gabungan vitamin
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Vitamin merupakan senyawa organik yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil
untuk mempertahankan kesehatan dan seringkali bekerja sebagai kofaktor bagi enzim
metabolisme. Pemberian vitamin meningkat terutama pada saat hamil, menyusui, setelah
menjalani operasi besar, terjadi infeksi, pada bayi dan usia lanjut, pemakaian antibiotik
spektrum luas dalam jangka waktu panjang, penggunaan isoniazid, dan penggunaan
kontrasepsi oral (Dewoto dan Wardhini, 2007).
Berdasarkan kelarutannya, vitamin dibedakan menjadi vitamin larut dalam lemak,
yaitu vitamin A, D, E ,K, dan vitamin yang larut dalam air, yaitu vitamin B kompleks dan
vitamin C. Vitamin larut air berperan sebagai kofaktor untuk enzim tertentu, sedangkan
vitamin A dan D mempunyai sifat yang lebih menyerupai hormon dan mengadakan
interaksi dengan reseptor spesifik intraseluler pada jaringan target. Vitamin larut air hanya
disimpan dalam jumlah terbatas dalam tubuh dan sisanya dibuang, sehingga untuk
mempertahankan saturasi jaringan maka vitamin larut air perlu dikonsumsi dengan lebih
sering. Meskipun demikian, pemberian vitamin larut air dalam jumlah berlebihan selain
merupakan suatu tindakan pemborosan, juga mungkin menimbulkan efek yang tidak
diinginkan. Sebaliknya, vitamin yang larut lemak dapat disimpan dalam jumlah banyak
dalam tubuh, sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas jauh lebih besar daripada vitamin
larut air (Dewoto dan Wardhini, 2007).
Untuk menjamin ketepatan penggunaan vitamin sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
klinik pasien, maka diperlukan suatu upaya pemberian informasi dan edukasi kepada
pasien, yang salah satunya dapat melalui swamedikasi. Vitamin dapat dibeli tanpa
menggunakan resep dokter, sehingga memenuhi syarat untuk dapat dilakukannya
swamedikasi di apotek oleh apoteker. Dalam pelayanan ini Apoteker dituntut untuk dapat
melakukan pelayanan kefarmasian dengan baik terkait dengan kebutuhan vitamin bagi
pasien serta memberikan edukasi dan informasi kepada pasien mengenai pentingnya
konsumsi vitamin guna menghindari terjadi defisiensi vitamin. Vitamin memang
dibutuhkan dalam jumlah sedikit bagi tubuh, namun vitamin sangat diperlukan agar proses
metabolisme tubuh dapat berjalan dengan baik, sehingga defisiensi vitamin yang awalnya
tergolong ringan, lama kelamaan dapat memicu terjadinya penyakit yang lebih serius,
seperti diabetes melitus, penyakit empedu, penyakit hati, dan lain-lain.
Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit
ringan yang banyak dialami masyarakat, termasuk keluhan yang terkait dengan defisiensi
vitamin. Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan
keterjangkauan pengobatan. Pada pelaksanaannya, swamedikasi dapat menjadi sumber
terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan
masyarakat akan obat dan penggunaannya. Dalam hal ini Apoteker dituntut untuk dapat
memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat terhindar
dari penyalahgunaan obat (drug abuse) dan penggunaan obat yang salah (drug misuse).
Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberi
informasi (drug informer), khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam
swamedikasi. Obat-obat yang digunakan untuk swamedikasi adalah obat-obat yang dapat
digunakan tanpa resep dokter, yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas
terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Sebagian besar vitamin tersedia sebagai obat bebas
dan bebas terbatas, sehingga relatif aman digunakan untuk swamedikasi (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimanakah kebutuhan harian masing-masing vitamin?
1.2.2. Bagaimanakah KIE yang harus diberikan kepada pasien terkait dengan
penggunaan vitamin dalam swamedikasi?
1.3. Tujuan
1.3.1. Mengetahui kebutuhan harian masing-masing vitamin.
1.3.2. Mengetahui KIE yang harus diberikan kepada pasien terkait dengan penggunaan
vitamin dalam swamedikasi.
1.4. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat pada
umumnya dan apoteker pada khususnya mengenai pentingnya memenuhi kebutuhan
vitamin harian agar terhindar dari gejala defisiensi vitamin. Walaupun vitamin dibutuhkan
oleh tubuh dalam jumlah sedikit, namun vitamin sangat diperlukan agar metabolisme
tubuh dapat berjalan dengan baik. Apoteker diharapkan dapat melakukan proses
swamedikasi dengan baik, sehingga masyarakat atau pasien dapat memperoleh vitamin
sesuai dengan kebutuhan hariannya dan kondisi kliniknya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Vitamin
Vitamin adalah zat organik yang tidak disintesis dalam tubuh, dalam jumlah kecil
sangat penting untuk pemeliharaan metabolisme yang normal. Vitamin tidak menghasilkan
energi dan bukan merupakan bahan pembentuk struktur sel. Kekurangan vitamin tertentu
dapat menyebabkan penyakit seperti beri-beri, ricket, scurvy, xeropthalmia, atau suatu
kondisi tanpa gejala yang jelas.
Istilah vitamin timbul tahun 1911, dimana pada waktu itu senyawa amin yang
diisolasi dari kulit padi mendapat perhatian karena dapat mencegah beri-beri, senyawa
esensial ini atau vital amin disebut vitamin. Istilah vitamin tetap dipakai sampai sekarang
walaupun tidak semua vitamin merupakan senyawa amin misal vitamin A, C, D, E, K dan
inositol. Struktur kimia dari vitamin bervariasi dari molekul sederhana seperti niasin
sampai yang kompleks seperti sianokobalamin.
Fungsi biologis dari vitamin juga beraneka ragam. Vitamin B2, niasin, dan asam
pantotenat berfungsi sebagai koenzim. Vitamin B12 dan asam folat berperan dalam
biosintesis pemindahan atom C. Vitamin C berperan dalam biosintesis hidroksiprolin,
suatu komponen yang penting dalam kolagen. Vitamin B1 dan B6 berperan dalam
metabolisme karbohidrat dan asam amino. Biotin berperan dalam metabolisme
karboksilasi. Vitamin D dan E berperan selektif dalam membran transport. Vitamin A, B1,
B12, C, E, dan niasin berperan secara langsung dan tidak langsung dalam reaksi oksidasi-
reduksi.
Pemberian vitamin meningkat terutama pada kondisi saat hamil, menyusui, setelah
menjalani operasi besar, terjadi infeksi, pada bayi dan usia lanjut, pemakaian antibiotik
spektrum luas dalam jangka waktu panjang, penggunaan isoniazid dan kontrasepsi oral.
FDA mengharuskan produk vitamin mencantumkan presentase komposisi produk
sesuai dengan yang dianjurkan U.S.A. RDA (US Recommended Daily Allowance) yaitu
dosis yang dianjurkan untuk penggunaan sehari. Presentase tergantung dari umur, jenis
kelamin, jenis penyakit, stress dan berat badan.
Berdasarkan kelarutannya vitamin dibagi menjadi vitamin larut dalam lemak yaitu
vitamin A, D, E , K, dan yang larut dalam air, vitamin B kompleks, vitamin C, biotin,
beberapa zat yang mempengaruhi kegiatan fisologik seperti asam amino benzoat,
bioflavonoid, kolin dan inositol.
2.2. Vitamin yang Larut dalam Lemak
Kekurangan kelompok vitamin ini kemungkinan disebabkan karena terganggunya
absorbsi lemak, seperti pada penyakit billiary cirrhosis, cholecysitis, dan sprue, dapat juga
terjadi pada saat terapi penggunaan kolesteramin dan penggunaan laksatif yang berlebihan.
2.2.1 Vitamin A
Vitamin A merupakan salah satu jenis vitamin larut dalam lemak yang berperan
penting dalam pembentukan sistem penglihatan yang baik. Vitamin A atau retinal
merupakan senyawa poliisoprenoid yang mengandung cincin sikloheksenil. Vitamin A
merupakan istilah generik untuk semua senyawa dari sumber hewani yang memperlihatkan
aktivitas biologik vitamin A. Senyawa-senyawa tersebut adalah retinal, asam retinoat dan
retinol. Hanya retinol yang memiliki aktivitas penuh vitamin A, yang lainnya hanya
mempunyai sebagian fungsi vitamin A. Vitamin A mempunyai provitamin yaitu karoten.
Pada sayuran vitamin A terdapat sebagai provitamin dalam bentuk pigmen berwarna
kuning ß karoten, yang terdiri atas dua molekul retinal yang dihubungkan pada ujung
aldehid rantai karbonnya. Tetapi karena ß karoten tidak mengalami metabolisme yang
efisien, maka ß karoten mempunyai efektifitas sebagai sumber vitamin A hanya
sepersepuluh retinal (Triana, 2006).
Gambar struktur Retinol
Sumber Vitamin A
Vitamin A dapat ditemukan pada sereal, roti, pasta, dan nasi. Vitamin A juga terdapat
pada sayuran seperti wortel, paprika merah dan hijau, kangkung, kentang, selada,
tomat,dan brokoli, dan juga terdapat pada buah seperti mangga, papaya, apricot dan jeruk.
Vitamin A juga terdapat pada daging, ikan, telur, susu, yogurt, keju, kacang-kacangan,
buncis kering (Mosure, 2005).
Berikut ini merupakan beberapa jenis makanan dengan kandungan vitamin A di dalamnya:
(Jensen et al., 2009)
Fungsi
Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang berperan penting pada pengelihatan,
pertumbuhan, dan perkembangan, perkembangan dan perbaikan kesehatan kulit, rambut,
dan membran mukus, fungsi imun, dan reproduksi (Mosure, 2005).
Retinal merupakan komponen pigmen visual rodopsin,yang mana rodopsin terdapat
dalam sel-sel batang retina yang bertanggung jawab atas penglihatan pada saat cahaya
kurang terang. Ketika terkena cahaya, rodopsin akan terurai serta membentuk all-trans
retinal dan opsin. Reaksi ini disertai dengan perubahan bentuk yang menimbulkan saluran
ion kalsium dalam membran sel batang. Aliran masuk ion-ion kalsium yang cepat akan
memicu impuls saraf sehingga memungkin cahaya masuk ke otak (Triana, 2006).
Asam retinoat turut serta dalam sintesis glikoprotein. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
asam retinoat bekerja dalam memicu pertumbuhan dan diferensiasi jaringan (Triana,
2006). Retinoid dan karotenoid memiliki aktivitas antikanker. Banyak penyakit kanker
pada manusia timbul dalam jaringan epitel yang tergantung pada retinoid untuk
berdiferensiasi seluler yang normal. ß–karoten merupakan zat antioksidan dan mungkin
mempunyai peranan dalam menangkap radikal bebas peroksi di dalam jaringan dengan
tekanan parsial oksigen yang rendah (Triana, 2006).
Vitamin A juga dapat melindungi tubuh dari infeksi organisme asing, seperti bakteri
patogen. Mekanisme pertahanan ini termasuk ke dalam sistem imun eksternal, karena
sistem imun ini berasal dari luar tubuh. Vitamin ini akan meningkatkan aktivitas kerja dari
sel darah putih dan antibodi di dalam tubuh sehingga tubuh menjadi lebih resisten terhadap
senyawa toksin maupun terhadap serangan mikroorganisme parasit, seperti bakteri patogen
dan virus.
Defisiensi Vitamin A
Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan rabun senja, kulit kering, meningkatnya
resiko infeksi, dan terhambatnya pertumbuhan (Jensen et al., 2009). Kekurangan atau
defisiensi vitamin A disebabkan oleh malfungsi berbagai mekanisme seluler yang di
dalamnya turut berperan senyawa-senyawa retinoid. Defisiensi vitamin A terjadi gangguan
kemampuan penglihatan pada senja hari (buta senja). Ini terjadi karena ketika simpanan
vitamin A dalam hati hampir habis. Deplesi selanjutnya menimbulkan keratinisasi jaringan
epitel mata, paru-paru, traktus gastrointestinal dan genitourinarius, yang ditambah lagi
dengan pengurangan sekresi mukus. Kerusakan jaringan mata, yaitu seroftalmia akan
menimbulkan kebutaan. Defisiensi vitamin A terjadi terutama dengan dasar diet yang jelek
dengan kekurangan komsumsi sayuran, buah yang menjadi sumber provitamin A (Triana,
2006).
Kelebihan Vitamin A
Kelebihan vitamin A dapat menyebabkan mual, pandangan kabur, kelainan
pertumbuhan, rambut rontok, liver dan limfa bengkak, cacat bawaan pada bayi, serta
tulang rapuh hingga mudah patah. Gejala pada anak antara lain pseudotumor serebri,
tinitus, pelebaran sutura dan ubun-ubun menonjol, meningkatnya tekanan intrakranial,
nyeri tulang, letargi, dermatitis eksfoliativa, pruritus, stomatitis angular,hiperostosis dan
paronikia. Dapat terjadi diplopia dan papiludem dan selanjutnya atrofi optikus dan
kebutaan. Gejala yang umum pada orang dewasa ialah muntah, perubahan kulit,
iritabilitas, sakit kepala, hipermenorea dan kelemahan. Gejala psikiatrik mungkin terlihat
seperti depresi berat atau skizofrenia. Dapat terjadi gangguan fungsi hati yang mungkin
disertai hepatosplenomegali. Selain itu hiperkalsemia berat dan asites juga dilaporkan
terjadi. Hipervitaminosis A pada anak dan dewasa dapat menyebabkan kekeringan kulit
dan membran mukosa, alopesia, anoreksia, brittle nails, mialgia, ostealgia, artralgia, nyeri
perut, splenomegali, anemia hipoplastik dengan leukopenia. Kebanyakan gejala hilang bila
obat dihentikan. Terhambatnya pertumbuhan karena penutupan epifisis yang terlalu cepat
dapat terjadi pada anak. Dosis berlebihan vitamin A pada binatang menimbulkan
malformasi pada SSP,mata, palatum dan saluran kemih. Oleh karena itu, dosis melebihi
AKG tidak dianjurkan selama kehamilan normal. Dilaporkan terjadinya deformitas pada
bayi yang ibunya mendapat 25000 IU vitamin A segera sebelum dan beberapa bulan
pertama kehamilan. Dosis berlebihan vitamin A pada binatang menimbulkan malformasi
pada SSP, mata, palatum dan saluran kemih. Oleh karena itu, dosis melebihi AKG tidak
dianjurkan selama kehamilan normal. Dilaporkan terjadinya deformitas pada bayi yang
ibunya mendapat 25000 IU vitamin A segera sebelum dan beberapa bulan pertama
kehamilan (D’Ambrosio et al., 2011).
Dosis
Pemberian vitamin A direkomendasikan berdasarkan RAE (Retinol Activity
Equivalents). Dengan RAE maka dapat membantu menghitung perbedaan aktivitas antara
retinol dan karotenoid (Jensen et al., 2009).
(Jensen et al., 2009)
Menurut Lacy et al., (2010) dosis vitamin A adalah sebagai berikut:
RDA (Recommended Daily Allowance)
0-6 bulan : 400 mcg
7-12 bulan : 500 mcg
1-3 tahun : 300 mcg
4-8 tahun : 400 mcg
9-13 tahun : 600 mcg
Pria > 13 tahun : 900 mcg
Wanita > 13 tahun : 700 mcg
Retinol mcg equivalent : 0,3 mcg retinol = 1 unit Vitamin A
Untuk pasien yang memiliki resiko tinggi untuk defisiensi vitamin A diberikan dalam
dosis tunggal dan diulang setiap 4-6 bulan.
<6 bulan : 50000 unit
6-12 bulan : 100000 unit
> 1 tahun : 200000 unit
Wanita hamil harus menerima10000 unit perhari atau 25000 unit dalam seminggu.
Untuk pasien dengan defisiensi vitamin A diberikan secara intramuskular dosisnya
adalah sebagai berikut:
Infant : 7500-15000 unit/hari selama 10 hari
1-8 tahun : 17000-35000 unit/hari selama 10 hari
> 8 tahun dan dewasa : 100000 unit/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
50000 unit/hari selama 2 minggu.
Kemudian dilanjutkan dengan follow up dengan terapi oral dengan dosis sebagai berikut:
< 8 tahun : 5000-10000 unit/day selama 2 bulan
> 8 tahun dan dewasa : 10000-20000 unit/hari selama 2 bulan.
(Lacy et al., 2010)
2.2.2 Vitamin D
Vitamin D merupakan istilah yang dipakai untuk golongan steroid dan metabolitnya
yang penting untuk absorpsi dan penyediaan kalsium. Kolekalsiferol (Vitamin D3) adalah
bentuk pertama yang dijumpai dalam spesies binatang dan disimpan dalam beberapa
jaringan termasuk hati dan kulit. Minyak hati ikan adalah suatu bahan alami yang kaya
akan vitamin D3. Vitamin D2 berasal dari ergosterol suatu steroid dari tanaman. Vitamin D
disebut juga Sun Shine vitamin sejak sinar UV terlibat dalam perubahan provitamin D
menjadi vitamin D3 dan D2. Tanpa penyinaran yang terkontrol ergosterol dapat berubah
menjadi lumisterol, ke bentuk takisterol, ergokalsiferol, toksisterol, dan suprasterol (Tim
Penyusun, 2008; Dewi et al., 2012).
Fungsi dan kegunaan vitamin D
Bagian tubuh yang paling banyak dipengaruhi oleh vitamin ini adalah tulang. Vitamin
D ini dapat membantu metabolisme kalsium dan mineralisasi tulang. Sel kulit akan segera
memproduksi vitamin D saat terkena cahaya matahari (sinar ultraviolet). Bila kadar
vitamin D rendah maka tubuh akan mengalami pertumbuhan kaki yang tidak normal,
dimana betis kaki akan membentuk huruf O dan X. Di samping itu, gigi akan mudah
mengalami kerusakan dan otot pun akan mengalami kekejangan. Penyakit lainnya adalah
osteomalasia, yaitu hilangnya unsur kalsium dan fosfor secara berlebihan di dalam tulang.
Penyakit ini biasanya ditemukan pada remaja, sedangkan pada manula, penyakit yang
dapat ditimbulkan adalah osteoporosis, yaitu kerapuhan tulang akibatnya berkurangnya
kepadatan tulang. Maka dari itu vitamin D sangat penting dalam membantu penggunaan
kalsium dan fosfat yang sangat penting untuk pertumbuhan, pertumbuhan gigi dan tulang,
pencegahan dan pengobatan ricket (kekurangan kalsium pada anak-anak) dan osteomalasia
pada dewasa (Tim Penyusun, 2008; Dewi et al., 2012).
Kebutuhan vitamin D
Kebutuhan sehari-hari vitamin D pada dewasa sebenarnya dapat dicukupi dari paparan
sinar matahari atau diperoleh dari makanan atau minuman. Asupan sehari-hari yang
dibutuhkan sekitar 200-400 unit (5-10 mikrogram kolekalsiferol atau ergokalsiferol)
vitamin D yang secara umum untuk orang dewasa sehat. Kebutuhan per kg berat badan
akan meningkat pada infant, anak-anak, dewasa muda, ibu hamil dan menyusui. Vitamin D
terdapat pada beberapa makanan seperti minyak hati ikan, khususnya minyak hati ikan
cod. Sumber lain yang mengandung vitamin D dengan jumlah yang lebih sedikit seperti
mentega, telur, dan hati. Susu dan margarin juga cukup mengandung vitamin D
(Sweetman, 2009).
Defisiensi vitamin D
Defisiensi vitamin D terjadi ketika paparan cahaya matahari yang tidak cukup dan
kurangnya asupan. Secara umum proses berkembangnya defisiensi terjadi dalam waktu
yang panjang karena pelepasan vitamin yang lambat dari cadangan tubuh.
Defisiensi dapat terjadi pada:
~ infant yang diberi ASI tanpa pemberian vitamin D atau paparan cahaya matahari
~ manula yang mengalami mobilitas dan gangguan terhadap penyerapan paparan
cahaya matahari
~ seseorang dengan sindrom malabsorpsi lemak
~ penyakit tertentu seperti gagal ginjal yang mengakibatkan gangguan metabolisme
vitamin D menjadi bentuk aktifnya, sehingga mengakibatkan defisiensi (Sweetman,
2009).
~
Kelebihan vitamin D
Kelebihan vitamin D dapat mengakibatkan hiperfosfataemia atau hiperkalsemia pada
dosis 60.000 unit (1,5 mg) per hari. Selain itu dapat mengakibatkan kelemahan otot, mual,
muntah, sakit kepala, dan nyeri tulang. Gejala overdosis vitamin D adalah anoreksia,
poliuria, vertigo, keringat berlebih, rasa haus, diare atau konstipasi (Sweetman, 2009).
Dosis
Untuk pengobatan defisiensi nutrisi ringan vitamin D umumnya diberikan secara oral
atau injeksi intramuskular.
~ dosis 10 mikrogram (400 unit) per hari yang umumnya untuk pencegahan defisiensi
ringan pada dewasa.
~ dosis 20 mikrogram (200 unit) per hari direkomendasikan pada pasien akibat
keterbatasan memperoleh paparan sinar matahari, kekurangan asupan, dan pada
pasien manula.
~ dosis yang lebih tinggi hingga 1 miligram (40.000 unit) per hari untuk defisiensi
akibat malabsorpsi atau gangguan fungsi hati.
~ dosis hingga 5 miligram (200.000 unit) per hari digunakan untuk pengobatan
hipokalsemia akibat hipoparatiroid (Sweetman, 2009).
2.2.3 Vitamin E
Vitamin E atau yang disebut juga sebagai d-α-tocoferol tidak larut dalam air tetapi
larut dalam pelarut lemak. Vitamin E pertama kali diisolasi dari minyak tepung gandum.
Bentuk vitamin E merupakan kombinasi dari delapan molekul yang sangat rumit disebut
‘tocopherol’. Karena tidak larut dalam air, vitamin E di dalam tubuh hanya dapat dicerna
dengan bantuan empedu hati sebagai pengemulsi minyak saat melalui duodenum. Vitamin
E stabil pada pemanasan namun akan rusak bila pemanasan terlalu tinggi. Berikut gambar
struktur vitamin E.
Gambar struktur vitamin E
Sumber
Vitamin E mudah didapat dari bagian bahan makanan yang berminyak atau sayuran.
Vitamin E banyak terdapat pada buah-buahan, susu, mentega, telur, sayur-sayuran,
terutama kecambah. Contoh sayuran yang paling banyak mengandung vitamin E adalah
minyak biji gandum, minyak kedelei, minyak jagung, selada, biji bunga
matahari dan berwarna hijau. Vitamin E lebih banyak terdapat pada makanan segar yang
belum diolah. Satu unit setara dengan 1 mg alfatokoferol asetat atau dapat dianggap setara
dengan 1 mg. Selain itu ASI juga banyak mengandung vitamin E untuk memenuhi
kebutuhan bayi.
Fungsi dan Kegunaan Vitamin E
Fungsi biologisnya belum diketahui dengan jelas tetapi mekanismenya diduga sebagai
antioksidan yang melindungi asam lemak tak jenuh dari oksidasi oleh radikal bebas.
Vitamin E memiliki kemampuan untuk menangkap dan mengikat radikal bebas di dalam
membran sel. Untuk menjalankan tugasnya tersebut, vitamin E dibantu dengan vitamin A,
vitamin C, betakaroten, dan juga antioksidan lainnya. Pembuluh darah pada mata yang
sangat lembut sangat mudah sekali rusak akibat radikal bebas. Asupan vitamin E yang
cukup membantu mencegah kerusakan pembuluh darah. Selain itu, vitamin E juga
membantu melindungi lensa mata dari kerusakan oleh radikal bebas. Orang dengan asupan
vitamin E yang rendah memiliki resiko lebih tinggi terkena penyakit katarak pada masa
lansianya (Tjay dan Rahardja, 2007). Asupan vitamin E sebanyak 400 IU per harinya pada
masa muda akan menurunkan resiko katarak pada masa lansianya sampai sekitar 50%.
Selain itu, para lansia juga sangat membutuhkan banyak asupan vitamin E untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan juga memperlambat resiko terkena penyakit
Alzheimer. Vitamin E dapat pula membantu mempertahankan kelembaban kulit sehingga
dapat terhindar dari kulit kering. Vitamin E juga dapat melindungi trombosit dari oksidasi
dengan demikian mencegah timbulnya trombi dan trombus sehingga memperlancar
sirkulasi darah (Suheny, 2009).
Defisiensi Vitamin E
Defisiensi vitamin E dapat mengakibatkan anemia, trombolis, udema dan kelainan
kulit. (Tjay dan Rahardja, 2007). Menurut buku The Complete Guide to Vitamin and
Mineral, kekurangan vitamin E dalam jangka panjang bisa mendatangkan kerusakan saraf,
khususnya saraf di tulang belakang. Kadang juga terjadi kerusakan di retina mata.
Kekurangan vitamin E harusnya jarang terjadi karena dari makanan sehari-hari hampir
semua orang mendapatkan asupan 7-11 mg vitamin E. Penyebab kekurangan vitamin E
dapat dari kurangnya asupan makanan sehari-hari. Selain itu kekurangan vitamin E juga
bisa disebabkan kondisi medis seperti:
1. Menderita cystic fibrosis
Penyebabnya, penderita penyakit ini tidak bisa mencerna lemak dengan baik, sehingga
tidak bisa menyerap cukup vitamin E.
2. Menderita chron's disease
Penderita penyakit ini tidak bisa menyerap cukup vitamin E lewat usus.
3. Menderita penyakit lever
Penderita penyakit lever tidak bisa menggunakan vitamin E dengan benar.
4. Sedang menjalani diet rendah lemak dan rendah kalori
Kurangnya lemak di dalam tubuh menyebabkan terganggunya pasokan vitamin E. Ini
karena vitamin E termasuk vitamin yang larut dalam lemak. Kita butuh sedikit lemak
untuk bisa menyerap vitamin E.
5. Minum obat-obatan tertentu
Minum obat penurun kolesterol bisa menurunkan penyerapan vitamin E dan vitamin
yang larut dalam lemak lainnya (Ursell, 2001).
Menurut buku Vitamins and Mineral's Handbook, ada tanda-tanda tubuh seseorang
memerlukan tambahan vitamin E, yakni tubuh mudah memar, luka lama sembuh, varises,
kurang gairah seks, infertilitas, dan hilangnya kekuatan otot (Tjay dan Rahardja, 2007).
Kelebihan Vitamin E
Kelebihan Vitamin E biasanya terjadi bukan karena asupan makanan secara alami.
Akan tetapi lebih sering disebabkan oleh berlebihan atau overdosis dalam mengkonsumsi
suplemen vitamin E. Tentu saja kelebihan vitamin E ini memiliki efek samping dan dapat
menimbulkan banyak penyakit pada organ-organ dalam tubuh jika tidak segera dihentikan
konsumsinya dan diterapi akibat kelebihan vitamin E ini. Konsumsi vitamin E berlebih
biasanya dengan takaran lebih dari 800 mg per hari. Kelebihan vitamin E dapat memicu
penyakit pada tulang atau yang sering disebut osteoporosis. Karena semakin populernya
suplemen vitamin E, maka sejumlah ilmuwan asal Inggris meneliti dampak buruk akibat
konsumsi suplemen vitamin E yang tidak terkontrol. Diketahui dengan terjadinya
konsumsi berlebihan akan memicu efek alfa-tokoferol berlebihan sehingga menyebabkan
kekuatan tulang menjadi menurun. Selain itu dapat terjadi pembengkakan seperti
pembengkakan pada bibir, lidah, dan wajah serta dapat menimbulkan sakit kepala dan
mual, perut kembung dan diare (Rahmadi, 2011).
Dosis
Kebutuhan vitamin E per hari menurut U.S RDA yaitu pada pria sebanyak 10
mg/hari; 15 IU, wanita sebanyak 8 mg/hari; 12 IU, pada kehamilan dibutuhkan sebanyak
10-12 mg/hari. Kebutuhan vitamin A pada orang Indonesia belum diketahui akan tetapi
diperkirakan sama dengan rekomendasi U.S RDA (Kamiensky, Keogh 2006; Dewoto
2007). Berdasarkan Keputusan BPOM tahun 2003 Angka Kecukupan Gizi (AKG) vitamin E adalah
sebagai berikut:
Kategori Vitamin E
Umum 10 mg
Bayi 4-12 bulan 5 mg
Bayi 2-6 bulan 5 mg
Sediaan yang Beredar
Jenis sediaan yang beredar :
a. ERPHA VIT E 400 kapsul yang mengandung tokoferol 400 IU
b. Xtra E 100 IU tablet yang mengandung Vitamin E 100 IU
c. Nature E mengandung vitamin E alamiah 100 IU
(MIMS, 2008)
2.2.4 Vitamin K
Vitamin K adalah zat larut lemak yang banyak ditemukan terutama dalam sayuran
hijau. Vitamin ini memberikan aktivitas biologi pada protrombin dan faktor-faktor VII, IX,
dan X dengan cara ikut serta dalam modifikasi pascaribosomal (Katzung, 2011). Adanya
aktivitas pada protrombin menyebabkan vitamin K memiliki kaitan yang erat sebagai agen
antikoagulan (Tjay dan Rahardja, 2008). Terdapat dua bentuk alamiah dari vitamin K,
yaitu vitamin K1 dan vitamin K2. Vitamin K1 (phytonadione) lebih banyak ditemukan
dalam makanan yakni sayur-sayuran hijau, tomat, dan minyak nabati dimana vitamin ini
terikat kuat pada sel kloroplas yang mengandung klorofil. Sedangkan vitamin K2
(menaquinone) ditemukan dalam jaringan manusia dan disintesis oleh bakteri usus. Selain
itu, vitamin K2 dapat ditemukan dalam produk olahan fermentasi seperti pada yogurt (Tjay
dan Rahardja, 2008; Katzung, 2011). Sebenarnya, terdapat satu bentuk lagi vitamin K
yakni vitamin K3 (menadion). Namun, vitamin ini tidak dihasilkan secara alamiah
melainkan berasal dari hasil sintetis. Vitamin K3 bersifat larut dalam air dan biasanya
digunakan untuk penderita yang mengalami gangguan penyerapan vitamin K dari makanan
(Tjay dan Rahardja, 2008).
Gambar struktur vitamin K
Fungsi utama vitamin K di dalam tubuh adalah sebagai koenzim yang mensintesa
faktor pembekuan darah yakni faktor II (protrombin), faktor VII (prokonvertin), faktor IX
(christmast factor), dan faktor X (S.P Factor). Selain berperan dalam pembekuan darah,
vitamin ini juga penting untuk pembentukan tulang, terutama vitamin K1. Vitamin K1
diperlukan agar penyerapan kalsium bagi tulang menjadi maksimal (Tjay dan Rahardja,
2008). Asupan vitamin K setiap orang berbeda-beda tergantung dari kondisi klinisnya.
Berdasarkan data dari Food Science and Human Nutrition Department, kebutuhan vitamin
K setiap harinya dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel kebutuhan harian vitamin K
Kelompok Usia Kebutuhan (µg/hari)Pria usia > 19 tahun 120Wanita usia > 19 tahun 90Kehamilan 90Breastfeeding 90
µg = micrograms of vitamin K
Gejala defisiensi vitamin K dapat disebabkan oleh kurangnya asupan makanan yang
mengandung vitamin K, malabsorpsi lemak di usus, penggunaan obat-obatan seperi
fenobarbital, fenitoin, fenilbutazon, dan salisilat (Tambayong, 2000; Tjay dan Rahardja,
2008). Bayi yang baru lahir sangat rentan mengalami defisiensi vitamin K karena masih
rendahnya cadangan lemak di dalam tubuh, mendapatkan ASI yang kurang mengandung
vitamin K, rendahnya jumlah bakteri di saluran usus, belum berkembangnya organ hati,
dan transportasi plasenta yang buruk. Perdarahan intrakranial serta perdarahan
gastrointestinal dan kulit dapat menyebabkan defisiensi vitamin K pada bayi yang baru
berumur 1-7 hari. Oleh karena itu, pemberian vitamin K sebanyak 1 mg secara
intramuskular dapat diberikan sebagai langkah profilaksis (Fauci et al., 2006).
Defisiensi vitamin K pada orang dewasa dapat terjadi pada pasien yang menderita
penyakit celiac, penyakit Crohn, pada seseorang dengan penyumbatan saluran empedu
atau pada pasien yang telah melakukan reseksi usus kecil sehingga penyerapan vitamin K
akan menjadi terhambat. Pengobatan antibiotik spektrum luas juga dapat memicu
defisiensi vitamin K karena penggunaan antibiotik dapat mengurangi jumlah bakteri usus
yang mensintesis menakuinon dan menghambat metabolisme vitamin K. Diagnosis untuk
menilai seseorang menderita defisiensi vitamin K dapat dilihat dari tingginya waktu
protrombin atau berkurangnya faktor pembekuan darah. Defisiensi vitamin K dapat diatasi
dengan pemberian dosis parenteral sebanyak 10 mg. Untuk pasien yang menderita
malabsorpsi kronis, vitamin K dapat diberikan sebanyak 1-2 mg/hari secara oral atau 1-2
mg/minggu secara parenteral. Pasien dengan penyakit hati akan mungkin memiliki
peningkatan waktu protrombin karena keusakan sel hati serta kekurangan vitamin K.
Apabila seseorang telah diberikan terapi vitamin K namun waktu protrombinnya tidak juga
mengalami perbaikan, maka dapat disimpulkan bahwa orang tersebut tidak mengalami
defisiensi vitamin K melainkan penyakit hati (Fauci et al., 2006).
2.3 Vitamin yang Larut Air
2.3.1 Vitamin B1
Vitamin B1 memiliki sinonim yaitu thiamin, thiamine, faktor antiberiberi, aneurine,
faktor antineuritik dan vitamin saraf (Spitzer and Schweigert, 2007).
Vitamin B1, juga disebut thiamin, merupakan salah satu dari delapan vitamin B yang
larut air. Dinamai B1 karena vitamin ini merupakan vitamin B pertama yang ditemukan.
Manusia bergantung pada asupan makanan mereka untuk memenuhi kebutuhan vitamin B1
mereka (Spitzer and Schweigert, 2007).
Fungsi
Fungsi utama vitamin B1 (thiamin pirofosfat) adalah sebagai molekul pembantu yang
disebut koenzim yang mengaktifkan enzim dan mengaktifkan protein yang mengontrol
proses biokimia yang terjadi dalam tubuh. Kecukupan asupan vitamin B1 (thiamin) adalah
penting karena memainkan peran penting dalam:
a. produksi energi dari makanan
b. sintesis asam nukleat (misalnya, DNA)
c. konduksi impuls saraf.
The European Food Safety Authority (EFSA), telah mengkonfirmasi bahwa manfaat
yang asupan vitamin B1 bagi kesehatan adalah berkontribusi dalam:
a. fungsi normal jantung
b. metabolisme penghasilan energi
c. fungsi normal dari sistem saraf
(Spitzer and Schweigert, 2007)
Beberapa studi telah menyarankan bahwa vitamin B1 bersama dengan mikronutrien
lain seperti vitamin A dan vitamin B kompleks (B2, B9, B12) dapat melindungi lensa mata
'dari kehilangan visi akibat katarak. Beberapa fungsi lainnya, antara lain:
Gangguan otak
Gangguan otak tertentu, umumnya pada pecandu alkohol, bisa diobati dengan
suplemen vitamin B1 (tiamin).
Penyakit Alzheimer
Telah diusulkan bahwa suplemen thiamin dapat membantu mengurangi keparahan
penyakit Alzheimer. Namun, penelitian lebih lanjut perlu dilakukan sebelum thiamin dapat
diusulkan sebagai pengobatan yang efektif.
(Spitzer and Schweigert, 2007)
Sumber Vitamin B1
Vitamin B1 (thiamin) hampir dapat ditemukan dalam semua makanan, tapi
kebanyakan dalam jumlah kecil. Sumber terbaik dari thiamin adalah ragi yang
dikeringkan. Sumber lainnya adalah termasuk daging (terutama daging babi dan produk
ham), beberapa jenis ikan (belut, tuna), sereal gandum dan roti, kacang, kacang-kacangan,
kacang-kacangan kering dan kentang (Spitzer and Schweigert, 2007).
Defisiensi Vitamin B1
Kekurangan vitamin B1 (thiamin) jarang terjadi, tetapi bisa terjadi pada orang yang
mendapatkan sebagian besar kalorinya dari gula atau alkohol. Orang dengan defisiensi
thiamin mengalami kesulitan mencerna karbohidrat, menyebabkan hilangnya kewaspadaan
mental, kesulitan bernapas, dan kerusakan jantung. Penyakit klasik karena kurangnya
Vitamin B1 adalah beriberi dan sindrom Wernicke-Korsakoff.
Beriberi, manifestasinya terjadi terutama pada gangguan sistem saraf dan
kardiovaskular. Sayangnya, penyakit ini masih umum di beberapa bagian Asia Tenggara,
yang mana beras halus/putih merupakan makanan pokoknya dan kebutuhan akan thiamin
belum sepenuhnya terpenuhi dengan konsumsi nasi tersebut. Banyak negara lain
mengkonsumsi beras bersamaan sereal dari biji-bijian untuk menggantikan nutrisi yang
hilang. Penyakit beriberi dapat dibedakan menjadi:
a. Beriberi kering, suatu polineuropati dengan pengecilan otot yang parah
b. Beriberi basah, dengan gejala neurologis tambahan yang ditandai dengan manifestasi
kardiovaskular, edema dan akhirnya gagal jantung.
c. infantil beriberi, yang terjadi pada bayi menyusui pada ibu yang kekurangan thiamin.
Gejala berupa muntah, kejang-kejang, distensi perut dan anoreksia muncul tiba-tiba
dan dapat diikuti oleh kematian akibat gagal jantung.
(Spitzer and Schweigert, 2007)
Sindrom "Wernicke-Korsakoff" (beriberi otak) adalah penyakit kekurangan thiamin
yang paling sering terjadi di dunia Barat. Hal ini sering dikaitkan dengan alkoholisme
kronis dalam hubungannya dengan konsumsi makanan yang terbatas. Gejalanya termasuk
kebingungan, kelumpuhan saraf motorik mata, osilasi abnormal dari mata, psikosis, bicara,
dan gangguan penyimpananan memori dan fungsi kognitif. Sindrom ini juga terlihat
sesekali pada orang yang berpuasa, memiliki muntah kronis atau malnutrisi berat misalnya
dikarenakan AIDS atau kanker lambung. Jika pengobatan gejala amnesik tertunda, memori
dapat terganggu secara permanen. Bukti terbaru menunjukkan bahwa stres oksidatif
memainkan peran penting dalam patologi neurologis dari defisiensi thiamin (Spitzer and
Schweigert, 2007).
Dosis
1. Keadaan normal
Karena vitamin B1 memfasilitasi pemanfaatan energi, persyaratan yang terkait dengan
asupan energi sangat tergantung pada tingkat aktivitas seseorang. Untuk orang dewasa,
asupan rata-rata 0,9-1,1 mg thiamin per hari untuk wanita dan 1,1-1,2 mg untuk pria telah
direkomendasikan, didasarkan pada asupan kalori rata-rata. Berikut ini beberapa
pembagian dosis secara khusus :
- Dewasa (lebih dari 19 tahun): 700 mcg - 1,1 mg per hari
- Kehamilan: 1 mg sehari
- Menyusui: 1,2 mg sehari
- Anak di atas 7 tahun: 800 mcg - 1,2 mg per hari
- Anak di bawah 7 tahun: 150-700 mcg setiap hari
Tabel Rekomendasi yang diperbolehkan di USA
Kategori Umur DosisInfant < 6 bulan 0,2 mg (adequate intake, AI)Infant 7 – 12 bulan 0,3 mg (AI)Anak-anak 1 – 3 tahun 0,5 mgAnak-anak 4 – 8 tahun 0,6 mgAnak-anak 9 – 13 tahun 0,9 mgLaki-laki > 14 tahun 1,2 mgPerempuan 14 – 18 tahun 1,0 mgPerempuan > 19 tahun 1,1 mgKehamilan 1,4 mgMenyusui 1,4 mg
(Spitzer and Schweigert, 2007)
2. Keadaan defisiensi
- Katarak: asupan makanan hingga 10 mg per hari
- Defisiensi ringan pada orang dewasa: 30 mg setiap hari selama sampai satu bulan
- Defisiensi pada orang dewasa: 300 mg sehari
2.3.2 Vitamin B2
Vitamin B2 atau vitamin G, di Amerika dikenal dengan nama riboflavin dan di Eropa
dikenal dengan nama laktoflavin, adalah senyawa heterosiklik yang mempunyai inti atau
lingkar isoaloksazin yang mengikat ribitol. Nama kimia dari vitamin B2 yang lengkap
adalah 6,7-dimetil-9-(D-1-ribitil)-isoaloksazin (Sumardjo, 2009). Vitamin ini dinamakan
riboflavin karena terjadi persenyawaan ribosa (suatu gula lima karbon) dengan suatu zat
berwarna kuning oranye yang memberikan fluoresensi kuning kehijauan pada larutan.
Riboflavin berupa kristal berwarna kuning oranye dengan sifat larut dalam air dan tahan
panas di dalam larutan netral atau asam, namun dapat rusak bila dipanaskan dalam larutan
basa atau bila terkena sinar tampak dan sinar matahari (Suhardjo dan Kusharto, 2010).
Gambar Struktur vitamin B2
Riboflavin yang berperan penting dalam reaksi-reaksi oksidasi-reduksi di dalam
jaringan umumnya terdapat dalam enzim yang bertugas mengambil hidrogen dan
menyampaikannya kepada zat lain dalam rantai oksidasi-reduksi yang panjang, dimana
akhirnya hidrogen diikat oleh oksigen menjadi air. Dengan demikian, enzim yang
mengandung riboflavin membantu dalam metabolisme karbohidrat, asam amino dan
lemak. Karena riboflavin sangat diperlukan pada proses perubahan kimia dalam jaringan,
maka kekurangan riboflavin dapat mengganggu fungsi jaringan yang bersangkutan
(Suhardjo dan Kusharto, 2010).
Sumber Vitamin B2
Vitamin B2 atau riboflavin ditemukan pada hampir semua makanan. Sumber yang
kaya vitamin B2 adalah produk susu, hati dan sereal (Rubenstein et al., 2010). Riboflavin
dalam bentuk bebas maupun kombinasi terdapat pada jaringan tumbuh-tumbuhan dan
hewan. Pada bagian tanaman yang muda lebih banyak terdapat riboflavin dibandingkan
dengan bagian yang tua (Suhardjo dan Kusharto, 2010). Bahan-bahan makanan yang kaya
akan riboflavin adalah pangan hewani seperti daging dan hati ayam atau sapi serta pangan
nabati seperti keju, sayur-sayuran hijau, kacang-kacangan dan susu (Suhardjo dan
Kusharto, 2010; Vitahealth, 2010).
Kegunaan Vitamin B2
Vitamin B2 atau riboflavin merupakan komponen penting dari enzim yang berperan
dalam produksi energi pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Riboflavin
berperan dalam berbagai enzim dan koenzim yang esensial dalam proses oksidasi jaringan,
terutama di bagian luar tubuh seperti kulit, mata dan urat saraf perifer (Suhardjo dan
Kusharto, 2010; Vitahealth, 2010).
Fungsi riboflavin adalah membantu pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme,
membantu produksi sel darah merah, menjaga kesehatan kulit, kuku, rambut, bibir dan
tenggorokan serta mencegah kerusakan pada mata seperti katarak (Vitahealth, 2010).
Selain itu, riboflavin dapat melindungi tubuh dari kanker dan keganasan radikal bebas.
Peran utama riboflavin adalah mencegah kerusakan yang dapat terjadi selama berolahraga
dan saat kebutuhan tubuh terhadap oksigen meningkat (Bangun, 2009). Riboflavin dalam
dosis tinggi telah diidentifikasi sebagai vitamin yang dapat membantu pengobatan migrain.
Karena tingkat keberhasilan yang tinggi, toleransi yang baik serta biaya yang rendah, maka
riboflavin dapat dijadikan sebagai pilihan utama untuk terapi profilaksis pada penderita
migrain (Schoenen et al., 1998).
Kebutuhan Harian Vitamin B2
Dosis minimum vitamin B2 atau riboflavin yang dibutuhkan per hari berdasarkan
Recommended Dietary Allowance (RDA) untuk mencegah defisiensi riboflavin adalah 1,7
mg/hari untuk pria dewasa dan 1,3 mg/hari untuk wanita dewasa (Meyer, 2012).
Sementara itu, untuk terapi defisiensi riboflavin, dosis yang disarankan adalah 30 mg/hari
dalam dosis terbagi untuk dewasa dan 3-10 mg/hari untuk anak-anak (Sweetman, 2009).
Kebutuhan riboflavin akan meningkat pada wanita hamil sehingga memerlukan tambahan
riboflavin sebanyak 0,3 mg/hari, pada wanita menyusui memerlukan asupan riboflavin
tambahan sebanyak 0,5 mg/hari dan pasien yang menjalani terapi hemodialisis atau dialisis
peritoneal (Isselbacher et al., 1999; Meyer, 2012).
Defisiensi Vitamin B2
Defisiensi vitamin B2 (riboflavin) atau ariboflavinosis dapat menghambat
pertumbuhan pada anak, keilosis (radang pada sudut bibir yang ditandai dengan kulit
mengelupas), perles (inflamasi pada sudut bibir), glositis (peradangan pada lidah yang
ditandai dengan pembengkakan), iritasi dan pecah-pecah pada sudut hidung, rasa terbakar,
gatal, berair, fotofobia (sensitivitas mata yang abnormal pada cahaya), vaskularisasi kornea
dan katarak pada mata serta dermatitis seboreik, perlambatan pada penyembuhan luka dan
perbaikan jaringan pada kulit (Wong et al., 2009; Suhardjo dan Kusharto, 2010).
Kekurangan riboflavin juga dapat menyebabkan berkurangnya sel-sel T yang merupakan
komponen penting dari sistem kekebalan tubuh sehingga dapat memicu berkembangnya
penyakit-penyakit lain (Bangun, 2009). Defisiensi riboflavin biasanya terjadi bersamaan
dengan defisiensi vitamin B lain (Rubenstein et al., 2010).
Kelebihan Vitamin B2
Peristiwa kelebihan vitamin B2 atau ribloflavin jarang ditemui karena riboflavin
merupakan salah satu vitamin yang larut air sehingga kelebihan kadar riboflavin dalam
tubuh akan diekskresi melalui urin yang berwarna kuning-hijau menyala, dimana peristiwa
ini merupakan hal yang normal dan tidak berbahaya (Vitahealth, 2010; Meyer, 2012).
Akan tetapi, konsumsi riboflavin yang sangat berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
parestesia (sensasi kulit yang abnormal seperti terbakar atau tertusuk-tusuk, yang timbul
tanpa stimulus dari luar) dan pruritus (rasa gatal) (Wong et al., 2009).
Farmakokinetika Vitamin B2
Vitamin B2 atau riboflavin mudah diserap dari saluran pencernaan dan didistribusikan
secara luas ke jaringan-jaringan tubuh, namun hanya sedikit yang tersimpan di dalam
tubuh. Setelah dikonsumsi, riboflavin akan terkonversi menjadi koenzim flavin
mononukleorida (FMN atau riboflavin 5-fosfat) di dalam tubuh, kemudian menjadi
koenzim flavin adenin dinukleotida (FAD) dimana sekitar 60% FMN dan FAD akan
terikat pada protein plasma. Riboflavin diekskresi melalui urin dan sebagian besar
terekskresi sebagai metabolit. Riboflavin dapat melewati plasenta dan terdistribusi dalam
ASI (Sweetman, 2009).
Sediaan Vitamin B2
Bentuk tablet tersedia dalam dosis 5 dan 10 mg (obat bebas).
Bentuk injeksi tersedia dalam dosis 5 mg/mL (obat keras).
(BPOM R.I., 2008)
2.3.3 Vitamin B3
Vitamin B3 merupakan vitamin yang larut air dan dikenal dengan nama niasin atau
asam nikotinat. Nama niasin khusus mengacu pada asam nikotinat, tetapi juga digunakan
secara kolektif untuk menjelaskan dua struktur kimia dari vitamin B3, yaitu asam nikotinat
dan nikotinamida (niasinamida). Berikut ini adalah 2 struktur kimia vitamin B3.
Gambar struktur vitamin B3
Asam nikotinat atau niasin juga dikenal sebagai faktor PP (pellagra preventive) karena
dapat mencegah penyakit pelagra pada manusia atau penyakit lidah hitam pada hewan
(Dewoto dan Wardhini, 2007; Tim Penyusun, 2008). Nama lain/sinonim dari vitamin B3
adalah 3-Piridin karboksamida, asam 3-piridinkarboksilat, Anti-Blacktongue Factor,
Antipellagra Factor, vitamin B kompleks, Facteur Anti-Pellagre, Niasin-Niasinamida,
Niasinamida, Niasin, Nikamid, Nikosedin, Nikotinamida, Amida Asam Nikotinat,
Nikotilamidum, Pellagra (The Natural Standard Research Collaboration, 2006).
Sumber Vitamin B3
Ragi, daging, ikan, susu, telur, sayuran hijau, biji-bijian, sereal, almond, tuna dan
jamur. Diet triptofan juga dikonversi ke niacin dalam tubuh. Vitamin B3 juga sering
ditemukan dalam vitamin B kompleks yang mengandung vitamin B lainnya, seperti tiamin,
riboflavin, asam pantotenat, piridoksin, sianokobalamin, dan asam folat (The Natural
Standard Research Collaboration, 2006).
Kegunaan Berdasarkan Evidence Based
a. Mengatasi kolesterol tinggi
Niasin diterima dengan baik untuk mengatasi kolesterol yang tinggi. Beberapa studi
menunjukkan bahwa niasin (bukan niasinamida) memiliki manfaat yang signifikan pada
peningkatan kadar high-density lipoprotein (HDL atau "kolesterol baik"), dengan hasil
yang lebih baik dibandingkan preparat statin, seperti atorvastatin. Niasin juga memberikan
efek pada penurunan kadar low-density lipoprotein (LDL atau "kolesterol jahat"),
meskipun efek yang ditimbulkan kurang signifikan dibandingkan efeknya terhadap HDL.
Penambahan niasin ke obat lain seperti statin dapat meningkatkan efek pada LDL.
Penggunaan niasin untuk pengobatan dislipidemia yang berhubungan dengan diabetes tipe
2 masih bersifat kontroversi karena mungkin dapat memburuk kontrol glikemik, sehingga
pasien harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter dan apoteker sebelum memulai
terapi dengan niasin.
b. Pelagra
Niasin (vitamin B3) dan niasinamida disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk pengobatan defisiensi niasin. Pelagra adalah penyakit gizi yang berkembang
karena defisiensi niasin yang ditandai dengan adanya kelainan pada kulit, saluran cerna,
dan susunan saraf pusat. Gejala kelainan kulit berupa erupsi eritematosa, bengkak dan
merah pada kulit. Gejala kelainan pada saluran cerna meliputi lidah membengkak dan
merah, stomatitis, mual, muntah, dan enteritis. Gejala kelainan pada SSP meliputi sakit
kepala, insomnia, bingung, serta kelainan psikis seperti halusinasi, delusi, dan demensia
pada keadaan lanjut.
c. Aterosklerosis
Niasin menurunkan kadar kolesterol dan lipoprotein, sehingga dapat mengurangi
risiko aterosklerosis (pengerasan pada arteri). Namun, niasin juga dapat meningkatkan
kadar homosistein, yang mungkin memiliki efek sebaliknya yaitu meningkatkan risiko
aterosklerosis. Secara keseluruhan, bukti-bukti ilmiah mendukung penggunaan niasin
dalam kombinasi dengan obat lain (tidak secara tunggal) untuk mengurangi kolesterol dan
memperlambat proses aterosklerosis.
d. Pencegahan serangan jantung sekunder
Niasin menurunkan kadar kolesterol, lipoprotein, dan fibrinogen, sehingga dapat
mengurangi risiko penyakit jantung. Namun, niasin juga meningkatkan kadar homosistein,
yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung. Sejumlah penelitian telah membuktikan
efek niasin, baik secara tunggal maupun kombinasi dengan obat lain, untuk pencegahan
penyakit hati dan serangan jantung yang fatal. Secara keseluruhan, diketahui manfaat
niasin terutama bila dikombinasikan dengan obat lainnya sebagai obat penurun kolesterol.
e. Penyakit Alzheimer atau penurunan kognitif
Demensia dapat disebabkan oleh defisiensi niasin yang parah, tetapi tidak ada
pernyataan yang jelas mengenai hubungan variasi asupan niasin dalam makanan dengan
penurunan neurodegeneratif atau penyakit Alzheimer.
f. Osteoartritis
Studi awal pada manusia menunjukkan bahwa niasinamida mungkin berguna dalam
pengobatan osteoartritis. Niasinamida telah ditemukan dapat meningkatkan fleksibilitas
sendi dan mengurangi peradangan.
(The Natural Standard Research Collaboration, 2006)
Kebutuhan Harian
Dewasa (di atas 19 tahun): 11-19 mg per hari
Wanita hamil: 15 mg per hari
Ibu menyusui: 18 mg per hari
Anak di atas 7 tahun: 15-21 mg per hari
Anak di bawah 7 tahun: 4-12 mg per hari
Kebutuhan minimal niasin atau asam nikotinat untuk mencegah pelagra adalah rata-
rata 4,4 mg/1000 kkal dan pada orang dewasa asupan minimal asam nikotinat (vitamin B3)
adalah 13 mg per hari (Dewoto dan Wardhini, 2007).
Defisiensi Vitamin B3
Defisiensi niasin antara lain disebabkan oleh kekurangan asupan, malabsorbsi
intestinal, atau kerusakan metabolisme genetik. Beberapa kerusakan genetik yang
berhubungan dengan niasin antara lain penyakit hartnup (penyakit keturunan yang
menyebabkan ruam kulit), malabsorbsi triptofan, dan kegagalan sintesis niasin secara in
vivo. Niasin menyebabkan vasodilatasi perifer secara langsung, sehingga menyebabkan
kemerahan pada lapisan subkutan kulit dan rasa panas terutama di daerah leher, muka, dan
telinga.
Defisiensi niasin sering dihubungkan dengan pelagra. Manifestasi klinik dari
defisiensi niasin pada tahap awal tidak jelas dan tidak spesifik, seperti kehilangan nafsu
makan, mual, sakit kepala, kelelahan, luka pada mulut, kulit kering, kesulitan tidur,
penurunan ingatan (demensia), dan mudah tersinggung. Defisiensi niasin yang parah
(pelagra parah) ditandai dengan 3D (Dementia, Dermatitis dan Diare). Dermatitis terkait
dengan defisiensi niasin pada kulit dan terutama terjadi di daerah kulit yang terkena sinar
matahari; demensia terkait dengan defisiensi niasin pada sistem saraf yang ditandai dengan
kebingungan, disorientasi, kejang, dan halusinasi; serta diare terkait dengan defisiensi
niasin pada sistem pencernaan (Dewoto dan Wardhini, 2007; Tim Penyusun, 2008).
Kelebihan Vitamin B3/Efek Samping
Kelebihan asam nikotinat dan nikotinamida dapat menyebabkan efek samping yang
berbeda. Nikotinamida dengan dosis yang: lebih besar dari 3 gram per hari selama lebih
dari tiga bulan dapat menyebabkan mual, sakit kepala, mulas, rambut dan kulit kering,
serta penglihatan kabur. Asam nikotinat dengan dosis yang lebih besar dari 100 mg per
hari dapat menyebabkan pembilasan akut (flushing) atau sensasi terbakar. Gejala lain yang
muncul dapat berupa sakit kepala, pusing, mual, muntah, kulit gatal, peningkatan denyut
nadi dan laju respirasi, peningkatan kadar asam urat, gangguan toleransi glukosa hingga
hiperglikemia, penurunan fungsi hati, dan hipotensi. Reaksi anafilaksis diduga terjadi pada
pemberian secara intravena (Anonim, 2012; Dewoto dan Wardhini, 2007).
Dosis Vitamin B3
Penyakit Alzheimer: 17-45 mg per hari
Kolesterol tinggi: 1200-1500 mg per hari untuk meningkatkan HDL dan 2000-3000
mg per hari untuk menurunkan LDL.
Defisiensi vitamin B3 ringan: 50-100 mg per hari
Pelagra pada orang dewasa: 300-500 mg per hari dalam dosis terbagi (50 mg sampai
10 kali sehari)
Pelagra pada anak-anak: 100-300 mg per hari dalam dosis terbagi (30 mg sampai 10
kali sehari)
Osteoartritis: 3 gram per hari
(Anonim, 2012; Dewoto dan Wardhini, 2007)
Terapi dengan asam nikotinat harus dimulai secara bertahap dalam peningkatan dosis
untuk mengurangi insiden dan beratnya efek samping yang mungkin terjadi selama awal
terapi. Dosis yang dianjurkan adalah:
375 mg sehari sekali sebelum tidur untuk satu minggu pertama. Jika dapat
ditoleransi dengan baik, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 500 mg sehari
sekali sebelum tidur untuk minggu kedua. Jika dapat ditoleransi dengan baik, maka
dosis dapat ditingkatkan menjadi 750 mg sehari sekali sebelum tidur untuk minggu
ketiga. Jika dapat ditoleransi dengan baik, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi
500 mg dua tablet sebelum tidur untuk minggu ke 4-7. Jika dapat ditoleransi
dengan baik, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 1000 mg dua tablet sebelum
tidur.
Setelah minggu ke-7, titrasi dosis tergantung pada respon pasien dan toleransinya.
Jika respon dengan dosis 1000 mg sehari sekali mencukupi, maka pemberian dapat
ditingkatkan hingga dosis 1500 mg sehari sekali, kemudian dosis dapat
ditingkatkan menjadi 2000 mg sehari sekali.
Dosis penunjang:
Dosis yang dianjurkan untuk penunjang adalah 1000-2000 mg sehari sekali sebelum
tidur. Dosis per hari tidak boleh ditingkatkan lebih dari 500 mg dalam waktu 4 minggu
(BPOM RI, 2008).
Farmakokinetika
Niasin dan niasinamida mudah diabsorpsi melalui semua bagian saluran cerna dan
dapat didistribusikan ke seluruh tubuh. Kadar serum puncak (15-30 g/L (120-240 nmol/L)
tercapai dalam 30-60 menit setelah pemberian 1 g formulasi standar. Niasin sebagian besar
dimetabolisme dalam hati menjadi niasinamida (nikotinamida) dan turunannya (misalnya,
asam nikotinurat) yang dapat berkontribusi terhadap penurunan kadar lemak terutama
setelah penggunaan jangka panjang. Sebagian besar obat ini diekskresikan melalui urin
dalam bentuk tidak berubah atau dalam bentuk metabolitnya, yaitu asam nikotinurat
danbentuk glisin peptida dari asam nikotinat. Obat ini memiliki waktu paruh 20-48 menit
(Anderson, 2002; Dewoto dan Wardhini, 2007).
Farmakodinamik
Di dalam tubuh, asam nikotinat dan bentuk amida dari asam nikotinat (niasinamida)
diubah menjadi bentuk aktif NAD (Nikotinamida Adenin Dinukleotida) dan NADF
(Nikotinamida Adenin Dinukleotida Fosfat). Keduanya berperan sebagai koenzim untuk
metabolisme berbagai protein yang penting dalam respirasi jaringan.
Asam nikotinat merupakan suatu vasodilator yang bekerja terutama pada blushing
area, yaitu di daerah muka dan leher. Kemerahan di tempat tersebut dapat berlangsung
sampai 2 jam disertai rasa panas dan gatal. Pada dosis besar, asam nikotinat dapat
menurunkan kadar kolesterol dan asam lemak bebas dalam darah. Kedua efek ini tidak
diperlihatkan oleh niasinamida (Dewoto dan Wardhini, 2007).
Kontraindikasi
Perdarahan arteri, hipotensi berat, disfungsi hati; peningkatan transaminase, dan
penyakit ulkus peptikum aktif (Anderson, 2002).
Peringatan
Kehamilan; laktasi. Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit
kandung empedu atau sejarah penyakit hati, angina tidak stabil, gout, artritis gout,
glaukoma, atau diabetes. Jika bentuk SR digantikan dengan bentuk pelepasan cepat, maka
dosis harus dikurangi menjadi sekitar satu-setengah kali dari dosis awal. Jika pengunaan
dengan HMG-CoA reduktase inhibitor tidak dapat dihindari, maka gunakan dengan
perhatian yang ketat. Beberapa formulasi obat ini mengandung pewarna tartrazin yang
dapat menyebabkan reaksi alergi pada pasien yang sensitif (Anderson, 2002).
Interaksi Obat
Penggunaan bersamaan dengan HMG-CoA reduktase inhibitor dapat meningkatkan
risiko rabdomiolisis. Penggunaan bersama dengan antihipertensi penghambat adrenergik
dapat menyebabkan hipotensi. Penggunaan obat hipoglikemik oral atau insulin mungkin
memerlukan penyesuaian dosis jika digunakan bersamaan dengan niasin. Niasin dan obat
hepatotoksik dapat memiliki efek aditif (Anderson, 2002).
Sediaan
Bentuk tablet tersedia dalam dosis 50, 100, 250, dan 500 mg
Bentuk eliksir tersedia dalam dosis 10 mg/mL
Bentuk kapsul sustained release tersedia dalam dosis 125, 250, 400, dan 500 mg
Bentuk tablet sustained release tersedia dalam dosis 250, 500, 750, dan 1000 mg.
(Anderson, 2002)
Contoh sediaan:
Asam Nikotinat (Generik) Tablet 50 mg (Obat Bebas Terbatas)
Dialac Tablet 1 g (Obat Bebas)
Nikotinamida (Generik) Tablet 50 mg, 100 mg
Armovit mengandung 100 mg niasinamida (Obat Bebas)
(BPOM RI, 2008)
2.3.4 Vitamin B5
Vitamin B5 merupakan vitamin yang larut air dan dikenal dengan nama asam
pantotenat. Biosintesis membuktikan bahwa asam pantotenat merupakan turunan dari β-
alanin dan asam α-ketoisovalerat (Tim Penyusun, 2008). Asam pantotenat mudah diserap
pada saluran cerna setelah pemberian oral, terdistribusi secara luas dalam jaringan tubuh
dan ditemukan dalam ASI. Sekitar 70% asam pantotenat diekskresikan tidak berubah
dalam urin dan sekitar 30% dalam feses (Sweetman, 2009).
Gambar struktur vitamin B5
Asam pantotenat berperan sebagai prekursor dari koenzim A, yaitu kofaktor yang
esensisal dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Koenzim A berhubungan
dengan sintesis asam lemak dan sterol, oksidasi asam lemak, asam piruvat, dan asam α-
ketoglutarat (Tim Penyusun, 2008). Makanan yang banyak mengandung vitamin B5
diantaranya selai kacang, organ hewan (hati, ginjal, jantung), kacang, almond, gandum,
keju, dan lobster. Telur, susu, sayur-sayuran serta buah-buahan juga diketahui
mengandung vitamin B5. Sebagian besar vitamin B5 dalam makanan biasanya ditemukan
telah tergabung dengan koenzim A dan fosfopantetein. Defisiensi vitamin B5 jarang terjadi
karena vitamin B5 ini ditemukan secara luas dalam berbagai macam makanan. Jika
defisiensi sampai terjadi, biasanya disertai dengan defisit nutrisi lainnya. Toksisitas tidak
menjadi masalah dalam penggunaan vitamin B5, karena tidak ada efek samping yang
teramati (Sweetman, 2009; Kelly, 2011).
Dosis rekomendasi harian vitamin B5 disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Kelompok UsiaRekomendasi intake
nutrisi (mg/hari)Infant dan anak-anak
0-6 bulan 1,77-12 bulan 1,81-3 tahun 2,04-6 tahun 3,07-9 tahun 4,0Remaja
10-18 tahun 5,0Dewasa
Laki-laki, 19+ tahun 5,0Perempuan, 19+ tahun 5,0
Wanita hamil 6,0Wanita menyusui 7,0
2.3.5 Vitamin B6
Vitamin B6 adalah vitamin yang larut dalam air dan merupakan bagian dari kelompok
vitamin B komplek. Vitamin B6 adalah istilah kolektif untuk piridoksal (bentuk aldehid),
piridoksin (bentuk alkohol piridoksol), piridoksamin (bentuk amin) dan bentuk
terfosforilasinya. Bentuk aktif dari piridoksal dan piridoksamin merupakan koenzim aktif
dan interkonversi diantara keduanya terlibat dalam berbagai fungsi biologis dari vitamin.
Vitamin B6 mempunyai keterlibatan yang luas pada metabolisme asam amino dan senyawa
yang mengandung nitrogen, lipid, serta produksi beberapa hormon tertentu. Piridoksin,
sebagai piridoksal fosfat, memegang peranan penting dalam perubahan triptopan menjadi
asam nikotinat (Hathcock, 2004; Bolkent et al., 2008).
Gambar interkonversi metabolik dari piridoksin, piridoksal, piridoksamin dan
masing-masing fosfat esternya (Spinneker et al., 2007)
Absorpsi dan Transpor
Dalam jaringan bentuk utama dari vitamin B6 adalah piridoksal 5-fosfat (PLP),
berikutnya adalah piridoksamin 5-fosfat (PMP). Penyerapan dalam usus melibatkan
fosfatase-dimediasi hidrolisis diikuti oleh transportasi dari bentuk nonfosforilasi ke dalam
sel mukosa. Transportasi dengan mekanisme difusi pasif nonsaturable. Piridoksin (PN)
glukosida diserap kurang efektif daripada PLP serta PMP dan dikonjugasi oleh glukosidase
mukosa. Beberapa PN glukosida diserap utuh dan dapat dihidrolisis dalam berbagai
jaringan (A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary
Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and
Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board,
Institute of Medicine, 1998).
Metabolisme
Sebagian besar vitamin B6 nonfosforilasi diserap masuk ke hati. Piridoksin (PN),
piridoksal (PL), dan piridoksamin (PM) dikonversi menjadi piridoksin 5-fosfat (PNP),
piridoksal 5-fosfat (PLP), dan piridoksamin 5-fosfa (PMP) oleh piridoksal kinase. PNP
biasanya hanya ditemukan pada konsentrasi yang sangat rendah, dan PMP teroksidasi
menjadi PLP oleh PNP oksidase. PMP ini juga dihasilkan dari PLP melalui reaksi
aminotransferase. PLP terikat pada berbagai protein dalam jaringan, ini melindunginya
dari aksi fosfatase. Kapasitas protein yang mengikat membatasi akumulasi PLP oleh
jaringan akibat intake vitamin B6 yang sangat tinggi. Ketika kapasitas ini terlampaui, PLP
bentuk bebas dihidrolisis secara cepat dan nonfosforilasi dari B6 dilepaskan oleh hati dan
jaringan lainnya ke dalam sirkulasi (A Report of the Standing Committee on the Scientific
Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and
Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition
Board, Institute of Medicine, 1998).
PLP dalam hati dapat teroksidasi menjadi 4-PA (piridoxic acid), yang kemudian
dilepas dan dikeluarkan. Protein utama pengikat PLP dalam plasma adalah albumin. PLP
adalah bentuk utama vitamin B6 dari dalam plasma dan seluruhnya berasal dari hati
sebagai kompleks PLP-albumin. Jaringan dan eritrosit dapat mengangkut bentuk
nonfosforilasi vitamin dari plasma. Beberapa diantaranya berasal dari PLP plasma setelah
aksi fosfatase. Dalam jaringan, konversi vitamin yang ditransportasikan menjadi PLP,
digabung dengan protein pengikat, memungkinkan akumulasi dan retensi vitamin. B6
dalam jaringan ditemukan dalam berbagai kompartemen subselular tetapi terutama pada
mitokondria dan sitosol (A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation
of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and
Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board,
Institute of Medicine, 1998).
Ekskresi
Biasanya, produk ekskresi utama adalah 4-PA, yang menyumbang sekitar setengah
senyawa B6 dalam urin. Bentuk lain dari vitamin juga ditemukan dalam air seni. Dengan
B6 dosis besar, proporsi bentuk-bentuk lain dari vitamin meningkat. Pada dosis yang
sangat tinggi dari PN, banyak dari dosis diekskresikan tidak berubah dalam urin. B6 juga
diekskresikan dalam tinja tetapi mungkin hanya dalam batas tertentu (A Report of the
Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its
Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference
Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, 1998).
Sumber Vitamin B6
Sumber utama vitamin B6 adalah daging (terutama daging babi, hati sapi), unggas,
ikan (tuna, salmon), kacang-kacangan, produk kedelai, produk gandum, ubi jalar, kentang,
buah-buahan (alpukat, durian, pisang), biji-bijian (biji bunga matahari), dan susu (Anonim
a, 2012).
Kegunaan Vitamin B6
a) Premenstrual Syndrome (PMS)
Vitamin B6 secara klinis terbukti bermanfaat bagi pasien dengan gejala pramenstruasi
khususnya gejala kecemasan dan depresi (Anonim b, 2012).
b) Asma
Vitamin B6 dalam jumlah yang rendah ditemukan pada orang dewasa yang
menderita asma. Hal ini mungkin disebabkan karena penggunaan teofilin, obat yang
mengurangi spasme bronkial. Oleh karena itu, pemberian vitamin B6 dapat
mengurangi kegelisahan dan efek samping teofilin serta keparahan dan frekuensi
serangan asma (Anonim b, 2012).
c) Diabetes
Pada studi dengan pasien yang memiliki kadar vitamin B6 yang rendah, gejala
diabetes neuropati perifer dapat dihilangkan ketika kadar vitamin B6 tercukupi
(Anonim b, 2012).
d) Alzheimer, Atherosclerosis, dan Penyakit Kardiovaskular
Gangguan pengentalan homosistein dengan serin menyebabkan peningkatan ringan,
sedang, atau berat terhadap konsentrasi plasma homosistein yang merupakan salah
satu gejala defisiensi vitamin B6. Pemberian Vitamin B6 terbukti dapat mengurangi
konsentrasi homosistein yaitu zat yang terbukti dapat meningkatkan resiko penyakit
kardiovaskular (EFSA Panel on Dietetic Products, Nutrition and Allergies, 2010;
Anonim b, 2012).
e) Morning Sickness
Vitamin B6 telah terbukti dapat mengurangi terjadinya mual dan muntah akibat
morning sickness (Anonim b, 2012).
f) Batu Ginjal
Vitamin B6 mampu menurunkan kadar oksalat pada pasien yang memiliki kadar
oksalat urin yang tinggi (Anonim b, 2012).
g) Energi, Vitalitas, dan Metabolisme Otot
Vitamin B6, sebagai piridoksal fosfat, memiliki peran dalam penyediaan glukosa
sehingga terdapat hubungan antara asupan vitamin B6 dan kontribusi energi normal
untuk menghasilkan metabolisme (EFSA Panel on Dietetic Products, Nutrition and
Allergies, 2010).
h) Peran Dalam Kinerja Mental (Konsentrasi, Pembelajaran, Memori, dan Penalaran)
Salah satu gejala dari kekurangan vitamin B6 adalah kebingungan, yang
menyiratkan penurunan fungsi psikologis yang normal. Oleh karena itu, asupan
vitamin B6 memiliki kontribusi terhadap fungsi psikologis yang normal (EFSA
Panel on Dietetic Products, Nutrition and Allergies, 2010).
i) Kelelahan dan Keletihan
Kekurangan vitamin B6 bisa menyebabkan mikrositik, anemia hipokromik dimana
konsentrasi hemoglobin eritrosit berkurang, yang dapat menyebabkan gejala
kelemahan, kelelahan atau kelelahan. Oleh karena itu, asupan vitamin B6 yang
cukup memiliki kontribusi dalam mengurangi kelelahan dan kelelahan (EFSA Panel
on Dietetic Products, Nutrition and Allergies, 2010).
Kebutuhan Harian
Adapun kebutuhan harian terhadap vitamin B6 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Kebutuhan harian vitamin B6
Keterangan: RDA = Recommended Dietary Allowances; AI = Adequate Intake (Kebutuhan yang cukup);
UL = Ultimate Level (jumlah maksimum yang dapat diberikan tanpa menimbulkan efek
samping); ND = Not Determined (belum ditentukan karena keterbatasan data klinis)
(Anonim c, 2001)
Defisiensi Vitamin B6
Kekurangan vitamin B tunggal mungkin menyebabkan masalah dalam metabolisme
kelompok vitamin B lainnya. Dermatitis, bengkak (terutama pada sudut bibir), bibir merah
dan pecah, serta inflamasi pada lidah umum terjadi kekurangan vitamin B. sebagai
tambahan, gejala defisiensi vitamin B6 termasuk kelemahan, keresahan, kegugupan,
depresi, pusing, dermatitis seboroik, anemia mikrositik, otot bergetar, neuropati perifer dan
kejang epileptiform (A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation of
Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and
Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board,
Institute of Medicine, 1998; Anonim b, 2012).
Anemia mikrositik mencerminkan sintesis hemoglobin menurun. Langkah pertama
dalam biosintesis heme, sintase aminolevulinat, menggunakan piridoksal 5-fosfat (PLP)
sebagai koenzim. Karena PLP juga merupakan koenzim kekarboksilase yang terlibat
dalam sintesis neurotransmitter, kerusakan pada beberapa enzim dapat menjelaskan
terjadinya kejang akibat defisiensi vitamin B6. Banyak penelitian telah menunjukkan
bahwa tingkat neurotransmiter seperti dopamin, serotonin, dan γ-aminobutyrate berkurang
terutama pada kondisi deplesi vitamin B6 yang ekstrim (A Report of the Standing
Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on
Folate, Other B Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of
Nutrients, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, 1998). Guilarte (1993)
mengusulkan bahwa kejang terjadi karena akumulasi metabolit triptofan abnormal di otak
pada kondisi defisiensi vitamin B6.
Kelainan electroencephalogram (EEG) juga dilaporkan pada kondisi deplesi vitamin
B6. Konsumsi yang tidak memadai dari vitamin B6 juga telah dilaporkan merusak fungsi
platelet dan mekanisme pembekuan (Brattstrom et al, 1990;. Subbarao and Kakkar, 1979),
tetapi efek ini juga mungkin disebabkan oleh hyperhomocysteinemia pada pasien tersebut
(Brattstrom et al,. 1990).
Kelebihan Vitamin B6
Konsumsi harian sesuai dengan yang direkomendasikan tidak akan memberikan
masalah. Namun banyak kondisi memerlukan dosis yang lebih tinggi untuk mendapatkan
respon. Pada orang dewasa yang mengkonsumsi lebih dari 100 mg hari harus dipantau.
Meskipun penelitian masih bertentangan dimana satu percobaan menunjukkan bahwa dosis
100 - 150 mg setiap hari selama lebih dari lima sampai sepuluh tahun itu tidak
menimbulkan masalah sementara yang lain menunjukkan bahwa 117 mg per hari selama
tiga tahun dikaitkan dengan kerusakan saraf seperti mati rasa dan kesemutan. Dosis sangat
besar dari 500 - 5000 mg per hari dapat menyebabkan neuropati perifer dalam 1 - 3 tahun.
Gejala akibat penggunaan berlebihan dari vitamin B6 meliputi: neuropati perifer, goyah
saat berjalan, mati rasa dan kesemutan di kaki dan tangan, kehilangan refleks anggota
tubuh, koordinasi yang buruk, gangguan tendon atau tidak ada refleks, kepekaan terhadap
cahaya, pusing, mual, nyeri payudara ketika ditekan dan memburuknya jerawat (Anonim
b, 2012).
Dosis Vitamin B6
PMS : 50 – 100 mg sehari
Asma : 15 – 50 mg
Diabetic peripheral neuropathy : 150 mg
Morning sickness : 25 mg setiap 8 jam selama 72 jam
Kardiovascular : 50 – 100 mg dan sering dikombinasikan dengan asam
folat 500 mcg dan vitamin B12 sampai 1 mg
Anemia idiopatik sideroblastik : 100 – 400 mg tiap hari dalam dosis terbagi
Neuropati isoniazid : profilaksis 10 mg tiap hari; terapeutik 50 mg tiga x
sehari
(BPOM RI, 2008; Anonim b, 2012)
Kontraindikasi
Pasien dengan sejarah sensitivitas pada vitamin, hipersensitivitas terhadap piridoksin
atau komponen lain dalam formulasi (Lacy et al., 2011)
Interaksi
Obat-obatan yang dapat bereaksi dengan gugus karbonil memiliki potensi untuk
berinteraksi dengan PLP. Isoniazid, yang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, dan
L-dopa, yang dimetabolisme untuk dopamin, telah dilaporkan untuk mengurangi
konsentrasi plasma PLP (Bhagawan, 1985;. Weir et al, 1991). Kontrasepsi oral dosis tinggi
dan alkohol dapat menurunkan konsentrasi PLP (A Report of the Standing Committee on
the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B
Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food
and Nutrition Board, Institute of Medicine, 1998).
Sediaan
Bentuk sediaan:
Bentuk tablet tersedia dalam dosis 10, 25, dan 50 mg
Bentuk kaptab tersedia dalam dosis 10 mg
Contoh sediaan:
Piridoksin (Generik) Tablet 10 mg, 25 mg, 50 mg; Kaptab 10 mg (Obat Bebas)
Binam (Global Multi) Kaptab 10 mg (Obat Bebas)
Liconam (Berlico Mulia) Tablet 10 mg, 25 mg (Obat Bebas)
(BPOM RI, 2008).
2.3.6 Vitamin B12
Vitamin B12 yang merupakan salah satu unsur dari vitamin B adalah vitamin yang larut
dalam air dan dikenal juga dengan nama kobalamin atau sianokobalamin. Secara struktur,
vitamin B12 adalah vitamin yang paling kompleks karena tersusun atas cincin seperti
porfirin dengan pusat berupa atom kobalt yang melekat pada suatu nukleotida. Atom
kobalt ini merupakan elemen yang jarang tersedia secara biokimia di alam. Biosintesis dari
struktur dasar vitamin ini hanya dapat dilakukan oleh bakteri, namun konversi menjadi
bentuk aktifnya yaitu deoksiadenosilkobalamin dan metilkobalamin dapat terjadi dalam
tubuh manusia (Katzung, 2010). Berikut ini adalah struktur dari vitamin B12:
Gambar struktur vitamin B12
Sumber Vitamin B12
Vitamin B12 secara alami dapat ditemukan dalam produk hewani seperti ikan, unggas
(ayam, bebek), daging (sapi, domba, kelinci), telur, susu, dan produk susu seperti keju.
Bagi vegetarian, sumber vitamin B12 dapat diperoleh dari sereal atau ragi. Selain dari
makanan, vitamin B12 juga dapat ditemukan dalam suplemen makanan baik dalam bentuk
tunggal ataupun dalam bentuk sediaan vitamin B kompleks (Office of Dietary Supplement,
2011).
Fungsi Vitamin B12
Vitamin B12 diperlukan dalam proses pembentukan sel darah merah, fungsi neurologis,
dan sintesis DNA. Vitamin B12 bertindak sebagai kofaktor dalam sintesis metionin dan L-
metilmalonil yang berperan dalam reaksi metabolisme lemak dan protein. Selain itu
vitamin B12 juga berfungsi untuk mengobati atau mencegah defisiensi (Office of Dietary
Supplement, 2011; Katzung, 2010).
Kebutuhan Harian Vitamin B12
Rekomendasi asupan rata-rata harian dari vitamin B12 untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi pada individu yang sehat adalah:
Anak-anak:
0 – 6 bulan : 0,4 mcg/hari
7 – 12 bulan : 0,5 mcg/hari
1 – 3 tahun : 0,9 mcg/hari
4 – 8 tahun : 1,2 mcg/hari
9 – 13 tahun : 1,8 mcg/hari
> 14 tahun dan dewasa : 2,4 mcg/hari
Wanita hamil : 2,6 mcg/hari
Wanita menyusui : 2,8 mcg/hari
(Lacy et al., 2011)
Defisiensi Vitamin B12
Defisiensi vitamin B12 ditandai dengan munculnya gejala anemia megaloblastik,
kelelahan, sembelit, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, perubahan
neurologis seperti mati rasa dan kesemutan di tangan serta kaki. Gejala tambahan dari
defisiensi vitamin B12 adalah seperti kesulitan menjaga keseimbangan, depresi,
kebingungan, demensia, sakit pada mulut dan lidah serta gangguan pada memori (kognitif)
(Office of Dietary Supplement, 2011).
Salah satu penyebab terjadinya defisiensi vitamin B12 adalah anemia pernisiosa yang
terjadi akibat penurunan fungsi pada sekresi faktor intrinsik oleh sel mukosa lambung.
Pasien anemia pernisiosa menderita atrofi lambung dan gagal menyekresi faktor intrinsik
begitu juga dengan asam klorida. Defisiensi vitamin B12 juga terjadi ketika daerah di ileum
distal yang mengabsorpsi kompleks faktor intrinsik-vitamin B12 mengalami cedera seperti
ketika ileum terkena radang usus. Penyebab defisiensi vitamin B12 lainnya yang jarang
meliputi pertumbuhan bakteri yang berlebihan di usus halus, pankreatitis kronik, dan
penyakit tiroid (Katzung, 2010).
Efek Samping Kelebihan Vitamin B12
Vitamin B12 memiliki potensi toksisitas yang kecil apabila kelebihan asupan vitamin
B12 tersebut diperoleh dari makanan dan suplemen. Namun dalam terapi menggunakan
vitamin B12 apabila dosis yang digunakan berlebih dapat menimbulkan efek samping
sebagai berikut:
1. Heart Failure
Kelebihan vitamin B12 dapat menyebabkan gangguan pada pompa jantung yang
dapat menyebabkan gejala heart failure. Vitamin B12 yang diberikan melalui injeksi
memiliki resiko yang lebih besar untuk menyebabkan masalah di jantung dibandingkan
vitamin B12 oral karena vitamin yang diberikan melalui injeksi akan langsung masuk ke
dalam aliran darah. Pasien dengan masalah jantung harus menghindari penggunaan
vitamin B12 OTC (Over The Counter) apabila tidak ada rekomendasi dari dokter (Office
of Dietary Supplement, 2011).
2. Gangguan pada Hati dan Ginjal
Kelebihan vitamin B12 dapat merusak sel hati dan ginjal yang memicu terjadinya
gejala gangguan hati dan gagal ginjal. Akibat dari paparan vitamin B12 dalam
konsentrasi tinggi terhadap hati adalah kerusakan dari sel-sel hati tersebut yang
menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut. Pada ginjal, paparan dari
vitamin B12 tersebut dapat merusak sel-sel dari tubulus ginjal. Pasien dengan masalah
gangguan hati dan ginjal harus berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu sebelum
menggunakan vitamin OTC yang mengandung B12 (Office of Dietary Supplement,
2011).
3. Penggumpalan Darah
Kelebihan vitamin B12 dapat menyebabkan pembentukan gumpalan darah di
pembuluh darah utama. Gumpalan darah ini berbahaya karena dapat menghambat aliran
darah ke organ-organ tubuh yang dapat menyebabkan kegagalan organ. Pasien dengan
riwayat gangguan dalam pembekuan darah, stroke, dan serangan jantung harus berhati-
hati dalam mengkonsumsi vitamin B12 (Office of Dietary Supplement, 2011).
Dosis Vitamin B12
1. Pengobatan defisiensi vitamin B12:
a. Intramuscular (i.m)
Anak-anakDosis terapi sebesar 0,2 mcg/kg selama 2 hari yang kemudian diikuti dengan dosis
sebesar 1000 mcg/hari selama 2 – 7 hari lalu dosis sebesar 100 mcg/minggu selama
sebulan.
DewasaDosis terapi sebesar 30 mcg/hari selama 5 – 10 hari diikuti dengan dosis
pemeliharaan sebesar 100 – 200 mcg/bulan.
b. Intranasal
DewasaDosis terapi sebesar 100 mcg/hari (dalam dua dosis terbagi) dengan dosis
pemeliharaan sebesar 50 mcg/hari.
c. Oral
Dewasa : 250 mcg/hari2. Pengobatan anemia pernisiosa:
Intramuscular (i.m)
Anak-anakDosis terapi sebesar 30 – 50 mcg/hari selama 2 minggu atau lebih (total dosis 1000
– 5000 mcg) yang kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan sebesar 100
mcg/bulan.
DewasaDosis terapi sebesar 100 mcg/hari selama 6 – 7 hari, apabila menunjukkan adanya
perbaikan maka dosis yang sama diberikan setiap 3 – 4 hari selama 2 – 3 minggu,
kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan sebesar 100 mcg/bulan bila jumlah
darah telah kembali ke angka normal.
(Lacy et al., 2011)
Interaksi Obat
Vitamin B12 memiliki potensi untuk berinteraksi dengan beberapa obat tertentu yang
akibatnya dapat menurunkan keefektifan kerja dari vitamin B12 sendiri. Obat-obat tersebut
antara lain:
1. Kloramfenikol
Pada beberapa laporan kasus menunjukkan bahwa kloramfenikol yang merupakan
antibiotik bakteriostatik dapat mengganggu beberapa respon sel darah merah yang
diperlukan oleh vitamin B12 untuk bekerja (Office of Dietary Supplement, 2011).
2. Proton Pump Inhibitors
Obat-obatan yang termasuk ke dalam golongan Proton Pump Inhibitors (PPI)
seperti omeprazole dan lansoprazole, yang biasanya digunakan untuk terapi
Gastroesophageal Reflux Disease (GRD) dan ulkus peptikum dapat mengganggu
penyerapan vitamin B12 dari makanan dengan cara memperlambat pelepasan asam
klorida ke dalam saluran pencernaan (Office of Dietary Supplement, 2011).
3. Reseptor H2-antagonis
Obat-obatan yang tergolong sebagai antagonis reseptor histamin H2 yang digunakan
dalam pengobatan ulkus peptikum, seperti cimetidin, famotidine, dan ranitidine
memiliki potensi untuk mengganggu penyerapan vitamin B12 dari makanan dengan cara
memperlambat pelepasan asam klorida ke dalam saluran pencernaan. Interaksi obat ini
dapat terjadi pada pasien yang menggunakan antagonis reseptor histamin H2 terus
menerus lebih dari 2 tahun (Office of Dietary Supplement, 2011).
4. Metformin
Metformin yang merupakan agen hipoglikemik untuk mengobat diabetes, memiliki
potensi untuk mengurangi penyerapan vitamin B12 melalui perubahan dalam mobilitas
usus, meningkatkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan atau perubahan dalam
penyerapan kalsium oleh sel-sel ileum. Berdasarkan laporan dari studi kasus yang
dilakukan terhadap pasien dibetes tipe 2 yang diberikan metformin selama 4 tahun,
kadar vitamin B12 dalam tubuhnya menurun secara signifikan sebesar 19 % dan
meningkatkan resiko kekurangan vitamin B12 sebesar 7,2 %. Pada beberapa studi yang
lain menunjukkan bahwa suplemen kalsium dapat membantu memperbaiki malabsorpsi
vitamin B12 yang diakibatkan oleh metformin, namun tidak semua peneliti setuju
terhadap tindakan tersebut (Office of Dietary Supplement, 2011).
Sediaan
Bentuk sediaan:
Larutan injeksi tersedia dalam dosis 1000 mcg/mL (1, 10, dan 30 mL)
Lozenge oral tersedia dalam dosis 50, 100, 250, dan 500 mcg
Lozenge sublingual tersedia dalam dosis 500 mcg
Larutan intranasal (spray) tersedia dalam dosis 25 mcg/spray (10,7 mL) dan 500
mcg/spray (2,3 mL)
Tablet bukal/sublingual tersedia dalam dosis 1000, 2500, dan 5000 mcg
Tablet oral tersedia dalam dosis 50, 100, 250, 500, dan 1000 mcg
Tablet time released oral tersedia dalam dosis 1000 dan 1500 mcg
(Lacy et al., 2011)
Contoh sediaan yang beredar:
Vitamin B12 IPI (Generik) tablet 50 mcg (Obat Bebas)
Vitamin B12 (Kimia Farma) tablet 50 mcg (Obat Bebas), injeksi 500 mcg/5 mL (Obat
Keras)
Vitaneuron mengandung vitamin B12 200 mcg (Obat Bebas Terbatas)
Stavit tablet salut selaput mengandung vitamin B12 200 mcg (Obat Bebas)
Nevramin tablet salut gula mengandung vitamin B12 500 mcg (Obat Bebas)
(MIMS, 2009)
2.3.7 Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbat merupakan kelompok vitamin yang larut dalam air.
Vitamin C bekerja sebagai suatu koenzim dan pada keadaan tertentu merupakan reduktor
dan antioksidan. Vitamin ini dapat secara langsung atau tidak langsung memberikan
elektron ke enzim yang membutuhkan ion-ion logam tereduksi dan bekerja sebagai
kofaktor untuk prolil dan lisil hidroksilase dalam biosintesis kolagen. Zat ini berbentuk
kristal dan bubuk putih kekuningan, stabil pada keadaan kering dan tidak stabil pada
cahaya (Dewoto dan Wardhini, 2007).
Gambar struktur vitamin C
Disintesa dari D-glucose-o-galactase atau gula yang lain. Dapat diisolasi dari citrus
dan daun mahkota bunga mawar. Terdapat dalam keadaan seimbang dengan dehidro-l-
ascorbic acid, suatu bentuk teroksidasi dari vitamin C, berfungsi sebagai antiskorbut
(pendarahan pada gusi) (Tim Penyusun, 2008).
Kegunaan Vitamin C
Vitamin ini digunakan dalam metabolisme karbohidrat dan sintesis protein, lipid, dan
kolagen. Vitamin C juga dibutuhkan oleh endotel kapiler dan untuk perbaikan jaringan.
Vitamin C bermanfaat dalam absorpsi zat besi dan metabolisme asam folat (Kamiensky,
2006). Vitamin C berperan sebagai kofaktor dalam sejumlah reaksi hidroksilasi dan
amidasi dengan memindahkan elektron ke enzim yang ion logamnya harus berada dalam
keadaan tereduksi; dan dalam keadaan tertentu bersifat sebagai antioksidan. Vitamin C
dibutuhkan untuk mempercepat perubahan residu prolin dan lisin pada prokolagen menjadi
hidroksiprolin dan hidroksilisin pada sintesis kolagen. Perubahan asam folat menjadi asam
folinat, metabolisme obat oleh mikrosom dan hidroksilasi dopamine menjadi norepinefrin
juga membutuhkan vitamin C. Asam askorbat meningkatkkan aktivitas enzim amidase
yang berperan dalam pembentukan hormon oksitosin dan hormon diuretik. Vitamin C juga
meningkatkan absorpsi besi dengan mereduksi ion feri menjadi fero di lambung. Peran
vitamin C juga didapatkan dalam pembentukan steroid adrenal (Kamiensky, 2006; Dewoto
dan Wardhini, 2007).
Fungsi utama vitamin C pada jaringan adalah dalam sintesis kolagen, proteoglikan zat
organik matriks antarsel lain misalnya pada tulang, gigi, dan endotel kapiler. Peran vitamin
C dalam sintesis kolagen selain pada hidroksilasi prolin juga berperan pada stimulasi
langsung sintesis peptide kolagen. Gangguan sintesis kolagen terjadi pada pasien skorbut.
Hal ini tampak pada kesulitan dalam penyembuhan luka, gangguan pembentukan gigi, dan
pecahnya kapiler yang mengakibatkan petechiae dan echimosis. Perdarahan tersebut
disebabkan oleh kebocoran kapiler akibat adhesi sel-sel endotel yang kurang baik dan
mungkin juga karena gangguan pada jaringan ikat perikapiler sehingga kapiler mudah
pecah oleh penekanan (Kamiensky, 2006; Dewoto dan Wardhini, 2007).
Defisiensi
Tanda dari defisiensi vitamin C adalah pembesaran atau keratosis dari folikel-folikel
rambut, melemahnya proses penyembuhan luka, anemia, latergi, letih, sakit pada otot, daya
tahan terhadap infeksi menurun, stress, luka, lecet pada kulit, pendaran pada gusi dan
degenerasi kollagen. Pengujian laroratorium yang dapat dilakukan untuk memastikan
terjadinya defisiensi vitamin C adalah dengan mengukur kadar plasma vitamin C (Dipiro
et al., 2008; Tim Penyusun 2008).
Defisiensi atau kekurangan asam askorbat menyebabkan penyakit skorbut, penyakit
ini berhubungan dengan gangguan sintesis kolagen yang diperlihatkan dalam bentuk
perdarahan subkutan serta perdarahan lainnya, kelemahan otot, gusi yang bengkak dan
menjadi lunak dan tanggalnya gigi (Triana, 2006).
Sumber vitamin C
Sumber alami vitamin C dapat diperoleh dari mengkonsumsi buah-buah dan sayuran
hijau segar seperti jeruk, citrus, tomat, strawberi, paprika, kembang kol, brokoli, dan
peterseli. Vitamin C 50% akan hilang atau rusak dalam proses pemasakan (Dewanto,
2007; Tim Penyusun 2008).
Kelebihan vitamin C
Adapun tanda-tanda dari toksisitas vitamin C adalah usus mudah kram, perut
kembung dan diare, meningkatkan ekskresi oksalat pada urin, disertai dengan nyeri
pinggang dan pembentukan batu ginjal, kemungkinan terjadi peningkatan penyerapan
aluminium, penghentian tiba-tiba suplemen vitamin C dapat menyebabkan Rebound.
Indikasi
Pemberian vitamin C pada keadaan normal tidak menunjukkan efek farmakodinamik
yang jelas. Namun pada keadaan defisiensi, pemberian vitamin C akan menghilangkan
gejala penyakit dengan cepat. Vitamin C diindikasikan untuk pencegahan dan pengobatan
skorbut. Selain itu, vitamin C juga digunakan untuk berbagai penyakit yang tidak ada
hubungannya dengan defisiensi vitamin C dan seringkali digunakan dengan dosis besar.
Namun, efektivitasnya dari pengobatan ini belum terbukti. Vitamin C tidak mengurangi
insidens common cold tetapi dapat mengurangi keparahan sakit dan lama masa sakit
(Dewoto dan Wardhini, 2007).
Efek samping, kontra indikasi, interaksi obat
Nyeri kepala, fatigue, drowsiness, mual, dada terbakar, muntah, diare. Vitamin C
dengan aspirin atau sulfonamide dapat menyebabkan pembentukan kristal di urin
(crystalluria); dapat memberikan hasil negatif palsu karena adanya darah pada uji feses dan
positif palsu pada pemeriksaan klinik glikosuria.
Dosis besar dapat menurunkan efek antikoagulasi oral, kontrasepsi oral dapat
menurunkan kadar vitamin C dalam tubuh; merokok menurunkan kadar serum vitamin C,
digunakan dengan perhatian pada pasien batu ginjal, gout, anemia, sel sickle,
seideroblastik, thalassemia. Vitamin C juga dapat menurunkan asupan asam askorbat jika
digunakan dengan salisilat; dapat menurunkan efek antikoagulan oral; dapat menurunkan
eliminasi aspirin. Beberapa obat diduga dapat mempercepat ekskresi vitamin C misalnya
tetrasiklin dan fenobarbital (Kamiensky, 2006)
Kebutuhan
Kebutuhan vitamin C berdasarkan U.S. RDA antara lain untuk pria dan wanita
sebanyak 60 mg/hari, anak > 4 tahun sebanyak 60 mg/hari, anak < 4 tahun sebanyak 40
mg/hari, bayi sebanyak 35 mg/hari, ibu hamil sebanyak 70 mg/hari, dan ibu menyusui
sebanyak 95 mg/hari. Kebutuhan vitamin C meningkat 300-500% pada penyakit infeksi,
tuberculosis, tukak peptik, penyakit neoplasma, pasca bedah atau trauma, hipertiroid,
kehamilan, dan laktasi. Kebutuhan vitamin C juga bertambah dalam keadaan pemakaian
obat–obatan seperti barbiturat, salisilat dan tetrasiklin, perokok, penderita penyakit seperti
gastrointestinal disease, kanker, peptic ulcer, hipertiroidism, stress, dan luka bakar
(Kamiensky, 2006; Tim Penyusun, 2008).
Dosis
Dosis Profilaksis, 25-75 mg sehari (Joint Formulary Committee, 2011).
Dosis per hari yang direkomendasikan:
Untuk dewasa (usia ≥ 19 tahun), pemberian enteral 75-90 mg, parenteral 100 mg.
Untuk pediatrik, pemberian parenteral: 80 mg. Pemberian enteral untuk usia 0-12
bulan adalah 40-50 mg, usia 1-8 tahun adalah 15-25 mg, dan usia 9 -18 tahun
adalah 45-75 mg (Dipiro et al., 2008).
Perokok membutuhkan asupan vitamin C 35 mg/hari atau lebih dibandingkan bukan
perokok (Dipiro et al., 2008).
2.4. KIE
1. Vitamin dibutuhkan secara esensial oleh tubuh dalam jumlah yang kecil, namun
harus dipenuhi setiap hari. Sumber makanan yang bergizi dan berimbang sudah
cukup untuk memenuhi kebutuhan vitamin sehari-hari.
2. Penggunaan vitamin hendaknya disesuaikan dengan gejala atau keluhan yang
dialami oleh pasien (indikasi yang sesuai).
3. Perhatikan dosis dan durasi saat mengonsumsi vitamin yang dibutuhkan. Jangan
mengonsumsi vitamin secara berlebihan.
4. Swamedikasi vitamin dapat dilakukan sebagai terapi pencegahan dan diindikasikan
untuk mengatasi defisiensi ringan. Jika pasien sudah menunjukkan gejala defisiensi
parah, maka pasien dianjurkan untuk segera berkonsultasi dengan dokter.
5. Menganjurkan kepada pasien untuk banyak minum air untuk memaksimalkan
penyerapan vitamin larut air, yaitu vitamin B dan vitamin C.
6. Vitamin larut lemak hendaknya jangan dikonsumsi lebih dari dosis yang dianjurkan
karena dapat disimpan dalam jumlah banyak dalam tubuh, sehingga kemungkinan
terjadinya toksisitas jauh lebih besar daripada vitamin larut air.
7. Pasien diharapkan untuk memiliki istirahat yang cukup
BAB III
KESIMPULAN
1. Kebutuhan harian masing-masing vitamin antara lain:
Vitamin A dibutuhkan 700 mcg/hari (wanita), 900 mcg/hari (wanita); dan 770
mcg/hari (kehamilan).
Vitamin D dibutuhkan 200-400 unit (5-10 mikrogram kolekalsiferol atau
ergokalsiferol).
Vitamin E dibutuhkan pada pria sebanyak 10 mg/hari atau 15 IU (laki-laki),
wanita 8 mg/hari atau 12 IU (wanita), dan 10-12 mg/hari (kehamilan).
Vitamin K dibutuhkan 120 mcg/hari (laki-laki), 90 mcg/hari (wanita,
kehamilan).
Vitamin B1 dibutuhkan 0,9-1,1 mg/hari (wanita) dan 1,1-1,2 mg/hari (laki-laki)
Vitamin B2 dibutuhkan 1,7 mg/hari (laki-laki) dan 1,3 mg/hari (wanita)
Vitamin B3 dibutuhkan 14,4 mg/1000 kkal dan pada orang dewasa asupan
minimal asam nikotinat (vitamin B3) adalah 13 mg per hari
Vitamin B5 dibutuhkan 5 mg/hari (laki-laki dan wanita) dan 6 mg/hari
(kehamilan)
Vitamin B6 dibutuhkan 60-100 mg/hari (laki-laki dan wanita) dan 80-100
mg/hari (kehamilan)
Vitamin B12 dibutuhkan 2,4 mcg/hari (dewasa) dan 2,6 mcg/hari (kehamilan)
Vitamin C dibutuhkan 60 mg/hari (dewasa) dan 70 mg/hari (kehamilan)
2. KIE yang harus diberikan kepada pasien terkait dengan penggunaan vitamin dalam
swamedikasi antara lain:
Vitamin dibutuhkan secara esensial oleh tubuh dalam jumlah yang kecil,
namun harus dipenuhi setiap hari. Sumber makanan yang bergizi dan
berimbang sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan vitamin sehari-hari.
Penggunaan vitamin hendaknya disesuaikan dengan gejala atau keluhan yang
dialami oleh pasien (indikasi yang sesuai).
Perhatikan dosis dan durasi saat mengonsumsi vitamin yang dibutuhkan.
Jangan mengonsumsi vitamin secara berlebihan.
Swamedikasi vitamin dapat dilakukan sebagai terapi pencegahan dan
diindikasikan untuk mengatasi defisiensi ringan. Jika pasien sudah
menunjukkan gejala defisiensi parah, maka pasien dianjurkan untuk segera
berkonsultasi dengan dokter.
Menganjurkan kepada pasien untuk banyak minum air untuk memaksimalkan
penyerapan vitamin larut air, yaitu vitamin B dan vitamin C.
Vitamin larut lemak (A,D,E,K) hendaknya jangan dikonsumsi lebih dari dosis
yang dianjurkan karena dapat disimpan dalam jumlah banyak dalam tubuh,
sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas jauh lebih besar daripada vitamin
larut air.
Pasien dianjurkan untuk istirahat yang cukup
DAFTAR PUSTAKA
A Report of the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes and its Panel on Folate, Other B Vitamins, and Choline and Subcommittee on Upper Reference Levels of Nutrients, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine. 1998. Dietary Reference Intakes for Thiamin, Riboflavin, Niacin, Vitamin B6, Folate, Vitamin B12, Pantothenic Acid, Biotin, and Choline. Washington: The National Academies Press. p. 150 – 195.
Anderson, P.O. 2002. Handbook of Clinical Drug Data. 10th Edition. New York: McGraw-Hill Companies.
Anonim. 2012. Vitamin B3. (cited: 2012, November 17th) Available at: www.govita.com.au/library/Vitamins/VitaminB3.pdf
Anonim a. 2012. Food Sources of Vitamin B6. Kanada: Dietitians of Canada.
Anonim b. 2012. Vitamin B6. (cited: 2012, November 17th). Available at: www.govita.com.au/library/Vitamins/VitaminB6.pdf
Anonim c. 2001. Dietary Reference Intakes: Vitamins. (cited: 2012, November 17th). Available at: www.iom.edu/~/media/Files/Activity%20Files/Nutrition/DRIs/DRI_Vitamins.ashx
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: CV Sagung Seto.
Bangun, A.P. 2009. Sehat dengan Ramuan Tradisional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Bhagavan HN. 1985. Interaction Between Vitamin B6 and Drugs. In: Reynolds RD, Leklem JE, eds. Vitamin B6: Its Role in Health and Disease. New York: Liss. Pp. 401–415.
Bolkent, Sehnaz., O. Sacan, A. Karatug, R. Yanardag. 2008. The Effects of Vitamin B6 on the Liver of Diabetic Rats: A Morphological and Biochemical Study. IUFS J Biol Vol 67(1): p.1-7.
Brattstrom LE, Israelsson B, Norrving B, Bergkvist D, Thorne J, Hultberg B, Hamfelt A. 1990. Impaired Homocysteine Metabolism In Early-Onset Cerebral and Peripheral Occlusive Arterial Disease. Effects of Pyridoxine and Folic Acid Treatment. Atherosclerosis Vol 81: p. 51–60.
Dewi, A.B.F.K., N. Pujiastuti., I. Fajar. 2012. Ilmu Gizi untuk Praktisi Kesehatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Dewoto dan Wardhini, 2007 dan Wardhini, 2007 HR 2007. Vitamin dan Mineral. dalam Farmakologi dan Terapi edisi kelima.Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Percetakan Gaya Baru, Jakarta.p.769-92.
Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, and L.M. Posey. 2008. Pharmacotherapi A Pathophysiologic Approach. 7th edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.
EFSA Panel on Dietetic Products, Nutrition and Allergies. 2010. Scientific Opinion on the substantiation of health claims related to vitamin B6 and contribution to normal homocysteine metabolism (ID 73, 76, 199), maintenance of normal bone (ID 74), maintenance of normal teeth (ID 74), maintenance of normal hair (ID 74), maintenance of normal skin (ID 74), maintenance of normal nails (ID 74), contribution to normal energy-yielding metabolism (ID 75, 214), contribution to normal psychological functions (ID 77), reduction of tiredness and fatigue (ID 78), and contribution to normal cysteine synthesis (ID 4283) pursuant to Article 13(1) of Regulation (EC) No 1924/2006. EFSA Journal Vol 8(10): p.1759.
Hathcock, John. 2004. Vitamin and Mineral Safety 2nd Edition. Washington: Council for Responsible Nutrition.
Guilarte TR. 1993. Vitamin B6 and cognitive development: Recent research findings from human and animal studies. Nutr Rev Vol 51: p. 193–198.
Fauci, A. S. D. L. Kasper, A. L. Longo, E. Braunwald, S. L. Hauser, J. L. Jameson, J. Loscalzo. 2006. Harrison’s Principles of Internal Medicine. USA: McGraw-Hill Companies
Isselbacher, K.J., E. Braunwald, J.D. Wilson, J.B. Martin, A.S. Fauci and D.L. Kasper. 1999. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Joint Formulary Committee. 2011. British National Formulary 61. London: British Medical Association and Royal Pharmaceutical Society of Great Britain.
Kamiensky M, Keogh J 2006. Vitamins and Minerals. In: Pharmacology Demystified. Mc.GrawHill Companies Inc.,USA.p.137-54.
Katzung, B. G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika. 177-178, 193, 704-712.
Lacy, C.F., L.L. Amstrong, M.P. Goldman and L. L. Lance. 2011. Drug Information Handbook. Twentieth Edition. United States: Lexi-Comp Inc.
Meyer, M. 2012. Vitamin B2 (Riboflavin) Dosage, Intake, Recommended Daily Allowance (RDA). Vitamin and Health Supplements Guide.
MIMS, 2009. MIMS Edisi Bahasa Indonesia. Volume 10. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia).
Office of Dietary Supplement, 2011. Dietary Supplement Fact Sheet: Vitamin B12.USA: National Institutes of Health.
Rubenstein, D., D. Wayne and J. Bradley. 2010. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga Medical Series.
Schoenen, J., J. Jacquy and M. Lenaerts. 1998. Effectiveness of High-Dose Riboflavin in Migraine Prophylaxis: A Randomized Controlled Trial. American Academy of Neurology 50 (2): 466-470.
Spinneker, A., R. Sola, V. Lemmen, M. J. Castillo, K. Pietrzik, M. González-Gross. Vitamin B6 Status, Deficiency and Its Consequences - An Overview. Nutr Hosp Vol 22(1): p.7-24.
Subbarao K, Kakkar W. 1979. Thrombin Induced Surface Changes of Human Platelets. Biochem Biophys Res Commun Vol 88: p. 470–476.
Suhardjo dan C.M. Kusharto. 2010. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sumardjo, D. 2009. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sweetman, S.C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference. 36th Ed. London: Pharmaceutical Press.
Tambayong, J. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
The Natural Standard Research Collaboration. 2006. Niacin (Vitamin B3, Nicotinic Acid), Niacinamide. (cited: 2012, November 17th). Available at: http://www.mayoclinic.com/health/niacin/NS_patient-niacin
Tim Penyusun. 2008. Bahan Ajar Farmakognosi. Jimbaran: Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana.
Tjay, T. H. dan K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Triana, Vivi. 2006. Macam-Macam Vitamin dan Fungsinya Dalam Tubuh Manusia. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol: I (1). Hal: 40-47.
Vitahealth. 2010. Food Suplement. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Weir MR, Keniston RC, Enriquez JI Sr, McNamee GA. 1991. Depression of vitamin B6 levels due to dopamine. Vet Hum Toxicol Vol 33: p. 118–121.
Wong, D.L., M. Hockenberry-Eaton, D. Wilson, M.L. Winkelstein and P. Schwartz. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume Satu. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
MAKALAH SWAMEDIKASI VITAMIN
Oleh :
Komang Ayu Mariyani (1208515006)
Syarifudin (1208515008)
Ni Putu Parwatininghati (1208515009)
Enny Laksmi Artiwi (1208515010)
Ni Putu Martiari (1208515016)
I Gede Dwija Bawa Temaja (1208515017)
Anggy Anggraeni Wahyudhie (1208515019)
Ni Made Ayu Suartini (1208515020)
Ni Made Wiryatini (1208515021)
Ni Komang Enny Wahyuni (1208515023)
Ni Putu Dian Priyatna Sari (1208515025)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2012