etdok final

Upload: favdents

Post on 06-Mar-2016

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

etika kedokteran

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Keberadaan tukang gigi semakin menjamur di Indonesia, tidak terbatas hanya di daerah pedesaan atau kota kecil, tetapi juga di kota besar. Pada tahun 2012 diperkirakan terdapat sekitar 75.000 tukang gigi di Indonesia. Menjamurnya praktik tukang gigi di Indonesia turut didorong oleh adanya permintaan dari masyarakat yang menginginkan jasa dokter gigi yang murah, tanpa adanya edukasi yang cukup dari praktik tersebut.

Layanan jasa tukang gigi, yang kerap menyebut dirinya sebagai ahli gigi, banyak bermunculan di sejumlah tempat dan melakukan praktik melebihi kewenangannya, seperti pemasangan kawat gigi, pencabutan, dan penambalan gigi. Kementerian Kesehatan merasa tukang gigi membahayakan pasien karena sering melakukan praktik layaknya dokter gigi, padahal tukang gigi tidak pernah mengecap pendidikan formal untuk merawat gigi. Sejak tahun 1989 Pemerintah tidak mengeluarkan izin baru bagi tukang gigi dan berencana untuk tidak memperpanjang izin bagi para tukang gigi tersebut. Hamdani Prayogo, seorang tukang gigi, didampingi oleh kuasa hukumnya mengajukan uji materi Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi. Ia meminta MK membatalkan Pasal 73 Ayat (2) dan Pasal 78 UU tersebut, yang menjadi dasar Kementerian Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/Menkes/Per/IX/2011.Permenkes ini berisi pencabutan Permenkes 339/1989 yang tidak memperpanjang atau tidak lagi memberi izin bagi Hamdani, melaksanakan pekerjaannya sebagai tukang gigi.Pasal-pasal yang diuji,yang dinilai merugikan pemohon, sebenarnya justru memberikan perlindungan umum kepada setiap orang dari praktik dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki kualitas, kemampuan, atau kecakapan di dalam menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan layanan kesehatan.Pekerjaan kedokteran gigi merupakan pekerjaan yang berisiko, sehingga hanya dapat dilakukan oleh tenaga kompeten dan yang berwenang. Selain itu masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dari tenaga kesehatan yang bermutu dan telah melalui serangkaian pendidikan formal yang terstruktur dan berkurikulum jelas.Oleh karena itupemerintah meminta MK menolak permohonan uji materi tersebut.Dokter dan dokter gigi yang tidak memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik, tidak diperbolehkan menyelenggarakan praktik pelayanan kesehatan, walaupun memiliki kompetensi dan kewenangan untuk itu.Apabila dokter dan dokter gigi tersebut tetap menyelenggarakan praktik pelayanan kesehatan, mereka diancam sanksi pidana sesuai Pasal 75 Undang-Undang Praktik Kedokteran.Hal yang sama seharusnya diberlakukan untuk tukang gigi, yang keahliannya hanya didapat secara turun-temurun tanpa adanya jaminan mutu terhadap keahlian yang dimiliki. Ke depannya, seluruh pihak perlu mengupayakan adanya akses dokter gigi yang terjangkau bagi masyarakat, melakukan pengawasan sekaligus penertiban tukang gigi yang melawan hukum.Selain itu perlu dilakukan edukasi perawatan gigi yang baik dan benar bagi masyarakat agar tidak perlu berobat ke tukang gigi.BAB IISEJARAH TUKANG GIGI DI INDONESIAProfesi tukang gigi di Indoensia sebenarnya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan tukang gigi (tandmeester), yang kala itu dikenal dengan sebutan dukun gigi sudah menguasai pasar. Praktik dokter gigi sebenarnya sudah ada, tapi sangat terbatas dan hanya melayani orang Eropa yang tinggal di Surabaya.

Terbatasnya jumlah dokter gigi saat itu, selain karena tingginya biaya untuk menempuh pendidikan tersebut, bahkan orang pribumi yang ingin menimba ilmu kedokteran harus kuliah di luar negeri. Selain itu, banyak yang menganggap kesehatan gigi bukanlah hal yang terlalu penting atau serius.

Beranjak dari kondisi tersebutlah, penguasa kolonial Belanda terdorong untuk mendirikan lembaga pendidikan kedokteran gigi STOVIT (School tot Opleiding van Indische Tandartsen) di Surabaya, Jawa Timur, tahun 1928.Waktu itu, angkatan pertamanya berjumlah sekitar 21 orang.

Para siswa yang menimba ilmu di sekolah tersebut, lulusan MULO Bagian B (jurusan IPA). Kurikulum STOVIT sendiri dirancang agar siswa dapat menyelesaikan pendidikannya selama lima tahun, termasuk latihan klinik selama tiga tahun. Hal tersebut dilakukan agar setelah lulus mereka bisa langsung berprofesi sebagai dokter gigi.

Tahun 1933 STOVIT meluluskan dokter gigi pertama.Sampai zaman pendudukan Jepang, sekolah ini menghasilkan 80 dokter gigi.Pada 5 Mei 1943, Jepang mendirikan Ika Daigaku Sika Senmenbu (Sekolah Dokter Gigi) di Surabaya. Sekolah ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga dokter gigi berkualitas dalam waktu singkat.Sekolah tersebut berada dibawah kepemimpinan Dr. Takeda, sebelum diganti oleh Prof. Dr. Imagawa.Di antara staf pengajar berkebangsaan Jepang, terdapat beberapa staf pengajar warga Indonesia, salah satu di antaranya adalah Dr. R. Moestopo.

Moestopo inilah yang pertama kali mendirikan Kursus Kesehatan Gigi di Jakarta pada tahun 1952, meski praktik tukang gigi (dukun gigi) yang keahliannya diperoleh secara turun-menurun itu sudah lebih dulu ada di Indonesia.Waktu itu Moestopo berpangkat Kolonel dan menjabat Kepala Bagian Bedah Rahang RSPAD Gatot Subroto.Kursus ini berlangsung selama dua jam, dari pukul 15.00 WIB 17.00 WIB.Kursus tersebut didirikan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan tukang gigi di seluruh Indonesia yang jumlahnya saat itu hampir 2.000 orang. Karena itu, tidaklah mengherankan bilabanyak tukang gigi senior di negeri ini hasil didikan beliau.

Tahun 1957, kursus tersebut dikembangkan menjadi KURSUS TUKANG GIGI INTELEK DR. MOESTOPO. Siswa yang menimba ilmu di tempat kursus tersebut harus lulus SMP dan menjalani pendidikan minimal satu tahun. Tahun 1958, Dr. Moestopo setelah menimba ilmu dari Amerika Serikat, mendirikan Dental College Dr. Moestopo.Lembaga pendidikannya ini mendapat pengakuan resmi dari Departemen Kesehatan.

Gambar 2.1 Mayjen TNI (Purn) Prof. Dr.Drg. R. MoestopoAtas dedikasinya itulah Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno memberikan penghargaan khusus kepada beliau yang dianggap berhasil mendidik dan menelurkan tenaga kesehatan gigi yang sangat terjangkau oleh rakyat kecil.Tempat kursusnya inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Universitas Dr. Moestopo Beragama.Jadi, melihat perjalanan sejarahnya sangat jelas terlihat betapa keberadaan tukang gigi tidak bisa dilepaskan dari sejarah perawatan gigi modern di Indonesia.

Pada tahun 2012, terdapat sekitar 75.000 tukang gigi di Indonesia. Kementerian Kesehatan berencana untuk tidak memperpanjang izin bagi para tukang gigi tersebut dan juga tidak akan membuka izin tukang gigi baru. Alasannya, Kementerian Kesehatan merasa tukang gigi membahayakan pasien karena sering melakukan praktik layaknya dokter gigi, padahal para tukang gigi tersebut tidak pernah mengecap pendidikan formal untuk merawat gigi. UU Kesehatan No. 29 Tahun 2004, pasal 73 ayat 2, menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan atau surat izin praktek (Fahdillah, 2012).

Gambar 2.2 Papan Nama Jasa Tukang Gigi

Gambar 2.3 Papan Nama Jasa Tukang Gigi

Layanan jasa tukang gigi, yang kerap menyebut dirinya sebagai ahli gigi, banyak bermunculan di sejumlah tempat dan melakukan praktik secara mandiri melebihi kewenangannya, seperti pemasangan kawat gigi, pencabutan, dan penambalan gigi. Untuk itu, sejak tahun 1989 telah dilakukan pembatasan kewenangan dan upaya penertiban tukang gigi dengan dikeluarkannya Permenkes 339 Tahun 1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi. Menurut Permenkes tersebut, kewenangan tukang gigi hanya membuat gigi tiruan lepasan dari akrilik, baik sebagian atau penuh, dan memasang gigi tiruan lepasan. Selain itu, setiap tukang gigi juga dilarang untuk :1. Melakukan penambalan gigi dengan tambalan apa pun

2. Melakukan pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat atau mahkota tuang dan sejenisnya

3. Menggunakan obat-obatan yang berhubungan dengan tambalan gigi, baik sementara maupun tetap

4. Melakukan pencabutan gigi, baik dengan suntikan maupun tanpa suntikan

5. Melakukan tindakan-tindakan secara medis, termasuk pemberian obat-obatan

6. Mewakilkan pekerjaannya kepada siapa pun (Ditjen BUK, 2011).

Dengan dikeluarkannya Permenkes 339 Tahun 1989 tersebut, tukang gigi yang telah memiliki izin berdasarkan Permenkes No.53/DPK/I/K/1969, wajib mendaftarkan diri kembali (pembaharuan izin) ke Kantor Departemen Kesehatan Kabupaten/Kotamadya untuk jangka waktu 3 tahun, dan dapat diperpanjang hingga usia 65 tahun. Dan pada saat yang sama, Departemen Kesehatan tidak mengeluarkan izin terhadap tukang gigi baru (Ditjen BUK, 2011).

Namun demikian, hingga saat ini, di masyarakat banyak ditemukan tukang gigi yang tidak memiliki izin dari Kementerian Kesehatan tetapi tetap berpraktik mandiri, bahkan melebihi kewenangan pekerjaan yang diatur pada Permenkes 339 Tahun 1989, seperti perawatan ortodonti, pencabutan, penambalan gigi, pembuatan mahkota porselin atau akrilik. Untuk melindungi masyarakat dari pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan standard, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor1871/MENKES/PER/IX/2011 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor339/MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi (Ditjen BUK, 2011).

Tahun 2013, organisasi-organisasi tukang gigi berkumpul dalam satu organisasi tunggal yang disebut Serikat Tukang Gigi Indonesia (STGI). Adapun organisasi yang tergabung di dalamnya yaitu Perkumpulan Tukang Gigi Indonesia (PTGI), Persatuan Tukang Gigi Indonesia (PTGI), ASTAGIRI (Asosiasi Tukang Gigi Mandiri), ITGI (Ikatan Tukang Gigi Indonesia) dan ITGSI (Ikatan Tukang Gigi Seluruh Indonesia) (PTGI, 2013).BAB III

PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN TUKANG GIGI3.1Dasar Hukum bagi Tukang Gigi

Peraturan Menteri Kesehatan yang pertama mengatur mengenai tukang gigi dikeluarkan tahun 1969. Waktu itu dokter gigi yang dapat memberikan pelayanan kesehatan sampai ke pelosok-pelosok daerah masih minim, sehingga masyarakat menggunakan jasa tukang gigi dengan pertimbangan lain yaitu tarif yang dikenakan tukang gigi relatif lebih murah daripada dokter gigi. Namun perlu diingat bahwa pelayanan kesehatan gigi dan mulut saat itu masih terbatas dan belum berkembang seperti saat ini.Dengan adanya perkembangan teknologi kedokteran gigi, tentu ada keahlian-keahlian baru yang harus dipelajari oleh dokter gigi, sementara pendidikan keahlian seperti itu tidak pernah dienyam tukang gigi, karena keahlian tukang gigi didapatkan secara turun-temurun dan tidak mempunyai latar belakang pendidikan kedokteran gigi.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53/DPK/I/K/1969 Tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Menjalankan Pekerjaan Tukang Gigi dikeluarkan dengan latar belakang bahwa saat itu di Indonesia masih banyak orang-orang yang melakukan pekerjaan di bidang kesehatan tidak memiliki pengetahuan ilmiah yang diperlukan dan melakukan pekerjaannya di luar batas-batas wewenang dan kemampuannya yang dapat membahayakan atau merugikan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu,pemerintah pada waktu itu merasa hal tersebut perlu ditertibkan.Peraturan tersebut kemudian dicabut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 tentang pekerjaan tukang gigi.

Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa upaya pengobatan berdasarkan ilmu atau cara lain dari pada ilmu kedokteran diawasi oleh pemerintah agar tidak membahayakan kesehatan masyarakat. Selama ini tukang gigi dalam melakukan pekerjaannnya banyak berhubungan dengan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang menggunakan cara dan alat yang sebagian memiliki kesamaan dengan alat kedokteran gigi, tetapi tidak memiliki pendidikan di bidang ilmu kedokteran gigi, sehingga perlu diawasi dan ditertibkan agar tidak merugikan masyarakat. Dalam rangka pengawasan dan penertiban, menurut Permenkes ini izin pekerjaan tukang gigi secara bertahap akan dihapus termasuk anak dan keturunannya yang melanjutkan pekerjaan sebagai tukang gigi.

Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 tidak mengatur pengeluaran izin baru bagi tukang gigi, tetapi bagi tukang gigi yang telah memiliki izin berdasarkan Permenkes Nomor 53/DPK/I/K/1969 dimungkinkan memperpanjang izin yang sudah dimiliki, izin yang diperpanjang tersebut berlaku selama tiga tahun dan dapat diperpanjang kembali. Selain itu terdapat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh tukang gigi agar dapat memperpanjang izinnya, antara lain:

1. Telah mendaftarkan kembali izin yang telah dimilikinya berdasarkan ketentuan Permenkes Nomor 53/DPK/I/K/1969;

2. Belum melewati usia 65 (enam puluh lima) tahun dan masih mampu melakukan pekerjaan tukang gigi, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;

3. Tidak sedang menjalani hukuman administratif atau penjara;

4. Mempunyai persyaratan mengenai fasilitas seperti disebutkan dalam Pasal 5 Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989.

Fasilitas yang harus dipenuhi oleh tukang gigi berdasarkan Pasal 5 Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 yaitu:

1. Mempunyai ruang kerja yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) Lantai, dinding, langit-langit, jendela, pintu yang bersih serta lubang ventilasi yang memadai

b) Mebel yang bersih dan rapic) Tersedia wastafel, sabun, handuk yang bersih dan air buangan yang lancar, serta tempat sampah yang tertutup, perlengkapan untuk pemeriksaan gigi harus steril

2. Mempunyai laboratorium teknik gigi yang memadai

Melihat materi Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989, ada upaya pemerintah untuk menghapus keberadaan tukang gigi secara alamiah dan memperbaiki pelayanan tukang gigi kepada konsumen dengan membuat persyaratan bagi fasilitas tukang gigi. Menghapus keberadaan tukang gigi secara alamiah artinya bahwa berdasarkan peraturan ini tidak ada izin baru yang dikeluarkan dan ada batasan umur untuk memperpanjang izin yaitu enam puluh lima tahun. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dikeluarkannya peraturan tersebut bertujuan agar lambat laun tidak ada lagi tukang gigi yang beroperasi. Namun dalam prakteknya sampai sekarang praktek tukang gigi masih banyak ditemui, bahkan di kota besar.

Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 yang mencabut Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989. Dikeluarkannya peraturan ini atas dasar pertimbangan bahwa pelayanan kesehatan gigi dan mulut hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan bukan merupakan kewenangan tukang gigi. Dengan diberlakukannya peaturan yang baru ini, maka Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Tukang gigi yang telah melaksanakan pekerjaannya berdasarkan Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 masih dapat menjalankan pekerjaannya sebagai tukang gigi sampai berlakunya peraturan yang baru dan atau habis masa berlaku izin yang bersangkutan, dan tidak dapat diperpanjang kembali. Dengan demikian Permenkes Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 ini menutup sama sekali kesempatan bagi tukang gigi untuk memperoleh izin menjalankan kegiatannya, sehingga diharapkan pelayanan kesehatan gigi dan mulut hanya dapat diberikan oleh dokter gigi sebagai tenaga kesehatan yang berwenang. Hal ini dilakukan agar pelayanan kesehatan gigi di Indonesia dilakukan dengan benar sesuai kaidah-kaidah ilmu pengetahuan guna melindungi masyarakat dari pelayanan kedokteran yang tidak sesuai dengan standard.

Permenkes Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 juga menyatakan Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota, Kepala Puskesmas harus membina tukang gigi dalam rangka perlindungan terhadap masyarakat. Di tingkat Puskesmas, pembinaan dilakukan dalam bentuk penjaringan/pendataan disertai pemberian formulir pendataan kepada tukang gigi yang berpraktik di wilayahnya. Sementara di tingkat Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota, pembinaan diarahkan untuk kerjasama dengan profesi teknisi gigi yang telah teregistrasi Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) dan Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP).

3.2 Kewenangan Tukang Gigi

Kewenangan tukang gigi yang diatur dalam Permenkes Nomor 53/DPK/I/K/1969 adalah sebagai berikut:

1. Penambalan gigi vital tanpa pengobatan saraf gigi

2. Pembuatan protesa gigi

3. Pembuatan mahkota dan jembatan gigi (crown and bridge)

4. Pekerjaan laboratorium teknik gigi

Menurut Pasal 7 Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989, kewenangan tukang gigi adalah sebagai berikut:

1. Tukang gigi dalam melakukan pekerjaannya diberi kewenangan dalam hal:

a) Membuat gigi tiruan lepasan sebagian atau penuh dari akrilik

b) Memasang gigi tiruan lepasan

2. Tukang gigi dalam pemasangan gigi tiruan sebagaimana dimaksud huruf b ayat (1) tidak menutupi sisa akar gigi.

Peraturan tersebut juga mengatur bahwa apabila tukang gigi dalam melakukan pekerjaannya menemui kasus di luar batas kemampuannya harus merujuk ke sarana kesehatan yang terdekat. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur mengenai larangan dalam praktik tukang gigi yaitu:

1. Melakukan penambalan gigi dengan tambalan apapun;

2. Melakukan pembuatan dan pemasangan gigi tiruan cekat/mahkota tumpatan tuang dan sejenisnya;

3. Menggunakan obat-obatan yang berhubungan dengan bahan tambalan gigi, baik sementara ataupun tetap;

4. Melakukan pencabutan gigi, baik dengan suntikan maupun tanpa suntikan;

5. Melakukan tindakan-tindakan secara medis termasuk pemberian obat-obatan;

6. Mewakilkan pekerjaannya kepada siapapun juga.

Dalam peraturan terbaru yaitu Permenkes Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011, kewenangan tukang gigi yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) kurang lebih sama yaitu membuat gigi tiruan lepasan sebagian atau penuh dari akrilik.

3.3 Tanggung Jawab Hukum Tukang Gigi

3.3.1 Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan

Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 memuat ketentuan ketentuan sebagai berikut:

1. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan tindakan administratif berupa teguran lisan sampai dengan pencabutan izin.

2. Selain tindakan administratif sebagaimana dimaksud ayat (1) kepada yang bersangkutan dapat juga dikenakan hukum pidana sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku.

Permenkes Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011 tidak memuat mengenai sanksi bagi pelanggaran kewenangan oleh tukang gigi.

3.3.2 Berdasarkan Undang Undang Kesehatan

Pasal 58 Undang-Undang Kesehatan menyatakan bahwa setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Apabila dilihat dari unsur-unsur pasalnya, maka setiap orang memiliki hak menuntut ganti rugi. Ganti rugi ini dapat dimintakan kepada orang lain, tenaga kesehatan, dan atau penyelenggara kesehatan apabila orang, tenaga kesehatan, dan atau penyelenggara kesehatan tersebut telah menyebabkan kerugian yang disebabkan adanya kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh orang, tenaga kesehatan, dan atau penyelenggara kesehatan tersebut. Di bagian penjelasan pasal dijelaskan bahwa yang termasuk kerugian akibat pelayanan kesehatan mencakup pembocoran rahasia kedokteran.3.3.3 Berdasarkan Undang Undang Praktik Kedokteran

Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Praktik Kedokteran menyebutkan: Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik. Kemudian Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode, atau cara lain yang menimbulkan kesan seolah olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).BAB IV

TELAAH UJI MATERI KE MAHKAMAH KONSTITUSI (MK) ATAS PASAL 73 AYAT (2) DAN PASAL 78 UU NO. 29 TAHUN 2004 TERHADAP UUD 19454.1 Proses Uji Materi atas Pasal 73 Ayat (2) dan Pasal 78 UU No. 29 Tahun 2004 terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK)

Pada awal tahun 2012, tukang gigi mengajukan permohonan pengujian Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi. Pemohon pada permohonan awal terdiri dari dua pihak, tetapi dalam perbaikan permohonan Pemohon atas nama Perkumpulan Asosiasi Tukang Gigi Mandiri (Astagiri) tidak menjadi Pemohon lagi dan tidak menjelaskan alasan pengunduran dirinya dalam perbaikan permohonan. Pemohon lainnya adalah H. Hamdani Prayogo. Pemohon adalah seorang warga negara yang berprofesi sebagai tukang gigi yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya atas berlakunya Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran.

Pengujian Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran dilakukan terhadap Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Praktik Kedokteran adalah pasal yang mengatur larangan penggunaan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik. Sedangkan Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran adalah pasal yang mengatur mengenai pidana penjara dan denda bagi pelanggaran Pasal 73 ayat (2).

Pasal 73 ayat (2) ini merupakan salah satu dasar hukum bagi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011. Pemohon beralasan bahwa pemberlakuan Permenkes tersebut akan mengakibatkan Pemohon dan kurang lebih 75.000 (tujuh puluh lima ribu) tukang gigi kehilangan pekerjaan. Oleh karena itu, Pemohon mengajukan uji materiil dengan norma penguji Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28 D ayat (2). Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sedangkan pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 berbunyi: Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Menurut pihak Pemerintah, kedudukan hukum Pemohon tidak tepat. Hal ini disebabkan karena tidak ada kerugian inkonstitusional yang bersifat spesifik atau khusus dan aktual yang diakibatkan oleh berlakunya Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran. Berdasarkan uraian Pemohon, sesungguhnya yang menjadi dasar kerugian yang didalilkan dialami oleh Pemohon ialah akibat yang akan terjadi dengan ditetapkannya Permenkes Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011. Sehingga jika Pemohon merasa dirugikan dengan ditetapkannya Permenkes Nomor 1871/MENKES/PER/IX/2011, maka Pemohon seharusnya mengajukan uji materi Permenkes tersebut di Mahkamah Agung dan bukan mengajukan pengujian undang-undang a quo di Mahkamah Konstitusi.

Pemerintah juga memberikan penjelasan terhadap materi yang dimohonkan oleh Pemohon.Salah satunya adalah bahwa pekerjaan kedokteran gigi harus berasaskan Pancasila, didasarkan pada penilaian ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien.Pekerjaan kedokteran gigi merupakan pekerjaan yang berisiko sehingga hanya dapat dilakukan oleh tenaga yang kompeten dan berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan kecuali dalam hal adanya pelimpahan kewenangan dengan tetap merujuk pada peaturan yang berlaku. Pelaksanaan pekerjaan kedokteran gigi oleh tenaga di luar yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan tidak dapat dibenarkan karena tidak adanya jaminan atas keahlian dan kompetensi yang dimiliki, sementara masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dari tenaga kesehatan yang bermutu, yang telah melalui pendidikan formal, terstruktur, dan mempunyai kurikulum yang jelas. Hal tersebut tidak dimiliki oleh tukang gigi karena keahliannya didapat secara turun temurun.

Ketentuan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran pada prinsipnya berlaku untuk setiap orang yang bukan dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bukan kewenangan dan kompetensinya sehingga dapat membahayakan kesehatan masyarakat. Ketentuan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran pada hakikatnya justru memberi sebuah jaminan kepastian hukum bagi penegakan pelayanan kesehatan karena telah melindungi masyarakat dari praktik-praktik pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten.

Argumentasi Pemerintah mengenai pengujian bagi pasal yang memuat sanksi pidana adalah sebagai berikut: dokter dan dokter gigi sendiri memiliki pembatasan yaitu bagi yang tidak memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran tidak dapat menyelenggarakan praktik pelayanan kesehatan walaupun mereka memiliki kompetensi untuk itu. Bagi dokter dan dokter gigi yang tetap menyelenggarakan praktik pelayanan kesehatan tanpa memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik dokter akan dikenai sanksi pidana berdasarkan Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Praktik Kedokteran. Ketentuan mengenai surat tanda registrasi dan surat izin praktik ini justru telah membatasi ruang gerak dokter dan dokter gigi lulusan perguruan tinggi. Hal yang sama seharusnya juga diberlakukan bagi tukang gigi yang keahliannya didapat secara turun temurun tanpa adanya jaminan mutu terhadap keahlian yang dimiliki.

Pada sidang keempat tanggal 27 Juli 2012, dua ahli dari pihak pemerintah yaitu Bimo Rintoko dan Andreas Adyatmaka menyatakan pernah menemui pasien yang mengalami gangguan kesehatan gigi dan mulut akibat pemberian layanan oleh tukang gigi.Bimo Rintoko menemui pasien yang kehilangan gigi pada sebagian rahang atas dan kehilangan seluruh gigi pada rahang bawah setelah sebelumnya membuat gigi palsu rahang atas dan rahang bawah di tukang gigi kira-kira setahun sebelumnya. Andreas Adyatmaka, seorang dokter gigi praktik, menghadapi kasus dengan pasien datang dalam keadaan sakit luar biasa setelah dua tahun sebelumnya membuat gigi tiruan cekat pada tukang gigi. Pasien menolak meminta pertanggungjawaban tukang gigi.Saat diperiksa dan dilakukan roentgen, ditemui gigi tiruan cekat yang dipasang dengan bahan self curing acrylic dan bocor sehingga menyebabkan radang.Seharusnya gigi tiruan cekat hanya boleh dipasang oleh dokter gigi terkait dengan anatomi dan fisiologinya. Andreas Adyatmaka menyimpulkan pembuatan gigi tiruan cekat yang tidak sesuai kaidah ilmu kedokteran gigi seperti bom waktu yang akan sakit pada suatu saat.

4.2 Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Uji MateriPasal 73 Ayat(2) dan Pasal 78 UU No. 29 Tahun 2004 terhadap UUD 1945Mahkamah Konstitusi (MK) pada 15 Januari 2013 telah menetapkan putusannya mengenai permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang diajukan oleh tukang gigi. Pembacaan putusan Perkara No. 40 /PUU-X/2012 dilakukan oleh hakim konstitusi Hamdan Zoelva di Ruang Sidang Pleno MK.

Mahkamah Konstitusi menyatakan larangan terhadap profesi tukang gigi dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran inkonstitusional bersyarat, sebab profesi tukang gigi dapat dimasukkan atau dikategorikan dalam satu jenis pelayanan kesehatan tradisional Indonesia yang harus dilindungi oleh negara. Mahkamah berpandangan, pada prinsipnya Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan demikian berarti negara melindungi hak atas pekerjaan setiap warga negaranya dalam rangka mendapatkan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.Perlindungan negara atas suatu pekerjaan dan memperoleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tersebut merupakan implementasi dari hak asasi manusia setiap orang untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Oleh karena itu, perlindungan negara atas suatu pekerjaan dan hak untuk mendapat imbalan tidak diterapkan secara diskriminatif dalam artian memberikan perlakuan yang istimewa terhadap pekerjaan tertentu saja dan mengabaikan atau menghapuskan jenis pekerjaanyang lain tanpa memberikan solusi atau penyelesaian yang jelas dari negara.

Sebelumnya Pemerintah menyatakan penghapusan pekerjaan tukang gigi dilandasi alasan karena pekerjaan tersebut berisiko, sehingga hanya dapat dilakukan oleh tenaga yang berkompeten. Menurut Mahkamah, hal tersebut bukan merupakan penyelesaian yang tepat karena selain keberadaan pekerjaan tukang gigi telah lebih dulu ada sebelum adanya kedokteran gigi di Indonesia, keberadaan tukang gigi dapat menjadi alternatif lain bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gigi yang terjangkau. MK menegaskan bahwa putusan tersebut harus dipahami dan ditafsirkan secara benar agar tidak menyimpang dari apa yang ditetapkan.

MK dalam amar putusan atas perkara yang diajukan Tukang Gigi Hamdani Prayogo menegaskan bahwa Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin dari praktik dari Pemerintah. Selanjutnya, Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode, atau cara lain yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) adalah tukang gigi .

Dalam pertimbangannya MK mengemukakan penyimpangan maupun pelanggaran yang dilakukan oleh tukang gigi ataupun juga karena terbatasnya kemampuan yang dimiliki tukang gigi dalam menjalankan pekerjaannya dapat diselesaikan melalui pembinaan, perizinan, dan pengawasan oleh Pemerintah. Pembinaan dimaksudkan agar tukang gigi mempunyai pengetahuan dasar ilmu kedokteran gigi sehingga dapat menjalankan pekerjaan sesuai ketentuan yang berlaku, pengawasan dimaksudkan untuk mengontrol pekerjaan tukang gigi agar menjalankan pekerjaan sesuai dengan standar yang ditetapkan Pemerintah dan memberikan sanksi kepada tukang gigi yang melanggar atau menyalahgunakan pekerjaannya, sedangkan perizinan dimaksudkan sebagai legalisasi tukang gigi untuk menjalankan pekerjaan sesuai kemampuan dan keahlian yang dimiliki tukang gigi. Menurut MK, profesi tukang gigi dapat dimasukkan/dikategorikan dalam satu jenis pelayanan kesehatan tradisional Indonesia yang harus dilindungi oleh Negara dalam suatu peraturan tersendiri. MK berpendapat seharusnya berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan, antara dokter gigi dan tukang gigi saling bersinergi dan mendukung satu sama lain dalam upaya meningkatkan kesehatan khususnya kesehatan gigi masyarakat.

Keputusan MK ditetapkan untuk mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, sehingga harus ditaati. Namun keputusan MK tersebut harus ditelaah secara seksama agar tidak menimbulkan pemahaman dan penafsiran yang menyimpang. Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Praktik Kedokteran menyebutkan: Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik . Pasal 78 Undang-Undang Praktik Kedokteran menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode, atau cara lain yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Keputusan MK menetapkan pasal-pasal UU Praktik Kedokteran tersebut bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional). Ada pun syaratnya adalah tukang gigi yang mendapat izin dari Pemerintah. Bila syarat tersebut tidak dipenuhi, maka pasal-pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi. Sebaliknya, pasal-pasal tersebut sesuai dengan konstitusi sepanjang norma dalam pasal-pasal tersebut tidak termasuk tukang gigi yang mendapat izin dari Pemerintah. Secara sederhana dapat dikatakan, bila syarat tersebut terpenuhi maka larangan serta sanksi pasal-pasal tersebut tidak diberlakukan. Dalam konteks tukang gigi berarti bila tukang gigi memiliki izin dari pemerintah maka tidak dapat dikenakan larangan serta sanksi yang tercantum dalam pasal-pasal tersebut.

Berdasarkan peraturan perundangan-undangan, tukang gigi yang diakui oleh Pemerintah adalah mereka yang telah mendapatkan izin berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53/DPK/I/K/1969 dan diperpanjang berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 339/MENKES/PER/V/1989. Permenkes Nomor 53/DPK/I/K/1969 menetapkan bahwa sejak tahun 1969 tidak dikeluarkan izin baru, sedangkan Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 hanya mengatur untuk meneruskan izin yang sudah ada. Saat ini diperkirakan sudah tidak ada tukang gigi yang memiliki izin berdasarkan Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989.

Dengan keputusan MK tersebut, tukang gigi tidak serta merta dapat langsung menjalankan pekerjaannya. Berdasarkan pertimbangan MK tersebut, Pemerintah perlu melakukan pembinaan, perizinan, dan pengawasan terhadap tukang gigi. Dengan demikian Pemerintah harus terlebih dahulu menyusun dan menetapkan ketentuannya, termasuk persyaratan, kriteria, dan standarnya agar dapat dilaksanakan kemudian. Dalam penataan tersebut harus diperhatikan pula keberadaan tukang gigi dalam tatanan pelayanan kesehatan di Indonesia agar tidak merusak tatanan yang telah ada.

Kementerian Kesehatan melalui Wakil Menteri Kesehatan saat itu, Ali Gufron Mukti, menyatakan kekecewaannya terhadap putusan MK, tetapi tetap menghormati putusan MK tersebut.Ia mengatakan bahwa pengawasan praktik tukang gigi dibuat Pemerintah justru untuk melindungi kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan akan mempelajari salinan putusan MK untuk mencari landasan baru bagi Kemenkes untuk menyusun peraturan baru yang sifatnya dapat melindungi keamanan kesehatan masyarakat sekaligus membina dan mengawasi tukang gigi agar dapat berpraktik dengan benar.

Ketua Umum PB PDGI (Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi) saat itu, drg. Zaura Rini Anggraeni, menyatakan bahwa PB PDGI sebagai bagian dari organisasi yang berbadan hukum, menghargai dan menaati keputusan MK tersebut. Putusan tersebut menurutnya dapat diartikan bahwa praktik tukang gigi hanya boleh dilakukan oleh tukang gigi yang memiliki izin, artinya putusan MK menguatkan bahwa tukang gigi tidak berizin itu melanggar ketentuan, sehingga semakin kuat upaya menertibkan dan melakukan pengawasan terhadap tukang gigi tidak berizin. Menurutnya, saat ini belum ada data pasti dari pemerintah terkait jumlah tukang gigi yang berizin, tetapi menurutnya jumlah sangat sedikit sekali. Ia mengatakan perizinan tersebut sudah dihentikan tahun 1969 dan diperpanjang hingga tahun 1986. Perpanjangan perizinan juga dihentikan saat tukang gigi berusia 65 tahun, dan tidak dapat diwariskan kepada sanak keluarga atau individu lain, sehingga secara alamiah saat ini seharusnya tidak ada lagi tukang gigi muda, dan lambat laun tukang gigi seharusnya punah.Ia menyadari menjamurnya praktik tukang gigi di Indonesia turut didorong oleh adanya permintaan dari masyarakat yang menginginkan jasa dokter gigi yang murah, tanpa adanya edukasi yang cukup dari praktik tersebut. Ke depannya, seluruh pihak perlu mengupayakan adanya akses dokter gigi yang murah bagi masyarakat, melakukan pengawasan sekaligus penertiban tukang gigi yang melawan hukum.Selain itu yang terpenting menurutnya adalah perlunya edukasi perawatan gigi yang baik dan benar bagi masyarakat agar tidak perlu berobat ke tukang gigi.

4.3 Pemberlakuan Permenkes Nomor 39 Tahun 2014Terkait dengan keputusan MK tersebut, Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan Pekerjaan Tukang Gigi yang berlaku sejak 11 Agustus 2014. Dengan berlakunya Permenkes Nomor 39 Tahun 2014 tersebut, maka :1. Permenkes Nomor 1871 Tahun 2011 tentang Pencabutan Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi; dan

2. Permenkes Nomor 026 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Permenkes Nomor 1871 Tahun 2011 tentang Pencabutan Permenkes Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 tentang Pekerjaan Tukang Gigi,dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Berdasarkan Permenkes Nomor 39 tahun 2014, Tukang Gigi didefinisikan sebagai setiap orang yang mempunyai kemampuan membuat dan memasang gigi tiruan lepasan, dan setiap Tukang Gigi yang menjalankan pekerjaan sebagai Tukang Gigi wajib mendaftarkan diri kepada pemerintah daerah kabupaten/kota atau dinas kesehatan kabupaten/kota setempat untuk memperoleh Izin Tukang Gigi.Izin Tukang Gigi berlaku selama 2 tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persayaratan. Pekerjaan tukang gigi hanya dapat dilakukan jika:

1. Tidak membahayakan kesehatan, tidak menyebabkan kesakitan dan kematian;

2. Aman;

3. Tidak bertentangan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat;

4. Tidak bertentangan dengan norma dan nilai yang hidup dalam masyarakat.Pekerjaan tukang gigi berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Permenkes No. 39 Tahun 2014 adalah:

1. Membuat gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic yang memenuhi ketentuan persyaratan kesehatan; dan

2. Memasang gigi tiruan lepasan sebagian dan/atau penuh yang terbuat dari bahan heat curing acrylic dengan tidak menutupi sisa akar gigi.Berdasarkan Pasal 9 Permenkes No. 39 Tahun 2014, tukang gigi dilarang :

1. Melakukan pekerjaan selain kewenangan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) ;2. Mewakilkan pekerjaannya kepada orang lain;

3. Melakukan promosi yang mencantumkan pekerjaan selain yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2); dan

4. Melakukan pekerjaan secara berpindah-pindahSetiap tukang gigi yang melanggar ketentuan dalam Permenkes tersebut akan dikenakan sanksi administratif oleh pemerintah daerah kabupaten/kota, berupa teguran tertulis, pencabutan izin sementara, atau pencabutan izin tetap.BAB V

KESIMPULAN1. Mahkamah Konstitusi menetapkan Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 78 Undang -Undang Praktik Kedokteran bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional).2. Terkait dengan keputusan MK tersebut, Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes Nomor 39 Tahun 2014 tentang Pembinaan, Pengawasan dan Perizinan Pekerjaan Tukang Gigi yang berlaku sejak 11 Agustus 2014.3. Tukang Gigi yang menjalankan pekerjaan sebagai Tukang Gigi wajib mendaftarkan diri kepada pemerintah daerah kabupaten/kota atau dinas kesehatan kabupaten/kota setempat untuk memperoleh Izin Tukang Gigi yang berlaku selama 2 rahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persayaratan.4. Pemerintah perlu melakukan pembinaan, perizinan, dan pengawasan terhadap tukang gigi.

DAFTAR PUSTAKABerita Satu. 2012.Inilah Sejarah Tukang Gigi di Indonesia, m.beritasatu.com/nasib-tukang-gigi-di-Indonesia.html, 9/11/2014.

Ditjen BUK. 2011.Untuk Lindungi Masyarakat, Pemerintah Tertibkan Praktek Tukang Gigi.www.buk.kemkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=274:untuklindungimasyarakatpemerintahtertibkanpraktektukangigi&catid=111:dasar&Itemid=136. 9/11/2014.

Fahdillah, R. 2012.Profesi Tukang Gigi Akan Jadi Sejarah. m.merdeka.com/peristiwa/profesi-tukang-gigi-akan-jadi-sejarah.html, 9/11/2014.Fikri, Hasan. 2012. Sejarah Panjang si Tukang Gigi. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/25/181216/Sejarah-Panjang-Si-Tukang-Gigi (diunduh 6 Nopember pukul 21.00)Mahkamah Konstitusi. Dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi : Tukang Gigi Tidak Mutlak Bebas Menjalankan Menjalankan Pekerjaannya. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id (diunduh 6 Nopember 2014 pukul 19.40)

Mahkamah Konstitusi. Larangan Praktik Tukang Gigi Inkonstitusional Bersyarat.http://www.mahkamahkonstitusi.go.id (diunduh 8 Nopember 2014 pukul 20.30)Mahkamah Konstitusi. Putusan Nomor 40/PUU-X/2012. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_40_PUU_X_2012%20_kedokteran_telah%20baca%2015%20Jan%202013%20-%20fin.pdf (diunduh 6 Nopember pukul 19.30)Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014. http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_permenkes/PMK%20No.%2039%20ttg%20Tukang%20Gigi.pdf

PTGI, 2013, Tukang Gigi Telah Bersatu Melebur Menjadi Satu Organisasi STGI (Serikat Tukang Gigi Indonesia), ptgipusat.blogspot.com/2013/04/tukang-gigi-telah-bersatu-melebur.html?m=1, 9/11/2014.Phinastika W.S., Flavia. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Penerima Layanan Ortodonti oleh Tukang Gigi Berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Kesehatan.http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20313656-S43783-Perlindungan%20hukum.pdf(diunduh 6 Nopember 2014 pukul 20.15)Undang - Undang Nomor 29 Tahun 2004. http://www.litbang.depkes.go.id/sites/download/regulasi/uu/UU_No._29_Th_2004_ttg_Praktik_Kedokteran.pdf (diunduh 6 Nopember 2014 pukul 19.45)

Saputra, Desy.PDGI Hargai Putusan MK Terkait Tukang Gigi. http://m.antaranews.com/berita/358972/pdgi-hargai-putusan-mk-terkait-tukang-gigiSyahrizal, Darda dan Senja Nilasari. 2013. Undang Undang Praktik Kedokteran dan Aplikasinya. Dunia Cerdas : Jakarta

Lampiran 1 : Putusan MK Nomor 40/PUU-X/2012Lampiran 2 : Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2014