eksistensi lembaga gadai tanah (pertanian) dalam …
TRANSCRIPT
LAPORAN PENELITIAN
EKSISTENSI LEMBAGA GADAI TANAH
(PERTANIAN) DALAM KAITANNYA DENGAN UU
NO. 5 TAHUN 1960 DI KABUPATEN BULELENG
OLEH: I GUSTI NYOMAN AGUNG, S.H., M.Hum.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
ii
ABSTRAK
Pasal 7 UU No.56 PRP/1960 mengatur tentang pengembalian dan
penebusan tanah pertanian yang dibebani dengan hak gadai. Berdasarkan doktrin,
ketentuan tersebut dikatagorikan sebagai kaidah hukum yang bersifat imperatif
(memaksa), sehingga tidak bisa dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat
oleh para pihak (pemberi dan pemegang gadai). Berdasarkan kajian teoritis
sebagai konsekwensi yuridis sifat memaksa dari ketentuan tersebut, maka dalam
transaksi gadai menggadai tanah pertanian para pihak wajib mematuhinya.
Namun demikian tidak selalu ketentuan yang tersurat dalam undang-undang
sejalan dengan kenyataan yang ada di masyarakat, sehubungan dengan itu perlu
diadakan penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang pelaksanaan Pasal
7 UU No.56 PRP/1960 khusus dalam kaitannya dengan pengembalian dan
penebusan tanah pertanian yang dibebani dengan hak gadai di Kabupaten
Buleleng, sehingga nantinya dapat diketahui apakah para pihak yang terlibat
dalam transaksi gadai tanah pertanian patuh/taat pada aturan yang ditetapkan
dalam undang-undang tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode sampling. Penetapan sampel
dilakukan dengan menetapkan sampel area (daerah sampel). Dari delapan
kecamatan di Kabupaten Buleleng diambil lima Kecamatan sebagai sampel dan
dari tiap Kecamatan tersebut diambil masing-masing 15% desa dengan sistem
random. Sebaran dari desa sampel merata di lima Kecamatan tersebut dengan
jumlah yang berimbang. Data dikumpulkan dengan metode interfieuw disertai
dengan sarana daftar pertanyaan baik dalam bentuk tertutup maupun terbuka. Data
yang telah terkumpul diolah secara kualitatif dan didukung oleh data kuantitatif.
Sedangkan data kuantitatif dianalisa secara kualitatif. Informan dan responden
yang dipakai dalam penelitian ini adalah: Kepala Desa di masing-masing desa
sampel, dua orang pemegang gadai dan dua orang pemberi gadai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pasal 7 UU No.56 PRP/1960 baik
yang berkaitan dengan (1) pengembalian; maupun (2) penebusan tanah pertanian
yang dibebani dengan hak gadai, tidak dilaksanakan dalam praktek. Pemegang
iii
gadai tidak mau mengembalikan tanah pertanian milik pemberi gadai tanpa uang
tebusan meskipun telah berlangsung selama tujuh tahun lebih. Demikian juga
halnya bagi gadai yang berlangsung kurang dari tujuh tahun penebusannya tidak
mengikuti perhitungan yang ditetapkan oleh undang-undang.
Berdasarkan atas hasil penelitian tersebut, maka perlu diadakan
penyuluhan hukum ke desa-desa, sehingga masyarakat tahu, mengerti, dan paham
atas undang-undang dimaksud dengan harapan nantinya dapat dilaksanakan
dalam kehidupan masyarat.
Kata kunci: pengembalian, penebusan, tanah pertanian, gadai.
iv
ABSTRACT
The Article 7 of Law 56 PRP/1960 regulating about return and redemption
of agricultural lands encumbered by the liens. Under the doctrine, these provisions
are categorized as the rule of law which is imperative (forcing), so it can not be
excluded by an agreement made by the parties (the grantors and the lien holders).
Based on the theoretical study, as a juridical consequence of the forcing nature of
these provisions, therefore in the lien transaction of the agricultural land, the
parties shall comply with it. However, the procedure laid down in the legislation
has not always in line with the real facts found in the community, in connection
with that the research needs to be done.
The aim of this study was to obtain data on the implementation of Article
7 of Law 56 PRP/1960, specifically in relation to the return and redemption of
agricultural lands encumbered with the liens in Buleleng Regency, so it will be
known whether the parties involved in the transaction the lien of farmland obey
the rules specified by the law.
This research was conducted by the method of sampling. Determination of
the sample is done by setting the sample area. From the eight districts in Buleleng
Regency, it was five sub-districts taken as samples and from each sub-district was
taken each 15% of the villages with random system. The distribution of the data
sample is evenly distributed in the five sub-districts with a balanced number. The
data were collected by means of interview method accompanied by a list of
questions in the form of a closed or open questions. The data that have been
collected were processed qualitatively and it was supported by quantitative data.
While the quantitative data were analyzed qualitatively. Informants and
respondents taken in this study were: the village chiefs in each village samples;
two lien holders and two pledgors.
The research results show that: Article 7 of Law 56 PRP/1960 both with
regard to (1) returns; or (2) the redemption of agricultural land encumbered by
liens, are not implemented in practice. Lien holders do not want to return the farm
of pledgor without redemption money, although it has been going on for seven
years. Similarly, for the lien that lasted less than seven years, it does not comply
with the redemption calculation established by law.
Based on the above research results, we need to hold legal counseling to
the villages, so that people know and understand the above mentioned law, with
the hope eventually it will be implemented in the life of the society.
Keywords: returns, redemption, agricultural land, lien.
v
KATA PENGANTAR
Berkat karunia Ida Sang Hyang Prama Kawi/Tuhan Yang Maha Esa,
penelitian ini dapat diselesikan tepat pada waktunya. Tanpa bantuan dari pelbagai
pihak sudah tentunya penelitian ini tidak bisa terlaksana, sehubungan dengan itu
melalui tulisan ini peneliti mengucapkan terimakasih yang tulus kehadapan:
1. Bapak Rektor Universitas Udayana dan Bapak Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan untuk
mengadakan penelitian.
2. Keseluruhan Informan dan Responden yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu yang dalam penelitian ini telah banyak memberikan bantuan dalam
usaha pengumpulkan data.
Pada akhirnya harapan peneliti tiada lain, semoga hasil penelitian ini
bermanfaat adanya.
Denpasar, 26 Juni 2015
Peneliti
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN................................................ i
ABSTRAK ......................................................................................................... ii
ABSTRACT ....................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
I.1. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
I.2. Rumusan Masalah .......................................................................... 3
I.3. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 3
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 8
I.5. Metodologi ..................................................................................... 8
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI TANAH 10
II. 1. Pengertian dan Jenis-jenis Gadai Tanah ...................................... 10
II.l.l. Pengertian Gadai Tanah .................................................... 10
II.1.2. Jenis-jenis Gadai Tanah ................................................... 12
II.2. Dasar Hukum Gadai-menggadai Tanah ....................................... 13
II.3. Syahnya Transaksi Gadai Tanah ................................................. 14
II.4. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai dan Pemegang Gadai ...........17
BAB III PELAKSANAAN PENGEMBALIAN DAN PENEBUSAN
TANAH PERTANIAN YANG DIGADAIKAN 21
BAB IV PENUTUP 24
IV.l. Simpulan ...................................................................................... 24
IV.2. Saran .......................................................................................... 25
DAFTAR BACAAN 26
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.I. Latar Belakang Masalah
Dikalangan masyarakat Indonesia gadai tanah bukanlah merupakan suatu
hal yang baru. Menurut ketentuan yang diatur olah hukum adat, gadai tanah
adalah merupakan salah satu bentuk transaksi tanah (grond transactie) yang dapat
dipersamakan dengan jual lepas dan jual tahunan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa gadai menurut hukum adat adalah merupakan perjanjian pokok
yang berdiri sendiri dan bukan merupakan tambahan (acecoir) dari perjanjian
peminjaman uang seperti halnya gadai menurut Kitab Undang Undang Hukum
Perdata
Hak gadai oleh Undang Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disingkat: UUP A) disebut-sebut dalam
Pasal 52 ayat (2) dan (3) dan Pasal 53 yang pada dasarnya menetapkan bahwa,
hak ini diberikan status sebagai hak atas tanah yang bersifat sementara dan harus
diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan UUP A. Bahkan
hak itupun harus diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat, oleh karena
gadai tanah dianggap mengandung unsur-unsur pemerasan.
Perubahan besar tejadi setelah diundangkannya UU No.56 Prp/1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian yang dalam pasal 7-nya menetapkan hal-hal
berikut:
1. Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada
waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau
lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu
sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen; dengan tidak ada hak
untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
2
2. Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum
berlangsung tujuh tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk
memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai
dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut
rumus
(7+1/2) - waktu berlangsungnya hak gadai
----------------------------------------------------- x uang gadai
7
dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung
tujuh tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut
tanpa pembayaran uang tebusan, dalani waktu sebulan setelah tanaman
yang ada selesai dipanen.
3. Ketentuan dalani ayat (2) pasal ini berlaku juga terhadap hak gadai yang
diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan ini.
Ketentuan Pasal 7 UU No.56 Prp/1960 bermaksud untuk melindungi pihak
yang ekonominya lemah yaitu si pemilik tanah yang karena memerlukan uang
terpaksa menggadaikan tanah sawahnya. Dianggapnya bahwa setelah menguasai
sawahnya selama 7 tahun itu si penerima gadai sudah cukup menghisap sawah itu
hingga telah memperoleh kembali uang gadai yang telah dikeluarkannya (Subekti,
1977: 7).
Senada dengan ungkapan di atas Sri Soedewi Masjchun Sofwan (1962:52)
menyatakan bahwa, ketentuan Pasal 7 bermaksud untuk memberantas pemerasan
yang terdapat dalam gadai tanah itu, karena dalam prakteknya hasil yang diterima
oleh pemegang gadai dari tanah yang bersangkutan setiap tahunnya jauh lebih
besar dari bunga yang layak dari pada uang yang dipinjamkan.
Penjelasan Urnum butir 9a menyatakan, banyak gadai yang berlangsung
bertahun-tahun. berpuluh tahun, bahkan ada pula yang dilanjutkan oleh para akhli
waris penggadai dan pemegang gadai, karena penggadai tidak mampu untuk
menebus tanahnya kembali. Besarnya uang gadai tidak saja tergantung pada
kesuburan tanahnya, tetapi terutama pada kebutuhan penggadai akan kredit. Oleh
karena itu tidak jarang tanah yang subur digadaikan dengan uang gadai yang
3
rendah. Biasanya orang menggadaikan tanahnya hanya bila ia berada dalam
keadaan yang sangat mendesak. Berhubung dengan itu maka kebanyakan gadai
itu diadakan dengan imbangan yang sangat merugikan penggadai dan sangat
menguntungkan pihak pelepas uang. Dengan demikian maka teranglah bahwa
gadai itu menunjukkan praktek-praktek pemerasan.
Pasal 7 UU No.56 Prp/1960 sebagaimana disebutkan di atas hanyalah
mengatur tentang gadai tanah yang sifatnya terbatas pada penebusan dan
pengembaliannya saja sehubungan dengan itu ketentuan-ketentuan lain mengenai
gadai menggadai tanah (pertanian) tetap diberlakukan hukum adat.
Ketentuan mengenai pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang
dibebani dengan hak gadai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No. 56
PRP/1960 menurut doktrin bersifat imperatif (memaksa), oleh karena itu tidak
dapat dikesampingkan oleh para pihak dalam perjanjian gadai menggadai.
Sehubungan dengan itu perlu diteliti apakah ketentuan tentang
pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang dibebani dengan hak gadai
diikuti oleh para pihak yang tersangkut dalam transaksi gadai menggadai dalam
kenyataan masyarakat khususnya di Kabupaten Buleleng.
1.2. Rumusan Masalah
Atas dasar uraian di atas maka masalah yang diungkap dalam penelitian
ini adalah:
1. Bagaimanakah pelaksanaan Pasal 7 ayat (1) UU No. 56 PRP/1960
sehubungan dengan pengembalian tanah pertanian yang dibebani hak
4
gadai yang telah berlangsung selama tujuh tahun atau lebih dalam
kenyataan masyarakat di Kabupaten Buleleng?
2. Bagaimanakah pelaksanaan Pasal 7 ayat (2) UU No. 56 PRP/1960 dalam
kaitannya dengan penebusan tanah pertanian yang dibebani dengan hak
gadai yang jangka waktunya kurang dari tujuh tahun di Kabupaten
Buleleng?
1.3. Tinjauan Pustaka
B Ter Haar Bzn (1987:83-84) menyatakan bahwa, "overdracht van grond
kontan betaalde som zodanig dat digene die overdracht het recht behound,den
grond door betaling van dezalfde som tot zich te doen teragkeren onder anderen"
yaitu penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang secara kontan
sedemikian rupa sehingga yang menyerahkan tanah itu masih mempunyai hak
untuk menebus/membeli kembali tanah itu kepadanya dengan pembayaran
kembali sejumlah uang tersebut.
Dalam pada itu Penjelasan Umum butir 9a UU No.56 Prp/1960
menetapkan, yang dimaksud dengan gadai ialah hubungn antara seseorang dengan
tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai utang uang padanya. Selama utang
tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang
meminjamkan uang tadi (pemegang gadai). Selama itu hasil tanah seluruhnya
menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari utang
tersebut. Penebusan tanah itu tergantung pada kemauan dan kemampuan yang
menggadaikan.
5
Penjelasan Umum tersebut diatas nampaknya memberi kesan seolah-olah
gadai dikualifisir sebagai suatu perjanjian utang dengan tanggungan (jaminan
tanah), padahal sebenarnya tidaklah demikian. Hal ini diperkuat oleh
pandangannya Boedi Harsono (1971:298-299) yang antara lain menyatakan, hak
gadai merupakan hak atas tanah, karena memberi wewenang kepada pemegang
gadai untuk meggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang bersangkutan.
Dengan demikian jelaslah bahwa sungguhpun pemilik tanahnya sama-sama
menerima sejumlah uang dari pihak lain, hak gadai bukanlah hak jaminan/hak
tanggungan. Atas dasar hal tersebut maka gadai dirumuskan sebagai berikut: hak
gadai merupakan hubungan hukum antara seorang dengan tanah milik orang lain,
yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai itu belum
dikembalikan, maka tanah yang bersangkutan dikuasai oleh pihak yang memberi
uang (pihak mana disebut pemegang gadai).
Untuk lebih jelasnya maka dikemukakan pendapat Iman Sudiyat (1981:
29-30) yang menyatakan: Transaksi jual gadai tanah bukanlah perjanjian utang
uang dengan tanggungan/jaminan tanah, sehingga pembeli gadai tidak berhak
menagih uangnya dari penjual gadai;
a. Penebusan gadai tergantung kepada kehendak penjual gadai. Hak menebus
itu bahkan dapat beralih kepada akhli warisnya;
b. Uang gadai hanya dapat ditagih oleh pembeli gadai dalam hal transaksi
jual gadai itu disusul dengan penyewaan tanah tersebut oleh si penjual
gadai sendiri dengan janji: jika si penjual (merangkap penyewa) tidak
membayar uang sewanya, maka uang gadai dapat ditagih kembali oleh si
6
pembeli (merangkap penguasa atas tanah yang kini berfungsi rangkap;
menjadi obyek gadai dan sekaligus obyek sewa pula).
Untuk menghindari kesalahpahaman, maka dibawah ini akan ditunjukkan
perbedaan antara gadai tanah dengan gadai (pand) menurut Kitab Undang Undang
Hukum Perdata.
Pand (gadai menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata)
1. Pand merupakan perjanjian accesoir (tambahan) pada perjanjian utang
uang selaku perjanjian prinsipalnya, dengan benda bergerak yang
berwujud, hak-hak untuk memperoleh pembayaran uang (surat-surat
piutang kepada si pembawa, - atas nama – atas tunjuk) selaku
tanggungan/jaminan;
2. Kekuasaan pemegang/penerima pand tidak meliputi hak memakai,
memungut hasil, menyewakan dan sebagainya;
3. Pemberi pand harus melunasi utangnya dalam waktu yang telah
ditetapkan bersama. Jika ia lalai dalam hal itu, si pemegang pand tidak
wenang mendaku benda jaminan; namun selaku kreditur, pihak terakhir ini
ipso iure dapat melelang benda pand itu atas kekuasaan sendiri, untuk
memperoleh pelunasan dari piutangnya (Liliek Istiqomah, 1982: 61).
Jual gadai menurut hukum adat
1. Transaksi gadai merupakan transaksi jual yang mandiri (hanya terdiri dari
satu perjanjian saja), dengan tanah selaku obyeknya.
2. Pemegang gadai berhak memanfaatkan dan memetik/memungut hasil dari
tanah yang digadaikan itu.
7
3. Pemegang gadai tidak dapat memaksa pemilik tanah untuk menebus tanah
yang digadaikan. Seandainya pemegang gadai membutuhkan uang, maka
ia boleh mengalihkan gadainya atau menganak-gadaikan kepada pihak
lain.
4. Pemilik tanah sewaktu-waktu dapat menebus tanah yang digadaikannya
dan pemegang gadai wajib mengembalikannya.
5. Tidak harus adanya akta, sebab kadang-kadang dilakukan dengan diam-
diam.
Berdasarkan uraian di atas maka tampak dengan jelas bahwa gadai tanah
bukanlah lembaga jaminan/tanggungan/pinjam uang dengan jaminan tanah,
melainkan suatu lembaga yang dikenal dalam hukum adat yang mempunyai ciri
khas sebagai salah satu bentuk transaksi tanah.
Telah diungkap di atas, bahwa Pembentuk Undang-Undang berpendapat
gadai tanah menurut hukum adat mengandung unsur pemerasan olehkarenanya
sementara hak gadai belum dihapus maka diadakanlah usaha untuk mengurangi
unsur-unsur pemerasan tarsebut melalui ketentuan Pasal 7 UU No.56 Prp/1960.
Ditinjau dari segi doktrin kaidah/norma yang dituangkan dalam pasal tersebut
sifatnya imperatil/memaksa, olehkarena itu tidak dapat dikesampingkan oleh para
pihak. Pendapat ini dipertegas melalui ketentuan yang ada dalam Pasal 10 ayat
(Ib) dan ayat 2 UU No.56/Prp/1960 yang memberikan ancaman hukuman
kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda sebesar-besarnya Rp. 10.000, bagi
mereka yang tidak melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan olah Pasal 7.
Dalam pada itu Boedi Harsono (1971: 308) menyatakan: oleh pembentuk
undang-undang, gadai menggadai menurut ketentuan hukum adat dianggap
8
mengandung unsur eksploitasi dari pihak pemegang gadai terhadap yang empunya
tanah. Tetapi ternyata di beberapa daerah, misalnya di Pulau Bali tidaklah
demikian keadaannya. Bukan pihak yang empunya tanah yang kedudukannya
lemah tetapi justru sebaliknya pihak yang menerima gadailah umumnya
merupakan pihak yang ekonomis lemah dari pada pemberi gadai. Untuk
membayar uang gadainya para petani itu seringkali haras menjual ternak atau
harta lainnya kepunyaannya. Berhubung dengan itu maka dalam keadaan yang
demikian kiranya ketentuan Pasal 7 UU No.56 Prp/1960 tidaklah seharusnya
diterapkan menurut bunyi kata-katanya.
Senada dengan pendapat di atas, Subekti (1978:68) menyatakan: peraturan
tersebut ada mengandung suatu kelemahan bahwa ia menyamaratakan semua
gadai sawah dengan tidak mengingat besar kecilnya uang gadai yang telah
diterima pihak yang menggadaikan sawahnya. Selain dari itu dilupakan bahwa
ada beberapa daerah dimana justru pihak yang ekonomi kuatlah yang
menggadaikan sawah mereka kepada orang yang ekonomi lemah yang
memerlukan tanah penggarapan untuk mencari nafkah (menurut laporan di Pulau
Lombok).
Demikian pula pandangan Boerhan dan Sjofjan Thalib (BPHN: 1976:225)
yang meneliti masyarakat petani di Minangkabau menemukan bahwa asas gadai
tanah di daerah itu adalah tolong-menolong. Bahkan penelitian yang dilakukan
oleh Fakultas Hukum Universitas Syah Kuala, di Daerah Istimewa Aceh
ditemukannya juga ftmgsi sosial dari hak gadai itu(BPHN: 1976 228).
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
9
Tujuan Penelitian
1. Memperoleh data tentang penerapan/pelaksanaan Pasal 7 ayat (1) UU
No.56 Prp/1960 berkaitan dengan pengembalian tanah pertanian yang
dibebai dengan hak gadai yang telah berlangsung dalam jangka waktu
selama tujuh tahun atau lebih dalam kenyataan masyarakat di Kabupaten
Buleleng.
2. Memperoleh data tentang penerapan/pelaksanaan Pasal 7 ayat (2) UU No.
56 PRP/1960 dalam kaitannya dengan penebusan tanah pertanian yang
dibebani dengan hak gadai yang jangka waktunya kurang dari tujuh tahun
dalam kenyataan masyarakat di Kabupaten Buleleng.
Manfaat Penelitian
1. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang hukum
agraria dan hukum adat terkait dengan gadai menggadai tanah pertanian.
2. Sebagai bahan untuk penyempurnaan peraturan perundang-undangan
agraria khususnya yang berkaitan dengan masalah gadai menggadai tanah
pertanian.
1.5. Metodologi
1. Sample
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode sampling.
Penentuan sample dilakukan dengan menetapkan sample area berupa kecamatan.
Jumlah sample area (daerah sample) ditetapkan setengah ditambah satu dari
kecamatan yang ada di Kabupaten Buleleng, sehingga diperoleh sample lima
10
kecamatan atau sekitar kurang lebih 67%. Penentuan sample dilakukan secara
random. Selanjutnya dari lima kecamatan tersebut diambil masing-masing 15%
desa sebagai sample yang ditentukan secara random. Sebaran dari desa sample
merata di lima kecamatan tersebut dengan jumlah yang berimbang. Dari setiap
desa sample ditetapkan responden berupa (1) pemegang gadai sebanyak dua
orang; (2) pemberi gadai sebanyak dua orang; dan (3) kepala desa di masing-
masing desa sample sebagai informan.
2. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dari responden dilakukan dengan menggunakan teknik
wawancara dengan berpedoman pada daftar pertanyaan dalam bentuk kombinasi
(tertutup dan terbuka).
3. Teknik pengolahan data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini lebih banyak diolah secara kualitatif dan
didukung oleh data kuantitatif. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan
menyusun tabel frekuensi jawaban responden. Dalam pada itu analisa terhadap
data kuantitatif dilakukan secara kualitatif (tidak menggunakan analisis statistik).
11
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI TANAH PERTANIAN
II.1. Pengertian dan Jenis-jenis Gadai Tanah
II. 1.1. Pengertian gadai tanah
Suroyo Wignyodipuro (1973:249) menyatakan bahwa, hukum adat
membedakan transaksi tanah menjadi dua golongan yaitu transaksi tanah yang
bersifat perbuatan hukum sepihak dan transaksi tanah yang bersifat perbuatan
hukum dua pihak. Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak dapat
disebutkan sebagai contoh pendirian suatu desa dan pembukaan tanah oleh
seorang warga persekutuan. Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua
pihak/timbal balik merupakan salah satu bentuk perbuatan tunai yang berobyek
tanah. Inti daripada trenasaksi ini adalah pengoperan ataupun penyerahan dengan
disertai pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga. Dalam hukum tanah
perbuatan hukum ini disebut transaksi jual (di Jawa disebut adol atau sade bahasa
Jawa tinggi)
Istilah jual dalam hukum adat merupakan istilah yang pengertiannya masih
netral atau umum dan karenanya merupakan istilah yang belum pasti
pengertiannya. Untuk pengertiannya yang pasti haruslah istilah jual tersebut masih
diikuti oleh istilah lain yang membuat istilah itu pasti artinya (Saleh Adiwinata:
1976: 19-20).
Selanjutnya B Ter Haar Bzn (1987: 88) menyatakan, dalam hukum tanah
perjanjian-perjanjian jual itu dapat mengandung tiga jenis maksud yaitu : jual
gade, jual lepas, dan jual tahunan.
12
a. Menggunakan tanah untuk terima pembayaran tunai sejumlah uang
sedemikianrupa, sehingga orang menyerahkannya tetap ada hak atas
kembalinya lagi tanah itu kepadanya dengan jalan membayar kembali
sejumlah uang yang sama antar lain: menggadai (Min), menjual gade
(Ind), adol sende (Dj), ngajual akad atau gade (Sund).
b. Menyerahkan tanah untuk terima tunai pembayaran uang tanpa hak
menebusnya, jadi buat selama-lamanya menjual lepas (Ind), adol plas, run
tumurun, pati bogor (Dj) menjual jaja (Kalimantan).
c. Menyerahkan tanah untuk terima tunai pembayaran uang dengan janji
bahwa tanah akan kembali lagi kepada pemiliknya tanpa perbuatan-
perbuatan hukum lagi, itupun sesudahnya berlalu beberapa tahun panen:
menjual tahunan (Ind) adol oyodan (Dj).
Dalam bahasa Belanda disebut: a. grond verponding, b. Grand verkoop
dan c. grond verhuur met vooruitbetaalde huurschat.
Atas dasar hal itu maka pengertian transaksi atau jual beli tanah dapat
mempunyai arti-arti tertentu dan menurut Soerjono Soekanto dan Soleman b
Taneko (1981: 213) berdasarkan arti-arti tertentu tersebut dapatlah dikatakan
transaksi tanah merupakan suatu genus, sedangkan spesiesnya terdiri dari bentuk-
bentuk tertentu yang merupakan krangka dari isi transaksi tanah tersebut di atas.
Jual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah kepada pihak
lain (yakni pribadi kodrati) yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian
rupa sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempinyai hak untuk
menebus kembali tanah tersebut. Dengan demikian, maka pemindahan hak atas
13
tanah pada jual gadai bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada
patokan tegas mengenai sifat sementara waktu tersebut.
II.1.2. Jenis-jenis gadai tanah
Soerjono Soekanto dan Soleman b Taneko (1981: 214-215) cendrung
membedakan gadai menjadi dua yaitu: (1) gadai biasa; dan (2) gadai jangka
waktu.
1. Gadai biasa
Pada gadai biasa, maka tanah dapat ditebus oleh penggadai setiap saat.
Pembatasannya adalah satu tahun panen, atau apabila di atas tanah masih terdapat
tumbuh-tunibuhan yang belum dipetik hasilnya. Dalam hal ini maka penerima
gadai tidak berhak untuk menuntut, agar penggadai menebus tanahnya pada satu
waktu tertentu. Untuk melindungi kepentingan penerima gadai, maka dia dapat
melakukan paling sedikit dua tindakan yaitu:
a. Menganak gadaikan (onderverpanden), dimana penerima gadai
menggadaikan tanah tersebut kepada pihak ketiga. Dalam hal ini terjadi
dua hubungan gadai yaitu: pertama; antara penggadai pertania dengan
penerima gadai pertama; dan kedua antara penggadai kedua yang
merupakan penerima gadai pertama dengan pihak ketiga (sebagai
penerima gadai yang kedua).
b. Memindah gadaikan (doorverpanden), yakni suatu tindakan dimana
penerima gadai menggadaikan tanah kepada pihak ketiga tersebut
menggantikan kedudukan sebagai penerima gadai untuk selanjutnya
berhubungan langsung dengan penggadai. Dengan demikian, maka setelah
14
terjadi pemindahan gadai, maka hanya terdapat hubungan antara
penggadai dengan penerima gadai yang baru.
2. Gadai jangka waktu
Gadai jenis ini cendrung untuk memberikan semacam patokan pada sifat
sementara dari perpindahan hak atas tanah tersebut. Gadai jangka waktu biasanya
dibedakan menjadi dua yaitu: (1) gadai jangka waktu larang tebus, dan (2) gadai
jangka waktu wajib tebus.
1. Gadai jangka waktu larang tebus terjadi apabila antara penggadai dengan
penerima gadai ditentukan, bahwa untuk jangka waktu tertentu penggadai
dilarang untuk menebus tanahnya, Dengan demikian maka, apabila jangka
waktu tersebut telah lalu, gadai itu menjadi gadai biasa.
2. Gadai jangka waktu wajib tebus, yakni gadai dimana oleh penggadai dan
penerima gadai ditentukan, bahwa setelah jangka waktu tertentu, tanah
haras ditebus oleh penggadai. Apabila tanah tersebut tidak ditebus, maka
hilanglah hak penggadai atas tanahnya, sehingga terjadi jual lepas. Akan
tetapi, jual lepas tersebut tidak memenuhi syarat, oleh karena:
a. Tidak terang;
b. Tidak memperhatikan hak utama langsung dan hak utama tidak
langsung;
c. Penggadai yang mempunyai kedudukan lemah, sangat dirugikan,
oleh karena tanah dijual lepas dengan harga yang sangat rendah.
II.2. Dasar Hukum Gadai-menggadai Tanah
15
Gadai tanah diatur dalam berbagai ketentuan baik dalam bentuk tertulis
maupun tidak tertulis.
1. Ketentuan-ketentuan tertulis:
a. UUPA (Pasal 16 huruf h; Pasal 52 ayat 2 dan 3; Pasal 53 ayat 1
dan 2);
b. UU No. 56 Prp/1960 (Pasal 7 ayat 1, 2, dan 3; Pasal 10);
c. Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK.10/Ka/1963;
d. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraia No. 20 Th. 1963;
e. Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
dengan Menteri Agraria, tgl. 5 Januari 1961;
2. Ketentuan-ketentuan tidak tertulis (yaitu hukum adat).
II.3. Syahnya Transaksi Gadai Tanah
Menurut hukum adat transaksi gadai tanah merupakan suatu perbuatan
pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti
perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan Kepala Adat yang
berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan syahnya perbuatan
pemindahan hak tersebut, sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum
(Soerjono Soekanto dan Soleman b Taneko, 1981: 210). Tunai berarti perbuatan
pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak, Oleh
karena itu, maka tunai mungkin berarti bahwa harga tanah dibayar secara kontan
atau baru dibayar sebagian (tunai yang dianggap tunai).
Dalam pada itu B Ter Haar Bzn (1987: 89) menyatakan, bahwa untuk
melakukan suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) yang menimbulkan suatu
16
perubahan yang diinginkan dalam ketertiban hukum dan yang berhak atas
perlindungan hukum, maka ia harus dilaksanakan dengan pembantuan penghulu-
penghulu rakyat atau kepala-kepala dusun yang tugasnya itu (di Jawa) disebut
dengan perkataan yang menunjukkan bahwa mereka itu dengan pembantuannya
itu menanggung (tanggung) bahwa perbuatan itu sudah cukup tertib dan sudah
cukup syah menurut hukumnya. Mereka menjadikan perbuatan itu sampai
kelihatan oleh umum, mengangkatnya sampai ke-ketertiban hukum umum,
menjadikannya terang, tidak gelap, peteng (Dj), menjadikannya di bagasan adat
(bat) di lalulintas hukum yang bebas dan terjamin. Bila perjanjian itu dilaksanakan
di luar pengetahuan penghulu masyarakat maka ia tidak ditingkatkan sampai ke-
ketertiban hukum, tidak berlaku terhadap pihak ketiga, dan si penerima oleh dunia
luar tidak diakui sebagai yang berhak atas tanah. Juga dalam hubungan antara
kedua pihak, maka jika timbul perselisihan mengenai hak atas tanah, resikonya
ada pada si penerima, yang tidak menerimanya dengan terang.
Selanjutnya R Soepomo (1983: 68) menyatakan, dalam hal urusan tanah,
campur tangan kepala-kepala rakyat adalah sejalan dengan wewenang mereka
untuk mengatur soal tanah berdasarkan hak pertuanan desa. Dibeberapa banyak
daerah, bantuan kepala rakyat dalam hal menjual lepas, menjual sende atau
menyewa tanah adalah syarat mutlak dan di seluruh kepulauan Indonesia bantuan
kepala rakyat dalam perjanjian-perjanjian mengenai tanah itu merupakan jaminan
bahwa perjanjian itu terang, tidak menentang hukum adat.
Lebih jelas seperti dikatakan oleh Surojo Wignjodipuro (1973: 250),
Transaksi ini supaya merupakan perbuatan hukum yang syah -artinya- supaya
berhak mendapat perlindungan hukum wajib dilakukan dengan bantuan kepala
17
persekutuan hukum ini, maka perbuatan tersebut menjadi terang dan tidak gelap
atau peteng (Dj), Untuk bantuannya ini kepala persekutuan lazimnya menerima
uang saksi atau pago-pago (Batak). Apabila dilakukan di luar pengetahuan kepala
persekutuan maka transaksi tersebut tidak diakui oleh hukum adat dan oleh
karenanya maka pihak ketiga tidak terikat olehnya serta oleh umum si penerima
tanah tidak diakui haknya atas tanah yang bersangkutan, perbuatan ini dianggap
perbuatan yang tidak terang. Pada umumnya untuk transaksi-transaksi ini
dibuatkan suatu akta yang ditandatangani (cap jempol) oleh yang menyerahkan
serta dibubuhi pula tanda tangan kepala persekutuan dan saksi-saksi. Akta ini
adalah merapakan surat keterangan, merupakan suatu bukti.
Nampaknya berbeda dengan pandangan Boedi Harsono (1971: 304-305)
yang menyatakan, bahwa gadai menggadai tanah biasanya dilakukan dimuka
kepala desa/adat. Kehadiran pejabat tersebut umumnya bukan merapakan syarat
bagi sahnya gadai menggadai itu, melamkan dimaksudkan untuk memperkuat
kedudukan dan dengan demikian mengurangi risiko pemegang gadai jika
dikemudian hari ada sanggahan. Dari gadai menggadai ini biasanya juga tidak
dibuatkan akta atau bukti yang tertulis.
Kutipan pendapat para akhli sebagaimana dipaparkan di atas nampak
belum adanya kesamaan pandangan dalam melihat syarat syahnya gadai
menggadai tanah terutama berkaitan dengan peranan Kepala Adat/Desa dalam
transaksi gadai termaksud.
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat dalam menanggapi syah
tidaknya perbuatan hukum tersebut maka dibawah ini akan disajikan hasil
18
penelitian dilapangan mulai dari bentuk perjanjian sampai pada keikutsertaanya
Kepala Adat/Desa dalam transaksi gadai termaksud.
Dari lima kecamatan yang diteliti nampak bahwa, sebanyak 71,42%
responden menyatakan bahwa perjanjian gadai tanah yang dibuatnya, dalam
bentuk tertulis sedangkan sisanya (28,56%) menyatakan dalam bentuk tidak
tertulis (Tabel 1 Lamp.l h. 27). Perjanjian gadai tanah (pertanian) yang dibuat
dalam bentuk tertulis pada umumnya hanya merupakan pernyataan gadai
menggadai yang ditulis/ditik dalam selembar kertas dalam bentuk/format tidak
tertentu, ditandatangani oleh kedua pihak dan Kepala Desa/Kepala Dusun atau
Kelian Subak bahkan ada yang hanya disaksikan oleh kerabat-kerabat terdekat
dari pemilik tanah dan pemegang gadai.
Alasan responden membuat perjanjian dalam bentuk tertulis, sebanyak
40% menyatakan sebagai bukti adanya gadai, 20% menyatakan untuk
menghindari perselisihan/sengketa dikemudian hari, dan yang lainnya (20%)
menyatakan agar perjanjian gadi yang dibuatnya itu syah menurut hukum (Tabel
2. Lamp. 1 h.27).
Alasan responden yang membuat perjanjian secara lisan/tidak tertulis
(28,56%), sebanyak 75% diantaranya menyatakan karena saling percaya-
mempercayai, sedangkan selebihnya (25%) menyatakan karena adanya hubungan
keluarga (Tabel 3. Lamp.l h. 27).
II.4. Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai dan Pemegang Gadai
a. Hak dan kewajiban pihak pemberi gadai
19
1. Setelah menerima uang gadai, maka segera tanah yang digadaikan itu
diserahkan kepada pihak yang memberi uang atau disebut dengan
pemegang gadai;
2. Pemberi gadai dapat sewaktu-waktu menebus tanahny dengan syarat
pemegang gadai sudah memetik hasilnya (panen) paling sedikit satu kali;
3. Jika tanah yang digadaikan musnah, pemberi gadai tidak dapat dituntut
untuk mengembalikan uang gadai yang telah diterima;
4. Jika ada perbedaan nilai uang pada waktu menggadai dan menebus, maka
haras menanggung risiko bersama-sama dengan pemegang gadai;
b. Hak dan kewajiban pihak pemegang gadai
1. Setelah membayar uang gadai, maka pemegang gadai menguasai tanah
gadai tersebut, untuk dipelihara dan berhak pula menggunakan serta
memungut hasilnya;
2. Apabila sewaktu-waktu pemegang gadai ini membutuhkan uang, maka
berhak melakukan pendalaman gadai dengan seijin pemilik tanah atau
menganakkan gadai jika tanpa ijin pemilik tanah;
3. Jika tanah gadai tersebut musnah karena bencana alam misalnya banjir
maka pemegang gadai tidak boleh menuntut kembali uang gadainya;
4. Wajib mengembalikan tanah gadai tersebut, setelah dikuasai selama 7
tahun, atau jika tidak sampai dikuasai 7 tahun, maka pengembalian uang
gadainya dihitung menurut rumus yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (2)
UU No, 56 Prp/1960;
20
5. Dalam perjanjian gadai yang disertai dengan perjanjian, jika dalam waktu
yang ditentukan pemberi gadai tidak dapat menebus kembali tanahnya;
maka dengan perantaraan pengadilan barulah pemegang gadai dapat
memiliki tanah gadai tersebut sesuai dengan perjanjian, kalau perlu dengan
menambah uang lagi sesuai dengan harga tanah jika dijual lepas (Liliek
Istiqomah, 1988: 92-93).
Mengenai hak dan kewajiban pemberi gadai dan pemegang gadai ini
berdasarkan penelitian dilapangan mennjukkan:
1. Hak pemilik tanah (pemberi gadai) dalam perjanjian gadai tanah pertanian
data menunjukkan hal berikut: (a) 15,38% menyatakan pemilik tanah/
pemberi gadai berhak sewaktu-waktu menebus kembali tanah yang
digadaikan; (b) 12,82% menyatakan berhak menebus kembali tanah yang
digadikan dengan ketentuan minimal pemegang gadai dapat memanen/
memetik hasil satu kali; (c) 30,77% menyatakan berhak atas penyerahan
tanah miliknya setelah diadakan penebusan; (d) 12,82% menyatakan
pemilik tanah berhak melarang pemegang gadai mengalihkan gadainya
kepada pihak ketiga; (e) 10,25% menyatakan berhak menebus tanah
miliknya dari pihak ketiga bila terjadi pemindahan gadai; (f) sebanyak
10,25% menyatakan berhak menebus tanah yang bersangkutan dari
pemberi gadai walaupun dianakgadaikan kepada pihak ketiga; dan (g)
7,69% menyatakan bahwa pemilik tanah berhak menebus tanah miliknya
dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian (label 4 Lamp.
2 h. 28);
21
2. Hak pemegang gadai dalam perjanjian gadai tanah pertanian data
menunjukkan: (a) 30% responden menyatakan bahwa hak pemegang gadai
adalah menikmati manfaat (menggunakan dan memungut hasil) dari tanah
yang digadai selama belum ditebus oleh pemilik tanah; (b) 14%
menyatakan dengan ijin pemilik tanah berhak menggadaikan kembali
tanah yang di gadai; (c) 14% menyatakan berhak membagihasilkan tanah
yang digadai; (d) 4% menyatakan dapat menyewakan tanah yang digadai
baik dengan ijin ataupun tanpa ijin pemilik tanah; (e) 22% selebihnya
menyatakan berhak untuk menguasai tanah yang digadai; dan (f) 22%
selebihnya menyatakan berhak atas uang tebusan.(Tabel 5 Lamp. 3 h.29);
3. Kewajiban pemilik tanah, data menunjukkan hal berikut: (a) 27,08%
responden menyatakan bahwa pamilik tanah berkewajiban menebus tanah
miliknya sesuai dengan perjanjian yang dibuatnya; (b) 29,17%
menyatakan bahwa pemilik tanah wajib menyerahkan tanah kepada
pemegang gadai pada saat dimulainya gadai; (c) 14,58% menyatakan
pemilik tanah wajib membayar pajak atas tanah yang digadaikan; dan (d)
29,17% selebihnya menyatakan pemilik tanah wajib menanggung bahwa
gadai berlangsung dengan aman (Tabel 6 Lamp. 4, h. 30);
4. Kewajiban pemegang gadai, data menunjukkan hal berikut: (a) 36,84%
menyatakan wajib mengembalikan tanah yang digadai setelah ditebus oleh
pemilik tanah; (b) 5,26% menyatakan wajib membayar pajak atas tanah
yang digadaikan; dan (c) 31,57% menyatakan pemegang gadai wajib
memelihara tanah yang digadainya dengan sebaik-baiknya (Tabel 7 Lamp.
5, h. 31);
22
BAB III
PELAKSANAAN PENGEMBALIAN DAN PENEBUSAN TANAH
PERTANIAN YANG DIGADAIKAN
Secara singkat Pasal 7 UU No.56 Prp/1960 mengatur hal-hal berikut:
1. Pemegang gadai yang menguasai tanah selama tujuh tahun atau lebih
diwajibkan untuk mengembalikan kepada pemiliknya tanpa uang tebusan;
2. Hak gadai yang belum berlangsung tujuh tahun, pemilik tanah setiap
waktu berhak memintanya kembali dengan membayar uang tebusan
berdasarkan runius yang ditetapkan oleh Pasal 7 ayat (2);
3. Ketentuan no.2 tersebut di atas dinyatakan berlaku juga terhadap gadai
yang diadakan sesudah UU No.56/Prp/1960 berlaku.
Selanjutnya Penjelasan Umum angka 9 b UU No. 56 Prp/1960
menyatakan: di dalam pengembalian tanah-tanah gadai tersebut tentu akan timbul
persoalan tentang pembayaran kembali uang gadainya. Peraturan ini memecahkan
persoalan tersebut, dengan berpedoman pada kenyataan sebagai yang telah
diuraikan di atas yaitu, bahwa dalam prakteknya hasil tanah yang diterima oleh
pemegang gadai adalah jauh melebihi bunga yang layak dari pada uang yang
dipinjamkan. Menurut perhitungan maka uang gadai rata-rata sudah diterima
kembali oleh pemegang gadai dari hasil tanahnya dalam waktu lima sampai
sepuluh tahun, dengan ditanibah bunga yang layak (10%). Berhubung dengan itu
maka ditetapkan, bahwa tanah-tanah yang sudah digadai selama tujuh tahun
(angka tengah-tengah di antara 5 dan 10 tahun) atau lebih haras dikembalikan
kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar uang tebusan. Mengenai
23
gadai yang berlangsung belum sampai tujuh tahun, pula mengenai gadai-gadai
baru diadakannya ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3), sesuai dengan asas-
asas tersebut di atas.
Untuk menjamin terlaksananya ketentuan Pasal 7 UU No.56/Prp/1960
maka ditetapkanlah sanksi pidana bagi pelanggamya sebagaimana ditetapkan oleh
Pasal 10 ayat (Ib) dan (2) yang antara lain menetapkan sebagai berikut: "dipidana
dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 10.000, barang siapa tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada
Pasal 3, 6 dan 7 ayat (1). Selanjutnya ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (2) "tindak
pidana tersebut pada ayat (1) pasal ini adalah pelanggaran".
Adanya sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 7 UU No. 56 Prp/1960
menunjukkan bahwa kaidah hukum yang tercantum dalam pasal tersebut bersifat
imperatif, maksudnya kaidah hukum tersebut tidak dapat dikesampingkan oleh
suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Dalam praktek peradilan dapat
ditunjukkan melalui beberapa putusan hakim (pengadilan) bahwa ketentuan Pasal
7 tersebut di atas bersifat memaksa (imperatif). Putusan-putusan termaksud dapat
ditunjukkan: (1) Putusan Pengadilan Negeri Tabanan tgl. 14 Juni 1972 No.9/ Pdt/
Tbn/1972/Pdt; (2) Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tgl. 30 Maret 1972 No.
48/PTD/1972/Pdt; (3) Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar tgl. 23 Desember
1971 No. 230/PTD/1971/Pdt. (Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara, 1976: 79-80).
Beberapa Putusan Mahkamah Agung yang dapat ditunjuk dalam
kesempatan ini antara lain: (1) Putusan Mahkamah Agung tgl. 13 September 1971
No. 609/K/Sip/1071; (2) Putusan Mahkamah Agung tgl. 6 Maret 1971 No. 819/
24
K/Sip/1970; (3) Putusan Mahkamah Agung tgl. 26 Maret 1972 No. 1108/K/
Sip/1971; (4) Putusan Mahkamah Agung tgl. 19 April 1972 No. 1253/K/Sip/1972;
(5) Putusan Mahkamah Agung tgl. 26 Juni 1972 No. 1246/K/Sip/1973; (6)
Putusan Mahkamah Agung tgl. 9 Mi 1974 No. 1369/K/Sip/1973; (6) Putusan
Mahkamah Agung tgl. 10 Oktober 1974 No. 903/K/Sip/1973; (7) Putusan
Mahkamah Agung tgl. 1 April 1975 No. 1272/K/Sip/1973; (8) Putusan
Mahkamah Agung tgl. 23 September 1975 No. 393/K/Sip/1972; dan (9) Putusan
Mahkamah Agung tgl. 6 April 1975 No. 121/K/Sip/1975 (Lembaga Perpustakaan/
Penerbitan Fakultas Hukum Lambung Mangkurat Banjarmasin, Mi 1979: 7).
Penelitian lapangan menunjukkan, bahwa waktu berlangsungnya
perjanjian gadai tanah pertanian: (1) sebanyak 78,57% menyatakan kurang dari 7
tahun; dan (2) sebanyak 21,42% menyatakan telah berlangsung 7 tahun lebih
(label 8 Lamp. 6, h.32). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa: dalam
praktek dapat ditemukan adanya tanah pertanian yang digadai, ada dalam
kekuasaan pemegang gadai walaupun gadai tersebut telah berlangsung 7 tahun
lebih, hal ini berarti penguasaan tanah pertanian termaksud bertentangan dengan
Pasal 7 ayat (1) UU No. 56 Prp/1960.
25
BAB IV
PENUTUP
IV. 1. Simpulan
Dari uraian di atas maka dapatlah diambil simpulan berikut:
1. Pasal 7 ayat (1) UU No.56 Prp/1960 terkait dengan pengembalian tanah
pertanian yang telah berlangsung selama tujuh tahun atau lebih kepada
pemberi gadai (pemilik tanah) tanpa adanya kewajiban membayar uang
tebusan, tidak dipatuhi dalam kenyataan masyarakat di Kabupaten
Buleleng. Data di lapangan menunjukkan bahwa, bagi pemberi gadai
(pemilik tanah) yang menghendaki tanahnya dikembalikan diwajibkan
membayar uang tebusan sebesar uang tebusan semula.
2. Bahwa Pasal 7 ayat (2) UU No. 56 PRP/1960 sehubungan dengan
penebusan tanah pertanian yang dibebani dengan hak gadai yang jangka
waktunya kurang dari tujuh tahun tidak diterapkan dalam kenyataan
masyarakat di Kabupaten Buleleng. Data di lapangan menunjukkan bahwa
perhitungan tentang besarnya uang tebusan yang ditetapkan dalam
ketentuan tersebut tidak diikuti/ditaati. Pemegang gadai tetap meminta
uang tebusan yang besarnya sama dengan uang gadai semula.
IV.2. Saran
Oleh karena ketentuan Pasal 7 UU No.56 Prp/1960 tentang penebusan dan
pengembalian tanah pertanian yang dibebani dengan hak gadai belum
dilaksanakan dalam kenyataan masyarakat, maka perlu diadakan penyuluhan
26
hukum ke desa-desa dan diharapkan nantinya bagi yang berkepentingan
mengerti dan paham sehingga ketentuan tersebut dilaksanakan dalam praktek.
27
DAFTAR BACAAN
Boedi Harsono, 1971, Undang-Undang Pokok Agraria Sejarah Penvusunan Isi
dan Pelaksanaannya Hukum Agraria, Bagian Pertama Jilid kedua, Djambatan,
Jakarta.
_______, 1987, UndanR-Undang Pokok Agraria Sejarah Penvusunan Isi dan
Pelaksanaannya Hukum Agraria, Bagian Pertama Jilid kedua, Djambatan, Jakarta.
B. Ter Haar Bzn, 1987, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat Terjemahan K. Ng.
Soebakti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta.
Lembaga Perpustakaan/Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Lambung
Mangkurat, 1979, Orientasi. Juli Tahun IV.
Liliek Istiqomah, 1982 Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum
Agraria Nasional, Usaha Nasional, Surabaya
Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara di Denpasar, 1976, Pembinaan Hukum/
Yurisprudensi di Bali Tahun 1965-1974. Buku Hukum Perdata.
Saleh Adiwinata, 1976, Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-Undang Pokok
Agraria, Get. Pertama, Alumni, Bandung.
Soepomo R, 1983, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Get. Kedelapan, Pradnya
Paramita, Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, 1981, Hukum Adat Indonesia, edisi
kedua, Jakarta.
Surojo Wignjodipuro, 1973, Pengantar dan Azas-Azas Hukuni Adat, edisi II,
Alumni, Bandung.