halaman: pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan
TRANSCRIPT
1652
Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan
STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics)
untuk Pemahaman Konsep dan Keterampilan Argumentasi
Siswa SMA pada Materi Laju Reaksi
Astrid Kinantya Paramita1, Yahmin1, I Wayan Dasna1 1Pendidikan Kimia-Universitas Negeri Malang
INFO ARTIKEL ABSTRAK
Riwayat Artikel:
Diterima: 20-02-2020
Disetujui: 30-11-2020
Abstract: Argumentation is an important activity in scientific exploration which has
been agreed as a major component in science education. Quality argumentation skills
are formed with the understanding of concepts owned by students. The current low level
of argumentation skills is caused by the learning process. Application of guided inquiry
learning with the STEM approach is expected to provide space to practice arguments
based on the results of the constructs of students' concepts during learning. The results
of the study stated that differences in initial abilities, the application of guided inquiry
with the STEM approach affect the concepts understanding and argumentation skills of
students. Also there is no interaction, between models and learning approaches and
initial abilities towards understanding concepts and argumentation skills.
Abstrak: Argumentasi merupakan aktivitas penting pada eksplorasi ilmiah yang telah
disepakati sebagai komponen utama dalam pendidikan sains. Keterampilan argumentasi
yang berkualitas dibentuk dengan modal pemahaman konsep yang dimiliki siswa.
Rendahnya keterampilan argumentasi saat ini salah satunya disebabkan oleh proses
pembelajaran. Penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan
STEM diharapkan dapat menyediakan ruang untuk melatih argumentasi berdasarkan
hasil konstruk konsep siswa selama pembelajaran. Hasil penelitian menyatakan bahwa
perbedaan kemampuan awal, penerapan inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM
berpengaruh terhadap pemahaman konsep dan keterampilan argumentasi siswa namun
tidak ditemukan adanya interaksi antara model maupun pendekatan pembelajaran dan
kemampuan awal terhadap keterampilan argumentasi dan pemahaman konsep.
Kata kunci:
argumentation skills;
concept understanding;
guided inquiry;
keterampilan argumentasi;
pemahaman konsep;
inkuiri terbimbing
Alamat Korespondensi:
Astrid Kinantya Paramita
Pendidikan Kimia
Universitas Negeri Malang
Jalan Semarang 5 Malang
E-mail: [email protected]
Pada era industri 4.0, tujuan pendidikan adalah suplai sumber daya manusia unggul yang dapat menyesuaikan diri dengan
kebutuhan abad 21 dan tantangan perkembangan teknologi (Sutarto, 2018). Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut,
dibutuhkan beberapa keterampilan khusus yang relevan termasuk keterampilan argumentasi. Argumentasi adalah aktivitas
penting yang melekat dalam proses eksplorasi ilmiah (Osborne, Erduran, & Simon, 2004). Mendukung hal tersebut, sebagian
besar tenaga pendidik telah sepakat bahwa argumentasi merupakan komponen utama dalam pendidikan sains (Cetin, 2014).
Seiring dengan banyaknya penelitian terkait argumentasi, ditemukan bahwa keterampilan argumentasi erat kaitannya dengan
pemahaman konsep yang dimiliki siswa. Beberapa peneliti berhipotesis bahwa pemahaman konsep siswa akan berpengaruh
terhadap kuantitas dan kualitas argumen yang dibangun (Cetin, 2014).
Realita yang ditemui, sebagian guru sains tidak memiliki cukup perhatian terkait pentingnya argumentasi (Zohar,
2003). Hal tersebut terlihat dari diskusi kelas yang sebagian besar didominasi oleh monolog guru dengan sedikit kesempatan
bagi siswa untuk terlibat dalam argumentasi dialogis (Duschl, 2016). Penelitian terkini lainnya terkait argumentasi
menunjukkan bahwa siswa hanya mampu berdebat tanpa menyajikan bukti-bukti untuk mendukung gagasan mereka (Subekti,
2018). Pada penelitian dengan acuan tingkatan tertinggi argumentasi berada pada level 4, diketahui sebagian besar siswa masih
berada pada tingkat argumentasi level 1 (Devi, Susanti, & Indriyanti, 2018). Pada argumentasi level 1, siswa hanya
mengemukakan klaim berupa kesimpulan yang dibangun berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya (Von, Erduran, & Osborne,
2007).
Tersedia secara online
http://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/
EISSN: 2502-471X
DOAJ-SHERPA/RoMEO-Google Scholar-IPI
Jurnal Pendidikan:
Teori, Penelitian, dan Pengembangan
Volume: 5 Nomor: 11 Bulan November Tahun 2020
Halaman: 1652—1663
1653 Jurnal Pendidikan, Vol. 5, No. 11, Bln November, Thn 2020, Hal 1652—1663
Salah satu faktor yang merupakan penyebab terhadap rendahnya keterampilan argumentasi dan pemahaman konsep
siswa yaitu proses pembelajaran. Proses pembelajaran lebih terfokus pada pelaksanaan transfer pengetahuan dengan metode
ceramah dan peningkatan pemahaman konsep dilakukan dengan pemberian latihan soal. Selain proses pembelajaran,
pemahaman konsep maupun keterampilan argumentasi juga dipengaruhi oleh kemampuan awal siswa. Dalam kaitannya dengan
keterampilan argumentasi, kemampuan awal dianggap sebagai modal untuk menghasilkan argumen yang berkualitas saat siswa
terlibat dalam argumentasi (Ogan-Bekiroglu & Eskin, 2012). Hal tersebut sejalan dengan berpengaruhnya kemampuan awal
terhadap pemahaman atau konstruksi pengetahuan (konsep) siswa (Lin & Hung, 2016). Pentingnya argumentasi dan
pemahaman konsep juga tentunya merupakan tujuan dari pembelajaran kimia yang merupakan central of science (Boujaoude,
2002). Diantara materi kimia yang dipelajari di SMA salah satunya yaitu materi tentang Laju Reaksi. Konsep-konsep yang
abstrak, terdefinisi, hitungan matematis serta grafik terlibat dalam materi tersebut. Hal-hal mikroskopis yang dipelajari pada
materi laju reaksi menyebabkan siswa sulit untuk mengerti dan cenderung hanya menghafal teori tanpa memahaminya
(Herawati, Mulyani, & Redjeki, 2013). Permasalahan-permasalahan tersebut berdampak pada pembelajaran laju reaksi yang
seharusnya dapat menjadi ajang melatih pemahaman konsep dan keterampilan argumentasi siswa menjadi tidak
terimplementasikan dengan baik.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka urgensi dari penelitian ini terkait rendahnya keterampilan argumentasi
dan pemahaman konsep siswa. Upaya guru sebagai pendidik dalam menyediakan lebih banyak kesempatan untuk terlibat dalam
argumentasi ilmiah (Sampson & Gerbino, 2010) serta peningkatan kualitas proses pembelajaran diharapkan efektif untuk
menumbuh kembangkan pemahaman konsep siswa saat mengonstruk pengetahuannya. Adapun alternatif solusi yang digunakan
yaitu dengan penerapan model pembelajaran berbasis konstruktivis. Hal tersebut mempertimbangkan pendapat Kurt dan Ayas
(2012) yang menyatakan bahwa dengan teori konstruktivis, setiap siswa secara aktif membangun informasi dalam pikiran maka
proses pembelajaran akan memberikan pengalaman untuk membantu siswa memahami konsep. Salah satu model pembelajaran
berbasis konstruktivis yaitu inkuiri terbimbing (Guided Inquiry). Zacharia (2003) mengklaim pembelajaran inkuiri menggeser
fokus pendidikan sains dari menghafal konsep ilmiah menjadi memahami proses pembentukan pengetahuan.
Pada proses pengimplementasiannya, model pembelajaran inkuiri masih memiliki beberapa kendala. Diantaranya
adalah pembelajaran kurang memiliki relevansi dengan kehidupan nyata. Akibat hal tersebut, Osborne (2004) menggambarkan
inkuiri sebagai pembelajaran yang memberikan jawaban tidak menarik untuk pertanyaan yang tidak pernah diajukan oleh siswa.
Maka sebagai upaya mengatasi hal tersebut, hasil penelitian Kang (2017) menyarankan untuk menghubungkan ilmu sains yang
dipelajari dengan situasi kehidupan nyata pada saat pengimplementasian pembelajaran inkuiri sehingga meningkatkan
ketertarikan siswa. Upaya yang dapat dilakukan adalah memadukan proses pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan
yang menghubungkan antara area yang dikaji dengan masalah aktual dalam kehidupan. Stohlman, Moore, & Roehrig (2012)
mengusulkan STEM sebagai pendekatan yang mampu mengintegrasikan keterampilan serta bersifat kontekstual. STEM yang
bersifat integratif (Permanasari, 2016) juga hadir sebagai pendekatan yang menghubungkan bidang keilmuan sains, teknologi,
teknik, dan matematika kedalam sebuah pembelajaran (Ercan, Bozkurt, & Tastan, 2016) sehingga pembelajaran menjadi lebih
terhubung, fokus, bermakna, dan relevan bagi siswa (Stohlmann, Moore, & Roehrig, 2012).
Pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM akan saling melengkapi karena dalam penerapannya,
pendekatan STEM sangat disarankan untuk menekankan pada pembelajaran berbasis inkuiri (Chien & Lajium, 2016). Diantara
banyaknya perspektif pengintegrasian aktivitas STEM, penelitian ini menggunakan pendapat dari Kelley dan Knowles (2016)
yang menyarankan kerangka konseptual dalam mengintegrasikan pengetahuan STEM seperti sebuah sistem katrol yang
menghasilkan keuntungan mekanis terhadap beban (dalam hal ini pembelajaran dengan pendekatan STEM). Ilustrasi sistem
katrol tersebut menghubungkan pembelajaran STEM, engineering design, penyelidikan sains (scientific inquiry), literasi
teknologi dan matematika sebagai suatu sistem yang terintegrasi. Jika dikaitkan dengan pembelajaran pada materi laju reaksi
yang dilakukan maka integrasi penyelidikan sains akan diperoleh melalui penerapan inkuiri terbimbing sebagai proses untuk
mengonstruk pemahaman siswa. Integrasi dari literasi teknologi adalah dengan penggunaan search enginee untuk
memperdalam konten terkait konsep laju reaksi, misalnya pembuatan lightstick. Aspek matematika dilatihkan dengan
penggunaan proses berpikir logis untuk memecahkan permasalah terkait STEM (misal: ukuran kembang api) dan aspek
engineering design dilakukan dengan mendesain prosedur maupun alat sederhana (misal: pembuatan pendingin sederhana,
prosedur pembuatan bioenzim). Disamping aktivitas STEM tersebut, aspek terkait STEM juga dihadirkan sebagai konteks pada
fenomena untuk tahap orientation dan isu atau permasalahan pada tahap application di LKS.
Fenomena STEM yang berkaitan dengan konsep laju reaksi dimaksudkan agar siswa lebih tertarik untuk mempelajari
konsep tersebut karena relevan dengan kehidupan, misalnya penyajian artikel tentang fenomena terkait teknologi airbag yang
diberikan untuk memacu siswa menemukan konsep terkait adanya perbedaan laju reaksi kimia. Artikel tersebut juga memuat zat
kimia apa yang terlibat dan penjelasan bagaimana kimia melalui teknologi airbag dapat menyelamatkan nyawa. Disamping itu,
contoh lain yang memunculkan isu atau permasalahan terkait aspek STEM adalah mengenai ukuran partikel yang digunakan
oleh produsen kembang api dengan mempertimbangkan aspek keamanan dan dampaknya terhadap kesehatan. Seluruh hal
tersebut dimaksudkan agar tujuan pendidikan STEM dapat tercapai secara maksimal. Selain proses pembelajaran sebagai
variabel bebas digunakan juga kemampuan awal sebagai variabel moderator. Pertimbangan tersebut didasari oleh
dimungkinkannya pengaruh kemampuan awal terhadap pemahamn konsep dan keterampilan argumentasi siswa. Pada penelitian
ini, kemampuan awal yang digunakan adalah terkait penguasaan konsep pada materi sebelumnya, yaitu Termokimia.
Paramita, Yahmin, Dasna, Pembelajaran Inkuiri Terbimbing… 1654
METODE
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitan ini adalah quasi
experiment posttest only design faktorial 2x2. Rancangan faktorial 2x2 disajikan pada tabel 1. Purposive Random Sampling
(Creswell, 2012) digunakan sebagai teknik penentuan sampel kemudian diperoleh kelas XI MIPA 4 (kemudian disebut sebagai
kelas kontrol, dengan jumlah siswa sebanyak 36 siswa) dan XI MIPA 3 (kemudian disebut sebagai kelas eksperimen, dengan
jumlah siswa sebanyak 33 siswa) sebagai sampel.
Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen yang dibedakan berdasarkan tujuannya yaitu meliputi instrumen
pengukuran dan instrumen perlakuan. Instrumen perlakuan terdiri dari (1) RPP (2) LKS, adapun instrumen pengukuran terdiri
dari (1) tes keterampilan argumentasi yang memiliki validasi isi 82,91 dengan kriteria sangat baik dan koefisien reliabilitas
0,807 dengan kriteria tinggi, (2) tes pemahaman konsep yang memiliki validasi isi 81,42 dengan kriteria sangat baik dan
koefisien reliabilitas 0,843 dengan kriteria tinggi. Kemampuan awal digunakan sebagai variabel moderator mengingat
dimungkinkan pengaruhnya terhadap pemahaman konsep maupun keterampilan argumentasi siswa. Sebagai langkah awal
dilakukan uji prasyarat dan uji kesamaan rata-rata (uji t) terhadap data kemampuan awal siswa dikedua kelas. Berdasarkan data
kemampuan awal yang diperoleh, siswa selanjutnya dibedakan menjadi siswa dengan kemampuan awal tinggi dan siswa dengan
kemampuan awal rendah. Analisis data penelitian berupa skor pemahaman konsep dan keterampilan argumentasi dilakukan
dengan dua tahapan yaitu uji prasyarat (terdiri dari uji normalitas, uji homogenitas) dan uji hipotesis.
HASIL
Deskripsi dan Analisis Kemampuan Awal Siswa
Untuk membuktikan bahwa rata-rata tingkat kemampuan awal yang dimiliki siswa di kedua kelas adalah sama maka
dilakukan uji prasayarat (uji homogenitas, uji normalitas) yang setelahnya diikuti dengan uji kesamaan rata-rata. Kolmogorov-
Smirnov Test yang digunakan untuk analisis normalitas memperoleh nilai signifikansi kelas eksperimen sebesar 0,085 dan kelas
kontrol sebesar 0,064, menunjukkan bahwa kemampuan awal di kedua kelas adalah berdistribusi secara normal. Selain itu, uji
prasyarat berupa Uji Levene digunakan untuk menganalisis homogenitas data kemampuan awal siswa, memperoleh nilai
signifikansi sebesar 0,834 sehingga dapat disimpulkan data kemampuan awal siswa pada kelas kontrol dan eksperimen adalah
homogen. Selanjutnya, uji t (Independent Sample T-Test) yang dilakukan untuk menguji kesamaan rata-rata pada kedua kelas
menyimpulkan tidak ada perbedaan kemampuan awal pada siswa kelas kontrol dan kemampuan awal pada siswa kelas
eksperimen.
Deskripsi dan Analisis Pemahaman Konsep Siswa
Data pemahaman konsep diperoleh melalui tes pemahaman konsep berupa soal pilihan ganda multiple tier yang
dilakukan pada akhir pembelajaran materi laju reaksi. Untuk mengetahui skor pemahaman konsep secara ringkas pada setiap
kelas dapat diamati pada tabel 2. Berdasarkan hasil uji prasyarat disimpulkan bahwa pemahaman konsep siswa pada kelas
eksperimen (yang menerapkan inkuiri terbimbing dipadukan dengan STEM) dan kelas kontrol (yang menerapkan inkuiri
terbimbing) terdistribusi normal dan homogen.
Tabel 2. Kriteria Pemahaman Konsep
Kelas Pemahaman Konsep
Nilai Maksimum Nilai Minimum Rata-rata
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
95
92,5
72,5
70
83,09
80,12
Setelah mengetahui data pemahaman konsep siswa memiliki varian yang homogen dan terdistribusi normal, maka
dilanjutkan dengan uji hipotesis Anova Two Way dengan taraf signifikan 0,05. Tabel 3 menyajikan hasil uji hipotesis tersebut.
Tabel 3. Uji Hipotesis Pemahaman Konsep Siswa
Source Type III Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Model
Kemampuan
Model * Kemampuan
Error
Total
Corrected Total
183.868
1014.201
13.630
1399.525
461396.750
2592.370
1
1
1
65
69
68
183.868
1014.201
13.630
21.531
8.540
47.104
.633
.005
.000
.429
1655 Jurnal Pendidikan, Vol. 5, No. 11, Bln November, Thn 2020, Hal 1652—1663
Deskripsi dan Analisis Keterampilan Argumentasi
Data keterampilan argumentasi siswa diperoleh melalui tes tertulis sebanyak empat soal berbentuk uraian terbuka
mengenai materi laju reaksi. Data perolehan keterampilan argumentasi secara ringkas dapat dilihat pada tabel 4. Berdasarkan
hasil uji prasyarat disimpulkan bahwa pemahaman konsep siswa pada kelas eksperimen (inkuiri terbimbing dipadukan dengan
pendekatan STEM) dan pemahaman konsep siswa pada kelas kontrol (inkuiri terbimbing) adalah terdistribusi normal dan
homogen.
Tabel 4. Perolehan Skor Keterampilan Argumentasi Siswa
Kelas Jumlah Siswa Rata-rata Skor Maksimum Skor Minimum
Eksperimen
Kontrol
33
36
11,54
9,91
15
13
8
6
Setelah mengetahui skor keterampilan argumentasi siswa yang diperoleh adalah terdistribusi normal dan memiliki
varian yang homogen, maka dilanjutkan dengan uji hipotesis Anova Two Way. Tabel 5 menyajikan hasil uji hipotesis tersebut.
Tabel 5. Uji Hipotesis Keterampilan Argumentasi Siswa
Source Type III Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Model
Kemampuan
Model * Kemampuan
Error
Total
Corrected Total
1986.194
2984.458
2.067
6879.340
320000.000
11664.402
1
1
1
65
69
68
1986.194
2984.458
2.067
105.836
18.767
28.199
.020
.000
.000
.889
PEMBAHASAN
Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran pada Kedua Kelas terhadap Pemahaman Konsep
Hasil uji hipotesis ditunjukkan oleh data “Model” pada tabel 3 dengan nilai Fhitung (8,540) lebih besar dari Ftabel (3,98)
dan signifkansi (0,005) < 0,05 sehingga H1 diterima. Data tersebut mengindasikan bahwa terdapat perbedaan pemahaman
konsep antara siswa yang dibelajarkan menggunakan pembelajaran inkuiri terbimbing yang dipadukan dengan pendekatan
STEM dan pembelajaran yang hanya menggunakan inkuiri terbimbing pada materi laju reaksi. Hasil pengelompokkan
berdasarkan kriteria pemahaman konsep, dapat diketahui bahwa siswa dari kelas eksperimen dominan memiliki pemahaman
yang sangat baik dibanding siswa dari kelas kontrol. Hal tersebut mengindikasikan perpaduan antara model pembelajaran
inkuiri dan pendekatan STEM lebih memiliki pengaruh signifikan untuk meningkatkan pemahaman konsep yang dimiliki siswa
dibandingkan menggunakan pembelajaran inkuiri tanpa pendekatan STEM.
Upaya peningkatan terhadap pemahaman konsep siswa dilakukan pada kedua kelas dengan menerapkan pembelajaran
berbasis konstruktivis yaitu inkuiri terbimbing. Pada proses pembelajaran di kelas eksperimen maupun kelas kontrol, secara
tertulis tahapan mengonstruk konsep dilakukan pada LKS di tahap concept formation yang terletak sebelum tahap aplikasi yang
melatih argumentasi siswa. Hal ini dilakukan menurut pertimbangan bahwa untuk dapat terlibat dalam argumentasi, siswa
terlebih dahulu harus paham terhadap konsep materi terkait. Hasil pengerjaan siswa pada LKS, tidak ditemukan perbedaan yang
mencolok antara siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol. Secara umum, masing-masing kelompok di kedua kelas telah
menghasilkan konsep yang sesuai. Oleh karena itu, peneliti berpendapat bahwa adanya perbedaan pemahaman konsep siswa
pada kelas kontrol kemungkinan disebabkan oleh konstruksi atau penguatan konsep yang dibangun saat proses keterampilan
argumentasi dilatihkan. Jumlah siswa yang berhasil mempunyai pemahaman konsep sangat baik pada kelas eksperimen (yang
menerapkan inkuiri terbimbing dipadukan pendekatan STEM) lebih banyak karena permasalahan yang diangkat sebagai
fenomena pada orientation maupun untuk melatihkan keterampilan argumentasi pada tahap aplikasi memiliki relevansi dengan
kehidupan siswa terkait aspek STEM sehingga konsep maupun keterampilan argumentasi siswa menjadi lebih baik.
Kemungkinan lain adalah pada kelas eksperimen, beberapa proyek yang dilakukan terkait penerapan aspek STEM
semakin meningkatkan pemahaman konsep siswa pada materi terkait. Pada pembelajaran inkuiri yang dipadukan dengan
pendekatan STEM, siswa menerapkan aspek engineering khususnya yang berkaitan dengan materi laju reaksi. Beberapa
alternatif rekayasa dihasilkan oleh siswa ditiap kelompoknya, salah satunya adalah penggunaan kendi dan kain basah seperti
yang tertera dan dapat diamati pada gambar 1 sebagai pendingin sederhana.
Paramita, Yahmin, Dasna, Pembelajaran Inkuiri Terbimbing… 1656
Gambar 1. Proses Pembuatan Alat Pendingin Sederhana
Penelitian Boesdorfer (2017) menyimpulkan bahwa memasukkan aspek engineering dalam ruang kelas sains efektif
bagi siswa untuk memperoleh dan menerapkan pengetahuan sains. Salah satu penerapan aspek engineering yang diterapkan
pada kelas eksperimen adalah pemberian proyek pada siswa untuk menghasilkan pendingin sederhana. Pembuatan pendingin
sederhana adalah penerapan pengetahuan laju reaksi terkait konsep suhu yang merupakan faktor yang dapat memengaruhi laju
reaksi.
Pengaruh Kemampuan Awal pada Pemahaman Konsep
Selain berdasarkan proses pembelajaran yang diterapkan selama pembelajaran, adanya perbedaan pemahaman konsep
juga ditinjau dari perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh siswa pada materi sebelumnya (kemampuan awal). Pada kelas
eskperimen, terdapat 15 siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi dan 18 siswa yang memiliki kemampuan awal rendah.
Sedangkan pada kelas kontrol, kemampuan awal rendah dan tinggi memiliki jumlah yang sama yaitu sebanyak 18 siswa.
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang ditunjukkan oleh data “Kemampuan” pada tabel 3 dengan nilai Fhitung (47,104) lebih besar
dari Ftabel (3,98) dan signifkansi (0,000) < 0,05 sehingga H1 dapat diterima. Adapun data tersebut menunjukkan bahwa
pemahaman konsep siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah yang dibelajarkan
menggunakan model inkuri terbimbing dan model inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM pada materi laju reaksi adalah
berbeda. Jika skor tes pemahaman konsep siswa pada masing-masing kelas dikelompokkan berdasarkan kemampuan awal,
maka akan diperoleh rata-rata pemahaman konsep siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi adalah lebih baik (85,50)
dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan awal rendah (77,91). Persentase perbedaan pemahaman konsep ditinjau
berdasarkan perbedaan kemampuan awal dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Grafik Skor Pemahaman Konsep terhadap Kemampuan Awal Siswa di Kedua Kelas
Kemampuan awal terdiri dari ingatan tentang topik pembelajaran sebelumnya yang dapat memengaruhi pemahaman
konsep siswa (Liu, Liu, & Lin, 2018). Perbedaan pemahaman konsep yang dihasilkan antara kelompok siswa yang memiliki
kemampuan awal berbeda kemungkinan disebabkan karena perbedaan kemampuan konstruksi pengetahuan individu. Kelompok
siswa dengan kemampuan awal yang tinggi umumnya lebih mudah untuk dapat mengikuti kegiatan pembelajaran dan menerima
konsep-konsep baru dibandingkan dengan kelompok siswa yang memiliki kemampuan awal rendah.
70
75
80
85
90
Kelas eksperimen Kelas kontrol
Sk
or
Pem
ah
am
an
Ko
nse
p S
isw
a
awal tinggi
awal rendah
1657 Jurnal Pendidikan, Vol. 5, No. 11, Bln November, Thn 2020, Hal 1652—1663
Interaksi antara Kemampuan Awal dengan Model Pembelajaran terhadap Pemahaman Konsep Siswa
Hasil uji hipotesis ditunjukkan oleh data “Model*Kemampuan” pada tabel 3 dengan nilai Fhitung (0,633) lebih kecil dari
Ftabel (3,98) dan signifikansi (0,429) > 0,005 maka H1 ditolak. Data tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya interaksi antara
kemampuan awal dengan model pembelajaran terhadap pemahaman konsep siswa pada materi laju reaksi. Dapat diartikan
bahwa perbedaan kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa kelas eksperimen maupun kelas kontrol tidak berpengaruh
terhadap penerapan model pembelajaran dan pendekatan yang dipilih dalam melatihkan pemahaman konsep pada materi laju
reaksi.
Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran pada Kedua Kelas terhadap Keterampilan Argumentasi
Data penelitian yang diperoleh selain pemahaman konsep adalah skor keterampilan argumentasi siswa. Hasil tes
keterampilan argumentasi dideskripsikan melalui level argumentasi jawaban siswa dalam menentukan kelengkapan komponen
argumen berupa claim, data, warrant, backing dan qualifier. Selanjutnya, argumen dikelompokkan pada masing-masing level
argumentasi menurut Cetin. Hasil uji hipotesis ditunjukkan oleh data “Model” pada tabel 5 dengan nilai Fhitung (18,76) lebih
besar dari Ftabel (3,98) dan signifkansi ((0,000) < 0,005) maka H1 diterima. Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan keterampilan argumentasi siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing yang
dipadukan dengan pendekatan STEM dan model pembelajaran inkuiri terbimbing pada materi laju reaksi.
Sebanyak 7,57% argumentasi siswa pada kelas eksperimen dan 15,15% argumentasi siswa pada kelas kontrol berada
pada level satu. Argumentasi pada level satu terdiri dari claim sederhana. Siswa yang menjawab pada level ini kemungkinan
belum mampu untuk menghasilkan claim yang dapat dihubungkan dengan data, warrant, maupun backing. Kurangnya
pemahaman konsep, pengetahuan untuk melengkapi komponen argumen, maupun waktu pengerjaan yang terbatas merupakan
beberapa sebab yang menyebabkan kondisi ini. Sebanyak 32,57% argumentasi siswa pada kelas yang diajarkan dengan inkuiri
terbimbing dengan pendekatan STEM dan 40,15% argumentasi siswa pada kelas yang diajarkan dengan inkuiri terbimbing
berada pada level 2. Sesuai level argumentasi oleh Cetin, argumentasi pada level dua mengandung claim, data dan/atau warrant.
Sejumlah 30,30% argumentasi siswa pada kelas yang diajarkan dengan inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM dan 37,12%
argumentasi siswa pada kelas yang diajarkan dengan inkuiri terbimbing berada pada level 3. Argumentasi pada level tiga
mengandung claim, data dan/atau warrant, backing atau qualifier. Berdasarkan skor rata-rata, diketahui bahwa sebanyak 30,63%
jawaban siswa kelas eksperimen dan 15,15% jawaban siswa kelas kontrol mampu mencapai level 4, yang dalam penelitian ini
merupakan level argumentasi tertinggi. Tanpa diberi bantuan tertulis siswa telah mampu untuk mengonstruk sendiri
argumennya yang terdiri atas klaim, data dan/atau warrant, backing, dan qualifier. Hasil ini menunjukkan persentase capaian
argumentasi terbanyak pada kelas eksperimen adalah pada level 4. Pada kelas kontrol, persentase capaian terbanyak yaitu
berada pada level 2. Hal tersebut mendukung bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM memberikan
hasil yang lebih baik dibanding kelas yang dibelajarkan dengan inkuiri terbimbing tanpa pendekatan STEM terhadap
keterampilan argumentasi siswa.
Perbedaan argumentasi pada kelas eksperimen dan kontrol terletak pada rata-rata level argumentasi yang diperoleh.
Pada kelas eksperimen, siswa berhasil menyusun argumentasi hingga level 4 sedangkan pada kelas kontrol siswa hanya mampu
menyusun argumentasi hingga level 2. Perbedaan level yang diperoleh ini didasari oleh perbedaan kelengkapan komponen
argumen yang dihasilkan. Komponen argumentasi pada level 2 terdiri dari claim, data dan/atau warrant dan komponen
argumentasi pada level 4 lebih lengkap yaitu terdiri dari claim, data dan/atau warrant, backing dan qualifier. Perbedaan dari
kedua level tersebut adalah adanya backing dan qualifier yang dihasilkan. Argumentasi level 4 menunjukkan adanya backing
dan qualifier sedangkan argumentasi level 2 tidak menyajikannya. Backing merupakan pernyataan yang digunakan untuk
mendukung kesimpulan serta qualifier menunjukkan derajat kepercayaan yang diletakkan untuk mendukung argumen atau
prasyarat dari klaim. Backing yang dihasilkan merupakan konsep dasar yang dihubungkan dengan aplikasi konsep tersebut
untuk menjawab permasalahan yang dimunculkan. Perbedaan argumentasi yang dihasilkan oleh siswa pada kelas eksperimen
dan kelas kontrol dapat diamati pada gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Argumentasi Salah Satu Siswa pada Kelas Kontrol
Paramita, Yahmin, Dasna, Pembelajaran Inkuiri Terbimbing… 1658
Gambar 4. Argumentasi Salah Satu Siswa pada Kelas Eksperimen
Penyebab keterampilan argumentasi siswa di kelas eksperimen lebih baik dibandingkan dengan argumentasi siswa di
kelas kontrol adalah penerapan pendekatan STEM. Pendekatan STEM diintegrasikan terutama pada tahap orientation dan tahap
application. Fenomena pada tahap orientation mendorong siswa untuk merumuskan masalah yang selanjutnya akan ditemukan
solusinya selama proses konstruk pengetahuan saat pembelajaran. Pada kelas yang menerapkan pendekatan STEM pada
pembelajaran, diberikan fenomena terlait laju reaksi yang memunculkan keterkaitan dengan aspek STEM. Fenomena yang
disajikan diantaranya terkait technology airbag, global warming, catalytic conventer, dinamit, kulkas sebagai teknologi yang
memperlambat laju serta tugas enzim dalam tubuh.
Tidak hanya pada tahap orientation, STEM juga dimunculkan pada tahap application. Pada tahap application,
pendekatan STEM dimunculkan dengan mengaitkan aspek STEM pada permasalahan yang memacu siswa untuk mengatasi
serta mengemukakan argumennya. Permasalahan yang tertera pada LKS siswa yang dibelajarkan dengan inkuiri terbimbing
dengan pendekatan STEM diantaranya berkaitan dengan photochemical smog, hujan asam, luas permukaan kembang api serta
laju eliminasi alkohol dalam tubuh. Selama proses menemukan solusi atas permasalahan tersebut, siswa dilatih untuk
melengkapi komponen argumen sehingga dapat menghasilkan argumentasi yang sesuai dengan konsep dan komponen
argumentasi.
Selain itu, pendekatan STEM pada kelas ekperimen juga diterapkan dengan memberi proyek tertentu pada siswa
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pengerjaan proyek serta diskusi terkait aspek STEM diperkirakan memberi dampak
positif terhadap keterampilan siswa. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa proyek terkait
STEM meningkatkan pemahaman konsep siswa. Pemahaman konsep akan saling berkaitan dengan keterampilan argumentasi
yang dihasilkan. Siswa akan dibantu oleh pemahaman konsep yang dimiliki untuk dapat mengonstruk argumen yang berkualitas,
disamping itu proses argumentasi akan meningkatkan pemahaman terhadap suatu konsep sains.
Pada kelas kontrol yang dibelajar dengan inkuiri terbimbing, siswa dilatih untuk membangun suatu konsep akan tetapi
diperoleh bahwa hasilnya tidak lebih baik dari penerapan inkuiri terbimbing yang dibarengi pendekatan STEM. Pada kelas
kontrol, siswa juga dilatihkan keterampilan argumentasinya pada setiap pertemuannya. Hanya saja, konteks yang dilibatkan
dalam diskusi tersebut lebih menekankan konten materi laju reaksi dan kurang memiliki relevansi dengan aspek STEM. Salah
satu contohnya adalah pelatihan keterampilan argumentasi siswa yang membahas tentang laju etanol berdasarkan persamaan
reaksinya tanpa mengaitkan dengan aplikasi dari penggunaan etanol dalam kehidupan sehari-hari, bidang industri maupun
teknologi. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya ketertarikan sebagian besar siswa karena diskusi memiliki relevansi yang
kecil dengan kehidupan sehingga berdampak pada pemahaman konsep yang dimiliki juga kualitas argumentasi yang dihasilkan.
Pengaruh Kemampuan Awal terhadap Keterampilan Argumentasi
Hasil uji hipotesis ditunjukkan oleh data “Kemampuan” pada tabel 5 dengan nilai Fhitung (28,199) lebih besar dari Ftabel
(3,98) dan signifkansi (0,000) < 0,005 maka H1 diterima. Data tersebut menunjukkan terdapat atau adanya perbedaan
keterampilan argumentasi siswa yang memiliki kemampuan awal rendah dan kemampuan awal tinggi yang dibelajarkan
menggunakan model inkuri terbimbing dan model inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM pada pokok bahasan laju reaksi.
Selama pembelajaran, peneliti berupaya untuk melatihkan keterampilan argumentasi lisan dengan cara bersosialisasi
(kolaboratif) tentang argumen yang dihasilkan dari pengerjaan tahap aplikasi LKS dengan teman kelompok lain. Hal ini
bertujuan agar siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi maupun rendah dapat mengetahui kelemahan argumennya
sehingga nantinya dapat membuat argumentasi individu berdasarkan konstruk pengetahuan yang telah dibangun. Pada kelas
eksperimen, tahap aplikasi pada LKS menyajikan masalah terkait kembang api. Kembang api memiliki partikel padat yang
dapat menyebabkan polusi udara. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan untuk memperkecil ukuran partikel kimia yang
digunakan sebagai bahan bakar kembang api. Namun, saran tersebut akan berakibat pada semakin besarnya luas permukaan
partikel sehingga dapat meningkatkan frekuensi tumbukan dan mudah bereaksi sehingga kembang api akan mudah meledak.
Terkait konsep materi laju reaksi yang sama, pada kelas kontrol disajikan masalah yang berhubungan dengan perbedaan efek
luas permukaan pada molekul A yang berupa serbuk dan batangan. Untuk memudahkan pemahaman siswa, pada penyajian
masalah di tahap application, LKS kelas kontrol dan eksperimen dilengkapi dengan representasi submikroskopik terkait dengan
1659 Jurnal Pendidikan, Vol. 5, No. 11, Bln November, Thn 2020, Hal 1652—1663
luas permukaan. Siswa diminta untuk menanggapi saran para ahli dengan memberi argumen berdasarkan data yang telah
disebutkan dan konsep materi luas permukaan sebagai bagian dari faktor penentu laju reaksi. Pada akhir proses pembelajaran,
dilakukan tes untuk mengetahui keterampilan argumentasi siswa.
Adapun perbedaan keterampilan argumentasi yang dihasilkan antara kelompok siswa yang memiliki kemampuan awal
rendah dan yang berkemampuan awal tinggi kemungkinan disebabkan karena perbedaan kemampuan kognitif siswa dalam
menyelesaikan suatu masalah. Hal ini sejalan dengan pendapat Liu, dkk., (2018) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan awal
dapat dilihat sebagai faktor untuk mendukung konstruksi argumen berbasis pengetahuan. Kemampuan awal adalah modal dalam
pengembangan kegiatan pembelajaran argumentasi. Selama pelatihan argumentasi dalam kelompok, siswa yang berkemampuan
awal rendah tidak benar-benar mengonstruk pengetahuannya atau cenderung bergantung pada temannya yang memiliki
kemampuan awal tinggi. Oleh sebab itu, data penelitian menyatakan bahwa adanya atau terdapat perbedaan signifikan antara
siswa berkemampuan awal rendah dan berkemampuan awal tinggi.
Interaksi antara Kemampuan Awal dengan Model Pembelajaran terhadap Keterampilan Argumentasi Siswa
Sesuai dengan hasil dari uji hipotesis yang ditunjukkan oleh data “Model*Kemampuan” pada tabel 5 dengan nilai
Fhitung (0,020) lebih kecil dari Ftabel (3,98) dan signifikansi (0,889) > 0,005 maka H1 ditolak. Data tersebut menunjukkan
bahwa tidak adanya atau tidak terdapat interaksi antara kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa dengan model pembelajaran
terhadap keterampilan argumentasi siswa pada materi laju reaksi. Berdasarkan kesimpulan yang tertera pada tabel 5, dapat
diartikan bahwa adanya perbedaan kemampuan awal siswa pada kelas eksperimen maupun siswa pada kelas kontrol tidak
berpengaruh terhadap penerapan model pembelajaran dan pendekatan yang dipilih dalam melatihkan keterampilan argumentasi
pada materi laju reaksi.
SIMPULAN
Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan analisis data dan pembahasan pada penelitian ini adalah (1) terdapat
perbedaan signifikan pemahaman konsep siswa yang mengikuti pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM dan
siswa yang hanya mengikuti pembelajaran inkuiri pada materi laju reaksi; (2) terdapat perbedaan signifikan pemahaman konsep
siswa ditnjau dari perbedaan kemampuan awal yang dibelajarkan menggunakan model inkuri terbimbing dengan pendekatan
STEM dan model inkuiri terbimbing pada materi laju reaksi; (3) tidak adanya atau tidak terdapat interaksi antara model
pembelajaran dan kemampuan awal terhadap pemahaman konsep siswa pada materi laju reaksi; (4) terdapat perbedaan
signifikan keterampilan argumentasi siswa yang mengikuti pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM dan
siswa yang hanya mengikuti pembelajaran inkuiri terbimbing pada materi laju reaksi; (5) terdapat perbedaan signifikan
keterampilan argumentasi siswa ditinjau dari perbedaan kemampuan awal yang dibelajarkan menggunakan model inkuri
terbimbing dengan pendekatan STEM dan model inkuiri terbimbing pada materi laju reaksi; (6) tidak adanya interaksi antara
model pembelajaran dan kemampuan awal terhadap keterampilan argumentasi siswa pada materi laju reaksi.
Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dijabarkan dan kesimpulan yang telah didapat maka saran yang dapat peneliti
usulkan adalah (1) pembelajaran kimianya hendaknya tidak hanya bertujuan untuk memahamai satu konsep, namun juga tidak
lepas dari suatu kegiatan yang dapat melatihkan keterampilan argumentasi; (2) perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait
implementasi model pembelajaran inkuiri terbimbing yang disertai dengan pendekatan STEM terhadap hasil keterampilan
argumentasi ilmiah rendah atau pemahaman konsep rendah pada indikator pembelajaran tertentu.
DAFTAR RUJUKAN
Abraham, M. R., Williamson, V. M., & Westbrook, S. L. (1994). A Cross-Age Study of the Understanding of Five Chemistry
Concepts. Journal of Research and Science Teaching, 147-165.
Adnyana, G. P. (2012). Keterampilan Berpikir Kritis dan Pemahaman Konsep Siswa pada Model Siklus Belajar Hipotesis
Deduktif. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Jilid 45 Nomor 3, 45(3), 201-209.
Alemdar, M. C., Criswell, B. A., & Rushton, G. T. (2018). Evaluation of a Noyce program: Development of Teacher Leaders in
STEM Education. Evaluation and Program Planning, 71, 1-11.
Anjarsari, P. (2014). Literasi Sains dalam Kurikulum dan Pembelajaran IPA SMP. Prosiding Semnas Pensa VI "Peran Literasi
Sains". Surabaya.
Arikunto, S. (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Bekiroglu, F., Eskin, H. (2012). Examination of the Relationship between Engagement in Scientific Argumentation and
Conceptual Knowledge. International Journal of Science and Mathematics Education, 10, 1415-1443
Belland, B. R. (2010). Portraits of Middle School Students Constructing Evidence-based Arguments during Problem-based
Learning: The Impact of Computer-based Scaffolds. Educational Technology Research and Development, 58(3), 285–
309.
Berland, L. K., & Reiser, B. J. (2009). Classroom Communities Adaptations of the Practice of Scientific Argumentation.
Science Education, 95(2), 191-216.
Paramita, Yahmin, Dasna, Pembelajaran Inkuiri Terbimbing… 1660
Berland, L. K., & Steingut, R. (2016). Explaining Variation in Student Efforts Towards Using Math and Science Knowledge in
Engineering Contexts. International Journal of Science Education, 38(18), 2742–2761.
Boesdorfer, S. B. (2017). Is Engineering Inspiring Change in Secondary Chemistry Teachers’ Practices? Journal of Science
Teacher Education, 28(7), 609-630.
Boujaoude, S. (2002). Balance of Scientific Literacy Themes in Science Curricula: The Case of Lebanon. International Journal
of Science Education, 24(2), 139-156.
Budiarto, I. D. (2015). Pengaruh Pendekatan Perubahan Konseptual dengan Menggunakan Strategi POE Berbantuan Analogi
terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA pada Materi Laju Reaksi. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Negeri
Malang, Malang.
Bybee, R. W. (2010). Advancing STEM Education: A 2020 Vision. Technology and Engineering Teacher, 70(1), 30-35.
Cahyarini, A. (2015). Pengaruh Model Pembelajaran Learning Cycle 5E Berkonteks Socioscientific Issues (SSI) terhadap
Penguasaan Konsep dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Pada Materi Asam Basa. Tesis tidak diterbitkan.
Universitas Negeri Malang, Malang.
Cetin, P. S. (2014). Explicit Argumentation Instruction to Facilitate Conceptual Understanding and Argumentation Skills.
Research in Science & Technological Education, 32(1), 1-20.
Chandrasegaran, A. L., Treagust, D. F., & Mocerino, M. (2007). The Development of a Two-Tier Multiple Diagnostic
Instrument for Evaluating Secondary School Students' Ability to Describe and Explanain Chemical Reactions Using
Multiple Levels of Representation. Chemistry Education Research and Practice, 8(3), 293-307.
Chang, R., & Overby, J. (2011). General Chemistry the Essential Concepts (Sixth Edition). New York: McGraw-Hill.
Chien, P. L., & Lajium, D. A. (2016). The Effectiveness of Science, Technology, Engineering and Mathematics (STEM)
Learning Approach among Secondary School. International Conference on Education and Psychology. Kota Kinabalu,
Sabah, Malaysia: Research Gate.
Creswell, J. W. (2012). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research
(Fourth Edition). Boston: Pearson Education.
Cross, D., Taasoobshirazi, G., Hendricks, S., & Hickey, D. T. (2008). Argumentation: A Strategy for Improving Achievement
and Revealing Scientific Identities. International Journal of Science Education, 30(6), 837-861.
Cuevas, P., Lee, O., Hart, J., & Deaktor, R. (2005). Improving Science Inquiry with Elementary Students of Diverse
Backgrounds. Journal of Research in Science Teaching, 42, 337–357.
Devetak, I., Lorber, E. D., Jurisevic, M., & Glazar, S. A. (2009). Comparing Slovenian Year 8 and Year 9 Elementary School
Pupils’ Knowledge of Electrolyte Chemistry and Their Intrinsic Motivation. Chemistry Education Research and
Practice, 10(4), 281-290.
Devi, N. D., Susanti, E., & Indriyanti, N. Y. (2018). Analisis Kemampuan Argumentasi Siswa SMA pada Materi Larutan
Penyangga. Jurnal Kimia dan Pendidikan Kimia, 3(3), 152-159.
Driver, R., Newton, P., & Osborne, J. (2000). Establishing the Norms of Scientific Argumentation in Clasrooms. Science
Education, 84, 287-312.
Duschl, R. A. (2016). Quality Argumentation and Epistemic Criteria. In Erduran, Sibel, Jiménez-Aleixandre, & M. Pilar,
Argumentation in science education: Perspectives from (pp. 59-175). Dordrecht, Netherlands: Springer.
Effendy. (2002). Upaya untuk Mengatasi Kesalahan Konsep dalam Pembelajaran Kimia dengan Menggunakan Strategi Konflik
Kognitif. Media Komunikasi Kimia, 2(6), 1-21.
Effendy. (2016). Ilmu Kimia untuk Siswa SMA dan MA Kelas X. Malang: Indonesian Academic Publishing.
Ercan, S., Bozkurt, A. E., & Tastan, B. (2016). Integrating GIS into Science Classes to Handles STEM Education. Journal of
Turkish Science Education, 13, 30-43.
Erduran, S., & Pabuccu, A. (2015). Promoting Argumentation in the Context of Chemistry Stories. In Relevant Chemistry
Education-From Theory to Practice (pp. 143-161). Sense Publisher.
Erduran, S., Simone, S., & Osborne, J. (2004). Tapping into Argumentation: Developments in the Application of Toulmin's
Argument Pattern for Studying Science Discourse. Wiley Periodicals, 88(6), 915-933.
Farida, I., & Gusniarti, W. F. (2014). Profil Keterampilan Argumentasi Siswa Pada Konsep Koloid yang Dikembangkan melalui
Pembelajaran Inkuiri Argumentatif. EDUSAINS, 6(1), 32-40.
Firman, H. (2016). Pendidikan STEM sebagai Kerangka Inovasi Pembelajaran Kimia untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa
dalam Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Seminar Nasional dan Pembelajarannya (pp. 1-6). Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Negeri Surabaya.
Gabel, D. L., Samuel, K. V., & Hunn, D. (1994). Research on Problem Solving: Chemistry. Handbook of Research on Science
Teaching and Learning , 301-326.
Ginanjar, W. S., Utari, S., & Muslim. (2015). Penerapan Model Argument-Driven Inquiry dalam Pembelajaran IPA untuk
Meningkatkan Kemampuan Argumentasi Ilmiah Siswa SMP. Jurnal Pengajaran MIPA, 20(1), 32-37.
Gucluer, E. (2012). The Effect of Using Activities Improving Scientific Literacy on Students' Achievement in Science and
Technology Lesson. International Online Journal of Primary Education, 1(1), 8-13.
1661 Jurnal Pendidikan, Vol. 5, No. 11, Bln November, Thn 2020, Hal 1652—1663
Guzey, S. S., Moore, T. J., Harwell, M., & Moreno, M. (2016). STEM Integration in Middle School Life Science: Student
Learning and Attitudes. Journal of Science Education and Technology, 25(4), 550-560.
Hanson, D. M. 2006. Instructor’s Guide to Process-Oriented Guided-Inquiry Learning. Stony Brook University – SUNY:
Pacific Rest 2nd Edition.
Harlen, W., & Qualter, A. (2004). The Teaching of Science in Primary Schools. Great Britain: David Fulton Publisher.
Hathcoc, S., & Dickerson, D. (2014). Scaffolding for Creative Product Possibilities in a Design-Based STEM Activity.
Research Science Education, 45(5), 1-22.
Herawati, R. F., Mulyani, S., & Redjeki, T. (2013). Pembelajaran Kimia Berbasis Multiple Representasi ditinjau dari
Kemampuan Awal Terhadap Prestasi Belajar Laju Reaksi Siswa SMA Negeri I Karanganyar. Jurnal Pendidikan
Kimia, 2(2), 38-43.
Hofstein, A., Eilks, I., & Bybee, R. (2011). Societal Issues and Their Importance for Contemporary Science Education a
Pedagogical Justification and the State-of-the-Art in Israel, Germany, and the USA. International Journal of Science
and Matmhematics Education, 1459-1483.
Holme, T., Luxford, C. J., & Brandriet, A. (2015). Defining Conceptual Understanding in General Chemistry. Journal of
Chemical Education, 1477-1483.
Iskandar, S. M. (2011). Pendekatan Pembelajaran Sains berbasis Konstruktivis. Malang: Bayumedia Publishing.
Kang , J., & Keinonen, T. (2017). The Effect of Student-Centered Approaches on Students Interest and Achievement in
Science: Relevant Topic-Based, Open and Guided Inquiry-Based,and Discussion-Based Approaches. Research Science
Education.
Kang, N. H. (2019). A Review of The Effect of Integrated STEM or STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and
Mathematics) Education in South Korea. Asia-Pacific Science Education, 5(6), 1-22.
Katchevich, D., Hofstein, A., & Mamlok, R. (2011). Argumentation in the Chemistry Laboratory: Inquiry and Confirmatory
Experiments. Research in Science Education, 43(1).
Kelley, T., & Knowless, J. G. (2016). A Conceptual Framework for Integrated STEM Education. International of STEM
Education, 3(11).
Kemendikbud. (2017). Model Silabus Mata Pelajaran Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). Jakarta.
King, D. (2012). New Perspectives on Context-Based Chemistry Education: Using Dialectical Sociocultural Approach to View
Teaching and Learning. Studies in Science Education, 48(1), 51-87.
Kock, Z. J., & Gravemeijer, K. (2015). Creating a Culture of Inquiry in the Classroom while Fostering an Understanding of
Theoritical Concepts in Direct Current Electric Circuits: A Balanced Approach. International Journal of Science and
Mathematics Education, 13, 45-69.
Koksal, E., & Berberoglu, G. (2012). The Effect of Guided-inquiry Instruction on 6th Grade Turkish Students’ Achievement.
Science Process Skills, and Attitudes Toward Science. International Journal of Science Education, 36(1), 66–78.
Kolomuc, A., & Tekin, S. (2011). Chemistry Teachers' Misconceptions Concerning Concept of Chemical Reaction Rate.
Eurasioan Journal of Physics and Chemistry Education, 3(2), 84-101.
Kuhn, D. (1993). Science as Argument: Implications for Teaching and Learning Scientific Thingking. Science Education, 77(3),
319-337.
Kuhn, D., & Udell, W. (2007). Coordinating Own and Other Perspective in Argument. Thingking and Reasoning, 13(2), 90-
104.
Kurt, S., & Ayas, A. (2012). Improving Students' Understanding and Explaining Real Life Problems on Concepts of Reaction
Rate by Using A Four Step Constructivist Approach. Energy Education Science and Technology Part B: Social and
Educational Studies, 4(2), 979-992.
Lang, H. R., & Evan, D. N. (2006). Model, Strategies, and Methods for Effective Teaching. Boston: Pearson Education.
Lederman, N. G., Lederman, J. S., & Antink, A. (2013). Nature of Science and Scientific Inquiry as Contexts for the Learning
of Science and Achievement of Scientific Literacy. International Journal of Education in Mathematics, Science,
Technology, 138-147.
Lin, Y.-R., & Hung, J.-F. (2016). The Analysis and Reconciliation of Students’ Rebuttals in Argumentation Activities.
International Journal of Science Education, 38(1), 130-155.
Liu, H.-C., Andre, T., & Greenbowe, T. (2008). The Impact of Learner's Prior Knowledge on Their Use of Chemistry Computer
Simulations: A Case Study. Journal of Science Education and Technology, 17(5), 466-482.
Liu, Q.-T., Liu, B.-W., & Lin, Y.-R. (2018). The Influence of Prior Knowledge and Collaborative Online Learning Environment
on Students Argumentations in Descriptive and Theoretical Scientific Concept. International Journal of Science
Education, 41(2), 165-187.
Miller, J. D. (1983). Scientific Literacy: A Conceptual and Empirical Review. Cambridge: The MIT Press.
Musya'idah, Effendy, & Santoso, A. (2016). POGIL, Analogi Model FAR, KBI dan Laju Reaksi. Prosiding Seminar Nasional
Pendidikan IPA Pascasarjana UM, (pp. 671-680). Malang.
Nakhleh, M. B. (1992). Why Some Students Don't Learn Chemistry: Chemical Misconceptions. Journal of Chemical
Education, 69(3), 191-195.
Paramita, Yahmin, Dasna, Pembelajaran Inkuiri Terbimbing… 1662
National Research Council. (2012). A Frame Work for K-12 Science Education Practices, Crosscutting Concept, and Core
Ideas. United States of America: National Academy of Sciences.
Ngertini, N., Sadia, W., & Yudana, M. (2013). Pengaruh Implementasi Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Terhadap
Kemampuan Pemahaman Konsep dan Literasi Sains Siswa Kelas X SMA PGRI 1 Amlapura. e-Journal Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 4, 1-11.
Norris, S., Phillips, L., & Osborne, J.(2007). Scientific Inquiry: The Place of Interpretation and Argumentation. In I. J. Luft, &
J. Gess, Science as Inquiry in Secondary Setting. Arlington: VA: NSTA Press.
Nugraheni, N. C., & Paidi. (2017). Kemampuan Literasi Sains Kelas X SMA Negeri Mata Pelajaran Biologi Berdasarkan
Topografi Wilayah Gunungkidul. Jurnal Prodi Pendidikan Biologi, 6(5), 261-270.
Nurabaya, C. B. (2019). Perubahan Konseptual dan Literasi Saintifik melalui Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Program
STEM pada Materi Fluida Dinamis di SMA Negeri 9 Malang. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Negeri Malang,
Malang.
Odja, A. H., & Payu, C. S. (2014). Analisis Kemampuan Awal Literasi Sains Siswa pada Konsep IPA. Prosiding Seminar
Nasional Kimi, ISBN: 978-602-0951-00-3. Surabaya: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya.
Ogan-Bekiroglu, F., & Eskin, H. (2012). Examination of The Relationship between Engagement in Scientific Argumentation
and Conceptual Knowledge. International Journal of Science and Mathematics Education, 10(6), 1415-1443.
Osborne, J. F., Erduran, S., & Simon, S. (2004). Enhancing the Quality of Argumentation in School Science. Journal of
Research in Science Teaching, 41(10), 994–1020.
Pakpahan, R. (2016). Faktor-faktor yang Memengaruhi Capaian Literasi Matematika Siswa dalam PISA 2012. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, 1(3), 331-347. https://doi.org/10.24832/jpnk.v1i3.496
Pedaste, M., Maeouts, M., Siiman, L. A., de Jong, T., & Tsourlidaki, E. (2015). Phases of Inquiry-Based Learning: Definitions
and the Inquiry Cycle. Educational Research Review, 14, 47-61. https://doi.org/10.1016/j.edurev.2015.02.003
Permanasari, A. (2016). STEM Education: Inovasi dalam Pembelajaran Sains. Seminar Nasional Pendidikan Sains. Surakarta:
SNPS Universitas Sebelas Maret.
Pratiwi, Y. N. (2015). Pengaruh Pembelajaran Kimia dalam Konteks Socioscientific Issue (SSI) terhadap Keterampilan
Berargumentasi, Keterampilan Berpikir Kritis, dan Penguasaan Konsep Laju Reaksi Siswa Kelas XI SMA. Tesis tidak
diterbitkan. Universitas Negeri Malang, Malang.
Puspitasari, I. D., & Permanasari, A. (2012). Analisis Pemahaman Konsep dan Kesulitan Mahasiswa untuk Pengembangan
Program Perkuliahan Dasar-dasar Kimia Analitik Berbasis Problem Solving. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia, 98-
101.
Rahayu, S. (2014). Menuju Masyarakat Berliterasi Sains: Harapan dan Tantangan Kurikulum 2013 . Prosiding Seminar
Nasional Kimia dan Pembelajarannya (SNKP) (pp. 27-39). Malang: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri
Malang.
Rahayu, S. (2017). Mengoptimalkan Aspek Literasi dalam Pembelajaran Kimia Abad 21. Prosiding Seminar Nasional Kimia
UNY. Yogyakarta.
Reeve, E. M. (2015). Science, Technology, Engineering & Mathematics (STEM) Education is Here to Stay. Thailand STEM
Festival. Thailand: International Technology and Engineering Educators Association.
Rizkiana, F., Dasna, I. W., & Marfu'ah, S. (2016). Pengaruh Praktikum dan Demonstrasi dalam Pembelajaran Inkuiri
Terbimbing terhadap Motivasi Belajar Siswa pada Materi Asam Basa Ditinjau dari Kemampuan Awal. Jurnal
Pendidikan Volume 1 Nomor 3, 354-362.
Rusmayanti, M. I. (2018). Pengaruh Strategi Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan SETS (Science,
Environtment, Technology, and Society) terhadap Keterampilan Proses Sains dan Scientific Argumentation pada
Materi Laju Reaksi. Tesis tidak ditebitkan. Universitas Negeri Malang, Malang.
Sadeh, I., & Zion, M. (2012). Which Type of Inquiry Project Do High School Biology Students Prefer: Open or Guided?
Research in Science Education, 42, 831–848.
Sadler, T. D. (2006). Promoting Discourse and Argumentation in Science Teacher Education. Journal of Science Teacher
Education, 17, 323–346.
Sampson, V., & Gerbino, F. (2010). Two Instructional Models That Teachers Can Use to Promote and Support Scientific
Argumentation in the Biology Classroom. The American Biology Teacher, 427-431.
Sampurno, P. J., Sari, Y. A., & Wijaya, A. D. (2015). Integrating STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematcis) and
Disaster (STEM-D) Education for Building Students' Disaster Literacy. International Journal of Learning and
Teaching, 1(1), 73-76.
Septiyani, N. R. (2018). Implementasi Pendekatan Pembelajaran STEM untuk Meningkatkan Skill Argumentasi pada Siswa
SMA. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Shahali, E. H., Halim, L., Rasul, M. S., Osman, K., & Zulkifeli, M. A. (2017). STEM Learning through Enginering Design:
Impact on Middle Secondary Students' Interest Towards STEM. EURASIA Journal of Mathematics Science and
Technology Education, 13(5), 1189-1211.
1663 Jurnal Pendidikan, Vol. 5, No. 11, Bln November, Thn 2020, Hal 1652—1663
Siekmann, G. (2016). What is STEM? The Need for Unpacking its Definitions and Applications. National Centre for Vocational
Educational Research.
Siswanto, Kaniawati, I., & Suhandi, A. (2014). Implementation of Generate Argument Instructional Model Using Scientific
Method to Increase the Cognitive Abilities and Argumentation Skills of Senior High School Students. Jurnal
Pendidikan Fisika Indonesia, 10(2), 104-116.
Slavin, R. E. (2008). Cooperative Learning, Succes for All, and Evidence-based Reform in Education. Education et Didacti,
2(2), 149-157.
Stohlmann, M., Moore, T. J., & Roehrig, G. H. (2012). Considerations for Teaching Integrated STEM Education. Journal of
Pre-College Engineering Education Research (J-PEER), 2(1), 28-34.
Subekti, Y. (2018). Pengaruh Model Pembelajaran Argument-Driven Inquiry (ADI) Berbasis Konteks terhadap Keterampilan
Argumentasi dan Pemahaman Konsep Siswa pada Materi Termokimia. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Negeri
Malang, Malang.
Sudjana, N. (2006). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (Cetakan Kesebelas). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sumantri, M., & Permana, J. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Maulana.
Supasorn, S., & Promarak, V. (2015). Implementation of 5E Inquiry Incorporated with Analogy Learning Approach to
Enchance Conceptual Understanding of Chemical Reaction Rate for Grade 11 Students. Chemistry Education
Research and Practice, 16(1), 121-132.
Sutarto, H. (2018). Lingkungan dalam Pembelajaran dan Pengajaran Matematika yang Memunculkan 4C Ability sebagai
Penyiapan SDM Unggul di Era Revolusi Industri 4.0. Semarang: Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2018.
Tahir, S., & Anwar, S. (2018). How to Develop Student Creativity Through Teaching Materials of Reaction Rate STEM-Based?
International Conference on Mathematics and Science Education of Universitas Pendidikan Indonesia, 3, 384-388.
Talanquer, V. 2010. Macro, Submicro, and Symbolic: The Many Faces of the Chemistry "Triplet". International Journal of
Science Education, 33(2), 179-195.
Thien, L. M., Darmawan, I. N., & Ong, M. Y. (2015). Affective Characteristics and Mathematics Performance in Indonesia,
Malaysia, and Thailand: What Can PISA 2012 data Tell Us? Large-scale Assesments in Education.
Tseng, C.-H., Tuan, H.-L., & Chin, C. C. (2013). How to Help Teachers Develop Inquiry Teaching: Perspectives from
Experienced Science Teachers. Research Science Education, 43(2), 809–825.
Tytler, R., Prain, V., & Hobbs, L. (2019). Rethinking Disciplinary Links in Interdisciplinary STEM Learning: A Temporal
Model. Research in Science Education.
Uswatun, D. A., & Rohaeti, E. (2015). Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Inkuiri untuk Meningkatkan Critical Thinking dan
Scientific Attitude Siswa. Jurnal Inovasi Pendidikan IPA, 1(2), 138-152. https://doi.org/10.21831/jipi.v1i2.7498
Von, A. C., Erduran, S., & Osborne, J. (2007). Arguing to Learn and Learning to Argue: Case Studies of How Students
Argumentation Relates to Their Scientific Knowledge. Journal of Research in Science Teaching, 45(1), 101-131.
Wahdan, W. Z., Sulistina, O., & Sukarianingsih, D. (2017). Analisis Kemampuan Berargumentasi Ilmiah Materi Ikatan Kimia
Peserta Didik SMA, MAN, dan Perguruan Tinggi Tingkat I. Jurnal Pembelajaran Kimia, 2(2), 30-40.
Wahyuni, G. (2019). Pengaruh Model Pembelajaran Learning Cycle 5E (LC 5E) dengan Analogi terhadap Pemahaman
Konsep dan Keterampilan Argumentasi Ilmiah Siswa pada Pokok Bahasan Laju Reaksi. Tesis tidak diterbitkan,
Universitas Negeri Malang, Malang.
Wang, J., & Buck, G. A. (2016). Understanding a High School Physics Teacher’s Pedagogical Content Knowledge of
Argumentation. Journal of Science Teacher Education, 27(5), 577-604.
Wenning, C. J. (2005). Levels of Inquiry: Hirerarchies of Pedagogical Practices and Inquiry Process. Journal of Physics
Teacher Education Online, 2(3), 3-11.
Widayoko, A. (2018). Pengembangan Bahan Ajar Fisika SMA Terintegrasi STEM (Science, Technology, Engineering, and
Mathematichs) untuk Meningkatkan Literasi Saintifik Siswa pada Materi Impuls dan Momentum. Tesis tidak
diterbitkan. Universitas Negeri Malang, Malang.
Yu, W. F., She, H. C., & Lee, Y. M. (2010). The Effects of a Web-based/non Web-based Problem Solving Instruction and
High/low Achievement on Students’ Problem Solving Ability and Biology Achievement. Innovations in Education
and Teaching International, 47(2), 187–199.
Yuliana, A. S. (2019). Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Learning Cycle 7E-STEM untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Siswa pada Materi Suhu dan Kalor. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Negeri Malang, Malang.
Yuliati, Y. (2017). Literasi Sains dalam Pembelajaran IPA. Jurnal Cakrawala Pendidikan Dasar, 3(2), 21-28.
Zacharia, Z. (2003). Belief, Attitudes, and Intentions of Science Teachers Regarding the Educational Use of Computer
Simulations and Inquiry-based Experiments in Physic. Journal of Research in Science Teaching, 40(8), 792–823.
Zohar, A., & Dori, Y. (2003). Higher Order Thinking Skills and Low Achieving Students: Are they Mutually Exclusive? The
Journal of the Learning Sciences, 12(2), 145–181.