1,7412

mg/100 g.

Untuk mempertahankan kesegaran ikan sampai ke konsumen salah satu bentuk

penanganannya adalah membuatnya menjadi fillet. Fillet ikan gabus merupakan produk

pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan (perishable food), kerusakan ini salah

satunya disebabkan oleh aktivitas mikroba pembusuk seperti Escherichia coli,

Staphylococcus aureus, Salmonella thypii dan lainnya.

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kualitas fillet ikan

agar tidak cepat mengalami kerusakan , antara lain adalah preparasi fillet melalui praktek

sanitasi yang baik dan proses pendinginan, namun upaya itu belum optimal. Penggunaan

bahan pengawet dapat memperpanjang masa simpan ikan, berupa pengawet alami dan

pengawet sintetis.

Senyawa antibakteri yang berasal dari bakteri asam laktat merupakan pengawet

alami yang aman untuk dikonsumsi. Penggunaan biopreservatif yang berasal dari

bakteri asam laktat (BAL) dapat memperpanjang waktu penyimpanan dan menekan

jumlah mikroorganisme yang tidak diinginkan. Bakteri ini tidak bersifat toksik sehingga

aman untuk dikonsumsi, yang disebut dengan food grade microorganism (Holzapfel et

al. 1995).

Sifat terpenting dari bakteri asam laktat adalah kemampuanya untuk merombak

senyawa kompleks menjadi senyawa yang sederhana sehingga dihasilkan asam laktat.

Produksi asam yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat menyebabkan pertumbuhan

mikroba lain yang tidak diinginkan dapat dihambat. Komponen lain yang dihasilkan

olah BAL adalah komponen peptide antimikroba yang dapat dimanfaatkan sebagai

biopreservatif pangan yaitu bakteriosin. Bakteriosin adalah senyawa antibakteri yang

umumnya merupakan peptide kationik yang menunjukkan property hidrofobik atau

Page 115: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

109

amphifilik, sehingga sebagian besar target aktivitasnya adalah membrane bakteri, baik

bakteri gram positif maupun gram negative (Yusra et al, 2014). BAL dapat menurunkan

pH bahan pangan. Penurunan pH tersebut dapat memperlambat pertumbuhan

mikroorganisme pembusuk, mikroorganisme pathogen serta mikroorganisme penghasil

racun akan mati (Buckle et al. 1987).

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan dan

Laboratorium Dasar dan Terpadu Universitas Jambi yang dilaksanakan pada bulan Juni

sampai Agustus 2019.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan Gabus (Channa striata)

yang berasal dari pasar Angso Duo, dan bakteri Pediococcus pentosaceus BAF715 yang

diisolasi dari bekasam (Afriani, 2018). Media yang digunakan adalah MRSAgar, MRS

broth, nutrient broth,nutrient agar, dan pepton, bacto Agar, alkohol, spritus, larutan

standart pH 7 dan 4, Media untuk pengujian mikroorganisme pada fillet ikan adalah

buffer peptone water (BPW), nutrient agar (NA), eosyin methylen blue agar (EMBA),

bismuth sulphite agar (BSA), mannitol salt agar (MSA) dan aquadest steril.

Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tabung reaksi, rak tabung

reaksi, petri dish, gelas ukur, Erlenmeyer, beker glass, inkubator shaker

,mikroskop, sentrifuse refrigerated, autoklaf, spektrofotometer, laminar air flow, water

bath, vortex, pH meter, lampu bunsen, pipet volumetrik, botol scott, timbangan analitik,

cling wrap, alumunium foil, sudip, mikro pipet, ose, refrigerator, plastik tahan panas,

hot plat stirer, dan kapas.

Prosedur Penelitian

Penyegaran Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat yang disimpan beku dilakukan peyegaran sebanyak 1 ml

masukkan ke dalam 9 ml MRSB yang diperkaya YE. Setelah itu, dihomogenisasi dan

Page 116: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

110

diinkubasi selama 24 jam.

Produksi Supernatan Bebas Sel (SBS)

Bakteri asam laktat yang sudah disegarkan dihomogenisasi kemudian diambil

sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml MRSB yang diperkaya YE. Kemudian

dihomogenisasi dan diinkubasi selama 20 jam. Setelah 20 jam, bakteri asam laktat

Pediococcus pentosaceus BAF715 dimasukkan ke dalam tabung Ependorf kemudian

disentrifugasi dengan kecepatan putar 6000 rpm dalam 20 menit. Setelah itu, supernatan

(bagian atas yang terpisah, hasil dari sentrifugasi) tersebut disaring dengan kertas saring

Sartorius 0,22 µml ke dalam wadah tabung Scott steril. Substrat antimikroba yang sudah

disaring dinamakan Supernatan Bebas Sel (SBS). Kemudian SBS tersebut disimpan

pada refrigerator selama 7 jam.

Uji pengawetan fillet ikan dengan filtrate senyawa antibakteri

Fillet ikan segar dipotong seberat ± 100 g. Filtrate senyawa antibakteri

dipersiapkan ke dalam beker glass steril kemudian potongan fillet ikan segar

dimasukkan ke dalamnya dan didiamkan selama 30 menit. Setelah 30 menit, fillet ikan

diangkat dari larutan dan dipindahkan ke dalam plastik steril kosong yang sudah

dipersiapkan sebelumnya. Kemudian potongan fillet ikan tersebut dan sampel potongan

fillet ikan tanpa perendaman dalam filtrate senyawa antibakteri (P0) disimpan ke dalam

suhu chilling selama 12 hari. Pada hari ke-2 , 4, 6, 8 ,10 dan 12. fillet ikan tersebut

dilakukan pengujian kualitas mikrobiologi secara kuantitatif terhadap total bakteri, E.

coli, S. aureus dan Salmonella sp.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan

3 ulangan. Perlakuan digunakan adalah penyimpanan fillet ikan yang telah diawetkan

dengan substrat antibakteri selama : tanpa penyimpanan (P0), 2 hari (P2), 4 hari (P4),

6 hari (P6), 8 hari (P8), 10 hari (P10) dan 12 hari (P12).

Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis ragam

(Anova). Apabila analisis ragam menunjukkan pengaruh nyata, maka dilanjutkan

dengan uji Duncan. Semua analisis yang digunakan dalam penelitian ini dikerjakan

menurut program SAS, 2003.

Page 117: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

111

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Supernatan Bebas Sel

Kualitas supernatant bebas sel dengan mengukur pH dan total asam tertitrasi

dari kultur bakteri Pediococcus pentosaceus BAF715. Nilai pH merupakan nilai yang

penting karena menunjukkan kondisi keasaman suatu substrat yang akan mempengaruhi

pertumbuhan mikroba pembusuk pada fillet ikan gabus. Nilai pH dipengaruhi oleh

besarnya nilai total asam tertitrasi (TAT). Nilai pH dan TAT pada supernatan bebas sel

(SBS) dari kultur bakteri Pediococcus pentosaceus BAF715 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai pH dan Total Asam Tertitrasi (TAT) pada Supernatan Bebas Sel (SBS)

Peubah Nilai

pH 4,30 ± 0,00

Total Asam Tertitrasi (%) 0,72 ± 0,02

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai pH supernatan bebas sel adalah 4,30

dengan kandungan asam sebesar 0,72. Hasil ini menunjukkan bahwa supernatan bebas

sel dari kultur bakteri Pediococcus pentosaceus BAF715 bersifat asam. Keasaman ini

karena bakteri Pediococcus pentosaceus BAF715 merupakan bakteri homofermentatif

yaitu bakteri yang memfermentasi karbohidrat sebagian besar menghasilkan asam laktat

sebagai produk akhirnya. Menurut Putri et al. (2012) bahwa bakteri tipe

homofermentatif mampu memproduksi asam laktat dalam jumlah yang cukup besar.

Nilai pH pada supernatan bebas sel dapat dipengaruhi dengan besarnya nilai total

asam tertitrasi. Semakin besar nilai total asam tertitrasi maka nilai pH supernatan bebas

sel semakin rendah. Hal tersebut disebabkan total asam tertitrasi merupakan persentase

asam yang terdapat di dalam supernatan bebas sel.

Kualitas Fillet ikan Gabus Segar

Nilai pH, total bakteri, total E. Coli, total Staphylococcus aureus dan total

Salmonella tiphymurium pada fillet ikan gabus segar yang belum mendapat perlakuan

dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 118: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

112

Tabel 2. Nilai Kualitas Fillet Ikan Gabus Segar

Peubah Nilai

pH 6,7

Total bakteri 36x104koloni/g

Total E. coli 41x101 koloni/g

Total Staphylococcus aureus 16x102 koloni/g

Total Salmonella 0

Pada Tabel 2 terlihat nilai pH fillet ikan gabus segar yaitu 6,7. Nilai pH ini masih

dalam kisaran pH ikan segar. Nilai pH ikan segar menurut Eskin (1990) yaitu berkisar

6,2-7. Nilai tersebut menunjukkan fillet ikan gabus dalam kondisi yang baik.

Analisis total bakteri dapat menunjukkan tingkat pencemaran bahan pangan oleh

bakteri pembusuk. Total bakteri fillet ikan gabus segar mencapai 36x104cfu/g dibawah

batas maksimal menurut badan standar mutu SNI. Nilai TPC ikan segar menurut BSN

(2013) (SNI 2729-20136) adalah maksimal 5 x 105 cfu/g atau 5,69 log cfu/g.

Perbandingan data tersebut menunjukkan bahwa fillet ikan gabus segar masih baik.

Total bakteri E. coli yang mencemari fillet ikan gabus segar mencapai 41x101

koloni/g. Batas cemaran bakteri E. coli pada ikan segar menurut BSN (2013) (SNI 2729-

20136) adalah maksimal bakteri E. coli <3 APM/g. Perbandingan data tersebut

menunjukkan bahwa total bakteri E. coli yang mencemari fillet ikan gabus segar

melebihi batas maksimal SNI. Pencemaran fillet ikan oleh E. coli berasal dari tempat

pencualan ikan hingga proses penangan fillet ikan sebelum diberi perlakuan.

Total bakteri S.aureus yang mencemari fillet ikan gabus segar mencapai 16x102

koloni/g. Batas cemaran bakteri S.aureus pada ikan segar menurut surat keputusan

kepala badan karantina ikan, pengendalian mutu, dan keamanan hasil perikanan nomor

37/kep-bkipm/2017 adalah maksimal 103 koloni/g. Perbandingan data tersebut

menunjukkan bahwa total bakteri S.aureus yang mencemari fillet ikan gabus segar di

bawah batas maksimal mutu ikan segar.

Fillet ikan gabus segar yang akan digunakan sebagai sampel tidak tercemar oleh

bakteri Salmonella. Hal ini sesuai menurut BSN (2013) (SNI 2729-20136), bahwa ikan

segar tidak tercemar oleh bakteri Salmonella yaitu negatif/25 g.

Page 119: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

113

Nilai pH fillet Ikan Gabus

Nilai ph fillet Ikan Gabus berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa

lama penyimpanan pada suhu chilling berpengaruh nyata terhadap pH fillet ikan gabus

(P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan pH fillet ikan penyimpanan hari ke-0 =

hari ke 2 < hari ke 4, 6, 8, 10, dan 12. Nilai pH fillet ikan pada penyimpanan hari ke-2

= hari ke 4 < hari ke 6, 8, 10 dan 12. Nilai pH fillet ikan pada penyimpanan hari ke-4 <

hari ke 6, 8, 10 dan 12. Nilai pH fillet ikan pada penyimpanan hari ke- 6 < hari ke 8, 10

dan 12. Nilai pH fillet ikan pada penyimpanan hari ke- 8 < hari ke 10 dan 12. Nilai pH

fillet ikan pada penyimpanan hari ke- 10 = hari ke 12. Nilai pH fillet ikan pada

penyimpanan hari ke-0 sampai ke 6 berkisar antara 5,27 sampai 5,78. Nilai pH fillet ikan

ini berada dibawah nilai kisaran pH ikan segar. Hal ini disebabkan karena substrat

antimikroba bersifat asam selama perendam antimikroba tersebut meresap kedalam

fillet ikanmengakibatkan pH fillet ikan turun. Substrat antimikroba yang digunakan

bersifat asam dengan nilai pH 4,3 dan kadar asam sebesar 0,72 %. Nilai pH fillet ikan

pada penyimpanan hari ke-8 yaitu 6,23. Nilai pH fillet ikan ini berada didalam kisaran

pH ikan segar. Sedangan nilai pH fillet ikan pada penyimpanan ke 10 dan 12 yaitu 7,30

sampai 7,43. Nilai pH ini di atas kisaran nilai pH ikan segar. Nilai pH ikan segar yaitu

berkisar 6,2-7 (Eskin, 1990). Hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan pada hari ke 10

dan 12 sudah mengalami penurunan kualitas yang ditandai dengan pembusukan. Hasil

analisis kualitatif Nilai pH fillet ikan gabus yang diberi perlakuan yang disimpan pada

suhu chilling terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Nilai pH fillet ikan gabus selama penyimpanan

Page 120: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

114

Selama penyimpanan pH fillet ikan gabus mengalami kenaikan hingga

penyimpanan hari ke 10 dan ke 12. Hal ini diduga selama penyimpanan pada suhu

chilling aktifitas bakteri pembusuk masih berlangsung yang meguraikan zat makanan

yang terkandung dalam ikan tersebut hingga terjadi pembusukan. Menurut Weeber et

al. (2008), proses perubahan kenaikan pH pada fillet ikan dapat terjadi karena aktivitas

enzim dan mikroorganisme. Kedua hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan

menurun. Kristoffersen et al. (2006) menyatakan bahwa akibat dari aktivitas bakteri

pembusuk merusak asam-asam amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, lisin,

histidin, dan arginin. Asam-asam amino tersebut dapat bertindak sebagai pemicu

timbulnya senyawa biogenik amin. Senyawa-senyawa seperti asam amino, glukosa,

lipida, trimetilamin oksida dan urea dapat diubah oleh bakteri menjadi produk yang

dapat digunakan sebagai indikator pembusukan.

Hasil Analisis Kualitatif Total Bakteri

Hasil analisis kualitatif total bakteri yang terdapat pada fillet ikan gabus yang

diberi perlakuan disimpan selama 12 hari pada suhu chilling terlihat pada Gambar 2.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan pada suhu chilling

berpengaruh nyata terhadap total bakteri fillet gabus (P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan

penyimpanan hari ke-0, 2, 4, 6,8, menunjukkan bahwa nilai total mikroba berbeda nyata

(P<0,05) dengan penyimpanan hari ke 10 dan ke 12, penyimpanan ke 10 berbeda nyata

denganpenyimpanan hari ke12 (P<0,05). Total bakteri fillet ikan penyimpanan hari ke

0, 2, 4, 6 dan 8 berkisar antara 37,67x10 4 (cfu/g) sampai 73,00x10 4(cfu/g), total bakteri

fillet ikan yang disimpan hari ke 10 dan 12 hari sebesar 39,40x10 5(cfu/g) dan 136,67x10

5(cfu/g).

Aa

Bb

Cc c c c c

Lama Penyimpanan (hari)

Tota

l B

akte

ri (

log c

fu)

Page 121: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

115

Gambar 2. Grafik Total bakteri fillet ikan gabus selama penyimpanan

Hasil ini menunjukkan total bakteri fillet ikan yang disimpan pada hari ke 0

sampai 8 masih di bawah batas maksimum total bakteri pada ikan menurut standar mutu

SNI 012696-2006. Sedangkan total bakteri fillet ikan yang disimpan pada hari ke 10 dan

12 melebihi batas cemaran mikrobiologis yang ditentukan SNI. Nilai total bakteri ikan

segar menurut BSN (2013) (SNI 2729-20136) adalah maksimal 5 x 105 cfu/g. Fillet ikan

yang disimpan pada hari ke 0 sampai 8 masih dalam kondisi baik, namun penyimpanan

ke 10 dan 12 total bakteri fillet ikan semakin meningkat yang menunjukkan bahwa

fillet ikan sudah mengalami pembusukan. Hal ini diduga aktivitas penghambatan

senyawa antimikroba makin lama penyimpanan semakin lemah sehingga pertumbuhan

mikroba pembusuk tumbuh pesat.

Hasil Analisis Kualitatif Bakteri Staphylococcus sp.

Hasil analisis kualitatif bakteri Staphylococcus sp pada fillet ikan gabus yang

disimpan pada suhu chilling terlihat pada Tabel 3. Lama penyimpanan fillet ikan pada

suhu chilling dari hasil pengatan total koloni bakteri S. aureus semakin meningkat.

Media selektif yang digunakan untuk uji keberadaan S. aureus adalah media selektif

media Mannitol salt agar (MSA). Koloni S. aureus yang tumbuh pada media Mannitol

salt agar (MSA) berwarna hitam. Pada penyimpanan hari 0,2,4,6 dan 8 total bakteri S.

aureus fillet ikan gabus masih dibawah standar mutu BSN (2013) (SNI 2729-20136),

penyimpanan pada hari ke 10 dan 12 total bakteri S. aureus fillet ikan gabus telah

melebihi yaitu 42x103 dan 69x103. Menurut standar mutu BSN (2013) (SNI 2729-

20136), produk ikan kandungan S. aureus maksimum 103 koloni/g. Pada sampel fillet

ikan gabus segar diketahui kandungan S. aureus sebesar 16x102 koloni/g. Setelah fillet

ikan gabusdiberi perlakuan, penyimpanan hari ke 0, 2, 4, 6 dan 8 populasi S. aureus

menurun, penyimpanan hari ke 10 dan 12 populasi S. aureus meningkat pesat. Diduga

senyawa antimikroba yang dihasilkan Pediococcus pentosaceus kurang efektif

menghambat diberi perlakuan, penyimpanan hari ke 0, 2, 4, 6 dan 8 populasi S. aureus

menurun, penyimpanan hari ke 10 dan 12 populasi S. aureus meningkat pesat. Diduga

senyawa antimikroba yang dihasilkan Pediococcus pentosaceus kurang efektif

menghambat Yulinery et al (2009), senyawa antimikroba dari Lactobasillus lebih

menghambat bakteri Vibrio sp. (gram negative) dibandingkan bakteri S. aureus (gram

Page 122: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

116

positif).

Tabel 3. Hasil pengamatan koloni S. aureus pada fillet ikan gabus selama

penyimpanan suhu chilling

Penyimpanan (hari) Pengenceran Hasil koloni (CFU/g)

Po 10-1 18

10-2 0

10-3 0

P2 10-1 12

10-2 16

10-3 1

P4 10-1 9

10-2 5

10-3 0

P6 10-1 13

10-2 8

10-3 0

P8 10-1 34

10-2 14

10-3 6

P10 10-1 11

10-2 23

10-3 42

P12 10-1 265

10-2 215

10-3 69

Hasil Analisis Kualitatif Bakteri Escherichia coli

Media selektif yang digunakan untuk uji keberadaan Escherichia coli adalah

media Eosyn Methylen Blue Agar (EMBA). Koloni E. coli yang tumbuh pada media

Eosyn Methylen Blue Agar (EMBA) berwarna kehijauan kilap jika diletakkan di bawah

sinar matahari atau sinar lampu. Hasil pengujian menunjukkan bahwa E. coli tidak

ditemukan dalam fillet ikan gabus yang telah diberi perlakuan. Aktivitas senyawa

antimikroba yang dihasilkan oleh Pediococcus pentosaceus dan penyimpanan fillet ikan

gabus pada suhu chilling dapat menghambat E. coli. Pengaruh suhu penyimpanan, yaitu

penanganan dingin juga mampu menghambat E. coli. E. coli. tumbuh optimum pada

suhu mesofilik sehingga sensitif terhadap suhu rendah. Menurut Kusumawati (2000),

penghambatan pertumbuhan suatu mikroba dikarenakan adanya kerja sinergis antara

Page 123: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

117

aktivitas antimikroba dengan suhu penyimpanan. Menurut Liviawaty (1999), suhu

rendah akan mengurangi aktivitas dan jumlah mikroba. Disamping itu E. coli.

merupakan bakteri gram negatif yang memiliki lapisan dinding peptidoglikan lebih

tipis bila dibandingkan dengan bakteri gram positif (S. aureus). Sehingga dapat

dikatakan senyawa antimikroba yang dihasilkan Pediococcus pentosaceus lebih efektif

menghambat E. coli.

Uji Keberadaan Salmonella sp.

Pengujian fillet ikan gabus terhadap keberadaan bakteri Salmonella sp. Dengan

menggunakan media selektif Bismuth Sulphite Agar (BSA). Pertumbuhan koloni

Salmonella sp pada media BSA, koloni berwarna hitam, coklat atau abu-abu dengan

tampilan logam (BSN 2013).

Hasil pengamatan tidak ditemui bakteri Salmonella sp. pada fillet ikan gabus

selama penyimpanan pada suhu chilling. Fillet ikan gabus segar keberadaan Salmonella

sp tidak ditemukan dan setelah penyimpanan selama 12 hari pada suhu chilling juga

tidak ditemui keberadaan Salmonella sp pada fillet ikan gabus. Sesuai dengan standar

mutu dari BSN (2013) (SNI 2729-20136), fillet ikan yang bermutu baik tidak boleh

terdapat cemaran Salmonella sp.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Senyawa antibakteri asal Pediococcus pentosaceus BAF 715 sebagai pengawet fillet

ikan gabus yang disimpan pada suhu chilling selama 12 hari dapat menurunkan total

bakteri, dan S. aureus dan menghambat pertumbuhan E. coli, dan Salmonella sp.

2. Fillet ikan gabus yang diawetkan dengan senyawa antibakteri asal Pediococcus

pentosaceus BAF 715 dapat disimpan selama 8 hari pada suhu chilling.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi, Depdiknas atas pendanaan penelitian melalui penelitian DIPA PNBP LPPM

pada Fakultas Peternakan Skema Terapan Fakultas Universitas Jambi Tahun Anggaran

2019 Nomor: SP DIPA-042.01.2.400950/2019 Tanggal 05 Desember.

Page 124: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

118

DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2013. Persyaratan mutu dan keamanan ikan segar. SNI 2729:2013. Jakarta.

Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food Second Edition. Sandiego (US): Academic Press Inc. Hlm 27-29.

Holzapfel, W. H., R. Geisen, and U. Schillinger. (1995). Biological preservation of

foodswith referance to protective cultres, bacteriosins and food-grade

enzymes.International J.Food Microbiol 24: 343-362.

Kristoffersen S, Tobiassen T, Esaiassen M, Olsson GB, Godvik LA, Seppola MA, Olsen

R. 2006. Effects of pre-rigor filleting on quality aspects of Atlantic cod (Gadus

morhua L.). Aquaculture Research. 37:1556-1564.

Kusumawati N, 2000. Peranan Bakteri Asam Laktat.. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi.

1(1) : 14-28.

Liviawaty E, 1999. Mempelajari Efek Kondisi Post Mortem 1999. Mempelajari Efek

Kondisi Post Mortem Mempelajari Efek Kondisi Post Mortem Ikan Nila Merah

terhadap Perubahan Karakteristik Fillet Selama penyimpanan suhu rendah.

Lembaga Penelitian. Universitas Padjadjaran.

Mulyadi A.F., M. Effendi and J. M. Maligan . 2011. Teknologi Pengolahan Ikan Gabus.

Malang: Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.

Nugroho, 2013. Uji Biologi Ekstrak Kasar dan Isolat Albumin Ikan Gabus

(Ophiocephalusstriatus) terhadap Berat Badan dan Kadar Serum Albumin Tikus

Mencit. Jurnal Saintek Perikanan .9(1): 49-54.

Putri, W. D. R., D. W. M Haryadi dan M. N. Cahyanto. 2012. Isolasi dan karakterisasi

bakteri asam laktat amilolitik selama fermentasi growol, makanan tradisional

Indonesia. Jurnal Teknologi Pertanian. 13(1):52-60.

Weber J, V. C. Bochi, C.P. Ribeiro, A. M. Victo and T. Emanuelli . 2008. Effect of

different cooking methods on the oxidation, proximate and fatty acid

composition of silver catfish (Rhamdia quelen) fillets. Food Chemistry 106:140–

146

Yulinery T., I. Y. Petria dan N. Nurhidayat. 2009. Penggunaan Antimikroba dari Isolat

Lactobacillus Terseleksi Sebagai Bahan Pengawet Alami Untuk Menghambat

Pertumbuhan Vibrio sp. dan Staphylococcus aureus pada Fillet Ikan Kakap.

Berkala Penelelitian Hayati. 15 :85–92.

Yusra dan Y. Efendi.2014. Penggunaan Antimikroba dari Bakteri Terseleksi Bacillus

Sp.28 Sebagai Pengawet Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Segar. Prosiding.

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Semarang.

245-252

Page 125: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

119

Analisis Struktur, Perilaku Dan Kinerja

(Structure-Conduct-Performance) Pasar Ternak Sapi Untuk

Meningkatkan Efisiensi Pemasaran

Di Kabupaten Batanghari

Firmansyah1, Afriani H1, dan Aulia Arum Chandra Kartika2

1Fakultas Peternakan Universitas Jambi

2Program Studi Magister Ilmu Peternakan Pasca Sarjana Universitas Jambi

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur pasar ternak sapi pada pasar

ternak di Kabupaten Batanghari berdasarkan konsentrasi pedagang, konsentrasi pembeli

dan hambatan masuk pasar, kemudian untuk mengetahui perilaku pasar dan kinerja

pasar ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari, serta untuk menganalisis

hubungan antara struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar terhadap efisiensi

pemasaran ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari.

Teknik penarikan sampel yang digunakan pada riset ini adalah Stratified Random

Sampling yang terdiri dari 2 Strata yaitu : Strata I adalah pedagang dan pembeli dari

dalam (lokal), dan Strata II adalah pedagang dan pembeli dari luar. Untuk analisis

struktur pasar ternak sapi digunakan analisis Pangsa Pasar (Market Share), Indeks

Hirschman Herfindahl (IHH), CR4 (Concentration ratio for biggest four), konsentrasi

ratio (Kr). Selanjutnya untuk mengetahui hambatan masuk pasar digunakan analisis

Minimum Efficient Scale (MES). Analisis kinerja industri dilakukan dengan

menggunakan analisis Price – Cost – Margin (PCM).

Struktur pasar ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari berdasarkan

konsentrasi pedagang adalah oligopsoni konsentrasi rendah, berdasarkan konsentrasi

pembeli adalah pasar mengarah pada oligopsonistik, dan berdasarkan hambatan masuk

pasar adalah masuk kategori hambatan masuk pasar yang tinggi. Terdapat hubungan

antara struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar terhadap efisiensi pemasaran pada

pasar ternak di Kabupaten Batanghari .

Kata Kunci : Struktur, Perilaku, Kinerja Pasar Ternak, Sapi

Page 126: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

120

PENDAHULUAN

Pasar ternak di Kabupaten Batanghari merupakan jenis pasar transit, dimana pasar

ternak ini bisa terbentuk dikarenakan banyaknya jumlah ternak sapi yang masuk dari

daerah sentra ternak sapi seperti Provinsi Sumatra Selatan dan Provinsi Lampung

menuju ke daerah sentra yang jarang populasi ternaknya, seperti Provinsi Sumatra Barat,

Provinsi Riau dan daerah lainnya. Selain dari luar Provinsi Jambi, ternak sapi juga

didatangkan dari dalam Provinsi Jambi seperti Kabupaten Kerinci, sedangkan dari

daerah lokal (Kabupaten Batanghari) ternak sapi banyak didatangkan dari Kecamatan

Bahar, Mersam, Bathin XXIV, Muaro Sebo Ulu dan Sebo Ilir. Menurut Ciamarra et al.,

(2010), pasar ternak di negara berkembang termasuk tipe priodik, dimana hari pasar

hanya sekali atau dua kali seminggu. Pasar ternak semacam ini amat berbeda satu sama

lainnya, lantaran persoalan jarak, kondisi jalan, dan biaya transit.

Perbedaan tersebut mempengaruhi pembentukan harga, dimana pembentukan harga

ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari diawali dengan cara penafsiran oleh

calon pembeli setelah melihat ternak sapi yang akan dibeli, proses selanjutnya terjadilah

proses tawar-menawar. Berbagi studi empiris menunjukkan bahwa struktur pasar

komoditas pertanian tidak sempurna sehingga pedagang mempunyai kekuatan untuk

mempengaruhi harga pasar (Tjahjono et al., 2008). Penelitian Arifin dkk., (2015) bahwa

pasar komoditas daging sapi di wilayah pemasaran Kabupaten Banyumas merupakan

pasar oligopoli ketat dengan karakteristik utama adalah adanya konsentrasi pasar yang

kuat terfokus pada kekuatan beberapa penjual dan adanya hambatan masuk yang tinggi.

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian yang digunakan adalah metode survei. Teknik penarikan

sampel yang digunakan pada riset ini adalah Stratified Random Sampling (Harun Al

Rasyid, 1994) yang terdiri dari 2 Strata yaitu : Strata I adalah pedagang dan pembeli dari

dalam (lokal), dan Strata II adalah pedagang dan pembeli dari luar.

Page 127: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

121

Model Analisis

Analisis Struktur Pasar Ternak Sapi

Rumus dari Indeks Hirschman Herfindahl (IHH) adalah:

IHH = (Kr₁)² + (Kr₂)²+……+(Krn)²

Keterangan :

IHH : Indeks Hirschman Herfindahl

n : Jumlah pedagang yang ada pada suatu wilayah pasar daging sapi

Krᵢ : Pangsa pembelian komoditas daging sapi dari pedagang ke-i

(i=1,2,3,….,n) (Baladina, 2012)

CR4 (Concentration ratio for biggest four)

CR4 digunakan untuk mengetahui derajat konsentrasi empat pembeli terbesar dari

suatu wilayah pasar, sehingga bisa diketahui secara umum gambaran imbangan

kekuatan posisi tawar-menawar penjual terhadap pembeli :

CR! = Kr! + ⋯ + Kr!

x 100%

Kr!"!#$

Hay dan Morris dalam Widiyantana (1995) menyatakan bahwa konsentrasi ratio

(Kr) dapat diketahui dengan menggunakan rumus berikut.

Jumlah yang diperdagangkan

Kr = X 100 %

Jumlah yang dibeli

Hambatan Masuk Pasar (Barrier to Entry)

Menurut Comanous dan Wilson (1967) dalam Alistair (2004) hambatan masuk

pasar, untuk pengukuran hambatan masuk pasar dapat digunakan MES (Minimum

Efficiency of Scale)

MES = !"#$"# !"#$%&'&&( !"#$"%&#

X 100%

!"#$"# !"!#$

Menurut Comanous dan Wilson (1967) dalam jurnal Alistair (2004) nilai MES yang

lebih besar dari 10 % mengambarkan hambatan masuk pasar yang tinggi.

Analisis Konsentrasi Ratio

Page 128: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

122

Analisis Perilaku dan Kinerja Pasar Ternak Sapi

Perilaku pasar menganalisis tingkah laku serta penerapan strategi yang digunakan

oleh perusahaan dalam suatu industri untuk merebut pangsa pasar dan mengalahkan

pesaingnya.

Kinerja pasar merupakan indikator kritis tentang bagaimana sebaiknya aktivitas

pemasaran dari petani atau pedagang yang dikonsentrasikan untuk kesejahteraan umum.

Analisis kinerja industri dilakukan dengan menggunakan analisis Price-Cost- Margin

(PCM).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Pasar Ternak Sapi di Kabupaten Batanghari

Skala penjualan ternak sapi oleh pedagang ternak sapi di pasar ternak Kabupaten

Batanghari sangat bervariasi yaitu 4 – 30 ekor per pedagang dengan rata-rata 11 ekor

per pedagang. Untuk pedagang ternak sapi dari dalam Provinsi Jambi bervariasi yaitu 4

– 30 ekor per pedagang dengan rata-rata sebanyak 10 ekor per pedagang, sedangkan

pedagang ternak sapi dari luar Provinsi Jambi bervariasi yaitu 6 – 28 ekor per pedagang

dengan rata-rata sebanyak 14 ekor per pedagang. Hasil penelitian menyatakan bahwa

struktur pasar ternak sapi di pasar ternak Kabupaten Batanghari adalah oligopsoni

konsentrasi rendah.

Pedagang dari Dalam Prov Jambi Pedagang dari Luar Prov Jambi

Total Pedagang

> 20 16 s/d 20 11 s/d 15 6 s/d 10

0.00

1 s/d 5

9.09 9.52 9.38

18.18

9.38 4.76

23.81 27.27 21.88

31.25 28.57 28.13 33.33

Skala Penjualan Ternak Oleh Pedagang di Pasar Ternak Kabupaten Batanghari (ekor)

45.45 50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

Page 129: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

123

Pedagang Jumlah Ternak

yang dijual

(ekor)

Konsentrasi

Ratio (%)

Kriteria

1

30

8.20

Jika terdapat satu pedagang (Kr1) memiliki nilai

Kr 95%, maka pasar cenderung ke pasar

persaingan monopsoni

4

104

28.42

a. Jika terdapat empat pedagang (Kr4) memiliki

nilai Kr < 80%, dinamakan oligopsoni

konsentrasi sedang.

b. Jika terdapat empat pedagang (Kr4) memiliki

nilai Kr ≥ 80%, dinamakan oligopsoni

konsentrasi tinggi

8

167

45.63

a. Jika terdapat delapan pedagang (Kr8) memiliki

nilai Kr ≥ 80%, dinamakan oligopsoni

konsentrasi sedang

b. Jika terdapat delapan pedagang (Kr8) memiliki nilai Kr < 80%, dinamakan oligopsoni

konsentrasi rendah.

.

Konsentrasi Pembeli Ternak sapi

Skala pembelian ternak sapi oleh pedagang ternak sapi di pasar ternak Kabupaten

Batanghari sangat bervariasi yaitu 1 – 18 ekor per pembeli dengan rata-rata sebanyak 4

ekor per pembeli. Untuk pembeli ternak sapi dari dalam Provinsi Jambi bervariasi yaitu

1 – 18 ekor per pembeli dengan rata-rata sebanyak 4 ekor per pembeli, sedangkan

pembeli ternak sapi dari luar Provinsi Jambi bervariasi yaitu 2 – 18 ekor per pedagang

dengan rata-rata sebanyak 10 ekor per pembeli.

Skala Penjualan Ternak Oleh Pedagang di Pasar Ternak Kabupaten Batanghari (ekor)

80.00 72.22 70.00

60.00 0.0 50.00

40.00 27.78 25.00

20.00 0.00 0.000.000.00 0.00

5.00 0.000.000.00

0.00 1 s/d 5 6 s/d 10 11 s/d 15 16 s/d 20 > 20

Pembeli dari Dalam Prov Jambi Pembeli dari Luar Prov Jambi Total Pedagang

0 5

Page 130: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

124

Pembeli Jumlah Ternak yang

Dibeli (ekor)

Kr Indeks Hirschman

Herfindahl (IHH)

1 18 0.214 0.046

2 10 0.119 0.014

3 8 0.095 0.009

4 6 0.071 0.005

5 6 0.071 0.005

6 6 0.071 0.005

7 5 0.060 0.004

8 4 0.048 0.002

9 4 0.048 0.002

10 4 0.048 0.002

11 3 0.036 0.001

12 2 0.024 0.001

13 1 0.012 0.000

14 1 0.012 0.000

15 1 0.012 0.000

16 1 0.012 0.000

17 1 0.012 0.000

18 1 0.012 0.000

19 1 0.012 0.000

20 1 0.012 0.000

84 0.098

Index-Herfindahl-Hirschman (IHH) muncul dikarenakan adanya kelemahan pada

perkembangan rasio konsentrasi. IHH merupakan jumlah dari kuadrat market share

untuk semua pembeli dalam suatu pasar, yang bertujuan untuk mengetahui seberapa

besar derajat konsentrasi pembeli dari suatu wilayah pasar (Baladina, 2012). Hasil

penelitian menyatakan bahwa struktur pasar ternak sapi di pasar ternak Kabupaten

Batanghari adalah pasar mengarah pada oligopsonistik karena IHH sebesar 0,098.

Hasil penelitian di pasar ternak Kabupaten Batanghari diperoleh CR4 sebesar 0,50

artinya struktur pasar ternak sapi di pasar ternak Kabupaten Batanghari bersifat

oligopoli/oligosopni. Pasar persaingan oligopsoni adalah kondisi pasar dimana

didominasi oleh beberapa pelaku usaha yang memiliki skala produksi atau modal yang

besar. Derajat konsentrasi pasar pada bentuk oligopsoni sangatlah tinggi (sebagian besar

pangsa pasar dikuasai oleh beberapa perusahaan terbesar). Pelaku usaha di dalam

bentuk pasar demikian terdapat hambatan masuk bagi pelaku usaha lainnya yang ingin

beroperasi di pasar bersangkutan yang sama (Agustino, 2010).

Page 131: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

125

Hambatan Masuk Pasar Ternak Sapi

Hasil penelitian diperoleh nilai Minimum Efficient Scale (MES) adalah 28,42 %.

Hasil ini lebih besar dari pendapat dari Comanous dan Wilson (1967) dalam jurnal

Alistair (2004) nilai MES yang lebih besar dari 10 % mengambarkan hambatan masuk

pasar yang tinggi. Beberapa hal umum mengenai hambatan memasuki suatu pasar. 1)

hambatan timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak hanya legal ataupun dalam

bentuk kondisi-kondisi yang berubah dengan cepat. 2) hambatan terbagi dalam beberapa

tingkatan, mulai dari tanpa hambatan sama sekali, hambatan rendah, sedang hingga

tingkatan tinggi dimana tidak ada lagi jalan masuk. 3) hambatan merupakan sesuatu

yang kompleks dimana hambatan yang besar dapat memperkuat kekuatan pasar suatu

perusahaan dominan.

Menurut Asian Development Bank (2001) barrier to entry dapat didefenisikan

sebagai setiap bentuk karakteristik pasar yang menghambat pendatang (entrant) baru

untuk bersaing atas dasar yang sama dengan perusahaan yang sudah ada. Dalam defenisi

ini, kombinasi biaya yang hilang (sunk cost) dan skala ekonomi dapat menjadi barrier

to entry. Menurut Bain (1956) penentu utama kondisi entry adalah skala ekonomi yang

besar, diferensiasi produk dan keuntungan biaya absolut antara perusahaan yang ada

dengan yang baru. Kondisi entry sangat menentukan degree of competition baik yang

aktual maupun yang potensial sehingga dapat diduga mempengaruhi kinerja dan

struktur. Pesaing potensial adalah perusahaan-perusahaan di luar pasar yang mempunyai

kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesaing yang sebenarnya (Jaya, 2001).

Perilaku Pasar dan Kinerja Pasar Ternak Sapi di Kabupaten Batanghari

Analisis yang digunakan untuk mengetahui perilaku pasar adalah penetapan harga

dan sistem kelembagaan pasar. Harga merupakan faktor yang penting dalam suatu

industri. Perilaku pasar mendorong terjadinya kerjasama dalam penetapan harga. Ada

dua macam alasan mengenai hal ini. Pertama, harga adalah senjata yang paling efektif

dan berbahaya dalam persaingan. Kedua, harga adalah bagian kritis yang harus dikontrol

(Kirana, 2003).

Pada ternak sapi di Kabupaten Batanghari, dalam menentukan harga ternak sapi

dilakukan dengan cara penafsiran oleh calon pembeli, penafsiran berdasarkan pada

Page 132: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

126

tafsiran berat karkas dan kondisi sapi, namun pada kenyataannya pembeli kurang atau

tidak dapat menafsirkan berat karkas, hal ini disebabkan pembeli kurang mengetahui

tentang tingkat kualitas ternak. Diawal perdagangan, biasanya pedagang sapi membuka

harga bagi sapi yang akan dijual, kemudian akan terjadi proses tawar- menawar antara

pedagang dengan pembeli. Pedagang akan menetukan harga yang tinggi apabila ternak

sapi yang di jual mempunyai kualitas yang bagus dilihat dari umur, dan ukuran badan.

Pada proses penentuan harga yang ada di pasar ternak sapi Kabupaten Batanghari

dengan cara penafsiran dari bobot hidup ternak tersebut, dimana setiap per kilogram

bobot hidup di tafsir dengan harga Rp 110.000 – 120.000 per bobot badan hidup.

No Jenis Sapi Umur Ternak Harga (Rp)

1 Bali 8 bulan - 1 tahun

1 ,5 tahun – 3 tahun

8.000.000 – 10.000.000

12.000.000 – 18.000.000

2 Limosin dan Simental < 2 tahun

2 tahun - 3,5 tahun

25.000.000 – 20.000.000

20.000.000 – 40.000.000

3 Brahman 10 Bulan – 1 tahun

>3 tahun

16.000.000 – 20.000.000

26.000.000

4 Peranakan Ongol (PO) 7 bulan – 2 tahun 11.000.000 – 25.000.000

5 Sapi Lokal 5 bulan – 3 tahun 6.000.000 – 16.000.000

Harga yang ditawarkan para pedagang kepada pembeli tidaklah terlalu mahal, dari

data yang didapat bahwa harga ternak tertinggi didapat pada ternak sapi Limosin dan

Simental yaitu berkisar antara Rp 20.000.000 – 40.000.000, disusul dengan sapi

Brahman dengan harga berkisar antara Rp 16.000.000 – 26.000.000 dan untuk sapi

Peranakan Ongol, Bali dan sapi lokal berkisar dengan harga Rp 6.000.000- 25.000.000.

Ningsih (2017) yang menyatakan bahwa kisaran harga sapi tertinggi terdapat pada sapi

jenis Limosin dimana harga saat pembelian berkisar antara Rp

3.500.000 – Rp 15.000.000 untuk sapi Limosin berumur 2 tahun. Sedangkan harga sapi

limosin berumur >2 tahun yakni antara ±Rp 27.000.000. Harga sapi Peranakan Ongol

(PO) umumnya lebih rendah dari pada Simental dan Limosin, hal ini karena sapi

Peranakan Ongol yang ada di lapang umumnya lebih kecil bentuk badannya dibanding

Simental dan Limosin.

Page 133: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

127

Kinerja Pasar Ternak Sapi

Kinerja pasar merupakan indikator kritis tentang bagaimana sebaiknya aktivitas

pemasaran dari petani atau pedagang yang dikonsentrasikan untuk kesejahteraan umum.

Analisis kinerja industri dilakukan dengan menggunakan analisis Price-Cost- Margin

(PCM). Analisis PCM digunakan untuk menganalisis hubungan struktur pasar terhadap

kinerja perusahaan. PCM merupakan salah satu indikator kinerja yang digunakan

sebagai perkiraan kasar dari keuntungan industri. Semakin tinggi nilai PCM maka

keuntungan perusahaan juga akan besar.

Pedagang yang memiliki nilai PCM yang tinggi karena pedagang memiliki pangsa

pasar yang besar. PCM biasanya diambil sebagai indicator kekuatan pasar karena

semakin besar margin, semakin besar perbedaan antara harga dan biaya marjinal. PCM

tergantung pada elastisitas permintaan yang ada di pasar. Nilai CR4 akan mempengaruhi

PCM dengan arah yang sama. Nilai positif terlihat dari CR4 dan PCM. Oleh karena itu

tingkatan konsentrasi akan mempengaruhi peningkatan PCM atau sebaliknya. Rata-rata

PCM perusahaan empat teratas lebih besar dibandingkan nilai PCM pedagang non

empat besar hal ini terjadi karena pangsa pasar empat pedagang teratas tinggi.

Muslim dan Nurasa (2007) menyatakan bahwa struktur pasar yang terjadi akan

mempengaruhi perilaku pasar, sementara perilaku pasar akan berdampak terhadap

kinerja pasar. Hubungan paling sederhana dari ketiga variabel tersebut adalah hubungan

linier dimana struktur mempengaruhi perilaku kemudian perilaku mempengaruhi

kinerja. Pendekatan SCP ini dilakukan untuk mengawasi persaingan diantara produsen

– produsen dalam suatu pasar. Bagaimana produsen melakukan tindakan akibat struktur

pasar yang ada dan lebih lanjut terhadap penampilan pasar.

Menurut Suryawati (2009), akan mempengaruhi peningkatan PCM atau

sebaliknya. Rata-rata PCM perusahaan empat teratas lebih besar dibandingkan nilai

PCM menyatakan bahwa struktur sebuah pasar akan mempengaruhi perilaku

perusahaan dalam pasar tersebut yang secara bersama-sama menentukan kinerja sistem

pasar secara keseluruhan. Terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara struktur

dan kinerja pasar yaitu bila pangsa pasar produsen tinggi maka nilai PCM juga tinggi,

bila nilai CR4 tinggi maka nilai PCM akan tinggi dan bila nilai MES tinggi maka nilai

Page 134: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

128

PCM juga tinggi. Hubungan yang terjadi antara struktur pasar dan perilaku pasar adalah

bila nilai MES tinggi maka harga jual akan rendah. Hubungan antara perilaku pasar dan

kinerja pasar adalah bila nilai PCM tinggi maka harga jual produk akan rendah.

KESIMPULAN

1. Struktur pasar ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari berdasarkan

konsentrasi pedagang adalah struktur pasar ternak sapi di pasar ternak Kabupaten

Batanghari adalah oligopsoni konsentrasi rendah. Struktur pasar ternak sapi

berdasarkan konsentrasi pembeli adalah pasar mengarah pada oligopsonistik. Serta

struktur pasar ternak sapi berdasarkan hambatan masuk pasar adalah masuk kategori

hambatan masuk pasar yang tinggi.

2. Pada proses penentuan harga yang ada di pasar ternak sapi Kabupaten Batanghari

dengan cara penafsiran dari bobot hidup ternak tersebut, dimana setiap per kilogram

bobot hidup di tafsir dengan harga Rp 110.000 – 120.000 per bobot badan hidup. di

pasar ternak Kabupaten Batanghari terdapat tingkat pemasaran yaitu dari peternak ke

pedagang penampung, dan dari pedagang penampung ke pedagang besar

3. Terdapat hubungan antara struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar terhadap

efisiensi pemasaran ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari

DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo. 2012. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta: Bandung. Alistair, Armytha. 2004. Analisis pendekatan struktur-perilakukinerja pada industri

tepung terigu di Indonesia pasca penghapusan bulog. [skripsi]. Bogor:

Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan

Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Al-Rasid, H. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala. Universitas

Padjadjaran. Bandung.

Aminursita O., dan M. F. Abdullah. 2018. Identifikasi Struktur Pasar Pada Industri

Keramik Di Kota Malang. Jurnal Ilmu Ekonomi Vol 2 Jilid 3 Hal. 409 – 418

Arifin, I. M. 2015. Deteksi Salmonella sp. pada daging sapi di pasar tradisional dan

modern di kota Makassar. Jurnal penelitian. Universitas Hasanuddin, Makassar. .

4(6):117- 122.

Baladina, N. (2012). Analisis Struktur, Perilaku, dan Penampilan Pasar Wortel di Sub

Terminal Agrobisnis (STA) Mantung (Kasus pada Sentra Produksi Wortel di Desa

Tawangsari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang). Agrise, XII(2), 1412– 1425

Britton, Chris, and Ian Worthingto 1994. The Business Enviroment. London : Pitman

Publishing.

Page 135: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

129

Ciamerra, Ungo Pica ; Joachim Otte dan Chiara Martin. 2010. Liveatock Sector Policies

and Programmes in Developing Countries. A Menu for Praticioners. FAO. Rome.

Cramer. 2009. Agriculture Economicsand Agribusiness. John Willey and Son. New

York

Dahl DC, Hammond..NV. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural Industry.

New York : Me. GrawHill Book Company.

George, P. S. And G. A. King, 1971. Consumer Demand for Food Commodities in The

Unites States With Project for 1980. Giannini Foundation Monograph, No.

26. March, 1971

Hay, Donald A. dan Morris, Derek J., 1991. Industrial Economic and Organization,

Theory and Evi-dence. Second Edition, Oxford University Press.

Jaya, Wihana, K. 2001. Ekonomi Industri; Konsep Dasar, Struktur, Prilaku dan kinerja

pasar, Edisi 2, BPFE. Yogyakarta.

Khavidhurrohmaningrum. 2013. Strategi dan Perilaku Industri Pengolahan di Kota

Semarang Tahun 2007-2011. Economics Development Anaylis Journal, EDAJ,

2(3):220-233.

Kirana, A & Moordiningsih. 2010. Studi Korelasi Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial

Dengan Prestasi Akademik: Telaah Pada Siswa Perguruan Tinggi.Indigenous,

Jurrnal Ilmiah Berskala Psikologi vol.12, No. 1, Hal 37-46.

Madarisa, F. Edwardi, Armadiyan dan Lazuardi. 2012. Potret Pasar Ternak Sumatera

Barat. Jurnal Peternakan Indonesia, Oktober 2012. Vol. 14 (3). Hal : 433-440

Martin, Stephen. 1994. "Industrial Economics", Economic Analysis and Public Policy,

Second Edition, New York : Macmillan.

Martin, S. 2002. Advance Industrial Economics. Blackwell Publisher Inc. Massachusetts.

Natalia, Paulien, Mei 2015 “Pengaruh Profitabilitas, Pertumbuhan Penjualan, Struktur

Aktiva, dan Risiko Bisnis terhadapa Struktur Modal pada Emiten Kompas 100

(non perbankan)”. Jurnal Manajemen, Vol 14, No 2.

Panagiotou, G. 2006. The Impact of Managerial Cognitions on the Structure-

ConductPerformance (SCP) Paradigm: A Strategic Group Perspective.

Management 423 – 441. Decision. 44:

Shepher, William G., 1990, "The Economic of Industrial Organizatiom", Parentice Hall.

3rd Ed. Internasional Editions.

Suryawati, (2009), Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Tekstil dan Pakaian

Jadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Akuntansi dan Manajemen,

Vol.20, No.1, April 2009, hal. 36-46

Tjahjono, et al., 2008. Outlook Ekonomi Indonesia 2008 - 2013. Direktorat Riset

Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia, Jakarta

Page 136: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

130

Keberhasilan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus

Siwab) Berdasarkan Pemeriksaan Status Dan Gangguan Reproduksi

Serta Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif Di Kabupaten

Tebo

Fachroerrozi Hoesni1 dan Firmansyah1, 1Program Studi Magister Ilmu Peternakan Pasca Sarjana Universitas Jambi

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis tingkat keberhasilan UPSUS SIWAB

berdasarkan sistem manajemen reproduksi berupa pemeriksaan status reproduksi dan

gangguan reproduksi ternak sapi betina di Kabupaten Tebo; untuk menganalisis tingkat

keberhasilan UPSUS SIWAB berdasarkan sistem manajemen reproduksi berupa

pengendalian pemotongan sapi betina produktif di Kabupaten Tebo

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah survei dan

laboratorium, dengan teknik penarikan sampel Cluster Random Sampling yaitu kawasan

sentra ternak sapi di Kabupaten Tebo. Ukuran sampel dalam penelitian ini ditentukan

dengan menggunakan metoda iterati. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan UPSUS

SIWAB dipengaruhi oleh sistem manajemen reproduksi berupa pemeriksaan status

reproduksi dan gangguan reproduksi ternak sapi betina serta pengendalian pemotongan

sapi betina produktif di Kabupaten Tebo digunakan path analysis.

Realisasi pelaksanaan kegiatan SIWAB di Provinsi Jambi adalah capaian

Akseptor (95,50%), Kebuntingan (86,11 %) dan Kelahiran adalah (81,24 %). Sedangkan

realisasi pelaksanaan kegiatan SIWAB di Kabupaten Tebo adalah capaian Akseptor

(92,100%), Kebuntingan (82,32 %) dan Kelahiran adalah (61,44 %). Tingkat

keberhasilan Program UPSUS SIWAB dipengaruhi oleh pemeriksaan status dan

gangguan reproduksi, tetapi tidak dipengaruhi oleh pengendalian pemotongan sapi

betina produktif.

Kata Kunci : UPSUS SIWAB, Ganguan Reproduksi, Betina Produktif

PENDAHULUAN

Kementerian Pertanian pada tahun 2017 melakukan upaya sistematis dan

komprehensif untuk meningkatkan produktivitas ternak melalui program Upaya Khusus

Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB) yang ditetapkan melalui Peraturan

Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016 tentang Upaya Khusus

Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting. Upaya khusus

Page 137: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

131

p

tersebut merupakan kegiatan yang terintegrasi melalui sistem manajemen reproduksi

yang terdiri dari unsur-unsur : 1) pemeriksaan status reproduksi dan gangguan

reproduksi; 2) pelayanan inseminasi Buatan (IB) dan Intensifikasi Kawin Alam (INKA);

3) pemenuhan semen beku dan nitrogen cair; 4) pengendalian pemotongan sapi/kerbau

betina produktif; dan 5) pemenuhan hijauan pakan ternak dan konsentrat.

Untuk kesuksesan program UPSUS SIWAB ini perlu didukung sains dan

teknologi reproduksi (Inounu, 2017 ). Meski baru tahap awal, namun program ini telah

berhasil membuat keteraturan dalam pelaporan kegiatan IB, pola kerja menjadi terukur,

organisasi pelayanan IB meningkat, menjadikan peternak lebih teredukasi, dan

pemetaan distribusi semen menjadi lebih jelas (Ilham et al., 2017). Namun tentu saja

keberhasilan ini harus terus ditingkatkan, sehingga dapat terjadi secara merata di seluruh

wilayah Indonesia.

Salah satu wilayah di Provinsi Jambi yang melaksanakan program UPSUS

SIWAB adalah Kabupaten Tebo yang mendukung mewujudkan swasembada daging

sapi tahun 2022. Hasil penelitian Hoesni dan Firmansyah (2018) menunjukkan bahwa

tingkat keberhasilan IB pada ternak sapi di Kawasan Sentra Ternak Sapi Kabupaten

Tebo yang tercermin dari service per conception (S/C) yang diperoleh dari hasil penelitian

di lapangan adalah rata-rata sebesar 1,34 ± 0,17. Temuan ini menunjukkan bahwa IB

pada ternak sapi di Kawasan Sentra Ternak Sapi Kabupaten Tebo adalah berhasil atau

tingkat keberhasilan IB pada ternak sapi di Kawasan Sentra Ternak Sapi Kabupaten

Tebo adalah baik.

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei.

Penelitian ini menggunakan tehnik penarikan sampel Cluster Random Sampling.

Ukuran sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan metoda iterati

(Harun Al Rasyid, 1994). Pada iterasi pertama digunakan rumus :

n Z

1 Z1

3

U ' 2

2

Page 138: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

132

Model Analisis

A. Identifikasi Status Reproduksi Ternak Sapi Betina (Akseptor)

a. Surveillans aktif gangguan reproduksi :

b) Inspeksi melalui Body Condition Score dalam status praesens (present status)

c) Palpasi per rektum dan per vagina

d) Laboratorium dengan pengembilan dan pemeriksaan sampel darah

e) Lendir vagina (discharge vagina)

b. Surveillans pasif gangguan reproduksi

a) Setelah 14 hari melahirkan

b) Adanya discharge abnormal

c) Adanya siklus estrus abnormal

d) Estrus tidak termati setelah 50 hari kelahiran

e) Sapi yang bunting lebih dari 280 hari

f) Sapi yang mengalami abortus, prematur atau lahir mati

B. Pemeriksaan dan Penetapan Status Reproduksi

a. Bunting

b. Tidak Bunting dengan status reproduksi normal

c. Tidak Bunting dengan status mengalami gangguan reproduksi

d. Tidak Bunting dengan status mengalami gangguan reproduksi permanen

Path Analysis

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib

Bunting (UPSUS SIWAB) dipengaruhi oleh sistem manajemen reproduksi berupa

pemeriksaan status reproduksi dan gangguan reproduksi ternak sapi betina serta

pengendalian pemotongan sapi betina produktif di Kabupaten Tebo digunakan analisis

jalur (path analysis). Model struktural analisis jalur yaitu :

Yi = YiX1 X1 + YiX2 X2 + Yiεi εi

Keterangan :

Y = Keberhasilan UPSUS SIWAB

X1 = Pemeriksaan Status dan Gangguan Reproduksi

X2 = Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif

YiX1 – 2 = Koefisien Jalur

ε = Variabel residu

Page 139: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

133

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberhasilan UPSUS SIWAB

a. Akseptor dan Pelayanan IB

Realiasasi akseptor pada UPSUS SIWAB tahun 2019 di Provinsi Jambi sampai

bulan Juni adalah 50,99 %, namun realiasasi akseptor bulan Juni tahun 2019 di Provinsi

Jambi dari target sampai bulan Juni sudah mencapai 95,50 %. Untuk Kabupaten Tebo,

realiasasi akseptor pada UPSUS SIWAB tahun 2019 sampai bulan Juni adalah 49,73 %

yaitu hampir sama dengan rata-rata realiasasi akseptor sampai bulan Juni untuk

kabupaten/kota di Provinsi Jambi (49,64 %). Namun realiasasi akseptor bulan Juni tahun

2019 di Kabupaten Tebo dari target sampai bulan Juni sudah mencapai 92,10 % yaitu

hampir sama dengan rata-rata realiasasi akseptor sampai bulan Juni untuk kabupaten/kota

di Provinsi Jambi (92,39 %).

Tabel 2. Realisasi Akseptor dan Pelayanan IB Bulan Januari sampai dengan Juni

2019 per Kabupaten/Kota

No

Kabupaten/Kota

Target Akseptor

tahun 2019

Target

Aseptor

Realisasi

Akseptor

Realisasi

Pelaksanaan

(ekor) Juni 2019 Juni 2019 IB Juni 2019 (ekor) (Ekor) (dosis)

1 Batanghari 950 513 448 428

2 Bungo 2.700 1.458 1.559 1.886

3 Kerinci 900 486 393 507

4 Kota Jambi 265 146 115 153

5 Merangin 1.950 953 784 970

6 Muaro Jambi 1.100 594 528 602

7 Sarolangun 950 513 479 596

8 Sungai Penuh 785 429 411 490

9 Tanjab Barat 1.300 702 674 751

10 Tanjab Timur 1.850 999 1.138 1.388

11 Tebo 2.250 1.215 1.119 1.354

Jumlah 15.000 8.008 7.648 9.125

Dilihat dari capaian realisasi akseptor untuk bulan Januari sampai dengan Juni

2019 di atas realisasi capaian terhadap aseptor Provinsi Jambi sampai dengan bulan Juni

2019 adalah 7.648 ekor (95,50 %) terhadap target sampai bulan Juni 2019 dan 50,99

terhadap target tahun 2019 dengan rataan capaian di Kabupaten/Kota melebihi angka

80% terhadap target sampai Juni 2019.

Page 140: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

134

Tabel 3. Capaian Realisasi Akseptor dan Pelayanan IB Bulan Januari sampai

dengan Juni 2019 per Kabupaten/Kota

No

Kabupaten/Kota

Target Aseptor

Juni 2019 (ekor)

Realisasi Akseptor

Juni 2019

(Ekor)

Capaian

akseptor Juni

2019 (%)

1 Batanghari 513 448 87,3

2 Bungo 1458 1559 106,9

3 Kerinci 486 393 80,9

4 Kota Jambi 146 115 78,8

5 Merangin 953 784 82,3

6 Muaro Jambi 594 528 88,9

7 Sarolangun 513 479 93,4

8 Sungai Penuh 429 411 95,8

9 Tanjung Jabung Barat 702 674 96,0

10 Tanjung Jabung Timur 999 1138 113,9

11 Tebo 1215 1119 92,1

Jumlah 8008 7648 95,5

Tabel 4. Realisasi Kumulatif Akseptor dan Pelayanan IB Bulan Januari sampai

dengan Juni 2019 per Kabupaten/Kota

No

Kabupaten/

Kota

Target

Akseptor

2019

(ekor)

Target

Aseptor

Juni 2019

(ekor)

Realisasi

Akseptor

Juni 2019

(Ekor)

Aseptor dari

target

Tahunan (%)

Aseptor

dari

target

Bulanan

1 Batanghari 950 513 448 47,16 87,33

2 Bungo 2.700 1.458 1.559 57,74 106,93

3 Kerinci 900 486 393 43,67 80,86

4 Kota Jambi 265 146 115 43,40 78,77

5 Merangin 1.950 953 784 40,21 82,27

6 Muaro Jambi 1.100 594 528 48,00 88,89

7 Sarolangun 950 513 479 50,42 93,37

8 Sungai Penuh 785 429 411 52,36 95,80

9 Tanjab Barat 1.300 702 674 51,85 96,01

10 Tanjab Timur 1.850 999 1.138 61,51 113,91

11 Tebo 2.250 1.215 1.119 49,73 92,10

Jumlah 15.000 8.008 7.648 50,99 95,50

Page 141: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

135

b. Realisasi Kebuntingan

Parameter yang diukur untuk pelaksanaan IB adalah service per conception (S/C)

yakni berapa kali dilakukan inseminasi sampai terjadi kebuntingan, conception rate

(CR) yang merupakan angka kebuntingan dari sekelompok induk yang diinseminasi,

dan jumlah kelahiran (Bearden et al., 2004). Menurut Hunter (1995) bahwa angka

konsepsi setelah inseminasi buatan pada sapi berkisar 60 sampai 73%. Serta Toelihere

(1993) menyatakan bahwa service per concepsi (S/C) yang baik adalah berkisar 1,6

sampai 2,1. Selain itu evaluasi keberhasilan pelaksanaan IB di suatu daerah dapat juga

dilihat dari perkembangan jumlah akseptor peserta IB (Hafez, 2000). Capaian realisasi

kebuntingan selama bulan Januari sampai dengan Juni 2019 tergambar dalam tabel 5

dan 6.

Tabel 5. Realisasi Kebuntingan Bulan Januari sampai dengan Juni 2019 per

Kabupaten/Kota

No

Kabupaten/Kota

Bulan (Ekor) Jumlah s.d

bulan Juni

2019 (ekor) Januari s.d

Maret April Mei Juni

1 Batanghari 156 65 90 92 403

2 Bungo 388 114 152 195 849

3 Kerinci 201 34 33 37 305

4 Kota Jambi 40 14 13 15 82

5 Merangin 193 181 115 104 593

6 Muaro Jambi 189 53 86 33 361

7 Sarolangun 109 34 39 50 232

8 Sungai Penuh 103 30 78 37 248

9 Tanjab Barat 351 78 55 17 501

10 Tanjab Timur 303 100 144 101 648

11 Tebo 275 75 182 206 738

Jumlah 2.308 778 987 887 4.960

Page 142: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

136

Tabel 6. Capaian Realisasi Kumulatif Kebuntingan Bulan Januari sampai dengan

Juni 2019 per Kabupaten/Kota

No

Kabupaten/

Kota

Target

Kebuntingan

2019 (ekor)

Target

Kebuntingan

Juni 2019

(ekor)

Jumlah

Kebuntingan

(Ekor)

Kebuntingan

dari target

Tahunan (%)

Kebuntingan

dari target

Bulanan (%)

1 Batanghari 665 365 403 60,60 110,41

2 Bungo 1.890 1.040 849 44,92 81,63

3 Kerinci 630 345 305 48,41 88,41

4 Kota Jambi 185 102 82 44,32 80,39

5 Merangin 1.365 740 593 43,44 80,14

6 Muaro Jambi 770 425 361 46,88 84,94

7 Sarolangun 665 368 232 34,89 63,04

8 Sungai Penuh 550 305 248 45,09 81,31

9 Tanjab Barat 910 495 501 55,05 101,21

10 Tanjab Timur 1.295 710 648 50,04 91,27

11 Tebo 1.575 865 738 46,86 85,32

Jumlah 10.500 5.760 4.960 47,24 86,11

Dilihat dari tabel di atas capaian realisasi kebuntingan untuk bulan Januari sampai

dengan Juni 2019 di Provinsi Jambi masih kurang dari target yaitu 86,11%. Hanya 2

Kabupaten yang melebihi target yaitu Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Tanjung

Jabung Barat sedangkan Kabupaten lainnya belum ada yang mencapai target dan

terdapat satu Kabupaten yang kurang dari 75% (kabupaten Sarolangun 63, 04%).

Service per conception (S/C) adalah jumlah IB per satu kebuntingan. S/C adalah

jumlah perkawinan atau inseminasi hingga diperoleh kebuntingan. Semakin rendah S/C

semakin tinggi kesuburan ternak sapi betina tersebut, sebaliknya semakin tinggi S/C

kesuburan ternak sapi betina semakin rendah (Partodiharjo, 1992). Perhitungan S/C

adalah perbandingan jumlah straw yang digunakan untuk IB dengan jumlah keseluruhan

ternak sapi yang diinseminasi dan menjadi bunting. Menurut Dwiyanto (2012), nilai S/C

yang ideal berkisar antara 1,6 dan 2,0. Makin rendah nilai S/C makin subur sapinya,

Page 143: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

137

sebaliknya nilai S/C yang tinggi menunjukkan rendahnya tingkat kesuburan sapinya.

Direktorat Jenderal Peternakan (2010), memberikan pedoman dalam mengevaluasi

keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan (IB) dengan memberikan nilai standar

service per conception (S/C) adalah 1,6.

c. Realisasi Kelahiran

Capaian realisasi kelahiran selama bulan Januari sampai dengan Maret 2019

tergambar dalam Tabel 7 dan 8.

Tabel 7. Realisasi Kelahiran Bulan Januari sampai dengan Juni 2019 per

Kabupaten/Kota

No

Kabupaten/Kota

Bulan (Ekor) Jumlah

Kelahiran

Januari s.d

Juni 2019

Januari

-Maret April Mei Juni

1 Batanghari 56 1 115 117 289

2 Bungo 255 94 99 145 593

3 Kerinci 72 26 73 80 251

4 Kota Jambi 38 11 11 13 73

5 Merangin 72 79 29 71 251

6 Muaro Jambi 54 14 33 34 135

7 Sarolangun 79 17 23 8 127

8 Sungai Penuh 96 27 60 26 209

9 Tanjung Jabung Barat 351 78 55 17 501

10 Tanjung Jabung Timur 289 80 151 80 600

11 Tebo 237 52 60 43 392

Jumlah 1.599 479 709 634 3.421

Capaian realisasi kelahiran untuk bulan Januari sampai dengan Juni 2019 angka

kelahiran di Provinsi Jambi adalah 3.421 ekor yaitu telah mencapai 81,24 % dari target

sampai bulan Juni 2019 dan 40,73 % dari target tahun 2019, terdapat 5 Kabupaten yang

melebihi target (lebih dari 100%) namun terdapat 3 Kabupaten yang capaian

kelahirannya di bawah 50% (target Juni 2019) yaitu Kabupaten Merangin, Muaro jambi

dan Sarolangun.

Page 144: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

138

Tabel 8. Realisasi Kumulatif Kelahiran Bulan Januari sampai dengan Juni 2019

per Kabupaten/Kota

No

Kabupaten/ Kota

Target

Kelahiran

Tahun

2019

(ekor)

Target

Kelahiran

Juni 2019

(ekor)

Jumlah

Kelahiran

Januari-

Juni 2019

(Ekor)

Kelahiran

dari target

Tahunan

(%)

Kelahiran

dari target

Bulanan

(%)

1 Batanghari 525 265 289 55,05 109,06

2 Bungo 1 525 759 593 38,89 78,13

3 Kerinci 500 250 251 50,20 100,40

4 Kota Jambi 145 71 73 50,34 102,82

5 Merangin 1 095 544 251 22,92 46,14

6 Muaro Jambi 615 309 135 21,95 43,69

7 Sarolangun 530 280 127 23,96 45,36

8 Sungai Penuh 435 219 209 48,05 95,43

9 Tanjab Barat 725 363 501 69,10 138,02

10 Tanjab Timur 1 035 515 600 57,97 116,50

11 Tebo 1 270 636 392 30,87 61,64

Jumlah 8 400 4 211 3 421 40,73 81,24

Apabila proses kebuntingan berhasil maka tidak banyak hal yang perlu dilakukan,

hanya cukup menjaga agar ternak cukup pakan dan pada saat umur kebuntingan tujuh

bulan dapat disuntikan ETEC K-99 agar anak yang lahir dapat kebal dari serangan

Escsherichia coli enterotoksigenik yang dapat menyebabkan terjadinya diare dan

kematian pada anak prasapih (Supar et al. 1997; Esfandiari et al. 2014). Penanganan

kelahiran yang baik akan menentukan keberhasilan ternak sampai umur disapih yang

kemudian dapat diandalkan untuk menjadi ternak bakalan penghasil daging. Untuk itu,

diperlukan manajemen perawatan ternak dari lahir sampai menjadi ternak bakalan,

untuk itu diperlu pengetahuan yang cukup, disini peran penyuluh sangat diperlukan.

d. Penanganan Gangguan Reproduksi

Penanggulangan gangguan reproduksi :

1. Terapi

Page 145: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

139

Ternak yang telah ditetapkan status reproduksinya dan mengalami gangguan

reproduksi akan diterapi dengan perlakuan dan pengobatan, proses kesembuhan

bervariasi tergantung permasalahan reproduksinya sehingga memerlukan terapi 2-3

kali tergantung ketersediaan anggaran. Selanjutnya sapi yang telah dilakukan

tindakan perbaikan atau terapi dan dinyatakan sembuh dijadikan sebagai akseptor IB.

2. Pemeriksaan Ulang Gangguan Reproduksi

Sapi yang tidak sembuh pada terapi pertama dilakukan pemeriksaan dan

terapi kedua. Sapi yang dinyatakan sembuh melalui pemeriksaan kedua tersebut

dijadikan sebagai akseptor IB. Sementara Sapi yang tidak sembuh pada terapi kedua,

selanjutnya dpat dilakukan pemeriksaan dan terapi ketiga

tergantung kepada ketersediaan anggaran di masing-masing satker. Sapi yang

dinyatakan sembuh melalui pemeriksaan ketiga tersebut dijadikan sebagai akseptor

IB. Sementara sapi yang tidak sembuh dinyatakan sebagai sapi tidak produktif atau

mengalamai gangguan reproduksi permanen.

3. Tindak lanjut terhadap sapi yang dinyatakan sembuh

Sapi yang telah dinyatakan sembuh dan siap menjadi akseptor dilaporkan kepada

petugas yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan IB. Petugas penanggulangan

gangguan reproduksi yang bertanggung jawab di lokasi tersebut memonitor tentang

realisasi pelaksanaan IB.

Sistem Manajemen Reproduksi Berupa Pengendalian Pemotongan Sapi Betina

Produktif

Pengendalian ternak ruminansia betina produktif juga diatur dalam Peraturan

Menteri Pertanian nomor 35/permentan/OT.140/7/2011. Pengendalian ternak

ruminansia betina produktif adalah serangkaian kegiatan untuk mengelola penggunaan

ternak ruminansia betina produktif melalui identifikasi status reproduksi, seleksi,

penjaringan, dan pembibitan. Pengidentifikasian dilakukan sesuai kriteria yaitu ternak

ruminansia besar yang melahirkan kurang dari 5 kali atau berumur di bawah 8 tahuan,

tidak cacat fisik, organ reproduksi normaldan/atau tidak cacat permanen dan memenuhi

persyaratan kesehatan hewan. Provinsi Jambi telah mengeluarkan Peraturan Daerah

Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pengendalian Ternak Sapi dan Kerbau Betina Produktif.

Page 146: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

140

Dalam Perda No 5 tahun 2015 tersebut pengendalian ternak sapi dan kerbau betina

produktif dilakukan dengan cara penjaringan untuk mencegah pengurasan dalam bentuk

pemotongan dan mengatur pengeluaran ternak sapi dan kerbau betina produktif keluar

wilayah administrasi Provinsi Jambi. Kasus pemotongan betina produktif di Kabupaten

Malang dilaporkan di RPH Singosari 15,10% dan RPH Gadang 26% (Soejosopoetro

2011).

Tabel 10. Pengendalian Pemotongan Betina Produktif Bulan Januari sampai dengan Bulan Juni 2019 per Kabupaten/Kota

No

Kabupaten/Kota

Jenis Ternak (Ekor) Jumlah

(Ekor) Kambing

Betina

Produktif

Kerbau Betina

Produktif

Sapi Betina

Produktif

1

2

Bungo 3 3

Sarolangun 8 0 8

3 Sungai Penuh 8 8

4 Tanjung Jabung Barat 1 1

5 Tanjung Jabung Timur 36 3 39

Jumlah 36 8 15 59

Secara lebih luas Tawaf et al. (2013) telah melakukan studi di 20 RPH di Pulau

Jawa dan Nusa Tenggara, serta mendapatkan jumlah pemotongan sapi lokal betina umur

produktif 31,04% dari jumlah sapi lokal yang dipotong. Untuk pengendalian

pemotongan betina produktif pemerintah melalui Menteri Pertanian telah mengeluarkan

peraturan tentang pengendalian pemotongan betina produktif (Kementrian Pertanian

2011). Studi penyelamatan betina produktif di beberapa provinsi menyimpulkan bahwa

penyelamatan betina produktif ini dapat dilakukan melalui pembentukan perusahaan

atau Badan Usaha Milik Daerah yang menjaring ternak-ternak betina yang masuk ke

rumah potong hewan (Priyanti et al. 2017).

Faktor Keberhasilan UPSUS SIWAB

Sebelum dibuat kesimpulan mengenai koefisien jalur, terlebih dahulu harus

dilakukan pengujian mengenai keberartian koefisien jalur, baik secara simultan maupun

Page 147: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

141

parsial. Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor Pemeriksaan

Status dan Gangguan Reproduksi (X1) dan Pengendalian Pemotongan Sapi Betina

Produktif (X2) secara simultan terhadap keberhasilan Program Upaya Khusus Sapi

Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB) adalah uji F (F-test).

Untuk menguji keberartian koefisien jalur secara simultan, maka pasangan

hipotesis dirumuskan adalah : H0 : PYX1 = PYX2 = 0 dan H1 sekurang-kurangnya ada

sebuah PYXi 0. Hasil analisis uji F diperoleh nilai Fhitung = 33,545 dengan significant =

0,000 yang berarti hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima, artinya

sekurang-kurangnya terdapat satu nilai koefisien jalur yang berarti (signifikan). Hasil

ini menunjukkan bahwa Pemeriksaan Status dan Gangguan Reproduksi (X1) dan

Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif (X2) secara simultan mempengaruhi

keberhasilan Program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB)

Oleh karena hasil pengujian secara simultan (uji F) adalah signifikan, maka

selanjutnya dilakukan pengujian secara parsial (uji t). Uji t dilakukan untuk melihat

secara parsial pengaruh faktor Pemeriksaan Status dan Gangguan Reproduksi (X1) dan

Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif (X2) secara parsial terhadap

keberhasilan Program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB).

Berdasarkan uji t diperoleh hasil untuk kedua jalur yang ada (X1 dan X2), ternyata

satu jalur yang tidak signifikan yaitu koefisien jalur untuk Pengendalian Pemotongan

Sapi Betina Produktif (X2) sedangkan satu jalur lainnya yaitu koefisien jalur

Pemeriksaan Status dan Gangguan Reproduksi (X1) adalah signifikan. Adanya koefisien

jalur yang tidak signifikan berarti menunjukkan bahwa koefisien jalur tersebut tidak

berarti. Dengan demikian koefisien jalur yang tidak signifikan tersebut harus

dihilangkan, sehingga terjadi perubahan struktur jalur yaitu dari bentuk struktur jalur

awal (melibatkan dua variabel independen = X1 dan X2) menjadi bentuk struktur jalur

baru yang hanya melibatkan satu variabel independen yang signifikan (X1).

KESIMPULAN

1. Realisasi pelaksanaan kegiatan SIWAB di Provinsi Jambi adalah capaian Akseptor

(95,50%), Kebuntingan (86,11 %) dan Kelahiran adalah (81,24 %). Sedangkan

realisasi pelaksanaan kegiatan SIWAB di Kabupaten Tebo adalah capaian Akseptor

Page 148: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

142

(92,100%), Kebuntingan (82,32 %) dan Kelahiran adalah (61,44 %).

2. Tingkat keberhasilan Program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS

SIWAB) dipengaruhi oleh pemeriksaan status dan gangguan reproduksi, tetapi tidak

dipengaruhi oleh pengendalian pemotongan sapi betina produktif.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Rasyid, H. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala. Universitas

Padjadjaran. Bandung.

Ashari, Ilham N, dan Nuryanti S. 2012. Dinamika program swasembada daging sapi:

reorientasi konsepsi dan implementasi. Analisis Kebijakan Pertanian. 10 (2):181-

198.

Aritonang W. M.. 2017. Kecendrungan Pemotongan Sapi Dan Kerbau Betina Produktif

Di Provinsi Jambi. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan Vol. 20 No.1, Hal 17- 23.

Atmakusuma J, Harmini, dan Winandi R. 2011. Mungkinkah swasembada daging

terwujud. Jurnal Risal Kebijak PertanLingkung. 1(2):105-109.

Diwyanto, K. 2011. Inovasi Pendukung Ternak Rakyat. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. dalam : Sinar Tani Edisi 30 Maret – 5 April 2011 No.

3399 Tahun XLI, Jakarta

Friggens, N.C., K.L. Ingvarsten, and G.C. Emmans, 2004. Predition of body lipid

cahne in pregnancy and lactation. Journal of Dairy Science 87 : 988- 1000

Haddi AH, Rombe MB, Fahrul. 2011. Analisis pendapatan peternakan sapi potong di

Kecamatan Tanete, Kabupaten Barru. J Agribisnis Peternak.10(3):98-109.

Inounu I. 2017. Dukungan Sains dan Teknologi Reproduksi untuk Mensukseskan

Program Sapi Indukan Wajib Bunting. Jurnal Wartazoa Vol. 27 No. 1

Lestari S, Saleh DM, Maidaswar. 2013. Profil kualitas semen segar sapi pejantan

Limousin dengan umur yang berbeda di Balai Inseminasi Buatan Lembang Jawa

Barat. J Ilmu Peternakan. 1:1165-1172.

Santosa B. 2014. Penanggulangan penyakit gangguan reproduksi pada sapi potong.

Bukittinggi (Indonesia): Balai Veteriner Bukittinggi.

Soejosopoetro, B. 2011. Studi Tentang PemotonganSapi Betina Produktif Di RPH

Malang, Jurnal Ternak Tropika, 12 (1) : hal 22-26

Suardana, I.W., I. M. Sukada, I. K. Suada, D. A. Widiasih. 2013. Analisis Jumlah dan

Umur Sapi Bali Betina Produktif yang Dipotong di Rumah Pemotongan Hewan

Pesanggaran dan Mambal Provinsi Bali. JSV 31 (1)

Suharno. 2017. Upsus SIWAB jadi prioritas pembangunana peternakan 2017. Majalah

Peternakan dan Kesehatan Hewan 2017 [Internet]. [Diunduh 2017 Jul 28]

Tersedia dari: http://www majalahinfovet.com /2017/01/ upsus- siwabjadi-

prioritas-pembangunan.html.

Sutawidjaya. M.S., 2000. Statistik Sosial. Bandung: Fakultas Pertanian Universitas

Padjadjaran

Sutiyono, D. Samsudewa, dan A. Suryawijaya. 2017. Identifikasi Gangguan Reproduksi

Sapi Betina di Peternakan Rakyat. Jurnal Veteriner. Vol. 18 No. 4 . Hal 580-588

Undang-Undang No 18. 2009. Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Page 149: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

143

Widiati R. 2014. Membangun industri peternakan sapi potong rakyat dalam mendukung

kecukupan daging sapi. Wartazoa. 24(4):191-200.

Wiguna A. A. Wayan, N. W. T. InggriatI, S. Pasaribu, R. Indrasti, N. Kusuma, N.

Budiana dan I. G. M. Widianta. 2015. Upaya Mengatasi Pemotongan Betina

Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Bali.

Page 150: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

144

Evaluasi Penggunaan Berbagai Jenis Dan Konsentrasi Bahan Perekat

Terhadap Kualitas Fisik Biskuit Konsentrat Mengandung Indigofera

Untuk Ternak Kambing

R. A. Muthalib, Afzalani, Wati N, Dianita, R*

Fakultas Peternakan, Universitas Jambi

Jl. Raya Jambi – Ma. Bulian KM. 15 Mendalo Indah, Mendalo Jambi

*) koresponden e-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan berbagai jenis

dan konsentrasi bahan perekat terhadap kualitas biskuit pakan konsentrat mengandung

Indigofera zolingeriana sebagai pakan ternak kambing. Penelitian ini disusun dengan

menggunakan rancangan acak lengkat dengan pola faktorial. Faktor pertama adalah

jenis bahan perekat yang terdiri atas molasses, tepung ubi kayu dan tapioka. Faktor

kedua adalah konsentrasi bahan perekat yang digunakan yaitu 3,5,7% dari total bahan

yang digunakan. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah kualitas fisik biskuit

pakan meliputi uji organoleptik (warna, aroma dan kepadatan), kadar air, berat jenis,

kerapatan bahan dan ketahan benturan biskuit yang dihasilkan. Penelitian ini

menunjukan bahwa jenis bahan perekat berpengaruh nyata (P<0,05) pada hampir di

semua peubah yang diamati, sementara itu konsentrasi bahan perekat berpengaruh nyata

(P<0,05) terhadap kerapatan bahan dan ketahan benturan. Interaksi hanya ditemukan

pada peubah ketahan benturan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jenis

bahan perekat yang terbaik adalah tepung ubi kayu, dengan konsentrasi 5%.

Kata Kunci: Biskuit konsentrat, Indigofera zollingeraiana, perekat

PENDAHULUAN

Beberapa hijauan legum juga berpotensi untuk dijadikan sumber bahan pakan

konsentrat seperti Indigofera zollingeriana dan sengon. Tanaman I. zollingeriana ini

memiliki kandungan nutrisi sangat baik. Hal ini sesuai dengan laporan penelitian

Muthalib et al., (2017) bahwa tepung daun Indigofera mengandung bahan kering

93,53%, protein kasar 28,12%, serat kasar 9,11%, lemak kasar 5,91%, BETN 49,25%,

Ash 7,61%, dan TDN 66,97%. Penggunaan Indigofera sebagai suplemen pakan sampai

30% dari konsentrat pakan mampu meningkatkan produktivitas ternak kambing PE,

namun masih banyak protein pakan yang terdegradasi dalam rumen (Muthalib et al.,

2018). Penambahan tannin asal sengon mampu menekan degradasi protein pakan dalam

Page 151: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

145

rumen yang dicerminkan oleh menurunnya N-NH3 dan meningkatkan nilai VFA pada

kambing PE (Rizky, 2019).

Salah satu pengolahan yang dapat dilakukan dengan teknologi pengolahan biskuit

konsentrat pakan ternak. Biskuit pakan adalah suatu campuran yang berupa hijauan dan

konsentrat berbentuk blok yang sesuai dengan kebutuhan ternak akan nutrisi dan

protein. Biskuit ini sangat mudah diberikan kepada ternak karena bentuknya yang

kompak dan juga mudah dikunyah oleh ternak. Biskuit yang berdiameter sekitar 7 cm

dengan tebal 1 cm ini dapat dimakan oleh domba dalam bentuk utuh karena bentuknya

yang bulat sesuai dengan morfologi mulut domba, sehingga mempermudah domba

untuk memakannya. Namun, adapula domba yang menghancurkan biskuit terlebih

dahulu atau mematahkan biskuit dengan bantuan bibir dan gigi Retnani et al., (2009a).

Perekat (binder) yang tepat sangat diperlukan dalam proses pembuatan biskuit

dalam. Jenis perekat yang dapat digunakan yaitu molasses, tepung ubi kayu dan tepung

tapioka. Molasses dapat mempengaruhi kualitas fisik pellet, semakin banyak molasses

yang ditambahkan akan mengakibatkan penyerapan molasses semakin banyak dan

terjadinya perubahan warna menjadi lebih pekat (Ismi et al., 2017). Selain molasses,

tepung ubi kayu dan tepung tapioka juga dapat dijadikan sebagai bahan perekat.

Kandungan pati tepung ubi kayu berkisar 79.85% (Rasulu et .al., 2012). Tepung tapioka

merupakan bahan perekat alami yang dapat dengan mudah dicerna (Sari et al., 2016).

Selain jenis perekat, konsentrasi bahan perekat akan mempengaruhi daya rekat

bahan yang digunakan yang nantinya akan menentukan kualitas biskuit pakan baik

secara fisik maupun secara kimia. Menurut Ismi et al., (2017) dan Syamsu (2007)

penggunaan berbagai macam bahan perekat dengan konsentrasi 3% lebih mampu

meningkatkan kualitas fisik pellet, sehingga menjadi kompak dengan kerapatan

tumpukan dan ketahanan benturan yang baik serta menghasilkan aroma yang segar dan

tidak tengik.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan rumah kaca dan labolaturium Fakultas Peternakan

Universitas Jambi, mulai bulan Agustus sampai dengan bulan September tahun 2019.

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu daun hijauan Indigofera, daun

sengon, jagung, dedak, bungkil kedele, bungkil kelapa, molasses, tepung ubi kayu dan

Page 152: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

146

tepung tapioka. Sedangkan, peralatan yang digunakan jangka sorong, gelas ukur,

timbangan analitik, plastik, piring plastik, mesin giling hijauan (Hammer mill) dan alat

pencetak biskuit.

Prosedur Pembuatan Biskuit

Gambar 1. Bagan Pembuatan Biskuit pakan Konsentrat

Tabel 1. Komposisi Penyusun Bahan Biskuit Konsentrat(%)

Bahan Pakan Presentase (%)

Indigofera zollingeriana 30

Sengon 6

Dedak Halus 20

Jagung Giling 20

Bungkil Kedele 12

Bungkil Kelapa 10

Garam 1

Mineral mix 1

Jumlah 100

Daun indigofera dan daun sengon dipanen lalu dipisahkan dari tangkainya,

kemudian dijemur dan digiling menjadi tepung.

Seluruh bahan dihomogenkan, lalu dimasukkan ke dalam mesin pencetak

biskuit.

Ditambah bahan konsentrat sesuai dengan perlakuan , konsentrasi bahan

perekat (3%, 5%, 7%).

Dilakukan analisis fisik aroma, warna, kepadatan, kadar air, daya serap, berat

jenis, kerapatan bahan dan ketahanan benturan terhadap biskuit yang

dihasilkan.

Biskuit dioven pada suhu 60 °C selama 24 jam. Setelah itu, didinginkan pada

suhu ruang.

Page 153: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

147

Tabel 2. Komposisi Kimia Bahan Penyusun Biskuit Pakan konsentrat(%)

Bahan Pakan BK PK LK SK ABU BETN TDN

Indigofera

zollingerianaa

99.53

28.12

5.91

9.11

7.61

49.25

66.97

Sengon (Albizia

falcataria)b

43.78

18.13

3.34

19.81

5

45.6

0

Dedak Halusc 89.1 8.7 13.81 9.28 11.83 51.75 55.52

Jagung Gilingc 88 8.5 5.89 3.37 2.41 77.49 81.9

Bungkil Kedelec 89.41 13.3 1.01 25.52 6.97 33.29 40.26

Bungkil Kelapac 89 19.2 11.21 6.85 6.04 49.7 75.33

Garamd 0 0 0 0 0 0 0

Mineral mixe 0 0 0 0 0 0 0

Molasesf 82 3.94 0.3 0.88 11 0 70.7

Tepung Ubi Kayug 35 2.9 0.7 4.9 2.3 0 79

Tapiokah 0 0.5-0.7 0.2 0.5 0 0 0

Sumber : a(Muthalib et al.,2018), b(Afzalani et al.,2017) f(Sutardi, 1981), g Tim laboratorium (2013), c(NRC 19)

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial 3x3 dengan

3 ulangan. Faktor pertama adalah jenis bahan perekat (binder) yaitu: P1 = Molasses, P2

= Tepung ubi kayu, P3 = Tepung tapioka. Faktor kedua adalah konsentrasi bahan

perekan yang digunakan yaitu: K1= konsentrasi perekat 3% dari total bahan, K2 =

konsentrasi perekat 5% dari total bahan, K3 = konsentrasi perekat 7% dari total bahan.

Masing-masing kombinasi perlakuan diulang 3 kali dan setiap ulangan terdapat 3 unit

biskuit, sehingga jumlah keseluruhan unit biskuit yaitu 81 unit.

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah uji organoleptik meliputi warna,

aroma, kepadatan (Istinganah et al., 2017), kadar air (AOAC 2005), kerapatan bahan

(Daud et al., 2013), ketahanan benturan (Syahri et al., 2018), dan berat jenis (Jaelani,

2007).

Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dengan analisi ragam (ANOVA) sesuai dengan

rancangan dalam percobaan faktorial. Bila terdapat pengaruh yang nyata dilakukan uji

jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1993).

Page 154: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

148

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Biskuit

Biskuit konsentrat merupakan suatu produk pengolahan pakan ternak yang

berbahan dasar legum hijauan Indigofera zollingeriana dan sengon yang dapat

digunakan sebagai supplemen pakan (pakan tambahan). Biskuit konsentrat dalam

penelitian ini berbentuk bulat, padat dan memiliki kerapatan yang baik. Diameter biskuit

berkisar 9.4 cm, ketebalannya 3.5 cm dengan berat ± 150 g/biskuit. Biskuit yang

dihasilkan berwarna coklat dan memiliki aroma khas yang berasal dari reaksi dengan

masing – masing bahan perekat. Gambar 1 merupakan biskuit dari masing- masing

perlakuan dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan.

Gambar 1. Biskuit konsentrat

Uji Organoleptik

Hasil uji organoleptik yang meliputi warna, aroma dan kepadatan biskuit

konsentrat disajikan pada Tabel 4. Warna biskuit yang dihasilkan dari mulai dari coklat

kehijauan sampai coklat dan aromanya wangi ini. Biskuit konsentrat mempunyai

komposisi 30% Indigofera dan 6% sengon serta selebihnya adalah bahan- bahan

penyusun konsentrat konvensional lainnya. Warna hijau dimungkinkan karena total

hijauan yang digunakan sebanyak 36% dari total bahan keseluruhan. Sedangkan

kepadatan biskuit yang dihasilkan yaitu keras sampai sangat keras. Kualitas fisik biskuit

pakan ternak kambing yang baik seperti warna yaitu yang berasal dari bahan yang

digunakan yaitu coklat kehijauan, dengan tekstur yang keras dan aroma yang

wangi/tidak tengik (Ismi, 2017).

Page 155: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

149

Tabel.4. Rataan nilai uji organoleptik biskuit konsentrat. Uji Organoleptik

Jenis Perekat

Warna Aroma Kepadatan

Molases Coklat Wangi Keras

Tepng ubi kayu Coklat kehijauan Wangi Keras

Tepung tapioka Coklat Asam/Tengik Sangat Keras

Warna biskuit dengan menggunakan jenis perekat molases dan tepung tapioka

menghasilkan warna coklat. Sedangkan, warna biskuit yang menggunakan jenis perekat

tepung ubi kayu bewarna coklat kehijauan. Hal ini diduga kerena perubahan warna yang

dihasilkan pada biskuit konsentrat sebagai pengaruh dari reaksi maillard. Menurut

Retnani et al. (2009) bahwa warna coklat disebabkan adanya reaksi browning non

enzimatis karena pemanasan pada saat pengovenan. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian Ismi, (2017) bahwa semakin ttinggi level molases yang ditambahkan

mengakibatkan penyerapan molases yang semakin banyak dan menyebabkan terjadinya

perubahan warna pellet pakan kambing menjadi lebih pekat.

Aroma biskuit dengan menggunakan jenis perekat molasses dan tepung ubi kayu

menghasilkan aroma yang wangi. Hal ini dikarenakan tingginya kandungan gula pada

molasses, sehingga menghasilkan aroma wangi karamel dan begitupun tepung ubi kayu

yang menghasilkan aroma wangi karena adanya kandungan karbohidrat. Hal ini sesuai

dengan pendapat Riswandi et al., (2017) bahwa aroma yang ditimbulkan disebabkan

adanya molases dalam campuran formula biskuit. Saat pengovenan biskuit, tercium

aroma yang ditimbulkan biskuit yaitu aroma gula terbakar.

Kepadatan fisik biskuit secara umum dengan menggunakan semua jenis perekat

menghasilkan biskuit yang keras, hanya saja semakin tinggi konsentrasi bahan perekat

yang digunakan menjadikan biskuit cenderung sangat kompak/keras. Kondisi pakan

yang terlalu kompak/keras dapat mempengaruhi konsumsi ternak terhadap pakan yang

diberikan. Saleh (2013) menyatakan bahwa kandungan pati pada bahan perekat juga

menyebabkan terjadinya proses gelatinisasi yang mengikat tiap komponen pakan,

sehingga pellet menjadi kompak, utuh, dan bobot yang berat.

Page 156: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

150

Kadar Air

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa jenis dan konsentrasi perekat

berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kadar air biskuit konsentrat. Tidak terdapat

interaksi antara jenis perekat dan konsentrasinya terhadap kadar air biskuit. Rataan

kadar air yang rendah dihasilkan pada perlakuan tepung ubi kayu dengan konsentrasi

5% masih dalam kisaran aman untuk penyimpanan. Hal ini diduga karena pengaruh

kandungan air dari bahan dasar perekat dan proses pemanasan dalam pembuatan biskuit.

Kadar air merupakan faktor penting dalam penentuan kualitas bahan. Kadar air yang

baik yaitu kadar air yang rendah sehingga tidak menimbulkan jamur pada biskuit pada

saat penyimpanan dan pakan dapat menjadi lebih awet (Retnani et al., 2009).

Ditambahkan oleh Trisyulianti (2003) bahwa aktivitas mikroorganisme dapat ditekan

pada kadar air 12-14%. Kadar air yang lebih tinggi dapat menyebabkan pakan mudah

ditumbuhi jamur dan membusuk.

Tabel 5. Nilai kadar air biskuit konsentrat

Jenis Perekat Konsentrasi (%)

Rataan

Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf

yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Kerapatan Bahan

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa jenis dan konsentrasi perekat

berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kerapatan bahan biskuit pakan konsentrat. Tidak

terdapat interaksi antara jenis perekat dengan konsentrasinya terhadap kerapatan bahan

dari biskuit. Kerapatan bahan pada perlakuan tepung tapioka menghasilkan kerapatan

paling tinggi yaitu sebesar 0.74%. Perekatan dengan menggunakan tepung tapioka lebih

baik dibandingkan dengan tepung ubi kayu, sehingga sedikit terbentuk rongga- rongga

pada biskuit. Hal ini sejalan dengan pendapat Saleh (2013) bahwa kandungan pati pada

bahan perekat menyebabkan terjadinya proses gelatinisasi yang mengikat tiap

3 5 7

Molases 18.67 ± 4.25 33.83 ± 8.38 35,00± 17.08 29.17 ± 12.54a

Tepung ubi kayu 10.67 ± 3.75 15.17± 4.19 16.17 ± 4.04 14.00± 4.29b

Tepung tapioka 11.5 ± 3.60 15.66 ± 3.32 32.55 ± 0.29 14.77 ± 3.96b

Rataan 13.61 ± 0.34b 21.56 ±2.71a 22.78± 7.66a

Page 157: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

151

komponen pakan, sehingga pellet menjadi kompak, utuh, dan bobot yang berat. Perekat

dari tumbuh-tumbuhan seperti ubi kayu (tapioka) memiliki keuntungan bahwa jenis

perekat ini dengan konsentrasi yang rendah sudah menghasilkan biskuit yang kompak.

Semakin tinggi nilai kerapatan, maka semakin kompak bahan tersebut. Bila suatu bahan

semakin kompak, maka semakin mudah dalam penanganan baik dalam transportasi

maupun dalam penyimpanan (Riswandi et al., 2017). Rendahnya kerapatan pada jenis

perekat molases hal ini diduga karena tingginya kandungan air pada bahan perekat

molasses tersebut. Hal ini didukung oleh Retnani et al., (2009) bahwa semakin

meningkatnya kadar air wafer menyebabkan ruangan yang diisi air lebih banyak

sehingga kerapatan wafer menurun.

Tabel 6. Nilai kerapatan bahan biskuit pakan konsentrat (g/cm3)

Jenis Perekat Konsentrsi (%)

Rataan

Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang

berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa konsentrasi perekat berpengaruh nyata

(P<0.05) terhadap kerapatan bahan biskuit pakan konsentrat. Hasil penelitian

menunjukkan semakin tinggi penggunaan konsentrasi perekat, maka semakin kuat dan

semakin baik kerapatan yang dihasilkan. Hal ini didukung oleh Hermawan et al., (2015)

bahwa semakin tinggi level konsentrasi perekat yang digunakan, maka semakin kompak

kerapatan dan semakin renyah bahan biskuit. Pakan biskuit yang baik diterapkan kepada

ternak yaitu mempunyai kerapatan yang tinggi memberikan penampilan kepadatan yang

kompak dan keras. Namun, biskuit yang kerapatanya sangat keras tidak baik diterapkan

kepada ternak bahwa sulitnya ternak mengkonsumsi pakan tersebut (Syahri et al.,2018).

Ketahan Benturan

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa jenis perekat dan konsentrasi serta

interaksinya berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap ketahan benturan biskuit pakan

konsentrat. Ketahan benturan biskuit pakan konsentrat yang baik yaitu pada perlakuan

3 5 7

Molases 0,63 ± 0,023 0,63 ± 0,017 0,74 ± 0,27 0,67 ± 0,07b

Tepung ubi kayu 0,66 ± 0,01 0,68 ± 0,03 0,72 ± 0,01 0,69 ± 0,03b

Tepung tapioka 0,70 ± 0,01 0,75 ± 0,04 0,78 ± 0,02 0,74 ± 0,04a

Rataan 0,67 ± 0,01b 0,69 ± 0,01b 1,75 ± 0,15a

Page 158: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

152

jenis perekat ubi kayu dengan konsentrasi 3 dan 5% yaitu masing-masing ketahan

benturan 86.14 dan 89.01%.

Tabel 7. Ketahan Benturan Biskuit Pakan Konsentrat (%)

Konsentrasi (%) Jenis Perekat Rataan

Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang

berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Hal ini diduga karena pada saat perekat tepung ubi kayu yang dilarutkan di dalam

air terbentuk gelatin yang sangat kental, sehingga pada waktu pengovenan bahan

mengikat dengan baik. Semakin tinggi konsentrasi perekat yang digunakan maka

semakin kompak namun, apabila ketahan benturan biskuit melebihi kisaran normal

maka sulitnya ternak mengkonsumsi pakan biskuit tersebut. Nilai ketahan benturan pada

interaksi perlakuan tepung ubikayu dengan konsentrasi 3 dan 5% ini masih memenuhi

kisaran normal. Menurut Syahri (2018) sifat fisik wafer paling baik yaitu yang memiliki

nilai ketahanan benturan 94,45%. Hal ini sejalan dengan penelitian Syahrir et al.,

(2017) bahwa semakin tinggi penggunaan level perekat, maka semakin kuat kerapatan

bahan dan semakin kompak terbentuknya wafer.

Berat Jenis

Hasil analisis ragam menunjukan bahwa jenis perekat yang berbeda berpengaruh

nyata (P<0.05) terhadap berat jenis biskuit pakan konsentrat. Tidak terdapat interaksi

antara jenisperekat dengan konsentrasinya terhadap berat jenis biskuit. Berat jenis

biskuit konsentrat dengan menggunakan molases (1,25g/cm3) nyata lebih tinggi

dibandingkan dengan tepung ubi kayu (1,15g/cm3) dan tapioka (1,17g/cm3). Komposisi

dan ukuran partikel bahan penyusun biskuit konsentrat semuanya sama, yang

membedakan hanya bahan perekat dan konsentrasinya dalam setiap perlakuan. Jenis

bahan perekat dengan konsentrasinya akan mempengaruhi komposisi dari biskuit

konsentrat.

3 5 7

Molases 22,23 ± 1,48ac 94,20 ± 0,08ab 99,74 ± 0,22a 72,05 ± 37.45a

Tepung ubi kayu 86,14 ± 5,15bc 89,01 ± 2,71b 99,30 ± 0,07ab 91,67 ± 6.51b

Tepung tapioka 92,43 ± 1,20ac 97,00 ± 1,08bc 99,88 ± 0,20ac 96,44 ± 3.35c

Rataan 66,94 ± 2,21c 93,59 ± 0,85b 99,64 ± 0,08a

Page 159: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

153

Tabel 8.Rataan Berat Jenis Biskuit Pakan Konsentrat (g/cm3)

Jenis Perekat

Konsentrasi (%) Rataan

Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang

berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).

Suadnyana (1998) menyatakan bahwa berat jenis dipengaruhi oleh komposisi

kimia bahan pakan. Ditambahkan oleh pendapat Krisnan (2008) bahwa berat jenis

memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan dan

penyimpanan, disamping itu juga akan menentukan terhadap kerapatan pakan.

KESIMPULAN

Jenis bahan perekat tepung ubi kayu, dan konsentrasi bahan perekatnya sebesar

5% yang merupakan perlakuan terbaik yang dilihat dari kualitas fisik biskuit pakan

konsentrat secara keseluruhan. Semua bahan perekat dengan konsentrasi 5% merupakan

interaksi kombinasi yang terbaik yang ditunjukkan oleh nilai ketahanan benturan

biskuit pakan konsentrat yang berhubungan dengan penerapan ke ternak kambing.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, L. 2014. Prospektif Agronomi dan Ekofisikologi Indigofera zollingeriana

Sebagai Tanaman Penghasil Hijauan Pakan Berkualitas Tinggi. Pastura 3, 79–

83.

Daud, M., Z. Fuadi, dan Azwis. 2013. Uji Sifat Fisik dan Daya Simpan Wafer Ransum

Komplit Berbasis Kulit Buah Kakao. J. Ilm. Peternak. 1, 18–24.

Hermawan, R. Sutrisna, dan Muhtarudin. 2015. Kualitas Fisik, Kadar Air, dan Sebaran

Jamur pada Wafer Limbah Pertanian dengan Lama Simpan Berbeda 3, 55–60.

Ismi, R, S., R. I. Pujaningsih and S. Sumarsih. 2017. Pengaruh Penambahan Level

Molases Terhadap Kualitas Fisik dan Organoleptik Pellet Pakan Kambing

Periode Penggemukan. J. Ilm. Peternak. Terpadu 5, 58–62.

Istinganah, M., R. Rauf., dan E. N. Widyaningsih. 2017. Tingkat Kekerasan dan Daya Terima Biskuit dari Campuran Tepung Jagung dan Tepung Terigu Dengan

Volume Air yang Proporsional. J. Kesehat. 10, 83–93.

3 5 7

Molases 1,25 ± 0 1,25 ± 0 1,25 ± 0 1,25 ± 0a

Tepung ubi kayu 1,16 ± 0,08 1,11 ± 0 1,18 ± 0,07 1,15 ± 0.52b

Tepung tapioka 1,20 ± 0,04 1,15 ± 0,04 1,17 ± 0,07 1,17 ± 0.05c

Rataan 1,20 ± 0,04 1,17 ± 0,02 1,20 ± 0,04

Page 160: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

154

Jaelani, A., 2007. Peningkatan Kulaitas Bungkil Inti Sawit Oleh Kapang Trichoderma

reesei Sebagai Pendegradasi Polisakarida Mannan dan Pengaruhnya terhadap

Penampilan Ayam Pedaging. Institut Pertanian Bogor.

Krisnan, R., 2008. Perubahan Karakteristik Fisik Konsentrat Domba Selama

Penyimpanan (Physical Characteristic Condition Of Sheep Diet During Storage).

Semin. Nas. Teknol. Peternak. dan Vet. 491–497. Muthalib, R, A., R. Dianita, dan Afzalani. 2018. Suplementasi Indigofera zollingeriana

Sumber Protein By Pass dalam Pakan Berbasis Rumput Rawa Terhadap

Produktivitas Kambing Peranakan Etawa. Laporan Penelitian. Fakultas

Peternakan, Universitas Jambi.

Nurhayatin, T., dan M. Puspitasari. 2017. Pengaruh Cara Pengolahan Pati Garut

(Maranta arundinacea) Sebagai Binder dan Lama Penyimpanan Terhadap

Kualitas Fisik Pellet Ayam Broiler. J. Ilmu Peternak. 2, 32–40.

Nurhayu, A., dan D. Pasambe. 2016. Indigofera Sebagai Substitusi Hijauan Pada Pakan

Sapi Potong di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Semin. Nas. Peternak.

2 52–56.

Pade, S, W., dan H. Akuba. 2018. Pemanfaatan Tepung Ubi Kayu (Manihot utilisima)

Sebagai Substitusi Tepung Terigu dalam Pembuatan Biskuit 2, 1–9. Rasulu, H., S. Y. Sudarminto, dan J. Kusnadi. 2012. Karakteristik Tepung Ubi Kayu

Terfermentasi Sebagai Bahan Pembuatan Sagukasbi. J. Teknol. Pertan. 13, 1–7.

Retnani, Y., S. Basymeleh, dan L. Herawati. 2009. Pengaruh Jenis Hijauan Pakan dan

Lama Penyimpanan Terhadap Sifat Fisik Wafer. J. Ilmu Ilmu Peternak. 12, 196–

202..

Retnani, Y., N. Hasanah, Rahmayeni dan L. Herawati. 2010. Uji Sifat Fisik Ransum

Ayam Broiler Bentuk Pellet yang Ditambahkan Perekat Onggok Melalui Proses

Penyemprotan Air. Agripet 10, 13–18.

Retnani, Y., L. Herawati, W. Wirdiati, dan E. Indahwati. 2009a. Uji Kualitas Sifat Fisik

Dan Palatabilitas Biskuit Limbah Tanaman Jagung Sebagai Substitusi Sumber

Serat Untuk Domba. Bul. Peternak. 33, 162–169.

Retnani, Y., W. Widiarti, I. Amiroh, L. Hermawati, dan K. B. Satoto. 2009b. Daya

Simpan dan Palatabilitas Wafer Ransum Komplit Pucuk dan Ampas Tebu untuk

Sapi Pedet. Media Peternak. 32, 130–136.

Riswandi, A., S. Imsya, Sandi, dan A. S. S. Putra. 2017. Evaluasi Kualitas Fisik Biskuit

Berbahan Dasar Rumput Kumpai Minyak dengan Level Legum Rawa (Neptunia

oleracea lour) yang Berbeda. J. Peternak. Sriwij. 6, 1–11.

https://doi.org/10.33230/jps.6.1.2017.5071

Rochani, A., S. Yuniningsih, dan Z. Ma’Sum. 2016. Pengaruh Konsentrasi Gula Larutan

Molases Terhadap Kadar Etanol Pada Proses Fermentasi. J. Reka Buana 1, 43–

48.

Saleh, A. 2013. Efisiensi Konsentrasi Perekat Tepung Tapioka Terhadap Nilai Kalor

Pembakaran Pada Biobriket Batang Jagung (Zea mays L .). J. Teknosains 7, 78–

89.

Sandi, S., A. I. M. Ali, dan A. A. Akbar. 2015. Uji In-Vitro Wafer Ransum Komplit

dengan Bahan Perekat yang Berbeda. J. Peternak. Sriwij. 4, 7–16. https://doi.org/10.33230/jps.4.2.2015.2802

Sari, I, Y., L. Santoso, dan Suparmono. 2016. Kajian Pengaruh Penambahan Tepung

Page 161: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

155

Tapioka Sebagai Binder dalam Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila

Gift (Oreochromis Sp.). e-Jurnal Rekayasa dan Teknol. Budid. Perair. V.

Susilawati, I., Z. I. Islami, dan H. Pembahasan. 2012. Penggunaan Berbagai Bahan

Pengikat Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Pelet Hijauan Makanan Ternak.

Ilmu ternak 121, 47–50.

Susilawati, S. Nurdjanah, dan S. Putri. 2008. Karakter Sifat Fisik dan Kimia Ubi Kayu

(Manihot esculenta) Berdasarkan Lokasi Penanaman dan Umur Panen Berbeda.

J. Teknol. Ind. dan Has. Pertan. 13, 59–72.

Syahri, M., Y. Retnani, dan L. Khotijah. 2018. Evaluasi Penambahan Binder Berbeda

Terhadap Kualitas Fisik Mineral Wafer. Bul. Makanan Ternak 16, 24–35.

Syahrir, S., M. M. Mide, dan Harfiah. 2017. Evaluasi Fisik Ransum Lengkap Berbentuk

Wafer Berbahan Bahan Utama Jerami Jagung Dan Biomassa Murbei. JITP 5.

Syamsu, J, A. 2007. Karakteristik Fisik Pakan Itik Bentuk Pellet Yang Diberi Bahan

Perekat Berbeda Dan Lama Penyimpanan Yang Berbeda. J. Ilmu Ternak 7, 128–

134. https://doi.org/10.24198/jit.v7i2.2246

Toharmat, T., E. Nursasih, R. Nazilah, N. Hotimah, dan T. Q. Noerzihad, N. A. Sigit,

and Y. Retnani. 2006. Sifat Fisik Pakan Kaya Serat dan Pengaruhnya terhadap

Konsumsi dan Kecernaan Nutrien Ransum pada Kambing. Media Peternak. 29,

146–154. https://doi.org/10.5398/medpet.v29i3.817

Trisyulianti, E., J. Jacka., dan Jayusmar. 2001. Pengaruh Suhu dan Tekanan

Pengempaan Terhadap Sifat Fisik Wafer Ransum dari Limbah Pertanian Sumber

Serat dan Leguminose Untuk Ternak Ruminansia. Media Peternak. 24, 76–81.

Trisyulianti, E., Suryahadi, dan V. N. Rakhma. 2003. Pengaruh Penggunaan Molases

dan Tepung Gaplek Sebagai Bahan Perekat Terhadap Sifat Wafer Ransum

Komplit. 26, 35–39.

Widiyastuti, T., C. H. Prayitno., dan Munasik. 2004. Kajian kualitas fisik pelet pakan

komplit dengan sumber hijauan dan binder yang berbeda. Animal Production. 6

(1) : 43 – 48.

Wulansari, R., Y. Andriani, dan K. Heatami. 2016. Penggunaan Jenis Binder Terhadap

Kualitas Fisik Pakan Udang. J. Perikan. Kelaut. VII, 140–149.

Page 162: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

156

PENGARUH BIOURIN DAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA TERHADAP

HASIl, KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK HIJAUAN

KUMPAI (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Nees.) PADA LAHAN BEKAS

TAMBANG BATU BARA

H. Syafria1), N. Jamarun2)

1Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Kampus Pinang Masak Mendalo Jambi, Kode Pos

36361 Telp/Fax: (0741) 582907, HP: 081366818797, E-mail: [email protected] 2Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manis Padang, Kode Pos

25163 Telp/Fax: (0751) 71464, HP: 08126608179, E-mail: [email protected]

ABSTRAK Biourin dapat memberikan pengaruh terhadap kesuburan fisik, kimia dan biologis tanah.

Sedangkan mikoriza dapat membantu tanaman untuk penyediaan dan penyerapan unsur

hara, terutama posfor yang rendah ketersediaannya pada tanah masam/kritis. Tujuan

penelitian adalah untuk menemukan, mendapatkan dan membuktikan bahwa, pemberian

biorin dan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) sebagai agen bioteknologi, mampu

memperbaiki produkstivitas lahan bekas tambang batu bara, juga berpengaruh terhadap

hasil hijauan, kecernaan bahan kering dan bahan organik. Percobaan menggunakan

Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Perlakuan terdiri dari:

1) konsentrasi 0% biourin + FMA 20 g/pot, 2) konsentrasi 15% biourin + FMA 20 g/pot,

3) konsentrasi 30% biourin + FMA 20 g/pot dan 4) konsentrasi 45% biourin + FMA 20

g/pot. Peubah yang diamati adalah hasil bahan kering hijauan, kecernaan bahan kering

dan bahan organik metode In-Vitro. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan

berpengaruh (P<0.01) terhadap hasil bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan

organik hijauan. Perlakuan konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot menghasilkan

bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan organik tertinggi, diikuti konsentrasi

30% biourine + FMA 20 g/pot, konsentrasi 15% biourine + FMA 20 g/pot dan

konsentrasi 0% biourine + FMA 20 g/pot. Kesimpulan penelitian ini adalah perlakuan

konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot adalah perlakuan terbaik dari semua peubah

yang diamati.

Kata Kunci: Biourin, Fungi Mikoriza Arbuskula, Kumpai, Kecernaan Bahan Kering

dan Bahan Organik.

PENDAHULUAN

Memperluas penganekaragaman hijauan makanan ternak, maka hijauan lokal perlu

dikembangkan, karena hijauan lokal menunjukkan kelebihan dibanding introduksi, salah

satunya adalah rumput kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Ness). Rumput ini

merupakan sumber daya alam yang memiliki nilai biologis tinggi, cukup berpotensi

untuk menunjang ketersediaan hijauan pakan bagi ternak ruminansia, yang berbasis

Page 163: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

157

sumber daya lokal (Syafria, 1996, Syafria, 1998 dan Syafria, 2016).

Kendala peningkatan produksi dan kualitas hijauan yang berhubungan dengan

sumberdaya lahan di daerah tropika, antara lain adalah defisiensi unsur hara, kemasaman,

toksisitas, dan kandungan air tanah. Sedangkan lahan untuk penanaman hijauan juga

semakin berkurang, karena lahan yang subur pada umumnya untuk tanaman pangan,

perkebunan dan berbagai keperluan non pertanian (Jamarun dan Mardiati Zain, 2012).

Salah satu contoh adalah semakin luasnya lahan bekas tambang batubara yang terdapat

di dalam wilayah Propinsi Jambi. Hal ini disebabkan, karena semakin tingginya aktivitas

penambangan. Ratusan dan bahkan ribuan hektar lahan telah menjadi rusak dan berubah

menjadi lahan yang tidak produktif, karena adanya kerusakan struktur fisik dan

terdegradasinya unsur hara tanah, sehingga sulit bagi tanaman untuk tumbuh. Salah satu

solusi dalam pemecahannya adalah dengan memanfaatkan kembali lahan tersebut,

dengan sentuhan aplikasi teknologi biourin dan pupuk hayati mikoriza. Pemanfaatan

biourin dan mikoriza sebagai agen bioteknologi untuk meningkatkan produktivitas lahan

bekas tambang merupakan salah satu alternatif yang perlu dilakukan. Hal ini disebabkan,

karena penggunaan pupuk kimia meskipun meningkatkan hasil dan kualitas, tetapi

penggunaannya secara berlebihan dan terus-menerus akan merusak kelestarian

lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan, mendapatkan dan membuktikan

bahwa pemanfaatan biourin dan fungi mikoriza arbuskula dalam menngkatkan

produktivitas lahan bekas tambang batu bara serta pengaruhnya terhadap hasil, kecernaan

bahan kering dan bahan organik hijauan.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Kecamatan Kotabaru Kota Jambi selama 5 (lima) bulan.

Analisis bahan kering hijauan di laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi,

dan analisa kecernaan bahan kering dan bahan organik secara In-Vitro di laboratorium

Nutrisi Ruminansia Fakultas Peternakan Universitas Andalas.

Bahan dan Peralatan

Sebagai media tanam digunakan tanah bekas tambang batubara masing-masing 5

kg/pot. Hijauan yang ditanam adalah rumput kumpai, dengan bahan tanam berupa

potongan batang (stek), masing-masing terdiri dari 3 stek, Fungi mikoriza arbuskula yang

Page 164: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

158

digunakan adalah jenis multiple spora dengan merk dagang Cemiko I yang terdiri dari

(Glomus sp, Acaulospora sp dan Scutellospora sp,.), dan pupuk organik biourin.

Sebagai pupuk dasar digunakan TSP (45% P2O5), KCl (60% K2O), Urea (46% N), dan

kapur pertanian CaCO3.

Peralatan yang digunakan adalah: peralatan pengolah tanah, pemotong rumput,

mistar, alat penyiram, kantong plastik, timbangan, dan peralatan laboratorium untuk

analisa bahan kering dan kecernaan bahan kering dan bahan organik hijauan.

Metode Penelitian

Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan empat macam

perlakuan dan lima kali ulangan. Keempat macam perlakuan tersebut adalah: 1)

konsentrasi 0% biourin + FMA 20 g/pot, 2) konsentrasi 15% biourin + FMA 20 g/pot, 3)

konsentrasi

30% biourin + FMA 20 g/pot, dan 4) konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati adalah hasil bahan kering hijauan, kecernaan bahan kering

dan kecernaan bahan organik metode In-Vitro.

Pelaksanaan Penelitian

Sebelum rumput ditanam terlebih dahulu dilakukan pengambilan tanah untuk

media tanam secara komposit dari kedalaman 0-20 cm. Tanah tersebut dikering anginkan

dan dibersihkan dari akar tanaman dan bahan-bahan lain yang tidak diperlukan.

Pemberian fungi mikoriza arbuskula sebagai perlakuan berdasarkan pada hasil penelitian

Syafria (2016) yaitu 20 g/pot. Sedangkan untuk biourin sebagai perlakuan, digunakan

biourin hasil aerasi selama 6 jam dan difermentasi selama 21 hari. Dua minggu sebelum

tanam, kantong polybag disiapkan dan diisi tanah 5 kg/pot. Pemberian pupuk TSP, KCl,

Urea dan CaCO3, diberikan pada waktu yang bersamaan, dengan cara dicampur dengan

tanah dalam pot, kemudian diaduk agar homogen. Tanah yang sudah diberikan pupuk

dasar tersebut dibiarkan selama seminggu sampai saat penanaman. Pemberian mikoriza

dilakukan pada saat penanaman rumput, dengan cara memasukkan inokulum kedalam

setiap lubang tanam. Pemberian biourin dilakukan pada saat rumput berumur lebih

kurang dua minggu setelah tanam).

Page 165: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

159

Pengolahan Data

Pengolahan data secara statistik dalam Rancangan Acak Lengkap. Analisis ragam

dipergunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati.

Hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, dilanjutkan dengan Uji DNMRT

(Duncan Multiple-Range Test).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Bahan Kering Hijauan

Hasil analisis ragam pada periode pemotongan pertama dan kedua, memperlihatkan

bahwa perlakuan berpengaruh (P<0,01) terhadap hasil bahan kering. Hasil bahan kering

hijauan ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Biourine dengan Fungi Mikoriza Arbuskula terhadap Hasil Bahan

Kering Hijauan (g/pot).

Perlakuan Periode Pemotongan

Pertama Kedua

Konsentrasi 0 % biourin + FMA

20 g/pot

50.60 d 56.60 d

Konsentrasi 15 % biourin + FMA 20 g/pot

65.10 c 70.25 c

Konsentrasi 30 % biourin + FMA 20 g/pot

72.40 b 75.60 b

Konsentrasi 45 % biourin + FMA 20 g/pot

78.10 a 82.34 a

Ket : Angka-angka pada lajur yang sama diikuti huruf kecil berbeda, adalah berbeda nyata

pada Uji DNMRT taraf 5%.

Hasil bahan kering hijauan periode pemotongan pertama dan kedua perlakuan

konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot menunjukkan hasil tertinggi (P<0.05)

dibanding perlakuan lainnya. Rataan hasil bahan kering hijauan periode pemotongan

kedua untuk semua perlakuan lebih tinggi dibanding pemotongan pertama. Peningkatan

hasil bahan kering ini erat hubungannya dengan pertumbuhan bagian vegetatif tanaman.

Pertumbuhan dan perkembangan bagian vegetatif tanaman pada setiap perlakuan

menunjukkan hasil berbeda. Perlakuan konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot

menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman lebih baik dibanding perlakuan

lainnya, baik pada periode pemotongan pertama maupun kedua.

Page 166: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

160

Secara keseluruhan, dapat dinyatakan bahwa hasil bahan kering pada perlakuan

biourine + FMA lebih tinggi dibanding perlakuan FMA saja. Hal ini disebabkan, karena

mikoriza membutuhkan pupuk organik sebagai sumber energi dan nutrisi, dan konsumsi

oksigen menjadi meningkat, sehingga tanaman lebih mampu menyerap garam–garam

mineral dan suplai ion hidrogen yang dapat dipertukarkan. Oleh karena itu, akar yang

terinfeksi mikoriza memiliki energi kinetik penyerapan jauh lebih besar dari akar yang

tidak terinfeksi. Beinroth (2001) menyatakan bahwa mikoriza dapat meningkatkan

penyerapan hara dan air dari dalam tanah, yang memungkinkan tanaman menghasilkan

sel-sel baru dan hormon-hormon untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman,

memperbaiki agregat tanah sehingga proses aliran massa berjalan lebih baik. Oleh sebab

itu, perlakuan biourin dengan FMA lebih mampu berpengaruh terhadap peningkatan hasil

bahan kering dibanding perlakuan mikoriza tanpa biourin. Pada kondisi iklim yang sama,

maka kesuburan tanah lebih memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan

perkembangan tanaman (Syafria, 2009; Mardani. 2004). Hasil penelitian Syafria (2016)

pemberian FMA dan pupuk organik (kompos, kotoran sapi) di tanah kritis Ultisol juga

dapat meningkatkan hasil bahan kering hijauan kumpai.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Kecernaan bahan kering hijauan merupakan salah satu indikator untuk menilai

kualitas hijauan makanan ternak, karena dapat mencerminkan tingkat ketersediaan energi

bagi ternak. Sedangkan kecernaan bahan organik berhubungan dengan ketersediaan

bahan organik hijauan, karena semakin tinggi kandungan bahan organik, normalnya akan

meningkatkan persentase bahan organik. Data kecernaan bahan kering dan bahan organik

dicantumkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh Perlakuan Biourine dengan FMA terhadap Kecernaan Bahan

Kering dan Bahan Organik (%)

Perlakuan Kecernaan In-vitro

Bahan Kering Bahan Organik

Konsentrasi 0 % biourin + FMA 20 g/pot 50.43 c 48.43 c

Konsentrasi 15 % biourin + FMA 20 g/pot 51.54 c 49.15 c Konsentrasi 30 % biourin + FMA 20 g/pot 54.58 b 51.14 b

Konsentrasi 45 % biourin + FMA 20 g/pot 57.13 a 55.24 a

Ket : Angka-angka pada lajur yang sama diikuti huruf kecil berbeda, adalah berbeda nyata

Page 167: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

161

pada Uji DNMRT taraf 0,05.

Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa perlakuan berpengaruh (P<0,01)

terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Peningkatan kecernaan

bahan kering dan bahan organik organik ini disebabkan, karena adanya kemampuan

mikoriza dalam membantu penyerapan unsur hara dan air dalam tanah. Pupuk organik

biourin diperlukan sebagai sumber nutrisi dan energi bagi pertumbuhan dan

perkembangan mikoriza, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan penyerapan unsur

hara dan air oleh tanaman. Hal ini menyebabkan tanaman tumbuh menjadi lebih subur,

dan menghasilkan bahan kering serta kualitas lebih baik. Semakin meningkat konsentrasi

biourine dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Hal ini

berkaitan dengan kandungan bahan organik hijauan, semakin tinggi kandungan bahan

organik akan meningkatkan kecernaan bahan organik. Namun demikian, kecernaan

bahan kering yang berbeda pada tiap perlakuan, juga berpengaruh terhadap kecernaan

bahan organik. Bahan organik merupakan bagian dari bahan kering sehingga apabila

bahan kering meningkat akan meningkatkan kandungan bahan organik. Sutardi (1980)

menyatakan bahwa kecernaan bahan kering berkorelasi positif dengan kecernaan bahan

organik. Kecernaan bahan kering yang berbeda akan mengakibatkan kecernaan bahan

organik juga berbeda, dan peningkatan kecernaan bahan kering, juga memberikan

indikasi terhadap meningkatnya kecernaan bahan organik hijauan. Faktor lain yang juga

berperan dalam peningkatan kecernaan bahan kering dan bahan organik adalah

perkembangan mikroorganisme tanah. Perkembangan mikroorganisme tanah adalah

sebagai awal proses transfomasi nitrogen secara biologis dalam tanah, yang akan

menghasilkan konversi bentuk nitrogen organik menjadi bentuk anorganik yang tersedia

bagi tanaman (Widjayanto et al., 2001). Pupuk organik didalam tanah, akan mengalami

beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus atau

bahan organik tanah, sehingga bermanfaat bagi peningkatan produktivitas tanaman baik

kuantitas maupun kualitas.

KESIMPULAN

Perlakuan konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot menghasilkan bahan kering

hijauan, kecernaan bahan kering dan bahan organik lebih tinggi dibanding perlakuan

konsentrasi 30% biourin + FMA 20 g/pot, konsentrasi 15% biourin + FMA 20 g/pot dan

Page 168: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

162

konsentrasi 0% biourin + FMA 20 g/pot.

DAFTAR PUSTAKA

Beinroth, F. H. 2001. Land resources for forage production in the tropics In Sotomayor-

Rios A. Pitman Wd (eds) Tropical Forage Plants Development and Use CRC

Press. Pp 3 - 15. Jamarun, N. dan Mardiati Zain. 2012. Dasar nutrisi ruminansia.

Penerbit Jasa Surya Padang.

Mardani, Y, D. 2004. Pengaruh pupuk organik pada lahan marginal bekas penambangan

pasir terhadap produktivitas kacang tanah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian

Yogyakarta.

Sutardi, T. 1980. Landasan ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Makanan Ternak Fakultas

Peternakan Insitut Pertanian Bogor. Bogor

Syafna. 1996. Pengaruh penggenangan, pemupukan nitrogen dan interval pemotongan

terhadap pertumbuhan dan produksi rumput lokal kumpai (Hymenachne

amplexicaulis (Rudge) Nees.). Thesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian

Bogor. Bogor.

Syafria, H. 1998. Pengaruh pemupukan nitrogen dan interval pemotongan terhadap

pertumbuhan dan perkembangan rumput lokal kumpai (Hymenachne

amplexicaulis (Rudge) Nees.). Laporan Hasil Penelitian Kerja Sama Proyek

Pengembangan Sebelas Lembaga Pendidikan Tinggi (ADB Loan). Jambi.

Syafna. H. 2009. Efek pemupukan nitrogen dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan

produksi rumput lokal kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Nees.).

Majalah Ilmiah Percikan Bandung. Edisi Mei 2009. ISSN :0854 - 8986. Hal:

97-100. Bandung

Syafna. 2016. Peningkatan hasil dan nilai nutrisi rumput kumpai (Hymenachne

amplexicaulis (Rudge) Nees.) dengan fungi mikoriza arbuskula dan pupuk

organik di Ultisol sebagai makanan ternak. Disertasi. Pasca Sarjana Universitas

Andalas. Padang.

Widjajanto, D.W., Honmura, T., Matsushita, K., and Miyauchi, N. 2001. Studies on the

release of N from water hyacinth incorporated into soil-crop systems using 15

N-

labeling techniques. Pak. J. Biol. Sci., 4 (9): 1075 - 1077.

Page 169: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

163

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI

PADA SENTRA PETERNAKAN RAKYAT (SPR)

DI KABUPATEN MERANGIN

Muhammad Farhan1) dan Farizal1) 1

Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Kampus Pinang Masak Mendalo Jambi, Kode Pos

36361 Telp/Fax: (0741) 582907, HP: 082180436000, E-mail:

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun strategi yang efektif untuk

pengembangan usaha ternak sapi pada SPR Kabupaten Merangin. Adapun metode

penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei. Metode penarikan

sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah multi-stage cluster random sampling.

Model analisis penelitian ini menggunakan Matrik SWOT (Strenghth, Weakness,

Opportunities, Threats) yaitu metode yang dipakai untuk menyusun faktor- faktor

strategis pengembangan usaha ternak sapi pada SPR Kabupaten Merangin. Selain itu

penelitian ini menggunakan Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE

(Ekternal Factor Evaluation) dan Analisis Matriks QSPM (Quantitative Strategic

Planning Matriks) untuk mengembangkan sejumlah alternatif strategi yang terbaik dan

paling cocok dengan kondisi internal SPR Kabupaten Merangin serta lingkungan

eksternal pengembangan usaha ternak sapi pada SPR Kabupaten Merangin.

Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi pada Sentra Peternakan Rakyat (SPR)

di Kabupaten Merangin adalah strategi tumbuh dan bina (growth and build) Alternatif

strategi adalah meningkatkan kualitas hijauan pakan ternak (HMT) ternak sapi dengan

memanfaatkan jumlah pakan yang banyak dengan cara melakukan pelatihan pengolahan

hijauan dan integrasi antara ternak sapi dan perkebunan sawit serta memanfaatkan

perkembangan teknologi yang terbarukan.

Kata Kunci : Sentra Peternakan Rakyat (SPR), Ternak Sapi

PENDAHULUAN

Tujuan utama Sentra Peternakan Rakyat (SPR) untuk membangun peternakan

adalah a) Mewujudkan usaha peternakan rakyat dalam suatu perusahaan kolektif yang

dikelola dalam satu manajemen; b) Meningkatkan daya saing usaha peternakan rakyat

melalui peningkatan pengetahuan, kesadaran, dan penguatan keterampilan peternakan

rakyat; c) Membangun sistem informasi sebagai basis data untuk menyusun populasi

ternak berencana; d) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak rakyat; dan

e) Meningkatkan kemudahan pelayanan teknis dan ekonomis bagi peternakan rakyat.

Page 170: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

164

Program SPR komoditas ternak sapi yang baru diluncurkan pada tahun 2016

merupakan alternatif solusi untuk mengembangkan peternakan sapi rakyat agar

masyarakat peternak sapi memiliki usaha bisnis kolektif menuju swasembada daging

sapi. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah menetapkan sebanyak

50 SPR di seluruh Indonesia dari target 1.000 SPR pada tahun 2018, dimana

3 SPR terdapat di Provinsi Jambi yang masing-masing tersebar di Kabupaten

Sarolangun, Kabupaten Merangin dan Kabupaten Bungo dengan komoditas ternak

sapi. Program SPR ini dapat diselesaikan dalam waktu 4 tahun, namun demikian,

untuk memperbaiki kekurangan maupun kendala yang terjadi maka setiap tahun

diperlukan evaluasi terhadap program tersebut.

Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode

survei. Dalam penelitian kuantitatif, survei lebih merupakan pertanyaan tertutup,

sementara dalam penelitian kualitatif berupa wawancara mendalam dengan pertanyaan

terbuka (Hendri, 2009). Metode penarikan sampel yang digunakan pada penelitian ini

adalah multi-stage cluster random sampling (Harun Al Rasyid, 1994).

Analisis Data

Matriks SWOT (Strenghth, Weakness, Opportunities, Threats).

Menurut Rangkuti (2006) matrik SWOT adalah metode yang dipakai untuk

menyusun faktor-faktor strategis. Matrik SWOT ini menggambarkan secara jelas

bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat diselesaikan kekuatan

dan kelemahan yang dimiliki.

Tabel 1. Matriks SWOT Faktor Internal

Faktor Eksternal

KEKUATAN-S

Daftar kekuatan

KELEMAHAN-W

Daftar kelemahan

PELUANG-O

Daftar peluang

STRATEGI SO

Menggunakan kekuatan untuk

STRATEGI WO

Mengatasi kelemahan dengan

Page 171: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

165

memanfaatkan peluang memanfaatkan peluang

ANCAMAN-T

Daftar ancaman

STRATEGI ST

Menggunakan kekuatan untuk

menghindari ancaman

STRATEGI WT

Meminimalkan kelemahan dan

menghindari ancaman

Analisis Matriks QSPM (Quantitative Strategic Planning Matriks)

Setelah mengembangkan sejumlah alternatif strategi, SPR Kabupaten Merangin

harus mampu mengevaluasi dan kemudian memilih strategi yang terbaik dan paling

cocok dengan kondisi internal SPR Kabupaten Merangin serta lingkungan eksternal.

Tabel 2. Matriks QSP

Faktor Kunci

Rating

Alternatif Strategi

Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3

AS TAS AS TAS AS TAS

Peluang

Ancaman

Kekuatan

Kelemahan

Jumlah

Sumber : Umar, 2008

Keterangan :

AS = Attractiveness Score (Nilai Daya Tarik)

TAS = Total Attractiveness Score (Total Nilai Daya Tarik)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Matriks IFE (Internal Factor Evaluation)

Matriks IFE digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan internal

dan menggolongkannya menjadi kekuatan dan kelemahan Sentra Peternakan Rakyat

Kabupaten Merangin melalui pembobotan. Analisis lingkungan internal dilakukan

dengan menggunakan matriks IFE (Internal Factor Evaluation). Matriks IFE berfungsi

untuk mengetahui seberapa besar peranan faktor kekuatan dan kelemahan yang terdapat

pada Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin dalam pengembangannya.

Kekuatan utama yang ditandai dengan nilai total terbesar yaitu tingkat kematian

Page 172: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

166

ternak dan jarak kelahiran sedangkan kelemahan utama yang ditandai dengan nilai total

terkecil yaitu kepemilikan induk ternak sapi.

Berdasarkan dari hasil analisis matriks IFE, faktor kekuatan terdiri dari 9 faktor

kekuatan yaitu tingkat kematian ternak dengan nilai 0,24, kepemilikan ternak memiliki

nilai 0,20, jarak kelahiran mendapat nilai sebesar 0,24, umur induk bunting dengan nilai

0,12, pakan memiliki nilai sebesar 0,20, jumlah pakan hijauan yang banyak bernilai

0,20, bibit ternak sapi bali memiliki nilai 0,16, sistem pemeliharaan dengan nilai 0,16,

dan sistem perkawinan ternak menghasilkan nilai 0,20. Dengan demikian, jika

dijumlahkan 9 faktor kekuatan tersebut maka akan menghasilkan nilai total faktor

kekuatan sebesar 1,20.

Tabel 3. Hasil Analisis Faktor Kekuatan di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten

Merangin

No. Penilaian Kekuatan Bobot Rata-rata Rating

Rata-Rata

Nilai Total

Kekuatan

1 Tingkat kematian ternak sapi 0,06 4 0,24

2 Kepemilikan ternak 0,05 4 0,20

3 Jarak kelahiran 0,06 4 0,24

4 Umur induk bunting 0,04 3 0,12

5 Pakan 0,05 4 0,20

6 Jumlah pakan hijauan yang banyak 0,05 4 0,20

7 Bibit ternak sapi bali 0,04 4 0,16

8 Sistem pemeliharaan 0,04 4 0,16

9 Sistem perkawinan ternak 0,05 4 0,20

Total Faktor Kekuatan 0,44 35 1,2

Selain analisis faktor kekuatan, terdapat juga analisis faktor kelemahanyang

digunakan untuk mengetahui nilai faktor yang dapat menghambat dan mengganggu

program pengembangan Sentra Peternakan Rakyat di Kabupaten Merangin. Hasil

perhitungan total faktor kekuatan diperoleh nilai 1,20. Sedangkan faktor kelemahan

memiliki 11 faktor yaitu penyakit ternak dengan nilai 0,12, kepemilikan induk ternak

sapi dengan nilai 0,10, kekurangan hijauan pada musim kemarau mendapat nilai sebesar

0,12, kontinyuitas hijauan memperoleh nilai 0,12, kualitas hijauan dengan nilai 0,12,

teknologi pengolahan hijauan dengan nilai 0,10, bibit yang mudah sakit menghasilkan

nilai 0,10, rata-rata bobot badan ternak sapi memiliki nilai 0,06, jarak kandang dari

pemukiman dengan nilai 0,06, pembersihan kandang kurang efisien bernilai 0,04, dan

modal mempunyai nilai 0,12. Kemudian dari nilai 11 faktor kelemahan tersebut maka

Page 173: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

167

diperoleh hasil perhitungan total faktor kelemahan sebesar 0,84.

Total skor bobot IFE yang diperoleh dari total nilai faktor kekuatan sebesar 1,20

dan total nilai faktor kelemahan sebesar 0,84. Maka, total skor IFE (Internal Factor

Evaluation) sebesar 2,04. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa respon Sentra

Peternakan Rakyat dalam kondisi mampu untuk mengatasi kelemahan dan

memanfaatkan kekuatan yang ada, sehingga faktor internal Sentra Peternakan Rakyat

berada dalam kategori sedang. Hal ini sesuai dengan pendapat David (2004) bahwa skor

total nilai rata-rata adalah 2,5. Jika nilai di bawah 2,5 menandakan bahwa secara internal

adalah lemah. Sedangkan jika nilai berada di atas 2,5 menandakan posisi internal kuat.

Tabel 4. Hasil Analisis Faktor Kelemahan di SPR Kabupaten Merangin

No. Penilaian Kelemahan Bobot Rata

Rata Rating

Rata-Rata Nilai Total Kelemahan

1 Penyakit ternak sapi 0,06 2 0,12

2 Kepemilikan induk ternak sapi 0,05 2 0,10

3 Kekurangan hijauan pd musim kemarau 0,06 2 0,12

4 Kontinyuitas hijauan 0,06 2 0,12

5 Kualitas hijauan 0,06 2 0,12

6 Teknologi pengolahan hijauan 0,05 2 0,10

7 Bibit yang mudah sakit 0,05 2 0,10

8 Rata-rata bobot badan ternak sapi 0,03 2 0,06

9 Jarak kandang dari pemukiman 0,03 2 0,06

10 Pembersihan kandang kurang efisien 0,04 1 0,04

11 Modal 0,06 2 0,12

Total Faktor Kelemahan 0,55 21 0,84

Total Nilai IFE 1,0 56 2,04

Matriks EFE (Eksternal Factor Evaluation)

Matriks EFE digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan

eksternal dan menggolongkannya menjadi peluang dan ancaman Sentra Peternakan

Rakyat (SPR) Kabupaten Merangin dengan melakukan pembobotan. Matriks EFE

merupakan sebuah daftar yang membuat serangkaian faktor strategis eksternal yang

terdiri atas peluang dan ancaman (David, 2004).

Page 174: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

168

Tabel 5. Hasil Analisis Faktor Peluang di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten

Merangin

No. Penilaian Peluang Bobot

Rata-Rata Rating

Rata-Rata Nilai Total

Peluang

1 Permintaan ternak sapi 0,11 4 0,44

2 Kebijakan pemerintah 0,09 3 0,27

3 Integrasi ternak sapi dan perkebunan sawit 0,10 3 0,30

4 Pelatihan teknologi pengolahan hijauan 0,09 4 0,36

5 Adanya bantuan bibit dari pemerintah 0,09 4 0,36

6 Dukungan lembaga terkait 0,09 4 0,36

7 Perkembangan teknologi 0,09 3 0,27

Total Faktor Peluang 0,66 25 2,09

Berdasarkan dari hasil analisis, maka faktor peluang terdiri dari 7 faktor yaitu

permintaan ternak sapi dengan nilai 0,44, kebijakan pemerintah memiliki nilai 0,27,

integrasi ternak sapi dan perkebunan sawit mendapat nilai sebesar 0,30, pelatihan

teknologi pengolahan hijauan dengan nilai 0,36, adanya bantuan bibit dari pemerintah

memiliki nilai sebesar 0,36, dukungan lembaga terkait memiliki nilai sebesar 0,36 dan

perkembangan teknologi mempunyai nilai 0,27. Dengan demikian di dapat hasil

perhitungan total faktor peluang adalah 2,09.

Selain faktor peluang, ada juga faktor ancaman yang dihadapi oleh Sentra

Peternakan Rakyat di Kabupaten Merangin maka dilakukan analisis faktor ancaman

untuk memperoleh nilai total dari faktor ancaman. Setelah dilakukan analisis maka

diperoleh 5 faktor ancaman yaitu Belum adanya pasar dengan nilai 0,36, Kenaikan

harga pakan dengan nilai 0,27, Kebijakan impor sapi memperoleh nilai sebesar 0,16,

Pasar semakin selektif sebesar 0,20 dan Persaingan semakin kompetitif memiliki nilai

sebesar 0,28. Total faktor ancaman yang diperoleh adalah 1,27.

Page 175: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

169

Tabel 6. Hasil Analisis Faktor Ancaman di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin

No. Penilaian Peluang Bobot Rata-

Rata Rating Rata-

Rata Nilai Total Ancaman

1. Belum adanya pasar 0,09 4 0,36

2. Kenaikan harga pakan 0,09 3 0,27

3. Kebijakan impor sapi 0,04 4 0,16

4. Pasar semakin selektif 0,05 4 0,20

5. Persaingan semakin kompetitif 0,07 4 0,28

Total Faktor Peluang 0,34 19 1,27

Total Nilai EFE 1,00 44 3,36

Total skor bobot EFE yang diperoleh dari faktor peluang sebesar 2,09 dan faktor

ancaman sebesar 1,27. Maka, diketahui bahwa total skor EFE (Eksternal Factor

Evaluation) sebesar 3,36. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa respon Sentra

Peternakan Rakyat mampu memanfaatkan peluang dan menghadapi ancaman yang

ada, sehingga termasuk kedalam kategori kuat. Menurut David (2004) yang mengatakan

bahwa Skor total 4,0 mengidentifikasi bahwa organisasi merespon dengan cara yang luar

biasa terhadap peluang dan ancaman di pasar industinya. Sementara, skor total 1,0

menunjukkan bahwa organisasi tidak memanfaatkan peluang dan ancaman ekternal.

Peluang utama yang ditandai dengan nilai total terbesar yaitu permintaan ternak sapi

sedangkan ancaman utama yang ditandai dengan nilai total terkecil yaitu kebijakan

impor sapi. Hasil perhitungan matriks EFE dapat dilihat pada tabel 8 dan tabel 9.

Matriks IE (Internal - Eksternal)

Matriks IE merupakan pemetaan skor total matriks IFE dan EFE yang telah

dihasilkan pada tahap sebelumnya yang menunjukkan Sumbu Y pada matriks IE

menunjukkan skor total IFE sedangkan pada sumbu X menunjukan skor total EFE.

Tujuan penggunaan matriks ini adalah untuk memperoleh strategi pengembangan Sentra

Peternakan Rakyat di Kabupaten Merangin yang lebih detail. Berdasarkan hasil yang

Page 176: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

170

diperoleh dari tahap pengolahan data menggunakan analisis matriks IFE dan EFE, maka

diketahui nilai total matriks IFE Sentra Peternakan Rakyat adalah sebesar 2,04 dan nilai

total matriks EFE Sentra Peternakan Rakyat adalah sebesar 3,36. Sehingga, hasil dari

analisis matriks IE (internal-eksternal) Sentra Peternakan Rakyat berada di dalam sel

II yang berarti tumbuh dan membangun (growth and build). Strategi yang tepat

untuk diterapkan pada sel II adalah strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan

pasar dan pengembangan produk. Hasil analisis matriks IE dapat dilihat pada gambar 1.

Menurut Wahyudi (2011) pada penelitiannya mengatakan bahwa Matriks IE

ditunjukkan bahwa berada pada sel II yang artinya tumbuh dan kembangkan. Strategi

yang dapat diterapkan adalah strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar,

dan pengembangan produk) atau integratif (integrasi ke belakang, integrasi ke depan,

dan integrasi horizontal).

Matriks SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Threats)

Berdasarkan hasil analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Threats)

pada penelitian ini terdapat 9 faktor kekuatan internal yaitu tingkat kematian ternak,

kepemilikan ternak, jarak kelahiran, umur induk bunting, pakan, jumlah pakan hijauan

yang banyak, bibit ternak sapi bali, sistem pemeliharaan dan sistem perkawinan ternak.

Setelah faktor kekuatan, terdapat juga 11 faktor kelemahan internal yaitu penyakit

ternak, kepemilikan induk ternak sapi, kekurangan hijauan pada musim kemarau,

kontinyuitas hijauan, kualitas hijauan, teknologi pengolahan hijauan, bibit yang mudah

sakit, rata-rata bobot badan ternak sapi, jarak kandang dari pemukiman, pembersihan

kandang kurang efisien dan modal. Menurut David dan Fred (2004) yang menyatakan

bahwa analisis internal adalah proses pemeriksaan terhadap kekuatan dan kelemahan

internal organisasi. Tujuan adalah yang mengidentifikasi kelemahan yang harus

dihindari serta mengembangkan kekuatan menurut yang dikehendaki perusahaan.

Adapun obyek dalam analisis internal, antara lain : aspek pemasaran, aspek produksi,

aspek sdm dan aspek keuangan.

Selain faktor internal, terdapat juga faktor eksternal yang terdiri dari faktor

peluang dan faktor ancaman. Faktor peluang eksternal terdiri dari 7 faktor yaitu

permintaan ternak sapi, kebijakan pemerintah, integrasi ternak sapi dan perkebunan

Page 177: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

171

sawit, pelatihan teknologi pengolahan hijauan, adanya bantuan bibit dari pemerintah,

dukungan lembaga terkait dan perkembangan teknologi. Setelah faktor peluang,

terdapat juga 5 faktor ancaman eksternal yaitu Belum adanya pasar, Kenaikan harga

pakan, Kebijakan impor sapi, Pasar semakin selektif dan Persaingan semakin

kompetitif. Umar (2008) menjelaskan lingkungan ekternal merupakan suatu proses

yang dilakukan oleh perusahaan dalam perencanaan strategi untuk memantau sektor

lingkungan dalam menentukan peluang dan ancaman bagi perusahaan.

Berdasarkan faktor-faktor kekuatan dan kelemahan hasil analisis internal serta

faktor peluang dan ancaman yang diperoleh melalui analisis eskternal, maka dapat

diformulasikan alternatif-alternatif strategi dengan menggunakan matriks SWOT.

Beberapa alternatif strategi yang dapat diterapkan oleh Sentra Peternakan Rakyat

Kabupaten Merangin yaitu:

Strategi S-O (Strengths - Opportunities)

Strategi S-O (Aggressive Strategy) adalah menyusun strategi yang menggunakan

kekuatan Sentra Peternakan Rakyat di Kabupaten Merangin untuk memanfaatkan

peluang. Strategi yang dapat diterapkan pada Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten

Merangin adalah meningkatkan produksi dengan memanfaatkan kebijakan pemerintah

mengenai bantuan bibit ke peternak yang didukung oleh lembaga terkait dalam

memenuhi permintaan ternak sapi yang terus mengalami peningkatan (S1). Penerapan

strategi digunakan untuk memanfaatkan kebijakan pemerintah agar sentra peternakan

rakyat dapat meningkatkan produksi ternak sapi dan dapat memenuhi permintaan ternak

sapi.

Strategi lain yang dapat diterapkan adalah meningkatkan kualitas hijauan pakan

ternak (HMT) ternak sapi dengan memanfaatkan jumlah pakan yang banyak dengan cara

melakukan pelatihan pengolahan hijauan dan integrasi antara ternak sapi dan

perkebunan sawit serta memanfaatkan perkembangan teknologi yang terbarukan (S2).

Memanfaatkan jumlah pakan yang banyak di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten

Merangin untuk pelatihan pembuatan pakan alternatif dengan menggunakan

perkembangan teknologi.

Page 178: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

172

Strategi W-O (Weaknesses - Opportunities)

Strategi W-O (Turn-arround Strategy) adalah menyusun strategi untuk mengatasi

kelemahan Sentra Peternakan Rakyat di Kabupaten Merangin agar memperoleh

peluang. Strategi yang dapat diterapkan pada Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten

Merangin adalah kekurangan dan kontinyuitas hijauan dapat diatasi dengan melakukan

integrasi antara ternak sapi dan perkebunan sawit (S3). Kekurangan hijauan dapat

diatasi dengan integrasi peternakan dengan perkebunan sawit agar memenuhi

kekurangan hijauan di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin.

Strategi berikutnya yang dapat diterapkan yaitu kurang adanya teknologi

pengolahan hijauan dapat diatasi dengan melakukan pelatihan teknologi pengolahan

hijauan sehingga dapat meningkatkan kualitas hijauan (S4). Dengan kurang adanya

teknologi pengolahan hijauan maka perlu adanya pelatihan pengolahan hijauan agar

dapat memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak. Strategi lainnya adalah kepemilikan

induk yang lemah dengan rata-rata bobot badan rendah disebabkan oleh keterbatasan

modal sehingga dengan adanya dukungan dari lembaga terkait dapat menambah jumlah

induk (S5). Bobot badan ternak sapi rendah sehingga perlu adanya bantuan modal dari

lembaga terkait sehingga dengan adanya dukungan tersebut bobot badan ternak bisa

bertambah dan kemungkinan dapat menambah jumlah induk ternak sapi di Sentra

Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin.

Strategi berikutnya yang dapat diterapkan adalah Penyakit ternak sapi disebabkan

oleh sanitasi kandang yang buruk dapat dikurangi dengan memanfaatkan kebijakan

pemerintah yaitu sosialisasi sistem pemeliharaan yang baik sehingga dapat memenuhi

permintaan ternak sapi yang terus meningkat (S6). Sanitasi kandang memegang peranan

penting dalam menjaga kesehatan ternak sapi karena jika kandang bersih maka ternak

akan sehat. Namun sebaliknya jika sanitasi kandang buruk maka ternak akan mudah

terserang penyakit, sehingga dibutuhkan sosialisasi sistem pemeliharaan yang baik.

Strategi lain yang dapat diterapkan adalah Adanya bantuan bibit dari pemerintah

dapat dimanfaatkan untuk mengurangi bibit yang sakit sehingga dapat menambah

penghasilan peternak (S7). Adanya bantuan bibit dari pemerintah diharapkan dapat

memberikan manfaat berupa menambah penghasilan peternak bahkan bisa menjual bibit

ternak yang sakit dan menggantinya dengan bibit yang baru.

Page 179: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

173

Strategi S-T (Strengths - Threats)

Strategi S-T (Diversification Strategy) adalah menyusun strategi yang

menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman eksternal. Strategi yang dapat

diterapkan pada Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin adalah memanfaatkan

kualitas bibit lokal seperti sapi bali akan mengurangi konsumsi sapi impor, dengan

berkurangnya impor sapi maka akan menguntungkan peternak lokal (S8). Untuk

mengendalikan impor ternak maka dapat memanfaatkan kebijakan pemerintah dengan

meningkatkan kualitas ternak sapi lokal seperti sapi bali maka akan menguntungkan

peternak lokal.

Strategi yang lain dapat diterapkan ialah kualitas pakan hijauan yang bagus dan

banyak tersedia dapat dimanfaatkan untuk menghindari kenaikan harga pakan ternak

sapi berupa pakan tambahan (S9). Untuk menghindari mahalnya harga pakan maka

dapat diatasi dengan memanfaatkan jumlah pakan hijauan pakan ternak dengan kualitas

yang baik di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin. Strategi berikutnya yang

dapat diterapkan adalah keunggulan hasil produksi dapat digunakan untuk menghadapi

belum adanya pasar dengan menjual ternak ke luar daerah sehingga harga ternak akan

naik dan menguntungkan peternak (S10). Belum adanya pasar ternak bisa diatasi dengan

menjual ternak ke luar daerah maka ternak akan terjual dengan harga yang tinggi

sehingga pengembangan program Sentra Peternakan Rakyat di Kabupaten Merangin

tidak akan terhambat.

Strategi alternatif lain adalah sistem pemeliharaan dan perkawinan yang baik akan

menghasilkan produk ternak sapi yang bagus sehingga dapat menghadapi pasar yang

semakin selektif dan persaingan yang semakin kompetitif seperti saat ini (S11). Sistem

pemeliharaan di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin yang dominan adalah

semi intensif dan sistem perkawinan dominan menggunakan inseminasi buatan (IB).

Maka dengan demikian dapat dimanfaatkan untuk menghadapi pasar yang semakin

selektif dan kompetitif.

Strategi W-T (Weaknesses - Threats)

Strategi W-T (Defensive Startegy) adalah menyusun strategi untuk mengurangi

kelemahan yang dimiliki dan menghindari ancaman. Strategi yang dapat diterapkan

Page 180: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

174

pada Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin adalah kekurangan hijauan dan

kurang adanya adopsi teknologi pengolahan hijauan serta naiknya harga pakan ternak

sapi dapat dihindari dengan melakukan pelatihan pengolahan pakan alternatif sehingga

segala hal yang menyangkut pakan ternak sapi bisa diatasi dan belum adanya pasar dapat

diatasi jika memiliki kualitas ternak yang bagus (S12). Pelatihan pengolahan hijauan

makanan ternak sangat perlu dilakukan untuk mengatasi kurangnya hijauan sehingga

permasalahan kurangnya pakan hijauan dan belum adanya pasar bisa diatas maka akan

menambah penghasilan peternak.

Strategi alternatif lain adalah kurangnya jumlah kepemilikan induk disebabkan

oleh kekurangan modal yang dapat diatasi dengan memanfaatkan dukungan lembaga

terkait yang diharapkan memberikan bantuan dana sehingga dapat meningkatkan

produksi dan mengurangi impor sapi (S13). Dengan memanfaatkan dukungan lembaga

yang diharapkan membantu permodalan peternak sehingga akan dapat menambah

jumlah ternak dan akan meningkatkan produksi dan otomatis penggunaan ternak impor

dapat berkurang.

Strategi berikutnya adalah rata-rata bobot badan ternak sapi yang rendah

disebabkan oleh banyaknya penyakit yang menyerang ternak dewasa maupun ternak

bibit hal ini dapat dikurangi dengan perbaikan sistem sanitasi kandang sehingga dapat

menghindari pasar yang semakin selektif dan persaingan yang semakin kompetitif

(S14). Penyakit ternak sapi dapat di kurangi dengan memperbaiki sistem kebersihan

kandang atau sanitasi kandang. Sehingga bobot badan ternak sapi akan bertambah dan

akan menguntungkan peternak.

Matriks QSPM (Quantitative Strategic Planning Matriks)

Matriks QSPM adalah alat analisis yang digunakan untuk tahap pemilihan

strategi. Pemilihan strategi dilakukan berdasarkan alternatif – alternatif strategi yang

diperoleh dari analisis matriks IE dan matriks SWOT sebelumnya. Matriks ini akan

menentukan daya tarik relatif dari beberapa alternatif strategi yang dapat dilaksanakan

untuk pengembangan usaha yaitu strategi yang terpilih dari total nilai daya tarik terbesar.

QSPM merupakan matriks tahap akhir dalam kerangka kerja analisis formulasi strategi.

Teknik ini secara jelas menunjukkan strategi alternatif yang paling baik untuk dipilih

(Purwanto, 2008).

Page 181: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

175

Tabel 7. Hasil Analisis Matriks QSPM di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten

Merangin

No. Alternatif Strategi QSPM Nilai TAS

1 Alternatif Strategi 2 6,30

2 Alternatif Strategi 12 6,01

3 Alternatif Strategi 7 5,70

4 Alternatif Strategi 9 5,57

5 Alternatif Strategi 4 5,52

6 Alternatif Strategi 8 5,41

7 Alternatif Strategi 11 5,34

8 Alternatif Strategi 3 5,33

9 Alternatif Strategi 1 5,25

10 Alternatif Strategi 14 5,14

11 Alternatif Strategi 6 4,95

12 Alternatif Strategi 13 4,89

13 Alternatif Strategi 10 4,88

14 Alternatif Strategi 5 4,64

Berdasarkan hasil kerja pada tahap sebelumnya (Matching Stage) yang

menggunakan matriks IE (internal-external), selanjutnya pada tahap pengambilan

keputusan (Decission Stage) penulis menggunakan matriks QSPM. Matriks ini dapat

memberikan gambaran kelebihan-kelebihan relatif dari masing-masing strategi yang

selanjutnya menjadi dasar ojektif dalam memilih salah satu strategi yang menjadi

alternatif atau pilihan.

Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan analisis matriks QSPM

menunjukkan bahwa dari empat belas alternatif strategi yang diperoleh dari matriks

swot, maka dapat diketahui bahwa alternatif strategi yang dipilih dan paling

direkomendasikan dalam upaya pengembangan program Sentra Peternakan Rakyat

Kabupaten Merangin adalah meningkatkan kualitas hijauan pakan ternak (HMT) ternak

Page 182: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

176

sapi dengan memanfaatkan jumlah pakan yang banyak dengan cara melakukan pelatihan

pengolahan hijauan dan integrasi antara ternak sapi dan perkebunan sawit serta

memanfaatkan perkembangan teknologi yang terbarukan dengan memiliki nilai Total

Attractive Score (TAS) yang paling tinggi dari alternatif strategi yang lainnya yaitu 6,30.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan

analisis data yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Faktor-faktor internal pengembangan program Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten

Merangin adalah 2,04.

2. Faktor-faktor eksternal pengembangan program Sentra Peternakan Rakyat

Kabupaten Merangin adalah 3,36.

3. Strategi yang digunakan pengembangan program Sentra Peternakan Rakyat

Kabupaten Merangin yang dihasikan pada analisis SWOT digunakan pada matriks

QSPM yang menghasilkan alternatif strategi yang paling direkomendasikan untuk

digunakan adalah meningkatkan kualitas hijauan pakan ternak (HMT) ternak sapi

dengan memanfaatkan jumlah pakan yang banyak dengan cara melakukan pelatihan

pengolahan hijauan dan integrasi antara ternak sapi dan perkebunan sawit serta

memanfaatkan perkembangan teknologi yang terbarukan dengan nilai 6,30.

Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka saran dari penulis adalah

perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaplikasian alternatif strategi

berupa meningkatkan kualitas hijauan pakan ternak (HMT) ternak sapi dengan

memanfaatkan jumlah pakan yang banyak dengan cara melakukan pelatihan pengolahan

hijauan dan integrasi antara ternak sapi dan perkebunan sawit serta memanfaatkan

perkembangan teknologi yang terbarukan di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten

Merangin.

DAFTAR PUSTAKA

Bamualim, A.M., B. Trisnamurti, dan C. Thalib. 2008. Arah Penelitian Pengembangan

Sapi Potong di Indonesia. hlm. 4-12. Dalam A.L. Amar, M.H. Husain, K. Kasim,

Marsetyo, Y. Duma, Y. Rusyantono, Rusdin, Damry, dan B. Sundu (Ed).

Page 183: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

177

Pengembangan Sapi Potong Untuk Mendukung Percepatan Pencapaian

Swasembada Daging Sapi 2008-2010. Prosiding Seminar Nasional, Palu, 24

November 2008. Kerja Sama Antara Universitas Tadulako, Sub Dinas Peternakan

dan Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan Sulawesi Tengah.

David dan Fred. R. 2006. Manajemen Strategi, Buku 1, Edisi Kesepuluh, PT. Salemba

Empat. Jakarta

Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal

Peternakan, Jakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2015. Pedoman Sentra

Peternakan Rakyat (SPR). Penerbit Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Jakarta.

Dwiyanto, K. dan A. Priyanti. 2008. Keberhasilan Pemanfaatan Sapi Bali Berbasis

Pakan Lokal Pengembangan Usaha Sapi Potong di Indonesia. Wartazoa 18 (1):

34-45.

Elly, F.H. 2008. Dampak Biaya Transaksi terhadap Perilaku Ekonomi Rumah Tangga

Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. Disertasi. Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Elly, F. H, P. O. V. Waleleng, Ingriet D. R. Lumenta dan F. N. S. Oroh. 2013. Introduksi

Makanan Ternak Sapi Di Minahasa Selatan. Joural of Tropica Forage science

(Pastura) 3 (1) : 5-8.

Eni, S.R., N. Amali, Sumanto, A. Darmawan, dan A. Subhan. 2006. Pengkajian

Integrasi Usaha Tani Jagung dan Ternak Sapi Di Lahan Kering Kabupaten Tanah

Laut, Kalimantan Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Pertanian 9 (2): 129-139.

Hadi, P. U. Dan Nyak Ilham. 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha

Pembibitan Sapi Potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 21 (4):148-157.

Harun A. R. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala. Bandung: Program

Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

Isbandi. 2004. Pembinaan Kelompok Petani Ternak Dalam Usaha Ternak Sapi Potong.

J.lndon. Trop. Anim. Agric. 29 (2): 106-114.

Jaeil, L., Jung, L, Y,. 2013. A Cultural Comparison Of Sex Role Idenity And Attitude

Toward Grooming And Recreational Apparel Shopping Behavior Among Male

Consumers. Journal Of Fashion & Text. 15 (4) : 565 – 573.

Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

Riady, M. 2004. Tantangan dan Peluang Peningkatan Produksi Sapi Potong Menuju

2020.. Dalam B. Setiadi H. Sembiring, T. Panjaitan, Mashur, D. Praptono, A.

Muzan, A. Sauki, dan Wildan (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong.

Yogyakarta. hlm. 3-6.

Umar, H. 2008. Metode Riset Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Wahyudi, F, A. 2011. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Rangkaian Tanaman Hias

Kreatif Pada “Creative Shop” Di Desa Babakan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Skripsi Pada Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi Dan Manajemen. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Page 184: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

178

ANALISIS MODEL IMPOR TERNAK SAPI ASAL AUSTRALIA

Muhammad Farhan1), Pahantus Maruli1) dan Iskandar1)

1Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Kampus Pinang Masak Mendalo Jambi, Kode

Pos 36361 Telp/Fax: (0741) 582907, HP: 082180436000, E-mail:

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan impor ternak sapi

asal Australia terhadap harga daging sapi di Indonesia.. Data sekunder terdiri dari data

berurut waktu (time series) periode tahun 1990 – 2015 yang bersumber dari Australian Bureau

Statistic, United Nation Trade, FAO Stat, Badan Pusat Statistik, dan World bank. Model penelitian

ekonometrik pada penelitian ini adalah Impor Ternak Sapi asal Australia. Volume impor

sapi hidup asal Australia volumenya meningkat selama periode tahun 1990-2014 yaitu

rata-rata sebesar 38,68 % per tahun. Kebijakan impor ternak dan daging sapi asal

Australia berdampak terhadap peningkatan impor daging sapi asal Australia maupun asal

seluruh negara, dan berdampak juga pada peningkatan impor sapi hidup asal Australia dan impor

sapi hidup asal semua negara. Impor daging sapi asal Australia dipengaruhi oleh harga

daging sapi Australia, impor sapi hidup asal Australia, impor daging sapi asal selain

Australia, dan harga impor daging sapi asal Australia. Harga daging sapi domestik

dipengaruhi oleh harga impor daging sapi asal Australia dan harga daging sapi Australia Kata Kunci : Impor Ternak dan Daging Sapi, Harga Daging Sapi

PENDAHULUAN

Selama ini kebutuhan daging sapi Indonesia dipenuhi dari tiga sumber yaitu ternak

sapi lokal, impor ternak sapi dan impor daging sapi. Untuk menutupi kekurangan

penawaran daging sapi dalam negeri dilakukan impor dari berbagai negara, terutama

Australia dan Selandia Baru (Kusriatmi, 2014; Ilham, 2009; Maraya, 2013; Istiqomah,

2014). Selama sepuluh tahun terakhir laju perkembangan impor daging sapi cenderung

mengalami peningkatan yang signifikan yaitu pada tahun 2011 jumlah impor daging

sapi sebesar 35,59 % dan jumlah impor daging sapi tersebut meningkat pada tahun 2012

mencapai 42,08 %. Proporsi perkembangan impor ternak dan daging sapi mengalami

peningkatan seiring meningkatnya konsumsi daging sapi dalam negeri (Ditjen

Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013).

Menurut Departemen Perdagangan (2008), laju permintaan daging sapi yang lebih

tinggi dari laju pasokan daging lokal menyebabkan harga daging sapi domestik

Page 185: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

179

terus meningkat, sehingga pasokan impor terus makin membesar. Ironinya harga impor

yang murah justru menyesuaikan dengan harga domestik yang cenderung naik.

Ditambahkan oleh Ilham (2009), kenaikkan harga sapi ternyata tidak banyak dinikmati

peternak, dan justru dapat berdampak pada peningkatan inflasi, dan pengurasan populasi

sapi nasional.

Menurut Kementerian Pertanian (2015), kenaikan harga daging sapi yang terjadi

saat ini sebagai dampak dari ketidak seimbangan antara kuota produksi dan tingginya

permintaan masyarakat terhadap daging sapi. Terdapat sejumlah hambatan

distribusi/transportasi ternak sapi dari sentra produksi ke konsumen, baik menyangkut

persoalan transportasi kapal antar pulau maupun transportasi darat ikut memicu

kenaikan harga daging sapi. Konsekuensinya Indonesia harus melakukan impor ternak

dan daging sapi. Impor ternak dan daging sapi awalnya hanya untuk memenuhi segmen

pasar tertentu, namun kini telah memasuki segmen supermarket dan pasar tradisional.

Selain itu, menurut Kementerian Perdagangan (2015), peningkatan harga daging tahun

2015, menyebabkan usaha rumah potong hewan (RPH), pedagang daging sapi dan

pedagang bakso (termasuk rumah makan) tidak bisa beroperasi karena ketidakpastian

pasar. Situasi ini mengakibatkan banyak kerugian berantai (multiplier effect), pada

industri yang menggunakan bahan baku daging sapi.

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan metode analisis data sekunder dan metode

survey. Heaton (2004; dalam Andrews, et.al., 2012) merumuskan analisis data sekunder

adalah suatu strategi penelitian yang memanfaatkan data kuantiatif ataupun kualitatif

yang sudah ada untuk menemukan permasalahan baru atau menguji hasil penelitian

terdahulu. Metode analisis pada penelitian ini adalah analisis ekonometrik, yaitu

pengukuran dan analisis kuantitatif dari fenomena ekonomi dan bisnis aktual

(Studenmund, 2012), dan model ekonomi yaitu persamaan-persamaan matematis yang

menjelaskan berbagai hubungan (Wooldridge, 2016). Dalam penelitian ini digunakan

pendekatan ekonometrik dengan sistem persamaan simultan yaitu :

Page 186: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

180

Model Impor Ternak Sapi asal Australia

ITSAt = a0 + a1HTSAt + a2PDSDot + a3NTRt + a4IDSAt + a5TITSt + a6ITSsAt +

b7HITSAt+ U1....................................................................................... (1)

Tanda parameter dugaan yang diharapkan (hipotesis) adalah sebagai berikut:

a3, > 0; a1 , a2 , a4 , a5 , a6 , a7< 0

Dimana:

ITSAt = Impor ternak sapi asal Australia (kg)

HTSAt = Harga ternak sapi Australia (US$/kg)

PDSDot = Produksi daging sapi domestik (ton)

NTRt = Nilai Tukar Rupiah (Rp./US$)

IDSAt = Impor daging sapi asal Australia (kg) TITSt = Tarif impor ternak sapi (%)

ITSsAt = Impor ternak sapi asal selain Australia (kg)

HITSAt = Harga impor ternak sapi asal Australia (US$/kg)

U1 = Peubah pengganggu

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebijakan Impor Daging Sapi

Kebijakan Pemerintah beruapa penerapan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009

tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan menyebabkan lonjakan impor daging sapi

asal Australia sangat tinggi. Selain itu, penerapan Undang-Undang Nomor 18 tahun

2009 juga menyebabkan impor sapi hidup asal Australia juga melonjak sangat tinggi.

Tabel 5.1. Dampak Kebijakan Domestik Terhadap Impor Daging Sapi dan Sapi

Hidup

No Kebijakan Dampak

1 Kebijakan untuk Menghentikan

Ekspor Ternak Sapi dan Kerbau

ke Singapura dan Hongkong

tahun 1979

Mendorong perkembangan impor daging sapi asal

Australia jauh lebih cepat dibandingkan impor daging

sapi dari seluruh negara.

Perkembangan impor sapi hidup asal Australia relatif

sama dengan impor sapi hidup asal seluruh negara

2 Paket Mei Tahun 1995 Mendorong peningkatan impor daging sapi baik asal

Australia maupun asal seluruh negara

Perkembangan impor sapi hidup asal Australia dan

seluruh negara dengan adalah relatif sama.

3 Instruksi Presiden RI Nomor 2

Tahun 1998 Tentang

Perdagangan Antar Daerah

Menstimulus peningkatan impor daging sapi asal

Australia jauh lebih cepat dibandingkan impor daging

sapi asal seluruh negara.

Memberikan dampak yang sama terhadap impor sapi

Page 187: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

181

No Kebijakan Dampak

Tingkat I dan Daerah Tingkat

II/Pulau

4 Program Kecukupan Daging Sapi

2005

5 Peraturan Menteri Pertanian No.

59/Permentan/HK.060/8 /2007

Tentang Pedoman P2SDS

6 Peraturan Menteri Pertanian No.

19/Permentan/OT.140/2/ 2010

Tentang Pedoman Umum PSDS

2014

7 Permentan No. 50/Permentan /

OT.140/9/ 2011, dan Peraturan

Menteri Perdagangan Nomor :

24/M-Dag/Per/9/2011

8 Peraturan Menteri Perdagangan

Nomor : 46/M-Dag/Per/8/2013

dan Keputusan Menteri

Perdagangan Nomor : 699/M-

Dag/Kep/7/2013

9 Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2009 Tentang Peternakan

dan Kesehatan Hewan

hidup asal Australia dan seluruh negara

Mengurangi impor daging sapi asal Australia maupun

seluruh negara

Menambah impor sapi hidup asal Australia maupun

impor sapi hidup asal seluruh negara.

Perkembangan impor daging sapi asal Australia dan

seluruh negara terjadi peningkatan

Mendorong impor sapi hidup asal Australia maupun

seluruh negara.

Menghambat impor daging sapi asal Australia maupun

seluruh negara

Menurunkan impor sapi hidup asal Australia maupun

seluruh negara

Menghambat impor daging sapi asal Australia maupun

seluruh negara,

Penurunan terhadap impor sapi hidup asal Australia

Peningkatan terhadap impor daging sapi asal Australia

maupun asal seluruh negara.

Peningkatan terhadap impor sapi hidup asal Australia

saja tidak untuk impor sapi hidup asal semua negara.

Lonjakan impor daging sapi asal Australia sangat tinggi.

Impor sapi hidup asal Australia juga melonjak sangat

tinggi.

Impor Ternak Sapi asal Australia

Berdasarkan Gambar 5.2. impor sapi hidup asal Australia volumenya meningkat

selama periode tahun 1990-2014 yaitu rata-rata sebesar 38,68 % per tahun. Volume

impor sapi hidup asal Australia pada tahun 2014 sebanyak 246.834.352 kg meningkat

sangat signifikan dibandingkan tahun 1990 yaitu sebanyak 2.482.687 kg. Pada tahun

1995, tingkat pertumbuhan volume impor sapi hidup asal Australia adalah yang tertinggi

yaitu sebesar 256,23 % dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sedangkan

Page 188: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

182

pada tahun 1998 terjadi penurunan volume impor sapi hidup asal Australia yang paling

rendah yaitu sebesar -74,28 % dibandingkan tahun sebelumnya. Khusus untuk impor

sapi hidup, hal yang menarik yaitu hampir seluruh impor sapi hidup adalah berasal

dari Australia selama tahun 1990-2014 dengan rata-rata sebanyak 97,92 % per tahun

atau impor sapi hidup yang berasal dari negara lain rata-rata hanya 2,08 % per tahun.

Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor : 52/Permentan/OT.140/9/2011

menjelaskan bahwa pemasukan ternak sapi bakalan dapat dilakukan untuk : a)

Memenuhi kebutuhan ternak potong dalam negeri; b) Memenuhi kebutuhan daging

segmen khusus, dan c) Meningkatkan nilai tambah serta menciptakan lapangan kerja.

Adapun persyaratan teknis sebagai berikut : a) Status kesehatan hewan di negara asal

dan di lokasi peternakan asal; b) Berat badan sapi potong per ekor maksimal 350 kg

pada saat tiba di pelabuhan pemasukan, dan berumur tidak lebih dari 30 bulan serta

harus digemukan minimal 60 hari setelah masa karantina

Menurut Yusdja dkk (2004), impor ternak sapi bakalan ternyata memberikan

dampak negatif terhadap usaha penggemukan ternak sapi lokal, terutama peternak

rakyat dan perusahan peternakan serta pedagang antar pulau. Hal ini diperlihatkan oleh

berbagai hal sebagai berikut :

a. Sebagian besar perusahaan perdagangan ternak antar pulau di wilayah sentra

produksi (WSP) terpaksa tidak aktif lagi memasarkan ternak hidup ke wilayah sentra

konsumsi (WSK) yaitu Provinsi DKI dan Jawa Barat.

b. Peternak rakyat di WSP tidak dapat memasarkan ternaknya karena ditolak oleh para

pedagang antar pulau sekalipun dengan harga yang lebih murah

c. Jumlah pemotongan sapi lokal di berbagai kota konsumsi di daerah penelitian hampir

seluruhnya memperlihatkan penurunan. Artinya penawaran daging sapi lokal

semakin menurun dan digantikan oleh sapi impor.

d. Perdagangan ternak sapi antar pulau dan antar propinsi WSP dan WSK menurun

dalam empat tahun terakhir.

e. Namun demikian peningkatan impor ternak sapi bakalan telah membantu

menurunkan angka pengurasan. Dengan impor ternak sapi bakalan sebanyak

400.000 ekor per tahun, ternyata hanya membantu mengurangi pengurasan ternak

Page 189: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

183

sapi lokal. Jika jumlah impor ternak sapi bakalan mencapai 1 juta ekor, maka

kemungkinan besar akan terjadi pemulihan sapi-sapi lokal yang dapat berlangsung

5 tahun.

Sumber : United Nation Trade

Gambar 1.

Perkembangan Volume dan Share Impor Daging Sapi asal Australia

dan Seluruh Negara Tahun 1990-2014

Hadi et al. (1999) memperkirakan bahwa jika tidak ada perubahan teknologi

secara signifikan dalam proses produksi daging sapi dalam negeri, serta tidak adanya

peningkatan populasi sapi yang berarti, maka kesenjangan antara produksi daging sapi

dalam negeri dengan jumlah permintaan akan semakin melebar, sehingga berdampak

pada volume impor yang semakin besar. Hal ini tentu saja akan mengancam ketahanan

pangan dari sisi kemandirian pangan. Kemandirian pangan dapat diartikan bahwa

kebutuhan pangan nasional minimum 90 % dari dapat dipenuhi dari produksi dalam

negeri (Suryana 2004).

Persamaan Impor Ternak Sapi asal Australia

Hasil analisis Two-Stage Least Squares (2SLS) untuk persamaan Permintaan

Impor Ternak Sapi asal Australia (IDSA) diperoleh R2 sebesar 0,823568 (koefisien

determinasi). Selanjutnya hasil analisis diperoleh nilai Fstatistik = 31.21652 dengan

Perkembangan Volume Impor Sapi Hidup Australia dan Seluruh Negara Tahun 300,000,000 1990-2014

(kg)

300

250,000,000 200

200,000,000 100

150,000,000 0

100,000,000 -100

50,000,000 -200

0 -300

Vol. Impor Sapi Hidup Australia (kg) Pertumbuhan Australia (%) Share Impor Sapi Hidup Australia (%)

Vol. Impor Sapi Hidup (All) (kg) Pertumbuhan All (%)

Vo

lum

e I

mp

or

sap

i Hid

up

(k

g)

19

90

19

91

19

92

19

93

19

94

19

95

19

96

19

97

19

98

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

20

10

20

11

20

12

20

13

20

14

Per

tum

bu

han

& S

har

e (%

)

Page 190: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

184

Prob. (F-statistic) =0,00000. Fakta ini menunjukkan bahwa Harga ternak sapi Australia

(HTSAt), Produksi daging sapi domestik (PDSDot), Nilai Tukar Rupiah (NTRt), Impor

daging sapi asal Australia (IDSAt), Tarif impor ternak sapi (TITSt), Impor ternak sapi

asal selain Australia (ITSsAt) dan Harga impor ternak sapi asal Australia (HITSAt)

secara simultan mempengaruhi permintaan impor ternak sapi asal Australia (IDSA).

Hasil penelitian Kusriatmi (2014) menunjukkan bahwa kenaikan harga daging sapi

impor cenderung meningkatkan volume impor daging sapi, tetapi pengaruhnya tidak

signifikan (p > 0.2).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kebijakan impor ternak sapi asal Australia berdampak terhadap peningkatan impor

daging sapi asal Australia maupun asal seluruh negara, dan berdampak juga pada peningkatan impor

sapi hidup asal Australia dan impor sapi hidup asal semua negara

Saran

Perlu dilakukan pendataan konsumsi dan harga daging sapi dan sapi hidup

nasional terpisah untuk bulan idul fitri (terkait kebutuhan daging sapi), idul adha (terkait

kebutuhan sapi hidup) dan bulan lainnya sepanjang tahun. Data tersebut diperlukan agar

pemerintah dapat membuat paket kebijakan khusus untuk memenuhi kebutuhan pada

saat idul fitri dan idul adha

DAFTAR PUSTAKA

Benedictis, L., & Taglioni, D. (2011). The gravity model in international trade. In The

trade impact of European Union preferential policies (pp. 55-89). Springer Berlin

Heidelberg.

Cheng, K. M., Kim, H., & Thompson, H. (2013). The real exchange rate and the balance

of trade in US tourism. International Review of Economics & Finance, 25, 122-

128

Devadoss, S., Holland, D. W., Stodick, L., & Ghosh, J. (2006). A general equilibrium

analysis of foreign and domestic demand shocks arising from mad cow disease in

the United States. Journal of Agricultural and Resource Economics, 441-453.

Diakosavvas, D. 1995. How Integrated are World Beef Markets. The Case of Australian

and U.S. Beef Markets. Agricultural Economics. 12 (2). 37-53

Duckett, S. K., & Andrae, J. G. (2001). Implant strategies in an integrated beef

production system. Journal of Animal Science, 79(E-Suppl), E110-E117.

Page 191: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

185

Harmini, Asmarantaka, R.W., & Atmakusuma, Y. 2011. Model Dinamis Sistem

Ketersediaan Daging Sapi Nasional. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 12 (1). 130-

148.

Ilham, N. (2014). Analisis penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia.

JITV, 19(3).

Istiqomah, N.S. (2014). Kerjasama Australia-Indonesia dalam Bidang Ekspor Impor

Daging Sapi. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas

Hasanuddin.

Kawashima, S., & Puspito Sari, D. A. (2010). Time-varying Armington elasticity and

country-of-origin bias: from the dynamic perspective of the Japanese demand for

beef imports. Australian Journal of Agricultural and Resource Economics,

54(1), 27-41.

Kementerian Perdagangan RI. 2014. Statistik Harga Internasional 2008-2013. Diunduh

tanggal 05 September 2014 dari http://www.kemendag. go.id/id/economic-

profile/prices/ international-price-table?year=2013.

Kusriatmi (2014) Dampak Kebijakan Swasembada Daging Sapi Terhadap Kinerja

Ekonomi Subsektor Peternakan Di Indonesia. Disertasi. IPB

Lamy, E., van Harten, S., Sales-Baptista, E., Guerra, M. M. M., & de Almeida, A. M.

(2012). Factors influencing livestock productivity. In Environmental stress and

amelioration in livestock production (pp. 19-51). Springer Berlin Heidelberg.

Narayan, S. and Narayan, P. K. (2005) An empirical analysis of Fiji‟s import demand function. Journal of Economic Studies. Vol. 32, No. 2: 158-68

Nesamvuni, E., Lekalakala, R., Norris, D., & Ngambi, J. W. (2012). Effects of climate

change on dairy cattle, South Africa. African Journal of Agricultural Research,

7(26), 3867-3872.

Pulungan, R. E. (2014). Dampak Kebijakan Indonesia Membatasi Kuota Impor Daging

Sapi Dari Australia. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, 1(2), 1-10.

Pusdatin Kementan (2015) Outlook Komoditas Pertanian sub Sektor Peternakan:

Daging Sapi. Jakarta: Kementan

Reyes, J., Wooster, R., & Shirrell, S. (2014). Regional trade agreements and the

pattern of trade: A networks approach. The World Economy, 37(8), 1128-1151.

Rude, J., Carlberg, J., & Pellow, S. (2007). Integration to Fragmentation: Post-BSE

Canadian Cattle Markets, Processing Capacity, and Cattle Prices. Canadian

Journal of Agricultural Economics/Revue canadienne d'agroeconomie, 55(2),

197-216.

Schroeder, T. C., & Tonsor, G. T. (2011). Economic impacts of zilmax® adoption in

cattle feeding. Journal of Agricultural and Resource Economics, 521-535.

Schroeder, T. C., Tonsor, G. T., Pennings, J. M., & Mintert, J. (2007). Consumer food

safety risk perceptions and attitudes: impacts on beef consumption across

countries. The BE Journal of Economic Analysis & Policy, 7(1).

Seo, S. N., & Mendelsohn, R. (2008). Measuring impacts and adaptations to climate

change: a structural Ricardian model of African livestock management.

Agricultural economics, 38(2), 151-165.

Page 192: Hasil Penelitian - UNJA

PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)

ISBN : 976-602-50946-2-0

186

Sinha, D. (2016). Dimensions of Changing Directions of Trade: A System Dynamics

Framework. Available at SSRN 2784100.

Studenmund, A. (2017). Using econometrics. 7th Edition. Boston: Pearson

Surico, P. (2003). Geographic concentration and increasing returns. Journal of

economic surveys, 17(5), 693-708.