geografi pembangunan
DESCRIPTION
TUGAS INDIVIDU AKHIRRESPONS PAPERTiap-tiap Topik Perkuliahan Mata Kuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK /2 SKS)GEOGRAFI PEMBANGUNANOleh:Aprizon PutraNim: 89059/07Dosen:Dra.Hj.Kamila Latif, MS Ahyuni, ST, M.SiJURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI PADANG 20081Kompetisi dasar dalam Instrument Responspaper Panduan selama 1 Semester PerkuliahanMata Kuliah Kelompok Mata Kuliah Jurusan Dosen Pengampu : Geografi Pembangunan : Mata Kuliah KeilmuanTRANSCRIPT
1
TUGAS INDIVIDUAKHIR
RESPONS PAPER
Tiap-tiap Topik PerkuliahanMata Kuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK /2 SKS)
GEOGRAFI PEMBANGUNAN
Oleh:
Aprizon PutraNim: 89059/07
Dosen:
Dra.Hj.Kamila Latif, MSAhyuni, ST, M.Si
JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFIFAKULTAS ILMU-ILMU SOSIALUNIVERSITAS NEGERI PADANG
2008
2
Kompetisi dasar dalam Instrument Responspaper Panduanselama 1 Semester Perkuliahan
Mata Kuliah : Geografi PembangunanKelompok Mata Kuliah : Mata Kuliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK)Jurusan : Pendidikan Geografi FIS UNPDosen Pengampu : Dra.Hj.Kamila Latif,MS
Ahyuni,ST,M.Si
1. Mendeskripsikan Konsep-konsep dasar Geogarfi dan pembangunanTopik I : Geografi dan PembangunanTopik II : Pertumbuhan dan PembangunanTopik III : Indikator Pertumbuhan dan Pembangunan
2. Mendeskripsikan teori-teori Pembangunan dan pendekatan Geogarfiyang terkait erat dengan Pembangunan :
Topik IV : Teori Pembangunan dan ModernisasiTopik V : Teori Pertumbuhan yang terkait dengan Ruang dan wilayahTopik VI : Konsep Wilayah dan lokasiTopik VII : Teori Konektivitas dan Model GravitasiTopik VIII : Teori Lokasi
3. Mengevaluasi isu-isu sentral pembangunan dan Pengaruhnya terhadapkehidupan.
Topik IX : DualismeTopik X : Masalah ketimpangan dan kemiskinanTopik XI : Gender dan PembangunanTopik XII : Dinamika pola pertanian di IndonesiaTopik XIII : Pembangunan Regional
4. Mengidentifikasi aspek Geogarfi dalam Pembangunan.Topik XIV : Aspek Geografi dalam Pembangunan
3
Mendeskripsikan Konsep-konsep dasar Geografi dan Pembangunan
Topik I .Geografi dan Pembangunan
I. Konsep Geografi
Geografi baik sebagai pengetahuan maupun sebagai ilmu, masih belum dikenal
luas di masyarakat Indonesia, meskipun hakekatnya tiap orang telah memiliki
pengetahuan tersebut. Berdasarkan konsep yang ditemukan diatas, jelas bahwa geografi
tidak hanya terbatas sebagai suatu deskripsi tentang bumi atau permukaan bumi,
melainkan meliputi analisa hubungan antara aspek/faktor fisis dengan pola serta hakekat
umat manusia. Dengan demikian, pada studi Geografi, perhatian dan analisa tidak hanya
ditujukan kepada alam lingkungan, melainkan juga berkenaan dengan umat manusia serta
hubungan diantara keduanya.
Disini pun juga ditegaskan bahwa geografi merupakan bidang ilmu yang mencoba
menemukan, mendiskripsikan dan menafsirkan karakter variable dari tempat ketempat
lainnya dibumi sebagai dunia kehidupan manusia. Pada pengertian yang terakhir karakter
geografi itu lebih ditekankan, yaitu berkenaan yaitu dengan tempat dibumi, tidak ada
bidang ilmu yang lain yang menonjolkan aspek tempat atau aspek ruang, kecuali
geografi. Ciri khas studi geografi yang berbeda dengan studi lain yaitu berkenaan dengan
tempat ini. Hal lain yang perlu dikemukakan dan perlu pula diketahui bersamaan bahwa
yang menjadi objek studi geografi, bukan hanya alam fisik yang menjadi tempat dan
sumber daya bagi kehidupan manusia, melainkan juga manusia dengan segala dan
perubahan perilakunnya, dan bahkan interalisasi keduanya, menjadi objek studi yang juga
memberikan karakter kepada ilmu geografi.
Dipihak lain juga studi geografi yang mengkhususkan diri mempelajari alam
lingkungan (physical geography), tidak saja mempelajari alam (udara, air, batuan, gejala
gempa dan lain sebagainya) hanya untuk mengetahui gejala alam tersebut, melainkan
untuk mengungkap “pentingnya” alam bagi kehidupan umat manusia. Inilah salah satu
ciri khas dari geogarfi dan studi geografi.
4
II. Nilai Geografi
Sebagai suatu bidang pengetahuan dan ilmu, geografi memiliki nilai teoritis dan
nilai praktis. Geogarfi sebagai ilmu penelitian (geography as a research discipline), tidak
hanya bernilai teoritis bagi kepentingan pngembangan diri sebagai suatu ilmu, melainkan
dapat dimanfaatkan secara praktis bagi perencanaan dan pembangunan daerah
(Regional).
Geografi sebagai bidang inkuiri seperti yang telah dikemukakan terdahulu, tidak
hanya merangsang untuk berfikir bagi siapa yang melakukannya, melainkan lebih jauh
dari pada itu dapat mempertajam penghayatan terhadap apa yang ada dan terjadi
dipermukaan bumi ini. Dengan perkataan lain, geografi memiliki nilai edukatif bagi siapa
yang mempelajarinya, dalam arti dapat meningkatkan kognisi, afeksi dan psikomotod
yang mempelajarinya, lebih dari pada itu, dengan mempelajari geogarfi kita dapat
menghayati keberadaan diri kita dialam raya, keberadaan bumi dialam raya, fungsi dan
peranan kita terhadap lingkungan ada nilai yang menghubungkanya atau dengan
perkataan lain, geogarfi itu memiliki nilai filsafat. Pada akhirnya sesuai dengan
penghayatan dan kesadaran yang tinggi dalam mempelajari ilmu geografi , kita menjadi
bertambah dekat dengan alam lingkungan, dengan alam raya dan merasa dekat dengan
Tuhan Yang Maha Pencipta.
III. Pembangunan Berpijak Kepada Ruang dipermukaan Bumi
Pembangunan, baik yang berkenaan dengan aspek fisik maupun non fisik, tidak
dapat dilepaskan dari permukaan bumi sebagai ruang tempat pembangunan itu
berlangsung. Oleh karena itu, perancangan, perencanaan, telaah kelayakan
danpelaksanaan pembangunan, berarti merancang, merencanakan, menelaah kelayakan
dan melaksanakan pembangunan ruang dipermukaan bumi, dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan umat manusia sesuai dengan nilai geografi seperti yang telah dikemukakan
diatas. Pembangunan non fisik seperti pembangunan pendidikan, kesehatan, ekonomi,
budaya dan lain-lainnya, memerlukan sarana dan prasarana. sarana dan prasarana tadi
memerlukan lahan yang diambil dari permukaan bumi. Oleh karena itu, pembangunan
tidak dapat dilepaskan dari ruang yang berada di permukaa bumi.
5
Pembangunan fisik seperti jalan, jembatan,lapangan terbang, pelabuhan, gedung
dan lain-lainnya. Jelas sekali berpijak pada ruang yang ada di permukaan bumi. Prasarana
dan sarana fisik tadi mengambil lahan dipermukaan bumi. Untuk membangun prasarana
dan sarana, memerlukan bahan yang digali dari permukaan bumi ini.
IV. Sumbangan Geografi terhadap Pembangunan
Geografi sebagai ilmu penelitian, dapat mengembangkan teori, konsep, asas dan
generalisasinya bagi pengembangan dirinya sendiri, disini ia bergerak dalam bidang teori.
Peranan yang sama yaitu sebagai ilmu penelitian (geography as research discipline),
dimanfaatkan juga dalam menyusun rancangan, perencanaan pembangunan wilayah yang
bersangkutan.
Salah satu peranan yang lain yang dimiliki oleh geografi yaitu “geografi sebagai
ilmu tata guna lahan” (Geography as the science of landuse). Disini jelas sekali ia
bergerak dalam bidang praktis, melalui peranannya sebagai ilmu tata guna lahan, geografi
dapat melakukan organisasi keruangan (spatial organization), dalam hal ini geografi
membantu planologi dalam analisis faktor-faktor geografi dalam melakukan tata guna
lahan dan tata guna ruang di permukaan bumi. Untuk menata ruang dipermukaan bumi
berapa persen untuk permukimam, berapa persen untuk industri, berapa persen untuk
industri dan lain sebagainya. Perlu data geografi yang menunjang tata guna lahan. Oleh
karena itu, geografi tidak hanya menunjang secara pasif terhadap pembangunan, melain
kan berperan aktif memberikan data dan informasi tentang aspek-aspek atau faktor-faktor
geografi yang menjadi landasan pembangunan..
6
Topik II .Pertumbuhan dan Pembangunan
I. Evolusi Makna Pembangunan
Setiap Orang berbicara tentang “Pembangunan”. Mungkin pertanyaan yang
muncul adalah apa sebenarnya yang sebenarnya disebut dengan pembangunan? Bab ini
akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menelusuri evolusi makna
pembangunan sejak ekonomi pembangunan lahir, yakni setelah perang Dunia kedua.
II. Pandangan Tradisional
Pada mulanya upaya pembangunan Negara sedang berkembang (NSB)
Diidentifikasikan dengan upaya meningkatkan pendapatan per kapita, atau populer
disebut dengan startegi pertumbuhan ekonomi. Dengan ditingkatkan pendapatan
perkapita diharapkan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan, dan
ketimpangan distribusi pendapatan yang dihadapi NSB dapat terpecahkan.
Meskipun banyak varian pemikiran, pada dasarnya mereka sependapat bahwa
kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Oleh karena itu, strategi
pembangunan yang dianngap paling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi
dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi.Tradisi pemikiran utama
(mainstream) Eropa diterjemahkan lebih lanjut oleh: model general, strategi kapitalis
Negara (State capitalist strategy). Model soviet, dan nesiesme. Model liberal
mandasarkan diri pada berlangsungnya mekanisme dasar, Industrialisasi yang bertahap,
dan perkembangan teknologi. Strategi kapitalis Negara merupakan reaksi terhadap
paradigma modernisasi. Model soviet pada Negara merupakan perkembangan lebih lanjut
dari strategi kapitalis Negara, yang dampaknya diilhami oleh kisah sukses soviet dalam
program industrialisasinya. Aliran ynesian merupakan manifestari dari kapitalisme yang
telah mencapai tahap dewasa, yang intinya menghendaki campur tangan pemerintah
dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Pentingnya Investment in man, yang
menekankan peranan faktor pendidikan dan kebudayaan, merupakan tahap pertama
menuju konsep pembangunan yang semakin tidak murni ekonomi lagi.
7
III. Paradigma baru dalam pembangunan
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui Negara-negara maju
pada tahap awal pembangunan mereka. Memang dapat dicapai namun dibarengi dengan
masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan dipedesaan, distribusi pendapatan
yang timpang, dan ketidak seimbangan struktur (sjahrir 1986.Bab 1)Fakta ini pula
agaknya yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat
yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses
pembangunan , pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produktifitas barang
dan jasa secara nasional, sedangkan pembangunan berdimensi lebih luas dari sekedar
peningkatan pertumbuhan ekonomi. Hal ini yang menandai dimulainya masa pengkajian
ulang tentang arti pembangunan (marada .1966), misalnya mengartikan pembangunan
sebagai pergerakan keatas dan seluruh system social. Ada pula yang menekankan
pentingnya pertumbuhan dengan perubahan (growth with change), terutama perubahan
nilai-nilai dan kelembagaan. Kondisi ini dilandasi argument adanya dimensi kualitatif
yamg jauh lebih penting dibanding pertumbuhan ekonomi.
Selama dasawarsa 1970-an, redefinisi pembangunan ekonomi diwujudkan dengan
upaya meniadakan, setidaknya mengurangi, kemiskinan, pengangguran, dan
ketimpangan. Tidak berlebihan apabila banyak yang memandang bahwa defenisi
pembangunan dalam konteks tujuan sosial. Dengan cepat dimensi baru mengenai
pembangunan mendapat sambutan dari penganjur strategi yang berorientasi kesempatan
kerja, pemerataan, pengentasan kemiskinan, dan kebutuhan pokok.
Obsesi nampaknya didorong oleh keprihatinannya melihat kenyataan
pembangunan diNSB. Timbul kesan bahwa ia “tidak sabar” melihat implementasi strategi
anti kemiskinan, orientasi pada kesempatan kerja, dan pemerataan pembangunan, yang
sering hanya berhenti sebagai retorika politik pada penguasa diNSB semata. Ini pula
ajaknya yang mendorong munculnya konsep dan strategi pembangunan yang baru.
Sejarah mencatat munculnya paradigma baru dalam dalam pembangunan seperti
pertumbuhan dengan distribusi kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri,
Pembangunan berkelanjutan demgan perhatian terhadap alam (ecodevelopment).
8
Pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis
(ethnodevelopment). Barangkali menarik untuk menjadikan ide dasar masimg-masing
paradigma tersebut,
a) Strategi Pertumbuhan Dengan Distribusi
Pada proponen strategi “pertumbuhan dengan distribusi“, atau “retribusi
pertumbuhan”, pada hakekatnya menganjurkan NSB agar tidak hanya memusatkan
perhatian pada pertumbuhan ekonomi (memperbesar “kue” pembangunan) dan juga
mempertimbangan bagaimana distribusi “kue” pembangunan tersebut. Inii bisa
diwujudkan dengan kombinasi strategi seperti peningkatan kesempatan investasi modal
manusia, perhatian kepada petani kecil, sector informal dan pengusaha ekonomi lemah.
Dengan kata lain, syarat utamanya adalah orientasi pada setiap daya manusia, atau ada
yang menyebut sebagai orientasi populisme pembangunan.
b) Strategi kebutuhan pokok
Strategi pemenuhan kebutuhan kebutuhan pokok telah mencoba memasukan
semacam “jaminan” agar setiap kelompok sosial yang paling lemah mendapatkan
masukan dari setiap program pembangunan.
c) Strategi Pembangunan mandiri
Strategi pembangunan mandiri agaknya berkaitan dengan strategi pertumbuhan
dengan distribusi, namun strategi ini memiliki pola motivasi dan organisasi yang berbeda
pada dekade 1970-an, strategi ini populer sebagai antitesis dari paradigma depensiasi dan
tidak bisa dilepaskan dari pengalaman India pada masa Mahaatma Gandhi, Tanzania
dibawah dibawah Julius Nyerere, dan Cina dibawah mao Zedong.
d) Strategi Pembangunan berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan, atau sustainable development, muncul ketika isu
mengenai lingkungan muncul pada dasawarsa 1970. Pesan utamanya adalah bahwa tata
dunia baru atau lama tidak akan menguntungkan apabila system biologis alam yang
menopang ekonomi dunia tidak diperhatikan.
9
Pada pendukung utama Pembangunan berkelanjutan lalu menuju pentingnya
strategi ecodevelopment, yang intinya mengatakan bahwa masyarakat dan ekosistem
disuatu daerah harus berkembang bersama-sama menuju produktivitas dan pemenuhan
kebutuhan yang lebih tinggi,namun yang paling utama strategi pembangunan ini harus
berkelanjutan, baik sisi ekologi maupun Sosial.
V. Paradigma Pembangunan : Utopis ataupun Normatif?
Demikian banyak makna pembangunan yang diturunkan oleh para ahli
berdasarkan pengalaman diberbagai Negara dan studi empiris yang mereka lakukan.
Sejarah pemikir mengenai pembangunan memang diwarnai dengan evolusi makana
pembangunan. Dari pemujaan terhadap pertumbuhan, hingga paradigma baru dalam
pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuha pokok (basic needs),
pembangunan mandiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan denga
perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang mempertimbangkan
pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment). Akhir-akhir ini mulai antre beberapa
paradigama lain, seperti: wanita dalam pembangunan regional/spasial, dan pembangunan
masyarakat.
Kendati demikian banyak yang memandang berbagai paradigma baru tentang.
Pembangunan ini masih berada pada dataran normatif. Artinya kontribusinya mengenai
pembangunan tidak berbicara dalam konteks actual, namun lebih membahas apa yang
harus dilakukan.
10
Topik III .Indikator Pertumbuhan dan Pembangunan
Pembangunan selalu menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif. Oleh
karena itu diperlukan indicator sbagai tolak ukur terjadinya pembangunan, kali ini kita
akan menguraikan mengenai indikator-indikator ekonomi maupun sosial yang dikemas
dalam ekonomi pembangunan.
A. Perlunya Indikator Pembangunan
Sebagai mana yang telah dijelaskan sebelumnya , paradigama tradisional mengenai
pembangunan cenderung mengidentikkan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi.
Dewasa ini, defenisi pembangunan ekonomi yang paling banyak diterima adalah:
Suatu proses dimana pendapatan perkapita suatu Negara meningkat
selama kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah
pendudukan dibawah “garis kemiskinan absolute” tidak meningkat da
distribusi pendapatan tidak semakin timpang (Meier,1995: h.7.)
Yang dimaksud dengan proses adalah berlangsungnya kekuatan-kekuatan tertera yang
sqaling berkaitan dan mempengaruhi, Dengan kata lain, pembangunan ekonomi yang
diikuti dengan perubahan (growth plus change) dalam:
perubahan struktur ekonomi dari pertanian ke industri atau jasa
Perubahan kelembagaan, baik lewat regulasi maupun reformasi kelembagaan itu
sendiri
Penekanan pada kenaikan pendapatan perkapita (GNP riil dibagi jumlah
penduduk) dan tidak hanya kenaikan pendapatan nasional riil menyiratkan bahwa
perhatian pembangunan baiu Negara miskin adalah menurunkan tingkat kemiskinan.
Pendapatan nasional riil (atau GNP pada harga konstan) yang meningkat sering kali
tidak diikuti dengan perbaikan kualitas hidup. Bila pertumbuhan pendudukan melebihi
atau sama dengan pertumbuhan pendapatan nasional maka pendapatan perkapita bisa
menurun atau tidak berubah, dan jelas ini tidak dapat disebut ada pembangunan ekonomi.
Kurun waktu yang panjang menyiratka bahwa pendapatan perkapita perlu
berlangsung terus menerus dan berkelanjutan. Rencana pembangunan lima tahun baru
merupakan awal dari proses pembangunan. Tugas yang paling berat adalah menjaga
sustainabilitas pembangunan dalam jangka yang lebih panjang. Pembangunan bukan
11
merupakan tujuan melainkan hanya alat sebagai proses instrument untuk menurunkan
kemiskinan, menyerap tenaga kerja, dan menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan.
B. Indikator Ekonomi
Klasifikasi Negara
Untuk tujuan operasional dan analitikal, Kriteria utama Bank Dunia dan
mengklasifikasikan kinerja perekonomian suatu Negara adalah GNP (gross national
Product, atau Produk nasional Bruto) perkapita. GNP perkapita adalah dibuat dengan
jumlah penduduk.
Negara berpenghasilan rendah dan menengah kadang-kadang disebut Negara
sedang berkembang (Developing Countries). Jelas ini sekedar untuk memudahkan
klasifikasi dan tidak ada maksud untuk menggeneralisasi bahwa semua Negara adalah
sekelompok ini yang mengalami tahapan pembangunan yang sama. Klasifikasi menurut
penghasilan tidak selalu mencerminkan status pembangunan (IBRD, 1993). Namun pada
umumnya, Negara sedang berkembang (NSB)memliki karasteristik yang relatif sama
Yaitu:
1. Tingkat kehidupannya rendah, dengan ciri penghasilan rendah ketimpang
distribusi pendapatan tinggi, rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan.
2. Tingkat Produktivitas relatif rendah.
3. Pertumbuhan penduduk dan beban ketergantunganya tinggi.
4. Tingkat pengangguran dan setengah penganggurannya tinggi dan cenderung
meningkat
5. Ketergantungan terhadap produksi pertanian da ekspor produk primer
demikian segnifikan.
6. Dominan, tergantung, dan rentan dalam Hubungan Internasional (Todaro,
1994:h.38-54)
12
C. Indikator Sosial
Indikator Sosial sebagai Alternatif Indikator Pembangunan
GNP Per kapita sebagai ukuran tingkat kesejahteraan mempunyai beberapa
kelemahan, kelemahan umum yang sering dikemukakan adalah tidak memasukan
produksi yang tidak melalui pasar seperti dalam perekonomian subsistem, jasa, rumah
tangga, transaksi barang bekas, kerusakan lingkungan dan masalah distribusi pendapatan.
Akibatnya bermunculan upaya untuk memperbaiki maupun menciptakan indikator lain
sebagai pelengkap ataupun alternatif dari indikator kemakmuran dan tradisional.
Indikator-indikator yang dipilih atas dasar tingginya korelasi dalam membentuk
indeks pembangunan dengan mengunakan “bobot timbangan” yang berasall dari tingkat
korelasi. Indeks pembangunan tersebut ternyata mempunyai korelasi yang lebih erat
dengan indikator sosial dan ekonomi dibandingkan korelasi GNP perkapita dengan
indikator yang sama tentunya ranking berbagai Negara dengan indeks pembangunan ini
berbeda dengan ranking berbagai Negara dengan indeks pembangunan ini berbeda
dengan rangking dengan menggunakan ukuran GNP perkapita. Ditemukan juga bahwa
indeks pembangunan ini mempunyai korelasi yang lebih erat dengan NSB. Dapat
disimpulkan bahwa pembangunan sosial berlangsung lebih cepat dibandingkan
pembangunan ekonomi sampai tingkat S$ 500 perkapita.
13
Mendeskripsikan teori-teori Pembangunan dan pendekatan Geogarfi yang terkaiterat dengan Pembangunan.
Topik IV.Teori Pembangunan dan Modernisasi
Ada suatu masa pada abad yang lalu dimana teori pembahagian kerja secara
internasional merupakan teori yang dianut. Para ahli ekonomi, termasuk mereka yang
punya posisi penting dalam menentukan kebijakan perdagangan luar negeri sebuah
Negara, mengikuti teori ini. Teori-teori ini pada dasarnya menyatakan bahwa setiap
Negara harus melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keuntungan kompararif
yang dimilikunya. Negara-negara dikatulistiwa yang tananya subuh, misalnya, lebih baik
melakukan spesialisasi dibidang produksi pertanian. Sedangkan Negara-negara
dibahagian bumi sebelah utara, yang iklimnya tidak cocok untuk usaha pertanian,
sebaiknya melakukan kegiatan produksi dibidang industri. Mereka harus
mengembangkan teknologi, untuk menciptakan keunggulan komparatif begi negerimya.
Ada banyak variasi dari teori-teori yang tergabung dalam kelompok Teori
Modernisasi. Yang diuraikan secara singkat diatas hanya sebahagian kecil dari ketipan
pembuka yang di anggap mewakili beberapa pemikiran aliran dari teori modernisasi.
Aliran-aliran yang ada antara lain:
Teori yang menekankan bahwa pembangunan hanya merupakan masalah
penyediaan modal untuk investasi. Teori jenis ini biasanya dikembangkan
oleh para ekonom. Dalam buku ini, teori ini diwakilkan kepada teori
Harrod-Domar.
Teori modernisasi yang menekankan aspek-aspek psikologi individu,
Teori McClelland dengan konsep n-Achnya dapat dianggap mewakili
aliran ini.
Teori yang menekankan nilai-nilai budaya. Teori weber tentang peran
agama dalam pembentukan kipitalisme merupakan sumber dari dari aliran
sumber ini. Nilai-nilai masyarakat, antara lain dari yang melalui agama,
mempunyai peran yang menentukan dalam melakukan tingkah laku
individu. Kalau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dapat diarahkan
kepada sifat yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi, proses
pembangunan dalam masyarakat dapat terlaksana.
14
Teori yang menekankan adanya lembaga-lembaga sosial dan politik Yang
mendukung proses pembangunan, sebelum lepas landas dimulai. Teori
Rostow (yang lebih menekankan pada proses lepas landas) dan hoselitz
(yang membicarakan lembaga-lembaga yang yang diperlukan sebelum
lepas landas) merupakan contoh dari teori ini. Berbeda dengan weber yang
menekankan nilai-nilai, Hoselitz menekankan lembaga-lembaga yang
kongkreat. Lembaga-lembaga politik dan social ini diperlukan
untukmenghimpun modal yang besar, serta memasok tenaga teknis, tenaga
wiraswasta dan teknologi.
Teori yang menekankan lingkungan material, dalam hal ini lingkungan
pekerjaan, sebagai salah satu cara terbaik untuk menentukan manusia
moderen yang biasa membangun. Inkeles da smith berbicara tentang
persoalan ini. Berbeda dengan McClelland yang menekankan pendidikan
dalam arti “manipulasi” mental yamg dipakai sebagai instrument
mengubah, tetapi pengalaman kerja yang dialami secara nyata oleh
siburuh yang mengubah sikap dan tingkah lakunya. Tetapi memang
inkeles dan smith juga menyatakan bahwa pendidikan adalah cara yang
paling efektif untuk membentuk manusia moderen.
Perbedaan yang ada pada macam-macam teori ini hanya merupakan perbedaan
penekanan aspek yang dianggap penting, baik dalam menciptakan manusia yang akan
membangun, maupun dalam mempersiapkan sarana material untuk pembangunan itu
sendiri. Tetapi, inti dari teori-teori ini adalah sama. Dengan demikian, yang menjadi ciri
utama dari teori Modernisasi adalah:
I. Teori ini didasarkan pada dikotomi antara apa yang disebut dan yang
tradisional. Ynag moderen merupakan symbol dari Kemajuan, Pemikiran yang
rasional, cara kerja yang efisien, dan seterusnya Sebaliknya yang tradisional.
Masyarakat tradisional merupakan masyarakat yang belum maju, ditandai
oleh cara berfikir yang irasional serta cara kerja yang tidak efisien. Ini
merupakan cirri masyarakat pedesaan yang didasarkan pada usaha pertanian
di Negara-negara miskin.
15
II. Teori Modernisasi juga berdasarkan pada faktor-faktor Non-materi sebagai
penyebab kemiskinan, khususnya dunia ide atau alam pikiran. Faktor-faktor
ini menjaelma dalam dalam psikologi individu, atau nilai-nilai masyarakat
yang menjadi orientasi penduduk dalam memberikan arah kepada tingkah
lakunya.Seperti misalnya teori Hoselitz (yang menekannkan pembentukan
lembaga-lembaga yang menunjang proses modernisasi) atau inkeles dan smith
(yang menekankan lingkungan kerja sebagai cara untuk menciptakan manusia
moderen).
16
Topik V.Teori Pertumbuhan yang terkait dengan Ruang dan wilayah
I. Variasi Keruangan dalam pembangunan
Tipe teori pembangunan ini (coere-Periphery), seperti halnya dualisme dan “dual
sector model” mencoba memberikan gambaran dan menerangkan tentang perbedaan
pembangunan (development), tetapi dengan tekanan dari segi keruangan. Jadi kosep ini
sesuai dengan ide geogarfi yang juga meliha sesuatu dalam segi keruangannya. Sedang
dualisme dan “dual sector model” menekankan perbedaan didalam masyarakat dan
didalam ekonomi. Perbedaan diantara daerah pusat © dan daerah pinggiran (P) dan
dijumpai dalam beberapa skala : didalam ’Region’. Antara Regions dan antara Negara
(eg. Pelabuhan dan daerah pendukungnya: kota dan desa: Negara maju dan Negara
sedang berkembang. “Pelarization of growth” ini menimbulkan “backwash-effects” atau
akibat-akibat yang menghambat pertumbuhan wilayah-wilayah lain dari mana tenaga-
tenaga trampil, modal dan barang-barang perdagangan ditarik disitu.
Apabila “Spread effects” dari C ke P ini lebih besar/kuat, maka “backwash-
effects” dapat diatasi. Dalam hal ini Myrdal berpendapat pesimis karena selama masih
ada campur tangan bebas dari kekuatan pasar. Maka pertumbuhan daerah pinggiran (P)
sukar diharapkan selama itu “backwash-effects” akan selalu lebih besar dari
dibandingkan dengan “Spread effects”, jadi untuk memperbesar “Spread effects” Myrdal
mengemukakan perlunya campur tangan pemerintah misalnya pengendalian imigrasi.
Pencegahan modal luar, pembangunan ‘Pheriphery’. Program pembangunan perdesaan.
Teori Myrdal menerangkan hubungan antara C-P dalam arti polarisasi
pertumbuhan ekonomi , da juga menerangkan pentingnya campur tangan pemerintah
dalam pembangunan.. Perbedaanya adalah bahwa pandangannya lebih Optimistis
dibandingkan dengan pandangan Myrdal.
Hirshman mengemukakan bahwa penanaman modal yang banyak di ‘core-
regions’ akan mempercepat pertumbuhan di C dan efek polarisasi pembangunan akan
diganti oleh ‘trickling down-effects’ pembangunan.’Trickling down’ ini disebabkan oleh
stimulasi/perubahan yang kumulatif didaerah pusat (‘core-regions) dengan penanaman
modal yang intensif. Jadi ‘tricklingdown effects’ sama dengan ‘spread effects’. Seperti
dikemukakan didepan bahwa ide Hirschman lebih optimistis karena keyakinanya bahwa
17
perbedaan keruangan pembangunan merupakan hal yang sementara sifatnya serta bahwa
intervensi pemerintah akan menpercepat menghilangkan ketimpanagan keruangan ini.
FRIEDMANN sebagai ahli perencana menggunakan konsep ‘core-periphery’
untuk membuat tipologi suatu wilayah. Menurut dia wilayah dapat dibedakan menjadi:
1. ‘Core-Regions’ Sebagai ekonomi metropolitan yang berpusat . ini identik
dengan kapitalis modrean. Sebagai contoh ‘core-regions’ ini adalah
wilayah perkotaan Jakarta. Indonesia tetapi ‘core-regions’ dapat pula
dengan skala Internasiona.
2. Wilayah Transisi yang berkembang (Upward-transision regions) Yaitu
wilayah dekat dengan pusat dan sesuai untuk pengembangan sumber-
sumber (misalnya antara daerah perkotaan Jakarta dengan daerah
perkotaan Dibandung).
3. Wilayah yang berdekatan dengan sumber-sumber (‘resource regions’)
Daerah permukiman baru (Misalnya daerah-daerah tranmigrasi
disumatera, kalimatan dan lain-lainnya).
4. Wilayah transisi yang mundur (‘downward-transisions regions) Wilayah
ini terdapat didalam Negara (misalnya daerah-daerah yang mengalami
“backwash-effects’) da diluar negeri pada skala dunia (Misalnya sub-
saharan countries).
Menurut Friedmann perbedaan pembangunan keruangan dihubungkan dengan
stadia Kota didalam evolusi keruangan, ditandai oleh tingkat urbanisasinya.
1. Fase Sebelum Industri
Ditandai dengan banyak pusat kota kecil yang bebas dan ekonominya belum maju
(stagnant), tanpa perbedaan (didalam pembangunan) keruangan yang bebas (misalnya
diEropa pada abad pertengahan).
2. Fase Industrialisasi belum mulai
Ditandai dengan ‘primate city’ yang dominan dan perbedaan yang besar dalam
membangunan keruangan antara C dan P (Misanya Indonesia sekarang).
18
3. Fase Tansisi
Ditandai dengan industrialisasi yang makin meluas di pusat-pusat. Pertumbuhan (growth
centres), tetapi juga dengan perbedaan yang terus menerus didalam pembangunan
keruangan
4. Fase Terakhir dengan organisasi keruangan yan sempurna
Kota-kota yang system secara fungsional saling tergantung. Seluruh ruang nasional
terintegrasi sedemikia rupa sehingga tidak ada lagi ‘periperhy’ yang tebelakang sdan
belum berkembang.
II. Kutub-kutub Pertumbuhan da Pusat-pusat Pertumbuhan
Konsep kutub pertumbuhan (growth centre) diformulasikan oleh PERROUX,
seorang ahli ekonomi bangsa perancis pada tahun 1950. Kutub pertumbuhan adalah
pusat-pusat dalam arti kerurangan yang abstrak, sebagai tempat kekuatan-kekuatan
sentrifugal memancar dan kekuatan-kekuatan sentripental tertarik kesitu. Dikatakan
keruangan yang abstrak karena memang tidak merupakan lokasin yang konkrit dalam arti
keruangan Geografis.
Konsep pertumbuhan yang dikemukanan oleh BOUDEVILLE, seorang ahli
ekonomi perancis ia menggunakan konsep (kutub pertumbuhan) yang sudah ada
dijadikan konsep keruangan geografis yang konkrit. Pusat pertumbuhan adalah
sekumpulan (geografis) semua kegiatan. Pusat pertumbuhan adalah kota-kota atau
wilayah perkotaan yang memiliki suatu industri yang ‘propulsive, yang kompleks.
19
Topik VI.Konsep Wilayah dan lokasi
Konsep Wilayah (Region)
Ilmu Geografi regional muncul sebagai kritik dari beberapa Geogarf Sosial yang
tidak puas akan analisis ilmu Geografi tradisional yang mengabaikan penggunaan
konsep space (ruang). Menurut Budiharsono (2001: 13) analisis ilmu Geogarfi berada
pada alam tanpa ruang (spaceless world). Ilmu Geogarfi regional tampil dengan
memberikan tekanan analisisnya pada penerapan konsep space (ruang) dalam
menganalisis masalah-masalah yang berhubungan dengan sosial Geografi dan sosial
ekonomi. Unsur-unsur ruang yang terpenting adalah jarak, lokasi, bentuk, dan ukuran
(skala). Unsur-unsur tersebut secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang
disebut wilayah (region). Untuk menerapkan unsur ruang (space) tersebut, ilmu Geografi
regional menggunakan konsep wilayah (region) yang dapat diformulasikan sesuai dengan
kebutuhan analisis. Menurut Glasson (1977) ada dua cara pandang yang berbeda tentang
wilayah yaitu cara pandang subjektif dan cara pandang objektif. Glasson (1977)
membedakan wilayah berdasarkan kondisinya atau berdasarkan fungsinya. Menurut
Haggett (1977) ada 3 jenis wilayah, yaitu wilayah homogen (homogenous regions),
wilayah nodal (nodal regions) dan wilayah perencanaan (planning or program regions).
Budiharsono (2001: 14) mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografi yang dibatasi
oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Wilayah juga
dapat diartikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan
atau fungsional (Adisasmita, 2005: 86).
Dalam analisis Geografi regional beberapa konsep wilayah (region) yang lazim
digunakan, yaitu
(1) Wilayah Homogen (Homogeneous Region);
(2) Wilayah Nodal (Nodal/Polarized Region);
(3) Wilayah Administratif;
(4) Wilayah Perencanaan (Planning Region).
20
Friedmann dan Alonso (1964) membuat 4 (empat) klasifikasi wilayah
pembangunan, yaitu
a) metropolitan regions;
b) development axes;
c) frontier regions;
d) depressed regions. (Adisasmita, 2005: 93)
Lokasi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial
order) kegiatan ekonomi. Atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara
geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau pengaruhnya terhadap
lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (activity). Secara umum, pemilihan
lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberapa faktor seperti: bahan baku lokal
(local input); permintaan lokal (local demand); bahan baku yang dapat dipindahkan
(transferred input); dan permintaan luar (outside demand). (Hoover dan Giarratani, 2007)
21
Topik VII.Teori Konektivitas dan Model Gravitasi
Teori Konektivitas dan model gravitasi dalam pengembangan
Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk melihat
besarnya daya tarik dari suatu potensi yang berada pada suatu lokasi. Model ini sering
digunakan untuk melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya wilayah pengaruh dari
potensi tersebut. Model ini dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang optimal.
suatu wilayah Dasar pemikiran teori pengembangan wilayah adalah setiap kegiatan pasti
terjadi dan mempunyai efek dalam sebuah ruang dan bukan dalam suatu titik yang statis
(Budiono, 1994). Misal sebidang tanah yang diusahakan untuk lahan maka kegiatan
produksi padi tidak terbatas pada lahan itus aja tetapi berdasarkan pemikiran bahwa tata
ruang kegiatan produksi padi berkaitan engan jarak tempat tinggal petani dengan lahan,
jarak petani mendapatkan bibit dan obat-obatan, jarak petani menjual hasil produknya
dan jarak dengan tempat dimanan petanai tersebut membelanjakan pendapatannya.
Dengan demikian dalam pendekatan tata ruang pembangunan yang terjadi di suatu daerah
akan mempengaruhi daerah lain demikian pula sebaliknya. Dalam pendekatan tata ruang
ini digunakan untuk membahas hubungan antara pertumbuhan daerah perkotaan dengan
pedesaan. Hubungan atau kontak yang terjadi antara daerah perkotaan dengan pedesaan
berserta hasil hubungannya disebut interaksi (Bintarto, 1991).
Interaksi antara desa-kota merupakan suatu proses sosial, proses ekonomi, proses
budaya maupun proses politik yang terjadi karena berbagai faktor dan unsur yang ada
dalam kota, dalam desa, dan diantara kota dan desa (hubungan timbal balik antara desa
dan kota). Kota tidak dapat tumbuh untuk `dirinya` sendiri tetapi juga tumbuh untuk
desa-desa di sekitarnya. Dalam pandangan ekonomi regional, pembangunan perkotaan
tanpa mengakaitkannya dengan pembangunan pedesaan adalah tidak mungkin terjadi
demikian pula sebaliknya. Pembangunan desa-kota (pembangunan regional) dalam
perencanaannya.
22
Menggunakan konsep region (wilayah). Cara yang paling banyak dikenal dalam
mendefinisikan suatu regiaon adalah : (Syafrizal, 1993)
1. Wilayah yang homogin. Adalah sebuah daerah yang memiliki sifat-sifat yang
sama yaitu perbedaan-perbedaan yang terdapat pada sebuah region dipandang
tidak penting. Misal : region aliran sungai, region lahan kritis dan sebagainya.
2. Wilayah yang memusat (polarized region). Adalah sebuah wilayah yang didasari
oleh adanya aliran barang secara internal, kontak dan saling tergantungnya
daerah-daerah tertentu dengan suatu pusat kegiatan yang dominan (biasanya pusat
kota).
3. Wilayah perencanaan (planning region). Adalah wilayah yang keseragamannya
didasari oleh kesamaan daerah administratif atau politis. Karena ketersediaan
sarana administratifnya maka wilayah ini digunakan sebagai wilayah perencanaan
pembangunan.
Pemikiran konsep region diatas dalam hubungannya dengan ukuran region dan
interaksi di dalammnya terakait denganm teori lokasi. Teori lokasi yang pertama dikenal
dengan tempat sentral yang mengemukakan bahwa pusat kota ada karena berbagai jasa
penting yang disediakan oleh lingkungan sekitarnya. Secara ideal kota merupakan pusat
daerah yang produktif dengan demikian disebut tempat sentral (Sukanto dan Karseno,
1997). Teori lokasi kedua adalah growth poles (teori pertumbuhan). Teori ini menyatakan
bahwa kumpulan industri cenderung memilih lokasi yang memusat di kota-kota besar
(aglomerasi ekonomi) dan didukung oleh sebuah daerah belakang (hinterland) yang kuat.
(Alfonso, 1999). Pendekatan dengan teori pusat pertumbuhan menekankan pentingnya
pusat-pusat wilayah utama untuk pertumbuhan dengan maksud agar pertumbuhannya
dapat menimbulkan efek pertumbuhan bagi daerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan
berikutnya pendekatan ini dapat digunakan untuk mengkaji hubunngan timbal balik desa-
kota. Dengan mengembangkan kota diharapkan agar perkembangan ini dapat menetes ke
desa-desa melalui arus barang, bahan pangan, urbanisasi dan bahkan modal.
23
Menurut Myrdal (1999) potensi sumber daya yang dimiliki antara daerah satu
dengan daerah lainnya tidak merata oleh karena itu pertumbuhannyapun berbeda. Untuk
dapat tumbuh secara cepat, suatu negara perlu meilih satu atau lebih pusat-pusat
pertumbuhan regional yang emiliki potensi paling kuat. Apabila region ini kuat maka
akan terjadi perembetan pertumbuhan bagi region-region lemah. Pertumbuhan ini
berdampak positip (trickle down effect) yaitu adanya pertumbuhan di region yang kuat
akan menyerap potensi tenaga kerja di region yang lemah atau mungkin region yang
lemah menghasilkan produk yang sifatnya komplementer dengan produk region yang
kuat. Dalam rangka pengembangan suatu wilayah maka pusat kota dianggap sebagai
tempat sentral bagi pertumbuhan inti di daerah dan menentukan tingkat perkembangan
ekonomi secar keseluruhan . dengan demikian terjadi interdependensi antara pusat-pusat
kota dengan daerah-daerah sekitarnya…
24
Topik VIII.Teori Lokasi
Teori lokasi
Teori lokasi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial
order) kegiatan ekonomi. Atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang alokasi secara
geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau pengaruhnya terhadap
lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (activity). Secara umum, pemilihan
lokasi oleh suatu unit aktivitas ditentukan oleh beberapa faktor seperti: bahan baku lokal
(local input); permintaan lokal (local demand); bahan baku yang dapat dipindahkan
(transferred input); dan permintaan luar (outside demand). (Hoover dan Giarratani, 2007)
Von Thunen (1826) mengidentifikasi tentang perbedaan lokasi dari berbagai
kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan (pertimbangan ekonomi). Menurut
Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling mahal di pusat pasar dan makin rendah
apabila makin jauh dari pasar. Von Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan
jarak ke pasar dengan menggunakan kurva permintaan. Berdasarkan perbandingan
(selisih) antara harga jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki
kemampuan yang berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya
untuk membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke
pusat pasar. Hasilnya adalah suatu pola penggunaan lahan berupa diagram cincin.
Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga lahan tinggi di pusat kota dan
akan makin menurun apabila makin jauh dari pusat kota.
Weber (1909) menganalisis tentang lokasi kegiatan industri. Menurut teori Weber
pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan
bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di
mana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat di mana total biaya transportasi
dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang
maksimum. Menurut Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu
biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi. Dalam
menjelaskan keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku Weber menggunakan konsep
segitiga lokasi atau locational triangle untuk memperoleh lokasi optimum. Untuk
25
menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau
pasar, Weber merumuskan indeks material (IM), sedangkan biaya tenaga kerja sebagai
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi lokasi industri dijelaskan Weber dengan
menggunakan sebuah kurva tertutup (closed curve) berupa lingkaran yang dinamakan
isodapan (isodapane).
Teori Christaller (1933) menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota,
jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan
suatu sistem geometri, di mana angka 3 yang diterapkan secara arbiter memiliki peran
yang sangat berarti dan model ini disebut sistem K = 3. Model Christaller menjelaskan
model area perdagangan heksagonal dengan menggunakan jangkauan atau luas pasar dari
setiap komoditi yang dinamakan range dan threshold.
Teori Lokasi dari August Losch melihat persoalan dari sisi permintaan (pasar),
berbeda dengan Weber yang melihat persoalan dari sisi penawaran (produksi). Losch
mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang
dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat penjual, konsumen makin enggan membeli
karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch
cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar.
D.M. Smith memperkenalkan teori lokasi memaksimumkan laba dengan
menjelaskan konsep average cost (biaya rata-rata) dan average revenue (penerimaan rata-
rata) yang terkait dengan lokasi. Dengan asumsi jumlah produksi adalah sama maka
dapat dibuat kurva biaya rata-rata (per unit produksi) yang bervariasi dengan lokasi.
Selisih antara average revenue dikurangi average cost adalah tertinggi maka itulah lokasi
yang memberikan keuntungan maksimal.
McGrone (1969) berpendapat bahwa teori lokasi dengan tujuan memaksimumkan
keuntungan sulit ditangani dalam keadaan ketidakpastian yang tinggi dan dalam analisis
dinamik. Ketidaksempurnaan pengetahuan dan ketidakpastian biaya dan pendapatan di
masa depan pada tiap lokasi, biaya relokasi yang tinggi, preferensi personal, dan
pertimbangan lain membuat model maksimisasi keuntungan lokasi sulit dioperasikan.
26
Menurut Isard (1956), masalah lokasi merupakan penyeimbangan antara biaya
dengan pendapatan yang dihadapkan pada suatu situasi ketidakpastian yang berbeda-
beda. Isard (1956) menekankan pada faktor-faktor jarak, aksesibilitas, dan keuntungan
aglomerasi sebagai hal yang utama dalam pengambilan keputusan lokasi. Richardson
(1969) mengemukakan bahwa aktivitas ekonomi atau perusahaan cenderung untuk
berlokasi pada pusat kegiatan sebagai usaha untuk mengurangi ketidakpastian dalam
keputusan yang diambil guna meminimumkan risiko. Dalam hal ini, baik kenyamanan
(amenity) maupun keuntungan aglomerasi merupakan faktor penentu lokasi yang penting,
yang menjadi daya tarik lokasi karena aglomerasi bagaimanapun juga menghasilkan
konsentrasi industri dan aktivitas lainnya.
Pada dasarnya penataan ruang merupakan suatu implikasi dari pengembangan
daerah yang menghendaki suatu rencana tata ruang yang tersendiri yang tidak lagi
menjadi bagian dari rencana atau penataan ruang yang sudah ada. Berdasarkan latar
belakang tersebut, prinsip perencanaan tata ruangnya adalah dalam rangka
pengembangan wilayah. Karena itu haruslah diperhatikan aspek-aspek yang mendasari
pengembangan wilayah (regional development) seperti sumber daya manusia (human
resources), sumber daya alam (natural resources), serta dukungan pranata sistem
(institutional infrastructure). Salah satu isu yang patut dipertimbangkan adalah implikasi
demokratisasi, yaitu keikutsertaan masyarakat dalam penentuan keputusan-keputusan
publik. Hal ini merupakan inti dari reformasi yang kita cita-citakan yaitu timbulnya
masyarakat sipil (civil society), masyarakat yang egaliter berdasarkan kesetaraan. Dengan
demikian, masyarakat harus diberikan peranan yang cukup besar dalam penentuan
“nasib”nya. Dalam kaitan tersebut, pendekatan perencanaan yang sentralistik dan top-
down harus segera direvisi menjadi pendekatan perencanaan yang lebih mengedepankan
demand masyarakat yang disebut sebagai community driven planning. Isu yang paling
aktual untuk saat ini adalah bagaimana upaya untuk mencapai kondisi di mana
masyarakat sendirilah yang mendesain rencana yang diinginkan dan pemerintah adalah
fasilitatornya. Hal ini sangat penting dalam penataan ruang suatu wilayah atau perkotaan.
Isu lain yang hendak dibahas adalah terkait dengan akselerasi pembangunan di
Kabupaten Lamongan.
27
Sebagai salah satu daerah yang berkembang, Kabupaten Lamongan, hendaknya
mengambil momen yang sangat baik ini untuk meraih dukungan bagi pengembangan
wilayahnya. Dalam kaitan tersebut, potensi yang sudah ada hendaknya didayagunakan
dan didorong secepatnya. Dilihat dari letak geografisnya, Kabupaten Lamongan memiliki
letak yang sangat strategis yaitu memiliki jangkauan yang tidak jauh dari Surabaya
sebagai ibukota Propinsi Jawa Timur dan dalam kedepannya nanti akan berada di antara
dua kluster industri Surabaya-Gresik-Sidoarjo-Pasuruan-Mojokerto dan Bojonegoro-
Tuban Dari segi infrastruktur wilayah, walaupun beberapa pihak mengatakan belum
memadai, telah terdapat jaringan jalan yang melintasi seluruh kawasan sampai dengan
perbatasan antara Kabupaten Lamongan dengan kota-kota lain disekitarnya. Letak
Lamongan yang berada di jalur transportasi jalur utara Pulau Jawa juga tidak bisa
dipisahkan disini. Hal ini merupakan keuntungan lokasional dimana luapan (spill over)
dari dua kluster industri yang mengapit Kabupaten Lamongan dapat merupakan suatu
potensi yang dapat dimanfaatkan. Salah satu konsekuensi negatif dari
diberlakukannya otonomi daerah kondisi antara lain adalah memberikan kemungkinan
banyaknya daerah yang hanya memikirkan kepentingannya sendiri, tanpa berupaya untuk
ber-sinergi dalam pelaksanaan pembangunan dengan daerah lainnya, demi sekedar
mengejar target dalam lingkup “kacamata” masing-masing. Kondisi tersebut akan
menimbulkan persoalan pembangunan apabila tidak diikat dengan satu kerangka
keterpaduan yang mengedepankan kepentingan wilayah yang lebih luas dan dalam
kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Prasarana yang bersifat tunggal dan
melayani wilayah sekitarnya (prasarana wilayah) sangatlah tidak efisien apabila harus
dibangun pada setiap daerah. Karena itu haruslah dicari suatu sinergi yang baik dalam
mengupayakan ketersediaan prasarana sejenis yang secara hirarki fungsional dia dapat
melayani kebutuhan kebutuhan yang tidak hanya menguntungkan pembangunan daerah
tetapi juga wilayah dan nasional. Sebagai contoh, prasarana jalan secara sistem berhirarki
mulai dari jalan arteri, kolektor, dan lokal yang secara keseluruhan mendukung
kelancaran sistem aktivitas dan produksi baik dari asal bahan baku maupun menuju
outlet-nya. Begitu pula dengan sistem kota-kota yang terdiri dari fungsi pelayanan
kegiatan nasional, wilayah, maupun lokal. Kota- kota tersebut secara hirarki fungsional
melayani penduduk kotanya maupun wilayah sekitarnya.
28
Mengevaluasi isu-isu sentral pembangunan dan Pengaruhnya terhadap kehidupan.
Topik IX.Dualisme
A. Pengertian Dualisme
Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam
pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena
mental adalah entitas non-fisik. Gagasan tentang dualisme jiwa dan raga berasal
setidaknya sejak jaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan spekulasi tantang
eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles
berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa "kecerdasan" seseorang (bagian dari pikiran
atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik.
Versi dari dualisme yang dikenal secara umum diterapkan oleh René Descartes
(1641), yang berpendapat bahwa pikiran adalah substansi nonfisik. Descartes adalah yang
pertama kali mengidentifikasi dengan jelas pikiran dengan kesadaran dan
membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Sehingga, dia adalah yang
pertama merumuskan permasalahan jiwa-raga dalam bentuknya yang ada sekarang.
Dualisme bertentangan dengan berbagai jenis monisme, termasuk fisikalisme dan
fenomenalisme. Substansi dualisme bertentangan dengan semua jenis materialisme, tetapi
dualisme properti dapat dianggap sejenis materilasme emergent sehingga akan hanya
bertentangan dengan materialisme non-emergent.
B. Contoh Perkembangan Kondisi Dualisme sampai saat ini di Indonesia
Permusuhan dan Persahabatan (Budaya Politik Minang Kabau)
“Permusuhan dalam persahabatan” (hostile and Friendship) adalah istilah yang
dilontarkan oleh Josselin de Jong (1960) untuk menggambarkan struktur budaya
masyarakat Minangkabau. Istilah ini mengandung makna bahwa struktur sosial-budaya
masyarakat Minangkabau itu sendiri sebenarnya mencirikan sifat dualisme, di mana akan
selalu ada dua aliran yang satu sama lain berseberangan. Lalu apa yang terjadi
seandaikan dua aliran yang berseberangan (dualisme), dipertemukan dalam sebuah
wilayah dan masyarakat yang sama, apalagi kalau pertemuan tersebut cenderung selalu
29
hadir setiap saat dalam kehidupan masyarakatnya. Kita bisa membayangkan, begitu
besarnya potensi konflik yang ada ditengah masyarakat tersebut, yang suatu saat bisa saja
meledak. Seandainya ditengah-tengah masyarakat tidak ada “alat” yang mampu
menyatukan dua kubu yang seberangan ini, maka, potensi konflik tersebut bisa saja
meledak dan menjadikan wilayah masyarakat ini menjadi “medan pertempuran” yang
sebenarnya. Inilah yang justru terjadi di masyarakat Minangkabau sejak lama, di mana
secara adat, ditemukan ada dua aliran politik yang berbeda dan bertemu dalam “medan”
yang sama. Aliran pertama memegang prinsip aristrokratis (manitiak dari ateh-menetes
dari atas) dengan aliran lainnya justru memegang prinsip demokratis atau egaliter
(mambusek dari bumi-menyembur dari bumi atau dari bawah). Pada banyak kasus,
berbagai fenomena di masyarakat Minangkabau menunjukkan pola budaya yang
dualisme seperti ini, di mana di dalamnya terkandung dua komponen yang bersifat
oposisi (oposisi binary). Walaupun demikian, sifat duelisme ini tidaklah menjadikan
masyarakatnya menjadi masyarakat yang berkonflik terus menerus (disharmoni), justru
sebaliknya menciptakan masyarakat yang sangat harmonis dan dinamis. Ini
menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau memiliki kemampuan dalam
mensintesiskan dualisme tersebut. Melalui cara pandang structural, tulisan ini mencoba
memaparkan, bagaimana cara orang Minangkabau mensintesisikan dua aliran yang
berseberang tersebut, melalui gerakan-gerakan politik para actor yang ada di dalamnya.
Tidak banyak tulisan dan hasil penelitian tentang Minangkabau, baik yang dilakukan oleh
peneliti Indonesia maupun peneliti asing, yang mencoba mengupas adanya dualisme
dalam masyarakat Minangkabau khususnya dalam sistem sosial-politik yang dianutnya.
Namun berbagai tulisan ini ada kecenderungan mengakui bahwa memang ada “dualisme”
dalam masyarakat Minangkabau tersebut. Ini misalnya terungkap dengan berbagai istilah
yang digunakan, seperti “dualisme” (Saanin, 1989), “aturannya yang dipakai berubah-
ubah” (Benda-Backmann, 2001), “aturan yang dipakai tidak jelas” (Biezeveld, 2001),
“sulit diterka” (Wahid, 1996), “ambiguous” (Sairin, 2002), dispute (Tanner, 1971). Saya
bisa memaklumi, mengapa ketegasan dalam menyebut adanya fenomena demikian
cenderung tidak populer. Salah satunya karena konsep “dualisme” ini cenderung
dikonotasikan secara negatif, sehingga setiap peneliti mungkin akhirnya lebih baik
menghindar daripada “didemonstrasi oleh orang Minangkabau”.
30
Satu satunya yang secara tegas menyebutkan “masyarakat minangkabau
memiliki pola dualisme” hanyalah ditemui dalam tulisan Saanin (1989) yang melihat
bahwa masyarakat Minangkabau cenderung memiliki psikologi yang terbelah dua
(dualisme). Menurut Saanin (1989), ketika seseorang mempelajari Minangkabau, akan
selalu dihadapkan pada masalah “dualisme” tersebut. Sifat dualisme seperti ini, misalnya
terlihat jelas pada : (1) Penerapan aturan antara cara adat (matrilineal) dengan cara agama
(patrilineal). (2) sistem politik (lareh) antara aristokratis dengan demokratis. (3) pola
pengasuhan anak antara pengasuhan oleh mamak dengan pengasuhan oleh bapak. (4)
sistem pewarisan (harta dan gelar) antara pewarisan ke kemenakan dengan pewarisan ke
anak. Ini hanya beberapa contoh bentuk dualisme dalam masyarakat Minangkabau
tersebut.
Sifat dasar masyarakatnya yang terbelah (dualisme) ini, tidaklah terbentuk
begitu saja, tetapi secara struktural telah terbentuk sejak lama, yaitu sejak duo datuak
pendiri adat Minangkabau menciptakan dua landasan adat (lareh) dalam masyarakatnya.
Dalam tambo digambarkan, dua datuak ini yaitu Datuak Katamenggungan akhirnya
menciptakan lareh Koto Piliang yang aristokratis (manitiak dari ateh), dan Datuak
Prapatiah Nan Sabatang akhirnya menciptakan lareh Bodi Caniago yang demokratis
(mambusek dari bumi). Sebagai dua tokoh penting, maka terbelahnya landasan adat
masyarakat Minangkabau menjadi dua (dualisme) ini bisa dimaklumi, karena kedua
tokoh ini digambarkan memang memiliki asal usul, kepribadian dan pola pikir yang
berbeda. Datuak Katamenggungan digambarkan sebagai “putra makhkota” yang akan
mewarisi “kerajaan” ayahnya yang berpola patrilineal, berwatak keras, dan memiliki pola
pikir yang tegas sebagaimana layaknya seorang “raja”. Berbeda dengan Datuak Prapatiah
Nan Sabatang yang justru terlahir dari rakyat biasa, suka merantau dan berwatak
kerakyatan, serta memiliki pola pikir yang lembut dan egaliter.
Perbedan-perbedaan ini lah yang sering menjadi pemicu munculnya persaingan
dan pertentangan diantara duo datuak ini dalam memimpin Minangkabau pada waktu itu.
Puncaknya, terjadi setelah ayah dan ibu mereka (Cati Bilang Pandai dan Indo Jalito)
meninggal dunia, yaitu dengan terjadinya “perang“ di Limo Kaum (Dobbin, 1983;
Djamaris, 1991). Pada perkembangan kemudian, akhirnya kedua datuak ini lalu
membentuk dua sistem politik (lareh) yang berbeda dan masing-masing nya saling
31
berebut pengaruh dalam masyarakatnya. Masyarakat Minangkabau akhirnya terbelah
dalam dua sistem politik (phratry dualism), dan disisi lain juga akhirnya membelah
wilayah Minangkabau kedalam dua aliran tersebut, yang dikenal dengan istilah luhak1
(Batuah, 1966).
Secara struktural, dua lareh yang diciptakan duo datuak ini lah yang kemudian
menjadi landasan dasar kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau, sampai
sekarang ini (Maarif, 1996). Akan tetapi walau pun sifat terbelah dua (dualisme) ini
selalu membayangi kehidupan masyarakatnya, justru hal ini tidak menimbulkan kondisi
disharmoni dalam masyarakatnya. Banyak ahli bahkan melihat bahwa Minangkabau,
justru memiliki kehidupan yang sangat dinamis2. Ini menunjukkan bahwa di dalam sifat
yang terbelah itu, terselip juga nilai-nilai budaya yang mampu mensintesiskannya,
sehingga dualisme ini justru menjadi sebuah kesatuan yang saling mendukung satu sama
lain. Mengikuti tambo, maka menurut Navis (1984) dan juga Djamaris (1991), sintesis
yang mengakhiri pertentangan antara duo datuak pendiri Minangkabau tersebut
dilakukan melalui kehadiran tokoh Datuak Sakalok Dunia dan Banego-nego3. Ini
akhirnya melahirkan lareh baru yang disebut Lareh Nan Panjang, dimana sifat lareh ini
sering dikatakan Koto Piliang bukan, Bodi Caniago antah (Koto Piliang bukan, tetapi
dikatakan Bodi Caniago juga bukan).
Pada perkembangan kemudian, pola menyelesaikan pertentangan (sintesis
dualisme) gaya duo datuak tersebut, misalnya terlihat dengan hadirnya filosofi yang
mendasari kehidupan masyarakatnya yaitu adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Menurut Syarifuddin (1984), filosofi lebih sebagai bentuk sintesis yang
dilakukan oelh masyarakatnya dengan masuknya Islam menjadi agama baru dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau. Begitu juga pola pengasuhan anak disentesiskan
menjadi anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak dipangku kemenakan dibimbing),
sedangkan sistesis dualisme dalam sistem pewarisan dilakukan melalui pewarisan harto
pusako (harta komunal) kepada kemenakan (khususnya perempuan) dan harta pancarian
(harta individual) diwariskan kepada anak. Kemampuan masyarakat Minangkabau dalam
memecahkan dualisme agar tidak menjadi disharmoni inilah, dalam literatur sering
32
digambarkan sebagai “kesatuan dalam keragaman” (Nasroen, 1954), “permusuhan dalam
persahabatan (hostile in friendship)” (de Jong, 1960), dispute in harmony (Abdullah,
1966; Tanner, 1971), “dari dualisme menuju keesaan” (Saanin, 1989). Oleh sebab itu,
menurut Saanin
Walaupun kelompok ini, berbeda fungsi dan peran satu sama lainnya, namun di
masyarakat Minangkabau, ia menjadi satu kesatuan yang utuh yang selalu ada dan
mewarnai setiap musyawarah yang mereka lakukan. Artinya, dua kelompok yang
berseteru tidak akan ada tanpa kehadiran kelompok ketiga, sebaliknya kelompok ketiga
tidak mungkin dimunculkan tanpa adanya perseteruan dua kelompok lainnya. Secara
struktural, maka budaya politik Minangkabau ini dapat digambarkan sebagai struktur
triadik. Struktur triadik sebagai ciri khas budaya politik Minangkabau ini akan selalu
ditemui dan teraplikasinya dalam musyawarah dalam kelompok (internal), dan juga
dalam musyawarah antar kelompok (eksternal). Inilah yang kemudian sering
digambarkan oleh para ahli sebagai “keragaman dalam kesatuan” (Nasroen, 1955), atau
“hostile in friendship” (de Jong, 1966), “dari dualisme menjadi keesaan” (Saanin, 1989).
33
Topik X.Masalah ketimpangan dan kemiskinan
Masalah Ketimpangan Pandangan Sektoral dan Faktor Produksi
A. Sumber Baru Ketimpangan
Persoalan ketimpangan sesungguhnya justru muncul pada titik ini, yakni
kesepakatan bahwa sektor industri merupakan basis pertumbuhan ekonomi dan dengan
begitu harus didukung sepenuhnya dengan mengabaikan sektor lainnya. Dalam konteks
ini sektor industri didinamisir untuk memproduksi secara efisien dan produktif sehingga
bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, sektor lainnya karena relatif
diabaikan tetap dalam kondisi yang stagnan. Keyakinan bahwa sektor industri merupakan
mesin yang bisa memacu pertumbuhan ekonomi dalam banyak hal dapat dipahami, tetapi
dalam dosis tertentu bisa pula dianggap berlebihan. Dipahami dalam pengertian bahwa
sektor industri selalu memproduksi barang dan jasa setelah melalui proses pengolahan
(manufacturing) sehingga dapat meningkatkan nilai produk dan menjadi sumber
pendapatan nasional. Tetapi bisa dianggap berlebihan apabila timbul keyakinan sektor
industri tersebut dapat tumbuh tanpa dukungan sektor lainnya, khususnya bagi sebuah
negara yang memiliki endowment factor di sektor pertanian.
Lepas dari argumentasi tersebut, akibat dukungan pemerintah terhadap sektor
industri yang berlebihan, muncul perbedaan efisiensi dan produktivitas antara sektor
industri dan sektor lainnya (misalnya sektor pertanian) sehingga menyebabkan terjadinya
ketimpangan sektoral, yang dalam penilaian mikro sekaligus juga menunjukkan
ketimpangan pendapatan antara pelaku ekonomi yang bekerja di sektor industri dan
pelaku ekonomi yang bekerja di sektor pertanian. Dalam tahap awal pembangunan,
seringkali dijumpai fakta terjadinya ketimpangan tinggi antara sektor industri dan sektor
lainnya, dan setelah itu ketimpangan akan menurun pada level pembangunan berikutnya.
Menurunnya ketimpangan tersebut bukan diakibatkan oleh meningkatnya efisiensi dan
produktivitas di sektor lain, tetapi karena merosotnya kinerja sektor industri akibat tidak
bertumpu pada sektor basis. Fakta ini banyak dijumpai di negara-negara berkembang
yang memprioritaskan sektor industri sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi dan
menihilkan sektor basis pada saat memulai proses pembangunan.
34
Ketimpangan pendapatan juga bisa diperiksa dari sisi lain, bahwa ketika
industrialisasi dijalankan, faktor produksi yang paling berkuasa adalah modal, lebih-lebih
jika hal ini direlasikan dengan negara yang memakai sistem kapitalis. Modal merupakan
instrumen penting yang dianggap bisa menggerakkan investasi sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi. Akibat dominasi modal dibandingkan faktor produksi yang lain,
setiap tetes penghasilan ekonomi yang diperoleh dari proses produksi sebagian besar
akan jatuh pada pemilik modal secara tidak proporsional. Pendeknya, jika keuntungan
suatu perusahaan meningkat dalam kurun waktu tertentu, peningkatan laba tersebut
hampir seluruhnya jatuh ke pemilik modal, sedangkan pemilik tanah tetap menikmati
sewa seperti masa sebelumnya dan tenaga kerja juga harus menerima upah seperti
sediakala ketika keuntungan belum meningkat.
Tentu saja fenomena tersebut bisa menjadi instrumen yang menyebabkan
terjadinya ketimpangan pendapatan antarmasyarakat dengan menggunakan pijakan
pembagian keuntungan faktor produksi yang tidak adil. Dalam banyak kasus di negara
berkembang fakta ini dengan mudah bisa ditemukan dengan merujuk pada praktik
produksi di perusahaan-perusahaan yang mengakibatkan terjadinya konflik antara buruh
dan pemilik modal akibat. Demikian halnya apabila dipindahkan ke sektor pertanian,
misalnya, ketimpangan tersebut juga terjadi akibat pembagian pendapatan yang tidak
sepadan antara pemilik lahan dan buruh tani dalam sistem ''share cropping'' (bagi hasil).
Dalam sistem ini pembagian pendapatan cenderung ditentukan secara sepihak oleh
pemilik lahan akibat posisi tawar mereka yang jauh lebih kuat dibandingkan buruh tani.
Jadi, dengan menggunakan pendekatan ini ketimpangan bukan merupakan produksi dari
kebijakan pemerintah yang memprioritaskan sektor tertentu, melainkan akibat praktik
pembagian yang tidak adil antarfaktor produksi ekonomi
B. Kemiskinan.
Terdapat dua pendekatan : kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif
1. Kemiskinan absolut ( melihat jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan).
2. Kemiskinan relatif (hubungan populasi terhadap distribusi pendapatan).
35
Beban Kemiskinan Global Terjadi pada negara yang memiliki populasi yang
besar pada kelompok-kelompok tertentu (kaum wanita), Anak –anak (sisi pendidikan dan
kesehatan). Beban tersebut dapat dilihat dari extreme poverty line dan poverty line.
C. Perbedaan Kemiskinan dengan Ketimpangan Pendapatan.
- Kemiskinan berkaitan dengan standar hidup yang absolut.
- Sedangkan Ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat.
D. Garis Kemiskinan
Semua ukuran kemiskinan dipertimbangkan pada norma tertentu. Pilihan norma
tersebut sangat penting terutama dalam pengukuran kemiskinan yang didasarkan pada
konsumsi. Garis kemiskinan didasarkan pada consumption based poverty line dimana
terdapat dua elemen :
1. Pengeluaran yang diperlukan untuk standar gizi.
2. Jumlah kebutuhan lain yang bervariasi.
E. Seberapa Besar Tingkat Kemiskinan terjadi
Berdasarkan perhitungan untuk melihat tingkat kemiskinan dan ketimpangan
pendapatan diantaranya menggunakan :
o Headcount Index : menghitung jumlah orang miskin sebagai proporsi populasi.
o Poverty Gap : menghitung transfer yang akan membawa pendapatan setiap
penduduk miskin hingga tingkat garis kemiskinan, sehingga kemiskinan dapat
dilenyapkan.
F. Hipotesis U Terbalik Tentang Kemiskinan
Simon Kuznets (1955) membuat hipotesis adanya U terbalik, bahwa permulaan
pembangunan dimulai dimana distribusi pendapatan akan makin tidak merata, namun
setelah mencapai tingkat pembangunan tertentu distribusi pendapatan makin merata.
36
Sebagian besar kurva kuznet ini terletak disebelah kanan, ketimpangan
pendapatan menurun seiring dengan peningkatan GDP perkapita pada tahap
pembangunan selanjutnya. Hipotesis ini membuktikan terjadinya dua economy.
G. Penyebab Kemiskinan
Mencoba dengan mengidentifikasi penyebab kemiskinan dari sisi ekonomi :
1. Secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan
sumber daya yang menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan.
2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia.
3. Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses modal.
H. Alternatif Solusi Kemiskinan
- Pengupahan tenaga kerja (terutama sektor tradisional, modal yang didapat dari
pemungutan pajak).
- Menitikberatkan pada transfer sumber daya dari pertanian ke industri melalui
mekanisme pasar.
- Menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan dalam sektor pertanian yang dibuka dengan
kemajuan teknologi sehingga menjadi leading sector (rural – led development) proses ini
akan mendukung pertumbuhan seimbang dengan syarat :
1. Kemampuan mencapai tingkat pertumbuhan output pertanian yang tinggi.
2. Menciptakan pola permintaan yang kondusif pada pertumbuhan
37
Topik XI.Gender dan Pembangunan
I. Kemajuan signifikan yang mengarah pada pencapaian keseimbangan gender
telah terjadi di beberapa sektor kunci
Selama ini telah terjadi perbaikan yang stabil dan mengesankan dalam hal posisi
relatif pendidikan perempuan. Bagi mereka yang saat ini berusia di bawah 20 tahun,
perbedaan gender yang terjadi sangatlah kecil. Sedikit lebih banyak perempuan daripada
lelaki yang terdaftar di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Hanya di tingkat
sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, terdapat lebih banyak lelaki yang
mendapatkan pendidikan dibandingkan perempuan. Perempuan yang berusia lebih tua
tetap kurang namun hanya terdapat sedikit perbedaan.
Peran-peran, harapan-harapan, dan pandangan-pandangan gender menempatkan
perempuan dan laki-laki ke dalam situasi-situasi yang membatasi kapasitas-kapasitas
mereka untuk melakukan dan untuk menjadi sesuatu. Kondisi ini pada gilirannya
menghalangi, potensi-potensi mereka untuk mencapai hidup yang lengkap dan
memuaskan. Di Indonesia, subordinasi gender mempengaruhi secara buruk kaum
perempuan. Ini terlihat jelas dalam hal marjinalisasi ekonomi, subordinasi politik,
stereotipe gender, beban yang berlipat, dan kekerasan terhadap kaum perempuan. Institut
ini mengakui legitimasi dari kesetaraan gender sebagai sebuah nilai dasar yang harus
tercermin dalam pilihan-pilihan pembangunan, dan juga kebijakan-kebijakan, pada
tingkat nasional dan lokal. Institut ini mendekati masalah-masalah kesetaraan gender di
pusat dari keputusan-keputusan kebijakan yang luas, struktur-struktur institusional dan
alokasi-alokasi sumber daya, dan bagaimana penyertaan pandangan-pandangan dan
prioritas-prioritas kaum perempuan dalam proses pembuatan kebijakan dan tujuan-tujuan
pembangunan.
II. Globalisasi dan desentralisasi mendatangkan kesempatan sekaligus tantangan
lebih besar untuk pencapaian kesetaraan gender
Migrasi ke luar negeri bukan hanya salah satu dari sumber kesempatan kerja
terbesar dan terus menerus tumbuh untuk kaum miskin pedesaan, namun berperan juga
sebagai satu dari mekanisme jaring pengaman yang dimanfaatkan kaum miskin untuk
38
menghadapi kejutan ekonomi. Tiap tahunnya jumlah warga negara Indonesia yang
tercatat pergi sebagai migran ke luar negeri adalah sekitar 400.000 orang, dan 80%
diantaranya adalah perempuan. Sekitar 90% perempuan migran tersebut bekerja pada
sektor informal, umumnya sebagai pembantu rumah tangga. Mayoritas pekerja laki-laki
migran bekerja di sektor formal sebagai buruh bangunan. Migrasi ke luar negeri juga
mendatangkan berbagai permasalahan ekonomi, sosial dan hak asasi. Walaupun terasa
berat bagi para pekerja migran Indonesia, persoalan tersebut terasa lebih menyulitkan
pekerja migran perempuan karena sebagai pembantu rumah tangga, hubungan kerja
dengan majikan mereka tidak diakui atau dilindungi. Para pekerja migran perempuan di
luar negeri sangat rentan terhadap pelanggaran hak mereka selaku pekerja seperti
perkosaan, pelecehan, pemotongan upah dan kondisi kerja yang buruk.
Desentralisasi membuka kesempatan bagi perempuan untuk memainkan peran
yang lebih besar, namun secara tidak langsung juga telah mengurangi partisipasi
perempuan di pemerintahan. Pegawai negeri memiliki ketidakseimbangan gender pada
tingkatan pangkat tinggi, terutama pada pangkat tinggi di pemerintahan daerah. Oleh
karenanya ketika pembuatan keputusan di sektor publik diturunkan dari Pemerintah Pusat
ke Pemerintah Daerah, maka tingkat partisipasi perempuan dalam pembuatan keputusan
manjadi berkurang. Sejalan dengan rendahnya keterwakilan perempuan dalam lembaga-
lembaga pembuat keputusan, jumlah kabupaten/kotayang mengesahkan peraturan-
peraturan daerah yang bias gender (misalnya Perda Maksiat), atau bahkan peraturan yang
mendiskriminasikan perempuan, menunjukkan peningkatan. Perspektif gender yang
rendah diantara pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga pembuat keputusan lainnya di
daerah, mengakibatkan keluarnya kebijakan-kebijakan yang tidak peka gender walaupun
kebanyakan dari kebijakan-kebijakan tersebut pada awalnya dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan bagi perempuan.
III. Namun demikian, diskriminasi angkatan kerja masih terlihat di seluruh wilayah
Hanya 41% perempuan versus 73% lelaki yang bekerja atau mencari pekerjaan. Di
pasar tenaga kerja, perempuan lebih cenderung tidak mendapatkan pekerjaan
dibandingkan laki-laki. Namun demikian, angka statistik ini menyamarkan fakta bahwa
banyak perempuan yang walaupun tidak secara aktif mencari kerja, namun berminat
39
untuk bekerja. Perempuan terwakili secara berlebihan dalam pekerjaan-pekerjaan tanpa
bayaran atau dengan bayaran rendah, dan kurang terwakili di dalam sektor formal yang
berpenghasilan lebih baik.
Di sektor formal, perempuan menerima upah yang lebih rendah. Hal ini bukan
disebabkan oleh kurangnya pendidikan atau pengalaman perempuan. Rata-rata, karyawan
perempuan hanya menerima76% dari penghasilan laki-laki. 80% dari perbedaan upah
laki-laki dan perempuan disebabkan oleh timpangnya perlakuan terhadap perempuan.
Seorang perempuan dengan pendidikan dan pengalaman yang persis sama dengan laki-
laki rata-rata akan menerima sekitar 81% dari penghasilan yang diterima laki-laki.
Perbedaan upah ini lebih besar di wilayah-wilayah luar Jawa dibandingkan Jawa, dan
lebih besar di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.
IV. Dan kekerasan terhadap perempuan masih terus berlanjut
Perempuan lebih sering menjadi korban kekerasan dibandingkan lelaki dan
seringkali mereka juga menjadi korban kekerasan di daerah-daerah konflik sipil dan
militer. Aceh, Maluku, Poso, Papua dan Kalimantan Tengah adalah daerah-daerah
dimana kekerasan sipil dan militer telah mempengaruhi kehidupan perempuan, lelaki dan
anak-anak secara serius. Di Aceh, 1.694 perempuan menjadi janda selama operasi militer
(DOM), dan 4.126 lainnya menjadi janda selama periode paska-DOM. Di Maluku,
stigmatisasi menimpa perempuan hamil dan perempuan beranak yang dibuang
keluarganya. Pada bulan Maret 2001, terdapat 1,1 juta pengungsi lokal dan kebanyakan
dari mereka adalah perempuan, anak-anak dan orang lanjut usia.
Kekerasan berbasis gender dilaporkan semakin meningkat. Tercatat ada 5.163
kasus kekerasan di tahun 2002, naik sebesar 63% dari tahun sebelumnya. Kasus-kasus
tersebut termasuk pelecehan pada buruh migran perempuan, kekerasan dalam rumah
tangga serta perbuatan kriminal. Data akhir tahun di Markas Besar Kepolisian Jakarta,
misalnya, memperlihatkan bahwa kasus perkosaan yang dilaporkan telah meningkat
secara signifikan sebesar 25% di tahun 2003 walaupun terdapat penurunan jumlah
peristiwa kriminal di kota. Kekerasan dalam rumah tangga mengungguli kasus-kasus
kekerasan terhadap perempuan lokal di Nusa Tenggara Barat. Persoalan ekonomi telah
dituding sebagai penyebab meningkatnya jumlah kasus tersebut. Menurut Asosiasi
40
Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), terdapat 43 kasus kekerasan terhadap
perempuan yang ditangani organisasi tersebut di tahun 2000. Hal ini meningkat menjadi
70 kasus di tahun 2001 dan naik drastis menjadi 729 kasus di tahun 2002.
V. Kinerja Indonesia dalam menangani ketidaksetaraan gender tertinggal dari
negara tetangga
Di tahun 2002, kinerja GDI1 Indonesia menduduki peringkat 91 dari 144 negara.
Hal ini disebabkan oleh karena angka harapan hidup perempuan ‘dibebani’ oleh tingkat
melek aksara yang lebih rendah, yaitu 86%(dibandingkan 94% untuk lelaki), jumlah
waktu rata-rata sekolah perempuan lebih pendek dari lelaki (6,5 berbanding 7,6 tahun),
dan porsi penghasilan perempuan yang lebih kecil dari lelaki (38% berbanding 62%).
Kinerja GDI diseluruh wilayah juga tidak beraturan dengan variasi yang signifikan,
bahkan di antara dua kabupaten/kota yang bertetangga.
41
Topik XII.Dinamika pola pertanian di Indonesia
Pertanian sebagai Anugerah Terbesar Bangsa Indonesia
Jika melihat kondisi pertanian Indonesia saat ini sungguh sangat memprihatinkan,
dalam hal hasil produksi (yang cenderung menurun dari waktu ke waktu) dan kualitas
produk pertanian, khususnya bahan pangan. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara
agraris penghasil bahan pangan terbesar didunia. selain itu, Indonesia memiliki
ketersediaan bahan-bahan organik yang melimpah di alam. Menurunnya hasil produksi
pertanian di Indonesia tidak lain disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu :
1. Menipisnya unsur hara mikro di dalam tanah
Untuk dapat tumbuh dan menghasilkan produksi yang maksimal, tanaman
membutuhkan 13 jenis unsur makro dan mikro. akan tetapi, petani-petani di Indonesia
hanya memberikan 3 jenis unsur hara makro saja (N,P,K). jadi, lambat laun tanah kita
akan semakin miskin kandungan unsur hara mikro karena habis diserap secara terus-
menerus oleh tanaman tanpa ada pengembalian pada tanah (karena hanya 3 jenis unsur
hara makro saja yang dikembalikan lagi ke tanah).
2. Penggunaan pupuk & pestisida dari bahan kimia sintetis
Tanpa kita sadari penggunaan bahan-bahan kimia sintetis sangat berakibat fatal
bagi kemajuan pertanian kita. Tentunya, kita perlu mengingat bahwa salah satu sifat dari
bahan kimia sintetis yaitu tidak dapat terurai di dalam tanah & akan mengendap di dalam
tanah. Sehingga, mengakibatkan semakin mengerasnya struktur tanah. efek lain bagi
petani yaitu semakin meningkatnya biaya produksi karena semakin banyak jumlah dosis
yang dibutuhkan dari tahun ke tahun. Nah, kalau kita perhatikan dari 2 hal diatas, sudah
42
saatnya pola pertanian di Indonesia harus dirubah ke arah pertanian ORGANIK, dalam
arti yaitu menggunakan bahan-bahan (pupuk & pestisida) berbahan organik.
Selain itu juga akan semakin lebih bersahabat dengan lingkungan alias menjaga
kelestarian lingkungan(tanah). Hanya ada satu harapan untuk dapat bersaing di era
globalisasi ini yaitu memajukan bidang pertanian.
Topik XIII.Pembangunan Regional
PEMBANGUNAN REGIONAL
1.1 Pengertian Pembangunan Regional
Pembangunan regional ialah suatu program untuk strategi pemerintah setempat /
nasional dalam menjalankan campur tangan pemerintah untuk mempengaruhi jalannnya
proses pembangunan di daerah-daerah sebagai bagian dari daerah nasional supaya terjadi
perkembangan kearah yang dikehendaki.
1.2 Tujuan-tujuan kebijaksanaan pembangunan
1. Mencapai kenaikan pendapatan per kapita yang cepat
2. Menyediakan kesempatan kerja yang cukup
3. Mengadakan redistribusi pendapatan supaya lebih merata
4. Mengurangi perbedaan tingkat perkembagan / pembangunan dan kemakmuran
antara daerah yang satu dengan yang lain
5. Merubah struktur perekonomian supaya tidak berat sebelah.
Pembangunan Regional, Ketimpangan antar wilayah atau (inter-area gap) lebih
disebabkan karena banyak factor antara lain ketersediaan potensi sumberdaya yang
dimiliki masing-masing wilayah serta pengelolaan dari pemerintah wilayah setempat.
Timpangnya pembangunan di tiap wilayah di Indonesia lebih dikarenakan perbedaan
potensi sumberdaya yang dimiliki dan pengelolaan sumberdaya tersebut dari tiap
pemerintah wilayah.Kebjakan otonomi daerah yang sudah berjalan hingga saat ini, maka
setiap masing-masing pemerintah wilayah tersebut mampu memiliki kewenangan secara
penuh untuk mengolah sumberdaya yang dimiliki tanpa campur tangan pemerintah pusat
43
untuk mendukung pembangunan regional masing-masing wilayah. Namun disisi lain
walaupun tiap wilayah memiliki kewenangan penuh untuk mencari dana sendiri, namun
pemerintah pusat tetap berkewajiban mengontrol guna mengantisipasi adanya
pengelolaan sumberdaya yang salah dalam pelaksanaannya.Untuk itu dapat diusulkan
kebijakan pembangunan pemerintahan otoritarian-kapitalistik Suharto yang memuncak,
telah menumbangkan kekuasaan tersebut dan menggantikannya dengan semangat baru
pembangunan yangkemudian dikenal sebagai era-reformasi. Demikianlah, sehingga
pada fase ketiga ini, pembangunan pedesaan lebih banyak dicirikan oleh pemenuhan
kebutuhan akan penyaluran aspirasi politik daripada pemenuhan kebutuhan fisik
sebagaimana dilakukan pada masa sebelumnya.
Adanya berbagai permasalahan di dalam pembangunan kota-kota di
Indonesia, khususnya kota-kota menengah dan kota besar, terutama diakibatkan kurang
dilibatkannya masyarakat di dalam proses pembangunan kota-kota dimaksud, sejak
proses awal yaitu dari tahap perencanaan. Akibatnya hasil pembangunan di kota-kota
menengah dan besar di Indonesia cenderung mengarah untuk menampung kebutuhan
sebagian kecil kelompok masyarakat, yang rata-rata berpenghasilan tinggi dan menengah.
Sebagian besar kelompok masyarakat berpenghasilan rendah tidak tertampung
aspirasinya, pada perencanaan pembangunan kota dan perencanaan pembangunan
kawasan. Kota-kota menengah dan besar di Indonesia saat ini menyajikan kondisi
dilematik. Di satu sisi pertumbuhan dan pembangunan kota cukup pesat, namun di sisi
lain mengakibatkan masyarakat berpenghasilan rendah tersingkir dan semakin miskin
(marginal-society). Terjadinya kontradiksi ini akhirnya sering menimbulkan konflik
sosial yang mengarah kepada pengrusakan sarana-prasarana fisik perkotaan dan sendi-
sendi sosial antar kelompok masyarakat yang sebelumnya sudah cukup kuat dan
terpelihara dengan baik. Belajar dari pengalaman yang sama pada negara-negara
berkembang lainnya, maka visi kota-kota besar dan menengah di masa depan
memerlukan pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat seluas mungkin,
sejak awal, yaitu tahap perencanaan. Bagaimana mekanisme keterlibatan peran serta
masyarakat di dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan kota memerlukan
pengkajian secara mendalam. Pembangunan Transmigrasi ke depan masih dipandang
relevan sebagai suatu pendekatan untuk mencapai tujuan kesejahteraan,
44
pemerataan pembangunan daerah, serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Namun
demikian, kebijakan penyelenggaraan transmigrasi perlu diperbaharui, dan disesuaikan
dengan kecenderungan (trend) perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama perubahan
pada tata pemerintahan Pada kurun waktu 2004-2009, penyelenggaraan transmigrasi
diarahkan sebagai pendekatan untuk mendukung pembangunan daerah, melalui
pembangunan pusat-pusat produksi, perluasan kesempatan kerja, serta penyediaan
kebutuhan tenaga kerja terampil baik dengan peranan pemerintah maupun secara
swadana melalui kebijakan langsung (direct policy) maupun tidak langsung (indirect
policy). Sedangkan Kebijakan Transmigrasi diarahkan pada tiga hal pokok yaitu:
1. Penanggulangan kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan penduduk
untuk memperoleh tempat tinggal yang layak;
2. Memberi peluang berusaha dan kesempatan kerja;
3. Memfasilitasi pemerintah daerah dan masyarakat untuk melaksanakan
perpindahan penduduk .
Sementara itu, untuk wilayah KTI pembangunan transmigrasi diarahkan untuk.
(1) Mendukung pembangunan wilayah yang masih tertinggal,
(2) Mendukung pembangunan wilayah perbatasan, dan
(3) Mengembangkan permukiman transmigrasi yang telah ada, pembangunan
permukiman baru secara selektif, dan pengembangan desa-desa/permukiman
transmigrasi potensial.
Dengan berlakunya UU no 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka tatacara
penyelenggaraan transmigrasi dan pendekatan yang dilakukan harus disesuaikan terhadap
tuntutan perkembangan keadaan saat ini. Pelaksanaannya harus memegang prinsip
demokrasi, mendorong peran serta masyarakat, mengupayakan keseimbangan dan
keadilan, serta memperhatikan potensi dan karakteristik daerah.
1.3 Faktor Pembangunan Sektoral dan Daerah
Pembangunan daerah dan regional sebagai bagian dari pembangunan nasional
perlu diselaraskan dan dilaksanakan secara terpadu dengan pembangunan sektor lain dan
pembangunan daerah secara holistik. Namun demikian, mengingat bahwa sumberdaya
45
alam sebagai sistem penyanggga kehidupan yang memiliki kedudukan, fungsi dan peran
yang sangat penting bagi hidup dan kehidupan, maka pembangunan sektor lain yang
menyebabkan perubahan peruntukan dan pemanfaatan sumberdaya yang berdampak
penting, bercakupan luas, atau bernilai strategis, harus dilakukan secara cermat dan
koordinatif. Khusus hubungannya dengan pembangunan daerah, penyelenggaraan
otonomi dibidang pembangunan regional perlu memperoleh perhatian yang semestinya.
Untuk itu perlu dikembangkan kegiatan yang bersifat “local specific” berdasarkan
potensi dan keadaan setempat.
46
Mengidentifikasi aspek Geogarfi dalam Pembangunan.
Topik XIV.Aspek Geografi dalam Pembangunan
1.1 Aspek Geogarfi Dalam Pembangunan
Geogarfi baik sebagai pengetahuan maupun sebagai ilmu, masih belum dikenal
luas di masyarakat Indonesia, meskipun hakekatnya tiap orang telah memiliki
pengetahuan tersebut. Berdasarkan konsep yang ditemukan diatas, jelas bahwa geografi
tidak hanya terbatas sebagai suatu deskripsi tentang bumi atau permukaan bumi,
melainkan meliputi analisa hubungan antara aspek/faktor fisis dengan pola serta hakekat
umat manusia. Dengan demikian, pada studi Geografi, perhatian dan analisa tidak hanya
ditujukan kepada alam lingkungan, melainkan juga berkenaan dengan umat manusia serta
hubungan diantara keduanya.
Disini pun juga ditegaskan bahwa geografi merupakan bidang ilmu yang mencoba
menemukan, mendiskripsikan dan menafsirkan karakter variable dari tempat ketempat
lainnya dibumi sebagai dunia kehidupan manusia. Pada pengertian yang terakhir karakter
geogarfi itu lebiuh ditekannkan, yaitu berkenaan yaitu dengan tempat dibumi, tidak ada
bidang ilmu yang lain yang menonjolkan aspek tempat atau aspek ruang, kecuali
geografi. Ciri khas studi geogarfi yang berbeda dengan studi lain yait berkenaan dengan
tempat ini. Hal lain yang perlu dikemukakan dan perlu pula diketahui bersamaan bahwa
yang menjadi objek studi geogarfi, bukan hanya alam fisik yang menjadi tempat dan
sumber daya bagi kehidupan manusia, melainkan juga manusia dengan segala dan
perubahan perilakunya, dan bahkan interalisasi keduanya, menjadi objek studi yang juga
memberikan karakter kepada ilmu geogarfi.
Dipihak lain juga studi geogarfi yang mengkhususkan diri mempelajari alam
lingkungan (physical geography), tidak saja mempelajari alam (udara, air, batuan, gejala
gempa dan lain sebagainya) hanya untuk mengetahui gejala alam tersebut, melainkan
untuk mengungkap “pentingnya” alam bagi kehidupan umat manusia. Inilah salah satu
cirri khas dari geogarfi dan studi geografi.
Sebagai suatu bidang pengetahuan dan ilmu, geografi memiliki nilai teoritis dan
nilai praktis. Geogarfi sebagai ilmu penelitian (geography as a research discipline), tidak
hanya bernilai teoritis bagi kepentingan pngembangan diri sebagai suatu ilmu, melainkan
47
dapat dimanfaatkan secara praktis bagi perencanaan dan pembangunan daerah
(Regional). Geogarfi sebagai bidang inkuiri seperti yang telah dikemukakan terdahulu,
tidak hanya merangsang untuk berfikir bagi siapa yang melakukannya, melainkan lebih
jauh dari pada itu dapat mempertajam penghayatan terhadap apa yang ada dan terjadi
dipermukaan bumi ini. Dengan perkataan lain, geografi memiliki nilai edukatif bagi siapa
yang mempelajarinya,dalam arti dapat meningkatkan kognisi, afeksi dan psikomotod
yang mempelajarinya, lebih dari pada itu, dengan mempelajari geogarfi kita dapat
menghayati keberadaan diri kita dialam raya, keberadaan bumi dialam raya, fungsi dan
peranan kita terhadap lingkungan ada nilai yang menghubungkanya atau dengan
perkataan lain, geogarfi itu memiliki nilai filsafat. Pada akhirnya sesuai dengan
penghayatan dan kesadaran yang tinggi dalam mempelajari ilmu geografi , kita menjadi
bertambah dekat dengan alam lingkungan, dengan alam raya dan merasa dekat dengan
Tuhan Yang Maha Pencipta.
1.2 Sumbangan Geogarfi Terhadap pembangunan
Geografi sebagai ilmu penelitian, dapat mengembangkan teori, konsep, asas dan
generalisasinya bagi pengembangan dirinya sendiri, disini ia bergerak dalam bidang teori.
Peranan yang sama yaitu sebagai ilmu penelitian (geography as research discipline),
dimanfaatkan juga dalam menyusun rancangan, perencanaan pembangunan wilayah yang
bersangkutan. Salah satun peranan yang lain yang dimiliki oleh geografi yaitu “geografi
sebagai ilmu tata guna lahan” (Geography as the science of landuse). Disini jelas sekali ia
bergerak dalam bidang praktis, melalui peranannya sebagai ilmu tata guna lahan, geogarfi
dapat melakukan organisasi keruangan (spatial organization), dalam hal ini geogarfi
membantu planologi dalam analisis faktor-faktor geogarfi dalam melakukan tata guna
lahan dan tata guna ruang di permukaan bumi. Untuk menata ruang dipermukaan bumi
berapa persen untuk permukimam, berapa persen untuk industri, berapa persen untuk
industri dan lain sebagainya. Perlu data geografi yang menunjang tata guna lahan. Oleh
karena itu, geografi tidak hanya menunjang secara pasif terhadap pembangunan, melain
kan berperan aktif memberikan data dan informasi tentang aspek-aspek atau faktor-faktor
geogarfi yang menjadi landasan pembangunan
..
48
Pertanyaan:
1. Jelaskanlah dengan ringkas tentang ilmu geogarfi sebagai pengetahuan dan ilmu?
2. Apa yang dimaksud dengan ilmu geografi sebagai ilmu penelitian ? Jelaskanlah
3. Jelaskanlah apa yang dimaksud dengan nilai edukatif dalam Ilmu geogarfi?
4. Jelaskan latar belakang mengapa dapat terjadi pergeseran makna pembangunan ?
5. Apa yang dimaksud dengan growth without development? Tunjukan contoh nyata
dimana suatu Negara secara ekonomi telah mengalami pembangunan namun dianggap
kurang berkembang ?
6. Sebutkan lah dimensi-dimensi apa saja yang tidak disebutkan dalam diskusi
Pertumbuhan dan Pembangunan ini?
7. Jelaskan apa yang dimaksud dengan negara berkembang (NSB)?
8. Jelaskan Perbedaan antara Indikator Ekonomi dan Indikator Sosial?
9. Sebutkan kelemahan GNP perkapita sebaga ukuran tingkat kesejahteraan ?Jelaskanlah
10. Jelasakan Perbedaan teori-teori nilai-nilai budaya dengan Lingkungan material?
11. Apa yang dimaksud dengan Unilinear dalam teori modernisasi? Jelaskan
12. Sebutkan Masalah pendidikan yang menjadi masalah dalam psikologi seseorang?
13. Sebutkanlah pembahagian Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Prebishi?
14. Dalam faktor apa saja, terjadi ketidak seimbangan dalam perdagangan di Amerika
latin! Jelaskanlah?
15. Apa yang dimaksud dengan keruangan yang abstrak dalam kutub pertumbuhan?
Hormat Saya,
Aprizon Putra
Nim: 89059