e4jifuljivi - fakultas hukum program studi ilmu hukum...
TRANSCRIPT
BIDANC ILMUFILSN I;A1'HUKUM ISLAM
LAPORAN PENELITIAN
RELEVANSI TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRURSEBAGAI BASIS PEMBAHARUANT
HUKUM KEWARISAN DI INDONBSIA
E4JIfulJIVI
Peneliti:
Rohidin, Dr., M.Ag.
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA2014
ISLAM ,ioozmUlt
U7
flnlrtrj
z3
HALAMAN PENGESAHAN
Penelitian yang berjudul:
Relevansi Teori Batas Muhammad Syahrur
Sebagai Basis Pembaharuan Hukum Kewarisan di Indonesia
Oleh:Dr. Drs. Rohidin, M.Ag.
Telah diseminarkan pada 19 Mei 2014
Disetujui oleh:Ketua Prodi
Faqih, SH., M.Hum. *,*,k4,,MHum
v !Li.t | | ll | : l.:'-itujrls
* voovnrRnr
SURAT PBRNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini kami:
Nama
Alamat Rumah
Telp./HP
Judul Penelitian
ROHIDIN, Dr., M.Ag'
Warungboto Umbulharjo lV/81 5 Rt. 30/07 Yogyakarla
+62274 418 415
Relevansi Teori Batas Muhammad Syahrur sebagai Basis
Pembaharuan Hukum Kewarisan di Indonesia
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:
l. Laporan Penelitian yang kami ajukan benal asli karya ilmiah yang kami tulis
sendiri.
2. Apabila di kemudian hari ternyata diketahui bahwa karya tersebut bukan
karya ilmiah kami (plagiasi), maka kami bersedia menanggung sanksi
sebagimana Yang beilaku'
Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenar-benarnya.
Yogyakarta, l0 Mei20l4Kami yang Men
DAFTAII ISI
Halaman
HALAMAN JTJDI]L
HALAMAN PENGESAHAN
I{ALAMAN PERI\TYATAAN '.'.....' """"}""""'DAFTARISI ...........
ABSTRAK
BAB IPENDAIIULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Kegunaan .....'......'
D. Kajian Pustaka
E. Kerangka Pemikiran
F. Metode
G. Sistematika Pembahasan ...'.."'
BAB IIM. SYAHR{'R DAN PEMIKIRANI\IYA TENTANG TEORI BATAS ..... 18
A. Biografi Singkat M. SYahrur 18
B. Prinsip-Prinsip Dasar Pemikiran M' Syahrur 2l
BAB IIIANALISIS MATERI TIUKUNI
TEORI BATAS M. SYAHRUR ..
KBWARISAN ISLAM BERBASIS
A. Formulasi Hukum Kewarisan Islam di lndcnesia 28
B. Pandangan M. Syahrur terhadap Hukum Kewarisan Islam """" 38
c. pembaharuan Hukum Kewarisan Islarn Berbasis Teori Batas M. Syahrur
ll
iii
iv
I
I
5
6
6
llt3
t6
lll
42
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
B. Rekomendasi dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
64
64
65
67
IV
Abstrak
Penelitian yang berjudul "Relevansi Teori Batas Muhammad Syahrur sebagai Basis
pembaharuan Hukum Kewarisan di Indonesia", ini difokuskan pada problem
;bugui*unu relevansi teori batas Syahrur jika dijadikan sebagai basis pembaharuan
hukum kewarisan Islam di Indonesia?. Tujuan dari pene-litian ini adalah untuk
*"ni*u*g relevansi teori batas Syahrur sebagai basis pembaharuan hukum kewarisan
Islam di Indonesia. Dengan ketercapaian tujuan tersebut, maka hasil penelitian ini-dapat
Jilunutun oleh staliholders slbagai bahan pertimbangan dalam malakukan
p""*f"rr".uun hukum kewarisan Islam di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga
diharapkan dapat memperkaya kajian filsafat hukum Islam yang lebih komprehensif
dan relevan dalam *urunyu. sebagai penelitian normatif yang bersifat filo-sofis dan
bersumber aari berUalai referensi [Uunun hukum), maka pendekatan yang digunakan
;;l.h pendekatan koiseptual. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisa relevansi
teori batas Syahrur ,*t Oiporisikan sebagaitasis L..93h1Tan hukum kewarisan Islam
di Indonesia. setelah dianalisis secara deskriptif-kualitatifi yaitu data yang disajikan
,.ruru deskriptif dan dianalisis secara kualitatif (content analysis) deng11 laleJcah-
iunltun, seperti: tctasinmsi, sistematisasi, dan analisis, maka dapat disimpulkan bahwa'
per.tdma, Syahrur 1ntn"1nputtan keadilan sebagai asas utama.dalam aturan pembagian
waris. Basis pemb"d;; h;; waris ini tidak di dasarkan pada individu ahli waris' tetapi
pJu r."to*pok jenis kelamin. Kedua, Adanya penetapan batas atas dan bawah yang
memungkinkan bagi ahli waris untuk menetapkan bagiannya sesuai dengan kondisi dan
kebutuliannya, dan ketiga, dengan seperangkat metodologi.yang digunakan, tawaran-
tawaran teoretik syahrur mampu memecahkan problem radd dan 'awl yang hingga hari
ini masih buntu.
Kata kunci: Teori Batas dan Pembaharuan Hukum Kewarisan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum waris dalam Islam merupakan ekspresi penting hukum keluarga.
Vitalitas inilah yang kemudian hukum waris ditegaskan oleh Nabi Muhammad
saw sebagai separuh pengetahuan yang dimiliki manusia.1 Berpijak dari hal itu,
maka mempelajari hukum waris dalam Islam berarti mengkaji separuh
pengetahuan yang dimiliki manusia, yang telah dan terus hidup di tengah-tengah
masyarakat muslim hingga saat ini dan masa yang akan datang.
Dari awal hingga pembentukan dan pembaharuannya di masa modern
hukum waris Islam menunjukkan dinamika dan perkembangannya. Salah satu
dinamika tersebut adalah dimasukkannya hukum waris Islam ke dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Ada tiga tema besar yang tercantum dalam KHI,
yaitu; hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Hal ini
berarti bahwa hukum waris Islam menjadi hukum positif di Indonesia, yang
kemudian dikenal dengan istilah hukum kewarisan.
Istilah kompilasi merupakan serapan dari bahasa Inggris dan Belanda
berupa; compilation dan compilatie,2 yang berarti kumpulan yang tersusun secara
1Diriwayatkan dari Abi Hurairah dan ditakhrij oleh Abi Hasan al-Daruquthni dalam, Abi Hasan
al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966), juz IV, hlm. 67. 2Abdurrahman, Komplasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992),
hlm. 10.
2
teratur.3 Dalam dunia hukum, kompilasi didefinikan dengan sebuah buku hukum
atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu,
pendapat hukum, atau juga aturan hukum.4 Dengan demikian, KHI adalah buku
kumpulan yang memuat uraian tentang hukum Islam sebagaimana terurai secara
rinci di atas.
Semenjak ditetapkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) pada tahun 1991,
KHI belum pernah mengalami perubahan. Sementara itu, kehidupan masyarakat
Indonesia secara bertahap telah mengalami perubahan yang sangat dinamis. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa dinamika perubahan kehidupan masyarakat tidak
diimbangi oleh perubahan hukum itu sendiri, yang dalam hal ini adalah KHI, dan
termasuk di dalamnya hukum kewarisan.
Kelambanan pembaharuan hukum Islam, termasuk di dalamnya KHI dan
hukum kewarisan secara spesifik, bagi Ahmad Rafiq, disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, masih kuatnya anggapan bahwa taklid terhadap pendapat para ulama,
sebagaimana terekam dalam literatur fikih, masih cukup memadai untuk menjawab
persoalan-persoalan kontemporer. Kedua, hukum Islam di Indoensia dalam
konteks sosial-politik masa kini selalu mengandung polemik. Ada dua polemik
yang menggelanyut di dalamnya, yaitu (1) hukum Islam berada di antara dua
3Dendy Sugono (red.), Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 796. 4 Abdurrahman, Komplasi Hukum Islam, hlm. 12.
3
paradigma, agama dan negara; dan (2) hukum Islam berada pada ketegangan
agama itu sendiri.5
Pada dasarnya, hukum kewarisan di Indonesia baru akan dipergunakan oleh
masyarakat saat dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik tentang harta pusaka.
Banyak masyarakat Indonesia yang membagi harta pusaka peninggalan
pendahulunya secara damai dengan asas kekeluargaan. Namun demikian, tidak
sedikit pembagian harta pusaka diwarnai dengan konflik dan harus diadili oleh
penegak hukum setempat. Pada tahun 2011 saja tercatat ada 1938 perkara tingkat
pertama di seluruh wilayah Indonesia yang diterima oleh pengadilan agama. Dari
sejumlah perkara tersebut, 958 di antaranya telah diputus.6 Secara statistik, besaran
angka perkara kewarisan selalu berada pada nomor urut dua setelah perkara
perkawinan. Hal ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.7 Dengan kata
lain, perkara kewarisan di Indonesia masih sangat marak terjadi. Data itu pun
hanya yang terekapitulasi di Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama. Hemat penulis, masih banyak perkara kewarisan
lain yang tidak terekam dalam rekapitulasi tersebut.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa hingga saat ini KHI, dan
termasuk di dalamnya hukum kewarisan, belum mengalami pembaharuan yang
5Ahmad Rafiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 2001),
hlm. 99-100. 6Periksa, Rosmadi, Rekap Perkara yang Diterima dan Diputus Tk. Pertama Yuridiksi
MSy.P/PTA Seluruh Indonesia Tahun 2011, dalam http://www.badilag.net/statistik-perkara/10119-informasi-keperkaraan-peradilan-agama-tahun-2011.html (Diakses pada tanggal 21 Maret 2013).
7Periksa, Ibid.
4
disesuikan dengan konteks dinamika dan kultur masyarakat Indonesia saat ini.
Salah satu contohnya adalah pada aspek rasio pembagian dengan basis jenis
kelamin. Pada Pasal 176 KHI dikatakan bahwa; “Anak perempuan bila hanya
seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-
sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama
dengan anak laki-laki, maka bagaian anak laki-laki adalah dua berbanding satu
dengan anak perempuan”. Materi dalam pasal tersebut mungkin sesuai dalam
konteks kultur dan kehidupan masyarakat Indonesia kala KHI disusun, tetapi
untuk konteks saat ini dalam hemat penulis bermasalah. Bagaimana tidak, seiring
dengan pergerakan peradaban, posisi antara laki-laki dan perempuan dalam
konteks Indonesia saat ini telah menjadi kabur, dalam arti tidak bersifat struktural-
hirarkis lagi sebagaimana saat KHI disusun. Hubungan laki-laki dan perempuan
saat ini (untuk menghidari generalisasi yang terlalu dini) bersifat struktural-
fungsional. Pada beberapa keadaan, laki-laki terkadang memang terdepan dalam
hubungan tersebut, tetapi tidak sedikit di beberapa keadaan lain justru perempuan
yang mengambil peranan. Meskipun, secara administratif laki-laki tetap
diposisikan sebagai pemimpin. Pertanyaannya kemudian, jika kultur dan
peradaban masyarakat telah berubah, kenapa materi hukum tidak bisa berubah?
Anomali-anomali yang terjadi dalam konstruksi hukum Islam seperti contoh
di atas juga dirasakan oleh Muhammad Syahrur. Dalam dua karyanya, Al-Kitab wa
al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah (1992) dan Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-
Islami (2000), Syahrur menawarkan solusi untuk mengatasi anomali-anomali
5
tersebut. Tawarannya ia sebut dengan teori batas. Baginya, metode penetapan
hukum yang ada dalam Islam selalu memuat dua karakter dasar sekaligus,
lengkung (fleksibel) dan lurus (paten). Dengan kedua karakter ini, hukum Islam,
lanjut Syahrur, akan selalu menemukan relevansinya di setiap ruang dan waktu,
yaitu memberikan ruang yang luas bagi ijtihad hukum selama tetap berada di
antara batas-batas yang telah ditetapkan.8 Dalam kasus kewarisan sebagaimana
penulis singgung, misalnya, Syahrur memberikan solusi untuk melihat dominasi
peranannya dengan batasan-batasan yang ia susun sesuai dengan nilai yang
terkandung dalam realitas redaksional teks al-Qur’an. Di antara batasan-batasan
itulah, ketetapan hukum mendapatkan fleksibelitasnya. Dengan fleksibelitas itulah
seorang pengadil dapat memutuskan hukum kewarisan sesuai dengan konteks
yang ada pada masing-masing perkara.
Pertanyaannya, bagaimana jika teori batas yang ditawarkan Shahrur
digunakan untuk melakukan pembaharuan hukum kewarisan di Indonesia? Apakah
menemukan relevansinya? Inilah yang menjadi batasan penelitian ini. Dengan
anomali-anomali sebagaimana gambaran yang disebutkan, penulis dapat
menemukan solusinya melalui teori batas Syahrur. Paling tidak, dengan tawaran-
tawaran pembaharuan ini, secara praktis dapat menjadi tawaran baru sebagai solusi
yang betul-betul relevan pada zamannya.
8Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah (Damaskus: al-Ahali,
1992), hlm. 451-452.
6
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, permasalahan yang dijawab dalam
penelitian ini adalah; bagaimana relevansi teori batas Syahrur jika dijadikan
sebagai basis pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan yang dicapai dari penelitian ini adalah menimbang relevansi teori
batas Syahrur sebagai basis pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia.
Dengan ketercapaian tujuan tersebut, maka hasil penelitian ini dapat digunakan
oleh stakeholders sebagai bahan pertimbangan dalam malakukan pembaharuan
hukum kewarisan Islam di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan
dapat memperkaya kajian filsafat hukum Islam yang lebih komprehensif dan
relevan dalam masanya.
D. Kajian Pustaka
Berangkat dari redaksi judul penelitian ini, ada dua variabel yang menjadi
titik pijakan, yakni hukum kewarisan Islam dan teori batas Syahrur. Penelitian-
penelitian yang telah dilakukan memang banyak yang mengkaji dua hal tersebut.
Namun demikian, menghubungkan keduanya pada ranah pembaharuan hukum,
utamanya kewarisan Islam di Indonesia, sejauh penelusuran penulis, belum ada
yang melakukan. Beberapa penelitian yang dimaksud dan penulis anggap relevan
dengan penelitian ini di antaranya adalah:
7
1. “Pembaharuan Hukum Waris Islam di Indonesia” karya Moh. Muhibbuddin.
Dalam artikel tersebut, Muhibbuddin berusaha untuk menggali letak
pembaharuan hukum yang telah dilakukan oleh Indonesia dalam kewarisan
Islam. Temuannya mengatakan bahwa pembaharuan hukum kewarisan Islam
di Indonesia terletak pada pemberian peluang bagi ahli waris non-muslim
untuk mendapatkan bagian harta pusaka, meskipun melalui ketentuan lain,
berupa wasiat yang bersifat wajib.9
2. “Pembaruan Hukum Keluarga, Wasiat untuk Ahli Waris: Studi Komparatif
Tunisia, Syiria, Mesir, dan Indonesia” karya Fatum Abubakar. Sebagaimana
tampak pada judulnya, artikel ini memiliki fokus pada pembaharuan hukum
kewarisan Islam pada aspek wasiat. Adapun pendekatan yang digunakan
adalah komparasi, yakni dengan mengkomparasikan hukum kewarisan Islam
di empat negara sekaligus yang notabene berpenduduk mayoritas Muslim,
dan bahkan tiga di antaranya menggunakan hukum Islam sebagai hukum
nasionalnya. Temuan Fatum menyebutkan bahwa Mesir adalah negara yang
paling progresif dalam melakukan pembaharuan, di mana metode yang
digunakan adalah extra doctrinal reform. Pembaharuan dengan metode ini,
salah satunya, menghasilkan rumusan bahwa anak yang meninggal terlebih
dahulu dan telah memiliki/ meninggalkan anak, maka cucu tersebut berhak
9Moh. Muhibbuddin, “Pembaharuan Hukum Waris Islam di Indonesia”, dalam
http://wwwbadilag.net/data/ARTIKEL/Pembaharuan%20Hukum%20Waris%20Islam%20Di%20Indonesia%20Artikel%20Badilag%20versi%20biasa.pdf (Diakses pada tanggal 22 Maret 2013).
8
untuk menggantikan posisi ayahnya dalam mendapatkan hak pembagian
harta pusaka melalui wasiat wajib yang tidak lebih dari sepertiga harta.10
3. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia karya Ahmad Rofiq. Dalam buku
tersebut Rofiq memberikan satu pembahasan khusus tentang pola
pembaharuan yang telah dilakukan oleh Indonesia berkaitan dengan hukum
kewarisan Islam. Bagi Rafiq, selama ini Indonesia telah merumuskan hukum
kewarisan Islam yang berlandasankan pada mazhab al-Syafi’i. Namun
demikian, ada enam ketentuan kewarisan dalam KHI yang menurut Rafiq
justru tidak lazim dalam logika mazhab al-Syafi’i. Enam hal tersebut adalah;
(a) pembagian warisan dengan cara damai yang tercermin pada Pasal 183,
(b) penggantian kedudukan, mawali/ platvervullings yang tercermin pada
Pasal 185, (c) warisan anak zina/ anak li’an yang tercermin pada Pasal 186,
(d) pembagian warisan ketika pewaris masih hidup yang tercermin pada
Pasal 187, (e) sistem kewarisan kolektif yang tercermin pada Pasal 189, dan
(f) harta bersama gono-gini yang tercermin pada Pasal 190.11
4. “Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran ‘The Theory of Limits’
Muhammad Shahrur” karya Ummu Iffah. Sebagaimana judulnya, artikel ini
memilki fokus kajian pada konstruksi kesejarahan metodologi yang
digunakan Syahrur dalam teori batasnya. Dengan kata lain, Iffah tidak
10Fatum Abubakar, “Pembaruan Hukum Keluarga, Wasiat untuk Ahli Waris: Studi Komparatif
Tunisia, Syiria, Mesir, dan Indonesia”, dalam Hunafa: Jurnal Studi Islamika, Vol. 8, No. 2, Desember 2011, hlm. 264.
11Baca, Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam, hlm. 114-123.
9
banyak membincang konstruksi teori batas itu sendiri. Temuan Iffah
menunjukkan bahwa Syahrur hanya menginduksikan berbagai kesimpulan
para juris Islam sebelumnya. Ia hanya meramu bahan dasar fikih untuk
dijadikan tesa yang kemudian menjadi pijakan awal teori batasnya. Secara
metodologis, pengetahuan eksakta Syahrur sebagai Sarjana Teknik Sipil,
bagi Iffah, tampak sangat kuat mempengaruhi gagasan Syahrur.12
5. “Konsep Hudud pada Hak-hak Perempuan Menurut Muhammad Syahrur”
karya Halimah B. dalam artikel tersebut, Halimah mendeskripsikan secara
sekilas tentang pandangan Syahrur mengenai tiga topik yang berkaitan
dengan hak-hak perempuan, yakni poligami, kewarisan, dan hijab. Deskripsi
Halimah tentang ketiga topik tersebut sama sekali tanpa analisis. Dalam
kesimpulannya, ia hanya mengatakan bahwa pada masing-masing topik
tersebut Syahrur telah merumuskan batasan minimum dan maksimum.13
6. “Gagasan Teori Batas Muhammad Syahrur dan Signifikansinya bagi
Pengayaan Ilmu Ushul Fiqh” karya M. Zainal Abidin. Artikel ini memiliki
dua fokus kajian, yakni formulasi teori batas Shahrur dan signifikansinya
bagi pengembangan ushul fikih. Temuan Zainal menunjukkan bahwa ada
enam ketentuan batas yang diformulasikan oleh Syahrur mengenai teori
batasnya; (a) ketentuan hukum yang hanya memiliki batas minimum, (b)
12Ummu Iffah, “Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran ‘The Theory of Limits’ Muhammad
Shahrur” dalam Kontemplasi, Vol. 6, No. 2, Nopember 2009, hlm. 123. 13Baca, Halimah B., “Konsep Hudud pada Hak-hak Perempuan Menurut Muhammad Syahrur”,
dalam Al-Risalah, Vol. 11, No. 2, Nopember 2011, hlm. 357-378.
10
ketentuan hukum yang hanya memilki batas maksimum, (c) ketentuan
hukum yang memiliki batas minimum-maksimum sekaligus, (d) ketentuan
hukum yang memilki batas minimum-maksimum sekaligus, tetapi dalam
satu titik koordinat, (e) ketentuan hukum yang memiliki batas dengan satu
titik yang cenderung mendekati garis lurus tetapi tidak ada persentuhan, dan
(f) ketentuan hukum yang memiliki batas maksimum positif dan tidak boleh
dilampaui dan batas minimum negatif yang boleh dilampaui.14 Pada fokus
kajian kedua, bagi Zainal, teori batas Syahrur memiliki signifikansinya pada;
(a) keberhasilan dalam melakukan pergeseran paradigma yang sangat
fundamental di bidang ushul fikih,15 (b) keberhasilan dalam menawarkan
batas minimum-maksimum dalam menjalankan hukum-hukum Allah,16 (c)
keberhasilan dalam melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap
metodologi ijtihad hukum, terutama berkaitan dengan ayat-ayat hudud yang
selama ini diklaim sebagai ayat-ayat muhkamat, yang bersifat pasti dan
hanya mengandung penafsiran tunggal,17 dan (d) keberhasilan dalam
membuktikan bahwa ajaran Islam benar-benar merupakan ajaran yang
relevan untuk tiap ruang dan waktu.18
14Baca, M. Zainal Abidin, “Gagasan Teori Batas Muhammad Syahrur dan Signifikansinya bagi
Pengayaan Ilmu Ushul Fiqh”, dalam Al-Mawardi, Edisi XV, Tahun 2006, hlm. 103-106. 15Ibid., hlm. 107. 16Ibid., hlm. 108. 17Ibid., hlm. 109. 18Ibid.
11
Dengan melihat pada fokus dan hasil dari beberapa penelitian di atas, telah
menjadi jelas bahwa penelitian ini memiliki urgensitasnya, baik dari sisi
relevansinya maupun kebaruannya.
E. Kerangka Pemikiran
Salah satu kaidah ushul fikih berbunyi bahwa keberadaan suatu hukum itu
sangat bergantung pada alasan dan penyebabnya (al-hukm yaduru ma’a ‘illatih
wujudan wa ‘adaman).19 Berkaitan dengan ini, Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751
H.) merumuskan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa (pandangan hukum)
sesuai dengan perubahan waktu, tempat, kondisi, niat, dan kebiasaan (Tagayyur al-
fatwa wa ikhtilafiha yuhsabu tagayyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal wa
al-niyat wa al-‘awa’id).20 Dua rumusan kaidah tersebut secara gamblang telah
menggambarkan bahwa hukum bukanlah barang mati yang tidak bisa berubah,
sebaliknya pola dan bahkan eksistensinya sangat bergantung pada mahkum alaih-
nya. Karena itu, sangat lazim jika Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)
jamak memiliki ketetapan hukum yang berbeda saat di Mesir (qaul qadim) dan di
Bagdad (qaul jadid).21
19Muhammad Shalih al-Utsaimain, Al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah (Riyadh: Mu’assasah
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimain al-Khiriyyah, 1429 H.), hlm. 262., dan Zakariya al-Pakistani, Ushul al-Fiqh ala Manhaj Ahl al-Hadis (Ttt: Dar al-Haraz, 2002), hlm. 48.
20Muhammad bin Abi Bakr bin Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin (Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, 1968), juz III, hlm. 2.
21Baca, E. Abdurrahman, Perbandingan Mazhab-mazhab (Bandung: Sinar Baru, 1986), hlm. 31.
12
Penyesuaian hukum terhadap kondisi dan keadaan tersebut sangat jelas
mengindikasikan bahwa Islam sangat peka terhadap kemaslahatan. Hadis lā
ḍarara wa lā ḍirāran memberikan prinsip umum mengenai tidak bolehnya
melakukan tindakan (baca: menetapkan hukum) yang merugikan, yaitu tidak boleh
melakukan atau menyebabkan kerugian atau kerusakan sosial, harus diberi
prioritas pertimbangan di atas seluruh sumber hukum; penggunaan sumber-sumber
hukum tersebut harus dibatasi dalam rangka mengakhiri terciptanya kerugian dan
kejahatan sosial sebagai upaya merealisasikan kebaikan atau kemaslahatan sosial
dalam praktik aktual.22
Prinsip-prinsip tersebut juga tergambar dalam pemikiran Satjipto Rahardjo
(w. 2010). Baginya, hukum dibuat untuk (kepentingan/ kemaslahatan) manusia,
bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak dan final,
melainkan sebagai institusi bermoral, bernurani, dan karena itu sangat ditentukan
oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum adalah suatu
institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang
berkemanusiaan yang adil beradab, sejahtera, serta membuat manusia bahagia.
Oleh karena itu, jika terjadi problematika hukum, maka hukumlah yang harus
ditinjau dan diperbaiki, bukan manusianya yang dipaksa-paksa untuk dimasukan
ke dalam skema hukum.23 Posisi yang demikian mengantarkan satu predisposisi
22Najm al-Din Sulaiman bin ‘Abd al-Qawiy al-Thufi, Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 13. 23Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum
Progresif, Vol. 1, No. 1, April 2005, hlm. 3. Lihat pula Satjipto Rahardjo, “Konsep dan Karakteristik
13
bahwa hukum itu selalu berada pada status ‘law in the making’ (hukum yang
selalu berproses untuk menjadi).24 Hal demikian juga berlaku bagi hukum
kewarisan Islam, yang menjadi topik penelitian ini.
F. Metode
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian normatif.25
Dikatakan penelitian normatif karena penelitian ini bertujuan untuk menelaah
relevansi teori batas Syahrur sebagai basis pembaharuan hukum kewarisan
Islam di Indonesia. Artinya, objek material dari penelitian ini adalah asas
hukum. Sementara, penelitian yang mengkaji asas hukum termasuk dalam
kategori penelitian normatif.
2. Pendekatan
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum
terdapat lima macam, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan
Hukum Progresif”, Makalah, dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007, hlm. 11.
24Ibid., hlm. 6. 25Lihat, Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997), hlm. 42-43.
14
konseptual (conceptual approach).26 Dalam penelitian ini, pendekatan yang
dianggap relevan dengan permasalahan yang diangkat di antaranya adalah
pendekatan konseptual. Pendekatan ini digunakan untuk menganalisa relevansi
teori batas Shahrur saat diposisikan sebagai basis pembaharuan hukum
kewarisan Islam di Indonesia.
3. Jenis Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data
yang diperoleh secara langsung dari masyarakat dan dari data yang diperoleh
dari bahan-bahan pustaka. Data yang dipeoleh pada jenis pertama dinamakan
data primer, sementara jenis kedua dinamakan data sekunder. Apabila
penelitiannya bersifat kepustakaan, maka data yang diperlukan adalah data
sekunder.
Sebagaimana tampak dari redaksi judul di atas, maka penelitian ini
termasuk dalam kategori normatif. Sebagaimana lazimnya, penelitian normatif
berbasis pada studi dokumen dan wawancara. Namun demikian, sumber data
utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yakni data
yang diperoleh dari bahan kepustakaan.27 Dalam penelitian hukum, data
sekunder dilihat dari kekuatan mengikatnya digolongkan menjadi:28
a. Bahan Hukum Primer
26Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 93. 27Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 51. 28Ibid., hlm. 52.
15
(1) Kompilasi Hukum Islam;
(2) Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah; dan
(3) Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami.
b. Bahan Hukum Sekunder
Termasuk dalam kategori ini adalah bahan-bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya hasil penelitian dan
karya-karya yang berkaitan dengan fokus penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Termasuk dalam kategori ini dalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
seperti kamus atau ensiklopedia.
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah dokumentasi
data literer. Sehingga, langkah yang dilakukan peneliti adalah mencari sumber-
sumber data di atas baik di perpustakaan fisik maupun di perspustakaan
elektronik.
5. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam menganalisis data dalam penelitian ini
adalah deskriptif-kualitatif, yaitu data yang disajikan secara deskriptif dan
dianalisis secara kualitatif (content analysis) dengan langkah-langkah, seperti:
klasifikasi, sistematisasi, dan analisis dasar suatu simpulan.
16
G. Sistematika Pembahasan
Rangkaian pembahasan dalam sebuah penelitian harus berkaitan satu sama
lain dalam satu bingkai kajian. Untuk itu, agar dapat dilakukan lebih runtut dan
terarah, penelitian ini dibagi dalam empat bab pembahasan. Adapun sistematisasi
empat bab tersebut adalah sebagai berikut: Bab pertama berisi pendahuluan yang
medeskripsikan secara utuh seputar penelitian ini. Karenanya, ulasan bab ini terdiri
dari; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, kajian
pustaka, kerangka pemikiran, metode penelitian yang digunakan, dan sistematika
pembahasan. Bab ini sebagai kerangka dari seluruh isi penelitiannya. Sedangkan
secara rinci, hasil penelitian tersebut penulis ulas dalam beberapa bab selanjutnya.
Bab kedua berisi ulasan tentang deskripsi teori batas Syahrur. Untuk lebih
memperdalam ulasannya, penulis akan mengawalinya dari biografi singkat
Syahrur dan prinsip-prinsip dasar pemikiran M. Syahrur. Dalam konstruksi
pembahasan penelitian, bab ini dimaksudkan sebagai pengantar untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan mengenai relevansi teorinya sebagai basis
pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia.
Adapun jawaban atas permasalahan di atas akan diuraikan dalam bab ketiga.
Sebagaimana dijelaskan dalam kerangka teori bahwa terdapat dua variabel pokok
yang menjadi titik utama penelitian ini, yaitu materi hukum kewarisan Islam di
Indonesia dan relevansi teori batas Syahrur untuk pembaharuan hukum kewarisan
Islam tersebut. Adapun aspek-aspek yang dikaji dalam bab ini meliputi, deskripsi
dan analisis atas materi hukum dan analisa relevansi teori batas Syahrur terhadap
17
materi hukum tersebut untuk kemudian dilakukan pembaharuan. Sedangkan bab
keempat adalah penutup yang berisikan kesimpulan dan rekomendasi dari seluruh
hasil penelitian serta saran-saran untuk para pengkaji selanjutnya.
18
BAB II
M. SYAHRUR DAN PEMIKIRANNYA
TENTANG TEORI BATAS
A. Biografi Singkat M. Syahrur
Nama lengkap Syahrur adalah Muhammad Ibnu Da’ib Syahrur. Beliau
adalah seorang pemikir muslim kontemporer yang lahir pada tanggal 11 Maret
tahun 1938 di Damakus (Syiria). Pada awalnya Syahrur tidak mempelajari ilmu-
ilmu keislaman secara intensif, karena setelah menamatkan sekolah di tingkat
menengah, ia kemudian pergi ke Uni Soviet untuk belajar tehnik di Moskow.
Setelah menyelesaikan S1, kemudian ia kembali ke Syiria pada tahun 1964 dan
bekerja sebagai dosen di Universitas Damaskus.1
Pada tahun 1967, Syahrur memperoleh kesempatan untuk melakukan
penelitian di Imperial College London, Inggris. Namun kemudian Syahrur
terpaksa kembali lagi ke Syiria, sebab pada waktu itu tepatnya bulan Juni tahun
1967 terjadi perang selama enam hari antara Arab (gabungan Mesir, Yordania, dan
Syiria) melawan Israel yang mengakibatkan hubungan diplomatik antara Syiria
dengan Inggris terputus, sebab Inggris dalam hal ini berpihak ke Israel. Akhirnya,
ia memutuskan untuk pergi ke Dublin, Irelandia sebagai utusan dari Universitas
Damaskus untuk mengambil Program Master dan Doktor di The National
1Peter Clark, “The Shahrur Phenomenon: A Liberal Islamic Voice from Syria”, dalam Islam
and Christian Moslem Relation, Vol. 7 No. 3, hlm. 337.
19
University of Ireland (NUI) dengan mengambil bidang Tehnik Pondasi dan
Mekanika Tanah (Al-Handasah al-Madaniyyah).
Pada tahun 1969, Syahrur meraih gelar Master of Science. Tiga tahun
kemudian, 1972, ia dapat menyelesaikan program doktoralnya.2 Hingga sekarang,
ia masih tetap tercatat sebagai tenaga edukatif pada Fakultas Teknik Sipil
Universitas Damaskus tersebut dalam bidang mekanika tanah dan geologi dan
menjadi konsultan di bidang tehnik.3 Selanjutnya, pada tahun 1995, ia juga pernah
diundang untuk menjadi peserta kehormatan dan ikut terlibat dalam debat publik
mengenai pemikiran keislaman di Libanon dan Maroko.4 Meskipun basis
pendidikan awalnya adalah tehnik, namun kemudian ia tertarik mengkaji al-Qur’an
secara lebih serius dengan pendekatan ilmu filsafat bahasa dan dibingkai dengan
teori ilmu eksaknya, bahkan beliau juga menulis buku dan artikel tentang
pemikiran keislaman untuk merespon isu-isu kontemporer.
Perhatian Syahrur terhadap kajian ilmu-ilmu keislaman sebenarnya dimulai
sejak dia berada di Dublin, Irlandia pada tahun 1970-1980. Saat itu, ia sedang
mengambil program master dan doktor. Di samping itu, peranan temannya doktor
Ja’far Dakk al-Bab juga sangat besar. Berkat pertemuannya dengan Ja’far pada
2Muhami Munir Muhammad Tahir al-Syawwaf, Tahafut al-Qira'ah al-Mu’asirah (Limmasol
Cyprus: al-Syawwa fi al-Nasyr, 1993), hlm. 11. 3Lihat Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York: Oxford University
Press, 1998), hlm. 139. 4Peter Clark, “The Syahrur Phenomenon”, hlm. 341.
20
tahun 1958 dan 1964, ia dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa.5 Bukunya
yang pertama kali terbit adalah Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah pada
tahun 1990. Buku tersebut sesungguhnya merupakan hasil pengendapan pemikiran
yang cukup panjang sekitar 20 tahun. Pada fase pertama, yaitu tahun 1970-1980 ia
merasa bahwa kajian keislaman yang selama ini dilakukan kurang membuahkan
hasil, dan tidak ada teori yang baru yang diperolehnya. Mengapa, karena dia
merasa bahwa selama ini dirinya masih terkungkung dalam “kerangkeng”
literatur-literatur keislaman klasik yang cenderung memandang “Islam” sebagai
idiologi (al-aqidah), baik dalam bentuk pemikiran kalam (Islamic theology)
maupun fikih. Sebagai implikasinya, maka pemikiran fikih akan mengalami
stagnasi dan tidak bergerak sama sekali, sebab selama ini seolah pemikiran fikih
Islam dianggap telah matang (final).
Lebih lanjut, menurut Eikelman-Piscatori—sebagaimana dikutip Bisri
Effendi, buku tersebut secara umum mencoba melancarkan kritik terhadap
kebijakan agama konvensional maupun kepastian radikal keagamaan yang tidak
toleran. Dari situ, maka dapat dilihat bahwa apa yang diinginkan Shahrur
sebenarnya adalah perlunya menafsirkan ulang ayat-ayat sesuai perkembangan dan
interaksi antargenerasi, serta mendobrak kejumudan penafsiran al-Qur’an.6 Dalam
konteks hermeneutis, ia memperkenalkan istilah tsabat al-nashsh wa taghayyur al-
5Syahrur, Al-Qur’an wa al-Kitab, hlm. 46-47. 6Bisri Effendy “Tak Membela Tuhan yang Membela Tuhan” dalam Abdurrahman Wahid,
Tuhan tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. xviii.
21
muhtawa (Al-Qur’an itu teksnya tetap, namun kandungan makna teks mengalami
perubahan), sehingga dapat ditafsirkan secara dinamis seiring dengan
perkembangan zaman.
Syahrur termasuk pemikir kontemporer yang produktif (al-mufakkir al-
muntij), terbukti selain Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah bermunculan
pula karya-karya lain seperti 1) Dirasah Islamiyyah Mu’ashirah fi al-Dawlah wa
al-Mujtama’ (1994), 2) Al-Islam wa al-Iman: Mandzumat al-Qiyam (1996), 3)
Masyru’ Mitsaq al-‘Amal al-Islami (1999), dan 4) Nahwa Ushul al-Jadidah li al-
Fiqh al-Islami (2000). Di samping itu, Syahrur juga kerap menyumbangkan ide
kreatifnya lewat artikel-artikel dalam seminar atau media publikasi, seperti “The
Divine Text and Pluralism in Muslim Societies”, dalam, Muslim Politics Report
(1997), dan “Islam and the 1995 Beijing World Conference on Woman”, dalam,
Kuwaiti Newspaper, dan kemudian dipublikasikan juga dalam Liberal Islam: A
Sourcebook (1998) yang diedit oleh Charles Kurzman.
B. Prinsip-Prinsip Dasar Pemikiran M. Syahrur
Al-Islam shalih li kull zaman wa makan merupakan konsep kunci
Muhammad Syahrur untuk melakukan konstruksi baru dalam pemikiran
keislaman. Syahrur melihat bahwa problematika peradaban Islam dan fikih Islam
terkait dalam risalah Nabi Saw. Namun risalah itu tidak dipahami secara benar. Ia
menjadi bersifat tertutup, kaku, dan tidak dinamis. Akibatnya masyarakat Islam
kontemporer cenderung mengambil produk-produk hukum pemikiran di luar
22
Islam. Hal ini secara tidak langsung memberi kesan bahwa Islam tidak shalih lu
kull zaman wa makan dan hal ini tentu bertolak belakang dengan Q.S. al-Anbiya’,
107.
Dengan berpedoman dengan metodologi analisis bahasa, Syahrur menganalisa
terma al-hanafiyyah, al-istiqomah, shirat al-mustaqim dalam al-Qur'an yang kemudian
sampai pada pemahaman bahwa al-hunafa’ adalah sifat alami dari seluruh alam.
Langit, bumi, dan seluruh susunan kosmos adalah bergerak dalam garis lengkung
bahkan elektron terkecil pun juga demikian. Tidak ada dari tata alam itu yang tidak
bergerak melengkung. Sifat ini yang menjadikan tata kosmos itu menjadi teratur dan
dinamis. Al-din al-hanif dengan demikian adalah agama yang selaras dengan
kondisi ini, karena al-hanif merupakan pembawaan yang bersifat fitri.
Sejalan dengan fitrah alam tersebut dalam aspek hukum juga terjadi. Realitas
masyarakat senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah tradisi sosial,
kebiasaan atau adat. Oleh karena itu sebuah al-shirat al-mustaqim adalah
keniscayaan untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut.
Berdasarkan hasil temuannya melalui analisis linguistik, Syahrur melanjutkan
rumusan teorinya dengan analisis matematis (al-tahlili al-riyadhi). Ia
menggambarkan hubungan antara al-hanafiyyah dan al-istiqamah bagaikan kurva
dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks. Sumbu x menggambarkan
zaman atau konteks waktu, sejarah. Sumbu y sebagai undang-undang yang
ditetapkan Allah SWT. Kurva (al-hanafiyyah) menggambarkan dinamika bergerak
23
sejalan dengan sumbu x, namun gerakan itu dibatasi dengan batasan hukum yang
telah ditentukan Allah SWT (sumbu y).
Dengan demikian hubungan antara kurva dan garis lurus secara keseluruhan
bersifat dialektik, yang tetap dan berubah senantiasa saling terkait (intentwined).
Dialektika adalah kemestian untuk menunjukkan bahwa hukum itu adabtabel terhadap
konteks ruang dan waktu Syahrur kemudian mengenalkan teori batasnya. Syahrur
mengatakan bahwa Allah SWT telah menetapkan konsep-konsep hukum yang
maksimum dan yang minimum, al-istiqamah (ulvature) dan manusia bergerak dari
dua batasan tersebut, al-hanafiyyah (straightness ).7
Berdasarkan teori matematik, walaupun dengan nama “the theory of limits”,
teori ini nampaknva lebih pas dengan model teori kurva, baik kurva dengan nilai
balik minimum maupun maksimum. Dengan mengetahui titik balik maksimum atau
minimumnya saja, secara teoretis persamaan dari kurva tersebut dapat diketahui
selanjutnya kurva dapat ditentukan gambarnya dan posisi titik dalam kurva dapat
diketahui. Sayangnya Syahrur dalam hal ini tidak merumuskan persamaan-
persamaan kurva yang ia buat, mungkin ini suatu dilema bagi Syahrur karena baik
titik maksimum maupun titik minimum had-had hukum Allah berupa kata-kata bukan
berupa angka. Sehingga “the theory of limits” Syahrur tidak mudah dapat
dioperasikan sebagaimana teori kurva dalam matematika yang dengan memasukkan
7Wael B Halaq, A History of Islamic Legal Theories (Inggris: Cambridge University Press, 1995),
hlm. 45.
24
posisi titik x (yang disimbolkan Syahrur dengan kontek waktu dan sejarah) dalam
persamaan kurva, dapat diketahui posisi-nya (simbol batasan hukum Allah).
Shahrur dalam teori limitsnya, tampak hanya menginduksikan berbagai
kesimpulan para juris Islam sebelumnya. Ia hanya meramu bahan dasar fikih untuk
dijadikan tesa yang kemudian menjadi pijakan awal teori limits-nya. Ia menemukan
data-data klasik, dalam hal ini untuk menyusun kembali “grand teorinya”. Namun
demikian, nampaknya pengaruh pengetahuan eksakta yang digeluti Syahrur sangat
kuat. Ini terlihat dan penisbatan Syahrur pada Newton, saintis di abad pertengahan,
sebagai bagian yang include dalam teori besarnya.28
Dengan memaksakan penggunaan analisis matematik, Shahrur menghadapi
beberapa dilema. Anggapan Syahrur tentang titik maksimum dan minimum dalam al-
Quran tidak ada patokan yang jelas, walaupun kadang ia berusaha menemukan kata-
kata yang dianggapnya kunci dalam al-Qur'an seperti “nakaIan”, “rafah” sebagai
pertimbangan penentuan batas maksimum atau minimum. Namun itu ditemukan
dalam sedikit kasus dalam al Qur'an, sedangkan kasus-kasus lainnya masih sangat
kabur.
Demikian juga titik maksimum dan minimum dalam al-Qur’an berupa kata-kata
bukan angka sehingga sulit untuk merumuskan persamaan atau menggambarkan
kurvanya. Namun nampaknya Syahrur memaksa menggambar kurva-kurva untuk
teori limitnya, sehingga kurva yang dibuatnya tampak kasar.29 Lagi pula dengan
tidak dirumuskan persamaan kurvanya, teori limit Syahrur ini tidak mudah
dioperasikan, tidak sebagaimana teori kurva dalam matematika yang dengan
25
memasukkan titik x (dalam teori Syahrur menggambarkan zaman atau konteks
waktu, sejarah) pada persamaan kurva dapat diketahui output-nya (batasan
hukum Allah yang diminta).
Di pihak lain dialektika yang digagas Hegel dan dilanjutkan Karl Mark sangat
mencengkram teori limits-nya Syahrur. Ini bisa dimaklumi ketika Syahrur tinggal
beberapa lama di Moskow untuk melanjutkan studinya, ia begitu terkesima dengan
gagasan-gagasan peletak dasar marxisme tersebut. Sehingga tidak mengherankan
jika “fikih selalu mengalami dinamika, sebagaimana terniscaya dalam proses
dialektika marxisme” merupakan titik tolak pikiran Syahrur yang kemudian
dijadikan premis mendasar dalam teorinya.
Juga tidak dapat dilupakan teori linguistik modern yang dia peroleh dari
Jakfar Dik al-Bab, sangat berjasa dalam membangun pikiran-pikiran Syahrur.
Jakfar Dik adalah seorang doktor yang mendalami studi bahasa di Universitas
Sovyet antara tahun 1958-1964. Pertemuan Syahrur dengan Jakfar Dik yang
juga teman lamanya dimulai tahun 1980 lewat Jakfar, Syahrur belajar banyak
tentang linguistik, termasuk filologi, serta mulai mengenal pandangan-pandangan
al-Farra’ serta muridnya Ibn Jinni dan al-Jurjani.8
Tidaklah mengherankan keterjebakan Syahrur pada pengaruh-pengaruh
pemikiran tersebut justru menjadi kelemahan utamanya. Karena postulasi yang
ditawarkan Syahrur lantaran pengaruh pikiran-pikiran tersebut menjadikan tidak
8M. Annul Abied Syah dan Hakim Taufiq, Islam Garda Depan dan Mosaik Pemikiran Islam Timur
Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 252.
26
membayangkan rentang waktu dan masa. Sebut saja misalnya ketika memberi
batas maksimum perkawinan hanya sampai empat, Syahrur nampaknya melupakan
praktik Muhammad saw, yang justru menikahi 9 orang istri. Atau ketika memberi
batas maksimum dan minimum bersamaan dalam satu titik sehingga ijtihad tidak
mungkin mengambil hukum selain bentuk itu pada had zina yaitu dengan didera
100 kali. Syahrur nampaknya melupakan praktik had zina mukhson yang diterapkan
Rasulullah saw, yaitu dengan cambukan sampai meninggal. Padahal dia telah
menegaskan bahwa Rasulullah adalah contoh teladan dalam penerapan salah
satu model hukum dalam batasan had-had Allah SWT.
Metode penafsiran semantik yang hanya bertumpukan pada aspek linguistik
dengan mengabaikan landasan historis akan cenderung kering. Hal ini
disebabkan oleh data-data historis yang akan menguatkan bangunan penafsiran
telah sedemikian disingkirkan. Asbab al-nuzul yang acapkali melatari turunnya
sebuah ayat juga akan ditinggalkan demi mengejar makna zahir yang disebar oleh
teks. Boleh jadi Syahrur akan terbawa oleh imajinasinnya yang kadang mengarah
pada tesa yang kurang bisa dibenarkan.
Kalaupun Syahrur tetap memaksakan teori limitsnya terhadap fikih yang
diproduksi dalam al-Qur’an maka terdapat kelemahan lain sebagai kelemahan dalam
al-qawa’id al-fiqhiyyah yang bertumpu pada tesa-tesa secara induktif.
Bahwa senantiasa yang terkecualikan dalam al-qawa’id al-fiqhiyyah,9 sudah
9Ahmad Fawaid Sazili, M. Syahrur: Figur Fenomental, dalam http://www.Islam liberal.com
(diakses pada tanggal 27 Nopember 2013).
27
seharusnya teori limits Syahrur mengecualikan beberapa hal yang tidak termuat
dalam grand teorinya, istina’iyyat (beberapa pengecualian) dalam teori limits,
dengan demikian menjadi niscaya keberadaannya.
28
BAB III
ANALISIS MATERI HUKUM KEWARISAN ISLAM
BERBASIS TEORI BATAS M. SYAHRUR
A. Formulasi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
Dalam istilah bahasa Arab, hukum kewarisan Islam umum dikenal dengan
sebutan fara’id. Secara etimologi kata fara’id bermakna kadar atau ketentuan.1
Pada saat ini fara’id merupakan disiplin ilmu tersendiri. Menurut Hasbi Ash-
Shiddieqy, fara’id adalah suatu ilmu yang dengan dia dapat kita ketahui orang
yang menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang
diterima tiap-tiap ahli waris dan cara membaginya.2 Sementara itu, menurut
undang-undang hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagaiannya masing-masing.3
Pada tahun 1991, umat Islam Indonesia telah mempositivisasi hukum Islam
ke dalam suatu Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai hasil kesepakatan dalam
sebuah lokakarya yang digelar pada tanggal 2-5 Februari 1988 di Jakarta. Dengan
Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 diresmikan pemamakaian dan
penyebarluasan KHI yang terdiri dari atas Buku I tentang Hukum Perkawinan,
1Muhammad Arief, Hukum Kewarisan dalam Islam (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm. 1. 2T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Warisan dalam Syaria’at Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 18. 3Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam Buku II Hukum Kewarisan.
29
Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Pewakafan.
Dalam Inpres tersebut dikatakan agar Menteri Agama menyebarluaskan KHI,
untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan oleh masyarakat yang
memerlukannya dengan sebaik-baiknya, dan penuh tanggungjawab.
Sebagai tindak lanjut dari inpres tersebut, Menteri Agama mengeluarkan
Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991. Surat tersebut berisikan
antara lain agar seluruh instansi yang ada di lingkungan Departemen Agama
(sekarang Kemnetian Agama) dan instansi lain yang terkait dalam menyelesaikan
masalah-masalah di bidang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan,
sedapat mungkin menerapkan KHI tersebut di samping peraturan perundang-
undang lainnya. Dengan demikian, KHI bukan hanya sekedar pedoman bagi hakim
di lingkungan peradilan agama, melainkan sumber hukum meteriil yang harus
dipergunakan olehnya dalam mengadili, memutus, dan menyelesaikan masalah-
masalah hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan bagi mereka yang
beragama Islam, di samping peraturan perundang-undangan lainnya yang
berhubungan ketiga hal tersebut.
Sebelum KHI disusun, sumber hukum materiil yang digunakan atau berlaku
di lingkungan peradilan agama dalam mengadili adalah literatur agama Islam
(terutama fikih) yang biasa dikenal dengan istilah kitab kuning. Pada saat itu,
literaturnya pun tidak ada keseragaman, dalam arti tidak ditentukan literatur mana
yang boleh dan tidak boleh digunakan. Masing-masing peradilan agama memiliki
kebebasan untuk memilih kitab kuning mana yang dijadikan sumber hukum
30
materiil dalam mengadili perkara. Pada 18 Februari 1958 dikeluarkan Surat
Edaran Biro Peradilan Agama Nomor B/1/735 yang berisikan tentang anjuran
penyeragaman penggunaan sumber hukum maetriil dalam mengadili perkara. Di
dalam surat tersebut dikatakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum yang
memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim pengadilan agama/ mahkamah
syariah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman, yaitu al-Bajuri, Fathul
Muin dengan Syarah-nya, Syarqawi ‘ala al-Tahrir, Qalyubi/Muhalli, Fathul
Wahab dengan Syarahnya, Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qawaninus Syariah li
Sayyid Usman bin Yahya, Qawaninus Syariah li Sayyid Shadaqah Dakhlan,
Syamsuri lil Fara’dl, Bughyatul Mustarsyidin, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-
Arba’ah, dan Mughni al-Muhtaj.
Penggunaan literatur-literatur tersebut sebagai sumber materiil hukum Islam
dalam mengadili perkara tentu berimplikasi pada beberapa problem. Diantaranya
adalah kepastian hukum dan perkembangan problem yang mungkin tidak dapat
terjawab hanya dengan merujuk pada literatur-literatur tersebut. Problem-problem
inilah yang kemudian mendorong umat Islam merasa perlu untuk merumuskan
ketentuan perundangan yang seragam dan tersusun dengan baik.
Sebagai pedoman hukum terapan bagi hakim di lingkungan peradilan agama,
KHI yang berisikan 229 Pasal tidak hanya berisikan hukum materiil saja, tetapi
juga memuat hukum formil. Berkaitan dengan kewarisan, KHI memuatnya dalam
Buku II dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 214 yang dilengkapi dengan
Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal demi Pasal. jika diklasifikasikan,
31
pengaturan hukum kewarisan Islam dalam KHI tersebar dalam enam bab dengan
jumlah pasal sebanyak 44 butir dengan sistematika sebagai berikut:
No. Bab Materi Pasal Jumlah Butir 1 I Ketentuan Umum 171 1 2 II Ahli Waris 172-175 4 3 III Besarnya Bahagian 176-191 15 4 IV Aul dan Rad 192-193 2 5 V Wasiat 194-209 16 6 VI Hibah 210-214 5
Jumlah 44
Hukum kewarisan Islam di Indonesia yang tercantum dalam KHI tersebut
disusun berdasarkan lima asas yang berupa ijbari, individual bilateral, keadilan
berimbang, kewarisan hanya akibat kematian, dan personalitas keislaman. Sebagai
sebuah asas, empat hal tersebut dalam konteks hukum kewarisan Islam menjadi
dasar, prinsip, patokan, acuan atau tumpuan umum untuk berpikir atau
berpendapat dalam menyusun, merumuskan, menemukan, dan membentuk
ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan atau penarikan nilai-nilai, ide,
konsepsi atau pengertian-pengertian umum hukum terkait.
Asas ijbari dijalankan dalam hukum kewarisan Islam dipahami bahwa
peralihan harta dari seseorang yang telah mati kepada ahli warisnya berlaku
dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak
pewaris atau ahli waris. Dengan demikian, perpindahan tersebut bukan kehendak
ahli waris atau sang pewaris, melainkan kehendak Allah yang telah difirmankan
32
melalui kitab suci-Nya.4 Oleh sebab itu, andaikata pewaris mempunyai hutang
lebih besar daripada harta peninggalannya, maka ahli waris tidak berkewajiban
untuk membayar sisa tanggungan hutang pewaris. Kalaupun pewaris berkehendak
untuk menanggung sisa hutang pewaris, hal itu bukan dianggap sebagai kewajiban,
melainkan kebaikan dari ahli waris itu sendiri.5
Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam di Indonesia dapat dilihat
dari tiga segi.6 Pertama, segi peralihan harta. Bagi seorang laiki-laik maupun
perempuan ada “nashib” dari harta peninggalan orang tua dan karib-kerabatnya.
Kata “nashib” berarti bagian saham atau jatah dalam bentuk sesuatu yang diterima
dari pihak lain. Dari kata “nashib” itu dapat dipahami dalam sejumlah harta yang
ditinggalkan pewaris, disadari atau tidak, telah terdapat hak ahli waris. Dalam hal
ini pewaris tidak perlu menjanjikan akan memberi sebelum ia meninggal, begitu
pula ahli waris tidak perlu meminta haknya. Kedua, segi jumlah harta yang
beralih. Bagian harta atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas
ditentukan hingga pewaris maupun ahli waris yang tidak mempuyai hak untuk
menambah atau menguranginya. Pembagian warisan sudah ditentukan atau
diperhitungkan, maka dengan sudah ditentukan jumlahnya ini harus dilakukan
sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa. Ketiga, segi kepada siapa harta itu
4Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau (Jakarta: PT Gunung Agung, 1984), hlm. 18. 5A. Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 2-3. 6Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan, hlm. 19.
33
beralih. Orang-orang yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan
secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya.
Asas ijbari yang digunakan sebagai landasan hukum kewarisan Islam di
Indonesia didasarkan atas ketentuan yang ada pada Q.S. 4:7, Q.S. 4:11, Q.S. 4:12,
dan Q.S. 4:176. Penampakan penggunaan asas ini terlihat dalam Pasal 187 ayat (2)
KHI yang menyatakan bahwa “Sisa dari pengeluaran dimaksud di atas adalah
merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak”.
Redaksi “harus dibagikan” pada pasal tersebut menunjukkan sifat memaksa dan
mengikatnya hukum kewarisan Islam Indonesia. Hal demikian dikecualikan dalam
konteks Pasal 183 yang berbunyi “para ahli waris dapat bersepakat melakukan
perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari
bagiannya”. Berdasarkan redaksi tersebut, pembagian harta peninggalan dapat
dilakukan secara damai dan musyawarah asalkan sebelumnya ahli waris secara
nyata telah mengetahui bagian peruntukannya masing-masing yang menjadi
haknya, baru setelah itu dengan kerelaan masing-masing ahli waris untuk
menyerahkan bagian peruntukannya kepada ahli waris lainnya atau dibagi sama
rata diantara ahli waris tersebut.
Ahli waris mewarisi harta warisan pewaris secara perorangan (individu)
tidak bersama-sama mewarisi harta warisan pewaris dengan ahli waris lainnya,
baik itu ahli waris laki-laki maupun ahli waris anak perempuan, dengan tanpa
mengadakan pembedaan ahli waris atas anak-anak dan orang sudah dewasa, sesuai
dengan peruntukkan bagiannya masing-masing yang didapatnya, baik dari kerabat
34
ibunya maupun dari kerabat bapaknya serta kerabat mereka lainnya yang terdekat.
Asas kewarisan secara individual ini terlihat, dengan arti bahwa harta warisan
dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perseorangan. Keseluruhan harta warisan
dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah
tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian
masing-masing. Ia berhak atas bagaian yang didapatnya tanpa terkait kepada ahli
waris yang lain, yang didasarakan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai
pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan
kewajiban.7
Sedangkan asas bilateralnya terlihat dengan adanya penerima hak kewarisan
dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki
dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Tegasnya, jenis kelamin bukan
merupakan penghalang untuk mewaris atau diwarisi. Antara laki-laki dan
perempuan dalam mewarisi harta peninggalan orang tuanya terdapat kedudukan
sederajat satu sama lainnya.8
Asas individual dan bilateral didasarkan pada Q.S.4:7, Q.S.4:33, Q.S.4:12,
dan Q.S.4:176, yang menggariskan bahwa telah dijadikan ahli waris yang akan
mewarisi harta warisan pewaris, baik itu ahli waris laki-laki maupun perempuan,
dengan peruntukkan bagian tertentu sesuai dengan haknya. Asas individual terlihat
7Ibid., 21. 8Idris Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Pustaka Jaya,
1995), hlm. 33. Bandingkan dengan Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan, hlm. 19, dan A. Rachmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan, hlm. 33.
35
ketika terjadi pembagian harta warisan, ada ahli waris yang masih belum dewasa
(Q.S.4:2, Q.S.4:5, dan Q.S.4:6), maka bagiannya harus disisihkan dan tidak boleh
dicampur dengan harta bagian ahli waris lainnya. Di dalam KHI, asas ini tampak
pada, misalnya, Pasal 176 sampai 182 yang menetapkan besrnya bagian masing-
masing ahli waris. Sementara asas bilateral tampak pada Pasal 174 ayat (1) yang
mengelompokkan ahli waris golongan laki-laki dan perempuan menurut hubungan
darah dan ahli waris duda dan janda menurut hubungan perkawinan.
Asas keadilan dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan
kewajiban, keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan
kegunaannya. Dengan demikian asas ini mengandung arti bahwa harus senantiasa
terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh
seseorang, dengan kewajiban yang harus ditunaikannya.9 Dalam sistem hukum
kewarisan Islam, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama dapat menjadi
pewaris dan ahli waris dari harta warisan ibu, bapak, dan kaum kerabatnya, dengan
tidak mengadakan pembedaan dari segi usia dan asal-usul silsilah kekerabatan bagi
ahli waris. Pembedaan kedua jenis ahli waris ini, terletak pada jumlah perolehan
mereka masing-masing, yakni bagian seorang anak laki-laki sama besar dengan
bagaian dua orang anak perempuan. Sebagai kelompok keutamaan pertama di
antara ahli waris tersebut adalah anak laki-laki dan anak perempuan beserta
keturunan pewaris ke atas dan ke bawah, janda atau duda, sebab demikian tidak
9Mohammad Daud Ali, “Asas-asas Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam”,
Mimbar Hukum, No. 9 tahun IV 1993, hlm. 9.
36
diketahui siapa diantara mereka itu yang lebih dekat (banyak) manfaatnya.
Demikian pula antara suami-istri dapat saling mewarisi.
Dasar penggunaan asas keadilan di dalam al-Qur’an tidak perlu
dipertanyakan lagi. Banyak redaksi al-Qur’an yang mneyeru kepada umat muslim
untuk berlaku adil. Hingga saat ini KHI masing menganut ketentuan pembagian
yang ada pada fikih konvensional atau yang biasa disebut dengan furudul
muqaddarah. Pada Pasal 176 dan 180 diutarakan bahwa bagaian seorang laki-laki
sama besarnya dengan bagaian dua orang perempuan. Ketentuan demikian hingga
saat ini masih dianggap adil dan berimbang oleh penegak hukum kewarisan Islam
di Indonesia.
Asas kewarisan hanya akibat kematian dipahami bahwa kewarisan ada jika
ada yang meninggal dunia. Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai
akibat dari kematian seseorang. Menurut hukum kewarisan Islam, peralihan harta
seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah
orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti harta seseorang tidak
dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta warisan, selama orang
yang mempunyai itu masih hidup. Juga berarti segala bentuk peralihan harta
seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang
akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam
kategori kewarisan menurut hukum Islam. dengan demikian hukum kewarisan
Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan satu bentuk kewarisan saja, yaitu
37
kewarisan sebagai akibat dari kematian seseorang. Hukum kewarisan Islam,
karena itu tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat.10
Asas kewarisan hanya akibat kemitan ini mempunyai kaitan yang erat
dengan ijbari. Pada hakikatnya bila seseorang memenuhi syarat sebagai subjek
hukum dapat bertindak atas harta pribadinya yang menyangkut kemauan dan
keperluannya selama ia hidup. Tetapi ia tidak mempunyai kebebasan untuk
mengatur harta tersebut untuk penggunaan sesuah matinya. Walaupun ada
kebebasannya untuk bertindak dalam tujuan untuk memberikan sebagian hartanya
dalam kadar batas maksimal sepertiga dari hartanya, tidak disebut dengan nama
kewarisan. Asas yang demikian ini dapat digali dari penggunaan kata-kata
“warasa” yang banyak terdapat dalam al-Qur’an yang mengandung pengertian
bahwa peralihan harta berlaku sesudah yang mempunyai harta itu mati.11
Asas ini tampak pada Pasal 171, 181, dan 182 KHI. Pada Pasal 171 huruf b
KHI disebutkan bahwa “Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalkannya
atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”. Pada Pasal 181 disebutkan “Bila
seorang meninggal dunia tanpa minggalkan anak dan ayah…”. Sedangkan dalam
Pasal 182 disebutkan bahwa “Bila seorang meninggal tanpa minggalkan…”.
Dalam hukum kewarisan Islam, perbedaan agama antara pewaris dan ahli
waris merupakan penghalang terjadinya kewarisan diantara mereka. Pewaris yang
10Ibid., hlm. 9-10. 11Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan, hlm. 25.
38
beragama Islam, harta kewarisannya akan diselesaikan berdasarkan hukum Islam,
sehingga apabila ada diantara ahli warisnya yang tidak beragama Islam, maka hak
atau kedudukannya sebagai ahli waris dicabut. Jumhur ulama telah sepakat
menyatakan ahli waris yang tidak beragama Islam atau seagama, tidak berhak
mewarisi harta kewarisan pewaris yang beragama Islam dan sebaliknya ahli waris
yang beragama Islam juga tidak berhak mewarisi harta pewaris yang tidak
beragama Islam pula.
B. Pandangan M. Syahrur terhadap Hukum Kewarisan Islam
Secara spesifik Syahrur mengkaji kewarisan Islam di salah satu bab dalam
karyanya berupa Nahw Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami. Termasuk dalam kajian
ini adalah persoalan wasiat. Bagi Syahrur, wasiat dan kewarisan dalam Islam
merupakan masalah serius yang harus diselesaikan. Ada empat alasan yang
digunakan Syahrur sehingga ia merasa berkepentingan untuk mengkaji ulang
persoalan ini.12 Pertama, wasiat dan warisan baginya telah dijelaskan dalam ayat-
ayat al-Tanzil al-Hakim. Kedua, dalam pengmatannya wasiat dan warisan telah
diterapkan oleh masyarakat muslim berdasarkan pemahaman para ahli fikih pada
abad-abad pertama Islam. Ketiga, menurutnya aplikasi wasiat dan kewarisan
masih berdasarkan ajaran-ajaran yang termuat dalam buku-buku faraid dan
mawarits. Keempat, ia melihat berbagai tradisi yang diterapkan oleh budaya lokal
12Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami: Fiqh al-Mar’ah, al-
Washiyah, al-Irts, al-Qawamah, al-Ta’addudiyyah, al-Libas (Damaskus: al-Ahali, 2000), hlm. 221.
39
tertentu di negeri-negeri Arab maupun non-Arab di luar ketentuan-ketentuan dari
ayat-ayat al-Qur’an maupun dari buku-buku tentang pembagian harta warisan.
Empat realitas tersebut dalam pandangannya masih menggelanyuti problem
kewarisan dan wasiat yang hingga saat ini masih belum terselesaikan.
Bagi Syahrur, kewarisan Islam dalam kerangka fikih hari ini masih
mengandung beragam problem, yang di antaranya adalah sebagai berikut:13
1. Mengutamakan masalah waris dan hukumnya, tetapi mengesampingkan
wasiat beserta hukum yang menyertainya.
2. Memaksakan penghapusan (naskah) ayat-ayat wasiat, khususnya firman
Allah: “Al-washiyyatu li al-walidain wa al-aqrabin”, berdasarkan hadis
ahad yang statusnya terputus diriwayatkan oleh Ahl al-Maghazi, yaitu:
“La Washiyata li waritsin”.
3. Mencampuradukkan anatara dua konsep yang berbeda, yaitu al-hazz
(jatah pada warisan) dan al-nashib (bagian pada wasiat), sehingga
memunculkan kerancauan pemahan antara ayat-ayat waris dan ayat-ayat
wasiat. Firman Allah dalam Q.S. al-Nisa’ (4):7 dipahami sebagai ayat
yang membicarakan masalah waris; padahal ayat ini secara jelas
menjelaskan tentang masalah wasiat. Argumentasi kami adalah karena
terma nashib menunjuk pada pengertian bagian (baca: porsi) seseorang
13Lihat Ibid., 222-223.
40
dalma masalah wasiat, sedangkan hazz menunjuk pada pengertian bagian
harta (baca: jatah) yang diterima dari warisan.
4. Tidak membedakan antara keadilan universal dalam ayat-ayat waris dan
keadilan spesifik dalam ayat-ayat wasiat; padahal ketentuan yang bersifat
umum tidak berarti menghapus yang bersifat khusus.
5. Firman Allah: fa in kunna nisa’an fawqa itsnataini dipahami dengan
pengertian: “Jika kalian (para perempuan) berjumlah dua atau lebih”.
Padahal ayat tersebut tidak bisa dipahami dengan pengertian yang tidak
masuk akal tersebut.
6. Terma “al-walad” dalam ayat-ayat waris dipahami sebagai anak laki-
laki, bahwa hanya anak laki-laki yang menjadi sebab terhalang dan
tertutupnya suatu pewarisan pada pihak lain. Pemahaman semacam ini
merupakan reduksi besar-besaran terhadap firman Allah: Yushikumullah
fi Awladikum li al-zakari misl hazz al-unsayain, karena dalam ayat ini
terma al-walad mencakup kedua jenis kelamin baik lelaki maupun
perempuan. Di samping itu, pemaknaan reduktif tersebut juga menyalahi
salah satu keistimewaan bahasa Arab yang memiliki kosa kata berbentuk
maskulin yang sekaligus mengandung arti feminin. Seperti kata abus
(kegentingan), armal (janda/duda), zawj (pasangan suami-isteri), dan
walad (anak), karena dalam bahasa Arab tidak dijumpai pemakaian kata
abusah, armalah, zawjah, dan waladah.
41
7. Memeperlihatkan konsep ‘awl (menggenapkan prosentase ke atas) dan
radd (menggenapkan prosentase ke bawah), dua konsep yang terlahir
dari pemaksaan terhadap pemberlakuan empat pola perhitungan
(‘amaliyat al-hisab al-arba’) sehingga mengakibatkan beberapa pihak
menerima harta waris secara berlebihan, sementara pihak lain dikurangi
haknya secara tidak adil. Hal inilah yang sebenarnya dipertanyakan oleh
Ibn ‘Abbas sejak empat belas abad yang lalu dengan nada aneh:
“Bagaimana bisa dinalar, Tuhan Yang Maha Mengetahui jumlah butiran
pasir menetapkan aturan pembagian warisan yang menyebabkan kita
terpaksa merujuk pada konsep radd dan ‘awl?”.
8. Para cucu, meskipun yatim, tidak diperbolehkan menerima bagian
warisan dari kakek mereka—dalam keadaan mereka sebelumnya telah
ditinggal mati bapaknya—meskipun cucu juga tersebut dalam ayat waris.
9. Memberikan bagian tertentu kepada pihak yang sama sekali tidak disebut
dalam ayat-ayat waris, seperti paman (dari pihak bapak) dan sebagainya.
Penetapan ketentuan ini merupakan akibat dari nalar sosial dan politik
patriarkhis masa lalu.
Di bawah bayang-bayang kerancauan itulah, menurut Syahrur, yang menjadikan
hukum waris dalam Islam sulit dipahami dan tidak memiliki rujukan yang jelas,
dan dalam atmosfir kegelisahan umat Islam untuk berada dalam satu pandangan
42
Islam dan mengatur hukum waris yang seragam. Baginya, kondisi ini telah
menyentuh titik rawan, yaitu problematika perpindahan harta antargenerasi.
Dalam rangka menyelesaikan problem wasiat dan kewarisan Islam tersebut
Syahrur melakukan pembacaan ulang terhadap 13 ayat al-Qur’an, di mana sepuluh
di antaranya berbicara tentang wasiat, dan sisanya berbicara tentang kewarisan.
Dalam memahami ayat-ayat tersebut, ia menegaskan tidak menggunakan
perspektif pengetahuan matematis yang digunakan oleh sarjana muslim abad
klasik. Berkaitan dengan hal itu, ia merujuk pada (1) Rene Descartes yang telah
meletakkan dasar-dasar analisis matematis modern yang memadukan antara
hiperbola (al-kam al-muttashil) dan parabola (al-kam al-munfashil); (2) Newton
yang menggagas analisis matematis tentang konsep turunan (diferensial/ al-
mushtaq) dan integral (al-takamul); dan (3) teori himpunan (nazariyat al-
majmu’at).
C. Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Berbasis Teori Batas M. Syahrur
Pewarisan, menurut Syahrur adalah pemindahan harta yang dimiliki
seseorang yang sudah meninggal kepada pihak penerima (warasah) yang jumlah
dan ukuran bagian (nasib) yang diterimanya telah ditentukan dalam mekanisme
wasiat, atau jika tidak ada wasiat, maka penentuan pihak penerima, jumlah dan
ukuran bagiannya (haz) ditentukan dalam mekanisme pembagian warisan.14
14Ibid., 231.
43
Sementara itu, wasiat menurutnya adalah salah satu bentuk distribusi kekeyaan
yang dilakukan oleh seseorang setelah kematiannya untuk diberikan kepada pihak
atau kepentingan tertentu (dari sisi kualitas) dengan ukuran tertentu (dari sisi
kuantitas) dengan ukuran tertentu (dari sisi kuantitas) sesuai dengan keinginan dan
pertimbangan pribadinya.15 Dalam al-Tanzil al-Hakim,16 menurut Syahrur, wasiat
lebih diutamakan daripada waris, karena ia berpotensi untuk mewujudkan keadilan
yang khusus terkait dengan kepentingan pribadi dan memiliki efektivitas dalam
pemanfaatan harta, pengembangan relasi sosial, dan hubungan kekeluargaan, di
samping mencerminkan memperdulikan pihak pewasiat terhadap kepentingan
pihak lain.
Ayat-ayat tentang waris diturunkan dan diberlakukan bagi seluruh umat
manusia secara kolektif yang hidup di muka bumi, bukan untuk pribadi atau
keluarga tertentu. Ayat-ayat waris menggambarkan aturan universal yang
ditetapkan berdasarkan aturan matematis dan empat operasional ilmu hitung.
Aturan tersebut merupakan ketentuan Tuhan yang tetap dan sudah ditentukan.
Sementara ayat-ayat wasiat sama sekali tidak mengandung ketentuan hukum
ataupun ketentuan pihak keluarga/ keturunan (nasab) yang harus diikuti, karena
Allah memberikan keleluasaan yang sangat lebar kepada manusia untuk berwasiat
berdasarkan keinginannya sendiri. Allah cukup membirakan dorongan untuk
15Ibid., 225. 16Adalah al-Qur’an itu sendiri pada bagian ayat-ayat muhakamat dalam pengertian Syahrur
yang berupa kebijakan-kebijakan hukum yang bersifat subjektif. Baca Syahrur, Al-Kitab wa al-Qur’an, hlm. 103-122.
44
memberikan prioritas sasaran wasiatnya kepada mereka yang paling berhak
menerima dan kekurangan, seperti keluarga dekat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, dan keturunan yang lemah. Perspektif tersebut menuntun Syahrur pada
perbedaan lain antara wasiat dan waris, yaitu bahwa orang-orang yang disebut
dalam ayat-ayat wasiat berjumlah lebih banyak dari orang-orang yang disebut
dalam ayat waris. Seluruh pihak yang disebut dalam ayat waris juga disebut dalam
ayat wasiat, namun tidak demikian sebaliknya. Orang-orang miskin dan kerabat
yang lemah tidak didapati dalam ayat-ayat waris, sementara mereka disebut dalam
ayat-ayat wasiat.
Ayat pertama dari ayat-ayat waris dimulai dengan kalimat: Yushikumullah fi
Awladikum, dan ditutup dengan firman Allah: Washiyyatan minallah wallahu
‘alimun halim. Menurut Syahrur, ayat tersebut mengindikasikan bahwa wasiat
sama wajibnya dengan solat maupun puasa. Berkaitan denga perpindahan harta
warisan, bagi Syahrur Allah menginginkan agar manusia mampu menegakkan
hukum dan menyelesaikan masalah yang sangat urgen dengan pandangannya
sendiri, yakni dengan selalu berpegang pada asas keadilan dan menerapkan
kebebasan penuh untuk menentukan apa yang cocok menurut pandangannya. Ayat
waris yang dimaluai dengan ungkapan di atas sakan diabaikan begitu saja oleh
para ulama klasik. Bahkan, konsep naskh-mansukh telah dikukuhkan, yang di
dalamnya persoalan wasiat menjadi salah satu korbannya, yakni bahwa wasiat
telah ter-nasakh oleh ayat-ayat waris.
45
Prinsip-prinsip yang ditetapkan Allah untuk menegakkan keadilan dalam
pembagian harta waris berdasarkan atas prinsip kedailan (‘adl) dan kesetaraan/
persamaan (musawah). Jika kita memperhatikan aturan-aturan (pembagian harta
waris) ini dengan perspektif individual (nazrah fardliyyah), maka kita akan
mendapati bahwa aturan-aturan tersebut tidak menerapkan kesetaraan antara laki-
laki dan perempuan, tetapi wasiat menerapkan persamaan antara kelompok laki-
laki (majmu’at al-dzukur) dan kelompok perempuan (majmu’at al-inats) di dunia.
Dari sinilah diperlukan kerangka pengetahuan matematik yang berbeda dari ilmu
perhitungan konvensional. Hanya saja, persamaan antara berbagai komunitas ini
bukan berarti persamaan antara anggota-anggotanya yang didasarkan pada kondisi
personal mereka atau posisi sosial mereka.
Prinsip pertama dari ayat waris adalah firman Allah yang berbunyi: li al-
zakari misl hazz al-untsayain. Dari ayat tersebut, muncullah Pasal 176 dalam KHI
yang menyebutkan bahwa:
“Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan.”
Dilihat dari kacamata asas keadilan berimbang, materi pasal tersebut jelas tidak
berimbang, di mana bagian harta waris hanya dilihat dari unsur jenis kelamin,
tanpa yang lain. Hal ini berbeda dengan pola pembaharuan yang ditawarkan
Syahrur. Dalam memahami ayat tersebut, Syahrur berpandangan bahwa dasar atau
46
titik tolak dalam penentuan bagian masing-masing pihak. Baginya, seakan-akan
Allah menyatakan: “Perhatikan bagian (hazz) yang telah kalian tentukan untuk dua
perempuan, lalu berikanlah semisal itu kepada pihak laki-laki”, karena dilihat dari
logika teoretis dan aplikasi ilmiah manapun, sangat tidak masuk akal mengetahui
dan menentukan hal semisal sesuatu sebelum mengetahui dan menentukan batasan
sesuatu yang dimisalkan tersebut.
Dalam pandangan Syahrur, para intelektual klasik membaca redaksi mitslu
hazz (semisal bagian) seakan-akan berbunyi mitsla hazz (sama dengan bagian).
Bagi Syahrur pembacaan tersebut merupakan kesalahan para intelektual klasik
dalam aturan-aturan pembagian harta waris. Mereka mengira bahwa hal itu hanya
problem linguistik, sementara hal itu bagi Syahrur memiliki problem yang sangat
kompleks. Pada pola pembacaan pertama terdapat tiga variabel; pengikut (tabi’),
pengubah (mtahawwil), dan pengubah tertentu (mutahawwil mafrud)—jumlah
perempuan yang terkadang bernilai satu, dua, atau lebih. Karena itulah, menurut
Syahrur, laki-laki hanya disebut sekali, sedangkan perempuan memiliki sejumlah
kemungkinan nilai yang beragam. Sedangkan pola pembacaan kedua tidak
memiliki variabel-variabel tersebut. Pola ini langsung dipahami bahwa bagian
laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan. Rasio pembagian semacam ini
berlaku dalam minda intelektual Islam klasik hingga saat ini.
Prisnip selanjutnya dari ayat waris adalah: fain kunna nisa’an fawqa
isnataini falahunna sulusna ma taraka; wa in kanat wahidatan fa laha al-nisfu.
Redaksi yang datang setelahnya merupakan penjelasan kasus-kasus spesifik dari
47
ketiga kasus waris yang menggambarkan hududullah (batas-batas hukum Allah).
Hal ini berdasarkan atas kenyataan bahwa setelah Allah menjelaskan wasiat-Nya
tentang prinsip-prinsip waris dalam ayat 11 dan 12 surat al-Nisa’, Allah
mengawali ayat 13 dengan redaksi tilka hududullahi. Kasus-kasus warisan ini
mencakup pihak-pihak berikut: keluarga menurut garis asal (al-usul), keluarga
menurut garis cabang (al-furu’), pasangan suami-isteri (al-zawj), dan saudara (al-
ikhwah). Dengan demikian, pihak paman dari bapak (al-‘amam), pihak paman dari
ibu (al-akhwal), anak laki-laki paman, dan seterusnya yang tidak disebut secara
eksplisit dalam ayat waris adalah pihak-pihak yang tidak berhak memperoleh
bagian (hazz) apapun dari harta waris.
Berdasarkan analisis terhadap ayat-ayat wasiat dan waris, Syahrur
merumuskan tiga batasan hukum kewarisan Islam untuk kategori anak dengan
basis teori himpunan. Pertama, li al-zakar mitsl hazz al-untsayain. Batasan jatah
ini bagi Syahrur berlaku pada saat jumlah anak perempuan dua kali lipat dari anak
laki-laki. Contoh kasus dalam batasan ini adalah satu anak laki-laki dan dua anak
perempuan, dua anak laki-laki dan empat anak perempuan, dan seterusnya. Rumus
persamaan yang ditetapkan adalah F/M=2.17 Kedua, fa in kunna nisa’an fawqa
itsnatain. Batasan jatah ini bagi Syahrur berlaku pada saat jumlah anak perempuan
lebih dari dua. Contoh kasus dalam batasan ini adalah satu anak laki-laki dan tiga
anak perempuan, dua anak laki-laki dan lima anak perempuan, dan seterusnya.
17F adalah jumlah perempuan, sedangkan M adalah jumlah laiki-laki.
48
Rumus persamaan yang ditetapkan adalah F/M>2. Ketiga, wa in kanat wahidatan
fa laha al-nisf. Batasan jatah ini bagi Syahrur berlaku dalam kasus jika jumlah
anak perempuan sama dengan jumlah anak laki-laki. Contoh kasus dalam batasan
ini adalah satu anak laki-laki dan satu anak perempuan, dua anak laki-laki dan dua
anak perempuan, dan seterusnya. Rumus persamaan yang ditetapkan adalah
F/M=2. Secara sederhana batasan-batasan ini dapat dijelaskan melalui tabel
sebagai berikut:18
Anak-anak Hukum Tuhan
Laki-laki 1/3 ----------- 2/3 Perempuan Dewasa
Lebih dari Dua Batasan Kedua
½ ------------- ½ Dua Perempuan Batas Pertama ½ ------------- ½ Satu Perempuan Batas Ketiga
Keterangan: Laki-laki disebut sekali. Bagiannya mengikuti atau tergantung pada jumlah perempuan. Laki-laki berposisi sebagai variabel pengikut (al-tabi’)
Keterangan:Jumlah perempuan mulai dari satu
sampai bilangan tak terhingga. Perempuan berposisi sebagai variabel
pengubah (al-mutahawwil)
Berdasarkan pola batasan-batasan yang dirumuskan melalui teori himpunan,
muncul beragam kemungkinan yang dapat dianalisa menggunakan teori parabola
(al-kam al-munfashil). Secara ringkas kemungkinan-kemungkinan tersebut dapat
penulis sajikan dalam tabel sebagai berikut:19
Laki-laki (M) Perempuan (F) Hukum (Batasan) Prosentase Jatah
3 1 Ketiga M : 50% : 3 = @ 16.6%
18Lihat Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, hlm. 248-249 dan Ibid., 286. 19Periksa Ibid., 250-262.
49
F : 50%
3 2 Pertama M : 50% : 3 = @ 16.6% F : 50% : 2 = @ 25%
3 3 Ketiga M : 50% : 3 = @ 16.6% F : 50% : 3 = @ 16.6%
3 4 Pertama dan Ketiga
M : 50% : 3 = @ 16.6% F : 50% : 4 = @ 12.5%
3 5 Pertama dan Ketiga
M : 50% : 3 = @ 16.6% F : 50% : 5 = @ 10%
3 6 Pertama M : 50% : 3 = @ 16.6% F : 50% : 6 = @ 8.3%
Perlu menjadi titik perhatian dalam memahami batasan-batasan yang
dirumuskan Syahrur berkaitan dengan penggunaan kata untsa dan nisa’. Bagi
Syahrur, perbedaan antara batasan pertama dan kedua (mitsl hazz al-untsayain dan
fa in kunna nisa’an fawqa itsnatain) juga mengindikasikan kondisi objektif
perempuan tersebut. Kata untsa merupakan bentuk tunggal dari kata inats yang
berarti jenis kelamin perempuan, sedangkan katan nisa’ merupakan bentuk plural
dari mar’ah atau imra’ah, yang berarti perempuan dewasa atau balig (al-untsa al-
baligah). Setiap mar’ah pasti untsa, namun tidak sebaliknya. Pada batasan
pertama, menurut Syahrur, Allah tidak memberikan syarat “dewasa”, sedangkan
pada batasan kedua Allah memberikan syarat “dewasa”. Dalam pada itu, di sini
muncul permasalahan-permasalahan baru; bagaimana jika untsa dan mar’ah
berkumpul dalam satu kasus, misalnya. Selain itu, kata fawqa juga perlu menjadi
titik perhatian.20 Bagi Syahrur, fawqa berbeda dengan aktsara, di mana ia
20Baca ibid., 255-256.
50
mencakup pengertian pada sisi kuantitas sekaligus sisi kualitas yang digunakan
untuk bilangan dalam konteks perbandingan (mansubat). Dalam pada itu, yang
dimaksud dengan fawqa itsnataini bagi Syahrur adalah prosentase antara jumlah
perempuan terhadap jumlah laki-laki, sehingga prosentase ini bisa dikatakan lebih
dari bilangan dua. Terkadang prosentase ini berupa bilangan bulat seperti 3/1=3,
dan terkadang berupa bilangan pecahan, seperti 5/2=2.5. Keduanya (3 dan 2.5)
sama-sama dapat dikatakan fawqa itsnataini.21
Menurut Syahrur teori hiperbola menjadi relevan guna memecahkan
permasalahan-permasalahan yang terkait dengan batasan kedua. Sebagaimana
nampak dalam tabel kedua bahwa perbandingan bagian perempuan terhadap
bagian laki-laki berbanding terbalik dengan jumlah perempuan terhadap jumlah
laki-laki. Jika jumlah anggota perempuan dilambangkan dengan “F” dan jumlah
anggota laki-laki dilambangkan dengan “M”, sedangkan perbandingannya
dilambangkan dengan “x”, maka dapat dirumuskan dengan pola x = F/M. Jika
jatah atau bagian laki-laki dilambangkan dengan “D1” dan jatah atau bagian
perempuan dilambangkan dengan “D2”, sedangkan perbandingannya
dilambangkan dengan “y”, maka dapat dirumuskan dengan pola y = D2/D1.
Dengan demikian, perbandingan bagian perempuan terhadap bagian laki-laki
berbanding terbalik dengan jumlah perempuan terhadap jumlah laki-laki dapat
dirumuskan dengan pola y = 1/X. Persamaan atau perbandingan ini disebut dengan
21Ibid., 258.
51
hiperbola (al-kam al-muttasil). Rumus ini menurut Syahrur dapat membantu untuk
menjelaskan batasan kedua dan ketiga dengan syarat perbandingan antara jumlah
perempuan terhadap laki-laki lebih besar dari nol dan lebih kecil sama dengan dua
(2 > F/M > 0).22 Demikian itu dapat digambarkan dalam ragaan sebagai berikut:
Ragaan 1 Persamaan dan Perbandingan I
Contohnya dapat dimulai dari jumlah pewaris tujuah orang terdiri dari dua
laki-laki dan lima perempuan dewasa. Jatah laki-laki adalah 1/3
(33.3%:2=16.66%), sedangkan jatah perempuan adalah 2/3 (66.66%:5=13.33%).
22Ibid., 254-255.
52
Perbandingan antara jatah laki-laki (D1) dan perempuan (D2) dirumuskan dengan
persamaan:
0.1333 = 0.8 = 2x2 (dua kali lipat jumlah laki-laki) 0.1666 5 (jumlah perempuan)
Jika hal demikian itu dimasukkan ke dalam rumus hiperbola, akan didapati bahwa
jatah seorang perempuan adalah D2=2:3F. Jatah laki-laki adalah D1=1:3M.
Perbandingan jatah perempuan terhadap laki-laki adalah:
D2 = 2M D1 F
Perbandingan jumlah perempuan terhadap laki-laki adalah:
x = F M
Jika dua batas tersebut dibalik, hasilnya adalah:
1 = M atau 2 = 2M x F x F
Dari perbandingan tersebut didapatkan persamaan:
y = 2 x
persamaan tersebut disebut dengan persamaan hiperbola, berikut dapat diragakan:
Ragaan 2
53
Persamaan dan Perbandingan II
Persamaan demikian itu hanya dapat diberlakukan pada kasus ketika semua pihak
perempuan terdiri dari perempuan dewasa (nisa’), dan perbandingan jumlah
perempuan terhadap jumlah laki-laki adalah lebih besar dari dua (fawqa
itsnataini), atau dirumuskan dengan:
F > 2 M
Adapun hiperbola dengan persamaannya y = 1/x, berawal dari bilangan lebih dari
nol sampai tak terhingga.
Selanjutnya, persamaan tersebut dilihat dengan analisis matematis, dengan
mengambil derivasi (turunan) pertama dari persamaan: y = 1/x = x -1 dan
54
turunannya adalah y’ = 1/x-1. Jika melihat pada y1 untuk x sama dengan satu, maka
didapati rumus: y2 = 1/1 =1= sudut tangent α (alfa).
Sudut tanget α adalah sebesar -45 derajat, yaitu bahwa turunan untuk x = 1
adalah garis yang terbentuk dari garis absis x = 1 yang berawal dari titik F = M.
Pada titik inilah terletak titik singgung hiperbola. Pada titik ini garis kurvanya
mengikuti sudut tangent α sebesar -45 derajat yang turunannya membentuk garis
lengkung tersebut. Analisis matematis ini menurut Syahrur dapat menjelaskan
bahwa garis lengkung bermula dari titik singgung hiperbola yang menjadi titik
awal persinggungan pada jumlah laki-laki yang sama dengan jumlah perempuan.
Pada daerah di bawah titik singgung ini, jumlah perempuan lebih sedikit dari
jumlah laki-lak, dan jatah satu orang perempuan lebih besar dari jumlah pihak
laki-laki, dan jatah seorang perempuan lebih sedikit dari jatah seorang laki-laki.
Hal ini berarti bahwa dalam model hiperbola ini terdapat pembalikan, dan terlihat
dari sisi himpunan secara kolektif tambahan yang diperoleh perempuan sebanding
dengan tambahan yang diambil pihak laki-laki. Titik singgung hiperbola tersebut
bagi Syahrur mencerminkan realitas kelahiran seluruh manusia di muka bumi,
yaitu bahwa jumlah laki-laki (cenderung) sama dengan jumlah perempuan, dan
persamaan ini sesuai dengan realitas bentuk-bentuk kelahiran penduduk bumi. Jika
persamaannya ditentukan:
Y = 2 y = -2x-1 maka Y = -2x-2 = 2 X x2 untuk x = 2, maka y = 2/4 = ½ = sudut tangent β
55
Sudut tangent β = -30 derajat, sudut ini berlaku bagi hiperbola, sebagaimana
tampak dalam ragaan berikut:
Ragaan 3 Persamaan dan Perbandingan III
Dengan beragam penjelasan di atas, Syahrur mendapati bahwa setiap ayat
yang terdapat pada wilayah ini menggambarkan bentuk-bentuk penggunaan yang
beragam pada tiga macam batas hukum waris tersebut. Syahrur juga mendapati
bahwa setiap kasus pewarisan yang akan dihadapi menggambarkan titik-titik yang
terdapat pada persamaan hiperbola: y = 1/x, atau pada hiperbola y = 2/x. Tidak ada
kasus pewarisan lain yang keluar dari dua persamaan ini. Selain itu, Syahrur juga
mendapati bahwa (jumlah total) jatah warisan masing-masing pihak—setelah
56
pembagian harta pusaka dengan menerapkan prinsip-prinsip waris—tidak akan
melebihi atau kurang dari 100%. Demikian itu dapat digambarkan dalam ragaan
sebagi berikut:
Ragaan 4 Persamaan dan Perbandingan General
Penghitungan ini juga tidak akan memaksa kita menerapkan pada penghitungan
radd dan ‘awl. Kami mendapati bahwa terma al-walad mencakup jenis kelamin
laki-laki dan perempuan. Pengertian ini akan menjawab problem “menghalangi
atau terhalangi dari memperoleh jatah warisan” yang telah menjerumuskan ahli
fikih pada masa Abbasiyah dalam kesalahan fatal dan memasukkan saudara-
saudara bapak (‘amam), saudara ibu (akhwat), dan anak-anak paman dalam daftar
57
para pewaris harta, padahal Allah sama sekali tidak memberikan bagian sedikitpun
kepada mereka. Di samping itu tidak ada ketentuan pembagian waris bagi mereka
dan tidak pernah sekalipun nama-nama mereka di sebut al-Tanzil al-Hakim. Tak
pelak lagi bahwa masuknya mereka dalam daftar pewaris adalah akibat dari motif-
motif kekuasaan dan politik.
Aturan waris selanjutnya tergambar dalam Q.S. al-Nisa (4):11 dengan
redaksi wa li abawaihili kull wahidin minhuma al-sudus mimma tarak in kana lahu
walad. Dari ayat tersebut, di dalam KHI dirumuskan bahwa:
“Ayah mendapatkan sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila meninggalkan anak, ayah mendapat seperenam bagian.”23
Penggunaan kata abawaihi dalam ayat tersebut, menurut Syahrur, menunjukkan
bahwa di dalamnya tidak hanya hubungan darah, tetapi juga hubungan asuh.
Dalam pada itu, jatah bapak-ibu adalah 1/6 bagian dari harta peninggalan, baik itu
melalui proses kelahiran maupun proses adopsi. Redaksi li kulli wahidin minhuma
al-sudus menurut Syahrur memberi konsekuensi bahwa bapak memperoleh bagian
yang sama dengan ibu, bagi keduanya berlaku batas ketiga dari batasa Allah.
Dengan demikian, ketika jumlah pihak laki-laki sama dengan jumlah pihak
perempuan maka bagian tiap individu, baik laki-laki maupun perempuan adalah
sama. Sedangkan min ma taraka dipahami oleh Syahrur seabagai bahwa terdapat
23Pasal 177.
58
jatah lain yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum bagian jatah bapak dan
ibu ditentukan, yaitu bagian jatah suami atau istri jika ada.24
Ayat selanjutnya yang mengatur tentang pembagian harta waris adalah fa in
lam yakun lahu waladun wa waritsahu fa li ummihi al-tsulutsuh. Dari ayat ini,
dirumuskan materi dalam KHI sebagai berikut:
“(1) Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada nak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian. (2) Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah”.25
Dalam ayat tersebut, menurut Syahrur, Allah telah menetapkan batas kedua, di
mana jatah ibu adalah 1/6 bagian dan jatah bapak 5/6 bagian. Pola semacam ini
sama seperti jika misalnya seseorang meninggalkan sejumlah ahli waris yang
terdiri dari satu laki-laki dan 10 perempuan, maka penyelesaiannya adalah laki-
laki memperoleh 1/3 harta dan 2/3 harta sisanya diambil oleh 10 orang
perempuan.26
Setelah menjelaskan bagian orang tua, Allah menjelaskan bagian suami-
isteri. Dalam Q.S. al-Nisa’, 4:12 Allah berfirman, Dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang diringgalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
24Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, hlm. 262-263. 25Pasal 178. 26Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, hlm. 263.
59
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat dan/atau sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika
kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat dan/atau sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Dari ayat ini, materi hukum kewarisan dirumuskan
dalam KHI sebagai berikut:
“Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka mendapat seperempat bagian.”27 “Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian.”28 Menurut Syahrur, ayat tersebut secara jelas memberlakukan kaidah hukum
lidzdzakari mitsl hazz al-untsayain yang merupakan batas pertama dari batas-batas
hukum Allah. Bagi suami setengah harta peninggalan isteri jika isteri tidak
memiliki anak, dan seperempat bagian jika isteri memiliki anak, tanpa
mempertimbangkan jenis kelamin dan jumlahnya, satu anak atau lebih, laki-laki
ataupun perempuan semuanya diposisikan sama. Dalam ayat tersebut juga
ditegaskan hukum demikian itu hanya berlaku ketika orang yang meninggal tidak
meninggalkan wasiat yang menjelaskan pewaris hartanya dan bagian masing-
27Pasal 179. 28Pasal 180.
60
masing. Hal ini bagi Syahrur memperkuat argumentasinya bahwa wasiat adalah
dasar, sedangkan hukum waris adalah ketentuan dari Allah sebagai pengganti
wasiat yang tidak ada.
Berdasarkan analisisnya, Syahrur merumuskan bahwa prosentase yang
ditentukan Tuhan bagi bagian suami atau isteri adalah sebagai berikut:29
Bagian Waris bagi Suami Bagian Waris bagi Isteri
Setengah (1/2), ketika tidak ada anak. Ini merupakan batas minimal (al-had al-adna) bagian waris bagi suami.
Seperempat (1/4), ketika tidak ada anak. Ini merupakan batas minimal bagian waris bagi isteri.
Seperempat (1/4). Ini merupakan batas minimal bagian waris bagi suami ketika ada anak.
Seperdelapan (1/8). Ini merupakan batas minimal bagian waris bagi isteri ketika ada anak.
Baginya, prinsip keadilan dan kesetaraan yang antara pihak laki-laki dan
perempuan. Konsekuensinya, menurut Syahrur, akan selalu didapati bahwa
kategori/ kelompok janda (zumrat al-aramil min al-rijal), meskipun bagian
seorang duda sebesar dua kali lipat bagian seorang janda. Yang jelas, bahwa
persamaan ini tidak akan tercapai kecuali jika jumlah kategori janda dua kali lipat
dari jumlah kategori duda (zumrat al-aramil min al-rijal).
Persoalan terakhir berkaitan dengan pembagian harta waris adalah kalalah.
Dalam pada itu, Allah berfirman “Jika seorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (se ibu saja) atau seorang saudara
29Periksa Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, hlm. 268-269.
61
perempuan (se ibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madlarat (kepada
ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-
benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. Dari ayat ini
dirumuskan materi hukum dalam KHI dengan bentuk:
“Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.”30 “Bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara-saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan.”31
Sementara itu, dari ayat tersebut Syahrur menarik beberapa kesimpulan.
Pertama, kalalah adalah kerabat dekat orang yang meninggal selain pihak bapak
dan anak. Kedua, bagian-bagian warisan ini diperoleh kerabat (kalalah) yang
terdiri dari saudara-saudara (al-ikhwah) saja jika mereka ada. Bagian-bagian
30Pasal 181. 31Pasal 182.
62
warisan ini hanya berlaku ketika ada suami-isteri, bukan ketika suami-isteri tidak
ada. Ketiga, kalalah menetapkan bagi laki-laki dan perempuan bagian yang sama/
sebanding (saudara laki-laki maupun saudara perempuan) dalam batas ketiga dari
batas-batas hukum waris Allah. Jika terdiri dari seorang saudara laki-laki atau
seorang perempuan, maka bagiannya adalah 1/6. Jika ahli waris terdiri dari
kumpulan saudara, maka secara total mereka memperoleh 1/3, dalam arti bahwa
1/3 merupakan batasan tertinggi bagi kumpulan saudara dalam kasus ini.32
Dengan beragam analisis dan pemetaan di atas, Syahrur menyimpulkan
bahwa Allah menentukan bagian-bagian warisan dan prosentasenya untuk para
pewaris (ahli waris) berdasarkan tingkat kekerabatan mereka dengan orang yang
mneinggal, yaitu dari yang paling dekat menuju ke yang paling jauh. Dimulai dari
anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, secara kolektif maupun individu.
Maka seluruh harta peninggalan diberikan kepada anak, baik pada tingkat anak
maupun cucu, yang bapaknya meninggal, berlaku baik ketika mereka terdiri dari
seorang anak, laki-laki maupun perempuan, dua orang anak, ataupun lebih dari itu.
Allah menentukan bagi setiap kasus batasan dan aturan hukum warisnya.
Selanjutnya Allah beralih pada (bagian waris bagi) kedua orang tua, dan
menentukan bagian waris bagi keduanya setelah hutang dan wasiat ditunaikan.
Sisa dari pembagian ini secara keseluruhan dibagikan kepada anak-anak susuai
jumlah mereka sebagaimana digariskan dalam ayat al-Qur’an.
32Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, hlm. 270-271.
63
Kemudian Allah beralih pada bagaian suami-isteri, dan menentukan bagaian
dan hak mereka ketika adanya kedua orang tua dan anak-anak yang mendapatkan
bagian waris setelah wasiat dan hutang ditunaikan persis sebagaimana kedua orang
tua mengambil bagian. Kemudian sisa harta dibagikan kepada anak-anak. Allah
menjelaskan bagian bagi kedua orang tua dan bagian salah satu dari suami-isteri
ketika anak-anak masih ada/ hidup dan ketika anak-anak tidak ada. Dalam hal ini,
kita memahami bahwa keberadaan kerabat yang dekat akan menghalangi kerabat
yang lebih jauh untuk menerima pembagian harta waris, baik jika mereka terdiri
dari satu orang atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan. Kemudian Allah
beralih menjelaskan tata cara pembagian harta peninggalan seseorang yang pihak
bapaknya telah meninggal sebelumnya dan ia tidak memiliki anak. Kondisi inilah
yang mewarisi sebagai kalalah berdasarkan ungkapan Allah dalam ayat tersebut,
dan Allah menjelaskan bagian waris bagi saudara-saudara jika mereka ada.
64
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, teori batas Syahrur sangat relevan
untuk dijadikan dasar pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia yang
telah dirumuskan dalam KHI. Simpulan ini didasarkan atas beberapa alasan
sebagai berikut:
1. Syahrur menempatkan keadilan sebagai asas utama dalam aturan
pembagian waris. Basis pembagian harta waris ini tidak di dasarkan pada
individu ahli waris, tetapi pada kelompok jenis kelamin.
2. Adanya penetapan batas atas dan bawah yang memungkinkan bagi ahli
waris untuk menetapkan bagiannya sesuai dengan kondisi dan
kebutuhannya.
3. Dengan seperangkat metodologi yang digunakan, tawaran-tawaran
teoretik Syahrur mampu memecahkan problem radd dan ‘awl yang
hingga hari ini masih buntu.
Namun demikian, terdapat beberapa kelemahan yang penulis temukan dalam
menganalisis gagasan-gagasan Syahrur, yaitu:
1. Tidak ada standar baku yang dirumuskan Syahrur dalam menentukan
batas maksimum dan minimum. Ia hanya mengambil beberapa kata kunci
65
secara acak yang kebetulan muncul dalam suatu ayat uantuk dijadikan
basis dari keberadaan batasan maksimum-minimumnya.
2. Syahrur belum dapat memecahkan posisi ahli waris non-muslim,
sementara dalam konteks kehidupan saat ini batas perbedaan agama
sudah tidak lagi menjadi persoalan yang berarti.
3. Syahrur juga belum dapat memecahkan poisis anak di luar nikah
berkaitan dengan hak waris dari jalur ayah kandungnya.
B. Rekomendasi dan Saran
Berdasarkan temuan di atas dan analisis yang telah dilakukan, penulis
merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Melihat maraknya kasus gugatan hak waris dan kondisi sosial masyarakat
yang telah sedemikian rupa berubah, sudah saatnya KHI, utamnaya
berkaitan dengan kewarisan, untuk direvisi. Hal ini mengingat bahwa
hukum yang harus mengikuti manusia, bukan manusia yang harus dipaksa
untuk mengikuti hukum.
2. Kerangka berpikir dan gagasan-gagasan Syahrur dapat dijadikan referensi
untuk melakukan pembaharuan materi hukum kewarisan yang ada dalam
KHI.
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini memang sangat jauh dari
kesempurnaan, di samping karena kemampuan dan waktu peneliti, keterbatasan
66
literatur dan batasan-batasan lain juga turut mewarnainya. Betapa tidak, tampak di
berbagai segi masih banyak persoalan yang perlu dikaji secara mendalam. Paling
tidak, hal tersebut menjadi peluang bagi para pengkaji selanjutnya untuk sama-
sama melengkapi kajian hukum interdisipliner.
67
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Komplasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992.
Abdurrahman, E., Perbandingan Mazhab-mazhab (Bandung: Sinar Baru, 1986.
Abidin, M. Zainal, “Gagasan Teori Batas Muhammad Syahrur dan Signifikansinya bagi Pengayaan Ilmu Ushul Fiqh”, dalam Al-Mawardi, Edisi XV, Tahun 2006.
Abubakar, Fatum, “Pembaruan Hukum Keluarga, Wasiat untuk Ahli Waris: Studi Komparatif Tunisia, Syiria, Mesir, dan Indonesia”, dalam Hunafa: Jurnal Studi Islamika, Vol. 8, No. 2, Desember 2011.
Ali, Mohammad Daud, “Asas-asas Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam”, Mimbar Hukum, No. 9 tahun IV 1993.
Arief, Muhammad, Hukum Kewarisan dalam Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1986.
B., Halimah, “Konsep Hudud pada Hak-hak Perempuan Menurut Muhammad Syahrur”, dalam Al-Risalah, Vol. 11, No. 2, Nopember 2011.
Budiono, A. Rachmad, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999.
Clark, Peter, “The Shahrur Phenomenon: A Liberal Islamic Voice from Syria”, dalam Islam and Christian Moslem Relation, Vol. 7 No. 3
Daruquthni, Abi Hasan al-, Sunan al-Daruquthni, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1966.
Djakfar, Idris dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.
Halaq, Wael B., A History of Islamic Legal Theories, Inggris: Cambridge University Press, 1995.
Iffah, Ummu, “Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran ‘The Theory of Limits’ Muhammad Shahrur” dalam Kontemplasi, Vol. 6, No. 2, Nopember 2009.
Jauziyyah, Muhammad bin Abi Bakr bin Qayyim al-, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, 1968.
Kurzman, Charles (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook, New York: Oxford University Press, 1998.
68
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2009.
Muhibbuddin, Moh, “Pembaharuan Hukum Waris Islam di Indonesia”, dalam http://wwwbadilag.net/data/ARTIKEL/Pembaharuan%20Hukum%20Waris%20Islam%20Di%20Indonesia%20Artikel%20Badilag%20versi%20biasa.pdf (Diakses pada tanggal 22 Maret 2013).
Pakistani, Zakariya al-, Ushul al-Fiqh ala Manhaj Ahl al-Hadis, Ttt: Dar al-Haraz, 2002.
Rafiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001.
Rahardjo, Satjipto, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, dalam Jurnal Hukum Progresif, Vol. 1, No. 1, April 2005.
_______, “Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif”, Makalah, dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007.
Rosmadi, Rekap Perkara yang Diterima dan Diputus Tk. Pertama Yuridiksi MSy.P/PTA Seluruh Indonesia Tahun 2011, dalam http://www.badilag.net/statistik-perkara/10119-informasi-keperkaraan-peradilan-agama-tahun-2011.html (Diakses pada tanggal 21 Maret 2013).
Sazili, Ahmad Fawaid, M. Shahrur: Figur Fenomental dalam http://www.Islam liberal.com (diakses pada 27 Nopember 2013).
Shiddieqy, T.M. Hasbi Ash-, Fiqhul Mawaris: Hukum-hukum Warisan dalam Syaria’at Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Soekamto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Sugono, Dendy (red.), Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Syah, M. Annul Abied dan Hakim Taufiq, Islam Garda Depan dan Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah, Bandung: Mizan, 2001.
Syahrur, Muhammad, Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, Damaskus: al-Ahali, 1992.
69
______, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami, Damaskus: al-Ahali, 2000.
Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta: PT Gunung Agung, 1984.
Syawwaf, Muhami Munir Muhammad Tahir al-, Tahafut al-Qira'ah al-Mu’asirah, Limmasol Cyprus: al-Syawwa fi al-Nasyr, 1993.
Thufi, Najm al-Din Sulaiman bin ‘Abd al-Qawiy al-, Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Usman, Rachmadi, Hukum Kewarisan Islam dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Mandar Maju, 2009.
Utsaimain, Muhammad Shalih al-, Al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah, Riyadh: Mu’assasah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimain al-Khiriyyah, 1429 H.
Wahid, Abdurrahman, Tuhan tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: LKiS, 1999.