frustrasi sosial lahirkan spiral kekerasan - ftp.unpad.ac.id · direskrim, karo ops, dan kasat...

1
PERISTIWA di Tanah Air bela- kangan ini diwarnai dengan berbagai kerusuhan dan keke- rasan di beberapa tempat. Tak jarang, tempat kejadian perkara kerusuhan tersebut bahkan terjadi terlalu dekat dengan institusi hukum, yang seharusnya memberikan per- lindungan dan keamanan ke- pada masyarakat. Dari kacamata psikologi, kejadian ini menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia yang tengah didera frustrasi sosial. Lagi-lagi, masalah ke- sejahteraan menjadi latar bela- kangnya. “Memang ada akselerasi dalam bidang pembangunan ekonomi, tapi kebijakannya tak menyentuh soal kesejahteraan masyarakat,” ucap Arie Sujito, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), di Jakarta, Jumat (7/10). Akar permasalahan kedua, lanjut Arie, dipicu oleh surut- nya rasa kepercayaan masyarakat atas institusi hu- kum. “Memang benar, ada banyak kasus korupsi yang diungkap, tapi kasus yang besar tidak tersentuh. Jadi ada distrust dari masyarakat atas institusi hu- kum kita,” urainya. Buruknya kondisi ekonomi dan hukum itu semakin diper- parah dengan tidak kondusif- nya suasana politik di negara ini. “Perubahan politik itu tidak mampu meyakinkan rakyat untuk memperbaiki kehidup- an. Di titik inilah frustrasi sosial merebak secara luas.” Selanjutnya, akumulasi dari ketiga permasalahan yang tidak terpecahkan itu akhirnya menciptakan ‘tsunami’. Frustrasi sosial yang tidak jua menemukan jawaban lalu bertumbukan dengan ‘spiral kekerasan’ yang begitu cepat- nya membelah diri dari satu tempat ke tempat lain. Tidak objektif Menurut anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) Mo- hammad Fajrul Falaakh, ba- nyaknya ketidakadilan dalam penegakan hukum terjadi ka- rena tidak ada parameter objek- tif mengenai proses hukum untuk diketahui masyarakat. Ia mencontohkan, Gubernur Kaltim Awang Farouk Ishak, tersangka kasus divestasi sa- ham PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang merugikan negara sebesar Rp576 miliar. Awang justru dengan nyamannya ber- tolak ke China atas ‘jaminan’ Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu kepada Kejak- saan Agung. “Menurut KUHP, adalah kewenangan di penyidik apak- ah tersangka dicekal apa tidak. Lalu apakah kalau sudah dicekal, lalu boleh berobat atau tidak, itu semua ada pada pe- nyidik.” Kriteria-kriteria yang objek- tif itulah yang dibutuhkan oleh pencari keadilan untuk bisa jadi pegangan yang lebih jelas. (*/Tup/P-4) H ANYAkarena sewot terhadap anggota polisi yang merazia kendaraan bermo- tor di Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat, puluhan orang merusak Kantor Kepolisian Sektor Muara Gembong. Satu mobil patroli dirusak warga. Kerusuhan itu terjadi Novem- ber 2009. Amuk massa dengan modus yang hampir sama terjadi di Buol, Sulawesi Tengah, akhir Agustus lalu. Akibat curiga de- ngan kematian seorang tahanan di Polsek Biau, Kabupaten Buol, warga setempat menga- muk dan nekat menyerbu kan- tor polisi setempat. Akibatnya sebanyak 5 warga sipil tewas dan 17 anggota kepolisian me- ngalami luka-luka. Kerusuhan terjadi selama tiga hari sampai pasukan tambahan didatang- kan dari luar Sulawesi Te- ngah. Sebelumnya, pada akhir Februari 2010, ratusan orang mengamuk di Kantor Kepoli- sian Sektor Praya Barat, Lom- bok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Sempat terjadi aksi saling dorong antara massa dan aparat. Massa yang beringas me- maksa masuk ke ruang tahanan Polsek Praya Barat dan menun- tut seorang warga yang kerap membuat onar dibawa keluar untuk dihakimi. Dalam beberapa tahun ter- akhir, konflik horizontal mau- pun bentrokan antara warga dan aparat kerap terjadi di wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Dua wilayah itu dikenal sebagai hot spot. Potret kelam ini juga terjadi di Ibu Kota. Darah tumpah di Jalan Ampera Raya, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Se- latan, 29 September 2010. Dua kelompok bertikai tidak jauh dari ruang peradilan yang harus dijunjung dan dihormati. Tiga orang tewas sia-sia. Ca- tatan ini bisa lebih panjang lagi, sebab peristiwa serupa nyaris terjadi setiap hari di berbagai daerah. Parahnya lagi, para tersang- ka koruptor justru dapat me- lenggang bebas dan menerima pengampunan dari pemerin- tah. Lihat saja Gubernur Kali- mantan Timur Awang Farouk Ishak, tersangka kasus korupsi dan masih dicekal, bisa mulus ke China dengan alasan kun- jungan kerja. Kemudian, terpidana kasus korupsi HR Syaukani diberi grasi karena belas kasihan pe- merintah. Gejala apa ini? Be- narkah wibawa hukum sudah runtuh? Guru Besar Emeritus Univer- sitas Airlangga Surabaya Soe- tandyo Wignjosoebroto menilai tindakan anarkistis yang ba- nyak terjadi di masyarakat disebabkan banyaknya kepen- tingan yang tidak terakomo- dasi. “Saat ini masih banyak ke- pentingan kelompok-kelompok masyarakat yang belum terako- modasi,” ujarnya, Jumat (8/10). Masyarakat yang dulu hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang eksklusif, karena pergeseran waktu dan kebu- tuhan, harus hidup berbaur dengan kelompok-kelompok yang lebih besar dengan be- ragam latar belakang dan karakter. Sehingga ada semacam kekagetan dan ketidaksiapan menghadapi perubahan. “Masyarakat yang biasa hidup dalam lingkup kecil yang eks- klusif tiba-tiba harus hidup dalam suasana yang lebih terbuka dan beragam. Pe- rubahan yang terlalu cepat membuat masyarakat seperti itu,” tuturnya. Bagi mantan Ketua Mahka- mah Agung Bagir Manan, hu- kum tidak perlu menjadi kam- bing hitam atas segala kerusuh- an yang merebak di daerah akhir-akhir ini. Menurutnya, kerusuhan dan penegakan hukum meru- pakan dua hal yang berbeda. “Tidak layak jika berpikir keduanya dikait-kaitkan,” ungkapnya di Jakarta, Jumat (8/10). Bagir berpendapat, tidak semua kerusuhan diakibat- kan oleh ketidakpastian hukum. Justru kebanyakan kerusuhan terjadi karena ketidakpuasan terhadap masalah tertentu. “Justru aparat peme- rintah harus bertindak atas nama hukum untuk menghadapi kerusu- han,” paparnya. Tidak profesional Wakil Ketua Komi- si III DPR Aziz Syam- suddin mengungkap- kan maraknya keru- suhan di daerah me- rupakan cermin proses penegakan hukum yang tidak berjalan secara inte- gral. Aparat pene- gak hukum menunjukkan sikap tidak profe- sional. “Keru- suhan merupa- kan akibat sikap tidak profesional tersebut,” ujarnya. Konflik pecah di masyarakat, lanjut Aziz, karena mereka frustrasi dengan kondisi hu- kum yang ada. Mereka menganggap bahwa tindakan secara hukum tidak memiliki keberpihakan terha- dap masyarakat itu sendiri. Dalam menyikapi feno- mena tersebut, Kaba- reskrim Komjen Ito Su- mardi menyatakan Polri terus melakukan langkah semaksi- mal mungkin dalam meng- hadapi massa yang kerap bertindak anarkistis. Karena itu, Jumat (8/10), Kapolri meng- adakan Sosialisasi Penanggu- langan Tindakan Anarkistis yang dihadiri para kapolda, direskrim, karo ops, dan Kasat Sabhara seluruh Indonesia. Bagi Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Boy Rafli, pihaknya menduga penyerang- an terhadap kan- tor-kantor polisi karena banyak pelaku kejahatan yang dendam dengan apa yang dilakukan polisi. Polisi pun mengetatkan prosedur keamanan terhadap potensi penyerangan tersebut. “Mereka terganggu dengan keberadaan polisi. Kepentingan mereka terganggu,” kata Boy Rafli di Jakarta, Jumat (8/10). (NJ/AO/FD/P-3) [email protected] FOK INTERNA BACA B Tem Ancaman Sa Eropa M 22 | SENIN, 11 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Fokus Pol Frustrasi sosial masyarakat yang menumpuk makin menyulut amarah dan antipati kepada lembaga penegak hukum. Edy Asrina Putra Frustrasi Sosial Lahirkan Spiral Kekerasan WIBAWA HUKU DI UJUNG TAND ANTARA/MUHAMAD NASRUN KANTOR POLSEK DIBAKAR: Kantor Polsek Mamunu hangus dibakar warga, saat bentrok antara polisi dan warga di Buol, Sulteng, beberapa waktu lalu.

Upload: buimien

Post on 19-May-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERISTIWA di Tanah Air bela-kangan ini diwarnai dengan berbagai kerusuhan dan keke-rasan di beberapa tempat.

Tak jarang, tempat kejadian perkara kerusuhan tersebut bahkan terjadi terlalu dekat dengan institusi hukum, yang seharusnya memberikan per-lindungan dan keamanan ke-pada masyarakat.

Dari kacamata psikologi, kejadian ini menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia yang tengah didera frustrasi sosial. Lagi-lagi, masalah ke-sejahteraan menjadi latar bela-kangnya.

“Memang ada akselerasi dalam bidang pembangunan ekonomi, tapi kebijakannya tak menyentuh soal kesejahteraan masyarakat,” ucap Arie Sujito,

sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), di Jakarta, Jumat (7/10).

Akar permasalahan kedua, lanjut Arie, dipicu oleh surut-n y a r a s a k e p e r c a y a a n masyarakat atas institusi hu-

kum. “Memang benar, ada banyak

kasus korupsi yang diungkap, tapi kasus yang besar tidak tersentuh. Jadi ada distrust dari masyarakat atas institusi hu-kum kita,” urainya.

Buruknya kondisi ekonomi dan hukum itu semakin diper-parah dengan tidak kondusif-nya suasana politik di negara ini.

“Perubahan politik itu tidak mampu meyakinkan rakyat

untuk memperbaiki kehidup-an. Di titik inilah frustrasi sosial merebak secara luas.”

Selanjutnya, akumulasi dari ketiga permasalahan yang tidak terpecahkan itu akhirnya menciptakan ‘tsunami’.

Frustrasi sosial yang tidak jua menemukan jawaban lalu bertumbukan dengan ‘spiral kekerasan’ yang begitu cepat-nya membelah diri dari satu tempat ke tempat lain.

Tidak objektifMenurut anggota Komisi

Hukum Nasional (KHN) Mo-hammad Fajrul Falaakh, ba-nyaknya ketidakadilan dalam penegakan hukum terjadi ka-rena tidak ada parameter objek-tif mengenai proses hukum untuk diketahui masyarakat.

Ia mencontohkan, Gubernur Kaltim Awang Farouk Ishak, tersangka kasus divestasi sa-ham PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang merugikan negara sebesar Rp576 miliar. Awang justru dengan nyamannya ber-tolak ke China atas ‘jaminan’ Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu kepada Kejak-saan Agung.

“Menurut KUHP, adalah kewenangan di penyidik apak-ah tersangka dicekal apa tidak. Lalu apakah kalau sudah dicekal, lalu boleh berobat atau tidak, itu semua ada pada pe-nyidik.”

Kriteria-kriteria yang objek-tif itulah yang dibutuhkan oleh pencari keadilan untuk bisa jadi pegangan yang lebih jelas. (*/Tup/P-4)

HANYA karena sewot terhadap anggota polisi yang merazia kendaraan bermo-

tor di Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat, puluhan orang merusak Kantor Kepolisian Sektor Muara Gembong. Satu mobil patroli dirusak warga. Kerusuhan itu terjadi Novem-ber 2009.

Amuk massa dengan modus yang hampir sama terjadi di Buol, Sulawesi Tengah, akhir Agustus lalu. Akibat curiga de-ngan kematian seorang tahanan di Polsek Biau, Kabupaten Buol, warga setempat menga-muk dan nekat menyerbu kan-tor polisi setempat. Akibatnya sebanyak 5 warga sipil tewas dan 17 anggota kepolisian me-ngalami luka-luka. Kerusuhan terjadi selama tiga hari sampai pasukan tambahan didatang-kan dari luar Sulawesi Te-ngah.

Sebelumnya, pada akhir Februari 2010, ratusan orang mengamuk di Kantor Kepoli-sian Sektor Praya Barat, Lom-bok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Sempat terjadi aksi saling dorong antara massa dan aparat.

Massa yang beringas me-maksa masuk ke ruang tahanan Polsek Praya Barat dan menun-tut seorang warga yang kerap membuat onar dibawa keluar untuk dihakimi.

Dalam beberapa tahun ter-akhir, konfl ik horizontal mau-pun bentrokan antara warga dan aparat kerap terjadi di wilayah Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Dua wilayah itu dikenal sebagai hot spot.

Potret kelam ini juga terjadi di Ibu Kota. Darah tumpah di

Jalan Ampera Raya, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Se-latan, 29 September 2010.

Dua kelompok bertikai tidak jauh dari ruang peradilan yang harus dijunjung dan dihormati. Tiga orang tewas sia-sia. Ca-tatan ini bisa lebih panjang lagi, sebab peristiwa serupa nyaris terjadi setiap hari di berbagai daerah.

Parahnya lagi, para tersang-ka koruptor justru dapat me-lenggang bebas dan menerima pengampunan dari pemerin-tah.

Lihat saja Gubernur Kali-mantan Timur Awang Farouk Ishak, tersangka kasus korupsi dan masih dicekal, bisa mulus ke China dengan alasan kun-jungan kerja.

Kemudian, terpidana kasus korupsi HR Syaukani diberi grasi karena belas kasihan pe-merintah. Gejala apa ini? Be-narkah wibawa hukum sudah runtuh?

Guru Besar Emeritus Univer-sitas Airlangga Surabaya Soe-tandyo Wignjosoebroto menilai tindakan anarkistis yang ba-nyak terjadi di masyarakat disebabkan banyaknya kepen-tingan yang tidak terakomo-dasi.

“Saat ini masih banyak ke-pentingan kelompok-kelompok masyarakat yang belum terako-modasi ,” u jarnya, Jumat (8/10).

Masyarakat yang dulu hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang eksklusif, karena pergeseran waktu dan kebu-tuhan, harus hidup berbaur dengan kelompok-kelompok yang lebih besar dengan be-ragam latar belakang dan karak ter. Sehingga ada semacam kekagetan dan ketidaksiapan menghadapi perubahan . “Masyarakat yang biasa hidup dalam lingkup kecil yang eks-

klusif tiba-tiba harus hidup dalam suasana yang lebih terbuka dan beragam. Pe-rubahan yang terlalu cepat membuat masyarakat seperti itu,” tuturnya.

Bagi mantan Ketua Mahka-mah Agung Bagir Manan, hu-kum tidak perlu menjadi kam-bing hitam atas segala kerusuh-an yang merebak di daerah akhir-akhir ini.

Menurutnya, kerusuhan dan penegakan hukum meru-pakan dua hal yang berbeda. “Tidak layak jika berpikir keduanya dikait-kaitkan,” ungkapnya di Jakarta, Jumat (8/10).

Bagir berpendapat, tidak semua kerusuhan diakibat-kan oleh ketidakpastian hukum. Justru kebanyakan kerusuhan terjadi karena ketidakpuasan terhadap masalah tertentu.

“Justru aparat peme-rintah harus bertindak atas nama hukum untuk menghadapi kerusu-han,” paparnya.

Tidak profesional Wakil Ketua Komi-

si III DPR Aziz Syam-suddin mengungkap-kan maraknya keru-suhan di daerah me-rupakan cermin proses penegakan hukum yang tidak berjalan secara inte-gral. Aparat pene-g a k h u k u m menunjukkan sikap tidak profe-sional. “Keru-suh an merupa-kan akibat sikap t idak profesional tersebut,” ujarnya.

Konfl ik pecah di masyarakat, lanjut Aziz, karena mereka frustrasi dengan kondisi hu-

kum yang ada. Mereka menganggap bahwa

tindakan secara hukum tidak memiliki keberpihakan terha-

dap masyarakat itu sendiri. Dalam menyikapi feno-

mena tersebut, Ka ba-reskrim Komjen Ito Su-mardi menyatakan Polri terus melakukan

langkah semaksi-

mal mungkin dalam meng-hadapi massa yang kerap bertindak anarkistis. Karena itu, Jumat (8/10), Kapolri meng-adakan Sosialisasi Penanggu-langan Tindakan Anarkistis yang dihadiri para kapolda, direskrim, karo ops, dan Kasat Sabhara seluruh Indonesia.

Bagi Kabid Humas Polda Metro Jaya Kom bes Boy Rafl i, pihaknya menduga penyerang-

an terhadap kan-

tor-kantor polisi karena banyak pelaku kejahatan yang dendam dengan apa yang dilakukan polisi. Polisi pun mengetatkan prosedur keamanan terhadap potensi penyerang an tersebut. “Mereka terganggu dengan keberadaan polisi. Kepentingan mereka terganggu,” kata Boy Rafl i di Jakarta, Jumat (8/10). (NJ/AO/FD/P-3)

[email protected]

an yang merebak di daerah

Menurutnya, kerusuhan dan penegakan hukum meru-pakan dua hal yang berbeda. “Tidak layak jika berpikir keduanya dikait-kaitkan,” ungkapnya di Jakarta, Jumat

Bagir berpendapat, tidak semua kerusuhan diakibat-kan oleh ketidakpastian hukum. Justru kebanyakan kerusuhan terjadi karena ketidakpuasan terhadap masalah tertentu.

“Justru aparat peme-rintah harus bertindak atas nama hukum untuk menghadapi kerusu-

Tidak profesional Wakil Ketua Komi-

si III DPR Aziz Syam-suddin mengungkap-kan maraknya keru-suhan di daerah me-rupakan cermin proses penegakan hukum yang tidak berjalan secara inte-gral. Aparat pene-g a k h u k u m

tidak profesional tersebut,” ujarnya.

Konfl ik pecah di masyarakat, lanjut Aziz, karena mereka frustrasi dengan kondisi hu-

langkah semaksi- Metro Jaya Kom bes Boy Rafl i, pihaknya menduga penyerang-

an terhadap kan-

(NJ/AO/FD/P-3)

[email protected]

FOKUSINTERNASIONAL

BACA BESOK!Tema:

Ancaman Sayap KananEropa Menguat

22 | SENIN, 11 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA SENIN, 11 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA | 23Fokus Politik & HAM

Frustrasi sosial masyarakat yang

menumpuk makin menyulut amarah

dan antipati kepada lembaga penegak

hukum.

Edy Asrina Putra

Frustrasi Sosial Lahirkan Spiral Kekerasan

WIBAWA HUKUM

langkah semaksi-langkah semaksi-

HANYA karena sewot terhadap anggota

Jalan Ampera Raya, di depan Pengadilan Negeri Jakarta Se-latan, 29 September 2010.

Dua kelompok bertikai tidak jauh dari ruang peradilan yang

klusif tiba-tiba harus hidup dalam suasana yang lebih terbuka dan beragam. Pe-rubahan yang terlalu cepat membuat masyarakat seperti

kum yang ada. kum yang ada. Mereka menganggap bahwa

tindakan secara hukum tidak memiliki keberpihakan terha-

dap masyarakat itu sendiri.

mal mungkin dalam meng-hadapi massa yang kerap bertindak anarkistis. Karena itu, Jumat (8/10), Kapolri meng-adakan Sosialisasi Penanggu-

tor-kantor polisi karena banyak pelaku kejahatan yang dendam dengan apa yang dilakukan polisi. Polisi pun mengetatkan prosedur keamanan terhadap

Frustrasi sosial masyarakat yang

menumpuk makin menyulut amarah

Edy Asrina Putra

WIBAWA HUKUM

DI UJUNG TANDUKWIBAWA HUKUM WIBAWA HUKUM

DI UJUNG TANDI UJUNG TAN

ANTARA/MUHAMAD NASRUN

KANTORPOLSEK DIBAKAR: Kantor Polsek Mamunu hangus dibakar warga, saat bentrok antara polisi dan warga di Buol, Sulteng, beberapa waktu lalu.

membuat masyarakat seperti

Bagi mantan Ketua Mahka-mah Agung Bagir Manan, hu-kum tidak perlu menjadi kam-bing hitam atas segala kerusuh-an yang merebak di daerah

dap masyarakat itu sendiri. Dalam menyikapi feno-

mena tersebut, Ka ba-reskrim Komjen Ito Su-mardi menyatakan Polri terus melakukan

an yang merebak di daerah

Menurutnya, kerusuhan dan penegakan hukum meru-pakan dua hal yang berbeda.

klusif tiba-tiba harus hidup klusif tiba-tiba harus hidup dalam suasana yang lebih terbuka dan beragam. Pe-rubahan yang terlalu cepat membuat masyarakat seperti

kum yang ada. kum yang ada. Mereka menganggap bahwa

tindakan secara hukum tidak memiliki keberpihakan terha-

dap masyarakat itu sendiri.