ekoji999 edisi081-28 nov12-arsitekturmultisistem
TRANSCRIPT
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
HALAMAN 1 DARI 4 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2012
Arsitektur dan Infrastruktur Multi Sistemoleh Prof. Richardus Eko Indrajit - [email protected]
EKOJI9
99 N
omor
081
, 28
Nov
embe
r 201
2
Artikel ini merupakan satu dari 999 bunga rampai pemikiran Prof. Richardus Eko Indrajit di bidang sistem dan teknologi informasi. Untuk berlangganan, silahkan kirimkan permohonan anda melalui alamat email [email protected].
Pada dasarnya, sistem informasi merupakan sebuah tatanan interaksi antara dua komponen besar, yaitu organisasi dan teknologi informasi. Seperti halnya organisasi, komponen teknologi informasi merupakan sebuah sistem tersendiri dimana terdiri dari bermacam-‐macam komponen yang berbeda. Keberagaman komponen pembentuk infrastruktur teknologi informasi ini memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-‐masing, baik dilihat dari segi teknis maupun manajerial. Adalah penting bagi seorang manajer untuk mengetahui bahwa mengganti sebuah komponen dalam infrastruktur multi sistem (seperti upgrade komputer atau mengganti sistem operasi) terkadang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Status keterkaitan antara komponen yang ingin diganti dengan komponen-‐komponen lainnya (kompleksitas) sangat menentukan dalam aktivitas pengembangan teknologi informasi. Tulisan ringkas ini bertujuan untuk memberikan pandangan terhadap keberadaan sistem teknologi informasi yang terdiri dari berbagai komponen-‐komponen yang berbeda (multi sistem) ditinjau dari segi teknis dan �inansial.
“Lebih baik mempunyai sistem teknologi informasi yang standar (terdiri dari komponen-‐komponen dengan merek yang sama) atau beraneka ragam?”, kurang lebih begitu bunyi pertanyaan yang kerap terdengar di kalangan manajemen perusahaan. Untuk menjawabnya, paling tidak permasalahan ini harus dianalisa dari dua sudut pandang, secara �inansial dan teknis.
Secara �inansial jelas terlihat bahwa memiliki sistem standar akan jauh relatif lebih murah dari pada sistem yang terbentuk dari beberapa komponen dengan standarnya masing-‐masing. Pertama adalah masalah pemeliharaan atau maintenance. Satu sistem berarti satu vendor. Artinya, perusahaan hanya perlu menjalin hubungan dengan satu vendor sistem yang bersangkutan untuk kontrak supports dan services. Jika infrastruktur teknologi informasi terdiri dari beragam komponen dengan bermacam-‐macam merek, berarti perusahaan harus memiliki hubungan dengan beberapa vendor sekaligus, terutama untuk memelihara komponen-‐komponen yang sangat kritikal bagi bisnis (jika komponen tersebut rusak, dapat mengganggu aktivitas bisnis perusahaan sehari-‐hari).
Kedua berkaitan dengan pelatihan dan pengembangan SDM (internal training). Walau bagaimanapun, Divisi Teknologi Informasi perusahaan harus memiliki karyawan yang memiliki kompetensi dan keahlian terhadap sistem yang diimplementasikan di perusahaan. Memiliki sistem yang beragam berarti harus mengirimkan beberapa karyawan ke beberapa lembaga pelatihan. Biaya pendidikan ini tentu saja tidak sedikit, mengingat bahwa komponen teknologi informasi selalu berkembang dari satu versi ke versi baru berikutnya, sehingga karyawan harus selalu meng-‐update pengetahuannya sehubungan dengan perkembangan ini.
Ketiga adalah masalah interfacing. Tidak semua komponen dapat dengan mudah dipadukan dengan beberapa komponen lainnya. Terkadang perlu dibangun suatu jembatan komunikasi antara satu komponen dengan komponen lain tersebut. Untuk membangun interface ini, yang pada dasarnya dapat berupa perangkat keras maupun perangkat lunak, tentu saja diperlukan investasi khusus dari perusahaan yang tidak sedikit. Tentu saja biaya investasi semakin membengkak sejalan dengan semakin banyaknya komponen yang harus dikoneksi.
Keempat berkaitan dengan biaya-‐biaya tak terduga lain yang mungkin timbul di kemudian hari akibat adanya sistem yang tidak seragam. Misalnya jika salah satu komponen harus diganti karena telah diciptakannya komponen lain dengan versi yang lebih baru. Akibatnya, beberapa atau seluruh komponen yang terkait dengannya harus mengalami pergantian pula agar sistem dapat bekerja dengan normal (kalau komponen tidak diganti, ditakutkan sudah tidak ada lagi support atau services bagi komponen lama). Contoh lain adalah masalah keamanan atau redudansi sistem. Sistem yang baik adalah suatu sistem yang dirancang sedemikian rupa, sehingga jika ada sebuah komponen yang tidak bekerja karena sesuatu hal,
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
HALAMAN 2 DARI 4 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2012
ada komponen yang siap menggantikannya, sehingga proses tidak terhenti. Bayangkan berapa komponen harus dipersiapkan cadangannya jika sistem terdiri dari beraneka ragam komponen? Masalah klasik lainnya adalah terciptanya suatu aplikasi yang cenderung tambal sulam sehingga mengurangi kinerja sistem (integritas, keamanan, e�isiensi, efektivitas, kontrol, dsb.) yang secara langsung dan langsung akan merugikan perusahaan secara �inansial.
Sumber: Renaissance Advisors, 1997.
Jika ditinjau dari segi teknis, tampak pula bahwa memiliki satu sistem standar akan jauh lebih baik dibandingkan dengan dengan memelihara sistem dengan beragam merek komponen.
Alasan pertama adalah masalah kompatibilitas. Banyak komponen yang tidak kompatibel antar satu dan yang lainnya (dibangun di atas aturan-‐aturan yang tidak baku), sehingga terkadang secara teknis tidak dapat terpecahkan (perusahaan harus memilih ingin berkiblat kepada merek komponen yang mana).
Kedua adalah masalah reliabilitas. Semakin banyak interface yang dibuat untuk menjembatani dua atau lebih komponen yang berbeda, akan semakin berpotensi mengurangi tingkat integritas sistem. Dengan kata lain, data atau informasi yang dihasilkan cenderung tidak akurat, redundan, tidak dapat dipercaya (memiliki kualitas yang rendah).
Ketiga adalah masalah kontrol dan pemeliharaan. Semakin beragam sistem, semakin sulit mengontrolnya karena setiap kali sebuah komponen ditambah atau diganti dengan versi baru, akan semakin bertambah kompleksitasnya (menciptakan persoalan-‐persoalan baru), sehingga semakin sulit mengontrolnya.
Keempat berhubungan dengan tingkat �leksibilitas sistem. Jika ada teknologi baru yang secara prinsip mengganti cara kerja komponen utama, maka harus diadakan perombakan secara teknis (desain baru dan konstruksi ulang) terhadap semua komponen terkait. Semakin kompleks sistem, akan semakin sulit merombaknya.
Kelima adalah masalah kinerja. Sering terjadi bahwa sistem standar memiliki kinerja yang jauh lebih baik (lebih cepat prosesnya, dan lebih hemat memorinya) dibandingkan dengan
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
HALAMAN 3 DARI 4 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2012
sistem campuran walaupun secara teknis spesi�ikasi masing-‐masing komponennya sama. Tentu saja perusahaan tidak dapat berbuat apa-‐apa untuk mengatasi hal ini.
Mengapa saat ini pada kenyataannya masih banyak perusahaan yang memiliki sistem dengan beragam merek komponen jika sudah jelas bahwa sistem dengan merek standar jauh lebih baik dan menguntungkan?
Alasan pertama adalah karena jarang terdapat sebuah vendor atau perusahaan teknologi informasi yang memiliki seluruh produk yang dibutuhkan oleh sebuah sistem informasi perusahaan. Jika ada pun, pasti merupakan perusahaan raksasa, seperti IBM dan Hewlett Packard, yang menjual komponen-‐komponennya dengan harga relatif mahal, yang hanya terjangkau untuk perusahaan skala menengah ke atas.
Alasan kedua adalah bahwa tidak semua komponen kritikal untuk bisnis perusahaan yang bersangkutan, sehingga untuk komponen-‐komponen ini (seperti modem, hub, kabel, monitor, dsb.) diputuskan untuk mencari merek yang beragam (kualitas baik untuk harga yang tidak begitu mahal).
Alasan ketiga berkaitan dengan resiko yang dihadapi perusahaan. Bayangkan jika perusahaan sudah memutuskan untuk menggunakan suatu merek tertentu dan pada suatu ketika perusahaan supplier komponen-‐komponen tersebut mendadak bangkrut?
Alasan berikutnya adalah karena sudah banyaknya komponen yang menjanjikan kompatibel dengan standar-‐standar internasional yang telah ditetapkan (contohnya adalah protokol komunikasi data, struktur database, user interface, dsb.). Walaupun berbeda merek, tetapi vendor pencipta komponen yang ada mengacu kepada spesi�ikasi teknis internasional, yang secara de facto telah menjadi standar sistem.
Alasan lain adalah masalah harga komponen. Komponen bermerek internasional dengan produksi lokal terkadang jauh sekali harganya, dimana komponen lokal dapat 2 hingga 10 kali lebih murah dibandingkan dengan produksi perusahaan internasional (apalagi dengan �luktuasi nilai rupiah terhadap dolar yang terjadi belakangan ini). Belum lagi biaya pemeliharaan yang cenderung menggunakan mata uang dolar Amerika untuk produk internasional. Lalu mana yang lebih baik? Standar atau beragam merek?
Tentu saja untuk menjawab pertanyaan ini harus diadakan analisa lebih jauh dan mendetail, yang selain harus dilihat dari kacamata �inansial dan teknis, harus pula dilihat dari perspektif lain, seperti sumber daya manusia, perencanaan strategis, operasional, struktur organisasi, budaya perusahaan, dan lain sebagainya. Secara prinsip memang lebih baik menggunakan standar untuk komponen-‐komponen utama teknologi informasi -‐ misalnya untuk komputer pusat (server) dan komponen-‐komponen jaringan (LAN) – dan non standar untuk komponen lain yang bersifat tambahan. Analisa resiko dan analisa keuangan (cash �low basis) pun harus dilakukan dengan seksama untuk menghindari kesalahan perkiraan pengeluaran di kemudian hari. Banyak orang yang berpikiran bahwa biaya pengembangan teknologi informasi berhenti setelah sistem dibuat dan diimplementasikan. Padalah banyak sekali biaya-‐biaya tersembunyi (hidden costs) pada tahap pasca implementasi, terutama yang berhubungan dengan pemeliharaan sistem, dan pengembangan sistem di kemudian hari.
-‐-‐-‐ akhir dokumen -‐-‐-‐
SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT
HALAMAN 4 DARI 4 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2012