grayscale edisi 8/2012-2013

16
Grayscale Edisi Kedelapan Oktober-Februari 1 Grayscale Batavia Onder Water halaman 8-9 PEMIRA: Antara Calon dan Pemilih Pemula halaman 4-5 edisi Kedelapan Oktober 2012-Februari 2013

Upload: himpunan-mahasiswa-ilmu-politik-universitas-indonesia

Post on 09-Mar-2016

238 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Buletin HMIP UI Edisi ke 8 Oktober 2012-Februari 2013

TRANSCRIPT

Page 1: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-Februari

1

Grayscale

BataviaOnderWater

halaman 8-9

PEMIRA:Antara Calon dan Pemilih Pemula

halaman 4-5

edisi Kedelapan Oktober 2012-Februari 2013

Page 2: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-Februari

2

Buletin ‘Grayscale’ edisi kedelapan

Penerbit: Bidang Humas HMIP UIPenanggung Jawab: Cecep Hidayat S.IP, IMRI.Pemimpin Redaksi: Rista MonicaGiarno PutriRedaktur Pelaksana: Lenida AyumiRedaktur Artistik: HarishmawanHeryadiKontributor: Mitrardi Sangkoyo, Rozi-nul Aqli, Galih Ramadian N.P., Cahan-dika Ilham Arya, Pratama Hendriyatno, Rista Monica Giarno PutriFoto: Miftah Ardhian, Lusi AmbarwatiSirkulasi: Anindita Nur Apsari, Yoshi Dessiani, RA Mustika HanryantoIklan: Hangga Wijaseno, Jehian Ginting

EditorialLingkungan merupakan salah satu faktor penting yang turut mempengaruhi ke-putusan pengambilan kebijakan oleh Pe-merintah, terutama yang berkaitan den-gan pembangunan berkelanjutan. Dan kerusakan lingkungan menjadi perma-salahan yang penting karena mempen-garuhi banyak aspek dalam kehidupan masyarakat, termasuk sosial politik.Seperti fenomerna banjir yang terjadi di Jakarta baru-baru ini. Banjir tahunan yang menimpa Jakarta, di awal tahun 2013 ini telah mengakibatkan banyak kerugian bagi negara, swasta, dan mas-yarakat sendiri. Hal ini menunjukan ko-relasi antara keberadaan ekologi Jakarta yang mengakibatkan banjir dengan keru-gian ekonomi yang diterima.Berangkat dari hal tersebut, Grayscale edisi 8 mencoba mengangkat fenomena banjir Jakarta dari sudut pandang poli-tik. Grayscale juga menghadirkan oase dengan tulisan seputar musik melalui ‘Psychedellic Music’. Ada juga tulisan seputar sepak bola, dan tak ketinggalan informasi politik kampus yang dikemas dalam tulisan seputar Pemira HMIP dan FISIP.Dengan terbitnya Grayscale edisi 8 ini, menandai berakhirnya kepengurusan susunan redaksi Grayscale 2012. Sela-mat berkarya bagi para redaktur terpi-lih selanjutnya. Semoga Grayscale tetap menjadi haluan utama yang dapat men-yalurkan pemikiran anak-anak Politik. Se-lamat membaca!

Pemimpin Redaksi

Rista Monica Giarno Putri

FB: Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik UItwitter: @hmipuiblog: hmipui.blogspot.comemail: [email protected]

Grayscaleedisi Kedelapan

BataviaOnderWater

halaman 8-9

PEMIRA:Antara Calon

halaman 4-5

Page 3: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-Februari

3

Pemasangan iklan hubungiJey: 087780018572

Monic: 082137788027

Page 4: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-Februari Underlined

4

Banjir di Jakarta adalah krisis yang si-fatnya berulang dan sistemik, yang tidak bisa dilihat secara simplistis. Oleh kare-nanya, ia harus diperiksa sebagai sebuah gejala dalam lintasan sejarah sosial dan ekologis.

Dari sisi ruang, menarik untuk men-gamati bahwa krisis itu terjadi, tidak lain dan tidak bukan, justru di wilayah-wilayah administrasi publik yang diurus secara sistematis dan terencana. Dari sisi waktu, tak kalah menariknya bahwa setelah percepatan pembangunan 25 tahun sejak Repelita I di akhir dekade 1960-an, yang terjadi untuk kota Jakarta bukannya sebuah penyempurnaan kiner-ja infrastruktur fisik untuk menghadapi gejala alam, namun justru pemburukan kinerja pengelolaan air permukaan be-serta pengorbanan manusia—khususnya golongan miskin—di sepanjang proses perluasan infrastruktur kota.

Secara geologis, dari barat Ciputat hingga Teluk Jakarta sebenarnya adalah cekungan banjir atau mangkuk raksasa.

Sejak tahun 1619, ketika Gubernur-Jenderal Jan Pieterszoon Coen memerin-tahkan dibangunnya sebuah kota di muara Sungai Ciliwung, para arsitek dan perencana kota Belanda mengetahui be-tapa ganasnya daerah yang sedang me-reka coba untuk taklukkan. Kanal-kanal yang merupakan bagian dari impian Coen untuk menjadikan Jakarta seper-ti “Venesia dari Timur” terbukti tidak cukup untuk dapat membendungi banjir-banjir besar, sehingga perlahan terjadi

Apa yang terjadi?

Pinggiran mangkuk tersebut, yang ter-letak di daerah utara seperti Ancol dan Teluk Jakarta, mengalami penaikan tanah akibat proses tektonik. Alhasil, air dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta ti-dak dapat mengalir secara lancar ke laut, dan terjebak di cekungan besar Jakarta. Sementara itu, bagian dalam dari man-gkuk tersebut terdiri dari tanah alluvial yang belum sempurna pemampatannya. Pada saat ini, tanah di sana mengalami variasi penurunan sebesar 5 sampai 20 cm per tahun, yang diperparah dengan pengambilan air tanah dan pembangu-nan infrastruktur.

Batavia Onder WaterWe’re not scaremongering

This is really happening – Radiohead, Idioteque

Page 5: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-FebruariUnderlined Underlined

5

perluasan wilayah hidup dan perpinda-han penduduk secara besar-besaran ke arah selatan.

Sejarah ekologis Jakarta hanyalah satu faktor dalam dinamika banjir yang kita warisi sekarang. Faktor yang tak ka-lah pentingnya adalah moda ekspansi in-frastruktur perkotaan.

Ambil contoh kompleks perumahan Pantai Indah Kapuk. Daerah yang tadin-ya rawa dan hutan lindung (Hutan Tegal Alur Angke Kapuk) kemudian ‘dilelan-gkan’ oleh Dirjen Kehutanan. Dalam su-rat keputusannya tertanggal 31 Juli 1982 kepada PT. Mandala Permai, terjadi pe-rubahan fungsi dari hutan tersebut men-jadi tempat pemukiman, kondominium, pusat bisnis, rekreasi dan lapangan golf.

pembangunan situs-situs produksi dan konsumsi, instrumen pengurusan seper-ti protokol dan regulasi tata bangunan yang merusak keutuhan dan keseimban-gan faktor-faktor sosial-ekologis, awak dari pemerintah kotanya yang korup, fakta bahwa semua pelanggaran pada prinsipnya bisa diselesaikan dengan den-da atau uang, tidak adanya jalan untuk umpan balik dari publik, tidak terpenu-hinya hak atas kota bagi penduduknya—ini semua ikut berkontribusi kepada iklim kota yang sakit.

Faktor-faktor yang sudah dituturkan di atas mengakibatkan ketidakadilan da-lam penanggungan risiko dari seluruh cerita krisis sosial-ekologis yang melanda Jakarta. Inilah sisi ‘sosial’-nya. Siapa sih yang kena dampak?

Di jaman Belanda, paradigma peren-canaan kotanya sudah jelas: bangunlah Kanal Banjir Kalimalang agar kaum pri-bumi saja yang kebanjiran, yang penting elite Belanda selamat di kawasan Men-teng. Melihat cerita sekarang, sudahkah kita berubah dari paradigma tersebut? Atau apakah kita masih saja menya-lahkan warga miskin yang ‘tidak bisa dia-tur’ dan sering ‘membuang sampah sem-barangan’ sebagai penyebab utamanya terjadi banjir di Jakarta kita ini?.

Mitrardi SangkoyoIlmu Politik 2011

Penduduk D.K.I. Jakarta menin-gkat dari 4.579.303 (1971), menjadi 9.607.787 (2010). Pertumbuhan pe-sat tersebut selama ini dijawab dengan perluasan infrastruktur kota yang mere-mehkan dinamika proses-proses alam, termasuk daur hidrologi di wilayah resa-pan air, baik di dalam Jakarta maupun di kompleks pegunungan Gede-Pangrango dan Salak.

PIK baru ujung dari gunung es—ada banyak sekali kasus alih fungsi lahan dari daerah resapan menjadi daerah hunian, industri, dan pusat-pusat konsumsi se-perti mall, yang dalam proses pengali-hannya juga menggusur kampung-kam-pung setempat.

Faktor terakhir adalah kepengurusan publik yang psikopatik. Karakter dari pen-gurus publik Jakarta sangat menentukan mengapa persoalannya menjadi semakin jauh dari penyelesaian atau respons yang memadai. Politik perkotaan yang men-gedepankan perluasan, percepatan, dan

Sudah saatnya banjir di Jakarta dilihat sebagai suatu proses sebab-akibat yang kompleks, sebagai krisis sosial-ekologis yang harus dikaji bersama secara tajam. Pengurus publik serta rakyat Jakarta ha-rus berani untuk melawan perusakan dan memulihkan kerusakan—jika me-mang itu yang kita inginkan.

Page 6: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-Februari Underlined

6

Di bulan Desember seperti ini, ketika kampus diwarnai dengan hiruk-pikuk pemilihan raya, kita akan sering men-dengar orang menyitir sebuah metafora yang populer:

“Organisasi itu seperti api unggun. Kayu bakar lama yang telah menjadi arang harus diganti dengan kayu bakar yang

baru agar api tetap menyala.”

Sebuah ungkapan yang cerdas untuk menggambarkan pentingnya regenera-si dalam sebuah organisasi, tampaknya. Melalui metafora itu, semua orang tahu, bila tak ada orang baru yang masuk da-lam organisasi, maka organisasi itu akan mati, sebagaimana api unggun yang ke-habisan kayu bakar akan mati. Praktis dan puitis. Tak heran banyak orang yang suka menyitirnya. Namun, bagi saya, ke-dua kualitas tersebut rasanya bukanlah alasan yang memadai (sufficient) un-tuk membuat kita terkesima. Pasalnya, metafora itu masih menyisakan sebuah pertanyaan besar: mengapa sebuah api unggun harus tetap menyala? Menga-pa tidak kita biarkan saja api unggun itu kehabisan bahan bakar, menyala redup, dan pada akhirnya padam sama seka-li? Atau, untuk bicara secara langsung, untuk apa organisasi itu ada? Mengapa BEM harus ada? Mengapa BPM harus ada? Mengapa HM harus ada?

Dalam filsafat, pertanyaan tersebut termasuk tergolong pertanyaan teleolo-gis. Filsuf Yunani, Aristoteles, berpenda-pat bahwa segala sesuatu pasti mem-punyai telos, sebuah tujuan final, yang menjadi alasan bagi keberadaannya (raison d’etre). Jadi, eksistensi bukanlah

Tapi, untungnya, pertanyaan seper-ti di atas hampir selalu muncul di se-tiap mimbar bebas pemira. Selalu saja ada seorang mahasiswa eksentrik yang menghenyakkan kita, setidaknya untuk sesaat, dengan pertanyaan yang tak bia-sa semacam ini. Tak biasa karena publik kita lebih suka untuk bicara tentang hal-hal yang bersifat pragmatis seperti masa-lah program kerja atau prosedur ini-itu. Tentu saja apa yang saya sebut sebagai hal-hal pragmatis tersebut penting. Akan tetapi, apabila hal-hal pragmatis terus dilaksanakan tanpa tujuan yang jelas, bagaimana mungkin hal-hal tersebut mempunyai nilai moral (moral worth)? Mengapa menghabiskan begitu banyak pengorbanan: uang, tenaga, waktu, atau bahkan hubungan sosial, untuk memper-tahankan sesuatu yang jangan-jangan tak punya landasan moral yang solid?

Oleh: Rozinul Aqli

Raison de’Etrehal yang mestinya kita anggap taken for granted. Misalnya, sebuah pisau ada ka-rena ia mempunyai sebuah tujuan final yaitu untuk memotong benda-benda. Tanpa adanya telos tersebut, pisau ter-sebut tak mungkin (tak perlu) ada. Bagi Aristoteles sendiri, tujuan dari politik adalah tercapainya apa yang ia sebut se-bagi eudaimonia (sering diterjemahkan sebagai well-being atau happiness). Pen-carian terhadap eudaminia tersebut han-ya akan dapat berhasil apabila masya-rakat mengikuti pedoman moral yang ia sebut sebagai kebajikan (virtue). Sebuah pemikiran yang sangat masuk akal dan penting, namun sayangnya, sering kita anggap remeh. Buktinya, hingga saat ini pertanyaan tersebut masih terus meng-gantung, tak terjawab.

Page 7: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-FebruariUnderlined Underlined

7

Tidak terjawabnya pertanyaan ter-sebut, paling tidak sampai tulisan ini di-muat, menunjukkan bahwa organisasi mahasiswa di kampus kita ini tengah mengalami krisis eksistensial. Di satu pi-hak, kita ingin tetap terus ada dan me-lanjutkan tradisi yang telah berlangsung: pemira, pengurus baru, proker lama dan proker baru, dan seterusnya. Namun, di pihak lain, kita tak punya alasan yang jelas untuk melakukan tersebut. Apabi-la kondisi ini terus dibiarkan, organisasi tersebut dapat terjebak dalam, mengutip Woody Allen, ‘the emptiness of existen-ce.’ Organisasi itu memang ada dan be-raktivitas, tapi ia terasa kosong.

Tragedi politik dimulai ketika masya-rakat tidak lagi berbicara tentang hal-hal yang normatif. saya kira, kita mulai men-garah ke sana. Oleh karena itu, pemira ini adalah sebuah momentum yang tepat bagi kita untuk melakukan refleksi. Sa-atnya kita secara rendah hati mengakui, bahwa memang telah terlalu asyik ber-bicara tentang hal-hal yang teknis dan melupakan fondasi etis yang pernah me-motivasi kita untuk berorganisasi. Tentu saja, kita tak ingin apa yang kita lakukan dengan susah payah selama ini ternyata nihil secara moral. Atau kita memang su-dah tidak peduli pada moral?

“Di satu pihak, kita ingin tetap terus ada dan

melanjutkan tradisi yang telah berlangsung:

pemira, pengurus baru, proker lama dan proker baru, dan seterusnya.“

Page 8: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-Februari Underlined

8

Baru saja kita melewati prosedural demokrasi yaitu Pemira FISIP dan Pemira HMIP. Sudah beberapa kali pemira yang dilaksanakan baik di tataran FISIP, mau-pun HMIP, terdapat satu kecenderungan yang kalau dibiarkan, bagi penulis sangat berbahaya. Kecenderungan itu adalah ketiadaan ideologi dan platform jelas yang dibawa oleh calon-calon pemim-pin dari BEM maupun HMIP. Minimnya ideologi dan platform dari calon-calon pemimpin di kedua organisasi tersebut dapat terlihat jelas dari tahapan debat kandidat. Presentasi yang diberikan oleh masing-masing calon cenderung sama-sama mempunyai tujuan yang ideal, se-perti memperbaiki sistem, membenahi kordinasi internal, menambah sulam pro-gram kerja, dan lainnya.

PEMIRA:Antara Calon dan Pemilih Pemula

Hal tersebut membuat siapapun yang memenangi pemira, akan menjalankan organisasinya dengan pola yang sama. Jika calon-calon pemimpin dari orga-nisasi tersebut membawa ideologi dan platform yang jelas, maka kontestasi yang menarik dapat disuguhkan dari saat Pemira, berjalannya organisasi tersebut, hingga menjadi bahan evaluasi bagi mas-yarakat FISIP dan HMIP yang jauh lebih mendidik, dibanding tanpa ideologi dan

Hubungannya ideologi dan platform yang dibawa oleh calon pemimpin politik mahasiswa dengan pemilih adalah di sisi pendidikan politik. Jelasnya perbedaan platform yang dibawa oleh calon akan mendidik para pemilih untuk lebih kritis dan cerdas dalam menentukan preferen-sinya, dibanding hanya “jualan” baliho, spanduk, poster, atau promosi di media sosial.

Permasalahan lainnya di Pemira ada-lah mayoritas pemilih adalah mahasiswa baru yang notabenenya belum terlalu mengerti apa itu pentingnya ideologi dan platform yang dibawa oleh para kandi-dat Pemira. Selanjutnya, mahasiswa baru belum terlalu paham apa permasalahan dari BEM maupun HMIP, sehingga kecen-derungannya mereka pun belum paham kedua organisasi tersebut membutuhkan tipe pemimpin yang seperti apa. Seha-rusnya, disinilah peran para kandidat untuk melakukan pendidikan politik bagi mahasiswa baru. Para kandidat harus melakukan riset terlebih dahulu sebe-lum membuat visi dan program kerja, agar apa yang mereka bawa memiliki platform dan sesuai dengan kebutuhan organisasinya. Selain itu kebaikan me-lakukan riset, seperti menyebarkan kue-sioner sederhana dan melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan calon pemilih adalah dapat memberikan pen-didikan politik secara langsung kepada calon pemilih, terutama pemilih pemula.

Oleh: Galih Ramadian N.P

platform.

Di sisi lain, sebagai pemilih pemula pun seharusnya mempelajari dulu apa kebutuhan dari organisasi politik seperti BEM dan HMIP, beserta masalah-masalah yang sedang dialaminya. Selanjutnya, li-hat usaha si calon kandidat, apakah me-reka menggunakan riset, visi-misi-pro-

Page 9: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-FebruariUnderlined Underlined

9

gram kerjanya punya platform dan dapat menjawab permasalahan, apakah ka-rakter si kandidat cocok dengan konteks yang dihadapi, dan melihat track record dari si kandidat. Khusus bagi mahasiswa ilmu politik, seharusnya kita juga menja-di calon pemilih yang kritis dan proaktif mencari tahu tentang calon kandidat yang akan kita pilih.

Karena Pemira sudah usai, mungkin tulisan ini sudah terlambat untuk mem-buat Pemira BEM FISIP dan HMIP 2013 menjadi lebih baik untuk mencapai tin-gkatan demokrasi yang lebih substansial. Namun, catatan ini penting bagi kita para senior untuk tetap proaktif belajar dan melakukan pendidikan politik kepa-da junior-junior kita, secara terus mene-rus.

Media kampanye kandidat ketua HMIP 2013

Page 10: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-Februari Music

10

Hampir 50 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1965 sampai dengan tahun 1967 musik rock memasuki era keema-sannya yang biasa disebut sebagai Gol-den Ages. Pada masa-masa itu banyak album-album rock hebat dihasilkan oleh berbagai musisi rock dari berbagai gen-re, seperti Folk Rock, Psychedelic Rock, HardRock, Rock n’ Roll, dan lain-lain. Tapi dalam Golden Ages sendiri, timbul suatu periode khusus yang bisa disebut sebagai Psychedelic years, yang bisa dikatakan sebagai puncak dari Golden Ages itu sen-diri.

Istilah Psychedelic years sendiri sebe-narnya adalah penamaan terhadap era dimana The Beatles banyak menghasi-lkan lagu-lagu bergenre Psychedelic Rock pada tahun 1966 sampai dengan tahun 1967. Begitu intensifnya The Beatles da-lam pembuatan lagu-lagu dan album-album bergenre Psychedelic Rock tern-yata sangat mempengaruhi band-band lain pada era tersebut untuk melakukan hal yang sama. The Beatles mulai me-lakukan ekplorasi Psychedelicnya sejak 1965. Pada akhir 1965 The Beatles me-rilis album Rubber Soul yang didomina-si dengan lagu bergenre Folk Rock, dan beberapa lagu bergenre Psychedelic Rock. Setelah dirilis ternyata album ini menginspirasi The Beach Boys band be-rarilan Surfin’ Rock asal amerika untuk membuat album Psychedelic bertajuk Pet Sounds pada 1966. Di tahun yang sama, The Who juga merilis album ber-genre Psychedelic yang berjudul A Quick One, padahal The Who sendiri sejatinya adalah band berarilan HardRock/Proto-Punk. The Byrds band yang dijuluki se-bagai American Beatles juga merilis lagu bergenre psychedelic yang berjudul Eight

Miles Padahal, The Byrds sendiri adalah band berarilan Folk Rock. Fenomena ini menunjukan The Beatles mampu mem-pengaruhi band-band lain yang memiliki genre sangat jauh dari genre psychedelic untuk ikut menciptakan dan memainkan lagu-lagu bergenre Psychedelic Rock. Ta-hun 1966 akhirnya ditutup The beatles dengan merilis album studio ke-7 yang berjudul Revolver.

Pada 1967 The beatles merilis album Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band atau biasa disebut sebagai Sgt. Peppers. Ketika dirilis album ini sangat sukses di pasaran, dan disebut-sebut sebagai al-bum rock terbaik yang pernah ada. Di tahun yang sama, Pink Floyd band psychedelic asal Inggris memulai debut-nya dengan merilis album The Piper At The Gates of Dawn. Masih di tahun yang sama, bermunculan juga band-band Psychdelic Rock asal Amerika seperti The Doors dan Strawberry Alarm clock. Hal tersebut menunjukan betapa berpenga-ruhnya The Beatles sebagai pemicu mun-culnya band-band Psychedelic baru di dunia permusikan.

Psychedelic Rock sendiri memiliki ca-tatan baik dalam sejarah musik dunia. Karena dalam 4 besar album terbaik se-panjang masa versi majalah Rolling Sto-ne, seluruhnya merupakan album berg-enre psychedelic Rock. Di posisi pertama ada album Sgt. Peppers Lonely Hearts Club Band (The Beatles). Di posisi kedua ada album Pet Sounds (Beach Boys). Dan di posisi ketiga dan keempat ada album Revolver & Rubber Soul (The Beatles). Se-jarah telah mencatatkan bahwa album-album bergenre psychedelic Rock men-jadi jawara dalam daftar album-album terbaik sepanjang masa, tapi di masa kini genre psychedelic telah menjadi hal yang cukup asing bagi para penikmat musik.

Cahandika Ilham AryaPsychedelic Years

Page 11: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-FebruariMusic Oase

11

Financial Fairplay:Sebuah Potret Sepakbola Eropa

Selamat membaca, penggemar se-pakbola. Ada apa di Eropa sana? Klub-klub Eropa yang dimiliki berbagai raja minyak kelas dunia seperti Chelsea, PSG, Manchester City dan lain-lain nggak se-gan-segan menggelontorkan dana san-gat besar dan cenderung jor-joran untuk mendatangkan dan menggaji pemain demi merengkuh gelar bergengsi. Den-gan menyulap ‘Oil Money’ dari pemilikn-ya, secara nggak sadar klub-klub tersebut udah ngerusak tatanan sepakbola Eropa lewat kekuatan finansial yang mereka punya. Man, it’s Modern Football.

Yang terjadi di Eropa sana karena me-rebaknya para konglomerat yang hobi beli klub sepakbola adalah timbulnya masalah inflasi gaji yang dialami oleh klub-klub Eropa. Contoh: Michu; dengan kemampuan setara dengan Luis Suarez, Sergio Aguero atau Robin van Persie, agen dari Michu akan menuntut pada manajemen Swansea City agar Michu di-gaji senilai dengan Aguero, Suarez atau RvP. Kenaikkan gaji pun tidak selalu men-jadi solusi kongkrit. Teman-teman seper-mainan Michu di Swansea City akan me-rasa cemburu dan ikut-ikutan meminta kenaikan gaji, maka terjadilah pemben-gkakan anggaran gaji di Swansea City. Masalah tak berhenti sampai disitu, agen dari pemain-pemain lain dari klub lain (termasuk klub kecil) terus memantau range gaji pemain. Maka, bilamana satu

kenaikan gaji terjadi, maka itu akan men-jalar ke klub lain.

Selain Inflasi gaji, Masalah yang ditim-bulkan para raja minyak adalah melon-jaknya harga transfer pemain, terutama pemain berkebangsaan Inggris. diber-lakukannya peraturan Homegrown Pla-yers di Liga Inggris yang mengharuskan tim menyediakan minimal 7 pemain ber-kebangsaan Inggris dalam squad yang didaftarkan ke FA untuk mengikuti liga, membuat harga pemain-pemain Inggris melonjak tajam. Contoh: harga seorang James Milner yang dibeli Manchester City senilai sekitar £26 juta.

Financial Fairplay adalah cara yang diambil oleh si presiden UEFA, Michel Platini, sang legenda Juventus untuk me-nanggapi masalah yang ditimbulkan para raja minyak. Rancangan yang akan mulai diterapkan musim 2014/2015 tersebut intinya adalah sebuah klub yang masih ingin bermain di kompetisi Eropa cuma bisa ngeluarin duit sejumlah dengan duit yang mereka dapat, dan data finansial yang transparan harus diserahkan kepa-da UEFA sebagai bukti yang valid. Berarti, suatu klub harus membayar gaji pemain, transfer pemain, dan pengeluaran lainnya dari uang yang mereka dapat sendiri. Ya, sendiri, bukan didapat dari subsidi pemi-lik klub yang memungkinkan timbulnya hutang klub, seperti yang terjadi pada Manchester United. Maka, pada masa di-berlakukannya Financial Fairplay 2 musim mendatang, praktis akan mengakibatkan pendapatan klub hanya berasal dari hak siar televisi, pemasukan komersial (spon-sorship dan penjualan merchandise) dan pemasukan dari tiket, (atau mungkin dari bandar judi internasional? who knows?)bukan dari pemilik. Bila melanggar, ten-tunya ada denda dari UEFA selaku badan eksekutif sepakbola Eropa dan pihak klub

Page 12: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-Februari Cinema

12

nggak boleh ikut kompetisi Eropa (UCL dan EL). Bravo!

Namun, faktanya nggak seindah itu. Financial Fairplay nggak sepenuhnya nutup jalan klub-klub kaya. Masih ban-yak celah yang bisa dimanfaatkan. Me-reka masih bisa menjadikan bisnis si pe-milik klub sebagai sponsor, terus dinaikin deh tuh nilai jualnya. Contoh: Manches-ter City yang mendapatkan £400jt dari hak 10 tahun penjualan nama stadionn-ya yang awalnya bernama City Of Man-chester menjadi Etihad Stadium. Nggak masuk akal mengingat Arsenal ngejual nama stadionnya ke Emirates hanya den-gan £90jt per 15 tahun. Selain itu, UEFA juga nggak ngatur soal pembangunan infrastuktur sebuah klub, celah yang juga dimanfaatkan Sheikh Mansour, si kon-glomerat minyak pemilik The Citizens yang secara jor-joran membangun 17 lokasiManchester City Youth Academy di sekitaran kota Manchester yang nge-gusur tempat-tempat kumuh disana. Akademi inilah yang akan menelurkan pemain-pemain berbakat, sehingga klub nggak perlu bergantung dari uang si Sheikh untuk pembelian pemain-pemain kelas dunia pada 10-20 tahun ke depan.

Bagaimana dengan tim-tim medioker seperti Reading, Newcastle United, Southampton dan yang lainnya? Udah nggak ada jalan lagi buat mereka untuk menandingi pendapatan klub-klub besar. Yang akan mereka dapatkan hanyalah imbas dari inflasi gaji (jelas, klub-klub kaya seperti Chelsea dan Manchester City sangat mampu membayar gaji lebih mahal dibanding klub-klub medioker) yang berakibat hilangnya para pemain andalan, ketidak mampuan mendatan-gkan pemain baru karena mahalnya har-ga pemain untuk ditransfer, dan tentu saja produktifitas youth academy yang je-

las akan kalah dari klub kaya. Yang kaya semakin kaya, yang miskin ya baka-lan gitu-gitu aja. Ah, kapitalisme....

Apa ngaruhnya buat kita? Kita juga bakal kena dampak kapitalisme itu, men! Financial Fairplay yang tidak me-mungkinkan adanya subsidi dari pemi-lik, memaksa klub untukmemaksimalkan pendapatannya. Jersey dan merchandise baru akan dirilis tiap musimnya, hargan-ya nggak bakal turun (kecuali yang KW), dan elo makin konsumtif. Harga tiket semakin mahal, lupain dah tuh nabung buat pergi ke Anfield. Harga jual hak siar televisi akan semakin jauh melonjak, mengakibatkan satu-persatu liga-liga eropa akan lenyap dari saluran televisi lokal, yang tersisa di televisi kita tingga-llah cerita berbelit tentang seorang anak perempuan yang nggak sengaja ketuker di Rumah Sakit.

Era baru sepakbola Eropa dimulai, sela-mat datang Financial Fairplay! Selamat tinggal kompetisi seimbang, selamat tin-ggal suporter kelas pekerja, selamat ting-gal hiburan rakyat.

Pratama HendriyatnoIlmu Politik 2011

@coberahh

Keeping Upwith HMIP

Page 13: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-FebruariCinema

13

Dalam rangka memberikan pemaha-man serta pengembangan diri bagi pe-rempuan dalam merepresentasikan ke-cantikan dan keindahan yang ada pada dirinya, khususnya untuk perempuan muda, Biro Kewirausahaan HMIP FISIP UI mengadakan acara Seminar Pengemban-gan Diri dengan mengusung tema ‘Bring Out the Beauty in You!’. Seminar ini di-tujukan untuk memberikan informasi seputar pengembangan kepribadian dan inner beauty yang dimiliki oleh setiap pe-rempuan agar dapat lebih percaya diri dan lebih mencintai dirinya sendiri.

Acara ini diselenggarakan pada 20 November 2012 lalu di Perpustakaan Pusat UI “The Crystal of Knowledge” lantai 5C dan dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan seperti mahasiswa UI, dosen Politik dan pers. Seminar Pengem-bangan diri ini menghadirkan Dr. Rose Mini AP, Mpsi selaku Dosen Psikologi UI, salah satu redaktur majalah NooR dan

Joddy Akbar selaku Abang Jakarta Utara 2010 sebagai pembicara, serta dimode-ratori oleh Anindita Nur Apsari dan Putri Radityasari.

Dalam rangka memberikan pemaha-man serta membantu perempuan dalam mengembangkan kepribadiannya karena kecantikan yang sempurna berasal tidak hanya dari luar, tapi juga dari dalam diri perempuan, Seminar Pengembangan Diri ini menjadi suatu inovasi baru dalam penyelenggaraan seminar di HMIP FISIP UI. Selain itu juga acara tersebut mem-berikan informasi dan pemahaman yang benar dan tepat kepada perempuan da-lam hal bagaimana berpenampilan yang baik dan memberikan inspirasi kepada perempuan untuk berani mengekspre-sikan kepribadiannya setiap waktu.

Rista Monica Giarno Putri@ristamonica

Ilmu Politik 2010

Bring Out the Beauty in You!

Keeping Upwith HMIP

Page 14: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-Februari

14

Keeping Upwith HMIP

Keeping Upwith HMIP

BPH IntiKetua Umum: Riza Imaduddin AbdaliWakil Ketua I: Serevinna SimanjuntakWakil Ketua II: Bening Karilla KinasihSekretaris Umum: Erfa CanisthyaSekretaris I: Ufairah Nur AzizahBendahara Umum: Siti Desfira UtamiBendahara I: Fanny Asmania

BPH UmumDepartemen KasospolKadep: Izzan FathurrahmanWakadep: Piebo Dimas PerdanaDepartemen Sos-AdKadep: Widya Nurul FauziahWakadep: Triana MitayaniDepartemen KeilmuanKadep: Dinuk Ayu WanditaWakadep: Ariella CindyDepartemen OlahragaKadep: Octa MyandaWakadep: Resti AsdaDepartemen SeniKadep: Ainani IfrahWakadep: Dwira Setya N.Biro KewirausahaanKabiro: Ayu RizkiyaniWakabiro: Ramadyani Febi LarasatiBiro PSDMKabiro: AtikahWakabiro: Elisabeth Bramanarasti

HMIP UI 2013

Page 15: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-Februari

Hari Peringatan Laut dan Samudera nasional - 15 JanuariHari Lahan Basah Sedunia - 2 FebruariHari Air Sedunia - 22 MaretHari Meteorologi Sedunia - 23 MaretHari Bumi - 22 AprilHari Penanaman Pohon - Jumat terakhir di bulan AprilHari Burung Migratori Internasional - 3 MeiHari Surya - 3 MeiHari Biodiversitas Dunia - 22 MeiHari Bersepeda Ke Kantor (Bike-to-Work Day) - Jumat Ketiga di bulan MeiHari Anti Tembakau Internasional - 31 MeiHari Lingkungan Hidup Sedunia PBB - 5 JuniHari Melawan Desertifikasi dan Kekeringan Dunia PBB - 17 JuniHari Populasi Dunia PBB - 11 JuliHari Peringatan Sedunia Untuk Mempertahankan Lapisan Ozon - 16 SeptemberHari Emisi Nol (Zero Emissions Day) - 20 SeptemberHari Bebas Mobil (Car Free Day) - 22 SeptembereDay - 4 Oktober di 2008Hari Habitat Dunia PBB - Senin pertama di bulan OktoberHari Peringatan Pengurangan Bencana Alam Dunia - Rabu Kedua di bulan OktoberHari Peringatan Sedunia untuk Mencegah Eksploitasi Lingkungan dalam Perang dan Konflik Bersenjata - 6 NovemberHari Pohon - 21 NovemberHari Gunung Sedunia - 11 DesemberHari Aksi Ozon - Pada waktu tertentu di musim panas

15

Keeping Upwith HMIP

Keeping Upwith HMIP

Hari Peringatan Lingkungan

Page 16: Grayscale Edisi 8/2012-2013

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-Februari

GrayscaleEdisi Kedelapan

GrayscaleEdisi Kedelapan Oktober-Februari

16

Kaleidoskop

HMIP FISIP UI 2012