Download - Hasil Penelitian - UNJA
ii
PROSIDING Hasil Penelitian
“ Membangun Peternakan Berkelanjutan
Menuju Era Industri 4.0”
Jambi, 2 - 3 Oktober 2019
TIM PENYELIA : Prof. Dr. Ir. H. Abdul Azis , MS Prof. Dr. Ir .H. R.A. Muthalib, MS Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, MSc. Agr. Prof. Dr. Ir . Hj. Adriani. MS Prof. Dr. Ir. Hj. Zubaidah, MS Prof. Dr. Ir. Ucop Haroen, MS
Penerbit : Fakultas
Peternakan
Universitas Jambi
ii
PROSIDING
HASIL PENELITIAN
SEMINAR NASIONAL 2019 “Membangun
Peternakan Berkelanjutan Menuju Era
Industri 4.0”
Tim Penyelia : Prof. Dr. Ir. H. Abdul Azis , MS Prof. Dr. Ir .H. R.A. Muthalib, MS Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, MSc. Agr. Prof. Dr. Ir . Hj. Adriani. MS Prof. Dr. Ir. Hj. Zubaidah, MS Prof. Dr. Ir. Ucop Haroen, MS
ISBN : 976-602-50946-2-0
Disain sampul dan tata letak :
Dr. Ir. H.M. Afdal, MSc., M.Phil.
Penerbit :
Fakultas Peternakan Universitas Jambi
Alamat :
Kampus UNJA Mendalo Indah KM 15 Jambi 36361 Telepon/Fax : (0741) 582907
Cetakan pertama, Januari 2020
Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
iii
PROSIDING
Hasil Penelitian SEMINAR NASIONAL 2019
Membangun Peternakan Berkelanjutan Menuju
Era Industri 4.0”
Panitia Pelaksana kegiatan Seminar Nasional tahun 2019 Fakultas
Peternakan Universitas Jambi
Steering Comitee
Penanggung Jawab : Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, M.Sc Agr. (Dekan Fakultas Peternakan)
Anggota Dr. Sc. Agr Ir. Teja Kaswari, M.Sc (W akil Dekan Bidang Akademik, Kerjasama dan Sistem Informasi) Dr. Ir. Agus Budiansyah, MS (W akil Dekan Bidang Umum, Perencanaan dan Keuangan) Dr. Ir. Depison, M.P. (W akil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni)
Ketua : Dr. Firmansyah, SPtM.P W akil ketua : Dr. Ir. Mairizal, Msi Sekretaris : Dr. Heni Suyani, SPt. Bendahara : Afriani H. SPt. M.P
Bagian Pelaksanaan Acara
Seminar
: Prof. Dr. Ir . Adriani. MS
Ir. Yusrizal, MSc., Ph.D Ir. W iwaha A.S, MSc., Ph.D. Dr. drh. Fahmida Manin, MP Dr. Ir. Syafril Hadi, M.S Dr. Ir. H. Afzalani, M.P Dr. Ir. Suparjo, M.P
Bagian Sekretariat, Publikasi dan dokumentasi
: Dr. Ir. H.M. Afdal, MSc., M.Phil Dr. Ir . Akmal MSi Dr. Bagus Pramusintho, SPt.M.Sc.
M. Hariski, S.Pi
RTS Sherly Dwijayanti, S.Pt., M.Pt. Siti Rahayu, S.E Drh. Nurbani Azis
Bagian Kerjasama : Dr. Ir. Fachroerrozy Hoesni, M.P.
Bagian Field Trip : Ir. Saitul Fakhri, M.Sc., Ph.D
Dr. Ir Rahmi Dianita S.Pt. M.Sc
Bagian Konsumsi : Nelwida, S.Pt., MP Filawati, S.Pt., MP
Bagian Perlengkapan dan Transprotasi
: Dr. Yatno, S.Pt., M.Si
Supriyadi, S.H
W ahyudi Darmawan Fauzan Ramadan S.Pi
Penyelia : Prof. Dr. Ir .H. R.A. Muthalib, MS Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, M.Sc. Agr. Prof. Dr. Ir. Hj. Adriani, MS Prof. Dr. Ir. H. Abdul Azis, MS Prof. Dr. Ir. Hj. Zubaidah, MS Prof. Dr. Ir. Ucop Haroen, MS
Penyunting : Ir. W iwaha A.S, M.Sc., Ph.D Dr. Heni Suryani, S.Pt. Dr. Bagus Pramusintho, S.Pt. M.Sc
iv
KAT A PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa atas segala rahmatNya kepada kita sekalian, serta dengan izinNya
SEMINAR NASIONAL TAHUN 2019 Hasil Penelitian yang bertema :
Membangun Peternakan Berkelanjutan Menuju Era Industri 4.0 yang
diadakan oleh Fakultas Peternakan Universitas Jambi dapat terlaksana
dengan baik dan prosiding ini dapat diterbitkan.
Teknologi akan selalu berkembang untuk mendukung berbagai aspek
kehidupan manusia, tidak terkecuali di bidang peternakan. Industri peternakan
semakin berkembang di era industri 4.0 dimana produk peternakan
diciptakan dan dibuat segala sesuatunya menjadi lebih cepat, smart, dan
efisien.
Prosiding ini memberikan kesempatan untuk berbagi informasi
tentang berbagai strategi untuk meningkatkan kemampuan peneliti
dalam melakukan penelitian serta penerapan hasil-hasil penelitian bidang
peternakan. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat menciptakan inovasi serta
memenuhi tuntutan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan sosial
ekonomi khususnya di bidang peternakan
Kami menyadari bahwa dalam penyelenggaran seminar ini masih
banyak kekurangan baik dalam penyajian acara, pelayanan administrasi maupun
keterbatasan fasilitas, serta penyusunan prosiding Seminar Nasional hasil
penelitian tahun 2019 ini masih banyak kekurangan. Pada akhirnya kami
ucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang begitu tinggi kepada
semua pihak yang membantu dalam penyusunan prosiding Seminar Nasional
hasil penelitian tahun 2019.
Jambi, Oktober 2019
Ketua Panitia
Dr. Firmansyah, S.Pt., MP.
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….... ii
DAFTAR ISI ……………………………………………..……………………...… v
PEMAKALAH SEMINAR HASIL PENELITIAN
1. Kecernaan Serat Kasar Dan Energi Metabolisme Ayam Broiler Yang Diberi
Ransum Tepung Daun Lamtoro dengan Beberapa Perlakuan ..................................... 1
Nita Yessirita, Zasmeli Suhaemi, dan Yurnalis
2. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan pada Sapi Potong Di Kecamatan Sumber
Harta Kabupaten Musi Rawas ................................................................................... 12
Ririn Novita, Sadjadi, Budi Susilo
3. Inventarisasi Hijaun Pohon Sebagai Pakan TambahanTernak Ruminansia Di
Kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat Daya ....................................................... 27
D.deLima dan C. K. Pattinasarany
4. Evaluasi Kualitas Fisik dengan beberapa Jenis Pengolahan Pakan pada Pelepah
Sawit Sebagai Pakan Ternak Kerbau Rawa (Buffelus asiaticus)
W. Ibrahim dan J. Laksono ....................................................................................... 40
5. Pengaruh Bioprosessing Kulit Buah kakao (Theobroma cacao) menggunakan
ProbiotikTerhadap Kandungan Fraksi Serat Serat ....................................................48
Sri Rahayu dan Djoko Subagyo
6. Kualitas Reproduksi Sapi Jantan PO Sebagai Calon Bibit yang Diberi Minum
Tersuplementasi Ekstrak Buah Merah .......................................................................57
Nurcholis, S.M. Salamony, dan D. Muchlis
7. Pengaruh Pengunaan Tepung Biji Asam kandis (Garcinia cowa) sebagai Imbuhan
Pakan Alami (NGPs) terhadap Kecernaan Protein, Energi Metabolis, Lebar Kripta
dan Panjang Vili Usus Ayam Pedaging… ................................................................ 63
O.Sjofjan, D.N. Adlia, S. Lailiyah, dan M.J. Abdillah
8. Potensi dan Produktivitas Ternak Itik di Kawasan Pasang Surut Kabupaten
Tanjung Jabung Barat .............................................................................................. 73
Jalius dan Musriadi
9. Strategi Pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis Peternakan Berdasarkan
Model Sosial dan Ekonomi Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur ......................... 89
Afriani, H. Syafril, H. dan Firmansyah
10. Pengaruh Pemberian Probio_FM Powder dalam Pakan Terhadap Jumlah Eritrosit,
Nilai Hematokrit dan Kadar Hemoglobin Kambing Kacang ................................... 101
Alexander, Pudji, R. Anie, I. Famida, M and Darlis
11. Efektifitas Senyawa Antibakteri Asal Pediococcus pentosaceus BAF715 untuk
Meningkatkan Kualitas Mikrobiologis Fillet Ikan Gabus (Channa Striata) Pada
Penyimpanan Suhu Chiling .................................................................................... 107
Afriani dan Haris Lukman
12. Analisis struktur, perilaku dan kinerja (structure-conduct-performance) pasar
ternak sapi untuk meningkatkan efisiensi pemasaran di Kabupaten Batanghari ...... 119
Firmansyah, Afriani H, dan Aulia Arum Chandra Kartika
13. Keberhasilan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab)
Berdasarkan Pemeriksaan Status Dan Gangguan Reproduksi Serta Pengendalian
Pemotongan Sapi Betina Produktif Di Kabupaten Tebo .......................................... 130
Fachroerrozi Hoesni dan Firmansyah
14. Evaluasi Penggunaan Berbagai Jenis Dan Konsentrasi Bahan Perekat Terhadap
Kualitas Fisik Biskuit Konsentrat Mengandung Indigofera Untuk Ternak
Kambing ................................................................................................................ 144
R. A. Muthalib, Afzalani, Wati N, Dianita, R
15. Pengaruh Biourin dan Fungi Mikoriza Arbuskula Terhadap Hasil, Kecernaan Bahan
Kering Dan Bahan Organik Hijauan Kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge)
Nees.) pada Lahan Bekas Tambang Batu Bara …………………………………… 156
H. Syafria dan N. Jamarun
16. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi Pada Sentra Peternakan
Rakyat (Spr) Di Kabupaten Merangin …...........................................……………. 163
Muhammad Farhan dan Farizal
17. Analisis Model Impor Ternak Sapi Asal Australia .……………..………….……. 178
Muhammad Farhan, Pahantus Maruli dan Iskandar
vi
1
Kecernaan Serat Kasar Dan Energi Metabolisme Ayam Broiler
Yang Diberi Ransum Tepung Daun Lamtoro dengan Beberapa
Perlakuan
Nita Yessirita1), Zasmeli Suhaemi2), dan Yurnalis1)
1)Prodi Tekhnologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Ekasakti,
Padang 2)
Prodi Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Tamansiswa, Padang
Corresponding author e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Lamtoro adalah hijauan makanan ternak yang dapat dijadikan bahan
pakan ternak karena bernilai gizi baik namum defisiensi terhadap asam amino
metionin lisin, untuk itu harus didatangkan dari luar karena ternak unggas tidak
dapat memproduksinya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kecernaan serat
kasar dan energi metabolisme ransum ayam pedaging yang mengandung tepung
daun leucaena (TDL) dengan beberapa perlakuan. Penelitian menggunakan 30 ekor
ayam broiler umur 6-8 minggu. Percobaan ini menggunakan rancangan acak
lengkap, yang terdiri dari 3 perlakuan dan 8 ulangan. Perlakuannya adalah sebagai
berikut: R0 = ransum berbahan dasar + 7,5% TDL tanpa fermentasi, R1 = ransum
berbahan dasar + 7,5% TDL yang difermentasi oleh Bacillus laterosporus dan R2
= ransum berbahan dasar + 7,5% TDL yang difermentasi oleh Bacillus laterosporus
dengan suplementasi 0,40 % metionin 1,25% lisin. Data dianalisis dengan analisis
varians (ANOVA) dan dilanjutkan oleh uji Duncan New Multiple Range Test 5%.
Parameter yang diamati adalah kecernaan serat kasar dan energi metabolisme. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat perlakuan sangat nyata (P < 0,01) terhadap
kecernaan serat kasar dan energi metabolisme ayam broiler. Berdasarkan penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa 7,5% tepung daun lamtoro yang difermentasi oleh
Bacillus laterosporus dengan suplementasi 0,40% metionin 1,25% lisin dapat
meningkatnya nilai kecernaan serat kasar (57,66%) energi dan metabolisme
(3013,49 kkal / kg) ayam broiler.
Kata kunci: serat kasar, kecernaan, energi metabolisme, perlakuan
PENDAHULUAN
Ternak unggas seperti broiler merupakan pilihan yang tepat dalam memenuhi
kebutuhan protein secara cepat. Dalam pemeliharaan ternak unggas perlu
diperhatikan kebutuhan nutrisi yang berhubungan dengan biaya pakan yang
memegang peranan penting karena mempengaruhi 70% biaya produksi. Untuk
menekan biaya pakan dicari alternatif dengan menfaatkan bahan lokal seperti
limbah dan hijauan, yang murah, dan banyak tersedia apabila diolah dengan baik
dapat dijadikan pakan broiler berkualitas, salah satunya daun lamtoro.
2
komposisi proksimat yaitu 88,2% bahan kering, 21,8% protein kasar, 15,1% serat
kasar, 3,1% abu, 8,6% lemak, dan 50,7% BETN dan ditambahkan oleh Ayssiwede,
et al. (2010) menambahkan dari beberapa hasil penelitian, bahwa lamtoro penting
sebagai sumber bahan pakan karena kaya akan protein, asam- asam amino esensial,
mineral, karotenoid dan vitamin. Namum demikian terdapat mimosin sebagai faktor
toksik penting dan sering disebut sebagai penghambat dalam pemanfaatan secara
intensif.
Yessirita (2013) melaporkan tepung daun lamtoro difermentasi dengan
Bacillus laterosporus, menggunakan bakteri yang berasal dari saluran pencernaan
itik Pitalah sebagai inokulum fermentasi dapat mendetoksi mimosin daun lamtoro
dan mereduksi Mimosin 64,89% (dari 2,62 turun menjadi 0,92%) serta peningkatan
Beta-karoten 96,91% (dari 972,75 ppm naik menjadi 1915,48 ppm).
Permasalahannya bahwa produk samping fermentasi mengandung asam
nukleat, dimana protein tidak dimanfaatkan maksimal pada unggas karena tidak
memiliki enzim Ribonuklease akan terbuang bersama feces, sehingga protein yang
dihasilkan bukan protein yang mengandung asam-asam amino yang lengkap (Safaa
et al, 2008). Selanjutnya ditambahkan Garcia et al, 1996) bahwa lamtoro defisiensi
akan asam amino metionin dan lisin, jadi harus didatangkan dari luar karena ternak
tidak dapat memproduksinya sendiri, untuk itu perlu suplementasi asam amino
metionin lisin sintesis mengatasi masalah tersebut (Widyastuti, 2010). Asam
amino lisin dan metionin, merupakan asam amino perlu diperhatikan dalam
menyusunan ransum karena lisin merupakan asam amino pembatas utama unggas
disusul metionin sebagai asam amino pembatas kedua, yang merupakan asam
amino essensial dalam pakan unggas (Lessson and Summers, 2001). Tepung
daun lamtoro fermentasi dan disuplementasi 0,40% metionin dan 1,25% lisin dapat
meningkatkan kandungan protein kasar 6,88% menurunkan serat kasar 39,30% dan
kandungan Betakaroten 68,49%, lebih baik dibandingkan produk fermentasi tanpa
suplementasi metionin-lisin (Yessirita, 2017).
Pengukuran kecernaan disebut jugq nilai cerna suatu bahan pakan adalah
usaha untuk menentukan jumlah nutrien dari bahan pakan yang didegradasi dan
diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga merupakan presentasi nutrisi
yang diserap dalam saluran pencernaan dimana hasilnya akan diketahui, yaitu
Eniolorunda (2011) melaporkan Tepung daun lamtoro (TDL) mempunyai
3
yang dikeluarkan dalam feses. Nutrisi yang tidak terdapat dalam feses inilah
diasumsikan sebagai nilai yang dicerna dan diserap (Suhardjo dan Kusharto, 2001).
Energi metabolis menurut Sibbald (1980) adalah perbedaan antara
kandungan energi bruto bahan pakan atau ransum dengan energi bruto yang
dikeluarkan melalui ekskreta. Dalam menyusun ransum untuk unggas selain
kandungan nutrien seperti karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral juga
kandungan energi perlu di perhatikan mengingat tingkat energi ransum menentukan
banyaknya pakan yang dikosumsi (Wahju, 1997). Kebutuhan energi dijadikan
standar dalam penyusunan ransum ternak sehingga pengetahuan kandungan energi
secara kuantitatif sangat penting (Mc Donald et al.,2010). Anggorodi (1995)
menyatakan bahwa zat nutrisi sumber energi adalah karbohidrat, lemak dan protein,
sedangkan menurut Wahju (1997) karbohidrat berbentuk selulosa, hemiselulosa,
dan lignin sulit dicerna oleh unggas. Tingginya kandungan serat kasar dapat
memberikan dampak negatif terhadap metabolisme energi. Apabila polisakarida
dalam serat kasar tidak dapat dicerna, maka bisa menurunkan ketersediaan energi
dalam ransum, sedangkan jika polisakarida dalam serat kasar dapat dicerna,
selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan energi dalam ransum dan
meningkatkan energi metabolis (Elvina, 2008). Berdasarkan hal di atas maka
dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh suplementasi
metionin lisin Kecernaan Serat Kasar dan Metabolisme Energi pada ayam broiler.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di kandang percobaan di Lolong Padang.
Metode penentuan kualitas nutrisi perlakuan terhadap energi metabolisme dan
retensi nitrogen menggunakan metode Sibbald dan Morse (1983) yang dimodifikasi
oleh Darana (1995). Analisa retensi N dan Metabolisme energi dilaksanakan di
labor Nutrisi non Ruminansia, Fakultas Peternakan Unand Padang. Penelitian ini
menggunakan 30 ekor broiler strain Cobb, berumur 6-8 minggu dengan bobot badan
±1600 gram. Kandang yang digunakan adalah kandang battery berukuran
20x30x30 cm sebanyak 30 unit, dilengkapi dengan
dengan melihat selisih antara jumlah nutrisi yang dimakan d an jumlah nutrien
4
digital O’Haus (untuk menimbang ayam, ransum dan eksreta), wadah penampung
eksreta, tabung penyemprot, spuit untuk mencekokkan ransum perlakuan ke broiler,
aluminium foil, pengaduk dan oven untuk mengeringkan eksreta. Bahan kimia yang
digunakan adalah aquades 1 liter dan H2SO4 0,3 N. Pakan yang digunakan adalah,
jagung giling, dedak, bungkil kedelai, tepung ikan, premix A, tepung daun lamtoro:
tidak difermentasi, difermentasi dengan Bacillus laterosporus dan, difermentasi
dengan Bacillus laterosporus ditambah suplemen 0,40% metionin dengan 1,25%
lisin. Komposisi zat-zat makanan dan energi metabolisme dari bahan makanan
penyusun ransum dapat dilihat pada Tabel 1.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang menggunakan Rancangan
acak lengkap (RAL) (Steel and Torrie, 1994) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 8
ulangan, dengan susunan sebagai berikut:
R0 = Ransum basal + LLM tidak difermentasi
R1 = Ransum basal + LLM difermentasi dengan Bacillus laterosporus
R2 = Ransum basal + LLM difermentasi dengan Bacillus laterosporus
disuplementasi 0,40% metionin 1,25% lisin
Pada penelitian ini, ayam ditempatkan di kandang battery secara individual
dan diberi pakan perlakuan masing-masing 10% dari berat badan (BB).
Penampungan eksreta dilakukan setelah ternak dipuasaka selama 24 jam.
Penampungan eksreta dilakukan setelah ternak dibei ransum perlakuan. Setiap
eksreta disemprot H2SO4 setiap 3 jam, supaya Nitrogennya tidak menguap. Ayam
diberi minum ad libitum. Kemudian eksreta dikeringkan dan digiling dan ditimbang
untuk kemudian dianalisa. Parameter yang diukur adalah : daya cerna serat kasar
dan energi metabolismenya.
A. Pelaksanaan Penelitian
Proses Fermentasi Tepung Daun Lamtoro dengan Bacillus laterosporus
1. Persiapan substrat tepung daun lamtoro
Lamtoro yang dipakai dalam penelitian ini , adalah lamtoro lokal yang
memilki tinggi 2 – 5 m, diambil daunnya, kemudian dioven suhu 60oC selama 24
jam, selanjutnya digiling untuk dijadikan tepung (untuk ransum R0)
2. Pembuatan inokulum
Pembuatan inokulum dengan menggunakan substrat dedak 100 g ditambah
dengan aquades 60 ml di autoklaf selama 30 menit pada suhu 120oC, 1 atm lalu
tempat makan dan minum. Perlengkapan yang digunakan adalah timbangan
5
tambahkan 20 ml aquades, kemudian digerus dengan jarum ose. Selanjutnya
divortek agar larutan homogen, campurkan isolate kedalam plastik yang berisi
dedak, diaduk hingga merata dan ditutup kemudian diberi lubang untuk menjaga
aerasi. Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C.
3. Prosedur fermentasi
Substrat kering tepung daun lamtoro ditimbang dengan berat 1 kg.
Ditambahkan aquades 800 ml. Kemudian diautoklaf selama 30 menit dengan suhu
1210 C, 1 atm. Setelah itu diinokulasi dengan Bacillus laterosporus sebanyak 6%
dari jumlah substrat (untuk ransum R1), dan satu lagi untuk perlakuan tepung daun
lamtoro fermentasi disuplementasi 0,40% metionin dan 1,25% lisin (untuk ransum
R2) kemudian diinkubasi selama 24 jam seterusnya produk fermentasi Dikeringkan
pada suhu 600C selama 24 jam. Produk yang telah dikeringkan siap dipakai, untuk
pakan ternak.
Perhitungan kecernaan serat kasar dan energi metabolisme dihitung berdasarkan
rumus berikut :
A. Energi Metabolisme
Untuk pengukuran Energi Metabolis Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn) dan
Energi Metabolis Murni Terkoreksi Nitrogen (EMMn) dilakukan dengan 2
pendekatan, yaitu:
Berdasarkan metode Sibbald (1980)
Energi Metabolis Semu Terkoreksi Nitrogen (EMSn) (Kal/kg) EMSn =
(EB x K) – {(EBe x Y) + (8,22 x RN)} x 1000
K
Keterangan :
EB = energi bruto bahan pakan
(Kal/kg) EBe = energi bruto ekskreta
(Kal/kg)
EBk = energi bruto ayam yang dipuasakan (endogenous)
(Kal/kg) K = konsumsi bahan kering ransum (g)
Y = berat kering ekskreta ayam yang diberi pakan perlakuan (g)
Z = berat kering ekskreta ayam yang dipuasakan (endogenous)
(g) RN = retensi nitrogen (g)
8,22 = nilai yang terkoreksi sebagai asam urat (Kal/kg) dalam Sibbald (1980
didinginkan sampai suhu sekitar 37oC. Diambil tabung reaksi yang berisi isolate,
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
6
B. Kecernaan Serat Kasar
Kecernaan Serat Kasar (%) = Konsumsi SK – SK Ekskreta X 100%
Konsumsi SK
Keterangan :
SK = Serat Kasar
Konsumsi SK = Kadar serat kasar ransum x jumlah konsumsi
SK ekskreta = Jumlah ekskreta x SK ekskreta
Komposisi Bahan dan Zat-zat Makanan dan Energi Metabolisme Ransum Percobaan,
selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Komposisi Bahan dan Zat Makanan dan Energi Metabolisme Ransum
Percobaan Bahan Pakan
R0
Ransum Perlakuan (%)
R1
R2
Jagung giling 48,50 49,50 48,50
Dedak halus 21,00 21,00 21,00
B. Kedelai 10,00 10,00 10,00
T. Ikan 11,00 11,00 11,00
TDLF+ metionin+lisin 0,00 0,00 7,50
TDL tanpa fermentasi 7,50 0,00 0,00
TDLF 0,00 7,50 0,00
Premix A 2,00 2,00 2,00
Total 100 100 100
Kandungan Nutrien
Protein kasar (%)
20,02
20,21
21,19
Lemak (%) 6,45 6,34 6,52
Serat kasar (%) 5,43 5,23 5,14
Ca (%) 0,89 0,76 0,54
P (%) 0,69 0,53 0,67
Metionin (%) 0,4539 0,4531 0,4576
Lisin (%) 0,8165 0,8770 0,9637
ME (kkal/kg)b 2987,45 3056,13 3115,23
Keterangan :
a = Analisis Laboratorium. Nutrisi Non Ruminansia (2019)
b = Analisa Laboratorium Terpadu IPB (20167) dan Wahju
(1997) TDL tanpa Ferm = Tepung Daun Lamtoro Tanpa
Fermentasi TDLF = Tepung Daun Lamtoro Fermentasi Bacillus laterosporus
TDLF met+-lisin = Tepung Daun Lamtoro Fermentasi + 0,40% Methionin +
1,25% Lisin R0 = Ransum Basal + TDL tanpa fermentasi.
R1 = Ransum Basal + TDL Fermentasi
R2 = Ransum Basal + TDL Fermentasi + 0,40% Methionin + 1,25% Lisin
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rataan nilai retensi nitorgen dan rataan nilai metabolisme menggunakan
ransum TDL fermentasi disuplementasi 0,40 % metionin 1,25% lisin pada brioler
disajikan pada Tabel 2, dan digambarkan di Gambar 1.
Tabel 2. Rataan Nilai Kecernaan Serat Kasar dan Energi Metabolisme Ransum
Mengandung Tepung Daun Lamtoro beberapa Perlakuan
Parameter Parameter
R0 R1 R2 Kecernaan Serat kasar (%) 42,21a 52,52b 57,66c
Metabolisme Energi 2288,15a 2706,80b 3013,49c
(Kkal/kg)
Keterangan: superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P < 0,01).
Hubungan antara nilai kecernaan serat kasar dan metaboilisme, dapat dilihat pada
Gambar 2 di bawah ini
Gambar 1. Diagram Kecernaan Serat Kasar dan Energi Metabolisme Ramsum
Perlakuan
A. Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Kecernaan Serat Kasar
Ransum perlakuan tepung daun lamtoro tidak difermentasi, yang difermentasi
maupun difermentasi dan disuplementasi metionin lisin, dari analisis sidik ragam
menujukkan pengaruh sangat nyata terhadap kecernaan serat kasar (P<0,01).
Kecernaan serat kasar semakin menigkat dengan perbedaan perlakuan yaitu
berturut-turut R0 (42,21%), R1 (52,52%) dan R2 (57,66%), hal ini jelas terlihat
pada Gambar 2, dimana kecernaan kasar tertinggi terdapat pada ransum R2 yang
mendapat perlakuan TDL difermentasi dengan Bacillus laterosporus,
disumpementasi 0,40% metionin 1,25% lisin.
8
kasar yang dimiliki masing-masing perlakuan.juga berbeda. Kecernaan serat kasar
ransum perlakuan berpengaruh sangat nyata karena kandungan serat kasar dan
konsumsi serat kasar ransum perlakuan yang berbeda. Kandungan serat kasar dalam
ransum, komposisi penyusun serat kasar dan aktivitas dari mikroorganisme
mempengaruhi kecernaan serat kasar. Hal ini sesuai pendapat Hidanah et al. (2013)
kecernaan serat kasar dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain konsumsi pakan,
kadar serat dalam pakan, komposisi penyusun serat kasar dan aktivitas
mikroorganisme.
Menurut Prawitasari et al. (2012) menyatakan bahwa kandungan serat kasar
dalam ransum yang semakin tinggi menyebabkan kecernaan serat kasar yang
semakin rendah begitu juga sebaliknya. Kadar serat kasar yang tinggi dalam pakan
menyebabkan kurangnya kecernaan zat lain yang ada pada pakan yang dapat
menyebabkan turunnya konsumsi ransum pada broiler. Hal ini sesuai dengan
pendapat Tillman et al. (2001), yang menyatakan bahwa kecernaan serat kasar
tergantung pada kandungan serat kasar dalam ransum dan jumlah serat kasar yang
di konsumsi. Ditambahkan bahwa kadar serat kasar terlalu tinggi dapat
mengganggu pencernaan zat lain. Selanjutnya Despal (2000) menyatakan bahwa
serat kasar memiliki hubungan negatif dengan daya cerna serta kasar.
B. Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Energi Metabolisme
Nilai energi metabolisme tertinggi pada perlakuan terdapat pada R2 (3013,16
kkal/kg) diikuti R1 (2706,80 kkal/kg) dan yang terendah pada perlakuan R0
(2288,15 kkal/kg). Analisis sidik ragam menunjukkan terdapat perngaruh yang
sangat nyata (P<0,01) terhadap energi metobolisme ayam broiler. Menurut Hapsari
(2006) faktor yang mempengaruhi energy metabolisme terdiri dari kandungan
energi ransum, konsumsi pakan, jenis ternak dan umur serta kemampuan ternak
untuk melakukan metabolisme didalam tubuh.
Menurut Bahri dan Rusdi (2008) bahwa energi metabolis merupakan energi
yang digunakan ternak untuk menjalankan aktivitas berupa mempertahankan suhu
tubuh, metabolisme, aktifitas fisik, produksi, reproduksi dan pembentukan jaringan
dan tingkat energi metabolisme berhubungan erat dengan kecernaan dan
penyerapan zat-zat makanan. Menurut Mc Donald et al (2010) bahwa daya cerna
ransum yang rendah menyebabkan banyak energi yang hilang melalui eksreta,
Kecernaan serat kasar ransum perlakuan berbeda karena kandungan serat
9
eksreta sedikit. Jumlah serat kasar yang tidak tercerna akan membawa sebagian
nutrien lain yang tercerna ikut ikut keluar bersama dengan eksreta. Selanjutnya
menurut Wulandari et al. (2013) ketersediaan energi metabolis dalam ransum akan
berkurang apabila kandungan polisakarida dalam serat kasar susah untuk dicerna
begitu juga sebaliknya
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimaksih diucapkan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat (DRPM), dimana penelitian ini dapat terlaksana dengan bantuan dana
penelitian Hibah Terapan dari Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan
Pengembangan, Kementrian Riset, Tekhnologi dan Pendidikan Tinggi dengan
Nomor SP DIPA-042.06.1.401516/2019, Tanggal 5 Desember 2018, dan Kontrak
Penelitian Terapan, No: 005/LPPM-UNES/Kontrak-Penelitian-J/2019, Tanggal 08
April 2019..
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa 7,5% tepung daun
lamtoro yang difermentasi dengan Bacillus laterosporus dengan suplementasi
0,40% methyonine 1,25% lisin dapat digunakan sebagai salah satu bahan pakan
alternatif ransum ayam broiler dilihat dari meningkatkan nilai kecernaan serat kasar
(57,66%) dan energi metabolisme (3013,49 kkal / kg) .
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, H. R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Jakarta: Gramedia Pustaka,
Utama. Steel, R.G.D 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik: Suatu Pendekatan
Biometrik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Ayssiwede, S.B., A. Dieng., C. Chrysostome., W. Ossebi., J.L. Hornick and A.
Missohou. 2010. Digestibility and metabolic utilization and nutritional value
of Leucaena leucocephala (Lam.) leaves meal incorporated in the diets of
indigenous Senegal Jurnal Zootek (“Zootrek” Journal ) Vol. 35 No. 1 : 72- 77
(Januari 2015) ISSN 0852 -2626 77 chickens. Int. J. of Poult. Sci. 9 (8):767-
776. Davies, H.L. 1982. Nutrition and Growth Manual. AUIDP. Melbourne.
Bahri, S dan Rusdi. 2008. Evaluasi energi metabolis pakan lokal pada ayam petelur.
J. Agroland. 15 (1) : 75-78.
sebaliknya daya cerna yang tinggi menyebabkan energi yang hilang melalui
10
Darana, S. 1995. Penggunaan Sorghum bicolar L. Moench yang Difermentasi
dengan Kapang Rhizopus oligoporus dalam Ransum Ayam Pedaging.
Disertasi, Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Despal. 2000. Kemampuan komposisi kimia dan kecernaan in vitro dalam
mengestimasi kecernaan in vivo. Media Peternakan, 23 (3): 84-88.
Elvina. D. 2008. Nilai energi metabolis ransum ayam broiler berbasis Pollard yang
ditambahkan enzim Xilanase dan diprosaes dengan mesin Pelleter. Fakultas
Peternakaa Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).
Eniolorunda, O.O. 2011. Evaluation of biscuit waste meal and Leucaena
leucocephala leaf hay as sources of protein and energy for fattening
“yankassa” rams. African J. of Food Sci. Vol. 5 (2):57-62.
Garcia, G.W., T.U. Ferguson., F.A. Neckles dan K.A.E. Archibald. 1996. The
nutritive value and forage productive of Leucaena leucochepala.
Anim. Feed Sci. Technol. 60: 29 – 41.
Hapsari, R. P. 2006. Energi metabolis dan Efisiensi Penggunaan Energi Ransum
Ayam Broiler yang mengandung Limbah Restoran sebagai Pengganti Dedak
Padi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).
Hidanah, S., E. M. Tamrin., D. S. Nazar dan E. Safitri. 2013. Limbah tempe dan
limbah tempe fermentasi sebagai substitusi jagung terhadap daya cerna serat
kasar dan bahan organik pada itik petelur. Jurnal Agroveteriner. 2 (1): 71- 79.
Leeson, S dan J. D. Summers. 2001. Comercial Poultry Nutrition. Thirth Edition.
Departement of Animal and Poultry Science. University of Guelph Ontariom,
Canada.
Mc Donald, P., A. Edwards and J.F.D. Green Haigh. 1994. Animal Nutrition. 4th
Ed. Longman Scientific and Technical. Copublishing in The USA with John
Wiley and Sons. Inc. New York.
Prawitasari, R. H., V. D. Y. B. Ismdi dan I. Estiningdriati. 2012. Kecernaan protein
kasar dan serat kasar serta laju digesta pada ayam arab yang diberi ransum
dengan berbagai level Azolla microphylla. Animal Agricultur Journal. 1 (1):
471- 478.
Safaa, H.M., D.G. Valencia., E. Arbe., E. Jibenez-Morena., R. Lazaro., G.G.
Moteos G.G. 2008. Effect of the level of Methionine, linoleic acid and added
fat in the diet on productive poerformance and egg quality on Brown laying
hen the late phase of production. Poult. Sci. 87 (8): 1595-602.
Sibbald, I.R dan P.M Morse. 1983. Provision of suplemental feed and the aplication
of Nitrogen coorection in Bioassay for true metabolizable energy. Poultry
Science 62; 1587 – 1605.
Sibbald, I.R. 1982. Measurement of bioavailable energy in poultry feedingstuffs.
Ca. J. of Anim. Sci., 62: 983-1048. Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu
Pendekatan Biometrik. Terjemahan B. Sumantri. Gramedia. Pustaka Utama,
Jakarta.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusuma & S.
Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada,
University.
Widyastuti., C.H. Prayitno dan Sudibya. 2007. Kecernaan dan intensitas warna
kuning telur itik lokal yang mendapat pakan tepung kepala udang, tepung
11
daun lamtoro dan suplementasi L-Carnithin. 2007. Animal Production. ISSN
1411 – 2027. Vol 9 No.1 hlm : 30 – 35.
Wulandari, K. Y, V. D. Y. B. Ismadi., dan Tristiarti. 2013. Kecernaan serat kasar
dan energi metabolis pada ayam Kedu umur 24 minggu yang diberi ransum
dengan berbagai level protein kasar dan serat kasar. Journal Animal
Agriculture. 2 (1) : 9 - 17.
Yessirita, N., H. Abbas., Y. Heryandi dan A. Dharma. 2013. The effect of Leucaena
Leaf Meal (Leucaena leucochepala) Fermented by Bacillus laterosporus and
Trichoderma viride in the ration on Performance of Pitalah Ducks. Pakistan.
J. Nutr., 12(7): 678-682.
Yessirita, N., H. Abbas., Y. Heryandi dan A. Dharma. 2017. Improved quality
lamtoro leaf meal fermented Bacillus laterosporus with the addition of
supplement methionine-lysin synthetic. J. Scientific and Engineering
Research, India, 4(10): 483-488.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
12
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
Tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan pada sapi Potong Di
Kecamatan Sumber harta kabupaten musi Rawas
Ririn Novita*, Sadjadi, dan Budi Susilo
Prodi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Musi Rawas
Coressponding author email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan Inseminasi
Buatan pada Sapi Potong di Kecamatan Sumber Harta Kabupaten Musi Rawas.
Parameter yang diamati adalah Service per Conception (S/C), Conception Rate
(CR), Non Raturn Rate (NRR) dan Calving Interval (CI). Metode penelitian yang
digunakan adalah metode survey di seluruh Kecamatan Sumber Harta Kabupaten
Musi Rawas yang dipilih paling banyak populasi ternak. Karena populasi yang
sifatnya menyebar diantara lokasi tersebut, maka dilakukan pengambilan sampel
secara Analisis deskriptif dengan menggunakan rumus Slovin sehingga didapatkan
91 sampel. Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa Conseption Rate
(C/R) di Kecamatan Sumber Harta sangat baik karena di peroleh 75,82 %. Angka
S/C di Kecamatan Sumber Harta rata-rata menunjukkan 1,4. Sedangkan untuk nilai
NRR di Kecamatan Sumber Harta yaitu NRR0-30 diperoleh persentase yaitu 75,82
%. NRR31-60 diperoleh 91,21 % dan NRR61-90 diperoleh 94,51 %. Nilai Calving
Interval (CI) sangat baik yaitu mencapai rata-rata 12,4 atau 12 bulan 4 hari.
Kata Kunci : IB, Kecamatan Sumber Harta, Sapi Potong, Tingkat Keberhasilan
PENDAHULUAN
Sebagian besar penduduk di Indonesia khususnya didaerah pedesaan
menginvestasikan sebagian hartanya untuk beternak sapi, hal ini dikarenakan nilai
jual sapi yang cukup tinggi seperti halnya Sapi Potong. Sedangkan Sapi Potong
merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging.
Sapi Potong biasa disebut sebagai sapi tipe pedaging. Adapun ciri-ciri sapi pedaging
adalah seperti berikut: tubuh besar, berbentuk persegi empat atau balok, kualitas
dagingnya maksimum dan mudah dipasarkan, laju pertumbuhan cepat, efisiensi
pakannya tinggi (Abidin, 2010)
Usaha ternak Sapi Potong di Indonesia membutuhkan perhatian khusus
dalam kaitannya dengan upaya mempertahankan dan menunjang peningkatan
populasi ternak. Guna peningkatan populasi tersebut maka dilakukan pemanfaatan
13
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
teknologi reproduksi peternakan melalui teknik Inseminasi Buatan (IB) dengan
menggunakan semen beku (Kaiin et.al, 2004)
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini telah dilaksanakan di Kecamatan Sumber Harta Kabupaten
Musi Rawas dilaksanakan selama tiga puluh hari di mulai pada bulan Maret 2019.
B. Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi
langsung di lapang dengan metode pengambilan sampel secara sengaja (purposive
sampling ) dengan ketentuan sapi betina indukan yang masuk dalam akseptor IB di
Kecamatan Sumber Harta dibuktikan dengan adanya kartu recording IB yang
dimiliki peternak, data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara dengan peternak
dan inseminator untuk dijadikan responden. Data primer yang diambil meliputi
identitas peternak, umur ternak, jenis sapi, dan pengetahuan peternakdalam sistem
pemeliharaan induk.
Data sekunder didapat dari data recording IB inseminator setempat, studi
pustaka dan keterangan dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Musi
Rawas.
Variabel Pengamatan
1. Service per Conception (S/C) adalah jumlah pelayanan inseminasi (service) yang
dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinya kebuntingan (konsepsi)
dihitung dengan rumus; straw yang digunakan dibagi ternak betina bunting
(Susilawati, 2011). Pengambilan data (S/C) dilakukan dengan cara melihat dan
bertanya langsung kepada inseminator dengan dibuktikan adanya kartu peserta
(IB) dan mengambil data dari Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
Musirawas. Kemudian data dikumpulkan dan akan dihitung dengan rumus :
S/C Σ straw yang digunakan
x 100%
Σ ternak betina yang bunting
14
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
2. Conception rate (CR) merupakan jumlah akseptor yang bunting pada IB ke - I
dibagi jumlah semua akseptor kali 100% (Susilawati, 2011a). Menghitung nilai
variabel Conception rate (CR) yang diperoleh dari inseminator dan Dinas
Pertanian dan Peternakan berdasarkan kartu pelaksanaan (IB) yang
diformulasikan dengan rumus:
C.R Σ ternak betina bunting IB pertama
x 100%
Σ ternak betina yang di inseminasi
3. Non Raturn Rate (NRR) adalah persentase sapi betina akseptor IB yang tidak
kembali lagi birahi selama 20-60 hari atau 60-90 hari pasca pelaksanaan IB.
Metode NRR berpedoman pada asumsi bahwa jika sapi yang telah diinseminasi
dan tidak birahi lagi, maka dianggap bunting (Susilawati, 2011a). NRR yang
digunakan dalam penelitian ini adalah NRR0-30, NRR31-60 dan NRR61-90.NRR0-30
diamati pada hari ke 0-30, NRR31-60 diamati mulai hari ke 31-60 dan NRR61-90
diamati mulai hari ke 61-90. Sapi yang menunjukkan tanda-tanda birahi setelah
IB ke tiga maka dianggap gagal. Menurut Iswoyo dan P Widiyaningrum (2008),
rumus menghitung NRR adalah sebagai berikut:
NRR
NRR
030
3160
Σsapi yang di IBΣ sapi yang di IB ulang S
Σ sapi yang di IB x 100%
Σsapi yang di IBΣ sapi yang di IB ulang SS
x 100%
Σ sapi yang di IB
NRR
6090
Σsapi yang di IBΣ sapi yang di IB ulang SSS x 100%
Σ sapi yang di IB
4. Calving Interval (CI) adalah jarak antara kelahiran satu dengan kelahirann
berikutnya pada ternak betina. Jarak kelahiran (CI) merupakan salah satu
ukuran produktivitas ternak sapi untuk menghasilkan pedet dalam waktu yang
singkat. Jarak waktu beranak (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan
bunting dan 3 bulan menyusui. Efisiensi reproduksi dikatakan baik apabila
seekor induk sapi dapat menghasilkan satu pedet dalam satu tahun (Ball and
Peters, 2004).
15
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Secara geografis Kecamatan Sumber Harta berbatasan dengan :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Megang Sakti.
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Suku Tengah Lakitan Ulu (STL
Ulu) Terawas.
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Megang Sakti dan Kecamatan
Purwodadi.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Suku Tengah Lakitan (STL Ulu)
Terawas.
Kecamatan Sumber Harta terdiri dari 9 Desa dan 1 Kelurahan. Terdapat 1
Desa baru yaitu Desa Sumber Asri yang berasal dari sebagian wilayah Kelurahan
Sumber Harta. Luas wilayah Kecamatan Sumber Harta sebesar 10.378,03 Ha,
dimana Desa Madang memiliki wilayah terluas yaitu 3.181,78 Ha atau sekitar 30,66
persen dari luas wilayah Kecamatan Sumber Harta. Sedangkan yang memilki luas
wilayah terkecil adalah Desa Sukamulya yaitu 278,85 Ha atau hanya sekitar 2,69
persen dari Luas wilayah. Jumlah Penduduk Kecamatan Sumber Harta tercatat
sebanyak 17.062 jiwa. Dimana penyebaran penduduk Sumber Harta cukup merata
dengan kepadatan penduduk sebear 164,40 jiwa/km2. Sedangkan untuk letak
geografis wilayah Kecamatan Sumber Harta merupakan daerah bukan pantai,
dengan rata-rata ketinggian wilayah <500 meter diatas permukaan laut. Ada
beberapa sungai yang melalui Wilayah Kecamatan Sumber harta, hanya satu
Wilayah Sumber Harta yang tidak di lalui sungai yaitu Desaa Sukamaju. Sumber
penghasilan utama penduduk Kecamatan Sumber Harta yaitu padi dan karet, selain
padi dan karet komoditi lain yang juga diusahakan penduduk berupa tanaman sayur,
tanaman palawija dan tanaman buah-buahan namun masih dalam sekala kecil.
Untuk sektor peternakan penduduk Sumber Harta banyak mengusahakan sapi
untuk ternak besar, kambing untuk ternak kecil serta unggas dan perikanan. Jumlah
ternak besar yang ada di Kecamatan Sumber Harta yaitu sapi sebanyak
16
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
2800 ekor dengan rincian jumlah jantan 858 ekor dan betina 1942 ekor, kambing
berjumlah 2191 ekor dan domba 203 (Badan Pusat Statistik Tahun 2018)
2. Identifikasi Responden Penelitian di Kecamatan Sumber Harta
Karakteristik responden dilakukan untuk mengetahui identitas peternak yang
terlibat dalam penelitian ini. Responden yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
ternak yang dijadikan sampel. Responden yang dijadikan sampel dalam penelitian
ini adalah ternak yang mengikuti program Inseminasi Buatan di Kecamata Sumber
Harta Kabupaten Musi Rawas.
Berdasarkan jumlah populasi ternak yang mengikuti program Inseminasi
Buatan pada tahun 2018 sebanyak 1.063 ekor dengan pengambilan sampel
sebanyak 91 ekor dari populasi ternak yang mengikuti program Inseminasi Buatan.
Berdasarkan 91 sampel pada penelitian tersebut, dapat diidentifikasikan peternak
Sapi Potong berdasarkan umur peternak, pendidikan terahir yang pernah ditempuh
dan pengalaman beternak. Identifikasikan peternak Sapi Potong berdasarkan umur
peternak dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Karakteristik Peternak Berdasarkan Umur Peternak
No Umur (Tahun) Jumlah Peternak (Orang) Persentase (%)
1 20 – 29 4 6,46
2 30 – 39 27 43,55
3 40 - 49 21 33,87
4 50 - 59 5 8,06
5 ≥ 60 5 8,06
Jumlah 62 100
Berdasarkan dari data tabel 1 diatas dapat di ketahui bahwa peternak pada
responden dengan umur 20 – 29 tahun sebanyak 4 orang dengan persentase
sebanyak 6,46 %, umur 30 – 39 tahun sebanyak 27 orang dengan persentase
sebanyak 43,55%, umur 40 – 49 tahun sebanyak 21 orang dengan persentase
sebanyak 33,87 %, umur 50 – 59 tahun sebanyak 5 orang dengan persentase
sebanyak 8,06 % dan umur ≥60 tahun sebanyak 5 orang dengan persentase
sebanyak 8,06 %.
17
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
Identifikasi responden penelitian berdasarkan pendidikan formal dapat dilihat
pada Tabel. 2, berikut ini
Tabel 2. Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Pendidikan
No Pendidikan Terakhir Jumlah Peternak (Orang) Persentase (%)
1 SD 34 54,84
2 SMP 19 30,65
3 SMA 8 12,90
4 Sarjana 1 1,61
Jumlah 62 100
Dilihat dari hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan tingkat
pendidikan formal peternak Sapi Potong di Kecamatan Sumber Harta yang menjadi
responden penelitian diantaranya yaitu Pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sarjana (S1).
Berdasarkan dari data tabel 2 dapat di ketahui bahwa berdasarkan pendidikan
formal peternak pada responden dengan kelulusan SD sebanyak 34 orang dengan
persentase sebanyak 54,84 %, peternak dengan kelulusan SMP sebanyak 19 orang
dengan persentase sebanyak 30,65 %, peternak dengan kelulusan SMA sebanyak 8
orang dengan persentase sebanyak 12,90% dan peternak dengan kelulusan Sarjana
sebanyak 1 orang dengan persentase sebanyak 1,6 1%.
Sedangkan identifikasi responden penelitian berdasarkan pengalaman beternak
dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Pengalaman Beternak
No Pengalaman Beternak (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)
1 1 – 10 43 69,35
2 11 – 20 8 12,90
3 21 – 30 11 17,75
Jumlah 62 100
Berdasarkan Tabel 3 dapat diliht bahwa berdasarkan pengalaman beternak dengan
lama waktu beternak 1 – 10 tahun sebanyak 43 orang dengan persentase
18
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
sebanyak 69,35 %, lama waktu beternak 11 – 20 tahun sebanyak 8 orang dengan
persentase sebanyak 12,90%, lama waktu beternak 21 – 30 tahun sebanyak 11 orang
dengan persentase sebanyak 17,75 %. Identifikasi responden penelitian berdasarkan
jenis straw yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 4, dibawah ini
Tabel 4. Karakteristik Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Straw
No. Jenis Straw Jumlah Sapi (Ekor) Persentase (%)
1 Bali 82 90,11
2 Simental 5 5,49
3 Brangus 1 1,10
4 Limosin 3 3,30
91 100
Dapat diketahui bahwa dari tabel 6 diatas sapi yang mendapatkan Inseminasi
Buatan dengan Jenis Straw Bali sebanyak 82 ekor dengan persentase sebanyak
90,11 %, jenis Straw Simental sebanyak 5 ekor dengan persentase sebanyak 5,49%,
Jenis Straw Brangus sebanyak 1 ekor dengan persentase 1,10 %, Jenis Straw
Limosin sebanyak 3 ekor dengan persentase sebanyak 3,30 %.
2. Indikator Pengukuran Hasil Inseminasi Buatan
1. Data Pelayanan Inseminasi Buatan
Tabel 4. Indikator Pengukuran Keberhasilan Inseminasi Buatan Pada Sapi Potong
(Kali)
2. Service Per Conception (S/C)
Service Per Conception (S/C) yang di dapat pada penelitian di Kecamatan
Sumber Harta yaitu sebesar 1,4.
No Pelayanan Inseminasi Buatan
Jumlah Sapi (Ekor) Jumlah Straw (Dosis)
1 1 69 69
2 2 14 28
3 3 3 9
4 4 1 4
5 5 3 15
6 6 1 6
Jumlah 91 131
19
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
3. Conception Rate (CR)
Nilai Conception Rate (CR) yang di dapat pada penelitian di Kecamatan
Sumber Harta yaitu sebesar 75,82 %.
4. Non Return Rete (NRR)
Tabel 5. Data pelayanan Inseminasi buatan berdasarkan Non Return Rete (NRR)
No Non Return Rete Jumlah Ternak Sapi bunting (Ekor) Persentase (%)
1 NRR(0-30) 69 75,82
2 NRR(31-60) 83 91,21 3 NRR(61-90) 86 94,51
Jadi, nilai NRR0-30 diperoleh persentase yaitu 75,82 %, NRR31-60 diperoleh
91,21 %dan NRR61-90 diperoleh 94,51 % dari jumlah akseptor yang di Inseminasi
Buatan sebanyak 91 sampel.
5. Calving Interval (CI)
Sedangkan untuk melihat data jarak kelahiran pada Sapi Potong di Kecamatan
Sumber Harta dapt dilihat pada tabel 6 berikut.
Tabel 6. Klasifikasi Responden Penelitian Berdasarkan Jarak Beranak
No. Jarak Beranak Jumlah Sapi (Ekor) Perkalian
1 12 bulan 50 600
2 13 bulan 1 13
3 14 bulan 2 28
4 17 bulan 1 17
5 18 bulan 2 36
Jumlah 56 694
Berikut ini adalah jarak beranak pada Sapi Potong di Kecamatan Sumber Harta
diantaranya yaitu jarak beranak selama 12 bulan sebanyak 50 ekor, jarak beranak
13 bulan sebanyak 1 ekor, jarak beranak 14 bulan sebanyak 2 ekor, jarak beranak
17 bulan sebanyak 1 ekor dan yang terahir jarak beranak 18 bulan sebanyak 2
ekor. Rata-rata jarak kelahiran = !"#
= 12,4 atau 12 bulan lebih 4 hari. !"
20
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Identifikasi Responden
a. Umur Peternak
Berdasarkan hasil penelitian Dikecamatan Sumber Harta diketahui bahwa
peternak Sapi Potong tertinggi yaitu pada kelompok umur 30 sampai 39 tahun,
peternak pada umur tersebut masih dalam kategori usia produktif sehingga
memungkinkan bagi para peternak tersebut dapat bekerja lebih baik, bersemangat
serta mempunyai motivasi yang tinggi. Sementara pada umur ≥ 60 tahun telah
mengalami penurunan kemampuan kerja sehingga mereka digolongkan kedalam
umur nonproduktif. Hal ini sejalan dengan pendapat Chamdi (2003) yang
menyatakan bahwa usia produktif 20 – 45 tahun masih memiliki semangat yang
tinggi dan mudah mengadopsi hal-hal yang baru, berbeda dengan peternak yang
telah berusia lanjut (diatas 50 tahun). Soekartawi (2002) menyatakan bahwa mereka
yang berusia lanjut cenderung fanatik terhadap kondisi dan sulit untuk diberikan
pengertian-pengertian yang dapat mengubah cara berfikir, cara kerja dan cara
hidupnya.
b. Pendidikan
Berdasarkan dari tingkat pendidikan formal peternak Dikecamatan Sumber
Harta yang memelihara Sapi Potong taraf pendidikannya masih rendah yaitu pada
pendidikan terahir pada taraf Sekolah Dasar (SD). Tetapi rendahnya pendidikan
tidak mempengaruhi partisipasi atau keterlibatan responden dalam pengembangan
Sapi Potong. Peternak yang memiliki pola pikir yang baik, dia mampu mengadopsi
pengembangan informasi dan inovasi teknologi khususnya teknologi di bidang
peternakan dengan cepat. Tetapi lain halnya pada peternakan rakyak, pendidikan
yang tinggi sama sekali tidak mempengaruhi masyarakat pedesaan yang terlibat
dalam pemeliharaan ternak sapi potong.
Dalam hal ini sudah terbukti bahwa keadaan masyarakat yang ada di pedesaan
lebih banyak pendidikan SD yang berpartisipasi dalam pengembangan Sapi Potong
dibanding masyarakat yang memiliki pendidikan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Hasbullah (2009) yang menyatakan bahwa, pendidikan adalah usaha yang
dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar
21
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi
dalam arti mental.
c. Pengalaman Beternak
Pada pemeliharaan ternak Sapi Potong harus disertai dengan pengalaman
beternak, lama beternak seseorang dapat diperoleh dari lama mereka menggeluti
dalam suatu usaha peternakan sehingga pengetahuan dan kemampuan seseorang
dapat bertambah. Menurut pendapat Tatipikalawan (2006) yang mengatakan
bahwa, pengalaman beternak merupakan faktor yang penting bagi peternak dalam
mengambil keputusan, semakin lama pengalaman dalam beternak maka
keterampilan yang dimiliki akan lebih tinggi dan berkualitas dan cenderung akan
lebih menggeluti pekerjaan tersebut sehingga akan cenderung berpartisipasi atau
ikut serta dalam kegiatan pemeliharaan ternak Sapi Potong tersebut. Dikecamatan
Sumber Harta sendiri pengalaman beternak terbanyak yaitu selama 1 – 10 tahun.
d. Jenis Straw
Hasil penelitian menunjukan bahwa permintaan masyarakat di Kecamatan
Sumber Harta untuk Inseminasi Buatan masih banyak menggunakan Jenis Straw
Sapi Bali lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan Jenis Straw Sapi bertubuh
besar. Karena peternak yang ada di Kecamatan Sumber Harta kebanyakan
memelihara jenis Sapi Potong berupa Sapi Bali sehingga tidak mau ambil resiko
akan kematian karena tidak bisa keluar pada saat proses melahirkan dan akan
berdampak pada kematian.
2. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan pada Sapi Potong
Tingkat keberhasilan Inseminasi Buatan adalah persentase nilai kebuntingan
yang dapat dicapai dalam pelaksanaan Inseminasi Buatan dengan melihat beberapa
indikator pengukuran keberhasilan yaitu diantaranya angka Service Per
Conception, Conception Rate, Non Raturn Rate dan Calving Interval teknik ini
telah banyak digunakan untuk melihat keberhasilan pelaksanaan Inseminsi Buatan
(Saputra, 2008).
a. Service Per Conception (S/C)
Servis Per Conception (S/C) merupakan jumlah pelayana Inseminasi Buatan
seekor betina bunting. Dari hasil penelitian di Kecamatan Sumber Harta diperoleh
nilai S/C sebesar 1,4 artinya rata-rata sapi akseptor IB di Kecamatan Sumber
22
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
Harta membutuhkan 1,4 dosis straw untuk terjadi kebuntingan. Jalius (2011)
menjelaskan tinggi rendahnya nilai S/C dipengaruhi oleh ketepatan deteksi birahi,
ketepatan waktu IB dan kondisi reproduksi ternak betina. Ihsan dan Wahjuningsih
(2011) menyatakan tingginya nilai S/C tidak terlepas dari rata-rata pemberian
kandungan nutrisi dalam pakan yang sangat mempengaruhi kondisi reproduksi
betina. Apabila S/C rendah, maka nilai kesuburan sapi betina semakin tinggi dan
apabila nilai S/C tinggi, maka semakin rendah tingkat kesuburan sapi betina
tersebut. Ihsan (2010) menyatakan bahwa nilai S/C yang baik berkisar antara 1,5 –
2,0. Dengan hasil S/C 1,4 di Kecamatan Sumber Harta, berarti pelaksanaan IB
sangat baik hal ini didukung oleh tingkat kesuburan sapi yang tinggi, kemampuan
peternak mendeteksi birahi yang sangat baik serta keterampilan petugas yang
tinggi.
b. Conception Rate (CR)
Conception Rate (CR) merupakan persentase kebuntingan sapi betina pada
pelaksanaan Inseminasi Buatan pertama dan dapat dijadikan sebagai alat ukur
kesuburan ternak. Dikecamatan Sumber Harta nilai CR pada Sapi Potong sebesar
75,82 %, artinya untuk seluruh akseptor IB di Kecamatan Sumber Harta sebanyak
75,82% yang bunting pada IB pertama. Nilai CR pada penelitian ini lebih tinggi
dibandingkan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Ihsan dan Wahjuningsih
(2011) menyebutkan bahwa nilai CR ideal adalah 60%. Sehingga nilai CR di
Kecamatan Sumber Harta sudah sangat baik.Angka CR pada kelompok ternak
dipengaruhi oleh besarnya rata-rata nilai S/C, jika semakin rendah S/C maka CR
akan semakin tinggi. Tinggi rendahnya angka konsepsi atau CR disebabkan oleh
banyak faktor, salah satunya adalah deteksi birahi. Ketepatan deteksi birahi sangat
mempengaruhi nilai CR. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Jalius (2011)
bahwa nilai CR dipengaruhi oleh ketepatan deteksi birahi dan waktu Inseminasi
Buatan. Kesalahan deteksi birahi dapat dikarenakan terjadinya silent heat atau
birahi tenang. Susilawati (2004) menyatakan bahwa tinggi rendahnya nilai CR
disebabkan oleh banyak tidaknya ternak yang kembali birahi setelah Inseminas
Buatan pertama. Kembalinya birahi ternak disebabkan oleh beberapa faktor, salah
satunya karena kurangnya perhatian peternak terhadap deteksi birahi dan
keterlambatan melapor, sehingga menyebabkan keterlambatan pelaksanaan
23
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
Inseminas Buatan. Birahi dipengaruhi oleh pakan yang diberikan. Pada musim
kemarau hijauan yang diberikan cenderung berkualitas jelek, sehingga
menyebabkan birahi lagi dan berakibat pada rendahnya CR.
c. Non Raturn Rate (NRR)
Evaluasi keberhasilan Inseminasi Buatan dan kebuntingan ternak dapat
dilihat dari timbulnya birahi kembali pada kurun waktu tertentu. Susilawati (2011b)
menjelaskan bahwa NRR merupakan persentase jumlah ternak yang tidak kembali
birahi antara 60–90 hari. Susilawati (2011a) melakukan evaluasi Inseminasi Buatan
dengan perhitungan NRR0-30, NRR31-60, dan NRR61-90. Sedangkan dalam penelitian
ini pengamatan NRR dilakukan di hari 0-30, 31-60 dan 61-90. Sapi yang
menunjukkan tanda-tanda birahi setelah Inseminasi Buatan pertama dilakukan
Inseminasi Buatan kedua, kembali birahi setelah Inseminasi Buatan kedua
dilakukan Inseminasi Buatan yang ketiga dan apabila terjadi birahi kembali setelah
Inseminasi Buatan ketiga dianggap gagal. Metode NRR berpedoman pada asumsi
bahwa sapi yang telah di Inseminasi Buatan dan tidak birahi kembali, maka
dianggap bunting (Susilawati, 2011a)
Jalius (2011) menyatakan NRR merupakan gambaran jumlah kebuntingan
berdasarkan satu siklus birahi 17–35 hari yang tidak minta kawin kembali setelah
di Inseminasi Buatan. Nilai NRR di Kecamatan Sumber Harta yaitu NRR0-30
diperoleh persentase 75,82 %, artinya 30 hari setelah dilakukan IB pertama maka
sebanyak 75,82% akseptor IB di Kecamatan Sumber Harta tidak birahi kembali atau
dalam kondisi bunting. NRR31-60 diperoleh 91,21 %, artinya 60 hari setelah
dilakukan IB kedua maka sebanyak 91,21% akseptor IB di Kecamatan Sumber
Harta tidak birahi kembali atau dalam kondisi bunting dan NRR61-90 diperoleh 94,51
%, artinya 90 hari setelah dilakukan IB ketiga maka sebanyak 94,51% akseptor IB
di Kecamatan Sumber Harta tidak birahi kembali atau dalam kondisi bunting.
d. Calving Interval (CI)
Calving Interval (CI) adalah jarak antara kelahiran satu dengan kelahiran
berikutnya pada ternak betina. Jarak kelahiran (CI) merupakan salah satu ukuran
produktivitas ternak sapi untuk menghasilkan pedet dalam waktu yang singkat.
Jarak waktu beranak (CI) yang ideal adalah 12 bulan, yaitu 9 bulan bunting dan 3
24
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
bulan menyusui. Evisiensi reproduksi dikatakan baik apabila seekor induk sapi
dapat menghasilkan satu pedet dalam satu tahun (Ball and Peters, 2004). Calving
Interval rata-rata di Kecamatan Sumber Harta masih baik yaitu 12,4 atau 12 bulan
lebih 4 hari, artinya jarak kelahiran antara anak satu dengan anak berikutnya rata –
rata 12 bulan 4 hari yaitu 9 bulan bunting dan 94 hari menyusui. Hal ini tidak jauh
berbeda dengan pendapat Ball and Peters (2004) diatas yaitu pada kisaran 12 bulan
bunting dan 3 bulan menyusui, yang artinya pertumbuhan Sapi Potong di
Kecamatan tersebut sangat baik.
Beberapa hal yang medukung bagusnya nilai Calving Interval adalah
kesadaran peternak untuk segera melaporkan kepada petugas IB 2 – 3 bulan setelah
induk beranak, sehingga dalam kisaran satu tahun induk sapi akan beranak.
Inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik adalah upaya memasukkan semen/mani
ke dalam saluran reproduksi hewan betina yang sedang birahi dengan bantuan
inseminator agar hewan bunting. Dari definisi ini inseminator berperan sangat besar
dalam keberhasilan pelaksanaan IB. Keahlian dan keterampilan inseminator dalam
akurasi pengenalan birahi, sanitasi alat, penanganan (handling) semen beku,
pencairan kembali (thawing) yang benar, serta kemampuan melakukan IB akan
menentukan keberhasilan (Utami dan Angris. 2012)
Teknologi IB memberikan keunggulan antara lain; bentuk tubuh lebih baik,
pertumbuhan ternak lebih cepat, tingkat kesuburan lebih tinggi, berat lahir lebih
tinggi serta keunggulan lainnya. Melalui teknologi IB diharapkan secara ekonomi
dapat memberikan nilai tambah dalam pengembangan usaha peternakan
(Merthajiwa, 2011)
Seharusnya dengan adanya program Inseminasi Buatan ini Indonesia bisa
memenuhi kebutuhan daging sapi tanpa harus menginpor dari luar negeri, akan
tetapi pada kenyataannya Indonesia masih harus mengimpor daging dari luar
negeri. Sedangkan secara nasional kebutuhan daging Sapi dan Kerbau tahun 2013
untuk konsumsi dan industri sebanyak 484 ribu ton, sedangkan ketersediaannya
sebanyak 399 ribu ton (82,52%) dicukupi dari sapi lokal, sehingga terdapat
kekurangan penyediaan sebesar 85 ribu ton (17,5%), program IB mempunyai peran
yang sangat strategis dalam usaha meningkatkan kualitas dan kuantitas bibit
(Direktorat Jenderal Peternakan, 2013)
25
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
Program IB di usaha Sapi Potong rakyat di Sumater Selatan, Jateng, DIY
dan Bali menunjukkan bahwa >50% peternak masih menghendaki program IB
dilanjutkan; namun permasalahannya masih terjadinya kawin berulang kali
(Affandhy et.al, 2006), sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan
kebuntingan dan jarak beranak.
KESIMPULAN
Berdasarkan data hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa :
a. Conseption Rate (C/R) di Kecamatan Sumber Harta sangat baik karena di
peroleh pada persentase 75,82 % .
b. Service Per Conception (S/C) di Kecamatan Sumber Harta rata-rata yaitu 1,4
artinya tingkat keberhasilan insemiasi buatan pada ternak tersebut sangat baik.
c. Non Raturn Rate (NRR) di Kecamatan Sumber Harta yaitu NRR0-30 diperoleh
persentase yaitu 75,82 %. NRR31-60 diperoleh 91,21 % dan NRR61-90 diperoleh
94,51 %.
d. Nilai Calving Interval (CI) sangat baik yaitu mencapai rata-rata 12,4 atau 12
bulan lebih 4 hari.
e. Inseminai Buatan merupakan program yang telah dikenal oleh peternak sebagai
teknologi reproduksi ternak yang efektif. Inseminasi Buatan di Kecamatan
Sumber Harta sudah dikenal masyarakat cukup lama, sehingga tingkat
keberhasilan Inseminasi Buatan di Kecamatan tersebut sudah sangat baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,Z. 2010. Pengemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta Badan Pusat Statistik Kabupaten Musi Rawas. 2017. Musi Rawas dalam Agka
Tahun 2017. Pemerintah Kabupaten Musi Rawas. CV.Alief Media Grafika.
Kabupaten Musi Rawas
Badan Pusat Statistik Kabupaten Musi Rawas. 2018. Sumber Harta dalam Agka
Tahun 2018. Pemerintah Kabupaten Musi Rawas. CV.Alief Media Grafika.
Kabupaten Musi Rawas
Ball,P.J dan H. A.R. Peters. 2004. Reproduction in Cattle. Third Edition Blackwell
Publishing. Victoria. Australia.
Chamdi, A.N., 2003. Kajian Profil Sosial Ekonomi Usaha Kambing di Kecamatan
Kradenan Kabupaten Grobongan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003. Puslitbang
Peternakan Departemen Pertanian. Bogor.
26
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
Direktorat Jendral Peternakan. 2013. Usaha Peternakan, Perencanaan, Analisa dan
Pengolahan. Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta.
Hartatik, T., D. A. Mahardika, T. S. M.Widi dan E. Baliarti. 2009. Karakteristik dan
kinerja induk sapi silangan Limousin-Madura dan Madura di Kabupaten
Sumenep dan Pamekasan. Buletin Peternakan. 33 (3) : 25–28
Husein, Umar. 2008. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. PT
Rajagafindo Persada. Jakarta.
Hasbullah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Edisi Revisi. Rajawali Pers. Jakarta
Ihsan, M. N. dan S. Wahjuningsih. 2011. Penampilan reproduksi sapi potong di
Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Ternak Tropika 12 (2) : 77–79
Ihsan, M. N. 2010. Indeks fertilitas sapi PO dan persilangannya dengan Limousin.
Jurnal Ternak Tropika 11 : 82–87. Jalius. 2011. Hubungan mortalitas progresif dan keutuhan membran sperma dalam
semen beku sapi Bali dengan keberhasilan inseminasi. Agrinak. 01 (1) : 44–
46
Kaiin EM, M Gunawan, S Said dan B Tappa. 2004. Fertilisasi dan Perkembangan
Oosit Hasil IVF dengan Sperma Hasil Pemisahan. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor 4-5 Agustus, 2004 : 21-25.
Merthajiwa. 2011. Inseminasi Buatan (IB) atau Kawin Suntik pada Sapi. Sekolah
Ilmu Dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung. Bandung
Nur Ihsan, M dan S. Wahjuningsih. 2011. Penampilan reproduksi sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Fakultas peternakan, universitas brawijaya, Malang.
J. Ternak Tropika Vol.12, No. 2:76 – 80
Nukra. 2005. Kontribusi Usaha Pemeliharaan Ternak Sapi Potong Terhadap Total
Penerimaan Petani Peternak di Desa Manuju Kecamatan Parangloe
Kabupaten Goa. Universitas Hasanuddin. Makasar
Saputra A. G. S. 2008. Evaluasi Program Inseminasi Buatan Pada Sapi Bali
Dikecamatan Skanto Kabupaten Jaya Pura.
Soekartawi. 2002. Analisis Usaha Tani. UI Press. Jakarta
Sugeng, Y. Bambang. 2007. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta Sugoro, I. 2009. Pemanfaatan Inseminasi Buatan Untuk Meningkatkan
Produktifitas Sapi. Kajian Bioetika Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Susilawati T. 2004. Keberhasilan IB menggunakan semen sexing setelah
dibekukan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan DanVeteriner : 199– 202
Susilawati,T. 2011a. Tingkat Keberhasilan Inseminasi Buatan Dengan Kualitas dan
Deposisi Semen Yang Berbeda pada Sapi Peranakan Ongole. J. Ternak
Tropika 12 (2) : 15-24
Susilawati, T. 2011b. Spermatology. Universitas Brawijaya (UB) press. Malang
Tatipikalawan.J.M, 2006. Analisis produktivitas tenaga kerja keluarga Pada usaha
peternakan kerbau di pulau moa Kabupaten maluku barat daya. Jurnal
Agroforestri. Volume Nomor 1 Maret 2012. Jurusan Peternakan Fakultas
Pertanian Universitas Pattimura – Ambon.
Tatipikalawan. J.M, 2006. Analisis produktivitas tenaga kerja keluarga Pada usaha
peternakan kerbau di Pulau Moa Kabupaten Maluku Barat Daya. Jurnal
Agroforestri. Volume Nomor 1 Maret 2012. Jurusan Peternakan Fakultas
Pertanian Universitas Pattimura – Ambon.
Utami, D,. Angris, A. 2012. Peran Insiminator Dalam Keberhasilan Inseminasi
Buatan pada Sapi. Hasil Penelitian Balai Inseminasi Buatan. Bandung.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
28
Inventarisasi Hijaun Pohon Sebagai Pakan TambahanTernak
Ruminansia Di Kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat Daya
de Lima* dan C. K. Pattinasarany**
*) Dosen Jurusan Peternakan Faperta Unpatti
**) Dosen Jurusan Kehutanan Faperta Unpatti
ABSTRAK
Inventarisasi Hijaun Pohon Sebagi Pakan Tambahan Ternak Ruminansia di
Kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat Daya.Di bawah bimbingan Penelitian ini
menggunakan metode survey melalui pengamatan dan pengukuran langsung
dilapangan yang dilakukan di 4 desa, sedangkan pengambilan sampel berdasarkan
jumlah populasi ternak terbanyak di ambil sebagai responden, dengan mengikuti
petunjukArifin (1994) dengan menggunakan petak-petak berukuran 20×20 m
(400m²). Hasil penelitian menujukan bawah pada inventarisasi hijau pohon
didominasi oleh pohon Aileru (Vicusspp), Titi (Gemelina luollvenan) dan Beringin
(Vicus Bejamin) dengan masing-masing nilai kerapatan adalah: 17.86, 14.86, 8.32.
Kata Kunci : Inventarisasi Hijauan Pohon, PakanTambahan Ternak Ruminansia
PENDAHULUAN
Ternak ruminansia di Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam
memenuhi kebutuhan daging nasional. Kebutuhan daging nasional sebagian besar
merupakan kontribusi dari peternakan rakyat dan pemasokannya dipasokimpor.
Permasalahan-permasalahan yang di hadapi peternak saat ini adalah rendahnya
produktivitas ternak sebagai dampak dari rendahnya kualitas dan kuantitas pakan
hijaun. Menurur Bumualim (2009) rendahnya produktivitas ternak potong di
sebabkan karena status nutrisi dan suplai hijaun sepanjang tahun yang rendah
terutama pada musim kemarau khususnya di daerah kering wilayah Timur Indonesia.
Terbatasnya pasokan hijaun pakan selama musim kemarau bukan hanya terjadi di
Indonesia bagian timur, termasuk di Kabupaten Maluku Barat Daya Propinsi Maluku
dimana petani hanya mengandalkan hijauan pakan lokal yang terdapat di sekitar
pekarangan, perkebunan, hutan dan ladang. Ginting dan Sukandi, (2012) jumlah
penduduk yang besar telah memaksa masyarakat praktis dan peneliti peternakan
untuk mengarah perhatian pada usaha peningkatan produksi ternak dan produksi
pakan.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
29
Kabupataen Maluku Barat Daya khususnya Kecamatan Moa merupakan salah
satu daerah di Propinsi Maluku yang berpotensi untuk pengembanagan ternak
ruminansia (kerbau, sapi, kuda, kambing dan domba). Menurut data yang dilansir
BPS Kecamatan Moa pada tahun 2017, populasi hewan ternak di Kecamatan Moa
sangat berlimpah. Luas wilayah Kecamatan Moa 1.262,70 km2, dengan jumlah
populasi ternak yaitu 352 Sapi, 14,531 Kerbau, 4,832 Kambing, 856 ekor domba dan
261 Kuda. Kelimpahan ternak ini tentu saja merupakan permasalahan yang dihadapi
oleh peternak dalam penyediaan hijauan pakan terutama pada musim kemarau yang
panjang ± 5 bulan.
Data ketersedian pakan di suatu daerah dapat di peroleh antara lain melalui
Inventarisasi dan data identifikasi hijaun pakan di daerah tersebut. Inventarisasi
adalah suatu kegiatan untuk membuat daftar data suatu barang, (Baumer, 1992).dan
pemberian makanan tambahan adalah upaya memberikan tambahan makanan dan
untuk menambah asupan gizi yang baik bagi ternak. Inventarisasi hijauan pohon
sebagai makanan tambahan ternak yaitu suatu kegiatan untuk membuat data, untuk
mengetahui nama, jenis dan asal suatu tumbuhan hijaun pohon sebagai pakan ternak.
Inventarisasi jenis-jenis hijaun pohon Sebagai pakan tambahan ternak
ruminansia sangat dibutuhkan, sehinga dapat mengatasi kekurangan dan membantu
peternak dalam peningkatan produktifitas terutama musim kemarau. Berdasarkan
permasalahan tersebut dilaksanakan penelitian dengan judul: Inventarisasi Hijaun
Pohon sebagai Pakan Tambahan Ternak Ruminansia Di Kecamatan Moa, Kabupaten
Maluku Barat Daya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis- jenis hijaun
pohon dan presentasi pemanfaatan hijau pohon oleh peternak di Kecamatan Moa
Kabupaten Maluku Barat Daya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat
Daya yang telah berlangsung pada bulan November sampai Desember 2018.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey dan pengukuran
lapangan yang dilakukan di desa sampel berdasarkan jumlah populasi ternak
terbanyak (strafied propusove sampling) diambil sebagai responden. Variabel yang
diamati pada penelitian ini adalah Inventarisasi dan presentasi pemanfaatan hijaun
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
30
pohon sebagai pakan tambahan bagi ternak, kerapatan dan frekwensi hijuan pohon
di Kecamatan Moa.
Untuk Inventarisasi potensi hijaun pohon dilakukan secara cluser sampling
pada padang pengembalan dan untuk mengetahui kepadatan populasi tanaman
digunakan petunjuk Arifin (1994). Analisis yang dibuat pada areal di Kecamatan
Moa berbentuk bujur sangkar dan dibuat dalam petak-petak secara kontinu 20 × 20
m² adalah sebagai berikut:
a. Ubinan pertama dengan luas 400 m² ditentukan secara acak, sedangkan ubinan
kedua diambil secara kontinu dari ubinan pertama dan seterusnya.
b. Dilakukan pendataan semua jenis tanaman hijaun pohon yang ada pada masing-
masing ubinan dengan jumlah individunya.
c. Untuk mengetahui Kondisi hijaun pohon khususnya tumbuhan yang membentuk
vegetasi sebagai kawasan hutan akan dianalisis menggunakan Analisis Vegetasi
oleh Suryanegara (1979), dalam Indriyanto (2006), sebagai berikut :
Kerapatan Σ individu
Luas petak contoh
Kerapatan Relatif (KR) Kerapatan suatu jenis
x 100%
kerapatan seluruh jenis
Frekwensi Jumlah petak ditemukan species
x 100%
jumlah seluruh petak
Frekwensi Relatif (FR) Frekwensi suatu jenis
x 100%
Frekwensi seluruh Jenis
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Keadaan Umum
Kecamatan Moa merupakan salah satu kecamatan yang terletak di wilayah
Kabupaten Maluku Barat Daya. Kecamatan Moa menurut astronomis terletak
diantara 08º25,51 Lintang Selatan dan 127º 52,30 - 128º 28,15 Bujur Timur.
Luas wilayah Kecamatan Moa adalah 1.262,70 km2, terdapat 7 desa dan 3
dusun. Berdasarkan luasnya maka desa Patti merupkan desa yang paling memiliki
luas wilayah yang paling besar yaitu 17,700 km² yaitu sekitar 19% dari total luas
wilayah Kecamatan Moa, sedangkan desa Moain merupakan desa yang memiliki
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
31
luas wilayah terkecil yaitu 3,500 Km² atau 4% dari total luas wilayah Kecamatan
Moa
Iklim di daerah terebut didominasi oleh dua musim yairu musim barat dengan
intensitas hujan yang tinggi terjadi pada bulan April sampai Juli disertai dengan
angin. Sedangkan musim kemarau dimulai dari bulan Agustus sampaibulan
Desember diikuti dengan musim panjaroba (transisi) dengan temperatur berkisar
antara 26.60C - 30,40C
Hasil pengamatan diketahui bahwa di kecamatan Moa tidak terdapat
sungai.Namun masih ditemukan sumur-sumur alam yang terdapat pada lubang-
lubang batu karang atau celah-celah batu karang.Sumber air inilah masyarakat
setempat memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari dan juga untuk kebutuhan
ternak.
Penduduk masyarakat di kecamatan Moa Kabupaten Maluku Barat Daya
mempunyai mata pencaharian utama yaitu bercocok tanam serta beternak.Tanaman
pangan utama masyarakat Kecamatan Moa yaitu .jagung, kacang-kacanagan dan
singkong.
2. Jenis Tanaman, Kerapatan dan Frekwensi Masing-Masing Hijaun Pohon di
Kecamatan Moa
a. Inventarisasi jenis-jenis Hijaun Pohon
Hasil inventarisasi jenis hijauan Pohon sebagai pakan tambahan ternak
ruminansia di Kecamatan Moa dengan luas areal padang penggembalaan alam yang
ada seluas 4.600 ha dari 1.262,70 km². Pada padang pengembalaan alam terdapat
beberapa jenis hijaun pohon yang dapat dikonsumsi ternak disaat musim kemarau
sebagai makanan tambahan ternak ruminansia antara lain pohon Titi (Gemelina
luollvenan), aitiman(nama lokal), weru (Albizia procera), kusambing (Schletchera
oleasa), turi(Sesbania grandiflora), aileru (Vicus spp), pnoa(nama lokal), Ara
(Drypetes sp), sirikaya (Annona squamosa), beringin (Vicus Bejamin),
haunama(nama lokal), lamtoro (Lecuena leucocephala), gamal (Gliricidia sepium),
asam jawa (Tamarindus indica), dan nangka (Annona Muricata).
Kecamatan Moa sebagai salah satu daerah penghasil ternak Ruminansia
terutama ternak kerbau, tidak luput dari permasalahan penyediaan pakan. Hal ini
terlihat pada waktu musim kemarau dimana semua jenis rumput lapangan
(Graminae) tidak dapat bertahan hidup.Upaya penyedian pakan ternak sepanjang
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
32
tahun selalu dibatasi oleh adanya perubahan iklim dan pola penggunaan lahan.Hal
tersebut sangat mempengaruhi jenis hijaun yang dipakai sebagai pakan ternak. Pada
musim hujan banyak jenis hijaun dapat disediakan, akan tetapi kemampuan daerah
sangat terbatas dalam menghasilkan hijaun pakan karena pada musim hujan hampir
semua areal dimanfaatkan oleh petani sebagai tanah pertanian. Sebaliknya, musim
kemarau selain hijaun berkurang, kualitas hijaun pun semakin rendah.Hasil
penelitian menunjukan bahwa luasn padang penggembalaan alam dipulau moa
adalah 4.600 ha. Luas padang pengembalaan sangat berpotensi untuk
penggembangan pakan ternak dalam bentuk hijaun pohon guna mendukung
terpenuhinya hijaun pakan sepanjang tahun. Menurut Lai (1998) Hijaun pohon juga
merupakan andalan untuk menyediakan pakan ternak khususnya pada musim
kemarau dimana produksi rumput menurun.
Pemanfaaatan hijaun pohon di Kecamatan Moa dapat disebabkan karena
ketebalan tanah lapisan atas (Top Soil) yang tipis sehingga hijauan seperti rumput
(Graminae) yang mempunyai sistem perakaran yang dangkal dengan melakukan
dorman sepanjang musim panas. Subagio dan Kusmartono (1988), lapisan tanah atas
merupakan bagian dari tanah yang ada didalamnya terkandung bahan-bahan organik
serta macam-macam mineral yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman.
Jenis - jenis hijauan pohon yang terdapat padang penggembalaan alam di
Moa dapat bertahan pada musim kemarau disebabkan karena pepohonan ini
merupakan tumbuhan xerofit yang dapat hidup di alam yang kering sehingga mampu
beradaptasi untuk bertahan hidup. Kondisi kekeringan yang ekstrim dengan
mengembangkan strategi untuk bertahan hidup yang bervariasi yaitu dengan luas
tajuk pohon yang kecil sehingga transpirasi air akan semakin sedikit dan sistem akar
yang sanggup untuk menembus kedalam tanah yang berbatu untuk mendapatkan air
secara kontinu sehingga dapat mengatasi kekeringan air pada musim kemarau yang
panjang. (Sumardi dan Widyastuti, 2004).
b. Kerapatan dan Frekwensi Hijaun Pohon
Penyebaran dari jenis hijaun pohon pada lokasi-lokasi penelitian tidak merata
karena pengelolahan dan pemeliharaan tanaman atau perubahan status tanah dan
sebagainya. Soerianegara dan Andry (1998), penyebaran tanaman kebanyakan
sebagai akibat manusia ditempat itu seperti: perubahan hutan, pengelolaan tanah,
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
33
dan juga penanaman tanaman yang berubah-ubah. Dimana sumber pakan ternak
ruminansia adalah hijaun rumput, leguminosa dan konsentrat sehingga bila tidak
terpenuhi kebutuhan dari ternak maka tentu akan mengakibatkan kegagalan dalam
pemeliharan ternak.
Hasil perhitungan kerapatan dan frekwensi jenis-jenis hijaun pohon di
kecamatan Moa pada 4 (empat) Desa sampel, pada Tabel 1.
Hasil peneliitian menunjukan bahwa hijaun pohon aileru (Vicus spp), memiliki nilai
kerapatan dan frekwensi tinggi yaitu kerapatan 17,86 % dan frekwensi 11,63%
(Tabel.1) bila dibandingkan dengan hijaun lain. Aileru (Vicus spp), merupakan
bangsa beringin yang memiliki ketinggian rata-rata 1-5 meter sehingga tidak muda
rusak akibat rengutan ternak. Tingginya nilai kerapatan dan frekwensi aileru
disebabkan karena hijaun ini memiliki tingkat kesukaran untuk di rengut ternak
kecuali diambil oleh peternak sebagai pakan. Selain itu aileru (Vicus spp),
mempunyai sistem akar tunggang dan berkembangbiak dengan biji serta
bersimbiosis dengan tawan beringin sehingga mendukung kelangsungan hidup dan
penyebarannya, (Anonymus 1997).
Hijauan pohon titi (Gemelina luollvenan), memiliki nilai kerapatan 14,86%
dengan nilai frekwensi 9,75% (Tabel 1), tingginya nilai kerapatan dan frekwensi ini
disebabkan karena hijaun pohon ini merupakan hijaun yang kurang dimakan oleh
ternak juga memiliki pohon yang agak lebih tinggi dan hijaun pohon ini juga
memiliki getah yang banyak sehingga kurang disukai oleh ternak. Tetapi kelebihan
dari hijaun ini dapat bertumbuh pada tanah yang kering, juga dapat bertahan hidup
pada musim kemarau panjang sehingga bisa digunakan hijaun sebagai tempat
bertedu, bagi ternak maupun peternak, bisa sebagai pakan tambahan bila musim
kemarau yang panjang. Siregar, (1999) keunggulan lain jenis tanaman tersebut dapat
tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi tanah, walaupun pada lahan kering.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
34
Tabel 1. Nilai Rata-rata Kerapatan dan Frekwensi Masing-masing Hijaun Pohon di Kecamatan Moa
No Jenis Hijaun Kerapatan Frekwensi (%) (%)
1 Titi (Gemelina luollvenan) 14,86 9,75
2 Aitiman (Nama Lokal) 8,32 8,10
3 Weru (Albizia procera) 6,08 6,67
4 Turi (Sesbania grandiflora) 4,10 3,66
5 Gamal (Gliricidia sepium) 4,35 4,05
6 Aileru (Vicus spp) 17,86 11,63
7 Kusambi (Schletchera oleasa) 6,93 8,08
8 Asam jawa (Tamarindus indica) 6,35 6,50
9 Beringin (Vicus Bejamin) 5,39 6,26
10 Haunama (Nama Lokal) 5,57 6,13
11 Pnoa (Nama Lokal) 6,40 7,17
12 Ara (Drypetes sp) 3,32 4,30
13 Sirikaya (Annona squamosa) 3,70 5,22
14 Nangka (Annona Muricata) 4,15 5,23
15 Lamtoro (Lecuena leucocephala) 2,77 5,08
Hijauan aitiman(nama lokal) dengan kerapatan 8,32% dan frekwensi 8,10%,
hal ini disebabkan karena hijaun aitiman tidak di makan oleh ternak kerbau tetapi
dimakan oleh ternak kambing, sehingga kerapatan dan frekwensi yang tidak berbeda
jauh dengan pohon aileru (Vicus spp) dan titi (Gemelina luollvenan), Hijauan pohon
kaya akan nitrogen dan tidak tergantung pada kondisi nitrogen dalam tanah atau
pemberian pupuk karena sifatnya dapat memanfaatkan nitrogen udara melalui bintil-
bintil akar (Anonymous, 1997).
Di samping itu hijaun pohon ada yang memiliki tingkat kerapatan dan
ferkwensi lebih rendah yaitu lamtoro (Lecuena leucocephala), kerapatan 2,73% dan
frekwensi 5,08 (Tabel 1) dimana lamtoro merupakan hijaun pohon yang sering
digunakan pada musim kemarau untuk pakan ternak. Jenis hijauan ini dapat tumbuh
dengan baik pada berbagai kondisi tanah, sekalipun ditanam pada lahan yang kering
(Siregar, 1999). Gamal (Gliricidia sepium), memiliki nilai kerapatan 4,10 dan nilai
frekwensi 4,05, gamal(Gliricidia sepium), memiliki nilai frekwensi yang rendah
sama dengan lamtoro. Hal ini disebabkan karena peternak sering menggunakan
hijaun ini untuk pakan, selain itu peternak tidak hanya mengambil daunnya sebagai
pakan tetapi batang diambil atau di potong sebagai kayu bakar. Hal ini merupakan
suatu masalah bagi peternak dan harus diperbaiki karena disaat musim kemarau yang
panjang pakan hijaun berkurang sehingga bisa memanfaatkan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
35
lamtoro (Lecuena leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium), sebagai pakan
ternak. Kedua hijaun ini juga mempunyai kandungan protein tinggi sehingga dapat
dipakai sebagai makanan tambahan ternak terutama pada musim kemarau. Sosetyo
(1980), hijaun pohon merupakan sumber protein dan mineral yang berkadar tinggi
bagi ternak, disamping memperbaiki kesuburan tanah, sehingga.dengan adanya sifat-
sifat tersebut maka kedua jenis hijaun ini sangat baik untuk di kembangkan.
c. Persentase Pemanfaatan Hijauan Pohon
Rendahnya produktifitas hijaun padang pengembalaan di Kecamatan Moa
pada musim kemasrau disebabkan oleh curah hujan yang rendah dan suhu udara yang
cukup tinggi, sehingga menyebabkan kerusakan pada tanaman, seperti kematian
anakan, luka pada bagian tanaman yang memiliki jaringan yang lemah. Sumardi dan
Wdyastuti, (2004) kekurangan air akan dapat menghambat terjadinya proses
regenerasi pada tanaman serta dapat menyebabkan daun rontok dan hangus, hal ini
terjadi karena hilangnya air dengan cepat.
Hal ini menyebabkan peternak memanfaatkan hijauan pohon sebagai pakan.
Hasil perhitungan presentase pemanfaatan jenis-jenis hijaun pohon di kecamatan
Moa pada 4 (empat) Desa sampel, pada tabel 2. Pemanfaatan daun hijauan pohon
seperti daun aileru (Vicus spp), titi (Gemelina luollvenan), weru (Albizia procera),
gamal (Gliricidia sepium), lamtoro (Lecuena leucocephala), dan lain-lain sebagai
pakan ternak dapat diberikan secara tunggal atau dicampurkan (lebih dari satu jenis)
dengan rumput atau pakan lainnya sebagai pakan tambahan. Pemberian hijauan
pohon sebagai pakan diKecamatan Moa, diberikan dalam bentuk segar, menurut
kebiasaan masyarakat/peternakHasil penelitian, masyarakat belum mengetahui
tentang teknik pengolahan hijauan khusus hijauan pohon sebagai pakan ternak.
Hijaun weru (Albizia procera), merupakan hijaun yang sering diberikan untuk ternak
pada musim hujan dan musim kemarau. Presentase pemberian pada musim kemarau
lebih tinggi dibandingkan dengan hijauan yang lain yaitu 35,71 % dan presentase
pemberian musim hujan 14.28 % (Tabel 2). Akan tetapi tetap menjadi permasalahan
adalah pada musim hujan hijaun ini sangat banyak didapat, tetapi pada musim
kemarau sangat sulit didapat karena disaat musim kemarau pada umumnya peternak
mengambil hijaun ini untuk pakan ternak.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
36
Tabel 2. Presentase pemanfaatan hijaun pohon sebagai pakan ternak ruminansia
No Jenis Hijauan Pohon
Kemarau Hujan
1 Beringin (Vicus Bejamin) 17,85
2 Aitiman (Nama Lokal) 7,14
3 Weru (Albizia procera) 35,71 14,28
4 Turi (Sesbania grandiflora) 17,85 -
5 Gamal (Gliricidia sepium) 7,14 -
6 Aileru (Vicus spp) 10,71 -
7 Kusambi (Schletchera oleasa) 14,28 3,37
8 Asam jawa (Tamarindus indica) 10,71 -
9 Titi (Gemelina luollvenan) 14,28 7,21
10 Haunama (Nama Lokal) 7,14 -
11 Pnoa (Nama Lokal) 7,14 3,37
12 Ara (Drypetes sp) 14,28 -
13 Sirikaya (Annona squamosa) 7,21 -
14 Nangka (Annona Muricata) 7,21 -
15 Lamtoro (Lecuena leucocephala) 7,21 -
. Tingginya pemanfaatan hijaun weru sebagai pakan, mengakibatkan
kekurangan hijaun pakan pada saat musim kemarau. Menurut Lai (1998) Hijauan
Pohon juga merupakan andalan untuk menyediakan pakan ternak khususnya pada
musim kemarau dimana produksi rumput menurun. Hijauan ini juga bisa dapat
bertumbuh dan bertahan lama pada musim kemarau yang panjang tetapi peternak
tidak memanfaatkan hijaun ini dengan baik sehingga berdampak pada ternak yang
bisa mengakibatkan kekurangan hijaun dan akan mengakibatkan kematian pada
ternak. .
Hijaun pohon beringin (Vicus Bejamin) dan turi (Sesbania grandiflora),
memiliki presentase pemberian pada musim kemarau yaitu 17,85 %, (Tabel 2).
Pemberian untuk ternak dalam bentuk segar tanpa pengolahan, hal ini menjadi suatu
masalah bagi ternak, bila pengambilan hijaun disaat pagi hari dan langsung diberikan
pada ternak akan mengakibatkan kembung perut bagi ternak karena sisa- sisa embun
masih ada pada daun-daun tersebut sehingga bisa berdampak kematian juga pada
ternak.
Hijauan Pohon gamal (Gliricidia sepium) dan lamtoro (Lecuena
leucocephala) memiliki presentase pemberian yang rendah yaitu 7,14 %, kedua
hijaun pohon sangat sulit untuk dimanfaatkan pada saat musim hujan sehingga
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
37
sangat sulit didapat pada saat musim kemarau di padang pengembalaan karena
peternak belum mengetahui dengan pasti manfaat dari kedua jenis hijaun ini.
Keberhasilan usaha peternakan khususnya ruminansia sangat tergantung dari
kecukupan tersedianya pakan hijaun baik jumlah maupun kesinambungannya.
Menurut Tangendjaja (1985) usaha produksi peternakan saat ini sangat tergantung
dari ketersedian bahan pakan.Produktivitas peternakan dapat dinaikan apabila pakan
yang diberikan secara optimal memenuhi kebutuhan ternak.Jadi untuk memenuhi
tersedianya pakan sepanjang tahun maka harus meningkatkan jumlah dan mutu
pakan ternak.
Menurut Mathius dkk (1989), kebutuhan zat-zat makanan sangat tergantung
pada kondisi ternak.Misalnya ternak muda yang sedang tumbuh dan ternak yang
sedang bunting membutuhkan lebih banyak zat makanan. Di Kecamatan Moa,
musim kemarau lebih panjang dari musim hujan sehingga bila pada musim hujan
pakan hijauan melimpah, tetapi pada musim kemarau pakan hijauan menurun ini
menjadi tugas bagi para peternak di daerah tersebut, apabila kondisi tidak atasi maka
peternak yang menjadi mata pencaharian akan berdampak pada pendapatan rumah
tangga.
Jenis-jenis hijaun pohon yang ada di daerah tersebut sangat berpeluang untuk
dikembangkan, sebagai cadangan pakan hijauan pada musim kemarau yang panjang.
Hijaun pohon dapat bertahan dan tumbuh pada musim kemarau yang panjang.
Menurut Lai (1998) hijaun pohon juga merupakan andalan untuk penyedian pakan
ternak khususnya pada musim kemarau dimana produksi rumput menurun.
Hijaun pohon mempunyai banyak fungsi antara lain untuk pakan ternak,
tanaman pagar, tanaman pelindung, kayu bakar, pupuk daun dan pencegah erosi.
Hijaun pohon sebagai pakan ternak mempunyai susunan zat makanan yang sangat
baik. Semua makanan ternak hijauan pohon yang sangat tinggi kadar proteinnya.
Disamping itu protein yang cukup tinggi sekitar 22 %, sehingga sangat tepat bila
dipakai sebagai sumber protein untuk ruminansia yang hanya diberi rumput saja.
Pemanfaatan hijaun pohon sebagai pakan ternak dapat diberikan secara tunggal atau
dicampur dengan rumput atau hijauan lainnya. Hijauan pohon adalah tanaman yang
sangat potensial digunakan sebagai hijaun pakan sumber protein untuk ternak
ruminansia didaerah tropis (Devendra, 1992). Hijaun Pohon perlu di kembangkan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
38
di Kecamatan Moa untuk mengetasi kekurangan hijauan pada musim kemarau.
Kecamatan Moa berpotensi untuk pengembangan ternak ruminansia dimana
didaerah tersebut ternak ruminansia merupakan pendapatan utama bagi masyarakat.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan kerapatan dan pada masing-masing
desa sampel adalah sebagai berikut :
1. Kecamatan Moa memiliki nilai kerapatan didominasi oleh hijauan Pohon Aileru
(Vicus spp), dengan nilai kerapatan adalah 17,86% dengan frekuensi 11,63%.
dan Pohon lamtoro (Lecuena leucocephala) yang terendah dengan nilai
kerapatan 2,73% .dengan nilai ferkuensi 4,82%
2. Jenis hijaun pohon Weru (Albizia procera) mempunyai persentase pemberian
pakan dimusim kemarau sebesar 35,71% dan di musim hujan 14,28%; beringin
(Vicus Bejamin) dan pohon turi (Sesbania grandiflora) dengan presentase
pemberian sebagai pakan di musim kemarau adalah 17,85 %.
3. Luas padang penggembala di Kecamatan Moa sebesar 4.600 ha, sangat
berpontesi untuk pengembangan hijaun pohon sebagai pakan pada musim
kemarau.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas maka ada beberapa saran yang perlu
dilakukan antara lain :
1. Untuk mengatasi kekurangan hijauan pada musim kemarau, perlu dilakukan
pembudidayaan hijauan pohon seperti weru (Albizia procera), beringin (Vicus
Bejamin), lamtoro (Lecuena leucocephala), gamal (Gliricidia sepium)dan turi
(Sesbania grandiflora), karena mampu bertahan pada musim kemarau dan juga
bisa digunakan sebagai pakan tambahan untuk menambah asupan gizi bagi ternak.
2. Perlu adanya penelitian lanjutan tentang kualitas dan kuantitas serta penyediaan
hijauan pohon sebagai pakan pada musim kemarau maupun musin hujan
3. Perlu adanya penerapan teknologi untuk melakukan pengawetan hijaun pada saat
hijauan melimpah di musim hujan, untuk mengantisipasi kekurangan makanan
ternak pada musim kemarau.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
39
DAFTAR PUSTAKA
Anonymus, 1997. Hijauan Makanan Ternak Potong, Kerja dan Perah.
Dendrologi.Pusdiklat. Bogor.
Arifin. A. 1994. Hutan, Hakekat dan Pengharunya Terhadap Lingkungan, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Badan Pusat Satistik (BPS), 2016 Kecamatan Moa dalam angka. Badan Pusat
Statistik. Kecamatan Moa.
Bamualim, A.M. 2009. Dinamika Sumber Daya Rumput Asli Di Lahan Kering
Indonesia Untuk Mendukung Produksi Sapi Potong: Studi Kasus Nusa
Tenggara. Makalah Yang Di Presentasikan Pada Seminar Internasional
Tentang Sumber Pakan Berbasis. Pusat Teknologi Makanan Dan Fertilizer
ASPAC, Pusat Penelitian Peternakan-COA , ROC Dan Lembaga Penelitian
Indonesia Untuk Produksi Hewan, Bandung, 3-7 Agustus 2009.
Baumer, M. 1992. Pohon sebagai penjelajah dan untuk mendukung produksi
hewan.Pohon legume dan pohon pakan ternak ternak lainnya sebagai sumber
protein untuk ternak (Ed. Speedy, A. dan Pugliese, P.L).Produksi Hewan dan
Kertas Kesehatan, No. 102. FAO, Ro,a.
Devendra, 1992. Potensi Nutrisi Dari Pakan Ternak Perdu Sebagai Sumber Protein
Dalam Nutrisi Ruminansia Di Leguminosa Dan Pakan Ternak Lainnya
Sebagi Sumber Protein Unuk Ternak. Produksi Hewan Dan Kertas
Kesehetan. 102. Fao, Roma, Italy. Diakses Pada Maret 2004.
Ginting, A.N dan Sukandi, T. 2012. Penelitian agroforestry di Indonesia.Di sulmana
et al. (Eds) Pengembangan dalam Prosedur untuk Penelitian Sistem
Pertanian.AARD. Jakarta.
Indriyanto (2006).Ekelogi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Lai, R. 1998. Control Erosi Tanah dengan Alley Cropping. Konferensi Konservasi
Tanah Internasional kelima. Bangkok, Thailand.
Mathius.I.W..Dwi Yulistiani dan Agustinus Wilson.1989. Tata Laksana Pemberian
Pakan Kambing dan Domba Kumpulan Peragaan dalam Rangka Penelitian
Ternak Kambing dan Domba di Pedesaan. Balai Penelitian Ternak.
Siregar, S. B. 1999. Pengemukan Kerbau, Penebar Swadaya. Jakarta. Soerianegara.,
I. Andry, I, 1998, Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Eklogi
Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Subagio dan Kusmartono 1988.Ilmu Kultur Padangan.Universitas Brawijaya
Malang.
Sumardi dan S.M. Widyastuti, 2004.Dasar-dasar Perlindungan Hutan. Susetyo, S. 1980. Hijauan Makanan Ternak. Dirjen Peternakan. Departemen
Pertanian, Jakarta.
Tangendjaja, B. 1985.Analisa Bahan dan Manfaatnya dalam menyusun Ransum
Ternak.Journal Penelitian dan Pengembangan pertanian.
.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
40
Evaluasi Kualitas Fisik dengan beberapa Jenis Pengolahan Pakan
pada Pelepah Sawit Sebagai Pakan Ternak Kerbau
Rawa (Buffelus asiaticus)
W. Ibrahim dan J. Laksono
Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Musi Rawas
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi kualitas fisik
terdiri dari warna, aroma, tekstur, pH, kadar air dan bahan kering. Metode penelitian
ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
faktorial terdiri dua faktor. Faktor pertama P1: Amoniasi, P2 : Silase, P3 : Fermentasi
Faktor kedua W1 : 18 hari W2 : 21 hari W3 : 24 hari. Untuk mengetahui pengaruh
perlakuan data yang didapat dianalisis ANOVA dan uji Duncan. Hasil uji fisik warna
pada perlakuan amoniasi memberikan warna coklat muda, silase coklat muda,
fermentasi hijau kekuningan. Hasil uji fisik aroma pada perlakuan amoniasi berbau
sedikit amoniak , silase berbau asam, fermentasi berbau asamal segar. Hasil uji fisik
tekstur pada perlakuan amoniasi agak lembut, silase agak lembut, fermentasi sangat
lembut. Sedangkan untuk pH, Kadar air dan Bahan Kering berpengaruh sangat nyata
(P<0,01). Kualitas fisik pelepah sawit yang baik pada perlakuan P3 dengan perlakuan
Fermentasi dan W2 dengan perlakuan 21 hari memberikan hasil yang terbaik pada
semua parameter pengamatan.
Kata kunci: Pelepah sawit, Amoniasi, Silase, Fermentasi
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
41
PENDAHULUAN
Kebutuhan akan ketersedian protein hewani untuk masyarakat Indonesia
meningkat dari tahun ke tahun, ini disebabkan peningkatan pertambahan penduduk dan
tingkat kesejahteraan yang juga mempengaruhi pola konsumsi pangan masyarakat.
Dalam meningkatkan produksi ternak ruminansia pakan merupakan faktor utama yang
sangat utama untuk kebutuhan hidup pokok yang dikonsumsi, baik secara kuantitas,
maupun kualitas. Salah satu hijauan sebagai sumber utama pakan ternak adalah limbah
dari perkebunan kelapa sawit, limbah yang dapat di jadikan sumber hijauan yaitu
pelepah sawit. Pelepah kelapa sawit terdiri dari daun dan tulang pelepah, pada daun
mengandung N, K, P, Mg, Ca dan S masing-masing 2,05%, 0,88%, 0,13%, 0,23%,
0,36% dan 0,17% sedangkan pada tulang pelepah
mengandung 0,37%,1,49%, 0,07%, 0,19%, 0,21% dan 0,18% (Corley and Tinker,
2016). Kandungan gizi pelepah kelapa sawit terdiri dari bahan kering (BK) 97,39, abu
3,96%, protein kasar (PK) 2,23%, serat kasar (SK) 47,00%, lemak kasar (LK) 3,04%,
NDF 76,09%, ADF 57,56%, Hemiselulosa 18,51%, lignin14,23% dan selulosa 43,00%
. Untuk meningkatkan kualitas dari pelepeh sawit dapat di lakukan denga teknologi
pengolahan pakan. Pakan memiliki pengertian segala sesuatu yang dapat diberikan
kepada ternak baik sebagian atau seluruhnya yang berasal dari bahan organik dan
anorganik yang tanpa mengganggu kesehatan ternak.
Teknologi dalam pengolahan limbah kelapa sawit seperti pelepah dan daun
kelapa sawit yang dapat dilakukan yaitu dengan fermentasi, amoniasi dan silase.
Kandungan lignin pelepah sawit mencapai 20% dari biomassa kering, sehingga
merupakan pembatas utama dalam penggunaan pelepah sawit sebagai pakan ternak
(Rahman et al., 2011). Ternak yang memiliki potensi untuk memanfaatkan hasil
teknologi pengolahan pelepa sawit ini adalah ternak kerbau rawa. Kerbau rawa hidup
di daerah tanah kotor berlumpur atau berawa-rawa, kesukaan kerbau rawa adalah
berkubang dan utamanya digunakan sebagai penghasil daging dan tenaga kerja (Murti,
2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas fisik dengan beberapa jenis
pengolahan pelepah sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
42
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas Musi
Rawas Kelurahan Warterpang Kota Lubuklinggau Timur I Sumatra Selatan, dengan
ketinggian tempat 93 meter di atas permukaan laut. Penelitian berlangsung mulai bulan
April sampai dengan bulan Juni 2019.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: pelepah sawit,
dedak, urea, molases, air, Mol Bonggol Pisang. Sedangkan alat-alat yang digunakan
adalah: mesin coper, mesin fakum, timbangan, oven, pelastik, gelas ukur, Ph meter,
alat tulis. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Metode penelitian ini
menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial
terdiri dua faktor. Faktor pertama P1: Amoniasi, P2 : Silase, P3 : Fermentasi. Faktor
kedua W1 : 18 hari W2 : 21 hari W3 : 24 hari. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan
data yang didapat dianalisis ANOVA dan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Uji Fisik Warna, Aroma dan Tekstur
Hasil pengamatan uji fisik pada beberapa jenis teknologi dan lama waktu
pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa dapat di lihat pada Tabel
1. Berdasarkan pada Tabel. 1, hasil dari pengamatan uji fisik pada beberapa jenis
teknologi dan lama waktu pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa
dapat dilihat adanya perubahan warna, aroma dan tekstur pada setiap parameter
pengamatan. Perubahan ini berbeda dikarenakan adanya perbedaan pelakuan seperti P1
amoniasi P2 Silase dan P3 Fermentasi. Sedangkan waktu tidak memberikan perbedaan
terhadap warna, aroma dan tekstur.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
43
Tabel 1. Hasil Uji fisik beberapa jenis teknologi dan lama waktu pengolahan pelepa
sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa
Perlakuan Warna
W1 W2 W3
P1 Coklat Muda Coklat muda Coklat Muda
P2 Coklat Muda Coklat Muda Coklat Muda
P3 Hijau Kekuningan Hijau Kekuningan Hijau Kekuningan
Aroma
P1
P2
P3
Khas Amoniak
Asam
Asam Segar
Khas Amoniak
Asam
Asam Segar
Khas Amoniak
Asam
Asam Segar
Tekstur
P1 Agak Lembut Agak Lembut Agak Lembut
P2 Lembut Lembut Lembut
P3 Sangat Lembut Sangat Lembut Sangat Lembut
B. pH, Kadar Air dan Bahan Kering
Berdasarkan hasil penelitian beberapa jenis teknologi dan lama waktu
pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa Berpengaruh sangat
nyata(P<0,01) pada parameter pH, Kadar air, Bahan Kering. Interaksi tidak terlihat
pada parameter pengamatan. Rata-rata jenis teknologi dan lama waktu pengolahan
pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa dapat di lihat pada Tabel. 2.
Tabel. 2. Rata-rata beberapa jenis teknologi dan lama waktu pengolahan pelepa
sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa
Perlakuan pH Kadar air Bahan Kering
Pengolahan Pakan
P1
P2
P3
Waktu
4,52 ± 2,26 bB
3,90 ± 1,95 abAb
3,66 ± 1,83 aA
6,13 ± 3,35
6,30 ± 3,38
6,60 ± 3,69
93,13 ± 46,65
93,68 ± 46,86
93,42 ± 46,74
W1
W2
4,04 ± 0,44
8,20 ± 0,50 cC
91,17 ± 1,04 aA
W3 4,05 ± 0,42 6,01 ± 0,24 abAB 93,97 ± 0,20 bB 3,98 ± 0,46 4,91 ± 0,25 aA 95,15 ± 0,14 bB
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukan
perbedaan sangat nyata pada taraf 1% Uji Berganda Duncan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
44
C. Warna
Berdasarkan hasil uji fisik Perlakuan P1 dan P2 menghasilkan warna coklat muda
sedangkan perlakuan P3 menghasilkan warna hijau kekuningan. Sedangkan untuk
perlakuan W1,W2 dan W3 menunjukan warna yang sama. P1 dan P2 Menghasilkan
warna coklat muda hal ini di duga karena pelepah sawit yang di gunakan dalam
penelitian ini dalam bentuk segar, sehingga warna yang dihasilkan selama proses
pemeraman berwarna coklat muda hampir sama dengan warna sebelum di lakukan
pemeraman. Sedangkan pada pelakauan P3 berwarna hijau kekuningan hal ini diduga
karean adanya aktifitas mikro organisme yang berasal dari MOL bonggol pisang yang
dapat menghasilkan bakteri asam laktat BAL yang dapat mendegradasi bahan sehingga
menyebabkan warna hijau kekuningan, selain itu juga pengaruh panas dari proses
ensilase selama proses fermentasi Hal ini sesuai dengan pendapat Folley et al. (1972)
menyatakan Bakteri asam laktat akan mengubah glukosa atau karbohidrat sederhana
menjadi alkohol, asam asetat, asam karbonat dan asam laktat
D. Aroma
Berdasarkan uji fisik perlakuan P1 menghasilkan aroma khas amoniak, P2
Menghasilkan aroma sedikit asam dan P3 menghasilkan wangi. Sedangkan untuk
perlakuan W1, W2 dan W2 menunjukan aroma yang sama. Hal ini di duga karena pada
setiap perlakuan diberikan bahan tambahan yang berbeda-beda, seperti P1 di
tambahkan urea sehingga aroma yang di hasilkan aroma khas amoniak, sesuai dengan
pendapat Sumarsih et, al (2009) yang menyatakan bahwa ciri amoniasi yang baik yaitu
bau yang khas amoniak. P2 di tambahkan molases dan dedak sehingga aroma yang di
hasilkan aroma asam, masam tersebut di sebabkan oleh bak teri anaerob menghasilkan
asam organik. Menurut Kurnianingtyas et al., (2012) aroma asam pada silase
disebabkan pada saat proses pembuatan silase, bakteri anaerob aktif bekerja
menghasilkan asam organik dan membuat aroma silase menjadi asam, aroma silase
yang baik berbau asam dan tidak tajam. P3 di tambahkan Mol Bonggol pisang dan
sehingga aroma yang di hasilkan wangi, aroma wangi tersebut di sebaabkan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
45
adanya bakteri asam lakstat yang di hasilkan dari Mol Bonggol pisang dan di tambah
dengan tetes tebu sehingga aroma yang di hasilkan wagi.
E. Tekstur
Berdasarkan uji fisik perlakuan P1 menghasilkan tekstur Agak Lembut, P2 dan
P3 menghasilkan tekstur lembut. Sedangkan untuk perlakuan W1, W2 dan W2
menunjukan tekstur yang sama. Hal ini di duga karena Pada perlakuan P1 kandungan
air dalam bahan masih tinggi sehingga proses ureanase tidak berjalan dengan
maksimal, sehingga bahan tidak menjadi lunak. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat
Sumarsih et al. (2009) yang menyatakan bahwa ciri amoniasi yang baik yaitu tekstur
berubah menjadi lebih lunak dan kering. Perlakuan P2 dan P3 menghasilkan tekstur
lunak hal ini di duga karena bahan yang di gunaka serta bahan tambahan yang di
gunakan seperti Mol bonggol pisang. Hal ini sesuai dengan pendapat Schroeder (2004),
secara umum kualitas silase dipengaruhi oleh bahan yang digunakan, kadar air, ukuran
partikel bahan, penyimpanan pada saat ensilase dan pemakaian aditif.
F. pH
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa beberapa jenis teknologi dan lama waktu
pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap pH (Tabel 2). Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan pada P1
berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan P2 dan berbeda nyata dengan P3. Hal ini di
duga karena adanya perbedaan dalam pengolahan bahan. P1 proses amoniasi, dimana
pH amoniasi yang baik 6,5 -7 selain itu juga pengolah ini menggunakan bahan kimia
berupa urea yang bersifat basah. Pada perlakuan P2 dan P3 pH yang di hasilkan reratif
sama berkisar 3,0 - 4,0 dimanan pada kedua perlakuan ini bersifat asam, sehingga
dalam proses nya banyak melibatkan bakteri asam laktat Keadaan asam pada silase
dikarenakan oleh oksidasi etanol menjadi asetildehid yang selanjutnya dioksidasi
menjadi asam laktat, kondisi ini akan menyebabkan suasana menjadi asam. Hal ini
sesuai dengan pendapat Sebayang (2006) bahwa keadaan asam dari hasil fermentasi
silase disebabkan oleh teroksidasinya etanol menjadi asetildehid yang mengalami
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
46
oksidasi lanjutan menjadi asam laktat.
G. Kadar Air
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa beberapa jenis teknologi dan lama waktu
pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap Kadar Air Tabel 2. Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan pada
W1 berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan W3 dan berbeda nyata dengan W2. Hal ini
di duga karena waktu dalam proses pemeraman terlalu lama menyebabkan peningktan
kadar air dalam bahan yang di gunakan dalam proses ensilase tersebut, ini dapat dilihat
bahwa W1 dengan lama pemeraman 18 hari kadar airnya 8,20 dan W3 dengan lama
pemeraman 24 hari kadar air 4,91. Anggraeny et al.,(2009) selama proses fermentasi
akan terjadi peningkatan kadar air dalam subtrat karena penguraiyan bahan kering total,
yang akan di gunakan sebagai sumber energi atau sebagai pembentuk sell baru
sehingga kandungan bahan kerinya menurun.
H. Bahan Kering
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa beberapa jenis teknologi dan lama waktu
pengolahan pelepa sawit sebagai pakan ternak kerbau rawa berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap Bahan kering (Tabel 2) Uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan
pada W3 berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan W1 dan berbeda nyata dengan W2.
Hal ini di duga karena semakin lama waktu yang di gunakan dalam pemeramam
sehingga menyebabkan kandungan air dalam bahan akan rendah sehinga terjadi
peningkatan pada kandungan bahan kering hal ini sesuai dengan pendapat Anggraeny
et al.,(2009) semakin basah bahan yang diensilase semakin banyak panas yang di
butuhkan untuk meningkatkan suhu silase dan semakin banyak kehilangan bahan
kering atau peneingkatan kadar air.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa uji fisik
yang baik yang baik pada pelakuan fermentasi, pada paremeter pH Kadar Air dan
Bahan Kering menghsilkan nilai terbaik pada perlakuan P3W3.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
47
S
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang palatabilitas pada ternak kerbau
rawa
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeny, Y.N. dan Umiyasih. U. 2009. Pengarug Fermentasi cerevision Terhadap
kandungan Nutrisi dan Kecernaan Ampas Aren (Arenga pinata MERR). Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Hal 256-262.
Corler, R.H.V. and P.B. Tinker. 2016. The Oil Palm. Fifth Edition. Wiley Blackwell,
UK.
Folley, R.C., Bath, D.L., Dickinson, F.N and Tucker, H.A., 1972. Dairy Cattle: Principles, Practice.
Kurnianingtyas, I.B., Pandansari, P.R., Astuti, I., Widyawati, S.D., dan Suprayogi,
W.P.S. 2012. Pengaruh Macam Akselerator terhadap Kualitas Fisik, Kimiawi
dan Biologis Silase
Murti,T.S. 2002. Ilmu Ternak Kerbau. Kanisius, Yogyakarta.
Rahman, M.M., M. Lourenco, H.A. Hassim, J.J.P. Boars, A.S.M. Sonnenberg, J.W.
Cone J.W, J. De Boever, and V. Fievez. 2011. Improving ruminal degradability
of oil palm fronds using white rot fungi. Anim. Feed. Sci. and Tech. Vol. 169,
Issues 3-4:157-166.
Sumarsih, S., C. I. Sutrisno., B. Sulistiyanto.2009. Kajian Penambahan Tetes Sebagai
Aditif Terhadap Kualitas Organoleptik dan Nutrisi Silase Kulit Pisang.Seminar
Nasional Kebangkitan Peternakan, Semarang.
Schroeder, J.W. 2004. Silage Fermentation and Preservation. Extension Dairy
Specialist. AS-1254.
Sebayang, F. 2006. Pembuatan Etanol dari Molases secara Fermentasi Menggunakan
Sel Saccharomyces cerevisiae yang Terimobilisasi pada Kalsium Alginat. Jurnal
Teknologi Proses 5 (2) 75-80.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
48
Pengaruh Bioprosessing Kulit Buah Kakao (Theobroma Cacao)
Menggunakan Probiotik Terhadap Kandungan Fraksi Serat
Sri Rahayu dan Djoko Subagyo
Universitas Jabal Ghafur, Sigli
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Kulit buah kakao merupakan salah satu limbah perkebunan yang ada di
Kabupaten Pidie, masyarakat menganggap bahwasanya limbah harus dibuang, tapi
pada kenyataannya limbah Kulit buah kakao sangat berpotensi sebagai pakan ternak.
Pemberian Kulit buah kakao kepada ternak harus melalui proses perbaikan zat nutrisi
terlebih dahulu, salah satunya dengan fermentasi. Penelitian ini bertujuan melihat
pengaruh dosis pemberian probiotik dan lama waktu fermentasi terhadap kandungan
fraksi serat kulit buah kakao yang telah difermentasi. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) Pola Faktorial dengan 3x2 dengan 3 ulangan.
Faktor A adalah dosis pemberian probiotik yaitu A1= 7,5%, A2= 10%, dan A3= 12,5%.
Faktor B adalah lama waktu fermentasi B1= 25 hari dan B2= 30 Hari. Data dianalisa
mengguna analisa varian (Anova) dan uji Lanjut DMRT. Hasil penelitian menunjukan
bahwa perlakuan A3B2 dapat menurunkan kandungan fraksi serat substrat setelah
difermentasi yaitu SK sebesar 40,33%, NDF sebesar 23,07%, ADF sebesar 11,50 %,
selulosa sebesar 23,72%, dan hemiselulosa 58,43%.
Kata Kunci: Kulit buah kakao, Bioprosessing, Win Prob, Nutrisi
PENDAHULUAN
Semakin lama jumlah penduduk semakin bertambah, seiring dengan hal tersebut
kebutuhan akan pangan juga meningkat. Meningkatnya kebutuhan pangan masyarakat
menyebabkan peralihan fungsi lahan yang terjadi tidak dapat dibendung. Peralihan
fungsi lahan yang terjadi menyebabkan berkurangnya areal padang pengembalaan dan
lahan Hijauan Makanan Ternak (HMT). Kekurangan HMT merupakan faktor yang
sangat mempengaruhi populasi ternak. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk
memenuhi kebutuhan pakan ternak alternatif, mudah didapat, harga murah, tersedia
sepanjang waktu dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yaitu dengan
memanfaatkan limbah perkebunan. Salah satu dari limbah perkebunan tersebut yang
dapat dimanfaatkan adalah kulit buah kakao (KBK). KBK sangat
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
49
berpotensi sebagai pakan ternak alternatif khususnya untuk ternak Ruminansia.
Pemanfaatan limbah KBK ini dapat membantu peternak dalam hal penyediaan pakan
ternak.
Luas areal perkebunan kakao di Pidie Tahun 2015 adalah 10.308 Ha dengan
jumlah produksi 4.568 ton. Sedangkan pada Tahun 2016 luas areal perkebunan kakao
meningkat menjadi 10.376 Ha dengan jumlah produksi sebesar 4.717 ton (Aceh Dalam
Angka, 2017). Dari data tersebut dapat kita lihat baik luas areal maupun jumlah
produksi Kakao mengalami peningkatan dengan masing-masingnya 0,7% dan 3,3%.
Dengan demikian dapat kita artikan dengan adanya peningkatan luas areal dan jumlah
produksi kakao ini juga meningkatkan limbah dari kulit kakao. KBK merupakan
limbah dengan proporsi paling besar dihasilkan. Buah kakao terdiri dari 3 bagian yaitu:
kulit buah kasar 74%, plasenta 2% dan biji 24% (Harsini dan Susilowati, 2010).
Limbah KBK yang semakin banyak dan menumpuk jika tidak dimanfaatkan tentu akan
menjadi limbah yang terbuang. Dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi yang ada
pada sekarang ini limbah KBK dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak
inkonvensional.
Pemanfaatan limbah KBK ini dapat dijadikan sebagai pakan alternatif dengan
sentuhan teknologi fermentasi. Fermentasi KBK dapat meningkatkan kualitas dari
KBK itu sendiri. KBK memiliki kualitas yang rendah jika kita berikan secara langsung
kepada ternak. Kulit Buah Kakao sebelum fermentasi mengandung BK 78,91%, BO
71,58%, PK 5,251%, SK 35,23%, LK 1.7%, NDF 76,980 %, ADF
58,003%, Hemiselulosa 18,977%, Selulosa 29,47%, dan Lignin 36,00% (Hasil Uji
Labor TIP Unand, 2019).
Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa fermentasi dengan menggunakan
mikroba hasil isolasi dan melalui proses sterilisasi terlebih dahulu memiliki hasil yang
baik, akan tetapi sulit untuk diterapkan pada masyarakat kita. Saat ini sudah banyak
produk probiotik yang dikeluarkan oleh para praktisi peternakan untuk membantu para
peternak agar menjadi lebih mudah dalam melakukan fermentasi pakan berserat. Proses
fermentasi Kulit Buah Kakao dilakukan dengan bantuan Win Prob. Win Prob
merupakan sebuah produk berupa probiotik
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
50
yang mengandung beberapa mikroba yang terdiri dari Aspergilus niger, Bacillus
subtilis, Lactobacyllus aeidophyllus, Rizhopus oligosporus, Saccharomyces cereviciae,
Trichoderma viride.
MATERI METODA
Bahan yang digunakan adalah limbah kulit buah kakao, aquadest, molasses,
Probiotik merk Win Prob (CV. Mukti Abadi, Perum Sidokare Indah Blok FF No. 8
Sidoarjo Jawa Timur). Seperangkat alat fermentasi, seperangkat alat analisa proximat
dan analisa vansoest. Penelitian ini menggunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) pola faktorial dengan (3x2) dengan 3 ulangan. Faktor A adalah dosis
penggunaan probiotik yaitu: A1=7,5%, A2=10% dan A3=12,5% sedangkan yang
menjadi Faktor B adalah lama waktu fermentasi dengan B1=25 hari, dan B=30 hari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kandungan Serat Kasar (SK) setelah Fermentasi
Rataan kandungan serat kasar kulit buah kakao setelah difermentasi dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Kandungan SK dalam %
Faktor A
Faktor B 1 2 3 Rataan
B1 28,237a 26,642ab 23,630b 26,170
B2 27,594c 25,551d 21,022e 24,722
Rataan 27,915 26,096 22,326
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P<0.05)
Hasil sidik ragam pada serat kasar (SK) menunjukan adanya interaksi antara
dosis pemberian Probiotik (Faktor A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor B). Hasil
uji lanjut DMRT terhadap interaksi masing-masing perlakuan terhadap kandungan SK
menunjukkan bahwa perlakuan A3B2 berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan
lainnya.
Pada Tabel 1 diatas memperlihatkan terjadinya penurunan kandungan SK pada
setiap perlakuan jika dibandingan dengan kandungan SK pada saat sebelum
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
51
dilakukan fermentasi, yaitu 35,23% atau mengalami penurunan sebesar 40,33% (Hasil
analisa Laboratotium TIP Unand, 2019). Penurunan SK ini diduga akibat penurunan
kandungan lignin pada kulit buah kakao, dimana kandungan lignin awal adalah sebesar
36 % (Hasil analisa Laboratotium TIP Unand, 2019) dan setelah difermentasi
kandungan lignin turun menjadi 21,02% (Hasil analisa Laboratorium TIP Unand,
2019).
Penurunan kandungan lignin ini merupakan aktifitas dari mikroba yang bekerja
secara optimal dalam hal ini adalah kombinasi perlakuan A3B2 dengan kandungan SK
sebesar 21,02%. Proses degradasi lignin yang terjadi dengan optimal ini
mengindikasikan bahwa perlakuan ini dapat meningkatkan jumlah miselium kapang
dan menghasilkan enzim-enzim yang lebih banyak sehingga proses degradasi lignin
terjadi secara optimal. Semakin lama waktu fermentasi semakin baik pertumbuhan
mikroba, dalam penelitian ini waktu 30 hari merupakan waktu terbaik untuk aktifitas
mikroba dalam merombak zat pakan secara optimal jika dibandingkan dengan
perlakuan B1 (25 hari). Marlina (2004) menyebutkan bahwa fermentasi substrat enceng
gondok menggunakan Aspergillus niger dapat menurunkan kandungan serat kasar dari
24,6% menjadi 19,00%. Nurhayati (2005) juga menambahkan bahwa teknologi
fermentasi banyak dilakukan untuk peningkatan nilai gizi bahan pakan lokal atau asal
limbah, misalnya melalui fermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger.
Pada Tabel 1, juga terlihat bahwa kandungan SK terendah yaitu pada perlakuan
A1B1, hal ini diduga karena pemberian dosis probiotik 7,5% dengan waktu 25 hari
belum dapat mengoptimalkan pertumbuhan miselium-miselium pada kapang sehingga
enzim-enzim yang dihasilkan juga sedikit sehingga membuat aktifitas enzim dalam
mendegradasi SK belum terjadi secara maksimal. Penurunan kandungan SK pada
substrat sangat dipengaruhi oleh keberadaan lignin pada substrat. Kuswandi (2011)
menyatakan bahwa kandungan lignin dalam bahan pakan dan kecernaan bahan kering
pakan sangat berhubungan erat, oleh karena itu untuk mempermudah proses
pencernaan kulit buah kakao oleh mikroba rumen, maka diperlukan suatu teknologi
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
52
yang dapat mendegradasi ikatan lignin dengan selulosa dan hemiselulosa dengan
selulosa yaitu dengan menguraikan komponen polisakarida yang terkandung di kulit
buah kakao melalui proses degradasi atau fermentasi menggunakan aktivitas mikroba.
B. Kandungan NDF Setelah Fermentasi
Rataan kandungan NDF Kulit Buah Kakao setelah difermentasi dapat dilihat
pada Tabel 2
Tabel 2. Rataan Kandungan NDF dalam %
Faktor A
Faktor B 1 2 3 Rataan
B1 74,700a 73,167a 70,547b 72,804
B2 67,947c 65,453c 59,220d 64,207
Rataan 71,323 69,310 64,883
Keterangan : superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P < 0,05)
Hasil sidik ragam pada NDF menunjukan adanya interaksi antara dosis
pemberian Probiotik (Faktor A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor B). Hasil uji
lanjut DMRT terhadap interaksi masing-masing perlakuan terhadap kandungan NDF
menunjukkan bahwa perlakuan A3B2 berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan
lainnya. Perlakuan A1B2 dan A2B2 tidak berbeda nyata (P>0,05), akan tetapi
perlakuan A1B2 dan A2B2 berbeda nyata (P < 0,05) dengan perlakuan A3B2, A1B1,
A2B1, dan A1B3.
Pada Tabel 2 diatas memperlihatkan terjadinya penurunan kandungan NDF pada
setiap perlakuan jika dibandingan dengan kandungan NDF pada saat sebelum
dilakukan fermentasi yaitu 76,98% (Hasil analisa Laboratotium TIP Unand, 2019).
Penurunan NDF ini diduga akibat penurunan kandungan Lignin pada Kulit Buah
Kakao, dimana kandungan lignin awal adalah sebesar 36 % (Hasil analisa
Laboratotium TIP Unand, 2019) dan setelah difermentasi kandungan lignin Kulit Buah
Kakao turun menjadi 21,02% (Hasil analisa Laboratotium TIP Unand, 2019).
Pada Tabel 2 diatas terlihat bahwa penurunan NDF terbaik terdapat pada
perlakuan A3B2 yaitu sebesar 59,220%, hal ini disebabkan oleh proses degradasi lignin
yang terjadi secara sempurna oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba,
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
53
sehingga lignin serta fraksi serat lainnya mengalami penurunan. Proses fermentasi
menyebabkan degradasi terhadap dinding sel yang meliputi lignin, sellulosa, dan
hemisellulosa. Degradasi lignin yang terjadi menyebabkan putusnya ikatan
lignoselulosa dan lignohemiselulosa, sehingga memudahkan mikroba merombak
selulosa dan hemiselulosa. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Suparjo, 2010 bahwa
degradasi lignin akan membuka akses untuk perombakan selulosa dan hemiselulosa.
Rendahnya NDF pada perlakuan A1B1 yaitu sebesar 74,70% diduga kombinasi
perlakuan 7,5 % (A1) dengan lama waktu fermentasi 25 hari (B1) belum mampu
mengoptimalkan kerja enzim yang dihasilkan oleh mikroba, sehingga pengaruhi
aktifitas mikroba dalam mendegradasi pakan masih rendah mengakibatkan kandungan
NDF dan fraksi serat kasar lainnya menjadi rendah (Rahayu, 2014).
C. Kandungan ADF Setelah Fermentasi
Rataan kandungan ADF kulit buah kakao setelah difermentasi dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Kandungan ADF dalam %
Faktor A
Faktor B 1 2 3 Rataan B1 57,071 56,176 53,058 55,435a
B2 53,607 52,412 51,332 52,450b
Rataan 55,339a 54,294a 52,195b
Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P<0.05)
Hasil sidik ragam pada ADF menunjukan tidak adanya interaksi antara dosis
pemberian Probiotik (Faktor A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor B). akan tetapi
masing-masing faktor yaitu dosis pemberian probiotik (Faktor A) dan lama waktu
fermentasi (Faktor B) menunjukan pengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap
penurunan kandungan ADF kulit buah kakao setelah difermentasi.
Hasil uji lanjut DMRT terhadap dosis pemberian probiotik (Faktor A)
menunjukan pada perlakuan A3 berbeda nyata (P<0,05) terhadap penurunan
kandungan ADF dibandingkan dengan perlakuan A2 dan A1. Hasil uji lanjut DMRT
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
54
terhadap lama waktu fermentasi (Faktor B) menujukan perlakuan B2 berbeda nyata
(P<0,05) terhadap penurunan kandungan ADF dibandingkan dengan perlakuan B1.
Terlihat pada Tabel 3 bahwa hasil terbaik terdapat pada perlakuan A3 dan
perlakuan B2. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan penambahan dosis tertinggi
(12.5%) dan waktu fermentasi selama 30 hari merupakan kolaborasi perlakuan yang
dapat menurunkan kandungan ADF pada substrat. Penurunan ADF dibuktikan dengan
kandungan ADF substrat sebelum difermentasi adalah sebesar 58.003% sedangkan
substrat sebelum fermentasi memiliki kandungan ADF sebesar 51,332%. Penurunan
kandungan ADF merupakan konstribusi dari penurunan kandungan lignin dan fraksi
serat lainnya pada substrat setelah fermentasi. Hasil ini menunjukan bahwa
penambahan probiotik dapat meningkatkan produktifitas mikroorganisme dalam
merombak diding sel bahan pakan. (Ali et al, 2015) menyatakan bahwa penambahan
probiotik dalam proses fermentasi secara anaerob menunjukkan hasil yang lebih baik
dalam menurunkan kandungan ADF pelet silase pelepah kelapa sawit dibandingkan
dengan tanpa penambahan probiotik.
D. Kandungan Selulosa dan Hemiselulosa Setelah Fermentasi
Rataan kandungan selulosa dan hemiselulosa kulit buah kakao setelah
difermentasi dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Hasil sidik ragam pada selulosa
(Tabel 4) menunjukan tidak adanya interaksi antara dosis pemberian Probiotik (Faktor
A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor B), akan tetapi masing-masing faktor yaitu
dosis pemberian probiotik (Faktor A) dan lama waktu fermentasi (Faktor
B) menunjukan pengaruh berbeda nyata (P<0.05) terhadap penurunan kandungan
Selulosa Kulit Buah Kakao setelah difermentasi. Pada faktor A1 dan A2
memperlihatkan hubungan tidak berbeda nyata (P>0,05) dan perlakuan A2 dan A3
memperlihatkan hubungan tidak berbeda nyata (P>0,05),sedangkan pada Faktor B1
dan B2 memperlihatkan hubungan yang berbeda nyata (P< 0,05).
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
55
Tabel 4. Rataan Kandungan Selulosa dalam % Faktor A
Faktor B 1 2 3 Rataan
B1 28,987 27,618 25,714 27,440a
B2 24,381 22,700 22,481 23,187b
Rataan 26,684a 25,159ab 24,097b
Keterangan : superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P < 0,05)
Hasil sidik ragam pada Hemiselulosa (Tabel 5.) menunjukan adanya interaksi
antara dosis pemberian Probiotik (Faktor A) dengan lama waktu fermentasi (Faktor B).
Hasil uji lanjut DMRT terhadap interaksi masing-masing perlakuan terhadap
kandungan Hemiselulosa menunjukkan bahwa perlakuan A3B2 berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya.
Perlakuan A1B1 dan A2B1 dan A3B1 menunjukan hubungan tidak berbeda nyata
(P>0,05), perlakuan A1B2 dan A2B2 tidak berbeda nyata (P>0,05).
Tabel 5. Rataan Kandungan Hemiselulosa dalam %
Faktor A
Faktor B 1 2 3 Rataan
B1 17,929a 16,990a 17,488a 17,469
B2 14,340b 13,042b 7,888c 11,757
Rataan 16,135 15,016 12,688
Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris dan kolom menunjukan berbeda nyata (P < 0,05)
Terlihat pada Tabel 4 dan Tabel 5 bahwa perlakuan A3 dan B2 adalah perlakuan
yang terbaik dalam penurunan kandungan selulosa dan hemiselulosa, dimana
kandungan fraksi serat ini sebelum fermentasi adalah 29.47% dan 18.977%, sedangkan
setelah difermentasi kandungan selulosa dan hemiselulosa adalah sebesar 24.097% dan
12.688%. Penurunan kandungan fraksi serat dapat dilihat dari selisih kandungan NDF
dan NDF (Tabel 4 dan 5) terlihat semakin lama fermentasi semakin kecil kandungan
selulosa dan hemiselolusa. Penurunan kandungan selulosa disebabkan oleh enzim yang
dihasilkan oleh mikroba dalam merombak komponen lignohemiselulosa dan
lignoselulosa. (Hartono dalam Rahmawati, 2017) menyatakan bahwa Aspergillus niger
menghasilkan enzim sellulase disamping itu juga menghasilkan enzim amilase,
protease, glukoamilase, laktase, katalase, glukosa oksidase, lipase, hemisellulase dan
peptinase.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
56
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian perlakuan A3B2 (dosis
12,5% dan lama waktu fermentasi 30 hari) dapat menurunkan kandungan fraksi serat
substrat setelah difermentasi yaitu SK sebesar 40,33%, NDF sebesar 23,07%, ADF
sebesar 11,50 %, Selulosa sebesar 23,72%, dan Hemiselulosa 58,43%.
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Riset
dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jendral Penguatan Riset dan Pengembangan
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi sebagai penyandang dana. Telah
memberikan kepercayaan kepada kami menerima dana skema penelitian dosen pemula
Universitas Jabal Ghafur (UNIGHA) Sigli.
DAFTAR PUSTAKA
Ali A, Tarmizi M dan D. Febrina. 2017. Fraksi Serat Pelet Silase Pelepah Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis) dan Indigofera (Indigofera zollingeriana) dengan Komposisi
yang Berbeda. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.
BPS. 2017. Aceh Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Aceh. Aceh.
Harsini, T. dan susilowati. 2010. Pemanfaatan kulit buah kakao dari limbah pekrebunan
kakao sebagai bahan baku pulp dengan proses organosol V. Jurnal Ilmiah teknik
Lingkungan. 2(2):80-89
Kuswandi. 2011. Teknologi Pemanfaatan Pakan Lokal untuk Menunjang Peningkatan
Produksi Ternak Ruminansia Pengembangan Inovasi Pertanian 4 (3):189-204.
Marlina, L. 2004. Pengaruh Suhu dan Lama Fermentasi dengan Aspergillus sp terhadap
pH, Kandungan Serat Kasar dan BETN Eceng Gondok (Eichornia crassipes).
Skripsi Fakultas Petemakan Universitas Andalas, Padang.
Nurhayati. 2005. Evaluasi nutrisi campuran bungkil inti sawit dan onggok yang
difermentasi menggunakan Aspergillus niger sebagai bahan pakan alternatif.
Tesis. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang, 71 hlm.
Rahayu, S. 2014. Biodelignifikasi pelepah sawit menggunakan kapang Phanerochaete
chrysosporium yang disuplementasi mineral Ca dan evaluasi kecernaan secara In
vitro. Tesis. Pascasarjana. Universitas Andalas. Padang.
Rahmawati. 2017. Bioprosessing Limbah Kulit Kopi Arabika Dataran Tinggi Gayo
sebagai Pakan Ternak Alternatif. Laporan Hibah PDP. Universitas Gajah Putih.
Takengon, Aceh.
Suparjo. 2010. Peningkatan kualitas nutrisi kulit buah kakao sebagai pakan ternak secara
bioproses dengan Phanerochaete chrysosporium yang diperkaya ion Mn2+ dan
Ca2+. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
57
Kualitas Reproduksi Sapi Jantan PO Sebagai Calon Bibit Yang Di
Beri Minum Terseuplementasi Ekstrak Buah Merah
Nurcholis*, S.M. Salamony, dan D Muchlis
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Musamus *Coressponding author: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas reproduksi sapi
jantan PO sebagai calon bibit yang diberi minum mengandung ekstrak buah merah di
kabupaten merauke. Metode yang diguankan dalam penelitian ini meliputi beberapa
tahapan yaitu tahap seleksi berdasarkan BCS dan seleksi berdasarkan BSE. Parameter
yang di ukur dalam penelitian ini meliputi skoring badan, lingkar skrotum, libido dan
kualitas semen segar yang di evaluasi secara makroskopis dan mikroskopis. Rancangan
yang dugunakan adalah rancangan acak kelompok dengan 3 perlauan dan 4 ulangan,
data dianalisis secara statistik dengan bantuan soft ware SPSS versi 21.0. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sapi jantan PO yang berada di kabupaten merauke
memiliki BCS rata-rata 3 dan libido sedang - tinggi, selain itu rata-rata lingkar skrotum
mencapai 27 – 28 cm. Kualitas semen sapi PO yang diberi minuman tersuplementasi
ekstrak buah merah secara makroskopis dan mikroskopis tidak berpengaruh nyata,
namun angka penilaian secara grafik cenderung meningkat. Kesimpulan penelitian ini
bahwa sapi jantan PO yang ada dikabupaten merauke memiliki potensi sebagai calon
bibit lokal, karena kualitas reproduksi dalam keadaan normal.
Kata kunci: Sapi PO; Kualitas semen; Buah Merah
PENDAHULUAN
Merauke sebagai kabupaten yang berkembang di wilayah papua selatan menjadi
salah satu ikon indonesia karena terletak di kawasan perbatasan RI/PNG. Merauke
meliliki potensi pertanian dan peternakan yang sangat baik, khusus bidang peternakan
hijauan pakan dan limbah pertanian yang cukup banyak menjadikan merauke dijadikan
daerah pembibitan sapi potong dikawasan indonesia timur berdasarkan peraturan dirjen
peternakan tahun 2016. Pengembangan sapi potong tentu tidak dapat dipisahkan dengan
potensi bibit, khusunya bibit sapi lokal yang telah teruji dan mampu bertahan dengan
kondisi iklim di merauke, rata-rata suhu di merauke hingga agustus 2019 mencapai
30-33oC (BMKG, 2019). Khusus Pengujian calon bibit sapi jantan dapat ditentukan
dengan beberapa tahapan diantaranya adalah dengan seleksi secara kuantitatif. Seleksi
berdasarkan postur badan, dapat di lakukan dengan mengitung BCS ( Body Condition
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
58
scoring) dan BSE (Breeding Soundness Evaluation).
Pengujian BSE salah satunya tentang kualitas semen segar, kualitas semen pada
sapi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya genetik, kualitas pakan, dan
suhu. Suhu yang terlalu panas dapat menyebabkan ternak menjadi stress dan dapat
menurunkan kualitas spermatzoa, selain itu pakan yang bernutrisi rendah tentunya dapat
menurunkan kualitas semen segar. Pakan tenak sebainya mengandung nutrisi yang
cukup untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan reproduksi, nutrisi yang baik selain dapat
ditemukan pada pakan rumput juga dapat ditemukan pada limbah pertanian seperti
limbha jagung, limbah kacang dan limbah tauge (Nurcholis et al., 2015). Selain itu
nutrisi juga dapat diberikan melalui air minum. Proses pemberian pada air minum
diduga lebih cepat dalam proses penyerapan nutrisinya, minuman yang baik untuk
ternak selain air putih adalah minuman yang mengandung nilai vitamin serta antioksidan
yang tinggi. Buah merah telah diketahui memiliki kandungan antiksidan dan vitamin
yang banyak serta baik untuk kesehatan, sehingga diharapkan dengan adanya
suplementasi ekstrak buah merah dalam air minum pada ternak sapi, dapat
meningkatkan kualitas reproduksi ternak yaitu kualitas spermatozoa. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas reproduksi sapi PO pada suhu tinggi
yang diberi air minum terseuplementasi ekstrak buah merah.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan mei hingga juli 2019, bahah yang
digunakan dalam penelitian ini sebanyak 9 ekor sapi jantan umur 3-4 tahun, ekstrak buah
merah. Alat yang digunakan sepasang meter ukur rondo, jangka sorong, vagina biatan
dan alat evaluasi semen lengkap. Proses pembuatan ekstrak buah merah dilakukan
dengan merendam bulir-bulir buah merah dalam air hanggat bersuhu 35oC dan di aduk-
aduk hingga warna air menjadi merah, selanjutnya proses penyaringan menggunakan
kain saring dengan tujuan kotoran dapat terpisah dari sari buah merah. Buah merah yang
telah dieksrak disaring selanjutnya dapat dicampur dengan air dengan perbandingan 100
ml EBM : 900 ml air , 200 ml EBM : 800 ml air dan 300 ml EBM : 700 ml air. Pemberian
air yang tersuplementasi ekstrak buah merah (EBM) pada sapi dilakukan sebanyak 1
kali dalam sehari yaitu sore hari, dan pakan yang dugunakan adalah rumput serta
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
59
leguminosa pada porposi perbandingan 70% rumput dan 30% leguminosa.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 ulangan x 3
perlakuan. data dianalisis secara anova menggunakan bantuan soft ware SPSS versi 21.0
Perhitungan korelasi antara lingkar skrotum dan volume semen menggunakan analisis
korelasi dan regresi sederhana. Analisis korelasi yang digunakan adalah analisis
koefisien korelasi (r) yaitu nilai tingkat keeratan hubungan antara peubah (X) dengan
peubah (Y) dan analisis koefisien determinasi (r2) yaitu menyatakan besarnya peubah
X yang mempengaruhi peubah Y. Adapun peubah X adalah lingkar skrotum dan peubah
Y adalah volume semen dan motilitas semen.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sapi jantan pada umumnya memiliki kemampuan untuk berkembang lebih cepat
dari ternak betina, perkembangan tubuh ternak tentunya berhubungan dengan BCS, rata-
rata BCS dapat menjadi suatu tolak ukur apakah ternak tersebut pada kondisi baik atau
tidak baik. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata BCS adalah 3, hal ini memberikan
makna bahwa sapi-sapi yang dijadikan penelitian adalah sapi dengan sedang tabel 1.
Tabel 1 nilai BCS, lingkar skrotum dan libido n (9)
Parameter A
Nilai pengukuran ± SE
B
C
BCS (cm)
Lingkar Skrotum (cm)
Libido
3,00 ±1.05
28,30 ±1.02
Tinggi
2,66 ±0.52
27,40±1.01
Sedang
3,00±1.17
28,10±0.04
Tinggi
Keterangan : A, B dan C ulangan yang masing-masing terdiri dari 3 ekor sapi
Selain itu untuk mengetahui apakah ternak jantan ini baik untuk menjadi calon pejantan
maka harus dibuktikan untuk mengetahui libido dan kualitas semen segarnya. Libido
pada sapi PO dalam penelitian ini rata-rata sedang hingga tinggi yang dibuktikan dengan
cepat memanjat betina walaupun betina tersebut belum birahi. Kualitas semen
berhubungan dengan lingkar skrotum pada sapi, rata-rata lingkar skrotum pada sapi
adalah 27-28 cm, hal ini menunjukkan ciri-ciri yang normal. Menurut saputra et al.,
(2017) bahwa rata-rata lingkar skrotum sapi pada usia 4 tahun adalah 26 cm, Said et al.,
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
60
(2016) menunjukkan hasil relatif sama yaitu lingkar skrotum sapi sumba ongole rata-
rata 27,86 cm. lingkar skrotum berhubungan dengan volume spermatozoa tabel 2.
Pengujian korelasi antara lingkar skrotum, volume dan motilitas dilakukan sebelum
perlakuan pemberian minuman tersuplementasi buah merah. . Hasil penelitian lain
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara lingkar skrotum dan volume semen
dengan nilai koefisien kolerasi 0,63 (Saputra et al., 2017), penelitian lain pada sapi bali
koefisien kolerasi mencapai 0,72 ( Latif et al., 2009) dan Sarder (2005) bahwa lingkar
skrotum berkorelasi positif terhadap volume semen.
Tabel 2 Nilai lingkar skrotum, volume dan motilitas spematozoa n = (9)
Variabel X ±SB KK (%) K
Lingkar skrotum (cm) 28,30±1,37 4,32 27-28
Volume (ml) 4,35±1,05 22,10 2,6-7,5
Motilitas spermatozoa 75,60±2.37 4,27 60-80
(%)
Keterangan : SB (simpangan baku), KK ( koofisien keragaman) dan K (Kisaran)
Kualitas semen segar sapi yang diberi perlakukan tidak berpengaruh nyata
terhadap volume, motilitas dan konsentrasi (P>0.05) sedangkan nilai abnormalitas
berpengaruh nyata (P<0.05) tabel 3. Penelitian ini menjunjukkan bahwa asupan nutrisi
yang diberikan mampu meningkatkan kualitas spermatozoa, hal ini ditunjukkan dengan
rendahnya nilai abnormalitas primer yang terjadi pada bagian tubuliseminiferi. Hal ini
dapat terjadi diduga karena antioksidan dan vitamin yang terdapat dalam minuman
tersuplementasi buah merah bekerja secara efektif dalam pembentukan spermatozoa
pada proses permatogenesis. Namun demikian nilai motilitas cenderung mengalami
peningkatan.
Tabel 3 kualitas semen segar sapi Po yang diberi ekstrak buah merah dalam air minum
n (9)
Variabel A B C
Volume (ml) 4,35±1,08 4,15±1,13 4,10±1,02
Motilitas (%) 75,60±2,37 75,00±1,15 75,50±0,04
Viabilitas (%) 80,45±1,16 82,50±1,03 82,25±1,23
Abnormalitas (%) 8,20±2,10 5,11±0,72 2,00±1,06
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
61
Keterangan : A, B dan C ulangan yang masing-masing terdiri dari 3 ekor sapi
Abnormalitas yang terjadi sebagian besar terdiri dari narrow head yaitu kepala
lonjong, hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa ternak yang diberikan pakan
dan minum yang mengandung suplemen herbal serta bernilai gizi tinggi akan
memberikan peningkatan kualitas ternak. Menurut Garner dan Hafez, (2000) nilai
abnormalitas yang sesuai standar rata-rata antara 5 sampai dengan 20%. Rendahnya nilai
abnormalitas spermatozoa dalam penelitian ini diduga pakandan minum yang diberikan
sangat bagus sehingga mendukung proses spermatogenesis dan pematangan
spermatozoa dalam epididymis (Nurcholis et al., 2015). Selain itu Kandungan utama
dari minyak buah merah diantaranya antioksidan vitamin E dan γ- tokoferol, omega-3
dan asam lemak tak jenuh, asam lemak tak jenuh berguna bagi permiabilitas membran
sel (6) yang mampu mempertahankan dan melindungi spermatozoa dari radikal bebas.
KESIMPULAN
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ternak sapi dikabupaten merauke dengan
suhu yang cukup tinggi, kualitas repduksinya dalam kondisi normal dan pemberian
minum tersuplementasi ekstrak buah merah memberikan dampak positif terhadap
kualitas semen segar sapi PO dan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Riset Teknologi
Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan
penelitian yang didanai oleh DRPM pada skema PDP.
DAFTAR PUSTAKA
Byrne CJ, Kenny DA, Fair S, English AM, Holden SA, Dick JR, Lonergan P. 2017.
Dietary polyunsaturated fatty acid supplementation of young postpubertal dairy
bulls alters the fatty acid composition of seminal plasma and spermatozoa but has
no effect on semen volume or sperm quality. Theriogenology. 90 : 289 – 300.
Garner, D.L. andE.S.E. Hafez. 2000.Spermatozoa and seminal plasma. In Reproduction
in Farm Animals.Hafez, E.S.E. andB. Hafez th (ed). 7.Lippincot Williams and
Wilkins,Philadelphia pp :206-227.
Latif, M.A., Ahmed, J.U., Bhuiyan, M.M.U., and Shamsuddin, M. 2009. Relationship
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
62
Between Scrotal Circumference and Semen Parameters in Crossbred Bulls. The
Bangladesh Veterinarian. 26 (2):61-67.
Nurcholis., R.I Arifiantini, M. Yamin. 2015.Pengaruh pakan limbah tauge dan
suplementasi omega-3 terhadap produksi spermatozoa domba garut. Agricola. 5
(2) : 133-142.
Said, S., Agung, P.P., Putra, W.P.B., Anwar, S., Wulandari, A.S., and Sudiro, A. 2016.
Selection of Sumba Ongole (SO) Cattle based on Breeding value and Performance
Test. Journal of the Indonesian Tropical Animal Agriculture. 41(4): 175-187.
Saputra D.J., M. N. Ihsan, N. Isnaeni. 2017. Korelasi antara lingkar skrotum dengan
volume semen, konsentrasi dan motilitas spermatozoa pejantan sapi bali. Jurnal
Ternak Tropik. 18 (2) :59-68.
Sarder, M.J.U. 2005. Scrotal Circumference Variaton on Semen Characteristics of
Artificial Insemination (AI) Bull. Journal of Animal and Vetenary Advances. 4
(3): 335-340.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
63
Pengaruh Pengunaan Tepung Biji Asam Kandis (Garcinia cowa)
Sebagai Imbuhan Pakan Alami (NGPs) Terhadap Kecernaan Protein,
Energi Metabolis, Lebar Kripta, dan Panjang Vili Usus Ayam
Pedaging
O.Sjofjan, D.N. Adli*, S. Lailiyah, dan M.J. Abdillah
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang *)
nama penulis sebagai korespondensi: [email protected]
ABSTRAK
Banyak usaha yang dilakukan untuk mengurangi dampak pelarangan
penggunaan AGP sebagai imbuhan pakan di Indonesia. Salah satunya adalah
penggunaan fitogenik dan acidifier berupa biji asam kandis (Gracinia cowa). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung biji asam kandis (Gracinia
cowa) sebagai imbuhan pakan terhadap kecernaan protein, energi metabolis, lebar
kripta, dan panjang vili ayam pedaging. Metode penelitian yang digunakan adalah
percobaan lapang dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan
dan 5 ulangan. Pakan perlakuan yang digunakan adalah P0= pakan basal, P1= pakan
basal + tepung biji asam kandis 0.25%/kg pakan basal, P2= pakan basal + tepung biji
asam kandis 0.5 %/kg pakan basal, P3= pakan basal + tepung biji asam kandis 0.75%/kg
pakan basal, P4= pakan basal + tepung biji asam kandis 1.0
%/kg pakan basal. Parameter yang diukur adalah kecernaan protein, energi metabolis,
lebar kripta, dan panjang vili ayam pedaging. Data dianalisis denga sidik ragam (anova)
dan apabila hasil penelitian menunjukan pengaruh nyata (P < 0,05) maka dilanjutkan
dengan Uji Jarak Berganda Duncan (UJBD). Hasil menunjukan pengunaan biji asam
kandis berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) terhadap kecernaan protein dan berpengaruh
nyata (P < 0.05) panjang villi usus ayam pedaging. Penambahan tepung biji asam kandis
dapat meningkatkan kecernaan protein dan meningkatkan panjang vili ayam pedaging.
Kata kunci: asam kandis, ayam pedaging, kecernaan protein, panjang vili
PENDAHULUAN
Ayam pedaging merupakan salah satu komoditi ternak unggas yang banyak
diminati oleh masyarakat untuk di konsumsi. Ayam pedaging banyak dikonsumsi untuk
mencukupi kebutuhan protein hewani karena memiliki harga yang terjangkau dan
mudah di dapat. Perkembangan peternakan ayam pedaging di Indonesia mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini dibuktikan dengan data yang
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
64
dihimpun oleh Direktorat Jendral Peternakan (2017) menyatakan bahwa pada tahun
2016 populasi ayam ras pedaging sebanyak 1.632.567.839 ekor dan mengalami
peningkatan sebanyak 65.800.902 ekor yaitu sebanyak 1.698.368.741 ekor pada tahun
2017. Meningkatnya populasi ayam ras pedaging di Indonesia juga diikuti dengan
meningkatnya produksi daging ayam. Pada tahun 2016 produksi daging ayam di
Indonesia mencapai 284.988 ton dan meningkat menjadi 296.189 pada tahun 2017.
Pakan merupakan salah satu dari tiga faktor yang menentukan keberhasilan dalam
pemeliharaan ayam. Peningkatan kecernaan nutrisi, terutama protein diperlukan untuk
mengatasi masalah tersebut, salah satunya dengan cara penambahan feed additive dalam
pakan untuk meningkatkan kecernaan nutrisi dari pakan (Indrasari, Yunianto, dan
Mangisah, 2014).
Feed additive merupakan bahan yang tidak termasuk zat makanan yang
ditambahkan ke dalam pakan dalam jumlah sedikit dan bertujuan untuk memacu
pertumbuhan dan meningkatkan populasi mikroba baik di dalam saluran pencernaan dan
menguntungkan untuk ayam. Namun, pengunaan feed additive dalam bentuk antibiotik
sudah dilarang oleh pemerintah dimulai dari tanggal 1 januari 2018, hal tesebut
tercantum pada pasal 1 ayat (14) Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia
Permentan nomor 14 tahun 2017. Feed additive selama ini banyak terbuat dari bahan
nonorganic yang kurang terjamin aspek keamanannya karena dapat menimbulkan
resistensi mikroba dan residu antibiotik di dalam tubuh ayam, hal ini dapat
menghasilkan produk daging ayam yang tidak sehat dan berbahaya untuk manusia jika
dikonsumsi. Solusi yang dapat dilakukan yaitu pemberian fitogenik dan acidifier.
Fitobiotik merupakan senyawa yang berasal dari tanaman yang digunakan didalam
pakan ternak untuk meningkatkan penampilan produksi ternak (Yuniarti, Wahyono, dan
Yunianto, 2015). Fitobiotik dapat dimanfaatkan sebagai antibiotics growth promoters
(AGPs) seperti asam organik dan probiotik Pemanfaatan bahan organik berupa biji asam
kandis (Garcinia cowa) sebagai fitogeik merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Tumbuhan Garcinia cowa atau asam kandis merupakan tanaman
asli Indonesia dari Sumatera Barat (Darwati dkk, 2018).
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
65
Tanaman asam kandis memiliki aktivitas biologis dan farmakologis yang
bervariasi, seperti sitotoksik, antiinflamasi, antimikroba, antifungi, dan antioksidan
(Mahabusarakam dkk, 2004). Asam kandis banyak mengandung triterpen, flavonoid,
xanthan, dan phloroglucinol (Wahyuni dkk, 2017). Senyawa tersebut mampu berperan
sebagai antimikroba yang sangat efektif dalam menekan pertumbuhan bakteri dan
memperbaiki karakteristik morfologi usus. Senyawa pada tanaman asam kandis mampu
menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Salmonella sp dalm usus
sehingga meningkatkan penyerapan nutrisi pada villi usus. Semua bagian dari tanaman
asam kandis dapat dimanfaatkan, baik buah, kulit batang, daun, dan akar, sedangkan
untuk biji dari asam kandis tidak banyak dimanfaatkan, pada tanaman genus Garcinia,
biji dari buahnya banyak dimanfaatkan untuk pengobatan dan feed additive pada ternak,
seperti Garcinia kola sebagai feed additive untuk meningkatkan pertumbuhan ayam ras
pedaging (Muhammed and Abdulmalik, 2013). Pertumbuhan ayam pedaging
dipengaruhi oleh tingkat kecernaan protein dan energi metabolis pada ayam. Semakin
tinggi tingkat kecernaan protein dan energi metabolis maka semakin baik pula tingkat
pertumbuhan ayam.Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang
kecernaan energi metabolis dan protein tepung biji asam kandis sebagai imbuhan pakan
untuk mengetahui mengetahui kecernaan protein, energi metabolis, lebar kripta, dan
panjang vili usus ayam pedaging.
MATERI DAN METODE
Materi
Ayam pedaging yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 ekor ayam pedaging
platinum strain Cobb yang tidak dibedakan jenis kelaminnya (unsexed) dengan rataan
49,67 ± 3,3 dengan koefisien keragaman 7,5% sedangkan untuk mengukur kecernaan
protein dan energi metabolis digunakan ayam pedaging fase finisher umur 35 hari
dengan rata-rata bobot badan 2.140 ± 0,084 g/ekor, dengan koefisien keragamaan
3,940%. Pakan dan air minum diberikan secara ad libitum, untuk pemberian pakan dan
minum dilakukan pagi hari pada puku 07.00 dan sore hari pada pukul 16.00. Biji asam
kandis yang digunakan sebagai fitobiotik didapatkan dari Padang, Sumatera Barat
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
66
Komposisi kandungan nutrien pakan basal yang digunakan dapat dilihat pada Tabel. 1.
Tabel 1. Komposisi Kandungan Zat Makanan
Zat Makanan Kandungan
Bahan Kering (%) 89,54
Air (%) 10,46
Abu (%) 4,72
Protein Kasar (%) 20,36
Lemak Kasar (%) 5,68
Serat Kasar (%) 4,54
Gross Energy (Kkal/kg)* 4168
Sumber : Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya (2018). (*) Hasil Analisis Laboratorium Veteriner
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Blitar.
Tabel 2. Kandungan Zat Makanan pada Tepung Biji Asam Kandis
Zat Makanan Kandungan
Bahan Kering (%) 89,11
Abu (%) 4,77
Lemak Kasar (%) 24,67
Serat Kasar (%) 18,57
Protein Kasar (%) 0,99
GE (kkal/g) 5244
Ca %* 0,72
P %* 0,22
Sumber : Hasil uji proksimat di Labotaroriu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan. (*) Laboratorium Kimia Tanah Fakultas Pertanian (2018)
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah percobaan in vivo dengan
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang teridiri dari 5 perlakuan
percobaan dan 5 ulangan, sehingga terdapat 25 unit percobaan. Setiap kandang
percobaan terdiri dari 8 ekor DOC dengan total 200 ekor. Sementara untuk mengukur
kecernaan protein dan energi metabolis setiap 1 unit percobaan menggunakan 1 ekor
ayam, sehingga jumlah ayam yang digunakan sebanyak 25 ekor. Pakan yang digunakan
adalah sebagai berikut:
P0 = Pakan Basal
P1 = Pakan Basal + Tepung Biji Asam Kandis 0,25%/kg
P2 = Pakan Basal + Tepung Biji Asam Kandis 0,5%/kg
P3 = Pakan Basal + Tepung Biji Asam Kandis 0,75%/kg
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
67
P4 = Pakan Basal + Tepung Biji Asam Kandis 1,0%/kg
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam dari Rancangan Acak
Lengkap (RAL) menggunakan aplikasi SAS version 9.4. Apabila hasil penelitian
menunjukkan pengaruh nyatta (P<0,05) atau sangat nyata (P<0,01) maka dilanjutkan
dnegan Uji Jarak Berganda Duncan’s (UJBD). Metode dalam RAL yang digunakan
adalah sebagai berikut :
Yij = µ + πi + Ɛij
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i ulangan ke j
µ = Nilai tengah umum
πi = Pengaruh perlakuan ke-i
Ɛij = Kesalahan (galat) percobaan pada perlakuan
i = Perlakuan ke 0, 1, 2, 3, 4
j = Ulangan ke- 1, 2, 3, 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengukuran kecernaan protein dan energi metabolis serta hasil analisis
statik dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Pengukuran kecernaan protein dan energi metabolis pada masing-
masing perlakuan.
Variabel Pengamatan Perlakuan
kcpk (%) AME (Kkal/kg) AMEn (Kkal/kg)
P0 76,95 ± 1,69a 3133,68 ± 68,55 3113,47 ± 70,31
P1 77,56 ± 2,13a 3163,12 ± 73,80 3145,99 ± 74,18
P2 81,15 ± 0,92b 3222,05 ± 34,97 3205,74 ± 33,03
P3 77,27 ± 1,72a 3176,42 ± 77,09 3159,62 ± 77,70
P4 76,65 ± 1,73a 3189,50 ± 54,29 3175,50± 58,48
Keterangan : Superskip (a-b) yang berbeda pada kolom yang sama yang menunjukkan
pengaruh yang sangat nyata (P<0,01).
Hasil analisis statisstik dari bentuk perlakuan pemberian tepung biji asam kandis
menunjukkan bahwa kecernaan protein berpengaruh sangat nyata terhadap kecernaan
protein ayam pedaging (P<0,01), hasil analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 10.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan protein dari penambahan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
68
tepung biji asam kandis P2(0,5%) lebih tinggi dibandingkan dengan P0(0), P1(0,25),
P3(0,75), dan P4(1%) dengan nilai P2(81,15), P0(76,95), P1(77,56), P3(77,27),
P4(76,65 Kkal/kg), hal ini dapat dilihat pada pada Tabel 3. Peningkatan kandungan
protein disebabkan adanya senyawa flavonoid pada tepung biji asam kandis yang dapat
merangsang peningkatan sekresi enzim pepsin, trypsin, lypase, dan amylasee di dalam
lambung yang nantinya akan diteruskan ke dalam usus, sehingga proses metabolisme
zat-zat makanan di dalam usus meningkat. Mario, dkk (2014) menyatakan bahwa enzim
protease, amilase,dan lipase berperan dalam mencerna protein, karbohidrat dan lemak.
Zat antibakteri yang terdapat di dalam tepung biji asam kandis berperan untuk
menekan mikroorganisme pathogen yang terdapat di dalam saluran pencernaan,
sehingga mikroba non pathogen di dalam saluran pencernaan dapat meningkat dan
meningkatkan kecernaan protein.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa nilai AME penambahan tepung biji
asam kandis sebanyak 0,5 (P2) lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan tepung
biji asam kandis 0(P0), 0,25(P1), 0,75(P3) dan 1%(P4) dengan nilai P2(3222,05),
P0(3133,68), P1(3163,12), P3(3176,42), dan P4(3189,50 Kkal/kg). Hasil perhitungan
statistik dari bentuk atau perlakuan penambahan tepung biji asam kandis menunjukkan
bahwa energi metabolis tidak berpengaruh nyata terhadap kecernaan energi metabolis
ayam pedaging (P>0,05), hasil analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 10. Hasil
perlakuan yang tidak berbeda nyata dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti
stress, suhu yang kurang optimal, jenis kelamin ayam, dan kandungan nutrisi bahan
pakan yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Achmanu (1997) yang
menyatakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi nilai energi metabolis pada
ternak yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik merupakan faktir yang
berpengaruh dari dalam ternak itu sendiri seperti strain unggas, umur dan jenis kelamin.
Faktor ekstrinsik merupakan faktor yang berpengaruh dari luar seperti suhu,
kelembapan, dan bahan pakan. Ditambahkan oleh Andjani dkk, (1989) yang
menyatakan bahwa tinggi rendahnya energi metabolis sangat tergantung pada konsisi
fsik terak dan kandungan nutrien pada pakan. Ditambahkan oleh Asmari dan suprajitna
(2002) bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh metabolisme zat makanan pada ternak
dan akhirnya dapat meningkatkan komsumsi pakan.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
69
Tingginya perlakuan penambahan tepung biji asam kandis sebnyak 0,5% (P2)
dikarenakan penambahan tepung biji asam kandis dengan konsentrasi tersebut dapat
menekan pertumbuhan bakteri pathogen, sehingga pertumbuhan bakteri non pathogen
dapat meningkat dan dapat memperbaiki sistem penyerapan di dalam usus. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Yang et al. (2009) bahwa antibiotik dalam pakan dapat
meningkatkan kesehatan dan performan unggas dengan meningkatkan pertumbuhan
bakteri yang menguntungkan dengan menurunkan potensi bakteri patogen. Kandungan
flavonoid di dalam tepung biji asam kandis juga dapat merangsang peningkatan sekresi
enzim pepsin, trypsin, lypase, dan amylasee di dalam lambung yang nantinya akan
diteruskan ke dalam usus, sehingga proses metabolisme zat-zat makanan di dalam usus
dapat meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Djunaedi dan Natsir (2003) yang
menyatakan bahwa semakin banyak zat makanan di dalam tubuh yang ditimbulkan oleh
peningkatan penyerapan zat makanan akan lebih efektif untuk diubah menjadi energi.
Ditambahkan oleh Wahju (2004), tinggi rendahnya energi metabolis tergantung pada
kandungan gross energy pakan dan banyaknya energi yang digunakan oleh ternak.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa nilai AMEn penambahan tepung biji
asam kandis sebanyak 0,5 (P2) lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan tepung
biji asam kandis 0(P0), 0,25(P1), 0,75(P3) dan 1%(P4) dengan nilai P2(3113,47),
P0(3145,99), P1 (3205,74), P3(3159,62), dan P4(3175,50 Kkal/kg), hal ini dapat
dilihat pada Tabel 5. Hasil analisis statistik dari perlakuan penambahan tepung biji asam
kandis terhadap energi metabolis terkoreksi nitrogen menunjukkan bahwa AMEn tidak
berpengaruh nyata terhadap kecernaan energi metabolis terkoreksi N ayam pedaging
(P>0,05), hasil analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 10. Energi metabolis
terkoreksi nitrogen tergantung pada besarnya kandungan retensi nitrogen pada ayam
pedaging, jika semakin besar retensi nitrogen pada ayam pedaging maka akan semakin
rendah retensi nitrogen pada ekskreta. Selain itu, kandungan protein di dalam bahan
pakan pada setiap perlakuan hampir sama, sehingga tidak berpengaruh terhadap
kecernaan energi metabolis terkoreksi N. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anggorodi
(1994) menyatakan bahwa ternak per individu dari spesies yang sama memiliki
perbedaan dalam setiap mencerna pakan yang diberikan. Hal ini sesuai pula dengan
Wuragil (2007) bahwa lebih banyak nitrogen yang di retensi antara lain disebabkan oleh
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
70
proses pencernaan dan absorbsi zat-zat makanan yang lebih baik sehingga mempercepat
rate of passage retensi nitrogen. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Sarma dkk, (2006)
yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya nitrogen yang terkandung di dalam feses
dapat berpengaruh terhadap retensi nitrogen. Semakin banyak nitrogen yang tertinggal
di dalam tubuh maka nitrogen yang terbuang bersama feses akan semakin sedikit.
Tabel 4. Rata-rata lebar kripta dan panjang vili ayam pedaging
Variabel Pengamatan Perlakuan
Lebar Kripta (µm) Panjang vili (µm)
P0 131,60 ± 0,61 600,57 ± 0,64a
P1 131,92 ± 0,32 621,71 ± 7,34a
P2 132,11 ± 0,38 632,46 ± 4,79a
P3 132,15 ± 0,22 657,76 ± 14,29a
P4 132,29 ± 0,32 700,89 ± 12,48b
Keterangan : Superskip (a-b) yang berbeda pada kolom yang sama yang menunjukkan
pengaruh yang nyata (P<0,05).
Hasil analisis statisstik dari bentuk perlakuan pemberian tepung biji asam kandis
menunjukkan bahwa pengunaan biji asam kandis tidak berpengaruh nyata terhadap lebar
kripta ayam pedaging (P>0,05), hasil analisis statistik dapat dilihat pada tabel 4. Hasil
dari penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan protein dari penambahan tepung biji
asam kandis P4 (132,29%) lebih tinggi dibandingkan dengan P0(131,60), P1(131,92),
P3(132,15), hal ini dapat dilihat pada pada Tabel 4. Hal tersebut membuktikan bahwa
jika bertambahnya konsentrasi tepung biji asam kandis yang dicampurkan pada pakan
basal maka lebar kripta semakin baik. Hasil analisis statistik menunjukan penambahan
asam kandis berpengaruh tidak nyata (P<0.05) terhadap lebar kripta usus ayam
pedaging. Hal tersebut terindikasi karena pemberian asam kandis 1% masih dapat
ditolerir sehingga kurang maksimalnya pengoptimalan penyerapan nutrisi yang ada
pada tepung biji asam kandis termasuk lebar kripta. Adanya zat anti nutrisi berupa
saponin disinyalir menghambat proses penyerapan nutrisi ditambah faktor ekstrinsik
yang menyebabkan ayam mudah stress. Walupun, pemberian pada P4 memberikan hasil
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
71
yang tertinggi hal ini diindikasikan karena kandungan flavonoid pada aditif lebih banyak
dibanding perlakuan lain. Hal lain yang menjadi faktor penyebab tidak berpengaruh
nyata karena kurang lamanya tepung biji asam kandis yang dicampurkan tersebut yang
mengacu pada pernyataan Wuragil (2007) bahwa absorsi usus akan lebih tinggi lagi
dengan lamanya waktu kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus.
Hasil analisis statisstik dari bentuk perlakuan pemberian tepung biji asam kandis
menunjukkan bahwa pengunaan biji asam kandis berpengaruh nyata terhadap panjang
vili ayam pedaging (P<0,05), hasil analisis statistik dapat dilihat pada tabel 4. Hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa nilai kecernaan protein dari penambahan tepung biji
asam kandis P4 (700,89) lebih tinggi dibandingkan dengan P0(600,57), P1(621,71), P2
(632,46 ), P3(657,76). Hal ini tercantum pada tabel 4 yang menunjukan bahwa semakin
bertambahnya konsentrasi tepung biji asam kandis yang dicampurkan pada pakan basal
maka panjang vili pada usus ayam pedaging ikut meningkat. Peningkatan tersebut
diduga karena asam organic pada tanaman asam kandis dapat meningkatkan penyerapan
nutrisi. Lucida dkk, (2012) tanaman asam kandis mengandung Hydroxycitric acid (-)-
HCA ), asam laktat, asam oksalat, dan asam sitrat. Hal itu didukung oleh pernyataan
Natsir (2007) bahwa suasana asam yang tercipta didaerah usus halus karena adanya
penambahan asam laktat yang dapat menguntungkan bagi perkembangan bakteri non
patogen sehingga dapat meningkatkan pencernaan zat zat makanan.
KESIMPULAN
Pemberian imbuhan pakan berupa tepung biji asam kandis dapat meningkatkan
kecernaan protein dan meningkatkan panjang vili pada ayam pedaging, namun belum
dapat meningkatkan kecernaan energi metabolis pada ayam pedaging.
DAFTAR PUSTAKA
Achmanu. 1997. Determinasi nilai eneri metabolis bahan ransum pada unggas. UB
press, Universitas Brawijaya, Malang
Andjani, S. Susanto, M. Surisdiarto, E. Widodo, dan O. Sjofjan. 1989. Pengaruh
penggunaan yeast culture terhadap rasio efisiensi protein ayam pedaging. UB
Press, Universitas Brawijaya, Malang.
Anggorodi R. 1994. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT Gramedia, Jakarta.
Darwati., Nurlaelasari., T. Herlina, dan T. Mayanti. 2018. Depsidon dari buah tumbuhan
asam kandis (Garcinia cowa). Chim. et Nat. Act. 6(1): 25-29.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
72
Indrasari V. D., B.I. Yunianto, dan I. Mangisah. 2014. Evaluasi kecernaan protein kasar
dan retensi notrogen pada ayam broiler dengan ransum berbeda level protein dan
asam asetat. J. Anim. Agr. 3(3): 401-408.
Lucida H., E.S. Ben, dan E. Delita. 2012. Pengembangan kulit buah kering asam kandis
sebagai herbal medicine: optimasi formulasi tablet effervesen dan uji efeknya
terhadap kenaikan berat badan dan pola makan tius. J. Sci dan Tek. Farm. 17(2):
126-136.
Mahabuskaram W., P. Chairerk, and W.C. Taylor. 2005. Xanthones from Garcinia
cowa Roxb. latex. Phyt. J. 66: 1148-1153.
Mario W. L. M., E. Widodo, dan O. Sjofjan. 2014. Pengaruh penambahan kombinasi
tepung jahe merah, kunyit dan meniran dalam pakan terhadap kecernaan zat
makanan dan energi metabolisme ayam pedaging. JIIP. 24(1): 1-8.
Muhammed A. A., and M.A. Abdulmalik. 2013. Effect of bitter kola (Garcinia kola) as
a dietary additive on the performance of broiler chicks. J. of Env. and Eco. 4(2):
95-104.
Natsir M.H. 2007. Pengaruh penggunaan beberapa jenis enkapsulan pada asam laktat
terenkapsulasi sebagai acidifier terhadap daya cerna protein dan energi metabolis
ayam pedaging. J. T. Trop. 6(2):13-17.
Sarma S., R. Kumar, J. Reddy, and T. Thriveni. 2006. Studies of zinc (ii) in
pharmaceutical and biological samples by extractive spectrophotometry: using
pyridoxal-4-penyl-3-thiosemicarbazone as chelating reagent. J. Braz Chen. Soc.
17(3): 463-472.
Wahju J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Rev (ed). UGM Press, Yogyakarta.
Wahyuni, S. Fatma, I.A. Putri, dan D. Arsyanti. 2017. Uji toksisitas subkrnis fraksi etil
asetat kulit buah asam kandis (Garcinia cowa Roxb.) terhadap fungsi hati dan
ginjal mencit putih betina. J. Sci. Farm. dan Klin. 3(2): 202-212.
Wuragil L. R. 2007. Gambaran histopatologi pencernaan tius pada pemberian fraksi
asam amino non-protein dan fraksi polifenol lamtoro merah (Acasia villosa).
Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Yang Y., A. Iji, and M. Chot. 2009. Effects of different dietary levels of
mannanoligosaccharides on growth performances and gut development of broiler
chickens. As. Aust J. Anim. Sci. 20: 1084-1091.
Yuniarti M., F. Wahyono, dan V. D. Yunianto. 2015. Kecernaan protein dan energi
metabolis akibat pemberian zat aditif cair buah naga merah (Hylocereus
polyrhizus) pada burung puyuh japonica betina umur16-50 hari. JIIP. 25(3): 45-
52.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
73
Potensi dan Produktivitas Ternak Itik di Kawasan Pasang Surut
Kabupaten Tanjung Jabung Barat
Jalius* dan Musriadi** Fakultas Peternakan Universitas Jambi*
Dinas Peternakan Provinsi Jambi **
Email: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of the study was to analyze the productivity of ducks in the Tides
of Tanjung Jabung Barat District. The research method was conducted in a survey in 3
Subdistricts of 13 Subdistricts in the West Tanjung Jabung Regency of Jambi Province,
Bram Itam, Senyerang and Kuala Betara Districts. Data were analyzed descriptively and
using SWOT. The results showed the productivity of ducks obtained an average egg
production of 141.20 eggs / year and hatched 15.92 eggs / year and hatchability of
60.40%, consumed 29.51 eggs (21.10%), and sold 94.57 eggs / head / year (66.21%).
The level of knowledge possessed by farmers were the selection of seedlings 46.87%,
feed 47.08%, housing system 42.88%, maintenance management 40.77%, livestock
reproduction 48.14% and livestock disease 16.07%. The potential of duck feed is very
abundant and the potential of tides is very supportive. Threat Factors, worms,
Butulismus and Coryza were still common, and predators were monitor lizards and
snakes. Weaknesses factor is that technology mastery is still low. Duck duck business
opportunities are not many that utilize vacant land for livestock farming. Conclusion
Tides potential for raising ducks in Tanjung Jabung Barat Regency is in Senyerang
District because of the potential of producing natural food.
Keyword: Potential, duck, tides and Tanjung Jabung Barat.
PENDAHULUAN
Itik sudah sejak lama diketahui mempunyai eksistensi yang berarti bagi
kehidupan masyarakat petani di Pedesaan. Ternak itik sebagai jenis peternakan rakyat
yang banyak dipelihara pada kondisi lingkungan yang penuh keterbatasan. Populasi
ternak itik pada tiga tahun terakhir 2010 sebanyak 55600 ekor, tahun 2011 sebanyak
58493 ekor dan tahun 2012 sebanyak 68500 ekor atau terjadi peningkatan dari tahun
sebelumnya, meskipun peningkatan populasinya itik relatif paling kecil di Tanjung
Jabung Barat (1,05% per tahun) dibandingkan jenis unggas lainnya ayam ras layer
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
74
3,24% dan ayam broiler 35,88%, serta ayam buras 1,34% per tahun (Dinas Peternakan
2012).
Apabila ditinjau secara impirik kawasan Tanjung Jabung Barat berada pada areal
kawasan pasang surut. Ternak itik tersebar dan berkembang pada kawasan tersebut dan
memberikan kontribusi atau sumbangan yang sangat berarti dalam perekonomian
masyarakat. Oleh karena itu perlu dikaji Analisis Potensi dan Produktivitas Ternak Itik
di Kawasan Pasang Surut Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Kabupaten Tanjung Jabung Barat mempunyai 13 kecamatan sedangkan kawasan
pasang surut yang terdiri dari 7 kecamatan. Kawasan ini secara impirik terdapat populasi
ternak itik cukup banyak dipelihara oleh masyarakat dan memberikan sumbangan yang
cukup berarti dalam menunjang perekonomian masyarakat setempat. Namun belum ada
kajian tentang analisis potensi dan produktivitas ternak itik dari kawasan tersebut,
terutama potensi species atau varitas yang paling cocok ekosistem dari masing-masing
kawasan tersebut. Apakah produktivitas ternak itu tinggi atau rendah dan bagaimana
pula kapasitas produksi telurnya, dan juga bagaimana pula potensi ketersediaan pakan
di kawasan tersebut, serta bagaimana pula strategi kebijakan pengembangan ternak itik
tersebut.
Tujuan Penelitian adalah melakukan analisis produktivitas ternak itik di kawasan
Pasang Surut Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan bermanfaat memperoleh informasi
tentang produktivitas ternak itik di Kawasan Pasang Surut di Kabupaten Tanjung Jabung
Barat.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Metode survei bertujuan
untuk memperoleh fakta, gejala dan keterangan yang ada secara faktual, serta keadaan
sosial ekonomi pada daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, yang terdiri dari 13
Kecamatan. Sampel kecamatan yang diambil pada lahan pasang surut sebanyak 3
Kecamatan berdasarkan populasi yang tertinggi, sedang dan rendah sehingga diperoleh
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
75
yaitu, Kecamatan Bram Itam, Kecamatan Senyerang dan Kecamatan Kuala Betara.
Kecamatan Bram Itam terdiri atas 10 Desa, sampel desa yang diambil yaitu Desa
Pembengis, Desa Tanjung Senjulang, Desa Bram Itam Kiri, dan Desa Bram Itam Kanan.
Kecamatan Senyerang terdiri dari 10 Desa, sampelnya adalah Desa Sei Kayu Aro,
Lumahan, Kempas Jaya dan Sunsang. Kecamatan Kuala Betara terdiri 10 Desa,
sampelnya yaitu Desa Betara Kiri, Desa Sungai Gebar, Kuala Indah, dan Tanjung Pasir.
Sampel diambil masing-masing desa 15 peternak untuk dilakukan wawancara yang
dipandu dengan daftar pertanyaan. Data dianalisis secara deskriptif dan dengan
menggunakan SWOT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Tanjung Jabung Barat Luas 5.701 Km² terletak di Pantai Timur
Provinsi Jambi, tepatnya antara 0°53´ - 01°41´ Lintang Selatan dan antara 103°23´ -
104°21´ Bujur Timur, Sebelah Utara berbatas dengan Provinsi Riau, Sebelah Selatan
berbatas dengan Kabupaten Batanghari, Sebelah Timur berbatas dengan Selat Berhala
dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur serta Sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten
Batanghari dan Kabupeten Tebo, secara administratf terdiri dari 13 Kecamatan 20
Kelurahan, dan 114 Desa.
Kecamatan tempat penelitian Bram Itam terdiri dari 10 desa, dengan luas
wilyah 468 Km² dan jumlah penduduk 15.113 jiwa. Kecamatan Senyerang terdiri dari
10 desa, dengan luas wilayah 471 Km² dan jumlah penduduk 22.988 jiwa, golongan
kelompok muda sebanyak 6.768 jiwa, golongan kelompok kerja 15.274 jiwa,
Kecamatan Kuala Betara terdiri dari 10 desa, dengan Luas wilayah 258 Km² dan jumlah
penduduk 10.656 jiwa.
2. Karakteristik Peternak di Lokasi Penelitian
2.1. Umur Peternak
Umur peternak kelompok umur di Kecamatan Bram Itam dari 60 sampel
penelitian diperoleh umur 25 - 30 tahun serbanyak 20 %, , umur 30 - 35 tahun
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
76
sebanyak 20%, dan umur 35 - 50 tahun sebanyak 33,33%, serta diatas 40 tahun
berjumlah 26,67%. Pada Kecamatan Senyerang, dari 60 sampel penelitian diperoleh
umur 25 - 30 tahun sebanyak 13,33%, usia 30 - 35 tahun sebanyak 11,66%, usia 35 -
50 tahun sebanyak 36,67%, dan diatas 40 tahun berjumlah 38,34%. Pada Kecamatan
Kuala Betara dari 60 sampel penelitian diperoleh kelompok umur 25 - 30 tahun
sebanyak 13,33%, usia 30 - 35 tahun sebanyak 11,66%. dan umur 35 - 50 tahun
sebanyak 36,67%, dan diatas 40 tahun berjumlah 38,34%.(Tabel 1). Peternak sampel
dalam penelitian ini merupakan kelompok umur produktif, hal ini sesuai pendapat Sidu
(2002) bahwa umur antara 15 - 60 tahun merupakan usia produktif dan sesuai dengan
pendapat Soeharjo dan Polong (1984) mengelompokan rentang umur produktif antara
15 sampai 54 tahun.
Tabel 1. Umur Peternak di Kecamatan Bram Itam,Senyerang dan Kuala Betara.
Desa
Kecamatan Umur
Kecamatan
Pembengis
Tanjung
Senjulang
Bram
Itam Kiri
Bram
Itam
Kanan
Total %
>40 16
2.2. Tingkat Pendidikan Peternak
Tingkat pendidikan peternak itik di Kecamatan Bram Itam tidak tamat SD
(41,67%), SD (38,33%), SLTP (08,33%), SLTA(11,67%) dan D3/S1 hanya 0,0,%.
Pada Kecamatan Senyerang tidak tamat SD (50,00%), SD (28,33%), SLTP (13,34%),
SLTA(08,33%), D3/S1 (00,00% dan pada Kecamatan Kuala Betara tidak tamat SD
(53,34%), SD (28,33%), SLTP (10,00%), SLTA(08,33%) dan D3/S1 tidak ada 00,00%
(Tabel 2). Keadaan ini mengambarkan bahwa tingkat pendidikan peternak masih
Bram Itam 25 - 30 4
2 5 1 12
20
30 - 35 2
5 2 3 12
20
35 – 40 5
4 5 6 20
33,33
4 4 3 5 26,67
Kecamatan
Senyerang 25 - 30
2
2
3
1
9
13,33
30 - 35 2 1 2 2 7 11,66
35 – 40 6 4 5 7 22 36,67
>40 5 8 5 5 23 38,34
Kecamatan
Kuala Betara 25 - 30
1
1
3
1
6
13,33
30 - 35 3 1 2 2 8 11,66
35 – 40 7 5 5 7 24 36,67
>40 5 8 5 5 23 38,34
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
77
rendah dan berpengaruh terhadap kemampuan dalam penguasaan inovasi yang diterima,
sehingga berdampak dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan serta pola
pikir dalam mencari solusi penyelesaian berbagai permasalahan yang dihadapi. Seperti
yang diungkapkan oleh Evitaningsih (2014) bahwa tingkat pendidikan sangat
berpengaruh terhadap penerapan teknologi atau peningkatan Sumber Daya Manusia
peternak yang berpendidikan akan mudah menyerap ilmu pelatihan dibanding dengan
peternak yang tidak berpendidikan. Lebih lanjut menurut Saragih (2002), tingkat
pendidikan petani berpendidikan sangat rendah (87%) dari 35 juta tenaga kerja
pertanian berpendidikan SD kebawah, keadaan ini berpengaruh terhadap kemampuan
menerapkan dan penguasaan terhadap inovasi yang diterima.
Tabel 2. Tingkat Pendidikan Peternak di Kecamatan Bram Itam, Senyerang dan Kuala
Betara
Kecamatan
Bram Itam
Pendidikan
Pembengis
Tanjung
Senjulang
Desa Bram
Itam Kiri
Bram Itam %
Kanan Total
<SD 4 6 7 8 25 41,67
SD 8 6 4 5 23 38,33
SLTP 1 1 2 1 5 08,33
SLTA 2 2 2 1 7 11,67
D3/S1 0 0 0 0 0 00,00
Kecamatan
Kayu
Kempas
Lumahan
Sunsang
Total
Senyerang Aro Jaya
<SD 7
6 8 9 50,00
SD 6
5 3 3
30 28,33
SLTP 1
2 3 2
17 13,34
SLTA 1
2 1 1
8 08,33
D3/S1 0
0 0 0 00,00
Kecamatan Betara Sungai Gebar Kuala Tanjung Total
Kuala Kiri Indah Pasir
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
78
Betara
<SD 8
32
7 8 9 17 53,34
SD 6 5 4 2 6 28,33
SLTP 1 1 2 2 5 10,00
SLTA 0 2 1 2 0 08,33
D3/S1 0 0 0 0 00,00
Keterangan: <SD= Tidak tamat SD
Tingkat pendidikan peternak itik dari tiga Kecamatan Bram Itam, Senyerang
dan Kuala Betara rata- rata tingkat pendidikanya adalah tidak tamat SD (48,34%), SD
(31,66%), SLTP (10,56%), SLTA(09,44%) dan D3/S1(00,00%) (Tabel 3). Keadaan ini
menunjukan bahwa tingkat pendidikan peternak masih rendah dan berpengaruh
terhadap kemampuan menerapkan dan penguasaan terhadap inovasi yang baru. Sesuai
yang disampaikan Nugroho (2011) bahwa pendidikan yang dimiliki petani peternak
mempunyai pengaruh terhadap kemampuan adopsi teknologi dan keterampilan dan
menajemen.
Tabel 3. Tingkat Pendidikan Peternak di Tiga Kecamatan Penelitian.
Kecamatan
No Pendidikan Bram Itam Senyerang
Kuala Total
%
2.3. Mata pencaharian Peternak
Mata Pencaharian peternak responden pada tiga Kecamatan yaitu Kecamatan
Bram Itam, Senyerang, dan Kuala Betara di kawasan Pasang Surut Kabupaten Tanjung
Jabung Barat pada umumnya sama yakni bertani/berkebun, sedikit sebagai Nelayan,
dominan bertani (42%), berkebun (50%), Swasta (3%), dan sebagai pengayam atap
Nipah sebanyak (4%) dan Nelayan sebanyak (1%), tidak sama yang sampaikan
Musriadi (2002), jumlah penduduk menurut matapencaharian terdiri dari Pengusaha,
Betara
1 <SD
25
30
32
87
48,34
2 SD
23 17 17 57 31,66 3
SLTP 5
8 6 19 10,56 4
SLTA 7
5 5 17 09,44
5 D3/S1
0
0 0 0 00,00
Jumlah 60 60 60 180
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
79
Buruh Pabrik, Buruh Tani, Pedagang, PNS/ABRI, Petani, Peternak Pengrajin dan
Penjahit.
2.4. Kepemilikan Ternak Itik
Populasi ternak itik dilokasi penelitian di Kecamatan Bram itam tingkat
kepemilikan ternak itik di bawah 10 ekor sebanyak 8 0rang (13,33%), 11 sampai 25
ekor sebanyak 31 orang (51,67%), dan diatas 26 ekor sebanyak 21 orang (35%), Pada
Kecamatan Senyerang diatas 11- 26 ekor 31 orang (51,67%), kepemilikan diatas 26 ekor
29 orang (48,33%). Pada Kecamatan Kuala Betara kepemilikan dibawah 10 ekor
sebanyak 26 orang (43,33%), kepemilikan 11-25 ekor sebanyak 34 orang (56,67%), dan
tidak ada yang memelihara lebih dari 25 ekor(Tabel 4). Tingkat kepemilikan ternak itik
masih rendah apabila dibandingkan hasil survei Paal dkk., (2006) tingkat kepemilikan
ternak itik antara 50 - 150 ekor di Sulawesi Utara. Jika populasi yang demikian belum
dapat memberikan pendapatan yang layak bagi keluarga peternak.
Tabel 4. Tingkat Kepemilikan Ternak Itik di Kecamatan Bram Itam, Senyerang dan
Kuala Betara
Desa
Kecamatan Jumlah Tanjung Bram Bram % Bram Itam Itik Pembengis Senjulang Itam Kiri Itam
Kanan
Total
1 10 < 2 2 2 2 8 13,33
2 10 - 25 6 7 9 9 31 51,67
3 26 ≥ 7 6 4 4 21 35,00
Kecamatan
Senyerang
Jumlah
Itik
Kayu
Aro
Kempas
Jaya Lumahan Sunsang Total %
1 10 < 0
2 10 - 25 7
3 26 ≥ 8
0 0 0
7 9 8
8 6 7
0 00,00
31 51,67
29 48,33
Kecamatan
Kuala
Betara
Jumlah
Itik
Betara
Kiri
Sungai
Gebar
Kuala
Indah
Tanjung Total
Pasir
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
80
43,33
56,67
00,00
Tingkat kepemilikan ternak itik pada Tiga Kecamatan Bram Itam, Senyerang dan
Kuala Betara kepemilikan dibawah 10 ekor sebanyak 34 orang (18,88%), kepemilikan
11-25 ekor sebanyak 96 orang (53,33%), dan kepemilikan lebih dari 26 ekor sebanyak
50 orang (27,79%) (Tabel 5). Species ternak Itik yang dipelihara dominan Entok 57%,
disusul peranakan Itik Mojosari 33% dan peranakan Itik Alabio 10%, tingkat kemilikan
ternak itik yang belum menunjukan pada skala usaha beternak itik petelur yaitu
sebanyak 1000 ekor dengan R/C 1,2 berdasarkan perhitungan perhitungan analisa usaha
ternak itik petelur oleh Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Anonim, 2008).
Tabel 5. Tingkat Kepemilikan Ternak Itik di Tiga Kecamatan
Jumlah Kecamatan
No Itik
1 10 <
Bram Itam Senyersng Kuala
Betara
26
Total %
34
2.5. Umur Ternak Itik di Tiga Kecamatan
Tingkat umur ternak itik di Kecamatan Bram Itam rata-rata peternak memiiliki
Induk itik sebanyak 11,1 ekor, itik dara 6,98 ekor dan anak itik 7,85 ekor (Tabel 6).
Dalam penetasan telur peternak telah menggunakan induk ayam dan entok, dengan daya
tetas 60%. Ada peternak itik di Desa Pembengis yang telah memulai menggunakan
mesin tetas dengan daya tetas masih rendah sekitar 45%. Keadaan ini disebabkan
peternak ini baru memulai dan belum terampil dalam penggunaan mesin tetas karena
pemilihan telur tetas kurang cermat atau telur tetas tersebut tidak tertunas.
1 10 < 7 7 6 6 26
2 10 - 25 8 8 9 9 34
3 26 ≥ 0 0 0 0 0
2 10 - 25 8
0
34 96 18,88
3 26 >- 31
31
0 50 53,33
21 29 27,79
Jumlah 60 60 60 180 100
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
81
Menurut Cahyono (2011) mengatakan telur yang telah dierami 24 jam harus
dilakukan pemeriksaan, pada telur yang subur akan tampak adanya benda berwarna
putih berbentuk bulat dibagian tengah kuning telur yang ikut bergoyang saat telur
digoyangkan.
Tabel 6. Tingkat Umur Ternak Itik di Kecamatan Bram Itam.
No Desa Tingkat Umur (%)
%
Pada Kecamatan Senyerang memiliki rata-rata Induk itik sebanyak 7,32 ekor, itik
dara sebanyak 9,26 ekor dan anak sebanyak 9,33 ekor (Tabel 7), kalau dilihat peternak
di Kecamatan senyerang sudah melakukan penetasan telur itik untuk mendapatkan anak
itik/DOD yang tujuanya untuk premajaan atau menggantikan ternak itik yang sudah
tidak produktif lagi setelah berumur 2 -2,5 tahun, Hal ini sesuai panduan Praktis
Budidadya itik bagi KSM (Kelompok Sosial Mandiri) yang mengatakan usia produktif
2 -2,5 tahun (Anonim 2009).
Tabel 7. Tingkat Umur Ternak Itik di Kecamatan Senyerang.
No Desa Tingkat Umur (%)
% Induk % Dara % Anak % Total
1 Kayu Aro 103 23,46 161 28,95 127 22,67 391 25,14
2 Kempas Jaya 103 23,46 100 17,98 145 25,89 348 22,37
3 Lumahan 138 31,43 141 25,35 138 24,64 417 26,82
4 Sunsang 95 21,64 154 27,69 150 26,78 399 25,65
Jumlah 439 28,23 556 26,92 560 30,26 1555
Rata – rata 7,32 9,26 9,33 25,91
Tingkat umur ternak itik di Kecamatan Kuala Betara rata - rata
memelihara/memiliki Induk itik sebanyak 1,60 ekor, itik dara 1,11 ekor dan anak itik
0,65 ekor (Tabel 8). Peternak di kecamatan ini hanya 15 orang telah melakukan
pengeraman menggunakan ayam dan entok sebagai pengeram untuk mendapatkan anak
itik karena tingkat kepemilikan sangat kecil rata - rata 3,75 ekor saja, dipelihara
Induk % Dara % Anak % Total
1 Pembengis 209 42,39 135 27,38 149 30,22 493 31,68
2 Tanjung 148 44,71 91 27,49 92 27,79 331 21,27 Senjunlang
3 Bram Itam 160 43,47 93 25,27 115 31,25 368 23,65 Kiri
4 Bram Itam
Kanan
149 40,93 115 31,59 115 31,59 364 23,39
Jumlah 666 42,80 419 26,92 471 30,26 1556
Rata – rata 11,10 6,98 7,85 25,93
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
82
seadanya dan pemberian pakan dengan sisa makanan selebihnya itik mencari sendiri
makanan di parit dan sawah/kebun, hal ini sesuai pendapat Cahyono (2011) profil
peternakan itik rakyat yang skala pemeliharan kecil dapat dilakukan secara diumbarkan.
Tabel 8. Tingkat Umur Ternak Itik di Kecamatan Kuala Betara.
No Desa Tingkat Umur (%)
%
Tingkat umur ternak itik pada Tiga Kecamatan yaitu Bram Itam, Senyerang dan
Kuala Betara setelah digabungkan rata - rata memelihara/memiliki Induk itik sebanyak
7,73 ekor, itik dara 6,93 ekor dan anak itik 6,36 ekor (Tabel 9). Tingkat kepemilikan
rata - rata 21,03 ekor dari tiga Kecamatan ini yang paling banyak melakukan
pengeraman/penetasan adalah pada peternak itik di Kecamatan Bram itam disusul
peternak di Kecamatan Senyerang dengan menggunakan ayam dan entok. Hasil
wawancara dengan bapak Suhendar (2014) mengatakan penggunaan entok daya tetas
dapat mencapai 70%.
Tabel 9. Tingkat Umur Ternak Itik Itik di Tiga Kecamatan
No Kecamatan Tingkat Umur (%)
%
2.6. Produktvitas Ternak Itik pada Tiga Kecamatan
Tingkat Produktivitas ternak itik pada Kecamatan Bram itam rata-rata produksi
telur 161,20 per tahun dan ditetaskan 12,96 butir per tahun dan menetas 18,92 ekor, daya
tetas 54,18 %, dikonsumsi 24,20 butir (16,46%), serta dijual 106,35 butir(72,93%) per
ekor per tahun. Menurut Suharno dan Amri (2011), produksi telur itik Mojosari
sebanyak 200 – 265 butir per tahun namun ditemukan pada Kecamatan Bram Itam
Induk % Dara % Anak % Total
1 Betara Kiri 72 25,00 78 28,67 23 20,00 173 25,62
2 Sungai Gebar 78 27,08 63 23,16 34 29,56 175 25,92
3 Kuala Indah 65 22,56 47 17,27 33 28,69 145 21,48
4 Tanjung 73
Pasir
25,34 84 30,88 25 21,73 182 26,96
Jumlah 288 28,23 272 26,92 115 30,26 675
Rata – rata 1,60 1,11 0,65 3,75
Induk % Dara % Anak % Total
1 Bram Itam 666 47,81 419 33,60 471 41,09 1556 41,09
2 Senyerang 439 31,51 556 44,58 560 44,86 1555 41,09
3 Kuala Betara 288 20,67 272 21,81 115 10,03 675 17,82 Jumlah 1393 36,72 1247 32,93 1146 30,26 3786
Rata – rata 7,73 6,93 6,36 21,03
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
83
dibawah produksi. Tingkat Produktivitas ternak itik pada Kecamatan Senyerang rata -
rata produksi telur 159,03 per tahun dan ditetaskan 21,58 butir per tahun dan menetas
13,65 ekor, daya tetas 63,74%, dikonsumsi 33,12 butir (20,98%), serta dijual 101,80
butir (63,83%) per ekor per tahun. Menurut Saleh (2004), Produktivitas ternak itik
Mojosari yang dipelihara dengan baik akan berproduksi sekitar 200 -300 butir pertahun
dan selanjutnya ternak itik sebaiknya diafkir setelah berumur 1,5 tahun, perbedaan
produksi ternak ini disebabkan oleh faktor genetik, dimana itik yang dipelihara peternak
adalah itik keturunan itik Mojosari yang telah mengalami perkawinan dengan itik lokal.
Dalam Kecamatan Kuala Betara produksi telur rata- rata 119,55 per tahun dan
ditetaskan 13,22 butir per tahun dan menetas 8,36 ekor, daya tetas 63,29%, dikonsumsi
31,21 atau 25,85%, butir serta dijual 75,11 butir per ekor per tahun atau 62,47%.
Produksi telur itik di Kecamatan Kuala Betara masih kurang bila dibandingkan itik
Kerinci sebanyak 180 butir pertahun (Anonim 2006), disebabkan dalam budidaya ternak
itik peternak memelihara seadanya tampa diberi pakan kosentrat, hanya mengandalkan
sisa dapur dan ternak itik mencari makan sendiri disekitar lingkungan tempat tinggal
peternak.
Tingkat Produktivitas ternak itik pada Tiga Kecamatan tempat penelitian rata -
rata produksi telur 141,20 per tahun dan ditetaskan 15,92 butir per tahun dan menetas
13,64 ekor dengan daya tetas 60,40%, dikonsumsi 29,51 butir (21,10%), serta dijual
94,57 butir per ekor per tahun (66,21%). Ketidakseragaman umur itik yang di pelihara
misal dalam satu kandang 100 ekor masa produksi menghasilkan 60 butir telur perhari,
maka dapat dihitung tingkat produktivitasnya adalah 60% dengan demikian 40%
diantaranya masa produksi terhenti atau sudah terlewat masa produktifnya hal ini
disebabkan bibit yang tidak seragam dari sumber bibit (Srigandono, 1991).
2.7. Penerapan Teknologi Budidaya Itik pada Tiga Kecamatan
Tingkat penerapan Teknologi budidaya ternak itik pada Kecamatan Bram Itam
dijadikan sampel adalah Desa Pembengis, Bram Itam Kanan, Bram itam Kiri dan
Tanjung Senjulang sebanyak 60 orang responden. Hasil penerapan Teknologi budidaya
ternak itik pada Kecamatan Bram sebagai berikut; Tingkat penerapan pada Bibit dari
nilai harapan tertinggi 24 dan mendapat nilai rata - rata 11,57, sehingga diasumsikan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
84
dalam penerapan teknologi bibit sekitar 48,21%. Penguasaan pengetahuan pakan ternak
itik dari nilai harapan tertinggi 20 diperoleh nilai rataan 9,41 sehingga diasumsikan
kemampuan peternak dalam hal teknologi pakan 47.05%. Penguasaan pengetahuan
perkandangan ternak itik dari nilai harapan tertinggi 20 diperoleh rataan 8,45, sehingga
penerapan teknologi perkandangan sekitar 42,25%. Sedangkan tatalaksana
pemeliharaan ternak itik dari nilai harapan tertinggi 36 diperoleh nilai rataan 14,01
sehingga penerapan tatalasana oleh peternak sekitar 38,92%. Pengetahuan reproduksi
ternak itik dari nilai harapan tertinggi 16 diperoleh rataan 7,46 sehingga penguasaan
teknologi reproduksi mencapai 46,62%. dan pengetahuan pengendalian penyakit ternak
itin dari harapan tertinggi 40 mendapat nilai rata -rata 6,06 sehingga penguasaan
pengetahuan pengendalian penyakit oleh peternak diperoleh sekitar 15,15%.
Hasil penerapan teknologi budidaya Itik pada Kecamatan Senyerang sebagai
berikut; Tingkat penerapan teknologi Bibit dari nilai harapan teringgi 24 dan diperoleh
rataan 11,18, atau dengan kata lain diasumsikan peternak menguasai pengetahuan
teknologi pemilihan bibit sekitar 46,58%. Pengusaan pengetahuan teknologi pakan dari
nilai harapan tertinggi 20 diperoleh rataan 9,67 sehingga penguasaan pengetahuan
teknologi pakan diperoleh sekitar 48,35%. Penguasaan pengetahuan perkandangan dari
nilai harapan tertinggi 20 dan didapat rataan 8,33, sehingga diinterprestasikan
penguasan pengetahuan ini sekitar 41,65%. Pada Tatalaksana dari nilai harapan tertinggi
36 mendapat rata -rata 14,25. Pada Reproduksi dari nilai harapan tertinggi 16 mendapat
rata - rata 7,93 atau 49,81% peternak menguasai tatalaksana reproduksi dan pada
Pengendalian penyakit ternak itik dari harapan tertinggi 40 mendapat rata - rata 6,61
atau 16,52% pengetahuan peternak tentang penyakit.
Penelitian penerapan teknologi budidaya beternak itik juga dilakukan di
Kecamatan Kuala Betara dan desa yang dijadikan sampel adalah Betara Kiri, Sungai
Gebar, Kuala Indah dan Tanjung Pasir sebanyak 60 Orang responden. Pada point
penerapan teknologi sebagai berikut; Pada penerapan teknologi Bibit dari nilai harapan
tertinggi 24 mendapat nilai rata - rata 11,00 atau diasunsikan 45% responden menguasai
teknologi pemilihan bibit. Pada penerapan teknologi Pakan dari nilai harapan tertinggi
20 mendapat nilai rata - rata 10,54 atau sekitar 52,70% peternak itik menguasai
pengetahuan pakan ternak. Sistem perkandangan dari nilai harapan tertinggi 20
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
85
mendapat rata - rata 8,95 atau sekitar 44,75% peternak menguasai system perkandang.
Sistem tatalaksana budidaya itik diperoleh dari nilai harapan tertinggi 36 mendapat nilai
rata - rata 16,13 atau berarti penguasaan pengetahuan tatalaksana peternak itik sekitar
44,81%. Pengetahuan Reproduksi dari nilai harapan tertinggi 16 mendapat nilai rata -
rata 7,68 diasumsikan sekitar 48,00% peternak telah menguasai tentang pengetahuan
reproduksi ternak itik. Pada pengetahuan pengendalian penyakit ternak itik dari harapan
tertinggi 40 mendapat nilai rata - rata 6,62 diasumsikan sekitar 16,55% atau rendahnya
pengetahuan peternak mengenal tentang penyakit ternak itik.
3. Analisis Faktor Internal Kekuatan dan Kelemahan.
Faktor Internal Kekuatan yang ada pada Lahan pasang Surut dianggap sebagai
kekuatan dalam pemeliharaan ternak itik yang harus dimanfaatkan secara maksimal
sesuai dengan potensi lahan dengan kondisi lahan yang cocok untuk beternak itik lahan
yang masih cukup luas di Kecamatan Bram Itam lahan yang belum dimanfaatkan seluas
939 Km², Demikian juga Kecamatan Senyerang potensi lahan seluas 960 Km², dan di
Kecamatan Kuala Betara lahan yang belum dimanfaatkan seluas 516 Km². Potensi
sebagai sumber pakan di Sawah Pasang Surut Tanjung Jabung Barat produksi padi pada
tahun 2011 sebanyak 93.379 ton, produksi Jagung sebanyak 1.516 ton, Kedelai produksi
1.786 ton, Ubi kayu sebanyak 3.3391 ton, Kelapa dalam sebanyak 59.499 ton, produksi
ikan 18.275 ton. Luas panen padi 25.7903 ha dengan produksi 3.633 ton dan jagung
luas panen 691 ha dan produksi 2.194 ton cukup sebagai sumber pakan ternak(Widodo
dkk., 2013). Diasumsikan bahwa bahan pakan tersebut cukup sebagai sumber pakan
ternak itik, sedangkan bahan untuk pembuatan Kandang itik seperti Kayu Bulat dan
Bambu serta atap Nipah masih banyak tersedia.
Faktor Internal Kelemahan adalah Sumber Daya Manusia peternak itik masih
rendah, karena belum optimalnya penyuluhan dan belum terbentuknya wadah kelompok
tani, sehingga partisipasi keluarga dalam beternak masih kurang, dilain sisi juga
kekurangan modal dalam kelansungan beternak dan penggunaan bibit unggul masih
belum dilaksanakan Sesuai yang disampai Raharjo (2004), mengatakan alternatif
strategi dalam pengembangan usaha ternak itik antara lain peningkatan sumberdaya
manusia melalui penyuluhan dan pelatihan terkait dengan optimalisasi penggunaan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
86
sumberdaya lokal, peningkatan jiwa kewirausahaan peningkatan peran kelompok dan
koperasi dan kemitraan lainnya serta pengembangan ekonomi mikro di Pedesaan.
Peternak itik pada kawasan padat penduduk dengan rumah panggung, yang
rapat hanya batas rumah kerumah 0.5 - 1 meter saja di kawasan Pasang Surut dalam satu
RT (Rukun Tetangga yang di huni 25 - 100 KK (Kepala keluarga) hasil observasi
menunjukkan bahwa peternak dapat memelihara 60 - 100 ekor Itik petelur dengan
pemberian pakan tambahan dedak dan nasi aking/kering pada pagi hari dan sore hari
selebihnya itik mencari makan dikolong-kolong rumah sisa-sisa pakan dan dan binatang
atau cacing di kolong rumah, namun itik dapat berproduksi 60%, Keadaan ini dapat
menjadikan alternatif cara pemeliharan ternak itik di kawasan pasang surut.
4. Analisis Faktor Eksternal Peluang dan Ancaman
Faktor eksternal peluang usaha ternak itik pada Lahan pas5ang surut pada
lokasi penelitian Kecamatan Bram Itam, Senyerang dan Kuala Betara adalah belum
banyak yang memanfaatkan lahan yang kosong dan mudah dalam pemasaran serta
permintaan telur itik cukup tinggi Keadaan ini sesuai perdapat Suryana (2007), prospek
yang cerah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran
masyarakat akan konsumsi protein asal ternak.
Faktor eksternal Ancaman adalah masih seringnya terjadinya ancaman
penyakit, berdasarkan survey lapangan menunjukan bahwa faktor penyakit yang sering
menyerang ternak itik seperti penyakit cacingan, Butulismus dan Coryza/Pilek pada
ternak itik. Juga terjadi ancaman musim seperti musim kemarau dan air pasang, serta
ancaman predator seperti Biawak dan Ular. Usaha peternak dalam mengatasi serangan
predator adalah dengan pemasangan jaring atau membuat pagar keliling dan
pembersihan lahan dan pengembalaan itik ditempat yang tidak ada predatornya,
Ancaman penyakit dapat diatasi dengan melakukan sanitasi kandang itik mutlak perlu
dilakukan dalam pemeliharan ternak itik dan tindakan pencegahan penyakit perlu
dilakukan secara dini sehingga peternak dapat waspada terhadap serangan penyakit pada
itik. Sesuai apa yang dilakukan Evitaningsih (2014) lakukanlah pengawasan atau
pengontrolan secara menyeluruh apabila ada tanda - tanda ternak itik kurang sehat.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
87
KESIMPULAN
Kesimpulan
Strategi pengembangan ternak itik dilahan pasang surut pada 3 Kecamatan
Bram Itam, Senyerang dan Kuala Betara dapat disimpulkan sebagai berikut :Lahan
Pasang Surut merupakan lahan yang cocok untuk beternak itik, Sawah pasang surut yang
cukup luas, sebagai penghasil dedak padi sebagai bahan pakan, masih mudah diperoleh
dari hasil penggilingan padi sendiri atau dibeli dengan harga yang masih rendah, selain
dari sumber dedak padi diperoleh juga pakan alami misalnya anak ikan , udang, cacing,
kiong mas dan rumput alami,Penggunaan bibit unggul dan pengembangan usaha ternak
itik antara lain peningkatan sumberdaya manusia melalui penyuluhan dan pelatihan
terkait dengan optimalisasi penggunaan sumberdaya lokal, peningkatan jiwa
kewirausahaan peningkatan peran kelompok dan koperasi dan kemitraan lainnya serta
pengembangan ekonomi mikro di Pedesaan.Berdasarkan hasil analisis indek potensi
terhadap kondisi lapangan terhadap faktor internal kekuatan, kelemahan dan faktor
eksternal peluang dan ancaman pada lokasi terdapat pada keadaan antara kekuatan dan
kelemahan 10 dan 15 berarti posisi faktor Internal Kekuatan yang ada pada Lahan
pasang surut dianggap sebagai kekuatan dalam pemeliharaan ternak itik yang harus
dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan potensi lahan dengan kondisi lahan yang
cocok untuk beternak itik lahan yang masih cukup luas.
Saran
Dari hasil Studi kasus direkomendasikan untuk melakukan pengembangan
itik di Kecamatan Senyerang karena memiliki potensi pakan ternak yang cukup dan
dianjurkan pemerintah daerah dapat mendirikan pabrik pada mini, perbaikan mutu bibit
ternak itik dengan mengganti ternak itik yang unggul, dukungan modal usaha yang
bertujuan peningkatan skala usaha dan penyuluhan dan pelatihan terus ditingkatkan
serta perbaikan sistim pemasaran yang dapat menguntungkan peternak, dengan
menguatkan lembaga perekonomian dipedesaan seperti KUD dan unit simpan pinjan
lainya.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
88
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Itik Kerinci Sebagai Sumber Daya Genetik (SDG) Provinsi Jambi,
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jambi.
Anonim, 2008. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Cahyono, B, 2011. Pembibitan Itik. Penerbit: Penebar Swadaya, Jakarta. Dinas Peternakan. 2013, Laporan Statistik Peternakan Kabupaten tanjung Jabung Barat.
Evitaningsih, 2014. Strategi Pengembangan Peternakan Itik di Kecamatan Curup
Selatan Kabupaten Rejang Lebong.
Musriadi, 2002. Produksi Bakalan Domba Sebagai Alternatif Usaha di Desa Srogol Kecamatan Cijeruk Kabupaten Bogor. Karya Ilmiah Praktek Akhir.
Nugroho, T K, 2011. Pengaruh Faktor-faktor Sosial terhadap Perilaku Beternak Itik di
KTTI Kabupaten Brebes. Skripsi Fakultas Peternakan Univ. Diponegoro.
Semarang.
Paal, P, Polakitan, D dan Toulu, L, 2006. Sistem Produksi Ternak Itik di Sulawesi
Utara, Lokakarya Inovasi dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing.
Raharjo, R, 2004. Analisis Sistem Pemeliharaan dan Strategi Pengembangan Usaha
Ternak Itik Tegal di Kelurahan Pesurungan Lor, Kecamatan Margadana Kota
Tegal. Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. Bogor.
Saleh, E, 2004. Pengelolaan Ternak Itik di Pekarangan Rumah, Digitzed by USU digital
library
Saragih, B, 2002. Kebijakan Nasional Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian,
Departemen Pertanian
Sidu, D, 2002. Prilaku Masyarakat Tani dalam Konservasi Tanah dan Air di Kawasan
DAS Wirongo Kabupaten Seleman. Tesis Progran Pasca Sarjana UGM,
Jogjakarta.
Srigandono, B, 1991. Produksi Unggas Air. Penerbit: UGM-Press. Yogyakarta. Suharno, B. dan Amri, K. 2011. Panduan Beternak Itik Secara Intensif Penebar
Swadaya, Jakarta
Suhendar, 2014. Wawancara langsung tanggal 19 April, Kuala Tungkal.
Suryana, 2007. Prospek dan Peluang Pengembangan Itik Alabio di Kalimantan
Selatan. Jurnal Litbang Pertanian. 26 (3).
Soeharjo, A dan Polong, D 1984. Sendi Sendi Pokok Ilmu Usahatani Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang.
Widodo, H, Usman, S dan Lamsursyah, 2013. Programa Penyuluh
Pertanian,Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
89
Strategi Pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis Peternakan
Berdasarkan Modal Sosial Dan Ekonomi Di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur
Afriani H1*, Syafril Hadi1 dan Firmansyah1
1Fakultas Peternakan Universitas Jambi
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis strategi pengembangan BUMDesa unit
usaha berbasis peternakan berdasarkan modal sosial di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur. Pengukuran variabel kualitatif digunakan kuesioner bentuk pertanyaan dengan
Scala Likert’s Summated Rating’s yang diuji dengan uji validitas dan reliabilitas. Model
analisisnya adalah analisis SWOT serta QSPM. Strategi pengembangan Badan Usaha
Milik Desa (BUMDesa) unit usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur adalah penguatan kapasitas modal sosial dengan peningkatan kepercayaan
masyarakat pengelolaan BUMDesa yang transparan, akuntabel, dan berlandana nilai-
nilai kejujuran. Strategi penguatan kapasitas modal ekonomi dengan cara kerjasama
dengan pihak swasta (perusahaan) melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR).
Kata Kunci : Strategi, BUMDesa, Peternakan
PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ditambah dengan Peraturan
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015
tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa
(BUMDesa) mengamatkan kepada desa untuk mengelola sumberdaya yang ada di desa,
termasuk pengembangan ekonomi masyarakatnya melalui pembentukan BUMDesa.
BUMDesa adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Desa yang
dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-
besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
90
Lembaga perekonomian desa atau disebut BUMDes yang menjadi pendekatan
baru dalam upaya pemerintah mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa melalui
kemandirian masyarakat desa itu sendiri. BUMDes sebagai pilar baru kegiatan ekonomi
di desa berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan komersial (commercial
institution). Konsep lembaga sosial dapat dijelaskan bahwa seluruh hasil akhir kegiatan
BUMDes ditunjukan pada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya dalam
penyediaan berbagai kebutuhan dan pelayanan sosial. Pendekatan semacam ini
setidaknya menjelaskan bahwa BUMDes merupakan instrumen modal sosial (social
capital) yang dimiliki desa untuk mencapai proses kesejahteraan sekaligus
pemberdayaan.
Untuk mengembangkan BUMDes dengan unit usaha berbasis peternakan
Kabupaten Tanjung Jabung Timur dibutuhkan modal sosial. Menurut Carpenter (2004),
modal sosial merupakan kemampuan yang muncul dari kelaziman kepercayaan dalam
suatu masyarakat atau dalam bagian tertentu dari masyarakat. Masyarakat yang saling
percaya akan lebih baik dalam inovasi organisasi karena kepercayaan yang tinggi
memungkinkan munculnya rentang hubungan sosial yang lebar.
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
survei. Teknik penarikan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Cluster
Random Sampling (Rahmatina, 2010) yaitu sebagai cluster adalah Kabupaten Tanjung
Jabung Timur. Ukuran sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan
metoda iterati (Harun Al Rasyid, 1994).
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keaslian suatu alat ukur
(instrumen). Uji validitas alat ukur kuesioner menggunakan rumus Korelasi Product
Moment Pearson berdasarkan Singarimbun dan Effendy (1995). Reliabilitas adalah
derajat ketepatan, ketelitian atau keakuratan yang ditunjukkan oleh instrumen
pengukuran. Untuk mengetahui koefisien reliabilitas instrumen (Cronbach) dapat
menggunakan rumus :
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
91
𝑘
𝑘 − 1
r11 = 1 −
Ket :
r11 = reliabilitas instrument 1 = konstanta
k = banyak butir pertanyaan,
Santoso dan Ashari (2005) menyatakan bahwa suatu kuesioner dikatakan reliabel jika
nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,60 sehingga kuesioner layak digunakan dalam
penelitian.
Metode Analisis
Untuk menyusun strategi pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis
Peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur menggunakan analisis SWOT.
Menurut Rangkuti (2006) matrik SWOT adalah metode yang dipakai untuk menyusun
faktor-faktor strategis. Matriks SWOT ini dapat menghasilkan empat sel kemungkinan
alternatif strategi SO, strategi WO, strategi WT, dan strategi ST.
Tabel 1. Matriks SWOT Pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis Peternakan di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Faktor Eksternal
PELUANG-O
Daftar peluang
ANCAMAN-T
Daftar ancaman
KEKUATAN-S
Daftar kekuatan
STRATEGI SO
Menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang
STRATEGI ST
Menggunakan kekuatan untuk
menghindari ancaman
KELEMAHAN-W
Daftar kelemahan
STRATEGI WO
Mengatasi kelemahan dengan
memanfaatkan peluang
STRATEGI WT
Meminimalkan kelemahan
dan menghindari ancaman
𝜎 ℎ²
𝜎 1²
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
92
Analisis QSPM (Quantitative Strategic Planning Matriks)
Penggunaan QSPM dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 2. Matriks QSPM Pengembangan BUMDesa Unit Usaha Berbasis Peternakan di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Faktor Kunci Rating
Peluang
Ancaman
Kekuatan
Kelemahan
Jumlah
Sumber : Umar, 2008
Alternatif Strategi
Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3
AS TAS AS TAS AS TAS
Ket : Nilai daya tarik (Attractiveness Scores – AS)
Total nilai daya tarik (Total Attractiveness Scores – TAS)
HASIL PENELITIAN
Modal Sosial
Partispasi pada Kegiatan Sosial
Modal sosial menunjuk pada segi-segi organisasi sosial, seperti kepercayaan,
norma-norma, dan jaringan-jaringan sosial yang dapat memfasilitasi tindakan kolektif.
Tindakan kolektif masyarakat pedesaan berupa kegiatan sosial di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur terdiri dari berbagai kegiatan yaitu mulai dari gotong royong, ronda
malam, menyumbang kegiatan desa, menyumbang untuk musibah, arisan ibu-ibu,
yasinan bapak-bapak, pengajian ibu-ibu, perayaan keagamaan, melayat orang
meninggal, menjenguk orang sakit, acara 17 Agustus, memberi bingkisan untuk bayi
yung baru dilahirkan, dan membagi makanan kepada tetangga. Hasil survey di lapangan
menemukan bahwa keaktifan kegiatan sosial masyarakat di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur sebagian besar aktif, hanya kegiatan roda malam dan kegiatan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
93
membagi makanan kepada tetangga yang kurang aktif, secara rinci tersaji pada Grafik
berikut ini.
Fukuyama (1995) menyebutkan bahwa modal sosial memiliki peran penting
dalam keberhasilan pembangunan (sosial, budaya, ekonomi, dan politik), tidak
terkecuali pembangunan desa. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat
gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas,
dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Penelitian ini juga menemukan bahwa partisipasi masyarakat pada kegiatan sosial
di Kabupaten Tanjung Jabung Timur beragam, sebagian partisipasi masyarakat pada
kegiatan sosial tetap tinggi yaitu menjenguk orang sakit, melayat orang meninggal, acara
yasinan bapak-bapak dan lain-lain. Sedangkan sebagian lagi partisipasi masyarakat pada
kegiatan sosial rendah contohnya berbagi makanan kepada tetangga, pengajian Ibu-ibu,
Arisan Ibu-ibu dan lain-lain, secara rinci tersaji pada Grafik 2.
80.10
80.00 100.00 120.00 60.00 40.00 20.00
19.90
97.01
100.00
99.50 100.00
99.00 98.01
99.50
96.52
74.75
82.09
20.00 Membagi Makanan kpd Tetangga
Memberi Bingkisan utk Bayi yg Baru Dilahirkan
Acara 17 Agustusan
Menjenguk Orang sakit
Melayat Orang Meninggal
Perayaan Keagamaan
Pengajian Ibu-Ibu
Yasinan Bapak-Bapak
Arisan Ibu-Ibu
Menyumbang Musibah
Menyumbang Kegiatan Desa
Ronda Malam
Gotong Royong
0.00
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
94
Menurut Fadil et al. (2013) bahwa partisipasi masyarakat dalam pembangunan
sangat berpengaruh pada keberhasilan pelaksanaan suatu program pembangunan.
Menurut Elida Imro’atin et al. (2015), partisipasi masyarakat dalam pembangunan
sangat penting karena partisipasi/keikut sertaan masyarakat tersebut akan
menumbuhkan rasa memiliki terhadap proses pembangunan khususnya pelaksanaan
program pembangunan di desa.
Hasil penelitian Latif (2014) menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam
setiap pembangunan di desa masih kurang maksimal, terutama dalam tahap pelaksanaan
pembangunan. Kurang aktifnya masyarakat dalam tahapan pembangunan desa ini
disebabkan masih kurang pahamnya masyarakat akan pentingnya partisipasi. Potoboda
(2011) menjelaskan bahwa dalam perencanaan program pembangunan, peran partisipasi
masyarakat juga belum secara maksimal dilibatkan.
Partispasi pada Institusi Sosial
Secara sosiologis, lembaga sosial merupakan sistem norma yang memiliki tujuan
tertentu yang dianggap penting oleh masyarakat. Mengacu pada Kepmensos RI Nomor
12/HUK/2006, kelembagaan sosial lokal adalah suatu sistem nilai dan norma yang
Membagi Makanan kpd Tetangga
Memberi Bingkisan utk Bayi yg Baru Dilahirkan
Acara 17 Agustusan
Menjenguk Orang sakit
Melayat Orang Meninggal
Perayaan Keagamaan
Pengajian Ibu-Ibu
Yasinan Bapak-Bapak
Arisan Ibu-Ibu
Menyumbang Musibah
Menyumbang Kegiatan Desa
Ronda Malam
Gotong Royong
0.00
30.35
55.22
56.22
96.52
97.01
84.58
22.89
93.03
20.40
94.03
94.03
50.25
20.00 40.00 60.00
87.06
80.00 100.00 120.00
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
95
mengatur tata hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat lokal. Kelembagaan sosial
lokal berfungsi sebagai pedoman bersikap dan bertingkah laku menghadapi
permasalahan kehidupan dalam masyarakat lokal, menjaga keutuhan masyarakat
(integrasi), sebagai kontrol sosial. Pandangan lain mengungkapkan bahwa kelembagaan
sosial lokal merupakan sistem nilai dan norma yang berwujud pada pendirian organisasi
sosial sebagai sentra warga masyarakat lokal menjalankan hak dan kewajiban ketika
mengimplimentasikan nilai dan norma sebagai acuan kehidupan bersama (Rusmin
Tumanggor, 2006).
Temuan penelitian ini bahwa cukup banyak institusi sosial di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur yang aktif, misalnya posyandu, kelompok tani, Bumdesa, PKK,
kelompok olahraga dan karang taruna. Namun lebih banyak lagi institusi sosial di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang kurang aktif, misalnya koperasi, LSM,
organisasi politik, kelompok kesukuan dan lembaga adat.
4.48 1.49 9.45
28.36 26.37
54.73 53.23 61.69
75.62 73.13 70.15
81.09
94.03 87.56 100.00
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
96
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa partisipasi masyarakat pada institusi
sosial di Kabupaten Tanjung Jabung Timur hampir seluruhnya masih rendah kecuali
tingkat partisipasi masyarakat pada kelompok tani (77,61 %). Menurut Adisasmita
(2006) peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan
masyarakat (social empowerment) secara aktif yang berorentasi pada pencapaian hasil
pembangunan yang dilakukan dalam masyarakat pedesaan. Pemberdayaan masyarakat
merupakan upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya masyarakat pedesaan
secara lebih aktif dan efisien.
Sumodingrat (1998) menyebutkan bahwa partisipasi sebagai salah satu elemen
pembangunan. Partisipasi mempunyai posisi yang penting dalam pembangunan, dimana
untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dibutuhkan keikutsertaan anggota
masyarakat dalam setiap tahap pembangunan. Conyers (1991) memberikan tiga alasan
utama pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu: (1) partisipasi
masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi,
kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program
pembangunan dan proyek akan gagal, (2) masyarakat mempercayai program
pembagunan jika dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena
masyarakat lebih mengetahui seluk beluk proyek dan merasa memiliki proyek tersebut,
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
77.61
36.82
22.89 25.87 22.89 18.41 21.89
6.47 6.97 3.48 3.48 2.99 0.00 0.50
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
97
(3) partisipasi merupakan hak demokrasi masyarakat dalam keterlibatannya di
pembangunan
Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa
Strategi merupakan sebuah rencana atau pendekatan secara keseluruhan yang
berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas
untuk dapat mencapai sebuah tujuan yang telah ditetapkan. Pengembangan BUMDesa
sangat memerlukan adanya sebuah strategi agar pengembangan BUMDesa dapat
maksimal dalam mencapai tujuan BUMDesa yaitu a). meningkatkan perekonomian
Desa; b). mengoptimalkan aset Desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan Desa; c).
meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomiDesa; d).
mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau denganpihak ketiga; e).
menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum
warga; f). membuka lapangan kerja; g). meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Desa; dan
h). meningkatkan pendapatan masyarakat Desa dan Pendapatan Asli Desa.
Strategi pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan berdasarkan
modal sosial dan ekonomi di Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah memperkuat
permodalan BUMDesa menggunakan analisis SWOT. Dalam analisis SWOT terdiri dari
analisis Matriks IFE digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan
internal dan menggolongkannya menjadi kekuatan dan kelemahan pengembangan
BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur melalui
pembobotan :
a. Faktor kekuatan dalam pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah dukungan kebijakan pemerintah melalui
dana desa dalam bentuk APB desa dan pendamping desa, sumberdaya alam
khususnya pakan yang mendukung pengembangan ternak, peternak yang
berpengalaman, dan modal sosial masyarakat yang tinggi.
b. Faktor kelemahan dalam pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan
di Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah struktur organisasi BUMDesa yang
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
98
tidak efisiensi, kualitas sumberdaya manusia pelaksana operasional yang masih
rendah, modal kerja yang terbatas, dan pola pembagian hasil usaha yang belum
optimal.
Sedangkan, matriks EFE digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
lingkungan eksternal dan menggolongkannya menjadi peluang dan ancaman
pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur dengan melakukan pembobotan :
a. Faktor peluang dalam pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah harga produk ternak yang mahal, tingkat
permintaan produk ternak yang tinggi, jaringan BUMDesa bersama, kerjasama
kemitraan dengan berbagai pihak.
b. Faktor ancaman dalam pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur adalah banyak pesaing BUMDEsa sejenis,
regulasi pemerintah yang berubah-ubah
Siagian (2004) menyatakan bahwa strategi adalah serangkaian keputusan dan
tindakan mendasar yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh
seluruh jajaran suatu organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi tersebut.
Pengertian strategi lainnya seperti yang diutarakan Craig & Grant (1996) adalah strategi
merupakan penetapan sasaran dan tujuan jangka panjang sebuah perusahaan dan arah
tindakan serta alokasi sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai sasaran dan tujuan.
Berdasarkan analisis SWOT diperoleh strategi pengembangan BUMDesa unit
usaha berbasis peternakan berdasarkan modal sosial dan ekonomi di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur adalah memperkuat permodal BUMDesa adalah :
1. Strategi penguatan kapasitas modal sosial untuk pengembangan BUMDesa unit
usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
2. Strategi penguatan kapasitas modal ekonomi untuk pengembangan BUMDesa unit
usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Setelah mengembangkan sejumlah alternatif strategi, BUMDesa Unit Usaha
Berbasis Peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur harus mampu mengevaluasi
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
99
dan kemudian memilih strategi yang terbaik dan paling cocok dengan kondisi internal
serta lingkungan eksternal berdasarkan Analisis QSPM (Quantitative Strategic
Planning Matriks) yaitu :
1. Penguatan kapasitas modal sosial terutama kepercayaan dan jaringan untuk
pengembangan BUMDesa unit usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung
Jabung Timur melalui pemeliharaan kearifan lokal (local wisdom) yang mempunyai
makna bahwa struktur sosial masyarakat masih mengandung sifat arif yaitu nilai-
nilai sosial yang digunakan sebagai sumber pemikiran dan pedoman berperilaku
anggota dan pengurus BUMDesa. Peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap
BUMDesa melalui pengelolaan BUMDesa yang transparan, akuntabel, dan
berlandana nilai-nilai kejujuran.
2. Penguatan kapasitas modal ekonomi untuk pengembangan BUMDesa unit usaha
berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung Timur melalui penambahan modal
kerja BUMDesa. Peningkatan modal kerja BUMDesa dengan cara kerjasama dengan
pihak swasta (perusahaan) melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR).
KESIMPULAN
Penelitian tentang ini menyimpulkan bahwa strategi pengembangan Badan Usaha
Milik Desa (BUMDesa) unit usaha berbasis peternakan di Kabupaten Tanjung Jabung
Timur adalah penguatan kapasitas modal sosial dengan peningkatan kepercayaan
masyarakat pengelolaan BUMDesa yang transparan, akuntabel, dan berlandana nilai-
nilai kejujuran. Strategi penguatan kapasitas modal ekonomi dengan cara kerjasama
dengan pihak swasta (perusahaan) melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR).
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Carpenter, J.P, et al. 2004. Social Capital and Trust in South-east Asian Cities, Urban
Studies 41 (4), 853-874.
Conyers, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta: UGM Press.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
100
Craig & Grant. 1996. Manajemen Strategi. Jakarta: Alex Media Komputindo Kelompok
Gramedia.
Elida Imro’atin et al. 2015. “Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Pembangunan Partisipatif”. Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik, volume 3, nomor 2.
Fadil, Fathurrahman et al. 2013. “Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah
Perencanaan Pembangunan di Kelurahan Kotabaru Tengah”. Dalam Jurnal Ilmu
Politik dan Pemerintahan Lokal, Volume II Edisi 2.
Fukuyama, F. (1995) Trust: The Social Virtues and Creation of Prosperity. New York:
Free Press Paperbacks.
Harun Al Rasyid. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala. disunting oleh
Teguh Krismantoroadji dkk., Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran,
Bandung.
Latif Farid. 2014. Pengaruh Partisipasi Anggaran terhadap Kinerja Manajerial pada
Direktorat Jendral Perbendaharaan, Undergraduate thesis, Fakultas Ekonomika
dan Bisnis.
Lin, N. 2001 Social Capital: A Theory of Social Structure and Action. USA: Cambridge
University Press.
Potoboda AC. 2011. Partisipasi masyarakat dalam menunjang pelaksanaan
pembangunan dalam pembangunan di Desa Tarohan Kec. Beo Selatan. [internet].
Tersedia pada: Http://Ejournal.Unsrat.Ac.Id/Index.Php/Jurnal eksekutif/ Article/
Viewfile/ 7816/7379
Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4
Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran Badan
Usaha Milik Desa.
Rahmatina, Desi. 2010. Prosedur Menggunakan Stratified Random Sampling Method
dalam Mengestimasi Parameter Populasi, JEMI, Volume I, No.1. Universitas
Maritim Ali Haji.
Rosana, E.A., Saleh, dan Hadiyanto. 2010. Hambatan-hambatan komunikasi yang
dirasakan peternak dalam pembinaan budidaya sapi potong di Kabupaten Ogal
Ilir. Jurnal Komunikasi Pembangunan Februari 2010. Vol. 08. No. 1. Hal : 27 –
41.
Santosa dan Ashari. 2005. Analisis Statistik dengan Microsoft Axcel dan SPSS.
Yogyakarta.
Siagian,Sondang P, 2004, Teori Motivasi Dan Aplikasinya,Bina Aksara Jakarta
Singarimbun, M. dan Effendy. 1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES, Jakarta.
Sumodiningrat, Gunawan. 1998. Membangun Perekonomian Rakyat, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramediza
Pustaka Utama. Jakarta.
Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa.
Tumanggor, Rusmin.2010. Review Conceptual About Family.Information. 15 (2).
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
101
Pengaruh Pemberian Probio_FM Powder Dalam Pakan Terhadap
Jumlah Eritrosit, Nilai Hematokrit Dan Kadar Hemoglobin Kambing
Kacang
Alexander, Pudji. R*, Anie. I, Famida. M dan Darlis
Fakultas Peternakan Universitas Jambi
Alamat Kontak : Jl. Jambi-Ma. Bulian KM 15 Mendalo Darat Jambi 36361 *e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Probio_FM Powder
dalam pakan terhadap jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin kambing
kacang. Penelitian ini dilakukan di Farm Fakultas Peterakan Universitas Jambi dan
analisis di Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Penelitian ini
menggunakan 12 ekor kambing kacang jantan umur 6-8 bulan, dengan bobot badan rata-
rata 14.33±2.14, rumput lapang, dedak padi dan Probio_FM Powder. Perlakuan yang
diberikan yaitu: P0 (0% Probio_FM Powder), P1 (1% Probio_FM Powder), P2 (2%
Probio_FM Powder), P3 (3% Probio_FM Powder). Rancangan percobaan yang
digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 3
kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam
ransum berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan
kadar hemoglobin darah. Berdasarkan hasil pada penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam pakan berpengaruh tidak nyata terhadap
jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin.
Kata kunci : kambing kacang, Probio_FM Powder, Eritrosit, Hematokrit, Hb.
PENDAHULUAN
Secara umum pakan ternak ruminansia di Indonesia mempunyai kualitas rendah,
sehingga di perlukan solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pakan alternatif
yang berpotensial, memiliki harga yang relatif murah, mudah diperoleh serta tidak
bersaing dengan kebutuhan manusia, Salah satu bahan pakan alternatif yang dapat
digunakan sebagai bahan pakan untuk ternak kambing adalah dedak padi. Dedak padi
merupakan salah satu dari limbah hasil pertanian yang ketersediaannya cukup banyak
dan mudah untuk didapatkan. Selain harga dedak padi yang relatif murah, menjadi salah
satu pertimbangan penggunaan dedak sebagai pakan ternak. Menurut Utami (2011),
dedak padi mengandung nutrisi bahan kering 88,93%, protein kasar 12,39%, serat kasar
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
102
12,59%, kalsium 0,09% dan posfor 1,07%. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk
meningkatkan nilai nutrisi dedak padi adalah dengan menambahkan Probio_FM Powder
yang dapat meningkatkan kinerja fungsi rumen, yang mengandung bakteri selulolitik
tinggi, secara efisien untuk menghasilkan produk ternak yang maksimal. Fuller (1989),
menyatakan bahwa probitiotik merupakan pakan aditif berupa mikroba hidup yang
dapat meningkatkan keseimbangan dan fungsi pencernaan inang, manipulasi mikroflora
saluran pencernaan untuk tujuan peningkatan kondisi kesehatan serta meningkatkan
produksi. Menurut Raguati dan Rahmatang (2012), ternak yang sehat mendapat nutrisi
yang cukup dapat terlihat dari gambaran darahya yaitu jumlah eritrosit, nilai hematokrit,
dan kadar hemoglobin yang stabil atau normal.
Darah merupakan cairan ekstra seluler yang berada dalam system vaskular dan
menjalani sirkulasi di seluruh tubuh. Darah mempunyai fungsi sebagai transportasi
(pembawa zat-zat makanan dan oksigen ke seluruh sel di dalam tubuh, pembawa
karbondioksida, sisa metabolisme atau zat lainnya yang berbahaya untuk dibuang,
termoregulasi pengatur suhu tubuh, pertahanan tubuh mengandung antibodi) dan
homeostatis mengatur keseimbangan zat, PH. (Frandson, 1996).
Volume darah total adalah 5-13% dari bobot badan tergantung dari spesies, umur,
jenis kelamin dan status fisiologi (Frandson, 1996). Melihat fungsi penting darah
tersebut maka kondisi fisiologi darah yang baik dapat mencerminkan kondisi kesehatan
ternak yang baik. Berdasarkan fungsi atau khasiat dari Probio_FM Powder dalam dedak
diharapkan dapat meningkatkan proses pencernaan menjadi lebih baik, dan
memperbaiki nilai fisiologi darah pada ternak kambing kacang.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Farm Fakultas Peterakan Universitas Jambi dan
analisis di Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi dari tanggal 26
September s/d 21 November 2018.
Alat dan Bahan
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah, ternak kambing kacang jantan
sebanyak 12 ekor, Probio_FM Powder, dedak padi, larutan turk, larutan hayem, HCl 0,1
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
103
N, aquades, alcohol 70 %, es batu dan EDTA.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spuit ukuran 5 cc, tabung darah,
pipa kapiler, rak tabung darah, dan cool box, pipet pengencer, untuk eritrosit,
mikroskop, mikrohematokrit reader, pipet Pasteur, kamar hitung, counter, tissue, dan
kapas.
Metode Penelitian
Sebelum melakukan penelitian ini terlebih dahulu dilakukan sanitasi pada kandang
dengan cara menyemprotkan air ke lantai dan dinding kandang untuk membersihkan
kotoran kambing dan sisa pakan. Setelah kandang kering, dilakukan pengapuran
keseluruh kandang dengan tujuan untuk mencegah penyakit pada ternak. Semua
kambing kacang ditimbang untuk mendapatkan bobot badan yang menentukan
kebutuhan hidup pokok dan menentukan perlakuan penelitian. Dalam masa adaptasi,
kambing kacang diberi pakan hijauan berupa rumput lapang dan dedak padi yang
dicampur sedikit Probio_FM Powder selama seminggu. Setelah masa adaptasi,
pemberian kebutuhan pakan dari masing-masing kambing berdasarkan bobot badan dan
sesuai perlakuan penelitian.
Pembuatan pakan pada penelitian ini dilakukan dengan mencampurkan dedak padi,
Probio_FM Powder dan air. Ransum yang diberikan sesuai bobot badan dan perlakuan,
setiap kambing menggunakan satu ember untuk tempat ransum. Dalam proses
pembuatan pakan dedak dan Probio FM_Powder di campurkan sampai merata
(homogen) dan tambahkan sedikit air.
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama delapan minggu. Dimulai pada minggu
pertama masa adaptasi ternak terhadap lingkungan, pakan dan lain-lain. Pengambilan
sampel dilakukan 3 kali yaitu pada mingggu ke 0, minggu ke 4 dan minggu ke 8. Darah
diambil langsung melalui vena jugularis sebanyak 5 ml kemudian dimasukan ke dalam
tabung darah yang berisi EDTA, pemeriksaan sampel darah yang di lakukan meliputi
jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemaglobin.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri dari 4
perlakuan (P0,P1,P2,P3) dan 3 kelompok dengan 12 unit percobaan perlakuan yang
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
104
diberikan adalah :
P0 = (90% Rumput lapang + 10% Dedak padi)
P1 = (90% Rumput lapang + 10% Dedak padi) + 1% Probio_FM Powder
P2 = (90% Rumput lapang + 10% Dedak padi) + 2% Probio_FM powder
P3 = (90% Rumput lapang + 10% Dedak padi) + 3% Probio_FM powder
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah Jumlah Eritrosit dinyatakan sel
x 106/µl, Nilai Hematokrit dinyatakan %. dan Kadar Hemoglobin dinyatakan g/dl pada
ternak kambing kacang.
Analisis Data
Data yang diperoleh dari setiap parameter yang diamati dan dianalisis
menggunakan analisis ragam (ANOVA) dengan model persamaan berikut :
Υij = µ +Ai + Bj + Eij µ = nilai tengah umum dari perlakuan
i = 1,2,3,4 ( kelompok perlakuan)
j = 1,2,3 ( Banyak kelompok)
Ai = pengaruh perlakuan
Bj = pengaruh Kelompok
Eij = galat percobaan
Jika analisis memperlihatkan pengaruh yang nyata (p <0,05) maka dilanjutkan
dengan menggunakan Uji Jarak Duncan (Steel dan Torrie,1989)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian pengaruh pemberian probiotik powder terhadap kandungan
eritrosit,hematokrit dan hemoglobin darah dapat dilihat pada Tabel 1. pada kambing
kacang.
Tabel 1. Rata-rata Eritrosit, Hematokrit dan Hemoglobin kambing kacang jantan.
Perlakuan Rataan
Eritrosit (106/µL) Hematokrit (%) Hemoglobin (g/dl)
P0 10.66±0.46 29.22±1.08 8.97±0.46
P1 10.69±0.14 29.39±1.40 9.11±0.75
P2 10.39±0.22 29.11±0.42 9.49±0.40
P3 10.92±0.60 29.45±0.39 9.25±0.55
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
105
Jumlah Eritrosit
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam
pakan terhadap jumlah eritrosit ternak kambing kacang berpengaruh tidak nyata
(P>0,05). Rataan jumlah eritrosit yang diperoleh pada penelitian ini yaitu berkisar antara
10,39-10,92 x 106/µl. Jumlah eritrosit kambing kacang pada semua perlakuan masih
dalam kisaran normal sesuai dengan pernyataan Blood (1989), yang menyatakan bahwa
jumlah eritrosit ternak kambing berkisar 8 - 18 x 106/µl.
Jumlah eritrosit tergantung pada bangsa, kondisi nutrisi, aktivitas fisik, dan umur
hewan (Dellman dan Brown, 1989). Selain itu jumlah eritrosit juga dipengaruhi suhu
lingkungan, ketinggian tempat dan iklim (Dukes et al., 1995). Jika tubuh hewan
mengalami fisiologis maka gambaran darah juga akan mengalami perubahan. Secara
internal seperti kesehatan, stres dan suhu tubuh, sedangkan secara eksternal akibat
infeksi kuman, fraktura, dan perubahan suhu lingkungan (Guyton dan Hall, 1997).
Menurut Pearce (1985), pembentukan eritrosit membuhtukan nutrisi yang cukup dan
seimbang.
Nilai Hematokrit
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam
pakan terhadap nilai hematokrit ternak kambing kacang berpengaruh tidak nyata
(P>0,05). Rataan nilai hematokrit yang diperoleh pada penelitian ini yaitu berkisar
antara 29,11-29,45%. Nilai hematokrit yang diperoleh masih dalam kisaran normal,
sesuai dengan pendapat Pendapat Blood (1989), bahwa nilai normal hematokrit pada
kambing adalah 22-38%. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh jumlah dan ukuran sel
eritrosit, sehingga apabila eritrosit dalam jumlah normal persentase hematokrit juga
normal karena eritrosit merupakan massa sel terbesar dalam darah. Menurut Frandson
(1996), nilai hematokrit adalah persentase volume darah yang terdiri sel-sel darah
merah, semakin besar hematokrit sehingga eritrosit berbanding lurus dengan hematokrit.
Kadar Hemoglobin
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam
pakan terhadap kadar hemoglobin ternak kambing kacang berpengaruh tidak nyata
(P>0,05). Rataan jumlah eritrosit yang diperoleh pada penelitian ini yaitu berkisar antara
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
106
8,97-9,49 g/dl. Kadar hemoglobin ini sesuai dengan pernyataan Blood (1989), berkisar
antara 8 - 12 g/dl darah pada ternak kambing.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pemberian Probio_FM Powder dalam pakan berpengaruhi tidak nyata terhadap
jumlah eritrosit, nilai hematokrit dan kadar hemoglobin kambing kacang.
Terima kasih kepada Ristekdikti yang telah mendanai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Blood, 1989. Veterinary Medicine. A Textbook of the Diseases of Cattle, Sheep, Pigs,
Goats and Horses. Seventh Edition. Bailliere Tindall Ltd. 24-18 Oval Road,
London NW1 7DX.
Dellman H.D and E.M. Brown. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta.
Dukes, E.H. 1995. The Physiology of Domestic Animals. 7th ed. Comstock Pub., Asso.
A division of Cornell Univ. Press Itacha and London
Frandson. R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University
Press.Yogyakarta.
Fuller, R. 1989. Probiotic in man and animals. J. Appl. Bacteriol. 66: 365 – 378. Guyton
& Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irawati Setiawan
Penerjemah, jakarta : EGC.
Pearce, C.E. 1985. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Gramedia, Jakarta.
Raguati dan Rahmatang. 2012. Suplementasi urea multi nutrien blok plus terhadap
hemogram darah kambing peranakan ettawa. Jurnal Peternakan Sriwijaya
(JPS). 1(1): 55-64.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie.1989. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan
Biometrik. Edisi Kedua. PT. Gramedia, Jakarta.
Utami, Y. 2011. Pengaruh imbangan feed suplemen terhadap kandungan protein kasar,
kalsium dan fosfor dedak padi yang difermentasi dengan Bacillus amylo-
liquefaciens. Skripsi, Fakultas Peternakan Universitas Andalas, hal. 21 Padang.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
107
Efektivitas Senyawa Antibakteri Asal Pediococcus pentosaceus
BAF715 Untuk Meningkatkan Kualitas Mikrobiologis Fillet Ikan
Gabus (Channa Striata) Pada Penyimpanan Suhu Chilling
Afriani dan Haris Lukman
Fakultas Peternakan Universitas Jambi (36361) E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Fillet ikan gabus merupakan produk pangan yang sangat mudah mengalami
kerusakan (perishable food), kerusakan ini salah satunya disebabkan oleh aktivitas
mikroba. Cara yang dilakukan untuk mengatasi kerusakan ikan adalah dengan
pengawetan.Pengawet yang digunakan sebaiknya aman bagi kesehatan seperti bakteri
asam laktat. Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri yang aman untuk dikonsumsi
menghasilkan senyawa antibakteri yang dapat mematikan bakteri patogen dan
pembusuk. Penelitian ini bertujuan unutk mengetahui efektivitas senyawa antibakteri
asal Pediococcus pentosaceus BAF 715 terhadap kualitas mirobiologis fillet ikan gabus
yang disimpan pada suhu dingin. Filet gabus direndam dalam substrat antibakteri,
kemudian disimpan pada suhu chilling. Penyimpanan dilakukan selama 0 hari (P), 2 hari
(P1),4 hari (P4), 6 hari(P6), 8 hari (P8), 10 hari (P10) dan 12 hari (P12). Rancangan
yang dipakai adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 7 perlakuan dan 3 ulangan dan
analisis statistik akan dilakukan terhadap peubah yang diamati. Bila terdapat perbedaan
dilanjutkan dengan uji jarak berganda. Peubah yang diamati : pH daging ikan, total
bakteri, total Escherichia coli, total Staphilococcus aureus dan total Salmonella sp.
Hasil analisis menunjukkan bahwa selama penyimpanan terjadi peningkatan pH,
penghambatan terhadap total bakteri dan total S. aureus dan tidak ditemui keberadaan
E. coli dan Salmonella. Fillet ikan gabus yang diawetkan dengan senyawa antibakteri
asal Pediococcus pentosaceus BAF 715 dapat disimpan selama 8 hari pada suhu
chilling.
Kata kunci: Fillet ikan gabus, Pediococcus pentosaceus, antibakteri, suhu chilling
PENDAHULUAN
Ikan gabus (Channa striata) merupakan salah satu jenis ikan air tawar asli
perairan Indonesia yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Ikan ini diperoleh dari
penangkapan di perairan umum seperti rawa-rawa, danau, dan kolam. Ikan gabus
diketahui mengandung senyawa-senyawa penting yang berguna bagi tubuh, diantaranya
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
108
protein yang cukup tinggi, lemak, air, dan beberapa mineral (Mulyadi et al. 2011). Ikan
gabus memiliki kandungan nutrisi yang sangat baik untuk kesehatan. Kandungan
tersebut terdiri dari protein terutama albumin dan asam amino esensial, lemak esensial,
mineral khususnya zink/seng (Zn) dan beberapa vitamin yang sangat baik untuk
kesehatan. Menurut Nugroho (2013), kandungan protein ikan gabus sebesar 25,5 %.
Kadar albumin ikan gabus bisa mencapai 6,22%, selain itu ikan gabus mengandung
mineral yang erat kaitannya dengan proses penyembuhan luka, yaitu Zn sebesar 1,7412
mg/100 g.
Untuk mempertahankan kesegaran ikan sampai ke konsumen salah satu bentuk
penanganannya adalah membuatnya menjadi fillet. Fillet ikan gabus merupakan produk
pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan (perishable food), kerusakan ini salah
satunya disebabkan oleh aktivitas mikroba pembusuk seperti Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, Salmonella thypii dan lainnya.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kualitas fillet ikan
agar tidak cepat mengalami kerusakan , antara lain adalah preparasi fillet melalui praktek
sanitasi yang baik dan proses pendinginan, namun upaya itu belum optimal. Penggunaan
bahan pengawet dapat memperpanjang masa simpan ikan, berupa pengawet alami dan
pengawet sintetis.
Senyawa antibakteri yang berasal dari bakteri asam laktat merupakan pengawet
alami yang aman untuk dikonsumsi. Penggunaan biopreservatif yang berasal dari
bakteri asam laktat (BAL) dapat memperpanjang waktu penyimpanan dan menekan
jumlah mikroorganisme yang tidak diinginkan. Bakteri ini tidak bersifat toksik sehingga
aman untuk dikonsumsi, yang disebut dengan food grade microorganism (Holzapfel et
al. 1995).
Sifat terpenting dari bakteri asam laktat adalah kemampuanya untuk merombak
senyawa kompleks menjadi senyawa yang sederhana sehingga dihasilkan asam laktat.
Produksi asam yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat menyebabkan pertumbuhan
mikroba lain yang tidak diinginkan dapat dihambat. Komponen lain yang dihasilkan
olah BAL adalah komponen peptide antimikroba yang dapat dimanfaatkan sebagai
biopreservatif pangan yaitu bakteriosin. Bakteriosin adalah senyawa antibakteri yang
umumnya merupakan peptide kationik yang menunjukkan property hidrofobik atau
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
109
amphifilik, sehingga sebagian besar target aktivitasnya adalah membrane bakteri, baik
bakteri gram positif maupun gram negative (Yusra et al, 2014). BAL dapat menurunkan
pH bahan pangan. Penurunan pH tersebut dapat memperlambat pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk, mikroorganisme pathogen serta mikroorganisme penghasil
racun akan mati (Buckle et al. 1987).
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan dan
Laboratorium Dasar dan Terpadu Universitas Jambi yang dilaksanakan pada bulan Juni
sampai Agustus 2019.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan Gabus (Channa striata)
yang berasal dari pasar Angso Duo, dan bakteri Pediococcus pentosaceus BAF715 yang
diisolasi dari bekasam (Afriani, 2018). Media yang digunakan adalah MRSAgar, MRS
broth, nutrient broth,nutrient agar, dan pepton, bacto Agar, alkohol, spritus, larutan
standart pH 7 dan 4, Media untuk pengujian mikroorganisme pada fillet ikan adalah
buffer peptone water (BPW), nutrient agar (NA), eosyin methylen blue agar (EMBA),
bismuth sulphite agar (BSA), mannitol salt agar (MSA) dan aquadest steril.
Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tabung reaksi, rak tabung
reaksi, petri dish, gelas ukur, Erlenmeyer, beker glass, inkubator shaker
,mikroskop, sentrifuse refrigerated, autoklaf, spektrofotometer, laminar air flow, water
bath, vortex, pH meter, lampu bunsen, pipet volumetrik, botol scott, timbangan analitik,
cling wrap, alumunium foil, sudip, mikro pipet, ose, refrigerator, plastik tahan panas,
hot plat stirer, dan kapas.
Prosedur Penelitian
Penyegaran Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat yang disimpan beku dilakukan peyegaran sebanyak 1 ml
masukkan ke dalam 9 ml MRSB yang diperkaya YE. Setelah itu, dihomogenisasi dan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
110
diinkubasi selama 24 jam.
Produksi Supernatan Bebas Sel (SBS)
Bakteri asam laktat yang sudah disegarkan dihomogenisasi kemudian diambil
sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml MRSB yang diperkaya YE. Kemudian
dihomogenisasi dan diinkubasi selama 20 jam. Setelah 20 jam, bakteri asam laktat
Pediococcus pentosaceus BAF715 dimasukkan ke dalam tabung Ependorf kemudian
disentrifugasi dengan kecepatan putar 6000 rpm dalam 20 menit. Setelah itu, supernatan
(bagian atas yang terpisah, hasil dari sentrifugasi) tersebut disaring dengan kertas saring
Sartorius 0,22 µml ke dalam wadah tabung Scott steril. Substrat antimikroba yang sudah
disaring dinamakan Supernatan Bebas Sel (SBS). Kemudian SBS tersebut disimpan
pada refrigerator selama 7 jam.
Uji pengawetan fillet ikan dengan filtrate senyawa antibakteri
Fillet ikan segar dipotong seberat ± 100 g. Filtrate senyawa antibakteri
dipersiapkan ke dalam beker glass steril kemudian potongan fillet ikan segar
dimasukkan ke dalamnya dan didiamkan selama 30 menit. Setelah 30 menit, fillet ikan
diangkat dari larutan dan dipindahkan ke dalam plastik steril kosong yang sudah
dipersiapkan sebelumnya. Kemudian potongan fillet ikan tersebut dan sampel potongan
fillet ikan tanpa perendaman dalam filtrate senyawa antibakteri (P0) disimpan ke dalam
suhu chilling selama 12 hari. Pada hari ke-2 , 4, 6, 8 ,10 dan 12. fillet ikan tersebut
dilakukan pengujian kualitas mikrobiologi secara kuantitatif terhadap total bakteri, E.
coli, S. aureus dan Salmonella sp.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan
3 ulangan. Perlakuan digunakan adalah penyimpanan fillet ikan yang telah diawetkan
dengan substrat antibakteri selama : tanpa penyimpanan (P0), 2 hari (P2), 4 hari (P4),
6 hari (P6), 8 hari (P8), 10 hari (P10) dan 12 hari (P12).
Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis ragam
(Anova). Apabila analisis ragam menunjukkan pengaruh nyata, maka dilanjutkan
dengan uji Duncan. Semua analisis yang digunakan dalam penelitian ini dikerjakan
menurut program SAS, 2003.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
111
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Supernatan Bebas Sel
Kualitas supernatant bebas sel dengan mengukur pH dan total asam tertitrasi
dari kultur bakteri Pediococcus pentosaceus BAF715. Nilai pH merupakan nilai yang
penting karena menunjukkan kondisi keasaman suatu substrat yang akan mempengaruhi
pertumbuhan mikroba pembusuk pada fillet ikan gabus. Nilai pH dipengaruhi oleh
besarnya nilai total asam tertitrasi (TAT). Nilai pH dan TAT pada supernatan bebas sel
(SBS) dari kultur bakteri Pediococcus pentosaceus BAF715 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai pH dan Total Asam Tertitrasi (TAT) pada Supernatan Bebas Sel (SBS)
Peubah Nilai
pH 4,30 ± 0,00
Total Asam Tertitrasi (%) 0,72 ± 0,02
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai pH supernatan bebas sel adalah 4,30
dengan kandungan asam sebesar 0,72. Hasil ini menunjukkan bahwa supernatan bebas
sel dari kultur bakteri Pediococcus pentosaceus BAF715 bersifat asam. Keasaman ini
karena bakteri Pediococcus pentosaceus BAF715 merupakan bakteri homofermentatif
yaitu bakteri yang memfermentasi karbohidrat sebagian besar menghasilkan asam laktat
sebagai produk akhirnya. Menurut Putri et al. (2012) bahwa bakteri tipe
homofermentatif mampu memproduksi asam laktat dalam jumlah yang cukup besar.
Nilai pH pada supernatan bebas sel dapat dipengaruhi dengan besarnya nilai total
asam tertitrasi. Semakin besar nilai total asam tertitrasi maka nilai pH supernatan bebas
sel semakin rendah. Hal tersebut disebabkan total asam tertitrasi merupakan persentase
asam yang terdapat di dalam supernatan bebas sel.
Kualitas Fillet ikan Gabus Segar
Nilai pH, total bakteri, total E. Coli, total Staphylococcus aureus dan total
Salmonella tiphymurium pada fillet ikan gabus segar yang belum mendapat perlakuan
dapat dilihat pada Tabel 2.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
112
Tabel 2. Nilai Kualitas Fillet Ikan Gabus Segar
Peubah Nilai
pH 6,7
Total bakteri 36x104koloni/g
Total E. coli 41x101 koloni/g
Total Staphylococcus aureus 16x102 koloni/g
Total Salmonella 0
Pada Tabel 2 terlihat nilai pH fillet ikan gabus segar yaitu 6,7. Nilai pH ini masih
dalam kisaran pH ikan segar. Nilai pH ikan segar menurut Eskin (1990) yaitu berkisar
6,2-7. Nilai tersebut menunjukkan fillet ikan gabus dalam kondisi yang baik.
Analisis total bakteri dapat menunjukkan tingkat pencemaran bahan pangan oleh
bakteri pembusuk. Total bakteri fillet ikan gabus segar mencapai 36x104cfu/g dibawah
batas maksimal menurut badan standar mutu SNI. Nilai TPC ikan segar menurut BSN
(2013) (SNI 2729-20136) adalah maksimal 5 x 105 cfu/g atau 5,69 log cfu/g.
Perbandingan data tersebut menunjukkan bahwa fillet ikan gabus segar masih baik.
Total bakteri E. coli yang mencemari fillet ikan gabus segar mencapai 41x101
koloni/g. Batas cemaran bakteri E. coli pada ikan segar menurut BSN (2013) (SNI 2729-
20136) adalah maksimal bakteri E. coli <3 APM/g. Perbandingan data tersebut
menunjukkan bahwa total bakteri E. coli yang mencemari fillet ikan gabus segar
melebihi batas maksimal SNI. Pencemaran fillet ikan oleh E. coli berasal dari tempat
pencualan ikan hingga proses penangan fillet ikan sebelum diberi perlakuan.
Total bakteri S.aureus yang mencemari fillet ikan gabus segar mencapai 16x102
koloni/g. Batas cemaran bakteri S.aureus pada ikan segar menurut surat keputusan
kepala badan karantina ikan, pengendalian mutu, dan keamanan hasil perikanan nomor
37/kep-bkipm/2017 adalah maksimal 103 koloni/g. Perbandingan data tersebut
menunjukkan bahwa total bakteri S.aureus yang mencemari fillet ikan gabus segar di
bawah batas maksimal mutu ikan segar.
Fillet ikan gabus segar yang akan digunakan sebagai sampel tidak tercemar oleh
bakteri Salmonella. Hal ini sesuai menurut BSN (2013) (SNI 2729-20136), bahwa ikan
segar tidak tercemar oleh bakteri Salmonella yaitu negatif/25 g.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
113
Nilai pH fillet Ikan Gabus
Nilai ph fillet Ikan Gabus berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
lama penyimpanan pada suhu chilling berpengaruh nyata terhadap pH fillet ikan gabus
(P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan pH fillet ikan penyimpanan hari ke-0 =
hari ke 2 < hari ke 4, 6, 8, 10, dan 12. Nilai pH fillet ikan pada penyimpanan hari ke-2
= hari ke 4 < hari ke 6, 8, 10 dan 12. Nilai pH fillet ikan pada penyimpanan hari ke-4 <
hari ke 6, 8, 10 dan 12. Nilai pH fillet ikan pada penyimpanan hari ke- 6 < hari ke 8, 10
dan 12. Nilai pH fillet ikan pada penyimpanan hari ke- 8 < hari ke 10 dan 12. Nilai pH
fillet ikan pada penyimpanan hari ke- 10 = hari ke 12. Nilai pH fillet ikan pada
penyimpanan hari ke-0 sampai ke 6 berkisar antara 5,27 sampai 5,78. Nilai pH fillet ikan
ini berada dibawah nilai kisaran pH ikan segar. Hal ini disebabkan karena substrat
antimikroba bersifat asam selama perendam antimikroba tersebut meresap kedalam
fillet ikanmengakibatkan pH fillet ikan turun. Substrat antimikroba yang digunakan
bersifat asam dengan nilai pH 4,3 dan kadar asam sebesar 0,72 %. Nilai pH fillet ikan
pada penyimpanan hari ke-8 yaitu 6,23. Nilai pH fillet ikan ini berada didalam kisaran
pH ikan segar. Sedangan nilai pH fillet ikan pada penyimpanan ke 10 dan 12 yaitu 7,30
sampai 7,43. Nilai pH ini di atas kisaran nilai pH ikan segar. Nilai pH ikan segar yaitu
berkisar 6,2-7 (Eskin, 1990). Hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan pada hari ke 10
dan 12 sudah mengalami penurunan kualitas yang ditandai dengan pembusukan. Hasil
analisis kualitatif Nilai pH fillet ikan gabus yang diberi perlakuan yang disimpan pada
suhu chilling terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Nilai pH fillet ikan gabus selama penyimpanan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
114
Selama penyimpanan pH fillet ikan gabus mengalami kenaikan hingga
penyimpanan hari ke 10 dan ke 12. Hal ini diduga selama penyimpanan pada suhu
chilling aktifitas bakteri pembusuk masih berlangsung yang meguraikan zat makanan
yang terkandung dalam ikan tersebut hingga terjadi pembusukan. Menurut Weeber et
al. (2008), proses perubahan kenaikan pH pada fillet ikan dapat terjadi karena aktivitas
enzim dan mikroorganisme. Kedua hal tersebut menyebabkan tingkat kesegaran ikan
menurun. Kristoffersen et al. (2006) menyatakan bahwa akibat dari aktivitas bakteri
pembusuk merusak asam-asam amino, seperti asam glutamat, asam aspartat, lisin,
histidin, dan arginin. Asam-asam amino tersebut dapat bertindak sebagai pemicu
timbulnya senyawa biogenik amin. Senyawa-senyawa seperti asam amino, glukosa,
lipida, trimetilamin oksida dan urea dapat diubah oleh bakteri menjadi produk yang
dapat digunakan sebagai indikator pembusukan.
Hasil Analisis Kualitatif Total Bakteri
Hasil analisis kualitatif total bakteri yang terdapat pada fillet ikan gabus yang
diberi perlakuan disimpan selama 12 hari pada suhu chilling terlihat pada Gambar 2.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan pada suhu chilling
berpengaruh nyata terhadap total bakteri fillet gabus (P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan
penyimpanan hari ke-0, 2, 4, 6,8, menunjukkan bahwa nilai total mikroba berbeda nyata
(P<0,05) dengan penyimpanan hari ke 10 dan ke 12, penyimpanan ke 10 berbeda nyata
denganpenyimpanan hari ke12 (P<0,05). Total bakteri fillet ikan penyimpanan hari ke
0, 2, 4, 6 dan 8 berkisar antara 37,67x10 4 (cfu/g) sampai 73,00x10 4(cfu/g), total bakteri
fillet ikan yang disimpan hari ke 10 dan 12 hari sebesar 39,40x10 5(cfu/g) dan 136,67x10
5(cfu/g).
Aa
Bb
Cc c c c c
Lama Penyimpanan (hari)
Tota
l B
akte
ri (
log c
fu)
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
115
Gambar 2. Grafik Total bakteri fillet ikan gabus selama penyimpanan
Hasil ini menunjukkan total bakteri fillet ikan yang disimpan pada hari ke 0
sampai 8 masih di bawah batas maksimum total bakteri pada ikan menurut standar mutu
SNI 012696-2006. Sedangkan total bakteri fillet ikan yang disimpan pada hari ke 10 dan
12 melebihi batas cemaran mikrobiologis yang ditentukan SNI. Nilai total bakteri ikan
segar menurut BSN (2013) (SNI 2729-20136) adalah maksimal 5 x 105 cfu/g. Fillet ikan
yang disimpan pada hari ke 0 sampai 8 masih dalam kondisi baik, namun penyimpanan
ke 10 dan 12 total bakteri fillet ikan semakin meningkat yang menunjukkan bahwa
fillet ikan sudah mengalami pembusukan. Hal ini diduga aktivitas penghambatan
senyawa antimikroba makin lama penyimpanan semakin lemah sehingga pertumbuhan
mikroba pembusuk tumbuh pesat.
Hasil Analisis Kualitatif Bakteri Staphylococcus sp.
Hasil analisis kualitatif bakteri Staphylococcus sp pada fillet ikan gabus yang
disimpan pada suhu chilling terlihat pada Tabel 3. Lama penyimpanan fillet ikan pada
suhu chilling dari hasil pengatan total koloni bakteri S. aureus semakin meningkat.
Media selektif yang digunakan untuk uji keberadaan S. aureus adalah media selektif
media Mannitol salt agar (MSA). Koloni S. aureus yang tumbuh pada media Mannitol
salt agar (MSA) berwarna hitam. Pada penyimpanan hari 0,2,4,6 dan 8 total bakteri S.
aureus fillet ikan gabus masih dibawah standar mutu BSN (2013) (SNI 2729-20136),
penyimpanan pada hari ke 10 dan 12 total bakteri S. aureus fillet ikan gabus telah
melebihi yaitu 42x103 dan 69x103. Menurut standar mutu BSN (2013) (SNI 2729-
20136), produk ikan kandungan S. aureus maksimum 103 koloni/g. Pada sampel fillet
ikan gabus segar diketahui kandungan S. aureus sebesar 16x102 koloni/g. Setelah fillet
ikan gabusdiberi perlakuan, penyimpanan hari ke 0, 2, 4, 6 dan 8 populasi S. aureus
menurun, penyimpanan hari ke 10 dan 12 populasi S. aureus meningkat pesat. Diduga
senyawa antimikroba yang dihasilkan Pediococcus pentosaceus kurang efektif
menghambat diberi perlakuan, penyimpanan hari ke 0, 2, 4, 6 dan 8 populasi S. aureus
menurun, penyimpanan hari ke 10 dan 12 populasi S. aureus meningkat pesat. Diduga
senyawa antimikroba yang dihasilkan Pediococcus pentosaceus kurang efektif
menghambat Yulinery et al (2009), senyawa antimikroba dari Lactobasillus lebih
menghambat bakteri Vibrio sp. (gram negative) dibandingkan bakteri S. aureus (gram
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
116
positif).
Tabel 3. Hasil pengamatan koloni S. aureus pada fillet ikan gabus selama
penyimpanan suhu chilling
Penyimpanan (hari) Pengenceran Hasil koloni (CFU/g)
Po 10-1 18
10-2 0
10-3 0
P2 10-1 12
10-2 16
10-3 1
P4 10-1 9
10-2 5
10-3 0
P6 10-1 13
10-2 8
10-3 0
P8 10-1 34
10-2 14
10-3 6
P10 10-1 11
10-2 23
10-3 42
P12 10-1 265
10-2 215
10-3 69
Hasil Analisis Kualitatif Bakteri Escherichia coli
Media selektif yang digunakan untuk uji keberadaan Escherichia coli adalah
media Eosyn Methylen Blue Agar (EMBA). Koloni E. coli yang tumbuh pada media
Eosyn Methylen Blue Agar (EMBA) berwarna kehijauan kilap jika diletakkan di bawah
sinar matahari atau sinar lampu. Hasil pengujian menunjukkan bahwa E. coli tidak
ditemukan dalam fillet ikan gabus yang telah diberi perlakuan. Aktivitas senyawa
antimikroba yang dihasilkan oleh Pediococcus pentosaceus dan penyimpanan fillet ikan
gabus pada suhu chilling dapat menghambat E. coli. Pengaruh suhu penyimpanan, yaitu
penanganan dingin juga mampu menghambat E. coli. E. coli. tumbuh optimum pada
suhu mesofilik sehingga sensitif terhadap suhu rendah. Menurut Kusumawati (2000),
penghambatan pertumbuhan suatu mikroba dikarenakan adanya kerja sinergis antara
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
117
aktivitas antimikroba dengan suhu penyimpanan. Menurut Liviawaty (1999), suhu
rendah akan mengurangi aktivitas dan jumlah mikroba. Disamping itu E. coli.
merupakan bakteri gram negatif yang memiliki lapisan dinding peptidoglikan lebih
tipis bila dibandingkan dengan bakteri gram positif (S. aureus). Sehingga dapat
dikatakan senyawa antimikroba yang dihasilkan Pediococcus pentosaceus lebih efektif
menghambat E. coli.
Uji Keberadaan Salmonella sp.
Pengujian fillet ikan gabus terhadap keberadaan bakteri Salmonella sp. Dengan
menggunakan media selektif Bismuth Sulphite Agar (BSA). Pertumbuhan koloni
Salmonella sp pada media BSA, koloni berwarna hitam, coklat atau abu-abu dengan
tampilan logam (BSN 2013).
Hasil pengamatan tidak ditemui bakteri Salmonella sp. pada fillet ikan gabus
selama penyimpanan pada suhu chilling. Fillet ikan gabus segar keberadaan Salmonella
sp tidak ditemukan dan setelah penyimpanan selama 12 hari pada suhu chilling juga
tidak ditemui keberadaan Salmonella sp pada fillet ikan gabus. Sesuai dengan standar
mutu dari BSN (2013) (SNI 2729-20136), fillet ikan yang bermutu baik tidak boleh
terdapat cemaran Salmonella sp.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Senyawa antibakteri asal Pediococcus pentosaceus BAF 715 sebagai pengawet fillet
ikan gabus yang disimpan pada suhu chilling selama 12 hari dapat menurunkan total
bakteri, dan S. aureus dan menghambat pertumbuhan E. coli, dan Salmonella sp.
2. Fillet ikan gabus yang diawetkan dengan senyawa antibakteri asal Pediococcus
pentosaceus BAF 715 dapat disimpan selama 8 hari pada suhu chilling.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Depdiknas atas pendanaan penelitian melalui penelitian DIPA PNBP LPPM
pada Fakultas Peternakan Skema Terapan Fakultas Universitas Jambi Tahun Anggaran
2019 Nomor: SP DIPA-042.01.2.400950/2019 Tanggal 05 Desember.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
118
DAFTAR PUSTAKA
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2013. Persyaratan mutu dan keamanan ikan segar. SNI 2729:2013. Jakarta.
Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food Second Edition. Sandiego (US): Academic Press Inc. Hlm 27-29.
Holzapfel, W. H., R. Geisen, and U. Schillinger. (1995). Biological preservation of
foodswith referance to protective cultres, bacteriosins and food-grade
enzymes.International J.Food Microbiol 24: 343-362.
Kristoffersen S, Tobiassen T, Esaiassen M, Olsson GB, Godvik LA, Seppola MA, Olsen
R. 2006. Effects of pre-rigor filleting on quality aspects of Atlantic cod (Gadus
morhua L.). Aquaculture Research. 37:1556-1564.
Kusumawati N, 2000. Peranan Bakteri Asam Laktat.. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi.
1(1) : 14-28.
Liviawaty E, 1999. Mempelajari Efek Kondisi Post Mortem 1999. Mempelajari Efek
Kondisi Post Mortem Mempelajari Efek Kondisi Post Mortem Ikan Nila Merah
terhadap Perubahan Karakteristik Fillet Selama penyimpanan suhu rendah.
Lembaga Penelitian. Universitas Padjadjaran.
Mulyadi A.F., M. Effendi and J. M. Maligan . 2011. Teknologi Pengolahan Ikan Gabus.
Malang: Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Nugroho, 2013. Uji Biologi Ekstrak Kasar dan Isolat Albumin Ikan Gabus
(Ophiocephalusstriatus) terhadap Berat Badan dan Kadar Serum Albumin Tikus
Mencit. Jurnal Saintek Perikanan .9(1): 49-54.
Putri, W. D. R., D. W. M Haryadi dan M. N. Cahyanto. 2012. Isolasi dan karakterisasi
bakteri asam laktat amilolitik selama fermentasi growol, makanan tradisional
Indonesia. Jurnal Teknologi Pertanian. 13(1):52-60.
Weber J, V. C. Bochi, C.P. Ribeiro, A. M. Victo and T. Emanuelli . 2008. Effect of
different cooking methods on the oxidation, proximate and fatty acid
composition of silver catfish (Rhamdia quelen) fillets. Food Chemistry 106:140–
146
Yulinery T., I. Y. Petria dan N. Nurhidayat. 2009. Penggunaan Antimikroba dari Isolat
Lactobacillus Terseleksi Sebagai Bahan Pengawet Alami Untuk Menghambat
Pertumbuhan Vibrio sp. dan Staphylococcus aureus pada Fillet Ikan Kakap.
Berkala Penelelitian Hayati. 15 :85–92.
Yusra dan Y. Efendi.2014. Penggunaan Antimikroba dari Bakteri Terseleksi Bacillus
Sp.28 Sebagai Pengawet Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Segar. Prosiding.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. Semarang.
245-252
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
119
Analisis Struktur, Perilaku Dan Kinerja
(Structure-Conduct-Performance) Pasar Ternak Sapi Untuk
Meningkatkan Efisiensi Pemasaran
Di Kabupaten Batanghari
Firmansyah1, Afriani H1, dan Aulia Arum Chandra Kartika2
1Fakultas Peternakan Universitas Jambi
2Program Studi Magister Ilmu Peternakan Pasca Sarjana Universitas Jambi
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur pasar ternak sapi pada pasar
ternak di Kabupaten Batanghari berdasarkan konsentrasi pedagang, konsentrasi pembeli
dan hambatan masuk pasar, kemudian untuk mengetahui perilaku pasar dan kinerja
pasar ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari, serta untuk menganalisis
hubungan antara struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar terhadap efisiensi
pemasaran ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari.
Teknik penarikan sampel yang digunakan pada riset ini adalah Stratified Random
Sampling yang terdiri dari 2 Strata yaitu : Strata I adalah pedagang dan pembeli dari
dalam (lokal), dan Strata II adalah pedagang dan pembeli dari luar. Untuk analisis
struktur pasar ternak sapi digunakan analisis Pangsa Pasar (Market Share), Indeks
Hirschman Herfindahl (IHH), CR4 (Concentration ratio for biggest four), konsentrasi
ratio (Kr). Selanjutnya untuk mengetahui hambatan masuk pasar digunakan analisis
Minimum Efficient Scale (MES). Analisis kinerja industri dilakukan dengan
menggunakan analisis Price – Cost – Margin (PCM).
Struktur pasar ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari berdasarkan
konsentrasi pedagang adalah oligopsoni konsentrasi rendah, berdasarkan konsentrasi
pembeli adalah pasar mengarah pada oligopsonistik, dan berdasarkan hambatan masuk
pasar adalah masuk kategori hambatan masuk pasar yang tinggi. Terdapat hubungan
antara struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar terhadap efisiensi pemasaran pada
pasar ternak di Kabupaten Batanghari .
Kata Kunci : Struktur, Perilaku, Kinerja Pasar Ternak, Sapi
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
120
PENDAHULUAN
Pasar ternak di Kabupaten Batanghari merupakan jenis pasar transit, dimana pasar
ternak ini bisa terbentuk dikarenakan banyaknya jumlah ternak sapi yang masuk dari
daerah sentra ternak sapi seperti Provinsi Sumatra Selatan dan Provinsi Lampung
menuju ke daerah sentra yang jarang populasi ternaknya, seperti Provinsi Sumatra Barat,
Provinsi Riau dan daerah lainnya. Selain dari luar Provinsi Jambi, ternak sapi juga
didatangkan dari dalam Provinsi Jambi seperti Kabupaten Kerinci, sedangkan dari
daerah lokal (Kabupaten Batanghari) ternak sapi banyak didatangkan dari Kecamatan
Bahar, Mersam, Bathin XXIV, Muaro Sebo Ulu dan Sebo Ilir. Menurut Ciamarra et al.,
(2010), pasar ternak di negara berkembang termasuk tipe priodik, dimana hari pasar
hanya sekali atau dua kali seminggu. Pasar ternak semacam ini amat berbeda satu sama
lainnya, lantaran persoalan jarak, kondisi jalan, dan biaya transit.
Perbedaan tersebut mempengaruhi pembentukan harga, dimana pembentukan harga
ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari diawali dengan cara penafsiran oleh
calon pembeli setelah melihat ternak sapi yang akan dibeli, proses selanjutnya terjadilah
proses tawar-menawar. Berbagi studi empiris menunjukkan bahwa struktur pasar
komoditas pertanian tidak sempurna sehingga pedagang mempunyai kekuatan untuk
mempengaruhi harga pasar (Tjahjono et al., 2008). Penelitian Arifin dkk., (2015) bahwa
pasar komoditas daging sapi di wilayah pemasaran Kabupaten Banyumas merupakan
pasar oligopoli ketat dengan karakteristik utama adalah adanya konsentrasi pasar yang
kuat terfokus pada kekuatan beberapa penjual dan adanya hambatan masuk yang tinggi.
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode survei. Teknik penarikan
sampel yang digunakan pada riset ini adalah Stratified Random Sampling (Harun Al
Rasyid, 1994) yang terdiri dari 2 Strata yaitu : Strata I adalah pedagang dan pembeli dari
dalam (lokal), dan Strata II adalah pedagang dan pembeli dari luar.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
121
Model Analisis
Analisis Struktur Pasar Ternak Sapi
Rumus dari Indeks Hirschman Herfindahl (IHH) adalah:
IHH = (Kr₁)² + (Kr₂)²+……+(Krn)²
Keterangan :
IHH : Indeks Hirschman Herfindahl
n : Jumlah pedagang yang ada pada suatu wilayah pasar daging sapi
Krᵢ : Pangsa pembelian komoditas daging sapi dari pedagang ke-i
(i=1,2,3,….,n) (Baladina, 2012)
CR4 (Concentration ratio for biggest four)
CR4 digunakan untuk mengetahui derajat konsentrasi empat pembeli terbesar dari
suatu wilayah pasar, sehingga bisa diketahui secara umum gambaran imbangan
kekuatan posisi tawar-menawar penjual terhadap pembeli :
CR! = Kr! + ⋯ + Kr!
x 100%
Kr!"!#$
Hay dan Morris dalam Widiyantana (1995) menyatakan bahwa konsentrasi ratio
(Kr) dapat diketahui dengan menggunakan rumus berikut.
Jumlah yang diperdagangkan
Kr = X 100 %
Jumlah yang dibeli
Hambatan Masuk Pasar (Barrier to Entry)
Menurut Comanous dan Wilson (1967) dalam Alistair (2004) hambatan masuk
pasar, untuk pengukuran hambatan masuk pasar dapat digunakan MES (Minimum
Efficiency of Scale)
MES = !"#$"# !"#$%&'&&( !"#$"%&#
X 100%
!"#$"# !"!#$
Menurut Comanous dan Wilson (1967) dalam jurnal Alistair (2004) nilai MES yang
lebih besar dari 10 % mengambarkan hambatan masuk pasar yang tinggi.
Analisis Konsentrasi Ratio
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
122
Analisis Perilaku dan Kinerja Pasar Ternak Sapi
Perilaku pasar menganalisis tingkah laku serta penerapan strategi yang digunakan
oleh perusahaan dalam suatu industri untuk merebut pangsa pasar dan mengalahkan
pesaingnya.
Kinerja pasar merupakan indikator kritis tentang bagaimana sebaiknya aktivitas
pemasaran dari petani atau pedagang yang dikonsentrasikan untuk kesejahteraan umum.
Analisis kinerja industri dilakukan dengan menggunakan analisis Price-Cost- Margin
(PCM).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Pasar Ternak Sapi di Kabupaten Batanghari
Skala penjualan ternak sapi oleh pedagang ternak sapi di pasar ternak Kabupaten
Batanghari sangat bervariasi yaitu 4 – 30 ekor per pedagang dengan rata-rata 11 ekor
per pedagang. Untuk pedagang ternak sapi dari dalam Provinsi Jambi bervariasi yaitu 4
– 30 ekor per pedagang dengan rata-rata sebanyak 10 ekor per pedagang, sedangkan
pedagang ternak sapi dari luar Provinsi Jambi bervariasi yaitu 6 – 28 ekor per pedagang
dengan rata-rata sebanyak 14 ekor per pedagang. Hasil penelitian menyatakan bahwa
struktur pasar ternak sapi di pasar ternak Kabupaten Batanghari adalah oligopsoni
konsentrasi rendah.
Pedagang dari Dalam Prov Jambi Pedagang dari Luar Prov Jambi
Total Pedagang
> 20 16 s/d 20 11 s/d 15 6 s/d 10
0.00
1 s/d 5
9.09 9.52 9.38
18.18
9.38 4.76
23.81 27.27 21.88
31.25 28.57 28.13 33.33
Skala Penjualan Ternak Oleh Pedagang di Pasar Ternak Kabupaten Batanghari (ekor)
45.45 50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
123
Pedagang Jumlah Ternak
yang dijual
(ekor)
Konsentrasi
Ratio (%)
Kriteria
1
30
8.20
Jika terdapat satu pedagang (Kr1) memiliki nilai
Kr 95%, maka pasar cenderung ke pasar
persaingan monopsoni
4
104
28.42
a. Jika terdapat empat pedagang (Kr4) memiliki
nilai Kr < 80%, dinamakan oligopsoni
konsentrasi sedang.
b. Jika terdapat empat pedagang (Kr4) memiliki
nilai Kr ≥ 80%, dinamakan oligopsoni
konsentrasi tinggi
8
167
45.63
a. Jika terdapat delapan pedagang (Kr8) memiliki
nilai Kr ≥ 80%, dinamakan oligopsoni
konsentrasi sedang
b. Jika terdapat delapan pedagang (Kr8) memiliki nilai Kr < 80%, dinamakan oligopsoni
konsentrasi rendah.
.
Konsentrasi Pembeli Ternak sapi
Skala pembelian ternak sapi oleh pedagang ternak sapi di pasar ternak Kabupaten
Batanghari sangat bervariasi yaitu 1 – 18 ekor per pembeli dengan rata-rata sebanyak 4
ekor per pembeli. Untuk pembeli ternak sapi dari dalam Provinsi Jambi bervariasi yaitu
1 – 18 ekor per pembeli dengan rata-rata sebanyak 4 ekor per pembeli, sedangkan
pembeli ternak sapi dari luar Provinsi Jambi bervariasi yaitu 2 – 18 ekor per pedagang
dengan rata-rata sebanyak 10 ekor per pembeli.
Skala Penjualan Ternak Oleh Pedagang di Pasar Ternak Kabupaten Batanghari (ekor)
80.00 72.22 70.00
60.00 0.0 50.00
40.00 27.78 25.00
20.00 0.00 0.000.000.00 0.00
5.00 0.000.000.00
0.00 1 s/d 5 6 s/d 10 11 s/d 15 16 s/d 20 > 20
Pembeli dari Dalam Prov Jambi Pembeli dari Luar Prov Jambi Total Pedagang
0 5
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
124
Pembeli Jumlah Ternak yang
Dibeli (ekor)
Kr Indeks Hirschman
Herfindahl (IHH)
1 18 0.214 0.046
2 10 0.119 0.014
3 8 0.095 0.009
4 6 0.071 0.005
5 6 0.071 0.005
6 6 0.071 0.005
7 5 0.060 0.004
8 4 0.048 0.002
9 4 0.048 0.002
10 4 0.048 0.002
11 3 0.036 0.001
12 2 0.024 0.001
13 1 0.012 0.000
14 1 0.012 0.000
15 1 0.012 0.000
16 1 0.012 0.000
17 1 0.012 0.000
18 1 0.012 0.000
19 1 0.012 0.000
20 1 0.012 0.000
84 0.098
Index-Herfindahl-Hirschman (IHH) muncul dikarenakan adanya kelemahan pada
perkembangan rasio konsentrasi. IHH merupakan jumlah dari kuadrat market share
untuk semua pembeli dalam suatu pasar, yang bertujuan untuk mengetahui seberapa
besar derajat konsentrasi pembeli dari suatu wilayah pasar (Baladina, 2012). Hasil
penelitian menyatakan bahwa struktur pasar ternak sapi di pasar ternak Kabupaten
Batanghari adalah pasar mengarah pada oligopsonistik karena IHH sebesar 0,098.
Hasil penelitian di pasar ternak Kabupaten Batanghari diperoleh CR4 sebesar 0,50
artinya struktur pasar ternak sapi di pasar ternak Kabupaten Batanghari bersifat
oligopoli/oligosopni. Pasar persaingan oligopsoni adalah kondisi pasar dimana
didominasi oleh beberapa pelaku usaha yang memiliki skala produksi atau modal yang
besar. Derajat konsentrasi pasar pada bentuk oligopsoni sangatlah tinggi (sebagian besar
pangsa pasar dikuasai oleh beberapa perusahaan terbesar). Pelaku usaha di dalam
bentuk pasar demikian terdapat hambatan masuk bagi pelaku usaha lainnya yang ingin
beroperasi di pasar bersangkutan yang sama (Agustino, 2010).
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
125
Hambatan Masuk Pasar Ternak Sapi
Hasil penelitian diperoleh nilai Minimum Efficient Scale (MES) adalah 28,42 %.
Hasil ini lebih besar dari pendapat dari Comanous dan Wilson (1967) dalam jurnal
Alistair (2004) nilai MES yang lebih besar dari 10 % mengambarkan hambatan masuk
pasar yang tinggi. Beberapa hal umum mengenai hambatan memasuki suatu pasar. 1)
hambatan timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak hanya legal ataupun dalam
bentuk kondisi-kondisi yang berubah dengan cepat. 2) hambatan terbagi dalam beberapa
tingkatan, mulai dari tanpa hambatan sama sekali, hambatan rendah, sedang hingga
tingkatan tinggi dimana tidak ada lagi jalan masuk. 3) hambatan merupakan sesuatu
yang kompleks dimana hambatan yang besar dapat memperkuat kekuatan pasar suatu
perusahaan dominan.
Menurut Asian Development Bank (2001) barrier to entry dapat didefenisikan
sebagai setiap bentuk karakteristik pasar yang menghambat pendatang (entrant) baru
untuk bersaing atas dasar yang sama dengan perusahaan yang sudah ada. Dalam defenisi
ini, kombinasi biaya yang hilang (sunk cost) dan skala ekonomi dapat menjadi barrier
to entry. Menurut Bain (1956) penentu utama kondisi entry adalah skala ekonomi yang
besar, diferensiasi produk dan keuntungan biaya absolut antara perusahaan yang ada
dengan yang baru. Kondisi entry sangat menentukan degree of competition baik yang
aktual maupun yang potensial sehingga dapat diduga mempengaruhi kinerja dan
struktur. Pesaing potensial adalah perusahaan-perusahaan di luar pasar yang mempunyai
kemungkinan untuk masuk dan menjadi pesaing yang sebenarnya (Jaya, 2001).
Perilaku Pasar dan Kinerja Pasar Ternak Sapi di Kabupaten Batanghari
Analisis yang digunakan untuk mengetahui perilaku pasar adalah penetapan harga
dan sistem kelembagaan pasar. Harga merupakan faktor yang penting dalam suatu
industri. Perilaku pasar mendorong terjadinya kerjasama dalam penetapan harga. Ada
dua macam alasan mengenai hal ini. Pertama, harga adalah senjata yang paling efektif
dan berbahaya dalam persaingan. Kedua, harga adalah bagian kritis yang harus dikontrol
(Kirana, 2003).
Pada ternak sapi di Kabupaten Batanghari, dalam menentukan harga ternak sapi
dilakukan dengan cara penafsiran oleh calon pembeli, penafsiran berdasarkan pada
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
126
tafsiran berat karkas dan kondisi sapi, namun pada kenyataannya pembeli kurang atau
tidak dapat menafsirkan berat karkas, hal ini disebabkan pembeli kurang mengetahui
tentang tingkat kualitas ternak. Diawal perdagangan, biasanya pedagang sapi membuka
harga bagi sapi yang akan dijual, kemudian akan terjadi proses tawar- menawar antara
pedagang dengan pembeli. Pedagang akan menetukan harga yang tinggi apabila ternak
sapi yang di jual mempunyai kualitas yang bagus dilihat dari umur, dan ukuran badan.
Pada proses penentuan harga yang ada di pasar ternak sapi Kabupaten Batanghari
dengan cara penafsiran dari bobot hidup ternak tersebut, dimana setiap per kilogram
bobot hidup di tafsir dengan harga Rp 110.000 – 120.000 per bobot badan hidup.
No Jenis Sapi Umur Ternak Harga (Rp)
1 Bali 8 bulan - 1 tahun
1 ,5 tahun – 3 tahun
8.000.000 – 10.000.000
12.000.000 – 18.000.000
2 Limosin dan Simental < 2 tahun
2 tahun - 3,5 tahun
25.000.000 – 20.000.000
20.000.000 – 40.000.000
3 Brahman 10 Bulan – 1 tahun
>3 tahun
16.000.000 – 20.000.000
26.000.000
4 Peranakan Ongol (PO) 7 bulan – 2 tahun 11.000.000 – 25.000.000
5 Sapi Lokal 5 bulan – 3 tahun 6.000.000 – 16.000.000
Harga yang ditawarkan para pedagang kepada pembeli tidaklah terlalu mahal, dari
data yang didapat bahwa harga ternak tertinggi didapat pada ternak sapi Limosin dan
Simental yaitu berkisar antara Rp 20.000.000 – 40.000.000, disusul dengan sapi
Brahman dengan harga berkisar antara Rp 16.000.000 – 26.000.000 dan untuk sapi
Peranakan Ongol, Bali dan sapi lokal berkisar dengan harga Rp 6.000.000- 25.000.000.
Ningsih (2017) yang menyatakan bahwa kisaran harga sapi tertinggi terdapat pada sapi
jenis Limosin dimana harga saat pembelian berkisar antara Rp
3.500.000 – Rp 15.000.000 untuk sapi Limosin berumur 2 tahun. Sedangkan harga sapi
limosin berumur >2 tahun yakni antara ±Rp 27.000.000. Harga sapi Peranakan Ongol
(PO) umumnya lebih rendah dari pada Simental dan Limosin, hal ini karena sapi
Peranakan Ongol yang ada di lapang umumnya lebih kecil bentuk badannya dibanding
Simental dan Limosin.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
127
Kinerja Pasar Ternak Sapi
Kinerja pasar merupakan indikator kritis tentang bagaimana sebaiknya aktivitas
pemasaran dari petani atau pedagang yang dikonsentrasikan untuk kesejahteraan umum.
Analisis kinerja industri dilakukan dengan menggunakan analisis Price-Cost- Margin
(PCM). Analisis PCM digunakan untuk menganalisis hubungan struktur pasar terhadap
kinerja perusahaan. PCM merupakan salah satu indikator kinerja yang digunakan
sebagai perkiraan kasar dari keuntungan industri. Semakin tinggi nilai PCM maka
keuntungan perusahaan juga akan besar.
Pedagang yang memiliki nilai PCM yang tinggi karena pedagang memiliki pangsa
pasar yang besar. PCM biasanya diambil sebagai indicator kekuatan pasar karena
semakin besar margin, semakin besar perbedaan antara harga dan biaya marjinal. PCM
tergantung pada elastisitas permintaan yang ada di pasar. Nilai CR4 akan mempengaruhi
PCM dengan arah yang sama. Nilai positif terlihat dari CR4 dan PCM. Oleh karena itu
tingkatan konsentrasi akan mempengaruhi peningkatan PCM atau sebaliknya. Rata-rata
PCM perusahaan empat teratas lebih besar dibandingkan nilai PCM pedagang non
empat besar hal ini terjadi karena pangsa pasar empat pedagang teratas tinggi.
Muslim dan Nurasa (2007) menyatakan bahwa struktur pasar yang terjadi akan
mempengaruhi perilaku pasar, sementara perilaku pasar akan berdampak terhadap
kinerja pasar. Hubungan paling sederhana dari ketiga variabel tersebut adalah hubungan
linier dimana struktur mempengaruhi perilaku kemudian perilaku mempengaruhi
kinerja. Pendekatan SCP ini dilakukan untuk mengawasi persaingan diantara produsen
– produsen dalam suatu pasar. Bagaimana produsen melakukan tindakan akibat struktur
pasar yang ada dan lebih lanjut terhadap penampilan pasar.
Menurut Suryawati (2009), akan mempengaruhi peningkatan PCM atau
sebaliknya. Rata-rata PCM perusahaan empat teratas lebih besar dibandingkan nilai
PCM menyatakan bahwa struktur sebuah pasar akan mempengaruhi perilaku
perusahaan dalam pasar tersebut yang secara bersama-sama menentukan kinerja sistem
pasar secara keseluruhan. Terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara struktur
dan kinerja pasar yaitu bila pangsa pasar produsen tinggi maka nilai PCM juga tinggi,
bila nilai CR4 tinggi maka nilai PCM akan tinggi dan bila nilai MES tinggi maka nilai
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
128
PCM juga tinggi. Hubungan yang terjadi antara struktur pasar dan perilaku pasar adalah
bila nilai MES tinggi maka harga jual akan rendah. Hubungan antara perilaku pasar dan
kinerja pasar adalah bila nilai PCM tinggi maka harga jual produk akan rendah.
KESIMPULAN
1. Struktur pasar ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari berdasarkan
konsentrasi pedagang adalah struktur pasar ternak sapi di pasar ternak Kabupaten
Batanghari adalah oligopsoni konsentrasi rendah. Struktur pasar ternak sapi
berdasarkan konsentrasi pembeli adalah pasar mengarah pada oligopsonistik. Serta
struktur pasar ternak sapi berdasarkan hambatan masuk pasar adalah masuk kategori
hambatan masuk pasar yang tinggi.
2. Pada proses penentuan harga yang ada di pasar ternak sapi Kabupaten Batanghari
dengan cara penafsiran dari bobot hidup ternak tersebut, dimana setiap per kilogram
bobot hidup di tafsir dengan harga Rp 110.000 – 120.000 per bobot badan hidup. di
pasar ternak Kabupaten Batanghari terdapat tingkat pemasaran yaitu dari peternak ke
pedagang penampung, dan dari pedagang penampung ke pedagang besar
3. Terdapat hubungan antara struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar terhadap
efisiensi pemasaran ternak sapi pada pasar ternak di Kabupaten Batanghari
DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo. 2012. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfabeta: Bandung. Alistair, Armytha. 2004. Analisis pendekatan struktur-perilakukinerja pada industri
tepung terigu di Indonesia pasca penghapusan bulog. [skripsi]. Bogor:
Departemen Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Al-Rasid, H. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala. Universitas
Padjadjaran. Bandung.
Aminursita O., dan M. F. Abdullah. 2018. Identifikasi Struktur Pasar Pada Industri
Keramik Di Kota Malang. Jurnal Ilmu Ekonomi Vol 2 Jilid 3 Hal. 409 – 418
Arifin, I. M. 2015. Deteksi Salmonella sp. pada daging sapi di pasar tradisional dan
modern di kota Makassar. Jurnal penelitian. Universitas Hasanuddin, Makassar. .
4(6):117- 122.
Baladina, N. (2012). Analisis Struktur, Perilaku, dan Penampilan Pasar Wortel di Sub
Terminal Agrobisnis (STA) Mantung (Kasus pada Sentra Produksi Wortel di Desa
Tawangsari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang). Agrise, XII(2), 1412– 1425
Britton, Chris, and Ian Worthingto 1994. The Business Enviroment. London : Pitman
Publishing.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
129
Ciamerra, Ungo Pica ; Joachim Otte dan Chiara Martin. 2010. Liveatock Sector Policies
and Programmes in Developing Countries. A Menu for Praticioners. FAO. Rome.
Cramer. 2009. Agriculture Economicsand Agribusiness. John Willey and Son. New
York
Dahl DC, Hammond..NV. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural Industry.
New York : Me. GrawHill Book Company.
George, P. S. And G. A. King, 1971. Consumer Demand for Food Commodities in The
Unites States With Project for 1980. Giannini Foundation Monograph, No.
26. March, 1971
Hay, Donald A. dan Morris, Derek J., 1991. Industrial Economic and Organization,
Theory and Evi-dence. Second Edition, Oxford University Press.
Jaya, Wihana, K. 2001. Ekonomi Industri; Konsep Dasar, Struktur, Prilaku dan kinerja
pasar, Edisi 2, BPFE. Yogyakarta.
Khavidhurrohmaningrum. 2013. Strategi dan Perilaku Industri Pengolahan di Kota
Semarang Tahun 2007-2011. Economics Development Anaylis Journal, EDAJ,
2(3):220-233.
Kirana, A & Moordiningsih. 2010. Studi Korelasi Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial
Dengan Prestasi Akademik: Telaah Pada Siswa Perguruan Tinggi.Indigenous,
Jurrnal Ilmiah Berskala Psikologi vol.12, No. 1, Hal 37-46.
Madarisa, F. Edwardi, Armadiyan dan Lazuardi. 2012. Potret Pasar Ternak Sumatera
Barat. Jurnal Peternakan Indonesia, Oktober 2012. Vol. 14 (3). Hal : 433-440
Martin, Stephen. 1994. "Industrial Economics", Economic Analysis and Public Policy,
Second Edition, New York : Macmillan.
Martin, S. 2002. Advance Industrial Economics. Blackwell Publisher Inc. Massachusetts.
Natalia, Paulien, Mei 2015 “Pengaruh Profitabilitas, Pertumbuhan Penjualan, Struktur
Aktiva, dan Risiko Bisnis terhadapa Struktur Modal pada Emiten Kompas 100
(non perbankan)”. Jurnal Manajemen, Vol 14, No 2.
Panagiotou, G. 2006. The Impact of Managerial Cognitions on the Structure-
ConductPerformance (SCP) Paradigm: A Strategic Group Perspective.
Management 423 – 441. Decision. 44:
Shepher, William G., 1990, "The Economic of Industrial Organizatiom", Parentice Hall.
3rd Ed. Internasional Editions.
Suryawati, (2009), Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Tekstil dan Pakaian
Jadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Akuntansi dan Manajemen,
Vol.20, No.1, April 2009, hal. 36-46
Tjahjono, et al., 2008. Outlook Ekonomi Indonesia 2008 - 2013. Direktorat Riset
Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Bank Indonesia, Jakarta
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
130
Keberhasilan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus
Siwab) Berdasarkan Pemeriksaan Status Dan Gangguan Reproduksi
Serta Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif Di Kabupaten
Tebo
Fachroerrozi Hoesni1 dan Firmansyah1, 1Program Studi Magister Ilmu Peternakan Pasca Sarjana Universitas Jambi
*Email : [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis tingkat keberhasilan UPSUS SIWAB
berdasarkan sistem manajemen reproduksi berupa pemeriksaan status reproduksi dan
gangguan reproduksi ternak sapi betina di Kabupaten Tebo; untuk menganalisis tingkat
keberhasilan UPSUS SIWAB berdasarkan sistem manajemen reproduksi berupa
pengendalian pemotongan sapi betina produktif di Kabupaten Tebo
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah survei dan
laboratorium, dengan teknik penarikan sampel Cluster Random Sampling yaitu kawasan
sentra ternak sapi di Kabupaten Tebo. Ukuran sampel dalam penelitian ini ditentukan
dengan menggunakan metoda iterati. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan UPSUS
SIWAB dipengaruhi oleh sistem manajemen reproduksi berupa pemeriksaan status
reproduksi dan gangguan reproduksi ternak sapi betina serta pengendalian pemotongan
sapi betina produktif di Kabupaten Tebo digunakan path analysis.
Realisasi pelaksanaan kegiatan SIWAB di Provinsi Jambi adalah capaian
Akseptor (95,50%), Kebuntingan (86,11 %) dan Kelahiran adalah (81,24 %). Sedangkan
realisasi pelaksanaan kegiatan SIWAB di Kabupaten Tebo adalah capaian Akseptor
(92,100%), Kebuntingan (82,32 %) dan Kelahiran adalah (61,44 %). Tingkat
keberhasilan Program UPSUS SIWAB dipengaruhi oleh pemeriksaan status dan
gangguan reproduksi, tetapi tidak dipengaruhi oleh pengendalian pemotongan sapi
betina produktif.
Kata Kunci : UPSUS SIWAB, Ganguan Reproduksi, Betina Produktif
PENDAHULUAN
Kementerian Pertanian pada tahun 2017 melakukan upaya sistematis dan
komprehensif untuk meningkatkan produktivitas ternak melalui program Upaya Khusus
Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB) yang ditetapkan melalui Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016 tentang Upaya Khusus
Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting. Upaya khusus
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
131
p
tersebut merupakan kegiatan yang terintegrasi melalui sistem manajemen reproduksi
yang terdiri dari unsur-unsur : 1) pemeriksaan status reproduksi dan gangguan
reproduksi; 2) pelayanan inseminasi Buatan (IB) dan Intensifikasi Kawin Alam (INKA);
3) pemenuhan semen beku dan nitrogen cair; 4) pengendalian pemotongan sapi/kerbau
betina produktif; dan 5) pemenuhan hijauan pakan ternak dan konsentrat.
Untuk kesuksesan program UPSUS SIWAB ini perlu didukung sains dan
teknologi reproduksi (Inounu, 2017 ). Meski baru tahap awal, namun program ini telah
berhasil membuat keteraturan dalam pelaporan kegiatan IB, pola kerja menjadi terukur,
organisasi pelayanan IB meningkat, menjadikan peternak lebih teredukasi, dan
pemetaan distribusi semen menjadi lebih jelas (Ilham et al., 2017). Namun tentu saja
keberhasilan ini harus terus ditingkatkan, sehingga dapat terjadi secara merata di seluruh
wilayah Indonesia.
Salah satu wilayah di Provinsi Jambi yang melaksanakan program UPSUS
SIWAB adalah Kabupaten Tebo yang mendukung mewujudkan swasembada daging
sapi tahun 2022. Hasil penelitian Hoesni dan Firmansyah (2018) menunjukkan bahwa
tingkat keberhasilan IB pada ternak sapi di Kawasan Sentra Ternak Sapi Kabupaten
Tebo yang tercermin dari service per conception (S/C) yang diperoleh dari hasil penelitian
di lapangan adalah rata-rata sebesar 1,34 ± 0,17. Temuan ini menunjukkan bahwa IB
pada ternak sapi di Kawasan Sentra Ternak Sapi Kabupaten Tebo adalah berhasil atau
tingkat keberhasilan IB pada ternak sapi di Kawasan Sentra Ternak Sapi Kabupaten
Tebo adalah baik.
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei.
Penelitian ini menggunakan tehnik penarikan sampel Cluster Random Sampling.
Ukuran sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan metoda iterati
(Harun Al Rasyid, 1994). Pada iterasi pertama digunakan rumus :
n Z
1 Z1
3
U ' 2
2
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
132
Model Analisis
A. Identifikasi Status Reproduksi Ternak Sapi Betina (Akseptor)
a. Surveillans aktif gangguan reproduksi :
b) Inspeksi melalui Body Condition Score dalam status praesens (present status)
c) Palpasi per rektum dan per vagina
d) Laboratorium dengan pengembilan dan pemeriksaan sampel darah
e) Lendir vagina (discharge vagina)
b. Surveillans pasif gangguan reproduksi
a) Setelah 14 hari melahirkan
b) Adanya discharge abnormal
c) Adanya siklus estrus abnormal
d) Estrus tidak termati setelah 50 hari kelahiran
e) Sapi yang bunting lebih dari 280 hari
f) Sapi yang mengalami abortus, prematur atau lahir mati
B. Pemeriksaan dan Penetapan Status Reproduksi
a. Bunting
b. Tidak Bunting dengan status reproduksi normal
c. Tidak Bunting dengan status mengalami gangguan reproduksi
d. Tidak Bunting dengan status mengalami gangguan reproduksi permanen
Path Analysis
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib
Bunting (UPSUS SIWAB) dipengaruhi oleh sistem manajemen reproduksi berupa
pemeriksaan status reproduksi dan gangguan reproduksi ternak sapi betina serta
pengendalian pemotongan sapi betina produktif di Kabupaten Tebo digunakan analisis
jalur (path analysis). Model struktural analisis jalur yaitu :
Yi = YiX1 X1 + YiX2 X2 + Yiεi εi
Keterangan :
Y = Keberhasilan UPSUS SIWAB
X1 = Pemeriksaan Status dan Gangguan Reproduksi
X2 = Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif
YiX1 – 2 = Koefisien Jalur
ε = Variabel residu
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
133
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberhasilan UPSUS SIWAB
a. Akseptor dan Pelayanan IB
Realiasasi akseptor pada UPSUS SIWAB tahun 2019 di Provinsi Jambi sampai
bulan Juni adalah 50,99 %, namun realiasasi akseptor bulan Juni tahun 2019 di Provinsi
Jambi dari target sampai bulan Juni sudah mencapai 95,50 %. Untuk Kabupaten Tebo,
realiasasi akseptor pada UPSUS SIWAB tahun 2019 sampai bulan Juni adalah 49,73 %
yaitu hampir sama dengan rata-rata realiasasi akseptor sampai bulan Juni untuk
kabupaten/kota di Provinsi Jambi (49,64 %). Namun realiasasi akseptor bulan Juni tahun
2019 di Kabupaten Tebo dari target sampai bulan Juni sudah mencapai 92,10 % yaitu
hampir sama dengan rata-rata realiasasi akseptor sampai bulan Juni untuk kabupaten/kota
di Provinsi Jambi (92,39 %).
Tabel 2. Realisasi Akseptor dan Pelayanan IB Bulan Januari sampai dengan Juni
2019 per Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/Kota
Target Akseptor
tahun 2019
Target
Aseptor
Realisasi
Akseptor
Realisasi
Pelaksanaan
(ekor) Juni 2019 Juni 2019 IB Juni 2019 (ekor) (Ekor) (dosis)
1 Batanghari 950 513 448 428
2 Bungo 2.700 1.458 1.559 1.886
3 Kerinci 900 486 393 507
4 Kota Jambi 265 146 115 153
5 Merangin 1.950 953 784 970
6 Muaro Jambi 1.100 594 528 602
7 Sarolangun 950 513 479 596
8 Sungai Penuh 785 429 411 490
9 Tanjab Barat 1.300 702 674 751
10 Tanjab Timur 1.850 999 1.138 1.388
11 Tebo 2.250 1.215 1.119 1.354
Jumlah 15.000 8.008 7.648 9.125
Dilihat dari capaian realisasi akseptor untuk bulan Januari sampai dengan Juni
2019 di atas realisasi capaian terhadap aseptor Provinsi Jambi sampai dengan bulan Juni
2019 adalah 7.648 ekor (95,50 %) terhadap target sampai bulan Juni 2019 dan 50,99
terhadap target tahun 2019 dengan rataan capaian di Kabupaten/Kota melebihi angka
80% terhadap target sampai Juni 2019.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
134
Tabel 3. Capaian Realisasi Akseptor dan Pelayanan IB Bulan Januari sampai
dengan Juni 2019 per Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/Kota
Target Aseptor
Juni 2019 (ekor)
Realisasi Akseptor
Juni 2019
(Ekor)
Capaian
akseptor Juni
2019 (%)
1 Batanghari 513 448 87,3
2 Bungo 1458 1559 106,9
3 Kerinci 486 393 80,9
4 Kota Jambi 146 115 78,8
5 Merangin 953 784 82,3
6 Muaro Jambi 594 528 88,9
7 Sarolangun 513 479 93,4
8 Sungai Penuh 429 411 95,8
9 Tanjung Jabung Barat 702 674 96,0
10 Tanjung Jabung Timur 999 1138 113,9
11 Tebo 1215 1119 92,1
Jumlah 8008 7648 95,5
Tabel 4. Realisasi Kumulatif Akseptor dan Pelayanan IB Bulan Januari sampai
dengan Juni 2019 per Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/
Kota
Target
Akseptor
2019
(ekor)
Target
Aseptor
Juni 2019
(ekor)
Realisasi
Akseptor
Juni 2019
(Ekor)
Aseptor dari
target
Tahunan (%)
Aseptor
dari
target
Bulanan
1 Batanghari 950 513 448 47,16 87,33
2 Bungo 2.700 1.458 1.559 57,74 106,93
3 Kerinci 900 486 393 43,67 80,86
4 Kota Jambi 265 146 115 43,40 78,77
5 Merangin 1.950 953 784 40,21 82,27
6 Muaro Jambi 1.100 594 528 48,00 88,89
7 Sarolangun 950 513 479 50,42 93,37
8 Sungai Penuh 785 429 411 52,36 95,80
9 Tanjab Barat 1.300 702 674 51,85 96,01
10 Tanjab Timur 1.850 999 1.138 61,51 113,91
11 Tebo 2.250 1.215 1.119 49,73 92,10
Jumlah 15.000 8.008 7.648 50,99 95,50
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
135
b. Realisasi Kebuntingan
Parameter yang diukur untuk pelaksanaan IB adalah service per conception (S/C)
yakni berapa kali dilakukan inseminasi sampai terjadi kebuntingan, conception rate
(CR) yang merupakan angka kebuntingan dari sekelompok induk yang diinseminasi,
dan jumlah kelahiran (Bearden et al., 2004). Menurut Hunter (1995) bahwa angka
konsepsi setelah inseminasi buatan pada sapi berkisar 60 sampai 73%. Serta Toelihere
(1993) menyatakan bahwa service per concepsi (S/C) yang baik adalah berkisar 1,6
sampai 2,1. Selain itu evaluasi keberhasilan pelaksanaan IB di suatu daerah dapat juga
dilihat dari perkembangan jumlah akseptor peserta IB (Hafez, 2000). Capaian realisasi
kebuntingan selama bulan Januari sampai dengan Juni 2019 tergambar dalam tabel 5
dan 6.
Tabel 5. Realisasi Kebuntingan Bulan Januari sampai dengan Juni 2019 per
Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/Kota
Bulan (Ekor) Jumlah s.d
bulan Juni
2019 (ekor) Januari s.d
Maret April Mei Juni
1 Batanghari 156 65 90 92 403
2 Bungo 388 114 152 195 849
3 Kerinci 201 34 33 37 305
4 Kota Jambi 40 14 13 15 82
5 Merangin 193 181 115 104 593
6 Muaro Jambi 189 53 86 33 361
7 Sarolangun 109 34 39 50 232
8 Sungai Penuh 103 30 78 37 248
9 Tanjab Barat 351 78 55 17 501
10 Tanjab Timur 303 100 144 101 648
11 Tebo 275 75 182 206 738
Jumlah 2.308 778 987 887 4.960
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
136
Tabel 6. Capaian Realisasi Kumulatif Kebuntingan Bulan Januari sampai dengan
Juni 2019 per Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/
Kota
Target
Kebuntingan
2019 (ekor)
Target
Kebuntingan
Juni 2019
(ekor)
Jumlah
Kebuntingan
(Ekor)
Kebuntingan
dari target
Tahunan (%)
Kebuntingan
dari target
Bulanan (%)
1 Batanghari 665 365 403 60,60 110,41
2 Bungo 1.890 1.040 849 44,92 81,63
3 Kerinci 630 345 305 48,41 88,41
4 Kota Jambi 185 102 82 44,32 80,39
5 Merangin 1.365 740 593 43,44 80,14
6 Muaro Jambi 770 425 361 46,88 84,94
7 Sarolangun 665 368 232 34,89 63,04
8 Sungai Penuh 550 305 248 45,09 81,31
9 Tanjab Barat 910 495 501 55,05 101,21
10 Tanjab Timur 1.295 710 648 50,04 91,27
11 Tebo 1.575 865 738 46,86 85,32
Jumlah 10.500 5.760 4.960 47,24 86,11
Dilihat dari tabel di atas capaian realisasi kebuntingan untuk bulan Januari sampai
dengan Juni 2019 di Provinsi Jambi masih kurang dari target yaitu 86,11%. Hanya 2
Kabupaten yang melebihi target yaitu Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Tanjung
Jabung Barat sedangkan Kabupaten lainnya belum ada yang mencapai target dan
terdapat satu Kabupaten yang kurang dari 75% (kabupaten Sarolangun 63, 04%).
Service per conception (S/C) adalah jumlah IB per satu kebuntingan. S/C adalah
jumlah perkawinan atau inseminasi hingga diperoleh kebuntingan. Semakin rendah S/C
semakin tinggi kesuburan ternak sapi betina tersebut, sebaliknya semakin tinggi S/C
kesuburan ternak sapi betina semakin rendah (Partodiharjo, 1992). Perhitungan S/C
adalah perbandingan jumlah straw yang digunakan untuk IB dengan jumlah keseluruhan
ternak sapi yang diinseminasi dan menjadi bunting. Menurut Dwiyanto (2012), nilai S/C
yang ideal berkisar antara 1,6 dan 2,0. Makin rendah nilai S/C makin subur sapinya,
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
137
sebaliknya nilai S/C yang tinggi menunjukkan rendahnya tingkat kesuburan sapinya.
Direktorat Jenderal Peternakan (2010), memberikan pedoman dalam mengevaluasi
keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan (IB) dengan memberikan nilai standar
service per conception (S/C) adalah 1,6.
c. Realisasi Kelahiran
Capaian realisasi kelahiran selama bulan Januari sampai dengan Maret 2019
tergambar dalam Tabel 7 dan 8.
Tabel 7. Realisasi Kelahiran Bulan Januari sampai dengan Juni 2019 per
Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/Kota
Bulan (Ekor) Jumlah
Kelahiran
Januari s.d
Juni 2019
Januari
-Maret April Mei Juni
1 Batanghari 56 1 115 117 289
2 Bungo 255 94 99 145 593
3 Kerinci 72 26 73 80 251
4 Kota Jambi 38 11 11 13 73
5 Merangin 72 79 29 71 251
6 Muaro Jambi 54 14 33 34 135
7 Sarolangun 79 17 23 8 127
8 Sungai Penuh 96 27 60 26 209
9 Tanjung Jabung Barat 351 78 55 17 501
10 Tanjung Jabung Timur 289 80 151 80 600
11 Tebo 237 52 60 43 392
Jumlah 1.599 479 709 634 3.421
Capaian realisasi kelahiran untuk bulan Januari sampai dengan Juni 2019 angka
kelahiran di Provinsi Jambi adalah 3.421 ekor yaitu telah mencapai 81,24 % dari target
sampai bulan Juni 2019 dan 40,73 % dari target tahun 2019, terdapat 5 Kabupaten yang
melebihi target (lebih dari 100%) namun terdapat 3 Kabupaten yang capaian
kelahirannya di bawah 50% (target Juni 2019) yaitu Kabupaten Merangin, Muaro jambi
dan Sarolangun.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
138
Tabel 8. Realisasi Kumulatif Kelahiran Bulan Januari sampai dengan Juni 2019
per Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/ Kota
Target
Kelahiran
Tahun
2019
(ekor)
Target
Kelahiran
Juni 2019
(ekor)
Jumlah
Kelahiran
Januari-
Juni 2019
(Ekor)
Kelahiran
dari target
Tahunan
(%)
Kelahiran
dari target
Bulanan
(%)
1 Batanghari 525 265 289 55,05 109,06
2 Bungo 1 525 759 593 38,89 78,13
3 Kerinci 500 250 251 50,20 100,40
4 Kota Jambi 145 71 73 50,34 102,82
5 Merangin 1 095 544 251 22,92 46,14
6 Muaro Jambi 615 309 135 21,95 43,69
7 Sarolangun 530 280 127 23,96 45,36
8 Sungai Penuh 435 219 209 48,05 95,43
9 Tanjab Barat 725 363 501 69,10 138,02
10 Tanjab Timur 1 035 515 600 57,97 116,50
11 Tebo 1 270 636 392 30,87 61,64
Jumlah 8 400 4 211 3 421 40,73 81,24
Apabila proses kebuntingan berhasil maka tidak banyak hal yang perlu dilakukan,
hanya cukup menjaga agar ternak cukup pakan dan pada saat umur kebuntingan tujuh
bulan dapat disuntikan ETEC K-99 agar anak yang lahir dapat kebal dari serangan
Escsherichia coli enterotoksigenik yang dapat menyebabkan terjadinya diare dan
kematian pada anak prasapih (Supar et al. 1997; Esfandiari et al. 2014). Penanganan
kelahiran yang baik akan menentukan keberhasilan ternak sampai umur disapih yang
kemudian dapat diandalkan untuk menjadi ternak bakalan penghasil daging. Untuk itu,
diperlukan manajemen perawatan ternak dari lahir sampai menjadi ternak bakalan,
untuk itu diperlu pengetahuan yang cukup, disini peran penyuluh sangat diperlukan.
d. Penanganan Gangguan Reproduksi
Penanggulangan gangguan reproduksi :
1. Terapi
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
139
Ternak yang telah ditetapkan status reproduksinya dan mengalami gangguan
reproduksi akan diterapi dengan perlakuan dan pengobatan, proses kesembuhan
bervariasi tergantung permasalahan reproduksinya sehingga memerlukan terapi 2-3
kali tergantung ketersediaan anggaran. Selanjutnya sapi yang telah dilakukan
tindakan perbaikan atau terapi dan dinyatakan sembuh dijadikan sebagai akseptor IB.
2. Pemeriksaan Ulang Gangguan Reproduksi
Sapi yang tidak sembuh pada terapi pertama dilakukan pemeriksaan dan
terapi kedua. Sapi yang dinyatakan sembuh melalui pemeriksaan kedua tersebut
dijadikan sebagai akseptor IB. Sementara Sapi yang tidak sembuh pada terapi kedua,
selanjutnya dpat dilakukan pemeriksaan dan terapi ketiga
tergantung kepada ketersediaan anggaran di masing-masing satker. Sapi yang
dinyatakan sembuh melalui pemeriksaan ketiga tersebut dijadikan sebagai akseptor
IB. Sementara sapi yang tidak sembuh dinyatakan sebagai sapi tidak produktif atau
mengalamai gangguan reproduksi permanen.
3. Tindak lanjut terhadap sapi yang dinyatakan sembuh
Sapi yang telah dinyatakan sembuh dan siap menjadi akseptor dilaporkan kepada
petugas yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan IB. Petugas penanggulangan
gangguan reproduksi yang bertanggung jawab di lokasi tersebut memonitor tentang
realisasi pelaksanaan IB.
Sistem Manajemen Reproduksi Berupa Pengendalian Pemotongan Sapi Betina
Produktif
Pengendalian ternak ruminansia betina produktif juga diatur dalam Peraturan
Menteri Pertanian nomor 35/permentan/OT.140/7/2011. Pengendalian ternak
ruminansia betina produktif adalah serangkaian kegiatan untuk mengelola penggunaan
ternak ruminansia betina produktif melalui identifikasi status reproduksi, seleksi,
penjaringan, dan pembibitan. Pengidentifikasian dilakukan sesuai kriteria yaitu ternak
ruminansia besar yang melahirkan kurang dari 5 kali atau berumur di bawah 8 tahuan,
tidak cacat fisik, organ reproduksi normaldan/atau tidak cacat permanen dan memenuhi
persyaratan kesehatan hewan. Provinsi Jambi telah mengeluarkan Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pengendalian Ternak Sapi dan Kerbau Betina Produktif.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
140
Dalam Perda No 5 tahun 2015 tersebut pengendalian ternak sapi dan kerbau betina
produktif dilakukan dengan cara penjaringan untuk mencegah pengurasan dalam bentuk
pemotongan dan mengatur pengeluaran ternak sapi dan kerbau betina produktif keluar
wilayah administrasi Provinsi Jambi. Kasus pemotongan betina produktif di Kabupaten
Malang dilaporkan di RPH Singosari 15,10% dan RPH Gadang 26% (Soejosopoetro
2011).
Tabel 10. Pengendalian Pemotongan Betina Produktif Bulan Januari sampai dengan Bulan Juni 2019 per Kabupaten/Kota
No
Kabupaten/Kota
Jenis Ternak (Ekor) Jumlah
(Ekor) Kambing
Betina
Produktif
Kerbau Betina
Produktif
Sapi Betina
Produktif
1
2
Bungo 3 3
Sarolangun 8 0 8
3 Sungai Penuh 8 8
4 Tanjung Jabung Barat 1 1
5 Tanjung Jabung Timur 36 3 39
Jumlah 36 8 15 59
Secara lebih luas Tawaf et al. (2013) telah melakukan studi di 20 RPH di Pulau
Jawa dan Nusa Tenggara, serta mendapatkan jumlah pemotongan sapi lokal betina umur
produktif 31,04% dari jumlah sapi lokal yang dipotong. Untuk pengendalian
pemotongan betina produktif pemerintah melalui Menteri Pertanian telah mengeluarkan
peraturan tentang pengendalian pemotongan betina produktif (Kementrian Pertanian
2011). Studi penyelamatan betina produktif di beberapa provinsi menyimpulkan bahwa
penyelamatan betina produktif ini dapat dilakukan melalui pembentukan perusahaan
atau Badan Usaha Milik Daerah yang menjaring ternak-ternak betina yang masuk ke
rumah potong hewan (Priyanti et al. 2017).
Faktor Keberhasilan UPSUS SIWAB
Sebelum dibuat kesimpulan mengenai koefisien jalur, terlebih dahulu harus
dilakukan pengujian mengenai keberartian koefisien jalur, baik secara simultan maupun
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
141
parsial. Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor Pemeriksaan
Status dan Gangguan Reproduksi (X1) dan Pengendalian Pemotongan Sapi Betina
Produktif (X2) secara simultan terhadap keberhasilan Program Upaya Khusus Sapi
Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB) adalah uji F (F-test).
Untuk menguji keberartian koefisien jalur secara simultan, maka pasangan
hipotesis dirumuskan adalah : H0 : PYX1 = PYX2 = 0 dan H1 sekurang-kurangnya ada
sebuah PYXi 0. Hasil analisis uji F diperoleh nilai Fhitung = 33,545 dengan significant =
0,000 yang berarti hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima, artinya
sekurang-kurangnya terdapat satu nilai koefisien jalur yang berarti (signifikan). Hasil
ini menunjukkan bahwa Pemeriksaan Status dan Gangguan Reproduksi (X1) dan
Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif (X2) secara simultan mempengaruhi
keberhasilan Program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB)
Oleh karena hasil pengujian secara simultan (uji F) adalah signifikan, maka
selanjutnya dilakukan pengujian secara parsial (uji t). Uji t dilakukan untuk melihat
secara parsial pengaruh faktor Pemeriksaan Status dan Gangguan Reproduksi (X1) dan
Pengendalian Pemotongan Sapi Betina Produktif (X2) secara parsial terhadap
keberhasilan Program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB).
Berdasarkan uji t diperoleh hasil untuk kedua jalur yang ada (X1 dan X2), ternyata
satu jalur yang tidak signifikan yaitu koefisien jalur untuk Pengendalian Pemotongan
Sapi Betina Produktif (X2) sedangkan satu jalur lainnya yaitu koefisien jalur
Pemeriksaan Status dan Gangguan Reproduksi (X1) adalah signifikan. Adanya koefisien
jalur yang tidak signifikan berarti menunjukkan bahwa koefisien jalur tersebut tidak
berarti. Dengan demikian koefisien jalur yang tidak signifikan tersebut harus
dihilangkan, sehingga terjadi perubahan struktur jalur yaitu dari bentuk struktur jalur
awal (melibatkan dua variabel independen = X1 dan X2) menjadi bentuk struktur jalur
baru yang hanya melibatkan satu variabel independen yang signifikan (X1).
KESIMPULAN
1. Realisasi pelaksanaan kegiatan SIWAB di Provinsi Jambi adalah capaian Akseptor
(95,50%), Kebuntingan (86,11 %) dan Kelahiran adalah (81,24 %). Sedangkan
realisasi pelaksanaan kegiatan SIWAB di Kabupaten Tebo adalah capaian Akseptor
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
142
(92,100%), Kebuntingan (82,32 %) dan Kelahiran adalah (61,44 %).
2. Tingkat keberhasilan Program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS
SIWAB) dipengaruhi oleh pemeriksaan status dan gangguan reproduksi, tetapi tidak
dipengaruhi oleh pengendalian pemotongan sapi betina produktif.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Rasyid, H. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala. Universitas
Padjadjaran. Bandung.
Ashari, Ilham N, dan Nuryanti S. 2012. Dinamika program swasembada daging sapi:
reorientasi konsepsi dan implementasi. Analisis Kebijakan Pertanian. 10 (2):181-
198.
Aritonang W. M.. 2017. Kecendrungan Pemotongan Sapi Dan Kerbau Betina Produktif
Di Provinsi Jambi. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan Vol. 20 No.1, Hal 17- 23.
Atmakusuma J, Harmini, dan Winandi R. 2011. Mungkinkah swasembada daging
terwujud. Jurnal Risal Kebijak PertanLingkung. 1(2):105-109.
Diwyanto, K. 2011. Inovasi Pendukung Ternak Rakyat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. dalam : Sinar Tani Edisi 30 Maret – 5 April 2011 No.
3399 Tahun XLI, Jakarta
Friggens, N.C., K.L. Ingvarsten, and G.C. Emmans, 2004. Predition of body lipid
cahne in pregnancy and lactation. Journal of Dairy Science 87 : 988- 1000
Haddi AH, Rombe MB, Fahrul. 2011. Analisis pendapatan peternakan sapi potong di
Kecamatan Tanete, Kabupaten Barru. J Agribisnis Peternak.10(3):98-109.
Inounu I. 2017. Dukungan Sains dan Teknologi Reproduksi untuk Mensukseskan
Program Sapi Indukan Wajib Bunting. Jurnal Wartazoa Vol. 27 No. 1
Lestari S, Saleh DM, Maidaswar. 2013. Profil kualitas semen segar sapi pejantan
Limousin dengan umur yang berbeda di Balai Inseminasi Buatan Lembang Jawa
Barat. J Ilmu Peternakan. 1:1165-1172.
Santosa B. 2014. Penanggulangan penyakit gangguan reproduksi pada sapi potong.
Bukittinggi (Indonesia): Balai Veteriner Bukittinggi.
Soejosopoetro, B. 2011. Studi Tentang PemotonganSapi Betina Produktif Di RPH
Malang, Jurnal Ternak Tropika, 12 (1) : hal 22-26
Suardana, I.W., I. M. Sukada, I. K. Suada, D. A. Widiasih. 2013. Analisis Jumlah dan
Umur Sapi Bali Betina Produktif yang Dipotong di Rumah Pemotongan Hewan
Pesanggaran dan Mambal Provinsi Bali. JSV 31 (1)
Suharno. 2017. Upsus SIWAB jadi prioritas pembangunana peternakan 2017. Majalah
Peternakan dan Kesehatan Hewan 2017 [Internet]. [Diunduh 2017 Jul 28]
Tersedia dari: http://www majalahinfovet.com /2017/01/ upsus- siwabjadi-
prioritas-pembangunan.html.
Sutawidjaya. M.S., 2000. Statistik Sosial. Bandung: Fakultas Pertanian Universitas
Padjadjaran
Sutiyono, D. Samsudewa, dan A. Suryawijaya. 2017. Identifikasi Gangguan Reproduksi
Sapi Betina di Peternakan Rakyat. Jurnal Veteriner. Vol. 18 No. 4 . Hal 580-588
Undang-Undang No 18. 2009. Peternakan dan Kesehatan Hewan.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
143
Widiati R. 2014. Membangun industri peternakan sapi potong rakyat dalam mendukung
kecukupan daging sapi. Wartazoa. 24(4):191-200.
Wiguna A. A. Wayan, N. W. T. InggriatI, S. Pasaribu, R. Indrasti, N. Kusuma, N.
Budiana dan I. G. M. Widianta. 2015. Upaya Mengatasi Pemotongan Betina
Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Bali.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
144
Evaluasi Penggunaan Berbagai Jenis Dan Konsentrasi Bahan Perekat
Terhadap Kualitas Fisik Biskuit Konsentrat Mengandung Indigofera
Untuk Ternak Kambing
R. A. Muthalib, Afzalani, Wati N, Dianita, R*
Fakultas Peternakan, Universitas Jambi
Jl. Raya Jambi – Ma. Bulian KM. 15 Mendalo Indah, Mendalo Jambi
*) koresponden e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan berbagai jenis
dan konsentrasi bahan perekat terhadap kualitas biskuit pakan konsentrat mengandung
Indigofera zolingeriana sebagai pakan ternak kambing. Penelitian ini disusun dengan
menggunakan rancangan acak lengkat dengan pola faktorial. Faktor pertama adalah
jenis bahan perekat yang terdiri atas molasses, tepung ubi kayu dan tapioka. Faktor
kedua adalah konsentrasi bahan perekat yang digunakan yaitu 3,5,7% dari total bahan
yang digunakan. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah kualitas fisik biskuit
pakan meliputi uji organoleptik (warna, aroma dan kepadatan), kadar air, berat jenis,
kerapatan bahan dan ketahan benturan biskuit yang dihasilkan. Penelitian ini
menunjukan bahwa jenis bahan perekat berpengaruh nyata (P<0,05) pada hampir di
semua peubah yang diamati, sementara itu konsentrasi bahan perekat berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap kerapatan bahan dan ketahan benturan. Interaksi hanya ditemukan
pada peubah ketahan benturan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jenis
bahan perekat yang terbaik adalah tepung ubi kayu, dengan konsentrasi 5%.
Kata Kunci: Biskuit konsentrat, Indigofera zollingeraiana, perekat
PENDAHULUAN
Beberapa hijauan legum juga berpotensi untuk dijadikan sumber bahan pakan
konsentrat seperti Indigofera zollingeriana dan sengon. Tanaman I. zollingeriana ini
memiliki kandungan nutrisi sangat baik. Hal ini sesuai dengan laporan penelitian
Muthalib et al., (2017) bahwa tepung daun Indigofera mengandung bahan kering
93,53%, protein kasar 28,12%, serat kasar 9,11%, lemak kasar 5,91%, BETN 49,25%,
Ash 7,61%, dan TDN 66,97%. Penggunaan Indigofera sebagai suplemen pakan sampai
30% dari konsentrat pakan mampu meningkatkan produktivitas ternak kambing PE,
namun masih banyak protein pakan yang terdegradasi dalam rumen (Muthalib et al.,
2018). Penambahan tannin asal sengon mampu menekan degradasi protein pakan dalam
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
145
rumen yang dicerminkan oleh menurunnya N-NH3 dan meningkatkan nilai VFA pada
kambing PE (Rizky, 2019).
Salah satu pengolahan yang dapat dilakukan dengan teknologi pengolahan biskuit
konsentrat pakan ternak. Biskuit pakan adalah suatu campuran yang berupa hijauan dan
konsentrat berbentuk blok yang sesuai dengan kebutuhan ternak akan nutrisi dan
protein. Biskuit ini sangat mudah diberikan kepada ternak karena bentuknya yang
kompak dan juga mudah dikunyah oleh ternak. Biskuit yang berdiameter sekitar 7 cm
dengan tebal 1 cm ini dapat dimakan oleh domba dalam bentuk utuh karena bentuknya
yang bulat sesuai dengan morfologi mulut domba, sehingga mempermudah domba
untuk memakannya. Namun, adapula domba yang menghancurkan biskuit terlebih
dahulu atau mematahkan biskuit dengan bantuan bibir dan gigi Retnani et al., (2009a).
Perekat (binder) yang tepat sangat diperlukan dalam proses pembuatan biskuit
dalam. Jenis perekat yang dapat digunakan yaitu molasses, tepung ubi kayu dan tepung
tapioka. Molasses dapat mempengaruhi kualitas fisik pellet, semakin banyak molasses
yang ditambahkan akan mengakibatkan penyerapan molasses semakin banyak dan
terjadinya perubahan warna menjadi lebih pekat (Ismi et al., 2017). Selain molasses,
tepung ubi kayu dan tepung tapioka juga dapat dijadikan sebagai bahan perekat.
Kandungan pati tepung ubi kayu berkisar 79.85% (Rasulu et .al., 2012). Tepung tapioka
merupakan bahan perekat alami yang dapat dengan mudah dicerna (Sari et al., 2016).
Selain jenis perekat, konsentrasi bahan perekat akan mempengaruhi daya rekat
bahan yang digunakan yang nantinya akan menentukan kualitas biskuit pakan baik
secara fisik maupun secara kimia. Menurut Ismi et al., (2017) dan Syamsu (2007)
penggunaan berbagai macam bahan perekat dengan konsentrasi 3% lebih mampu
meningkatkan kualitas fisik pellet, sehingga menjadi kompak dengan kerapatan
tumpukan dan ketahanan benturan yang baik serta menghasilkan aroma yang segar dan
tidak tengik.
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan rumah kaca dan labolaturium Fakultas Peternakan
Universitas Jambi, mulai bulan Agustus sampai dengan bulan September tahun 2019.
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu daun hijauan Indigofera, daun
sengon, jagung, dedak, bungkil kedele, bungkil kelapa, molasses, tepung ubi kayu dan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
146
tepung tapioka. Sedangkan, peralatan yang digunakan jangka sorong, gelas ukur,
timbangan analitik, plastik, piring plastik, mesin giling hijauan (Hammer mill) dan alat
pencetak biskuit.
Prosedur Pembuatan Biskuit
Gambar 1. Bagan Pembuatan Biskuit pakan Konsentrat
Tabel 1. Komposisi Penyusun Bahan Biskuit Konsentrat(%)
Bahan Pakan Presentase (%)
Indigofera zollingeriana 30
Sengon 6
Dedak Halus 20
Jagung Giling 20
Bungkil Kedele 12
Bungkil Kelapa 10
Garam 1
Mineral mix 1
Jumlah 100
Daun indigofera dan daun sengon dipanen lalu dipisahkan dari tangkainya,
kemudian dijemur dan digiling menjadi tepung.
Seluruh bahan dihomogenkan, lalu dimasukkan ke dalam mesin pencetak
biskuit.
Ditambah bahan konsentrat sesuai dengan perlakuan , konsentrasi bahan
perekat (3%, 5%, 7%).
Dilakukan analisis fisik aroma, warna, kepadatan, kadar air, daya serap, berat
jenis, kerapatan bahan dan ketahanan benturan terhadap biskuit yang
dihasilkan.
Biskuit dioven pada suhu 60 °C selama 24 jam. Setelah itu, didinginkan pada
suhu ruang.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
147
Tabel 2. Komposisi Kimia Bahan Penyusun Biskuit Pakan konsentrat(%)
Bahan Pakan BK PK LK SK ABU BETN TDN
Indigofera
zollingerianaa
99.53
28.12
5.91
9.11
7.61
49.25
66.97
Sengon (Albizia
falcataria)b
43.78
18.13
3.34
19.81
5
45.6
0
Dedak Halusc 89.1 8.7 13.81 9.28 11.83 51.75 55.52
Jagung Gilingc 88 8.5 5.89 3.37 2.41 77.49 81.9
Bungkil Kedelec 89.41 13.3 1.01 25.52 6.97 33.29 40.26
Bungkil Kelapac 89 19.2 11.21 6.85 6.04 49.7 75.33
Garamd 0 0 0 0 0 0 0
Mineral mixe 0 0 0 0 0 0 0
Molasesf 82 3.94 0.3 0.88 11 0 70.7
Tepung Ubi Kayug 35 2.9 0.7 4.9 2.3 0 79
Tapiokah 0 0.5-0.7 0.2 0.5 0 0 0
Sumber : a(Muthalib et al.,2018), b(Afzalani et al.,2017) f(Sutardi, 1981), g Tim laboratorium (2013), c(NRC 19)
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial 3x3 dengan
3 ulangan. Faktor pertama adalah jenis bahan perekat (binder) yaitu: P1 = Molasses, P2
= Tepung ubi kayu, P3 = Tepung tapioka. Faktor kedua adalah konsentrasi bahan
perekan yang digunakan yaitu: K1= konsentrasi perekat 3% dari total bahan, K2 =
konsentrasi perekat 5% dari total bahan, K3 = konsentrasi perekat 7% dari total bahan.
Masing-masing kombinasi perlakuan diulang 3 kali dan setiap ulangan terdapat 3 unit
biskuit, sehingga jumlah keseluruhan unit biskuit yaitu 81 unit.
Peubah yang diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah uji organoleptik meliputi warna,
aroma, kepadatan (Istinganah et al., 2017), kadar air (AOAC 2005), kerapatan bahan
(Daud et al., 2013), ketahanan benturan (Syahri et al., 2018), dan berat jenis (Jaelani,
2007).
Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan analisi ragam (ANOVA) sesuai dengan
rancangan dalam percobaan faktorial. Bila terdapat pengaruh yang nyata dilakukan uji
jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1993).
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
148
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Biskuit
Biskuit konsentrat merupakan suatu produk pengolahan pakan ternak yang
berbahan dasar legum hijauan Indigofera zollingeriana dan sengon yang dapat
digunakan sebagai supplemen pakan (pakan tambahan). Biskuit konsentrat dalam
penelitian ini berbentuk bulat, padat dan memiliki kerapatan yang baik. Diameter biskuit
berkisar 9.4 cm, ketebalannya 3.5 cm dengan berat ± 150 g/biskuit. Biskuit yang
dihasilkan berwarna coklat dan memiliki aroma khas yang berasal dari reaksi dengan
masing – masing bahan perekat. Gambar 1 merupakan biskuit dari masing- masing
perlakuan dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan.
Gambar 1. Biskuit konsentrat
Uji Organoleptik
Hasil uji organoleptik yang meliputi warna, aroma dan kepadatan biskuit
konsentrat disajikan pada Tabel 4. Warna biskuit yang dihasilkan dari mulai dari coklat
kehijauan sampai coklat dan aromanya wangi ini. Biskuit konsentrat mempunyai
komposisi 30% Indigofera dan 6% sengon serta selebihnya adalah bahan- bahan
penyusun konsentrat konvensional lainnya. Warna hijau dimungkinkan karena total
hijauan yang digunakan sebanyak 36% dari total bahan keseluruhan. Sedangkan
kepadatan biskuit yang dihasilkan yaitu keras sampai sangat keras. Kualitas fisik biskuit
pakan ternak kambing yang baik seperti warna yaitu yang berasal dari bahan yang
digunakan yaitu coklat kehijauan, dengan tekstur yang keras dan aroma yang
wangi/tidak tengik (Ismi, 2017).
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
149
Tabel.4. Rataan nilai uji organoleptik biskuit konsentrat. Uji Organoleptik
Jenis Perekat
Warna Aroma Kepadatan
Molases Coklat Wangi Keras
Tepng ubi kayu Coklat kehijauan Wangi Keras
Tepung tapioka Coklat Asam/Tengik Sangat Keras
Warna biskuit dengan menggunakan jenis perekat molases dan tepung tapioka
menghasilkan warna coklat. Sedangkan, warna biskuit yang menggunakan jenis perekat
tepung ubi kayu bewarna coklat kehijauan. Hal ini diduga kerena perubahan warna yang
dihasilkan pada biskuit konsentrat sebagai pengaruh dari reaksi maillard. Menurut
Retnani et al. (2009) bahwa warna coklat disebabkan adanya reaksi browning non
enzimatis karena pemanasan pada saat pengovenan. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Ismi, (2017) bahwa semakin ttinggi level molases yang ditambahkan
mengakibatkan penyerapan molases yang semakin banyak dan menyebabkan terjadinya
perubahan warna pellet pakan kambing menjadi lebih pekat.
Aroma biskuit dengan menggunakan jenis perekat molasses dan tepung ubi kayu
menghasilkan aroma yang wangi. Hal ini dikarenakan tingginya kandungan gula pada
molasses, sehingga menghasilkan aroma wangi karamel dan begitupun tepung ubi kayu
yang menghasilkan aroma wangi karena adanya kandungan karbohidrat. Hal ini sesuai
dengan pendapat Riswandi et al., (2017) bahwa aroma yang ditimbulkan disebabkan
adanya molases dalam campuran formula biskuit. Saat pengovenan biskuit, tercium
aroma yang ditimbulkan biskuit yaitu aroma gula terbakar.
Kepadatan fisik biskuit secara umum dengan menggunakan semua jenis perekat
menghasilkan biskuit yang keras, hanya saja semakin tinggi konsentrasi bahan perekat
yang digunakan menjadikan biskuit cenderung sangat kompak/keras. Kondisi pakan
yang terlalu kompak/keras dapat mempengaruhi konsumsi ternak terhadap pakan yang
diberikan. Saleh (2013) menyatakan bahwa kandungan pati pada bahan perekat juga
menyebabkan terjadinya proses gelatinisasi yang mengikat tiap komponen pakan,
sehingga pellet menjadi kompak, utuh, dan bobot yang berat.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
150
Kadar Air
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa jenis dan konsentrasi perekat
berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kadar air biskuit konsentrat. Tidak terdapat
interaksi antara jenis perekat dan konsentrasinya terhadap kadar air biskuit. Rataan
kadar air yang rendah dihasilkan pada perlakuan tepung ubi kayu dengan konsentrasi
5% masih dalam kisaran aman untuk penyimpanan. Hal ini diduga karena pengaruh
kandungan air dari bahan dasar perekat dan proses pemanasan dalam pembuatan biskuit.
Kadar air merupakan faktor penting dalam penentuan kualitas bahan. Kadar air yang
baik yaitu kadar air yang rendah sehingga tidak menimbulkan jamur pada biskuit pada
saat penyimpanan dan pakan dapat menjadi lebih awet (Retnani et al., 2009).
Ditambahkan oleh Trisyulianti (2003) bahwa aktivitas mikroorganisme dapat ditekan
pada kadar air 12-14%. Kadar air yang lebih tinggi dapat menyebabkan pakan mudah
ditumbuhi jamur dan membusuk.
Tabel 5. Nilai kadar air biskuit konsentrat
Jenis Perekat Konsentrasi (%)
Rataan
Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf
yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).
Kerapatan Bahan
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa jenis dan konsentrasi perekat
berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kerapatan bahan biskuit pakan konsentrat. Tidak
terdapat interaksi antara jenis perekat dengan konsentrasinya terhadap kerapatan bahan
dari biskuit. Kerapatan bahan pada perlakuan tepung tapioka menghasilkan kerapatan
paling tinggi yaitu sebesar 0.74%. Perekatan dengan menggunakan tepung tapioka lebih
baik dibandingkan dengan tepung ubi kayu, sehingga sedikit terbentuk rongga- rongga
pada biskuit. Hal ini sejalan dengan pendapat Saleh (2013) bahwa kandungan pati pada
bahan perekat menyebabkan terjadinya proses gelatinisasi yang mengikat tiap
3 5 7
Molases 18.67 ± 4.25 33.83 ± 8.38 35,00± 17.08 29.17 ± 12.54a
Tepung ubi kayu 10.67 ± 3.75 15.17± 4.19 16.17 ± 4.04 14.00± 4.29b
Tepung tapioka 11.5 ± 3.60 15.66 ± 3.32 32.55 ± 0.29 14.77 ± 3.96b
Rataan 13.61 ± 0.34b 21.56 ±2.71a 22.78± 7.66a
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
151
komponen pakan, sehingga pellet menjadi kompak, utuh, dan bobot yang berat. Perekat
dari tumbuh-tumbuhan seperti ubi kayu (tapioka) memiliki keuntungan bahwa jenis
perekat ini dengan konsentrasi yang rendah sudah menghasilkan biskuit yang kompak.
Semakin tinggi nilai kerapatan, maka semakin kompak bahan tersebut. Bila suatu bahan
semakin kompak, maka semakin mudah dalam penanganan baik dalam transportasi
maupun dalam penyimpanan (Riswandi et al., 2017). Rendahnya kerapatan pada jenis
perekat molases hal ini diduga karena tingginya kandungan air pada bahan perekat
molasses tersebut. Hal ini didukung oleh Retnani et al., (2009) bahwa semakin
meningkatnya kadar air wafer menyebabkan ruangan yang diisi air lebih banyak
sehingga kerapatan wafer menurun.
Tabel 6. Nilai kerapatan bahan biskuit pakan konsentrat (g/cm3)
Jenis Perekat Konsentrsi (%)
Rataan
Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang
berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa konsentrasi perekat berpengaruh nyata
(P<0.05) terhadap kerapatan bahan biskuit pakan konsentrat. Hasil penelitian
menunjukkan semakin tinggi penggunaan konsentrasi perekat, maka semakin kuat dan
semakin baik kerapatan yang dihasilkan. Hal ini didukung oleh Hermawan et al., (2015)
bahwa semakin tinggi level konsentrasi perekat yang digunakan, maka semakin kompak
kerapatan dan semakin renyah bahan biskuit. Pakan biskuit yang baik diterapkan kepada
ternak yaitu mempunyai kerapatan yang tinggi memberikan penampilan kepadatan yang
kompak dan keras. Namun, biskuit yang kerapatanya sangat keras tidak baik diterapkan
kepada ternak bahwa sulitnya ternak mengkonsumsi pakan tersebut (Syahri et al.,2018).
Ketahan Benturan
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa jenis perekat dan konsentrasi serta
interaksinya berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap ketahan benturan biskuit pakan
konsentrat. Ketahan benturan biskuit pakan konsentrat yang baik yaitu pada perlakuan
3 5 7
Molases 0,63 ± 0,023 0,63 ± 0,017 0,74 ± 0,27 0,67 ± 0,07b
Tepung ubi kayu 0,66 ± 0,01 0,68 ± 0,03 0,72 ± 0,01 0,69 ± 0,03b
Tepung tapioka 0,70 ± 0,01 0,75 ± 0,04 0,78 ± 0,02 0,74 ± 0,04a
Rataan 0,67 ± 0,01b 0,69 ± 0,01b 1,75 ± 0,15a
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
152
jenis perekat ubi kayu dengan konsentrasi 3 dan 5% yaitu masing-masing ketahan
benturan 86.14 dan 89.01%.
Tabel 7. Ketahan Benturan Biskuit Pakan Konsentrat (%)
Konsentrasi (%) Jenis Perekat Rataan
Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang
berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).
Hal ini diduga karena pada saat perekat tepung ubi kayu yang dilarutkan di dalam
air terbentuk gelatin yang sangat kental, sehingga pada waktu pengovenan bahan
mengikat dengan baik. Semakin tinggi konsentrasi perekat yang digunakan maka
semakin kompak namun, apabila ketahan benturan biskuit melebihi kisaran normal
maka sulitnya ternak mengkonsumsi pakan biskuit tersebut. Nilai ketahan benturan pada
interaksi perlakuan tepung ubikayu dengan konsentrasi 3 dan 5% ini masih memenuhi
kisaran normal. Menurut Syahri (2018) sifat fisik wafer paling baik yaitu yang memiliki
nilai ketahanan benturan 94,45%. Hal ini sejalan dengan penelitian Syahrir et al.,
(2017) bahwa semakin tinggi penggunaan level perekat, maka semakin kuat kerapatan
bahan dan semakin kompak terbentuknya wafer.
Berat Jenis
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa jenis perekat yang berbeda berpengaruh
nyata (P<0.05) terhadap berat jenis biskuit pakan konsentrat. Tidak terdapat interaksi
antara jenisperekat dengan konsentrasinya terhadap berat jenis biskuit. Berat jenis
biskuit konsentrat dengan menggunakan molases (1,25g/cm3) nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan tepung ubi kayu (1,15g/cm3) dan tapioka (1,17g/cm3). Komposisi
dan ukuran partikel bahan penyusun biskuit konsentrat semuanya sama, yang
membedakan hanya bahan perekat dan konsentrasinya dalam setiap perlakuan. Jenis
bahan perekat dengan konsentrasinya akan mempengaruhi komposisi dari biskuit
konsentrat.
3 5 7
Molases 22,23 ± 1,48ac 94,20 ± 0,08ab 99,74 ± 0,22a 72,05 ± 37.45a
Tepung ubi kayu 86,14 ± 5,15bc 89,01 ± 2,71b 99,30 ± 0,07ab 91,67 ± 6.51b
Tepung tapioka 92,43 ± 1,20ac 97,00 ± 1,08bc 99,88 ± 0,20ac 96,44 ± 3.35c
Rataan 66,94 ± 2,21c 93,59 ± 0,85b 99,64 ± 0,08a
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
153
Tabel 8.Rataan Berat Jenis Biskuit Pakan Konsentrat (g/cm3)
Jenis Perekat
Konsentrasi (%) Rataan
Keterangan : Superskrip pada kolom dan baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang
berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05).
Suadnyana (1998) menyatakan bahwa berat jenis dipengaruhi oleh komposisi
kimia bahan pakan. Ditambahkan oleh pendapat Krisnan (2008) bahwa berat jenis
memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan dan
penyimpanan, disamping itu juga akan menentukan terhadap kerapatan pakan.
KESIMPULAN
Jenis bahan perekat tepung ubi kayu, dan konsentrasi bahan perekatnya sebesar
5% yang merupakan perlakuan terbaik yang dilihat dari kualitas fisik biskuit pakan
konsentrat secara keseluruhan. Semua bahan perekat dengan konsentrasi 5% merupakan
interaksi kombinasi yang terbaik yang ditunjukkan oleh nilai ketahanan benturan
biskuit pakan konsentrat yang berhubungan dengan penerapan ke ternak kambing.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, L. 2014. Prospektif Agronomi dan Ekofisikologi Indigofera zollingeriana
Sebagai Tanaman Penghasil Hijauan Pakan Berkualitas Tinggi. Pastura 3, 79–
83.
Daud, M., Z. Fuadi, dan Azwis. 2013. Uji Sifat Fisik dan Daya Simpan Wafer Ransum
Komplit Berbasis Kulit Buah Kakao. J. Ilm. Peternak. 1, 18–24.
Hermawan, R. Sutrisna, dan Muhtarudin. 2015. Kualitas Fisik, Kadar Air, dan Sebaran
Jamur pada Wafer Limbah Pertanian dengan Lama Simpan Berbeda 3, 55–60.
Ismi, R, S., R. I. Pujaningsih and S. Sumarsih. 2017. Pengaruh Penambahan Level
Molases Terhadap Kualitas Fisik dan Organoleptik Pellet Pakan Kambing
Periode Penggemukan. J. Ilm. Peternak. Terpadu 5, 58–62.
Istinganah, M., R. Rauf., dan E. N. Widyaningsih. 2017. Tingkat Kekerasan dan Daya Terima Biskuit dari Campuran Tepung Jagung dan Tepung Terigu Dengan
Volume Air yang Proporsional. J. Kesehat. 10, 83–93.
3 5 7
Molases 1,25 ± 0 1,25 ± 0 1,25 ± 0 1,25 ± 0a
Tepung ubi kayu 1,16 ± 0,08 1,11 ± 0 1,18 ± 0,07 1,15 ± 0.52b
Tepung tapioka 1,20 ± 0,04 1,15 ± 0,04 1,17 ± 0,07 1,17 ± 0.05c
Rataan 1,20 ± 0,04 1,17 ± 0,02 1,20 ± 0,04
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
154
Jaelani, A., 2007. Peningkatan Kulaitas Bungkil Inti Sawit Oleh Kapang Trichoderma
reesei Sebagai Pendegradasi Polisakarida Mannan dan Pengaruhnya terhadap
Penampilan Ayam Pedaging. Institut Pertanian Bogor.
Krisnan, R., 2008. Perubahan Karakteristik Fisik Konsentrat Domba Selama
Penyimpanan (Physical Characteristic Condition Of Sheep Diet During Storage).
Semin. Nas. Teknol. Peternak. dan Vet. 491–497. Muthalib, R, A., R. Dianita, dan Afzalani. 2018. Suplementasi Indigofera zollingeriana
Sumber Protein By Pass dalam Pakan Berbasis Rumput Rawa Terhadap
Produktivitas Kambing Peranakan Etawa. Laporan Penelitian. Fakultas
Peternakan, Universitas Jambi.
Nurhayatin, T., dan M. Puspitasari. 2017. Pengaruh Cara Pengolahan Pati Garut
(Maranta arundinacea) Sebagai Binder dan Lama Penyimpanan Terhadap
Kualitas Fisik Pellet Ayam Broiler. J. Ilmu Peternak. 2, 32–40.
Nurhayu, A., dan D. Pasambe. 2016. Indigofera Sebagai Substitusi Hijauan Pada Pakan
Sapi Potong di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Semin. Nas. Peternak.
2 52–56.
Pade, S, W., dan H. Akuba. 2018. Pemanfaatan Tepung Ubi Kayu (Manihot utilisima)
Sebagai Substitusi Tepung Terigu dalam Pembuatan Biskuit 2, 1–9. Rasulu, H., S. Y. Sudarminto, dan J. Kusnadi. 2012. Karakteristik Tepung Ubi Kayu
Terfermentasi Sebagai Bahan Pembuatan Sagukasbi. J. Teknol. Pertan. 13, 1–7.
Retnani, Y., S. Basymeleh, dan L. Herawati. 2009. Pengaruh Jenis Hijauan Pakan dan
Lama Penyimpanan Terhadap Sifat Fisik Wafer. J. Ilmu Ilmu Peternak. 12, 196–
202..
Retnani, Y., N. Hasanah, Rahmayeni dan L. Herawati. 2010. Uji Sifat Fisik Ransum
Ayam Broiler Bentuk Pellet yang Ditambahkan Perekat Onggok Melalui Proses
Penyemprotan Air. Agripet 10, 13–18.
Retnani, Y., L. Herawati, W. Wirdiati, dan E. Indahwati. 2009a. Uji Kualitas Sifat Fisik
Dan Palatabilitas Biskuit Limbah Tanaman Jagung Sebagai Substitusi Sumber
Serat Untuk Domba. Bul. Peternak. 33, 162–169.
Retnani, Y., W. Widiarti, I. Amiroh, L. Hermawati, dan K. B. Satoto. 2009b. Daya
Simpan dan Palatabilitas Wafer Ransum Komplit Pucuk dan Ampas Tebu untuk
Sapi Pedet. Media Peternak. 32, 130–136.
Riswandi, A., S. Imsya, Sandi, dan A. S. S. Putra. 2017. Evaluasi Kualitas Fisik Biskuit
Berbahan Dasar Rumput Kumpai Minyak dengan Level Legum Rawa (Neptunia
oleracea lour) yang Berbeda. J. Peternak. Sriwij. 6, 1–11.
https://doi.org/10.33230/jps.6.1.2017.5071
Rochani, A., S. Yuniningsih, dan Z. Ma’Sum. 2016. Pengaruh Konsentrasi Gula Larutan
Molases Terhadap Kadar Etanol Pada Proses Fermentasi. J. Reka Buana 1, 43–
48.
Saleh, A. 2013. Efisiensi Konsentrasi Perekat Tepung Tapioka Terhadap Nilai Kalor
Pembakaran Pada Biobriket Batang Jagung (Zea mays L .). J. Teknosains 7, 78–
89.
Sandi, S., A. I. M. Ali, dan A. A. Akbar. 2015. Uji In-Vitro Wafer Ransum Komplit
dengan Bahan Perekat yang Berbeda. J. Peternak. Sriwij. 4, 7–16. https://doi.org/10.33230/jps.4.2.2015.2802
Sari, I, Y., L. Santoso, dan Suparmono. 2016. Kajian Pengaruh Penambahan Tepung
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
155
Tapioka Sebagai Binder dalam Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila
Gift (Oreochromis Sp.). e-Jurnal Rekayasa dan Teknol. Budid. Perair. V.
Susilawati, I., Z. I. Islami, dan H. Pembahasan. 2012. Penggunaan Berbagai Bahan
Pengikat Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Pelet Hijauan Makanan Ternak.
Ilmu ternak 121, 47–50.
Susilawati, S. Nurdjanah, dan S. Putri. 2008. Karakter Sifat Fisik dan Kimia Ubi Kayu
(Manihot esculenta) Berdasarkan Lokasi Penanaman dan Umur Panen Berbeda.
J. Teknol. Ind. dan Has. Pertan. 13, 59–72.
Syahri, M., Y. Retnani, dan L. Khotijah. 2018. Evaluasi Penambahan Binder Berbeda
Terhadap Kualitas Fisik Mineral Wafer. Bul. Makanan Ternak 16, 24–35.
Syahrir, S., M. M. Mide, dan Harfiah. 2017. Evaluasi Fisik Ransum Lengkap Berbentuk
Wafer Berbahan Bahan Utama Jerami Jagung Dan Biomassa Murbei. JITP 5.
Syamsu, J, A. 2007. Karakteristik Fisik Pakan Itik Bentuk Pellet Yang Diberi Bahan
Perekat Berbeda Dan Lama Penyimpanan Yang Berbeda. J. Ilmu Ternak 7, 128–
134. https://doi.org/10.24198/jit.v7i2.2246
Toharmat, T., E. Nursasih, R. Nazilah, N. Hotimah, dan T. Q. Noerzihad, N. A. Sigit,
and Y. Retnani. 2006. Sifat Fisik Pakan Kaya Serat dan Pengaruhnya terhadap
Konsumsi dan Kecernaan Nutrien Ransum pada Kambing. Media Peternak. 29,
146–154. https://doi.org/10.5398/medpet.v29i3.817
Trisyulianti, E., J. Jacka., dan Jayusmar. 2001. Pengaruh Suhu dan Tekanan
Pengempaan Terhadap Sifat Fisik Wafer Ransum dari Limbah Pertanian Sumber
Serat dan Leguminose Untuk Ternak Ruminansia. Media Peternak. 24, 76–81.
Trisyulianti, E., Suryahadi, dan V. N. Rakhma. 2003. Pengaruh Penggunaan Molases
dan Tepung Gaplek Sebagai Bahan Perekat Terhadap Sifat Wafer Ransum
Komplit. 26, 35–39.
Widiyastuti, T., C. H. Prayitno., dan Munasik. 2004. Kajian kualitas fisik pelet pakan
komplit dengan sumber hijauan dan binder yang berbeda. Animal Production. 6
(1) : 43 – 48.
Wulansari, R., Y. Andriani, dan K. Heatami. 2016. Penggunaan Jenis Binder Terhadap
Kualitas Fisik Pakan Udang. J. Perikan. Kelaut. VII, 140–149.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
156
PENGARUH BIOURIN DAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA TERHADAP
HASIl, KECERNAAN BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK HIJAUAN
KUMPAI (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Nees.) PADA LAHAN BEKAS
TAMBANG BATU BARA
H. Syafria1), N. Jamarun2)
1Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Kampus Pinang Masak Mendalo Jambi, Kode Pos
36361 Telp/Fax: (0741) 582907, HP: 081366818797, E-mail: [email protected] 2Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manis Padang, Kode Pos
25163 Telp/Fax: (0751) 71464, HP: 08126608179, E-mail: [email protected]
ABSTRAK Biourin dapat memberikan pengaruh terhadap kesuburan fisik, kimia dan biologis tanah.
Sedangkan mikoriza dapat membantu tanaman untuk penyediaan dan penyerapan unsur
hara, terutama posfor yang rendah ketersediaannya pada tanah masam/kritis. Tujuan
penelitian adalah untuk menemukan, mendapatkan dan membuktikan bahwa, pemberian
biorin dan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) sebagai agen bioteknologi, mampu
memperbaiki produkstivitas lahan bekas tambang batu bara, juga berpengaruh terhadap
hasil hijauan, kecernaan bahan kering dan bahan organik. Percobaan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Perlakuan terdiri dari:
1) konsentrasi 0% biourin + FMA 20 g/pot, 2) konsentrasi 15% biourin + FMA 20 g/pot,
3) konsentrasi 30% biourin + FMA 20 g/pot dan 4) konsentrasi 45% biourin + FMA 20
g/pot. Peubah yang diamati adalah hasil bahan kering hijauan, kecernaan bahan kering
dan bahan organik metode In-Vitro. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan
berpengaruh (P<0.01) terhadap hasil bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan
organik hijauan. Perlakuan konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot menghasilkan
bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan organik tertinggi, diikuti konsentrasi
30% biourine + FMA 20 g/pot, konsentrasi 15% biourine + FMA 20 g/pot dan
konsentrasi 0% biourine + FMA 20 g/pot. Kesimpulan penelitian ini adalah perlakuan
konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot adalah perlakuan terbaik dari semua peubah
yang diamati.
Kata Kunci: Biourin, Fungi Mikoriza Arbuskula, Kumpai, Kecernaan Bahan Kering
dan Bahan Organik.
PENDAHULUAN
Memperluas penganekaragaman hijauan makanan ternak, maka hijauan lokal perlu
dikembangkan, karena hijauan lokal menunjukkan kelebihan dibanding introduksi, salah
satunya adalah rumput kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Ness). Rumput ini
merupakan sumber daya alam yang memiliki nilai biologis tinggi, cukup berpotensi
untuk menunjang ketersediaan hijauan pakan bagi ternak ruminansia, yang berbasis
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
157
sumber daya lokal (Syafria, 1996, Syafria, 1998 dan Syafria, 2016).
Kendala peningkatan produksi dan kualitas hijauan yang berhubungan dengan
sumberdaya lahan di daerah tropika, antara lain adalah defisiensi unsur hara, kemasaman,
toksisitas, dan kandungan air tanah. Sedangkan lahan untuk penanaman hijauan juga
semakin berkurang, karena lahan yang subur pada umumnya untuk tanaman pangan,
perkebunan dan berbagai keperluan non pertanian (Jamarun dan Mardiati Zain, 2012).
Salah satu contoh adalah semakin luasnya lahan bekas tambang batubara yang terdapat
di dalam wilayah Propinsi Jambi. Hal ini disebabkan, karena semakin tingginya aktivitas
penambangan. Ratusan dan bahkan ribuan hektar lahan telah menjadi rusak dan berubah
menjadi lahan yang tidak produktif, karena adanya kerusakan struktur fisik dan
terdegradasinya unsur hara tanah, sehingga sulit bagi tanaman untuk tumbuh. Salah satu
solusi dalam pemecahannya adalah dengan memanfaatkan kembali lahan tersebut,
dengan sentuhan aplikasi teknologi biourin dan pupuk hayati mikoriza. Pemanfaatan
biourin dan mikoriza sebagai agen bioteknologi untuk meningkatkan produktivitas lahan
bekas tambang merupakan salah satu alternatif yang perlu dilakukan. Hal ini disebabkan,
karena penggunaan pupuk kimia meskipun meningkatkan hasil dan kualitas, tetapi
penggunaannya secara berlebihan dan terus-menerus akan merusak kelestarian
lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan, mendapatkan dan membuktikan
bahwa pemanfaatan biourin dan fungi mikoriza arbuskula dalam menngkatkan
produktivitas lahan bekas tambang batu bara serta pengaruhnya terhadap hasil, kecernaan
bahan kering dan bahan organik hijauan.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Kecamatan Kotabaru Kota Jambi selama 5 (lima) bulan.
Analisis bahan kering hijauan di laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi,
dan analisa kecernaan bahan kering dan bahan organik secara In-Vitro di laboratorium
Nutrisi Ruminansia Fakultas Peternakan Universitas Andalas.
Bahan dan Peralatan
Sebagai media tanam digunakan tanah bekas tambang batubara masing-masing 5
kg/pot. Hijauan yang ditanam adalah rumput kumpai, dengan bahan tanam berupa
potongan batang (stek), masing-masing terdiri dari 3 stek, Fungi mikoriza arbuskula yang
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
158
digunakan adalah jenis multiple spora dengan merk dagang Cemiko I yang terdiri dari
(Glomus sp, Acaulospora sp dan Scutellospora sp,.), dan pupuk organik biourin.
Sebagai pupuk dasar digunakan TSP (45% P2O5), KCl (60% K2O), Urea (46% N), dan
kapur pertanian CaCO3.
Peralatan yang digunakan adalah: peralatan pengolah tanah, pemotong rumput,
mistar, alat penyiram, kantong plastik, timbangan, dan peralatan laboratorium untuk
analisa bahan kering dan kecernaan bahan kering dan bahan organik hijauan.
Metode Penelitian
Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan empat macam
perlakuan dan lima kali ulangan. Keempat macam perlakuan tersebut adalah: 1)
konsentrasi 0% biourin + FMA 20 g/pot, 2) konsentrasi 15% biourin + FMA 20 g/pot, 3)
konsentrasi
30% biourin + FMA 20 g/pot, dan 4) konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati adalah hasil bahan kering hijauan, kecernaan bahan kering
dan kecernaan bahan organik metode In-Vitro.
Pelaksanaan Penelitian
Sebelum rumput ditanam terlebih dahulu dilakukan pengambilan tanah untuk
media tanam secara komposit dari kedalaman 0-20 cm. Tanah tersebut dikering anginkan
dan dibersihkan dari akar tanaman dan bahan-bahan lain yang tidak diperlukan.
Pemberian fungi mikoriza arbuskula sebagai perlakuan berdasarkan pada hasil penelitian
Syafria (2016) yaitu 20 g/pot. Sedangkan untuk biourin sebagai perlakuan, digunakan
biourin hasil aerasi selama 6 jam dan difermentasi selama 21 hari. Dua minggu sebelum
tanam, kantong polybag disiapkan dan diisi tanah 5 kg/pot. Pemberian pupuk TSP, KCl,
Urea dan CaCO3, diberikan pada waktu yang bersamaan, dengan cara dicampur dengan
tanah dalam pot, kemudian diaduk agar homogen. Tanah yang sudah diberikan pupuk
dasar tersebut dibiarkan selama seminggu sampai saat penanaman. Pemberian mikoriza
dilakukan pada saat penanaman rumput, dengan cara memasukkan inokulum kedalam
setiap lubang tanam. Pemberian biourin dilakukan pada saat rumput berumur lebih
kurang dua minggu setelah tanam).
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
159
Pengolahan Data
Pengolahan data secara statistik dalam Rancangan Acak Lengkap. Analisis ragam
dipergunakan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati.
Hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, dilanjutkan dengan Uji DNMRT
(Duncan Multiple-Range Test).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Bahan Kering Hijauan
Hasil analisis ragam pada periode pemotongan pertama dan kedua, memperlihatkan
bahwa perlakuan berpengaruh (P<0,01) terhadap hasil bahan kering. Hasil bahan kering
hijauan ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh Biourine dengan Fungi Mikoriza Arbuskula terhadap Hasil Bahan
Kering Hijauan (g/pot).
Perlakuan Periode Pemotongan
Pertama Kedua
Konsentrasi 0 % biourin + FMA
20 g/pot
50.60 d 56.60 d
Konsentrasi 15 % biourin + FMA 20 g/pot
65.10 c 70.25 c
Konsentrasi 30 % biourin + FMA 20 g/pot
72.40 b 75.60 b
Konsentrasi 45 % biourin + FMA 20 g/pot
78.10 a 82.34 a
Ket : Angka-angka pada lajur yang sama diikuti huruf kecil berbeda, adalah berbeda nyata
pada Uji DNMRT taraf 5%.
Hasil bahan kering hijauan periode pemotongan pertama dan kedua perlakuan
konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot menunjukkan hasil tertinggi (P<0.05)
dibanding perlakuan lainnya. Rataan hasil bahan kering hijauan periode pemotongan
kedua untuk semua perlakuan lebih tinggi dibanding pemotongan pertama. Peningkatan
hasil bahan kering ini erat hubungannya dengan pertumbuhan bagian vegetatif tanaman.
Pertumbuhan dan perkembangan bagian vegetatif tanaman pada setiap perlakuan
menunjukkan hasil berbeda. Perlakuan konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot
menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman lebih baik dibanding perlakuan
lainnya, baik pada periode pemotongan pertama maupun kedua.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
160
Secara keseluruhan, dapat dinyatakan bahwa hasil bahan kering pada perlakuan
biourine + FMA lebih tinggi dibanding perlakuan FMA saja. Hal ini disebabkan, karena
mikoriza membutuhkan pupuk organik sebagai sumber energi dan nutrisi, dan konsumsi
oksigen menjadi meningkat, sehingga tanaman lebih mampu menyerap garam–garam
mineral dan suplai ion hidrogen yang dapat dipertukarkan. Oleh karena itu, akar yang
terinfeksi mikoriza memiliki energi kinetik penyerapan jauh lebih besar dari akar yang
tidak terinfeksi. Beinroth (2001) menyatakan bahwa mikoriza dapat meningkatkan
penyerapan hara dan air dari dalam tanah, yang memungkinkan tanaman menghasilkan
sel-sel baru dan hormon-hormon untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman,
memperbaiki agregat tanah sehingga proses aliran massa berjalan lebih baik. Oleh sebab
itu, perlakuan biourin dengan FMA lebih mampu berpengaruh terhadap peningkatan hasil
bahan kering dibanding perlakuan mikoriza tanpa biourin. Pada kondisi iklim yang sama,
maka kesuburan tanah lebih memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman (Syafria, 2009; Mardani. 2004). Hasil penelitian Syafria (2016)
pemberian FMA dan pupuk organik (kompos, kotoran sapi) di tanah kritis Ultisol juga
dapat meningkatkan hasil bahan kering hijauan kumpai.
Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Kecernaan bahan kering hijauan merupakan salah satu indikator untuk menilai
kualitas hijauan makanan ternak, karena dapat mencerminkan tingkat ketersediaan energi
bagi ternak. Sedangkan kecernaan bahan organik berhubungan dengan ketersediaan
bahan organik hijauan, karena semakin tinggi kandungan bahan organik, normalnya akan
meningkatkan persentase bahan organik. Data kecernaan bahan kering dan bahan organik
dicantumkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh Perlakuan Biourine dengan FMA terhadap Kecernaan Bahan
Kering dan Bahan Organik (%)
Perlakuan Kecernaan In-vitro
Bahan Kering Bahan Organik
Konsentrasi 0 % biourin + FMA 20 g/pot 50.43 c 48.43 c
Konsentrasi 15 % biourin + FMA 20 g/pot 51.54 c 49.15 c Konsentrasi 30 % biourin + FMA 20 g/pot 54.58 b 51.14 b
Konsentrasi 45 % biourin + FMA 20 g/pot 57.13 a 55.24 a
Ket : Angka-angka pada lajur yang sama diikuti huruf kecil berbeda, adalah berbeda nyata
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
161
pada Uji DNMRT taraf 0,05.
Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa perlakuan berpengaruh (P<0,01)
terhadap kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Peningkatan kecernaan
bahan kering dan bahan organik organik ini disebabkan, karena adanya kemampuan
mikoriza dalam membantu penyerapan unsur hara dan air dalam tanah. Pupuk organik
biourin diperlukan sebagai sumber nutrisi dan energi bagi pertumbuhan dan
perkembangan mikoriza, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan penyerapan unsur
hara dan air oleh tanaman. Hal ini menyebabkan tanaman tumbuh menjadi lebih subur,
dan menghasilkan bahan kering serta kualitas lebih baik. Semakin meningkat konsentrasi
biourine dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik. Hal ini
berkaitan dengan kandungan bahan organik hijauan, semakin tinggi kandungan bahan
organik akan meningkatkan kecernaan bahan organik. Namun demikian, kecernaan
bahan kering yang berbeda pada tiap perlakuan, juga berpengaruh terhadap kecernaan
bahan organik. Bahan organik merupakan bagian dari bahan kering sehingga apabila
bahan kering meningkat akan meningkatkan kandungan bahan organik. Sutardi (1980)
menyatakan bahwa kecernaan bahan kering berkorelasi positif dengan kecernaan bahan
organik. Kecernaan bahan kering yang berbeda akan mengakibatkan kecernaan bahan
organik juga berbeda, dan peningkatan kecernaan bahan kering, juga memberikan
indikasi terhadap meningkatnya kecernaan bahan organik hijauan. Faktor lain yang juga
berperan dalam peningkatan kecernaan bahan kering dan bahan organik adalah
perkembangan mikroorganisme tanah. Perkembangan mikroorganisme tanah adalah
sebagai awal proses transfomasi nitrogen secara biologis dalam tanah, yang akan
menghasilkan konversi bentuk nitrogen organik menjadi bentuk anorganik yang tersedia
bagi tanaman (Widjayanto et al., 2001). Pupuk organik didalam tanah, akan mengalami
beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus atau
bahan organik tanah, sehingga bermanfaat bagi peningkatan produktivitas tanaman baik
kuantitas maupun kualitas.
KESIMPULAN
Perlakuan konsentrasi 45% biourin + FMA 20 g/pot menghasilkan bahan kering
hijauan, kecernaan bahan kering dan bahan organik lebih tinggi dibanding perlakuan
konsentrasi 30% biourin + FMA 20 g/pot, konsentrasi 15% biourin + FMA 20 g/pot dan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
162
konsentrasi 0% biourin + FMA 20 g/pot.
DAFTAR PUSTAKA
Beinroth, F. H. 2001. Land resources for forage production in the tropics In Sotomayor-
Rios A. Pitman Wd (eds) Tropical Forage Plants Development and Use CRC
Press. Pp 3 - 15. Jamarun, N. dan Mardiati Zain. 2012. Dasar nutrisi ruminansia.
Penerbit Jasa Surya Padang.
Mardani, Y, D. 2004. Pengaruh pupuk organik pada lahan marginal bekas penambangan
pasir terhadap produktivitas kacang tanah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Yogyakarta.
Sutardi, T. 1980. Landasan ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Insitut Pertanian Bogor. Bogor
Syafna. 1996. Pengaruh penggenangan, pemupukan nitrogen dan interval pemotongan
terhadap pertumbuhan dan produksi rumput lokal kumpai (Hymenachne
amplexicaulis (Rudge) Nees.). Thesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Syafria, H. 1998. Pengaruh pemupukan nitrogen dan interval pemotongan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan rumput lokal kumpai (Hymenachne
amplexicaulis (Rudge) Nees.). Laporan Hasil Penelitian Kerja Sama Proyek
Pengembangan Sebelas Lembaga Pendidikan Tinggi (ADB Loan). Jambi.
Syafna. H. 2009. Efek pemupukan nitrogen dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan
produksi rumput lokal kumpai (Hymenachne amplexicaulis (Rudge) Nees.).
Majalah Ilmiah Percikan Bandung. Edisi Mei 2009. ISSN :0854 - 8986. Hal:
97-100. Bandung
Syafna. 2016. Peningkatan hasil dan nilai nutrisi rumput kumpai (Hymenachne
amplexicaulis (Rudge) Nees.) dengan fungi mikoriza arbuskula dan pupuk
organik di Ultisol sebagai makanan ternak. Disertasi. Pasca Sarjana Universitas
Andalas. Padang.
Widjajanto, D.W., Honmura, T., Matsushita, K., and Miyauchi, N. 2001. Studies on the
release of N from water hyacinth incorporated into soil-crop systems using 15
N-
labeling techniques. Pak. J. Biol. Sci., 4 (9): 1075 - 1077.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
163
ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA TERNAK SAPI
PADA SENTRA PETERNAKAN RAKYAT (SPR)
DI KABUPATEN MERANGIN
Muhammad Farhan1) dan Farizal1) 1
Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Kampus Pinang Masak Mendalo Jambi, Kode Pos
36361 Telp/Fax: (0741) 582907, HP: 082180436000, E-mail:
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun strategi yang efektif untuk
pengembangan usaha ternak sapi pada SPR Kabupaten Merangin. Adapun metode
penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei. Metode penarikan
sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah multi-stage cluster random sampling.
Model analisis penelitian ini menggunakan Matrik SWOT (Strenghth, Weakness,
Opportunities, Threats) yaitu metode yang dipakai untuk menyusun faktor- faktor
strategis pengembangan usaha ternak sapi pada SPR Kabupaten Merangin. Selain itu
penelitian ini menggunakan Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE
(Ekternal Factor Evaluation) dan Analisis Matriks QSPM (Quantitative Strategic
Planning Matriks) untuk mengembangkan sejumlah alternatif strategi yang terbaik dan
paling cocok dengan kondisi internal SPR Kabupaten Merangin serta lingkungan
eksternal pengembangan usaha ternak sapi pada SPR Kabupaten Merangin.
Strategi Pengembangan Usaha Ternak Sapi pada Sentra Peternakan Rakyat (SPR)
di Kabupaten Merangin adalah strategi tumbuh dan bina (growth and build) Alternatif
strategi adalah meningkatkan kualitas hijauan pakan ternak (HMT) ternak sapi dengan
memanfaatkan jumlah pakan yang banyak dengan cara melakukan pelatihan pengolahan
hijauan dan integrasi antara ternak sapi dan perkebunan sawit serta memanfaatkan
perkembangan teknologi yang terbarukan.
Kata Kunci : Sentra Peternakan Rakyat (SPR), Ternak Sapi
PENDAHULUAN
Tujuan utama Sentra Peternakan Rakyat (SPR) untuk membangun peternakan
adalah a) Mewujudkan usaha peternakan rakyat dalam suatu perusahaan kolektif yang
dikelola dalam satu manajemen; b) Meningkatkan daya saing usaha peternakan rakyat
melalui peningkatan pengetahuan, kesadaran, dan penguatan keterampilan peternakan
rakyat; c) Membangun sistem informasi sebagai basis data untuk menyusun populasi
ternak berencana; d) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak rakyat; dan
e) Meningkatkan kemudahan pelayanan teknis dan ekonomis bagi peternakan rakyat.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
164
Program SPR komoditas ternak sapi yang baru diluncurkan pada tahun 2016
merupakan alternatif solusi untuk mengembangkan peternakan sapi rakyat agar
masyarakat peternak sapi memiliki usaha bisnis kolektif menuju swasembada daging
sapi. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan telah menetapkan sebanyak
50 SPR di seluruh Indonesia dari target 1.000 SPR pada tahun 2018, dimana
3 SPR terdapat di Provinsi Jambi yang masing-masing tersebar di Kabupaten
Sarolangun, Kabupaten Merangin dan Kabupaten Bungo dengan komoditas ternak
sapi. Program SPR ini dapat diselesaikan dalam waktu 4 tahun, namun demikian,
untuk memperbaiki kekurangan maupun kendala yang terjadi maka setiap tahun
diperlukan evaluasi terhadap program tersebut.
Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
survei. Dalam penelitian kuantitatif, survei lebih merupakan pertanyaan tertutup,
sementara dalam penelitian kualitatif berupa wawancara mendalam dengan pertanyaan
terbuka (Hendri, 2009). Metode penarikan sampel yang digunakan pada penelitian ini
adalah multi-stage cluster random sampling (Harun Al Rasyid, 1994).
Analisis Data
Matriks SWOT (Strenghth, Weakness, Opportunities, Threats).
Menurut Rangkuti (2006) matrik SWOT adalah metode yang dipakai untuk
menyusun faktor-faktor strategis. Matrik SWOT ini menggambarkan secara jelas
bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat diselesaikan kekuatan
dan kelemahan yang dimiliki.
Tabel 1. Matriks SWOT Faktor Internal
Faktor Eksternal
KEKUATAN-S
Daftar kekuatan
KELEMAHAN-W
Daftar kelemahan
PELUANG-O
Daftar peluang
STRATEGI SO
Menggunakan kekuatan untuk
STRATEGI WO
Mengatasi kelemahan dengan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
165
memanfaatkan peluang memanfaatkan peluang
ANCAMAN-T
Daftar ancaman
STRATEGI ST
Menggunakan kekuatan untuk
menghindari ancaman
STRATEGI WT
Meminimalkan kelemahan dan
menghindari ancaman
Analisis Matriks QSPM (Quantitative Strategic Planning Matriks)
Setelah mengembangkan sejumlah alternatif strategi, SPR Kabupaten Merangin
harus mampu mengevaluasi dan kemudian memilih strategi yang terbaik dan paling
cocok dengan kondisi internal SPR Kabupaten Merangin serta lingkungan eksternal.
Tabel 2. Matriks QSP
Faktor Kunci
Rating
Alternatif Strategi
Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3
AS TAS AS TAS AS TAS
Peluang
Ancaman
Kekuatan
Kelemahan
Jumlah
Sumber : Umar, 2008
Keterangan :
AS = Attractiveness Score (Nilai Daya Tarik)
TAS = Total Attractiveness Score (Total Nilai Daya Tarik)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Matriks IFE (Internal Factor Evaluation)
Matriks IFE digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan internal
dan menggolongkannya menjadi kekuatan dan kelemahan Sentra Peternakan Rakyat
Kabupaten Merangin melalui pembobotan. Analisis lingkungan internal dilakukan
dengan menggunakan matriks IFE (Internal Factor Evaluation). Matriks IFE berfungsi
untuk mengetahui seberapa besar peranan faktor kekuatan dan kelemahan yang terdapat
pada Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin dalam pengembangannya.
Kekuatan utama yang ditandai dengan nilai total terbesar yaitu tingkat kematian
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
166
ternak dan jarak kelahiran sedangkan kelemahan utama yang ditandai dengan nilai total
terkecil yaitu kepemilikan induk ternak sapi.
Berdasarkan dari hasil analisis matriks IFE, faktor kekuatan terdiri dari 9 faktor
kekuatan yaitu tingkat kematian ternak dengan nilai 0,24, kepemilikan ternak memiliki
nilai 0,20, jarak kelahiran mendapat nilai sebesar 0,24, umur induk bunting dengan nilai
0,12, pakan memiliki nilai sebesar 0,20, jumlah pakan hijauan yang banyak bernilai
0,20, bibit ternak sapi bali memiliki nilai 0,16, sistem pemeliharaan dengan nilai 0,16,
dan sistem perkawinan ternak menghasilkan nilai 0,20. Dengan demikian, jika
dijumlahkan 9 faktor kekuatan tersebut maka akan menghasilkan nilai total faktor
kekuatan sebesar 1,20.
Tabel 3. Hasil Analisis Faktor Kekuatan di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten
Merangin
No. Penilaian Kekuatan Bobot Rata-rata Rating
Rata-Rata
Nilai Total
Kekuatan
1 Tingkat kematian ternak sapi 0,06 4 0,24
2 Kepemilikan ternak 0,05 4 0,20
3 Jarak kelahiran 0,06 4 0,24
4 Umur induk bunting 0,04 3 0,12
5 Pakan 0,05 4 0,20
6 Jumlah pakan hijauan yang banyak 0,05 4 0,20
7 Bibit ternak sapi bali 0,04 4 0,16
8 Sistem pemeliharaan 0,04 4 0,16
9 Sistem perkawinan ternak 0,05 4 0,20
Total Faktor Kekuatan 0,44 35 1,2
Selain analisis faktor kekuatan, terdapat juga analisis faktor kelemahanyang
digunakan untuk mengetahui nilai faktor yang dapat menghambat dan mengganggu
program pengembangan Sentra Peternakan Rakyat di Kabupaten Merangin. Hasil
perhitungan total faktor kekuatan diperoleh nilai 1,20. Sedangkan faktor kelemahan
memiliki 11 faktor yaitu penyakit ternak dengan nilai 0,12, kepemilikan induk ternak
sapi dengan nilai 0,10, kekurangan hijauan pada musim kemarau mendapat nilai sebesar
0,12, kontinyuitas hijauan memperoleh nilai 0,12, kualitas hijauan dengan nilai 0,12,
teknologi pengolahan hijauan dengan nilai 0,10, bibit yang mudah sakit menghasilkan
nilai 0,10, rata-rata bobot badan ternak sapi memiliki nilai 0,06, jarak kandang dari
pemukiman dengan nilai 0,06, pembersihan kandang kurang efisien bernilai 0,04, dan
modal mempunyai nilai 0,12. Kemudian dari nilai 11 faktor kelemahan tersebut maka
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
167
diperoleh hasil perhitungan total faktor kelemahan sebesar 0,84.
Total skor bobot IFE yang diperoleh dari total nilai faktor kekuatan sebesar 1,20
dan total nilai faktor kelemahan sebesar 0,84. Maka, total skor IFE (Internal Factor
Evaluation) sebesar 2,04. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa respon Sentra
Peternakan Rakyat dalam kondisi mampu untuk mengatasi kelemahan dan
memanfaatkan kekuatan yang ada, sehingga faktor internal Sentra Peternakan Rakyat
berada dalam kategori sedang. Hal ini sesuai dengan pendapat David (2004) bahwa skor
total nilai rata-rata adalah 2,5. Jika nilai di bawah 2,5 menandakan bahwa secara internal
adalah lemah. Sedangkan jika nilai berada di atas 2,5 menandakan posisi internal kuat.
Tabel 4. Hasil Analisis Faktor Kelemahan di SPR Kabupaten Merangin
No. Penilaian Kelemahan Bobot Rata
Rata Rating
Rata-Rata Nilai Total Kelemahan
1 Penyakit ternak sapi 0,06 2 0,12
2 Kepemilikan induk ternak sapi 0,05 2 0,10
3 Kekurangan hijauan pd musim kemarau 0,06 2 0,12
4 Kontinyuitas hijauan 0,06 2 0,12
5 Kualitas hijauan 0,06 2 0,12
6 Teknologi pengolahan hijauan 0,05 2 0,10
7 Bibit yang mudah sakit 0,05 2 0,10
8 Rata-rata bobot badan ternak sapi 0,03 2 0,06
9 Jarak kandang dari pemukiman 0,03 2 0,06
10 Pembersihan kandang kurang efisien 0,04 1 0,04
11 Modal 0,06 2 0,12
Total Faktor Kelemahan 0,55 21 0,84
Total Nilai IFE 1,0 56 2,04
Matriks EFE (Eksternal Factor Evaluation)
Matriks EFE digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan
eksternal dan menggolongkannya menjadi peluang dan ancaman Sentra Peternakan
Rakyat (SPR) Kabupaten Merangin dengan melakukan pembobotan. Matriks EFE
merupakan sebuah daftar yang membuat serangkaian faktor strategis eksternal yang
terdiri atas peluang dan ancaman (David, 2004).
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
168
Tabel 5. Hasil Analisis Faktor Peluang di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten
Merangin
No. Penilaian Peluang Bobot
Rata-Rata Rating
Rata-Rata Nilai Total
Peluang
1 Permintaan ternak sapi 0,11 4 0,44
2 Kebijakan pemerintah 0,09 3 0,27
3 Integrasi ternak sapi dan perkebunan sawit 0,10 3 0,30
4 Pelatihan teknologi pengolahan hijauan 0,09 4 0,36
5 Adanya bantuan bibit dari pemerintah 0,09 4 0,36
6 Dukungan lembaga terkait 0,09 4 0,36
7 Perkembangan teknologi 0,09 3 0,27
Total Faktor Peluang 0,66 25 2,09
Berdasarkan dari hasil analisis, maka faktor peluang terdiri dari 7 faktor yaitu
permintaan ternak sapi dengan nilai 0,44, kebijakan pemerintah memiliki nilai 0,27,
integrasi ternak sapi dan perkebunan sawit mendapat nilai sebesar 0,30, pelatihan
teknologi pengolahan hijauan dengan nilai 0,36, adanya bantuan bibit dari pemerintah
memiliki nilai sebesar 0,36, dukungan lembaga terkait memiliki nilai sebesar 0,36 dan
perkembangan teknologi mempunyai nilai 0,27. Dengan demikian di dapat hasil
perhitungan total faktor peluang adalah 2,09.
Selain faktor peluang, ada juga faktor ancaman yang dihadapi oleh Sentra
Peternakan Rakyat di Kabupaten Merangin maka dilakukan analisis faktor ancaman
untuk memperoleh nilai total dari faktor ancaman. Setelah dilakukan analisis maka
diperoleh 5 faktor ancaman yaitu Belum adanya pasar dengan nilai 0,36, Kenaikan
harga pakan dengan nilai 0,27, Kebijakan impor sapi memperoleh nilai sebesar 0,16,
Pasar semakin selektif sebesar 0,20 dan Persaingan semakin kompetitif memiliki nilai
sebesar 0,28. Total faktor ancaman yang diperoleh adalah 1,27.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
169
Tabel 6. Hasil Analisis Faktor Ancaman di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin
No. Penilaian Peluang Bobot Rata-
Rata Rating Rata-
Rata Nilai Total Ancaman
1. Belum adanya pasar 0,09 4 0,36
2. Kenaikan harga pakan 0,09 3 0,27
3. Kebijakan impor sapi 0,04 4 0,16
4. Pasar semakin selektif 0,05 4 0,20
5. Persaingan semakin kompetitif 0,07 4 0,28
Total Faktor Peluang 0,34 19 1,27
Total Nilai EFE 1,00 44 3,36
Total skor bobot EFE yang diperoleh dari faktor peluang sebesar 2,09 dan faktor
ancaman sebesar 1,27. Maka, diketahui bahwa total skor EFE (Eksternal Factor
Evaluation) sebesar 3,36. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa respon Sentra
Peternakan Rakyat mampu memanfaatkan peluang dan menghadapi ancaman yang
ada, sehingga termasuk kedalam kategori kuat. Menurut David (2004) yang mengatakan
bahwa Skor total 4,0 mengidentifikasi bahwa organisasi merespon dengan cara yang luar
biasa terhadap peluang dan ancaman di pasar industinya. Sementara, skor total 1,0
menunjukkan bahwa organisasi tidak memanfaatkan peluang dan ancaman ekternal.
Peluang utama yang ditandai dengan nilai total terbesar yaitu permintaan ternak sapi
sedangkan ancaman utama yang ditandai dengan nilai total terkecil yaitu kebijakan
impor sapi. Hasil perhitungan matriks EFE dapat dilihat pada tabel 8 dan tabel 9.
Matriks IE (Internal - Eksternal)
Matriks IE merupakan pemetaan skor total matriks IFE dan EFE yang telah
dihasilkan pada tahap sebelumnya yang menunjukkan Sumbu Y pada matriks IE
menunjukkan skor total IFE sedangkan pada sumbu X menunjukan skor total EFE.
Tujuan penggunaan matriks ini adalah untuk memperoleh strategi pengembangan Sentra
Peternakan Rakyat di Kabupaten Merangin yang lebih detail. Berdasarkan hasil yang
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
170
diperoleh dari tahap pengolahan data menggunakan analisis matriks IFE dan EFE, maka
diketahui nilai total matriks IFE Sentra Peternakan Rakyat adalah sebesar 2,04 dan nilai
total matriks EFE Sentra Peternakan Rakyat adalah sebesar 3,36. Sehingga, hasil dari
analisis matriks IE (internal-eksternal) Sentra Peternakan Rakyat berada di dalam sel
II yang berarti tumbuh dan membangun (growth and build). Strategi yang tepat
untuk diterapkan pada sel II adalah strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan
pasar dan pengembangan produk. Hasil analisis matriks IE dapat dilihat pada gambar 1.
Menurut Wahyudi (2011) pada penelitiannya mengatakan bahwa Matriks IE
ditunjukkan bahwa berada pada sel II yang artinya tumbuh dan kembangkan. Strategi
yang dapat diterapkan adalah strategi intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar,
dan pengembangan produk) atau integratif (integrasi ke belakang, integrasi ke depan,
dan integrasi horizontal).
Matriks SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Threats)
Berdasarkan hasil analisis SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Threats)
pada penelitian ini terdapat 9 faktor kekuatan internal yaitu tingkat kematian ternak,
kepemilikan ternak, jarak kelahiran, umur induk bunting, pakan, jumlah pakan hijauan
yang banyak, bibit ternak sapi bali, sistem pemeliharaan dan sistem perkawinan ternak.
Setelah faktor kekuatan, terdapat juga 11 faktor kelemahan internal yaitu penyakit
ternak, kepemilikan induk ternak sapi, kekurangan hijauan pada musim kemarau,
kontinyuitas hijauan, kualitas hijauan, teknologi pengolahan hijauan, bibit yang mudah
sakit, rata-rata bobot badan ternak sapi, jarak kandang dari pemukiman, pembersihan
kandang kurang efisien dan modal. Menurut David dan Fred (2004) yang menyatakan
bahwa analisis internal adalah proses pemeriksaan terhadap kekuatan dan kelemahan
internal organisasi. Tujuan adalah yang mengidentifikasi kelemahan yang harus
dihindari serta mengembangkan kekuatan menurut yang dikehendaki perusahaan.
Adapun obyek dalam analisis internal, antara lain : aspek pemasaran, aspek produksi,
aspek sdm dan aspek keuangan.
Selain faktor internal, terdapat juga faktor eksternal yang terdiri dari faktor
peluang dan faktor ancaman. Faktor peluang eksternal terdiri dari 7 faktor yaitu
permintaan ternak sapi, kebijakan pemerintah, integrasi ternak sapi dan perkebunan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
171
sawit, pelatihan teknologi pengolahan hijauan, adanya bantuan bibit dari pemerintah,
dukungan lembaga terkait dan perkembangan teknologi. Setelah faktor peluang,
terdapat juga 5 faktor ancaman eksternal yaitu Belum adanya pasar, Kenaikan harga
pakan, Kebijakan impor sapi, Pasar semakin selektif dan Persaingan semakin
kompetitif. Umar (2008) menjelaskan lingkungan ekternal merupakan suatu proses
yang dilakukan oleh perusahaan dalam perencanaan strategi untuk memantau sektor
lingkungan dalam menentukan peluang dan ancaman bagi perusahaan.
Berdasarkan faktor-faktor kekuatan dan kelemahan hasil analisis internal serta
faktor peluang dan ancaman yang diperoleh melalui analisis eskternal, maka dapat
diformulasikan alternatif-alternatif strategi dengan menggunakan matriks SWOT.
Beberapa alternatif strategi yang dapat diterapkan oleh Sentra Peternakan Rakyat
Kabupaten Merangin yaitu:
Strategi S-O (Strengths - Opportunities)
Strategi S-O (Aggressive Strategy) adalah menyusun strategi yang menggunakan
kekuatan Sentra Peternakan Rakyat di Kabupaten Merangin untuk memanfaatkan
peluang. Strategi yang dapat diterapkan pada Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten
Merangin adalah meningkatkan produksi dengan memanfaatkan kebijakan pemerintah
mengenai bantuan bibit ke peternak yang didukung oleh lembaga terkait dalam
memenuhi permintaan ternak sapi yang terus mengalami peningkatan (S1). Penerapan
strategi digunakan untuk memanfaatkan kebijakan pemerintah agar sentra peternakan
rakyat dapat meningkatkan produksi ternak sapi dan dapat memenuhi permintaan ternak
sapi.
Strategi lain yang dapat diterapkan adalah meningkatkan kualitas hijauan pakan
ternak (HMT) ternak sapi dengan memanfaatkan jumlah pakan yang banyak dengan cara
melakukan pelatihan pengolahan hijauan dan integrasi antara ternak sapi dan
perkebunan sawit serta memanfaatkan perkembangan teknologi yang terbarukan (S2).
Memanfaatkan jumlah pakan yang banyak di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten
Merangin untuk pelatihan pembuatan pakan alternatif dengan menggunakan
perkembangan teknologi.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
172
Strategi W-O (Weaknesses - Opportunities)
Strategi W-O (Turn-arround Strategy) adalah menyusun strategi untuk mengatasi
kelemahan Sentra Peternakan Rakyat di Kabupaten Merangin agar memperoleh
peluang. Strategi yang dapat diterapkan pada Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten
Merangin adalah kekurangan dan kontinyuitas hijauan dapat diatasi dengan melakukan
integrasi antara ternak sapi dan perkebunan sawit (S3). Kekurangan hijauan dapat
diatasi dengan integrasi peternakan dengan perkebunan sawit agar memenuhi
kekurangan hijauan di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin.
Strategi berikutnya yang dapat diterapkan yaitu kurang adanya teknologi
pengolahan hijauan dapat diatasi dengan melakukan pelatihan teknologi pengolahan
hijauan sehingga dapat meningkatkan kualitas hijauan (S4). Dengan kurang adanya
teknologi pengolahan hijauan maka perlu adanya pelatihan pengolahan hijauan agar
dapat memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak. Strategi lainnya adalah kepemilikan
induk yang lemah dengan rata-rata bobot badan rendah disebabkan oleh keterbatasan
modal sehingga dengan adanya dukungan dari lembaga terkait dapat menambah jumlah
induk (S5). Bobot badan ternak sapi rendah sehingga perlu adanya bantuan modal dari
lembaga terkait sehingga dengan adanya dukungan tersebut bobot badan ternak bisa
bertambah dan kemungkinan dapat menambah jumlah induk ternak sapi di Sentra
Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin.
Strategi berikutnya yang dapat diterapkan adalah Penyakit ternak sapi disebabkan
oleh sanitasi kandang yang buruk dapat dikurangi dengan memanfaatkan kebijakan
pemerintah yaitu sosialisasi sistem pemeliharaan yang baik sehingga dapat memenuhi
permintaan ternak sapi yang terus meningkat (S6). Sanitasi kandang memegang peranan
penting dalam menjaga kesehatan ternak sapi karena jika kandang bersih maka ternak
akan sehat. Namun sebaliknya jika sanitasi kandang buruk maka ternak akan mudah
terserang penyakit, sehingga dibutuhkan sosialisasi sistem pemeliharaan yang baik.
Strategi lain yang dapat diterapkan adalah Adanya bantuan bibit dari pemerintah
dapat dimanfaatkan untuk mengurangi bibit yang sakit sehingga dapat menambah
penghasilan peternak (S7). Adanya bantuan bibit dari pemerintah diharapkan dapat
memberikan manfaat berupa menambah penghasilan peternak bahkan bisa menjual bibit
ternak yang sakit dan menggantinya dengan bibit yang baru.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
173
Strategi S-T (Strengths - Threats)
Strategi S-T (Diversification Strategy) adalah menyusun strategi yang
menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman eksternal. Strategi yang dapat
diterapkan pada Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin adalah memanfaatkan
kualitas bibit lokal seperti sapi bali akan mengurangi konsumsi sapi impor, dengan
berkurangnya impor sapi maka akan menguntungkan peternak lokal (S8). Untuk
mengendalikan impor ternak maka dapat memanfaatkan kebijakan pemerintah dengan
meningkatkan kualitas ternak sapi lokal seperti sapi bali maka akan menguntungkan
peternak lokal.
Strategi yang lain dapat diterapkan ialah kualitas pakan hijauan yang bagus dan
banyak tersedia dapat dimanfaatkan untuk menghindari kenaikan harga pakan ternak
sapi berupa pakan tambahan (S9). Untuk menghindari mahalnya harga pakan maka
dapat diatasi dengan memanfaatkan jumlah pakan hijauan pakan ternak dengan kualitas
yang baik di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin. Strategi berikutnya yang
dapat diterapkan adalah keunggulan hasil produksi dapat digunakan untuk menghadapi
belum adanya pasar dengan menjual ternak ke luar daerah sehingga harga ternak akan
naik dan menguntungkan peternak (S10). Belum adanya pasar ternak bisa diatasi dengan
menjual ternak ke luar daerah maka ternak akan terjual dengan harga yang tinggi
sehingga pengembangan program Sentra Peternakan Rakyat di Kabupaten Merangin
tidak akan terhambat.
Strategi alternatif lain adalah sistem pemeliharaan dan perkawinan yang baik akan
menghasilkan produk ternak sapi yang bagus sehingga dapat menghadapi pasar yang
semakin selektif dan persaingan yang semakin kompetitif seperti saat ini (S11). Sistem
pemeliharaan di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin yang dominan adalah
semi intensif dan sistem perkawinan dominan menggunakan inseminasi buatan (IB).
Maka dengan demikian dapat dimanfaatkan untuk menghadapi pasar yang semakin
selektif dan kompetitif.
Strategi W-T (Weaknesses - Threats)
Strategi W-T (Defensive Startegy) adalah menyusun strategi untuk mengurangi
kelemahan yang dimiliki dan menghindari ancaman. Strategi yang dapat diterapkan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
174
pada Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten Merangin adalah kekurangan hijauan dan
kurang adanya adopsi teknologi pengolahan hijauan serta naiknya harga pakan ternak
sapi dapat dihindari dengan melakukan pelatihan pengolahan pakan alternatif sehingga
segala hal yang menyangkut pakan ternak sapi bisa diatasi dan belum adanya pasar dapat
diatasi jika memiliki kualitas ternak yang bagus (S12). Pelatihan pengolahan hijauan
makanan ternak sangat perlu dilakukan untuk mengatasi kurangnya hijauan sehingga
permasalahan kurangnya pakan hijauan dan belum adanya pasar bisa diatas maka akan
menambah penghasilan peternak.
Strategi alternatif lain adalah kurangnya jumlah kepemilikan induk disebabkan
oleh kekurangan modal yang dapat diatasi dengan memanfaatkan dukungan lembaga
terkait yang diharapkan memberikan bantuan dana sehingga dapat meningkatkan
produksi dan mengurangi impor sapi (S13). Dengan memanfaatkan dukungan lembaga
yang diharapkan membantu permodalan peternak sehingga akan dapat menambah
jumlah ternak dan akan meningkatkan produksi dan otomatis penggunaan ternak impor
dapat berkurang.
Strategi berikutnya adalah rata-rata bobot badan ternak sapi yang rendah
disebabkan oleh banyaknya penyakit yang menyerang ternak dewasa maupun ternak
bibit hal ini dapat dikurangi dengan perbaikan sistem sanitasi kandang sehingga dapat
menghindari pasar yang semakin selektif dan persaingan yang semakin kompetitif
(S14). Penyakit ternak sapi dapat di kurangi dengan memperbaiki sistem kebersihan
kandang atau sanitasi kandang. Sehingga bobot badan ternak sapi akan bertambah dan
akan menguntungkan peternak.
Matriks QSPM (Quantitative Strategic Planning Matriks)
Matriks QSPM adalah alat analisis yang digunakan untuk tahap pemilihan
strategi. Pemilihan strategi dilakukan berdasarkan alternatif – alternatif strategi yang
diperoleh dari analisis matriks IE dan matriks SWOT sebelumnya. Matriks ini akan
menentukan daya tarik relatif dari beberapa alternatif strategi yang dapat dilaksanakan
untuk pengembangan usaha yaitu strategi yang terpilih dari total nilai daya tarik terbesar.
QSPM merupakan matriks tahap akhir dalam kerangka kerja analisis formulasi strategi.
Teknik ini secara jelas menunjukkan strategi alternatif yang paling baik untuk dipilih
(Purwanto, 2008).
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
175
Tabel 7. Hasil Analisis Matriks QSPM di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten
Merangin
No. Alternatif Strategi QSPM Nilai TAS
1 Alternatif Strategi 2 6,30
2 Alternatif Strategi 12 6,01
3 Alternatif Strategi 7 5,70
4 Alternatif Strategi 9 5,57
5 Alternatif Strategi 4 5,52
6 Alternatif Strategi 8 5,41
7 Alternatif Strategi 11 5,34
8 Alternatif Strategi 3 5,33
9 Alternatif Strategi 1 5,25
10 Alternatif Strategi 14 5,14
11 Alternatif Strategi 6 4,95
12 Alternatif Strategi 13 4,89
13 Alternatif Strategi 10 4,88
14 Alternatif Strategi 5 4,64
Berdasarkan hasil kerja pada tahap sebelumnya (Matching Stage) yang
menggunakan matriks IE (internal-external), selanjutnya pada tahap pengambilan
keputusan (Decission Stage) penulis menggunakan matriks QSPM. Matriks ini dapat
memberikan gambaran kelebihan-kelebihan relatif dari masing-masing strategi yang
selanjutnya menjadi dasar ojektif dalam memilih salah satu strategi yang menjadi
alternatif atau pilihan.
Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan analisis matriks QSPM
menunjukkan bahwa dari empat belas alternatif strategi yang diperoleh dari matriks
swot, maka dapat diketahui bahwa alternatif strategi yang dipilih dan paling
direkomendasikan dalam upaya pengembangan program Sentra Peternakan Rakyat
Kabupaten Merangin adalah meningkatkan kualitas hijauan pakan ternak (HMT) ternak
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
176
sapi dengan memanfaatkan jumlah pakan yang banyak dengan cara melakukan pelatihan
pengolahan hijauan dan integrasi antara ternak sapi dan perkebunan sawit serta
memanfaatkan perkembangan teknologi yang terbarukan dengan memiliki nilai Total
Attractive Score (TAS) yang paling tinggi dari alternatif strategi yang lainnya yaitu 6,30.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan
analisis data yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Faktor-faktor internal pengembangan program Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten
Merangin adalah 2,04.
2. Faktor-faktor eksternal pengembangan program Sentra Peternakan Rakyat
Kabupaten Merangin adalah 3,36.
3. Strategi yang digunakan pengembangan program Sentra Peternakan Rakyat
Kabupaten Merangin yang dihasikan pada analisis SWOT digunakan pada matriks
QSPM yang menghasilkan alternatif strategi yang paling direkomendasikan untuk
digunakan adalah meningkatkan kualitas hijauan pakan ternak (HMT) ternak sapi
dengan memanfaatkan jumlah pakan yang banyak dengan cara melakukan pelatihan
pengolahan hijauan dan integrasi antara ternak sapi dan perkebunan sawit serta
memanfaatkan perkembangan teknologi yang terbarukan dengan nilai 6,30.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka saran dari penulis adalah
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaplikasian alternatif strategi
berupa meningkatkan kualitas hijauan pakan ternak (HMT) ternak sapi dengan
memanfaatkan jumlah pakan yang banyak dengan cara melakukan pelatihan pengolahan
hijauan dan integrasi antara ternak sapi dan perkebunan sawit serta memanfaatkan
perkembangan teknologi yang terbarukan di Sentra Peternakan Rakyat Kabupaten
Merangin.
DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, A.M., B. Trisnamurti, dan C. Thalib. 2008. Arah Penelitian Pengembangan
Sapi Potong di Indonesia. hlm. 4-12. Dalam A.L. Amar, M.H. Husain, K. Kasim,
Marsetyo, Y. Duma, Y. Rusyantono, Rusdin, Damry, dan B. Sundu (Ed).
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
177
Pengembangan Sapi Potong Untuk Mendukung Percepatan Pencapaian
Swasembada Daging Sapi 2008-2010. Prosiding Seminar Nasional, Palu, 24
November 2008. Kerja Sama Antara Universitas Tadulako, Sub Dinas Peternakan
dan Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan Sulawesi Tengah.
David dan Fred. R. 2006. Manajemen Strategi, Buku 1, Edisi Kesepuluh, PT. Salemba
Empat. Jakarta
Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal
Peternakan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2015. Pedoman Sentra
Peternakan Rakyat (SPR). Penerbit Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Jakarta.
Dwiyanto, K. dan A. Priyanti. 2008. Keberhasilan Pemanfaatan Sapi Bali Berbasis
Pakan Lokal Pengembangan Usaha Sapi Potong di Indonesia. Wartazoa 18 (1):
34-45.
Elly, F.H. 2008. Dampak Biaya Transaksi terhadap Perilaku Ekonomi Rumah Tangga
Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. Disertasi. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Elly, F. H, P. O. V. Waleleng, Ingriet D. R. Lumenta dan F. N. S. Oroh. 2013. Introduksi
Makanan Ternak Sapi Di Minahasa Selatan. Joural of Tropica Forage science
(Pastura) 3 (1) : 5-8.
Eni, S.R., N. Amali, Sumanto, A. Darmawan, dan A. Subhan. 2006. Pengkajian
Integrasi Usaha Tani Jagung dan Ternak Sapi Di Lahan Kering Kabupaten Tanah
Laut, Kalimantan Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian 9 (2): 129-139.
Hadi, P. U. Dan Nyak Ilham. 2002. Problem dan Prospek Pengembangan Usaha
Pembibitan Sapi Potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 21 (4):148-157.
Harun A. R. 1994. Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala. Bandung: Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Isbandi. 2004. Pembinaan Kelompok Petani Ternak Dalam Usaha Ternak Sapi Potong.
J.lndon. Trop. Anim. Agric. 29 (2): 106-114.
Jaeil, L., Jung, L, Y,. 2013. A Cultural Comparison Of Sex Role Idenity And Attitude
Toward Grooming And Recreational Apparel Shopping Behavior Among Male
Consumers. Journal Of Fashion & Text. 15 (4) : 565 – 573.
Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Riady, M. 2004. Tantangan dan Peluang Peningkatan Produksi Sapi Potong Menuju
2020.. Dalam B. Setiadi H. Sembiring, T. Panjaitan, Mashur, D. Praptono, A.
Muzan, A. Sauki, dan Wildan (Ed.). Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong.
Yogyakarta. hlm. 3-6.
Umar, H. 2008. Metode Riset Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Wahyudi, F, A. 2011. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Rangkaian Tanaman Hias
Kreatif Pada “Creative Shop” Di Desa Babakan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Skripsi Pada Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi Dan Manajemen. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
178
ANALISIS MODEL IMPOR TERNAK SAPI ASAL AUSTRALIA
Muhammad Farhan1), Pahantus Maruli1) dan Iskandar1)
1Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Kampus Pinang Masak Mendalo Jambi, Kode
Pos 36361 Telp/Fax: (0741) 582907, HP: 082180436000, E-mail:
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan impor ternak sapi
asal Australia terhadap harga daging sapi di Indonesia.. Data sekunder terdiri dari data
berurut waktu (time series) periode tahun 1990 – 2015 yang bersumber dari Australian Bureau
Statistic, United Nation Trade, FAO Stat, Badan Pusat Statistik, dan World bank. Model penelitian
ekonometrik pada penelitian ini adalah Impor Ternak Sapi asal Australia. Volume impor
sapi hidup asal Australia volumenya meningkat selama periode tahun 1990-2014 yaitu
rata-rata sebesar 38,68 % per tahun. Kebijakan impor ternak dan daging sapi asal
Australia berdampak terhadap peningkatan impor daging sapi asal Australia maupun asal
seluruh negara, dan berdampak juga pada peningkatan impor sapi hidup asal Australia dan impor
sapi hidup asal semua negara. Impor daging sapi asal Australia dipengaruhi oleh harga
daging sapi Australia, impor sapi hidup asal Australia, impor daging sapi asal selain
Australia, dan harga impor daging sapi asal Australia. Harga daging sapi domestik
dipengaruhi oleh harga impor daging sapi asal Australia dan harga daging sapi Australia Kata Kunci : Impor Ternak dan Daging Sapi, Harga Daging Sapi
PENDAHULUAN
Selama ini kebutuhan daging sapi Indonesia dipenuhi dari tiga sumber yaitu ternak
sapi lokal, impor ternak sapi dan impor daging sapi. Untuk menutupi kekurangan
penawaran daging sapi dalam negeri dilakukan impor dari berbagai negara, terutama
Australia dan Selandia Baru (Kusriatmi, 2014; Ilham, 2009; Maraya, 2013; Istiqomah,
2014). Selama sepuluh tahun terakhir laju perkembangan impor daging sapi cenderung
mengalami peningkatan yang signifikan yaitu pada tahun 2011 jumlah impor daging
sapi sebesar 35,59 % dan jumlah impor daging sapi tersebut meningkat pada tahun 2012
mencapai 42,08 %. Proporsi perkembangan impor ternak dan daging sapi mengalami
peningkatan seiring meningkatnya konsumsi daging sapi dalam negeri (Ditjen
Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013).
Menurut Departemen Perdagangan (2008), laju permintaan daging sapi yang lebih
tinggi dari laju pasokan daging lokal menyebabkan harga daging sapi domestik
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
179
terus meningkat, sehingga pasokan impor terus makin membesar. Ironinya harga impor
yang murah justru menyesuaikan dengan harga domestik yang cenderung naik.
Ditambahkan oleh Ilham (2009), kenaikkan harga sapi ternyata tidak banyak dinikmati
peternak, dan justru dapat berdampak pada peningkatan inflasi, dan pengurasan populasi
sapi nasional.
Menurut Kementerian Pertanian (2015), kenaikan harga daging sapi yang terjadi
saat ini sebagai dampak dari ketidak seimbangan antara kuota produksi dan tingginya
permintaan masyarakat terhadap daging sapi. Terdapat sejumlah hambatan
distribusi/transportasi ternak sapi dari sentra produksi ke konsumen, baik menyangkut
persoalan transportasi kapal antar pulau maupun transportasi darat ikut memicu
kenaikan harga daging sapi. Konsekuensinya Indonesia harus melakukan impor ternak
dan daging sapi. Impor ternak dan daging sapi awalnya hanya untuk memenuhi segmen
pasar tertentu, namun kini telah memasuki segmen supermarket dan pasar tradisional.
Selain itu, menurut Kementerian Perdagangan (2015), peningkatan harga daging tahun
2015, menyebabkan usaha rumah potong hewan (RPH), pedagang daging sapi dan
pedagang bakso (termasuk rumah makan) tidak bisa beroperasi karena ketidakpastian
pasar. Situasi ini mengakibatkan banyak kerugian berantai (multiplier effect), pada
industri yang menggunakan bahan baku daging sapi.
METODE PENELITIAN
Metode Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan metode analisis data sekunder dan metode
survey. Heaton (2004; dalam Andrews, et.al., 2012) merumuskan analisis data sekunder
adalah suatu strategi penelitian yang memanfaatkan data kuantiatif ataupun kualitatif
yang sudah ada untuk menemukan permasalahan baru atau menguji hasil penelitian
terdahulu. Metode analisis pada penelitian ini adalah analisis ekonometrik, yaitu
pengukuran dan analisis kuantitatif dari fenomena ekonomi dan bisnis aktual
(Studenmund, 2012), dan model ekonomi yaitu persamaan-persamaan matematis yang
menjelaskan berbagai hubungan (Wooldridge, 2016). Dalam penelitian ini digunakan
pendekatan ekonometrik dengan sistem persamaan simultan yaitu :
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
180
Model Impor Ternak Sapi asal Australia
ITSAt = a0 + a1HTSAt + a2PDSDot + a3NTRt + a4IDSAt + a5TITSt + a6ITSsAt +
b7HITSAt+ U1....................................................................................... (1)
Tanda parameter dugaan yang diharapkan (hipotesis) adalah sebagai berikut:
a3, > 0; a1 , a2 , a4 , a5 , a6 , a7< 0
Dimana:
ITSAt = Impor ternak sapi asal Australia (kg)
HTSAt = Harga ternak sapi Australia (US$/kg)
PDSDot = Produksi daging sapi domestik (ton)
NTRt = Nilai Tukar Rupiah (Rp./US$)
IDSAt = Impor daging sapi asal Australia (kg) TITSt = Tarif impor ternak sapi (%)
ITSsAt = Impor ternak sapi asal selain Australia (kg)
HITSAt = Harga impor ternak sapi asal Australia (US$/kg)
U1 = Peubah pengganggu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kebijakan Impor Daging Sapi
Kebijakan Pemerintah beruapa penerapan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan menyebabkan lonjakan impor daging sapi
asal Australia sangat tinggi. Selain itu, penerapan Undang-Undang Nomor 18 tahun
2009 juga menyebabkan impor sapi hidup asal Australia juga melonjak sangat tinggi.
Tabel 5.1. Dampak Kebijakan Domestik Terhadap Impor Daging Sapi dan Sapi
Hidup
No Kebijakan Dampak
1 Kebijakan untuk Menghentikan
Ekspor Ternak Sapi dan Kerbau
ke Singapura dan Hongkong
tahun 1979
Mendorong perkembangan impor daging sapi asal
Australia jauh lebih cepat dibandingkan impor daging
sapi dari seluruh negara.
Perkembangan impor sapi hidup asal Australia relatif
sama dengan impor sapi hidup asal seluruh negara
2 Paket Mei Tahun 1995 Mendorong peningkatan impor daging sapi baik asal
Australia maupun asal seluruh negara
Perkembangan impor sapi hidup asal Australia dan
seluruh negara dengan adalah relatif sama.
3 Instruksi Presiden RI Nomor 2
Tahun 1998 Tentang
Perdagangan Antar Daerah
Menstimulus peningkatan impor daging sapi asal
Australia jauh lebih cepat dibandingkan impor daging
sapi asal seluruh negara.
Memberikan dampak yang sama terhadap impor sapi
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
181
No Kebijakan Dampak
Tingkat I dan Daerah Tingkat
II/Pulau
4 Program Kecukupan Daging Sapi
2005
5 Peraturan Menteri Pertanian No.
59/Permentan/HK.060/8 /2007
Tentang Pedoman P2SDS
6 Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/2/ 2010
Tentang Pedoman Umum PSDS
2014
7 Permentan No. 50/Permentan /
OT.140/9/ 2011, dan Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor :
24/M-Dag/Per/9/2011
8 Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor : 46/M-Dag/Per/8/2013
dan Keputusan Menteri
Perdagangan Nomor : 699/M-
Dag/Kep/7/2013
9 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2009 Tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan
hidup asal Australia dan seluruh negara
Mengurangi impor daging sapi asal Australia maupun
seluruh negara
Menambah impor sapi hidup asal Australia maupun
impor sapi hidup asal seluruh negara.
Perkembangan impor daging sapi asal Australia dan
seluruh negara terjadi peningkatan
Mendorong impor sapi hidup asal Australia maupun
seluruh negara.
Menghambat impor daging sapi asal Australia maupun
seluruh negara
Menurunkan impor sapi hidup asal Australia maupun
seluruh negara
Menghambat impor daging sapi asal Australia maupun
seluruh negara,
Penurunan terhadap impor sapi hidup asal Australia
Peningkatan terhadap impor daging sapi asal Australia
maupun asal seluruh negara.
Peningkatan terhadap impor sapi hidup asal Australia
saja tidak untuk impor sapi hidup asal semua negara.
Lonjakan impor daging sapi asal Australia sangat tinggi.
Impor sapi hidup asal Australia juga melonjak sangat
tinggi.
Impor Ternak Sapi asal Australia
Berdasarkan Gambar 5.2. impor sapi hidup asal Australia volumenya meningkat
selama periode tahun 1990-2014 yaitu rata-rata sebesar 38,68 % per tahun. Volume
impor sapi hidup asal Australia pada tahun 2014 sebanyak 246.834.352 kg meningkat
sangat signifikan dibandingkan tahun 1990 yaitu sebanyak 2.482.687 kg. Pada tahun
1995, tingkat pertumbuhan volume impor sapi hidup asal Australia adalah yang tertinggi
yaitu sebesar 256,23 % dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sedangkan
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
182
pada tahun 1998 terjadi penurunan volume impor sapi hidup asal Australia yang paling
rendah yaitu sebesar -74,28 % dibandingkan tahun sebelumnya. Khusus untuk impor
sapi hidup, hal yang menarik yaitu hampir seluruh impor sapi hidup adalah berasal
dari Australia selama tahun 1990-2014 dengan rata-rata sebanyak 97,92 % per tahun
atau impor sapi hidup yang berasal dari negara lain rata-rata hanya 2,08 % per tahun.
Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor : 52/Permentan/OT.140/9/2011
menjelaskan bahwa pemasukan ternak sapi bakalan dapat dilakukan untuk : a)
Memenuhi kebutuhan ternak potong dalam negeri; b) Memenuhi kebutuhan daging
segmen khusus, dan c) Meningkatkan nilai tambah serta menciptakan lapangan kerja.
Adapun persyaratan teknis sebagai berikut : a) Status kesehatan hewan di negara asal
dan di lokasi peternakan asal; b) Berat badan sapi potong per ekor maksimal 350 kg
pada saat tiba di pelabuhan pemasukan, dan berumur tidak lebih dari 30 bulan serta
harus digemukan minimal 60 hari setelah masa karantina
Menurut Yusdja dkk (2004), impor ternak sapi bakalan ternyata memberikan
dampak negatif terhadap usaha penggemukan ternak sapi lokal, terutama peternak
rakyat dan perusahan peternakan serta pedagang antar pulau. Hal ini diperlihatkan oleh
berbagai hal sebagai berikut :
a. Sebagian besar perusahaan perdagangan ternak antar pulau di wilayah sentra
produksi (WSP) terpaksa tidak aktif lagi memasarkan ternak hidup ke wilayah sentra
konsumsi (WSK) yaitu Provinsi DKI dan Jawa Barat.
b. Peternak rakyat di WSP tidak dapat memasarkan ternaknya karena ditolak oleh para
pedagang antar pulau sekalipun dengan harga yang lebih murah
c. Jumlah pemotongan sapi lokal di berbagai kota konsumsi di daerah penelitian hampir
seluruhnya memperlihatkan penurunan. Artinya penawaran daging sapi lokal
semakin menurun dan digantikan oleh sapi impor.
d. Perdagangan ternak sapi antar pulau dan antar propinsi WSP dan WSK menurun
dalam empat tahun terakhir.
e. Namun demikian peningkatan impor ternak sapi bakalan telah membantu
menurunkan angka pengurasan. Dengan impor ternak sapi bakalan sebanyak
400.000 ekor per tahun, ternyata hanya membantu mengurangi pengurasan ternak
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
183
sapi lokal. Jika jumlah impor ternak sapi bakalan mencapai 1 juta ekor, maka
kemungkinan besar akan terjadi pemulihan sapi-sapi lokal yang dapat berlangsung
5 tahun.
Sumber : United Nation Trade
Gambar 1.
Perkembangan Volume dan Share Impor Daging Sapi asal Australia
dan Seluruh Negara Tahun 1990-2014
Hadi et al. (1999) memperkirakan bahwa jika tidak ada perubahan teknologi
secara signifikan dalam proses produksi daging sapi dalam negeri, serta tidak adanya
peningkatan populasi sapi yang berarti, maka kesenjangan antara produksi daging sapi
dalam negeri dengan jumlah permintaan akan semakin melebar, sehingga berdampak
pada volume impor yang semakin besar. Hal ini tentu saja akan mengancam ketahanan
pangan dari sisi kemandirian pangan. Kemandirian pangan dapat diartikan bahwa
kebutuhan pangan nasional minimum 90 % dari dapat dipenuhi dari produksi dalam
negeri (Suryana 2004).
Persamaan Impor Ternak Sapi asal Australia
Hasil analisis Two-Stage Least Squares (2SLS) untuk persamaan Permintaan
Impor Ternak Sapi asal Australia (IDSA) diperoleh R2 sebesar 0,823568 (koefisien
determinasi). Selanjutnya hasil analisis diperoleh nilai Fstatistik = 31.21652 dengan
Perkembangan Volume Impor Sapi Hidup Australia dan Seluruh Negara Tahun 300,000,000 1990-2014
(kg)
300
250,000,000 200
200,000,000 100
150,000,000 0
100,000,000 -100
50,000,000 -200
0 -300
Vol. Impor Sapi Hidup Australia (kg) Pertumbuhan Australia (%) Share Impor Sapi Hidup Australia (%)
Vol. Impor Sapi Hidup (All) (kg) Pertumbuhan All (%)
Vo
lum
e I
mp
or
sap
i Hid
up
(k
g)
19
90
19
91
19
92
19
93
19
94
19
95
19
96
19
97
19
98
19
99
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
20
13
20
14
Per
tum
bu
han
& S
har
e (%
)
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
184
Prob. (F-statistic) =0,00000. Fakta ini menunjukkan bahwa Harga ternak sapi Australia
(HTSAt), Produksi daging sapi domestik (PDSDot), Nilai Tukar Rupiah (NTRt), Impor
daging sapi asal Australia (IDSAt), Tarif impor ternak sapi (TITSt), Impor ternak sapi
asal selain Australia (ITSsAt) dan Harga impor ternak sapi asal Australia (HITSAt)
secara simultan mempengaruhi permintaan impor ternak sapi asal Australia (IDSA).
Hasil penelitian Kusriatmi (2014) menunjukkan bahwa kenaikan harga daging sapi
impor cenderung meningkatkan volume impor daging sapi, tetapi pengaruhnya tidak
signifikan (p > 0.2).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kebijakan impor ternak sapi asal Australia berdampak terhadap peningkatan impor
daging sapi asal Australia maupun asal seluruh negara, dan berdampak juga pada peningkatan impor
sapi hidup asal Australia dan impor sapi hidup asal semua negara
Saran
Perlu dilakukan pendataan konsumsi dan harga daging sapi dan sapi hidup
nasional terpisah untuk bulan idul fitri (terkait kebutuhan daging sapi), idul adha (terkait
kebutuhan sapi hidup) dan bulan lainnya sepanjang tahun. Data tersebut diperlukan agar
pemerintah dapat membuat paket kebijakan khusus untuk memenuhi kebutuhan pada
saat idul fitri dan idul adha
DAFTAR PUSTAKA
Benedictis, L., & Taglioni, D. (2011). The gravity model in international trade. In The
trade impact of European Union preferential policies (pp. 55-89). Springer Berlin
Heidelberg.
Cheng, K. M., Kim, H., & Thompson, H. (2013). The real exchange rate and the balance
of trade in US tourism. International Review of Economics & Finance, 25, 122-
128
Devadoss, S., Holland, D. W., Stodick, L., & Ghosh, J. (2006). A general equilibrium
analysis of foreign and domestic demand shocks arising from mad cow disease in
the United States. Journal of Agricultural and Resource Economics, 441-453.
Diakosavvas, D. 1995. How Integrated are World Beef Markets. The Case of Australian
and U.S. Beef Markets. Agricultural Economics. 12 (2). 37-53
Duckett, S. K., & Andrae, J. G. (2001). Implant strategies in an integrated beef
production system. Journal of Animal Science, 79(E-Suppl), E110-E117.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
185
Harmini, Asmarantaka, R.W., & Atmakusuma, Y. 2011. Model Dinamis Sistem
Ketersediaan Daging Sapi Nasional. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 12 (1). 130-
148.
Ilham, N. (2014). Analisis penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia.
JITV, 19(3).
Istiqomah, N.S. (2014). Kerjasama Australia-Indonesia dalam Bidang Ekspor Impor
Daging Sapi. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Hasanuddin.
Kawashima, S., & Puspito Sari, D. A. (2010). Time-varying Armington elasticity and
country-of-origin bias: from the dynamic perspective of the Japanese demand for
beef imports. Australian Journal of Agricultural and Resource Economics,
54(1), 27-41.
Kementerian Perdagangan RI. 2014. Statistik Harga Internasional 2008-2013. Diunduh
tanggal 05 September 2014 dari http://www.kemendag. go.id/id/economic-
profile/prices/ international-price-table?year=2013.
Kusriatmi (2014) Dampak Kebijakan Swasembada Daging Sapi Terhadap Kinerja
Ekonomi Subsektor Peternakan Di Indonesia. Disertasi. IPB
Lamy, E., van Harten, S., Sales-Baptista, E., Guerra, M. M. M., & de Almeida, A. M.
(2012). Factors influencing livestock productivity. In Environmental stress and
amelioration in livestock production (pp. 19-51). Springer Berlin Heidelberg.
Narayan, S. and Narayan, P. K. (2005) An empirical analysis of Fiji‟s import demand function. Journal of Economic Studies. Vol. 32, No. 2: 158-68
Nesamvuni, E., Lekalakala, R., Norris, D., & Ngambi, J. W. (2012). Effects of climate
change on dairy cattle, South Africa. African Journal of Agricultural Research,
7(26), 3867-3872.
Pulungan, R. E. (2014). Dampak Kebijakan Indonesia Membatasi Kuota Impor Daging
Sapi Dari Australia. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, 1(2), 1-10.
Pusdatin Kementan (2015) Outlook Komoditas Pertanian sub Sektor Peternakan:
Daging Sapi. Jakarta: Kementan
Reyes, J., Wooster, R., & Shirrell, S. (2014). Regional trade agreements and the
pattern of trade: A networks approach. The World Economy, 37(8), 1128-1151.
Rude, J., Carlberg, J., & Pellow, S. (2007). Integration to Fragmentation: Post-BSE
Canadian Cattle Markets, Processing Capacity, and Cattle Prices. Canadian
Journal of Agricultural Economics/Revue canadienne d'agroeconomie, 55(2),
197-216.
Schroeder, T. C., & Tonsor, G. T. (2011). Economic impacts of zilmax® adoption in
cattle feeding. Journal of Agricultural and Resource Economics, 521-535.
Schroeder, T. C., Tonsor, G. T., Pennings, J. M., & Mintert, J. (2007). Consumer food
safety risk perceptions and attitudes: impacts on beef consumption across
countries. The BE Journal of Economic Analysis & Policy, 7(1).
Seo, S. N., & Mendelsohn, R. (2008). Measuring impacts and adaptations to climate
change: a structural Ricardian model of African livestock management.
Agricultural economics, 38(2), 151-165.
PROSSIDING SEMINAR NASIONAL MEMBANGUN PETERNAKAN BERKELANJUTAN MENUJU ERA INDUSTRI 4.0 (2019)
ISBN : 976-602-50946-2-0
186
Sinha, D. (2016). Dimensions of Changing Directions of Trade: A System Dynamics
Framework. Available at SSRN 2784100.
Studenmund, A. (2017). Using econometrics. 7th Edition. Boston: Pearson
Surico, P. (2003). Geographic concentration and increasing returns. Journal of
economic surveys, 17(5), 693-708.