hasil akhir penelitian ini adalah menyusun model ... · industri kecil kerajinan rumah tangga...
TRANSCRIPT
Hasil akhir penelitian ini adalah menyusun model pemberdayaan yang
efektif memandirikan pengrajin, membentuk perilaku wirausaha yang berkualitas
guna memajukan usaha kerajinan dan meningkatkan keberlanjutan usaha.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Posisi geografis Kabupaten Sidoarjo terletak berdekatan dengan Ibukota
Provinsi Jawa Timur. Batas sebelah utara Kabupaten Sidoarjo adalah Kota
Surabaya dan Kabupaten Gresik, sebelah selatan adalah Kabupaten Pasuruan,
sebelah timur adalah Selat Madura dan sebelah barat adalah Kabupaten
Mojokerto. Kabupaten Magetan terletak di bagian barat Jawa Timur, sekitar 200
km arah barat Kota Surabaya. Sebelah barat berbatasan dengan provinsi Jawa
Tengah, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Ngawi, sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Madiun dan sebelah selatan berbatasan dengan
Kabupaten Ponorogo. Kedua daerah ini merupakan daerah yang menjadi sentra
Industri Kecil Kerajinan Rumah Tangga (IKKR) barang dari bahan kulit di Jawa
Timur. Beberapa jenis produk yang mampu dihasilkan pengrajin di beberapa desa
di kedua kabupaten ini dijelaskan pada Tabel 18.Tabel 18Jenis Produksi Kerajinan Sentra IKKR Barang dari Kulit di Kabupaten Magetan dan Kabupaten Sidoarjo
Tabel 18. Jenis Produksi Kerajinan Sentra IKKR Barang dari Kulitdi Kabupaten Magetan dan Kabupaten Sidoarjo
Desa Kecamatan Kabupaten Jenis Produksi
Balegondo Magetan Magetan
Ringinagung Magetan Magetan
Sepatu dan sandal, ikat pinggang,jaket, dompet, tas, dan berbagaiasesories dari kulit.
Kludan Tanggulangin SidoarjoKalisampurno Tanggulangin SidoarjoKedensari Tanggulangin Sidoarjo
Tas, koper, dompet, ikatpinggang, jaket, sepatu sandal,sepatu, rompi, rok, celana, danberbagai asesories dari kulit.
Berdasarkan Tabel 18, pengrajin memiliki variasi dalam menghasilkan
produk kerajinannya. Pengrajin Sidoarjo merupakan penghasil produksi tas dan
koper yang dominan. Usaha ini diawali oleh orang tua mereka yang membuat
koper terlebih dahulu, kemudian mengembangkan jenis produk dengan membuat
tas, ikat pinggang, dompet, jaket, dan berbagai perlengkapan dari kulit. Pengrajin
di Magetan memulai usaha dengan membuat sepatu dan sandal, yang kemudian
berkembang menghasilkan ikat pinggang, jaket, dan berbagai produk dari kulit.
Terdapat beberapa pola saluran distribusi produk kerajinan di Sidoarjo dan
Magetan. Gambaran saluran distribusi yang diterapkan pengrajin dijelaskan pada
Gambar 13.
Gambar 13. Saluran Distribusi Produk KerajinanBarang dari kulit di Jawa Timur
Gambar 13Saluran Distribusi Produk Kerajinan Barang dari kulit di Jawa Timur
Pengrajin mendistribusikan produknya di dalam negeri dengan satu atau
lebih pola saluran distribusi sebagaimana tercantum pada Gambar 14. Pengrajin
yang menjadi anggota koperasi dapat memasarkan produknya melalui koperasi.
Bagi non anggota dapat memasarkan melalui: show room sendiri, agen kota, atau
juragan. Pada saluran distribusi ekspor, pengrajin masih belum bisa mengekspor
langsung tetapi melalui perusahaan trading atau eksportir.
Pengrajin Konsumen
Pengrajin Juragan Agen luarkota
Konsumen
Pengrajin Koperasi /Agen kota
Konsumen
Pengrajin Juragan Konsumen
Pengrajin Juragan Eksportir /Trading
Konsumenpemakai
Saluran distribusi dalam negeri
Saluran distribusi Ekspor
Daerah pemasaran produk kerajinan meliputi: seluruh Jawa Timur,
sebagian kota besar di pulau Jawa, Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sebagian kecil adalah ekspor ke Malaysia, Singapura, Brunei, Australia, Arab
Saudi, dan beberapa negara di timur tengah. Kemampuan pengrajin
mendistribusikan produknya ke beberapa daerah pemasaran (jangkauan
pemasaran) dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) lokal meliputi kota di wilayah
Jawa Timur, (2) nasional meliputi kota-kota diseluruh Indonesia, (3) nasional dan
ekspor meliputi kota di seluruh Indonesia dan ekspor ke luar negeri. Sebaran
jangkauan pemasaran produk kerajinan ditampilkan pada Tabel 19.Tabel 19Jangkauan Pemasaran Produk Kerajinan
Tabel 19. Jangkauan Pemasaran Produk Kerajinan
KabupatenSidoarjo Magetan
TotalJangkauan pemasaran *
N % N % N %Lokal (Jawa Timur) saja 48 33.1 63 55.3 111 42.9Nasional 90 62.1 45 39.5 135 52.1Nasional dan Ekspor 7 4.8 6 5.3 13 5.0Jumlah 145 100.0 115 100.0 260 100
*Hasil Uji Beda One Way Anova, Nyata pada α= 0,05, (P=0,003; F-Hitung=9,226)Modus = Nasional
Sebagian besar (95 persen) pengrajin memiliki jangkauan pemasaran
secara nasional, pengrajin mampu memasarkan produk kerajinannya di kota-kota
di Indonesia. Terdapat perbedaan yang nyata pada jangkauan pemasaran pengrajin
di Sidoarjo dan Magetan; jangkauan pasar pengrajin Sidoarjo lebih luas dibanding
pengrajin Magetan. Keterjangkauan transportasi dan jarak antara Sidoarjo dengan
Surabaya yang dekat mendukung pengrajin menjangkau pasar yang lebih luas.
Untuk menjalankan usaha kerajinan, pengrajin mempergunakan modal
kerja. Modal kerja yang dijalankan pengrajin adalah jumlah dana yang dimiliki
pengrajin untuk kegiatan produksi dalam jangka waktu satu bulan diluar aktiva
tetap berupa mesin, peralatan, dan tempat usaha. Modal kerja ini yang diputar
pengrajin setiap bulannya untuk membeli bahan baku, bahan penunjang dan
biaya produksi lainnya. Sebaran responden menurut modal kerja yang dikelola
terdapat pada Tabel 20.
Tabel 20. Sebaran Responden Berdasarkan Modal Kerja yang Dikelola
KabupatenModal Kerja*Sidoarjo Total
Total
N % N % N %< Rp.2juta 83 57.2 75 51.7 158 60.8
Rp.2 juta - Rp.4 juta 38 26.2 30 20.7 68 26.2
> Rp.4 juta 24 16.6 10 6.9 34 13.1
Total 145 100.0 115 100.0 260 100.0*Hasil Uji Beda One Way Anova, Nyata pada α= 0,05, (P=0,035; F hitung=4,469)Rataan= Rp.2.650.000Tabel 20Sebaran Responden Berdasarkan Modal Kerja yang Dikelola
Rata-rata pengrajin mempergunakan modal kerja perbulan Rp. 2.650.000.
Jika diperhatikan persentasenya, lebih dari setengah pengrajin mempergunakan
modal kerja dibawah dua juta rupiah. Pengrajin memperoleh modal dari beberapa
sumber permodalan yaitu: (1) modal sendiri, (2) modal pinjaman (diperoleh dari:
bank, koperasi, dan pribadi), (3) modal dari juragan, dan (4) modal ventura.
Seorang pengrajin bisa mengakses satu atau lebih sumber permodalan tergantung
pada kemauan dan kemampuan pengrajin. Pada beberapa pengrajin tidak mau
mengakses modal dari bank dengan alasan tidak tahu prosedurnya dan beberapa
pengrajin tidak mampu mengakses modal dari lembaga keuangan formal
(perbankan atau koperasi) karena tidak mampu memenuhi persyaratan agunannya.
Modal kerja yang dikelola dipergunakan untuk membeli bahan baku dan
perlengkapan usaha. Bahan baku diperoleh di lokasi industri melalui pedagang
pemasok bahan baku. Bahan baku tersebut sebagian diperoleh dari sentra
penyamakan kulit di Magetan, Yogyakarta, Blitar, dan Malang dengan harga Rp
13.000 - Rp 15.000 per feet. (1 feet = 28 cm persegi). Menurut pengrajin, bahan
baku dari Indonesia diakui kualitasnya terbaik sehingga banyak industri luar
negeri yang mencari bahan baku kulit dari Indonesia. Kebijakan yang kurang
mendukung menyebabkan banyak bahan baku yang diekspor, dalam hal ini tidak
ada kuota dalam ekspor bahan baku kulit sehingga kebutuhan lokal terganggu.
Menurut beberapa pengrajin, kulit yang diekspor itu adalah kulit dengan kualitas
terbaik sehingga pengrajin kesulitan untuk memperolehnya.
Pemda Kabupaten Sidoarjo telah mendirikan pabrik yang mampu
mengerjakan pengecoran segala jenis logam non besi, untuk keperluan usaha
kerajinan, misalnya: asesoris tas dan koper serta perhiasan dari bahan kuningan,
tembaga dan zink. Para pengrajin yang sebelumnya tergantung pada asesoris dari
luar dapat lebih menghemat dan dapat mengembangkan kreativitasnya dalam
mendapatkan model tertentu sebagai ciri khas. Di Kabupaten Magetan terdapat
UPT Penelitian dan Pengembangan Kulit, sehingga beberapa hasil kajian tentang
pengembangan industri penyamakan dapat mendukung perkembangan bahan baku
yang dapat memenuhi kebutuhan pengrajin di Magetan dan Sidoarjo.
Seluruh pengrajin memiliki peralatan pokok usaha kerajinan kulita yaitu
mesin jahit, dan alat pemotong. Pengrajin yang memiliki modal besar memiliki
beberapa mesin yang diberi nama lokal: mesin plong, mesin seset, mesin press,
mesin grinda, oven listrik, dan lain-lain. Pengrajin yang tidak memiliki mesin
tersebut dapat menggunakan mesin milik pengrajin lain dengan membayar uang
sewa. Pengrajin melaksanakan kegiatan produksi di rumah masing-masing (secara
home industry).
Pengrajin yang menjalankan usaha kerajinan dikelompokkan
menjadi tiga kelompok umur, sebagaimana ditampilan pada Tabel 21.
Rata-rata pengrajin yang menjalankan usaha kerajinan kulit di Jawa Timur
berusia 37 tahun, mereka adalah generasi penerus usaha kerajinan yang
dijalankan orang tua atau keluarga. Para pengrajin telah menjalankan
usaha secara turun menurun dari orang tua dan keluarga mereka
sebelumnya.
Tabel 21. Sebaran Responden Menurut Umur
Kabupaten TotalUmur Sidoarjo Magetan
N % N % N %Muda ( < 31 tahun) 45 31.0 42 36.5 87 33.5Dewasa (31-47 tahun) 52 35.9 34 29.6 86 33.1Lanjut (>47 tahun) 48 33.1 39 33.9 87 33.5Total 145 100 115 100 260 100
Hasil Uji Beda One Way Anova, Tidak Nyata pada α= 0,05, (P=0,208; F hitung=0,649)Rataan=37,4 tahun
Tabel 21Sebaran Responden Menurut Umur
Pengalaman usaha yang dimiliki juga bervariasi, sebaran responden
menurut pengalaman berusaha di bidang kerajinan dapat dilihat pada Tabel 22.
Rata-rata pengalaman berusaha di bidang kerajinan kulit 12 tahun, suatu masa
yang cukup penting untuk mengembangkan usahanya menjadi lebih baik.
Pengrajin bekerja sebagai petani, pedagang, karyawan swasta dan buruh pabrik
sebelum bekerja di bidang kerajinan ini.
Tabel 22Sebaran Responden Menurut Pengalaman BerusahaTabel 22. Sebaran Responden Menurut Pengalaman Berusaha
Kabupaten TotalPengalaman Berusaha Sidoarjo Magetan
N % N % N %Pemula ( <14 tahun) 42 29.0 42 36.5 84 32.3Menengah (14-24tahun) 48 33.1 35 30.4 83 31.9
Lanjut (>24 tahun) 55 37.9 38 33.0 93 35.8Jumlah 145 100 115 100 260 100
Hasil Uji Beda One Way Anova, Tidak Nyata pada α= 0,05, (P=0,228; F hitung=1,458)Rataan=12,7 tahun
Apabila pengalaman usaha tersebut dikaitkan dengan umur pengrajin
(rata-rata pengrajin berumur 37 tahun), maka dapat diketahui bahwa mereka rata-
rata memulai karir pengrajin pada usia 24 tahun. Kronologis umur memulai usaha
berkontribusi terhadap keberhasilan jangka panjang karena wirausahawan muda
cenderung akan memiliki karir yang lebih lama dan potensial untuk dapat
mengembangkan karir wirausahanya (Perry, Batstone dan Pulsarum, 2003).
Hasil usaha kerajinan yang dijalankan pengrajin dipergunakan untuk
menghidupi anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Pengrajin memiliki
tanggungan keluarga yang dijelaskan pada Tabel 23.
Tabel 23Sebaran Responden Menurut Tanggungan KeluargaTabel 23. Sebaran Responden Menurut Tanggungan Keluarga
Kabupaten TotalSidoarjo Magetan
Jumlah Tanggungankeluarga
N % N % N %Sedikit (< 2 jiwa) 24 16.6 31 27.0 55 21.2Sedang (2-4 jiwa) 66 45.5 57 49.6 123 47.3Banyak (>4 jiwa) 55 37.9 27 23.5 82 31.5Jumlah 145 100 115 100 260 100.0
*Hasil Uji Beda One Way Anova, Nyata pada α= 0,05, (P=0,005; F hitung=7,851)
Rataan=4 jiwaBerdasarkan Tabel 23, diketahui bahwa jumlah anggota keluarga yang
menjadi tanggungan pengrajin rata-rata 4 orang. Terdapat perbedaan yang nyata
pada aspek tanggungan keluarga di kedua lokasi, tanggungan keluarga pengrajin
di Sidoarjo lebih besar dari Magetan. Sidoarjo adalah daerah pinggiran perkotaan
yang memiliki daya tarik bagi pendatang, sehingga anggota keluarga yang
berasal dari daerah lain di wilayah Jawa Timur turut tinggal di tempat pengrajin
dan menjadi tanggungan keluarganya.
Kegiatan pembinaan belum banyak dirasakan oleh pengrajin. Kegiatan
pembinaan berupa pelatihan baru dirasakan oleh 67 persen pengrajin, artinya 33
persen pengrajin pengrajin belum pernah mendapatkan pembinaan melalui
pelatihan atau pendidikan non formal, mereka bisa melakukan proses produksi
karena belajar dari pengrajin lainnya. Beberapa kegiatan pembinaan yang pernah
dilakukan di kedua lokasi dijelaskan pada Tabel 24.
Tabel 24Kegiatan Pembinaan Bagi Pengrajin di Kabupaten Magetan dan SidoarjoTabel 24. Kegiatan Pembinaan Bagi Pengrajin di
Kabupaten Magetan dan Sidoarjo
Kegiatan Substansi/Materi Tempat Penyelenggara
Produksi Magetan danSidoarjo
Manajemen Magetan danSidoarjo
SDM Sidoarjo
Pelatihan
Akuntansi Sidoarjo
Disperindag, Diskop & UKM,Koperasi, LIPI, PerguruanTinggi, LSM.
Pendampingan Bantuan modalpinjaman danteknik produksi.
Magetan danSidoarjo
PT POS, PT Telkom, PT BRI,NOKIA.
Penyelenggaraan pembinaan dilaksanakan berdasarkan keinginan
penyelenggara dan bersifat tidak kontinyu. Karena tidak ada koordinasi antar
penyelenggara, sering materi yang diberikan saling overlap. Aspek pemerataan
untuk mengakses kegiatan pembinaan masih rendah karena mereka terhalangi
oleh beberapa klik pada jalur birokrasi desa seperti perangkat desa (pamong
praja), koperasi, atau aktor-aktor dalam Lingkungan Industri Kecil (LIK). Faktor
klik yang ada pada jalur birokrasi tersebut terbentuk dari aspek kekeluargaan dan
kepemilikan modal
Sarana promosi industri kecil di Jawa Timur yang sering diakses pengrajin
adalah kegiatan pameran kerajinan di tingkat Provinsi atau Nasional. Selain itu,
Dinas Koperasi dan UKM juga telah membuat situs internet dengan alamat
www.diskopjatim.go.id yang menampilkan fitur potensi UKM kulit di Jawa
Timur.
Karakteristik Individu Pengrajin
Usaha kerajinan barang dari bahan kulit di Kabupaten Sidoarjo dan
Magetan dikelola oleh pengrajin yang selain sebagai pemilik usaha, tenaga
produksi / pekerja, pengelola keuangan juga sebagai tenaga pemasar. Pada usaha
kerajinan ini pengrajin merupakan aktor kunci dalam menggerakkan usaha
kerajinan. Melihat posisi individu yang multi fungsi tersebut, maka karakteristik
individunya akan menentukan bagi upaya pengembangan usahanya.
Karakteristik individu pengrajin diukur berdasarkan: pendidikan,
pengalaman usaha, motivasi berusaha, tingkat pemenuhan kebutuhan, intensitas
komunikasi dan aspek gender. Ukuran ini diperoleh dari hasil analisis faktor
konfirmatori, sebelumnya terdapat delapan indikator yang diperoleh dari sintesis
teori dalam kerangka berpikir penelitian. Setelah dilakukan analisis faktor,
indikator umur, tanggungan keluarga, dan pengalaman usaha tidak valid untuk
dimasukkan dalam model pengukuran variabel karakteristik individu. Deskripsi
responden menurut karakteristik individu ditampilkan pada Tabel 25.
Berdasarkan Tabel 25, terlihat bahwa aspek karaketeristik individu yang
menonjol pada pengrajin di Sidoarjo dan Magetan adalah motivasi berusaha dan
intensitas komunikasi. Setengah pengrajin di Sidoarjo memiliki motivasi berusaha
yang tinggi dan sangat tinggi, pengrajin telah memiliki motivasi berusaha yang
mengarah pada orientasi ekonomi dan perkembangan usaha. Intensitas
komunikasi yang dilakukan pengrajin di Sidoarjo juga tinggi, hampir setengah
pengrajin melakukan komunikasi dengan intensitas yang tinggi dan sangat tinggi
karena didukung oleh kemudahan menggunakan alat komunikasi, keterbukan, dan
kemudahan memperoleh sarana transportasi dan prasarana transportasi.
Aspek pendidikan non formal pengrajin di kedua lokasi masih sangat
rendah. Pengrajin mendapat pendidikan non formal melalui pelatihan yang
diselenggarakan pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah namun dengan
intensitas yang masih sangat rendah.
Tabel 25. Sebaran Responden Menurut Karakteristik Individu
Kabupaten TotalSidoarjo Magetan
Karakteristik Individu Kriteria
N % N % N %Lulus SD 50 34,5 46 40,0 96 36,9Lulus SMP 61 42,1 41 35,7 102 39,2Lulus SMA/PT 34 23,4 28 24,3 62 23,8
Pendidikan FormalSelang skor (6-16)Rataan=9 tahun
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Rendah ( < 10 jam) 119 82,1 89 77,4 208 80,0Sedang (10–20jam) 18 12,4 12 10,4 30 11,5Tinggi (> 20 jam) 8 5,5 14 12,2 22 8,5
Pendidikan Non FormalSelang skor (skor 0-40)Rataan=2,8jam
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 16 11,0 21 18,3 37 14,2Rendah 36 24,8 44 38,3 80 30,8Sedang 32 22,1 12 10,4 26 10,0Tinggi 20 13,8 12 10,4 50 19,2Sangat Tinggi 41 28,3 26 22,6 67 25,8
Motivasi Berusaha(X15)*Selang skor (skor 0-100)Rataan=55.5
Jumlah 145 100 115 100 260 100Sangat rendah 21 14,5 28 24,3 49 18,9Rendah 29 20,0 20 17,4 49 18,9Sedang 32 22,0 34 29,6 66 25,4Tinggi 28 19,3 21 18,3 49 18,9Sangat Tinggi 35 24,1 12 10,4 47 18,1
PemenuhanKebuthn(X16)*Selang skor (skor 0-100)Rataan=50.2
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 16 11,0 32 27,8 48 18,5Rendah 23 15,9 24 20,9 47 18,1Sedang 40 27,6 23 20,0 63 24,2Tinggi 39 26,9 20 17,4 59 22,7Sangat Tinggi 27 18,6 16 13,9 43 16,5
Komunikasi (X17)*Selang skor (skor 0-100)Rataan=52.0
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 50 34,5 42 36,5 92 35,4Rendah 23 15,9 9 7,8 32 12,3Sedang 36 24,8 39 33,9 75 28,8Tinggi 6 4,1 5 4,3 11 4,2Sangat Tinggi 30 20,7 20 17,4 50 19,2
Aspek Gender (X18)*Selang skor (skor 0-100)Rataan=33.3
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Tabel 25Sebaran Responden Menurut Karakteristik Individu
Keterangan:Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi:skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100.* Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata padaα= 0,05.
Pendidikan
Berdasarkan Tabel 25, hasil analisis statistik deskriptif menunjukkan bahwa
rata-rata pengrajin menempuh tingkat pendidikan formal di tingkat SMTP atau
masa studi pendidikan formal 9 tahun. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada
tingkat pendidikan di kedua lokasi. Masa tempuh pendidikan non formal
pengrajin masih sangat rendah, rata-rata pengrajin hanya menempuh pendidikan
non formal 8 jam selama kurun waktu menjalankan usaha di bidang kerajinan.
Pendidikan (baik formal maupun non formal) merupakan sarana untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Pada umumnya seseorang yang
berpendidikan lebih baik dan berpengetahuan teknis yang lebih banyak, akan lebih
mudah dan lebih mampu berkomunikasi dengan baik Semakin tinggi pendidikan
formal akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk menerima, menyaring dan
menerapkan inovasi yang dikenalkan kepadanya.
Rata-rata pendidikan pengrajin rendah atau setingkat SMP. Pengrajin yang
berpendidikan tinggi mempunyai potensi untuk meraih keberhasilan lebih lanjut
dengan memanfaatkan pendidikan yang dimilikinya, sebagaimana dikemukakan
oleh Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) yang menemukan bahwa pendidikan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan usaha kecil menengah.
Rajagapolan dan Datta (1996) menemukan adanya hubungan antara tingkat
pendidikan dan pengalaman usaha terhadap tingkat pertumbuhan usaha. Temuan
ini juga mendukung temuan Haber dan Reichel (2006) yang menyatakan bahwa
pendidikan menjadi prediktor yang bagus untuk memulai usaha yang beresiko dan
kesuksesan penguatan jejaring.
Motivasi dan Pemenuhan Kebutuhan
Rata-rata motivasi berusaha pengrajin di Sidoarjo adalah sedang
(skor=55,5). Terdapat perbedaan yang nyata pada motivasi berusaha pengrajin di
kedua lokasi, pengrajin di Sidoarjo memiliki motivasi yang lebih tinggi dari
pengrajin Magetan. Kabupaten Sidoarjo merupakan kawasan industri di Jawa
Timur, dinamika lingkungan usaha yang tinggi cenderung mendorong pengrajin
untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga kebutuhan
pertumbuhan dan keberlanjutan usahanya di masa depan.
Motivasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk menimbulkan
dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Motivasi berusaha merupakan
alasan pokok yang mendasari pengrajin untuk berperilaku dan memutuskan untuk
tetap bertahan melakukan kegiatan usaha di bidang kerajinan. Agar dapat
mengembangkan usahanya, seyogyanya seorang pengrajin yang juga seorang
wirausahawan memiliki motivasi berusaha yang tinggi guna menggerakkan
pengrajin untuk memenuhi kebutuhan perkembangan usaha.
Motivasi berhubungan dengan kebutuhan, minat (sifat nurani yang timbul
dengan sendirinya dan memiliki daya dorong) dan keinginan (sifat hati nurani
yang timbul karena orang berminat terhadap sesuatu dan mendorong terbentuknya
motif untuk berbuat). Motif yang besar akan timbul manakala ada kebutuhan yang
disadari yang menimbulkan keinginan, menimbulkan minat dan menimbulkan
motif. Salah satu faktor pendorong yang penting bagi pengrajin dalam berusaha
adalah tuntutan memenuhi kebutuhan keluarga. Hubungan antara tingkat
pemenuhan kebutuhan dan motivasi berusaha ditampilkan pada Tabel 26.
Tabel 26. Distribusi Persentase Pengrajin menurut MotivasiBerusaha dan Pemenuhan Kebutuhan
Tingkat Pemenuhan Kebutuhan TotalMotivasiberusaha Sangat
rendahRendah Sedang Tinggi Sangat
TinggiN % N % N % N % N % N %
Sangat rendah 12 32 20 25 3 13 7 13 7 10 49 19Rendah 12 32 21 26 4 14 7 14 5 7 49 19Sedang 10 27 22 28 7 28 14 28 13 19 66 25Tinggi 0 0 8 10 7 25 13 25 22 33 49 19Sangat Tinggi 3 8 9 11 5 20 10 20 20 30 47 18Jumlah 37 100 80 100 26 100 50 100 67 100 260 100
*Hasil Uji Chi-Square, Nyata pada α= 0,05, (P=0,00)Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi:skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100.Rata-rata motivasi berusaha sedang (skor=55,5)Tabel 26Distribusi Persentase Pengrajin menurut Motivasi Berusaha dan Pemenuhan Kebutuhan
Rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan karena pengrajin memiliki
motivasi yang rendah. Mereka menjalankan usaha kerajinan mengikuti teman,
tetangga dan orang tua. Alasan-alasan ekonomi kurang menjadi pertimbangan
dalam memilih berusaha sebagai pengrajin. Upaya memenuhi kebutuhan hidup
merupakan salah satu bentuk tanggung jawab terhadap keluarga yang menjadi
tanggungannya.
Hubungan antara motivasi berusaha dengan tanggungan keluarga pada
Tabel 27 menunjukkan bahwa semakin tinggi tanggungan keluarga, maka
semakin tinggi motivasi berusaha. Pada komunitas pengrajin, terdapat satu
keterkaitan antara tingkat pemenuhan kebutuhan, tanggungan keluarga dan
motivasi berusaha. Tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang
menjadi tanggungannya, menjadi pendorong yang signifikan bagi pengrajin untuk
berusaha.
Tabel 27. Distribusi Persentase Pengrajin menurut TanggunganKeluarga dan Motivasi Berusaha
Motivasi berusaha* TotalTanggungan
KeluargaSangatrendah
Rendah Sedang Tinggi SangatTinggi
N % N % N % N % N % N %Kurang dari 2 orang 6 17 13 17 4 17 8 17 11 17 43 172-4 orang 9 23 19 23 6 23 12 23 16 23 61 23Lebih dari 4 orang 22 60 48 60 16 60 30 60 40 60 156 60Jumlah 37 100 80 100 26 100 50 100 67 100 260 100
Keterangan:*Hasil uji chi-square nyata pada α= 0,05.Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi:skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100.Tabel27Distribusi Persentase Pengrajin menurut Tanggungan Keluarga dan Motivasi Berus aha
Komunikasi
Pengrajin melakukan komunikasi dengan tingkat yang baik dengan rataan
sedang (rata-rata skor=52). Suatu kondisi yang potensial untuk mendukung
program pemberdayaan pengrajin, karena mereka telah memiliki bekal intensitas
komunikasi yang baik. Intensitas komunikasi yang dilakukan pengrajin
berhubungan dengan tingkat pendidikannya. Hubungan antara intensitas
komunikasi dan pendidikan ditampilkan pada Tabel 28.
Berdasarkan hasil uji chi square pada Tabel 28 terbukti bahwa terdapat
hubungan yang nyata antara komunikasi dengan tingkat pendidikan. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan pengrajin, maka semakin
tinggi intensitas komunikasinya. Pengrajin yang memiliki tingkat pendidikan yang
tinggi lebih mampu melakukan komunikasi interpersonal, akses media cetak dan
elektronik serta kosmopolitansi daripada pengrajin yang tingkat pendidikannya
rendah.
Tabel 28. Distribusi Persentase Responden Pengrajin menurutIntensitas Komunikasi dan Pendidikan
Intensitas Komunikasi* TotalTingkatPendidikan Sangat
rendahRendah Sedang Tinggi Sangat
TinggiN % N % N % N % N % N %
LulusSD/Kurang
18 37 17 37 23 37 22 37 16 37 96 37
Lulus SMTP 19 39 18 39 25 39 23 39 17 39 102 39Lulus SMTA keatas
11 24 11 24 15 24 14 24 10 24 62 24
Jumlah 48 100 47 100 63 100 59 100 43 100 260 100Keterangan:*Hasil uji chi-square nyata pada α= 0,05.Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80,Sangat Tinggi: skor 81-100.Rata-rata intensitas komunikasi sedang (skor=52,03)Tabel 28Distribusi Persentase Responden Pengrajin menurut Komunikasi dan Pendidikan
Komunikasi diperlukan oleh seseorang demi terpenuhinya kebutuhan
berinteraksi dengan orang lain. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan
sosial dengan orang lain, yang terpenuhi melalui pertukaran pesan yang
merupakan jembatan untuk relasi sosial antar manusia. Begitu pula pada
pengrajin, tanpa komunikasi pengrajin akan terisolasi dengan dunia di luar
dirinya, yang diperlukan untuk kebutuhan usaha dan sosialnya.
Bagi pengrajin, berkomunikasi dengan konsumen, pemasok, teman sesama
pengrajin, pemberi modal sangat penting untuk keberlangsungan usaha
kerajinannya. Pengrajin memiliki kemampuan untuk mengkases media cetak dan
elektronik yang masih rendah, akses ini terkait dengan informasi model produk.
Aspek Gender
Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif, aspek Gender dalam
kegiatan usaha kerajinan masih rendah dengan skor rataan kesetaraan gender pada
kedua lokasi menunjukkan nilai yang rendah (33,26). Terdapat perbedaan yang
nyata pada aspek gender di kedua lokasi, aspek gender di Sidoarjo lebih tinggi
dari Magetan. Pengrajin di Sidoarjo memiliki persepsi tentang adanya kesetaraan
hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan yang lebih
tinggi dari pengrajin Magetan. Kabupaten Sidoarjo merupakan wilayah industri
dan dekat dengan pusat perdagangan di Jawa Timur. Hal ini menyebabkan banyak
tenaga kerja wanita yang bekerja di sektor industri / pabrik yang mengikuti
standar upah minimum. Kesadaran wanita akan hak-haknya menjadi lebih baik,
posisi tawar wanita untuk bekerja dengan upah yang setara dengan laki-laki
menjadi lebih tinggi karena ada pembanding yaitu bekerja di pabrik.
Pada Kabupaten Magetan yang wilayahnya jauh dari pusat industri dan
lebih dekat dengan pertanian, pengrajin masih membedakan upah untuk tenaga
kerja wanita dan laki-laki. Terdapat kesenjangan dalam pembagian tugas
kerajinan, kegiatan produksi lebih banyak dilakukan oleh laki-laki. Perempuan
mendapat tugas di bagian penjualan sebagai penjaga toko (show room), finishing
dan tenaga pemasaran. Sedangkan kegiatan produksi, pengadaan bahan baku,
pengaturan keuangan dan permodalan lebih banyak dijalankan oleh laki-laki.
Sistem pengupahan pada kegiatan produksi dilakukan per unit produk yang
dihasilkan dengan upah untuk sepatu Rp. 6.000,- per unit, tas Rp.3.000,- sampai
Rp.5.000, perunit, ikat pinggang dan dompet Rp.3.000 per unit. Sedangkan untuk
pekerjaan yang biasa dikerjakan perempuan di bidang kerajinan digaji
Rp.200.000,- per bulan, sehingga terdapat kesenjangan dalam upah yang diperoleh
pengrajin laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender dalam hal penggajian dan
pembagian tugas diangkat dalam penelitian kerajinan ini karena usaha kerajinan
membutuhkan ketelitian dan kecermatan dalam proses produksi. Hubungan antara
aspek gender dengan kemandirian produksi diuji dengan chi square, yang
ditampilkan pada Tabel 29.
Tabel 29. Distribusi Persentase Responden Pengrajin menurutAspek Gender dan Kemandirian Produksi
Aspek Gender* TotalSangatrendah
Rendah Sedang Tinggi SangatTinggi
KemandirianProduksi
N % N % N % N % N % N %Sangat rendah 22 24 9 28 14 19 0 0 14 10 49 19Rendah 41 45 2 6 14 19 2 18 3 7 49 19Sedang 16 17 2 7 9 12 2 18 3,7 19 66 25Tinggi 8 9 8 24 24 32 2 18 12 33 49 19Sangat Tinggi 5 5 11 34 14 19 5 45 17 30 47 18Jumlah 92 100 32 100 75 100 11 100 50 100 260 100
Keterangan:*Hasil uji chi-square nyata pada α= 0,05. Chi-square hitung=16,07
Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi:skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100.Rata-rata aspek gender rendah (skor=33,26)Tabel29Distribusi Persentase Responden Pengrajin menurut Gender dan Kemandirian Produksi
Terdapat hubungan yang nyata antara aspek gender dengan kemandirian
produksi, rendahnya kemandirian produksi salah satunya adalah disebabkan oleh
kesetaraan gender yang rendah. Ada diskriminasi penggajian dan pembagian
tugas antara laki-laki dan perempuan sehingga perempuan kurang memiliki
kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam usaha kerajinan ini.
Proses produksi yang dijalankan pengrajin dalam membuat tas, sepatu atau
asesoris lainnya membutuhkan kegiatan menjahit, mengelem atau merapikan yang
membutuhkan ketelitian. Keterlibatan perempuan berpeluang lebih meningkatkan
hasil dan mutu produk kerajinan ini.
Peran dan posisi perempuan dalam kegiatan usaha tidak lepas dari
konstruksi masyarakat yang dikuatkan dengan produk-produk budaya yang bias
laki-laki. Produk budaya yang bias laki-laki yang terkait dengan kondisi kedua
kabupaten adalah bahwasanya perempuan memiliki tugas primer sebagai ibu
rumah tangga, sehingga dalam usaha kerajinan memiliki fungsi sekunder.
Faktor Pendukung Usaha
Berdasarkan hasil analisis faktor diperoleh empat faktor yang layak untuk
mengukur kualitas pendukung usaha yaitu: berdasarkan kualitas bahan baku,
ketersediaan pasar, ketersediaan teknologi peralatan produksi, dan
keterjangkauan sarana transportasi. Deskripsi responden menurut kualitas
pendukung usaha ditampilkan pada Tabel 30.
Ketersediaan Bahan Baku
Rata-rata faktor ketersediaan bahan baku adalah rendah (skor rataan=37,4).
Ketersediaan bahan baku di kedua lokasi berbeda nyata, ketersediaan bahan baku
di kabupaten Magetan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kabupaten Sidoarjo.
Bahan baku sangat mutlak diperlukan untuk menghasilkan produk kerajinan
bermutu. Kabupaten Magetan merupakan salah satu penghasil kulit yang potensial
di Indonesia sehingga pengrajin lebih mudah mengakses bahan baku ini. Pengrajin
di Kabupaten Sidoarjo mengeluh sering kekurangan bahan baku. Kurangnya
bahan baku kulit ini menyebabkan pengrajin hanya mampu memenuhi 50 persen
pesanannya, proses produksi menjadi terlambat dua minggu dari jadwal dan biaya
produksi meningkat dua kali lipat.
Tabel 30. Sebaran Responden Menurut Kualitas Pendukung Usaha
KabupatenSidoarjo Magetan
TotalKualitasPendukung Usaha
Kriteria
N % N % N %Sangat rendah 45 31,0 19 16,5 64 24,6Rendah 11 7,6 6 5,2 17 6,5Sedang 56 38,6 39 33,9 95 36,5Tinggi 15 10,3 25 21,8 40 15,4Sangat Tinggi 18 12,4 26 22,6 44 16,9
Bahan Baku*Selang skor(0-100)Rataan=37,4
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 17 11,7 27 23,5 44 16,9Rendah 50 34,5 37 32,2 87 33,5Sedang 19 13,1 18 15,7 37 14,2Tinggi 30 20,7 15 13,0 45 17,3Sangat Tinggi 29 20,0 18 15,6 47 18,1
Pasar*Selang skor (0-100)Rataan=40,3
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 11 7,6 30 26,1 41 15,8Rendah 36 24,8 47 40,9 83 31,9Sedang 14 9,6 7 6,1 21 8,1Tinggi 56 38,6 24 20,9 80 30,8Sangat Tinggi 28 19,4 7 6,0 35 13,4
Teknologi*Selang skor (0-100)Rataan=44,4
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 14 9,6 29 25,2 43 16,5Rendah 28 19,3 28 24,3 56 21,5Sedang 26 17,9 19 16,5 45 17,3Tinggi 36 24,8 23 20,0 59 22,7Sangat Tinggi 41 28,4 16 13,9 57 21,9
Transportasi*Selang skor (0-100)Rataan=44,6
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Keterangan:Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi:skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100.* Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata padaα= 0,05.Tabel 30Sebaran Responden Menurut Kualitas Pendukung Usaha
Meskipun peraturan pemerintah melarang ekspor bahan baku kulit setengah
jadi, masih banyak industri penyamak kulit yang mengekspor bahan bakunya ke
luar negeri tanpa memperhatikan kebutuhan lokal. Keterbatasan bahan baku
menyebabkan harga menjadi naik. Pengrajin juga semakin kesulitan mendapat
bahan baku karena industri penyamakan kini menerapkan sistem pembayaran
uang tunai. Pengrajin mengharapkan pemerintah ikut memikirkan persediaan
bahan baku bagi industri kecil. Dampak dari kelangkaan bahan baku ini sangat
dirasakan oleh pengrajin yang berorientasi ekspor.
Ketersediaan Pasar
Faktor ketersediaan pasar bagi pengrajin adalah rendah (rata-rata 37,4).
Terdapat perbedaan yang nyata pada ketersediaan pasar diantara kedua lokasi,
lebih dari setengah pengrajin Magetan berhadapan dengan ketersediaan pasar yang
rendah sedangkan empat puluh persen pengrajin di Sidoarjo menyatakan bahwa
ketersediaan pasar tinggi.
Jangkauan pemasaran produk kerajinan masih belum optimal dilayani oleh
pengrajin Magetan. Pengrajin baru mampu menjangkau pasar lokal (wilayah Jawa
Timur). Pasar nasional dan ekspor belum banyak dijangkau oleh pengrajin
Magetan, tetapi aspek loyalitas konsumennya bagus. Pengrajin Magetan memiliki
konsumen yang loyal dengan produk tersebut karena sepatu kulit yang dihasilkan
lebih tahan lama, khususnya produk sepatu sekolah.
Ketersediaan pasar di Sidoarjo relatif lebih tinggi karena konsumen lebih
mudah menjangkau produk dengan mendatangi lokasi sentra kerajinan dan
perdagangan di Sidoarjo, selain itu kedekatan dengan pusat perdagangan
(Surabaya) juga mendukung kemudahan pendistribusian produk ke daerah lain.
Ketersediaan Sarana Teknologi
Ketersediaan sarana teknologi penunjang proses produksi tas dan sepatu
pada kedua lokasi adalah sedang (skor rataan= 44,4). Ketersediaan teknologi
kerajinan di kedua lokasi berbeda nyata, lebih dari setengah pengrajin di Sidoarjo
memiliki ketersediaan teknologi relatif tinggi sedangkan hampir tujuh puluh
persen pengrajin di Magetan memiliki ketersediaan teknologi yang rendah.
Pengrajin di Sidoarjo memiliki ketersediaan teknologi yang lebih tinggi dari
Magetan karena perkembangan peralatan pada pengrajin di Sidoarjo dipengaruhi
oleh lingkungan industri yang berkembang pesat di kawasan tersebut. Pengrajin
lebih mudah melakukan modifikasi mesin-mesin yang tersedia karena komponen
mudah diperoleh di sekitar Sidoarjo. Pada pengrajin di Magetan, peralatan yang
dimiliki jarang diperbaharui, pengrajin kurang mempertimbangkan aspek
penyusutan peralatan terutama acuan ukuran sepatu, sehingga mempengaruhi
kualitas proses dan produk yang dihasilkan.
Keterjangkauan Sarana Transportasi
Keterjangkauan sarana transportasi untuk kegiatan usaha kerajinan di kedua
lokasi berbeda nyata, lebih dari setengah pengrajin di Sidoarjo memiliki
keterjangkauan teknologi relatif tinggi sedangkan lebih setengah pengrajin
Magetan memiliki keterjangkauan transportasi yang rendah.
Pengrajin di Magetan mengalami hambatan dalam biaya transportasi yang
semakin meningkat, kenaikan harga bahan bakar minyak dirasakan amat
memberatkan pengrajin dalam melakukan pengiriman ke luar daerah. Selain itu
kepemilikan sarana transportasi yang masih rendah mengakibatkan semakin
mahalnya biaya yang berdampak pada keterjangkauan sarana transportasi rendah.
Pengrajin Sidoarjo dapat mengakses sarana transportasi Kereta Api untuk
pendistribusian produknya, keberadaan sarana transportasi kereta api meringankan
beban biaya transportasi karena pengiriman barang di Pulau Jawa bisa di jangkau
dengan transportasi ini dengan biaya relatif murah.
Faktor Lingkungan
Lingkungan ini memberikan dukungan pada pelaksanaan usaha kerajinan,
sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan-tindakan pengrajin. Hasil
analisis faktor membuktikan bahwa dukungan lingkungan yang melingkupi
pengrajin dan usaha kerajinan layak diukur berdasarkan: dukungan keluarga,
dukungan pemimpin informal, bimbingan Pemerintah Daerah, dan bimbingan
Organisasi non pemerintah. Deskripsi indikator dalam variabel lingkungan
tercantum pada Tabel 31.
Dukungan Pemimpin Informal
Tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda di lingkungan pengrajin
berinteraksi dengan pengrajin pada kegiatan sosial dan keagamaan. Pada
pertemuan-pertemuan tersebut terjadi komunikasi antara pemimpin informal
dengan pengrajin yang menyampaikan informasi di bidang sosial kemasyarakatan
dan pesan-pesan yang terkait dengan kegiatan kerajinan. Dukungan pemimpin
informal terhadap usaha kerajinan ini adalah sedang (rata-rata 50,3), terdapat
perbedaan nyata pada dukungan pemimpin informal di kedua lokasi.
Tabel 31. Sebaran Responden Menurut Dukungan Lingkungan Usaha
KabupatenDukungan LingkunganUsaha Sidoarjo Magetan
TotalKriteria
N % N % N %Pemimpin Informal* Sangat rendah 34 23,4 14 12,2 48 18,5Selang skor (0-100) Rendah 26 17,9 29 25,2 55 21,1Rataan=50,3 Sedang 32 22,1 18 15,6 50 19,2
Tinggi 29 20,0 30 26,1 59 22,7Sangat Tinggi 24 16,5 24 20,9 48 18,4Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Keluarga* Sangat rendah 35 24,1 19 16,5 54 20,8Selang skor (0-100) Rendah 11 7,6 18 15,7 29 11,1Rataan=51,2 Sedang 48 33,1 19 16,5 67 25,8
Tinggi 34 23,5 33 28,7 67 25,8Sangat Tinggi 17 11,7 26 22,6 43 16,5Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Bimbingan Pemda* Sangat rendah 32 22,1 39 33,9 71 27,3Selang skor (0-100) Rendah 30 20,7 31 26,9 61 23,5Rataan=31,2 Sedang 23 15,9 13 11,4 36 13,8
Tinggi 25 17,2 15 13,0 40 15,4Sangat Tinggi 35 24,1 17 14,8 52 20,0Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Bimbingan Ornop* Sangat rendah 18 12,4 47 40,9 65 25,0Selang skor (0-100) Rendah 43 29,7 22 19,1 65 25,0Rataan=33,7 Sedang 30 20,7 5 4,3 35 13,5
Tinggi 18 12,4 11 9,6 29 11,1Sangat Tinggi 36 24,8 30 26,1 66 25,4Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Keterangan:Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80,Sangat Tinggi: skor 81-100.* Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata padaα= 0,05.Tabel 31Sebaran Responden Menurut Dukungan Lingkungan Usaha
Hubungan sosial kemasyarakatan antara pemimpin informal dan
masyarakat mengarahkan masyarakat berinteraksi lebih intensif dengan
pemimpinnya. Hampir setengah pengrajin Magetan mendapat dukungan
pemimpin informal relatif tinggi, namun terdapat hubungan sosial
kemasyarakatan yang cenderung lemah pada masyarakat di Sidoarjo yang dekat
dengan pusat pertumbuhan ekonomi.
Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga pada usaha kerajinan di kedua lokasi adalah sedang
(rata-rata 51,2). Terdapat perbedaan yang nyata dukungan keluarga pada usaha
kerajinan di kedua lokasi, pengrajin di Sidoarjo mendapat dukungan keluarga
lebih rendah dari Magetan. Pengrajin menjalankan usaha kerajinan ini secara
turun temurun dalam lingkup rumah tangga. Kegiatan kerajinan yang dijalankan
dalam keluarga menjadikan mereka memiliki pemahaman yang mendalam dalam
usaha kerajinan ini.
Terdapat hal menarik untuk dikaji pada pengrajin di Sidoarjo, meskipun
keluarga besar telah menjalankan usaha kerajinan yang sama namun dukungan
terhadap usaha kerajinan yang dijalankan pengrajin relatif rendah. Lingkungan
berusaha di Sidoarjo mengarah pada lingkungan yang kompetitif sehingga tingkat
dukungan kepada anggota keluarga yang menjalankan usaha kerajinan cenderung
kurang. Hal ini tidak ditemui pada pengrajin di Magetan, lebih dari setengah
pengrajin di Magetan mendapat dukungan keluarga relatif tinggi.
Bimbingan Pemerintah Daerah
Bimbingan yang diberikan pemerintah daerah pada pengrajin di kedua lokasi
berbeda nyata, lebih dari setengah pengrajin di Magetan mendapat bimbingan dari
pemerintah daerah yang relatif masih rendah. Kurang intensifnya bimbingan yang
diberikan pemerintah daerah pada pengrajin di Magetan diketahui berdasarkan
banyaknya pengrajin yang belum pernah mendapat bimbingan pelatihan atau
pendampingan (33 persen). Kunjungan petugas dinas kepada pengrajin juga
jarang dilakukan kepada pengrajin di Magetan ini.
Pengrajin di Sidoarjo memperoleh bimbingan yang lebih baik dari pengrajin
di Magetan, kedekatan dengan pusat pemerintahan menjadikan pengrajin relatif
lebih sering mendapat pelatihan atau kunjungan baik dari dinas perindustrian dan
perdagangan maupun dinas koperasi dan UKM provinsi dan kabupaten.
Bimbingan Organisasi Non Pemerintah
Organisasi non pemerintah yang memberikan bimbingan kepada pengrajin
adalah: perusahaan swasta, perusahaan milik negara, perguruan tinggi, lembaga
penelitian, dan LSM. Bimbingan yang diberikan organisasi non pemerintah pada
pengrajin di kedua lokasi adalah relatif rendah (skor rata-rata 33,7). Terdapat
perbedaan yang nyata pada faktor bimbingan organisasi non pemerintah antar
pengrajin Magetan dan Sidoarjo. Bimbingan organisasi non pemerintah kepada
pengrajin di Sidoarjo relatif lebih tinggi dari Magetan karena lokasi Sidoarjo
relatif lebih dekat dan mudah untuk didatangi oleh organisasi tersebut.
Gambaran Perilaku Wirausaha Pengrajin
Perilaku wirausaha merupakan aspek-aspek yang terinternalisasi dalam
diri pengrajin yang ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilannya
untuk melakukan usaha dengan inovatif, inisiatif, berani mengambil resiko dan
berdaya saing. Gambaran tentang perilaku wirausaha pengrajin di kedua lokasi
penelitian ditampilkan pada Tabel 32.
Tabel 32. Sebaran Responden Menurut Perilaku WirausahaKabupaten
Sidoarjo Magetan TotalIndikator PerilakuWirausaha Kriteria
N % N % N %Keinovatifan* Sangat rendah 23 15,9 34 29,6 57 21,9Selang skor (0-100) Rendah 14 9,7 28 24,3 42 16,2Rataan=32,5 Sedang 25 17,2 31 27,0 56 21,5
Tinggi 45 31,0 13 11,3 58 22,3Sangat Tinggi 38 26,2 9 7,8 47 18,1Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Inisatif* Sangat rendah 27 18,6 27 23,5 54 20,8Selang skor (0-100) Rendah 25 17,2 26 22,6 51 19,6Rataan=34,4 Sedang 27 18,6 27 23,5 54 20,8
Tinggi 48 33,1 18 15,7 66 25,4Sangat Tinggi 18 12,4 17 14,8 35 13,5Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Pengelolaan Resiko* Sangat rendah 41 28,3 18 15,7 59 22,7Selang skor (0-100) Rendah 34 23,4 28 24,3 62 23,8Rataan=27,6 Sedang 14 9,7 19 16,5 33 12,7
Tinggi 29 20,0 25 21,7 54 20,8Sangat Tinggi 27 18,6 25 21,7 52 20,0Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Daya Saing* Sangat rendah 29 20,0 32 27,8 61 23,5Selang skor (0-100) Rendah 32 22,1 25 21,7 57 21,9Rataan=31,7 Sedang 18 12,4 5 4,4 23 8,9
Tinggi 33 22,8 34 29,6 67 25,8Sangat Tinggi 33 22,8 19 16,5 52 20,0Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Perilaku Wirausaha Sangat rendah 30 20,7 21 18,3 51 19,6Selang skor (0-100) Rendah 24 16,6 24 20,9 48 18,5Rataan=33,8 Sedang 28 19,3 30 26,1 58 22,3
Tinggi 29 20,0 21 18,3 50 19,2Sangat Tinggi 34 23,4 19 16,5 53 20,4Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Keterangan:Kriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80,Sangat Tinggi: skor 81-100.* Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata padaα= 0,05.Tabel 32Sebaran Responden Menurut Perilaku Wirausaha
Perilaku wirausaha pengrajin (keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko,
dan daya saing) adalah relatif rendah (rata-rata skor dibawah 40). Terdapat
perbedaan yang nyata pada seluruh faktor perilaku wirausaha pengrajin di kedua
lokasi. Aspek perilaku wirausaha yang menonjol pada pengrajin Sidoarjo adalah
keinovatifan dan inisiatif, sedangkan pengrajin Magetan yang menonjol adalah
pengelolaan resiko dan daya saing.
Keinovatifan Pengrajin
Rata-rata tingkat keinovatifan pengrajin adalah masih rendah (skor=32,5).
Terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat keinovatifan pengrajin, lima puluh
tujuh persen pengrajin Sidoarjo memiliki tingkat keinovatifan tinggi dan lima
puluh empat persen pengrajin Magetan memiliki tingkat keinovatifan rendah.
Tingkat keinovatifan pengrajin yang diukur berdasarkan parameter
pengetahuan, sikap dan ketrampilan pengrajin ditampilkan pada Gambar 15.
Gambar 14Tingkat Keinovatifan Pengrajin
Keterangan:Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 14. Tingkat Keinovatifan Pengrajin
Magetan TotalSidoarjo
Pengetahuan
0
5
10
15
2025
30
35
4045
50
1 2 3 4 5
Per
sen
Sikap
0
510
1520
25
30
35
4045
50
1 2 3 4 5
Pers
en
Ketrampilan
0
5
1015
20
25
30
3540
45
50
1 2 3 4 5
Pers
en
Berdasarkan Gambar 14 diketahui bahwa lebih dari setengah pengrajin di
kedua lokasi memiliki pengetahuan inovasi usaha yang rendah, empat puluh
persen pengrajin memiliki ketertarikan untuk menerapkan inovasi pengrajin yang
tinggi, dan hampir setengah pengrajin memiliki ketrampilan penerapan inovasi
yang masih rendah.
Setengah pengrajin di kedua lokasi memiliki pengetahuan dalam inovasi
usaha rendah, namun pengrajin memiliki ketertarikan terhadap inovasi berusaha
yang lebih baik. Empat puluh persen pengrajin memiliki ketertarikan untuk
menerapkan inovasi yang tinggi, pengrajin di Sidoarjo memiliki ketertarikan
untuk mencari inovasi baru yang terkait dengan model atau bentuk produk.
Ketrampilan penerapan inovasi secara keseluruhan adalah rendah.
Pengrajin kurang cermat dan teliti untuk mencoba membuat cara-cara berusaha
baru yang lebih baik. Pengrajin cenderung mengikuti cara-cara berusaha yang
telah ada dan mencoba menerapkan inovasi setelah orang lain menerapkannya.
Inisiatif Pengrajin
Inisiatif pengrajin dalam berusaha di kedua lokasi adalah relatif rendah
(rata-rata skor 34,4). Gambaran pengetahuan, sikap dan ketrampilan pengrajin
dalam menginisiasi suatu usaha dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15Tingkat Inisatif PengrajinKeterangan:Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Pengetahuan
05
1015
2025
3035
4045
50
1 2 3 4 5
Per
sen
Sikap
05
1015
20
25
3035
4045
50
1 2 3 4 5
Pers
en
Ketrampilan
05
10
15
2025
3035
4045
50
1 2 3 4 5
Pers
en
Magetan TotalSidoarjo
Gambar 15. Tingkat Inisatif Pengrajin
Aspek pengetahuan, sikap,dan ketrampilan dalam faktor inisiatif berusaha
pengrajin di kedua lokasi lebih kondusif dibandingkan ketiga faktor lain dalam
variabel perilaku wirausaha. Aspek yang menonjol pada faktor inisiatif berusaha
adalah aspek sikap, lebih dari empat puluh persen memiliki ketertarikan terhadap
peluang usaha yang tinggi. Lebih dari setengah pengrajin memiliki pengetahuan
tentang insiatif memulai usaha pada kategori sedang, dan tiga puluh lima persen
pengrajin memiliki ketrampilan memulai usaha baru yang masih rendah.
Terdapat perbedaan nyata pada inisiatif pengrajin di kedua lokasi, empat
puluh lima persen pengrajin di Sidoarjo memiliki inisiatif relatif tinggi sedangkan
empat puluh enam persen pengrajin di Magetan memiliki inisiatif relatif rendah.
Rendahnya inisiatif berusaha pengrajin di Kabupaten Magetan ini dapat dilihat
dari rendahnya pengetahuan, sikap dan ketrampilannya. Tiga puluh sembilan
persen pengrajin memiliki tingkat pengetahuan (tentang peluang usaha, cara
memanfaatkan peluang usaha dan cara mengidentifikasi peluang usaha) yang
rendah. Terdapat pemikiran pengrajin untuk tidak memproduksi kerajinan dengan
jenis produk, model dan pelanggan yang lain karena produk yang dihasilkan saat
ini dianggap bisa dipasarkan.
Ketertarikan pengrajin (terhadap peluang usaha, cara memanfaatkan
peluang usaha dan cara mengidentifikasi peluang usaha) adalah rendah. Sikap
pengrajin ketika berhadapan dengan jenis produk dan pangsa pasar baru juga tidak
kondusif, mereka tidak tertarik untuk memanfaatkan peluang usaha yang baru
sebelum ada teman sesama pengrajin yang memulainya. Selain itu mereka lebih
tertarik melayani dan menekuni pasar yang sudah ada sehingga cenderung
mengabaikan peluang usaha baru karena takut mengalami kerugian.
Ketrampilan pengrajin dalam (menemukan peluang, melakukan
identifikasi peluang usaha, dan memanfaatkan peluang usaha) cenderung rendah,
tingkat ketelitian dan kecermatan memulai usaha juga cenderung rendah. Lima
puluh lima persen pengrajin menjalankan kegiatan usaha kerajinan mengacu
kegiatan yang sejenis dengan pengrajin lain.
Inisiatif yang lebih baik terdapat pada pengrajin di Kabupaten Sidoarjo,
mereka senang terhadap jenis dan pangsa pasar baru serta cermat dalam
memproduksi dan memanfaatkan peluang pasar baru. Ketika produk telepon
seluler (ponsel) mulai banyak digunakan orang, beberapa pengrajin menjalin
hubungan dengan produsen ponsel Nokia untuk membuat sarung ponsel dari kulit.
Pengelolaan Resiko
Pengelolaan resiko usaha pada kedua lokasi adalah rendah dengan rata–
rata skor 27,6. Kemampuan mengelola resiko pengrajin di kedua lokasi berbeda
nyata, lebih dari setengah pengrajin di Sidoarjo memiliki pengelolaan resiko
relatif rendah sedangkan setengah pengrajin di Magetan memiliki pengelolaan
resiko yang relatif tinggi. Pengrajin di Magetan melaksanakan pekerjaan
cenderung tanpa mempertimbangkan kemungkinan terjadinya resiko, mereka juga
takut menghadapi resiko kegagalan dan berputus asa pada saat menghadapi resiko.
Hal ini relevan dengan pernyataan sebelumnya bahwa mereka memiliki
keengganan untuk memproduksi produk dengan jenis lain yang berbeda dengan
produk dan pasar yang telah ditekuninya. Gambaran kemampuan pengrajin dalam
pengelolaan resiko para pengrajin dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16Tingkat Pengelolaan Resiko
Keterangan:Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5) Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 16. Tingkat Pengelolaan Resiko
Magetan TotalSidoarjo
Pengetahuan
0
510
152025
3035
4045
50
1 2 3 4 5
Per
sen
Sikap
0
5
1015
202530
35
40
4550
1 2 3 4 5
Pers
en
Ketrampilan
0
5
1015
2025
3035
40
4550
1 2 3 4 5
Pers
en
Berdasarkan Gambar 16 terlihat bahwa aspek pengetahuan dan
ketrampilan di bidang pengelolaan resiko masih rendah, setengah pengrajin
memiliki pengetahuan tentang pengelolan resiko yang rendah, dan empat puluh
persen pengrajin memiliki ketrampilan pengelolaan resiko yang rendah. Aspek
sikap dalam pengelolaan resiko menunjukkan arah yang lebih kondusif, empat
puluh persen pengrajin memiliki kategori sikap yang positif untuk mengelola
resiko usaha.
Tingkat pengetahuan tentang pengelolaan resiko pengrajin adalah sedang.
Pengrajin telah mengetahui cara-cara memperkiraan resiko, menjalankan usaha
beresiko, dan menghindari resiko meskipun masih terbatas. Pengetahuan
pengelolaan resiko pengrajin Sidoarjo lebih unggul dari pengrajin Magetan.
Sikap pengrajin pada usaha yang beresiko cenderung rendah, pengrajin
cenderung menolak terhadap kemungkinan terjadinya resiko dalam berusaha.
Pengrajin juga masih rendah ketrampilan pengelolaan resikonya. Pengrajin sering
dihadapkan pada pembayaran dengan cek kosong, pemesan yang tidak mengambil
pesanannya karena ketidakjelasan perjanjian dan proses pemesanan khususnya
untuk produk dalam jumlah besar.
Daya Saing
Daya saing pengrajin di kedua lokasi adalah relatif rendah dengan rata-rata
skor 31,7. Terdapat perbedaan yang nyata pada aspek daya saing pengrajin di
kedua lokasi, sebagian besar pengrajin di Sidoarjo memiliki daya saing relatif
lebih tinggi dari pengrajin di Magetan. Gambaran aspek pengetahuan, sikap, dan
ketrampilan tercantum pada Gambar 17.
Magetan TotalSidoarjo
Pengetahuan
0
510
15
2025
3035
4045
50
1 2 3 4 5
Per
sen
Sikap
05
10
1520
25
3035
40
4550
1 2 3 4 5
Pers
en
Ketrampilan
0
510
15
2025
3035
4045
50
1 2 3 4 5
Per
sen
Gambar 17Tingkat Daya Saing PengrajinKeterangan:Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5) Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 17. Tingkat Daya Saing Pengrajin
Aspek yang paling menonjol pada faktor daya saing adalah aspek sikap,empat puluh persen pengrajin memiliki sikap yang cenderung tinggi dalam haldaya saing, namun aspek pengetahuan dan ketrampilan masih rendah.Pengetahuan pengrajin tentang daya saing sangat kondusif untuk keberlanjutanusahanya pada masa mendatang.
Pengrajin memiliki kiat-kiat menghadapi persaingan secara normatif telahdimiliki sebagian besar pengrajin. Sikap ulet dalam usaha dan bersaing secaraetis serta ketertarikan terhadap persaingan relatif tinggi. Pengrajin memilikiketertarikan terhadap persaingan yang diwujudkan secara sederhana dalamkegiatan usaha keseharian berupa pengamatan terhadap setiap perubahan hargaproduk kerajinan dan jumlah permintaan/pesanan dari pengrajin lain. Namunketrampilan mencapai tingginya daya saing masih kurang, pengrajin belummemperhatikan kecenderungan model yang dibutuhkan konsumen, serta kualitashasil produksi belum menjadi perhatian pengrajin untuk meningkatkan daya saingusahanya.
Tingkat Kemandirian Usaha
Gambaran tentang total tingkat kemandirian usaha pengrajin (aspek
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan) dalam hal permodalan, proses produksi,
kerjasama dan pemasaran terdapat pada Tabel 32. Tingkat kemandirian usaha
(modal, produksi, kerjasama, dan pemasaran) adalah relatif rendah (rata-rata skor
dibawah 40), sedangkan tingkat kemandirian proses produksi adalah sedang (rata-
rata skor 47,3). Terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat kemandirian usaha di
kedua lokasi. Aspek yang menonjol pada pengrajin di Sidoarjo adalah faktor
kemandirian pemasaran sedangkan pengrajin Magetan memiliki kelebihan dalam
kemandirian produksi. Pengrajin yang mempunyai kemandirian dalam berusaha
adalah pengrajin yang memiliki kemampuan dalam kegiatan produksi, pemasaran
dan permodalan yang tidak tersubordinasi dengan pihak lain.
Tabel 33. Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemandirian Usaha
KabupatenIndikator TingkatKemandirian Usaha Sidoarjo Magetan
Total
(Selang Skor )
Kriteria
N % N % N %Sangat rendah 18 12,4 37 32,2 55 21,2Rendah 30 20,7 26 22,6 56 21,5Sedang 25 17,2 10 8,7 35 13,5Tinggi 35 24,1 27 23,5 62 23,8Sangat Tinggi 37 25,5 15 13,0 52 20,0
Kemandirian Modal*Selang skor (0-100)Rataan=28.7
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 24 16,6 39 33,9 63 24,2Rendah 17 11,7 29 25,2 46 17,7Sedang 29 20,0 27 23,5 56 21,5Tinggi 28 19,3 12 10,4 40 15,4Sangat Tinggi 47 32,4 8 6,96 55 21,2
Kemandirian Produksi*Selang skor (0-100)Rataan=37.3
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 33 22,8 23 20,0 56 21,5Rendah 16 11,0 33 28,7 49 18,8Sedang 39 26,9 17 14,8 56 21,5Tinggi 29 20,0 20 17,4 49 18,8Sangat Tinggi 28 19,3 22 19,1 50 19,2
Kemandirian Kerjasama*Selang skor (0-100)Rataan=29,2
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 31 21,4 21 18,3 52 20,0Rendah 25 17,2 16 13,9 41 15,8Sedang 36 24,8 26 22,6 62 23,8Tinggi 30 20,7 24 20,9 54 20,8Sangat Tinggi 23 15,9 28 24,3 51 19,6
Kemandirian Pemasaran*Selang skor (0-100)Rataan=31.6
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Kemandirian Usaha Sangat rendah 21 14,5 29 25,2 50 19,2Selang skor (0-100) Rendah 28 19,3 24 20,9 52 20,0Rataan=35,9 Sedang 37 25,5 19 16,5 56 21,5
Tinggi 29 20,0 19 16,5 48 18,5Sangat Tinggi 30 20,7 24 20,9 54 20,8Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Keterangan: Tabel 33Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemandirian UsahaKriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi:skor 61-80, Sangat Tinggi: skor 81-100.* Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata padaα= 0,05.
Kemandirian Permodalan
Kemandirian permodalan relatif adalah rendah (rata-rata skor 28,7).
Kemandirian permodalan pengrajin di Sidoarjo lebih unggul dari pengrajin
Magetan, artinya pengrajin di Sidoarjo memiliki kemampuan dalam
pengelolaan modal secara hemat dan akumulatif. Pengrajin di Magetan
masih tergantung pada sumber permodalan yang dapat diakses saat ini
yaitu modal sendiri dan modal pinjaman pribadi dari lembaga keuangan
non bank. Gambaran tingkat kemandirian pengrajin di bidang permodalan
disajikan pada Gambar 18.
Magetan TotalSidoarjo
Pengetahuan
05
101520253035404550
1 2 3 4 5
Pers
en
Sikap
05
101520253035404550
1 2 3 4 5
Pers
en
Ketrampilan
05
10
1520
25
30
3540
45
50
1 2 3 4 5
Per
sen
r 18Tingkat Kemandirian PermodalanKeterangan:Kriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 18. Tingkat Kemandirian Permodalan
Berdasarkan Gambar 18, aspek yang paling menonjol pada faktor
kemandirian permodalan adalah aspek sikap, sebanyak empat puluh lima persen
pengrajin memiliki ketertarikan pada sumber permodalan alternatif dan menyukai
sifat hemat dalam pengelolaan modal yang tinggi sedangkang aspek pengetahuan
dan ketrampilan di bidang permodalan masih belum kondusif.
Tingkat pengetahuan tentang sumber-sumber permodalan, cara mengakses
modal, dan cara pengelolaan modal cenderung rendah. Ketrampilan di bidang
permodalan cenderung rendah, pengrajin masih lambat dalam mencari dan
mengakses sumber permodalan. Aspek permodalan yang menonjol pada pengrajin
Magetan adalah sikap. Pengrajin memiliki ketertarikan pada sumber permodalan
alternatif dan menyukai sifat hemat dalam pengelolaan modal. Pengrajin di
Sidoarjo memiliki ketrampilan mengelola permodalan yang cenderung tinggi,
pengrajin mampu secara cepat mengakses sumber permodalan alternatif dan
secara cermat mengelola modal untuk usaha kerajinannya.
Kemandirian Proses Produksi
Kemandirian proses produksi adalah relatif rendah (rata-rata skor 47,3).
Faktor kemandirian produksi di kedua lokasi berbeda nyata, empat puluh persen
pengrajin di Sidoarjo mencapai kemandirian kerjasama yang relatif tinggi,
sedangkan hampir setengah pengrajin di Magetan memiliki kemandirian proses
produksi yang rendah.
Pengetahuan
10152025303540
4550
Pers
en
Sikap
10152025303540
4550
Ketrampilan
1015202530
35404550
Pers
en
Keterangan: Gambar 19Tingkat Kemandirian ProduksiKriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 19. Tingkat Kemandirian Produksi
Berdasarkan Gambar 19 setengah pengrajin memiliki tingkat pengetahuan
produksi yang rendah, empat puluh persen pengrajin memiliki sikap mandiri
dalam melakukan proses produksi yang cenderung tinggi, dan lebih dari empat
puluh persen pengrajin memiliki ketrampilan proses produksi yang tinggi.
Setengah dari pengrajin memiliki tingkat pengetahuan produksi rendah, artinya
aspek pengetahuan rancangan produksi, tahapan proses produksi, dan
pemahaman cara kerja peralatan belum banyak dikuasi pengrajin. Sikap pengrajin
di bidang proses produksi, tanggapan terhadap perkembangan peralatan/mesin
yang lebih modern, dan sikap terhadap perkembangan bahan baku dan
perlengkapan produksi relatif bagus.
Pengrajin di Sidoarjo memiliki ketrampilan produksi cenderung tinggi.
Pengrajin mampu membuat dan mengembangkan desain produk sesuai dengan
perkembangan permintaan konsumen. Kecermatan dan kecepatan merancang pola
cenderung tinggi, pengrajin bisa membuat pengembangan desain dengan cepat
beserta polanya setelah melihat suatu produk di suatu Media, namun aspek
kehalusan dan kerapian dalam menghasilkan produksi masih rendah. Pengrajin di
Magetan belum memiliki ketrampilan produksi yang kondusif terhadap tuntutan
konsumen. Pengrajin juga belum berupaya melakukan modifikasi peralatan secara
efisien dan sesuai dengan tuntutan standar produk. Pengrajin cenderung puas
dengan produksi yang telah dihasilkan saat ini.
Kemandirian Kerjasama
Kemandirian kerjasama adalah relatif rendah (rata-rata skor 29,2). Faktor
kemandirian kerjasama di kedua lokasi berbeda nyata, lebih sepertiga pengrajin di
Sidoarjo mencapai kemandirian kerjasama yang relatif tinggi, sedangkan hampir
setengah pengrajin di Magetan memiliki kemandirian kerjasama rendah. Tingkat
kemandirian kerjasama tercantum pada Gambar 20.
Keterangan: Gambar 20Tingkat Kemandirian KerjasamaKriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 20. Tingkat Kemandirian Kerjasama
Berdasarkan Gambar 20, terlihat bahwa aspek yang paling menonjol pada
tingkat kemandirian kerjasama aadalah aspek sikap. Empat puluh lima persen
pengrajin memiliki sikap mandiri dalam kerjasama. Sikap pengrajin terhadap
tindakan subordinasi dan deprivasi dalam kerjasama, sikap mengutamakan
kerjasama kemitraan (partnership), dan sikap percaya diri dalam bekerjasama
adalah kondusif. Pengrajin tidak setuju terhadap bentuk tindakan deprivasi
terhadap dirinya atau orang lain. Namun aspek pengetahuan dan ketrampilan
dalam bekerjasama masih rendah.
Keberdayaan pengrajin ditentukan oleh kemandiriannya dalam melakukan
kerjasama dengan pihak lain yang terkait dengan kegiatan usahanya. Wawasan
yang dimiliki pengrajin di kedua lokasi tentang bentuk kerjasama, pengetahuan
perjanjian kerjasama, dan pengetahuan tentang cara melakukan kerjasama relatif
rendah. Mereka memperoleh pengetahuan tentang kerjasama sebatas dari sesama
pengrajin atau pemasok bahan baku kulit yang sebagian besar diperoleh dari
sekitar lingkungan mereka. Sikap pengrajin terhadap tindakan subordinasi dan
Magetan TotalSidoarjo
Pengetahuan
05
101520253035404550
1 2 3 4 5
Pers
en
Sikap
05
1015
202530
3540
4550
1 2 3 4 5
Per
sen
Ketrampilan
05
101520253035404550
1 2 3 4 5
Pers
en
deprivasi dalam kerjasama, sikap mengutamakan kerjasama kemitraan
(partnership), dan sikap percaya diri dalam bekerjasama cenderung tinggi.
Pengrajin tidak setuju terhadap bentuk tindakan deprivasi.
Ketrampilan dalam bekerjasama relatif rendah, artinya masih rendah
kemampuannya dalam melakukan kerjasama dengan pemodal dan pemasok bahan
baku, pengrajin kurang cermat dalam melakukan kesepakatan kerjasama karena
berorientasi pada tercukupinya kebutuhan akan modal atau bahan baku saja.
Kerjasama dengan pembeli juga masih lemah, hanya berlandaskan pada azas
kepercayaan. Pada beberapa pengrajin sering mengalami pembayaran dengan cek
kosong karena tidak ada data pembeli yang jelas dan belum adanya perjanjian
kerjasama dengan pembeli. Rendahnya kemandirian kerjasama pengrajin di kedua
lokasi rentan terhadap bentuk-bentuk penindasan oleh pihak yang memiliki
penguasaan tinggi atas sumber daya yang dibutuhkan pengrajin, diantaranya:
pemodal, penyedia bahan baku atau pihak yang terlibat dalam pendistribusian
produk hasil kerajinan.
Kemandirian Pemasaran
Kemandirian pemasaran adalah relatif rendah (rata-rata skor 31,6). Faktor
kemandirian pemasaran di kedua lokasi berbeda nyata, kemandirian pemasaran
pengrajin di Sidoarjo lebih unggul dari pengrajin di Magetan. Tingkat
kemandirian pemasaran pengrajin ditampilkan pada Gambar 21.
Keterangan: Gambar 21Tingkat Kemandirian PemasaranKriteria: (1) Sangat Rendah: skor 0-20; (2) Rendah: skor 21-40, (3) Sedang: skor 41-60,(4)Tinggi: skor 61-80, (5)Sangat Tinggi: skor 81-100.
Gambar 21. Tingkat Kemandirian Pemasaran
Magetan TotalSidoarjo
Pengetahuan
05
101520253035404550
1 2 3 4 5
per
sen
Sikap
05
101520253035404550
1 2 3 4 5
Pers
en
Ketrampilan
05
101520253035404550
1 2 3 4 5
Pers
en
Berdasarkan Gambar 21, terlihat bahwa secara keseluruhan aspek
pengetahuan, sikap, dan ketrampilan pengrajin dalam melakukan kegiatan
pemasaran secara mandiri masih rendah. Empat puluh persen pengrajin
memiliki pengetahuan pemasaran yang rendah, empat puluh delapan
persen pengrajin memiliki sikap memasarkan produknya secara mandiri
yang rendah, dan empat puluh persen pengrajin adalah rendah
ketrampilan pemasarannya.
Aspek kemandirian pemasaran yang lemah pada pengrajin di Magetan
terutama pada sikap, pengrajin belum tertarik melakukan promosi untuk
memperkenalkan produknya pada jangkauan pasar yang lebih luas. Pengrajin
masih rendah ketanggapannya terhadap perkembangan teknik-teknik menjual, dan
kurang mengutamakan kualitas pelayanan prima.
Pengrajin di Sidoarjo memiliki keunggulan pada pengetahuan di bidang
pemasaran. Artinya pengrajin telah memiliki pengetahuan tentang bauran
promosi, teknik menjual, dan mutu mutu pelayanan yang bermanfaat bagi
pelaksanaan kegiatan pemasaran produk kerajinan. Pengrajin di kedua lokasi
memiliki ketrampilan yang rendah di bidang pemasaran (kecermatan
mempromosikan produk, kecepatan menjual produk, dan keluwesan melayani
pelanggan). Pengrajin hanya mampu memasarkan produk yang dapat dibuat
(berorientasi produk), belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen dengan
optimal. Pelayanan yang dilakukan terhadap pembeli adalah masih sebatas
kemampuan pelayanan sehinggga cenderung mengabaikan kepuasan konsumen
dan kualitas pelayanan.
Keberdayaan Pengrajin
Pengrajin dikedua lokasi rata-rata masih memiliki kualitas perilaku
wirausaha dan tingkat kemandirian usaha yang relatif masih rendah. Hanya
sebagian kecil pengrajin yang mempunyai kualitas perilaku wirausaha dan tingkat
kemandirian usaha yang tinggi. Pengrajin yang berperilaku wirausaha dan mandiri
dalam berusaha merupakan pengrajin yang berdaya dalam usaha kerajinan dari
bahan kulit.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam terhadap pengrajin yang
termasuk dalam kategori pengrajin yang berdaya terdapat beberapa ciri yaitu: (1)
mampu menghasilkan produk secara inovatif sesuai dengan perkembangan model
yang ada di pasar, (2) mampu memenuhi permintaan konsumen dengan pelayanan
yang memuaskan, (3) sanggup menerima dan memulai usaha baru yang diyakini
akan memajukan usahanya pada masa yang akan datang, (4) mampu
menghasilkan produk yang berkualitas dengan memiliki ciri khas usaha
kerajinannya terutama untuk kebutuhan ekspor, (5) mampu menyediakan modal
untuk usahanya secara mandiri dan tanpa tekanan dari pihak penyedia modal jika
modal berasal dari pihak lain, (6) mampu mengelola kegiatan penjualan produk
kerajinan secara luas dengan jumlah yang cenderung meningkat dan menghasilkan
marjin laba yang tinggi, (7) mampu menjalankan proses produksi dengan teknik
yang selalu diperbaharui dan didukung dengan peralatan yang cukup, (8) terbebas
dari tekanan atau penindasan oleh pihak lain dalam menjalankan usahanya. Ciri
pengrajin yang berdaya tersebut telah dimiliki oleh sebagian pengrajin di
Kabupaten Sidoarjo dan Magetan namun dalam jumlah yang relatif kecil (kurang
dari 20 persen).
Tingkat Kemajuan Usaha
Kemajuan usaha pengrajin dari bahan kulit di Provinsi Jawa Timur diukur
berdasarkan pertumbuhan usaha, efisiensi usaha dan efektivitas usahanya.
Gambaran tentang tingkat kemajuan usaha pengrajin tercantum pada Tabel 34.
terlihat bahwa kemajuan usaha pengrajin relatif rendah (rata-rata skor 37,8). Tidak
terdapat perbedaan yang nyata pada faktor kemajuan usaha pengrajin di kedua
lokasi, hampir setengah pengrajin di Sidoarjo dan Magetan memiliki kemajuan
usaha yang rendah.
Pertumbuhan Usaha
Pertumbuhan usaha pengrajin adalah rendah (skor rata-rata=27,0),
rendahnya pertumbuhan usaha pengrajin di kedua lokasi diketahui dari rendahnya:
pertumbuhan volume penjualan yang diperoleh pengrajin, pertumbuhan
permintaan konsumen. Akumulasi keuntungan yang diperoleh dari pertumbuhan
permintaan konsumen dan pertumbuhan volume penjualan belum mampu
meningkatkan pertumbuhan aktiva.
Pengrajin menghasilkan produk dengan variasi jenis produk kerajinan
yang masih rendah, terutama pada pengrajin di Magetan yang cenderung bertahan
dengan jenis produk yang ada. Perkembangan pangsa pasar produk kerajinan juga
masih rendah, pengrajin belum memiliki segmen pasar yang lebih variatif.
Sebagian besar pengrajin memenuhi kebutuhan konsumen individu, konsumen
industri masih belum banyak dijangkau pengrajin (misalnya: permintaan souvenir
untuk industri perhotelan atau kemasan beberapa produk industri).
Tabel 34. Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemajuan Usaha
KabupatenSidoarjo Magetan TotalIndikator Tingkat
Kemajuan UsahaKriteria
N % N % N %Pertumbuhan Usaha* Sangat rendah 40 27,6 24 20,9 64 24,6Selang skor (0-100) Rendah 24 16,6 12 10,4 36 13,8Rataan=27,0 Sedang 23 15,9 29 25,2 52 20,0
Tinggi 34 23,4 18 15,7 52 20,0Sangat Tinggi 24 16,6 32 27,8 56 21,5Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Efisiensi Usaha* Sangat rendah 51 35,2 19 16,5 70 26,9Selang skor (0-100) Rendah 24 16,6 17 14,8 41 15,8Rataan=31,5 Sedang 15 10,3 40 34,8 55 21,2
Tinggi 31 21,4 22 19,1 53 20,4Sangat Tinggi 24 16,6 17 14,8 41 15,8Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Efektivitas Usaha* Sangat rendah 24 16,6 43 37,4 67 25,8Selang skor (0-100) Rendah 29 20,0 36 31,3 65 25,0Rataan=46,3 Sedang 30 20,7 11 9,57 41 15,8
Tinggi 19 13,1 16 13,9 35 13,5Sangat Tinggi 43 29,7 9 7,83 52 20,0Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Kemajuan Usaha Sangat rendah 37 25,5 22 19,1 59 22,7Selang skor (0-100) Rendah 27 18,6 25 21,7 52 20,0Rataan=37,8 Sedang 18 12,4 24 20,9 42 16,2
Tinggi 31 21,4 23 20,0 54 20,8Sangat Tinggi 32 22,1 21 18,3 53 20,4Total 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Keterangan: Tabel 34Sebaran Responden Menurut Tingkat Kemajuan UsahaKriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80,Sangat Tinggi: skor 81-100.* Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata pada α= 0,05.
Efisiensi Usaha
Pengrajin di Sidoarjo lebih menonjol efisiensi usahanya dibanding
pengrajin Magetan, tiga puluh delapan persen pengrajin memiliki tingkat efisiensi
yang relatif tinggi, namun secara keseluruhan rata-rata efisiensi usaha pengrajin di
kedua lokasi adalah rendah (skor rata-rata=31,5).
Pengrajin di Magetan masih kurang efisien dalam memanfaatkan waktu
dalam berusaha. Masih ada waktu menganggur (idle time) di kalangan pengrajin
karena belum memiliki penjadwalan kerja, dan urutan proses produksi yang belum
terencana dengan baik. Pada pengrajin yang belum memiliki mesin seset atau pres
dia tergantung pada penggunaan fasilitas milik pengrajin lain. Pengrajin yang
memiliki tukang, masih belum mempertimbangkan aspek mutu sumber daya
manusia dalam mencari tenaga kerja.
Efisiensi biaya belum diperhatikan secara baik oleh pengrajin, hal-hal
yang dapat memberi nilai tambah dan pendapatan masih belum menjadi perhatian.
Limbah potongan kulit (perca) yang bisa dimanfaatkan belum dikaji secara baik
agar dapat dimanfaatkan untuk menambah pendapatan. Perencanaan keuangan
juga belum dilakukan dengan baik oleh pengrajin, yang berakibat meningkatnya
biaya tak terduga.
Efektivitas Usaha
Efektivitas usaha pengrajin di Kabupaten Magetan relatif lebih rendah,
lebih dari tiga perempat pengrajin tingkat efektivitas usahanya rendah. Hal ini
berbeda nyata dengan pengrajin di Sidoarjo yang empat puluh persen
pengrajinnya mencapai efektivitas usaha yang relatif tinggi.
Pengrajin di Magetan belum membuat target produksi dan target penjualan
yang didasarkan perkiraan sederhana tentang jumlah barang yang akan dihasilkan
atau akan dijual. Pengrajin menetapkan jumlah barang yang dihasilkan
berdasarkan kebiasaan menghasilkan seperti hari-hari sebelumnya. Pengrajin
belum membuat perencanaan target pencapaian keuntungan, dan cenderung
bersikap pasif atas kerugian atau penurunan keuntungan.
Berdasarkan deskripsi tentang pertumbuhan usaha, efisiensi usaha, dan
efektivitas usaha di atas, maka diketahui bahwa tingkat kemajuan usaha pengrajin
di kedua lokasi relatif rendah. Kemajuan usaha adalah perkembangan usaha yang
ditunjukkan oleh adanya peningkatan asset, penjualan, keuntungan, dan
diversifikasi produk serta dicapainya efektivitas dan efisiensi usaha. Usaha
kerajinan yang maju adalah usaha yang berkembang secara efektif dan efisien
serta mengalami peningkatan dari segi keuangan (profit dan asset),
pengembangan produk dan perluasan jejaring (networking). Upaya peningkatan
kemajuan usaha dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan pertumbuhan
usaha, efisiensi, dan efektivitasnya.
Tingkat Keberlanjutan Usaha
Keberlanjutan usaha pengrajin di Jawa Timur diukur berdasarkan sikap
proaktif terhadap kontinyuitas produksi, kontinyuitas penjualan dan kontinyuitas
bahan baku pada masa yang akan datang. Sebaran keberlanjutan usaha
berdasarkan indikator penelitian yang terdiri dari kontinyuitas produksi, dan
kontinyuitas bahan baku ditampilkan pada Tabel 35.
Tabel 35. Sebaran Responden Menurut Tingkat Keberlanjutan Usaha
KabupatenIndikator KeberlanjutanUsaha Sidoarjo Magetan
Total
(Selang Skor danRataan)
Kriteria
N % N % N %
Sangat rendah 12 8,3 34 29,6 46 17,7Rendah 41 28,3 23 20,0 64 24,6Sedang 37 25,5 24 20,9 61 23,5Tinggi 27 18,6 17 14,8 44 16,9Sangat Tinggi 28 19,3 17 14,8 45 17,3
Kontinyuitas Produksi*Selang skor (0-100)Rataan=50,9
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 13 8,97 38 33 51 19,6Rendah 39 26,9 23 20 62 23,8Sedang 30 20,7 15 13 45 17,3Tinggi 36 24,8 18 15,7 54 20,8Sangat Tinggi 27 18,6 21 18,3 48 18,5
Kontinyuitas Penjualan*Selang skor (0-100)Rataan=59,5
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Sangat rendah 32 22,1 14 12,2 46 17,7Rendah 24 16,6 24 20,9 48 18,5Sedang 47 32,4 31 27 78 30,0Tinggi 17 11,7 37 32,2 54 20,8Sangat Tinggi 25 17,2 9 7,83 34 13,1
Kontinyuitas BahanBaku*Selang skor (0-100)Rataan=58,9
Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0Keberlanjutan Usaha * Sangat rendah 18 12,4 34 29,6 52 20,0Selang skor (0-100) Rendah 27 18,6 26 22,6 53 20,4Rataan=48,9 Sedang 34 23,4 17 14,8 51 19,6
Tinggi 36 24,8 14 12,2 50 19,2Sangat Tinggi 30 20,7 24 20,9 54 20,8Jumlah 145 100,0 115 100,0 260 100,0
Keterangan: Tabel 35Sebaran Responden Menurut Tingkat Keberlanjutan UsahaKriteria Sangat Rendah: skor 0-20; Rendah: skor 21-40, Sedang: skor 41-60, Tinggi: skor 61-80,Sangat Tinggi: skor 81-100.* Berdasarkan hasil uji beda rata-rata One Way Anova, nyata padaα= 0,05.
Kontinyuitas Produksi
Secara keseluruhan, kontinyuitas produksi pengrajin di kedua lokasi
adalah sedang (rata-rata skor 50,9). Empat puluh sembilan persen pengrajin di
Magetan memiliki tingkat keberlanjutan produksi yang relatif rendah dan tiga
puluh delapan persen pengrajin Sidoarjo memiliki tingkat keberlanjutan produksi
yang relatif tinggi.
Pengrajin di Sidoarjo telah memiliki sikap proaktif tentang kelancaran
proses, dan memiliki tanggapan yang baik terhadap tingkat kontinyuitas hasil
produksi pada masa yang akan datang sehingga kontinyuitas produksinya lebih
tinggi dari pengrajin di Magetan. Pengrajin memiliki ketergantungan yang tinggi
pada usaha kerajinan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini menjadi salah
satu pendorong bagi pengrajin untuk tetap proaktif menjaga kelancaran
produksinya. Pengrajin mampu memproduksi kerajinan secara terus menerus
sepanjang tahun.
Ketertarikan pengrajin Magetan terhadap upaya meningkatkan produksiyang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dan selera konsumen masih rendah.Pengrajin merasa aman dengan produksi yang sudah ada dan kurang proaktifdalam mengupayakan keberlanjutan produksinya.
Kontinyuitas Penjualan
Kontinyuitas penjualan di kedua lokasi berbeda nyata, empat puluh dua
persen pengrajin di Sidoarjo mencapai kontinyuitas penjualan yang relatif tinggi
sedangkan empat puluh tiga persen pengrajin di Magetan memiliki kontinyuitas
usaha yang relatif rendah.
Pengrajin di Magetan kurang proaktif dalam mengupayakan menarik
minat konsumen untuk membeli. Promosi yang dilakukan pengrajin di Magetan
masih belum menjangkau khalayak sasaran di luar Jawa Timur, tidak seperti yang
telah dilakukan pengrajin Sidoarjo yang secara proaktif melakukan promosi ke
luar Jawa Timur melalui agen atau pembeli yang datang ke Sidoarjo.
Tanggapan terhadap pelayanan bermutu kepada pelanggan masih belum
optimal dilaksanakan pengrajin Magetan, masih sering terjadi penundaan
pengiriman barang yang dipesan. Hal ini mengganggu keberlanjutan penjualan
pada masa yang akan datang karena konsumen tidak puas dengan pelayanan yang
diberikan pengrajin.
Kontinyuitas Bahan Baku
Kontinyuitas bahan baku pengrajin di Magetan lebih menonjol dari
pengrajin Sidoarjo. Tiga puluh sembilan persen pengrajin Magetan memiliki
kontinyuitas bahan baku relatif tinggi. Sikap antisipatif terhadap kelancaran bahan
baku pada pengrajin Magetan ditunjukkan melalui tingginya persediaan bahan
baku bermutu dan sikap antisipatif merencanakan kebutuhan bahan baku yang
tepat. Secara periodik pengrajin telah mengupayakan tersedianya bahan baku
secara kontinyu.
Pengrajin di Sidoarjo memiliki tanggapan perencanaan bahan baku yangrelatif rendah, pengrajin melakukan pembelian bahan baku secara mendadak padasaat produksi dijalankan. Ketersediaan bahan baku saat ini dirasakan pengrajinmasih mencukupi kebutuhan mereka, sehingga pengrajin tidak memilikipersediaan bahan baku untuk jangka waktu lebih dari satu minggu karenadianggap sebagai modal kerja yang menganggur. Kondisi ini akan berpengaruhpada keberlanjutan bahan baku pada masa depan. Jika pengrajin tidak tertarikpada perencanaan bahan baku untuk masa depan, maka kondisi ketidakpastianharga bahan baku akan berpengaruh terhadap kemampuan menyediakan bahanbaku secara berkelanjutan.
Berdasarkan deskripsi kontinyuitas produksi, penjualan, dan bahan baku diatas, sebagian besar pengrajin di kedua lokasi memiliki tingkat keberlanjutanusaha yaitu kontinyuitas produksi, kontinyuitas penjualan, dan kontinyuitas bahanbaku dalam kategori sedang. Terdapat kecenderungan yang baik pada diripengrajin di kedua lokasi, dalam menyikapi posisi usaha pada masa depan beradapada tingkat yang sedang. Usaha kerajinan barang dari kulit sudah dimulai padatahun 1960-an, sampai saat ini usaha ini masih berjalan terus menerus. Aktivitasproduksi yang dilakukan pengrajin dan penjualan produk kerajinan ini berjalansecara berkelanjutan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengrajin, permintaan barang daribahan kulit tidak pernah berhenti sehingga penjualan tetap berjalan dari waktu kewaktu. Keunikan yang ada pada produk sepatu dari bahan kulit yang dihasilkanpengrajin adalah kekuatan/daya tahan sepatu yang dapat diandalkan sehinggakonsumen loyal terhadap produk sepatu yang dihasilkan pengrajin di Magetan.Pada pengrajin di Sidoarjo, produksi tas dan koper yang dihasilkan pengrajinmemiliki keunggulan beberapa keunggulan. Tas dari bahan kulit yang halus,harga terjangkau, mengikuti trend mode, tersedia dalam variasi yang banyaksehingga permintaan konsumen yang beroerientasi pada mode dan harga tetap adadari waktu ke waktu.
Pada sisi produsen, semangat pengrajin untuk tetap berusaha di bidangkerajinan ini telah menggantungkan hidupnya pada usaha kerajinan ini sejak lama.Pengrajin merasakan usaha ini mampu menghidupi diri dan keluarganyameskipun dengan keterbatasan. Usaha yang telah dijalankan oleh keluarga secaraturun temurun juga menjadi alasan bagi pengrajin untuk tetap menekuni usahakerajinan ini. Keunikan dari sisi permintaan dan dari sisi pengrajin inilah yangmenghasilkan tingkat keberlanjutan usaha yang cenderung sedang.
Usaha yang berkelanjutan adalah usaha yang mampu berproduksi
secara terus menerus dan mampu menjual produknya ke pasar secara
kontinyu. Keberlanjutan usaha akan dapat dicapai jika para pengrajin
memiliki kiat-kiat untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang akan
dihadapi usahanya pada masa yang akan datang. Keberlanjutan usaha
diartikan sebagai sikap proaktif pengrajin dalam mengantisipasi kebutuhan
dan selera konsumen mendatang.
Perbedaan Perilaku Wirausaha, Kemandirian,Kemajuan dan Keberlanjutan Usaha
Deskripsi tentang tingkat kemandirian usaha, perilaku wirausaha, kemajuan
usaha dan keberlanjutan usaha pada kedua lokasi akan diuji lebih lanjut tingkat
perbedaannya. Sebagaimana dirumuskan pada hipotesis 5 ”Terdapat perbedaan
tingkat kemandirian usaha, perilaku wirausaha, kemajuan usaha, dan
keberlanjutan usaha pengrajin di kedua lokasi penelitian”. Hipotesis ini diuji
dengan menggunakan uji beda rata-rata one way anova. Ringkasan hasil uji beda
One Way Anova ditampilkan pada Tabel 36.
Tabel 36. Ringkasan Hasil Uji Beda Rata-Rata One Way Anova
Variabel Kabupaten N Rata-rata F-hit P
Sidoarjo 145 36.3 4.365 0.038Keinovatifan
Magetan 115 29.5
Sidoarjo 145 39.2 12.714 0.000Inisiatif
Magetan 115 28.4
Sidoarjo 145 18.3 40.310 0.000PengelolaanResiko Magetan 115 35.1
PerilakuWirausaha
Daya Saing Sidoarjo 145 29.1 4.620 0.033
Magetan 115 35.0
Sidoarjo 145 32.1 4.456 0.036Kemandirianpermodalan Magetan 115 26.0
Sidoarjo 145 51.6 5.721 0.017Kemandirianproduksi
Magetan 115 43.8
Sidoarjo 145 32.4 5.439 0.020Kemandiriankerjasama Magetan 115 25.2
Sidoarjo 145 39.1 35.879 0.000
Tingkatkemandirianusaha
Kemandirianpemasaran
Magetan 115 22.2
Sidoarjo 145 30.3 4.620 0.033Pertumbuhanusaha
Magetan 115 24.3
Sidoarjo 145 35.2 4.207 0.041Efisiensi usaha
Magetan 115 28.6
Sidoarjo 145 54.4 30.912 0.000
KemajuanUsaha
Efektivitasusaha
Magetan 115 36.1
Sidoarjo 145 55.2 6.682 0.010Kontinyuitasproduksi Magetan 115 45.6
Sidoarjo 145 54.1 4.140 0.043Kontinyuitaspenjualan Magetan 115 43.9
Sidoarjo 145 45.7 7.073 0.008
KeberlanjutanUsaha
Kontinyuitasbahan baku
Magetan 115 51.5
* Nyata pada α= 0,05. Tabel 36Ringkasan Hasil Uji Beda Rata-Rata One Way Anova
Berdasarkan hasil uji beda pada Tabel 36, terbukti bahwa perilaku wirausaha
(keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko, dan daya saing) pengrajin Sidoarjo
berebda nyata dengan pengrajin Magetan. Rata-rata keinovatifan dan daya saing
pengrajin Sidosrjo lebih tinggi dari Magetan, sedangkan rata-rata pengelolaan
resiko dan daya saing pengrajin Magetan lebih tinggi dari Sidoarjo.
Tingkat kemandirian usaha (permodalan, produksi, kerjasama, dan
pemasaran) pengrajin Sidoarjo dan Magetan berbeda nyata. Rata-rata kemandirian
permodalan, produksi, kerjasama, dan pemasaran pengrajin Sidoarjo lebih tinggi
dari Magetan.
Tingkat kemajuan usaha (pertumbuhan usaha, efisiensi usaha, dan
efektivitas usaha) pengrajin Sidoarjo dan Magetan berbeda nyata. Rata-rata
pertumbuhan usaha, efisiensi usaha, dan efektivitas usaha pengrajin Sidoarjo lebih
tinggi dari Magetan.
Terdapat perbedaan yang nyata pada keberlanjutan usaha (kontinyuitas
produksi, penjualan, dan bahan baku) di kedua lokasi; rata-rata kontinyuitas
produksi dan penjualan pengrajin di Sidoarjo lebih tinggi dibanding Magetan.
Pengrajin di Sidoarjo sudah terlihat proaktif dalam mengantisipasi kebutuhan dan
selera konsumen pada masa yang akan datang. Meskipun belum mengalokasikan
dana untuk kegiatan promosi, namun keramahtamahan dalam melayani konsumen
merupakan refleksi dari tindakan proaktif untuk melayani konsumen cenderung
baik. Promosi dan perencanaan produksi belum dilaksanakan dengan intensif
sehingga trend penjualan masih stagnant meskipun pengrajin mampu
menghasilkan produksi barang secara terus menerus. Keberlanjutan usaha yang
menonjol pada pengrajin Magetan adalah kontinyuitas bahan baku, aspek
kontyuitas bahan baku pengrajin magetan lebih tinggi dari pengrajin Sidoarjo
karena kedekatan lokasi dengan sumber bahan baku.
Faktor-Faktor yang Berpengaruhterhadap Perilaku Wirausaha
Hipotesis 1 yang diajukan dalam penelitian ini adalah: ”Perilaku wirausaha
dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu pengrajin, pendukung usaha
dan lingkungannya.” Hipotesis ini untuk menjawab pertanyaan penelitian yang
pertama. Pengujian hipotesis penelitian ini dilakukan melalui uji lintas. Hasil uji
faktor yang berpengaruh terhadap perilaku wirausaha tercantum pada Tabel 37.
Tabel 37. Ringkasan Hasil Uji Faktor-Faktor yang Berpengaruhterhadap Perilaku Wirausaha
PeubahTerikat
PeubahBebas
KoefisienJalur
(Standardized)
StandarError
Nilai thitung
HasilUji
α=0,05.
R2
PerilakuWirausaha
KarakteristikIndividu
0,50 0,17 3,02 * 0,88
PendukungUsaha
0,05 0,11 0,43 NS
DukunganLingkungan
0,39 0,08 4,84 *
*Nyata pada α= 0,05, t-tabel = 1,965 . Tabel 37Ringkasan Hasil UjiFaktor -Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku Wirausaha
Perilaku wirausaha dipengaruhi secara nyata oleh faktor karakteristik
individu dan dukungan lingkungan, berarti rendahnya perilaku wirausaha
pengrajin disebabkan oleh rendahnya karakteristik individu dan dukungan
lingkungan. Faktor pribadi pengrajin merupakan faktor yang paling besar
pengaruhnya terhadap perilaku wirausaha. Faktor pendukung usaha tidak
berpengaruh secara nyata positif terhadap perilaku wirausaha. Rendahnya faktor
pendukung usaha bukan menjadi penyebab rendahnya perilaku wirausaha.
Peningkatan perilaku wirausaha pengrajin perlu dilakukan karena
pengrajin yang memiliki perilaku wirausaha yang berkualitas adalah ciri-ciri
pengrajin yang berdaya, dan keberdayaan pengrajin sangat diperlukan untuk
meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan hidupnya. Menurut Perry, Batstone
dan Pulsarum (2003), pendekatan kewirausahaan akan membimbing dan
mengarahkan usaha kecil meraih hasil yang lebih baik. Faktor-faktor yang
berpengaruh langsung pada perilaku wirausaha digambarkan dalam Gambar 22.
R 2 = 0,88
KarakteristikIndividu
0,05
ζ=0,22
PendukungUsaha
PerilakuWirausaha
0,50
Gambar 22Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Wirausaha
Gambar 22. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Wirausaha
Pengaruh Karakteristik Individuterhadap Perilaku Wirausaha
Faktor karakteristik individu memiliki pengaruh yang terbesar terhadap
perilaku wirausaha. Aspek-aspek yang menjadi indikator karakteristik individu
yang diajukan dalam penelitian ini adalah : umur, pendidikan, tanggungan
keluarga, pengalaman berusaha, motivasi berusaha, pemenuhan kebutuhan,
intensitas komunikasi, dan aspek gender. Pengujian hipotesis penelitian dilakukan
dengan analisis SEM, agar semua indikator yang dianalisis benar-benar terbebas
dari kekeliruan maka dalam penelitian ini digunakan analisis faktor konfirmatori
yang bertujuan untuk mengevaluasi pola-pola hubungan korelatif indikator dan
konstruknya.
Berdasarkan hasil analisis faktor terhadap karakteristik individu pengrajin
terdapat beberapa indikator yang tidak fit dengan data yaitu indikator umur,
tanggungan keluarga, dan pengalaman berusaha yang ditunjukkan oleh nilai GFI
yang kurang dari 0,90 sebagaimana tercantum pada Lampiran 3. Indikator yang
tidak fit tersebut dikeluarkan dari model dengan didasarkan pada pertimbangan
aspek teoritis, sehingga diperoleh lima aspek yang mengukur tingkat karakteristik
individu pengrajin yaitu: pendidikan, pendidikan, motivasi, pemenuhan
kebutuhan, intensitas komunikasi, dan aspek gender.
Hasil analisis SEM menunjukkan adanya pengaruh yang nyata antara
karakteristik individu dengan perilaku wirausaha. Beberapa aspek penting pada
pribadi pengrajin adalah pendidikan, motivasi, pemenuhan kebutuhan, intensitas
komunikasi, dan aspek gender. Penjelasan lebih lanjut tentang pengaruh masing-
Lingkungan0,39
masing aspek dalam karakteristik individu terhadap perilaku wirausaha adalah
melalui analisis jalur yang digambarkan pada Gambar 23.
Gambar 23Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Perilaku Wirausaha
Gambar 23. Pengaruh Indikator Karakteristik Individuterhadap Perilaku Wirausaha
Aspek intensitas komunikasi yang dilakukan pengrajin memiliki pengaruh
terbesar pada perilaku wirausaha dengan koefisien lintas sebesar 0,76.
Kemampuan pengrajin dalam mengakses jaringan komunikasi interpersonal masih
rendah. Kontak dengan pemodal alternatif masih kurang, biasanya pengrajin
cenderung melakukan kontak dengan pemodal (yang mereka sebut sebagai
juragan) yang ada di desanya ketika mereka berada pada kondisi membutuhkan
modal. Pada aspek kontak dengan sesama pengrajin, mereka melakukannya secara
intensif karena tinggal dalam lingkungan yang sama. Pertukaran informasi yang
bersifat inovatif terjadi pada saat mereka melakukan kontak dengan sesama
pengrajin ini.
Komunikasi dengan konsumen terjadi pada saat konsumen datang ke lokasi
usaha kerajinan mereka dan tempat berjualan, informasi yang dipertukarkan
terkait dengan harga, model produk, atau kualitas produk. Informasi dari
konsumen ini ditanggapi secara beragam oleh pengrajin. Pada pengrajin yang
tanggap akan menangkap informasi ini sebagai bahan untuk mengembangkan
daya inovasi usahanya, tetapi pada pengrajin yang kurang tanggap akan
Perilaku Wirausaha
Kebutuhan
Motivasi
Pendidikan
0,46
0,41
0,58
0,76
Aspek Gender
0,26
Komunikasi
membiarkan informasi itu berlalu tanpa dijadikan pertimbangan dalam kegiatan
usahanya.
Pada pengrajin di Sidoarjo, kontak dengan pemasok bahan baku sangat
kurang dengan alasan jarak antara pemasok dengan pengrajin, sehingga mereka
mengalami kendala dalam penyediaan bahan bakunya. Sebaliknya, pengrajin di
Magetan tidak mengalami kendala dalam hal aksesibilitas dengan pemasok bahan
baku, karena penyamak kulit berada pada lingkungan mereka, bahkan dalam satu
keluarga ada yang berprofesi sebagai penyamak kulit sehingga dapat memenuhi
kebutuhan bahan bakunya.
Akses pada media cetak berupa surat kabar dan majalah tidak dilakukan
secara rutin dengan berlangganan atau membeli media cetak secara kontinyu.
Keterbatasan dalam akses media cetak ini sangat tampak pada pengrajin di
Magetan, sehingga inovasi tentang trend produk yang banyak diinformasikan oleh
majalah, tabloid atau surat kabar yang menyajikan perkembangan mode tidak
dapat diakses dengan optimal oleh pengrajin.
Tingkat kosmopolitansi pengrajin relatif tinggi terjadi pada pengrajin di
Sidoarjo, pengrajin sering mengunjungi pusat-pusat perbelanjaan di Surabaya
untuk mencari informasi tentang model atau perkembangan teknik menjual
produk barang dari kulit. Sehingga banyak ditemui jenis produk terbaru yang
dijual pada butik terkenal dari luar negeri yang mampu diproduksi pengrajin di
Sidoarjo ini.
Pengrajin di Magetan relatif rendah dalam mencari informasi tentang
usaha kerajinan keluar dari sistem sosialnya (sifat kekosmopolitan). Rata-rata
intensitas pengrajin mencari informasi keluar sistem sosialnya rendah (43%),
maka dapat dikatakan pengrajin di Magetan masih bersifat lokalit. Sifat ini
berpengaruh terhadap rendahnya perilaku wirausaha. Hasil penelitian ini
dikuatkan oleh Mardikanto (1996) yang menyatakan bahwa bagi masyarakat yang
bersifat “localite” (tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri, proses
adopsi inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-
keinginan baru untuk hidup lebih baik seperti yang telah dinikmati oleh orang-
orang lain di luar sistem sosialnya sendiri
Pengrajin yang melakukan kontak dengan sumber informasi inovatif
(pemasok bahan baku, sesama pengrajin, konsumen, dan penyedia modal) untuk
membicarakan hal-hal yang terkait dengan kegiatan usaha secara intensif dan
memiliki frekuensi terpaan media massa yang tinggi, mampu meningkatkan
perilaku wirausaha terutama dari aspek keinovatifan dan inisiatif. Menurut Rogers
dan Shoemaker (1976) tingginya komunikasi akan berpengaruh terhadap
tingginya kemampuan petani melakukan adopsi inovasi.
Pemenuhan kebutuhan merupakan aspek kedua yang memiliki pengaruh
besar terhadap perilaku wirausaha dengan koefisien bobot faktor sebesar 0,58.
Rendahnya pemenuhan kebutuhan menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha
pengrajin yang muncul dalam bentuk perasaan minder atau tidak percaya diri
dalam mengambil keputusan.
Aspek karakteristik individu berikutnya yang memiliki pengaruh terhadap
perilaku wirausaha adalah motivasi berusaha. Rendahnya motivasi berusaha
menimbulkan rendahnya ketertarikan pengrajin untuk: menerapkan inovasi,
memanfaatkan peluang usaha, mengelola usaha yang dianggap beresiko, dan
menerapkan strategi bersaing. Pengrajin lebih tertarik untuk berusaha nyaman
dengan cara-cara berusaha yang diterapkan saat ini. Rendahnya motivasi dan
pemenuhan kebutuhan menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha. Hal ini ini
relevan dengan pernyataan Bird (1996) yang memasukkan faktor motivasi sebagai
elemen pembentuk perilaku wirausaha yang penting bagi peningkatan kemajuan
usaha.
Aspek gender memiliki pengaruh yang nyata terhadap perilaku wirausaha.
Terdapat kesenjangan dalam hal penggajian dan kewajiban dikalangan pengrajin
pria dan wanita pada usaha kerajinan ini. Sehingga menyebabkan rendahnya
keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko, dan daya saing pengrajin. Bias gender
pada usaha kerajinan barang dari kulit seyogyanya tidak terjadi karena pengrajin
wanita memiliki potensi untuk bekerja secara ulet dalam usaha kerajinan ini serta
pengrajin wanita memiliki ketangguhan dalam mengelola resiko.
Pendidikan juga mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perilaku
wirausaha, dengan koefisen lintas sebesar 0,46. Rendahnya pendidikan formal dan
pendidikan non formal pengrajin menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha.
Sebagian besar pengrajin memiliki pendidikan non formal yang rendah, pengrajin
kurang mendapat pelatihan yang terkait dengan faktor kewirausahaan berpengaruh
terhadap rendahnya kemampuan pengrajin pada aspek keinovatifan, inisiatif,
pengelolaan resiko, dan daya saing). Pengetahuan dan ketrampilan mengelola
resiko usaha masih rendah, pendidikan nonformal tentang manajemen resiko
masih rendah. Pemerintah daerah atau organisasi non pemerintah belum pernah
memberikan bimbingan atau pelatihan dengan materi manajemen resiko.
Pengrajin juga masih rendah keunggulan bersaingnya (penerapan standar mutu
produk dan strategi bersaing), sehingga rendah kemampuannya untuk menembus
pasar ekspor. Rendahnya keunggulan bersaing ini karena pengrajin masih rendah
tingkat pendidikan tentang keunggulan bersaing
Faktor pendidikan memiliki pengaruh langsung yang relatif lebih rendah
jika dibandingkan dengan intensitas komunikasi dan tingkat pemenuhan
kebutuhan, padahal pendidikan merupakan faktor penting untuk meningkatkan
perilaku wirausaha, sebagaimana dikemukakan oleh Stewart Jr. et al. (1998).
Haber dan Reichel (2006) juga menyatakan bahwa pendidikan menjadi penentu
keberhasilan kewirausahaan. Oleh karena itu dilakukan penelusuran terhadap
pengaruh tidak langsung faktor pendidikan melalui intensitas komunikasi dan
pemenuhan kebutuhan terhadap perilaku wirausaha sebagaimana digambarkan
pada diagram lintas pada Gambar 24.
PerilakuWirausaha
Kebutuhan
Motivasi
Pendidikan
0,4676
0,41
0,58
0,76
AspekGender
0,43
0,230,36
0,36
0,42
0,38
Komunikasi
Gambar 24Pengaruh langsung dan Tidak Langsung Karakteristik Individu terhadap Perilaku Wirausaha
Gambar 24. Pengaruh langsung dan Tidak Langsung KarakteristikIndividu terhadap Perilaku Wirausaha
Secara grafis, dapat diketahui pengaruh langsung pendidikan, motivasi,
pemenuhan kebutuhan, intensitas komunikasi, dan aspek gender terhadap perilaku
wirausaha. Selain itu juga dapat diketahui pengaruh tidak langsung pendidikan,
motivasi, dan aspek gender terhadap perilaku wirausaha melalui komunikasi dan
pemenuhan kebutuhannya terhadap perilaku wirausaha, yang kemudian diringkas
dalam Tabel 38.
Tabel 38. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung IndikatorKarakteristik Individu dengan Perilaku Wirausaha
PengaruhTak langsung melalui
Indikator KarakteristikIndividu Langsung
PemenuhanKebutuhan
IntensitasKomunikasi
Total taklangsung
Total
Pendidikan 0,46 0,25 0,28 0,53 0,99Motivasi 0,41 0,22 0,17 0,39 0,80Pemenuhan Kebutuhan 0,58 - - - 0,58Intensitas Komunikasi 0,76 - - - 0,76Aspek gender 0,26 0,24 0,27 0,51 0,77*Nyata pada α= 0,05. Tabel 38Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Indikator Karakteristik Individu dengan Perilaku Wirausaha
Berdasarkan Tabel 38 diketahui bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan,
maka semakin tinggi perilaku wirausaha. Melalui pemenuhan kebutuhan dan
intensitas komunikasi ternyata pendidikan memiliki total pengaruh yang paling
besar terhadap perilaku wirausaha. Hal ini berarti pendidikan mampu
meningkatkan perilaku wirausaha dengan didukung oleh pemenuhan kebutuhan
dan intensitas komunikasi yang tinggi.
Tingkat pendidikan formal pengrajin rata-rata pada tingkat SMTP (masa
pendidikan 9 tahun) dan tingkat pendidikan formal yang dalam kategori rendah
(rata-rata 2,8 jam). Rendahnya tingkat pendidikan ini berpengaruh terhadap
rendahnya kemampuan komunikasi pengrajin terutama ketika pengrajin
berhadapan dengan aktor penyedia sumber daya usaha yang memiliki kemampuan
lebih tinggi, baik pemodal, pemasok bahan baku maupun konsumen. Tingkat
pendidikan menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya perilaku wirausaha di
kalangan pengrajin di kedua lokasi. Sebagai salah satu contoh, berdasarkan hasil
wawancara, rendahnya aspek kognitif pada aspek pengelolaan resiko dan daya
saing usaha disebabkan pengrajin belum pernah mendapat pendidikan non formal
tentang kedua aspek tersebut.
Tingkat pendidikan pengrajin yang rendah menyebabkan rendahnya tingkat
pemenuhan dasar dan tingkat pemenuhan kebutuhan pendidikan anak. Tingkat
pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan di kalangan pengrajin rendah yang
disebabkan pengetahuan tentang kesehatan yang rendah, sehingga berdasarkan
hasil wawancara diketahui bahwa pengrajin tidak memeriksakan diri ke dokter
atau Puskesmas jika menderita sakit, kecuali jika sudah dalam kondisi yang parah.
Begitupula pada pemenuhan kebutuhan pendidikan anak yang masih rendah
karena rendahnya pengetahuan tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan
anak. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan rendahnya tingkat pemenuhan
kebutuhan, selanjutnya rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan menjadi salah
satu penyebab rendahnya perilaku wirausaha.
Melalui pemenuhan kebutuhan dan intensitas komunikasi, motivasi
memiliki pengaruh terbesar kedua setelah aspek pendidikan terhadap perilaku
wirausaha. Motivasi yang dimiliki pengrajin mampu mendorong tingkat
pemenuhan kebutuhan pengrajin. Motivasi berhubungan dengan kebutuhan, minat
dan keinginan. Motif yang besar pada diri pengrajin muncul ketika mereka
dihadapkan pada kebutuhan yang disadarinya. Salah satu faktor pendorong yang
penting bagi pengrajin dalam berusaha adalah tuntutan memenuhi kebutuhan
keluarga. Rendahnya motivasi berusaha di kalangan pengrajin menyebabkan
rendahnya pemenuhan kebutuhan, dan rendahnya pemenuhan kebutuhan menjadi
salah satu penyebab rendahnya perilaku wirausaha.
Motivasi berusaha juga memiliki pengaruh yang nyata terhadap perilaku
wirausaha melalui intensitas komunikasi. Kesadaran tentang pentingnya
berkomunikasi dengan aktor penyedia sumber daya usaha masih belum dimiliki
pengrajin, hal ini ditunjukkan dari hasil wawancara yang menyatakan bahwa
mereka berkomunikasi dengan penyedia sumberdaya usaha seperlunya atau jika
dibutuhkan, motivasi untuk berkomunikasi secara intensif masih rendah karena
pengrajin belum sadar terhadap kebutuhan berkomunikasi. Rendahnya motivasi
ini menjadi penyebab rendahnya intensitas komunikasi, selanjutnya rendahnya
komunikasi menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha.
Secara tidak langsung, aspek gender memberikan pengaruh yang lebih
besar terhadap perilaku wirausaha melalui intensitas komunikasi. Kesenjangan
dalam melihat posisi gender membelenggu seseorang untuk dapat berkomunikasi
dengan bebas dengan orang yang berlawanan jenis, hal ini dipengaruhi oleh nilai-
nilai dan budaya yang ada pada kelompok masyarakat tersebut. Hal ini terjadi juga
pada kelompok masyarakat pengrajin di Magetan dan Sidoarjo. Kesenjangan
dalam pembagian tugas antara pria dan wanita, pengelolaan sebagian besar usaha
dilakukan kaum pria dan kaum wanita mengelola sebagian kecil tugas dalam
usaha kerajinan ini. Rendahnya kesetaraan gender menyebabkan rendahnya
intensitas komunikasi di kalangan pengrajin, yang kemudian menyebabkan
rendahnya perilaku wirausaha.
Aspek gender juga memiliki pengaruh tidak langsung terhadap perilaku
wirausaha melalui pemenuhan kebutuhan. Kesenjangan dalam hal penggajian
antara kaum pria dan wanita pada usaha kerajinan ini secara logika menyebabkan
rendahnya penerimaan pendapatan di kalangan pengrajin wanita yang bekerja di
sektor ini, sehingga rendahnya kesetaraan gender menyebabkan rendahnya
pemenuhan kebutuhan, dan rendahnya pemenuhan kebutuhan menjadi salah satu
penyebab rendahnya perilaku wirausaha.
Pengaruh Dukungan Lingkunganterhadap Perilaku Wirausaha
Dukungan lingkungan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perilaku
wirausaha, artinya rendahnya aspek dukungan lingkungan (pemimpin informal,
keluarga, bimbingan pemerintah daerah, dan bimbingan organisasi non
pemerintah) menyebabkan rendahnya perilaku wirausaha pengrajin. Peran
masing-masing aktor dalam lingkungan dalam meningkatkan perilaku wirausaha
pengrajin dianalisis lebih lanjut dengan analisis jalur sebagaimana tercantum pada
Gambar 25.
Perilaku Wirausaha
Bimbingan Pemerintah
Pemimpin Informal
Keluarga
0,49
0,42
0,62
Gambar 25Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan terhadap Perilaku WirausahaGambar 25. Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan
terhadap Perilaku Wirausaha
Bimbingan pemerintah daerah memiliki pengaruh yang paling besar
terhadap perilaku wirausaha dengan koefisen lintas sebesar 0,62. Rendahnya
bimbingan dari pemerintah daerah dan bimbingan organisasi non pemerintah
selama ini menjadi salah satu penyebab rendahnya perilaku wirausaha. Bimbingan
pemerintah relatif rendah (rata-rata skor 31,2), bahkan jika dirinci lagi terdapat
lebih dari seperempat pengrajin mendapat bimbingan yang sangat rendah dari
pemerintah daerah. Bimbingan yang diberikan pemerintah daerah dalam bentuk
pelatihan, yaitu pelatihan tentang produksi dan manajemen usaha kecil masih
belum berkesinambungan. Oleh karena itu peningkatan bimbingan pemerintah
daerah dapat meningkatkan perilaku wirausaha pengrajin.
Bimbingan organisasi non pemerintah terhadap pengrajin memiliki pengaruh
besar, namun organisasi non pemerintahan yang memberikan pembinaan terhadap
pengrajin kulit di Jawa Timur masih sedikit (1,9 persen) dari total pembinaan bagi
pengrajin kulit di Jawa Timur (BPS, 2003). Kegiatan pembinaan yang pernah
dilakukan di kedua lokasi belum menyentuh aspek perilaku wirausaha. Rendahnya
perilaku wirausaha pengrajin (terutama pada aspek pengelolaan resiko dan daya
saing) disebabkan oleh rendahnya bimbingan organisasi non pemerintah.
Dukungan faktor lingkungan yang penting berikutnya adalah dukungan yang
berasal dari keluarga dengan koefisien lintas sebesar 0,49. Dukungan keluarga
secara nyata berpengaruh terhadap keinovatifan, inisiatif, pengelolaan resiko, dan
daya saing. Keberadaan keluarga sangat penting dalam memberikan pembelajaran
tentang wirausaha bagi pengrajin sebab sebagian besar pengrajin memiliki orang
tua dan keluarga yang telah menekuni usaha ini sebelumnya. Pembelajaran yang
diterima dari keluarga penting untuk membentuk keinovatifan, orang tua dan
anggota keluarga yang lebih tua telah terbiasa membuat pola. Pembuatan pola
mengacu pada majalah mode yang berisi iklan produk tas merek terkenal yang
kemudian diajarkan kepada anak atau keluarganya.
Pada komunitas pengrajin di Jawa Timur terdapat pemimpin informal yang
disegani yaitu tokoh agama, pengrajin yang maju, juragan, dan guru pada lembaga
pendidikan formal. Pertemuan dengan pemimpin informal terjadi pada saat
kegiatan keagamaan, kebiasaan saling berkunjung pemimpin informal juga sering
dilakukan masyarakat pengrajin. Dukungan pemimpin informal merupakan salah
satu aspek yang mempengaruhi perilaku wirausaha dengan koefisien lintas 0,42
Indikator pembentuk konstruk lingkungan kondusif memberikan pengaruh
terhadap perilaku wirausaha dan menjadi faktor penting dalam membangun
perilaku wirausaha pengrajin di Jawa Timur. Pada persamaan Lewin (Hersey,
Blanchard dan Johnson, 1996) dinyatakan bahwa perilaku merupakan fungsi dari
interaksi antara sifat individu dengan lingkungannya, persamaan ini diartikan
bahwa perilaku adalah fungsi yang ada dalam diri individu dan di luar individu
yaitu situasi.
Hal ini sejalan dengan konteks kewirausahaan yang dikembangkan oleh Bird
(2000) bahwasanya faktor lingkungan yang memiliki kekuatan yang lebih besar
adalah faktor: sosial, ekonomi, dan politik yang mendukung atau menghambat
wirausaha. Konteksnya meliputi hak cipta, modal, keyakinan dan nilai-nilai dalam
hal usaha, teknologi, sumber daya lokal, inkubator, jejaring, teman sesama
pengusaha, partner dan dukungan keluarga.
Faktor-Faktor yang Berpengaruh TerhadapTingkat Kemandirian Usaha
Pengujian terhadap hipotesis kedua penelitian ini tercantum pada Tabel 39.
Hasil uji hipotesis menunjukkan diterimanya hipotesis yang menyatakan bahwa:
”Tingkat kemandirian usaha dipengaruhi secara nyata oleh karakteristik individu,
pendukung usaha, lingkungan dan perilaku wirausaha.”
Faktor karakteristik individu, perilaku wirausaha, dukungan lingkungan, dan
kualitas pendukung usaha berpengaruh secara positif dan nyata terhadap tingkat
kemandirian usaha dengan koefisien lintas masing-masing sebesar 0,58, 0,56,
0,26, dan 0,20. Rendahnya tingkat kemandirian usaha pada pengrajin barang dari
kulit disebabkan oleh masih rendahnya karakteristik individu, perilaku wirausaha,
dukungan lingkungan, dan kualitas pendukung usaha.
Tabel 39. Ringkasan Hasil Uji Faktor-Faktor yang BerpengaruhTerhadap Tingkat kemandirian usaha
Peubah Bebas PeubahTerikat
Koefisien Jalur(Standardized)
StandarError
Nilai thitung
Hasil Ujiα=0,05.
R2
KarakteristikIndividu
0,58 0,12 4,67 * 0,87
PendukungUsaha
0,26 0,09 3,06 *
DukunganLingkungan
0,20 0,07 2,86 *
Tingkatkemandirianusaha
PerilakuWirausaha
0,56 0,12 4,66 *
*Nyata pada α= 0,05, t-tabel = 1,965. Tabel 39Ringkasan Hasil Uji Faktor- Faktor yang Berpengaruh Tingkat kemandirian usaha
Hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemandirian
usaha digambarkan dalam Gambar 26.
Berdasarkan Gambar 26 terlihat bahwa tingkat kemandirian usaha
dipengaruhi secara langsung oleh faktor-faktor: karakteristik individu, pendukung
usaha, dukungan lingkungan, dan perilaku wirausaha.
Gambar 26 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Langsung Tingkat Kemandirian UsahaGambar 26. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Langsung
terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Pengaruh Faktor Perilaku Wirausaha terhadapTingkat Kemandirian Usaha
Perilaku wirausaha yang dibentuk dari faktor keinovatifan, inisiatif,
pengelolaan resiko, dan daya saing berpengaruh secara nyata terhadap
kemandirian usaha. Pada konteks pertanian, kemandirian petani akan mantap
apabila potensi petani diwarnai dengan aspek perilaku petani yang berciri
modern, efisien, dalam bisnis pertanian yang berdaya saing yang menghasilkan
kesaling tergantungan yang berkesinambungan (Sumardjo, 1999). Sedangkan
pada konteks industri kecil, kemandirian usaha di bidang kerajinan dimaknai
sebagai kemampuan pengrajin dalam kegiatan produksi, pemasaran dan
permodalan yang tidak tersubordinasi dengan pihak lain serta kemampuan
kerjasama dengan individu, kelompok atau organisasi untuk mencapai kemajuan
terbesar bersama. Kemandirian usaha yang tinggi dapat dicapai ketika pengrajin
mengelola usaha mengelola usaha dengan perilaku wirausaha yang berkualitas.
Untuk menjelaskan lebih lanjut pengaruh masing-masing aspek dalam
perilaku wirausaha terhadap tingkat kemandirian usaha adalah melalui analisis
jalur yang digambarkan pada Gambar 27.
R 2 = 0,87
KarakteristikIndividu
0,26
ζ=0,13
PendukungUsaha
DukunganLingkungan
KemandirianUsaha
0,58
0,20
PerilakuWirausaha
0,56
Gambar 27 Pengaruh Indikator Perilaku Wirausaha terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Gambar 27. Pengaruh Indikator Perilaku Wirausahaterhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Keinovatifan pengrajin paling besar pengaruhnya terhadap tingkat
kemandirian usaha dengan koefisen lintas sebesar 0,67. Rendahnya aspek
keinovatifan pada pengrajin menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian
permodalan, kemandirian produksi, kemandirian pemasaran, dan kemandirian
kerjasama. Keinovatifan pengrajin dalam usaha kerajinan kerajinan masih rendah
(rata-rata skor 32,5), pengrajin cenderung menerapkan cara-cara berproduksi
yang sudah mereka terapkan selama bertahun-tahun. Hal ini menyebabkan
rendahnya kemandirian produksi (rata-rata skor 47,3).
Rendahnya keinovatifan pengrajin juga menyebabkan rendahnya
kemampuan pengrajin menghasilkan produk yang memiliki unifikasi sesuai
dengan standar yang diinginkan konsumen. Keunikan ini merupakan salah satu
ciri kemandirian produksi bagi pengrajin barang dari kulit. Perkembangan
permintaan konsumen terhadap produk dari bahan kulit mengikuti perkembangan
cara-cara berpakaian masyarakat saat ini. Konsumen akan memilih produk yang
sesuai dengan mode, sehingga pengrajin yang tidak mampu menghasilkan produk
yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan konsumen kurang diminati
konsumen. Jadi keinovatifan penting bagi upaya peningkatan kemampuan
pengrajin meraih kemandirian produksi (menghasilkan produk bermutu) dan
berdaya saing.
Rendahnya faktor keinovatifan relevan dibahas bersama-sama dengan
rendahnya inisiatif, karena inisiatif juga memiliki pengaruh yang nyata terhadap
kemandirian usaha. Ketidakmampuan menghasilkan produk sesuai standar
Tingkat KemandirianUsaha
Pengelolaan Resiko
Inisiatif
Keinovatifan
0,67
0,63
0,49
0,57
Daya Saing
kebutuhan konsumen disamping karena rendahnya keinovatifan, juga karena
kemampuan untuk memasuki pasar baru yang masih rendah. Hal ini ditunjukkan
dari inisiatif pengrajin untuk memprakarsai atau memulai usaha pada pangsa pasar
dan jangkauan pasar baru yang masih rendah (rata-rata 34,4 persen). Pengrajin
masih memproduksi produk yang sejenis dengan pengrajin lainnya, kemampuan
untuk segera memulai memproduksi jenis produk baru yang dibutuhkan pasar
masih rendah.
Inisiatif yang rendah ini juga berdampak pada rendahnya kemandirian
pemasaran (rata-rata skor 31,6). Pengrajin masih memiliki ketergantungan pada
agen pemasaran yang memasarkan produknya, karena belum mampu mencari
alternatif agen pemasaran baru. Agen pemasaran yang menjual produk kerajinan
berupa lembaga (koperasi dan toko eceran) dan individu (juragan dan tenaga
penjual) merupakan saluran pemasaran yang dipergunakan pengrajin untuk
memasarkan produknya. Agen pemasaran hanya memberikan pemasukan sebesar
30 persen dari nilai penjualan yang diterima. Tingginya selisih pemasukan yang
diterima pengrajin dengan yang diterima agen pemasaran mengindikasikan
ketidakberdayaan pengrajin dalam pemasaran hasil produksinya.
Apabila inisiatif pengrajin untuk memulai memasuki pangsa pasar baru atau
saluran pemasaran baru ditingkatkan, maka akan meningkatkan alternatif saluran
distribusi produknya, hal ini akan meningkatkan kemandirian pengrajin di bidang
pemasaran. Aspek inisiatif yang ditingkatkan terutama adalah terkait dengan sikap
dan ketertarikan mengidentifikasi peluang pasar dan alternatif saluran distribusi
yang ada, karena ketertarikan ini yang akan mendorong pengrajin bertindak untuk
memulai peluang usaha baru sehingga tidak tergantung pada saluran distribusi
pemasaran yang ada. Saluran distribusi pemasaran ini tidak harus berupa lembaga
yang besar tetapi individu yang berusaha di bidang eceran yang potensial dan
memiliki perputaran yang kontinyu dapat menjadi alternatif saluran distribusi baru
bagi pengrajin.
Upaya mendorong pengrajin meningkatkan keinovatifan dan inisiatif sangat
penting untuk meningkatkan kemandirian produksi dan pemasaran, pengrajin
mampu sesegera mungkin memanfaatkan peluang usaha yang ada dengan
menghasilkan produk yang sesuai dengan perkembangan kebutuhan konsumen.
Daya saing memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat
kemandirian usaha, setelah aspek keinovatifan dan inisiatif. Pengrajin yang
berdaya saing memiliki kekuatan untuk memenangkan persaingan pasar yang
semakin banyak dimasuki oleh produk dari China dengan harga yang sangat
murah. Berdasarkan hasil wawancara, pengrajin yang memiliki keinovatifan
tinggi berupa keunikan model dan kehalusan produk yang dihasilkan tidak merasa
kesulitan menghadapi pesaing dari luar karena mereka mampu menjalin kerjasama
yang baik dengan agen pemasaran. Perilaku wirausaha yang berkualitas secara
nyata mampu membentuk kemandirian usaha pengrajin.
Pengaruh Faktor Karakteristik Individu terhadapTingkat Kemandirian Usaha
Berdasarkan Gambar 26, terlihat bahwa karakteristik individu berpengaruh
secara positif dan nyata terhadap tingkat kemandirian usaha, faktor karakteristik
individu yang rendah menyebabkan tingkat kemandirian usaha rendah. Teori
perkembangan manusia juga menyatakan bahwa faktor pribadi berpengaruh
terhadap perkembangan kemandirian individu (Salkind, 1989). Untuk
menjelaskan lebih lanjut pengaruh masing-masing aspek dalam karakteristik
individu terhadap perilaku wirausaha adalah melalui analisis jalur yang
digambarkan pada Gambar 28.
Gambar 28Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Gambar 28. Pengaruh Indikator Karakteristik Individuterhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Tingkat KemandirianUsaha
Kebutuhan
Motivasi
Pendidikan
0,47
0,36
0,50
0,63
Aspek Gender
0,44
Komunikasi
Faktor intensitas komunikasi besar pengaruhnya terhadap tingkat
kemandirian usaha, yang ditunjukkan oleh tingginya pengaruh intensitas
komunikasi terhadap kemandirian (koefisien lintas 0,63). Rendahnya faktor
intensitas komunikasi pengrajin dengan aktor penyedia sumber daya usaha
(pemodal, pemasok bahan baku, agen pemasaran, dan konsumen) menyebabkan
rendahnya tingkat kemandirian usaha. Pengrajin masih rendah intensitas
komunikasinya dengan pemodal dan pemasok bahan baku, sehingga pengrajin
belum memiliki kemampuan untuk melawan tindakan subordinasi yang dilakukan
kedua aktor tersebut. Pengrajin yang melakukan pemesanan bahan baku sering
dihadapkan pada ketidakpastian dalam waktu penerimaan dan kualitas bahan.
Pengrajin masih rendah kemampuannya melawan tindakan subordinasi ini
karena tidak dimilikinya informasi yang cukup tentang keberadaan aktor penyedia
sumber daya alternatif. Terdapat ketidakseimbangan hak dan kewajiban dalam
kerjasama yang dilakukan antara pengrajin dan pemodal. Pengrajin memperoleh
modal dari juragan tetapi pengrajin memiliki kewajiban untuk mendistribusikan
produk kerajinannya kepada pemodal dengan harga yang ditentukan oleh
pemodal.
Pemenuhan kebutuhan merupakan aspek yang berpengaruh nyata terhadap
tingkat kemandirian usaha dengan koefisen lintas sebesar 0,50. Rendahnya
pemenuhan kebutuhan menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian usaha
pengrajin, dengan kata lain pengrajin memiliki ketergantungan yang tinggi pada
aktor penyedia sumber daya usaha kerajinan, baik itu pemodal, penyedia bahan
baku, agen pemasaran, maupun konsumen.
Aspek karakteristik individu berikutnya yang memiliki pengaruh terhadap
kemandirian adalah pendidikan pengrajin, dengan koefsien lintas 0,47. Rendahnya
tingkat pendidikan pengrajin terutama pendidikan non formal menyebabkan
rendahnya kemandirian pengrajin. Pengetahun dan ketrampilan pengrajin di
bidang proses produksi masih rendah, terutama tentang mutu produk. Pengrajin
belum mengetahui standar nasional tentang mutu produk barang kerajinan dari
kulit. Pengrajin juga belum memiliki ketrampilan yang tinggi untuk menghasilkan
produk bermutu secara tepat. Hal ini disebabkan pengrajin belum pernah
mendapat sentuhan pendidikan nonformal tentang standar mutu produk.
Pengrajin pernah mendapat pendampingan tentang pengelolaan modal yang
diberikan oleh badan usaha, namun pengrajin belum pernah mendapat penyuluhan
tentang aksesibilitas sumber permodalan alternatif dan metode bekerjasama
dengan sumber permodalan. Sehingga pengetahuan tentang sumber permodalan
alternatif dan ketrampilan mengakses sumber permodalan masih rendah.
Ketrampilan mempromosikan produk dan menjual produk secara luwes yang
berorientasi pada kepuasan pelanggan adalah rendah, pengrajin belum pernah
mendapat bimbingan tentang teknik-teknik promosi, teknik menjual, dan
pengelolaan kepuasan pelanggan.
Pengrajin sering menerima tindakan subordinasi pada saat bekerjasama.
Pengrajin belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan membuat perjanjian
secara tertulis. Sehingga ketika terjadi pelanggaran dalam perjanjian pengrajin
berada pada pihak yang lemah dan terkalahkan. Rendahnya kemandirian dalam
kerjasama ini disebabkan pengrajin belum pernah mendapat pendidikan
nonformal tentang perjanjian kerjasama. Pendidikan sangat penting bagi
peningkatan pengetahuan, pemahaman, sikap, dan ketrampilan pengrajin dalam
memproduksi produk kerajinan bermutu yang sesuai dengan perkembangan
kebutuhan konsumen.
Rendahnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal penggajian
dan kewajiban dalam usaha kerajinan berpengaruh terhadap kemandirian usah
adengan koefisen lintas sebesar 0,44. Hal ini terutama terjadi pada aspek
kemandirian produksi dan pemasaran. Terdapat bias gender pada usaha kerajinan
barang dari kulit, seluruh pekerjaan utama produksi dikerjakan oleh kaum laki-
laki sedangkan wanita menjadi asisten pekerjaan suami dalam produksi atau
melakukan pekerjaan sebagai tenaga penjaga toko dan pemasaran. Keterbatasan
pekerjaan wanita di bidang produksi mengurangi satu peluang dihasilkannya
produk yang bermutu, wanita bisa menyelesaikannya dengan lebih halus dan teliti.
Pengaruh Faktor Pendukung Usaha terhadapTingkat Kemandirian Usaha
Tingkat kemandirian usaha mendapat pengaruh positif yang nyata dari
pendukung usaha. Rendahnya faktor pendukung usaha yang tersedia (ketersediaan
bahan baku, ketersediaan pasar, ketersediaan teknologi, dan keterjangkauan
transportasi) berpengaruh terhadap rendahnya tingkat kemandirian (permodalan,
produksi, pemasaran, dan kerjasama). Pengaruh masing-masing faktor tersebut
terhadap tingkat kemandirian pengrajin akan ditelusuri lebih lebih lanjut
berdasarkan analisis jalur pada Gambar 29.
Gambar 29Pengaruh Indikator Karakteristik Individu terhadap Tingkat Kemandirian UsahaGambar 29. Pengaruh Indikator Pendukung Usaha
terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Pengaruh paling besar dari aspek pendukung usaha terdapat pada faktor
ketersediaan pasar, dengan koefisien lintas sebesar 0,62. Ketersediaan pasar
kondusif bagi upaya peningkatan kemampuan pengrajin untuk memasarkan
produk sesuai dengan kebutuhan pasar dan berpengaruh kecermatan pengrajin
dalam bekerjasama dengan pihak yang terlibat dalam pendistribusian produk hasil
kerajinan. Ketersediaan pasar akan mendorong pengrajin untuk mampu membuat
dan mengembangkan desain produk sesuai dengan perkembangan permintaan
konsumen, serta memiliki unifikasi sesuai dengan standar yang diinginkan
konsumen. Terhadap aspek kemandirian kerjasama, ketersediaan pasar akan
mendorong pengrajin untuk menjalin kerjasama seluas-luasnya dengan konsumen,
penyalur, penyedia bahan baku, dan pihak yang terlibat dalam usaha kerajinan.
Ketersediaan bahan baku berpengaruh nyata terhadap peningkatan
kemandirian usaha dengan koefisien lintas sebesar 0,54. Bahan baku yang
terjamin (mutu, kuantitas, dan ketersediaannya) akan mendorong pengrajin untuk
melakukan proses produksi secara tepat waktu dan menghasilkan produk bermutu.
Tingkat KemandirianUsaha
Teknologi
Pasar
Bahan Baku
0,54
0,62
0,51
0,53
Transportasi
Faktor transportasi juga berpengrauh nyata terhadap tingkat kemandirian
usaha dengan koefisien lintas sebesar 0,53. Transportasi yang terjangkau oleh
pengrajin akan memfasilitasi pengrajin untuk menjangkau bahan baku, melakukan
kontak dengan penyedia sumber daya, mempercepat pendistribusian hasil
produksi penjualan, dan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada
konsumen. Kehalusan dalam melakukan produksi ditunjang oleh ketersediaan
peralatan yaitu peralatan yang berkembang sesuai kebutuhan, harga peralatan
yang terjangkau dan kemudahan memperoleh peralatan.
Faktor penting lainnya yang berpengaruh nyata terhadap tingkat
kemandirian usaha adalah ketersediaan teknologi dengan koefsien lintas sebesar
0,51. Teknologi yang tersedia akan menjamin kelancaran proses produksi dan
mendukung pengrajinmenghasilkan produk bermutu sesuai dengan tuntutan pasar.
Pengaruh Dukungan Lingkungan terhadapTingkat Kemandirian Usaha
Dukungan lingkungan (keluarga, pemimpin informal, bimbingan pemerintah
daerah, dan organisasi non pemerintah) mempunyai pengaruh yang nyata terhadap
tingkat kemandirian usaha. Rendahnya dukungan keempat aktor tersebut terhadap
pengrajin di kedua lokasi menyebabkan rendahnya tingkat kemandirian usaha.
Aktor yang paling berperan dalam meningkatkan kemandirian usaha
pengrajin dapat dilihat dari hasil analisis jalur pada Gambar 30.
Gambar 30 Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan Tingkat Kemandirian UsahaGambar 30. Pengaruh Indikator Dukungan Lingkungan
terhadap Tingkat Kemandirian Usaha
Tingkat KemandirianUsaha
Bimbingan Pemerintah
Pemimpin Informal
Keluarga
0,35
0,42
0,63
0,61
Bimbingan OrganisasiNon Pemerintah
Dukungan pemerintah melalui bimbingan yang diberikan kepada pengrajin
memiliki pengaruh yang besar bagi peningkatan kemandirian usaha. Bimbingan
yang diberikan pemerintah daerah berupa pelatihan tentang ketrampilan produksi
kerajinan bermutu sehingga pengetahuan dan kemampuan pengrajin dalam
menghasilkan produk bermutu dan berdaya saing masih rendah. Pemerintah
daerah juga telah memberikan pelatihan manajemen usaha kerajinan, namun
frekuensinya masih sedikit sehingga masih banyak pengrajin yang memiliki
kemampuan yang rendah dalam mengelola usaha kerajinan. Pelatihan tentang
perjanjian kerjasama dan permodalan belum pernah dilakukan pemerintah daerah
yang menyebabkan rendahnya kemandirian di bidang kerjasama dan permodalan.
Organisasi non pemerintahan yang memberikan bimbingan kepada pengrajin
terdiri dari: badan usaha, lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dan lembaga
swadaya masyarakat. Bimbingan yang diberikan organisasi non pemerintah
memiliki kontribusi yang besar bagi peningkatan kemandirian usaha pengrajin
dengan koefsien lintas sebesar 0,61. Pembinaan yang pernah dilakukan oleh badan
usaha berupa pendampingan terhadap pengrajin yang diberi modal. Pembinaan
dari aspek produksi berupa pelatihan produksi sepatu, tas, dan penanganan bahan
kulit dilakukan oleh badan usaha dan lembaga swadaya masyarakat, namun
pembinaan tersebut tidak berkesinambungan dan jumlah pengrajin yang mendapat
pembinaan juga masih terbatas. Oleh karena itu, rendahnya pembinaan yang
dilakukan organisasi pemerintah menyebabkan masih rendahnya tingkat
kemandirian usaha. Aspek pemasaran masih belum pernah mendapat sentuhan
pembinaan atau bimbingan baik oleh pemerintah daerah atau organisasi non
pemerintah, sehingga kemampuan pengrajin dalam menerapkan teknik pemasaran
baru, dan kecepatan menjual produk kepada konsumen dengan pelayanan bermutu
msih rendah.
Pemimpin informal pada komunitas pengrajin di kedua lokasi memiliki
kontribusi yang cukup besar bagi peningkatan kemandirian pengrajin dengan
koesfien lintas sebesar 0,42. Pengrajin maju dan pemimpin kelompok usaha pada
sentra kerajinan memberikan dukungan dalam kegiatan pengrajin berupa arahan
tentang informasi pasar, model produk, atau tentang proses produksi.
Dukungan faktor lingkungan yang penting berikutnya adalah dukungan yang
berasal dari keluarga dengan koefisien lintas sebesar 0,35. Pembelajaran yang
diberikan oleh keluarga lebih mudah diterima pengrajin karena mereka melihat
dan mempraktekkan langsung (learning by doing) terutama tentang proses
produksi dan pemasaran.
Faktor-Faktor yang Berpengaruhterhadap Kemajuan Usaha
Ringkasan hasil uji hipotesis ketiga yang tercantum pada Tabel 40,
menunjukkan diterimanya hipotesis yang menyatakan bahwa ”Kemajuan usaha
dipengaruhi secara langsung oleh perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian
usaha.”
Tabel 40. Ringkasan Hasil Uji Faktor-Faktor yang BerpengaruhTerhadap Kemajuan Usaha
VariabelBebas
VariabelTerikat
KoefisienJalur
(Standardized)
StandarError
Nilai thitung
HasilUji
α=0,05.
R2
PerilakuWirausaha
0,35 0,18 1,97 * 0,49KemajuanUsaha
Tingkatkemandirianusaha
0,34 0,15 2,26 *
*Nyata pada α= 0,05, t-tabel = 1,965 Tabel 40 Ringkasan Hasil Uji Faktor- Faktor yang Berpengaruh TerhadapKemajuan Usaha
Perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha berpengaruh secara
positif dan nyata terhadap kemajuan usaha, masing-masing sebesar 0,35 dan 0,34.
Rendahnya perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha menyebabkan
rendahnya tingkat kemajuan usaha. Hubungan langsung antara faktor perilaku
wirausaha dan tingkat kemandirian usaha terhadap kemajuan usaha terlihat pada
Gambar 31.
Pengaruh Faktor Perilaku Wirausahaterhadap Kemajuan Usaha
Berdasarkan Tabel 40 terlihat bahwa perilaku wirausaha berpengaruh
secara positif dan nyata terhadap kemajuan usaha. Perilaku wirausaha sangat
penting bagi peningkatan kemajuan usaha, aspek keinovatifan, inisiatif,
pengelolaan resiko, dan daya saing memiliki kontribusi yang besar bagi kemajuan
usaha. Stewart JR et al (1998) menilai kemajuan usaha seorang wirausahwan
berdasarkan kecemerlangan aspirasi wirausahawan dalam memandang peluang di
masa depan yang penuh resiko, hal ini dapat meningkatkan keberhasilan usaha.
Gambar 31Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemajuan Usaha
Gambar 31. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemajuan Usaha
Rendahnya tingkat kemajuan usaha disebabkan oleh rendahnya
kemampuan pengrajin untuk menghasilkan inovasi dan menerapkan inovasi
tersebut dalam usaha kerajinan kerajinannya masih rendah (rata-rata skor 32,5).
Kecenderungan menerapkan cara-cara yang sudah lama mereka terapkan,
menyebabkan kejenuhan pada model yang dihasilkan sehingga tidak sesuai lagi
dengan mode yang disukai konsumen terutama untuk produk yang berorientasi
ekspor. Lebih dari seperempat pengrajin di Kabupaten Magetan memiliki
keinovatifan rendah yang berakibat produk sepatu yang dihasilkan tidak mampu
diserap pasar secara optimal dari segi kuantitas dan jangkauan pemasaran.
Pengrajin Magetan sebagian besar memasarkan produknya untuk kebutuhan lokal
(55,3 persen). Rendahnya keinovatifan menyebabkan seperempat pengrajin
memiliki tingkat pertumbuhan usaha (penjualan, jenis produk, aktiva, volume
produksi, dan pangsa pasar) sangat rendah.
Keinovatifan (pemahaman tentang penciptaan inovasi produk, ketertarikan
untuk menciptakan inovasi, dan kecermatan menghasilkan inovasi dengan
peralatan produksi atau teknik produksi terbaru kondusif) akan meningkatkan
pertumbuhan produksi. Pengetahuan sumber informasi tentang teknik pemasaran
PerilakuWirausaha
R 2 = 0,49
ζ=0,51
KemandirianUsaha
KemajuanUsaha
0,34
0,35
dan pelayanan kepada pelanggan yang inovatif akan mendorong pengrajin untuk
meningkatkan pertumbuhan penjualan.
Faktor inisiatif juga memiliki pengaruh besar terhadap tingkat kemajuan
usaha. Ketidakmampuan sebagian besar pengrajin menjangkau pasar ekspor
disamping karena rendahnya keinovatifan juga karena kemampuan untuk
memasuki pasar baru yang masih rendah yang ditunjukkan dari inisiatif pengrajin
untuk memprakarsai atau memulai usaha pada pangsa pasar dan jangkauan pasar
baru yang masih rendah (rata-rata 34,4). Upaya mendorong pengrajin
meningkatkan inisiatif sangat penting untuk meningkatkan kemampuan pengrajin
menjangkau pasar yang lebih luas terutama pasar ekspor yang baru 5 persen
dijangkau pengrajin. Kecermatan dalam memanfaatkan peluang usaha dengan
perencanaan yang matang kondusif untuk mengembangkan kecermatan dan
ketepatan mengelola usaha ecara efisien. Ketertarikan dan ketelitian dalam
mengidentifikasi peluang usaha yang didukung dengan kemampuan pengrajin
dalam mencari sumber informasi inovatif dan kecermatan dalam menghasilkan
inovasi usaha akan menjadikan usaha lebih dinamis dan produk menjadi lebih
bervariasi.
Daya saing yang dimiliki pengrajin juga berpengaruh secara nyata terhadap
tingkat kemandirian usaha. Rendahnya daya saing produk kerajinan menyebabkan
rendahnya tingkat kemandirian usaha. Pengrajin masih menggunakan standar
lokal pada produk yang dihasilkan. Secara logika, dengan jangkauan pasar yang
lebih luas akan menuntut standar mutu produk yang lebih tinggi karena persaingan
semakin luas. Produk yang menjadi pesaing tidak hanya produk lokal tapi produk
nasional bahkan internasional. Sebagai salah satu contoh, pengrajin tidak dapat
menggunakan standar ukuran sepatu untuk orang Indonesia untuk memenuhi
kebutuhan pasar Eropa atau Timur Tengah.
Pengetahuan dan pemahaman tentang cara memprediksi resiko, sikap
terhadap resiko, dan ketepatan dan kecermatan mengelola resiko masih rendah
yang menyebabkan pertumbuhan usaha dan efektivitas usaha juga rendah.
Pengrajin perlu berhati-hati dan teliti dalam menjalankan usaha secara efisien dan
efektif. Peluang usaha baru yang berhasil diidentifikasi dan dijalankan pengrajin
akan membuka kesempatan untuk meningkatkan volume penjualan dan perluasan
pangsa pasar. Kecermatan menemukan peluang usaha dan ketepatan memprediksi
terjadinya resiko dalam menjalankan usaha baru yang didukung perencanaan
biaya produksi yang baik akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha.
Berdasarkan hasil tersebut di atas, faktor perilaku wirausaha sangat penting
diperhatikan untuk meningkatkan kemajuan usaha pengrajin. Pengrajin yang
berkualitas perilaku wirausaha sangat kondusif untuk dapat meraih kemajuan
usaha. Variabel tersebut penting untuk dikembangkan melalui program
pemberdayaan masyarakat. Sehingga pengrajin mampu meraih pertumbuhan
usahanya serta dapat bekerja secara efisien dan efektif. Hasil temuan ini relevan
dengan temuan Perry et al (2001), Adnyana (2004), dan Steier (2000).
Pengaruh Faktor Tingkat KemandirianUsaha terhadap Kemajuan Usaha
Kemandirian usaha berpengaruh secara positif dan nyata terhadap kemajuan
usaha. Rendahnya kemajuan usaha (pertumbuhan usaha, efektivitas usaha, dan
efisiensi usaha) dengan rata-rata skor 35,9 disebabkan oleh rendahnya tingkat
kemandirian usaha (kemandirian permodalan, produksi, pemasaran, dan
kerjasama) dengan rata-rata skor 37,8.
Pertumbuhan usaha yang rendah (terutama faktor pertumbuhan volume
produksi) disebabkan oleh kemandirian produksi yang rendah (ketrampilan proses
produksi). Pengrajin masih belum mampu mencapai tingkat pertumbuhan
produksi yang tinggi karena ketepatan dalam menjalankan tahapan produksi masih
rendah, pengrajin masih belum membuat perencanaan jumlah barang yang akan
diproduksi sehingga tidak bisa selesai tepat waktu.
Efek kemandirian produksi yang rendah juga berpengaruh pada rendahnya
efisiensi waktu. Pengrajin memiliki keterbatasan akses terhadap peralatan besar
(mesin pres, pemotong, dan seset) yang tidak dimilikinya dengan menyewa pada
pengrajin lain sehingga menimbulkan waktu menganggur.
Faktor kemandirian permodalan yang dimiliki pengrajin masih rendah, hal
ini menyebabkan rendahnya kemajuan usaha. Pemahaman tentang pengelolaan
modal, sikap hemat dalam mengelola modal, dan ketepatan mengakses sumber
permodalan alternatif masih rendah, sehingga pertumbuhan usaha menjadi rendah,
terutama pertumbuhan volume produksi dan pertumbuhan aktiva.
Rendahnya pertumbuhan usaha (pertumbuhan penjualan dan perkembangan
pangsa pasar) disebabkan oleh kemandirian pemasaran pengrajin yang masih
rendah. Kemandirian pemasaran pengrajin masih belum kondusif untuk
meningkatkan volume penjualan dan menjangkau pasar yang lebih luas terutama
pasar ekspor. Pengrajin masih rendah dalam ketanggapan terhadap perkembangan
teknik menjual, promosi produk kerajinan dan keluwesan dalam memberikan
pelayanan yang memuaskan pelanggan sehingga pencapaian target penjualan dan
perkembangan pangsa pasar masih rendah.
Kemandirian kerjasama yang rendah juga menyebabkan kemajuan usaha
yang rendah. Kemampuan pengrajin dalam melakukan kerjasama dengan pihak
yang berkaitan dengan bidang usaha kerajinan (pemodal, pemasok bahan baku,
agen pemasaran, dan konsumen) masih rendah sehingga pertumbuhan usaha
terutama perkembangan pangsa pasar, pertumbuhan penjualan dan pertumbuhan
aktiva menjadi rendah. Pengrajin belum mampu membuat perjanjian dalam
kerjasama dan belum mampu memposisikan dirinya sebagai mitra yang sejajar
dengan aktor terkait sehingga timbul tindakan subordinasi oleh aktor tersebut.
Sikap percaya diri pengrajin dalam menjalin kerjasama masih rendah,
sehingga menghambat perkembangan jangkauan pemasaran. Pengrajin belum
mampu memperluas akses jaringan kerjasama, jika pengrajin mampu maka
semakin luas dan semakin banyak alternatif jaringan kerjasama yang dimiliki
pengrajin akan semakin tinggi kemampuan mencapai pertumbuhan usaha dan
semakin tinggi pencapaian target usaha.
Faktor-Faktor yang Berpengaruhterhadap Keberlanjutan Usaha
Kemajuan usaha yang dicapai oleh pengrajin diuji pengaruhnya terhadap
tingkat keberlanjutan usaha. Ringkasan hasil uji hipotesis yang tersebut pada
Tabel 41 menunjukkan bahwa hipotesis ”Keberlanjutan usaha dipengaruhi secara
langsung oleh kemajuan usaha” diterima.
Tabel 41. Ringkasan Hasil Uji Pengaruh Kemajuan Usahaterhadap Keberlanjutan Usaha
VariabelBebas
VariabelTerikat
KoefisienJalur
(Standardized)
StandarError
Nilai thitung
HasilUji
α=0,05.
R2
KeberlanjutanUsaha
KemajuanUsaha
0,76 0,09 8,46 * 0,57
*Nyata pada α= 0,05, t-tabel=1,965. Tabel41 Ringkasan Hasil Uji Pengaruh Kemajuan Usaha Keberlanjutan Usaha
Kemajuan usaha berpengaruh secara positif dan nyata terhadap
keberlanjutan usaha sebesar 0,76. Rendahnya keberlanjutan usaha disebabkan
rendahnya tingkat kemajuan usaha yang diraih pengrajin dari satu periode ke
periode. Usaha yang senantiasa tumbuh dari aspek penjualan, keuntungan dan
modal yang dimiliki serta berjalan secara efektif dan efisien mampu
meningkatkan keberlanjutan usahanya pada masa mendatang. Hubungan langsung
kemajuan usaha terhadap keberlanjutan usaha terlihat pada Gambar 32.
Gambar 32Pengaruh Kemajuan Usaha terhadap Keberlanjutan UsahaGambar 32. Pengaruh Kemajuan Usaha terhadap Keberlanjutan Usaha
Rendahnya keberlanjutan usaha disebabkan oleh rendahnya tingkat
kemajuan usaha. Hampir setengah pengrajin (43 persen) memiliki kontinyuitas
produksi rendah yang disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan usaha, efektivitas,
dan efisiensi usaha. Pengrajin kurang tanggap terhadap pentingnya perencanaan
dan penyusunan target produksi. Jumlah barang yang akan diproduksi ditentukan
dengan pendekatan tradisional, jumlah yang diproduksi pada bulan ini sama
dengan jumlah yang diproduksi pada bulan lalu, tanpa melakukan prediksi atau
Kemajuan Usaha
Keberlanjutan usaha
0,76
ζ=0,43
perencanaan produksi. Ketanggapan pengrajin terhadap tingkat kekerapan hasil
produksi pada masa yang akan datang masih rendah dan pengrajin kurang proaktif
pada kelancaran proses produksi.
Sikap pengrajin dalam mengantisipasi tercapainya kontinyuitas produksi
berupa kelancaran proses produksi, meningkatnya mutu produk dan terpenuhinya
kebutuhan konsumen akan produk kerajinan yang bermutu masih rendah, hal ini
disebabkan pertumbuhan usaha masih rendah dan pengrajin belum menjalankan
usahanya secara efektif dan efisien.
Tingkat kontinyuitas penjualan cenderung rendah, hampir setengah
pengrajin (43 persen) memiliki kontinyuitas penjualan rendah dan sangat rendah.
Rendahnya kontinyuitas penjualan disebabkan oleh rendahnya pertumbuhan usaha
(pertumbuhan penjualan dan perkembangan jenis produk kerajinan) dan
efektivitas (pencapaian target penjualan) yang rendah.
Kesadaran akan pentingnya pelayanan bermutu dalam usaha kerajinannya
masih rendah. Penerapan standar mutu produk yang berlaku di pasar masih
rendah, standar yang digunakan sebatas kemampuan yang dimiliki dan masih
rendah penerapan prinsip-prinsip pelayanan yang memberikan kepuasan pada
pelanggan.
Peningkatan dan diversifikasi produk kerajinan yang dihasilkan dicapai
pengrajin pada kondisi saat ini dengan sebelumnya akan mendorong sikap
proaktif pengrajin untuk dapat memenuhi selera konsumen atas produk kerajinan
pada masa yang akan datang. Sikap proaktif atas kontinyuitas penjualan ini masih
rendah terutama dalam hal membuat perencanaan biaya dan target penjualan,
peningkatan pelayanan, dan kesadaran melakukan promosi.
Rata-rata kontinyuitas penjualan sedang (rata-rata 59,5), hal ini
ditunjukkan oleh oleh pencapaian target produksi dan penjualan yang rendah.
Pengrajin masih lemah dalam hal mengantisipasi terpenuhinya input bahan baku
dengan jumlah yang tepat dan memiliki mutu yang sesuai dengan kebutuhan dan
selera konsumen pada masa karena pertumbuhan volume produksi dan penjualan
masih rendah. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan usaha maka akan
meningkatkan semangat pengrajin untuk mengantisipasi keterpenuhan bahan baku
dengan membuat perencanaan persediaan, pengendalian persediaan, dan mutu
persediaan.
Model Persamaan Struktural Keberdayaan Pengrajin
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa pengrajin masih memiliki
keberdayaan yang rendah, hal ini ditunjukkan dengan perilaku wirausaha dan
tingkat kemandirian usaha yang rendah. Perilaku wirausaha (tingkat keinovatifan,
inisiatif, pengelolaan resiko dan daya saing) pengrajin adalah rendah. Pengrajin
lebih sering menerapkan cara-cara berusaha yang telah ada dan mencoba
menerapkan inovasi setelah pengrajin lain menerapkannya. Kecenderungan yang
terjadi pada pengrajin adalah memproduksi barang yang sejenis dengan pengrajin
yang lain. Mereka kurang merespon peluang usaha baru karena takut mengalami
kerugian atau kegagalan. Sebagian besar pengrajin hanya berupaya menjual
produk semampunya, seperti yang telah dicapai pada hari-hari sebelumnya.
Tingkat kemandirian usaha (permodalan, proses produksi, kerjasama dan
pemasaran) masih rendah. Pengrajin mengelola modal dengan pertimbangan
jangka pendek dan belum memiliki orientasi mengakumulasikan keuntungan
dalam investasi modal. Pada aspek permodalan pengrajin juga kurang proaktif
dalam mencari sumber permodalan alternatif. Pengrajin menghasilkan produk
dengan menggunakan pola yang sudah ada yang telah lama mereka pergunakan
dengan mengacu pada standar internal. Kemampuan memodifikasi peralatan agar
sesuai dengan kebutuhan pasar masih belum banyak dilakukan. Kemandirian
kerjasama belum dicapai pengrajin karena mereka melakukan kerjasama dalam
lingkup yang masih terbatas, sehingga tidak jarang mereka menerima tindakan
subordinasi karena tidak mampu mencari alternatif lain. Orientasi kerjasama juga
masih dalam tujuan keuntungan jangka pendek sehingga kurang kontinyu.
Berdasarkan kondisi perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha
pengrajin yang dijelaskan di atas, tampak bahwa pengrajin masih belum berdaya
dalam menjalankan usaha kerajinannya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu model
pemberdayaan bagi pengrajin, sehingga pada masa mendatang diperoleh pengrajin
yang berdaya dan mampu meraih kemajuan dan keberlanjutan usahanya. Hasil
model persamaan struktural secara keseluruhan (overall) yang digunakan dalam
menguji hipotesis satu sampai dengan hipotesis empat dievaluasi lebih lanjut
untuk mengkonfirmasi layak-tidaknya model teoritis yang diajukan untuk
menduga hipotesis penelitian. Menurut Ferdinand (2002) suatu model dikatakan
fit atau sesuai dengan data apabila matriks kovarian sampel tidak berbeda dengan
estimasi matrik kovarians populasi yang dihasilkan. Sehingga model baik untuk
digunakan menduga populasi. Nilai Goodness-of-Fit Index (GFI) merupakan
ukuran kesesuaian model secara deskriptif. Dalam penelitian ini nilai GFI adalah
sebesar 0,93 atau lebih besar dari 0,90 yang mengindikasikan model fit atau
model dapat diterima. Nilai GFI ini juga menunjukkan bahwa 93 persen data
penelitian mampu menerangkan kenyataan di lapangan.
Model persamaan struktural digunakan sebagai landasan untuk
merumuskan model pemberdayaan pengrajin menuju kemajuan dan keberlanjutan
usaha. Pengujian hipotesis telah membuktikan bahwa secara empiris pada
komunitas pengrajin faktor-faktor karakteristik individu, pendukung usaha, dan
lingkungan berpengaruh nyata terhadap keberdayaan pengrajin (perilaku
wirausaha dan tingkat kemandirian usaha). Keberdayaan pengrajin berpengaruh
secara nyata terhadap kemajuan usaha yang menjadi faktor penentu keberlanjutan
usaha pengrajin di masa depan. Faktor-faktor penentu keberdayaan pengrajin
menuju kemajuan dan keberlanjutan usaha tersusun dalam model persamaan
struktural (SEM) pada Gambar 33.
Gambar 33Model Persamaan Struktural Keberdayaan Pengrajin* Nyata pada α= 0,05.Jalur Strategis: Karakteristik Individu Perilaku Wirausaha Tingkat kemandirian usahaTingkat kemajuan usaha Keberlanjutan usaha
Gambar 33. Model Persamaan Struktural Keberdayaan Pengrajin
ζ=0,13
KarakteristikIndividu
PendukungUsaha
DukunganLingkungan
KemandirianUsaha
PerilakuWirausaha
KemajuanUsaha
KeberlanjutanUsaha
0,34*
0,35*
ζ=0,51
ζ=0,22 ζ=0,43
0,26*
0,58*
0,39*
0,20*
0,050,50*
0,56*0,76*
Keberdayaan Pengrajin
Model persamaan struktural keberdayaan pengrajin pada Gambar 33
menunjukkan bahwa faktor-faktor dalam karakteristik individu (pendidikan,
motivasi, pemenuhan kebutuhan, intensitas komunikasi, dan aspek gender)
memiliki peran strategis untuk memberdayakan pengrajin yaitu meningkatkan
kualitas perilaku wirausaha dan kemandirian usahanya. Peningkatan keberdayaan
pengrajin ini didukung oleh lingkungan dan pendukung usahanya. Terdapat nilai
residu (ζ) yang merupakan faktor di luar model yang diduga berpengaruh terhadap
keberdayaan, kemajuan, dan keberlanjutan usaha pengrajin. Berdasarkan hasil
wawancara dengan pengrajin, iklim usaha merupakan salah satu faktor yang
diduga berpengaruh terhadap keberdayaan pengrajin.
Hasil penelusuran melalui analisis jalur dari indikator yang ada pada
karakteristik individu pada Tabel 38 menunjukkan bahwa faktor pendidikan dan
motivasi merupakan faktor strategis yang menentukan kualitas perilaku
wirausaha, terutama setelah melalui pemenuhan kebutuhan dan intensitas
komunikasi. Seyogyanya pemberdayaan diarahkan pada upaya memotivasi
pengrajin dan menambah intensitas penyuluhan guna meningkatkan perilaku
wirausahanya melalui komunikasi yang intensif antara penyuluh dan aktor yang
terlibat dalam pemberdayaan. Dukungan lingkungan (keluarga, pemimpin
informal, bimbingan pemerintah daerah, dan bimbingan organisasi non
pemerintah) secara nyata berpengaruh terhadap perilaku wirausaha, terutama yang
diperankan oleh pemerintah daerah dan organisasi non pemerintah, sehingga
keterlibatan kedua aktor tersebut secara intensif sangat diperlukan untuk
meningkatkan kualitas perilaku wirausaha.
Penelitian ini juga mengkaji lebih lanjut pengaruh keberdayaan pengrajin
pada kemajuan dan keberlanjutan usaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kemajuan usaha secara nyata dan positif dipengaruhi oleh keberdayaan pengrajin
yaitu perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usahanya. Kemajuan usaha
masih rendah (rata-rata skor 37,8), ini terjadi karena keberdayaan pengrajin masih
rendah (perilaku wirausaha rendah dengan rata-rata skor 33,8 dan tingkat
kemandirian usaha rendah dengan rata-rata skor 35,9). Kemajuan usaha yang
masih rendah berdampak pada masih banyaknya usaha pengrajin yang memiliki
tingkat keberlanjutan yang rendah.
Pengembangan kemandirian usaha perlu dilakukan melalui peningkatan
perilaku wirausaha pengrajin terutama pada aspek keinovatifan, inisiatif, dan daya
saing bagi pengrajin. Hal ini telah dibuktikan melalui analisis jalur pengaruh
indikator perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha pada Gambar 27.
Selain itu, juga sangat ditentukan oleh karakteristik individu (intensitas
komunikasi, pemenuhan kebutuhan, pendidikan, motivasi, dan aspek gender) dan
dukungan lingkungan. Dukungan lingkungan perlu mendapat perhatian serius
terutama bimbingan pemerintah daerah, bimbingan organisasi non pemerintah,
keluarga, dan pemimpin informal. Pendukung usaha juga perlu mendapat
perhatian terutama pada aspek pasar, bahan baku, transportasi, dan teknologi.
Faktor strategis penentu keberdayaan pengrajin pada kedua lokasi adalah
sama yaitu faktor karakteristik individu dan lingkungan, namun penekanan
pengembangan masing-masing faktor berbeda. Model persamaan struktural
keberdayaan pengrajin Sidoarjo disajikan pada Gambar 34.
Gambar 34Model Keberdayaan Pengrajin di Sidoarjo
* Nyata pada α= 0,05.Jalur Strategis: Karakteristik Individu Perilaku Wirausaha Tingkat kemandirian usahaTingkat kemajuan usaha Keberlanjutan usaha
Gambar 34. Model Keberdayaan Pengrajin di Sidoarjo
Pengembangan dukungan lingkungan menjadi faktor selanjutnya yang
perlu diperhatikan untuk meningkatkan keberdayaan pengrajin di Sidoarjo
terutama melalui bimbingan organisasi non pemerintah dan bimbingan pemerintah
daerah. Faktor keluarga dan pemimpin informal memiliki peran yang seimbang,
KarakteristikIndividu
0,14*PendukungUsaha
DukunganLingkungan
TingkatKemandirian
Usaha
0,42*
0,12* PerilakuWirausaha
0,49*
ζ=0,04
TingkatKemajuan
Usaha
KeberlanjutanUsaha
0,28*
0,44*
0,28*
0,35* 0,36*
ζ=0,09
ζ=0,06 ζ=0,41
0,77*
Keberdayaan Pengrajin
sehingga kedua-duanya sama diperlukan untuk meningkatkan keberdayaan
pengrajin. Adapun model persamaan struktural keberdayaan pengrajin Magetan
disajikan pada Gambar 35.
Gambar35Model Keberdayaan Pengrajin di Magetan* Nyata pada α= 0,05.Jalur Strategis: Dukungan Lingkungan Perilaku Wirausaha Tingkat kemandirian usahaTingkat kemajuan usaha Keberlanjutan usaha
Gambar 35. Model Keberdayaan Pengrajin di Magetan
Rendahnya keberdayaan pengrajin di Magetan perlu ditingkatkan melalui
pengembangan dukungan lingkungan terutama melalui bimbingan pemerintah
daerah. Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah daerah penting untuk
mengembangkan perilaku wirausaha pengrajin yang masih rendah.
Pengembangan perilaku wirausaha dan intervensi yang dilakukan pemerintah
daerah akan meningkatkan kemandirian pengrajin. Keterlibatan organisasi non
pemerintah dan keluarga juga penting bagi peningkatan keberdayaan pengrajin
Magetan yang memiliki hubungan yang kuat antar sesama anggota keluarga yang
secara sinergis mendukung kegiatan usaha kerajinan.
Perhatian yang serius terhadap karakteristik individu pengrajin mampu
meningkatkan perilaku wirausaha dan tingkat kemandirian usaha pengrajin
Magetan. Faktor karakteristik individu yang mempunyai kontribusi paling penting
bagi keberdayaan pengrajin Magetan adalah pendidikan pengrajin. peningkatan
pendidikan pengrajin terutama pada aspek pendidikan non formal mampu
meningkatkan keberdayaan pengrajin.
KualitasPribadi
0,04
ζ=0,17
PendukungUsaha
DukunganLingkungan
TingkatKemandirian
Usaha
0,21*
0,35* PerilakuWirausaha
0,42*
TingkatKemajuan
Usaha
KeberlanjutanUsaha
0,36*
0,31*0,33*
0,060,29*
ζ=0,25
ζ=0,05 ζ=0,51
0,70*
Keberdayaan Pengrajin
Visi, Misi dan Strategi Pengembangan Industri Kecil
Visi Pengembangan Industri Kecil
Pengembangan industri kecil diorientasikan kepada visi agar menjelang
tahun 2020 dapat terwujud industri kecil berbasis ekonomi kerakyatan yang maju,
kompetitif, mandiri dan berperan secara berarti sebagai basis dan salah satu motor
penggerak bagi pengembangan sektor industri secara keseluruhan (Deperindag,
2002).
Memperhatikan visi tersebut, maka yang dibangun oleh pemerintah adalah
aspek industri kecilnya agar menjadi tumpuan utama kehidupan ekonomi
masyarakat di sektor industri, menjadi penyedia lapangan kerja ataupun sumber
penghidupan yang luas dengan sumbangan nilai tambah yang besar.
Menurut O’Connor (1996) visi atau wawasan adalah lampu jarak jauhyang dapat memberikan arah untuk setiap upaya. Jika visi ini jelas dancemerlang, maka perhatian orangpun akan tertarik dan minat sertapengetahuannya akan terangsang. Bahkan sekalipun rinciannya tersamar atautidak jelas, maka visi dapat digunakan sebagai pengikat.
Nilai-nilai filosofis yang dijadikan acuan atau landasan perilaku dari setiap
pelaku pengembangan industri kecil demi tercapainya tujuan yang ditetapkan
tersirat dalam pernyataan “industri kecil sebagai motor penggerak
pengembangan”, yang diartikan sebagai suatu kondisi industri kecil pada saat
menjelang 2020 merupakan segmen industri yang (bersama-sama dengan segmen
lainnya) telah berkemampuan mendinamisasi dan memajukan dirinya sendiri
bekerja bersama-sama dengan segmen usaha dan pemerintah tanpa saling
membebabni Hal ini sejalan dengan falsafah penyuluhan “helping people to help
them selves”. Bahwasanya pengembangan industri kecil diarahkan pada upaya
memberi kemampuan pada industri kecil untuk menolong dirinya sendiri, namun
di dalam visi tersebut tidak tercantum secara jelas adanya aspek pendidikan dalam
kegiatan pengembangan industri kecil, sehingga masih belum relevan dengan
konteks penyuluhan.
Misi Pengembangan Industri Kecil
Misi pengembangan industri kecil adalah memperluas penciptaan lapangan
kerja melalui penciptaan dan pengembangan lapangan berusaha, meningkatkan
pendapatan masyarakat luas secara lebih merata, menyebarkan kegiatan
pembangunan dengan seoptimal mungkin mendayagunakan sumberdaya dalam
negeri (indigeneous resources) secara efisien dalam rangka pendalaman struktur
industri atas prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,
meningkatkan ekspor, serta menjadikan industri kecil sebagai wahana bagi
pelestarian dan pengembangan seni-budaya bangsa (Deperindag, 2002).
Misi berisi penjabaran visi ke dalam kegiatan operasional yang nyata
untuk mendorong tercapainya tujuan. Untuk mewujudkan industri kecil berbasis
ekonomi kerakyatan yang maju, kompetitif, mandiri dan berperan sebagai basis
dan motor pengembangan tidak hanya dapat dicapai dengan penciptaan dan
pengembangan lapangan berusaha dan meningkatkan pendapatan masyarakat luas
secara lebih merata sebab berdasarkan hasil penelitian ini terbukti bahwa aspek
karakteristik individu dan intervensi lingkungan secara nyata berpengaruh
terhadap kemandirian usaha. Misi pengembangan belum mencantumkan aspek
sumber daya manusia dan industri kecil yaitu pengelola usaha atau pengrajinnya.
Tujuan Pengembangan Industri Kecil
Deperindag (2002) menetapkan tujuan dilakukannya pengembangan
Industri Kecil adalah untuk mewujudkan kemajuan pembangunan industri berupa:
(1) Meningkatnya kesempatan berusaha, kesempatan kerja, dan pendapatan
masyarakat secara lebih merata. Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya
jumlah unit usaha, sentra produksi, lapangan kerja, output, serta nilai
tambah yang dihasilkan.
(2) Terwujudnya struktur industri yang kuat, yang ditandai dengan tingginya
keterkaitan antara industri kecil dengan industri menengah dan dengan
industri besar. Hal tersebut juga ditandai dengan berkembangnya industri
pendukung skala kecil menengah, berkurangnya impor suku cadang,
komponen dan bahan baku, serta meningkatnya penggunaan hasil produksi
dalam negeri.
(3) Semakin banyaknya industri kecil yang berbasis pada hasil karya intelektual
yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledgebased) yang ditandai
dengan meluasnya penggunaan teknologi informasi yang dapat
mendinamisasi bisnis industri kecil, serta tumbuhnya industri kecil
menengah software komputer (beserta komponen hardwarenya), serta
industri yang berbasis bio-teknologi.
(4) Meningkatnya persebaran industri kecil ke berbagai daerah di luar Pulau
Jawa, khususnya daerah terpencil dan daerah perbatasan, yang berarti akan
mendorong pemerataan kegiatan pembangunan, penggairahan kehidupan
dan pertumbuhan ekonomi daerah, serta memperkecil kesenjangan sosial
antar daerah maupun dengan masyarakat di negara tetangga.
(5) Meningkatnya ekspor produk industri kecil, baik dalam nilai, dalam ragam
jenis produk yang semakin bergeser ke arah produk industri hilir, produk
industri yang berteknologi/bernilai tinggi, maupun dalam pangsa saham
kontribusinya terhadap nilai ekspor nasional.
(6) Terwujudnya upaya pelestarian dan pengembangan seni-budaya melalui
kegiatan produktif yang bernilai ekonomis, yang ditandai dengan lestarinya
berbagai produk seni dan budaya utamanya yang berciri khas daerah dan
mempunyai nilai sejarah maupun nilai seni yang tinggi, sehingga kekayaan
seni dan budaya nasional tersebut sekaligus dapat berkembang karena dapat
dijadikan sumber penghidupan bagi masyarakat secara berkesinambungan.
Memperhatikan keenam tujuan pengembangan industri kecil yang
dicanangkan oleh pemerintah yang dalam hal ini adalah Departemen
Perindustrian, maka terlihat bahwa tujuan lebih diarahkan pada upaya mendorong
produktivitas dengan terwujudnya struktur industri yang kuat, penyebaran industri
kecil ke beberapa daerah di luar Pulau Jawa, dan peningkatan orientasi ekspor.
Pengembangan industri kecil juga ditujukan untuk menciptakan lapangan
kerja dan pendapatan masyarakat, namun aspek kualitas sumber daya manusianya
terutama peningkatan perilaku wirausaha dan kemandirian usaha belum menjadi
salah satu tujuan pengembangan, padahal kedua aspek ini secara nyata
berpengaruh terhadap kemajuan usaha yang diukur dari peningkatan pendapatan
dan keuntungan industri kecil. Selain itu aspek keberlanjutan usaha belum
menjadi salah satu tujuan pengembangan industri kecil, meskipun di Pulau Jawa
memiliki populasi industri kecil dalam jumlah yang besar, namun hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa aspek keberlanjutan usahanya masih rendah.
Misi Pengembangan Industri KecilBarang dari Kulit
Misi pengembangan industri kecil barang dari kulit yang termasuk dalam
kelompok industri kecil berorientasi ekspor adalah untuk :
(1) Meningkatkan nilai perolehan devisa bersih (net foreign currency gain) dan
sekaligus meningkatkan kontribusi ekspornya terhadap ekspor nasional.
(2) Memberikan motivasi dan semangat orientasi ekspor kepada semua pelaku
industri nasional khususnya industri kecil, dengan memacu peningkatan mutu
dan kapasitas pemasokan tepat waktu.
(3) Menjadi wahana untuk peningkatan penggunaan teknologi, termasuk
teknologi informasi.
(4) Menjadi motor penghela bagi kemajuan/modernisasi industri kecil, dengan
tujuan untuk memperluas lapangan kerja dan meningkatkan sumbangan nilai
tambah bagi ekonomi.
(5) Mendorong industri kecil yang memiliki kemampuan diversifikasi produk
ekspor yang bernilai tambah lebih tinggi.
(6) Memacu industri kecil lainnya untuk meningkatkan daya saing.
(7) Memperluas lapangan kerja.
(8) Menciptakan hubungan bisnis (networking) antara industri kecil lokal dengan
pemasok dunia.
Strategi Umum Pengembangan Industri KecilBarang dari Kulit
Pengembangan industri kecil berorientasi ekspor diarahkan untuk
meningkatkan volume dan nilai ekspor industri kecil, baik yang selama ini secara
potensial mempunyai kinerja ekspor yang tinggi maupun produk-produk yang
berpotensi dapat diekspor melalui peningkatan berbagai faktor internal dan
eksternal perusahaan agar dayasaingnya di luar negeri meningkat. Selain itu juga
akan didorong kemampuan mengakses pasar ekspor dalam rangka membantu
persaingan pasar ekspor yang semakin ketat.
Pengembangan industri kecil orientasi ekspor diarahkan untuk menggeser
basis dayasaing ekspor industri kecil dari resoursed-based dan labour-based
industries ke arah knowledged-based industries menuju ke pembentukan
keunggulan kompetitif. Kemajuan yang ingin dicapai ini antara lain akan
ditunjukkan dengan porsi saham nilai ekspor industri kecil yang semakin
membesar terhadap nilai outputnya, serta indikator daya saing komparatif
terhadap produk sejenis dari negara lain.
Strategi umum pengembangannya mengikuti prinsip demand-pull dan
supply-push strategy dengan mengutamakan muatan pembinaan dari aspek
teknologi mutu, sistim perangsang, pemberdayaan manajerial khususnya dari
aspek fasilitasi dan pengembangan jaringan ekspor, serta dukungan sumberdaya/
pendanaan. Peningkatan permintaan pasar (pull factors) dilakukan dengan cara:
(a) Membuka outlet-outlet pemasaran untuk produk ekspor di dalam dan luar
negeri.
(b) Meningkatkan bisnis intelejen dan marketing di luar negeri.
(c) Meningkatkan promosi dan pemasaran melalui pameran di luar negeri dan
pameran internasional di dalam negeri
(d) Melakukan kemitraan usaha dengan trader/eksportir besar
(e) Memperbaiki iklim usaha perdagangan luar negeri agar para pedagang
eceran dengan mudah dan murah keluar masuk Indonesia.
(f) Peningkatan intensitas komunikasi dengan Departemen Perindustrian
Peningkatan kemampuan produksi perusahaan (push factors) dilakukan melalui
(a) Meningkatkan produktivitas dan effisiensi perusahaan industri kecil
(b) Meningkatkan kemampuan teknis produksi industri kecil melalui service
centre, Bisnis Development Centre, maupun bantuan langsung ke
perusahaan.
(c) Meningkatkan kemampuan diversifikasi produk dan berkembangnya
desain/ produk baru
(d) Fasilitasi permodalan ( modal investasi dan modal kerja).
(e) Peningkatan manajemen mutu ditingkat perusahaan.
Aspek produktivitas juga masih menjadi hal yang penting pada misi dan
strategi pengembangan kelompok industri kecil barang dari kulit, aspek SDM
pengrajin belum banyak dibahas dalam misi tersebut.
Kebijakan Pengembangan Industri Kecil
Pemerintah menetapkan kebijakan pengembangan industri kecil yang
pelaksanaannya akan didukung bersama oleh semua pihak/instansi terkait, serta
tersusun dari komponenkomponen kebijakan yang universal (kebijakan dan
strategi yang bersifat spesifik bagi industri kecil terletak pada kadar kepedulian di
tiap komponen kebijakan, serta bentuk langkah dan program spesifik dalam
strategi pembinaannya,misalnya diprioritaskannya pengolahan SDA dan karya
seni tradisional di masing-masing daerah (fokus pembinaan), insentif khusus,
prioritas pemberdayaan untuk industri kecil, bantuan teknik, kampanye penyatuan
visi tentang keberpihakan industri kecil semua instansi, dan proyek-proyek
spesifik industri kecil) yaitu :
(1) Menggariskan prioritas sektoral pengembangan industri kecil melalui
pemilihan jenis-jenis industri yang dijadikan fokus pengembangan, untuk
dijadikan acuan prioritas bagi aparat pembina secara terpadu/lintas instansi,
baik di pusat maupun di daerah, di mana pilihan jenis industri dan komoditi
yang akan dikembangkan disesuaikan dengan kecocokan potensi dan prospek
tumbuh di daerah pengembangan yang bersangkutan, dengan mengutamakan
pengembangan ke daerah luar Pulau Jawa, khususnya daerah terpencil,
wilayah perbatasan dan kawasan timur Indonesia.
(2) Melakukan kegiatan pemberdayaan agar para pelaku industri kecil:
(a) Mempunyai wawasan dan jiwa wirausaha yang ulet, patriotik (cinta
produk dalam negeri), dan profesional.
(b) Mampu mengidentifikasi, mengembangkan ataupun memanfaatkan
peluang usaha.
(c) Mampu mendayagunakan sumberdaya produktif dan mengakses pasar
(lokal, dalam negeri maupun ekspor).
(d) Mempunyai kemampuan manajemen usaha, keahlian dan ketrampilan
teknis/teknologis.
(e) Mampu membangun daya saing (berwawasan efisiensi, produktivitas dan
mutu, proaktif-kreatif-inovatif).
Pemberdayaan terhadap institusi (instansi-instansi teknis pembina, lembaga
litbang industri, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga keuangan, dunia
usaha, LSM, politisi, tokoh masyarakat, dan sebagainya) yang berkaitan
dengan pengembangan industri kecil juga dilakukan agar mereka :
(a) Mempunyai komitmen kuat untuk memajukan industri kecil yang
diwujudkan dalam bentuk pemberian perhatian, alokasi sumberdaya/dana,
upaya dan waktu yang lebih banyak untuk pengembangan industri kecil.
(b) Mempunyai wawasan konseptual untuk membuat program pengembangan
industri kecil yang berdayaguna dan berhasilguna.
(c) Bersikap konsisten dalam semangat keterpaduan untuk secara bersama
mendukung/melaksanakan program pengembangan industri kecil sesuai
dengan peran, fungsi dan tugas masing-masing.
(3) Mengembangkan iklim usaha yang lebih mendorong, melindungi dan
memberikan keleluasaan lebih besar kepada para pebisnis industri kecil untuk
tumbuh berkembang maju. Komponen iklim usaha yang bersifat teknis
utamanya adalah :
(a) Kepastian hukum dan kejelasan/kesederhanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang kondusif dan tidak membebani ekonomi.
(b) Tersedia cukupnya prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi
(investasi publik maupun swasta).
(c) Sistim insentif yang secara efektif dapat merangsang kegairahan ekonomi
melalui industri kecil.
(d) Kebijakan makro ekonomi yang menunjang, khususnya dari segi
ketersediaan dan kemudahan akses permodalan, suku bunga yang relatif
rendah, kestabilan nilai tukar valuta asing, dan sebagainya.
(e) Bantuan teknik dan subsidi pemerintah untuk program prioritas.
(f) Citra aparat pembina/fasilitator yang bersih (good governance).
(4) Meningkatkan pemberian layanan prima (fasilitasi) kepada pelaku industri
kecil, baik layanan administratif (perijinan/pencatatan/legalisasi/ketetapan
fasilitas/ rekomendasi, informasi kebijakan, dan sebagainya), maupun layanan
bisnis berupa informasi bisnis yang diperlukan (pasar, peluang usaha,
teknologi, permodalan, mitra usaha, dan sebagainya.) maupun sistem dan
sarana penunjang yang dapat mendinamisasi dan memajukan daya-saingnya
(utamanya dengan mensosialisasikan penggunaan teknologi informasi yang
mutakhir).
(5) Selalu mengembangkan program yang inovatif, realistik dan membumi
(menyentuh kepentingan pelaku pasar di sektor riil), mampu menjawab
masalah aktual yang dihadapi sesuai kondisi nyata obyek binaan di lapangan.
Model Pemberdayaan Pengrajin
Kebutuhan peningkatan kapasitas pengrajin sangat mendesak untuk
dilakukan guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada konteks
pengrajin, makna pemberdayaan diartikan sebagai proses pembelajaran
berkesinambungan yang ditujukan untuk memberikan kekuatan kepada pengrajin
agar: (1) memiliki kesadaran atas kebutuhannya, (2) meningkat kualitas perilaku
berusahanya, (3) mandiri dalam seluruh aspek kegiatan usahanya, (4) memiliki
motivasi yang tinggi untuk memajukan usahanya, dan (5) peka dan tanggap dalam
melakukan perencanaan untuk keberlanjutan usahanya di masa mendatang.
Penyuluhan mempunyai fungsi yang sangat penting bagi pemberdayaan
pengrajin terutama dalam fungsi pengembangan sumberdaya manusia.
Penyuluhan yang telah dilakukan pada sentra industri kecil kerajinan di
Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan belum dilakukan secara melembaga
oleh penyuluh resmi yang ditugasi untuk pengembangan industri kecil.
Keberlanjutan program juga masih kurang, bahkan beberapa pengrajin
menyatakan belum pernah mendapat sentuhan penyuluhan.
Model pemberdayaan bagi komunitas pengrajin di kabupaten Sidoarjo dan
Magetan disusun dengan pendekatan input-process-output-outcome yang
didasarkan pada model teoritis yang telah teruji dan dikonfirmasi melalui model
persamaan struktural. Model pemberdayaan ini juga dilandasi oleh hasil sintesa
model intervensi komunitas Rothman (1974), yang merupakan gabungan
(intermixed) antara pendekatan development planning dan local development.
Pertimbangannya adalah: (1) masih rendahnya intensitas kegiatan penyuluhan, (2)
pengrajin masih sangat membutuhkan kontribusi dari pihak luar, (3) pengrajin
memiliki potensi untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi, namun
masih banyak aspek yang belum kondusif.
Pada dasarnya model pemberdayaan ini merupakan upaya meningkatkan
keberdayaan pengrajin melalui proses pembelajaran yang menggunakan prinsip-
prinsip pendidikan orang dewasa yang dilaksanakan secara berkelanjutan oleh
seluruh stakeholder pembangunan komunitas pengrajin. Berdasarkan model
persamaan SEM yang terlihat pada Gambar 28, maka dirumuskan model
pemberdayaan pengrajin menuju kemandirian dan keberlanjutan usaha yang
tergambarkan pada Gambar 36.
Gambar 36 Model Pemberdayaan Pengrajin
Gambar 36. Model Pemberdayaan Pengrajin
Input Pengrajin
PROSESPenyuluhan yangmemberdayakan:
Fokus padaperubahanperilaku
PartisipatifPengrajin subyek
penyuluhanPenyuluh sebagai
educator,motivator,fasilitator, danadvokator.
Kelembagaanyang tepat
Diskusikelompok, praktekkerja, kunjunganlapangan.
OUTCOMEKemajuan
UsahaKeberlan-
jutanUsaha
INPUT
PengrajinLingkungan
(Pemda,NGO,Keluarga,Pemimpininformal)KebijakanPendukung
Usaha
OUTPUT
KualitasPerilakuWirausahaPengrajin:InovatifMampu
berinisiatifMampu
mengelolaresiko
Berdayasaing
KemandirianUsahaPengrajin:Permodala
nProses
produksiKerjasamaPemasaran
Pengrajin berdaya
Monitoring dan evaluasi
Kebutuhan pengrajin perlu diidentifikasi dengan jelas agar tidak terjadi
bias dalam penyelenggaraan kegiatan penyuluhan. Diharapkan penyuluhan dapat
memberikan kepuasan bagi pelanggan, untuk memberikan kepuasan diperlukan
kesamaan antara kebutuhan pengrajin dengan substansi penyuluhan.
Berdasarkan hasil analisis desriptif, keberdayaan pengrajin masih rendah
yang ditunjukkan oleh aspek pengetahuan, sikap, dan ketrampilan pengrajin dalam
berwirausaha dan dalam kemandirian usaha. Oleh karena itu, identifikasi
kebutuhan materi penyuluhan didasarkan pada perlunya peningkatan pengetahuan,
sikap dan ketrampilannya. Data tentang SDM pengrajin ini menjadi input bagi
penyelenggaraan program pemberdayaan.
Input Lingkungan
Tersedianya penyuluh yang kompeten merupakan prasarat
terselenggaranya penyuluhan yang mampu memberdayakan pengrajin. Karena
belum tersedia penyuluh lapang, maka proses fasilitasi dapat dilakukan oleh
penyuluh swakarsa atau swadaya. Penyuluh dikoordinasikan oleh pemerintah
daerah (melalui dinas perindustrian dan perdagangan dan dinas koperasi dan
UKM) bersama-sama dengan organisasi non pemerintah (badan usaha swasta,
perguruan tinggi, LSM, atau orkemas lainnya) dengan melibatkan pengrajin maju,
tokoh masyarakat, dan anggota masyarakat yang berpengalaman dalam persoalaan
pengrajin.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyuluh adalah komitmen yang
kuat untuk membimbing pengrajin melakukan perubahan mencapai keberdayaan
hidupnya. Penyuluh hendaknya: (1) memiliki pemahaman tentang masalah yang
dihadapi pengrajin, (2) mampu mengembangkan interaksi sosial yang harmonis
dengan segenap lapisan masyarakat, (3) memfasilitasi pengrajin agar dapat
melaksanakan siklus program secara mandiri dan berkelanjutan, dan (4) mampu
menumbuhkan jejaring secara internal dan eksternal untuk kebutuhan
pengembangan pengrajin.
Input Pendukung Usaha
Ketersediaan pendukung usaha terbukti berpengaruh positif terhadap
perkembangan kemandirian usaha. Oleh karena itu dibutuhkan ketersediaan
pendukung tersebut yaitu: bahan baku yang berkualitas, kepastian pasar,
ketersediaan teknologi peralatan produksi, dan keterjangkauan sarana transportasi.
Pemerintah perlu memberi dukungan kebijakan yang kondusif bagi ketersediaan
dan keterjangkauan pendukung usaha pengrajin.
Input Kebijakan
Dukungan kebijakan diperlukan dalam pengembangan industri kecil,
berupa pengalokasian anggaran untuk program pemberdayaan pengrajin dan
kebijakan untuk melembagakan kegiatan penyuluhan bagi pengrajin mengingat
belum adanya organisasi penyuluhan industri kecil yang otonom di kedua lokasi
usaha pengrajin.
Pemerintah juga perlu membuat kebijakan yang mendukung terciptanya
iklim berusaha yang kondusif, tata niaga bahan baku kulit, kebijakan impor
produk-produk sejenis yang dihasilkan negara lain, penyediaan infrastruktur yang
mampu mendukung perkembangan industri kecil seperti membangun sarana
informasi yang merata (akses informasi yang mudah). Sebab dalam rangka
otonomi daerah, pemerintah daerah paling berperan dalam pengambilan
keputusan pembangunan industri kecil.
Proses Penyuluhan Pemberdaya Pengrajin
Pokok-pokok pikiran mengenai proses penyuluhan yang memberdayakan
pengrajin merupakan hasil sintesa model intervensi komunitas (Rothman, 1968)
dan paradigma baru penyuluhan pembangunan (Slamet, 2003). Paradigma
penyuluhan yang memberdayakan pengrajin dideskripsikan pada Tabel 42.
Fokus Penyuluhan
Pengembangan industri kecil barang dari kulit didasarkan kepada
semangat untuk menumbuhkan ekonomi yang berciri kerakyatan, serta demi
untuk menghemat sumberdaya pembangunan yang terbatas. Pengembangan
industri kecil ditempuh dengan memilih sektor-sektor atau kelompok industri
pilihan yang diprioritaskan sebagai penghela pertumbuhan industri kecil (fokus
pengembangan).
Tabel 42. Paradigma Penyuluhan yang Memberdayakan Pengrajin
Pokok Pikiran Paradigma Penyuluhan yang Memberdayakan
Fokus Penyuluhan Perubahan perilaku pengrajin dan keluarganya agardapat meningkatkan kesejahteraanya melalui usahakerajinan.
Pendekatan ▪PartisipatifPeran Pengrajin ▪Subyek penyuluhan
▪Sumber informasi dan pengolah informasiPeran penyuluh ▪Educator, penyuluh sebagai pendidik yang
menerapkan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa.▪Fasilitator, mendampingi pengrajin dalam kegiatan
usahanya, membangun network (jejaring) denganpasar, penyedia input atau dengan pemerintah.
▪Motivator, memotivasi pengrajin untuk menumbuhkankesadaran kritisnya hingga mampu menolong dirinyasendiri.
▪Advocator, berperan sebagai konsultan untukmenangani masalah pengrajin.
Aktor yang terlibat ▪Pemerintah daerah; organisasi non pemerintah(lembaga pendidikan, badan usaha swasta, koperasi,LSM, lembaga penelitian, atau LSM); pemimpininformal; dan keluarga.
Kelembagaan ▪Lembaga pemberdayaan yang independen adalahlembaga yang memiliki tenaga profesional dalambidang perilaku dan pemberdayaan yang memilikiakses pada tenaga ahli lintas disiplin ilmu.
Teknik Penyuluhan ▪Pelatihan▪Diskusi kelompok▪Simulasi▪Demonstrasi▪Praktek kerja▪Kunjungan lapangan
Output ▪Peningkatan kualitas perilaku wirausaha.▪Peningkatan kemandirian usaha.
Outcome ▪Kemajuan dan keberlanjutan usaha pengrajinTabel 42Paradigma Penyuluhan yang Memberdayakan Pengrajin
Pemerintah mengelompokkan industri kecil barang dari kulit
dikelompokkan ke dalam kelompok industri kecil berorientasi ekspor dengan
kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk memilih sektor-sektor prioritas atau
dijadikan fokus pengembangan adalah :
(1) Ketersediaan bahan baku di dalam negeri.
(2) Tingkat dan jenis ketrampilan yang diperlukan sudah ada di dalam negeri.
(3) Tersedia dan terbukanya pasar.
(4) Komoditas/produk mempunyai prospek dipasarkan meskipun pada waktu ini
produksinya belum berkembang.
(5) Membutuhkan banyak tenaga kerja.
(6) Menunjang daerah terbelakang yang akan dikembangkan, khususnya daerah
terpencil, daerah perbatasan dan kawasan timur Indonesia.
(7) Terkait dengan upaya pelestarian seni-budaya daerah.
Industri berorientasi ekspor adalah industri yang telah mempunyai peluang
untuk mengisi/memasok kebutuhan pasar dunia di bidang produk yang dihasilkan,
baik atas dasar kelangkaan karena kurangnya pemasokan dari negara lain,
tingginya permintaan akan jenis produk spesifik dari Indonesia (keunggulan
komparatif), maupun terutama karena produknya telah berdayasaing tinggi
(unggul kompetitif).
Fokus pengembangan industri kecil yang ditetapkan pemerintah belum
menyentuh aspek afektif pengrajin sebagai pelaku usahanya padahal aspek ini
merupakan inti yang menggerakkan pengrajin untuk bertindak. Kegiatan
penyuluhan tidak hanya terfokus pada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan
yang terbatas pada teknologi dan informasi yang dianjurkan, tetapi pada juga pada
teknologi dan informasi yang dibutuhkan petani dan keluarganya. Serta perubahan
pada kawasan afektif yang selama ini jarang mendapat sentuhan kegiatan
penyuluhan perlu lebih ditekankan (Tjitropranoto, 2003).
Berpijak pada pendapat tersebut, maka dalam konteks penyuluhan bagi
pengrajin, perlu difokuskan pada kawasan sikap pengrajin untuk berusaha secara
mandiri serta meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam mengembangkan
usaha kerajinannya sesuai dengan kebutuhan riilnya. Agar dapat mewujudkan
harapan tersebut, maka proses penyadaran pengrajin akan kebutuhan riilnya
menjadi salah satu prioritas kegiatan penyuluhan.
Penyuluhan yang memberdayakan pengrajin membutuhkan partisipasi
pengrajin dalam kegiatan perencanaan, implementasi, evaluasi. Oleh karena itu
kesadaran pengrajin akan kebutuhan untuk berubah mampu menarik minat
pengrajin untuk terlibat dalam kegiatan penyuluhan.
Peran Pengrajin dan Penyuluh
Penyuluhan bagi pengrajin merupakan proses perubahan perilaku individu
pengrajin dan keluarganya melalui kapasitasi atau pengembangan kapasitas
sumberdaya manusia yang memegang prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa.
Pengrajin dibantu penyuluh untuk: mengakses informasi, menganalisis situasi
yang sedang mereka hadapi dan menemukan masalah-masalah, melakukan
perkiraan ke depan, melihat peluang dan tantangan, meningkatkan pengetahuan
dan mengembangkan wawasan, menyusun kerangka berpikir berdasarkan
pengetahuan yang mereka miliki, menyusun berbagai alternatif pemecahan
masalah yang mereka hadapi, dan melakukan monitoring dan evaluasi.
Pemerintah memposisikan pengelola usaha industri kecil sebagai
kelompok yang menjadi target pembinaan dan pengembangan industri kecil
barang dari kulit, sebagaimana disebutkan bahwa : “target group pembinaan
industri kecil adalah: (1) pengusaha industri kecil menengah yang produk dan
proses produksinya sudah mampu memenuhi persyaratan ekspor atau dapat
dengan mudah dibina sehingga memenuhi ketentuan dan persyaratan ekspor, dan
(2) para pedagang/trader yang menjembatani produsen industri kecil menengah
dengan pasar ekspor” (Deperindag, 2002).
Seyogyanya pengrajin diposisikan sebagai subyek pengembangan yang
sangat diharapkan keterlibatannya dalam proses penyuluhan, karena pengrajin
sebagai subyek pembangunan memiliki informasi yang sangat penting untuk
merencanakan program yang berhasil, termasuk tujuan, situasi, pengetahuan, serta
pengalaman mereka dengan teknologi dan struktur sosial masyarakat mereka.
Pengrajin yang dibina seyogyanya tidak dipatok persyaratan tertentu (misalnya:
ekspor atau mudah dibina) karena hal tersebut belum tentu menjadi kebutuhan
pengrajin. Selain itu, pengrajin akan lebih termotivasi untuk bekerjasama dalam
program pembangunan jika ikut bertanggung jawab didalamnya. Pada masyarakat
yang demokratis, pengrajin berhak terlibat dalam keputusan mengenai tujuan
yang ingin mereka capai. Partisipasi masyarakat sebagai kelompok sasaran dalam
keputusan kolektif sangat dibutuhkan (van den Ban, 1999).
Peran penyuluh dalam kegiatan pemberdayaan pengrajin adalah sebagai:
(1) Educator, penyuluh sebagai pendidik yang menerapkan prinsip-prinsip
pendidikan orang dewasa; (2) Fasilitator, mendampingi pengrajin dalam kegiatan
usahanya, membangun network (jejaring) dengan pasar, penyedia input atau
dengan pemerintah, dan (3) Motivator, memotivasi pengrajin untuk
menumbuhkan kesadaran kritisnya hingga mampu menolong dirinya sendiri.
Pemerintah telah mengupayakan pemberdayaan aktor yang berperan dalam
pengembangan industri kecil agar: (1) mempunyai komitmen kuat untuk
memajukan industri kecil yang diwujudkan dalam bentuk pemberian perhatian,
alokasi sumberdaya/dana, upaya dan waktu yang lebih banyak untuk
pengembangan industri kecil, (2) mempunyai wawasan konseptual untuk
membuat program pengembangan industri kecil yang berdayaguna dan
berhasilguna, dan (3) bersikap konsisten dalam semangat keterpaduan untuk
secara bersama mendukung/melaksanakan program pengembangan industri kecil
sesuai dengan peran, fungsi dan tugas masing-masing (Deperindag, 2002).
Pemberdayaan aktor ini diharapkan dapat meningkatkan komitmen dan
profesionalitas aktor dalam menyelenggarakan kegiatan penyuluhan.
Pada penyuluhan yang memberdayakan pengrajin, diperlukan penyuluh
profesional yang memiliki keahlian sebagai penyuluh bukan keahlian dalam
penguasaan materi penyuluh. Menurut Tjitropranoto (2003) penyuluh yang
profesional tidak cukup hanya sebagai penyedia atau penyampai teknologi dan
informasi saja tetapi lebih diperlukan sebagai motivator, dinamisator, fasilitator
dan sebagai konsultan.
Kelembagaan penyuluhan danAktor yang Terlibat
Sebelum dilaksanakan tahap proses pemberdayaan dibutuhkan pelembaga-
an kegiatan penyuluhan melalui koordinasi dan komunikasi antar aktor yang
terlibat dalam penyelenggaran penyuluhan karena ini selamam ini penyuluhan
masih bersifat sporadis.
Pemerintah daerah didorong untuk secara bottom-up mengembangkan
program/proyek berdasarkan kajian potensi ekonomi daerah dan prospek pasar
masing-masing, dengan mengikuti kebijakan nasional sebagaimana termuat dalam
pedoman dan arahan pengembangan industri kecil. Setiap daerah didorong untuk
melakukan :
(1) Identifikasi sentra industri kecil yang berpotensi untuk ditumbuhkembangkan
berdasarkan peluang pasar lokal/regional dan nasional.
(2) Identifikasi terhadap peluang intervensi pemerintah, aspek kelemahan, dan
hambatan yang mengganggu suksesnya pengembangan industri kecil di
daerahnya, misalnya :
(a) Investasi pemerintah daerah (maupun kerjasama dengan swasta) untuk
pengembangan prasarana dan sarana usaha industri kecil.
(b) Bantuan teknik yang diperlukan.
(c) Pengaturan yang dapat menciptakan kepastian usaha dan iklim kondusif
bagi kegiatan usaha industri kecil, termasuk sistim insentif.
(d) Pengembangan sistim layanan fasilitatif dan penataran aparat pembina.
(e) Pemberdayaan para pelaku usaha.
(3) Identifikasi peluang investasi industri kecil yang memiliki bobot manfaat
tinggi bagi pembangunan masyarakat dan memiliki prospek layak usaha.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak hanya pemerintah
(pemerintah daerah) saja yang perlu memberikan dukungan bagi pada
pemberdayaan pengrajin, akan tetapi organisasi non pemerintah, keluarga dan
tokoh masyarakat juga sangat dibutuhkan keterlibatannya. Oleh karena itu
diperlukan koordinasi dalam bentuk fasilitasi program penyuluhan (penjadwalan,
penyiapan materi, penyediaan tenaga penyuluh, dan pendanaan) yang disesuaikan
dengan kebutuhan riil pengrajin. Keterkaitan antar aktor yang terlibat dalam
penyuluhan untuk pengrajin digambarkan pada Gambar 37.
Gambar 37Keterkaitan Antar Aktor Yang Terlibat dalam Penyuluhan Untuk PengrajinGambar 37. Keterkaitan Antar Aktor Yang Terlibat dalam
Penyuluhan Untuk Pengrajin
Peran aktor-aktor yang terlibat dalam kegiatan penyuluhan adalah:
(1) Pemerintah Daerah yang terdiri dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan
Dinas Koperasi dan UKM sebagai fasilitator (penyuluh) yang selama ini
menyelenggarakan kegiatan pembinanaan dan pengembangan usaha kerajinan.
(2) Lembaga Pendidikan (Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta) yang berfungsi
sebagai pakar, penyedia informasi IPTEK dan dukungan pendidikan,
pelatihan, konsultasi, bimbingan dan penyuluhan.
(3) Lembaga Swadaya Masyarakat, sebagai fasilitator/penyuluh yang
menyelenggarakan proyek pembinaan dan pendampingan bagi pengrajin.
(4) Badan usaha (Perusahaan Swasta, BUMN, dan koperasi) memberikan
pembinaan terhadap pengrajin dalam bentuk pendanaan, konsultansi,
penguatan jejaring, dan pemagangan.
Selama proses pelaksanaan penyuluhan, pemerintah daerah dan organisasi
non pemerintah berkoordinasi dan berkomunikasi agar tidak terjadi overlapping
pada materi kegiatan. Pengrajin perlu berkelompok dengan didukung keluarga dan
pemimpin informal menyediakan suasana yang kondusif dalam penyelenggaraan
kegiatan penyuluhan.
Sumber dana pengembangan industri kecil dapat disediakan dari APBN,
APBD, hasil penyisihan laba BUMN untuk pembinaan usaha kecil dan koperasi
Pengrajin
Penyuluh
LembagaPendidikan
Pemda Badan Usaha
LSM
Kebutuhan Riilpengrajin
Fasilitasi programpenyuluhan
(PUKK), dana untuk pelatihan tenaga kerja hasil kontribusi dari tenaga ekspatriat
(DPKK), dana dari hasil kerjasama gabungan antara pemerintah dengan swasta
(misalnya program Riset Unggulan Kemitraan/RUK untuk inovasi teknologi,
khususnya yang berkaitan dengan upaya memajukan industri kecil), serta dana
dari hibah maupun pinjaman dari luar negeri untuk pengembangan industri kecil.
Sumber dana alternatif yang perlu ditingkatkan penggunaannya adalah dari badan
usaha sebagai bentuk dari tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat,
khususnya pengrajin, yang dalam penelitian ini ditemukan terdapat beberapa
instansi badan usaha swasta yang telah mengalokasikan dananya untuk
pengembangan industri kecil.
Teknik dan Materi Penyuluhan
Menurut Tjitropranoto (2003) materi penyuluhan yang dibutuhkan klien
harus didasarkan pada kesempatan, kemauan dan kemampuan klien untuk
menerapkan dan atau memanfaatkannya.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan yang menunjukkan rendahnya
perilaku wirausaha dan kemandirian pengrajin, serta kecilnya kesempatan
pengrajin untuk memperoleh pendidika n non formal yang terkait dengan aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik dalam berwirausaha secara mandiri, maka
dirumuskan materi penyuluhan untuk memberdayakan pengrajin. Tujuan
penyuluhan adalah menyadarkan pengrajin akan kebutuhan mengelola usaha
secara mandiri agar kesejahteraannya meningkat oleh karena intervensi yang
dilakukan melalui kegiatan penyuluhan akan memberikan kesempatan pengrajin
untuk mencapai tujuan tersebut.
Kegiatan penyuluhan kewirausahaan lebih menekankan pada upaya
perubahan perilaku yang meliputi: pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang
berhubungan dengan keinovatifan, inisiatif, daya saing, dan pengelolaan resiko.
Materi yang perlu disampaikan dalam kegiatan penyuluhan kewirausahaan secara
ringkas tersaji pada Tabel 43
Tabel 43. Materi Pokok Penyuluhan Kewirausahaan
Materi PokokPerilaku Ranah Materi Penyuluhan
Teknik Penyuluhan
WirausahaPengetahuan Sumber informasi inovatif
Penciptaan inovasiPenerapan inovasi
Sikap Ketertarikan terhadap sumber informasiinovatifKetertarikan untuk menciptakan inovasiKetertarikan menerapkan inovasi
Ketrampilan Kecepatan mencari sumber informasiinovatifKecepatan menghasilkan inovasi
Keinovatifan
Kecermatan menerapkan inovasi
Pendidikan/pelatihanMagangRiset danpengembangan
Pengetahuan Peluang usahaCara mengidentifikasi peluang usahaCara menjalankan peluang usaha
Sikap Ketertarikan terhadap peluang usahaKetertarikan melakukan identifikasipeluang usahaSikap dalam menjalankan peluang usaha
Ketrampilan Kecermatan menemukan peluang usahaKetelitian melakukan identifikasipeluang usaha
Inisiatif
Ketepatan menjalankan peluang usaha.
Pendidikan/pelatihanMagangBimbingan usaha
Pengetahuan Cara memprediksi resikoCara menghindari resikoCara menjalankan usaha yang beresiko
Sikap Sikap menghadapi kemungkinanterjadinya resikoSikap menghindari resikoSikap terhadap usaha yang beresiko
Ketrampilan Ketepatan memprediksi terjadinyaresikoKecermatan menjalankan usaha yangberisiko
PengelolaanResiko
Kecepatan menghindari risiko
MagangPendidikan/pelatihanBimbingan usaha
Pengetahuan Strategi bersaingKeunggulan bersaingEtika persaingan
Sikap Sikap untuk menghadapi persainganSikap terhadap etika persaingan usahaKetertarikan terhadap penerapan strategiusaha
Ketrampilan Kemampuan menghasilkan keunggulanbersaingKecepatan merumuskan strategibersaing
Daya Saing
Ketepatan memenangkan persaingan
MagangPendidikan/pelatihanBimbingan usaha
Tabel 43Materi Pokok Penyuluhan KewirausahaanKegiatan penyuluhan tentang kemandirian usaha bertujuan meningkatkan
kemandirian pengrajin melalui berubahnya perilaku meliputi: pengetahuan,
ketrampilan dan sikap yang berhubungan dengan proses produksi, pemasaran,
permodalan, kerjasama dan pengelolaan usaha dengan tujuan untuk meningkatan
pendapatan dan kesejahteraan pengrajin dan akhirnya dapat memperbaiki kualitas
kehidupan pengrajin. Materi yang perlu disampaikan dalam kegiatan penyuluhan
tentang kemandirian usaha secara ringkas tersaji pada Tabel 44.
Tabel 44. Materi Pokok Penyuluhan tentangKemandirian Usaha
Materi PokokKemandirianUsaha
Ranah Materi penyuluhanTeknikPenyuluhan
Pengetahuan Sumber permodalanCara mengakses sumber permodalanPengelolaan modal
Sikap Tanggapan terhadap sumber permodalan alternatifKetertarikan mengakses sumber permodalan alternatifHemat dalam pengelolaan modal.
Ketrampilan Kecepatan mencari modalKetepatan mengakses sumber permodalan
(5) Permodalan
Kecermatan mengelola modal.
Pendidikan/pelatihanBimbinganpermodalan
Pengetahuan Tahapan proses produksiCara kerja peralatan produksiPersyaratan mutu produksi
Sikap Ketertarikan atas setiap tahapan produksiKetertarikan atas cara kerja peralatan produksiKetertarikan terhadap pentingnya mutu produksi
Ketrampilan Ketepatan menjalankan tahapan produksiKecermatan menggunakan peralatan produksi
(6) ProsesProduksi
Ketepatan memenuhi persyaratan mutu produksi
MagangPendidikan/pelatihanRiset danpengembanganBimbinganproduksi
Pengetahuan Bentuk kerjasamaPerjanjian kerjasamaCara melakukan kerjasama
Sikap Sikap mengutamakan kerjasama kemitraan(partnership)Sikap percaya diri dalam bekerjasamaSikap terhadap tindakan subordinasi dan deprivasikerjasama
Ketrampilan Kecermatan memilih bentuk kerjasamaKetelitian menyusun perjanjian kerjasama
(7) Kerjasama
Kecermatan bekerjasama dengan pihak lain
MagangPendidikan/pelatihanBimbingankerjasama
Pengetahuan Bauran promosiTeknik menjualMutu pelayanan
Sikap Ketertarikan terhadap kegiatan bauran promosiTanggapan terhadap perkembangan teknik menjualSikap mengutamakan kualitas pelayanan
Ketrampilan Kecermatan mempromosikan produkKecepatan menjual produk
(8) Pemasaran
Keluwesan melayani pelanggan
MagangPendidikan/pelatihanBimbinganpemasaran
Tabel 44Materi Pokok Penyuluhan tentang Kemandirian Usaha
Dalam program penyuluhan bagi pengrajin, warga belajarnya adalah orang
yang dewasa, mereka mempraktekkan langsung hal yang ingin dikembangkan
pada dirinya, terutama kemampuan untuk mengelola usaha serta dalam mengubah
sikap sendiri. Memperhatikan kondisi tersebut, maka teknik penyelenggaraan
penyuluhan menekankan pada cara berfikir reflektif dengan konsep aksi dan
refleksi. Penyuluhan dilakukan dalam bentuk: (1) pendidikan/pelatihan yang
menggunakan teknik diskusi kelompok, simulasi, atau demonstrasi, (2)
pemagangan pada badan usaha yang lebih besar atau pengrajin maju untuk
memberi pengalaman langsung tentang materi tertentu, (3) bimbingan usaha oleh
penyuluh/fasilitator secara berkelanjutan dalam membantu pemecahan masalah
pengrajin.
Proses belajar dapat dilakukan dimana saja, sehingga proses belajar tidak
hanya harus berlangsung di dalam kelas. Setiap materi yang diberikan dalam
proses belajar merupakan alternatif pemecahan masalah. Warga belajar akan
mengenal proses pemecahan masalah melalui keikutsertaannya secara langsung
dan mereka mampu menghubungkan pemecahan masalah yang dipelajari.
Kegiatan penyuluhan yang menggunakan prinsip-prinsip pendidikan orang
dewasa perlu memegang teguh tujuh falsafah-falsafah yang dapat menyukseskan
keberhasilan penyuluhan (Asngari, 2001) yaitu: (1) Falsafah Pendidikan, (2)
Pentingnya Individu, (3) Falsafah Demokrasi, (4) Falsafah Bekerjasama, (5)
Falsafah Membantu Klien untuk Membantu Dirinya Sendiri, (6) Falsafah
Kontinyu, dan (7) Falsafah membakar sampah secara tradisional yaitu membantu
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi klien dengan memilah-milahkan
keadaan individu klien.
Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah pusat dalam
mengembangkan industri kecil pada kelompok industri kecil barang dari kulit
adalah:
(1). Pemberian Bantuan Teknik, Bantuan Modal dan Prasarana /Sarana Penunjang
Dalam rangka peningkatan kemampuan, pemberian dukungan kelancaran
usaha, akses pasar, penyediaan prasarana dan sarana usaha, dukungan
permodalan, pengenalan teknologi dan alat produksi, dan sebagainya., intervensi
pemerintah untuk memajukan Industri Kecil (selain melalui pemberdayaan SDM)
dapat berupa pemberian bantuan antara lain : (a) pengembangan feeder points
untuk penyediaan bahan baku/ bahan penolong, (b) bantuan hibah barang modal
(mesin dan peralatan), (c) bantuan promosi melalui penyelenggaraan pameran, (d)
bantuan sarana usaha lingkungan industri kecil, dan (e) bantuan alokasi dana
untuk modal usaha kecil (modal ventura, dana bergulir, penyisihan laba BUMN,
kredit industri kecil, kredit modal kerja permanen.).
(2). Pemberdayaan SDM (Pendidikan dan Pelatihan)
Kegiatan pemberdayaan kemampuan SDM melalui Pendidikan dan
Pelatihan yang pernah dilakukan adalah : (a) kursus/pelatihan manajemen
sederhana, (b) pelatihan teknologi produksi untuk berbagai jenis usaha industri
kecil, (c) pelatihan manajemen dan teknik pemasaran, dan (d) pelatihan desain
produk.
(3). Kelembagaan
Pengembangan kelembagaan yang telah dilakukan untuk memajukan
industri kecil, antara lain: (a) pembangunan sentra-sentra industri kecil dan (b)
pengembangan pusat promosi khusus.
Output
Pemerintah menetapkan output yang dihasilkan oleh pengembangan
industri kecil kelompok barang dari kulit yaitu:
(1) Bertambahnya jumlah perusahaan yang mampu membuat produk yang
memenuhi permintaan ekspor (memenuhi persyaratan QCD)
(2) Meningkatnya produktivitas dan effisiensi industri kecil binaan sehingga
mampu memenuhi persyaratan permitaan ekspor.
(3) Berkurangnya jumlah dan nilai impor dari produk orientasi ekspor dipasaran.
(4) Meningkatnya minat, volume dan nilai ekspor para eksportir produk IKM.
(5) Penghematan devisa.
Kelima output tersebut belum mampu menunjukkan keberdayaan dan
keberlanjutan usaha pengrajin karena lebih banyak pada output produktivitas dan
ekspor. Penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran keberhasilan kegiatan program
pemberdayaan pengrajin adalah perubahan perilaku wirausaha dan tingkat
kemandirian usahanya. Oleh karena itu, disamping aspek produktivitas dan
orientasi ekspor, seyogyanya program pengembangan industri kecil mampu
menghasilkan pengrajin dengan perilaku wirausaha yang berkualitas tinggi adalah
memiliki ciri: (1) ulet mencari informasi baru, (2) melakukan modifikasi untuk
meningkatkan kinerja usaha, (3) mampu menghasilkan inovasi penunjang
perkembangan usaha, (4) mengupayakan untuk memulai memproduksi jenis
produk baru, (5) mengupayakan untuk melayani pangsa pasar baru, (6) sesegera
mungkin memanfaatkan peluang usaha, (7) memprediksi terjadinya resiko pada
setiap akan dimulainya usaha, (8) selalu percaya diri dalam menghadapi resiko,
(9) mengupayakan meningkatkan kemungkinan sukses dan mengurangi
kemungkinan gagal, (10) mengupayakan pembuatan produk yang bermutu sesuai
selera konsumen dan permintaan pasar, (11) berusaha meraih penjualan tertinggi
dibanding pengrajin lainnya, dan (12) mengamati setiap perubahan lingkungan
persaingan dan menyiapkan strategi bersaing yang tepat/sehat.
Pengrajin yang mandiri usahanya adalah memiliki ciri: (1) mampu
membuat dan mengembangkan desain produk sesuai dengan perkembangan
permintaan konsumen, (2) terampil, cekatan dan teliti dalam berproduksi mampu
menghasilkan produk sesuai memiliki unifikasi sesuai dengan standar yang
diinginkan konsumen, (3) melakukan upaya modifikasi peralatan efisien dan
sesuai dengan tuntutan produk, (4) mampu mengembangkan teknik produksi yang
paling efisien dan sesuai dengan tuntutan produk, (5) menghasilkan produk yang
dibutuhkan konsumen (orientasi pasar), (6) melayani pembeli dengan pelayanan
prima, (7)mempromosikan produk untuk meraih loyalitas pelanggan, (8) meng-
utamakan kepuasan konsumen mampu mencari sumber permodalan alternatif, (9)
mampu meraih modal sesuai kebutuhan usaha, (10) mampu mengelola modal dan
berkeinginan tinggi mengakumulasikan keuntungan ke dalam investasi modal,
(11) percaya diri dalam bekerjasama dalam lingkup yang lebih luas, (12) mampu
bekerjasama dengan pelanggan, distributor, supplier dan pemodal demi kemajuan
bersama, (13) mampu bersinergi dengan menghindari subordinasi dan deprivasi
dalam kerjasama, dan (14) memiliki orientasi kerjasama untuk jangka panjang dan
kemitraan.
Penilaian keberhasilan pemberdayaan sebaiknya dilakukan pengrajin
karena mereka yang paling merasakan adanya perubahan perilaku tersebut.
Apabila pengrajin menilai program belum memberikan hasil yang memuaskan,
maka pengrajin dapat memberikan umpan balik untuk penyempurnaan
pemberdayaan pada masa mendatang.
Outcome
Hasil jangka panjang dari peningkatan pemberdayaan pengrajin adalah
tercapainya kemajuan usaha dan keberlanjutan usaha. Usaha yang maju ditandai
dengan: (1) volume produksi meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan
konsumen, (2) mengalami peningkatan (improvement) volume penjualan dan
perluasan daerah pemasaran, (3) terdapat variasi jenis produk yang dihasilkan, (4)
terdapat peningkatan jumlah modal, (5) selalu mengupayakan penggunaan waktu
secara lebih produktif, (6) mengupayakan penggunaan sumber daya manusia lebih
berkualitas secara optimal, (7) berusaha meningkatkan nilai tambah dan meraih
peluang, (8) melakukan kegiatan penganggaran pada setiap kegiatan usaha
sebagai acuan pengeluaran biaya, (9) menyusun perencanaan berbasis pada
evaluasi, (10) memiliki struktur yang mengikuti fungsi pencapaian tugas,
(11)mempunyai target dan pencapaian target pada setiap periode tertentu, dan
(12)mengevaluasi pencapaian target berdasarkan periode tertentu.
Usaha yang berkelanjutan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) mampu
menghasilkan produksi barang secara terus menerus, (2) melakukan perencanaan
produksi dengan didasarkan prediksi jumlah kebutuhan konsumen, (3) selalu
mengupayakan dihasilkannya produk bermutu sesuai kebutuhan konsumen,
(4)senantiasa mengupayakan terpenuhinya target penjualan trend penjualan
meningkat, (5) selalu melakukan tindakan proaktif untuk melayani konsumen,
(6)secara sadar mengalokasikan dana untuk promosi, (7) melakukan perencanaan
kebutuhan bahan baku yang tepat dan secara periodik, dan (8) selalu
mengupayakan pengendalian bahan baku secara cermat selalu mengupayakan
terpenuhinya kebutuhan bahan baku yang bermutu.
Monitoring dan Evaluasi
Tujuan dari monitoring dan evaluasi adalah untuk memberikan umpan
balik berupa koreksi atau pelurusan apabila terjadi penyimpangan dalam
pelaksanaan dan berupa rekomendasi-rekomendasi bagi perbaikan dan
penyempurnaan proses perencanaan selanjutnya.
Kegiatan monitoring dan evaluasi dapat dilakukan secara formal oleh
penyuluh berdasarkan tolak ukur perilaku wirausaha dan kemandirian usaha yang
telah disusun bersama-sama dengan pengrajin pada tahap perencanaan. Ukuran
keberhasilan program yang dilakukan oleh penyuluh tersebut tidak akan
memberikan dampak yang lebih baik bagi penyempurnaan kegiataan tanpa
didukung evaluasi yang dilakukan oleh pengrajin, mengingat pengrajin sebagai
subyek pemberdayaan yang lebih merasakan terjadinya perubahan pada
perilakunya.
Program Aksi Pengembangan Industri Kecil
Model pemberdayaan pengrajin yang dirumuskan di atas, juga masih
relevan untuk memperoleh dukungan dari beberapa program aksi pengembangan
industri kecil dan menengah yang telah dirumuskan pemerintah melalui jalur
pengembangan sektoral yaitu pengembangan kelompok-kelompok industri.
Pemerintah telah merumuskan beberapa program pendukung yang secara umum
diperlukan untuk memfasilitasi pengembangan dan merangsang pertumbuhan
kelompok-kelompok industri kecil. Namun program tersebut belum sepenuhnya
diterapkan pada kelompok industri kecil barang dari kulit. Perlu dilakukan
evaluasi terhadap efektifitas dan pemerataan program-program tersebu pada
kelompok industrik ecil yang ada pada masing-masing daerah. Adapun jenis-jenis
program pendukung yang masih relevan dengan model pemberdayaan pengrajin
adalah program yang bersifat pengembangan kelembagaan, program penunjang
iklim usaha, dan fasilitasi bagi kemajuand an keberlanjutan usaha pengrajin.
Pengembangan Business Development Services (BDS)
BDS atau Layanan Pengembangan Usaha didefinisikan oleh Committee of
Donor Agencies for Small Enterprise Development sebagai jasa layanan non-
finansial yang mencakup beraneka upaya untuk meningkatkan kinerja perusahaan
dan pembangunan daya tumbuhnya ke depan (khususnya industri kecil), seperti
penguatan sumberdaya produktifnya, akses dan pengembangan pasarnya, maupun
peningkatan kemampuan bersaing lainnya.
Keaneka-ragaman layanan BDS meliputi berbagai bentuk seperti :
konsultansi manajemen (teknis, produksi, riset pasar, pemasaran, keuangan,
pengembangan usaha), pelatihan, pengembangan desain, jasa informasi, dan
sebagainya. dengan bentuk lembaga pelayanan antara lain melalui pembangunan
Unit Pelayanan Teknis (UPT), pembentukan kelompok Tenaga Fungsional
Penyuluh Perindustrian (TFPP), Klinik Layanan Kemasan dan Merk, Unit
Pelayanan Informasi, Unit Pengembangan Desain Produk, maupun dorongan
pembentukan usaha jasa di bidang BDS oleh swasta yang beroperasi secara
profesional dan komersial, khususnya bagi segmen industri menengah atas
(maupun besar). Keberadaan BDS bagi industri kecil binaan akan banyak
membantu penyehatan dan pengembangan usahanya, dalam batas-batas beban
biaya yang ringan atau tidak terlalu berat.
Jenis-jenis layanan yang diberikan melalui BDS disesuaikan dengan
kebutuhan industri kecil di tiap daerah, tergantung pada jenis industrinya maupun
kondisi kehidupan industri di lokasi masing-masing. Pembiayaan operasi
pelayanan BDS untuk industri kecil utamanya dipikul oleh pemerintah, baik dari
APBN, APBD, maupun yang berasal dari dana bantuan luar negeri, kecuali bagi
usaha industri menengah atas yang sudah mampu tumbuh sehat secara mandiri
dibenarkan untuk memungut fee oleh lembaga swadana pemberi layanan milik
pemerintah maupun oleh konsultan swasta.
Klinik Layanan Kemasan dan Merek
Klinik ini berfungsi membantu pengusaha industri kecil untuk
memperbaiki dan mengembangkan sistim pengemasan produk yang dihasilkan,
serta memecahkan masalah kemasan yang dihadapinya. Klinik ini juga membantu
pengusaha industri kecil dalam pengembangan merek produk yang dihasilkan,
dengan adanya klinik ini diharapkan para pengusaha industri kecil akan lebih
terbantu dan teringankan upaya dan bebannya untuk melakukan promosi
penjualan produknya dengan penuh percaya-diri karena lebih memperoleh citra
positif dari segi mutu dan kesan elitis di mata konsumen.
Lingkup Industri yang dilayani klinik ini adalah: industri-industri pangan,
sandang dan kerajinan tertentu. Lokasi/Daerah diadakannya Klinik ini disesuaikan
dengan populasi industri sasaran layanan yang tergolong prioritas.
Pengembangan Trading House
Trading House merupakan kegiatan usaha bersemangat kemitraan yang
berfungsi membantu memasarkan berbagai produk-produk industri kecil secara
bulk khususnya untuk ekspor, berhubung kemampuan mengekspor para produsen
industri kecil secara individual terbatas, atau kalau dilakukan sendiri kurang
efisien (upaya ekspor kurang sepadan dengan hasilnya). Trading house diharapkan
dapat membantu melakukan modifikasi penampilan produk (misalnya melalui
pengemasan dan pemberian merk) agar dapat lebih memenuhi selera pasar di
negara tujuan ekspor.
Trading house juga berfungsi untuk melakukan survey pasar dan
mempelajari fenomena pasar dalam rangka menghimpun permintaan pasar dunia,
termasuk menghimpun pesanan barang beserta spesifikasi teknis dan mutunya,
untuk dipesankan pembuatannya kepada para produsen industri kecil dalam
negeri. Trading house juga dapat menyelenggarakan promosi dagang, dengan
adanya trading house maka pemasaran ekspor produk industri kecil akan sangat
terbantu kelancaran dan peningkatannya. Lingkup komoditi yang ditangani
ekspornya lebih diutamakan bagi produk-produk industri kecil.
Layanan Informasi
Layanan Informasi baik informasi bisnis maupun informasi mengenai
kebijakan dan ketentuan administratif dimaksudkan untuk memberikan
kemudahan dan keringanan bagi pengusaha industri kecil yang pada umumnya
kurang berkemampuan dalam mendapatkan informasi yang sangat mereka
perlukan untuk menunjang usahanya. Tersedianya informasi yang dapat diperoleh
secara mudah dan murah akan sangat membantu para pengusaha untuk
mengambil keputusan dan langkah bisnisnya secara cepat dan tepat. Hal ini akan
membantu pengusaha industri kecil dalam memanfaatkan peluang pasar, peluang
usaha, peluang akses permodalan, peluang kemitraan usaha, peluang
memanfaatkan fasilitas, dan sebagainya.
Jenis informasi yang ditawarkan dalam layanan terutama diutamakan yang
berkaitan dengan kebutuhan kalangan industri kecil, khususnya industri kecil yang
tergolong prioritas untuk dikembangkan. Adapun fungsi dan kegunaannya adalah:
memasyarakatkan penggunaan perangkat penunjang (yaitu teknologi
informasi) untuk memodernisasi sistim pengelolaan usaha bagi industri
kecil.
membantu pengusaha industri kecil untuk mendinamisasi langkah-langkah
bisnis yang perlu diambil oleh para pengusaha agar dapat mengambil
keputusan cepat, memudahkan pengelolaan dan pengendalian bisnisnya
secara lebih cepat, tepat dan akurat, sehingga tidak akan ketinggalan dalam
persaingan usaha.
Adapun lingkup teknologi informasi yang perlu dimasyarakatkan di
kalangan industri kecil terutama adalah yang berkaitan dengan kegiatan spesifik
bidang usahanya, misalnya sistim administrasi pengadaan barang, keuangan,
pemasaran dan informasi pasar.
Pengembangan Desain Produk
Program ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran para pengusaha
industri kecil akan peran pentingnya desain produk untuk merebut pasar. Dengan
tumbuhnya kesadaran dan tertariknya para pengusaha untuk berpeduli kepada
aspek desain produk, diharapkan akan dapat menambah kemampuan bersaing dan
agresivitas para pengusaha industri kecil dalam merebut pasar.
Pemberian SME’s Award
Pemberian penghargaan kepada pihak yang telah berjasa ikut
mengembangkan industri kecil dimaksudkan sebagai salah satu sistim perangsang
pelengkap yang ditujukan untuk mendorong semua pihak berpeduli kepada upaya
memajukan industri kecil. Sistim pemberian award ini memperoleh dukungan dari
pemegang otoritas tertinggi (Kepala Negara). Hal ini diharapkan akan dapat
menimbulkan citra dan reputasi baik bagi mereka yang telah berjasa
mengembangkan industri kecil, selain itu juga dapat berpengaruh terhadap simpati
dan dukungan pemerintah dan masyarakat terhadap kegiatan profesi/usaha
maupun gerakan moral pembangunan dari yang bersangkutan.
Sistim perangsang pemberian award ini diharapkan akan bisa ikut
mendorong semakin banyaknya peminat dan pemerduli untuk menjadi penggerak
pengembangan industri kecil. Lingkup Penerima Penghargaan adalah:
Para pengusaha industri kecil yang telah berhasil mengembangkan industri
kecil dengan sukses dan berkembang, dengan bobot nilai prestasi yang
besar.
Anggota masyarakat lainnya yang dinilai telah berjasa ikut memajukan
industri kecil.
Pemasyarakatan HaKI
Pemasyarakatan HaKI di kalangan pengusaha industri kecil dimaksudkan
untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya daya kreasi dan inovasi
intelektual sebagai kemampuan yang perlu diraih oleh para pengusaha industri
yang ingin maju sebagai faktor pembentuk kemampuan daya saing industri. Oleh
karena itu karya temuan orang lain yang didaftarkan untuk dilindungi harus
dihormati dan dihargai.
Di samping itu kesadaran dan wawasan mengenai HaKI diharapkan akan
dapat menimbulkan motivasi dan dorongan agar pengusaha industri kecil
terdorong untuk berkreasi dan berinovasi di bidang produk dan teknologi
produksi, serta manajemen. Lingkup pemasyarakatan dilakukan terhadap:
Pemasyarakatan HaKI kepada para pengusaha.
Bimbingan penerapan HaKI pada level unit usaha.
Pengembangan Klinik HaKI di daerah.
Pengembangan kerjasama antara Klinik HaKI Pusat dan Daerah.
Pengembangan Prasarana dan Sarana Fisik
Prasarana dan Sarana Fisik bagi industri kecil antara lain meliputi :
Kawasan Industri Kecil dan Menengah dengan sewa murah, showroom bagi
produk industri kecil menengah dan kerajinan, pergudangan dan pengangkutan,
unit pengo lahan limbah, situs informasi (website) dan fasilitas penunjang lainnya.
Kebutuhan akan prasarana dan sarana penunjang ini dipertimbangkan menurut
tingkat kebutuhan, efisiensi dan kelaikannya untuk diadakan/dibangun bagi
kepentingan industri kecil secara bersama di suatu daerah/atau skala nasional
Prasarana dan sarana fisik ini diadakan untuk memfasilitasi kegiatan usaha
industri kecil di suatu daerah/nasional secara lebih efisien, cepat dan efektif,
termasuk promosi pemasarannya, dengan efisiensi dan kelancaran operasi yang
diraih akan menimbulkan dampak peningkatan daya saing industri kecil (di
tingkat daerah, nasional maupun global) yang pada gilirannya akan memperluas
pasar dan kapasitas produksi.
Industri kecil yang dibantu dengan fasilitas prasarana/sarana penunjang
hanya segmen industri kecil yang kondisinya di daerah yang bersangkutan dinilai
mendesak dan mutlak tingkat kebutuhannya akan dukungan fasilitas tersebut
untuk bisa tumbuh berkembang secara sehat dan berkelanjutan.
Pemasyarakatan Sistim Gugus Kendali Mutu (GKM)
GKM adalah suatu sistim dalam manajemen usaha yang ditujukan untuk
meningkatkan efisiensi, produktivitas dan mutu produksi, dalam rangka
meningkatkan daya-saing produk yang dihasilkan. Sistim ini dilaksanakan melalui
pemasyarakatan cara pandang, cara analisa dan diagnosa dan solusi sesuatu
masalah (inefisiensi, produktivitas rendah dan rendahnya mutu pekerjaan/produk)
di lingkungan kerja seluruh jajaran SDM perusahaan, sehingga dapat membentuk
kebiasaan (habit) yang diterapkan dalam etos kerja dan budaya produksi
kompetitif.
Penerapan/pentradisian GKM di lingkungan perusahaan industri kecil akan
ikut mempercepat sosialisasi budaya produksi kompetitif melalui praktek nyata
dalam kehidupan perusahaan sehari-hari, sehingga hasilnya akan jauh lebih efektif
daripada sistim ceramah teori yang sering terkendala oleh daya-serap peserta dari
kalangan industri kecil.
Apabila pemasyarakatan GKM dapat diterapkan semakin meluas di
kalangan industri kecil, hal ini akan berdampak positif bagi kemajuan dan
pertumbuhan industri kecil terutama oleh faktor pendorong knowledge-based.
Mengingat luasnya sasaran/populasi obyek binaan, maka penerapan
gerakan GKM di kalangan industri kecil perlu menempuh prioritas dengan
mendahulukan industri kecil yang tingkat tantangan kompetisi pasarnya cukup
tajam. Meskipun demikian, pemasyarakatan GKM tidak boleh diskriminatif bagi
jenis-jenis industri yang sudah waktunya memerlukan, dan penerapannya
dilakukan simultan di semua daerah. Keterbatasan kapasitas pemasyarakatan
GKM mendorong perlunya ditempuh program TOT (Training of Trainers).
Pengembangan Bakat Ketrampilan Tradisional
Karya seni tradisional berpangkal dari bakat seni tradisional yang
diwariskan secara turun-temurun. Potensi adanya bakat ketrampilan karya seni
tradisional ini apabila tidak didayagunakan melalui kegiatan produksi barang seni
yang laku dijual dengan menimbulkan nilai-tambah yang dapat menghidupi, lama
kelamaan akan bisa punah (generasi muda tidak tertarik untuk menggeluti) karena
tidak bisa bersaing dengan lapangan kerja yang lain. Dilain pihak apabila
kekayaan budaya ini dapat dilestarikan dengan improvisasi seni, sentuhan
teknologi dan manajemen yang tepat, maka potensi sumberdaya berupa bakat
ketrampilan seni tradisional daerah tersebut akan dapat dikembangkan menjadi
kegiatan ekonomi yang menghidupi masyarakat secara berkelanjutan, yang
karenanya justru dapat melestarikan peninggalan budaya tersebut.
Pengembangan bakat ketrampilan seni tradisional berguna untuk
menumbuhkannya menjadi kegiatan produktif yang menghasilkan nilai-tambah.
Dengan demikian akan dapat melestarikan bahkan mengembangkan/ memajukan
seni tradisional daerah. Bakat ketrampilan yang dikembangkan tergantung jenis
bakat yang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi kegiatan ekonomi
yang menghasilkan nilai-tambah (terutama yang dapat prospek untuk
menghasilkan produk ketrampilan unggulan daerah) yang terdapat di daerah
masing-masing.
Peningkatan Peran Wanita di bidang IDKM
Peningkatan peran partisipasi wanita dalam kegiatan usaha lebih tepat
dimaksudkan sebagai upaya untuk mensosialisasikan wawasan industri atau
wawasan produktif secara lebih cepat meluas ke kalangan masyarakat dengan
mendayagunakan wanita sebagai media sosialisasi/penyebaran. Pendayagunaan
wanita sebagai media sosialisasi wawasan industri dan wawasan produktif ini
berarti juga untuk mendayagunakannya sebagai media modernisasi bagi
masyarakat. Tingkat peran wanita dalam kegiatan industri tersebar dari tataran
sebagai tenaga pekerja biasa, tenaga pekerja trampil, sampai dengan tingkat
manajemen maupun sebagai wirausaha.
Secara bersamaan, metoda tersebut sekaligus akan menimbulkan dampak
manfaat dan kegunaan dari berbagai aspek, antara lain :
(a) Secara psikologis kaum wanita akan mempunyai kepercayaan diri yang
meningkat karena semakin banyak yang terlibat dalam kegiatan
produktif/industri, sehingga posisi mereka yang pada umumnya terkesan
termarjinalkan akan semakin bergeser menjadi tenaga produktif dalam
ekonomi nasional.
(b) Secara ekonomis, dengan semakin meningkatnya partisipasi kaum wanita
dalam kegiatan produktif, maka secara agregat potensi tenaga produktif secara
nasional akan meningkat secara nyata.
(c) Memperkecil risiko negatif yang dapat diakibatkan oleh kerawanan
pengangguran di kalangan angkatan kerja wanita.
(d) Membantu peningkatan pemerataan kesejahteraan ekonomis di kalangan
masyarakat.
(e) Karakter kerja dan talenta kaum wanita banyak yang cocok dan menunjang
upaya pemenuhan tuntutan mutu produk industri kecil (industri kerajinan,
produk seni, dan produk yang memerlukan ketelitian dan ketelatenan
pengerjaan/workmanship).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan