eksistensi nilai-nilai budaya kerajaan binamu dan …
TRANSCRIPT
EKSISTENSI NILAI-NILAI BUDAYA KERAJAAN BINAMU DAN BANGKALA
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
JENEPONTO DI ABAD-21
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
Miranda
105381100616
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
TAHUN 2021
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Tiap kali ada pintu kebahagiaan yang
tertutup, pintu yang lain akan otomatis
terbuka. Sayangnya, banyak orang yang
terlalu focus pada pintu yang tertutup
hingga mengabaikan yang terbuka.
Kupersembahkan karya ini buat:
Kedua orang tuaku, saudaraku, dan sahabatku,
Atas keikhlasan dan doanya dalam mendukung penulis
mewujudkan harapan menjadi kenyataan.
vii
ABSTRAK
Miranda, 2020, Eksistensi Nilai-nilai Budaya Kerajaan Binamu dan Bangkala Dalam
Kehidupan Masyarakat Jeneponto di Abad-21. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Kaharuddin dan Pembimbing II
Hadisaputra.
Kerajaan Binamu adalah salah satu Kerajaan yang pernah didirikan di Kabupaten
Jeneponto pada awal abad ke 17. Masyarakat Kerajaan Binamu berasal dari Suku Makassar.
Kerajaan Binamu berkuasa di wilayah Kabupaten Jeneponto bagian timur. Masyarakatnya
bekerja sebagai petani padi dan nelayan. Kerajaan ini menjadi kerajaan adat pada awal abad ke-
20. Kemudian Kerajaan Bangkala adalah salah satu kerajaan yang pernah didirikan di Kabupaten
Jeneponto pada abad ke-16 Masehi. Wilayah kekuasaannya meliputi Jeneponto bagian barat.
Masyarakat Kerajaan Bangkala bekerja sebagai petani dengan memanfaatkan Sungai Topa dan
Sungai Allu.
Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif yang mengarah pada
pendekatan etnografi. Yang bertujuan untuk mengungkap eksistensi nilai-nilai kerajaan binamu
dan bangkala dalam kehidupan masyarakat jeneponto di abad-21. Lokasi penelitian ini yaitu di
Kecamatan Binamu dan Kecamatan Bangkala. Informan dalam penelitian ini yaitu,
Budayawan/sejarawan, selain itu peneliti juga melibatkan keturunan para raja-raja Binamu dan
Bangkala. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga cara yaitu, observasi,
wawancara, dan dokumentasi.
Hasil penelitian dari Eksistensi Nilai-nilai Budaya Kerajaan Binamu dan Bangkala yaitu,
Nilai dan Tradisi di Jeneponto ini masih ada dan masih eksis di tengah-tengah masyarakat
Jeneponto. Meskipun ada Tradisi yang sedikit berubah karena perkembangan zaman. Meski
demikian masyarakat Jeneponto masih tetap melaksanakan tradisi yang dari dulu leluhur kita
lakukan. Pada zaman modern ini dengan kemajuan teknologi serba digital, tak disangkal menjadi
ancaman bagi nilai-nilai leluhur. Karena kurangnya pengenalan dan penghayatan terhadap nilai-
nilai budaya tersebut. Bahkan dampaknya adalah semakin merosotnya moralitas warga
masyarakat, kurangnya rasa hormat kepada sesama, sikap tidak ambil peduli, itu merupakan
perilaku yang mudah kita temukan sehari-hari di lingkungan sekitar kita.
Kata Kunci: Eksistensi, Nilai, Budaya.
viii
ABSTRACT
Miranda, 2020, The Existence of Cultural Values of the Binamu Kingdom and Bangkala in the
Life of the Jeneponto People in the 21st Century. Thesis. Faculty of Teacher Training and
Education. Muhammadiyah Makassar University. Supervisor I Kaharuddin and Supervisor II
Hadisaputra.
The Binamu Kingdom is one of the Kingdoms that was founded in Jeneponto Regency in
the early 17th century. The people of the Binamu Kingdom come from the Makassar tribe. The
Binamu Kingdom rules in the eastern part of Jeneponto Regency. The people work as rice
farmers and fishermen. This kingdom in the early 20th century. Then the Kingdom of Bangkala
was one of the Kingdoms that was founded in Jeneponto Regency in the 16th century AD. His
territory includes western Jeneponto. The people of the Bangkala kingdom work as farmers by
utilizing the Topa River and the Allu River.
This thesis used descriptive qualitative research that leads to an ethnographic approach.
Which aims to reveal the existence of the values of your binamu kingdom and bangkala in the
life of the Jeneponto people in the 21st century. The location of this research is Binamu District
and Bangkala District. The informants in this study are cultural historians, besides that the
researchers also involved the kings of Binamu and Bangkala. Collecting data in this study using
three ways, namely, observation, interviews, and documentation.
The results of research on the Existence of cultural values of the Binamu and Bangkala
kingdoms, namely, the values and traditions in Jeneponto still exist and still exist in the midst of
the Jeneponto people. Although there are Traditions that have changed little because of the times.
Even so, the people of Jeneponto still carry out the traditions that our ancestors have long
practiced. In this modern era with advances in all-digital technology, it is undeniably a threat to
ancestral values. Dua to the lack of recognition and appreciation of these cultural values. In fact,
the impact is the decreasing morality of the community, a lack of respect for outhers, an attitude
of indifference, these are behaviors that are easy to find everyday in our environment.
Keywords: Existence, Values, Culture.
ix
KATA PENGANTAR
حيم حمن الره الره بسم الله
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasulullah
SAW, keluarga dan sahabatnya. Selanjutnya, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang
tak terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan proposal ini, baik
berupa dorongan moril maupun materil. Karena penulis yakin tanpa bantuan dan dukungan
tersebut, sulit rasanya bagi penulis yakin tanpa bantuan dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi
penulis untuk menyelesaikan penulisan proposal ini. Disamping itu, izinkan penulis untuk
menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : Bapak
Prof. DR. H. Ambo Asse., M.Ag. selaku Rektor Unismuh Makassar, Bapak Erwin Akib, S.Pd.,
M.Pd., Ph.D Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah
Makassar, Bapak Drs. H. Nurdin, M.Si. Ketua Jurusan Pendidikan Sosiologi dan Bapak
Kaharuddin, S.Pd.,M.Pd.,Ph.D, Sekertaris Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, Bapak Kaharuddin, S.Pd.,M.Pd.,Ph.D,
sebagai pembimbing I, dan Bapak Hadisaputra, S.Pd., M.Si. selaku pembimbing II yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam meyelesaikan skripsi ini, Segenap
Dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar atas bekal ilmu yang telah diberikan kepada penulis sejak pertama
menjadi mahasiswa. Dinas Pariwisata Kabupaten Bulukumba serta Masyarakat yang berada di
Pasir Putih Bira yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk mendapatkan informasi
mengenai respon masyarakat terhadap bisnis villa investor asing, yang mendukung penyelesaian
skripsi ini.
x
Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sangat spesial penulis haturkan dengan
rendah hati dan rasa hormat kepada kedua orang tua penulis tercinta. Ayahanda Muchrin dan
Ibunda Nawariah degan segala pengorbanannya tak akan pernah penulis lupakan atas jasa-jasa
mereka. Doa restu, nasehat dan petunjuk dari mereka yang merupakan dorongan moril yang
paling efektif bagi kelanjutan studi penulis hingga saat ini.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa mengharapkan kritikan
dan saran bagi berbagai pihak, selama saran dan kritikan tersebut sifatnya membangun karena
penulis yakin bahwa suatu persoalan tidak akan berarti sama sekali tanpa adanya kritikan.
Mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi para pembaca, terutama bagi diri pribadi penulis.
Aamiin.
Makassar, Februari 2021
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN .................................................................................................... iv
SURAT PERJANJIAN ......................................................................................................... v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................................................... vi
ABSTRAK BAHASA INDONESIA .................................................................................. vii
ABSTRAK BAHASA INGGRIS ...................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................................................... 8
E. Definisi Operasional ................................................................................................ 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................................ 10
A. Kajian Konsep ........................................................................................................ 10
B. Kajian Teori ............................................................................................................ 15
xii
C. Kerangka Konsep .................................................................................................... 16
D. Penelitian Relevan ................................................................................................. 18
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................................. 21
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ............................................................................ 21
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................................. 22
C. Informan Penelitian ................................................................................................. 23
D. Fokus Penelitian ..................................................................................................... 23
E. Instrumen Penelitian .............................................................................................. 23
F. Jenis dan Sumber Data ........................................................................................... 24
G. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................................... 24
H. Teknik Analisis Data .............................................................................................. 25
I. Teknik Keabsahan Data ......................................................................................... 26
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................................. 27
A. Sejarah Lokasi Penelitian ........................................................................................ 27
B. Keadaan Geografis .................................................................................................. 30
C. Keadaan Penduduk.................................................................................................. 32
D. Keadaan Pendidikan................................................................................................ 33
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................................. 35
A. Hasil Penelitian ....................................................................................................... 35
1. Nilai-nilai Budaya yang di Warisan Kerajaan Binamu dan Bangkala .............. 35
2. Bagaimana Eksistensi Nilai Budaya Kerajaan Binamu dan Bangkala ............. 50
Pada Masyarakat Jeneponto di Abad-21
xiii
B. Pembahasan............................................................................................................. 57
1. Nilai-nilai Budaya Warisan Kerajaan Binamu dan Bangkala ........................... 57
a) Nilai Simbolik Kebudayaan Warisan Kerajaan Binamu dan Bangkala ...... 57
Perspektif Teori
b) Warisan Nilai-nilai Budaya Perspektif Teori Solidaritas............................ 59
2. Bagaimana Eksistensi Nilai Budaya Kerajaan Binamu dan Bangkala ............. 62
Secara Teoritis
a) Eksistensi Nilai Budaya Secara Simbolik Secara Teoritik ......................... 62
b) Jalan Menjaga Eksistensi Nilai Warisan Budaya Secara Teoritik .............. 64
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 66
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 66
B. Saran ....................................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 68
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Nama Tabel
Tabel 4.1 Luas Daerah dan Jumlah Pulau
Tabel 4.2 Luas Daerah dan Jumlah Pulau
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kabupaten Jeneponto hingga tahun 2019 masih dikategorikan sebagai salah satu daerah
tertinggal disulawesi selatan, padahal jika di tinjau dari sejarah, daerah tersebut perna berdiri
kerajaan yang cukup disegani. Caldwell, I., & Bougas, W. (2004) pernah menulusuri asal usul
dan perkembangan kerjaan Bangkala dan Binamu, ternyata di daerah tersebut banyak peristiwa
menarik yang terpublikasi secara luas. Historis Binamu dan Bangkala ternyata suatu kerajaan
kecil di sudut barat daya provinsi Sulawesi Selatan, yang selama ini bulum terpublikasi secara
luas.
Dari aspek pemahaman masyarakat terkait dengan Bangkala dan Binamu sebagai kerjaan
kecil di kabupaten jeneponto ternyata hanya sedikit yang diketahui tentang sejarah Bangkala
maupun Binamu. Kedua kerjaan Bangkala dan Binamu belum tersentuh survei arkeologi yang
layak karena kurangnya studi-studi yang dilakukan oleh peneliti dan ilmuan lainnya. Oleh karena
itu, berbagai pandangan agar kiranya merekonstruksi kembali sebagian asal-usul dan
perkembangan kedua daerah ini dari empat sumber yaitu, pertama Lontara, yang menggunakan
bahasa Bugis dan Makassar. Kedua kunjungan keketurunan kerajaan tersebut. Ketiga
mencermati tradisi lisan masa kini di Jeneponto. Dan keempat informasi dari berbagai informasi
referensi dan peninggalan-peninggalan kuno.
Dari hasil penelitian Macknight dan Caldwell, I., & Bougas, W. dalam
(Smartcitymakassar, 2019) bukti yang diperlihatkan sumber-sumber adanya kerajaan-kerajaan
kecil antara Bangkala dan Binamu. Ternyata pada abad ke 14 dari sisi permukiman dengan focus
2
pada aspek pertanian yang tersebar di lembah-lembah empat sungai utama Jeneponto dari barat
ke timur, Topa, Allu, Tamanroya dan Jeneponto, telah menyatu untuk membentuk unit-unit
pemerintahan kecil sebagai bayangan dari kerajaan Bangkala dan Binamu. Seterusnya dilihat
dari latar belakang pada abad ke 15 telah kelihatan secara terang keberadaan dua kerajaan
tersebut yang perlu pendalam lewat penelitian. Seperti di abad 15 unit pemerintahan yang
berpusat di Sungai Topa dan Allu telah bersatu membentuk Kerajaan Bangkala, dan unit
pemerintahan yang terkonsentrasi di Sungai Tamanroya dan Jeneponto bergabung menjadi
Kerajaan Binamu.
Interpretasi berbagai pandangan para penulis terus bermunculan dengan penjelasan yang
kadang berbeda terus mengalir. Sejak awal dua kerjaan Bangkala dan Binamu, dalam proses
pengelolaan ekonomi mereka bersentuhan dengan rute perdagangan antar-pulau yang melewati
pantai Selatan Sulawesi selama, dan sebelum, milenium pertama. Sementara pada tahap proses
perkembangan sebagai awal proses perubahan kerajaan kecil ini yang terletak di lembah sungai,
maka masing-masing berdiri sendiri, dan kemudian bergabung membentuk suatu Kerajaan yang
dikenal dengan kerajaan Binamu dan Bangkala. Proses penyatuan antara kerajaan Bangkala dan
Binamu ternyata diawali oleh Tumanurung (mahluk yang turun dari langit berjenis kelamin
yang belum diketau pada masa itu) yang dipilih sebagai penguasa dan menikah dengan kalangan
elit lokal. Setelah membentuk institusi jabatan untuk penguasa (pakkaraengang).
Walaupun kerajaan Binamu dan Bangkala dua kerjaan kecil akan tetapi tersorot nilai
keberanian yang tidak bisa dipungkiri, hal tersebut kelihatan gambar macam secara simbolik
pada makam raja pertama Binamu yaitu Palengkei. Masyarakat Jeneponto memaknai gambar
tersebut dengan keberanian dan kecerdasan, Emba M, (2016). Memperhatikan makna simbolik
dan tanggapan masyarakat Jeneponto dapat digambarkan bahwa nilai-nilai tersebut masih
3
mengalir dalam diri setiap generasi atau keturunannya. Oleh itu, masyarakat jeneponto
seharusnya bangga dan mempertahankan nilai ini kearah yang positif.
Sehubungan dengan makna di atas terkait tentang nilai keberania yang meledak pada
masa pertentangan kelompok kecil antara Tanatoa dan Bangkala yang di akibatkan persoalan
harga diri dan konflik kedua kelompok meledak tak terkendali. konflik terjadi karena persoalan
perempuan dimana putra penguasa tanatoa yang mempersunting Banrimanurung. Persoalan terus
terjadi karena orang tua dari putra tanatoa juga jatu cinta sama Banrimanurung yang akhirnya
karaeng Parurang lari dari tanatoa menuju panaikan dan bersiap untuk perang. Dari kisah
tersebut melahirkan sumpah bahwa tidak ada pria dari tanatoa yang dapat mempersunting
perempuan bangkala, akan tetapi pemuda dari bangkala dapat melamar wanita dari tanatoa.
Peristiwa ini menggambarkan dan mengajarkan pentingnya menperhatikan nilai-nilai tata krama
dan sikap saling menghargai dalam kehidupan sosial, baik itu dalam lingkungan keluarga
maupun masyarakat secara umum (Smartcitymakassar, 2019).
Dilihat dari aspek Kerajaan Binamu yang secara historis lebih penting untuk dipahami
seperti Kerajaan Binamu yang dikenal sekarang Turatea, yang berada pada lingkup belahan
timur Jeneponto. Di Binamu mengalir dua sungai utama, Sungai Jeneponto di timur dan
Tamanroya di barat. Kedua sungai ini mengalir ke selatan dari pegunungan rendah di pedalaman
menuju pantai. Di tepi lembah sungai ini terdapat dataran pesisir sungai yang sempit. Padi basah
ditanam pada dataran pesisir ini dan pada bagian lembah di hilir, yang terletak antara 12 hingga
20 kilometer dari laut, di bukit-bukit di selanya, serta di kantong-kantong dataran pantai di sela-
sela lembah sungai.
4
Sementara ditinjau dari tradisi lisan Binamu juga mengandung dua tradisi lisan mengenai
asal-usul Binamu, masing-masing mengandung beberapa elemen dari cerita lain. Kedua cerita
tradisional ini menyatakan bahwa Kerajaan Binamu berawal di lembah Tamanroya. Sementara
cerita lainnya yang diungkap oleh Kaluppa dkk (1995) Cerita yang pertama adalah sebagai
berikut:
Pada masa dahulu kala, seorang wanita cantik turun dari surga di Layu, di Sungai
Tamanroya. Dia dikenal sebagai Tumanurunga ri Layu (‘Yang turun di Layu’).
Melihat pemunculannya, para pemimpin kaum dari empat daerah bersatu membentuk
Kerajaan Binamu. Keempat pemimpin itu membentuk sebuah dewan yang disebut
To′do′ Appaka (‘empat pilar/tonggak/penjamin’) mewakili daerah masing-masing:
Bangkala, Loe, Layu dan Lentu. Dewan ini bertemu dan meminta Tumanurunga ri
Layu untuk menjadi penguasa pertama Binamu. Dia menerima dan menjadi
penguasa pertama Binamu. Tak lama berselang, dia menikah dengan pemuda
setempat dan melahirkan tiga anak: Punta ri Ulua, Punta ri Tangnga dan Punta ri
Bongko. Setelah Tumanurunga ri Layu raib secara misterius, dewan To′do′ Appaka
memutuskan bahwa putra kedualah, Punta ri Tangnga yang berarti ‘Tuan kita (yang
dimakamkan di Tangnga), yang menjadi karaeng (raja) Binamu (Kaluppa dkk: 1995).
Empat komunitas yang disebutkan dalam cerita lisan ini letaknya berdekatan di sepanjang
Sungai Tamanroya dan cabang-cabangnya. Layu terletak di pertemuan Sungai Bontoramba dan
Pangkaje′ne, yang berjumpa dan membentuk Sungai Tamanroya. Posisi Layu strategis untuk
mengendalikan pergerakan barang ke pantai di hulu dan hilir kedua sungai ini, serta menguasai
lahan pertanian di sekelilingnya. Lentu berada setengah kilometer di utara Layu di Sungai
Bontoramba, sementara Batujala terletak lima kilometer di baratlaut Layu, yakni di Sungai
Maero, anak Sungai Tamanroya. Terakhir, Bangkala Loe berjarak lima kilometer di hulu Layu,
di Sungai Pangkaje′ne.
Tradisi lisan mengambarkan adanya penyatuan politik keempat pemukiman, fungsinya
adalah untuk menerangkan keutamaan Layu di antara pemukiman tetangga dan memberi
legitimasi kekuasaan bagi para penguasa Binamu, yang mengklaim diri sebagai keturunan
5
Tumanurunga ri Layu. Namun cerita ini belum dilakukan pengujian ulang secara mendalam dari
ketepatan cerita tersebut. Tradisi lisan kedua mengaitkan munculnya tujuh tumanurung di Layu
dengan sejumlah permukiman di hilir Sungai Jeneponto, sebelah timur lembah Tamanroya. Pada
masa dahulu kala, tujuh tumanurung turun dari surga dan menampakkan diri di daerah Layu,
dekat Sungai Tamanroya. Tujuh tumanurung itu bersaudara, seorang wanita muda dan enam
kakak laki-laki. Kalau dicermati sejarah tumanurung diberbagai Kabupaten seperti yang ada di
Kabupaten Gowa dan Sinjai ternyata keberadaannya berbeda yang ada di Jeneponto,
perbedaanya di Jeneponto tumanurun terdiri dari 6 orang dan Gowa dan Sinjai hanya seorang.
Kemunculan tumanurung di dua Kerajaan kecil Bangkala dan Binamu, dewan To′do′ Appaka
memutuskan bahwa wanita ini harus menjadi penguasa Binamu. Dewan menyampaikan perihal
ini kepada penguasa Balang, dan atas persetujuannya wanita itu diangkat menjadi Karaeng
Binamu Suaka (1983).
Sementara dilihat dari Historis Kerajaan Bangkala yang menempati belahan barat
Jeneponto. Sebagaimana Kerajaan Binamu di timur, wilayah ini mempunyai dua sungai besar,
Allu dan Topa, mengalir dari timur laut ke barat daya dan lembah hilirnya cocok untuk
pengolahan sawah basah. Sungai Allu di timur dan Topa di barat. Tradisi historis lisan Kerajaan
Bangkala yang terkenal menempatkan asal-mula kerajaan ini di wilayah hilir lembah Sungai
Allu. Garis keturunan raja-raja Bangkala lahir dari perkawinan seorang tumanurung wanita dan
putra penguasa Tanatoa.
Menurut cerita dahulu kala, jannang (kepala kampung) Panaikang menemukan
tumanurung wanita, Banrimanurung, di dalam bambu. Dia membawanya pulang
dan merawatnya. Suatu hari, ketika putra penguasa Tanatoa, Karaeng Parurang,
keluar berburu dengan anjingnya, dia melihat sebuah mata air dekat rumah
Jannang Panaikang. Ketika dia diundang ke dalam rumah, dia melihat sehelai
rambut tersembul dari sebilah bambu. Dia menarik rambut itu dan bambu itu
pecah, tampaklah Banrimanurung. Sang Pangeran terpikat oleh kecantikannya
6
lalu menikahinya. Ketika dia pulang ke orangtuanya di Tanatoa dengan isteri
baru, ayahnya juga jatuh hati pada Banrimanurung dan berkehendak
menikahinya. Karaeng Parurang lari dari Tanatoa bersama isterinya menuju
Panaikang dan bersiap untuk perang. Pertempuran ini berlangsung di
Kalimporo. Banrimanurung menang dengan menyihir tunas bambu menjadi
serdadu. Raja Tanatoa kalah. Banrimanurung dan Karaeng Parurang menetap di
kampung Bangkala, di mana Banrimanurung melahirkan seorang putra, Karaeng
Ujung Moncong. Banrimanurung lalu menghilang, sama misteriusnya ketika dia
muncul. Putranya, Karaeng Ujung Moncong, menjadi raja pertama Bangkala dan
dilantik di kampung Bangkala. Selanjutnya, dia digantikan oleh putranya,
Karaeng La′bua Talibannanna.
Sebagai hasil kedurhakaan penguasa Tanatoa, hingga kini tidak ada pria dari Tanatoa
yang dapat mempersunting wanita Bangkala, tetapi pemuda dari Bangkala dapat memperisteri
wanita dari Tanatoa. Beberapa versi cerita ini dapat kita dengar di Bangkala hingga kini.
Seluruhnya menuturkan bahwa Kerajaan Bangkala terbentuk ketika dua pemerintahan yang lebih
kecil, satu berpusat di hilir Sungai Allu, dan yang lain di lembah Sungai Topa, bergabung di
bawah satu penguasa. Seluruh versi menegaskan sengitnya peperangan di mana pemerintahan
“yunior” mengalahkan pemerintahan “senior”.
Dilihat dari aspek sosial politik Bangkala dan Binamu telah memperlihatkan nilai politik
yang berkualitas di masanya. Hal itu tergambar pada status sosial mereka, walaupun memiliki
akar kebangsawanan yang berbeda namun keduanya menunjukkan hubungan sosial politik yang
damai, bahkan keduanya memainkan peranan sosial politik secara berkesinambungan dalam
masa yang panjang Muhlis Hadrawi, 2017:118).
Berdasarkan latar belakang di atas terkait munculnya berbagai versi terkait kerajaan
Binamu dan Bangkala membuat peneliti untuk menelaah kembali historis terkait dengan dua
kerajaan tersebut. Selain dari itu, peneliti juga akan melihat perkembangannya sampai sekarang,
dengan melihat eksistensi dua kerajaan Binamu dan Bangkala di Kabupaten Jeneponto.
7
Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti menarik judul: Eksistensi Nilai Budaya Kerajaan
Binamu dan Bangkala pada masyarakat Jeneponto di Abad-21
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah pada penelitian ini yaitu
sebagai berikut:
1. Apa nilai-nilai budaya yang diwariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala pada masyarakat
Jeneponto di Abad-21?
2. Bagaimana eksistensi nilai budaya kerajaan Binamu dan Bangkala pada masyarakat
Jeneponto di Abad-21?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan pada penelitian ini yaitu sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui Apa nilai-nilai budaya yang diwariskan Kerajaan Binamu dan
Bangkala?
2. Untuk mengetahui Bagaimana eksistensi nilai budaya kerajaan Binamu dan Bangkala
pada masyarakat Jeneponto di Abad-21?
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian dalam penelitian ini dapat dilihat pada dua poin di bawah ini:
8
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan
yang pada prinsipnya dapat dijadikan sebagai sumber referensi dan bahan bacaan untuk
peneliti berikutnya dan penulis serta bahan ajar.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat: sebagai wahana pengetahuan terkait dengan eksistensi nilai budaya dua
kerajaan antara Binamu dan Bangkala Kab. Jeneponto Sulawesi Selatan
b. Bagi peneliti lain: dapat digunakan sebagai bahan masukan ataupun perbandingan untuk
penelitian selanjutnya
E. Defenisi Operasional
1. Eksistensi
Eksistensi yang dimaksud oleh peneliti adalah keberadaan budaya yang diwariskan oleh
leluhur dan masih terjaga serta masih dijalankan secara turun-temurun oleh masyarakat
setempat.
2. Nilai
Nilai yang dimaksud disini adalah berupa nilai-nilai budaya yang memiliki makna hidup
secara filosofi secara historis yang sampai hari ini masi eksis ditengah-tengan
masyarakat Jeneponto.
3. Budaya
Budaya yang dimaksud disini adalah system atau adat istiadat yang masi berlaku dalam
masyarakat Jeneponto, yang merupakan hasil dari warisan terdahulu.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. KAJIAN KONSEP
1. Pewarisan Nilai Sejarah (Historis)
Pewarisan Nilai Sejarah Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, tetapi secara
fungsional mempunyai ciri mampu membedakan antara yang satu dengan yang lain.
Suatu nilai jika dihayati oleh seseorang, maka akan sangat berpengaruh terhadap cara
berpikir, cara bersikap maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidupnya
(Ahmadi dan Uhbiyati, 1991: 69). Scheler (dalam Franz Magnis Suseno, 2000: 34)
mengatakan hahwa nilai adalah kualitas atau sifat yang membuat apa yang bernilai
menjadi bernilai. Misalnya, nilai “jujur” adalah sifat atau tindakan yang jujur. Jadi,
nilai (weit, value) tidak sama dengan apa yang bernilai (gutter, goods). Oleh karena
itu nilai selalu menjadi ukuran dalam menentukan kebenaran dan keadilan sehingga
tidak akan pernah lepas dari sumber asalnya, yaitu berupa agama, logika dan norma
yang berlaku dalam masyarakat umum.
Yvon Ambroise (1993: 21) menjelaskan bahwa nilai merupakan realitas
abstrak. Nilai yang dirasakan dalam diri berfungsi sebagai daya pendorong atau
prinsip-prinsip yang menjadi pedoman hidup. Sebab itu, nilai menduduki tempat
paling penting dalam kehidupan seseorang. Pada suatu tinggkat, orang akan lebih siap
untuk mengorbankan diri daripada mengorbankan nilai. Nilai yang menjadi realitas
abstrak dapat dilacak dari tiga realitas berikut :
10
Sesuai dengan sifatnya sebagai makhluk sosial, nilai yang dimiliki atau diyakini
seseorang umumnya merupakan pancaran nilai bersama tempat seseorang hidup. Hal tersebut
tidak mengherankan, sebab “kelainan” yang dilakukan oleh seseorang dari lingkungannya
akan menyebabkan orang tersebut terisolasi, yang merupakan keadaan yang tidak pernah
diinginkan oleh siapa pun.
Dengan demikian kiranya dapat disimpulkan bahwa nilai atau nilai budaya itu tidak
lain merupakan konsep yang dimiliki bersama oleh bagian terbesar anggota suatu kelompok
sosial yang sangat berpengaruh terhadap perilaku anggota kelompok dalam berinteraksi
dengan lingkungannya. Menurut Koentjaraningrat (1977: 244-252) tiap sistem nilai budaya
dalam setiap kebudayaan berkaitan dengan lima masalah dasar kehidupan manusia Kelima
masalah dasar tersebut ialah; (1) Masalah yang berkaitan dengan hakikat hidup manusia; (2)
Masalah yang berkaitan dengan hakikat karya manusia; (3) Masalah yang berkaitan dengan
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu; (4) Masalah yang berkaitan dengan hubungan
manusia dengan manusia yang lain; dan (5) Masalah hakikat hubungan manusia dengan
alamnya. Nilai budaya merupakan salah satu unsur dan hakikat kebudayaan. Oleh karena itu
Pola tingkah laku, pola pikir, dan
sikap
Nilai Seorang
pribadi atau kelompok
11
ciri-ciri kebudayaan melekat pula pada ciri-ciri itu antara lain; (a) milik masyarakat, (b)
pemilikannya melalui proses belajar, (c) merupakan suatu konfigurasi, dan (d) dapat
mengalami pergeseran.
Seseorang atau individu dalam menanggapi lingkungannya biasanya akan menetapkan
suatu standar, sebagian besar bersifat sosial. Hal ini terjadi akibat proses sosialisasi yang
dialaminya. Dengan demikian penilaian terhadap orang lain atau objek dan kejadian-kejadian
yang bersifat universal, standar yang dipakai mungkin saja berbeda-beda, karena dimilikinya
latar belakang yang berbeda, sehingga ekspresi nilai antara orang yang satu dengan yang lain,
tidak selalu sama. Perbedaan itu dapat disebabkan oleh factor faktor individu, budaya, atau
waktu (Bock,1974:54). Dengan kata lain mungkin saja terjadi sesuatu yang dahulu dinilai
baik, sekarang dinilai tidak baik, sehingga nilai budaya tersebut ditinggalkan sama sekali,
begitu pula sebaliknya.
Sejarah adalah ilmu yang mempelajari kehidupan manusia di masa yang lampau dan
memberikan petunjuk dalam mereaksi terhadap masalah-masalah baru yang ada di masa
seakarang. Sejarah memiliki berberapa manfaat bagi kehidupan manusia pada masa sekarang.
Wasino (2007: 10-14) dan Noor (1995: 334-335) menyebutkan bahwa paling tidak ada
beberapa guna sejarah bagi manusia yang mempelajarinya, yakni (a) edukatif (untuk
pendidikan), (b) instruktif (memberikan pengajaran), (c) inspiratif (memberi ilham), serta (d)
rekreatif (memberikan kesenangan).
Sejarah memiliki fungsi pendidikan karena dengan memahami sejarah berarti telah
diambil satu manfaat atau hikmah dari terjadinya suatu peristiwa sejarah. Kaitan antara
sejarah dan pendidikan dapat diketahui dari sebuah kalimat bijak tentang peranan sejarah bagi
manusia yang berbunyi historia vitae magistra yang bermakna “sejarah adalah guru
kehidupan”. Makna sejarah sebagai guru kehidupan ini sangat dalam, karena memerlukan
12
pemikiran mengapa sampai sejarah itu digunakan sebagai guru kehidupan. Maksud dari
kalimat tersebut adalah bahwa sejarah ini memiliki fungsi pendidikan, yang mengajarkan
bagaimana manusia seharusnya itu bertindak dengan melihat peristiwa yang telah terjadi
untuk kemudian diambil hikmahnya (Ahmad, 2007:17). Kuntowijoyo (1995:45)
menerangkan bahwa ada beberapa fungsi sejarah kaitannya dengan sarana pendidikan, yaitu
sebagai pendidikan moral, penalaran, politik, kebijakan, perubahan, masa depan, dan
keindahan.
2. Historis Lokal Pembentukan Nilai
Sejarah lokal memiliki arti khusus, yaitu sejarah dengan ruang lingkup spasial di
bawah sejarah nasional. Sejarah lokal barulah ada setelah adanya kesadaran sejarah nasional
(Abdullah, 2005:3). Sementara itu Widja I Gde, (1989:11) menyebut sejarah lokal adalah
suatu bentuk penulisan sejarah dalam lingkup yang terbatas yang meliputi suatu lokalitas
tertentu. Sejarah lokal diartikan sebagai studi tentang kehidupan masyarakat atau khususnya
komunitas dari suatu lingkungan sekitar (neighborhood) tertentu dalam dinamika
perkembangannya dalam berbagai aspek kehidupan manusia (Widja, 1989:13).
Dalam konteks pembelajaran sejarah, sejarah lokal diperlukan untuk membangkitkan
kesadaran sejarah nasional serta menghindarkan siswa tidak tahu atau tidak mengenal nilai
sejarah yang ada di sekitarnya. Pembelajaran sejarah hendaknya dimulai dari fakta-fakta
sejarah yang dekat dengan lingkungan tempat tinggal anak, baru kemudian pada fakta-fakta
yang jauh dari tempat tinggal anak (Wasino, 2005:1).
Salah satu pendekatan dalam penulisan sejarah lokal adalah dengan menggunakan
pendekatan sejarah sosial. Dengan mengunakan pendekatan ini sejarah lokal yang ditulis
akan memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan baik ikatan structural, yaitu jaringan
peranan sosial yang saling bergantungan terhadap aktor sejarah lokal setempat. Penulisan
13
sejarah lokal ini selalu mengaitkan antara gejala yang terjadi dimasyarakat sekarang dengan
struktur sosial kebudayaan sebelumnya (Abdullah, 2005:21)
Sejarah lokal sangat erat kaitanya dengan tradisi lisan. Tradisi lisan menyangkut
pesan-pesan yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang diucapkan, dinyanyikan atau
disampaikan lewat musik (alat bunyi-bunyian). Hal yang perlu diperhatikan dari tradisi lisan
adalah tradisi ini berasal dari generasi sebelumnya paling sedikit satu generasi sebelumnya.
Dalam hal ini tradisi lisan dibedakan dengan sejarah lisan. Ada beberapa jenis tradisi lisan, pertama :
Petuah-petuah yang sebenarnya merupakan rumusan kalimat yang dianggap punya arti
khusus bagi kelompok. Kedua adalah : kisah tentang kejadian disekitar kehidupan kelompok,
baik sebagai kisah perseorangan maupun kelompok. Sesuai dengan alam pemikiran alam
masyarakat magis religius, faktanya biasanya selalu diselimuti dengan unsur kepercayaan
atau terjadi pencampuradukan antara fakta dan kepercayaan. Ketiga adalah: cerita
kepahlawanan yang berisi tentang gambaran berbagai macam tindakan kepahlawanan yang
mengagumkan bagi kelompok pemilikya, biasanya berpusat pada tokoh tertentu dari
kelompok tersebut. Keempat adalah: dongeng yang umumnya bersifat fiksi belaka. Unsur
faktanya boleh dikatakan tidak ada, berfungsi untuk menyenangkan pendengarnya. Tradisi
lisan juga sangat berkaitan erat dengan Folklor atau cerita rakyat (Widja, 1989:57).
B. KAJIAN TEORI
1. Emile Durkheim
Teori Emile Durkheim yaitu Teori Sosiologi Budaya dengan pendekatan structural
fungsional memiliki nilai yang patut dipertahankan atau dilestarikan keberadaannya dan
diestafetkan dari generasi ke generasi mendatang. Kebudayaan itu sendiri adalah sesuatu
yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
14
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak.
Fungsionalisme structural merupakan sebuah sudut pandang luas yang mencakup dan
atau termasuk kedalam sosiologi dan juga antropologi yang berupaya menafsirkan
(mengartikan) masyarakat sebagai sebuah struktur sosial dengan bagian yang saling
berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal faungsi
atau guna dari elemen-elemen konstituen terutama norma, adat, tradisi dan institusi.
C. KERANGKA KONSEP
Kerangka konsep dalam penelitian ini untuk mengupas nilai-nilai historis yang
terkandung dalam sejarah kerajaan Binamu dan Bangkala sebagai panutan dalam proses
kehidupan masyarakat di Kabupaten Jeneponto. Pentingnya memahami nilai historis
karena memiliki nilai manfaat bagi pewarisan budaya bagi generasi penerus sehingga
mereka tidak buta sejarah dan memahami sumber nilai-nilai budaya yang dijalan sekarang
ini.
Dalam kerang konsep ini, selain mendalami nilai historis Kerajaan Binamu dan
Bangkala juga akan lebih mendalami eksistensi nilai budaya kerajaan Binamu dan
Bangkala di Kabupaten Jeneponto. Cara memahami eksistesi nilai-nilai tersebut akan
dikupas lewat kajian literatus baik melalui jurnal, buku juga melalui media. Memahami
nilai historis suatu yang fundamental karena sangat berkaitan dengan perilaku hidup
dalam bermasyarakat.
Pentingnya mengungkap nilai-nilai historis juga bermanfaat dalam pewarisan
budaya lewat mata pelajaran muatan lokal di semua jenjang pendidikan di sekolah.
Melihat jejak sejarah tersebut yang bengitu panjang dan penuh dinamika dipastikan
mengandung nilai-nilai yang banyak dan bermanfaat bagi masyarakat dan generasi
15
masyarakat jeneponto. Olehnya itu, nilai dan eksistensi nilai dalam ruang sosial
masyarakat Jeneponto sangat penting untuk dijelaskan secara ilmiah.
Jadi pengungkapan tersebut akan dimulai dari studi nilai historis Kerajaan Binamu
dan Bangkala yang dilanjukan pada mengetahui nilai historis Kerjaan Binamu dan
Bangkala dalam system kebudayaan masyarakat. seterusnya dilanjutkan pada eksistensi
nilai budaya Kerjaan Binamu dan Bangkala pada masyarakat
Gambar. 1. Kerangka Konsep Penelitian
D. PENELITIAN RELEVAN
1. Firdaus, D. W. (2017). Metode yang digunakan dalam studi ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode etnografi. Pewarisan nilai-nilai historis dan
kearifan lokal masyarakat kampung adat Kuta dalam pembelajaran sejarah ini
dilakukan melalui proses penerapan model pembelajaran kontekstual. Model
pembelajaran yang bisa digunakan agar hasil belajar bisa optimal dalam rangka
pewarisan nilai sejarah lokal adalah dengan menggunakan Contextual Teaching and
STUDI NILAI
HISTORIS
KERAJAAN
BINAMU DAN
BANGKALA
nilai historis kerjaan
Binamu dan Bangkala
dalam system
kebudayaan
masyarakat
eksistensi nilai
budaya kerjaan
Binamu dan Bangkala
pada masyarakat
NILAI DAN
EKSISTENSI
16
Learning (CTL). Model Pembelajaran ini merupakan suatu sistem pengajaran yang
menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dan konteks dari
kehidupan sehari-hari siswa.
2. Yulianti, I. (2015). Internalisasinya nampak dari perilaku dan kesadaran peserta didik
terhadap nilai-nilai budaya Cikondang yang dihayati dan diaktualisasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian pewarisan nilai kearifan lokal sangat penting
untuk menjadikan pembelajaran sejarah semakin bermakna sehingga peserta didik
akan mengenal dan memahami nilai-nilai luhur yang terdapat dalam kebudayaannya.
Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa sekolah memiliki potensi yang besar
sebagai wahana bagi pewarisan nilai-nilai budaya yang teruji oleh zaman.
3. Amin, S. (2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Guru telah melakukan
Pewarisan nilai dalam pembelajaran sejarah formal melalui pemanfaatan bangunan
bersejarah dan folklore yang ada disekitar sekolah, namun hasil yang didapat belum
maksimal karena keterbatasan waktu belajar ; (2) Pewarisan nilai pada pembelajaran
sejarah jalur informal terjadi melalui cerita rakyat (folklore) yang diceritakan dalam
keluarga dan masyarakat saat acara ritual keagamaan (buka luhur); (3)
Kesinambungan pembelajaran sejarah jalur formal dan informal dalam upaya
pewarisan nilai terjadi karena adanya hubungan saling mengisi kelemahan dan saling
menguatkan (interdependency) yang membuat upaya pewarisan nilai sejarah lokal
jadi maksimal.
4. Rahayu, N. T., Setyarto, S., & Efendi, A. (2015). Hasil penelitian disimpulkan bahwa
secara teoretis model konseptual pewarisan nilai-nilai budaya Jawa melalui
pemanfaatan upacara ritual tepat untuk diaplikasikan di kalangan masyarakat
pendukung budaya Jawa. Pesan dalam proses pewarisan tersebut menghasilkan efek
kognitif dan afektif dalam arti dapat menambah pengetahuan tentang makna simbol
17
yang digunakan dalam ritual dan mampu mengubah sikap kearah yang lebih positif
terhadap penyelenggaraan ritual.
5. Simanjuntak, D. H. (2016). Hasil penelitian ini adalah Museum Simalungun
mempunyai peranan museum Simalungun sangat penting sebagai sarana pewarisan
nilai budaya, karena melaluinya, generasi muda dapat melihat, mengetahui dan
mengenal kebudayaan Simalungun. Peninggalan-peninggalan sejarah dan benda-
benda yang bernilai budaya tinggi dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di
museum Simalungun menjadi salah satu media untuk mewariskan budaya
Simalungun kepada generasi muda. Berbagai kegiatan di museum Simalungun seperti
pertunjukan memainkan alat musik tradisional, pertunjukan menari (manortor),
pertunjukan mandihar (Silat) dan pertunjukan lainnya.
Perbedaan penelitian peneliti dengan penelitian-penelitian yang dikutip di atas
yaitu, Bedanya hanya Eksistensi nilai dan Budaya yang ada di Masyarakat. Penelitian
yang dikutip diatas hanya sebatas melihatnya dari aspek Antropologi, makna dan symbol.
Sementara penelitian peneliti lebih mengarah pada kajian Sosiologi dengan metodologi
kualitatif. Jadi lebih melihat bagaimana Nilai dan Budaya itu eksis dalam masyarakat
Jeneponto, apakah ada instruktur yang memperkuat Eksistensi tersebut atau alami
berdasarkan gerak masyarakat.
18
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif
deskriptif yang mengarah pada pendekatan etnografi Moleong, Lexy J. (2000). Peneliti ini
bermaksud untuk mengkaji secara mendalam terkait eksistensi nilai-nilai yang termudah
dalam kerajaan Binamu dan Bangkala Kab. Jeneponto abad 21. Miles, Matthew dan A.
Michael Huberman. (1992) dan Sugiyono. (2009) alasan memilih jenis dan pendekatan
ini untuk mengambarkan dan mendeskripsikan lebih memdalam eksistensi nilai-nilai
budaya Kerajaan Binamu dan Bangkala. Penelitian kualitatif juga digunakan karena
dengan metode tersebut peneliti lebih mudah mendalami suatu peristiwa seperti eksistensi
nilai-nilai budaya Kerajaan Binamu dan Bangkala.
Peneletian kualitatif menurut Gunawan, dkk dalam (Santana 2007:29) menyatakan
bahwa “memperoses pencarian gambaran data dari konteks kejadiannya langsung,
sebagai upaya melukiskan peristiwa seperti kenyataan, yang berarti membuat berbagai
kejadiannya, seperti mereka dan melibatkan perspektif (peneliti) yang partisipatif didalam
berbagai kejadiannya, serta menggunakan analisis deskriftif dalam gambaran eksistensi
nilai-nilai budaya Kerjaan Binamu dan Bangkala. Pendekatan kajian etnografi merupakan
suatu pendekatan yang memfokuskan pada proses pencarian dan meggambaran data
secara mendalam terkait suatu peristiwa sejarah.
19
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Kab. Jeneponto dengan cara melakukan
penelusuran ke keturunan para raja-jara Binamu dan Bangkala yang berkedudukan di
Kabupaten Jeneponto. Alasan pemilihan eksistensi nilai budaya Kerajaan di Jeneponto
karena selain masih kurangnya pengetahuan eksistensi nilai-nilai budaya juga karena
masih lemahnya penelitian-penelitian Kerajaan Binamu dan Bangkala di Kab.
Jeneponto. Waktu penelitian ini direncanakan kurang lebih 3 bulan.
2. Waktu Penelitian
No Jenis Kegiatan
Bulan I Bulan II Bulan III
I II III IV I II III IV I II III IV
1. Pengusulan Judul
2. Penyusunan Proposal
3. Konsultasi Pembimbing
4. Seminar Proposal
5.
Pengurusan surat Izin
Penelitian
6. Dst
C. Informan Penelitian
Informan dalam penelitian ini adalah Budayawan/sejarawan, selain itu peneliti juga
melibatkan keturunan para raja-raja Bangkala dan Binamu. Penentuan informan dalam
20
penelitian ini adalah Purposive Sampling. Purposive Sampling yaitu, dimana peneliti
menentukan pengambilan sampel dengan cara menetapkan ciri-ciri khusus yang sesuai
dengan tujuan penelitian sehingga diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian.
Oleh karena itu, selain peneliti berfungsi sebagai informan utama, peneliti juga berfungsi
sebagai informan kunci, Moleong, Lexy J. (2000) dan Caldwell, I., & Bougas, W.
(2004).
D. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakan dan rumusan masalah dalam penelitian maka peneliti
menentukan focus pada dua bagian, yaitu:
1). Nilai-nilai budaya yang diwariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala pada
masyarakat Jeneponto di Abad-21
2). Eksistensi nilai budaya Kerajaan Binamu dan Bangkala pada masyarakat
Jeneponto di Abad-21.
E. Instrumen Penelitian
Instrument penelitianyang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Instrumen wawancara berupa angket pertanyaan yang sudah disusun peneliti,
yang telah divalidasi oleh dosen pembimbing. Selain itu, peneliti menyediakan alat
perekam untuk kegiatan wawancara
b. Instrumen observasi adalah alat yang berupa format pencatatan yang telah
disediakan oleh peneliti dalam melakukan observasi. Selain itu peneliti juga
menyediakan kemerah dan alat pencatatan seperti pulpen.
c. Instrumen dokumen adalah format pencatatan data-data dokumen yang berupa
buku, jurnal dan benda. Format tersebut digunakan sebagai alat dalan mencatat sebagai
proses menyeleksi data yang telah dikumpulkan.
21
F. Jenis dan Sumber Data
1. Data Sekunder: Data yang bersumber dari berbagai bahan pustaka seperti jurnal,
buku, media, blog dan lain-lain.
2. Data Primer: Data yang bersumber dari data wawancara lansung kepada beberapa
informan.
G. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan peneliti terdiri dari:
1. Teknik observasi adalah pengumpulan data yang dilakukan degan cara mengamati
berbagai kegiatan ritual kebudayaan masyarakat Jeneponto.
2. Teknik wawancara yaitu: pengumpulan data dengan cara mengajukan pertanyaan-
pertanyaan terkait dengan focus penelitian: nilai-nilai budaya yang diwariskan
Kerajaan Binamu dan Bangkala pada masyarakat Jeneponto di Abad-21 dan
eksistensi nilai budaya kerajaan Binamu dan Bangkala pada masyarakat Jeneponto di
Abad-21.
3. Teknik dokumen yaitu: pengumpulan data bahan pustakan berupa jurnal, buku yang
berkaiatan dengan focus penelitian.
H. Teknik Analisis Data
Dalam analisis data penelitian menggunakan analisis interaktif yang dikemukakan
oleh Hiberman dan Miles. Teknik analisis ini dijelaskan oleh Miles dan Huberman
(Sugiyono, 2011:334-343) dalam jurnal Yunita Dwi Rahmayanti, proses analisis data ini
menggunakan empat tahap yaitu:
a. Pengumpulan Data (Data Collection)
Analisis data pada tahap pertama, peneliti melakukan seleksi data dokumen dari
berbagai sumber dengan memperhatikan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang
harus dijawab sebagai hasil penelitian. Karena pada penelitian ini hanya
22
menggunakan satu metode pengumpulan data yaitu data dokumen maka peneliti
dalam analisis data peneliti melakukan analisis data dokumen seperti buku, jurna,
blog, web dan buku. Setelah itu peneliti melakukan analisis konten (isi) berdasarkan
kebutuhan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
b. Reduksi Data (Data Reduction)
Data yang sudah dikumpulkan oleh penelit kemudian catatan yang sudah
dikumpulkan dapat di reduksi dengan merangkum dari hasil catatan yang didapatkan
dan memilih hal-hal yang penting untuk diperoleh dalam bentuk data. Kemudian
disusun lebih sistematis sehingga dapat mudah dipahami.
c. Penyajian Data (Data Display)
Penyajian data dapat menunjukkan kumpulan data dalam bentuk catatan singkat
atau informasi yang didapat, untuk mudah memahami apa yang didapatkan pada
semua sumber dokumen. Dalam penyajian data ini berupa teks mengenai nilai historis
kerjaan Binamu dan Bangkala.
d. Penarikan Kesimpulan (Conclusions drawing/verifyin)
Suatu proses untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian sehingga dapat
ditentukan saran dan masukan agar mudah menyelesaikan masalah dalam penelitian.
I. Teknik Keabsahan Data
a. Triangulasi Sumber: dilakukan dengan mencocokkan kembali data yang suda
diklasifikasi dengan sumber data yang lainya. Misalnya data yang suda diklasifikasi
yang sumbernya dari buku itu di cocokkan juga dengan data yang bersumber dari
jurnal atau blog untuk mencari kesamaan dan kemirikan makna, kalua itu ada maka
data itu sangat valit untuk diambil dan dianalisis.
23
b. Triangulasi teknik: dilakukan dengan cara menganalisis data dari data umum sampai
pada data yang khusus (data terkecil). Proses ini dilakukan dengan membandingkan
data yang satu dengan data yang lainnya. Pada analisis ini peneliti tetap mencari
kesesuaian data yang satu dengan yang lainnya dan semua itu berdasarkan rumusan
masalah dan tujuan penelitian.
24
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Lokasi Penelitian
Indonesia merupakan negara yang mejemuk yang kaya akan sejarah dan
kebudayaan. Namun kita dihadapkan pada persoalan rendahnya minat generasi
milenial terhadap sejarah. Sejarah kerap kali dianggap sebagai hal yang
membosankan dan tidak menarik. Karena adanya perkembangan zaman yang
begitu pesat, sehingga sejarah seperti dilupakan dan disangkal. Banyak yang
berpikiran bahwa sejarah itu identic dengan masa lalu. Padahal, sejarah berperang
penting dalam generasi milenial. Lantas mengapa sejarah itu penting untuk
dipelajari ? Karena jika sejarah tidak kita pelajari hidup akan menjadi kering tanpa
nuansa dan hikmah arti makna hidup.
Kecamatan Binamu adalah salah satu Kecamatan yang berada Kabupaten
Jeneponto, Sulawesi Selatan. Yang memiliki sejarah yang panjang dari awalnya
yang berbentuk Kerajaan dan sekarang menjadi salah satu Kecamatan di bumi
Turatea Jeneponto. Ilyas dkk. (2018) menyatakan bahwa secara Historis Kerajaan
Binamu atau Turatea yang melingkupi belahan Timur Jeneponto. Di Binamu
mengalir dua sungai utama, Sungai Jeneponto di timur dan Tamanroya di barat.
Kedua sungai ini mengalir ke Selatan dari pengunungan rendah di pedalaman
menuju pantai. Di tepi Lembah sungai ini terdapat dataran pesisir sungai yang
sempit. Padi basah ditanam pada dataran pesisir ini dan pada bagian lembah di
hilir, yang terletak antara 12 hingga 20 kilometer dari laut, di bukit-bukit di
selanya, serta di kantong-kantong dataran pantai di sela-sela lembah sungai.
25
Binamu merupakan Kecamatan yang memiliki beberapa Kelurahan, antara
lain Empoang, Empoang Utara, Empoang Selatan, Sidenre, Balang, Balang Toa,
Balang beru, Panaikang, Monro-monro, Pabiringa, Biringkassi, dan Bontoa. Luas
daerah Binamu adalah 69,49 Km persegi, Jumlah penduduk 53.000 jiwa.
Adapun batas-batas wilayah adalah sebagai berikut :
a) Sebelah utara : Kecamatan Turatea
b) Sebelah timur : Kecamatan Batang
c) Sebelah selatan : Laut Flores
d) Sebelah barat : Kecamatan Tamalatea
Adapun raja-raja yang pernah memerintah di kerajaan Binamu secara berturut-
turut adalah sebagai berikut :
1. Raja ke 1 : Gaukang Dg Riolo (memerintah tahun 1607 M-1631 M)
2. Raja ke 2 : Bakiri Dg Lalang (memerintah tahun 1631 M-1660 M)
3. Raja ke 3 : Paungga Dg Gassing (memerintah tahun 1660 M-1678 M)
4. Raja ke 4 : Datu Mutara (memerintah tahun 1678 M-1696 M)
5. Raja ke 5 : Lapalang Dg Masse (memerintah tahun 1696 M-1713 M)
6. Raja ke 6 : Patakkoi Dg Ngunjung (memerintah tahun 1713 M-1731 M)
7. Raja ke 7 : Jakkolo Dg Rangka (memerintah tahun 1731 M-1747 M)
8. Raja ke 8 : Pa’dewakkang Dg Lurang (memerintah tahun 1747 M-1763 M)
9. Raja ke 9 : Ironggo Dg Bani (memerintah tahun 1763 M-1780 M)
10. Raja ke 10 : Sanre Dg Nyikko (memerintah tahun 1780 M-1796 M)
11. Raja ke 11 : Bebas Dg Lalo (memerintah tahun 1796 M-1814 M)
12. Raja ke 12 : Badullah Dg Tinggi (memerintah tahun 1814 M-1834 M)
26
13. Raja ke 13 : Palanrangi Dg Liu (memerintah tahun 1834 M-1852 M)
14. Raja ke 14 : Patima Dg Sakking (memerintah tahun 1852 M-1869 M)
15. Raja ke 15 : Itia Dg Ni’ni (memerintah tahun 1869 M-1884 M)
16. Raja ke 16 : Mattewakkang Dg Jungge (memerintah tahun 1884 M-1900
M)
17. Raja ke 17 : Sanre Dg Nyikko (memerintah tahun 1900 M-1911 M)
18. Raja ke 18 : Langke Dg Lagu (memerintah tahun 1911 M-1921 M)
19. Raja ke 19 : Ilompo Dg Radja (memerintah tahun 1921 M-1923 M)
20. Raja ke 20 : Manggau Dg Sanggu (memerintah tahun 1923 M-1929 M)
21. Raja ke 21 : Mattewakkang Dg Radja (memerintah tahun 1929 M-1946 M)
Itulah susunan raja-raja di Kerajaan Binamu mulai dari yang pertama kali
terbentuk hingga berakhirnya Kerajaan Binamu itu sendiri masih di ada dan
disimpan dengan baik oleh keturunan raja Binamu itu sendiri.
Kerajaan Bangkala adalah salah satu Kerajaan yang pernah didirikan di
Kabupaten Jeneponto pada abad ke-16 Masehi. Wilayah kekuasaannya meliputi
Jeneponto bagian barat. Masyarakat Kerajaan Bangkala bekerja sebagai petani dengan
memanfaatkan Sungai Topa dan Sungai Allu. Kerajaan Bangkala menjalin hubungan
politik dengan Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo, Kerajaan Sanrobobe, dan Kerajaan
Marusu, Kerajaan Binamu serta para penguasa local di Jeneponto. (Hadrawi
2017:116).
Awal munculnya Kerajaan Bangkala berawal dari kampung inti Bangkala
yaitu lembah Topa. Masyarakat Bangkala menjadikan sungai Topa sebagai prasarana
utama dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Diprediksi bahwa sejak abad XIII,
masyarakat Bangkala menjadikan kegiatan pertanian sebagai sumber mata
27
pencaharian utama. (Hadrawi 2017:123). Wilayah Bangkala mencakup 2 sungai, yaitu
sungai Allu dan sungai Topa yang berhulu di bagian utara dan bermuaradi bagian
selatan. Kedua sungai itu sangat penting fungsinya bagi aktivitas pertanian
masyarakatnya.
B. Keadaan Geografis
Kabupaten Jeneponto juga dikenal sebagai penghasil nener dan benur ikan
bandeng yang banyak dibudidayakan di Sulawesi Selatan. Rumput laut banyak
ditemukan di daerah Sidenre, Empoang Selatan, Pabiringa, dan Biring kassi.
Kemudian Jagung Kuning banyak ditemukan di Desa Sapanang, Balang beru,
Balang, Panaikang, Bontoa, dan Empoang Utara. Wilayah pesisir Kabupatan
Jeneponto yang merupakan sentra produksi garam satu-satunya di pulau Sulawesi.
Secara Geografis, Kabupaten Jeneponto terletask di 5⁰23’-5⁰42’
Lintang Selatan dan 119⁰29’ - 119⁰56’ Bujur Timur. Kabupaten ini berjarak
sekitar 91 Km dari Makassar. Luas wilayahnya 749,79 𝑘𝑚2 atau setara 20,4
persen luas wilayah Kabupaten Jeneponto. Sedangkan Kecamatan terkecil adalah
Arungkeke yakni seluas 29,91 𝑘𝑚2. Pemerintah daerah Jeneponto mencakup 113
desa/kelurahan dengan rincian 82 desa dan 31 kelurahan. (Badan Pusat Statistik
Kabupaten Jeneponto, 2020).
Tabel 4.1
Luas Daerah dan Jumlah Pulau Menurut Kecamatan di Kabupaten Jeneponto
Kecamatan Ibukota Kecamatan Luas Total Area
(𝒌𝒎𝟐)
28
Bangkala
Bangkala Barat
Tamalatea
Bontoramba
Binamu
Turatea
Batang
Arungkeke
Tarowang
Kelara
Rumbia
Allu
Bulujaya
Tanatea
Bontoramba
Bontosunggu
Paitana
Togo-togo
Tamanroya
Tarowang
Tolo
Rumbia
121,82
152,96
57,58
88,30
69,49
53,76
33,04
29,91
40,68
43,95
58,30
Kabupaten Jeneponto Jeneponto 749,79
Tabel 4.2
Kecamatan Persentase Terhadap Luas Jumlah Pulau-pulau
Bangkala
Bangkala Barat
Tamalatea
Bontoramba
Binamu
Turatea
Batang
Arungkeke
Tarowang
Kelara
Rumbia
16,25
20,40
7,68
11,78
9,27
7,17
4,41
3,99
5,43
5,86
7,78
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Kabupaten Jeneponto 100,00 1
Sumber: Tim Penyusun BPS Kabupaten Jeneponto, 2020:hlm 7
C. Keadaan Penduduk
Penduduk Kabupaten Jeneponto pada tahun 2019 berjumlah 363.792 orang
yang tersebar di 11 Kecamatn dengan jumlah penduduk terbesar di Kecamatan
Binamu yaitu sebanyak 57.022 orang. Secara keseluruhan, jumlah penduduk yang
berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari pada penduduk yang berjenis
29
kelamin laki-laki, Pada tahun 2019 jumlah penduduk perempuan sebesar 188.185
orang laki-laki sebanyak sebanyak 175.607 orang.
Kepadatan penduduk di Kabupaten Jeneponto yaitu 485,19. Hal ini berarti
setiap 1 𝑘𝑚2 terdapat sekitar 485-486 penduduk. Wilayah paling padat adalah
Kecamatan Binamu, dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 820,58. (Badan
Pusat Statistik Kabupaten Jeneponto, 2020).
Tabel 5.3
Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut
Kecamatan Di Kabupaten Jeneponto Tahun 2020
Kecamatan Penduduk Laju Pertumbuhan
Penduduk Per Tahun
Bangkala
Bangkala Barat
Tamalatea
Bontoramba
Binamu
Turatea
Batang
Arungkeke
Tarowang
Kelara
Rumbia
54.964
29.038
42.140
36.530
57.022
32.546
19.538
18.558
22.733
27.327
23.396
0,82
0,82
0,37
0,37
0,71
0,71
0,15
0,15
0,15
0,28
0,28
Kabupaten Jeneponto 363.792 0,50
Sumber: Tim Penyusun BPS Kabupaten Jeneponto, 2020:hlm 60
D. Keadaan Pendidikan
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan jeneponto, Saat ini sekolah formal SD,
SMP, dan SMA di Jeneponto angka partisipasi kasar (APK) cukup signifikan
sekitar seratus persen. Artinya, tidak ada lagi usia sekolah tidak sekolah di
30
Kabupaten Jeneponto. Untuk mendorong peningkatan kualitas telah tersedia
anggaran sebesar 71 milyar untuk perbaikan sarana dan prasana sekolah.
Pada tahun 2019 jumlah PNS di Kabupaten Jeneponto berjumlah 5.548, terdiri
dari 2.438 perempuan dan 3.110 laki-laki. Tingkat pendidikan dari PNS juga
beragam, lulusan Sarjana/Doktor memiliki angka terbanyak, yaitu sebanyak 4.634
orang. Lalu, 734 orang merupakan lulusan SMA. Lulusan Diploma III sebanyak
271 orang, Lulusan Diploma I sebanyak 119 orang, lulusan SLTP/sederajat
sebanyak 40 orang. Dan lulusan SD sebanyak 20 orang.
Jenjang Pendidikan formal terdiri atas Pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan yang di ajarkan mencakup
pendidikan umum, kejuruan akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jeneponto pada
tahun 2019 /2020 165 TK, 32 RA, 332 SD Sederajat, 117 SMP Sederajat, 78
SMA Sederajat, dan 5 Perguruan Tinggi. (Badan Pusat Statistik Kabupaten
Jeneponto, 2020).
31
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Nilai-nilai Budaya Warisan Kerajaan Binamu dan Bangkala
Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu
lingkungan sosial masyarakat, baik lingkup organisasi, lingkungan masyarakat secara
umum maupun komunitas, yang mengakar pada suatu kebiasaan kepercayaan, simbol-
simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai
acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Menurut M.
Jacobs dan B.j. Stern dalam Sriyan, (2020: 208) menyatakan kalau kebudayaan itu
mencakup keseluruhan ideologi dan religi bahkan berkaitan dengan kesenia juga benda
yang merupakan bagian dari warisan. Selanjutnya budaya juga merupakan bagian dari
pola perilaku yang dihasilkan dari hasil interaksi sosial.
a. Nilai Sombolik Kebudayaan Warisan Kerajaan Binamu dan Bangkala
Nilai-nilai budaya sebagiamana yang di wariskan kerajaan binamu tidak hanya
sekedar symbol, benda akan tetapi berbagai bentuk perilaku yang masih dijalankan
sampai hari ini oleh masyarakat jeneponto. Jeneponto memiliki aneka budaya dalam
masyarakat baik yang belum tertulis dalam sejarah maupun yang tertulis dalam barbagai
kitab sejarah dan hasil-hasil penelitian. Walaupun jeneponto dari aspek kebudayaan
hampir meiliki kemiripan budaya dengan daerah lain akan tetapi jeneponto secara sosial
memiliki karakter dan ciri tersendiri. Salah satu contoh dapat dilihat pada data hasil
observasi dan data wawancara serta data dokumen berikut ini;
Hasil pengamatan peneliti, masyarakat jeneponto secara perilaku
memiliki watak yang cukup keras, tapi konsisten terhadap nilai siri dalam
kehidupan mereka. Siri merupakan pedoman hidup yang siap ditukar
32
dengan darah ketika itu bersentuhan dengan pelecehan hak hidup-nya.
Hal tersebut dapat dilihat pada konflik-konflik yang terjadi di Kab.
Jenepontoh. Watak keras tersebut bisa juga dihubungkan dengan sejarah
konflik yang pernah terjadi antar kerajaan Binamu dan Bangkala
sehingga watak keras telah megalir dalam darah dan watak pada
masyarakat Jeneponto (D. Observasi).
Masyarakat Jeneponto secara karakter dikenal sebagai kepribadian yang sangat
keras akan tetapi itu jika bersentuhan dengan hak hidup mereka. Ketika telah bersentuhan
dengan hak hidup dalam hal ini telah bersentuhan dengan siri masyarakat jeneponto tidak
segan-segan untuk menukarkan darah mereka demi mempertahankan harga diri mereka.
Perilaku siri ini pernah terjadi dimasa pertikaian antar raja Binamu dengan anaknya
sendiri karena persoalan perempuan. Anak raja yang memiliki istri yang cantik juga
disukai sama bapaknya dan ingin memperistri juga sehingga lahir pertantang yang
berujung pada pertempuran antara bapak dan anak. Konflik ini terjadi karena pertarungan
siri atau harga diri walaupun itu antar keluarga. Jadi hubungan keluarga nilai lebih rendah
dari pada siri itu sendiri karena siri tidak mengenal istilah hubungan keluarga kalau sudah
berkaitan dengan hak hidup.
Sementara pada aspek kepribadian yang cukup keras dalam diri masyarakat
jeneponto selain dapat dimaknai sebagai implikasi dari budaya siri juga bisa dimaknai
dari warisan perilaku masa lalu, dimana kedidup masalalu lebih cenderung diperhadapkan
suasana konflik. Fenomena konflik yang memiliki cerita yang cukup panjang dimana
pada tahap awal perkembangan kerajaan kecil yang terletak di Lembah sungai, Karajaan
Binamu dan Bangkala masing-masing berdiri sendiri karena egoisme kehebatan masing-
masing. Runtuhnya egoisme kekuatan atau kehebatan Binamu dan Bangkala sebagai
kerajaan atas kehadiran tumanurung, sehingga menyatu dibawah payung kekuasaan
tumanurung walaupun Binamu dan Bangkala tetap berdiri sendiri. Tumanurung yang
menyatukan dua kerajaan Binamu dan Bangkala merupakan makhluk yang dipersepsikan
oleh masyarakat Jeneponto adalah makhluk yang turun dari langit berjenis kelamin
33
wanita yang menetap di Jeneponto sampai beranak cucu dari hasil pernikahan dengan
kalangan elit lokal.
Nilai-nilai budaya sebagiamana yang di wariskan kerajaan binamu tidak hanya
sekedar simbol, benda akan tetapi berbagai bentuk perilaku yang masih dijalankan sampai
hari ini oleh masyarakat jeneponto. Jenepontoh memiliki aneka budaya dalam masyarakat
baik yang belum tertulis dalam sejarah maupun yang tertulis dalam barbagai kitab sejarah
dan hasil-hasil penelitian. Walaupun jeneponto dari aspek kebudayaan hampir meiliki
kemiripan budaya dengan daerah lain akan tetapi jeneponto secara sosial memiliki
karakter dan ciri tersendiri. Salah satu contoh dapat dilihat pada data hasil observasi dan
data wawancara serta data dokumen berikut ini;
Sistem Nilai kebudayaan daerah kabupaten jeneponto dari aspek simbol
gelar sebagai ciri khas tersendiri. Kabupaten jeneponto memiliki dua
sistem gelar kebudayaan yang dikenal dengan adat istiadat yaitu karaeng
dengan ata (D.Observasi)
Jeneponto secara budaya memiliki simbol gelar karaeng dan ata yang merupakan
warisan kerajaan yang masih berlaku sampai sekarang ini. Simbol strata tersebut
kelihatan pada setiap acara-acara adat atau perkawinan dimana dari aspek jamuan dan
penghargaan yang memiliki status keturunan karaeng lebih mendapat penghormatan yang
lebih baik dibandingkan masyarakat lainnya. Kata karaeng bagi masyarakat jeneponto
merupakan istilah yang sakral diucapkan dan digunakan pada masyarakat. Kata karaeng
merupakan kata yang hanya digunakan pada individu yang berdarah bangsawan. Istilah
karaeng digunakan di Kabupaten Jeneponto mulai pada zaman kerajaan Binamu dan
Bangkala dan diwariskan dari nenek moyang sampai sekarang masih berlaku. Karaeng
merupakan sebuah gelar yang diberikan kepada seseorang yang dianggap kuat dan
terpercaya dalam masyarakat Kabupaten Jeneponto.
34
Dari aspek perilaku secara adat istiadat seorang yang memiliki gelar karaeng
memiliki perlakuan khusus dan itu sangat berbeda dengan orang-orang yang tidak
termasuk pada kategori karaeng. Nilai derajat kakarengan sebagai nilai budaya
manusiaan yang dipahami, orang yang sangat dihargai dan dihormati oleh masyarakat
karena menganggap dirinya merupakan orang yang paling tangguh, berjasah dan pintar
sehingga gelar karaeng melekat sebagai derajat tertinggi khususnya di daerah Jeneponto.
Walaupun kesakralan penggunaan istilah karaeng pada zaman kerajaan tidak
sama dengan zaman sekarang, namun kata karaeng sebahagian besar masyarakat
jeneponto masih mengsakralkan hal tersebut. Hal itu kelihatan pada saat terjadi pesta
perkawinan, dimana yang dinggap keturunan karaeng itu didatangi (nibuntuli) bagi pihak
pembuat acara secara khusus.
Nilai budaya yang terbagun pada dimensi status sosial masyarakat Jeneponto
adalah istila Ata. Kata ata dalam kelompok masyarakat memiliki status sosial dengan
derajat yang sangat rendah dibandingkan dengan karaeng. Dari segi adat istiadat yang
dianut oleh seorang Ata sangat berbeda dengan seorang karaeng, seperti halnya pada
sistem perkawinan, kematian, dan acara-acara adat lainnya. Dalam sistem pernikahan
seorang Ata tidak boleh menjalin hubungan pernikahan kepada seorang yang berstatus
karaeng karena karaeng memiliki prinsip budaya yang menganggap dirinya lebih tinggi
derajatnya dibandingkan dengan seorang Ata.
Perspektif tersebut kenyataannya masih dipengang teguh sebahagian besar oleh
keturunan raja, walaupun sebahagian warga menilai suda tidak zamannya. Akan tetapi
proses implementasinya budaya karaeng dalam system pernikahan dilakukan dengan
model penjodohan sesama keturunan karaeng. Jadi nilai budaya system pernikahan
terkait diksi gelar dikalangan masyarakat jeneponto penganut status sosial karaeng itu
35
masih berlaku walaupun sifatnya masih tertutup dikalangan masyarakt publik. Hal
tersebut sejalan dengan data observasi berikut.
Lokasi penelitian atau rumah adat Binamu terletak di Kelurahan Pabiringang,
Kecamatan Binamu Kabupaten Jeneponto. Rumah adat di Kecamatan Binamu Kabupaten
Jeneponto, salah satu peninggalan nenek moyang/leluhur yang masih dilestarikan oleh
masyarakat hingga sampai sekarang ini, rumah adat Binamu memiliki ciri khas tersendiri,
mulai dari kepala rumah, tangga, jendela, pintu, dinding bagian depan di ukir sedemikian
rupa. Halamannya yang begitu luas di sisi bagian kanan terdapat para makam-makam
keturunan dari Raja Binamu.
Simbol rumah sebagai warisan budaya yang sampai harini ini masih
digunakan pada setiap rumah masyarakat asli jeneponto sebagai pembeda
strata sosial. (Wawancara/Karaeng Manisi/Menantu Keturunan Raja
Binamu/7/10/2020)
Strata sosial mayarakat jenoponto juga dapat dilihat dari aspek tempat tinggal,
sebagaimana pada hasil wawancara dengan keturunan raja, beliau menyampaikan bahwa
penanda status sosial kebangsawanan dapat dilihat dari aspek tempat tinggal. Symbol
kepala rumah yang bersusun empat mendakan kalau mereka memiliki status sosial yang
palingtinggi. Rumah yang memiliki kepala yang bersusun empat merupakan rumah
keturunan raja yang sekarang dipanggil karaeng. Sementara rumah yang bersusun di
bawa empat untuk suda bagian dari masyarakat biasa.
Rumah keturunan raja yang memiliki kepala bersusun empat tersebut menyerupai
symbol rumah adat kerajaan jeneponto yang dikenal dengan Balla Lompoa Binamu.
Rumah yang memiliki kepala bersusun empat merupakan rumah tradisional yang
diwariskan oleh zaman kerajaan yang sampai hari ini masyarakat masih mempertahankan
rumah kayu tersebut.
36
Ikon sebagai symbol kerajaan jeneponto pada masanya terlihat dengan kehadiran
balla lompoa binamu sebagai cagar budaya. Sampai hari ini masyarakat Jeneponto masih
melestarikannya lewat bangunan tempat tinggal mereka. Balla lompoa jeneponto masih
original dari aspek fasilitas atau perangkat lainnya. Sebagai mana pada hasil wawancara
berikut ini:
ini tidak pernah dirubah papan apa dinding belumpi dirubah, karna ini
maunya pemerintah di ambil alih tapi saya tidak mau dimanaka mau
tinggal kalau di ambil alih bagaimana caranya baru ini lagi warisan baru
tempatnya juga luas sekali mau di tinggalkan jadi kalau di gantiki tidak
mungkin begini luasnya dikasikan ki. Penerusnya itu Karaeng Ngawing
tapi menikah Karaeng Ngawing anaknya lagi tapi di palopo sekarang
tinggal yang penerusnya ini. Setiap struktur bagunan balla lompoa
memiliki makna tersendiri, seperti tangga. (Wawancara/Karaeng
Manisi/Menantu Keturunan Raja Binamu/7/10/2020)
Dari hasil wawancara bersama menantu Raja Binamu bahwa keberadaan balla
lompoa karaeng Binamu ini secara arsitektur masih dipertahankan keasliannya serta
makna simbolik yang terkandung dalam desain rumah tersebut. Rumah balla lompoa yang
memiliki tujuh anak tangga dengan makna simbolik bahwa karaeng binamu merupakan
raja ketuju. Selain dari tangga tersebut, symbol rumah adat juga kelihatan pada kepala
rumah yang berlapis empat. Makna rumah yang berlapis empat menandakan bahwa raja
binamu dilantik oleh “Toddo Appaka”. Jadi makna simbolik dari kepala rumah adat yang
bersusun empat dalam bentuk segi tiga menandakan bahwa raja binamu dilantik oleh
“toddo appaka´ secara demokrasi.
Dari data hasil observasi awal peneliti melihat bahwa memang rumah adat
Binamu (Balla Lompoa) yang terletak di Kelurahan Pa’biringa Kecamatan Binamu,
rumah ini memiliki bentuk dasar segi empat bentuk dan bahan yang di gunakan juga
masih asli. Salah satu ciri khas dari rumah adat ini adalah bentuk tiangnya yang pendek
dan tidak seperti rumah adat Makassar lainnya. Beberapa Regalia (tanda kerajaan)
Kerajaan Binamu masih disimpan oleh pewaris Kerajaan Binamu dan pada waktu tertentu
37
masih di gunakan untuk upacara-upacara adat. Selain aspek arsitekturnya yang tidak
kalah penting adalah aspek keruangannya karena tempat tersebut merupakan salah satu
tempat penting dalam sejarah Kerajaan Binamu.
Nilai sipakatau termasuk itu sampai sekarang masih melekat pada di
masyarakat jeneponto. (Wawancara/Ibulaeng Karaeng Ti’no/Keturunan
Karaeng Labbua Talibannangna/8/10/2020/2020)
Dari hasil wawancara dengan menantu keturunan Karaeng Labbua
Talibannangna bahwa, Nilai sipakatau dari aspek wujudnya adalah saling
menghargai baik dari aspek hubungan sosial, hubungan kerja, hubungan
bermasyarakat, bahkan hubungan adat istiadat. Artinya apapun yang akan
diperbuat harus lebih mengedepankan system demokrasi, seperti mendiskusikan
dan menampung berbagai masukan. Inilah sampai sekarang masih di pertahankan
di masyarakat Jeneponto. Karena filosofi sipakatau ini memandang manusia lain
sebagai mana ia memandang dirinya sebagai sesama manusia. Peneliti dapat
melihat bahwa nilai sipakatau tidak hanya sebatas nilai kultur yang di akui oleh
masyarakatnya, akan tetapi juga teraplikasi pada tindakannya. Artinya dalam
hidup dan kehidupan nilai-nilai tersebut senyatanya melekat dalam pergaulan
masyarakat.
Masih sampai sekarang di lakukan oleh masyarakat karna itu adalah salah
satu tradisi/kebiasaan kita turun temurun. Satu contoh itu seperti orang
perkawinan masih ada semacam mappaccing atau korontigi, terus masih ada
kendaraan adat seperti halnya marra’ masih itu itu turunan dari leluhur itu.
(Wawancara/Karaeng Bangkala/Keturunan Raja Bangkala/12/10/2020)
Dari hasil wawancara dengan keturunan raja Bangkala bahwa tradisi
seperti orang perkawinan masih ada mappaccing, terus kendaraan adat itu masih
ada dan itu merupakan turunan dari leluhur. Jadi upaya untuk melestarikan tradisi
kita adalah dengan melaksanakan tradisi/kebiasaan tersebut.
38
Kebudayaan itu sangat penting dalam kemajuan suatu bangsa.
Keberagaman kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang
sangat diperlukan untuk memajukan kebudayaan Nasional Indonesia di tengah
dinamika perkembangan dunia. Dalam menjaga dan melestarikan budaya lokal
yang ada dalam masyarakat dan bermanfaat bagi kita semua khusunya kita
sebagai generasi muda dan mendukung kelestarian budaya dan ikut menjaga
budaya kita.
Ya, karena sampai sekarang di lakukan oleh masyarakat karna itu adalah
salah satu tradisi/kebiasaan kita turun temurun. Satu contoh itu seperti orang
perkawinan masih ada semacam mappaccing atau korontigi, terus masih ada
kendaraan adat seperti halnya marra’ masih itu itu turunan dari leluhur itu.
(Wawancara/Karaeng Bangkala/Keturunan Raja Bangkala/12/10/2020)
Tradisi ini sudah sering dilakukan oleh masyarakat (Perkawinan &
Sunatan), tradisi ini dari dulu sampai sekarang masih ada dan tetap dilakukan.
Karena masyarakat menganggap ini sangat penting bagi kehidupannya. Tradisi ini
sering dilakukan dengan meriah seperti pesta perkawinan, pesta sunatan, tujuh
bulanan, itu salah satu adat, dan di laksanakan, jadi untuk menjaga kelestariannya
maka harus di laksanakan.
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau
dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan
secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan
memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi dan suku bangsa, agama,
budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang
berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu.
Salah satunya adalah tradisi mappacci/mapaccing, adat mappacci
dilangsungkan sebagai ajang silaturahmi keluarga besar mempelai sekaligus
39
memberikan doa restu kepada calon pengantin. Dalam tradisi ini acara mappacci
dilakukan oleh keluarga dekat calon pengantin dan disaksikan tamu undangan
pada malam tudang penni. Calon pengantin duduk diatas lamming yaitu
pelaminan dengan mengenakan pakaian adat. Didepan calon pengantin diletakkan
sebuah bantal sebagai simbol penghormatan. Di atas bantal tersebut diletakkan
daun pisang dibentuk segitiga. Daun pisang adalah simbol turun temurun atau
berkelanjutan. Kemudian diatas daun pisang diletakkan tujuh lembar sarung sutera
(lipa sabbe). Bagi yang bergelar bangsawan (keturunan raja) ditandai dengan 11
lembar sarung sutera. Masih di hadapan calon pengantin, ada daun nagka
sebanyak tujuh lembar di letakkan pada piring kecil. Di sampingnya ada
semangkuk beras yang diyakini masyarakat sebagai simbol berkembang biak.
Gula merah, kelapa, beberapa lilin, dan semangkuk daun pacci yang sudah di
tumbuk halus sebagai tanda penyucian. Inilah yang disebut mappacci atau
mappaccing yang berarti bersih.
Jadi upaya pelestarian adat budaya itu salah satunya kita harus laksanakan
setiap ada pesta adat. Seperti ada pesta perkawinan, pesta sunatan, termasuk
pesta nuju bulan (tujuh bulanan) nah itu salah satu adat itu, dan itu kita
laksanakan itulah, karna sudah kebiasaan maki maka kita laksanakan jadi,
untuk menjaga kelestariannya maka harus di laksanakan.
(Wawancara/Karaeng Bangkala/Keturunan Raja Bangkala/12/10/2020)
Dari hasil wawancara dengan keturunan raja Bangkala mengatakan bahwa
cara kita menjaga/mempertahankan budaya adalah kita harus laksanakan. Untuk
melestarikan budaya itu sendiri, sebaiknya kita tidak terpengaruh dengan budaya
negara lain. Kita boleh mempelajari budaya asing, namun harus dengan cermat.
Mengambil sisi positif yang bisa mengembangkan diri kita tanpa menghilangkan
jati diri kebudayaan sendiri.
Wujud itu yang saya katakan tadi anggaru biasanya di pengantin itu jarang di
lakukan, yang sering di lakukan itu di sambut dengan tari pa’dupa. Karna
40
anggaru ini biasa dilakukan para keturunan raja saja. (Wawancara/Ibulaeng
Karaeng Ti’no/Keturunan Karaeng Labbua Talibannangna/8/10/2020)
Dari hasil wawancara bersama menantu Karaeng Labbua Talibannangna
dia mengatakan bahwa salah satu wujud kegiatan adat Kerajaan adalah anggaru.
Anggaru ini dulu dilakukan jika ada tamu penting/kehormatan yang datang. Dan
dilakukan juga saat acara pengantin tetapi hanya untuk para keturunan
Raja/Karaeng saja. Anggaru artinya sumpah yang di ucapkan abdi raja kepada
rajanya dulu, atau sebaliknya oleh raja kepada rakyatnya.
Sebenarnya sedikit ada perubahan, seperti halnya itu perubahan seperti
marra’ itu atau yang biasa di pake di angkutan pengantin atau pesta
pengantin, dulu kan tidak dikasi begituji modelnya jadi biasa ji. Sekarang di
renovasi di modifikasi supaya cantik kelihatan begitu, dulu kan masih istilah
tradisi. (Wawancara/Karaeng Bangkala/Keturunan Raja
Bangkala/12/10/2020)
Itu terjadi sesuai sifat dasar manusia itu juga yang menginginkan adanya
perubahan dan pola pikir masyarakat juga yang semakin berkembang
menemukan ide-ide baru. (Wawancara/AZA/Keturunan Raja
Binamu/16/10/2020).
Dari hasil wawancara dengan salah satu para Keturunan Raja Binamu dan
Bangkala, perubahan itu pasti ada karna seiring dengan perkembangan zaman, nah
salah satu yang menyebabkan ini terjadi adalah pola pikir masyarakat yang
semakin berkembang dan banyak menemukan ide-ide baru. Maka dari itu
sebaiknya menyampaikan hal tersebut kepada penerus generasi kita dan orang
lain. Salah satu caranya adalah mengajarkan kepada orang lain, baik di lingkungan
rumah atau sekolah. Dengan mengajarkan budaya kita ke orang lain, maka
semakin banyak orang yang mengetahui mengenai budaya daerah sendiri maupun
budaya daerah lain. Sehingga memperkaya diri sendiri dan orang lain dengan
pengetahuan kebudayaan.
Mungkin karna factor zaman juga sekarang semakin maju dan canggih, dulu
kita kalau mau mengundang ke acara misalnya acara nikahan itu kita datangi
41
rumahnya dengan kata lain a’buritta. Sekarang lewat hp sudah selesai
masalah, tidak capek capekmi lagi kesana kemari. (Wawancara/Karaeng
Manisi/Menantu Keturunan Raja Binamu/7/10/2020)
Dari hasil wawancara dengan menantu Karaeng Raja Binamu itu sama
dengan informan yang lain, bahwa penyebab perubahan ini terjadi karna factor
zaman. Yang dimana salah satu factor yang menyebabkan perubahan itu terjadi
karna orang sudah banyak mendapatkan penemuan baru kemudian di
kembangkan. Tetapi tradisi ini tetap dilaksanakan dan hanya sedikit yang berubah.
Pada zaman modern ini dengan kemajuan teknologi serba digital, tak
disangkal menjadi ancaman bagi nilai-nilai leluhur. Karena kurangnya pengenalan
dan penghayatan terhadap nilai-nilai budaya tersebut. Bahkan dampaknya adalah
semakin merosotnya moralitas warga masyarakat, kurangnya rasa hormat kepada
sesama, sikap tidak ambil peduli, itu merupakan perilaku yang mudah kita
temukan sehari-hari di lingkungan sekitar kita.
Karna sekarang sudah canggih dan salah satunya itu pakaian pengantin,
dulu kan itu pengantin di pakaikan da’dasa sekarang sudah jarang saya lihat
karna di pakaikan jilbab. Sudah tidak adami juga saya liat anak-anak yang
pakai baju bodo untuk menyambut para tamu undangan.
(Wawancara/Ibulaeng Karaeng Ti’no/Keturunan Karaeng Labbua
Talibannangna/8/10/2020)
Dari hasil wawancara Menantu Karaeng Labbua Talibannangna bahwa
perubahan yang ada itu adalah salah satunya baju bodo (salah satu pakaian
tradisional perempuan suku Makassar) ini sering di pakai anak-anak atau Taulolo
(anak gadis yang beranjak remaja). Tapi sekarang sudah jarang sekali terlihat.
Berdasarkan wawancara yang di lakukan peneliti, peneliti dapat
mendeskripsikan bahwa seiring perkembangan zaman yang semakin modern ini,
perubahan adat budaya dapat terjadi karna factor perkembangan zaman yang
dimana, factor ini dapat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat. Yang
42
mencakup perubahan budaya yang di dalamnya terdapat perubahan nilai-nilai dan
tata kehidupan dari tradisional ke modern.
b. Warisan Nilai-Nilai Budaya Sebagai Perekat Kepribadian
Warisan nilai budaya pada masyarakat jeneponto yang sampai hari ini
masih menjadi pengangan teguh masyarakat. Nilai-nilai budaya bagi generasi saat
sangat berarti dalam masyarakat, karena berkaitan erat dengan norma, keyakinan,
adat, praktik-praktik dan simbol-simbol. Oleh sebab itu, nilai-nilai sangat perlu
dirawat, dijaga dan diwariskan kepada generasi kegenerasi, baik melalui keluarga,
pendidikan atau organisasi-organisasi masyarakat.
Warisan budaya yang masih menjadi pengangan hidup dan tidak
bisa dilepas oleh setiap keturunan, yaitu sipakatau, kejujuran,
kebersamaan Wawancara/Karaeng Bangkala/Keturunan Raja
Bangkala/12/10/2020)
Nilai budaya yang harus diwariskan secara terus menerus oleh semua
keluarga atau generasi sebagaimana pada hasil wawancara keturunan raja adalah
prinsip sipakatau. Prinsip ini harus selalu dilestarikan dan dihidupkan dalam
bermasyarakat karena dengan prinsip ini akan menhadirkan rasa kekeluargaan
yang lebih aman, sprinsip menghargai satu sama lain juga akan selahu hidup dan
ini harus diterapkan dimana pun kita hidup dan berada.
Prinsip sipakatau memiliki makna yang sangat mendalam dalam setiap
pengambilan keputusan. Secara sejajar menurut keturunan raja dari hasil
wawancara, sikap sipakatau kalau dulu, setiap ingin melakukan sesuatu itu
didiskusikan terlebih dahulu dengan cara memanggil penasehat atau berbagai
perwakilan dengan tujuan agar tidak ada yang disepelehkan. Selain dari itu, setiap
ada perkara-perkara yang berhubungan dengan masyarakat para pengawal raja
menyampaikan kepada masyarakat terkait dengan keputusan yang akan
43
dikeluarkan. Kalau ada protes atau tidak menemukan kesepakatan maka
masyarakat akan dikumpulakan untuk mendiskusikan secara bersama-sama.
Proses tersebut di atas selaian menanamkan sikap sipakatau secara tidak
langsung, juga menunjukan konsep demokrasi. Prinsip sipakatau disini lebih
mengarah pada konsep saling menghargai satu sama lain yang didalamnya juga
mengandung prinsip demokrasi dan keterbukaan.
Selain dari prinsip sipakatau yang menjadi warisan kerjaan binamu, juga
pronsip nilai kejujuran. Prinsip kejujuran ini dalam bahasa Jeneponto kepribadian
“lambusu” makna lambusu disini merupakan dari aspek perbuatan dan perkataan.
Lambusu dalam aspek perkataan diharapkan untuk selalu berkata yang benar
apapun itu, baik perkataan itu diperuntukkan kepada siapa saja agar kelak generasi
yang akan datang juga dapat mewarisi perkata-perkata tersebut. Sementara
lambusu dari aspek perbuatan, segala langka dan tingkah laku arus berjalan pada
suatu kebenaran bukan menipulasi yang dapat merugikan diri sendiri dan orang
lain. Salah satu contoh perbuatan lambusu adalah memberikan hak orang sesuai
dengan porsi yang sebenaranya.
Selanjutnya dari aspek passamaturukan (kebersamaan) merupakan bagian
dari warisan budaya yang juga menjadi pegangan hidup masyarakat jeneponto.
Nilai passamaturukan (kebersamaan) ini telah lahir dari zaman kerajaan dan masih
dipengang sampai hari ini. Nilai passamaturukan (kebersamaan) sering
terimplementasikan pada kegiatan-kegiatan angkat rumah, tanam padi, bahkan
biasa masuk pada rana konflik. Seperti contoh jeneponto terkenal dengan
kelompok massa bagi pelanggar nilai-nilai budaya.
44
2. Bagaimana Eksistensi Nilai Budaya Kerajaan Binamu dan Bangkala Pada
Masyarakat Jeneponto di Abad-21
a. Eksistensi Nilai Budaya Secara Simbolik
Eksistensi nilai budaya yang di wariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala
pada masyarakat Jeneponto saat ini, sampai sekarang masih ada dan masih eksis
di masyarakat Jeneponto meskipun ada sedikit perubahan karena factor kemajuan
zaman. Salah satu budaya yang masi bertahan sampai saat ini dapat dilihat pada
hasil observasi, wawancara dan data dokumen berikut:
Nilai siri yang masi mendaradangin, masi eksis sampai sekarang,
dan implementasi dari nilai siri tersebut kadang cenderung anarkis,
melampau nilai-nilai kemanusiaan. (D.1. Observasi)
Eksistensi budaya secara simbolik yang masik eksis sampai saat ini di
Kabupaten jeneponto adalah nilai siri. Dari hasil observasi peneliti baik secara
langsung maupun melalui mendia visual, implementasi nilai siri kadang
melampau nilai-nilai kemanusiaan. Pengimplementasian nilai siri yang melampau
batas tersebut eksis sampai sekarang dan jalannya hampir sama dimasa lalu
karena setiap persoalan yang menyentuh hak hidup kepribadian tidak bisa
dikompromi atau ditukar apapun kecuali kematian dan itu masi eksis sampai saat
ini.
Pelaksanaan siri tersebut yang melampau batas kemanusiaan mungkin
sejalan dengan makna dari kata atau istila siri yaitu salah satu budaya masyarakat
Bugis-Makassar yang dijunjung tinggi dan terpelihara sejak lama. Berbagai pihak
mengartikan konsep ini sebagai harga diri, kehormatan, martabat, etos dan malu.
Dari makna tersebutlah sehingga perlakuan yang menyentu kata siri mau tidak
mau, diterima tidak diterimah jawabannya adalah kematian. Sehingga perilaku
yang menyentu persoalan siri tidak mengenal tentang hukum dan kompromi,
45
hukum merupakan persoalan kedua kalau persoalan menyentu tetantang siri.
Masalah tersebut masi eksis dikalangan masyarakat jeneponto sampai hari ini.
Nilai simbolik yang masih eksis sampai hari ini dikalangan masyakat
jeneponto mengenai nilai warisan kerajaan binamu berupa konstruksi rumah
masyarakat, hal tersebut dapat dilihat pada hasil data observasi berikut ini:
Nilai simbolik warisan budaya yang eksis saan ini seperti konstruksi
rumah masyarakat yang menyerupai rumah adat binamu. Dimana
rumah itu memiliki model atap, teras, dan tangga yang mirip dengan
rumah adat. (D.1. Observasi)
Eksistensi nilai budaya secara simbolik sebagaimana hasil observasi itu
kelihatan pada rumah masyarakat yang menyerupai rumah adat kerjaan binamu.
Kontruksi rumah mayarakat yang menyerupai rumah adat terlihat dari aspek
model atap yang berbentuk segi tiga yang bersusun empat. Selain dari atapnya,
rumah warga menyerupai teras rumah adat yang posisi tangga berada ditengah.
Selain itu, posis tangga juga menyerupai posisi tangga rumah adat balla lompoa.
Dari setiap rumah walapun memiliki kemiripan konstruksi atap akan
tetapi dari segi lapisan rumah warga dengan rumah keturunan raja memiliki
perbedaan jumlah lapisan. Kalau keturunan raja cenderung memiliki empat lapis
atap rumah, sementara rumah warga yang berstatus sosial biasa hanya
mengunakan tingan susun atap. Ini artinya bahwa kesadaran sosial masyarakat
terkait status sosial mereka masih tinggi dan itu merupakan salah satu bagian
penghargaan terhadap keturunan raja.
Selain hal di atas, simbol tradisi lainnya yang masi eksis saat ini, seperi
angngalle alio pada acara-acara kematian. Hal tersebut dapat dilihat pada data
berikut ini:
46
budaya angngalle alio dilaksanakan pada hari puncak peringatan hari
kematian, seperti tallung ngallona, limang ngallona, tujuh ngallona,
salapang ngallona, atau hari-hari ganjil. Ada juga adakalanya tradisi
angngalle alio' dilaksanakan pada sampulo ngallona, ruampulo allona,
patampulo allonna, sibilangngan allonna dan tammu taunna. Ritual
tersebut dilakukan dalam bentuk membaca do’a-do’a dan menyajikan
sesajen (Data Observasi).
Budaya Angngalle alio merupakan tradisi pada acara kematian dengan
konsep peringatan hari kematian yang terbagi dalam beberapa pases aturan tradisi
masyarakat jeneponto. Pada peringatan kematian dikenal dengan hari kematian
tiga harinya, pase peringatan kematian berikutnya dikenal dengan pase peringatan
lima harinya, selanjutnya masuk pada pase peringatan kematian tuju harinya dan
pase Sembilan harinya. Bagi keluarga yang mampu cenderung juga melakukan
peringatan kematian keluarganya sampai pada pase sepulu harinya, dua pulu
harinya sampai pada keempat puluhnya. Tradisi ini dipandang sebagai tradisi dari
para terdahulunya yang sering dilakukan dizaman system kerajaan. Budaya ini
dari nilai manfaat secara sosial kekeluargaan sebagai jalan untuk merekatkan
kembali hubungan keluarga dari jauh mau pun yang dekat.
Salah satu budaya yang masih eksis dikalangan masyarakat jeneponto salah
satunya adalah Angngalle alio. Prinsip dasar dari tradisi angngalle alio yang
merupakan bagian dari kebudayaan karena di dalam acara tersebut terbangun
interaksi individu antara satu individu dengan individu lainnya. Secara prinsip
masyarakat Jeneponto tradisi Angngalle alio sebagai budaya sosial masyarakat
Turatea telah mendarah-daging secara structural warga masyarakat dan sangat
sukar diubah serta dihapuskan walaupun perkembangan pengetahuan dan
kemajuan pemahaman masyarakat terhadap hakikat nilai keagamaan Islam yang
mereka anut semakin berkembang.
47
Angngalle alio merupakan salah satu tradisi masyarakat Jeneponto yang
tertua dan bersifat religius berkenaan keluarga yang meninggal dunia. Secara
kontekstual Angngalle alio merupakan bagian dari kekayaan kebudayaan
Indonesia sebagaimana pengertian tradisi atau kebudayaan sebagaimana yang
dimaksud oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2000:149) yang
mencakup hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti
kepercayaan, kesenian, adat istiadat. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Alo
Liliweri mengutip Edward T. Hall (2005: 36) menjelaskan bahwa kebudayaan
merupakan bagian dari komunikasi, artian bahwa hanya manusia berbudaya yang
berkomunikasi, dan ketika manusia berkomunikasi dia dipengaruhi oleh
kebudayaannya itu sendiri.
Persepsi masyarakat Jeneponto terhadap Angngalle alio sebagai
kepercayaan bahwa si mayit atau orang yang baru berpisah dengan rohnya, belum
sepenuhnya pergi meninggalkan dunia fana ini, tetapi masih berada di sekeliling
kediamannya dan masi menyaksikan berbagai aktifitas keluarga yang
ditinggalkannya.
b. Jalan Menjaga Eksistensi Nilai Warisan Budaya
Dimensi prinsip dalam melestarikan eksistensi budaya tersebut dapat
dilihat pada data hasil wawancara berikut ini:
Jadi, bagaimana kita menjaga eksistensi budaya warisan leluhur kita ini
adalah dengan melaksanakan dan tetap di sosialisasikan untuk
masyarakat bahwa ini harus di pertahankan tidak bisa tidak di
pertahankan karna apa, bagaimana pun juga itu kebiasaan kita tradisi.
(Wawancara/Karaeng Bangkala/Keturunan Raja Bangkala/12/10/2020).
48
Dari hasil wawancara bersama keturunan Raja Bangkala bahwa Nilai
Budaya yang telah di turunkan oleh leluhur/nenek moyang kita ini harus di
pertahankan dan terus di adakan/dilaksanakan, terutama adat istiadat kita.
Kebudayaan itu sangat penting dalam kemajuan suatu bangsa.
Keberagaman kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang
sangat diperlukan untuk memajukan kebudayaan Nasional Indonesia di tengah
dinamika perkembangan dunia. Dalam menjaga dan melestarikan budaya lokal
yang ada dalam masyarakat dan bermanfaat bagi kita semua khusunya kita
sebagai generasi muda dan mendukung kelestarian budaya dan ikut menjaga
budaya kita.
Manfaat itu, sebenarnya begini satu hal mungkin manfaat nya itu beginiji.
Karna kebiasaan leluhur kita seakan-akan satu kebanggaan buat kita apa
bila kita laksanakan itu juga. Dan manfaatnya itulah kalo manfaat lain-
lain saya kira tidakji masalah ekonomi tidakji bahkan merugikan ekonomi
tidak. Cuman kebanggan kita kalau kita laksanakan. (Wawancara/Karaeng
Bangkala/Keturunan Raja Bangkala/12/10/2020)
Dari hasil wawancara dengan keturunan langsung Raja Bangkala
memberikan pendapat bahwa ini adalah subuah kebanggan bagi kita juga yang
melaksanakannya. Salah satu contoh tari paddupa, seiring dengan perkembangan
jaman banyak hal yang bisa membuat kebudayaan tersebut punah bahkan tidak di
kenal jika kita sendiri tidak berusaha untuk menjaga dan melestarikannya.
Tidak ada, itu juga tergantung perekonomian jika mau di adakan pesta
besar-besaran atau sederhana saja. (Wawancara/Ibulaeng Karaeng
Ti’no/Keturunan Karaeng Labbua Talibannangna/8/10/2020)
Dari hasil wawancara dengan menantu Keturunan Karaeng Labbua
Talibannangna bahwa selama ini tidak ada hambatan dalam melaksanakan tradisi
tersebut. Begitupun dengan informan yang lain jawabannya sama jika selama ini
49
tidak ada hambatan karena sepanjang kita mau bekerja, mau melestarikan nilai-
nilai adat budaya kita itu saya kira tidak ada hambatan.
Ketaatan masyarakat Jeneponto masih terlihat jelas pada kehidupan sehari-
hari mereka yang masih memegang teguh kepercayaan para leluhurnya. Walaupun
demikian, masyarakat Jeneponto adalah penganut Agama Islam yang sangat
fanatic yang tidak menerima jika mereka dikatakan tidak beragama Islam.
Meskipun yang mereka lakukan adalah kepercayaan dari leluhur mereka yang
bukan bersumber dari Islam. Dan menurut masyarakat Jeneponto hanya satu
karaeng Allah Ta’ala yaitu Allah Swt.
Tradisi angngalle alio biasanya dilaksanakan pada hari puncak peringatan
hari kematian, yaitu; tallung ngallona (hari yang ketiga dari kematian seorang
anggota keluarga dari masyarakat turatea), limang ngallona (hari yang kelima),
tujuh ngallona (hari yang ke tujuh), salapang ngallona (hari yang kesembilan) atau
hari-hari ganjil sesudah hari yang ketiga dari kematian seseorang atau acara
tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuan keluarga almarhum/ almarhumah.
Adakalanya tradisi angngalle alio' dilaksanakan pada sampulo ngallona (hari yang
ke sepuluh), ruampulo allona (hari yang kedua puluh) patampulo allonna (hari
yang ke empat puluh), sibilangngan allonna (hari yang keseratus) dan tammu
taunna (hari setahunnya dari kematian seseorang anggota masyarakat turatea)
(Jumateng Rate, 1983: 20-21).
50
B. Pembahasan
1. Nilai-Nilai Budaya Warisan Kerajaan Binamu dan Bangkala
a. Nilai Sombolik Kebudayaan Warisan Kerajaan Binamu dan Bangkala
Perspektif Teori
Nilai budaya masyarakat jeneponto merupakan warisan kebudayaan dari
kerajaan yang sampai hari ini masih menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat.
Secara teori fungsionalisme struktural kebudayaan masyarakat jeneponto merupakan
bagian dari prinsip hidup yang menjadi kewajiban untuk dibudayakan secara
structural kekeluargaan dan struktur sosial masyarakat secara keseluruhan.
Salah satu konsep nilai kebudayaan yang diwarisinya adalah makna siri dalam
kehidupan mereka. Makna siri yang dipahami secara struktural sosial masyarakat
jeneponto adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar atau digantikan oleh nilai apapun.
Nilai siri dalam perspektif masyarakat jeneponto merupakan hal yang berkaitan
dengan harga diri, norma hidup dan tata nilai yang paling tinggi nilainya sehingga
semua persoalan yang berkaitan dengan siri maka taruhannya adalah nyawa.
Pandangan tersebut berlaku secara general dan di pahami oleh semua masyarakat
jeneponto, dalam teori stuktur fungsional menurut Adibah, I. Z. (2017). terjadinya
kesepakatan makna penegakan siri karena adanya sudut pandang yang sama terhadap
pemaknaan kata siri dalam kehidupan sosial masyarakat jeneponto.
Sementara dari aspek nilai budaya secara simbolik yang terbagun dalam
lingkungan sosial masyarakat kelihatan dari aspek konstruksi bangunan rumah yang
menyerupai rumah adat balla lompo binamu. Walaupun dalam konstruksi bangunan
warga tersebut memiliki pembeda dari rumah keturunan bangsawan, hal itu dilakukan
demi menjagan nilai etika status sosial antara gelar bangsawan dan non bangsawan.
Dalam pandangan teori strukutral fungsional Marzali, A. (2014) kesadar budaya atau
51
nilai etis dapat tercipta karena adanya kesamaan pandangan sebagai penghargaan dan
nilai tatakrama, inilah yang terbagung di masyarakat jenepontoh sehingga bentuk dan
desain rumah tetap dalam konsep nilai etis.
Nilai budaya secara simbolik yang diwarisi oleh masyarakat jeneponto terkait
dengan acara-acara kematian, perkawinan dan symbol identitas karaeng. Semua ini
diterima oleh masyarakat jeneponto karena adanya nilai manfaat bagi mereka
sekaligus sebagai jalan untuk melastarikan nilai-nilai budaya tersebut. Penerimaan
budaya tersebut disadari oleh masyarakat jeneponto secara struktural, bahwa semua
yang dilakukan memiliki nilai tersendiri. Salah satu contoh pada acara peringatan hari
kematian yang secara struktur sosial masyarakat melihatnya selain mengenang
kebaikan masa hidup almarhum juga sebagai ajang untuk merekapkan kembali
keluarga jauh untuk kembali membangun kebersamaan dan silaturahin.
Sementara dari aspek ritual perkawinan secara simbolik juga sebagai ajang
untuk membangun nilai silaturahim antar sesama keluarga sehingga semua keluarga
menjadi bagian yang wajib untuk hadir. Pada proses acara terbagi atas dua, ada acara
pancing dan ada acara pesta. Makna pancing disini untuk memberikan doa atau
berkah secara khusus yang dilakukan oleh keluarga yang paling terdekat. Sementara
acara pesta merupakan acara peresmian secara umum untuk ajang silaturahim bagi
keluarga, sahabat atau pun teman yang lain. Contoh tersebut sejalan dengan konsep
teori struktural fungsional menurut Marzali, A. (2014) bahwa terjadinya konsep ritual
baik dari aspek perkawin maupun kematian, semua itu berangkat dari kesepakat
struktur keluarga dan masyarakat dalam wilaya tersebut.
52
b. Warisan Nilai-Nilai Budaya Perspektif Teori Solidaritas
Warisan nilai budaya masyarakat jenponto yang selama ini diamalkan oleh
masyarakat seperti nilai sipakatau. Konsep sipakatau merupakan konsep yang
mengandung prinsip saling menghargai satu sama lain dalam lingkungan sosial
masyarakat. Konsep sipakatau mengandung nilai saling menghargai dengan
menumbuhkan nilai-nilai salaing mempercayai antara kelompok masyarakat.
Munculnya konsep kepercayaan dalam nilai sipakatau akan menumbuhkan jiwa
solidaritas antar masyarakat. Menurut Emile Durkheim solidaritas adalah perasaan
saling percaya antara para anggota dalam suatu kelompok atau komunitas. Kalau
orang saling percaya, maka mereka akan menjadi satu atau menjadi persahabatan,
menjadi saling hormat-menghormati, menjadi terdorong untuk bertanggung jawab dan
memperhatikan kepentingan sesamanya. Hal inilah yang menorong masyarakat
jeneponto sehingga meraka selalu ikut terdorong dalam hal kegiatan kemasyarakat
baik dari aspek gotongroyong maupun kegiatan ritual lainnya. Jiwa ini telah terbagun
sejak jaman kerajaan dimana setiap kegiatan kerajaan masyarakat selalu berbondong-
bondong ikut bekerja dalam kegiatan kemasyarakat, bahkan ikut berperang pun tidak
menjadi persoalan baginya.
Nilai simbol lain yang tertanam dalam masyarakat jeneponto adalah nilai
kebersamaan dan kejujuran. Dalam teori solidaritas mekanik terkait nilai kebersamaan
dan kejujuran terbagung karena adanya rasa solidaritas yang didasarkan pada suatu
kesadaran kolektif yang menunjuk kepada totalitas kepercayaan yang rata-rata ada
pada masyarakat yang sama, yaitu mempunyai kesadaran yang sama terkait tanggung
jawab untuk menjaga dan melindungi daerah masing-masing. Sehingga nilai tanggung
jawab secara bersama-sama menjadi nilai kewajiban yang tertanam secara kolektif.
Konsep nilai tersebut telah tertanam sejak dulu dan ini berangkat dari nilai-nilai yang
53
dicermikan oleh para raja dan keturunannya. Sikap jujur dan kebersamaan menjadi
bagian dalam kehidupan mereka. Namun untuk zaman sekarang ini, nilai
kebersamaan tersebut sedikit mengalami kemunduran. Hal tersebut kelihatan dari
hasil wawancara karena tingginya tingkat kesibukan dan pemenuhan hak hidup
keluarga.
Walaupun nilai solidaritas kebersamaan sudah mulai terkikis akan tetapi
belum hilang secara keseluruhan, sebahagian daerah masing menjunjung nilai
tersebut, seperti bergotongroyong mengangkat rumah, dan tanam padi. Terbagunnya
sikap gotongroyong sebagaimana yang dicontohkan Emile Durkheim dalam Ritzer,
(2012) bahwa kelompok masyarakat yang berkumpul atas keinginan bersama, yaitu
adanya ikatan sosial yang mengikat individu itu dengan kelompoknya, tentu bukan
karena paksaan fisik, melainkan ikatan utamanya adalah kepercayaan bersama, cita-
cita dan komitmen moral. Orang yang sama-sama memiliki kepercayaan dan cita-cita
ini merasa bahwa mereka mestinya bersama-sama karena mereka berpikiran serupa.
Munculnya solidaritas sosial dalam masyarakat karena adanya nilai
keterbukaan dan nilai kejujuran pada lembaga pemerintah seperti pemerintah dusun
untuk saat ini. Selain dari itu, solidaritas itu didasarkan pada tingkat saling
ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari
bertambahnya kebutuhan masyarakat sehingga dapat memacu kesadaran kolektif yang
ada pada masyarakat sederhana.
Menurut George Ritzer, solidaritas organik dipersatukan oleh perbedaan-
perbedaan di antara orang-orang, oleh fakta bahwa semuanya mempunyai tugas-tugas
dan tanggung jawab yang berbeda (Ritzer, 2012: 145). Karena dalam masyarakat
organik melaksanakan setiap pekerjaan yang relatif sempit, mereka banyak
membutuhkan tenaga dari orang lain agar dapat memenuhi kelangsungan hidupnya.
54
Oleh karena itu, masyarakat organik dalam pandangan Durkheim “dipersatukan oleh
spesialisasi orang-orang dan kebutuhan mereka untuk layanan-layanan dari banyak
orang lain”.
2. Bagaimana Eksistensi Nilai Budaya Kerajaan Binamu dan Bangkala
Secara Teoritis
Keberadaan atau eksistensi nilai budaya di Kabupaten Jeneponto, sesuai
sumber yang didapat peneliti dari hasil wawancara kepada Keturunan Raja
Binamu maupun Bangkala yaitu. Salah satu contoh yang pertama adat seperti
perkawinan, sunatan, mappaccing, tujuh bulanan, dan passili.
a. Eksistensi Nilai Budaya Secara Simbolik Secara Teoritik
Eksistensi budaya secara simbolik yang masih eksis sampai saat ini di
Kabupaten jeneponto adalah nilai siri. Dari hasil observasi peneliti baik secara
langsung maupun melalui mendia visual, implementasi nilai siri kadang
melampau nilai-nilai kemanusiaan. Pengimplementasian nilai siri yang melampau
batas tersebut eksis sampai sekarang dan jalannya hampir sama dimasa lalu karena
setiap persoalan yang menyentuh hak hidup kepribadian tidak bisa dikompromi.
Eksistensi nilai budaya secara simbolik sebagaimana hasil observasi itu
kelihatan pada rumah masyarakat yang menyerupai rumah adat kerjaan binamu.
Kontruksi rumah mayarakat yang menyerupai rumah adat terlihat dari aspek
model atap yang berbentuk segi tiga yang bersusun empat. Selain dari atapnya,
rumah warga menyerupai teras rumah adat yang posisi tangga berada ditengah.
Selain itu, posis tangga juga menyerupai posisi tangga rumah adat balla lompoa.
Dari setiap rumah walapun memiliki kemiripan konstruksi atap akan tetapi dari
segi lapisan rumah warga dengan rumah keturunan raja memiliki perbedaan
55
jumlah lapisan. Kalau keturunan raja cenderung memiliki empat lapis atap rumah,
sementara rumah warga yang berstatus sosial biasa hanya mengunakan tingan
susun atap. Ini artinya bahwa kesadaran sosial masyarakat terkait istatus sosial
mereka masih tinggi dan itu merupakan salah satu bagian penghargaan terhadap
keturunan raja.
Angngalle alio merupakan salah satu tradisi masyarakat Jeneponto yang
tertua dan bersifat religius berkenaan keluarga yang meninggal dunia. Secara
kontekstual Angngalle alio merupakan bagian dari kekayaan kebudayaan
Indonesia sebagaimana pengertian tradisi atau kebudayaan sebagaimana yang
dimaksud oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2000:149) yang
mencakup hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti
kepercayaan, kesenian, adat istiadat. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Alo
Liliweri mengutip Edward T. Hall (2005: 36) menjelaskan bahwa kebudayaan
merupakan bagian dari komunikasi, artian bahwa hanya manusia berbudaya yang
berkomunikasi, dan ketika manusia berkomunikasi dia dipengaruhi oleh
kebudayaannya itu sendiri.
b. Jalan Menjaga Eksistensi Nilai Warisan Budaya Secara Teoritik
Eksistensi pewarisan budaya secara toeritis terbangun karena adanya
kepedulian masyarakat yang secara sadar dan kolektif terbagun dalam diri mereka.
Wujud dalam menjaga eksistensi warisan budaya tersebut dilakukan dalam bentuk
melakukan peringatan atau melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga.
Tujuan dari pelaksanaan tersebut agar setiap generasi dapat melihatnya dan
mengenalnya secara langsung sehingga kegenerasi berikutnya dapat
mempelajarinya dan melakukannya dimasa mendatang.
56
Dari data wawancara bersama keturunan Raja Bangkala bahwa Nilai
Budaya yang telah di turunkan oleh leluhur/nenek moyang kita ini harus di
pertahankan dan terus di adakan/dilaksanakan, terutama adat istiadat kita.
Kebudayaan itu sangat penting dalam kemajuan suatu bangsa.
Keberagaman kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang
sangat diperlukan untuk memajukan kebudayaan Nasional Indonesia di tengah
dinamika perkembangan dunia. Dalam menjaga dan melestarikan budaya lokal
yang ada dalam masyarakat dan bermanfaat bagi kita semua khusunya kita
sebagai generasi muda dan mendukung kelestarian budaya dan ikut menjaga
budaya kita.
Dari hasil wawancara dengan keturunan langsung Raja Bangkala
memberikan pendapat bahwa ini adalah subuah kebanggan bagi kita juga yang
melaksanakannya. Salah satu contoh tari paddupa, seiring dengan perkembangan
jaman banyak hal yang bisa membuat kebudayaan tersebut punah bahkan tidak di
kenal jika kita sendiri tidak berusaha untuk menjaga dan melestarikannya.
57
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dikemukakan mengenai
Eksistensi Nilai-nilai Budaya Kerajaan Binamu dan Bangkala Dalam Kehidupan
Masyarakat Jeneponto di Abad-21. Maka dalam penelitian ini dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut.
1. Berdasarakan hasil observasi awal di Balla’ Lompoa Karaeng Binamu peneliti
dapat mengambil kesimpulan bahwa rumah ini memiliki bentuk dasar segi
empat bentuk dan bahan yang di gunakan juga masih asli. Salah satu ciri khas
dari rumah adat ini adalah bentuk tiangnya yang pendek dan tidak seperti
rumah adat Makassar lainnya. Beberapa Regalia (tanda kerajaan) Kerajaan
Binamu masih disimpan oleh pewaris Kerajaan Binamu dan pada waktu
tertentu masih di gunakan untuk upacara-upacara adat. Selain aspek
arsitekturnya yang tidak kalah penting adalah aspek keruangannya karena
tempat tersebut merupakan salah satu tempat penting dalam sejarah Kerajaan
Binamu.
2. Eksistensi Nilai Budaya pada masyarakat Jeneponto masih ada dan masih
eksis di tengah-tengah masyarakat Jeneponto, ini merupakan suatu kebanggan,
karena ini merupakan kebiasaan leluhur/nenek moyang. Jadi ini akan tetap di
adakan dan terus dilestarikan ke anak cucu.
58
B. Saran
1. Di era globalisasi ini dapat menimbulkan perubahan pola hidup masyarakat yang
lebih modern. Akibatnya masyarakat cenderung untuk memilih kebudayaan baru
yang di nilai lebih praktis dibandingkan dengan budaya lokal. Salah satu factor
yang menyebabkan budaya lokal dilupakan di masa sekarang adalah, kurangnya
generasi penerus yang memiliki minat untuk belajar dan mewarisi kebudayaan itu
sendiri.
2. Untuk mengatasi hal ini, perlu kesadaran akan pentingnya budaya lokal sebagai
jati diri bangsa. Kewajiban bagi setiap lapisan masyarakat untuk
mempertahankannya, yang dimana peran generasi muda sangat diharapkan untuk
terus berusaha mewarisi budaya lokal dan akan menjadi kekuatan bagi eksistensi
budaya lokal itu sendiri walaupun di terpa arus globalisasi.
59
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, (Ed.). (2005). Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Adibah, I. Z. (2017). Struktural Fungsional Robert K. Merton: Aplikasinya Dalam Kehidupan
Keluarga. INSPIRASI: Jurnal Kajian dan Penelitian Pendidikan Islam, 1(2), 171-184
Ahmadi, H. Abu; Uhbiyati, Nur. Ilmu pendidikan. Rineka Cipta, 1991.
Ambroise, Yvon. Pendidikan Nilai. K Kaswardi (Peny.) Jakarta: Pendidikan KWI/MNPK &
Gramedia Widiasarana, 1993.
Amin, S. (2010). Pewarisan nilai sejarah lokal melalui pembelajaran sejarah jalur formal dan
informal pada siswa sma di Kudus Kulon (Doctoral dissertation, UNS (Sebelas Maret
University)).
Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. (2020). Kabupaten Jeneponto Dalam Angka 2020.
(https://jenepontokab.bps.go.id/publication/2020/04/27kabupaten -jeneponto-dalam-
angka-2020.html diakses 27 April 2020)
Caldwell, I., & Bougas, W. (2004). The early history of Binamu and Bangkala, South
Sulawesi. Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and
Social Sciences of Southeast Asia, 160(4), 456-510.
Firdaus, D. W. (2017). Pewarisan Nilai-Nilai Historis Dan Kearifan Lokal Masyarakat Kampung
Adat Dalam Pembelajaran Sejarah. Jurnal Artefak, 4(2), 129-134.
Franz Magnis Suseno. (2002). 12 Tokoh Etika Abad ke20. Yogyakarta : Kanisius
Hadrawi, Muhlis (Desember 2017). “Bangkala Binamu: Suatu Kajian Naskah Lontara’ Dalam
Sosial-Politik Jeneponto Kuno”.
HALIM, Amran. Politik bahasa nasional. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976.
Ilyas; et al. (November 2018). Jaringan Ulama Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat Awal Abad
XX.
Istiyanto, S. B. (2010). Pentingnya Komunikasi Artifaktual dalam Keberhasilan Modifikasi
Komunikasi Antarmanusia. Acta diurnA, 6(2), 12-22.
Joesoef, D. (1982). Aspek-Aspek Kebudayaan yang Harus Dikuasai Guru, dalam. Majalah
Kebudayaan, (1).
60
Koentjaraningrat.1997. „Metode Wawancara‟. Dalam Koentjaraningrat (Ed.). Metode-Metode
Penelitian Masyarakat: Jakarta: Gramedia.
Kuntowijoyo. (1995). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Bentang Budaya.
Macknight, (1983). The rise of agriculture in South Sulawesi before 1600. RIMA. Review of
Indonesian and Malayan Affairs Sydney, 17, 92-116.
Marzali, A. (2014). Struktural-fungsionalisme. Antropologi Indonesia.
Miles, Matthew dan A. Michael Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif. Tjejep Rohendi
Rohidi (penerjemah). Jakarta. UI Press.
Moleong, Lexy J. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhlis Hadrawi, (2017) Bangkala dan Binamu: Suatu Kajian Naska Lontara dalam Sosial
Politek Jeneponto Kuno. Jurnal Etnografi Indonesia, 2 (2), 116-118.
Rahayu, N. T., Setyarto, S., & Efendi, A. (2015). Model Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Jawa
Melalui Pemanfaatan Upacara Ritual. Jurnal Ilmu Komunikasi, 12(1).
Santana, Septiawan. 2007. Menulis Ilmiah : Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia
Simanjuntak, D. H. (2016). Peranan Museum Simalungun sebagai Media Pewarisan Nilai
Budaya. Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and
Cultural Anthropology), 2(2), 151-165.
Sugiyono. (2009). Metodologi Penelitian Kualitaif, Kuantitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Utama, Eka Jaya Putra. Materi Sejarah dalam Buku Teks Muatan Lokal Pendidikan Multikultur
Kalimantan Barat. 2011. PhD Thesis. UNS (Sebelas Maret University).
Wasino. (2007). “Kapitalisme dan Kapitalis Orang Jawa Dalam Perspektif Sejarah”. Pidato
Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial Unnes. Semarang. 15 juni 2020.
Widja, I Gde. (1989). Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Yulianti, I. (2015). Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Adat Cikondang Dalam
Pembelajaran Sejarah Di Madrasah Aliyah Al-Hijrah. Candrasangkala: Jurnal
Pendidikan dan Sejarah, 1(1), 112-133.
Joesoef, D. (1982). Aspek-Aspek Kebudayaan yang Harus Dikuasai Guru, dalam. Majalah
Kebudayaan, (1).
61
Rahman, Rasyid, Heni Emawati, H., & Bakrie, I. (2017). studi aspek sosial, Ekonomi dan
Budaya Masyarakat Desa sedulang Terhadap Upaya Kelestarian Cagar Alam Muara
Kaman Sedulang kabupaten Kutai Kartanegara ProVinsi Kalimantan Timur. AGRIFOR,
16(1), 83-94.
Referensi Berita:
https://smartcitymakassar.com/2019/12/13/sejarah-kerajaan-binamu-dan-bangkala-jeneponto/
(diakses tanggal 20 Agustus 2020)
Emba M. (2016) Komplek makam raja-raja binamu bukti nyata kejayaan kerajaan di Jeneponto
https://makassr.tribunnews.com/2016/06/16/komplek-makam-raja-raja-binamu-bukti-
nyata-kejayaan-kerajaan-di-jeneponto (diakses tanggal 20 Agustus 2020)
.
Hasil Wawancara
A. Identitas Diri
Nama : Saiful Mustamu, S.Sos. Karaeng Moncong
B. Hasil Wawancara
1. Nilai-nilai Budaya apa yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu dan Bangkala pada
masyarakat Jeneponto ?
Jadi begini, sampai sekarang nilai yang di wariskan itu oleh para leluhur kita yang
pertama masalah adat istiadat kita di bangkala ini masih kita laksanakan.
2. Apakah Budaya yang di Wariskan Oleh Kerajaan Binamu dan Bangkala masih eksis
atau masih ada ? (berikan contoh)
Masih sampai sekarang di lakukan oleh masyarakat karna itu adalah salah satu
tradisi/kebiasaan kita turun temurun. Satu contoh itu seperti orang perkawinan masih
ada semacam mappaccing atau korontigi, terus masih ada kendaraan adat seperti
halnya marra’ masih itu itu turunan dari leluhur itu.
3. Bagaimana upaya mempertahankan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan Kerajaan
Binamu dan Bangkala di masyarakat Jeneponto ?
Jadi upaya pelestarian adat budaya itu salah satunya kita harus laksanakan setiap
ada pesta adat. Seperti ada pesta perkawinan, pesta sunatan, peringatan kematian,
termasuk pesta nuju bulan (tujuh bulanan) nah itu salah satu adat itu, dan itu kita
laksanakan itulah, karna sudah kebiasaan maki maka kita laksanakan jadi, untuk
menjaga kelestariannya maka harus di laksanakan.
4. Apa wujud kegiatan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan Kerajaan Binamu dan
Bangkala itu di masyarakat Jeneponto ?
Wujud itulah, itulah artinya kan kita laksanakan jadi itulah wujud dari pada
melestarikan adat budaya itu. Wujudnya itu yang kita lestarikan dan beberapa alat-
alat budaya itu masih kita simpan, seperti halnya itu ada semacam lombak, koke, ada
lengu ada apa dan lain-lain sebagainya masih ada kita simpan itu.
5. Apakah semua kalangan masyarakat Jeneponto masih mempertahankan Nilai-nilai
Budaya yang di Wariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala ?
Ya.. masih, masih di pertahankan karna itu memang sudah tradisi kebiasaan kita.
6. Apakah ada perubahan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu
dan Bangkala pada masyarakat Jeneponto ?
Sebenarnya sedikit ada perubahan, seperti halnya itu perubahan seperti marra’ itu
atau yang biasa di pake di angkutan pengantin atau pesta pengantin, dulu kan tidak
dikasi begituji modelnya jadi biasa ji. Sekarang di renovasi di modifikasi supaya
cantik kelihatan begitu, dulu kan masih istilah tradisi.
7. Sejak kapan perubahan itu terjadi ?
Ya mungkin karna masyarakat itu sendiri yang menginginkan perubahan itu terjadi,
mau yang lebih mudah dan praktis. Seperti yang saya katakana sebelumnya seperti
marra’ atau angkutan pengantin itu sudah berubah sekarang.
8. Factor apa saja yang menyebabkan perubahan itu terjadi ?
Ya factor perkembangan zaman yang semakin canggih salah satunya.
9. Bagaimana cara menjaga Eksistensi Budaya yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu
dan Bangkala agar tetap lestari ?
Dilaksanakan dan tetap di sosialisasikan untuk masyarakat bahwa ini harus di
pertahankan tidak bisa tidak di pertahankan, karna apa, bagaimana pun juga itu
kebiasaan kita tradisi.
10. Apa manfaat yang di peroleh masyarakat Jeneponto dari keberadaan Nilai-nilai
Budaya yang di wariskan oleh Kerajaan Binamu dan Bangkala di Jeneponto ?
Manfaat itu, sebenarnya begini satu hal mungkin manfaat nya itu beginiji. Karna
kebiasaan leluhur kita seakan-akan satu kebanggaan buat kita apa bila kita
laksanakan itu juga. Dan manfaatnya itulah kalo manfaat lain-lain saya kira tidakji
masalah ekonomi tidakji bahkan merugikan ekonomi tidak. Cuman kebanggan kita
kalau kita laksanakan.
11. Apakah ada hambatan dalam mempertahankan Eksistensi Nilai-nilai Budaya yang di
wariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala di Jeneponto ?
Saya kira tidak, jadi hambatan itu tidak sepanjang kita mau bekerja, mau
melestarikan nilai-nilai adat budaya kita itu saya kira tidak ada hambatan.
12. Siapakah Keturunan Kerajaan Binamu dan Bangkala yang masih hidup sampai
sekarang ?
Termasuk saya yang paling utama, jadi Saiful Mustamu Karaeng Moncong alias
Kareng Bangkala jadi Alhamdulillah saya turunan langsung.
Hasil Wawancara
A. Identitas Diri
Nama : Ibulaeng Karaeng Ti’no
B. Hasil Wawancara
1. Nilai-nilai Budaya apa yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu dan Bangkala pada
masyarakat Jeneponto ?
Nilai sipakatau termasuk itu sampai sekarang masih melekat pada di masyarakat
jeneponto.
2. Apakah Budaya yang di Wariskan Oleh Kerajaan Binamu dan Bangkala masih eksis
atau masih ada ? (berikan contoh)
Ya, sebenarnya disini dirumah karaeng la’bua tali bannangna ada pakaian
pengantin, kris, semua lengkap tapi sudah tidak ada sekarang, di simpan sama
saudara yang tinggal di jeneponto lama. Salah satu contohnya ya itu pengantin yang
akan menikah harus memakai pakaian adat.
3. Bagaimana upaya mempertahankan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan Kerajaan
Binamu dan Bangkala di masyarakat Jeneponto ?
Kita harus adakan terus, seperti halnya anggaru itu di lakukan jika kita menyambut
tamu yang penting.
4. Apa wujud kegiatan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan Kerajaan Binamu dan
Bangkala itu di masyarakat Jeneponto ?
Wujud itu yang saya katakan tadi anggaru biasanya di pengantin itu jarang di
lakukan, yang sering di lakukan itu di sambut dengan tari pa’dupa. Karna anggaru
ini biasa dilakukan para keturunan raja saja.
5. Apakah semua kalangan masyarakat Jeneponto masih mempertahankan Nilai-nilai
Budaya yang di Wariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala ?
Saya rasa iya karna ini juga kan warisan dari leluhur kita dan masyarakat juga pasti
tau itu, karna masyarakat atau kita semua kan ahli waris sekaligus pelaku dalam
upaya pelestarian tersebut.
6. Apakah ada perubahan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu
dan Bangkala pada masyarakat Jeneponto ?
Ada pasti ada itu karna sekarang kan sudah modern.
7. Sejak kapan perubahan itu terjadi ?
Karna sekarang sudah canggih dan salah satunya itu pakaian pengantin, dulu kan
itu pengantin di pakaikan da’dasa sekarang sudah jarang saya lihat karna di
pakaikan jilbab. Sudah tidak adami juga saya liat anak-anak yang pakai baju bodo
untuk menyambut para tamu undangan.
8. Factor apa saja yang menyebabkan perubahan itu terjadi ?
Factor zaman yang sekarang banyak penemuan baru, dan pemikiran masyarakat
yang semakin maju, nah itu.
9. Bagaimana cara menjaga Eksistensi Budaya yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu
dan Bangkala agar tetap lestari ?
Ya kita jaga, adakan terus tergantung masyarakat juga.
10. Apa manfaat yang di peroleh masyarakat jenepontodari keberadaan nilai-nilai budaya
yang diwariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala di Jeneponto ?
Manfaat itu begini sebenarnya begini kita percaya bahwa saat hari pernikahan itu
malamnya di lakukan proses mappaccing sebelum akad kan? Nah kita percaya
bahwa mappaccing itu di maksudkan untuk membersihkan diri kita dari hal yang
tidak baik, makanya sampai sekarang masyarakat itu masih melakukannya.
11. Apakah ada hambatan dalam mempertahankan Eksistensi Nilai-nilai Budaya yang di
wariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala di Jeneponto ?
Tidak ada, itu juga tergantung perekonomian jika mau di adakan pesta besar-
besaran atau sederhana saja.
12. Siapakah Keturunan Kerajaan Binamu dan Bangkala yang masih hidup sampai
sekarang ?
Saya sendiri termasuk keturunan karaeng la’bua talibannang na atau raja bangkala
ke tiga.
Hasil Wawancara
A. Identitas Diri
Nama : Ari Zulkarnain Alhabib Karaeng Lagu
B. Hasil Wawancara
1. Nilai-nilai Budaya apa yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu dan Bangkala pada
masyarakat Jeneponto ?
Hm.. seperti nilai tata krama salah satunya, seperti yang kita ketahui bahwa nilai
sopan santun tabe’ saat kita lewat didepan orang-orang dan budaya
sipakatau/sipakainga.
2. Apakah Budaya yang di Wariskan Oleh Kerajaan Binamu dan Bangkala masih eksis
atau masih ada ? (berikan contoh)
Masih ada, contohnya a’buritta, a’buritta ini sama halnya dengan mengundang
tetapi a’buritta ini biasanya untuk keluarga saja. A’buritta kerumahnya kepala desa
juga itu biasanya diiringi dengan a’ganrang.
3. Bagaimana upaya mempertahankan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan Kerajaan
Binamu dan Bangkala di masyarakat Jeneponto ?
Dengan tetap melestarikan kebiasaan-kebiasaan yang pernah di lakukan dulu dan
ikut berpartisipasi apa bila ada kegiatan dalam rangka pelestarian kebudayaan,
misalnya tari tradisi. Inikan biasanya dilakukan jika menyambut pengantin.
4. Apa wujud kegiatan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan Kerajaan Binamu dan
Bangkala itu di masyarakat Jeneponto ?
Sepertinya wujud yang paling sering dan pastinya selalu ada itu korontigi.
5. Apakah semua kalangan masyarakat Jeneponto masih mempertahankan Nilai-nilai
Budaya yang di Wariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala ?
Saya kira iya, karna setiap ada acara pernikahan pasti ada korongtigi, a’ganrang
juga, di pa’bajikang yang dimana ini adalah bagian dari prosesi adat perkawinan,
setelah berlangsungnya ijab Kabul pengantin laki-laki diantar ke kamar pengantin
wanita dengan di antar oleh orang tua atau wali nya.
6. Apakah ada perubahan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu
dan Bangkala pada masyarakat Jeneponto ?
Ada pastinya karna jaman sudah modern kan pasti adalah yang berubah sedikit.
7. Sejak kapan perubahan itu terjadi ?
Itu terjadi sesuai sifat dasar manusia itu juga yang menginginkan adanya perubahan
dan pola pikir masyarakat juga yang semakin berkembang menemukan ide-ide baru.
8. Factor apa saja yang menyebabkan perubahan budaya terjadi ?
Nah itu salah satu factor nya tadi karna pola pikir sekarang yang semakin
berkembang.
9. Bagaimana cara menjaga Eksistensi Budaya yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu
dan Bangkala agar tetap lestari ?
Dengan kita melaksanakan upacara adat, atau kebiasaan-kebiasaan Budaya
Kerajaan.
10. Apa manfaat yang di peroleh masyarakat jeneponto dari keberadaan nilai-nilai budaya
yang diwariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala di Jeneponto ?
Ini dapat kita manfaatkan untuk pembelajaran atau pengenalan budaya kita terutama
sejak masih anak-anak atau masih dini kita ajarkan, karna sangat penting untuk
membangun kesadaran untuk mengetahui dirinya dan lingkungan hidup nya.
11. Apakah ada hambatan dalam mempertahankan Eksistensi Nilai-nilai Budaya yang di
wariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala di Jeneponto ?
Sekiranya selama ini mungkin tidak ada karna masyarakat juga pasti sudah taulah
tentang adat istiadat kita.
12. Siapakah Keturunan Kerajaan Binamu dan Bangkala yang masih hidup sampai
sekarang ?
Kurang tau juga yah karna saya sendiri adalah keturunan raja binamu.
Hasil Wawancara
A. Identitas Diri
Nama : Daeng Bollo
B. Hasil Wawancara
1. Nilai-nilai Budaya apa yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu dan Bangkala pada
masyarakat Jeneponto ?
Nilai sopan santun tentunya kan, seperi jika ada yang bertanya jalan terus tidak
kenal dengan kita pasti sopan sekali panggil kita karaeng.
2. Apakah Budaya yang di Wariskan Oleh Kerajaan Binamu dan Bangkala masih eksis
atau masih ada ? (berikan contoh)
Ada ada, contohnya setiap 17-san agustus pasti ada parade. Parade ini kan untuk
sekolah sekolah tapi masyarakat ikut berpartisipasi juga biasanya ada yang memakai
pakaian adat pengantin, baju bodo. Ini artinya kita bangga kan dengan adat budaya
kita.
3. Bagaimana upaya mempertahankan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan Kerajaan
Binamu dan Bangkala di masyarakat Jeneponto ?
Kita harus mengajarkan tradisi kita ini pada generasi penerus supaya tradisi kita
tidak musnah dan tetap dapat bertahan.
4. Apa wujud kegiatan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan Kerajaan Binamu dan
Bangkala itu di masyarakat Jeneponto ?
Wujud ? mungkin salah satunya itu ganrang masih di lestarikan sampai sekarang,
yang seperti suling juga itu apa namanya, karna kita disini pa pui’pui namanya. Dulu
itu kalau kesini raja pasti ada tradisi anggaru dulu, setelah itu di lanjut tari paddupa
yang diiringi dengan ganrang dan pa pui’pui.
5. Apakah semua kalangan masyarakat Jeneponto masih mempertahankan Nilai-nilai
Budaya yang di Wariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala ?
Iya karna dari dulu sampai sekarang itu dilakukan seperti sebelumnya wujud itu kan
masih dilestarikan sampai sekarang.
6. Apakah ada perubahan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu
dan Bangkala pada masyarakat Jeneponto ?
Ada, salah satunya itu sempa yang ada di dalam di simpan peninggalannya karaeng
kalimporo, sempa atau pakkape’ tau bunting sekarang itu sudah tidak ada saya liat.
7. Sejak kapan perubahan itu terjadi ?
Seiring berjalannya waktu kita ketahui bahwa sekarang itu sudah cangging mi apa-
apa lah yang serba instan.
8. Factor apa saja yang menyebabkan perubahan budaya terjadi ?
Factor jaman toh, banyakmi yang sudah berubah termasuk alat-alat yang dipakai
orang terdahulu yang mengalami banyak perubahan seperti Kanjoli yang digunakan
sebagai penerang dan sekarang sudah diganti menjadi lilin yang lebih mudah
didapat dan lebih praktis tanpa harus mecari bahan-bahannya.
9. Bagaimana cara menjaga Eksistensi Budaya yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu
dan Bangkala agar tetap lestari ?
Dengan tetap melaksanakan tradisi adat dan tetap menjalankannya. Kalau
peninggalannya karaenga di dalam itu saya simpan baik-baik dengan air nya
tumanurung sampai sekarang itu ada di ember saya simpan.
10. Apa manfaat yang di peroleh masyarakat jenepontodari keberadaan nilai-nilai budaya
yang diwariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala di Jeneponto ?
Manfaatnya dapat berguna bagi anak cucu kita kelak kita ajarkan budaya kita.
11. Apakah ada hambatan dalam mempertahankan Eksistensi Nilai-nilai Budaya yang di
wariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala di Jeneponto ?
Tidak ada hambatan karna ini juga kan untuk kita ji kebiasaanta.
12. Siapakah Keturunan Kerajaan Binamu dan Bangkala yang masih hidup sampai
sekarang ?
Karaeng sitaba itu keturunan karaeng kalimporo
Hasil Wawancara
A. Identitas Diri
Nama : Karaeng Manisi
B. Hasil Wawancara
1. Nilai-nilai Budaya apa yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu dan Bangkala pada
masyarakat Jeneponto ?
Tradisi passili itu masih adaji sampai sekarang, tapi ini biasa hanya di lakukan untuk
keturunan karaeng saja.
2. Apakah Budaya yang di Wariskan Oleh Kerajaan Binamu dan Bangkala masih eksis
atau masih ada ? (berikan contoh)
Ya masih eksis tentunya karna saya liat juga banyak anak-anak yang membuat
sanggar seni kan untuk pelestarian budaya. dan mereka disana belajar tari-tarian,
ada juga anggaru, sama a’ganrang itu adalah kan tradisi.
3. Bagaimana upaya mempertahankan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan Kerajaan
Binamu dan Bangkala di masyarakat Jeneponto ?
Sebisa mungkin kita pertahankan yah dan di wariskan ke anak cucu kita. ini juga
rumah adat peninggalannya Raja Binamu asli ini tidak pernah dirubah papan apa
dinding belumpi dirubah, karna ini maunya pemerintah di ambil alih tapi saya tidak
mau dimanaka mau tinggal kalau di ambil alih bagaimana caranya baru ini lagi
warisan baru tempatnya juga luas sekali mau di tinggalkan jadi kalau di gantiki tidak
mungkin begini luasnya dikasikan ki. Penerusnya itu Karaeng Ngawing tapi menikah
Karaeng Ngawing anaknya lagi tapi di palopo sekarang tinggal yang penerusnya ini.
4. Apa wujud kegiatan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan Kerajaan Binamu dan
Bangkala itu di masyarakat Jeneponto ?
Wujud kegiatan seperti kalau raja berkunjung kesini itu di sambut dengan tari
paddupa itu ditarikan dalam acara penyambutan tamu-tamu penting dan tamu
kehormatan. Ini juga biasa di bawakan pada acara resmi seperti acara pernikahan.
5. Apakah semua kalangan masyarakat Jeneponto masih mempertahankan Nilai-nilai
Budaya yang di Wariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala ?
Masih karna sampai sekarang kalau ada pengantin selaluji di laksanakan tradisinya
mulai dari passili, mappaccing juga masih adaji itu.
6. Apakah ada perubahan Nilai-nilai Budaya yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu
dan Bangkala pada masyarakat Jeneponto ?
Hm.. adalah perubahan tapi hanya sedikit.
7. Sejak kapan perubahan itu terjadi ?
Ini terjadi karena masyarakat juga kan sekarang sudah ada teknologi yang semakin
canggih, sekarang pengantin sudah di pakaikan jilbab semua sudah jarang sekali
saya liat di da’dasa sama anak-anak pengantar pengantin yang memakai baju bodo.
8. Factor apa saja yang menyebabkan perubahan budaya terjadi ?
Mungkin karna factor jaman juga sekarang semakin maju dan canggih, dulu kita
kalau mau mengundang ke acara misalnya acara nikahan itu kita datangi rumahnya
dengan kata lain a’buritta. Sekarang lewat hp sudah selesai masalah, tidak capek
capekmi lagi kesana kemari.
9. Bagaimana cara menjaga Eksistensi Budaya yang di Wariskan oleh Kerajaan Binamu
dan Bangkala agar tetap lestari ?
Kita sosialisasikan kepada generasi penerus kita untuk ikut berpartisipasi jika ada
acara acara adat, seperti yang saya bilang sebelumnya kalau sanggar seni itu juga
bagus untuk terus di adakan sebagai penerus tradisi kita.
10. Apa manfaat yang di peroleh masyarakat jeneponto dari keberadaan nilai-nilai budaya
yang di wariskan oleh kerajaan binamu dan bangkala?
Ini sangat bermanfaat yah, karna kalau bukan kita yang terus menjadi penerus
tradisi kita siapa lagi, kita seharusnya bangga dengan tradisi kita.
11. Apakah ada hambatan dalam mempertahankan Eksistensi Nilai-nilai Budaya yang di
wariskan Kerajaan Binamu dan Bangkala di Jeneponto ?
Sepertinya tidak ada yah, sekiranya saya liat ini selalu di lakukan turun temurun.
12. Siapakah Keturunan Kerajaan Binamu dan Bangkala yang masih hidup sampai
sekarang ?
Karang Ngawing salah satunya tapi tidak adai sekarang dia ke palopo.
Pedoman Observasi
No Hari/Tanggal Tempat/ Kegiatan yang
diamati
Deskripsi (Apa yang dilihat dan
didengar)
1. 03/10/2020 Kecamatan Bangkala,
Rumah adat Kerajaan
Kalimporo
Peninggalan adat perkawinan atau
sunatan, mulai dari Lamming, alat yang
sering di pakai mappaccing, gendang, dll
masih ada sampai sekarang.
2. 07/10/2020 Rumah adat/balla lompoa
Kerajaan Binamu, dan
makam para Raja Binamu
Rumah adat yang masih berdiri kokoh
sampai sekarang dan tidak pernah di
ganti. Dan makam para Raja yang berada
disamping kanan Balla’ Lompoa Karaeng
Binamu.
3. 08/10/2020 Kecamatan Bangkala,
Rumah dan makam Karaeng
La’bua Tali Bannangna
Makam Karaeng Labbua Talibannangna
yang setiap malam di terangi lilin dan
lampu dan ada juga kelambu.
4. 12/10/2020 Allu, Kecamatan Bangkala.
Wawancara bersama
Keturunan Raja Bangkala
Tobak dan Lengu, Jadi tobak itu dulu
dipakai pada saat berperang jadi tangan
kanan memegang tobak dan tangan kiri
memegang lengu atau tameng.
5. 16/11/2020 Bontosunggu, Kecamatan
Binamu Wawancara
bersama Keturunan Raja
Binamu
Pedoman Studi Dokumen
No Nama
Dokumen
(Rincikan
Nama
Dokumen)
Sumber (Diperoleh dari
mana)
Deskripsi Singkat Isi Dokumen
1. Silsilah Raja
2, Kerajaan
Binamu
Karaeng manisi, menantu
keturunan raja Binamu.
Sebelumnya ada yang disebut Kare yakni
Kare Balang, Kare Layu, Kare Tina’ro
dan Kare Ballarompo namun yang
dipercayakan oleh pihak Kerajaan hanya 2
Kare untuk memilih dan menetapkan
seorang Raja yaitu Kare Balang dan Kare
Layu. Akan tetapi karena pergeseran
waktu sehaingga ke Kare dibekukan dan
diganti dengan To’do Appaka atau Dewan
Adat.
2. Kitab
Patturioloang
Karaeng Bangkala,
Keturunan Raja Bangkala.
Patturioloang merupakan sebuah genre
teks lontara’ Makassar yang
membincangkan kisah-kisah kerajaan.
Teks Patturioloang mengandung sejarah
yang mencakup asal-usul kerajaan,
kehadiran raja pertama, istana,
pemerintahan, perkawinan, keturunannya,
tanah pusaka, politik, peperangan,
perundingan, kerjasama, hingga aperang
dan percintaannya. Keberadaannya juga
didasari oleh teks-teks lontara’ sebagai
tradisi yang mendasari kemunculan
Tumanurung. Tumanurung tersebut yang
datang dari tempat yang misterius,
kemudian diinisiasikan menjadi raja
pertama pada tiap-tiap kerajaan lokal.
RIWAYAT HIDUP
Miranda. Lahir di Pungkaribo Desa Kalimporo, pada tanggal 27 Juli 1997.
Merupakan anak pertama dari pasangan Hamdan Dg Rowa dan Nursia Dg
Jinne. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SDI 214 Pungkaribo
pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan Pendidikan
Sekolah Menengah Pertama di SMPN 2 Bangkala, Lulus pada tahun 2012.
Kemudian penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di
SMAN 7 Jeneponto pada tahun 2012 dan selesai pada tahun 2015. Dan pada tahun 2016 penulis
melanjutkan pendidikan di Universitas Muhammadiyah Makassar Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan jurusan Pendidikan Sosiologi dan berhasil lulus di Program Strata 1 (S1)
Kependidikan. Pada tahun 2021 penulis menyelesaikan studi dengan gelar Sarjana Pendidikan
dengan menyusun karya ilmiah (skripsi) yang berjudul “Eksistensi Nilai-nilai Budaya Kerajaan
Binamu dan Bangkala dalam Kehidupan Masyarakat Jeneponto di Abad 21”