gaya hidup, konsumsi pangan, dan hubungannya dengan ... · 5 hubungan gaya hidup dengan tekanan...
TRANSCRIPT
GAYA HIDUP, KONSUMSI PANGAN, DAN HUBUNGANNYA
DENGAN TEKANAN DARAH PADA LANSIA
ANGGOTA POSBINDU
RUTH AYU WULANDARI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gaya Hidup, Konsumsi
Pangan, dan Hubungannya dengan Tekanan Darah pada Lansia Anggota Posbindu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Ruth Ayu Wulandari
NIM I14100141
ABSTRAK
RUTH AYU WULANDARI. Gaya Hidup, Konsumsi Pangan, dan Hubungannya
dengan Tekanan Darah pada Lansia Anggota Posbindu. Dibimbing oleh SITI
MADANIJAH.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan gaya hidup dan konsumsi
pangan dengan tekanan darah pada lansia anggota posbindu. Desain penelitian
adalah cross-sectional dengan jumlah subjek 8 orang laki-laki dan 31 orang
perempuan dari Posbindu Al-Wusto, Kabupaten Bogor. Data gaya hidup berupa
kebiasaan merokok, minum kopi, dan berolahraga diperoleh menggunakan
kuesioner. Data konsumsi pangan berupa pangan pencegah dan pemicu hipertensi
diperoleh menggunakan Food Frequency Questionnaire (FFQ). Data tekanan
darah diperoleh dengan pengukuran langsung menggunakan tensimeter digital.
Sebagian besar subjek (64.1%) mempunyai hipertensi, sebanyak 28.2% subjek
memiliki hipertensi I dan 35.9% subjek memiliki hipertensi II. Tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara gaya hidup dengan tekanan darah (p>0.05).
Terdapat hubungan signifikan negatif antara pangan pencegah (brokoli dan biji
bunga matahari) dan pangan pemicu (crackers dan ikan asin) dengan tekanan
darah sistol (p<0.05). Terdapat hubungan signifikan positif antara pangan pemicu
(ikan pindang) dengan tekanan darah sistol (p<0.05).
Kata kunci: gaya hidup, hipertensi, konsumsi pangan, lansia
ABSTRACT
RUTH AYU WULANDARI. Life style, Food Consumption, and Relationship to
Blood Pressure among Elderly Member of Posbindu. Supervised SITI
MADANIJAH.
The purpose of this study was to determine the relationship of lifestyle and
food consumption to blood pressure among elderly. The study design was cross-
sectional study with a number of subjects 8 men and 31 women from Posbindu
Al-Wusto in Bogor District. Lifestyle data habits such as smoking, drinking
coffee, and exercise elicited through questionnaires. Food consumption data such
as food protective and food trigger hypertension elicited through Food Frequency
Questionnaire (FFQ). Blood pressure data obtained by direct measurement using a
digital tensimeter. Most of the subject (64.1%) had hypertension, which is 28.2%
of subject with hypertension I and 35.9% of subject with hypertension II. There
was no significant relationship between lifestyle with blood pressure (p>0.05).
There was significantly negative relationship between food protective againts
hypertension (broccoli and sunflower seeds) and food trigger hypertension
(crackers and salted fish) with sistolic blood pressure (p<0.05). There was
significantly positive food trigger hypertension (fish brine) with systolic blood
pressure (p<0.05).
Keywords: elderly, food consumption, hypertension, life style.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
GAYA HIDUP, KONSUMSI PANGAN, DAN HUBUNGANNYA
DENGAN TEKANAN DARAH PADA LANSIA
ANGGOTA POSBINDU
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
RUTH AYU WULANDARI
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala
karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini dengan judul
―Gaya Hidup, Konsumsi Pangan, dan Hubungannya dengan Tekanan Darah pada
Lansia Anggota Posbindu‖. Penyusunan skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ibu, Bapak, dan Abang, serta segenap keluarga yang tidak henti-hentinya
memberikan doa, bantuan materi serta kasih sayang kepada penulis.
2. Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS selaku dosen pembimbing.
3. Prof Dr Ir Evy Damayanthi, MS selaku dosen penguji.
4. Dr Ir Budi Setiawan, MS selaku dosen akademik.
5. Dr Rimbawan selaku ketua departemen.
6. Melinda Rumuy, Irma Septiani, Samuel, Febriani Purba, Natan Manullang
Norma, dan seluruh teman-teman Departemen Gizi Masyarakat angkatan 47,
terima kasih atas kebersaman selama ini.
7. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu
per satu, terima kasih untuk semuanya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga
skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, September 2014
Ruth Ayu Wulandari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 15
Latar Belakang 15
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 3
KERANGKA PEMIKIRAN 3
METODE 5
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 5
Jumlah dan Cara Penarikan Subjek 5
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5
Pengolahan dan Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 10
Gambaran Umum Posbindu Al-Wustho 10
Karakteristik Subjek 10
Tingkat Kecukupan 15
Pola Konsumsi Pangan Pemicu dan Pencegah 15
Gaya Hidup 19
Status Gizi 22
Hubungan Konsumsi Pangan Pencegah dan Pemicu dengan Tekanan Darah 23
Hubungan Asupan Karbohidrat, Lemak, Natrium, dan Serat dengan Tekanan
Darah 25
Hubungan Gaya Hidup dengan Tekanan Darah 27
Hubungan Status Gizi dengan Tekanan Darah 28
SIMPULAN DAN SARAN 29
Simpulan 29
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 30
LAMPIRAN 33
RIWAYAT HIDUP 34
DAFTAR TABEL
1 Jenis dan cara pengumpulan data 6
2 Variabel, kategori variabel, dan acuan 7
3 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik 11
4 Sebaran subjek berdasarkan kategori tekanan darah dan jenis kelamin 12
5 Sebaran subjek berdasarkan kategori tekanan darah dan usia 13
6 Sebaran subjek berdasarkan riwayat hipertensi dan kategori tekanan
darah 13
7 Sebaran subjek berdasarkan kategori tekanan darah dan konsumsi obat
anti-hipertensi 15
8 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi pangan pemicu 16
9 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi pangan pencegah 17
10 Sebaran subjek berdasarkan jenis kelamin, tingkat kecukupan lemak dan
tingkat kecukupan karbohidrat 18
11 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan natrium dan jenis kelamin 18
12 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan serat dan jenis kelamin 19
13 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok berdasarkan kelompok
hipertensi 20
14 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan konsumsi kopi dan kategori
tekanan darah 21
15 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan olahraga 22
16 Sebaran subjek berdasarkan status gizi 23
17 Frekuensi konsumsi pangan pencegah (kali per minggu) 24
18 Frekuensi konsumsi pangan pemicu (kali per minggu) 25
19 Sebaran status gizi subjek berdasarkan kategori tekanan darah 28
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian 4
DAFTAR LAMPIRAN
1 Asupan, kebutuhan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi subjek 33
2 Hubungan pola jenis pangan pemicu dengan tekanan darah 34
3 Hubungan jenis pangan pencegah dengan tekanan darah 34
4 Hubungan asupan lemak, karbohidrat, natrium, dan serat dengan tekanan
darah 35
5 Hubungan gaya hidup dengan tekanan darah 35
6 Hubungan IMT dengan tekanan darah 35
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan suatu bangsa dapat terlihat dari peningkatan taraf hidup dan
Umur Harapan Hidup (UHH) atau Angka Harapan Hidup (AHH). Meningkatnya
derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk, maka akan berpengaruh pada
peningkatan UHH di Indonesia. Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa
2011, pada tahun 2000-2005 nilai UHH sebesar 66.4 tahun (dengan persentase
populasi lansia tahun 2000 adalah 7.74%) angka ini akan meningkat pada tahun
2045-2050 yang diperkirakan UHH menjadi 77.6 tahun (dengan persentase
populasi lansia tahun 2045 adalah 28.68%) (Kemenkes RI 2013).
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan terjadinya peningkatan
UHH di Indonesia. Pada tahun 2000 UHH di Indonesia adalah 64.5 tahun (dengan
persentase populasi lansia adalah 7.18%). Angka ini meningkat menjadi 69.43
tahun pada tahun 2010 (dengan persentase populasi lansia adalah 7.56%) dan pada
tahun 2011 menjadi 69.95 tahun (dengan persentase populasi lansia adalah 7.58%).
Dengan meningkatnya UHH, maka jumlah penduduk lanjut usia pun meningkat
(Kemenkes RI 2013).
Saat ini telah terjadi pergeseran penyebab kematian dari penyakit menular
ke Penyakit Tidak Menular (PTM). Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan
sebagai penyebab 58 juta kematian pada tahun 2005 dan kelompok lansia adalah
salah satu kelompok rentan terkena PTM. Penyakit menular menyumbang 28.1%
kematian sedangkan PTM sebagai penyumbang terbesar penyebab kematian
terbesar (59.5%). Penyakit jantung dan pembuluh darah adalah PTM yang paling
banyak diderita (30%). Penyakit ini erat kaitannya dengan tekanan darah tinggi
atau yang biasa disebut dengan hipertensi (Kemenkes 2010).
Penelitian mengenai prevalensi hipertensi pada lansia telah dilakukan di
beberapa negara. Di Singapura, dilaporkan bahwa prevalensi pada lansia telah
mencapai 73.9% (Malhotra et al. 2010) yang dekat dengan angka yang dilaporkan
di Amerika Serikat sebesar 70.8% (McDonald et al. 2009). Dalam sebuah
penelitian di Perancis, 62.0% dari populasi lanjut usia ditemukan menderita
hipertensi (Brindel et al. 2006). Angka yang tinggi juga ditemukan di beberapa
negara Eropa, seperti Inggris sebesar 80.5% (Ong et al. 2007) dan di Yunani
sebesar 89.0% (Triantafyllou et al. 2010).
Berdasarkan laporan rumah sakit melalui Sistem Informasi Rumah Sakit
(SIRS) tahun 2010, 5 peringkat terbesar penyakit penyebab rawat jalan dari
seluruh penyakit rawat jalan pada kelompok usia 65+ tahun adalah hipertensi
esensial, katarak dan gangguan lain lensa, hipertensi lainnya, penyakit jantung
iskemik lainnya, dan dispepsia. Bersumber dari Sistem Informasi Kesehatan Haji
Indonesia (Siskohatkes) tahun 2012, penyakit yang terbanyak berdasarkan hasil
pemeriksaan terakhir adalah Essensial (primary) hypertension (40.12%) dan Non-
insulin-dependent diabetes mellitus (9.21%) (Kemenkes RI 2013).
Banyaknya kejadian hipertensi pada lansia Indonesia menjadi hal yang perlu
mendapat perhatian khusus. Menurut Puspitasari (2011) 16.7% lansia di Tegal
Alur, Jakarta Barat, menderita penyakit hipertensi. Fauziah (2012) dalam
2
penelitiannya menuliskan bahwa lansia di sebuah panti sosial 40.0% di antaranya
menderita penyakit hipertensi. Pada lansia peserta Senam Terpadu Lansia di Kota
Bogor, sebanyak 36.4% lansia menderita hipertensi (Betarina 2013).
Hipertensi dapat terjadi karena banyak faktor, baik faktor yang dapat diubah
maupun tidak. Faktor yang tidak dapat diubah adalah ras, usia, riwayat keluarga,
dan jenis kelamin (Yulianti dan Maloedyn 2006). Di sisi lain, faktor risiko
hipertensi yang dapat diubah adalah obesitas, sindrom resistensi insulin, aktivitas
fisik, dan merokok. Dewasa ini, terjadi perubahan dalam pola makan dan gaya
hidup masyarakat Indonesia. Banyak kebiasaan makan negara maju yang telah
diadopsi oleh orang Indonesia yang dapat memperburuk keadaan status gizi.
Perubahan pola makan yang mengarah ke sajian siap santap yang tinggi lemak,
protein, dan garam tetapi rendah serat pangan dapat menyembabkan terjadinya
obesitas, yang merupakan salah satu faktor hipertensi.
Hipertensi dapat terjadi karena makanan dan kandungan gizi yang ada di
dalamnya (Manurung 2004). Faktor makanan yang dianggap mempunyai peranan
terhadap tekanan darah adalah protein, natrium, asupan lemak total, lemak jenuh,
dan serat (Anwar 2004). Menurut Almatsier (2004) lemak dibutuhkan oleh tubuh
sekitar 20-30% dari total kebutuhan energi sehari dengan pembatasan lemak jenuh
<10% dari total energi yang dibutuhkan. Selanjutnya dinyatakan asupan serat
yang dibutuhkan oleh tubuh sebesar 25 g/ hari. Asupan tinggi serat terutama jenis
serat kasar (crude fiber) berkaitan dengan pencegahan hipertensi. Apabila asupan
seratnya rendah, maka dapat menyebabkan obesitas yang berdampak terhadap
peningkatan tekanan darah dan PTM. Persentase lemak tubuh merupakan salah
satu indikator obesitas yang dikaitkan dengan hipertensi. Persentase lemak tubuh
berhubungan signifikan positif dengan status gizi yang berarti bahwa semakin
tinggi status gizi contoh semakin tinggi pula persen lemak tubuhnya (Zaenudin
2013). Hasil penelitian lain pada orang dewasa di Cina, menyatakan bahwa status
gizi berhubungan dengan kejadian hipertensi (Zhang et al. 2012).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti memiliki ketertarikan
untuk mengetahui hubungan gaya hidup dan konsumsi pangan dengan tekanan
darah pada lansia.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan gaya
hidup dan konsumsi pangan dengan tekanan darah pada lansia anggota posbindu.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik subjek (usia, pendidikan pekerjaan, status
tinggal, dan pendapatan per kapita)
2. Mengidentifikasi status hipertensi subjek (status hipertensi, riwayat
hipertensi, dan konsumsi obat anti-hipertensi)
3. Menghitung tingkat kecukupan karbohidrat, lemak, natrium, dan serat pada
subjek
4. Mengidentifikasi pola konsumsi pangan pencegah dan pemicu hipertensi pada
subjek
3
5. Mengidentifikasi gaya hidup subjek
6. Mengukur status gizi subjek
7. Menganalisis hubungan antara asupan gizi (karbohidrat, lemak, natrium, dan
serat), pola konsumsi pangan (pencegah dan pemicu hipertensi), gaya hidup,
dan status gizi dengan tekanan darah subjek.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna untuk mengembangkan diri dan memperluas
pengetahuan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai pengaruh gaya hidup dan konsumsi pangan dengan tekanan darah lansia
anggota posbindu. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
masukan bagi pihak-pihak terkait dalam meningkatkan kesejahteraan para lansia,
khususnya di bidang kesehatan. Selain itu, hasil penelitian juga dapat digunakan
sebagai bahan masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
KERANGKA PEMIKIRAN
Dewasa ini peningkatan pembangunan khususnya di bidang kesehatan telah
mengurangi angka kesakitan dan kematian penduduk. Hal ini sesuai dengan Visi
Indonesia Sehat 2015 yang ingin meningkatkan derajat kesehatan penduduk
Indonesia. Angka kesakitan dan kematian berbanding terbalik dengan Usia
Harapan Hidup (UHH) yang artinya semakin menurunnya angka kesakitan dan
kematian, UHH penduduk semakin tinggi. Peningkatan UHH menyebabkan
populasi lanjut usia semakin banyak dan akan berdampak pada meningkatnya
kejadian PTM di kalangan lansia, khususnya penyakit hipertensi.
Berdasarkan Riskesdas (2013), prevalensi hipertensi di Indonesia ,yang
didapat melalui pengukuran pada umur ≥18 tahun, sebesar 25.8% dengan provinsi
Jawa Barat sebagai salah satu provinsi dengan prevalensi hipertensi tertinggi
(29.4%). Prevalensi hipertensi di Indonesia yang didapat melalui kuesioner
terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar 9.4%, yang didiagnosis tenaga kesehatan
atau sedang minum obat sebesar 9.5%. Jadi, ada 0.1% yang minum obat sendiri.
Responden yang mempunyai tekanan darah normal tetapi sedang minum obat
hipertensi sebesar 0.7%. Jadi prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26.5%
(25.8% + 0.7%). Prevalensi hipertensi berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan
dan pengukuran terlihat meningkat dengan bertambahnya umur.
Hipertensi dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor yang dapat diubah
maupun yang tidak dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah berupa ras, usia,
jenis kelamin, umur, dan riwayat keluarga. Di Amerika Serikat, hipertensi paling
banyak dialami oleh orang kulit hitam keturunan Afrika-Amerika dibandingkan
dengan kelompok ras lain. Penambahan usia dapat meningkatkan risiko
terjangkitnya penyakit hipertensi. Hipertensi paling sering menyerang orang
dewasa yang berusia 35 tahun atau lebih. Di antara orang dewasa dan setengah
baya, ternyata kaum laki-laki lebih banyak yang menderita hipertensi. Namun, hal
ini akan terjadi sebaliknya setelah berumur 55 tahun ketika sebagian wanita
4
mengalami menopause di mana hipertensi lebih banyak dijumpai pada wanita.
Hipertensi dipengaruhi oleh keturunan keluarga. Jika salah satu dari orang tua kita
menderita penyakit hipertensi, sepanjang hidup kita memiliki risiko terkena
hipertensi sebesar 25% (Yulianti dan Maloedyn 2006).
Adapun faktor yang dapat diubah adalah obesitas, sindrom resistensi insulin,
kurang gerak, merokok, kadar natrium tinggi, minum-minuman alkohol secara
berlebihan, dan stres. Gaya hidup berupa kebiasaan merokok, dan kebiasaan
kurang gerak, merupakan faktor yang dapat memicu risiko hipertensi. Obesitas
dan kadar natrium dalam darah berhubungan dengan asupan zat gizi, baik dari
asupan karbohidrat, lemak, natrium, dan serat. Asupan zat gizi berupa karbohidrat,
lemak, natrium, dan serat, selanjutnya akan dianalisis terhadap tingkat kecukupan
gizi. Kemudian status gizi akan dianalisis hubungannya dengan tekanan darah.
Keterangan:
: variabel yang diteliti : hubungan yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti : hubungan yang tidak diteliti
Karakteristik Sosial Ekonomi
o Usia
o Pendidikan
o Pekerjaan
o Status tinggal
o Pendapatan per kapita
Faktor Risiko yang Tidak Dapat
Diubah
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Riwayat Keluarga
4. Ras
Faktor Risiko yang Dapat Diubah
3. Stress
2. Gaya hidup
a. Merokok
b. Minum kopi
c. Olahraga
Tingkat Kecukupan
Zat Gizi
(karbohidrat,
lemak, serat, dan
natrium)
Status Gizi
Hipertensi
1. Konsumsi pangan
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian gaya hidup, konsumsi pangan, dan
tekanan darah
5
METODE
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang bersifat analitik
observasional karena peneliti hanya mengamati subjek penelitian dan mencari
data yang berkaitan dengan penelitian tanpa memberi perlakuan terhadap subjek.
Jenis rancangan ini adalah cross sectional di mana pengamatan dilakukan dalam
satu waktu. Pemilihan tempat dilakukan secara purposive, yaitu di salah satu
posbindu di bawah binaan UPF Puskesmas Cangkurawok, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor. Pemilihan UPF Puskesmas Cangkurawok dengan
pertimbangan tingginya jumlah lansia (25.0%) di daerah tersebut sedangkan
pemilihan Posbindu Al-Wustho dengan pertimbangan bahwa jumlah anggota
relatif banyak, kemudahan akses dan perizinan, serta tingginya kejadian hipertensi
berdasarkan data UPF Cangkurawok, yaitu sebesar 44.4%. Pengambilan data
dilakukan pada bulan Juni – Juli 2014.
Jumlah dan Cara Penarikan Subjek
Populasi penelitian ini adalah seluruh anggota Posbindu Al-Wustho
sebanyak 45 orang. Sampel penelitian (subjek) adalah anggota yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi meliputi tidak mempunyai cacat fisik,
tidak mengalami gangguan demensia, dan bersedia menjadi subjek dalam
penelitian. Kriteria eksklusi meliputi lansia yang sakit dan tidak bersedia atau
menolak untuk menjadi responden dalam penelitian. Untuk menentukan jumlah
subjek dapat juga digunakan perhitungan, salah satunya dengan menggunakan
rumus Slovin (Calmorin dan Calmorin 2007), sebagai berikut.
n =
=
= 40
Di mana:
n= ukuran sampel
N= ukuran populasi
d= galat pendugaan (0.05)
Menurut rumus Slovin, jumlah subjek yang disarankan sebanyak 40 orang.
Namun, berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang ditentukan jumlah subjek
yang memenuhi kriteria sebanyak 39 orang.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer meliputi karakteristik subjek, konsumsi pangan subjek, status gizi, gaya
hidup subjek, dan tekanan darah subjek. Data karakteristik sosial ekonomi subjek,
konsumsi pangan subjek, dan gaya hidup subjek diperoleh melalui kuesioner
dengan wawancara langsung. Data berat badan dan tinggi badan diperoleh dengan
6
menimbang berat badan menggunakan timbangan injak (kapasitas maksimum 150
kg) dan pengukuran tinggi badan diukur dengan mengonversi dari perhitungan
tinggi lutut yang diukur menggunakan meteran. Data tekanan darah diperoleh
dengan mengukur tekanan darah subjek secara langsung menggunakan tensimeter
digital OMRON. Subjek diukur tekanan darahnya dalam keadaan duduk tenang.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum dilakukan pengukuran
tekanan darah. Kurang lebih 30 menit sebelum dilakukan pengukuran, subjek
dilarang melakukan aktivitas fisik, merokok, ataupun makan. Subjek harus
beristirahat 5-15 menit sebelum pengukuran (Gibson 2005). Hasil pengukuran
tekanan darah subjek kemudian dikelompokkan dengan kategori tekanan darah
JNC-7 (2003). Data sekunder berupa profil Posbindu Al-Wustho dan daftar
anggota Posbindu Al-Wustho.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
No Data Jenis
Data
Metode Instrumen
1. Karakteristik subjek
o Usia
o Jenis kelamin
o Pendidikan
o Pekerjaan
o Pendapatan/kapita
o Status tinggal
Primer Wawancara Kuesioner
2. Konsumsi pangan
o Pangan pencegah
hipertensi
o Pangan pemicu
hipertensi
Primer Wawancara FFQ
Food recall 2x24 jam
3. Gaya hidup
o Merokok
o Konsumsi kopi
o Olah raga
Primer Wawancara Kuesioner
4. Berat badan Primer Pengukuran Timbangan injak CE-ROSH
dengan derajat ketelitian 0,1 kg
dan kapasitas maksimum 150
kg
5. Tinggi badan Primer Pengukuran Tinggi badan diukur dengan
mengkonversi perhitungan
tinggi lutut menggunakan
meteran Butterfly dengan
derajat ketelitian 0,1 cm
6. Tekanan darah Primer Pengukuran Tensimeter digital OMRON
7. Status hipertensi
o Riwayat hipertensi
o Konsumsi obat
Primer Wawancara Kuesioner
8. Profil posbindu Sekun-
der
- -
7
Pengolahan dan Analisis Data
Data primer yang didapat, terlebih dahulu dilakukan editing, coding,
kemudian dimasukan ke dalam komputer. Untuk data asupan zat gizi makro
dihitung dengan menggunakan DKBM 2010 sedangkan untuk data asupan
natrium dan serat dihitung menggunakan NutriSurvey 2007.
Tabel 2 Variabel, kategori variabel, dan acuan
No. Variabel Kategori Variabel Acuan
1. Usia (tahun) 1. Usia pertengahan: 45-59
2. Usia lanjut: 60-74
3. Usia tua: 75-90
WHO
2. Pendidikan 1. Tidak sekolah
2. SD
3. SMP
4. SMA/SMK
5. Perguruan Tinggi
BPS 2004
3. Pendapatan (Rp/ kap) 1. Miskin (≤ Rp 276 825)
2. Tidak miskin (>RP 276 825)
BPS 2013
4. Pola konsumsi
a. Pangan pencegah
hipertensi
1. Tidak pernah: <1 x seminggu
2. Jarang: 1-2 x seminggu
3. Kadang-kadang: 3x seminggu
4. Sering: 4-6 x seminggu
5. Selalu: ≥ 7 x seminggu
Suhardjo
2003
b. Pangan pemicu
hipertensi
5. Tingkat konsumsi
a. Lemak
1. Kurang : <20%
2. Cukup: 20-30%
3. Lebih: >30%
IOM 2005
b. Karbohidrat 1. Kurang: <45%
2. Cukup: 45-65%
3. Lebih: >65%
IOM 2005
c. Serat 1. <25 g/ hari
2. ≥25 g/ hari
Almatsier
2004
d. Natrium Hipertensi stadium II
1. Standar: ≤ 600- 800 mg Na /hari
2. Tidak standar: >800 mg Na /hari
Hipertensi stadium I
1. Standar: ≤ 1000-1200 mg Na /hari
2. Tidak standar: > 1200 mg Na /hari
Almatsier
2004
6. Status Gizi 1. Underweight : IMT <18,5
2. Normal : IMT 18,5-22,9
3. Pre-Obese : IMT 23- 24,9
4. Obese I : IMT 25,0- 29,9
5. Obese II : IMT >30
WHO 2000
7. Tekanan darah 1. Normal : TD <120/80
2. Pre-hipertensi : 120-139/80-89
3. Hipertensi I : 140-159/90-99
4. Hipertensi II : ≥ 160/ ≥100
JNC-7
2003
8
Data karakteristik subjek (usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan per
kapita, dan status tinggal) dimasukkan dan dikelompokkan sesuai kategori
masing-masing dengan menggunakan Ms. Excel 2010. Pekerjaan dikelompokan
menjadi 5 kelompok, yaitu (1) tidak kerja, (2) TNI/ Polri/ PNS/ pegawai, (3)
wiraswasta/ layanan jasa/ dagang, (4) petani/ nelayan/ buruh, dan (5) lainnya.
Pendapatan per kapita didapatkan dari jumlah pemasukkan seluruh anggota
keluarga dibagi dengan jumlah keluarga. Data pola konsumsi pangan (pangan
pencegah dan pemicu hipertensi) diolah ke dalam satuan frekuensi konsumsi per
minggu.
Data asupan zat gizi diperoleh dari recall selama 2x24 jam. Hasil food recall
kemudia di koversi dari URT menjadi gram. Data yang dihitung, yaitu asupan
karbohidrat, lemak, natrium, dan serat dengan menggunakan DKBM 2010 dan
Nutrisurvey. Tingkat kecukupan lemak dan karbohidrat merupakan jumlah rata-
rata konsumsi lemak dan karbohidrat harian yang didapat dari hasil konversi
semua makanan yang dikonsumsi subjek per hari. Hasil perhitungan konsumsi
(gram) dikonversi ke kkal (lemak di kali 9; karbohidrat di kali 4) kemudian
dibandingkan dengan Angka Kecukupan Energi subjek.
Adapun tingkat kecukupan serat subjek merupakan rata-rata konsumsi serat
harian yang didapat dari hasil semua makanan yang dikonsumsi subjek per hari,
dan dibandingkan dengan kecukupan serat pada umumnya, yaitu 25 g. Tingkat
kecukupan natrium subjek merupakan rata-rata konsumsi natrium harian yang
didapat dari hasil semua makanan dan minuman (garam dapur tidak termasuk)
yang dikonsumsi subjek per hari dan dibandingkan dengan kecukupan natrium
berdasarkan tingkat hipertensi. Kecukupan zat gizi subjek diacu dari AKG 2013
sedangkan tingkat kecukupan zat gizi dapat dihitung dengan rumus (Hardinsyah et
al 2002):
TKGi=
x 100%
TKGi = tingkat kecukupan zat gizi i
Ki = konsumsi jumlah zat gizi i yang dikonsumsi
AKGi = angka kebutuhan zat gizi i yang dianjurkan
Pengolahan data status gizi menggunakan data hasil pengukuran berat badan
dan konversi tinggi lutut sebagai estimasi tinggi badan subjek. Gibson (2005)
merekomendasikan model prediksi tinggi badan lansia, dengan rumus:
Laki-laki : (2,08 x TL) + 59,01
Perempuan : (1,91 x TL) – (0,17 x U) + 75
Status gizi lansia ditentukan berdasarkan perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT)
dengan rumus:
IMT=
Data kemudian dianalisis secara deskriptif dan korelasi menggunakan
Statistical Package for Sosial Science (SPSS) version 16.0 for Windows. Data
karakteristik subjek (usia, pendidikan, pekerjaan, status tinggal, dan
pendapatan/kapita), riwayat hipertensi, dan kebiasaan konsumsi obat ditabulasi
kemudian dianalisis secara deskriptif. Hubungan antara variabel dianalisis secara
statistik dengan menggunakan uji korelasi Pearson dan Spearman. Uji korelasi
9
Pearson digunakan untuk menguji hubungan tekanan darah dengan status gizi,
gaya hidup, dan asupan zat gizi. Uji korelasi Spearman digunakan untuk menguji
hubungan tekanan darah dengan konsumsi pangan (pangan pencegah dan pemicu).
Definisi Operasional
Subjek adalah seseorang yang berusia >45 tahun.
Riwayat hipertensi adalah keterangan mengenai ada tidaknya turunan hipertensi
dari keluarga.
Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan terakhir yang dijalani contoh.
Pendapatan adalah jumlah uang pemasukan keluarga dibagi dengan jumlah
anggota keluarga.
Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang yang ditentukan
berdasarkan IMT (kg/m2) yang mengacu pada WHO (2005).
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi, berlaku apabila tekanan darah sistol ≥140
mmHg dan atau tekanan darah diastol ≥90 mmHg.
Pangan pencegah hipertensi adalah gambaran jenis dan frekuensi makan
pencegah hipertensi (biji-bijian, sayuran, buah-buahan, makanan rendah
lemak, ikan, ayam, daging, dan kacang-kacangan) yang dikonsumsi subjek
dalam periode mingguan yang diukur menggunakan metode Food
Frequency Questionnaire.
Pangan pemicu hipertensi adalah gambaran jenis dan frekuensi makan pemicu
hipertensi (pangan tinggi natrium, pangan tinggi kolesteol, pangan yang
diawetkan, serta pangan susu dan olahannya) yang dikonsumsi subjek dalam
periode mingguan yang diukur menggunakan metode Food Frequency
Questionnaire.
Tingkat kecukupan karbohidrat dan lemak adalah jumlah rata-rata konsumsi
karbohidrat dan lemak harian yang didapat dari hasil konversi semua
makanan yang dikonsumsi subjek per hari, yang diukur dengan
menggunakan metode food recall dan dibandingankan dengan nilai % AKG.
Tingkat kecukupan serat adalah jumlah rata-rata konsumsi serat harian yang
didapat dari hasil konversi semua makanan yang dikonsumsi responden per
hari, yang diukur dengan menggunakan metode food recall dan
dibandingkan dengan tingkat kecukupan serat umunya, yaitu 25 g/hari.
Tingkat kecukupan natrium adalah jumlah rata-rata konsumsi natrium harian
yang didapat dari hasil konversi semua makanan yang dikonsumsi subjek
per hari, yang diukur dengan menggunakan metode food recall dan
dibandingkan dengan kecukupan natrium berdasarkan tingkat hipertensi.
Kebiasaan merokok adalah pola kebiasaan merokok subjek yang hasilnya
diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner.
Kebiasaan minum kopi adalah jumlah cangkir dan jenis kopi yang dikonsumsi
oleh subjek.
Kebiasaan olahraga adalah kebiasaan olahraga contoh yang meliputi jenis
olahraga yang dilakukan, durasi olahraga, dan frekuensi olahraga dalam
seminggu.
Konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh contoh
pada waktu dan kondisi tertentu selama 2x24 jam (dengan metode recall).
10
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Posbindu Al-Wustho
Posbindu Al-Wustho merupakan salah satu posbindu di bawah binaan Unit
Pelayan Fungsional (UPF) Puskesmas Cangkurawok, Kecamatan Dramaga. UPF
Puskesmas Cangkurawok secara keseluruhan memegang 2 desa, yaitu Desa
Babakan dan Desa Cikarawang. Desa Babakan terdiri dari 6 posbindu dan Desa
Cikarawang terdiri dari 5 posbindu.
Posbindu Al-Wustho terletak di Desa Babakan dan mulai berjalan sejak
tahun 2008. Posbindu Al-Wustho sebenarnya tidak mempunyai tempat khusus,
hanya merupakan rumah penduduk yang secara sukarela dijadikan tempat
posbindu. Posbindu dilakukan di salah satu rumah penduduk, tepatnya di RT 02/
RW 08, dekat masjid Al-Wustho. Adapun tenaga kerja Posbindu Al-Wustho
terdiri dari 4 orang kader dan 2 orang tenaga kesehatan (bidan).
Setiap posbindu menjalankan tugasnya setiap sebulan sekali. Kegiatan
Posbindu biasanya dilangsungkan bersamaan dengan Posyandu. Umumnya
kegiatan dilakukan pada hari Sabtu minggu ke-3 dari pukul 08.00- pukul 10.00.
Adapun kegiatan yang dilakukan adalah penimbangan berat badan dan
pengukuran tekanan darah. Jika lansia mengalami tekanan darah tinggi atau
mengalami keluhan sakit lain, maka lansia dapat meminta obat secara gratis sesuai
dengan dosisnya. Posbindu Al-Wustho sebenarnya memiliki program Senam
Sehat Lansia, hanya saja program ini sudah 4 bulan tidak berjalan karena tidak
adanya tenaga kerja dalam memimpin senam.
Karakteristik Subjek
Subjek dalam penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan anggota
Posbindu Al-Wustho yang berusia >45 tahun. Jumlah keseluruhan subjek adalah
39 orang, terdiri dari 8 orang laki-laki dan 31 orang perempuan. Berdasarkan
pengelompokka usia menurut WHO (dalam Arisman 2009), sebagian besar subjek
(59%) tergolong usia pertengahan (middle age) dengan kisaran umur 45-59 tahun
dengan sebaran subjek laki-laki sebesar 37.5% dan sebaran subjek perempuan
sebesar 64.5%. Usia subjek yang paling tinggi dalam penelitian ini adalah 75
tahun sedangkan usia subjek yang terendah adalah 46 tahun. Rata-rata usia subjek
yaitu sebesar 58.4±7.9 tahun. Petugas kesehatan di posbindu mengaku bahwa
lansia yang berumur >60 tahun, umumnya sakit-sakitan sehingga mengalami
kesulitan untuk datang ke posbindu yang pada akhirnya tidak dapat dijadikan
responden pada penelitian ini.
Menurut BPS (2004), tingkat pendidikan dapat diukur dari pendidikan
terakhir yang ditamatkan. Pendidikan subjek tergolong rendah di mana sebagian
besar subjek (66.7%) memiliki pendidikan terakhir pada tingkat SD, baik pada
subjek laki-laki (37.5%) maupun pada subjek perempuan (74.2%). Subjek
mengaku bahwa jumlah sekolah yang masih terbatas dan keterbatasan ekonomi
merupakan alasan utama sehingga mereka sulit untuk melanjutkan pendidikan
yang lebih tinggi.
11
Sebanyak 53.8% subjek sudah pensiun atau tidak bekerja dengan persentase
tidak bekerja pada perempuan (58.1%) lebih besar daripada laki-laki (37.5%).
Walaupun begitu, masih terdapat lansia yang masih bekerja (46.2%). Lansia yang
masih bekerja lebih banyak dilakukan oleh laki-laki (62.5%) sedangkan subjek
perempuan lebih banyak menjadi ibu rumah tangga. Jenis pekerjaan yang masih
ditemukan adalah tukang parkir, ketua RT, dan guru yang tergolong dalam
pekerjaan lainnya. Sebaran subjek berdasarkan karakteristik subjek dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik
Karakteristik Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
Umur (tahun)
Usia pertengahan (45-59 tahun) 3 37.5 20 64.5 23 59.0
Usia lanjut (60-74 tahun) 5 62.5 10 32.3 15 38.5
Usia tua (75- 90 tahun) 0 0.0 1 3.2 1 2.5
Pendidikan
Tidak sekolah 0 0.0 4 12.9 4 10.3
SD 3 37.5 23 74.2 26 66.7
SMP 2 25.0 3 9.7 5 12.8
SMA/SMK 2 25.0 1 3.2 3 7.7
PT 1 12.5 0 0.0 1 2.5
Pekerjaan
Tidak bekerja 3 37.5 18 58.1 21 53.8
Wiraswasta/ Jasa/ Dagang 1 12.5 0 0.0 1 2.6
Lainnya 4 50.0 13 41.9 17 43.6
Status Tinggal
Hanya bersama suami/istri 4 50.0 25 80.6 29 74.4
Bersama keluarga besar 4 50.0 6 19.4 10 25.6
Pendapatan
Miskin 8 100.0 31 100.0 39 100.0
Non-miskin 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Total 8 100.0 31 100.0 39 100.0
Status tinggal ditentukan berdasarkan dengan siapa subjek tinggal. Subjek
yang tergolong dalam status tinggal bersama keluarga adalah subjek yang tinggal
bersama anak dan atau cucu. Berdasarkan status tinggal, sebanyak 74.4% subjek
tinggal bersama keluarga. Subjek mengaku masih tinggal bersama anak dan cucu
tinggal bersama keluarga.
Berdasarkan pendapatan per kapita Kabupaten Bogor (BPS 2013), maka
seluruh subjek tergolong dalam kategoti non-miskin.Rata-rata pendapatan subjek
adalah Rp 796 154±Rp 817 762. Pendapatan minimal subjek adalah Rp 0
sedangkan pendapatan maksimal subjek adalah Rp 3 000 000. Subjek mengaku
bahwa sebagian besar pendapatan mereka berasal dari pemberian anak-anaknya.
Subjek yang lain mengaku bahwa pendapatan mereka berasal dari uang pensiunan.
12
Status Hipertensi Subjek
Status Hipertensi
Status hipertensi merupakan status tekanan darah subjek yang dilihat dari
tekanan darah sistol dan tekanan darah diastol. Rata-rata tekanan darah sistol
subjek adalah 149.4±30.8 mmHg sedangkan tekanan diastol adalah 86.4±11.9
mmHg. Selanjutnya subjek dikelompokkan berdasarkan kategori tekanan darah
dan jenis kelamin seperti yang disajikan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4 Sebaran subjek berdasarkan kategori tekanan darah dan jenis kelamin
Jenis
Kelamin
Kategori Tekanan Darah Total
Normal Pre-hipertensi Hipertensi I Hipertensi II
n % n % n % n % n %
Laki-laki 1 12.5 1 12.5 0 0.0 6 75.0 8 100.0
Perempuan 1 3.2 11 35.5 11 35.5 8 25.8 31 100.0
Berdasarkan Tabel 4, status hipertensi sebagian besar subjek berada pada
stadium II (35.9%) khususnya pada subjek laki-laki (75.0%). Subjek perempuan
umumnya tergolong dalam pre-hipertensi dan hipertensi tingkat I. Bahkan jika
diteliti, sebaran subjek perempuan tergolong merata pada kelompok pre-hipertensi,
hipertensi I, dan hipertensi II. Hipertensi II lebih banyak diderita oleh subjek laki-
laki, diduga karena kebiasaan merokok yang dilakukan oleh seluruh subjek laki-
laki.
Banyaknya subjek yang menderita hipertensi perlu mendapat perhatian
khusus. Terlebih lagi kondisi terbanyak (35.9%) tergolong dalam hipertensi II.
Padahal hipertensi dapat menimbulkan komplikasi yang fatal. Beberapa penyakit
yang mungkin timbul akibat hipertensi adalah penyakit berbahaya yang tidak
jarang kita dengar, seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan gagal
ginjal. Jika tidak dilakukan pengobatan secara cepat maka dapat memicu
terjadinya penyakit-penyakit tersebut (Gunawan 2001). Terlebih lagi, kondisi
subjek yang tergolong lanjut usia bisa menjadi hambatan pengobatan karena
proses regenerasi tubuh yang sudah mulai melambat (Tamher 2009).
Hanya sedikit subjek (5.1%) yang memiliki tekanan darah normal Adapun
seseorang tergolong hipertensi jika tekanan darah sistol ≥140 mmHg dan tekanan
darah diastol ≥90 mmHg (JNC-7 2003). Jika berpatokan pada pengertian di atas,
maka kelompok pre-hipertensi sesungguhnya masih tergolong tekanan darah
normal. Jika dijumlahkan dengan kelompok pre-hipertensi, maka besar subjek
yang memiliki tekanan darah normal sebesar 35.9%. Masih berbeda jauh jika
dibandingkan dengan besar subjek yang tergolong hipertensi (64.1%).
Sebaran tekanan darah subjek tidak hanya dilihat berdasarkan jenis kelamin,
melainkan berdasarkan usia juga seperti yang tercamtum pada Tabel 5.
Berdasarkan Tabel 5, kelompok usia pertengahan lebih banyak tergolong dalam
kelompok pre-hipertensi (34.8%) dan hipertensi I (34.8%). Kelompok usia tua
lebih banyak tergolong dalam kelompok hipertensi II (46.7%). Pada kelompok
usia lanjut, yang hanya terdiri dari 1 subjek, tergolong dalam kelompok hipertensi
II. Dari data ini, dapat dilihat bahwa jika seseorang semakin berumur makan
memicu tekanan darah meningkat ke arah yang lebih tinggi. Hal ini sejalan
dengarn Riskesdas (2013) bahwa prevalensi hipertensi meningkat dengan
bertambahnya umur.
13
Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan kategori tekanan darah dan usia
Kategori Usia Kategori Tekanan Darah Total
Normal Pre-hipertensi Hipertensi I Hipertensi II
n % n % n % n % n %
Pertengahan 1 4.3 8 34.8 8 34.8 6 26.1 23 100.0
Lanjut 1 6.7 4 26.7 3 20.0 7 46.7 15 100.0
Tua 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 100.0 1 100.0
Riwayat Hipertensi
Penelitian mengenai kontribusi lingkungan (gaya hidup) dan turunan
terhadap hipertensi telah dilakukan. Hasil penelitian menyatakan bahwa hasil
genetik memegang peranan 30% terhadap penyakit hipertensi (Biino et al. 2013).
Hal ini terkait dengan gen resesif dari orang tua penderita hipertensi yang
diturunkan kepada generasi berikutnya. Penurunan sifat baku tersebut dapat
langsung menurun kepada anaknya dan generasi selanjutnya (Lingga 2012).
Tabel 6 menunjukkan hanya sebanyak 11 subjek (28.2%) yang memiliki
turunan hipertensi sedangkan sisanya sebanyak 28 subjek (71.8%) tidak memiliki
turunan hipertensi. Subjek yang memiliki turunan hipertensi ditemukan paling
banyak pada tingkat hipertensi II yaitu sebanyak 63.6%. Subjek yang tidak
memiliki turunan hipertensi paling banyak ditemukan pada kelompok pre-
hipertensi. Jika dicermati, pada kelompok yang memiliki riwayat hipertensi
cenderung berada pada hipertensi II. Berbeda halnya dengan kelompok yang tidak
memiliki riwayat hipertensi, tersebar merata pada kelompok pre-hipertensi,
hipertensi I, dan hipertensi II. Sebagian subjek mengaku bahwa turunan hipertensi
didapatkan dari Ibu kandung subjek.
Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan riwayat hipertensi dan kategori tekanan
darah
Riwayat
Hipertensi
Kategori Tekanan Darah Total
Normal Pre-hipertensi Hipertensi I Hipertensi II
n % n % n % n % n %
Ya 0 0.0 1 9.1 3 27.3 7 63.6 11 100.0
Tidak 2 7.1 11 39.3 8 28.6 7 25.0 28 100.0
Hipertensi karena faktor tunggal turunan jarang terjadi. Sebagian besar
hipertensi terjadi karena sebab lainnya. Gaya hidup dan kondisi kesehatan terkait
dengan penyakit tertentu menjadi faktor risiko sebagian besar kejadian. Jika
dibandingkan antara subjek yang memiliki turunan hipertensi dengan yang tidak,
lebih banyak subjek yang tidak memiliki turunan hipertensi tetapi memiliki
tekanan darah yang tinggi (pada kelompok pre-hipertensi, hipertensi I, dan
hipertensi II). Sebaliknya, pada kelompok yang memiliki turunan hipertensi, 2
subjek diantaranya memiliki tekanan darah normal. Dari data ini, maka dapat
diduga ada hal lain, selain turunan, yang memengaruhi tekanan darah.
Gen resesif terhadap hipertensi akan bersifat dominan jika satu atau
sejumlah faktor risiko hipertensi ada di dalam tubuh subjek. Namun, ekspresi gen
resesif akan melemah jika subjek sanggup menyingkirkan faktor-faktor yang
14
memicu hipertensi. Hal ini sejalan dengan kebiasaan subjek yang memiliki
turunan hipertensi namun memiliki tekanan darah normal, di mana 2 orang subjek
tersebut memiliki kebiasaan minum suplemen kesehatan (1x/ hari) yang diiringi
dengan olah raga secara teratur. Sebaliknya, pada beberapa subjek yang tidak
memiliki turunan hipertensi namun tergolong hipertensi II, memang memiliki
kebiasaan merokok sejak lama.
Gen resesif hipertensi ditandai dengan kepekaan yang sangat nyata terhadap
makanan tertentu, khususnya makanan tinggi garam dan kolesterol. Malangnya,
pemilik gen resesif umumnya justru gemar mengonsumsi garam. Inilah ciri gen
polimorfisme yang dimiliki orang Afrika dan keturunan Afrika-Amerika
mengonsumsi garam dalam jumlah banyak. Padahal, di dalam tubuhnya terdapat
gen resesif yang menolak garam. Inilah alasan yang kuat mengapa angka kejadian
hipertensi pada warna kulit hitam Afrika sangat tinggi (Lingga 2012).
Konsumsi Obat
Berbagai obat hipertensi yang ada telah dikenal aman apabila diberikan
sesuai dengan indikasi yang tepat. Bahkan suplemen atau konsumsi herbal yang
menyehatkan telah beredar luas. Obat-obatan hipertensi yang baik tidak selalu
mahal. Bahkan, kini banyak jenis obat hipertensi yang sudah mau habis masa
patennya sehingga tersedia secara luas dalam bentuk generik. Jika subjek
melakukan pemeriksaan tekanan darah di posbindu dan didapatkan bahwa tekanan
darah subjek tergolong tinggi, maka bidan akan memberikan obat generik
hipertensi kepada subjek (Lingga 2012).
Obat dapat dikatakan baik jika memperlihatkan efek positif kepada subjek.
Secara harafiah, obat yang baik adalah obat yang memperlihatkan efek positif
setelah menjalani studi independen yang melibatkan jumlah pasien yang besar.
Pada era mendatang, akan berkembang metode pengobatan yang disebut
farmakogenetik. Pada metode ini, obat-obatan yang diberikan akan disesuaikan
dengan respon gen seseorang.
Berdasarkan Tabel 7, mengenai sebaran contoh berdasarkan kebiasaan
mengonsumsi obat anti hipertensi, lebih banyak subjek yang tidak mengonsumsi
obat anti-hipertensi. Obat anti-hipertensi adalah obat yang bertujuan untuk
mengurangi tekanan darah dan biasanya bersifat diuretik (Yulianti dan Maloedyn
2006). Kelompok hipertensi II adalah kelompok yang tergolong banyak
mengonsumsi obat dibandingkan dengan subjek kelompok tekanan darah lainnya.
Di satu sisi, hal ini menunjukkan bahwa subjek yang tergolong hipertensi II sudah
memiliki sikap dan pengetahuan yang baik akan penangangan hipertensi, salah
satunya dengan mengonsumsi obat. Di sisi lain, walaupun subjek sudah
mengonsumsi obat, tapi subjek masih memiliki tekanan darah yang tinggi. Hal ini
diduga karena subjek mengonsumsi obat tidak teratur ataupun obat yang kurang
sesuai dengan subjek. Untuk selanjutnya, subjek disarankan untuk mengonsumsi
obat secara teratur, tidak hanya pada saat tekanan darahnya naik saja. Jika
diperhatikan secara saksama, terdapat subjek yang mengonsumsi obat anti-
hipertensi dan dalam kondisi tekanan darah yang normal. Hal ini baik karena obat
bekerja dengan baik sehingga tekanan darah subjek normal.
15
Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan kategori tekanan darah dan konsumsi obat
anti-hipertensi
Konsumsi
obat anti-
hipertensi
Kategori Tekanan Darah Total
Normal Pre-hipertensi Hipertensi I Hipertensi II
n % n % n % n % n %
Ya 1 6.7 4 26.7 3 20.0 7 46.7 15 100.0
Tidak 1 4.2 8 33.3 8 33.3 7 29.2 24 100.0
Pada kelompok yang tidak mengonsumsi obat, subjek tersebar merata pada
kelompok pre-hipertensi, hipertensi I, dan hipertensi II. Subjek mengaku enggan
mengonsumsi obat jika tekanan darah masih dalam batas toleransi. Umumnya
subjek lebih memperhatikan pola makannya, seperti mengurangi makanan yang
mengandung garam tinggi. Walaupun begitu, pemeriksaan berlanjut dan rutin
tetap perlu dilakukan, khususnya pada kelompok yang rawan terkena hipertensi
(pre-hipertensi) dan kelompok hipertensi itu sendiri.
Pola Konsumsi Pangan Pemicu dan Pencegah
Pola makan yang harus selalu diingat adalah B3 (bergizi, berimbang,
beragam) atau yang pada zaman dahulu disebut dengan 4 sehat 5 sempurna. Tidak
ada satu jenis pangan yang lengkap mengandung berbagai zat gizi dan zat esensial
yang dibutuhkan oleh manusia. Antar bahan pangan akan saling melengkapi,
untuk itu dianjurkan pola makan yang bervariasi. Pola makan subjek penelitian,
umunya tidak terlalu jauh berbeda antar subjek. Umumnya subjek mengonsumsi
nasi putih sebagai makanan pokok dan ikan asin sebagai lauk hewani. Subjek juga
suka mengonsumsi lauk hewani lainnya, seperti telur ayam dan daging ayam,
ditemani beberapa lalapan seperti labu siam ataupun timun. Karena latar belakang
subjek adalah Suku Sunda, tak jarang subjek mengonsumsi sambal di waktu
makan. Tak lupa, subjek juga suka mengonsumsi buah, seperti buah pisang dan
semangka.
Pola Konsumsi Pangan Pemicu
Hasil penelitian pada Tabel 8 menunjukkan pada kelompok pangan tinggi
kolesterol, pangan yang tergolong tidak pernah dikonsumsi subjek adalah daging
kambing (94.9%). Umumnya subjek sudah mengetahui bahwa mengonsumsi
daging kambing dapat meningkatkan tekanan darah, sehingga subjek menghindari
mengonsumsi daging kambing. Kuning telur (43.6%) termasuk pangan yang
selalu dikonsumsi subjek. Hal ini dikarenakan harga telur yang terjangkau.
Umunya kuning telur dikonsumsi bersamaan dengan putih. Hanya sedikit subjek
yang tidak mengonsumsi bagian kuning telur saat mengonsumsi telur.
Makanan tinggi natrium yang tergolong tidak pernah dikonsumsi subjek
adalah crakers (64.1%). Umumnya subjek lebih menyukai rasa manis
dibandingkan asin. Sebagian subjek (15.4%) mengaku selalu mengonsumsi
biskuit. Biskuit biasanya tersedia di warung-warung dekat rumah dengan kemasan
yang praktis dan harga yang terjangkau. Pengawetan makanan adalah cara yang
digunakan untuk membuat makanan memiliki daya simpan yang lama dan
mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia makanan. Sayangnya dalam prosesnya
sering kali menggunakan bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh. Ikan
16
asin merupakan salah satu makanan yang diawetkan yang selalu dikonsumsi oleh
subjek (20.5%). Latar belakang subjek yang merupakan orang sunda serta
harganya yang terjangkau membuat subjek selalu mengonsumsi ikan asin.
Dendeng merupakan makanan yang tergolong tidak pernah dikonsumsi oleh
subjek (97.4%). Adapun sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi pangan
pemicu terdapat pada Tabel 8.
Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi pangan pemicu
Pangan Pemicu Frekuensi Konsumsi
Tidak
pernah
Jarang Kadang-
kadang
Sering Selalu
n % n % n % n % %
Pangan tinggi kolesterol
Daging Sapi 27 69.2 8 20.5 3 7.7 0 0.0 1 2.6
Daging Kambing 37 94.9 2 5.1 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Kulit ayam 10 25.6 16 41.0 6 15.4 6 15.4 1 2.6
Kuning telur 3 7.7 8 20.5 4 10.3 7 17.9 17 43.6
Pangan tinggi natrium
Biskuit 5 12.8 15 38.5 8 20.5 5 12.8 6 15.4
Craker 25 64.1 10 25.6 2 5.1 2 5.1 0 0.0
Keripik 22 56.4 12 30.8 1 2.6 3 7.7 1 2.6
Pangan yang diawetkan
Dendeng 38 97.4 1 2.6 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Abon 37 94.9 1 2.6 1 2.6 0 0.0 0 0.0
Ikan Asin 13 33.3 11 28.2 3 7.7 4 10.3 8 20.5
Pindang 30 76.9 8 20.5 0 0.0 0 0.0 1 2.6
Telur Asin 28 71.8 11 28.2 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Susu dan olahannya
Susu full cream 24 61.5 7 17.9 1 2.6 3 7.7 4 10.3
Susu bubuk 28 71.8 1 2.6 0 0.0 4 10.3 6 15.4
Mentega 14 35.9 15 38.5 6 15.4 1 2.6 3 7.7
Susu dapat dikonsumsi dalam berbagai produk, susu cair, susu bubuk,
ataupun mentega. Sebagian besar subjek (71.8%) tergolong tidak pernah
mengonsumsi susu bubuk. Selain harganya yang mahal, subjek mengaku tidak
terbiasa untuk mengonsumsi susu. Walaupun begitu, terdapat subjek yang selalu
(15.4%) mengonsumsi susu bubuk.
Pola Konsumsi Pangan Pencegah
Hasil penelitian pada Tabel 9 menunjukkan bahwa kelompok sayuran yang
selalu dikonsumsi adalah labu (20.5%). Labu biasanya dikonsumsi subjek dengan
cara direbus ataupun dimasak menjadi sayur tumis. Brokoli tergolong sayuran
yang tidak pernah dikonsumsi (79.5%) karena harganya yang mahal dan rasanya
kurang disukai. Demikian pula pada kelompok buah, anggur tergolong tidak
pernah dimakan (82.1%) karena keterbatasan ekonomi subjek. Buah yang selalu
dikonsumsi sebagian subjek adalah pisang (38.5%). Harga pisang yang murah
serta mudahnya akses membeli, menjadi alasan subjek selalu mengonsumsi pisang.
Pada kelompok ikan, ayam, dan daging, putih telur adalah pangan yang
selalu dikonsumsi oleh sebagian subjek (38.5%), biasanya subjek
17
mengonsumsinya dengan diolah menjadi telur ceplok untuk sarapan pagi. Daging
adalah makanan yang tergolong tidak pernah dikonsumsi oleh sebagian besar
subjek (61.5%) karena subjek biasanya hanya mengonsumsi daging pada saat-saat
acara tertentu saja, seperti Idul Fitri ataupun Idul Adha. Sebagian besar subjek
tergolong tidak mengonsumsi biji bunga matahari (kuaci) (79.5%) dikarenakan
keterbatasan alat kunyah sehingga sulit bagi subjek untuk megonsumsinya.
Kacang tanah hanya sebagian kecil selalu dikonsumsi subjek (7.7%). Kacang
tanah dapat dikonsumsi dalam bentuk cemilan ataupun olahan, seperti gado-gado,
ketoprak, dan kupat tahu. Adapun sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi
pangan pencegah disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi pangan pencegah
Pangan
Pencegah
Frekuensi Konsumsi
Tidak
pernah
Jarang Kadang-
kadang
Sering Selalu
n % n % n % n % n %
Sayuran
Tomat 3 7.7 16 41.0 5 12.8 8 20.5 7 17.9
Kentang 4 10.3 20 51.3 6 15.4 3 7.7 6 15.4
Wortel 1 2.6 21 53.8 6 15.4 5 12.8 6 15.4
Sawi 8 20.5 22 56.4 0 0.0 3 7.7 6 15.4
Brokoli 31 79.5 6 15.4 1 2.6 0 0.0 1 2.6
Bayam 18 46.2 9 23.1 8 20.5 2 5.1 2 5.1
Buncis 7 17.9 22 56.4 5 12.8 1 2.6 4 10.3
Labu 6 15.4 9 23.1 10 25.6 6 15.4 8 20.5
Buah-buahan
Pisang 4 10.3 9 23.1 8 20.5 3 7.7 15 38.5
Jeruk 10 25.6 20 51.3 4 10.3 1 2.6 4 10.3
Anggur 32 82.1 7 17.9 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Mangga 23 59.0 16 41.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Semangka 11 28.2 13 33.3 8 20.5 3 7.7 4 10.3
Nanas 31 79.5 8 20.5 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Ikan, Ayam, dan Daging
Ikan air tawar 12 30.8 16 41.0 5 12.8 0 0.0 6 15.4
Tongkol 18 46.2 13 33.3 4 10.3 0 0.0 4 10.3
Daging (bakar,
panggang,
rebus)
24 61.5 11 28.2 3 7.7 0 0.0 1 2.6
Ayam tanpa
Kulit
4 10.3 15 38.5 12 30.8 6 15.4 2 5.1
Putih telur 3 7.7 5 12.8 9 23.1 7 17.9 15 38.5
Kacang-kacangan
Kc tanah 18 46.2 14 35.9 4 10.3 0 0.0 3 7.7
Kuaci 31 79.5 5 12.8 3 7.7 0 0.0 0 0.0
18
Tingkat Kecukupan
Tingkat Kecukupan Lemak dan Karbohidrat
Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan lemak dapat dilihat pada
Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa tingkat kecukupan lemak
sebagian besar subjek laki-laki (62.5%) dan perempuan (67.7%) tergolong kurang.
Rata-rata tingkat kecukupan lemak subjek adalah 20.2±11.3 %. Tingkat
kecukupan lemak subjek laki-laki (27.2±19.0 %) lebih besar dibandingkan subjek
perempuan (18.4±7.9 %).
Untuk tingkat kecukupan karbohidrat, sebagian besar subjek laki-laki
(50.0%) tergolong kurang, sedangkan sebagian besar subjek perempuan (41.9%)
tergolong lebih. Rata-rata tingkat kecukupan karbohidrat subjek adalah
62.6±33.0 %. Tingkat kecukupan karbohidrat subjek perempuan (65.3±35.4%)
lebih besar dibandingkan subjek laki-laki (52.4±19.2%). Tingginya asupan
karbohidrat dan rendahnya asupan lemak diduga karena subjek cenderung
mengonsumsi umbi-umbian, seperti singkong dan jagung.
Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan jenis kelamin, tingkat kecukupan lemak dan
tingkat kecukupan karbohidrat Kategori Tingkat Kecukupan Lemak Tingkat Kecukupan Karbohidrat
Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total
n % n % n % n % n % n %
Kurang 4 62.5 21 67.7 25 64.1 3 37.5 10 32.3 13 33.3
Cukup 2 25.0 8 25.8 10 25.6 4 50.0 8 25.8 12 30.8
Lebih 2 12.5 2 6.5 4 10.3 1 12.5 13 41.9 14 35.9
Total 8 100.0 31 100.0 39 100.0 8 100.0 31 100.0 39 100.0
Tingkat Kecukupan Natrium
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata tingkat kecukupan natrium subjek
adalah 24.4±18.5 %. Tingkat kecukupan natrium pada perempuan (25.0±20.1 %)
lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki (22.0±10.8 %). Sebaran subjek
berdasarkan tingkat kecukupan natrium dan jenis kelamin pada Tabel 11
menunjukkan bahwa tingkat kecukupan natrium semua subjek berada pada
kategori standar (100.0%) dan tidak ada yang berada pada kategori tidak standard,
baik pada subjek laki-laki maupun subjek perempuan. Asupan natrium yang
tergolong standard ini, diduga karena perhitungan natrium hanya berasal dari
bahan pangan saja.
Tabel 11 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan natrium dan jenis
kelamin
Tingkat
Kecukupan
Natrium
Jenis Kelamin Total
Laki-laki Perempuan
n % n % n %
Standar 8 100.0 31 100.0 39 100.0
Tidak standard 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Menurut Almatsier (2004) penderita hipertensi disarankan untuk
mengonsumsi makanan dengan diet rendah garam. Diet rendah garam dibagi
menjadi 3 kelompok. Diet garam rendah I (200-400 mg Na) diberikan kepada
pasien dengan hipertensi berat, tidak ditambahkan garam dapur. Diet garam
19
rendah II (600-800 mg Na) diberikan kepada pasien dengan hipertesi tidak terlalu
berat, penggunaan garam dapur dibatasi hingga 2 g. Diet rendah garam III (1000-
1200 mg Na) diberikan kepada pasien dengan hipertensi ringan, penggunaan
garam dapur dibatasi hingga 4 g. Baru-baru ini Institute of Medicine Committee
(2004) menetapkan 1.5 g/hari (65 mmol/hari) natrium sebagai tingkat asupan yang
memadai, terutama untuk memastikan kecukupan gizi. Meskipun asupan natrium
di bawah tingkat ini dikaitkan dengan penurunan tekanan darah (Machilha 2003).
Penurunan rata-rata natrium urin 1.8 g/hari (78 mmol/hari) menurunkan tekanan
darah sistol dan diastol sebesar 2.0 dan 1.0 mmH pada non-hipertensi serta 5.0
dan 2.7 mmHg pada penderita hipertensi (Lawrence et al. 2006).
Tingkat Kecukupan Serat
Serat dapat diartikan sebagai komponen dinding sel pada tumbuhan yang
tidak dapat dicerna atau diserap oleh tubuh. Serat banyak terdapat dalam sayuran,
kacang-kacangan, buah-buahan, biji-bijian, dan produk gandum (Lau 2009). Rata-
rata tingkat kecukupan serat adalah 21.7±9.2 %. Tingkat kecukupan serat pada
laki-laki (23.3 ± 12.1 %) lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan
(21.3±8.5 %). Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan serat pada Tabel 12
menunjukkan bahwa asupan serat semua subjek (100.0%) masih belum memenuhi
kecukupan (<25 g/hari). Frekuensi subjek mengonsumsi buah dan sayur sudah
tergolong sering, namun jumlah (g) konsumsi buah dan sayur subjek masih rendah
sehingga asupan serat pada subjek masih belum memenuhi kecukupan optimal.
Tabel 12 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan serat dan jenis kelamin
Konsumsi Serat (g) Jenis Kelamin Total
Laki-laki Perempuan
n % n % n %
<25 8 100.0 31 100.0 39 100.0
≥25 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Gaya Hidup
Gaya hidup adalah suatu pilihan yang ditempuh seseorang dengan
menyadari dan menerima segala konsekuensinya, apakah bersifat positif atau
negatif (Dariyo 2004). Gaya hidup merupakan hasil dari interaksi berbagai faktor
sosial, budaya, dan lingkungan. Hal ini berarti bahwa gaya hidup dapat
mempengaruhi kebiasaan makan seseorang atau sekelompok orang.
Kebiasaan Merokok
Faktor risiko lain yang erat kaitannya dengan beberapa penyakit degeneratif
adalah merokok. Menurut Bulentin Lansia (2013), prevalensi merokok lansia pada
kelompok umur 55-64, 65-74, dan 75+ cukup tinggi, yaitu di atas 30%. Kelompok
umur 55-64 tahun (37.5%) adalah yang paling tinggi konsumsi rokoknya dengan
rerata jumlah batang rokok/hari sebanyak 13 batang rokok.
Menurut Partodiharjo (2006) Bangsa Indonesia tergolong penggemar rokok.
Negara dengan jumlah pabrik rokok terbanyak di dunia adalah Indonesia. Jumlah
perokok muda terbanyak di dunia juga adalah Indonesia. Selanjutnya dinyatakan
bahwa mengonsumsi rokok meskipun hanya satu batang, dapat menyebabkan
20
perubahan detak jantung, tekanan darah akan meningkat, dan Arteri akan
mengerut. Kondisi-kondisi seperti inilah yang memungkinkan orang terkena
penyakit hipertensi.
Berdasarkan Tabel 13 yang disajikan di bawah, mayoritas subjek memiliki
kebiasaan tidak merokok (76.9%) khususnya pada kelompok pre-hipertensi
(83.3%) dan kelompok hipertensi I (90.9%). Rata-rata konsumsi rokok pada
subjek adalah 8.8±7.4 batang dengan jumlah minimal konsumsi rokok 0.5 batang
per hari dan jumlah maksimal 24 batang per hari. Subjek yang memiliki kebiasaan
merokok hanya sebesar 23.1% dengan kelompok normal (50.0%) dan kelompok
hipertensi II (35.7%) yang memiliki persentase terbesar kebiasaan merokok.
Menurut Irza (2009) perilaku merokok merupakan faktor risiko kejadian
hipertensi dengan besar 6.9 kali lebih besar untuk terjadinya hipertensi. Adapun
jumlah rokok yang dikonsumsi oleh mayoritas subjek termasuk dalam kategori
rendah (44.4%) dan kategori sedang (44.4%). Sebagian besar (60.0%) subjek yang
menderita hipertensi II mengonsumsi rokok dalam jumlah sedang (10-19 batang).
Penelitian lain mengatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
jumlah rokok yang dihisap dengan kejadian hipertensi pada laki-laki usia 40 tahun
ke atas, di mana perokok berat mempunyai risiko 4.208 kali terjadinya hipertensi
dibandingkan dengan perokok ringan.
Tabel 13 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan merokok berdasarkan kelompok
hipertensi
Variabel Kategori Tekanan Darah
Total Normal Pre-
hipertensi
Hipertensi I Hipertensi II
n % n % n % n % n %
Kebiasaan Merokok
Ya 1 50.0 2 16.7 1 9.1 5 35.7 9 23.1
Tidak 1 50.0 10 83.3 10 90.9 9 64.3 30 76.9
Jumlah rokok yang dikonsumsi
Rendah 1 100.0 1 50.0 1 100.0 1 20.0 4 44.4
Sedang 0 0.0 1 50.0 0 0.0 3 60.0 4 44.4
Berat 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 20.0 1 11.2
Jenis Rokok
Kretek 0 0.0 1 50.0 1 100.0 0 0 2 22.2
Kretek
filter 1 100.0 1 50.0 0 0.0 5 100.0 7 77.8
Total 1 100.0 2 100.0 1 100.0 5 100.0 9 100.0
Mayoritas subjek (77.8%) mengonsumsi jenis rokok kretek filter, terkhusus
pada kelompok normal (100.0%) dan Hipertensi II (100.0%). Subjek yang
terkena hipertensi lebih banyak terjadi pada subjek yang mengonsumsi rokok
kretek filter. Perbedaan ini diduga karena adanya faktor lain yang juga
memengaruhi kejadian hipertensi pada subjek (konsumsi pangan dan gaya hidup
lainnya). Secara umum rokok dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu rokok
filter dan non filter. Dibandingkan rokok filter, rokok non filter (kretek) memiliki
kandungan nikotin dan tar lebih besar.
21
Kebiasaan Minum Kopi
Kopi merupakan salah satu minuman favorit. Banyak orang meminumnya
untuk mengurangi kantuk karena kandungan kafein dalam kopi. Namun, kafein
ternyata dapat menyebabkan lonjakan tekanan darah, walaupun hanya sementara.
Kafein diduga dapat memblok hormon yang berperan menjaga agar arteri tetap
melebar atau kafein dapat menyebabkan kelenjar adernal untuk memproduksi
lebih banyak adrenalin, yang dapat menyebabkan tekanan darah naik.
Berdasarkan Tabel 14, mayoritas subjek terbiasa untuk mengonsumsi kopi
(56.4%), khususnya pada kelompok hipertensi I (72.7%) dan hipertensi II (57.1%).
Kopi biasa dikonsumsi subjek pada pagi hari ataupun sore hari sebagai
pendamping sarapan pagi ataupun cemilan sore. Rata-rata konsumsi kopi pada
subjek adalah 1.1±0.3 cangkir dengan jumlah minimal 1 cangkir per hari dan
jumlah maksimal 2 cangkir per hari. Sebanyak 43.6% subjek mengaku tidak
mengonsumsi kopi karena tidak terbiasa dan tidak suka akan rasanya yang pahit.
Adapun jumlah kopi yang biasa dikonsumsi subjek di bawah 3 cangkir per hari,
yaitu satu atau dua cangkir per harinya. Kopi yang sering dikonsumsi subjek
adalah kopi hitam (77.3%), khususnya pada kelompok hipertensi I (83.3%) dan
kelompok hipertensi II (87.5%). Hanya sedikit subjek yang terbiasa mengonsumsi
kopi instan (4.5%). Menurut subjek kopi instan terasa lebih manis sehingga dirasa
kurang cocok di lidah. Kopi hitam merupakan hasil ekstraksi langsung dari
perebusan biji kopi yang disajikan tanpa penambahan perisa apapun sehingga
kandungan kafeinnya lebih tinggi (160 mg) dibanding kopi instan (100 mg) dan
kopi susu (75 mg) (Kartika 2011).
Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan konsumsi kopi dan kategori
tekanan darah
Variabel Kategori Tekanan Darah
Total Normal Pre-
hipertensi
Hipertensi I Hipertensi
II
n % n % n % n % n %
Kebiasaan minum kopi
Ya 0 0.0 6 50.0 8 72.7 8 57.1 22 56.4
Tidak 2 100.0 6 50.0 3 27.3 6 42.9 17 43.6
Jumlah kopi yang dikonsumsi (cangkir/hari)
< 3 0 0.0 6 27.2 8 36.4 8 36.4 22 100.0
Jenis kopi yang dikonsumsi
Kopi hitam 0 0.0 4 66.6 6 83.3 7 87.5 17 77.3
Kopi instan 0 0.0 1 16.7 0 0.0 0 0.0 1 4.5
Kopi susu 0 0.0 1 16.7 2 16.7 1 12.5 4 18.2
Total 0 0.0 6 100.0 8 100.0 8 100.0 22 100.0
Kebiasaan Olahraga
Olahraga yang cukup dapat membantu menguatkan jantung. Jantung yang
lebih kuat tentu dapat memompa lebih banyak darah dengan hanya sedikit usaha.
Semakin ringan kerja jantung, semakin sedikit tekanan pada pembuluh darah
arteri sehingga tekanan darah akan turun (Marliani dan Tantan 2007). Berikut
22
adalah sebaran subjek berdasarkan kebiasaan olahraga. Sebaran subjek
berdasarkan kebiasaan olah raga dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran subjek berdasarkan kebiasaan olahraga
Variabel Kategori Tekanan Darah
Total Normal Pre-
hipertensi
Hipertensi I Hipertensi II
n % n % n % n % n %
Kebiasaan olahraga
Ya 1 50.0 9 75.0 10 90.9 9 64.3 29 74.4
Tidak 1 50.0 3 25.0 1 9.1 5 35.7 10 25.6
Total 2 100.0 12 100.0 11 100.0 14 100.0 39 100.0
Jenis olahraga
Jogging 0 0.0 2 22.2 1 10.0 4 44.4 7 24.1
Bersepeda 0 0.0 1 11.1 0 0.0 0 0.0 1 3.5
Jalan kaki 1 100.0 6 66.7 9 90.0 5 55.6 21 72.4
Lama Olahraga (menit)
0-30 0 0.0 6 66.7 4 40.0 4 44.4 14 48.3
31-60 1 100.0 2 22.2 5 50.0 4 44.4 12 41.4
>60 0 0.0 1 11.1 1 10.0 1 11.2 3 10.3
Frekuensi olahraga (kali/minggu)
1-2 0 0.0 3 33.3 4 40.0 2 22.2 9 31.1
3-4 0 0.0 2 22.2 1 10.0 2 22.2 5 17.2
5-7 1 100.0 4 44.5 5 50.0 5 55.6 15 51.7
Total 1 100.0 9 100.0 10 100.0 9 100.0 29 100.0
Sebagian besar subjek (74.4%) memiliki kebiasaan berolahraga, khususnya
pada kelompok pre-hipertensi (75.0%) dan kelompok hipertensi I (90.9%).
Adapun jenis olahraga yang sering dilakukan adalah jalan kaki (72.4%). Rata-rata
durasi subjek berolahraga adalah 48.9±23.9 menit dengan durasi minimal adalah
10 menit dan maksimal adalah 120 menit. Diduga karena olah raga yang
dilakukan oleh subjek termasuk ke dalam kelompok olah raga ringan (jalan kaki)
sehingga kurang berpengaruh maksimal terhadap tekanan darah. Sebagian besar
subjek (48.3%) mengaku melakukan olahraga sekitar 0-30 menit dengan frekuensi
5-7 kali seminggu (51.7%).
Status Gizi
Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi antara makanan, tubuh
manusia dan lingkungan hidup manusia (Soekirman 2000). Pengukuran status gizi
pada subjek berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT). Namun dalam pengukuran
tinggi badan pada subjek dilakukan estimasi dengan mengukur tinggi lutut lansia.
Rata-rata IMT subjek adalah 23.8±4.0 kg/m2. IMT terendah pada subjek laki-laki
adalah 17.9 kg/m2 dengan IMT tertinggi 31.2 kg/m
2. IMT terendah pada subjek
perempuan adalah 16.5 kg/m2 dengan IMT tertinggi 30.2 kg/m
2.. Hal ini
menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup jauh antara subjek.
Data pada Tabel 16 menunjukkan bahwa sebanyak 33.3% subjek memiliki
status gizi Obese I. Separuh subjek laki-laki (50.0%) dan perempuan (29.0%)
23
memiliki status gizi Obese I. Jika jumlah Obese I dan Obese II dijumlahkan, maka
dapat dikatakan sebanyak 41% subjek tergolong obesitas. Hal ini sangat
berbahaya mengingat obesitas dapat memicu timbulnya berbagai penyakit tidak
menular. Menurut Depkes (2003), masalah gizi dan kesehatan usia lanjut
merupakan rangkaian proses sejak muda yang manifestasinya timbul setelah tua.
Tabel 16 Sebaran subjek berdasarkan status gizi
Status Gizi Jenis Kelamin Total
Laki-laki Perempuan
n % n % n %
Underweight 2 25.0 4 12.9 6 15.4
Normal 1 12.5 8 25.8 9 23.1
Pre-obese 0 0.0 8 25.8 8 20.5
Obese I 4 50.0 9 29.0 13 33.3
Obese II 1 12.5 2 6.5 3 7.7
Total 8 100.0 31 100.0 39 100.0
Di sisi lain, masih terdapat lansia yang memiliki status gizi underweight,
baik dari subjek laki-laki (25.0%) maupun dari subjek perempuan (12.9%). Hal ini
sejalan dengan penelitian Triatmaja et al. 2013 walaupun terdapat lansia dengan
status gizi obesitas, masih terdapat pula lansia dengan status gizi underweight.
Status gizi kurang pada lansia dapat terjadi karena kurangnya konsumsi pangan
lansia akibat penurunan nafsu dan masalah dalam mengunyah.
Hubungan Konsumsi Pangan Pencegah dan Pemicu dengan Tekanan Darah
Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara konsumsi pangan pencegah terhadap tekanan darah (p>0.05), baik dari
kelompok pangan pokok, sayuran (kecuali brokoli), buah, dan kacang-kacangan.
Namun, hasil menunjukkan bahwa brokoli berhubungan negatif dan signifikan
dengan tekanan darah sistol. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Widyaningrum (2012) di mana brokoli memiliki hubungan signifikan dengan
tekanan darah. Brokoli dapat membantu menjaga sistem saraf yang sehat dan
menyeimbangkan efek natrium pada tekanan darah. Selain itu kandungan
potasiumnya mampu membantu menstabilkan tekanan darah dan menjaga sistem
saraf dan fungsi otak yang sehat. Penelitian yang dilakukan Lingyun et al.
(2004) ,pemberian brokoli kering pada tikus putih 5 hari/ minggu selama 14
minggu, dapat menurunkan risiko hipertensi dan atherosklerosis. Adapun
frekuensi konsumsi pangan pencegah (kali per minggu) dapat dilihat pada Tabel
17.
Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan
signifikan antara crakers dan ikan asin dengan tekanan darah sistol. Selain itu,
pindang berhubungan positif dan signifikan dengan tekanan darah sistol. Ikan asin,
pindang dan crakers tidak hanya mengandung natrium, namun mengandung
kalium juga. Perlu disebutkan bahwa beberapa efek perlindungan dari asupan
kalium tinggi pada kesehatan jantung mungkin berhubungan dengan tekanan
darah. Analisis asupan natrium dan kalium dengan kematian di antara orang
dewasa AS berdasarkan dara edisi ketiga National Health and Nutrition
24
Exmination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa asupan natrium tinggi
dikaitkan dengan peningkatan semua penyebab kematian, sedangkan asupan
kalium lebih tinggi tampaknya terkait dengan kematian yang lebih rendah (Yang
et al. 2011). Selain itu sebuah studi berbasis populasi besar di Rotterdam di mana
terdiri dari 3 239 orang berusia lebih dari 55 tahun menunjukkan hasil bahwa
peningkatan asupan kalium dari 1000 mg/hari memiliki tekanan darah sistol 0.9
mmHg lebih rendah dan tekanan darah diastol 0.8 mmHg lebih rendah.
Tabel 17 Frekuensi konsumsi pangan pencegah (kali per minggu)
Rata-rata Standar Deviasi Minimal Maksimal
Sayuran
Tomat 3.0 2.3 0.3 7.0
Kentang 2.6 2.2 0.0 7.0
Wortel 2.8 2.2 0.3 7.0
Sawi 2.1 2.2 0.0 7.0
Brokoli 0.5 2.2 0.0 7.0
Bayam 1.5 2.2 0.0 7.0
Buncis 1.9 2.2 0.0 7.0
Labu 3.1 2.2 0.0 7.0
Buah-buahan
Pisang 3.9 2.3 0.0 9.0
Jeruk 1.8 2.3 0.0 9.0
Anggur 0.3 2.3 0.0 1.0
Mangga 0.5 2.3 0.0 2.0
Semangka 2.1 2.2 0.0 8.0
Nanas 0.2 2.2 0.0 1.0
Ikan, Ayam, dan Daging
Ikan air tawar 2.0 2.2 0.0 7.0
Tongkol 1.5 2.2 0.0 9.0
Daging (bakar,
panggang, rebus)
0.7 2.2 0.0 7.0
Ayam tanpa kulit 2.3 2.2 0.0 7.0
Putih telur 4.4 2.3 0.0 9.0
Kacang-kacangan
Kacang tanah 1.3 2.3 0.0 7.0
Kuaci 0.4 2.2 0.0 3.0
Pada kelompok pangan tinggi kolesterol, pangan tinggi natrium, pangan
yang diawetkan, serta susu dan olahannya lainnya (selain crakers, ikan asin, dan
pindang) tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tekanan darah sistol
dan diastol. Frekuensi konsumsi pangan pemicu (kali per minggu) dapat dilihat
pada Tabel 18. Pada lansia, mukosa usus halus mengalami atrofi, sehingga luas
permukaan berkurang. Jumlah vili yang berkurang menyebabkan penurunan
proses absorbsi. Keadaan seperti ini menyebabkan gangguan yang disebut sebagai
maldigesti dan mal absorbsi (Gunawan 2009).
25
Tabel 18 Frekuensi konsumsi pangan pemicu (kali per minggu)
Rata-rata Standar Deviasi Minimal Maksimal
Pangan tinggi kolesterol
Daging sapi 0.7 1.3 0.0 7.0
Daging
kambing
0.1 0.2 0.0 1.0
Kulit ayam 1.7 1.7 0.0 7.0
Kuning telur 4.5 2.9 0.0 9.0
Pangan tinggi natrium
Biskuit 2.7 2.2 0.0 7.0
Crackers 0.7 1.1 0.0 4.0
Keripik 0.9 1.5 0.0 7.0
Pangan yang diawetkan
Dendeng 0.0 0.2 0.0 1.0
Abon 0.2 0.7 0.0 4.0
Ikan asin 2.4 2.8 0.0 9.0
Pindang 0.4 1.1 0.0 7.0
Telur asin 0.4 0.5 0.0 2.0
Susu dan olahannya
Susu full cream 1.3 2.3 0.0 7.0
Susu bubuk 1.5 2.7 0.0 7.0
Mentega 1.5 1.9 0.0 7.0
Hubungan Asupan Karbohidrat, Lemak, Natrium, dan Serat dengan
Tekanan Darah
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa asupan lemak, natrium, dan
serat tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tekanan darah sistol
(p>0.05). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Widyaningrum
(2012) di mana asupan lemak, natrium, dan serat berhubungan signifikan dengan
tekanan darah. Namun, uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan
positif yang signifikan antara asupan karbohidrat dengan tekanan darah diastol
(p<0.05) di mana semakin tinggi asupan karbohidrat maka tekanan darah diastol
akan semakin tinggi.
Karbohidrat berhubungan positif dan signifikan terhadap tekanan darah
diastol (p<0.004). Hal ini terkait dengan metabolisme karbohidrat di dalam tubuh.
Semua jenis karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida, proses penyerapan
ini terjadi di usus halus. Glukosa dan galaktosa memasuki aliran darah dengan
jalan transfer aktif, sedangkan fruktosa dengna jalan difusi. Setelah melalui
dinding usus halus, glukosa akan menuju ke hepar melalui vena portae. Sebagian
karbohidrat ini diikat di dalam hati dan disimpan sebagai glikogen. Glikogen
kemudian dipecah menjadi glukosa yang selanjutnya akan dipecah menjadi asetil
KoA sehingga terbentuk CO2, H2O, dan energi. Bila energi tidak diperlukan, asetil
KoA tidak memasuki siklus TCA tetapi digunakan untuk membentuk asam lemak,
melakukan esterifikasi dengan gliserol dan menghasilkan trigliserida.
Ketidakseimbangan asupan karbohidrat dengan kebutuhan energi dapat
menyebabkan hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah keadaan meningkatnya kadar
26
lipid darah dalam lipoprotein (kolesterol dan trigliserida) yang dapat
menyebabkan terjadinya artherosklerosis. Artherosklerosis adalah penyempitan
pembuluh darah ke arah jantung yang artinya dapat meningkatkan tekanan darah
diastol (Brindel et al. 2006).
Asupan lemak berhubungan positif dengan tekanan darah sistol dan diastol,
namun tidak berhubungan signifikan. Lemak terdiri dari lemak jenuh, lemak tak
jenuh ganda omega 3, lemak tak jenuh ganda omega 6, dan lemak tak jenuh
tunggal. Meskipun studi awal difokuskan pada efek dari total asupan lemak pada
tekanan darah, ada dasar biologis yang masuk akal untuk berhipotesis bahwa
beberapa jenis lemak (misalnya omega 3) dapat mengurangi tekanan darah dan
jenis lain dari lemak (misalnya lemak jenuh) mungkin meningkatkan tekanan
darah. Oleh karena itu, arah efek tekanan darah mungkin langsung (tekanan darah)
atau terbalik, tergantung pada jenis lemak yang dikonsumsi (Lawrence et al.
2006).
Asupan lemak sebaiknya disesuaikan dengan tingkat kecukupannya, yaitu
20-30% dari Angka Kecukupan Energi yang dianjurkan (Almatsier 2004).
Pembatasan konsumsi lemak dilakukan agar kadar kolesterol darah tidak terlalu
tinggi. Kadar kolesterol darah yang tinggi dapat mengakibatkan terjadinya
endapan kolesterol dalam dinding pembuluh darah. Akumulasi dari endapan
kolesterol apabila bertambah akan menyumbat pembuluh nadi dan mengganggu
peredaran darah. Dengan demikian akan memberatkan kerja jantung dan secara
tidak langsung memperparah hipertensi (Almatsier 2004).
Asupan serat berhubungan positif dengan tekanan darah sistol dan diastol,
namun tidak berhubungan signifikan. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Whelton et al. (2005) di mana hasil studi observasional
menunjukkan bahwa asupan serat dapat mengurangi peningkatan tekanan darah.
Sebuah analisis meta terbatas pada 20 uji coba yang meningkatkan asupan serat
saja, mencatat bahwa tambahan serat (kenaikan rata-rata 14 g/hari) dikaitkan
dengan pengurangan masing-masing tekanan darah sistol dan diastol adalah 1.6
mmHg dan 2.0 mmHg. Serat larut sering dikonsumsi subjek, meskipun masih
belum memenuhi standar yang direkomendasikan. Serat yang larut dapat
mengurangi penyerapan kolesterol dalam pencernaan dengan cara mengikatnya
dengan empedu (yang mengandung kolesterol) dan kolesterol diet sehingga dapat
dikeluarkan oleh tubuh. Serat larut diantaranya pektin (terdapat pada sayur dan
buah terutama di dalam jambu biji, apel, dan wortel), gum (didapat dari sari pohon
akasia), mukilase (terdapat di dalam jenis biji-bijian), dan algal (terdapat pada
alga dan rumput laut) (Almatsier 2005). Di Amerika, di antara 30681 profesional
yang didominasi laki-laki kulit putih Amerika berusia 40-75 tahun, mereka yang
memiliki asupan serat kurang dari 12g/hari lebih berisiko 1.57 kali terkena
hipertensi dibandingkan dengan meraka yang mengonsumsi serat 24g/hari (Ha
Ngyuen et al. 2013).
Natrium berhubungan negatif dan tidak signifikan dengan tekanan darah
sistol. Namun, natrium berhubungan positif dan tidak signifikan dengan tekanan
darah diastol. Di salah satu meta-analisis terbaru, penurunan rata-rata natrium urin
1.8 g/hari (78 mmol/hari) menurunkan tekanan darah sistol dan diastol sebesar 2.0
dan 1.0 mmH pada non-hipertensi serta 5.0 dan 2.7 mmHg pada penderita
hipertensi (Lawrence et al. 2006). Secara umum, efek dari pengurangan natrium
pada tekanan darah cenderung lebih besar pada orang kulit hitam (orang setangah
27
baya dan lebih tua) dan individu dengan hipertensi, diabetes, atau penyakit ginjal
kronis karena kelompok ini cenderung memiliki sistem renin, angiotensin,
aldosteron yang kurang responsif (He et al. 2001). Asupan natrium dikonsumsi
melalui berbagai sumber, 11% dari penambahan pada proses pemasakan, 12%
berasal dari pangan itu sendiri, dan 77% dari pangan hasil olahan.
Hubungan Gaya Hidup dengan Tekanan Darah
Hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan
(p>0.05) antara gaya hidup dan tekanan darah, baik dari kebiasaan merokok,
kebiasaan konsumsi kopi, maupun kebiasaan olahraga. Pada orang berusia lanjut,
umumnya telah mengalami proses penuaan atau proses terjadinya tua. Penuaan
adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri/ mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang diderita.
Sebanyak 23.1% subjek memiliki kebiasaan merokok. Mayoritas subjek
berjenis kelamin perempuan, sehingga banyak sampel yang tidak merokok.
Subjek yang merokok semuanya tergolong pre-hipertensi dan hipertensi. Hal ini
sejalan dengan penelitian Mancia et al. (2007) di mana tekanan darah orang yang
merokok lebih tinggi dibandingkan yang tidak merokok. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Arisman (2009) menunjukan hanya perokok berat (>20
batang) yang terbukti mempunyai faktor risiko terjadinya hipertensi. Mayoritas
subjek yang merokok tergolong dalam perokok dengan jumlah batang rendah dan
sedang (88.8%) sehingga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
tekanan darah.
Kebiasaan minum kopi berhubungan dengan tekanan darah, namun tidak
signifikan. Sebanyak 56.4% subjek memiliki kebiasaan minum kopi dengan rata-
rata minum kopi 1.1±0.3 cangkir per hari. Menurut penelitian Verma dan Kumar
(2013), hasil perlakuan antara kelompok kontrol (n<40 tahun) dan kelompok
perlakuan (n>40 tahun) menunjukkan bahwa peningkatan tekanan darah sistol
setelah konsumsi kopi lebih rendah pada kelompok perlakuan dibandingkan pada
kelompok kontrol. Selain itu, didapatkan bahwa kopi meningkatkan tekanan
darah sistol dan diastol tetapi tidak untuk denyut jantung.
Kebiasaan olah raga tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan
tekanan darah. Hasil ini bertentangan dengan penelitian Fauziah (2012) yang
menyatakan orang yang tidak biasa berolahraga memiliki risiko terkena hipertensi
sebesar 4.73 x lebih besar dibanding dengan orang yang memiliki kebiasaan olah
raga ideal. Olah raga yang paling banyak dilakukan oleh subjek adalah jalan kaki
(72.4%) sedangkan olah raga yang dianjurkan untuk penyakit hipertensi adalah
olah raga isotonik dan teratur seperti aerobik selama 30-45 menit. Dalam uji klinis
penderita hipertensi, aktivitas aerobik secara teratur mengurangi tekanan darah
sistol hingga 6.9 mmHg dan tekanan darah diastol sebesar 4.9 mmHg (Fagard &
Cornelissen 2007).
28
Hubungan Status Gizi dengan Tekanan Darah
Hasil uji Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan
(p>0.05) antara status gizi dengan tekanan darah. Menurut Ayuningtyas (2009),
perubahan status gizi pada lansia disebabkan perubahan lingkungan maupun
kondisi kesehatan. Perubahan ini akan makin nyata pada kurun usia dekade 70-an.
Faktor lingkungan antara lain meliputi perubahan kondisi sosial ekonomi yang
terjadi akibat memasuki masa pensiun dan isolasi sosial berupa hidup sendiri
setelah pasangannya meninggal. Faktor kesehatan yang berperan dalam perubahan
status gizi antara lain adalah naiknya insidensi penyakit degenerasi maupun non-
degenerasi yang berakibat dengan perubahan dalam asupan makanan, perubahan
dalam absorpsi dan utilisasi zat-zat gizi di tingkat jaringan, dan beberapa kasus
dapat disebabkan oleh obat-obat tertentu yang harus diminum para lansia karena
penyakit yang sedang dideritanya.
Prevalensi hipertensi meningkat pada orang yang memiliki berat badan lebih
atau obesitas dibandingkan dengan yang memiliki berat badan normal. Hal ini
diduga karena pada orang obesitas terjadi peningkatan volume plasma dan curah
jantung yang akan meningkatkan tekanan darah. Dalam suatu meta analisis yang
dikumpulkan dari 25 percobaan menunjukkan pengurangan tekanan darah sistol
dan diastol dari penurunan badan 5.1 kg masing-masing adalah 4.4 dan 3.6 mmHg
(Neter et al. 2003).
Tabel 19 Sebaran status gizi subjek berdasarkan kategori tekanan darah
Kategori
Hipertensi
Kategori Tekanan Darah
Total Normal Pre-
hipertensi
Hipertensi I Hipertensi II
n % n % n % n % n %
Underweight 0 0.0 2 33.3 3 50.0 1 16.7 6 100.0
Normal 0 0.0 2 22.2 3 33.4 4 44.4 9 100.0
Pre-obese 1 12.5 2 25.0 1 12.5 4 50.0 8 100.0
Obese I 1 7.7 5 38.5 3 23.0 4 30.8 1 100.0
Obese II 0 0.0 1 33.3 1 33.3 1 33.4 3 100.0
Total 6 100.0 9 100.0 8 100.0 13 100.0 3 100.0
Berdasarkan Tabel 19, pada kelompok status gizi underweight, 50.0%
subjek memiliki hipertensi I sedangkan pada kelompok normal sebagian besar
subjek (44.4%) memiliki hipertensi II. Demikian pula dengan kelompok pre-obese,
50.0% subjek tergolong hipertensi II. Hal ini cukup menarik karena pada
umumnya orang yang tekanan darahnya tinggi memiliki kelebihan berat badan
atau obesitas atau sebaliknya. Dari data ini, maka diduga ada faktor lebih kuat
yang memengaruhi tekanan darah dibandingkan dengan status gizi, seperti pola
makan ataupun gaya hidup.
Pada kelompok obese I, subjek menyebar pada kelompok pre-hipertensi
(38.5%) dan hipertensi II (30.8%). Demikian pula pada kelompok obese II, subjek
menyebar pada kelompok pre-hipertensi, hipertensi I, dan hipertensi II. Prevalensi
hipertensi meningkat pada orang yang memiliki berat badan lebih atau obes
dibandingkan dengan yang mempunyai berat badan normal. Hal ini diduga karena
pada orang obes terjadi peningkatan volume plasma dan curah jantung yang akan
meningkatkan tekanan darah (Widyaningrum 2012).
29
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penelitian tentang gaya hidup, konsumsi pangan, dan hubungannya dengan
tekanan darah pada lansia anggota posbindu dilakukan pada sebanyak 8 orang
laki-laki dan 31orang perempuan yang berusia di atas 45 tahun. Sebagian besar
subjek (64.1%) mempunyai hipertensi, yaitu 28.2% subjek mempunyai hipertensi
I dan 35.9% subjek mempunyai hipertensi II. Untuk tingkat asupan, asupan lemak
subjek (64.1%) masih tergolong kurang sedangkan asupan karbohidrat subjek
(43.6%) tergolong lebih. Semua subjek memiliki tingkat asupan natrium dalam
tingkat standar dan juga memiliki tingkat kecukupan serat kurang dari 25g/hari..
Konsumsi pangan terdiri dari pangan pencegah dan pemicu hipertensi.
Pangan pencegah hipertensi yang selalu dikonsumsi adalah pisang (38.5%), sering
dikonsumsi adalah tomat (20.5%), kadang-kadang dikonsumsi adalah ayam tanpa
kulit (30.8%), jarang dikonsumsi adalah sawi (56.4%), dan tidak pernah
dikonsumsi adalah anggur (83.1%). Pangan pemicu yang selalu dikonsumsi
adalah kuning telur (43.6%), kadang-kadang dikonsumsi adalah biskuit (20.5%),
jarang dikonsumsi adalah kulit ayam (41.0%), dan tidak pernah dikonsumsi
adalah dendeng (97.4%). Gaya hidup terdiri dari kebiasaan merokok, minum kopi,
dan berolahraga. Dari segi gaya hidup, sebanyak 23.1% subjek merokok, 56.4%
subjek mengonsumsi kopi, dan 74.4% subjek memiliki kebiasaan berolahraga.
Dari segi status gizi, subjek paling banyak berada dalam kategori obese I (33.3%)
dan normal (23.1%).
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa asupan karbohidrat, lemak,
natrium, dan serat tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan tekanan darah
sistol (p>0.05). Namun, uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan
antara asupan karbohidrat dengan tekanan darah diastol (p<0.05). Hasil uji
korelasi menunjukkan terdapat hubungan signifikan negatif antara pangan
pencegah (brokoli dan biji bunga matahari) dan pangan pemicu (crakers dan ikan
asin) dengan tekanan darah sistol (p<0.05). Pangan pemicu (pindang)
berhubungan signifikan positif dengan tekanan darah sistol (p<0.05). Gaya hidup
tidak berhubungan signifikan dengan tekanan darah sistol maupun diastol
(p>0.05).
Saran
Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya tidak hanya faktor yang dapat
diubah saja yang dijadikan variabel melainkan perlu ditambahkan variabel faktor
yang tidak dapat diubah sebagai variabel yang perlu diteliti terhadap kejadian
hipertensi pada lansia. Selain itu, pengambilan sampel dalam jumlah besar sangat
disarankan agar tercipta data yang lebih valid. Untuk posbindu, disarankan untuk
mengaktifkan kembali kegiatan senam sehat lansia untuk meningkatkan kesadaran
dan kesehatan lansia melalui olahraga.
30
DAFTAR PUSTAKA
Alam S. 2006. Ekonomi-Jilid I. Jakarta: ESIS.
Almatsier S. 2004. Penuntun Diet. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Almatisier S. 2005. Penuntun gizi diet edisi baru. Jakarta: PT Ikrar Mandiri
Abadi.
Anwar, TB. 2004. Dislipidemia sebagai faktor risiko penyakit jantung koroner
[skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.
Arisman. 2009. Gizi dalam Daur Hidup Edisi II. Jakarta: EGC.
Ayuningtyas F. 2009. Gizi pada Usia Lanjut [skripsi]. Malang (ID): Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan.
Bangun. 2005. Terapi Jus dan Ramuan Tradisional untuk Hipertensi. Jakarta:
AgroMedia Pustaka.
Betarina N. 2013. Kebiasaan sarapan, status gizi, status kesehatan dan daya tahan
jantung paru lansia peserta senam terpadu lansia di kota Bogor [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Biino G, Parati G, Maria Pina Concas, Mauro Adamo, Andrea Angius, Simona
Vaccargiu, Mario Pirastu. Environmental and genetic contribution to
hypertension prevalence: data from an epidemiological survey on Sardinian
Genetic Isolates. Journal Pone. 2013; 8(3).
Brindel P, Hanon O, Dartigues JF, Ritchie K, Lacombe JM, Ducimetiere P.
Prevalence, awareness, treatment, and control of hypertension in the
elderlyL the Three City study. J Hypertens. 2006;24(1):51-58.
Calmorin LF dan Calmorin MA. 2007. Research Methods and Thesis
Writing.Quezon City: Rex Book Store Inc.
Dariyo A. 2004. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo.
Fagard RH, Cornelissen VA. Effect of Exercise on Blood Pressure Control in
Hypertensive Patients. Eur J Cardiovasc Prev Rehabil. 2007;14:12-7.
Fauziah S. 2012. Konsumsi pangan, aktivitas fisik, status gizi dan status kesehatan
lansia di panti sosial tresna werdha salam sejahtera Bogor [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Gibson R. 2005. Principles of Nutrition Assesment Second Edition. New York:
Oxford University.
Gunawan D. 2009. Perubahan Anatomik Organ Tubuh pada Penuaan [Internet].
[2009 Maret 5]: Universitas Sebelas Maret; [diunduh 2014 Agustus
18].Tersedia pada: https://pustaka.uns.ac.id/?menu=news&nid=
122&option=detail
Gunawan L. 2001. Hipertensi. Yogyakarta: Kanisius.
Hardinsyah, Retnaningsih, Herawati T dan Wijaya R. 2002. Analisis Kebutuhan
Konsumsi Pangan. Bogor: PSKPG dan PPKP.
Ha Nguyen, Olaide A, Janani R, Aman A. 2013. A review of nutritional factors in
hypertension management. International Journal of Hypertension. Vol
2013:(ID) 698940.
He FJ, Markandu ND, MacGregor GA. Importance of the renin system for
determining blood pressure fall with acute salt restriction in hypertensive
and normotensive whites. Hypertension. 2001;38:321-325.
31
Institute of Medicine. 2004. Dietary reference intakes: water, potassium, sodium
chloride, and sulfate. Edisi 1. Washington, DC: National Academy Press.
Irza, S. 2009. Analisis Faktor Risiko Hipertensi pada Masyarakat Negeri Bungo
Tanjung, Sumatera Barat. [Skripsi].
JNC-7. 2003. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA 289,
2560-2571.
Kartika S. 2011. Pilih-pilih Kopi Paling Sehat [Internet]. [2011 Desember 15];
[diunduh 2014 Agustus 2]. Tersedia pada: http://www.teen.co.id/teen-
magazine/teenklopedia/1048-pilih-pilih-kopi-paling-sehat.html.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Gambaran
Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Jakarta (ID): Kemenkes RI Pr.
___________________________________________________. 2010. Rencana
Operasional Promosi Kesehatan dalam Pengendalian Penyakit Tidak
Menular. Jakarta (ID): Kemenkes RI Pr.
[Kesmas] Kesehatan Masyarakat. 2012. Gaya Hidup & Penyakit Modern. Suharjo
B, editor. Yogyakarta: Kanisius.
Lingga L. 2012. Bebas Hipertensi Tanpa Obat. Jakarta: AgroMedia.
Lau E. 2009. Healthy Express Super Sehat dalam 2 Minggu. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Lawrence J. Appel, Michael W. Brands, Stephen R. Daniels, Njeri Karanja,
Patricia J. Elmer, Frank M. Sacks. Dietary approaches to prevent and treat
hypertension: a scientific statement from the American Heart Association.
Hypertension. 2006;47:296-308.
Lingyun Wu, M. Hossein Noyan Ashraf, Marina Facci, Rui Wang, Phyllis G.
Paterson, Alison Ferrie and Bernhard H.J. Juurlink. Cardiovascular Health,
Hypetension, Atherosclerosis, Anti-Aging. PNAS. 2004;18:7094-7099.
Malhotra R, Chan A, Malhotra C, Ostbye T. Prevalence, awareness, treatment and
control of hypertension in the elderly population of Singapore. Hypertens
Res. 2010;33:1223-1231.
Macilha-Carvalho KK, Souza e Silva NA. The Yanomami Indians in the Intersalt
Study. Ar Qbras Cardiol. 2003;80:2890300.
Mancia G, De Backer G, Dominiczak A, Cifkova R, Fagard R, Germano G, et al.
2007 Guidelines for the Management of Arterial Hypertension. The Task
Force for the Management of Arterial Hypertension of the European Society
of Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). J
hypertens. 2007;25:1105-87.
Manurung E. 2004. Hubungan antara asupan asam lemak tak jenuh tunggal
dengan kadar kolesterol HDL plasma penderita penyakit jantung koroner
[Tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Marliani L dan Tantan S. 2007. 100 Questions & Answers Hipertensi. Jakarta:
Elex Media Kompotindo.
McDonald M, Hertz RP, Unger AN, Lustik MB. Prevalence, awareness, and
management of hypertension, dyslipidemia, and diabetes among United
States adults aged 65 and ilder. J Geront. 2009;64A(2):256-263.
Neter JE, Stam BE, Kok FJ, Grobbee DE, Geleijnse JM. Influence of weight
reduction on blood pressure: a meta-analysis of rancomized controlled trials.
Hypertension. 2003;42:878-884.
32
Ong KL, Cheung BMY, Man YB, Lau CP, Lam KSL. Prevalence, awareness,
treatment and control of hypertension among United States adult.
Hypertension. 2007;49(1):69-75.
Palatini P, Dorigatti F, Santonastaso M, et al. Association between Coffee
Consumption and Risk of Hypertension. Ann Med. 2007;39:545-53.
Partodihardjo, Subagyo. 2006. Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunaannya.
Jakarta: Esensi.
Puspitasari A. 2011. Keragaan konsumsi pangan, status kesehatan, tingkat depresi
dan status gizi lansia peserta dan bukan peserta program home care di tegal
alur, Jakbar [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departeman Kesehatan, Republik Indonesia.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Suhardjo. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Bogor: Bumi Aksara.
Tamher N. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta (ID): Salemba Medika.
Triantafyllou A, Douma S, Petidis K, Doumas M, Panagopoulou E,
Pyrpasopoulou A, Tsotoulidis S, Zamboulis C. Prevalence, awareness,
treatment and control of hypertension in an elderly population in Greece.
Rural and Remote Health. 2010;10(2):1225.
Triatmaja NT, Khomsan A, Dewi M. 2013. Asupan kalsium, status gizi, tekanan
darah dan hubungannya dengan keluhan sendi lansia di panti werdha
Bandung. Jurnal Gizi dan Pangan. 2013; 8(1):25-32.
Verma K & Kumar P. 2013. Effect of coffee on blood pressure and
electrocardiographic changes in young and elderly healthy subjects. Natls J
Med Res, 3(1), 53—55.
Whelton SP, Hyre AD, Pedersen B, Yi Y, Whelton PK, He J. Effect of dietary
fiber intake on blood pressure: a meta-analysis of randomized, controlled
clinical trials. J Hypertens. 2005;23:475-481.
Widyaningrum S. 2012. Hubungan antara konsumsi makanan dengan kejadian
hipertensi pada lansia [skripsi]. Jember (ID): Universitas Jember.
Yang Q, Liu T, Kuklina EV et al. Sodium and potassium intake and mortality
among US adults: prospective data from the third national health and
nutrition examination survey. Archives of Internal Medicine. 2011;17:1183-
1191.
Yulianti S, Maloedyn S. 2006. 30 Ramuan Penakluk Hipertensi. Jakarta:
AgroMedia Pustaka.
Zaenudin. 2013. Hubungan antara konsumsi lemak trans dengan persen lemak
tubuh dan status gizi pada orang dewasa di kabupaten dan kota bogor
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Zhang CX, Shi JD, Huang HY, Feng LM, & Ma J. Nutritional status and its
relationship with blood pressure among children and adolescents in South
China. Eur J Pediatr. 2012; 171(7):1073-9.
33
LAMPIRAN
Lampiran 1 Asupan, kebutuhan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi subjek
Energi dan
zat gizi
Laki-laki Perempuan Total
As Keb Tk
Kec As Keb
Tk
Kec As Keb
Tk
Kec
Energi (kkal)
Rata-rata 1701.0 2150 79.7 1315.4 1837.1 72.1 1394.5 1901.3 73.7
Stdev 708.5 284.7 34.5 366.6 169.3 21.0 472.7 232.3 24.1
Minimal 820.1 1900.0 43.2 793.1 1550.0 41.7 793.1 1550.0 41.7
Maksimal 2802.0 2625.0 147.5 2053.3 2150.0 120.0 2802.0 2625.0 147.5
Protein (g)
Rata-rata 54.2 63.5 85.6 33.8 56.8 59.5 38.0 58.2 64.9
Stdev 28.1 1.6 44.6 10.7 0.4 18.8 17.5 2.9 27.6
Minimal 19.6 62.0 30.2 17.7 56.0 31.0 17.7 56.0 30.2
Maksimal 94.5 65.0 149.0 58.2 57.0 104.0 94.5 65.0 149.0
Lemak (g)
Rata-rata 64.4 60.0 27.2 37.3 50.9 18.4 42.9 52.7 20.2
Stdev 43.3 7.9 19.0 15.3 5.0 7.9 25.5 6.7 11.3
Minimal 27.3 53.0 10.6 14.1 43.0 6.7 14.1 43.0 6.7
Maksimal 133.0 73.0 63.0 77.7 60.0 45.1 133.0 73.0 63.0
Karbohidrat (g)
Rata-rata 283.1 334.6 52.4 298.6 278.9 65.3 295.4 290.4 62.6
Stdev 115.9 31.1 19.2 165.5 18.7 35.4 155.4 31.2 33.0
Minimal 105.2 309.0 22.1 127.2 252.0 26.8 105.2 252.0 22.2
Maksimal 469.6 394.0 80.8 884.8 323.0 186.3 884.8 394.0 186.3
Vitamin A (RE)
Rata-rata 1105.2 600.0 184.2 694.2 500.0 138.8 778.5 520.5 148.1
Stdev 744.3 0.0 124.0 508.0 0.0 101.6 578.0 40.9 106.4
Minimal 221.1 600.0 36.9 118.0 500.0 23.6 188.0 500.0 23.6
Maksimal 2443.1 600.0 407.2 2036.4 500.0 407.3 2443.1 600.0 407.3
Vitamin C (mg)
Rata-rata 38.7 90.0 43.0 32.1 75.0 42.8 33.5 78.1 42.9
Stdev 23.6 0.0 26.2 28.8 0.0 38.5 27.7 6.1 36.0
Minimal 1.5 90.0 1.7 0.0 75.0 0.0 0.0 75.0 0.0
Maksimal 65.8 90.0 73.1 108.2 75.0 144.3 108.2 90.0 144.3
Ca (mg)
Rata-rata 3991.0 1000.0 399.1 1263.5 1000,0 126.4 1823 1000.0 182.3
Stdev 9959.6 0.0 996.0 1955.1 0,0 195.5 4747.1 0.0 474.7
Minimal 70.9 1000.0 7.1 22.0 1000,0 2.2 22.0 1000.0 2.2
Maksimal 28605.8 1000.0 2860.6 6814.7 1000,0 681.5 28605.8 1000.0 2860.6
Fe (mg)
Rata-rata 17.4 13.0 133.6 13.8 12.9 111.6 14.5 12.9 116.1
Stdev 11.8 0.0 90.6 9.9 3.5 84.1 10.2 3.1 84.7
Minimal 4.0 13.0 30.7 5.1 12.0 36.1 4.0 12.0 30.7
Maksimal 33.8 13.0 259.7 49.5 26.0 412.6 49.5 26.0 412.6
Fosfor
Rata-rata 689.7 700.0 98.5 847.1 700.0 121.0 814.8 700.0 116.4
Stdev 641.9 0.0 91.7 1313.8 0.0 187.7 1201.2 0.0 171.6
Minimal 101.3 700.0 14.5 154.9 700.0 22.1 101.3 700.0 14.5
Maksimal 2019.2 700.0 288.5 6477.1 700.0 925.3 6477.1 700.0 925.3
34
Lampiran 2 Hubungan pola jenis pangan pemicu dengan tekanan darah
Jenis Pangan Sistol Diastol
r p r P
D. sapi -0.276 0.089 0.034 0.836
D. kambing -0.227 0.164 0.202 0.218
Kulit ayam -0.277 0.087 -0.100 0.546
Kuning telur -0.064 0.697 0.218 0.183
Biskuit 0.191 0.244 0.058 0.727
Craker -0.370 0.020* -0.119 0.470
Keripik -0.277 0.087 0.037 0.823
Dendeng 0.050 0.760 0.065 0.694
Abon 0.057 0.729 -0.052 0.755
Ikan asin -0.335 0.037* -0.141 0.392
Pindang 0.332 0.039* 0.035 0.834
Telur asin -0.091 0.582 -0.144 0.383
Susu full cream -0.045 0.788 0.128 0.438
Susu bubuk -0.020 0.905 -0.007 0.966
Mentega -0.092 0.579 -0.048 0.773
Keterangan: * berhubungan secara signifikan
Lampiran 3 Hubungan jenis pangan pencegah dengan tekanan darah
Jenis Pangan Sistol Diastol
r p r P
Tomat -0.004 0.981 - 0.181 0.271
Kentang 0.065 0.695 0.134 0.415
Wortel 0.105 0.525 -0.024 0.885
Sawi 0.152 0.355 0.220 0.179
Brokoli -0.445 0.004* -0.033 0.844
Bayam 0.034 0.837 -0.042 0.799
Buncis 0.095 0.565 -0.033 0.841
Labu 0.190 0.247 0.214 0.191
Pisang -0.023 0.891 0.053 0.750
Jeruk -0.151 0.359 -0.041 0.802
Anggur 0.095 0.565 0.220 0.178
Mangga 0.154 0.350 -0.033 0.844
Semangka 0.071 0.669 0.202 0.217
Nanas -0.229 0.162 -0.266 0.102
Ikan air tawar -0.079 0.633 -0.166 0.312
Tongkol -0.278 0.086 -0.239 0.143
Daging (rebus,
bakar, panggang) -0.126 0.445 0.160 0.332
Ayam tanpa kulit -0.200 0.223 0.039 0.814
Putih telur -0.226 0.167 0.016 0.921
Kacang tanah -0.136 0.410 -0.235 0.150
Kuaci -0.383 0.016* -0.222 0.174
Keterangan: * berhubungan secara signifikan
35
Lampiran 4 Hubungan asupan lemak, karbohidrat, natrium, dan serat dengan
tekanan darah
Zat Gizi Tekanan Darah
Sistol Diastol
r p r p
Lemak 0.142 0.389 0.128 0.438
Karbohidrat -0.010 0.951 0.448 0.004
Natrium -0.246 0.131 0.067 0.684
Serat 0.183 0.264 0.217 0.185
Lampiran 5 Hubungan gaya hidup dengan tekanan darah
Gaya Hidup Tekanan Darah
Sistol Diastol
r p r p
Kebiasaan merokok 0.014 0.935 0.256 0.116
Kebiasaan minum kopi 0.038 0.818 0.218 0.183
Kebiasaan olah raga 0.013 0.938 -0.175 0.285
Lampiran 6 Hubungan IMT dengan tekanan darah
Variabel Tekanan Darah
Sistol Diastol
IMT r -0.041 -0.031
p 0.804 0.851
36
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandung pada tanggal 30 September 1992. Penulis
merupakan anak ke-2 dari dua bersaudara. Penulis merupakan anak dari Rismanto
Lumban Tobing dan Titis Mustikaningrum. Penulis memiliki seorang kakak
bernama Dan Daniel Pandapotan. Penulis merupakan lulusan dari SMA Santa
Maria 1, Bandung.
Selain kegiatan akademik, penulis aktif di kegiatan akademik. Saat beranjak
tingkat 2, penulis dipercaya menjadi sekretaris di komisi diaspora di bawah
naungan Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK). Penulis merupakan salah satu
anggota tim Dana dan Usaha (DANUS) pada kepanitiaan KATA 2011. Pada
tahun 2012, penulis dipercaya menjadi sekretaris di acara Unlocking Potential
College Conference (UPCC) di bawah naungan Youth of Nation Ministry
(YONM). Pada tahun 2013, penulis melakukan Kuliah Kerja Bersama Masyarakat
di Indramayu dengan beberapa program penyuluhan gizi seimbang dan
penanganan kasus anak gizi kurang. Pada tahun 2014, penulis melakukan
Internship Dietetic di Rumah Sakit Umum Tangerang pada periode ke-2, yaitu 3-
22 Maret 2014.