gambaran cinta pada seorang istri yang suaminya berpoligami
TRANSCRIPT
Judul : Gambaran Cinta Pada Seorang Istri yang Suaminya Berpoligami Nama/NPM : Dony Widiyanto/10503055 Pembimbing : Praesti Sedjo, S.Psi, M.Si
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan-alasan seorang istri mau
dipoligami, gambaran cinta istri sebelum suaminya berpoligami, gambaran cinta istri setelah suaminya berpoligami serta proses perkembangan cinta istri terhadap suami. Penelitian ini dilakukan terhadap seorang wanita dewasa madya berusia 51 tahun yang dipoligami oleh sang suami. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek menerima suaminya berpoligami karena memiliki ketergantungan secara finansial serta dibutuhkannya peran sang suami dalam mengambil keputusan bagi keluarga. Subjek juga takut mendapat stigma negatif dari masyarakat serta mengkhawatirkan perkembangan psikologis anak-anaknya jika subjek dan suaminya bercerai. Subjek merasakan bahwa cintanya terhadap sang suami mengalami perubahan. Sebelum dipoligami, subjek merasakan adanya intimacy, passion, dan commitment yang besar, sehingga subjek memiliki rasa cinta yang besar kepada sang suami. Namun, ketika sang suami telah melakukan poligami, subjek merasakan bahwa cintanya telah dikhianati oleh sang suami. Meski demikian, subjek masih tetap mencintainya walau subjek harus rela berbagi kehidupan dengan istri-istri lain suaminya. Subjek tetap merasakan adanya intimacy dan commitment terhadap sang suami, namun passion yang dirasakannya telah berkurang. Subjek mengalami passionate love ketika awal pernikahannya. Seiring berjalannya waktu, subjek mulai berani menyatakan idealismenya dan mengemukakan ketidaksukaannya terhadap perilaku sang suami yang berpoligami. Subjek juga sempat berkeinginan untuk cerai dengan suaminya namun dengan mempertimbangkan kesejahteraan anak-anaknya, subjek menerima suaminya berpoligami dan memutuskan untuk mempertahankan rumah tangganya dan saat itulah subjek mengalami romantic love. Selanjutnya, subjek berusaha untuk memahami perilaku sang suami, menerima sistem pembagian kunjungan yang telah ditetapkan oleh suaminya dan sebisa mungkin mengatur emosinya agar kondisi rumah tangga serta kondisi anak-anaknya, tetap terjaga. Pada kondisi ini, subjek mengalami companionate love kepada sang suami. Kata kunci : cinta, intimacy, passion, commitment dan poligami
BAB I A. PENDAHULUAN
Sejak lahir manusia memiliki beberapa
tugas perkembangan yang harus dipenuhi.
Tugas perkembangan masa dewasa antara
lain memilih jodoh, belajar hidup dengan
suami atau istri, mulai membentuk keluarga,
mengasuh anak, “mengemudikan” rumah
tangga serta menemukan kelompok sosial.
Secara umum tugas perkembangan masa
dewasa terkait dengan perkawinan.
Menurut Pincus (dalam Sigelman,
1999), perkawinan merupakan suatu bentuk
hubungan yang terpenting dalam kehidupan
sebagian besar orang dewasa. Hal ini
dikarenakan dalam perkawinan terjadi
transisi hidup yang signifikan bagi
seseorang, yang melibatkan
penyandangan peran baru sebagai
suami atau istri, serta penyesuaian
hidup sebagai seorang pasangan.
Dacey dan Travers (2002)
menyebutkan bahwa terdapat tiga tipe
perkawinan yang secara umum
dikenal, yaitu monogami (terdiri dari
satu istri dan satu suami), poligami
(perkawinan seorang suami dengan
lebih dari satu orang istri), dan poliandri
(perkawinan seorang istri dengan lebih
dari satu orang suami). Dalam
1
penelitian ini pun, peneliti menetapkan untuk
memakai istilah poligami, bukan poligini untuk
menggambarkan perkawinan seorang laki-
laki dengan lebih dari satu orang istri dalam
satu waktu.
Dampak poligami bagi istri yang
dipoligami adalah merasa inferior,
menyalahkan diri sendiri, mudah marah,
jengkel, sedih, dan terutama cemburu karena
emosinya tidak dapat dikontrol dengan baik
(majalah Amanah, 2002). Ware (dalam
Levinson, 1995) mengungkapkan bahwa
kecemburuan antar istri lebih merupakan
persaingan untuk memperebutkan akses
yang paling maksimal dan terjamin kepada
suami baik bagi diri mereka sendiri maupun
bagi keturunan mereka daripada
kecemburuan seksual.
Berbagai dampak poligami di atas
tentunya akan mempengaruhi penilaian istri
terhadap suaminya serta kehidupan rumah
tangga secara keseluruhan. Lebih jauh lagi,
perasaan cinta yang dimiliki oleh sang istri
kepada suaminya juga akan terpengaruh.
Cinta adalah emosi mendalam dan vital
yang berasal dari pemenuhan kebutuhan
emosi, disertai dengan adanya perhatian
(care) dan penerimaan terhadap orang yang
dicintai dalam hubungan yang intim (Brehm,
1992). Myers (1996) menyatakan bahwa
apapun bentuk cinta yang dirasakan individu
terhadap pasangannya, individu pasti
memiliki idealisasi akan pasangan yang
sempurna. Namun, menurut Lee (dalam Car,
2003) rasa cinta dapat berakhir dalam
kekecewaan apabila pada kenyataannya
individu menemukan bahwa pasangannya
tidak memenuhi kriteria yang dipersepsi
individu sebagai pasangan yang ideal. Hal ini
dapat terjadi ketika harapan sang istri
mengenai sosok seorang suami ideal
ternyata jauh dari kenyataan. Istri
merasa kecewa ketika sang suami
menduakan cintanya kepada wanita
lain. Istri merasa bahwa suaminya
telah mengkhianati komitmen
pernikahan terdahulu.
B. Pertanyaan Penelitian Beberapa pertanyaan yang
diajukan dalam penelitian ini
antara lain :
1. Mengapa seorang istri mau
dipoligami?
2. Bagaimanakah gambaran cinta istri
kepada suami sebelum suami
berpoligami?
3. Bagaimanakah gambaran cinta istri
kepada suami yang melakukan
poligami?
4. Bagaimanakah proses
perkembangan cinta istri terhadap
suami?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui alasan-alasan seorang istri
mau dipoligami, bentuk cinta istri
sebelum suaminya berpoligami, bentuk
cinta istri pada suami yang berpoligami
serta tahap perkembangan cinta istri
terhadap suami.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Manfaat yang diambil dari
penelitian ini adalah untuk
memberikan sumbangan bagi ilmu
pengetahuan, khususnya psikologi
sosial dan psikologi perkembangan
tentang gambaran cinta pada istri
yang mengalami poligami.
2. Manfaat Praktis
2
Manfaat yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah untuk menambah
wawasan bagi para suami dan istri, pada
umumnya, mengenai dampak positif dan
negatif dari poligami dalam kehidupan
berumah tangga, sehingga dapat
mempertimbangkan dengan lebih bijak
sebelum membuat keputusan untuk
berpoligami.
BAB II A. Cinta
1. Pengertian Cinta Cinta merupakan suatu fenomena
yang tidak dapat didefinisikan dengan
pasti, karena setiap individu memiliki
pemahaman tersendiri tentang cinta yang
dirasakan.
2. Komponen Cinta Menurut Sternberg (dalam Taylor,
dkk, 2006), tiga komponen cinta yaitu
a. Intimacy
Intimacy mengacu pada perasaan
kedekatan, saling terkait dan
keterikatan yang ada dalam suatu
hubungan cinta kasih. Beberapa aspek
intimacy dalam suatu hubungan (close
relationship), yaitu :
1). Keinginan meningkatkan
kesejahteraan orang yang dicintai.
2). Mengalami kebahagian bila
bersama orang yang dicintai.
3). Menghormati dan menghargai
orang yang dicintai.
4). Dapat diandalkan ketika orang
yang dicintai membutuhkannya.
5). Saling memahami satu sama lain.
6). Berbagi diri (one’s self) dan benda
dengan orang yang dicintai.
7). Menerima dukungan
emosional dari orang yang
dicintai.
8). Memberi dukungan
emosional kepada orang
yang dicintai.
9). Memiliki komunikasi intim
dengan orang yang dicintai.
10). Pentingnya kehadiran orang
yang dicintai dalam
kehidupannya.
b. Passion
Menurut Sternberg (dalam
Wiggins, dkk 1994), Passion
mengacu pada dorongan yang
menimbulkan cinta, daya tarik
fisik, hubungan seksual dan
sebagainya, yang ada dalam
hubungan cinta kasih. Aspek
passion dalam suatu hubungan,
antara lain :
1) Ketertarikan fisik.
2) Merasakan hasrat yang
besar ketika harga dirinya
meningkat.
3) Kebutuhan yang besar untuk
beraffiliasi.
4) Dominasi pikiran dan
perilaku pasangan.
5) Pemenuhan kebutuhan
seksual.
c. Commitment
Commitment cinta terdiri dari dua
aspek, yaitu jangka pendek dan
jangka panjang. Commitment
jangka pendek adalah keputusan
untuk mencintai seseorang,
sedangkan commitment jangka
panjang adalah komitmen untuk
mempertahankan cinta. Menurut
3
Sternberg (dalam Vaughan dan Hogg,
1996), terdapat beberapa aspek yang
mengindikasikan komitmen antara lain :
1) Keputusan untuk menjalin
hubungan dengan orang lain.
2) Keputusan untuk tetap
mempertahankan pasangan.
3) Pengorbanan.
4) Adanya harapan dan keyakinan
bahwa hubungan akan berlanjut
dimasa depan.
5) Rencana jangka panjang.
6) Merealisasikan tujuan hingga
tercapai.
7) Merencanakan untuk
menghabiskan hidup bersama.
3. Proses Perkembangan Cinta Berdasarkan penelitian mengenai
cinta (Murstein, 1998), diketahui bahwa
terdapat tiga tahapan cinta, yaitu :
a. Passionate Love
Walter (dalam Murstein, 1998)
menyatakan bahwa seorang individu
dapat dikatakan mengalami,
merasakan, atau menjalani sebuah
hubungan cinta yang passionate jika :
1) Terangsang secara fisiologis
secara berulang-ulang atau teratur.
2) Mengetahui lokasi dari yang
terangsang, maka “cinta” seperti ini
merupakan sebuah label atau
predikat yang paling sesuai untuk
perasaan ini.
b. Romantic Love
Romantic love lebih terfokus pada
idealisasi dari pasangannya, daripada
hubungan seksual yang dijalaninya.
(Murstein, 1998).
c. Companionate Love
Hal ini umumnya terjadi pada
hubungan yang dijalani setelah
menikah atau setelah saling
mengenal, yang mungkin juga
dapat diperoleh sebelum
pernikahan terjadi. Pada
companionate love, kedua
pasangan saling membangun
hubungan dan ikatan yang lebih
kuat dan penuh afeksi serta
kepercayaan (dalam Murstein,
1998).
B. Poligami Menurut Parkin (1997),
poligami adalah suatu situasi
dimana seorang laki-laki memiliki
lebih dari satu orang istri pada saat
bersamaan. Sementara itu, Jones
(1994), menyatakan bahwa
poligami adalah suatu bentuk
perkawinan dimana seorang laki-
laki memiliki lebih dari satu orang
istri dalam satu waktu.
1. Tipe Perkawinan Dacey dan Travers (2002)
menjelaskan bahwa terdapat
lima tipe perkawinan yang secara
umum dikenal, yaitu:
a. Monogami, merupakan jenis
perkawinan yang terdiri dari
satu istri dan satu suami.
b. Poligami, yaitu perkawinan
seorang suami dengan lebih
dari satu orang istri.
c. Poliandri, yaitu perkawinan
seorang istri dengan lebih dari
satu orang suami.
d. Group Marriage, merupakan
perkawinan yang terdiri dari
beberapa suami dan istri
4
e. Homosexual Marriages, adalah
perkawinan antar sesama jenis.
2. Alasan Istri menerima Suaminya Berpoligami
Berdasarkan penelitian Dickson
(2007), terdapat beberapa alasan istri
menerima suaminya berpoligami, antara
lain :
a. Untuk mengendalikan hawa nafsu.
b. Agar dapat saling berbagi tanggung
jawab dalam pengurusan rumah tangga
dengan istri yang lain.
c. Agar lebih mandiri dan tidak tergantung
kepada suami.
d. Memiliki ketergantungan kepada suami.
e. Takut mendapat stigma negatif secara
sosial.
Setiyaji (2006), menyatakan bahwa
seorang istri menerima suaminya
berpoligami untuk :
a. Melatih Kesabaran.
b. Melatih Keikhlasan.
c. Melatih diri lebih mencintai Allah.
d. Melatih Hidup Sehat dan Bersih.
e. Melatih Diri untuk Selalu Meningkatkan
Kualitas.
f. Melatih untuk Tidak Dengki.
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif berupa studi kasus intrinstik. Subjek
penelitian adalah wanita dewasa madya berusia
antara 51 tahun yang mengalami poligami.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian
ini menggunakan wawancara tidak berstruktur
dan observasi non partisipan
BAB IV HASIL OBSERVASI
Subjek
Subjek nampak riang, santai dan sering kali
mengembangkan senyum di wajahnya
ketika sedang bersama suaminya. Subjek
berapa kali nampak melontarkan kritik dan
saran, serta menanggapi keluhan
suaminya dengan tutur kata yang lancar,
teratur, lebut dan sopan. Ketika ada teman
suaminya yang bertamu, subjek nampak
terlibat dalam obrolan santai dengan
mereka sambil menemani suaminya.
C. Pembahasan 1. Alasan seorang istri menerima
suaminya berpoligami. Subjek menerima suaminya
berpoligami, karena subjek sangat
tergantung secara finansial terhadap
sang suami, perhatian serta dalam hal
mengambil suatu keputusan untuk
keluarga. Selain itu, jika bercerai
dengan sang suami, subjek takut
mendapat stigma negatif dari keluarga
dan masyarakat di sekitarnya.
Kondisi ini sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh Dickson
(2007). Menurutnya, seorang istri mau
menerima suaminya yang berpoligami
karena memiliki ketergantungan
kepada suami, serta takut mendapat
stigma negatif secara sosial dari
lingkungan jika dirinya menjanda.
2. Gambaran cinta seorang istri sebelum suaminya berpoligami.
Subjek merasa memiliki intimacy
yang besar kepada suaminya, karena
subjek merasa bahagia dengan
perkawinannya. Subjek sangat
menghormati dan menghargai sang
suami dan komunikasi yang terjalin
diantara subjek dan sang suami
berjalan lancar, sehingga subjek
5
sangat memahami kepribadian suaminya.
Subjek dan sang suami saling memberikan
motivasi ketika salah satunya sedang
menghadapi masalah. Subjek terkadang juga
turut membantu suaminya untuk menyokong
perekonomian keluarga. Meski demikian,
subjek sangat mengandalkan suaminya
dalam mengambil keputusan, dan subjek pun
belum mampu menjalani hidup tanpa suami
di sisinya.
Hal-hal yang dirasakan oleh subjek di
atas sesuai dengan ciri-ciri intimacy yang
dikemukakan oleh Sternberg (dalam Taylor,
dkk, 2006). Ciri-cirinya antara lain keinginan
untuk meningkatkan kesejahteraan orang
yang dicintai, mengalami kebahagiaan bila
bersama dengan orang yang dicintai,
menghormati dan menghargai orang yang
dicintai, dapat diandalkan jika orang yang
dicintai membutuhkan, saling memahami satu
sama lain, berbagi diri dan benda dengan
orang yang dicintai, menerima dan memberi
dukungan emosional dari dan kepada orang
yang dicintai, memiliki komunikasi intim, serta
merasakan pentingnya kehadiran orang yang
dicintai dalam kehidupannya.
Selanjutnya, subjek merasa memiliki
passion yang besar, dimana subjek sangat
menyukai penampilan rapi suaminya. Subjek
merasa memiliki harga diri yang tinggi di mata
masyarakat, sehingga membuat subjek
merasa dekat dengan sang suami dan
ditunjukkan dengan cara mencium tangan
sang suami ketika hendak pergi bekerja.
Subjek selalu menuruti semua keinginan
suaminya, termasuk dalam hal berhubungan
intim, karena subjek ingin memberikan
kepuasan kepada suaminya.
Kondisi di atas sesuai dengan ciri-ciri
passion yang dikemukakan oleh Sternberg
(dalam Taylor, dkk, 2006), yaitu
adanya ketertarikan fisik, merasakan
hasrat yang besar ketika harga dirinya
meningkat, memiliki kebutuhan yang
besar untuk berafiliasi, adanya
dominasi pikiran dan perilaku
pasangan, serta adanya pemenuhan
kebutuhan seksual.
Kemudian, Subjek juga memiliki
commitment yang besar terhadap
suaminya. Hal ini terlihat ketika subjek
memutuskan menikah dengan
suaminya karena subjek merasa
mencintainya dan sangat percaya
kepada suaminya. Subjek rela
mengurus anak, suami dan adik-adik
suaminya. Subjek dan suaminya
memiliki kesamaan pandangan dalam
mendidik dan mewujudkan impian
anak-anaknya. Keduanya juga memiliki
rencana jangka panjang yang ingin
diwujudkan bersama, dan subjek
mempunyai keinginan untuk selalu
berada di dekat suaminya dan
menghabiskan hidup bersamanya.
Kondisi tersebut sesuai dengan
ciri-ciri commitment yang dikemukakan
oleh Sternberg (dalam Taylor, dkk,
2006). Commitment bercirikan adanya
keputusan untuk menjalin hubungan
dengan orang lain, adanya keputusan
untuk tetap mempertahankan
pasangan, adanya pengorbanan,
adanya harapan dan keyakinan bahwa
hubungan akan berlanjut dimasa
depan, memiliki rencana jangka
panjang, merealisasikan tujuan hingga
tercapai, serta merencanakan untuk
menghabiskan hidup bersama. Namun,
sebelum dipoligami, rencana jangka
6
panjang yang dimiliki oleh subjek dan sang
suami belum dapat terealisasikan. Hal ini
terjadi karena ketika itu, anak subjek masih
balita dan subjek beserta sang suami masih
memfokuskan perhatiannya untuk
menyekolahkan adik-adik suaminya.
3. Gambaran cinta seorang istri setelah suaminya berpoligami.
Subjek masih memiliki intimacy yang
besar terhadap sang suami. Subjek merasa
bahagia ketika sedang bersama suaminya,
subjek masih menghormati suaminya, subjek
juga masih mengandalkan sang suami dalam
mengurus keluarga. Subjek masih tetap
membantu sang suami untuk dapat
mencukupi kebutuhan rumah tangganya.
Keduanya juga saling memberikan motivasi
satu sama lain ketika sedang menghadapi
masalah, sehingga komunikasi diantara
mereka hingga kini masih baik dan lancar.
Hingga kini subjek belum mampu hidup tanpa
seorang suami di sisinya.
Hal-hal yang sudah dijelaskan diatas
sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Sternberg (dalam Taylor, dkk, 2006) tentang
intimacy. Intimacy bercirikan keinginan untuk
meningkatkan kesejahteraan orang yang
dicintai, mengalami kebahagiaan bila
bersama dengan orang yang dicintai,
menghormati dan menghargai orang yang
dicintai, dapat diandalkan jika orang yang
dicintai membutuhkan, saling memahami satu
sama lain, berbagi diri dan benda dengan
orang yang dicintai, menerima dan memberi
dukungan emosional dari dan kepada orang
yang dicintai,memiliki komunikasi intim, serta
merasakan pentingnya kehadiran orang yang
dicintai dalam kehidupannya.
Subjek merasakan bahwa passion-nya
terhadap sang suami cenderung rendah. Hal
ini nampak ketika subjek enggan untuk
menuruti perintah suaminya dan
keduanya pun kini jarang melakukan
hubungan seksual karena suami
subjek telah mempunyai istri lain.
Selain itu, subjek juga merasa cemburu
ketika suaminya sedang berdekatan
dengan istri yang lain, karena subjek
takut jika perhatian suaminya akan
lebih fokus kepada istri-istrinya yang
lain. Meski demikian, subjek masih
tetap menyukai penampilan suaminya
yang nampak rapi dan bersih. Subjek
masih tetap memiliki harga diri yang
tinggi, meski subjek telah dikhianati
cintanya oleh sang suami.
Kondisi ini sesuai dengan ciri-ciri
passion yang dikemukakan oleh
Sternberg (dalam Taylor, dkk, 2006),
seperti adanya ketertarikan fisik,
merasakan hasrat yang besar ketika
harga dirinya meningkat, memiliki
kebutuhan yang besar untuk berafiliasi,
dominasi pikiran dan perilaku
pasangan, serta pemenuhan
kebutuhan seksual. Jika dilihat dari ciri
passion yang terkait dengan dominasi
pikiran serta pemenuhan kebutuhan
seksual, saat ini subjek telah
mengembangkan idealismenya sendiri,
sehingga subjek tidak selalu menuruti
keinginan sang suami, terutama
keinginan yang berkaitan dengan istri
yang lain. Kemudian, subjek juga
menyatakan sudah jarang melakukan
hubungan seksual dengan sang suami
karena subjek merasa bahwa hal yang
sama pernah dilakukan oleh suaminya
dengan istri yang lain. Hal ini terkadang
membuat subjek merasa enggan untuk
7
melakukan hubungan seksual dengan sang
suami.
Subjek tetap memiliki commitment yang
besar, meski sang suami telah berpoligami.
Subjek tidak pernah mengijinkan suaminya
untuk berpoligami, namun karena
mempertimbangkan kehidupan anak-anaknya
ke depan, maka subjek berusaha untuk dapat
menerima keadaan tersebut. Subjek
mempertahankan perkawinannya karena
memiliki ketergantungan kepada sang suami
secara finansial. Subjek masih mencintai
sang suami dan ingin selalu hidup bersama,
sehingga subjek rela berbagi penghasilan
suaminya dengan istri yang lain dan
mengijinkan suaminya untuk menggilir
istrinya yang lain agar dapat bertemu. Subjek
dan sang suami memilki rencana jangka
panjang, namun yang telah dapat diwujukan
adalah keinginan untuk menyekolahkan anak-
anaknya hingga ke perguruan tinggi,
sedangkan keinginan untuk membuka toko
klontong masih belum dapat diwujudkan.
Penjelasan di atas sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh Sternberg (dalam
Taylor, dkk, 2006) tentang commitment. Ciri-
ciri commitment antara lain adanya
keputusan untuk menjalin hubungan dengan
orang lain, adanya keputusan untuk tetap
mempertahankan pasangan, pengorbanan,
adanya harapan dan keyakinan bahwa
hubungan akan berlanjut dimasa depan,
memiliki rencana jangka panjang,
merealisasikan tujuan hingga tercapai, serta
merencanakan untuk menghabiskan hidup
bersama.
4. Proses perkembangan cinta seorang istri kepada suami yang berpoligami.
Murstein (1998) menyebutkan tentang
tiga Tahapan Perkembangan Cinta, yaitu
Passionate Love, Romantic Love, dan
Companionate Love. Pada Passionate
Love, pasangan terangsang secara
fisiologis secara berulang-ulang atau
teratur serta mengetahui lokasi dari
yang terangsang. Sementara itu,
Romantic Love memiliki fungsi
memotivasi individu dalam mengisi
perannya sebagai seorang suami dan
menjadi seorang istri untuk menjalin
sebuah keluarga inti. Keluarga inti ini
tidak hanya bertujuan untuk
berproduksi dan memenuhi kebutuhan
sosial, namun untuk menjaga rutinitas
seperti membeli barang, berjalan
sehari-hari, menggunakan layanan
jasa, serta menjaga sistem sosial tetap
berjalan dengan baik. Sedangkan
Companionate Love umumnya terjadi
pada hubungan yang dijalani setelah
menikah atau minimal setelah mereka
saling mengenal satu sama lain, yang
mungkin juga dapat diperoleh sebelum
pernikahan terjadi. Pada tahap ini,
kedua pasangan saling membangun
hubungan dan ikatan yang lebih kuat
dan penuh afeksi serta kepercayaan.
Ketika awal pernikahan subjek
dengan sang suami memiliki intimacy
yang besar dan merasa bahagia atas
perkawinannya dengan sang suami.
Subjek juga merasakan passion yang
besar terhadap sang suami, sehingga
timbul passionet love pada subjek yang
tidak pernah menolak untuk melakukan
hubungan intim. Hal itulah membuat
subjek dan sang suami untuk
mempunyai commitment yang besar
terhadap perkawinannya.
8
Jika dikaji dengan menggunakan teori
Murstein (1998), maka dapat diketahui bahwa
subjek dan sang suami mengalami
Passionate Love ketika subjek belum
dipoligami. Ketika itu, subjek memiliki
ketertarikan fisik terhadap suaminya,
sehingga subjek tidak pernah menolak ketika
sang suami mengajaknya untuk melakukan
hubungan intim. Passionate love ini memang
lebih berkaitan dengan rangsangan dan
berdasar pada hal seksual.
Semetara itu, jika mengacu pada teori
bentuk-bentuk cinta yang dijelaskan oleh
Sternberg (dalam Wiggins, dkk, 1994), maka
dapat disimpulkan bahwa sebelum
dipoligami, bentuk cinta subjek kepada sang
suami adalah Consummate Love atau cinta
yang lengkap. Consummate Love merupakan
kombinasi dari ketiga komponen cinta, yaitu
intimacy, passion dan commitment.
Namun, setelah perkawinan subjek dan
sang suami berjalan 5 tahun, subjek
mengetahui bahwa sang suami berpoligami.
Kondisi ini membuat subjek berani
menyatakan idealismenya dan
mengemukakan ketidaksukaannya terhadap
tindakan sang suami yang berpoligami.
Hubungan subjek dan sang suami pun mulai
merenggang dan subjek meminta cerai
kepada sang suami.
Situasi ini sejalan dengan teori yang
dikemukakan oleh Murstein (1998) bahwa
romantic love lebih terfokus pada idealisasi
dari pasangannya, daripada hubungan
seksual yang dijalaninya. Hal ini juga
dirasakan oleh subjek, dimana subjek sudah
mulai berani mengungkapkan idealismenya
kepada sang suami bahwa subjek enggan
untuk menjalin silaturahmi dengan istri yang
lain, karena subjek masih merasa sakit hati.
Namun, subjek menyadari bahwa
kaputusan untuk bercerai bukanlah
keputusan terbaik bagi anak-anaknya,
karena subjek menyadari bahwa
subjek tidak akan mampu memenuhi
kebutuhan hidup anak-anaknya
seorang diri. Subjek juga merasa
bahwa anak-anaknya membutuhkan
perhatian dan kasih sayang dari sang
suami. Oleh karena itu, subjek
mempertahankan keutuhan rumah
tangganya untuk tidak bercerai dengan
sang suami. Subjek mulai memperbaiki
komunikasinya dengan sang suami
agar perlahan-lahan dapat menerima
kondisi pernikahannya dan mencoba
untuk ikhlas sambil menata stabilitas
kehidupan rumah tangganya. Hingga
akhirnya, subjek menyadari bahwa
dirinya tidak dapat menjalani perannya
tanpa seorang suami disisinya.
Seiring berjalannya waktu,
subjek mengalami Companionate
Love, tepatnya setelah anak-anak
subjek beranjak dewasa. Berscheid &
Walster (dalam Sears, dkk, 2006)
menyatakan bahwa companionate love
merupakan bentuk cinta yang lebih
praktis dan mengutamakan rasa saling
mempercayai, memperhatikan dan
tenggang rasa terhadap kekurangan
atau keunikan pasangannya. Kondisi
ini dialami oleh subjek, dimana subjek
tetap menerima kondisi suaminya
meski subjek merasa sangat sakit hati
karena telah dikhianati cintanya oleh
sang suami. Subjek nampak sangat
memahami perilaku suaminya, subjek
berusaha untuk menerima kondisi
suaminya yang berpoligami, menerima
9
sistem pembagian jatah kunjungan yang telah
ditetapkan oleh sang suami, serta sebisa
mungkin mengatur emosinya agar kondisi
rumah tangganya, terutama kondisi anak-
anaknya, tetap stabil dan terjaga. Subjek juga
berusaha untuk tetap mempertahankan rasa
cintanya serta kepercayaannya kepada sang
suami.
BAB V A. Simpulan
1. Alasan seorang istri menerima suaminya berpoligami.
Subjek menerima suaminya
berpoligami, karena subjek sangat
tergantung dalam hal perhatian dan
finansial kepada sang suami. Subjek juga
takut mendapat stigma negatif dari
masyarakat dan keluarga jika bercerai.
2. Gambaran cinta seorang istri sebelum suaminya berpoligami.
Sebelum dipoligami, subjek memiliki
intimacy yang besar kepada sang suami,
dimana subjek merasa bahagia atas
perkawinannya. Subjek dan sang suami
juga saling membantu, menghargai,
memahami, serta saling berkomunikasi dan
memberikan motivasi ketika salah satunya
sedang mengalami masalah. Kondisi ini
tentunya membuat subjek belum mampu
hidup sendiri, karena subjek sangat
tergantung kepada suaminya.
Subjek memiliki passion yang besar
kepada suaminya, karena subjek sangat
menyukai penampilan suaminya yang rapi
dan bersih, subjek juga selalu menuruti
keinginan suaminya, termasuk dalam hal
berhubungan intim, karena subjek ingin
memberikan kepuasan kepada sang suami.
Subjek juga memiliki
commitment yang besar terhadap
suaminya. Hal ini dikarenakan subjek
merasa mencintai dan percaya
kepada sang suami, memiliki
kesamaan pandangan, rela
mengurus keluarga dan adik-adik
suaminya, memiliki rencana jangka
panjang yang ingin diwujudkan
bersama, serta mempunyai
keinginan untuk menghabiskan hidup
bersama.
3. Gambaran cinta seorang istri setelah suaminya berpoligami.
Intimacy subjek terhadap sang
suami dirasakan sedikit berbeda
karena adanya istri lain dalam
kehidupan rumah tangga subjek dan
sang suami. Meski demikian, subjek
tetap merasa bahagia dengan
perkawinannya. Subjek dan sang
suami masih saling menghormati,
saling membantu, saling
berkomunikasi dan memberi motivasi
ketika sedang menghadapi masalah
serta masih tetap mengandalkan
sang suami dalam mengurus
keluarga, sehingga subjek merasa
belum mampu hidup tanpa
keberadaan sang suami di sisinya.
Sejak suami subjek
berpoligami, passion yang dirasakan
subjek terhadap sang suami
cenderung berkurang. Hal ini
dikarenakan subjek enggan menuruti
perintah suaminya. Subjek dan sang
suami kini jarang melakukan
hubungan seksual dan terkadang
merasa cemburu ketika suaminya
berdekatan dengan istrinya yang lain.
10
Namun, subjek masih tetap menyukai
penampilan fisik suaminya yang nampak
rapi dan bersih.
Subjek tetap memiliki commitment
yang besar terhadap suaminya. Subjek
tetap mempertahankan rumah tangganya
dengan sang suami, karena subjek memiliki
ketergantungan secara finansial. Subjek
rela mengorbankan perasaannya demi
keutuhan rumah tangganya, rela berbagi
penghasilan suaminya dengan istri-istri
yang lain serta mengijinkan sang suami
untuk mengunjungi istrinya yang lain. Meski
demikian, subjek dan sang suami tetap
berusaha keras untuk dapat hidup bersama
dan mewujudkan cita-cita jangka panjang
dalam perkawinannya.
4. Proses perkembangan cinta seorang istri kepada suami yang berpoligami.
Subjek dan sang suami mengalami
Passionate Love ketika awal pernikahan.
Subjek memiliki ketertarikan fisik terhadap
suaminya, sehingga subjek tidak pernah
menolak ketika sang suami mengajaknya
untuk melakukan hubungan intim. Saat
buah hatinya lahir, subjek dan sang suami
mengalami Romantic Love. Keduanya
semakin memiliki peran yang jelas dalam
rumah tangga, yaitu sebagai ibu dan ayah
bagi anaknya. Tetapi, keharmonisan
keluarga ini terganggu manakala subjek
mengetahui bahwa sang suami
berpoligami. Subjek mulai berani
menyatakan idealismenya dan
mengemukakan ketidaksukaannya
terhadap perilaku sang suami. Karena
mempertimbangkan kesejahteraan hidup
sang anak, akhirnya subjek memutuskan
untuk berusaha menerima pernikahan
poligami ini, hingga akhirnya subjek
mengalami Companionate Love,
tepatnya setelah anak-anaknya
beranjak dewasa. Meski merasa
sangat sakit hati karena telah
dikhianati cintanya oleh sang suami,
namun subjek berusaha untuk dapat
menerima dan memahami perilaku
suaminya, menerima sistem
pembagian nafkah dan kunjungan
dari sang suami, serta sebisa
mungkin mengatur emosinya agar
kondisi rumah tangganya tetap stabil.
Subjek juga berusaha untuk tetap
mempertahankan rasa cintanya serta
kepercayaannya kepada sang suami.
B. Saran Dari hasil penelitian tentang
gambaran cinta pada istri yang mengalami
poligami, maka saran yang diajukan
peneliti terhadap penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Dari hasil penelitian, dapat diketahui
bahwa subjek telah melewati beberapa
tahap-tahap cinta, dimana saat ini
subjek mengalami companionate love.
Subjek tetap mempertahankan rasa
cinta dan kepercayaannya terhadap
sang suami serta menerima kondisi
suaminya berpoligami dan menerima
sistem pembagian jatah kunjungan
yang telah ditetapkan oleh sang suami.
2. Kepada lingkungan terdekat subjek
yaitu keluarga dan kerabat, disarankan
untuk lebih memberikan dukungan
positif kepada subjek agar lebih baik
dalam menjalankan kehidupan rumah
tangganya.
3. Kepada peneliti selanjutnya disarankan
untuk mengadakan penelitaian serupa
11
mengenai poligami dengan beragam
penelitian seperti, dampak psikologis istri
yang dipoligami, dampak psikologis anak
yang keluarganya berpoligami, stres dan
coping stres anak terhadap keluarganya
berpoligami dan penelitian lainnya yang dapat
diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Ahnan, M. & Khoiroh, U. (2001). Poligami di mata
Islam. Jakarta : Putra Pelajar. Al-Jahrani, M. (1997). Poligami dan berbagai
persepsi. Jakarta : Gema Insani Press. Almigo, N. (2007). Dampak psikis cinta pada
manusia (Edisi 11 Maret 2007). Jakarta : Kompas.
Anwari. (2002). Poligami dalam Islam : antara
doktrin ajaran dan problema kemasyarakatan. Jurnal kajian ilmu-ilmu Islam (Volume II Nomor 5, Halaman 65-81). Al-Huda.
Arnhold, R. M. (1995). Poliginy. Encyclopedia of
marriage and the family, (Volume 2, Page 547-549). New York : Simon & Schuster Macmillan.
Atwater, E. (1999). Psychology of adjusment: a
personal growth in changing world (4th ed). New Jersey : Prentice-Hall.
Baron, R.A., & Byrne, D. (2003). Social
psychology (10th ed). Boston : Pearson Education, Inc.
Bird, G & Melville, K. (1994). Families and
intimate relationship. New York : McGraw-Hill, Inc.
Brehm. S. S. (1992). Intimate relationship (2nd
ed). New York : The McGraw Hill, Inc. Carr, Stuart. C. (2003). Social psychology contex,
communication & culture. Astralia : John Wiley & Sons Australia, Ltd.
Dacey, J. S. & Travers, J. F. (2002). Human
developmant across the lifespan. (5th ed). New York : The McGrow-Hill Companies, Inc.
David, M. J., & Chapman, S A. (2001). Polygamy, bigamy and human rights law. Canada : Xlibris Corp.
Davidson, J. K., Sr. & Moore, N. B. (1996). Marriage and family : change and continuity. Massachussets : Allyn & Bacon.
Dickson, C. (2007). Marriage and family
problems. Metropolis : West Publishing Company.
Duvall, M. & Miller, B. C. (1995). Marriage
and family development (12th ed.). New York : Harper & Row Publisher, Inc.
Flick, U. 1998. An introduction to qualitative research. London : SAGE Publications.
Fromm, E. 2003. The art of loving. Jakarta : Fresh Book.
Ihinger-Tollman, M. & Levinson, D. (1995).
Marriage definition. Encyclopedia of marriage and the family (Volume 5, Page 471-474). New York : Simon & Schuster Macmillan.
Jones, G. W. (1994). Marriage and divorce
in Islamic South East Asia. New York : Oxford University Press, Inc.
Khairuddin. (1998). Pelecehan seksual
terhadap istri. Yogykarta : Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada.
Kottak, C. P. (1991). Anthropology : the
exploration of human diversity (5th ed.). New York : McGraw-Hill, Inc.
Levinson, D. (1995). Encyclopedia of
marriage and the family. New York : Simon & Schuster Macmillan.
Majalah Amanah, Oktober 2002 : Implikasi
poligami dalam masyarakat (27-31).
Moleong, L. J. (2004). Metodologi
penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Hadinoto,
S. R. (2002). Psikologi perkembangan. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Press.
12
Murdock, D. (1994). Power and satisfaction in marriage : a review and critique. psychologycal bulletin. (Volume 5, Page 513-538). New Jersey : Pearson Prentice Hall.
Murstein, B. I. (1998). A taxonomy of love (the
psychology of love). New York : Keystone Typesetting Company.
Murstein, B. I. (1998). Paths to marriage (5th ed).
California: Sage Publication, Inc. Muthahhari, M. (2000). Hak-hak wanita dalam
Islam. Jakarta : Lentera. Myers, David. G. (1996). Social psychology (5th
ed). Michigan: The McGraw-Hill Companies Inc.
Parkin, R. (1997). Kindship : an introduction to the
basic concept. USA : Blackwell Publishers, Inc.
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif
dalam penelitian psikologi. Jakarta : LPSP3 UI.
Prabowo, H. (1998). Pengantar psikologi
lingkungan. Jakarta : Universitas Gunadarma.
Rakhmiatie, J. (2005). Kesepian pada wanita
dewasa madya yang belum menikah. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Depok : Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Rini, J. F. (2002). Kecanduan cinta.
http://www.caitlainscorner.com/index2.php? option=com_content&task=view&id=182&pop=1&page=0&Itemid=61
Setiyaji, S. (2006). Tuntunan poligami dan
peutamaannya. Yogyakarta : Irsyad Baitussalam.
Shalala, D. E. (1995). Women’s realities,
women’s choices : an introduction to women’s studies. New York : Oxford University Press, Inc.
Sigelman, C. K. (1999). Lifespan human
development (3rd ed). USA : Brooks/Cole Publishing Company.
Soewondo, S. (2001). Keberadaan pihak ketiga,
poligami dan permasalahan perkawinan (keluarga) ditinjau dari aspek psikologi. Jakarta : Merdeka Press.
Sternberg, Robert. J. (1988). The triangle
of love: intimacy, passion, commitment. USA: Basic Brooks, Inc.
Taylor, S. E., Peplau, L. A., Sears, D. O.
(2006). Social psychology (12th ed.). New Jersey : Pearson Prentice Hall.
Tierney, J. (2006). Who's afraid of polygamy. New York : Harcourt Brace Jovanovich.
Turner, J. S. & Haelms, D. B. (1995).
Lifespan development. USA : Holt, Rinehart & Winston, Inc.
Vaughan, Graham. M & Michaela. H.
(1996). Introduction to social psychology. Pearson Education Australia.
Wiggins, James. A & Zanden, James. V.
(1994). Social psychology. (5th ed). New York: The McGraw-Hill, Inc.
Yin, R. K. (2004). Case study research :
design and methods (2nd ed). USA : Sage Publications, Inc.
Zanden, J. W. V. (1993). Human
development (5th ed). New York : McGraw-Hill Inc.
13