essay retinoblastoma
TRANSCRIPT
Dewasa ini pengidap penyakit keganasan semakin banyak terjadi, ini dikarenakan
semakin berkembangnya teknologi yang berimbas semakin meningkatnya radiasi disekitar kita.
Selain dari radiasi bahan- bahan makanan minuman saat ini sudah tercemar dengan bahan
pengawet yang juga dapat memicu terjadinya keganasan. Selain itu, pengaruh genetik juga
berperan penting sebagai pemicu keganasan karena banyak penyakit keganasan yang diturunkan
oleh orang tua maupun keluarga terdekat. Penderita keganasan sangat memerlukan dukungan
yang lebih agar mampu melawan penyakitnya. Saat ini yang akan kita bahas lebih rinci adalah
retinoblastoma dan keganasan lain pada mata. Di mana retinoblastoma merupakan tumor ganas
intraokular yang ditemukan pada anak-anak, terutama pada usia dibawah lima tahun dengan pola
herediter dan biasanya bersifat unilateral.(Mansjoer, 2007; Ilyas, 2009)
Retinoblastoma merupakan suatu bentuk keganasan intra okuler primer yang paling
sering ditemukan pada anak-anak, dengan angka kejadian sekitar 1:15.000–1:23.000 kelahiran
hidup. merupakan 4 % dari total seluruh keganasan pada anak-anak, sektar 1 % dari seluruh
kanker pada manusia, dan merupakan keganasan kedua terbanyak pada semua tingkat usia
setelah melanoma maligna. Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan 300 kasus baru setiap
tahunnya. Insiden retinoblastoma tinggi pada negara-negara berkembang, terutama pada
masyarakat kurang mampu (Paduppai , 2010; Vajzovic et al, 2010).
Retinoblastoma telah lama dipandang sebagai contoh dari kanker yang diturunkan secara
dominan, tetapi tumor ini dapat juga non-herediter (Kartawiguna, 2001). Diperkirakan sekitar
40% retinoblastoma adalah herediter, 25% diantaranya bilateral dan 15% unilateral (Rosdiana,
2009). Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 250-300 kasus baru didiagnosa setiap tahun
(Jamalla et al, 2010).
Dari data keluarga didapatkan < 50% keturunan penderita retinoblastoma yang kemudian
akan menderita tumor ini. Mereka menduga ini termasuk dalam golongan tumor yang non-
herediter. Penyelidikan lain menunjukkan penderita retinoblastoma bilateral yang sebelumnya
tidak mempunyai riwayat keturunan kemungkinan menurunkan penyakit ini mendekati 50%
seperti pada penderita retinoblastoma unilateral yang mempunyai riwayat keturunan. Sedangkan
kemungkinan mendapat penyakit ini adalah 10-15% pada keturunan dari penderita
retinoblastoma unilateral yang tidak mempunyai riwayat keturunan. Kemungkinan mendapat
penyakit ini pada keturunan penderita yang tumornya unilateral atau bilateral dengan riwayat
keturunan sangat tinggi yaitu 60-70% (Kartawiguna, 2001).
Dari data disimpulkan 40% keturunan penderita retinoblastoma adalah karier gen yang
dominan. Dari 40% ini, 95% menderita paling sedikit tumor unilateral bisa juga bilateral.
Sebaliknya penderita yang tidak membawa gen dominan mempunyai risiko 1/30.000 untuk
menderita tumor unilateral dan tidak pernah bilateral (Kartawiguna, 2001).
Selain itu, perbedaan laki-laki dan perempuan pada pasien retinoblastoma di RS.Wahidin
tidak terlalu bermakna. Dalam literature juga disebutkan bahwa dapat terjadi baik pada laki-laki
maupun perempuan dan pada mata kanan dan kiri dengan rasio yang sama.
Penyebab retinoblastoma yaitu mutasi sel germinal yang bersifat dominan autosom, dapat
juga terjadi mutasi sporadik. Kemunculannya biasanya bilateral dan tumor ini melibatkan sel-sel
retina yang immatur. Mutasi terjadi sebanyak 2 kali, yaitu pada sel benih dan sel germinal. Bisa
juga terjadi mutasi sel somatik atau autosomal resesif dan kejadian ini biasanya unilateral. Letak
gen yang bertanggung jawab adalah 13q.14.1-13q.14.9. Penanda genetik yang biasa dipakai
antara lain enzim esterase-D, LDH (Laktat dehidrogenase). LDH ini ditemukan dalam humor
aqueous karena nekrosis dari sel-sel tumor (Supartoto & Utomo, 2007).
Terdapat dugaan mutasi terjadi pada sel-sel retina karier gen sehingga terbentuk
retinoblastoma. Juga diduga bentuk herediter terjadi secara 2 tahap yaitu mutasi sel somatik (sel
retina) yang sedang tumbuh dan mutasi pada sel benih yang akan diturunkan. Pada bentuk non-
herediter terjadi 2 tahap mutasi yang ke-2 nya terjadi dalam sel somatik untuk menjadi sel kanker
tetapi fenomena ini sangat jarang (1/30.000). Maka pada bentuk herediter retinoblastoma terjadi
lebih awal dari bentuk non-herediter karena hanya diperlukan 1 tahap yang terjadi post-zygotik
(Kartawiguna, 2001).
Mekanisme terjadinya retinoblastoma karena adanya mutasi pada gen RB1 yang terletak
pada kromosom 13q14 (kromosom nomer 13 sequence ke 14) baik terjadi karena faktor hereditas
maupun karena faktor lingkungan seperti virus, zat kimia, dan radiasi. Gen RB1 ini merupakan
gen suppressor tumor, bersifat alel dominan protektif dan merupakan pengkode protein RB1 (P-
RB) yang merupakan protein yang berperan dalam regulasi suatu pertumbuhan sel. Apabila
terjadi mutasi seperti kesalahan transkripsi, translokasi, maupun delesi informasi genetik, maka
gen RB1 (P-RB) menjadi inaktif sehingga protein RB1 (P-RB) juga inaktif atau tidak diproduksi
sehingga memicu pertumbuhan sel kanker.
Retinoblastoma Intraokular dapat menampakkan sejumlah pola pertumbuhan, pada pola
pertumbuhan endofitik, ini tampak sebagai gambaran massa putih sampai coklat muda yang
menembus membran limitan interna. Retinoblastoma Endofitik kadang berhubungan dengan vitreus
seeding. Sel-sel dari Retinoblastoma yang masih dapat hidup terlepas dalam vitreous dan ruang sub
retina dan biasanya dapat menimbulkan perluasan tumor melalui mata. Vitreous seeding sebagian
kecil meluas memberikan gambaran klinis mirip endopthalmitis.
Tumor Eksofitik biasanya kuning keputihan dan terjadi pada ruang subretinal, yang mengenai
pembuluh darah retina dan sering kali terjadi peningkatan diameter pembuluh darah dengan warna
lebih pekat. Pertumbuhan Retinoblastoma Eksofitik sering dihubungkan dengan akumulasi cairan
subretina yang dapat mengaburkan tumor dan sangat mirip ablasio retina eksudatif yang memberi
kesan suatu Coats disease lanjut. Sel Retinoblastoma mempunyai kemampuan untuk implant dimana
sebelumnya jaringan retina tidak terlibat dan tumbuh. Dengan demikian membuat kesan multisentris
pada mata dengan hanya tumor primer tunggal.
Tanda Retinoblastoma : Pasien umur < 5 tahun di temukan adanya Leukokoria (54%-
62%), Strabismus (18%-22%), Hypopion, Hyphema, Heterochromia, Spontaneous globe
perforation, Proptosis, Katarak, Glaukoma, Nystagmus, Tearing, Anisocoria. Pasien umur > 5
tahun adanya Leukokoria (35%), Penurunan visus (35%), Strabismus (15%), Inflamasi (2%-
10%), Floater (4%), Pain (4% ). (Hidayat, 2010)
Tanda-tanda retinoblastoma yang paling sering dijumpai adalah leukokoria (white
pupillary reflex) yang digambarkan sebagai mata yang bercahaya, berkilat, atau cat’s-eye
appearance, strabismus dan inflamasi okular. Gambaran lain yang jarang dijumpai, seperti
heterochromia, hyfema, vitreous hemoragik, selulitis, glaukoma, proptosis dan hypopion. Tanda
tambahan yang jarang, lesi kecil yang ditemukan pada pemeriksaan rutin. Keluhan visus jarang
karena kebanyakan pasien adalah anak umur prasekolah (Hidayat, 2010).
Klasifikasi intraokular menurut Reese and Elsworth : Stadium I yaitu Solid < 4
diameter papil (disc diameter, dd), di belakang ekuator dan Multipel > 4 dd, pada/ di belakang
ekuator. Stadium II yaitu bentuknya Solid 4-10 dd dan Multipel 4-10 dd, di belakang ekuator
Stadium III letak Di depan ekuator dan Lebih dari 10 dd, di belakang ekuator. Stadium IV bentuk
Multipel > 10 dd dan Sampai ora serrata, Stadium V letak Separuh luas retina dan Korpus
vitreum.
Klasifikasi ekstraokular menurut Retinoblastoma Study Commitee: grup I saat
enukleasi tumor ditemukan di sklera, atau sel tumor ditemukan di emisaria sklera, grup II tepi
irisan N II tidak bebas tumor, grup III biopsi mengungkap tumor sampai dinding orbita, grup IV
Tumor ditemukan di cairan serebrospinal, grup V Tumor menyebar secara hematogen ke organ
dan tulang panjang (Suhardjo & Hartono, 2007)
Klasifikasi Retinoblastoma Internasional
Di Indonesia, klasifikasi intraokular menurut Reese and Elsworth sulit dipakai mengingat
pasien yang datang umumnya sudah stadium ekstra okuler. Klasifikasi retinoblastoma
internasional dibuat dengan menggabungkan gambaran klinik dan patologi dengan satu tujuan,
yaitu angka bertahan hidup pada pasien retinoblastoma. Pasien diklasifikasikan berdasarkan
tingkat keparahan penyakit, termasuk gambaran mikroskopik atau ekstensi ekstra okuler dan
metastase (Paduppai, 2010).
Berikut ini adalah klasifikasi Retinoblastoma Internasional
Stadium leukokoria, pada stadium ini pasien tidak merasakan gejala apapun hanya
penglihatan yang menurun sampai visus 0. Saat ini orang tua pasien sering merasa tidak ada
masalah dengan mata anaknya sehingga kadang dibiarkan, padahal pada tahap inilah pasien
masih bisa diselamatkan dengan tindakan enukleasi (pengangkatan bola mata), jika pada
pemerikasaan patologi anatomi N.optik sudah terkena maka tindakan selanjutnya adalah
kemoterapi. Kelangsungan hidup pada stadium ini jika cepat ditindaklanjuti biasanya baik.
Stadium glaukomatosa, pada stadium ini massa tumor membesar, meluas ke depan, sudah
memenuhi seluruh isi bola mata, sehingga menyebabkan kenaikan tekanan intraokular. Oleh
karena itu, gejala yang nampak adalah gejala glaukoma. Gejala lain yang dapat nampak adalah
strabismus, uveitis, dan hifema. Pasien merasa kesakitan, bola mata membesar, dan midriasis
dengan refleks pupil negatif, eksoftalmos dan edema kornea. Stadium ini biasanya hanya
berlangsung beberapa bulan, sehingga jika terlambat ditangani akan masuk stadium berikutnya.
Stadium ekstraokuler, pada stadium ini bola mata sudah menonjol (proptosis), akibat
desakan masa tumor yang sudah keluar ke ekstra okuler. Segmen anterior bola mata sudah rusak
dan keadaan umum pasien nampak lemah dan kurus. Terjadi perluasan ke saraf optik dan koroid.
Penyebaran bisa secara limfogen dan hematogen. Sel ganas bisa ditemukan hingga di cairan
serebrospinal. Prognosis dalam stadium ini kurang baik dan tindakan yang dilakukan hanyalah
untuk mempertahankan hidup pasien.
Stadium metastase, stadium ini sangat buruk oleh karena tumor sudah masuk ke kelenjar
lymfe preaurikuler atau submandibula. Penanganan pada stadium ini hanyalah bersifat paliatif
saja. Terlambatnya diagnosis adalah suatu fenomena yang kompleks pada banyak pasien. Sering
berhubungan dengan faktor sosial ekonomi atau misdiagnostik karena tidak nampaknya
gangguan penglihatan. Pada beberapa populasi, ketidaktahuan akan abnormalitas mata seperti
strabismus dan leukokoria sebagai suatu tanda dari kanker mata (Suhardjo & Hartono, 2007;
Paduppai,2010).
Diagnosis retinoblastoma yaitu malalui anamnesis harus ditanyakan adakah riwayat
keluarga yang menderita kanker apapun, misalnya Ca cervix/mammae, Ca paru. Sifat sel tumor
pleotropik, jadi punya kecenderungan untuk mutasi ke bentuk keganasan lain (Suhardjo
&Hartono, 2007). Setelah anamnesis dilakukan pemeriksaan klinis untuk melihat adanya visus
turun, leukokoria yang merupakan gejala yang paling mudah dikenali oleh keluarga penderita,
strabismus, midriasis, hipopion, hifema, dan nistagmus (Suhardjo & Hartono, 2007).
Selain pemeriksaan klinis dilakukan pemeriksaan penunjang seperti Biopsi dengan
melakukan biopsi jarum halus, maka tumor dapat ditentukan jenisnya. Namun demikian,
tindakan ini dapat menyebabkan terjadinya penyebaran sel tumor sehingga tindakan ini jarang
dilakukan oleh dokter spesialis mata. Selanjutnya pemeriksaan dengan anestesi (Examination
under anesthesia / EUA) diperlukan pada semua pasien untuk mendapatkan pemeriksaan yang
lengkap dan menyeluruh (Hidayat, 2010). Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan diameter
kornea, tekanan intraokuler, pemeriksaan funduskopi, serta melihat pembuluh
darah/neovaskularisasi yang terjadi (Rahman, 2008). Lokasi tumor multipel harus dicatat secara
jelas. Tekanan intra okular dan diameter cornea harus diukur saat operasi (Hidayat, 2010).
USG juga dapat membantu dalam diagnosis retinoblastoma yang menunjukkan ciri khas
kalsifikasi dalam tumor (Hidayat, 2010). Sensitivitas USG mencapai 97%, dan dapat
membedakan retinoblastoma dengan retinopati prematuritas (Suhardjo & Hartono, 2007).
Pemeriksaan CT scan ini dilakukan untuk melihat adanya kalsifikasi, ukuran, serta perluasan
tumor ke tulang (Rahman, 2008; Suhardjo & Hartono, 2007). MRI lebih disukai sebagai modal
diagnostik untuk menilai nervus optikus, orbita dan otak , serta untuk melihat perluasan tumor ke
n. Optikus (Hidayat, 2010; Suhardjo &Hartono, 2007). MRI tidak hanya memberikan resolusi
jaringan lunak yang lebih baik, tapi juga menghindari bahaya terpapar radiasi. Lumbal punksi
jika diperkirakan adanya perluasan ke nervus optikus, lumbal punksi dilakukan. Lumbal punksi
tidak di indikasikan pada anak tanpa abnormalitas neurologis atau adanya bukti perluasan
ekstraokular (Hidayat, 2010). Gambaran khas histopatologis Retinoblastoma yang biasanya
dijumpai adalah adanya Flexner-Wintersteiner rosettes dan gambaran fleurettes yang jarang.
Keduanya dijumpai pada derajat terbatas pada diferensiasi sel retina. Homer-Wright rosettes juga
sering dijumpai tetapi kurang spesifik untuk Retinoblastoma karena sering juga dijumpai pada
tumor neuroblastik lain. Kalsifikasi luas biasa dijumpai (Hidayat, 2010).
Penanganan retinoblastoma sangat tergantung pada besarnya tumor, bilateral, perluasan
kejaringan ekstra okuler dan adanva tanda-tanda metastasis jauh. Penanganannya terdiri atas
pertama penanganan dengan fotokoagulasi laser sangat bermanfaat untuk retinoblastoma stadium
sangat dini. Dengan melakukan fotokoagulasi laser diharapkan pembuluh darah yang menuju ke
tumor akan tertutup sehingga sel tumor akan menjadi mati. Keberhasilan cara ini dapat dinilai
dengan adanya regresi tumor dan dilakukan sebanyak 2 sampai 3 kali dengan interval masing-
masingnya 1 bulan. Kedua dengan Krioterapi yang dapat dipergunakan untuk tumor yang
diameternya 3,5 mm dengan ketebalan 3 mm tanpa adanya vitreous seeding, dapat juga
digabungkan dengan foto koagulasi laser. Keberhasilan cara ini akan terlihat adanya tanda-tanda
sikatrik korioretina. cara ini akan berhasil jika dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval masing-
masingnya 1 bulan. Ketiga Thermoterapi dengan mempergunakan laser infra red untuk
menghancurkan sel-sel tumor terutama untuk tumor-tumor ukuran kecil. Keempat Radioterapi
dapat digunakan pada tumor-tumor yang timbul kearah korpus vitreus dan tumor-tumor yang
sudah berinvasi ke nervus optikus yang terlihat setelah dilakukan enakulasi bulbi. Dosis yang
dianjurkan adalah dosis fraksi perhari 190 - 200 cGy dengan total dosis 4000 - 5000 cGy yang
diberikan selama 4 sampai 6 minggu. Kelima dengan Kemoterapi indikasinya adalah pada tumor
yang sudah dilakukan enukleasi bulbi yang pada perneriksaan patologi anatomi terdapat tumor
pada koroid dan atau mengenai nervus optikus. Kemoterapi juga diberikan pada pasien yang
sudah dilakukan eksenterasi dan dengan metastase regional atau metastase jauh. Kemoterapi juga
dapat diberikan pada tumor ukuran kecil dan sedang untuk rnenghindari tindakan radioterapi.
Retinoblastoma study Group menganjurkan penggunaan carboplastin, vincristine sulfate dan
etopozide phosphate. Beberapa peneliti juga menambahkan cyclosporine atau dikombinasikan
dengan regimen kemoterapi carboplastin, vincristine, etopozide phosphate.
Berdasarkan ukuran tumor penatalaksanaan tumor dapat dibagi: Tumor kecil ukuran
tumor kecil dari 2 diameter papil nervus optikus tanpa infiltrasi ke korpus vitreus atau subretinal.
Dapat dilakukan fotokoagulasi laser, termoterapi, krioterapi dan kemoterapi.
Tumor medium dengan Brakiterapi untuk tumor ukuran kecil dari 8 diarneter papil
nervus optikus terutama yang tidak ada infiltrasi ke korpus vitreous juga dipergunakan untuk
tumor-tumor yang sudah mengalami regresi. Selain brakiterapi petalaksaanan tumor medium
juga dengan Kemoterapi dan Radioterapi, sebaiknya hal ini dihindarkan karena komplikasinya
dapat mengakibatkan katarak, radiasi retinopati.
Tumor besar penatalaksanaannya dengan Kemoterapi untuk mengecilkan tumor dan
ditambah pengobatan lokal seperti krioterpi dan fotokoagulasi laser yang bertujuan untuk
menghindarkan enakulasi dan radioterapi. Tindakan ini juga memberikan keuntungan apabila
terdapat tumor yang kecil pada mata sebelahnya. Tumor yang sudah meluas ke jaringan ekstra
okuler maka dilakukan eksenterasi dan diikuti dengan kemoterapi dan radioterapi. Tumor yang
sudah bermetastasis jauh, hanya diberikan kemoterapi saja (Rahman, 2008)
Komplikasi Retinoblastoma ini sangat membahayakan kehidupan bila tidak diobati
secara tepat, dapat berakibat fatal karena dalam satu sampai dua tahun setelah didiagnosis akan
bermetastase ke otak atau berrnetastase jauh secara hematogen (Paduppai, 2010).
Prognosis dan survival rate sangat tergantung pada stadium klinis tumor pada saat
didiagnosis. Apabila ditemukan dalam stadium dini maka prognosanya akan lebih baik
(Paduppai, 2010).
PENUTUP
Kesimpulan
Retinoblastoma adalah tumor retina yang terdiri atas sel neuroblastik yang tidak
berdiferensiasi dan merupakan tumor ganas retina yang ditemukan pada anak-anak terutama
pada usia dibawah 5 tahun. 40% retinoblastoma adalah herediter, 25% diantaranya bilateral dan
15% unilateral Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 250-300 kasus baru didiagnosa setiap
tahun. Tanda-tanda retinoblastoma yang paling sering dijumpai adalah leukokoria (white
pupillary reflex) yang digambarkan sebagai mata yang bercahaya, berkilat, atau cat’s-eye
appearance, strabismus dan inflamasi okular.
Diagnosis retinoblastoma di tegakan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, gambaran khas pada pemeriksaan histopatologi ditemukan Flexner-
Wintersteiner rosettes dan gambaran fleurettes yang jarang. Keduanya dijumpai pada derajat
terbatas pada diferensiasi sel retina. Penanganan retinoblastoma sangat tergantung pada besarnya
tumor, bilateral, perluasan kejaringan ekstra okuler dan adanva tanda-tanda metastasis jauh.
Retinoblastoma ini sangat membahayakan kehidupan bila tidak diobati secara tepat, dapat
berakibat fatal karena dalam satu sampai dua tahun setelah didiagnosis akan bermetastase ke
otak atau berrnetastase jauh secara hematogen Prognosis sangat tergantung pada stadium klinis
tumor pada saat didiagnosis. Apabila ditemukan dalam stadium dini maka prognosanya akan
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, F, et al, 2000. Retinoblastoma Expression in Thyroid Neoplasms.
(http://www.nature.com/modpathol/journal/v13/n5/ pdf/3880097a.pdf, 25 Desember 2012).
Ilyas, Sidarta. 2009. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Balai Penerbit FK UI: Jakarta
Jamalla, R. .2010. Retinoblastoma Registry Report-Hospital Kuala Lumpur Experience.
(http://www.crc.gov.my/documents/Journal/4%20MJM%20CRC%202010%28128-
130%29.pdf, 25 desember 2012).
Paduppai, Suliati. 2010. Characteristic Of Retinoblastoma Patiens At Wahidin Sudirohusodo
Hospital 2005-2010. The Indonesian Journal of Medical Science. Volume : 2 : 1-7
Rahman, Ardizal. 2008. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Retinoblastoma. Medical Journal of
the Andalas University. Vol: 57