functional adenoma hipofisis
TRANSCRIPT
ADENOMA PITUITARI FUNGSIONAL
PENDAHULUAN
Adenoma Pituitari merupakan tumor jinak yang bertumbuh lambat yang
berasal dari kelenjar pituitari. Adenoma Pituitari diklasifikasikan berdasarkan
produksi sekretnya atau berdasarkan ukuran. Berdasarkan ukuran, mikroadenoma
dikatakan bila ukuran tumor <1 cm dan makro adenoma bila lebih dari 1 cm.1
Adenoma pituitari fungsional (endokrin aktif) meliputi 70% dari seluruh
tumor pituitari yang memproduksi 1 atau 2 jenis hormon yang dapat diukur
kadarnya dalam serum dan menimbulkan gejala klinis dan diklasifikasikan sesuai
dengan hormon yang disekresikan. Sedangkan Adenoma pituitari non fungsional
merupakan endokrin inaktif. Adenoma pituitari fungsional cenderung mudah
dideteksi lebih dini karena adanya efek fisiologis dari kelebihan hormon.
Sedangkan pada adenoma pituitari non fungsional cenderung terdeteksi apabila
telah menimbulkan efek massa seperti sakit kepala, gangguan lapangan pandang,
defisit nervus kranialis, dan apopleksi pituitari.1,2
Adenoma pituitari fungsional berdasarkan jenis hormon yang
disekresikannya dibagi menjadi Prolaktinoma, GH Adenoma, ACTH Adenoma,
TSH adenoma dan Gonadotropin Adenoma. 2
Sekitar 40 % dari adenoma pituitari adalah prolaktinoma. Prevalensi umur
cenderung bervariasi mulai dari usia 20-50 tahun. Prolaktinoma cenderung terjadi
pada perempuan dengan insidensi tertinggi pada saat membesarkan anak. 2,3,4Angka insiden prolaktinoma mencapai 100 per 1000000 dewasa dengan rasio
perempuan berbanding laki-laki mencapai 10:1. Pada usia lebih dari 60 tahun,
prolaktinoma muncul denganfrekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin. Laki
laki cenderung mengalami makroadenoma sedangkan perempuan cenderung
mengalami mikroadenoma. Rata-rata umur saat didiagnosis lebih lama 10 tahun
pada laki-laki, hal ini terjadi karena pasien dengan prolaktinoma cenderung
datang saat mengalami gangguan visual dan hipopituarisme.2
1
Pada ACTH adenoma dikenal dua bentuk yakni Penyakit Cushing dan
Sindrom Nelson. Secara umum penyakit Cushing merupakan 10-15% dari
keseluruhan jenis adenoma pituitari dan cenderung mikroadenoma. Insidensi
puncak penyakit ini pada dekade ketiga dan keempat kehidupan dan lebih umum
pada perempuan. Meskipun cenderung kecil dan non invasif, 15% kasus dapat
berupa makroadenoma yang dapat menyerang struktur sekitarnya seperti tulang,
dura dan saraf Pada sindrom nelson, pasien cenderung mengalami makroadenoma
dan kecenderungan rekurensi jauh lebih tinggi dibandingkan sindrom cushing.5
Sindrom Nelson jarang terjadi dan merupakan suatu komplikasi dari Total
Bilateral Adrenalektomi (TBA)6 Insiden mencapai 8-43% pada orang dewasa dan
25–66% pada anak-anak. Sindrom nelson dapat berkembang hingga 24 tahun
pasca operasi TBA dengan waktu rata-rata sekitar 15 tahun pasca TBA. Angka
mortalitas mencapai 12% namun menurun seiring dengan berkembangnya
teknologi pencitraan. Pasien cenderung datang dengan keluhan efek kompresi
tumor terhadap jaringan sekitar.7
Growth hormone adenoma (GH adenoma) merupakan 15–20% dari
adenoma pituitari.8 Kelompok tumor ini meliputi adenoma somatotroph, adenoma
mammosomatotroph adenoma dan adenoma somatotroph–lactotroph. Prevalensi
terjadinya akromegali sebagai manifestasi penyakit ini mencapai 30-50 per 1 juta
orang dan insidensinya mencapai 5 untuk setiap satu juta orang. 9
Thyroid Stimulating Hormon Adenoma (TSH adenoma) mengambil
proporsi sebesar 0,9-2,8% persen dari keselurahan adenoma pituitari dan
umumnya berupa makroadenoma.2
Gonadotropin Adenoma cenderung sulit terdeteksi dan terkadang
digolongkan secara klinis sebagai nonfungsional. Namun pada pemeriksaan
immonositokimia menunjukkan sekitar 80-90% tumor pituitari non fungsional
ternyata mensekresi hormon gonadotropin atau subunit inaktif lainnya. Sekitar 40-
50% dari makroadenoma pituitari merupakan Gonadotropin Adenoma.2
ANATOMI
Terletak di pusat cranium, sella turcica merupakan tempat dimana kelenjar
pituitari atau hipofisis berada dan berada pada os sphenoid. Neurocranium yang
2
awalnya banyak mengandung kartilago menjadi dasar daripada tengkorak. Pada
awal pembentukannya os sphenoid berupa sebuah plat yang dibentuk dari
kondensasi mesenkim yang berhubungan dengan bagian depan dari foramen
magnum dan bagian paling depan dari cranium. Plat ini akan berkembang menjadi
corpus sphenoid, selanjutnya akan membentuk “sayap” dan berakhir dengan
terbentuknya fossa crania media. Ala major os sphenoid terbentuk dari fossa
crania media dan ala minornya terbentuk dari prosesus clinoideus anterior yang
akan menuju ke lateral untuk membentuk tepi sphenoid dan dipisahkan oleh
fissura orbitalis superior. Saat itu dasar tengkorak disebut sebagai chondrocranium
dan seiring waktu terjadilah proses osifikasi. Sella turcica dibentuk dari depresi
badan os sphenoid dan kemudian dilapisi duramater dan diisi oleh kelenjar
pituitari. Kelenjar Pituitari kemudian dibungkus dengan diafragma dan
disambungkan dengan infundibulum. Sinus Cavernosus dibentuk oleh duramater
yang terlipat dan menguhubungkan arteri karotis, cabang maxillaris dari nervus
trigeminus dan nervus III, IV, VI. Sinus Cavernosus menerima darah dari sinus
petrosus dan sphenopariteal serta vena lokal yang mendarahi sella. Diatas sella
turcica terletak nervus optikus, kiasma, ventrikel tertius dan hipotalamus.9
Gambar 1 : Sella turcica (11) pada os sphenoid.10
3
Lobus anterior dan intermedia kelenjar pituitari terbentuk dari kantong
Rathke yang merupakan suatu evaginasi dari atap faring. Hipofisis posterior
sebagian besar terbentuk dari ujung ujung akson dari nukleus supraoptik dan
paraventrikularis hipotalamus pada pembulah darah. Serabut saraf simpatis
mencapai lobus anterior dari kapsulanya sedangkan parasimpatis berasal dari saraf
petrosal, Hubungan langsung antara hipotalamus dan hipofisis dibentuk oleh
pembuluh portal hipofisis. Cabang dari arteri karotis dan sirkulus Willisi
membentuk jaringan kapiler berjendela yang dinamakan pleksus primer
dipermukaan ventral hipotalamus yang akan masuk ke eminensia mediana dan
membentuk kapiler yang bermuara ke kapiler hipofisis anterior. Hal inilah yang
disebut sebagai sistem portal.11
Gambar 2 : kelenjar Pituitari (9) dibatasi oleh sinus sphenoidal (17).10
Berat rata-rata kelenjar pituitari adalah 100 mg pada masa kanak-kanak
dan bertambah menjadi 500-600 mg pada saat dewasa, Ukuran kelanjar pituitari
20% lebih berat pada wanita dan dapat bertambah 12-100% pada saat kehamilan
karena membesarnya pars distalis. Volume kelenjar pituitari menurun seiring
dengan penuaan.12
Kelenjar Pituitari menerima darah dari dua kelompok arteri yakni arteri
hipofisialis superior yang mempercabangkan pituitari pars anterior. Pituitari pars
4
anterior merupakan bagian yang paling kaya vaskularisasi dan menerima 0,8
mL/g/menit darah dari sistem portal. Sedangkan arteri hipofisialis inferior
memperdarahi pars nervosa. Arteri hipofisialis superior berasal dari tonjolan
supraclinoid dari arteri karotis interna atau dari arteri komunikans posterior
sedangan arteri hipofisialis inferior berasal dari trunkus meningohipofisial yang
merupakan cabang dari segmen kavernosa dari arteri karotis interna. Selain itu
arteri hipofisialis superior juga memperdarahi tangkai pituitari, adenohipofisis,
dan permukaan bawah dari nervus optikus dan kiasma optikum. Arteri
beranastomosis dengan arteri hipofisisalis inferior untuk memperdarahi bagian
atas tangkai pituitari. Anastomose arteri lainnya berakhir menjadi kapiler
fenestrata dan masuk ke jaringan hipofisis dan menerima produk yang disekresi
hipofisis. Kapiler tersebut akan berubah bentuk menjadi vena porta hipofisial dan
merupakan tempat pelepasan hormon hasil sekresi dari hipotalamus. Aliran vena
dikembalikan pada sinus kavernosus yang selanjutnya akan bermuara pada sinus
petrosus dan sphenoparietal.12
HISTOLOGI DAN FISIOLOGI
Bagian utama dari hipofisis terdiri dari lobus anterior, posterior da
infundibulum. Bagian anterior pars distalis menyatu ke kranium dalam bentuk
tubular dari hipofisis serebri yang disebut infundibularis dan menghubungkan pars
posterior ke diencephalon. 13
Gambar 3: Potongan sagital kelenjar hipofisis terdiri dari kapsul (1) lobus anterior (2), lobus
posterior, pars nervosa (3) infundibulum pars infundibularis (4) eminentia mediana (5) dan lobus
intermedius (6)13
5
Bagian anterior terdiri dari 3 jenis sel yang berbeda berdasarkan
asiditasnya yakni asidofilik, basofilik, dan kromofobik. Sel asidofilik berbentuk
bulat dan mengandung granul asam. Sel ini terdiri dari sel somatotropik dan
mammotropik. Yang membedakannya adalah ukuran granul pada sel
somatotropik asidofilik lebih kecil dengan diameter 300nm, dibandingkan dengan
sel mammotropik dengan ukuran granul 600–900nm.13
Sel basofilik memiliki bentuk yang bervariasi terdiri dari sel gonadotropik
(ukuran granul: 300–400nm), sel tirotropik (granul: 60–160nm), sel adrenotropik
(granul 200–500nm), sel lipotropik (granul: 200–500nm) dan melanotropik
(granule size: 200–400nm).13
Sel kromofobik cenderung tidak berpartisipasi dalam pembentukan
hormon namun cenderung menjadi prekursor sel yang memproduksi hormon.13
Gambar 4 : Sel asidofilik (1) Basofilik (2) kromofobik (3) dan kapiler (4)13
Lobus intermedius masuk kedalam adenohipofisis. Sel basofilik masuk ke
dorsal hipofisis. Kista berisi koloid merupakan bagian yang penting pada lobus
intermedius. Kista dilapisi oleh epitel selapis atau epitel berlapis dam
menghasilkan MSH (melanocyte stimulating hormon).13
Bagian posterior dan infundibulum membentuk suatu struktur
neurohipofisis yang terdiri dari sel neuroglia (pituisit dan sel protoplasmik glial),
sejumlah serabut saraf tidak bermielin dari hipotalamus, jaringan penyambung
dan pembuluh darah serta sel basofilik.13
6
Gambar 5 : sel adenohipofisis (3) dan kista koloid (2)13
Hipofisis anterior mensekresi 6 hormon yakni Adenokortikotropik
Hormon (ACTH), Thyroid Stimulating Hormon (TSH), Growth Hormone (GH),
Follicle Stimulating Hormon (FSH) Luteinizing Hormon (LH) dan Prolaktin
(PRL). Sekresis hipofisis anterior dikontrol oleh senyawa kimia yang disalurkan
melalui pembuluh portal hipofisis dari hipotalamus ke hipofisis yang disebut
senyawa hipofisiotropik yang terdiri dari Corticotropik releasing hormon (CRH),
Thyrothropin Releasing Hormon (TRH) Growth Hormon Releasing Hormon
(GHRH) Growth Hormon Inhibiting Hormon (GHIH=Somatostatin)
Gonadotropin releasing Hormon (GnRH) dan Prolaktin Inhibiting Hormon (PIH)
dan Prolaktin Releasing Hormon (PRH) Lobus Intermedia menghasilkan
Melanosit Stimulating Hormon (MSH), sedangkan lobus posterior menghasilkan
oksitosin dan vasopresin.11
Gambar 6 : serabut saraf tidak bermyelin (1), sel basofilik (2) dan vena (3)13
7
PATOFISIOLOGI TUMOR PITUITARI
Sebagian besar mayoritas tumor pituitari berasal dari neoplasma epitelial
yang berkembang dari parenkim adenohipofise dan mengubah struktur histologi
pituitari. Selain itu dibentuk lah beberapa hormon yang dihasilkan oleh jenis sel
yang berubah. Pada keadaan tertentu tidak ditemukan adanya sekresi hormon
hipofise sehingga digolongkan non fungsional. Beberapa tumor dapat
mensekresikan lebih dari satu jenis hormon karena adanya gen hormon dan
reseptor yang multipel misalnya ekspresi gen growth hormon (GH) 50% terjadi
pada prolaktinoma dan 30% pada ACTH adenoma. Patogenesisnya cenderung
multifaktoral dan tentunya berdasar pada hal berikut :9
1. Abnormalitas gen yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan sel
2. Abnormalitas tumor supresor gen
3. Gangguan kematian sel terprogram
Secara umum tumor pituitari dan massa sellar lainnya memberikan setidaknya
empat gejala berikut antara lain:
1. Difungsi Endokrin yang terjadi akibat overproduksi hormon pituitari
2. Efek massa pada struktur terdekat misalnya kompresi nervus optikus dan
kiasma optikum dan terkadang menekan nervus III terutama pada kasus
apoplexy. Hidorsefalus mungkin dapat terjadi apabila ada penekanan
terhadap ventrikel tertius
3. Sakit kepala merupakan manifestasi peregangan lapisan dura pada sella
atau diafragma yang dipersarafi nervus trigeminus
4. Penemuan insidental dari radiologis yang terkadang disebut insidentaloma
Gambar 7 : Efek massa pada tumor pituitari yang ditandai dengan kelumpuhan otot levator
palpebra superior karena kompresi nervus oculomotor9
8
DIAGNOSIS
Diagnosis diarahkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisis terutama yang
berhubungan dengan gejala endokrin dan gejala kompresi. Gejala endokrin akan
dijelaskan lebih detail pada bahasan berikutnya. Efek massa yang perlu
diperhatikan antara lain :9
1. Nyeri kepala
2. Gangguan lapangan pandang (hemianopsia bitemporal akibat kompresi
serat saraf medial nervus opticus yang melewati kiasma optikum)
Pemeriksaan laboratorium dan radiologis juga sangat penting untuk
dilakukan. Pemeriksaan biokimia akan dijelaskan lebih lanjut. Dengan modalitas
radiologi sebagian besar tumor pituitari dideteksi dengan MRI karena
keunggulannya pada resolusi spasial dan kemampuannya untuk melakukan
analisis volumetrik. Kelenjar pituitari tidak mempunyai sawar darah otak.
Pemberian kontras Gadolinium akan timbul sesuai dengan urutan vaskularisasi.
Daerah infundibulum dan lobus posterior akan terwarna lebih dulu, kemudian
bagian anterior diwarnai karena sistem portal yang rumit.9
Gambar 8 : Gambaran Radiologis MRI tumor hipofisis pada potongan sagital (kiri) dan koronal
(kanan)9
9
PENDEKATAN TRANSPHENOIDAL
Pendekatan transphenoidal merupakan pendekatan bedah yang dilakukan
untuk mengeksisi lesi intrasella. Isi ruangan sella dapat diambil dari sinus
sphenoidalis melalui suatu lapisan tulang yang tipis yang membentuk lantai sella.
Tahapan ini dimulai dengan:14
1. Memotong mukosa pada bagian alveolar maxila ( disebut juga sublabial
transsphenoidal),
2. Melakukan insisi sepanjang mukosa nasal anterior berdekatan dengan
columella (transeptal transsphenoidal)
3. Melakukan insisi mukosa melalui rostrum sphenoidal (endonasal
transsphenoidal).
Sinus Cavernosus memiliki empat dinding dural, dimana dinding lateral,
superior dan posterior disusun dari lapisan dura endosteal dan periosteal. Bagian
medial dibentuk dari lapisan dura tunggal yang tipis. Pada bagian tengah,
diafragma sella memiliki pembukaan dimana infubdibulum lewat, Ukuran rata-
rata 7.26 mm + 1.99 mm, mulai dari 3.4 mm hingga 10.7 mm. Jarak lateralis
pembukaan diafragma adalah 7,33 mm + 2,79 mm, bervariasi dari 2,8 mm hingga
14,1 mm. 14
Américo et al pada tahun 2010 melakukan suatu analisa teknik
transhpenoidal terhadap 30 pasien dengan Adenoma Pituitari. Sekitar 23 pasien
memiliki makroadenoma dan sisanya mikroadenomas. Dua belas pasien memiliki
tumor nonfungsional, 9 pasien dengan ACTH adenoma, 8 pasien dengan GH
adenoma dan 1 prolaktinoma. Melalui pendekatan ini 6 kasus makroadenoma
telah diangkat total, 6 pasien di reseksi subtotal dan parsial reseksi sebanyak 11
pasein. Pada pasien dengan mikroadenoma, keseluruhan tumor dapat diangkat
melalui pendekatan operasi ini menjadikan operasi ini sebagai teknik yang bagus
dalam mereseksi tumor pituitari. 15
10
Gambar 9 : Identifikasi struktur sinus sphenoidal. Pada gambar kiri ditemukan septum intrasinusal
(SPT), clivus (C), dasar sellar (S), planum sphenoidal (PS) Prominensia karotis (CP) dan resesus
optikokarots (OC) Pada gambar kanan tampak tumor diindetifikasi setelah lantai dasar sella
dievakuasi (T)15
PROLAKTINOMA
Prolaktin merupakan protein globular yang mengandung 199 asam amino
dengan ikatan disulfida intramolekular. Awalnya disintesis sebagai prehormon
seberat 26 kDa Ketika prehormon diaktivasi maka akan terbentuk hormon seberat
23 kDa. Prolaktin disekresikan oleh hipofisis anterior dan dikontrol oleh
hipotalamus. Prolaktin cenderung tinggi pada kehamilan dan laktasi dan lebih
tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki.16
Peningkatan prolaktin ini dapat mencapai 10 kali lipat. Selain itu, makan,
olahraga dan stimulasi dinding dada dapat pula meningkatkan kadar prolaktin.
Stres fisik dan psikologis dapat pula meningkatkan prolaktin hingga mencapai 40
μg per liter.17
Pelepasan prolaktin dipengaruhi oleh dopamin dan segala proses yang
mengganggu sekresi dopamin atau proses penghantaran dopamin ke pembuluh
portal dapat menyebabkan hiperprolaktinemia. Kadar prolaktin normal pada
perempuan dan laki-laki adalah dibawah 25 μg per liter dan 20 μg per liter. 17
Prolaktinoma merupakan adenoma pituitari fungsional yang
mensekresikan prolaktin. Tumor ini bersifat jinak dan hampir 90% dari
prolaktinoma berukuran kecil dan merupakan tumor intrasellar yang jarang
membesar. Tumor ini dapat bersifat agresif dan lokal invasif dan dapat
menyebabkan kompresi struktur vital.3,18
11
Prolaktinoma mengandung laktotrop yang mensekresi prolaktin, proses ini
dirangsang oleh estrogen dan diinhibisi oleh dopamin yang disintesis oleh
hipotalamus dan di transpor ke pituitari melalui pembuluh portal. Prolaktinoma
dapat menimbulkan hiperprolaktinemia namun obat obatan seperti antagonis
reseptor dopamin D2 atau kondisi lain yang dapat menyebabkan hambatan
produsi dopamin oleh hipotalamus, transpor ke pituitari atau gangguan reseptor
dopaminergik juga dapat menyebabkan hiperprolaktinemia tanpa prolaktinoma.
Gagal ginjal dapat mempengaruhi proses eliminasi prolaktin seingga dapat
menimbulkan hiperprolaktinemia.3,16
Gambaran Klinis
Hipersekresi dari prolaktin akan memicu terjadinya amenorrhea,
galactorrhea dan infertilitas. Pria dengan prolactinoma datang dengan keluhan
sakit kepala, gangguan pengelihatan, atau defisit neurologis, selain itu
hipogonadisme, impotensi dan infertilitas juga dapat muncul. 16,18
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Pada anamnesis, pasien dengan prolaktinoma perlu diarahkan pada
munculnya gejala endokrin yang khas akibat peningkatan prolaktin. Anamnesis
perlu diarahkan pada riwayat menstruasi tertama adanya amenorrhea dan
hilangnya siklus menstruasi, Riwayat munculnya galaktorea diikuti konfirmasi
dengan pemeriksaan fisis juga perlu dievaluasi. Pada laki laki perlu ditanyakan
mengenai adanya penurunan libido dan infertilitas. Riwayat kehamilan, laktasi
dan penggunaan obat-obatan neuroleptik perlu ditanyakan.2 Obat-obatan
neuroleptik dapat menurunkan aktivitas dopamin yang memicu terjadinya
hiperprolaktinemia.19
Anamnesis dan pemeriksaan fisis terhadap tanda-tanda efek massa perlu
dilakukan. Pemeriksaan lapangan pandang perlu dilakukan terutama untuk menilai
efek kompresi tumor pada kiasma optikum.
12
Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran tunggal kadar prolaktin pada sampel darah yang diambil
secara acak dianggap cukup untuk mengetahui adanya hiperprolaktinemia. Pada
tes yang menunjukkan angka 25 to 40 µg per liter harus diulangi karena rentang
angka tersebut merupakan rentang angka yang fisiologis. Yang penting dibedakan
adalah sumber hiperprolaktinemia berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis
terutama untuk mengetahui apakah ada efek massa, serta pemeriksaan kehamilan.
Bila penyebab hiperprolaktinemia lainnya dapat disingkirkan dan diagnosa
prolaktinoma perlu ditegakkan maka dapat dikonfirmasi dengan menggunakan
sarana radiologis seperti MRI + gadolinium terutama untuk mengetahui ukuran
tumor dan perluasannya.17
Secara umum kadar prolaktin serum berhubungan dengan besarnya ukuran
tumor. Makroadenoma biasanya berhubungan dengan peningkatan kadar
prolaktin lebih dari 250 µg per liter bahkan dapat mencapai 1000 µg per liter.
Makroadenoma dapat pula tidak menunjukkan kadar prolaktin yang berlebih
terutama apabila terjadi kompresori tangkai pituitari.17
Penatalaksanaan
Farmakoterapi
Pengobatan lini pertama adalah menggunakan farmakoterapi yakni agonis
dopamin dan Cabergoline. Agonis dopamin dan Cabergoline digunakan untuk
menurunkan kadar prolaktin dan mengecilkan ukuran tumor, namun penggunaan
agonis dopamin tidak disarankan pada pasien yang asimtomatik. Pengguanaan
kontrasepsi oral juga dapat dipertimbangkan pada pasien dengan amenorhea.
Penggunaan agonis dopamin dapat diturunkan dosisnya hingga mencapai
setidaknya selama 2 tahun setelah tidak didapatkannya peningkatan kadar
prolaktin dan ukuran tumor tidak tampak pada MRI. Pada pasien yang kurang
memberikan respon, sebaiknya dosis agonis ditingkatkan daripada dirujuk untuk
pembedahan. Pada pasien yang sedang dalam kehamilan, agonis dopamin
sebaiknya dihentikan namun bila terjadi ancaman gangguan visual atau efek
massa lainnya maka pengobatan harus dilanjutkan. 4,20
13
Operatif
Pembedahan transphenoidal ditujukan pada pasien yang tidak dapat
menolerir kabergolin dosis tinggi atau terapi agonis dopaminnya. Radioterapi
disarankan pada pasien dengan prolaktinoma yang gagal ditangani dengan
pembedahan.4 Pendekatan operasi terhadap prolaktinoma adalah trans-sphenoidal.
Operasi trans-sphenoidal tidak menjamin kesembuhan dan angka rekurensi juga
cenderung tinggi. Angka keberhasilan operasi pada mikroadenoma mencapai 75%
terutama pada pasien dengan kadar prolaktin yang kurang dari 200 µg/l (∼4000
mIU/l), ukuran tumor yang kecil dan pada pasien dengan episode amenorrhoea
yang singkat. Akan tetapi hasil ini muncul dari studi terhadap tindakan yang
dilakukan oleh ahli bedah saraf dengan pusat pelayanan bedah saraf yang
memadai. Diluar dari pada itu hasil operasi akan diperkirakan jauh dari harapan.
Tumor yang sudah meluas ke sinus cavernosus tidak dapat disembuhkan melalui
operasi. Angka rekurensi mencapai 20% dari total pasien. Indikasi operasi lainnya
yakni apopleksi dengan tanda neurologis makroadenoma, makroprolaktinoma
kistik yang tidak dapat mengerut dengan pengobatan agonis dopamin, dan adanya
intoleransi agonis dopamin.3
Radioterapi
Radiasi eksternal jarang dilakukan untuk mengobati prolaktinoma dan
biasanya berhubungan dengan efek samping seperti hipopituitarisme, gangguan
nervus optikus, disfungsi neurologis, dan resiko terjadi stroke dan tumor otak
sekunder. Sehingga radioterapi tidak disarankan sebagai terapi primer pada
prolaktinoma dan hanya disarakan pada pasien yang tidak berespon dengan agonis
dopamin, tidak membaik dengan pembedahan atau pada kasus prolaktinoma
malignan.3
ADENOKORTIKOTROPIK ADENOMA
Secara umum, Adenoma Pituitari yang mensekresi ACTH dibagi menjadi
dua sindrom klinis yakni penyakit Cushing dan Sindrom Nelson.5 Penyakit
Cushing atau Adenoma Kortikotrophik atau pituitary dependent Cushing’s
syndrome merupakan suatu kelainan yang disebabkan oleh tumor pituitari yang
14
mensekresi ACTH. Penyakit ini dideskripsikan oleh Harvey Cushing pada tahun
1932 yang akan menimbulkan hipersekresi kortisol dari kelenjar adrenal. 20,21
Sindrom Nelson ditemukan pada pasien yang menjalani adrenalektomi
bilateral untuk mengontrol overproduksi glukokortikoid refrakter. Don Nelson
menemukan penyakit ini pada seorang perempuan berusia 33 tahun yang
menjalani operasi total bilateral adrenalektomi (TBA). Muncul hipotesis bahwa
berkurangnya umpan balik negatif glukokortikoid pada adrenalektomi bilateral
memicu terjadinya kecenderungan adenoma kortikotropik.5,11
Gambaran Klinis
Gambaran Hipersekresi kortisol meliputi penambahan berat badan,
keletihan, kelemahan otot, peningkatan tekanan darah, depresi, gangguan
kognitif, striae pada kulit, hiperpigmentasi, hilangnya libido, gangguan
metabolisme glukosa, hirsutisme, akne, dan gangguan menstruasi.22,23
Hiperkortikolisme kronik berhubungan dengan peningkatan insidensi
hipertensi arterial sistemik, diabetes mellitus, obesitas sentral, hiperlipidemia, dan
hiperkoagulobilitas. 22
Penyakit Cushing berhubungan dengan peningkatan mortalitas akibat
meningkatnya resiko komplikasi kardiovaskular, Gagal jantung dan gangguan
serebrovaskular.24
Gangguan akibat efek massa juga terjadi terutama pada tumor berukuran
besar seperti pada Sindrom Nelson yakni gangguan lapangan pandang dan
kelumpuhan nervus cranialis lainnya, akan tetapi pada saat ini, gambaran
hiperkortisol cenderung lebih mendominasi misalnya hiperpigmentasi. 7
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Secara sederhana untuk mengarahkan diagnosis yang harus menjadi dasar
adalah bagaimana menentukan sumber penyebab terjadinya hiperkortisol,
kemudian menentukan sumber ACTH ektopik dan melakukan konfirmasi dengan
radiologis serta patologis.21
15
Pada anamnesis dan pemeriksaan fisis perlu dievaluasi mengenai
munculnya gejala gejala seperti obesitas sentral, moon face dan bufallo hump,
adanya striae, edema dan hirsutisme. Riwayat penggunaan steroid juga perlu
ditanyakan sebagai hal yang dapat menentukan adanya paparan glukokortikoid
dari luar. Riwayat adrenalektomi juga penting untuk mendiagnosa kecurigaan
sindrom nelson.5
Secara umum pada orang normal, kadar kortisol mencapai puncaknya pada
pagi hari dan mencapai titik terendah sekitar <50 nmol/l pada tengah malam.
Pasien dengan Sindrom Cushing mengalami gangguan ritme circadian ini
sehingga hal inilah yang akan dijadikan dasar untuk mengetahui adanya
hiperkortisolisme. 21
Pemeriksaan Hiperkortisolisme meliputi :
1. Pemeriksaan urin bebas kortisol 24 jam yang diulang sedikitnya 2 kali
dengan nilai 220–330 nmol/24 jam. Namun nilai normal didapatkan pada
8-15% pasien dengan hiperkortisolisme.25
2. Respon kortisol dengan tes supresi 1mg dexametason. Nilai kortisol <50
nmol/l (< 2 μg/dl) mengeksklusi Sindrom Cushing dengan sensitivitas
tinggi (95%) namun spesifitasnya rendah.22
3. Respon Kortisol dengan tes supresi dexametason dosis rendah (0.5 mg
dexametason setiap 6 jam selama 48 jam) Nilai kortisol <50 nmol/l (< 2
μg/dl) mengeksklusi Sindrom Cushing dengan sensitivitas dan spesifitas
tinggi hampir mencapa 100%
4. Kortisol Liur tengah malam dimana nilai kortisol >2 ng/ml (5.5 nmol/l)
memiliki sensitivitas 100% dan spesifitas 96%. 23
Tes Injeksi CRH dan digabungkan dengan tes supresi dexametason
dilakukan untuk membedakan sindrom cushing dengan pseudocushing sindrom
misalnya pada peningkatan konsumsi alkohol. 22,25
Untuk membedakan Sindrom Cushing lainnya dengan Sindrom ACTH
dependen dilakukan tes pengukuran ACT, tes supresi dexametason dosis tinggi (8
mg/hari selama 2 hari), tes CRH (100 μg intravena) dan tes desmopresin (10 μg
intravena) 21,22,25
16
Penatalaksanaan
Operatif
Penatalaksanaan terbaik untuk penyakit Cushing adalah menghilangkan
adenoma dengan pendekatan transphenoidal. Hal ini akan memicu terjadinya
remisi pada 80% pasien walaupun 30% pasien akan mengalami relaps pada jangka
waktu yang panjang. Alternatif terapi yang lain masih bersifat kontroversial.
Mengulangi tindakan operasi dapat memberikan hasil yang baik apabila residu
tumor dapat terdeteksi oleh MRI walaupun akan berujung pada resiko
hipopituitarisme yang tinggi. Reseksi dilakukan pada batas histologis
pseudokapsul yang membungkus lobus anterior yang akan memberikan hasil yang
lebih baik dengan komplikasi yang ringan.2
Farmakoterapi
Obat-obatan yang dapat menghambat sintesis steroid seperti ketoconazole,
metyrapone, aminoglutethimide, mitotane efektif dalam mengatasi
hiperkortikolisme sebelum operasi, atau pada operasi yang belum berhasil
mengevakuasi keseluruhan tumor atau selama menunggu efek penuh dari
radioterapi dan terapi definitif lainnya.21
Radioterapi
Radioterapi yang dikombinasi dengan ketokonazole atau radiosurgery
tergolong lebih efektif namun perlu evaluasi jangka panjang yang ketat terutama
terhadap fungsi otak dan hipopituitarisme. Bedah pisau Gamma cenderung lebih
cepat menurunkan kadar kortisol namun angka relaps mencapai 20%.21
GROWTH HORMON ADENOMA
Growth hormone (GH) merupakan hormon rantai tunggal seberat 21000-
Dalton yang diproduksi dibagian lateral anterior kelenjar pituitari.7 Growth
hormone (GH) terdiri dari 191 asam amino yang dilepaskan dari bagian anterior
pituitari dan pelepasannya dipengaruhi oleh GHRH dan diinhibisi oleh
somatostatin yang diinduksi oleh hiperglikemia. Hal ini disebabkan karena
17
pelepasan GH memicu terjadinya sintesis insulin-like growth factor-1 (IGF-1)
melalui reseptor GH hepatik.20 Oleh karena itulah analog somatostatin dapat
digunakan untuk menekan sekresi GH dan tes toleransi glukosa oral dapat
digunakan untuk menilai respon terhadap pengobatan. 9
Gambaran Klinis
Kelebihan GH dapat menimbulkan akromegali atau gigantisme. Yang
membedakannya adalah gigantisme merupakan proses terhadap GH yang
berlebihan sebelum lempeng epifisial tertutup dan akromegali terjadi sebaliknya. 9
Sekitar 95% pasien dengan GH adenoma menunjukkan gejala akromegali dan
umumnya berasal dari sel somatotroph sehingga GH adenoma sering disebut
adenoma somatotroph walau pada kenyataannya terdapat jenis adenoma yang lain. 26 Diagnosis dapat ditegakkan secara ko-insidental karena adanya komplikasi
seperti carpal tunnel syndrome, diabetes mellitus, hipertensi, hypopituitarisme.
Hipertensi kronik dapat menimbulkan gangguan cerebrovaskular, penyakit arteri
koroner dan gagal jantung kongestif. Pasien dengan akromegali juga cenderung
mengalami malignansi seperti polip kolon, karsinoma kolon dan karsinoma
payudara dibanding populasi umum. Selain itu pasien juga dapat mengalami
gejala hiperprolaktinemia.9 Secara umum dibandingkan dengan populasi normal,
pasien dengan akromegali cenderung memiliki angka mortalitas 2.4 hingga 4.8
kali lebih tinggi. 20
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Anamnesis dan pemeriksaan fisis merupakan modalitas yang baik untuk
mengenali akromegali. Umumnya gejala berlangsung perlahan hingga pasien akan
datang perubahan bentuk yang nyata Pasien akan mengeluhkan beberapa
gangguan metabolik, gangguan muskuloskeletal seperti carpal tunnel syndrome
gangguan tidur dan gejala kardiovaskular seperti aritmia dan hipertensi.2
18
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan biokimia didasarkan pada pemeriksaan GH sewaktu lebih
dari 10 mU/l (5.0 ng/ml), dan dikatakan gagal tersupresi apabila kadar GH kurang
dari 2.0 mU/l (1.0 ng/ml) pasca pembebanan 75 gram glukosa oral dan adanya
peningkatan insulin-like growth factor 1 (IGF-1). Untuk membedakan GH yang
diproduksi oleh pituitari dan dari sumber ektopik lainnya maka pemeriksaan kadar
GHRH harus diperiksa terutama pada pasien dengan kecurigaan yang minim
kearah pituitari adenoma. Eksposure GH juga diamati dengan pengukuran kadar
IGF-1. Pada kasus tertentu prolaktin juga perlu diperiksa untuk mengetahui
adanya jenis adenoma campuran yang juga mensekresi prolaktin, selain GH.9
Modalitas MRI mampu mendeteksi adenom pituitari yang menjadi
penyebab akromegali. Pemeriksaan oftalmologis juga perlu dilakukan bila terjadi
penyebaran tumor yang luas.2
Penatalaksanaan
Penanganan secara umum dari GH adenoma adalah dengan membuang
bagian tumor dan mengembalikan kadar sekresi GH ke kadar yang normal.
Mengembalikan kadar GH ke dalam batas normal dapat mengurangi angka
mortalitas. Kriteria kesembuhan akromegali didefinisikan sebagai kadar GH
kurang dari 0.4 μg/L pasca pembebanan glukosa oral menggunakan GH assay dan
kembalinya kadar IGF-1 ke level normal menurut umur dan jenis kelamin.
Pendekatan terapi meliputi operasi transphenoidal, terapi medikamentosa dan
radioterapi. 20
Secara umum penanganan GH adenoma adalah dengan operasi baik atau
tanpa radioterapi. Akan tetapi pada kasus dimana terdapat jenis tumor campuran
yang mensekresi GH dan prolaktin, pemberian dopamin agonis hanya berespon
terhadap 20% pasien. Pengobatan dengan analog somatostatin inhibitor
menunjukkan penurunan terhadap sekresi GH, akan tetapi penggunaanya terbatas
akibat harga, cara pemberian dan efek samping cholelithiasis. 9
19
THYROID STIMULATING HORMON ADENOMA
Thyroid Stimulating Hormon Adenoma merupakan tumor yang belum
jelas mengenai varian onkogennya. Menurut studi yang dilakukan clarke
menungngkapkan bahwa TSH adenoma merupakan kasus yang sulit didiagnosis,
makroadenoma dan bersifat plurihormonal.2
Tumor ini jarang terjadi dan ditandai dengan adanya peningkatan TSH
disertai hipertioridisme atau hipotiroidisme. Riwayat hipotiroidisme yang lama
juga bisa menjadi faktor resiko terjadinya hiperplasia sel tirotropik dan memicu
terjadinya adenoma.20
Gambaran Klinis
Suatu laporan kasus oleh Thomas Arnason mengungkapkan suatu kasus
TSH adenoma pada seorang wanita 49 tahun dengan hipertiroidisme yang sulit
dikontrol dengan terapi methimazole. Pasien tersebut mengeluhkan sakit kepala,
berdebar debar, nyeri pada mata kiri dan gangguan saluran cerna. Kadarserum
thyroid-stimulating hormone (TSH) level adalah 10.45 (normal 0.35–5.5) mIU/L
dan kadar FT4 17.8 (normal 11.5–22.7) pmol/L. Dan pada pengukuran dengan
MRI didapatkan ukuran tumor sebesar 12 mm. Tiga minggu pasca operasi kadar
TSH mencapai 1.19 mIU/L dan FT4 9.7 pmol/L. Pasien diberikan levothyroxine
dan kondisi eutiroid didapatkan dalam 3 bulan berikutnya.27
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Anamnesis dan pemeriksaan fisis perlu diarahkan pada adanya gejala
hipertiroidisme seperti palpitasi walaupun pada kenyataannya pasien memiliki
profil hormon tiroid yang sedikit meningkatkan atau bahkan normal.Pemeriksaan
fisis cenderung diarahkan pada gejala efek massa seperti gangguan pengelihatan.2
Pemeriksaan Penunjang
Evaluasi Hormonal perlu dilakukan terutama pada kadar TSH dan tiroksin
bebas. Hal ini akan jelas membedakan antara hipertiroidisme primer dan sekunder
20
Pemeriksaan dengan menggunakan MRI dapat memberikan gambaran adenoma
yang jelas. Konfirmasi TSH adenoma dapat dilakukan dengan scan radioaktif 99m
Tc octeotride 2.
Penatalaksanaan
Operatif
Penanganan terbaik pada tumor ini adalah reseksi bedah melalui
pendekatan transphenoidal. Reseksi komplit akan memberikan perubahan yang
cepat dan kembalinya profil hormon ke kondisi normal. Terapi tambahan perlu
dilakukan untuk mengurangi tumor dan menangani keadaan hipertiroid.6
Radioterapi
Radiasi perlu dilakukan dalam jangka panjang untuk memperoleh hasil
yang baik namun potensi terjadinya hipopituarisme cenderung besar. Penggunaan
terapi radioaktif iodine dapat mengurangi gejala hipertiroidisme.6
Farmakoterapi
Penggunaan obat antitiroid dapat mengurangi gejala hipertiroid. Octreotide
efektif dalam mengontrol sekresi TSH pada 80–90% pasien. Octeotride dapat
mengurangi konsentrasi TSH dan dengan demikian menurunkan kadar hormon
tiroid. Kombinasi berbagai terapi perlu dilakukan agar mencapai hasil yang
optimal. 6
Pada laporan kasus yang dipaparkan oleh Thomas Arnason menunjukkan
tiga minggu pasca operasi kadar TSH mencapai 1.19 mIU/L dan FT4 9.7 pmol/L.
Pasien diberika levothyroxine dan kondisi eutiroid didapatkan dalam 3 bulan
berikutnya.27
GONADOTROPIN ADENOMA
Beberapa tumor yang dianggap non fungsional mengekskresikan hormon
gonadotrophin sub unit alpha,beta atau keduanya meskipun demikian tidak ada
gambaran klini yang nampak ataupun hanya berupa disfungsi gonadal. Efek
massa merupakan hal yang paling dikeluhkan pada pasien dengan tumor golongan
21
ini. Pada pria usia pertengahan tumor ini sering dideteksi dan pada wanita muda
timbul gangguan ovarium primer karena peningkatan serum gonadotropin secara
kronik menghambat fungsi ovarium. 9,11
Gambaran Klinis
Gonadotropin adenoma biasanya tidak secara tipikal berhubungan dengan
gambaran klinis. Biasanya pasien cenderung datang dengan gangguan visual, sakit
kepala, dan hipopituairisme. Pada pasien pria dengan paparan LH yang tinggi
akan memiliki kadar testosteron yang tinggi dan peningkatan libido. Pada
perempuan dengan paparan LH yang tinggi akan menimbulkan hiperstimulasi
ovarium.6
Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisis cenderung tidak memberikan gejala
yang khas selain adanya penurunan libido dan tanda-tanda gangguan visual
lainnya.6
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kadar basal FSH, LH dan sub unit hormon lainnya perlu
dilakukan terutama pada keadaan tumor yang cenderung non fungsional. Lebih
dari 10% sel yang direseksi dari jaringan adenoma positif terhadap pewarnaan
FSH, LH atau subunit lainnya.6
Penatalaksanaan
Operatif
Adenomektomi transphenoidal merupakan terapi primer pada
Gonadotropin Adenoma. Prosedur operasi serupa dengan prosedur dalam
penanganan tumor hipofisis lainnya.6
22
Radioterapi
Radiasi dapat dilakukan pada pasien dengan tumor yang sulit dieradikasi
sempurna pada pembedahan atau pada tumor rekuren yang tidak mengkompresi
kiasma optikum. Terapi radiasi ajuvan tidak umum dilakukan pada tumor yang
tereseksi sempurna karena angka rekurensinya rendah.6
Farmakoterapi
Tidak ada terapi standar pada gonadotropin adenoma. Agonis dopamin
dapat menekan pelepasan gonadotropin dan subunitnya baik invivo maupun
invitro. Penekanan aktivitas sekresi hormon biasanya ditandai dengan perbaikan
lapangan pandang dan perubahan ukuran hormon. Terapi agonis dopamin perlu
dilakukan bila reseksi bedah tidak sempurna mengeradikasi tumor. Obat GnRH
antagonis efektif dalam menormalkan kadar FSH namun tidak mengurangi ukuran
tumor pada penggunaan 3- 12 bulan.6
DAFTAR PUSTAKA
1. Ezzat S, Asa SL, Couldwell WT, Barr CE, Dodge WE, Vance ML, et
al. The prevalence of pituitary adenomas, a systematic review.
American Cancer Society. 2004;101:613-9.
23
2. Sharif-Alhoseini M, Laws ER, Rahimi-Movaghar V. Functioning
pituitary adenoma. In: Rahimi-Movaghar V, editor. Pituitary
adenomas. Shanghai: InTech; 2012. p. 33-48.
3. Casanueva FF, Molitch ME, Schlechte JA, Abs R, Bonert V, Bronstein
MD, et al. Guidelines of the pituitary society for the diagnosis and
management of prolactinomas. Journal of clinical endocrinology.
2006;65:265-73.
4. Melmed S, Casanueva FF, Hoffman AR, Kleinberg DL, Montori VM,
Schlechte JA, et al. Diagnosis & treatment of hyperprolactinemia: an
endocrine society clinical practice guideline. Journal of clinical
endocrinology & metabolism. 2011;96:273-88.
5. Cheunsuchon P, Whyte EH. Pathology of cushing's disease. In:
Swearingen B, Biller BM, editors. Cushing's disease. New York:
Springer; 2011. p. 33-5.
6. Arafah BM, Nasrallah MP. Pituitary tumors: pathophysiology, clinical
manifestations and management. Journal of endocrine related cancer.
2001;8:287-305.
7. Barber TM, Adams E, Ansorge O, Byrne JV, Karavitaki N, Wass JAH.
Nelson’s syndrome. European Journal of Endocrinology.
2010;163:495-507.
8. Kaye AH. Pituitary tumours In: essential neurosurgery. New York:
Springer; 2005. p. 109-20.
9. Stacey RJ, Powell MP. Sellar and parasellar tumours. In: Newell DW,
Moore AJ, editors. Neurosurgery. Singapore Springer; 2005. p. 187-
97.
10. Rohen JW, Yokochi C, Drecoll EL, editors. Color atlas of anatomy.
Singapore: Spring; 2005. p. 29, 118.
11. Ganong FW. Kelenjar hipofisis In: Buku ajar fisiologi kedokteran.
Jakarta: EGC 2008 p 244-5,413-27
12. Amar AP, Weiss MH. Pituitary anatomy and physiology. Journal of
Neurosurgery Clinics of North America 2003;13:11-23.
24
13. Kuehnel W. hypophysis-pituitary gland. In: Color atlas of cytology,
histology, and microscopic anatomy Stuttgart: Thieme; 2003. p. 254-6.
14. Campero A, Campero A, Martins C, Yasuda A, Rhoton A. Anatomical
considerations of the endonasal transsphenoidal approach Brazilian
Journal Of Neurosurgery. 2008;19:48-53
15. Santos ARLD, Neto RMF, Veiga JCE, Jr. JV, Scaliassi NM,
Lancellotti CLP, et al. Endoscopic endonasal transsphenoidal approach
for pituitary adenomas, technical aspects and report of casuistic.
Brazilian Journal Of Neurosurgery. 2010;48:608-12.
16. Gibney J, Smith TP, McKenna TJ. Clinical relevance of
macroprolactin. Journal of clinical endocrinology. 2005;62:633–43.
17. Schlechte JA. Prolactinoma. New England Journal Of Medicine.
2003;349:2035-41.
18. Schlechte JA. Approach to the patient, long-term management of
prolactinomas. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism.
2007;92:2861-5
19. Molitch ME. Medication-induced hyperprolactinemia. Mayo Clinical
Proceedings. 2005;80:1050-7.
20. Biller BM, Colao A, Petersenn S, Bonert VS, Boscaro M.
Prolactinomas, cushing's disease and acromegaly: debating the role of
medical therapy for secretory pituitary adenomas. BMC endocrine
disorders. 2010;10:10-24.
21. Castinetti F, Morange I, Conte-Devolx B, Brue T. Cushing's disease.
Orphanet Journal of Rare Diseases. 2012;7:41-9
22. Arnaldi G, Angeli A, Atkinson AB, Bertagna X, Cavagnini F,
Chrousos GP, et al. Diagnosis and complications of cushing’s
syndrome: a consensus statement. The Journal of Clinical
Endocrinology & Metabolism. 2003;88:5593-602.
23. Findling JW, Raff H. Cushing’s syndrome: important issues in
diagnosis and management. The Journal of Clinical Endocrinology &
Metabolism. 2006; 91:3746–53
25
24. Atkinson AB, Kennedy A, Wiggam MI, McCance DR, Sheridan B.
Long-term remission rates after pituitary surgery for cushing’s disease:
the need for long-term surveillance. The Journal of Clinical
Endocrinology 2005;63:549-59
25. Nieman LK, Biller BMK, Findling JW, Newell-Price J, Savage MO,
Stewart PM, et al. The diagnosis of cushing’s syndrome: an endocrine
society clinical practice guideline. The Journal of Clinical
Endocrinology & Metabolism. 2008;93:1526–40
26. Chanson P, Salenave S. Acromegaly. Orphanet Journal of Rare
Diseases. 2008;3:17-34.
27. Arnason T, Clarke DB, Imran SA. Hyperthyroidism caused by a
pituitary adenoma. Canadian Medical Association Journal.
2011;183:11.
26