encountering religious pluralism tantan iman & misi … · 2021. 2. 20. · church missionary...

27

Upload: others

Post on 23-Feb-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan
Page 2: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISMTanTangan bagi iman & misi KrisTenOleh: Harold Netland

Diterbitkan olehLITERATUR SAATJalan Anggrek Merpati 12, Malang 65141Telp. (0341) 490750, Fax. (0341) 494129website: www.literatursaat.org

Originally published by InterVarsity Press as Encountering Pluralism by Harold Netland. Copyright © 2001 by Harold Netland. Translate and printed by permission of InterVarsity Press, P.O. Box 1400, Downers Grove, IL 60515, USA. All rights reserved.

Penulis : Harold netlandalih bahasa : selviya HannaPenyunting :NecholasDavidPenataLetak :NecholasDavidgambar sampul : Lie ivan abimanyu

edisi terjemahan telah mendapat izin dari penerbit buku asli.Cetakan Pertama : 2015

DilarangmemproduksisebagianatauseluruhisibukuinitanpaizintertulisdariPenerbit.

Netland, Harold. EncounteringReligiousPluralism–TantanganbagiIman&MisiKristen/HaroldNetland––Alihbahasa,SelviyaHanna––Cet.1––Malang:LiteraturSAAT,2015. 402hlm.;22,5cm.

Judul asli: Encountering Religious Pluralism–The Challenge to Christian Faith & Mission ISBN: 978-602-7788-21-3

Page 3: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

Pergeseran sudut Pandang terhadaP agama Lain 5

Daftar Isi

Pendahuluan 7

Bagian Satu: Konteks Pluralisme Agama

1. Pergeseran Sudut Pandang terhadap Agama Lain 23

2. Kontur Masa Kini: Budaya Modernitas 59

3. Menghadapi Pemeluk Agama Lain 99

4. Agama dan Spiritualitas di Tengah Budaya Modernitas 135

5. Perjalanan John Hick menuju Pluralisme 173

Bagian Dua: Menghadapi Pluralisme Agama

6. Agama dan Kebenaran 197

7. Masalah-masalah Pluralisme 231

8. Apologetika dan Pluralisme Agama 269

9. Mengevaluasi Pandangan-pandangan Alternatif:

Mempertanyakan Kriteria 309

10. Menuju Teologi Agama Injili 335

Bibliografi Terpilih 385

Page 4: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

23PErgEsEran sudut Pandang tErhadaP agama lain

1PErgEsEran sudut Pandang tErhadaP agama lain

Untuk kali pertama semenjak kemenangan Konstantin pada 321 M dan konsekuensi yang ditimbulkannya, Gereja Kristen bergerak menuju pertemuan spiritual riil dengan agama-agama besar non-Kristen. Bukan hanya karena gereja-gereja yang lebih muda—buah pekerjaan misi modern—hidup di tengah mereka, melainkan juga karena pesatnya pertumbuhan yang saling bergantung di seantero dunia memaksa kita menerima eksistensi dan vitalitas agama-agama ini. Gereja pun menghadapi tantangan untuk mewujudkan bentuk spiritual serta nilai dan integritas intelektual yang baru.

HENDRIK KRAEMER, Religion and the Christian Faith

Sudah setengah abad berlalu sejak Kraemer menuliskan kata-kata di atas, dan kini pengamatannya terbukti benar. Saat ini beberapa isu mencuat dan menimbulkan kontroversi dalam diskusi teologis atau misiologis Kristen.

Isu-isu tersebut mempertanyakan hubungan antara kekristenan dan tradisi agama-agama non-Kristen. Sejak 1980-an telah terjadi kenaikan pesat dalam pustaka teologis mengenai pluralisme agama, baik dari segi jumlah maupun kualitas dis-kusi. Sebagian dipicu oleh kian terbukanya dunia Barat terhadap agama-agama lain. Kewaspadaan kita terhadap “penganut agama lain” dewasa ini lebih tinggi. Gereja pun terpaksa menghadapi pertanyaan baru yang cukup menganggu yang menghadirkan tantangan berat bagi keyakinan dan gaya hidup Kristen tradisional.1

Canon Max Warren, yang dua puluh satu tahun menjabat sebagai sekretaris umum

1Kesadaran akan keberagaman iman melahirkan tantangan, khususnya terhadap iman Kris-ten. Adnan Aslan, seorang sarjana Islam, mengatakan,”Sebagai orang yang dibesarkan dalam masyarakat yang memegang teguh tradisi Islam dan punya keyakinan kuat pada kebenaran Islam, isu seputar keselamatan selalu menjadi bagian dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial pribadi saya. Ketika saya pindah ke Inggris untuk mengambil gelar pascasarjana bidang Kajian Agama, di sana saya harus berinteraksi dengan berbagai orang dari beragam tradisi. Mau tak mau saya bertanya-tanya dalam hati, apakah mereka termasuk golongan yang diselamatkan atau tidak. Apabila mereka dikecualikan hanya karena tidak lahir dalam masyarakat yang sama dengan saya, sulit bagi saya menemukan pembenaran klaim-klaim soteriologis dalam agama saya.” (Adnan Aslan, Religious Pluralism in Christian dan Islamic Philosophy: The Thought of John Hick dan Seyyed Hossein Nasr [Richmond, Inggris; Curzon, 1998] hlm. ix).

Page 5: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

24 EncountEring rEligious Pluralism

Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan tepat menegaskan kegentingan situasi ini. Pada 1958, ia mengklaim bahwa sains agnostik akan berdampak berat bagi kekristenan, lebih dari tantangan agama-agama non-Kristen.2 Hampir empat puluh tahun kemudian, Gerald Anderson, seorang pengamat perkembangan misi yang tajam, menuliskan, “Tak ada isu dalam misiologi yang lebih penting, lebih sulit, lebih kontroversial, atau lebih memecah-belah di zaman ini daripada teologi agama. . . . Inilah isu teologis untuk misi pada 1990-an dan abad kedua puluh satu.”3

Penyebab merajalelanya pluralisme agama—yang mengusik gereja—sangat rumit dan bervariasi. Namun, tentu saja pandangan yang lebih terbuka pada agama lainnya berkaitan langsung dengan paparan yang meningkat pada kera-gaman agama dan efek kumulatif kekuatan sosial serta intelektual modernitas yang merusak keyakinan pada kepercayaan tradisional. Paparan yang meningkat pada keragaman budaya dan agama di dunia Barat, dipadu dengan terkikisnya iman pada Kristen ortodoks, disebabkan oleh perubahan besar-besaran dalam tatanan sosial dan intelektual. Ini turut menjelaskan mengapa pandangan pluralistis lebih memikat daripada kekristenan dan agama lainnya. Bab dua hingga bab empat akan menelisik beberapa faktor yang menyebabkan bergesernya pandangan terhadap agama lain. Namun, dalam bab ini, pertama-tama kita akan menggali natur per-ubahan-perubahan ini selama beberapa abad ke belakang.

Posisi TradisionalOrang Kristen umumnya bersikukuh bahwa Tuhan menyatakan diri-Nya secara unik dalam Kitab Suci dan melalui inkarnasi dalam diri Yesus orang Nazaret, dan bahwa umat manusia yang berdosa dapat diperdamaikan dengan Tuhan hanya melalui pribadi Yesus yang tak bercela dan karya penebusan-Nya, satu-satunya Tuhan dan Juruselamat bagi semua manusia di segala budaya. Kita dapat menga-takan bahwa inilah prinsip sentral ortodoks Kristen selama dua puluh abad. Tak heran jika di awal era modern orang Kristen Barat memandang agama lain dengan konotasi negatif seperti “penyembahan berhala”, dan penganut agama lain dianggap orang kafir yang “jiwanya terhilang” dan sangat membutuhkan Injil keselamatan Yesus Kristus.

2Dikutip dalam Wilfred Cantwell Smith, “The Christian in a Religiously Plural World,” dalam Religious Diversity: Essays by Wilfred Cantwell Smith, disunting oleh Willard G. Oxtoby (New York: Harper & Row, 1976), hlm. 7.

3Gerald H. Danerson, “Theology of Religions and Missiology: A Time of Testing,” dalam The Good News of the Kingdom: Mission Theology for the Third Millennium, disunting oleh Charles Van Engen, Dean S. Gillildan dan Paul Pierson (Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1993), hlm. 201.

Page 6: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

Pergeseran sudut Pandang terhadaP agama Lain 25

Dominasi pandangan ini sangat bisa dimengerti karena sumbernya mengakar kuat pada PB dan cara hidup gereja mula-mula. Jemaat Kristen pertama adalah monoteis tanpa kompromi yang percaya bahwa Tuhan itu kekal dan menyatakan diri-Nya melalui Mesias yang sudah lama dinanti-nantikan, yaitu Yesus dari Na-zaret. Keselamatan tersedia bagi semua orang—Yahudi dan non-Yahudi—karena karya penebusan Tuhan melalui diri Yesus Kristus. Apalagi para rasul sendiri mengajarkan bahwa keselamatan hanya dapat diperoleh melalui Yesus Kristus. Tentu saja ibadah dan kepercayaan agama lain dianggap sebagai penyembahan berhala, dan gereja mula-mula sangat mengecam praktik serta kepercayaan pagan Helenistik.4

Kita mudah berpikir bahwa masalah pluralisme agama yang membingungkan dan sedang kita hadapi saat ini belum pernah terjadi sebelumnya. Sebenarnya, tidaklah demikian.5 Dunia PB diwarnai kegaduhan sosial, intelektual, dan agama. Nilai-nilai dan kepercayaan agama Yahudi tradisional ditantang oleh pesaing yang sama kuatnya, yakni Helenistik Roma. Bahkan di wilayah Palestina sendiri orang Yahudi menghadapi kepercayaan dan cara hidup yang asing. Banyak orang Yahudi yang tersebar di seluruh Mediterania terpaksa berurusan dengan relasi antara agama Yahudi tradisional dan warisan budaya mereka, serta arus agama dan intelektual yang menyegarkan dari Yunani dan Roma. Selain tantangan be-rat dari filsafat dan kesusasteraan Yunani, mereka juga harus berjuang melawan banyak gerakan-gerakan agama populer pada masa itu—penyembahan Asclepius dan Artemis-Diana, “agama misterius” dari Isis dan Osiris, Mithras, Adonis dan Eleusis, pengultusan kaisar Romawi yang ada di mana-mana, serta banyak versi Stoikisme, Sinisme, dan Epikureanisme yang dipopulerkan.6

4Contohnya lihat Richard Hess, “Yahweh and His Asherah? Religious Pluralism in the Old Testament World”; John E. Goldingay dan Christopher J. H. Wright, “ ‘Yahweh Our God Yah-weh One’: The Oneness of God in the Old Testament”; dan Thorsten Moritz, “ ‘Summing Up All Things’: Religious Pluralism dan Universalism in Ephesians”—semua dalam One God, One Lord: Christianity in a World of Religious Pluralism, disunting oleh Danrew D. Clarke dan Bruce W. Winter, sebagai penyunting kedua (Grand Rapids, Mich.: Baker, 1992). Untuk penelitian komprehensif tentang data alkitabiah yang relevan dengan pluralisme agama, baca D. A. Car-son, The Gagging of God: Christianity Confronts Pluralism (Grand Rapids, Mich.: Zondervan, 1996), bab 5-7.

5Lihat Robert Wilken, “Religious Pluralism and Early Christian Thought,” dalam Remember-ing the Christian Past (Grand Rapids, Mich.: Eerdmans, 1995), bab 2

6Lihat David W. J. Gill, “Behind the Classical Facade: Local Religions in the Roman Empire,” dan Bruce Winter, “In Public and in Private: Early Christians dan Religious Pluralism”—keduanya dalam One God, One Lord. Lihat juga James S. Jeffers, The Greco-Roman World of the New Testament Era (Downers Grove, Ill.: InterVarsity Press, 1999), bab 5.

Page 7: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

26 EncountEring rEligious Pluralism

John Ferguson mengamati bahwa sikap banyak orang di abad pertama masa Kekaisaran Romawi ditandai oleh toleransi terhadap keyakinan dan cara hidup penganut agama lain, akomodasi, serta sinkretisme.7 Konsep “banyak jalan me-nuju Tuhan” melalui tradisi khusus dari masing-masing kebudayaan itu tersebar luas.8 Pengecualian yang luar biasa dari pola umum ini adalah orang Yahudi dan orang Kristen mula-mula karena monoteisme Yahudi dan Kristen yang kuat tidak menyisakan ruang untuk menyambut tradisi Helenisme dan agama Romawi yang menyembah banyak dewa. Sejak awal, pergerakan minoritas dalam tubuh kekai-saran ini menuai permusuhan dari semua pihak. Jemaat pertama diserang oleh kalangan Yahudi sebagai bidat, dianiaya Romawi sebagai gerakan yang menghasut, ditentang massa karena menolak kultus populer dan agama mistik, serta diterta-wakan kaum filsuf karena pandangan mereka yang sederhana.9 Dalam lingkungan seperti inilah orang Kristen, tanpa kenal kompromi, menyatakan Yesus Kristus sebagai satu-satunya Tuhan dan Juruselamat umat manusia.

Kendati selalu ada yang menerima pandangan yang lebih akomodatif, tak bisa disangkal bahwa pandangan tradisional—yang menganggap kekristenan sebagai satu-satunya agama yang benar dan Yesus Kristus satu-satunya Juruselamat—tetap mendominasi gereja Katolik Roma dan Protestan hingga abad kesembilan belas. Pandangan ini mendorong munculnya gerakan-gerakan misionaris dari komunitas Katolik dan Protestan.

Selama Abad Pertengahan, Katolik menyatakan bahwa siapa pun di luar gereja akan menuai kutukan kekal—sikap yang dihubungkan dengan formula extra eccle-siam nulla salus (tak ada keselamatan di luar gereja).10 Diperkenalkan oleh Cyprian

7John Ferguson, Religions of the Roman Empire (Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1970), bab 12.

8Menimbang pernyataan Symmachus—seorang prefek (pejabat khusus yang ditunjuk Kaisar)—di penghujung abad empat, “Setiap orang memiliki jubah dan tata cara beragamanya masing-masing; sebab Sang Mahatinggi telah menugaskan agama-agama yang berbeda untuk menjadi penjaga di tiap-tiap kota . . . sangat masuk akal bahwa apa pun yang disembah manusia sebenarnya adalah ‘sesuatu’ yang satu dan sama. Kita menatap bintang-bintang yang sama, diselimuti langit yang sama, dan dilingkupi semesta yang sama. Jadi, apa perlunya membahas ‘tata cara beribadah dalam rangka menemukan kebenaran’? Jalan menuju penyingkapan rahasia besar itu bukan hanya satu” (Relatio 8-10, seperti dikutip dalam Thomas Wiedemann, “Polytheism, Monotheism, and Religious Coexistence: Paganism and Christianity in the Roman Empire,” dalam Religious Pluralism dan Unbelief: Studies Critical dan Comparative, disunting oleh Ian Hamnett [London: Routledge, 1990], hlm.64-65).

9Lihat E. C. Dewick, The Christian Attitude Toward Other Religions (Cambridge: Cambridge University Press, 1953), hlm. 101-2.

10Diskusi seputar frasa extra ecclesiam nulla salus dalam teks gereja Roma Katolik, serta variasi arti yang melekat padanya bisa dilihat di Jacques Dupuis, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism (Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1997), hlm. 86-101.

Page 8: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

Pergeseran sudut Pandang terhadaP agama Lain 27

dalam abad ketiga dan dirumuskan di Konsili Lateran Keempat pada 1215, doktrin ini diperjelas dan dituangkan sekaku mungkin dalam Konsili Florence pada 1442:

[Konsili] sungguh memercayai, mengakui, dan menyatakan bahwa siapa pun yang tidak hidup dalam Gereja Katolik, bukan hanya kaum penyembah berhala, melainkan juga orang Yahudi, bidat, dan kaum pemecah belah, tidak dapat me-nikmati kehidupan yang kekal, tetapi akan masuk ke “api abadi yang dipersiapkan bagi setan dan malaikat-malaikatnya”, kecuali sebelum hidupnya berakhir, telah bergabung dengan kawanan domba Allah. . . . Tak seorang pun, sebaik dan se-banyak apa pun amal sedekahnya, bahkan sekalipun darahnya tertumpah demi nama Kristus, dapat diselamatkan kecuali ia tinggal dalam perlindungan dan kesatuan Gereja Katolik.11

Akan tetapi, Jacques Dupuis mengingatkan kita bahwa target utama rumusan ini adalah orang Yahudi, bidat, dan pihak lain yang bersalah karena telah mendengar pengajaran gereja namun sengaja menolaknya.12

Kaum Protestan pun bersikukuh bahwa orang yang tidak menerima Injil Yesus Kristus akan terhilang selamanya, dan asumsi inilah yang mendorong misionaris mula-mula mengabarkan Injil Kristus kepada suku-suku terpencil di Tiongkok, Afrika, Amerika Latin, serta kepulauan Pasifik. Hudson Taylor, misionaris besar yang melayani di Tiongkok, dengan gamblang mengungkapkan pandangan ini saat menantang Student Volunteer Movement di Detroit pada 1894: “Ada jiwa-jiwa sebanyak curahan air terjun Niagara yang deras, mengalir menuju kegelapan di Tiongkok. Setiap hari, setiap minggu, setiap bulan mereka terhilang! Setiap bulan, satu juta orang di Tiongkok meninggal tanpa mengenal Tuhan.”13 Kita tak akan bisa memahami upaya penginjilan Protestan yang luar biasa di abad kesembilan belas, termasuk karya para pionir misionaris seperti William Carey, Adoniram Judson, David Livingstone, dan Hudson Taylor, tanpa memahami alasan yang melandasi perjuangan mereka: keselamatan hanya didapat dalam Pribadi dan karya Yesus Kristus, dan mereka yang meninggal tanpa mengenal Injil Kristus yang menyela-matkan akan mengalami keterpisahan kekal dari Allah.

11Enchiridion Symbolorum, penerjemah Roy J. Defarrai, dalam The Sources of Catholic Dogma, disunting Henry Denziger (St. Louis: Herder, 1957), hlm. 230.

12Lihat Dupuis, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, hlm. 96-99.13Dikutip dalam Grant Wacker, “Second Thoughts on the Great Commission: Liberal Pro-

testants and Foreign Mission, 1890-1940,” dalam Earthen Vessels: American Evangelicals and Foreign Missions, 1880-1980, disunting Joel A. Carpenter dan Wilbert R. Shenk (Grand Rapids, Mich.: Eerdmans, 1990), hlm. 285.

Page 9: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

28 EncountEring rEligious Pluralism

Misi Modern Mula-mula dan Penganut Agama LainDari bahasan-bahasan terkini tentang pluralisme, mungkin kita mengira baru di abad kedua puluh teolog Barat mengalami masalah saat berinteraksi dengan agama lain. Padahal, tentu saja, masalah agama lain telah mengemuka di antara misionaris sejak awal abad kesembilan belas. Bahkan, pandangan teolog masa kini juga kerap mencuat dalam diskusi-diskusi misiologis terdahulu.

Meskipun William Carey bukan misionaris Protestan pertama, gerakan misionaris modern kerap dianggap bermula sejak keberangkatannya ke India. Ketika banyak orang meyakini bahwa Amanat Agung Yesus dalam Matius 28:19 “Jadikanlah semua bangsa milik-Ku” telah dipenuhi oleh para rasul dan, karena itu, tak lagi perlu diterapkan, Carey menantang institusi teologi pada 1792 dengan membantah bahwa perintah Kristus belum terpenuhi seutuhnya dan masih meng-ikat gereja.14 Beberapa dekade kemudian, banyak lembaga misi yang dibentuk dan sejumlah besar misionaris Eropa menyebar ke seluruh Asia dan Afrika untuk membawa terang Injil bagi orang-orang yang jauh dari Kristus. Sentimen upaya misionaris mula-mula ini direkam dalam komentar George Burder, pendukung misi, dalam upacara pelantikan Missionary Society (kemudian menjadi London Missionary Society):

Saya berdiri sebagai pendukung dari ribuan, bahkan jutaan jiwa yang binasa karena kurangnya pengetahuan. Saya berdiri untuk membela mereka demi Kristus yang sekian lama diabaikan oleh kita semua—membela kepentingan orang yang malang—membeberkan di hadapan Anda sekalian kondisi mereka yang menyedihkan—meneruskan jerit tangis sengsara mereka ke telinga dan hati Anda—Oh, semoga itu merasuk hingga ke hati kita—“Datanglah—datanglah, dan tolonglah kami.”15

14William Carey, An Enquiry into the Obligations of Christians, to Use Means for the Con-version of the Heathens (1792). Kutipan dari Enquiry oleh Carey telah dicetak ulang dalam Classical Texts in Mission and World Christianity, disunting Norman E. Thomas (Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1995), hlm. 56-57.

15Dikutip dalam David Pailin, Attitudes to Other Religions: Comparative Religion in Seven-teenth and Eighteenth-Century Britain (Manchester, U.K.: Manchester University Press, 1984), hlm. 140. Ciri khas Burden pada masa itu adalah campuran antara motivasi teologis dengan misi yang bertujuan ‘memperadabkan’ kaum kafir. Dalam khotbahnya, Burden berkata, “Mereka yang terbiasa dengan peradaban perlu tahu bahwa, secara umum, suku-suku kaum kafir hidup dalam keterbelakangan peradaban yang tak terbayangkan. Saya punya catatan lain, khususnya tentang suku asli dari pulau-pulau Laut Selatan. Beberapa kebiasaan mereka tak layak diceritakan kepada umat kristiani. Kehidupan di kota pantai Terra del Fuego masih lebih baik, namun hanya sedikit lebih beradab daripada budaya mereka yang paling brutal. Tidakkah kita berbelas kasihan terhadap orang-orang malang yang direndahkan di kalangan kelas masyarakat ini, dan melihat betapa luasnya manfaat yang didapat dalam usaha-usaha menuju masyarakat beradab, atau kalau boleh saya katakan, upaya memanusiakan mere-ka?” (Dikutip dalam Pailin, Attitudes to Other Religions, hlm. 281-82. Dengan tekanan pada beberapa teks asli).

Page 10: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

Pergeseran sudut Pandang terhadaP agama Lain 29

Ketika dunia Barat semakin menyadari besarnya jumlah orang yang tak per-nah mendengar Injil Yesus Kristus, kekhawatiran akan keselamatan “orang kafir” pun membanjir, dan ribuan orang membaktikan hidup dan diri mereka ke ladang misi di negeri lain. Mencoba memahami motivasi orang lain selalu berbahaya, dan niscaya para misionaris di abad kesembilan belas—sama seperti orang Kristen masa kini—didorong oleh beraneka motivasi. Jelas, ada alasan yang mulia. Namun, David Bosch menilai dengan benar bahwa “motivasi utama para misionaris itu adalah kepedulian yang tulus pada nasib sesama; mereka tahu bahwa kasih Tuhan tercurah dalam hati mereka dan mereka rela mengorbankan nyawa demi Yesus yang telah mati bagi mereka.”16 Orang-orang hebat seperti A. T. Pierson, John R. Mott, Robert Wilder, A. B. Simpson, C. I. Scofield, Robert Speer, T. J. Bach, dan D. L. Moody menginspirasi generasi-generasi pemimpin dan praktisi misi selanjutnya.

Meskipun ada berbagai perbedaan kecil, di dalam tubuh misi Protestan telah dibentuk konsensus mengenai teologi dasar dan isu strategis sebelum kontroversi fundamentalis melawan modernis terjadi pada 1920-an dan 1930-an. James Pat-terson mencatat bahwa, sebelum kontroversi itu merebak, kebanyakan misionaris Protestan menerima pernyataan dari Dewan Misi Luar Negeri Gereja Presbiterian di Amerika Serikat pada 1920. Isinya demikian: “Tujuan tertinggi misi luar negeri adalah memperkenalkan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat semua orang serta mengajak mereka untuk menjadi murid-murid-Nya.”17 Ketuhanan Yesus Kristus sebagai inkarnasi unik Tuhan umumnya tidak diragukan. Lagi pula, kebanyakan misionaris Protestan memang memandang negatif kepercayaan dan cara hidup orang non-Kristen, meski banyak juga yang mengakui elemen-elemen kebenaran dan kebaikan di dalamnya. Keselamatan hanya bisa diperoleh mela-lui Yesus Kristus, dan berapa pun banyaknya kebaikan sosial dan budaya agama lain, mereka tetap dianggap bertentangan dengan pernyataan Allah dalam diri Kristus. Tanpa mengabaikan dimensi sosial dalam misi,18 misionaris Protestan memfokuskan diri untuk memberitakan keselamatan kepada individu-individu, dan memandang budaya non-Barat sebagai perintang jalan mereka. Agama non-Kristen dipandang sebagai belenggu budaya yang memasung para penganutnya. D. L. Moody menyuarakan hal ini saat ia berkata, “Saya memandang dunia ini

16David Bosch, Transforming Mission: Paradigm Shifts in Theology of Mission (Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1991), hlm. 287.

17Seperti dikutip dalam James Alan Patterson, “The Loss of a Protestant Missionary Consensus: Foreign Missions and the Fundamentalist-Modernist Conflict,” dalam Earthen Vessels, hlm. 74.

18James Patterson menyatakan,“Yang sangat menarik—dalam konteks sorotan dan serang-an kaum fundamentalis terhadap ‘penginjilan sosial’—adalah, sebelum Perang Dunia I para promotor misi tidak melihat dikotomi antara penginjilan dan misi sosial.” Patterson, “Loss of a Protestant Missionary Consensus,” hlm. 76

Page 11: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

30 EncountEring rEligious Pluralism

sebagai kapal karam. Tuhan memberi saya sekoci penolong dan berkata pada saya, ‘Moody, selamatkan semuanya yang kamu bisa.’”19 Pernyataan berikut dilansir pada 1896 oleh Judson Smith, anggota Dewan Komisioner Misi Luar Negeri Amerika. Boleh dikatakan bahwa ini mewakili sikap misionaris Protestan abad kesembilan belas terhadap agama non-Kristen:

Misionaris tidak bertujuan mengubah orang-orang di Asia Timur menjadi orang Amerika atau Eropa, atau membawa mereka di bawah kekuasaan politik dunia Barat yang hebat, atau memaksakan peradaban kita terhadap mereka. . . . Tujuan misionaris jauh lebih dalam dan menyentuh kebutuhan yang lebih penting; kita ingin mengkristenkan orang-orang ini, menembus hati dan hidup mereka dengan kebenaran dan semangat Injil, membiarkan Yesus Kristus bertakhta dalam jiwa mereka. . . . Tidak ada iman yang tak layak, atau tak ditakdirkan, untuk diganti dengan kekristenan. Janganlah kita berbagi dunia dengan Islam, atau dengan Buddha, atau dengan sistem agama mana pun. Hanya ada satu agama yang benar bagi manusia di Asia Timur, dan juga di negeri Barat, di abad pertama dan di abad kedua puluh, dan untuk selama-lamanya hingga berakhirnya sang waktu.20

Misi dan KolonialismeSaat merenungkan misi dan penganut agama modern lain, kita harus memikirkan sejenak pertanyaan mengenai misi dan kolonialisme. Kisah misi Protestan dan kolonialisme adalah topik yang rumit dan sering disalahartikan untuk mendukung kepentingan si pencerita. Dalam memahami isu ini, jangan sampai ambiguitas masa lalu memengaruhi kita karena kita bisa memetik pelajaran dari beberapa abad silam.21 Meski demikian, beberapa hal cukup jelas.

Melalui karya ribuan pionir yang rela berkorban dan tak mementingkan diri sendiri, Injil menyebar ke seluruh dunia dalam arti harfiah, dan gereja berdiri di semua benua. Pada awal abad kedua puluh, Kristen, dibandingkan agama-agama lainnya, telah menjadi agama yang mendunia. Namun, gerakan misionaris modern tidak bisa lepas dari imperialisme Barat pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas. Hal ini mewariskan sesuatu yang justru membuat pesona pluralisme agama

19Seperti dikutip dalam Bosch, Transforming Mission, hlm. 318.20Judson Smith, “Foreign Missions in the Light of Fact,” North American Review (January

1896): 25; dikutip dalam Robert E. Speer, The Finality of Jesus Christ (New York: Revell, 1933), hlm. 161- 62. Volume ini berisi kumpulan ceramah di Seminari Princeton Theological dan Seminari Southern Baptist Theological sepanjang 1932 dan 1933, yang dengan sangat fasih dan mengesankan membela cara pandang tradisional—harta yang hampir dilupakan dalam perdebatan-perdebatan di kemudian hari.

21 Bahan diskusi yang berguna dan berkaitan dengan subjek ini bisa ditemukan dalam Bosch, Transforming Mission, hlm. 226-30, 302-13 William R. Hutchison, Errand to the World: American Protestant Thought and Foreign Missions (Chicago: University of Chicago Press, 1987), khususnya bab 7; Stephen Neill, Colonialism and Christian Missions (New York: McGraw-Hill, 1966); dan Brian Stanley, The Bible and the Flag: Protestant Missions and British Imperialism in the Nineteenth and Twentieth Centuries (Leicester, Engldan: Inter-Varsity Press, 1990).

Page 12: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

Pergeseran sudut Pandang terhadaP agama Lain 31

hari ini makin kuat. Banyak orang di Barat terpikat pada pluralisme karena rasa bersalah mendalam pasca-penjajahan—termasuk cara penjajah memperlakukan orang-orang non-Barat yang membuat kita merasa amat sangat bersalah.22 Na-mun, yang kerap terjadi saat ini adalah, kita menebus dosa masa lalu kolonialisme dengan begitu saja merangkul budaya serta agama non-Barat. Kita bahkan tidak mau berkomentar negatif tentang kepercayaan dan cara hidup mereka. Sentimen inilah yang dengan alamiah menyebabkan pluralisme agama tampak menarik.

Misi memang terlanjur terkait dengan penjajahan Barat. Dalam banyak kasus, ada hubungan yang disengaja ataupun tidak antara agenda politis, ekonomi, dan militer, dengan gerakan misionaris. Mengingat hubungannya yang kuat dengan budaya Eropa dan Amerika, serta kadang ditegaskan melalui kerja sama misio-naris dengan institusi penjajahan, kekristenan mau tak mau disamakan dengan agama dunia Barat. Agama Kristen otomatis dianggap sama dengan manfaat serta pertanggungjawaban budaya Barat dan warisan penjajahan. Misionaris abad kesembilan belas merupakan produk zaman itu, sama seperti kita pun dibentuk oleh lingkungan kita hari ini, dan mereka menghadapi berbagai prasangka. Di benak banyak orang, tiga C—Christianity (kekristenan), commerce (perdagangan), dan civilization (peradaban)—adalah “berkat” yang ingin dunia Barat “bagikan” dengan seisi dunia. Stephen Neill mengamati:

Misionaris di abad kesembilan belas, pada tahap tertentu, mengalah pada kebencian penjajah. Hanya orang Barat yang memahami dunia seutuhnya; ia bijak dan baik, dan anggota ras lainnya, selama mereka di-Barat-kan, mungkin akan memiliki kebijaksanaan dan kebaikan yang setara. Namun, orang Barat-lah pemimpinnya, dan akan terus seperti itu untuk jangka waktu yang lama, mungkin selama-lamanya.23

Bagaimanapun, seperti yang diingatkan David Bosch, “sangat tidak layak bila kita menganggap misi hanya sekadar sisi rohani penjajahan dan kita senantiasa harus melayaninya dengan setia.”24 Misionaris perorangan dan perantara misi menjalin hubungan yang ambivalen dengan institusi dan kebijakan penjajahan. Misionaris tentu dilindungi oleh kekuasaan penjajah, tetapi lembaga penjajah seperti East India Company pun sering menunjukkan sikap bermusuhan terhadap para misionaris, yang mereka anggap subversif karena pelayanan mereka terhadap

22Ketika merefleksikan kesalahan-kesalahan para pendahulu kita, dengan mudah ingatan kita tertuju pada tulisan pedas Lesslie Newbigin, “Tentu lebih nyaman dan ringan untuk mence-ritakan dosa para leluhur daripada mengakui dosa sendiri.” Lesslie Newbigin, A Word in Season: Perspectives on Christian World Missions (Grand Rapids, Mich.: Eerdmans, 1994), hlm. 122.

23Stephen Neill, A History of Christian Missions, edisi revisi (Hammondsworth, U.K.: Pe-nguin, 1986), hlm. 220.

24Bosch, Transforming Mission, hlm. 310.

Page 13: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

32 EncountEring rEligious Pluralism

pribumi akan mengusik kepentingan politik dan ekonomi penjajah.25 Bosch me-ngutip komentar gubernur Perancis di Madagaskar mengenai misionaris, “Kami hendak menyiapkan kaum pribumi ini untuk menjadi pekerja kasar; kalian malah mengubah mereka menjadi manusia.”26 Selain itu, Vinoth Ramachandra menga-mati bahwa di India, di mana kaitan antara kolonialisme dan misi tampak begitu jelas, misi Kristen tidak bisa dianggap sebagai penjajahan religius semata.

Pada mata pelajaran India, misi Kristen biasanya dianggap antek-antek kolo-nialisme. Padahal, sesungguhnya, misi Kristen menjadi tanah yang subur bagi gerakan pembaruan Hindu modern dan nasionalisme India. Kebanyakan dari pemimpin intelektual dan politik India pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh adalah lulusan sekolah dan kampus Kristen. Gandhi mungkin mengaku dibesarkan dalam atmosfer rohani Bhagavad Gita, tetapi bukan dari teks tersebut ia mengambil falsafah ahimsa (tanpa kekerasan) dan satyagraha (kekuatan kebenaran). Pengaruh terbesar dalam diri Gandhi datang dari warisan tradisi Jainisme dan Perjanjian Baru, terutama Khotbah di Bukit yang termuat dalam karya-karya Tolstoy. Orang-orang Kristen di India telah lama menjadi garda terdepan gerakan emansipasi wanita. Lembaga misionaris dari Inggris dan Amerika Serikat pun sering menjadi perintis di tempat yang enggan dipijak pemerintah kolonial karena takut membangkitkan amarah kaum pribumi.27

Akan tetapi, hubungan antara kolonialisme dan misi memang ambigu. Bah-kan, di mata banyak orang, kekristenan dan dunia Barat nyaris tak bisa dibedakan. Apa yang misionaris pahami sebagai konfrontasi antara kebenaran dan kesalahan, kerajaan Allah versus kekuasaan Setan, kerap dipahami sebagai benturan antara penjajah Barat dengan cara hidup kaum pribumi. Warisan yang tragis dari zaman ini terus menghantui debat-debat tentang pluralisme agama.

25Neill, Colonialism and Christian Missions, hlm. 83-93.26Bosch, Transforming Mission, hlm. 311. Dengan tekanan pada beberapa bagian teks

asli. Bosch menjelaskan, “Para misionaris melakukan misinya dengan berbagai cara. Mereka berteman dengan masyarakat lokal, berkunjung ke rumah-rumah warga. Mereka menyatakan bahwa Allah begitu mengasihi manusia dan mengirimkan Anak-Nya yang tunggal untuk me-nebus mereka, dan berusaha meyakinkan bahwa, meski mereka menerima perlakuan buruk dari orang kulit putih, sesungguhnya mereka berharga di mata Yang Mahakuasa. Mereka mendemonstrasikan hal itu dengan membesuk orang-orang sakit dan menyembuhkannya, serta menawarkan pendidikan untuk anak laki-laki dan perempuan. Para misionaris juga bel-ajar bahasa lokal untuk membuktikan bahwa mereka menghormati masyarakat lokal. Dapat disimpulkan bahwa, para misionaris ini memberdayakan masyarakat yang dilemahkan dan dimarginalkan oleh sistem asing.”

27Vinoth Ramachandra, Faiths in Conflict? Christian Integrity in a Multicultural World (Leicester, Engldan: Inter-Varsity Press, 1999), hlm. 78-79.

Page 14: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

Pergeseran sudut Pandang terhadaP agama Lain 33

Munculnya Motif MenyempurnakanIronisnya, meski pergerakan misionaris modern mendulang sukses yang tak pernah terjadi sebelumnya dan Injil Yesus Kristus tersebar ke seantero bumi, perubahan drastis yang terjadi di Eropa mengubah pemahaman jemaat Kristen mengenai dirinya dan misinya di dunia ini untuk selama-lamanya. Asumsi penting bahwa Tuhan menyatakan diri-Nya secara unik dalam Alkitab dan bahwa seluruh isi Alkitab dapat dipercaya itu terkikis oleh pandangan kritis terhadap Kitab Suci dan kesimpulan sains Darwinian. Keunikan Yesus Kristus ditantang oleh disiplin ilmu sejarah agama yang kian berkembang. Prasangka umum bahwa orang non-Eropa tidak beradab, runtuh saat dunia Barat makin sering berhubungan dengan budaya-budaya yang menakjubkan dari Tiongkok, Jepang, India, dan Amerika Latin.

Mulai sekitar 1840, misi Protestan kian terlibat dalam sengketa teologi agama, dan memuncak pada kontroversi yang lebih sengit pada 1920-an dan 1930-an.28

Perselisihan ini disebabkan banyak faktor, termasuk keterbukaan yang lebih besar pada universalisme soteriologi dan penolakan ajaran tradisional mengenai neraka,29 bertambahnya kepekaan para misionaris terhadap kultur pribumi dan konteks-tualisasi Injil, serta refleksi misionaris atas pengalaman mereka sendiri dengan orang Muslim, Hindu, dan Buddha yang saleh. Di Eropa dan Amerika Utara, teolog tertentu menyajikan landasan teologis dari pandangan yang lebih terbuka terhadap agama lainnya. Teolog Anglikan F. D. Maurice, contohnya, terkenal karena tulisannya yang berjudul The Kingdom of Christ (1842). Di situ ia mene-gaskan “kehadiran aktual” dari kerajaan Kristus dalam dunia sebagai kenyataan masa kini. Ia pun menerbitkan Kuliah Boyle-nya dari 1845-1846 menjadi buku The Religions of the World and Their Relations to Christianity.30 Maurice memiliki pandangan yang sangat positif terhadap agama non-Kristen dan mengakui keha-diran serta pernyataan Tuhan dalam agama-agama tersebut. Jadi, Islam, Hindu,

28Studi definitif tentang diskusi agama-agama lain selama periode ini oleh Kenneth Crack-nell, Justice, Courtesy, dan Love: Theologians and Missionaries Encountering World Religions, 1846- 1914 (London: Epworth, 1995). Lihat juga Patterson, “Loss of a Protestant Missionary Consensus.”

29Lihat David J. Powys, “The Nineteenth- and Twentieth-Century Debates About Hell and Universalism,” in Universalism and the Doctrine of Hell, disunting Nigel M. de S. Cameron (Grand Rapids, Mich.: Baker, 1992), hlm. 93-138; dan Geoffrey Rowell, Hell and the Victorians: A Study of the Nineteenth-Century Theological Controversies Concerning Eternal Punishment and the Future Life (Oxford: Clarendon, 1974).

30Frederick Denison Maurice, The Religions of the World and Their Relations to Christianity (London: J. W. Parker, 1847). Mengenai teologi agama dari Maurice, lihat Cracknell, Justice, Courtesy, and Love, bab 2. Cracknell menjuluki Maurice sebagai “pemikir profetis abad sem-bilan belas; orang pertama yang mensyaratkan kepada setiap orang Kristen tentang prinsip keadilan, kesantunan, dan kasih, saat mereka merenungkan tentang eksistensi agama-agama lain ” (hlm. 35).

Page 15: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

34 EncountEring rEligious Pluralism

dan Buddha tidak boleh langsung ditolak, tetapi harus diakui melayani kehendak Tuhan. Misionaris yang berhadapan dengan agama lain harus membangun di atas “penggalan-penggalan kebenaran” yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, bagi Maurice, tidak ada keraguan bahwa Kristus mewakili kemuliaan Tuhan dan menyatakan diri-Nya dengan jelas. Apa yang tidak terpenuhi dalam agama lain itu disempurnakan di dalam kekristenan. Teolog lainnya seperti B. F. Westcott, A. M. Fairbairn, Alexander V. G. Allen dan Charles Cuthbert Hall, juga membujuk teolog dan misionaris untuk mengambil pandangan yang lebih positif terhadap agama-agama lain.31

Pandangan positif ini kian merebak pada pergantian abad saat misionaris Thomas Ebenezer Slater dan Robert Allen Hume di India, Timothy Richard di Ti-ongkok, Arthur Llyod di Jepang, dan masih banyak lagi,32 mendorong keterbukaan yang lebih besar pada keimanan lain. Komitmen pada Kristus tidak mengharuskan kita menolak agama lain sebagai “tempat berkuasanya kegelapan”. Apresiasi pada kekayaan budaya Asia pun meningkat. Rasa malu dan tidak puas karena eratnya kaitan kekristenan dan kolonialisme, juga penghargaan yang meningkat pada keindahan budaya India, Tiongkok, dan Jepang, melahirkan pola pikir teologis yang lebih terbuka. Jenis misionaris baru ini menunjukkan sikap yang lebih meng-hormati dan menghargai penganut agama lain. Mereka mengakui kebenaran dan keindahan yang ditemukan dalam iman kepercayaan lain sebagai kebenaran yang belum sempurna dan akan disempurnakan oleh pernyataan Kristus. Perspektif yang lebih bersahabat ini dijuluki “pandangan yang menyempurnakan” agama lain karena ketidaksempurnaan dalam agama lain disempurnakan di dalam kekristenan.

Kendati bukan ia yang pertama kali menyuarakan pandangan ini, motif penyempurnaan melekat erat dengan John Nicol Farquhar (1861-1929). Terlahir di Aberdeen dan dididik di Oxford, Farquhar tiba di India pada 1891 sebagai misionaris utusan London Missionary Society. Setelah satu periode mengajar di kampus Society di Kalkuta, ia terjun dalam penginjilan, menulis dan mengajar di bawah naungan YMCA India sampai kesehatan yang memburuk memaksanya meninggalkan India pada 1923. Dalam enam tahun terakhir hidupnya, Farquhar menjadi profesor perbandingan agama di University of Manchester.

31Kontribusi tiap teolog dalam teologi agama-agama didiskusikan oleh Cracknell dalam Justice, Courtesy, and Love, bab 2.

32Untuk diskusi tentang para misionaris ini, lihat Cracknell, Justice, Courtesy, and Love, bab 3.

Page 16: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

Pergeseran sudut Pandang terhadaP agama Lain 35

Di antara banyak tulisan Farquhar, yang paling menonjol adalah The Crown of Hinduism,33 karya kreatif yang menyandingkan “semua poin penting Hinduisme—sebagai agama dan tatanan sosial—dengan pesan kekristenan.”34 Farquhar merasa bahwa para misionaris Kristen harus bisa menghargai kebudayaan dan agama India. Kekristenan semestinya ditawarkan bukan sebagai sesuatu yang menggan-tikan tradisi Hindu secara radikal, melainkan menggenapi atau menyempurnakan apa yang telah ada.35 Farquhar ingin sekali mengembangkan pola pikir teologis yang lebih menghargai Hinduisme. Model teoretis yang jamak digunakan untuk memahami agama saat itu lebih mengupas perkembangan bertahap, dari agama “primitif ” menjadi agama monoteis yang lebih “beradab”, yang berkulminasi (secara natural) dalam kekristenan.36 Farquhar meyakini pandangan ini dan menganggap Hinduisme tidaklah salah, tetapi kurang lengkap, sebuah agama “kurang berkem-bang” yang layak dihargai tetapi harus dilengkapi oleh kekristenan.

Namun, Farquhar tidak pernah memandang Hinduisme dan kekristenan se-bagai opsi yang sama sahihnya. Ia bersikukuh bahwa di dalam Kristus-lah Tuhan menyatakan diri-Nya dan hanya dalam Kristus-lah manusia, apa pun agama atau kebudayaannya, akan benar-benar menemukan kesempurnaan. Sebagai penginjil, Farquhar pun mengklaim, “Tugas kita adalah memberitakan Injil Kristus dan me-menangkan jiwa-jiwa bagi-Nya, dan hanya kepada-Nya setiap elemen dari peker-jaan kita harus tunduk dan patuh.”37 Kendati ia mengakui adanya kebenaran dan harapan yang luhur dalam Hinduisme, Farquhar menegaskan bahwa ada banyak

33J. N. Farquhar, The Crown of Hinduism (1913; dicetak ulang, New Delhi: Oriental Books Reprint Corporation, 1971).

34Eric J. Sharpe, Not to Destroy but to Fulfill: The Contribution of J. N. Farquhar to Protestant Missionary Thought in India Before 1914 (Uppsala, Sweden: Gleerup, 1965), hlm. 330.

35Farquhar menyatakan, “Seluruh studi tentang Hinduisme dan semua hal yang kita tulis ataupun katakan berkaitan dengan subjek ini haruslah dalam semangat simpatik. Saya meya-kini bahwa serangan-serangan yang tak terhitung jumlahnya terhadap umat Kristen di India disebabkan oleh perlakuan tak simpatik terhadap Hinduisme. Walaupun di dalam beberapa agama terdapat aspek penghukuman, sangat tidak bijak jika kita memasukkan tema tersebut dalam kurikulum dan traktat-traktat kita. Hal ini akan menyebabkan para pendengar kita jadi merasa terasing. . . . Tujuan kita adalah meyakinkan hati dan pikiran para pendengar, dan akan jauh lebih efektif bila kita menghindari pola lama yang suka mengkritik dan justru men-coba membawa para pendengar Hindu kepada kebenaran melalui jalan lain.” (J. N. Farquhar, “Missionary Study of Hinduism” [makalah dipaparkan dalam Calcutta Missionary Conference, Mei 1905], dikutip dalam Eric J. Sharpe, “J. N. Farquhar,” dalam Mission Legacies: Biographical Studies of Leaders of the Modern Missionary Movement, disunting Gerald H. Danerson et al. [Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1994], hlm. 293).

36Pandangan dunia Barat terhadap budaya dan agama lain pada masa itu banyak di-pengaruhi oleh pandangan antropologi evolusioner Edward Burnett Tylor. Lihat J. Samuel Preus, Explaining Religion: Criticism and Theory from Bodin to Freud (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1987), Bab 7.

37Farquhar, “Missionary Study of Hinduism,” hlm. 298-99.

Page 17: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

36 EncountEring rEligious Pluralism

cara hidup Hindu yang bertentangan dengan kondisi ideal dan akhirnya merosot ke penyembahan berhala. Lebih lanjut lagi, saat berbicara tentang penyempurnaan, Farquhar tidak bermaksud mendorong para misionaris Kristen untuk menerima mentah-mentah keyakinan dan cara hidup Hindu. Elemen-elemen dasar dalam sudut pandang Hindu, seperti reinkarnasi dan karma, adalah keliru dan wajib ditolak. Seperti yang dicatat Eric Sharpe, bagi Farquhar “penyempurnaan” sesung-guhnya berarti “penggantian”, jadi kekristenan harus membangun di atas—tapi ujung-ujungnya menggantikan—Hinduisme.38 Kekristenan menyempurnakan Hinduisme dalam arti menyediakan jawaban utuh dari pertanyaan-pertanyaan yang mencuat, namun gagal dijawab dalam Hinduisme. Lebih jauh, hanya dalam Yesus Kristus-lah India akan menemukan sumber daya untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya saat berjuang untuk menemukan tempat dalam dunia modern. Oleh karena itu, Farquhar menyimpulkan The Crown of Hinduism dengan kata-kata ini:

Kami telah melihat bagaimana Kristus menyempurnakan setiap harapan dan tujuan termulia Hinduisme. Sedikit renungan dari bahan-bahan yang terkand-ung dalam bab ini akan menunjukkan bahwa setiap garis cahaya yang menyala di bagian terkelam agama akan muncul kembali di dalam-Nya serta diletakkan dalam institusi yang sehat dan peribadatan spiritual. Setiap motivasi tulus yang diwujudkan Hinduisme dalam praktik-praktik yang najis, hina, dan tidak sehat itu menemukan karya sempurna di dalam diri-Nya bagi mereka yang tertekan, bodoh, sakit, dan berdosa. Dalam diri-Nya difokuskan setiap berkas cahaya yang menyinari Hinduisme. Kristus-lah Mahkota iman India.39

Pandangan Farquhar mengundang kontroversi. Ia dikritik kaum teolog konservatif karena terlalu menerima Hinduisme dan dikecam kaum liberal kare-na masih bersikukuh menjunjung Yesus Kristus dan kekristenan. Namun, motif menyempurnakan, dalam berbagai bentuknya, akan menjadi motif yang dominan dalam teologi agama abad kedua puluh.40

Kalangan teolog konservatif tidak berdiam diri melihat semakin diterimanya sesuatu yang mereka anggap sebagai pandangan optimistis yang naif pada agama non-Kristen. Pada 1885, misalnya, Samuel Henry Kellogg, seorang misionaris di India serta profesor misi dan agama dunia di Presbyterian Western Theological Seminary di Allegheny, Pennsylvania, merilis The Light of Asia and the Light of the World, bantahan yang sengit terhadap buku laris karya Sir Edwin Arnold yang di-

38Lihat Sharpe, Not to Destroy but to Fulfill, hlm. 336-39.39Farquhar, Crown of Hinduism, hlm. 457-58.40Mengenai diskusi tentang “ide penggenapan” merujuk pada teologi Katolik Roma, lihat

Dupuis, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, hlm. 132-43.

Page 18: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

Pergeseran sudut Pandang terhadaP agama Lain 37

rilis pada 1879, The Light of Asia, puisi yang indah mengenai kehidupan Buddha.41

Karena terusik dengan begitu banyak orang yang terpesona akan ajaran Buddhis-me dalam gambaran puisi itu, Kellogg mengecam Arnold jelas melebih-lebihkan aspek positif dari agama Asia, begitu juga keselarasan antara Buddha dan Kristen. Kellogg, sebaliknya, menegaskan “perbedaan yang tak terukur antara yang terbaik yang bisa ditawarkan kepercayaan lain dan ajaran Injil Kristus.”42

Pada 1899, Kellogg menulis A Handbook of Comparative Religion, adikarya yang “memengaruhi banyak misionaris di tahun-tahun terakhir Abad Keemasan untuk mengambil garis keras dalam menyikapi agama lain.”43 Karya Kellogg dapat dianggap sebagai representatif dari prespektif agama Protestan yang lebih tradisio-nal terhadap agama lain, dan meskipun ia menulis empat belas tahun sebelum The Crown of Hinduism-nya pandangan Farquhar, ia menyajikan argumen tandingan yang kuat pada teori penyempurnaan yang telah ada. Keprihatian utama yang diangkat Kellogg adalah “kesan yang merebak bahwa perbedaan antara berbagai agama di dunia ini terlalu dilebih-lebihkan; dan khususnya, ajaran gereja me-ngenai posisi eksklusif yang disandang kekristenan sebagai satu-satunya sistem ilahi yang benar dan menyelamatkan itu keliru dan tidak bersahabat.”44 Kellogg lalu menguraikan pandangan yang lebih pluralis dan diterima luas di akhir abad kesembilan belas:

Sepertinya banyak orang mengira mereka harus lebih bermurah hati kepada teman-teman Kristen di berbagai bagian Gereja Kristus yang memiliki banyak poin berbeda dengan keyakinan yang diajarkan pada kita. Selama itu masih setia dengan ajaran yang sejati dan dikehendaki Tuhan, kita harus bermurah hati. Namun, kita pun harus memerhatikan orang-orang yang bukan Kris-ten, tetapi jelas penganut salah satu agama lain. Anehnya, entah bagaimana, agama-agama itu berbeda dengan kita dalam banyak hal, tetapi dalam semua hal penting bagi kesejahteraan kekal manusia, mereka sama praktisnya dengan orang Kristen. Namun, jika mereka dengan saksama hidup menurut ajaran dan ibadah yang tetapkan dalam beberapa agama, mungkin hanya tindakan belas kasihan yang dapat menjamin mereka meraih hidup sesudah kematian sebaik yang kita terima.45

Terlepas dari semua ini, Kellogg tidak menghakimi semua hal dalam agama non-Kristen sebagai penyembahan berhala dan berasal dari si jahat. Setelah me-nelisik ajaran-ajaran utama Islam, Hinduisme, Buddhisme, Konfusianisme, dan

41Samuel Henry Kellogg, The Light of Asia and the Light of the World (London: Macmillan, 1885).

42Ibid., hlm. xii-xiii.43Cracknell, Justice, Courtesy, and Love, hlm. 14.44Samuel Henry Kellogg, A Handbook of Comparative Religion (1899; cetak ulang, Phila-

delphia: Westminster Press, 1927), hlm. v.45Ibid., hlm. v-vi.

Page 19: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

38 EncountEring rEligious Pluralism

Shinto, Kellog mengakui bahwa ada semacam titik temu yang mendasar di dalam semua agama.46 Lagi pula, setelah menyelidiki kembali ajaran Alkitab mengenai pewahyuan umum, ia mengklaim bahwa “Kitab Suci yang sama juga mengajar-kan dengan jelas bahwa karya Allah Roh Kudus tidak terbatas pada orang-orang yang telah menerima Firman. Firman kekal itu menerangi semua orang.’” Jadi, ia berkata, “Mari kita akui, sebagai kesimpulan, bahwa semua agama besar di dunia ini mengandung penggalan-penggalan kebenaran ilahi; walaupun kebenaran-kebenaran itu tidak sejelas kekristenan.”47

Akan tetapi, Kellogg bersikeras bahwa tidak satu pun dari kenyataan ini yang sanggup mengurangi keyakinan orang Kristen akan kesahihan Alkitab sebagai pewahyuan Allah yang berotoritas dan ketuhanan Yesus Kristus yang unik—satu-satunya Tuhan dan Juruselamat umat manusia. Bahkan, pandangan orang Kristen bahwa agama lain pada dasarnya keliru sekalipun tidak sanggup mengurangi keyakinan ini. Setelah mempelajari ketidakcocokan dasar antara kekristenan dan agama lain, Kellog menyimpulkan:

Kita memercayai bahwa sebagai sistem kebenaran yang konsisten dan tertata, kekristenan merupakan agama yang benar. Namun, bukan karena kurangnya kemurahan hati kita, melainkan karena kita dibatasi oleh keharusan logis yang mutlak maka kita menegaskan bahwa Islam, Hinduisme, Buddhisme, Konfu-sianisme—atau semua agama yang tidak memiliki Kristus di dalamnya—harus dianggap keliru.48

Pertanyaan mengenai nasib orang-orang yang tak sempat mendengar Injil juga dibahas secara luas pada masa itu, dan karena itulah Kellogg mengangkat isu “manusia dapat diselamatkan oleh agama lain di luar Kristus”. Namun, ia membedakan dua pertanyaan penting ini: (1) Dapatkah seseorang diselamatkan meski tidak mendengar Injil Kristus? (2) Dapatkah seseorang diselamatkan jika ia dengan tulus dan sungguh-sungguh menjalankan kewajiban ibadah agamanya? Kellogg mengakui bahwa ada perbedaan pandangan di kalangan orang Kristen sendiri untuk pertanyaan pertama, dan ia mengingatkan bahwa “dapat dipastikan bahwa kapan pun dan di mana pun seseorang benar-benar bertobat dari semua dosanya dan berbalik kepada Allah, ia akan diselamatkan.” Akan tetapi, ia dengan lugas menekankan bahwa isu ini jelas berbeda dari pertanyaan “Apakah seseorang bisa diselamatkan dari dosa, di dunia dan di alam baka, dengan taat melakukan

46Ibid., hlm. 166-67. Dia mencatat bahwa ada “nilai moral penting dan kebenaran spiri-tual” yang terkandung dalam agama-agama lain, serta menekankan bahwa “sangat penting bagi umat Kristen, khususnya para misionaris, untuk menyadari dan peka akan kebenaran-kebenaran ini, mengingat mereka akan mendapati semua hal tersebut dalam umat beragama yang mereka layani.”

47Ibid., hlm. 168, 170.48Ibid., hlm. 173.

Page 20: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

Pergeseran sudut Pandang terhadaP agama Lain 39

peribadatan agama lain di luar Yesus Kristus?”49 Karena asumsi dasar agama-agama besar tidak hanya berbeda, tetapi juga berseberangan dengan kekristenan, Kellogg menyimpulkan bahwa tidak logis bila ia berkata bahwa orang Hindu atau Buddha “diselamatkan”—seperti yang dipahami dalam terminologi kekristenan—karena ia taat dan dengan tekun menjalankan ajaran Buddha atau Hindu. Implikasi misiologisnya jelas, dan Kellogg menutup bukunya dengan panggilan misi yang menggugah hati: “Kalau perbedaan antara berbagai agama dunia dengan agama Yesus Kristus ditampilkan sejelas ini, dan bila ajaran kekristenan diterima sebagai kebenaran yang tak diragukan, maka misi Kristen bagi penganut agama lain men-jadi kewajiban yang begitu jelas dan harus Anda sadari.”50

Perdebatan yang Seru: Kontinuitas atau Diskontinuitas?Pertanyaan mengenai iman Kristen dan agama lain menjadi makin kontroversial dalam lingkaran misiologi selama empat dekade pertama di abad kedua puluh. Tiga konferensi misionaris dunia pertama di Edinburgh (1910), Yerusalem (1928), dan Tambaram, India (1938) menyoroti isu-isu tersebut. Konferensi Misi Dunia yang diadakan di Edinburgh pada 1910 merupakan tonggak bersejarah bagi misi modern dan gereja dunia. Keprihatinan saat itu adalah kebutuhan akan refleksi yang cermat pada tugas penginjilan dunia. Harapan itu tecermin dalam slogan Student Volunteer Movement di akhir abad kesembilan belas: “menginjili dunia dalam generasi ini”. Ada konsensus dasar terkait natur dan landasan misi; sebagian besar pertanyaan yang dibahas berupa pertanyaan strategis mengenai konteks yang di dalamnya misi dapat berperan. Konferensi Edinburgh 1910 itu “muncul pada masa antusiasme pergerakan misi sedang mencapai puncaknya, dan kewajiban bermisi dianggap sebagai kebenaran yang harus ditaati, bukan diragukan. . . . Amanat Agung Kristus-lah satu-satunya kebutuhan dasar untuk bermisi.”51 Na-mun, penyelenggara konferensi juga menyadari tantangan berat yang akan mereka hadapi, termasuk melonjaknya arus nasionalisme dan kerusuhan sosial di seluruh dunia, juga kian beratnya pertanyaan dari agama-agama lain.52

Delapan isu pun mendapat perhatian khusus dalam konferensi, termasuk pertanyaan agama lain yang menjadi fokus Komisi IV, “Pesan Penginjilan dalam Kaitannya dengan Agama-agama non-Kristen.” Sebagai persiapan menjelang konferensi, semua misionaris di seluruh penjuru dunia diminta mengisi kuesioner

49Ibid., hlm. 174-75. Dengan tekanan pada teks asli.50Ibid., hlm. 178-79.51Gerald H. Danerson, “American Protestants in Pursuit of Missions: 1886-1986,” Interna-

tional Bulletin of Missionary Research 12 (July 1988): 104.52Lihat John R. Mott, The Decisive Hour of Christian Missions (London: Church Missionary

Society, 1910); dan W. H. T. Gairdner, Echoes from Edinburgh: An Account and Interpretation of the World Missionary Conference (New York: Revell, 1910), bab 1.

Page 21: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

40 EncountEring rEligious Pluralism

ekstensif tentang cara mereka menanggapi agama lain. Hampir dua ratus jawab-an—plus komentar panjang lebar— dikirim kembali dan memperkaya informasi tentang pemahaman misionaris terhadap misi Kristen dan kaitannya dengan tradisi agama lain.53

Kendati misionaris tetap memandang kekristenan sebagai satu-satunya aga-ma yang benar dan menekankan perlunya berbagi Injil dengan penganut agama lain, mereka juga terus menyerukan perubahan sikap dan perilaku. Lebih baik menunjukkan simpati dan rasa hormat yang tulus kepada penganut agama lain ketimbang mengejek atau menyudutkan mereka. Lagi pula, bahkan pada 1910, pandangan Farquhar mengenai penyempurnaan telah dikenal luas, dan banyak responden menyampaikan pandangan mereka sendiri dalam konteks kontinuitas dasar antara Injil Kristen dan tradisi lainnya. Kenneth Cracknell mengamati, “Kebanyakan misionaris merespons dewan Komisaris terkait penyempurnaan, dan sungguh, Edinburgh 1910 merupakan momen yang mengagung-agungkan konsep ini.”54 Kendati pentingnya penginjilan tidak disangsikan lagi, cara melakukannyalah yang perlu dipikirkan kembali. Cracknell pun menyebut karya “Pesan Penginjilan dalam Kaitannya dengan Agama-agama non-Kristen” sebagai “salah satu titik balik penting dalam teologi agama Kristen.”55

Ketika Konferensi Dewan Misi Internasional digelar di Yerusalem pada 1928, dunia sudah sangat berbeda. Di tahun-tahun ini telah terjadi pembantaian besar-besaran dan luluh lantaknya negara-negara akibat Perang Dunia I, Revolusi Rusia pada 1917, serta bangkitnya komunisme, pergerakan nasionalisme, dan fasisme. Sekularisme pun kian agresif, dan terjadi perpecahan dalam tubuh Protestan karena percekcokan antara kaum fundamentalis dengan modernis. Sementara di Edinburgh mereka menelurkan konsensus mengenai pesan Injil dan perlunya mengubah sikap dalam memberitakan Injil bagi penganut agama lain, di Yerusalem, natur pesan Injil sendiri telah diragukan. Hal yang menjadi fokus di sana adalah “Kehidupan dan Pesan Kristiani dalam Kaitannya dengan Pola Pikir dan Cara Hidup non-Kristen”. Sekularisme dan sinkretisme menjadi dua tantangan utama misi.56 Namun, orang-orang yang memandang misi dari perspektif tradisional menekankan pentingnya penginjilan dan pertobatan. Sementara itu, pihak yang terang-terangan meragukan pandangan gaya lama, makin merisaukan penyim-pangan teologis. “Peserta konferensi menyampaikan kegelisahan yang besar bahwa dalam menangani isu pesan Kristen dalam kaitannya dengan kepercayaan lain,

53Seluruh respons dirangkum dalam Cracknell, Justice, Courtesy, and Love, hlm. 191-253. Lihat juga Gairdner, Echoes from Edinburgh, bab 10.

54Cracknell, Justice, Courtesy, and Love, p. 221. Dengan tekanan pada teks asli.55Ibid., hlm. xi.56Danerson, “American Protestants,” hlm. 106.

Page 22: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

Pergeseran sudut Pandang terhadaP agama Lain 41

jelas kita sedang bergeser menuju sinkretisme. Pergerakan misionaris terancam berubah menjadi “Injil sosial” yang luas diterima di Amerika Utara.”57

Timothy Yates mengamati bahwa sepuluh tahun sesudah konferensi di Ye-rusalem, yang berlanjut di Konferensi Dewan Misi Internasional di Tambaram pada 1938, “adalah tahun-tahun ketika misiologi berfokus pada hubungan antara iman Kristen dengan tradisi agama lainnya.”58 Titik fokal debat tersebut adalah Laporan Misi Luar Negeri Jemaat Awam dari 1932-1933, sebuah proyek penelitian besar-besaran pada misi luar negeri Protestan yang didanai John D. Rockefeller Jr. Tercakup di dalamnya beberapa kunjungan ke pos-pos misi di India, Burma, Jepang, dan Tiongkok bersama lima belas anggota komisi. Komisi ini menyusun laporan akhir tujuh jilid, dengan versi satu jilidnya diterbitkan sebagai Re-thinking Missions: A Laymen’s Inquiry After One Hundred Years, disunting oleh William Ernest Hocking, dosen filsafat di Harvard University dan anggota parlemen.59

Hocking merupakan apologet awal dari “kepercayaan dunia” baru yang bertujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru dari dunia yang semakin modern. Ia tak kenal lelah menggalakkan kesadaran agama dunia yang, meski jauh lebih luas dari pengakuan iman atau lembaga agama tertentu, akan tetap terbuka pada semua iman kepercayaan serta berjuang melaksanakan perubahan sosial dan moral dalam masyarakat.”60

Re-thinking Missions terbukti sangat kontroversial karena meskipun mengakui pentingnya misi dalam beberapa bentuk, buku ini menyerukan reinterpretasi ter-hadap natur dan landasan misi Kristen. Laporan ini mengklaim bahwa perubahan keyakinan teologis tentang keselamatan dan neraka,61 tantangan sekularisme dan

57Timothy Yates, Christian Mission in the Twentieth Century (Cambridge: Cambridge Uni-versity Press, 1994), hlm. 65.

58Ibid., hlm. 9459Lihat William E. Hocking, (penyunting), Re-thinking Missions: A Laymen’s Inquiry After

One Hundred Years (New York: Harper & Brothers, 1932); Hutchison, Errand to the World, hlm. 158-75; dan Yates, Christian Mission in the Twentieth Century, hlm. 70-93.

60Lihat William E. Hocking, Living Religions and a World Faith (New York: Macmillan, 1940); dan William E. Hocking, The Coming World Civilization (New York: Harper, 1956). Lamin Sanneh melaporkan, “Hocking adalah sang penggoda yang menggelisahkan akal sehat generasi ini. . . . Secara umum, dia menerjemahkan perasaan-perasaan umum dalam arus utama gereja-gereja Protestan, yang lahir sebagai dampak dari keruwetan yang ditimbulkan masa Depresi Besar serta efek dari Perang Dunia 1914-1918. Secara teologis, pandangan Hocking bisa dipandang sejajar dengan Liga Nasional (cikal bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa), dengan ambisinya untuk meminimalkan perbedaan antara bangsa dan agama dalam konteks saling ketergantungan dan solidaritas global. Bisa dikatakan bahwa berkat Hocking, golongan Protestan liberal bisa me-nentukan posisinya terhadap misi.” (Lamin Sanneh, “Theology of Mission,” dalam The Modern Theologians, disunting David F. Ford, penyunting kedua [Oxford: Blackwell, 1997], hlm. 567).

61Hocking, Re-thinking Missions, hlm. 19. Laporan tersebut menyatakan bahwa dalam iklim teologis terkini, “pandangan bahwa ‘para pencari Tuhan yang khusyuk dan tulus, tetap berada di bawah hukuman Tuhan’ tidak lagi populer. Tujuan misi mulai beralih, dari menye-

Page 23: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

42 EncountEring rEligious Pluralism

nasionalisme, serta munculnya “budaya dunia” menuntut kita mengubah pan-dangan lama terhadap misi. Musuh yang sesungguhnya kini bukan agama lain, melainkan kaum agnostik dan ateis. Untuk itu, misi Kristen tidak semestinya berfokus pada penginjilan untuk mempertobatkan penganut agama lain. Justru, “melayani kebutuhan sekular manusia dalam semangat Kristus, itulah penginjilan.”62

Tujuan misi bukanlah menaklukkan ataupun menggantikan agama lainnya. Justru, kekristenan harus “berupaya positif, pertama-tama mengenal dan memahami agama-agama di sekelilingnya, kemudian mengakui dan menghubungkannya dengan elemen-elemen yang sama dalam agama itu.”63 Misionaris yang baru harus “memandang dirinya sebagai rekan kerja dari kekuatan yang menorehkan kebe-naran dalam semua sistem agama.”64 Apa yang dinantikan misionaris “bukanlah runtuhnya agama-agama [non-Kristen] ini, melainkan kesinambungan mereka bersama dengan kekristenan. Masing-masing mendorong satu sama lain untuk bertumbuh demi mencapai tujuan tertinggi, yaitu kesatuan dalam kebenaran aga-ma yang paling sempurna.”65 Laporan ini disambut hangat dalam lingkup kaum liberal,66 tetapi menuai kritik pedas dari mayoritas gerakan misi. Robert E. Speer, Kenneth Scott Latourette, dan John Mackay mengecam keras laporan tersebut, menampik tendensi relativisme dan asumsi teologis meragukan yang melandasinya. Mackay mencelanya sebagai sudut pandang yang ketinggalan zaman—“pendar matahari terbenam dari romantisisme abad kesembilan belas.”67

Kontroversi berkelanjutan yang dipicu Re-thinking Missions ini menjadi kon-teks dari konferensi misi ketiga Dewan Misi Internasional di Tambaram, India, tahun 1938. Salah satu pertanyaan sentral yang dibahas di Tambaram adalah apakah pewahyuan Allah, seperti yang nyata dalam diri Kristus, masih berkaitan atau tidak dengan iman dan peribadatan agama lain? Hingga sejauh mana kita memahami perbedaan antara hadirat Tuhan dengan aktivitas pewahyuan dalam agama-agama non-Kristen? Pada saat itu motif penyempurnaan telah diterima luas di antara banyak misionaris. Selain itu, suara-suara yang lebih radikal seperti

lamatkan manusia dari hukuman kekal, menjadi misi menyelamatkan manusia dari kehilangan nilai kebaikan tertinggi.”

62Hocking, Re-thinking Missions, hlm. 68. Dengan tekanan pada teks asli.63Ibid., hlm. 33.64Ibid., hlm. 40.65Ibid., hlm. 44.66Pearl Buck—putri seorang misionaris di Tiongkok, penerima penghargaan Nobel dalam

bidang literatur, dan seorang kritikus yang tajam terhadap praktik misi tradisional—memberi komentar terhadap buku Re-thinking Missions sebagai “satu-satunya buku yang mengandung kebenaran literatur, baik dalam setiap observasinya maupun setiap kesimpulannya.” Seperti dikutip Yates, Christian Mission, hlm. 90.

67Dikutip dalam Danerson, “American Protestants,” hlm. 107.

Page 24: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

Pergeseran sudut Pandang terhadaP agama Lain 43

yang termaktub dalam Re-thinking Missions secara terbuka menolak pentingnya penginjilan dan pertobatan.

Tokoh yang menonjol di Tambaram adalah akademisi Belanda, Hendrik Kraemer (1888-1965), seorang mantan misionaris yang dikirim ke pulau Jawa dan pernah diangkat sebagai dosen sejarah agama di University of Leiden. Kraemer diminta untuk menyiapkan makalah khusus bagi konferensi itu. Di dalamnya ia “menerangkan posisi dasar dari gereja Kristen sebagai saksi mata Injil di tengah dunia modern,” lalu menghubungkannya secara rinci dengan “sikap yang harus diambil orang Kristen terhadap penganut agama lain.”68 Hasilnya adalah “The Christian Message in a Non-Christian World”, sebuah karya 450 halaman yang ditulis hanya dalam tujuh minggu dan diakui secara luas sebagai pernyataan klasik dari keunikan dan pentingnya Injil Kristen. Dalam prakatanya Kraemer menulis bahwa “misionari . . . manifestasi hanya dapat disahkan menjadi panggil-an Kristen dan misionari ketika mereka mempersoalkan secara langsung urgensi apostolik yang menyaksikan dengan senang hati akan kuasa Tuhan, keselamatan dan penebusan-Nya melalui Kristus.69 Meskipun ia peka terhadap masalah buda-ya dan ingin menegaskan nilai dari tradisi lain yang positif, Kraemer bersikeras bahwa kekristenan itu secara unik merupakan “agama yang diwahyukan”. Ia juga menekankan diskontinutas yang radikal antara “realisme biblika” yang berkaitan dengan wahyu Tuhan dan keselamatan di dalam Kristus dengan tradisi-tradisi agama non-Kristen.70

Kendati Kraemer memiliki pemahaman yang rumit dan ambigu tentang agama lain,71 di Tambaran ia mengkritik keras motif penyempurnaan yang kian marak. Ia menekankan kontinuitas antara tindakan penyelamatan Allah melalui Yesus Kristus dan apa yang kita temukan dalam agama-agama lain. Kraemer memban-tahnya dengan menegaskan diskontinuitas yang radikal antara karya Allah melalui Kristus dan semua ekspresi keagamaan manusia. Libertus Hoedemaker dengan tepat mengingatkan bahwa di dalam benak Kraemer, ada ruang untuk gagasan kontinuitas dan penyempurnaan yang tersimpan dalam kerangka kerja Allah yang pemurah dan yang menyatakan diri-Nya melalui Kristus.72 Akan tetapi, pandangan

68Hendrik Kraemer, The Christian Message in a Non-Christian World (New York: Harper & Brothers, 1938), hlm. v.

69Ibid., hlm. vi-vii.70Ibid., bab 3-4. Lihat juga Yates, Christian Mission, hlm. 105-24; dan Libertus A. Hoede-

maker, “Hendrik Kraemer,” dalam Mission Legacies, hlm. 508-15.71Pandangan-pandangannya yang lebih berbobot bisa ditemukan dalam karya selanjutnya,

seperti Religion and the Christian Faith (London: Lutterworth, 1956) dan World Cultures and World Religions (London: Lutterworth, 1960).

72Hoedemaker menjelaskan, “Kraemer menekankan bahwa kita tidak dapat begitu saja mulai beriman tanpa terlebih dahulu mengenal keunikan pernyataan Allah dalam Kristus. Kraemer melihat bahwa alasan mendasarnya hanya ada dua pilihan: semata-mata karena

Page 25: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

44 EncountEring rEligious Pluralism

Kraemer memicu perdebatan sengit di Tambaram. Kritikus-kritikus sebangsa C. F. Andrews, A. G. Hogg, William Paton, T. C. Chao, dan pembela lainnya lebih bisa menerima perihal kehadiran dan karya Tuhan di dalam ajaran agama lain. Isu-isu yang dibahas di Tambaram gagal menemukan titik temu, apalagi Perang Dunia II kemudian menangguhkan debat tersebut selama satu dasawarsa.

Vatikan II dan Agama LainnyaSeperti yang disinggung sebelumnya, pemahaman “tidak ada keselamatan di luar gereja” merupakan sebuah perbedaan minor yang menjadi ciri khas pandangan Katolik Roma terhadap agama-agama lain. Hal itu terjadi sebelum kita memasuki abad kedua puluh. Akan tetapi, begitu paparan tradisi agama lain meningkat, ber-bagai upaya pun digencarkan untuk meredakan ketegangan antara kerinduan Tuhan untuk menyelamatkan seluruh umat manusia dengan gagasan akan pentingnya gereja bagi keselamatan.73 Meskipun kita dapat mencium gelagat pandangan yang lebih terbuka di kalangan teolog Katolik Roma, baru pada saat Vatikan II (1962-1965) terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam kubu Katolik Roma. Salah satu figur paling berpengaruh di Vatikan II adalah Karl Rahner, yang mengem-bangkan teori “Kristen anonim”.74 Rahner mengemukakan bahwa, dalam kondisi

hasrat petualangan manusia, atau karena tindakan Allah? Berdasarkan pilihan yang kedua, tetap sangat mungkin untuk berbicara tentang penggenapan dan kelanjutannya. Dalam hal ini, dasar arah penalaran bukan dari realitas agama terhadap Kristus, melainkan realisme Alkitab terhadap realitas manusia. Selalu ada kesinambungan formal antara sistem agama dan nilai-nilai; kesinambungan ini nyata dan sejati sejauh terciptanya ruang bagi diskontinuitas paling mendasar antara Allah dan manusia, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Wahyu dalam Kristus. Selama orang itu tetap fokus kepada sifat dan isi penyataan Allah, kepada keunikan dan keuniversalannya, atau bahkan kepada ketidaksinambungan dan kesinambungannya, maka dia tidak akan menjadi orang yang eksklusif.” (Hoedemaker, “Hendrik Kraemer,” Mission Legacies, p. 513).

73Paul F. Knitter mencatat munculnya “konsep kreatif” para teolog—yang dimasukkan ke dalam kesalehan dan moralitas gereja Katolik—berasal dari teladan iman pengikut agama lain, meski konsep itu tidak ada hubungan sama sekali dengan gereja. Orang-orang non-Kris-ten yang “sudah diselamatkan” dicap sebagai milik gereja; mereka ”melekat”, “terhubung”, “terkait” dengan gereja, atau bisa dikelompokkan sebagai anggota yang “belum sempurna”, “punya keinginan”, atau “punya potensi.” Paul F. Knitter, “Roman Catholic Approaches to Other Religions: Developments and Tensions,” International Bulletin of Missionary Research 8 (April 1984): 50. Versi lengkap diskusi tentang ragam sudut pandang dari para pemikir Katolik sebelum konsili Vatikan kedua, yaitu bahwa di luar Injil tidak ada keselamatan, lihat Dupuis, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, bab 4.

74Lihat Karl Rahner, “Christianity and Non-Christian Religions,” dalam Theological Investiga-tions (Baltimore: Helicon, 1966), 5:115-34; “Anonymous Christian,” dalam Theological Investi-gations (Baltimore: Helicon, 1969), 6:390-98; dan “Anonymous Christianity and the Missionary Task of the Church,” dalam Theological Investigations (New York: Seabury, 1974), 12:161-78. Untuk diskusi lengkap serta pembelaan terhadap posisi Rahner, lihat Gavin D’Costa, Theology and Religious Pluralism: The Challenge of Other Religions (Oxford: Blackwell, 1986), bab 4-5.

Page 26: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan

Pergeseran sudut Pandang terhadaP agama Lain 45

tertentu, seorang penganut Hindu atau Buddha yang taat dapat dianggap sebagai orang Kristen “anonim” atau “implisit”, dan dengan demikian diselamatkan, kendati orang ini tak pernah bersentuhan dengan ajaran Injil atau gereja yang kasat mata. Kemungkinan ini secara eksplisit diakui oleh Vatikan II.

Pasca-Vatikan II, Katolik Roma mengadopsi perspektif yang sangat terbuka terhadap agama lain, meskipun jelas kekristenan masih dianggap sebagai satu-satu-nya agama yang benar.75 Beberapa tema yang menonjol muncul dalam dokumen-dokumen Vatikan II. Pertama, ada kesadaran penting bahwa Yesus Kristus dianggap normatif bagi semua orang karena menurut kata-kata Nostra Aetate, “Deklarasi Hubungan Gereja dengan Agama-agama non-Kristen,” berbunyi demikian: “da-lam [Kristus], melalui-Nya Tuhan memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, (2Kor. 5:18-19), [bahwa] manusia menemukan keutuhan hidup keagamaan mereka.”76 Lebih jauh lagi, masih tersirat bahwa gereja penting bagi keselamatan, seperti yang tercantum dalam Lumen Gentium, “Undang-undang Dasar Dogmatis Gereja”: “Berlandaskan kitab suci dan tradisi, [Dewan suci ini] mengajarkan bahwa Gereja, yang kini peziarah di bumi ini, penting bagi keselamatan; tempat Kristus menjadi perantara dan jalan keselamatan; Ia hadir di tengah-tengah kita dan di dalam tubuh-Nya, yaitu Gereja.”77

Mengangkat supremasi dan kenormatifan Kristus serta pentingnya gereja bagi keselamatan, jelas gereja tidak lari dari tanggung jawab utamanya untuk membe-ritakan Injil kasih Yesus Kristus kepada semua orang. Dewan gereja dengan kuat menegaskannya dalam Ad Gentes, “Dekrit Aktivitas Misionaris Gereja”: Oleh sebab itu, Gereja berkewajiban memberitakan iman dan keselamatan yang datangnya dari Kristus. . . . Semua orang, dengan demikian, harus mengalami pertobatan di dalam Kritus, yang dikenal melalui pengajaran Gereja, dan harus dibaptis agar dipersatukan di dalam-Nya dan di dalam Gereja, yang adalah tubuh Kristus.”78

75Terjadi konflik cara pandang dalam perspektif Katolik Roma terhadap agama-agama lain, sebagai implikasi putusan-putusan konsili Vatikan kedua. Lihat Knitter, “Roman Catholic Approaches to Other Religions”; Paul F. Knitter, Jesus dan the Other Names: Christian Mission dan Global Responsibility (Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1996), bab 6-7; Thomas F. Stransky, “The Church and Other Religions,” International Bulletin of Missionary Research 9 (Oktober 1985); Mikka Ruokanen, “Catholic Teaching on Non- Christian Religions at the Second Vatican Council,” International Bulletin of Missionary Research 14 (April 1990); dan Dupuis, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, bab 5-6.

76Nostra Aetate, dalam A. P. Flannery, ed., Documents of Vatican II (Grand Rapids, Mich.: Eerdmans, 1975), hlm. 739.

77Flannery, Documents of Vatican II, hlm. 365-66.78Ibid., hlm. 817, 821.

Page 27: ENCOUNTERING RELIGIOUS PLURALISM TanTan iman & misi … · 2021. 2. 20. · Church Missionary Society dan tokoh misiologi besar di Inggris pada pertengahan abad kedua puluh, dengan