efusi pleura
TRANSCRIPT
CLINICAL SCIENCE SESSION
EFUSI PLEURA
Oleh
Fauziah Putri Amaliyah Taufiq, S.Ked
0818011060
Preceptor:
dr. Haryadi, Sp.Rad
KEPANITERAAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNILA
SMF RADIOLOGI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK
JUNI 2013
BAB 1
PENDAHULUAN
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga
pleura, cairan tersebut mengisi kavum pleura. Adanya akumulasi cairan pada
kavum pleura ini mengindikasikan adanya suatu kelainan atau penyakit. Cairan
dalam jumlah yang berlebihan dapat mengganggu pernapasan dengan membatasi
peregangan paru selama inhalasi (Rachmatullah, 1997). Pada keadaan normal
jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit, hanya
beberapa mililiter yaitu 1-5 ml. Terdapat mekanisme filtrasi cairan ke dalam
rongga pleura melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera
direabsorpsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi
dan reabsorpsi (Rasad, 2005).
Apabila jumlah ini menjadi lebih dari cukup, dimana antara produksi dan
reabsorpsinya tidak seimbang (produksinya meningkat atau reabsorpsinya
menurun), maka kelebihan tersebut akan dipompa keluar oleh pembuluh
limfatik dari rongga pleura menuju ke dalam mediastinum, permukaan superior
dari diafragma, ataupun permukaan lateral pleura parietalis (Rasad, 2005).
Akumulasi cairan di kavum pleura mengindikasikan suatu penyakit.
Akumulasi tersebut disebabkan oleh berbagai kondisi medis yang
mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler paru, penurunan tekanan onkotik,
peningkatan permeabilitas membran, dan obstruksi (McGrath and Anderson,
2011).
Berdasarkan klasifikasi yang dikembangkan tahun 1970, efusi pleura
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu transudat dan eksudat (Joseph et al.,
2001). Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membran kapiler
yang permeabilitasnya abnormal karena peradangan (infeksi, infark paru, atau
neoplasma) dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein
transudat. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari
2 | P a g e
saluran limfe. Kegagalan aliran protein limfe ini (misalnya pada pleuritis
tuberkulosa) akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura,
sehingga menimbulkan eksudat.(Halim and Hadi, 2006)
Pada efusi eksudat diperlukan pemeriksaan penunjang yang disesuaikan
dengan manifestasi klinik. Pemeriksaan penunjang yang dimaksud, antara lain
jumlah dan hitung jenis sel leukosit, kultur organisme, pengukuran kadar glukosa
dan kadar laktat dehydrogenase, analisis sitologik, dan tes cairan pleura
dengan marker tuberculosis (McGrath and Anderson, 2011).
Efusi transudat atau eksudat dapat dibedakan menurut perbandingan jumlah laktat
dehidrogenase (LDH) dan protein yang terdapat di dalam cairan pleura dan
serum. Efusi pleura eksudatif memenuhi setidaknya salah satu dari ketiga
kriteria berikut, sementara transudatif tidak sama sekali memenuhi kriteria ini:
1. Perbandingan kadar protein cairan pleura/protein serum > 0,5
2. Perbandingan kadar LDH cairan pleura/LDH serum > 0.6
3. Kadar LDH cairan pleura > 2/3 kadar normal tertinggi serum (>200)
3 | P a g e
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat
berupa cairan transudat atau cairan eksudat. Efusi pleura adalah jumlah cairan
ion purulen yang berlebihan dalam rongga pleura, antara lain visceral dan
parietal. Efusi pleura adalah akumulasi cairan di dalam rongga pleura
(McGrath and Anderson, 2011).
Jadi, efusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga
pleura, Cairan tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru. Adanya
akumulasi cairan pada kavum pleura ini mengindikasikan adanya suatu
kelainan atau penyakit. Cairan dalam jumlah yang berlebihan dapat
mengganggu pernapasan dengan membatasi peregangan paru selama inhalasi
(McGrath and Anderson, 2011, Rachmatullah, 1997).
Pustaka lain mendefinisikan efusi pleura sebagai jumlah akumulasi cairan
pleura di kavum pleura yang berlebihan yang merupakan hasil dari
ketidakseimbangan antara produksi cairan pleura dengan absorbsi cairan
pleura (Diaz-Guzman and Dweik, 2007).
B. ANATOMI
Kavum thoraks adalah ruangan bagian tubuh yang terletak diantara leher
dan abdomen, Dibatasi oleh sternum dan costa bagian depan didepannya,
columna vertebralis dibelakang, lengkung costa dilateral, apertura thoraks
superior diatas dan diafragma dibawah. Didalam Kavum thoraks terdapat:
4 | P a g e
kavum pleura (paru-paru kanan dan kiri beserta pleuranya masing-masing)
dan mediastinum (Rasad, 2005).
Pleura adalah suatu kantong cairan serous tertutup untuk melicinkan
permukaan yang beraposisi, yang menyelubungi hampir seluruh permukaan
paru. Pada keadaan normal kavum pleura merupakan ruang potensial untuk
ditempati paru saat inspirasi. Ruang potensial yang tak ditempati paru pada
keadaan normal dan hanya ditempati paru bila inspirasi dalam disebut
recesssus. Terdapat 6 recessus yaitu recessus phrenicocostalis kanan kiri,
recessus costomediastinalis anterior kanan kiri, recessus costomediastinalis
posterior kanan kiri (Halim and Hadi, 2006).
Pulmo terdiri dari apeks pulmonis, basis pulmonis, fasies costalis dan fasies
medialis, margo anterior dan margo inferior serta hilus pulmonalis. Apex
pulmonis setinggi costa I. Basis pulmonis sesuai lengkung diafragma.
Hilus pulmonis adalah suatu area berbentuk triangular pada fasies
medialis pulmonis tempat keluar masuknya radix pulmonis (dari depan
kebelakang susunannnya: v. pulmonalis, a. pulmonalis, bronkhus dengan
vasa bronkhialisnya diaspek dorsal. Paru kanan mempunyai 3 lobus, yaitu
lobus superior, lobus medius, lobus inferior. Sedang paru kiri terbagi 2
lobus: superior dan inferior (Ahmad et al., 2009).
Mediastinum dibagi oleh bidang khayal yang terbentang dari angulus
sternalis ke tepi bawah corpus vertebra Th IV menjadi mediastinum
superior dan mediastinum inferior. Mediastinum superior dibagi menjadi
bangunan diretrosternal yaitu thymus, v.anonyma, v.cava superior bagian atas.
Bangunan ditengah yaitu arkus kosta dengan ketiga cabangnya, n.vagus, n.
phrenicus. Bangunan prevertebra yaitu esofagus, trakhea, n.rekurens sinistra,
duktus thoraksikus. Sedangkan mediastinum inferior terbagi menjadi
mediastinum anterior yang terdiri dari jaringan lemak dan limfonodi,
mediastinum medius terdiri dari pericardium yang meliputi kor dan pangkal
pembuluh darah besar, madiastinum posterior terdiri dari aorta desenden,
5 | P a g e
duktus thoraksikus, v. azigos dan hemiazigos serta esofagus (Halim and Hadi,
2006, Ahmad et al., 2009).
C. FISIOLOGI
Bila paru-paru mengembang dan berkontraksi selama bernafas normal,
maka paru-paru bergerak ke arah depan dan kebelakang dalam rongga
pleura. Untuk memudahkan pergerakan ini, terdapat lapisan tipis cairan
mukoid yang terletak diantara pleura parietalis dan pleura viseralis. (Rasad,
2005).
Gambar 1 memperlihatkan dinamika pertukaran cairan dalam ruang pleura.
Masing-masing dari kedua pleura merupakan membran serosa mesenkim
yang berpori-pori, dimana sejumlah kecil transudat cairan intersisial dapat
terus menerus melaluinya untuk masuk kedalam ruang pleura. Cairan ini
membawa protein jaringan yang memberi sifat mukoid pada cairan pleura
yang memungkinkan pergerakan paru agar berlangsung dengan sangat
mudah.Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit,
hanya beberapa mililiter yaitu 1-5 ml. Dalam kepustakaan lain
6 | P a g e
menyebutkan bahwa jumlah cairan pleura sebanyak 12-15 ml (Hanley and
Welsh, 2003).
Kapanpun jumlah ini menjadi lebih dari cukup untuk memisahkan kedua
pleura, maka kelebihan tersebut akan dipompa keluar oleh pembuluh limfatik
(yang membuka secara langsung) dari rongga pleura kedalam
mediastinum, permukaan superior dari diafragma, dan permukaan lateral
pleural parietalis (Rasad, 2005).
Oleh karena itu, ruang pleura (ruang antara pleura parietalis dan pleura
visceralis) disebut ruang potensial, karena ruang ini normalnya begitu
sempit sehingga bukan merupakan ruang fisik yang jelas.
D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal, cairan
pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah
kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan
jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk
ke dalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh
limfe di sekitar pleura (Hanley and Welsh, 2003).
Karakteristik biokimia dari cairan fisiologis dalam rongga pleura ialah sebagai
berikut (Ahmad et al., 2009):
1. pH 7.60-7.64
2. Kandungan protein 1-2 g/dL
3. 1000 leukosit/mmk
4. Kandungan glukosa yang menyerupai kandungan pada plasma
5. Kadar laktat dehydrogenase kurang dari 50% dibanding kadar pada plasma
6. Konsentrasi kalium dan kalsium mirip dengan cairan interstitial
7 | P a g e
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh
peradangan. Bila proses radang disebabkan oleh kuman piogenik akan
terbentuk pus/nanah, sehingga terjadilah empyema/piotoraks. Bila proses
ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan
hemotoraks.
Proses terjadinya pneumotoraks karena pecahnya alveoli dekat pleura
parietalis sehingga udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini
sering disebabkan oleh trauma dada atau alveoli yang kurang elastis lagi seperti
pada pasien emfisema paru.
Efusi cairan dapat berbentuk transudat dan eksudat. Efusi transudat terjadi
karena penyakit lain bukan primer paru seperti pada gagal jantung
kongestif, sirosis hati, sindroma nefrotik, dialisis peritoneum,
hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva,
mikaedema, glomerulonefitis, obstruksi vena kava superior, emboli pulmonal,
atelektasis paru, hidrotoraks, dan pneumotoraks.
Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler
hidrostatik dan osmotik koloid terganggu sehingga terbentuknya cairan akan
melebihi reabsorbsinya. Biasanya hal ini terdapat pada:
1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan osmotik koloid dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intra pleura
Sedangkan pada efusi eksudat, terjadi bila ada proses peradangan yang
menyebabkan permabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat
sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi
pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang
paling sering adalah akibat M. tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis
eksudativa tuberkulosa. Sebab lain seperti parapneumonia, parasit (amuba,
8 | P a g e
paragonimiosis, ekinokokus), jamur, pneumonia atipik (virus, mikoplasma,
legionella), keganasan paru, proses imunologik seperti pleuritis lupus
(Systemic Lupus Eritematous), pleuritis rematoid, sarkoidosis, radang sebab
lain seperti pancreatitis, asbestosis, pleuritis uremia, dan akibat radiasi
(Müller et al., 2007).
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membran kapiler yang
permeabilitasnya abnormal karena peradangan (infeksi, infark paru, atau
neoplasma) dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein
transudat. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari
saluran limfe. Kegagalan aliran protein limfe ini (misal: pada pleuritis
tuberkulosa) akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein cairan
pleura, sehingga menimbulkan eksudat (Collins et al., 2007).
Pada efusi eksudat diperlukan pemeriksaan penunjang yang disesuaikan
dengan manifestasi klinik. Pemeriksaan penunjang yang dimaksud, antara
lain jumlah dan hitung jenis sel leukosit, kultur organisme, pengukuran
kadar glukosa dan kadar laktat dehydrogenase, analisis sitologik, dan tes
cairan pleura dengan marker tuberculosis (Juhl and Crummy, 1993).
Efusi transudat atau eksudat dapat dibedakan menurut perbandingan
jumlah laktat dehidrogenase (LDH) dan protein yang terdapat di dalam
cairan pleura dan serum. Efusi pleura eksudatif memenuhi setidaknya
salah satu dari ketiga kriteria berikut, sementara transudatif tidak sama
sekali memenuhi kriteria ini:
1. Perbandingan kadar protein cairan pleura/protein serum > 0,5
2. Perbandingan kadar LDH cairan pleura/LDH serum > 0.6
3. Kadar LDH cairan pleura > 2/3 kadar normal tertinggi serum (>200)
9 | P a g e
Pleuritis eksudatif
Umumnya didasari suatu proses peradangan yang dapat akut seperti
pneumonia akut akibat infeksi virus, maupun kronik seperti pleuritis
eksudatif tuberkulosa. Kadar proteinnya tinggi sehingga apabila diperiksa
dengan reagens Rivalta akan menghasilkan kekeruhan (uji Rivalta +).
Dengan demikian eksudat ini cukup kental, warnanya kekuning-kuningan,
dan jernih serta cukup banyak mengandung sel-sel limfosit dan
mononuklear (Juhl and Crummy, 1993).
Hidrotoraks
Pada keadaan hipoproteinemi/hipoalbuminemia berat bisa timbul transudat.
Cairannya encer dengan warna dan konsistensi seperti serum, dan tidak
mengandung protein sehingga uji Rivalta pun akan negative. Hidrotoraks
biasa ditemukan bilateral. Sebab lain yang mungkin adalah gagal jantung
kanan, sirosis hati dengan asites, serta sebagai salah satu trias dari
sindroma Meig (fibroma ovarii, asites, dan hidrotoraks) (Juhl and
Crummy, 1993).
Hematotoraks/hemotoraks
Timbul perdarahan dalam rongga pleura akibat trauma dada/toraks.
Piotoraks/empiema
Akibat infeksi primer maupun sekunder bakteri piogenik yang
menyebabkan cairan pleura berubah menjadi pus/nanah.
Chylothorax
Dapat terjadi karena suatu proses keganasan dalam mediastinum sehingga
terjadi erosi dari duktus toraksikus serta fistulasi ke dalam rongga pleura,
dimana cairannya adalah cairan limfe (putih kekuningan seperti susu).
Kelainan ini dapat pula ditemukan pada kasus sirosis hati dengan chylous
ascites, dimana cairan asites ini akan menembus diafragma dan masuk ke
rongga pleura.
10 | P a g e
Hidropneumotoraks dan piopneumotoraks
Bila pada suatu piotoraks didapatkan juga udara di atas pus, maka disebut
piopneumotoraks. Namun bila cairan masih belum berupa pus maka disebut
hidropnemotoraks (air-fluid level) (Juhl and Crummy, 1993).
Cairan pleura hemato-sanguinus
Bila cairan patologis dihasilkan oleh proses maligna pada pleura, baik primer
maupun sekunder, maka cairan akan berwarna kemerah-merahan sampai
coklat (hemato-sanguinus). Suatu abses hati (amuba) yang menembus
diafragma akan pula menimbulkan efusi pleura kanan dengan cairan
hemato-sanguinus bercampur pus .
Pleuritis tuberkulosa
Penyakit ini terjadi sebagai komplikasi tuberculosis paru melalui fokus
subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Penyebab lain dapat
pula berasal dari robeknya perkejuan ke arah saluran getah bening yang
menuju rongga pleura, iga, atau kolumna vertebralis. Penyebaran dapat
pula secara hematogen dan menimbulkan efusi pleura bilateral. Cairan efusi
yang keluar biasanya serosa, namun kadang-kadang bisa juga hemoragik.
Jumlah leukosit antara 500-2.000 per cc dengan dominasi awal sel
polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit. Cairan efusi sangat sedikit
mengandung kuman tuberkulosis, tapi adalah karena reaksi hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein.
E. ETIOLOGI
Kalau seorang pasien ditemukan menderita efusi pleura, kita harus
berupaya untuk menemukan penyebabnya. Ada banyak macam penyebab
terjadinya pengumpulan cairan pleura. Tahap yang pertama adalah
menentukan apakah pasien menderita efusi pleura jenis transudat atau eksudat.
Efusi pleura transudatif terjadi kalau faktor sistemik yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan.
11 | P a g e
Efusi pleura eksudatif terjadi jika faktor lokal yang mempengaruhi
pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi
pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran
kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan, pleura.
Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria
berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari
tiga kriteria ini:
1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5
2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang
normal di dalam serum.
Efusi pleura berupa:
1. Eksudat, disebabkan oleh:
a. Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie,
Rickettsia, Chlamydia. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi
leukosit antara 100-6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan
sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut,
gejala perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan dengan cara
mendeteksi antibodi terhadap virus dalam cairan efusi.
b. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat
ditempeli oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim paru
dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab dapat
merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus
paeumonie, Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E.
Coli, Pseudomonas, Bakteriodes, Fusobakterium, dan lain-lain).
Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin
dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar
dari rongga pleura
c. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus,
Kriptococcus, dll. Efusi timbul karena reaksi hipersensitivitas
lambat terhadap organisme fungi.
12 | P a g e
d. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak
terjadi melalui focus subpleural yang robek atau melalui aliran
getah bening, dapat juga secara hemaogen dan menimbulkan efusi
pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya
focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga
tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura,
menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Efusi yang
disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks kiri
dan jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis
ditemukan gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan
nyeri dada pleuritik. Penyebabnya adalah Mycobacterium
tuberculosis. Bakteri ini adalah sejenis kuman berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-4 mm dan tebal 03-0,6 mm. Kuman ini tahan
terhadap asam dikarenakan kandungan asam lemak (lipid) di
dindingnya. Kuman ini dapat hidup pada udara kering maupun
dingin. Hal ini karena kuman berada dalam sifat dormant yang
suatu saat kuman dapat bangkit kembali dan aktif kembali.
Kuman ini hidup sebagai parasit intraseluter didalam sitoplasma
makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian
disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini
adalah aerob. Sifat ini menunjukan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam
hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi
daripada bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan
predileksi penyakit tuberkulosis.
e. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-
paru, mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi
bilateral dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Patofisiologi
terjadinya efusi ini diduga karena :
1) Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan
terjadi kebocoran kapiler.
13 | P a g e
2) Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe
pleura, bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum,
menyebabkan gangguan aliran balik sirkulasi.
3) Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan
negatif intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan
pleura yang ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam
cairan pleura tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam
cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui
pemeriksaan sitologik cairan pleura dan tindakan blopsi pleura
yang menggunakan jarum (needle biopsy).
f. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia
bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini
adalah dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada beberapa
penderita cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada
beberapa kasus efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh
antibiotik, namun drainage kadang diperlukan pada empiema dan
efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4 indikasi
untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi
parapneumonik:
1) Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum
pleura
2) Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan
pleura
3) Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
4) Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah
daripada nilai pH bakteri.
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi
parapneumonik yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam
waktu beberapa jam saja.
g. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,
Skleroderma
14 | P a g e
h. Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi
parapneumonik.
2. Transudat, disebabkan oleh :
a. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan
penyebab lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma
vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat terjadinya
peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada
sehingga terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di
samping itu peningkatan tekanan kapiler pulmonal akan
menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan
aliran getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga
filtrasi cairan ke rongg pleura dan paru-paru meningkat.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada
dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak
sulit menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi
pada sisi kanan.
Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya
teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga
segera menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga
bila penderita amat sesak.
b. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan
pleura dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang
terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat.
Pengobatan adalah dengan memberikan diuretik dan restriksi
pemberian garam. Tapi pengobatan yang terbaik adalah dengan
memberikan infus albumin.
15 | P a g e
c. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura
melalui lubang kecil yang ada pada diafragma ke dalam rongga
pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar
untuk menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis
tidak dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik.
Pertimbangan tindakan yang dapat dilakukan adalah pemasangan
pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt, torakotomi)
dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau
torakotomi pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis
(Rahman et al., 2007).
d. Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-
penderita dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang
dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor ovarium kistik,
fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat
rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena sekresi
cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi pleuranya terjadi
karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di
diafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis (Rahman et al.,
2007).
e. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi
terjadi unilateral ataupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari
rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui celah diafragma.
Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura
dengan cairan dialisat.
16 | P a g e
3. Darah
Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb
pada hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah.
Darah hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa
menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai
sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah
aspirasi segera membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari
trauma dinding dada.
F. MANIFESTASI KLINIS
A. Gejala Utama
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika
paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak (Davey.,
2003), berupa rasa penuh dalam dada atau dispneu (Ward et al., 2007).
Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak (Davey., 2003), berupa
nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul (Ward et al., 2007). Adanya
gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri
dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak. Deviasi trachea
17 | P a g e
menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan
pleural yang signifikan
B. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih
cembung
b. Palpasi. Penurunan fremitus vocal atau taktil
c. Perkusi. Pekak pada perkusi,
d. Auskultasi. Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila
terjadi atelektasis kompresif (kolaps paru parsial) dapat
menyebabkan bunyi napas bronkus (Ward et al., 2007).
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan
berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit
akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba
dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan
duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis
Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup
timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-
Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong
mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati
vesikuler melemah dengan ronki. Pada permulaan dan akhir
penyakit terdengar krepitasi pleura.
G. GAMBARAN RADIOLOGI EFUSI PLEURA
18 | P a g e
Pada pemeriksaan foto toraks rutin tegak, cairan pleura tampak berupa
perselubungan homogen menutupi struktur paru bawah yang biasanya
radioopak dengan permukaan atas cekung, berjalan dari lateral atas ke arah
medial bawah. Karena cairan mengisi ruang hemithoraks sehingga jaringan
paru akan terdorong ke arah sentral / hilus, dan kadang - kadang mendorong
mediastinum ke arah kontralateral. Jumlah cairan minimal yang dapat
terlihat pada foto thoraks tegak adalah 250 – 300 ml (Rasad, 2005).
Pemeriksaan radiografi paling sensitif mengidentifikasi cairan pleura yaitu
dengan posisi lateral dekubitus, yang mampu mendeteksi cairan pleura
kurang dari 5 ml dengan arah sinar horisontal di mana cairan akan
berkumpul di sisi samping bawah. Apabila pengambilan X-foto toraks pasien
dilakukan dalam keadaan berbaring (AP), maka penilaian efusi dapat
dilihat dari adanya gambaran apical cup sign. Gambaran radiologis tidak
dapat membedakan jenis cairan mungkin dengan tambahan keterangan
klinis atau kelainan lain yang ikut serta terlihat sehingga dapat diperkirakan
jenis cairan tersebut.
19 | P a g e
CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan dan bisa
menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor (Kallanagowdar and
Craver, 2006).
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang
jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
22 | P a g e
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui
torakosentesis (pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan
diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal)
(Demirhan et al., 2008).
Pada orang dewasa, torakosentesis sebaiknya dilakukan pada setiap
pasiendengan efusi pleura yang sedang-berat, namun pada anak-anak tidak
semuanya memerlukan torakosentesis sebagai prosedur yang sama. Efusi
parapneumonik yang dihubungkan dengan sudut costoprenicus yang tumpul
minimal tidak seharusnya mendapat prosedur torakosentesis (Kallanagowdar
and Craver, 2006).
Torakosentesis atau penyaluran saluran dada (chest tube drainage)
dianjurkan pada pasien anak-anak yang memiliki demam menetap, toksisitas,
organism tertentu (misalnya S.aereus atau pneumococcus), nyeri pleura,
kesulitan dalam bernafas, pergeseran mediastinum, gangguan pernafasan
yang membahayakan. Chest tube drainage semestinya segera dilakukan
apabila dari hasil analisa cairan pleura menunjukkan pH kurang dari 7,2
23 | P a g e
kadar glukosa < 40mg/dl dan kadar LDH lebih dari 1000 U/mL
(Kallanagowdar and Craver, 2006).
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka
dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk
dianalisa. Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan
pemeriksaan menyeluruh, penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat
ditentukan (Kallanagowdar and Craver, 2006). Pada anak dilakukan apabila
peradangan efusi pleura tidak bisa dijelaskan. Teknik ini memiliki peran yang
terbatas pada anak-anak namun memiliki kepentingan yang besar dalam
membedakan TB atau keganasan. Yang menjadi komplikasi utama adalah
pneumotoraks dan perdarahan.
H. PENATALAKSANAAN
Pada efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa
intubasi melalui selang iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit
keluar atau bila empiemanya multiokuler, perlu tindakan operatif. Mungkin
sebelumnya dapat dibantu dengan irigasi cairan garam fisiologis atau larutan
antiseptik. Pengobatan secara sistemik hendaknya segera dilakukan, tetapi
terapi ini tidak berarti bila tidak diiringi pengeluaran cairan yang adequate.
Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi dapat
dilakukan pleurodesis yakni melengketkan pleura viseralis dan pleura
parietalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetrasiklin, Bleomicin,
Corynecbaterium parvum dll.
1. Pengeluaran efusi yang terinfeksi memakai pipa intubasi melalui sela iga.
2. Irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik (Betadine).
3. Pleurodesis, untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah
aspirasi.
4. Torasentesis: untuk membuang cairan, mendapatkan spesimen
(analisis), menghilangkan dispnea.
24 | P a g e
5. Water seal drainage (WSD)
Drainase cairan (Water Seal Drainage) jika efusi menimbulkan gejala
subyektif seperti nyeri, dispnea, dll. Cairan efusi sebanyak 1 – 1,2 liter
perlu dikeluarkan segera untuk mencegah meningkatnya edema paru, jika
jumlah cairan efusi lebih banyak maka pengeluaran cairan berikutya
baru dapat dilakukan 1 jam kemudian.
6. Antibiotika jika terdapat empiema.
7. Operatif.
25 | P a g e
BAB III
KESIMPULAN
1. Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat
berupa cairan transudat atau cairan eksudat.
2. Efusi transudat terjadi karena penyakit lain bukan primer paru.
3. Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan
permabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan
ke dalam rongga pleura, paling sering adalah akibat M. tuberculosis.
4. Pada pemeriksaan foto toraks rutin tegak, cairan pleura tampak berupa
perselubungan homogen menutupi struktur paru bawah yang biasanya
radioopak dengan permukaan atas cekung, berjalan dari lateral atas ke arah
medial bawah.
5. Pemeriksaan radiografi paling sensitif mengidentifikasi cairan pleura yaitu
dengan posisi lateral dekubitus
6. Pada efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa
intubasi melalui selang iga.
26 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
AHMAD, Z., KRISHNADAS, R. & FROESCHLE, P. 2009. Pleural
effusion: diagnosis and management. J Perioper Pract, 19, 242-7.
COLLINS, J., STERN, E. J. & OVID TECHNOLOGIES INC. 2007. Chest
radiology the essentials. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
DEMIRHAN, R., KOSAR, A., SANCAKLI, I., KIRAL, H., ORKI, A. &
ARMAN, B. 2008. Management of postpneumonic empyemas in
children. Acta Chir Belg, 108, 208-11.
DIAZ-GUZMAN, E. & DWEIK, R. A. 2007. Diagnosis and management of
pleural effusions: a practical approach. Compr Ther, 33, 237-46.
HALIM & HADI 2006. Penyakit-penyakit Pleura. In: EKAYUDA, I. (ed.) Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD
FKUI.
HANLEY, M. E. & WELSH, C. H. 2003. Current diagnosis & treatment
in pulmonary medicine. [New York]: McGraw-Hill Companies.
JOSEPH, J., BADRINATH, P., BASRAN, G. S. & SAHN, S. A. 2001. Is the
pleural fluid transudate or exudate? A revisit of the diagnostic criteria.
Thorax, 56, 867-70.
JUHL, J. H. & CRUMMY, A. B. 1993. Paul and Juhl's essentials of
radiologic imaging, Philadelphia, J.B. Lippincott.
KALLANAGOWDAR, C. & CRAVER, R. D. 2006. Neonatal pleural
effusion. Spontaneous chylothorax in a newborn with trisomy 21. Arch
Pathol Lab Med, 130, e22-3.
MCGRATH, E. E. & ANDERSON, P. B. 2011. Diagnosis of pleural
effusion: a systematic approach. Am J Crit Care, 20, 119-27; quiz 128.
MÜLLER, N. L., FRANQUET, T., LEE, K. S. & SILVA, C. I. S. 2007. Imaging
of pulmonary infections, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins.
27 | P a g e
RACHMATULLAH, P. 1997. Seri Ilmu Penyalit Dalam, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Paru (Pulmonologi), Semarang, Undip.
RAHMAN, N. M., DAVIES, R. J. & GLEESON, F. V. 2007. Investigating
suspected malignant pleural effusion. BMJ, 334, 206-7.
RASAD, S. 2005. Radiologi Diagnostik, Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
28 | P a g e