etika politik perspektif al...
TRANSCRIPT
ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪ
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi
Persyaratan Mendapatkan Gelar
Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Siti Salbiyah
NIM: 1113033100040
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H./2018 M.
v
ABSTRAK
Siti Salbiyah
ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪ
Tulisan ini fokus pada pemikiran etika politik menurut al-Fārābī yang
tertuang dalam sejumlah karyanya. Salah satu karya al-Fārābī yang menjadi
referensi penulis adalah Āra‟ Ahl al-madīnah al-Fāḍilah atau secara singkat
disebut Negara Utama. Di dalam buku itu, al-Fārābī menuliskan ciri-ciri negara
utama yang didalamnya terdapat konsep etika kepemimpinan ideal.
Hasil penelitian ini berupa tulisan yang menjelaskan bahwa pemikiran al-
Fārābī memuat konsep etika politik dalam karyanya. Poin utama dari pemikiran
etika politiknya adalah tentang metode kepemimpinan yang akan mengarahkan
warga menuju kebahagiaan. Dari sini, al-Fārābī menginginkan kriteria pemimpin
yang memiliki sifat nabi sekaligus failasuf. Hal ini dikarenakan bagi al-Fārābī,
nabi merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan pemimpin sedangkan failasuf
adalah sosok yang nyata yang juga dapat dijadikan pemimpin. Oleh sebab itu,
hanya pemimpin yang memiliki sifat failasuf-nabi yang mampu mengarahkan
para warga menuju kebahagiaan. Hal ini dikarenakan pemimpin itu laksana
jantung yang menjadi pusat keinginan tubuh, artinya warga hanya mengikuti
keinginan pemimpin.
Tujuan dari etika politik al-Fārābī adalah untuk mencapai para warga
menuju kebahagiaan, dengan memberikan rincian kriteria pemimpin ideal.
Kemudian keinginan untuk menjadikan seorang pemimpin failasuf-nabi adalah
dengan metoe pengangkatan pemimpin melalui proses penunjukan langsung
sebagaiman seorang nabi yang ditunjuk menjadi pemimpin oleh Tuhan.
Kata Kunci: Etika, Politik, Etika Politik, al-Fārābī
vi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta
salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.
Penulisan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Agama (S.Ag.) pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
baik materiil dan immateriil, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan
terimakasih kepada:
1. Iqbal Hasanuddin, M. Hum, selaku dosen pembimbing, yang telah
bersedia meluangkan waktunya, dengan sabar membimbing penulis,
terimakasih atas semua kritik dan saran yang membangun sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
2. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. H. Masri Mansoer, MA, selaku dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dra. Tien Rohmatin, MA, selaku Ketua Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam dan Dr. Abdul Hakim Wahid, MA, selaku sekertaris
Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen, khususnya Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam, Staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, beserta Civitas
Akademik, yang telah setia melayani penulis dalam segala keperluan
untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua, Mimi Yoyoh
dan Bapak Sukma yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya
selama ini, serta doa yang tulus sehingga skripsi ini dapat selesai. Tak
lupa kepada kedua adik tercinta Nurul Hikmah dan Jamaluddin yang
telah menjadi pemacu semangat.
7. Terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada Suami tercinta
Abdurohman, yang tak pernah lelah menasehati, membimbing, dan
mensuport penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Terimakasih kepada Cak Gugus Joko Waskito, selaku Staff Khusus
Kementrian Agama Republik Indonesia, yang telah menjadi orang tua
(Ciputat) penulis selama menyelesaikan studi ini.
9. Terimakasih kepada Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Banten,
Teti, Bintang, Ka Adhiya, Afif, Robi, Awad, Cucun Tahlina, Mazidah,
Jamilatul Faidzah, dll yang telah menyemangati penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10. Triana Sugesti, Fitrotul Azizah, Teti Pujiawati, Aulia Ning Ma‟rifati,
Mursyidah, Dalilah Ukhriyati, Selfiana Manurung, Nuramalia Dini
Priatmi, Rizka Widayanti, Nur Intan, Siti Nurliana Sari, Anita Amalia,
viii
Cici Zulaikha teman setia penulis yang menemani perjalanan dalam
suka maupun duka.
11. Tim RJA DPR-RI Kalibata Mba Eva, Mba Aya, Mba Sofi, Mba Reni,
Teh Imas, Mba Vivin, Mba Sarah, Mba Anes, Bang Izul, Mas
Rahman, Bang Emy, Cak Iqbal, Kafi, Ka Yahya, yang telah
memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
12. Keluarga besar Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2013, yang telah
menemani berjuang dan belajar bersama di kampus tercinta ini.
Terimakasih atas bantuan kepada semua pihak yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini,
semoga Allah memberikan balasan yang berlipat dan menjadikannya amal jariyah
yang tidak pernah berhenti mengalir, Amin. Penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi Penulis khususnya dan para pembaca umumnya.
Ciputat,19 Juli 2018
Siti Salbiyah
NIM.1113033100040
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................ vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah........................................................ 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7
D. Tinjauan Kepustakaan ...................................................................... 8
E. Metodologi Penelitian ..................................................................... 10
BAB II RIWAYAT HIDUP AL-FĀRĀBĪ
A. Pendidikan ....................................................................................... 11
B. Kehidupan Sosial Politik ................................................................. 13
C. Sumber-Sumber Pemikiran Politik ................................................. 15
D. Karya-Karya .................................................................................... 20
BAB III ETIKA POLITIK
A. Pengertian Etika Politik .................................................................. 25
B. Etika Politik Platon ......................................................................... 35
C. Etika Politik Aristoteles .................................................................. 39
D. Al-Fārābī sebagai Penafsir Etika Politik Platon dan Aristoteles..... 43
BAB IV KAJIAN KRITIS TENTANG ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL-
FĀRĀBĪ
A. Masyarakat Ideal Pandangan al-Fārābī ........................................... 45
B. Konsep Negara Ideal/Utama al-Fārābī ............................................ 48
1. Konsep Daya menurut al-Fārābī ............................................... 50
2. Konsep Kebahagiaan menurut al-Fārābī ................................... 51
3. Konsep Negara menurut al-Fārābī ............................................ 53
C. Konsep Kepemimpinan Politik ....................................................... 58
D. Lawan-Lawan Negara Utama ......................................................... 63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 65
B. Saran ............................................................................................... 66
x
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 69
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط a a ا
ẓ ẓ ظ b b ب
„ „ ع t t ت
gh gh غ ts th ث
f f ف j j ج
q q ق ḥ ḥ ح
k k ك kh kh خ
l l ل d d د
m m م dz dh ذ
n n ن r r ر
w w و z z ز
h h ه s s س
, , ء sy sh ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
VOKAL PANJANG
Arab Indonesia Inggris
ā ā آ
ī ī إى
ū ū أوْ
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Etika merupakan cabang falsafat yang merefleksikan tugas manusia dalam
upaya menggali nilai-nilai moral. Kedudukan etika dalam kehidupan manusia
menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan
bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana
etikanya. Apabila etikanya baik, sejahteralah lahir batinnya; bila etikanya rusak,
rusaklah lahir dan batinnya.1
Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang
memunyai banyak arti. Etika, misalnya, diartikan sebagai kebiasaan (habits) yang
berarti adat, atau akhlak, atau watak, atau perasaan, atau sikap dan cara berpikir.
Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Maka “etika”
berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.2
Sedangkan menurut bahasa terminologi etika berarti perasaan batin, atau
kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Pada sisi lain etika adalah ilmu
tentang apa yang baik, apa yang buruk, tentang hak-hak dan kewajiban, ilmu
tentang kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan tingkah laku manusia,
ilmu tentang nilai mengenai benar-salah, halal-haram, sah-batal, baik-buruk dan
1M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h.
2. 2K. Bertens, Etika (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 4-5.
2
kebiasaan-kebiasaan yang dianut suatu golongan masyarakat.3 Etika juga diartikan
sebagai kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan
kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan.4
Kata “politik”, dari kata “polis” dalam bahasa Yunani yang berarti kota
atau negara kota. Politik menurut etimologi adalah sesuatu yang berhubungan
antara warga negara pada suatu negara. Sedangkan pada sisi lain politik sering
juga diartikan sebagai kekuasaan. Terkadang seorang penguasa harus memiliki
kemampuan memaksa dan mengendalikan orang lain karena manusia kadang-
kadang tidak mengerti akan batas-batas kepentingan pribadi yang sesungguhnya.
Oleh sebab itu, tindakan seorang pemimpin harus mengatur masyarakat agar tidak
terjadi kekacauan.5
Selanjutnya dikatkan lagi bahwa politik berasal dari kata “polis” yang
berarti “Negara Kota”. Dengan politik berarti ada hubungan khusus antara
manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan kewenangan dan
kekuasaan bagi pelakunya. Oleh karenanya pelaku politik haruslah cerdik dan
bijaksana dalam menentukan dan melaksanakan tujuan-tujuannya.6
Ada banyak pandangan tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan
“politik” dan tidak ada satupun dari pandangan-pandangan tersebut yang dapat
diterima secara luas karena memiliki keunggulan teoritis dari pandangan-
pandangan lainnya. Politik, yang berasal dari bahasa Yunani itu, yakni polis yang
3Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etik, h.4-5.
4H. A. W. Widjaja, Etika Pemerintahan (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h.8.
5Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: Kompas, 2004), h.7.
6Inu Kencana Syafi‟I, Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), Cet. Ke-1, h.19.
3
berarti kota, negara kota dari polis itu berkembang konsep polites yang bermakna
warga negara dan konsep politikos yang berarti kewarganegaraan. Maka dari
penjelasan etimologis, disimpulkan bahwa politik sebagai sesuatu yang
berhubungan antara warga negara pada suatu (negara) kota. Sedangkan akar
katanya dalam bahasa Inggris, adalah politics, yang bermakna bijaksana.
Kemudian jika kita menyatukan pemahaman etimologis dari dua akar kata dari
bahasa yang berbeda tersebut, dari bahasa Inggris maupun dari bahasa Yunani itu,
maka politik dapat dipahami sebagai sesuatu proses dan sistem penentuan dan
pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan warga negara dalam suatu negara
kota.7
Pembahasan al-Fārābī tentang akhlak dan politik tidak bisa dilepaskan dari
teorinya tentang jiwa manusia karena pembangunan akhlak dan politik itu
haruslah bertujuan terwujudnya jiwa-jiwa yang utama, yang berbahagia, baik
dalam kehidupan sekarang maupun dalam kehidupan mendatang. Ilmu akhlak,
bagi al-Fārābī, tidak lain dari bahasan tentang keutamaan-keutamaan, yang dapat
menyampaikan manusia kepada tujuan hidupnya yang tertinggi, yaitu
kebahagiaan.
Kebahagiaan dapat dicapai melalui upaya terus-menerus mengamalkan
perbuatan yang terpuji berdasarkan kesadaran dan kemauan. Siapa yang
merindukan kebahagiaan, maka wajiblah ia berusaha terus-menerus
menumbuhkan dan mengembangkan sifat-sifat baik yang terdapat dalam jiwa
secara potensial, dan dengan upaya-upaya demikian, sifat-sifat baik itu akan
7P. Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h.6.
4
tumbuh dan berakar secara aktual dalam jiwa. Latihan adalah unsur yang penting,
kata al-Fārābī, untuk memperoleh akhlak terpuji atau tercela, dan dengan latihan
terus menerus terwujudlah kebiasaan.8
Dalam tulisannya tentang politik, al-Fārābī menjelaskan bahwa manusia
itu bersifat sosial, tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Manusia butuh hidup
bermasyarakat dan perlu bekerja sama, bantu-membantu untuk mencapai tujuan
hidup, yakni kebahagiaan. Masyarakat yang mampu bekerja sama untuk mencapai
kebahagiaan itu disebutnya masyarakat utama.9
Sebenarnya nama al-Fārābī diambil dari nama kota Fārāb, tempat ia
dilahirkan di desa Wasij dalam kota Farab pada tahun 257 H. Nama lengkapnya
adalah Abū Naṣr Muḥammad bin Muḥammad bin Tarkhan bin Uzlag al-Fārābī,
yang biasa disingkat saja menjadi al-Fārābī. Ia dilahirkan di Wasij, Distrik farab,
Turkistan pada tahun 257 H. bersamaan 870 M. Ayahnya seorang jenderal
berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.10
Pada waktu mudanya, al-Fārābī pernah belajar bahasa dan sastra Arab di
Bagdad kepada Abu Bakar al-Saraj, dan logika serta filsafat kepada Abu Bisyr
Mattitus ibn Yunus, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan
filsafat Yunani, dan kepada Yuhanna ibn Hailam. Kemudian ia pindah ke Harran,
8Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta: Djambatan,2003), h.74
9Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, h.76
10Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009), h. 15.
5
pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil, dan berguru kepada Yuhana ibn Jilad.
Tetapi tidak berapa lama, ia kembali ke Bagdad untuk memperdalam filsafat.11
Menurut al-Fārābī, politik yang paling baik adalah sistem demokrasi, dan
bentuk negara yang paling baik adalah negara utama (Al-Madinah Al-Fadilah),
sedangkan kedaulatan negara yang paling baik adalah autokrasi dengan seorang
yang berkuasa mutlak mengatur Negara. Menurut al-Fārābī, Negara yang utama
(al-Madinatul fadilah) ialah kota (negara) yang warga-warganya tersusun menurut
susunan alam besar (makrokosmos) atau menurut susunan kecil (mikrokosmos).
Di dalam Negara yang terpenting adalah kepala Negara. Dimisalkan dengan hati,
yaitu yang terpenting dalam diri manusia. Karena hati adalah unsur badan
manusia yang paling sempurna, maka kepala Negara juga haruslah dipilih orang
yang paling sempurna dari semua warga Negara (kota).
Al-Fārābī adalah salah satu pemikir politik muslim yang menggabungkan
antara teori-teori politik dari para filsuf Yunani seperti Platon, Aristoteles dan
Plotinus dengan ajaran Islam. Teori-teori politik al-Fārābī sangat kental dengan
nuansa teologis yang bermuara kepada kesatuan, tujuan sejati manusia yaitu
memperoleh kebahagiaan baik duniawi maupun ukhrowi. Teori politik al-Fārābī
hampir mustahil untuk dapat dilaksanakan oleh siapapun dan dinegara manapun
karena persyaratannya yang sangat berat.12
Maka dari itu, dalam pemikiran al-
Fārābī, politik menduduki tempat yang terpenting karena semua bagian
falsafatnya mempunyai tujuan politik. Namun, politik bukanlah tujuan dirinya,
11
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 32 12
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI
Press, 2001), h.41
6
tapi sebagai sarana untuk memeroleh tujuan terakhir bagi manusia, yakni
kebahagaiaan.
Kebahagiaan manusia diperoleh karena perbuatan atau tindakan dan cara
hidup yang dijalankan. Terlebih al-Fārābī berpendapat bahwa kebahagiaan yang
hakiki (sebenarnya) tidak mungkin dapat diperoleh sekarang (di dunia ini), tetapi
sesudah kehidupan sekarang yaitu ahirat. Namun, sekarang ada juga kebahagiaan
yang nisbi seperti halnya kehormatan, kekayaan, dan kesenangan yang dapat
nampak dan dijadikan pedoman hidup.13
Al-Fārābī telah menyumbangkan pemikiran etika politiknya terhadap
khazanah pengetahuan Islam tentang ketatanegaraan, di dalam konsep negara
utama al-Fārābī, kepala negara adalah satu-satunya orang yang memegang
peranan penting, karena kedudukan kepala negara sama dengan kedudukan
jantung dalam sistem organ tubuh manusia, sumber dan pusat kordinasi sebagai
suatu hal yang penting di dalam diri manusia yang sempurna. Oleh karena itu,
pekerjaan kepala negara tidak hanya bersifat politis, melainkan etis.14
Al-Fārābī dengan tegas mengatakan bahwa di dalam jiwa seorang
pemimpin itu ia menyebutkan sifat-sifat yang harus dimiliki ialah bijak, berbadan
kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat daya hafalannya, tidak
13
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), h.49. 14
Al-Fārābī, Ăra‟ Ahl-Madīnah al-Fādilah, diterjemahkan dan dikomentari oleh Richard
Walzer al-Farabi on The Perfect State (Oxford: Claeedon Press,1985), h.247.
7
rakus pada kenikmatan, cinta kepada kejujuran, mulia jiwanya, adil, dan teladan
bagi semua orang.15
Dari berbagai pengertian di atas menurut penulis, dalam ketatanegaraan
seorang pemimpin harus memiliki suatu etika politik yang baik, yang nantinya
akan mewujudkan suatu kota utama yang didalamnya melalui perkumpulan
bertujuan untuk bekerjasama dalam mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya.
Dengan demikian, dari hasil analisa “pandangan” di atas, menarik
perhatian penulis untuk memahami lebih dalam tentang etika politik perspektif al-
Fārābī. Untuk itu penulis tertarik mengajinya dengan melalui skripsi yang
berjudul: “Etika Politik Perspektif Al-Fārābī”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar skripsi ini dapat terarah, tersistematisasi maksudnya, penulis ingin
memberi batasan masalah yang akan dianalisis. Untuk itu pembatasan penulisan
skripsi ini adalah tentang Etika Politik menurut al-Fārābī.
Dengan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, untuk mengetahui
jawaban dan masalah secara terarah maka di buat satu pertanyaan: Bagaimana
Etika Politik menurut al-Fārābī?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam hal ini, penulis mengambil judul skripsi “Etika Politik Perspektif
15
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam. (Bandung:
Mizan,2002), h.12.
8
al-Fārābī”, Yang bertujuan untuk menceritakan secara luas tentang etika berpolitik
yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat
bagi bangsa- bangsa dan setiap warga negara.
Penelitian ini juga dilakukan untuk memenuhi persyaratan memeroleh
gelar Sarjana Strata Satu (S1), namun juga memberikan manfaat pada khalayak
dengan memperkaya pengetahuan falsafat tentang etika politik dalam perspektif
al-Fārābī. Penulis berharap penelitian ini juga memberikan pandangan untuk
mencari pemimpin yang beretika.
D. Tinjauan Pustaka
Dengan melakukan tinjauan pustaka, penulis telah menemukan hasil karya
yang membahas tentang pemikiran politik al-Fārābī. Adapun karya tersebut
adalah: Ārā‟ Ahl-Madīnah al-Fāḍilah, yang menjelaskan tentang hubungan sosial
antara masyarakat dengan masyarakat negara, negara (bangsa) dengan negara.
Selain karya di atas; penulis juga menemukan beberapa buku yang
membahas tentang falsafat politik al-Fārābī, seperti buku yang berjudul Negara
Utama menurut al-Fārābī, yang ditulis oleh Ahmad Zainal Abidin. Di dalam
bukunya ia menggambarkan Negara Utama menurut al- Fārābī, dan buku tersebut
membahas tentang bagaimana hubungan sosial antara masyarakat dengan
masyarakat dan negara dengan negara.
Selanjutnya yaitu buku yang berjudul Filsafat Politik Islam: Antara Al-
Farabi dan Khomeini, yang dikarang oleh Yamani. Di dalam bukunya, Yamani
9
membahas perbandingan pemikiran Khomeini dengan pemikiran al-Fārābī dengan
beberapa tujuan. Pertama, ia memaparkan filsafat politik al-Fārābī yang belum
banyak diketahui. Padahal banyak peneliti yang percaya bahwa pemikiran tokoh
ini merupakan suatu upaya yang cukup brhasil dalam menjelaskan batang tubuh
falsafat klasik. Kedua, penyandingan ini bermaksud untuk melacak kemungkinan
adanya akar-akar Wilayah al- Faqih pemikiran Ayatullah Khomeini dalam
seorang pemimpin yang saleh, arif, dan bijaksana, bahkan dianggap ma‟sun
berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala agama.
Selain buku-buku dan karya-karyanya, penulis juga telah menemukan
karya akademik dalam bentuk skripsi. Skripsi tersebut ditulis oleh Muhammad
Fanshobi salah satu Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Aqidah –
Falsafat, angkatan 2009. Adapun skripsi tersebut berjudul Konsep Kepemimpinan
Dalam Negara Utama Al- Farabi. Di dalam skripsinya, ia membahas konsep
kepemimpinan dalam Negara Utama menurut al-Fārābī dengan Fokus pada empat
(4) hal: kepemimpinan menurut al-Fārābī, tugas dan fungsi pemimpin, kriteria
kepala negara, pengangkatan kepala negara. Negara Ideal/utama al-Fārābī
berpijak pada tujuan hidup manusia, yaitu kebahagiaan. Dalam hal ini, al-Fārābī
menyebutkan bagaimana caranya menuju kebahagiaan itu, salah satunya adalah
manusia harus berada ditangan pemimpin yang ideal, yaitu pemimpin yang sesuai
dengan konsep kepemimpinan al-Fārābī.
Tidak hanya itu, penulis juga menemukan karya akademik dalam bentuk
skripsi yang lain. Skripsi tersebut ditulis oleh Amirullah mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Fakultas Syari‟ah dan Hukum Jurusan Jinsayah Siyasah Program
10
Studi Siyasah Syar‟itah, angkatan 2002. Skripsi tersebut berjudul Negara Utama
al-Fārābī dan Ide Demokrasi. Di dalam skripsinya ia membahas tentang al-Fārābī
yang telah menumbangkan pemikiran falsafat politiknya terhadap khazanah
pengetahuan Islam tentang ketatanegaraan, yang disebut dengan istilah Negara
Utama. Konsep tersebut merupakan sebuah perkumpulan kerjasama manusia
untuk mencapai tujuan yang ingin mendapatkan kebahagiaan. Negara Utama al-
Fārābī merupakan sebuah konsep politik Islam yang lahir pada abad klasik,
berbeda dari demokrasi yang pada kenyataannya berkembang pesat hingga saat
ini. Pemkiran al-Fārābī yang lain sejalan dengan falsafat politik Platon adalah
mengenai bentuk negara ideal yang diidealkan oleh keduanya, yaitu bentuk
Negara Kota. al-Fārābī mengidolakan Negara Kota yang utama, bukan bentuk
negara demokratis, seperti juga Platon dan Aristoteles.
Adapun yang membedakan tulisan skripsi ini dengan tulisan-tulisan di atas
adalah bahwa penulis memfokuskan tulisan pembahasan terhadap Etika Politik
perspektif al-Fārābī seperti didalam bukunya yang berjudul “Ārā‟ Ahl-Madīnah
al-Fāḍilah”. Di mana seorang pemimpin itu harus memiliki akhlak mulia.
11
E. METODE PENELITAN
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset
pustaka (library research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis
penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi
berkaitan dengan masalah penelitian.16
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer,sekunder, dan lainnya. Data primer merujuk kepada buku hasil karya al-
Fārābī, seperti Ārā‟ Ahl-Madīnah al-Fāḍilah. Data sekunder, berupa tulisan-
tulisan, baik dalam bentuk buku ataupun artikel, yang mengandung pembahasan
Etika Politik perspektif al-Fārābī yang ditulis oleh para sarjana, peneliti dan
cendikiawan. Data yang lain ialah seperti ensiklopedia, internet, jurnal dan lain-
lain. Metode yang digunakan oleh penulis yaitu metode pendekatan kualitatif.
Teknik penulisan pada skrispsi ini disesuaikan dengan Pedoman Penulisan
Skripsi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di buku Pedoman
Akademik tahun 2013.
16
Consuelo G Sevilla dkk.,Pengantar Metodologi Penelitian,(Jakarta: UI
Press,1993),h.37
11
BAB II
RIWAYAT HIDUP AL-FĀRĀBĪ
A. Pendidikan Al-Fārābī
Nama al- Fārābī mempunyai nama lain Abu Nashr Ibnu Audagh Ibn
ṭorhan Al- Fārābī. Sebenarnya nama Al- Fārābī diambil dari nama kota Fārāb,
tempat ia dilahirkan di desa Wasij dalam kota Farab pada tahun 257 H. Nama
lengkapnya adalah Abū Naṣr Muḥammad bin Muḥammad bin Tarkhan bin Uzlag
al-Fārābī, yang biasa disingkat saja menjadi al-Fārābī. Ia dilahirkan di Wasij,
Distrik farab, Turkistan pada tahun 257 H. bersamaan 870 M. Ayahnya seorang
jenderal berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.17
Pada masa remajanya ia telah hijrah bersama orang tuanya ke Bagdad, tapi
menurut informasi lain, ia telah bekerja sebagai hakim dan kemudian baru berada
di Bagdad pada usia 50 tahun atau pada usia 40 tahun. Disana ia dapat berdiskusi
dan saling mengambil manfaat dengan banyak ahli dalam berbagai bidang. Al-
Fārābī mendapat gelar kehormatan sebagai guru kedua dengan catatan bahwa
gelar guru pertama dialamatkan orang kepada Aristoteles.
Selama hidupnya al-Fārābī selalu berpindah tempat tinggal dari waktu ke
waktu. Saat kecil ia dikenal sangat rajin belajar dan memiliki otak yang cerdas. Ia
banyak memelajari agama dan bahasa di tempat kelahirannya yaitu desa kecil
17
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009), h. 15.
13
bernama Wāsij, Fārāb, daerah dekat sungai Jaxartes dan di daerah Transoxiana
yang masih masuk wilayah Turkistan.18
Pada saat muda ia belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhārā. Setelah
mendapat pendidikan awal, al-Fārābī belajar logika kepada seorang Kristen
Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhannah ibn Haylān. Pada masa
kekhalifahan al-Mu‟tadīd (892-902), al-Fārābī dan Yuḥannah ibn Haylān pergi ke
Bahgdad dan al-Fārābī unggul dalam ilmu logika. Al-Fārābī selanjutnya banyak
memberi sumbangsih dalam penempaan filsafat baru dalam bahasa Arab
meskipun menyadari perbedaan antara tata bahasa Yunani dan Arab.
Pada kekhalifahan al-Muktafi (902-908) dan awal kekhalifahan al-
Muqtadir (908-932) al-Fārābī unggul dalam ilmu logika. Al-Fārābī pergi ke
Konstantinopel dan tinggal di sana selama delapan tahun serta memelajari seluruh
silabus filsafat. Pada tahun 297 H. bersamaan 910 M., ia telah kembali ke
Baghdad. Kembalinya ia ke Baghdad adalah untuk belajar, mengajar, mengaji
buku-buku yang ditulis oleh Aristoteles dan menulis karya-karya. Setelah hijrah
ke Baghdad dan tinggal di sana selama 20 tahun, ia memerdalam ilmu-ilmu
filsafat, logika, etika, ilmu politk, musik dan lain sebagainya.19
Pada tahun 330 H (945 M), ia pindah ke Damaskus, dan berkenalan
dengan Saif al-Daulah al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Sultan
memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang
18
M.M. Syarif (Ed), Para Filosof Muslim, terj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung:
Mizan, 1994), cet.7, h.55-58. 19
Kahrawi Ridwan (ed.), Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999), Vol.1,
Cet. Ke-4, h. 331.
14
besar sekali, tetapi al-Fārābī lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak
tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Ia hanya memerlukan empat dirham
saja sehari untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi, hal yang
menggembirakannya di tempat yang baru ini, al-Fārābī bertemu dengan para
sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fikih, dan kaum cendekiawan lainnya. Al-
Fārābī adalah seorang filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak
bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta
mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti
Ibn Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.
Pengetahuan al-Fārābī yang mendalam mengenai filsafat Yunani, seperti Plato
dan Aristoteles, sehingga ia dijuluki al-Mu‟allim al-Tsani (guru kedua).20
Al-Fārābī wafat di Damaskus pada 950 M. Usianya pada saat itu sekitar
delapan puluh tahun.21
Ia dikebumikan di sebuah perkuburan di bagian luar pintu
selatan dan pintu sampingan kota tersebut. Syaf al-Dawlah sendiri yang memberi
tahu para pembesar negeri untuk menyalati jenazah al-Fārābī.22
B. Kehidupan Sosial Politik
Periode akhir „Abbāsiyyah merupakan masa yang di dalamnya kekuasaan
khalifah mengalami kemunduran, sedangkan yang sesungguhnya berkuasa adalah
dinasti-dinasti baru yaitu Turki dan Persia yang berada di batas luar. Pada
20
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.33. 21
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan,
2002), h.57. 22
Muhammad Fanshobi, Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Farabi,
(Ciputat: Skripsi UIN Jakarta, 2014), h. 12.
15
akhirnya, dinasti ini menguasai Bagdad itu sendiri, dan khalifahpun praktis seperti
boneka di tangan mereka.23
Al-Fārābī hidup pada zaman kekuasaan Dinasti „Abbāsiyyah yang
digoncang oleh berbagai macam gejolak, pertentangan, dan pemberontakan,
dengan berbagai motif, agama, kesukuan dan kebendaan. Banyak anak-anak raja
berusaha mendapatkan kembali wilayah dan kekayaan milik nenek moyang
mereka khususnya orang-orang Persia dan Turki. Mereka mencoba bermaksud
mengkudeta, bekerja sama dengan kelompok Syī‟ah yang berkeyakinan lebih
berhak memerintah dan berkuasa dari keturunan „Abbās, paman Nabi
Muḥammad. Stabilitas lebih kacau lagi dengan hilangnya Imam Muḥammad
Mahdī (Imam keduabelas dari Syī‟ah Imāmiyyah) dalam usia empat atau lima
tahun.24
Khalifah „Abbāsiyyah ketika al-Fārābī lahir adalah al-Mu‟tamid. Al-
Mu‟tamid mengangkat Nashr ibn Ahmad menjadi gubernur untuk seluruh
Transoxiana kendatipun fakta menunjukkan bahwa Isma‟illah yang memenangi
pertikaian. Isma‟il menghormati pengangkatan ini sampai kematian saudaranya
pada 892 M.25
Pada hidupnya al-Fārābī tidak dekat dengan penguasa dan tidak
menduduki salah satu jabatan pemerintah. Ia lahir pada zaman pemerintahan
Khalifah al-Mu‟tamid (892-902 M) dan meninggal pada masa Khalifah al-Muṭī
23
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.52 24
Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1997), cet. Ke-1, h.79. 25
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.53.
16
yang merupakan suatu periode paling kacau dengan stabilitas politik yang sangat
mengenaskan. Hal ini disinyalir menyebabkan dirinya merasa perlu untuk
memikirkan dan menemukan pola perilaku kehidupan bernegara dengan bentuk
pemerintahan yang ideal di samping pengaruh dari pendidikan falsafat Yunani
yang banyak dipelajarinya.
Stabilitas politik dan kondisi kehidupan al-Fārābī menunjukkan bahwa ia
hidup di dalam sebuah negara yang mengalami kekacauan yang ditimpa dari
berbagai macam konflik yang dilatarbelakangi adanya motif kekuasaan politik,
membuat al-Fārābī dalam kehidupannya memberikan beberapa konsep tentang
politik khususnya terhadap negara.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran al-Fārābī
dilatarbelakangi dengan beberapa poin. Pertama, adanya kondisi kehidupan yang
kacau yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan. Kedua, stabilitas politik yang
tidak aman, yang mengalami beberapa pergantian khalifah. Dari kedua faktor
tersebut al-Fārābī menuangkan pemikirannya di dalam falsafat politiknya terdapat
beberapa sifat-sifat dan etika seorang pemimpin.
C. Sumber-Sumber Pemikiran Politik
Sebagaimana para failasuf Muslim lain pada umumnya, pemikiran-
pemikiran falsafi al-Fārābī tidak luput dari pengaruh peikiran-pemikiran para
failasuf Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan Plotinus.
17
Pengaruh Plato bisa dilihat ketika al-Fārābī membahas tentang kelas-kelas
sosial dalam masyarakat. Sebagaimana ditulis dalam Taḥṣīl „alā Sabīl al-Sa‟ādah,
dia menyatakan bahwa, sesuai pekerjaannya, masyarakat terbagi menjadi tiga
golongan yaitu; „āmmah, khāṣṣah dan akhaṣṣ al-khāṣṣ, dengan menjunjung tinggi
keadilan sebagai barometer kebaikan.26
Keadilan merupakan hal yang penting
dalam menciptakan suatu masyarakat yang ideal.
Pendapat ini tak jauh berbeda dari pandangan Plato yang mengatakan
bahwa negara yang ideal harus berdasar keadilan. Keadilan ini tercapai apabila
tiap-tiap orang melakukan pekerjaannya. Berhubungan dengan pekerjaan, Plato
membagi penduduk dalam tiga golongan yaitu, golongan terbawah yang terdiri
dari rakyat jelata, golongan tengah sebagai penjaga dan golongan atas adalah
pemerintah atau failasuf.27
Golongan bawah adalah mereka yang bekerja untuk menghasilkan
kebutuhan sehari-hari bagi ketiga golongan. Mereka tak boleh turut andil dalam
pemerintahan tetapi boleh memiliki hak milik, harta, rumah tangga sendiri, dan
hidup dalam rumah masing-masing. Penekanan pendidikan pada golongan ini
adalah budi yang pandai menguasai diri.
Golongan tengah adalah mereka yang bertugas memertahankan serangan
dari musuh dan menegakkan undang-undang. Mereka tidak boleh memiliki harta
perseorangan dan keluarga karena hidup dalam sistem komunisme, termasuk
26
Muhammad Fanshobi, Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-Farabi , skripsi
h-15. 27
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h.145.
18
dalam hal perempuan dan anak-anak. Anak-anak yang lahir dipelihara negara.
Mereka mengaku semua penjaga sebagai bapak, begitu pula sikap terhadap ibu.
Laki-laki dan perempuan mendapat pendidikan yang sama juga kesempatan untuk
menjadi penjaga. Keberanian adalah budi yang dituntut golongan ini.
Golongan paling atas adalah pemerintah atau filasuf. Merek adalah orang-
orang terpilih dari kelas penjaga setelah melewati proses khusus. Tugas mereka
adalah membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaannya. Selain itu,
waktu luang yang dimiliki digunakan untuk memerdalam kesempurnaan budi
kebijaksanaan.
Plato, dengan bertitik tolak dari manusia yang harmonis dan adil,
menggunakan jiwa manusia atas tiga fungsi, yaitu keinginan, energi dan rasio
(ephitymia, enerji, thymas, dan logos). Jika keinginan dan enerji dibawah
pimpinan rasio dapat berkembang sebagaimana mestinya, menurut Plato, akan
muncullah manusia yang harmonis dan adil. Secara analogis dengan bagian-
bagian jiwa ini, Plato menganggap bahwa negara itu laksana manusia besar,
sebagai organisme tertinggi dari tiga bagian atau tiga golongan, yang masing-
masing sepadan dengan bagian jiwa. Tiga bagian tersebut ialah; pertama,
golongan produktif, yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang, ephitymia.
Kedua, golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit, thymas. Ketiga,
golongan pejabat yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan.28
28
P.A Van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens dari Grote
Filosofen over de Mens, (Jakarta: Gramedia, 1988), h.16-17.
19
Platon adalah pencipta ajaran serba cita (idenleer), karena itu filsafatanya
disebut idealisme. Ajaran Plao lahir karena pergaulannya dengan kaum sofis.
Plato beranggapan bahwa pengetahuan yang diperoleh berkat pengamatan panca
indera adalah bersifat relatif. Memang, lanjut Plato, kebajikan tidak mungkin ada
tanpa adanya pengetahuan, namun pengetahuan (yang sebenarnya) tidak hanya
terbatas pada pengamatan (inderawi). Pengetahuan, bagi Plato, lahir dari alam,
bukan benda. Bentuk-bentuk dari benda yang diamati melalui panca indera
hanyalah bayangan dari kenyataan-kenyataan alam bukan benda, di mana benda-
benda itu ada dalam bentuk yang lebih murni. Cita (ide) kuda misalnya, yang
mempunyai sifat-sifat benda dalam bentu yang murni tidak dapat diamati di dunia
ini. Kuda yang kita lihat sekarang, berbeda sama sekali dalam bentuk, warna, dan
sifatnya. Kemudian Plato bertanya kepada diri sendiri, “Apa sebabnya kita
mengenali kuda dalam gejala yang sedemikian rupa?” “Karena,” dia menjawab
sendiri, “Jiwa manusia telah bermukim lebih dahulu dalam alam serba cita murni
sebelum ia memasuki badan, di alam serba cita itu, manusia telah melihat cita dari
kuda itu dan kemudian ia kenal kuda tersebut dalam bentuknya yang kurang
sempurna di dunia ini.”29
Dalam pandangan politik al-Fārābī juga tidak lepas dari pengaruh kedua
failasuf besar Yunani (Platon dan Aristoteles). Ketika berbicara tentang politik
dan negara, al-Fārābī , selain mengaitkan dalam proposisi-proposisi teologis,
berpijak dalam dunia nyata dengan memberi alternatif pada kemungkinan tidak
ditemukannya pimpinan negara pada peringkat yang paling sempurna, dengan
29
P.A Van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, h.16-17.
20
mendistribusikan kecakapan individual kepada kecakapan dan profesionalitas
kolektif.30
Berkenaan dengan pemikiran politik Aristoteles, pada umumnya, orang
hanya menganggap sebagai langkah penting ke arah lebih maju dari Plato karena
dia (Aristoteles) adalah seorang realis. Akan tetapi, pada dasarnya. Aristoteles
juga seorang idealis dan menjadikan alam pikiran sebagai pokok penyelidikan,
hingga kemudian orang mendapat tanggapan-tanggapan abstrak seperti adil, tidak
adil, negara dan lain sebagainya, yang sangat berarti pada dunia kenyataan.
Aristoteles juga berpendapat seperti Plato, bahwa dalam suatu masyarakat
rohani yang hasnya terbatas dan terdiri dari orang-orang merdeka, ada lebih besar
harapan akan terciptanya keadilan. Ini berarti seyogyanya pemerintah harus
membuat masyarakat yang dipimpinnya merasa merdeka sambil menjalankan
pemerintah yang adil dan bijaksana. Keadaan ini untuk Plato hanya merupakan
tanggapan pikiran, sedangkan Aristoteles memerdalam penyelidikannya untuk
menciptakan dan mempertahankan keadaan tersebut. Pada akhirnya, baik Plato
maupun Aristoteles berpendapat bahwa jika tidak ada kecenderungan etis dan
sosial pada warga negara, maka tak ada harapan akan tercapai suatu keadilan yang
tertinggi dalam negara meskipun yang memerintah orang-orang baik dan dengan
undang-undang yang baik pula. Maka ini semua laksana jiwa dan badan yang
harus ada keseimbangan sebagai keadilan.31
30
Al-Fārābī, Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah, h.126. 31
J.J Von Schmid, Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum (Dari Plato sampai
Kant), terj. Dt. Singomangkuto dan Djamadi dari Grote Denkers Over Staat en Recht (von Plato
tot Kant) (Jakarta: Pembangunan, 1965), h.46.
21
Pandangan kedua failasuf (Plato dan Aristoteles) itu kemudian dianalisis
oleh al-Fārābī sebagai suatu (kebajikan) yang mutlak menjadi persyaratan bagi
pimpinan negara/kota. Keadilan, secara operasional, harus diterapkan dalam
pembagian kebajikan kepada seluruh warga kota/negaral. Kebajikan itu dapat
berupa kedamaian, harta benda, penghormatan dan lain sebagainya dan siapa yang
mngurangi bagian itu – lanjut al-Fārābī dia adalah orang yang curang dan tidak
patut menjadi pimpinan.
D. Karya-karya
Al-Fārābī hampir menulis seluruh karyanya dalam bahasa Arab. Sebagian
besar karyanya itu difokuskan pada kajian mengenai logika. Dalam bidang ini, dia
menulis komentar atas seluruh bagian Organon-nya Aristoteles, di samping
komentar atas Isagoge, karya Porphyry. Di luar komentar-komentar tersebut, al-
Fārābī juga menulis risalah-risalah pendek tentang aspek-aspek tertentu logika.
Karyanya yang menarik dan penting dalam kategori ini adalah tulisan-tulisannya
mengenai hadis Nabi Saw, yang dikumpulkannya dengan tujuan untuk
mendemonstrasikan bahwa sesungguhnya hadis-hadis tersebut menganjurkan seni
logika Aristoteles.32
Karya-karyanya yang lain meliputi cabang filsafat yang lain, yakni fisika
atau filsafat alam (natural philosophy), termasuk psikologi. Di samping beberapa
karya yang dikhususkan untuk menyangkal pandangan-pandangan beberapa
filosof dan ahli teologi tertentu tentang fisika.
32
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan,
2002), h. 57.
22
Di bidang matematika, dia menulis komentar atas karya Phytagoras dan
Ptolemeus. Namun, karyanya yang terpenting di bidang ini justru mengenai
musik. Yang terpenting di antaranya adalah Al-Musīqa Al-Kabīr. Karya al-Fārābī
yang satu ini oleh banyak kalangan dianggap sebagai karya terbaik di bidang
musik yang pernah ditulis orang di Abad Pertengahan. Khusus di bidang musik
ini, al-Fārābī adalah seorang komposer dan pemain musik sekaligus.
Kategori penting lain dari karya al-Fārābī adalah kira-kira lima belas
tulisannya tentang ilmu-ilmu metafisika. Di samping logika diantara ilmu-ilmu
teoritis, di bidang inilah al-Fārābī dianggap menyumbang paling besar bagi
wacana filsafat Abad Pertengahan. Di antara karya-karanya di bidang ini, terdapat
suatu judul, Fushūs al-Hikam yang dianggap kontroversial karena kandungannya
yang berbeda dengan umumnya karya al-Fārābī lainnya. Jika karya-karyanya yang
lain bisa disebut sebagai bersifat eksoteris (zhāhiriyyah) dan Aristotelian,
karyanya yang satu ini lebih bersifat esoteris (bāthiniyyah) dan sufistik.
Betapapun ditentang oleh sebagian kalangan, beberapa ahli di bidang ini termasuk
Seyyed Hossein Nasr percaya sepenuhnya pada keautentikannya sebagai karya al-
Fārābī. Karya-karya metafisika al-Fārābī yang selebihnya mencakup Al-Jam‟bain
Ra‟yai Al-Hakīmain Aflātūn Al-Ilāhī wa Aristūthalis (Kitab Keselarasan Pikiran
Plato dan Aristoteles).
Di bidang ilmu-ilmu teoretis ini, karya al-Fārābī masih dilengkapi oleh
beberapa buku tentang astrologi persisnya tentang hukum-hukum astrologi
(Aḥkām Al-Nujūm), alkemi, dan penafsiran mimpi serta aspek-aspek linguistik dan
23
ilmu-ilmu teologi. Di luar ilmu-ilmu teoretis, ketenaran al-Fārābī terutama
bersumber pada karya-karya di bidang ilmu-ilmu praktis, yakni di bidang ilmu-
ilmu kemasyarakatan (al-ulūm al-madani), khususnya ilmu politik. Di antara
karyanya yang harus disebut di bidang ini termasuk Arā Ahl Al-Madīnah Al-
Fādhilah (Pendapat-Pendapat para Warga Kota Utama), Al-Siyāsah Al-
Madaniyyah (Pemerintahan Negara Kota), Fushūl Al-Madanī (Aforisme-
Aforisme Negarawan), dan Taḥsīl Al-Sa‟adah (Pencapaian Kebahagiaan), yang
antara lain menjadi dasar penulisan filsafat al-Fārābī dalam buku yang ada di
hadapan pembaca ini. Di dalam karya-karya ini sebagian peneliti al-Fārābī
melihat keberhasilannya dalam menyitesiskan pandangan-pandangan para filosof
Yunani, khususnya Plato dengan doktrin-doktrin Islam sebagaimana terungkap
dalam Al-Quran dan Sunnah. Karya-karya politik al-Fārābī ini memberikan
pengaruh yang besar atas banyak pemikir Muslim dan Yahudi, khususnya sejak
abad ke-13.33
Demikianlah jumlah buku-buku karangan al-Fārābī. Kita menyadari
bahwa pembagiannya kepada tiga bidang di atas (politik dan hukum, sosial dan
ekonomi, dan akhlak), tidaklah begitu tepat. Tidak mungkin suatu buku
membatasi dirinya kepada suatu bidang saja dengan tidak mencampuri bidang
lainnya. Misalnya buku-buku mengenai kebaghagiaan, dapat dimasukkan ke
dalam soal sosial dan ekonomi, sebagai tujuan negara, tetapi dapat juga
dimasukkan dalam soal politik, bahkan juga dalam bidang akhlak. Dari buku-buku
33 Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.58-59
24
yang disebutkan di atas ada tiga buah buku yang merupakan puncak tertinggi dari
setiap bidang yaitu:
1. Mabādī Arā Ahl al-Madīnah al-Fādilah, dalam soal politik
2. Siyāsah al-Madāniyyah dalam soal sosial dan ekonomi
3. Al-Sīrāt al-Fadīlah dalam soal akhlak
Jika buku-buku tersebut merupakan puncak di bidang masing-masing itu
dihimpun menjadi satu, kita dapat melihat kesempurnaan yang mengagumkan
bagi uraian-uraian al-Fārābī di bidang ilmu kenegaraan. Buku-buku inilah yang
menjadi konsepsi al-Fārābī.
25
BAB III
ETIKA POLITIK
A. Pengertian Etika Politik
1. Pengertian Etika
Etika atau filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang
praksis manusiawi, tentang tindakan. Kata “etika” berasal dari kata Yunani ethos
yang berarti „adat‟, „cara bertindak‟, „tempat tinggal‟, „kebiasaan‟. Kata “moral”
berasal dari kata Latin mos (genetif moris) yang mempunyai arti yang sama. Etika
dibedakan dari semua cabang filsafat lain karena tidak mempersoalkan keadaan
manusia, melainkan bagaimana ia harus bertindak.34
Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma (Latin: norma
„siku‟). Norma- norma dapat dibagi atas norma sopan santun, norma hukum, dan
norma moral. Norma-norma ini merupakan bidang etika. Etika menolong manusia
untuk mengambil sikap terhadap semua norma dari luar dan dari dalam, supaya
manusia mencapai kesadaran moral yang otonom.35
Etika merupakan cabang filsafat yang merefleksikan tugas manusia dalam
upaya menggali nilai-nilai moral. Kedudukan etika dalam kehidupan manusia
menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan
34
Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), h.32. 35
Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, h.33.
26
bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana
etikanya. dan batinnya.36
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika dijelaskan secara
terminologi dengan membedakan tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa
yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang
dianut suatu golongan atau masyarakat.37
Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, „ethos‟ yang
mempunyai banyak arti. Etika, misalnya, diartikan sebagai kebiasaan (habits)
yang berarti adat, atau akhlak, atau watak, atau perasaan, atau sikap dan cara
berpikir. Dalam bentk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan.38
Sedangkan menurut terminologi etika berarti perasaan batin, atau
kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Pada sisi lain etika adalah ilmu
tentang apa yang baik, apa yang buruk, tentang hak-hak dan kewajiban, ilmu
tentang kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan tingkah laku manusia.39
Etika juga diartikan sebagai kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas
dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan.40
Maka “etika”
berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
36
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
h.2. 37
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (ditulis KBBI) (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet.ke-3, h.237. 38
K. Bertens, Etika , (Yogyakarta: Kanisisus, 2013), h. 3. 39
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, h.4-5. 40
H. A. W.Widjaja, Etika Pemerintahan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997),h.8.
27
Etika dalam filsafat Islam merupakan bagian yang amat penting karena
hakikat kemanusiaan itu adalah pada moral atau akhlaknya. Bahkan Nabi
menegaskan bahwa dia diutus ke dunia ini tidak lain hanya untuk
menyempurnakan akhlak manusia. Artinya, sikap dan tindak tanduk sesorang
adalah unsur yang utama dalam dirinya.41
Etika adalah ilmu tentang adat
kebiasaan untuk mengatur tingkah laku manusia. Baik atau buruk perbuatan
manusia dapat dilihat dari persesuaian dengan adat istiadat yang umum berlaku di
lingkungan dan kesatuan sosial tertentu.42
Etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan moral. Etika adalah ilmu bukan sebuah ajaran.
Apabila etika menjadi penelitian sistematis dan metodis, maka etika di sini sama
artinya filsafat moral.43
Etika dijelaskan dengan berbagai arti yakni, ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), diartikan pula
sebagai kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai
benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.44
Kata “moral” etimologinya sama dengan “etika”, sekalipun bahasa asalnya
berbeda. Memandang arti kata “moral”, perlu diperhatikan bahwa kata ini bisa
dipakai sebagai nomina (kata benda) atau sebagai adjektiva (kata sifat). Jika kata
“moral” dipakai sebagai kata sifat artinya sama dengan “etis” dan jika dipakai
41
Amsal Bakhtiar, Tema-tema Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h.210. 42
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai
Pustaka, 1990), h.592. 43
Ahmad Charis Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h.16. 44
K. Bertens, Etika, h.4.
28
sebagai kata benda artinya sama dengan “etika” menurut arti pertama tadi, yaitu
nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya, bahwa perbuatan
seseorang tidak bermoral. Dengan itu, kita menganggap perbuatan orang itu
melanggar nilai-nilai dan norma-norma yang menjadikan pegangan etis yang
berlaku dalam masyarakat.45
Menurut Franz Magnis Suseno, kata “moral” selalu menunjuk pada
manusia sebagai manusia. Maka kewajiban moral dibedakan dari kewajiban-
kewajiban lain, karena yang dimaksud adalah kewajiban manusia sebagai
manusia, dan norma moral adalah norma untuk mengukur betul salahnya tindakan
manusia sebagai manusia.46
Sedangkan akhlak, Dalam bahasa Indonesia memiliki arti sebagai tata
susila atau budi pekerti yang merupakan kata majemuk dari kata budi dan
pekerti.47
Dalam bahasa arab kata ini berasal dari khalaqa yang berarti
menciptakan, seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluk (yang diciptakan),
dan khalq (penciptaan). Dan akhlak dalam bentuk jamak dari khuluq yang berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku, dan tabiat. Akhlak memang bukan saja tata
aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antara sesama manusia,
tetapi juga mengatur hubungan antar manusia dengan dengan alam semesta.48
45
K. bertens, Etika, h.6. 46
Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,
(Jakarta: Gramedia, 1987), h.14. 47
Rahmat Jatmika, Sistem Etika Islam: Akhlak Mulia, (Surabaya: Pustaka Islam, 1985),
h.25. 48
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI,2001), Cet. Ke-4, h.1.
29
Akhlak adalah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan
ikhtiar dan sengaja, ia mengetahui waktu melakukan apa yang diperbuat.49
Inilah
yang dapat diberi hukum “baik dan buruk”, dengan arti lain akhlak adalah
kebiasaan dan kehendak. Selain itu akhlak mengandung arti sifat yang tertanam
dalam jiwa, tanpa membutuhkan atau memerlukan pemikiran dan pertimbangan
untuk kemudian memilih melakukan dan meninggalkan.50
Ada beberapa persamaan yang bisa penulis amati dari penjelasan antara
akhlak, etika, dan moral yaitu ketiganya sama-sama mengacu kepada ajaran atau
gambaran tentang perbuatan, tingkah laku, sifat dan perangai yang baik.
Kemudian, akhlak, etika, dan moral juga merupakan prinsip atau aturan hidup
manusia untuk menakar martabat dan harkat kemanusiannya. Apabila semakin
rendah kualitas akhlak, etika dan moral seseorang, maka semakin rendah pula
kualitas kemanusiaannya.
Menurut Platon, etika adalah ajaran tentang aturan dan arahan agar
kehidupan manusia dapat terasa utuh dan bulat, agar ia bukan hanya asal
mempertahankan hidupnya (zen), melainkan juga mencapai hidup yang bernilai
(euzen, “hidup yang baik”), yang terasa berhasil, yang terasa tidak percuma,
melainkan bermakna. Menurut Plato, orang itu baik apabila ia dikuasai oleh akal
budi, buruk apabila ia dikuasai oleh nafsu dan emosi. Oleh karena itu, apabila
manusia ingin mencapai suatu hidup yang baik, yang tenang, bersatu, dan terasa
49
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), cet. Ke-8, h.5. 50
Yunahar, Ilyas, Kuliah Etika, h.3.
30
bernilai, hal pertama yang perlu kita usahakan adalah membebaskan diri dari
kekuasaan hawa nafsu dan emosi serta mengarahkan diri menurut akal budi.51
Sedangkan menurut Aristoteles, etika termasuk ajaran tentang masyarakat.
Ia mengatakan bahwa manusia itu menurut kodratnya adalah “zoon politikon”
atau makhluk sosial.52
Tujuan kehidupan manusia ialah mencari kebahagiaan atau
eudaimonia (kesejahteraan, kesentosaan). Hal ini semua dapat dicapai melalui
jalan etika.53
Menurutnya, hidup manusia akan semakin bermutu maka akan
semakin ia mencapai apa yang menjadi tujuannya. Karena dengan mencapai
tujuan hidupnya, manusia mencapai dirinya sepenuh-penuhnya. Dengan demikian,
hidupnya mencapai mutu sepenuh-penuhnya yang terbuka baginya.54
Etika Aristoteles juga disebut Eudemonisme karena nilai tertinggi adalah
kebahagiaan. Cita-citanya adalah “hidup yang baik”. Etika Aristoteles mau
mengantar kepada cara hidup yang terasa bermakna, positif, bermutu,
memuaskan.55
Menurut Ibn Miskawaih, etika diartikan sebagai jiwa kebaikan dan
kebahagiaan. Ketika kita temukan dalam diri manusia adanya sesuatu yang
bertentangan dengan perbuatan fisik dan bagian-bagian tubuh, maka kita
simpulkan bahwa sesuatu tersebut bukan tubuh, bukan pula bagian dari tubuh, dan
bukan pula bentuk. Jiwa bukanlah tubuh, bukan pula bagian dari tubuh dan buka
51
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19,
(Yogyakarta: Kanisius, 1997), h.20. 52
A. Sudiardja, SJ, dkk, Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam
Perjuangan Bangsanya (Jakarta: Gramedia, 2006), h.1192. 53
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Utama, 2005), h.218. 54
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, h.20. 55
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19, h.41.
31
pula bagian materi. Dengan demikian jelas bahwa jiwa bukan tubuh, bukan pula
keadaan dalam tubuh, tetapi sesuatu yang lain dengan tubuh, baik dari segi
substansinya, penilaiannya, sifat-sifat serta tingkah lakunya.56
Kecenderungan jiwa pada ilmu pengetahuan merupakan kebaikan atau
keutamaannya. Oleh karena itu, keutamaan seseorang diukur dengan sejauh mana
dia mengupayakan dan mendambakan kebajikan. Keutamaan ini akan semakin
meningkat, ketika dia semakin memperhatikan jiwanya dan berusaha keras
menyingkirkan segala yang merintanginya untuk mencapai keutamaan. Ada
beberapa kendala yang menjadi penghambat manusia untuk mencapai keutamaan
itu sendiri, kendala itu berupa sifat badani, inderawi, serta yang berhubungan
dengan keduanya. Sedang keutamaan itu sendiri, tidak mungkin bisa kita capai,
kecuali setelah jiwa kita suci dari perbuatan-perbuatan keji, yang merupakan
kebalikan dari keutamaan. Perbuatan kji itu adalah nafsu badani yang hina serta
nafsu keji hewani yang tercela.57
2. Pengertian Politik
Kata “politik”, dari kata “polis” dalam bahasa Yunani yang berarti kota
atau negara kota. Politik menurut etimologi adalah sesuatu yang berhubungan
antara warga negara pada suatu negara. Sedangkan pada sisi lain politik sering
juga diartikan sebagai kekuasaan. Terkadang seorang penguasa harus memiliki
kemampuan memaksa dan mengendalikan orang lain karena manusia kadang-
kadang tidak mengerti akan batas-batas kepentingan pribadi yang sesungguhnya.
56
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung: Mizan, 1994), h.39. 57
Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, h.39.
32
Oleh sebab itu, tindakan seorang pemimpin harus mengatur masyarakat agar tidak
terjadi kekacauan.58
Selanjutnya dikatkan lagi bahwa politik berasal dari kata “polis” yang
berarti “Negara Kota”. Dengan politik berarti ada hubungan khusus antara
manusia yang hidup bersama, dalam hubungan itu timbul aturan kewenangan dan
kekuasaan bagi pelakunya. Oleh karenanya pelaku politik haruslah cerdik dan
bijaksana dalam menentukan dan melaksanakan tujuan-tujuannya.59
Ada banyak pandangan tentang apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan
“politik” dan tidak ada satupun dari pandangan-pandangan tersebut yang dapat
diterima secara luas karena memiliki keunggulan teoritis dari pandangan-
pandangan lainnya. Politik, yang berasal dari bahasa Yunani itu, yakni polis yang
berarti kota, negara kota dari polis itu berkembang konsep polites yang bermakna
warga negara dan konsep politikos yang berarti kewarganegaraan. Maka dari
penjelasan etimologis, disimpulkan bahwa politik sebagai sesuatu yang
berhubungan antara warga negara pada suatu (negara) kota. Sedangkan akar
katanya dalam bahasa Inggris, adalah politics, yang bermakna bijaksana.
Kemudian jika kita menyatukan pemahaman etimologis dari dua akar kata dari
bahasa yang berbeda tersebut, dari bahasa Inggris maupun dari bahasa Yunani itu,
maka politik dapat dipahami sebagai sesuatu proses dan sistem penentuan dan
58
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: Kompas, 2004), h.7. 59
Inu Kencana Syafi‟I, Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), Cet. Ke-1, h.19.
33
pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan warga negara dalam suatu negara
kota.60
Menurut Aristoteles politik merupakan bagian dari etika yang berurusan
dengan manusia dalam kegiatan kelompok. Manusia adalah makhluk polis
(negara-kota). Maksud (tujuan, sasaran) politik sama dengan tujuan etika dengan
tujuan kehidupan manusia pada umumnya: untuk mencapai eudaimonia
(kebahagiaan).61
Sedangkan menurut Miriam Budiarjo, sedikitnya ada lima pendekatan
yang digunakan untuk mendefinisikan istilah tersebut. Pendekatan-pendekatan
tersebut adalah pendekatan kenegaraan (state), kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (decision making), kebijaksanaan (policy, belied), dan pembagian
kekuasaan (distribution) atau alokasi (allocation).62
Dari pengertian etika dan politik di atas, maka definisi etika politik
menurut Franz Magnis Suseno adalah filsafat moral tentang dimensi politis
kehidupan manusia.63
Etika politik dapat dipahami sebagai pengetahuan yang
mendiskusikan apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku
manusia sebagai politikus. Etika politik membicarakan masalah-masalah yang
berkaitan dengan obyek formal etika, yaitu tinjauan kehidupan politik berdasarkan
60
P. Anthonius Sitepu, Studi Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h.6. 61
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Utama, 2005), h.857. 62
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1998), Cet. Ke-19, h. 8. 63
Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern
(Jakarta: PT. Gramedia, 1987),h.13.
34
prinsip-prinsip dasar etika. Obyek materialnya meliputi legitimasi negara, hukum,
kekuasaan dan penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut.64
Menurut Franz Magnis Suseno, etika dapat dilihat dari dua bagian: etika
umum dan etika khusus. Etika umum adalah prinsip-prinsip dasar yang berlaku
bagi segenap tindakan manusia, sementara etika khusus adalah membahas prinsip-
prinsip dasar dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai lingkup
kehidupan. Dalam etika khusus dibedakan antara etika individual dan etika sosial.
Etika individual adalah prinsip-prinsip yang menjelaskan kewajiban manusia
sebagai individu, terutama terhadap dirinya sendiri dan melalui suara hati
terhadap Tuhan. Etika sosial memuat banyak etika yang khusus mengenai
wilayah-wilayah kehidupan manusia tertentu. Di sini termasuk,misalnya,
kewajiban di sekitar permulaan kehidupan, dan juga norma-norma moral yang
berlaku dalam hubungan dengan satuan-satuan kemasyarakatan yang berlembaga
seperti etika berkeluarga, etika sebagai profesi dan etika pendidikan. Dan disini
juga etika politik atau filsafat moral mengenai dimensi politis kehidupan
manusia.65
Franz Magnis Suseno juga menjelaskan bahwa etika politik menuntut agar
segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada
prinsip-prinsip moral dasar. Filsafat politik meningkatkan tekanan agar
kekuasaan-kekuasaan dalam masyarakat mencari legitimasi yang benar dan
mempersulit merajalelanya legitimasi-legitimasi yang ideologis. Dengan demikian
64
Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan
Modern, h.xiii. 65
Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern,
(Jakarta: PT. Gramedia, 1987), h.2-5.
35
etika politik terutama berfungsi sebagai sarana kritik ideologi. Obyek pertama
kritik ideologi etika politik adalah dirinya sendiri.66
B. Etika Politik Platon
Platon, merupakan cikal bakal lahirnya para filsuf politik Barat sekaligus
penggerak pemikiran etika dan metafisika Yunani kuno. Pendapat-pendapatnya
dalam bidang filsafat sudah terbaca secara luas selama lebih dari 2.300 tahun.
Platon lahir sekitar tahun 428 SM. Ia berasal dari keluarga terkemuka yang
turun-temurun memegang jabatan politik penting di Athena. Ayahnya bernama
Ariston dan Ibunya bernama Periktione. Setelah ayahnya meninggal, ibunya
menikah lagi dengan Pyrilampes yang tak lain adalah adik kandung ayahnya.
Pyrilampes adalah seorang politikus, sementara Platon sendiri banyak bergaul
dengan para politikus Athena. Karena itu, tak heran jika pemikiran Platon banyak
terpengaruh oleh Pyrilampes.67
Menurut Platon, pemerintahan yang baik
seharusnya dipegang oleh aristokrat, yaitu seorang pemimpin terbaik, terbijak dan
orang pilihan dari suatu negara.68
Berbagai karya Platon sendiri merupakan bukti yang memadai bahwa ia
telah memperoleh pendidikan yang baik, terlepas dari pengembangan minatya
terhadap politik dan persoalan sosial, yang telah membuka pikirannya ke seluruh
cakrawala kehidupan intelektual zamannya. Konflik politik dan sosial melibatkan
perjuangan ide dan nilai maupun pertempuran bersenjata dan persaingan ekonomi.
66
Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern,
h.3. 67
Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjjah, (Yogyakarta:
IRCiSoD cet.III, 2014), h.50. 68
Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjjah , h.52.
36
Platon tumbuh dewasa di tengah konflik besar antara Athena dan Sparta serta
ketika terjadi perebutan kekuasaan antarpendukung oligarki dengan faksi
demokrasi dalam negara kota.69
Menurut Platon, manusia dan negara memiliki persamaan yang hakiki,
oleh sebab itu apabila manusianya baik negara pun baik dan apabila negara baik
itu berarti manusia pun baik; sebaliknya apabila manusia buruk negarapun buruk
dan apabila negara buruk itu berarti manusianya pun buruk. Negara adalah
pencerminan dari manusia yang menjadi warganya.
Platon mau memberikan orientasi, Ia menggagaskan pola kehidupan
kenegaraan yang baik. Kehidupan itu akan tercapai apabila masyarakat ditata
menurut cita-cita keadilan. Perlu kita ketahui bahwa yang dimaksud Platon
dengan keadilan bukanlah secara individualistik sekedar keadaan dimana hak
semua anggota masyarakat terjamin. Masyarakat yang adil bagi Plato adalah
masyarakat yang dipersatukan oleh tatanan yang harmonis, di mana masing-
masing anggota memperoleh kedudukan sesuai dengan kodrat dan tingkat
pendidikan mereka.70
Motivasi inilah yang mendorong Platon membangun
sekolah atau akademi pengetahuan. Platon menilai negara yang mengabaikan
prinsip keadilan jauh dari negara yang didambakan manusia (negara ideal).
Mereka yang berhak menjadi penguasa hanyalah mereka yang mengerti
sepenuhnya mengenai prinsip keadilan.71
69
David Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, (Yogyakarta: Narasi,2016), h.7. 70
Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern,
h.187. 71
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h.38.
37
Argumentasi Platon membicarakan keadilan dengan merujuk pada
“kodrat” manusia, atau jiwanya. Bila manusia yang optimal adalah manusia yang
jiwanya (kodratnya) adil, maka keadilan itu ditemukan manakala tiap bagian jiwa
bersifat optimal. Definisi jiwa menurut Platon adalah gerak konflik antar berbagai
dorongan dan hasrat yang ada dalam diri manusia. Maka upaya mencari keadilan
dalam jiwa memang tak bisa lepas dari soal “gerakan”. Bila manusia Sofis
gerakannya cenderung bergerak tanpa arah, maka upaya filsafat Platon adalah
mengarahkan agar gerakan ini diorientasikan ke Kebaikan.72
Platon menggambarkan hadirnya tiga manifestasi dalam diri manusia.
Pertama, ada bagian nafsu-nafsu di perut ke bawah yang bernama epithumia
(keinginan makan, minum, seks dan uang). Kedua, di atasnya, di sekitar dada, ada
thumos (keinginan akan kehormatan dan harga diri). Dan ketiga, rasio (logistikon)
yang berada pada leher ke atas (kepala). Keutamaan tiga bagian jiwa dalam diri
manusia, yang sejajar dengan tiga jenis fungsi dalam Negara.73
Atas dasar pengertian itu Platon dapat membangun suatu model negara.
Menurutnya dalam negara terdapat tiga golongan: 1) para penjamin makanan,
golongan ini adalah mereka yang bekerja agar barang kebutuhan manusia dapat
tersedia; 2) para “penjaga”, golongan ini adalah termasuk golongan yang
mengabdikan diri pada kepentingan umum; 3) (para) pemimpin adalah golongan
72
A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, (Yogyakarta: Kanisius,
2017), h.221.
73
A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, h.229.
38
yang diambil dari antara para penjaga, dari mereka yang paling mendalami filsafat
yang sanggup melihat idea-idea atau hakikat-hakikat rohani di belakang.74
Keadilan dalam The Republic mesti dilakukan hati-hati. Pemahaman
tentang keadilan yang sebisa mungkin menghormati kompleksitas tawaran Platon.
Tawaran Plaon tentang keadilan adalah sebagai “masing-masing melakukan
tugasnya” bagi calon pemimpin yang adil, Filsuf, Raja/Ratu. Oleh karena itu, di
The Repubic Plaon mewacanakan figur Filsuf, Raja/Ratu, seorang filsuf yang
menjadi pemimpin. Masyarakat yang busuk hanya bisa ditransformasi lewat
penataan Negara oleh pemimpin seperti itu yang dipersiapkan lewat cara-cara
tertentu.75
Platon tahu persis bahwa memunculkan pemimpin adalah tugas yang sulit.
Apalagi ia juga menjelaskan bahwa seandainya Filsuf Raja/Ratu, seperti itu ada,
mengingat kodrat alamiahnya sebagai filsuf (born natural pjilosopher) adalah
menikmati kontemplasi, maka ia juga harus dipaksa untuk berkuasa. Tidak ada
kepastian bahwa mereka sungguh akan berkuasa.76
Apakah orang adil bahagia? Menurut Plato, keadilan (kebenaran) adalah
pencarian tentang kebahagiaan filosofis. Platon tidak pernah berambisi membuat
road map atau blueprint bernama kebahagiaan yang hendak ia terapkan pada
seuruh polis (Negara). Idealisme membentuk Negara yang adil di bawah pimpinan
Filsuf Raja/Ratu, menurut Platon, akan merosot secara bertahap. Karena, menurut
74
Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern,
h.188. 75
A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, (Yogyakarta: Kanisius,
2017), h.178. 76
A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, h.179.
39
Platon bahwa sebagus apapun rezim politik yang ia bayangkan, rezim itu juga
akan membusuk.77
C. Etika Politik Aristoteles
Arsitoteles lahir pada tahun 384 SM di Stageira, suatu kota di Yunani
Utara. Bapanya adalah dokter pribadi Amyntas II, raja Makedonia. Mungkin
sekali dalam masa mudanya ia hidup di istana raja Makedonia di kota Pella dan
dapat diandaikan pula bahwa ia mewarisi minatnya yang khusus untuk ilmu
pengetahuan empiris dari bapanya. Pada usia 17 atau 18 tahun Aristoteles dikirim
ke Athena, supaya ia belajar di Akademia Plato. Ia tinggal di sana sampai Plato
meninggal pada tahun 348 SM; jadi, kira-kira 20 tahun lamanya. Pada waktu ia
berada dalam Akademia, Aristoteles menerbitkan beberapa karya.78
Pandangan Aristoteles terhadap etika tidak banyak terpegaruh oleh
berbagai keyakinan agama mistik; tidak pula pandangan itu mengemukakan teori-
teori yang menyimpang dari adat yang lazim seperti yang terdapat dalam buku
Republic dalam kaitannya dengan hak milik keluarga. Aristoteles menyebutkan
bahwa yang baik adalah kebahagiaan, yang merupakan aktivitas jiwa. Aristoteles
mengatakan bahwa Platon benar ketika memilah jiwa menjadi dua bagian, yang
satu rasional, dan yang lain irasional. Bagian yang irasional itu sendiri ia pilahkan
menjadi vegetatif (yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan) dan apetitif (yang
terdapat pada semua binatang).
77
A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, h.188. 78
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: PT. Kanisius, 1999), h.154.
40
Ada dua macam keutamaan, ialah intelektual dan moral, yang berkaitan
dengan dua bagian jiwa tadi. Keutamaan intelektual dihasilkan dari pengajaran,
keutamaan moral berasal dari kebiasaan. Menurut Aristoteles, suatu saat kita akan
menemukan kenikmatan dalam menjalankan tindakan-tindakan yang baik itu.79
Setiap keutamaan adalah suatu pertengahan di antara dua sisi ekstrem,
yang masing-masing buruk. Keberanian adalah pertengahan antara sikap pengecut
dan sikap ugal-ugalan; kebebasan adalah antara sifat boros dan sifat kikir; harga
diri adalah antara kecongkakan dan kerendahan diri. Aristoteles mengatakan
bahwa kejujuran ini adalah pertengahan antara kesombongan dan kesederhanaan
semu, tetapi ini hanya sesuai untuk kejujuran pada diri seseorang.
Menurut Aristoteles, keberanian merupakan jalar, tengah anatara
ketakutan dan kepercayaan diri, telah ditunjukkan. Apa yang kita takutkan jelas
sesuatu yang menakutkan. Secara umum, rasa takut adalah sesuatu yang buruk.
Karena itulah, sebagian orang mendefinisikan ketakutan sebagai pengharapan dari
keburukan. Seorang pemberani adalah orang yang gagah berani sebagai manusia.
Namun, ia tetap akan takut terhadap apa yang menakutkan. Tapi ia akan tahan
terhadapnya dengan cara yang tepat dan mengarahkannya untuk bertindak mulia.
Itulah ujung dari keutamaan. Tentu saja, kita bisa takut terhadap berbagai hal
dengan derajat lebih besar atau lebih kecil. Kita juga dapat takut terhadap apa
yang tidak menakutkan. Kesalahan muncul dari takut terhadap sesuatu yang tidak
79
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustak a Pelajar, Cet-3,2007),
h.233.
41
menakutkan, takut dengan cara yang salah, takut dalam waktu yang salah, dan
sebagainya.80
Menurut Aristoteles, keberanian berhubungan dengan kesenangan.
Karena, tujuan yang dicapai keberanian adalah apa yang menyenangkan. Semakin
dekat seseorang terhadap kebajikan atau keutamaan dalam keseluruhannya, akan
semakin bahagialah dia, dan semakin sakit kematian baginya. Hidup lebih
berharga bagi satu orang daipada orang lainnya. Untuk mencapai kebahagiaan,
Aristoteles membahas tentang pengendalian diri, karena merupakan keutamaan
dari bagian irasional kita. Pengendalian diri merupakan jalan tengah dalam
kaitannya dengan kesenangan dan kenikmatan. Kesenangan tersebut meliputi
kesenangan tubuh dan kesenangan jiwa.81
Pendapat Aristoteles tentang moral tak lain adalah pandangan
konvensional pada zamannya. Aristoteles berpendapat bahwa keadilan bukanlah
kesetaraan ini; melainkan bahwa keadilan pembagian hak, yang tidak selalu
berarti kesetaraan. Aristoteles menganggap etika adalah cabang dari politik, dan
karenanya tak mengherankan jika kita melihat dia, sesudah memberikan pujiannya
pada rasa harga diri, lantas menganggap monarki adalah bentuk pemerintahan
terbaik, dan aristokrasi adalah yang terbaik berikutnya. Para raja dan kaum
bangsawan bisa “berbudi luhur”, namun warganegara biasa hanya akan menjadi
bahan tertawaan jika mereka berusaha menerapkan pola sikap demikian itu.
80
Aristoteles, The Nicomachean Ethics, terj. Embun Kenyowati, (Jakarta: Mizan, 2004),
h.68. 81
Aristoteles, The Nicomachean Ethics, terj. Embun Kenyowati, (Jakarta: Mizan, 2004),
h.75.
42
Arsitoteles mengungkapkan bahwa orang yang mendirikan Negara adalah
dermawan terbesar; sebab tanpa adanya hukum maka manusia adalah binatang
paling ganas, sementara keberadaan hukum tergantung pada Negara. Negara
bukanlah masyarakat yang tujuannya sekedar pertukaran dan mencegah kejahatan.
“Tujuan Negara adalah kehidupan yang baik.82
Aristoteles membahas polis dalam rangka permasalahan tentang tujuan
manusia. Tujuan terahir manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia), karena hanya
kebahagiaan diusahakan demi dirinya sendiri, sedangkan bagi orang yang sudah
bahagia tak ada sesuatu lagi yang dirindukannya. Untuk hidup dengan baik artinya
sebagai manusia yang beradab, yang dapat mengembangkan potensi-potensinya,
ia membutuhkan negara sebagai tatanan kehidupan bersama manusia dalam satu
masyarakat. Dari situ Aristoteles menarik kesimpulan bahwa tujuan negara adalah
sama dengan tujuan manusia: agar manusia mencapai kebahagiaan. Maka negara
bertugas untuk mengusahakan kebahagiaan para warganya.83
Menurut Aristoteles Tujuan negara adalah menunjang kebahagiaan
masyarakat. Maka negara yang paling baik adalah negara yang organisasinya
sesuai dengan fungsinya itu dan dipimpin oleh orang yang berpengalaman dan
memiliki keutamaan-keutamaan yang diperlukan. Maka walaupun pandangan
dasar metafisik Plato dan Aristoteles cukup berbeda, namun dua-duanya mau
82
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, h.252. 83
Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern,
h.188.
43
menunjukkan negara yang mana yang paling sesuai dengan kepentingan
masyarakat.84
D. Al-Farabi sebagai Penafsir Etika Politik Platon dan Aristoteles
Al-Fārābī adalah seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di
dunia Islam. Ia mengenal para failasuf Yunani: Plato, Aristoteles, dan Plotinus
dengan baik. Sebagaimana para failasuf Muslim lainnya al-Fārābī tidak luput dari
pengaruh pemikiran-pemikran para failasuf Yunani seperti Plato, dan Aristoteles.
Dalam pandangan politik al-Fārābī juga tidak lepas dari pengaruh kedua failasuf
besar Yunani (Plato dan Aristoteles).
Al-fārābī dikenal sebagai “guru kedua” setelah Aristoteles, “guru
pertama”. Dia adalah failasuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan,
mempertalikan, dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik (Yunani)
klasik dengan Islam, dan berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks
agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal, Al-Madinah Al-Fadhilah
(Kota atau Negara Utama) berkenaan dengan pencapaian kebhagiaan melalui
kehidupan politik dan hubungan antara antara rezim yang paling baik menurut
pemahaman Platon. Kalau dalam Plato kebahagiaan puncak hanya dapat diperoleh
dalam negara (politea) yang ideal, dalam al-Fārābī kesempurnaan dan
kebahagiaan puncak hanya dapat diperoleh dalam negara ideal.85
Menurut al-Fārābī, peringkat kepemimpinan pada setiap asosiasi itu
dibutuhkan untuk menjalankan dan mengordinasikan kerja sama. Tidak setiap
84
Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral Kenegaraan Modern,
h.189. 85
Yamani, Antara Al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan,
2002), h.33.
44
orang mempunyai kapasitas yang sama untuk memimpin. Dan tidak setiap fungsi
atau keahlian yang ditampilkan oleh satu bagian dari asosiasi mempunyai nilai
yang sama dengan keseluruhannya dan juga tingkat kecanggihan yang sama.86
Pandangan kedua failasuf (Platon dan Aristoteles) itu kemudian dianalisis
oleh al-Fārābī sebagai suatu (kebajikan) yang mutlak menjadi persyaratan bagi
pimpinan negara/ kota. Keadilan, secara operasional, harus diterapkan dalam
pembagian kebajikan kepada seluruh warga kota/negara. Kebajikan itu dapat
berupa kedamaian, harta benda, penghormatan dan lain sebagainya dan bagi siapa
yang mengurangi bagian itu menurut al-Fārābī dia adalah orang yang curang dan
tidak patut untuk menjadi pemimpin.
86
Yamani, Antara Al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.63.
45
BAB IV
KAJIAN TENTANG ETIKA POLITIK PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪ
A. Kaitan Etika dan Politik Menurut al-Fārābī
Sebagaimana disebutkan di bab 3, etika merupakan ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban. Selanjutnya, etika juga
sebagai kumpulan asas nilai yang berkenaan dengan perbuatan, tindakan dan
sikap.87
Seperti apa yang dikatakan oleh Socrates, etika merupakan penilaian yang
baik tidak berdasarkan sebab-akibat, akan tetapi prinsip batin atau kesenangan
jiwa merupakan salah satu komponennya.88
Sebagaimana etika, politik dapat dimaknai sebagai konsep yang berkenaan
dengan soal pemerintahan. Makna politik mengandung nilai estetik dan nilai etis
yang memerlukan seperangkat unsur, seperti halnya menjalankan pemerintahan,
mengatur pola aktivitas keseharian masyarakat.89
Maka dari itu, politik
seyogyanya dapat mengukur perilaku buruk dan baik manusia, serta mengatur
perilaku hidup tersebut kearah yang lebih baik lagi.90
Dengan demikian, politik
bukanlah bertujuan untuk kekuasaan belaka, melainkan juga untuk dapat
mewujudkan kesejahteraan secara umum. Bila diamati lebih lanjut, politik dan
etika, merupakan sebuah relasi yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya
87
K.Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h.5. 88
Loren Bagus, Kamus Filsafat, Cetakan ketiga, (Jakarta: Gramedia, 2002),h.217. 89
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2004), h.186. 90
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia,1992), h.1.
46
diibaratkan dua sisi yang saling membutuhkan. Ketika yang satu terapung maka
satu sisi lainnya akan tenggelam.
Franz Magnis Suseno mengartikan etika politik dengan sejumlah nilai
luhur yang seharusnya diterapkan dalam politik. Etika politik juga merupakan
kewajiban hati nurani yang tidak difokuskan pada apa yang baik dan benar dalam
situasi yang konkrit. Etika politik bukan hanya masalah moral individual belaka,
melainkan masalah moral sosial tidak bisa dilepaskan dari tindakan kolektif.
Sederhananya, etika politik bertujuan untuk mengulas prinsip moral
kenegaraan. Melakukan pengajian pandangan-pandangan dasar yang berkembang
selama lebih dari dua ribu tahun, terutama dalam tiga ratus tahun terahir, tentang
bagaimana harkat manusia dan keberadaan kehidupan masyarakat dapat dijamin
berhadapan dengan kekuasaan negara.91
Etika Politik menjawab dua pertanyaan, pertama, bagaimana seharusnya
menata masyarakat yang ideal dan bagaimana etika kepemimpinan yang bisa
menjaga lembaga-lembaga negara seperti hukum dapat berjalan dengan adil dan
bijaksana. Selain itu membahas tentang bagaimana bentuk negara yang
seharusnya demokratis. Kedua, apa yang seharusnya menjadi dasar dan tujuan
segala kebijakan politik.
Pemikiran al-Fārābī yang amat penting tentang politik adalah seperti yang
dia tuangkan dalam karyanya, Ārā Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Pendapat-
pendapat tentang Negara Utama). Yang paling penting dalam tubuh manusia
adalah kepala, karena dari kepalalah (otak) segala perbuatan manusia
91
Franz Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: Gramedia, 2003), h.xiii.
47
dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati.
Demikian juga dalam negara. Menurut al-Fārābī yang amat penting dalam negara
adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya
sebagaimana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara
berturut-turut. Penguasa ini haruslah orang yang paling unggul baik dalam bidang
intelektual maupun moralnya di antara yang ada. Di samping daya profetik yang
dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memiliki kualitas berupa: kecerdasan,
ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat
dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati,
kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan
jasmani, dan kefasihan berbicara.
Kota utama yang sering dijadikan bahan rujukan, pada hakikatnya
hanyalah satu di mana kehidupan yang baik atau berbahagia dijadikan tujuan
utama dan di mana keutamaan dapat berkembang dengan subur. Tetapi mungkin
ada juga sebuah negara dimana tidak ada tujuan yang dijadikan pertimbangan
kecuali pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam beberapa negara, raja, dan
pembantu-pembantunya mungkin merasa puas dengan mencari kejayaan, dan
kehormatan untuk diri mereka sendiri,baik lewat keutamaan (seperti pada negara
aristokrasi dan timokrasi), kesehatan (seperti pada negara plutokrasi), asuhan yang
baik (seperti pada monarki yang turun-temurun), maupun penaklukan (seperti
pada negara tirani). Terakhir dalam beberapa negara (yaitu demokrasi)
kesenangan mungkin dipandang sebagai tujuan akhir negara, sementara pada yang
48
lain, dengan bentuk-bentuk pemerintahan campuran tujuan-tujuan kesehatan,
kesenangan dan kehormatan mungkin digabungkan.92
B. Konsep Negara Ideal/Utama al-Fārābī
Pemikiran kenegaraan al-Fārābī yang dikenal sistematis tertuang dalam
karyanya Ārā Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah. Kitab ini secara substansial banyak
diilhami oleh buku Republic karya Platon, sehingga ide-ide kenegaraannya
banyak diwarnai pemikiran Platon. Sebagaimana Platon dan Aristoteles, al-Fārābī
juga berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang memiliki
kecenderungan untuk hidup bermasyarakat (bernegara) dengan tujuan disamping
memenuhi kebutuhan pokok hidup juga mencapai kebahagiaan material dan
spiritual di dunia dan di akhirat.93
Dari pendapat tersebut tampak bahwa al-Fārābī
memberi warna Islam pada pandangan Platon dan Aristoteles dengan
menambahkan tujuan masyarakat yang bersifat ukhrawi dari pembentukan
negara.94
Di dalam karya fenomenal al-Fārābī yang berjudul Ārā Ahl al-Madīnah al-
Fāḍilah, pembicaraan mengenai Negara Ideal/Utama dimulai dengan keterangan
asal-usul negara bahwa negara muncul karena kumpulan manusia, yang di
dalamnya manusia membutuhkan manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhan,
92
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.40. 93
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:
UI Press, 1993), h. 50. 94
Tujuan Negara bagi Plato adalah untuk mencapai kebahagiaan, tanpa menyebut
kebahagiaan ukhrawi. Sementara Aristoteles berpendapat bahwa tujuan negara (hidup bersama) itu
untuk kepentingan warganya agar hidup baik dan bahagia. Lihat Soehina, Ilmu Negara
(Yogyakarta: Liberti, 1996), h.24.
49
dan ini adalah awal pertama lahirnya negara. Al-Fārābī beranggapan bahwa
negara lahir atas persetujuan bersama dari penduduk suatu masyarakat yang saling
membantu memenuhi kebutuhan hidup. Setiap individu memiliki kepandaian
yang berbeda-beda, tapi berjanji akan menyumbangkan hasil kepandaiannya
untuk memenuhi kebutuhan individu lainnya, agar tercapai cita-cita bersama,
yaitu kebahagiaan. Al-Fārābī menyatakan dalam Ārā Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah.
In order to preserve himself and to attain his highest perfections every
human being is by his very nature in need of many things which he cannot
provide all by himself; he is indeed in need of people who each supply him
with some particular need of his.95
Kemudian al-Fārābī membagi tiga jenis komunitas yang sempurna, besar,
sedang dan kecil. Komunitas yang besar adalah komunitas masyarakat yang
bertempat di al-ma‟mūrah (komunitas masyarakat dunia), komunitas menengah
adalah suatu umat yang bertempat suatu bagian dari dunia, dan komunitas kecil
adalah komunitas masyarakat kota yang bertempat tinggal di bagian-bagian dari
belahan suatu wilayah. Adapun komunitas tidak sempurna terdiri dari masyarakat
desa, masyarakat yang tinggal di daerah tertentu, masyarakat di tempat-tempat
umum dan masyarakat keluarga.96
Sedangkan yang banyak dibahas dalam Ārā Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah
adalah pembahasan mengenai komunitas sempurna. Di dalamnya terdapat
perubahan-perubahan bentuk suatu komunitas yang sudah mampu memenuhi
kebutuhan dan memiliki cita-cita bersama. Perubahan ini berupa pengkristalan
95
Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila , terj. Richard Walzer dari
Al-Fārābī the Perfect State (Oxford: Clarendon, 1985), h.229. 96
Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila, h. 229.
50
tujuan masyarakat kepada suatu bentk sempurna yang terdapat dalam corak
kepemimpinan yang ada di dalam Negara Ideal/Utama.
Bentuk perubahan itu diawali dengan manusia yang saling berinteraksi
dalam suatu komunitas, baik komunitas kecil, menengah maupun besar, dan
kemudian komunitas itu membentuk organisasi negara dan mereka sebagai warga.
Setelah saling memenuhi kebutuhan pokok, para warga memiliki tujuan utama
yang ingin dicapai. Tujuan utama mereka itu merupakan cerminan dari tujuan
hidup yang ingin mereka raih. Setelah tujuan awal mereka raih, maka akan
muncul dalam jiwa mereka perasaan-perasaan seperti puas, merasa bermanfaat,
terhormat dan lain sebagainya. Namun setelah itu, ada sesuatu yang belum mereka
peroleh dan rasakan sebagai faktor yang menyebabkan ketidaktentraman dalam
jiwa mereka. Itulah yang ingin mereka raih selanjutnya. Keadaan semacam itu,
membuat mereka pada akhirnya berpaling dari tujuan pertama ke tujuan lain
setelah keperluan pokok mereka teratasi. Tujuan yang diyakini lebih baik dari
tujuan pertama yang dapat membawa mereka kepada ketentraman dan menjadikan
hidup mereka berbahagia dalam arti yang sebenarnya.97
1. Daya menurut Al-Fārābī
Dalam pemikiran al-Fārābi, pada buku Ārā Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah
Manusia memiliki daya-daya, diantaranya: daya tumbuh kembang, daya indra,
dan daya rasional. Berbicara tentang daya rasional, al-Fārābī membagi menjadi
dua bagian: rasio teoritis dan rasio praktis. Rasio praktis bekerja sebagai pelayan
bagi rasio teoritis. Sementara itu, rasio teoritis tidak bekerja untuk hal-hal lain
97
Al-Fārābī, al-Sīyasah al-Madaniyyah, (Beirut: Dār al-Masyriq, 1993), Cet. Ke.II, h.44.
51
selain untuk membawa manusia kepada kesempurnaan. Kesempurnaan apa yang
dimaksud bagi manusia? Menurut al-Fārābī, kesempurnaan bagi manusia adalah
ketika ia mencapai kebahagiaan. Kemudian, apakah kebahagiaan itu? Al- Fārābī
mengatakan bahwa kebahagiaan tertinggi bagi manusia sebagai mahluk berakal
adalah ketika ia mencapai suatu kondisi di mana jiwa manusia tidak lagi
membutuhkan materi. Sebab, jiwa manusia menjadi bersifat ruhani, menjadi
substansi immateri.
Al-Fārābī mengatakan bahwa daya indra, daya representasi dan daya rasio
terhubung dengan daya hasrat. Sebab, kegiatan mengindra, berimajinasi atau
memikirkan tidak memiliki kemampuan untuk mendorong manusia melakukan
berbagai tindakan atau perbuatan, kecuali melalui bantuan daya hasrat. Dalam hal
ini, mengetahui kebaikan tidak lantas bisa mendorong manusia juga harus terlebih
dulu menginginkan kebaikan itu agar ia mau menjalankan perbuatan-perbuatan
yang baik. maka dari itu, keinginan atau kehendak atas obyek yang diindra,
diimajinasi atau dipikirkan adalah dasar bagi munculnya tindakan atau
perbuatan.98
2. Kebahagiaan menurut Al-Fārābī
Kemudian, untuk mencapai pada kebahagiaan, manusia harus mengerti
apakah yang disebut dengan kebahagiaan. Al-Fārābī mengatakan bahwa
kebahagiaan adalah kondisi di mana jiwa manusia tidak lagi membutuhkan
dukungan materi. Kemudian, setelah kebahagiaan itu diketahui oleh daya rasional
manusia, kebahagiaan itu juga ditetapkan sebagai tujuan yang diinginkan oleh
98
Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila, h. 108.
52
daya hasrat. Setelah itu, daya pertimbangan yang ada dalam rasio teoritis juga
menentukan tindakan apa saja yang harus dilakukan agar kebahagiaan sebagai
tujuan itu bisa dicapai. Kemudian, berkat bantuan daya hasrat, tindakan-tindakan
itu betul-betul dilakukan oleh manusia, maka dengannya manusia telah melakukan
tindakan yang baik.
Namun demikian, kebahagian bisa saja tidak berhasil diketahui oleh daya
rasional seorang manusia tertentu, atau berhasil diketahui, tapi manusia itu tidak
menginginkannya. Dengan kata lain, daya hasrat yang dimilikinya tidak
mendukung apa yang diketahui oleh daya rasionalnya. Dalam kondisi seperti ini,
daya rasional akan menentukan tujuan lain yang hendak dicapai, sebuah tujuan
yang bisa diinginkan juga oleh daya hasrat. Ketika tujuan lain selain kebahagiaan
itu ditetapkan, daya pertimbangan yang ada dalam rasio teoritis juga menentukan
tindakan-tindakan apa saja yang harus dilakukan agar tujuan itu bisa dicapai.
Kemudian, berkat bantuan daya hasrat, tindakan-tindakan itu betul-betul
dilakukan oleh manusia, maka dengannya manusia telah melakukan tindakan-
tindakan yang tidak diarahkan pada pencapaian kebahagiaan. Bagi al-Farabi,
tindakan-tindakan yang tidak diarahkan untuk pencapaian kebahagiaan adalah
tindakan-tindakan yang cacat, rendah dan hina.
al-Fārābī memandang bahwa kebahagiaan manusia bisa dicapai ketika
daya rasional yang dimilikinya menjadi optimal. Kemudian, optimalitas daya
rasional manusia dapat tercapai ketika jiwa manusia tidak lagi membutuhkan
dukungan materi, telah menjadi substansi ruhaniah dan immaterial.99
99
Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila, h. 107-109.
53
Kebahagiaan adalah tema sentral ilmu politik al-Fārābī. Tema ini
menentukan sifat, ruang lingkup, fungsi dan tujuan ilmu politiknya. Kebahagiaan
hakiki menurut al-Fārābī hanya dapat dicari melalui kebajikan dan hal-hal yang
luhur (mulia), seperti halnya, kesehatan, kehormatan dan kesenangan, serta
menanamkan dan memberikan bimbingan pada masyarakat akhlak yang baik.100
Dalam buku Negara Utama (Madīnah Fāḍilah) karya Ahmad Zainal
Abidin yang meneliti buku Ārā‟ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah bahwa persetujuan
masyarakat untuk mendirikan negara didasarkan kepada keihklasan mereka untuk
meniadakan hak-hak individual mereka demi kebahagiaan bersama. Perjanjian
untuk saling meniadakan hak-hak (individu) adalah dasar dari segala penaklukan
diri secara damai kepada negara. Jika ada penduduk yang mencoba menekan
penduduk yang lain, seluruh penduduk akan bersatu dan saling membantu untuk
memertahankan kemerdekaannya.101
Saling meniadakan hak-hak pribadi, tidak diartikan bahwa seluruh hak-hak
kemanusiaan harus dikorbankan dan dilenyapkan, sehingga manusia hidup dan
diperintah bagai hewan. Meniadakan hak-hak itu untuk suatu maksud dan cita-cita
yang lebih luhur, ialah menciptakan ideologi negara.
3. Negara menurut Al-Fārābī
Al-Fārābī memisahkan antara suatu negara dari negara lainnya
berdasarkan ideologi yang dianut oleh negara itu. Ia tidak mengikuti cara-cara
Yunani yang membagi negara menurut kepala negara seperti monarki, aristokrasi,
dan demokrasi. Dan tidak pula ia sepakat dengan pembagian negara secara
100
Osman Bakar, Hirarki Ilmu (Membangun rangka pikir Islamisasi ilmu), (Bandung:
Mizan,1997). H.167. 101
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h.53.
54
modern yang berdasarkan kepada kedaulatan rakyat, kedaulatan kekuasaan, dan
kedaulatan hukum. Al-Fārābī menempuh jalannya sendiri, yaitu pembagian
berdasarkan ideologi, di mana al-Fārābī menuliskan konsep Negara Ideal/Utama
beserta negara-negara yang berlawanan terhadap konsep Negara Ideal/Utama.102
Negara utama menurut al-Fārābī ibarat tubuh manusia yang satu bagian
dengan bagian saling kerjasama sesuai dengan tugasnya masing-masing. Jantung
merupakan pusat dari segala organ tubuh tersebut. Organ yang satu bersifat
melayani organ yang lain. Demikian pula negara yang terdiri dari warga negara
dengan bakat dan kemampuan yang berbeda saling bekerjasama satu sama lain. Di
antaran mereka ada kepala negara dan sejumlah warga yang fungsinya berbeda
satu sama lain sesuai dengan kapasitasnya.103
Pola negara utama yang seperti ini
nampaknya dipengaruhi oleh pandangan Platon yang membagi warga negara atas
tiga kelas, kepala negara, militer, dan rakyat biasa. Keadilan akan terbentuk
apabila masing-masing kelas melakukan tugasnya dengan baik. Warga negara
yang berada pada kelas yang lebih rendah dapat menempati posisi yang diatasnya
apabila benar-benar memiliki kualitas yang memadai.
Karena itu al-Fārābī bependapat tidak semua warga bisa menjadi kepala
negara utama. Hanya orang yang berada pada kelas tertinggi dan yang paling
sempurna yang berhak memimpin warga-warga kelas di bawahnya. Kepala negara
utama seharusnya diadakan terlebih dahulu, kemudian dibentuk negara dan
bagian-bagian atau rakyatnya, dan dialah yang menentukan wewenang, tugas dan
kewajiban serta martabat atau posisi masing-masing warga negara. Dan kalau ada
102
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h.102. 103
Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila, h. 228.
55
warga negara yang tidak baik, kepala negara dapat menghilangkan ketidakbaikan
itu.104
Kebahagiaan adalah kebaikan yang tertinggi dan yang diidam-idamkan.
Tidak satu pun yang lebih tinggi daripadanya, yang mungkin dicapai oleh
manusia. Ia tidak dapat diwujudkan kecuali dengan ilmu pengetahuan dan dengan
usaha. Dan manusia tidak bisa memahami kebahagiaan secara baik, kecuali
sesudah mengenal arti keutamaan.105
Ada empat macam keutamaan manusia yang dapat menjamin bagi segala
bangsa di dunia dan segala penduduk dari suatu negara, akan kebahagiaan sejati
dan sempurna. Unsur-unsur keutamaan itu adalah:
1. Keutamaan pikiran dan ilmu pengetahuan, yaitu keunggulan cara
berpikir dan menyelidiki ilmu pengetahuan yang melebihi bangsa lain.
2. Keutamaan tanggapan di dalam menetapkan barang yang paling
berguna, yaitu keunggulan di dalam mengatur dan merencanakan
barang yang paling berguna.
3. Keutamaan moral di dalam berpikir dan berbuat, yaitu keunggulan di
dalam budi pekerti dan akhlak yang tetap memelihara kemanusiaan
dan kesopanan.
4. Keutamaan cara bekerja dan berusaha, yaitu keunggulan dalam teknik
pekerjaan di dalam segala lapangan perusahaan, baik perusahaan
teknik dan perindustrian, atau perusahaan lainnya.106
Jalan satu-satunya untuk mencapai 4 (empat macam) keutamaan itu ialah
setiap orang bekerja untuk bakatnya di bawah pemimpin yang mempunyai bakat
yang lebih besar dan sungguh-sungguh kuat.107
104
Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila, h. 240. 105
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h.72. 106
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h.112. 107
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h.113.
56
Kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan ilmu pengetahuan dan usaha yang
mati-matian, yaitu kebahagiaan yang dikatakan al-Fārābī sebagai “sa‟ādah
mādiyyah wa ma‟nawiyyah”. Kebahagiaan jasmani dan rohani, material dan
spiritual, untuk hidup dunia dan akhirat.
Untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna, tidaklah dapat dilakukan
dengan berpikir dan bertindak sendiri-sendiri. Negara harus menghimpun segenap
tenaga yang ada, dengan membuat rencana yang lengkap untuk melakukan
pembangunan. Al-Fārābī mengemukakan tiang-tiang utama bagi pembangunan:
1. Kerja sama manusia secara kolektif
2. Kesucian pribadi masing-masing dalam pikiran dan perbuatan
3. Semangat kemasyarakatan berupa koperatif, harmoni, dan simpati.108
Di dalam Ārā‟ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Kota Utama), dia menguraikan
hal ini secara lebih terperinci. “Demi mempertahankan (keberadaan)-nya dan
mencapai kesempurnaan-kesempurnaan tertingginya, setiap manusia secara alami
membutuhkan banyak hal yang tak semuanya dapat ia penuhi sendiri. Ia sungguh
membutuhkan orang-orang yang masing-masing memasoknya dengan kebutuhan-
kebutuhan tertentunya. Setiap orang mendapati dirinya dalam hubungan yang
sama dengan orang lain dengan cara seperti ini. Oleh karenanya, manusia tak akan
dapat meraih kesempurnaan itu, yang untuk itu sifat bawaannya telah diberikan
kepadanya, kecuali (melalui asosiasi) banyak (kelompok) orang, yang bekerja
sama, berkumpul bersama, masing-masing memasok orang-orang lainnya dengan
beberapa kebutuhan tertentu. Sehingga, sebagai hasil sumbangan seluruh
108
Ara ahl al-Madinah al-Fadilah, h.113
57
komunitas, segala sesuatu yang dibutuhkan semua orang untuk mempertahankan
diri dan mencapai kesempurnaan (dapat) dikumpulkan (dan didistribusikan).109
Kota utama adalah kota yang melalui perkumpulan yang ada di dalamnya
bertujuan untuk bekerja sama dalam mendapatkan kebahagiaan yang
sesungguhnya. Tidak semua orang cenderung atau berkeinginan mengetahui
kebahagiaan yang merupakan tujuannya dan juga tujuan setiap asosiasi, serta cara
mencapai kebahagiaan itu. Sebagian besar, pada kenyataannya, sangat
membutuhkannya. Kendatipun seseorang tahu kebahagiaan dan cara
mencapainya, baik tahu sendiri atau karena mendapat pengetahuan dan bimbingan
dari seorang guru, sudah barang tentu tidak dengan sendirinya dia akan berbuat
menurut pengetahuannya, bila tidak ada rangsangan dari luar. Jadi, dia
membutuhkan orang yang akan membuatnnya berbuat demikian.
Kota utama adalah kota yang diperintah oleh penguasa tertinggi yang
benar-benar memiliki berbagai ilmu dan setiap jenis pengetahuan. Ia mampu
memahami dengan baik segala yang harus dilakukannya. Ia mampu membimbing
dengan baik sehingga orang melakukan apa yang diperintahkannya. Ia mampu
memanfaatkan orang-orang yang memiliki kemampuan. Ia mampu menentukan,
mendefinisikan, dan mengarahkan tindakan-tindakan ini ke arah kebahagiaan. Hal
ini hanya terdapat pada orang yang memiliki kecenderungan alami yang besar lagi
unggul, bila jiwanya bersatu dengan akal aktif.110
Kebahagiaan akan dapat dicapai hanya melalui lenyapnya keburukan-
keburukan, tidak saja keburukan yang muncul secara sukarela, tetapi juga
109
Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan,
2002), h.60. 110
Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.61.
58
keburukan yang muncul secara alamiah dari kota-kota dan bangsa-bangsa, dan
bila keduanya berhasil memperoleh kebaikan-kebaikan, baik kebaikan yang
terjadi secara alami maupun kebaikan yang terjadi berkat karsa. Fungsi penguasa
kota adalah mengelola kota sedemikian rupa sehingga semua bagian kota saling
berkaitan dan serasi, serta sedemikian teratur sehingga membuat penduduknya
mampu bekerjasama untuk menyingkirkan berbagai keburukan dan untuk
memperoleh berbagai kebaikan.111
C. Konsep Kepemimpinan Politik menurut al-Fārābī
Menurut al-Fārābī pemimpin yang sesungguhnya adalah pemimpin yang
tujuan utama dari segala apa yang dilakukannya dapat memberi manfaat kepada
diri dan para warga dalam meraih kebahagiaan. Ini merupakan tugas pemimpin.
Untuk itu pemimpin negara utama haruslah orang yang paling sejahtera di antara
yang lain karena dia akan menjadi sebab kesejahteraan warga kota.112
Kemudian juga al-Fārābī memahami pemimpin sebagai orang yang diikuti
atau diterima. Dalam arti diterima dengan alasan bahwa dia adalah orang yang
memiliki kesempurnaan tujuan. apabila perbuatan-perbuatan, keutamaan-
keutamaan, dan kreatifitas pemimpin tidak seperti yang dikehendaki oleh
masyarakat, maka kepemimpinannya tidak bisa diterima. Dengan kata lain
pemimpin adalah orang yang paling utama, paling kreatif, dan memiliki tujuan
yang paling utama. Semua itu tidak mungkin terjadi apabila dia tidak memiliki
111
Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.66. 112
Al-Fārābī, Fuṣūl Muntaza‟ah, (Beirut: Dār al-Masyriq, 1993), h.47.
59
ilmu-ilmu teoritis dan keutamaan berpikir sebagaimana yang dimiliki oleh
seorang failasuf.113
Bagi al-Fārābī, pemimpin negara harus memiliki ilmu-ilmu teoritis dan
dapat merealisasikan dalam kepemimpinannya sehingga kepercayaan masyarakat
terhadap dirinya semakin kuat. Dia tidak hanya pandai tebar pesona tetapi
mewujudkan gagasan-gagasannya secara nyata. Karakter demikian ini biasanya
dimiliki orang-orang yang memahami filsafat secara baik, dia adalah failasuf yang
memelajari ilmu pengetahuan (teoritis) dan kebenaran dan kebijaksanaan tetapi
tidak memraktikannya.114
Kemudian juga semakin amat terlihat jelas, bahwa al-Fārābī benar-benar
memahami pemimpin sebagai simbol yaitu tentang teorinya mengenai organisme,
dimana hakikat negara adalah laksana suatu tubuh yang hidup sebagaimana tubuh
manusia. Sebagai ciri-ciri dari organisme ialah sifatnya yang berubah-ubah.
Badan organisme yang hidup dapat menerima dan mengambil bahan-bahan dan
zat-zat dari luar dirinya, lalu diolah untuk kebutuhan hidup dan kemudian
dipisahkan mana yang dibutuhkan dan mana yang tidak. Di dalam organisme
terdapat struktur hierarki sehingga setiap bagiannya memiliki kedudukan
tertentu.115
Pemimpin Kota atau Negara yang luar biasa tidak bisa sembarang
manusia, karena pemerintahan membutuhkan dua syarat: (a) ia harus dipengaruhi
oleh sifat bawaannya, (b) ia seharusnya memperoleh sikap dan kebiasaan
113
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa‟adah, (Hyberabad: Majlis Da‟irah al-Ma‟ārif al-„Utsmaniyyah,
1349 H), h.43. 114
Al-Fārābī, Taḥṣīl al-Sa‟ādah, h.44. 115
Ahmad Zainal Abidin, Negara Utama, h.54.
60
kehendak bagi penguasa yang akan berkembang dalam diri seorang lelaki yang
sifat bawaannya cenderung untuk itu.116
Diantara sifat-sifat pemimpin yang disebutkannya ialah: “bijak, berbadan
kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat daya hafalannya, sangat
cerdas, fasih berbicara, cinta kepada ilmu, sanggup menanggung beban dan
kesulitan karenanya, tidak rakus kepada kenikmatan jasmani, cinta kepada
kejujuran, mulia jiwanya, adil dan teladan bagi semua orang, cinta terhadap diri
dan keluarganya, serta berani dan paling awal.117
Pimpinan utama, menurut al-Fārābī, adalah pemegang otoritas utama yang
tidak mungkin dipimpin atau diatur oleh pihak lain. Demikian pula pimpinan
utama dalam al-Madīnah al-Fāḍilah itu bermuara. Dia adalah orang yang paling
sempurna di antara yang lain. Dia adalah „aql sekaligus ma‟qul, daya khayalnya
secara natural telah mencapai puncak kesempurnaan. Daya ini adalah daya yang
secara natural ada padanya setiap saat. Hal itu muncul dari akal aktif partikular
baik sendirinya maupun disebabkan oleh pengaruh lain. Akal potensial telah
mencapai kesempurnaan dengan segala bentuk, sehingga dapat melepaskan arti-
arti materinya dan menjadi akal aktual.118
Barangsiapa yang akal potensialnya telah mencapai kesempurnaan dengan
segala bentuk, menjadi akal aktual, ia telah mencapai sesuatu yang tigkatannya di
atas akal potensial. Ia lebih sempurna dan berpisah dengan materi, dekat dengan
akal aktif, yang disebut dengan akal mustafād. Dia berada di tengah-tengah antara
116
Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila, h. 239. 117
Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.12. 118
Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila, h. 123.
61
akal potensial dan akal mustafād, di saat itu tidak ada lagi pembatasan antara
dirinya dan akal aktif.119
Pemimpin yang sesungguhnya adalah pemimpin yang tujuan utama dari
segala apa yang dilakukannya dapat memberi manfaat kepada diri dan para
warganya dalam meraih kebahagiaan. Hal ini merupakan tugasnya sebagai
pemimpin. Untuk itu pimpinan al-Madīna al-Fāḍilah harus orang yang paling
sejahtera di antara yang lain karena dia akan menjadi sebab kesejahteraan para
warga negara.120
Menurut al-Fārābī, pimpinan di dalam al-Madīna al-Fāḍilah punya
kecenderungan untuk tidak peduli pada hal-hal yang bersifat materi. Artinya, dia
sudah sampai pada tingkatan akal mustafād yang mampu berkomunikasi dengan
akal aktif, sedangkan yang lainnya tidak demikian. Dia fokus pada satu tujuan
utama, yaitu mengabdi kepada Sebab Pertama(Tuhan), tunduk kepada-Nya dan
mencukupkan diri hidup untuk-Nya. Pimpinan-pimpinan di bawahnya atau
bahkan masyarakat umum mengikuti apa yang dilakukan pimpinan utama,
sekalipun sempurna sebagaimana pimpinannya.121
Terhimpunnya semua syarat dan sifat ini dalam diri seseorang adalah
sesuatu yang jarang terjadi. Apabila semua ini terpenuhi dalam diri seseorang,
dialah sang pemimpin. Kalau tidak, orang yang paling banyak memiliki sifat-sifat
tersebutlah yang dapat menjadi pemimpin. Apabila tidak ada seorang pun yang
memenuhi sifat-sifat tersebut secara maksimal, namun ada dua orang, yang satu
119Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍilah, h. 123-124. 120
Moh. Asy‟ari Muthar, Konstektualisasi Filsafat Politik al-Fārābī dalam Pemikiran
Politik Modern, (Jurnal, 2016), h.14. 121
Abū Naṣr al-Fārābī‟s, Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍilah, h. 122.
62
bijak (hakim) dan lainnya memiliki sifat-sifat yang lain, maka kedua-duanya
menjadi pemimpin secara bersama. Dan masing-masing orang saling melengkapi
satu dengan yang lainnnya. Apabila sifat-sifat ini ada pada lebih dari dua orang,
dan mereka saling mengerti, maka semuanya adalah para pemimpin yang
dihormati.122
Karena sedemikian mulia dan tingginya derajat pimpinan utama dalam al-
Mdīnah al-Fāḍilah, sehingga memamng tidak semua orang bisa menmpati posisi
tersebut. Ia merupakan fitrah dan karakteristik bawaan, atau bisa juga melalui
usaha keras sekalipun berat untuk mencapainya. Suatu kepemimpinan akan sukses
apabila berada di tangan orang yang memiliki fitrah dan karakteristik bawaan
memimpin. Dalam kepemimpinan itu tidak cukup hanya berbekal keterampilan
saja, karena sebagian besar dari keterampilan-keterampilan itu adalah
keterampilan yang dipelajari secara khusus dan diarahkan untuk tujuan mengabdi
dalam sebuah negara. Fitrah dan karakteristik yang melekat pada pimpinan utama
adalah fitrah dan karakteristik pengabdian.
Adapun persyaratan yang lain adalah dia harus pandai menyampaikan
dengan baik apa yang diketahuinya melalui daya khayal, mampu menasihati orang
lain dan menunjukannya jalan menuju kebahagiaan, bekerja agar dapat
memperoleh kebahagiaan dan memiliki kemampuan untuk memberi contoh
tentang cara-cara melakukan pekerjaan dengan baik. Dalam menjalankan
pemerintahannya, menurut al-Fārābī, juga harus membuat kesepakatan bersama.
122
Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.12.
63
Hal ini dilakukan, karena dalam kehidupan bersama ibaratnya satu tubuh dan
jiwa. Jadi, dalam hal apapun harus didasarkan pada kesepakatan bersama.123
D. Lawan-lawan Negara Utama
Untuk melengkapi pemahaman mengenai makna kota utama dalam filsafat
politik al-Fārābī, berikut ini akan penulis uraikan mengenai kota-kota lain yang
bukan, bahkan berlawanan dengan kota utama. Al-Fārābī menyebut tiga
kelompok kota, “kota jahiliah” (al-madīnah al-jāhiliyyah), “kota fasiq” (al-
madīnah al-fāsiqah), “kota yang berubah” (al-madīnah al-mubaddilah), dan “kota
sesat” (al-madīnah al-dhalālah).
Kota jahiliah adalah kota yang warganya tak tahu tentang kebahagiaan
yang sebenarnya. Pikiran tentang hal ini memang tak pernah terlintas di benak
mereka. Bahkan, jika mereka diarahkan secara benar kepadanya, mereka tetap
tidak memahaminya, atau tak percaya kepadanya. Hal-hal baik yang mereka
kenali hanyalah hl-hal yag secara superfisial dianggap sebagai baik di antara apa
yang di anggap sebagai tujuan-tujuan hidup, seperti kesehatan tubuh,
kemakmuran, menikmati kesenangan-kesenangan, kebebasan untuk memenuhi
nafsu-nafsu, dan diperlakukan dengan penuh hormat dan kebebasan. Menurut
pandangan para warga “kota jahiliah”, masing-masing hal ini adalah sejenis
kebahagiaan, dan kebahagiaan terbesar serta paling sempurna adalah jumlah total
dari kesemuanya itu. Hal-hal yang bertentangan dengan ini adalah kesedihan,
seperti kelemahan tubuh, kemiskinan, ketiadaan, penikmatan kesenangan-
123
Moh. Asy‟ari Muthar, Konstektualisasi Filsafat Politik al-Fārābī dalam Pemikiran
Politik Modern, (Jurnal, 2016), h.16.
64
kesenangan, ketiadaan kebebasan untuk mengikuti nafsu-nafsu, dan tak
diperlakukan dengan penuh kehormatan dan kebesaran.124
Kelompok kedua kota yang berlawanan dengan kota utama, yakni “kota
fasiq”, adalah kota yang sesungguhnya memahami tentang kebahagiaan sejati,
tentang Tuhan, serta tahu, terbimbing, dan percaya pada tindakan-tindakan yang
akan membawa kepada kebahagiaan itu sebagai mana warga kota utama. Hanya
saja, setelah semuanya ini, mereka menolak untuk berbuat sesuai dengan
pengetahuan dan keyakinan mereka itu. Sebaliknya, mereka malah menghendaki
untuk meraih kebutuhan-kebutuhan sebagaimana yang dikehendaki oleh para
warga “kota-kota jahiliah” seperti tersebut di atas. Jadi, persamaan warga kota ini
dan warga kota utama hanyalah dalam hal pendapat yang mereka yakini saja,
tidak pada praktiknya.
Terakhir, “Kota Sesat”. Para warga kota ini sesungguhnya menghendaki
kebahagiaan di akhirat, tetapi memiliki kepercayaan keliru mengenai hal-hal yang
dapat membawa mereka kepada kebahagiaan sejati itu. Pemimpin utama mereka
(boleh jadi) adalah sesorang yang berpura-pura menerima wahyu dan kemudian
menciptakan kesan yang salah seperti itu lewat pemalsuan, penipuan, dan
pengelabuan.125
124
Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.68. 125
Yamani, Antara al-Fārābī dan Khomeini Filsafat Politik Islam, h.70.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang
hak dan kewajiban. Selanjutnya, etika juga sebagai kumpulan asas nilai yang
berkenaan dengan perbuatan, tindakan dan sikap. Seperti apa yang dikatakan oleh
Socrates, etika merupakan penilaian yang baik tidak berdasarkan sebab-akibat,
akan tetapi prinsip batin atau kesenangan jiwa merupakan salah satu
komponennya. Demikian juga Aristoteteles mengatakan, bahwa etika merupakan
satu nilai yang memiliki tujuan kebahagiaan dalam hidup.
Sebagaimana etika, politik dapat dimaknai sebagai konsep yang berkenaan
dengan soal pemerintahan. Makna politik disini mengandung nilai estetik dan
nilai etis yang memerlukan seperangkat unsur, seperti halnya menjalankan
pemerintahan, mengatur pola aktivitas keseharian masyarakat. Maka dari itu,
politik seyogyanya dapat mengukur perilaku buruk dan baik manusia, serta
mengatur perilaku hidup tersebut kearah yang lebih baik lagi.
Dengan demikian, politik bukanlah bertujuan untuk kekuasaan belaka,
melainkan juga untuk dapat mewujudkan kesejahteraan secara umum. Bila
diamati lebih lanjut, politik dan etika, merupakan sebuah relasi yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya diibaratkan dua sisi yang saling membutuhkan. Ketika
yang satu terapung maka satu sisi lainnya akan tenggelam.
66
Pemikiran al-Fārābī yang amat penting tentang politik adalah seperti yang
dia tuangkan dalam karyanya, Ārā Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah (Pendapat-
pendapat tentang Negara Utama). Yang paling penting dalam tubuh manusia
adalah kepala, karena dari kepalalah (otak) segala perbuatan manusia
dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan kerja otak dilakukan oleh hati.
Demikian juga dalam negara. Menurut al-Fārābī yang amat penting dalam negara
adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya
sebagaimana halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih rendah secara
berturut-turut. Penguasa ini haruslah orang yang paling unggul baik dalam bidang
intelektual maupun moralnya di antara yang ada. Di samping daya profetik yang
dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memiliki kualitas berupa: kecerdasan,
ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada pengetahuan, sikap moderat
dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran, kemurahan hati,
kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan
jasmani, dan kefasihan berbicara.
Berdasarkan paparan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Mengenai Etika Politik, al-Fārābī berpijak pada tujuan hidup manusia,
yaitu kebahagiaan. Dalam hal ini, al-Fārābī menyebutkan bagaimana
caranya menuju kebahagiaan itu, salah satunya adalah manusia harus
berada di tangan pemimpin yang ideal, yaitu pemimpin yang sesuai
dengan konsep kepimimpinan al-Fārābī.
67
2. Mengenai kepemimpinan, al-Fārābī amat menekankan kriteria
pemimpin yang memiliki sifat nabi sekaligus failasuf. Hal ini
dikarenakan bagi al-Fārābī, nabi merupakan sosok ideal yang dapat
dijadikan pemimpin. Maka dari itu, al-Fārābī menguraikan beberapa
kriteria pemimpin yang sebenarnya merupakan rincian dari sifat-sifat
kenabian sekaligus failasuf.
3. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh Plato dapat dilihat di karangan
al-Fārābī. Di antaranya karangan Plato berupa Republic, yang hampir
mirip dengan karangan al-Fārābī Ārā Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah.
Namun itu tidak serta-merta al-Fārābī menjiplak semuanya,
penggabungan filsafat dan agama menjadi produk orisinil dari karya
al-Fārābī.
B. Saran
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak baik di
dunia akademis maupun non akademis. Penulis dengan senang hati menerima
segala kritik dan saran sehingga penulis mendapatkan ilmu baru yang berguna
untuk dunia akademik maupun penulisan di masa yang akan datang. Penulis yakin
sebuah karya mengandung kelebihan dan kekurangan. Setelah penulis selesaikan
tulisan skripsi ini, ada beberapa saran yang terkait dengan pembahasan pada
tulisan-tulisan sebelumnya, yaitu:
1. Konsep kepemimpinan al-Fārābī yang sifatnya klasik amat terlihat
dalam pembahasan ini. Tentu sangat mudah menilai kekurangan dalam
68
konsep kepemimpinan al-Fārābī yaitu dengan membandingkan dengan
konsep-konsep kepemimpinan modern. Salah satunya mengenai
rincian metode pemimpin yang ideal, seperti gaya kepemimpinan,
pengambilan keputusan, dan sebagainya.
2. Al-fārābī juga tidak detail dalam mengungkapkan metode
pengangkatan pemimpin, bahkan tidak menuliskan sama sekali
periodisasi kepemimpinan, padahal itu sangat penting dalam
menunjang teori kepemimpinan ideal.
3. Sedangkan dalam buku Ārā‟ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah hampir
setengahnya berisi tentang teori metafisika. Hal ini dirasa tidak perlu
karena dalam mengutarakan teori negara ideal, cuku diunkapkan
dengan metode-metode bagaimana manusia mampu mewujudkan
negara ideal.
69
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin. Pengantar Studi Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006.
Al-Fārābī. al-Sīyasah al-Madaniyyah. Beirut: Dār al-Masyriq, 1993.
Al-Fārābī. Fuṣūl Muntaza’ah. Beirut: Dār al-Masyriq, 1993.
Al-Fārābī. Mabādī ārā ahl al-Madīna al-Fāḍila , terj. Richard Walzer dari Al-
Fārābī the Perfect State. Oxford: Clarendon, 1985.
Al-Fārābī. Taḥṣīl al-Sa’adah. Hyberabad: Majlis Da’irah al-Ma’ārif al-
‘Utsmaniyyah, 1349 H.
Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Aristoteles. The Nicomachean Ethics, terj. Embun Kenyowati. Jakarta: Mizan,
2004.
Azhar, Muhammad. Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997.
Aziz Dahlan, Abdul. Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Djambatan,
2003.
Bagus, Loren. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002.
Bakar, Osman. Hirarki Ilmu (Membangun rangka pikir Islamisasi ilmu.
Bandung: Mizan,1997.
Bakhtiar, Amsal. Tema-tema Filsafat Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Bertens, K. Etika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: PT. Kanisius, 1999.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1998.
Charis Zubair, Ahmad. Kuliah Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
70
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2006.
Der Weij, P.A Van. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens dari
Grote Filosofen over de Mens. Jakarta: Gramedia, 1988.
Fanshobi, Muhammad. Konsep Kepemimpinan dalam Negara Utama al-
Farabi. Ciputat: Skripsi UIN Jakarta, 2014.
G Sevilla, Consuelo dkk. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: UI
Press,1993.
Hamersma, Harry. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Kanisius,
2008.
Haryatmoko. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas, 2004.
Ibn Miskawayh. Menuju Kesempurnaan Akhlak. Bandung: Mizan, 1994.
Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: LPPI,2001.
Jatmika, Rahmat. Sistem Etika Islam: Akhlak Mulia. Surabaya: Pustaka Islam,
1985.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan:
Balai Pustaka, 1990.
Magnis Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-
19. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Magnis Suseno, Franz. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Dasar Moral
Kenegaraan Modern. Jakarta: PT. Gramedia, 1987.
Melling, David. Jejak Langkah Pemikiran Plato. Yogyakarta: Narasi,2016.
Murtiningsih, Wahyu. Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjjah.
Yogyakarta: IRCiSoD, 2014.
Muthar, Moh. Asy’ari. Konstektualisasi Filsafat Politik al-Fārābī dalam
Pemikiran Politik Modern. Jurnal, 2016.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Ridwan, Kahrawi(ed.). Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ikhtiar Van Hoeve, 1999.
71
Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet-
3,2007.
Santoso, Listiyono. Teologi Politik Gus Dur. Yogyakarta: Ar-Ruz, 2004.
Schmid, J.J Von. Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum (Dari
Plato sampai Kant), terj. Dt. Singomangkuto dan Djamadi dari Grote Denkers Over
Staat en Recht (von Plato tot Kant). Jakarta: Pembangunan, 1965.
Setyo Wibowo, A. Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon. Yogyakarta:
Kanisius, 2017.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.
Jakarta: UI Press, 2001.
Soehina, Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberti, 1996.
Sudiardja, SJ, A. Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam
Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Gramedia, 2006.
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat, h.38.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia,1992.
Syafi’I, Inu Kencana. Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Syarif, M.M. (Ed). Para Filosof Muslim, terj. Tim Penerjemah Mizan.
Bandung: Mizan, 1994.
Widjaja, H. A. W. Etika Pemerintahan. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
Yamani. Antara Al-Farabi dan Khomeini Filsafat Politik Islam. Bandung:
Mizan, 2002.
Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etik, h.4-5.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2009.