evaluasi hasil belajar
TRANSCRIPT
EVALUASI HASIL BELAJAR FISIKA
(Indrawati, Staf Pengajar P Fisika-PMIPA, FKIP Universitas Jember)
1. Evaluasi, Pengukuran, dan Tes
Masih sering kita jumpai bahwa para guru fisika kurang benar dalam menafsirkan istilah
evaluasi, pengukuran, dan tes. Ketiganya sering digunakan secara sinonim. Pada kenyataannya,
ketiganya mempunyai hubungan dekat, tetapi berbeda dalam proses. Untuk menghindari
kesalahtafsiran ketiga istilah tersebut, maka masing-masing istilah perlu didefinisikan.
Evaluasi atau penilaian didefinisikan sebagai suatu proses untuk mengambilt keputusan
terhadap kriteria yang dipilih sebagai nilai tentang benda-benda atau ide-ide, didasarkan pada
data yang relevan (Farmer dan Farrell, 1979). Zainul dan Nasoetion (1996) mendefinisikan
peilaian sebagai proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang
diperoleh melalui pengukuran hasil belajar, baik yang menggunakan instrumen tes maupun non-
tes.
Pengukuran diartikan sebagai pemberian angka kepada suatu atribut atau karakteristik
tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau obyek tertentu menurut aturan atau formulasi yang
jelas (Zainul dan Nasoetion, 1996). Ketika kita mengukur kemampuan siswa kelas I SMU dalam
menggunakan jangka sorong, yang kita ukur bukan siswa tetapi atribut atau karakteristik siswa,
yaitu: kemampuannya menggunakan jangka sorong. Pengukuran pendidikan adalah salah satu
pekerjaan profesional guru, instruktur, dan guru. Sehingga apabila ada guru yang tidak dapat
melakukan pengukuran pendikan dapat dikatakan guru yang kurang atau tidak profesional.
Tes yang dimaksud di sini didefinisikan sebagai suatu pertanyaan atau tugas atau
seperangkat tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang trait atau atribut
pendidikan atau psikologik yang setiap butir pertanyaan atau tugas mempunyai jawaban atau
ketentuan yang dianggap benar (Zainul dan Nasoetion, 1996). Hasil belajar fisika merupakan
salah satu contoh atribut pendidikan. Kematangan seseorang adalah salah satu contoh atribut
psikologik. Pedoman wawancara dan observasi merupakan contoh-contoh dari instrumen non-
tes.
Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa tes atau non-tes merupakan instrumen atau
alat untuk mengukur atribut pendidikan. Tes Hasil Belajar (THB) Siswa Kelas I SMU tentang
Besaran, Satuan, dan Angka Penting merupakan contoh alat atau instrumen untuk mengukur
Tugas 1:
Dari definisi evaluasi, pengukuran, dan tes di atas jelaskan hubungan antara ketiganya dan berikan contohnya dalam pembelajaran fisika!
kemampuan konsep besaran, satuan, dan angka penting siswa. Di sini kita hanya akan belajar
tentang tes, sedangkan instrumen non-tes akan kita pelajari pada bahasan berikutnya.
Pembahasan tentang tes meliputi: bagaimana merencanakan tes, mengkonstruksi butir soal,
mengolah hasil tes, dan menganalisis soal.
2. Merencanakan Tes
Beberapa hal yang perlu dipikirkan dalam merencanakan tes adalah pengambilan sampel
dan pemilihan butir soal, tipe tes yang digunakan, aspek yang akan diuji, format butir soal, jumlah
butir soal, dan distribusi tingkat kesukaran butir soal.
a. Pengambilan sampel dan pemilihan butir soal
THB terdiri atas butir-butir soal yang terpilih, yang secara akademik dapat
dipertanggungjawabkan sebagai sampel yang representatif dari ilmu atau bidang studi yang
diuji dengan perangkat tes tersebut. Pemilihan sampel ini didasarkan pada pertimbangan
pentingnya konsep, generalisasi, dalil, atau teori yang diuji dalam hubungannya dengan
peranannya terhadap bidang studi tersebut secara keseluruhan. Untuk mendapatkan sampel
yang representatif, biasanya bidang studi itu dipilah-pilah menjadi beberapa pokok bahasan
dan sub pokok bahasan. Jumlah pokok bahasan atau sub pokok bahasan tidak ada batasan,
yang penting adalah tingkat kontribusinya terhadap keluasan pokok dan atau sub pokok
bahasan itu.
b. Tipe-tipe Tes
Menurut Ebel dan Frisbie (1986), tes dibagi menjadi tiga, yakni: obyektif, esai, dan
problematika. Selain itu juga dikenal tes lisan dan tes penampilan. Anggapan bahwa tipe
soal satu lebih baik dari yang lain adalah tidak benar. Pemilihan tipe tes tergantung pada
kemampuan dan waktu yang tersedia pada penyusunan tes, bukan aspek yang akan diukur.
c. Aspek kemampuan yang akan diukur/diuji
Aspek yang akan diuji ini merupakan kemampuan apa yang ditargetkan dalam rumusan
tujuan pembelajaran. Jika menggunakan taksonomi Bloom, kemampuan ini bisa pada ranah
kognitif, psikomotor, atau afektif. Setiap kemampuan inipun masih dipilah dalam tingkat-
tingkat. Misalnya untuk ranah kognitif pada tingkat c1, c2, c3, c4, c5, atau c6. Begitupula untuk
ranah psikomotor dan afektif.
d. Format butir soal
Baik tipe soal obyektif maupun esai mengenal berbagai format biasa. Misalnya pada tes
obyektif, format A untuk pilihan ganda biasa; format B untuk pilihan ganda nalisis hubungan
antar hal, dan lain-lain.Perbedaan antar format tidak terletak pada efektivitasnya mengukur
tingkat kemampuan, tetapi pada penerkaannya (peserta tes kurang menguasai materi yang
diteskan).
e. Jumlah butir soal
Tidak ada ketentuan berapa jumlah butir soal yang harus dibuat dalam suatu perangkat tes.
Jumlah butir soal berkaitan dengan reliabilitas dan representasi isi bidang studi yang
diteskan. Walaupun tidak ada ketentuan tentang jumlah butir soal, tetapi jumlahnya harus
direncanakan, yaitu: berapa jumlah keseluruhan, jumlah untuk setiap pokok/sub pokok
bahasan, jumlah setiap format, jumlah tiap kategori tingjat kesukaran, dan jumlah untuk
setiap tingkat pada setiap ranah. Selain itu juga perlu mempertimbangkan waktu, biaya yang
tersedia, dan kekpmpleksitasan yang dituntut dalam tes.
f. Distribusi tingkat kesukaran
Tingkat kesukaran butir soal pertimbangannya ada pada penulis soal.Tes yang baik adalah
tes yang mampu membedakan antara siswa yang belajar dan yang tidak belajar. Para ahli
berpendapat bahwa tes yang baik mempunyai tingkat kesukaran di sekitar 0,5. Ada
pertimbangan bahwa butir soal yang tingkat kesukaran rendah sebaiknya diletakkan pada
awal tes dan yang tingkat kesukarannya tinggi pada akhir perangkat tes. Pertimbangan ini
dimaksudkan agar siswa termotivasi untuk mengerjakan seluruh butir soal.
g. Kisi-kisi tes
Untuk menggambarkan proporsi banyaknya butir soal pada setiap pokok/sub pokok bahasan
dan setiap kategori untuk setiap ranah (kognitif, afektif, dan/atau psikomotor) dapat dibuat
dalam bentuk kisi-kisi, baik untuk tipe tes obyektif maupun esai. Kisi-kisi (tabel spesifikasi) tes
memuat pokok/sub pokok bahasan/materi, kemampuan yang diuji, dan tingkat kesukaran
butir soal (menurut petimbangan guru). Beikut ini diberikan contoh model membuat kisi-kisi
untuk tes obyektif dan esai.
KISI-KISI TES OBYEKTIF
Mata Pelajaran : Fisika
Kelas : I SMA
Semester/Tahun : I/2008
Waktu :
Tipe Tes :
Jumlah Butir Tes :
No. Pokok/Sub Jenjang Kemampuan & Tingkat Kesukaran %
Pokok Bahasan
(Materi)
C1 C2 C3 C4,5,6 butir soal
Md Sd Sk Md Sd Sk Md Sd Sk Md Sd Sk
butir soal
%
Catatan: Jika perangkat tes memuat ranah afektif dan psikomotor, maka kisi-kisi ini bisa
dikembangkan dengan menambah kolom atau baris untuk Jenjang Kemampuan &
Tingkat Kesukaran.
KISI-KISI TES ESAI
Mata Pelajaran : Fisika
Kelas : I SMA
Cawu/Tahun : I/2008
Waktu :
Tipe Tes :
Jumlah Butir Tes :
No.SK/KD Tipe soal
Jenjang Kemapuan/ Tk. Kesukaran butir soal %
I/TP/Materi Terbatas Bebas
butir soal
%
3. Mengkonstruksi Butir Soal
Kualitas suatu butir soal tidak ditentukan oleh tipe atau bentuk tes, tetapi tergantung pada
bagaimana butir soal itu dikonstruk oleh guru dengan baik. Tipe dan bentuk tes apapun dapat
digunakan untuk mengukur hasil belajar bila butir soal itu dikonstruk dengan baik dan sesuai
dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Tes semacam ini disebut tes hasil belajar karena
berfungsi untuk mengukur keberhasilan belajar siswa atau mahasiswa.
Kemampuan guru untuk menyusun butir soal dengan baik tidak hanya dibutuhkan
kemampuan yang bersifat pengetahuan dan pemahaman, tetapi perlu keterampilan dan kiat. Agar
mempunyai kemampuan mengkonstruksi soal pada taraf mahir diperlukan latihan secara terus
menerus. Untuk mengkonstruk THB harus memahami dasar-dasar penyusunannya, dan
bagaimana cara menulis butir soal esai dan obyektif tersebut.
3.1 Dasar-dasar menyususn THB
Ada beberapa dasar yang perlu diperhatikan dalam menyususn THB, yaitu: (a) THB
harus sesuai dengan indikator atau tujuan pembelajaran yang dirumuskan, (b) THB harus
mewakili bahan yang dipelajari, (c) THB hendaknya sesuai dengan penggunaan tes itu sendiri
Tugas 2:
Buatlah kisi-kisi THB dalam bentuk obyektif dan esai suatu Pokok/Sub Pokok Bahasan IPA/Fisika SLTP atau Fisika SMU untuk waktu 10-15 menit!
(untuk pre dan post-tes, menentukan ketuntasan penguasaan materi, diagnostik, tes formatif,
atau untuk tes sumatif), (d) THB disesuaikan dengan pendekatan pengukuran yang dianut, yaitu:
PAP atau PAN., dan (e) THB hendaknya dapat digunakan untuk memperbaiki PBM.
3.2 Cara Penulisan Butir Soal Esai
Butir soal esai atau uraian adalah butir soal yang mengandung pertanyaan atau tugas
yang jawaban atau pengerjaan soal tes tersebut harus dilakukan dengan cara mengekspresikan
pikiran peserta tes, dan jawaban tidak disediakan oleh orang yang mengkonstruk butir soal. Tes
tipe ini secara umum dibagi menjadi dua jenis, yaitu: tes uraian bebas (extended response) dan
tes uraian terbatas (restricted response).
3.2.1 Tes Uraian Bebas
Ciri dari tes uraian bebas adalah hampir tidak ada pembatasan terhadap peserta tes dalam
memberikan jawabannya. Jawaban peserta tes bersifat terbuka, luwes, dan tidak terstruktur.
Contoh tes ini dapat kita pada butir soal nomor E-35, yaitu:
E-35 Jelaskan secara singkat dan jelas bagamana cara menentukan ukuran suatu
kertas (misalnya A4) yang meliputi pengukuran panjang, lebar, dan tebalnya?
3.2.2 Tes Uraian Terbatas
Ciri tes uraian terbatas adalah jawaban peserta tes dibatasi dengan berbagai rambu-rambu
yang ditentukan dalam butir soal. Keterbatasan itu mencakup format, isi, dan ruang lingkup
jawaban. Soal tes uraian terbatas ini harus menentukan batas jawaban yang dikehendaki,
meliputi konteks jawaban yang diinginkan, jumlah butir jawaban yang diharapkan, keluasan
uraian jawaban, arah dan luas jawaban yang diminta. Tes uraian terbatas ada beberapa ragam,
antara lain ragam tes melengkapi dan ragam tes jawaban singkat. Butir soal melengkapi adalah
butir soal yang meminta atau memerintah peserta tes untuk melengkapi suatu kalimat
(pernyataan) dengan satu frasa, satu angka, atau satu formula. Butir soal melengkapi dapat kita
lihat pada contoh butir soal nomor E-31 dan 32, masing-masing adalah:
E-31 Dalam fisika ada …… besaran pokok.
E-32 Gaya termasuk besaran ……..
Ada beberapa petunjuk untuk mengkonstruksi butir soal melengkapi, yaitu: (1)
konstruksilah butir soal yang mengukur hasil belajar yang penting saja; (2) butir soal harus
spesifik, artinya harus dapat dijamin bahwa butir soal hanya dapat dijawab oleh peserta tes yang
menguasai degan baik isi pelajaran; (3) konstruksilah butir soal yang mengharuskan peserta tes
memberi jawaban yang secara faktual benar; (4) gunakan bahasa yang jelas (tidak mendua arti);
(5) Bila yang ditanyakan menyangkut angka atau jumlah dari satu satuan tertentu, sebaiknya
nyatakan satuan tersebut dalam soal, misalnya luas bidang tanah yang panjangnya 12 m dan
lebarnya 7 m adalah ……… m2; (6) setiap butir soal sebaiknya hanya berisi satu jawaban,
misalnya butir soal E-31 dan E-32.
Butir soal jawaban singkat adalah butir soal berbentuk pertanyaan yang dapat dijawab dengan
satu kata, frasa, angka, atau formula. Butir soal ini dapat dicontohkan pada butir soal nomor E-
33 dan 34, yaitu:
E-33 Apakah dimensi dari kecepatan?
E-32 Berapakah orde dari bilangan 2078605 J?
Ada beberapa petunjuk untuk mengkonstruk bentuk tes jawaban singkat, yaitu: (1) gunakan
kalimat tanya yang menuntut jawaban satu kata, frasa, angka, atau simbol; (2) hindari kalimat
yang langsung diambil dari buku atau catatan; (3) pertanyaan jangan sampai menjadi tes bahasa,
maksud tes adalah untuk menguji materi pelajaran; (4) untuk menanyakan definisi atau istilah
sebaiknya digunakan kalimat tanya secara lansung, misalnya soal E-33 akan tidak tepat bila
ditulis: Setiap besaran fisika yang bersatuan dapat dinyatakan dengan dimensi. Dimensi besaran
kecepatan itu apa? (5) untuk menanyakan masalah hitungan, harus ditentukan tingkat
ketepatannya, terutama untuk agka desimal; (6) sebaiknya hanya satu jawaban untuk satu
pertanyaan, misalnya: Apakah dimesi dari besaran pokok? adalah pertanyaan yang jawabannya
bisa lebih dari satu simbol (bisa M, L, atau T).
3.2.3 Pedoman Penskoran Butir Soal Esai
Butir soal esai atau uraian memeriksanya tidak mudah dan lama karena jawabannya
bervariasi, hasil penilainnya cenderung subyektif. Untuk mengurangi subyektivitas dan
meningkatkan obyektivitas dalam penilain tes esai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan,
yakni: (1) apakah jawaban yang terbaik untuk satu butir pertanyaan esai; (2) butir apa saja yang
harus terdapat dalam jawaban pertanyaan esai; (3) apakah ada butir yang leih penting di antara
butir-butir jawaban yang diharapkan. Dalam mengkonstruk tes penyusun tes sudah harus
menyediakan jawaban tiga pertanyaan tersebut. Dengan kata lain penyusun tes ketika
mengembangkan butir tes sekaligus juga harus menyusun jawabannya yang berpedoman pada
tiga buah pertanyaan di atas. Jawaban yang ditulis tidak perlu dinarasikan tetapi cukup dengan
mencantumkan butir-butir penting yang harus termuat pada jawaban peserta tes. Penentuan skor
pada setiap butir tidak tentu sama, tergantung pada bobot konsep pada butir jawaban tersebut.
Konsep yang bobotnya lebih penting diberi bobot lebih besar. Jika setiap konsep memiliki bobot
sama maka diberi skor yang sama. Skor maksimum tidak perlu dikonverskan pada skor 10 atau
100, biarkan sebagaimana adanya.
Contoh pembuatan pedoman penskoran butir soal esai untuk butir-butir soal nomor E-31
sampai dengan E-35 dapat dilihat sebagai berikut:
Butir soal E-31 sampai dengan E-35 (lihat Lampiran)
Pedoman Penskoran
No.
Soal Aspek/Kata Kunci Skor
E-31 7 (tujuh) 1
E-32 Turunan 1
E-33 [LT-1] 2
E-34 10-6 2
E-35 Panjang dan lebar diukur dengan mistar. Massa diukur dengan neraca.
Hasil pegukuran panjang (p) = …….. cm
Hasil pengukuran lebar (l) = ………cm
Hasil pengukuran massa (m) = ……… gr
Jadi ukuran kertas adalah ….. x …… cm, ……gram
6
3
Skor maksimum 15
3.3 Cara Penulisan Butir Soal Obyektif
Butir soal obyektif adalah butir soal yang telah mengandung kemungkinan jawaban yang
harus dipilih atau dikerjakan oleh peserta tes. Jadi jawaban telah disediakan atau dipasok oleh
pembuat soal. Sehingga pemeriksaan atau penskoran jawaban peserta tes dapat dilakukan
secara obyektif oleh pemeriksa. Karena sifat obyektif ini, maka pemeriksaan tidak harus dilakukan
oleh manusia, tetapi bisa dengan mesin.
Secara umum tes obyektif dibedakan menjadi tiga tipe, yakni tipe: benar-salah (true-
false), menjodohkan (matching), dan pilihan ganda (multiple choice). Tes pilihan ganda dapat
dimodifikasi dalam lima bentuk, yaitu pilihan ganda biasa, analisis hubungan antar hal, analisis
kasus, kompleks, dan pilihan ganda yang menggunakan diagram, grafik, tabel, atau gambar.
Semua bentuk tes pilihan ganda tersebut mempunyai struktur (format) yang sama, yaitu
ada pokok soal (stem) dan sejumlah pilihan (options). Di antara pilihan itu ada satu pilihan yang
benar disebut kunci (key) dan pilihan lainnya disebut pengecoh (distractors). Penulisan setiap tipe
tes obyektif dapat diuraikan seperti berikut.
3.3.1 Penulisan Tes Benar-Salah
Jika ujian dibatasi pada pertanyaan-pertanyaan benar-salah, statistik menunjukkan
bahwa 75 item atau lebih adalah perlu untuk mengatasi faktor menebak (guessing). Dalam tes
100 pertanyaan benar-salah, siswa harus dapat menjawab sekitar 50 pertanyaan tepat dengan
menebak. Beberapa instruksi mengeliminasi masalah ini dengan mengurangi jumah jawaban-
jawaban salah dari jumlah jawaban benar untuk menentukan skor; mereka menghukum untuk
menebak. Prosedur ini tidak direkomendasi karena siswa biasanya berpikir bahwa instruktur
mengunakan teknik ini secara dendam/dengki. Hal ini juga tidak dapat diinginkan karena siswa
dihukum untuk menebak; dalam sains umumnya dan fisika khususnya kita ingin mempunyai
siswa membuat hipotesis, yaitu, tebakan-tebakan yang baik.
Hindari ketidak-seimbangan tes dengan cukup banyak pertanyaan benar-salah. Coba
membuatnya agak baik rata dalam jumlah, sehingga siswa yang mengetahui sedikit tentang
bahan tidak dapat memperoleh skor tinggi dengan sederhana dengan berasumsi bahwa lebih
banyak pertanyaan adalah benar (atau salah).
Hindari menggunakan pernyataan-pernyatan yang dapat menipu siswa. Jangan
menggunakan bahasa yang sama seperti dalam teks atau siswa cenderung untuk mengingat.
Hindari pernyataan-pernyataan yang mendua-arti. Misalnya, jangan menulis, “panjang bidang
diukur dengan pengukur panjang”. Hindari menggunakan kalimat-kalimat kompleks dalam
pernyataan-pernyataan anda. Jangan menggunakan bahasa kualitatif jika anda dapat
memungkinkan menghindarinya. Jangan menulis, misalnya, logam-logam yang lebih baik
menghantarkan listrik lebih cepat. Susun pernyataan-pernyataan anda dalam 10 sampai dengan
20 pertanyaan. Prosedur ini menggantikan terlalu banyak ketegangan untuk siswa. Ambil
blok/tempat jawaban ada dalam satu margin sehingga mereka dapat diperiksa dengan mudah
dengan menggunakan suatu kunci.
3.3.2 Konstruksi Tes Menjodohkan
Tipe soal menjodohkan ditulis dalam dua kolom. Kolom pertama untuk pokok soal (stem)
atau premis dan kolom kedua untuk kolom jawaban. Tugas peserta tes adalah menjodohkan
antara kolom pertama dan kolom kedua.
Untuk menulis butir soal menjodohkan ada beberapa syarat, yaitu: (1) pernyataan di bawah
kolom pertama dan kolom kedua harus terdiri atas kelompok yang homogen; dan (2) jumlah
pernyataan di bawah kolom kedua harus lebih banyak dari pernyataan di bawah kolom petama.
Tipe tes ini dapat dicontohkan sebagai berikut:
Petunjuk: Pasangkan pernyataan pada kolom pertama dengan pilihan yang cocok pada
kolom kedua dengan menulis huruf di muka nomor pernyataan kolom pertama!
Tugas 3:
Berdasarkan 10 butir soal benar-salah pada contoh THB besaran, satuan, dan angka penting, apakah semua soal telah memenuhi syarat untuk tipe soal benar-salah yang baik? Berikan penjelasan!
………
……….
………
dst.
1. Besaran yang mempunyai besar dan arah
2. Dimensi percepatan adalah
3. Perbandingan antara gaya tarik atau gaya
tekan dan pemanjangan atau pemendekan
pegas adalah konstan.
Dst.
A. [LT-2]
B. Skalar
C. [LT2]
D. Vektor
E. Hukum II Newton
F. Hukum Hooke
Dst.
3.3.3 Konstruksi Tes Pilihan Ganda
Butir tes pilihan ganda (majemuk) adalah butir tes yang alternatif jawabannya lebih dari
dua, pada umumnya berkisar antara 4 (empat) atau 5 (lima). Alternatif pilihan ini tidak boleh
terlalu banyak, sebab selain menyulitkan peserta tes untuk menjawab juga kesulitan dalam
mengkonstruknya.
Trowbridge dan Bybee (1990) menyebutkan ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan
dalam mengkonstruksi tes pilihan-ganda, yaitu:
(1) Inti permasalahan harus ditempatkan pada pokok soal (steam);
(2) Hindari pengulangan kata-kata yang sama dalam piliham;
(3) Hindari rumusan kata yang berlebihan;
(4) Jika pokok soal merupakan pernyataan yang belum lengkap, maka kata atau kata-kata yang
melengkapi harus diletakkan pada ujung peryataan, bukan di tengah-tengah kalimat;
(5) Susunan alternatif jawaban dibuat teratur dan sederhana;
(6) Hindari penggunaan kata-kata teknis atau ilmiah atau yang aneh atau mentereng;
(7) Semua pilihan jawaban harus homogen dan dimungkinkan sebagai jawaban yang benar;
(8) Hindari keadaan dimana jawaban yang benar selalu ditulis lebih panjang dari jawaban yang
salah;
(9) Hindari adanya petunjuk/indikator pada jawaban yang benar;
(10)Hindari menggunakan pilihan yang berbunyi “semua yang di atas benar” atau “tidak satupun
yang di atas benar”;
(11)Gunakan tiga atau lebih alternatif pilihan;
(12)Pokok soal diusahakan tidak menggunakan ungkapan atau kata-kata yang bermakna tidak
tentu, misalnya: kebanyakan, seringkali, kadang-kadang, dan yang sejenis;
Tugas 4:
Tulislah 5 butir soal tipe menjodohkan untuk suatu pokok bahasan fisika SLTP atau SMU dan lengkapi pula dengan kunci jawabannya!
(13)Pokok soal sedikit mungkin dalam pernyataan atau pertanyaan negatif. Jika terpaksa
menggunakan pernyataan negatif maka kata negatif tersebut digaris-bawahi atau ditulis
miring atau tebal.
Tes pilihan ganda dapat berupa tes pilihan ganda biasa, analisis hubungan antarhal,
analisis kasus, kompleks, dengan menggunakan diagram, grafik, atau tabel. Pilihan ganda biasa
dicontohkan pada contoh soal bagian B (lihat lampiran), yaitu tes pilihan ganda yang setiap butir
soal memuat pokok soal dan alternatif jawaban lebih dari dua (3-5 pilihan). Untuk tes pilihan
ganda yang lain diuraikan berikut ini.
a. Tes Pilihan Ganda Analisis Hubungan Antarhal
Tes pilihan ganda analisis hubungan antarhal terdiri atas dua pernyataan yang kedua nya
dihubungkan dengan kata “SEBAB”. Jadi sifat hubungannya bisa berupa sebab akibat atau
tidak ada hubungan sebab akibat. Agar kedua pernyataan termasuk pilihan ganda maka harus
dicari variabel lain yang dapat mengukur kemampuan siswa. Variabel tersebut adalah kualitas
pernyataan yaitu apakah pernyataan pertama benar atau salah dan sebaliknya. Hubungan
antar duapernyataan tersebut dapat dikembangkan lagi seperti yang dicontohkan pada contoh
soal bagian C (lihat lampiran), yaitu: A jika penyataan benar dan alasan benar, keduanya
merupakan hubungan sebab akibat, B jika pernyataan benar dan alasan benar, keduanya
tidak ada hubungan sebab akibat, dan seterusnya..
b. Tes Pilihan Ganda Analisis Kasus
Pada tes pilihan ganda analisis kasus, peserta tes disajikan kasus dalam bentuk cerita,
peristiwa, dan sejenisnya dan disertai dengan beberapa pertanyaan. Setiap pertanyaan dibuat
dalam bentuk melengkapi pilihan. Kasus tersebut bisa diambil dari jurnal, surat kabar, majalah,
dan media yang lain.
c. Tes Pilihan Ganda Kompleks
Tes pilihan ganda kompleks biasa disebut Asosiasi pilihan ganda. Struktur pertanyaan sama
dengan pilihan ganda biasa, perbedaannya adalah, kalau pada pilihan ganda biasa hanya ada
satu jawaban yang benar atau paling benar, sedangkan untuk pilihan ganda kompleks
jawabannya bisa lebih dari satu, mungkin bisa A jika 1 dan 2 benar , B: 1 dan 3 benar, C: 2
dan 3 benar, atau D: jika semuanya benar.
d. Tes Pilihan Ganda dengan Gambar, Diagram, Grafik, atau Tabel
Tes pilihan ganda dengan diagram, gambar, grafik, atau tabel mirip dengan analisis kasus
baik struktur maupun pola pertanyaannya. Perbedaannya pada tes ini tidak disajikan kasus
dalam bentuk ceritera atau peristiwa tetapi kasus tersebut berupa diagram, gambar, tabel,
atau grafik.
Tugas 5:
Tulislah masing-masing dua butir soal fisika SLTP atau SMU untuk soal pilihan ganda analisis kasus dan pilihan ganda dengan menggunakan gambar, tabel, atau grafik.
4. Mengadministrasi Tes
Kegiatan mengadministrasi tes meliputi penyusunan perangkat tes dan pelaksanaan tes.
Kedua kegiatan tersebut dapat kita lakukan seperti berikut.
4.1 Penyusunan Tes
Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun tes, yaitu proses penyuntingan
naskah tes dan penggandaan tes. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam
penyuntingan tes, yaitu:
a. Tes bentuk obyektif sebaiknya tidak dilaksanakan secara lisan.
b. Butir tes disusun mulai dari pokok bahasan yag dibahas paling awal ke yang dibahas paling
akhir.
c. Butir soal disusun mulai dari yang termudah ke yang paling sulit.
d. Butir tes yang setipe dijadikan dalam satu kelompok.
e. Petunjuk pengerjaan harus jelas, sehingga tidak memungkinkan untuk dipertanyaan lagi cara
pengerjaannya.
f. Setiap butir tes hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan peserta tes
untuk membacanya.
g. Stem dan options upayakan dalam satu halaman.
h. Letakkan wacana yang digunakan sebagai rujukan di atas butir tes yang bersangkutan.
i. Hindari meletakkan kunci jawaban dalam suatu pola tertentu.
Setelah naskah disunting, langkah selanjutnya adalah digandakan (termasuk
pengetikan). Prosedur penggandaan harus dapat menjamin kerahasiaan naskah tes. Dalam
penggandaan, sebaiknya lembaran tes dan lembaran jawaban dipisah. Sehingga mudah
menempatkan jawabannya dan guru mudah dalam penskoran.
4.2 Pelaksanaan Tes
Dalam pengadministrasian tes juga harus mempertimbangkan cara-cara
pelaksanaannya. Cara pelaksanaan tersebut antara lain meliputi:
a. tes catatan terbuka (open books) atau catatan tertutup (close books,
b. tes diumumkan atau tes dirahasiakan (mendadak),
c. tes lisan atau tertulis, dan
d. tes tindakan (praktek)
Setiap pelaksanaan tes tersebut ada kelebihan dan kekurangannya. Untuk itu kerjakan
tugas 6 berikut ini.
Tugas 6:
Jelaskan kelebihan dan kekurangan setiap pelaksanaan tes di atas!
5. Pengolahan dan Penilaian Hasil Tes
Setelah pelaksanaan tes kegitan berikutnya adalah mengolah hasil tes tersebut dan
melakukan penilaian.
5.1 Pengolahan Hasil Tes
Pengolahan hasil tes adalah kegiatan memeriksa hasil ujian dan mencocokkan jawaban
peserta tes dengan kunci jawaban. Mengolah tes bentuk tes obyektif lebih mudah dan cepat
dibandingkan dengan bentuk tes esai. Setelah hasil tes diperiksa berikutnya adalah memberikan
skor.
Jika peserta tes tidak diperkenankan menerka jawaban, artinya mereka yang menerka
akan didenda, yaitu skor yang benar dikurangi skor yang salah, maka pada petunjuk umum
mengerjakan soal harus mencantumkan: “Pikirkan dengan baik-baik sebelum menjawab, karena
setiap jawaban yang salah akan mengurangi nilai anda”. Pengurangan nilai ini dihiting dengan
rumus:
Skor = jumlah jawaban benar – jumlah kawaban salah/(n-1)
(n adalah jumalternatif jawaban)
Pada contoh soal (dalam lampiran) terdapat 30 butir soal obyektif, Badu menjawab benar
25 nomor dan salah 5 nomor, maka dengan rumus tersebut
Skor Badu = 25 – 5/(5-1)
= 25 – 5/4 = 23,75
Jika tidak ada denda dalam menerka jawaban, maka skor Badu adalah 25. Angka 5/4 atau 1,25
merupakan angka denda.
Untuk soal esai baik terbatas maupun bebas pemberian skor didasarkan pada Pedoman
Penskoran (Marking Scheme) yang telah dirancang. Berdasarkan pedoman penskoran yang telah
dirancang untuk contoh soal pada lampiran, skor maksimum untuk tes esai adalah 15. Jika pada
tes esai skor Badu 10, maka
skor total Badu = 23,75 + 10 = 33,75 (jika ada denda)
skor total Badu = 25 + 10 = 35 (jika tidak ada denda)
Dari contoh di atas, periksalah semua jawaban (soal pada lampiran) anda dan berikan
skornya (anda bisa menggunakan aturan yang menggunakan denda atau yang tanpa denda).
Setelah itu kerjakan tugas 7 berikut:
5.2 Pendekatan Penilaian
Ada dua pendekatan untuk melakukan penilaian hasil belajar siswa, yaitu dengan
menggunakan pendekatan Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan. Kedua
pendekatan itu digunakan sebagai acuan untuk memberikan nilai siswa. Di dalam proses
pendidikan biasanya setiap pendekatan itu tidak dapat dilaksanakan secara murni, namun perlu
diadakan penyesuaian yang kadang-kadang merupakan kombinasi dari kedua pendekatan
tersebut.
5.2.1 Pendekatan Penilaian Acuan Norma (PAN)
Yang dimaksud pendekatan PAN adalah pendekatan untuk memberikan nilai didasarkan
pada perolehan kelompoknya. Misalnya sekelompok siswa ada 10 anak mendapat skor (nilai
mentah): 70, 65, 60, 55, 40, 35, 35, 30, 30, dan 25. Jika jumlah kelompok tidak terlalu besar
(<30), maka untuk menentukan skor setiap anak berdasarkan kelompoknya dapat dilakukan
dengan dua cara. Pertama, dengan cara skor tertinggi diberi nilai 10 dan skor di bawahnya
ditetapkan secara proporsional. Cara yang kedua adalah dengan menghitung persentase
jawaban benar yang dijawab oleh setiap anak. Kemudian persentase tertinggi diberi nilai tertinggi.
Dari contoh soal yang diberikan, misalnya skor maksimum (semua jawaban benar) adalah 75,
maka anak yang mempunyai skor tetinggi 70, maka persentase yang benar adalah 70/75x100%
atau 93,3%. Persentase tertinggi ini diberi skor tertinggi, yaitu 10 untuk skala 1-10.
Pengolahan kelompok nilai mentah menjadi skor 1-10 dapat ditabelkan sebagai berikut:
Tabel 5-1: Pengolahan Nilai Mentah menjadi 1-10
a. Nilai
mentah 70 65 60 55 40 35 35 30 30 25
b. % yang
benar 93,3 86,6 80 73,3 53,3 46,6 46,6 40 40 33,3
c. Nilai
1-10 10 9 8 7 6 5 5 4 4 3
Apabila jumlah anggota kelompok besar (>30 orang) atau lebih dari satu kelas, maka
untuk memberi nilai setiap anggota kelompok dapat digunakan statistik sederhana, yaitu dengan
menentukan skor rata-rata (X) dan simpangan baku () kelompok. Untuk anggota kelompok yang
Tugas 7:
Kumpulkan semua skor teman-teman anda, kemudian buatlah tabel yang memuat nomor, nama, dan skor mahasiswa (sebagai siswa), urutkan skor dari skor tertinggi ke yang oaling rendah atau sebaliknya.
besar, distribusi kemampuan anak dapat dimulai dari paling pandai, pandai, sedang, kurang, dan
sangat kurang. Distribusi (penyebaran) tersebut dapat digambarkan dengan kurve normal.
Misalnya ada sekelompok siswa memiliki skor rata-rata X, maka jumlah peserta antara:
X sampai dengan (X+1) adalah 34,13%
(X+1) sampai dengan (X+2) adalah 13,59%
(X+2) sampai dengan (X+3) adalah 2,14%
X sampai dengan (X-1) adalah 34,13%
(X+1) sampai dengan (X-2) adalah 13,59%
(X+2) sampai dengan (X-3) adalah 2,14%
Harga rata-rata skor dapat dihitung dengan rumus:
X = skor seluruh anggota kelompok/ seluruh anggota kelompok
Dan
Simpangan Baku dirumuskan:
skor 1/6 dari anggota kelompok tinggi - skor 1/6 dari anggota kelompok rendah = ½ seluruh anggota kelompok
Apabila terdapat data skor fisika siswa SMU dari 35 anak yang telah diurutkan dari tertinggi
sampai terrendah adalah sebagai berikut:
60 60 55 55 55 50 50 50 50 50
45 45 45 40 40 40 40 35 35 35
35 35 30 30 30 30 25 25 25 25
25 20 20 15 10
Dalam kurikulum 1975, penentuan nilai menggunakan konversi seperti pada tabel 5-2
berikut:
Tabel 5-2: Konversi skor mentah ke dalam nilai 1-10
Skor
Mentah X-2 1/4 X-1 3/4 X-1 1/4 X-1/4 X+1/4 X+3/4 X+11/4 X+3/4 X+13/4 X+21/4
Nilai
1-10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
5.2.2 Pendekatan Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Tugas 8:
Berdasarkan data skor fisika dari 35 siswa SMU di atas hitungX dan kemudian tentukan skor ke-35 siswa tersebut dengan nilai 1-10.
Pendekatan PAP adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk menentukan
keberhasilan atau kelulusan seseorang berdasarkan patokan atau kriteria yang telah ditentukan.
Dalam Proses pembelajaran mengacu pada tujuan pembelajaran umum dan khusus. Sehinga
keberhasilan siswa dalam suatu mata pelajaran ditentukan oleh kemampuan siswa dalam
mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Inilah yang membedakan dengan
pendekatan PAN, yaitu kelulusan atau keberhasilan siswa ditentukan oleh kelompoknya. PAP
digunakan dalam sistem belajar tuntas. Misalnya dalam rumusan tujuan pembelajaran khusus
dirumuskan dengan “Siswa kelas 1 SMU dapat menulis dimensi besaran fisika”. Untuk
penguasaan yang tuntas, kriteria yang dikembangkan antara lain siswa dapat: (1) menulis
dimensi besaran pokok dan (2) menulis dimensi beberapa dimensi besaran turunan. Untuk
mengetahui apakan kedua tujuan tersebut telah dikuasai oleh siswa, maka untuk setiap tujuan
harus ada butir soalnya. Jika siswa dapat mengerjakan dengan benar butir-butir soal tersebut
maka dikatakan bahwa siswa telah menguasai tujuan tersebut dengan tuntas. Jika belum
dikuasai maka perlu ada pembelajaran remedial (perbaikan).
Perencanaan dan konstruksi butir soal baik untuk PAN maupun PAP kedua mempunyai
kesamaan, yaitu keduanya menentukan lebih dahulu tujuan (TPK) atau hasil apa yang akan
diukur dan bagaimana cara mengukurnya yang paling tepat. Perbedaannya, pada
pengembangan butir soal PAN, tingkat kesukaran soal harus diperhatikan, harus
mengombinasikan butir soal yang mudah, sedang, dan sukar, sehingga tingkat keseluruhn butir
soal adalah sekitar 50%. Pada pengembangan butir soal PAP tingkat kesukaran dan daya beda
tidak diperhatikan karena maksud soal bukan untuk membedakan siswa yang pintar dari siswa
yang kurang pintar, tetapi melihat tingkat penguasaan seseorang terhadap materi atau tujuan
pembelajaran. Ynag dipentingkan dalam PAP adalah daya serap siswa. Seharusnya sumua
tujuan pembelajaran dapat dikuasai siswa 100%. Penguasaan 100% ini sulit dicapai, sehingga
ada beberapa sekolah yang menetapkan ketuntasan ini 80%.
Jika syarat ketuntasan adalah 80%, maka apakah semua siswa yang mendapat skor 80%
ke atas akan mendapat nilai yang sama? Jawabnya tergantung pada sistem penilaian yang
digunakan. Ada penilaian yang menggunakan kriteria lulus dan tidak lulus, yaitu: anak yang lulus
adalah anak yang mempunyi skor 80% dan yang tidak lulus adalah anak yang skornya <80%.
Ada pula yang menggunakan kategori A, B, C, D, dan E, dengan rentangan:
> 95% nilai A, (90,5-95)% nilai B, (85,5-90)% nilai C, (80-85)% nilai D, dan < 80% nilai E (tidak
lulus). Rentangan skor untuk mendapat nilai A-E tidak baku seperti dicontohkan, misalnya batas
kelulusan bisa > 80% atau < 80%, dan nilai A bisa 90%
6. Menganalisis Soal
Kegiatan menganalisis soal merupakan kegiatan untuk menentukan mutu butir dan
perangkat soal. Setiap guru harus memiliki kemampuan untuk menentukan mutu butir soal dan
perangkat soal agar mereka dapat merancang soal yang baik. Penilaian mutu butir soal
ditentukan oleh karakter dari butir soal itu sendiri, yang meliputi tingkat kesukaran, daya beda,
dan berfungsi tidaknya pilihan untuk tipe soal pilihan ganda. Penilaian mutu perangkat soal
meliputi validitas dan reliabilitasnya.
6.1 Karakteristik dan Spesifikasi Butir Soal
Yang dimaksud karakteristik butir soal adalah parameter kuantitatif dari butir soal.
Sebaliknya, parameter kualitatif butir soal disebut dengan spesifikasi butir soal. Spesifikasi butir
soal ditentukan atas dasar penilaian ahli (expert judgment). Kedua hal ini akan diuraikan seperti
berikut.
6.1.1 Karakteristik Butir Soal
Karakteristik butir soal untuk tes hasil belajar dipertimbangkan berdasarkan tingkat
kesukaran (p), daya beda (D), dan berfungsi atau tidaknya pilihan.
6.1.1.1 Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran butir soal dimaknai sebagai proporsi peserta tes menjawab benar
terhadap butir soal tersebut, yang dirumuskan dengan:
b = peserta yang menjawab benar/ peserta keseluruhan
Misalnya soal nomor 1, jumlah peserta tes yang menjawab benar 3 orang dan jumlah seluruh
peserta tes 15 orang, maka tingkat kesukaran butir soal nomor satu adalah 0,2. Butir soal ini
dikatakan sukar. Jika dalam suatu perangkat soal terdapat 10 butir soal, dengan tingkat
kesukaran setiap butirnya berturut-turut 0,2; 0,6; 0,4; 0,5; 0,7; 0,5; 0,35; 0,45, 0,8; dan 1,0, maka
tingkat kesukaran perangkat soal (p naskah ujian) tersebut adalah:
p naskah ujian = (0,2 + 0,6 + 0,4+ 0,5+ 0,7+ 0,5+ 0,35+ 0,45+ 0,8 + 1,0)/10
= 5,5/10
= 0,55
atau p naskah ujian = b/butir soal
Tingkat kesukaran butir soal atau perangkat soal biasanya dikategorikan mudah, sedang, dan
sukar. Penentuan ketiga kategori tersebut dapat menggunakan pedoman:
Tingkat kesukaran Kategori
0,00 - 0,25 Sukar
0,26 - 0,75 Sedang
0,76 - 1,00 Mudah
Contoh perangkat soal tersebut termasuk kategori sedang. Untuk menyusun suatu naskah ujian
atau tes hasil belajar sebaiknya digunakan butir soal yang tingkat kesukarannya berimbang, yaitu:
sukar (25%), sedang (50%), dan mudah (25%). Komposisi ini dapat diterapkan pada PAN dan
PAP. Jika komposisi butir soal tidak seimbang maka penggunaan PAN tidak tepat, sebab
informasi kemampuan yang dihasilkan tidak berdistribusi normal. Jadi ukuran butir soal atau
perangkat soal yang baik tidak ditentukan oleh tiinggi atau rendahnya tingkat kesukaran tetapi
pada komposisi tingkat kesukarannya.
6.1.1.2 Daya Beda
Dalam suatu kelompok peserta tes, biasanya kita jumpai kelompok yang berprestasi
tinggi (kelompok atas) dan kelompok yang berprestasi rendah (kelompok bawah). Indeks yang
menunjukkan tingkat kemampuan butir soal yang dapat membedakan kelompok atas dan bawah
disebut daya beda butir soal. Daya beda biasanya disimbolkan dengan D dan dirumuskan:
D = (Ba – Bb)/1/2T
Dimana D = daya beda
Ba = kelompok atas yang menjawab benar
Bb = kelompok bawah yang menjawab benar
T = peserta tes (jika jumlah ganjil = T-1)
Jika jumlah peserta banyak, maka kelompok atas dan bawah masing-masing diambil 27%. Untuk
memudahkan analisis, apabila jumlah peserta besar maka kelompok dibuat menjadi tiga, yakni:
kelompok atas, tengah dan bawah.
Andaikan jumlah seluruh peserta tes 10 orang. Untuk soal nomor X misalnya, kelompok
atas yang menjawab benar adalah 4 orang dan kelompok bawah yang menjawab benar hanya
satu orang, maka proporsi kelompok atas yang menjawab benar adalah 0,8 dan proporsi
kelompok bawah yang menjawab benar adalah 0,2. Jadi daya beda soal nomor X adalah:
0,8 – 0,2 = 0,6 atau dapat dihitung dengan rumus:
D = (4 – 1)/5 = 0,6
Koefisien atau indeks daya beda berkisar antara –1 sampai dengan +1. Daya beda
berharga +1 berarti semua kelompok atas menjawab benar dan semua kelompok bawah
menjawab salah terhadap suatu butir soal. Sebaliknya untuk daya beda yang berharga –1. Harga
daya beda yang dianggap masih memadai untuk sebutir soal adalah 0,25. Kurang dari 0,25,
butir soal dianggap kurang mampu membedakan peserta tes yang siap menghadapi tes dari
peserta yang tidak siap. Jika daya beda negatif, maka butir soal tidak dapat digunakan untuk
mengukur hasil belajar siswa. Sehingga butir soal ini harus dibuang atau tidak dihitung dalam
penentuan skor mahasiswa. Jadi, makin tinggi daya beda suatu butir soal, makin baik butir soal
tersebut, dan sebaliknya makin rendah daya beda makin tidak baik butir soal tersebut.
6.1.1.3 Berlaku Tidaknya Pilihan
Dalam tipe soal obyektif, khususnya untuk soal pilihan ganda, untuk menentukan
berfungsi tidaknya pengecoh suatu butir soal, maka butir soal tersebut perlu dianalisis. Untuk
menganalisis setiap butir soal tersebut, lembar jawaban peserta kelompok atas dan bawah
dijadikan sebagai sumber informasi. Distribusi dari jawaban kedua kelompok ini untuk setiap butir
soal dimasukkan dalam satu tabel 6-1 berikut:
Andaikan butir soal nomor 12
Tabel 6-1 : Distribusi jawaban soal nomor 12
Pilihan
Kelompok A* B C D E
Atas 3 0 1 0 0
Bawah 1 1 1 2 1
Jumlah 4 1 2 2 1
Jawaban yang benar adalah A (tanda *), jumlah peserta yang memilih A adalah banyak,
khususnya untuk kelompok atas. Pengecoh B, C, D, dan E ada yang memilih terutama kelompok
bawah. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengecoh berfungsi sebagai jawaban yang salah.
Sehingga semua pilihan pada soal nomor 12 sudah berfungsi.
Andaikan tabel di atas jumlah yang menjawab benar A lebih banyak kelompok bawah,
maka pilihan ini harus diperbaiki. Apabila pada pengecoh ditemukan kelompok atas lebih banyak
dibandingkan kelompok bawah, pilihan ini juga kurang baik dan perlu diperbaiki. Selain itu, bila
pada pengecoh tidak ada satupun yang memilih, maka pilihan ini harus diperbaiki pula.
Dari uraian di atas, cocokkan secara bersama jawaban THB tentang besaran, satuan
dan angka penting anda di kelas, kemudian kerjakan bersama tugas 9 berikut di kelas.
6.1.2 Spesifikasi Butir Soal
Untuk menganalisis suatu butir soal ada dua spesifikasi yang harus dipertimbangkan,
yakni: validitas isi dan keakuratan pengukuran tujuan yang ingin dicapai.
Tugas 9:
a. Tentukan tingkat kesukaran setiap butir soal!b. Tentukan daya beda setiap butir soal dan tentukan pula kelayakannya untuk
digunakan sebagai THB!c. Apakah pada butir-butir soal obyektif ada pilihan-pilihan yang perlu diperbaiki?
Sebutkan!
Validitas isi (konten) pelajaran sangat diperlukan untuk menentukan apakah suatu butir
soal merupakan alat ukur yang baik untuk suatu hasil belajar tertentu. Analisis validitas isi ini
hanya bisa dilakukan oleh seorang yang menguasai bidang studi tersebut dengan baik. Analisis
dimulai dengan mengadakan kajian terhadap kisi-kisi soal. Dalam kisi-kisi itu ditentukan bahwa
butir soal tertentu dimaksudkan untuk mengukur pokok bahasan atau sub pokok bahasan
tertentu. Jadi kisi-kisi soal digunakan sebagai tolok ukur untuk memvalidasi butir soal.
Selain memvalidasi, aspek yang harus dianalisis secara kualitatif oleh seorang ahli bidang
studi adalah apakah butir soal yang digunakan apakah mengukur tujuan pendidikan tertentu yang
ditetapkan dalam kisi-kisi. Untuk menganalisis ini perlu penguasaan tentang tujuan pendidikan.
Yang perlu diperhatikan bahwa butir soal yang tidak secara akurat mengukur tujuan yang telah
ditetapkan akan merupakan butir soal yang sia-sia. Berbahayanya, bila butir soal itu digunakan
untuk menentukan keputusan bagi seseorang, hal ini akan berakibat jauh bagi siswa di masa
yang akan datang. Di Indonesia, perumusan tujuan pendidikan masih cenderung mengacu pada
tujuan pendidikan menurut Bloom dan kawan-kawan.
6.2 Karakteristik Perangkat Tes
Meskipun suatu tes terdiri atas butir-butir soal yang baik, belum tentu akan membuat
perangkat tes (soal ujian) menjadi baik. Selain penilaian terhadap setiap butir soal, ada dua hal
yang harus diperhatikan dalam menilai soal ujian, yakni: validitas dan reliabilitasnya. Kedua hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut.
6.2.1 Reliabilitas Tes
Ketika kita mengamati skor hasil tes siswa, muncul pertanyaan atau keraguan pada diri
kita, yaitu apakah skor itu benar-benar menggambarkan tingkat kemampuan siswa kita. Keraguan
atau pertanyaan ini sulit dijawab, karena dalam setiap tes selalu akan terdapat unsur kekeliruan
(error). Kekeliruan ini bisa bersumber pada alat ukurnya atau mungkin faktor yang lain. Untuk
melihat apakah perangkat tes itu dapat dipercaya sebagai alat ukur yang dapat menggambarkan
kemampuan peserta tes, maka dapat dilihat dari aspek reliabilitasnya. Secara umum, reliabilitas
dimaknai sebagai sejauh mana suatu alat ukur dapat diyakini memberikan informsi yang
konsisten (ajeg) dan tidak mendua tentang karakteristik peserta tes yang diujikan.
Skor yang diperoleh peserta es pada dasarnya merupakan skor yang secara langsung
berhubungan dengan alat ukur dan kondisi eksternal saat tes berlangsung. Kondisi eksternal
tidak dapat didefinisikan sepenuhnya, begitupula alat ukur yang digunakan tidak dapat diketaui
sepenuhnya kekuatan dan kelemahannya. Sehingga skor yang diperoleh peserta tes adalah skor
yang kemungkinan besar mengandung kekeliruan yang tidak dapat diketahui. Andaikan skor
peserta tes itu tidak mengandung unsur kekeliruan, maka skor itu merupakan skor yang
sesungguhnya. Tetapi skor sesungguhnya itupun tidak kita ketahui. Untuk itu kita kenal adanya
tiga bentuk skor dalam setiap hasil tes, yaitu: skor yang diperoleh (obtained score), skor
sesungguhnya (true score), dan kekeliruan skor (score error). Hubungan ketiganya dinyatakan
dengan:
Skor yang diperoleh = skor sesungguhnya – kekeliruan
Secara operasional reliabilitas tes didefinisikan sebagai koefisien korelasi antara dua
perangkat skor yang dihasilkan oleh perangkat tes yang sama atau paralel yang
diadministrasikan kepada sekelompok peserta tes yang sama. Karena reliabilitas merupakan
salah satu bentuk khusus korelasi yang menggambarkan keajegan alat ukur (tes), maka ada
beberapa prosedur untuk memperoleh koefisien korelasi yang menggambarkan reliabilitasnya.
Reliabilitas tes dapat ditinjau dari unsur stabilitas, ekuivalensi dari dua tes yang paralel, dan
konsistensi atau homogenitas tes.
Reliabilitas ditinjau dari stabilitas dapat ditentukan dengan mengkorelasikan anatardua
skor dari satu tes yang diadministrasikan dua kali kepada kelompok peserta tes yang sama.
Selang waktu antara dua pengadministrasian tes harus dekat, mengapa?
Reliabilitas dalam arti ekuivaensi dari dua tes yang paralel. Dalam hal ini, kita harus
mengkonstruk dua perangkat tes yang paralel. Kedua perangkat tes diadministrasikan pada
kelompok peserta tes yang sama dalam waktu berurutan. Hasil tes dari dua perangkat tes
tersebut dikorelasikan.
Reliabilitas dalam arti konsistensi tes merupakan koefisien korelasi yang menunjukkan
seberapa jauh suatu perangkat tes homogen, dalam arti mengukur mata pelajaran atau bidang
studi yang sama. Untuk menentukan koefisien korelasi ini dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu: teknik split-half dan teknik Kuder-Richardson (KR). Teknik split-half dapat dilakukan dengan
mengkorelasikan skor setengah pertama dengan skor setengah kedua dari suatu tes. Untuk
memperoleh skor setengah pertama dan kedua dapat dilakukan dengan mengkorelasikan skor
pada nomor ganjil dan nomor genap. Tenik Kuder-Richardson dikembangkangkan oleh Kuder
dan Richardson, dengan rumus ke-20nya (KR-20):
n SB2 - pq
KR-20 = [ ]
n-1 SD2
dimana n = butir soal
SB = simpangan baku skor-skor tes
p = tingkat kesukaran tes (perangkat tes)
q = 1 - p
Setelah anda mempelajari reliabilitas tes di atas, diskusikan dan kerjakan secara
kelompok tugas 10 berikut ini.
6.2.2 Validitas Tes
Seperti halnya pada butir soal, perangkat tes yang baik juga harus memenuhi kriteria
valid (tepat). Validitas tes didefinisikan sebagai seberapa jauh perangkat tes itu berguna dalam
mengambil keputusan yang relevan dengan tujuan yang telah ditentukan. Untuk tes hasil belajar,
aspek validitas yang paling penting adalah validitas isi (content validity), yaitu: ukuran yang
menunjukkan sejauh mana skor dalam tes berasosiasi dengan penguasaan peserta dalam
bidang studi yang diuji melalui perangkat tes tersebut. Validitas isi ini ditentukan oleh ahli yang
menguasai bidang studi tersebut. Jadi untuk validitas ini analisisnya lebih bersifat kualitatif. Oleh
karena itu, yang bisa menganalisis tes harus orang mempunyai latar belakang bidang studi yang
baik.
Selain validitas isi, juga kita kenal jenis validitas tes yang lain, yaitu: validitas prediktif,
validitas serempak, dan validitas konstruk. Ketiga jenis validitas tersebut tidak dibahas di sini
karena ketekaitannya dengan keperluan terhadap penilaian perangkat tes hasil belajar tidak
terlalu kuat.
Setelah anda mempelajari validitas tes, diskusikan secara kelompok tugas 11 berikut.
SUMBER
Bloom B. S., Madaus G. F., dan Hastings, Evaluation to Improve Learning, McGraw-Hill Book Company, New York.
Depdikbud., 1995, Kurikulum Sekolah Menengah Umum: GBPP Mata Pelajaran Fisika, Depdikbud., Jakarta.
Djamarah S. B. & Zain A., 1995, Strategi Belajar Mengajar, Rineka Cipta, Jakarta.
Farmer W. A., Farrel M. A., (1980), Systematic Instruction in Science for The Middle and High School Years, Addison-Wesley Publishing Company, Inc., Sydney.
Giancoli D., 1995, Physics, Fourth edition, Prentice-Hall International, Inc., Englewood Clifs, New Jersey.
Tugas 10:
a. Apakah penskoran tes yang kurang obyektif berpengaruh terhadap reliabilitas tes? Jelaskan.
b. Apakah peserta tes yang bervariasi berpengaruh terhadap reliabilitas tes? Jelaskan.c. Apakah jumlah butir soal dalam perangkat tes berpengaruh terhadap reliabilitas tes?
Jelaskan.
Tugas 11: Apakah reliabilitas tes berpengaruh terhadap validitas tes? Jelaskan.
Kertiasa N, 1993, Fisika 1 untuk Sekolah Menengah Umum Kelas 1, Depdikbud., Jakarta.
Trowbridge L. W., Bybee R. W., 1990, Becoming a Secondary School Science Teacher, Merrill Publishing Company, Columbus.
Zainul A., Nasoetion N., 1996, Program Pengembangan Keterampilan Teknik Instruksional (Pekerti): Penilaian Hasil Belajar, Depdikbud, Jakarta.
CATATAN: KERJAKAN TUGAS 1 S/D 11 DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH DAN KUMPULKAN PADA PERTEMUAN BERIKUTNYA!!!!
Materi Kuliah
EVALUASI HASIL BELAJAR:
(Tes Hasil Belajar)
Handout digunakan terbatas untuk:
Matakuliah Evaluasi Hasil belajar Fisika
Oleh:
Indrawati
(Staf Pengajar Pendidikan Fisika FKIP Unej)
Jember, 2010