halaman: pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan

12
1652 Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) untuk Pemahaman Konsep dan Keterampilan Argumentasi Siswa SMA pada Materi Laju Reaksi Astrid Kinantya Paramita 1 , Yahmin 1 , I Wayan Dasna 1 1 Pendidikan Kimia-Universitas Negeri Malang INFO ARTIKEL ABSTRAK Riwayat Artikel: Diterima: 20-02-2020 Disetujui: 30-11-2020 Abstract: Argumentation is an important activity in scientific exploration which has been agreed as a major component in science education. Quality argumentation skills are formed with the understanding of concepts owned by students. The current low level of argumentation skills is caused by the learning process. Application of guided inquiry learning with the STEM approach is expected to provide space to practice arguments based on the results of the constructs of students' concepts during learning. The results of the study stated that differences in initial abilities, the application of guided inquiry with the STEM approach affect the concepts understanding and argumentation skills of students. Also there is no interaction, between models and learning approaches and initial abilities towards understanding concepts and argumentation skills. Abstrak: Argumentasi merupakan aktivitas penting pada eksplorasi ilmiah yang telah disepakati sebagai komponen utama dalam pendidikan sains. Keterampilan argumentasi yang berkualitas dibentuk dengan modal pemahaman konsep yang dimiliki siswa. Rendahnya keterampilan argumentasi saat ini salah satunya disebabkan oleh proses pembelajaran. Penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM diharapkan dapat menyediakan ruang untuk melatih argumentasi berdasarkan hasil konstruk konsep siswa selama pembelajaran. Hasil penelitian menyatakan bahwa perbedaan kemampuan awal, penerapan inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM berpengaruh terhadap pemahaman konsep dan keterampilan argumentasi siswa namun tidak ditemukan adanya interaksi antara model maupun pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal terhadap keterampilan argumentasi dan pemahaman konsep. Kata kunci: argumentation skills; concept understanding; guided inquiry; keterampilan argumentasi; pemahaman konsep; inkuiri terbimbing Alamat Korespondensi: Astrid Kinantya Paramita Pendidikan Kimia Universitas Negeri Malang Jalan Semarang 5 Malang E-mail: [email protected] Pada era industri 4.0, tujuan pendidikan adalah suplai sumber daya manusia unggul yang dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan abad 21 dan tantangan perkembangan teknologi (Sutarto, 2018). Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, dibutuhkan beberapa keterampilan khusus yang relevan termasuk keterampilan argumentasi. Argumentasi adalah aktivitas penting yang melekat dalam proses eksplorasi ilmiah (Osborne, Erduran, & Simon, 2004). Mendukung hal tersebut, sebagian besar tenaga pendidik telah sepakat bahwa argumentasi merupakan komponen utama dalam pendidikan sains (Cetin, 2014). Seiring dengan banyaknya penelitian terkait argumentasi, ditemukan bahwa keterampilan argumentasi erat kaitannya dengan pemahaman konsep yang dimiliki siswa. Beberapa peneliti berhipotesis bahwa pemahaman konsep siswa akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas argumen yang dibangun (Cetin, 2014). Realita yang ditemui, sebagian guru sains tidak memiliki cukup perhatian terkait pentingnya argumentasi (Zohar, 2003). Hal tersebut terlihat dari diskusi kelas yang sebagian besar didominasi oleh monolog guru dengan sedikit kesempatan bagi siswa untuk terlibat dalam argumentasi dialogis (Duschl, 2016). Penelitian terkini lainnya terkait argumentasi menunjukkan bahwa siswa hanya mampu berdebat tanpa menyajikan bukti-bukti untuk mendukung gagasan mereka (Subekti, 2018). Pada penelitian dengan acuan tingkatan tertinggi argumentasi berada pada level 4, diketahui sebagian besar siswa masih berada pada tingkat argumentasi level 1 (Devi, Susanti, & Indriyanti, 2018). Pada argumentasi level 1, siswa hanya mengemukakan klaim berupa kesimpulan yang dibangun berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya (Von, Erduran, & Osborne, 2007). Tersedia secara online http://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/ EISSN: 2502-471X DOAJ-SHERPA/RoMEO-Google Scholar-IPI Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan Volume: 5 Nomor: 11 Bulan November Tahun 2020 Halaman: 1652—1663

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Halaman: Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan

1652

Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan

STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics)

untuk Pemahaman Konsep dan Keterampilan Argumentasi

Siswa SMA pada Materi Laju Reaksi

Astrid Kinantya Paramita1, Yahmin1, I Wayan Dasna1 1Pendidikan Kimia-Universitas Negeri Malang

INFO ARTIKEL ABSTRAK

Riwayat Artikel:

Diterima: 20-02-2020

Disetujui: 30-11-2020

Abstract: Argumentation is an important activity in scientific exploration which has

been agreed as a major component in science education. Quality argumentation skills

are formed with the understanding of concepts owned by students. The current low level

of argumentation skills is caused by the learning process. Application of guided inquiry

learning with the STEM approach is expected to provide space to practice arguments

based on the results of the constructs of students' concepts during learning. The results

of the study stated that differences in initial abilities, the application of guided inquiry

with the STEM approach affect the concepts understanding and argumentation skills of

students. Also there is no interaction, between models and learning approaches and

initial abilities towards understanding concepts and argumentation skills.

Abstrak: Argumentasi merupakan aktivitas penting pada eksplorasi ilmiah yang telah

disepakati sebagai komponen utama dalam pendidikan sains. Keterampilan argumentasi

yang berkualitas dibentuk dengan modal pemahaman konsep yang dimiliki siswa.

Rendahnya keterampilan argumentasi saat ini salah satunya disebabkan oleh proses

pembelajaran. Penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan

STEM diharapkan dapat menyediakan ruang untuk melatih argumentasi berdasarkan

hasil konstruk konsep siswa selama pembelajaran. Hasil penelitian menyatakan bahwa

perbedaan kemampuan awal, penerapan inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM

berpengaruh terhadap pemahaman konsep dan keterampilan argumentasi siswa namun

tidak ditemukan adanya interaksi antara model maupun pendekatan pembelajaran dan

kemampuan awal terhadap keterampilan argumentasi dan pemahaman konsep.

Kata kunci:

argumentation skills;

concept understanding;

guided inquiry;

keterampilan argumentasi;

pemahaman konsep;

inkuiri terbimbing

Alamat Korespondensi:

Astrid Kinantya Paramita

Pendidikan Kimia

Universitas Negeri Malang

Jalan Semarang 5 Malang

E-mail: [email protected]

Pada era industri 4.0, tujuan pendidikan adalah suplai sumber daya manusia unggul yang dapat menyesuaikan diri dengan

kebutuhan abad 21 dan tantangan perkembangan teknologi (Sutarto, 2018). Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut,

dibutuhkan beberapa keterampilan khusus yang relevan termasuk keterampilan argumentasi. Argumentasi adalah aktivitas

penting yang melekat dalam proses eksplorasi ilmiah (Osborne, Erduran, & Simon, 2004). Mendukung hal tersebut, sebagian

besar tenaga pendidik telah sepakat bahwa argumentasi merupakan komponen utama dalam pendidikan sains (Cetin, 2014).

Seiring dengan banyaknya penelitian terkait argumentasi, ditemukan bahwa keterampilan argumentasi erat kaitannya dengan

pemahaman konsep yang dimiliki siswa. Beberapa peneliti berhipotesis bahwa pemahaman konsep siswa akan berpengaruh

terhadap kuantitas dan kualitas argumen yang dibangun (Cetin, 2014).

Realita yang ditemui, sebagian guru sains tidak memiliki cukup perhatian terkait pentingnya argumentasi (Zohar,

2003). Hal tersebut terlihat dari diskusi kelas yang sebagian besar didominasi oleh monolog guru dengan sedikit kesempatan

bagi siswa untuk terlibat dalam argumentasi dialogis (Duschl, 2016). Penelitian terkini lainnya terkait argumentasi

menunjukkan bahwa siswa hanya mampu berdebat tanpa menyajikan bukti-bukti untuk mendukung gagasan mereka (Subekti,

2018). Pada penelitian dengan acuan tingkatan tertinggi argumentasi berada pada level 4, diketahui sebagian besar siswa masih

berada pada tingkat argumentasi level 1 (Devi, Susanti, & Indriyanti, 2018). Pada argumentasi level 1, siswa hanya

mengemukakan klaim berupa kesimpulan yang dibangun berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya (Von, Erduran, & Osborne,

2007).

Tersedia secara online

http://journal.um.ac.id/index.php/jptpp/

EISSN: 2502-471X

DOAJ-SHERPA/RoMEO-Google Scholar-IPI

Jurnal Pendidikan:

Teori, Penelitian, dan Pengembangan

Volume: 5 Nomor: 11 Bulan November Tahun 2020

Halaman: 1652—1663

Page 2: Halaman: Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan

1653 Jurnal Pendidikan, Vol. 5, No. 11, Bln November, Thn 2020, Hal 1652—1663

Salah satu faktor yang merupakan penyebab terhadap rendahnya keterampilan argumentasi dan pemahaman konsep

siswa yaitu proses pembelajaran. Proses pembelajaran lebih terfokus pada pelaksanaan transfer pengetahuan dengan metode

ceramah dan peningkatan pemahaman konsep dilakukan dengan pemberian latihan soal. Selain proses pembelajaran,

pemahaman konsep maupun keterampilan argumentasi juga dipengaruhi oleh kemampuan awal siswa. Dalam kaitannya dengan

keterampilan argumentasi, kemampuan awal dianggap sebagai modal untuk menghasilkan argumen yang berkualitas saat siswa

terlibat dalam argumentasi (Ogan-Bekiroglu & Eskin, 2012). Hal tersebut sejalan dengan berpengaruhnya kemampuan awal

terhadap pemahaman atau konstruksi pengetahuan (konsep) siswa (Lin & Hung, 2016). Pentingnya argumentasi dan

pemahaman konsep juga tentunya merupakan tujuan dari pembelajaran kimia yang merupakan central of science (Boujaoude,

2002). Diantara materi kimia yang dipelajari di SMA salah satunya yaitu materi tentang Laju Reaksi. Konsep-konsep yang

abstrak, terdefinisi, hitungan matematis serta grafik terlibat dalam materi tersebut. Hal-hal mikroskopis yang dipelajari pada

materi laju reaksi menyebabkan siswa sulit untuk mengerti dan cenderung hanya menghafal teori tanpa memahaminya

(Herawati, Mulyani, & Redjeki, 2013). Permasalahan-permasalahan tersebut berdampak pada pembelajaran laju reaksi yang

seharusnya dapat menjadi ajang melatih pemahaman konsep dan keterampilan argumentasi siswa menjadi tidak

terimplementasikan dengan baik.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka urgensi dari penelitian ini terkait rendahnya keterampilan argumentasi

dan pemahaman konsep siswa. Upaya guru sebagai pendidik dalam menyediakan lebih banyak kesempatan untuk terlibat dalam

argumentasi ilmiah (Sampson & Gerbino, 2010) serta peningkatan kualitas proses pembelajaran diharapkan efektif untuk

menumbuh kembangkan pemahaman konsep siswa saat mengonstruk pengetahuannya. Adapun alternatif solusi yang digunakan

yaitu dengan penerapan model pembelajaran berbasis konstruktivis. Hal tersebut mempertimbangkan pendapat Kurt dan Ayas

(2012) yang menyatakan bahwa dengan teori konstruktivis, setiap siswa secara aktif membangun informasi dalam pikiran maka

proses pembelajaran akan memberikan pengalaman untuk membantu siswa memahami konsep. Salah satu model pembelajaran

berbasis konstruktivis yaitu inkuiri terbimbing (Guided Inquiry). Zacharia (2003) mengklaim pembelajaran inkuiri menggeser

fokus pendidikan sains dari menghafal konsep ilmiah menjadi memahami proses pembentukan pengetahuan.

Pada proses pengimplementasiannya, model pembelajaran inkuiri masih memiliki beberapa kendala. Diantaranya

adalah pembelajaran kurang memiliki relevansi dengan kehidupan nyata. Akibat hal tersebut, Osborne (2004) menggambarkan

inkuiri sebagai pembelajaran yang memberikan jawaban tidak menarik untuk pertanyaan yang tidak pernah diajukan oleh siswa.

Maka sebagai upaya mengatasi hal tersebut, hasil penelitian Kang (2017) menyarankan untuk menghubungkan ilmu sains yang

dipelajari dengan situasi kehidupan nyata pada saat pengimplementasian pembelajaran inkuiri sehingga meningkatkan

ketertarikan siswa. Upaya yang dapat dilakukan adalah memadukan proses pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan

yang menghubungkan antara area yang dikaji dengan masalah aktual dalam kehidupan. Stohlman, Moore, & Roehrig (2012)

mengusulkan STEM sebagai pendekatan yang mampu mengintegrasikan keterampilan serta bersifat kontekstual. STEM yang

bersifat integratif (Permanasari, 2016) juga hadir sebagai pendekatan yang menghubungkan bidang keilmuan sains, teknologi,

teknik, dan matematika kedalam sebuah pembelajaran (Ercan, Bozkurt, & Tastan, 2016) sehingga pembelajaran menjadi lebih

terhubung, fokus, bermakna, dan relevan bagi siswa (Stohlmann, Moore, & Roehrig, 2012).

Pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM akan saling melengkapi karena dalam penerapannya,

pendekatan STEM sangat disarankan untuk menekankan pada pembelajaran berbasis inkuiri (Chien & Lajium, 2016). Diantara

banyaknya perspektif pengintegrasian aktivitas STEM, penelitian ini menggunakan pendapat dari Kelley dan Knowles (2016)

yang menyarankan kerangka konseptual dalam mengintegrasikan pengetahuan STEM seperti sebuah sistem katrol yang

menghasilkan keuntungan mekanis terhadap beban (dalam hal ini pembelajaran dengan pendekatan STEM). Ilustrasi sistem

katrol tersebut menghubungkan pembelajaran STEM, engineering design, penyelidikan sains (scientific inquiry), literasi

teknologi dan matematika sebagai suatu sistem yang terintegrasi. Jika dikaitkan dengan pembelajaran pada materi laju reaksi

yang dilakukan maka integrasi penyelidikan sains akan diperoleh melalui penerapan inkuiri terbimbing sebagai proses untuk

mengonstruk pemahaman siswa. Integrasi dari literasi teknologi adalah dengan penggunaan search enginee untuk

memperdalam konten terkait konsep laju reaksi, misalnya pembuatan lightstick. Aspek matematika dilatihkan dengan

penggunaan proses berpikir logis untuk memecahkan permasalah terkait STEM (misal: ukuran kembang api) dan aspek

engineering design dilakukan dengan mendesain prosedur maupun alat sederhana (misal: pembuatan pendingin sederhana,

prosedur pembuatan bioenzim). Disamping aktivitas STEM tersebut, aspek terkait STEM juga dihadirkan sebagai konteks pada

fenomena untuk tahap orientation dan isu atau permasalahan pada tahap application di LKS.

Fenomena STEM yang berkaitan dengan konsep laju reaksi dimaksudkan agar siswa lebih tertarik untuk mempelajari

konsep tersebut karena relevan dengan kehidupan, misalnya penyajian artikel tentang fenomena terkait teknologi airbag yang

diberikan untuk memacu siswa menemukan konsep terkait adanya perbedaan laju reaksi kimia. Artikel tersebut juga memuat zat

kimia apa yang terlibat dan penjelasan bagaimana kimia melalui teknologi airbag dapat menyelamatkan nyawa. Disamping itu,

contoh lain yang memunculkan isu atau permasalahan terkait aspek STEM adalah mengenai ukuran partikel yang digunakan

oleh produsen kembang api dengan mempertimbangkan aspek keamanan dan dampaknya terhadap kesehatan. Seluruh hal

tersebut dimaksudkan agar tujuan pendidikan STEM dapat tercapai secara maksimal. Selain proses pembelajaran sebagai

variabel bebas digunakan juga kemampuan awal sebagai variabel moderator. Pertimbangan tersebut didasari oleh

dimungkinkannya pengaruh kemampuan awal terhadap pemahamn konsep dan keterampilan argumentasi siswa. Pada penelitian

ini, kemampuan awal yang digunakan adalah terkait penguasaan konsep pada materi sebelumnya, yaitu Termokimia.

Page 3: Halaman: Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan

Paramita, Yahmin, Dasna, Pembelajaran Inkuiri Terbimbing… 1654

METODE

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitan ini adalah quasi

experiment posttest only design faktorial 2x2. Rancangan faktorial 2x2 disajikan pada tabel 1. Purposive Random Sampling

(Creswell, 2012) digunakan sebagai teknik penentuan sampel kemudian diperoleh kelas XI MIPA 4 (kemudian disebut sebagai

kelas kontrol, dengan jumlah siswa sebanyak 36 siswa) dan XI MIPA 3 (kemudian disebut sebagai kelas eksperimen, dengan

jumlah siswa sebanyak 33 siswa) sebagai sampel.

Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen yang dibedakan berdasarkan tujuannya yaitu meliputi instrumen

pengukuran dan instrumen perlakuan. Instrumen perlakuan terdiri dari (1) RPP (2) LKS, adapun instrumen pengukuran terdiri

dari (1) tes keterampilan argumentasi yang memiliki validasi isi 82,91 dengan kriteria sangat baik dan koefisien reliabilitas

0,807 dengan kriteria tinggi, (2) tes pemahaman konsep yang memiliki validasi isi 81,42 dengan kriteria sangat baik dan

koefisien reliabilitas 0,843 dengan kriteria tinggi. Kemampuan awal digunakan sebagai variabel moderator mengingat

dimungkinkan pengaruhnya terhadap pemahaman konsep maupun keterampilan argumentasi siswa. Sebagai langkah awal

dilakukan uji prasyarat dan uji kesamaan rata-rata (uji t) terhadap data kemampuan awal siswa dikedua kelas. Berdasarkan data

kemampuan awal yang diperoleh, siswa selanjutnya dibedakan menjadi siswa dengan kemampuan awal tinggi dan siswa dengan

kemampuan awal rendah. Analisis data penelitian berupa skor pemahaman konsep dan keterampilan argumentasi dilakukan

dengan dua tahapan yaitu uji prasyarat (terdiri dari uji normalitas, uji homogenitas) dan uji hipotesis.

HASIL

Deskripsi dan Analisis Kemampuan Awal Siswa

Untuk membuktikan bahwa rata-rata tingkat kemampuan awal yang dimiliki siswa di kedua kelas adalah sama maka

dilakukan uji prasayarat (uji homogenitas, uji normalitas) yang setelahnya diikuti dengan uji kesamaan rata-rata. Kolmogorov-

Smirnov Test yang digunakan untuk analisis normalitas memperoleh nilai signifikansi kelas eksperimen sebesar 0,085 dan kelas

kontrol sebesar 0,064, menunjukkan bahwa kemampuan awal di kedua kelas adalah berdistribusi secara normal. Selain itu, uji

prasyarat berupa Uji Levene digunakan untuk menganalisis homogenitas data kemampuan awal siswa, memperoleh nilai

signifikansi sebesar 0,834 sehingga dapat disimpulkan data kemampuan awal siswa pada kelas kontrol dan eksperimen adalah

homogen. Selanjutnya, uji t (Independent Sample T-Test) yang dilakukan untuk menguji kesamaan rata-rata pada kedua kelas

menyimpulkan tidak ada perbedaan kemampuan awal pada siswa kelas kontrol dan kemampuan awal pada siswa kelas

eksperimen.

Deskripsi dan Analisis Pemahaman Konsep Siswa

Data pemahaman konsep diperoleh melalui tes pemahaman konsep berupa soal pilihan ganda multiple tier yang

dilakukan pada akhir pembelajaran materi laju reaksi. Untuk mengetahui skor pemahaman konsep secara ringkas pada setiap

kelas dapat diamati pada tabel 2. Berdasarkan hasil uji prasyarat disimpulkan bahwa pemahaman konsep siswa pada kelas

eksperimen (yang menerapkan inkuiri terbimbing dipadukan dengan STEM) dan kelas kontrol (yang menerapkan inkuiri

terbimbing) terdistribusi normal dan homogen.

Tabel 2. Kriteria Pemahaman Konsep

Kelas Pemahaman Konsep

Nilai Maksimum Nilai Minimum Rata-rata

Kelas Eksperimen

Kelas Kontrol

95

92,5

72,5

70

83,09

80,12

Setelah mengetahui data pemahaman konsep siswa memiliki varian yang homogen dan terdistribusi normal, maka

dilanjutkan dengan uji hipotesis Anova Two Way dengan taraf signifikan 0,05. Tabel 3 menyajikan hasil uji hipotesis tersebut.

Tabel 3. Uji Hipotesis Pemahaman Konsep Siswa

Source Type III Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Model

Kemampuan

Model * Kemampuan

Error

Total

Corrected Total

183.868

1014.201

13.630

1399.525

461396.750

2592.370

1

1

1

65

69

68

183.868

1014.201

13.630

21.531

8.540

47.104

.633

.005

.000

.429

Page 4: Halaman: Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan

1655 Jurnal Pendidikan, Vol. 5, No. 11, Bln November, Thn 2020, Hal 1652—1663

Deskripsi dan Analisis Keterampilan Argumentasi

Data keterampilan argumentasi siswa diperoleh melalui tes tertulis sebanyak empat soal berbentuk uraian terbuka

mengenai materi laju reaksi. Data perolehan keterampilan argumentasi secara ringkas dapat dilihat pada tabel 4. Berdasarkan

hasil uji prasyarat disimpulkan bahwa pemahaman konsep siswa pada kelas eksperimen (inkuiri terbimbing dipadukan dengan

pendekatan STEM) dan pemahaman konsep siswa pada kelas kontrol (inkuiri terbimbing) adalah terdistribusi normal dan

homogen.

Tabel 4. Perolehan Skor Keterampilan Argumentasi Siswa

Kelas Jumlah Siswa Rata-rata Skor Maksimum Skor Minimum

Eksperimen

Kontrol

33

36

11,54

9,91

15

13

8

6

Setelah mengetahui skor keterampilan argumentasi siswa yang diperoleh adalah terdistribusi normal dan memiliki

varian yang homogen, maka dilanjutkan dengan uji hipotesis Anova Two Way. Tabel 5 menyajikan hasil uji hipotesis tersebut.

Tabel 5. Uji Hipotesis Keterampilan Argumentasi Siswa

Source Type III Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Model

Kemampuan

Model * Kemampuan

Error

Total

Corrected Total

1986.194

2984.458

2.067

6879.340

320000.000

11664.402

1

1

1

65

69

68

1986.194

2984.458

2.067

105.836

18.767

28.199

.020

.000

.000

.889

PEMBAHASAN

Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran pada Kedua Kelas terhadap Pemahaman Konsep

Hasil uji hipotesis ditunjukkan oleh data “Model” pada tabel 3 dengan nilai Fhitung (8,540) lebih besar dari Ftabel (3,98)

dan signifkansi (0,005) < 0,05 sehingga H1 diterima. Data tersebut mengindasikan bahwa terdapat perbedaan pemahaman

konsep antara siswa yang dibelajarkan menggunakan pembelajaran inkuiri terbimbing yang dipadukan dengan pendekatan

STEM dan pembelajaran yang hanya menggunakan inkuiri terbimbing pada materi laju reaksi. Hasil pengelompokkan

berdasarkan kriteria pemahaman konsep, dapat diketahui bahwa siswa dari kelas eksperimen dominan memiliki pemahaman

yang sangat baik dibanding siswa dari kelas kontrol. Hal tersebut mengindikasikan perpaduan antara model pembelajaran

inkuiri dan pendekatan STEM lebih memiliki pengaruh signifikan untuk meningkatkan pemahaman konsep yang dimiliki siswa

dibandingkan menggunakan pembelajaran inkuiri tanpa pendekatan STEM.

Upaya peningkatan terhadap pemahaman konsep siswa dilakukan pada kedua kelas dengan menerapkan pembelajaran

berbasis konstruktivis yaitu inkuiri terbimbing. Pada proses pembelajaran di kelas eksperimen maupun kelas kontrol, secara

tertulis tahapan mengonstruk konsep dilakukan pada LKS di tahap concept formation yang terletak sebelum tahap aplikasi yang

melatih argumentasi siswa. Hal ini dilakukan menurut pertimbangan bahwa untuk dapat terlibat dalam argumentasi, siswa

terlebih dahulu harus paham terhadap konsep materi terkait. Hasil pengerjaan siswa pada LKS, tidak ditemukan perbedaan yang

mencolok antara siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol. Secara umum, masing-masing kelompok di kedua kelas telah

menghasilkan konsep yang sesuai. Oleh karena itu, peneliti berpendapat bahwa adanya perbedaan pemahaman konsep siswa

pada kelas kontrol kemungkinan disebabkan oleh konstruksi atau penguatan konsep yang dibangun saat proses keterampilan

argumentasi dilatihkan. Jumlah siswa yang berhasil mempunyai pemahaman konsep sangat baik pada kelas eksperimen (yang

menerapkan inkuiri terbimbing dipadukan pendekatan STEM) lebih banyak karena permasalahan yang diangkat sebagai

fenomena pada orientation maupun untuk melatihkan keterampilan argumentasi pada tahap aplikasi memiliki relevansi dengan

kehidupan siswa terkait aspek STEM sehingga konsep maupun keterampilan argumentasi siswa menjadi lebih baik.

Kemungkinan lain adalah pada kelas eksperimen, beberapa proyek yang dilakukan terkait penerapan aspek STEM

semakin meningkatkan pemahaman konsep siswa pada materi terkait. Pada pembelajaran inkuiri yang dipadukan dengan

pendekatan STEM, siswa menerapkan aspek engineering khususnya yang berkaitan dengan materi laju reaksi. Beberapa

alternatif rekayasa dihasilkan oleh siswa ditiap kelompoknya, salah satunya adalah penggunaan kendi dan kain basah seperti

yang tertera dan dapat diamati pada gambar 1 sebagai pendingin sederhana.

Page 5: Halaman: Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan

Paramita, Yahmin, Dasna, Pembelajaran Inkuiri Terbimbing… 1656

Gambar 1. Proses Pembuatan Alat Pendingin Sederhana

Penelitian Boesdorfer (2017) menyimpulkan bahwa memasukkan aspek engineering dalam ruang kelas sains efektif

bagi siswa untuk memperoleh dan menerapkan pengetahuan sains. Salah satu penerapan aspek engineering yang diterapkan

pada kelas eksperimen adalah pemberian proyek pada siswa untuk menghasilkan pendingin sederhana. Pembuatan pendingin

sederhana adalah penerapan pengetahuan laju reaksi terkait konsep suhu yang merupakan faktor yang dapat memengaruhi laju

reaksi.

Pengaruh Kemampuan Awal pada Pemahaman Konsep

Selain berdasarkan proses pembelajaran yang diterapkan selama pembelajaran, adanya perbedaan pemahaman konsep

juga ditinjau dari perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh siswa pada materi sebelumnya (kemampuan awal). Pada kelas

eskperimen, terdapat 15 siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi dan 18 siswa yang memiliki kemampuan awal rendah.

Sedangkan pada kelas kontrol, kemampuan awal rendah dan tinggi memiliki jumlah yang sama yaitu sebanyak 18 siswa.

Berdasarkan hasil uji hipotesis yang ditunjukkan oleh data “Kemampuan” pada tabel 3 dengan nilai Fhitung (47,104) lebih besar

dari Ftabel (3,98) dan signifkansi (0,000) < 0,05 sehingga H1 dapat diterima. Adapun data tersebut menunjukkan bahwa

pemahaman konsep siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi dan kemampuan awal rendah yang dibelajarkan

menggunakan model inkuri terbimbing dan model inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM pada materi laju reaksi adalah

berbeda. Jika skor tes pemahaman konsep siswa pada masing-masing kelas dikelompokkan berdasarkan kemampuan awal,

maka akan diperoleh rata-rata pemahaman konsep siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi adalah lebih baik (85,50)

dibandingkan dengan siswa yang memiliki kemampuan awal rendah (77,91). Persentase perbedaan pemahaman konsep ditinjau

berdasarkan perbedaan kemampuan awal dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Grafik Skor Pemahaman Konsep terhadap Kemampuan Awal Siswa di Kedua Kelas

Kemampuan awal terdiri dari ingatan tentang topik pembelajaran sebelumnya yang dapat memengaruhi pemahaman

konsep siswa (Liu, Liu, & Lin, 2018). Perbedaan pemahaman konsep yang dihasilkan antara kelompok siswa yang memiliki

kemampuan awal berbeda kemungkinan disebabkan karena perbedaan kemampuan konstruksi pengetahuan individu. Kelompok

siswa dengan kemampuan awal yang tinggi umumnya lebih mudah untuk dapat mengikuti kegiatan pembelajaran dan menerima

konsep-konsep baru dibandingkan dengan kelompok siswa yang memiliki kemampuan awal rendah.

70

75

80

85

90

Kelas eksperimen Kelas kontrol

Sk

or

Pem

ah

am

an

Ko

nse

p S

isw

a

awal tinggi

awal rendah

Page 6: Halaman: Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan

1657 Jurnal Pendidikan, Vol. 5, No. 11, Bln November, Thn 2020, Hal 1652—1663

Interaksi antara Kemampuan Awal dengan Model Pembelajaran terhadap Pemahaman Konsep Siswa

Hasil uji hipotesis ditunjukkan oleh data “Model*Kemampuan” pada tabel 3 dengan nilai Fhitung (0,633) lebih kecil dari

Ftabel (3,98) dan signifikansi (0,429) > 0,005 maka H1 ditolak. Data tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya interaksi antara

kemampuan awal dengan model pembelajaran terhadap pemahaman konsep siswa pada materi laju reaksi. Dapat diartikan

bahwa perbedaan kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa kelas eksperimen maupun kelas kontrol tidak berpengaruh

terhadap penerapan model pembelajaran dan pendekatan yang dipilih dalam melatihkan pemahaman konsep pada materi laju

reaksi.

Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran pada Kedua Kelas terhadap Keterampilan Argumentasi

Data penelitian yang diperoleh selain pemahaman konsep adalah skor keterampilan argumentasi siswa. Hasil tes

keterampilan argumentasi dideskripsikan melalui level argumentasi jawaban siswa dalam menentukan kelengkapan komponen

argumen berupa claim, data, warrant, backing dan qualifier. Selanjutnya, argumen dikelompokkan pada masing-masing level

argumentasi menurut Cetin. Hasil uji hipotesis ditunjukkan oleh data “Model” pada tabel 5 dengan nilai Fhitung (18,76) lebih

besar dari Ftabel (3,98) dan signifkansi ((0,000) < 0,005) maka H1 diterima. Data tersebut menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan keterampilan argumentasi siswa yang dibelajarkan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing yang

dipadukan dengan pendekatan STEM dan model pembelajaran inkuiri terbimbing pada materi laju reaksi.

Sebanyak 7,57% argumentasi siswa pada kelas eksperimen dan 15,15% argumentasi siswa pada kelas kontrol berada

pada level satu. Argumentasi pada level satu terdiri dari claim sederhana. Siswa yang menjawab pada level ini kemungkinan

belum mampu untuk menghasilkan claim yang dapat dihubungkan dengan data, warrant, maupun backing. Kurangnya

pemahaman konsep, pengetahuan untuk melengkapi komponen argumen, maupun waktu pengerjaan yang terbatas merupakan

beberapa sebab yang menyebabkan kondisi ini. Sebanyak 32,57% argumentasi siswa pada kelas yang diajarkan dengan inkuiri

terbimbing dengan pendekatan STEM dan 40,15% argumentasi siswa pada kelas yang diajarkan dengan inkuiri terbimbing

berada pada level 2. Sesuai level argumentasi oleh Cetin, argumentasi pada level dua mengandung claim, data dan/atau warrant.

Sejumlah 30,30% argumentasi siswa pada kelas yang diajarkan dengan inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM dan 37,12%

argumentasi siswa pada kelas yang diajarkan dengan inkuiri terbimbing berada pada level 3. Argumentasi pada level tiga

mengandung claim, data dan/atau warrant, backing atau qualifier. Berdasarkan skor rata-rata, diketahui bahwa sebanyak 30,63%

jawaban siswa kelas eksperimen dan 15,15% jawaban siswa kelas kontrol mampu mencapai level 4, yang dalam penelitian ini

merupakan level argumentasi tertinggi. Tanpa diberi bantuan tertulis siswa telah mampu untuk mengonstruk sendiri

argumennya yang terdiri atas klaim, data dan/atau warrant, backing, dan qualifier. Hasil ini menunjukkan persentase capaian

argumentasi terbanyak pada kelas eksperimen adalah pada level 4. Pada kelas kontrol, persentase capaian terbanyak yaitu

berada pada level 2. Hal tersebut mendukung bahwa pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM memberikan

hasil yang lebih baik dibanding kelas yang dibelajarkan dengan inkuiri terbimbing tanpa pendekatan STEM terhadap

keterampilan argumentasi siswa.

Perbedaan argumentasi pada kelas eksperimen dan kontrol terletak pada rata-rata level argumentasi yang diperoleh.

Pada kelas eksperimen, siswa berhasil menyusun argumentasi hingga level 4 sedangkan pada kelas kontrol siswa hanya mampu

menyusun argumentasi hingga level 2. Perbedaan level yang diperoleh ini didasari oleh perbedaan kelengkapan komponen

argumen yang dihasilkan. Komponen argumentasi pada level 2 terdiri dari claim, data dan/atau warrant dan komponen

argumentasi pada level 4 lebih lengkap yaitu terdiri dari claim, data dan/atau warrant, backing dan qualifier. Perbedaan dari

kedua level tersebut adalah adanya backing dan qualifier yang dihasilkan. Argumentasi level 4 menunjukkan adanya backing

dan qualifier sedangkan argumentasi level 2 tidak menyajikannya. Backing merupakan pernyataan yang digunakan untuk

mendukung kesimpulan serta qualifier menunjukkan derajat kepercayaan yang diletakkan untuk mendukung argumen atau

prasyarat dari klaim. Backing yang dihasilkan merupakan konsep dasar yang dihubungkan dengan aplikasi konsep tersebut

untuk menjawab permasalahan yang dimunculkan. Perbedaan argumentasi yang dihasilkan oleh siswa pada kelas eksperimen

dan kelas kontrol dapat diamati pada gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Argumentasi Salah Satu Siswa pada Kelas Kontrol

Page 7: Halaman: Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan

Paramita, Yahmin, Dasna, Pembelajaran Inkuiri Terbimbing… 1658

Gambar 4. Argumentasi Salah Satu Siswa pada Kelas Eksperimen

Penyebab keterampilan argumentasi siswa di kelas eksperimen lebih baik dibandingkan dengan argumentasi siswa di

kelas kontrol adalah penerapan pendekatan STEM. Pendekatan STEM diintegrasikan terutama pada tahap orientation dan tahap

application. Fenomena pada tahap orientation mendorong siswa untuk merumuskan masalah yang selanjutnya akan ditemukan

solusinya selama proses konstruk pengetahuan saat pembelajaran. Pada kelas yang menerapkan pendekatan STEM pada

pembelajaran, diberikan fenomena terlait laju reaksi yang memunculkan keterkaitan dengan aspek STEM. Fenomena yang

disajikan diantaranya terkait technology airbag, global warming, catalytic conventer, dinamit, kulkas sebagai teknologi yang

memperlambat laju serta tugas enzim dalam tubuh.

Tidak hanya pada tahap orientation, STEM juga dimunculkan pada tahap application. Pada tahap application,

pendekatan STEM dimunculkan dengan mengaitkan aspek STEM pada permasalahan yang memacu siswa untuk mengatasi

serta mengemukakan argumennya. Permasalahan yang tertera pada LKS siswa yang dibelajarkan dengan inkuiri terbimbing

dengan pendekatan STEM diantaranya berkaitan dengan photochemical smog, hujan asam, luas permukaan kembang api serta

laju eliminasi alkohol dalam tubuh. Selama proses menemukan solusi atas permasalahan tersebut, siswa dilatih untuk

melengkapi komponen argumen sehingga dapat menghasilkan argumentasi yang sesuai dengan konsep dan komponen

argumentasi.

Selain itu, pendekatan STEM pada kelas ekperimen juga diterapkan dengan memberi proyek tertentu pada siswa

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pengerjaan proyek serta diskusi terkait aspek STEM diperkirakan memberi dampak

positif terhadap keterampilan siswa. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa proyek terkait

STEM meningkatkan pemahaman konsep siswa. Pemahaman konsep akan saling berkaitan dengan keterampilan argumentasi

yang dihasilkan. Siswa akan dibantu oleh pemahaman konsep yang dimiliki untuk dapat mengonstruk argumen yang berkualitas,

disamping itu proses argumentasi akan meningkatkan pemahaman terhadap suatu konsep sains.

Pada kelas kontrol yang dibelajar dengan inkuiri terbimbing, siswa dilatih untuk membangun suatu konsep akan tetapi

diperoleh bahwa hasilnya tidak lebih baik dari penerapan inkuiri terbimbing yang dibarengi pendekatan STEM. Pada kelas

kontrol, siswa juga dilatihkan keterampilan argumentasinya pada setiap pertemuannya. Hanya saja, konteks yang dilibatkan

dalam diskusi tersebut lebih menekankan konten materi laju reaksi dan kurang memiliki relevansi dengan aspek STEM. Salah

satu contohnya adalah pelatihan keterampilan argumentasi siswa yang membahas tentang laju etanol berdasarkan persamaan

reaksinya tanpa mengaitkan dengan aplikasi dari penggunaan etanol dalam kehidupan sehari-hari, bidang industri maupun

teknologi. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya ketertarikan sebagian besar siswa karena diskusi memiliki relevansi yang

kecil dengan kehidupan sehingga berdampak pada pemahaman konsep yang dimiliki juga kualitas argumentasi yang dihasilkan.

Pengaruh Kemampuan Awal terhadap Keterampilan Argumentasi

Hasil uji hipotesis ditunjukkan oleh data “Kemampuan” pada tabel 5 dengan nilai Fhitung (28,199) lebih besar dari Ftabel

(3,98) dan signifkansi (0,000) < 0,005 maka H1 diterima. Data tersebut menunjukkan terdapat atau adanya perbedaan

keterampilan argumentasi siswa yang memiliki kemampuan awal rendah dan kemampuan awal tinggi yang dibelajarkan

menggunakan model inkuri terbimbing dan model inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM pada pokok bahasan laju reaksi.

Selama pembelajaran, peneliti berupaya untuk melatihkan keterampilan argumentasi lisan dengan cara bersosialisasi

(kolaboratif) tentang argumen yang dihasilkan dari pengerjaan tahap aplikasi LKS dengan teman kelompok lain. Hal ini

bertujuan agar siswa yang memiliki kemampuan awal tinggi maupun rendah dapat mengetahui kelemahan argumennya

sehingga nantinya dapat membuat argumentasi individu berdasarkan konstruk pengetahuan yang telah dibangun. Pada kelas

eksperimen, tahap aplikasi pada LKS menyajikan masalah terkait kembang api. Kembang api memiliki partikel padat yang

dapat menyebabkan polusi udara. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan untuk memperkecil ukuran partikel kimia yang

digunakan sebagai bahan bakar kembang api. Namun, saran tersebut akan berakibat pada semakin besarnya luas permukaan

partikel sehingga dapat meningkatkan frekuensi tumbukan dan mudah bereaksi sehingga kembang api akan mudah meledak.

Terkait konsep materi laju reaksi yang sama, pada kelas kontrol disajikan masalah yang berhubungan dengan perbedaan efek

luas permukaan pada molekul A yang berupa serbuk dan batangan. Untuk memudahkan pemahaman siswa, pada penyajian

masalah di tahap application, LKS kelas kontrol dan eksperimen dilengkapi dengan representasi submikroskopik terkait dengan

Page 8: Halaman: Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan

1659 Jurnal Pendidikan, Vol. 5, No. 11, Bln November, Thn 2020, Hal 1652—1663

luas permukaan. Siswa diminta untuk menanggapi saran para ahli dengan memberi argumen berdasarkan data yang telah

disebutkan dan konsep materi luas permukaan sebagai bagian dari faktor penentu laju reaksi. Pada akhir proses pembelajaran,

dilakukan tes untuk mengetahui keterampilan argumentasi siswa.

Adapun perbedaan keterampilan argumentasi yang dihasilkan antara kelompok siswa yang memiliki kemampuan awal

rendah dan yang berkemampuan awal tinggi kemungkinan disebabkan karena perbedaan kemampuan kognitif siswa dalam

menyelesaikan suatu masalah. Hal ini sejalan dengan pendapat Liu, dkk., (2018) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan awal

dapat dilihat sebagai faktor untuk mendukung konstruksi argumen berbasis pengetahuan. Kemampuan awal adalah modal dalam

pengembangan kegiatan pembelajaran argumentasi. Selama pelatihan argumentasi dalam kelompok, siswa yang berkemampuan

awal rendah tidak benar-benar mengonstruk pengetahuannya atau cenderung bergantung pada temannya yang memiliki

kemampuan awal tinggi. Oleh sebab itu, data penelitian menyatakan bahwa adanya atau terdapat perbedaan signifikan antara

siswa berkemampuan awal rendah dan berkemampuan awal tinggi.

Interaksi antara Kemampuan Awal dengan Model Pembelajaran terhadap Keterampilan Argumentasi Siswa

Sesuai dengan hasil dari uji hipotesis yang ditunjukkan oleh data “Model*Kemampuan” pada tabel 5 dengan nilai

Fhitung (0,020) lebih kecil dari Ftabel (3,98) dan signifikansi (0,889) > 0,005 maka H1 ditolak. Data tersebut menunjukkan

bahwa tidak adanya atau tidak terdapat interaksi antara kemampuan awal yang dimiliki oleh siswa dengan model pembelajaran

terhadap keterampilan argumentasi siswa pada materi laju reaksi. Berdasarkan kesimpulan yang tertera pada tabel 5, dapat

diartikan bahwa adanya perbedaan kemampuan awal siswa pada kelas eksperimen maupun siswa pada kelas kontrol tidak

berpengaruh terhadap penerapan model pembelajaran dan pendekatan yang dipilih dalam melatihkan keterampilan argumentasi

pada materi laju reaksi.

SIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan analisis data dan pembahasan pada penelitian ini adalah (1) terdapat

perbedaan signifikan pemahaman konsep siswa yang mengikuti pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM dan

siswa yang hanya mengikuti pembelajaran inkuiri pada materi laju reaksi; (2) terdapat perbedaan signifikan pemahaman konsep

siswa ditnjau dari perbedaan kemampuan awal yang dibelajarkan menggunakan model inkuri terbimbing dengan pendekatan

STEM dan model inkuiri terbimbing pada materi laju reaksi; (3) tidak adanya atau tidak terdapat interaksi antara model

pembelajaran dan kemampuan awal terhadap pemahaman konsep siswa pada materi laju reaksi; (4) terdapat perbedaan

signifikan keterampilan argumentasi siswa yang mengikuti pembelajaran inkuiri terbimbing dengan pendekatan STEM dan

siswa yang hanya mengikuti pembelajaran inkuiri terbimbing pada materi laju reaksi; (5) terdapat perbedaan signifikan

keterampilan argumentasi siswa ditinjau dari perbedaan kemampuan awal yang dibelajarkan menggunakan model inkuri

terbimbing dengan pendekatan STEM dan model inkuiri terbimbing pada materi laju reaksi; (6) tidak adanya interaksi antara

model pembelajaran dan kemampuan awal terhadap keterampilan argumentasi siswa pada materi laju reaksi.

Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dijabarkan dan kesimpulan yang telah didapat maka saran yang dapat peneliti

usulkan adalah (1) pembelajaran kimianya hendaknya tidak hanya bertujuan untuk memahamai satu konsep, namun juga tidak

lepas dari suatu kegiatan yang dapat melatihkan keterampilan argumentasi; (2) perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait

implementasi model pembelajaran inkuiri terbimbing yang disertai dengan pendekatan STEM terhadap hasil keterampilan

argumentasi ilmiah rendah atau pemahaman konsep rendah pada indikator pembelajaran tertentu.

DAFTAR RUJUKAN

Abraham, M. R., Williamson, V. M., & Westbrook, S. L. (1994). A Cross-Age Study of the Understanding of Five Chemistry

Concepts. Journal of Research and Science Teaching, 147-165.

Adnyana, G. P. (2012). Keterampilan Berpikir Kritis dan Pemahaman Konsep Siswa pada Model Siklus Belajar Hipotesis

Deduktif. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Jilid 45 Nomor 3, 45(3), 201-209.

Alemdar, M. C., Criswell, B. A., & Rushton, G. T. (2018). Evaluation of a Noyce program: Development of Teacher Leaders in

STEM Education. Evaluation and Program Planning, 71, 1-11.

Anjarsari, P. (2014). Literasi Sains dalam Kurikulum dan Pembelajaran IPA SMP. Prosiding Semnas Pensa VI "Peran Literasi

Sains". Surabaya.

Arikunto, S. (2009). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Bekiroglu, F., Eskin, H. (2012). Examination of the Relationship between Engagement in Scientific Argumentation and

Conceptual Knowledge. International Journal of Science and Mathematics Education, 10, 1415-1443

Belland, B. R. (2010). Portraits of Middle School Students Constructing Evidence-based Arguments during Problem-based

Learning: The Impact of Computer-based Scaffolds. Educational Technology Research and Development, 58(3), 285–

309.

Berland, L. K., & Reiser, B. J. (2009). Classroom Communities Adaptations of the Practice of Scientific Argumentation.

Science Education, 95(2), 191-216.

Page 9: Halaman: Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan

Paramita, Yahmin, Dasna, Pembelajaran Inkuiri Terbimbing… 1660

Berland, L. K., & Steingut, R. (2016). Explaining Variation in Student Efforts Towards Using Math and Science Knowledge in

Engineering Contexts. International Journal of Science Education, 38(18), 2742–2761.

Boesdorfer, S. B. (2017). Is Engineering Inspiring Change in Secondary Chemistry Teachers’ Practices? Journal of Science

Teacher Education, 28(7), 609-630.

Boujaoude, S. (2002). Balance of Scientific Literacy Themes in Science Curricula: The Case of Lebanon. International Journal

of Science Education, 24(2), 139-156.

Budiarto, I. D. (2015). Pengaruh Pendekatan Perubahan Konseptual dengan Menggunakan Strategi POE Berbantuan Analogi

terhadap Pemahaman Konsep Siswa SMA pada Materi Laju Reaksi. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Negeri

Malang, Malang.

Bybee, R. W. (2010). Advancing STEM Education: A 2020 Vision. Technology and Engineering Teacher, 70(1), 30-35.

Cahyarini, A. (2015). Pengaruh Model Pembelajaran Learning Cycle 5E Berkonteks Socioscientific Issues (SSI) terhadap

Penguasaan Konsep dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Pada Materi Asam Basa. Tesis tidak diterbitkan.

Universitas Negeri Malang, Malang.

Cetin, P. S. (2014). Explicit Argumentation Instruction to Facilitate Conceptual Understanding and Argumentation Skills.

Research in Science & Technological Education, 32(1), 1-20.

Chandrasegaran, A. L., Treagust, D. F., & Mocerino, M. (2007). The Development of a Two-Tier Multiple Diagnostic

Instrument for Evaluating Secondary School Students' Ability to Describe and Explanain Chemical Reactions Using

Multiple Levels of Representation. Chemistry Education Research and Practice, 8(3), 293-307.

Chang, R., & Overby, J. (2011). General Chemistry the Essential Concepts (Sixth Edition). New York: McGraw-Hill.

Chien, P. L., & Lajium, D. A. (2016). The Effectiveness of Science, Technology, Engineering and Mathematics (STEM)

Learning Approach among Secondary School. International Conference on Education and Psychology. Kota Kinabalu,

Sabah, Malaysia: Research Gate.

Creswell, J. W. (2012). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research

(Fourth Edition). Boston: Pearson Education.

Cross, D., Taasoobshirazi, G., Hendricks, S., & Hickey, D. T. (2008). Argumentation: A Strategy for Improving Achievement

and Revealing Scientific Identities. International Journal of Science Education, 30(6), 837-861.

Cuevas, P., Lee, O., Hart, J., & Deaktor, R. (2005). Improving Science Inquiry with Elementary Students of Diverse

Backgrounds. Journal of Research in Science Teaching, 42, 337–357.

Devetak, I., Lorber, E. D., Jurisevic, M., & Glazar, S. A. (2009). Comparing Slovenian Year 8 and Year 9 Elementary School

Pupils’ Knowledge of Electrolyte Chemistry and Their Intrinsic Motivation. Chemistry Education Research and

Practice, 10(4), 281-290.

Devi, N. D., Susanti, E., & Indriyanti, N. Y. (2018). Analisis Kemampuan Argumentasi Siswa SMA pada Materi Larutan

Penyangga. Jurnal Kimia dan Pendidikan Kimia, 3(3), 152-159.

Driver, R., Newton, P., & Osborne, J. (2000). Establishing the Norms of Scientific Argumentation in Clasrooms. Science

Education, 84, 287-312.

Duschl, R. A. (2016). Quality Argumentation and Epistemic Criteria. In Erduran, Sibel, Jiménez-Aleixandre, & M. Pilar,

Argumentation in science education: Perspectives from (pp. 59-175). Dordrecht, Netherlands: Springer.

Effendy. (2002). Upaya untuk Mengatasi Kesalahan Konsep dalam Pembelajaran Kimia dengan Menggunakan Strategi Konflik

Kognitif. Media Komunikasi Kimia, 2(6), 1-21.

Effendy. (2016). Ilmu Kimia untuk Siswa SMA dan MA Kelas X. Malang: Indonesian Academic Publishing.

Ercan, S., Bozkurt, A. E., & Tastan, B. (2016). Integrating GIS into Science Classes to Handles STEM Education. Journal of

Turkish Science Education, 13, 30-43.

Erduran, S., & Pabuccu, A. (2015). Promoting Argumentation in the Context of Chemistry Stories. In Relevant Chemistry

Education-From Theory to Practice (pp. 143-161). Sense Publisher.

Erduran, S., Simone, S., & Osborne, J. (2004). Tapping into Argumentation: Developments in the Application of Toulmin's

Argument Pattern for Studying Science Discourse. Wiley Periodicals, 88(6), 915-933.

Farida, I., & Gusniarti, W. F. (2014). Profil Keterampilan Argumentasi Siswa Pada Konsep Koloid yang Dikembangkan melalui

Pembelajaran Inkuiri Argumentatif. EDUSAINS, 6(1), 32-40.

Firman, H. (2016). Pendidikan STEM sebagai Kerangka Inovasi Pembelajaran Kimia untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa

dalam Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Seminar Nasional dan Pembelajarannya (pp. 1-6). Jurusan Kimia FMIPA

Universitas Negeri Surabaya.

Gabel, D. L., Samuel, K. V., & Hunn, D. (1994). Research on Problem Solving: Chemistry. Handbook of Research on Science

Teaching and Learning , 301-326.

Ginanjar, W. S., Utari, S., & Muslim. (2015). Penerapan Model Argument-Driven Inquiry dalam Pembelajaran IPA untuk

Meningkatkan Kemampuan Argumentasi Ilmiah Siswa SMP. Jurnal Pengajaran MIPA, 20(1), 32-37.

Gucluer, E. (2012). The Effect of Using Activities Improving Scientific Literacy on Students' Achievement in Science and

Technology Lesson. International Online Journal of Primary Education, 1(1), 8-13.

Page 10: Halaman: Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan

1661 Jurnal Pendidikan, Vol. 5, No. 11, Bln November, Thn 2020, Hal 1652—1663

Guzey, S. S., Moore, T. J., Harwell, M., & Moreno, M. (2016). STEM Integration in Middle School Life Science: Student

Learning and Attitudes. Journal of Science Education and Technology, 25(4), 550-560.

Hanson, D. M. 2006. Instructor’s Guide to Process-Oriented Guided-Inquiry Learning. Stony Brook University – SUNY:

Pacific Rest 2nd Edition.

Harlen, W., & Qualter, A. (2004). The Teaching of Science in Primary Schools. Great Britain: David Fulton Publisher.

Hathcoc, S., & Dickerson, D. (2014). Scaffolding for Creative Product Possibilities in a Design-Based STEM Activity.

Research Science Education, 45(5), 1-22.

Herawati, R. F., Mulyani, S., & Redjeki, T. (2013). Pembelajaran Kimia Berbasis Multiple Representasi ditinjau dari

Kemampuan Awal Terhadap Prestasi Belajar Laju Reaksi Siswa SMA Negeri I Karanganyar. Jurnal Pendidikan

Kimia, 2(2), 38-43.

Hofstein, A., Eilks, I., & Bybee, R. (2011). Societal Issues and Their Importance for Contemporary Science Education a

Pedagogical Justification and the State-of-the-Art in Israel, Germany, and the USA. International Journal of Science

and Matmhematics Education, 1459-1483.

Holme, T., Luxford, C. J., & Brandriet, A. (2015). Defining Conceptual Understanding in General Chemistry. Journal of

Chemical Education, 1477-1483.

Iskandar, S. M. (2011). Pendekatan Pembelajaran Sains berbasis Konstruktivis. Malang: Bayumedia Publishing.

Kang , J., & Keinonen, T. (2017). The Effect of Student-Centered Approaches on Students Interest and Achievement in

Science: Relevant Topic-Based, Open and Guided Inquiry-Based,and Discussion-Based Approaches. Research Science

Education.

Kang, N. H. (2019). A Review of The Effect of Integrated STEM or STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and

Mathematics) Education in South Korea. Asia-Pacific Science Education, 5(6), 1-22.

Katchevich, D., Hofstein, A., & Mamlok, R. (2011). Argumentation in the Chemistry Laboratory: Inquiry and Confirmatory

Experiments. Research in Science Education, 43(1).

Kelley, T., & Knowless, J. G. (2016). A Conceptual Framework for Integrated STEM Education. International of STEM

Education, 3(11).

Kemendikbud. (2017). Model Silabus Mata Pelajaran Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). Jakarta.

King, D. (2012). New Perspectives on Context-Based Chemistry Education: Using Dialectical Sociocultural Approach to View

Teaching and Learning. Studies in Science Education, 48(1), 51-87.

Kock, Z. J., & Gravemeijer, K. (2015). Creating a Culture of Inquiry in the Classroom while Fostering an Understanding of

Theoritical Concepts in Direct Current Electric Circuits: A Balanced Approach. International Journal of Science and

Mathematics Education, 13, 45-69.

Koksal, E., & Berberoglu, G. (2012). The Effect of Guided-inquiry Instruction on 6th Grade Turkish Students’ Achievement.

Science Process Skills, and Attitudes Toward Science. International Journal of Science Education, 36(1), 66–78.

Kolomuc, A., & Tekin, S. (2011). Chemistry Teachers' Misconceptions Concerning Concept of Chemical Reaction Rate.

Eurasioan Journal of Physics and Chemistry Education, 3(2), 84-101.

Kuhn, D. (1993). Science as Argument: Implications for Teaching and Learning Scientific Thingking. Science Education, 77(3),

319-337.

Kuhn, D., & Udell, W. (2007). Coordinating Own and Other Perspective in Argument. Thingking and Reasoning, 13(2), 90-

104.

Kurt, S., & Ayas, A. (2012). Improving Students' Understanding and Explaining Real Life Problems on Concepts of Reaction

Rate by Using A Four Step Constructivist Approach. Energy Education Science and Technology Part B: Social and

Educational Studies, 4(2), 979-992.

Lang, H. R., & Evan, D. N. (2006). Model, Strategies, and Methods for Effective Teaching. Boston: Pearson Education.

Lederman, N. G., Lederman, J. S., & Antink, A. (2013). Nature of Science and Scientific Inquiry as Contexts for the Learning

of Science and Achievement of Scientific Literacy. International Journal of Education in Mathematics, Science,

Technology, 138-147.

Lin, Y.-R., & Hung, J.-F. (2016). The Analysis and Reconciliation of Students’ Rebuttals in Argumentation Activities.

International Journal of Science Education, 38(1), 130-155.

Liu, H.-C., Andre, T., & Greenbowe, T. (2008). The Impact of Learner's Prior Knowledge on Their Use of Chemistry Computer

Simulations: A Case Study. Journal of Science Education and Technology, 17(5), 466-482.

Liu, Q.-T., Liu, B.-W., & Lin, Y.-R. (2018). The Influence of Prior Knowledge and Collaborative Online Learning Environment

on Students Argumentations in Descriptive and Theoretical Scientific Concept. International Journal of Science

Education, 41(2), 165-187.

Miller, J. D. (1983). Scientific Literacy: A Conceptual and Empirical Review. Cambridge: The MIT Press.

Musya'idah, Effendy, & Santoso, A. (2016). POGIL, Analogi Model FAR, KBI dan Laju Reaksi. Prosiding Seminar Nasional

Pendidikan IPA Pascasarjana UM, (pp. 671-680). Malang.

Nakhleh, M. B. (1992). Why Some Students Don't Learn Chemistry: Chemical Misconceptions. Journal of Chemical

Education, 69(3), 191-195.

Page 11: Halaman: Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan

Paramita, Yahmin, Dasna, Pembelajaran Inkuiri Terbimbing… 1662

National Research Council. (2012). A Frame Work for K-12 Science Education Practices, Crosscutting Concept, and Core

Ideas. United States of America: National Academy of Sciences.

Ngertini, N., Sadia, W., & Yudana, M. (2013). Pengaruh Implementasi Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Terhadap

Kemampuan Pemahaman Konsep dan Literasi Sains Siswa Kelas X SMA PGRI 1 Amlapura. e-Journal Program

Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 4, 1-11.

Norris, S., Phillips, L., & Osborne, J.(2007). Scientific Inquiry: The Place of Interpretation and Argumentation. In I. J. Luft, &

J. Gess, Science as Inquiry in Secondary Setting. Arlington: VA: NSTA Press.

Nugraheni, N. C., & Paidi. (2017). Kemampuan Literasi Sains Kelas X SMA Negeri Mata Pelajaran Biologi Berdasarkan

Topografi Wilayah Gunungkidul. Jurnal Prodi Pendidikan Biologi, 6(5), 261-270.

Nurabaya, C. B. (2019). Perubahan Konseptual dan Literasi Saintifik melalui Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Program

STEM pada Materi Fluida Dinamis di SMA Negeri 9 Malang. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Negeri Malang,

Malang.

Odja, A. H., & Payu, C. S. (2014). Analisis Kemampuan Awal Literasi Sains Siswa pada Konsep IPA. Prosiding Seminar

Nasional Kimi, ISBN: 978-602-0951-00-3. Surabaya: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya.

Ogan-Bekiroglu, F., & Eskin, H. (2012). Examination of The Relationship between Engagement in Scientific Argumentation

and Conceptual Knowledge. International Journal of Science and Mathematics Education, 10(6), 1415-1443.

Osborne, J. F., Erduran, S., & Simon, S. (2004). Enhancing the Quality of Argumentation in School Science. Journal of

Research in Science Teaching, 41(10), 994–1020.

Pakpahan, R. (2016). Faktor-faktor yang Memengaruhi Capaian Literasi Matematika Siswa dalam PISA 2012. Jurnal

Pendidikan dan Kebudayaan, 1(3), 331-347. https://doi.org/10.24832/jpnk.v1i3.496

Pedaste, M., Maeouts, M., Siiman, L. A., de Jong, T., & Tsourlidaki, E. (2015). Phases of Inquiry-Based Learning: Definitions

and the Inquiry Cycle. Educational Research Review, 14, 47-61. https://doi.org/10.1016/j.edurev.2015.02.003

Permanasari, A. (2016). STEM Education: Inovasi dalam Pembelajaran Sains. Seminar Nasional Pendidikan Sains. Surakarta:

SNPS Universitas Sebelas Maret.

Pratiwi, Y. N. (2015). Pengaruh Pembelajaran Kimia dalam Konteks Socioscientific Issue (SSI) terhadap Keterampilan

Berargumentasi, Keterampilan Berpikir Kritis, dan Penguasaan Konsep Laju Reaksi Siswa Kelas XI SMA. Tesis tidak

diterbitkan. Universitas Negeri Malang, Malang.

Puspitasari, I. D., & Permanasari, A. (2012). Analisis Pemahaman Konsep dan Kesulitan Mahasiswa untuk Pengembangan

Program Perkuliahan Dasar-dasar Kimia Analitik Berbasis Problem Solving. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia, 98-

101.

Rahayu, S. (2014). Menuju Masyarakat Berliterasi Sains: Harapan dan Tantangan Kurikulum 2013 . Prosiding Seminar

Nasional Kimia dan Pembelajarannya (SNKP) (pp. 27-39). Malang: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri

Malang.

Rahayu, S. (2017). Mengoptimalkan Aspek Literasi dalam Pembelajaran Kimia Abad 21. Prosiding Seminar Nasional Kimia

UNY. Yogyakarta.

Reeve, E. M. (2015). Science, Technology, Engineering & Mathematics (STEM) Education is Here to Stay. Thailand STEM

Festival. Thailand: International Technology and Engineering Educators Association.

Rizkiana, F., Dasna, I. W., & Marfu'ah, S. (2016). Pengaruh Praktikum dan Demonstrasi dalam Pembelajaran Inkuiri

Terbimbing terhadap Motivasi Belajar Siswa pada Materi Asam Basa Ditinjau dari Kemampuan Awal. Jurnal

Pendidikan Volume 1 Nomor 3, 354-362.

Rusmayanti, M. I. (2018). Pengaruh Strategi Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan SETS (Science,

Environtment, Technology, and Society) terhadap Keterampilan Proses Sains dan Scientific Argumentation pada

Materi Laju Reaksi. Tesis tidak ditebitkan. Universitas Negeri Malang, Malang.

Sadeh, I., & Zion, M. (2012). Which Type of Inquiry Project Do High School Biology Students Prefer: Open or Guided?

Research in Science Education, 42, 831–848.

Sadler, T. D. (2006). Promoting Discourse and Argumentation in Science Teacher Education. Journal of Science Teacher

Education, 17, 323–346.

Sampson, V., & Gerbino, F. (2010). Two Instructional Models That Teachers Can Use to Promote and Support Scientific

Argumentation in the Biology Classroom. The American Biology Teacher, 427-431.

Sampurno, P. J., Sari, Y. A., & Wijaya, A. D. (2015). Integrating STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematcis) and

Disaster (STEM-D) Education for Building Students' Disaster Literacy. International Journal of Learning and

Teaching, 1(1), 73-76.

Septiyani, N. R. (2018). Implementasi Pendekatan Pembelajaran STEM untuk Meningkatkan Skill Argumentasi pada Siswa

SMA. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Shahali, E. H., Halim, L., Rasul, M. S., Osman, K., & Zulkifeli, M. A. (2017). STEM Learning through Enginering Design:

Impact on Middle Secondary Students' Interest Towards STEM. EURASIA Journal of Mathematics Science and

Technology Education, 13(5), 1189-1211.

Page 12: Halaman: Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Pendekatan

1663 Jurnal Pendidikan, Vol. 5, No. 11, Bln November, Thn 2020, Hal 1652—1663

Siekmann, G. (2016). What is STEM? The Need for Unpacking its Definitions and Applications. National Centre for Vocational

Educational Research.

Siswanto, Kaniawati, I., & Suhandi, A. (2014). Implementation of Generate Argument Instructional Model Using Scientific

Method to Increase the Cognitive Abilities and Argumentation Skills of Senior High School Students. Jurnal

Pendidikan Fisika Indonesia, 10(2), 104-116.

Slavin, R. E. (2008). Cooperative Learning, Succes for All, and Evidence-based Reform in Education. Education et Didacti,

2(2), 149-157.

Stohlmann, M., Moore, T. J., & Roehrig, G. H. (2012). Considerations for Teaching Integrated STEM Education. Journal of

Pre-College Engineering Education Research (J-PEER), 2(1), 28-34.

Subekti, Y. (2018). Pengaruh Model Pembelajaran Argument-Driven Inquiry (ADI) Berbasis Konteks terhadap Keterampilan

Argumentasi dan Pemahaman Konsep Siswa pada Materi Termokimia. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Negeri

Malang, Malang.

Sudjana, N. (2006). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (Cetakan Kesebelas). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sumantri, M., & Permana, J. (2001). Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Maulana.

Supasorn, S., & Promarak, V. (2015). Implementation of 5E Inquiry Incorporated with Analogy Learning Approach to

Enchance Conceptual Understanding of Chemical Reaction Rate for Grade 11 Students. Chemistry Education

Research and Practice, 16(1), 121-132.

Sutarto, H. (2018). Lingkungan dalam Pembelajaran dan Pengajaran Matematika yang Memunculkan 4C Ability sebagai

Penyiapan SDM Unggul di Era Revolusi Industri 4.0. Semarang: Seminar Nasional Pendidikan Matematika 2018.

Tahir, S., & Anwar, S. (2018). How to Develop Student Creativity Through Teaching Materials of Reaction Rate STEM-Based?

International Conference on Mathematics and Science Education of Universitas Pendidikan Indonesia, 3, 384-388.

Talanquer, V. 2010. Macro, Submicro, and Symbolic: The Many Faces of the Chemistry "Triplet". International Journal of

Science Education, 33(2), 179-195.

Thien, L. M., Darmawan, I. N., & Ong, M. Y. (2015). Affective Characteristics and Mathematics Performance in Indonesia,

Malaysia, and Thailand: What Can PISA 2012 data Tell Us? Large-scale Assesments in Education.

Tseng, C.-H., Tuan, H.-L., & Chin, C. C. (2013). How to Help Teachers Develop Inquiry Teaching: Perspectives from

Experienced Science Teachers. Research Science Education, 43(2), 809–825.

Tytler, R., Prain, V., & Hobbs, L. (2019). Rethinking Disciplinary Links in Interdisciplinary STEM Learning: A Temporal

Model. Research in Science Education.

Uswatun, D. A., & Rohaeti, E. (2015). Perangkat Pembelajaran IPA Berbasis Inkuiri untuk Meningkatkan Critical Thinking dan

Scientific Attitude Siswa. Jurnal Inovasi Pendidikan IPA, 1(2), 138-152. https://doi.org/10.21831/jipi.v1i2.7498

Von, A. C., Erduran, S., & Osborne, J. (2007). Arguing to Learn and Learning to Argue: Case Studies of How Students

Argumentation Relates to Their Scientific Knowledge. Journal of Research in Science Teaching, 45(1), 101-131.

Wahdan, W. Z., Sulistina, O., & Sukarianingsih, D. (2017). Analisis Kemampuan Berargumentasi Ilmiah Materi Ikatan Kimia

Peserta Didik SMA, MAN, dan Perguruan Tinggi Tingkat I. Jurnal Pembelajaran Kimia, 2(2), 30-40.

Wahyuni, G. (2019). Pengaruh Model Pembelajaran Learning Cycle 5E (LC 5E) dengan Analogi terhadap Pemahaman

Konsep dan Keterampilan Argumentasi Ilmiah Siswa pada Pokok Bahasan Laju Reaksi. Tesis tidak diterbitkan,

Universitas Negeri Malang, Malang.

Wang, J., & Buck, G. A. (2016). Understanding a High School Physics Teacher’s Pedagogical Content Knowledge of

Argumentation. Journal of Science Teacher Education, 27(5), 577-604.

Wenning, C. J. (2005). Levels of Inquiry: Hirerarchies of Pedagogical Practices and Inquiry Process. Journal of Physics

Teacher Education Online, 2(3), 3-11.

Widayoko, A. (2018). Pengembangan Bahan Ajar Fisika SMA Terintegrasi STEM (Science, Technology, Engineering, and

Mathematichs) untuk Meningkatkan Literasi Saintifik Siswa pada Materi Impuls dan Momentum. Tesis tidak

diterbitkan. Universitas Negeri Malang, Malang.

Yu, W. F., She, H. C., & Lee, Y. M. (2010). The Effects of a Web-based/non Web-based Problem Solving Instruction and

High/low Achievement on Students’ Problem Solving Ability and Biology Achievement. Innovations in Education

and Teaching International, 47(2), 187–199.

Yuliana, A. S. (2019). Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Learning Cycle 7E-STEM untuk Meningkatkan Kemampuan

Pemecahan Masalah Siswa pada Materi Suhu dan Kalor. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Negeri Malang, Malang.

Yuliati, Y. (2017). Literasi Sains dalam Pembelajaran IPA. Jurnal Cakrawala Pendidikan Dasar, 3(2), 21-28.

Zacharia, Z. (2003). Belief, Attitudes, and Intentions of Science Teachers Regarding the Educational Use of Computer

Simulations and Inquiry-based Experiments in Physic. Journal of Research in Science Teaching, 40(8), 792–823.

Zohar, A., & Dori, Y. (2003). Higher Order Thinking Skills and Low Achieving Students: Are they Mutually Exclusive? The

Journal of the Learning Sciences, 12(2), 145–181.