gambaran histopatologi ginjal tikus putih (rattus …vi abstrak adlend. o11111269.gambaran...

47
i Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) Setelah Pemberian Meloxicam Dosis Toksik SKRIPSI ADLEEND O111 11 286 PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2015

Upload: others

Post on 27-Jan-2020

25 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

i

Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Setelah Pemberian Meloxicam Dosis Toksik

SKRIPSI

ADLEEND

O111 11 286

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2015

ii

GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus

novergicus) SETELAH PEMBERIAN MELOXICAM DOSIS TOKSIK

ADLEEND

NIM O11111286

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Program Studi Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

iii

iv

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Adleend

NIM : O111 11 286

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Kedokteran Hewan

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya susun dengan judul :

Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) setelah

Pemberian Meloxicam Dosis Toksik

adalah benar-benar hasil karya saya dan bukan merupakan plagiat dari skripsi

orang lain. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab

hasil dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan

dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, 25 November 2015

Pembuat pernyataan,

Adleend

v

ABSTRAK

ADLEND. O11111269. Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus

norvegicus) Setelah Pemberian Meloxicam Dosis Toksik. Dibimbing oleh DWI

KESUMA SARI dan YULIA YUSRINI DJABIR

Meloxicam merupakan obat antiinflamasi non steroid (NSAID) yang efektif

dalam antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik yang sering digunakan dan mudah

didapatkan. Kejadian overdosis obat pada penggunaan akut sering menyebabkan

kerusakan pada ginjal. Tujuan penelitian ini untuk melihat adanya kerusakan

pada gambaran histologi ginjal tikus putih (Rattus Norvegicus) setelah pemberian

meloxicam dosis toksik secara peroral. Hewan coba yang digunakan adalah 28

ekor tikus jantan yang dibagi secara acak menjadi 7 kelompok (n=4). Kelompok

kontrol diberi aquades. Kelompok perlakuan I, II, dan III diberi meloxciam

30mg/kgBB dan Kelompok Perlakuan IV, V , dan VI diberi meloxicam

40mg/kgBB. Penelitian ini dilakukan selama 5 hari, dan pemberian meloxicam

pada Kelompok Perlakuan I dan IV pada hari ke-I dan dimatikan 24 jam

setelahnya, Kelompok Perlakuan II dan V selama 2 hari berturut-turut dan

dimatikan pada hari ke-III dan Kelompok Perlakuan III dan VI selama 4 hari

berturut-turut dan dimatikan pada hari ke-V. Data yang diperoleh dianalisis secara

deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian meloxicam dosis

toksik dengan dosis 40 mg/kg bb menyebabkan kerusakan yang lebih parah

dibandingkan dosis 30 mg/kg bb begitupun dengan lama perlakuan semakin lama

tikus diberi perlakuan makin parah kerusakan yang terjadi.

Kata kunci : meloxicam, histopatologi, ginjal,tikus putih

vi

ABSTRAK

ADLEND. O11111269. Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus

norvegicus) Setelah Pemberian Meloxicam Dosis Toksik. Dibimbing oleh DWI

KESUMA SARI dan YULIA YUSRINI DJABIR

Meloxicam is a non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) are effective in

anti-inflammatory, analgesic, and antipyretic frequently used and readily

available. The incidence of acute overdose of the drug in use often causes damage

to the kidneys. The purpose of this study was to look at the damage to the kidney

histology rat (Rattus norvegicus) after administration of meloxicam as a toxic

dose orally. Experimental animals used were 28 male rats were randomly divided

into 7 groups (n = 4). The control group was given distilled water. The treatment

group I, II, and III are given meloxciam 30mg / kg weight of body and treatment

groups IV, V, and VI were given meloxicam 40mg / kg weight of body. This

research was conducted for 5 days, and the administration of meloxicam in group

treatment I and IV on day-I and murdered 24 hours later, Group Treatment II and

V for 2 days in a row and murdered at day-III and Group Treatment III and VI for

4 days in a row and murdered at day-V. Data were analyzed descriptively. The

results showed that administration of meloxicam with a toxic dose of 40 mg/kg

weight of body caused more damage than the dose of 30 mg / kg weight of body as

well as with longer treatment the longer the mice treated with the more severe the

damage.

Keywords: meloxicam, histopathology,kidney, rat

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan hanya kepada Tuhan Yang Maha

Kuasa yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih

(Rattus norvegicus) setelah Pemberian Meloxicam Dosis Toksik” ini. Skripsi ini

merupakan hasil dari penelitian dan disusun sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan (SKH). Dengan selesainya skripsi

ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Dr. drh. Dwi Kesuma Sari danYulia Yusrini Djabir, S.Si., MBMSc.,

Ph.D., Apt. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan

bimbingan dan nasihat penuh kesabaran dan rasa semangat selama

penelitian penyusunan skripsi ini.

2. Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin M.Sc sebagai ketua Program Studi

Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

3. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS sebagai Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin.

4. drh. Wahyuni,bapak Abdul Wahid Jamaluddin,S.Farm,Apt. sebagai

dosen pembahas dan penguji dalam seminar proposal dan hasil dan

drh. Dedy Irawan Supriyanto sebagai penguji pada ujian meja dimana

telah memberikan masukan-masukan dan penjelasan untuk perbaikan

penulisan skripsi ini.

5. Dr. drh. Dwi Kesuma Sari dan drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc selaku

panitia seminar proposal dan panitia seminar hasil yang banyak

membantu dan memberi kemudahan bagi penulis.

6. drh. Maghfira Satya Apada. sebagai pembimbing akademik yang telah

banyak memberi nasihat dan bimbingannya selama penulis kuliah di

Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin.

7. Seluruh staf Dosen, Pegawai di Program Studi Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang telah memberikan

dukungan penuh bagi penulis selama kuliah.

8. Keluarga terkasih saya, ayahanda Matius R. Pasedan, Ibunda Cory C.

Marseniel, adik Eden triono yang selalu mendoakan dan memberi

viii

dukungan dalam segala hal secara moral dan finansial, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Saudara-saudara terkasih (GengTor) Novelin, Christin Lupita,

Tresiaty Oriza, Elvi Susanti, Mely dan Riswulan yang selalu hadir baik

susah maupun senang, memberikan dukungan yang luar biasa hebatnya

dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Sahabat A.Muh.Iekram yang selalu membantu dalam pengurusan

surat-surat untuk melaksanakan ujian proposal dan meja.

11. Teman doa yang saya kasihi Andi Baratu Lestari Fakultas Kedokteran

Gigi Universitas Hasanuddin dan Henrikus Irawan Pendidikan Dokter

Universitas Hasanuddin yang selalu memberikan semangat dalam

menjalankan penelitian.

12. Teman seangkatan, seperjuangan yang kami sebut ‘CLAVATA 2011’,

Penulis bersyukur karena bisa hadir diantara kalian, trimakasi sudah

banyak membantu sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

13. Kakak-kakak angkatan 2010 ‘V-Gen’, yang telah memberikan

sebagian ilmunya bagi penulis selama kuliah.

14. Adik-adik angkatan yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

15. Dan penghargaan setinggi – tingginya kepada semua pihak yang tidak

dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas bantuan dan

dukungannya.

Penulis sadar tulisan ini jauh dari kesempurnaan, namun penulis

berharap tulisan ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Makassar, 25 November 2015

Adleend

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. ii

ABSTRAK ............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ........................................................................................... vii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xi

DAFTAR TABEL ................................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xiii

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 2

1.3.1 Tujuan Umum ................................................................................... 2

1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 2

1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 2

1.4.1 Manfaat Pengembangan Ilmu ........................................................... 2

1.4.2 Manfaat Aplikasi ............................................................................... 2

1.5 Hipotesis ........................................................................................................ 2

1.6 Keaslian Penelitian ........................................................................................ 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tikus Putih ............................................................................................... 3

2.2 Ginjal ........................................................................................................... 4

2.3 Meloxicam .................................................................................................... 8

2.4 Alur Penelitian ............................................................................................... 10

METODOLOGI PENELITIAN

x

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................... 11

3.2 Materi Penelitian ........................................................................................... 11

3.3 Kelompok Perlakuan ..................................................................................... 11

3.4Metode Penelitian ........................................................................................... 11

3.5Analisis Data .................................................................................................. 13

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Hasil dan Pembahasan ..................................................................................... 15

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan .................................................................................................... 24

5.2 Saran .............................................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 25

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar I .............................................................................................................. 4

Gambar II ............................................................................................................. 6

Gambar III ............................................................................................................. 7

Gambar IV ............................................................................................................. 8

Gambar V ............................................................................................................. 15

Gambar VI ............................................................................................................ 16

Gambar VII ............................................................................................................ 17

Gambar VIII ........................................................................................................... 18

Gambar IX ............................................................................................................ 19

Gambar X ............................................................................................................. 20

Gambar XI ............................................................................................................. 21

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I ..................................................................................................................... 13

Tabel II ................................................................................................................... 22

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran Foto Penelitian ........................................................................................ 29

Lampiran Tahapan Pembuatan Preparat Histopatologi ........................................... 30

Lampiran Daftar Berat Badan Tikus ...................................................................... 33

2

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rasa nyeri tidak hanya terjadi pada manusia tetapi juga pada hewan. Rasa

nyeri dan proses peradangan timbul akibat terstimulasinya mediator inflamasi.

Pada proses inflamasi dilepaskan berbagai mediator, salah satu diantaranya adalah

prostaglandin. Prostaglandin disintesis dari asam arakidonat dengan bantuan

enzim siklosigenase, yaitu COX-1 dan COX2 (Temple et al, 2004). Ketika terjadi

nyeri hal pertama yang dilakukan pemilik hewan adalah membawa hewan

peliharan kepada dokter hewan atau dengan memberikan obat anti nyeri yang

disebut analgetik. Analgetik adalah obat yang digunakan untuk menghambat atau

mengurangi rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. (Mutschler,1991)

Salah satu obat analgetik yang sering digunakan pada klinik hewan adalah

meloxicam. Meloxicam merupakan salah satu obat yang tegolong dalam NSAID.

Meloxicam tergolong NSAID yang spesifik menghambat COX-2. COX-2 sebagai

enzim yang bertugas merubah prostaglandin H2 menjadi prostaglandin E2 yang

berperan dalam kejadian inflamasi, nyeri dan demam (Soelting, 2012).

Meskipun meloxicam dianggap aman bagi ginjal, namun beberapa penelitian

membuktikan bahwa meloxicam dapat merusak ginjal. Penelitian yang dilakukan

pada anjing yang diberikan meloxicam 0,3 mg / kg per hari dan 0,5 mg/kg sehari

selama enam minggu. Ketika ginjal diperiksa secara mikroskopis, terjadi

degenerasi atau sedikit nekrosis pada ujung papilla pada tiga anjing menerima 0,5

mg / kg sehari (Boehringer, 2001). FARAD dan FDA juga mengidentifikasi

banyak kasus gagal ginjal, gangguan fungsi hati, hingga kematian pada kucing

akibat penggunaan meloxicam secara berulang (Geof, 2008).

Pemberian meloxicam terhadap hewan kesayangan yang tidak sesuai dengan

dosis tentunya akan menimbulkan kerusakan pada beberapa organ yang ada

didalam tubuh terutama ginjal.Ginjal adalah organ yang mempunyai peranan

penting dalam tubuh. Organ ini berfungsi untuk membuang sampah metabolisme

dan racun tubuh dalam bentuk urin. Selain itu, ginjal juga berperanan dalam

mempertahankan keseimbangan air, garam dan elektrolit. Ginjal merupakan organ

tubuh yang rentan terhadap pengaruh zat-zat kimia, karena ginjal menerima 25-30

% sirkulasi darah untuk dibersihkan, sehingga sebagai organ filtrasi kemungkinan

terjadinya perubahan patologi sangat tinggi (Corwin, 2001)

Kurangnya perhatian pemilik terhadap hewan peliharaan salah satunya adalah

tidak mempertimbangkan dosis obat yang diberikan kepada hewan peliharaannya.

Terkadang dosis yang diberikan sudah melewati batas yang ditentukan tetapi

karena belum menimbulkan efek maka akan diberikan terus menerus. Kerusakan

ginjal akibat terpapar obat dengan dosis toksik tentu akan mempengaruhi

gambaran histologi pada ginjal. Oleh karena itu peneliti mencoba melakukan

penelitian untuk mehilat perubahan gambaran histologi ginjal yang diberikan

meloxicam dosis toksik pada hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus).

2

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka pokok

permasalahan adalah sebagai berikut:

Apakah meloxicam dosis toksik menyebabkan perubahan gambaran histopatologi

ginjal tikus putih (Rattus norvegicus)?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran

histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) setelah diberi meloxicam dosis

toksik

1.4 Manfaat Penelitian

1. Aspek Teoritis

Memberikan penjelasan ilmiah yang jelas tentang gambaran histopatologi ginjal

tikus putih setelah pemberian meloxicam dosis toksik.

2. Aspek Aplikatif Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk penelitian lanjutan

mengenai kerusakan ginjal akibat pemberian meloxicam dosis toksik.

1.5 Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian eksperimental yang peneliti lakukan adalah

pemberian meloxicam dosis toksik mempengaruhi gambaran histopatologi ginjal

tikus putih (Rattus Novergicus).

1.6 Keaslian Penelitian

Gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus novergicus) setelah

pemberian meloxicam dosis toksik belum pernah dilakukan. Sebelumnya pernah

dilakukan penelitian mengenai efek paparan subkronik dari meloxicam terhadap

gambaran histopatologi hati (Al-Recabi et al, 2009).

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tikus Putih (Rattus Norvegicus)

Hewan coba merupakan hewan yang dikembang biakkan untuk digunakan

sebagai hewan uji coba. Tikus sering digunakan pada berbagai macam penelitian

medis selama bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan tikus memiliki karakteristik

genetik yang unik, mudah berkembang biak, murah serta mudah untuk

mendapatkannya. Tikus merupakan hewan yang melakukan aktivitasnya pada

malam hari (nocturnal). (Adiyati,2011)

Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) adalah sebagai berikut

(Krinke,2000):

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Mammalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Odontoceti

Familia : Muridae

Genus : Rattus

Species : Norvegicus Tikus ini ditempatkan dalam genus Rattus, famili Muridae, ordo Rodentia,

spesies Rattus norvegicus serta masuk dalam kelas Mammalia. Tikus putih (Rattus

norvegicus) berasal dari Asia Tengah dan penggunaannya telah menyebar luas di

seluruh dunia (Malole dan Pramono, 1989; Suckow et al, 2006).Tikus putih

merupakan strain albino dari Rattus norvegicus. Tikus memiliki beberapa galur

yang merupakan hasil pembiakkan sesama jenis atau persilangan. Selain Wistar,

galur tikus yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Sprague

dawley).Galur ini berasal dari peternakan Sprague Dawley, Madison, Wiscoustin.

(Inglis,1980)

Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley termasuk ke dalam

hewan mamalia yang memiliki ekor panjang. Ciri-ciri galur ini yaitu bertubuh

panjang dengan kepala lebih sempit. Telinga tikus ini tebal dan pendek dengan

rambut halus. Mata tikus putih berwarna merah. Ciri yang paling terlihat adalah

ekornya yang panjang (lebih panjang dibandingkan tubuh). Bobot badan tikus

jantan pada umur dua belas minggu mencapai 240 gram sedangkan betinanya

mencapai 200 gram. Tikus memiliki lama hidup berkisar antara 4 – 5 tahun

dengan berat badan umum tikus jantan berkisar antara 267 – 500 gram dan betina

225 – 325 gram (Sirois, 2005). Pertambahan bobot badan tikus dapat mencapai 5 g/ekor/hari, tikus jantan tua

dapat mencapai bobot badan 500 g, tetapi tikus betina jarang lebih dari 350 g.

Kebutuhan pakan bagi seekor tikus setiap harinya kurang lebih sebanyak 10% dari

bobot tubuhnya jika pakan tersebut berupa pakan kering dan dapat ditingkatkan

sampai 15% dari bobot tubuhnya jika pakan yang dikonsumsi berupa pakan basah.

Kebutuhan minum seekor tikus setiap hari kira-kira 15-30 ml air. Jumlah ini dapat

berkurang jika pakan yang dikonsumsi sudah banyak mengandung air. Umur kelamin

4

dewasa dipengaruhi oleh galur, tingkat pertumbuhan dan kualitas nutrisi (Smith dan

Mangkoewidjojo, 1988).

Tikus merupakan hewan laboratorium yang banyak digunakan dalam

penelitian dan percobaan antara lain untuk mempelajari pengaruh obat-obatan, 10

toksisitas, metabolisme, embriologi maupun dalam mempelajari tingkah laku (Malole

dan Pramono 1989). Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya

terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia

lainnya. Selain itu tikus juga memiliki banyak keunggulan sebagai hewan

percobaan, yaitu memiliki kesamaan fisiologis dengan manusia, siklus hidup yang

relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan

mudah dalam penanganan (Moriwaki et al.,1994). Selain itu

II.2 Ginjal

Ginjal merupakan organ berwarna coklat kemerahan seperti kacang merah

yang terletak tinggi pada dinding posterior abdomen, berjumlah sebanyak dua

buah dimana masing-masing terletak dikanan dan kiri (Snell, 2006).Pada struktur

luar ginjal didapati kapsul fibrosa yang keras dan berfungsi untuk melindungi struktur

bagian dalam yang rapuh (Guyton & Hall, 2008). Pada tepi medial masing-masing

ginjal yang cekung terdapat celah vertikal yang dikenal sebagai hilum renale yaitu

tempat arteri renalis masuk dan vena renalis serta pelvis renalis keluar (Moore &

Anne, 2012).

Gambar 1. Struktur Umum Histologis Ginjal

(Focosi, 2009).

Pada struktur luar ginjal didapati kapsul fibrosa yang keras dan berfungsi

untuk melindungi struktur bagian dalam yang rapuh (Guyton & Hall, 2008). Pada

tepi medial masing-masing ginjal yang cekung terdapat celah vertikal yang

dikenal sebagai hilum renale yaitu tempat arteri renalis masuk dan vena renalis

serta pelvis renalis keluar (Moore & Anne, 2012)

Ginjal dibagi dua dari atas ke bawah, dua daerah utama yang dapat

digambarkan yaitu korteks dibagian luar dan medulla dibagian dalam (Guyton &

Hall, 2008). Masing-masing ginjal terdiri dari 1–4 juta nefron yang merupakan

satuan fungsional ginjal, nefron terdiri atas korpuskulum renal, tubulus kontortus

proksimal, ansa henle dan tubulus kontortus distal (Junqueira & Carneriro, 2007).

5

Ginjal memiliki berbagai fungsi antara lain, ekskresi produk sisa

metabolisme dan bahan kimia asing, pengaturan keseimbangan air dan elektrolit,

pengaturan osmolaritas cairan tubuh, pengaturan keseimbangan asam dan basa,

sekresi dan ekskresi hormon dan glukoneogenesis (Guyton & Hall, 2008).Fungsi

utama ginjal sebagai fungsi ekskresi dan non ekskresi. Fungsi ekskresinya antara

lain untuk mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 285 mili Osmol dengan

mengubah ekskresi air, mempertahankan volume Extra Cellular Fluid (ECF) dan

tekanan darah dengan mengubah ekskresi natrium, untuk mempertahankan

konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam rentang normal. Serta

untuk mempertahankan derajat keasaman/pH plasma sekitar 7,4 dengan

mengeluarkan kelebihan hidrogen dan membentuk kembali karbonat. Fungsi

ekskresi ginjal juga meliputi ekskresi produk akhir nitrogen dari metabolisme

protein (terutama urea, asam urat dan kreatinin) dan sebagai jalur ekskretori untuk

sebagian besar obat. Fungsi non-ekskresinya meliputi sintesis dan aktifasi

hormon, mensekresi renin yang memilliki peran penting dalam pengaturan

tekanan darah, menghasilkan eritropoetin untuk merangsang produksi sel darah

merah oleh sumsum tulang, serta mensekresi prostaglandin, yang berperan sebagai

vasodilator dan bekerja secara lokal serta melindungi dari kerusakan iskemik

ginjal. Sebagai fungsinya sebagai organ non-ekskresi, ginjal juga mendegradasi

hormon polipeptida, insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon

pertumbuhan, ADH (antidiuretik hormon) dan hormon gastrointestinal. Sistem

ekskresi terdiri atas dua buah ginjal dan saluran keluar urin (Price & Wilson,

2006).

Setiap ginjal dibagi dalam korteks di bagian luar yang tercat gelap dalam

preparat mikroskopis dan medula di bagian dalam yang tercat lebih terang.Korteks

ginjal terdiri dari pars konvulata dan pars radiata. Pars konvulata/kontorta tersusun

dari korpuskuli ginjal dan tubuli yang membentuk labirin kortikal. Pars radiata

tersusun dari bagian-bagian lurus (segmen lurus tubulus proksimal dan segmen

lurus tubulus distal) dari nefron dan duktus koligens. Massa jaringan korteks yang

mengelilingi setiap piramid medula membentuk sebuah lobus renis, dan setiap

berkas medula merupakan pusat dari lobulus renis. Jaringan korteks juga terdapat

di antara piramid medula, yang disebut kolumna Bertin (Gartner dan Hiatt,

2007)Medula ginjal terdiri atas 10-18 struktur berbentuk kerucut atau piramidal,

yaitu piramid medula. Dari dasar setiap piramid medula terjulur berkas-berkas

tubulus paralel, berkas medula, yang menyusup ke dalam korteks. Setiap berkas

medula terdiri atas satu atau lebih duktus koligens bersama bagian lurus beberapa

nefron (Junqueira et al., 2005).Unit fungsional ginjal adalah nefron. Setiap ginjal

terdiri atas 1-4 juta nefron. Setiap nefron terdiri atas bagian yang melebar,

korpuskulus ginjal; tubulus kontortus proksimal; segmen tebal dan tipis ansa

Henle; serta tubulus kontortus distal (Junqueira et al., 2005).

Korpuskulus ginjal berdiameter sekitar 200-250 μm dan terdiri atas seberkas

kapiler, yaitu glomerulus, dikelilingi oleh kapsula epitel berdinding ganda yang

disebut kapsula Bowman. Ruangan dalam kapsula Bowman disebut ruang

Bowman (ruang urinarius) yang menampung cairan yang disaring melalui dinding

kapiler dan lapisan viseral. Glomerulus berhubungan dengan kapsula Bowman di

bagian dalam melalui lapisan viseral yang tersusun oleh modifikasi sel-sel epitel

yang disebut podosit.(Gartner dan Hiatt, 2007).

6

Glomerulus merupakan struktur yang dibentuk oleh beberapa berkas

anastomosis kapiler yang berasal dari cabang-cabang arteriol aferen. Komponen

jaringan ikat pada arteriol aferen tidak masuk kedalam kapsula Bowman, dan

secara normal sel-sel jaringan ikat digantikan oleh tipe sel khusus, yaitu sel-sel

mesangial. Ada dua kelompok sel-sel mesangial, yaitu sel-sel mesangial

ekstraglomerular yang terletak pada kutub vaskuler dan sel-sel mesangial

intraglomerular mirip perisit yang terletak di dalam korpuskulus ginjal (Gartner

dan Hiatt, 2007).

Dinding luar yang mengelilingi ruang Bowman tersusun oleh sel-sel epitel

skuamous simpleks yang membentuk lapisan parietal (Gartner dan Hiatt, 2007).

Masing-masing korpuskulus renal juga memiliki kutub vaskuler dan kutub

urinarius. Kutub vaskuler merupakan tempat arteriol aferen masuk dan arteriol

eferen keluar, sedangkan kutub urinarius merupakan tempat dimulainya tubulus

kontortus proksimal (Junqueira et al., 2005).

Pada kutub urinarius dari korpuskulus ginjal, epitel skuamous dari lapisan

parietal kapsula Bowman berhubungan langsung dengan epitel silindris dari

tubulus kontortus proksimal (Junqueira et al., 2005). Tubulus kontortus proksimal

terdapat banyak pada korteks ginjal dengan diameter sekitar 60 μm dan panjang

sekitar 14 mm. Tubulus kontortus proksimal terdiri dari pars konvulata yang

berada di dekat korpuskulus ginjal dan pars rekta yang berjalan turun di medula

dan korteks, kemudian berlanjut menjadi lengkung Henle di medula(Gartner dan

Hiatt, 2007).

Gambar 2. Gambar Struktur Korpuskulus Ginjal

(Focosi, 2009).

Epitel yang melapisi tubulus ini adalah selapis kuboid atau silindris yang

menunjang dalam mekanisme absorbsi dan ekskresi. Sel-sel epitel ini memiliki

sitoplasma asidofilik yang disebabkan oleh adanya mitokondria panjang dalam

jumlah besar. Apeks sel memiliki banyak mikrovili dengan panjang sekitar 1

μm,yang membentuk suatu brush border (Guyton dan Hall, 2007).Ansa Henle

adalah struktur berbentuk U terdiri atas ruas tebal desenden, dengan struktur yang

sangat mirip tubulus kontortus proksimal; sedangkan ruas tipis desenden, ruas

tipis asenden, dan ruas tebal asenden, dengan struktur yang sangat mirip tubulus

7

kontortus distal. Pada medula bagian luar, ruas tebal desenden, dengan garis

tengah luar sekitar 60 μm, secara mendadak menipis sampai sekitar 12 μm dan

berlanjut sebagai ruas tipis desenden. Lumen ruas nefron ini lebar karena

dindingnya terdiri atas sel epitel gepeng yang intinya hanya sedikit menonjol ke

dalam lumen.Bila ruas tebal asenden lengkung Henle menerobos korteks, struktur

histologisnya tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok-kelok disebut tubulus

kontortus distal, yaitu bagian terakhir nefron. Tubulus ini dilapisi oleh sel-sel

epitel selapis kuboid (Junqueira et al., 2005).Sel epitel tubulus sangat peka

terhadap anoksia dan rentan terhadap toksin. Beberapa faktor memudahkan

tubulus mengalami toksik, termasuk permukaan bermuatan listrik yang luas untuk

reabsorbsi tubulus, sistem transpor aktif untuk ion dan asam organik,dan

kemampuan melakukan pemekatan secara efektif, selain itu kadar sitokrom P450

yang tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan. Pada nefrotoksik

akibat parasetamol dapat menyebabkan nekrosis tubulus akut di mana nekrosis

paling mencolok terlihat pada tubulus kontortus proksimal, namun membran basal

tubulus umumnya tidak terkena (Cotran et al., 2007)

Gambar 3. Histologi Normal Ginjal

(Slomianka,2009)

Ginjal dalam melaksanakan fungsi ekskresi ini mendapat tugas berat, karena

hampir 25% dari seluruh aliran darah mengalir ke dua buah ginjal (Guyton, 1991).

Besarnya aliran darah yang menuju ginjal ini menyebabkan keterpaparan ginjal

terhadap bahan yang beredar dalam sistem sirkulasi cukup tinggi, sehingga bahan

yang bersifat toksik akan mudah menyebabkan kerusakan jaringan ginjal dalam

bentuk perubahan struktur dan fungsi ren (Husein dan Trihono, 1996).

Toksikan yang masuk ke dalam ginjal dapat menyebabkan berbagai macam

kelainan pada struktur maupun fungsi nefron. Kerusakan pada nefron dapat terjadi

pada tubulus, korpuskulus renalis, maupun kapiler-kapiler darah dalam ginjal.

Gangguan pada korpuskulus dapat merusak glomerulus dan kapsula Bowman,

sehingga akan mengganggu kelancaran aliran darah dalam kapiler-kapiler

glomerulus. Kerusakan pada tubulus dapat terjadi pada sel-sel epitel, antara lain

mengalami degenerasi dan atrofi sehingga lumen melebar. Kerusakan lebih lanjut

dapat mengakibatkan kematian nefron (Ressang, 1984).Kematian nefron terjadi

8

akibat degenerasi sel. Degenerasi sel adalah kemun duran sel yang menyebabkan

perubahan dalam bentuk maupun fungs (Himawan, 1996).

II.3 Meloxicam

Obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) adalah salah satu obat yang paling

banyak diresepkan di seluruh dunia, menjadi obat pilihan pertama dalam

pengobatan gangguan rematik,penyakit sendi dan inflamasi degeneratif

lainnya.Menghambat enzim cyclooxygenase (COX) yang memproduksi

prostaglandin merupakan mekanisme umum dari NSAID.(Vane,1971).Meloxicam

merupakan turunan dari oxicam, yang merupakan golongan dari kelompok asam

enolic obat antiinflamasi nonsteroid,Dimana NSAID bekerja dengan menghambat

enzim cyclooxygenase (COX). COX-1 dan COX-2 kedua-duanya dipengaruhi

oleh Meloxicam.( Churchill et al.,1996)

Gambar 4. Struktur Kimia dari meloxicam (Ulrich et al,1998)

Meloxicam efektif dalam pengobatan rheumatoid arthritis,osteoarthritis dan

penyakit degenerative pada sendi (Barner,1996).Sebuah penelitian yang dilakukan

pada tikus mengemukakan bahwa indeks terapi lebih tinggi daripada NSAID

lainnya, termasuk piroksikam, diklofenak dan indometasin. Meloxicam, NSAID

kelas oxicam,bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin dan terinduksi

oleh cyclooxygenase-2 (Engelhardt, 1996), sehingga berfungsi sebagai anti-

inflamasi, analgesik dan efek antipiretik (Friton et al., 2006).

Meloxicam digunakan dalam terapi radang muskuloskeletal akut dan nyeri

pada kucing dan juga digunakan dalam penanggulangan nyeri kronis dan

peradangan.(Slingsby,2002). Meloxicam juga digunakan untuk gangguan

lokomotor pada babi, dengan mengurangi tanda-tanda kepincangan dan

peradangan (Friton et al., 2003).Meloxicam juga digunakan untuk mengobati

gangguan lokomotor yang menular pada babi, dengan mengurangi tanda-tanda

kepincangan dan peradangan (Friton et al., 2003), Juga pada ganguan pernafasan

pada babi yang seedang tumbuh (Georgoulakis et al., 2006) dan untuk

menghilangkan nyeri setelah operasi jaringan lunak ringan seperti pengebirian

(Keita et al., 2010). Pada babi betina, meloxicam digunakan sebagai terapi

9

tambahan dalam pengobatan sindrom mastitis metritis agalactia (MMA)yang

dikombinasikan dengan antibiotik yang sesuai (Hirsch et al., 2003)

Dosis Meloxicam pada tikus berada di kisaran 0,2 hingga 10 mg / kg BB.

Sebuah penelitian dilakukan pada anjing yang diberikan meloxicam 0,3 mg / kg

per hari dan 0,5 mg / kg sehari selama enam minggu.Ketika ginjal diperiksa secara

mikroskopis, terjadi degenerasi atau sedikit nekrosis pada ujung papilla pada tiga

anjing menerima 0,5 mg / kg sehari (Boehringer,2001).

Kebanyakan NSAID memiliki protein yang tinggi yang akan terikat dengan

albumin termasuk meloxicam Protein yang tinggi yang mengikat akan

menghasilkan volume terbatas saat distribusi (Engelhardt,1994). Pada hewan coba

menunjukkan bahwa meloxicam dominan didistribusikan ke organ yang kaya

akan albumin seperti darah, hati, ginjal, dll (Busch,1994).Dibandingkan dengan

NSAID lainnya dari kelas yang sama, meloxicam memiliki waktu eliminasi yaitu

20 jam.Selain itu, steady state dicapai dalam waktu 3-5 hari oleh meloxicam

sedangkan 1-2 minggu untuk NSAID lainnya.( Nilsen,1994)

Pada penelitian yang dilakukan pada tikus jantan dan betina dengan berat

200-250 gram,pemberian meloxicam dosis 1mg/kgBB secara oral maupun

intravena sekitar 70% diekskresikan melalui ginjal sedangkan sisa dosis akan

keluar melalui feses. Pada tikus jantan,sekitar 8% zat aktif obat masih akan

tertinggal dalam tubuh setelah 72 jam pemberian, dan eliminasi sepenuhnya akan

terjadi 96 jam setelah pemberian obat.Sedangkan pada tikus betina zat aktif obat

diekskresikan lebih lama,sekitar 72 jam setelah pemberian secara oral dan 96 jam

setelah pemberin secara intravena,dan 30% dari dosis obat akan tetap tinggal

dalam tubuh. (Bush et al.,1998) .

Meloxicam dapat mempengaruhi fungsi ginjal dalam berbagai cara dengan

menghambat sintesis prostaglandin ginjal yang berfungsi untuk menjaga

homeostasis garam dan air serta untuk menjaga aliran darah pada ginjal. Efek

samping klinis dari penggunaan obat golongan oksikam yaitu penurunan ekskresi

natrium, penurunan ekskresi kalium dan penurunan perfusi ginjal. Penurunan

ekresi natrium dapat menyebabkan edema perifer, hipertensi, dan biasanya terjadi

kegagalan jantung kronis. Hiperkalemia dapat terjadi sehingga menyebabkan

aritmia jantung. Fungsi ginjal menjadi menurun, akibatnya terjadi kegagalan

ginjal akut. Kegagalan fungsi ginjal berupa nefritis interstisialis atau nekrosis

papilaris. Terjadinya retensi air dan garam maka dapat menimbulkan terjadinya

edema dan atau kenaikkan tekanan darah selama penggunaan meloxicam. Pada

keadaan normal prostaglandin jarang menimbulkan atau tidak mempengaruhi

fisisologi fungsi ginjal, tetapi pada keadaan hemodinamik terganggu seperti gagal

jantung, sirosis hati atau sudah ada gangguan fungsi ginjal sebelumnya maka

pemberian AINS harus hati-hati. Berapa studi memperlihatkan efek tidak berbeda

antara penggunaan AINS yang tidak spesifik dan penghambat COX-2 spesifik

terhadap hemodinamik fungsi ginjal. Oleh karena itu, penggunaan AINS jangka

panjang harus mendapatkan perhatian khusus saat terapi diharuskan untuk terus

dilanjutkan, seperti pengamatan terhadap status hematologi pasien (Brate1999).

10

II.4 Alur Penelitian

Keterangan: Hewan dimatikan pada hari ke-1

Hewan dimatikan pada hari ke-3

Hewan dimatikan pada hari ke-5

Meloxicam

30 Mg/Kg BB

Meloxicam

40 Mg/Kg BB

Aquades + pelet

standar

Kelompok

Perlakuan VI

Preparat

Histopatologi

Ginjal

Kelompok

Kontrol

Kelompok

Perlakuan I

Kelompok

Perlakuan II

Kelompok

Perlakuan III

Kelompok

Perlakuan IV

Kelompok

Perlakuan V

11

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

1.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin dan pembuatan preparat histopatologi di Laboratorium

Patologi Balai Besar Veteriner (BBVET) Maros, dari Bulan Juni sampai

September 2015.

1.2 Materi Penelitian

1.2.1 Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 28 ekor tikus putih jantan

dengan kisaran berat badan 200-300 gram dengan umur 2-3 bulan.

1.2.2 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sonde lambung, kandang

plastik, ram kawat, kertas, timbangan digital, skapel, gunting, kertas label,

nampan, jarum pentul, objek glass dan mikroskop.

1.2.3 Bahan

Bahan yang digunakan adalah meloxicam, pelet standar, aquades, Na-CMC 1%,

alkohol, Buffered Neutral Formaline (BNF) 10%, xylol, parafin dan Hematoksin

Eosin (HE).

1.3 Kelompok Perlakuan

Pada penelitian ini dosis meloxicam yang digunakan ada dua, yaitu untuk

kelompok perlakuan pertama, dua, dan tiga diberikan meloxicam 30 mg/kg bb dan

dimatikan pada hari 1, 3, 5 kemudian kelompok perlakuan empat, lima dan enam

diberikan meloxicam dosis 40 mg/kg bb dan dimatikan pada hari 1, 3, 5.

1.4 Metode Penelitian

1.4.1 Persiapan Kandang dan Tikus

Kandang tikus terbuat dari box plastik, bagian dasarnya diberi kertas buram

untuk mempermudah dalam membersihkan feses, dan ditutup dengan bedding

kawat, kandang terdiri dari 7 kelompok (6 kelompok perlakuan dan 1 kelompok

kontrol) yang masing-masing dimasukkan 4 ekor tikus untuk kelompok perlakuan

dan kelompok kontrol. Tikus diberi pakan dan minum secara ad libitum.

Pengelompokkan tikus sebagai berikut: K = Kontrol, P1 = Dosis 30 mg, P2 =

Dosis 30 mg, P3 = Dosis 30 mg, P4 = Dosis 40 mg/ kg bb, P5 = Dosis 40 mg/kg

bb dan P6 = Dosis 40 mg.

1.4.2 Persiapan Bahan Penelitian

a. Meloxicam

Meloxicam sediaan tablet digerus dan ditimbang sesuai dosis toksik (30

mg/kgBB dan 40 mg/kgBB)untuk masing-masing tikus berdasarkan berat badan

Inflamasi

12

tikus, dilarutkan dalam larutan Na CMC 1% sebagai pembawa meloxicam

(Linawati et al., 2006).

b. Larutan Plasebo Na CMC (Natrium – Carboxymethyle Cellulose) Larutan plasebo adalah larutan Na CMC 1% yang dibuat dengan cara melarutkan 1

gr Na CMC ke dalam aquadest sebanyak 100ml.

1.4.3 Perlakuan Terhadap Tikus

Sebelum diberi perlakuan, tikus di adaptasi selama kurang lebih satu minggu

sehingga pada saat melakukan perlakuan tikus tidak mengalami stress dan mudah

ditangani, setelah diadaptasi tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam.

Kemudian kelompok perlakuan I, II, dan III diberi (per oral) meloxicam 30

mg/Kg BB,dan kelompok perlakuan IV, V, dan VI diberi meloxicam 40mg/Kg

BB,sementara kelompok kontrol dicekok aquades.

Kelompok perlakuan I dan IV dimatikan 24 jam setelah pemberian

meloxicam sementara itu kelompok perlakuan II, III, V dan VI tetap diberi

meloxicam pada hari berikutnya. Kelompok perlakuan II dan V diberi meloxicam

selama 2 hari berturut-turut kemudian dimatikan 24 jam setelah pemberian hari

kedua. Kemuadian kelompok perlakuan III dan VI deberikan meloxicam selama 4

hari berturut-turut kemudian dimatikan 24 jam setelah perlakuan hari keempat dan

pada hari ketiga tikus kelompok perlakuan II dan V dimatikan Sementara

kelompok kontrol dicekok aquades selama 4 hari berturu-turut dan dimatikan pada

hari yang sama dengan kelompok perlakuan III dan VI.

1.4.4 Pengambilan Sampel Organ

Setelah 24 jam pasca pemberian meloxicam, tikus kelompok perlakuan I dan

IV dimatikan dengan cara dislokasi cervicalis. Kemuadian kelompok perlakuan II

dan V matikan pada hari ketiga dan selanjutnya tikus kelompok perlakuan III dan

VI akan dimatikan pada hari kelima sedangkan tikus yang mati sebelum waktu

yang ditentukan akan langsung di nekropsi dan diambil organ ginjalnya kemudian

dimasukkan dalam wadah yag berisi formalin 10%.

1.4.5 Pembuatan Preparat Histopatologi

Sampel organ ginjal difiksasi dalam larutan formalin 10%. Sampel organ diambil

dari tikus yang telah dimatikan. Kemudian sampel organ di rendam dalam larutan

alkohol bertingkat (dehidrasi) dimulai dari konsentrasi 70%, 80%, 90%, 95% dan

100% selanjutnya, dijernihkan dalam xylol (clearing), sebelum akhirnya ditanam

dalam paraffin (embedding). Jaringan dalam blok paraffin diiris dengan ketebalan

5-6 µm menggunakan mikrotom (indoexim, India), kemudian diletakkan pada

gelas objek, dan disimpan dalam inkubator dengan suhu 40° C selama 24 jam.

Hasil sayatan diwarnai dengan pewarnaan baku Hematoksin Eosin (HE).

Pewarnaan HE digunakan untuk melihat struktur jaringan yang diduga mengalami

perubahan patologis.Proses pewarnaan diawali dengan deparafinasi jaringan

denga xylol dan rehidrasi dengan alkohol bertingkat, kemudian diletakkan

kembali di dalam xylol selama 24 jam untuk penjernihan). Selanjutnya jaringan

diambil dan diberi entelan sebelum ditutup dengan cover glass (mounting).

13

Sediaan diamati dibawa mikroskop dengan perbesaran bertingkat mulai dari 10X

sampai dapat visualisasi yang jelas.

1.5 Analisis Data

Data kualitatif dianalisis dengan cara membandingkan antara kelompok

perlakuan berdasarkan dosis meloxicam dan lamanya perlakuan yang diberikan,

dengan menggunakan metode Mitchel yang dapat dilihat pada tabel 1. Sedangkan

data yang diperoleh dari pengamatan preparat histopatologi ginjal tikus putih

(Rattus norvegicus) dianalisis secara deskriptif.

Tabel 1. Tingkat kerusakan glomerulus ginjal ( Mitchel dalam Gufron, 2001)

Tingkat Kerusakan

Keterangan

Normal Normal, inti jelas, bentuk bulat

Ringan Pembesaran glomerulus +, penyempitan ruang

kapsuler +, butir-butir eritrosit +

Sedang Pembesaran glomerulus ++, penyempitan ruang

kapsuler ++, butir-butir eritrosit ++

Berat Pembesaran glomerulus +++, penyempitan

ruang kapsuler +++, butir-butir eritrosit +++

Keterangan:

- : normal

+ : Kerusakan sel mencapai 25% dalam delapan lapang pandang

++ : Kerusakan sel mencapai 50% dalam delapan lapang pandang +++ : Kerusakan sel mencapai 75% dalam delapan lapang pandang

Tabel 2. Tingkat kerusakan tubulus ginjal ( Mitchel dalam Gufron, 2001).

Tingkat Kerusakan

Tubulus Kontortus

Proksimal

Tubulus Kontortus

Distal

Normal Sel tidak bengkak,inti

sel bulat,lumen sel

tubulus jelas

Sel tidak bengkak,inti

sel bulat,lumen sel

tubulus jelas

Ringan Degenerasi bengkak

keruh +,dengenerasi

hidrofik +, lumen

tubulus tidak jelas

Degenerasi bengkak

keruh +,dengenerasi

hidrofik +, lumen

tubulus tidak jelas

Sedang Degenerasi bengkak

keruh ++,dengenerasi

hidrofik ++,

perlemakan +, lumen

Degenerasi bengkak

keruh ++,dengenerasi

hidrofik ++,

perlemakan +, lumen

14

tubulus tidak jelas tubulus tidak jelas

Berat Degenerasi bengkak

keruh +++,dengenerasi

hidrofik +++,

perlemakan ++, lumen

tubulus tidak jelas, ada

sel yang nekrosis.

Degenerasi bengkak

keruh +++,dengenerasi

hidrofik +++,

perlemakan ++, lumen

tubulus tidak jelas, ada

sel yang nekrosis.

Keterangan:

- : normal

+ : Kerusakan sel mencapai 25% dalam delapan lapang pandang

++ : Kerusakan sel mencapai 50% dalam delapan lapang pandang

+++ : Kerusakan sel mencapai 75% dalam delapan lapang pandang

15

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran hitopatologi ginjal tikus putih

setelah pemberian meloxicam dosis toksik. Ginjal merupakan salah satu organ sasaran

dari efek toksik meloxicam. Karena ginjal memiliki aliran darah yang tinggi,

meloxicam berdosis toksik yang ada didarah akan mengalami filtrasi diginjal.

Sesudah difiltrasi akan diabsobsi kembali sehingga konsentrasi meloxicam dosis

toksik di ginjal akan semakin besar dan berakibat pada terjadinya kerusakan.

Tikus putih yang digunakan merupakan tikus jantan karena kondisi biologisnya

lebih stabil bila dibandingkan betina yang kondisi biologisnya dipengaruhi masa

siklus estrus. Di samping keseragaman jenis kelamin, hewan coba yang digunakan

juga mempunyai keseragaman berat badan dan umur. Hal ini bertujuan untuk

memperkecil variasi biologis antar hewan coba yang digunakan sehingga dapat

memberikan respon relatif seragam (Tuhu, 2008).

Kelompok Kontrol

Setelah dilakukan pengamatan gambaran histopatologi pada kelompok

kontrol yang diberi pelet standar dan aquadest glomerulus pada kelompok kontrol

tampak normal (gambar 5a). Glomerulus berfungsi sebagai tempat filtrasi zat-zat

dari sistem peredaran darah. Kapiler glomerulus mempunyai pori-pori yang besar.

Darah yang masuk kedalam glomerulus bertekanan 60 mmHg dan diatur oleh sel

kusus dari arteriol afferen yang disebut sel juxtaglomerular. Tekanan tersebut

mendorong cairan darah keluar dari pori-pori melalui membran dasar dan

melewati arteriol afferent untuk difiltrasi diantara podosit (sel penyusun lapisan

Bowman) (Guyton, 1991).

Gambar 5. Gambaran histogi kelompok kontrol tikus putih (Rattus novergicus)

Keterangan gambar: 1. Glomerulus

2. Kapsula Bowman

a. lapis parietal

b. lapis visceral

3. Ruang Bowman. Pewarnaan HE, pembesaran 400.

1

3

a

b

16

Kelompok Perlakuan 1

Kelompok perlakuan 1 diberikan meloxicam dengan dosis 30 mg/kg bb dan

dimatikan 24 jam setelah perlakuan hari pertama meunjukan tingkat kerusakan

yang ringan. Kerusakan sel berupa vakuolisasi (degenerasi lemak) terlihat adanya

vakuola-vakuola pada daerah tubulus ginjal (gambar 6).

Gambar 6. Gambaran histopatologi ginjal kelompok perlakuan 1.

Keterangan gambar:

a. Hemoragi

b. Vakuolisasi. Pewarnaan HE, pembesaran 400X

Hemoragi dapat terjadi karena adanya zat toksik.Pemberian meloxicam

dengan dosis toksik dapat meyebabkan rusaknya kapiler darah sehingga darah

keluar dari pembuluh darah dan menyebabkan hemoragi. Vakuolisasi merupakan

hilangnya struktur normal sel sebelum kematian sel dimana hal ini merupakan

tanda dimulainya kerusakan sel akibat zat toksik. Salah satu hal yang dapat

menyebabkan terjadinya vakuolisasi adalah kekurangan oksigen pada sel

(hipoksia) sehingga mengganggu proses metabolisme.

Kelompok Perlakuan 2

Kelompok perlakuan 2 diberi dosis 30 mg/kg bb selama dua hari berturut-

turut kemudian di matikan 24 jam setelahnya menunjukan tingkat kerusakan yang

sedang. Pada kelompok perlakuan ini ditemukan adanya vakuolisasi, hemoragi,

dan piknosis. Vakuolisasi atau degenerasi lemak adalah keadaan dimana

terjadinya gangguan dalam proses metabolism lemak, sehingga terjadi

penimbunan trigliserid yang berlebihan didalam sitoplasma. Hemoragi merupakan

keadaan dimana darah keluar dari kapiler darah. Dibandingkan dengan kelompok

perlakuan 1, pada kelompok perlakuan ini ditemukan hemoragi dan vakuolisasi

yang lebih banyak. Hemoragi yang terjadi lebih parah dibandingkan kelompok

sebelumnya kemungkinan terjadi karena banyaknya pembuluh kapiler yang rusak

akibat terpapar oleh zat toksik dari meloxicam selama dua hari berturut-turut.

Vakuolisasi pada kelompok ini juga terlihat lebih banyak dibandingkan pada elompok perlakuan 1, dimana ketika meloxicam dengan dosis toksik masuk

a b

17

kedalam tubuh menyebabkan banyaknya zat-zat toksik yang berada didalam darah

sehingga menyebabkan terjadinya hipoksisia pada sel sehingga menghambat

proses metabolisme yang terjadi pada sel dan menyebabkan lemak yang ada

terakumulasi dalam sitoplasma dan membentuk vakuola-vakula.

Gambar 7. Gambaran histopatologi ginjal kelompok perlakuan 2.

Keterangan gambar:

a. Piknosis

b. Vakuolisasi

c. Hemoragi. Pewarnaan HE, pembesaran 400 X.

Berbeda dengan kelompok perlakuan sebelumnya, pada kelompok

perlakuan 2 selain vakuolisasi dan hemoragi juga ditmukan adanya piknosis pada

gambaran histopatologi ginjal tikus putih. Piknosis merupakan perubahan

morfologi inti sel dimana inti sel mengalami pengkerutan dan warna menjadi

gelap. Piknosis dapat terjadi karena adanya kerusakan di dalam sel antara lain

kerusakan membran yang diikuti oleh kerusakan mitokondria dan aparatus golgi

sehingga sel tidak mampu mengeliminasi air dan trigliserida sehingga tertimbun

dalam sitoplasma sel.

Kelompok Perlakuan 3

Kelompok Perlakuan 3 diberikan meloxicam dengan dosis 30 mg/kg bb

selama 4 hari berturut-turut dan dimatikan 24 jam setelahnya, menunjukan

kerusakan pada tingkat parah. Pada kelompok perlakuan ini ditemukan adanya sel

yang mengalami kematian (piknosis dan nekrosis) dan seperti pada kelompok

perlakuan yang lain pada kelompok perlakuan ini juga ditemukan adanya

hemoragi dan vakuolisasi yang lebih parah. Peningkatan jumlah sel yang

mengalami vakuolisasi dan terjadinya hemoragi yang parah kemungkinan terjadi

karena pemberian meloxicam dengan dosis toksik dan dalam waktu yang lebih

lama dibandingkan dengan kelompok perlakuan sebelumnya.

a

a

a

a

b

c

18

Gambar 8. Gambaran histopatologi ginjal kelompok perlakuan 3.

Keterangan gambar:

a. Vakuolisasi

b. Nekrosis

c. Hemoragi

d. Pinknosis. Pewarnaan HE, pembesaran 400 X.

Kematian sel dapat disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah

hipoksia akibat terganggunya sistem sirkulasi oleh zat toksik yang masuk. Selain

hipoksia, kematian sel juga dapat disebabkan karena iskemia. Kerusakan tubulus

yang disebabkan oleh iskemia sangat bervariasi bergantung pada luas dan durasi

penurunan aliran darah ginjal. Nekrosis diawali dengan perubahan morfologi inti

sel yaitu piknosis. Tahap berikutnya inti pecah (karioreksis) dan inti menghilang

(kariolisis). Piknosis dapat terjadi karena adanya kerusakan di dalam sel antara

lain kerusakan membran yang diikuti oleh kerusakan mitokondria dan aparatus

golgi sehingga sel tidak mampu mengeliminasi air dan trigliserida sehingga

tertimbun dalam sitoplasma sel. (Price dan Lorraine 2006)

a

b

c

d

19

Kelompok Perlakuan 4

Kelompok perlakuan 4 diberi meloxicam dosis 40 Mg/Kg BB dimatikan 24

jam setelah perlakuan hari pertama menunjukan tingkat kerusakan yang sedang.

Pada kelompok perlakuan ini ditemukan juga vakuolisasi dan hemoragi sama

seperti pada kelompok perlakuan 1 yang dimatikan pada hari yang sama namun

dengan dosis yang berbeda. Hemoragi dan vakuolisasi yang ditemukan pada

pengamatan preparat kelompok perlakuan 4 lebih banyak dibandingkan

kelompok perlakuan 1 yang dimatikan pada hari yang sama dengan dosis yang

lebih besar pada kelompok perlakuan 4.

Gambar 9. Gambaran histopatologi ginjal kelompok perlakuan 4.

Keterangan gambar:

a. Hemoragi

b. Vakuolisasi

c. Piknosis . Pewarnaan HE, pembesaran 400 X.

Pada pengamatan preparat histopatologi kelompok perlakuan 4 juga

ditemukan adanya piknosis, berbeda dengan kelompok perlakuan 1 yang

dimatikan pada hari yang sama. Pemberian dosis yang berbeda pada kelompok

perlakuan memungkinkan terjadinya perbedaan pada gambaran histopatologi

kedua kelompok perlakuan. Pemberian dosis yang tinggi akan mengakibatkan

tingginya zat-zat toksik yang terdapat dalam darah sehingga kemungkinan

terjadnya ischemia yang merupakan salah satu faktor terjadinya piknosis.

a

c

b

20

Kelompok Perlakuan 5

Kelompok perlakuan 5 diberi meloxicam dosis 40 Mg/Kg BB selama 2 hari

berturut-turut dan dimatikan 24 jam setelah pemberian hari kedua menunjukan

kerusakan pada tingkat sedang. Pada kelompok perlakuan ini ditemukan

vakuolisasi, hemoragi, dan piknosis. Dibandingkan dengan kelompok perlakuan 4

yang diberi dosis yang sama namun dimatikan pada hari yang berbeda, pada

kelompok perlakuan ini ditemukan lebih banyak sel yang mengalami piknosis.

Gambar 10. Gambaran histopatologi ginjal kelompok perlakuan 5.

Keterangan gambar:

a. Piknosis

b. vakuolisasi

c. hemoragi. Pewarnaan HE, pembesaran 400 X.

Pada pengamatan histopatologi kelompok perlakuan 5 ditemukan adanya

hemoragi, hemoragi yang terjadi lebih parah dibandingkan kelompok perlakuan 4

yang diberi dosis meloxicam yang sama namun lebih dahulu dimatikan. Hemoragi

yang lebih parah ini terjadi akibat paparan zat toksik dari meloxicam lebih lama

dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi perlakuan sebanyak satu kali.

Kelompok Perlakuan 6

Kelompok perlakuan 6 diberi meloxicam dosis 40 Mg/Kg BB selama 4 hari

berturut-turut dimatikan 24 jam setelah pemberian meloxicam hari keempat

menunjukan tingkat kerusakan yang berat. Pada kelompok perlakuan 6 ditemukan

adanya vakuolisasi, hemoragi, piknosis, dan nekrosis. Sel yang mengalami

piknosis pada kelompok perlakuan ini lebih banyak dari kedua kelompok

perlakuan dengan dosis yang sama namun lebih dahulu dimatikan. Vakuolisasi

juga terjadi pada kelompok ini ditemukan secara merata pada gambaran

histoptologi ginjal kelompok 6.

a

a

b c

21

Gambar 11. Gambaran histopatologi ginjal kelompok perlakuan 6.

Keterangan gambar:

a. Hemoragi

b. vakuolisasi

c. Nekrosis

d. Piknosis. Pewarnaan HE, pembesaran 400 X.

Pada kelompok perlakuan ini juga ditemukan adanya nekrosis, sama halnya

dengan kelompok perlakuan 3 yang dimatikan pada hari yang sama namun dengan

dosis yang berbeda, sel yang mengalami nekrosis pada kelompok perlakuan ini

lebih banyak dibandingkan kelompok perlakuan 3. Pengamatan preparat

histopatologi kelompok perlakuan 5 juga ditemukan adanya hemoragi, bila

dibandingkan dengan kelompok 3 yang dimatikan pada hari yang sama hemoragi

yang terjadi pada kelompok perlakuan 6 jelas terlihat lebih parah.

Dari pengamatan gambaran histopatologi ginjal tikus putih perubahan yang

terjadi berbeda-beda pada tiap kelompok, Pada kelompok perlakuan 1 dan 4 yang

dimatikan pada hari yang namun dengan dosis yang berbeda terdapat perbedaan,

pada kelompok perlakuan 4 ditemukan ada sel yang mengalami piknosis

sedangkan pada kelompok perlakuan 1 hanya ditemukan vakuolisasi dan

hemoragi. Begitupula pada kelompok perlakuan yang diberikan dosis yang sama

a b

c

d

22

namun dimatikan pada hari yang berbeda, misalnya pada kelompok perlakuan 5

dan kelompok perlakuan 6 hasil yang ditemukan pada gambaran histopatologi

ginjal berbeda. Pada kelompok perlakuan 6 ditemukan adanya sel yang

mengalami nekrosis serta sel yang mengalami piknosis lebih banyak dibandingkan

dengan kelompok perakuan 5.

Tabel 3. Tingkat kerusakan histopatologi ginjal tikus putih setelah pemberian

meloxicam secara oral dengan dosis dan lama perlakuan yang berbeda.

Kelompok Perlakuan Tingkat kerusakan Keterangan

Kelompok kontrol Normal

Sel ginjal normal

Kelompok P1 Ringan Degenerasi sel +, hemoragi+

Kelompok P2 Sedang Degnerasi sel ++ , hemoragi +,

nekrosis +

Kelompok P3 Berat D

egenerasi sel +++, hemoragi

++ , nekrosis +++

Kelompok P4 Sedang Degenerasi sel ++ , hemoragi

++, nekrosis +

Kelompok P5 Sedang Degenerasi sel ++, hemoragi

++, nekrosis ++

Kelompok P5 Berat Degenerasi sel +++, hemoragi

+++ , nekrosis +++

Keterangan:

+ : Kerusakan sel mencapai 25% dalam delapan lapang pandang

++ : Kerusakan sel mencapai 50% dalam delapan lapang pandang

+++ : Kerusakan sel mencapai 75% dalam delapan lapang pandang

Data kualitatif tingkat kerusakan ginjal tikus lebih ditekankan pada kerusakan sel ginjal. Hasil yang diperoleh (tabel 3) menunjukkan tingkat

kerusakan paling tinggi pada kelompok perlakuan 3 dan 6 (kerusakan berat) yaitu

75% dari delapan lapang pandang mengalami degenerasi sel, hemoragi dan

nekrosis. Kelompok perlakuan 2, 4, dan 5 memiliki tingkat kerusakan yang sama

yaitu sedang dimana dari pengamatan preparat dengan delapan pandang 50%

mengalami degenerasi sel, hemoragi, dan nekrosis. Tingkat kerusakan yang paling

rendah pada kelompok perlakuan 1 dimana 25% dari delapan lapang pandang

mengalami degenerasi sel dan hemoragi.

Degenerasi adalah hilangnya struktur normal sel akibat pengaruh dari dalam

atau dari luar sel. Degenerasi sel ditandai dengan adanya gangguan metabolik. Hal

ini menimbulkan penimbunan bahan-bahan secara intraseluler maupun

ekstraseluler. Degenerasi yang paling banyak ditemukan adalah degenerasi lemak

(vakuolisasi).

Hasil penelitian menggunakan isolasi mitokondria ginjal, menyimpulkan

bahwa meloxicam bersifat toksik bagi sel-sel ginjal dengan mengganggu fungsi

23

mitokondria. Meloxicam tersebut ditunjukkan untuk bertindak sebagai uncouplers

dengan menghamburkan membran mitokondria dan menghambat biosintesis ATP

karena kemampuannya dalam menghambat aspartat sehingga membatasi

bioavailabilitas dari dua substrat utama glutamat dan malat. Akibat penurunan

fungsi mitokondria, tidak mengejutkan bahwa meloxicam bisa mengakibatkan

kematian sel akibat nefrotoksik (Ng Eng, 2008).

Selain itu, meloxicam dengan dosis toksisk akan disekresi secara aktif dari

darah ke urin, kemudian terlebih dahulu diakumulasikan dalam tubulus proksimal

atau pada saat substansi kimia ini direabsorbsi dari urin maka akan melalui sel

epitel tubulus dengan konsentrasi tinggi. Sebagai akibat dari proses tersebut

meloxicam dengan dosis toksik ini akan terakumulasi di ginjal dan menyebabkan

kerusakan bagi ginjal, terutama di tubulus ginjal karena pada tubulus ginjal

merupakan tempat terjadinya proses reabsorpsi dan ekskresi dari zatzat toksik

tersebut. Zat kimia yang terlalu banyak berada di dalam ginjal akan

mengakibatkan kerusakan sel, seperti infiltrasi sel radang, vakuolisasi lumen

tubulus, pendarahan (MacSween dan Whaley, 1992)

24

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tentang gambaran histopatologi ginjal tikus

putih (Rattus norvegicus) disimpulkan bahwa:

Kerusakan pada gambaran histopatologi ginjal yang diberikan meloxicam dengan dosis berbeda memiliki perbedaan yang terlihat jelas. Kelompok

yang diberikan dosis 40 mg/kg bb memiliki kerusakan yang lebih parah

dibandingkan dengan dosis 30 mg/kg bb.

Semakin lama perlakuan diberikan kepada tikus maka semakin parah kerusakan yang terjadi pada gambaran histopatologi ginjal tikus.

SARAN 1. Kepada pemilik hewan agar memberikan obat sesuai dengan resep yang

dituliskan oleh dokter hewan untuk hewan peliharaan. Berikut adalah

dosis yang tepat untuk pemberian meloxicam bagi hewan kecil.

Dosis yang aman untuk anjing secara oral adalah 0.2 mg/ kg bb,

diikuti pemberian 0.1 mg/kg bb setiap 24 jam. Dosis untuk

pemberian secara intravena dan subcutan adalah 0.2 mg/kg bb.

Dosis untuk kucing secara oral adalah 0.1 mg/kg bb. Dosis untuk pemberian secara subcutan adalah 0,2 mg/kg bb. Pemberian

meloxicam untuk kucing tidak dilakukan berulang atau hanya

sekali pemberian.

2. Dapat dilakukan penelitian sejenis dengan pemberian jenis obat NSAID

yang berbeda.

25

DAFTAR PUSTAKA

.

A.Ng,A.Temple,G.smith,J.Emembolu.2004.Early Analgesic Effects of Parecixib

Versus Ketolorac Following Laparoscopic sterilization: a Recomended

Controlled Trial:British Journal Of Anasthesia:p 864-9

Adiyati PN.2011.Ragam Jenis Ektoparasit Pada Hewan Coba Tikus Putih (Rattus

novergicus) Galur Sparague Dawley.Skripsi.Bogor:Fakultas Kedokteran

Hewan Institut Pertanian Bogor.

Al-Rekabi et al,. 2009. Effects of subchronic exposure to meloxicam on some

hematological, biochemical and liver histopathological parameters in rats.

Iraqi Jurnal Vol.23 Barner A.1996. Review of clinical trials and benefit/risk ratio of meloxicam.

Scand.J Rheumatol;102:29-37

Boehringer-Ingelheim.2001.Pharmaceuticals Inc. Prescribing Information For

Meloxicam.

Brater, D.C. (1999) Effects of nonsteroidal anti-inflammatory drugs on renal

function: focus on cyclooxygenase-2-selective inhibition. Am. J. Med. 107,

65S-71S. Busc U.1994.Pharmacokinetics of meoxicam in animals scand J Rheumatol;

Snppl 98:abstract no.119.

Churchill L,Graham AG,Shih CK,Pauletti D,Farina PR,Grob PM.1996.Selective

inhibition of human cyclo oxygenase-2 by meloxicam.Inflamm

Opharm;4:125-135.

Corwin,E.J.2001.Buku Saku Patofisiologi.Alih Bahasa Brahm U. Pendit. Penerbit

Buku Kedokteran EGC. Jakarta

D.Truck,W.roth,U.Busch.1996.A review of Clinical Pharmacokinetics of

Meloxicam.British Journal of Rheumatology;35(suppl.1):13-16

Engelhardt G.1994.Meloxicam a potent inhibitor of COX-2.Data presented at 9th

International conference on Prostaglandins and Related Compounds,

Florence,Italy,p.82.

Engelhardt G, Bo¨ gel R, Schnitzler C and Utzmann R 1996. Meloxicam:

influence on arachidonic acid metabolism. Part II. In vivo findings.

Biochemical Pharmacology 51, 29–38.

Friton GM, Schmidt H and Schro¨ dl W 2006. Clinical and anti-inflammatory

effects of treating endotoxin-challenged pigs with meloxicam. The

Veterinary Record 159, 552–557.

Gartner J. P., Hiatt J. L. 2007. Color Text Book of Histology. 3th ed.Philadelphia:

Elsevier Saunders, pp: 437-45.

Geof W.Smith,Jenifer L.Davis,Lisa A.Tell,Alistair I.Webb,Jim E.Riviere.2008.

Extralabel Use of Nonsteroidal anti-inflamatory Drugs in cattle.JAVMA,

vol 231;no.5

Gufron M.2001. Gambaran Struktur Histologi Hepar dan Ren Mencit Setelah

Pemberian Perlakuan Infus Akar Rimpang Jahe (Zingiber officinale)

dengan Dosis Bertingkat. Jurnal Kedokteran Yarsi

26

Guyton A. C., Hall J. E. 2007. Ginjal dan Cairan Tubuh. Dalam: Buku Ajar Fisiologi

Kedokteran. Edisi XI. Jakarta: EGC, pp 307-9.

Guyton, A.C. 1991. Buku teks fisiologi kedokteran (diterjemahkan oleh Adji

Dharma dan P. Lukmanto). EGC. Jakarta.

Himawan, S. 1996. Kumpulan kuliah patologi. UI Press. Jakarta.Hirsch AC,

Philipp

H and Kleemann R 2003. Investigation on the efficacy of meloxicam in sows with

mastitis–metritis–agalactia syndrome. Journal of Veterinary

Pharmacology and Therapeutics 26, 355–360.

Husein, A.T.T. dan Trihono. 1996. Buku ajar nefrologi anak. Ikatan Dokter Anak

Indonesia. Jakarta.

Inglis,J.K.(Ed.) Introduction to Labortory Animal Science and Technology.

Pegamon Press,Oxford

Junqueira L. C. and Carneriro J., 2007. Histologi dasar teks dan atlas. 10th ed.

EGC. Jakarta.

K.Moriwaki,K.Tsuschiya,T.Yosida.1994.Genetic Polymorphism in The serum

Transferin of Rattus Rattus.National Institute of Genetics.Misima,Japan.

Katzung BG.2001.Farmakologi Dasar dan Klinik. Vol 1.Jakarta: Salemba Medika

Keita A.,Pagot E.,Prunier A.,Guidarini Ch.2010.Pre-emtive Meloxicam For

Posporative analgesia in Piglets undergoing sergical castration.

Veterinary Anacsthesua and Analgesia 37,367-374.

Krinke,G.J.2000.The Laboratory Rat.San Diego,CA: Academic Press.Hal:150-

152

Linawati, Apriyanto, Susanti, Wijayanti, dan Donatus. 2006. Efek Hepatoprotektif

Rebusan Herba Putri-Malu (Mimosa Pigra, L.) pada Tikus Terangsang

Parasetamol. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

Malole M.B.M., dan Pramono C.S.U. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan Dilaboratorium. ITB. Bogor. (Hal 94 – 103)

Moore, K.L. and Anne M.R., 2012. Anatomi klinis dasar. Hipokrates. Jakarta. 278

– 9. Mutscl er,E.,1991.Dinamika Obat,diterjemahkan oleh Mathilda B.W.,dan Ranti

E.S.,Edisi V,Penerbit ITB,Bandung.

Ng, Lin Eng. 2008. Action Of Diclofenac And Meloxicam On Nephrotoxic Cell

Death. Tesis. Biokimia : National University of Singapore Nilsen OG.1994.Clinical pharmacokineticks of tenoxicam.Clin Pharmacokinet:

6:16-43

Price,sylvia A.,Lorraine M.W.2006.Patofisiologi:Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit.EGC.Jakarta.

Ressang, A.A. 1984. Patologi khusus veteriner. IFAD Project. Denpasar.

Riadi D. 2006. Apoptosis Pada Cedera Otak Traumatika. Simposium: Apoptosis

Charming to Death. Jakarta.

http://www.neuroonkologi.com/articles/Apotosis_pada_cedera_otak_trauma

tik. pdf [17 Juli 2008]

27

Robbin & Kumar.1992.Buku Ajar Patologi I.Edisi ke-4.Editor

Oswari.Penerjemah: Staf Pengajar Patologi Anatomi FK UNAIR,.Surabaya:

EGC.

Sirois,M.2005.Laboratory Animal Medicine.United of State America:Mosby.

Inc.Hlm 87-115

Slingsby LS, Waterman-Pearson AE.2002. Comparison between meloxicam and

carprofen for postoperative analgesia after feline ovariohysterectomy.

Small Anim Pract;43:286-289.

Smith J. B. dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan Pembiakan dan

Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID): UI Pr. Snell,Richard S.,2006.Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.6th ed.

EGC.Jakarta.

Suyanti L. 2008. Gambaran Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Pada

PemberianFraksi Asam Amino Non-Protein Lamtoro Merah (Acacia

villosa) PadaUji Toksisitas Akut [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran

Hewan Institut Pertanian Bogor.

Vane JR.1971.Inhibition of prostaglandin synthesis as a mechanism ofaction for

Aspirin-like drugs.Nature;231-232

Vita, J.A. 2005. Polyphenol And Cardiovascular Disease: Effect On Endothelial

And Platelet Function. Journal Bioscience 81(1): 292s-297s.

Yuanita, D.A. 2008. Pengaruh Pemberian Teh Kombucha Dosis Bertingkat Per

Oral Terhadap Gambaran Histologi Gijal Mencit BALB/C .Universitas

kedokteran Diponegoro

28

LAMPIRAN

Lampiran Gambar Penelitian

Keterangan Gambar: Tikus yang di kandangkan(A), Pemberian meloxicam

dengan sonde lambung (B), Pembedahan tikus (C), Pengambilan Organ ginjal (D),

Ginjal tikus (E), Sampel yang direndam dalam formalin 10%(F).

A B

C D

E F

29

TAHAPAN PEMBUATAN PREPARAT HISTOPATOLOGI

Fiksasi

Sampel jaringan difiksasi dengan Buffered Neutral Formalin (BNF),

volume Buffered Neutral Formalin (BNF) minimal 10 kali volume

jaringan. Pada umumnya waktu yang diperlukan untuk fiksasi sempurna

adalah 48 jam.

Pemotongan Spesimen

1. Spesimen yang dipilih untuk pemeriksaan, dipotong setebal 0,5-1 cm.

2. Potongan spesimen dimasukkan dalam keranjang pemprosesan dengan

disertai dengan label nomor spesimen yang ditulis dengan pensil.

3. Sisa spesimen dengan Buffered Neutral Formalin (BNF) disimpan

dalam botol bertutup rapat. Selanjutnya botol ini disimpan berurutan

dan dibuang apabila telah melebihi 3 bulan dan ditulis dalam formulir

pemusnahan sampel.

Prossesing dan Embedding Embedding cassete yang telah diisi spesimen jaringan dimasukkan

kedalam tissue processor dengan pengaturan waktu sebagai diuraikan

pada table 1 dibawah ini.

Tabel. 2. Prosedur tissue processor dan pengaturan waktu.

No Proses Reagensia waktu

1 Fiksasi Buffer formalin 10% 2 jam

2 Fiksasi Buffer formalin 10% 2 jam

3 Dehidrasi Alkohol 70% 1 jam

4 Dehidrasi Alkohol 90% 1 jam

5 Dehidrasi Alkohol 100% 1 jam

6 Dehidrasi Alkohol 100% 2 jam

7 Dehidrasi Alkohol 100% 2 jam

8 Clearing Toluen 1 jam

9 Clearing Toluen 1.5 jam

30

10 Clearing Toluen 1,5 jam

11 Impregnasi Paraffin 2 jam

12 Impregnasi Paraffin 3 jam

Total waktu 20 jam

Embedding cassette dikeluarkan dari tissue processor dan masukkan ke

dalam wadah yang telah tersedia pada alat embedding center. Keluarkan

contoh specimen dari keranjang tissue untuk di blok oleh paraffin satu-

persatu (agar tidak tertukar no. contoh specimen). Tempatkan cetakkan

dan keranjang pada sisi kanan dan kiri dispenser paraffin. Contoh

spesimen diletakkan diatas cetakkan lalu diisi dengan paraffin dengan

menekan tombol hitam yang telah tersedia pada alat embedding center.

Cetakkan diberi nomer sesuai nomer contoh spesimen yang letakkan

diatas keranjang yang berisi contoh spesimen. Pindahkan cetakan pada

bagian dingin. Setelah beku (mengeras paraffinnnya) pisahkan cetakan

dengan keranjang. setelah terpisah pindahkan keranjang siap untuk

dilakukan pemotongan dengan mikrotom knife

Pemotongan

1. Ambil blok jaringan kemudian difiksir pada microtome. Blok

jaringan dipotong dengan microtome kasar sehingga didapatkan

permukaan yang rata.

2. Gunakan pisau mikrotom yang masih tajam, ketebalan potongan 5-6

mikron. Pilih potongan jaringan terbaik dari pita yang terbentuk.

3. Potongan yang terpilih direntangkan pada floating out yang bersuhu

sekitar 400C yang terlebih. Suhu yang ideal akan mengakibatkan

potongan jaringan merentang sempurna, tidak berkerut.

4. Taburkan gelatin powder sebanyak 5 gram untuk 100 cc aquadest

dan biarkan larut sempurna.

5. Potongan yang bagus, tidak tergores, tidak mengkerut dipilih dan

diambil dengan gelas slide yang sudah bernomer sesuai dengan

nomer epi/patologi.

6. Slide yang berisi tempelan potongan jaringan ditempatkan diatas

pelat pemanas slide, minimal dua jam.

Pewarnaan

1. Sebelum pewarnaan dilakukan, semua bahan pewarna harus diperiksa

kejernihannya dan disesuaikan dengan jadwal penggantian yang

tersedia (3 kali penggunaan setiap pemakaian).

31

2. Tahapan pewarnaan:

Tabel 3. Tahap Pewarnaan Mayers Hematoxylin Eosi

No Reagensia Waktu

1 Xylol I 2 menit

2 Xylol II 2 menit

3 Alkohol 100% I 1 menit

4 Alkohol 100% II 1 menit

5 Alkohol 95% I 1 menit

6 Alkohol 95% II 1 menit

7 Mayer’s Haematoxylin 15 menit

8 Rendam dalam Tap Water 20 menit

9 Masukkan dalam Eosin 15 detik -2 menit

10 Alkohol 95 % III 2 menit

11 Alkohol 95 % IV 2 menit

12 Alkohol 100% III 2 menit

13 Alkohol 100% IV 2 menit

14 Akohol 100%V 2 menit

15 Xylol III 2 menit

16 Xylol IV 2 menit

17 Xylol V 2 menit

Setelah selesai pewarnaan dilakukan coverslipping, siapkan coverslips

secukupnya sesuai dengan jumlah preparat yang baru saja diwarnai lalu teteskan

1-2 tetes “entellan” pada tiap coverslip. balik dan tutupkan pada slide preparat

yang baru saja diwarnai, cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara, biarkan

preparat yang sudah tertutup dengan coverslip lalu dibiarkan sampai mengering

sempurna. Bersihkan slide glass dengan xylol lalu berilah nomor sesuai dengan

nomor yang ada dietiket slide glass tersebut dan siap untuk diperiksa di bawah

mikroskop cahaya

32

DATA BERAT BADAN TIKUS PUTIH (Rattus novergicus)

NO. BERAT BADAN KELOMPOK

(gram)

1 270 Kelompok Kontrol (K)

2 260 Kelompok Kontrol (K)

3 270 Kelompok Kontrol (K)

4 260 Kelompok Kontrol (K)

5 270 Kelompok Perlakuan I (PI)

6 270 Kelompok Perlakuan I (PI)

7 270 Kelompok Perlakuan I (PI)

8 260 Kelompok Perlakuan I (PI)

9 260 Kelompok Perlakuan II (PII)

10 270 Kelompok Perlakuan II (PII)

11 270 Kelompok Perlakuan II (PII)

12 260 Kelompok Perlakuan II (PII)

13 260 Kelompok Perlakuan III (PIII)

14 260 Kelompok Perlakuan II I(PIII)

15 280 Kelompok Perlakuan III (PIII)

16 280 Kelompok Perlakuan III (PIII)

17 270 Kelompok Perlakuan IV (PIV)

18 260 Kelompok Perlakuan IV (PIV)

19 260 Kelompok Perlakuan IV (PIV)

20 270 Kelompok Perlakuan IV(PIV)

21 260 Kelompok Perlakuan V(PV)

22 270 Kelompok Perlakuan V(PV))

23 260 Kelompok Perlakuan V(PV)

24

25

26

27

28

280

270

260

260

270

Kelompok Perlakuan V(PV)

Kelompok Perlakuan VI(PVI)

Kelompok Perlakuan VI(PVI)

Kelompok Perlakuan VI(PVI)

Kelompok Perlakuan VI(PVI)

33

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 23 November 1993 di

Makale, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi

Selatan dari Ayahanda Matius Rantelino Pasedan dan

Ibunda Cory Caterina Marseniel. Penuis merupakan anak

ke 1 dari 2 bersaudara. Penulis menyelesaikan Sekolah

Dasar di SD Kristen Makale 1 pada tahun 2005,

kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMP

Katolik Makale dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun

2011 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Katolik

Makale.

Penulis diterima di Program Studi Kedokteran Hewan,

Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin pada tahun

2011 melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi

Negeri (SNMPTN).

Selama kuliah penulis aktif ikut dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan

oleh Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia ( IMAKAHI )