granul agranul
TRANSCRIPT
PEMERIKSAAN SEL-SEL IMUN GRANULOSIT DAN AGRANULOSIT
Oktaviani Naulita TurnipB1J011021
LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOLOGI
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO
2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Darah merupakan cairan di dalam pembuluh darah, yang beredar ke
seluruh tubuh, mulai dari jantung dan segera kembali ke jantung. Fungsi utama
darah adalah mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh,
serta menyuplai jaringan tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa
metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun. Jenis-jenis
sel darah adalah sel darah putih atau leukosit, sel trombosit, dan sel eritrosit. Leukosit
dalam darah atau sel darah putih berperan sebagai sistem imunitas tubuh. Leukosit
terbagi menjadi dua yaitu granulosit dan agranulosit. Granulosit adalah sel darah
putih yang didalamnya terdapat granula mempunyai sitoplasma dan nukleus,
sedangkan agranulosit merupakan bagian dari sel darah putih yang mempunyai satu
sel lobus dan sitoplasmanya tidak mempunyai granula
Proses pembentukan darah secara umum disebut hematopoiesis. Sel darah ini
tidak abadi di dalam tubuh, suatu ketika akan mengalami kerusakan dan Leukosit
merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh. Pembentukan sel darah
putih disebut leukopoiesis yang sebagaian besar diproduksi di sumsum tulang
(granulosit, monosit dan sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan limfe (limfosit
dan sel-sel plasma). Saat awal proses leukopoiesis, seluruh sel darah putih yang
belum matang terlihat serupa, namun saat perkembangannya memperlihatkan
karakter yang unik. Sel-sel ini diangkut dalam darah menuju berbagai bagian tubuh
untuk digunakan. Sel granulosit dan monosit dibentuk di sumsum tulang, sedangkan
sel limfosit sebagian dibentuk di jaringan limfe. Manfaat dari sel darah putih ialah
kebanyakan ditranport ke daerah yang terinfeksi dan mengalami peradangan serius,
jadi, sel-sel tersebut dapat menyediakan pertahanan terhadap semua hal yang
infeksius.
Sistem imun adalah suatu mekanisme pertahanan tubuh dari segala macam zat
atau bahan yang membahayakan. Pertahanan imun terdiri dari sistem imun alamiah
atau non-spesifik dan spesifik. Sistem imun non-spesifik diantaranya sel
mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear atau granulosit.
Kedua sel tersebut tergolong fagosit dan berasal dari sel asal hemopoietik.
Komponen-komponen utama sistem imun non-spesifik adalah pertahanan fisik dan
kimiawi seperti epitel dan substansi antimikroba yang diproduksi pada permukaan
epitel. Berbagai jenis protein dalam darah termasuk diantaranya komponen-
komponen sistem komplemen, mediator imflamasi lainnya dan berbagai sitokin. Sel-
sel fagosit yaitu sel-sel polimorfonuklear, makrofag dan sel NK (Natural Killer).
Sistem imun non spesifik meniadakan antigen dengan cara fagositosis. Tubuh
memiliki sel-sel fagosit yang termasuk dalam 2 kelompok sel yaitu sel agranulosit
dan sel granulosit. Fagositosis merupakan proses memakan atau menghancurkan
benda asing yang dilakukan oleh sel fagosit. Sel utama yang melakukan fagositosis
adalah sel mononuklear (monosit dan makrofag) dan sel polimorfonuklear
(granulosit). Sel granulosit termasuk dalam sel fagosit polymorfonuklear terdiri dari
neutrofil, eosinofil, dan basofil. Neutrofil mengandung granula yang dapat tercat
asam dan basa, sehingga berwarna ungu. Sel ini paling banyak prosentasenya dalam
darah. Eosinofil akan tercat asam (eosin). Basofil akan tercat basa (hematoksilin). Sel
agranulosit disebut juga sel fagosit mononuclear yang terdiri dari monosit dan
makrofag. Peran utama sel fagosit mononuklear ialah melakukan fagositosis dan
menghancurkan partikel asing dan jaringan mati, dan mengolah bahan asing
demikian rupa sehingga bahan asing tersebut dapat membangkitkan sistem imun.
B. Tinjauan Pustaka
Pertahanan imun terdiri dari sistem imun alamiah atau nonspesifik
(natural/innate) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired). Sistem imun
nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan
berbagai mikroorganisme, tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu dan
telah ada dalam tubuh kita dan berfungsi setelah kita lahir. Sistem imun spesifik
hanya dapat menghancurkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya sehingga
disebut spesifik. Bila tubuh terpajan kembali dengan benda asing yang sama , maka
benda asing tersebut akan dikenal lebih cepat kemudian dihancurkan (Baratawidjaya,
2002).
Salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya
antigen adalah dengan cara meniadakan antigen tersebut, secara non spesifik yaitu
dengan cara fagositosis. Dalam hal ini tubuh memiliki sel-sel fagosit, yang termasuk
dalam 2 kelompok sel, yaitu kelompok sel agranulosit dan granulosit. Kelompok sel
agranulosit adalah monosit dan makrofag, sedangkan yang termasuk kelompok sel
granulosit adalah neutrofil, basofil, eosinofil, yang tergolong ke dalam sel PMN
(Polymorphonuclear) (Bevelander, 1988).
Sistem imun nonspesifik tidak diperoleh akibat adanya kontak dengan
antigen. Sifatnya nonspesifik dan dapat melindungi tubuh dari banyak patogen
potensial. Mekanisme tersebut tidak menunjukkan spesifitas dan tidak tergantung
pengenalan spesifik bahan asing. Termasuk dalam kelompok ini adalah pelindung
tubuh dari penyebab infeksi, seperti kulit dan sistem mukosa, sel NK, mekanisme
fagositosis dan inflamasi. Faktor nonspesifik yang lain bervariasi, dipengaruhi oleh
usia, faktor hormonal atau aktivitas metabolisme (Brooks et al.,, 2010).
Fagositosis merupakan proses memakan atau menghancurkan benda asing
yang dilakukan oleh sel fagosit. Sel utama yang melakukan fagositosis adalah sel
mononuklear (monosit dan makrofag) dan sel polimorfonuklear (granulosit). Kedua
sel tersebut termasuk fagosit dan berasal dari sel asal hemopoetik. Granulosit hidup
pendek, mengandung granul yang berisikan enzim hidrolitik. Beberapa granul
berisikan pula laktoferi yang bersifat bakterisidal. Selain fagositosis, respon
immunologik non spesifik yang lain, seperti inflamasi dapat terjadi akibat
dilepaskannya mediator-mediator tertentu oleh beberapa jenis sel seperti basofil yang
melepas histamin. Mediator tersebut mengakibatkan diantaranya adalah bergeraknya
sel-sel PMN menuju ke tempat masuknya antigen (Baratawidjaya, 2002).
Jenis sel fagosit menurut Bevelander (1988) ada 2 yaitu fagosit mononuklear
dan fagosit polimorfonuklear adalah sebagai berikut:
Fagosit Mononuklear
1. Sel Monosit: Monosit bentuknya seperti limfosit besar, berdiameter 9-12,
mempunyai sitoplasma yang banyak. Inti berbentuk seperti ginjal, atau
mempunyai lekuk yang dalam (fisurra). Dapat bergerak aktif dan dapat
mengadakan fagositosis. Kadang-kadang dijumpai monosit dengan inti bulat
ssehingga sukar dibedakan dengan limfosit besar dan dianggap sebagai bentuk
muda monosit. Persentase dalam sel leukosit sebesar 2-8%.
2. Sel Makrofag: Setelah 24 jam, sel monosit akan bermigrasi dari peredaran darah
ke tempat tujuan akhir di berbagai jaringan dan akan berdeferensiasi menjadi
makrofag. Sel fagosit polimorfonuklear dibentuk dalam sumsum tulang dan
hidup selama 2-3 hari. Granulosit merupakan 60-70% dari seluruh jumlah
leukosit normal.
Fagosit Polimorfonuklear
1. Neutrofil: Sel ini paling banyak presentasenya dalam darah 70% dari jumlah
leukosit yang beredar dalam sirkulasi. Bentuk sel bulat, dengan diameter 7-9,
mempunyai banyak segmen (lobi). Jumlah segmen menunjukkan umur neutrofil
ssemakin tua jumlah segmen semakin banyak.
2. Eosinofil: Merupakan 2-5% dari leukosit orang sehat tanpa alergi. Diameter sel
9, dan berbentuk bulat. Inti biasanya mempunyai 2 lobi yang dihubungkan oleh
benang kromatin. Sitoplasmanya tipis dibagian perifer sel. Granulanya kasar,
bulat dan tercat merah dengan cat asam. Eosinofil juga berfungsi sebagai fagosit.
Persentase dalam darah 1-3%.
3. Basofil: Jumlah sel basofil yang ditemukan dalam sirkulasi darah sangat sedikit
yaitu kurang dari 0,5% (0-1%) dari jumlah leukosit. Sel basofil berfungsi sebagai
mediator dan dapat melepaskan bahan-bahan yang mempunyai aktivitas biologik.
Bentuk sel basofil, hampir sama dengan neutrofil dan mempunyai diameter 10.
Sel yang memegang peranan penting dalam respon immun spesifik adalah
limfosit. Limfosit seperti halnya monosit, termasuk ke dalam kelompok sel granulosit
tetapi terdapat perbedaan fungsi antara limfosit dan monosit. Monosit berperan dalam
respon immun non-spesifik, sedangkan limfosit berperan dalam respon immun
spesifik. Limfosit mempunyai 2 populasi, yaitu limfosit T (sel T), yang berperan
dalam respon imun seluler, serta limfosit B (sel B) yang berperan dalam respon
immune humoral (Baratawidjaya, 2002).
Limfosit kecil dan limfosit besar dapat ditemukan dalam darah. Limfosit kecil
berbentuk bulat (sferis) dengan diameter 6-8. Inti relatif besr, dikelilingi oleh
sitoplasma yang tipis. Bentuk inti bulat, pada pengecatan Giemsa, tampak gelap.
Biasanya ada penggumpalan sitoplasma ditepi intinya atau pada inti ada bagian yang
sedikit melekuk. Sitoplasma homogen dan bersifat basa. Limfosit besr berdiameter
lebih besar dari 8, inti relatif sama besar dengan inti limfosit kecil. Perbedaannya
terletak pada sitoplasmanya. Apabila terdapat tantangan antigen, maka akan terjadi
respon immunologik spesifik, yang dapat berupa penningkatan jumlah limfosit yang
melebihi jumlah limfosit normal (Bevelander, 1988).
C. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah mengetahui jenis dan bentuk-bentuk sel
imun seperti monosit, neutrofil, basofil, eosinofil dan limfosit serta untuk
menghitung kadar sel-sel tersebut dalam darah.
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
II. MATERI DAN METODE
A. Materi
Bahan yang digunakan dalam praktikum Pemeriksaan Sel-Sel Imun
Granulosit dan Agranulosit adalah sampel darah methanol, larutan giemsa, akuades,
dan minyak imersi. Alat yang digunakan adalah object glass, mikroskop, cawan
petri, jarum suntik, dan tissue.
B. Metode
Skematis metode pemeriksaan sel-sel imun granulosit dan agranulosit adalah
sebagai berikut:
Alur menghitung leukosit, sebagai berikut :
Dicuci dengan air mengalir (debit
kecil)
Fiksasi dengan metanol 5 menit
Sampel darah diteteskan di object glass
Sampel darah apuskan
Ditetesi dengan giemsa, diamkan 25 menit
Dikeringkan
diamati menggunakan mikroskop
Dihitung leukositnya
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Data Pengamatan Pemeriksaan Sel-Sel Immun Granulosit dan Agranulosit
Kelompok Sampel Darah Jenis Sel Jumlah %
1 Mencit Basofil
Neutrofil Batang
Neutrofil segmen
Eosinofil
Limfosit besar
Limfosit kecil
Monosit
1
-
-
-
-
-
-
0.01
-
-
-
-
-
-
2 Ayam Basofil
Neutrofil Batang
Neutrofil segmen
Eosinofil
Limfosit besar
Limfosit kecil
Monosit
10
1
11
5
1
-
1
35,71
3,57
3,57
17,85
3,57
-
3,57
3 Manusia Basofil
Neutrofil Batang
Neutrofil segmen
Eosinofil
Limfosit besar
Limfosit kecil
Monosit
-
8
3
-
53
36
-
-
0,8
0,3
-
53
36
-
4 Ikan Basofil
Neutrofil Batang
Neutrofil segmen
Eosinofil
Limfosit besar
Limfosit kecil
Monosit
5
-
-
-
-
-
-
0.05
-
-
-
-
-
Gambar Sel Darah Ayam
Perhitungan Persentasi :
1. Limfosit = 1 X 100 % = 3.75 % 28
2. Eosinofil = 5 X 100 % = 17.85 %
28
3. Batang = 1 X 100 % = 3.75 % 28
4. Segmen = 11 X 100 % = 39.28 % 28
5. Monosit = 1 X 100 % = 3.75 % 28
6. Basofil = 10 X 100 % = 35.71%
B. Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang dilaksanakan diperoleh data bahwa dalam satu
tetes darah sampel ayam yang diamati dibawah mikroskop dalam beberapa lapang
pandang berbeda diperoleh hasil bahwa ditemukan basofil (35.71%), Hal ini tidak
sesuai dengan nilai normal basofil dalam darah yaitu 0-1% berarti sampel darah
dalam keadaan tidak sehat, jumlah neutrofil terbagi dalam neutrofil batang 3.75%
dan neutrofil segmen 3.75%, eosinofil 17.85%, limfosit sebanyak 3.75%, monosit
sebanyak 3.75%. Hal ini tidak sesuai dengan nilai normal darah dimana Neutrofil
Segmen 50 -70 %, Neutrofil batang 2 – 6 %, Eosinofil 1 – 3 %, Monosit 2 – 8 %,
Limfosit 20 – 40 % (Underwood, 1999). Kelompok 1 yaitu sampel darah mencit
(Mus musculus) hanya diketahui jumlah basofil 1%. Hal ini serupa dengan yang
dialami kelompok 4 yaitu kelompok yang menggunakan sampel darah ikan hanya
mendapatkan 5% basofil. Kelompok 3 yang menggunakan sampel darah manusia
mendapatkan hasil yang beragam, didapatkan Neutrofil Batang 1%, Neutrofil segmen
3%, Limfosit besar 53%, Limfosit kecil 36%. Nilai dari hasil pemeriksaan sel-sel
sistem imun pada praktikum ini apabila dibandingkan dengan nilai standar terdapat
beberapa perbedaan yang cukup nyata yaitu pada yaitu jenis sel limfosit yang didapat
seharusnya berjumlah sekitar 20-40%, monosit 2-8%. Pada neutrofil segmen yang
seharusnya 50-70 %, neutrofil batang nilai normalnya berkisar 2-6%, eosinofil nilai
standarnya 1-3 %, dan basofil berkisar antara 0-1% (Guyto, 1990). Perbedaan
persentase ini dimungkinkan terjadi karena ketidaktelitian praktikan dalam
mengamati dan menghitung sel-sel sistem imun karena perbedaan sel-sel leukosit
satu dengan yang lainnya tidak terlihat dengan jelas. Hal tersebut bisa juga karena
orang yang diamati sel darahnya dalam keadaan tidak normal atau sedang terinfeksi
penyakit sehingga jumlah sel darah bisa berkurang atau lebih (Wildman,1995).
Sel darah dalam sirkulasi khususnya neutrofil, monosit, eosinofil, limfosit,
basofil dan trombosit. Menurut Purwanto (2010) penghitungan jumlah leukosit
merupakan pemeriksaan darah rutin yang meliputi hemoglobin, LED, jumlah leukosit
dan hitung jenis leukosit (eosinofil, basofil, batang, netrofil, limfosit & monosit).
Leukosit dalam darah jumlahnya lebih sedikit dibandingkan eritrosit dengan rasio 1 :
700 (Frandson, 1986). Jumlah eritrosit dan jumlah leukosit yang ada mencit, ikan dan
manusia menunjukan jumlah yang berbeda. Menurut Bevelander dan Ramaley
(1988), besarnya jumlah leukosit mencit selalu dipengaruhi oleh jumlah eritrosit,
jumlah leukosit selalu lebih rendah daripada jumlah eritosit. Jumlah leukosit pada
mencit yaitu berkisar antara 20.000-150.000 sel/mm3 (Lagler et al., 1977). Jumlah
leukosit ikan umumnya 650 – 750.000 sel/ml3. Darah manusia normalnya
mengandung leukosit rata-rata 5000-9000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12.000,
keadaan ini disebut leukositosis, bila kurang dari 5000 disebut leucopenia (Mansjoer
et al., 2010).
Kepekaan tubuh terhadap benda asing (antigen 0 akan menimbulkan reaksi
tubuh yang dikenal sebagai Respon imun Respon imun ini mempunyai dampak
positif terhadap, tubuh yaitu dengan timbulnya suatu proses imunisasi kekebalan
tubuh terhadap antigen tersebut, dan dampak negatifnya berupa reaksi
hypersensitifitas. Hypersensitifitas merupakan reaksi yang berlebihan dari tubuh
terhadap antigen dimana akan mengganggu fungsi sistem imun yang menimbulkan
efek protektif yaitu merusak jaringan. Proses kerusakan yang paling cepat terjadi
berupa degranulasi sel dan derifatnya (antara lain sel basofil, set Mast dan sel
plasma) yang melepaskan mediator-mediatonya yaitu histamin, serotonin, bradikinin,
SRS=A, lekotrin Eusinohil chemotactic Factor (ECF) dan sebagainya. Reaksi tubuh
terhadap pelepasan mediator ini menimbulkan penyakit berupa asthma bronchial,
rhinitis aIergika, urtikaria, diaree dan bisa menimbulkan shock. Secara lambat akan
terjadi reaksi kerusakan jaringan berupa sitolisis dari sel-sel darah merah sitotokis
terhadap organ tubuh seperti ginjal (glomeruloneftitis), serum siknesdermatitis
kontak, reaksi tuberculin dan sebagainya, rheumatoid arthritis. coom dan gell
membagi 4 jenis sesitifitas, dimana dapat dilihat apa yang terjadi pada sel-sel
leukosit. Pada type I (padareaksi anafilaktik) terjadi antigen bergabung dengan IgE
(imunoglobin tipe E-antibodies tipe E) yang terikat pada mast sel -sel basofil dan sel
plasma. Reaksi terhadap tubuh terjadi dalam beberapa menit (Gamaleila, 2010).
Pada type II (pada reaksi sititoksik) dimana antigen mengikat diri pada
membran sel, yang pada penggabungan anti gen mengikat IgG atau IgM yang bebas
dalam cairan tubuh akan menghancurkan sel yang mengikat anti gen tersebut. Reaksi
ini terdapat pada tranfusi darah, anemia hemolitika. Type III ( reaksi artrhus )
merupakan reaksi anti gen dan antibody komplek dimana gen bergabung dengan IgG
atau IgM menjadi suatu komplek, yang mengikat diri antara lain sel-sel ginjal, paru-
paru dan sendi. Terjadilah aktifitas dari komplemen (komplemen protein dalam
darah) dan pelepasan zat-toksis. Ditemui pada glomerulo nephritis, serum scness,
rheumatk arthritis. Type IV ( delayed ), antigen merupakan sel protein atau sel asing
yang bereaksi dengan limfosit, limfosit melepaskan mediator aktif yaitu limfokin,
terjadi reaksi pada kulit, reaksi pada tranplantasi, reaksi tuberculin dan dermatitis
kontak. Imonopatogenesis. Pada Imunopatologi menjelaskan bahwa reaksi alergi
diawali dengan tahap sensit, kemudian diikuti reaksi ale yang terlepas dari sel-sel
mast (mastosit) dan atau sel basofil yang berkontak ulang dengan allergen
spesifiknya. Saat ini lebih jelas terutama pada rhinitis alergika diketahui terdiri dari
dua fase, pertama reaksi alergi fase cepat (RAFC,immediet phas-allergic reaction),
berlangsung sampai satu jam setelah berkontak alergan kedua, reaksi alergis fase
lambat (RAFL, Late phase allergic reaction) yang berlangsung sampai 24 jam bahkan
sampai 48 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 4 – 8 jam pertama (Gamaleila,
2010).
Komponen sel darah putih yang berperan aktif terhadap antigen yaitu
makrofag. Makrofag dapat hidup lama mempunyai beberapa granul dan melepas
berbagai bahan, antara lain lisozim, komplemen, interferon, dan sitokin yang
semuanya memberikan kontribusi dalam pertahanan non-spesifik. Menurut fungsinya
makrofag dibagi dua golongan pertama fagosit professional dan Antigen Presenting
Cell (APC). Sel-sel imun non-spesifik seluler terdiri dari sel fagosit. Istilah lamanya
adalah Reticulo Endhothelial System (RES) yang merupakan sebutan kolektif untuk
semua sel fagosit yang hidup lama diseluruh jaringan tubuh. Sekarang, sistem
tersebut disebut sistem fagosit makrofag (Bevelander, 1988). Menanggapi sinyal
imunitas bawaan dengan limfosit sebagai mediatornya, fagosit mononuklear
berfungsi sebagai komponen adaptif terhaadap mikroba, perlukaan jaringan, dan
transformasi sel. Kemampuan makrofag untuk mereprogram fungsi kerjanya, pada
hal ini menjadi perbedaan antara imunitas bawaan dan respon adaptasi. Neutrofil
menunjukan adanya hubungan antara makrofag. Fungsi kerja makrofag memegang
peranan kunci dalam hal mengendalikan kondisi patologi (Biswas et al., 2010).
Menurut Underwood (1999), Beberapa faktor perubahan jumlah leukosit
dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Kuantitatif lebih penting dan sering
berharga untuk diagnosis.Pengetahuan tentang sebab dari naiknya jumlah berbagai
leukosit dalam darah tepi sangat bermanfaat.Perubahan kuantitatif seperti
leukositosis yang berarti bertambahnya jumlah leukosit yang beredar.Tergantung
pada penyebabnya, dapat berbentuk leukositosis polimorfonuklear (neukotrofilia-
bertambahnya leukosit neutrofil), monositosis, leukositosis eosinofil (eosinofilia),
leukositosis (basofilia) atau limfositosis. Penyebab reaktif leukositosis neutrofil,
ialah: sepsis (misalnya apendiksitis akut, pneumonia bakterialis), trauma (misalnya
operasi besar), infark (misalnya infark miokard), penyakit peradangan kronik
(misalnya SLE, penyakit reumatoid) neoplasma ganas, pengobatan steroid,
perdarahan akut atau hemolisis. Monosit dapat reaktif terhadap sepsis, infeksi kronis,
neoplasma ganas. Leukositosis eosinofil dapat reaktif terhadap alergi, parasit,
neoplasma ganas, kondisi yang lain. Limfositosis paling sering berkaitan dengan
infeksi, misalnya infeksi mononukleosis, tuberkulosis, dan sebagainya.Tetapi di
samping penyebab reaktif leukositosis tersebut, bertambahnya leukosit dapat terjadi
pada penyakit primer sumsum tulang, terutama pad leukemia.Pada beberapa kelainan
leukositosis dapat ditemukan ekstrim (misalnya sebanyak 100x109/I), terutama pada
anak-anak. Dapat juga ditemukan kecenderungan terdapatnya leukosit imatur,
terutama mielosit dan metamielosit, yang ada pada darah tepi.Berkurngnya jumlah
leukosit yang beredar disebut leukopenia.
Menurut Rena (2010), diantaranya defisiensi granulosit neutrofil-
neutropenia. Limfopenia lebih jarang ditemukan dan biasnya disebabkan oleh
pemakaian obat sitotoksik dan pengobatan proses ganas, atau oleh radiasi, dan juga
merupakan gambaran dari infeksi HIV. Neutropenia sering ditemukan dalam
kaitannya dengan berkurangnya sel darah yang lain, yang merupakan bagian dari
pansitopenia. Penyebab pansitopenia yang penting ialah: kegagalan sumsum tulang,
anemia megaloblastik, hipersplenisme, sepsis hebat, rasial, autoimun, pengaruh obat,
siklikal. Secara klinis, neutropenia hanya sementara dan kambuhan, dengan periode
3-4 minggu. Perubahan kualitatif leukosit kurang penting dibandingkan dengan
perubahan kuantitatif. Total aktifitas dari fagositosis leukosit dapat dilihat dengan
isolasi dari leukosit atau isolasi darah secara keseluruhan (Gamaleia et al., 2006).
Leukosit adalah sel darah putih yang memiliki peranan sebagai imunitas. Sel-
sel leukosit terdiri dari berbagai macam bentuk sel yang terbagi menjadi sel yang
bergranula dan yang tidak memiliki granula. Leukosit yang bergranula adalah
basofil, eosinofil, dan neutrofil, sedangkan leukosit yang tidak bergranula adalah
limfosit dan monosit. Sedangkan yang termasuk ke dalam sistem imun spesifik
adalah limfosit. Limfosit berfungsi mengatur dan bekerja sama dengan sel-sel lain
dalam sistem fagosit makrofag untuk menimbulkan respon imunologik. Limfosit
terbagi menjadi dua, yaitu limfosit T (sel T) yang berperan dalam respon imun
seluler, serta limfosit B (sel B) yang berperan dalam respon imun humoral
(Baratawidjaya, 2002).
Ciri-ciri dari beberapa sel leukosit menurut Daniel (1999) adalah sebagai
berikut:
a. Neutrofil, ukuran 2x lebih besar dari sel darah merah, intinya mempunyai banyak
lobus sitoplasma Ciri tidak terwarna, jumlah 3000-7000 juta/l, siklus hidup 6jam-
1 hari.
b. Eosinofil, ukuran sama dengan neutrofil granula lebar berwarna merah nukleus
dengan 2 lobi jumlah dalam darah 100 – 400 juta/l, siklus hidup 8-12 hari.
c. Basofil, lebih kecil dari neutrofil granula berwarna ungu, nukleus dengan dua
lobi, jumlah 20-50juta/l, siklus hidup 1hari.
d. Monosit, lebih besar dari neutrofil sitoplasma bewarna biru abu-abu, sitoplasma
tidak bergranula, jumlah 100-700juta/l darah, siklus hidup 1 bulan.
e. Limfosit, lebih kecil dari neutrofil, jumlah 1500-3000/l. Siklus hidup bertahun-
tahun.
Limfosit pada manusia berjumlah 20-25% dari seluruh jumlah sel darah
putih. Limfosit yang besarnya relatif sedikit dalam jumlahnya dan kenaikan dalam
ukuran besarnya adalah akibat dari adanya sejumlah besar sitoplasma. Sitoplasma itu
biasanya mengandung beberapa mitokondria yang terpencar dan granula-granula.
Dari hasil yang ada ternyata tidak sesuai dengan referensi yang ada. (Bevelander,
1988). Limfosit lebih umum dalam sistem limfa. Darah mempunyai tiga jenis
limfosit yaitu :
Sel B: Sel B membuat antibodi yang mengikat patogen lalu menghancurkannya.
(Sel B tidak hanya membuat antibodi yang dapat mengikat patogen, tapi setelah
adanya serangan, beberapa sel B akan mempertahankan kemampuannya dalam
menghasilkan antibodi sebagai layanan sistem 'memori'.)
Sel T: CD4+ (pembantu) Sel T mengkoordinir tanggapan ketahanan (yang
bertahan dalam infeksi HIV) sarta penting untuk menahan bakteri intraseluler.
CD8+ (sitotoksik) dapat membunuh sel yang terinfeksi virus.
Sel Natural Killer (NK) : Sel pembunuh alami, dapat membunuh sel tubuh yang
tidak menunjukkan sinyal bahwa dia tidak boleh dibunuh karena telah terinfeksi
virus atau telah menjadi kanker.
Limfosit mempunyai sifat morfologis yang paling karakteristik, yaitu
terdapatnya nucleus besar yang padat, dengan suatu takik pada satu sisi. Limfosit ini,
berbentuk bola dan berukuran 6-8 μm. Limfosit yang besar hanya relative sedikit
dalam jumlahnya dan kenaikan ukuran besarnya adalah akibat dari adanya sejumlah
besar sitoplasma yang mengandung beberapa mitokondria. Sel limfoid berasal dari
sel induk pluripotensial di dalam sumsum tulang (Daniel, 1999)..
Salah satu upaya untuk mempertahankan diri terhadap masuknya antigen,
misalnya antigen bakteri adalah menghancurkan bakteri bersangkutan secara non-
spesifik dengan proses fagositosis, tanpa memperdulikan perbedaan-perbedaan kecil
yang ada diantara substansi-substansi asing. Leukosit yang termasuk fagosit
memegang peran yang amat penting, khususnya makrofag, neutrofil dan monosit.
Agar terjadi fagositosis, bakteri tersebut harus melekat pada permukaan fagosit.
Untuk mencapai hal itu semua, maka fagosit harus bergerak menuju sasaran. Hal ini
dimungkinkan karena dilepaskannya zat atau mediator tertentu yang disebut faktor
leukotaktik atau kemotaktik yang berasal dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh
neurofil atau makrofag yang sebelumnya telah berada di lokasi bakteri, atau yang
dilepaskan oleh komplemen (Baratawidjaja, 2002).
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Sistem imun terbagi menjadi 2 sistem imun nonspesifik dan sistem imun spesifik.
2. Sistem imun nonspesifik terbagi menjadi pertahanan humoral dan seluler,
meliputi sel polimorfonuklear (PMN), sel mononuklear, sel NK, interferon,
komplemen
3. Sistem imun spesifik adalah limfosit yang terdiri dari limfosit T dan limfosit
4. Hasil perhitungan sel-sel sistem imun darah ayam dalam praktikum pada
kelompok 2 didapatkan ditemukan adanya linfosit, eosinofil, basofil, neutrofil
batang, neutrofil segmen dan monosit, dengan proporsi neutrofil bentuk segemen
ditemukan paling banyak dibandign komponen sel darah putih lainnya.
DAFTAR REFERENSI
Baratawijaja, K. G. 2002. Imunologi Dasar. Edisi 5. FKUI Press, Jakarta.
Bevelander, G dan J. A. Ramaley. 1988. Dasar-dasar Histologi. Erlangga, Jakarta.
Biswas K. S. and A. Mantovani. 2010. Macrophage plasticity and interaction with lymphocyte subset : cancer as a paradigm. Nature Immunology (11) : 10.
Brooks, G.F; J.S. Butel; S.A.Morse. 2010. Medical Microbiology 20th ed. McGraw-Hill, New York.Frandson, R. D. 1986. Anatomy and physiology of Farm Animals. Lea and Febiger, Philadelphia.
Daniel, D.C. 1999. Human Biology Health, Homeostasis, and The Environment. Jones and Barltet, Toronto.Lagler, K. F. J., E. Bardach dan R. R. Miller. 1977. Ichtiology. John Wiley and Sons Inc, Canada.
Frandson, R. D. 1986. Anatomy and physiology of Farm Animals. Lea and Febiger, Philadelphia.
Gamaleila, 2010. Circadian Rhytmus of Cytotoxic Activity in Peripheral Blood Mononuclear Cells of Patiens With Malignant Melanoma, Experimental Oncology (28) : 54-60.
Lagler, K. F. J., E. Bardach dan R. R. Miller. 1977. Ichtiology. John Wiley and Sons Inc, Canada.
Mansjoer, A.K., Rakhmi S., Wahyu I.W., dan Wiwiek S. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta.
Susatyo, P. 2012. Metode Umum Pembuatan Preparat Hewan dan Tumbuhan. fakultas Biologi. Unsoed, Purwokerto.
Underwood, J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. EGC, Jakarta.
Widman F.K. 1995. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemerikasaan Laboratorium. EGC. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.